100406033 - Wahyu Ardhiningtika
-
Upload
abdul-joshua-oh-mandai -
Category
Documents
-
view
63 -
download
4
Transcript of 100406033 - Wahyu Ardhiningtika
Ujian Tengah Semester
Perencanaan Kota
“Studi Kasus Penerapan Satu Unsur Perencanaan Kota”
Wahyu Ardhiningtika
100406033
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
MEDAN
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca. Adapun judulnya yaitu : “Studi Kasus
Penerapan Satu Unsur Perencanaan Kota”
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat memenuhi salah satu kewajiban
mahasiswa yakni ujian tengah semester lima.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, Oleh
kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.
Medan, 1 November 2012
Bab I
Pendahuluan
Perencanaan kota merupakan proses penyusunan rencana tata ruang kota,
yang didalamnya terkandung arahan penataan ruang kota. Pada mulanya,
kegiatan perencanaan dilakukan oleh orang-orang “pilihan” yang dianggap
mampu menerjemahkan visi dan keinginan manusia akan tata ruang yang
lebih baik, atau mereka yang sangat berduit untuk merealisasikan cita-cita
mereka mengenai masyarakat yang dianggap ideal.
Secara umum Perencanaan Kota adalah ruang yang dimana merupakan
wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya. Perencanaan kota adalah sebuah rencana pembangunan kota yang
dimana merencanakannya berdasarkan empat dasar yakni dasar fisik,
ekonomi, politik, dan sosial. Dasar fisik sebuah kota adalah wujud yang
kelihatan berupa bangunan-bangunan, jalan, taman, dan benda-benda lain
yang menciptakan bentuk kota tersebut. Dasar ekonomi sebuah kota
memberikan alasan bagi eksistensinya. Dasar politik sebuah kota sangat penting
bagi ketertiban. Dasar sosial sangat penting supaya kota ada artinya.
Seiring dengan modernsisasi tata ruang, kota tumbuh melewati batas yang
dapat ditoleransi oleh lingkungan perkotaan. Seiring dengan siklus perkotaan,
bagian pusat kota menjadi terbengkalai dan perlu direvitalisasi, sementara
bagian pinggiran merupakan kawasan yang baru terbangun dengan
“memakan” ruang terbuka hijaunya. Bentukan fisik kota mengalami
penyeragaman rupa dengan penonjolan indivualitas bangunan-bangunan.
Dalam hal ini, sesuatu yang megah ditunjukkan oleh ukuran gedung (luas dan
tinggi) maupun skala pelayanan. Dalam hal ini modernisasi tata ruang
merefleksikan keinginan manusia untuk menciptakan kebaharuan-kebaharuan
melalui penguasaan terhadap alam dan lingkungan.
Titik balik dimana manusia mulai meninggalkan yang tradisional dan mulai
memfokuskan kepada kebutuhannya secara personal mempengaruhi praktik
perencanaan. Dalam sejarahnya, perencanaan kota sendiri merupakan upaya
untuk memanipulasi ruang yang sudah ada agar manusia hidup nyaman dan
layak. Ilmu perencanaan sendiri, dalam pandangan saya, mengesahkan suatu
metode pemisahan manusia dan lingkungan (alam). Melalui objektivitas
berpikir dan rasio yang digunakannya, manusia merumuskan konsep dan
menciptakan teknologi serta standar yang semakin memperkuat
kecenderungan untuk memanipulasi lingkungan. Perencanaan kota menjadi
kurang pada aspek penonjolan terhadap subjektivitas pengamatan unsur-unsur
di dalam ruang, sehingga perencana sedikit memiliki sensitivitas dalam
pengamatan terhadap lingkungan. Pada titik ekstrem dari perencanaan
modern ini, muatan rencana pun mengalami standardisasi. Pedoman maupun
standar menjadi pegangan untuk menentukan isi, sedangkan aspek-aspek yang
direncanakan pun telah ditetapkan dengan prosedur. Dalam hal ini, perencana
telah kehilangan “keterpesonaan” terhadap lingkungan.
Bab II
Teori
Di dalam perencanaan, atau lebih spesifik perencanaan kota, dapatkah kita
melakukan pemisahan antara teori dan praktik? Dalam kenyataannya, pemisahan
tersebut sangat sulit untuk dilakukan. Dengan merentang sejarah perencanaan,
John Friedmann dalam bukunya yang monumental Planning in the Public Domain
mengungkapkan definisi perencanaan sebagai pemanfaatan pengetahuan metode
dan teknis untuk mencari solusi dalam jangka waktu tertentu. Praktik tidak dapat
dipisahkan dari teori karena memberikan paradigma dan kerangka untuk
melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam perencanaan. Dalam
hal ini saya mengambil posisi bahwa antara teori dan praktik tidak dapat
dipisahkan sama sekali.
Berawal dari Theory of Planning dan Theory in Planning
Ketegangan antara teori dan praktik sebenarnya sudah muncul ketika
Faludi berbicara mengenai perbedaan antara theory of planning dan theory in
planning. Pada pengertian yang pertama, perencanaan dianggap sebagai
serangkaian prosedur untuk mencapai tujuan dalam perencanaan. Terdapat
urutan logis perencanaan yang mesti diikuti untuk menghasilkan rencana.
Theory in planning mengungkapkan hal yang sebaliknya. Pertanyaan yang
lebih dahulu mengemuka adalah: teori atau substansi apa yang perlu diketahui
oleh perencana untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini perencana
mencari konsep dan metode yang tepat atau semacam formula untuk
menemukan solusi-solusi.
