145629639-Stabilitas-Obat

20
Stabilitas Obat Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama penyimpanan ( Connors,et al.,1986).Terjadinya dekomposisi obat akibat hidrolisis atau solvolisis dari sediaan farmasi cair adalah adalah hal yang umum terjadi karena kelembaban atau pelarut yang digunakan. Gugus- gugus fungsional tertentu memudahkan terjadinya reaksi tersebut (Parrot,1970). Telah dipelajari berbagai metode untuk meningkatkan stabilitas bahan farmasi yang mengalami penguraian dengan jalan hidrolisis. Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan antara lain : a. pH pH adalah suatu ukuran keasaman suatu air (larutan). Pengertian pH dalam aplikasinya berbeda-beda. Di dalam sistem yang sering digunakan ( NBS sistem, NBS = National Bureau of Standards), pH digambarkan dalam persamaan pH = -log aH, dimana aH adalah aktivitas ion hidrogen dalam suatu larutan (Anonim,2006).Laju reaksi dalam larutan berair sangat mudah dipengaruhi oleh adanya pH sebagai akibat adanya proses katalisis. Untuk mengetahui pengaruh pH maka faktor-faktor lainnya yang berpengaruh seperti suhu, kekuatan ionik dan komposisi pelarut harus dibuat tetap (Connors et al, 1986). Pengaruh pH dapat diketahui dari bentuk profil pH laju degradasi dari hubungan antara antara pH dan log k tanpa pengaruh dapar. Dari profil tersebut dapat diketahui pH yang stabil, katalisis reaksi dan persamaan laju reaksi hipotetiknya yang memberikan informasi praktis stabilitas suatu obat (Connors et al, 1986). Tiga bentuk profil pH laju degradasi yang dikenal yaitu bentuk V, bentuk Sigmoid (S) danbentuk Parabola (bell shape) atau kombinasi dari bentuk tersebut. Bentuk profil yang dihasilkan tergantung pada sifat-sifat zat dan reaksi yang terjadi (Connors et al, 1986). Bentuk V terjadi bila obat bersifat tak terionkan. Keuntungan dari profil log k Vs pH dalam bentuk V adalah dapat digunakan pada pH rendah maupun tinggi ketika reaksi di katalisis oleh asam dan basa (Connors et al, 1986). Terkadang profil pH laju degradasi mengikuti bentuk Sigmoid (S). bentuk ini terjadi jika obat mengalami disosiasi asam basa 1 kali. Keuntungan profil log k Vs k dalam bentuk sigmoid ini adalah bahwa plot log k Vs pH dapat berubah menjadi bentuk sebaliknya (Connors et al, 1986). Bentuk parabola memiliki dua titik infleksi yang terjadi karena asam basa mengalami disosiasi 2 kali. Seperti bentuk sigmoid, bentuk ini bisa terjadi dari kombinasi bentuk parabola dengan bentuk V pada profil pH laju

description

fre

Transcript of 145629639-Stabilitas-Obat

Page 1: 145629639-Stabilitas-Obat

Stabilitas Obat

Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi kimia. Stabilitas obat

dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama penyimpanan ( Connors,et

al.,1986).Terjadinya dekomposisi obat akibat hidrolisis atau solvolisis dari sediaan farmasi cair

adalah adalah hal yang umum terjadi karena kelembaban atau pelarut yang digunakan. Gugus-

gugus fungsional tertentu memudahkan terjadinya reaksi tersebut (Parrot,1970). Telah dipelajari

berbagai metode untuk meningkatkan stabilitas bahan farmasi yang mengalami penguraian

dengan jalan hidrolisis. Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan antara lain :

a. pH

pH adalah suatu ukuran keasaman suatu air (larutan). Pengertian pH dalam aplikasinya berbeda-beda. Di

dalam sistem yang sering digunakan ( NBS sistem, NBS = National Bureau of Standards), pH digambarkan

dalam persamaan pH = -log aH, dimana aH adalah aktivitas ion hidrogen dalam suatu larutan

(Anonim,2006).Laju reaksi dalam larutan berair sangat mudah dipengaruhi oleh adanya pH sebagai akibat

adanya proses katalisis. Untuk mengetahui pengaruh pH maka faktor-faktor lainnya yang berpengaruh seperti

suhu, kekuatan ionik dan komposisi pelarut harus dibuat tetap (Connors et al, 1986). Pengaruh pH dapat

diketahui dari bentuk profil pH laju degradasi dari hubungan antara antara pH dan log k tanpa pengaruh dapar.

Dari profil tersebut dapat diketahui pH yang stabil, katalisis reaksi dan persamaan laju reaksi hipotetiknya yang

memberikan informasi praktis stabilitas suatu obat (Connors et al, 1986).

Tiga bentuk profil pH laju degradasi yang dikenal yaitu bentuk V, bentuk Sigmoid (S) danbentuk Parabola (bell

shape) atau kombinasi dari bentuk tersebut. Bentuk profil yang dihasilkan tergantung pada sifat-sifat zat dan

reaksi yang terjadi (Connors et al, 1986). Bentuk V terjadi bila obat bersifat tak terionkan. Keuntungan dari

profil log k Vs pH dalam bentuk V adalah dapat digunakan pada pH rendah maupun tinggi ketika reaksi di

katalisis oleh asam dan basa (Connors et al, 1986).

