repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor:...

115

Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor:...

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019
Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

i

Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

ii

Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh delar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Maret 2019

Farradilla Andriany Savitri

Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

iv

ABSTRAK

Farradilla Andriany Savitri. Nim 11140440000103. POLIGAMI DALAM

HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA, PAKISTAN DAN SOMALIA

(Analisis Perbandingan Mengenai Peraturan Poligami). Program Studi Hukum

Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. 76halaman + 7 halaman

lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengungkap 3 hal: (a) ketentuan poligami dalam

peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Perundang-undangan di Pakistan dan

Perundang-undangan di Somalia, (b) persamaan dan perbedaan ketentuan poligami

di ketiga negara tersebut, dan (c) bagaimana peraturan perundang-undangan tentang

poligami di Indonesia, Pakistan dan Somalia jika dibandingkan dengan konsep fikih

mazhab.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan library research

(penelitian kepustakaan). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data

primer dan sekunder. Yang menjadi data primer adalah Undang-Undang Perkawinan

No 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah No 45 Tahun

1990, Muslim Family Law Ordinance (Undang-undang Hukum Keluarga Muslim

Pakistan) Tahun 1961, dan The Family Code of Somali (Undang-undang hukum

keluarga Somalia) Tahun 1975. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode

analisis dan metode komparasi.

Hasil dari penelitian ini adalah: (a) Poligami dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia, Pakistan dan Somalia diperbolehkan dengan pengecualian

syarat-syarat tertentu. (b) ketentuan poligami dalam hukum keluarga Indonesia,

Pakistan dan Somalia memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah

ketiga negara menganut azas monogami tidak mutlak dan harus mendapat izin dari

pengadilan terlebih dahulu. Adapun perbedaannya syarat berpoligami di Indonesia

selain mendapatkan izin dari pengadilan pelaku poligami harus menyertakan surat

keterangan penghasilan, serta terdapat peraturan khusus bagi PNS yang ingin

melakukan poligami. Di Pakistan hanya mendapatkan izin dari pengadilan yang

sebelumnya harus mendapatkan persetujuan dari istri dan tidak adanya peraturan

khusus bagi PNS yang akan berpoligami. Sedangkan di Somalia hanya mendapatkan

izin dari pengadilan tanpa adanya keterangan untuk meminta persetujuan dari istri,

apabila alasan berpoligami karena istri mandul maka harus menyertakan surat

keterangan dari dokter dan Somalia pun tidak terdapat peraturan khusus bagi PNS

yang akan berpoligami. Dan bagi pelanggar poligami di Indonesia, apabila tidak

melaporkan ke pengadilan maka dikenakan sanksi membayar denda sebesar Rp.

7.500, bagi pegawai pencatat nikah yang mencatatkan pernikahan tanpa izin dari

pengadilan maka dikenakan sanksi membayar denda sebesar Rp. 7.500 dan

kurungan maksimal 3 bulan, PNS wanita yang menjadi istri kedua/ketiga/keempat

maka akan dipecat secara tidak hormat dan bagi PNS yang melakukan poligami

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

v

tanpa izin akan dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No. 30

tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di Pakistan bagi

pelanggar poligami dikenakan sanksi a) Membayar seluruh mahar dengan segera

kepada istri atau istri-istrinya, baik tunai maupun secara ditangguhkan dan jika tidak

maka ia akan diperoleh sebagai tunggakan atau sewa, b) Dihukum penjara maksimal

satu tahun atau denda maksimal 5000 rupee atau kedua-duanya. Sedangkan di

Somalia belum ada peraturan yang menghukum pelaku pelanggar poligami. (c)

Apabila dibandingkan dengan ketentuan fikih, maka ketentuan yang dirumuskan

dalam peraturan hukum keluarga di ketiga negara tersebut tidak terdapat rujukannya

dalam pendapat mazhab Syafi‟iyyah yang dianut oleh mayoritas umat Islam

Indonesia maupun Somalia, ataupun mazhab Hanafiyah yang dianut oleh mayoritas

umat Islam di Pakistan. Hal ini terjadi dalam rangka menyelaraskan perubahan sosial

yang terjadi seiring dengan nilai syariat Islam yang berprinsip pada ruang dan waktu.

Kata Kunci : Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam Di Indonesia,

Pakistan dan Somalia (Analisis Perbandingan Mengenai

Peraturan Poligami)

Pembimbing : Dr. H. Mukhtar Ali, M. Hum

Daftar Pustaka : 1926 s.d. 2015

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

vi

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat

dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat

beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar sarjana pada program Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang penulis ajukan

adalah “Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, Pakistan dan Somalia

(Analisis Perbandingan Mengenai Peraturan Poligami)”.

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,

bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini

penulis dengan senang hati menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag Ketua Program Studi Hukum Keluarga

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Mukhtar Ali, M.Hum Dosen pembimbing, yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing skripsi.

4. Segenap bapak dan Ibu dosen, pada lingkungan program studi Hukum

Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan

selama penulis duduk di bangku kuliah.

5. Ayahanda dan Ibunda orang tua penulis, Terimakasih atas setiap cinta dan

kasih sayang serta doa dan restu yang selalu mengiringi tiap langkah penulis

sehingga penulis bisa sampai ke titik ini.

6. Terimakasih untuk keluarga besar penulis yang senantiasa memotivasi dan

selalu mendoakan kelancaran studi hingga skripsi ini terselesaikan.

7. Terimakasih kepada Syifa Rahmalia, Muthia Rahmah, Harum Hapsari, Satria

Erlangga, Permata Syifa, Marlina Syamsiyah dan terimakasih kepada semua

teman-teman Program Studi Hukum Keluarga 2014, terimakasih atas segala

ukiran hari bertemakan persahabatan yang tulus murni sepanjang masa

pendidikan di Program Studi Hukum Keluarga sejak awal hingga

terselesainya pendidikan. Terimakasih atas segala canda, tawa dan tangisan

haru serta bahagia yang telah dibagi dan turut dirasa. Terimakasih atas rasa

kekeluargaan yang begitu besar meski tanpa ikatan darah. Jalinan

persahabatan ini semoga Allah jaga hingga selamanya.

Semoga senantiasa Allah SWT membalas kebaikannya dengan pahala yang

berlipat ganda, Amiin. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi

penulis dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, Februari 2019

Farradilla Andriany Savitri

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iii

ABSTRAK .............................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Indentifikasi Masalah ................................................................ 6

C. Pembatasan Masalah ................................................................. 7

D. Perumusan Masalah .................................................................. 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8

F. Review Studi Terdahulu ............................................................ 9

G. Metode Penelitian...................................................................... 10

H. Sistematika Penulisan ............................................................... 13

BAB II POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM ..................................... 14

A. Pengertian Poligami .................................................................. 14

B. Sejarah Poligami ....................................................................... 15

C. Hukum Melakukan Poligami .................................................... 19

D. Syarat-syarat Poligami .............................................................. 28

E. Dampak yang Mempengaruhi Poligami ................................... 34

F. Hikmah Poligami ...................................................................... 37

BAB III POLIGAMI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

DI INDONESIA, PAKISTAN DAN SOMALIA......................... 39

A. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Indonesia 39

1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ................................ 39

2. Peraturan Poligami di Indonesia .......................................... 46

3. Syarat dan Prosedur Poligami di Indonesia ......................... 52

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

viii

4. Sanksi Poligami di Indonesia .............................................. 57

B. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Pakistan 59

1. Sejarah Hukum Keluarga di Pakistan ................................. 59

2. Peraturan Poligami di Pakistan ............................................ 64

3. Syarat dan Prosedur Poligami di Pakistan ........................... 65

4. Sanksi Poligami di Pakistan................................................. 67

C. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Somalia.. 68

1. Sejarah Hukum Keluarga di Somalia .................................. 68

2. Peraturan Poligami di Somalia ............................................ 72

3. Syarat dan Prosedur Poligami di Somalia ........................... 73

4. Sanksi Poligami di Somalia ................................................. 75

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PERATURAN POLIGAMI

DI INDONESIA, PAKISTAN DAN SOMALIA......................... 76

A. Perbandingan Horizontal ........................................................... 76

B. Perbandingan Vertikal ............................................................... 85

BAB V PENUTUP ...................................................................................... 89

A. Kesimpulan .............................................................................. 89

B. Saran ......................................................................................... 91

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 92

LAMPIRAN ........................................................................................................... 97

1. UU Perkawinan No 1 Tahun 1974

2. PP No 45 Tahun 1990

3. Kompilasi Hukum Islam

4. Muslim Family Law Ordinance (UU Hukum Keluarga Pakistan) Tahun 1961

5. Family Code of Somalia (UU Hukum Keluarga Somalia) Tahun 1975

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Poligami merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diatur dalam

hukum Islam. Mengacu pada hukum Islam (fiqh), poligami merupakan

bentuk perkawinan yang diperbolehkan. Mayoritas ulama memperbolehkan

pernikahan poligami, dan pandangan ini didasarkan pada ayat al-Quran yang

memperbolehkan bahwa seorang Muslim laki-laki melakukan pernikahan

dengan satu, dua, tiga, dan empat wanita yang baik, seperti tercantum dalam

ayat keempat Surat An-Nisa/4.1

Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai

alternatif ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks

laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar

tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas

diharamkan oleh agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari

agar suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan

mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat

bisa berlaku adil.2

Realisasi dari sifat adil yang dituntut Al-Quran surah Al-Nisa (4) : 3

dan juga disebutkan dalam Ar-Rum (30) : 21, tidak sesuai dengan aturan Al-

Quran dan penafsiran perundang-undangan yang ditetapkan. Ajaran agama

tentang bolehnya poligami dijadikan alat untuk melegitimasi perbuatan laki-

laki yang tidak bertanggung jawab dan perempuan yang dijadikan isteri muda

hanya dijadikan tempat berlabuh untuk dicicipi kehangatan tubuhnya.

1Asep saepudin Jahar,dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Kajian Perundang-undangan

Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional), (Jakarta: Kencana, 2013), h.29 2 Tihani dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:

Rajawali Press. 2010), h.358

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

2

Masalah keadilan yang menjadi syarat pokok dalam berpoligami malah

diabaikan.

Diperburuk dengan adanya poligami yang dilakukan di luar

pengadilan, yakni yang dilaksanakan di bawah tangan tanpa mengikuti

prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-undang yang berlaku

menyebabkan kedudukan perempuan dalam posisi yang lemah dan

memprihatinkan. Untuk itu perlu adanya perlindungan terhadap nasib

perempuan dari perbuatan dan perlakuan yang semena-mena dari kaum laki-

laki.

Apabila poligami dilakukan dengan semena-mena tampa melibatkan

persetujuan para isteri dan dilakukan tanpa seizin pengadilan, maka akan

memberikan banyak dampak negatif pada perempuan dan anak-anak yaitu:

1. Istri pertama pada umumnya tertekan.

2. Hubungan keluarga kurang harmonis.

3. Hubungan antar keluarga istri pertama dengan istri kedua dan

seterusnya terganggu.

4. Rawan kekerasan (psikologis, fisik, sosial, dll).

5. Suami cenderung dominan, peran istri di wilayah domestik dan publik

lemah.

6. Keluarga poligami umumnya berpengaruh terhadap perkembangan

psikologis, intelektual dan sosial anak.

Indonesia, Pakistan dan Somalia adalah termasuk negara-negara

Muslim yang menetapkan perundang-undangan perkawinan yang mengatur

tentang poligami. Namun, karena aturan-aturannya yang terus berkembang di

beberapa negara, termasuk Indonesia, dan juga karena perbedaan cara

pandang dari para ulama dan ahli hukum terkait dengan hukumnya, isu

poligami menjadi menarik dan penting untuk didiskusikan.3

3Asep saepudin Jahar,dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Kajian Perundang-undangan

Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional), (Jakarta: Kencana, 2013), h.29

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

3

Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan reformasi Hukum

Keluarga di negara-negara Muslim Modern adalah meninjau kembali

sejumlah ketentuan hukum islam klasik yang dianggap sudah tidak relevan

dengan kondisi sosial dan tuntutan/perubahan modern. Demikian pula halnya

dalam masalah poligami dan pencatatan perkawinan. Aturan fikih

konvensional yang menjadi referensi selama berabad-abad kini ditinjau

kembali dan digantikan dengan produk legislasi yang tampaknya diarahkan

pada upaya mengangkat status wanita dan merespon tuntutan dan

perkembangan zaman.

Secara umum ketentuan (perundang-undangan) tentang poligami

berkaitan dengan hukum keluarga di negara-negara muslim modern, dapat

diklasifikasikan kepada tiga kategori: pertama, negara-negara yang sama

sekali melarang praktik poligami, seperti Turki dan Tunisia. Kedua, negara-

negara yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat

(dipersulit), seperti Pakistan, Maroko, Mesir, Malaysia dan Indonesia. Ketiga,

negara-negara yang memperlakukan poligami secara lebih longgar, seperti

Saudi Arabia, Iran, dan Qatar.4

Berkaitan dengan tiga kategori yang telah disebutkan di atas,

Indonesia, Pakistan dan Somalia dikategorikan kepada negara yang

memperbolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat (dipersulit).5

Kategori inilah yang menjadi kecenderungan umum hukum keluarga di dua

negara tersebut. Pembatasan poligami yang dilakukan bersifat variatif, dari

cara yang paling lunak sampai yang paling tegas, dengan mempersyaratkan

kondisi atau izin tertentu.

Di Indonesia, masalah poligami diatur dalam Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia. Pasal 3 dari Undang-undang

4Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative

Analysis), (New Delhi: 1987),h. 273-274. 5Tahir mahmood, Personal Law, (New Delhi, n.p., 1972), h. 73-274.

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

4

tersebut menyatakan bahwa pada prinsipnya asas perkawinan di Indonesia

adalah monogami. Selanjutnya pasal 4 menyatakan bahwa pengadilan yang

memutus boleh tidaknya seorang suami beristri lebih dari satu, apabila

memenuhi syarat tertentu.

Izin poligami akan diberikan oleh pengadilan apabila:

1. Isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai istri.

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

3. Istri tidak bisa memberikan keturunan.

Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia,

seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan poligami. Ia hanya

diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat

perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial Hukum

Perkawinan merubah keadaan ini, namun sesungguhnya masih bersifat

mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang

merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan

hukum tersebut (Pasal 3): dan memang salah satu tujuan utama dari UU

Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain,

UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang

istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dan sejumlah ketentuan UU

tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan

Agama.6

Di Pakistan Poligami diatur dalam Undang-undang Hukum Keluarga

Islam Pakistan, mengenai pemberian sanksi bagi pelanggaran poligami dalam

6Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogykarta: Graha Ilmu, 2011)

h. 110

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

5

hukum positif di Pakistan (The Muslim Family Law Ordinance 2015). Dalam

pasal 5 disebutkan7 :

“No married man can remarry if he does not have permission from

the Arbitration Council (a body which is headed by the Chairman, Union

Council, for the purposes of divorce). A marriage contracted without

permission cannot be registered, and carries a penalty of Rs. 500,000 and

imprisonment of up to 1 year, along with payment of entire dower (if it was

not given at the time of nikah) to the existing wife/wives”8

Pasal di atas menegaskan bahwa seorang pria yang masih terikat

dalam suatu perkawinan hanya dapat berpoligami jika telah mendapat izin

tertulis dari lembaga arbitrase. Dan bagi yang melanggar ketentuan ini akan

dijatuhi hukuman denda sebesar lima ratus ribu rupee dan penjara maksimal

satu tahun serta membayar mahar kepada istri/istri-istrinya jika belum

memberikannya.

Sementara itu, pada Undang-undang keluarga Somalia menyebutkan:

“Tidak seorangpun boleh menikah lagi (poligami) kecuali setelah mendapat

izin secara resmi dari pengadilan.9

Secara umum ketentuan perundang-undangan keluarga Islam pada

negara-negara muslim tentang poligami dapat dilihat tipologi pembaruan,

yakni : (1) boleh poligami secara mutlak; (2) poligami dapat menjadi alasan

cerai; (3) poligami harus ada izin pengadilan; (4) pembatasan poligami lewat

kontrol sosial; (5) poligami dilarang secara mutlak; (6) dikenakan sanksi bagi

yang melanggar aturan tentang poligami. 10

7Artikel diakses pada 10 Desember 2017 dari:

https://pcsw.punjab.gov.pk/Punjab%20Muslim%20Family%20Laws%20%28Amandement%29%20A

ct%2C%202015 8Terjemahan: Laki-laki yang telah menikah tidak dapat menikah kembali jika dia tidak

memiliki izin dari Dewan Arbitrase (badan yang dipimpin oleh Ketua, Dewan Persatuan, untuk

keperluan perceraian). Sebuah pernikahan yang dilakukan tanpa izin tidak dapat didaftarkan, dan bagi

yang melanggar akan dikenakan hukuman Rs. 500.000 dan penjara hingga 1 tahun, bersamaan dengan

pembayaran seluruh mahar (jika tidak diberikan pada saat nikah) kepada istri / istri yang ada. 9Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogykarta: Graha Ilmu, 2011)

h. 112 10

Tahir mahmood, Family Law Reform in the Moslem World, (New Delhi, n.p., 1972), h.

257-278.

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

6

Pengetahuan perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting

di Indonesia, karena sering kali kita memperdebatkan sesuatu hal yang orang

lain di Negara lain telah menyelesaikan masalah itu puluhan tahun

sebelumnya. Berkaitan dengan itu, hukum keluarga islam di Indonesia,

Pakistan dan Somalia tentang aturan poligami, dikategorikan kepada negara

yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat

(dipersulit). 11

Untuk itu perlu adanya perlindungan terhadap perempuan dari

perbuatan dan perlakuan yang semena-mena dari kaum laki-laki. Dan salah

satu alasan yang mendasari lahirnya Undang-undang perkawinan adalah

masalah perlindungan terhadap kaum perempuan ini.12

Dengan demikian, Persoalan poligami keberadaannya semakin

dipertimbangkan karena beberapa Negara Muslim telah melakukan reformasi

untuk peraturan poligami tersendiri. Lebih menarik lagi jika di Indonesia juga

bisa melihat lebih dekat serta menelaah lebih dalam perundang-undangan

hukum keluarga tentangpoligami di Indonesia, Pakistan dan Somalia baik

dari segi hukum materinya ataupun dari segi sanksinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud untuk

mengangkat topik tersebut dalam sebuah karya tulis yang berjudul “Poligami

dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Pakistan dan Somalia (analisis

perbandingan mengenai peraturan poligami)”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasikan

permasalahan sebagai berikut :

11

Ibid, h. 275-278. 12

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum,

(Jakarta: RM Books, 2012) h. 157-158

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

7

1. Bagaimana materi hukumtentang poligami di Indonesia, Pakistan dan

Somalia?

2. Apa saja persyaratan untuk melakukan poligami dalam hukum

keluarga di Indonesia, Pakistan dan Somalia?

3. Apa sanksi bagi pihak yang melanggar aturan poligami dalam hukum

keluarga di Indonesia, Pakistan dan Somalia?

4. Bagaimana ketentuan poligami menurut fukaha mazhab?

5. Sejauh manakah ketentuan poligami dalam peraturan di ketiga negara

tersebut bergeser dari pendapat fukaha mazhab?

C. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membahas sebatas kajian

yuridis normatif saja, yaitu membahas bagaimana sesungguhnya ketentuan

poligami yang tercantum dalam Perundang-undangan di Indonesia seperti

Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No 45

Tahun 1990 dan Kompilasi Hukum Islam. Lalu bagaimana pula ketentuan

poligami yang tercantum pada Perundang-undangan yang berlaku di Pakistan

yaitu Muslim Family Law Ordinance 1961 serta Perundang-undangan yang

berlaku di Somalia yaitu Family Code of Somalia. Dan apa saja persamaan

dan juga perbedaan dalam pengaturan poligami di ketiga negara tersebut.

D. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana peraturan hukum keluarga tentang poligami di Indonesia,

Pakistan dan Somalia?

2. Apa perbedaan dan persamaan pengaturan poligami dalam hukum

keluarga di Indonesia, Pakistan dan Somalia.

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

8

3. Bagaimanakah ketentuan poligami dalam perundang-undangan di

Indonesia, Pakistan dan Somalia dibandingkan dengan konsep yang

dirumuskan dalam fikih mazhab?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini untuk mengetahui

bagaimana materi hukum tentang pengaturan poligami dalam hukum

keluarga di Indonesia dibandingkandengan hukum keluarga Pakistan dan

Somalia serta mengetahui perbedaan dan persamaan pengaturan poligami

dalam hukum keluarga di Indonesia, Pakistan dan Somalia, yang tersusun

dalam jawaban pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui ketentuan poligami dalam hukum keluarga di

Indonesia, Pakistan dan Somalia.

2. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan pengaturan tentang

syarat dan sanksi poligami dalam hukum keluarga di Indonesia,

Pakistan dan Somalia.

