105871457-Isi

45
1 BAB 1 PENDAHULUAN Medication error secara luas didefinisikan sebagai kesalahan dalam pengeluaran resep, dispensing, atau administrasi dari obat, terlepas dari kesalahan tersebut menyebabkan konsekuensi merugikan atau tidak (Wiliams, 2007). Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada pasien, mulai dari industry, dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan, penyerahan, dan monitoring pasien. Leape (1995) mengidentifikasi penyebab kesalahan antara lain kurangnya diseminasi pengetahuan terutama dokter yang merupakan 22% penyebab kesalahan, tidak cukupnya informasi, 14% dari kesalahan mengenai pasien seperti halnya data uji laboratorium, 10% kesalahan dosis yang kemungkinan disebabkan tidak diikutinya SOP pengobatan, 9% kesalahan dalam membaca resep, salah mengerti perintah lisan, pelabelan dan kemasan, nomenklatur yang membingungkan, stok dan penyimpanan obat yang tidak baik, masalah dengan standard an distribusi, asesmen alat penyampai obat yang tidak baik saat membeli dan penggunaan, gangguan ketegangan dari lingkungan kerja, dan ketidaktahuan pasien (Purba, Soleha, & Sari, 2007). National Patient Safety Agency Report 2004 (UK) dan IOM Report 2000 (USA) menyatakan bahwa kesalahan pengobatan menyebabkan sejumlah besar kematian setiap tahunnya. Laporan ini mengenali bahwa mayoritas kesalahan terjadi bukan karena keteledoran tenaga medis, tetapi karena kecepatan dan kompleksitas dari obat. Sekitar 1/3 - 1/2 Adverse Drug Event berkaitan dengan kesalahan pengobatan (William, 2007). Di Indonesia kesalahan dalam pelayanan obat belum didata secara sistematis, sistem pelaporan maupun pencegahan yang terdokumentasi belum banyak dilaksanakan terutama di apotek komunitas (Purba, Soleha, & Sari, 2007). Laporan dari IOM (Institute of Medicine) 1999 secara terbuka menyatakan bahwa paling sedikit 44.000 bahkan 98.000 pasien meninggal di rumah sakit dalam satu tahun akibat dari kesalahan medis (medical errors) yang sebetulnya bisa dicegah. Kuantitas ini melebihi kematian akibat kecelakaan lalu lintas, kanker payudara dan AIDS (Departemen Kesehatan RI, 2008). Penelitian menunjukkan bahwa peringkat paling tinggi kesalahan pengobatan (medication error) padatahap ordering (49%), diikuti tahap administration

Transcript of 105871457-Isi

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    Medication error secara luas didefinisikan sebagai kesalahan dalam

    pengeluaran resep, dispensing, atau administrasi dari obat, terlepas dari kesalahan

    tersebut menyebabkan konsekuensi merugikan atau tidak (Wiliams, 2007).

    Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada

    pasien, mulai dari industry, dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan,

    penyerahan, dan monitoring pasien. Leape (1995) mengidentifikasi penyebab

    kesalahan antara lain kurangnya diseminasi pengetahuan terutama dokter yang

    merupakan 22% penyebab kesalahan, tidak cukupnya informasi, 14% dari kesalahan

    mengenai pasien seperti halnya data uji laboratorium, 10% kesalahan dosis yang

    kemungkinan disebabkan tidak diikutinya SOP pengobatan, 9% kesalahan dalam

    membaca resep, salah mengerti perintah lisan, pelabelan dan kemasan, nomenklatur

    yang membingungkan, stok dan penyimpanan obat yang tidak baik, masalah dengan

    standard an distribusi, asesmen alat penyampai obat yang tidak baik saat membeli dan

    penggunaan, gangguan ketegangan dari lingkungan kerja, dan ketidaktahuan pasien

    (Purba, Soleha, & Sari, 2007).

    National Patient Safety Agency Report 2004 (UK) dan IOM Report 2000

    (USA) menyatakan bahwa kesalahan pengobatan menyebabkan sejumlah besar

    kematian setiap tahunnya. Laporan ini mengenali bahwa mayoritas kesalahan terjadi

    bukan karena keteledoran tenaga medis, tetapi karena kecepatan dan kompleksitas

    dari obat. Sekitar 1/3 - 1/2 Adverse Drug Event berkaitan dengan kesalahan

    pengobatan (William, 2007).

    Di Indonesia kesalahan dalam pelayanan obat belum didata secara sistematis,

    sistem pelaporan maupun pencegahan yang terdokumentasi belum banyak

    dilaksanakan terutama di apotek komunitas (Purba, Soleha, & Sari, 2007). Laporan

    dari IOM (Institute of Medicine) 1999 secara terbuka menyatakan bahwa paling

    sedikit 44.000 bahkan 98.000 pasien meninggal di rumah sakit dalam satu tahun

    akibat dari kesalahan medis (medical errors) yang sebetulnya bisa dicegah. Kuantitas

    ini melebihi kematian akibat kecelakaan lalu lintas, kanker payudara dan AIDS

    (Departemen Kesehatan RI, 2008).

    Penelitian menunjukkan bahwa peringkat paling tinggi kesalahan pengobatan

    (medication error) padatahap ordering (49%), diikuti tahap administration

  • 2

    management (26%), pharmacy management (14%), transcribing (11%) Laporan di

    atas telah menggerakkan sistem kesehatan dunia untuk merubah paradigma pelayanan

    kesehatan menuju keselamatan pasien (patientsafety). Gerakan ini berdampak juga

    terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia melalui pembentukan KKPRS (Komite

    Keselamatan Pasien Rumah Sakit) pada tahun 2004. Dengan demikian keselamatan

    pasien merupakan bagian penting dalam risiko pelayanan di rumah sakit selain risiko

    keuangan (financial risk), risiko properti (property risk), risiko tenaga profesi

    (professional risk) maupun risiko lingkungan (environment risk) pelayanan dalam

    risiko manajemen. Badan akreditasi dunia The Joint Commision on Accreditation of

    HealthcareOrganizations (JCAHO) mensyaratkan tentang kegiatan keselamatan

    pasien berupa identifikasi dan evaluasi hendaknya dilakukan untuk mengurangi resiko

    cedera dan kerugian pada pasien, karyawan rumah sakit, pengunjung dan

    organisasinya sendiri (Departemen Kesehatan RI, 2008).

    Berdasarkan analisis kejadian berisiko dalam proses pelayanan kefarmasian,

    kejadian obat yang merugikan (adverse drug events), kesalahan pengobatan

    (medication errors) dan reaksi obat yang merugikan (adverse drugreaction)

    menempati kelompok urutan utama dalam keselamatan pasien yang memerlukan

    pendekatan sistem untuk mengelola. Pendekatan sistem bertujuan untuk

    meminimalkan risiko dan mempromosikan upaya keselamatan penggunaan obat

    termasuk alat kesehatan yang menyertai. Secara garis besar langkah-langkah yang

    bisa dilakukan antara lain analisis sistem yang sedang berjalan, deteksi adanya

    kesalahan, analisis tren sebagai dasar pendekatan sistem. JCAHO menetapkan lingkup

    sistem keselamatan pelayanan farmasi meliputi : sistem seleksi (selection), sistem

    penyimpanan sampai distribusi (storage), sistem permintaan obat, interpretasi dan

    verifikasi (ordering& transcribing), sistem penyiapan, labelisasi, peracikan,

    dokumentasi, penyerahan ke pasien disertai kecukupan informasi

    (preparing&dispensing), sistem penggunaan obat oleh pasien (administration),

    monitoring(Departemen Kesehatan RI, 2008).

    Apoteker berperan utama dalam meningkatkan keselamatan dan efektifitas

    penggunaan obat. Dengan demikian dalam penjabaran, misi utama Apoteker dalam

    hal keselamatan pasien adalah memastikan bahwa semua pasien mendapatkan

    pengobatan yang optimal. Hal ini telah dikuatkan dengan berbagai penelitian yang

    menunjukkan bahwa kontribusi Apoteker dapat menurunkan medication

    errors(Departemen Kesehatan RI, 2008).

  • 3

    BAB 2

    MEDICATION ERROR

    2.1. Definisi

    Proses pengobatan (medication) adalah tindakan pemberian pengobatan pada

    suatu obyek yaitu pasien dengan tujuan menyembuhkan pasien.Error berarti

    kegagalan dari sesuatu yang telah direncanakan untuk diselesaikan sesuai dengan

    tujuan (error pada pelaksanaan) atau kesalahan pada perencanaan untuk mencapai

    tujuan (error pada perencanaan). Dengan definisi ini, medication error dapat

    diartikan sebagai sebuah kegagalan dalam proses pengobatan yang mengakibatkan

    atau mempunyai potensi untuk mengakibatkan bahaya pada pasien. Digunakan kata

    gagal menandakan bahwa proses tersebut telah berada dibawah standard yang

    seharusnya dicapai. Proses pengobatan yang dimaksud termasuk pengobatan untuk

    gejala atau penyebab penyakit, investigasi atau pencegahan penyakit serta perubahan

    fisiologis yang terjadi. Proses tersebut juga tidak hanya disebabkan oleh terapi obat

    tapi juga termasuk proses manufacturing; compounding; prescribing; transcribing;

    dispensing; dan administration. Definisi bahaya yang dimaksud adalah implikasi

    dari kegagalan pengobatan yang tidak menjelaskan secara spesifik siapa yang

    melakukan kesalahan, dapat jadi dokter, perawat, farmasis, atau pembawa obat, juga

    tidak menyebutkan siapa yang bertanggung jawab untuk mencegah kesalahan

    (Aronson, 2009).

    Dimana definisi diatas mirip dengan definisi dari National Coordinating

    Council for Medication error Reporting and Prevention (NCCMERP). NCCMERP

    mendefinisikan kesalahan pengobatan sebagai Suatu kejadian yang dapat dicegah

    yang menyebabkan penggunaan obat yang tidak sesuai atau membahayakan pasien di

    mana pengobatan tersebut dikontrol oleh tenaga medis profesional, pasien, atau

    konsumen, yang berhubungan dengan praktis profesional, produk kesehatan,

    prosedur, sistem termasuk prescribing; order communication; product labeling;

    packaging; compounding; dispensing; distribution; administration; education;

    monitoring; dan penggunaan."

    Istilah error / kesalahan juga digunakan dalam pelayanan medis, sebagaimana

    dikemukakan oleh Bryan A. Liang, yang memberikan definisi medical error sebagai

    suatu kekeliruan, suatu peristiwa yang tidak diduga akan terjadi, yang tidak

  • 4

    dikehendaki dalam pemberian pelayanan medis yang dapat mengakibatkan luka

    ataupun tidak sampai menimbulkan luka terhadap pasien (Guwandi, 2005).