Terkadang profil pH laju degradasi mengikuti bentuk Sigmoid (S). bentuk ini terjadi jika obat mengalami

disosiasi asam basa 1 kali. Keuntungan profil log k Vs k dalam bentuk sigmoid ini adalah bahwa plot log k Vs

pH dapat berubah menjadi bentuk sebaliknya (Connors et al, 1986).

Bentuk parabola memiliki dua titik infleksi yang terjadi karena asam basa mengalami disosiasi 2 kali. Seperti

bentuk sigmoid, bentuk ini bisa terjadi dari kombinasi bentuk parabola dengan bentuk V pada profil pH laju

Page 2: 145629639-Stabilitas-Obat

degradasi yang sama (Connors et al, 1986).

Jika memungkinkan secara fisiologis, larutan obat harus diformulasikan

sedikit mungkin ke pH stabilitas optimumnya. Jika penguraian hidrolisis obatnya

terkatalisis asam dan basa umum, yaitu penguraian terkatalisis oleh bagian asam

dan basa dari garam dapar disamping H+ dan OH- , konsentrasi dapar harus dibuat

minimum (Lachman, et al., 1986).

b. Jenis pelarut

Penggantian air sebagian atau seluruhnya dengan pelarut yang konstanta

dielektriknya lebih rendah, umumnya menyebabkan kecepatan hidrolisis menurun

secara berarti. Contoh pelarut bukan air adalah : etanol, glikol, glukosa, larutan

manitol, dan amida tersubstitusi (Lachman, et al., 1986).

c. Kompleksasi

Laju hidrolisis dapat dipengaruhi oleh pembentukan kompleks dengan dua

cara, yaitu oleh efek sterik atau polar (Lachman, et al., 1986)

d. Surfaktan

Keberadaan surfaktan akan meningkatkan stabilitas secara bermakna .

Menurut Riegelman (1960) bahan surfaktan nonionik, kationik dan anionik dapat

Page 3: 145629639-Stabilitas-Obat

menstabilkan obat terhadap katalis basa (Lachman, et al., 1986).

e. Modifikasi struktur kimia

Sejumlah laporan kepustakaan menunjukkan bahan substituen tertentuyang ditambahkan pada rantai alkil atau

asil dari ester alifatik atau aromatik atau pada inti benzen dari ester aromatik menyebabkan penurunan laju

hidrolisis(Lachman, et al.,1986).

f. Garam dan ester

Teknik lain yang digunakan untuk meningkatkan stabilitas obat-obatan yang terurai melalui hidrolisis adalah

dengan mengurangi kelarutannya melalui pembentukan garam atau esternya yang sukar larut. Biasanya hanya

pada bagian obat larut mengalami peruraian hidrolisis (Lachman, et al., 1986). komponen penyusun dapar

dapat mengurangi stabilitas obat oleh akibat katalisis asam umum (KAU) atau katalisis basa umum (KBU). Laju

degradasi obat akibat pengaruh dapar dapat ditentukan dengan persamaan berikut (Zhou and Notari, 1995)

Kobs = KpH + KAU . (AU) + KBU . (BU)

Dengan Kobs adalah harga pengamatan, AU dan BU adalah kadar asam dan basa konjugat penyusun dapar

dan KpH adalah laju degradasi tanpa pengaruh dapar. KAU adalah katalisis asam umum, KBU adalah katalisis

basa umum, katalis adalah senyawa yang memiliki kemampuan meningkatkan tetapan laju reaksi tetapi tidak

mengubah tetapan keseimbangan. Katalisator dapat menjadikan jalur reaksi berlangsung dengan energi bebas

(QG) yang lebih kecil, tanpa mengubah QGº (energi bebas awal). Dekomposisi obat akibat hidrolisis atau

solvolisis dari sediaan farmasi cair adalah hal yang umum terjadi karena kelembaban atau pelarut yang

digunakan. Stabilitas obat dapat dinyatakan dengan harga tetapan laju degradasi (k) atau waktu paro (t1/2)

yang dapat ditentukan jika reaksi diketahui (Parrot, 1970). Stabilitas obat dapat dinyatakan dengan harga

tetapan laju degradasi (k) atau waktu paruh (t1/2). Hal ini dapat ditentukan bila tingkat reaksi diketahui.