3. Untuk mengetahui pergeseran ketentuan polgami yang ada dalam

perundang-undangan di Indonesia, Pakistan dan Somalia dari

konsep poligami yang sudah dirumuskan dalam fikih mazhab.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam melakukan penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, penelitian ini sangat bermanfaat sebagai wawasan

ataupun pengetahuan mengenai pengaturan poligami menurut

hukum perkawinan di dunia Islam di Indonesia dan Pakistan.

2. Bagi Masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman

ataupun pengetahuan untuk mengetahui pengaturan poligami dan

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

9

pencatatan perkawinan menurut hukum perkawinan di dunia Islam

di Indonesia dan Pakistan.

3. Bagi Akademik, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber

referensi san acuan bagi kalangan akademisi dan praktisi dalam

menunjang penelitian selanjutnya yang mungkin cangkupannya

lebih luas sebagai bahan perbandingan.

F. Review Studi Terdahulu

Review studi terdahulu berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang

akan diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama

sekali. Sekalipun ada tetapi terdepat beberapa perbedaan mendasar. Oleh

karena itu, untuk menjaga keaslian dalam penelitian ini, penulis sudah

melakukan review studi terdahulu. Adapun di antara review studi terdahulu

yang telah dilakukan oleh penulis antara lain:

1. Dinda Choerul Ummah, Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

Keluarga Di Dunia Islam (Studi Komparatif Undang-undang Hukum

Keluarga Indonesia-Tunisia), (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta: 2014).

Pembahasan dalam skripsi tersebut adalah hanya ditekankan kepada

peraturan poligami pada Undang-undang Hukum Keluarga di

Indonesia dan Tunisia.

Perbedaan dengan skripsi ini yaitu pada objek penelitiannya, dalam

skripsi ini penulis membandingkan 3 negara yaitu Indonesia,

Pakistan dan Somalia.

2. Achmad Munir, Kriminalisasi Poligami Pegawai Negeri Sipil Di

Indonesia Menurut Hukum Islam, (Fakultas Syariah dan Hukum,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2014).

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

10

Pembahasan dalam skripsi tersebut lebih menekankan kepada

pengaturan sanksi poligami pada undang-undang hukum keluarga di

Indonesia yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil.

Perbedaan dengan skripsi ini ialah perbandingan pengaturan

poligami beserta persyaratan untuk melakukan poligami di Indonesia,

Pakistan dan Somalia dalam masyarakat umum.

3. Atiqoh Fatiyah, Studi Komparatif Kedudukan Mahar Pernikahan Di

Negara Indonesia dan Pakistan, (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta: 2016).

Di dalam skripsi tersebut hanya memfokuskan bahasan tentang

penetapan mahar yang berada di Indonesia dan Pakistan.

Dalam skripsi ini objek kajian yang penulis teliti yaitu

memfokuskan tentang pengaturan poligami di Indonesia, Pakistan

dan Somalia, dalam segi persyaratan dan sanksi bagi yang

melanggar.

G. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa aspek metode penelitian

yang akan digunakan yaitu:

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perbandingan

(Comparative Approach) yaitu penelitian yang membandingkan

hukum suatu negara dengan hukum negara lain.

2. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian

kepustakaan (Library Research) yaitu sebuah studi yang mengkaji

berbagai buku, majalah, surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah

lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini yang diambil dari

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

11

kepustakaan.13

Khususnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974,

Kompilasi Hukum Islam,Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 1990,

Ordonansi No 6 Tahun 1961 Marriage and Family Law Ordinance

(MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang hukum keluarga), dan

Artikel No 13 Tahun 1975 The Family Code (Somalia)

3. Data Penelitian

a. Sumber Data

Undang-Undang Perkawinan Indonesia Nomor 1 Tahun 1974,

Kompilasi Hukum Islam,Peraturan Pemerintah No 45 Tahun

1990, Ordonansi No 6 Tahun 1961 Marriage and Family Law

Ordinance (MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang hukum

keluarga), Artikel No 13 Tahun 1975 The Family Code (Somalia).

b. Jenis Data

Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam skripsi ini.

1) Data Primer: yaitu data yang berasal dari al-Qur‟an, kitab

hadis, buku-buku, dan Undang-Undang Perkawinan

Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam,

Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 1990, Ordonansi 6

Tahun 1961 Marriage and Family Law Ordinance

(MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang hukum

keluarga), Artikel No 13 Tahun 1975 The Family Code

(Somalia), serta buku-buku yang membahas masalah

hukum perkawinan di Negara Indonesia, Pakistan dan

Somalia.

2) Data Sekunder: yaitu data yang berupa dokumen-dokumen

yang terdapat dalam majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dan

artikel yang relevan dengan tema dalam skripsi ini.

13

Hadari Nawawi Martini Mimi, Peneliti Terapan, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1996), h.23

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

12

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah studi

naskah atau pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data yang

membahas tentang poligami, Undang-undang poligami, sanksi

poligami serta persyaratan untuk melakukan poligami di negara

Indonesia, Pakistan dan Somalia.

Setelah data terkumpul dari berbagai sumber maka penulis akan

memaparkan data tersebut, kemudian penulis analisa. Secara teknis

penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:

tahun 2017.

5. Teknik Pengolahan Data

Metode yang digunakan yaitu deskriptif dengan memaparkan data

yang diperoleh tersebut kemudian membandingkan antara data yang

tertera pada teori yang diambil dari studi pustaka lalu penulis analisa.

6. Metode Analisis Data

Adapun metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis isi

(content analisis) dan komparasi, yakni menganalisis materi

perundang-undangan terkait poligami di Indonesia, Pakistan dan

Somalia tersebut dideskripsikan dan diperbandingkan dengan mencari

persamaan dan perbedaan masing-masingnya. Penelitian ini dilakukan

untuk membandingkan persamaan dan perbedaan data yang diteliti.

Perbandingan dilakukan melalui dua jalur yaitu:

a. Perbandingan Horizontal, yaitu memperbandingkan antara

perundang-undangan tentang poligami yang berlaku di Indonesia,

Pakistan dan Somalia.

b. Perbandingan Vertikal, yaitu memperbandingkan antara

perundang-undangan yang berlaku di ketiga negara tersebut

dengan konsep fikih mazhab.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

13

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.

Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas

ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan

tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah

Pada bab Pertama merupakan bab tentang pendahuluan yang

merupakan suatu pengantar umum pada tulisan berikutnya yang meliputi:

latar belakang, identifikasi masalah pembatasan masalah, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika

penulisan.

Pada bab Kedua menjelaskan tentang tinjauan umum poligami serta

tinjauan hukum keluarga Islam tentang pengaturan poligami

Pada bab Ketiga akan menjelaskan tentang pembentukan hukum

keluarga dan peraturan yang mengatur hukum keluarga di Indonesia, Pakistan

dan Somalia.

Pada bab Keempat berisi tentang analisis perbandingan mengenai

poligami dalam hukum perkawinan di Indonesia, Pakistan dan Somalia.

Pada bab Kelima adalah penutup, seperti biasa bab ini mencakup

kesimpulan dari pembahasan yang telah dianalisa oleh penulis dan saran dari

penulis ketika melihat substansi skripsi penulis

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

14

BAB II

POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Poligami

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami berarti sistem

perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan

jenisnya di waktu yang bersamaan.14

Dalam Kamus Ilmiah Populer, poligami

adalah seorang dengan dua orang atau lebih, namun cenderung diartikan

perkawinan satu orang suami dengan dua istri atau lebih.15

Sedangkan dalam

bahasa Arab poligami sama dengan Ta‟addud az-zaujat yang artinya

berbilangnya istri.16

Poligami seringkali dimaknai dengan pernikahan antara seorang laki-

laki dengan beberapa perempuan. Pernikahan model seperti ini telah menjadi

tradisi yang melekat dan mendarah daging di kalangan bangsa Arab sebelum

kedatangan Islam. Bahkan bukan hanya poligami, seorang perempuan yang

memiliki beberapa pasangan laki-laki (poliandri), juga merupakan hal yang

wajar saat itu.

Secara etimologis, poligami berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri

dari dua kata yakni “poli” atau “polus” yang artinya banyak, dan kata

“gamein” atau “gamos” yang artinya kawin atau perkawinan. Jika

digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Kalau dipahami

dari definisi ini, maka sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah

perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.17

14

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h.885 15

Pius A. Partanto dan M.Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,(Surabaya: Arloka, 1994),

h.606 16

Abdul Aziz, dkk, Ensiklopesi Hukum Islam, vol.4, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,

1997), h.107 17

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 139

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

15

Secara terminologis, menurut Musdah Mulia poligami adalah ikatan

perkawinan yang salah satu pihak (Suami) mengawini beberapa (lebih dari

satu) istri dalam waktu yang bersaman.18

Dengan singkat Moch. Anwar

menegaskan poligami adalah beristri lebih dari satu.19

Poligami menurut Kompilasi Hukum Islam adalah seorang suami

beristri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, terbatas hanya

sampai empat orang istri.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa

poligami adalah ikatan perkawinan dimana salah satu pihak

memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.

Walaupun dalam pengertian di atas ditemukan kalimat “salah satu pihak”,

maka yang dimaksud dengan poligami disini adalah ikatan perkawinan,

seorang suami dengan beberapa orang istri sebagai pasangan hidupnya dalam

waktu yang bersamaan. Dengan demikian, tidak disebut poligami apabila

seorang lelaki beristri lebih dari satu, tetapi sebelum berlangsungnya akad

nikah kedua, ia terlebih dahulu menceraikan istri pertamanya.

B. Sejarah Poligami

Islam bukanlah agama pertama yang melegitimasi poligami. Karena

sejarah membuktikan bahwa poligami sudah umum dilakukan sebelum

datangnya Islam oleh berbagai suku bangsa. Diantaranya bangsa Ebre dan

Arab pada zaman Jahiliyah, juga terdapat pada suku bangsa „salafiyun‟ yaitu

Negara-negara yang sekarang disebut Rusia, Letonia, Cekoslavia dan

Yugoslavia dan disebagian Negara Jerman dan Inggris.20

18

Siti Musdah Muia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2007), h. 43 19

Moch. Anwar, Fiqh Islam; Muamalah, Munakahat, Faraid dan Jinayah, (Bandung: PT.

Alma‟arif, 1980), h.149 20

Musthafa as Siba‟I, Penerjemah Chadidjah Nasution, Wanita diantara Hukum Islam dan

Perundang-undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), cet.1, h.100

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

16

Menurut catatan sejarah, poligami telah ada jauh sebelum Islam hadir.

Bahkan praktik poligami pada saat itu dapat dikatakan cukup marak. Hal ini

dapat dilihat dari ajaran agama yang dibawa oleh para nabi sebelum

Rasulullah. Nabi Musa misalnya, ia tidak melarang dan juga tidak membatasi

jumlah wanita yang diperistri oleh seorang lelaki.21

Baidan mengemukakan

bahwa poligami sudah ada di kalangan bangsa-bangsa yang hidup pada

zaman purba, seperti Yunani, China, India, Babilonia, Asyiria, Mesir dan

lain-lainnya. Bahkan, poligami pada masyarakat tersebut tidak dibatasi

jumlahnya hingga mencapai 130 istri bagi seorang suami. Seorang raja di

China malah memiliki istri sebanyak 30.000 orang.22

Meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak

menghalangi seorang laki-laki untuk menikahi dengan beberapa saja

banyaknya istri, namun pendeta-pendeta Yahudi membenci poligami itu. Lalu

mereka berusaha mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan

banyaknya istri hanya empat saja dan menetapkan harus ada faktor-faktor

pendorong yang sah menurut agama, untuk bolehnya laki-laki menikah

dengan istri baru.23

Syariat yang dibawa Nabi Isa juga tidak melarang poligami. Umat

Nasrani kuno tidak ada yang menyatakan bahwa poligami tidak

diperbolehkan. St. Agustinus juga menyatakan memperbolehkan poligami.

Bahkan di abad IV, Raja Valintinian membuat undang-undang yang

mengizinkan seorang lelaki mempunyai istri lebih dari satu. Baru pada masa

Raja Yustinian dikeluarkan larangan poligami.24

21

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Cet.9, (Yogyakarta: UII Press, 1999),

h.37 22

Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al-Ra‟yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-

Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) 23

Abdul Nasir Taufiq al‟atthar, Poligami ditinjau dari Agama, Sosial dan Perundang-

undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet.1, h.80 24

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Cet.9, (Yogyakarta: UII Press, 1999),

h.37

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

17

Ajaran Zoroaster melarang bangsa Persia berpoligami, namun

membolehkan memelihara gundik. Karena mereka banya berperang, maka

dibutuhkan keturunan laki-laki dalam jumlah banyak dari istri maupun

gundiknya. Meski awalnya dilarang, praktik poligami pada akhirnya kerap

terjadi. Tidak ada undang-undang yang melarang poligami ataupun yang

membatasi jumlah istri.25

Selain Persia, Bangsa Romawi juga mengenal poligami. Raja-raja

atau kaisar-kaisar mereka melakukan poligami. Begitu pula Bangsa Yunani,

Raja Sillia beristrikan lima orang wanita. Caesar dan Pompius masing-masing

mempunyai empat istri. Di Athena, poligami bahkan dibolehkan tanpa adanya

pembatasan jumlah istri. Di Athena, yang ketika itu menjadi pusat peradaban

Yunani kuno dan dikenal sebaai kiblat ilmu pengetahuan pada masa

purbakala, kedudukan wanita tidak lebih, mereka bisa diperjual belikan dan

diwariskan. wanita dianggap buruk dan hanya untuk mengatur rumah tangga

dan melahirkan keturunan. orang Athena bebas mengambil istri sesuai

kehendaknya, tanpa batas. Di Sparta, walaupun kaum laki-lakinya tidak

diperbolehkan mempunyai istri lebih dari seorang kecuali karena sebab-sebab

khusus, kaum wanitanya boleh, bahkan hampir selalu mempunyai lebih dari

seorang suami.26

Bangsa Arab pada masa pra-Islam juga menjalankan praktik poligami.

Sahabat Nabi Muhammad bahkan ada yang beristri hingga sepuluh wanita.

Ini dapat diketahui dari hadis yang ditakhrij oleh Imam At-Tirmidzi berikut:

سانى ع ش انض ش ع ثا يع جعفش حذ ذ ب ثا يح حكى حذ ثا ح ب ش حذ ع اب ع

ة قال تحت عشش س ت سه ب ل سهى فقال ن أسهى غ عه صه للا خز انب ي

)سا اب ياج( أسبعا

Telah bercerita kepada kami Yahya bin Hakim; telah bercerita kepada

kami Muhammad bin Ja‟far; telah bercerita kepada kami Ma‟mar; dari

25

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Cet.9, (Yogyakarta: UII Press, 1999),

h.37 26

Abdul Qodir Jaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h.169-171

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

18

Az-Zuhri; dari Salim; dari ibnu Umar; berkata : Ghailan bin Salamah

masuk Islam, sedangkan padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi

SAW bersabda padanya ; “silahkan ambil (pertahankan) empat diantara

mereka”. (HR. Ibnu Majah)27

Pada umumnya orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira

poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang

membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang secara ekstrim

berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami tidak dikenal dalam

sejarah manusia. Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat di

berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami.

Poligami dipraktekkan secara luas di kalangan masyarakat Yunani, Persia dan

Mesir kuno.28

Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, tidak menghapus

praktik ini, namun Islam membatasi diperbolehkan poligami hanya sampai

empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan

berlaku adil antara para istri. 29

Dengan demikian, keliru jika kemudian orang menyatakan Islamlah

yang menciptakan aturan poligami, Islamlah yang memunculkan dan

menumbuh suburkan praktik poligami, tetapi yang benar adalah Islam yang

mengatur keberadaan poligami yang sudah ada dan terjadi di masyarakat

Arab sebelum kedatangan Islam. Pengaturan ini dilakukan untuk tetap

memelihara dan menjaga harkat, martabat, dan kehormatan manusia itu

sendiri.30

27

At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz IV, (Beirut: Dar al-Fikr: 1995), h.131 28

Saiful Islam Mubarak, Poligami Antara Pro dan Kontra, (Bandung: Syamil, 2007), h.2 29

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi

Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006),

h. 156-157 30

Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara Teks, Konteks, dan Praktek, (Jakarta:

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008), h.15

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

19

C. Hukum Melakukan Poligami

Poligami sampai saat ini masih diperdebatkan antara yang mendukung

dan menantang. Pendapat hukum poligami secara garis besar dapat dibagi

dalam tiga (3) kelompok, yaitu: Pertama, mereka yang membolehkan

poligami secara mutlak (didukung mayoritas ulama klasik). Kedua, mereka

yang melarang poligami secara mutlak. Ketiga, mereka yang membolehkan

poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi tertentu. 31

Dalam Al-Qur‟an ayat yang kerap dijadikan dalil hukum poligami dan

perintah untuk melakukan poligami oleh Umat Islam adalah QS. An-Nisa

ayat 3:

سباع ثلث انساءيثى كحاياطابهك أالتقسطافانتايىفا خفت إ صه

أالتعذنا خفت احذةأيايه فإ ف

اكى كتأج

نا رنكأدىأالتع

Artinya:“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka

(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q. S. An-

Nisa‟ ayat 3)

Terdapat perbedaan dalam memahami ayat di atas, menurut jumhur

(kebanyakan) ulama ayat di atas turun setelah Perang Uhud selesai, ketika

banyak pejuang muslim yang gugur menjadi syuhada. Sebagai

konsekuensinya banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati ayah atau

suaminya. Hal ini juga berakibat terabaikannya kehidupan mereka terutama

31

Islah Gusmian, Mengapa Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2007),

h.38

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

20

dalam hal pendidikan dan masa depan mereka. Kondisi inilah yang melatar

belakangi disyariatkannya poligami dalam Islam.32

Ibnu Jarir al-Thabari (W, 923 M) sangat setuju dengan pendapat yang

mengatakan bahwa makna ayat di atas merupakan kekhawatiran tidak

mempunyai seorang wali yang berbuat adil terhadap harta anak yatim

khususnya perempuan. Kekhawatiran ini berlaku pada cara menyikapi

wanita. Maka, janganlah menikahi mereka kecuali dengan perempuan yang

kalian yakin bisa berbuat adil, satu hingga empat orang. Sebaliknya, jika ada

kekhawatiran tidak sanggup berbuat adil ketika berpoligami, maka cuku

menikahi seorang istri saja.33

Dalam penafsiran ayat ketiga dari Surat Al-Nisa di atas, Muhammad

Syahrur tidak memisahkan beberapa ayat sebelumnya, yaitu ayat pertama,

kedua dan ketiga. Ketiga ayat tersebut menurutnya bernuansa persaudaraan,

humanisme, dan meletakkan semua dasar pergaulan hidup dalam satu ciptaan.

