2 · tata ruang. Berbagai bentuk pemanfaatan dan pengelolaan lahan tidak mengindahkan esensi...
Transcript of 2 · tata ruang. Berbagai bentuk pemanfaatan dan pengelolaan lahan tidak mengindahkan esensi...
- 2 -
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Rehabilitasi hutan dan lahan(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5608);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 2);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 96);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62);
8. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- 3 -
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 8);
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 121/P
Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan
Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode 2014-2019;
10. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);
11. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.61/MENHUT-
II/2014 tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan
DAS (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 1267);
12. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P. 18/Menlhk-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);
13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-
II/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan
Pendukung, dan Pemberian Insentif Kegiatan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.39/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2016 tentang
Perubahan atas P.9/Menhut-II/2013 (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 580);
14. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
Nomor 1 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Evaluasi
Pembangunan Nasional (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 313);
15. Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan
Perhutanan Sosial Nomor P.7/DAS-V/2011 tentang
Petunjuk Teknis SSOP Penanggulangan Banjir dan Tanah
Longsor;
16. Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran
Sungai dan Hutan LindungNomor P.8/PDASHL/SET/
- 4 -
KUM.1/11/2016 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan;
17. Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran
Sungai dan Hutan Lindung Nomor P.10/PDASHL/SET/
KUM.1/8/2017 Petunjuk Teknis Penyusunan Peta
Daerah Aliran Sungai Skala 1:50.000 dan Peta Rawan
Erosi;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG TENTANG
PETUNJUK TEKNIS ANALISIS DAMPAK (IMPACT
ASSESSMENT) KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN.
Pasal 1
Petunjuk Teknis Analisis Dampak (Impact Assessment)
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebagaimana
tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian
DAS dan Hutan Lindung ini.
Pasal 2
Petunjuk Teknis Analisis Dampak (Impact Assessment)
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan merupakan petunjuk
teknis bagi Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan
Lindung dan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal
Pengendalian DAS dan Hutan Lindung dalam pelaksanaan
kegiatan analisis dampak (impact assessment) kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan.
- 6 -
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG NOMOR
TENTANG PETUNJUK TEKNIS ANALISIS DAMPAK (IMPACT ASSESSMENT) KEGIATAN
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
berfungsi menampung dan menyimpan air hujan serta selanjutnya
mengalirkannya ke laut/danau/rawa melalui outlet. Proses pergerakan air
tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi berbagai atribut ruang yang ada,
sehingga penataan ruang berbasis DAS merupakan kebutuhan.
Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan
timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan
segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem
serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara
berkelanjutan.
DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan
lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di
dalamnya terdapat keseimbangan masukan dan keluaran dari material
dan energi. Bagian hulu dan hilir DAS mempunyai keterkaitan biofisik
melalui daur hidrologi.
- 7 -
Gambar 1. Siklus Hidrologi (Permenhut Nomor P.61/Menhut-II/2014)
Aktivitas perubahan tata guna lahan dan/atau teknik konservasi
yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah
hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transport sedimen
serta material terlarut lainnya. Adanya bentuk keterkaitan daerah hulu
hilir seperti tersebut di atas, maka kondisi suatu DAS dapat digunakan
sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam termasuk
pembangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan kehutanan di Indonesia saat ini dihadapkan pada
tantangan besar yaitu menurunnya kualitas sumber daya hutan dan
tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang relatif rendah.
Pada dekade terakhir ini permasalahan lingkungan semakin meningkat
akibat perubahan iklim dan lingkungan yang semakin ekstrim.
Pemanasan global, penyebaran musim penghujan dan musim kemarau
yang semakin sulit diprediksi merupakan dampak negatif dari terjadinya
perubahan iklim. Akibat lanjutan dari perubahan iklim yang semakin
ekstrim adalah frekuensi maupun penyebaran kerusakan lingkungan
semakin meningkat dan menimbulkan kerugian material maupun non
material yang meningkat pula.
Kerusakan alam yang terjadi akhir-akhir ini dan sering kita saksikan
di berbagai media adalah banjir dan tanah longsor. Kejadian ini tidak
serta merta dengan sendirinya terjadi, namun dapat dipastikan ada
penyebabnya. Faktor-faktor penyebab terjadinya bencana banjir dan
tanah longsor dibagi dua, yaitu faktor alam dan perbuatan manusia,
penjelasannya sebagai berikut:
- 8 -
1. Curah hujan yang tinggi
Hujan yang turun dalam waktu lama dan sering adalah faktor utama
sering terjadinya banjir. Air hujan akan mengalir memenuhi
kapasitas pengaliran/sungai-sungai, sehingga luapan tersebut
menyebabkan limpasan atau yang lebih dikenal dengan banjir. Curah
hujan yang tinggi akan mempengaruhi tanah dalam infiltrasinya,
sehingga apabila sudah mendekati kejenuhan penyimpanan air,
tanah akan cenderung mudah terlepas ikatan struktur tanahnya.
Dampak lain yang diakibatkan adalah terjadinya tanah longsor.
2. Sifat Material Mudah Tererosi (Jenis Tanah)
Tingkat erosi rerata tahunan di Indonesia lebih dari 250 ton/km²
(Morgan, 2005). Kondisi tersebut berdampak ke multi aspek, seperti
penurunan tingkat kesuburan tanah, rusaknya berbagai
infrastruktur pengairan dan transportasi akibat sedimentasi,
meningkatnya potensi banjir akibat berkurangnya kapasitas tampung
sungai oleh sedimentasi, serta dampak lebih jauhnya adalah
terganggunya penghidupan masyarakat.
3. Kondisi Fisiografis Wilayah
Erosi dan limpasan pada dasarnya merupakan gravitatif processes,
sehingga dikontrol kuat oleh faktor kemiringan lereng. Konfigurasi
kemiringan lereng tersebut membentuk fisiografis wilayah yang
rentan terhadap proses denudasional aktif berupa erosi dan limpasan
yang cenderung eskalatif. Proses eskalasi tersebut menyebabkan
terjadinya banjir dan tanah longsor cukup massif di berbagai wilayah
Indonesia akhir-akhir ini.
4. Penggunaan dan Pengelolaan Lahan yang Tidak Sesuai (Improper
Land Use and Land Management).
Fakta menunjukkan bahwa banyak ditemui berbagai bentuk
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kriteria-kriteria normatif
tata ruang. Berbagai bentuk pemanfaatan dan pengelolaan lahan
tidak mengindahkan esensi keberlanjutan daya dukung sumberdaya
setempat (on site) maupun daerah terdampak (affected area).
Sebagian besar hasil kajian ilmiah menunjukkan bahwa hal tersebut
menjadi faktor dominan yang mengakselerasi bencana
hidrometeorologis yang terjadi dan menimbulkan banyak korban jiwa
dan material.
- 9 -
5. Alih Fungsi Hutan
Hutan berfungsi sangat penting dalam transformasi hujan menjadi
limpasan dan tampungan air tanah (groundwater storage).
