2 BAB II BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Industri Roti Kukus di Bali...kukus yang sering dijadikan sarana...

53
15 2 BAB II BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Industri Roti Kukus di Bali Industri roti kukus merupakan industri pembuatan roti kukus yang keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia. Industri ini sangat potensial untuk dikembangkan, khususnya di Bali karena roti kukus secara kontinu dibutuhkan oleh masyarakat baik untuk konsumsi sehari-hari maupun untuk sarana upakara. Roti kukus yang sering dijadikan sarana upakara memiliki dimensi tinggi sekitar 7 cm dan diameter kisaran 4 cm hingga 7 cm yang dialasi dengan kertas roti (Gambar 2.1). Industri roti kukus di Bali masih sederhana dengan sebagian besar masih berskala industri rumah tangga. Hal ini tercermin dari belum adanya regulasi yang baik dalam proses produksi sehingga potensi masalah ergonomi dapat timbul semakin besar. Pada industri roti kukus terdapat empat proses kerja yaitu proses mengadon, menuang adonan, mengukus, dan membungkus. Tiap proses memiliki potensi masalah ergonomi yang berbeda-beda (Dinata et al., 2015). Gambar 2.1 Roti kukus

Transcript of 2 BAB II BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Industri Roti Kukus di Bali...kukus yang sering dijadikan sarana...

  • 15

    2 BAB II

    BAB II KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Industri Roti Kukus di Bali

    Industri roti kukus merupakan industri pembuatan roti kukus yang

    keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia. Industri ini sangat potensial untuk

    dikembangkan, khususnya di Bali karena roti kukus secara kontinu dibutuhkan oleh

    masyarakat baik untuk konsumsi sehari-hari maupun untuk sarana upakara. Roti

    kukus yang sering dijadikan sarana upakara memiliki dimensi tinggi sekitar 7 cm

    dan diameter kisaran 4 cm hingga 7 cm yang dialasi dengan kertas roti (Gambar

    2.1). Industri roti kukus di Bali masih sederhana dengan sebagian besar masih

    berskala industri rumah tangga. Hal ini tercermin dari belum adanya regulasi yang

    baik dalam proses produksi sehingga potensi masalah ergonomi dapat timbul

    semakin besar. Pada industri roti kukus terdapat empat proses kerja yaitu proses

    mengadon, menuang adonan, mengukus, dan membungkus. Tiap proses memiliki

    potensi masalah ergonomi yang berbeda-beda (Dinata et al., 2015).

    Gambar 2.1 Roti kukus

  • 16

    Pekerja mencampur bahan-bahan dan mengaduknya dengan mesin

    pengaduk (mixer) pada proses mengadon. Bahan yang digunakan pada proses ini

    berupa telur ayam, tepung terigu, pengembang kue, serta gula. Dalam melakukan

    tugasnya, masih ditemukan sikap kerja membungkuk saat mengangkat adonan (±30

    kg) dan memindahkannya secara manual ke stasiun kerja penuangan adonan.

    Setelah melalui proses mengadon, dilanjutkan dengan proses penuangan

    adonan. Proses ini dilakukan dengan berbagai sikap kerja oleh tiap pekerja. Ada

    pekerja yang menuang adonan dengan sikap berdiri statis dalam waktu yang lama

    (± 1 jam untuk 10 kg adonan) dan ada pekerja dengan sikap kerja duduk di lantai

    atau menggunakan kursi kecil dan alat cetak diletakkan di lantai. Sikap kerja berdiri

    statis maupun membungkuk pada pekerja yang bekerja menggunakan kursi kecil

    dapat memberi pembebanan yang besar pada otot-otot belakang dan tulang

    belakang, otot-otot tungkai, serta bagian-bagian tubuh lainnya yang berkaitan. Hal

    ini terbukti dari banyaknya keluhan yang timbul pada proses penuangan adonan

    dibanding dengan proses lainnya. Proses ini dimulai dari menyiapkan alat cetak,

    mengisi alat cetak dengan kertas roti kukus, lalu menuangkan adonan ke alat cetak

    satu per satu. Pekerja sebagian besar mengeluhkan proses penuangan adonan

    sebagai pekerjaan yang paling berat dan membosankan. Gerakan yang monoton

    serta sikap kerja yang statis menjadi penyebabnya (Dinata et al., 2015).

    Studi gerak dan waktu seorang pekerja pada proses menuang 10 kg adonan

    didapatkan kecepatan menuang paling cepat pada loyang ke-2 hingga ke-4. Pada

    pengerjaan loyang ke-5, kecepatan mulai menurun dan terlihat konstan hingga

  • 17

    akhir. Waktu yang dibutuhkan untuk menuang adonan secara rinci dapat dilihat

    pada Tabel 2.1

    Tabel 2.1

    Tabel 2.1 Kecepatan Proses Menuang Adonan

    Loyang Jumlah

    Cetakan

    Waktu

    (detik)

    Kecepatan per

    cetakan (detik) Gerakan tidak efektif

    1 15 262 17,47

    2 15 228 15,20

    3 17 243 14,29

    4 15 219 14,60

    5 18 321 17,83 Mengelap meja

    6 15 250 16,67

    7 16 247 15,44

    8 16 245 15,31

    9 15 250 16,67 Mengelap meja

    10 14 230 16,43

    11 15 240 16,00

    12 12 211 17,58

    Pekerja mulai membersihkan adonan yang tumpah di meja setelah

    mengerjakan loyang ke-5 atau setelah menuang 80 adonan ke cetakan. Gerakan ini

    tergolong tidak efektif karena proses membersihkan meja dari adonan yang tumpah

    bisa dilakukan setelah semua proses penuangan adonan dilakukan. Disamping itu,

    juga terjadi penurunan kecepatan menuang adonan. Hal ini menandakan pekerja

    mulai kelelahan. Setelah selesai menuang adonan, akan dilanjutkan ke proses

    mengukus.

    Pekerja terpapar panas dari kompor dan uap air pada proses mengukus yang

    mencapai suhu 80oC. Pekerja mengeluh merasa gerah dan banyak mengeluarkan

  • 18

    keringat saat bekerja di proses mengukus. Tidak jarang pekerja mengalami luka

    bakar akibat tidak sengaja bersentuhan dengan panci yang panas saat kegiatan

    memasukkan adonan siap kukus ke dalam panci maupun saat mengeluarkan roti

    kukus yang sudah matang. Ketinggian peletakan kompor juga tidak terlalu

    mempertimbangkan antropometri pekerjanya sehingga berpotensi menimbulkan

    penyakit akibat kerja. Pekerja tampak mengangkat lengannya dalam posisi yang

    tidak alamiah saat meletakkan adonan yang akan dikukus maupun saat mengambil

    roti kukus yang telah matang (Dinata et al., 2015).

    Roti kukus yang telah matang setelah melalui proses pengukusan kemudian

    akan melalui proses pembungkusan. Roti kukus harus didinginkan terlebih dahulu

    sekitar 30 menit sebelum dibungkus. Sikap kerja saat proses ini dilakukan dengan

    duduk di lantai. Proses membungkus dilakukan selama ± 1 jam untuk produksi 10

    kg adonan sehingga dapat menimbulkan keluhan muskuloskeletal akibat sikap kerja

    statis. Proses kerja yang masih sederhana dan belum terlalu memikirkan kebersihan

    menjadi masalah ergonomi tersendiri. Pekerja secara langsung memegang roti

    kukus yang sudah matang menggunakan tangan tanpa dilengkapi APD (Alat

    Pelindung Diri) dan pengetahuan mengenai bekerja dengan higienis. Walaupun

    tidak secara langsung menyebabkan bahaya bagi pekerja, namun hal tersebut dapat

    membahayakan konsumen yang mengonsumsi roti yang tercemar (Dinata et al.,

    2015).

    Sistem kerja yang belum diatur secara baik juga dapat berpotensi

    menimbulkan masalah ergonomi. Produksi dilakukan dengan tidak banyak melihat

    keterbatasan pekerja, sehingga industri pembuatan roti kukus menjadi terasa berat

  • 19

    akibat beban-beban fisiologis yang diterima pekerja. Hal ini menyebabkan lebih

    sedikit pekerja yang bersedia terjun di industri roti kukus (Dinata et al., 2015).

    2.2 Respons Fisiologis

    Pada tubuh manusia terjadi berbagai proses fisiologi sebagai respons

    terhadap lingkungan untuk menjaga homeostasis demi kelangsungan hidupnya.

    Respons maupun adaptasi yang terjadi dalam tubuh manusia sangat dipengaruhi

    oleh aktivitas-aktivitas yang dilakukannya (Hall & Guyton, 2015). Respons

    fisiologis yaitu proses atau dampak yang timbul pada tubuh pekerja akibat aktivitas

    yang dilakukan. Respons fisiologis dapat dinilai melalui beban kerja, kelelahan,

    serta keluhan muskuloskeletal.

    2.2.1 Beban kerja (workload)

    Denyut nadi per menit menggambarkan aktivitas jantung dalam memompa

    darah ke luar masuk organ jantung. Semakin besar frekuensi denyut jantung per

    menit berarti semakin tinggi aktivitas tubuh sehingga tingkat metabolisme tubuh

    pun semakin tinggi (Adiputra, 2002).

    Setiap beban kerja yang diterima oleh tubuh harus sesuai dengan

    kemampuan fisik, kemampuan kognitif dan keterbatasan manusia. Untuk masing-

    masing orang, kemampuan kerja akan berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut

    Suma’mur kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda satu dengan yang

    lainnya dan sangat tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran jasmani,

    keadaan gizi, jenis kelamin, usia dan ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan

    (Suma’mur, 1989). Hubungan antara kapasitas kerja dengan beban kerja secara

    umum dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

  • 20

    1. Faktor somatis terdiri dari: (a) jenis kelamin, (b) umur, (c) ukuran tubuh, (d)

    kondisi kesehatan, dan (e) status gizi.

    2. Faktor psikis terdiri dari: (a) sikap, (b) motivasi, (c) persepsi, (d) keinginan, dan

    (e) emosi.

    3. Jenis kerja yang dilakukan terdiri dari: (a) tipe kerja, (b) beban kerja, (c) irama

    kerja, (d) waktu kerja, (e) jadwal kerja, (f) sikap kerja, dan (g) teknik kerja.

    4. Lingkungan kerja yang terdiri dari: (a) suhu, (b) kebisingan, (c) getaran, (d)

    kelembaban, (e) kecepatan udara, dan (f) polusi.

    Semakin berat pekerjaan yang dilakukan maka akan semakin besar pula

    energi yang dikeluarkan. Berdasarkan hal tersebut maka besarnya jumlah

    kebutuhan kalori dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan beban kerja

    (Tarwaka et al., 2004). Berat ringannya suatu aktivitas dapat dinilai dari kebutuhan

    O2, kapasitas ventilasi paru, perubahan suhu inti tubuh, kebutuhan energi, produksi

    keringat atau perubahan berat badan selama melaksanakan aktivitas tersebut.

    Denyut jantung merupakan suatu alat estimasi laju metabolisme yang baik.

    Kategori berat ringannya beban kerja didasarkan pada metabolisme, respirasi, suhu

    dan denyut jantung ada pada Tabel 2.2 (Christensen, 1991).

