2012_ppln_randi Ikhsan_perbedaan Implementasi Kebijakan Penilaian Dalam Menentukan Nilai Limit...
-
Upload
krocopakdirman -
Category
Documents
-
view
441 -
download
6
Transcript of 2012_ppln_randi Ikhsan_perbedaan Implementasi Kebijakan Penilaian Dalam Menentukan Nilai Limit...
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN
PERBEDAAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENILAIAN
DALAM MENENTUKAN NILAI LIMIT PENJUALAN BARANG
MILIK NEGARA BERUPA KENDARAAN DINAS
OPERASIONAL
Diajukan oleh:
RANDI IKHSAN
NPM: 093050000825
Mahasiswa Program Diploma III Keuangan
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Spesialisasi Pengurusan Piutang dan Lelang Negara
Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat
Dinyatakan Lulus Program Diploma III Keuangan
pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
2012
ii
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
PERNYATAAN KEASLIAN
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN
NAMA : RANDI IKHSAN
NOMOR POKOK MAHASISWA : 093050000825
DIPLOMA III KEUANGAN
SPESIALISASI : PENGURUSAN PIUTANG DAN
LELANG NEGARA
BIDANG LAPORAN PKL : PENILAIAN KEKAYAAN NEGARA
JUDUL LAPORAN PKL : PERBEDAAN IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PENILAIAN DALAM
MENENTUKAN NILAI LIMIT
PENJUALAN BARANG MILIK
NEGARA BERUPA KENDARAAN
DINAS OERASIONAL
Dengan ini menyatakan bahwa sesungguhnya Laporan PKL ini adalah hasil
tulisan saya sendiri dan atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan yang saya
salin atau tiru tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya. Bila terbukti saya
melakukan tindakan plagiarisme saya siap dinyatakan tidak lulus.
Tangerang Selatan, Agustus 2012
Yang membuat pernyataan,
Randi Ikhsan
iii
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
TANDA PERSETUJUAN
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN
NAMA : RANDI IKHSAN
NOMOR POKOK MAHASISWA : 093050000825
DIPLOMA III KEUANGAN
SPESIALISASI : PENGURUSAN PIUTANG DAN
LELANG NEGARA
BIDANG LAPORAN PKL : PENILAIAN KEKAYAAN NEGARA
JUDUL LAPORAN PKL : PERBEDAAN IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PENILAIAN DALAM
MENENTUKAN NILAI LIMIT
PENJUALAN BARANG MILIK
NEGARA BERUPA KENDARAAN
OPERASIONAL
Mengetahui
Kepala Bidang Akademis
Pendidikan Akuntan,
Dra. Lies Sunarmintyastuti, M.M.
NIP 195705201982022001
Menyetujui
Dosen Pembimbing,
Arvan Carlo Djohansjah, S.E., M.Si.
NIP 197408251995031002
iv
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
PERNYATAAN LULUS DARI TIM PENILAI LAPORAN PKL
NAMA : RANDI IKHSAN
NOMOR POKOK MAHASISWA : 093050000825
DIPLOMA III KEUANGAN
SPESIALISASI : PENGURUSAN PIUTANG DAN
LELANG NEGARA
BIDANG LAPORAN PKL : PENILAIAN KEKAYAAN NEGARA
JUDUL LAPORAN PKL : PERBEDAAN IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PENILAIAN DALAM
MENENTUKAN NILAI LIMIT
PENJUALAN BARANG MILIK
NEGARA BERUPA KENDARAAN
DINAS OPERASIONAL
Tangerang Selatan, Agustus 2012
1. ..........................................
Arvan Carlo Djohansjah, S.E., M.Si. Penilai I/Pembimbing
NIP 197408251995031002
2. ...........................................
Rohmat, S.E., Ak., M.Com. Penilai II
NIP 197511101995031001
v
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaykum wr. wb.
Alhamdulillah, setelah sempat tersendat beberapa saat, akhirnya Laporan
Praktik Kerja Lapangan ini terselesaikan. Dengan mengingat selama lebih kurang tiga
tahun apa yang telah penulis lakukan di kampus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara,
Penulis bersyukur dan menghargai atas semua pelajaran, kepercayaan, kerjasama dan
kemurahan hati semua orang yang ada di sekitar Penulis.
Tujuan utama dari penyusunan Laporan PKL ini ialah dengan maksud
memenuhi sebagian dari persyaratan kelulusan Program Diploma III Keuangan
Spesialisasi PPLN Sekolah Tinggi Akuntansi Negara tahun akademik 2011/2012.
Adapun efek dari tujuan utama yang diharapkan oleh penulis dalam penulisan
Laporan PKL ini adalah sebagai salah satu bentuk bakti Penulis kepada kedua orang
tua Penulis yang sangat Penulis cintai dan sebagai bukti konkrit rasa terima kasih
Penulis kepada seluruh civitas academica Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, serta
sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban penulis kepada seluruh rakyat
Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu
dan pengalaman di kampus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Tentu Laporan PKL yang disusun oleh Penulis ini sangat tidak sempurna.
Masih terdapat banyak kekurangan dibeberapa bagian, terlebih karena kurangnya
pengetahuan, pengalaman pun kurang bijaknya diri Penulis. Dalam penyusunannya,
Penulis hanya mencoba untuk objektif dengan menyimak beberapa pendapat dari
berbagai pihak yang berkaitan agar dapat melihat suatu polemik dari sudut pandang
vi
yang berbeda. Karena Penulis meyakini bahwa kebenaran berdasarkan perspektif
tidak hanya satu macam, melainkan memiliki berbagai rupa yang bebas kita pilih
sendiri. Kemudian Penulis menarik benang merah lantas menguraikannya dalam
sebuah Laporan PKL, berharap apa yang telah Penulis lakukan benar di mata Tuhan
dan bermanfaat bagi siapapun yang memerhatikan Penulis. Regard
Tangerang Selatan, Agustus 2012
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN... ii
HALAMAN TANDA PERSETUJUAN LAPORAN PRAKTIK KERJA
LAPANGAN .................................................................................................... iii
PERNYATAAN LULUS DARI TIM PENILAI LAPORAN PRAKTIK KERJA
LAPANGAN ................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah ........................................... 3
C. Metode Penelitian ......................................................................... 4
BAB II IDENTIFIKASI MASALAH
A. Perihal Penghapusan BMN Selain Tanah dan/atau Bangunan Dengan
Tindak Lanjut Penjualan ............................................................... 6
B. Penilaian BMN Selain Tanah dan/atau Bangunan Sebagai Bahan
Pertimbangan Nilai Limit Penjualan ............................................. 11
C. Nilai Limit Lelang....... ................................................................. . 14
BAB III PEMBAHASAN
A. Dilema Satuan Kerja......................................................................... 18
viii
B. Perbedaan Kepentingan Dalam Penilaian ...................................... 23
C. Nilai Residu dan Nilai Pasar Lelang ............................................. 29
D. Polemik Surat dari Direktur Jenderal Kekayaan Negara ................ 32
E. Solusi yang Belum Final............................................................... 35
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 41
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana telah diketahui, kegiatan Penilaian termasuk dalam ruang
lingkup pengelolaan Barang Milik Negara (BMN). Hal ini berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D yang telah diubah
menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D. Rangkaian
kegiatan pengelolaan BMN/D itu sendiri meliputi: pengelolaan perencanaan
kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan
dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan,
pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Definisi penilaian telah dijelaskan sebagaimana tertera pada Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 Pasal 1 angka 22 yaitu, penilaian adalah suatu
proses kegiatan yang dilakukan oleh Penilai untuk memberikan suatu opini nilai atas
suatu obyek penilaian pada saat tertentu dalam rangka pengelolaan BMN/D.
Pada BAB VIII Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2006 dinyatakan
bahwa penilaian BMN dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah
2
pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan BMN. Untuk penilaian BMN
dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah dilakukan dengan
berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dan untuk penilaian BMN
selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan
dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Pengguna Barang, pun juga dapat melibatkan
Penilai independen yang ditetapkan oleh Pengguna Barang. Penilaian tersebut
dimaksudkan untuk mendapatkan nilai wajar. Hasil penilaian tersebut kemudian
digunakan Pengguna Barang sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan nilai
limit BMN yang akan dijual dengan cara lelang.
Permasalahanya seringkali terjadi perbedaan persepsi mengenai penetapan
harga limit. Pada kendaraan dinas operasional, Satker menetapkan harga berdasarkan
hasil kali antara harga perolehan dengan persentase nilai sisa kendaraan dinas
operasional yang akan dihapuskan. Nilai sisa diperoleh dari rekomendasi Unit
Pelaksana Teknis Balai Pengujian Kendaraan Bermotor Dinas Perhubungan (Dishub)
yang terlebih dahulu melakukan survei atau cek fisik kendaraan dinas operasional
tersebut, sementara tim penilai DJKN c.q KPKNL menetapkan nilai berdasarkan nilai
wajar sebagaimana peruntukan dalam rangka penyusunan LKPP.
