231785604 proyek-case
-
Upload
homeworkping2 -
Category
Education
-
view
265 -
download
2
Transcript of 231785604 proyek-case
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/PRESENTASI KASUS
TBC PARU – PNEUMONIA KOMUNITAS
PEMBIMBING :
dr. SUKAENAH BT SHEBUBAKAR, Sp.P
PENYUSUN :
AHMAD RUDIANSAH
030.10.014
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
PERIODE 2 JUNI – 9 AGUSTUS 2014
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LAPORAN KASUS
I. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis yang dikombinasikan dengan alloanamnesis kepada
anak laki – laki pasien yang kebetulan sedang menjaga pasien serta tinggal satu rumah dengan
pasien yang dilakukan pada tanggal 8 Juni 2014 pukul 11.00 WIB
A. Identitas
Nama : Ny.S
Usia : 74 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl.Kebon Sayur, RT 05 / 03 No.30 Kelurahan : Manggarai,
Kecamatan : Tebet, Jakarta
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SD
Status Pernikahan : Janda
Suku : Jawa
Agama : Islam
B. Keluhan Utama
Seorang pasien datang ke UGD RSUD Budhi Asih pada tanggal 2 Juni 2014 pukul 03.46
WIB dengan keluhan tidak nafsu makan sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh tidak nafsu makan sejak 4 hari SMRS. Selain itu juga, pasien merasa
adanya mual, tetapi menyangkal pernah muntah.
Pasien juga mengeluh batuk sejak 1 bulan SMRS. Batuk yang dialami pasien tidak
berdahak, tetepi menurut pengakuan anak pasien, pasien mengaku sulit mengeluarkan
dahaknya, padahal jelas terdengar dari suara nafasnya seperti ada lendir. Menurut pengakuan
anak pasien, dalam waktu sekitar 2 minggu terakhir batuk yang dialami pasien semakin parah
dan pasien pernah batuk dengan mengelurkan dahak yang berwarna kehijauan.
2 minggu SMRS, pasien juga mengeluh adanya sesak nafas. Sesak timbul tiba – tiba dan
dirasakan terus menerus. Pada waktu sesak nafas, tidak terdengar bunyi “ngiik”. Sesak nafas
yang dirasakan tidak dipengaruhi oleh posisi ( baik berbaring ataupun duduk). Sesak nafas
dirasakan membaik setelah pasien pergi berobat ke klinik didekat rumah pasien untuk di uap
dan diberikan obat - obatan. Pasien juga mengaku sebelumnya pernah mengalami sesak nafas,
tetapi sesak nafas yang dialami sekarang lebih berat daripada serangan yang terjadi
sebelumnya. Pasien mengaku memiliki riwayat asma sejak kecil, tetapi menurut pengakuan
pasien, serangan sesaknya jarang timbul. Pasien tidak ingat kapan terakhir kali serangan.
Menurut pengakuan anak pasien, pasien tidak memiliki alergi terhadap debu, udara dingin,
makanan ataupun obat – obatan. Biasanya serangan sesak yang terdahulu timbul tiba – tiba
juga. Pasien menyangkal adanya nyeri dada.
Pada waktu serangan sesak yang terjadi 2 minggu yang lalu, pasien juga mengeluh adanya
demam. Demam yang dirasakan timbul mendadak, dan tidak naik – turun. Demam yang
dirasakan pasien juga sangat tinggi, hingga pasien menggigil. Demam yang dirasakan hanya
berlangsung tiga hari, karena demam berangsur turun semenjak pasien berobat ke klinik yang
berada di sekitar rumah pasien. Selain itu juga, pasien mengaku adanya keluhan sering
berkeringat pada malam hari. Pasien juga mengeluh adanya rasa lemas dan penurunan nafsu
makan serta penurunan berat badan sejak 1 bulan yang lalu, tetapi penurunan nafsu makan
pada pasien bertambah berat pada 4 hari terakhir, sehingga anak pasien memutuskan
membawa pasien untuk berobat ke RS. Mual + dan muntah di sangkal pasien.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal pernah menderita penyakit paru sebelumnya dan pasien menyangkal
pernah minum OAT sebelumnya. Pasien menyangkal adanya obat – obatan yang rutin
dikonsumsi. Pasien juga tidak memiliki riwayat alergi obat. Pasien menyangkal adanya
riwayat DM, hipertensi dan penyakit jantung.
E. Riwayat Hidup Pribadi dan Kebiasaan
Pasien menyangkal adanya anggota keluarga maupun tetangga yang memiliki keluhan yang
sama dengan pasien. Pasien memiliki 10 orang anak dari 2 kali pernikahannya. Pasien hidup
di pemukiman yang padat penduduk bersama 1 anak laki – laki serta 1 orang menantunya.
Pada siang hari, lampu rumah pasien harus dinyalakan supaya rumah pasien tidak gelap,
karena sinar matahari tidak bisa masuk kedalam rumah. Selain itu, pasien jarang membuka
jendela rumahnya. Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok, tetapi anak laki – laki
pasien merokok, tetapi tidak didalam rumah. Pasien menyangkal adanya kebiasaan
mengkonsumsi makanan atau minuman yang manis – manis, makanan bersantan maupun
berminyak. Pasien mengakui memiliki kebiasaan telat makan dan gemar memakan makanan
yang asam dan pedas.