    Tabel 2.2

    Tabel 2.2 Kategori Beban Kerja

    No. Kategori

    Beban Kerja

    Pemakaian

    O2 (liter/menit)

    Denyut

    Jantung

    (denyut/menit)

    Respirasi

    (liter/menit)

    Suhu

    Rektal

    (oC)

    1 Sangat ringan < 0,5 60 - 70 6 -7 37,5

    2 Ringan 0,5 - 1 70 - 100 11 - 20 37,5

    3 Sedang 1 - 1,5 100 - 125 20 - 31 37,5 - 38

    4 Berat 1,5 - 2 125 - 150 31 - 43 38 - 38,5

    5 Sangat berat 2 - 2,5 150 - 175 43 - 56 38,5 - 39

    6 Sangat berat

    sekali

    >2,5 > 175 60 - 100 1 > 39

  • 21

    Sumber energi yang dibutuhkan oleh tubuh adalah energi kimia yang

    tersimpan di dalam ikatan karbon-hidrogen dalam makanan. Sel tubuh tidak dapat

    menggunakan energi ini secara langsung, tetapi harus mengambil energi dari

    makanan dan mengubahnya menjadi suatu energi, yaitu ikatan fosfat berenergi

    tinggi pada adenosintrifosfat (ATP) (Sherwood, 2016). Semua mekanisme

    fisiologis yang memerlukan energi untuk kerja mendapatkan energi langsung dari

    ATP. ATP merupakan senyawa kimia labil yang terdapat pada semua sel dan

    merupakan gabungan adenosin, ribosa dan tiga gugusan fosfat (Hall & Guyton,

    2015).

    Kebutuhan ATP sangat tergantung dari tingkat beban kerja atau aktivitas

    kerja yang dilakukan. Peningkatan beban kerja akan berdampak pada peningkatan

    kebutuhan ATP. Melalui mekanisme feedback acselator produksi ATP di

    mitokondria melalui siklus Krebs (secara aerobik) akan dipercepat. Tetapi dalam

    situasi anaerobik terjadi pemecahan asam piruvat melalui glikosis anaerobik yang

    hanya menghasilkan 2 ATP dari 1 mol glukosa dan residunya berupa asam laktat

    yang bertindak sebagai penyebab kelelahan pada otot. Sedangkan melalui

    mekanisme pada siklus asam sitrat (siklus Krebs) atau melalui jalur Emdden-

    Meyerhof akan terbentuk sebanyak 38 ATP dari 1 mol glukosa (Hall & Guyton,

    2015; Sherwood, 2016).

    Metabolisme aerobik membutuhkan O2 dalam proses pembentukan ATP di

    mitokondria yang ditransfer melalui sistem sirkulasi darah. Peningkatan beban

    kerja akan mengakibatkan peningkatan ATP dan konsekuensinya kebutuhan O2

  • 22

    juga akan meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut frekuensi denyut

    jantung akan meningkat dan diikuti dengan peningkatan frekuensi denyut nadi.

    Pembuluh darah pada otot ketika melakukan aktivitas kerja akan dilatasi dan

    aliran darah meningkat sehingga penyediaan O2 sebanding dengan energi yang

    digunakan, dan semua kebutuhan energi dicukupi dengan proses aerobik. Akan

    tetapi bila kerja otot sangat berat resintesis aerobik dan cadangan energi tidak dapat

    menutup penggunaannya. Dalam keadaan demikian kreatinfosfat dipakai untuk

    resintesis ATP, yang dilakukan dengan pemakaian energi yang dilepaskan oleh

    pemecahan anaerobik glukosa menjadi asam laktat. Tetapi pemakaian lintasan

    anaerobik ini akan membatasi diri, sebab walaupun difusi asam laktat ke dalam

    aliran darah cepat namun penimbunannya dalam otot cukup besar, akhirnya

    melebihi kapasitas buffer jaringan dan menyebabkan penghambatan kerja enzim

    karena penurunan pH. Akan tetapi untuk waktu yang singkat pemecahan anaerobik

    glukosa mengizinkan kerja otot jauh lebih banyak daripada yang dapat dilakukan

    tanpa jalur tersebut (Hall & Guyton, 2015).

    Ekstra O2 setelah masa kerja selesai, digunakan untuk mengoksidasi

    kelebihan asam laktat dan memenuhi cadangan penyimpanan ATP dan

    kreatinfosfat. Jumlah ekstra O2 yang dikonsumsi sebanding dengan banyaknya

    energi yang dibutuhkan sewaktu kerja yang melebihi kapasitas sintesis aerobik dari

    cadangan energi, yaitu besarnya oxygen debt yang dialami. Orang yang terlatih

    mampu menaikkan konsumsi O2 otot mereka sampai tingkat yang lebih tinggi

    daripada orang yang tidak terlatih. Akibatnya mereka mampu bekerja lebih berat

    tanpa menaikkan kandungan asam laktat darah, dan mereka bekerja dengan oxygen

  • 23

    debt yang lebih kecil untuk sejumlah kerja tertentu (Hall & Guyton, 2015;

    Sherwood, 2016).

    Rodahl mengemukakan penilaian beban kerja fisik dapat dilakukan dengan

    2 metode secara objektif yaitu metode penilaian langsung maupun metode penilaian

    tidak langsung. Metode penilaian langsung yaitu dengan mengukur energi yang

    dikeluarkan (energy expenditure) melalui asupan O2 selama bekerja. Semakin berat

    beban kerja akan semakin banyak energi yang dikonsumsi. Meskipun metode

    dengan menggunakan asupan O2 lebih akurat, namun hanya dapat mengukur untuk

    waktu kerja yang singkat dan diperlukan peralatan yang cukup mahal. Sedangkan

    metode penilaian tidak langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama

    bekerja (Rodahl, 1989). Satu pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban

    kerja adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi O2, kapasitas ventilasi paru

    dan suhu inti tubuh. Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut jantung dan suhu

    mempunyai hubungan yang linier dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang

    dilakukan (Gawron, 2008; Christensen, 1991; Kroemer & Grandjean, 2010).

    Penilaian beban kerja secara subjektif dapat dilakukan dengan menggunakan

    kuesioner, di mana dengan kuesioner tersebut akan terlihat tanda-tanda yang

    menyatakan adanya suatu kelelahan yang dialami orang akibat beban kerja yang

    membebaninya, oleh karena interaksi pekerja dengan jenis pekerjaan, tempat kerja,

    organisasi/ cara kerja, peralatan kerja dan lingkungannya (Bridger, 1995). Salah

    satu cara dalam menentukan konsumsi kalori atau pengarahan tenaga kerja untuk

    mengetahui derajat beban kerja adalah perhitungan denyut nadi kerja, yaitu rerata

    denyut nadi selama bekerja. Berdasarkan pemakaian O2, konsumsi kalori, denyut

  • 24

    nadi dan tingkat beban kerja dibedakan untuk kondisi istirahat, beban kerja sangat

    ringan, ringan, agak berat, berat, sangat berat dan luar biasa berat (McCormick &

    Sanders, 1987). Cara lain untuk menentukan penilaian klasifikasi beban kerja fisik

    pada proses kerja adalah klasifikasi beban kerja fisik berdasarkan beban

    kardiovaskuler yang dihitung berdasarkan data denyut nadi istirahat, denyut nadi

    kerja dan nadi kerja maksimum 8 jam kerja (Suyasning, 1998). Grandjean

    menggolongkan beban kerja berdasarkan denyut nadi seperti ditunjukkan dalam

    Tabel 2.3 (Kroemer & Grandjean, 2010).

    Tabel 2.3

    Tabel 2.3 Penggolongan Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi

    No. Kategori Beban Kerja Rentangan denyut nadi/menit

    1 Sangat rendah = istirahat 60 – 70

    2 Ringan 75 – 100 3 Sedang 100 – 125

    4 Berat 125 – 150

    5 Sangat Berat 150 – 175

    6 Luar Biasa Beratnya > 175

    2.2.2 Kelelahan kerja

    Kelelahan pada dasarnya adalah kehilangan efisiensi, penurunan kapasitas

    kerja dan ketahanan tubuh, dalam kondisi lelah perasaan subjektif mengenai

    kelelahan menjadi dominan. Perasaan lelah sebenarnya merupakan perlindungan

    dari keterbatasan kemampuan fisik, ketegangan, dan gangguan-gangguan

    psikologis lebih lanjut, dan sekaligus memberi peringatan untuk istirahat, agar fisik

    mempunyai kesempatan untuk memulihkan energinya kembali.

    Kelelahan terdiri dari kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot

    berupa gejala kesakitan yang amat sangat ketika otot menderita tegangan

    berlebihan. Sedang kelelahan umum adalah suatu tahap yang ditandai oleh rasa

  • 25

    berkurangnya kesiapan untuk mempergunakan energi. Pulat mengemukakan secara

    umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang

    sangat melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja,

    apabila rata-rata beban kerja melebihi 30%-40% dari tenaga aerobik maksimal

    (Pulat, 1992).

    Salah satu efek yang jelas dari kelelahan adalah berkurangnya kewaspadaan.

    Seseorang tak akan mampu berkonsentrasi terus-menerus untuk kegiatan mental.

    Setelah mengalami ketegangan selama masa tertentu, akan terjadi gangguan pada

    persepsi, dan kecepatan reaksi menjadi lambat. Untuk mengatasi gangguan ini perlu

    dilakukan penyegaran di luar tekanan. Penyegaran terjadi terutama selama waktu

    tidur malam, atau periode istirahat dan waktu-waktu berhenti kerja (Kroemer &

    Grandjean, 2010).

    Kontraksi berkesinambungan dari otot-otot rangka akibat gerakan repetitif

    saat menuang adonan dan menahan beban lengan serta beban eksternal berupa berat

    adonan menyebabkan tekanan otot meningkat pada proses penuangan adonan pada

    industri roti kukus. Peningkatan tekanan otot akan mempengaruhi hambatan

    pembuluh darah sehingga mengganggu mikro sirkulasi pada lengan. Di samping

    hambatan sirkulasi darah, kontraksi yang melibatkan pergerakan aktin dan miosin

    tersebut juga menimbulkan tingginya kebutuhan energi. Kombinasi dari sirkulasi

    yang tidak adekuat dan tingginya kebutuhan energi menyebabkan cadangan energi

    pada otot-otot lengan berupa adenosin trifosfat (ATP) dan cadangan glikogen otot

    tidak memadai untuk mempertahankan kualitas gerakan. Hal ini berdampak pada

  • 26

    kelelahan yang ditandai dengan penurunan fungsi motorik otot (Hall & Guyton,

    2015).

    Kelelahan sesungguhnya merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh

    agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut atau dapat dikatakan sebagai sinyal tubuh

    yang mengisyaratkan seseorang untuk segera beristirahat. Mekanisme ini diatur

    oleh saraf pusat yang dapat mempercepat impuls yang terjadi di sistem inhibisi oleh

    saraf parasimpatis. Menurunnya kemampuan dan ketahanan tubuh akan

    mengakibatkan menurunnya efisiensi dan kapasitas kerja. Apabila kondisi seperti

    ini dibiarkan berlanjut maka akan mempengaruhi produktivitas seseorang. Oesman

    menyatakan kelelahan yang berlanjut dapat menyebabkan kelelahan kronis dengan

    gejala sebagai berikut: (a) terjadinya penurunan stabilitas fisik, (b) kebugaran

    berkurang, gerakan lamban, dan cenderung diam, (c) malas bekerja atau

    beraktivitas, dan (d) adanya rasa sakit yang semakin meningkat (Oesman, 2010).

