10413244035pemimpin Non Formal Yang Disegani Masyarakat Madura
Click here to load reader
-
Upload
gama-muazzam -
Category
Documents
-
view
64 -
download
7
Transcript of 10413244035pemimpin Non Formal Yang Disegani Masyarakat Madura
PEMIMPIN NON FORMAL YANG DISEGANI MASYARAKAT
MADURA
(KIAI DAN BLATER)
Prabane Satya Gama Eka Nugraha Putra
10413244035
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang
Abstract
Orang Madura, sebagaimana suku bangsa Indonesia yang lain, mereka dapat
ditemukan di berbagai wilayah di tanah air, karena mereka suka mengembara. Jiwa merantau
dan karena memang desakan ekonomilah yang mengakibatkan orang Madura terdapat
diberbagai wilayah tanah air. Suku yang juga suka mengembara yang ada di Indonesia adalah
Suku Minangkabau, Suku Batak, termasuk juga Suku Jawa khususnya orang-orang dari
daerah Wonosari dan Wonogiri. Pada umumnya alasan desakan ekonomi dan faktor
kelangkaan sumber daya alam, yang mendorong orang-orang dari berbagai suku bangsa ini
harus tinggal di tempat perantauan.
Demikian juga orang-orang Madura meninggalkan kampung halamannya karena
keinginan untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonominya, mengingat juga kondisi daerah
di Madura yang sumber daya alamnya sangat minim. Pekerjaan yang sering digeluti orang
Madura di perantauan lebih mendominasi di sektor swasta dan jasa. Dibanding suku bangsa
lainnya, masih sedikit orang Madura yang berhasil menduduki pimpinan di level nasional.
Kurang berhasilnya orang Madura menjadi pimpinan di level nasional lebih disebabkan
karena terbatasnya aset yang dimiliki daerah (sumber daya ekonomi yang kurang dan
jaringan infra strukturnya yang masih terbatas) dan kesempatan yang terbatas untuk
mengakses kekuasaan, sehingga orang Madura kalah bersaing dengan suku bangsa lainnya di
Indonesia.
Dari sisi kehidupan keagamaan, orang Madura lebih menghormati lembaga agama
dan ulama dibandingkan dengan lembaga negara dan aparatnya, mereka lebih percaya kepada
kata-kata seorang ustad atau percaya pada omongan preman sekalipun daripada percaya
dengan pemerintah atau kepemimpinan formal seperti Camat, Lurah, Rw, Rt. Di Madura
masjid merupakan tempat yang paling mudah dijumpai, dalam menjalankan akidah agama
membutuhkan adanya tempat sholat berjamaah bersama. Masjid menjadi tempat bertemunya
unit sosial yang terkondisikan.
Disini peran tokoh agama tidak saja sebagai pembimbing dan penuntun ajaran-ajaran
agama, melainkan juga berperan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Akidah-akidah
agama islam diajarkan di masjid, madrasah, kelompok pengajian, kelompok tahlilan, bahkan
setiap ada pertemuan warga atau oleh penduduk setempat disebut selapanan sebuah istilah
yang dipakai orang Jawa untuk menyebut acara pertemuan warga yang menggunakan
hitungan 36 hari sekali, dan itu selalu dihadiri tokoh agama.
Pendahuluan
Masyarakat Madura dengan segala kompleksitas budaya dan dinamika kehidupan
masyarakatnya memang menarik untuk dikaji. Seperti kita tahu, penduduk Madura mayoritas
memeluk Islam. Kenyataan ini kemudian menempatkan tokoh agama (kiai) pada posisi yang
sangat penting dan sentral di tengah masyarakat. Bahkan, bagi masyarakat Madura, kiai
dipandang tidak hanya sebagai subyek yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga
sebagai subyek yang mempunyai kekuatan linuwih. Itu sebabnya, ia juga berperan sebagai
tabib, yang dimintai mantra atau jimat dalam segala urusan dan tempat belajar ilmu
kanuragan.