Dalam banyak hal, tingkat reaksi kimia sederhana dapat dibedakan menjadi 4 yaitu :

Page 4: 145629639-Stabilitas-Obat

a. Reaksi orde nol

Pada reaksi ini faktor yang menentukan bukan kadar tetapi hal lain misalnya kelarutan atau senyawa cahaya

pada beberapa reaksi fotokimia. Jika kelarutan menjadi faktor penentu hanya sejumlah kecil obat terlarut saja

yang mengalami peruraian (Lachman,1994), laju degradasi obat (-dD/dt) secara matematis dapat digunakan

sebagai berikut :

-dD/dt = Ko

Pengintegralan persamaan (1) menghasilkan persamaan (2) sebagai berikut

(D)= (Do) – Ko . t

Menurut persamaan , kurva hubungan antara (D) dan t menghasilkan garis lurus dengan slope sebesar –Ko

dan intersep sebesar Do dengan Do adalah kadar reaktan mula-mula dan Ko adalah laju reaksi. Satuan Ko

adalah M.waktu-(K), jika satuan D adalah M. Waktu paro (t1/2) yaitu waktu yang diperlukan untuk separuh

reaktan mengalami degradasi. Persamaan waktu paro diperoleh dengan mensubstitusikan (D) = (Do)/2 ke

dalam persamaan sehingga diperoleh (Connors dkk,1986) :

t1/2 = {0,5 (Do)}/ Ko

Waktu kadaluwarsa (t90) yaitu waktu yang diperlukan untuk reaktan mengalami degradasi 10% sehingga

persamaan untuk waktu kadaluwarsa adalah (Connors,1986) :

t90 = {0,1 (Do)}/ Ko

b. Reaksi orde satu

Reaksi orde satu terjadi jika berkurangnya jumlah reaktan sebanding dengan jumlah reaktan tersisa. Reaksi

orde satu dapat dinyatakan sebagai berikut (Connors dkk,1986) :

Page 5: 145629639-Stabilitas-Obat

D→ P

Laju berkurangnya reaktan dinyatakan dalam persamaan :

-d (D)/dt = K1 (Do)

Pengintegralan persamaan menghasilkan persamaan

L (D) = L(Do) –K1 . t

Persamaan dapat diubah menjadi persamaan

(D) = (Do) e-kt (8)

Atau,

Log (D) = log (Do) –K1 t/2,303 (9)

Berdasarkan pada persamaan (10), kurva hubungan antara log D dan t berupa garis lurus dengan slope

sebesar –K1 /2,303 dengan D adalah kadar reaktan yang tinggal setelah waktu t. Do adalah kadar reaktan

mulamula dan K1 adalah laju reaksi dengan satuan K1 adalah waktu-1.

c. Reaksi orde satu semu

Reaksi orde satu semu dapat didefinisikan sebagai reaksi orde dua atau peningkatan yang dibuat berkelakuan

seperti reaksi orde satu. Keadaan itu berlaku bila salah satu zat yang bereaksi ada dalam jumlah yang sangat

berlebihan atau tetap pada kadar tertentu dibandingkan zat lainnya. Dengan demikian laju reaksi ditentukan

oleh satu reaktan meskipun ada dua reaktan karena tidak mengalami perubahan kadar yang berarti selama

reaksi peruraian (Lachman dkk,1994).

d. Reaksi orde dua

Page 6: 145629639-Stabilitas-Obat

Reaksi orde dua dinyatakan sebagai :

D + E → produk

Jika laju reaksi tergantung pada kadar D dan E yang masing-masing dipangkatkan (K), maka laju penguraian D

= laju penguraian E dan keduanya sebanding dengan hasil kadar reaktan.

-d(D)/dt = -d(E)/dt = k2 (D)(E)

Jika D = E maka persamaan menjadi :

-d(D)/dt = k2 (Do)

Pengintegralan persamaan akan diperoleh persamaan yaitu :

1/(D) = 1/(Do) + k2 .t

Dengan demikian plot (K)/(D) terhadap waktu (t) akan memberikan garis lurus dengan slope sebesar k2,

denagn D adalah kadar reaktan setelah waktu (t), Do adalah kadar reaktan mula-mula, k2 adalah laju reaksi

dengan satuan k2 adalah M-1, waktu-1, waktu paro. Untuk reaksi dengan kinetika orde dua diperoleh dengan

mensubstitusikan D = Do/2 ke dalam persamaan, sehingga t1/2

memiliki persamaan sebagai berikut :

t1/2 = 1/{k2(Do)}

Waktu kadaluwarsa (t90) diperoleh dengan mensubstitusikan D =

0,9 Do kedalam persamaan 1/(D) = 1/(Do) + k2 .t dan t90 yang diperoleh adalah :

t90 = (K)/{9(Do)k

Page 7: 145629639-Stabilitas-Obat

Orde reaksi dapat ditentukan dengan beberapa metode, yaitu:

1. Metode substitusi

Dari studi kinetika dikumpulkan data yang kemudian disubstitusikan dalam persamaan-persamaan kecepatan

reaksi dalam bentuk integralnya yang menunjukkan berbagai orde reaksi. Apabila dihitung didapat nilai k

(tetapan laju reaksi) yang konstan dalam suatu batas variasi eksperimental. Maka reaksi dianggap mengikuti

orde reaksi tersebut.

2. Metode grafik

Plot data kedalam bentuk grafik dapat digunakan untuk mengetahui orde reaksi. Jika kadar obat yang masih

utuh diplotkan terhadap waktu (t) dan kurva yang didapatkan berupa garis lurus, maka orde reaksi dari reaksi

itu adalah orde nol. Reaksi yang mengikuti kinetika orde satu jika plot antara log D terhadap waktu (t) berupa

garis lurus. Sedangkan reaksi orde dua jika plot antara 1/D terhadap waktu (t) berupa garis lurus.