    Kesalahan pengobatan (medication errors) adalah semua kejadian yang dapat

    menyebabkan pengobatan tidak sesuai atau yang dapat mencelakakan pasien dimana

    prosedur pengobatan tersebut masih berada di bawah kontrol praktisi kesehatan

    (Fowler, 2009). Kesalahan pengobatan (medication error) didefinisikan secara luas

    sebagai kesalahan dalam meresepkan, membagikan, dan memberikan obat, tanpa

    tergantung dengan di mana kesalahan ini menyebabkan konsekuensi yang merugikan

    atau tidak. Definisi yang terbaru dari kesalahan pengobatan adalah kegagalan dalam

    proses pengobatan yang menyebabkan atau berpotensi menyebabkan kebahayaan

    pada pasien, kesalahan pengobatan dapat terjadi pada setiap langkah pengobatan yang

    menggunakan proses, dan mungkin atau tidak dapat menyebabkan ADE atau Adverse

    Drug Event(William,2007).

    Pengertian lain oleh Cohen, dkk., medication error adalah suatu kesalahan

    dalam proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab

    profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen,1991;

    Basse & Myers,1998). Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

    1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication error adalah

    kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan

    tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Dalam Surat Keputusan Menteri

    tersebut juga telah disebutkan bahwa apoteker wajib memahami dan menyadari

    kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error).

    2.2. Klasifikasi Kesalahan Obat

    National Coordinating Council for Medication error Reporting and Prevention

    (NCC MERP) mengklasifikasikan medication errorberdasarkan tingkat keparahan

    hasil dari pasien. Kesalahan yang dekat juga di klasifikasikan sebagai kesalahan

    potensial yang berhak mendapat sistem yang luas dan mengarah ke perbaikan.

    Kategorimedication error adalah sebagai berikut:

    Tabel 1. Taksonomi & kategorisasi medication error

    Tipe error Kategori Keterangan

    NO ERROR

    A Keadaan atau kejadian yang potensial menyebabkan

    terjadinya error

  • 5

    ERROR-NO HARM

    B Error terjadi, tetapi obat belum mencapai pasien

    C Error terjadi, obat sudah mencapai pasien tetapi tidak

    menimbulkan risiko

    a) Obat mencapai pasien dan sudah terlanjur

    diminum/digunakan

    b) Obat mencapai pasien tetapi belum sempat

    diminum/digunakan

    D Error terjadi dan konsekuensinya diperlukan

    monitoring terhadap pasien, tetapi tidak

    menimbulkan resiko (harm) pada pasien

    ERROR-HARM

    E Error terjadi dan pasien memerlukan terapi atau

    intervensi serta menimbulkan resiko (harm) pada

    pasien yang bersifat sementara

    F Error terjadi & pasien memerlukan perawatan atau

    perpanjangan perawatan di rumah sakit disertai cacat

    yang bersifat sementara

    G Error terjadi dan menyebabkan resiko (harm)

    permanen

    H Error terjadi dan nyaris menimbulkan kematian (mis.

    anafilaksis, henti jantung)

    ERROR-DEATH I Error terjadi dan menyebabkan kematian pasien

  • 6

    Gambar 1. Diagram Medication Error

    Kejadianmedication errordibagi menjadi 4 fase, yaitu fase prescribing, fase

    transcribing,fase dispensing, dan fase administrasion oleh pasien(Cohen,1991).

    1. Prescribing Errors

    Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase

    penulisan resep. Fase ini meliputi:

    a. Kesalahan resep

    Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang diketahui,

    terapi obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk sediaan, mutu, rute,

    konsentrasi, kecepatan pemberian, atau instruksi untuk menggunakan suatu

    obat yang diorder atau diotorisasi oleh dokter (atau penulis lain yang sah)

    yang tidak benar. Seleksi obat yang tidak benar misalnya seorang pasien

    dengan infeksi bakteri yang resisten terhadap obat yang ditulis untuk pasien

    tersebut.

    Resep atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan kesalahan yang

    sampai pada pasien.

  • 7

    b. Kesalahan karena yang tidak diotorisasi

    Pemberian kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang penulis

    resep yang sah untuk pasien. Mencakup suatu obat yang keliru, suatu dosis

    diberikan kepada pasien yang keliru, obat yang tidak diorder, duplikasi dosis,

    dosis diberikan diluar pedoman atau protokol klinik yang telah ditetapkan,

    misalnya obat diberikan hanya bila tekanan darah pasien turun di bawah

    suatu tingkat tekanan yang ditetapkan sebelumnya.

    c. Kesalahan karena dosis tidak benar

    Pemberian kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih kecil dari

    jumlah yang diorder oleh dokter penulis resep atau pemberian dosis duplikat

    kepada pasien, yaitu satu atau lebih unit dosis sebagai tambahan pada dosis

    obat yang diorder.

    d. Kesalahan karena indikasi tidak diobati

    Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi tidak menerima suatu

    obat untuk indikasi tersebut. Misalnya seorang pasien hipertensi atau

    glukoma tetapi tidak menggunakan obat untuk masalah ini.

    e. Kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan

    Pasien menerima suatu obat untuk suatu kondisi medis yang tidak

    memerlukan terapi obat.

    2. Transcription Errors

    Pada fase transcribing, kesalahan terjadi pada saat pembacaan resep untuk

    proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas.

    Salah dalam menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat

    terjadi pada fase ini.

    Jenis kesalahan obat yang termasuk transcription errors, yaitu:

    a. Kesalahan karena pemantauan yang keliru

    Gagal mengkaji suatu regimen tertulis untuk ketepatan dan pendeteksian

    masalah, atau gagal menggunakan data klinik atau data laboratorium untuk

    pengkajian respon pasien yang memadai terhadap terapi yang ditulis.

  • 8

    b. Kesalahan karena ROM (Reaksi Obat Merugikan)

    Pasien mengalami suatu masalah medis sebagai akibat dari ROM atau efek

    samping.

    Reaksi diharapkan atau tidak diharapkan, seperti ruam dengan suatu

    antibiotik, pasien memerlukan perhatian pelayanan medis.

    c. Kesalahan karena interaksi obat

    Pasien mengalami masalah medis, sebagai akibat dari interaksi obat-obat,

    obat-makanan, atau obat-prosedur laboratorium.

    3. Administration Error

    Kesalahan pada fase administration adalah kesalahan yang terjadi pada proses

    penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau

    keluarganya. Kesalahan yang terjadi misalnya pasien salah menggunakan

    supositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah

    waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum bersama

    makan.

    Jenis kesalahan obat yang termasuk administration errors yaitu :

    a. Kesalahan karena lalai memberikan obat

    Gagal memberikan satu dosis yang diorder untuk seorang pasien, sebelum

    dosis terjadwal berikutnya.

    b. Kesalahan karena waktu pemberian yang keliru

    Pemberian obat di luar suatu jarak waktu yang ditentukan sebelumnya dari

    waktu pemberian obat terjadwal.

    c. Kesalahan karena teknik pemberian yang keliru

    Prosedur yang tidak tepat atau teknik yang tidak benar dalam pemberian

    suatu obat.

    Kesalahan rute pemberian yang keliru berbeda dengan yang ditulis; melalui

    rute yang benar, tetapi tempat yang keliru (misalnya mata kiri sebagai ganti

    mata kanan), kesalahan karena kecepatan pemberian yang keliru.

    d. Kesalahan karena tidak patuh

  • 9

    Perilaku pasien yang tidak tepat berkenaan dengan ketaatan pada suatu

    regimen obat yang ditulis. Misalnya paling umum tidak patuh menggunakan

    terapi obat antihipertensi.

    e. Kesalahan karena rute pemberian tidak benar

    Pemberian suatu obat melalui rute yang lain dari yang diorder oleh dokter,

    juga termasuk dosis yang diberikan melalui rute yang benar, tetapi pada

    tempat yang keliru (misalnya mata kiri, seharusnya mata kanan).

    f. Kesalahan karena gagal menerima obat

    Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat, tetapi untuk alasan

    farmasetik, psikologis, sosiologis, atau ekonomis, pasien tidak menerima

    atau tidak menggunakan obat.

    4. Dispensing Error

    Kesalahan pada fasedispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan

    resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error adalah salah

    dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang

    mirip atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam

    menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian

    informasi.

    Jenis kesalahan obat yang termasuk Dispensing errors yaitu :

    a. Kesalahan karena bentuk sediaan

    Pemberian kepada pasien suatu sediaan obat dalam bentuk berbeda dari yang

    diorder oleh dokter penulis.

    Penggerusan tablet lepas lambat, termasuk kesalahan.

    b. Kesalahan karena pembuatan/penyiapan obat yang keliru

    Sediaan obat diformulasi atau disiapkan tidak benar sebelum pemberian.

    Misalnya, pengenceran yang tidak benar, atau rekonstitusi suatu sediaan

    yang tidak benar. Tidak mengocok suspensi. Mencampur obat-obat yang

    secara fisik atau kimia inkompatibel.

    Penggunaan obat kadaluarsa, tidak melindungi obat terhadap pemaparan

    cahaya.

  • 10

    c. Kesalahan karena pemberian obat yang rusak

    Pemberian suatu obat yang telah kadaluarsa atau keutuhan fisik atau kimia

    bentuk sediaan telah membahayakan. Termasuk obat-obat yang disimpan

    secara tidak tepat.

    Adapun bentuk-bentuk kejadian medication error disajikan dalam Tabel 2.

    Tabel 2. Bentuk-bentuk kejadian medication error

    2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kesalahan Obat

    Kesalahan obat yang terjadi dapat disebabkan dua hal, yaitu kurangnya

    pengetahuan dan kesalahan dalam pelaksanaan. Kesalahan dapat terjadi jika sistem

    keamanan tidak diterapkan untuk mencegahnya. Semakin baik penerapan sistem

    keamanan diterapkan maka semakin besar kemungkinan kesalahan dapat dicegah

    sebelum sampai kepada pasien. Faktor yang menyebabkan terjadinya medication

    error adalah sebagai berikut:

    1) Kondisi Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)

  • 11

    Jumlah dan mutu apoteker tidak memadai dan juga penggunaan tenaga

    nonprofesional dalam bidang fungsi atau pekerjaan apoteker.

    2) Ketidaksesuaian Sistem Distribusi Obat untuk Penderita Rawat Tinggal (PRT)

    Akibat tidak terlaksananya pengkajian profil pengobatan pasien dan pelayanan

    yang belum berorientasi pada pasien dapat menyebabkan terjadinya kesalahan

    pengobatan. Sistem seperti ini merupakan sistem distribusi obat yang tidak sesuai.

    3) Pelayanan Farmasi Klinik yang Belum Diterapkan

    Pelayanan farmasi klinik adalah suatu kegiatan dimana apoteker memberikan

    jaminan mutu pelayanan obat kepada pasien dengan maksud meningkatkan kesehatan

    pasien. Jika pelayanan farmasi klinik ini diterapkan di rumah sakit, kesalahan obat

    atau masalah yang berkaitan dengan obat dapat diminimalkan.

    4) Cara Dispensing Obat yang Baik (CDOB) Tidak Diterapkan

    Berbagai kegiatan dalam CDOB tidak diterapkan, seperti penginterpretasian

    resepobat, profil pengobatan pasien, pemberian informasi yang lengkappada etiket,

    informasi kepada perawat, dapat menyebabkan terjadinya kesalahan baik oleh dokter,

    apoteker, perawat maupun pasien.