Theory of planning atau procedural planning dikritik karena terlalu kaku
dalam mempraktikkan perencanaan dalam kenyataannya. Perencana menjalani
serangkaian tahapan yang sudah mapan yang mengarahkan tindakan mereka.
Procedural planning umumnya bergantung kepada aspek administratif. Perencana
yang lebih pragmatis akan sangat cepat untuk menyesuaikan dengan gaya
perencanaan ini. Pada konteks sebaliknya, theory in planning atau substantive
planning lebih berkutat kepada pemahaman terhadap konsep dan metode yang
sesuai untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Substansive
planning memberikan fleksibilitas dalam merumuskan persoalan dan
pemecahannya. Perencana yang cenderung idealis akan sangat menyukai
pendekatan ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, antara theory of planning dan theory in
planning mampu berjalan beriringan. Selain mengikuti tahapan logis, perencanaan
juga diisi oleh sejumlah teori dan konsep yang diambil dari ilmu-ilmu yang relevan.
Selain mengembangkan serangkaian prosedur, perencana juga melakukan adopsi
dan adaptasi terhadap bidang-bidang keilmuan yang terkait.
Menuju Perencanaan Komunikatif
Perkembangan selanjutnya, menurut teori sosial, teori dan tindakan
tidaklah dapat dipisahkan. Dalam Theory of Communicative Action, bahwa
gagasan-gagasan yang berkembang di kepala para ahli, yang terkait
kontribusinya terhadap arah perkembangan masyarakat, tidak dapat dapat
diterapkan secara mekanis. Karena para ahli yang bersangkutan perlu menjalani
proses komunikatif yang berarti melihat perspektif yang ragam di dalam
masyarakat. Dalam hal ini, sebuah teori tidak berbicara sendiri, namun menjadi
kontekstual bagi suatu komunitas. Para ahli justru menggali lebih lanjut mengenai
yang sesungguhnya terjadi di dalam masyarakat.
Konteks teori komunikasi ini sangat relevan bagi perencanaan. Perencanaan
bukanlah ilmu pasti yang terkait dengan perilaku alam dan keinginan untuk
melakukan kontrol, melainkan terkait dengan pemahaman sosial mengenai cita-
cita dan keinginan masyarakat. Partisipasi masyarakat menjadi sangat penting
karena akan menjadi cara untuk menggali aspirasi masyarakat. Tidak hanya itu,
seorang perencana menjadi seorang komunikator yang menyampaikan gagasan-
gagasannya, namun bukan pihak yang dominan dalam prosesnya.
Untuk konteks saat ini di Indonesia, perencana sebagai komunikator masih
berada di angan-angan. Para perencana yang termasuk ke dalam kelompok
akademisi memang berperan besar dalam pemahaman-pemahaman baru baik
dalam theory of planning maupun theory in planning, namun dapat dikatakan
masih masih ada “jarak” dengan masyarakat atau bertindak sebagai komunikator.
Meskipun pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat yang menjadi fitrah
mereka di kehidupan akademik menjadi sangat penting untuk dikerjakan, lebih
sering merupakan bagian dari pelayanan terhadap kelompok tertentu, seperti
pemerintah maupun pengembang besar. Ada peluang untuk menjadikan
perencanaan menjadi cara-cara untuk memecahkan persoalan yang dihadapi
masyarakat sekaligus menjadi lebih dekat dengan komunitas. Dalam hal ini saya
menafsirkan praktik perencanaan sebagai upaya memecahkan masalah
masyarakat sekaligus keberpihakan terhadap mereka.
Dengan perkembangan masyarakat yang ada sekarang yang dipahami
sebagai postmodern society, seorang perencana tidak mungkin bertindak lepas dari
paradigma yang memandang bahwa perencanaan seharusnya tidak menjadi
instrumen untuk memproduksi metanarasi (sebuah produk rencana pada dasarnya
adalah sebuah metanarasi karena sifatnya yang mengatasi wacana lain
menyangkut perikehidupan masyarakat, dalam hal ini tata ruang). Perencana pun
memiliki tanggung jawab untuk membentuk masyarakat secara bertanggung
jawab yang dilakukan secara diskursif, bukan melalui ego keahlian. Aspirasi dari
seluruh kelompok pun harus dipertimbangkan sebagai perwujudan bahwa
masyarakat memiliki culture yang ragam.
Perencana sebagai Teoritisi atau Praktisi?
Dengan uraian di atas sesungguhnya tidak relevan lagi menanyakan
apakah perencana adalah seorang teoritisi atau praktisi. Perencana haruslah
seseorang yang mampu mengkaitkan antara teori dan metode untuk
memecahkan persoalan-persoalan di dalam masyarakat dengan
mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi dan politik yang ada. Bukan pekerjaan
yang mudah. Dalam prakteknya, perencana memanfaatkan paradigma tertentu
yang mengarahkan kepada tindakan tertentu. Saya sangat menyanyangkan
apabila terdapat pendapat bahwa antara keduanya dapat dipisahkan. Saya
beranggapan bahwa perencana haruslah orang yang mampu menjebatani antara
teori dan metode yang diketahuinya atau harus diketahuinya untuk memecahkan
persoalan.
Saya cenderung melihat bahwa mereka yang terlibat di dalam praktek
perencanaan lupa untuk meng-update teori yang mereka miliki atau setidaknya
merenung tentang apa yang mereka telah kerjakan. Saya memiliki kesan bahwa
dengan memasuki dunia praktek, tidak perlu lagi berhubungan dengan teori
maupun metode. Terdapat penyakit yang menghinggapi para praktisi ini, yaitu
copy paste dokumen rencana satu ke rencana yang lainnya, padahal terdapat
persoalan yang berbeda antara wilayah yang satu dengan yang lainnya. Saya
menduga hal ini terjadi karena merasa ranah teori maupun metode bukanlah milik
mereka.
