1.Rehabilitasi Stroke Pada

download 1.Rehabilitasi Stroke Pada

of 6

Transcript of 1.Rehabilitasi Stroke Pada

  • 7/26/2019 1.Rehabilitasi Stroke Pada

    1/11

    Tinjauan Pustaka

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

    Rehabilitasi Stroke padaPelayanan Kesehatan Primer

    Rosiana Pradanasari Wirawan

    SMF Rehabilitasi Medis RS Fatmawati, Jakarta

    Abstrak: Stroke menjadi masalah yang besar dan serius. Sebagai penyebab kecacatan terbanyak

    kedua pada individu usia di atas 60 tahun, stroke menimbulkan beban psikososial serta biaya

    yang sangat besar. Bagi pasien pasca stroke diperlukan intervensi rehabilitasi medik agar

    mereka mampu mandiri untuk mengurus dirinya sendiri dan melakukan aktivitas kehidupan

    sehari-hari tanpa harus terus menjadi beban bagi keluarganya. Namun tidak semua pasien

    mendapat kesempatan melanjutkan program rehabilitasi stroke setelah pulang dari perawatan.

    Sebagian besar disebabkan karena tidak tersedianya fasilitas rehabilitasi medik di sekitar

    tempat tinggal pasien. Secara umum rehabilitasi stroke fase subakut dan kronis dapat ditangani

    melalui tatalaksana rehabilitasi medis sederhana yang tidak memerlukan peralatan canggih.

    Berfokus pada upaya untuk mencegah komplikasi immobilisasi yang dapat membawa dampak

    kepada perburukan kondisi dan mengembalikan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari,

    diharapkan pasien dapat mencapai hidup yang lebih berkualitas. Pelayanan Kesehatan Primersangat penting perannya.

    Kata kunci: stroke, rehabilitasi, subakut

    61

  • 7/26/2019 1.Rehabilitasi Stroke Pada

    2/11

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

    Stroke Rehabilitation in Primary Health Care

    Rosiana Pradanasari Wirawan

    Physical Medicine and Rehabilitation, Fatmawati Hospital -Jakarta

    Abstract: Stroke has become an enormous and serious health problem. Being the second most

    cause of disability for individual above 60 years old, stroke is considered a psychosocial burden

    and very costly. Post-stroke patient therefore need a medical rehabilitation intervention, which

    enable them to take care of themselves and do their own daily activity without being a burden to

    their family. Unfortunately, not all post-stroke patients have their chance to continue their rehabili-

    tation program after discharged from the hospital. The reason behind is mostly the lack of medical

    rehabilitation facility near their home. Generally, stroke rehabilitation in subacute and chronic

    phase could also be managed by simple procedures without using a sophisticated apparatus.

    Focusing on preventing of the complication of immobilization that could make the condition

    became worse, and achievement of the independency of their daily activity, is aiming for the

    patients, better quality of life. Primary Health Care has a very important role in this case.Keywords:stroke, rehabilitation, subakute.

    Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

    Pendahuluan

    Baik di negara maju maupun berkembang, beban yang

    ditimbulkan stroke sangat besar. Stroke merupakan penyebabkematian kedua terbanyak di negara maju dan ketiga

    terbanyak di negara berkembang. Berdasarkan data WHO

    tahun 2002, lebih dari 5,47 juta orang meninggal karena stroke

    di dunia.1Dari data yang dikumpulkan olehAmerican Heart

    Associationtahun 2004 setiap 3 menit satu orang meninggal

    akibat stroke.

    Dengan kemajuan teknologi, stroke lebih sering

    meninggalkan kecacatan dibandingkan kematian. Stroke

    merupakan penyebab kecacatan kedua terbanyak di seluruh

    dunia pada individual di atas 60 tahun.1Beban biaya yang

    ditimbulkan akibat stroke sangat besar, selain bagi pasien

    dan keluarganya, juga bagi negara. Kondisi ini belummemperhitungkan beban psikososial bagi keluarga yang

    merawatnya.

    Oleh karena itu pencegahan stroke menjadi sangat

    penting. Upaya pencegahan antara lain berupa kontrol

    terhadap faktor risiko stroke (Tabel 1) dan perilaku hidup

    yang sehat (primary prevention). Bagi pasien yang telah

    mendapat serangan stroke, intervensi rehabilitasi medis

    sangat penting untuk mengembalikan pasien pada

    kemandirian mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas

    kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban bagi keluarganya.

    Perlu diupayakan agar pasien tetap aktif setelah stroke untuk

    mencegah timbulnya komplikasi tirah baring dan stroke

    berulang (secondary prevention). Komplikasi tirah baring

    dan stroke berulang akan memperberat disabilitas dan

    menimbulkan penyakit lain yang bahkan dapat membawakepada kematian.

    Tabel 1. Faktor Risiko Stroke2

    Tidak dapat Dapat di mod if ikasi P ot en si al

    dimodifikasi dimodifikasi

    Usia Hipertensi Obesitas

    Jenis kelamin Diabetes mellitus Inaktivitas fisik

    Ras Hiperkolesterolemia Hiperhomosisteinemia

    Hereditas Atrial fibrilasi Kondisi hiperkoagulitas

    Merokok Kontrasepsi oral terapi

    stenosis karotis hormonal pengganti

    (asimptomatik) Proses inflamasi

    Penyakit sel sabit Alkohol berlebihan

    Abuse obat-obatan

    Sindrom Stroke

    Patologi stroke dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu

    hemoragik dan iskemia. (Tabel 2)

    Gejala klinis stroke bervariasi tergantung pada bagian

    otak yang sirkulasinya terganggu. Secara umum stroke

    memberikan gambaran klinis dengan pola yang khas, dengan

    variasi secara individual tergantung pada ukuran pembuluh

    darah, pola aliran atau luasnya disrupsi aliran darah ke otak.