Kondisi tersebut terjadi karena perbedaan kepentingan dalam penilaian, dan
Penilai internal dari Pengguna atau Pengelola Barang belum memiliki persamaan
persepsi tentang standar nilai yang dipakai karena belum diatur secara tegas. Dalam
beberapa kasus, terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara nilai wajar dengan
nilai limit lelang BMN yang akan dihapuskan kemudian dijual secara lelang. Nilai
limit yang ditetapkan acapkali lebih rendah dari nilai wajar yang ada pada Laporan
3
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Hal ini tentu saja indikasi yang dapat
menyebabkan kerugian negara dan menurunnya kualitas Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat.
Atas dasar pemikiran itulah penulisan Laporan PKL ini dibuat untuk
menyoroti dan melakukan kajian mengenai kebijakan penilaian serta perbedaan antara
nilai yang didapat dari hasil penilaian internal pengguna barang dengan nilai barang
yang tertera dalam neraca pemerintah untuk menetapkan harga limit lelang dalam
sebuah Laporan Praktik Kerja Lapangan dengan judul: “PERBEDAAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENILAIAN DALAM MENENTUKAN
NILAI LIMIT PENJUALAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA
KENDARAAN DINAS OPERASIONAL”.
B. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah
Seperti yang telah disebutkan pada halaman judul, Laporan PKL ini terfokus
pada Barang Milik Negara selain tanah dan/atau Bangunan berupa kendaraan dinas
operasional baik roda dua maupun roda empat atau lebih yang akan dihapuskan.
Dalam hal ini tindakan penghapusan yang dimaksud adalah dengan cara
dipindahtangankan melalui penjualan/lelang sesuai pasal 51 Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2008.
Pembahasan utama pada tulisan ini terletak pada kebijakan dalam menentukan
nilai limit lelang dimana Satker selaku pemohon lelang/penjual barang memiliki
wewenang untuk menetapkan nilai limit. Untuk menetapkan nilai limit, Satker dapat
meminta rekomendasi dari Dishub atau penilaian dari Penilai internal DJKN c.q
KPKNL.
4
Telah disampaikan sebelumnya bahwa, rekomendasi nilai kendaraan dari
Dishub dan Penilai internal DJKN c.q KPKNL di dapat dengan cara dan metode yang
berbeda sehingga ada kemungkinan nilai yang dihasilkan juga berbeda. Masalah
penilaian terhadap BMN akan dikaji menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan kendala-kendala dalam praktik penjualan. Pembahasan juga akan dilihat
dari beberapa sudut pandang, baik itu dari sudut pandang satker pemohon lelang,
Dishub, DJKN c.q. KPKNL, maupun Penilai eksternal dan/atau internal.
C. Metode Penelitian
Dalam menyusun dan menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan ini,
penulis menggunakan metode data kualitatif dimana pengumpulan data dilakukan
dengan beberapa cara sebagai berikut :
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan
menelaah berbagai literatur yang tersedia terkait materi tulisan ini baik berupa buku,
artikel, makalah, jurnal, bahan dan/atau catatan selama kuliah, peraturan perundang-
undangan, dan tulisan ilmiah lainnya.
b. Studi Lapangan (Field Research)
Studi Lapangan dilakukan dengan cara melakukan pengamatan langsung di
lapangan ataupun di kantor terhadap objek penelitian, terutama mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Untuk mendapatkan
data dan fakta yang diperlukan, antara lain dilakukan dengan cara :
5
1. Wawancara langsung kepada pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan yang di
kaji. Wawancara kepada para narasumber dilakukan untuk mendapatkan komentar,
opini, maupun saran dan kritik dari berbagai perspektif dan ditulis secara satu-
kesatuan dalam pembahasan. Narasumber dianggap terlibat dan memiliki
kompetensi untuk menjawab pertanyaan penulis. Atas pertimbangan penulis dan
permintaan dari yang bersangkutan, identitas narasumber hanya ada pada penulis.
2. Observasi atau melakukan pengamatan langsung terhadap masalah terkait.
3. Pengumpulan data dan fakta untuk dasar anlisis dan penyelesaian masalah.
Data maupun fakta diperoleh dari Kantor Pusat DJKN, Kantor Wilayah
DJKN, KPKNL, atau dari instansi lain yang di anggap perlu.
6
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
A. Perihal Penghapusan BMN Selain Tanah dan/atau Bangunan Dengan Tindak
Lanjut Penjualan
Definisi penghapusan menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2008 adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan menerbitkan surat
keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengguna dan/atau
Kuasa Pengguna Barang dan/atau Pengelola Barang dari tanggung jawab administrasi
dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaanya. Ada dua jenis penghapusan
BMN yakni: penghapusan dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Pengguna dan
penghapusan. Secara keseluruhan beberapa bentuk penghapusan BMN antara lain:
penyerahan kepada Pengelola, alih status, pemindahtanganan, putusan pengadilan,
pemusnahan, dan sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar terjadi
(hilang, kecurian, terbakar, susut, kadaluarsa, cacat/rusak berat, terkena bencana alam
force majure dan lain-lain).
Telah disampaikan pada bab sebelumnya bahwa pembahasan Laporan PKL ini
difokuskan pada penghapusan BMN berupa kendaraan dinas operasional. Ada pun
7
syarat untuk melakukan penghapusan BMN selain tanah dan/atau bangunan ialah
sebagai berikut:
1. Telah memenuhi persyaratan teknis:
a. secara fisik barang tidak dapat digunakan karena rusak, dan tidak ekonomis
apabila diperbaiki;
b. secara teknis barang tidak dapat digunakan lagi akibat modernisasi;
c. barang telah melampaui batas waktu kegunaannya/kadaluarsa;
d. barang mengalami perubahan dalam spesifikasi karena penggunaan, seperti
terkikis, aus, dan lain-lain sejenisnya; atau
e. berkurangnya barang dalam timbangan/ukuran disebabkan penggunaan/susut
dalam penyimpanan/pengangkutan.
2. Memenuhi persyaratan ekonomis, yaitu lebih menguntungkan bagi negara apabila
barang dihapus, karena biaya operasional dan pemeliharaan barang lebih besar
daripada manfaat yang diperoleh; atau
3. Barang hilang, atau dalam kondisi kekurangan perbendaharaan atau kerugian
karena kematian hewan atau tanaman.
Selain memenuhi syarat penghapusan, pelaksanaan penghapusan juga harus
mengikuti ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan penghapusan kendaraan dinas
operasional hanya dapat dilakukan apabila telah berusia sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun dengan ketentuan:
1. Terhitung mulai tanggal, bulan, tahun perolehannya, untuk perolehan dalam
kondisi baru;
8
2. Terhitung mulai tanggal, bulan, tahun pembuatannya, untuk perolehan selain
tersebut diatas; sebagaimana tercatat sebagai BMN dan tidak akan mengganggu
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga yang bersangkutan;
3. Penghapusan kendaraan bermotor selain tersebut diatas dapat dilakukan apabila
kendaraan rusak berat akibat kecelakaan/force majeure dengan kerusakan paling
tinggi 70% (tujuh puluh persen), atau besaran nilai sisa penyusutan kendaraan
dibawah 30% (tiga puluh persen) berdasarkan keterangan instansi yang kompeten;
4. Penghapusan BMN berupa kendaraan bermotor pada kantor perwakilan
Pemerintah RI di luar negeri, persyaratannya mengikuti ketentuan negara setempat.
Dari apa yang telah diuraikan diatas, diketahui bahwa salah satu bentuk
penghapusan ialah pemindahtanganan. Pemindahtanganan merupakan pengalihan
kepemilikan BMN sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara dijual,
dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah. Dalam hal
pemindahtanganan dengan tindak lanjut penjualan perlu dipertimbangkan terlebih
dahulu. Pertimbangan yang dimaksud baik dari segi optimalisasi, ekonomi, dan
legalitas. Penjualan itu sendiri memiliki pengertian pengalihan kepemilikan BMN
kepada pihak lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. Karena itu
optimalisasi BMN yang berlebih atau idle, keuntungan bagi negara, dan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku patut dipertimbangkan.
Penghapusan kendaraan dinas operasional dengan tindak lanjut penjualan
merujuk pada lampiran VII tentang Tata Cara Pelaksanaan Penjualan BMN Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.6/2007. Beberapa hal terkait pelaksanaan
penjualan BMN antara lain:
9
1. Pelaksanaan penjualan BMN tidak boleh mengganggu pelaksanaan tugas pokok
dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan;
2. Penjualan BMN dilaksanakan dengan cara;
a) melalui lelang, dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku;
b) tanpa melalui lelang, untuk:
(1) BMN yang bersifat khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yaitu: rumah negara golongan III yang dijual kepada
penghuninya dan kendaraan dinas perorangan pejabat negara yang dijual
kepada pejabat negara;
(2) BMN lainnya, ditetapkan lebih lanjut oleh Pengelola Barang berdasarkan
pertimbangan yang diberikan oleh Pengguna Barang dan instansi teknis
terkait.
3. Sehubungan penjualan BMN yang tidak laku dijual secara lelang dilakukan tindak
lanjut:
a) pemindahtanganan dalam bentuk lainnya;
b) dalam hal tidak dapat dipindahtangankan dalam bentuk lain, Barang Milik
Negara dimaksud dimusnahkan;
c) pemusnahan dilakukan setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang.
Masih pada ketentuan dalam lampiran VII tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penjualan BMN Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.6/2007. Tata cara
penjualan BMN selain tanah dan/atau bangunan atau lebih spesifik seperti yang
dimaksud pada judul laporan PKL ini yaitu berupa kendaraan dinas operasional itu
sendiri ialah sebagai berikut:
10
1. Pengguna Barang membentuk tim internal yang bertugas untuk melakukan
penelitian data administrasi dan fisik serta menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis.