F. Riwayat Penyakit Keluarga
Menurut pengakuan pasien, salah satu anak laki – laki pasien memiliki gejala batuk – batuk
yang lama dan telah meninggal 4 tahun yang lalu. Menurut pengakuan pasien, orang tua
pasien memiliki riwayat DM dan asma.
G. Tinjauan Keluhan Menurut Sistem
Umum
Penurunan berat badan, lemas, demam.
Kulit
Tidak ada
Kepala, mata, telinga, hidung, sinus, mulut dan tenggorokan
Pusing, presbiakusis, nyeri menelan.
Leher
Pembesaran KGB submandibula sisi sebelah kanan dan kiri.
Buah dada
Tidak ada
Pernafasan
Batuk, sulit mengeluarkan dahak, sesak.
Kardiovaskular
Tidak ada
Gastrointestinal
Penurunan nafsu makan
Saluran kemih
BAK berwarna kemerahan sejak meminum obat paru
Sistem reproduksi
Tidak ada
Punggung dan ekstremitas
Tidak ada
Neuropsikiatri
Tidak ada
II. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan umum
Kesadaran : CM
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesan gizi : Tampak gizi kurang
Sianosis : -
Ikterik : -
Odem anasarka : -
Habitus : Astenikus
Mobilitas : Aktif
Umur sesuai taksiran: Sesuai dengan usia sebenarnya
B. Tanda vital
Tekanan darah : 170 / 90 mmHg
Nadi : 120 x / menit
Pernafasan : 22 x / menit
Suhu : 36,7 0C
BB : -
TB : -
C. Statug generalisata
Kulit
Warna kulit sawo matang, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada
efloresensi kulit yang bermakna. Perabaan suhu terasa hangat.
KGB
Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Retroaurikuler : Tidak teraba membesar
Submandibula : Teraba membesar
Kanan : berjumlah 1, berukuran ±
2 cm, lunak, bisa digerakan,
tidak
nyeri tekan, kulit diatas benjolan
tidak merah
Kiri : Berjumlah 1, berukuran ± 1
cm, lunak, bisa digerakan, tidak
nyeri tekan. kulit diatas benjolan
tidak merah
Submental : Tidak teraba membesar
Sepanjang M. Sternokleidomastoideus : Tidak teraba membesar
Supraklavikula : Tidak teraba membesar
Infraklavikula : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak dilakukan pemeriksaan
Inguinal : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kepala
Bentuk kepala normocephali, warna rambut keputihan dengan distribusi merata
dan tidak mudah dicabut.
Mata
Konjungtiva anemis (+), Sklera ikterik (-),Arcus senilis (+), Edema palpebra (-)
Telinga
Normotia, liang telinga lapang, tidak ada sekret, membran timpani intak, tidak
ada nyeri tekan tragus dan mastoid.
Hidung
Bentuk hidung normal, tidak ada deformitas, tidak ada septum deviasi, tidak
ada pernafasan cuping hidung, cavum nasi lapang, tidak ada sekret.
Mulut
Bibir : Kering
Lidah : Normoglosia, lidah kotor
Mukosa : Hiperemis
Gigi geligi : Sudah tidak ada gigi, Oral hiegiene buruk
Tonsil : T1-T1, tidak hiperemis, detritus -/-, kripta melebar (-)
Dinding faring posterior: Sedikit hiperemis, tidak terdapat massa.
Leher
Tekanan vena jugular (JVP) : 5+2 cmH2O
Kelenjar tiroid : Tidak teraba membesar
Thoraks
Inspeksi :
Simetris lapang paru kanan dan kiri pada keadaan statis maupun dinamis,
efloresensi -bermakna (-), retrasi sela iga (-), gerak nafas tidak ada yang
tertinggal, sela iga melebar, tipe pernafasan torako-abdominal
Palpasi :
Simetris lapang paru kanan dan kiri pada keadaan statis dan dinamis, ictus
cordis teraba pada ICS 5 1 cm medial linea midclavicularis kiri, tidak
teraba adanya thrill, vocal fremitus sama kuat pada kedua lapang paru
Perkusi :
Sonor pada seluruh lapang paru. Batas paru dan hepar : setinggi ICS 5 linea
midklavikula kanan dengan suara redup. Batas jantung kanan setinggi ICS
3-5 linea sternalis kanan dengan suara redup. Batas kiri jantung setinggi ICS
5, 1 cm medial linea midklavikularis kiri dengan suara redup. Batas atas
jantung setinggi ICS 3 garis parasternal kiri dengan suara redup.
Auskultasi
o Cor : BJI, BJ II reguler murmur (-), gallop (-)
o Pulmo : Vesikuler melemah, Rh +/+, Wh -/-
Abdomen
Inspeksi :
Bentuk abdomen rata, kulit berwarna sawo matang, tidak pucat, tidak
ikterik, tidak ada spider navy, tidak ada efloresensi yang bermakna, kulit
tampak kering,dan keriput.
Auskultasi :
BU (+) 4x/ menit
Palpasi :
Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-) defense muscular (-), organomegali (-).
Perkusi :
Timpani diseluruh lapang abdomen.