Kemampuan hutan tersebut menempatkan hutan sebagai salah satu
atribut lahan yang berperan penting dalam “regulasi” air. Alih fungsi
hutan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya menyebabkan
kemampuan regulasi tersebut mengalami penurunan signifikan.
Berbagai bencana hidrometeorologis yang terjadi disebabkan oleh
tereduksinya peran regulasi tersebut, sehingga terdapat akumulasi
energi dan volume air sebagai geomorphic agent yang merubah rona
wilayah dalam konteks DAS.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki peranan penting,
terutama dalam pemantauan bencana banjir, tanah longsor dan
kekeringan. Pada DAS-DAS prioritas dan rawan bencana, sangat
diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk mengantisipasi kejadian
bencana yang tidak diinginkan. Metode pengendalian bencana banjir dan
tanah longsor berdasarkan satuan analisa DAS menawarkan dua
pendekatan, berupa pendekatanvegetatif (penanaman) dan sipil
teknis/konservasi tanah (sumur resapan, embung, dam penahan, dam
pengendali, gully plug). Selain itu, metode tersebut juga berperan sebagai
sarana untuk mencapai salah satu tujuan dari pengelolaan DAS, yaitu
tata air DAS yang optimal, baik secara kuantitas, kualitas dan kontinuitas
dalam distribusi ruang dan waktu.
Banjir dalam bahasa populer biasanya diartikan sebagai
aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan
menyebabkan kehilangan jiwa. Banjir dalam istilah teknis adalah aliran
air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai, dan
dengan demikian, aliran air sungai tersebut akan melewati tebing sungai
dan menggenangi daerah di sekitarnya. Penyebab banjir adalah faktor
alam dan faktor manusia/sosial. Faktor alam diantaranya erosi dan
sedimentasi, curah hujan yang tinggi, karakteristik DAS, kapasitas
pengaliran, pengaruh pasang, amblesan tanah. Faktor manusia/sosial
antara lain deforestasi, degradasi lahan, pemukiman, peladang berpindah,
tata ruang dan alih fungsi lahan.
Pengendalian banjir dapat dilakukan melalui upaya-upaya seperti
meminimalisasi limpasan permukaan yang terjadi ketika hujan,
membatasi pemompaan air tanah yang menyebabkan penurunan muka
- 10 -
tanah. Dua metode pengendalian banjir yakni metode struktur dan non
struktur. Pengelolaan DAS, pengaturan tata guna lahan, pengendalian
erosi, pengembangan dan pengaturan daerah banjir, penanganan kondisi
darurat, peramalan dan sistem peringatan banjir, law enforcement, dan
penyuluhan pada masyarakat merupakan beberapa contoh dari metode
non struktur. Bidang lingkungan hidup dan kehutanan dapat melakukan
upaya pengendalian banjir melalui infrastruktur hijau (green
infrastructure). Green Infrastructure adalah pembangunan sarana dan
prasarana yang direncanakan secara strategis dengan memperhitungkan
ketersediaan ruang terbuka hijau yang berkualitas serta elemen
lingkungan lainnya. Desain dan manajemen dalam Green Infrastructure
memperhatikan dan meningkatkan fungsi kawasan serta
mempertahankan keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Pengembangan
green infrastructure salah satunya dengan cara membangun green
building. Contoh upaya pengendalian banjir yaitu kegiatan vegetatif
(penanaman) di daerah hulu dan kegiatan sipil teknis/konservasi tanah
air. Bidang lainnya bisa melakukan upaya perbaikan infrastruktur seperti
pembangunan atau perbaikan bangunan pengendali banjir
(bendungan/waduk, checkdam) dan sistem perbaikan dan pengaturan
sungai.
Analisis dampak (impact assessment) merupakan suatu proses
identifikasi konsekuensi atau dampak yang mungkin terjadi atau yang
perlu diantisipasi di masa depan akibat dari adanya suatu usulan
kebijakan pembangunan. Suatu usulan kebijakan pembangunan dapat
memberikan dampak pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Analisis dampak pembangunan
pada intinya memiliki maksud untuk mengevaluasi pembangunan yang
diusulkan dari berbagai aspek dan kepentingan, baik dari segi dampak
ekonomi, dampak sosial dan dampak lingkungan serta dampak lainnya
yang terkait. Dengan adanya Analisis dampak pembangunan, diharapkan
adanya sebuah penilaian objektif yang dapat membantu untuk
menghindari terciptanya ketimpangan pada aspek tertentu serta
mendorong dampak positif dari pembangunan.
Secara umum, kegiatan Analisis dampak pembangunan memiliki
tujuan sebagai berikut:
1. Menyediakan informasi sebagai pertimbangan dalam pembuatan
keputusan;
- 11 -
2. Meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam
pembuatan keputusan;
3. Mengidentifikasi proses dan metode untuk mengantisipasi dampak
merugikan dari sebuah usulan program pembangunan;
4. Sarana kontribusi dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.
Analisis dampak pembangunan dalam pelaksanaannya dapat
dilakukan sebelum pelaksanaan program (ex-ante), sesudah pelaksanaan
program (ex-post), maupun pada saat berjalannya pelaksanaan program.
Penilaianex-antememprediksi potensi dampak dari sebuah usulan
program pembangunan, sebagai dasar dalam perumusan mitigasi atau
langkah penanganan dampak tersebut. Untuk beberapa usulan kebijakan
tertentu, digunakan beberapa bentuk Analisis dampakex-antesebagai
syarat dalam proses persetujuan usulan program kebijakan, seperti
analisis dampak lingkungan dan analisa pembiayaan (cost-benefit
analysis). Sedangkan penilaian ex-post mengidentifikasi dampak aktual
yang terjadi selama dan setelah pelaksanaan program. Karena
dilaksanakan setelah program berjalan, penilaian ini digunakan sebagai
bahan untuk merumuskan langkah perbaikan (jika diperlukan) dan juga
dapat berfungsi untuk memberi masukan untuk perbaikan program
kedepannya. Penilaian dampak ex-post dapat dilakukan pada berbagai
jenis program kebijakan untuk memberikan informasi yang lebih
menyeluruh dari informasi yang didapatkan melalui monitoring dan
evaluasi (monev) secara rutin.
Sumberdaya yang besar telah dialokasikan untuk pemulihan
kerusakan hutan dan lahan dengan intervensi kegiatan Rehabilitasi hutan
dan lahan (RHL). Dampak dari perlakuan tersebut bersifat variatif
menurut dimensi ruang (spasial). Mengingat variasi kondisi spasial di
Indonesia sangat tinggi, maka perlu dinilai kemanfaatan perlakuan
tersebut menurut kondisi fisik spesifik wilayah. Penilaian tersebut
dilakukan pada fase awal sebelum kegiatan dilaksanakan. Hasil penilaian
awal (preliminary assessment) diharapkan menjadi gambaran obyektif
tingkat efektifitas sebuah intervensi.Hal tersebut perlu dilakukan, karena
efektifitas dan efisiensi menjadi pertimbangan penting dalam alokasi
sumberdaya pembangunan.