    5) Kebijakan dan Prosedur Pengelolaan, pengendalian, serta Pelayanan Obat Tidak

    Memadai.

    Kebijakan dan prosedur merupakan sarana untuk meningkatkan keamanan,

    efisiensi serta merupakan penuntun dalam melaksanakan pengelolaan, pengendalian

    dan pelayanan obat yang efektif dan efisien.

    6) Pelaksanaan Sistem Formularium dan Pengadaan Formularium yang Belum

    Memadai.

    Jumlah, jenis mutu obat serta penggunaan di rumah sakit yang tidak terkendali

    sebagai akibat sistem formularium yang belum diterapkan dapat menyebabkan

    kesalahan obat.

    7) Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) Belum Berdaya

  • 12

    PFT yang belum berdaya dapat terlihat melalui sistem formularium yang tidak

    terlaksana serta pengembangan kebijakan dan prosedur berkaitan dengan obat yang

    sangat lambat.

    8) Unjuk Kerja Pelayanan IFRS Belum Memadai

    Jumlah dan mutu apoteker belum memadai yang terlihat dari fungsi pengelolaan,

    pengendalian dan pelayanan belum memadai dapat berkontribusi akan terjadinya

    kesalahan obat.

    9) Pengetahuan Pasien dan Profesional Kesehatan Tentang Obat yang Kurang atau

    Tidak Memadai

    Pengetahuan pasien tentang obat yang kurang dapat menyebabkan ketidakpatuhan

    ataupun kesalahan penggunaan obat. Profesional kesehatan misalnya, dokter yang

    kurang mendapat informasi obat, dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan obat

    yang tepat bagi pasien tertentu.

    10) Penyebab Kesalahan Obat yang Umum

    a. Kekuatan obat pada etiket atau dalam kemasan yang membingungkan

    Kekuatan atau dosis sediaan tidak jelas dimana sediaan tersebut terdiri dari

    bermacam-macam obat dengan perbandingan yang ada, contoh

    cotrimoksazol (trimetroprim 800 mg + sulfametoksazol 400 mg).

    b. Nama atau bunyi nama obat yang terlihat mirip

    Penamaan sediaan obat yang hampir sama dapat menyebabkan medication

    error. Contoh obat yang sering menyebabkan kesalahan pengobatan adalah

    obat pencegah pembekuan darah Coumadin dan obat anti parkinson

    Kemadrin. Taxol (paclitaxel) suatu agen antikanker kedengarannya

    hampir sama dengan Paxil (paroxetine) yang merupakan suatu

    antidepresan.

    c. Kesalahan alat

    Contohnya pompa intravena dimana katupnya tidak berfungsi,

    menyebabkan periode pemberian obat menjadi terlalu cepat.

    d. Tulisan tangan tidak terbaca

    Tulisan tangan yang kurang jelas dapat menyebabkan kesalahan dalam dua

    pengobatan yang mempunyai nama yang serupa. Selain itu, banyak nama

  • 13

    obat yang nampak serupa terutama saat percakapan di telepon, kurang jelas

    atau salah melafalkan. Permasalahannya menjadi kompleks apabila obat

    tersebut memiliki cara pemberian yang sama dan dosis yang hampir sama.

    e. Penulisan kembali resep atau order dokter yang tidak tepat

    f. Perhitungan dosis yang tidak teliti

    Kesalahan dalam menghitung dosis sebagian besar terjadi pada pengobatan

    pediatri dan pada produk-produk intravena. Beberapa studi menunjukkan

    bahwa kesalahan dalam perhitungan dosis tidak hanya ringan tetapi juga

    kesalahan yang fatal, misal kesalahan 10 kali lipat atau mencapai 15%.

    g. Kesalahan diagnosis

    Kesalahan dokter dalam mendiagnosis penyakit dapat menyebabkan

    kesalahan tindakan medis selanjutnya.

    h. Menggunakan singkatan yang tidak tepat dalam penulisan resep

    Pengunaan singkatan dalam resep terkadang dapat menyebabkan terjadinya

    kesalahan obat, seperti misalnya:

    Singkatan U (unit) untuk insulin dan pitosin dapat menyebabkan

    kesalahan pembacaan menjadi 0 yang menyebabkan overdosis yang

    berbahaya.

    Singkatan IU (International Unit) dapat terbaca sebagai IV (intravena)

    atau 10.

    Singkatan q.d. (quaque die) yang berarti setiap hari dapat

    menyebabkan kesalahan pembacaan menjadi qid (quarter in die atau

    empat kali sehari) atau qod (setiap hari yang berbeda)

    Angka desimal seharusnya tidak ditulis. Angka 1.0 dapat terbaca

    sebagai 10 akibat tanda desimalnya berada pada garis keras resep.

    i. Kesalahan penulisan etiket

    2.4. Upaya Apoteker dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kesalahan Obat

    Sejumlah pasien dapat mengalami cedera atau mengalami insiden pada saat

    memperoleh layanan kesehatan, khususnya terkait penggunaan obat yang dikenal

    dengan medication error. Di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya,

    kejadian medication error dapat dicegah jika melibatkan pelayanan farmasi klinik

    dari apoteker yang sudah terlatih.Berbagai upaya baik langsung maupun tidak

  • 14

    langsung sedang dilakukan oleh apoteker agar dapat meminimalkan kesalahan

    pengobatan. Berbagai upaya tersebut antara lain:

    1. Pelaksanaan Tanggung Jawab Apoteker dalam Bidang Dispensing dan Ruang

    Perawatan Pasien

    a. Dalam Bidang Dispensing

    Apoteker wajib melakukan dispensing sesuai dengan cara dispensing yang

    baik, diantaranya:

    Mengikuti kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan.

    Menginterpretasikan resep dengan seksama.

    Mendokumentasikan P3

    Memeriksa keakuratan dosis

    Memeriksa kelengkapan informasi pada etiket

    Melakukan pengendalian obat

    Menggunakan teknik yang baik dalam meracik obat serta dalam

    pencampuran sediaan intravena

    Melakukan pendokumentasian yang baik

    Meningkatkan kompetensi profesional, terutama dalam pengetahuan

    tentang obat, termasuk stabilitas dan inkompatibilitas obat

    Memastikan bahwa personel baru telah dilatih dengan baik

    Mengkoordinasikan berbagai kegiatan bidang dispensing dengan staf yang

    ada

    Memelihara kebersihan dan kerapian ruang dispensing

    Memberikan informasi obat yang diperlukan bagi apoteker, dokter,

    perawat dan pasien

    Mengkomunikasikan kepada semua staf IFRS berbagai hal berkenaan

    dengan pengembangan baru dalam bidang dispensing dan membantu

    dalam mengevaluasi personel

    Mengkoordinasikan kebutuhan farmasi dari ruang perawatan pasien

    dengan bidang dispensing

    b. Dalam Ruang Perawatan Pasien

    Apoteker wajib melakukan pengawasan dalam pemberian obat:

    Mengintepretasikan setiap dosis unit, serta pemberian obat campuran

    intravena

  • 15

    Mengevaluasi setiap kartu pengobatan pasien secara berkala untuk

    memastikan bahwa dosis telah diberikan dengan benar

    Memastikan secara berkala bahwa dosis yang diberikan telah

    terdokumentasi pada waktu pengobatan

    Memastikan bahwa dokumentasi untuk obat golongan narkotik yang telah

    diberikan, dipelihara dengan benar

    Memastikan bahwa teknik pemberian obat yang tepat digunakan

    Bertindak sebagai penghubung antara apoteker, perawat dan staf medis

    Mengkomunikasikan pada perawat dan dokter tentang masalah pemberian

    obat

    Secara berkala menginspeksi ruang obat pada unit perawat guna

    memastikan pemeliharaan tingkat persediaan obat dan perlengkapan

    Memastikan bahwa obat-obat dan pelengkapan diadakan dari ruang

    dispensing sesuai dengan yang diperlukan

    Memastikan bahwa pelayanan pendukung lain yang dilakukan IFRS

    dilaksanakan dengan benar

    Mengkoordinasikan semua pelayanan farmasi pada tingkat unit perawat

    Memastikan bahwa ruangan obat adalah bersih dan teratur

    Memastikan bahwa keamanan yang tepat dipelihara dalam ruangan obat

    untuk mencegah pencurian

    c. Perawatan Langsung Pasien

    Mengidentifikasikan obat yang dibawa pasien ke rumah sakit

    Mengetahui riwayat penggunaan obat oleh pasien dan

    mengkomunikasikan semua informasi berkaitan kepada dokter

    Membantu dokter dalam seleksi zat aktif dan produk obat

    Membantu dokter dalam seleksi regimen dosis dan jadwal, kemudian

    menetapkan waktu pemberian obat untuk jadwal tersebut (pelayanan

    farmakokinetik)

    Memantau terapi obat menyeluruh untuk keefektifan atau

    ketidakefektifan, efek samping, toksisitas, reaksi alergi obat dan interaksi

    obat

    Memberikan konseling kepada pasien

  • 16

    Berpartisipasi dalam keadaan darurat dalam mengadakan dan menyiapkan

    obat-obat yang diperlukan, dan sebagainya

    Kegiatan yang dilakukan farmasi klinik yaitu monitoring pengobatan pasien

    untuk memantau efek samping obat yang merugikan serta menjamin pemakaian obat

    yang rasional.

    Tanggung jawab umumnya antara lain :

    Mengadakan edukasi in-service bagi :

    Apoteker, residen apoteker dan mahasiswa farmasi

    Perawat dan siswa perawat

    Dokter dan mahasiswa kedokteran

    Melayani informasi obat untuk dokter, perawat dan personel pelayanan

    kesehatan lain

    2. Pelaksanaan Sistem Distribusi Obat yang tepat untuk PRT

    Apoteker wajib menerapkan sistem distribusi obat yang tepat agar dapat

    memenuhi persyaratan penyampaian obat yang baik, yaitu tepat pasien, tepat obat,

    tepat jadwal, tanggal, waktu dan metode pemberian, tepat informasi untuk pasien dan

    untuk perawat pemberi obat kepada pasien.Berdasarkan distribusi obat bagi pasien

    rawat tinggal, digunakan empat sistem, yaitu:

    a. Sistem distribusi obat resep individual atau permintaan tetap

    Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispensing

    dari IFRS. Reseporisinal oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian diproses

    sesuai dengan kaidah cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk

    didistribusikan kepada penderita tertentu. Sistem ini kurang sesuaiuntuk

    rumah sakit-rumah sakit yang besar, seperti kelas A dan B karena memiliki

    daerah pasien yangmenyebar sehingga jarak antara IFRS dengan perawatan

    pasien sangat jauh. Sistem ini biasanyadigunakan di rumah sakit-rumah sakit

    kecil atau swasta karena memberikan metode yang sesuaidalam penerapan

    keseluruhan biaya pengobatan dan memberikan layanan kepada pasien

    secaraindividual.