Dalam hal diperlukan, Tim dapat melibatkan penilai atau instansi teknis yang
berkompeten untuk melakukan penilaian BMN tersebut.
2. Tim menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugas kepada Pengguna Barang,
dilampiri berita acara penelitian dan penilaian.
3. Berdasarkan laporan Tim tersebut, Pengguna Barang mengajukan usul penjualan
kepada Pengelola Barang dengan disertai:
a. penjelasan dan pertimbangan penjualan
b. data administratif antara lain mengenai tahun perolehan, spesifikasi/identitas
teknis, surat penetapan status penggunaan, bukti kepemilikan, dan nilai
perolehan dan nilai limit terendah penjualan.
4. Pengelola Barang melakukan penelitian atas permohonan penjualan Barang Milik
Negara dimaksud, dengan tahapan sebagai berikut:
a. melakukan penelitian kelayakan alasan dan pertimbangan permohonan
penjualan, terutama dalam kaitannya dengan pertimbangan sebagaimana telah
disampaikan sebelumnya mengenai optimalisasi, ekonomi dan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. melakukan penelitian data administrasi;
c. apabila diperlukan, melakukan penelitian fisik untuk mencocokkan data
administratif yang ada, termasuk melakukan penilaian.
11
5. Berdasarkan penelitian atas usulan penjualan dimaksud, Pengelola Barang
menentukan disetujui atau tidaknya usulan penjualan Barang Milik Negara
dimaksud.
6. Dalam hal nilai perolehan BMN tersebut diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah), Pengelola Barang terlebih dahulu mengajukan permohonan
persetujuan kepada Presiden atau DPR sesuai batas kewenangannya.
7. Pengelola Barang menerbitkan surat persetujuan pemindahtanganan yang berupa
penjualan Barang Milik Negara dimaksud, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. data objek penjualan meliputi tahun perolehan, spesifikasi/identitas teknis,
bukti kepemilikan, jenis, jumlah, dan nilai perolehan dan nilai limit terendah
penjualan; dan
b. kewajiban Pengguna Barang untuk melaporkan pelaksanaan penjualan kepada
Pengelola Barang.
8. Tindak lanjut atas persetujuan pemindahtanganan yang berupa penjualan
dilaksanakan mengikuti ketentuan dalam romawi V angka 3 Lampiran VI
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.6/2007
B. Penilaian BMN Selain Tanah dan/atau Bangunan Sebagai Bahan
Pertimbangan Nilai Limit Penjualan
Kegiatan Penilaian secara keseluruhan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 06 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.06/2009
dilaksanakan guna mendapatkan nilai wajar dalam rangka penyusunan neraca
pemerintah pusat, pemanfaatan, pemindahtanganan dan penerbitan Surat Berharga
12
Syariah Negara (SBSN). Dari penjelasan sebelumnya, tentu ada keterkaitan antara
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan BMN dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.06/2009 tentang Penilaian BMN
dimana kedua peraturan tersebut merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah
Nomor 06 Tahun 2006 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Salah satu bentuk keterkaitan kedua Peraturan Menteri Keuangan tersebut
terlihat pada penilaian BMN selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka
pemindahtanganan. Seperti yang telah diketahui bersama, dalam hal tindak lanjut
penghapusan BMN dengan cara pemindahtanganan dalam bentuk penjualan, wajib
dilakukan dengan cara lelang kecuali dalam hal-hal tertentu. Pengertian lelang
berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010
adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara
tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga
tertingi yang di dahului dengan pengumuman lelang. Lelang dalam rangka
penghapusan BMN termasuk dalam Lelang Non Eksekusi Wajib, dimana dalam
setiap pelaksanaan lelang, penjual (dalam hal ini Pengguna Barang) wajib
menetapkan nilai limit barang yang akan di lelang.
Sebelumnya perlu diingat bahwa nilai limit lelang dan harga lelang merupakan
dua hal yang berbeda. Pada Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
93/PMK.06/2010 yang mencantumkan pengertian tentang keduanya menjelaskan
bahwa nilai limit lelang adalah harga minimal barang yang akan dilelang dan
13
ditetapkan oleh penjual atau pemilik barang. Sedangkan harga lelang adalah harga
penawaran tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang yang telah disahkan sebagai
pemenang lelang oleh Pejabat Lelang.
Tentu saja nilai limit lelang yang menjadi harga minimal barang yang akan
dilelang merupakan cerminan awal harga lelang atau dengan kata lain tawaran
pertama sekaligus tawaran terakhir yang akan memenangkan lelang dengan harga
paling minimal. Sehingga Pengguna Barang selaku penjual harus berhati-hati dalam
menetapkan nilai limit lelang untuk menghindari adanya potensi harga lelang yang
merugikan negara. Pengguna Barang wajib memiliki dasar atau argumen yang kuat
untuk menetapkan nilai limit penjualan BMN berupa kendaraan dinas operasional.
Argumen yang kuat dalam menetapkan nilai limit lelang dapat berdasarkan
pada nilai wajar hasil penilaian dari penilai, atau dengan tetap mempertimbangkan
nilai yang direkomendasikan oleh instansi yang memahami dan mengerti mengenai
kondisi kendaraan dinas operasional yang akan dihapuskan (Dishub), serta tetap
memperhatikan risiko penjualan melalui lelang itu sendiri, contohnya tidak ada
peminat.
Penilaian dapat dilakukan tim yang ditetapkan oleh Pengguna Barang maupun
melibatkan penilai Independen yang juga ditetapkan oleh Pengguna Barang. Penilaian
BMN yang dimaksud dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar. Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) c.q Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL) dapat melakukan penilaian BMN berupa kendaraan dinas
operasional yang akan dihapuskan atas permohonan dari Pengguna Barang.
Permohonan penilaian dari Pengguna Barang disampaikan kepada Kepala Kantor
14
Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kuasa Pengguna
Barang, dalam hal Penilaian merupakan kewenangan Kantor Pelayanan. Dimana
permohonan penilaian tersebut disampaikan secara tertulis yang disertai dengan data
dan informasi objek penilaian.
Data dan informasi untuk permohonan penilaian Barang Milik Negara selain
tanah dan/atau bangunan meliputi:
1. latar belakang permohonan;
2. tujuan penilaian;
3. deskripsi objek Penilaian.
Objek penilaian berupa kendaraan bermotor, permohonan penilaian dilengkapi
dengan data dan informasi sebagaimana dimaksud dan fotokopi dokumen legalitas
atau keterangan dari instansi berwenang.
Dalam hal pemohon tidak memenuhi kelengkapan data dan informasi, Tim
Penilai DJKN mengembalikan secara tertulis permohonan penilaian kepada pemohon
disertai permintaan kelengkapan data dan/atau informasi.
C. Nilai Limit Lelang
Penetapan nilai limit lelang kendaraan dinas operasional yang merupakan
wewenang dari penjual (Pengguna Barang) adakalanya tidak sama dengan nilai wajar
dari kendaraan dinas operasional tersebut yang tertera di neraca pemerintah. Bahkan
acapkali perbedaan antara harga limit jauh dibawah nilai wajar kendaraan tersebut.
Sebagai contoh, pada tahun 2011 salah satu kementrian mengusulkan penghapusan
BMN berupa kendaraan dinas operasional dengan tindak lanjut pemindahtanganan
15
melalui penjualan/lelang. Sebuah mobil jenis station wagon merek Opel Blazer tahun
perolehan 1997 dengan harga perolehan Rp 76.500.000,00, pada tahun berjalan
memiliki nilai wajar sebesar Rp 44.500.000,00. Kemudian oleh DJKN c.q KPKNL
menyetujui untuk dihapuskan dengan nilai limit Rp 32.500.000,00. Terlepas dari
seberapa besar harga lelang dari mobil tersebut tetap saja hal tersebut dapat
mengindikasikan terjadinya kerugian negara.
Kondisi di atas dapat terjadi karena perbedaan kepentingan dalam penilaian.
Penilai internal dari Pengguna atau Pengelola Barang belum memiliki kesamaan
persepsi tentang standar nilai yang dipakai karna belum diatur secara tegas. Sebagian
besar Satker menetapkan nilai limit berdasarkan hasil rekomendasi Dishub berupa
nilai penyusutan yang kemudian dikalikan dengan nilai perolehan sebagai standar
nilai sehingga seringkali diperoleh nilai limit yang jauh dibawah nilai wajar yang
didapat oleh tim Penilai DJKN c.q KPKNL yang mendapatkan nilai wajar kendaraan
dinas operasional dengan berbagai metode. Salah satunya dengan metode pendekatan
harga pasar dimana nilai wajar diperoleh dari hasil survei langsung dipasaran sebagai
standar nilai sehingga diperoleh nilai wajar yang mendekati harga pasar. Dalam hal
ini, nilai wajar memperhitungkan banyak faktor pembentuk nilai seperti inflasi, daya
beli, permintaan dan penawaran dan lain sebagainya sehingga acapkali diperoleh nilai
yang jauh lebih tinggi dari nilai perolehan.