Pelaksanaan penilaian tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan instrumen dan database yang telah tersedia dan bersifat
pengembangan dari sistem yang ada dan sudah terbangun. Pada dasarnya
- 12 -
aspek pengendalian limpasan dan proteksi tanah menjadi pertimbangan
dalam formulasi kegiatan ini, dan menjadi tolak ukur keberhasilan
program RHL yang akan dilaksanakan. Laju erosi, tingkat rasio
penghantaran sedimen, koefisien limpasan, serta kapasitas penampungan
kegiatan RHL berdasarkan rancangan yang dibuat adalah database dan
instrumen yang digunakan dalam penilaian ini.
Dalam rangka untuk mengetahui seberapa besar dampak yang
ditimbulkan dari kegiatan RHL, maka perlu adanya Analisis dampak
kegiatan RHL serta pengaruhnya terhadap pengelolaan DAS yang ada,
sehingga ke depan dapat disusun simulasi pembangunan yang menuju
pengelolaan DAS yang lebih baik.
B. Maksud dan Tujuan
Maksud dari pembuatan petunjuk teknis ini sebagai acuan Direktorat
Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung dalam pelaksanaan
Analisis dampak (Impact Assessment) kegiatan RHL, sebagai salah satu
cara untuk meningkatkan kualitas outcome kegiatan pengelolaan DAS
selanjutnya.
Pembuatan petunjuk teknis ini bertujuan agar Analisis dampak
(Impact Assessment) kegiatan RHL yang disusun mempunyai kesamaan
konsep dan lebih akurat, sehingga hasilnya dapat menjadi bahan
perbaikan kebijakan, perencanaan dan kegiatan pengelolaan DAS
selanjutnya.
C. Sasaran
Sasaran dari Petunjuk teknis analisis dampak (impact assessment)
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah UPT Direktorat Jenderal
PDASHL di seluruh Indonesia.
D. Pengertian
1. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang
batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan.
- 13 -
2. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan
timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS
dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian
ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi
manusia secara berkelanjutan.
3. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa
depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan
sumber daya yang tersedia.
4. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih
kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk
mencapai sasaran dan tujuan yang disertai penyediaan alokasi
anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh
instansi pemerintah.
5. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu
atau beberapa satuan kerja sebagai bagian untuk pencapaian sasaran
yang terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan
tindakan pengerahan sumber daya untuk menghasilkan keluaran
(output) dalam bentuk barang/jasa.
6. Input adalah sumber daya yang diperlukan untuk melakukan
kegiatan yang diperlukan dalam rangka untuk menghasilkan
keluaran (output).
7. Output atau Sasaran Kegiatan adalah barang atau jasa yang
dihasilkan oleh suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung
pencapaian sasaran dan tujuan kebijakan/program.
8. Outcome atau Sasaran Program adalah segala sesuatu yang
dihasilkan dari suatu program yang mencerminkan berfungsinya
keluaran dari kegiatan-kegiatan.
9. Impact (dampak) adalah perubahan jangka panjang pada masyarakat
yang ingin dituju sebagai akibat dari pelaksanaan pembangunan.
10. Pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan
rencana pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi
permasalahan yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat
diambil tindakan sedini mungkin.
11. Evaluasi adalah penilaian yang sistematis dan objektif atas desain,
implementasi dan hasil dari intervensi yang sedang berlangsung atau
yang telah selesai.
- 14 -
12. Analisis dampak (impact assessment) merupakan suatu proses
identifikasi konsekuensi atau dampak yang mungkin terjadi atau
yang perlu diantisipasi di masa depan akibat dari adanya suatu
usulan kebijakan pembangunan.
13. Banjir adalah debit aliran sungai yang secara relatif lebih besar dari
biasanya akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat
tertentu secara terus menerus, sehingga air limpasan tidak dapat
ditampung oleh alur/palung sungai yang ada, maka air melimpah
keluar dan menggenangi daerah sekitarnya.
14. Lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan
hutan yang telah menurun fungsinya sebagai unsur produksi dan
media pengatur tata air DAS.
15. Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah
upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan
fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan
peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap
terjaga.
16. Konservasi tanah dan air adalah upaya perlindungan, pemulihan,
peningkatan dan pemeliharaan Fungsi Tanah pada Lahan sesuai
dengan kemampuan dan peruntukan Lahan untuk medukung
pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari.
17. Konservasi tanah adalah upaya penempatan setiap bidang tanah pada
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat- syarat yang diperlukan
agar tidak terjadi kerusakan tanah sehingga dapat mendukung
kehidupan secara lestari.
18. Infrastruktur hijau (green infrastructure) adalah pembangunan sarana
dan prasarana yang direncanakan secara strategis dengan
memperhitungkan ketersediaan ruang terbuka hijau yang berkualitas
serta elemen lingkungan lainnya.
19. Limpasan permukaan adalah aliran air yang mengalir di atas
permukaan karena penuhnya kapasitas infiltrasi tanah.
20. Penutupan lahan merupakan garis yang menggambarkan batas
penampakan area tutupan di atas permukaan bumi yang terdiri dari
bentang alam dan/atau bentang buatan atau penutupan lahan dapat
pula berarti tutupan biofisik pada permukaan bumi yang dapat
diamati dan merupakan hasil pengaturan, aktivitas, dan perlakuan
- 15 -
manusia yang dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk
melakukan kegiatan produksi, perubahan, ataupun perawatan pada
areal tersebut.
21. Erosi adalah pindahnya atau terangkutnya material tanah atau
bagian-bagian tanah dari satu tempat ke tempat lain oleh media
alami, contohnya air.
22. Banjir limpasan adalah sebaran wilayah yang merupakan
penyumbang banjir ke wilayah terdampak (affected area).
- 16 -
BAB II
ALAT DAN DATA YANG DIGUNAKAN
Alat yang digunakan dalam kegiatan Analisis dampak (impact
assessment) Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tersebut mencakup
perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan bahan-bahan.
Hardware dan software yang perlu disiapkan untuk penyusunan data spasial
lahan kritis antara lain:
1. Seperangkat komputer dengan spesifikasi sistem operasi yang sesuai,
prosesor dengan kapasitas setara dengan intel Pentium core i-7,
RAM/memori 16 GB, kapasitas Hard Disk 1 TB dan plotter.
2. Perangkat lunak (software) Sistem Informasi Geografis (SIG), software
terkini pengolah data Sistem Informasi Geografis (SIG) penginderaan jauh
dan Global Positioning System (GPS).
Bahan yang diperlukan dalam kegiatan tersebut terdiri atas peta dan
data sekunder diantaranya:
1. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 dari Badan Informasi
Geospasial.
2. Peta Daerah Aliran Sungai hasil analisa sesuai Peraturan Direktur
Jenderal PDASHL Nomor P.10/PDASHL/SET/KUM.1/8/2017.
3. Penutupan lahan time series dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan
dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
4. Peta kawasan hutan dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan
Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
5. Peta lereng hasil analisa dari peta rupa bumi Indonesia skala 1:50.000
dari Badan Informasi Geospasial.