  • 17

    b. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang

    Alur sistem distribusi persediaan lengkap di ruang adalah dokter menulis resep

    kemudian diberikankepada perawat untuk diinterpretasikan kemudian perawat

    menyiapkan semua obat yangdiperlukan dari persediaan obat yang ada di

    ruangan sesuai resep dokter untuk diberikan kepadapasien, termasuk

    pencampuran sediaan intravena. Persediaan obat di ruangan dikendalikan

    olehinstalasi farmasi.

    c. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap di

    ruang

    Alur sistem distribusi obat kombinasi persediaan di ruang dan resep individual

    adalah dokter menulisresep untuk pasien dan resep tersebut diinterpretasikan

    oleh apoteker dan perawat. Pengendalianoleh apoteker dilakukan untuk resep

    yang persediaan obatnya disiapkan di instalasi farmasi. Obatkemudian

    diserahkan ke ruang perawatan pasien sewaktu pasien minum obat.

    Pengendalian obatyang tersedia di ruang perawatan dilakukan oleh perawat

    dan apoteker. Obat disiapkan kepadapasien oleh perawat.

    d. Sistem distribusi obat dosis unit.

    Metode pengoperasian sistem distribusi dosis unit ada tiga macam,yaitu :

    1) Sentralisasi

    Dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan penderita rawat

    tinggal di rumah sakitsecara keseluruhan. Kemungkinan di rumah sakit

    tersebut hanya ada satu IFRS tanpa adanya cabangIFRS di beberapa

    daerah perawatan penderita.

    2) Desentralisasi

    Dilakukan oleh beberapa cabang IFRS di rumah sakit. Pada dasarnya

    sistem ini sama dengan system distribusi obat persediaan lengkap

    diruangan, hanya saja sistem distribusi obat desentralisai ini dikelola

    seluruhnya oleh apoteker yang sama dengan pengelolaan dan pengendalian

    oleh IFRS sentral.

    3) Kombinasi sentralisasi dan desentralisasi

    Biasanya hanya dosis mula dan dosis keadaan darurat dilayani oleh cabang

    IFRS. Dosis selanjutnya dilayani oleh IFRS sentral. Semua pekerjaan

    tersentralisasi lain, seperti pengemasan dan pencampuran sediaan

    intravena juga dimulai dari IFRS sentral.

  • 18

    Distribusi obat dosis unit secara desentralisasi perlu diterapkan untuk PRT

    dalam rumah sakit yang besar sekelas A, B, dan C. Sementara untuk rumah sakit yang

    kecil ( 50 tempat tidur) dapat diterapkan sistem distribusi obat dosis unit sentralisasi.

    Tanggung jawab farmasis dalam kaitan dengan distribusi obat adalah :

    a. Memeriksa permintaan obat dengan melihat medication administration

    record(MAR).

    b. Menuliskan nama generik dari obat pada MAR.

    c. Memecahkan masalah yang berkaitan dengan distribusi.

    3. Pelaksanaan Tanggung Jawab IFRS Sepenuhnya dalam Pengelolaan Obat di

    Rumah Sakit

    Pengendalian pengadaan, mutu, penyimpanan, dispensing, distribusi dan

    penggunaan obat di rumah sakit sebaiknya menjadi tanggung jawab IFRS dimana

    PRT diwajibkan menggunakan obat yang disediakan oleh IFRS. Hal ini ditujukan

    untuk meminimalisir kejadian kesalahan pengobatan di rumah sakit.

    4. Pemenuhan Standar Minimal IFRS

    IFRS atau apoteker sebaiknya memenuhi standar minimal dalam melaksanakan

    tanggung jawabnya dalam pelayanan pasien di rumah sakit yang mencakup pelayanan

    farmasi yang baik (PFB) dan praktik dispensing yang baik. Jadi standar minimal

    kegiatan atau pelayanan IFRS adalah kegiatan minimal yang harus dilakukan IFRS

    secara terus menerus yang masih memberikan unjuk kerja dan hasil yang baik.

    Standar minimal tersebut mencakup standar untuk manajerial meliputi pimpinan

    IFRS, personel IFRS, program, kebijakan dan prosedur; standar untuk fasilitas;

    standar untuk distribusi dan pengendalian obat; standar untuk informasi obat; standar

    jaminan terapi obat yang rasional; standar untuk penelitian; standar untuk pemberian

    obat dan produk biologik yang aman; dan standar mutu dalam pelayanan perawatan

    pasien. Apabila standar minimal ini diterapkan, kesalahan obat dapat dihindari

    sepanjang waktu.

    5. Penerapan Sistem Manajemen Mutu Menyeluruh (S3M) dalam IFRS

    S3M adalah suatu pendekatan manajemen dari suatu organisasi yang berorientasi

    mutu, didasarkan pada partisipasi semua anggota atau personilnya. Tujuan dari

    penerapan S3M selain pencapaian keuntungan jangka panjang adalah manfaat bagi

  • 19

    anggota atau persnonelnya dan bagi masyarakat melalui kepuasan konsumen. S3M

    teridri atas berbagai kegiatan peningkatan yang melibatkan tiap personel organisasi /

    lembaga dalam suatu upaya terpadu menuju unjuk kerja yang meningkat pada tiap

    tingkat. S3M memadukan teknik manajemen fundamental, upaya penyempurnaan

    yang sedang berlangsung dan peralatan teknik di bawah suatu pendekatan disiplin,

    difokuskan pada penyempurnaan proses berkelanjutan. Berbagai kegiatan itu pada

    akhirnya difokuskan pada peningkatan konsumen/ pengguna. Karakteristik dari S3M

    yaitu berbasis strategi; fokus pada konsumen (internal dan eksternal); obsesi dengan

    mutu; pendekatan ilmiah dalam membuat keputusan dan solusi masalah; komitmen

    jangka panjang; kerja sama tim; peningkatan proses berkelanjutan; pendidikan dan

    pelatihan; menyatu untuk tujuan; serta keterlibatan dan pemberdayaan personel.

    Dengan menerapkan S3M, maka seluruh kegiatan IFRS diorganisasikan

    sedemikian sehingga faktor teknis, administratif, dan manusia yang memengaruhi

    mutu produk dan pelayanannya berada di bawah koordinasi. S3M harus memenuhi

    kebutuhan IFRS dan konsumen yang saling berhubungan. Kebutuhan IFRS adalah

    mencapai dan mempertahankan mutu yang diinginkan pada harga optimal yang

    terjangkau, dengan penggunanaan yang efisien sumber , teknologi, manusia dan

    bahan yang dimiliki IFRS. Sedangkan kebutuhan konsumen adalah IFRS

    menghantarkan / menyediakan sediaan obat dan pelayanan yang bermutu pada harga

    yang terjangkau dan mempertahankan mutu yang sama secara terus-menerus. S3M

    IFRS dimulai dengan mengidentifiksi kebutuhan dan persyaratan mutu dari

    professional kesehatan, terutama penderita dan berakhir hanya apabila produk dan

    pelayanan telah dihantarkan kepada konsumen tersebut yang masih tetap puas. S3M

    memandu tindakan personel IFRS, peralatan , sarana, sumber, dan informasi yang

    terkoordinasi untuk mencapai tujuan mutu.

    6. Pelayanan Farmasi Klinik yang Langsung

    Pelayanan farmasi klinik langsung adalah pelayanan langsung yang diberikan

    apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan hasil terapi dan meminimalkan

    risiko terjadinya efek samping karena obat. Tujuan pelayanan farmasi klinis adalah

    meningkatkan keuntungan terapi obat dan mengoreksi kekurangan yang terdeteksi

    dalam proses penggunaan obat sehingga meningkatkan dan memastikan kerasionalan,

    kemanfaatan, dan keamanan terapi obat.

    a. Pelayanan dalam Proses Penggunaan Obat

  • 20

    Berbagai kegiatan apoteker dalam proses penggunaan obat adalah sebagai

    berikut:

    Dalam proses penggunaan obat, apoteker wajib melakukan wawancara

    riwayat obat pasien untuk mengetahui data penggunaan obat sebelum

    masuk rumah sakit. Data itu mencakup semua obat resep dan nonresep

    yang telah digunakan; sejarah alergi dan reaksi obat merugikan; fungsi

    ginjal; fungsi hati dan database pasien, seperti bobot, umur, dan

    sebagainya. Data tersebut di atas diperlukan dokter untuk menegakkan

    diagnosis dan pemilihan obat yang tepat.

    Membantu dokter menyeleksi obat dan regimen yang tepat.

    Menginterpretasi resep obat dokter.

    Mengkaji profil pengobatan pasien.

    Menyiapkan atau meracik obat dengan cara dispensing obat yang baik

    (CDOB).

    Memberi informasi kepada perawat.

    Memberikan konseling kepada pasien.

    Mengawasi pemberian obat.

    Memantau terapi obat menyeluruh.

    b. Pengkajian pelayanan dan resep

    Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,

    pengkajian resep, penyiapan perbekalan farmasi termasuk peracikan obat,

    pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur

    pelayanan resep, dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian

    obat (medication error).

    c. Penelusuran riwayat penggunaan obat

    Penelusuran riwayat penggunaan obat adalah proses untuk mendapatkan

    informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang

    digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data

    rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien.

    d. Konseling

    Konseling obat adalah suatu proses diskusi antara apoteker dengan

    pasien/keluarga pasien yang dilakukan secara sistematis untuk memberikan

    kesempatan kepada pasien/keluarga pasien mengeksplorasikan diri dan

  • 21

    membantu meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran sehingga

    pasien/keluarga pasien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam

    penggunaan obat yang benar termasuk swamedikasi. Tujuan umum konseling

    adalah meningkatkan keberhasilan terapi, memaksimalkan efek terapi,

    meminimalkan resiko efek samping, meningkatkan cost effectiveness dan

    menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi.

    Kriteria pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian konseling yaitu

    terutama untuk pasien rujukan dokter, pasien dengan penyakit kronis, pasien

    dengan obat yang berindeks terapetik sempit dan polifarmasi, pasien geriatrik,

    pasien pediatrik, dan pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.

    Tujuan khusus dari konseling adalah:

    1. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien

    2. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien

    3. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat

    4. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat

    dengan penyakitnya

    5. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan

    6. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat

    7. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal

    terapi

    8. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan

    9. Membimbing dan membina pasien dalam penggunaan obat sehingga

    dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan

    pasien

    Kegiatan yang dilakukan dalam konseling meliputi:

    1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien

    2. Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan obat

    melalui three prime questions

    3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada

    pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.

    4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah

    penggunaan obat

  • 22

    5. Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien

    6. Dokumentasi

    7. Pelayanan Farmasi Klinik yang Tidak Langsung

    Apoteker wajib melaksanakan pelayanan farmasi klinik dalam program rumah

    sakit diantaranya: menyeleksi terapi obat, pemantauan terapi obat, pelayanan fokus

    pada pasien atau jenis obat, bertujuan untuk penyempurnaan terapi dengan edukasi

    penulis resep atau pasien.

    a) Pelayanan Farmasi Klinik dalam Panitia Farmasi dan Terapi serta Kegiatan

    Formularium

    Formularium adalah himpunan obat yang diterima atau disetujui oleh

    Panitia Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi

    pada setiap batas waktu yang ditentukan. Sistem yang dipakai dalam

    formularium adalah suatu sistem dimana prosesnya tetap berjalan terus, dalam

    arti kata bahwa sementara formularium itu digunakan oleh staf medis, di lain

    pihak Panitia Farmasi dan Terapi mengadakan evaluasi dan menentukan

    pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih

    mempertimbangkan kesejahteraan pasien.