Adapun struktur ekologis wilayahnya yang tandus dan tidak produktif telah
menyebabkan masyarakatnya mengalami kemiskinan sosial-ekonomi. Di samping memang
adanya pengalaman masyarakat Madura di masa kapitalisme kolonial yang mengalami proses
eksploitasi dan dehumanisasi. Kenyataan ini melahirkan perilaku kriminal di tengah
masyarakat. Di sinilah blater muncul. Dalam konsepsi masyarakat Madura, blater adalah
orang yang memiliki kemampuan olah kanuragan, dan kekuatan magis yang (biasanya)
mereka digunakan dalam tindak kriminal. Bagi masyarakat Madura sendiri, ada dua
pandangan mengenai sosok blater ini. Ada blater yang memberikan perlindungan
keselamatan secara fisik kepada masyarakat, berperilaku sopan dan tidak sombong. Namun,
ada juga blater yang disebut "bajingan" karena tidak menjalankan peran sosial yang baik di
masyarakat.Sejarah timbulnya kepemimpinan, sejak nenek moyang dahulu kala, kerjasama
dan saling melindungi telah muncul bersama-sama dengan peradapan manusia. Begitu juga
dengan sistem kepemimpinan non formal di Madura, sistem kepemimpinan ini terbentuk
dengan karena ada rasa yang saling mengikat diantara keduanya. Kerjasama tersebut muncul
pada tata kehidupan sosial masyarakat atau kelompok-kelompok manusia di Madura dalam
rangka untuk mempertahankan hidupnya. Berangkat dari kebutuhan bersama tersebut, terjadi
kerjasama antar manusia dan mulai unsur-unsur kepemimpinan. Orang yang ditunjuk sebagai
pemimpin dari kelompok tersebut ialah orang-orang yang paling kuat dan pemberani,
sehingga ada aturan yang disepakati secara bersama-sama misalnya seorang pemimpin harus
lahir dari keturunan bangsawan, sehat, kuat, berani, ulet, pandai, mempunyai pengaruh dan
lain-lain. Hingga sampai sekarang seorang pemimpin harus memiliki syarat-syarat yang tidak
ringan, karena pemimpin sebagai ujung tombak kelompok.
Memang istilah blater hanya popluer di Madura bagian barat (Bangkalan dan
Sampang). Sedangkan di Madura bagian timur (Pamekasan dan Sumenep) lebih populer
dengan sebutan bajingan. Potret bajingan lebih kental bermain pada dunia hitam dan
memiliki perangai yang kasar dan keras. Sedangkan blater sekalipun dekat dengan kultur
kekerasan dan dunia hitam, namun perangai yang dibangun lebih lembut, halus dan memiliki
keadaban. Di kalangan mereka sendiri dalam mempersepsikan diri, blater adalah bajingan
yang sudah naik kelas atau naik tingkat sosialnya.
Pembahasan
Karakteristik Orang Madura
Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah utara Jawa Timur dan luasnya 5.250
km². Secara administrasi, Madura menjadi wilayah Propinsi Jawa Timur yang dibagi menjadi empat
kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Pulau Madura juga
dikelilingi pulau-pulau yang lebih kecil yaitu Pulau Kambing, Gili Raja, Genteng, Puteran, Iyang,
Sapudi, dan Raas. Mengenai jumlah penduduk tidak ada data yang pasti. Pada tahun 2009,
penduduknya diperkirakan 19 juta jiwa, yang menyebar di Pulau Madura sendiri dan sebagian
ada yang tinggal di sebelah timur Jawa Timur, mulai dari Pasuruhan sampai utara Banyuwangi.
Pulau ini terkenal sebagai pemasok garam nasional bagi Indonesia.
Oleh Geertz (1983: 12), Pulau Madura dikategorikan sebagai „Indonesia Luar‟, berbeda
dengan Pulau Jawa yang dikategorikan sebagai „Indonesia Dalam‟. Keduanya dibedakan dari sudut
ekologi, di mana Madura sebagai masyarakat yang berbasis tegalan, sedangkan Jawa sebagai
masyarakat yang berbasis ekologi sawah. Ciri-ciri ekologi tegalan adalah: tanaman hidupnya
sangat tergantung pada curah hujan, varietas tanaman lebih banyak meskipun produktivitasnya
rendah, dan resiko gagal panen lebih besar karena faktor musim yang tidak menentu.
Di Madura yang berkembang pertanian tegalan, dengan ditanami tanaman jagung dan
tembakau. Hasil pertaniannya sangat sedikit dan tidak memadai. Sebagai perbandingan,
hasil jagung di Madura untuk satu bahu (0,25 Ha) menghasilkan 5 pikul jagung, sedangkan di
Jawa bisa menghasilkan 12,5 pikul jagung. Itupun kalau tanaman jagung dapat dipanen, kalau
tidak, tanaman jagung (Jawa: tebon) hanyalah cukup untuk pakan ternak. Banyak petani
memelihara ternak khususnya sapi, dengan harapman dapat memanfaatkan hasil pertanian yang
gagal. Bagi petani Madura, ternak dianggap sebagai investasi, ketika musim paceklik tiba
mak ternak dapat dijual untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup.