Namun pada faktanya, dalam beberapa proses lelang penjualan BMN berupa
kendaraan dinas operasional yang menggunakan nilai wajar pada neraca pemerintah
sebagai nilai limit lelang, ternyata hasil dari proses lelang tersebut tidak ada peminat
atau dengan kata lain penjualan kendaraan dinas operasional tersebut tidak laku. Perlu
16
dipertanyakan, mungkinkah ada yang salah dengan penilaian yang dilakukan oleh
Penilai DJKN c.q KPKNL. Apakah nilai wajar yang dihasilkan oleh penilai DJKN c.q
KPKNL tidak mencerminkan harga pasar sehingga dirasa terlalu tinggi sehingga tidak
ada peminatnya? Apakah Satker selaku penjual yang terlalu rendah dalam
menentukan nilai limit lelang? Lantas mengapa dengan begitu mudahnya DJKN c.q
KPKNL menyetujui pemindahtanganan BMN berupa kendaraan dinas operasional
dengan nilai limit yang lebih rendah dari nilai wajar kendaraan tersebut pada neraca
pemerintah.
Memang tidak menutup kemungkinan bahwa salah satu sebab tidak lakunya
lelang kendaraan dinas operasional yang menggunakan nilai wajar sebagai limit
lelang tersebut adalah karena adanya mafia lelang. Tetapi perlu diperhatikan, ada atau
tidak adanya mafia lelang bukanlah suatu kondisi yang menjadi tangung jawab DJKN
pun KPKNL, hal itu sudah di luar batas kemampuan DJKN c.q KPKNL. Hal yang
semestinya dilakukan oleh DJKN c.q KPKNL yang memiliki tugas pelayanan di
bidang kekayaan negara, penilaian dan lelang adalah mempertahankan kekayaan
negara atau paling tidak meminimalkan kerugian negara. Karena hasil lelang
kendaraan dinas operasional tersebut nantinya akan menjadi Pendapatan Negara
Bukan Pajak (PNBP) maka seyogyanya DJKN c.q KPKNL membuat kebijakan atau
sistem untuk meminimalkan kekayaan negara yang berkurang.
Polemik timbul justru karena tidak ada pihak yang patut untuk dijadikan
kambing hitam, meski bisa jadi ada saja Satker yang memanfaatkan kondisi ini.
Bagaimanapun DJKN c.q KPKNL tidak memiliki wewenang untuk menetapkan nilai
limit penjualan BMN. Selain itu, yang lebih mengetahui kondisi dari BMN yang
17
dijual adalah Satker penjual. DJKN c.q KPKNL hanya berwenang
menyetujui/menolak usulan Satker atas pemindahtanganan BMN. Sejauh apa yang
diketahui saat ini, tidak ada satu pun yang melakukan kesalahan ataupun melanggar
peraturan perundang-undangan. Semua berjalan sesuai prosedur dengan batas hak,
kewajiban, dan wewenang masing-masing pihak. Baik DJKN c.q KPKNL, Satker
penjual BMN, Dishub, pun Penilai. Hanya saja bagaimana caranya agar bisa
memaksimalkan PNBP dan aset yang ada tidak tersia-siakan dengan percuma.
18
BAB III
PEMBAHASAN
A. Dilema Satuan Kerja
Satuan Kerja (Satker) Pengguna Barang mengajukan usul penghapusan BMN
berupa kendaran operasional dengan tindak lanjut pemindahtanganan dengan cara
lelang melalui tim internal panitia penghapusan yang mereka bentuk setelah
mempertimbangkan bahwa kendaraan dinas operasional tersebut telah memenuhi
persyaratan penghapusan yang dalam hal ini telah melampaui batas waktu kegunaan
kendaraan dinas operasional tersebut, yakni 10 (sepuluh) tahun. Agar usulan tersebut
disetujui, perlu disertai alasan atau penjelasan serta pertimbangan untuk melakukan
penghapusan. Sehingga Satker melalui tim internal panitia penghapusan BMN berupa
kendaraan dinas opersional (yang bertugas untuk melakukan penelitian data
administrasi dan fisik serta menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis) melakukan cek
fisik kendaraan dinas operasional dengan mengajukan permohonan kepada Dishub
melalui Unit Pelaksana Teknis Balai Pengujian Kendaraan Bermotor. Hasil
pemeriksaan atau cek fisik kendaraan dinas operasional yang dimaksud berupa
rekomendasi nilai sisa (persentase) dari penyusutan yang dialami kendaraan dinas
operasional tersebut.
19
Sudah tentu jika hasil cek fisik kondisi kendaraan dinas operasional tersebut
dibawah 30% lebih ekonomis bagi negara apabila kendaraan dinas operasional
tersebut dihapuskan karena negara tidak perlu mengeluarkan biaya untuk melakukan
perawatan lagi. Dalam hal ini berarti syarat penghapusan BMN berupa kendaraan
dinas operasional sudah terpenuhi, baik itu persyaratan teknis maupun syarat
ekonomis yang merupakan salah satu pertimbangan disetujui atau tidaknya
penghapusan.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, yang menjadi polemik dalam
pembahasan ini adalah penentuan nilai limit yang memang merupakan kewenangan
Satker Pengguna Barang. Pada umumnya Satker (melalui tim internal panitia
penghapusannya) menetapkan nilai limit berdasarkan hasil kali antara harga perolehan
kendaraan dinas operasional tersebut dengan persentase nilai sisa penyusutanya yang
paling tidak besar nilai sisa penyusutanya maksimal 30%. Jelas saja nilai yang
dihasilkan berbeda dari nilai wajar kendaraan tersebut pada neraca pemerintah. Nilai
wajar merupakan cerminan harga yang ada di pasar dan bukanlah nilai dari pengalian
antara besaran penyusutan dangan harga perolehan. Karena harga suatu barang di
pasaran ada kalanya naik, ada kalanya turun, dan ada kalanya tetap dan bertahan
bertahun tahun, maka nilai wajar dinilai lebih layak untuk menjadi salah satu dasar
pertimbangan dalam menentukan nilai limit. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan
bahwa nilai limit lelang adalah harga minimal barang yang akan dilelang, sehingga
jika kendaraan dinas operasional dijual dengan harga dibawah harga pasar yang
semestinya, dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut merugikan negara.
20
Ada hal menarik dari penghapusan kendaraan dinas operasional dengan tindak
lanjut pemindahtanganan dengan cara lelang. Telah menjadi rahasia umum -yang
entah apakah memang sudah menjadi tradisi atau memang ada kesepakatan tidak
langsung dari seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) di negara ini yang tergabung dalam
ribuan Satker- bahwa ada semacam bentuk rasa “terima kasih” yang diperbolehkan
atas dasar pengabdian yang telah diberikan dan demi rasa kemanusiaan kepada
pejabat yang menguasai atau merawat kendaraan dinas operasional tersebut. Terlebih
lagi kepada pejabat yang masa pengabdianya sebagai PNS akan segera berakhir atau
akan menjalani masa purnabakti. Sehingga kendaraan dinas operasional yang akan
dihapuskan tersebut “dihadiahkan” kepada pegawai atau pejabat tertentu dengan cara
memprioritaskan pejabat tersebut sebagai calon pemenang lelang.
Kenyataan tersebut diperparah karena ketika akan menjual dengan cara lelang
kendaraan dinas operasional tersebut, ada kewajiban untuk melakukan pengunguman
lelang di surat kabar harian yang memenuhi syarat sesuai Pasal 41 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sementara
anggaran Satker untuk melakukan pengunguman tersebut tidak tersedia dalam Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Akibatnya terkadang biaya pengunguman ini
ditanggung oleh “si calon pembeli lelang” dengan harapan bahwa barang yang
dihapuskan tersebut akan dapat dimenangkan oleh “calon pembeli” tersebut. Akibat
lainnya, karena memang telah diatur bahwa untuk BMN selain tanah dan/bangunan
dengan nilai sampai Rp 30.000.000,00 pengumuman bisa dilakukan melalui
pengumuman tempel sehingga Satker bisa mengajukan permohonan kepada KPKNL
agar mendapat keringanan untuk tidak melakukan pengunguman lelang melalui surat
21
kabar harian yang memenuhi syarat. Sebagai gantinya, pengunguman dilakukan
dengan membuat pamflet/melalui tempelan atau sejenisnya yang kemudian dipasang
di papan pengunguman kantor Satker penjual dan di KPKNL. Itu pun
dilaksanakan/diumumkan lima hari sebelum pelaksanaan lelang.
Jelas situasi seperti tersebut diatas tidak ideal dalam menciptakan tatanan
pengelolaan BMN yang transparan dan akuntabel. Pelaksanaan lelang tanpa
pengumuman yang tersebar luas akan berakibat pada sedikit/terbatasnya jumlah
peserta lelang, sementara hal itu jelas tidak dibenarkan. KPKNL selaku pemegang
otoritas lelang tidak memiliki kewenangan untuk melarang peminat lelang untuk
mengikuti lelang, terlebih jika lelang telah dilakukan pengumuman terlebih dahulu.
Akibatnya, persaingan antara peminat/peserta diluar instansi “yang tidak memiliki
ikatan dengan objek lelang dengan „peminat/peserta dalam” yang merasa telah
mengeluarkan biaya untuk terselenggaranya lelang, tidak dapat dihindari. Sehingga
lelang berakhir dengan harga yang kompetitif dan relatif tinggi. Akibat lebih lanjut
dari hal tersebut adalah timbul kekecewaan dari Satker pemohon lelang karena harga
terbentuk tidak sesuai dengan harapannya, atau bahkan “terpaksa” melepas objek
kepada pihak ketiga karena kalah dalam jumlah harga penawaran.