Ekstremitas
Oedem
- -
- -
Kekuatan otot
4 4
4 4
Akral hangat
+ +
+ +
Refleks
Tidak di lakukan pemeriksaan.
III. Pemeriksaan penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium (Tanggal 2 Juni 2014)
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal
Leukosit 10,9 ribu/µL 3,6 – 11 ribu/µL
Trombosit 367 ribu/µL 150 – 440 ribu/µL
Eritrosit 4,0 Juta/µL 3,8 - 5,2 Juta/µL
Hemoglobin (Hb) 11,3 g/dL 11,7 - 15,5 g/dl
Hematokrit 32 % 35 – 47 %
MCV 81 fl 80 – 100 fl
MCH 28,3 pg 26 – 34 pg
MCHC 34,9 g/dL 32 – 36 g/dl
RDW 14, 5 % <14 %
Glukosa Darah
Sewaktu
189 mg/dl <110 mg/dl
Na 133 mmol/L 135 – 155 mmol/L
K 3,4 mmol/L 3,6 - 5,5 mmol/L
Klorida 94 mmol/L 98 – 109 mmol/L
Kalsium 7,8 mg/dl 8,4 – 9,7 mmol/L
B. EKG
Interpretasi :
- Sinus Tachicardia
- ST segmen elevation (Anterior)
- T wave near baseline (Lateral)
- Small positive T wave (Inferior)
- Axis : + 600 ( tidak ada deviasi )
Kesan : Susp. Kelainan ekg e.c elektrolit imbalance
C. Rontgen
Interpretasi :
- Terdapat bercak infiltrate pada kedua lapang paru
- Terdapat cavitas pada hemithoraks kiri dan kanan
- CTR < 50 %
- Sinus costofrenikus tajam
Kesan : TB paru duplex aktif disertai dengan susp. Pneumonia
IV. Daftar masalah
1. Geriatri
Hal ini dikarenakan bahwa usia pasien > 60 tahun.
2. TB Paru
Data yang mendukung ditegakannya diagnosis TBC paru yaitu dari hasil anamnesis
didapatkan batuk sejak 1 bulan SMRS, sesak nafas yang disertai demam, sering
berkeringat pada malam hari, adanya penurunan nafsu makan serta penurunan berat badan.
Selain itu, dilihat dari faktor risikonya, pasien ini memiliki faktor risiko untuk menderita
TBC paru yaitu usia lanjut, malnutrisi, riwayat anak pasien yang meninggal karena sakit
paru serta melihat dari kondisi ventilasi dan pencahayaan rumah pasien yang buruk. dilihat
dari foto rontgen thoraks ditemukan bercak infiltrate pada lobus superior kedua lapang
paru merupakan keterangan pendukung yang begitu berarti untuk mendiagnosis TBC paru
pada pasien ini.
3. Pneumonia Komunitas
Data yang mendukung ditegakannya diagnosis pneumonia komunitas yaitu dari hasil
anamnesis didapatkan batuk sejak 1 bulan SMRS tetapi memburuk dalam 2 minggu
terakhir, riwayat mengeluarkan dahak berwarna kehijauan, batuk yang disertai demam
tinggi serta sesak nafas serta yang terpenting adalah bahwa keluhan itu semua sudah mulai
dirasakan pasien sebelum pasien dirawat di Rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan suara ronkhi pada kedua lapang paru. Selain itu, apabila melihat hasil foto
rontgen, terdapat gambaran konsolidasi yang diakibatkan oleh kuman bukan TBC,
walaupun gambaran ini masih kurang jelas. Tetapi menurut kriteria diagnosis pneumonia
komunitas yang dikeluarkan oleh Persatuan Dokter Paru Indonesia tahun 2003, yaitu
Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru
atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :1
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen
• Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
• Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500
Maka diagnosis pasti pneumonia komunitas sudah bisa ditegakan.
4. DM Tipe 2
Hal ini dibuktikan dengan hasil pemeriksaan gula darah yang menunjukan hasil
abnormal lebih dari 1 kali. Tetapi untuk lebih memastikannya mungkin diperlukan
pemeriksaan tambahan yaitu berupa HbA1 c yang berguna untuk mengetahui apakah
pasien benar – benar menderita DM tipe 2 atau hanya dalam keadaan toleransi glukosa
terganggu.
5. Intake Sulit
6. Malnutrisi
7. Hiponatremia, hipokalsemia, hipoklorinemia, hipokalemia
Hal ini didasarkan dari hasil pemeriksaan laboratorium serta gejala lemas yang pasien
raskan.
8. Hipertensi grade II
Hal ini disimpulkan berdasarkan hasil pemeriksaan tekanan darah pasien yang
menunjukan hasil 170/90 mmHg, sedangkan menurut JNC 7, yang di maksud hipertensi
grade II yaitu tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan diastol ≥ 110 mmHg.
Tetapi pada pasien ini belum tentu menderita penyakit hipertensi, karena kemungkinan
hasil tekanan darah pasien yang tinggi pada saat pengukuran, belum tentu pasien tersebut
menderita hipertensi, karena banyak sekali faktor yang mempengaruhi tekanan darah.
Oleh karena itu, diperlukan observasi lebih lanjut terhadap tekanan darah pasien untuk
memastikan apakah pasien benar – benar menderita hipertensi ataupun tidak.