6. Peta rawan erosi hasil analisa sesuai Peraturan Direktur Jenderal
PDASHL Nomor P.10/PDASHL/SET/KUM.1/8/2017.
7. Citra penginderaan jauh resolusi tinggi dari Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN).
8. Data Curah Hujan time series dari Badan Meteorologi dan Geofisika.
9. Data realisasi kegiatan RHL (vegetatif dan sipil teknis) time series.
10. Data rencana kegiatan RHL (vegetatif dan sipil teknis) time series.
- 17 -
BAB III
METODE IMPACT ASSESSMENT
Evaluasi kebijakan strategis merupakan penilaian secara menyeluruh,
sistematis dan obyektif terkait aspek relevansi, efisiensi, efektivitas, dampak,
dan keberlanjutan dari pelaksanaan kebijakan/program dengan menunjukkan
hubungan sebab-akibat akan kegagalan atau keberhasilan pelaksanaan
kebijakan/program. Evaluasi kebijakan strategis/program besar dilakukan
untuk memberikan informasi yang dapat dipercaya/kredibel, bermanfaat dan
mampu untuk memberikan pembelajaran ke dalam proses pengambilan
keputusan terkait perencanaan dan penganggaran.
a. Relevansi
Relevansi melihat sejauh mana tingkat kesesuaian antara tujuan
kebijakan/program dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kegiatan
RHL yang telah dilaksanakan tersebut sudah sesuaikah antara tujuan
kebijakan program dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
b. Efisiensi
Efisiensi fokus kepada hubungan antara kegiatan, output (produk dan
layanan), dan hasil yang diinginkan dengan sarana yang digunakan.
Dinilai dengan menggunakan pertanyaan apakah untuk mencapai hasil
yang diinginkan telah menggunakan input berupa sumber daya dan dana
(keuangan, SDM, waktu, dan lain-lain) serendah mungkin dan proses
yang paling efisien. Efisiensi dapat dilakukan melalui pengukuran efisiensi
biaya dan efisiensi kinerja.
c. Efektifitas
Menggambarkan ketepatan hasil yang telah dicapai sesuai dengan target
dan manfaat yang diharapkan dan seberapa jauh hasil pencapaian
tersebut telah ditindaklanjuti
d. Dampak
Dampak merupakan kondisi perubahan pada masyarakat sebagai hasil
dari pencapaian pelaksanaan kebijakan/program dan akibat-akibat lain
yang terjadi baik positif maupun negatif sebagai konsekuensi dari
keberadaan kebijakan/program. Analisis dampak biasanya dilakukan
terhadap kebijakan strategis/program besar
e. Keberlanjutan
Keberlanjutan melihat sejauh mana manfaat yang dihasilkan oleh
kebijakan/program berlanjut setelah intervensi kebijakan/program
- 18 -
berakhir, dan apa yang terjadi atau mungkin terjadi sebagai efek positif
dari kebijakan/program.
1. Metode pelaksanaan Impact assessment
Metode Analisis dampak (Impact Assessment) kegiatan RHL yang
akan dilakukan adalah analisis dampak terhadap Pengelolaan DAS/Sub
DAS untuk mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari
kegiatan RHL, yaitu dengan mengetahui nilai debit puncak, erosi, dan
sedimentasi.
Metode penentuan Impact assessment melalui 3 tahapan kegiatan,
seperti terlihat pada gambar di bawah ini:
Bahan Proses Hasil
Gambar 3.1. Prosedur Analisis dampak (impact assessment) Kegiatan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Tahapan kegiatan dalam prosedur penentuan Impact assessment
adalah tahap pengumpulan bahan, tahap pengolahan data (proses) dan
tahap pemberian analisis hasil. Penjelasan dari 3 tahapan kegiatan
tersebut adalah sebagai berikut:
A. Tahap Pengumpulan Bahan
Pada tahapan ini, dilakukan pengumpulan bahan berupa data dan
peta yang akan digunakan dalam menghitung impact assessment adalah :
1. Peta RBI skala 1:50.000 untuk perhitungan morfometri DAS.
2. Peta DAS skala 1:50.000 sebagai batasan wilayah kajian.
Morfometri DAS
Peta Erosi
A = R.K. LS.C.P
1. Perhitungan Debit Puncak
kondisi awal tutupan lahan
pada t awal.
2. Perhitungan Debit Puncak
kondisi Tutupan lahan pada
t progam berjalan.
3. Perhitungan Debit Puncak
kondisi Tutupan lahan pada
t akhir.
4.
Impact
assessment
Kegiatan RHL
untuk
pengendalian
debit puncak,
erosi, &
sedimentasi
Pengaruh
perubahan
tutupan lahan
Kegiatan RHL
terhadap debit,
erosi &
sedimentasi
dalam DAS
Peta Tutupan Lahan
Peta DAS
DataHujan
Peta RBI
Peta Kegiatan
RHL
1. Perhitungan Erosi &
sedimentasi kondisi
tutupan lahan pada t awal.
2. Perhitungan Erosi &
sedimentasi kondisi
Tutupan lahan pada t
progam berjalan.
3. Perhitungan Erosi &
sedimentasi kondisi
Tutupan lahan pada t akhir.
- 19 -
Peta Daerah Aliran Sungai hasil analisa sesuai Peraturan Direktur
Jenderal PDASHL Nomor P.10/PDASHL/SET/KUM.1/8/2017.
3. Peta Tutupan Lahan skala 1 : 250.000 time series.
Penutupan lahan dapat pula berarti tutupan biofisik pada
permukaan bumi yang dapat diamati dan merupakan hasil pengaturan,
aktivitas, dan perlakuan manusia yang dilakukan pada jenis penutup
lahan tertentu untuk melakukan kegiatan produksi, perubahan, ataupun
perawatan pada areal tersebut (SNI 7645, 2010).
Pemetaan tutupan lahan kali pertama dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan menggunakan data
satelit sejak tahun 1990-an (landsat). Sistem pemetaan pertama kali
dilakukan pada tahun 2000 dan diperbarui setiap tiga tahun. Sampai
sekitar tahun 2006, jika data Landsat belum siap atau tidak memenuhi
karena berbagai kendala maka digunakan data alternatif misalnya SPOT
Vegetation 1000 meter dan MODIS 250 meter.
Data Landsat yang tersedia secara gratis sebanyak kurang lebih 23
scene setiap tahun pada setiap lokasi memudahkan untuk mengubah
pemantauan tiga tahunan menjadi tahunan. Sampai saat ini, data
penutupan lahan yang tersedia adalah tahun 1990, 1996, 2000, 2003,
2006, 2009, 2011, 2012, 2013, 2014, 2015.
Penutupan lahan skala nasional memiliki 23 kelas penutupan lahan
dengan 7 kelas penutupan hutan dan 16 kelas penutupan bukan hutan.
Penetapan standar kelas ini didasarkan pada pemenuhan kepentingan di
lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara khusus
dan institusi-institusi terkait tingkat nasional secara umum (SNI 7645-
2010).