Keadaan makin sulit dengan adanya bayang-bayang dari fenomena “mafia
lelang” yang memanfaatkan kondisi persaingan pada lelang untuk mencari
keuntungan pribadi, yakni dengan cara mengadakan “kompromi” dengan seluruh
peserta lelang agar sepakat tidak mengajukan penawaran pada saat lelang dengan
meminta imbalan kepada “calon pemenang lelang”. Ini bisa saja terjadi mengingat
22
kemungkinan terjadinya perbedaan antara nilai limit dengan harga lelang yang akan
terbentuk.
Hal ini dapat menyebabkan kendaraan dinas operasional yang kemudian
“dikanibalisasi” sebelum dilaksanakan penghapusan karena pejabat yang memakai
dan merawat kendaraan selama ini pesimis bakal memenangkan lelang atas
penghapusan kendaran operasional tersebut. Proses “kanibalisasi” bisa berjalan
dengan berbagai cara sehingga pada suatu saat yang tertinggal hanyalah seoonggok
besi tua.
Bagaimanapun, Satker akan tetap mengalami dilema antara menetapkan nilai
limit lelang dengan harga yang tinggi atau menetapkan nilai limit lelang dengan harga
yang rendah. Satker menghadapi situasi sulit dimana harus menentukan pilihan dari
dua kemungkinan yang keduanya sama-sama tidak menguntungkan. Jika Satker
mengusulkan nilai limit dengan harga yang rendah, ada kemungkinan bagi Satker
terkait dituntut karena merugikan negara atas pengeloaaan BMN yang tidak optimal.
Sementara dengan menetapkan nilai limit yang sama dengan nilai wajar, tetap ada
kemungkinan tidak adanya peminat dalam lelang (karena salah satu
anggapan/persepsi kebanyakan orang tentang lelang adalah harganya yang murah).
Sehingga selain telah mengeluarkan biaya untuk melakukan seluruh persiapan lelang,
pengamanan, penjagaan dan perawatan atas barang tersebut masih harus tetap
ditanggung oleh satker. Ditambah lagi jika ternyata harus dilelang ulang, Satker masih
harus menanggung biaya pengumuman dan/atau seluruh persiapan lelang kembali.
23
B. Perbedaan Kepentingan Dalam Penilaian
Beberapa tahun lalu pernah ada Satker yang mengajukan usul permohonan
penghapusan BMN selain tanah dan/atau bangunan berupa kendaraan bermotor dan
barang inventaris kantor dengan tindak lanjut pemindahtanganan dengan cara lelang.
Namun, ternyata usulan dari Satker tersebut dijawab oleh KPKNL dengan meminta
Satker untuk mengkaji kembali usulan penghapusan tersebut.
Pertimbangannya adalah bahwa usulan penetapan nilai limit/harga penjualan
terendah BMN berupa kendaraan dinas operasional yang diajukan oleh tim
penghapusan BMN Satker tersebut belum mencerminkan nilai wajar BMN yang
dimaksud sebagaimana penentuan nilai wajarnya diatur dalam Pasal 13 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007. Indikasi belum mencerminkan nilai
wajar tersebut dikarenakan nilai limit BMN yang diajukan oleh tim penghapusan
satker yang bersangkutan sangat jauh berbeda dengan hasil penilaian tim penilaian
BMN KPKNL dalam rangka pelaksanaan Keppres No : 17 tahun 2007 pada Satker
yang bersangkutan.
Perbedaan yang sangat jauh antara nilai wajar dengan usulan nilai limit lelang
BMN berupa kendaraan dinas operasional yang akan dihapuskan dapat dilihat pada
Tabel III.1. Sebagai contoh, sebuah minibus merek Toyota Kijang dengan tahun
perolehan 1996 perbedaan antara nilai limit dengan nilai wajarnya mencapai lebih
dari 950% atau 9x lipat dari nilai limit.
24
Tabel III.1 Perbandingan Anatara Nilai Limit Dengan Nilai LKPP
Jenis/Merk
Tahun
Pembuatan/
Perolehan
Jumlah
Harga
Perolehan
(Rp)
Nilai Limit
(Rp)
Nilai wajar
Berdarsar
LKPP
Mini bus/Toyota Kijang 1994/1994 1 unit 27.500.000 6.050.000 47.200.052
Mini bus/Toyota Kijang 1996/1996 1 unit 22.452.000 5.141.508 49.000.710
Sepeda motor/Suzuki
A100X 1995/1995 1 unit 1.062.500 239.063 2.000.012
Sumber: Diolah dari lampiran Surat Jawaban atas Usulan Penghapusan
Nomor S- 178/WKN.**/KP.**/2009
Karena diminta untuk mengkaji kembali atas usulan tersebut, akhirnya Satker
meminta KPKNL untuk menilai ulang BMN yang ada pada Satker tersebut. Namun
permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh KPKNL. Karena dari KPKNL sendiri
berpendapat bahwa nilai yang digunakan sebagai dasar penentuan nilai limit dalam
rangka penghapusan BMN adalah nilai wajar yang berasal dari hasil penertiban BMN
yang dilakukan oleh tim Inventarisasi dan Penilaian (IP) BMN DJKN pada Satker
tersebut yang telah dilakukan sebelumnya dalam rangka pelaksanaan Keppres No : 17
tahun 2007.
Satker tersebut kemudian menyampaikan kembali permohonan persetujuan
penghapusan BMN selain tanah dan/atau bangunan kepada KPKNL dengan usulan
nilai limit yang sama dengan nilai wajar pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP). Usulan tersebut akhirnya disetujui untuk segera dilakukan proses penjualan.
Akhirnya setelah lebih kurang 2 (dua) tahun dari usulan penghapusan pertama
kali dan dengan proses yang cukup panjang, BMN berupa kendaraan dinas
operasional dan barang inventaris tersebut dilelang. Namun setelah dilakukan proses
25
lelang dari seluruh BMN yang dilelang, ternyata hanya barang inventaris yang laku
terjual sedangkan kendaraan dinas operasional tidak ada peminat. BMN berupa
kendaraan dinas operasional yang rencananya dijual tersebut akhirnya dikembalikan
kepada pemohon lelang yakni tim penghapusan BMN dari Satker yang bersangkutan.
Dengan pertimbangan bahwa BMN berupa kendaraan dinas operasional
tersebut masih dapat menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), BMN
berupa kendaraan operasional tersebut lantas tidak dimusnahkan namun dilakukan
usulan penghapusan dengan tindak lanjut pemindahtanganan melalui lelang kembali
dengan nilai limit lelang yang akan diturunkan.
Dalam perjalananya, Direktur Jenderal Kekayaan Negara mengirimkan surat
yang ditujukan kepada seluruh Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) DJKN dan kepada
seluruh Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang
berada diseluruh Indonesia perihal Kebijakan Nilai Limit Penjualan. Surat tersebut
menjelaskan bahwa terkait penetapan nilai limit penjualan yang diusulkan oleh
Pengguna Barang dalam permohonan persetujuan, agar dipastikan bahwa penetapan
tersebut sudah dilakukan dengan memenuhi prinsip efisien, efektif dan menghasilkan
manfaat yang optimal bagi negara (antara lain penurunan nilai barang dimaksud
apabila tidak segera dilakukan penghapusan/pemindahtanganan potensi biaya
pemeliharaan yang harus dikeluarkan, ketersediaan ruang dan tempat yang memadai
dan sebagainya). Sehubungan dengan hal tersebut, untuk keyakinan dan kepastian
tanggung jawab Pengguna Barang dapat dimintakan Surat Pernyataan Tanggung
Jawab Pengguna Barang atas Nilai Limit yang Diusulkan. Dalam surat tersebut juga
dikatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud diatas berlaku sampai
26
ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan tentang Perhitungan Nilai Limit BMN
dari Pengelola Barang.
Satker kemudian kembali melakukan usulan penghapusan dengan tindak lanjut
pemindahtanganan melalui lelang yang besaran nilai limit lelang kendaraan dinas
operasional yang akan dilelang tersebut telah diturunkan, kemudian disertai Surat
Pernyataan Tanggung Jawab Pengguna Barang atas Nilai Limit yang Diusulkan yang
ditandatangani oleh Kepala Kantor sesuai penjelasan dari Direktur Jenderal Kekayaan
Negara. Adapun nilai limit yang diturunkan seperti yang tercantum pada Tabel III.2
diperoleh dari hasil kali dari harga perolehan kendaraan dinas operasional yang akan
dilelang dengan persentase besaran nilai sisa penyusutan kendaraan tersebut
berdasarkan rekomendasi Dishub dimana pada akhirnya seluruh kendaraan dinas
operasional tersebut laku terjual.
