105871457-Isi
-
Upload
ameliarisky -
Category
Documents
-
view
22 -
download
5
Transcript of 105871457-Isi
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Medication error secara luas didefinisikan sebagai kesalahan dalam
pengeluaran resep, dispensing, atau administrasi dari obat, terlepas dari kesalahan
tersebut menyebabkan konsekuensi merugikan atau tidak (Wiliams, 2007).
Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada
pasien, mulai dari industry, dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan,
penyerahan, dan monitoring pasien. Leape (1995) mengidentifikasi penyebab
kesalahan antara lain kurangnya diseminasi pengetahuan terutama dokter yang
merupakan 22% penyebab kesalahan, tidak cukupnya informasi, 14% dari kesalahan
mengenai pasien seperti halnya data uji laboratorium, 10% kesalahan dosis yang
kemungkinan disebabkan tidak diikutinya SOP pengobatan, 9% kesalahan dalam
membaca resep, salah mengerti perintah lisan, pelabelan dan kemasan, nomenklatur
yang membingungkan, stok dan penyimpanan obat yang tidak baik, masalah dengan
standard an distribusi, asesmen alat penyampai obat yang tidak baik saat membeli dan
penggunaan, gangguan ketegangan dari lingkungan kerja, dan ketidaktahuan pasien
(Purba, Soleha, & Sari, 2007).
National Patient Safety Agency Report 2004 (UK) dan IOM Report 2000
(USA) menyatakan bahwa kesalahan pengobatan menyebabkan sejumlah besar
kematian setiap tahunnya. Laporan ini mengenali bahwa mayoritas kesalahan terjadi
bukan karena keteledoran tenaga medis, tetapi karena kecepatan dan kompleksitas
dari obat. Sekitar 1/3 - 1/2 Adverse Drug Event berkaitan dengan kesalahan
pengobatan (William, 2007).
Di Indonesia kesalahan dalam pelayanan obat belum didata secara sistematis,
sistem pelaporan maupun pencegahan yang terdokumentasi belum banyak
dilaksanakan terutama di apotek komunitas (Purba, Soleha, & Sari, 2007). Laporan
dari IOM (Institute of Medicine) 1999 secara terbuka menyatakan bahwa paling
sedikit 44.000 bahkan 98.000 pasien meninggal di rumah sakit dalam satu tahun
akibat dari kesalahan medis (medical errors) yang sebetulnya bisa dicegah. Kuantitas
ini melebihi kematian akibat kecelakaan lalu lintas, kanker payudara dan AIDS
(Departemen Kesehatan RI, 2008).
Penelitian menunjukkan bahwa peringkat paling tinggi kesalahan pengobatan
(medication error) padatahap ordering (49%), diikuti tahap administration
-
2
management (26%), pharmacy management (14%), transcribing (11%) Laporan di
atas telah menggerakkan sistem kesehatan dunia untuk merubah paradigma pelayanan
kesehatan menuju keselamatan pasien (patientsafety). Gerakan ini berdampak juga
terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia melalui pembentukan KKPRS (Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit) pada tahun 2004. Dengan demikian keselamatan
pasien merupakan bagian penting dalam risiko pelayanan di rumah sakit selain risiko
keuangan (financial risk), risiko properti (property risk), risiko tenaga profesi
(professional risk) maupun risiko lingkungan (environment risk) pelayanan dalam
risiko manajemen. Badan akreditasi dunia The Joint Commision on Accreditation of
HealthcareOrganizations (JCAHO) mensyaratkan tentang kegiatan keselamatan
pasien berupa identifikasi dan evaluasi hendaknya dilakukan untuk mengurangi resiko
cedera dan kerugian pada pasien, karyawan rumah sakit, pengunjung dan
organisasinya sendiri (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Berdasarkan analisis kejadian berisiko dalam proses pelayanan kefarmasian,
kejadian obat yang merugikan (adverse drug events), kesalahan pengobatan
(medication errors) dan reaksi obat yang merugikan (adverse drugreaction)
menempati kelompok urutan utama dalam keselamatan pasien yang memerlukan
pendekatan sistem untuk mengelola. Pendekatan sistem bertujuan untuk
meminimalkan risiko dan mempromosikan upaya keselamatan penggunaan obat
termasuk alat kesehatan yang menyertai. Secara garis besar langkah-langkah yang
bisa dilakukan antara lain analisis sistem yang sedang berjalan, deteksi adanya
kesalahan, analisis tren sebagai dasar pendekatan sistem. JCAHO menetapkan lingkup
sistem keselamatan pelayanan farmasi meliputi : sistem seleksi (selection), sistem
penyimpanan sampai distribusi (storage), sistem permintaan obat, interpretasi dan
verifikasi (ordering& transcribing), sistem penyiapan, labelisasi, peracikan,
dokumentasi, penyerahan ke pasien disertai kecukupan informasi
(preparing&dispensing), sistem penggunaan obat oleh pasien (administration),
monitoring(Departemen Kesehatan RI, 2008).
Apoteker berperan utama dalam meningkatkan keselamatan dan efektifitas
penggunaan obat. Dengan demikian dalam penjabaran, misi utama Apoteker dalam
hal keselamatan pasien adalah memastikan bahwa semua pasien mendapatkan
pengobatan yang optimal. Hal ini telah dikuatkan dengan berbagai penelitian yang
menunjukkan bahwa kontribusi Apoteker dapat menurunkan medication
errors(Departemen Kesehatan RI, 2008).
-
3
BAB 2
MEDICATION ERROR
2.1. Definisi
Proses pengobatan (medication) adalah tindakan pemberian pengobatan pada
suatu obyek yaitu pasien dengan tujuan menyembuhkan pasien.Error berarti
kegagalan dari sesuatu yang telah direncanakan untuk diselesaikan sesuai dengan
tujuan (error pada pelaksanaan) atau kesalahan pada perencanaan untuk mencapai
tujuan (error pada perencanaan). Dengan definisi ini, medication error dapat
diartikan sebagai sebuah kegagalan dalam proses pengobatan yang mengakibatkan
atau mempunyai potensi untuk mengakibatkan bahaya pada pasien. Digunakan kata
gagal menandakan bahwa proses tersebut telah berada dibawah standard yang
seharusnya dicapai. Proses pengobatan yang dimaksud termasuk pengobatan untuk
gejala atau penyebab penyakit, investigasi atau pencegahan penyakit serta perubahan
fisiologis yang terjadi. Proses tersebut juga tidak hanya disebabkan oleh terapi obat
tapi juga termasuk proses manufacturing; compounding; prescribing; transcribing;
dispensing; dan administration. Definisi bahaya yang dimaksud adalah implikasi
dari kegagalan pengobatan yang tidak menjelaskan secara spesifik siapa yang
melakukan kesalahan, dapat jadi dokter, perawat, farmasis, atau pembawa obat, juga
tidak menyebutkan siapa yang bertanggung jawab untuk mencegah kesalahan
(Aronson, 2009).
Dimana definisi diatas mirip dengan definisi dari National Coordinating
Council for Medication error Reporting and Prevention (NCCMERP). NCCMERP
mendefinisikan kesalahan pengobatan sebagai Suatu kejadian yang dapat dicegah
yang menyebabkan penggunaan obat yang tidak sesuai atau membahayakan pasien di
mana pengobatan tersebut dikontrol oleh tenaga medis profesional, pasien, atau
konsumen, yang berhubungan dengan praktis profesional, produk kesehatan,
prosedur, sistem termasuk prescribing; order communication; product labeling;
packaging; compounding; dispensing; distribution; administration; education;
monitoring; dan penggunaan."
Istilah error / kesalahan juga digunakan dalam pelayanan medis, sebagaimana
dikemukakan oleh Bryan A. Liang, yang memberikan definisi medical error sebagai
suatu kekeliruan, suatu peristiwa yang tidak diduga akan terjadi, yang tidak
-
4
dikehendaki dalam pemberian pelayanan medis yang dapat mengakibatkan luka
ataupun tidak sampai menimbulkan luka terhadap pasien (Guwandi, 2005).
Kesalahan pengobatan (medication errors) adalah semua kejadian yang dapat
menyebabkan pengobatan tidak sesuai atau yang dapat mencelakakan pasien dimana
prosedur pengobatan tersebut masih berada di bawah kontrol praktisi kesehatan
(Fowler, 2009). Kesalahan pengobatan (medication error) didefinisikan secara luas
sebagai kesalahan dalam meresepkan, membagikan, dan memberikan obat, tanpa
tergantung dengan di mana kesalahan ini menyebabkan konsekuensi yang merugikan
atau tidak. Definisi yang terbaru dari kesalahan pengobatan adalah kegagalan dalam
proses pengobatan yang menyebabkan atau berpotensi menyebabkan kebahayaan
pada pasien, kesalahan pengobatan dapat terjadi pada setiap langkah pengobatan yang
menggunakan proses, dan mungkin atau tidak dapat menyebabkan ADE atau Adverse
Drug Event(William,2007).
Pengertian lain oleh Cohen, dkk., medication error adalah suatu kesalahan
dalam proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab
profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen,1991;
Basse & Myers,1998). Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication error adalah
kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan
tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Dalam Surat Keputusan Menteri
tersebut juga telah disebutkan bahwa apoteker wajib memahami dan menyadari
kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error).
2.2. Klasifikasi Kesalahan Obat
National Coordinating Council for Medication error Reporting and Prevention
(NCC MERP) mengklasifikasikan medication errorberdasarkan tingkat keparahan
hasil dari pasien. Kesalahan yang dekat juga di klasifikasikan sebagai kesalahan
potensial yang berhak mendapat sistem yang luas dan mengarah ke perbaikan.
Kategorimedication error adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Taksonomi & kategorisasi medication error
Tipe error Kategori Keterangan
NO ERROR
A Keadaan atau kejadian yang potensial menyebabkan
terjadinya error
-
5
ERROR-NO HARM
B Error terjadi, tetapi obat belum mencapai pasien
C Error terjadi, obat sudah mencapai pasien tetapi tidak
menimbulkan risiko
a) Obat mencapai pasien dan sudah terlanjur
diminum/digunakan
b) Obat mencapai pasien tetapi belum sempat
diminum/digunakan
D Error terjadi dan konsekuensinya diperlukan
monitoring terhadap pasien, tetapi tidak
menimbulkan resiko (harm) pada pasien
ERROR-HARM
E Error terjadi dan pasien memerlukan terapi atau
intervensi serta menimbulkan resiko (harm) pada
pasien yang bersifat sementara
F Error terjadi & pasien memerlukan perawatan atau
perpanjangan perawatan di rumah sakit disertai cacat
yang bersifat sementara
G Error terjadi dan menyebabkan resiko (harm)
permanen
H Error terjadi dan nyaris menimbulkan kematian (mis.
anafilaksis, henti jantung)
ERROR-DEATH I Error terjadi dan menyebabkan kematian pasien
-
6
Gambar 1. Diagram Medication Error
Kejadianmedication errordibagi menjadi 4 fase, yaitu fase prescribing, fase
transcribing,fase dispensing, dan fase administrasion oleh pasien(Cohen,1991).
1. Prescribing Errors
Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase
penulisan resep. Fase ini meliputi:
a. Kesalahan resep
Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang diketahui,
terapi obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk sediaan, mutu, rute,
konsentrasi, kecepatan pemberian, atau instruksi untuk menggunakan suatu
obat yang diorder atau diotorisasi oleh dokter (atau penulis lain yang sah)
yang tidak benar. Seleksi obat yang tidak benar misalnya seorang pasien
dengan infeksi bakteri yang resisten terhadap obat yang ditulis untuk pasien
tersebut.
Resep atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan kesalahan yang
sampai pada pasien.
-
7
b. Kesalahan karena yang tidak diotorisasi
Pemberian kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang penulis
resep yang sah untuk pasien. Mencakup suatu obat yang keliru, suatu dosis
diberikan kepada pasien yang keliru, obat yang tidak diorder, duplikasi dosis,
dosis diberikan diluar pedoman atau protokol klinik yang telah ditetapkan,
misalnya obat diberikan hanya bila tekanan darah pasien turun di bawah
suatu tingkat tekanan yang ditetapkan sebelumnya.
c. Kesalahan karena dosis tidak benar
Pemberian kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih kecil dari
jumlah yang diorder oleh dokter penulis resep atau pemberian dosis duplikat
kepada pasien, yaitu satu atau lebih unit dosis sebagai tambahan pada dosis
obat yang diorder.
d. Kesalahan karena indikasi tidak diobati
Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi tidak menerima suatu
obat untuk indikasi tersebut. Misalnya seorang pasien hipertensi atau
glukoma tetapi tidak menggunakan obat untuk masalah ini.
e. Kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan
Pasien menerima suatu obat untuk suatu kondisi medis yang tidak
memerlukan terapi obat.
2. Transcription Errors
Pada fase transcribing, kesalahan terjadi pada saat pembacaan resep untuk
proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas.
Salah dalam menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat
terjadi pada fase ini.
Jenis kesalahan obat yang termasuk transcription errors, yaitu:
a. Kesalahan karena pemantauan yang keliru
Gagal mengkaji suatu regimen tertulis untuk ketepatan dan pendeteksian
masalah, atau gagal menggunakan data klinik atau data laboratorium untuk
pengkajian respon pasien yang memadai terhadap terapi yang ditulis.
-
8
b. Kesalahan karena ROM (Reaksi Obat Merugikan)
Pasien mengalami suatu masalah medis sebagai akibat dari ROM atau efek
samping.
Reaksi diharapkan atau tidak diharapkan, seperti ruam dengan suatu
antibiotik, pasien memerlukan perhatian pelayanan medis.
c. Kesalahan karena interaksi obat
Pasien mengalami masalah medis, sebagai akibat dari interaksi obat-obat,
obat-makanan, atau obat-prosedur laboratorium.
3. Administration Error
Kesalahan pada fase administration adalah kesalahan yang terjadi pada proses
penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau
keluarganya. Kesalahan yang terjadi misalnya pasien salah menggunakan
supositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah
waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum bersama
makan.
Jenis kesalahan obat yang termasuk administration errors yaitu :
a. Kesalahan karena lalai memberikan obat
Gagal memberikan satu dosis yang diorder untuk seorang pasien, sebelum
dosis terjadwal berikutnya.
b. Kesalahan karena waktu pemberian yang keliru
Pemberian obat di luar suatu jarak waktu yang ditentukan sebelumnya dari
waktu pemberian obat terjadwal.
c. Kesalahan karena teknik pemberian yang keliru
Prosedur yang tidak tepat atau teknik yang tidak benar dalam pemberian
suatu obat.
Kesalahan rute pemberian yang keliru berbeda dengan yang ditulis; melalui
rute yang benar, tetapi tempat yang keliru (misalnya mata kiri sebagai ganti
mata kanan), kesalahan karena kecepatan pemberian yang keliru.
d. Kesalahan karena tidak patuh
-
9
Perilaku pasien yang tidak tepat berkenaan dengan ketaatan pada suatu
regimen obat yang ditulis. Misalnya paling umum tidak patuh menggunakan
terapi obat antihipertensi.
e. Kesalahan karena rute pemberian tidak benar
Pemberian suatu obat melalui rute yang lain dari yang diorder oleh dokter,
juga termasuk dosis yang diberikan melalui rute yang benar, tetapi pada
tempat yang keliru (misalnya mata kiri, seharusnya mata kanan).
f. Kesalahan karena gagal menerima obat
Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat, tetapi untuk alasan
farmasetik, psikologis, sosiologis, atau ekonomis, pasien tidak menerima
atau tidak menggunakan obat.
4. Dispensing Error
Kesalahan pada fasedispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan
resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error adalah salah
dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang
mirip atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam
menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian
informasi.
Jenis kesalahan obat yang termasuk Dispensing errors yaitu :
a. Kesalahan karena bentuk sediaan
Pemberian kepada pasien suatu sediaan obat dalam bentuk berbeda dari yang
diorder oleh dokter penulis.
Penggerusan tablet lepas lambat, termasuk kesalahan.
b. Kesalahan karena pembuatan/penyiapan obat yang keliru
Sediaan obat diformulasi atau disiapkan tidak benar sebelum pemberian.
Misalnya, pengenceran yang tidak benar, atau rekonstitusi suatu sediaan
yang tidak benar. Tidak mengocok suspensi. Mencampur obat-obat yang
secara fisik atau kimia inkompatibel.
Penggunaan obat kadaluarsa, tidak melindungi obat terhadap pemaparan
cahaya.
-
10
c. Kesalahan karena pemberian obat yang rusak
Pemberian suatu obat yang telah kadaluarsa atau keutuhan fisik atau kimia
bentuk sediaan telah membahayakan. Termasuk obat-obat yang disimpan
secara tidak tepat.
Adapun bentuk-bentuk kejadian medication error disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Bentuk-bentuk kejadian medication error
2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kesalahan Obat
Kesalahan obat yang terjadi dapat disebabkan dua hal, yaitu kurangnya
pengetahuan dan kesalahan dalam pelaksanaan. Kesalahan dapat terjadi jika sistem
keamanan tidak diterapkan untuk mencegahnya. Semakin baik penerapan sistem
keamanan diterapkan maka semakin besar kemungkinan kesalahan dapat dicegah
sebelum sampai kepada pasien. Faktor yang menyebabkan terjadinya medication
error adalah sebagai berikut:
1) Kondisi Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
-
11
Jumlah dan mutu apoteker tidak memadai dan juga penggunaan tenaga
nonprofesional dalam bidang fungsi atau pekerjaan apoteker.
2) Ketidaksesuaian Sistem Distribusi Obat untuk Penderita Rawat Tinggal (PRT)
Akibat tidak terlaksananya pengkajian profil pengobatan pasien dan pelayanan
yang belum berorientasi pada pasien dapat menyebabkan terjadinya kesalahan
pengobatan. Sistem seperti ini merupakan sistem distribusi obat yang tidak sesuai.
3) Pelayanan Farmasi Klinik yang Belum Diterapkan
Pelayanan farmasi klinik adalah suatu kegiatan dimana apoteker memberikan
jaminan mutu pelayanan obat kepada pasien dengan maksud meningkatkan kesehatan
pasien. Jika pelayanan farmasi klinik ini diterapkan di rumah sakit, kesalahan obat
atau masalah yang berkaitan dengan obat dapat diminimalkan.
4) Cara Dispensing Obat yang Baik (CDOB) Tidak Diterapkan
Berbagai kegiatan dalam CDOB tidak diterapkan, seperti penginterpretasian
resepobat, profil pengobatan pasien, pemberian informasi yang lengkappada etiket,
informasi kepada perawat, dapat menyebabkan terjadinya kesalahan baik oleh dokter,
apoteker, perawat maupun pasien.
5) Kebijakan dan Prosedur Pengelolaan, pengendalian, serta Pelayanan Obat Tidak
Memadai.
Kebijakan dan prosedur merupakan sarana untuk meningkatkan keamanan,
efisiensi serta merupakan penuntun dalam melaksanakan pengelolaan, pengendalian
dan pelayanan obat yang efektif dan efisien.
6) Pelaksanaan Sistem Formularium dan Pengadaan Formularium yang Belum
Memadai.
Jumlah, jenis mutu obat serta penggunaan di rumah sakit yang tidak terkendali
sebagai akibat sistem formularium yang belum diterapkan dapat menyebabkan
kesalahan obat.
7) Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) Belum Berdaya
-
12
PFT yang belum berdaya dapat terlihat melalui sistem formularium yang tidak
terlaksana serta pengembangan kebijakan dan prosedur berkaitan dengan obat yang
sangat lambat.
8) Unjuk Kerja Pelayanan IFRS Belum Memadai
Jumlah dan mutu apoteker belum memadai yang terlihat dari fungsi pengelolaan,
pengendalian dan pelayanan belum memadai dapat berkontribusi akan terjadinya
kesalahan obat.
9) Pengetahuan Pasien dan Profesional Kesehatan Tentang Obat yang Kurang atau
Tidak Memadai
Pengetahuan pasien tentang obat yang kurang dapat menyebabkan ketidakpatuhan
ataupun kesalahan penggunaan obat. Profesional kesehatan misalnya, dokter yang
kurang mendapat informasi obat, dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan obat
yang tepat bagi pasien tertentu.
10) Penyebab Kesalahan Obat yang Umum
a. Kekuatan obat pada etiket atau dalam kemasan yang membingungkan
Kekuatan atau dosis sediaan tidak jelas dimana sediaan tersebut terdiri dari
bermacam-macam obat dengan perbandingan yang ada, contoh
cotrimoksazol (trimetroprim 800 mg + sulfametoksazol 400 mg).
b. Nama atau bunyi nama obat yang terlihat mirip
Penamaan sediaan obat yang hampir sama dapat menyebabkan medication
error. Contoh obat yang sering menyebabkan kesalahan pengobatan adalah
obat pencegah pembekuan darah Coumadin dan obat anti parkinson
Kemadrin. Taxol (paclitaxel) suatu agen antikanker kedengarannya
hampir sama dengan Paxil (paroxetine) yang merupakan suatu
antidepresan.
c. Kesalahan alat
Contohnya pompa intravena dimana katupnya tidak berfungsi,
menyebabkan periode pemberian obat menjadi terlalu cepat.
d. Tulisan tangan tidak terbaca
Tulisan tangan yang kurang jelas dapat menyebabkan kesalahan dalam dua
pengobatan yang mempunyai nama yang serupa. Selain itu, banyak nama
-
13
obat yang nampak serupa terutama saat percakapan di telepon, kurang jelas
atau salah melafalkan. Permasalahannya menjadi kompleks apabila obat
tersebut memiliki cara pemberian yang sama dan dosis yang hampir sama.
e. Penulisan kembali resep atau order dokter yang tidak tepat
f. Perhitungan dosis yang tidak teliti
Kesalahan dalam menghitung dosis sebagian besar terjadi pada pengobatan
pediatri dan pada produk-produk intravena. Beberapa studi menunjukkan
bahwa kesalahan dalam perhitungan dosis tidak hanya ringan tetapi juga
kesalahan yang fatal, misal kesalahan 10 kali lipat atau mencapai 15%.
g. Kesalahan diagnosis
Kesalahan dokter dalam mendiagnosis penyakit dapat menyebabkan
kesalahan tindakan medis selanjutnya.
h. Menggunakan singkatan yang tidak tepat dalam penulisan resep
Pengunaan singkatan dalam resep terkadang dapat menyebabkan terjadinya
kesalahan obat, seperti misalnya:
Singkatan U (unit) untuk insulin dan pitosin dapat menyebabkan
kesalahan pembacaan menjadi 0 yang menyebabkan overdosis yang
berbahaya.
Singkatan IU (International Unit) dapat terbaca sebagai IV (intravena)
atau 10.
Singkatan q.d. (quaque die) yang berarti setiap hari dapat
menyebabkan kesalahan pembacaan menjadi qid (quarter in die atau
empat kali sehari) atau qod (setiap hari yang berbeda)
Angka desimal seharusnya tidak ditulis. Angka 1.0 dapat terbaca
sebagai 10 akibat tanda desimalnya berada pada garis keras resep.
i. Kesalahan penulisan etiket
2.4. Upaya Apoteker dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kesalahan Obat
Sejumlah pasien dapat mengalami cedera atau mengalami insiden pada saat
memperoleh layanan kesehatan, khususnya terkait penggunaan obat yang dikenal
dengan medication error. Di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya,
kejadian medication error dapat dicegah jika melibatkan pelayanan farmasi klinik
dari apoteker yang sudah terlatih.Berbagai upaya baik langsung maupun tidak
-
14
langsung sedang dilakukan oleh apoteker agar dapat meminimalkan kesalahan
pengobatan. Berbagai upaya tersebut antara lain:
1. Pelaksanaan Tanggung Jawab Apoteker dalam Bidang Dispensing dan Ruang
Perawatan Pasien
a. Dalam Bidang Dispensing
Apoteker wajib melakukan dispensing sesuai dengan cara dispensing yang
baik, diantaranya:
Mengikuti kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan.
Menginterpretasikan resep dengan seksama.
Mendokumentasikan P3
Memeriksa keakuratan dosis
Memeriksa kelengkapan informasi pada etiket
Melakukan pengendalian obat
Menggunakan teknik yang baik dalam meracik obat serta dalam
pencampuran sediaan intravena
Melakukan pendokumentasian yang baik
Meningkatkan kompetensi profesional, terutama dalam pengetahuan
tentang obat, termasuk stabilitas dan inkompatibilitas obat
Memastikan bahwa personel baru telah dilatih dengan baik
Mengkoordinasikan berbagai kegiatan bidang dispensing dengan staf yang
ada
Memelihara kebersihan dan kerapian ruang dispensing
Memberikan informasi obat yang diperlukan bagi apoteker, dokter,
perawat dan pasien
Mengkomunikasikan kepada semua staf IFRS berbagai hal berkenaan
dengan pengembangan baru dalam bidang dispensing dan membantu
dalam mengevaluasi personel
Mengkoordinasikan kebutuhan farmasi dari ruang perawatan pasien
dengan bidang dispensing
b. Dalam Ruang Perawatan Pasien
Apoteker wajib melakukan pengawasan dalam pemberian obat:
Mengintepretasikan setiap dosis unit, serta pemberian obat campuran
intravena
-
15
Mengevaluasi setiap kartu pengobatan pasien secara berkala untuk
memastikan bahwa dosis telah diberikan dengan benar
Memastikan secara berkala bahwa dosis yang diberikan telah
terdokumentasi pada waktu pengobatan
Memastikan bahwa dokumentasi untuk obat golongan narkotik yang telah
diberikan, dipelihara dengan benar
Memastikan bahwa teknik pemberian obat yang tepat digunakan
Bertindak sebagai penghubung antara apoteker, perawat dan staf medis
Mengkomunikasikan pada perawat dan dokter tentang masalah pemberian
obat
Secara berkala menginspeksi ruang obat pada unit perawat guna
memastikan pemeliharaan tingkat persediaan obat dan perlengkapan
Memastikan bahwa obat-obat dan pelengkapan diadakan dari ruang
dispensing sesuai dengan yang diperlukan
Memastikan bahwa pelayanan pendukung lain yang dilakukan IFRS
dilaksanakan dengan benar
Mengkoordinasikan semua pelayanan farmasi pada tingkat unit perawat
Memastikan bahwa ruangan obat adalah bersih dan teratur
Memastikan bahwa keamanan yang tepat dipelihara dalam ruangan obat
untuk mencegah pencurian
c. Perawatan Langsung Pasien
Mengidentifikasikan obat yang dibawa pasien ke rumah sakit
Mengetahui riwayat penggunaan obat oleh pasien dan
mengkomunikasikan semua informasi berkaitan kepada dokter
Membantu dokter dalam seleksi zat aktif dan produk obat
Membantu dokter dalam seleksi regimen dosis dan jadwal, kemudian
menetapkan waktu pemberian obat untuk jadwal tersebut (pelayanan
farmakokinetik)
Memantau terapi obat menyeluruh untuk keefektifan atau
ketidakefektifan, efek samping, toksisitas, reaksi alergi obat dan interaksi
obat
Memberikan konseling kepada pasien
-
16
Berpartisipasi dalam keadaan darurat dalam mengadakan dan menyiapkan
obat-obat yang diperlukan, dan sebagainya
Kegiatan yang dilakukan farmasi klinik yaitu monitoring pengobatan pasien
untuk memantau efek samping obat yang merugikan serta menjamin pemakaian obat
yang rasional.
Tanggung jawab umumnya antara lain :
Mengadakan edukasi in-service bagi :
Apoteker, residen apoteker dan mahasiswa farmasi
Perawat dan siswa perawat
Dokter dan mahasiswa kedokteran
Melayani informasi obat untuk dokter, perawat dan personel pelayanan
kesehatan lain
2. Pelaksanaan Sistem Distribusi Obat yang tepat untuk PRT
Apoteker wajib menerapkan sistem distribusi obat yang tepat agar dapat
memenuhi persyaratan penyampaian obat yang baik, yaitu tepat pasien, tepat obat,
tepat jadwal, tanggal, waktu dan metode pemberian, tepat informasi untuk pasien dan
untuk perawat pemberi obat kepada pasien.Berdasarkan distribusi obat bagi pasien
rawat tinggal, digunakan empat sistem, yaitu:
a. Sistem distribusi obat resep individual atau permintaan tetap
Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispensing
dari IFRS. Reseporisinal oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian diproses
sesuai dengan kaidah cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk
didistribusikan kepada penderita tertentu. Sistem ini kurang sesuaiuntuk
rumah sakit-rumah sakit yang besar, seperti kelas A dan B karena memiliki
daerah pasien yangmenyebar sehingga jarak antara IFRS dengan perawatan
pasien sangat jauh. Sistem ini biasanyadigunakan di rumah sakit-rumah sakit
kecil atau swasta karena memberikan metode yang sesuaidalam penerapan
keseluruhan biaya pengobatan dan memberikan layanan kepada pasien
secaraindividual.
-
17
b. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang
Alur sistem distribusi persediaan lengkap di ruang adalah dokter menulis resep
kemudian diberikankepada perawat untuk diinterpretasikan kemudian perawat
menyiapkan semua obat yangdiperlukan dari persediaan obat yang ada di
ruangan sesuai resep dokter untuk diberikan kepadapasien, termasuk
pencampuran sediaan intravena. Persediaan obat di ruangan dikendalikan
olehinstalasi farmasi.
c. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap di
ruang
Alur sistem distribusi obat kombinasi persediaan di ruang dan resep individual
adalah dokter menulisresep untuk pasien dan resep tersebut diinterpretasikan
oleh apoteker dan perawat. Pengendalianoleh apoteker dilakukan untuk resep
yang persediaan obatnya disiapkan di instalasi farmasi. Obatkemudian
diserahkan ke ruang perawatan pasien sewaktu pasien minum obat.
Pengendalian obatyang tersedia di ruang perawatan dilakukan oleh perawat
dan apoteker. Obat disiapkan kepadapasien oleh perawat.
d. Sistem distribusi obat dosis unit.
Metode pengoperasian sistem distribusi dosis unit ada tiga macam,yaitu :
1) Sentralisasi
Dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan penderita rawat
tinggal di rumah sakitsecara keseluruhan. Kemungkinan di rumah sakit
tersebut hanya ada satu IFRS tanpa adanya cabangIFRS di beberapa
daerah perawatan penderita.
2) Desentralisasi
Dilakukan oleh beberapa cabang IFRS di rumah sakit. Pada dasarnya
sistem ini sama dengan system distribusi obat persediaan lengkap
diruangan, hanya saja sistem distribusi obat desentralisai ini dikelola
seluruhnya oleh apoteker yang sama dengan pengelolaan dan pengendalian
oleh IFRS sentral.
3) Kombinasi sentralisasi dan desentralisasi
Biasanya hanya dosis mula dan dosis keadaan darurat dilayani oleh cabang
IFRS. Dosis selanjutnya dilayani oleh IFRS sentral. Semua pekerjaan
tersentralisasi lain, seperti pengemasan dan pencampuran sediaan
intravena juga dimulai dari IFRS sentral.
-
18
Distribusi obat dosis unit secara desentralisasi perlu diterapkan untuk PRT
dalam rumah sakit yang besar sekelas A, B, dan C. Sementara untuk rumah sakit yang
kecil ( 50 tempat tidur) dapat diterapkan sistem distribusi obat dosis unit sentralisasi.
Tanggung jawab farmasis dalam kaitan dengan distribusi obat adalah :
a. Memeriksa permintaan obat dengan melihat medication administration
record(MAR).
b. Menuliskan nama generik dari obat pada MAR.
c. Memecahkan masalah yang berkaitan dengan distribusi.
3. Pelaksanaan Tanggung Jawab IFRS Sepenuhnya dalam Pengelolaan Obat di
Rumah Sakit
Pengendalian pengadaan, mutu, penyimpanan, dispensing, distribusi dan
penggunaan obat di rumah sakit sebaiknya menjadi tanggung jawab IFRS dimana
PRT diwajibkan menggunakan obat yang disediakan oleh IFRS. Hal ini ditujukan
untuk meminimalisir kejadian kesalahan pengobatan di rumah sakit.
4. Pemenuhan Standar Minimal IFRS
IFRS atau apoteker sebaiknya memenuhi standar minimal dalam melaksanakan
tanggung jawabnya dalam pelayanan pasien di rumah sakit yang mencakup pelayanan
farmasi yang baik (PFB) dan praktik dispensing yang baik. Jadi standar minimal
kegiatan atau pelayanan IFRS adalah kegiatan minimal yang harus dilakukan IFRS
secara terus menerus yang masih memberikan unjuk kerja dan hasil yang baik.
Standar minimal tersebut mencakup standar untuk manajerial meliputi pimpinan
IFRS, personel IFRS, program, kebijakan dan prosedur; standar untuk fasilitas;
standar untuk distribusi dan pengendalian obat; standar untuk informasi obat; standar
jaminan terapi obat yang rasional; standar untuk penelitian; standar untuk pemberian
obat dan produk biologik yang aman; dan standar mutu dalam pelayanan perawatan
pasien. Apabila standar minimal ini diterapkan, kesalahan obat dapat dihindari
sepanjang waktu.
5. Penerapan Sistem Manajemen Mutu Menyeluruh (S3M) dalam IFRS
S3M adalah suatu pendekatan manajemen dari suatu organisasi yang berorientasi
mutu, didasarkan pada partisipasi semua anggota atau personilnya. Tujuan dari
penerapan S3M selain pencapaian keuntungan jangka panjang adalah manfaat bagi
-
19
anggota atau persnonelnya dan bagi masyarakat melalui kepuasan konsumen. S3M
teridri atas berbagai kegiatan peningkatan yang melibatkan tiap personel organisasi /
lembaga dalam suatu upaya terpadu menuju unjuk kerja yang meningkat pada tiap
tingkat. S3M memadukan teknik manajemen fundamental, upaya penyempurnaan
yang sedang berlangsung dan peralatan teknik di bawah suatu pendekatan disiplin,
difokuskan pada penyempurnaan proses berkelanjutan. Berbagai kegiatan itu pada
akhirnya difokuskan pada peningkatan konsumen/ pengguna. Karakteristik dari S3M
yaitu berbasis strategi; fokus pada konsumen (internal dan eksternal); obsesi dengan
mutu; pendekatan ilmiah dalam membuat keputusan dan solusi masalah; komitmen
jangka panjang; kerja sama tim; peningkatan proses berkelanjutan; pendidikan dan
pelatihan; menyatu untuk tujuan; serta keterlibatan dan pemberdayaan personel.
Dengan menerapkan S3M, maka seluruh kegiatan IFRS diorganisasikan
sedemikian sehingga faktor teknis, administratif, dan manusia yang memengaruhi
mutu produk dan pelayanannya berada di bawah koordinasi. S3M harus memenuhi
kebutuhan IFRS dan konsumen yang saling berhubungan. Kebutuhan IFRS adalah
mencapai dan mempertahankan mutu yang diinginkan pada harga optimal yang
terjangkau, dengan penggunanaan yang efisien sumber , teknologi, manusia dan
bahan yang dimiliki IFRS. Sedangkan kebutuhan konsumen adalah IFRS
menghantarkan / menyediakan sediaan obat dan pelayanan yang bermutu pada harga
yang terjangkau dan mempertahankan mutu yang sama secara terus-menerus. S3M
IFRS dimulai dengan mengidentifiksi kebutuhan dan persyaratan mutu dari
professional kesehatan, terutama penderita dan berakhir hanya apabila produk dan
pelayanan telah dihantarkan kepada konsumen tersebut yang masih tetap puas. S3M
memandu tindakan personel IFRS, peralatan , sarana, sumber, dan informasi yang
terkoordinasi untuk mencapai tujuan mutu.
6. Pelayanan Farmasi Klinik yang Langsung
Pelayanan farmasi klinik langsung adalah pelayanan langsung yang diberikan
apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan hasil terapi dan meminimalkan
risiko terjadinya efek samping karena obat. Tujuan pelayanan farmasi klinis adalah
meningkatkan keuntungan terapi obat dan mengoreksi kekurangan yang terdeteksi
dalam proses penggunaan obat sehingga meningkatkan dan memastikan kerasionalan,
kemanfaatan, dan keamanan terapi obat.
a. Pelayanan dalam Proses Penggunaan Obat
-
20
Berbagai kegiatan apoteker dalam proses penggunaan obat adalah sebagai
berikut:
Dalam proses penggunaan obat, apoteker wajib melakukan wawancara
riwayat obat pasien untuk mengetahui data penggunaan obat sebelum
masuk rumah sakit. Data itu mencakup semua obat resep dan nonresep
yang telah digunakan; sejarah alergi dan reaksi obat merugikan; fungsi
ginjal; fungsi hati dan database pasien, seperti bobot, umur, dan
sebagainya. Data tersebut di atas diperlukan dokter untuk menegakkan
diagnosis dan pemilihan obat yang tepat.
Membantu dokter menyeleksi obat dan regimen yang tepat.
Menginterpretasi resep obat dokter.
Mengkaji profil pengobatan pasien.
Menyiapkan atau meracik obat dengan cara dispensing obat yang baik
(CDOB).
Memberi informasi kepada perawat.
Memberikan konseling kepada pasien.
Mengawasi pemberian obat.
Memantau terapi obat menyeluruh.
b. Pengkajian pelayanan dan resep
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
pengkajian resep, penyiapan perbekalan farmasi termasuk peracikan obat,
pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur
pelayanan resep, dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian
obat (medication error).
c. Penelusuran riwayat penggunaan obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat adalah proses untuk mendapatkan
informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang
digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data
rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien.
d. Konseling
Konseling obat adalah suatu proses diskusi antara apoteker dengan
pasien/keluarga pasien yang dilakukan secara sistematis untuk memberikan
kesempatan kepada pasien/keluarga pasien mengeksplorasikan diri dan
-
21
membantu meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran sehingga
pasien/keluarga pasien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam
penggunaan obat yang benar termasuk swamedikasi. Tujuan umum konseling
adalah meningkatkan keberhasilan terapi, memaksimalkan efek terapi,
meminimalkan resiko efek samping, meningkatkan cost effectiveness dan
menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi.
Kriteria pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian konseling yaitu
terutama untuk pasien rujukan dokter, pasien dengan penyakit kronis, pasien
dengan obat yang berindeks terapetik sempit dan polifarmasi, pasien geriatrik,
pasien pediatrik, dan pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.
Tujuan khusus dari konseling adalah:
1. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien
2. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
3. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat
4. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat
dengan penyakitnya
5. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
6. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat
7. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal
terapi
8. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
9. Membimbing dan membina pasien dalam penggunaan obat sehingga
dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan
pasien
Kegiatan yang dilakukan dalam konseling meliputi:
1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien
2. Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan obat
melalui three prime questions
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat
-
22
5. Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien
6. Dokumentasi
7. Pelayanan Farmasi Klinik yang Tidak Langsung
Apoteker wajib melaksanakan pelayanan farmasi klinik dalam program rumah
sakit diantaranya: menyeleksi terapi obat, pemantauan terapi obat, pelayanan fokus
pada pasien atau jenis obat, bertujuan untuk penyempurnaan terapi dengan edukasi
penulis resep atau pasien.
a) Pelayanan Farmasi Klinik dalam Panitia Farmasi dan Terapi serta Kegiatan
Formularium
Formularium adalah himpunan obat yang diterima atau disetujui oleh
Panitia Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi
pada setiap batas waktu yang ditentukan. Sistem yang dipakai dalam
formularium adalah suatu sistem dimana prosesnya tetap berjalan terus, dalam
arti kata bahwa sementara formularium itu digunakan oleh staf medis, di lain
pihak Panitia Farmasi dan Terapi mengadakan evaluasi dan menentukan
pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih
mempertimbangkan kesejahteraan pasien.
Apoteker selain aktif sebagai sekretaris PFT, juga aktif mengadakan
evaluasi obat yang ada dalam perdagangan dan obat yang telah ada dalam
formularium. Hasil evaluasi tersebut digunakan oleh PFT dalam mengambil
keputusan untuk memasukkan ke atau menghapuskan dari formularium suatu
obat tertentu. Dengan demikian obat yang tertera dalam formularium adalah
obat yang terbaik dan diperlukan pasien di rumah sakit.
b) Pelayanan Farmasi Klinik dalam Sistem dan Penerapan Formularium
Dalam sistem formularium rumah sakit, apoteker berperan dalam
menyiapkan data obat yang diusulkan untuk dimasukkan ataupun dihapuskan
dari formularium. Demikian juga penggunaan formularium obat sebagai dasar
dalam pengadaan, pengelolaan, pengendalian, dan pelayanan obat bagi pasien.
Apoteker juga wajib berpartisipasi aktif memutakhirkan formularium obat
rumah sakit.
c) Peranan dalam Sistem Pemantauan Kesalahan Obat
Apoteker aktif dalam program peningkatan mutu pemantauan
kesalahan obat, yaitu dengan mengidentifikasi dan mendokumentasikan serta
-
23
mempelajari penyebab kesalahan obat agar dapat mengembangkan sistem
untuk meminimalkan terjadinya kembali kesalahan tersebut.
d) Evaluasi Penggunaan Obat
Evaluasi penggunaan obat merupakan proses jaminan mutu resmi dan
terstruktur yang dilaksanakan terus menerus, yang ditujukan untuk menjamin
obat yang tepat, aman, dan efektif.
Tahap pelaksanaan evaluasi penggunaan obat sebagai kegiatan jaminan
mutu adalah sebagai berikut:
Penetapan penanggungjawab yang umumnya adalah panitia farmasi dan
terapi;
Menilai pola penggunaan semua obat;
Menentukan obat-obat khusus dan golongan obat untuk dipantau dan
dievaluasi;
Pengembangan kriteria penggunaan obat;
Mengumpulkan dan mengorganisasikan data yang diperoleh dari berbagai
sumber meliputi rekaman medik, profil pengobatan penderita, permintaan
obat non formularium, formulir permintaan obat, hasil laporan
laboratorium, rekaman pemberian obat atau kartu obat, rekaman reaksi obat
yang merugikan, laporan peristiwa tertentu;
Mengevaluasi penggunaan obat yang dibandingkan dengan kriteria;
Mengadakan tindakan perbaikan untuk solusi masalah dan perbaikan
penggunaan obat;
Menilai efektivitas tindakan perbaikan dan dokumentasi perbaikan;
Mengkomunikasikan hasil yang diperoleh kepada organisasi atau pihak
yang berkepentingan.
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) berlaku sebagai suatu alat penting
untuk membuktikan bahwa obat berguna bagi perawatan pasien dengan
memastikan bahwa obat itu aman, efektif, dan ekonomis (Penggunaan obat
yang aman, efektif, dan ekonomis disebut Pengunaan Obat yang Tepat).
Peranan utama apoteker sehari-hari dalam EPO, adalah mengkaji order
atau resep obat terhadap kriteria penggunaan yang telah ditetapkan dan
berkonsultasi dengan dokter penulis resep jika terjadi masalah. Kriteria atau
standar penggunaan obat meliputi indikasi, kontraindikasi, dosis, interaksi
-
24
obat, waktu pemberian, kombinasi dan duplikasi penggunaan. Selain itu,
apoteker menginterpretasi dan melaporkan temuan evaluasi kepada PFT, staf
jaminan mutu, pimpinan rumah sakit dan lain-lain untuk mengusulkan
perubahan dalam kebijakan serta prosedur pengendalian penggunaan obat.
e) Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang
dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias,
dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan
pasien.
Peranan apoteker dalam pelayanan informasi obat bukanlah hal yang
baru. Apoteker, secara tradisional adalah sumber utama informasi obat bagi
dokter, perawat, pasien, dan profesional kesehatan lainnya. Informasi obat
harus dievaluasi oleh apoteker, guna memastikan penggunaan obat yang aman
dan efektif.
Informasi obat adalah suatu bantuan bagi dokter dalam pengambilan
keputusan, tentang pilihan obat yang paling tepat bagi seorang pasien tertentu.
Perawat memerlukan informasi obat untuk mengetahui tentang penggunaan
suatu obat tertentu; efek dan bahaya suatu terapi obat, agar perawat dapat
mengkaji terjadinya efek merugikan, juga perawat perlu mengetahui
penyiapan serta penggunaan obat yang tepat dan sebagainya. Pasien juga perlu
diberi informasi tentang obat mereka, misalnya hubungan obat dengan
penyakitnya, cara penggunaan, penyimpanan, efek samping serta cara
menangani efek samping, cara memantau efek obat, dan sebagainya. Dengan
demikian, ketaatan pasien terhadap regimen obatnya dapat meningkat.
f) Peranan dalam Pemantauan dan Pelaporan ROM
ROM adalah penyebab kesakitan dan kematian yang signifikan.
Akibatnya, ROM dianggap sebagai harga yang tidak dapat dihindarkan
sebagai pertukaran manfaat terapi obat modern. Namun, diperkirakan bahwa
paling sedikit setengah dari semua ROM dapat dihindari. Hal ini mengajukan
suatu tantangan yang serius bagi semua pelaku pelayan kesehatan, untuk
menyempurnakan perawatan kesehatan dengan memberikan manfaat dari
terapi obat modern, sedangkan risikonya dikurangi.
Apoteker berada pada posisi yang baik sekali untuk memenuhi
tantangan ini karena pengetahuan farmakologi mereka yang dalam dan
-
25
peranan mereka untuk menyeleksi, mendispensing, dan memantau terapi obat.
Salah satu tujuan dari kegiatan farmasi klinik adalah keharusan mencegah
ROM sementara pelayanan ini memaksimalkan terapi obat.
g) Penerbitan Buletin/Surat Berita
Upaya untuk mengomunikasikan informasi berkaitan dengan kebijakan
penggunaan obat dan perkembangan mutakhir yang memengaruhi seleksi obat
adalah suatu komponen penting dari pelayanan informasi obat. Seringkali,
buletin/surat berita diterbitkan untuk mencapai sasaran tersebut. Peranan
apoteker sangat penting dalam penerbitan buletin/surat berita di rumah sakit
karena menyeleksi judul yang relevan dan menulis artikelnya kebanyakan
dilakukan oleh apoteker. Suatu buletin/surat berita merupakan alat edukasi
untuk memberantas penggunaan obat yang tidak tepat dan tidak terungkap
dalam studi evaluasi penggunaan obat.
h) Pelayanan Farmakokinetik Klinik
Farmakokinetik klinik adalah proses penerapan prinsip farmakokinetik
untuk menetapkan dosis, dan frekuensi pemberian obat tertentu bagi pasien
tertentu. Penerapan prinsip ini memerlukan pengertian tentang karakteristik
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat tertentu dalam penyakit
tertentu. Pengaruh faktor lain termasuk umur, penyakit, diet, dan penggunaan
yang bersamaan obat lain juga harus dimengerti. Perkembangan regimen dosis
individu pasien harus didasarkan pada temuan terpadu dari pemantauan kedua
hal, yaitu konsentrasi yang memberi respons dan respons farmakologis
terhadap obat.
Fungsi klinik apoteker mencakup pemantauan terapi obat dan
pengadaan pengkajian farmakokinetik klinik. Peranan utama apoteker yang
terlibat dalam pelayanan farmakokinetik klinik antara lain:
a. Mendesain regimen dosis obat spesifik pasien didasarkan pada
karakteristik farmakokinetik dan farmakologi obat yang digunakan, tujuan
terapi obat, penyakit, dan terapi obat bersamaan serta faktor-faktor lain
yang berkaitan (misalnya umur, data laboratorium) yang dapat
memengaruhi keamanan dan keefektifan terapi obat.
b. Memantau dan menyesuaikan regimen dosis obat didasarkan pada respon
farmakologis dan pada konsentrasi obat dalam cairan biologis (yaitu
-
26
plasma, serum, darah, dan cairan serebrospinal), serta dalam jaringan
bersama dan tanda dan gejala atau parameter biokimia lain.
c. Merekomendasikan prosedur penetapan kadar untuk menganalisis
konsentrasi obat agar mempermudah evaluasi regimen dosis.
i) Edukasi Obat
Farmasi adalah profesi yang padanya melekat pengendalian obat, harus
terlibat erat dengan berbagai kegiatan yang bertujuan mencegah atau
mengurangi masalah penggunaan obat.
Kebanyakan apoteker memahami masalah penting yang mungkin dapat
terjadi, walaupun dengan penggunaan obat resep yang tepat, seperti reaksi
merugikan dan interaksi obat. Banyak apoteker yang berpengetahuan luas
tentang banyak masalah yang mungkin melekat dalam pengobatan sendiri
dengan suatu obat nonresep.
Oleh karena itu, masyarakat sangat perlu memelajari penggunaan
semua jenis obat yang lebih rasional dan tepat. Kepentingan utama edukasi
obat adalah manfaatnya kepada pengguna obat (pasien dan profesional
kesehatan), yaitu penyempurnaan perilaku penggunaan obat dan penulisan
obat guna mencapai kesehatan dan kesejahteraan yang optimal. Fokus setiap
upaya edukasi obat adalah memberikan informasi obat, suatu strategi yang
paling dipahami oleh apoteker. Dalam dunia teknologi yang sangat rumit
dewasa ini, ketersediaan informasi mutakhir dan tepat memungkinkan
seseorang untuk mengerti, membuat pilihan yang lebih baik serta untuk
mencegah dan memberi solusi masalah.
Individu yang paling baik untuk membantu orang dalam mencegah
masalah penggunaan obat, dan dalam pencapaian pengalaman optimal yang
diinginkan dari penggunaan obat mereka adalah apoteker. Ia mudah
memperoleh sumber informasi bermutu tinggi dan program edukasi mengenai
perilaku penggunaan obat.
Terapi obat yang aman dan efektif paling sering terjadi, apabila pasien
benar-benar diberi informasi tentang obat mereka dan penggunaannya. Pasien
yang mengetahui banyak tentang obatnya menunjukkan peningkatan ketaatan
terhadap regimen obat yang tertulis, mengakibatkan hasil terapi yang
meningkat.
-
27
Tanggung jawab farmasis dalam memberikan pelayanan farmasi klinik
adalah
a. Monitoring ketepatan terapi obat, interaksi antar obat serta reaksi
samping obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction).
b. Monitoring secara intensif terapi obat seperti total parenteral nutrition
(TPN) dan terapi antineoplastik.
c. Menyiapkan dosis farmakokinetik.
d. Menjadwalkan pengobatan obat terpilih.
e. Sebagai pusat informasi obat bagi dokter, perawat dan pasien.
f. Mengidentifikasi, mencegah, dan memecahkan masalah yang berkaitan
dengan obat.
2.5. Rekomendasi bagi Apoteker untuk Pencegahan Kesalahan Obat
Apoteker diharapkan memainkan peranan penting dalam pencegahan
kesalahan dalam penggunaan obat. Secara ideal, apoteker perlu bekerja sama dengan
dokter penulis dalam pengembangan, penerapan, dan pemantauan suatu rencana terapi
untuk menghasilkan hasil terapi yang ditetapkan bagi pasien.Rekomendasi yang
disarankan bagi apoteker adalah sebagai berikut :
1. Apoteker harus berpartisipasi dalam pemantauan terapi obat dan kegiatan EPO
untuk membantu mencapai penggunaan obat yang aman, efektif dan rasional.
2. Untuk merekomendasikan dan mengenal terapi obat yang tepat, apoteker
harus mengikuti pengetahuan yang mutakhir melalui kebiasaan membaca
pustaka, berkonsultasi dengan sejawat dan pelaku pelayanan kesehatan lain,
partisipasi dalam program edukasi profesional berkelanjutan, dan cara lain.
3. Apoteker harus membuat diri mereka sendiri tersedia kepada dokter penulis
order dan perawat, untuk memberikan informasi dan nasehat tentang regimen
obat terapi serta penggunaan obat-obatan yang benar.
4. Apoteker harus memahami system pengorderan obat dan kebijakan serta
prosedur distribusi obat yang ditetapkan untuk rumah sakit, guna mengadakan
distribusi yang aman dari semua obat-obatan dan suplai berkaitan untuk PRT
dan pasien ambulatory.
5. Apoteker hendaknya tidak boleh menganggap atau menerka maksud dari order
obat yang membingungkan. Jika ada masalah, dokter penulis order harus
dihubungi sebelum dilakukan dispensing.
-
28
6. Apabila menyiapkan obat apoteker harus memelihara kerapihan dan
kebersihan dalam lokasi kerja, serta melakukan satu prosedur pada satu waktu
dengan sedikit mungkin interupsi.
7. Sebelum mendispensing suatu obat dalam situasi nondarurat, apoteker harus
mengkaji order asli obat yang ditulis. Apoteker harus memastikan bahwa
semua pekerjaan yang dilakukan oleh personel pendukung atau melalui
penggunaan alat otomatis dicek dengan cara manual atau cara teknologis.
Semua proses harus memenuhi peraturan perundang undangan yang berlaku.
Apoteker harus berpartisipasi, paling minimal pada proses pengecekan sendiri
dalam membaca resep, pengetiketan dan perhitungan dosis.
8. Apoteker perlu mendispensing obat dalam bentuk sediaan siap diberikan
apabila mungkin. Sistem dosis unit sangat direkomendasikan sebagai metode
distribusi obat yang dikehendaki.
9. Apoteker harus mengkaji penggunaan etiket tambahan dan menggunakan
etiket itu dengan hati-hati ,apabila jelas bahwa penggunaannya dapat
mencegah kesalahan (misalnya, "kocok dulu", "untuk penggunaan luar saja",
dan "tidak untuk injeksi")
10. Apoteker harus memastikan bahwa obat telah dikirim ke lokasi perawatan
pasien tepat pada waktu setelah menerima order, sesuai dengan kebijakan dan
prosedur rumah sakit.
11. Apoteker harus mengamati cara obat digunakan sebenarnya dalam lokasi
perawatan pasien; untuk memastikan bahwa prosedur dispensing dan
penyimpanan diikuti dan untuk membantu perawat dalam mengoptimasi
keamanan pasien.
12. Staf IFRS harus mengkaji obat-obatan yang dikembalikan ke IFRS. Proses
pengkajian demikian dapat mengungkapkan gangguan sistem atau masalah
yang diakibatkan kesalahan obat (misalnya, dosis yang lalai dan obat yang
tidak diotorisasi).
13. Apabila mendispensing obat untuk pasien ambulatori (misalnya, pada
pembebasan), apoteker harus mengonseling pasien atau pengasuhnya dan
memverifikasi bahwa mereka mengerti, mengapa suatu obat ditulis dan
didispensing, maksud penggunaan, tindakan pencegahan yang perlu diamati.
dan informasi lain yang diperlukan.
-
29
14. Apoteker harus meninjau dan memberikan nasihat tentang isi dan desain dari
formulir atau lembaran order obat tercetak, jika digunakan.
Apoteker harus memelihara kecukupan rekaman, untuk memungkinkan identifikasi
pasien yang menerima suatu produk yang salah.
2.6. Pengelolaan Kesalahan Obat
Penggolongan kesalahan obat memungkinkan pengelolaan tindak lanjut yang
lebih baik terhadap pendeteksian kesalahan obat. Penetapan penyebab kesalahan obat
harus digabung dengan pengkajian dari keparahan kesalahan. Korelasi antara
kesalahan dan metode distribusi obat harus dikaji (misal, dosis unit, persediaan di
ruang, atau obat ruah; pracampuran dan sediaan oral atau injeksi). Proses ini akan
membantu mengidentifikasi masalah sistem dan merangsang perubahan untuk
meminimalkan terjadinya kesalahan kembali.
Langkah-langkah pengelolaan medication errors :
1. Klasifikasikan jenis medication errors yang terjadi.
2. Tentukan penyebab terjadinya medication errors.
3. Medication errors harus didokumentasikan dan dilaporkan segera kepada dokter,
perawat, dan kepala IFRS.
4. Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pengumpulan fakta dan
investigasi harus segera dimulai. Fakta yang harus ditetapkan dan
didokumentasikan termasuk apa yang terjadi, di mana peristiwa terjadi, mengapa
dan bagaimana peristiwa terjadi, siapa yang terlibat. Bukti produk (etiket dan
kemasan) harus dicari dan disimpan untuk acuan di kemudian hari.
5. Identifikasikan langkah-langkah yang akan dilakukan dengan benar dan
dokumentasikan
6. Terapi perbaikan dan terapi suportif harus diberikan kepada pasien.
7. Kesalahan obat harus dilaporkan kepada program pemantauan rumah sakit untuk
kepentingan perbaikan mutu, peningkatan keamanan pasien untuk pencegahan
kesalahan yang akan datang.
Jika terjadi gejala keracunan pada pasien, maka sebagai petugas kesehatan,
seorang apoteker harus mampu mengelola kejadian keracunan tersebut dengan sigap
dan benar, maka langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut:
-
30
1. Semua pasien yang menunjukkan gejala-gejala keracunan harus segera dirujuk
ke rumah sakit.
2. Berikan terapi suportif dan pengobatan yang bertujuan untuk menangani
gejala (contohnya hipertensi). Fungsi vital pasien juga harus selalu dimonitor.
a. Pengeluaran racun dari saluran pencernaan
Lakukan prosedur cuci lambung
Pengeluaran racun dari saluran pencernaan hanya dilakukan dengan
pertimbangan yang matang, yaitu jika jumlah racun yang masuk ke
tubuh pasien berada pada jumlah yang mengancam jiwa dalam waktu
yang cepat.
b. Pencegahan absorpsi racun
Lakukan dengan menggunakan karbon aktif karena karbon memiliki
kemampuan mengikat racun dan mengurangi absorpsinya. Penggunaan
karbon relatif aman dan lebih efektif.
c. Penggunaan antidote
Terdapat beberapa antidot yang dapat digunakan secara terbatas untuk
sejumlah racun, diantaranya adalah:
Pada keracunan parasetamol, berikan asetilsistein untuk melindungi
hati jika pemberian parasetamol dosis tinggi belum melewati 10-12
jam.
Pada keracunan besi, berikan desferrioxamin yang depat mengkhelat
besi
Pada keracunan opiat yang muncul dengan sedasi, supresi batuk dan
depresi pernafasan, berikan nalokson yang merupakan antagonis
reseptor opioid yang tersedia sebagai injeksi intra vena
d. Peningkatan eliminasi racun dengan alkalinisasi urin
Pada keracunan obat yang bersifat asam, misalnya pada keracunan aspirin
yang ditandai dengan stimulasi pusat pernafasan dan nyeri abdomen,
nausea, tinnitus, vertigo, serta ketulian, dapat dilakukan rehidrasi dan
alkalinisasi urin. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan eliminasi
obat yaitu dengan meningkatkan ionisasi aspirin dan mencegah
reabsorpsinya pada ginjal.
-
31
Respon setelah terjadi medication errors:
1. Meminimalisasi efek dari kesalahan medikasi pada pasien
2. Berikan pasien perhatian penuh
3. Pindahkan pasien ke tempat terpisah jika memungkinkan
4. Cari penyebab terjadinya kesalahan medikasi
5. Meminta maaf kepada pasien dan jelaskan kesalahan yang telah terjadi
6. Perbaiki kesalahan yang terjadi
7. Catat segala tindakan yang dilakukan
2.7. Pedoman Penggunaan Obat yang Aman dan Efektif
Menurut Undang-Undang No.36 tahun 2009, setiap orang berhak
mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan. Hal tersebut juga memiliki
makna bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala aspek pengobatan,
termasuk terapi obat yang diberikan saat kondisi seseorang sakit. Penyedia pelayanan
kesehatan harus mendorong pasien untuk mengambil peran aktif dalam penggunaan
obatnya dengan bertanya dan mempelajari mengenai regimen pengobatan tersebut.
Beredarnya obat bebas dan bebas terbatas serta pelaksanaan swamedikasi
dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan. Hal ini terjadi akibat
keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya.(Depkes RI (b),
2006). Swamedikasi adalah Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri.
Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit
ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk,
influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain. Swamedikasi
menjadi alternatif yang diambil masyarakat. (Depkes RI (b), 2006) Dalam hal ini
Apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat
sehingga masyarakat dapat terhindar dari salah guna obat (drug misuse). Salah guna
obat adalah penggunaan bermacam-macam obat tetapi efeknya tidak sesuai, tidak
rasional, tidak tepat dan tidak efektif. bahaya salah guna obat antara lain
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, pengeluaran obat menjadi lebih
banyak atau pemborosan, tidak bermanfaat atau menimbulkan ketagihan.(Depkes RI
(a), 2006)
Berdasarkan pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas tahun 2006.
Cara pemilihan obat perlu diperhatikan :
-
32
1. Gejala atau keluhan penyakit
2. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes mellitus
dan lain-lain.
3. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu.
4. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping dan
interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat.
5. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksi obat
dengan obat yang sedang diminum.
6. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap, tanyakan
kepada Apoteker.
Berdasarkan pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas, hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam cara penggunaan obat yaitu
1. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus.
2. penggunakan obat harus sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau
brosur.
3. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan
penggunaan dapat dihentikan dan ditanyakan kepada Apoteker dan dokter.
4. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama.
5. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap tanyakan
kepada Apoteker.
Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan pengobatan.
Oleh karena itu pasien harus mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat
yang benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti obat oral, obat tetes mata,
salep mata, obat tetes hidung, obat semprot hidung, tetes telinga, suppositoria dan
krim/salep rektal dan tablet vagina.
Berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, cara penggunaan
obat oral sesuai dengan petunjuk :
1. Minum obat dengan segelas air
-
33
2. Ikuti petunjuk dari profesi pelayanan kesehatan (saat makan atau saat perut
kosong)
3. Obat untuk kerja diperlama (long acting) harus ditelan seluruhnya. Tidak
boleh dipecah atau dikunyah
4. Untuk sediaan cair, digunakan sendok obat atau alat lain yang telah diberi
ukuran untuk ketepatan dosis. Jangan gunakan sendok rumah tangga
5. Jika penderita sulit menelan sediaan obat yang dianjurkan oleh dokter minta
bentuk sediaan lain
Petunuk pemakaian obat oral untuk bayi/anak balita :
1. Sediaan cair untuk bayi dan balita harus jelas dosisnya, gunakan sendok takar
dalam kemasan obatnya
2. Segera berikan minuman yang disukai anak setelah pemberian obat yang tidak
enak/ pahit
Petunjuk pemakaian obat tetes mata
1. Ujung alat penetes jangan tersentuh oleh benda apapun (termasuk mata) dan
selalu ditutup rapat setelah digunakan
2. Untuk glaucoma atau inflamasi, petunjuk penggunaan yang tertera pada
kemasan harus diikuti dengan benar
3. Cara penggunaan obat tetes mata meliputi :
-
34
a. Tangan dicuci bersih
b. Kepala ditengadahkan
c. dengan jari telunjuk, kelopak mata bagian bawah ditarik kebawah untuk
membuka kantung konjungtiva, obat diteteskan pada kantung konjungtiva
dan mata ditutup selama 1-2 menit, jangan mengedip
d. ujung mata dekat hidung ditekan selama 1-2 menit
e. tangan dicuci untuk menghilangkan obat yang mungkin terpapar pada
tangan
Petunjuk pemakaian obat salep mata
1. Ujung tube salep jangan tersentuh oleh benda apapun (termasuk mata)
2. Cara penggunaan obat salep mata yaitu
a. Tangan dicuci bersih
b. Kepala ditengadahkan
c. dengan jari telunjuk, kelopak mata bagian bawah ditarik
kebawah untuk membuka kantung konjungtiva, tube salep mata
ditekan hingga salep masuk dalam kantung konjungtiva dan
mata ditutup selama 1-2 menit. Mata digerakan ke kiri-kanan,
atas-bawah. ujung mata dekat hidung ditekan selama 1-2 menit
d. setelah digunakan, ujung kemasan salep diusap dengan tissue
bersih (jangan dicuci dengan air hangat) dan wadah salep
ditutup rapat
e. tangan dicuci untuk menghilangkan obat yang mungkin
terpapar pada tangan
Petunjuk pemakaian obat tetes hidung
1. hidung dibersihkan dan kepala ditengadahkan bila penggunaan obat
dilakuakan sambil berdiri dan duduk atau penderita cukup berbaring
saja
2. kemudian teteskan obat pada lubang hidung dan biarkan selama
beberapa menit agar obat dapat tersebar dalam hidung.
-
35
3. untuk posisi duduk, kepala ditarik dan ditempatkan diantara dua paha
4. setelah digunakan, alat penetes dibersihkan dengan air panas dan
keringkan dengan tissue bersih
Petunjuk pemakaian obat semprot hidung
1. hidung dibersihkan dan kepala tetap tegak. Kemudian obat
disemprotkan kedalam lubang hidung sambil menarik napas dengan
cepat
2. untuk posisi duduk, kepala ditarik dan ditempatkan diantara dua paha
3. setelah digunakan, botol alat semprot dicuci dengan air hangat tetapi
jangan sampai air masuk kedalam botol kemudian dikeringkan dengan
tissue bersih
Pemakaian Obat tetes telinga
1. ujung alat penetes jangan menyentuh benda apapun termasuk telinga
2. cuci tangan sebelum menggunakan obat tetes telinga
3. bersihkan bagian luar telinga dengan cotton bud/kapas bertangkai
pembersih telinga
4. jika sediaan berupa suspense, sediaan harus dikocok terlebih dahulu
5. cara penggunaan :
a. penderita berbaring miring dengan telinga yang akan ditetesi obat
menghadap keatas. Untuk membuat lubang telinga lurus sehingga
-
36
mudah ditetesi maka bagi penderita dewasa daun telinga ditarik ke
atas dan ke belakang. Sedangkan bagi anak-anak telinga ditarik ke
bawah dan kebelakang.
b. Kemudian obat diteteskan dan dibiarkan selama 5 menit
c. Bersihkan ujung penetes dengan tissue bersih
Petunjuk Pemakaian Obat Supositoria
1. Cuci tangan, suppositoria dikeluarkan dari kemasan, suppositoria dibasahi
dengan air
2. Penderita berbaring dengan posisi miring dan suppositoria dimasukan kedalam
rectum
3. Penderita berbaring dengan posisi miring, dan suppositoria dimasukan ke
dalam rectum
4. Masukan suppositoria dengan cara bagian ujung suppositoria didorong dengan
ujung jari sampai melewati otot sfingter rectal; kira-kira - 1 inchi pada bayi
dan 1 inchi pada dewasa
5. Jika supositoria terlalu lembek untuk dapat dimasukan, maka sebelum
digunakan sediaan ditempatkan dalam lemari pendingin selama 30 menit
kemudian tempatkan pada air mengalir sebelum kemasan dibuka
6. Setelah penggunaan suppositoria, tangan penderita dicuci bersih
-
37
Petunjuk pemakaian Obat Krim/ Salep Rektal
1. Bersihkan dan keringkan daerah rectal, kemudian masukan salep atau krim
secara perlahan kedalam rectal
2. Cara lain adalah dengan menggunakan aplikator. Caranya adalah aplikator
dihubungkan dengan wadah salep/krim yang sudah dibuka, kemudian
dimasukan kedalam rectum dan sediaan ditekan sehingga salep/krim keluar.
Buka aplikator dan cuci bersih dengan air hangat dan sabun
3. Setelah penggunaan, tangan penderita dicuci bersih
Petunjuk Pemakaian Obat vagina
1. Cuci tangan sebelum menggunakan obat dan gunakan aplikator sesuai dengan
petunjuk penggunaan yang tertera pada kemasan harus diikuti dengan benar
2. Jika penderita hamil, maka sebelum menggunakan obat sebaiknya
berkonsultasi terlebih dahulu dengan professional keperawatan kesehatan
3. Penderita berbaring dengan kedua kaki direnggangkan dan menggunakan
aplikator obat dimasukan kedalam vagina sejauh mungkin tanpa dipaksakan
dan biarkan selama beberapa waktu
4. Setelah penggunaan, aplikator dan tangan penderita dicuci bersih dengan
sabun dan air hangat
-
38
BAB 3
CONTOH KASUS
A. Prescribing Error
1. Tuan Hasan merupakan pasien yang terdaftar sebagai pasien Askes, dia melakukan
kunjungan rutin ke sebuah rumah sakit , pada kunjungan kali ini tn. Hasan menerima resep
dengan diagnosis dislipidemia, osteoartritis, hipertensi, gerd, cpod dan neuropati. Tn. Hasan
menerima obat-obatan sebagai berikut:
R/ Glucosamin 500 3x1 90
Nifedipine 2x1 60
Meloxicam 15 mg 1x1 30
Lansoprazole 30 mg 1x1 7
Neurodex 3x1 90
OBH Syrup 2x1 1
Dexanta 3x1 21
Dalam resep tersebut pasien menerima pengobatan yang tidak sesuai dengan diagnosa yaitu
OBH syrup yang seharusnya tidak perlu diberikan. Terdapat pula pengobatan ganda untuk
diagnosis gerd, yaitu lansoprazole (PPI) dan dexanta (antasida).
2. Seorang wanita kulit putih (70 th) yang sedang mendapatkan terapi jangka
panjang dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi untuk asma didiagnosis
mengalami infeksi jamur Scedosporium apiospermum pada kulit dan jaringan
subkutan. Untuk itu, dia mendapat pengobatan dengan itrakonazol untuk 2
bulan.Ia kemudian mengalami Cushing's syndrome yang diduga karena
interaksi antara itrakonazol and budesonid yang diperantarai oleh cytochrome
P450. Dia juga mengalami adrenal insufficiency sekunder yang membutuhkan
pengobatan jangka panjang dengan penggantian hidrokortison. Budesonide
adalah glukokortikoid poten yang dimetabolisir di hati oleh isoenzim cyp 3A
4. Itraconazole adalah inhibitor poten citokrom p450. Obat ini dapat
menghambat metabolism kortikosteroid inhalasi atau oral, menyebabkan
kelebihan kortisol yang lebih lanjut menyebabkan terjadinya Cushings
syndrome dan adrenal insufficiency. Dari analisis diduga kejadian tersebut
disebabkan oleh interaksi itraconazole dan budesonide.
-
39
B. Transcription Error
1. Sebagai seorang staf perawat, Lisa ditugaskan untuk pasien yang telah
menerima opioid melalui kateter epidural selama operasi baru-baru ini.
Pasiennya telah kembali dari departemen post-anestesi dengan laju pernapasan
rendah secara periodik disertai oleh denyut nadi normal dan tekanan darah
(BP) yang lebih rendah. Narcan diperintahkan PRN diberikan dalam dosis 0,2
mg intravena (IV) dengan laju pernapasan pasien jatuh di bawah 10. Lisa
melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pada pasiennya setiap 30 menit
setelah ia kembali ke unit bedah. Sekembalinya, dia menilai tingkat
pernapasan 8, denyut nadi 50, dan BP 88/60. Menurut perintah dokter, ia
menyiapkan dosis IV Narcan untuk membawa tanda-tanda vital pasien hingga
parameter yang sesuai dengan pasien yang ditinggalkan oleh anestesi.
Setelah Lisa disuntikkan obat ke port IV, ia segera mulai menyusun
obat yang dia berikan. Secara terkejut dia melihat vial kosong di tangannya.
Itu berlabel "2 miligram per 1 mililiter (ml)" dan dia baru saja menyuntikkan
vial 1 ml keseluruhan. Dia segera melaporkan kesalahan kepada perawat
muatan dan segera kembali ke pasiennya. Dalam beberapa menit, pasien
mengeluhkan mual. Lisa segera mengambil tanda-tanda vitalnya lagi, untuk
menemukan bahwa respirasinya, denyut nadi dan BP telah kembali normal,
dan pasiennya jauh lebih waspada daripada sebelumnya. Kemudian Lisa
ditugaskan dokter yang hadir dan anestesi untuk melaporkan kesalahan dan
kondisi pasien sekarang. Mereka berdua menyuruh Lisa untuk memperhatikan
pasien secara seksama, menyatakan bahwa hal itu mungkin apa yang pasien
butuhkan.
Lisa menjadi tenang, namun kesalahannya hampir menguasai
kemampuannya untuk menyelesaikan shift. Dia tahu bahwa, ia telah
memberikan 10 kali dosis IV normal obat lainnya, konsekuensinya pasien
akan semakin parah dan kemungkinan dipindahkan ke Intensive Care Unit
dengan kematian berikutnya menjadi kemungkinan nyata.
Lisa mengisi laporan insiden seperti yang dipersyaratkan dan pulang
ke rumah. Dia tetap mampu berdiri sampai ia berjalan di pintu rumah, tetapi
suaminya bertanya tentang hari ini dan dia meneteskan air mata dan menuju
-
40
ke kamar tidur. Dia tidak bisa berhenti memikirkan betapa mudahnya dia bisa
"membunuh pasiennya."
2. Seorang pria 73 tahun dengan aritmia jantung yang lama datang ke klinik
rawat jalan untuk pemeriksaan rutin. Setelah evaluasi, ia menerima resep
tulisan tangan untuk Rythmol (propafenone), 150 mg, yang telah menjadi obat
antiaritmia biasanya selama 3 tahun terakhir. Pasien menghantarkan resep ke
klinik farmasi. Tak lama setelah mulai minum obat, pasien mulai merasa
"sangat, sangat buruk," dengan mual, berkeringat, dan detak jantung yang
tidak teratur. Gejala ini berlangsung selama 2 minggu, dan pasien dipanggil
dokter untuk menjadwalkan janji selanjutnya. Pasien membawa obat ke
dokternya, yang menyatakan bahwa tablet Rythmol tampak berbeda dari
penampilan mereka biasa.
Setelah penyelidikan, dokter mengidentifikasi obat pasien sebagai
Synthroid (levothyroxine), 150 mcg, bukan dimaksudkan Rythmol
(propafenone), 150 mg. Ketika dokter berbicara dengan apoteker yang telah
mengisi resep, menjadi jelas bahwa kesalahan pengobatan pengeluaran telah
terjadi karena tulisan tangan tidak jelas pada resep asli. Gejala-gejala pasien
mual, berkeringat, dan detak jantung tidak teratur yang terkait dengan kedua
penghentian sengaja, tiba-tiba dari Rythmol dan penggunaan yang tidak perlu
Synthroid pada dosis awal yang relatif tinggi. Synthroid segera dihentikan,
dan pasien kembali menggunakan Rythmol seperti resep aslinya.
C. Administration Error
1. Resep obat larutan KCl oral dipersiapkan dalam jarum suntik untuk
diberikan kepada pasien melalui selang nasogastrik. Pengobatan intavena juga
dipersiapkan dalam bentuk jarum suntik dan dibawa ke sisi tempat tidur pasien
dalam piringan (nampan) yang sama. Dua orang perawat mempersiapkan dan
memeriksa obat untuk pasien ini. Perawat kedua dipanggil. Perawat yang
lainnya mendatangi pasien dan mulai memberikan KCl oral yang seharusnya
diberikan melalui selang nasogastrik, namun diberikan melalui intravena.
Akibatnya pasien memerlukan perawatan intensif dan menghabiskan lima hari
di unit perawatan intensif.
-
41
2. Seorang pasien pria tua menjalani operasi jantung dan baru saja pulih dari
anestesia di bagian perawatan intensif pascaoperasi kardiak. Dia menunjukkan
tanda-tanda pemulihan, dan penyapihan dari ventilator mulai diperlambat.
Laporan menunjukkan bahwa terjadi asidosis metabolik ringan karena
hipotermia. Sodium bikarbonat diberikan diberikan secara intravena secara
perlahan. Beberapa detik setelah injeksi, pasien mengalami bradikardi diikuti
oleh penghentian kardiak. Resusitasi kardiak dilakukan segera sesuai dengan
protokol standar. Pasien berhasil dibangkitkan kembali dengan injeksi bolus
adrenalin, kalsium, sodium bikarbonat.
Analisis akar masalah dilakukan oleh seorang konsultan sementara
proses resusitasi kardiak berjalan. Mereka terkejut menemukan 5 ampul
potasium klorida yang rusak tergeletak pada meja pengobatan pasien.
Ternyata pasien diberikan 50 mL (100 mEq) potasium klorida dan bukan 50
mL (50 mEq) sodium bikarbonat untuk mengatasi asidosisnya. Hal ini terjadi
karena warna label yang sama antara sodium bikarbonat dan potasium klorida.
Kedua obat tersebut tersedia dalam ampul dari perusahaan farmasi yang sama
dan keduanya dengan volume 10 mL dengan warna label merah. Selain itu,
kedua obat tersebut disimpan dalam rak yang sama dan bersebelahan.
Penggunaan ukuran/volume ampul yang berbeda (misal : 25 mL ampul
sodium bikarbonat 7,5% dan 10 mL ampul potasium klorida 2 mEq/mL) yang
disimpan pada tempat berbeda dapat mencegah kejadian medication error
akibat look-alike ini.
D. Dispensing Error
1. Pada tahun 1998, seorang apoteker di Inggris dipenjara selama 18 bulan
karena telah melakukan kesalahan pemberian obat kepada seorang pasien.
Carmel Sheller, seorang wanita berusia 72 tahun memiliki beberapa penyakit
kronis datang ke sebuah apotek dengan resep prednisolon pada bulan
September 2007. Kemudian , seorang apoteker melakukan kesalahan dengan
memberikan obat propanolol. Efek samping dari obat propanolol adalah
menurunkan denyut jantung, sedangkan Ny. Carmel Sheller memiliki denyut
jantung yang lemah, kemudian Ny. Carmel Sheller collapse setelah minum
obat tersebut dan meninggal dunia tiga hari kemudian.
-
42
2. Seorang wanita berusia 63 tahun dirujuk ke bagian endokrinologi karena
diduga mengalami insulinoma. 10 hari sebelumnya pasien dibawa ke UGD di
rumah sakit setempat karena tiba-tiba mengalami kebingungan, agitasi, dan
berkeringat pada malam hari. Tingkat glukosa darah pasien adalah 1,1 mmol/L
pada uji pertama, dan 2,2 mmol/L pada uji berikutnya. Kemudian semua
gejala segera hilang setelah beberapa menit diberikan infus glukosa. Diketahui
bahwa obat yang dikonsumsi oleh pasien sebelumnya adalah furosemid (40
mg per hari), triamteren (50 mg per hari), amiodaron (200 mg, empat kali per
hari selama seminggu sebelumnya), dan lorazepam (1 mg pada waktu tidur).
Dua hari kemudian ditemukan bahwa tablet lorazepam yang dibawa oeh
pasien ternyata merupakan tablet glyburide.
-
43
DAFTAR PUSTAKA
American Society of Hospital Pharmacists. (1993). ASHP guidelines on preventing
medication errors in hospitals. Am J Hosp Pharm. ; 50:30514.
Aronson, J. K. (2009). Medication Errors: Definitions and Classification. Br. J. Clin.
Pharmacol 67:6. Hal. 599-604.
Catellier, Claude R., et al. Drug-dispensing errors : one more case. Endocrinology
Service Center Hospitalier de IUniversite Laval Sainte-Foy, Que. Can Med
Assoc. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1488521/. 12 September
2012, pkl 08.30
Cohen, M.R. (1991). Causes of Medication Error, in: Cohen. M.R., (Ed), Medication
Error, Washington, DC: American Pharmaceutical Association. Dalam:
Hartayu, Titien Siwi & Widayati Aris. (2005). Kajian Kelengkapan Resep
Pediatri Yang Berpotensi Menimbulkan Medication Error Di 2 Rumah Sakit
Dan 10 Apotek Di Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma.
Departemen Kesehatan RI. (2008). Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan
Pasien (Pasien Safety). Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik dan Direktorat Jendaral
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas
Terbatas. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik dan
Direktorat Jendaral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen
Kesehatan RI.
-
44
Fowler, S.B., Sohler,Patricia., & Zarillo,D.F., et al. 2009. Bar Code Technology for
Medication Administration: Medication Errors and Nurse Satisfaction.
MEDSURG NursingMarch/April 2009: Vol. 18 (2). Proquest Database.
Gonzalez, F., Herce, J. L., dan Moraleda, C. (2009). A child presenting with acute
renal failure secondary to a high dose of indomethacin: a case report. Journal
of Medical CaseReports, 3:47.
Guwandi, J. (2005). Medical Error dan Hukum Medis. Fakultas Kedokteran UI:
Jakarta
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1197/MENKES/SK/X/2004
tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention
Medication Error. http://www.nccmerp.org/aboutMedErrors.html. 15 Oktober
2011,pkl 22.30.
Pinzon,R. (2007). Peran Teknologi Informasi untuk Meningkatkan Keamanan
Pengobatan di Rumah Sakit: Seminar Nasional Teknologi, 24 November
2007. Yogyakarta 2007: (SNT 2007) ISSN : 1978 9777.
Purba, A.V., Soleha, M., dan Sari, I.D. (2007). Kesalahan Dalam Pelayanan Obat
(Medication Error) dan Usaha Pencegahannya. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan. Vol. 10: 31-36
Shah, H. D. dan Shah, M. (2011). A case of look-alike medication errors. Indian J.
Pharmacol. ; 43(4): 482483.
Williams. (2007). Medication Error. R Coll Physicians Edinb. Vol 37: 343346.
-
45