HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/60803/BAB...
Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/60803/BAB...
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Cijeruk merupakan salah satu kecamatan yang berada di
Kabupaten Bogor. Terdapat sembilan desa di Kecamatan Cijeruk, yaitu Desa
Palasari, Sukaharja, Tajur Halang, Tanjung Sari, Cipicung, Cipelang, Cibalung,
Cijeruk, dan Warung Menteng. Sarana kesehatan yang terdapat di Kecamatan
Cijeruk antara lain rumah bersalin, puskesmas, puskesmas pembantu, praktek
dokter, dukun khitan atau sunat, dukun bayi, dan pelayanan Keluarga Berencana
serta posyandu. Sarana kesehatan yang paling berperan penting adalah
posyandu. Posyandu dilakukan satu kali dalam satu bulan. Jumlah posyandu
yang terdapat di setiap desa berbeda dan tergantung dari jumlah penduduk yang
ada di desa tersebut.
SDN Cipicung 01 adalah sekolah dengan akreditasi B dan sudah berdiri
sejak tahun 1948. Sekolah Dasar Negeri Cipicung 01 terletak di Kecamatan
Cijeruk Kabupaten Bogor. SDN Cipicung 01 dipimpin oleh kepala sekolah yang
bergelar Sarjana Pendidikan. Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan SDN
Cipicung 01 berjumlah delapan orang, terdiri dari satu kepala sekolah, enam
guru yang masing-masing bertanggung jawab terhadap satu kelas atau disebut
juga sebagai wali kelas, guru agama, dan satu orang guru olah raga yang
merangkap wali kelas. Sebagian besar ijazah tertinggi dari pendidik dan tenaga
kependidikan antara lain Strata 1 (S1) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Sarana dan prasarana sekolah terdiri dari ruang kelas, ruang
perpustakaan, ruang pimpinan, ruang guru, ruang UKS, dan toilet. Ruang kelas
berjumlah enam kelas dengan kapasitas maksimum 40 orang. Ruang
perpustakaan terdiri dari buku teks pelajaran, buku panduan pendidik, buku
pengayaan, buku referensi , dan sumber belajar lain. Ruang UKS terdiri dari
peralatan P3K, termometer badan, dan timbangan badan.
Waktu belajar siswa dimulai sejak jam 07.15 WIB sampai 12.00 WIB
untuk kelas tiga sampai kelas enam. Kelas satu dan kelas dua dari jam 07.15
WIB sampai 10.00 WIB. Fasilitas yang dimiliki terdiri dari lima ruang kelas, satu
ruang guru sekaligus ruang kepala sekolah, satu lapangan olahraga sekaligus
tempat parkir, satu perpustakaan dan gudang, dan satu toilet guru. Kegiatan
ektrakurikuler antara lain terdiri dari pramuka. Biaya SPP untuk siswa diperoleh
dari dana BOS.
38
Program kesehatan yang dilakukan setiap tahun oleh puskesmas Cijeruk
terhadap siswa SDN Cipicung 01 diantaranya adalah pemberian obat cacing,
penjaringan kesehatan anak sekolah, bulan imunisasi anak sekolah (BIAS), dan
kegiatan pengukuran tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS).
Pemberian obat cacing dilakukan terhadap siswa kelas satu dan enam. Jenis
obat cacing yang diberikan terhadap siswa kelas satu dan enam adalah
albendazole. Kegiatan penjaringan kesehatan anak sekolah dilakukan setiap
bulan agustus dan november. Kegiatan bulan imunisasi anak sekolah (BIAS)
dilakukan pada bulan agustus untuk imunisasi campak dan bulan november
untuk imunisasi DT/TT. Kegiatan pengukuran tinggi badan anak baru masuk
sekolah (TBABS) dilakukan setiap lima tahun sekali. Selain itu, tidak jarang SDN
Cipicung 01 mendapatkan donatur yang memberikan vitamin atau suplemen
gratis kepada siswa.
Karakteristik Contoh
Jenis Kelamin
Anak usia sekolah yang digunakan sebagai contoh dalam penelitian ini
adalah semua murid kelas 3 sampai 5 di SD Negeri Cipicung 01 Kecamatan
Cijeruk Kabupaten Bogor. Contoh terdiri dari siswa maupun siswi. Siswa sekolah
dasar di Indonesia mempunyai proporsi jumlah lebih banyak daripada siswi.
Berdasarkan BPS RI (2012), jumlah laki-laki anak usia sekolah (51.5%) lebih
banyak daripada jumlah wanita anak usia sekolah (48.5%). Berikut Tabel 5
mengenai sebaran contoh menurut jenis kelamin di SD Negeri 01 Cipicung.