Tabel III.2 Perbandingan Nilai Limit Baru dengan Nilai Limit Sebelumnya
Jenis/Merk/
Jumlah
Tahun
Pembuatan/
Perolehan
Harga
Perolehan
(Rp)
Persentase
nilai sisa
penyusutan
(Dishub)
Nilai Limit
Sebelumnya
(Rp)
Nilai Limit
Baru
Mini bus/Toyota Kijang/
1 unit
1994/1994 27.500.000 20,00% 47.200.052 9.440.010
Mini bus/Toyota
Kijang/
1 unit
1996/1996 22.452.000 21,67% 49.000.710 10.618.454
Sepeda motor/Suzuki
A100X/1 unit 1995/1995 1.062.500 15,00% 2.000.012 300.002
Sumber: Diolah dari Lampiran Surat Persetujuan
Penggunaan/Pemanfaatan/Penghapusan/Pemindahtanganan
Nomor S-36/MK.06/WKN.**/xxx.**/2011
Hampir serupa dengan kejadian diatas, pada tahun 2011 salah satu instansi di
Kementrian Keuangan mengajukan usul untuk menghapuskan BMN selain tanah
27
dan/atau bangunan dengan tindak lanjut pemindahtanganan melalui penjualan lelang.
Barang yang akan dijual lelang adalah barang inventaris dan kendaraan dinas
operasional sebanyak 29 (dua puluh sembilan) unit. Total nilai limit kendaraan dinas
operasional yang akan dijual lelang adalah sebesar Rp 773.329.000,00 (tujuh ratus
tujuh puluh tiga juta tiga ratus dua puluh sembilan ribu rupiah) yang kemudian
ternyata tidak laku terjual karena tidak ada peserta yang mengajukan penawaran.
Tim penghapusan dari instansi tersebut kemudian melakukan permohonan
penilaian kembali kepada DJKN yang kemudian tim Penilai Internal DJKN
menetapkan nilai objek penilaian tersebut sebesar Rp 308.259.000,00 (tiga ratus
delapan juta dua ratus lima puluh sembilan ribu rupiah). Hasil penilaian dari tim
Penilai Internal DJKN tersebut dijadikan sebagai nilai limit lelang oleh tim
penghapusan dari instansi terkait dengan menyertakan Surat Pernyataan Tanggung
Jawab Pengguna Barang atas Nilai Limit yang Diusulkan yang kemudian disetujui
oleh Menteri Keuangan c.q Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Kendaraan dinas
operasional tersebut pada akhirnya laku terjual dalam lelang.
Berdasarkan cerita diatas patut dicermati bahwa nilai yang didapat dari hasil
IP BMN tersebut berbeda dengan nilai barang yang akan dihapuskan disebabkan oleh
tujuan penilaiannya yang berbeda pula. Nilai barang dari hasil IP BMN sudah tentu
lebih tinggi daripada nilai barang yang akan dihapuskan (meski tidak mutlak selalu
seperti itu). Persepsi Penilai terhadap BMN yang akan di IP adalah BMN masih akan
menjadi inventaris dan masih akan terus digunakan sementara karena tidak merasa
memiliki kepentingan, Satker penguasa barang yang akan di IP menerima berapa pun
nilai yang akan dihasilkan Penilai DJKN.
28
Penting diingat mengenai dasar dalam melakukan penilaian adalah bahwa
dalam melakukan penilaian, setiap Penilai yang menerima penugasan penilaian wajib
terlebih dahulu mengerti dan memahami tujuan penilaian yang menjadi tugasnya. Hal
ini penting mengingat jika tujuan dalam melakukan penilaian berbeda, maka akan
memerlukan macam dan metode penilaian yang berbeda pula.
Pada cerita diatas, meskipun Penilai DJKN sudah mengetahui bahwa umur
kendaraan dinas sudah lebih dari sepuluh tahun, namun yang berwenang untuk
mengajukan usulan penghapusan BMN adalah Satker, sementara saat itu Satker
belum mengajukan usulan penghapusan sehingga asumsi Penilai DJKN adalah
kendaraan dinas operasional tersebut masih akan tetap digunakan. Hal ini jelas sangat
berpengaruh terhadap penilaian yang dilakukan, karena jika tujuan dalam melakukan
penilaian BMN berupa kendaraan dinas operasional adalah penghapusan dengan
tindak lanjut pemindahtanganan, maka Penilai dalam melakukan penilaian harus
mempertimbangkan harga pasar, biaya untuk balik nama kendaraan, biaya perbaikan
dan lain sebagainya yang tidak akan mempertimbangkan faktor-faktor sedetail
mungkin seperti itu jika tujuan penilaiannya bukan untuk
penghapusan/pemindahtangan. Nilai yang didapat dari hasil pelaksanaan IP BMN
merupakan nilai dalam penggunaan (value in use) bukan nilai pasar.
Oleh karena ada perbedaan tujuan dalam melakukan penilaian itulah akhirnya
membuat nilai pada saat IP dan saat akan dihapuskan menjadi berbeda seperti cerita
diatas. Dalam hal ini, baik Satker maupun Penilai dan Pengelola Kekayaan Negara
DJKN c.q KPKNL tidak ada yang melakukan pelanggaran. Adapun nilai limit BMN
berupa kendaraan dinas operasional usulan dari Satker yang ditolak oleh seksi
29
Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) KPKNL, lebih karena dirasa usulan nilai
tersebut terlau kecil dibanding harga yang ada dipasaran. Sementara Satker sendiri
tidak memiliki ilmu yang cukup mendalam tentang penilaian sehingga mengusulkan
nilai limit berdasarkan perkiraan saja. Sedangkan mengenai tidak lakunya lelang
BMN berupa kendaraan dinas operasional yang menggunakan nilai limit yang sama
berdasarkan nilai wajar tersebut dikarenakan saat dilakukan penilaian tujuannya
bukan untuk dihapuskan atau lebih spesifik lagi untuk dijual. Semua ini terjadi karena
tidak adanya kebijakan atau aturan yang tegas dalam memperhitungkan dan/atau
menetapkan nilai limit penjualan BMN dari Pengelola Barang.
C. Nilai Residu dan Nilai Pasar Lelang
Penghapusan dengan tindak lanjut pemindahtanganan melalui lelang memang
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 pada Pasal 51.
Pemindahtanganan harus dilakukan melaluli lelang dengan harapan/tujuan untuk
mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari nilai sisa BMN yang dihapuskan.
Nilai buku BMN dalam pembukuan, apabila umur BMN sudah lebih dari
sepuluh tahun, maka nilai buku BMN tersebut seharusnya sudah 0 (nol) atau dengan
kata lain sudah tidak memiliki nilai (menggunakan perhitungan akuntansi metode
penyusutan garis lurus). Namun faktanya, nilai BMN yang telah berumur lebih dari
sepuluh tahun tersebut tidak benar benar habis alias nol atau dengan kata lain masih
mempunyai nilai. Pada BMN berupa kendaraan dinas operasional yang telah berumur
lebih dari sepuluh tahun, meskipun BMN berupa kendaraan dinas operasional tersebut
dianggap sudah tidak memiliki nilai ekonomis lagi, bukan berarti BMN berupa
kendaraan operasional tersebut tidak ada nilai residu atau nilai sisa riilnya pun juga
30
nilai manfaatnya. Nilai residu atau nilai sisa riilnya itulah yang kemudian menjadi
nilai minimal untuk dimasukan ke kas negara atas penghapusan BMN yang dimaksud.
Nilai residu yang dimaksud itu dapat merupakan nilai limit dalam proses lelang yang
kemudian uang kas hasil lelang tersebut dikembalikan ke kas negara. Nilai residu
yang kemudian nantinya akan menjadi harga lelang diusahakan untuk terus meningkat
agar uang kas yang disetorkan ke negara sebagai PNBP diperoleh secara maksimal.
Kemudian yang harus dipertimbangkan adalah harga perolehan BMN
bukanlah cerminan harga pasar terhadap BMN yang sama dan serupa di pasaran.
Pengertian BMN sendiri merupakan semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBN atau perolehan lainnya yang sah. Salah contoh BMN yang diperoleh
dari perolehan lainnya yang sah adalah BMN yang didapat dari hibah. Tentu saja
BMN yang diperoleh dari hasil hibah harga total perolehannya tidak akan sebesar
harga perolehan total dibandingkan jika membeli BMN yang sama dan serupa
dipasaran. Penulis menyampaikan hal ini karena kebanyakan Satker mengusulkan
nilai limit berdasarkan harga perolehan dengan besaran persentase nilai sisa BMN
berupa kendaraan operasional dari Dishub.
Hal tersebut jelas bukanlah suatu kesalahan jika memang nilai yang dihasilkan
paling tidak hampir sama dengan harga yang ada di pasaran. Nilai yang diusulkan
oleh Satker Penguna barang harus mencerminkan kondisi pasar karena harga barang
di pasaran bisa saja naik dan bisa saja turun sewaktu-waktu. Satker harus cermat
dalam penentuan usulan nilai limit BMN berupa kendaraan dinas operasional yang
akan dihapuskan. Meskipun belum tentu disetujui oleh Pengelola Barang, Satker
Pengguna Barang tetap harus objektif dalam menentukan nilai limit. Bagaimanapun
31
kendaraan dinas operasional yang akan dihapuskan tersebut berada dalam penguasaan
Satker Pengguna Barang sehingga Satker lah yang lebih mengetahui tentang kondisi
barang. Penilai internal DJKN c.q KPKNL tidak memiliki wewenang untuk menilai
jika tidak ada surat tugas. Sementara tugas Penilai DJKN c.q KPKNL sendiri masih
banyak yang harus diselesaikan.