- 20 -
Tabel 3.1. Kelas Penutupan Lahan
No Kode Toponimi Keterangan
1 2001 Hp Hutan Lahan Kering Primer
2 2002 Hs Hutan Lahan Kering Sekunder
3 2004 Hmp Hutan Mangrove Primer
4 2005 Hrp Hutan Rawa Primer
5 20041 Hms Hutan Mangrove Sekunder
6 20051 Hrs Hutan Rawa Sekunder
7 2006 Ht Hutan Tanaman
8 2007 B Belukar
9 2010 Pk Perkebunan
10 2012 Pm Pemukiman
11 2014 T Tanah Terbuka
12 2500 Aw Awan
13 3000 S Savana/Padang rumput
14 5001 A Badan Air
15 20071 Br Belukar Rawa
16 20091 Pt Pertanian Lahan Kering
17 20092 Pc Pertanian Lahan Kering Campur
18 20093 Sw Sawah
19 20094 Tm Tambak
20 20121 Bdr Bandara/ Pelabuhan
21 20122 Tr Transmigrasi
22 20141 Pb Pertambangan
23 50011 Rw Rawa
4. Peta Kegiatan RHL time series
Peta Kegiatan RHL sesuai wilayah kerja BPDASHL yang
termasuk dalam wilayah kajian DAS.
5. Peta erosi dan data pendukungnya
Erosi merupakan fenomena hilang atau terkikisnya tanah
atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang terangkut oleh
media alami (air dan angin) ke tempat lain. Erosi terjadi
disebabkan oleh faktor yang meliputi iklim, topografi, tanah,
vegetasi dan pengelolaan lahan (Arsyad, 2012). Dampak proses
erosi banyak dikaji dari lokasi pengaruh dampak tersebut yaitu
dampak secara langsung (on-site) dan dampak secara tidak
langsung (off-site).
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya erosi tanah
adalah iklim, topografi, vegetasi, tanah dan manusia. Secara
alami tanpa campur tangan manusia erosi dapat berjalan, tapi
prosesnya seimbang dengan proses pembentukan tanah.
Dampak yang ditimbulkan oleh adanya erosi dapat meliputi dua
- 21 -
daerah yaitu dampak pada sumber kejadian erosi dan di daerah
bawahnya (hilir), yaitu kemunduran produktivitas tanah,
berkurangnya aliran air sungai-sungai dan mata air pada musim
kemarau, sumber air dikotori oleh pelumpuran akibat terkikisnya
tanah, meningkatnya bahaya banjir baik frekuensi maupun
besarnya banjir. Dalam hal ini disebabkan oleh pendangkalan
sungai, saluran pembuangan sungai, muara sungai dan waduk
akibat pendangkalan sedimen hasil kikisan tanah sebelah hulu.
Perhitungan erosi tahunan rata-rata dilakukan secara time
series sebelum kegiatan RHL, setelah kegiatan RHL dan prediksi
setelah ada perencanaan kegiatan RHL.
B. Tahap Pengolahan Data
Pada tahapan ini, dilakukan pengolahan data-data yang telah
dikumpulkan, sebagai berikut :
1. Morfometri DAS
1.1. Luas DAS/Drainage Area (A)
Luas DAS merupakan karakteristik DAS yang paling
penting dalam pemodelan berbasis DAS. Luas DAS
mencerminkan volume air yang dapat dihasilkan dari curah
hujan yang jatuh di daerah tersebut. Curah hujan yang konstan
dan seragam untuk seluruh DAS merupakan asumsi yang
umum dalam pemodelan hidrologi.
DAS dibatasi oleh igir pegunungan yang berfungsi sebagai
batas (river divide) dan akhirnya mengalirkan air hujan yang
bertemu pada satu outlet. Akibatnya, semakin luas suatu DAS,
hasil akhir (water yield) yang diperoleh akan semakin besar,
karena hujan yang ditangkap juga semakin banyak.
Cara menghitung luas DAS:
1) Menghitung luas DAS dengan cara menampilkan pada
kertas millimeter grafis (grid berukuran 1 cm x 1 cm). Luas
DAS adalah jumlah kotak tercakup, dikalikan unit kotak,
kemudian dikalikan skala peta.
2) Menggunakan Planimeter.
3) Menggunakan Sistem Informasi Geografis.
- 22 -
Gambar 3.2. Ilustrasi Perhitungan Luas DAS
1.2. Panjang DAS/Watershed Length (L)
Panjang DAS didefinisikan sebagai jarak yang diukur
sepanjang sungai utama dari outlet hingga batas DAS. Sungai
biasanya tidak akan mencapai batas DAS, sehingga perlu
ditarik garis perpanjangan mulai dari ujung sungai hingga
batas DAS dengan memperhatikan arah aliran. Meskipun
daerah pengaliran dan panjang DAS merupakan ukuran dari
DAS tetapi keduanya mencerminkan aspek ukuran yang
berbeda. Luas DAS digunakan sebagai indikasi potensi hujan
dalam menghasilkan sejumlah volume air, sedangkan panjang
DAS biasanya digunakan dalam perhitungan waktu tempuh
yang dibutuhkan oleh air untuk mengalir di dalam DAS.
Panjang sungai terpanjang dalam DAS diukur dari outlet ke
sumber asal air, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3, dari
titik O sampai H (OH). Sedangkan OS adalah panjang sungai
utama (induk).
- 23 -
Gambar 3.3. Penentuan sungai utama dalam DAS
1.3. Perbedaan Tinggi DAS
Elevasi rata – rata dan variasi ketinggian pada suatu DAS
merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap
temperatur dan pola hujan, khususnya pada daerah – daerah
dengan topografi bergunung. Ketinggian suatu tempat dapat
diketahui dari peta topografi, diukur dilapangan atau melalui
foto udara, jika terdapat salah satu titik kontrol sebagai titik
ikat. Hubungan antara elevasi dengan luas DAS dapat
dinyatakan dalam bentuk hipsometrik (Hypsometric Curve).
Perhitungan ketinggian rata – rata DAS ditunjukkan pada
gambar berikut:
- 24 -
Gambar 3.4. Perhitungan Tinggi Rata – rata DAS
Gambar 3.5. Kurva Hipsometrik suatu DAS (Avery, 1975)
1.4. Kemiringan DAS/Watershed Slope (S)
Banjir merupakan besaran yang mencerminkan
momentum runoff dan lereng merupakan faktor penting dalam
momentum tersebut. Lereng DAS mencerminkan tingkat
perubahan elevasi dalam jarak tertentu sepanjang arah aliran
utama. Lereng diukur berdasarkan perbedaan elevasi (Δh)
antara kedua ujung sungai utama dibagi dengan panjang DAS
atau dapat dituliskan dalam persamaan:
S = Δh/L
- 25 -
Beda elevasi (Δh) tidak selalu menjadi atau mencerminkan
beda elevasi maksimum dalam DAS. Elevasi tertinggi biasanya
terdapat sepanjang batas DAS dan ujung dari sungai atau
aliran utama umumnya tidak mencapai batas DAS.