    (Tabel 3 dan 4.)

    62

  • 7/26/2019 1.Rehabilitasi Stroke Pada

    3/11

    Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Januari 2009

    Tabel 2. Patomekanisme Stroke Akut2

    Patomekanisme Persentase

    Iskemik 85%Trombotik 60%

    Embolik 20%

    Lain-lain 5%

    Hemoragik 15%

    Intraserebral 10%

    Subarakhnoid 5%

    Tabel 3. Sindrom Stroke Iskemik3

    Sirkulasi tergganggu Sensomotorik Gejala klinis lain

    Sindrom Sirkulasi anterior

    A. Serebri media (total) Hemiplegia kontralateral (lengan lebih berat Afasia global (hemisfer dominan)Hemi-neglect

    dari tungkai) hemihipes tesia kontralateral (hemisfer non-dominan), agnosia , defis it visuo-

    spassial apraksia, disfagia

    A. Serebri media (bagian atas) Hemiplegia kontralateral(lengan lebih berat Afasia moto rik (hemisfer dominan)

    dari tungkai)hemiestesia kontralateral Hemi-neglect (hemisfer non-dominan), hemia-

    nopsia, disfagia

    A. Serebri media (bagian bawah) Tidak ada gangguan Afasia sensorik (hemisfer dominan)

    Agnosia afektif (hemisfer non-dominan)

    Kontruksional apraksia

    A. Serebri media dalam Hemiparese kontralateral Afasia sensoris transkortikal (hemisfer dominan)

    Tidak ada gangguan sensoris, atau ringan sekali Visual dan sensoris neglectsementara. (hemisfer

    non-dominan)

    A. Serebri anterior Hemiplegia kontralateral (tungkai leb ih berat dari Afasia transkortikal (hemisfer dominan), Apraksia

    lengan) hemiestesia kontralateral (umumnya ringan) (hemisfer non dominan) perubahan perilaku dan

    personalitas Inkontinensia urin dan alvi

    Sindrom sirkulasi posterior

    A. Basilaris (total) Kuadriplegia. Sensoris umumnya normal Gangguan kesadaran sampai ke sindrom lock-in

    Gangguan saraf kranial yang menyebabkan diplopia,disartria, disfagia, disfonia.

    Ganggguan emosi

    A. Serebri posterior Hemiplegia sementara, berganti dengan pola gerak Gangguan lapang pandang bagian sentral,

    choreapada tangan.hipestesia atau anestesia Prosopagnosia , A leksia

    terutama pada tangan

    Pembuluh darah kecil

    Lacunar Infark Gangguan motorik murni, Gangguan sensorik murni

    Hemiparesis ataksik, Sindrom Clumsy Hand

    Stroke hemoragik memiliki sejumlah penyebab. Ada 4

    tipe yang paling umum, yaitu perdarahan hipertensif

    intrakranial, ruptur aneurisma sakular, perdarahan dari AVM

    (arteriovenous malformation) dan perdarahan spontan didaerah lobus.

    Gangguan Fungsi akibat Stroke

    Dalam rehaebilitasi medis, istilah fungsi merujuk pada

    kemampuan/ketrampilan seseorang untuk melakukan

    aktivitas sehari-hari, aktivitas hiburan atau hobi, pekerjaan,

    interaksi sosial dan perilaku lain yang dibutuhkan. Aktivitas

    sehari-hari seseorang tentu sangat luas, individu yang satu

    berbeda dengan individu lain. Aktivitas sehari-hari yang

    perlu dinilai adalah kemampuan dasar dalam melakukan

    aktivitas perawatan diri sendiri yaitu makan-minum, mandi,

    berpakaian, berhias, menggunakan toilet, kontrol buang airkecil dan besar, berpindah tempat (transfer), mobilitas-jalan,

    dan menggunakan tangga.

    World Health Organization (WHO)pada tahun 1980

    memperkenalkan The International Classification of Impair-

    ments, Disabilities and Handicaps (ICIDH)sebagai modelrehabilitasi.5-8

    Model ini membagi kondisi sakit dalam 4 level berbeda

    yaitu:

    a. Patologi (penyakit)

    Patologi sinonim dengan penyakit atau diagnosis,

    Tabel 4. Sindrom Hemoragik4

    Area yang terkena Se nso mot or ik Gejala Klinis lain

    Putamen(apsula interna, basal Hemiplegia kontra- Stupor/Koma dengan

    ganglia) lateral kompresi batang otak

    krigiditas deserebrasi

    Talamus

    ( talamus, kapsula Hemiplegia kontra- Afasia (hemisfe r

    interna) lateral dominan)

    Gangguan sensoris Gangguan lapangan

    berat semua modalitas pandang

    Sindrom Horner

    Pontin

    (pons , batang otak, Kuadriparesis, kua- Sindroma lock in

    midbrain) driplegia Rigiditas deserebrasi

    Serebelum Hemiparesis ringan Vertigo/dizziness,

    gangguan koordinasi, Nausea, vomiting

    ataksia Nystagmus Disfagia,

    disartria

    63

  • 7/26/2019 1.Rehabilitasi Stroke Pada

    4/11

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

    Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

    didefinisikan sebagai kerusakan atau proses abnormal

    yang terjadi di dalam organ atau sistem organ tubuh.