Demikian juga dengan ayat setelahnya, ayat ke empat, lima dan enam ialah

pengungkapan tentang sedekah dan mahar. Pengasuhan dan pemeliharaan

aharta anak yatim dimana hal itu menjadi indikator bagi prinsip persaudaraan,

humanisme dan persamaan dalam Islam. Oleh karena itu, menurut Syahrur

pembicaraan mengenai poligami mesti berkaitan dengan tema tentang

perhatian terhadap anak yatim.34

M Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Quran mengatakan

bahwa ayat 3 surat al-Nisa ini menjadi dasar bolehnya poligami, namun

demikian ayat ini tidak membuat suatu peraturan (hukum) tentang poligami,

karena faktanya poligami itu sudah dikenal dan menjadi syariat agama dan

adat istiadat sebelum Islam. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau

32

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996) h.85 33

Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, (Kairo, Darul Ma‟arif, 1978), Jilid 7, h.155 34

Muhammad Syahrur, Nahwu Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islamy, (Damaskus: Dar Ahali,

1990), Cet.1, h.302

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

21

menganjurkannya. Ia hanya berbicara tentang bolehnya berpoligami, itupun

merupakan pintu darurat kecil yang hanya boleh dilalui saat amat diperlukan

dengan syarat yang tidak ringan.35

Sedangkan Muhammad Baqir al-Habsyi berpendapat yang dikutip oleh

Khoruddin Nasution, bahwa di dalam al-Quran tidak ada satu ayat pun yang

memerintahkan atau menganjurkan poligami. Penyebutan hal ini dalam an-

Nisa ayat 3 hanya sebagai informasi sampingan dalam rangka perintah Allah

agar memperlakukan keluarga, terutama anak yatim dan harta mereka dengan

perlakuan adil.36

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum poligami. Menurut Imam

yang empat, yakni Imam Abu Hanifah (W 767M), Imam Malik (W 795 M),

Imam Syafi‟i (W 820 M) dan Imam Ahmad(W 855 M), sepakat bahwa

poligami itu mubah (boleh). Menurut mereka seorang suami boleh memiliki

istri lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat orang istri. Akan tetapi

diperbolehkannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil antara

perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya.37

Para imam juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil,

hendaknya beristri satu saja itu jauh lebih baik. Para ulama ahli sunnah juga

telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai istri lebih dari empat

maka hukumnya haram. Perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap

batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang

empat itu dan telah habis pula masa iddahnya. Dalam masalah membatasi

istri empat orang saja, Imam Syafi‟i (W 820 M) berpendapat bahwa hal

tersebut telah ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah sebagai penjelasan dari

35

M Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), Cet.IV, h.200 36

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996) h.85 37

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Madzhab Syafi‟i, Hanafi,

Maliki dan Hambali, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), h.89

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

22

firman Allah, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan

menikah lebih dari empat perempuan.38

Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah (W 767 M), yang dikutip

oleh Al-Sarakhsi (W 1090 M) dalam kitab al-Mabsut, bahwa poligami

dibolehkan dan seorang suami yang berpoligami harus berlaku adil terhadap

para istrinya. Keharusan berlaku adil ini berdasarkan surat an-Nisa(4):3 dan

hadis dari Aisyah ra yang menceritakan perlakuan adil dari Nabi kepada para

istrinya, ditambah dengan ancaman bagi suami yang berpoligami tetapi tidak

berlaku adil kepada para istrinya.39

Ketika berbicara tentang hak dan

kewajiban suami dan istri, Imam al-Kasani, ulama madzhab Hanafi, menulis

tentang kewajiban suami yang berpoligami, yakni wajib berlaku adil terhadap

istri-istrinya, dan mendapat perlakuan adil ini menjadi hak istri.40

Para Ilmuwan klasik (Fuqaha) berpendapat, bahwa Allah mengizinkan

menikahi empat perempuan. Menurut mereka, walaupun diperbolehkan disini

ditambah dengan kondisi yang tidak mungkin ditunaikan, keadilan dalam

kasih sayang, perasaan, cinta dan kasih sayang, namun selama kemampuan

berbuat adil di bidang nafkah dan akomodasi bisa ditunaikan izin untuk

berpoligami menjadi sesuatu yang bisa diperoleh. Alasan yang mereka

kemukakan untuk mendukung ide ini adalah bahwa nabi sendiri pernah

berkata hubungannya dengan ketidakmampuannya berbuat adil dalam hal

batin.41

Demikian juga pendapat para ulama tafsir, baik Al-Thabari (W 923

M) yang berpendapat bahwa poligami adalah dibolehkan selama bisa berlaku

adil.42

Sedangkan ulama yang lain yaitu Abu Bakar Ahmad Ibn Ali Al-Razi

38

Muhammad bin Idris As-Syafi‟i, Al-Umm, h.130 39

Syamsuddin Al-Sarakhsi, Al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Marifat), Jilid V, h.217 40

Imam Alauddin al-Kasani, Bada‟i al-Sona‟i, (Beirut: Dar al-Fikri, 1996), Juz II, h.491 41

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.99 42

Ibnu Jarir Al-Thabari, Jami‟ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, (Beirut, Dar Al-Fikr, 1978),

h.155

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

23

(Al-Jashshash) yang juga intensif mengupas poligami, berpendapat bahwa

poligami bersifat mubah (boleh). Diperbolehkannya ini juga disertai dengan

syarat kemampuan berbuat adil diantara para istri, termasuk material, seperti

tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian dan sejenisnya, serta kebutuhan

non material seperti rasa kasih sayang, kecenderungan hati dan semacamnya.

Namun dia memberikan catatan, bahwa kemampuan berbuat adil di bidang

non material ini amat berat.43

Demikian juga Zamakhsyari (W 1144 M) berpandangan bahwa

poligami adalah dibolehkan, bahkan pandangan jumlah perempuan yang

boleh dinikahi bagi laki-laki yang berbuat adil, bukan empat, sebagaimana

pendapat ulama pada umumnya, tetapi sembilan. Dengan menjumlahkan dua

tambah tiga tambah empat sama dengan sembilan.44

Hal ini ditolak oleh Al-Qurtubi (W 1273 M) didalam kutipan

Khoiruddin Nasution, dimana Harist ibn Qois yang mempunyai delapan

orang istri, ketika masuk Islam Nabi menyuruh memilih empat orang diantara

mereka dan menceraikan sisanya. Hal yang cukup menarik dari Al-Qurtubi

dan Zamakhsyari adalah untuk mensahkan hubungan antara tuan dan

budaknya harus dinikahi terlebih dahulu. Adapun menurut Syaukani (W 1834

M) bahwa dengan turunnya surat Al-Nisa ayat 3, yakni menghapus kebiasaan

orang Arab pra Islam yang menikahi perempuan tanpa batas.45

Al-Qasimi (W 1916 M) berpendapat seperti yang tertulis dalam buku

Khoiruddin Naaution bahwa hanya pria yang istimewa saja yang bisa

melakukan poligami secara adil. Sedangkan Al-Maraghi (W 1952 M) dalam

tafsirnya menyebutkan bahwa poligami hanya diperbolehkan dalam keadaan

darurat, misalnya karena istri mandul, suami memiliki kemampuan seks yang

43

Al-Jashshash, Ahkam Al-Qur‟an, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Islamiyah, t.t), h.50 44

Zamakhsyari, Al-Kasysyaf „an Haqiaiq Al-Tanzil wa „Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta‟wil,

(Mesir: Mushtafa al-Babi Al-Halabi, 1966), h.496-497 45

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.87-88

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

24

tinggi sementara istri tidak mampu melayaninya, seami mempunyai harta

yang banyak untuk membiayai kepentingan keluarga jika jumlah perempuan

melebihi dari jumlah laki-laki.46

Berbeda dengan ulama klasik, secara umum dapat dikatakan bahwa

ulama pada era modern memperketat diperbolehkannya poligami, bahkan

diantara mereka ada yang mengharamkannya, meskipun dibalik keharaman

tersebut masih disertai dengan kondisi yang memberikan kemungkinan untuk

melakukannya. Alasan pemikir modern melarang menikahi perempuan lebih

dari satu, atau kalaupun membolehkannya diikuti dengan berbagai syarat

yang hampir tidak mungkin untuk dipenuhi oleh suami, yaitu keadilan.47

Sayyid Qutub (W 1966 M) mengatakan bahwa poligami merupakan

suatu perbuatan rukhsah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat,

yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan bisa

berbuat adil terhadap istri-istrinya. Keadilan yang dituntut disini dalam

bidang nafkah, mu‟amalah, pergaulan, serta pembagian malam. Sedangkan

bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu

saja.48

Yusuf al-Qardawi membagi hukum poligami menjadi tiga macam,

dengan ketentuan sebagai berikut:49

a. Boleh Berpoligami

Al-Quran jelas membolehkan poligami, tapi kebolehan poligami

sebenarnya merupakan rukhsah atau keringanan untuk keadaan-

keadaan tertentu saja, artinya tidak diperbolehkan untuk

sembarangan keadaan. Menurut Yusuf Qardawi, ada 2 keadaan

46Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.90 47

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.101 48

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran dibawah Naungan al-Quaran, Penerjemah As‟ad

Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insan Press 2002), Juz IV h. 274-282 49

Anshori Fahmi, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah, (Bandung: Pustaka Iiman, 2007), h.177-

183

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

25

dimana poligami diperbolehkan yaitu, Pertama: manusia yang

kuat keinginannya untuk memiliki keturunan, akan tetapi istrinya

tidak beranak (mandul) karena sakit atau sebab lainnya. Kedua:

laki-laki yang kuat syahwatnya, akan tetapi istrinya tidak kuat

karena sakit atau haidnya terlalu lama dan sebab-sebab lainnya,

sementara lelaki itu tidak tahan dalam waktu lama tanpa wanita.

b. Makruh Berpoligami

Muslim menikah dengan satu istri yang menjadi penentram dan

penghibur hatinya, pendidik dalam rumah tangganya dan tempat

untuk menumpahkan isi hatinya. Dengan demikian terciptalah

suasana sakinah, mawaddah wa rahmah, yang merupakan sendi-

sendi kehidupan suami-istri menurut pandangan al-Quran. Oleh

karena itu ulama mengatakan: „orang yang mempunyai satu istri

yang mampu memelihara dan mencukupi kebutuhannya,

dimakruhkan baginya untuk menikah lahi. Karena hal itu

membuka peluang bagi dirinya untuk melakukan sesuatu yang

haram.

c. Haram Berpoligami

Yaitu bagi orang yang lemah (tidak mampu) untuk mencari nafkah

kepada istrinya yang kedua atau khawatir dirinya tidak bisa

berlaku adil diantara kedua istrinya.

Namun demikian, Ameer Ali memberi catatan bahwa teori poligami

digunakan jika suatu masyarakat yang menuntut adanya situasi yang

menghendaki demikian, misalnya jumlah perempuan yang melebihi laki-laki.

Dengan ungkapan yang berbeda Fzlur Rahman menyatakan kebolehan

berpoligami merpakan suatu pengecualian karena keadaan tertentu, sebab

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

26

kenyataannya kebolehan tersebut muncul ketika terjadi perang, dimana

banyak anak yatim dan janda yang ditinggal suaminya.50

Sementara, menurut Fazlur Rahman ada dua solusi yang ditawarkan

oleh Al-Quran sehubungan dengan poligami. Pertama, bahwa poligami yang

erbatas hukumnya boleh dan Kedua, kebolehan berpoligami diatur dengan

sebuah moral berupa keadilan. Dengan ini, Al-Quran berharap agar suatu

masyarakat berjalan sesuai dengan tuntutan zamannya.51

Mu‟ammal Humaidy juga menyimpulkan bahwa Islam bukan

menciptakan Undang-undang poligami, tetapi hanya membatasi poligami

dengan jumlah tertentu. Al-Quran tidak menyuruh poligami, tapi hanya

memperbolehkan dengan persyaratan adil. Poligami merupakan solusi dan

jaga-jaga, bukan sebaliknya membuat masalah. Jadi sesuaikan dengan kondisi

dan keadaan dimana dan kapan poligami ini dibutuhkan. Dan betapa pun

jeleknya poligami barangkali masih lebih baik bagi masyarakat, perorangan,

maupun keluarga daripada penggunaan hak secara membabi buta yang tidak

diatur dengan ini.52

Sedangkan menurut tokoh kontemporer, Muhammad Syahrur

membolehkan poligami dengan menetapkan adanya syarat kuantitas dan

kualitasnya. Dari segi kuantitas, batas minimal poligami adalah satu

perempuan, sedangkan batas maksimalnya adalah empat perempuan. Adapun

syarat kualitasnya yaitu istri kedua, ketiga dan keempat yang boleh dinikahi

harus janda yang memiliki anak-anak yatim yang kemudian menjadi

tanggung jawabnya.53

50

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.101 51

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.104 52

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.105 53

Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Quran: Qiraah Mu‟ashirah, (Damascus: Dar Ahali,

1990), h.598-599

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

27

Di lain sisi Muhammad Abduh berpendapat sebaiknya poligami

dijauhi dan dihindari, sesuai dengan kaidah usul fikih yang mengatakan:

ء س د و ع ذ ق ذ ي اس ف ان ب ه ج ه حن صا ان

ArtinyaMencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang

mengupayakan keselamatan

Karena menurut realita yang ada bahwa poligami lebih menunjukkan dampak

negatif dari pada dampak positif dan yang banyak menanggung akibatnya

adalah kaum wanita dan anak-anak. Meskipun tidak menafikan ayat yang

membolehkan poligami, namun ia sangat menentang praktek poligami dalam

masyarakat, disamping karena sulit merealisasikan keadilan bagi istri, sangat

sulit juga membina masyarakat yang di dalamnya marak praktik poligami,

dari sisi lain poligami tidak diyakini dapat menciptakan suasana harmonis,

malah sering kali menciptakan permusuhan diantara para istri dan anak-anak

dari masing-masing keluarga.54

Pendapat senada disampaikan juga oleh Masjfuk Zuhdi, menjelaskan

bahwa Islam memandang poligami lebih banyak resiko/mudharat daripada

manfaat, karena manusia fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan

suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar

tinggi jika hidup dalam kehidupan poligamis. Dengan demikian, poligami itu

bisa membawa sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara

suami dengan istrinya, maupun konflik antar istrinya terhadap anaknya

masing-masing. Oleh karena itu, usul hukum perkawinan dalam Islam adalah

monogami, sebab dengan monogami akan memudahkan menetralisasi

sifat/watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga

yang harmonis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang

akan mudah peka dan terangsang timbulnya cemburu, iri hati dan suka

54

J.N.D. anderson, Islamic Law in the Modern World, terj. Machnun Husein, (Surabaya: CV.

Amarpress, 1991), h.53

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

28

mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga dapat mengganggu ketenangan

keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu,

poligami hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata

mandul, sebab menurut Islam, anak adalah salah satu dari tidak terputusnya

amalah manusia ketika seseorang telah meninggal dunia, yakni bahwa adanya

keturunan yang shalih yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaan

istri mandul dan suami tidak mandul, berdasarkan keterangan medis hasil

laboratorium, suami diijinkan berpoligami dengan syarat.55

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa status poligami

menurut beberapa ulama fiqh dan tafsir, baik klasik maupun kontemporer

terdapat pro dan kontra, ada yang membolehkan poligami dengan syarat adil

dan ada yang melarang poligami apabila sang suami tidak bisa bersikap adil

terhadap para istrinya. Namun, yang membolehkan poligami ada yang

memberikan syarat yang cukup longgar dan ada juga yang memberikan

persyaratan yang cukup ketat

D. Syarat-syarat Poligami

1. Jumlah Istri dalam Poligami

Jumhur ulama termasuk pula di dalamnya para sahabat dan tabi‟in dan

Ibnu Abbas menyatakan bahwa batas maksimal menikahi perempuan adalah

empat. Begitu pula pendapat Imam Malik (W 795 M), Imam Syafi‟i (W 820

M), Ibnu Katsir (W 1373 M), Ibnu Majah ( W 887 M) dan hampir ulama

klasik. Ada pula yang mengatakan bahwa poligami boleh dilakukan sampai

sembilan orang, yaitu pendapat dari Mazhab Syi‟ah. Sementara Zhahiriyah

berpendapat boleh sampai delapan belas.56

Imam Abu Hanifah (W 767 M)

55

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1989), h.12 56

Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir: al-Jami‟ Baina

Fanniy al-Riwayah wa al-Diroyah, (Lebanon: Dar al-Ma‟rifah, tt), Jilid I, h.531

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

29

memiliki pendapat yang sama dengan mayoritas ulama, yang menyatakan

bahwa poligami dibatasi empat saja.

Perbedaan ini muncul karena penafsiran kalimat “matsna wa tsulatsa

wa ruba‟” dalam ayat 3 surat al-Nisa. Menurut mazhab Syiah, kalimat

tersebut menunjukan penjumlahan, sehingga jika ditambahkan hasilnya

adalah sembilan. Sedangkan menurut Zhahiri, delapan belas karena kata

“wawu” dalam kalimat tersebut „dikali‟ sehingga dua kali tiga kali empat.

Sedangkan menurut jumhur bahwa huruf “wawu” bermakna “au” yang

artinya „atau‟.57

Pendapat ini dikuatkan dengan qarinahnya yaitu hadis Nabi

Saw tentang seorang pria bangsa Saqif yang masuk Islam dan mempunyai

istri sepuluh.

2. Dapat berlaku Adil

Allah SWT berfirman:

اكى احذةأيايهكتأ أالتعذناف خفت فإ

Artinya: “tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil,

maka (nikahilah) seorang wanita saja atau hamba sahaya

perempuan yang kamu miliki.” (An-Nisa: 3)

Dalam Surat An-Nisa:

م فتزسا ها كم ان حشصتى فل ت ن انساء تعذنا ب تستطعا أ ن عهقت كان

ا غفسا سح كا للا تتقا فإ تصهحا إ

Artinya: “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-

istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu

janganlah kamu terlalu cenderung (kepada istri yang kamu cintai),

sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung (terlantar).” (An-

Nisa: 129)

57

Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir: al-Jami‟ Baina

Fanniy al-Riwayah wa al-Diroyah, (Lebanon: Dar al-Ma‟rifah, tt), Jilid I, h.532

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

30

Jika dilihat dari kedua ayat di atas, pada ayat 3 surat Al-Nisa dapat

kita lihat bahwa di dalam ayat tersebut dijelaskan dibolehkannya poligami

dengan syarat berlaku adil, apabila takut tidak dapat berlaku adil maka

nikahilah satu wanita saja. Namun di ayat 129 surat al-Nisa dijelaskan bahwa

seorang suami tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Terdapat

perbedaan penafsiran oleh para ulama tentang berbuat adil dalam poligami

berdasarkan kedua ayat di atas.

Imam Syafi‟i (W 820 M), al-Sarakhsi (W 1090 M) dan al-Kasani ( W

1191 M) mensyaratkan keadilan diantara para istri, menurut mereka keadilan

ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri di malam atau

di siang hari.58

Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulam fiqh

paling tidak memiliki dua syarat: Pertama, kemampuan dana yang cukup

untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri, Kedua,

harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus

diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.59

Persyaratan demikian, nampak sangat longgar dan memberikan

kesempatan yang cukup luas bagi suami yang ingin melakukan poligami.

Syarat adil yang sejatinya mencakup fisik dan non fisik, oleh Syafi‟i dan

ulama-ulama Syafi‟iyyah serta orang-orang yang setuju dengannya,

diturunkan kadarnya menjadi keadilan fisik atau material saja. Bahkan lebih

dari itu, para ulama fiqh ingin mencoba menggali hikmah-hikmah yang

tujuannya adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami.

Ali Ahmad Jurjawi menjelaskan ada tiga hikmah poligami; Pertama,

diperbolehkannya poligami yang dibatasi empat orang istri menunjukan

bahwa manusia terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya. Kedua,

batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-laki;

58

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.103-105 59

Abd. Rahman I Do‟i, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta:

Rajawali Press, 2002), h.192

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

31

pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri. Ketiga, bagi seorang

suami yang memiliki empat orang istri berarti ia mempunyai waktu senggang

tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup uuntuk mencurahkan kasih

sayang.60

Menurut pendapat Wahbah al-Zuhaily ada beberapa syarat yang harus

dipenuhi bagi orang-orang yang berpoligami, diantaranya yaitu: pertama

sanggup berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Keadilan inilah yang harus

diprioritaskan terlebih dahulu, sebab keadilan adalah syarat yang paling

utama untuk seseorang yang hendak berpoligami. Jadi seandainya syarat ini

tidak terpenuhi maka akan tertutup rapat-rapat diperbolehkannya seseorang

untuk berpoligami. Kedua adalah kesanggupan memberi nafkah kepada isteri-

isterinya. Islam tidak menghalalkan terhadap siapa saja yang mau melaju

pada jenjang pernikahan kalau dia tidak mampu untuk memberi nafkah. Hal

ini berlaku bagi orang yang baru mau menikah dan juga berlaku bagi orang-

orang yang mau berpoligami.61

Menurut Yusuf Qardhawi, adil dalam tataran praktis merupakan

kepercayaan pada dirinya, bahwa dia mampu berbuat adil diantara isteri-

isterinya dalam masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal, bermalam

dan nafkah. Jika tidak yakin akan kemampuan dirinya untuk menunaikan

hak-hak tersebut secara adil dan imbang, maka haram baginya menikah lebih

dari seorang.62

Berbagai pendapat di atas, para ulama fiqh cenderung memahami

keadilan secara kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Muhammad

Abduh berpandangan lain, keadilan yang disyaratkan al-Quran adalah

keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian

60

Ali Ahmad Jurjawi, Hikmah al-Tasyri‟ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al Fikri), h.10 61

Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 9 (Beirut:Darul Fikr,1999),h.

6669 62

Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Terj. Abu Sa‟id Al-Falahi (Jakarta:

Robbani Press, 2000),h. 214

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

32

yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Ayat al-Quran

mengatakan: “Jika kamu sekalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka

kawinilah satu istri saja” (QS. Al-Nisa:3). Muhammad Abduh menjelaskan,

apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah

struktur rumah tangga dan terjadilah kekacauan dalam kehidupan rumah

tanggga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah

tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota

keluarganya.63

Al-Maraghi berpendapat bahwa yang terpenting ialah adanya usaha

maksimal untuk berbuat adil. Adapun perkara yang di luar kemampuan

manusia, bukanlah suatu keharusan untuk dilaksanakan. Dalam hal ini

kemampuan hati untuk membagi kasih sayang yang sama rata kepada setiap

istri.

M Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang disyaratkan oleh ayat

3 surat al-Nisa bagi suami yang hendak berpoligami adalah keadilan dalam

bidang material. Dan keadilan yang dimaksudkan dalam ayat 129 surat al-

Nisa adalah adil dalam bidang immaterial (cinta). Keadilan ini yang tidak

mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu suami yang

berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan

cenderung kepada yang dicintai.64

Berdasarkan berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam

perkawinan poligami, dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat

poligami dalam perkawinan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur.

Hal ini menjadikan lebih mudah dilakukan dan poligami menjadi sesuatu

lembaga yang bisa dijalankan. Sebaliknya, jika keadilan hanya ditekankan

pada hal-hal yang kualitatif seperti cinta, kasih sayang, maka poligami itu

63

Ali Ahmad Jurjawi, Hikmah al-Tasyri‟ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al Fikri), h.10-12 64

Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), Cet.IV, h.201

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

33

sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin dilaksanakan. Padahal Allah SWT

menjanjikan dalam surat al-Baqarah ayat 286:

سعا الكهفانهفساإال

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya.”

3. Kemampuan berpoligami.

Dalam Islam seseorang tidak diperbolehkan memberatkan dirinya

sendiri, demikian pula dalam hal poligami. Apabila seorang laki-laki yang

hendak berpoligami, disyaratkan harus memiliki kemampuan yang

dimaksudkan, yakni:

a. Kemampuan Memberikan Nafkah,

Ketika seorang suami menikah lagi maka ia menanggung

berbagai kewajiban terhadapa para istri dan anakanya,

diantaranya adalah nafkah. Dalam soal adil memberikan nafkah

ini, hendaklah si suami tidak mengurangi nafkah dari salah

seorang istrinya dengan alasan bahwa si istri itu kaya atau ada

sumber keuangannya, kecuali kalau si istri itu rela. Suami

memang boleh menganjurkan istrinya untuk membantu dalam

soal nafkah, tetapi tanpa paksaa. Memberikan nafkah yang lebih

kepada seorang istri dari istri-istri yang lainnya diperbolehkan

dengan sebab-sebab tertentu, yakni apabila si istri tersebut sakit

atau memerlukan biaya perawatan sebagai tambahan dan lain-

lainnya. Prinsip adil ini tidaklah ada pembedaan antara gadis atau

janda, istri lama atau istri baru, yang cantik atau yang tidak

cantik, yang berpendidikan atau yang buta huruf, kaya atau

miskin, yang mandul atau yang dapat melahirkan. Kesemuanya

haruslah mempunyai hak yang sama sebagai istri.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

34

Dari beberapa pandangan ulama yang telah disebutkan di atas dapat

penulis simpulkan bahwa, seseorang yang akan berpoligami harus memenuhi

beberapa syarat diantaranya; Jumlah Istri maksimal empat orang, Adil,

dalam hal ini yang dimaksud dengan adil ialah dapat membagi sama rata

dalam hal yang bersifat material dan terukur, selanjutnya ialah Kemampuan

dalam memberikan nafkah, hal ini wajib dipertimbangkan bagi seorang laik-

laki yang ingin melakukan poligami karena dia harus mencukupi kebutuhan

keluarganya.

Pada zaman sekarang ini muncul berbagai seruan baru yang melarang

praktik poligami, kecuali dengan izin qadhi(pengadilan), untuk menegaskan

terwujudnya apa yang disyaratkan oleh syari‟at untuk membolehkan

poligami. Yaitu keadilan diantara para istri, serta kemampuan untuk

memberikan nafkah karena manusia, terutama orang-orang awam telah

mempergunakan dengan buruk pembolehan poligami yang diizinkan untuk

tujuan kemanusiaan yang mulia. Selain itu, memperketat kemungkinan

poligami tersebut juga bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan status

wanita.65

E. Dampak yang Mempengaruhi Poligami

a. Dampak Biologis66

1) Istri yang sakit

Adanya seorang istri yang menderita suatu penyakit yang tidak

memunginkan baginya untuk melayani hasrat seksual suaminya.

2) Hasrat Seksual yang Tinggi

65

Azni, Poligami Dalam Hukum Keluarga di Indonesia dan Malaysia, (Riau: Suska Press,

2015), h.73 66

Abu Azzam Abdillah, Agar Suami Tak Berpoligami, (Bandung: Ikomatuddin Press, 2007),

h.23

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

35

Sebagian kaum pria memiliki gairah dan hasrat seksual yang

tinggi dan menggebu, sehingga baginya satu istri dirasa tidak cukup

untuk menyalurkan hasratnya tersebut.

3) Rutinitas Alami Setiap Wanita

Adanya masa-masa haid, kehamilan dan melahirkan menjadi

alasan utama seorang wanita tidak dapat menjalankan salah satu

kewajiban terhadap suaminya. Jika suami dapat bersabar menghadapi

kondisi seperti itu, tentu tidak akan menjadi masalah. Tetapi jika

suami termasuk orang yang hasrat seksualnya tinggi, beberapa hari

saja istrinya mengalami rutinitas tersebut, dikhawatirkan sang suami

tidak bisa menjaga diri, maka poligami bisa menjadi pilihannya.

4) Masa Subur Pria Lebih Lama

Kaum pria memiliki masa subur yang lebih lama dibandingkan

wanita.

b. Dampak Internal Rumah Tangga67

1) Kemandulan

Banyak kasus perceraian yang dilatarbelakangi oleh masalah

kemandulan, baik kemandulan yang terjadi pada suami maupun yang

dialami istri. Hal ini terjadi karena keinginan seseorang untuk

mendapat keturunan merupakan salah satu tujuan utama pernikahan

dilakukan.

Dalam kondisi seperti itu, seorang istri yang bijak dan shalihah

tentu akan berbesar hati dan rela bila sang suami menikahi wanita lain

yang dapat memberikan keturunan.

2) Istri yang Lemah

Ketika suami mendapati istrinya dalam keadaan serba terbatas,

tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas rumah tangganya dengan

67

Rahmat Gakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.118

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

36

baik, tidak bisa mengarahkan dan mendidik anak-anaknya, lemah

wawasan ilmu dan agamanya, serta bentuk-bentuk kekurangan

lainnya, maka pada saat itu kemungkinan suami melirik wanita lain

yang dianggapnya lebih baik, bisa saja terjadi poligami.

3) Kepribadian yang Buruk

Istri yang tidak pandai bersyukur, banyak menuntut, suka berkata

kasar, tidak mau menerima nasihat suami dan selalu ingin menang

sendiri, biasanya tidak disukai sang suami. Oleh karenanya, tidak

jarang suami yang mulai berpikir untuk menikahi wanita lain yang

dianggap lebih baik, apalagi jika watak dan karakter buruk sang istri

tidak bisa diperbaiki lagi.

c. Dampak Sosial68

1) Kemampuan Ekonomi

Inilah salah satu faktor poligami yang sering terjadi pada kalanga

masyarakat modern sekarang ini, kesuksesan dalam bisnis dan

mapannya perekonomian seseorang, sering menumbuhkan sikap

percaya diri dan keyakinan akan kemampuannya menghidupi istri

lebih dari satu.

2) Banyaknya Jumlah Wanita

Ada saatnya dalam satu tempat jumlah wanita melebihi laki-laki, hal

tersebut terjadi akibat terjadinya perang dan banyak laki-laki menjadi

korban, akibatnya jumlah wanita lebih banyak sedangkan jumlah laki-

laki berkurang, hal ini merupakan masalah yang memerlukan

pemecahan serius sebab kelebihan jumlah wanita adalah masalah

sosial yang perlu mendapat perhatian sekaligus pemecahannya.

Bentuk pemecahan dari masalah tersebut adalah dengan berpoligami.

68

Rahmat Gakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.119

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

37

F. Hikmah Poligami

Islam membolehkan poligami adalah untuk suatu maslahat yang

timbul akibat kondisi kehidupan. Allah SWT yang menciptakan manusia,

Dialah yang lebih mengetahui apa yang dapat menjadi maslahat bagi mereka.

Apabila Dia memperbolehkan poligami maka hal itu berdasarkan hikmah

yang hanya Dia yang mengetahui.69

Berpoligami bukanlah sesuatu yang wajib dan juga bukan sesuatu

yang disunnahkan, akan tetapi oleh Islam dibolehkan. Dalam pandangan

Sayyid Sabiq, poligami memiliki banyak hikmah, antara lain:70

a) Merupakan karunia Allah dan rahmat-Nya kepada manusia

membolehkan adanya poligami dan membataskan sampai empat saja.

Bagi laki-laki boleh kawin dalam waktu yang sama lebih dari seorang

istri, akan tetapi dengan syarat sanggup berbuat adil erhadap mereka

dalam urusan belanja, tempat tinggal, kasih sayang, serta dalam

menyalurkan nafkah kepada mereka.

b) Adakalanya istri mandul atau menderita sakit yang tak ada harapan

sembuhnya, padahal masih tetap berkeinginan untuk melanjutkan

hidup bersuami istri, padahal suami ingin memiliki anak dan seorang

istri yang dapat mengurus keperluan-keperluan rumah tangganya.

Oleh karena itu ketika dalam keadaan nseperti ini melakukan poligami

dianggap sebagai cara yang bisa ditempuh, akan tetapi juga harus

memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh Islam dan

perundang-undangan yang berlaku.

c) Memperbanyak populasi umat Islam karena umat Islam tidak akan

mampu bangkit dengan menyebarkan risalah ini kecuali jika mereka

69

Said Abdul Aziz al-Jandul, Wanita di Antara Fitrah, Hak dan Kewajiban, (Jakarta: Pustaka

Darul Haq, 2003), h.66 70

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta: Cakrawala

Publishing, 2011), h.356-364

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

38

kuat, memiliki pondasi-pondasi sebagai tonggak berdirinya sebuah

negara, seperti tentara, ilmu pengetahuan, industri, pertanian,

perdagangan unsur-unsur kenegaraan lainnya yang dapat menyokong

eksistensi dan berlangsungnya kemakmuran sebuah negara serta

menjaga kewibawaan dan kekuatan negara tersebut.

d) Mengantisipasi ketimpangan jumlah wanita yang lebih banyak

dibandingkan lelaki. Ketimpangan jumlah wanita ini terpaksa

memperbolehkan poligami demi melindungi dan mengayomi populasi

perempuan yang ada. Jika poligami tidak diberlakukan, maka hal itu

dapat menjerumuskan perempuan pada perbuatan nista yang dapat

merusak tatanan sosial dan meruntuhkan moral.

e) Menolong lelaki untuk memenuhi kebutuhan seks pada masa haid dan

nifas sang istri maupun ketika istri memasuki masa menopause.

Karena perempuan tidak bisa diajak melakukan hubungan badan

ketika mengalami haid, yang biasa membutuhkan waktu sepuluh hari

dan ini berlaku setiap bulan, ketika melahirkan dan mengalami nifas,

dimana dia membutuhkan waktu hingga mencapai empat puluh hari.

f) Untuk menjaga diri dari perilaku seksual yang buruk seperti zina dan

pelacuran, terutama pada daerah yang menganut peraturan monogami.

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

39

BAB III

POLIGAMI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA,

PAKISTAN DAN SOMALIA

A. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Indonesia

1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia

Republik Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi

garis khatulistiwa dan berada di antara Benua Asia dan Australia serta

antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Dengan pemerintahan

berbentuk Republik sedangkan ibukota negara terletak di Jakarta.

Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak

menyatakan diri sebagai negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya

menganut agama Islam. Muslim Indonesia di dominasi oleh pengikut

mazhab Syafi‟i.71

Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk

Republik dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-undang Dasar. Pancasila adalah dasar ideal negara dan

Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar struktural negara yang

menggambarkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang menghargai

dan menghormati kehidupan beragama.

Sampai saat sekarang ini di Indonesia berlaku berbagai sistem

hukum, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam serta hukum Barat (baik

itu civil law, maupun common law atau hukum anglo saxon).

Para kaum muslim di tanah air, memposisikan hukum Islam di

atas segala norma nilai yang ada di sekelilingnya. Posisi istimewa hukum

Islam itu, bertahan di dalam retang waktu yang cukup panjang. Dari mulai

kerajaan Islam, yang diperankan oleh otoritas kerajaan, kemudian berada

71

Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h.292

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

40

dalam tarik ulur kepentingan kekuasaan penjajah Belanda, dan terakhir

masa kemerdekaan, sampai lahirnya UU No. 1/2974 Tentang

Perkawinan.72

Selain itu, hukum perkawinan termasuk hukum yang paling sering

bersentuhan dengan “rasa keadilan” di dalam masyarakat muslim

Indonesia. Hukum perkawinan struktur unit terkecil dan paling penting

dalam masyarakat, lahir dan tiada karena sebuah perkawinan. Dan dengan

hukum perkawinan, banyak terjadi asimilasi budaya di beberapa sudut

tanah air, bahkan antar negara.73

Sejarah hukum keluarga di Indonesia, mengalami 3 periode yaitu:

a. Hukum Keluarga Indonesia Prakolonial

Sejarah hukum keluarga di Indonesia dimulai pada zaman

Prakolonia yang juga bisa kita sebut Hukum Keluarga Masa Kerajaan.

Pada masa ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti agama

dan budaya masyarakat. Hukum tidak bisa terlepas dari budaya

masyarakat dan agama. Seperti yang dijelaskan dalam beberapa

literature, jauh sebelum datangnya penjajah dari Eropa, masyarakat

Indonesia telah mengenal beberapa macam hukum seperti hukum adat

dan hukum Islam (pasca datangnya Islam). Hukum adat misalnya,

telah dikenal oleh masyarakat jauh sebelum penjajah bahkan Islam

datang. Setelah Islam datang terjadi akulturasi budaya lokal dengan

ajaran Islam yang kemudian terjadi adaptasi serta adopsi ajaran Islam

oleh masyarakat adat setempat, sehingga pada perkembangannya

ajaran Islam dan budaya lokal menyatu dan tumbuh bersama sehingga

melahirkan budaya baru (perpaduan antara tradisi lokal dan ajaran

Islam). Hal ini dapat dibuktikan di beberapa daerah seperti yang

72

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum,

(Jakarta: RM Books, 2012) h. 77 73

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum,

(Jakarta: RM Books, 2012) h.78

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

41

terjadi pada masyarakat Minangkabau dengan ungkapan yang terkenal

“hukum adat bersendikan Syara‟ dan Syara‟ bersendikan kitabullah

(Al-Qur‟an).74

Selain itu, bukti eksistensi hukum adat dan hukum Islam

sebelum datangnya penjajah hingga datangnya penjajah adalah

lembaga peradilan klasik yang terbentuk kala itu, seperti lembaga

tahkim, kemudian dalam perkembangannya Peradilan Swapraja

(disebut Peradilan Serambi atau juga Peradilan Mesjid dan sejenisnya)

pada masa kerajaan-kerajaan Islam kemudian menjadi Peradilan

Agama hingga sekarang. Hal ini telah menunjukan pengaruh kuat

Islam di Indonesia dalam aspek hukum perdata, terutama dalam

bidang hukum perkawinan atau keluarga.75

b. Hukum Keluarga Indonesia Zaman Kolonial

Zaman Kolonial dimulai dari masuknya kompi-kompi

pedagang Eropa ke Indonesia, mulai dari Portugis, Belanda, Inggris

dan ditambah lagi dari Asia yaitu Jepang. Hasil dari penjajah

kolonialis Belanda telah mengusik keharmonisan sistem hukum yang

dianut oleh penduduk pribumi, berupa hukum yang hidup ditengah-

tengah masyarakat (Living Law) atau berupa Hukum Adat (customary

law), maupun hukum Islam. Kehadiran para kolonialis inilah yang

mengakibatkan terjadinya pluralitas sistem hukum yang dianut oleh

masyarakat pribumi yang dikuasai oleh pemerintah kolonialis

Belanda, hingga diberlakukanlah sistem Hukum Adat, Hukum Islam

74

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra Aditya

Bakti, 2010), h. 57. 75

Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,

(Yogyakarta: Beranda, 2012), h. 182.

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

42

dan sistem Hukum Belanda atau sering disebut sebagai Hukum Barat

berupa hukum sipil (civil law).76

Kemudian pemerintahan Hindia Belanda dalam menjalankan

roda kekuasaannya mereka memanfaatkan beberapa macam intruksi

Gubernur Jenderal yang ditunjukan kepada para Bupati, khususnya

disebelah utara pantai Jawa, yang intinya adalah agar memberi

kesempatan kepada para ulama untuk menyelesaikan perselisihan

perdata di kalangan penduduk menurut ajaran Islam. Bahkan, konon

keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) No. 19 tanggal 24

Januari 1882 yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun

1882 No. 152 tentang pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama),

walaupun hal ini didasarkan atas pengaruh dari teori Van den Berg

yang menganut paham reception in complex, yang berarti bahwa

hukum yang berlaku bagi masyarakat pribumi adalah hukum agama

yang dipeluknya. Melalui kantor dagang Belanda (VOC),

dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi

pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada

pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan

Compendium Freijer, yang merupakan legislasi Hukum Islam

pertama di Indonesia.77

Berdasarkan Stbld Nomor 55 tahun 1982, Compendium

Freijer yang sebagian diperbaharui itu kemudian dicabut secara

berangsur-angsur pada abad ke 19. Dengan demikian, berakhirlah

riwayat hukum perkawinan Islam yang tertulis dan dicukupkan

dengan menumpang pada Pasal 131 ayat [2] sub b IS [indische

Staatsregeling] yang merupakan kelanjutan Pasal 75 redaksi lama

76

A. Qodri Azizy, Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”,

(Bandung: Teraju, 2004), h. 137-139. 77

A. Qodri Azizy, Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”,

(Bandung: Teraju, 2004), h. 139

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

43

Regelings Regrement [RR] tahun 1854, yang hanya mengatur masalah

pendaftaran perkawinan, sedangkan dasar perkawinan adalah hukum

adat. Dengan dicabutnya Compendium Frijer tanggal 3 Agustus 1828,

secara tekstual hukum perkawinan yang berlaku adalah hukum adat,

kecuali agama Kristen berlaku HOCI [Huwelijk Ordonantie Chrisyen

Indonesiers Java Minahasa an Amboina] yakni UU Perkawinan

Keristen Jawa, Minahasa dan Ambon.78

Pada waktu pemerintahan Belanda masuk ke Indonesia pada

tahun 1596 melalui VOC, kebijakan yang telah dilaksanakan oleh

para sultan tetap dipertahankan pada daerah-daerah kekuasaannya

sehingga kedudukan hukum (keluarga) islam telah ada dimasyarakat

sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC.

Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas

agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya.

Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan

membawa serta hukum negaranya untuk menyelesaikan masalah

diantara mereka sendiri.

Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun

1800-1811. Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya

kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali

berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan

hukum Belanda. Namun melihat kenyataan yang berkembang pada

masyarakat Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda

yang dipelopori oleh L.W.C Van Den Berg bahwa hukum yang

berlaku bagi orang Indonesia asli adalah Undang-undang agama

mereka, yaitu Islam.

78

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 79-80

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

44

Dalam penelusuran penulis, pada masa pemerintahan kolonial

Belanda telah terdapat peraturan tentang poligami, yang diatur pada

Pasal 27 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang menyatakan bahwa,

“Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya dibolehkan

mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang

perempuan hanya satu laki-laki sebagai suaminya”, dan pada saat itu

Burgerlijk Wetboek (BW) menganut asas monogami tertutup.

c. Hukum Keluarga Pasca Kemerdekaan

Undang-Undang pertama tentang perkawinan dan perceraian,

yang sekaligus dikelompokkan sebagai usaha pembaharuan pertama,

adalah dengan diperkenalkan UU No. 22 Tahun 1946. Pertama, UU

ini hanya berlaku untuk wilayah pulau Jawa, yang kemudian Undang-

Undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah Indonesia

merdeka ini diperluas wilayah berlakunya seluruh Indonesia dengan

UU No. 32 Tahun 1954 yakni Undang-Undang tentang Pencatatan

Nikah, Talak dan Rujuk. Keberadaan Undang-Undang No. 22 Tahun

1946 ini adalah sebagai kelanjutan dari Stbl. No. 198 Tahun 1895, dan

sebagai pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl. No. 348 Tahun

1929 jo. Stbl. No. 467 Tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks

Ordonantie Stbl. No. 98 Tahun 1933. Aulawi mencatat seyogyanya

UU No. 22 Tahun 1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia, tetapi

karena keadaan belum memungkinkan baru diberlakukan untuk Jawa

dan Madura. Kemudian diberlakukan diseluruh Indonesia pada Tahun

1954, dengan diundangkannya UU No. 32 Tahun 1954, yang isinya

memberlakukan UU No. 22 Tahun 1946 diseluruh Indonesia. Dengan

ungkapan lain oleh Ahmad Roestandi, UU No. 22 Tahun 1946

memperoleh persetujuan dari DPR untuk diberlakukan diseluruh

Indonesia pada tahun 1954. Dengan demikian, secara umumditulis,

ada dua tahapan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1946 yakni: (1)

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

45

tanggal 1 Februari 1947 untuk wilayah Jawa dan Madura; dan (2)

tanggal 2 November 1954 untuk wilayah lainnya.79

Kemudian

Departemen Agama melalui menteri agama mengeluarkan Peraturan

Menteri Agama mengenai wali hakim dan tata cara pemerikasaan

perkara, fasid nikah, talak dan rujuk di Pengadilan Agama.

Kemudian pada tahun 1974 terbentuklah Undang-undang No.1

Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan Undang-undang pertama

yang terbentuk pada masa Orde Baru. Kehadiran UU No.1 Tahun

1974 ini disusul dengan lahirnya beberapa peraturan pelaksana.

Pertama, PP No.9 Tahun 1875 yang diundangkan tanggal 1 April

1975. Kedua, Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

Ketiga, Petunjuk Mahkamah Agung RI pada tahun 1983 lahir pula

Peraturan Pemerintah No. 10 yang mengatur tentang Izin Perkawinan

dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Peraturan yang

ditetapkan tanggal 21 April 1983 ini, berisi 23 pasal. Kemudian pada

tahun 1989 tentang Peradilan Agama.80

Kemudian pada Tahun 1990

keluar PP No. 45 yang berisi perubahan atas PP No. 10 Tahun 1989,

yang isisnya memuat beberapa pasal yang ada dalam PP No. 10

Tahun 1983. PP No. 45 Tahun 1990 ini hanya berisi dua pasal.

Kemudian satu tahun sesudahnya pada tahun 1991 berhasil disusun

Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai perkawinan, pewarisan dan

perwakafan.81

79

M. Atho‟ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,

(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.23-24 80

Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.

25-26. 81

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

Hukum Perkawinan di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaharuan, Materi & Status

Perempuan dalam Hukum Perkawinan keluarga Islam (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), h.

49.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

46

Dapat penulis simpulkan bahwa sejarah pengaturan poligami

sejak zaman prakolonial hingga setelah kemerdekaan ialah, Pada

zaman pra kolonial belum adanya peraturan terkait masalah poligami,

kalaupun ada yang mengaturnya adalah hukum adat. Pada zaman

kolonial sudah ada yang mengatur tentang masalah poligami yakni

pasal 27 KUH Perdata (BW) dan setelah kemerdekaan poligami diatur

oleh UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, PP No. 10 Tahun

1983, PP No. 45 Tahun 1990, Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2. Peraturan Poligami di Indonesia

Regulasi mengenai poligami di Indonesia secara implisit

termaktub dalam berbagai peraturan perundang-undangan perkawinan.

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun

1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,

dan Kompilasi Hukum Islam.

Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, telah diatur

mekanisme poligami, mulai dari batasan maksimal jumlah istri, alasan,

persyaratan hingga prosedur yang harus ditempuh dan dipenuhi oleh

suami yang akan melakukan poligami.

a. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

UU Perkawinan menganut asas monogami. Seperti yang

terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan:

Pasal 3

(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki

seorang isteri.

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

47

(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang

suami untuk beristri lebih dari seorang apabila

dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dapat dilihat, bahwa asas yang dianut UU perkawinan di atas

bukanlah asas monogami mutlak melainkan disebut monogami

terbuka. Poligami ditempatkan di status hukum yang darurat

(emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra

ordinary circumstance). Disamping itu poligami tidak semata-

mata kewenangan penuh suami, tetapi atas dasar izin dari hakim

(pengadilan).82

b. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1

Tahun 1974

Untuk kelancaran pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 telah

dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang

mengatur prosedur pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dan

dalam hal suami yang bermaksud untuk beristri leih dari seorang,

maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada

Pengadilan Agama, yang dinyatakan dalam pasal 40:

Pasal 40

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari

seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara

tertulis kepada Pengadilan.

82

Amiur Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi

Kritis Perkemangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004),

h.162

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

48

Kemudian Pengadilan Agama akan memberikan keputusan

apakah permohonan tersebut diluluskan atau ditolak. Sedangkan

tugas pengadilan diatur dalam pasal 41 sebagai berikut:

Pasal 41

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang

suami kawin lagi, ialah:

1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai istri;

2) Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit

yang tidak dapat disembuhkan;

3) Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan

lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan

persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan

sidang pengadilan.

c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin

keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan

memperlihatkan”

1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang

ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau

2) Surat keterangan pajak penghasilan; atau

3) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh

Pengadilan.

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku

adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan

pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk

yang ditetapkan untuk itu.

Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan

pengadilan memanggil para istri untuk memberikan kejelasan atau

kesaksian di dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan

diberi waktu selama 30 hari untuk memeriksa permohonan

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

49

poligami setelah diajukan oleh suami lengkap dengan

persyaratannya.

Pasal 42

(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada

Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan

mendengar istri yang bersangkutan.

(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah

diterimanya surat permohonan beserta lampiran-

lampirannya.

c. PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian

bagi Pegawai Negeri Sipil

Secara umum pernikahan dan perceraian bagi seluruh warga

Indonesia telah diatur dalam UU No 1 tahun 1974 dan PP No 9

tahun 1975. Selain itu khusus bagi warga Indonesia yang berstatus

sebagai Pegawai negeri Sipil yang akan melangsungkan

perkawinan dan perceraian juga harus tunduk pada ketentuan lain,

ketentuan yang dimaksud adalah PP No 10 tahun 1983 tentang

Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,

sebagaimana yang telah diubah dengan PP No 45 tahun 1990. Di

dalam ketentuan dan peraturan termaksud telah diatur mengenai

tata cara, prosedur, syarat-syarat, dan lain sebagainya.

Perizinan poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 sesuatu hal

yang sangat sulit dilakukan. Peraturan disebutkan dalam beberapa

pasal yaitu:

Pasal 4

(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari

seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

50

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi

istri kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi istri

kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil,

wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.

(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan

ayat (3) diajukan secara tertulis.

(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam

ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang

mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang

atau untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.

Dalam pasal ini dijelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil apabila

ingin melakukan poligami harus seizin pejabat terlebih dahulu

baru diajukan ke pengadilan. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak

diperbolehkan menjadi istri kedua/ketiga/keempat sesama

Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 9

(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri lebih

dari seorang atau untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat

sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 wajib

memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang

dikemukakan dalam surat permintaan izin dan

pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang

bersangkutan.

(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan

dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka

Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari istri

Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin

atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan

keterangan yang meyakinkan.

(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil

Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau

bersama-sama dengan istrinya untuk diberi nasehat.

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

51

d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan

dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil

Dalam penjelasan PP No 45 tahun 1990 terdapat beberapa

alasan mengapa PP tersebut harus diubah diantaranya: dalam

pelaksanaannya ada beberapa peraturan yang tidak jelas, Pegawai

Negeri Sipil tertentu yang seharusnya terkena PP No. 10 tahun

1983 dapat menghindar baik secara sengaja maupun tidak,

terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu adakalanya pejabat

tidak dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidak jelasan

rumusan ketentuan PP No. 10 tahun 1983. Dalam PP ini yang

mengatur poligami terdapat dalam beberapa pasal:

Pasal 4

(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari

seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk

menjadi istri kedua/ketiga/keempat.

(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diajukan secara tertulis.

(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap

yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari

seorang.

Perubahan Pasal 4 ini dengan PP sebelumnya adalah melarang

dengan tegas bahwa Pegawai Negeri Sipil Wanita untuk dijadikan

istri kedua/ketiga/keempat.

Pasal 9

Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri

lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

52

(1) wajib memperhatikan dengann seksama alasan-alasan

yang dimukakan dalam surat permintaan izin dan

pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang

bersangkutan.

Pasal 12

Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk

melakukan perceraian sebagaimana dimaksud dalam pasal 3

dan untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud

dalam pasal 4 ayat

(1), dilakukan oleh pejabat secara tertulis dalam jangka waktu

selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima

permintaan izin tersebut.

Pemberitahuan izin untuk melakukan perceraian atau

perkawinan poligami diterima atau ditolak selambat-lambatnya 3

bulan sejak permintaan izin diajukan.

e. Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI)

Intruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI) memberikan pengaturan tentang tatacara berpoligami

bagi pemeluk agama Islam, yang pada dasarnya tidak

bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab konvensional

termasuk Syafii. Sebagaimana diatur pada bab IX Kompilasi

Hukum Islam yang terdiri dari pasal Pasal 55 sampai Pasal 59.

3. Syarat dan Prosedur Poligami di Indonesia

Mengenai syarat-syarat seseorang akan melakukan poligami

terdapat dalam Pasal 4 Undang-Mengenai syarat-syarat seseorang akan

melakukan poligami terdapat dalam Undang-undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974 Pasal 4, yaitu:

Pasal 4

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

53

(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,

sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang

ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di

daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya

memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari

seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 4 di atas, seorang

suami yang akan berpoligami juga harus memenuhi persyaratan yang

bersifat kumulatif yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan Pasal

5, yaitu:

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan

sebagaimana dimaksud dalm pasal 4 ayat (1) Undang-undang

ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Adamya persetujuan dari isteri/iteri-isteri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak

mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap

isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini

tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isterinya

tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat

menjadi pihak dalam perjanjian; atau apabila tidak ada kabar

dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau

karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian

dari Hakim Pengadilan.

Selain ketentuan dari Pasal 4 dan 5 undang-undang perkawinan

mengenai persyaratan seorang suami yang akan berpoligami, bagi

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

54

Pegawai Negeri Sipil terdapat peraturan khusus, peraturan tersebut

termuat di dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin

Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang dijelaskan

dalam Pasal 4 sebagai berikut:

Pasal 10

(1) Izin untuk beristri lebih dari seorang hanya dapat diberikan

oleh pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu

syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) pasal ini.

(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah

a. Ada persetujuan tertulis dari istri

b. PNS yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang

cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-

anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak

penghasilan

c. Ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia

akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

(4) Izin untuk beristri lebih dari seorang tidak diberikan oleh

pejabat apabila

a. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut

oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

b. Tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3).

c. Bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku

d. Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat

dan /atau

Dalam INPRES No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam yang dijelaskan di Pasal 55, bagi suami yang hendak melakukan

poligami harus memenuhi syarat sebagai berikut:

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

55

Pasal 55

(1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersaman,

terbatas hanya sampai empat orang istri.

(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu

berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak

mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Dalam Pasal 55 ayat (2) di atas, syarat utama sekaligus kewajiban

suami terhadap istri-istrinya adalah keadilan, dari nafkah sehari-hari,

tempat kediaman, dan kebutuhan lainnya.

Pasal 57

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang

suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal di atas merupakan syarat-syarat substansial yang melekat

pada seorang istri, yaitu kondisi nyata yang melingkupinya sehingga

menjadi alasan bagi seorang suami untuk berpoligami.

Pasal 58

(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 22 ayat (2) maka

untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula

dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:

a. Adanya persetujuan istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri-istri

dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekali

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

56

pun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas

dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan

bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak

mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi

pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri

atau istr-istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau

karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Pasal 58 KHI di atas merupakan syarat formal yang diperankan

seorang istri terhadap suami yang hendak memadu dirinya yang

melibatkan instansi yang berwenang.

Dengan demikian dalam Hukum Perkawinan Indonesia dengan

hukum Islam ada beberapa kesamaan konsep dalam masalah poligami.

Setidaknya ada dua kesamaan prinsip mendasar yaitu:

(1) Asas monogami dalam perkawinan. Poligami dibolehkan dalam

hukum Islam sebagaimana dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 3

dengan syarat suami dapat berlaku adil terhadap istri-istri, jika

tidak dapat berlaku adil maka poligami tidak dibenarkan maka

bagi para suami cukup satu istri saja.

(2) Poligami dibatasi sampai empat orang istri saja dlam waktu

bersamaan.

Sedangkan perbedaan masalah poligami dalam hukum Islam

dengan hukum Perkawinan di Indonesia terletak pada penambahan syarat

poligami. Dalam hukum perkawinan di Indonesia dijelaskan sebagaimana

dalam pasal 3-5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

Hukum Islam dalam Pasal 55-59, disebutkan bahwa: “Suami boleh

beristri lebih dari seorang jika istri pertama dalam keadaan tertentu dan

mendapatkan persetujuan dari istri serta mendapat izin dari pengadilan”.

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

57

Dengan demikian perbedaan dasar hukum poligami antara hukum Islam

dan hukum perkawinan di Indonesia terletak pada teknis operasionalnya.

Jadi status hukum poligami di Indonesia secara umum

mempersulit praktik poligami.

4. Sanksi Poligami di Indonesia

Dari pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan yuridis

dibenarkannya suami melakukan poligami adalah setelah semua

permohonan yang diajukan ke pengadilan telah dinyatakan benar oleh

hakim di pengadilan, disamping semua syarat-syarat dan alasan-alasan

yang diajukan telah memenuhi ketentuan hukum dan peraturan yang

berlaku sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, PP No. 9

Tahun 1975, PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan

Perceraian bagi PNS, PP No. 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas PP

No. 10 Tahun 1983 dan Inpres No. 1 tahun 1991 (KHI). Sebaliknya

apabila syarat-syarat dan alasan-alasan yang diajukan oleh suami yang

akan melakukan poligami tidak terpenuhi, maka secara otomatis

permohonannya ditolak. Dengan demikian jika melakukan poligami,

perkawinannya dinyatakan bertentangan dengan undang-undang yang

telah berlaku dan tidak sah secara hukum.

Dengan demikian orang tersebut telah melanggar PP No. 9 Tahun

1975 Pasal 45 dan PP No. 45 Tahun 1990 Pasal 15.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 45, dijelaskan:

Pasal 45

(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku, maka:

a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam

Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum

dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh

ribu lima ratus rupiah).

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

58

b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur

dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan

Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-

lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp

7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas

merupakan pelanggaran

Dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang

Perubahanatas PP No. 10 Tahun 1983 Pasal 15, dijelaskan:

Pasal 15

(1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih

kewajiban/ketenuan pasal 2 ayat (1), ayat (2), pasal 3 ayat (1),

pasal 4 ayat (1), pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya

dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung

mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan

perkawinannya yang kedua/ketiga/kee,pat dalam jangka waktu

selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan

tersebur dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin

berat berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan

Disiplin Pegawai Negeri Sipil

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan pasal

4 ayat (2), dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak

dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil

(3) Atasan yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat (2) dan pejabat

yang melanggar ketentuan pasal 12, dijatuhi salah satu

hukuman disiplin berat berdasarkan PP No. 30 tahun 1980

tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil

Seiring berjalannya waktu, kini perkawinan poligami cukup marak

terjadi di Indonesia, namun efektivitas hukum yang sudah diatur dalam

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

59

PP No 9 tahun 1975 diatas hingga saat ini masih diragukan, diantara

faktor penyebabnya adalah sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda

Rp.7.500,- atau penjara 3 bulan, sudah dianggap tidakk sesuai dengan

kondisi saat ini. Maka di tahun 2008, masalah poligami menjadi

pembahasan tersendiri dalam pasal 52 RUU HMPA (Rancangan Undang-

Undang Hukum Materiil Peradilan Agama) tentang ketentuan beristri

lebih dari seorang, yaitu perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua,

ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan, tidak mempunyai

kekuatan hukum. Dalam pasal 145 juga diatur tentang ketentuan pidana,

bahwa setiap orang yang melangsungkan perkawinan poligami tanpa

mendapat izin terlebih dahulu dari pengadilan, maka akan dipidana

dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah)

atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.

B. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Pakistan

1. Sejarah Hukum Keluarga Pakistan

Semula Pakistan adalah bagian dari India dan berdirinya Negara

Pakistan nerupakan jawaban atas tuntutan orang-orang Islam yang berada

di India yang ketika itu berada di bawah penjajahan Inggris.

Republik Islam Pakistan atau Pakistan merdeka dari penjajahan

Inggris pada tahun 1947, semula Pakistan terdiri atas dua bagian yaitu

Pakistan Barat dan Pakistan Timur. Pada Tahun 1971 terjadi perang

saudara dan Pakistan Timur memisahkan diri menjadi Bangladesh,

sehingga Pakistan sekarang adalah Pakistan Barat dulu. Penduduknya

terdiri dari beberapa kelompok etnis, yang berbeda; Pashtun, Punjabi,

Sindhi, Baloch, dan Muhajir. Sebanyak 97 persen penduduk Pakistan

beragama Islam, sebagian besar diantaranya Sunni sebanyak 77 persen

dan sisanya Syiah sebanyak 20 persen. Selebihnya 3 persen beragama

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

60

Kristen, Hindu, dan Parsian. Meskipun bahasa Urdu adalah bahasa resmi

Pakistan, hanya 8 persen dari populasi yang benar-benar bisa berbicara

bahasa Urdu, sebaliknya, bahasa Punjabi sebanyak 44 persen, dan Sindhi

14 persen.83

Pakistan berdiri dan memisahkan diri dari India tahun 1947.

Sepanjang sejarahnya, fenomena perkembangan dan pembaharuan hukum

di Pakistan selalu diwarnai dengan ketegangan dan tarik menarik antara

hukum yang dirumuskan penguasa melalui kebijakan sentralisasi dan

unifikasi dengan hukum yang berjalan di masyarakat dengan karakternya

yang pluralistik tetapi tidak menyimpang dari paham mazhab

konvensional ataupun mazhab Hanafi yang dianut oleh kebanyakan

orang-orang Islam di Pakistan. Artinya, fenomena tarik menarik ini telah

terjadi dan merupakan karakter hukum di Pakistan sejak awal.84

Semula Pakistan adalah bagian dari India dan berdirinya Negara

Pakistan merupakan jawaban atas tuntutan orang-orang Islam yang berada

di India yang ketika itu berada dibawah penjajahan Inggris. Kemerdekaan

negara baru Islam yang bernama Pakistan itu tidak dengan sendirinya

memutus dirinya dari hukum yang berlaku pada zaman penjajahan

Inggris, karena semua hukum yang berlaku di India pada zaman

penjajahan Inggris berlaku di Pakistan dan tetap berlaku pada zaman

kemerdekaan sampai ada hukum baru yang memperbarui atau

menggantikannya.

Sejak sebelum merdeka, semasa masih berada dibawah jajahan

Inggris, orang-orang Islam di India itu telah memiliki sebuah UU tentang

hukum keluarga yaitu Penerapan Hukum Status Pribadi Muslim (Muslim

Personal Law Application Act) tahun 1937. Kecuali soal-soal yang terkait

83

Jan Michael Otto, Sharia Incorporated: A Comoparative Overview of the Legal Systems of

Twelve Muslim Countries in Past and Present, (Leiden University: Leiden University Press, 2010)

h.376 84

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h.47

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

61

tanah dan pertanian yang diatur secara hukum adat, UU tahun 1937 itu

mengatur mengenai persoalan-persoalan keluarga dan waris.85

UU kedua

yang mengatur hukum keluarga bagi orang-orang Islam di India ialah UU

perceraian Orang-orang Islam (Dissolution of Muslim Marriages Act)

tahun 1939 yang juga memberikan kedudukan hukum lebih baik kepada

perempuan dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk

mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan dengan alasan-alasan yang

dibenarkan.86

Selain UU tahun 1937 dan 1939, terdapat satu UU lagi yang

berkait dengan hukum keluarga Islam di Pakistan yaitu tentang Larangan

Perkawinan dibawah Umur (Child Marriage Restraint Act) tahun 1929.

MFLO memiliki dua tujuan: untuk mencegah poligami dan mengatur

perceraian, selain pendaftaran pernikahan, dan warisan.

Ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961 berarti Negara

Pakistan telah berumur 14 tahun. Selama periode (1947-1961) Pakistan

sibuk mempersiapkan naskah UUD (konstitusinya). Pada tahun 1956

barulah Pakistan memiliki UUD yang pertama, setelah tiga buah

rancangan UUD sebelumnya ditolak pada tahun 1949, 1950, dan 1952.

Semangat dari UUD 1956 itu ialah bahwa semua hukum warisan zaman

penjajahan Inggris yang masih berlaku akan diganti dengan hukum baru

yang berdasarkan atau berorientasi kepada hukum Islam. UUD 1956 itu

hanya dipersiapkan dalam dua tahun yaitu tahun 1953 dan 1954.

Penyiapan UUD pertama Pakistan itu memakan waktu demikian lama,

karena adanya perdebatan dikalangan elit Paskitan disekitar persoalan

apakah Pakistan itu akan menjadi negara sekuler bagi orang-orang Islam

di Pakistan ataukah menjadi Negara Islam. Sebagian kelompok non-

85

Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga di Pakistan antara Islamisasi dan Tekanan Adat”, Al-

„Adalah, XII (Juni, 2014), h.12 86

Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, (Yogyakarta: Kaukaba, 2015), h.56

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

62

Muslim Pakistan beralasan bahwa Mohammad Ali Jinnah sendiri, pendiri

Pakistan yang meninggal dunia berpendapat yang pertama. Dalam UUD

1956 itu pilihan telah diambil, Pakistan adalah Negara Islam berbentuk

republik dan presidennya harus orang Islam. UUD 1956 tidak berlaku

lama, pada tanggal 7 Oktober 1956 dinyatakan tidak berlaku setelah

terjadinya coup d‟etat (kudeta) dibawah pimpinan Jendral Ayub Khan

yang sekaligus menjadi penguasa darurat militer (Martial Law) sampai

diberlakukannya UUD kedua yang diberlakukan pada tanggal 1 Maret

1962. Dengan demikian ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961,

sesungguhnya Pakistan sedang berada pada masa transisi antara UUD

pertama dan kedua.87

Selama tahun 1950-an, pada saat ordonansi diberlakukan, tingkat

pendidikan dan pekerjaan di kalangan perempuan meningkat, pemerintah

khususnya khawatir terhadap orang-orang yang membangkang dan

masyarakat yang telah mengadopsi paham sekuler. Kekuatan modern,

termasuk kelompok wanita seperti Asosiasi Perempuan Seluruh Pakistan

dan Front Bersatu untuk Hak-hak Perempuan. Mengabdikan upaya

mereka selama akhir 1950-an dan awal 1960-an dengan berjalannya

sebuah peraturan baru yang akan mendefinisikan kembali hak-hak

perempuan mengenai pernikahan, perceraian, poligami, dan warisan.

Tingkatan dalam pergerakannya terlihat jelas, perempuan kelas atas yang

berpendidikan juga yang mendorong dibalik sebuah reformasi..88

Pada tingkat Negara bagian, parlemen Punjab adalah Negara

Bagian yang pertama menyusun rancangan peraturan pembaruan tentang

perkawinan. Secara nasional, langkah pertama kearah pembaruan hukum

keluarga itu dilakukan dengan pembentukan suatu komisi yang disebut

87

Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga di Pakistan antara Islamisasi dan Tekanan Adat”, Al-

„Adalah, XII (Juni, 2014), h.13 88

Haider, Nadya (2000), “Islamic Legal Reform: The Case of Pakistan and Family Law,”

Yale Journal of Law & Feminism: Vol.12:Iss.2, h.308

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

63

Komisi Hukum Perkawinan dan Keluarga (Marriage and Family Law

Commission) pada tahun 1955 yang diketuai oleh seorang hakim bernama

Badur Rashid dengan keanggotaan tujuh orang, termasuk tiga orang tokoh

perempuan dan seorang filosof, Khalifa Abdul Hakim. Pada bulan Juni

1956 Komisi telah menyelesaikan pekerjaannya dan menyampaikan

laporan untuk dijadikan bahan penyusunan UU Hukum Keluarga.

Seorang anggota komisi dari kelompok ulama konservatif, Maulana

Ihteshamul Haq, membuat pernyataan dissenting opinion karena isi

laporan komisi itu dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam atau

sekurangkurangnya Negara telah melakukan intervensi yang tidak perlu

terhadap hukum Islam. Memang sedikit aneh, karena terhadap Mesir yang

melakukan pembaharuan hukum keluarga pada tahun 1929, ulama

konservatif Pakistan Maulana Maududi mendukungnya, tetapi ketika

pembaruan serupa hendak diberlakukan di Pakistan, ia menentangnya.

ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961 ternyata tidak semua

rekomendasi komisi tersebut ditampung di dalamnya, sehingga

membuatorang berkesimpulan bahwa MFLO 1961 adalah hasil kompromi

antara kelompok-kelompok Muslim modernis dan konservatif di

Pakistan.89

Adapun secara singkat alasan yang mendasari pembentukan

komisi ini adalah bahwa agama Islam yang dipeluk oleh setiap Muslim

tidak perlu diperdebatkan, selama kita berbicara tentang asas yang

mendasar dan sikap yang fundamental, kita dapat mengatakan bahwa

ajaran Islam itu bersifat komprehensif dan mencakup segala bentuk aspek

kehidupan. Di samping itu dapat pula dikatakan bahwa hukum Islam

benar-benar bersumber pada asas dan ketentuan yang datang dari Tuhan

sebagaimana yang tercantum dalam kitab suci al-Qur‟an dan Sunnah

89

Miftahul Huda, Studi Kawasan Hukum Perdata Islam (Ponorogo: STAIN Press, 2016),

h.112

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

64

Nabi. Agama inilah yang ditegaskan dalam pernyataan kemerdekaan dan

konstitusi Pakistan.90

2. Peraturan Poligami di Pakistan

Di Pakistan, pembatasan poligami ini berdasarkan ordonansi

hukum keluarga muslim tahun 1961. Hukum ini mensyaratkan bahwa

sebelum seorang lelaki menikahi istri kedua, diperlukan izin tertulis dari

dewan hakim. Ordonansi Hukum Keluarga Muslim ini pada ayat 6

menyebutkan “No man, during the subsistence of an existing marriage, shall except with the previous

permission in writing of the Arbitration Council” (Tidak seorang lelaki pun kecuali

terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari dewan hakim untuk menikah

lagi). Izin hanya dapat diberikan apabila dewan hakim yakin bahwa

perkawinan yang diajukkan itu memang sungguh diperlukan dan benar

sah. Dalam hal ini diperlukan adanya persetujuan dari istri terdahulu

kecuali kalau istri sebelumnya ini sakit, cacat jasmani atau mandul.

Namun dalam keadaan bagaimanapun, izin dewan tersebut harus

diperoleh sebelum melangsungkan pernikahan bagi istri berikutnya.

Orang yang melanggarnya akan dikenakan hukuman, sedang istri yang

ada berhak menuntut cerai. Selain semua pembatasan itu, apabila telah

dijalin perkawinan kedua tanpa izin dewan, maka perkawinan kedua ini

dapat dianggap batal secara hukum.91

Di dunia muslim pada umumnya kecenderungannya adalah sama

yaitu membatasi terjadinya poligami dan pembatasan itu bervariasi

bentuknya dari cara yang paling lunak sampai paling tegas. Cara lain bagi

pembatasan poligami adalah dengan pembuatan perjanjian. Istri diberi

hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar

membuat perjanjian bahwa jika ia menikah lagi dengan wanita lain, si

90

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h.48 91

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative

Analysis), (New Delhi: 1987),h. 137.

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

65

istri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan

sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak istri.92

Secara historis, jauh sebelum pemisahan India-Pakistan pada

tahun 1947, poligami sudah menjadi budaya dan tradisi umum yang

banyak dipraktekkan oleh umat Islam saat itu. Undang-undang Pakistan

menampakkan radikal dalam menyahuti keberanjakan-keberanjakan suatu

hukum termasuk masalah perkawinan, khususnya poligami. hal ini

terbukti banyaknya pendapat yang bermunculan menentang gejala

poligami dan menganggap merugikan pihak wanita dalam keluarga serta

menghalangi kebebasan dan keleluasaannya. Oleh karena itu, isu ini

mendapat tempat yang proporsional setelah kemerdekaan melalui

perjuangan yang panjang.93

Dalam kaitannya dengan masalah poligami, yang telah

berkembang menjadi bahan perdebatan sengit disetiap lingkungan

masyarakat muslim, komisi ini cenderung untuk mengikuti keterangan

Al-Qur‟an. Dinyatakan dalam Al-Qur‟an bahwa poligami tidak

diperintahkan, tidak diizinkan tanpa syarat dan juga tidak dianjurkan. Al-

Qur‟an menyatakan bahwa diperbolehkannya poligami ini mengandung

resiko besar terhadap keadilan sosial dan kebahagiaan hidup rumah

tangga.94

3. Syarat dan Prosedur Poligami di Pakistan

Syarat dan prosedur poligami di Pakistan tercantum dalam pasal 6

ayat 1 sampai 4, the Muslim Family Law Ordinance Tahun 1961 yaitu:95

92

Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, (Yogyakarta: Kaukaba, 2015), h.57 93

Haiderz Nadya (2000), “Islamic Legal Reform: The Case of Pakistan and Family Law,”

Yale Journal of Law & Feminism: Vol.12:Iss.2, h.308 94

Miftahul Huda, Studi Kawasan Hukum Perdata Islam (Ponorogo: STAIN Press, 2016),

h.153 95

Muslim Family Law Ordinance 1961

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

66

(1) No man, during the subsistence of an existing marriage, shall except with the previous permission

in writing of the Arbitration Council, contract another marriage, nor shall any such marriage

contracted without such permission be registered under this Ordinance.

(2) An application for permission under Sub-section (1) shall be submitted to the Chairman in the

prescribed manner together with the prescribed fee, and shall state reasons for the proposed

marriage, and whether the consent of existing wife or wives has been obtained thereto.

(3) On receipt of the application under Sub-section (3), Chairman shall ask the applicant and his

existing wife or wives each to nominate a representative, and the Arbitration Council so constituted

may, if satisfied that the proposed marriage is necessary and just, grant, subject to such condition if

any, as may be deemed fit, the permission applied for.

(4) In deciding the application the Arbitration Council shall record its reasons for the decision and any

party may, in the prescribed manner, within the prescribed period, and on payment of the

prescribed fee, prefer an application for revision, to the Collector concerned and his decision shall

be final and shall not be called in question in any Court.

Artinya:

1. Selama masih terikat perkawinan, tidak seorang lelakipun yang

boleh melakukan perkawinan dengan orang lain kecuali ia telah

mendapat izin tertulis dari Dewan Arbitrase.

2. Permohonan izin akan diserahkan kepada ketua dengan cara yang

ditentukan sekaligus dengan biaya yang ditetapkan dan

melampirkan alasan-alasan untuk mengajukan perkawinan dengan

menerangkan apakah izin tertulis dari istri atau istri-istrinya sudah

diperoleh.

3. Dalam hal penerimaan permohonan ketua akan meminta kepada

pemohon dan istri atau istri-istrinya yang sah untuk mengajukan

wakil masing-masing dan dewan arbitrase akan memberikan izin

poligami apabila dewan memandang perkawinan tersebut perlu

dan adil sesuai dengan pertimbangan kesehatan.

4. Dalam memutuskan permohonan tersebut dewan arbitrase

mencatat alasan terhadap putusan tersebut dan pihak pemohon

boleh melebihkan surat permohonan untuk revisi surat keterangan

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

67

tersebut dan menyerahkannya kepada kolektor dan putusanyya

akan berlaku serta tidak akan dipertanyakan lagi di pengadilan.

Dalam pasal ini maka jelaslah poligami dapat dilakukan dengan

syarat bahwa seorang suami yang hendak kawin lagi dengan perempuan

lain melaporkan keinginannya itu kepada Dewan Arbitrase dilengkapi

dengan alasan-alasannya dan dilampiri surat izin istri serta membayar

uang sejumlah tertentu. Segera setelah surat permintaan izin dari pihak

suami itu disampaikan kemudian Dewan Arbitrase meminta nama

seorang wakil keluarga dari pihak suami dan seorang wakil keluarga dari

pihak istri untuk duduk sebagai anggota Dewan Arbitrase. Jika Dewan

Arbitrase kemudian melihat adanya alasan–alasan yang jelas, diperlukan

dan adil, sehingga menyetujui usul perkawinan tersebut maka izinpun

diberikan

4. Sanksi Poligami di Pakistan

Sanksi bagi pelaku poligami di Pakistan tercantum dalam Pasal 6

ayat (5) The Muslim Family Law Ordinance Tahun 1961 yaitu:

(5) Any man who contracts another marriage without the permission of the Arbitration Council shall;

a) pay immediately the entire amount of the dower whether prompt or deferred, due to the

existing wife or wives, which amount, if not so paid, shall be recoverable as arrears of land

revenue; and

b) on conviction upon complaint be punishable with the simple imprisonment which may extend

to one year, or with fine which may extend to five thousand rupees, or with both.

Artinya

5. Seseorang yang melakukan perkawinan yang lain tanpa izin dari

dewan arbitrase akan:

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

68

a. Membayar seluruh mahar dengan segera kepada istri atau istri-

istrinya, baik tunai maupun secara ditangguhkan dan jika tidak

maka ia akan diperoleh sebagai tunggakan atau sewa

b. Dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal

5000 rupee atau kedua-duanya.96

Di Pakistan, seseorang hanya dapat dibolehkan berpoligami jika

telah mendapat izin tertulis dari Lembaga Arbitrase. Perkawinan yang

dilakukan tanpa izin tertulis lembaga tersebut akan

mengakibatkanperkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-Undang.

Bahkan lebih jauh, terhadap pelaku poligami tanpa izin lembaga arbitrase

dapat dijatuhi hukuman: a) wajib membayar segera seluruh jumlah mas

kawin, baik kontan maupun bertempo (cicilan), kepada istri/para istrinya

yang ada, jika jumlah itu tidak dibayar, maka ia dapat ditukar-alih sebagai

tunggakan pajak tanah; b) atas dasar keyakinan terhadap pengakuan (dari

pihak istri mengenai pelunasan mahar) maka pelaku poligami dapat

dikenakan hukuman penjara 1 tahun, ataupun denda maksimal 5 ribu

rupee, atau dengan keduanya sekaligus.

C. Sejarah Hukum Keluarga dan Peraturan Poligami di Somalia

1. Sejarah Hukum Keluarga Somalia

Republik Demokrasi Somalia, atau biasa disebut Somalia saja,

merupakan negara demokrasi parlementer yang terletak di Afrika sebelah

Timur. Negara ini berbatasan dengan teluk Aded (Utara), Samudra

Hindia (Timur dan Selatan), serta Kenya, Ethiopia dan Djibouti (Barat).

Secara umum keadaan tanahnya tandus, kecuali di lembah-lembah

96

Muslim Family Law Ordinance 1961

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

69

sungai yang airnya tidak kering sepanjang tahun. Sumber penghidupan

utamanya berasal dari hasil pertanian terutama ternak dan cengkeh.97

Sejarah modern Somalia bertitik tolak dari kolonial Inggris dan

Italia pada pertengahan tahun 1880-an. Zeila, Berbera dan daerah-daerah

di sekitarnya diperintah oleh Inggris sebagai Inggris Somalian dari tahun

1880-an-1960. Jauh ke selatan di ssepanjang garis pantai dari tanjung

Guardatul sampai Kenya, terdapat suatu bentangan yang menjadi koloni

Italia, yakni Italia Somalian. Selama perang dunia II dan tidak lama

sesudahnya negeri ini diduduki oleh Inggris. Setelah selesai perang

selesai koloni tersebut menjadi wilayah peralihan PBB yang diperintah

oleh Italia yang ikut membantu mempersiapkan kemerdekaannya. Dalam

masa itu bangsa Somalia yang tinggal di Somalian Inggris mulai

memperjuangkan kemerdekaan. Mereka berhasil mewujudkannya pada

bulan Juli 1960. Pada bulan Juli itu juga, ketika wilayah bagian selatan

memperoleh kemerdekaannya, kedua negara tersebut bergabung

membentuk Republik Somalia. Pada bulan September 1960 negara itu

diterima menjadi anggota PBB.98

Pada masa kolonial di daerah Somalia berlaku hukum Inggris

dari abad 19-20. Inggris memberlakukan Peradilan Adat, Ordonansi

perkawinan tahun 1928 dan Ordonansi Peradilan Qadi tahun 1937.

Kemudian dikeluarkan Ordonansi Peradilan Rendah tahun 1944 yang

mencabut Ordonansi tahun 1973, yang membatasi jurisdiksi Peradilan

Qadi hanya dalam materi status personal. Sedangkan di bawah

kekuasaan Itali yaitu di daerah Somalia selatan, masih mengembangkan

97

M.Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003),

h.155. 98

A.G. Prianggidino (dkk), Ensiklopedi Umum (Jakarta: Kanisius, 1973), h.1232

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

70

sistem Peradilan Qadi yang memiliki jurisdiksi perkara perdata „civil‟

dan pidana ringan.99

Setelah masa kemerdekaan yaitu tahun 1960 Somalia yang

mempunyai empat tradisi hukum yang berbeda yaitu Common Law

Inggris, hukum Italia, hukum Islam „syari‟ah‟ dan hukum adat Somalia,

berusaha menjadikan warisan hukum yang berbeda-beda tersebut

menjadi satu sistem. Oleh karena itu dilakukan penyeragaman kodifikasi

hukum pidana dan acara pidana serta dilakukan regulasi terhadap

organisasi peradilan, dengan mengadopsi sistem hukum Italia yang

berdasarkan kepada penerapan putusan peradilan „present‟dan

interpretasi hukum kodifikasi, serta menerapkan Common Law Inggris

dan doktrin equity, dalam masalah-masalah yang tidak diatur dalam

legislasi. Hukum Islam yang berlaku hanya terbatas pada perkara

perkawinan, perceraian, perselisihan keluarga dan warisan. Hukum adat

Somalia diterapkan secara opsional dalam beberapa perkara yaitu

pertanian, air hak penanaman, dan pembayaran diyat.100

Debat mengenai perlunya pembentukan kembali hukum

keluarga Somalia yang sesuai dengan kebijakan-kebijakan partai politik

sosialis baru di tanggapi oleh negara tahun 1972. Sejak itulah pemerintah

melalui Dewan Komisi mempersiapkan draft mengenai hukum keluaga

yang baru101

.

Dengan beberapa perubahan yang signifikan terhadap

perundang-undangan yang dibuat oleh partai sosialis baru, draft undang-

undang keluarga baru selesai dibuat dan diundangkan pada tahun 1975,

dengan nama hukum keluarga Somalia „Family Code of Somalia‟. Para

99

Khoiruddin Nasution, dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dinia Muslim Modern,

(Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012), h.252 100

Abdullahi A. An-Na‟im, Islamic Family Law in a Changing World, A Global Resource

Book, (London: Zed Books, 2002), h.80 101

M.Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003),

h. 156.

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

71

Perancang undang-undang tersebut diketuai oleh Abdi Salim Syaikh

Hussain, Menteri Sekertaris Negara Urusan Keadilan dan Agama,

Pemerinah Somalia dan Presiden Siyad Barre. Alasan pembentukan dan

pengundangan ini,menurut mereka adalah untuk menciptakan

masyarakat yang sehat.102

Adapun tujuan utama dari pembentukan dan pengundangan

undang-undang tersebut adalah untuk menghapus kekolotan atau

kekakuan hukum adat yang dipandang bertentangan dengan kebijakan

pemerintahan baru Barre. Ia kemudian membatasi pengaruh klan dalam

penerapan hukum dan sanksi tradisional (adat) dan menghapuskan klan-

klan tradisional serta menghapus hak klan dalam hal penguasaan tanah,

sumber air dan hak penanaman103

.

Undang-undang hukum keluarga 1975 tersebut terdiri dari 173

pasal yaitu tentang:104

1. Perkawinan dan perceraian, meliputi dasar perkawinan, usia

perkawinan, pelarangan perkawinan, perwalian nikah,

pembatalan perkawinan, mahar, nafkah, hidup bersama, talaq,

perceraian di pengadilan, penetapan kematian dan iddah.

2. Anak dan nafkah, meliputi peran bapak, peran ibu,

tanggungjawab bapak, pengasuhan anak, nafkah dan

pemibiayaan terhadap anak.

3. Perwalian, meliputi perwalian itu sendiri, pengawasan dan

perwakilan wali, pengajaran dan perwalian, perlindungan

terhadap orang yang tidak cakap hukum, orang yang cacat,

kematian/kehilangan personalitas, dan adopsi.

102

Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, And Comparative

Analysis), (New Delhi: Academy Of Law And Religion, 1987), h.254 103

Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.

156. 104

Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, And Comparative

Analysis), (New Delhi: Academy Of Law And Religion, 1987), h.255

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

72

4. Kewarisan, meliputi waris dan syarat-syaratnya, ditolak dan

diterimanya warisan, ahli waris dan harta-harta yang

diwariskan, prinsip-prinsip umum kewarisan, bagian-bagian

waris, halangan kewarisan, dan ketetapan-ketetapan khusus.

Di samping peraturan tersebut, dinyatakan bahwa peraturan

yang belum tercantum dalam perundangan tersebut akan didasarkan

kepada:

a) Pendapat dominan dari mazhab Syafi‟i, dan

b) Prinsip-prinsip umum hukum Islam dan keadilan sosial.105

2. Peraturan Poligami di Somalia

Syari‟at Islam membolehkan seorang suami beristri lebih dari

seorang, jika mampu berlaku adil terhadap semua isteri-isterinya, namun

karena poligami dibolehkan banyak suami yang menyalah gunakannya.

Dalam hukum keluarga di banyak negara Muslim beristri lebih dari

seorang dibatasi dengan syarat dan ketentuan-ketentuan yang ketat.

Poligami di Somalia mengalami peningkatan dan menyebabkan

tingginya tingkat perceraian. Poligami tersebut berdampak kepada efek

psikologis wanita, juga kesulitan ekonomi karena tidak adilnya suami

terhadap istri-istrinya.106

Pada 11 Januari, peraturan tentang hukum keluarga diresmikan

yang di dalamnya mengatur perceraian dilakukan didepan pengadilan,

mas kawin tidak lagi sebagai syarat perkawinan, diperbolehkan

105

Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, And Comparative

Analysis), (New Delhi: Academy Of Law And Religion, 1987), h.255 106

Mohammed Hassan Ibrahim, Women‟s Rights In Islam and Somali Culture, (Kenya:

Unicef, 2002), h.26

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

73

pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal waris

dan membatasi poligami.107

Hukum keluarga Somalia dalam masalah poligami mengatur

bahwa seorang suami yang akan poligami harus terlebih dahulu mendapat

izin dari pengadilan dan permohonannya pun harus disertai alasan-alasan.

Diatur dalam Somali Family Code Tahun 1975 dalam pasal 13:

No man shall marry a second woman unless he is formally allowed to do so by the district court

having jurisdiction108

Artinya: “Tidak seorangpun boleh menikah lagi (poligami) kecuali

setelah mendapat izin secara resmi dari pengadilan.

3. Syarat dan Prosedur Poligami di Somalia

Poligami di dalam hukum keluarga di Somalia diatur dalam Somali

Family Code Tahun 1975 menetapkan bahwa poligami itu boleh dengan

izin terlebih dahulu dari pengadilan dan tentunya setelah mengajukan

beberapa persyaratan yang telah diatur, sementara belum ada peraturan

yang mengatur bagi yang melanggar hal ini akan mendapatkan hukuman.

Untuk mengetahui lebih jelasnya bunyi aturan yang membahas hal

ini terdapat dalam Somali Family Code tahun 1975 dalam pasal 13

menyatakan:109

The court shall not allow such a marriage except on any of the following grounds:

(1) Sterility of the first wife certified by a panel of doctors, provided that the husband was not aware

of it before the marriage.

(2) Affliction of wife with a chronic or contagious disease certified by a doctor if it is incurable.

(3) Imprisonment of the wife for more than two years.

107

Mohammed, Journal of Georgetown University-Qatar Middle Eastern Studies Student

Association 2015:4, h.6 108

Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, And Comparative

Analysis), (New Delhi: Academy Of Law And Religion, 1987), h.257 109

Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, And Comparative

Analysis), (New Delhi: Academy Of Law And Religion, 1987), h.257

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

74

(4) Absence of the wife from the matrimonial home for more than one year without a lawful reason.

(5) Any social necessity (in wich case permission is to be granted by an official authorized by the

Ministry of Justice and Religious Affairs.

Artinya:

Pengadilan memberi izin karena alasan-alasan:

(1) Istrinya mandul yang dibuktikan dengan keterangan dokter, dan

kondisi ini tidak disadari sejak menikah

(2) Istri terkena penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang

dibuktikan dengan keterangan dokter

(3) Istri dipenjara lebih dua tahun

(4) Istri meninggalkan rumah tanpa izin lebih dari satu tahun

(5) Ada kebutuhan sosial, yang ditentukan oleh Menteri Kehakiman

dan Agama.

Mengenai ketentuan poligami di Negara Somalia, hampir sama

halnya dengan aturan mengenai izin poligami di Indonesia. Diantara

alasan-alasan yang mendapatkan izin poligami di Negara Somalia, yaitu:

Istri menderita kemandulan. Hal ini harus disertai dengan surat

keterangan dari dokter. Dan suami pun tidak menyadari atau tidak

mengetahui sebelum menikah kalau seandainya perempuan yang dia

nikahi itu mandul. Istri menderita penyakit kronis atau sebuah penyakit

menular. Hal ini juga dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang

menerangkan bahwa penyakit yang diderita oleh istri tersebut tidak dapat

disembuhkan. Istri dipenjara selama dua tahun atau lebih. Istri tidak ada

dirumah pernikahan selama 1 tahun atau lebih, tanpa adanya alasan

tertentu. Serta apabila istri melakukan kegiatan sosial maka suami

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

75

4. Sanksi Poligami di Somalia

Sampai saat ini hukum keluarga di Somalia belum mengatur

sanksi bagi yang melanggar peraturan poligami di atas.110

110

Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.

159

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

76

BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN PERATURAN POLIGAMI DI INDONESIA,

PAKISTAN DAN SOMALIA

A. Perbandingan Horizontal

Sebagian besar Perundang-undangan perkawinan Muslim

kontemporer mempersulit berpoligami, hanya cara dan metode yang

digunakan berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Perbedaan

ini disamping karena faktor sosial yang berbeda, juga karena perbedaan

kebutuhan dan tuntutan. Sebagai tambahan, perundangan-undangan satu atau

sejumlah negara-negara seperti hanya Indonesia, Pakistan dan Sonalia dapat

juga mempengaruhi isi atau aturan tentang poligami di negara-negara lain.

Karena itu, pengaruh negara tertentu menjadi faktor dalam merumuskan

aturan poligami.

Larangan poligami dengan berbagai sanksinya adalah suatu

pembaharuan yang sudah lama menjadi tuntutan. Larangan mutlak dan sanksi

poligami tidak pernah dipraktikan pada masa Rasulullah SAW sampai masa

sahabat. Ketentuan yang berlaku di negara-negara yang disebutkan

merupakan campur tangan manusia atau penguasa yang merupakan

keberanjakan dari hukum Islam dan sangat sesuai dengan semangat syariat.

Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia dengan hukum

perkawinan di Pakistan maupun Somalia mempunyai kesamaan yaitu

menganut azas monogami yang dimana suami hanya boleh mempunyai

seorang istri dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami. Hal

tersebut sesuai dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (1), di

Pakistan terdapat dalam The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961

pasal 6 ayat (1), sedangkan di Somalia terdapat dalam Somali Family Code

Tahun 1975 dalam pasal 13.

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

77

Meskipun di Indonesia, Pakistan dan Somalia menganut azas

monogami, namun azas tersebut tidak berlaku mutlak, karena dalam keadaan

tertentu seorang suami boleh beristri lebih dari seorang dengan memenuhi

beberapa persyaratan juga sanksinya sebagaimana disebutkan dalam Undang-

undang Perkawinan.

Di Indonesia menyangkut prosedur pelaksanan poligami aturannya

dapat dilihat dalam PP No 9 Tahun 1975 pada pasal 40 dinyatakan bahwa

apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia

wajib mengajukan permohonan secara tertulis pada pengadilan. Apabila tanpa

izin maka perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Bagi PNS

yang akan berpoligami, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat, dan

PNS perempuan tidak diizinkan menjadi istri yang kedua/ketiga/keempat.

Di Indonesia izin beristri lebih dari seorang, termasuk PNS hanya

dapat diberikan apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat

alternatif, dan ketiga syarat kumulatif. Adapun syarat alternatif yang

dimaksud terdapat dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ada

tiga alasan yang bersifat alternatif bagi suami yang akan beristri lebih dari

seorang yaitu: (a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya; (b) istri

mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) istri

tidak dapat melahirkan keturunan. Selain memenuhi ketentuan dalam pasal 4

tersebut, seorang suami yang akan berpoligami juga harus memenuhi

persyaratan yang terdapat dalam pasal 5 Undang-undang Perkawinan yaitu:

(a) adanya persetujuan tertulis dari istri/istri-istri; (b) adanya kepastian bahwa

suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya; (c)

adanya jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anak mereka.

Dalam pelanggaran poligami di Indonesia terdapat sanksi bagi

pelanggarnya yang diatur dalam PP No 9 Tahun 1975 pasal 45 yaitu: barang

siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

78

Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya

Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Terdapat juga sanksi khusus bagi

PNS yang melanggar aturan poligami yang diatur dalam PP No 45 Tahun

1990 tentang Perubahan atas PP No. 10 Tahun 1983 Pasal 15 ayat (1) yaitu:

Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih

kewajiban/ketenuan pasal 2 ayat (1), ayat (2), pasal 3 ayat (1), pasal 4 ayat

(1), pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-

lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak

melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu

selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebur

dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.

30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, serta pasal 15

ayat (2) disebutkan bahwa seorang PNS wanita dijjatuhi hukuman

pemberhentian dengan tidak hormat apabila menjadi istri

kedua/ketiga/keempat.

Dalam hukum perkawinan Pakistan prosedur dan persyaratan

poligami terdapat dalam The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961

pasal 6 ayat (1), (2) dan (3) yaitu: seorang yang akan berpoligami harus

mendapat izin tertulis dari dewan arbitrase (hakim) dan melampirkan alasan-

alasan untuk mengajukan permohonan izin poligami sebelum seseorang dapat

menikahi istri kedua. Izin tersebut hanya dapat diberikan bila dewan arbitrase

yakin bahwa perkawinan yang diajukan itu memang diperlukan dan benar.

Dalam hal ini diperlukan adanya persetujuan dari istri terdahulu kecuali jika

dia sakit ingatan, cacat jasmani atau mandul. Walau bagaimanapun juga izin

dewan hakim harus didapatkan sebelum melangsungkan perkawinan kedua.

Perkawinan yang dilakukan tanpa izin tertulis dari dewan arbitrase akan

mengakibatkan perkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-undang.

Bagi yang melanggar aturan poligami yang telah dijelaskan di atas,

terdapat sanksi hukum yang berlaku, terdapat dalam The Muslim Family

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

79

Laws Ordinance Tahun 1961 pasal 6 ayat (5) yaitu: (a) membayar seluruh

mahar dengan segera kepada istri atau istri-istrinya, baik tunai maupun secara

ditangguhkan dan jika tidak maka ia akan diperoleh sebagai tunggakan atau

sewa, (b) dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal 5000

rupee atau kedua-duanya.

Sedangkan dalam hukum perkawinan Somalia melalui Undang-

undang hukum keluarga (Somali Family Code Tahun 1975) menetapkan

bahwa poligami itu boleh dengan izin terlebih dahulu dari pengadilan dan

tentunya setelah mengajukan beberapa persyaratan yang telah diatur, hal

tersebut terdapat dalam Somali Family Code Tahun 1975 pasal 13, yaitu: (a)

istrinya mandul yang dibuktikan dengan keterangan dokter, dan kondisi ini

tidak disadari sejak menikah; (b) istri dipenjara lebih dua tahun; (c) istri

meninggalkan rumah tanpa izin lebih dari satu tahun; ada kebutuhan sosial,

yang ditentukan oleh Menteri Kehakiman dan Agama.

Meskipun dalam hukum keluarga Somalia poligami diperbolehkan

walau agak diperketat dengan menetapkan keharusan bagi suami yang akan

berpoligami untuk mendapatkan izin dari pengadilan, begitu juga tentang

mandulnya seorang istri yang menjadi salah satu alasan suami untuk

melakukan poligami juga harus dibuktikan dengan surat keterangan dari

dokter, namun tidak terdapat aturan yang menegaskan bahwa yang melanggar

ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi/hukuman.

Khoiruddin Nasution memilah aturan poligami kedalam beberapa

kelompok:

(1) Poligami dilarang secara mutlak.

(2) Dikenakan hukum bagi yang melanggar aturan poligami.

(3) Poligami harus ada izin dari pengadilan.

(4) Poligami dapat menjadi alasan cerai.

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

80

(5) Boleh poligami secara mutlak.111

Apabila mengacu pada aturan poligami sebagaimana dikemukakan

Khoiruddin Nasution, maka Indonesia, Pakistan dan Somalia masuk kedalam

kelompok ketiga, yakni poligami harus ada izin dari pengadilan. Selain itu,

Indonesia dan Pakistan dapat dimasukkan kedalam kelompok kedua, yakni

akan dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan poligami.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketentuan materi hukum

tentang poligami dalam hukum keluarga Indonesia, Pakistan dan Somalia

memiliki kesamaan dan juga perbedaan. Persamaannya adalah bahwa ketiga

negara tersebut sama-sama menganut azas monogami yang tidak mutlak dan

mengharuskan izin pengadilan sebelum melakukan poligami. Sedangkan

perbedaannya adalah: a) syarat poligami di Indonesia lebih ketat dibanding

Pakistan dan Somalia, persyaratan poligami di Indonesia selain harus

mengajukan permohonan ke pengadilan, persetujuan istri/istri-istri, dan harus

adil. Pelaku poligami juga harus menyertakan surat keterangan penghasilan,

khusus untuk PNS terdapat persyaratan lain yaitu mendapat izin dari atasan.

Di Pakistan persyaratan poligami hanya harus mengajukan permohonan

poligami ke dewan arbitrase, dan mendapatkan persetujuan istri/istri-istri,

sementara di Somalia persyaratan poligami harus mendapatkan izin dari

pengadilan, dan tidak dijelaskan adanya keharusan untuk meminta

persetujuan dari istri, apabila alasan pelaku poligami ingin berpoligami

karena istri mandul, maka harus menyertakan surat keterangan dari dokter. b)

Sanksi poligami di Pakistan dan Indonesia lebih progresif dibanding Somalia.

Hal ini dapat dilihat dari tidak ada pemberlakuan sanksi hukum bagi yang

melanggar aturan poligami ini.

Perbedaan materi peraturan hukum poligami antara Indonesia,

Pakistan dan Somalia bersifat teknik administratif yang sebatas syarat dan

111

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-

undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2012), h.127

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

81

alasan diperbolehkannya poligami. Alasan terjadinya perbedaan dalam

penyusunan undang-undang perkawinan adalah faktor mazhab fiqh dan

berbedanya sistem hukum yang digunakan di masing-masing negara.

Aturan poligami dalam hukum keluarga Indonesia, Pakistan dan

Somalia, berupaya untuk memperkecil peluang terjadinya poligami.

Ketentuan poligami di ketiga negara tersebut memperlihatkan sebuah upaya

untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dengan cara memperketat

persyaratan poligami. Hanya saja pembatasan tentang diperbolehkannya

melakukan poligami di masing-masing negara berbeda. Hal ini terlihat dalam

persyaratan dan sanksi yang diajukan oleh masing-masing negara dalam

rangka mempersempit peluang terjadinya poligami.112

112

Lilik Andryuni, Poligami dalam Hukkum Keluarga di Dunia Islam, Sipakalebbi, Volume 1

Nomor 1 Mei 2013, h.107

Tabel Komparasi Peraturan Poligami

Komparasi Indonesia Pakistan Somalia

UUD yang

mengatur

UU No.1 Tahun 1974

tentang perkawinan.

PP No. 9 Tahun 1975

tentang peraturan

pelaksanaan UU No. 1

tahun 1974.

PP No. 10 Tahun

1983 tentang izin

perkawinan dan

perceraian bagi PNS.

PP No. 45 Tahun

1990 tentang

The Muslim Family

Laws Ordinance

1961 (MFLO)

Pasal 6

Somali Family

Code 1975

Pasal 13

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

82

perubahan atas PP No.

10 tahun 1983.

Kompilasi Hukum

Islam.

Syarat UU No. 1 /1974 (Pasal

4&5)

Mengajukan

permohonan ke

pengadilan di daerah

tempat tinggalnya.

Adanya persetujuan

istri.

Adanya kepastian

bahwa suami mampu

menjamin keperluan

hidup istri-istri dan

anak-anaknya.

Adanya jaminan

bahwa suami akan

berlaku adil terhadap

istri-istri dan anak-

anaknya.

PP No. 9 /1975 (Pasal

41)

Surat keterangan

penghasilan suami

yang ditandatangani

oleh bendahara tempat

MFLO (Pasal 6)

Mengajukan

permohonan ke

dewan arbitrase.

Adanya persetujuan

dari istri-istri

Suami dan istri

mengajukan wakil

masing-masing

(pada saat

persidangan)

Somali Family

Code (Pasal 13)

Poligami hanya

dapat dilakukan

dengan izin

pengadilan.

Membawa surat

keterangan

dokter apabila

alasan melakukan

poligami

dikarenakan

mandulnya istri.

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

83

bekerja.

Surat keterangan lain

yang dapat diterima

oleh pengadilan.

PP No. 10 / 1983

(Pasal 10 (3))

Penghasilan yang

cukup untuk

membiayai lebih dari

seorang istri dan anak-

anak yang dibuktikan

dengan surat

keterangan pajak

penghasilan.

Hukuman PP No. 9 / 1975 (Pasal

45)

Barang siapa yang

melanggar ketentuan

yang diatur dalam

Pasal 3, 10 ayat (3), 40

Peraturan Pemerintah

ini dihukum dengan

hukuman denda

setinggi-tingginya Rp

7.500

Pegawai pencatat yang

mencatatkan pelaku

poligami tanpa izin

MFLO (Pasal6 (5))

Membayar seluruh

mahar kepada

istrinya, jika ia

tidak membayarnya

maka dapat ditukar

alihkan sebagai

tunggakan pajak

tanah

Denda 5.000 Rupee

dan penjara

maksimal 1 tahun

Tidak ada peraturan

yang menjelaskan

hukuman bagi yang

melanggar aturan

poligami

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

84

Pengadilan Agama di

denda sebesar Rp.

7.500 dan kurungan

maksimal 3 bulan.

PP No. 45 / 1990

(Pasal 15 (2))

Pegawai Negeri Sipil

yang melanggar salah

satu atau lebih

kewajiban/ketentuan

tidak melaporkan

perceraiannya dalam

jangka waktu

selambat-lambatnya

satu bulan terhitung

mulai terjadinya

perceraian, dan tidak

melaporkan

perkawinannya yang

kedua/ketiga/keempat

dalam jangka waktu

selambat-lambatnya

satu tahun terhitung

sejak perkawinan

tersebut

dilangsungkan,

dijatuhi salah satu

hukuman disiplin

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

85

B. Perbandingan Vertikal

Secara umum, praktik poligami tidak pernah dilarang pada zaman

Rasulullah SAW apalagi diberi sanksi pelakunya. Hal ini dapat dilihat dalam

fikih empat mazhab yakni,Imam Abu Hanifah (W 767 M), Imam Malik (W

795 M), Imam Syafi‟i (W 820 M) dan Imam Ibnu Hanbal (W 855 M)

menyatakan laki-laki dibolehkan mengawini lebih dari satu, namun dibatasi

hanya sampai empat istri. Akan tetapi diperbolehkannya tersebut memiliki

syarat dia dapat berlaku adil antara perempuan-perempuan tersebut baik dari

nafkah atau gilirannya. Imam Syafi‟i (W 820 M) berpendapat bahwa beristri

lebih dari seorang telah ditunjukan oleh sunnah Rasulullah sebagai penjelasan

berat berdasarkan PP

No. 30 tahun 1980

tentang Peraturan

Disiplin Pegawai

Negeri Sipil

Pemberhentian

dengan tidak hormat

apabila seorang PNS

wanita di poligami

oleh seorang PNS

Sanksi

PNS

Berlaku untuk

semua warga

Indonesia

Berlaku untuk

semua warga

Pakistan

Berlaku

untuk

semua

warga

Somalia

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

86

firman dari Allah SWT, namun bagi selain Rasulullah dibatasi empat orang

istri saja dengan syarat dapat berlaku adil.113

Syarat keadilan ini dapat kita lihat dalam Tafsir al- Maraghi, bahwa

yang dimaksud dengan pembagian seadil-adilnya, ialah dalam hal pembagian

giliran dan pemberian nafkah, meliputi:

a. Biaya Hidup (nafaqah)

b. Pakaian (kiswah)

c. Tempat Tinggal (maskan).114

Sementara terkait adil dalam pembagian kasih sayang, tidak menjadi

syarat poligami. Tidak seorangpun dibebani soal harus adil dalam

menjatuhkan cinta dan kasih sayang di dalam hati.

Secara substantif Indonesia. Pakistan dan Somalia termasuk diantara

negara yang melarang praktik poligami di luar pengadilan, karena Undang-

undang Perkawinan di Indonesia, Pakistan dan Somalia berazas monogami,

dan poligami dianggap hanya suatu darurat saja. Poligami itupun baru bisa

dilakukan setelah ada izin dari istri dan pengadilan.

Adapun tentang penerapan sanksi hukum bagi pelaku poligami tanpa

izin pengadilan, dalam hal ini peneliti setuju diterapkannya sanksi hukum.

Karena sebenarnya tujuan awal dari poligami dalam Islam adalah untuk

mengangkat martabat kaum wanita dan anak yatim, namun jika prosedurnya

tidak dipenuhi dan dijalankan dengan benar, justru akan berakibat pada tidak

adanya legalitas hukum bagi wanita. Tujuan perkawinan yang awalnya ialah

untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, dapat berubah dikarenakan

adanya kebohongan suami karena berpoligami tanpa izin.

Perbuatan poligami itu sendiri pada dasarnya bukan perbuatan pidana,

tetapi ia dapat dikualifisir menjadi perbuatan pidana jikalau ia dalam

113

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak, Rujuk dan Hukum

Kewarisan, h.85 114

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1993), h.289-

290

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

87

praktiknya tidak memenuhi atau melanggar alasan-alasan dan syarat-syarat

yang ditetapkan ulil amri (penguasa) tersebut. Dengan demikian, praktik

poligami tanpa izin pengadilan dapat dikenai hukuman ta‟zir, karena

pemerintah telah mengatur prosedur poligami yang tertuang dalam UU

Hukum Keluarga baik di Indonesia, Pakistan maupun Somalia. Hal ini tentu

saja sesuai dengan konsep mashlahah yang diajarkan agama Islam.

Menurut hemat peneliti, adanya sanksi hukum bagi praktik poligami

tanpa izin pengadilan sebagai formulasi hukum keluarga yang selaras dengan

konsep teori mashlahah mursalah Imam Malik.115

Karena hukum-hukum

syara‟ disyariatkan untuk melaksanakan kemaslahatan bagi manusia di satu

pihak dan untuk menolak kemudharatan di pihak lain. Oleh karena itu,

apabila ada kasus yang tidak ada nash dan ijma‟ dan tidak bisa diqiyaskan,

sedangkan ada kemaslahatan padanya, maka digunakan mashlahah mursalah.

Jadi dapat dipahami apabila dihadapkan dengan ketentuan-ketentuan

fikih, maka ketentuan yang dirumuskan dalam hukum keluarga di tiga negara

tersebut sama sekali baru dan tidak pernah ada sebelumnya, dalam pendapat

mazhab manapun, termasuk mazhab Syafi‟iyah yang dianut oleh mayoritas

umat Islam Indonesia dan Somalia, ataupun dengan mazhab Hanafiyah yang

dianut oleh mayoritas umat Islam di Pakistan. Hal ini terjadi dalam rangka

menyelaraskan perubahan sosial yang terjadi seiring dengan nilai syariat

Islam yang berprinsip pada ruang dan waktu.

Dikatakan demikian, sebab ketentuan poligami yang diatur dalam

ketiga negara tersebut bertujuan:

Pertama, mencegah kerusakan untuk lebih dikedepankan daripada

menarik manfaat. Sebagaimana dikatakan dalam kaidah fikih:

ء س د و ع ذ ق ذ ي اس ف ان ب ه ج ه حن صا ان

115

Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, terj. Muhyidin Mas Rida, Al-

Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h.157

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

88

Artinya: “Menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada

mengambil yang bermanfaat”.

Kedua, perubahan hukum suatu perbuatan mengikuti perubahan

kemaslahatannya. Sebagaimana dikatakan dalam kaidah fikih:

اختلف اناتانعائذاألصيتاأليكتاألحانابحسبتغشانفت,116

Artinya: “Perubahan fatwa dan adanya perbedaan hukum tentangnya

disebabkan faktor zaman, faktor tempat, faktor situasi, faktor niat dan faktor

adat.”

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam ketentuan

poligami yang berlaku di Indonesia, Pakistan dan Somalia tidak terlalu jauh

bergeser dari fikih mazhab.

116

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I‟lam al-Muwaqqi‟in „an Rab al-„Alamin, Juz III (Bairut: Dar al-Fikr,

t.th), h.14

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

89

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya,

maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan menarik

kesimpulan untuk menjawab permasalah yang penulis teliti. Setelah penulis

melakukan analisis, pada bab ini penulis dapat menyimpulkan sebagai

berikut:

1. Ketentuan syarat dan prosedur poligami antar ketiga negara tersebut

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaanya adalah ketiganya

menganut azas monogami tidak mutlak dan harus mendapat izin dari

pengadilan terlebih dahulu. Adapun perbedaannya:

a.) Syarat berpoligami di Indonesia selain mendapatkan izin dari

pengadilan pelaku poligami harus menyertakan surat

keterangan penghasilan, serta terdapat peraturan khusus bagi

PNS yang ingin melakukan poligami. Di Pakistan hanya

mendapatkan izin dari pengadilan yang sebelumnya harus

mendapatkan persetujuan dari istri dan tidak adanya peraturan

khusus bagi PNS yang akan berpoligami. Sedangkan di

Somalia hanya mendapatkan izin dari pengadilan tanpa adanya

keterangan untuk meminta persetujuan dari istri, apabila

alasan berpoligami karena istri mandul maka harus

menyertakan surat keterangan dari dokter dan Somalia pun

tidak terdapat peraturan khusus bagi PNS yang akan

berpoligami.

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

90

b.) Bagi pelanggar poligami di Indonesia, apabila tidak

melaporkan ke pengadilan maka dikenakan sanksi membayar

denda sebesar Rp. 7.500, bagi pegawai pencatat nikah yang

mencatatkan pernikahan tanpa izin dari pengadilan maka

dikenakan sanksi membayar denda sebesar Rp. 7.500 dan

kurungan maksimal 3 bulan, PNS wanita yang menjadi istri

kedua/ketiga/keempat maka akan dipecat secara tidak hormat

dan bagi PNS yang melakukan poligami tanpa izin akan

dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.

30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri

Sipil. Di Pakistan bagi pelanggar poligami dikenakan sanksi a)

Membayar seluruh mahar dengan segera kepada istri atau istri-

istrinya, baik tunai maupun secara ditangguhkan dan jika tidak

maka ia akan diperoleh sebagai tunggakan atau sewa,

b)Dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal

5000 rupee atau kedua-duanya. Sedangkan di Somalia belum

ada peraturan yang menghukum pelaku pelanggar poligami.

2. Apabila dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan fikih, maka materi

hukum yang dirumuskan dalam hukum keluarga di ketiga negara

tersebut sama sekali baru dan tidak ditemukan rujukannya dalam

pendapat madzhab manapun, termasuk madzhab Syafi‟iyah yang

dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia dan Somalia ataupun

madzhab Hanafiyah yang dianut oleh mayoritas umat Islam di

Pakistan. Hal ini terjadi dalam rangka menyelaraskan perubahan

sosial yang terjadi seiring dengan nilai syariat Islam yang berprinsip

pada ruang dan waktu, bahwa:

اختلفابحسباألصيتاأليكتاألحاناناتانعائذ تغشانفت,

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

91

Artinya: “Perubahan fatwa dan adanya perbedaan hukum

tentangnya disebabkan faktor zaman, faktor tempat, faktor situasi,

faktor niat dan faktor adat.”

B. Saran

Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian ini

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Penulis menyarankan upaya hasil penelitian ini dapat digunakan

sebagai pertimbangan dalam pembaharuan hukum keluarga di

masa yang akan datang khususnya dalam hal poligami.

2. Hukum perkawinan di Indonesia harus memberikan sanksi yang

tegas terhadap kriminalisasi praktek poligami, dengan segara

mengesahkan RUU HMPA tahun 2008.

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

92

DAFTAR PUSTAKA

A.G. Prianggidino (dkk), Ensiklopedi Umum, Jakarta: Kanisius, 1973.

Abdillah,Abu Azzam, Agar Suami Tak Berpoligami, Bandung: Ikomatuddin Press,

2007.

Abdulkadir, Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandar Lampung: PT Citra

Aditya Bakti, 2010.

Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, terj. Muhyidin Mas

Rida, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari, Jakarta: Al-

Kautsar, 2008.

Al Albani,Nashiruddin, Shahih Sunan At-Tirmidzi, kitab nikah, Jakarta:

PustakaAzam, 2006.

Al‟atthar Abdul Nasir Taufiq, Poligami ditinjau dari Agama, Sosial dan Perundang-

undangan, cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Al-Kasani, Imam Alauddin, Bada‟i al-Sona‟i, Juz II, Beirut: Dar al-Fikri, 1996.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Semarang: Toha Putra, 1993.

Al-Sarakhsi, Syamsuddin, Al-Mabsut, Jilid V, Beirut: Dar al-Marifat.

Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, Beirut:Darul

Fikr,1999.

Anderson,J.N.D., Islamic Law in the Modern World, Penerjemah Machnun Husein,

Surabaya: CV. Amarpress, 1991.

An-Na‟im, Abdullahi A, Islamic Family Law in a Changing World, A Global

Resource Book, London: Zed Books, 2002.

Anwar, Moch., Fiqh Islam; Muamalah, Munakahat, Faraid dan Jinayah, Bandung:

PT. Alma‟arif, 1980.

As Siba‟I, Musthafa, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan,

Jakarta: Bulan Bintang, 1997.

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

93

As-Syafi‟i, Muhammad bin Idris, Al-Umm.

Ath-Thabari Ibnu Jarir, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur‟an, Jilid 6, Beirut: Daar Al-

Fikr, 1958.

Azizy,A. Qodri, Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”,

Bandung: Teraju, 2004.

Azni, Poligami Dalam Hukum Keluarga di Indonesia dan Malaysia, Riau: Suska

Press, 2015.

Baidan, Nashruddin, Tafsir bi Al-Ra‟yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam

Al-Qur‟an, Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Cet.9, Yogyakarta: UII Press,

1999.

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Farida, Anik, Menimbang Dalil Poligami: antara Teks, Konteks, dan Praktek,

Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008.

Gakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Ghazali, Abdurrahman, Fikh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2003.

Hosen,Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak, Rujuk dan Hukum

Kewarisan, h.85

Huda, Miftahul, Studi Kawasan Hukum Perdata Islam, Ponorogo: STAIN Press,

2016.

Ibrahim,Mohammed Hassan, Women‟s Rights In Islam and Somali Culture, Kenya:

Unicef, 2002.

Jaelani, Abdul Qodir, Keluarga Sakinah, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.

Jahar, Asep Saepudin, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis Kajian Perundang-

undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional,Jakarta: Kencana, 2013.

Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri‟ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al Fikri).

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

94

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-

undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,

Jakarta: INIS, 2012.

Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Moslem World, New Delhi, n.p., 1972.

Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries History, Texs and Comparative

Analysis, New Delhi: 1987.

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogykarta: Graha Ilmu,

2011.

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.

Mubarak, Saiful Islam, Poligami Antara Pro dan Kontra, Bandung: Syamil, 2007.

Mudzhar,Atho, “Hukum Keluarga di Pakistan antara Islamisasi dan Tekanan Adat”,

Al-„Adalah, XII, Juni, 2014.

Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2007.

Muzdhar, M. Atho‟ dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Nasution, Khoiruddin, dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dinia Muslim

Modern, Yogyakarta: Academia, 2012.

Nasution,Khoiruddin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

Hukum Perkawinan di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaharuan,

Materi & Status Perempuan dalam Hukum Perkawinan keluarga Islam,

Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009..

Nasution, Khoruddin, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Academia, 1996.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:

Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai

KHI, Jakarta: Kencana, 2006.

Otto, Jan Michael, Sharia Incorporated: A Comparative Overview of the Legal

Systems of Twelve Muslim Countries in Past and Present, Leiden University:

Leiden University Press, 2010.

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

95

Pius A. Partanto dan M.Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka,

1994.

Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Penerjemah Abu Sa‟id Al-Falahi

Jakarta: Robbani Press, 2000.

Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran dibawah Naungan al-Quran, Penerjemah

As‟ad Yasin dkk, Juz IV, Jakarta: Gema Insan Press 2002.

Ridha, Muhammad Rasyid, Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar

Keberadaan Wanita, Penerjemah Hukuukal Mar‟ah al-Muslimah, Abd. Haris

Rifa‟i dan M.Nur Hakim, Surabaya: Pustaka Progresif, 1992.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah 3, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta:

Cakrawala Publishing, 2011.

Sahrani, Sohari dan Timahi, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Sodikin,Ali, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di

Indonesia, Yogyakarta: Beranda, 2012.

Sopyan, Yayan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum, Jakarta: RM Books, 2012.

Supriyadi,Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,

Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Syafi‟i,Imam, Ringkasan Kitab Al-Umm, Penerjemah Rosadi Imron, Amiruddin,

Awaluddin Imam, Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2004.

Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Madzhab Syafi‟i,

Hanafi, Maliki dan Hambali, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996.

Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, Yogyakarta: Kaukaba, 2015.

Undang-undang

Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun

1990 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

96

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Intruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, dan

Putusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan

Intruksi Presiden RI Tahun 1991.

Muslim Family Law Ordinance 1961.

Somali Family Code 1975.

Internet

Haider, Nadya, “Islamic Legal Reform: The Case of Pakistan and Family Law,” Yale

Journal of Law & Feminism: Vol.12, 2000, diakses pada 12 September 2018

pukul 21.00 WIB.

Lilik Andryuni, Poligami dalam Hukkum Keluarga di Dunia Islam, Sipakalebbi,

Volume 1, Nomor 1, 2013, diakeses pada 5 September 2018 pukul 22.00

WIB

Mohammed, Journal of Georgetown University-Qatar Middle Eastern Studies

Student Association 2015, diakses pada 6 Maret 2018 pukul 01.00 WIB

Wartini,Atik, “Poligami: Dari Fiqh Hingga Perundang-undangan”, Jurnal Studia

Islamika, Vol. 10, No.2, 2013, diakses pada 5 September 2018 dari

http://www.oaji.net/articles/2014/1163-1408352248.pdf.

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

97

LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANGPERKAWINAN

BAB I

DASAR PERKAWINAN

Pasal 3

(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai

seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari

seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut

dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan

permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada

seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup

isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan

anak-anak mereka.

(3) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak

diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak

mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak

dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya

selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

98

sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim

Pengadilan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 45 TAHUN 1990

Nomor: 45 TAHUN 1990 (45/1990)

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983

TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI

NEGERI SIPIL

Presiden Republik Indonesia,

Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983

tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu :

1. Mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 3

(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh

izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat;

(2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi

Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh

izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus

mengajukan permintaan secara tertulis;

(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian

untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap

yang mendasarinya".

2. Mengubah ketentuan Pasal 4 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 4

(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib

memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri

kedua/ketiga/keempat.

(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara

tertulis.

(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus

dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk

beristri lebih dari seorang".

3. Mengubah ketentuan ayat (2) Pasal 5 sehingga berbunyi sebagai berikut:

"(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil

Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

99

dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri

lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada

Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga

bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud".

4. Mengubah ketentuan Pasal 8 sebagai berikut:

a. Diantara ayat (3) dan ayat (4) lama disisipkan satu ayat yang dijadikan ayat

(4) baru, yang berbunyi sebgai berikut :

"(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan

perceraian disebabkan karena istri berzinah, dan atau istri melakukan

kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami,

dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar

disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun

berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain

di luar kemampuannya ".

b. Ketentuan ayat (4) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (5) baru.

c. Mengubah ketentuan ayat (5) lama dan selanjutnya dijadikan ayat (6) baru

sehingga berbunyi sebagai berikut :

"(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila

istri meminta cerai karena dimadu, dan atau suami berzinah, dan atau suami

melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin

terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang

sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan istri selama dua

tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal

lain di luar kemampuannya".

d. Ketentuan ayat (6) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (7) baru.

5. Mengubah ketentuan ayat (1) Pasal 9 sehingga berbunyi sebagai berikut:

"(1) Pejabat yang menerima perniintaan izin untuk beristri lebih dari seorang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memperhatikan dengan

seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat pemintaan izin dan

pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan."

6. Ketentuan Pasal II dihapuskan seluruhnya.

7. Ketentuan Pasal 12 lama dijadikan ketentuan Pasal 11 baru, dengan mengubah

ketentuan ayat (3) sehingga berbunyi sebagai berikut :

"(3) Pimpinan Bank Milik Negara dan pimpinan Badan Usaha Milik Negara,

wajib meminta izin lebih dahulu dari Piesiden."

8. Mengubah ketentuan Pasal 13 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 12

baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

100

"Pasal 12

Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian atau

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan untuk beristri lebih dari seorang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan oleh Pejabat secara

tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia

menerima permintaan izin tersebut."

9. Ketentuan Pasal 14 lama selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 13 baru.

10. Mengubah ketentuan Pasal 15 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 14

baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 14

"Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya

atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa ikatan

perkawinan yang sah"

11. Mengubah ketentuan Pasal 16 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 15

baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 15

(1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban/

ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal

14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya

satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan

perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-

lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan,

dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2)

dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai

Pegawai Negeri Sipil;

(3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), dan Pejabat yang

melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan

Disiplin Pegawai Negeri Sipil."

12. Mengubah ketentuan Pasal 17 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 16

baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 16

Pegawai Negeri Sipil yang menolak melaksanakan ketentuan pembagian gaji

sesuai dengan ketentuan Pasal 8, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat

Page 110: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

101

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peratuan

Disiplin Pegawai Negeri Sipil."

13. Sesudah Pasal 16 baru ditambah satu ketentuan baru, yang dijadikan Pasal 17

baru yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 17

(1) Tata cara penjatuhan hukuman disiplin berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan

atau Pasal 16 Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai

Negeri Sipil;

(2) Hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980

tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil terhadap pelanggaran

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah ini,

berlaku bagi mereka yang dipersamakan sebagai Pegawai Negeri Sipil

menurut ketentuan Pasal 1 huruf a angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1983."

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan

Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Page 111: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

102

KOMPILASI HUKUM ISLAM

BUKU I HUKUM PERKAWINAN

BAB IX BERISTERI LEBIH SATU ORANG

Pasal 55

(2) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat

isteri.

(3) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil

terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.

(4) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami

dilarang beristeri dari seorang.

Pasal 56

(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari

Pengadilan Agama.

(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata

cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin

dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan

beristeri lebih dari seorang apabila :

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58

(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh

izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada

pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :

a. adanya pesetujuan isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri

dan anak-anak mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9

Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis

atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini

dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami

apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan

tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari

Page 112: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

103

isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang

perlu mendapat penilaian Hakim.

Pasal 59

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk

beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam

pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian

izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan

Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan

banding atau kasasi.

Page 113: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

104

Muslim Family Law Ordinance 1961 (PAKISTAN)

Section 6

(1) No man, during the subsistence of an existing marriage, shall, except with the

previous permission in writing of the Arbitration Council, contract another

marriage, nor shall any such marriage contracted without such permission be

registered under this Ordinance.

(2) An application for permission under sub-section (1) shall be submitted to the

Chairman in the prescribed manner, together with the prescribed fee, and

shall state reasons for the proposed marriage, and whether the consent of

existing wife or wives has been obtained thereto.

[(2A) The Nikah Registrar or the person who solemnizes a Nikah shall

accurately fill all the columns of the nikahnama form with specific answers

of the bride or the bridegroom.]117

(3) On receipt of the application under sub-section (2), the Chairman shall ask

the applicant and his existing wife or wives each to nominate a representative,

and the Arbitration Council so constituted may, if satisfied that the proposed

marriage is necessary and just, grant, subject to such conditions, if any, as

may be deemed fit, the permission applied for.

(4) [ If a person contravenes the provision of:

i. subsection (2A), he shall be punished to simple imprisonment for a

term which may extend to one month and fine of twenty five

thousand rupees; and

ii. subsection (3), he shall be punished to simple imprisonment for a

term which may extend to three months and fine of one hundred

thousand rupees.]118

(5) Any man who contracts another marriage without the permission of the

Arbitration Council shall,

117

New sub-section (2A) inserted by the Muslim Family Laws (Amendment) Act 2015 (XIII of 2015). 118

Substituted by the Muslim Family Laws (Amendment) Act 2015 (XIII of 2015) for the following:

“(4) In deciding the application, the Arbitration Council shall record its reasons for the decision,

and any party may, in the prescribed manner, within the prescribed period, and on payment of

the prescribed fee, prefer an application for revision [to the Collector] concerned and his

decision shall be final and shall not be called in question in any Court.”

The words in crotchets were earlier substituted for “, in the case of West Pakistan to the Collector

and, in the case of East Pakistan, to the Sub-Divisional Officer” by the Federal Adaptation

Order 1975, Art. 2 and Sch (w.e.f. 28th

July 1975).

Page 114: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

105

(a) pay immediately the entire amount of the dower, whether prompt or

deferred, due to the existing wife or wives, which amount, if not so

paid, shall be recoverable as arrears of land revenue; and

(b) [on conviction upon complaint be punishable with the simple

imprisonment which may extend to one year and with fine of five

hundred thousand rupees.][10]119

119

substituted by the Muslim Family Laws (Amendment) Act 2015 (XIII of 2015) for the following:

“(b) on conviction upon complaint be punishable with simple imprisonment which may extend

to one year, or with fine which may extend to five thousand rupees, or with both.”

Page 115: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45104/1/FARRADILLA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Farradilla Andriany SavitriPublish Year: 2019

106

THE FAMILY CODE 1975 (SOMALIA)

Article 13

No man shall marry a second woman unless he is formally allowed to do so by

the district court having jurisdiction. The court shall not allow such a marriage

except on any of the following grounds:

(i) Sterility of the first wife certified by a panel of doctors, provided that the

husband was not aware of it before the marriage.

(ii) Affliction of wife with chronic or contagious disease certified by a doctor if it

is incurable

(iii)Imprisonment of the wife for more than two years

(iv) Absence of the wife from the matrimonisl home for more than one year

without a lawful reason

(v) Any social necessity (in wich case permission is to be granted by an official

authorized by the Ministry of Justice and Religious Affairs).