    Apoteker selain aktif sebagai sekretaris PFT, juga aktif mengadakan

    evaluasi obat yang ada dalam perdagangan dan obat yang telah ada dalam

    formularium. Hasil evaluasi tersebut digunakan oleh PFT dalam mengambil

    keputusan untuk memasukkan ke atau menghapuskan dari formularium suatu

    obat tertentu. Dengan demikian obat yang tertera dalam formularium adalah

    obat yang terbaik dan diperlukan pasien di rumah sakit.

    b) Pelayanan Farmasi Klinik dalam Sistem dan Penerapan Formularium

    Dalam sistem formularium rumah sakit, apoteker berperan dalam

    menyiapkan data obat yang diusulkan untuk dimasukkan ataupun dihapuskan

    dari formularium. Demikian juga penggunaan formularium obat sebagai dasar

    dalam pengadaan, pengelolaan, pengendalian, dan pelayanan obat bagi pasien.

    Apoteker juga wajib berpartisipasi aktif memutakhirkan formularium obat

    rumah sakit.

    c) Peranan dalam Sistem Pemantauan Kesalahan Obat

    Apoteker aktif dalam program peningkatan mutu pemantauan

    kesalahan obat, yaitu dengan mengidentifikasi dan mendokumentasikan serta

  • 23

    mempelajari penyebab kesalahan obat agar dapat mengembangkan sistem

    untuk meminimalkan terjadinya kembali kesalahan tersebut.

    d) Evaluasi Penggunaan Obat

    Evaluasi penggunaan obat merupakan proses jaminan mutu resmi dan

    terstruktur yang dilaksanakan terus menerus, yang ditujukan untuk menjamin

    obat yang tepat, aman, dan efektif.

    Tahap pelaksanaan evaluasi penggunaan obat sebagai kegiatan jaminan

    mutu adalah sebagai berikut:

    Penetapan penanggungjawab yang umumnya adalah panitia farmasi dan

    terapi;

    Menilai pola penggunaan semua obat;

    Menentukan obat-obat khusus dan golongan obat untuk dipantau dan

    dievaluasi;

    Pengembangan kriteria penggunaan obat;

    Mengumpulkan dan mengorganisasikan data yang diperoleh dari berbagai

    sumber meliputi rekaman medik, profil pengobatan penderita, permintaan

    obat non formularium, formulir permintaan obat, hasil laporan

    laboratorium, rekaman pemberian obat atau kartu obat, rekaman reaksi obat

    yang merugikan, laporan peristiwa tertentu;

    Mengevaluasi penggunaan obat yang dibandingkan dengan kriteria;

    Mengadakan tindakan perbaikan untuk solusi masalah dan perbaikan

    penggunaan obat;

    Menilai efektivitas tindakan perbaikan dan dokumentasi perbaikan;

    Mengkomunikasikan hasil yang diperoleh kepada organisasi atau pihak

    yang berkepentingan.

    Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) berlaku sebagai suatu alat penting

    untuk membuktikan bahwa obat berguna bagi perawatan pasien dengan

    memastikan bahwa obat itu aman, efektif, dan ekonomis (Penggunaan obat

    yang aman, efektif, dan ekonomis disebut Pengunaan Obat yang Tepat).

    Peranan utama apoteker sehari-hari dalam EPO, adalah mengkaji order

    atau resep obat terhadap kriteria penggunaan yang telah ditetapkan dan

    berkonsultasi dengan dokter penulis resep jika terjadi masalah. Kriteria atau

    standar penggunaan obat meliputi indikasi, kontraindikasi, dosis, interaksi

  • 24

    obat, waktu pemberian, kombinasi dan duplikasi penggunaan. Selain itu,

    apoteker menginterpretasi dan melaporkan temuan evaluasi kepada PFT, staf

    jaminan mutu, pimpinan rumah sakit dan lain-lain untuk mengusulkan

    perubahan dalam kebijakan serta prosedur pengendalian penggunaan obat.

    e) Pelayanan Informasi Obat

    Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang

    dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias,

    dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan

    pasien.

    Peranan apoteker dalam pelayanan informasi obat bukanlah hal yang

    baru. Apoteker, secara tradisional adalah sumber utama informasi obat bagi

    dokter, perawat, pasien, dan profesional kesehatan lainnya. Informasi obat

    harus dievaluasi oleh apoteker, guna memastikan penggunaan obat yang aman

    dan efektif.

    Informasi obat adalah suatu bantuan bagi dokter dalam pengambilan

    keputusan, tentang pilihan obat yang paling tepat bagi seorang pasien tertentu.

    Perawat memerlukan informasi obat untuk mengetahui tentang penggunaan

    suatu obat tertentu; efek dan bahaya suatu terapi obat, agar perawat dapat

    mengkaji terjadinya efek merugikan, juga perawat perlu mengetahui

    penyiapan serta penggunaan obat yang tepat dan sebagainya. Pasien juga perlu

    diberi informasi tentang obat mereka, misalnya hubungan obat dengan

    penyakitnya, cara penggunaan, penyimpanan, efek samping serta cara

    menangani efek samping, cara memantau efek obat, dan sebagainya. Dengan

    demikian, ketaatan pasien terhadap regimen obatnya dapat meningkat.

    f) Peranan dalam Pemantauan dan Pelaporan ROM

    ROM adalah penyebab kesakitan dan kematian yang signifikan.

    Akibatnya, ROM dianggap sebagai harga yang tidak dapat dihindarkan

    sebagai pertukaran manfaat terapi obat modern. Namun, diperkirakan bahwa

    paling sedikit setengah dari semua ROM dapat dihindari. Hal ini mengajukan

    suatu tantangan yang serius bagi semua pelaku pelayan kesehatan, untuk

    menyempurnakan perawatan kesehatan dengan memberikan manfaat dari

    terapi obat modern, sedangkan risikonya dikurangi.

    Apoteker berada pada posisi yang baik sekali untuk memenuhi

    tantangan ini karena pengetahuan farmakologi mereka yang dalam dan

  • 25

    peranan mereka untuk menyeleksi, mendispensing, dan memantau terapi obat.

    Salah satu tujuan dari kegiatan farmasi klinik adalah keharusan mencegah

    ROM sementara pelayanan ini memaksimalkan terapi obat.

    g) Penerbitan Buletin/Surat Berita

    Upaya untuk mengomunikasikan informasi berkaitan dengan kebijakan

    penggunaan obat dan perkembangan mutakhir yang memengaruhi seleksi obat

    adalah suatu komponen penting dari pelayanan informasi obat. Seringkali,

    buletin/surat berita diterbitkan untuk mencapai sasaran tersebut. Peranan

    apoteker sangat penting dalam penerbitan buletin/surat berita di rumah sakit

    karena menyeleksi judul yang relevan dan menulis artikelnya kebanyakan

    dilakukan oleh apoteker. Suatu buletin/surat berita merupakan alat edukasi

    untuk memberantas penggunaan obat yang tidak tepat dan tidak terungkap

    dalam studi evaluasi penggunaan obat.

    h) Pelayanan Farmakokinetik Klinik

    Farmakokinetik klinik adalah proses penerapan prinsip farmakokinetik

    untuk menetapkan dosis, dan frekuensi pemberian obat tertentu bagi pasien

    tertentu. Penerapan prinsip ini memerlukan pengertian tentang karakteristik

    absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat tertentu dalam penyakit

    tertentu. Pengaruh faktor lain termasuk umur, penyakit, diet, dan penggunaan

    yang bersamaan obat lain juga harus dimengerti. Perkembangan regimen dosis

    individu pasien harus didasarkan pada temuan terpadu dari pemantauan kedua

    hal, yaitu konsentrasi yang memberi respons dan respons farmakologis

    terhadap obat.

    Fungsi klinik apoteker mencakup pemantauan terapi obat dan

    pengadaan pengkajian farmakokinetik klinik. Peranan utama apoteker yang

    terlibat dalam pelayanan farmakokinetik klinik antara lain:

    a. Mendesain regimen dosis obat spesifik pasien didasarkan pada

    karakteristik farmakokinetik dan farmakologi obat yang digunakan, tujuan

    terapi obat, penyakit, dan terapi obat bersamaan serta faktor-faktor lain

    yang berkaitan (misalnya umur, data laboratorium) yang dapat

    memengaruhi keamanan dan keefektifan terapi obat.

    b. Memantau dan menyesuaikan regimen dosis obat didasarkan pada respon

    farmakologis dan pada konsentrasi obat dalam cairan biologis (yaitu

  • 26

    plasma, serum, darah, dan cairan serebrospinal), serta dalam jaringan

    bersama dan tanda dan gejala atau parameter biokimia lain.

    c. Merekomendasikan prosedur penetapan kadar untuk menganalisis

    konsentrasi obat agar mempermudah evaluasi regimen dosis.

    i) Edukasi Obat

    Farmasi adalah profesi yang padanya melekat pengendalian obat, harus

    terlibat erat dengan berbagai kegiatan yang bertujuan mencegah atau

    mengurangi masalah penggunaan obat.

    Kebanyakan apoteker memahami masalah penting yang mungkin dapat

    terjadi, walaupun dengan penggunaan obat resep yang tepat, seperti reaksi

    merugikan dan interaksi obat. Banyak apoteker yang berpengetahuan luas

    tentang banyak masalah yang mungkin melekat dalam pengobatan sendiri

    dengan suatu obat nonresep.

    Oleh karena itu, masyarakat sangat perlu memelajari penggunaan

    semua jenis obat yang lebih rasional dan tepat. Kepentingan utama edukasi

    obat adalah manfaatnya kepada pengguna obat (pasien dan profesional

    kesehatan), yaitu penyempurnaan perilaku penggunaan obat dan penulisan

    obat guna mencapai kesehatan dan kesejahteraan yang optimal. Fokus setiap

    upaya edukasi obat adalah memberikan informasi obat, suatu strategi yang

    paling dipahami oleh apoteker. Dalam dunia teknologi yang sangat rumit

    dewasa ini, ketersediaan informasi mutakhir dan tepat memungkinkan

    seseorang untuk mengerti, membuat pilihan yang lebih baik serta untuk

    mencegah dan memberi solusi masalah.

    Individu yang paling baik untuk membantu orang dalam mencegah

    masalah penggunaan obat, dan dalam pencapaian pengalaman optimal yang

    diinginkan dari penggunaan obat mereka adalah apoteker. Ia mudah

    memperoleh sumber informasi bermutu tinggi dan program edukasi mengenai

    perilaku penggunaan obat.

    Terapi obat yang aman dan efektif paling sering terjadi, apabila pasien

    benar-benar diberi informasi tentang obat mereka dan penggunaannya. Pasien

    yang mengetahui banyak tentang obatnya menunjukkan peningkatan ketaatan

    terhadap regimen obat yang tertulis, mengakibatkan hasil terapi yang

    meningkat.