    Contoh patologi: stroke non-hemoragik yang di-

    sebabkan olehtrombosis, hipertensi, diabetes mellitus,dan sebagainya.

    1. Impairment (gangguan organ atau fungsi organ)

    Impairmentsmerupakan akibat langsung dari patologi,

    didefinisikan sebagai hilang atau terganggunya struktur

    atau fungsi anatomis, fisiologis, atau psikologis tubuh.

    Contoh impairmentadalah hemiparesis, afasia, disartria,

    disfagia, depresi dan lain sebagainya.

    2. Disability(ketidakmampuan)

    Disability didefinisikan sebagai keterbatasan atau

    hilangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas yang

    umum dapat dilakukan oleh orang lain yang normalkarena impairmentyang dideritanya. Contoh disabil-

    ity: adalah ketidak mampuan berjalan (akibat hemipare-

    sis), ketidakmampuan berkomunikasi (akibat afasia,

    disatria) atau ketidakmampuan melakukan perawatan diri

    sendiri seperti berpakaian (akibat hemiparesis, gangguan

    kognitif, gangguan sensoris dan lain-lain)

    3. Handicap (keterbatasan dalam peran)

    Handicapatau kecacatan merupakan suatu konsekuensi

    sosial dari penyakit, didefinisikan sebagai terganggu

    atau terbatasnya kemampuan aktualisasi diri dan untuk

    berperan secara sosial, budaya, ekonomi dalam keluarga

    dan lingkungan bagi individual tertentu akibat impair-

    ment dan disability yang dideritanya. Contoh handi-

    cap adalah ketidakmampuan berperan sebagai ayah

    bermain dengan anaknya (karena hemiparesis yang

    menyebabkannya sulit bergerak atau berjalan), tidak

    dapat bekerja (karena kesulitan berjalan ke tempat kerja,

    melakukan pekerjaan sebelumnya) dan lain sebagainya.

    Pada tahun 2001 WHO mempublikasikan revisi dari

    ICIDH menjadi ICF (International Classification of Func-

    tioning) dimana istilah disability dan handicap diganti

    menjadi activityandparticipation.5-7Revisi ini secara prinsip

    tidak terlalu banyak berbeda dengan ICIDH, hanya di-definisikan lebih positif, yaitu disability(ketidakmampuan)

    diganti menjadi activity (kemampuan fungsional penderita),

    sedangkan handicap (kecacatan) diganti menjadi partici-

    pation (peran-serta penderita dalam kehidupan sesuai

    dengan ketidak-mampuan, aktivitas, kondisi kesehatan dan

    faktor kontekstual lainnya ). Rehabilitasi medis tidak hanya

    berfokus pada apa yang pasien tidak mampu lakukan namun

    juga pada apa yang pasien masih mampu lakukan.

    Proses Pemulihan setelah Stroke

    Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas

    pemulihan neurologis (fungsi saraf otak) dan pemulihan

    fungsional (kemampuan melakukan aktivitas fungsional).

    Gambar 1. Rehabilitation Model: ICF7

    Pemulihan neurologis terjadi awal setelah stroke. Mekanismeyang mendasari adalah pulihnya fungsi sel otak pada area

    penumbra yang berada di sekitar area infark yang se-

    sungguhnya, pulihnya diaschisis dan atau terbukanya

    kembali sirkuit saraf yang sebelumnya tertutup atau tidak

    digunakan lagi. Kemampuan fungsional pulih sejalan dengan

    pemulihan neurologis yang terjadi.

    Setelah lesi otak menetap, pemulihan fungsional masih

    dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam

    3-6 bulan pertama setelah stroke. Hal itulah yang menjadi

    fokus utama rehabilitasi medis, yaitu untuk mengembalikan

    kemandirian pasien mencapai kemampuan fungsional yang

    optimal. Proses pemulihan fungsional terjadi berdasarkan

    pada proses reorganisasi atau plastisitas otak melalui:

    1. Proses Substitusi

    Proses ini sangat tergantung pada stimuli eksternal yang

    diberikan melalui terapi latihan menggunakan berbagai

    metode terapi. Pencapaian hasilnya sangat tergantung

    pada intaknya jaringan kognitif, visual dan proprioseptif,

    yang membantu terbentuknya proses belajar dan

    plastisitas otak.

    b. Proses Kompensasi

    Proses ini membantu menyeimbangkan keinginan

    aktivitas fungsional pasien dan kemampuan fungsipasien yang masih ada. Hasil dicapai melalui latihan

    berulang-ulang untuk suatu fungsi tertentu, pemberian

    alat bantu dan atau ortosis, perubahan perilaku, atau

    perubahan lingkungan.

    Pemilihan jenis intervensi rehabilitasi didasarkan pada

    pertimbangan beratnya gejala-sisa stroke, fase stroke saat

    terapi, penyakit penyerta dan atau komplikasi medis, serta

    berbagai faktor terkait lainnya seperti usia pasien, motivasi,

    serta dukungan dan ekonomi keluarga. Sebagai contoh pasien

    usia lanjut, penderita PPOK yang mendapat stroke akibat

    oklusi total a.cerebri media tentu tidak mungkin diberikan

    program rehabilitasi substitusi agar ia dapat berjalan dan

    64

    (Disorder or Disease)

  • 7/26/2019 1.Rehabilitasi Stroke Pada

    5/11

    Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

    mandiri penuh dalam aktivitas sehari-harinya, rehabilitasi

    kompensasi tentu lebih tepat untuknya.