3. Metode waktu paro

Untuk reaksi orde nol waktu paro berbanding lurus dengan kadar awal yaitu t1/2 = Do/k2, waktu paro reaksi

orde satu tidak tergantung pada kadar awal sehingga harga t1/2 = 0,693/k. sedangkan reaksi orde dua dengan

jenis reaktan yang sama harga t1/2 = 1/Do.k (Connors dkk,1986).

3. Jalur Penguraian Obat

Penguraian bahan berkhasiat pada bentuk sediaan farmasi terjadi pada jalur hidrolisis, oksidasi-reduksi,

resemisasi, epimerisasi, dekarboksilasi, rearrangement, dan dehidrasi.

a. Hidrolisis

reaksi hidrolisis terjadi pada obat-obat yang memiliki gugus fungsional. Misalnya senyawa ester dan amina.

b. Oksidasi-Reduksi

Page 8: 145629639-Stabilitas-Obat

Pengurangan oksidatif senyawa farmasi menjadi sebab ketidakstabilan banyak sediaan farmasi. Yang menjadi

perantara pada reaksi itu adlah radikal bebas atau oksigen molekuler. Suatu zat yang disebut teroksidasi

apabila zat itu melepaskan elektron. Jadi zat teroksidasi jika memperoleh atom atau radikal elektronegatif, atau

kehilangan atom atau radikal elektropositif. Bentuk penguraian oksidatif yang paling umum terjadi dalam

sediaan farmasi adalah autooksidasi yang melibatkan proses berantai radikal bebas. Secara umum

autooksidasi dapat didefinisikan sebagai reaksi bahan apapun dengan bahan molekuler. Contoh : steroid,

vitamin, antibiotika, dan epinefrin mengalami penguraian oksidatif (Lachman dkk, 1994).

c. Resemisasi

resemisasi adalah proses dimana bahan obat yang memiliki bentuk-bentuk optis aktif (bentuk L atau D) dalam

larutannya terjadi campuran resemis (kedua bentuk terdapat bersama-sama didalamnya). Dalam reaksi

resemisasi, suatu zat aktif optis aktif kehilangan aktivitas optiknya tanpa mengubah susunan kimianya. Reaksi

ini dapat mempengaruhi stabilitas formulasi farmasi, karena efek biologis bentuk dekstro mungkin jauh lebih

kecil daripada levo. Kinetika resemisasi dapat diteliti dengan cara serupa dengan reaksi hidrolisis. Kondisi

penyimpanan sediaan optimal dapat ditetapkan melalui penentuan konstanta laju reaksi, ketergantungan reaksi

pada temperatur, dan ketergantungan reaksi pada pH. Pada umumnya reaksi resemisasi mengalami

penguraian menurut dasar kintika orde satu. Resemisasi suatu senyawa tampaknya bergantung pada gugus

fungsional yang terikat pada atom karbon asimetrik, gugus aromatik cenderung mempercepat proses

resemisasi. Contoh L-Adrenalin 15-20 X lebih aktif dari D-Adrenalin (Lachman dkk,1994).

d. Epimerisasi

adalah suatu peristiwa dimana terjadi perubahan konfigurasi struktur suatu senyawa. Hal ini dapat

mengakibatkan senyawa tersebut tidak aktif secara biologi bahkan menjadi toksik. Contoh : tetrasiklin. Dalam

larutan, tetrasiklin mudah mengalami epimerisasi pada gugus dimetil amina pada C4 menjadi bentuk lain yang

dinamakan epitetrasiklin. Bentuk epitetrasiklin hanya mempunyai aktivitas antibakteri sedikit atau sama sekali

tidak punya. Reaksi resemisasi dan epimerisasi ini seperti halnya reaksi hidrolisis dikatalisis oleh asam atau

basa, reaksi oksidasi tergantung dari pH.

e. Dekarboksilasi

Page 9: 145629639-Stabilitas-Obat

Beberapa asam karboksilat, dibawah kondisi tertentu dapat kehilangan CO2 nya dari gugus karboksilatnya

sehingga menjadi inaktif.Contoh : Asam P-Aminosalisilat. Jika dipanaskan dibawah kondisi an-aerobik akan

mengalami dekarboksilasi.

f. Rearrangement

Adalah peristiwa dimana suatu senyawa kimia berubah menjadi senyawa lain tanpa mengalami perubahan

yaitu penambahan maupun pengurangan atom-atomnya. Contoh : Penisillin, dalam larutan asam akan berubah

menjadi asam penisilinat yang diduga sebagai penyebab alergi, dengan demikian juga tergantung pH larutan.

DAFTAR PUSTAKA

Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L., 1986, Teori dan Praktek FarmasiIndustri, Edisi

ketiga, diterjemahkan oleh: Suyatmi, S., Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 760-779, 1514 –

1587

Connors, K.A., Amidon, G.L. and Stella, V.J., 1986, Chemical Stability of

Pharmaceutical, John Willey and Sons, New York, 3-26, 163-168.