  • 27

    Tanggung jawab farmasis dalam memberikan pelayanan farmasi klinik

    adalah

    a. Monitoring ketepatan terapi obat, interaksi antar obat serta reaksi

    samping obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction).

    b. Monitoring secara intensif terapi obat seperti total parenteral nutrition

    (TPN) dan terapi antineoplastik.

    c. Menyiapkan dosis farmakokinetik.

    d. Menjadwalkan pengobatan obat terpilih.

    e. Sebagai pusat informasi obat bagi dokter, perawat dan pasien.

    f. Mengidentifikasi, mencegah, dan memecahkan masalah yang berkaitan

    dengan obat.

    2.5. Rekomendasi bagi Apoteker untuk Pencegahan Kesalahan Obat

    Apoteker diharapkan memainkan peranan penting dalam pencegahan

    kesalahan dalam penggunaan obat. Secara ideal, apoteker perlu bekerja sama dengan

    dokter penulis dalam pengembangan, penerapan, dan pemantauan suatu rencana terapi

    untuk menghasilkan hasil terapi yang ditetapkan bagi pasien.Rekomendasi yang

    disarankan bagi apoteker adalah sebagai berikut :

    1. Apoteker harus berpartisipasi dalam pemantauan terapi obat dan kegiatan EPO

    untuk membantu mencapai penggunaan obat yang aman, efektif dan rasional.

    2. Untuk merekomendasikan dan mengenal terapi obat yang tepat, apoteker

    harus mengikuti pengetahuan yang mutakhir melalui kebiasaan membaca

    pustaka, berkonsultasi dengan sejawat dan pelaku pelayanan kesehatan lain,

    partisipasi dalam program edukasi profesional berkelanjutan, dan cara lain.

    3. Apoteker harus membuat diri mereka sendiri tersedia kepada dokter penulis

    order dan perawat, untuk memberikan informasi dan nasehat tentang regimen

    obat terapi serta penggunaan obat-obatan yang benar.

    4. Apoteker harus memahami system pengorderan obat dan kebijakan serta

    prosedur distribusi obat yang ditetapkan untuk rumah sakit, guna mengadakan

    distribusi yang aman dari semua obat-obatan dan suplai berkaitan untuk PRT

    dan pasien ambulatory.

    5. Apoteker hendaknya tidak boleh menganggap atau menerka maksud dari order

    obat yang membingungkan. Jika ada masalah, dokter penulis order harus

    dihubungi sebelum dilakukan dispensing.

  • 28

    6. Apabila menyiapkan obat apoteker harus memelihara kerapihan dan

    kebersihan dalam lokasi kerja, serta melakukan satu prosedur pada satu waktu

    dengan sedikit mungkin interupsi.

    7. Sebelum mendispensing suatu obat dalam situasi nondarurat, apoteker harus

    mengkaji order asli obat yang ditulis. Apoteker harus memastikan bahwa

    semua pekerjaan yang dilakukan oleh personel pendukung atau melalui

    penggunaan alat otomatis dicek dengan cara manual atau cara teknologis.

    Semua proses harus memenuhi peraturan perundang undangan yang berlaku.

    Apoteker harus berpartisipasi, paling minimal pada proses pengecekan sendiri

    dalam membaca resep, pengetiketan dan perhitungan dosis.

    8. Apoteker perlu mendispensing obat dalam bentuk sediaan siap diberikan

    apabila mungkin. Sistem dosis unit sangat direkomendasikan sebagai metode

    distribusi obat yang dikehendaki.

    9. Apoteker harus mengkaji penggunaan etiket tambahan dan menggunakan

    etiket itu dengan hati-hati ,apabila jelas bahwa penggunaannya dapat

    mencegah kesalahan (misalnya, "kocok dulu", "untuk penggunaan luar saja",

    dan "tidak untuk injeksi")

    10. Apoteker harus memastikan bahwa obat telah dikirim ke lokasi perawatan

    pasien tepat pada waktu setelah menerima order, sesuai dengan kebijakan dan

    prosedur rumah sakit.

    11. Apoteker harus mengamati cara obat digunakan sebenarnya dalam lokasi

    perawatan pasien; untuk memastikan bahwa prosedur dispensing dan

    penyimpanan diikuti dan untuk membantu perawat dalam mengoptimasi

    keamanan pasien.

    12. Staf IFRS harus mengkaji obat-obatan yang dikembalikan ke IFRS. Proses

    pengkajian demikian dapat mengungkapkan gangguan sistem atau masalah

    yang diakibatkan kesalahan obat (misalnya, dosis yang lalai dan obat yang

    tidak diotorisasi).

    13. Apabila mendispensing obat untuk pasien ambulatori (misalnya, pada

    pembebasan), apoteker harus mengonseling pasien atau pengasuhnya dan

    memverifikasi bahwa mereka mengerti, mengapa suatu obat ditulis dan

    didispensing, maksud penggunaan, tindakan pencegahan yang perlu diamati.

    dan informasi lain yang diperlukan.

  • 29

    14. Apoteker harus meninjau dan memberikan nasihat tentang isi dan desain dari

    formulir atau lembaran order obat tercetak, jika digunakan.

    Apoteker harus memelihara kecukupan rekaman, untuk memungkinkan identifikasi

    pasien yang menerima suatu produk yang salah.

    2.6. Pengelolaan Kesalahan Obat

    Penggolongan kesalahan obat memungkinkan pengelolaan tindak lanjut yang

    lebih baik terhadap pendeteksian kesalahan obat. Penetapan penyebab kesalahan obat

    harus digabung dengan pengkajian dari keparahan kesalahan. Korelasi antara

    kesalahan dan metode distribusi obat harus dikaji (misal, dosis unit, persediaan di

    ruang, atau obat ruah; pracampuran dan sediaan oral atau injeksi). Proses ini akan

    membantu mengidentifikasi masalah sistem dan merangsang perubahan untuk

    meminimalkan terjadinya kesalahan kembali.

    Langkah-langkah pengelolaan medication errors :

    1. Klasifikasikan jenis medication errors yang terjadi.

    2. Tentukan penyebab terjadinya medication errors.

    3. Medication errors harus didokumentasikan dan dilaporkan segera kepada dokter,

    perawat, dan kepala IFRS.

    4. Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pengumpulan fakta dan

    investigasi harus segera dimulai. Fakta yang harus ditetapkan dan

    didokumentasikan termasuk apa yang terjadi, di mana peristiwa terjadi, mengapa

    dan bagaimana peristiwa terjadi, siapa yang terlibat. Bukti produk (etiket dan

    kemasan) harus dicari dan disimpan untuk acuan di kemudian hari.

    5. Identifikasikan langkah-langkah yang akan dilakukan dengan benar dan

    dokumentasikan

    6. Terapi perbaikan dan terapi suportif harus diberikan kepada pasien.

    7. Kesalahan obat harus dilaporkan kepada program pemantauan rumah sakit untuk

    kepentingan perbaikan mutu, peningkatan keamanan pasien untuk pencegahan

    kesalahan yang akan datang.

    Jika terjadi gejala keracunan pada pasien, maka sebagai petugas kesehatan,

    seorang apoteker harus mampu mengelola kejadian keracunan tersebut dengan sigap

    dan benar, maka langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut:

  • 30

    1. Semua pasien yang menunjukkan gejala-gejala keracunan harus segera dirujuk

    ke rumah sakit.

    2. Berikan terapi suportif dan pengobatan yang bertujuan untuk menangani

    gejala (contohnya hipertensi). Fungsi vital pasien juga harus selalu dimonitor.

    a. Pengeluaran racun dari saluran pencernaan

    Lakukan prosedur cuci lambung

    Pengeluaran racun dari saluran pencernaan hanya dilakukan dengan

    pertimbangan yang matang, yaitu jika jumlah racun yang masuk ke

    tubuh pasien berada pada jumlah yang mengancam jiwa dalam waktu

    yang cepat.

    b. Pencegahan absorpsi racun

    Lakukan dengan menggunakan karbon aktif karena karbon memiliki

    kemampuan mengikat racun dan mengurangi absorpsinya. Penggunaan

    karbon relatif aman dan lebih efektif.

    c. Penggunaan antidote

    Terdapat beberapa antidot yang dapat digunakan secara terbatas untuk

    sejumlah racun, diantaranya adalah:

    Pada keracunan parasetamol, berikan asetilsistein untuk melindungi

    hati jika pemberian parasetamol dosis tinggi belum melewati 10-12

    jam.

    Pada keracunan besi, berikan desferrioxamin yang depat mengkhelat

    besi

    Pada keracunan opiat yang muncul dengan sedasi, supresi batuk dan

    depresi pernafasan, berikan nalokson yang merupakan antagonis

    reseptor opioid yang tersedia sebagai injeksi intra vena

    d. Peningkatan eliminasi racun dengan alkalinisasi urin

    Pada keracunan obat yang bersifat asam, misalnya pada keracunan aspirin

    yang ditandai dengan stimulasi pusat pernafasan dan nyeri abdomen,

    nausea, tinnitus, vertigo, serta ketulian, dapat dilakukan rehidrasi dan

    alkalinisasi urin. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan eliminasi

    obat yaitu dengan meningkatkan ionisasi aspirin dan mencegah

    reabsorpsinya pada ginjal.

  • 31

    Respon setelah terjadi medication errors:

    1. Meminimalisasi efek dari kesalahan medikasi pada pasien

    2. Berikan pasien perhatian penuh

    3. Pindahkan pasien ke tempat terpisah jika memungkinkan

    4. Cari penyebab terjadinya kesalahan medikasi

    5. Meminta maaf kepada pasien dan jelaskan kesalahan yang telah terjadi

    6. Perbaiki kesalahan yang terjadi

    7. Catat segala tindakan yang dilakukan

    2.7. Pedoman Penggunaan Obat yang Aman dan Efektif

    Menurut Undang-Undang No.36 tahun 2009, setiap orang berhak

    mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan. Hal tersebut juga memiliki

    makna bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala aspek pengobatan,

    termasuk terapi obat yang diberikan saat kondisi seseorang sakit. Penyedia pelayanan

    kesehatan harus mendorong pasien untuk mengambil peran aktif dalam penggunaan

    obatnya dengan bertanya dan mempelajari mengenai regimen pengobatan tersebut.

    Beredarnya obat bebas dan bebas terbatas serta pelaksanaan swamedikasi

    dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan. Hal ini terjadi akibat

    keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya.(Depkes RI (b),

    2006). Swamedikasi adalah Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri.

    Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit

    ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk,

    influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain. Swamedikasi

    menjadi alternatif yang diambil masyarakat. (Depkes RI (b), 2006) Dalam hal ini

    Apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat

    sehingga masyarakat dapat terhindar dari salah guna obat (drug misuse). Salah guna

    obat adalah penggunaan bermacam-macam obat tetapi efeknya tidak sesuai, tidak

    rasional, tidak tepat dan tidak efektif. bahaya salah guna obat antara lain

    menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, pengeluaran obat menjadi lebih

    banyak atau pemborosan, tidak bermanfaat atau menimbulkan ketagihan.(Depkes RI

    (a), 2006)

    Berdasarkan pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas tahun 2006.