Dalam hal ini, yang ingin disampaikan adalah Satker tidak harus menjadikan
rekomendasi besaran persentase nilai sisa penyusutan dari Dishub sebagai dasar
utama dalam menentukan nilai limit. Rekomendasi besaran persentase nilai sisa
penyusutan dari Dishub hanya wajib dipakai sebagai salah satu alasan untuk
memenuhi persyaratan penghapusan.
Perlu juga diketahui bahwa dalam menetapkan nilai limit lelang baik Satker
maupun DJKN c.q KPKNL yang menyetujui, perlu mempertimbangkan harga pasar
lelang. Nilai wajar atau pun nilai pasar berbeda dengan nilai pasar lelang yang tidak
menentu. Nilai pasar terbentuk dengan adanya penawaran dan permintaan yang terjadi
di pasaran, atau nilai yang merupakan harga yang umum terjadi di pasaran.
Konkritnya ialah rata-rata atau kisaran harga kendaraan jenis tertentu yang ada dalam
pasar tertentu. Sebagai contoh misalnya, harga motor Suzuki Thunder tahun 2006
pada tahun 2012 di Jakarta berkisar antara 3-4 juta rupiah.
Sedangkan harga lelang terbentuk cenderung dikarenakan oleh kondisi lelang.
Harga lelang merupakan harga yang terjadi akibat efek lelang yang bisa dipengaruhi
oleh emosi peserta lelang, lingkungan, tempat pelaksanaan lelang itu sendiri,
kecerdasan seorang afslager atau pemandu lelang bisa juga oleh Pejabat Lelang ketika
menjalankankan proses lelang, termasuk seberapa besar ketertarikan peserta lelang
32
terhadap barang yang dilelang. Meskipun anggapan kebanyakan orang tentang lelang
adalah bahwa harga lelang itu murah, hal itu tidak dapat dibenarkan karena harga
lelang merupakan harga yang kompetitif jika dalam pelaksanaan lelang prosesnya
berjalan secara fair. Penjualan melalui lelang adalah penjualan terbaik jika
dilaksanakan/berjalan secara ceteris paribus atau dengan kata lain tidak ada pengaruh
negatif yang mengganggu jalannya proses lelang. Mulai dari tahap persiapan lelang,
pelaksanaan lelang hingga pasca lelang. Sehingga terbentuk harga lelang yang benar
benar kompetitif.
D. Polemik Surat dari Direktur Jenderal Kekayaan Negara
Mengenai perhitungan nilai limit penjualan BMN, hingga sekarang belum ada
peraturan yang mengatur tentang hal tersebut. Saat ini -seperti yang telah disampaikan
sebelumnya- untuk penghapusan BMN dengan tindak lanjut pemindahtanganan
melalui lelang kebijakan nilai limit penjualan BMN masih berdasarakan surat
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor S-3297/KN/2009 tentang Kebijakan Nilai
Limit Penjualan. Sehubungan dengan surat Direktur Jenderal Kekayaan Negara
Nomor S-3297/KN/2009 yang ditujukan kepada seluruh Kantor wilayah DJKN dan
KPKNL tersebut, maka untuk keyakinan dan kepastian tanggung jawab Pengguna
Barang dalam usulan penghapusan BMN, Satker Pengguna Barang harus
menyertakan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Pengguna Barang atas Nilai Limit
penjualan BMN yang akan dihapuskan.
Jika diperhatikan, tujuan awal dikeluarkannya surat dari Direktur Jenderal
Kekayaan Negara (Dirjen KN) tersebut adalah untuk memecah/membagi risiko dan
memudahkan pekerjaan DJKN. Maksudnya, agar tanggung jawab penghapusan BMN
33
tidak mutlak ada pada DJKN c.q seksi Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) KPKNL.
Idealnya sudah tentu penilaian itu sebaiknya dilakukan oleh Penilai DJKN. Hanya
saja jika dilakukan seperti itu semua risiko bisa ditanggung oleh DJKN. Laku atau
tidak lakunya barang tersebut tanggung jawab ada di DJKN. Sementara penguasaan
barang ada di Pengguna Barang. Artinya Pengguna Barang yang lebih tahu mengenai
kondisi BMN. Sudah jelas karena Pengguna Barang yang mengusulkan anggaran
kebutuhan, Pengguna Barang juga yang melakukan perawatan dan pemeliharaan.
Ketika nilai limit lelang berdasarkan penilaian oleh Penilai DJKN lantas kemudian
tidak laku, sementara Pengguna Barang sudah melepaskan tanggung jawab
pemeliharaan dan perawatan, otomatis perlahan-lahan barang tersebut akan hancur.
Selain itu Penilai DJKN jumlahnya sangat terbatas, sementara tugas yang ada relatif
banyak. Jika tidak segera dilakukan penilaian, kondisi dan nilai dari BMN yang
direkomendasi untuk dihapuskan akan terus menurun. Sulit untuk melakukan
percepatan pelaksanaan penghapusan jika menunggu pelaksanaan dan laporan
penilaian dari tim Penilai DJKN.
Dengan kondisi seperti diatas itulah yang menjadi argumen untuk mendukung
bahwa untuk penilaian selain tanah dan/atau bangunan sebaiknya dilakukan oleh
Pengguna Barang saja, asalkan nilai yang dihasilkan berdasarkan metodologi
penilaian. Baik itu metode pendekatan data pasar maupun metode pendekatan biaya.
Akan tetapi dalam pelaksanaanya Pengguna Barang terkadang terlalu
menyederhanakan penilaian yang dilakukan. Sebagai contoh, Satker hanya
mengalikan harga perolehan dengan persentase besaran nilai penyusutan BMN berupa
kendaraan dinas operasional yang akan dihapuskan.
34
Pada kenyataanya kondisi tersebut justru menciptakan suatu keadaan atau
ruang yang bisa dikatakan sebagai “grey area” dimana setiap orang memiliki peluang
dan kesempatan yang sama untuk bermain-main didaerah tersebut. Maksudnya seperti
ini, karena tidak diaturnya secara tegas mengenai perhitungan nilai limit penjualan
BMN selain tanah dan/atau bangunan yang dalam hal ini khusus kendaraan dinas
operasional, dalam menentukan nilai limit penjualan BMN berupa kendaraan dinas
operasional, Satker yang berwenang mengusulkan nilai limit penjualan “dapat”
menaksir nilai limit penjualan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah
dengan cara memperkirakan. Sementara DJKN c.q KPKNL melalui seksi PKN
posisinya menjadi lemah justru karena surat dari Dirjen KN yang mangalihkan
tanggung jawab kepada Pengguna Barang atas nilai limit yang diusulkan. Kondisi ini
tentu saja dapat diperdebatkan karena ada kemungkinan dimanfaatkan oleh “oknum
nakal” atau pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan untuk diri sendiri maupun
golongan/kelompoknya. Bagaimanpun dengan adanya Surat Pernyataan Tangung
Jawab Pengguna Barang atas nilai limit yang diusulkan dan dengan dipenuhinya
syarat-syarat penghapusan oleh Satker Pengguna Barang, DJKN c.q KPKNL melalui
seksi PKN tidak memiliki argumen dan/atau landasan yang kuat untuk menolak
persetujuan penghapusan yang diusulkan oleh Satker Pengguna Barang. Tentu saja
hal tersebut tidak mencerminkan pengelolaan BMN yang memenuhi asas fungisional,
akuntabilitas dan kepastian nilai. Serta menimbulkan persepsi bahwa Satker diberikan
kuasa penuh untuk mengelola BMN selain tanah dan/atau bangunan, padahal
sebenarnya tidak dimaksudkan untuk seperti itu.
E. Solusi yang Belum Final
35
Pada dasarnya surat Dirjen Kekayaan Negara Nomor S-3297/KN/2009 tentang
Kebijakan Nilai Limit Penjualan yang memintakan kepada Pengguna Barang
menyertakan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Pengguna Barang atas Nilai Limit
yang Diusulkan dalam hal pengajuan usul penghapusan BMN dengan tindak lanjut
pemindahtanganan melalui penjualan bukanlah solusi final atau dengan kata lain
solusi yang belum tuntas atas permasalahan perhitungan nilai limit penjualan BMN.
Sebagai contoh, terciptanya grey area atau dengan kata lain timbulnya kondisi yang
bisa diperdebatkan -seperti penjelasan sebelumnya- merupakan salah satu bukti
konkrit ada indikasi timbulnya permasalahan baru.