Parrot, N.,1970, Pharmaceutical Technology, Burgers Publishing Company,

Minneapolis, 250-255.

Laporan Stabilitas obat

LAPORAN RESMI

PERCOBAAN I

FARMASI FISIKA

STABILITAS OBAT

Pengampu : Sugiyono, Apt

Page 10: 145629639-Stabilitas-Obat

Disusun Oleh :

Golongan I C

Iman Bagus Wicaksono ( 115010658 )

Amalina Firdaus ( 115010670 )

Evi Kurniawati ( 115010671 )

Andwi Pravita Sari ( 115010672 )

LABORATORIUM FARMASI FISIKA

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS WAHID HASYIM

SEMARANG

2012

LAPORAN RESMI

PERCOBAAN III

STABILITAS OBAT

A. TUJUAN

Mempelajari reaksi kinetika dan menentukan waktu kadaluarsa obat

B. DASAR TEORI

Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi kimia. Stabilitas

obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama penyimpanan ( Connors,et

al.,1986).

Pada pembuatan obat harus diketahui waktu paro suatu obat. Waktu paro suatu obat dapat

memberikan gambaran stabilitas obat, yaitu gambaran kecepatan terurainya obat atau

Page 11: 145629639-Stabilitas-Obat

kecepatan degradasi kimiawinya. Panas, asam-asam, alkali-alkali, oksigen,

cahaya, kelembaban dan faktor-faktor lain dapat menyebabkan rusaknya obat. Mekanisme

degradasi dapat disebabkan oleh pecahnya suatu ikatan, pergantian spesies, atau perpindahan

atom-atom dan ion-ion jika dua molekul bertabrakan dalam tabung reaksi (Moechtar, 1989).

Ada dua hal yang menyebabkan ketidakstabilan obat, yang pertama adalah labilitas dari

bahan obat dan bahan pembantu, termasuk struktur kimia masing-masing bahan dan sifat kimia

fisika dari masing-masing bahan. Yang kedua adalah faktor-faktor luar, seperti suhu, cahaya,

kelembaban, dan udara, yang mampu menginduksi atau mempercepat reaksi degradasi bahan.

Skala kualitas yang penting untuk menilai kestabilan suatu bahan obat adalah kandungan bahan

aktif, keadaan galenik, termasuk sifat yang terlihat secara sensorik, secara miktobiologis,

toksikologis, dan aktivitas terapetis bahan itu sendiri. Skala perubahan yang diijinkan ditetapkan

untuk obat yang terdaftar dalam farmakope. Kandungan bahan aktif yang bersangkutan secara

internasional ditolerir suatu penurunan sebanyak 10% dari kandungan sebenarnya (Voight, R.,

1994).

Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana reaksi penguraian dari

larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan asam (H+) atau basa (OH

-) dengan

menggunakan katalisator yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi dan tidak

mempengaruhi hasil dari reaksi. (Ansel, 1989)

Kestabilan dari suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat

formulasi suatu sediaan farmasi. Hal itu penting mengingat sediaannya biasanya diproduksi

dalam jumlah yang besar dan juga memrlukan waktu yang lama untuk sampai ketangan pasien

yang membutuhkannya. Oabt yang disimpan dalam jangka waktu yang lama dapat mengalami

penguraian dan mengakibatkan hasil urai dari zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat

membahaykan jiwa pasien. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhi kestabilan suatu zat hingga dapat dipilih suatu kondisi dimana kestabilan obat

tersebut optimum. (Anonim, 2004)

Stabilitas fisik dan kimia bahan obat baik dan tersendiri dengan bahan – bahan dari

formulasi yang merupakan kriteria paling penting untuk menentukan suatu stabilitas kimia dan

farmasi serta mempersatukannya sebelum memformulasikan menjadi bentuk-bentuk sediaan.

(Ansel, 1989)

Kestabilan suatu sediaan farmasi dapat dievaluasi dengan test stabilitas dipercepat dengan

mengamati perubahan kosentrasi pada suhu yang tinggi. (Lachman, 1994)

Proses laju merupakan hal dasar yang perlu diperhatikan bagi setiap orang yang berkaitan

dengan bidang kefarmasian. Beberapa prinsip dan proses laju yang berkaitan dimasukkan dalam

rantai peristiwa ini:

a. Kestabilan dan tak tercampurkan

Proses laju umumnya adalah sesuatu yang menyebabkan ketidakaktifan obat melalui

penguraian obat, atau melalui hilangnya khasiat obat karena perubahan bentuk fisik dan kima

yang kurang diinginkan dari obat tersebut.

b. Disolusi

Yang perlu diperhatikan dari faktor disolusi adalah kecepatan berubahnya obat dalam

bentuk sediaan padat menjadi bentuk larutan molekular.

c. Proses absorpsi, distribusi, dan eliminasi

Page 12: 145629639-Stabilitas-Obat

Beberapa proses ini berkaitan dengan laju absorbs obat ke dalam tubuh, laju distribusi obat

dalam tubuh, dan laju pengeluaran obat setalah proses ditribusi dengan berbagai faktor, seperti

metabolisme, penyimpanan dalam organ tubuh, dan melalui jalur-jalur pelepasan.

d. Kerja obat pada tingkat molekular obat

Obat dapat dibuat dalam bentuk yang tepat dengan menganggap timbulnya respon dari

obat merupakan suatu proses laju.