    Kelelahan yang berlanjut dapat mengakibatkan efek fisiologis yang ditandai

    dengan gejala-gejala berikut ini: (a) meningkatnya kejengkelan (tidak toleran,

    bersikap anti sosial), (b) kecenderungan ke arah depresi (kebingungan yang tidak

    bermotif), dan (c) kelemahan umum dalam perjuangan dan malas akan pekerjaan

    (Kroemer & Grandjean, 2010).

    Kelelahan juga menyebabkan gangguan psikosomatik yang ditandai dengan

    sering sakit kepala, terengah-engah, tidak ada nafsu makan, mual, berdebar-debar,

    sukar tidur di samping efek fisiologis dan psikologis. Faktor penyebab terjadinya

    kelelahan sangat bervariasi dan sangat kompleks. Beberapa di antaranya faktor

    aktivitas kerja fisik, aktivitas kerja mental, stasiun kerja tidak ergonomis, sikap

  • 27

    paksa, kerja statis, lingkungan kerja ekstrem, beban psikologis, kebutuhan kalori

    kurang, waktu kerja-istirahat tidak tepat (Kroemer & Grandjean, 2010).

    Proses terjadinya kelelahan otot menurut teori kimia akibat berkurangnya

    cadangan energi dan meningkatnya sisa metabolisme sebagai penyebab hilangnya

    efisiensi otot. Setiap hari manusia selalu terlibat dengan kegiatan, baik itu bekerja

    atau bergerak yang memerlukan energi. Tubuh manusia dapat dianggap sebagai

    sebuah mesin yang dalam melaksanakan tugasnya dibatasi oleh hukum-hukum

    alam. Kemampuan manusia untuk melakukan berbagai macam kegiatan tersebut

    tergantung pada struktur fisik tubuh yang terdiri dari struktur tulang manusia dan

    sistem otot. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut diperlukan energi yang

    diperoleh dari proses metabolisme dalam otot, yaitu proses kimia yang mengubah

    sari-sari makanan menjadi dua bentuk yaitu kerja fisik dan panas (Hall & Guyton,

    2015).

    Metabolisme merupakan salah satu proses penting dalam tubuh manusia.

    Salah satu proses yang paling penting dalam tubuh adalah berubahnya energi kimia

    dari makanan menjadi panas dan tenaga mekanik. Jadi sumber kalori adalah

    pembakaran zat makanan dalam jaringan tubuh yang berubah menjadi panas, listrik,

    kimia, dan kerja mekanik yang disebut metabolisme. Lewat proses metabolisme

    akan dihasilkan panas dan energi yang diperlukan untuk kerja fisik lewat sistem

    otot manusia. Di sini zat-zat makanan akan bersenyawa dengan oksigen (O2) yang

    dihirup, terbakar dan menghasilkan panas serta energi (Hall & Guyton, 2015).

    O2 diserap oleh darah yang ada dalam pembuluh darah paru dan dibawa ke

    sel otot. Di dalam sel ini terjadi pembakaran zat makanan oleh O2 sehingga

  • 28

    menghasilkan panas, tenaga dan asam laktat. Bila jumlah O2 yang masuk melalui

    pernafasan lebih kecil dari pada tingkat kebutuhan, berarti reaksi O2 dalam tubuh

    yang akan mengurangi asam laktat untuk diubah menjadi air (H2O) dan karbon

    dioksida (CO2) agar bisa dikeluarkan dari tubuh menjadi tidak seimbang dengan

    pembentukan asam laktat itu sendiri. Sehingga terjadi penimbunan asam laktat

    dalam jaringan otot yang mengganggu kegiatan otot selanjutnya mengakibatkan

    adanya kelelahan. Gas CO2 sebagai hasil pembakaran di dalam sel tubuh ini

    mencerminkan jumlah O2 yang digunakan untuk proses metabolisme di dalam sel

    tubuh (Hall & Guyton, 2015).

    Karbohidrat yang diperoleh dari makanan diubah menjadi glukosa dan

    disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Dalam otot terjadi kontraksi otot yang

    diikuti dengan terjadinya reaksi kimia (oksidasi glukosa) yang mengubah glikogen

    menjadi tenaga, listrik, kimia, panas, dan asam laktat. Dalam tubuh dikenal fase

    pemulihan yaitu suatu proses untuk mengubah asam laktat menjadi glikogen

    kembali dengan adanya oksigen dari udara luar melalui sistem pernafasan, sehingga

    memungkinkan otot-otot bergerak secara kontinu (Hall & Guyton, 2015).

    Manusia saat melakukan aktivitas akan mengakibatkan pengeluaran energi

    yang sangat terkait dengan konsumsi energi. Konsumsi energi pada waktu kerja

    biasanya ditentukan dengan cara tidak langsung yaitu dengan pengukuran frekuensi

    denyut jantung dan konsumsi O2. Dalam fisiologi kerja, konsumsi energi diukur

    secara tidak langsung melalui konsumsi O2. Untuk setiap liter O2 yang dikonsumsi

    rata-rata 4,8 kkal dilepas. Jumlah metabolisme aerobik atau pengeluaran energi

    kerja dapat ditentukan dengan mengalikan nilai konsumsi O2 (liter/menit) dengan

  • 29

    4,8 kkl/liter. Sedangkan pada saat metabolisme basal diperkirakan memerlukan

    0,25 liter O2 per menit (Bridger, 1995). Pemadanan konsumsi O2 dengan denyut

    jantung dalam suatu aktivitas kerja adalah: (a) pekerja pria bekerja dengan frekuensi

    75 denyut/menit sepadan dengan konsumsi O2 0,5 liter/menit atau sepadan dengan

    pengeluaran energi 2,5 kkal/menit, dan (b) orang istirahat dengan frekuensi 62

    denyut/menit, sepadan dengan konsumsi O2 250 ml/menit dan sepadan dengan

    pengeluaran energi 1,25 kkal/menit (Sastrowinoto, 1985).

    Frekuensi denyut nadi atau denyut jantung wanita umumnya lebih tinggi dari

    pria. Dalam keadaan yang sama frekuensi denyut nadi wanita 10 denyut lebih tinggi

    dari denyut pria setiap menitnya. Pada waktu istirahat orang akan mengeluarkan

    energi secara konstan, yang besarnya ditentukan oleh berat badan, tinggi badan, dan

    jenis kelamin. Segala aktivitas akan mengonsumsi sejumlah energi, dan jika

    konsumsi energi melebihi 5,2 kkal/menit, maka seseorang akan mengalami

    kelelahan, baik lelah otot, lelah visual, lelah mental maupun lelah monotonis (Hall

    & Guyton, 2015).

    Perubahan biokimia yang terjadi mengakibatkan dihantarkannya

    rangsangan saraf melalui saraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan

    otot. Selanjutnya rangsangan saraf eferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam

    mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel saraf

    menjadi berkurang. Berkurangnya frekuensi tersebut akan menurunkan kekuatan

    dan kecepatan kontraksi otot dan gerakan atas perintah kemauan menjadi lambat

    (Hall & Guyton, 2015).

  • 30

    2.2.3 Keluhan muskuloskeletal

    Muskuloskeletal adalah sistem otot yang melekat pada tulang yang terdiri

    atas serat-serat lintang, dan sifat geraknya disadari (volunter), serta mempunyai

    fungsi sebagai berikut (Robinson, 1998): (a) menyelenggarakan pergerakan yang

    meliputi gerakan bagian-bagian tubuh atau berjalan, (b) menghasilkan panas karena

    proses-proses kimia dalam otot yang dapat digunakan untuk mempertahankan suhu

    tubuh, dan (c) mempertahankan sikap tertentu, karena adanya kontraksi otot secara

    lokal yang memungkinkan mengambil sikap jongkok, berdiri, duduk dan sikap-

    sikap lainnya.

    Keluhan kerja akibat gangguan sistem muskuloskeletal adalah keluhan pada

    bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan

    sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara

    berulang dan dalam waktu yang lama, maka dapat menyebabkan keluhan akibat

    kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon (Kroemer & Grandjean, 2010).

    Keluhan pada sistem muskuloskeletal disebabkan karena: (a) beban

    berlebihan/ terlalu berat, (b) gerakan tertentu yang berulang-ulang, (c) sikap tubuh

    ketika duduk, berdiri dan melakukan aktivitas, dan (d) tekanan kerja. Aktivitas fisik

    yang dilakukan dengan peralatan yang tidak ergonomis dapat menimbulkan cedera

    atau keluhan pada otot dan persendian (Gerr & Letz, 2000).

    Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang

    berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi

    pembebanan yang panjang. Grandjean menyatakan bahwa keluhan otot hanya

    berkisar 15-20%, apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke

  • 31

    otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga

    yang diperlukan (Kroemer & Grandjean, 2010).

    Gerakan repetitif saat menuang adonan juga menyebabkan penumpukan

    sisa-sisa metabolisme seperti asam laktat di samping terhambatnya pembentukan

    energi baru akibat gangguan mikro sirkulasi. Dengan meningkatnya asam laktat,

    konsentrasi ion hidrogen meningkat sehingga pH menurun. Konsentrasi ion

    hidrogen yang meningkat dapat menghalangi rangkaian proses eksitasi akibat

    menurunnya sejumlah ion kalsium yang dikeluarkan dari retikulum sarkoplasma

    dan gangguan kapasitas pengikatan troponin. Di lain pihak peningkatan konsentrasi

    ion hidrogen juga menghambat kegiatan fosfofruktokinase, enzim kunci yang

    terlibat dalam glikolisis anaerob (Hall & Guyton, 2015).

    Selain mempengaruhi mekanisme gerak otot, asam laktat juga berpotensi

    menyebabkan meningkatnya stimulasi pada nosiseptor yang ada pada otot dan

    tendon. Stimulasi nosiseptor ini akan menyebabkan potensial aksi yang kemudian

    dihantarkan sepanjang saraf aferen menuju ke pusat somatosensoris di korteks

    serebri sehingga timbul sensasi nyeri. Nyeri yang timbul akan berpengaruh pada

    kualitas kesehatan pekerja (Hall & Guyton, 2015).

    Secara garis besar otot skeletal terdiri dari kelompok otot kepala, leher,

    bahu, dada, perut, punggung, anggota gerak atas, dan anggota gerak bawah. Otot

    tersebut terdiri dari bagian-bagian yang lebih rinci sesuai dengan fungsinya masing-

    masing (Syaifudin, 1997). Untuk melaksanakan berbagai gerakan, otot tidak

    bekerja sendiri tetapi bekerja dalam kelompok. Setiap kelompok otot yang kerjanya

  • 32

    berlawanan dinamakan otot antagonis, dan otot yang kerjanya searah dinamakan

    otot sinergis (Pearce, 2002).

    Metode subjektif untuk menilai keluhan otot skeletal adalah dengan

    menggunakan Nordic Body Map. Prosedur menggunakan mapping untuk menilai

    keluhan otot skeletal tersebut dapat dilakukan pada interval selama keseluruhan jam

    kerja dan istirahat. Subjek ditanya pada bagian-bagian anggota tubuh yang

    mengalami sakit atau ketidaknyamanan melalui kuesioner pada 5 skala likert

    (Corlett, 1992).

    Secara garis besar keluhan muskuloskeletal dapat dikelompokkan menjadi 2

    bagian besar yaitu keluhan sementara dan keluhan menetap. Keluhan otot

    sementara adalah keluhan yang terjadi pada saat otot menerima beban statis dan

    segera hilang apabila pemberian beban dihentikan. Sedangkan keluhan otot

    menetap adalah keluhan yang bersifat lebih permanen dan rasa sakit pada otot tidak

    hilang meskipun pemberian beban dihentikan (Kroemer & Grandjean, 2010).