V. Resume
Seorang pasien datang ke UGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan tidak nafsu makan
sejak 4 hari SMRS. Selain itu juga, pasien merasa adanya mual, tetapi menyangkal pernah
muntah.
Pasien juga mengeluh batuk sejak 1 bulan SMRS. Batuk tidak berdahak. Dalam 2
minggu terakhir batuk yang dialami pasien semakin parah dan pasien pernah batuk dengan
mengelurkan dahak yang berwarna kehijauan. Pasien juga mengeluh adanya sesak nafas
sejak 2 minggu SMRS. Sesak timbul tiba – tiba dan dirasakan terus menerus. Pada waktu
sesak nafas, tidak terdengar bunyi “ngiik”. Sesak nafas yang dirasakan tidak dipengaruhi
oleh posisi. Sesak nafas dirasakan membaik setelah pasien pergi berobat ke klinik didekat
rumah pasien untuk di uap dan diberikan obat – obatan. Riwayat asma sejak kecil.
Pada waktu serangan sesak yang terjadi 2 minggu yang lalu, pasien juga mengeluh
adanya demam. Demam yang dirasakan timbul mendadak, dan tidak naik – turun. Demam
yang dirasakan pasien juga sangat tinggi, hingga pasien menggigil. Selain itu juga, pasien
mengaku adanya keluhan sering berkeringat pada malam hari. Pasien juga mengeluh
adanya rasa lemas dan penurunan nafsu makan serta penurunan berat badan sejak 1 bulan
yang lalu, tetapi penurunan nafsu makan pada pasien bertambah berat pada 4 hari terakhir,
sehingga anak pasien memutuskan membawa pasien untuk berobat ke RS. Pasien tinggal di
lingkungan padat penduduk dengan kondisi ventilasi serta pencahayaan di dalam rumah
yang kurang baik.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien yang tampak sakit
sedang, postur tubuh pasien yang astenikus dengan status gizi tampak gizi kurang. Selain
itu tekanan darah pasien menunjukan angka 170/90 mmHg. Adanya konjungtiva anemis,
tampak bibir kering, lidah tampak kotor, mukosa mulut yang hiperemis, adanya
pembesaran KGB submandibula pada kedua sisi. Sedangkan pada auskultasi paru
ditemukan rhonkhi pada kedua lapang paru. Dilihat dari hasil lab, ditemukan bahwa kadar
Hb = 11,3 g/dl, GDS = 189 mg/dl, Na = 133 mmol/L, K = 3,4 mmol/L, Cl = 94 mmol/L,
Ca = 7,8 mg/dl. Albumin = 2,2 g/gl. Dari hasil Ekg didapatkan adanya ST elevasi.
Sedangkan dari foto Thoraks didapatkan adanya bercak infiltrate serta cavitas pada kedua
lapang paru.
VI. Follow up
Tanggal S O A P
2/6/201
4
= Data dasar Kesadaran : CM
TD : 170/90
N : 120 x/ menit
S : 36,7ºC39,5
RR : 22 x/menit
Lab :
- Hb = 11,3 g/dl
- GDS = 189 mg/dl
- Na = 133 mmol/L
- K = 3,4 mmol/L
- Cl = 94 mmol/L
- Ca = 7,8 mg/dl
1. Low intake
2. Geriatri
3. Susp.Tb Paru
4. Hiperglikemia
5. Hipertensi grade II
6. Hiponatremia
7. Hipokalemia
8. Hipoclorinemia
9. Hipokalsemia
-Nacl 0,9 % (1) :
Aminofluid (2)
-Ambroxol sy 3 x cth
1
-Ranitidin 2x1amp
- Tab PCT 3 x 500 k/p
- Amlodipin
1 x 10 mg
3/6/201
4
= Data dasar Kesadaran : CM,TSB
TD : 170/90
N : 120 x/ menit
S : 36,7ºC39,5
RR : 22 x/menit
Ro.Thoraks:
Tb. Paru Duplex
1. Low intake
2. Geriatri
3. Tb Paru
4. Hiperglikemia
5. Hipertensi grade II
6. Hiponatremia
7. Hipokalemia
8. Hipoclorinemia
9. Hipokalsemia
-Cairan RD (1) : Nacl
+ lasal 2cc (2)
-Ambroxol sy 3 x cth
1
-Ranitidin 2x1amp
- Tab PCT 3 x 500 k/p
- Ca Glukonas 2 x 1
Amp
- Aspar K 3 x 1
- Rifampisin
1 x 300mg
- INH 1 x 300 mg
- Etambutol
2 x 500 mg
4/6/201
4
Penurunan
kesadaran,
demam,
menggigil,
batuk jarang
Kesadaran : Somnolen
TD : 120/70
N : 88 x/ menit
S : 37,7ºC
RR : 30 x/ menit
pulmo: Stridor +/+, Wh +/+
Laboratorium :
Albumin = 2,2 g/dl
Ekg = ST elevasi
SGOT / SGPT ; dbn
1. Low intake
2. Geriatri
3. Tb Paru
4. Hiperglikemia
5. Hiponatremia
6. Hipokalemia
7. Hipoclorinemia
8. Hipokalsemia
9. Hipoalbuminemia
10. Susp.MCI
Triway :
1. Aminofluid : RD /
12 jam
2. Nacl 0,9 % / 12 jam
-Ambroxol sy
3 x cth 1
-Ranitidin 2x1amp
- Tab PCT 3 x 500 k/p