Salah satu cara menghitung gradien sungai rata – rata
adalah dengan factor lereng (slope factor) yang dikembangkan
oleh Benson (1962) yaitu dengan menghitung lereng saluran
antara 10% dan 85% jarak dari outlet seperti ditujukkan pada
Gambar 3.6.
Gambar 3.6. Penaksiran 85 – 10 slope factordan profile
curvature- indeks.
Keterangan:
Jarak O – Z = Lb adalah panjang sungai utama
Jarak OB = (0,1)Lb dan OA – (0,85) Lb
Gradien Sungai (Su) = (H85-H10)/(0,75)Lb
2. Kapasitas Pengaliran
Perhitungan kapasitas pengaliran dilakukan dengan
menghitung debit maksimum (Qmaks) di lapangan yang dapat
dilakukan di mulut sungai pada DAS atau Sub-DAS, dengan
menggunakan Rumus Manning.
- 26 -
Gambar 3.7. Penampang alur sungai dalam perhitungan
Metode Manning (Suyono, 2006).
Adapun rumus yang digunakandapat dinyatakan sebagai
berikut:
Qmaks = 1/n . R2/3. S1/2. A.
Keterangan: Qmaks = Debit maksimum (banjir puncak)(m3/detik), A = Luas penampang sungai (m2),
n = Koefisien kekasaran dasar sungai rata-rata, S = Kemiringan hidrolis muka air sungai pada saat banjir
maksimum terjadi dengan melihat tanda-tanda pada saat
terjadi banjir maksimum (%), R = Jari-jari hidrolis penampang sungai (m), dengan
keterangan R = A/p dan p = perimeter basah penampang sungai.
Gambar 3.8. Penampang vertikalsungai (Asdak, 2010)
Pengukuran debit maksimum (Qmaks) dengan Rumus atau
Metode Manning untuk digunakan untuk dibandingkan dengan hasil
pengukuran debit puncak dengan menggunakan Rumus Rasional.
- 27 -
Pengukuran debit maksimum (Qmaks) dengan menggunakan Metode
Manning dilakukan pada suatu penampang sungai pada mulut DAS
atau Sub DAS. Nilai koefisien kekasaran Manning yang sering dipakai
dalam perencanaan praktis adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2. Nilai koefisien kekasaran Manning (n)
No Tipe saluran dan jenis bahan Harga n
Maksimum Normal Minimum
1 Beton
- Gorong-gorong lurus dan bebas dari
kotoran
0,010 0,011 0,013
- Gorong-gorong dengan lengkungan
dan sedikit kotoran/gangguan
0,011 0,013 0,014
- Beton dipoles 0,011 0,012 0,014
- Saluran pembuang dengan bak kontrol 0,013 0,015 0,017
2 Tanah lurus dan seragam
- Bersih baru 0,016 0,018 0,020
- Bersih telah melapuk 0,018 0,022 0,025
- Berkerikil 0,022 0,025 0,030
- Berumput pendek, sedikit tanaman
pengganggu
0,022 0,027 0,033
3 Saluran Alam
- Bersih lurus 0,025 0,030 0,033
- Bersih, berkelok-kelok 0,033 0,040 0,045
- Banyak tanaman pengganggu 0,050 0,070 0,080
- Dataran banjir berumput pendek-tinggi
0,025 0,030 0,035
- Saluran di belukar 0,035 0,050 0,070
3. Debit Puncak (Qp)
Perhitungan debit puncak (banjir puncak, debit maksimum)
dilakukan pada outlet sungai dari DAS ataupun Sub DAS, diestimasi
berdasarkan pada nilai koefisien aliran(C), intensitas hujan(I) yang
lamanya sama dengan waktu konsentrasi (tc), dan luas DAS (A).
Intensitas hujan dihitung sama dengan lamanya waktu konsentrasi
(tc) yang dihitung berdasarkan panjang DAS dan parameter
morfometri DAS lainnya. Perhitungan debit puncak (Qp) dapat
dihitung dengan menggunakan Rumus Rasional sebagai berikut:
- 28 -
Qp = f. C. I. A.
Keterangan:
Qp = Debit puncak (banjir puncak, debit maksimum,Q), (m3/detik), C = Koefisien aliran, besarnya ditentukan berdasarkan penutupan
lahan (dilihat dari tabel),
f = Faktor konversi 0,278 untuk luas DAS/Sub-DAS (km2),dan 0,00278 untuk luas DAS/Sub-DAS (ha),
I = Intensitas hujan yang lamanya sama dengan waktu konsentrasi
(tc) (mm/jam), A = Luas DAS (km2 atau ha).
Metode Rasional di atas dikembangkan berdasarkan asumsi
bahwa hujan yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan merata
di seluruh DASlamanya sama dengan waktu konsentrasi (tc) DAS,
Periode ulang debit sama dengan periode ulang hujan, koefisien
alirandari DAS yang sama adalah tetap untuk berbagai periode ulang.
Metode Rasional digunakan untuk menghitung debit
puncakdengan ketentuan untuk luas DAS<300 ha (Coldman,1986,
dalam Suripin, 2004). Jika ukuran DAS> 300 ha, maka perlu dibagi
menjadi beberapa bagian sub DAS kemudian Rumus Rasional
diaplikasikan pada masing-masing sub DAS (Asdak, 2010). Metode
Rasional banyak digunakan untuk memperkirakan debit puncak
yang ditimbulkan oleh hujan deras pada DAS kecil, dengan luas DAS
<2,5 Km2 (Ponce,1989, dalam Triatmodjo, 2008). Metode Rasional
digunakan pada luas DAS< 5000 Ha (Departemen PU, SKSNI M-l8-
1989-F). Montarcih (2009) menjelaskan jika luas DAS>5000 Ha maka
koefisien aliran (C) bisa dipecah-pecah sesuai tata guna lahan dan
luas lahan yang bersangkutan. Suripin (2004) menjelaskan
penggunaan Metode Rasional pada DAS dengan beberapa sub DAS
dapat dilakukan dengan pendekatan nilai C gabungan atau C rata-
rata dan intensitas hujan dihitung berdasarkan waktu konsentrasi
yang terpanjang.