    Keluhan subjektif akibat kerja berhubungan erat dengan reaksi perasaan individu

    terhadap pengalaman kerjanya (Adiputra, 1998b).

    Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan

    muskuloskeletal atau cedera pada sistem muskuloskeletal (Kroemer & Grandjean,

    2010). Keluhan pada sistem muskuloskeletal disebabkan karena , 1) memaksakan

    beban yang terlalu berat, 2) gerakan tertentu yang berulang, 3) sikap tubuh ketika

    duduk, berdiri dan melakukan aktivitas, 4) menggunakan teknik pengangkatan yang

    salah, dan 5) tekanan kerja (Kroemer & Grandjean, 2010). Berat ringannya beban

    kerja dan keluhan muskuloskeletal yang dialami oleh pekerja selain dipengaruhi

  • 33

    oleh faktor internal, juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu task, organisasi

    kerja dan lingkungan kerja.

    Nyeri atau sakit pada bagian tulang, otot, tendon, ligaments, persendian dan

    piringan tulang belakang yang tersusun dalam sistem otot skeletal disebut keluhan

    muskuloskeletal (Yale University, 2009). Keluhan muskuloskeletal dirasakan

    sebagai fenomena yang menyakitkan, karena ada tekanan pada otot tetapi sifatnya

    lokal. Keluhan muskuloskeletal diawali otot tegang berlebihan, tremor, akumulasi

    asam laktat, tenaga berkurang dan gerakan lambat sehingga koordinasinya menurun

    (Kroemer & Grandjean, 2010). Terjadi perlahan dan bervariasi, sesuai tingkat

    adaptasi pekerja dan jenis otot yang kontraksi. Lokasi sensasi dapat meluas mulai

    dari kulit, tendo, sendi, jaringan dalam dan organ (Adiatmika, 2007).

    Prinsip fisiologis dan biomekanika serta antropometri harus dipahami agar

    dapat terhindar dari keluhan muskuloskeletal. Prinsip fisiologi terdiri atas: (a)

    pembatasan penggunaan energi, dan (b) setelah bekerja diperlukan istirahat cukup.

    Prinsip biomekanika: (a) sendi berada dalam posisi fisiologis, (b) pekerjaan

    dilakukan di dekat tubuh, (c) hindari sikap membungkuk, (d) hindari gerakan

    memutar, (e) hindari gerakan mendadak, (f) tidak monoton, (g) batasi waktu

    penggunaan otot, (h) cegah kelelahan otot, dan (i) istirahat pendek berkali-kali lebih

    baik daripada istirahat panjang hanya satu kali. Prinsip antropometri: (a) pemakaian

    data antropometri harus tepat untuk populasi tertentu, dan (b) salah satu faktor

    penting terkait dengan ruang, tempat, peralatan dan sikap kerja (Pheasant, 1991;

    Kearney, 1998).

  • 34

    2.2.4 Gaya Otot

    Gaya otot yang ditinjau dari aspek biomekanika pada suatu proses kerja

    perlu mendapat perhatian yang serius. Dalam dunia kerja yang menjadi perhatian

    adalah kekuatan kerja otot yang tergantung pada posisi anggota tubuh yang bekerja,

    arah gerakan kerja dan perbedaan kekuatan antar bagian tubuh. Penelaahan aspek

    biomekanika mencoba memberikan gambaran ataupun solusi guna meminimalkan

    gaya dan momen yang dibebankan pada otot pekerja agar tidak terjadi kecelakaan

    maupun penyakit akibat kerja (Kroemer & Grandjean, 2010).

    Gaya otot dapat digambarkan sebagai kekuatan yang dikeluarkan otot untuk

    menahan beban baik berupa beban eksternal maupun beban internal. Gaya otot dari

    kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh

    saat adanya gaya dari luar. Gaya otot tersebut berhubungan langsung dengan

    kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang

    secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh. Beberapa kelompok otot baik

    pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri

    tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan

    pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respons dari otot-

    otot postural bekerja secara sinergis sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik

    tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh (Davidovits, 2007).

    Pusat gravitasi pada suatu objek yang homogen terletak tepat di tengah

    benda tersebut. Pusat gravitasi adalah titik utama pada tubuh yang akan

    mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik

    ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah

  • 35

    sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri

    tegak adalah tepat di atas pinggang atau 56% dari tinggi jika diukur dari tumit

    (Davidovits, 2007).

    Derajat stabilitas tubuh dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: ketinggian dari

    titik pusat gravitasi dengan bidang tumpu, ukuran bidang tumpu, lokasi garis

    gravitasi dengan bidang tumpu, serta berat badan. Garis gravitasi merupakan garis

    imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Ketika

    tubuh berdiri tegak dalam posisi anatomis, maka garis gravitasi akan tepat membagi

    tubuh menjadi dua bagian kanan dan kiri yang hampir identik. Hal ini akan

    membuat pembebanan yang diterima oleh otot akan sama antara kelompok otot

    kanan dan kiri. Ketika postur kerja berubah, akan menyebabkan perubahan letak

    garis gravitasi ini sehingga pembebanan yang diterima kelompok otot kanan dan

    kiri akan berbeda. Perubahan letak garis gravitasi menyebabkan pembebanan otot

    tungkai lebih besar pada bagian yang lebih dekat dengan garis gravitasi

    (Davidovits, 2007).

    Gaya otot yang dikeluarkan oleh pekerja berbanding lurus dengan

    pembebanan yang diterima. Semakin besar pembebanannya, semakin besar pula

    gaya otot yang dibutuhkan untuk tetap mempertahankan postur kerja tetap

    seimbang. Saat garis gravitasi terletak tepat di tengah-tengah yang membagi tubuh

    menjadi kanan dan kiri, maka gaya otot yang dikeluarkan akan terbagi secara

    merata antara kelompok otot kanan dan kelompok otot kiri. Saat pekerja

    menjangkau suatu benda dan mengangkat benda tersebut, maka akan membebani

    otot sehingga diperlukan gaya otot untuk melawan pembebanan tersebut.

  • 36

    Peningkatan gaya otot yang dikeluarkan akan lebih tinggi lagi akibat terjadi

    perubahan postur yang menggeser garis gravitasi tidak berada tepat di tengah-

    tengah lagi (Davidovits, 2007).

    Selain besarnya gaya yang dikeluarkan otot, durasi pembebanan otot juga

    berperan penting dalam menjaga otot tetap bekerja dengan baik. Semakin lama otot

    menerima beban tambahan maka semakin tidak baik bagi otot tersebut. Beban

    tambahan yang diterima otot akan memerlukan gaya otot yang lebih tinggi sehingga

    membutuhkan energi yang lebih banyak. Gaya otot yang tinggi juga menyebabkan

    tekanan otot meningkat sehingga menghambat pembuluh darah yang menyuplai

    oksigen serta bahan makanan ke dalam otot. Jika durasi pembebanan cukup lama

    akan menyebabkan proses pembentukan energi pada otot dan pembuangan sisa

    metabolisme otot menjadi terhambat sehingga mengganggu kerja otot (Sherwood,

    2016; Hall & Guyton, 2015).

    2.3 Produktivitas

    2.3.1 Produktivitas kerja

    Produktivitas pada dasarnya merupakan sikap mental yang selalu

    mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari

    kemarin, dan hari ini dikerjakan untuk kebaikan hari esok (Sudomo, 1991; Tarwaka

    et al., 2004). Untuk mencapai tingkat produktivitas yang optimal, maka perlu

    dilakukan melalui pendekatan multidisipliner yang melibatkan semua usaha,

    kecakapan, keahlian, modal, teknologi, manajemen, informasi dan sumber-sumber

    daya lain secara terpadu untuk melakukan perbaikan dalam upaya peningkatan

    kualitas hidup manusia.

  • 37

    Produktivitas pekerja perusahaan dapat meningkat apabila kondisi dan

    suasana kerja mendukung. Oleh sebab itu guna mengetahui sebab-sebab rendahnya

    produktivitas pekerja dan upaya perbaikannya sehingga produktivitas pekerja

    perusahaan dapat mencapai hasil yang optimal, maka pembina maupun pengelola

    perusahaan perlu mengetahui aplikasi ilmu ergonomi (Tarwaka et al., 2004).

    Konsep umum dari produktivitas adalah suatu perbandingan antara luaran

    (output) dan masukan (input) per satuan waktu. Produktivitas dapat dikatakan

    meningkat apabila jumlah luaran meningkat dengan masukan yang sama

    peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan menekan sekecil-kecilnya segala

    macam biaya termasuk dalam memanfaatkan sumber daya manusia dan

    peningkatan luaran sebesar-besarnya (Manuaba, 1988; Pheasant, 1991).

    Pengukuran produktivitas secara umum dapat dibedakan menjadi 2 macam

    yaitu: (1) Produktivitas total, adalah perbandingan antara total luaran dengan total

    masukan per satuan waktu. Dalam perhitungan produktivitas total, semua faktor

    masukan terhadap total luaran diperhitungkan, dan (2) Produktivitas parsial, adalah

    perbandingan dari luaran dengan satu jenis masukan seperti upah tenaga kerja,

    bahan daya, beban daya, skor keluhan subjektif dan lain-lain, yang secara umum

    dapat dirumuskan seperti berikut:

    Rumus 2.1 Produk tivitas

    Produktivitas tenaga kerja = WaktuxMasukan

    Luaran .............................................. (2.1)

    Luaran merupakan hasil kerja dalam suatu proses produksi. Pada penelitian

    ini luaran berupa jumlah roti kukus yang memenuhi standar kualitas. Masukan

    dapat diproyeksikan sebagai rerata beban kerja (denyut nadi kerja), keluhan otot

    skeletal (skor kuesioner Nordic Body Map), serta kelelahan (waktu reaksi).

  • 38

    2.3.2 Efisiensi waktu proses produksi

    Definisi efisiensi adalah usaha mencapai prestasi yang sebesar-besarnya

    dengan menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia (material, mesin,

    manusia) dalam waktu yang sependek-pendeknya, di dalam keadaan yang nyata

    (sepanjang keadaan itu bisa berubah) tanpa mengganggu keseimbangan antara

    faktor-faktor tujuan, alat, tenaga, dan waktu (Syamsi, 2004).

    Efisiensi disebut juga dengan hasil guna yang merupakan perbandingan

    terbaik antara suatu hasil dengan usahanya. Hasil adalah suatu kegiatan yang dapat

    disebut efisiensi, jika usaha tersebut memberikan hasil yang maksimum dari segi

    mutu atau jumlah satuan hasil tersebut. Efisiensi juga merupakan penggunaan

    masukan atau input yang dilakukan oleh pekerja yang kreatif, disiplin, profesional,

    terlatih dan memiliki motivasi tinggi.

    Usaha adalah suatu kegiatan yang dapat disebut efisien, jika sesuatu hasil

    tertentu tercapai dengan usaha minimum, mencakup lima unsur: pikiran, tenaga

    jasmani, waktu, ruang, dan benda (termasuk uang). Kegiatan dikatakan efisien

    harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: dapat diukur, mengacu pada

    pertimbangan rasional, tidak boleh mengorbankan kualitas, merupakan teknis

    pelaksanaan, sesuai dengan kemampuan organisasi, dan ada tingkatannya.