(Martin, 1990)

Kecepatan dekomposisi obat ditunjukkan oleh kecepatan perubahan mula-mula satu atau

lebih reaktan dan ini dinyatakan dengan tetapan kecepatan reaksi k, yang untuk orde ke satu

dinyatakan sebagai harga resiprok dari detik, menit, dan jam. Kecepatan terurainya suatu zat

padat mengikuti reaksi orde nol, orde satu, ataupun orde dua, yang persamaan tetapan kecepatan

reaksinya seperti tercantum dibawah ini:

Orde nol k = C

t

Orde I k = 2,302 log Co atau k = 2,302 log Co

t C t Co – X

Orde II k = X

Co(Co – X)t

Dimana:

k = tetapan kecepatan reaksi

Co = konsentrasi mula-mula zat

C = konsentrasi zat pada waktu t

X = jumlah obat yang terurai pada waktu t

C = Co – X = konsentrasi mula-mula jumlah yang terurai pada waktu t

(Martin, 1990)

Orde reaksi dapat ditentukan dengan beberapa metode, yaitu:

a. Metode Substitusi

Data yang terkumpul dari hasil pengamatan jalannya suatu reaksi disubstitusikan ke dalam

bentuk integral dari persamaan berbagai orde reaksi. Jika persamaan itu menghasilkan harga k

yang tetap konstan dalam batas-batas variasi percobaan, maka reaksi dianggap berjalan sesuai

dengan orde reaksi tersebut.

b. Metode Grafik

Plot data dalam bentuk grafik dapat digunakan untuk mengetahui orde reaksi tersebut. Jika

konsentrasi diplot terhadap t dan didapatkan garis lurus, reaksi adalah orde nol. Reaksi dikatakan

orde pertama bila log (Co – X) terhadap t menghasilkan garis lurus bila 1 / (Co – X) diplot

terhadap t (jika konsentrasi mula-mula sama). Jika plot 1 / (Co – X)2 terhadap t menghasilkan

garis lurus dengan seluruh reaktan konsenrasi mula-mulanya, reaksi adalah orde ketiga.

c. Metode Waktu Paruh

Waktu yang dibutuhkan oleh suatu obat untuk terurai setengahnya dari konsentrasi mula-

mula adalah waktu paruh. Dalam reaksi orde nol, waktu paruh sebanding dengan konsentrasi

awal (Co) seperti pada tabel waktu paruh:

Orde Persamaan orde reaksi Persamaan waktu

paruh

0 X = k.t t1/2 = Co / 2k

1 t 1/2 = 0,693 / k

Page 13: 145629639-Stabilitas-Obat

log Co = k . t

(Co – X) 2,303

2 X = k.t

Co(Co – X)

t ½ = 1 / Co.k

(Martin, 1990)

A. ALAT dan BAHAN

ALAT :

- Labu takar 1 liter

- Pipet ukur

- Tabung reaksi

- Panci

- Spektrofotometer UV-Vis

- Stop watch

- Bekker glass

- Kompor listrik

- Thermometer

BAHAN :

- Asetosal

- Alkohol

- Aquadest

- Es batu

- Ferri nitrat 1%

- Asam nitrat P

B. CARA KERJA

Menimbang seksama 0,2 gram Asetosal, larutkan dalam 15 ml Alkohol, encerkan dengan

Aquadest sampai 1 liter

Memasukkan masing-masing larutan Asetosal ke dalam 5 tabung reaksi (diberi tanda t0 sampai

dengan t40) @10 ml

Page 14: 145629639-Stabilitas-Obat

Memanaskan didalam shaking thermostatic water bath (dalam praktikum ini di gunakan panci

sebagai penggantinya) pada suhu yang dikehendaki (40º C, 55º C, 70º C)

Setelah mencapai suhu yang dikehendaki mengambil tabung reaksi t0, dinginkan di

dalam crused ice

Setelah 10 menit ambil tabung reaksi t10, dinginkan di dalamcrused ice, begitu juga perlakuan

yang sama terhadap tabung reaksi t20 – t40

Setelah dingin tambahkan 2 tetes asam nitrat P dan 2 ml Ferri nitrat 1%, kocok sampai homogen

Membaca absorbansinya pada panjang gelombang 525 nm

Hitung kadar obat yang terdegradasi dengan persamaan kurva baku Y=0,128X+0,004

Menghitung kadar Asetosal yang rusak

Menghitung kadar utuh Asetosal

Menentukan peruraian Asetosal mengikuti orde reaksi 1 atau 2

F. PEMBAHASAN

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat mempelajari suatu reaksi dan

menentukan waktu kadaluarsa suatu obat. (Anonim, 2012)

Stabilitas obat adalah kemampuan suatu obat untuk mempertahankan sifat dan

karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat (identitas, kekuatan,

kualitas, kemurnian) dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan

penggunaan sehingga mampu memberikan efek terapi yang baik dan menghindari efek toksik.