    Intervensi Rehabilitasi Medis pada StrokeSecara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam

    beberapa fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai

    sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis

    intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu:

    1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan

    stroke

    2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca

    stroke

    3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke

    Rehabilitasi Stroke Fase Akut

    Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil,umumnya dalam perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat

    biasa ataupun di unit stroke. Dibandingkan dengan

    perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di rawat di unit

    stroke memberikan outcomeyang lebih baik. Pasien menjadi

    lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya

    di masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.9

    Rehabilitasi pada fase itu tidak akan di bahas lebih lanjut

    dalam makalah ini, karena memerlukan penanganan

    spesialistik di rumah sakit.

    Rehabilitasi Stroke Fase Subakut

    Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnyasudah stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali

    bagi pasien yang memerlukan penanganan rehabilitasi yang

    intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien pulang dengan

    gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya

    (sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat

    berat dan memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya.

    Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa yang

    bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi

    rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang

    optimal.

    Rehabilitasi pasien stroke fase subakut dan kronis

    mungkin dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer.

    Rehabilitasi fase ini akan dibahas lebih rinci terutama

    mengenai tatalaksana sederhana yang tidak memerlukan

    peralatan canggih.

    Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali

    untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan

    berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak

    akan melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi

    otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang pal-

    ing sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui

    rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar

    mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai

    oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang

    lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien

    mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan

    yang terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu serta

    mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak.

    Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:

    1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila

    anggota gerak sisi yang terkena terlalu lemah untuk

    mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/

    beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun

    sedapat mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit.

    Pasien dan keluarga seringkali beranggapan salah,

    mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan

    sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak

    kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila

    ada kebutuhan akan gerak tersebut. Bila ekstremitas

    yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali,

    presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan.2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah

    gerak fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan

    tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakanmeraih,

    memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak

    fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian

    bagian dari otak, baik area lesi maupun area otak normal

    lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan.

    Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksi-

    ekstensi) siku lengan yang lemahmenstimulasi area lesi

    saja. Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak

    begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional,

    namuntetap memerlukan terapi latihan agar terbentuksirkuit yang baru.

    3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk

    melakukan gerak fungsional yang normal, jangan biarkan

    menggunakan gerak abnormal. Gerak normal artinya sama

    dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih

    terlalu lemah, berikan bantuan tenaga secukupnya

    dimana pasien masih menggunakan ototnya secara

    aktif. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak

    menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak

    pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien

    mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikut-

    sertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat gerakan

    ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada

    dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan tenaga

    yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan

    pemulihan pasien.

    4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang

    tubuh sudah tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan

    berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas duduk

    statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila

    pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak

    bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu

    tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas

    duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat

    mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh

    65

  • 7/26/2019 1.Rehabilitasi Stroke Pada

    6/11

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

    Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

    doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan

    dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu

    sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping

    untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh

    selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik.

    Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan

    aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional

    optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukanaktivitas sambil berjalan.

    5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan

    terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan

    memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara

    fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan

    kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian

    tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada

    pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi

    dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai

    dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga

    menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan

    denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu

    dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien.

    Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak

    sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya

    sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan

    sesering mungkin.

    6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila

    ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan

    semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik

    dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah-

    pisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang

    harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi

    pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar

    untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas

    fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.

    Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan

    untuk:

    1. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring

    2. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung-

    kinkan pemulihan fungsional yang paling optimal

    3. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas

    sehari-hari

    4. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental

    Mencegah Komplikasi Akibat Tirah Baring

    Pasien yang pulang ke rumah sebelum mencapai

    kemampuan duduk stabil serta mulai belajar berdiri dan jalan,

    cenderung akan lebih lama masa tirah baringnya di rumah.

    Keluarga seringkali memanjakan pasien dengan membantu

    secara berlebihan dan menjadikan pasien terbaring pasif

    menunggu kondisi menjadi lebih baik, dan gerak menjadi

    lebih mudah. Akan tetapi tirah baring lama menyebabkan

    pasien bertambah lemah, lebih cepat lelah karena stamina

    makin rendah, gerak semakin bertambah berat karena semua

    anggota gerak menjadi kaku dan timbul komplikasi-komplikasi

    lain. Keluarga dan pasien harus disadarkan bahwa tirah bar-

    ing berkelanjutan akan lebih banyak membawa dampak buruk

    dari pada baik. (Tabel 5).

    Selain itu pemulihan fungsional mempunyai periode

    emas yang terbatas waktunya; stimulasi yang diberikan pada

    3 bulan pertama akan lebih memberikan hasil dibandingkan

    fase kronis, dan tentu tidak boleh disia-siakan. Pasien harus

    diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas

    sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan di-

    programkan dengan durasi dan frekuensi latihan secara

    bertahap ditingkatkan.

    Gambar 2. Latihan dengan Bantuan

    Bantuan terapis disesuaikan dengan kemampuan pasien. Terapis dapat melakukan kontrol tenaga pasien dalam bergerak,

    dengan meniadakan gerak ikutan ataupun gerak sinergis.

    66

  • 7/26/2019 1.Rehabilitasi Stroke Pada

    7/11

    Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

    Tabel 5. Komplikasi Tirah Baring 10

    Sistem tubuh Efek terhadap sistem tubuh

    Sistem Kardiovaskuler Denyut nadi meningkat ketuk/menitsetiap hari selama 3-4 minggu

    Ortostatik hipotensi

    Risiko terjadinya Deep Vein Trombosis

    dan emboli pulmonal

    Viskositas darah meningkat

    Sistem Respirasi Retensi sputum dan menurunnya

    oksigenasi

    Kecepatan pernafasan meningkat

    Risiko terjadinya pneumonia

    Sistem Muskuloske- Kekuatan dan massa otot menurun

    leta l Perubahan histologi otot

    Perubahan kelenturan sendi

    (kontraktur)

    Osteoporosis

    Sistem Metabolik Persentase lemak tubuh meningkat

    dan Endokrin Hipercalcaemia

    Toleransi glukose menurun dalam 3 hari

    tirah baring

    Sistem Integumen Decubitus ulcers

    Sistem Gastrointes- Konstipasi

    t inal Refluks Gastroesofageal

    Sistem Urogenital Awal volume urin meningkat, kemudian

    menurun /stasis

    Inkontinensia urine

    Sistem Saraf Pusat Perubahan pada afeksi

    Penurunan kognitif dan persepsi

    Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung-

    kinkan pemulihan fungsional yang paling optimalBerbagai komplikasi dapat timbul setelah stroke yang

    dapat membatasi pemulihan kemampuan fungsional yang

    seharusnya dapat dicapai. Karena kondisi tersebut sebagian

    besar dapat dicegah, maka meningkatkan pemahaman

    keluarga dan pasien sangat penting dan krusial.

    1. Mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi

    Fungsi otot bergerak (berkontraksi) memendek dan

    memanjang. Bila otot diam pada satu posisi tertentu dalam

    waktu lama kelenturannya akan hilang. Otot akan kaku

    pada posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih

    besar untuk kontraksi memendek ataupun memanjang.

    Demikian pula berlaku pada sendi, yang akan menjadi

    kering dan kaku. Kedua kondisi ini membuat pasien yang

    karena kelumpuhannya sudah sulit bergerak menjadi

    tambah tidak mungkin bergerak. Latihan mencapai

    lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai

    latihan regangan otot sedikitnya 2 kali per hari

    diperlukan.

    2. Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan

    Setelah stroke akan terbentuk spastisitas dan pola gerak

    khas yaitu pola sinergis fleksor atau ekstensor (Tabel 6).

    Pada umumnya, akan terbentuk pola sinergis fleksor pada

    ekstremitas atas sedangkan pada ekstremitas bawah pola

    sinergis ekstensor. Spastisitas dan pola gerak sinergis

    tidak dapat dihilangkan akan tetapi perlu dikontrol agar

    tidak berlebihan dan mengganggu gerak fungsional yang

    akan dilatih. Pemberian posisi yang tepat sebagai

    antisipasi sudah harus dimulai sejak awal dan diterapkan

    dalam seluruh aktivitas.

    Tabel 6. Pola Sinergistik11

    Bagian tubuh Pola sinergis fleksor Pola s inergis

    ekstensor

    Ekstremitas atas Retraksi bahu Protraksi bahu

    Abduksi bahu Adduksi bahu

    Rotasi eksternal lengan Rotasi internal lengan

    Fleksi siku Ekstensi siku

    Supinasi tangan Pronasi tangan

    Fleksi pergelangan Ekstensi perge langan

    tangan tangan

    Fleksi jari-jari tangan Fleksi jari-jari tangan

    Ekstremitas Fleksi panggul Ekstensi panggulbawah Abduksi panggul Adduksi panggul

    Rotasi eksternal Rotasi internal paha

    panggul

    Fleksi lutut Ekstensi lutut

    Dorsifleksi pergelangan Plantar fleksi pergela-

    kaki ngan kaki

    Eversi pergelangan kaki Inversi pergelangan kaki

    Ekstensi jari-jari kaki Fleksi jari-jari kaki

    Posisi antisipasi adalah posisi sebaliknya dari pola gerak

    yang akan timbul. Pada ekstremitas atas misalnya,

    cenderung timbul spastisitas fleksor, maka lengan

    diupayakan selalu dalam posisi ekstensi apabila tidaksedang latihan. Pasien diberikan motivasi secara sadar

    menggunakan posisi antisipasi pada saat tidur, duduk

    serta berdiri dan bergerak. Pasien seringkali lebih memilih

    posisi yang menyenangkan baginya. Posisi yang

    menyenangkan dan terasa nyaman belum tentu

    merupakan posisi yang baik untuknya.

    3. Mencegah timbulnya nyeri.

    Nyeri sering terjadi setelah stroke dan sangat

    mengganggu terapi latihan. Nyeri dapat merupakan akibat

    atau komplikasi dari stroke. Lesi yang mengenai area

    talamus seringkali menimbulkan nyeri yang disebut

    sebagai thalamic pain syndrome. Nyeri jenis itu

    disebabkan oleh gangguan sensorik sentral dimana

    interpretasi stimulus yang datang dari luar diterima

    sebagai rasa nyeri di otak. Sayangnya nyeri tersebut

    tidak selalu mudah diatasi, namun dapat dicoba dengan

    pemberian trisiklik antidepresan atau antikonvulsan.

    Sebagian besar nyeri pasca stroke merupakan nyeri

    muskuloskeletal, terutama pada bahu sisi yang terkena.

    Penyebab utamanya seringkali adalah penanganan bahu

    yang salah atau kurang tepat, seperti dalam penempatan

    bahu saat tidur miring ke sisi sakit sehingga bahu tertindih

    tubuh, atau saat duduk bahu tidak tersanggah dengan

    baik. Saat membantu pasien pindah tempat (transfer) dan

    saat membantu dalam aktivitas sehari-hari, misalnya

    67

  • 7/26/2019 1.Rehabilitasi Stroke Pada

    8/11

    Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

    berpakaian (Gambar 3), ataupun cara melatih yang salah

    pada bahu sisi yang lumpuh, menyebabkan terjadinya

    tendinitis, kapsulitis, cedera otot-otot gelang bahu, nyeri

    miofascial, dan atau nyeri neuropatik.

    Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan

    nyeri saat otot digerakkan. Pencegahan merupakan upaya

    utama daripada mengobati yang telah terjadi. Edukasi

    untuk mencapai pemahaman mengenai pemberian posisi

    yang tepat, cara membantu pasien dalam transfer atau

    aktivitas sehari-hari serta cara berlatihan oleh karena itu

    sangat penting diberikan pada pasien dan keluarganya.

    Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam Melakukan

    Aktivitas Sehari-hari

    Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas

    sehari-hari setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasistroke fase subakut. Terapi latihan dan remediasi yang

    diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan latihan

    spesifik menggunakan berbagai metode terapi dan

    melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis, metode

    pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan intensitas terapi

    yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi medis pasien.

    Selain itu terapi latihan fungsional baru efektif apabila

    terpenuhi beberapa kondisi yaitu:

    1. Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau

    pemendekan otot. Apabila ada, maka kondisi tersebut

    perlu diatasi terlebih dahulu.

    2. Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai

    melalui latihan yang diberikan. Kesulitan pemahaman

    Gambar 3. Membantu Berpakaian.

    Memegang lengan di bagian distal saat membantu berpakaian (A) dapat menimbulkan tarikan pada bahu yang dapat menimbulkan

    nyeri. Lengan harus ditunjang dengan baik sampai proksimal (B).

    terjadi pada pasien afasia sensorik dan gangguan

    kognitif. Pemberian stimulasi untuk kemampuan

    pemahamanan bahasa dan persepsi pasien diintegrasikan

    ke dalam terapi latihan.

    Gangguan Komunikasi

    Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain

    melibatkan bermacam-macam fungsi, yang utama adalah

    kemampuan berbahasa dan berbicara. Gangguan fungsi

    bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi

    bicara disebut disartria.

    1. Afasia

    Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk mem-

    formulasikan dan menginterpretasikan simbol bahasa.

    Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada mekanisme

    bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisferdominan.

    Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:

    a. kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara

    spontan)

    b. kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman

    auditori)

    c. kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan

    (bahasa simbol)

    d. kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca

    (pemahamanan visual)

    e. menamakan

    f. meniru

    68

  • 7/26/2019 1.Rehabilitasi Stroke Pada

    9/11

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2008

    Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

    Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu

    beberapa atau bahkan semua kemampuan berbahaya (afasia

    global). Secara umum afasia dibedakan menjadi afasia motorik,

    afasia sensorik, afasia transkortikal sensorik, afasiatranskortikal motorik, afasia anomik dan afasia global.

    Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting

    untuk kemandirian aktivitas fungsional, artinya semakin berat

    gangguan afasia sensorik yang diderita, semakin sulit tercapai

    kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.

    Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa

    afasia bukan gangguan pendengaran, jadi tidak perlu

    berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan

    kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam

    setiap kalimat. Akan lebih bermanfaat apabila stimulasi

    auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan

    dengan stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar).

    Pasien afasia jangan diajarkan mengeja huruf, karena akan

    membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan fungsi

    hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu,

    menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah

    pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.

    2. Disartria

    Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam

    mengekspresikan bahasa verbal, akibat kelemahan,

    spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ

    bicara dan artikulasi.

    Parameter bicara yang terkena pada disatria antara lain

    respirasi, fonasi/suara, artikulasi, resonansi dan prosodi.Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria

    flaksid, spastik, ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik.

    Terapi latihan diberikan sesuai dengan penyebab disatria,

    antara lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan,

    meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara

    dan artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot

    pernapasan.

    Gangguan Fungsi Luhur

    Fungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang paling

    luhur pada manusia, yang membedakan manusia dengan

    mahkluk Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini melibatkan jaringan

    yang rumit dan kompleks serta sulit untuk dipisahkan karena

    saling terkait satu sama lain. Untuk memudahkan pemahaman,

    fungsi kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa,

    fungsi memori, fungsi visuospasial, fungsi emosi dan fungsi

    kognisi. Fungsi kognisi seseorang memerlukan intaknya

    fungsi kortikal luhur yang lain. Fungsi kognisi antara lain

    kemampuan atensi, konsentrasi, registrasi, kategorial,

    kalkulasi, persepsi, proses pikir, perencanaan, tahapan serta

    pelaksanaan aktivitas/tugas, pertimbangan baik buruk,

    bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan lain se-

    bagainya. Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur

    memerlukan rehabilitasi spesifik. Rehabilitasi untuk me-

    ngembalikan kemampuan fungsional (karena ada gangguan

    fungsi kognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu

    lebih lama. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah

    hemi-neglect. Pasien dengan gangguan hemi-neglect

    umumnya mempunyai lesi di hemisfer kanan dan mengabaikansemua yang berada di sisi kirinya. Pasien tersebut seringkali

    berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh

    tersandung benda yang berada di sisi kiri, atau tidak

    menyadari ada makanan atau minuman yang diletakkan di

    sisi kirinya. Gangguan hemi-neglectpaling parah adalah ia

    tidak mengenali tangan kirinya sebagai bagian dari tubuhnya.