- Ca Glukonas 2 x 1
Amp
- Aspar K 3 x 1
- Rifampisin
1 x 300mg
- INH 1 x 300 mg
- Etambutol
2 x 500 mg
- NGT
5/6/201
4
Sesak
berkurang,
benjolan
mengecil,
Kesadaran : CM
TD : 130/ 70 mmHg
N : 84 x/menit
S : 38ºC
RR : 20x/menit
Cor : dbn
Pulmo : dbn
Lab :
GDS : 260 mg/dl
1. Low intake
2. Geriatri
3. Tb Paru
4. DM tipe 2
5. Hiponatremia
6. Hipokalemia
7. Hipoclorinemia
8. Hipokalsemia
9. Hipoalbuminemia
Triway :
3. Aminofluid : RD /
12 jam
4. Nacl 0,9 % / 12 jam
-Ambroxol sy
3 x cth 1
-Ranitidin 2x1amp
- Tab PCT 3 x 500 k/p
- Ca Glukonas 2 x 1
Amp
- Aspar K 3 x 1
- Rifampisin
1 x 300mg
- INH 1 x 300 mg
- Etambutol
2 x 500 mg
- NGT
6/6/14 Bengkak
dileher
mengecil,
batuk
membaik
Kesadaran : CM
TD : 130/ 70 mmHg
N : 80 x/menit
S : 35,9ºC
RR : 19 x/menit
Cor : dbn
Pulmo : dbn
Lab:
Hb = 10,4 g/dl
GDS : 192 165 mg /dl
K = 2,4 mmol/L
1. Low intake
2. Geriatri
3. Tb Paru
4. DM tipe 2
5. Hiponatremia
6. Hipokalemia
7. Hipoclorinemia
8. Hipokalsemia
9. Hipoalbuminemia
- Kcl 50 meq dalam
assering / 8 jam.
- Terapi lain lanjut
7/6/14 Kondisi
membak,
ketajaman
pendengaran
berkurang
Kesadaran : CM
TD : 120/ 70
N : 90x/ menit
Suhu : 36,ºC
RR : 20 x/ menit
CA +/+,
Pulmo ; rh - /+
1. Low intake
2. Geriatri
3. Tb Paru
4. DM tipe 2
5. Hiponatremia
6. Hipokalemia
7. Hipoclorinemia
8. Hipokalsemia
9. Hipoalbuminemia
- Kcl 50 meq dalam
assering / 8 jam.
- Terapi lain lanjut
8/6/14 - Kesadaran : CM
TD : 120/ 60
N : 90x/ menit
Suhu : 36,5ºC
1. Low intake
2. Geriatri
3. Tb Paru
4. DM tipe 2
+ Kcl 50 meq dam
nacl 100 cc 2 x
- Terapi lanjut
RR : 20 x/ menit
Pulmo ; rh - /+
Lab:
Ca = 8
Na = 129 mmol/L
K = 2,7 mmol/L
Cl = 91 mmol/L
5. Hiponatremia
6. Hipoclorinemia
7. Hipokalsemia
8. Susp. CAP
9/6/14 Sakit
menelan,
batuk,
ketajaman
pendengaran
berkurang.
Kesadaran : CM
TD : 120/ 70
N : 90x/ menit
Suhu : 36,2ºC
RR : 24 x/ menit
Faring: Hiperemis
KGB Submandibula :
membesar
Pulmo : Rh -/+
Lab :
Na = 132 mmol/L
K = 4,5 mmol/L
Cl = 95 mmol/L
1. Low intake
2. Geriatri
3. Tb Paru
4. DM tipe 2
5. Hiponatremia
6. Hipoclorinemia
7. Hipokalsemia
8. Susp. CAP
- kcl 50 meq dalam
nacl 100 cc- Stop
-Ambroxol sy
3 x cth 1
-Ranitidin 2x1amp
- Tab PCT 3 x 500
- Ca Glukonas 2 x 1
Amp
- Aspar K 3 x 1
- Rifampisin
1 x 300mg
- INH 1 x 300 mg
- Etambutol
2 x 500 mg
VII. Prognosis
Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Ad Functionam : Dubia Ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pneumonia Komunitas dan Geriatri
A. Definisi
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, jamur, parasit), tidak termasuk Mycobacterium tuberculosis.
Sedangkan Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. 1
B. Epidemiologi
Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia masuk dalam lima besar penyebab kematian
terkait infeksi.2,3 Angka kejadian tahunan pneumonia pada pasien geriatri diperkirakan mencapai
25 – 44 kasus per 1000 penduduk.4
World Health Organization (WHO) menyebutkan, Pneumonia yang merupakan lower
respiratory tract infections (LRTI's) menduduki urutan ke-3 sebagai penyebab kematian pada
semua usia, data tahun 2004 dan insidensi Community- Acquired Pneumonia (CAP) menduduki
urutan tertinggi pada usia lanjut. Fung et. al., dalam Am J Geriatr Pharmacother tahun 2010,
memaparkan tentang berbagai hal terkait dengan faktor resiko yang dapat menyebabkan
pneumonia pada usia lanjut. Dibagi menjadi faktor eksternal / sosial, antara lain, nutrisi yang
kurang padatnya lingkungan serta kurangnya pemahaman akan pentingnya kesehatan. Faktor
yang berasal dari individu yakni komorbiditas, penggunaan obat, gangguan fungsi kognitif,
gangguan refleks batuk serta immunosenescence. Munculnya gejala dan tanda klinis yang
atipikal maupun severe illness disebabkan oleh faktor immunosenescence.