    Performance sering diartikan sebagai suatu kinerja, hasil kerja atau prestasi

    kerja seseorang yang mempunyai hubungan dengan pencapaian tujuan organisasi

    dan kepuasan konsumen yang memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan

    kerja. Kinerja berhubungan pula dengan apa yang dikerjakan dan bagaimana

    mengerjakannya (Armstrong, 2003). Faktor yang berpengaruh terhadap kinerja

  • 39

    adalah kualitas sumber daya manusia sebagai tuntutan yang digunakan untuk

    mengukur dan menilai keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan,

    perilaku pekerja dan hasil capaian kerja (Rivai, 2005).

    Pandangan ergonomi terhadap kinerja sumber daya manusia adalah tuntutan

    tugas, motivasi kerja dan kemampuan menghadapi (complexity, competition and

    change-3C) (Manuaba, 2004) menyatakan bahwa hal yang sangat mendasar yang

    harus dihadapi manusia adalah kompleksitas tugas pekerjaan, memenangkan

    kompetisi dan sikap manusia menerima perubahan, hasil dari perubahan dapat

    terjadi secara otomatisasi, informasi, transformasi dan substitusi sebagai salah satu

    jawaban keinginan untuk memperbaiki diri.

    Tujuan dan manfaat dari kinerja yaitu untuk melakukan penilaian terhadap

    capaian hasil kerja berdasarkan tuntutan tugas yang dipengaruhi oleh karakteristik

    pekerjaan task, lingkungan, (environment), dan organisasi (organization) di mana

    pekerjaan itu dilakukan sehingga tercapai kondisi kerja yang sehat, aman, nyaman,

    efisien, efektif dan produktif yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan

    kualitas hidup pekerja, kualitas penampilan kinerja dan keuntungan perusahaan

    (Kroemer & Grandjean, 2010; Manuaba, 2000).

    2.3.3 Ergonomi dan aspek ekonomi

    Intervensi ergonomi industri yang sudah banyak dilakukan oleh cukup

    banyak ahli di berbagai tempat di dunia, menghasilkan cetusan semboyan ’good

    ergonomic is good economic’ (Hendrick, 1996). Semboyan ergonomi

    mengindikasikan upaya aplikasi ergonomi bersifat proporsional, agar berhasil

    memberi keuntungan material walaupun sasaran utama faktor kesehatan dan

  • 40

    keselamatan (Wilson & Corlett, 2005). Secara realistis, pencegahan risiko sudah

    pasti menghasilkan keuntungan non material dan material. Sangat ironis jika

    aplikasi ergonomi industri hanya berhasil membiayai perbaikan, tetapi perubahan

    yang didambakan tidak terwujud sehingga McLeod berani memproklamirkan

    ergonomic is for saving and earning money (McLeod, 1995).

    Untuk lebih memastikan peningkatan produktivitas dan dapat memberikan

    manfaat yang riil baik bagi industri roti kukus berskala industri rumah tangga, maka

    diperlukan analisis rugi-laba atau Break-even cost analysis. Break-even cost

    analysis dalam intervensi alat penuang berbasis ergonomi dilakukan dengan

    menghitung Break even Point dengan cara sebagai berikut:

    1. Menghitung seluruh biaya (dalam rupiah) pembuatan alat penuang

    berbasis ergonomi total yang dilakukan dalam upaya peningkatan

    produktivitas kerja.

    2. Menghitung keuntungan dari selisih antara hasil kerja sebelum dan

    sesudah intervensi dilakukan, dikonversi dalam rupiah. Keuntungan

    yang diperoleh dapat berasal dari selisih upah per satuan waktu dan

    jumlah roti kukus kualitas standar yang mampu diproduksi.

    3. Break even Point dicapai pada saat terjadi titik temu antara biaya

    dan manfaat yang diperoleh setelah intervensi dilakukan (saat biaya

    terbayar oleh manfaat yang diperoleh setelah intervensi dilakukan).

    2.4 Konsep Ergonomi

    Ergonomi atau dalam dunia internasional dikenal sebagai ergonomics

    berasal dari kata Yunani yaitu “ergo” yang berarti kerja dan “nomos” yang berarti

  • 41

    hukum. Dengan demikian ergonomi dapat diartikan sebagai disiplin keilmuan yang

    mempelajari manusia dalam kaitannya dengan pekerjaannya atau studi tentang

    aspek-aspek manusia dalam lingkup kerjanya yang ditinjau dari task, organisasi,

    serta lingkungan. Ergonomi sebagai sebuah disiplin keilmuan meletakkan manusia

    pada titik pusat perhatian (Human Center Design) dalam sebuah perancangan

    maupun perbaikan sistem kerja di mana manusia terlibat di dalamnya. Disiplin

    ergonomi secara khusus akan mempelajari keterbatasan dari kemampuan manusia

    dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya (Helander,

    2010; Setiawan, 2012). Pendekatan ergonomi mempertimbangkan bahwa manusia

    memiliki batas-batas kemampuan baik jangka pendek maupun jangka panjang pada

    saat berhadapan dengan keadaan sistem kerjanya yang berupa perangkat keras

    (mesin, peralatan kerja, dll.) maupun perangkat lunak (metode kerja, sistem dan

    prosedur, dll.) (NIOSH, 1984; Helander, 2006).

    Ergonomi didefinisikan sebagai suatu ilmu, seni, dan teknologi untuk

    menyerasikan alat, metode, dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan,

    dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental. Kondisi kerja dan lingkungan

    yang aman, nyaman, sehat, bugar, dan efisien yang pada akhirnya produktivitas

    setinggi-tingginya yang diharapkan dapat tercapai dan kualitas hidup menjadi lebih

    baik (Manuaba, 1998b; Adiputra, 1998a; Manuaba, 2005b; Kroemer & Grandjean,

    2010).

    Ergonomi sebagai ilmu terapan multidisipliner, mengaplikasikan berbagai

    informasi faktor manusia untuk mendesain fasilitas kerja, alat, tugas/ sistem dan

    lingkungan sehingga tercapai kondisi kerja yang sehat, aman, nyaman dan

  • 42

    produktif. Ergonomi menjabarkan interaksi antara manusia dengan unsur lain dari

    sistem yang dipakai, disebarluaskan sebagai pengetahuan ilmiah yang memenuhi

    syarat untuk menilai kualifikasi ergonomi (Pheasant & Haslegrave, 2006). Definisi

    praktis dari ergonomi adalah desain untuk manusia (Pulat, 1992). Oleh karena itu

    tidaklah mengherankan kalau pemahaman mengenai ergonomi mutlak untuk

    dipelajari oleh semua disiplin keilmuan mulai dari kedokteran, psikologi, teknik,

    sosial-ekonomi, dan sebagainya.

    Ergonomi memanfaatkan prinsip dan data ilmiah berkaitan dengan manusia

    untuk proses desain perlengkapan, produk, jasa, tugas, peralatan, fasilitas,

    lingkungan serta sistem agar kebutuhan optimalisasi fungsi seluruh organ tubuh

    yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan, kenyamanan dan produktivitas

    dapat terwujud (Vink, 2005; Chebykin et al., 2008). Ergonomi dibutuhkan manusia

    untuk mendapat fasilitas yang mendukung proses kerja yang sehat, aman, dan

    nyaman sekaligus memuaskan karena memiliki nilai estetika, friendly, dan trendi.

    Tujuan aplikasi ergonomi secara luas adalah: (a) meningkatkan kondisi fisik

    dan mental, khususnya mengoptimalkan keselamatan dan kesehatan kerja dengan

    mencegah terjadinya penyakit akibat kerja, serta mengurangi beban fisik dan

    mental, (b) meningkatkan kesejahteraan sosial dengan jalan meningkatkan kualitas

    interaksi sosial, mengelola dan mengoptimalkan kenyamanan dan kemudahan kerja

    dengan mengatur kerja secara tepat guna serta meningkatkan jaminan sosial baik

    selama usia produktif maupun setelah tidak produktif, dan (c) menciptakan/

    berkontribusi di dalam meningkatkan hubungan rasional antara aspek-aspek teknik,

    ekonomi, antropologi, dan budaya dari sistem manusia-mesin, karena berusaha

  • 43

    mengoptimalkan efisiensi kerja manusia sehingga kualitas kerja dan kualitas hidup

    dapat ditingkatkan (Adiputra, 2000; Manuaba, 1998c; Tarwaka et al., 2004).

    Ada delapan aspek penting yang harus diperhatikan dalam setiap aplikasi

    ergonomi di dalam industri, yaitu: (1) nutrisi, (2) pemanfaatan tenaga otot, (3) sikap

    kerja, (4) kondisi lingkungan, (5) kondisi waktu, (6) kondisi sosial, (7) kondisi

    informasi, dan (8) interaksi manusia-alat (Manuaba, 2003). Berdasarkan 8 aspek

    tersebut, setiap orang yang memanfaatkan ergonomi minimal memperoleh

    keuntungan dari 8 aspek tersebut. Ergonomi membuat produk menjadi memiliki

    nilai lebih, karena mengubah kehidupan manusia (Bubb, 2006).

    2.5 Antropometri dalam Desain Fasilitas Stasiun Kerja

    Istilah antropometri berasal dari bahasa Yunani, yaitu antropos yang berarti

    manusia dan metrein yang berarti ukuran. Secara definitif antropometri dapat

    dinyatakan sebagai satu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh

    manusia. Studi tentang ukuran tubuh manusia akan memberikan penjelasan kalau

    setiap manusia itu pada dasarnya memiliki perbedaan satu dengan yang lain.

    Manusia akan bervariasi dalam berbagai macam dimensi ukuran seperti kebutuhan,

    motivasi, intelegensia, imajinasi, usia, latar belakang pendidikan, jenis kelamin,

    kekuatan, bentuk dan ukuran tubuh, dan sebagainya. Antropometri secara luas akan

    digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan ergonomis dalam proses

    perancangan fasilitas stasiun dalam sistem kerja yang akan memerlukan interaksi

    manusia (Kroemer & Grandjean, 2010).

    Berdasarkan data antropometri yang tepat maka seorang perancang fasilitas

    stasiun kerja akan mampu menyesuaikan bentuk dan geometris ukuran dari desain

  • 44

    fasilitas stasiun kerjanya dengan bentuk maupun ukuran segmen-segmen bagian

    tubuh yang nantinya akan mengoperasikan fasilitas stasiun kerja tersebut. Data

    antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas antara lain

    dalam hal: (a) perancangan areal kerja atau stasiun kerja, (b) desain peralatan kerja

    seperti mesin, peralatan, perkakas dan sebagainya (Sudiarta, 2000), (c) desain

    produk-produk meja/ kursi kerja, dll., dan (d) desain lingkungan kerja fisik.

    Desain fasilitas stasiun kerja harus mampu mengakomodasikan dimensi

    tubuh dari populasi terbesar yang akan menggunakan fasilitas stasiun kerja hasil

    desainnya tersebut. Data antropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai

    macam anggota tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar

    manfaatnya pada saat suatu desain fasilitas stasiun kerja akan dibuat. Informasi

    tentang berbagai macam anggota tubuh yang perlu diukur dalam aplikasi

    antropometri untuk desain fasilitas stasiun kerja (Kroemer & Grandjean, 2010).

    Pengukuran antropometri dilakukan pada sikap kerja duduk atau berdiri

    (Gambar 2.2), sesuai keadaan saat bekerja. Pekerja yang akan diukur

    antropometrinya, menggunakan pakaian seminimal mungkin dan diukur dengan

    antropometer (Sutjana & Susila, 1997; Sutjana et al., 2008).

  • 45

    Gambar 2.2 Pengukuran Antropometri

    Pada proses penuangan adonan di industri roti kukus, pekerja bekerja

    dengan sikap kerja berdiri. Pengukuran antropometer pada sikap kerja berdiri

    dilakukan pada beberapa ukuran yaitu (Sutjana & Susila, 1997; Sutjana et al.,

    2008):

    1. Tinggi tubuh (body height): tinggi dari lantai hingga vertex.

    2. Tinggi mata (eye height): tinggi lantai sampai ke sudut bagian dalam mata.

    3. Tinggi siku (elboy rest height): tinggi dari lantai sampai tepi bawah siku. Siku

    membentuk sudut 90o.

    4. Tinggi jangkauan ke atas (upper reach height): tinggi dari lantai sampai ke

    pertengahan kayu/pulpen yang digenggam.

    5. Jangkauan ke depan (front arm reach): jangkauan yang dapat dicapai ke depan,

    dari belakang punggung sampai ke pertengahan kayu/bolpoin yang digenggam.

  • 46

    6. Jangkauan ke samping (side arm reach): jarak jangkauan tangan ke samping,

    dari sisi bahu tangan lain sampai ke pertengahan kayu yang digenggam

    kemudian dikurangi dengan lebar bahu

    7. Lebar bahu (shoulder breadh): jarak dari tepi bahu kiri dan bahu kanan.

    8. Tinggi genggam (grips height): tinggi dari lantai sampai pertengahan kayu

    yang digenggam

    9. Tinggi pantat (buttock height): tinggi dari lantai sampai pantat, diukur dari

    lantai hingga tepi bawah paha yang diangkat

    10. Tinggi bahu (shoulder height): tinggi dari lantai sampai bahu.

    Pada penelitian yang akan dilakukan, dibutuhkan beberapa ukuran

    antropometri pekerja dalam sikap berdiri di antaranya:

    1. Tinggi tubuh untuk menentukan IMT (Indeks Massa Tubuh) pekerja

    2. Tinggi siku untuk menentukan tinggi bidang kerja

    3. Jangkauan ke depan dan ke samping untuk menentukan peletakan alat dan

    bahan produksi

    2.6 Sikap Kerja

    Sikap kerja adalah posisi tubuh pada saat melakukan aktivitas kerja dalam

    interaksinya dengan fasilitas kerja di stasiun kerja. Posisi tubuh pada saat

    berinteraksi dengan fasilitas kerja merupakan orientasi relatif bagian tubuh di dalam

    suatu ruangan stasiun kerja. Pemilihan sikap kerja harus sesuai dengan jenis

    pekerjaan yang dilakukan. Sikap kerja sangat penting jika dikaitkan dengan

    pemanfaatan energi. Energi yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas akan lebih

    tinggi jika pekerja melakukan sikap kerja tidak fisiologis (Manuaba, 1988;

  • 47

    Takahashi, 2002). Sikap kerja yang sesuai dengan prinsip ergonomi adalah sikap

    kerja yang mampu menimbulkan kondisi kerja sehat dan aman serta penggunaan

    tenaga otot yang benar (fisiologis). Untuk itu diperlukan pemahaman tentang fungsi

    tulang sendi dan otot serta dapat mengubah sikap kerja tidak alamiah menjadi lebih

    fisiologis dan sehat. Aktivitas kerja sebaiknya dilakukan pada sekitar titik tengah

    tulang sendi, terutama pada kepala, tubuh, tungkai dan lengan atas (Corlett, 1983;

    Miller, 2010). Pekerja sebaiknya dilatih untuk mengerti tentang penggunaan bagian

    tubuh yang salah dan yang benar, kebiasaan kerja yang merugikan dan

    menguntungkan, kerja statis dan dinamis, serta cara menggunakan otot yang benar

    (Kroemer & Grandjean, 2010).

    Sikap kerja yang tidak fisiologis dapat menimbulkan gangguan pada sistem

    muskuloskeletal yang dapat menyebabkan hilangnya stabilitas, mudah tergelincir,

    dan rawan terhadap kecelakaan (Sariputra, 2003; Manuaba, 1988). Sikap kerja

    membungkuk dalam waktu lama akan lebih cepat menimbulkan keluhan otot

    punggung, leher, pinggang dan tungkai (Robinson, 1998; Pheasant & Haslegrave,

    2006). Kontraksi otot statis dalam waktu lama akan menyebabkan rasa nyeri, dan

    cepat lelah (Suma’mur, 1989; Manuaba, 1988). Berdasarkan fenomena-fenomena

    di atas perlu menerapkan prinsip-prinsip ergonomi untuk menciptakan kondisi kerja

    yang efektif, nyaman, aman, sehat, dan efisien (ENASE) serta tercapai

    produktivitas yang setinggi-tingginya.

    Ada tujuh petunjuk ergonomis dalam mengatasi sikap kerja selama

    melakukan aktivitas kerja sebagai berikut (Pheasant, 1995): 1) cegah inklinasi ke

    depan pada leher dan kepala, 2) cegah inklinasi ke depan pada tubuh, 3) cegah

  • 48

    penggunaan anggota gerak bagian atas dalam keadaan terangkat, 4) cegah

    pemutaran badan dalam sikap asimetris, 5) penempatan barang-barang yang akan

    dipakai hendaknya tidak melebihi sepertiga (1/3) dari gerakan rentangan

    maksimum, 6) sediakan sandaran punggung dan pinggang pada semua tempat

    duduk, dan 7) jika menggunakan tenaga otot, hendaknya dalam posisi yang

    mengakibatkan kekuatan maksimum.

    Mendesain stasiun kerja yang dikaitkan dengan sikap kerja perlu

    memperhatikan 4 faktor sebagai berikut: (1) beban kerja otot, (2) keseimbangan dan

    stabilitas tubuh, (3) keterampilan yang terlihat secara visual, dan (4) informasi-

    informasi (gejala-gejala) pada saat berlangsungnya aktivitas di stasiun kerja

    (Kuorinka & Forcier, 1998). Salah satu sikap kerja bisa menimbulkan gangguan

    pada otot sehingga perlu dipertimbangkan jenis pekerjaan yang menyebabkan

    tangan sampai ke atas kepala, siku di atas bahu, kepala menunduk, berjongkok,

    punggung membungkuk, obyek licin, dan menjangkau obyek dengan sikap

    tanggung (Anderson, 2009).

    Sikap kerja berbagai proses produksi pada industri roti kukus (Gambar 2.3)

    umumnya dilakukan dengan sikap kerja berdiri. Ada pekerja yang melakukan

    pekerjaan (menuang adonan) dengan sikap berdiri statis dalam waktu ± 1 jam. Ada

    juga pekerja melakukan tugasnya dengan sikap kerja duduk di lantai atau

    menggunakan kursi kecil sehingga sikap kerjanya tidak alamiah (membungkuk).

  • 49

    Gambar 2.3 Berbagai sikap kerja pada industri roti kukus

    Berbagai sikap kerja pada industri roti kukus masih memiliki masalah

    ergonomi. Saat proses mengukus (Gambar 2.3 A) didapatkan sikap kerja yang tidak

    alamiah yaitu ekstremitas atas pekerja dalam keadaan terangkat. Hal ini disebabkan

    karena stasiun kerja (ketinggian kompor) tidak sesuai dengan antropometri pekerja.

    Masalah ini dapat diatasi dengan memperbaiki stasiun kerja agar lebih ergonomis.

    Pada proses kerja menuang adonan (Gambar 2.3 B), pekerja melakukan gerakan

    repetitif yang dapat berdampak pada respons fisiologis dan produktivitas kerja.

    Penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total dapat dijadikan solusi untuk

    memecahkan masalah ini, sudah bahkan bisa berdampak positif untuk proses kerja

    A B

    C

  • 50

    yang lain. Pada proses kerja memindahkan roti kukus yang sudah matang,

    dilakukan dengan sikap kerja duduk menggunakan kursi dingklik (Gambar 2.3 C).

    Hal ini akan menimbulkan masalah sikap kerja yang tidak alamiah, sehingga perlu

    dilakukan perbaikan stasiun kerja.

    2.7 Faktor Lingkungan Kerja Fisik

    Faktor lingkungan kerja perlu mendapatkan perhatian dalam proses

    produksi. Faktor lingkungan dapat menimbulkan beban tambahan terhadap pekerja

    sehingga menambah energi yang dikeluarkan oleh pekerja. Peningkatan

    pengeluaran energi dapat mempercepat kelelahan pekerja. Suhu lingkungan yang

    terlalu panas juga akan menambah beban kerja otot sehingga akan meningkatkan

    keluhan otot pekerja. Akibat beban tambahan yang terjadi, kecepatan kerja menjadi

    menurun dan akhirnya menurunkan produktivitas pekerja (Kroemer & Grandjean,

    2010).

    Lingkungan kerja fisik yang ergonomis dapat menimbulkan kenyamanan

    aktivitas, kesehatan dan keamanan pekerja, serta meningkatkan produktivitas

    pekerja (Adiputra, 2003; Tochihara & Ohnaka, 2005). Lingkungan fisik kerja terdiri

    atas.

    1) Desain intensitas pencahayaan/ penerangan

    Intensitas cahaya yang sesuai jenis pekerjaan, bisa mengurangi kelelahan

    dan keluhan muskuloskeletal. Memanipulasi bentuk, tekstur, warna cahaya dan

    jenis pekerjaan untuk menimbulkan perbedaan serta tanggapan terhadap keinginan

    manusia (Kearney, 1998). Pencahayaan umum (ambient lighting), menerangi

    ruangan secara merata karena membaur (Kroemer & Grandjean, 2010).

  • 51

    Pencahayaan lokal (task lighting) menerangi permukaan kerja, meningkatkan daya

    tarik dan nilai suatu objek (DiLouie, 2006).

    Cahaya mempengaruhi kemampuan manusia melihat, mengenal ruangan,

    memudahkan gerakan dan caranya merasakan sesuatu (Eikhout et al., 2005;

    Kearney, 1998). Berdasarkan sumber cahaya, ada jenis cahaya alami dan buatan.

    Cahaya alami adalah matahari, bulan, bintang yang memiliki variasi kekuatan

    tergantung waktu serta musim dan lokasi. Cahaya buatan dihasilkan oleh elemen

    rekayasa manusia, dengan kualitas dan kuantitas cahaya berbeda karena tergantung

    jenisnya. Intensitas cahaya yang kurang sesuai, menyebabkan gangguan

    penglihatan dan keluhan mata. Intensitas cahaya berlebihan, menimbulkan silau

    dan pantulan atau bayangan (Ananda & Dinata, 2015; Niti, 2000).

    2) Gerakan angin

    Gerakan angin merupakan salah satu syarat perwujudan kondisi ruangan

    ergonomis, karena mengeluarkan CO2 akibat proses pernafasan pemakainya. Perlu

    disediakan ventilasi memadai, agar udara segar lebih banyak. Jika kandungan CO2

    di dalam darah melebihi batas normal maka, pusat respirasi segera menstimulasi

    terjadi pernafasan cepat dan dalam (Sherwood, 2016; Hall & Guyton, 2015).

    Gerakan udara juga memberi pengaruh pada suhu yang dirasakan pekerja. Semakin

    besar kecepatan aliran udara, maka semakin rendah suhu yang dirasakan oleh

    pekerja (Manuaba, 1992).

    3) Suhu dan kelembaban relatif

    Rerata suhu udara dan suhu permukaan, merupakan suhu yang dirasakan

    manusia. Pedoman yang dipakai untuk menentukan suhu nyaman, perbedaan rerata

  • 52

    suhu permukaan tidak lebih dari 2-3°C di atas atau di bawah suhu udara. Jika

    dilewati, diperlukan ruangan transisi untuk adaptasi (Manuaba, 1998b).

    Daerah nyaman orang Indonesia sekitar 22-28°C suhu kering, kelembaban

    relatif 70-80% dan kecepatan angin tidak lebih dari 0,20 m/d. Suhu ruang kurang

    dari 20°C mengakibatkan badan menggigil dan frekuensi pengeluaran urine

    meningkat sedangkan suhu panas meningkatkan pengeluaran keringat,

    vasokonstriksi dan vasodilatasi sub kutis sehingga mengganggu aktivitas pekerja

    (Manuaba, 1998b).

    4) Intensitas kebisingan/ suara

    Pendengaran sering kali menimbulkan persepsi menyenangkan dan juga

    tidak menyenangkan, karena suara dari luar diinterpretasi dengan cara berbeda.

    Tergantung pendapat sebelumnya dan harapan serta pengalaman seseorang

    (Nurmianto, 2003). Kebisingan meningkatkan tekanan darah, denyut jantung,

    konstriksi pembuluh darah pada kulit, metabolisme, tensi otot dan menurunkan

    aktivitas alat pencernaan. Berbeda dengan kebisingan yang dikehendaki seperti

    suara musik sebagai pelembut suasana, jelas bermanfaat bagi pekerja bila tidak

    mengganggu percakapan dan komunikasi agar kenyamanan bekerja meningkat

    (Manuaba, 1998a).

    2.8 Kesehatan

    Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang

    memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial, dan ekonomis.

    Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan, dan pencegahan gangguan

    kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan.

  • 53

    Peningkatan kesehatan pekerja dapat dicapai dengan meningkatkan minimal salah

    satu dari aspek kesehatan tersebut yaitu aspek fisik, mental, dan sosial. Aspek fisik

    dalam keterkaitannya dengan kesehatan pekerja tercermin dari respons fisiologis

    yang timbul akibat pekerjaannya (WHO, 2017).

    Pengertian kesehatan kerja adalah adanya jaminan kesehatan pada saat

    melakukan pekerjaan. Menurut International Labour Office (ILO), kesehatan kerja

    bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan

    sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan

    terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,

    perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang

    merugikan kesehatan, dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu

    lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya.

    Secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap

    manusia kepada pekerjaan atau jabatannya (International Labour Office, 1998).

    Kesehatan kerja menurut Suma’mur didefinisikan sebagai spesialisasi dalam

    ilmu kesehatan/kedokteran beserta praktiknya, agar masyarakat pekerja

    memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik atau mental maupun

    sosial dengan usaha-usaha preventif dan kuratif terhadap penyakit-

    penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan

    dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit-penyakit umum (Suma’mur, 1989).

    Notoatmodjo menyatakan bahwa kesehatan kerja adalah merupakan aplikasi

    kesehatan masyarakat di dalam suatu tempat kerja (perusahaan, pabrik, kantor, dan

    sebagainya) dan yang menjadi pasien dari kesehatan kerja ialah masyarakat pekerja

  • 54

    dan masyarakat sekitar perusahaan tersebut. Ciri pokoknya adalah preventif

    (pencegahan penyakit) dan promotif (peningkatan kesehatan). Oleh sebab itu,

    dalam kesehatan kerja pedomannya ialah: “ penyakit dan kecelakaan akibat kerja

    dapat dicegah”. Dari aspek ekonomi, penyelenggaraan kesehatan kerja bagi suatu

    perusahaan adalah sangat menguntungkan karena tujuan akhir dari kesehatan kerja

    ialah meningkatkan produktivitas seoptimal mungkin (Notoatmodjo, 2007).

    Hakikat kesehatan kerja mencakup dua hal, yakni:

    1. Pertama : sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-

    tingginya.

    2. Kedua : sebagai alat untuk meningkatkan produksi, yang berlandaskan kepada

    meningkatnya efisiensi dan produktivitas.

    Kedua prinsip tersebut apabila dijabarkan ke dalam bentuk operasional,

    maka tujuan utama kesehatan kerja adalah:

    1. Pencegahan dan pemberantasan penyakit-penyakit dan kecelakaan-kecelakaan

    akibat kerja.

    2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dan gizi tenaga kerja.

    3. Perawatan mempertinggi efisiensi dan produktivitas tenaga kerja.

    4. Pemberantasan kelelahan kerja dan meningkatkan kegairahan serta kenikmatan

    kerja.

    5. Perlindungan bagi masyarakat sekitar dari bahaya-bahaya pencemaran yang

    ditimbulkan oleh perusahaan tersebut.

    6. Perlindungan bagi masyarakat luas dari bahaya-bahaya yang mungkin

    ditimbulkan oleh produk-produk perusahaan.

  • 55

    2.9 Pendekatan Ergonomi Total (SHIP & TTG)

    Pendekatan ergonomi total adalah suatu pendekatan yang menggabungkan

    antara konsep pendekatan SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner, dan

    Partisipatori) dan penerapan teknologi tepat guna (TTG) (Manuaba, 2005b).

    Dengan berpikir holistik dan sistemik bahwa proses kerja merupakan bagian dari

    suatu sistem, maka perbaikan yang dilakukan tidak akan mengganggu proses

    lainnya, bahkan dapat memberi nilai lebih pada proses-proses lainnya.

    Pertimbangan teknologi tepat guna, secara teknik mudah digunakan, secara

    ekonomis penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total tersebut

    menguntungkan, secara ergonomis sesuai dengan antropometri pekerjanya, dapat

    diterima dari aspek sosio-budaya, tidak merusak lingkungan, dan hemat energi

    (Adiatmika, 2010).

    2.9.1 Pendekatan SHIP

    Pendekatan SHIP merupakan 4 faktor penting dalam kajian ergonomi

    industri yang terdiri atas: pendekatan sistemik, holistik, interdisipliner dan

    partisipatori.

    1) Pendekatan sistemik

    Pendekatan sistemik memperhatikan dan menangani setiap sistem secara

    terpadu, agar berbagai unsur yang saling berhubungan dapat dikembangkan

    menjadi sesuatu yang mudah dikelola. Sistem dipilih dan digunakan sesuai tempat

    dan waktu. Karakteristik fasilitas stasiun kerja memiliki persyaratan, harus

    diperhitungkan dalam proses redesain stasiun kerja dan fasilitas stasiun kerja serta

    mikroklimat ruangan.

  • 56

    2) Pendekatan holistik

    Berbagai faktor yang mempengaruhi sikap kerja di stasiun kerja, jika

    dikaitkan dengan redesain alat maupun stasiun kerja perlu kajian holistik untuk

    menjaga produk yang dihasilkan bisa diterima secara manusiawi (Manuaba, 2005a).

    Pendekatan holistik adalah strategi untuk menghasilkan solusi tepat guna dan

    relevan dengan situasi serta kondisi sebenarnya, sebagai pengembangan alternatif

    solusi dan biaya. Berdasarkan skala prioritas, tahapan proses harus diperoleh

    outcomes yang tinggi sehingga solusi masalah tidak fragmentatif (Adiputra, 2000).

    Keuntungan ekonomi yang didapat dari intervensi ergonomi, adalah perbaikan

    sistem stasiun kerja serta produktivitas. Oleh karena itu, manajemen risiko dan

    keuntungan (risk and benefit) harus dijadikan pedoman dalam setiap perbaikan

    yang berorientasi pada risiko karena secara otomatis dapat diperoleh keuntungan

    yang diharapkan (Manuaba, 2005b).

    3) Pendekatan interdisipliner

    Walaupun ergonomi sudah didukung oleh berbagai jenis ilmu, tetapi

    berbagai permasalahan yang semakin kompleks ternyata belum berhasil

    dipecahkannya secara optimal. Perlu melibatkan pihak lain, dari berbagai disiplin

    berbeda. Kompleksitas masalah dibidang sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan

    menuntut partisipasi ilmu dan teknologi untuk memecahkan masalah manusia

    (Manuaba, 2000). Pendekatan interdisipliner mewajibkan keterlibatan disiplin

    terkait agar desain alat dan stasiun kerja menjadi layak pakai jika ditinjau dari aspek

    ergonomi, fisiologi, psikologi, antropometri, anatomi, teknologi, seni, ekonomi,

    hukum dan sistem nilai pemakainya (Manuaba, 2001).

  • 57

    Pendekatan interdisipliner menghasilkan desain stasiun kerja yang

    mendukung terwujudnya perilaku ergonomis secara sistemik dan reguler. Faktor

    penyebabnya, himbauan, pelatihan, pendekatan personal, hadiah dan contoh belum

    efektif untuk mengubah kebiasaan negatif yang mendarah daging (Manuaba, 2006).

    4) Pendekatan partisipatori

    Pekerja yang melakukan suatu proses kerja diakui lebih memahami kendala

    dan kebutuhan setiap pemakaian produk (Kogi, 2006; Vink, 2005).

    Memberdayakan pekerja yang memakai untuk mendapatkan solusi atas

    kemampuan sendiri, agar perbaikan selanjutnya dapat dilakukan sendiri sehingga

    bisa tumbuh rasa memiliki yang optimal dan sesuai kemampuan finansialnya.

    Pendekatan partisipatori dilakukan melalui diskusi bertahap dan dalam bentuk

    kelompok terbatas, baik dengan manajemen maupun dengan pekerja.

    2.9.2 Pemanfaatan TTG

    Teknologi diartikan sebagai cara, metode, upaya, alat atau hasil budidaya

    manusia untuk memperoleh hasil kerja yang lebih berhasil dan berdaya guna. TTG

    adalah hasil budidaya manusia yang tepat dan berguna, jika dilihat dari segala aspek

    kehidupan (Manuaba, 1998c). Aspek kehidupan yang layak dipakai kriteria

    penentuan keberhasilan yang tepat dan berguna antara lain: (1) secara teknis lebih

    efisien dalam pemakaian dan perawatan, (2) secara ekonomis lebih

    menguntungkan, (3) dari aspek ergonomi menyehatkan, (4) secara sosio-budaya

    bisa diterima, (5) ramah lingkungan, dan (6) hemat energi.

  • 58

    2.10 Alat Penuang Berbasis Ergonomi Total

    Perbaikan terhadap proses produksi penuangan adonan industri roti kukus

    dalam meminimalkan gerakan repetitif perlu segera dilakukan. Solusi yang untuk

    perbaikan ini adalah dengan penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total. Alat

    ini dirancang sedemikian rupa sehingga gerakan repetitif penuangan adonan dapat

    diganti dengan proses penuangan adonan hanya dalam sekali gerakan. Dengan

    sekali penuangan, seluruh cetakan roti kukus dapat terisi adonan. Hal ini juga dapat

    meniadakan gerakan tidak efisien pada gerakan repetitif sehingga proses kerja

    menjadi lebih cepat.

    Pelibatan pekerja dan berbagai disiplin ilmu serta berpikir sistemik dan

    holistik menjadikan pendekatan ergonomi total sangat tepat dalam memecahkan

    berbagai masalah di industri roti kukus. Dalam memecahkan masalah, perlu

    pertimbangan teknologi tepat guna yaitu secara teknik mudah digunakan, secara

    ekonomis penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total tersebut

    menguntungkan, secara ergonomis sesuai dengan antropometri pekerjanya, dapat

    diterima dari aspek sosio-budaya, tidak merusak lingkungan, dan hemat energi.

    Pendekatan Ergonomi Total yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada

    pada suatu proses produksi selain mampu memecahkan masalah yang ada, juga

    dapat mencegah timbulnya masalah baru yang mungkin muncul (Adiatmika, 2010).

    Proses mendesain alat penuang yang baru ini dilakukan menggunakan

    pendekatan ergonomi total. Pendekatan ini dimulai dengan menganalisis masalah-

    masalah ergonomi yang ada di industri roti kukus. Dari beberapa masalah yang

    ditemukan, melalui wawancara mendalam terhadap para pekerja didapatkan

  • 59

    beberapa masalah yang kemudian dikategorikan menjadi urgent, essential, serta

    important. Masalah yang paling urgen yang dikeluhkan oleh pekerja adalah pada

    proses penuangan adonan. Proses ini dirasakan paling berat dan membosankan

    karena pekerja harus melakukan gerakan repetitif penuangan adonan. Gerakan

    repetitif yang dilakukan berupa meletakkan cetakan roti kukus ke dalam loyang satu

    per satu sebanyak ±20 buah, meletakkan kertas roti ke dalam masing-masing

    cetakan, serta menuangkan adonan sedikit demi sedikit ke dalam cetakan yang

    dapat berlangsung 2 kali penuangan untuk satu cetakan. Total gerakan repetitif yang

    terjadi pada proses penuangan adonan ini sekitar 160 gerakan per loyang. Untuk 10

    kg adonan (rata-rata produksi saat hari suci purnama) biasanya pekerja akan

    menuang sekitar 20 loyang sehingga gerakan repetitif yang terjadi berjumlah sekitar

    3200 gerakan repetitif untuk sekali produksi. Jumlah gerakan repetitif ini tentu akan

    semakin besar jika jumlah produksi meningkat terutama saat hari raya galungan.

    Pekerja berharap ada alat yang dapat digunakan agar proses kerja menuang adonan

    menjadi lebih ringan dan nyaman dengan meniadakan gerakan repetitif yang terjadi.

    Pelibatan pekerja terhadap solusi yang diinginkan merupakan pendekatan

    partisipatori yang menjadi bagian dari pendekatan ergonomi total.

    Selanjutnya dilakukan pendesainan alat penuang adonan yang mampu

    meminimalkan gerakan repetitif dengan konsep TTG. Pendesainan alat penuang ini

    melibatkan berbagai disiplin ilmu. Disiplin ilmu yang terlibat antara lain dari ilmu

    teknik, ilmu kesehatan, ilmu ergonomi, ilmu ekonomi, ilmu lingkungan, serta ilmu

    sosial budaya. Pengkajian dari berbagai disiplin ilmu tersebut bertujuan agar alat

    yang dibuat memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan dapat digunakan dengan baik,

  • 60

    tidak menggunakan bahan-bahan yang dapat mencemari adonan sehingga tidak

    berdampak buruk pada kesehatan konsumennya, ukuran alat mempertimbangkan

    antropometri pekerja sehingga tidak berdampak buruk terhadap kesehatan pekerja,

    mudah dan murah dalam pembuatan serta pemeliharaannya sehingga tidak banyak

    membebani industri dan dapat memberikan nilai ekonomi yang baik, tidak

    memberikan dampak buruk terhadap lingkungan, serta tidak ada penolakan dari

    unsur sosial budaya.

    Perancangan alat penuang yang baru juga mempertimbangkan secara

    sistemik dan holistik bahwa proses penuangan adonan merupakan bagian dari suatu

    sistem proses produksi. Dengan berpikir holistik dan sistemik bahwa proses

    penuangan adonan merupakan bagian dari suatu sistem, maka perbaikan yang

    dilakukan tidak akan mengganggu proses lainnya, bahkan dapat memberi nilai lebih

    pada proses-proses lainnya.

    Alat penuang berbasis ergonomi total berupa cetakan roti kukus (Gambar

    2.4) yang menempel permanen pada loyang (Gambar 2.5), alat tuang yang

    dirancang khusus sehingga adonan dapat tertuang ke cetakan dengan sekali

    penuangan (Gambar 2.6), serta alat penyangga (Gambar 2.7). Selain alat penuang

    berbasis ergonomi total, proses penuangan adonan juga membutuhkan alat lain

    berupa centong plastik dengan kapasitas ± 1 kg untuk menuang adonan dan kapi

    plastik dengan ukuran lebar 10 cm. Penggunaan cetakan roti kukus yang menempel

    permanen pada loyang dapat mengeliminasi gerakan repetitif yang terjadi saat

    menggunakan alat lama di mana pekerja harus meletakkan satu per satu alat cetak

    pada loyang. Penggunaan alat penuang adonan yang baru juga dapat mengeliminasi

  • 61

    gerakan repetitif yang terjadi pada proses penuangan adonan sistem lama. Alat

    Penyangga berguna untuk membantu pekerja memosisikan alat cetak dan alat

    pengarah adonan dengan tepat sehingga proses penuangan adonan yang dilakukan

    dapat berjalan dengan baik. Aplikasi alat penuang berbasis ergonomi total

    diharapkan dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal dan beban kerja, serta

    produktivitas pekerja dapat menjadi lebih baik.

    Gambar 2.4 Desain Cetakan

    60

    60 60

    40 40

    40

    40

    Skala 1:2 (dalam mm)

  • 62

    Gambar 2.5 Desain alat cetak

    Gambar 2.6 Desain alat pengarah adonan

    39

    4

    4

    Tampak Atas

    Tampak Depan Tampak Samping

    3939

    Depan TampakSkala 1:8 (dalam cm)

    45

    45

    16,5

    33

    Tampak Atas

    Tampak Depan Tampak Samping

    4

    4

    45 45

    45

    33

    33

    45

    45

    16,5

    16,5

    Ø 4

    Depan TampSkala 1:9 (satuan cm)

  • 63

    Gambar 2.7 Desain alat penyangga

    Penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total ini ada beberapa tahapan

    yaitu:

    1. Pekerja meletakkan cetakan di atas meja kerja.

    2. Pekerja meletakkan kertas roti satu per satu ke dalam cetakan.

    3. Pekerja meletakkan alat pengarah adonan di atas alat cetak

    sedemikian rupa sehingga seluruh lubang yang ada di dasar alat

    pengarah adonan tepat di atas lubang cetakan (Gambar 2.8).

    4. Pekerja menuang adonan dengan centong berkapasitas ± 1 kg adonan

    secara merata ke semua lubang di alat pengarah adonan, dengan

    sekali penuangan sejumlah ± ½ kg (dua kali proses menuang).

    Tampak Atas

    50

    4

    35

    Tampak Depan Tampak Samping

    50 50

    5

    42

    ,5

    4

    8,5

    13,5

    25

    25

    Skala 1:10 (dalam cm)

  • 64

    5. Pekerja meratakan adonan dengan kapi di alat penuang agar semua

    adonan memasuki cetakan dan apabila tersisa sedikit adonan, dapat

    diletakkan di sisi alat pengarah adonan yang tidak berlubang dan

    dikembalikan ke wadah adonan.

    6. Pekerja mengangkat alat pengarah adonan dan meletakkannya di

    tempat yang sudah disediakan.

    7. Pekerja memindahkan cetakan yang sudah penuh ke tempat yang

    sudah disediakan dan mengulangi prosesnya dari awal sehingga

    seluruh proses penuangan adonan selesai.

    Gambar 2.8 Susunan alat penuang berbasis ergonomi total saat digunakan

  • 65

    Studi gerak dan waktu seorang pekerja pada proses menuang 10 kg adonan

    didapatkan pekerja memerlukan adaptasi dalam menggunakan alat penuang

    berbasis ergonomi total. Kecepatan menuang berangsur membaik dan terlihat stabil

    setelah menyelesaikan 4 loyang. Tidak terlihat gerakan-gerakan tidak efektif yang

    dilakukan pekerja. Kecepatan menuang adonan mulai menurun pada loyang ke-8

    atau setelah menuang 154 cetakan. Hal ini mengindikasikan pekerja mulai

    kelelahan. Waktu yang dibutuhkan untuk menuang adonan secara rinci dapat dilihat

    pada Tabel 2.4.

    Tabel 2.4

    Tabel 2.4 Kecepatan Menuang Adonan

    Loyang Jumlah

    Cetakan Waktu (detik)

    Kecepatan per

    cetakan (detik)

    Gerakan tidak

    efektif

    1 22 280 12,73

    Tidak

    ditemukan

    gerakan tidak

    efektif

    2 22 289 13,14

    3 22 222 10,09

    4 22 224 10,18

    5 22 201 9,14

    6 22 200 9,09

    7 22 219 9,95

    8 22 251 11,41

    9 9 313 34,78

    Saat menuang adonan dengan alat baru, pekerja menggunakan gayung

    plastik dengan volume tertentu sebanyak dua kali tuang. Berat adonan yang

    diangkat pekerja sebesar 1,040 kg tiap gayungnya. Berat tersebut bertambah akibat

    sifat adhesif dan kohesif adonan yang cukup besar. Dari pengukuran didapat berat

    yang dibebankan ke pekerja untuk mengangkat centong tersebut mencapai 2,795

  • 66

    kg. Beban ini masih diperbolehkan karena beban maksimal yang boleh diangkat

    pekerja adalah 20 kg (Kroemer & Grandjean, 2010).

    Jika kecepatan proses penuangan dengan alat baru dibandingkan dengan alat

    lama, maka akan diperoleh grafik seperti pada Gambar 2.9. Terlihat pada grafik,

    kecepatan penuangan adonan menggunakan alat baru lebih cepat dibanding

    menggunakan alat lama hampir pada keseluruhan loyang. Pengerjaan loyang ke-9

    menggunakan alat baru mengalami penurunan kecepatan disebabkan karena sisa

    adonan tidak mencukupi untuk mengisi seluruh loyang sehingga tidak dapat

    dilakukan pengerjaan standar dalam penggunaan alat baru. Penggunaan alat baru

    yang dipaksakan pada sisa adonan yang sedikit menyebabkan efisiensi menjadi

    rendah yang terlihat dari penurunan kecepatan menuang adonan.

    Gambar 2.9 Grafik kecepatan menuang adonan dengan alat baru dan alat lama

    Penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total ini juga dapat memberi

    nilai tambah bagi proses lainnya, terutama pada proses pembungkusan. Penggunaan

    alat cetak yang melekat permanen pada loyang ternyata mampu menekan gerakan

    Cet

    akan

    /men

    it

  • 67

    repetitif dengan sangat baik hingga 90%. Alat ini mampu mengubah gerakan

    memindahkan roti kukus yang baru matang yaitu sebanyak 20 gerakan per loyang

    hanya menjadi 2 gerakan saja. Selain memberi keuntungan dalam mengurangi

    gerakan repetitif, proses kerja dengan menggunakan alat cetak baru ini juga

    meniadakan kontak roti kukus dengan pekerja secara langsung. Hal ini memiliki

    keuntungan yang baik jika ditinjau dari higiene proses kerja sehingga kontaminasi

    terhadap produk dapat ditekan.