3.1. Koefisien Aliran (C)
Koefisien aliran(C) didefinisikan sebagai bilangan nisbah
laju debit puncak dengan intensitas hujan, dan merupakan
bilangan tanpa satuan. Faktor ini merupakan variabel yang
paling menentukan basil perhitungan debit banjir. Faktor utama
yang mempengaruhi C adalah laju infiltrasi tanah atau
prosentase lahan kedap air, kemiringan lahan, tanaman
- 29 -
penutup tanah, dan intensitas hujan. Permukaan kedap air,
seperti perkerasan aspal danbangunan, akan menghasilkan
aliran hampir 100% setelah permukaan menjadi basah,
seberapa pun kemiringannya. Koefisien limpasan juga
tergantung pada sifat dan kondisi tanah. Laju infiltrasi menurun
pada hujan yang terus menerus dan juga dipengaruhioleh
kondisi kejenuhan air sebelumnya. Faktor lain yang
mempengaruhi nilai C adalah air tanah, derajad kepadatan
tanah, porositas tanah, dan simpanan depresi. Nilai C ntuk
berbagai tipe tanah dan penggunaan lahan disajikan dalam
Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Nilai Koefisien Aliran (C) untuk Metode Rasional
No Deskripsi lahan/karakter permukaan Koefisien aliran (C)
1 Bisnis
- Perkotaan 0,70 – 0,95
- Pinggiran 0,50 – 0,70
2 Perumahan
- Rumah tunggal 0,30 – 0,50
- Multi unit/terpisah 0,40 – 0,60
- Multi unit/tergabung 0,60 – 0,75
- Perkampungan 0,25 – 0,40
- Apartemen 0,50 – 0,70
3 Industri
- Ringan 0,50 – 0,80
- Berat 0,60 – 0,90
4 Perkerasan
- Aspal dan Beton 0,70 – 0,95
- Batu bata, paving 0,50 – 0,70
5 Atap 0,75 – 0,95
6 Halaman, tanah berpasir
- Datar 2 % 0,05 – 0,10
- Rata-rata (2 – 7) % 0,10 – 0,15
- Curam,7% 0,15 – 0,20
7 Halaman, tanah berat
- Datar 2 % 0,13 – 0,10
- Rata-rata (2 – 7) % 0,18 – 0,22
- Curam,7% 0,25 – 0,35
8 Halaman kereta api 0,10 – 0,35
9 Taman tempat bermain 0,20 – 0,35
10 Taman, pekuburan 0,10 – 0,25
11 Hutan
- Datar, 0 - 5 % 0,10 – 0,40
- Bergelombang, 5 - 10 % 0,25 – 0,50
- Berbukit, 10 - 30 % 0,30 – 0,60
Sumber: McGuen (1989), dalam Suripin (2004)
- 30 -
Harga C berubah dari waktu ke waktu dengan perubahan
faktor-faktor yang berhubungan dengan aliran permukaan. Jika DAS
terdiri dari berbagai macam tata guna lahan dengan koefisien aliran
yang berbeda, maka C yang digunakan ditetapkan dengan mengambil
rata-rata berdasarkan bobot luas dengan rumus:
C DAS =
∑
∑
Keterangan:
CDAS = Nilai rata-rata koefisien aliran Ci = Koefisien aliran jenis penutup lahan i Ai = Luas daerah dengan penutup lahan i (ha)
n = jumlah jenis penutup lahan
3.2. Intensitas Hujan
Intensitas curah hujan adalah tinggi atau kedalaman air
hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin
singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung makin
tinggi, dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula
intensitasnya. Analisis intensitas curah hujan dapat diproses
dari data curah hujan yang terjadi. Intensitas hujan (mm/jam),
yaitu tinggi curah hujan yang terjadi sekian mm dalam kurun
waktu 1 jam. Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia,
yang ada hanya data hujan harian maksimum, maka intensitas
hujan dapat dihitung dengan Rumus Mononobe.
(
) ⁄
Keterangan: I = intensitas curah hujan (mm/jam R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
t = lamanya curah hujan yang lamanya sama dengan waktu konsentrasi= tc(jam)
3.3. Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang
diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik
terjauh sampai ke outlet DAS, diasumsikan bahwa durasi hujan
sama dengan waktu konsentrasi. Salah satu metode untuk
- 31 -
menghitung waktu konsentrasi adalah Metode Kirpich (1940),
dengan formula sebagai berikut:
(
)
Keterangan: tc = waktu konsentrasi (jam) L = panjang aliran dari titik terjauh sampai tempat keluar
(outlet) (km) S = lereng aliran (m/m) = perbedaan tinggi elevasi antara
tempat keluar (outlet) aliran dari DAS dengan titik terjauh
aliran (Δh) dibagi panjang aliran (L), S = Δh/L
atau
tc = 0,0195 L 0,77. S -0,385
tc = waktu konsentrasi (menit) L = panjang aliran dari titik terjauh sampai tempat keluar
(outlet) (m) S = lereng aliran (m/m) = perbedaan tinggi elevasi antara
tempat keluar (outlet) aliran dari DAS dengan titik terjauh aliran (Δh) dibagi panjang aliran (L), S = Δh/L
Analisis intensitas curah hujan dapat diproses dari data curah
hujan yang terjadi. Untuk menentukan curah hujan maksimum
dalam 24 jam (mm) digunakan analisis hidrologi sebagaimana
dijelaskan dalam sub bab 3.4.
3.4. Analisis Hidrologi
3.4.1. Hujan Wilayah
Informasi curah hujan pada masing-masing wilayah
kerja dikumpulkan semaksimal mungkin dari seluruh
instansi yang mengoperasikan stasiun cuaca atau
pengamat dan pencatat curah hujan. Petayang
menunjukan lokasi stasiun-stasiun pencatat hujan perlu
disiapkan, untuk pengolahan data spasial.
Dari stasiun cuaca diperoleh data curah hujan
tabular. Informasi curah hujan meliputi jumlah curah
- 32 -
hujan bulanan rata-rata, banyaknya hari hujan rata-rata
dalam satu bulan, dan curah hujan harian maksimum
untuk bulan tertentu. Untuk perhitungan diperlukan
data jangka panjang, minimal selama 20 tahun.
Apabila data curah hujan antar stasiun cuaca
tersebut memberi indikasi tipe hujan orografis, maka
dibuat peta curah hujan dengan menggunakan sistem
isohyet, sementara kalau curah hujan tidak bertipe
orografis atau penyebarannya acak, dibuat peta jaring-
jaring Thiesen atau bias menggunakan rata-rata
Aritmatik.
3.4.1.1. Metode rata-rata aritmatik (aljabar)
Metode ini paling sederhana, pengukuran
yang dilakukan di beberapa stasiun dalam
waktu yang bersamaan dijumlahkan dan
kemudian dibagi jumlah stasiun. Stasiun hujan
yang digunakan dalam perhitungan adalah
yang berada dalam DAS, tetapi stasiun di luar
DASyang masih berdekatan juga bisa
diperhitungkan. Metode rata-rata aljabar
memberikan hasil yang baik apabila:
1. Stasiun hujan tersebar secara merata di
DAS,
2. Distribusi hujan relatif merata pada
seluruh DAS.
Rumus :
Keterangan: P = Curah hujan wilayah (mm)
n = Jumlah titik-titik stasiun pengamat hujan
P1,P2,…,Pn = Curah hujan di tiap titik pengamatan
3.4.1.2. Metode Thiessen
Metode ini memperhitungkan bobot dari
masing-masing stasiun yang mewakili luasan di
sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS
nPPPn
P ...1
21
- 33 -
dianggap bahwa hujan adalah sama dengan
yang terjadi pada stasiun yang terdekat,
sehingga hujan yang tercatat pada suatu
stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini
digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di
daerah yang ditinjau tidak merata, pada metode
ini stasiun hujan minimal yang digunakan
untuk perhitungan adalah tiga stasiun hujan.