Tokoh Informal Di Madura
Mengenai tokoh informal di Madura, sebagian besar para akademisi selalu memiliki
kesimpulan yang tunggal, yakni para kiai atau tokoh agamalah yang memiliki pengaruh
dominan sebagai informal leader di Madura. Kesimpulan itu memang tidak salah, namun
tidak cukup lengkap.
Bagi orang Madura sendiri bukan hal yang baru-bahwa tidak hanya kiai yang menjadi
bagian penting bagi elite masyarakat pedesaan, informal leader yang signifikan, tapi juga para
blater. Blater adalah elite pedesaan yang memiliki social origin dan tradisi yang berbeda
dengan kultur kiai. Bila kiai dibesarkan di dalam kultur keagamaan, sedangkan blater
dibesarkan dalam kultur jagoanisme, dekat dengan ritus kekerasan. Bila kiai dekat dengan
tradisi tahlilan dan pengajian, maka blater dengan dengan tradisi sandur, remoh dan kerapan
sapi.(Rozaki:2004).
Memang istilah blater hanya populer di Madura bagian barat (Bangkalan dan
Sampang). Sedangkan di Madura bagian timur (Pamekasan dan Sumenep) lebih populer
dengan sebutan bajingan. Dari sekian banyak elite jagoan yang saya wawancarai, kesimpulan
yang dapat dipetik, ternyata ada tingkatan dan kelas tersendiri yang membedakan pengertian
bajingan dengan blater. Potret bajingan lebih kental bermain pada dunia hitam dan memiliki
perangai yang kasar dan keras. Sedangkan blater sekalipun dekat dengan kultur kekerasan
dan dunia hitam, namun perangai yang dibangun lebih lembut, halus dan memiliki keadaban.
Di kalangan mereka sendiri dalam mempersepsikan diri, blater adalah bajingan yang sudah
naik kelas atau naik tingkat sosialnya.
Untuk menyebut pemimpin selain kiai, saya lebih senang mempopulerkan istilah blater
dibandingkan bajingan. Bahasa blater adalah khas Madura yang tidak ditemukan di berbagai
daerah lainnya bila menyebut sosok istilah jagoan. Bila di Banten ada jawara, Betawi ada
jagoan, maka di Madura ada blater. Sedangkan istilah bajingan hampir ditemukan di banyak
tempat, khususnya di Jawa.
Proses waktu memberikan gambaran pada kita bahwasannya komunitas blater sudah
menjadi fakta sosial (social fact) yang tidak dapat dibantah. Sekalipun Islam mendominasi
percaturan sosial politik, ekonomi, dan budaya di Madura, tetapi dalam perkembangan Islam
di masyarakat kenyataannya tidak saja melahirkan elite kiai semata, namun tumbuh kultur
lain yang selalu beririsan antara dialektika Islam dan adat atau kebiasaan lokal yang
embrionya tumbuh sebelum Islam populer di Madura. Tradisi carok dan kerapan sapi
embrionya sebenarnya berasal dari kultur adat atau tradisi lokal Madura. Kedua tradisi ini
sampai saat ini kalau dikritisi menjelaskan masih adanya ketegangan simbolik antara kultur
Islam dengan kebiasaan lokal. Namun, ketegangan ini diselesaikan dengan secara “sinkretis”,
yakni keduanya diakomodasi sebagai nilai kemaduraan.
Sudah waktunya kini orang Madura merefleksikan ulang, carok yang seperti apakah
yang ‟islami‟ dan ‟kafiri‟ agar tidak terjadi gebyah uyah seolah membunuh orang itu
dilegalisasi oleh adat dan tradisi bahkan Islam. Terlebih kalau didialogkan dengan hukum
bernegara di Indonesia.
Ranah Sosial Kiai dan Blater
Melihat perkembangan sosial budaya peran kiai dan blater ini menarik untuk terus
dicermati. Bila kiai di masa lalu sebatas menjadi elite di masyarakat pedesaan, untuk konteks
Madura pasca reformasi, kini kiai juga menjadi bagian penting dari elite perkotaan, karena
posisi kekuasaan formal yang kini disandangnya. Banyak kiai yang duduk di jabatan formal,
baik sebagai bupati dan anggota dewan. Jadi dalam perkembangan sekarang, ada dua pilah
kiai, yakni mereka yang benar-benar murni sebagai informal leader. Meminjam istilah terbaru
Gus Dur, yakni kiai kampung. Kiai kampung adalah kiai yang sangat dekat dengan aktifitas
keseharian rakyat, jauh dari politik kekuasaan. Sedangkan kiai politik menempel di
kekuasaan.
Peran kiai politik sebagai informal leader bergeser menjadi pemimpin formal (formal
leader). Kiai kampung konsisten berada di jalur kultural sedangkan kiai politik berada di jalur
struktural. Perkembangan ini sebenarnya sesuatu yang wajar saja dalam alam berdemokrasi.
Permasalahannya adalah bila kiai politik ini gagal menjalankan politik pemerintahan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka akankah nasib komunitas kiai akan serupa
dengan nasib para kaum priyayi di Madura yang mengalami kebangkrutan kultural dan
struktural menjelang akhir abad 19? (Mansoornor:1995). Saat itu kaum priyayi memegang
kendali kekuasaan formal di Madura, birokrasi dikuasai dan dikendalikan para priyayi. Tapi
jabatan yang diemban tidak untuk membuat masyarakat sejahtera malah sengsara sehingga
rakyat lebih cinta pada kiai yang posisinya kala itu sebagai informal leader. Sejarah akan
menguji akankah nasib kiai akan sama dengan para priyayi? Para kialah yang dapat
menjawabnya.
Lalu bagaimana dengan komunitas blater? Kaum blater masih dominan di posisi
sebagai elite pedesaan, belum merangkak secara cepat layaknya kiai yang begitu eksis dan
tampil dominan sebagai elite perkotaan. Blater sebagai orang kuat di desa masih tampil cukup
dominan. Di pedesaan, komunitas blater masih memainkan peran sebagai broker keamanan
dalam interaksi ekonomi dan sosial politik. Selain itu, tak sedikit yang bermain di dua kaki,
selain sebagai broker keamanan juga sebagai tokoh formal, yakni menjadi state apparatus
dengan cara menjadi klebun (kepala desa). Di banyak tempat di pedesaan Madura, tak sedikit
klebun desa berasal dari komunitas blater atau dipegaruhi oleh politik perblateran.
Analisis
Krisis kepemimpinan di Madura mulai tampak kepermukaan. Disaat desentralisas dan
otonomi daerah mulai masuk ke Madura yang orientasinya mendekatkan negara terhadap
masyarakatnya melalui kebijakan pemerintahan yang partisipatif, akomodatif terhadap
aspirasi masyarakat sehingga kebijakan daerah berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Pendapatan ekonomi masyarakat meningkat, setidaknya untuk perekonomian
sudah tidak morat marit lagi seperti saat era reformasi. Akses pendidikan, kesehatan,
perumahan dan pekerjaan menjadi semakin mudah dan murah, tetapi itu hanya di kota saja, di
daerah pelosok masih susah untuk mengakses, akses publik tersebut.
Ada kecenderungan praktek desentralisasi dan otonomi daerah justru semakin
meningkatkan beban dan biaya hidup masyarakat. Kebutuhan pokok terus meningkat naik
tanpa disertai pendapatan rakyat yang meningkat pula. Berbeda balik dengan para pejabat
formal yang terus menaik pendapatannya. Kini ada jurang yang semakin lebar antara
masyarakat dengan elitenya, baik pemimpin formalnya maupun pemimpin informal seperti
blater dan kiai.
Tujuan kepemimpinan mereka kini tak lagi berorietasi ke bawah, tapi terus ke atas
berharap akan mendapat hal yang berlebih untuk diri pribadinya, bukan mewujudkan impian
rakyatnya. Bila kondisi ini terus memburuk maka tidak menutup kemungkinan kepercayaan
masyarakat yang dulunya tinggi terhadap kiai secara perlahan akan melemah bahkan bisa saja
hilang. Kalau saja politik dan sosial ekonomi pemerintahan tidak lagi memihak dan
melindungi masyarakat, tokoh informal yang selama ini diandalkan tak lagi menemaninya.
Kemana lagi rakyat harus mencari pemimpin yang dapat mengayominya? Akankah „ratu adil‟
itu akan datang? Dan mana ratu adil itu akan berasal? Jawabannya ratu adil itu kini harus
dicari di dalam kalbu dan inisiatif rakyat sendiri untuk memulal langkah baru yang kritis,
inovatif mendorong perubahan ke arah yang lebih baik.
Kesimpulan
Kiai membangun relasi kuasa melalui proses kultural, yaitu melakukan islamisasi.
Beragam media kultural mereka ciptakan untuk membangun kesadaran keagamaan umat,
misalnya, membangun langgar, pondok pesantren, dan sekolah agama. Di sini awalnya kiai
melakukan transfer pengetahuan keagamaan, tetapi pada ujungnya menjadikan dirinya
sebagai kekuatan hegemoni dalam mengonstruk bangunan kognitif dan tindakan sosial
masyarakat.
Berbeda dengan kiai, dalam membangun kekuatan sosial, blater melakukannya
melalui praktik-praktik kriminal, seperti carok, sabung ayam, dan modus pencurian dan
perampokan. Blater yang sudah kembali hidup normal dalam masyarakat biasanya menjadi
penengah dan mediator yang baik dalam menyelesaikan konflik antaranggota masyarakat. Itu
sebabnya, ideologi sosial yang mereka bangun adalah membantu masyarakat. Dua kekuatan
ini, dalam konteks pembentukan karakter masyarakat Madura, perannya sangat terasa. Tradisi
blater, misalnya, telah membentuk karakter masyarakat Madura yang keras dalam membela
harga diri. Adapun kiai sangat kuat pengaruhnya dalam membangun suasana keagamaan.
Uniknya, dalam perkembangannya, dua kekuatan sosial itu ternyata saling rebut
dalam ruang-ruang sosial yang sangat luas dengan motif ekonomi dan politik. Dua kekuatan
itu bisa saling berebut dominasi, misalnya dalam kasus pemilihan kepala desa, pemilihan
bupati, aktivitas di sekolah agama, dan bahkan politisasi nama karismatik almarhum Kiai
Kholil. Semua itu terjadi tidak lain untuk meraup keuntungan dan kepentingan mereka
masing-masing, baik secara ekonomi maupun politik.
Fenomena ini memberikan penjelasan kepada kita betapa kekuatan karisma demikian
signifikan di tengah masyarakat Madura. Di tengah motif sosial, ekonomi, dan politik,
kekuatan karisma dari dua kekuatan sosial itu saling berebut dominasi dan kekuasaan di
dalam masyarakat. Akhirnya sosok kiai yang semestinya sebagai penjaga moralitas agama
bisa terjerembab pada kepentingan-kepentingan profan semata. Dan pada sisi lain, kekuatan
fisik, dan bahkan tindakan kriminal yang direpresentasikan oleh sosok blater, bisa saja
menjadi pembentuk karisma untuk memperoleh kekuasaan.
Sebenarnya ini merupakan sebuah masalah karisma, antara blater dan kiai yang
memang dilihat berbeda dari sudut pandang manapun. Keduanya memang dijadikan sosok
yang disegani oleh mayoritas masyarakat Madura, antara blater dan kiai sangat bertolak
belakang. Kehidupan sehari-hari masyarakat Madura memang sangat dekat dan kental
dengan agama islam, kehidupan mereka tidak bisa terlepas dari yang namanya masjid,
mushola atau pesantren. Karena itu merupakan tempat yang paling efektif untuk
bersosialisasi para ulama khususnya untuk berdakwah. Sebagai panutan masyarakat Ulama
atau kiai seharusnya mampu mengayomi mereka dalam hal akhirat maupun keduniawian.
Seorang blater sendiri kemudian lebih dikenal dalam hal carok. Carok merupakan
tradisi bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada
peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap
negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku Madura dalam
mempertahankan harga diri dan "keluar" dari masalah yang pelik.
Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran
agama meski suku Madura sendiri kental dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara
individual banyak yang masih memegang tradisi Carok.
Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti 'bertarung dengan
kehormatan'. Biasanya, "carok" merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat
suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut
masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian
besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga).
Daftar Pustaka
Air Tawar Mahwi. 2010. Mata Blater.Yogyakarta. Mata Pena.
Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta; Penerbit P.T. Dian
Rakyat.
Rajab, Budi. Pluralisme Masyarakat Indonesia: Suatu Tinjauan Umum. Prisma, Juni 1996. Hlm. 3-14.
Rozaki Abdur. 2004. Menabur Kharisma Menuai Kuasa, Kiprah Kiai dan Blater sebagai
Rezim Kembar di Madura. Yogyakarta. Pustaka Marwa.
http://rukib.wordpress.com/peran-kiai. di akses tanggal 12 Juni 2013 pukul: 10.30