Sementara itu, para akademisi perlu berperan dan terlibat dalam tindakan
praktis. Mereka dapat menjadi bagian dari perubahan di dalam masyarakat atau
turut melakukan proses perencanaan dapat menjadi pilihan. Dalam hal ini,
perencana yang termasuk ke dalam kelompok akademisi tidak hanya sekedar
berteori melainkan terlibat dalam praktik perencanaan. Dengan demikian, mereka
dapat memiliki kepekaan untuk menentukan mana teori maupun metode yang
tepat, serta berkontribusi terhadap perkembangan keilmuan mereka pada masa
mendatang.
Terdapat jargon bagi sebagian orang, “kota telah berubah”. Dalam benak
sebagian besar orang, kota memiliki dinamika yang cepat. Perubahan komponen-
komponennya, baik itu yang berasal dari lingkungan fisik, ekonomi, maupun
budaya, seringkali tidak dapat diprediksikan. Rencana, kalau pun itu ada,
biasanya dituding lebih lambat dibandingkan dengan perubahan yang tengah
berlangsung tersebut.
Pada sisi yang lain, ”kota yang berubah” dipahami dari perubahan
paradigma kita memandang kota sebagai sebuah entitas. Makna yang lainnya dari
”kota telah berubah” adalah kota dipandang sebagai lingkungan liar yang tak
ramah. Apabila dalam kerangka pandang modern, kota merupakan sebagai
sesuatu yang memiliki keajegan, maka dalam paradigma baru ini kota identik
dengan ”ketidakteraturan”. Dalam kerangka pandang ini pula, sebuah kota
dianggap dapat dikendalikan atau dikontrol sesuai dengan rencana yang telah
dibuat. Hal ini berbeda dengan kerangka pandang postmodern, yang melihat kota
sebagai entitas kota yang chaotic dan selalu berubah.
Sebuah contoh untuk menggambarkan kondisi kota yang selalu berubah
tersebut dapat dilihat di dalam lansekap kota. Kota senantiasa dicirikan dengan
dualisme karakter: wilayah produktif – berkembang dan terpencil, pejalan kaki –
wilayah padat kendaraan yang macet. Kota senantiasa menampilkan karakternya
yang tidak stabil dan tidak ada yang berarti untuk waktu yang relatif lama.
Perubahan pada suatu lokasi akan diikuti oleh perubahan pada titik atau area
lainnya yang menciptakan adanya organisasi mandiri.
Urban chaos
Kota adalah mikrokosmos dan cermin masyarakat, dan budaya dalam
skala besar. Jadi untuk menumbuhkan pemahaman menyeluruh tentang kota, kita
harus memikirkan sebanyak mungkin, bila tidak seluruhnya, keragaman yang
melahirkan kota yang kontemporer. Ide-ide konvensional tentang kota sebagai
gambaran besar arsitektur (architecture-writ-large) tidak dapat dengan mudah
dihubungkan dengan teori kota sebagai sistem-sistem sosial, budaya, ekonomi, dan
institusi.
Oleh karena itu, sistem-sistem sosial tidak mudah dikaitkan dengan bentuk
ruang. Pemahaman perencana diliputi oleh kompleksitas dan keragaman. Ada
berbagai dimensi sosial yang harus dipertimbangkan dan memerlukan pendalaman
pemahaman. Guna lahan tidak dengan sendirinya mampu menjelaskan mengenai
aliran transportasi, melainkan juga karakteristik ekonomi suatu lokasi dan budaya
”berkendaraan” penduduk kota tersebut. Disamping itu, kota senantiasa adalah
sebuah sistem terbuka yang menerima aliran energi, orang, dan komoditas dari
sekitarnya, yang berpengaruh pula terhadap terbentuknya suatu pola guna lahan.
Adanya ketidakteraturan pada sebagian besar wilayah kota, maka lansekap kota
dilihat dalam pemahaman geometri fraktal. Pada kenyataannya pula, kota-kota
mempunyai struktur-struktur fraktal yang berbeda dimana fungsi-fungsinya saling
menyerupai dirinya sendiri (self similiarity) dalam banyak keteraturan dan skala.
Pemahaman terhadap geomtri fraktal ini sangat penting untuk mengamati
langsekap kota yang beragam dari skala dan ukurannya.
Chaos Planning
Prof. Batty dari Univerity of College London berpendapat bahwa
perencanaan selalu bergantung kepada pembuatan rencana geometris yang ideal
yang berakar dari perencanaan kota yang muncul pada abad ke-19. Pada abad
tersebut, kota-kota dilihat sebagai entitas yang tidak teratur, menyebar ke segala
arah, dan kumuh. Rencana-rencana yang dibuat sangat kental dengan penentuan
tatanan yang stabil dan hirakis dalam pengaturan ruang kota. Rencana geometris
seperti ini, seperti yang dibuat oleh Ebernezer Howard dengan Garden City
mengajukan sebuah rencana kota yang ideal dalam ukuran dan struktur, yang
menurut Prof. Batty mengabaikan cara alamiah sebuah kota tumbuh:
”Idealized cities are simply too naive with respect to the workings of the
development process and competition for the use of the space that
characterises the contemporary city and degree of diversity and
heterogenity that the most vibrant cities manifest.”