Bewick T, et, al., dalam penelitian Thorax 2012, untuk melihat prevalensi serotipe S.
Pneumoniae pada pasien dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan CAP. Peserta CAP ≥16
tahun pada September 2008 hingga 2012, didiagnosis CAP berdasarkan gejala dan tanda, foto
rontgen dan pemeriksaan penunjang lain. Positif dikatakan CAP dengan kultur darah, kultur
sputum atau deteksi antigen S. Pneumoniae pada urin. Hasilnya, 366 pasien (40%) dari total
partisipan didagnosis CAP, dengan serotipe S. Pneumoniae ditemukan pada 242 pasien (66%)
berdasarkan 40 kultur darah, 18 sputum dan 184 deteksi urin.
C. Patofisiologi
Pasien geriatri lebih mudah terinfeksi pneumonia karena adanya gangguan reflex muntah,
melemahnya imunitas, gangguan respons pengaturan suhu dan berbagai derajat kelainan
kardiopulmoner. Kelainan sistem saraf pusat dan refleks muntah juga turut berperan
mengakibatkan pneumonia aspirasi. Selain itu, kelainan kardiopulmoner secara langsung
mempengaruhi penurunan fungsi jantung dan paru.5 Gangguan respons pengaturan suhu terkait
proses penuaan meliputi gangguan respons simpatoneural - vasomotor yang terjadi bersama
gangguan produksi panas tubuh dan gangguan persepsi suhu.6
Sistem imunitas humoral tergantung pada keutuhan fungsi limfosit B. Pasien geriatri
memiliki banyak gangguan sistemik yang dapat mengganggu fungsi limfosit B sehingga
menurunkan produksi antibodi. Gangguan ini juga menjadi faktor predisposisi infeksi
mikroorganisme patogen yang merupakan penyebab umum pneumonia bakterial.5
Sekali mikroorganisme pathogen berada di alveolus, mediator proinflamasi akan dilepaskan dan
respons inflamasi terpicu sehingga menimbulkan manifestasi klinis.2
Respons imun terhadap infeksi bakteri
Bakteri ekstraseluler dapat hidup dan berkembang biak di luar sel pejamu, misalnya pada
sirkulasi, jaringan ikat, lumen saluran napas dan saluran cerna. Penyakit yang ditimbulkan oleh
bakteri ekstraseluler dapat berupa inflamasi yang menimbulkan destruksi jaringan di tempat
infeksi dengan membentuk radang supuratif.7
Komponen imunitas alami yang utama terhadap bakteri ekstraseluler adalah komplemen,
fagosit dan respons infl amasi. Bakteri yang mengekspresikan manosa pada permukaannya,
dapat diikat lektin yang homolog dengan C1q, sehingga mengaktifkan komplemen melalui jalur
lektin, meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Produk dari aktivasi komplemen berperan
dalam mengerahkan dan mengaktifkan leukosit. Fagosit yang teraktivasi melepaskan sitokin
yang menginduksi infiltrasi leukosit ke tempat infeksi, menginduksi panas dan sintesis acute
phase protein. Antibodi merupakan komponen imunitas humoral utama terhadap bakteri
ekstraseluler yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba dan menetralkan toksinnya melalui
berbagai mekanisme. Sel T helper (Th) 2 memproduksi sitokin yang merangsang respons sel B,
aktivasi makrofag dan inflamasi.
Respons imun terhadap infeksi jamur
Resistensi alamiah terhadap jamur pathogen tergantung fagosit. Neutrofi l merupakan sel
paling efektif, terutama terhadap kandida dan aspergilus. Jamur merangsang produksi sitokin,
seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosing factor-α (TNF-α) yang meningkatkan ekspresi
molekul adhesi di endotel setempat sehingga meningkatkan infiltrasi neutrofi l ke tempat infeksi.
Makrofag merupakan pertahanan pertama terhadap spora jamur yang terhirup dengan
membentuk granuloma melalui aktivasi Th1. Natural killer cell (sel NK) diaktivasi oleh TNF
dan interferon-γ (IFN-γ) untuk melepaskan granul yang mengandung sitolisin yang dapat
membunuh jamur.
Sawar fisik kulit dan membran mukosa, faktor kimiawi dalam serum dan sekresi kulit berperan
dalam imunitas alami. Efektor utamanya adalah neutrofi l dan makrofag. Neutrofi l diduga
melepas bahan fungisidal seperti reactive oxygen intermediate (ROI) dan enzim lisosom.7
Perubahan sistem imun dalam mekanisme pertahanan paru pada geriatri
Studi pada subjek manusia sehat menyimpulkan bahwa penambahan usia membawa
perubahan penting pada respons imun alami dan adaptif, disebut immunosenescence.