    Cara pemilihan obat perlu diperhatikan :

  • 32

    1. Gejala atau keluhan penyakit

    2. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes mellitus

    dan lain-lain.

    3. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu.

    4. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping dan

    interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat.

    5. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksi obat

    dengan obat yang sedang diminum.

    6. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap, tanyakan

    kepada Apoteker.

    Berdasarkan pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas, hal-hal yang

    perlu diperhatikan dalam cara penggunaan obat yaitu

    1. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus.

    2. penggunakan obat harus sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau

    brosur.

    3. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan

    penggunaan dapat dihentikan dan ditanyakan kepada Apoteker dan dokter.

    4. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama.

    5. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap tanyakan

    kepada Apoteker.

    Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan pengobatan.

    Oleh karena itu pasien harus mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat

    yang benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti obat oral, obat tetes mata,

    salep mata, obat tetes hidung, obat semprot hidung, tetes telinga, suppositoria dan

    krim/salep rektal dan tablet vagina.

    Berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, cara penggunaan

    obat oral sesuai dengan petunjuk :

    1. Minum obat dengan segelas air

  • 33

    2. Ikuti petunjuk dari profesi pelayanan kesehatan (saat makan atau saat perut

    kosong)

    3. Obat untuk kerja diperlama (long acting) harus ditelan seluruhnya. Tidak

    boleh dipecah atau dikunyah

    4. Untuk sediaan cair, digunakan sendok obat atau alat lain yang telah diberi

    ukuran untuk ketepatan dosis. Jangan gunakan sendok rumah tangga

    5. Jika penderita sulit menelan sediaan obat yang dianjurkan oleh dokter minta

    bentuk sediaan lain

    Petunuk pemakaian obat oral untuk bayi/anak balita :

    1. Sediaan cair untuk bayi dan balita harus jelas dosisnya, gunakan sendok takar

    dalam kemasan obatnya

    2. Segera berikan minuman yang disukai anak setelah pemberian obat yang tidak

    enak/ pahit

    Petunjuk pemakaian obat tetes mata

    1. Ujung alat penetes jangan tersentuh oleh benda apapun (termasuk mata) dan

    selalu ditutup rapat setelah digunakan

    2. Untuk glaucoma atau inflamasi, petunjuk penggunaan yang tertera pada

    kemasan harus diikuti dengan benar

    3. Cara penggunaan obat tetes mata meliputi :

  • 34

    a. Tangan dicuci bersih

    b. Kepala ditengadahkan

    c. dengan jari telunjuk, kelopak mata bagian bawah ditarik kebawah untuk

    membuka kantung konjungtiva, obat diteteskan pada kantung konjungtiva

    dan mata ditutup selama 1-2 menit, jangan mengedip

    d. ujung mata dekat hidung ditekan selama 1-2 menit

    e. tangan dicuci untuk menghilangkan obat yang mungkin terpapar pada

    tangan

    Petunjuk pemakaian obat salep mata

    1. Ujung tube salep jangan tersentuh oleh benda apapun (termasuk mata)

    2. Cara penggunaan obat salep mata yaitu

    a. Tangan dicuci bersih

    b. Kepala ditengadahkan

    c. dengan jari telunjuk, kelopak mata bagian bawah ditarik

    kebawah untuk membuka kantung konjungtiva, tube salep mata

    ditekan hingga salep masuk dalam kantung konjungtiva dan

    mata ditutup selama 1-2 menit. Mata digerakan ke kiri-kanan,

    atas-bawah. ujung mata dekat hidung ditekan selama 1-2 menit

    d. setelah digunakan, ujung kemasan salep diusap dengan tissue

    bersih (jangan dicuci dengan air hangat) dan wadah salep

    ditutup rapat

    e. tangan dicuci untuk menghilangkan obat yang mungkin

    terpapar pada tangan

    Petunjuk pemakaian obat tetes hidung

    1. hidung dibersihkan dan kepala ditengadahkan bila penggunaan obat

    dilakuakan sambil berdiri dan duduk atau penderita cukup berbaring

    saja

    2. kemudian teteskan obat pada lubang hidung dan biarkan selama

    beberapa menit agar obat dapat tersebar dalam hidung.

  • 35

    3. untuk posisi duduk, kepala ditarik dan ditempatkan diantara dua paha

    4. setelah digunakan, alat penetes dibersihkan dengan air panas dan

    keringkan dengan tissue bersih

    Petunjuk pemakaian obat semprot hidung

    1. hidung dibersihkan dan kepala tetap tegak. Kemudian obat

    disemprotkan kedalam lubang hidung sambil menarik napas dengan

    cepat

    2. untuk posisi duduk, kepala ditarik dan ditempatkan diantara dua paha

    3. setelah digunakan, botol alat semprot dicuci dengan air hangat tetapi

    jangan sampai air masuk kedalam botol kemudian dikeringkan dengan

    tissue bersih

    Pemakaian Obat tetes telinga

    1. ujung alat penetes jangan menyentuh benda apapun termasuk telinga

    2. cuci tangan sebelum menggunakan obat tetes telinga

    3. bersihkan bagian luar telinga dengan cotton bud/kapas bertangkai

    pembersih telinga

    4. jika sediaan berupa suspense, sediaan harus dikocok terlebih dahulu

    5. cara penggunaan :

    a. penderita berbaring miring dengan telinga yang akan ditetesi obat

    menghadap keatas. Untuk membuat lubang telinga lurus sehingga

  • 36

    mudah ditetesi maka bagi penderita dewasa daun telinga ditarik ke

    atas dan ke belakang. Sedangkan bagi anak-anak telinga ditarik ke

    bawah dan kebelakang.

    b. Kemudian obat diteteskan dan dibiarkan selama 5 menit

    c. Bersihkan ujung penetes dengan tissue bersih

    Petunjuk Pemakaian Obat Supositoria

    1. Cuci tangan, suppositoria dikeluarkan dari kemasan, suppositoria dibasahi

    dengan air

    2. Penderita berbaring dengan posisi miring dan suppositoria dimasukan kedalam

    rectum

    3. Penderita berbaring dengan posisi miring, dan suppositoria dimasukan ke

    dalam rectum

    4. Masukan suppositoria dengan cara bagian ujung suppositoria didorong dengan

    ujung jari sampai melewati otot sfingter rectal; kira-kira - 1 inchi pada bayi

    dan 1 inchi pada dewasa

    5. Jika supositoria terlalu lembek untuk dapat dimasukan, maka sebelum

    digunakan sediaan ditempatkan dalam lemari pendingin selama 30 menit

    kemudian tempatkan pada air mengalir sebelum kemasan dibuka

    6. Setelah penggunaan suppositoria, tangan penderita dicuci bersih

  • 37

    Petunjuk pemakaian Obat Krim/ Salep Rektal

    1. Bersihkan dan keringkan daerah rectal, kemudian masukan salep atau krim

    secara perlahan kedalam rectal

    2. Cara lain adalah dengan menggunakan aplikator. Caranya adalah aplikator

    dihubungkan dengan wadah salep/krim yang sudah dibuka, kemudian

    dimasukan kedalam rectum dan sediaan ditekan sehingga salep/krim keluar.

    Buka aplikator dan cuci bersih dengan air hangat dan sabun

    3. Setelah penggunaan, tangan penderita dicuci bersih

    Petunjuk Pemakaian Obat vagina

    1. Cuci tangan sebelum menggunakan obat dan gunakan aplikator sesuai dengan

    petunjuk penggunaan yang tertera pada kemasan harus diikuti dengan benar

    2. Jika penderita hamil, maka sebelum menggunakan obat sebaiknya

    berkonsultasi terlebih dahulu dengan professional keperawatan kesehatan

    3. Penderita berbaring dengan kedua kaki direnggangkan dan menggunakan

    aplikator obat dimasukan kedalam vagina sejauh mungkin tanpa dipaksakan

    dan biarkan selama beberapa waktu

    4. Setelah penggunaan, aplikator dan tangan penderita dicuci bersih dengan

    sabun dan air hangat

  • 38

    BAB 3

    CONTOH KASUS

    A. Prescribing Error

    1. Tuan Hasan merupakan pasien yang terdaftar sebagai pasien Askes, dia melakukan

    kunjungan rutin ke sebuah rumah sakit , pada kunjungan kali ini tn. Hasan menerima resep

    dengan diagnosis dislipidemia, osteoartritis, hipertensi, gerd, cpod dan neuropati. Tn. Hasan

    menerima obat-obatan sebagai berikut:

    R/ Glucosamin 500 3x1 90

    Nifedipine 2x1 60

    Meloxicam 15 mg 1x1 30

    Lansoprazole 30 mg 1x1 7

    Neurodex 3x1 90

    OBH Syrup 2x1 1

    Dexanta 3x1 21

    Dalam resep tersebut pasien menerima pengobatan yang tidak sesuai dengan diagnosa yaitu

    OBH syrup yang seharusnya tidak perlu diberikan. Terdapat pula pengobatan ganda untuk

    diagnosis gerd, yaitu lansoprazole (PPI) dan dexanta (antasida).

    2. Seorang wanita kulit putih (70 th) yang sedang mendapatkan terapi jangka

    panjang dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi untuk asma didiagnosis

    mengalami infeksi jamur Scedosporium apiospermum pada kulit dan jaringan

    subkutan. Untuk itu, dia mendapat pengobatan dengan itrakonazol untuk 2

    bulan.Ia kemudian mengalami Cushing's syndrome yang diduga karena

    interaksi antara itrakonazol and budesonid yang diperantarai oleh cytochrome

    P450. Dia juga mengalami adrenal insufficiency sekunder yang membutuhkan

    pengobatan jangka panjang dengan penggantian hidrokortison. Budesonide

    adalah glukokortikoid poten yang dimetabolisir di hati oleh isoenzim cyp 3A

    4. Itraconazole adalah inhibitor poten citokrom p450. Obat ini dapat

    menghambat metabolism kortikosteroid inhalasi atau oral, menyebabkan

    kelebihan kortisol yang lebih lanjut menyebabkan terjadinya Cushings

    syndrome dan adrenal insufficiency. Dari analisis diduga kejadian tersebut

    disebabkan oleh interaksi itraconazole dan budesonide.

  • 39

    B. Transcription Error

    1. Sebagai seorang staf perawat, Lisa ditugaskan untuk pasien yang telah

    menerima opioid melalui kateter epidural selama operasi baru-baru ini.

    Pasiennya telah kembali dari departemen post-anestesi dengan laju pernapasan

    rendah secara periodik disertai oleh denyut nadi normal dan tekanan darah

    (BP) yang lebih rendah. Narcan diperintahkan PRN diberikan dalam dosis 0,2

    mg intravena (IV) dengan laju pernapasan pasien jatuh di bawah 10. Lisa

    melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pada pasiennya setiap 30 menit

    setelah ia kembali ke unit bedah. Sekembalinya, dia menilai tingkat

    pernapasan 8, denyut nadi 50, dan BP 88/60. Menurut perintah dokter, ia

    menyiapkan dosis IV Narcan untuk membawa tanda-tanda vital pasien hingga

    parameter yang sesuai dengan pasien yang ditinggalkan oleh anestesi.

    Setelah Lisa disuntikkan obat ke port IV, ia segera mulai menyusun

    obat yang dia berikan. Secara terkejut dia melihat vial kosong di tangannya.

    Itu berlabel "2 miligram per 1 mililiter (ml)" dan dia baru saja menyuntikkan

    vial 1 ml keseluruhan. Dia segera melaporkan kesalahan kepada perawat

    muatan dan segera kembali ke pasiennya. Dalam beberapa menit, pasien

    mengeluhkan mual. Lisa segera mengambil tanda-tanda vitalnya lagi, untuk

    menemukan bahwa respirasinya, denyut nadi dan BP telah kembali normal,

    dan pasiennya jauh lebih waspada daripada sebelumnya. Kemudian Lisa

    ditugaskan dokter yang hadir dan anestesi untuk melaporkan kesalahan dan

    kondisi pasien sekarang. Mereka berdua menyuruh Lisa untuk memperhatikan

    pasien secara seksama, menyatakan bahwa hal itu mungkin apa yang pasien

    butuhkan.

    Lisa menjadi tenang, namun kesalahannya hampir menguasai

    kemampuannya untuk menyelesaikan shift. Dia tahu bahwa, ia telah

    memberikan 10 kali dosis IV normal obat lainnya, konsekuensinya pasien

    akan semakin parah dan kemungkinan dipindahkan ke Intensive Care Unit

    dengan kematian berikutnya menjadi kemungkinan nyata.

    Lisa mengisi laporan insiden seperti yang dipersyaratkan dan pulang

    ke rumah. Dia tetap mampu berdiri sampai ia berjalan di pintu rumah, tetapi

    suaminya bertanya tentang hari ini dan dia meneteskan air mata dan menuju

  • 40

    ke kamar tidur. Dia tidak bisa berhenti memikirkan betapa mudahnya dia bisa

    "membunuh pasiennya."

    2. Seorang pria 73 tahun dengan aritmia jantung yang lama datang ke klinik

    rawat jalan untuk pemeriksaan rutin. Setelah evaluasi, ia menerima resep

    tulisan tangan untuk Rythmol (propafenone), 150 mg, yang telah menjadi obat

    antiaritmia biasanya selama 3 tahun terakhir. Pasien menghantarkan resep ke

    klinik farmasi. Tak lama setelah mulai minum obat, pasien mulai merasa

    "sangat, sangat buruk," dengan mual, berkeringat, dan detak jantung yang

    tidak teratur. Gejala ini berlangsung selama 2 minggu, dan pasien dipanggil

    dokter untuk menjadwalkan janji selanjutnya. Pasien membawa obat ke

    dokternya, yang menyatakan bahwa tablet Rythmol tampak berbeda dari

    penampilan mereka biasa.

    Setelah penyelidikan, dokter mengidentifikasi obat pasien sebagai

    Synthroid (levothyroxine), 150 mcg, bukan dimaksudkan Rythmol

    (propafenone), 150 mg. Ketika dokter berbicara dengan apoteker yang telah

    mengisi resep, menjadi jelas bahwa kesalahan pengobatan pengeluaran telah

    terjadi karena tulisan tangan tidak jelas pada resep asli. Gejala-gejala pasien

    mual, berkeringat, dan detak jantung tidak teratur yang terkait dengan kedua

    penghentian sengaja, tiba-tiba dari Rythmol dan penggunaan yang tidak perlu

    Synthroid pada dosis awal yang relatif tinggi. Synthroid segera dihentikan,

    dan pasien kembali menggunakan Rythmol seperti resep aslinya.

    C. Administration Error

    1. Resep obat larutan KCl oral dipersiapkan dalam jarum suntik untuk

    diberikan kepada pasien melalui selang nasogastrik. Pengobatan intavena juga

    dipersiapkan dalam bentuk jarum suntik dan dibawa ke sisi tempat tidur pasien

    dalam piringan (nampan) yang sama. Dua orang perawat mempersiapkan dan

    memeriksa obat untuk pasien ini. Perawat kedua dipanggil. Perawat yang

    lainnya mendatangi pasien dan mulai memberikan KCl oral yang seharusnya

    diberikan melalui selang nasogastrik, namun diberikan melalui intravena.

    Akibatnya pasien memerlukan perawatan intensif dan menghabiskan lima hari

    di unit perawatan intensif.

  • 41

    2. Seorang pasien pria tua menjalani operasi jantung dan baru saja pulih dari

    anestesia di bagian perawatan intensif pascaoperasi kardiak. Dia menunjukkan

    tanda-tanda pemulihan, dan penyapihan dari ventilator mulai diperlambat.

    Laporan menunjukkan bahwa terjadi asidosis metabolik ringan karena

    hipotermia. Sodium bikarbonat diberikan diberikan secara intravena secara

    perlahan. Beberapa detik setelah injeksi, pasien mengalami bradikardi diikuti

    oleh penghentian kardiak. Resusitasi kardiak dilakukan segera sesuai dengan

    protokol standar. Pasien berhasil dibangkitkan kembali dengan injeksi bolus

    adrenalin, kalsium, sodium bikarbonat.

    Analisis akar masalah dilakukan oleh seorang konsultan sementara

    proses resusitasi kardiak berjalan. Mereka terkejut menemukan 5 ampul

    potasium klorida yang rusak tergeletak pada meja pengobatan pasien.

    Ternyata pasien diberikan 50 mL (100 mEq) potasium klorida dan bukan 50

    mL (50 mEq) sodium bikarbonat untuk mengatasi asidosisnya. Hal ini terjadi

    karena warna label yang sama antara sodium bikarbonat dan potasium klorida.

    Kedua obat tersebut tersedia dalam ampul dari perusahaan farmasi yang sama

    dan keduanya dengan volume 10 mL dengan warna label merah. Selain itu,

    kedua obat tersebut disimpan dalam rak yang sama dan bersebelahan.

    Penggunaan ukuran/volume ampul yang berbeda (misal : 25 mL ampul

    sodium bikarbonat 7,5% dan 10 mL ampul potasium klorida 2 mEq/mL) yang

    disimpan pada tempat berbeda dapat mencegah kejadian medication error

    akibat look-alike ini.

    D. Dispensing Error

    1. Pada tahun 1998, seorang apoteker di Inggris dipenjara selama 18 bulan

    karena telah melakukan kesalahan pemberian obat kepada seorang pasien.

    Carmel Sheller, seorang wanita berusia 72 tahun memiliki beberapa penyakit

    kronis datang ke sebuah apotek dengan resep prednisolon pada bulan

    September 2007. Kemudian , seorang apoteker melakukan kesalahan dengan

    memberikan obat propanolol. Efek samping dari obat propanolol adalah

    menurunkan denyut jantung, sedangkan Ny. Carmel Sheller memiliki denyut

    jantung yang lemah, kemudian Ny. Carmel Sheller collapse setelah minum

    obat tersebut dan meninggal dunia tiga hari kemudian.

  • 42

    2. Seorang wanita berusia 63 tahun dirujuk ke bagian endokrinologi karena

    diduga mengalami insulinoma. 10 hari sebelumnya pasien dibawa ke UGD di

    rumah sakit setempat karena tiba-tiba mengalami kebingungan, agitasi, dan

    berkeringat pada malam hari. Tingkat glukosa darah pasien adalah 1,1 mmol/L

    pada uji pertama, dan 2,2 mmol/L pada uji berikutnya. Kemudian semua

    gejala segera hilang setelah beberapa menit diberikan infus glukosa. Diketahui

    bahwa obat yang dikonsumsi oleh pasien sebelumnya adalah furosemid (40

    mg per hari), triamteren (50 mg per hari), amiodaron (200 mg, empat kali per

    hari selama seminggu sebelumnya), dan lorazepam (1 mg pada waktu tidur).

    Dua hari kemudian ditemukan bahwa tablet lorazepam yang dibawa oeh

    pasien ternyata merupakan tablet glyburide.

  • 43

    DAFTAR PUSTAKA

    American Society of Hospital Pharmacists. (1993). ASHP guidelines on preventing

    medication errors in hospitals. Am J Hosp Pharm. ; 50:30514.

    Aronson, J. K. (2009). Medication Errors: Definitions and Classification. Br. J. Clin.

    Pharmacol 67:6. Hal. 599-604.

    Catellier, Claude R., et al. Drug-dispensing errors : one more case. Endocrinology

    Service Center Hospitalier de IUniversite Laval Sainte-Foy, Que. Can Med

    Assoc. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1488521/. 12 September

    2012, pkl 08.30

    Cohen, M.R. (1991). Causes of Medication Error, in: Cohen. M.R., (Ed), Medication

    Error, Washington, DC: American Pharmaceutical Association. Dalam:

    Hartayu, Titien Siwi & Widayati Aris. (2005). Kajian Kelengkapan Resep

    Pediatri Yang Berpotensi Menimbulkan Medication Error Di 2 Rumah Sakit

    Dan 10 Apotek Di Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas

    Sanata Dharma.

    Departemen Kesehatan RI. (2008). Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan

    Pasien (Pasien Safety). Jakarta: Departemen Kesehatan RI

    Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.

    Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik dan Direktorat Jendaral

    Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

    Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas

    Terbatas. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik dan

    Direktorat Jendaral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen

    Kesehatan RI.

  • 44

    Fowler, S.B., Sohler,Patricia., & Zarillo,D.F., et al. 2009. Bar Code Technology for

    Medication Administration: Medication Errors and Nurse Satisfaction.

    MEDSURG NursingMarch/April 2009: Vol. 18 (2). Proquest Database.

    Gonzalez, F., Herce, J. L., dan Moraleda, C. (2009). A child presenting with acute

    renal failure secondary to a high dose of indomethacin: a case report. Journal

    of Medical CaseReports, 3:47.

    Guwandi, J. (2005). Medical Error dan Hukum Medis. Fakultas Kedokteran UI:

    Jakarta

    Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1197/MENKES/SK/X/2004

    tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

    National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention

    Medication Error. http://www.nccmerp.org/aboutMedErrors.html. 15 Oktober

    2011,pkl 22.30.

    Pinzon,R. (2007). Peran Teknologi Informasi untuk Meningkatkan Keamanan

    Pengobatan di Rumah Sakit: Seminar Nasional Teknologi, 24 November

    2007. Yogyakarta 2007: (SNT 2007) ISSN : 1978 9777.

    Purba, A.V., Soleha, M., dan Sari, I.D. (2007). Kesalahan Dalam Pelayanan Obat

    (Medication Error) dan Usaha Pencegahannya. Buletin Penelitian Sistem

    Kesehatan. Vol. 10: 31-36

    Shah, H. D. dan Shah, M. (2011). A case of look-alike medication errors. Indian J.

    Pharmacol. ; 43(4): 482483.

    Williams. (2007). Medication Error. R Coll Physicians Edinb. Vol 37: 343346.

  • 45