Tradisi ini masih muncul sampai saat ini, kota ditata untuk menentukan
struktur dan pola ruang yang ideal, yang dirasa menjadi tujuan jangka panjang
semua pihak. Apabila pada abad ke-19, pengaruh perencana kota yang visioner
yang menentukan bentuk kota, maka saat ini penggunaan teknik-teknik yang
terstandar dan melalui prosedur ilmiah menentukan tata ruang kota.
Tata ruang merupakan perwujudan ideal dari teknologi dan ilmu
pengetahuan yang diaplikasikan para perencana. Struktur dibuat dengan ketat
dengan memperhatikan kaitan-kaitan antar pusat menurut hirarkinya. Terdapat
anggapan bahwa kota dapat dikendalikan pada masa mendatang, sehingga
persoalan-persoalan seperti kemacetan akan dapat tertangani.
Pola ruang disusun menurut perencanaan yang deterministik. Kota dibagi
habis ke dalam blok-blok peruntukan yang menentukan lokasi dari kegiatan –
kegiatan utama kota. Peluang perubahan dijaga seminimal mungkin untuk
mengarahkan tindakan dan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan ruang
kota. Instrumen lain dibutuhkan untuk melakukan pengendalian seperti
melakukan penertiban terhadap ”pemanfataan yang tidak sesuai”.
Kota ideal dalam konteks perencanaan terhadap ketidakterturan (chaos
planning) memberikan karakteristik perencanaan sebagai kegiatan yang otoriter.
Perencana merupakan pihak di belakang rencana yang ideal yang didesakkan ke
dalam masyarakat. Di balik itu, terdapat persoalan menyangkut daya tanggap
rencana terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam ruang
kota. Umumnya, rencana kota sangat jarang mampu dengan cepat menangkap
perubahan tersebut, sehingga akumulasi terhadap penyimpangan semakin besar.
Kita dapat melihat suatu kawasan yang dilanggar oleh satu pihak akan diikuti oleh
pihak lainnya yang menginginkan manfaat yang sama dari pemanfaatan ruang.
Tidak sadar, rencana yang baru pun telah menjadi usang.
Planning in Chaos
Menurut Prof. Batty, kota tumbuh secara allometri – tumbuh dalam
kecepatan yang berbeda – yang menghasilkan perubahan terhadap proporsi -
dan hal ini merubah keseimbangan energi yang digunakan untuk melestarikannya.
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mengenai network science yang akan:
“… provides a way of linking size to the network forms that enable cities
to function in different ways. The impacts of climate change, the quest
for better performance, and the seemingly intractable problems of
ethnic segregation and deprivation due to failures in job and housing
markets can all be informed by a science that links size to scale and
shape through information and material and social networks that
constitute the essential functioning of cities.”
Dengan menyadari adanya keterbatasan di dalam perencanaan kota yang
ideal, dalam merencanakan ketidakteraturan, maka paradigma mengenai
ketidakteraturan kota mengarahkan kepada keterbatasan dari perencanaan.
Dengan memahami persoalan-persoalan secara mendetil atau fungsi-fungsi dari
sistem yang kompleks, kita akan melakukan intervensi lebih sedikit, tetapi dalam
cara-cara yang lebih realitis.
Dengan kata lain: sebagus-bagusnya sebuah rencana, dilihat dari visi masa
depan dan pemanfaatan sumber dayanya, masih lebih baik tidak ada rencana
sama sekali. Disini, perencana perlu memikirkan lagi proses perencanaan kita yang
selama ini yang lebih condong kepada: ”penentuan struktur dan pola ruang kota
apa yang akan terbentu pada masa mendatang”, menjadi kepada: ”bagaimana
rencana itu akan dipahami dan dilakukan”. Mau tidak mau, perencanaan dalam
konteks paradigma chaos ini adalah model partisipatif yang luas.
Persoalan-persoalan yang Melingkupi Peraturan Zonasi
Saat ini, seringkali terjadi kesalahpahaman mengenai peraturan zonasi
dengan rencana tata ruang. Banyak orang menganggap, terutama para
profesional, bahwa pengerjaan rencana tata ruang dan peraturan zonasi adalah
sama. Oleh karenanya, pengerjaan keduanya disatukan. Padahal, jelas disebutkan
bahwa antara keduanya berbeda. Peraturan zonasi (zoning regulation) ditujukan
sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang, sementara itu, rencana tata
ruang masuk ke dalam lingkup perencanaan yang merupakan proses untuk
menentukan struktur dan pola ruang. Dalam Ketentuan Umum UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, pengertian peraturan zonasi sama sekali tidak
disebutkan. Hal ini sama sekali tidak mengherankan karena instrumen-instrumen
lainnya dalam konteks pengendalian pun tidak diuraikan lebih lanjut. Namun,
dalam penjelasan umum angka 6, peraturan zonasi dijelaskan sebagai:
“Ketentuan yang mengatur tentang tentang persyaratan pemanfaatan
ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap
blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci
tata ruang.”
Pada penjelasan pasal 36 ayat 1 disebutkan:
“Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan
ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona
peruntukan sesuai dengan rencana rinci ruang.”
Dalam pengertian ini, peraturan zonasi dibuat sebagai penjabaran dari zona
peruntukan yang termuat di dalam rencana rinci, yang merupakan pengaturan
terhadap pemanfaatan ruang dan pengendaliannya. Apa yang disebut sebagai
rencana rinci? Rencana rinci tediri atas:
a. Rencana tata ruang pulau/kepulauan, dan rencana tata ruang kawasan
strategis nasional;
b. Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
c. Rencana detail tata ruang kabupaten/kota, dan rencana tata ruang
kawasan strategisnya.