Hitungan curah hujan rata-rata dilakukan
dengan memperhitungkan daerah pengaruh
dari tiap stasiun. Metode poligon Thiessen
banyak digunakan untuk menghitung hujan
rata-rata kawasan. Poligon Thiessen adalah
tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan
tertentu. Apabila terdapat perubahan jaringan
stasiun hujan seperti pemindahan atau
penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi
poligon yang baru.
Rumus :
Keterangan :
P = Rata rata curah hujan wilayah (mm)
P1,P2,...Pn = Curah hujan masing masing
stasiun (mm) A1,A2,...An = Luas pengaruh masing masing
stasiun(km2)
Gambar 3.9. Penentuan Hujan wilayah dengan Polygon Thiessen
n
nn
AAA
PAPAPAP
.....
....
21
2211
- 34 -
3.4.1.3. Metode Isohyet
Isohyet adalah garis yang
menghubungkan titik-titik dengan kedalaman
hujan yang sama. Pada metode Isohyet,
dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di
antara dua garis Isohyet adalah merata dan
sama dengan nilai rata-rata dari kedua garis
Isohyet tersebut. Metode Isohyet merupakan
cara paling teliti untuk menghitung kedalaman
hujan rata-rata di suatu daerah, pada metode
ini stasiun hujan harus banyak dan tersebar
merata, metode Isohyet membutuhkan
pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak
dibanding dua metode lainnya.
Rumus :
(
) (
) (
)
Keterangan : P = Rata-rata curah hujan wilayah (mm) P1,2,3,…n = Curah hujan masing masing
isohyet(mm) A1,2,3…n = Luas wilayah antara 2 isohyet (km2)
Gambar 3.10. Penentuan Hujan wilayah dengan
Isohyet
3.4.2. Perhitungan Hujan Rencana
Curah hujan rencana untuk periode ulang tertentu
secara statistik dapat diperkirakan berdasarkan seri data
curah hujan harian maksimum tahunan (maximum
- 35 -
annual series) jangka panjang dengan analisis distribusi
frekuensi dan dengan cara grafis. Periode ulang(return
period) adalah nilaibanyaknya tahun rata-rata dimana
besaran disamai atau dilampaui oleh suatu harga
sebanyak satu kali. Curah hujan rencana (design
rainfall)dapat dihitung untuk periode ulang 2, 5, 10, 20
atau 25 tahun. Untuk mencari distribusi yang cocok
dengan data yang tersedia dari pos-pos penakar hujan
yang ada di sekitar lokasi kajian perlu dilakukan analisis
frekuensi. Analisis frekuensi dapat dilakukan dengan seri
data hujanmaupun data debit.
Untuk mengetahui kesesuaian distribusi
probabilitas dengan rangkaian data hidrologi, data
digambarkan pada kertas probabilitas. Ada tiga macam
kertas probabilitas, yaitu kertas probabilitas normal, log
normal (bisa digunakan untuk distribusi log person), dan
gumbel. Dalam kertas probabilitas tersebut, absis
menunjukkan probabilitas atau periode ulang, sedangkan
ordinatnya adalah besaran debit atau hujan.
Posisi pengeplotan data merupakan nilai
probabilitas yang dimiliki oleh masing-masing data yang
diplot. Data hidrologi (hujan) yang telah ditabelkan
diurutkan dari besar ke kecil (berdasarkan peringkat m),
dimulai dengan m=1 untuk data dengan nilai tertinggi,
dan m=n (n adalah jumlah data) untuk data dengan nilai
terkecil. Periode ulang Tr dapat dihitung dengan
persamaan Weibull.
Rumus :
Keterangan:
m = nomor urut (peringkat) data setelah diurutkan dari besar ke kecil
n = banyaknya dta atau jumlah kejadian (event)
- 36 -
Tabel 3.4. Contoh tabulasi Data Hujan
Tahun P max (mm)
m
(peringkat)
P max (mm)
Urutan dari
besar ke kecil
1990 100 1 148 0.48 21.00
1991 85 2 130 0.10 10.50
1992 95 3 124 0.14 7.00
1993 97 4 123 0.19 5.25
1994 110 5 110 0.24 4.20
1995 123 6 100 0.29 3.50
1996 148 7 97 0.33 3.00
1997 83 8 95 0.38 2.63
1998 87 9 87 0.43 2.33
1999 77 10 85 0.48 2.10
2000 130 11 83 0.52 1.91
… … … … … …
2009 124 20 77 0.01 1.05
Gambar 3.11. Kertas probabilitas Gumbel
- 37 -
4. Perhitungan Nilai Erosi dengan rumus USLE
Nilai erosi dihitung dengan menghitung perkiraan rata-rata
tanah hilang tahunan akibat erosi lembar dan alur yang dihitung
dengan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE).
Gambar 3.12. Penentuan bahaya erosi dengan USLE
Rumus USLE dinyatakan sebagai berikut:
A = R x K x LS x C x P
Keterangan:
A = jumlah tanah hilang (ton/ha/tahun). R = erosivitas curah hujan tahunan rata -rata
(biasanyadinyatakan sebagai energi dampak curah
hujan (MJ/ha) xIntensitas hujan maksimal selama 30 menit (mm/jam).
K = indeks erodibilitas tanah (ton x ha x jam) dibagi oleh (ha x mega joule x mm).
LS = indeks panjang dan kemiringan lereng.
C = indeks pengelolaan tanaman. P = indeks upaya konservasi tanah.
5. Perhitungan Muatan Sedimen
Muatan sedimen dapat diperoleh melalui pendekatan hasil
prediksi erosi, dengan menggunakan rumus :
MS= A x SDR
Keterangan: MS = muatan Sedimen (ton/ha/th) A = nilai erosi (ton/ha/th)
SDR = nisbah penghantaran sedimen
- 38 -
Nilai total erosi ditentukan dengan menggunakan rumus USLE,
sedangkan nisbah hantar sedimen (Sediment Delivery Ratio/SDR)
dapatditentukan dengan menggunakan tabel sebagaimanaberikut:
Tabel 3.5. Hubungan Luas DAS dengan Sediment Delivery Ratio
No Luas DAS (ha) Sediment Delivery Ratio(%)
1. 10 53
2. 50 39
3. 100 35
4. 500 27
5. 1.000 24
6. 5.000 15
7. 10.000 13
8. 20.000 11
9. 50.000 8,5
10. 2.600.000 4,9
6. Analisis
Analisis impact assessment Kegiatan RHL untuk pengendalian
debit puncak limpasan, erosi, dan sedimentasi, serta pengaruh
perubahan tutupan lahan kegiatan RHL terhadap debit, erosi dan
sedimentasi dalam DAS. Penyajian hasil perhitungan dituangkan
dalam grafik yang menunjukkan:
a. Trend Perubahan Debit Limpasan
b. Trend Perubahan Erosi
c. Trend Perubahan Sedimentasi