Hakikat dari penyelesaian permasalahan diatas pada dasarnya sudah ada pada
surat Dirjen Kekayaaan Negara Nomor S-3297/KN/2009 tentang Kebijakan Nilai
Limit Penjualan itu sendiri, dimana dalam surat tersebut disampaikan bahwa
Pengguna Barang yang dimintakan Surat Pernyataan Tanggung Jawab pengguna
Barang atas Nilai Limit yang Diusulkan tetap berlaku hingga ditetapkanya Peraturan
Menteri Keuangan tentang Perhitungan Nilai Limit Penjualan BMN dari Pengelola
Barang. Namun yang perlu dipertanyakan, sejak terbitnya surat dari Dirjen KN yang
dimaksud diatas hingga saat ini Peraturan Menteri Keuangan yang dimaksud belum
juga ditetapkan. Produk hukum yang kemudian telah ditetapkan justru mengatur
mengenai arestasi atau Pelimpahan Sebagian Wewenang Pengelolaan BMN Kepada
Kanwil dan KPKNL yang termuat dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK)
Republik Indonesia Nomor 31/KM.6/2008. Sementara KMK tersebut bukanlah
alternatif penyelesaian masalah yang ideal. Sebab pada intinya KMK tersebut masih
menyangkut mengenai risiko yang semuanya tidak ditanggung oleh seksi PKN
36
KPKNL, namun juga oleh instansi yang memiliki tugas membina KPKNL yaitu
Kanwil dan termasuk juga Kantor Pusat DJKN. Jadi semakin besar nilai BMN,
tangung jawabnya juga semakin besar sehingga layak menjadi tanggung jawab
instansi yang posisinya lebih diatas. Karena itu wewenang persetujuan/penolakan atas
usulan penetapan status, pemanfaatan, penghapusan dan usulan pemindahtanganan
dibagi berdasarkan nilai BMN.
Hanya saja dalam hal ini terjadi tumpang tindih, Kanwil yang seharusnya
selaku superintenden dan/atau pembina KPKNL jangan melaksanakan tugas yang
seharusnya dilakukan oleh kantor operasional/pelayanan pun begitu dengan Kantor
Pusat DJKN. Sepatutya -menurut hemat penulis-, dengan pelimpahan wewenang nilai
yang berjenjang, sebaiknya menggunakan sistem “satu pintu” dengan artian KPKNL
memegang kendali penuh atas pengelolaan BMN pada Satker sehingga ketika telah
melampaui suatu nilai yang menjadi wewenang dari KPKNL, maka KPKNL harus
berkonsultasi atau sharing dengan instansi yang berada diatasnya dalam mengambil
keputusan atau dengan kata lain ada semacam asistensi baik dari Kanwil maupun
Kantor Pusat DJKN sebagai supervisor. Kondisi yang tercipta seperti saat ini
menimbulkan kesan bahwa DJKN terlihat seperti bermain di dua kaki, yakni sebagai
regulator dan juga sebagai eksekutor.
Perlu diperhatikan bahwa surat dari Dirjen Kekayaan Negara Nomor
3297/KN/2009 tentang Kebijakan Nilai Limit Penjualan dan KMK 31/KMK.6/2008
tentang Pembagian Sebagaian Wewenang Pengelolaan BMN Kepada Kanwil dan
KPKNL yang telah dikeluarkan dan ditetapkan belum tentu memenuhi prinsip/unsur-
unsur bahwa pertama, tidak ada kerugian negara. Kedua kemudian apakah telah
37
mengeliminasi kerugian negara, atau bisa jadi justru membuat kerugian negara yang
lebih besar. Lagipula dalam permasalahan ini bukan tentang siapa yang paling
bertangung jawab atas kerugian negara jika suatu saat ada pihak yang melakukan
penuntutan/pemeriksaan atau bagaimana pembagian wewenang yang seharusnya.
Tetapi mencari cara yang paling efektif dan efisien untuk mengoptimalkan
penerimaan negara dari nilai sisa BMN yang dihapuskan agar terlaksananya
Pengelolaan BMN yang memenuhi asas fungisional, kepastian hukum, transparan,
efisien, akuntabel, dan kepastian nilai yang didukung dengan ketepatan jumlah dan
nilai dari BMN yang dikelola demi mendapat sebesar-besarnya manfaat untuk
kemakmuran rakyat.
38
BAB IV
KESIMPULAN
Surat Direktur Jenderal Kekayaaan Negara Nomor S-3297/KN/2009 tentang
Kebijakan Nilai Limit Penjualan yang pada awalnya untuk membantu dan melindungi
Penilai DJKN serta untuk memecah risiko yang memikul tanggung jawab sangat
berpotensi menyebabkan hilang/berkurangnya penerimaan negara. Surat Dirjen KN
tersebut akan terus berlaku hingga ditetapkanya Peraturan Menteri Keuangan
mengenai Perhitungan Nilai Limit Penjualan BMN dari Pengelola Barang. Mungkin
saja ada beberapa hambatan dan/atau alasan yang mendasari belum ditetapkanya
Peraturan Menteri Keuangan tersebut. Hal yang penting diperhatikan adalah
penghapusan dalam ruang lingkup Pengelolaan BMN adalah suatu keniscayaan. Jika
siklus Pengelolaan BMN telah dimulai dengan adanya perencanaan dan penganggaran
yang diikuti dengan pengadaan, penghapusan akan mutlak ada. Hal tersebut yang
perlu dijadikan pegangan oleh semua pelayan masyarakat yang bertugas sebagai
pengelola BMN.
Dalam penghapusan perihal yang dibicarakan adalah mengenai nilai. Lantas
DJKN sebagai pengelola kekayaan negara belum memiliki standar nilai dalam
penghapusan. Saat ini yang telah diatur hanya umur dan kondisi BMN berupa
kendaraan dinas operasional sebagai syarat penghapusan. Walaupun bisa dikatakan
39
penilaian itu ada kewenanganya, yang menjadi pertanyaan adalah kenapa
wewenangnya hanya dibatasi dengan tanah dan/atau bangunan?
Pemberian wewenang dalam melakukan penilaian selain tanah dan/atau
bangunan kepada Satker Pengguna Barang dimaksudkan karena Satker Pengguna
Barang lebih mengetahui kondisi barang yang berada dalam penguasaanya untuk
dihapuskan. Namun kesan yang terlihat di permukaan justru seperti terjadinya suatu
konflik yang berakhir dengan kompromi dalam bentuk pelimpahan wewenang
penilaian kepada Satker dan pelimpahan sebagian wewenang persetujuan/penolakan
penghapusan/pemindahtanganan kepada Kanwil dan KPKNL. Oleh karena
penghapusan dalam pengelolaan BMN merupakan suatu keniscayaan, kesan
kompromi yang sering terlihat akhirnya membentuk suatu kesimpulan bahwa dengan
membuat surat pernyataan bertanggung jawab, kemungkinan usulan penghapusan
disetujui akan semakin besar, yang seakan-akan Satker menjadi memiliki kuasa atas
penghapusan BMN. Disinilah letak “grey area” yang tercipta karena belum adanya
peraturan yang mengatur secara tegas. Sementara wilayah abu-abu tersebut dapat
dimanfaatkan oleh pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi atau untuk
golangan/kelompoknya.
Ketika ada keinginan pasti ada jalan, suatu peraturan ditetapkan semestinya
untuk kebaikan semua pihak. Terlebih lagi semua pihak baik yang mengelola,
menggunakan maupun yang menguasai BMN adalah abdi negara yang bekerja untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sehingga harus mengesampingkan kepentingan
pribadi. Pemegang kunci utama dalam polemik ini ada pada Menteri Keuangan c.q
DJKN selaku pengelola kekayaan negara khususnya BMN. Apapun tantangannya,
40
selama ada kemauan pasti ada jalan. Membuat Peraturan Menteri atau mengubah
suatu Peraturan Pemerintah memang bukan perkara mudah, begitu juga ketika nanti
dalam pelaksanaanya. Namun bukan berarti membiarkan kondisinya tetap seperti ini.
Ada banyak cara untuk mencoba memperbaiki kondisi ini. Beberapa contoh misalnya,
menambah jumlah SDM Penilai DJKN, membuat ketentuan cara menilai/memperoleh
nilai kepada Satker, atau bisa juga dengan mendidik serta mensertifikasi pegawai
Satker Pengguna Barang sebagai Penilai. Hal terpenting yang mesti dilakukan adalah
memperbaiki sistem yang ada saat ini melalui peraturan/perundang-undangan yang
secara tegas memenuhi asas-asas dan prinsip pengelolaan Barang Milik Negara.
41
DAFTAR PUSTAKA
Djohansjah, Arvan Carlo. 2009. Polemik Kebijakan Penilaian Dalam Penghapusan
Barang Milik Negara/Daerah Selain Tanah dan/atau Bangunan. Edukasi
Keuangan, edisi 1:43-45.
Ikhsan, Randi. Galau Nilai Limit Lelang.
http://www.bukuiitem.wordpress.com/2012/07/20/galau-nilai-limit-lelang/
(diakses 21 Juli 2012).
Rama, Mas Agus Fajri. 2011. “Tinjauan Atas Pelaksanaan Penghapusan Barang Milik
Negara Berupa Kendaraan Bermotor Dengan Tindak Lanjut Penjualan Secara
Lelang Oleh KPKNL Semarang”. Pengurusan Piutang dan Lelang Negara.
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Tangerang Selatan.
Arrosyid, Moch. Siddiq. 2011. “Evaluasi Atas Penilaian Barang Milik Negara Dalam
Rangka Penghapusan Dengan Tindak Lanjut Pemindahtanganan Pada KPKNL
Jakarta I”. Pengurusan Piutang dan Lelang Negara. Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara. Tanggerang Selatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtangan
Barang Milik Negara.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 31/KM.6/2008 tentang Pelimpahan Sebagian
WewenangPengelolaan Barang Milik Negara Kepada Kepala Kantor Wilayah
dan Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang di Lingkungan
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Untuk dan Atas Nama Menteri
Keuangan Menandatangai Surat dan/atau Keputusan Menteri Keuangan.
Lampiran I