Hanya saja, terdapat ketentuan yang menyatakan rencana detail tata ruang
didasarkan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi. Hal ini didasarkan atas
interpretasi terhadap Pasal 14 ayat (6) UU No. 26 Tahun 2007 yang menyebutkan
bahwa:
“Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
c dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.”
Dengan demikian, terdapat kesulitan untuk menerjemahkan dalam lingkup
mana sebaiknya peraturan zonasi diterapkan. Pasal 14 (6) ini memberikan arahan
bahwa peraturan zonasi hanya meliput kepada tata ruang kabupaten/kota.
Sementara itu, pada Pasal 36 ayat (2) disebutkan peraturan zonasi disusun
berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang.
Kebingungan mulai muncul dari ayat selanjutnya (Pasal 36 ayat 3) yang
menyebutkan bahwa peraturan zonasi ditetapkan peraturan pemerintah untuk
arahan peraturan zonasi sistem nasional, peraturan daerah propinsi untuk arahan
peraturan zonasi sistem propinsi, dan peraturan daerah kabupaten/kota untuk
peraturan zonasi. Apakah ini berarti bahwa nasional dan propinsi juga memiliki
peraturan zonasi? Apakah muatan peraturan zonasi yang terdapat dalam RTRWN,
RTRWP, RTRWKabupaten/Kota, dan rencana rinci dapat dibedakan? Apabila
benar ada demikian, apa saja muatan dari peraturan zonasi yang disusun oleh
nasional dan propinsi? Belum lagi pertanyaan-pertanyaan teknis seperti:
bagaimana menyusun amplop ruang pada kedalaman sistem nasional dan
propinsi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja membingungkan bagi mereka
yang akan menyusun peraturan zonasi. UU Penataan Ruang menetapkan adanya
istilah “indikasi arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional” untuk arahan
pengendalian pemanfaatan ruang pada tingkatan RTRWN dan RTRWP,
“ketentuan umum peraturan zonasi” untuk RTRWKabupaten/Kota dan arahan
peraturan zonasi untuk RTR Kaw. Metropolitan/Megapolitan, dan Agropolitan. Hal
ini menimbulkan pertanyaan mengani: apa perbedaan peraturan zonasi tersebut
dengan yang disusun dari rencana rinci tata ruang? Persoalan lainnya adalah: siapa
yang menetapkan peraturan zonasi untuk RTR Kaw.
Metropolitan/Megapolitan/Agropolitan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas memerlukan ketetapan yang mengatur
pelaksanaannya secara lebih operasional. Saat ini saja, sudah terdapat “suara-
suara” untuk melakukan revisi terhadap UU Penataan Ruang, sehingga
pemahaman yang “membingungkan” di atas dapat diperjelas.
“Kebiasaan-Kebiasaan” dalam Menyusun Peraturan Zonasi
Saya sebutkan dengan “kebiasaan-kebiasaan” disini adalah praktik yang
umum diterapkan dalam menyusun peraturan zonasi, terlebih yang
diinterpretasikan di kalangan akademisi di PWK – ITB.
Dalam kaitannya dengan pengendalian pemanfaatan ruang, Denny
Zulkaidi, salah satu anggota Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan
Kota Institut Teknologi Bandung (KK PPK – ITB), menempatkan peraturan zonasi
sebagai perangkat utama dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Di bawahnya
terdapat perangkat insentif dan disinsentif, perizinan, dan sanksi. Dalam
pernyataan UU Penataan Ruang, keempat instrumen tersebut (termasuk
peraturan zonasi dibuat sejajar), namun pertimbangan praktis bahwa ketiga
perangkat yang disebut belakangan didasarkan atas peraturan zonasi. Hal inilah
yang menyebabkan peraturan zonasi berkesan dominan dan perlu mendapat
perhatian lebih dalam melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang. Hal
tersebut memang tidak salah, namun dalam hemat sama, perizinan pun dapat
dilakukan tanpa menunggu disusunnya peraturan zonasi, melainkan mengacu
kepada rencana. Namun, apabila peraturan zonasi telah ada, maka
keterkaitannya dengan perizinan menjadi tidak terhindarkan lagi.
Lebih mudah memahami penyusunan peraturan zonasi dalam kaitannya
dengan penyusunan rencana rinci (atau RDTR Kawasan Perkotaan). Dalam
praktiknya, keduanya (rencana dan peraturan zonasi) dapat dilaksanakan
bersamaan dalam penyusunannya. Hal ini dapat menghemat biaya penyusunan
RDTRK dan peraturan zonasi, karena ada bagian-bagian yang overlap. Peraturan
zonasi berisi: guna lahan, intensitas bangunan dan tata massa, dan aturan
pemanfaatan ruang. Dua hal pertama yang disebutkan sebelumnya merupakan
bagian yang harus ada di dalam RDTRK. Dalam konteks selanjutnya, antara
rencana rinci kota dan peraturan zona dapat menjadi pedoman dalam
penyusunan RDTRK dan rencana yang lebih teknis (RTRK / RTBL). Pelaksanaan
survei lapangan akan lebih menghemat waktu dan biaya apabila dilaksanakan
secara berbarengan, namun tetap keduanya adalah entitas yang berbeda.