Stabilitas adalah faktor penting kualitas, keamanan dan kemanjuran dari produk obat. Sebuah

produk obat, yang tidak cukup stabil, dapat mengakibatkan perubahan fisik (seperti kekerasan,

menilai pembubaran, pemisahan fase dll) serta karakteristik kimia (pembentukan risiko tinggi

dekomposisi zat). (Anonim, 2000)

Laju reaksi atau kecepatan reaksi menyatakan banyaknya reaksi yang berlangsung per

satuan waktu. Laju reaksi menyatakan konsentrasi zat terlarutdalam reaksi yang dihasilkan tiap

detik reaksi. Berdasarkan eksperimen, laju reaksi meningkat tajam dengan naiknya suhu.

(Martin, 1990)

T1/2 adalah periode penggunaan dan penyimpanan yaitu waktu dimana suatu produk

tetap memenuhi spesifikasinya jika disimpan dalam wadahnya yang sesuai dengan kondisi atau

waktu yang diperlukan untuk hilangnya konsentrasi setengahnya. Sedangkan T90 adalah waktu

Page 15: 145629639-Stabilitas-Obat

yang tertera yang menunjukkan batas waktu diperbolehkannya obat tersebut dikonsumsi karena

diharapkan masih memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. (Martin, 1990)

Pada praktikum stabilitas obat ini bahan yang digunakan adalah Asetosal. Dimana

dilakukan penentuan stabilitas obat Asetosal menggunakan metode grafik berdasarkan nilai

konstanta kecepatan reaksi, waktu paruh (T1/2) dan T90 (waktu kadaluarsa) dan menggunakan

instrumen spektrofotometer pada berbagai suhu yaitu suhu 40◦C, 55◦C, dan 70◦C. Dimana

panjang gelombang untuk Asetosal adalah 525 nm.

Page 16: 145629639-Stabilitas-Obat

Berikut reaksi peruraian Asetosal :

Degradasi Asetosal dapat dipengaruhi oleh suhu, cahaya, dan faktor-faktor lainya.

Berdasarkan mekanisme degradasi Asetosal diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi

Asetosal berkurang dalam jumlah yang sama dengan konsentrasi asam salisilat yang terbentuk

selama reaksi berlangsung. (Anonim, 2011)

Adapun tujuan dilakukan pada berbagai suhu 40◦C, 55◦C, dan 70◦C dimaksudkan untuk

membedakan atau mengetahui pada suhu berapa obat dapat stabil dengan baik dan pada suhu

berapa obat akan terurai dengan cepat. Jika menggunakan suhu yang tinggi kita mampu

mengetahui penguraian obat dengan cepat. Sedangkan jika menggunakan suhu kamar dalam

pengujian maka butuh waktu yang lama untuk dapat terurai atau terdegradasi walaupun

sebenarnya dalam suhu kamarpun Asetosal sudah dapat terdegradasi.

Proses yang dikerjakan dalam praktikum ini yaitu, mula-mula timbang secara seksama

0,2 gram Asetosal, lalu di larutkan dalam 15ml alkohol, adapun tujuan penambahan alkohol

adalah untuk melarutkan asetosal, karena jika di lihat dari pemerian asetosal yakni agak sukar

larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95 %) P; larut dalam kloroform P, dan dalam eter P

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979), maka dipilih pelarut yang cocok yaitu

alkohol atau etanol. Lalu encerkan dengan aquadest sampai 1 liter. Jika sudah di encerkan

sampai dengan homogen lalu masukkan 10ml masing-masing larutan asetosal ke dalam 5 tabung

reaksi ( diberi tanda t0 sampai t40). Panaskan dalam shaking thermostatic water bath yang dalam

praktikum ini diganti dengan panci yang di dalamnya terdapat beker glass yang beisi air dan

dididihkan di atas kompor listrik yang masing-masing di atur suhunya 40◦C, 55◦C, dan 70◦C.

Alasan menggunakan suhu yang tinggi karena bila kita ingin mengetahui batas kestabilan suatu

obat (batas kadaluarsanya), maka obat harus disimpan pada jangka waktu yang lama sampai obat

tersebut berubah, hal ini tentu tidak bisa dilakukan karena keterbatasan waktu, sehingga kita

menggunakan suhu yang tinggi karena uji kestabilan obat dapat dipercepat dengan menggunakan

perubahan suhu atau menggunakan suhu yang tinggi. Semakin tinggi suhunya maka akan

semakin cepat bahan obat tersebut untuk terurai. Metode ini dikenal sebagai studi stabilitas yang

dipercepat. (Anonim, 2012)

Setelah tercapai suhu yang di kehendaki ambil tabung reaksi t0 dinginkan dalam crussed

ice, atau pecahan es batu. Setelah 10 menit ambil tabung reaksi t10, dinginkan dalam crussed ice,

begitu halnya dengan perlakuan yang sama terhadap tabung reaksi t20 samapai tabung reksi t40.