    Gangguan ini tidak sama dengan hemianopsia, dimana lapang

    pandang pasien menjadi terbatas.

    Gangguan Menelan

    Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden

    gangguan menelan akibat stroke cukup banyak berkisarantara 30-65%.2,11,12 Sekitar 30% akan pulih dalam 2 minggu,

    sisanya akan pulih dalam bulan-bulan berikutnya. Disfagia

    merupakan gejala klinis penting karena menempatkan pasien

    pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain dehidrasi dan

    malnutrisi.

    Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya

    gangguan menelan. Mendeteksi adanya disfagia dapat

    dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai berikut:

    1. Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.

    2. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada

    keseimbangan duduk, perlu diberikan tunjangan bantalan

    agar dapat mempertahankan posisi duduk dengan baik.

    3. Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien

    untuk menelan dengan kepala sedikit menunduk.

    4. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat

    mencoba menelan.

    5. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada

    laring, rasakan apakah terjadi elevasi laring yang

    menunjukan terjadinya proses menelan. Monitor apakah

    ada keterlambatan atau terjadi proses menelan yang

    inkomplit.

    6. Minta pasien untuk menyuarakan huruf aaaa..... Moni-

    tor suara yang terdengar kering atau basah/serak.

    7. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi

    menyuarakan huruf aaa.... Monitor kembali bagaimanasuara yang terdengar.

    Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara

    menjadi basah, maka makan dan minum per oral harus

    dihentikan. Pasien memerlukan pemeriksaan fungsi menelan

    lebih lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic swallow

    study) atau FEES (fiberoptic endoscopic evaluation of swal-

    lowing).5,11,12

    Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi

    Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya

    adalah uninhibited bladderyang menimbulkan inkontinensia

    urin. Walaupun pasien kelihatannya mampu miksi, namun

    69

  • 7/26/2019 1.Rehabilitasi Stroke Pada

    10/11

    Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

    harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya

    residu sisa dalam kandung kemih setelah miksi kurang dari

    50-80 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan menyebabkan

    timbulnya infeksi kandung kemih.Pasien inkontinensia karena uninhibited bladderdapat

    diatasi dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta

    jumlah minum dan urine pada voiding diaryselama minimal

    3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding diary tersebut

    dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih

    dengan pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi

    miksi terlalu sering, obat seperti antikolinergik dapat

    membantu, namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio

    urin.12

    Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada

    umumnya adalah konstipasi akibat immobilisasi. Perlu diingat

    bahwa diare yang timbul kemudian selain gastroenteritis juga

    bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului

    oleh obstipasi lama sebelumnya.

    Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan

    cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan

    bila tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan berserat

    tinggi. Bila perlu obat laksatifdapat diberikan.

    Gangguan Berjalan

    Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang

    memerlukan tidak hanya kekuatan otot ekstremitas bawah

    saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi, keseimbangan

    dan koordinasi.

    Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikanbertahap, dimulai dari kemampuan mempertahankan posisi

    duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik dan

    dinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu

    selalu diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi

    00, lutut mengunci pada posisi ekstensi 00 sedangkan

    pergelangan kaki dalam posisi netral 900

    . Pastikan beratbadan tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar

    yaitu palang dari besi, kayu atau bambu yang dipasang sejajar

    merupakan tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan

    kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat

    melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan melakukan

    koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam

    paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan

    memakai tripod, yaitu tongkat yang ujung bawahnya

    bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak

    jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot ortho-

    sis) atau sepatu khusus.

    Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari

    Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya di

    motivasi untuk mengerjakan semampunya aktivitas

    perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan yang terkena,

    pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya

    untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikut-

    sertakan dalam semua kegiatan (Gambar 4). Semakin cepat

    dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien

    menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang dapat menimbulkan

    risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu

    ditolong oleh keluarga.

    Mengembalikan Kebugaran Fisik dan MentalPasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu

    berupaya untuk sedikit bergerak dan lebih banyak istirahat.

    Gambar 4. Aktivitas Perawatan Diri

    Pasien diberikan motivasi untuk mandiri melakukan aktivitas perawatan diri menggunakan tangan sisi sehat (A) atau mengikut-

    sertakan tangan sisi yang sakit disanggah oleh tangan sisi yang sehat (B). Aktivitas sehari-hari seperti ini dapat dipakai juga seba-gai terapi latihan.

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 200970

  • 7/26/2019 1.Rehabilitasi Stroke Pada

    11/11

    Keluarga seringkali membenarkan perilaku seperti itu,

    menganggap biasa karena pasien baru pulang rawat dan

    mengharapkan kondisi seperti ini akan bertambah baik.

    Kenyataannya pasien akan semakin cepat lelah bahkan untukaktivitas yang kecil sekalipun, seperti misalnya duduk

    beberapa menit di kursi roda. Hal tersebut disebabkan oleh

    endurans pasien menjadi rendah karena immobilisasi lama.

    Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan tenaga yang

    diperlukan untuk bergerak lebih besar dari biasanya. Kedua

    kondisi tersebut menyebabkan pasien menjadi cepat lelah.

    Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal

    aktif semampunya. Pasien jangan dibiarkan istirahat

    berkepanjangan. Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan

    duduk di tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar kamar

    tidur. Waktu aktif dan istirahat dijadwalkan secara

    proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi

    untuk selalu makan di kamar makan bersama keluarga dan

    dibiarkan untuk mengambil makananan pilihannya sendiri.

    Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan bagi

    pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang

    bertargetkan hasil misalnya melempar bola masuk ke

    keranjang, bowling kecil, main catur atau halma.

    Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya sebentar,

    namun bila dilakukan sesering mungkin akan memperbaiki/

    meningkatkan endurans pasien. Latihan endurans dengan

    beban ringan selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan

    latihan mengayuh sepeda statik atau menggunakan thera-

    bandatau karet ban dalam bekas.

    Suasana hati yang murung juga membuat pasien merasacepat lelah dan bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan

    tanggung jawab serta ungkapkan selalu bahwa peran serta

    pasien sangat dibutuhkan oleh keluarga. Dengan demikian

    pasien akan merasa dirinya masih berharga dan berguna

    bagi orang lain.

    Rehabilitasi Stroke Fase Kronis

    Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak

    berbeda dengan fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini

    sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah terbentuk, membuat

    pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil

    latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untukmemperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya,

    membuat gerakan semakin baik dan penggunaan tenaga

    semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan otot secara

    bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai

    aktivitas aktif yang optimal.

    Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran

    rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti (a)

    Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum

    sakit, (b) Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan

    yang lebih ringan sesuai kondisi, (c) Mandiri penuh namun

    tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal

    dari orang lain atau (e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar

    atau sepenuhnya dibantu orang lain.

    Kesimpulan

    Dampak gejala sisa akibat stroke sangat bervariasi dan

    kompleks. Rehabilitasi stroke memerlukan keterlibatan tenaga

    profesional dalam bentuk tim yang membahas secaraberkesinambungan perkembangan hasil dan secara dinamis

    menetapkan intervensi yang tepat dan sesuai. Namun tidak

    semua pasien mudah mendapatkan pelayanan rehabilitasi

    spesialistik. Walaupun demikian banyak hal yang masih dapat

    dilakukan untuk membantu pasien dan keluarganya.

    Mencegah komplikasi sekunder dan mengembalikan

    kemandirian pasien dapat sekaligus meringankan beban

    psikososial dan ekonomi keluarga. Profesi dokter di

    pelayanan kesehatan primer yang menjadi ujung tombak di

    masyarakat memiliki peran yang sangat penting.

    Daftar Pustaka

    1. De Freitas GR, Bezerra DC, Maulaz AB, Bogousslavsky J.Stroke:

    background, epidemiology, etiology and avoiding recurrence. In:

    Barnes M, Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after

    Stroke. Cambridge, Cambridge University Press, 2005:1-46.

    2. Brammer CM, Herring GM. Stroke Rehabilitation. In: Brammer

    CM, Spires MC. (ed). Manual of Physical Medicine and Rehabili-

    tation. Philadelphia, Hanley & Belfus, Inc., 2002:139-66.

    3. Bronstein SC, Popovich JM, Stewart-Amidei C. Promoting Stroke

    Recovery. A Research-Based Approach for Nurses. St.Louis,

    Mosby-Year Book, Inc., 1991:13-24.

    4. Bartels MN. Pathophysiology and Medical Management of Stroke.

    In: Gillen G, Burkhardt A.(ed). Stroke Rehabilitation. A Func-

    tional-Based Approach. St. Louis, Mosby-Year Book, Inc., 1998:1-

    30 .

    5. Graham A. Measurement in stroke: activity and quality of life.

    In: Barnes M, Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recoveryafter Stroke. Cambridge, Cambridge University Press, 2005:135-

    60 .

    6. ODell MW, Lin CD, Panagos A and Fung NQ. The Physiatric

    History and Physical Examination. In: Braddom RL (ed). Physi-

    cal Medicine & Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders

    Company, 2007:1-36.

    7. Granger CV, Black T and Braun SL. Quality and Outcome Mea-

    sures for Medical Rehabilitation. In: Braddom RL (ed). Physical

    Medicine & Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders

    Company, 2007:151-64.

    8. Wade DT. Measurement in Neurological Rehabilitation. Oxford,

    Oxford University Press, 1994:3-14,26-34.

    9. Wood-Dauphinee S, Kwakkel G. The impact of rehabilitation on

    stroke outcomes: what is the evidence? In: Barnes M, Dobkin B

    and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after Stroke. Cambridge,Cambridge University Press, 2005:161-88.

    10. Tong HC, Brammer CM. Deconditioning and Bed Rest. In:

    Brammer CM, Spires MC.(ed). Manual of Physical Medicine and

    Rehabilitation. Philadelphia, Hanley & Belfus, Inc., 2002:221-

    9.

    11 . Harvey RL, Roth EJ, Yu D. Rehabilitation in Stroke Syndromes.

    In: Braddom RL (ed). Physical Medicine & Rehabilitation. 3rd.

    Edition. Elsevier, WB Saunders Company, 2007:1175-212.

    12 . Harwood R. Huwez F, Good D. Stroke Care. A Practical Manual.

    Oxford, Oxford University Press, 2005.

    MS

    Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2009

    Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

    71