Di berbagai negara, peraturan zoning terdiri dari dua unsur, yaitu zoning
text/zoning statement dan zoning map. Zoning map berisi aturan-aturan (atau
menjadi sisi dari regulasinya), yang menjelaskan mengenai tata guna lahan dan
kawasan, pemanfaatan yang diizinkan dan diizinkan dengan syarat, standar
pengembangan, minumum lot requirement, dll.. Sementara itu, zoning map berisi
pembagian blok peruntukan dengan ketentuan aturan untuk tiap blok
peruntukan. Selain itu, zoning map menggambarkan mengenai tata guna lahan
dan lokasi tiap fungsi lahan dan kawasan. Dalam praktiknya peta zonasi dibuat
dalam kode zonasi yang digambarkan dalam bentuk huruf dan angka. Kuncinya
adalah membuat sistem pengkodean yang konsisten yang dapat dengan mudah
diingat dan dibaca.
Dilihat dari rincian materi yang diatur, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kegiatan yang diperbolehkan
2. Kegiatan yang dilarang
3. Aturan khusus untuk kegiatan
4. Kegiatan tambahan dan aturannya
5. Kegiatan bersyarat dan aturannya
6. Pengecualian khusus
7. Ketentuan luas persil
8. Ketentuan luas pekarangan (sempadan depan, samping, belakang)
9. KDB maksimum
10. Luas minimum/maksimum lantai bangungan
11. Batas tinggi bangunan
12. Variansi
London
2.1 Penerapan unsur perencanaan kota London pada bidang transportasi.
London adalah ibu kota Inggris dan
Britania Raya yang merupakan wilayah
metropolitan terbesar di Britania Raya dan
juga zona perkotaan terbesar di Uni Eropa
berdasarkan luas wilayah. Berlokasi di
sepanjang Sungai Thames, London telah
menjadi permukiman utama selama dua
milenium sejak didirikan oleh Romawi pada
abad ke-1 dengan nama Londinium. Inti dari
London kuno, yaitu City of London, sebagian
besar masih tetap mempertahankan batas-
batas abad pertengahannya. Sejak abad ke-
19, nama London juga digunakan untuk
menyebut kota metropolitan yang
berkembang di sekitar inti ini. Konurbasi dari
wilayah-wilayah urban ini pada akhirnya membentuk Region London dan
wilayah administratif London Raya. Wilayah ini diatur dan dibawahi oleh
walikota London yang dipilih melalui pemilihan umum beserta Majelis London.
London adalah kota global terkemuka yang unggul dalam bidang seni,
bisnis, pendidikan, hiburan, mode, keuangan, kesehatan, media, layanan
profesional, penelitian dan pembangunan, pariwisata, serta transportasi.
London, bersama dengan New York City, merupakan pusat keuangan
terkemuka di dunia, dan menjadi kota dengan PDB terbesar kelima di dunia,
atau yang tertinggi di Eropa. Kota ini dikatakan sebagai pusat kebudayaan
dunia. London juga menjadi kota yang paling sering dikunjungi, dan tercatat
sebagai kota dengan bandar udara tersibuk di dunia berdasarkan lalu lintas
penumpang internasional. 43 universitas di London membentuk konsentrasi
pendidikan tinggi terbesar di Eropa. Pada tahun 2012, London menjadi kota
pertama yang telah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Olimpiade Musim
Panas modern sebanyak tiga kali.
London terdiri dari beragam
masyarakat dan budaya dengan lebih
dari 300 bahasa digunakan oleh
berbagai etnis. Pada bulan Maret
2011, London tercatat berpenduduk
sebanyak 8.174.100 jiwa, sekitar
12,5% dari populasi Britania Raya
secara keseluruhan. Hal ini juga
menjadikan London sebagai kota
terbesar di Uni Eropa menurut jumlah
populasi. Kawasan perkotaan London
Raya juga menjadi kawasan urban
terbesar kedua (setelah Paris) di Uni
Eropa dengan jumlah penduduk
8.278.251 jiwa, sedangkan kawasan metropolitan London adalah yang
terbesar di Uni Eropa dengan populasinya yang diperkirakan mencapai 12
hingga 14 juta jiwa. Sebelumnya, London juga pernah menjadi kota dengan
populasi terbesar di dunia pada periode 1831-1925.
London memiliki empat Situs Warisan Dunia, yaitu: Menara London;
Kebun Botani Kew; komplek situs bersejarah yang terdiri dari Istana
Westminster, Westminster Abbey dan Gereja St. Margaret; serta permukiman
bersejarah Greenwich (tempat di mana Observatorium Kerajaan menandai
meridian utama, yaitu 0° garis bujur, dan GMT). Markah tanah (landmark)
terkenal London yang lainnya antara lain Istana Buckingham, Mata London,
Katedral Santo Paulus, Piccadilly Circus, Jembatan Menara, Stadion Wembley,
Jembatan London, dan Trafalgar Square. London juga merupakan lokasi dari
berbagai museum, galeri, perpustakaan, acara olahraga, dan institusi
kebudayaan lainnya, termasuk British Museum, Museum Maritim Nasional,
Perpustakaan Britania, Galeri Nasional, Tate Modern, Wimbledon, dan 40
Teater West End. London Underground juga merupakan jaringan kereta api
bawah tanah tertua di dunia, serta yang terluas kedua setelah Shanghai
Metro.
London underground
London Underground adalah
jaringan transportasi massal kereta
listrik di bawah tanah yang melayani
daerah kota London dan London Raya
atau sering disebut dengan istilah
metro. Jaringan ini, yang merupakan
jaringan sejenis yang tertua di dunia,
juga dikenal dengan nama the Tube
atau cukup Underground dan sudah
mulai beroperasi sejak 10 Januari 1863
pada Metropolitan Railway yang sekarang rutenya dilayani oleh Circle Line dan
Hammersmith & City Line.