Tujuan pendinginan dalam crussed ice atau ice batu adalah untuk menghentikan reaksi degradasi

yang terjadi didalam tabung reaksi. Setelah dingin tambahkan 2 tetes asam nitrat P dan 2 ml Feri

Nitrat 1% kocok sampai homogen, adapun tujuan penambahan senyawa tersebut adalah untuk

mengetahui apakah asetosal benar-benar telah terdegradasi menjadi asam salisilat dan asam

Page 17: 145629639-Stabilitas-Obat

asetat karena warna ungu yang di timbulkan pada saat penambahan adalah hasil dari asam

salisilat dan feri nitrat yang menjadi feri salisilat (warna ungu).

Page 18: 145629639-Stabilitas-Obat

Berikut adalah mekanisme pembentukan senyawa kompleks Ferri Salisilat

Setelah di tambahkan asam nitrat dan feri nitrat baca absorbansinya pada panjang

gelombang 525 nm dengan spektrofotometri UV VIS. Alasan digunakanya Spektrofotometri

UV-Vis karena Spektrofotometri UV-Vis mempunyai kelebihan diantaranya adalah

Spektrofotometri UV-Vis merupakan gabungan antara spektrofotometri UV dan Visible,

menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda, sumber cahaya UV dan sumber cahaya Visible.

Meskipun untuk alat yang lebih canggih sudah menggunakan hanya satu sumber sinar sebagai

sumber UV dan Vis, yaitu photodiode yang dilengkapi dengan monokromator. (Anonim, 2012)

Setelah dibaca absorbansinya, hitung kadar obat yang terdegradasi dengan persamaan

kurva baku Y=0,128X+0,004, dengan memasukkan hasil absorbansi asam salisilat sebagai fungsi

Y, adapun X sendiri adalah Kadar Asam salisilat yang dicari.

Setelah mendapat kadar Asetosal yang terdegradasi, hitung kadar Asetosal yang rusak ( C

) dalam mg %, dengan cara membagi BM asetosal dengan BM asam salisilat, hasilnya di kali

dengan kadar asetosal yang terdegradasi.

Setelah mendapat kadar asetosal yang rusak, maka dihitung pula kadar utuh Asetosal

dalam mg % , pertama-tama di hitung kadar asetosal mula-mula teoritis Co = 200 mg / 1000 ml,

dan diperoleh 20 mg / 100 ml, setelah itu di hitung pula kadar asetosal mula-mula praktek dan di

peroleh kadar 19,8 mg / 100 ml, kadar asetosal utuh dapat di ketahui dengan mengurangkan

kadar C asetosal yang rusak dengan Co praktek, dan diperoleh kadar dalam mg %.

Page 19: 145629639-Stabilitas-Obat

Setelah menghitung kadar utuh asetosal di tentukan juga peruraian asetosal, apakah

asetosal mengikuti orde reaksi 1 atau 2, dalam percobaan ini peruraian asetosal mengikuti orde

reaksi 2 dengan harga k = 0,9830. Penentuan orde reaksi di pilih dengan harga k yang paling

mendekati angka 1. Dalam hal ini peruraian mengikuti orde 2 dan dapat di sebabkan banyak hal

diantaranya adalah proses degradasi masih berjalan pada saat proses sudah di hentikan, ataupun

bisa terjadi sebaliknya yaitu, proses degradasi sudah dimulai pada saat percobaan belum

dilakukan, karena asetosal sendiri sudah dapat terdegradasi dalam suhu kamar.

Dalam percobaan ini juga dicari waktu paro obat T50 atau T1/2 dengan rumus T1/2 =

0,693 di bagi dengan k27 dan diperoleh hasil 9,476 x 10 jam atau 3,9486 x 10 hari. Serta

menentukan pula waktu kadaluarsa obat (t90) dengan rumus T90 = 0,105 dibagi dengan K27 dan

diperoleh hasil 1,435 x 10 jam atau 5,9792 x 10 hari.

Page 20: 145629639-Stabilitas-Obat

G. KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kinetika reaksi peruraian Asetosal mengikuti orde reaksi 2

2. Waktu paruh obat atau T1/2 yang didapat dari percobaan ini adalah

9,476 x 10 jam atau 3,9486 x 10 hari.

3. Waktu kadaluarsa obat atau T90 yang didapat dari percobaan ini adalah 1,435 x 10 jam atau

5,9792 x 10 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Ansel, Howard C. 1985. PENGANTAR BENTUK SEDIAAN FARMASI EDISI IV. UI press. Jakarta.

Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L., 1986, Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi ketiga,

diterjemahkan oleh: Suyatmi, S., Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 760-779, 1514 – 1587

Martin. A, 1993, Farmasi Fisika, Edisi III, Jilid II, Indonesia University Press.

Moechtar, 1989, Farmasi Fisika : Bagian Larutan dan Sistem Dispersi, Gadjah Mada University Press,

Jogjakarta.

Voight, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta