repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11210/B09boi.pdf · Dengan ini...
-
Upload
nguyencong -
Category
Documents
-
view
258 -
download
1
Transcript of repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11210/B09boi.pdf · Dengan ini...
PENERAPAN KESEJAHTERAAN HEWAN PADA TEMPAT PENJUALAN UNGGAS HIDUP DI KOTA BOGOR
BAMA OKTIONUS ISLAHUDDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PENERAPAN KESEJAHTERAAN HEWAN PADA TEMPAT PENJUALAN UNGGAS HIDUP DI KOTA BOGOR
BAMA OKTIONUS ISLAHUDDIN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Penerapan Kesejahteraan
Hewan pada Tempat Penjualan Unggas di Kota Bogor adalah karya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2009
Bama Oktionus Islahuddin NRP B04104146
ABSTRACT
BAMA OKTIONUS ISLAHUDDIN. Animal Welfare Implementation in the Live Bird Markets (LBMs) in Bogor. Under direction of ETIH SUDARNIKA and CHAERUL BASRI.
The aim of this research is to describe the animal welfare implementation in the live bird markets (LBMs) in Bogor. This research was conducted through direct observation in the field using structured questionnaire. This study involved 5 live bird markets in 3 sub-districts and 15 vendors. The evaluation of animal welfare implementation included three important aspects, i.e. 1. Transportation aspects (vehicle and crates), 2. Collecting aspects (caging, maintaining, cleaning, poultry health and wastes disposal) and 3. Slaughtering aspects (personnel, equipment, slaughter process). The result showed that the animal welfare implemented in the transportation included time of poultry delivery in the morning and night, regular cleaning of vehicle, using of plastic crates, poultry density in a crate, number of crate stack, and regular cleaning of crates. The good implementation of animal welfare due to the collecting aspects comprised using of postal cages, density in the cages, feeding and water availability, ventilation, lighting, regular cleaning of cages, replacing of litter, and poultry health inspection. The animal welfare which were implemented well due to slaughtering aspects consisted of maintaining of knives sharpness, sufficient number of knives, regular cleaning of knives, bleeding, blood collecting, and bleeding time. This study suggested that some aspects related to LBMs in Bogor should be improved through communication information and education (CIE) on vendors and consumers which are managed by Municipal Office for Agribusiness Bogor City and related stakeholders. Keywords: animal welfare, live bird markets.
ABSTRAK BAMA OKTIONUS ISLAHUDDIN. Penerapan Kesejahteraan Hewan pada Tempat Penjualan Unggas Hidup di Kota Bogor. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan CHAERUL BASRI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerapan kesejahteraan hewan pada tempat penjualan unggas hidup di kota Bogor. Penelitian dilakukan dengan metode observasi lapang dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah tempat penjualan unggas hidup (TPUH) yang digunakan sebanyak 5 TPUH yang berada di 3 kecamatan dengan jumlah pedagang sebanyak 15 pedagang. Penerapan kesejahteran hewan yang dinilai pada penelitian ini meliputi 3 aspek penting yakni : 1. aspek pengangkutan; 2. Aspek penampungan dan 3. Aspek penyembelihan. Aspek pengangkutan meliputi kendaraan dan alat pembawa, aspek penampungan meliputi perkandangan, pemeliharaan, pembersihan, kesehatan dan limbah, serta aspek penyembelihan meliputi personil, peralatan dan proses. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada aspek pengangkutan, kesejahteraan hewan yang sudah diterapkan meliputi waktu pengiriman unggas, pembersihan mobil secara teratur, penggunaan keranjang, bahan keranjang, kepadatan unggas dalam keranjang, jumlah tumpukan keranjang dan melakukan kegiatan pembersihan keranjang pengangkut. Aspek penampungan yang sudah dilakukan dengan baik adalah penggunaan kandang postal, kepadatan dalam kandang, pemberiaan pakan dan minum, ketersediaan ventilasi, ketersediaan pencahayaan, pembersihan rutin terhadap kandang, dan penggantian alas kandang (litter). Aspek penyembelihan yang sudah dilakukan dengan baik adalah pedagang menjaga ketajaman, kecukupan jumlah dan kebersihan pisau pemotong, proses pengeluaran darah, penampungan darah serta lama waktu pengeluaran darah. Hasil penelitian ini menyarankan perlunya dilakukan pembenahan terhadap beberapa aspek kesejahteraan hewan di tempat penjualan unggas hidup yang ada di kota Bogor melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) terhadap pedagang dan konsumen yang dilakukan oleh Dinas Agribisnis Kota Bogor dan pemangku kepentingan lain.
Kata kunci: kesejahteraan hewan, tempat penjualan unggas hidup.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan sudut masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
Judul : Penerapan Kesejahteraan Hewan pada Tempat Penjualan Unggas Hidup di Kota Bogor
Nama : Bama Oktionus Islahuddin
NRP : B04104146
Disetujui
Ir. Etih Sudarnika, M.Si Pembimbing I
drh. Chaerul Basri, M.Epid Pembimbing II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak
bulan Agustus 2008 sampai November 2008 dengan judul Penerapan
Kesejahteraan Hewan pada Tempat Penjualan Unggas Hidup di Kota Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan pada Ir. Etih Sudarnika, M.Si selaku
pembimbing skripsi pertama sekaligus pembimbing akademik, drh. Chaerul Basri,
M. Epid selaku pembimbing skripsi kedua serta Dr. drh Denny Widaya Lukman,
M.Si selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan dalam
penyempurnaan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Dinas Agribisnis Kota Bogor atas kesediaannya memberikan
kesempatan untuk melakukan penelitian di Kota Bogor. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada pedagang unggas yang ada di Kota Bogor atas
bantuannya, serta seluruh staf penunjang di Laboratorium Epidemiologi, Bagian
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatna Masyarakat Veteriner (IPHK) FKH IPB, yang telah membantu selama
penelitian. Ungkapan terima kasih yang terdalam disampaikan kepada kedua
orangtua, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain
itu terima kasih kepada keluarga di ORENZ Community yang selalu mendukung
dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, April 2009
Bama Oktionus Islahuddin
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pulo Jantan-Sumatera Utara pada tanggal 22 Oktober
1987. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara putra pasangan
Bapak H. Bahaluddin Matondang dan Ibu Hj. Mariani Munthe.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 1998
di SDN 114368 Pulo Jantan dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan ke SLTPN Na IX-X Aek Kota Batu hingga lulus pada tahun 2001.
Pendidikan sekolah menengah umum diselesaikan pada tahun 2004 di SMUN 5
Rantau Prapat. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk
melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
(FKH IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Semasa menjadi mahasiswa FKH IPB penulis pernah aktif dalam kegiatan
eksternal kampus yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Organisasi
Mahasiswa Daerah Labuhan Batu (HIMLAB). Selain itu penulis juga aktif dalam
organisasi internal sebagai staf Departemen Pengembangan Sumber Daya
Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Hewan
periode 2006-2007, sebagai wakil ketua umum UKM Futsal IPB periode 2007-
2008, pernah terlibat dalam berbagai acara internal, diantaranya sebagai ketua
fieldtrip dan study tour “Asteroidea” goes to Java and Bali, Menbisvet goes to
Bandung serta terlibat dalam program pengabdian masyarakat ke Sulawesi
Selatan.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………………… x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………… xii
PENDAHULUAN Latar Belakang……………………………………………………….. 1 Tujuan…………………………………………………………………. 2 Manfaat Penelitian………………………………………………….... 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kesejahteraan Hewan (Animal Welfare)………………. 3 Animal Welfare pada Industri Perunggasan………………………… 7 Sistem Pemasaran Unggas di Indonesia……………………………. 8 Kondisi Penerapan Kesejahteraan Hewan pada Perunggasan di Indonesia…………………………………………………………….. 9 BAHAN DAN METODE Desain Penelitian……………………………………………………... 10 Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................... 10
Populasi .......................................................................................... 10 Alat dan Bahan Penelitian................................................................ 10 Pengambilan Data........................................................................... 10 Sampel............................................................................................. 11 Analisis Data.................................................................................... 11
HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi dan Titik Koordinat Tempat Penjualan Unggas Hidup (TPUH)………………………………………………………………… 12 Karakteristik Usaha…………………………………………………… 13 Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan…………………………... 16 Aspek Pengangkutan…………………………………………… 16 Aspek Penampungan…………………………………………… 19 Aspek Penyembelihan………………………………………….. 27 Pengaruh Kesejahteraan Hewan Terhadap Kualitas Daging…….. 30 Perbaikan Kondisi Kesejahteraan Hewan………………………….. 32 SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan…………………………………………………………… 33 Saran…………………………………………………………………... 33 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 35 LAMPIRAN…………………………………………………………………….. 39
DAFTAR TABEL Halaman
1 Pedagang dan lokasi TPUH yang ada di Kota Bogor ............................ 11 2 Jenis unggas yang dijual pada TPUH di Kota Bogor ................................ 13 3 Jumlah unggas yang dijual per hari pada TPUH di Kota Bogor ................ 13 4 Urutan jumlah unggas yang dijual pada TPUH di Kota Bogor .................. 14 5 Bentuk unggas yang dijual pada TPUH di Kota Bogor ............................. 14 6 Pengalaman usaha pada TPUH di Kota Bogor ......................................... 15 7 Jenis pemasok pada TPUH di Kota Bogor ................................................ 15 8 Distribusi karakteristik aspek kendaraan pengangkut pada TPUH di
Kota Bogor ................................................................................................ 17 9 Distribusi karakteristik aspek alat pembawa pada TPUH di Kota
Bogor ........................................................................................................ 18 10 Distribusi karakteristik aspek perkandangan pada TPUH di Kota
Bogor ........................................................................................................ 20 11 Distribusi karakteristik aspek pemeliharaan pada TPUH di Kota
Bogor ........................................................................................................ 22 12 Distribusi karaktersitik aspek pembersihan pada TPUH di Kota Bogor .... 23 13 Distribusi karakteristik aspek kesehatan pada TPUH di Kota Bogor ........ 25 14 Distribusi karakteristik aspek limbah pada TPUH di Kota Bogor .............. 26 15 Distribusi karakteristik aspek personal pada TPUH di Kota Bogor ........... 27 16 Distribusi karakteristik aspek peralatan pada TPUH di Kota Bogor .......... 29 17 Distribusi karakteristik aspek proses pada TPUH di Kota Bogor .............. 30
x
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Skema pemasaran produk unggas pada sistem pasar tradisional .......... 8 2 Letak dan koordinat tempat penjualan unggas hidup (TPUH)
menurut Global Positioning System ........................................................ 12
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 Kuesioner yang digunakan ...................................................................... 39 2 Foto tempat penjualan unggas ............................................................... 46
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk Indonesia menyebabkan peningkatan
kebutuhan protein hewani. Salah satu protein hewani yang saat ini banyak
diminati oleh semua lapisan masyarakat adalah protein hewani yang berasal dari
unggas. Usaha peternakan unggas mempunyai prospek pasar yang sangat baik
karena didukung oleh karakteristik produknya yang dapat diterima oleh
masyarakat Indonesia karena harga relatif murah dengan kemudahan akses
untuk memperoleh karena sudah merupakan barang publik. Komoditas ini juga
berperan nyata dalam ketahanan pangan nasional melalui penyediaan protein
hewani, dimana saat ini memberikan kontribusi sebesar 60,73% yang diikuti
daging sapi sebesar 23,39% (Anonim 2006a), dan penyedia lapangan kerja baik
di pedesaan maupun perkotaan. Secara nasional industri perunggasan merupakan pemicu utama
pertumbuhan pembangunan di sub sektor peternakan (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian 2006). Usaha perunggasan di Indonesia sangat beragam
baik dari jenis komoditas yang diusahakan, maupun skala ekonomi masing-
masing usaha. Usaha peternakan unggas merupakan suatu industri yang sudah
terintegrasi secara vertikal mulai dari industri hulu sampai hilir. Pada umumnya
usaha ini dikelola dengan manajemen profesional dan menggunakan input
teknologi maju dan modern dengan tetap mempertimbangkan tingkat efisiensi
usaha yang layak. Namun, tidak demikian halnya dengan usaha peternakan
unggas lokal seperti ayam kampung, itik, burung puyuh dan lain sebagainya.
Sampai dengan akhir tahun 2005 nilai investasi sektor perunggasan mencapai
Rp 38,5 trilyun dengan omset sebesar Rp 41,5 trilyun (Anonim 2006a).
Usaha peningkatan kebutuhan protein hewani tersebut disisi lain tidak
diikuti dengan tindakan perbaikan kondisi kesejahteraan hewan. Hal ini dapat
terlihat dari banyaknya peternakan unggas yang sengaja dibangun untuk
memproduksi telur dan daging dengan jumlah banyak, waktu yang singkat dan
dengan harga pemeliharaan yang murah (Anonim 2009a).
Kondisi kesejahteraan hewan di dunia saat ini menjadi perhatian ilmuan
yang ada diberbagai negara (Anonim 2009a). Hal ini dapat terlihat dengan
perumusan lima asas kebebasan hewan (five freedom) yang dirumuskan oleh
2
The Royal Society for Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA). Indonesia
merupakan salah satu negara di dunia saat ini juga turut serta dalam
mensosialisasikan rumusan lima asas kebebasan hewan. Berbagai tantangan
dihadapi pihak-pihak terkait dalam penerapan asas kebebasan hewan di
Indonesia khususnya pada sektor perunggasan. Rendahnya tingkat sumber
daya manusia, cepatnya laju pertambahan penduduk dan kurangnya komunikasi,
informasi dan edukasi (KIE) terhadap masyarakat perunggasan menjadi
permasalahan klasik yang harus segera terpecahkan (Anonim 2009a).
Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu dilakukan penelitian terkait
mengenai penerapan kesejahteraan hewan di tempat penjualan unggas hidup
yang terdapat di Kota Bogor. Adapun daerah penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Kota Bogor.
Tujuan Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran penerapan kesejahteraan
hewan di tempat penjualan unggas hidup yang ada di Kota Bogor.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi Dinas Agribisnis Kota Bogor dalam mengambil kebijakan
dalam memperbaiki kondisi penerapan kesejahteraan hewan pada tempat
penjualan unggas hidup yang ada di Kota Bogor.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Kesejahteraan Hewan (Animal Welfare) Kata ‘sejahtera’ dalam kesejateraan hewan (animal welfare) berarti kualitas
hidup yang meliputi berbagai elemen yang berbeda-beda seperti kesehatan,
kebahagiaan dan panjang umur yang untuk masing-masing orang mempunyai
tingkatan yang berbeda dalam memberikannya (Tannenbaum 1991).
Menurut laporan Brambell Committee, setiap hewan direkomendasikan
memiliki cukup kebebasan untuk dapat bergerak, menyarankan bahwa setiap
hewan harus memiliki kebebasan untuk bergerak yang cukup tanpa adanya
kesusahan untuk berbalik, berputar, merawat dirinya, bangun, berbaring,
meregangkan tubuh ataupun anggota badannya. Berbagai upaya telah
diusahakan untuk mendefinisikan istilah welfare (Albright 1997). Definisi lain
memberikan gambaran bahwa animal welfare adalah sebuah perhatian untuk
penderitaan hewan dan kepuasan hewan (Gregory 1998). Sedangkan ilmu
animal welfare adalah ilmu tentang penderitaan hewan dan kepuasan hewan.
Kesejahteraan memiliki banyak aspek yang berbeda dan tidak ada ungkapan
sederhana, permasalahannya sangat banyak dan beragam. Animal welfare
mengacu pada kualitas hidup hewan, kondisi hewan dan parawatan/perlakuan
terhadap hewan (Dallas 2006).
Menurut Undang Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan definisi kesejahteraan hewan ialah
usaha manusia memelihara hewan, yang meliputi pemeliharaan lestari hidupnya
hewan dengan pemeliharaan dan perlindungan yang wajar. Dalam Brambell
Reports tahun 1965 dinyatakan bahwa aspeknya mencakup kebaikan kondisi
fisik dan mental (Moss 1992). Namun sayangnya semua definisi tidaklah
membantu untuk menentukan apakah hewan menikmati keseimbangan yang
benar. Upaya yang dapat dipertimbangkan untuk mewujudkan kesejahteraan
hewan ada dua macam, yaitu mengusahakan hewan hidup sealami mungkin
atau membiarkan hewan hidup dengan perjalanan fungsi biologisnya (Moss
1992). Setiap hewan yang dipelihara manusia setidaknya diusahakan terbebas
dari penderitaan yang tidak perlu (Damron 2003). Menurut Dallas (2006) dan
WSPA (1997), kesejahteraan hewan (animal welfare) dapat diukur dengan
indikator Lima Kebebasan (five freedoms), yaitu : (1) bebas dari haus dan lapar
4
(freedom from hunger and thirst); (2) bebas dari rasa tidak nyaman (freedoms
from discomfort); (3) bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit (freedom from pain,
injury and disease); (4) bebas untuk mengekspresikan perilaku normal (freedom
to express normal behavior); dan (5) bebas dari rasa takut dan stress (freedom
from fear or distress).
A. Bebas dari Rasa Haus dan Lapar (Freedom from Hunger and Thirst)
Untuk mencegah hewan dari rasa lapar dan haus, makanan yang layak,
bergizi dan juga akses langsung terhadap air bersih perlu disediakan. Dengan
menyediakan tempat makanan dan minuman yang memadai akan dapat
mengurangi terjadinya penindasan dan kompetisi diantara mereka. Menurut
buku ‘The State of the Animal’ pengertian dari bebas dari rasa lapar dan haus
dapat diartikan bahwa kalimat “jika hewan tersebut tidak diberi makan” dapat
dikategorikan sebagai pernyataan yang pasif dari kata “bebas dari kelaparan” (Le
Magnen 1985).
Ukuran dari kelaparan dapat dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama
termasuk di dalamnya masuknya makanan, Kedua, jumlah rata-rata memakan
dan ketiga, waktu yang dibutuhkan dalam aktifitas pendistribusian makanan.
Metode-metode yang dapat digunakan untuk mengukur rasa haus adalah proses
pengukuran jumlah air yang masuk, jumlah rata-rata meminum dan waktu yang
dibutuhkan dalam aktifitas pendististribusian minuman (Magnen 1985).
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan pertama dalam hidup.
Kebebasan dari rasa haus dan lapar ini ditempatkan di urutan pertama karena ini
sangat mendasar, primitif dan tidak dapat ditolerir. Lapar adalah saat-saat
hewan terstimulasi untuk makan. Hewan memerlukan akses yang mudah
terhadap makanan dan minuman untuk menjaga kesehatan dan kebugaran (Le
Magnen 1985).
B. Bebas dari Rasa Tidak Nyaman (Freedoms from Discomfort)
Ketidaknyamanan disebabkan oleh keadaan lingkungan yang tidak sesuai
pada hewan. Bebas dari rasa tidak nyaman dapat diwujudkan dengan
menyediakan tempat yang sesuai seperti penyediaan kandang/tempat berlindung
yang nyaman (ventilasi memadai, suhu dan kelembaban yang cukup, adanya
lantai, tempat tidur dan sebagainya). Hewan akan merasa nyaman pada
lingkungan yang tepat, termasuk perkandangan dan area beristirahat yang
5
nyaman. Kondisi lingkungan yang ekstrim dan penerapan manajemen yang
membuat stres mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan ternak. Stresor
tersebut secara langsung mengubah fungsi kekebalan inang (Blecha 2000).
Akibatnya, selain metabolisme hewan yang stres akan memperburuk penampilan
(kurus), hewan juga akan lebih rentan terhadap infeksi agen penyakit.
C. Bebas dari Rasa Sakit, Luka dan Penyakit (Freedom from Pain, Injury and
Disease)
Secara sangat sederhana, sehat pada hewan secara individu dapat
didefinisikan negatif sebagai ‘tidak adanya symptom penyakit’ (Ekesbo 1996).
Penyakit yang sering timbul di peternakan adalah penyakit produksi (Hall 2004).
Penyakit ini adalah penyakit akibat kekeliruan manajemen ternak atau akibat
sistem yang diberlakukan di peternakan. Penyakit produksi meliputi malnutrisi,
trauma dan infeksi yang diderita hewan selama hewan dipelihara oleh manusia.
Kebebasan ini dapat diwujudkan dengan pencegahan diagnosa yang tepat dan
perawatan. Pengetahuan peternak yang cukup atau tersedianya dokter hewan
sangat penting. Hewan yang sehat sangat menguntungkan peternak karena
selain meningkatkan produktivitas, hewan yang sehat juga akan meningkatkan
daya jual (Phillips 2002).
D. Bebas Mengekpresikan Perilaku Normal (Freedom to Express Normal
Behavior)
Hewan mempunyai kebiasaan atau perilaku yang khas untuk masing-
masing ternak. Dalam perawatan manusia, hewan mungkin memiliki lebih sedikit
kesempatan untuk mengekspresikan perilaku normalnya. Pada kondisi ekstrim,
hal yang mungkin terjadi justru hewan menunjukkan perilaku menyimpang.
Penyediaan ruang yang cukup, fasilitas yang benar dan teman bagi hewan dari
sejenisnya akan membantu hewan mendapat kebebasan menunjukkan perilaku
normalnya (Phillips 2002).
E. Bebas dari Rasa Takut dan Stres (Freedom from Fear or Distress) Para peneliti mempunyai takaran tersendiri dalam mengukur tingkat stres,
seperti detak jantung dan kadar konsentrasi pada plasma katekolamin dan
kortikosteron. Peternak harus memastikan hewannya terbebas dari penderitaan
mental akibat kondisi sekitar, perlakuan dan manajemen. Untuk dapat bertahan
6
seekor hewan harus mampu menyesuaikan diri dan mengatasi tantangan alam
(Cook 2000). Respon terhadap tantangan alam ini salah satu wujudnya adalah
stres. Stres selalu hadir, dan tanpa kehadiran stres berarti kematian (Wolfle
2000). Rangsangan yang memicu stres disebut dengan istilah stresor. Stres
berbeda dari distres, distres adalah stres yang buruk, sementara stres tidak
mempengaruhi secara signifikan terhadap kesejahteraan hewan. Istilah eustres
digunakan untuk keadaan oleh stresor yang menyenangkan, misalnya saat
bermain dengan kawannya (Lay 2000).
Menurut Moberg (2000) stres berpengaruh terhadap kesejahteraan hewan
tergantung besar kecilnya kerugian biologis akibat stress tersebut. Meskipun
akomodasi atas stres mungkin terjadi, namun jika tidak maka stres dapat
berakibat kematian. Stres tidak hanya merupakan keadaan saat hewan harus
beradaptasi melebihi kemampuannya, tetapi juga pada saat hewan mempunyai
respons yang lemah bahkan terhadap rangsangan ‘normal’ sehari-hari (Duncan
dan Fraser 1997).
Takut merupakan emosi primer yang dimiliki hewan yang mengatur respon
mereka terhadap lingkungan fisik dan sosialnya. Rasa takut kini dianggap
sebagai stresor yang merusak hewan (Jones 1997). Rasa takut yang
berkepanjangan tentu akan berimbas buruk bagi kesejahteraan hewan. Oleh
karena itu, perilaku peternak sangat berperan dalam membangun sikap hewan
terhadap peternak. Ternak yang sering diperlakukan buruk sangat mungkin
untuk menyimpan kesan yang buruk terhadap peternak. Cheeke (2004)
menitikberatkan pada tehnik manajemen hewan yang mengurangi atau
menghilangkan stres sebagi komponen penting dari animal welfare.
Kelima poin di atas merupakan daftar kontrol status kesejahteraan hewan
secara umum saja. Penjabaran kesejahteraan hewan ke dalam lima aspek
kebebasan tidaklah mutlak terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Aspek yang satu
mungkin berpengaruh pada aspek lainnya sehingga sulit untuk dibedakan.
Bahkan satu problem dapat merupakan cakupan beberapa poin di atas.
Susunan yang berurutan pun tidak mutlak mencerminkan prioritas.
Aplikasi konsep dan implementasi kesejahteraan hewan dipengaruhi oleh
berbagai hal. Dalam penelitiannya yang berkaitan dengan kesejahteraan hewan,
ilmuwan menggunakan parameter sesuai kepentingannya yang didasarkan pada
pandangan mereka tentang bagaimana hewan seharusnya dipelihara dan
kesejahteraannya diperhatikan. Sangat mungkin berbeda antara peneliti yang
7
satu dengan yang lainnya (Fraser 2003). Pandangan-pandangan ini menurut
Fraser (2003) dapat dibagi menjadi tiga. Pandangan pertama menyatakan
bahwa hewan sebaiknya dipelihara pada kondisi yang memungkinkan
berjalannya fungsi biologis (tetap sehat, pertumbuhan dan reproduksi).
Pandangan kedua menekankan pemeliharaan hewan seharusnya dengan cara-
cara mengurangi penderitaan hewan dan mengutamakan kesenangan hewan.
Pada puncaknya pandangan ketiga mengusulkan pemeliharaan dengan cara
membiarkan hewan hidup secara alami.
Animal Welfare pada Industri Perunggasan Praktek kesejahteraan hewan di bidang industri perunggasan berkaitan
dengan prinsip-prinsip yang diterapkan dalam konsep animal welfare. Ukuran
lapar dan haus tergantung dari frekuensi pemberikan makanan dan air segar
pada unggas dan seberapa mudah akses terhadap makanan dan minuman bagi
setiap unggas di dalam kandang. Kepadatan unggas yang tinggi tidak
memberikan ruang gerak yang cukup untuk makan dan minum (Mudiarta 2007).
Kondisi sakit dan luka pada unggas disebabkan oleh penanganan yang
kasar dari penjual atau pembeli, kepadatan unggas di kandang yang kecil, dan
peralatan yang tidak sesuai yang berakibat patah tulang atau luka selama
perjalanan (Mudiarta 2007).
Pada masalah-masalah yang lainnya, rasa sakit dari penyakit dapat kita
lihat dari tanda-tanda klinis dan perubahan kebiasaan. Menurut Santhia (1984),
ciri-ciri fisik yang dapat dilihat pada unggas yang tidak sehat adalah mata yang
kurang bersinar (memudar), mukosa yang pucat dan jenggar ayam yang biru.
Perubahan terhadap kebiasaan mempengaruhi jumlah aktifitas. Unggas yang
tidak sehat biasanya terlihat lesu.
Unggas dapat tertular penyakit virus dan bakteri, juga mudah terkena stres
karena rendahnya standar kesehatan dan kesejahteraan. Stres dapat
menyebabkan berubahnya sistem kekebalan tubuh dan kadang dapat
meningkatkan kemungkinan untuk terserang penyakit (Siegel 2006). Kandang
atau keranjang yang dipenuhi dengan kotoran juga dapat menimbulkan bakteri.
Bebas untuk mengekspresikan tingkah laku normal dapat diwujudkan
dengan memberikan ruang yang cukup dan peningkatan kualitas lingkungannya.
Jumlah unggas yang padat menyebabkan ruang gerak mereka menjadi terbatas
untuk mengekspresikan tingkah laku normalnya (SCAHAW 2000). Di dalam
8
kandang atau keranjang yang kecil yang digunakan di pasar tradisional, unggas
tidak dapat mengekspresikan tingkah laku yang alami seperti mengepakkan
sayapnya, berpindah pindah, mandi debu dan lain sebagainya. Menurut
SCAHAW (2000), menyatakan bahwa jumlah unggas di dalam kandang tidak
boleh melebihi 25 kg/m2.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan stress dan takut meliputi
mencampuradukkan unggas dari berbagai umur, jenis kelamin dan kelompok
sosial yang berbeda dimana kondisi tersebut dapat menyebabkan stres pada
binatang dan menimbulkan luka karena pertengkaran yang terjadi diantara
mereka, tempat yang bising yang dipenuhi oleh banyak orang yang dapat
menimbulkan kebingungan bagi unggas tersebut, penanganan yang keras,
kendaraan yang tidak sesuai untuk transportasi, kandang yang tidak layak tanpa
adanya perlindungan dari panas ataupun hujan, dan mengikat kaki unggas ketika
membawanya dari pasar yang sering menimbulkan penderitaan pada unggas.
Sistem Pemasaran Unggas di Indonesia Untuk pemasaran produk unggas, masyarakat Indonesia secara umum
masih tergantung pada sistem pasar tradisional. Skema rantai pemasaran dari
produk unggas pada sistem pasar tradisional di Indonesia menurut Mudiarta
(2007) dapat dilihat pada Gambar 1.
Peternak Pasar Tradisional
Dastributor/ pengepul
Konsumen
Gambar 1 Skema pemasaran produk unggas pada sistem pasar tradisional
(Mudiarta 2007).
Menurut Anonim (2006a) data statistik peternakan Indonesia tahun 2006, di
Indonesia setiap hari ada lebih dari 13.000 pasar unggas hidup, sekitar 12,6 juta
penjual dan lebih dari 80% unggas dijual hidup. Pasar tradisional atau yang
dikenal dengan “wet market atau pasar becek”, tidak hanya menjual unggas
hidup, tetapi juga menjual daging dan makanan. Keberadaan pasar tradisional
9
tersebut memberi peluang penyebaran unggas hidup lintas wilayah di Indonesia,
termasuk yang ada di Kota Bogor. Dalam prakteknya, penjual unggas hidup di
pasar tradisional membuka peluang munculnya tindakan kekejaman terhadap
hewan dan juga praktek tersebut beresiko tinggi karena dapat menimbulkan efek
negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Kondisi Penerapan Kesejahteraan Hewan pada Perunggasan di Indonesia
Menurut Mudiarta (2007), permasalahan yang berhubungan dengan
kesejahteraan hewan di pasar tradisional yang ada di Indonesia adalah (1)
unggas yang dijual ditampung dengan kepadatan yang tinggi; (2) penjual dan
pembeli tidak menangani unggas layaknya mahluk hidup sebagai ciptaan tuhan,
tetapi lebih tepatnya seperti barang/benda mati; (3) unggas ditempatkan di dalam
kandang yang sempit; (4) kondisi pasar yang sangat ramai menyebabkan unggas
menjadi stres; (5) unggas-unggas tersebut ditangani secara tidak manusiawi
selama transportasi serta tidak disediakan pakan dan minum.
Kondisi tersebut di atas, umumnya dapat kita lihat di pasar-pasar
tradisional yang menjual hewan hidup. Penjual hanya berpikir mengenai
keuntungan dan pembeli hanya menginginkan kebutuhannya akan daging
terpenuhi. Setelah unggas dipotong selanjutnya hanya dalam beberapa detik
kemudian langsung dicemplungkan ke dalam air mendidih (broiler) tanpa
mengecek lebih dahulu apakah unggas tersebut sudah mati atau belum.
Permasalahan lainnya adalah penjual unggas hidup tidak/ kurang memiliki
pengetahuan dan kepedulian terhadap kebersihan/ kesehatan lingkungan dan
pencegahan terhadap penyakit-penyakit infeksius. Hal tersebut terlihat dari
berbagai kebiasaan penjual di pasar, di antaranya: (1) masih banyak penjual
unggas yang menjual unggas-unggasnya bersebelahan dengan penjual
makanan seperti; kue-kue, buah, sayur mayur dan makanan lainnya (beberapa
penjual unggas hidup dalam waktu bersamaan juga menjual daging); (2) tidak
adanya pembatas antara tempat penjualan unggas hidup, pemotongan dan
penjual daging; (3) kandang unggas yang kotor; (4) penjual melayani pembeli
ayam hidup dan pembeli daging tanpa mencuci tangannya terlebih dahulu; dan
(5) penjual tidak menggunakan masker (Mudiarta 2007).
BAHAN DAN METODE Desain Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode observasi terhadap tempat penjualan
unggas hidup di Kota Bogor dengan cara pengamatan langsung dan wawancara
dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Penerapan kesejahteraan hewan
diukur berdasarkan pemenuhan terhadap lima asas kesejahteraan hewan.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di pasar unggas hidup yang terdapat di wilayah
Kota Bogor, meliputi Pasar Anyar, Pasar Bogor, Pasar Gembrong, Pasar Gunung
Batu dan Pasar Warung Jambu. Penelitian ini berlangsung dari Bulan Agustus
sampai November 2008.
Populasi
Populasi yang digunakan adalah pedagang yang menjual unggas hidup
pada pasar tradisional yang terdapat di wilayah Kota Bogor yang berjumlah 15
pedagang.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
terstruktur dan Global Positioning System untuk menentukan koordinat pasar.
Kuesioner mencakup penilaian penerapan kesejahteraan hewan yang meliputi
kerakteristik usaha, aspek pengangkutan, aspek penampungan dan aspek
penyembelihan.
Pengambilan Data Pengambilan data diperoleh dengan cara wawancara terhadap pemilik,
penanggung jawab atau pekerja di tempat penjualan unggas hidup dengan
menggunakan kuesioner terstruktur (Lampiran 1). Selain melalui wawancara,
pengambilan data juga menggunakan pengamatan langsung. Data yang diambil
meliputi karakteristik usaha, aspek pengangkutan, aspek penampungan dan
aspek penyembelihan.
11
Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang unggas hidup yang
berada pada pasar dan terdaftar di Dinas Agribisnis Kota Bogor yang berjumlah
15 pedagang. Pedagang dan lokasi TPUH dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pedagang dan lokasi TPUH yang ada di Kota Bogor
No Nama Pedagang Nama Pasar Kecamatan
1 Didin
Pasar Anyar Bogor Timur
2 Emon 3 H. Yakub 4 Lili 5 Asep 6 Erik 7 H. Ahmad
Pasar Bogor
Bogor Timur 8 Asep
9 H. Ocep 10 H. Syafei 11 Dedi Pasar
Gembrong Bogor Timur 12 Hari
13 Agus Pasar Warung Jambu
Bogor Utara
14 Dading Pasar Gunung Batu Bogor Barat 15 Cecep
Analisis Data Data yang diperoleh dari survei dianalis secara deskriptif dengan
menggunakan program SPSS 13.0. Kesejahteraan hewan dinilai sudah
diterapkan jika ≥ 50% dari responden sudah melakukan aspek yang dinilai,
sebaliknya jika < 50% belum dilakukan maka dinilai belum diterapkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi dan Titik Koordinat Tempat Penjualan Unggas Hidup (TPUH) Tempat penjualan unggas hidup (TPUH) yang digunakan dalam penelitian
ini berjumlah 5 TPUH yaitu Pasar Kebon Kembang, Pasar Bogor, Pasar
Gembrong, Pasar Warung Jambu dan Pasar Gunung Batu.
TPUH yang berada di wilayah Kota Bogor tersebar dalam beberapa
wilayah kecamatan. Ada tiga dari enam kecamatan yang terdapat TPUH.
Tempat penjualan unggas hidup terbanyak berlokasi di Kecamatan Bogor Timur
(3 TPUH). Sedangkan dua kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Bogor Utara (1
TPUH), dan Kecamatan Bogor Barat (1 TPUH). Lokasi dan koordinat TPUH
dicatat dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Gambar letak
dan koordinat TPUH menurut GPS dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Letak dan koordinat tempat penjualan unggas hidup (TPUH) menurut
Global Positioning System
13
Karakteristik Usaha Karakteristik usaha yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi jenis
unggas yang dijual, pengalaman melakukan usaha dan jenis pemasok unggas.
Jenis Unggas
Umumnya jenis unggas adalah ayam kampung dan layer afkir. Jenis
unggas yang dijual disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar pedagang
menjual ayam kampung 80% dan layer afkir 80%, selanjutnya adalah broiler
66,7%, bebek 33,3% dan entok 33,3%.
Tabel 2 Jenis unggas yang dijual pada TPUH di Kota Bogor
Jenis Unggas Jumlah Pedagang % Ayam kampung 12 80,0 Broiler 10 66,7 Layer afkir 12 80,0 Bebek 5 33,3 Entok 5 33,3
Jumlah Unggas yang Dijual per Hari
Sebagian besar entok dijual kurang dari 10 ekor, ayam kampung dan layer
afkir dijual antara 10-50 ekor dan sebagian kecil broiler dijual lebih dari 50 ekor.
Jumlah unggas yang dijual per hari dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar pedagang
menjual entok 66,7% dan bebek 66,6% dengan jumlah kurang dari 10 ekor,
selanjutnya pedagang menjual ayam kampung 66,6% dan layer afkir 66,6%
dengan jumlah antara 10-50 ekor dan pedagang menjual broiler 20,1% dengan
jumlah lebih dari 50 ekor.
Tabel 3 Jumlah unggas yang dijual per hari pada TPUH di Kota Bogor
Jenis Unggas Jumlah Yang Dijual (ekor)
< 10 10-50 > 50 Jumlah
Pedagang % Jumlah Pedagang % Jumlah
Pedagang %
Ayam kampung 3 20 10 66,6 2 13,4 Broiler 5 33,3 7 46,6 3 20,1 Layer afkir 3 20 10 66,6 2 13,4 Bebek 10 66,6 4 26,7 1 6,7 Entok 10 66,7 5 33,3 0 0
14
Urutan Jumlah Unggas yang Dijual Umumnya broiler dijual dengan urutan pertama sedangkan ayam kampung
dijual dengan urutan kedua. Hanya sebagian kecil ayam kampung dan bebek
dijual dengan urutan ketiga. Urutan jumlah unggas yang dijual secara lengkap
ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Urutan jumlah unggas yang dijual pada TPUH di Kota Bogor
Jenis Unggas
Urutan 1 Urutan 2 Urutan 3 Jumlah
Pedagang % Jumlah Pedagang % Jumlah
Pedagang %
Ayam kampung 3 20,0 6 40,0 3 20,0 Broiler 8 53,3 1 6,7 1 6,7 Layer afkir 3 20,0 5 33,3 1 6,7 Bebek 1 6,7 0 0 3 20,0 Entok 0 0 0 0 0 0
Berdasarkan Tabel 4 terlihat sebagian besar pedagang menjual broiler
53,3% dengan urutan pertama, selanjutnya pedagang menjual ayam kampung
40% dengan urutan kedua dan menjual ayam kampung dan bebek 20% dengan
urutan ketiga.
Bentuk Unggas yang Dijual Seluruh unggas dijual dalam bentuk hidup, hanya terdapat sebagian kecil
yang menjual dalam bentuk karkas. Bentuk unggas yang dijual dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5 Bentuk unggas yang dijual pada TPUH di Kota Bogor
Jenis Unggas Jumlah Pedagang
% Bentuk Hidup
Ayam Kampung 12 100Broiler 5 50 Layer afkir 9 75 Bebek 6 100
Entok 5 100
Berdasarkan Tabel 5 terlihat seluruh pedagang menjual ayam kampung,
bebek dan entok dalam bentuk hidup, 75% pedagang menjual layer afkir dalam
bentuk hidup dan 50% pedagang menjual broiler dalam bentuk hidup.
15
Pengalaman Usaha Umumnya pedagang unggas memiliki pengalaman usaha lebih dari 5
tahun. Pengalaman usaha secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Pengalaman usaha pada TPUH di Kota Bogor
Pengalaman Usaha Jumlah Pedagang %
< 3 tahun 1 6,7 3-5 tahun 6 40,0 > 5 tahun 8 53,3
Berdasarkan Tabel 6 terlihat sebagian besar pedagang 53,3% memiliki
pengalaman usaha lebih dari 5 tahun, 40% memiliki pengalaman usaha antara 3-
5 tahun dan 6,7% memiliki pengalaman kurang dari 3 tahun. Pengalaman
berdagang yang dimiliki pedagang unggas akan memepengaruhi cara
berdagangnya. Pedagang yang memiliki pengalaman usaha lebih lama akan
mampu menangani usahanya lebih baik dikarenakan relatif lebih mudah dalam
mengadopsi berbagai inovasi (pengetahuan, keterampilan, manajemen dan
teknologi) terkait dengan peningkatan kualitas kegiatan usahanya (Tim AI FKH
IPB 2006).
Jenis Pemasok Sebagian besar pemasok unggas adalah pemasok tidak tetap. Jenis
pemasok secara lengkap disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Jenis pemasok pada TPUH di Kota Bogor
Pengalaman Usaha Jumlah Pedagang %
Pemasok tetap 7 46,7
Pemasok tidak tetap 8 53,3
Berdasarkan tabel 7 sebagian besar jenis pemasok unggas adalah
pemasok tidak tetap 53,4% dan yang lainnya adalah pemasok tetap.
16
Penerapan Kesejahteraan Hewan Aspek Pengangkutan
Aspek pengangkutan yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi
kendaraan pengangkut dan alat pembawa. Pengangkutan/ hauling merupakan
tahapan yang sebenarnya pendek namun kondisi sering menyebabkan kerugian
yang cukup berarti. Sekitar 20-25% ternak mengalami penurunan kualitas.
Beberapa poin yang menyebabkan gangguan selama transportasi adalah variasi
suhu (thermal variations) yang merupakan penyebab utama, goncangan
(vibrations), pergerakan (motion), percepatan (acceleration), jangka waktu
pemberian pakan dan minum (withdrawl of feed and water), dan kebisingan
(Noise). Hampir 40% kematian unggas disebabkan oleh stres karena
transportasi (Anonim 2009a).
Kendaraan Pengangkut Kendaraan pengangkut yang diamati dalam penelitian ini meliputi jenis
kendaraan, model bak yang digunakan, kepemilikan kendaraan pengangkut,
waktu pengiriman unggas dan pembersihan kendaraan pengangkut. Secara
umum jenis kendaraan yang digunakan oleh pedagang adalah mobil dengan tipe
bak terbuka dan diperoleh dari jasa penyewaan. Sebagian besar pengiriman
unggas dilakukan pada pagi hari serta dilakukan pembersihan terhadap
kendaraan pengangkut. Distribusi karakteristik aspek kendaraan pengangkut
dapat dilihat pada Tabel 8.
Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa sebagian besar pedagang 86.7%
menggunakan mobil untuk mengangkut unggas hidup. Model alat pengangkut
yang disarankan untuk mengangkut unggas adalah truk khusus yang dirancang
sederhana dan praktis dengan ventilasi yang baik di dalamnya (Hoxey et al.
1996). Terlihat untuk aspek ini seluruh padagang belum menerapkan
kesejahteraan hewan. Pengangkutan unggas hidup dengan mobil seluruhnya menggunakan
model bak terbuka. Penggunaan bak tertutup sangat dianjurkan untuk
mengurangi tingkat stres unggas selama perjalanan, selain itu penggunaan bak
tertutup juga mencegah pencemaran udara dari unggas yang timbul selama
17
pengangkutan. Pada aspek ini seluruh pedagang unggas belum menerapkan
kesejahteraan hewan.
Tabel 8 Distribusi karakteristik aspek kendaraan pengangkut pada TPUH di Kota Bogor
Karakteristik Jumlah
Pedagang %
Jenis kendaraan Truk khusus Mobil Motor Sepeda
0
13 2 0
0
86,7 13,3
0 Model bak
Tertutup Terbuka
0
13
0
100 Pemilik kendaraan
Milik sendiri Jasa penyewaan
4
11
26,7 73,3
Waktu pengiriman unggas Pagi Siang Malam Tidak Tentu
6 3 5 1
40,0 20,0 33,3 6,7
Pembersihan teratur terhadap truk Ya Tidak
13 1
92,9 7,1
Pengangkutan unggas hidup dengan mobil seluruhnya menggunakan
model bak terbuka. Penggunaan bak tertutup sangat dianjurkan untuk
mengurangi tingkat stres unggas selama perjalanan, selain itu penggunaan bak
tertutup juga mencegah pencemaran udara dari unggas yang timbul selama
pengangkutan. Pada aspek ini seluruh pedagang unggas belum menerapkan
kesejahteraan hewan.
Pemilik kendaraan pengangkut unggas hidup didominasi oleh jasa
penyewaan 73,3%. Penggunaan kendaraan pengangkut yang dimiliki oleh
pedagang sendiri relatif lebih baik, hal ini dikarenakan pedagang akan cenderung
lebih memperhatikan perawatan dan tujuan penggunaannya. Biasanya untuk
jasa penyewaan penggunannya cenderung untuk berbagai keperluan sehingga
perawatannya kurang terjaga. Untuk aspek ini terlihat sebagian besar pedagang
belum menerapkan kesejahteraan hewan
Waktu pengiriman unggas hidup oleh pemasok sangat bervariasi, sebagian
besar pedagang umumnya melakukan pengiriman pada pagi hari 40%. Waktu
pengiriman sangat tergantung dengan keadaan cuaca harian, hal ini bertujuan
untuk mengurangi tingkat stres pada unggas akibat respirasi berlebihan yang
diakibatkan oleh tingginya cuaca harian. Untuk aspek ini terlihat pedagang
18
sebagian besar telah menerapkan kesejahteraan hewan, karena pengiriman
sebagian besar dilakukan pada pagi hari disaat cuaca masih sejuk.
Sebagian besar pedagang melakukan kegiatan pembersihan truk secara
teratur 92,9%. Kegiatan pembersihan truk pengangkut erat kaitannya dengan
pencegahan munculnya agen penyakit dan pencegahan penularan penyakit.
Pada aspek ini terlihat sebagian besar pedagang sudah menerapkan
kesejahteraan hewan. Alat Pembawa
Karakteristik alat pembawa yang diamati meliputi penggunaan keranjang,
bahan keranjang, jumlah rata-rata unggas perkeranjang, jumlah rata-rata
tumpukan keranjang di dalam mobil pengangkut, perlakuan pembersihan dan
cara pembersihan. Hampir sebagian besar pengangkutan unggas menggunakan
keranjang. Bahan keranjang yang digunakan yaitu plastik dengan kepadatan
unggas di dalam keranjang 10-20 ekor. Umumnya jumlah tumpukan keranjang di
dalam mobil pengangkut 3-5 tumpuk dan dilakukan pembersihan terhadap
keranjang. Distribusi karakteristik aspek alat pembawa secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Distribusi karakteristik aspek alat pembawa pada TPUH di Kota Bogor
Karakteristik Jumlah Pedagang %
Cara membawa unggasDitempatkan dalam keranjang Tanpa keranjang, digantung dengan posisi kepala ke bawah
14 1
93,3 6,7
Penggunaan keranjangYa Tidak
14 1
93,3 6,7
Bahan keranjang Plastik Kayu Rotan
14 0 0
100 0 0
Jumlah rata-rata unggas perkeranjang (ekor) < 10 10-20 > 20
1 8 5
13,4 53,3 33,3
Jumlah rata-rata tumpukan keranjang (tumpuk) < 3 3-5 > 5
4 7 3
30,8 53,8 15.4
Pembersihan terhadap keranjangYa Tidak
10 4
66,7 33,3
19
Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa sebagian besar pedagang membawa
unggas hidup dengan cara ditempatkan di dalam keranjang sebanyak 93,3%.
Pengangkutan dengan keranjang sangat dianjurkan, hal ini dikarenakan untuk
menghindarkan stres pada unggas saat pengangkutan, sehingga diharapkan
kualitas karkas yang dihasilkan tetap terjaga (Carlyle 1997). Untuk aspek ini
sebagian besar pedagang sudah menerapkan kesejahteraan hewan.
Seluruh bahan keranjang yang digunakan untuk pengangkutan unggas
adalah bahan plastik. Penggunaan bahan keranjang saat ini yang dianjurkan
adalah yang terbuat dari bahan plastik, hal ini dikarenakan kemudahan dalam hal
pembersihan (Murtidjo 1987). Pada aspek ini terlihat seluruh pedagang sudah
menerapkan kesejahteraan hewan.
Jumlah rata-rata unggas hidup perkeranjang umumnya adalah antara 10-
20 ekor 53,3%. Pengisian keranjang keranjang disesesuaikan dengan kapasitas
dan jangan terlalu padat (Murtidjo 1987). Terlihat pada aspek ini umumnya
sebagian besar pedagang menerapkan kesejahteraan hewan.
Jumlah rata-rata tumpukan keranjang di dalam mobil yang digunakan
dalam mengangkut unggas hidup umumnya adalah antara 3-5 tumpuk 53,8%.
Jumlah tumpukan keranjang di dalam truk pengangkut diatur sedemikian rupa
agar sirkulasi udara di dalamnya tetap terjaga dengan baik (RSCPA 1999).
Untuk aspek ini terlihat sebagian besar dari pedagang sudah menerapkan
kesejahteraan hewan .
Sebagian besar pedagang melakukan kegiatan membersihkan keranjang
pengangkut 66,7%. Untuk aspek ini terlihat sebagian besar dari pedagang sudah
menerapkan kesejahteraan hewan.
Aspek Penampungan Aspek penampungan yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi
perkandangan, pemeliharaan, pembersihan, kesehatan dan limbah.
Perkandangan
Karakteristik perkandangan yang dilihat meliputi jenis kandang, kepadatan
unggas dalam kandang, bahan dinding, lantai dan atap kandang, ketersediaan
ventilasi serta pencahayaan di dalam kandang. Sebagian besar kandang
penampungan yang digunakan bertipe panggung dengan kepadatan unggas di
dalam tersebut kurang dari 8 ekor/m². Kandang penampungan yang digunakan
20
seluruh dindingnya berbahan kayu, sebagian besar lantainya berbahan bambu
dan atapnya berbahan beton. Sebagian besar kandang penampungan memiliki
ventilasi dan pencahayaan yang cukup. Distribusi karakteristik aspek
perkandangan ditampilkan pada Tabel 10. Kandang merupakan aspek penting dalam usaha peternakan unggas
hidup. Kandang dipergunakan mulai dari awal hingga masa berproduksi.
Kandang yang baik dapat menyediakan ruangan yang sesuai dengan jumlah
ternak yang dipelihara. Kandang yang dusarankan baik digunakan adalah
kandang tipe panggung karena relatif lebih mudah dalam pembersihannya
(Hutomo 2008). Secara umum kandang penampungan unggas hidup yang
digunakan adalah jenis kandang panggung 73,3%. Pada aspek ini sebagian
besar pedagang sudah menerapkan kesejahteraan hewan.
Tabel 10 Distribusi karakteristik aspek perkandangan pada TPUH di Kota Bogor
Karakteristik Jumlah Pedagang %
Kandang Kandang panggung Kandang postal
11 4
73,3 26,7
Kepadatan Unggas dalam Kandang (ekor/m²) < 8 8-10 > 10
10 4 1
66,6 26,7 6,7
Bahan dinding kandang Kayu Rotan Plastik
15 0 0
100 0 0
Bahan lantai kandang Kayu Bambu Rotan Beton
2
13 0 0
13,3 86,7
0 0
Bahan atap kandang Plastik Beton Seng Genteng Rumbia
1 8 3 3 0
6,7 53,3 20,0 20,0
0 Ketersediaan ventilasi Ya Tidak
14 1
93,3 6,7
Ketersediaan pencahayaan Ya Tidak
14 1
93,3 6,7
Secara umum kepadatan unggas hidup dalam kandang penampungan
adalah kurang dari 8 ekor/m² sebanyak 66,6%. Menurut Martono (1996),
kepadatan kandang yang baik yaitu populasi per meter persegi adalah 6-10 ekor.
21
Terlihat untuk aspek ini sebagian besar pedagang sudah menerapkan
kesejahteraan hewan.
Bahan dinding kandang penampungan yang digunakan seluruhnya terbuat
dari bahan kayu. Penggunaan bahan dinding kandang sebaiknya menggunakan
bahan yang mudah dibersihkan (Anonim 2009b). Dinding kandang biasa dibuat
dengan menggunakan bahan bambu, atau kawat. Celah-celah pada dinding
kandang hendaknya tidak dapat diterobos binatang pengganggu maupun
predator. Pada aspek ini seluruh pedagang belum menerapkan kesejahteraan
hewan.
Sebagian besar bahan lantai kandang penampungan yang digunakan
adalah bahan yang terbuat dari bambu 86,7%. Bahan lantai seharusnya
dipasang secara berderet agar unggas tidak terperosok. Lantai yang baik adalah
yang mudah dibersihkan dan aman untuk unggas hidup (Anonim 2009b). Pada
aspek ini sebagian besar pedagang belum menerapkan kesejahteraan hewan.
Bahan atap kandang penampungan yang digunakan umumnya adalah
bahan beton 53,3%. Menurut Anonim (2009b), atap kandang diusahakan
menggunakan genteng, karena tidak mudah menyerap panas yang
mengakibatkan suhu di dalam kandang menjadi tinggi. Kemudian bentuk atap
yang biasa digunakan adalah atap muka dua dengan lubang angin (monitor) dan
atap tunggal dengan lubang udara (semi monitor). Terlihat pada aspek ini hanya
sebagian kecil pedagang yang menerapkan kesejahteraan hewan.
Kandang penampungan yang digunakan sebagian besar memiliki ventilasi
93,3%. Ventilasi disini diusahakan dibuat sebaik mungkin sehingga akan terjadi
perputaran udara di kandang, yaitu udara kotor didalam kandang akan keluar
dengan mudah dan digantikan dengan udara segar dari luar kandang (Anonim
2009b). Terlihat pada aspek ini sebagian besar pedagang sudah menerapkan
kesejahteraan hewan.
Sebagian besar kandang penampungan memiliki ketersediaan
pencahayaan 93,3%. Ketersediaan cahaya khususnya cahaya matahari juga
diusahakan karena cahaya matahari dapat menghambat pertumbuhan bibit
penyakit dan merupakan provitamin D (Anonim 2009b). Untuk fasilitas listrik
diatur agar intensitas cahaya cukup di area kandang (Berry 2003). Pada aspek
ini sebagian besar pedagang sudah menerapkan kesejahteraan hewan.
22
Pemeliharaan Pemeliharaan yang diamati meliputi pemberian pakan, minum, vitamin dan
pengobatan terhadap unggas yang sakit. Seluruh unggas selama berada di
kandang penampungan diberikan pakan dan minum serta tidak diberikan vitamin.
Hanya sebagian kecil pedagang yang melakukan pengobatan terhadap unggas
yang sakit. Distribusi karakteristik aspek pemeliharaan disajikan pada Tabel 11.
Seluruh unggas hidup selama berada di dalam kandang penampungan
diberikan pakan. Nutrisi atau bahan makanan (pakan) adalah segala sesuatu
yang dapat dimakan, disukai, dan tidak membahayakan ternak (Tillman et al.
1984). Selanjutnya dikatakan bahwa bahan makanan dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu bahan makanan yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Menurut North (1984), metode pemberian pakan yang dibatasi disesuai dengan
kebutuhan yang diperlukan setiap harinya. Menurut Sidadolog (1999),
pembatasan pakan secara kualitatif pada unggas tetap diberi pakan secara
adlibitum tetapi kualitas pakan yang diberikan dibatasi sesuai dengan
kebutuhannya yaitu dengan beberapa metode pemberian pakan yang kaya
dengan serat kasar, penambahan tepung daun dan bekatul sehingga pakan
tersebut menjadi bulky. Untuk aspek ini seluruh pedagang sudah menerapkan
kesejahteraan hewan.
Tabel 11 Distribusi karakteristik aspek pemeliharaan pada TPUH di Kota Bogor
Karakteristik Jumlah Pedagang %
Pemberiaan pakanYa Tidak
15 0
100 0
Pemberian minumYa Tidak
15 0
100 0
Pemberian vitaminYa Tidak
0
15
0
100 Pengobatan terhadap unggas sakit
Ya Tidak
2
13
13,3 86,7
Seluruh unggas selama berada di dalam kandang penampungan diberikan
minum. Air sangat penting bagi tubuh unggas maka air harus tersedia terus-
menerus sepanjang hari. Kebutuhan air minum akan lebih banyak dengan
bertambahnya umur unggas (Anggorodi 1985). Air merupakan komponen zat
gizi. Pemberiannya secara khusus dipisahkan dari pakan walaupun pakan itu
23
sendiri masih mempunyai kadar air tertentu. Fungsi air untuk pengangkutan zat-
zat makanan dalam tubuh, pembuangan sisa, dan pengaturan suhu. Menurut
Anonim (1984), air menduduki proporsi 55% sampai 75% dari berat badan.
Terlihat pada aspek ini seluruh pedagang sudah menerapkan kesejahteraan
hewan.
Selama unggas berada di kandang penampungan tidak terdapat pedagang
melakukan kegiatan pemberian vitamin. Pemberian vitamin sangat dianjurkan
untuk unggas yang terlihat kurang baik perkembangannya selama berada di
dalam kandang penampungan (Anonim 2009b). Pada aspek ini sebagian besar
seluruh pedagang belum menerapkan kesejahteraan hewan.
Sebagian besar pedagang 86,7% tidak melakukan pengobatan terhadap
unggas yang sakit selama berada di kandang penampungan. Perlakuan
pengobatan terhadap unggas sakit sangat dianjurkan. Hal ini dikarenakan untuk
mencegah penyebaran penyakit tersebut (Anonim 2009b). Terlihat pada aspek
ini hanya sebagian kecil pedagang yang menerapkan kesejahteraan hewan.
Pembersihan Karakteristik pemeliharaan yang dilihat yaitu perlakuan dan cara
pembersihan serta penggantian teratur terhadap alas kandang. Seluruh
pedagang melakukan pembersihan rutin terhadap kandang penampungan.
Sebagian besar kandang postal yang digunakan dilakukan penggantian alas
kandang secara teratur. Distribusi karakteristik aspek pembersihan dapat dilihat
pada Tabel 12.
Tabel 12 Distribusi karakteristik aspek pembersihan pada TPUH di Kota Bogor
Karakteristik Jumlah Pedagang %
Pembersihan rutin Ya Tidak
15 0
100
0 Penggantian alas kandang secara teratur
Ya Tidak
3 1
83,3 16,7
Seluruh pedagang melakukan pembersihan rutin terhadap kandang
penampungan. Pembersihan berarti penghilangan kotoran-kotoran yang kasat
mata terlihat dari permukaan kandang. Hal ini mencakup pengurangan sejumlah
mikroorganisme patogen pada permukaan kandang dan sampai tingkat aman
24
bagi kesehatan karena sesuatu yang saniter tidak memiliki risiko bagi kesehatan
manusia (Mc Swane et al. 2000). Pada aspek ini terlihat seluruh pedagang
sudah menerapkan kesejahteraan hewan.
Pedagang yang melakukan kegiatan penggantian alas kandang (litter)
sejumlah 83,3%. Penggantian terhadap alas kandang harus dilakukan secara
berkala untuk mencegah datangnya agen penyakit dan mencegah penyebaran
penyakit (Smith 2001). Terlihat pada aspek ini sebagian besar pedagang sudah
menerapkan kesejahteraan hewan.
Kesehatan
Karakteristik kesehatan yang diamati meliputi pemeriksaan kesehatan
unggas, pelaku pemeriksaan, perlakuan terhadap unggas sakit dan perlakuan
terhadap bangkai unggas. Umumnya unggas yang berada di kandang
penampungan dilakukan pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan
seluruhnya dilakukan oleh pedagang. Sebagian besar pedagang melakukan
pemotongan terhadap unggas yang sakit. Seluruh bangkai unggas yang
terdapat di kandang penampungan dibuang oleh pedagang. Distribusi
karakteristik aspek kesehatan terhadap unggas selama berada di kandang
penampungan dapat dilihat pada Tabel 13. Pedagang yang melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap unggas
selama di kandang sejumlah 80%. Pemeriksaan terhadap unggas mutlak harus
dilakukan untuk memastikan kondisi unggas dalam keadaan baik serta
memudahkan untuk mengambil tindakan awal apabila terdapat unggas yang
sakit sehingga diharapkan pencegahan terhadap timbulnya penyakit dapat
dilakukan secara dini (Smith 2001). Terlihat pada aspek ini sebagian besar
pedagang belum menerapkan kesejahteraan hewan.
Seluruh kegiatan pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh pedagang sendiri
100%. Pemeriksaan kesehatan sebaiknya dilakukan oleh instansi yang
berwenang agar hasil yang diperoleh lebih akurat dan tindakan untuk
mengantisipasi yang diambil dapat dilakukan secara benar dan tepat (Anonim
2009b). Pada aspek ini seluruh pedagang belum menerapkan kesejahteraan
hewan.
Sebagian besar pedagang memperlakukan unggas yang sakit dengan cara
dipotong 80%. Menurut Hanson (2002), hewan sakit yang tidak diisolasi dan
dipisahkan pada kandang terpisah akan berpotensi menularkan penyakit pada
25
hewan sehat. Terlihat pada aspek ini sebagian besar pedagang belum
menerapkan kesejahteraan hewan.
Tabel 13 Distribusi karakteristik aspek kesehatan pada TPUH di Kota Bogor
Karakteristik Jumlah Pedagang %
Pemeriksaan kesehatanYa Tidak
12 3
80,0 20,0
Pelaku pemeriksaan Petugas dinas Petugas khusus Dilakukan sendiri
0 0
15
0 0
100 Perlakuaan terhadap unggas sakit
Dipisahkan dan diobati hingga sembuh kemudian dijual Dipisahkan dalam kandang/tempat khusus terpisah dengan unggas sehat Dijual Dipotong Dibiarkan tetap dikandang tanpa perlakuan
0 1
0 12 2
0
6,7 0
80,0 13,3
Perlakuan terhadap bangkai unggasDibakar Dikubur Dijual Ditukar dengan jasa Dimanfaatkan untuk pakan ternak Dibuang
0 0 0 0 0
15
0 0 0 0 0
100
Perlakuan terhadap bangkai unggas seluruhnya dengan cara dibuang
100%. Menurut Hanson (2002), bangkai unggas hendaknya ditempatkan dalam
tempat khusus untuk kemudian dibakar. Pada aspek ini terlihat seluruh
pedagang belum menerapkan kesejahteraaan hewan.
Limbah
Aspek limbah yang dilihat meliputi penanganan kotoran unggas,
pembuangan limbah cair dan pembuangan limbah padat. Umumnya
penanganan terhadap kotoran unggas dengan cara dikumpulkan di tempat
terbuka. Untuk pembuangan limbah cair seluruhnya dialirkan ke selokan umum,
sedangkan pembuangan limbah padat sebagian besar dibuang pada tempat
sampah umum. Distribusi karakteristik aspek limbah dapat dilihat pada Tabel 14. Sebagian besar penangan limbah unggas berupa kotoran unggas
dilakukan pedagang dengan cara dikumpulkan di tempat terbuka 86,7%.
Menurut Soejoedono et al. (2005), kotoran hewan yang tidak ditangani dengan
baik akan menjadi sumber penularan penyakit. Terlihat pada aspek ini seluruh
pedagang belum menerapkan kesejahteraan hewan.
26
Penanganan limbah cair umumnya dilakukan seluruh pedagang dengan
cara mengalirkan ke selokan umum. Intensitas pengambilan sampah dan limbah
(kotoran unggas) dilakukan pada periode tertentu secara teratur karena dapat
mengundang lalat atau insekta lain serta tumpukan sampah dapat menjadi
sumber pencemaran penyakit (Jeffrey 1997). Untuk aspek ini terlihat seluruh
pedagang belum menerapkan kesejahteraan hewan.
Tabel 14 Distribusi karakteristik aspek limbah pada TPUH di Kota Bogor
Karakteristik Jumlah Pedagang %
Penanganan kotoran unggasDikumpulkan dalam karung/tempat tertutup untuk dibuat kompos Dikumpulkan dalam karung/tempat tertutup untuk dijual Dikumpulkan dalam karung/tempat tertutup untuk dibakar Dikumpulkan di tempat terbuka Dibiarkan
1 0 0
13 1
6,7 0 0
86,6 6,7
Pembuangan limbah cair Dialirkan ke selokan khusus Dialirkan ke selokan umum Diolah baru dialirkan
0
15 0
0
100 0
Pembuangan limbah padat Dibuang pada tempat khusus untuk dijadikan kompos Dibuang pada tempat khusus untuk diambil petugas Dibuang pada tempat sampah umum Dibuang ke sungai/selokan Dibiarkan
0 0
14 1 0
0 0
93,3 6,7 0
Penanganan limbah padat dilakukan sebagian besar pedagang dengan
cara membuang pada tempat sampah umum 93,3%. Hasil ikutan dapat
dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi manusia, bahan baku makanan temak
dan ikan. Penanganan hasil ikutan dilakukan sesuai dengan sasaran
pemanfaatannya yaitu terhadap darah apabila akan dimanfaatkan untuk
keperluan konsumsi manusia, bahan baku makanan temak dan ikan, maka harus
ditampung pada tempat yang disediakan khusus untuk itu. Terhadap bulu, tulang,
dan kuku apabila akan dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan ternak dan
ikan harus ditempatkan pada tempat penampungan sementara sebelum diangkat
ke luar Rumah Pemotongan Unggas dan atau Tempat Pemotongan Unggas.
Hasil ikutan yang tidak dimanfaatkan merupakan limbah. Penanganan limbah
dilakukan sesuai dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) yang telah
disetujui (Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 306/KPTS/TN. 330/4/1994).
Terlihat pada aspek ini umumnya pedagang belum menerapkan kesejahteraan
hewan.
27
Aspek Penyembelihan
Aspek penyembelihan yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi
personal, peralatan dan proses.
Personal
Karakteristik aspek personal yang diamati dalam penelitian ini meliputi
pelaku penyembelihan, adanya pelatihan khusus terhadap petugas
penyembelihan dan kepemilikan sertifikat penyembelihan dari majelis ulama
Indonesia (MUI). Seluruh penyembelihan unggas dilakukan oleh pedagang
sendiri. Petugas penyembelihan ini seluruhnya tidak memperoleh pelatihan
khusus dan tidak memiliki sertifikat penyembelih dari MUI. Distribusi karakteristik
Aspek personal pemotongan unggas dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Distribusi karakteristik aspek personal pada TPUH di Kota Bogor
Karakteristik Jumlah
Pedagang %
Pelaku penyembelihan unggas Petugas khusus Dilakukan sendiri
0
15
0
100 Pelatihan khusus petugas penyembelih
Ya Tidak
0
15
0
100 Kepemilikan sertikat penyembelih dari MUI
Ya Tidak
0
15
0
100
Pemotongan/penyembelihan unggas adalah kegiatan untuk menghasilkan
daging unggas yang terdiri dan pemeriksaan ante mortem, penyembelihan,
penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post mortem (Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 306/KPTS/TN. 330/4/1994). Dari Tabel 15 dapat
terlihat sebagian besar pelaku penyembelihan unggas oleh pedang sendiri
93.3%. Pemotongan unggas harus dilakukan di rumah pemotongan unggas atau
tempat pemotongan unggas kecuali untuk keperluan keluarga, upacara adat dan
keagamaan. Petugas pemotongan unggas dan penanganan daging unggas
harus sehat khususnya tidak mempunyai luka, tidak berpenyakit kulit, dan bebas
dan penyakit menular yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter yang
diperbaharui setiap tahun, memelihara kebersihan badan dan tidak merokok
selama melakukan tugas, memelihara higiene tempat bekerja dan mencegah
28
adanya kontaminasi terhadap daging, karkas unggas dan atau bagian-bagian
daging unggas lainnya yang bermanfaat. Selain petugas pemotongan unggas
dan penanganan daging unggas tidak seorangpun diperkenankan berada di
dalam ruang pemotongan unggas dan penanganan daging unggas tanpa seijin
Kepala Rumah Pemotongan Unggas atau Tempat Pemotongan Unggas (Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 306/KPTS/TN. 330/4/1994). Pada aspek ini
pedagang seluruh pedagang belum menerapkan kesejahteraan hewan.
Secara umum tidak terdapat pelatihan khusus untuk petugas penyembelih.
Pelatihan mutlak diperlukan untuk petugas penyembelih unggas, hal ini
dimaksudkan untuk menjamin produk yang dihasilkan aman, sehat, utuh dan
halal (Anonim 2009b). Untuk aspek ini seluruh pedagang belum menerapkan
kesejahteraan hewan.
Petugas penyembelih sebagian besar tidak memiliki sertifikat
penyembelihan dari MUI 93,3%. Kepemilikan akan sertifikat dari MUI ini sangat
dianjurkan untuk memastikan petugas penyembelih melakukan kegiatan
penyembelihan dengan baik dan benar juga memberikan rasa aman terhadap
konsumen dalam mengkonsumsi produk unggas tersebut (Anonim 2009b).
Terlihat pada aspek ini sebagian besar pedagang belum menerapkan
kesejahteraan hewan.
Peralatan
Karakteristik peralatan yang dilihat dalam penelitian ini yaitu ketajaman,
jumlah dan kebersihan pisau yang digunakan dalam penyembelihan. Seluruh
petugas penyembelih menjaga ketajaman pisau, sebagian besar memperhatikan
kecukupan jumlah dan kebersihan pisau pemotong. Distribusi karakteristik aspek
peralatan yang digunakan dalam penyembelihan unggas ditampilkan pada Tabel
16.
Seluruh petugas penyembelih memperhatikan ketajaman pisau pemotong.
Ketajaman pisau pemotong harus selalu diperhatikan untuk mencegah rasa sakit
yang timbul pada unggas saat pemotongan dan untuk mempermudah bagian-
bagian dari unggas yang harus terpotong pada saat penyembelihan (Anonim
2009c). Terlihat pada aspek ini seluruh pedagang sudah menerapkan
kesejahteraan hewan.
Sebagian besar petugas penyembelih yang memperhatikan kecukupan
jumlah pisau pemotong 86,7%. Kecukupan jumlah pisau merupakan hal yang
29
perlu diperhatikan, hal ini dikarenakan untuk mendapatkan hasil penyembelihan
yang baik (Anonim 2009b). Untuk aspek ini terlihat sebagian besar pedagang
sudah menerapkan kesejahteraan hewan
Tabel 16 Distribusi karakteristik aspek peralatan pada TPUH di Kota Bogor
Karakteristik Jumlah Pedagang %
Ketajaman pisau Ya Tidak
15 0
100 0
Kecukupan jumlah pisau Ya Tidak
13 2
86,7 13,3
Kebersihan pisau Ya Tidak
14 1
93,3 6,7
Petugas penyembelih yang memperhatikan kebersihan pisau pemotong
sejumlah 93,3%. Kebersihan pisau pemotong harus diperhatikan, hal ini
dikarenakan untuk mencegah timbulnya agen penyakit (Anonim 2009c). Terlihat
pada aspek ini umumnya pedagang sudah menerapkan kesejahteraan hewan.
Proses
Karakteristik proses yang diamati meliputi proses pemingsanan, proses
pengeluaran darah, penanganan proses pengeluaran darah dan lama
pengeluaran darah. Seluruh unggas yang dipotong tidak dilakukan proses
pemingsanan, sebagian besar dilakukan proses pengeluaran darah. Umumnya
penanganan proses pengeluaran darah dengan cara dimasukkan ke dalam
tong/bak khusus. Lama waktu pengeluara darah umumnya lebuh dari 8 detik.
Distribusi karakteristik aspek proses secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 17. Seluruh unggas yang disembelih tidak dilakukan pemingsanan.
Penyembelihan dapat dilakukan dengan pemingsanan atau tanpa pemingsanan
terlebih dahulu. Apabila unggas sebelum disembelih dipingsankan terlebih
dahulu maka pemingsanannya dilakukan sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 306/KPTS/TN.
330/4/1994). Pemingsanan yang dianjurkan adalah dengan menggunakan
pemingsanan elektrik dengan arus 150 mA (Wotton et al. 1999). Pada aspek ini
seluruh pedagang belum menerapkan kesejahteraan hewan.
Petugas penyembelih yang melakukan proses pengeluaran darah sejumlah
93,3%. Proses pengeluaran darah mutlak diperlukan untuk mendapatkan
30
kualitas karkas yang baik (Anonim 2009c). Terlihat pada aspek ini umumnya
sebagian besar pedagang sudah menerapkan kesejahteraan hewan.
Tabel 17 Distribusi karakteristik aspek proses pada TPUH di Kota Bogor
Karakteristik Jumlah Pedagang %
Proses pemingsanan Ya Tidak
0
15
0
100 Proses pengeluaran darah
Ya Tidak
14 1
93,3 6,7
Penanganan proses pengeluaran darah Dibiarkan di atas lantai Dimasukkan ke dalam corong khusus Dimasukkan ke dalam tong/bak khusus
1 0
14
6,7 0
93,3 Lama waktu pengeluaran darah (detik)
< 4 4-8 > 8
1 0
14
6.7 0
93,3
Penanganan proses pengeluaran darah dengan cara dimasukkan ke dalam
tong/bak khusus 93,3%. Darah merupakan media yang baik untuk timbulnya
agen penyakit (Anonim 2009c). Terlihat pada aspek ini sebagian besar
pedagang sudah menerapkan kesejahteraan hewan.
Sebagian besar petugas penyembelih melakukan penanganan proses
pengeluaran darah dengan cara memasukkan ke dalam tong/ bak khusus 93,3%.
Penanganan proses pengeluaran darah harus segera dilakukan karena darah
merupakan media yang baik untuk timbulnya agen penyakit (Anonim 2009c).
Terlihat pada aspek ini sebagian besar pedagang sudah menerapkan
kesejahteraan hewan.
Jangka waktu pengeluaran darah yang dilakukan petugas umumnya
adalah 4-8 detik 53,3%. Lama waktu pengeluaran darah menentukan kualitas
karkas yang dihasilkan (Anonim 2009c). Terlihat pada aspek ini sebagian besar
pedagang sudah menerapkan kesejahteraan hewan.
Pengaruh Kesejahteraan Hewan terhadap Kualitas Daging Peningkatan kualitas daging penting untuk dilakukan. Penurunan tingkat
rasa sakit berkaitan dengan peningkatan kualitas daging (Warriss 1984).
Perlakuan yang kasar dalam penanganan pemotongan hewan akan
menyebabkan stres pada hewan dan menghasilkan kualitas daging yang rendah.
Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk
31
mempertahankan standar yang berkualitas karena kesejahteraan hewan
merupakan bagian dari kualitas daging (Grandin 2001).
Untuk mengurangi stres saat pemotongan hewan diperlukan penanganan
hewan yang baik sebelum dan saat pemotongan, menghindari tersiksanya
hewan dari risiko perlakuan kasar dan mengistirahatkan hewan sebelum
disembelih. Daging yang baik dapat diperoleh melalui proses pemotongan yang
baik. Syarat untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik adalah (1) hewan
harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) hewan harus tidak mengalami stres,
(3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna
mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal dan (5) cara pemotongan harus
higienis, ekonomis, aman bagi para pekerja rumah pemotongan hewan (RPH)
(Swatland et al. 1984). Kunci utama pemotongan yang baik terletak pada
penanganan hewan sebelum pemotongan.
Penanganan pemotongan hewan yang manusiawi menjadi hal yang sangat
penting karena dapat mengurangi penderitaan hewan, tetapi juga dapat
meningkatkan kualitas dan nilai daging serta produk sampingan daging lainnya,
sehingga menjamin keamanan pangan dan berpengaruh terhadap pendapatan
negara. Namun pada kenyataannya banyak negara berkembang belum optimal
melakukan pengembangan dan pelaksanaan aturan-aturan penanganan hewan
yang manusiawi. Hal tersebut berakibat pada kondisi dan perlakuan yang kasar
pada saat penanganan hewan sehingga menyebabkan penderitaan pada hewan
(Chambers dan Grandin 2001). Pada saat pemotongan, hewan harus berada
pada kondisi sehat dan memiliki psikologi yang normal (Chambers dan Grandin
2001).
Stres dapat mempengaruhi kualitas daging yaitu melalui mekanisme laju
glikolisis anaerob yang berlangsung lebih cepat sehingga laju penurunan pH
postmortem akan lebih cepat. Hal tersebut berdampak pada daya ikat air,
sehingga banyak cairan dari daging yang dilepas akibatnya kualitas daging yang
dihasilkan menurun (Fatimah 2008).
Proses pengendalian hewan sebelum pemotongan yang tidak benar akan
menimbulkan rontaan pada hewan sehingga hewan akan mengalami memar
akibat terbanting ke lantai (Meischke dan Horder 1976). Penanganan hewan
sebelum pemotongan juga berkaitan dengan kesempurnaan proses pengeluaran
darah. Pengeluaran darah yang tidak sempurna akan menyebabkan darah
tertahan di jaringan. Darah yang terakumulasi di jaringan akibat pengeluaran
32
darah postmortem yang tidak sempurna akan menyebabkan masa simpan
daging yang pendek, warna daging yang kusam, dan cemaran bakteri daging
(Chrystall et al. 1981; Warriss 1984; Lambooy 1981; Weise et al. 1982). Menurut
Warris (1984), akumulasi darah akibat penanganan yang tidak benar berada di
ruang toraks, ruang abdominal, hati dan jantung.
Perbaikan Kondisi Kesejahteraan Hewan Penjualan unggas hidup pada tempat penjualan unggas hidup (TPUH)
menyebabkan masalah-masalah seperti; masalah kesejahteraan hewan dalam
jual beli ungggas dan kurangnya pemahaman mengenai kesejahteraan hewan
(lima kebebasan) dalam masyarakat (penjual dan pembeli unggas hidup).
Pemerintah diharapkan membuat dan menerapkan peraturan-peraturan
mengenai kesejahteraan hewan sebagai standar dalam perdagangan unggas
hidup di TPUH. Produsen (peternak dan breeder) hendaknya menerapkan
kesejahteraan hewan dalam mata rantai produksi unggas serta untuk konsumen
diharapkan lebih memahami pentingnya produk asal unggas yang dihasilkan
dengan konsep penerapan kesejahteraan hewan yang baik (Mudiarta 2007).
Perbaikan kondisi kesejahteraan hewan ini membutuhkan kerja sama
antara pemerintah dan masyarakat perunggasan (produsen dan konsumen)
melalui sistem komunikasi, informasi dan edukasi. Diharapkan dari hal ini dapat
dihasilkan suatu sistem penerapan kesejahteraan hewan yang baik, sehingga
produk asal unggas aman, sehat, utuh dan halal untuk dikonsumsi oleh
konsumen.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1 Penerapan aspek kesejahteraan hewan pada pengangkutan yang sudah
dilaksanakan dengan baik antara lain waktu pengiriman unggas,
pembersihan mobil secara teratur, penggunaan keranjang untuk membawa
unggas, bahan keranjang, kepadatan unggas dalam keranjang, jumlah
tumpukan keranjang dan pembersihan keranjang.
2 Penerapan aspek kesejahteraan hewan pada aspek penampungan yang
sudah diterapkan dengan baik antara lain penggunaan kandang postal,
kepadatan dalam kandang, pemberiaan pakan dan minum, ketersediaan
ventilasi, ketersediaan pencahayaan, pembersihan rutin terhadap kandang
penampungan dan penggantian alas kandang (litter).
3 Penerapan aspek kesejahteraan hewan pada aspek penyembelihan yang
sudah dilakukan dengan baik antara lain pedagang menjaga ketajaman,
kecukupan jumlah dan kebersihan pisau pemotong, proses pengeluaran
darah, penampungan darah dan lama waktu pengeluaran darah.
Saran 1 Untuk aspek pengangkutan kendaraan perlu dilakukan pembenahan
terhadap jenis kendaraan, model bak pengangkutan dan cara membawa
unggas.
2 Untuk aspek penampungan perlu dilakukan pembenahan terhadap bahan
yang digunakan untuk atap kandang, bahan dinding kandang, bahan lantai
kandang, pemberiaan vitamin, perlakuan terhadap unggas yang sakit,
petugas pemeriksa, perlakuan terhadap bangkai unggas, penanganan
kotoran unggas, pemeriksaan kesehatan,limbah cair dan limbah padat.
3 Untuk aspek penyembelihan limbah perlu dilakukan pembenahan terhadap
petugas pemotong, pelatihan khusus untuk petugas pemotong, kepemilikan
sertifikat penyembelih dari MUI dan proses pemingsanan.
4 Perlunya pembinaan dan pengawasan dalam penerapan aspek
kesejahteraan hewan oleh Dinas Agribisnis Kota Bogor.
34
5 Perlunya komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) terhadap pedagang dan
konsumen yang dilakukan oleh Dinas Agribisnis Kota Bogor dan pemangku
kepentingan lain.
6 Pemerintah Kota Bogor perlu melakukan relokasi terhadap tempat penjualan
unggas yang dapat berpengaruh langsung terhadap penerapan aspek
kesejahteraan hewan guna menghasilkan sistem perunggasan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Albright JL. 1997. Animal Welfare Issues, A Critical Analysis. http://www.nal.usda.gov/awic/pubs 97 issues [7 Januari 2009]
Anggorodi. 1985. Kebutuhan Nutrisi Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya. [Anonim]. 1984. Kebutuhan Air pada Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya.
[Anonim]. 2006a. Statistik Peternakan 2006 (Livestock Statistic 2006). Directorate General of Livestock. Department of Agriculture-Republic of Indonesia.
[Anonim]. 2006b. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. www.wikipedia.org [10 Agustus 2008]
[Anonim]. 2009a. Penangkapan dan Pengangkutan Unggas Hidup.
www.legalitas.org [23 Januari 2009] [Anonim]. 2009b. Unggas dan Pemanfaatannya. www.legalitas.org [23 Januari
2009] [Anonim]. 2009c. Tehnik Pemotongan Ternak Unggas. wordpress.com. [23
Januari 2009] Berry J. 2003. Pride in the poultry farm. Oklahoma cooperative Extension Fact
Sheet F-8210. http://www.osuextra.com [6 Februari 2009]. Blecha F. 2000. Immune System Response to Stress. Di dalam: Moberg GP
dan Mench JA, editor. The Biology of Animal Stress. Wallungford Oxon:CAB International. Hlm: 111-112.
Carlyle, W.W.H. 1997. Effect of time between farm loading and processing in
carcass quality of broiler chickens. Vet Rec 141, 364.
Chambers PG, Grandin T. 2001. Petunjuk untuk Penanganan, Pengiriman dan Pemotongan Hewan yang Manusiawi. Marjaya W, penerjemah; Heins G, Srisovan T, editor. Denpasar: Yudisthira. Terjemahan dari: Guidelines for Humane Handling, Transport, and Slaughter of Livestock.
Cheeke, PR. 2004. Contemporary Issues in Animal Agriculture. New Jersey :
Pearson Education, Inc.
Chrystall BB, Devine CE, Newton KG. 1981. Residual blood in lamb muscle. Meat Sci 5:339-45.
36
Cook CJ, Mellor DJ, Harris PJ, Ingram JR, Matthews LR. 2000. Hands-on and hands-off Measurement of Stress. Di dalam: Moberg GP and Mench Ja editor. The Biology of Animal Stress. Wallungford Oxon: CAB International. Hlm: 123-146.
Dallas S. 2006. Animal Biology and Care. Edisi kedua. Oxford: Blackwell
Science. Damron WS. 2003. Introduction to Animal Science. New Jersey: pearson
Education. Hlm: 739-757. Duncan IJH, Fraser D. 1997. Understanding Animal welfare. Di dalam: Appleby
MC, Hughes BO. Animal welfare. Wallingford: CABI. Hlm: 19-32. Ekesbo I. 1992. Monitoring System Using Clinical, Subclinical and Behavioural
Records for Improving Health and Welfare. Di dalam: Moss R, editor. Livestock Health and Welfare. Essex: Longmann. Hlm: 20-50
Fatimah, E. 2008. Kualitas Daging Sapi yang Dipotong Menggunakan Restraining Box: Drip Loss dan Cooking Loss [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Fraser D. 2003. Assessing Animal welfare at The Farm and Group Level:The
Interplay of Science and Values. UFAW ani Welfare J;12: 433-443. Grandin T. 2001. Antemortem Handling and Welfare. Di dalam: Hui YH, editor
Meat Science and Application. New York: Marcel Dekker. Gregory NG. 1998. Animal Welfare and Meat Sciance. Wallingford: CABI
Publishing. Hall SGJ. 2004. Livestock Biodiversity. Oxford: Blackwell Science. Hoxey, R.P et al. 1996. An investigation of the aerodynamic and ventilation
characteristis of poultry transport vehicles. Part I. J Agric Eng Res; 65: 77-83.
Hutomo, P. 2008. Kandang Unggas untuk Mencegah Penularan Penyakit.
Jakarta. Sinar Tani Jeffrey JS. 1997. Biosecurity for poultry flocks. Poultry Fact Sheet No 26.
file://localhost/F:/Folder%20TinPus/BIOSECURITY%20FOR%20POULTRY%20FLOCKS.htm [8 Februari 2009].
Jones RB. 1997. Fear and Distress. Di dalam: Appleby MC, Hughes BO. Animal
Welfare. Wallingford: CABI. Hlm: 75-87. Lay DCJr. 2000. Concequences of Stress During Development. Di dalam:
Moberg GP dan Mench JA, editor. The Biology of Animal Stress. Wallungford Oxon: CAB International. Hlm: 249-267.
Magnen, L. 1985. The State of Animal. www.legalitas.org [6 Februari 2009]
37
Martono. 1996. Beternak Broiler dengan Sukses. Jakarta: Penebar Swadaya. Mc Swane D. et al. 2000. Essentials of Food Safety and Sanitation. Upper
Saddle River. Prentice Hall.
Meischke HRC, Horder JC. 1976. A knocking box effect on bruising cattle. J Food Technol Aust 18:369-71.
Moberg, GP. 2000. Biological Response to Stress : Implication for Anmal Welfare. Wallungford Oxon : CAB International. Hlm: 1-21.
Moss R. 1992. Definition of Health and Welfare. Di dalam Moss r, editor.
Livestock Health and Welfare. Essex: Longman. Hlm: 1-19 Mudiarta, I Wayan. 2008. Dampak Penjualan Unggas Hidup di Pasar
Tradisional Terhadap Kesejahteraan Hewan, Kesehatan masyarakat dan Lingkungan. Bali: Yayasan Yudhisthira
Murtidjo. 1987. Unggas dan Pemeliharaannya. Jakarta: Penebar Swadaya. Phillips, CJC. 2002. Animal Behavior and Welfare. Oxford : Blackwell Science. [RSCPA] Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animal. 1999. Wefare
Standards for Chickens. Freedom Food Limited, RSPCA, Causeway, UK. Santhia, K. 1984. Cara Memelihara Unggas yang Baik. Yogyakarta: Bintang
Press. [SCAHAW] Scientific Committee on Animal Health and Animal Welfare. 2000.
The Welfare of Chickens Kept for Meat Production (broilers). SANCO.B.3/AH//R15/2000. European Commission, Brussels.
Sidadolog. 1999. Penyusunan Ransum Broiler. Yogyakarta: Bintang Press. Siegel, MS. 2006. Flu Burung Serangan Wabah Ganas dan Perlindungan
Terhadapnya. Bandung : Kaifa. Smith TW. 2001. Sanitation: Cleaning and disinfektans.
http://www.msstate.edu/dept/poultry/sanitation. [6 Februari 2009]. Soejoedono. 2005. Virus burung dari unggas terbukti bisa menular ke manusia.
Jangan panik, tetapi tetap waspada. Jakarta: Perpustakaan nasional. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 306/KPTS/TN. 330/4/1994 tentang
Pemotongan unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya.
Swatland HJ, Brogna RJ, Lutte GH. 1984. Electrical activity in the cerebral hemispheres of electrically stunned pigs. J Anim Sci 58.
Tannenbaum, J. 1991. Ethics and animal Welfare : The Inextricable Connection
J of Am Vet Med Aso.
38
Tim AI FKH IPB. 2006. Kajian terhadap Karakter Virus Avian Influenza (AI) pada Unggas Air sebagai Dasar Pengendalian Penyakit AI. Laporan Akhir Penelitian kerjasama Departemen Pertanian dan FKH IPB.
UU No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan: Jakarta, 8 Juli 1967.
Warriss PD. 1984. Exsanguination of animals at slaughter and the residual blood content of meat. Vet Rec 115:202-205.
Wolfle TL. 2000. Understanding the Role of stress I Animal Welfare: Practical
Considerations. Di dalam; Moberg GP dan Mench JA, editor. The Biology of Animal Stress. Wallungford Oxon: CAB International. Hlm: 355-368.
Wotton, S.B. and Wilkins, L.J. 1999. Effect of very low pulsed direct currents at
high frequency on the return of neck tension in broilers. Vet Rec 145, 393-396.
[WSPA] World Society for the Protection Animals. 1997. Welfare Assessment
and Five Freedoms. Bristol: Bristol University.
LAMPIRAN
40
Lampiran 1 Kuesioner yang digunakan
KUESIONER PENERAPAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN
PADA PEDAGANG DI TEMPAT PENJUALAN UNGGAS DI KOTA BOGOR
Tanggal : GPS Kode : Nama Pasar : Lat : ID Pasar : Long : Nama Pedagang : Alamat Pasar : Jalan : Kelurahan : Kecamatan :
I. Karateristik Usaha 1.1 Jenis unggas yang dijual :
Jenis ∑ yang dijual per hari
Urutan Jumlah Penjualan
Bentuk yang Dijual Unggas Hidup Karkas
Ayam Kampung Broiler Layer Afkir Bebek
Entok
Puyuh Lainnya,
sebutkan……………
1.2 Pengalaman melakukan usaha :
1. Kurang dari 1 tahun 2. 1-3 tahun 3. > 3-5 tahun 4. Lebih dari 5 tahun
1.3 Jenis pemasok yang memasok unggas : 1. Pemasok tetap 2. Pemasok tidak tetap (berubah-ubah)
41
II. Pengangkutan 2.1 Kendaraan 2.1.1 Transportasi yang biasa digunakan untuk membawa unggas ke lokasi usaha
: (jawaban boleh dari satu) 1. Truk khusus 2. Mobil 3. Motor 4. Sepeda 5. Lain-lain, sebutkan…………………………………………………………
2.1.2 Jika memakai truk khusus atau mobil, bagaimana model bak kendaraan pengangkut unggas : 1. Tertutup 2. Terbuka
2.1.3 Siapa pemilik kendaraan untuk membawa unggas ke lokasi usaha: 1. Milik sendiri 2. Jasa penyewaan
2.1.4 Jika menggunakan sepeda motor atau sepeda, bagaimana cara membawa unggas ke lokasi usaha : 1. Ditempatkan dalam keranjang 2. Tanpa keranjang, digantung dengan posisi kepala ke bawah 3. Lain-lain, sebutkan………………………………………………. 4.
2.2 Keranjang 2.2.1 Apakah menggunakan keranjang saat pengangkutan unggas:
1. Ya 2. Tidak
2.2.2 Bahan keranjang yang digunakan : 1. Plastik 2. Kayu 3. Rotan 4. Lain-lain, sebutkan……………………………………………..
2.3 Kepadatan 2.3.1 Berapa rata-rata jumlah unggas perkeranjang:……………… ekor 2.3.2 Berapa buah jumlah keranjang di dalam truk/mobil:…………………… buah 2.3.3 Jika memakai truk khusus atau mobil, berapa rata-rata jumlah tumpukan
keranjang di dalam truk/mobil:…………..tumpuk 2.3.4 Berapa jumlah minimum tumpukan keranjang di dalam
mobil/truk…………..tumpuk 2.3.5 Berapa jumlah maksimum tumpukan keranjang di dalam
truk/mobil……………tumpuk
42
Dicuci
2.4 Waktu 2.4.1 Kapan waktu biasa unggas dikirim oleh pemasok :
1. Pagi 2. Siang 3. Sore 4. Malam 5. Tidak tentu
2.5 Pembersihan 2.5.1 Jika menggunakan truk/mobil pengangkut, bagaimana cara pembersihan
keranjang pengangkut : 1. Disiram air : 1. Ya 2. Tidak 2. Dicuci dengan sabun/deterjen : 1. Ya 2. Tidak 3. Desinfektan : 1. Ya 2. Tidak
2.5.2 Apakah dilakukan pembersihan secara teratur terhadap truk pengangkut : 1. Ya 2. Tidak
2.5.3 Bagaimana cara membersihkan truk pengangkut : 1 Disapu : 1. Ya 2. Tidak 2 : 1. Ya 2. Tidak 3 Desinfektan : 1. Ya 2. Tidak
2.5.4 Apakah dilakukan pembersihan terhadap keranjang pengangkut : 1. Ya 2. Tidak
III. Penampungan 1.1 Kandang 3.1.1 Jenis kandang yang digunakan untuk penampungan :
1. Kandang Panggung 2. Kandang Postal 3. Tetap di keranjang pengangkut Jika unggas diletakkan di dalam
kandang, 3.1.2 Terbuat dari jenis apa bahan dinding kandang tersebut :
1. Kayu 2. Rotan 3. Plastik 4. Lain-lain, sebutkan…………………………………
3.1.3 Sebutkan bahan yang digunakan untuk lantai kandang : 1. Kayu 2. Bambu 3. Rotan 4. Beton 5. Lain-lain, sebutkan…………………………………
43
3.1.4 Sebutkan bahan yang digunakan untuk atap kandang : 1. Plastik 2. Seng 3. Genteng 4. Rumbia 5. Lain-lain, sebutkan………………………………….
3.1.5 Apakah di dalam kandang tersedia ventilasi yang cukup : 1. Ya 2. Tidak
3.1.6 Apakah di dalam kandang tersedia pencahayaan : 1. Ya 2. Tidak
3.2 Kepadatan 3.2.1 Berapa luas kandang penampungan……………m² (P =………..m,
L=…………….m) 3.2.2 Berapa rata-rata jumlah unggas di dalam kandang penampungan
:…………………/ekor 3.3 Pakan, Minum, Vitamin dan Obat 3.3.1 Apakah selama di penampungan unggas diberikan makan:
1. Ya 2. Tidak
3.3.2 Apakah selama di penampungan unggas diberikan minum : 1. Ya 2. Tidak
3.3.3 Apakah selama di penampungan unggas diberikan vitamin : 1. Ya 2. Tidak
3.3.4 Apakah selama di penampungan unggas diberikan obat cacing : 1. Ya 2. Tidak
3.3.5 Selama berada di penampungan, apakah dilakukan pengobatan tarhadap unggas yang sakit : 1. Ya 2. Tidak
3.4 Pembersihan 3.4.1 Apakah dilakukan pembersihan rutin terhadap kandang penampungan
1. Ya 2. Tidak
3.4.2 Bagaimana cara membersihkan kandang penampungan : 1. Disapu : 1. Ya 2. Tidak 2. Dicuci : 1. Ya 2. Tidak 3. Desinfektan : 1. Ya 2. Tidak
3.4.3 Untuk model postal (lantai), apakah dilakukan penggantian alas kandang/litter secara teratur : 1. Ya 2. Tidak
44
3.5 Pemeriksaan Kesehatan 3.5.1 Apakah dilakukan pemeriksaan kesehatan terhadap unggas di kandang
penampungan : 1. Ya 2. Tidak
3.5.2 Siapa yang melakukan pemeriksaan kesehatan hewan : 1. Petugas dinas 2. Petugas khusus (dokter hewan/paramedis) 3. Dilakukan sendiri
3.6 Penanganan Unggas Sakit dan Mati 3.6.1 Apa yang dilakukan dengan unggas yang sakit :
1. Dipisahkan dan diobati hingga sembuh kemudian dijual 2. Dipisahkan dalam kandang/tempat khusus terpisah dengan unggas
sehat 3. Dijual 4. Dipotong 5. Dibiarkan tetap dikandang tanpa perlakuan 6. Lain-lain, sebutkan…………………
3.6.2 Apa yang dilakukan terhadap bangkai unggas : 1. Dibakar 2. Dikubur 3. Dijual 4. Ditukar dengan jasa 5. Dimanfaatkan untuk pakan ternak 6. Dibuang 7. Lain-lain, sebutkan…………..
3.7 Penanganan Limbah 3.7.1 Bagaimana penanganan kotoran unggas :
1. Dikumpulkan dalam karung/ tempat tertutup untuk dibuat kompos 2. Dikumpulkan dalam karung/ tempat tertutup untuk dijual 3. Dikumpulkan dalam karung/ tempat tertutup untuk dibakar 4. Dikumpulkan di tempat terbuka 5. Dibiarkan 6. Lain-lain, sebutkan………….
3.7.2 Bagaimana pembuangan limbah cair : 1. Dialirkan di selokan khusus 2. Dialirkan di selokan umum 3. Diolah baru dialirkan 4. Lain-lain, sebutkan………….
3.7.3 Bagaimana pembuangan limbah padat (bulu, limbah jeroan dan lain-lain) 1. Dibuang pada tempat khusus untuk dijadikan kompos 2. Dibuang pada tempat khusus untuk diambil petugas 3. Dibuang pada tempat sampah umum 4. Dibuang di sungai/selokan 5. Dibiarkan 6. Lain-lain, sebutkan………….
45
IV. Penyembelihan 4.1 Petugas 4.1.1 Siapa yang melakukan pemotongan unggas:
1. Petugas khusus 2. Dilakukan sendiri 3. Lain-lain, sebutkan………..
4.1.2 Adakah pelatihan khusus untuk petugas penyembelihan unggas : 1. Ya 2. TidaK
4.1.3 Apakah petugas pemotong unggas memiliki sertifikat penyembelih dari MUI: 1. Ya 2. Tidak
4.2 Alat 4.2.1 Apakah ketajaman pisau pemotong selalu dijaga :
1. Ya 2. Tidak
4.2.2 Apakah jumlah pisau pemotong mencukupi : 1. Ya 2. Tidak
4.2.3 Apakah kebersihan pisau pemotong selalu dijaga : 1. Ya 2 Tidak
4.3 Pemingsanan 4.3.1 Apakah dilakukan pemingsanan pada unggas :
1. Ya 2. Tidak
4.3.2 Jika ya, Bagaimana cara pemingsanan unggas : 1. Disetrum 2. Dipukul 3. lain-lain, sebutkan: …………………………………
4.4 Pengeluaran Darah 4.4.1 Apakah ada proses pengeluaran darah pada setiap unggas yang dipotong:
1. Ya 2. Tidak
4.4.2 Bagaimana proses pengeluaran darah yang dilakukan 1. Dibiarkan di atas lantai 2. Dimasukkan ke dalam corong khusus 3. Dimasukkan ke dalam tong/bak khusus 4. Lain-lain, sebutkan……………………………………
4.4.3 Berapa lama waktu pengeluaran darah……………………detik
46
Lampiran 2 Foto tempat penjualan unggas Aspek Pengangkutan
Gambar Tumpukan keranjang unggas Gambar Keranjang pengangkut Unggas dari bahan plastik
Gambar Truk pengangkut unggas dengan Gambar Unggas yang dibawa dengan bak terbuka sepeda motor
Aspek Penampungan
Gambar Kandang penampungan unggas Gambar Unggas di dalam keranjang
47
Gambar Unggas di kandang Gambar Unggas yang berdesakan penampungan dalam kandang penampungan
Gambar Tempat pakan dan minum Gambar Sungai yang digunakan untuk
pembuangan limbah unggas
Gambar Dinding kandang dari bahan kayu
48
Aspek Penyembelihan
dipotong
Gambar Alat pemotong unggas
Gambar Proses pengeluaran darah Gambar Proses unggas yang akan
Gambar Proses penyembelihan unggas Gambar Tempat penampungan darah