Jaringan ini memiliki 274 stasiun serta 253 mil atau 408 km rel aktif
yang melayani 3 juta perjalanan penumpang per hari. Pada 2003 - 2004,
terdapat 948 juta perjalanan yang telah dilayani. Sejak 2003, London
Underground menjadi bagian Transport for London atau TfL yang juga
mengelola kontrak bis tingkat London yang populer.
Logo Underground berupa
lingkaran merah dengan persegi
panjang biru horizontal di tengahnya
sudah menjadi ikon bagi kota
London dan akan langsung dikenali
oleh masyarakat. Persegi panjang
biru tersebut bertuliskan
UndergrounD atau jika digunakan sebagai tanda stasiun akan bertuliskan
nama stasiun tersebut.
Jaringan transportasi umum London merupakan salah satu yang
terbesar di dunia. Dengan akses ke Bus, Trem, layanan Rail Nasional dan
tabung Underground yang terkenal. Kereta api didefinisikan sebagai sarana
transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri
maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan ataupun sedang
bergerak di rel. Dengan demikian kereta api hanya dapat bergerak/berjalan
pada lintasan/jaringan rel yang sesuai dengan peruntukannya, hal ini menjadi
keunggulannya karena tidak terganggu dengan lalu lintas lainnya, tetapi dilain
pihak menjadikan kereta api menjadi angkutan yang tidak fleksibel karena
jaringannya terbatas.
Kereta api merupakan alat transportasi massal yang umumnya terdiri
dari lokomotif (kendaraan dengan tenaga gerak yang berjalan sendiri) dan
rangkaian kereta atau gerbong (dirangkaikan dengan kendaraan lainnya).
Rangkaian kereta api atau gerbong tersebut berukuran relatif luas sehingga
mampu memuat penumpang maupun barang dalam skala besar. Untuk
angkutan barang dalam jumlah yang besar dapat digunakan rangkaian lebih
dari 50 kereta yang ditarik dan/atau didorong dengan beberapa buah lokomotif,
seperti kereta api babaranjang (kereta api batutu bara rangkaian panjang)di
Sumatera Selatan.
Kereta api merupakan angkutan yang efisien untuk jumlah penumpang
yang tinggi sehingga sangat cocok untuk angkutan massal kereta api
perkotaan pada koridor yang padat, tetapi juga digunakan untuk angkutan
penumpang jarak menengah sampai dengan 3 atau 4 jam perjalanan ataupun
untuk angkutan barang dalam jumlah yang besar dalam bentuk curah, seperti
untuk angkutan batu bara. Karena sifatnya sebagai angkutan massal efektif,
beberapa negara berusaha memanfaatkannya secara maksimal sebagai alat
transportasi utama angkutan darat baik di dalam kota, antarkota, maupun
antarnegara.
BAB III
STUDI BANDING
A. KOTA OSAKA ( transportasi )
Osaka (大阪市 Ōsaka-shi?, Kota Osaka) adalah sebuah kota
di wilayah Kansai, Jepang. Osaka adalah kota berpenduduk terbesar
nomor tiga di Jepang setelah Tokyo dan Yokohama. Osaka
merupakan sebuah metropolis air yang dikenal dengan sungai-
sungainya dan jumlah jembatan terbanyak di Jepang.
Osaka dibangun sebagai suatu kota ratusan tahun lalu.
Selama masa sejarahnya, banyak mengalami perubahan, antara lain
perencanaan dan peneraan teknologi baru untuk mencapai
lingkungan kota yg nyaman bagi warganya. Perencanaan dan
penerapan dari zoning / pengelompokkan kegiatan merupakan
pokok yang harus dapat dilakukan secara konsisten.
Osaka Master Plan - Konsep Dasar
Osaka mempunyai rencana-rencana khusus dalam
mengahadapi abad 21 yg terkenal dengan nama “Dua Konsep Osaka
Plan 21″ yaitu :
1. Kota yang mencintai warganya
2. Kota yang merupakan bagian dari dunia
Konsep kota yang mencintai warganya memang sangat dipenuhi
oleh pemerintah daerah Osaka. Dimana dalam pelaksanaannya dan
penerapannya harus didasari pada keseimbangan yg harmoni
antara tempat tinggal, tempat kerja dan rekreasi dalam kehidupan
seluruh warganya.
Tujuan perencanaan kota Osaka sebagai berikut :
1. Mengutamakan kesehatan dan keamanan
2. Penekanan perhatian pada gaya hidup perkotaan
3. Penerapan kota dari elemen- elemen budaya lama dengan
mengabdikan budaya lama dalam kota modern
Kuil Shinsaibashi di tengah kota, merupakan penerapan elemen2
budaya lama dengan kota modern Osaka.
4. Pendekatan ekonomi pada pembangunan dan
pengembangan kehidupan sosial
5. Terbuka terhadap masukan secara internasional dengan
konsep- konsep globalisasi
6. Sistim pengembangan kota Osaka :
a. Pengembangan pusat kota dan pembangunan ‘pusat2
kota’ lain ( suburb )
b. Pengembangan akses utara-selatan serta timur-barat
c. Pengembangan perkotaan sesuai dengan karakter
masing- masing daerah
Taman dan ruang terbuka hijau sangat penting di kota2 besar dan
berguna untuk tempat rekreasi, keindahan serta paru2 kota. Taman
tertua di Osaka adalah Nakanoshima yg dibuka tahun 1891. Tahun
1952 berkembang menjadi 20 taman dengan total luas 801,42 hektar
sesuai dengan perencanaan kota.
Daerah terbuka hijau ( termasuk plazanya ) sudah mulai
dipopulerkan sejak tahun 1941. Fungsi daerah ini juga
dikombinasikan area rekreasi yg sekarang telah terbentuk sebanyak
6 daerah hijau seluas 740 hektar sesuai perencanaan kota.
Peta Kota Osaka
Macam Transportasi di Kota Osaka
- Pertama, pesawat terbang. Tentunya ada banyak pilihan maskapai
udara dengan tarif terbang yang berbeda tergantung jenis kelas.
Maskapai udara yang kami gunakan adalah Garuda Indonesia dengan
tarif kelas ekonomi di kisaran 6.700.000 Rupiah (negosiasi dari tarif awal
10.000.000 Rupiah) untuk rute penerbangan pulang pergi Jakarta -
Osaka - Jakarta dengan transit di Bali. Total durasi perjalanan adalah 8
jam.
- Kedua, bus kota. Kendaraan ini merupakan salah satu pilihan populer
untuk bepergian dalam kota. Demi alasan penghematan biaya, kami
beberapa kali membeli tiket bus terusan dalam kota yang bertarif 500
Yen. Dengan tiket bus terusan yang berbentuk seperti kartu telepon
tahun 90-an, kita hanya perlu menunjukkan kepada sang supir tiap kali
hendak turun di tempat tujuan. Tarif normal untuk bepergian dengan
bus (tanpa tiket terusan) berkisar di angka 100-200 Yen sekali pergi.
Tapi jika tujuan yang kita hendak capai berada di pinggiran kota,
biasanya dibutuhkan ekstra Yen untuk menambah biaya perjalanan di
luar biaya tiket terusan. Misalkan dari Horikawa Marutamachi menuju
Arashiyama, kamu harus membayar ekstra 220 Yen.
- Ketiga, kereta api. Kereta api merupakan alat transportasi utama yang
mengangkut sebagian besar komuter di kota-kota besar seperti Tokyo
dan Osaka. Sekali bepergian dengan kereta api lokal (yang berhenti di
tiap stasiun) menghabiskan biaya di kisaran 100-300 Yen. Jangan
tanyakan mengapa kami tak bepergian dengan Shinkansen, tarif sekali
perginya berkisar di angka 800-8000 Yen! Seperti yang sering dilihat di
tayangan televisi, untuk memasuki kereta api di Jepang butuh usaha
yang lebih dan kaki yang kokoh. Karena jika kita bepergian di jam
berangkat atau pulang kerja, berdiri berdesak-sesak di dalam kereta
adalah hal yang sangat lumrah. Satu lagi, etika berkendara di dalam
bus dan kereta adalah dilarang mengobrol! Maka jika beberapa minggu
yang lalu sebagian pengguna trasnportasi umum di Kyoto - Osaka
merasa terganggu dengan rombongan warga Indonesia yang mengobrol
dan tertawa di dalam transportasi publik (sebut saja “kami”),
maafkanlah kami.
- Keempat, sepeda. Tak pernah menyangka jika kami akan dapat
bepergian di dalam kota menggunakan sepeda. Sepeda kami dapatkan
dari hostel tempat kami menginap dengan tarif sekali sewa sebesar 500
Yen - dengan menaruh deposit 1000 Yen yang nantinya akan
dikembalikan. Bepergian dengan sepeda ternyata lebih cepat
dibandingkan menggunakan bus kota. Selain lebih menyenangkan, tak
ada sedikitpun keringat yang keluar karena suhu musim gugur yang
dingin. Untuk urusan parkir, kamu bisa memanfaatkan jasa parkir
khusus sepeda di dekat pusat perbelanjaan yang biasanya mematok
tarif flat sebesar 150 Yen untuk sekali parkir. Jika kamu tak berhati-hati
menaruh sepeda di tempat umum, seperti yang kami lakukan di Gion,
kamu akan terancam denda ribuan Yen dari polisi yang lalu lalang. Oh
ya, jangan bayangkan sepeda jenis fixed gear atau mountain bike yang
berseliweran di jalur khusus karena jenis kebanyakan yang dipakai
adalah sepeda klasik dengan keranjang di depan stang.
Di luar pilihan yang
disebutkan di atas, tentunya
masih banyak pilihan alat
transportasi di Jepang semisal
taksi atau bahkan kendaraan
pribadi. Entah dengan tarif
taksi, tapi tarif parkir untuk
mobil pribadi di lahan-lahan
sempit dalam kota amatlah
mahal. Tak heran jika akhirnya saya berpikir bahwa pemilik mobil di Jepang
adalah kaum yang memang cukup mapan secara ekonomi. Bayangkan dengan
tarif masuk tempat parkir sekitar 1200 Yen, untuk kelipatan 60 menit tarifnya
adalah 200 Yen.
PETA JALUR PESAWAT TERBANG DI KOTA OSAKA
PETA JALUR KERETA API BAWAH TANAH DI KOTA OSAKA
BAB IV
KESIMPULAN
1. Jadi kesimpulan nya Osaka mempunyai rencana-rencana khusus
dalam mengahadapi abad 21 yg terkenal dengan nama “Dua Konsep Osaka
Plan 21″ yaitu Kota yang mencintai warganya Kota yang merupakan
bagian dari dunia dan Konsep kota yang mencintai warganya memang
sangat dipenuhi oleh pemerintah daerah Osaka.. Selain itu asoka juga
mempunyai Tujuan perencanaan kota diantaranya Mengutamakan
kesehatan dan keamananPenekanan perhatian pada gaya hidup
perkotaan.
2.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
http://en.wikipedia.org/wiki/San_Jose,_Ca
http://id.wikipedia.org/wiki/Osaka