Konsekuensi klinis immunosenescence meliputi peningkatan kerentanan terhadap infeksi,
keganasan dan penyakit autoimun, penurunan respons vaksinasi serta gangguan proses
penyembuhan luka pada pasien geriatrik.8
Dampak proses penuaan terhadap imunitas alami
Perubahan imunitas sistemik yang berkaitan dengan usia lanjut dapat diamati dari perubahan-
perubahan pada imunitas alami dan imunitas adaptif. Imunitas alami adalah elemen kunci
respons imun terdiri dari beberapa komponen seluler seperti makrofag, sel NK dan neutrofi l
yang menjadi pertahanan lini pertama terhadap invasi mikroba patogen. Fungsi sel-sel tersebut
menurun sejalan usia. Walaupun produksinya meningkat pada pasien geriatri, kemampuan
makrofag mensekresi TNF yang merupakan sitokin proinflamasi utama telah berkurang.9
D. Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram
positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia
menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia
komuniti adalah bakteri Gram negatif.1
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan,
Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode
pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut :
o Klebsiella pneumoniae 45,18%
o Streptococcus pneumoniae 14,04%
o Streptococcus viridans 9,21%
o Staphylococcus aureus 9%
o Pseudomonas aeruginosa 8,56%
o Steptococcus hemolyticus 7,89%
o Enterobacter 5,26%
o Pseudomonas spp 0,9%
E. Diagnosis
Diagnosis pneumonia dapat ditegakan apabila terdapat infiltrat baru atau perubahan
infiltrat progresif pada foto toraks, dengan disertai sekurang – kurangnya 1 gejala mayor atau 2
gejala minor berikut:
Gejala Mayor: batuk, sputum produktif ,demam (suhu>37,80c)
Gejala Minor: sesak napas, nyeri dada, konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik, jumlah leukosit
>12.000/mL
Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk
dan demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran (delirium), tidak
mau makan, jatuh, dan inkontinensia akut.
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis,
foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto
toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah
ini :1
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen
• Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
• Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500
Penilaian derajat Keparahan penyakit
Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan dengan menggunakan
sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti
tabel di bawah ini :
Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di bawah ini.
Kriteria minor:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
• Membutuhkan ventilasi mekanik
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat penyakit ginjal
atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis
Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
komuniti adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu
dari kriteria dibawah ini.
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Kriteria perawatan intensif:
Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang
mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventilasi mekanik dan
membutuhkan vasopressor >4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2
kurang dari 250 mmHg, foto toraks parumenunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik <
90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan
Ruang Rawat Intensif.
F. Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada
tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
mikroorganisme pathogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin. Yang
termasuk dalam faktor modifikasis adalah: (ATS 2001)
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
• Umur lebih dari 65 tahun
• Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
• Pecandu alkohol
• Penyakit gangguan kekebalan
• Penyakit penyerta yang multipel
b. Bakteri enterik Gram negatif
• Penghuni rumah jompo
• Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
• Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
• Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudomonas aeruginosa
• Bronkiektasis
• Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
• Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
• Gizi kurang
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:
a. Penderita rawat jalan
• Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
• Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian obat
simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
• Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
• Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat
distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress
maka penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif.
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka pengobatan
disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti.
Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke oral
dilanjutkan
dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi
nosokomial.
Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan antibiotik yang diberikan
secara iv dan
antibiotik oral yang efektivitinya mampu mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah
digunakan.
Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat
berbeda,
potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah).
• Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
• Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral
• Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral.
Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4 diganti obat
oral dan penderita dapat berobat jalan.
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti :
• Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
• Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
• Penderita sudah tidak panas ± 8 jam
• Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk)
• Leukosit menuju normal/normal
Evaluasi pengobatan
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak ada perbaikan, kita
harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat yang telah diberikan dan
bakteri penyebabnya, seperti dapat dilihat pada gambar 1.
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi :Efusi pleura, empiema, abses paru, pneumotoraks, gagal
napas, sepsis.
H. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab
dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat
mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian penderita
pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang
dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA )
angka kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan
kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal
ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan
peningkatan risiko kelas.Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998
adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20
35%.
I. Pencegahan
• Pola hidup sebut termasuk tidak merokok
• Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)
sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut
diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik , diabetes,
penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun.
Efek samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu
hipersensitiviti tipe 3.
2. TBC Paru
A. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobakterium
tuberkulosa. 10
B. Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam
lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisis2. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin
(dapat bertahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat
dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberculosis aktif
lagi11. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag.
Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid.
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya12. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru-paru lebih tinggi dari
bagian lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis.
C. Faktor risiko
D. Manifestasi klinis
Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk berdahak kronis,
demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu
makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian.
Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan:
Klasifikasi TBC berdasarkan hasil pemeriksaan BTA sputum
a. Tuberkulosis paru BTA ( + ) adalah :
i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
ii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan hasil BTA positif dan kelainan radiologi
menunjukkan ganbaran tuberculosis aktif
iii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan radiologis
menunjukkan tuberkulosis aktif
ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan Myccobacterium tuberculosis
positif.
Klasifikasi TBC berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
1). Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan (4 minggu).
2). Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
3). Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan minimal 1 bulan dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif atau BTA negatif.
4). Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5). Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6). Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus
Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Sedangkan WHO membagi penderita TB atas 4 kategori:
1. Kategori I: kasus baru dengan dahak (+) dan penderita dengan keadaan berat seperti meningitis, TB
milier, perikarditis, peritonitis, spondilitis dengan gangguan neurologik dan lain-lain.
2. Kategori II: kasus kambuh atau gagal dengan dahak yang tetap (+).
3. Kategori III: kasus dengan dahak (-), tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus TB diluar paru selain
kategori I.
4. Kategori IV: tuberkulosis kronik.
E. Alur Diagnosis TBC
F. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3 bulan dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan.13 Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.14
Obat Anti Tuberkulosis
Obat yang dipakai :
1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah :
INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin.
2) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin, PAS (para amino salicylic acid), Ofloksasin, Tiasetazon, Etionamid,
Sikloserin, Protionamid, Viomisin, Kapreomisin, Amikasin, Norfloksasin, Levofloksasin,
Klofazimin.15
Kemasan :
1) Obat tunggal : obat disajikan secara terpisah.
2) Obat kombinasi dosis tetap/KDT (Fixed Dose Combination-FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. In ternational union
Againts Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk
menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat kombinasi tetap berdasarkan WHO seperti terlihat
pada table berikut
Obat kombinasi dosis tetap mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
d) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar14
Paduan obat Anti Tuberkulosis
Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia pengobatan
tuberkulosis dibagi menjadi :13
1) Pasien kasus baru TB paru dengan BTA positif, dan TB dengan BTA negatif beserta
gambaran foto toraks lesi luas (termasuk luluh paru).
Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3atau 2RHZE/6HE
Pengobatan fase inisial resimennya 2HRZE, maksudnya Rifampisin (R), Isoniazid (H),
Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) diberikan setiap hari selama dua bulan. Kemudian
diteruskan ke fase lanjutan 4RH atau 4R3H3 atau 6HE, maksudnya Rifampisin dan Isoniazid
diberikan selama empat bulan setiap hari atau tiga kali seminggu, atau
diberikan selama 6 bulan. Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan
disesuaikan dengan hasil uji resistensi.
2) Pasien baru TB paru dengan BTA negatif beserta gambaran foto toraks lesi minimal.
Panduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3 atau 6RHE
3) Pasien TB paru kasus kambuh.
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan RHE
selama 5 bulan.
4) Pasien TB paru kasus gagal pengobatan.
Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZES/1RHZE/5RHE.
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan : 3-6
bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan
2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat
hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.
5) Pasien TB kasus putus obat.
Paduan obat yang disediakan oleh Program Nasional TB : 2RHZES/1RHZE/5R3H3E3.
Pasien TB paru kasus lalai berobat akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria berikut :
a) Berobat < 4 bulan
Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila BTA negatif, gambaran foto
toraks positif, TB aktif pengobatan diteruskan.
b) Berobat ≥ 4 bulan
Bila BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka
pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiolologi aktif, lakukan analisis lebih
lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila BTA
saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
6) Pasien TB paru kasus kronik.
a) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal
terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid, dan lain-lain. Pengobatan minimal selama 18 bulan.
b) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
f) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.
Sedangkan menurut buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi :14
1) Kategori-1 (2HRZE/ 4R3H3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien baru TB paru BTA positif.
b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c) Pasien TB ekstra paru
2) Kategori -2 (2RHZES/ RHZE/5R3H3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
a) Pasien kambuh
b) Pasien gagal
c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Efek samping obat dan penatalaksanaannya
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat
diatasi dengan obat simptomats maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.14
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”: Jika seorang pasien
dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab
lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal
tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu
kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit
tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.14
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti, pedoman dan
penatalaksanaan di Indonesia.. Balai Penerbit FK UI, 2003.
2. Marrie TJ. Pneumonia. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP,
Asthana S. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology, 6th ed. McGraw Hill, 2009;
126: 1531-45.
3. Hoyert DL, Kung HC, Smith BL. Deaths preliminary data for 2003. Natl Vital Stat. Rep
2005; 53(15): 1-48.
4. Janssens JP, Krause KH. Pneumonia in the very old. Lancet Infect Dis 2004; 4(2): 112-24
5. Cunha BA. Pneumonia in the elderly. Clin Microbiol Infect 2001; 7: 581-88.
6. Frank SM, Raja SN, Bulcao C, Goldstein DS. Age-related thermoregulatory diff erences
during core cooling in humans. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2000; 279:
R349-R354
7. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi infeksi. Dalam: Baratawidjaja KG, Rengganis
I. Imunologi Dasar, ed 9. Balai Penerbit FK UI, 2010; 15: 399-449.
8. Busse PJ. Age-related changes in immune function: Eff ect on airway infl ammation. J
Allergy Clin Immunol 2010; 691-99.
9. Ongradi J, Kovesdi V. Factors that may impact on immunosenescence: appraisal.
Immunity and Ageing 2010; 7: 7.
10. Aru W. Sedoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Penyakit
Dalam FKUI.2006
11. Rasmin Rasjid. Patofisiologi dan Diagnostik Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis Paru. FKUI
Jakarta, 1985.
12. Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 – 201
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafka, 2006.
14. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis ed 2. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
15. Aru W, Bambang S, Idrus A et all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam vol.2 ed.4.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.