Tabel 5 Sebaran contoh menurut jenis kelamin
Jenis kelamin n %
Perempuan 59 52.2 Laki-laki 54 47.8
Total 113 100.0
Berdasarkan Tabel 5 di atas diketahui bahwa jumlah contoh siswi di SD
Negeri 01 Cipicung lebih banyak daripada contoh siswa. Contoh perempuan
berjumlah 59 (52.2%) dan jumlah contoh laki-laki adalah 54 (47.8%). Hal yang
sama terjadi pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Umardhani (2011)
terhadap anak sekolah dasar di Bogor, menyatakan bahwa jumlah siswi sekolah
dasar lebih banyak daripada jumlah siswanya. Adapun berdasarkan data
Kemendiknas (2010), jumlah siswa SD (51.8%) lebih banyak daripada siswi SD
(48.2%).
39
Usia
Menurut Kemendiknas (2010), pada umumnya usia anak sekolah dasar
adalah berkisar antara 7-12 tahun. Total jumlah contoh yang menjadi contoh
penelitian ini adalah 113 orang dengan rincian 38 contoh kelas 3, 38 contoh
kelas 4, dan 37 contoh kelas 5. Berikut ini merupakan sebaran contoh menurut
umur pada contoh.
Tabel 6 Sebaran contoh menurut usia (tahun)
Usia (tahun) n %
8 1 0,9 9 22 19,5
10 27 23,9 11 31 27,4 12 26 23,0 13 6 5,3
Total 113 100,0
Rata-rata ± SD (tahun) 10.7 ± 1.2
Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa usia contoh pada
penelitian ini berkisar antara 8 sampai 13 tahun. Menurut Syarief (1997) diacu
dalam Thiana (2008) periode usia sekolah merupakan bagian dari tahapan
dalam siklus hidup manusia yang sangat menentukan kualitas sumber daya
manusia (SDM). Anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat
baik secara kognitif, motorik, dan emosional pada periode ini. Sebagian besar
usia contoh adalah 11 tahun (27.4%) dan lainnya menyebar pada kisaran usia 8
tahun (0.9%), 9 tahun (19.5%), 10 tahun (23.9%), 12 tahun (23.0%), dan 13
tahun (5.3%). Rata-rata usia contoh pada penelitian ini adalah (10.7 ± 1.2) tahun.
Uang Saku
Setiap anak sekolah biasanya dibekali uang saku oleh orang tuanya
sebagai uang untuk pegangan anak selama di sekolah. Uang saku tersebut
umumnya digunakan anak sekolah untuk membeli jajanan sekolah baik berupa
makanan maupun non makanan atau mainan. Uang saku di dalam penelitian ini
adalah uang yang benar-benar dipergunakan oleh contoh untuk jajan makanan
dan minuman baik di sekolah maupun di rumah selama satu hari dan tidak
termasuk hal lain seperti transportasi atau tabungan. Penelitian yang dilakukan
oleh Madanijah et. al. (2010) menunjukkan bahwa 46% siswa sekolah dasar di
Kabupaten Bogor mengalokasikan uang saku yang diberikan oleh orang tuanya
untuk membeli jajan. Berdasarkan sebaran uang saku contoh, maka uang saku
dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah (<3000), sedang
40
(3000-5000), dan tinggi (≥ 5000) (Sugiyono 2011). Sebaran contoh menurut
besarnya uang saku dijabarkan pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7 Sebaran contoh menurut besarnya uang saku
Uang Saku (Rp) n %
<3000 52 46 3000-5000 47 42 >5000 14 12
Total 113 100
Rata-rata ± SD (Rp) 2854 ± 1256.6
Sebaran contoh menurut besarnya uang saku dapat diketahui bahwa
persentase tertinggi berada pada kisaran nominal <Rp 3000, yaitu 46%. Adapun
persentase sebaran uang saku contoh pada kisaran Rp 3000-Rp 5000 adalah
42% dan sebanyak 12% contoh memiliki uang saku ≥Rp 5000. Rata-rata
persentase uang saku contoh adalah Rp 2854 ± 1256.6. Hasil tersebut sedikit
lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Stevanie (2011) yang
dilakukan di salah satu sekolah dasar di Kota Bogor, yaitu rata-rata besar uang
jajan siswa laki-laki maupun perempuan di sekolah dasar tersebut adalah
sebesar Rp 3.404,00 ± 1838,0 dan sebagian besar siswa (52%) memiliki besar
uang saku sebesar <Rp 3.000,00. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan
oleh perbedaan sosioekonomi keluarga contoh antara Kota dan Kabupaten
Bogor.
Karakteristik Keluarga Contoh
Usia Orang Tua
Umur orang tua menentukan besarnya pengalaman keluarga dan anak
dalam mengonsumsi makanan termasuk kebiasaan jajannya. Seseorang yang
mempunyai umur lebih dewasa relatif lebih stabil emosinya dibandingkan dengan
orang yang lebih muda. Hal itu disebabkan tingkatan umur dapat mempengaruhi
cara berpikir serta bertindak dan emosi seseorang (Hurlock 1998). Pada
penelitian ini usia orang tua contoh dibagi menjadi tiga kategori, yaitu usia
dewasa muda (20-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir
atau usia lanjut (>60 tahun) (Ghozaly 2011).
Usia yang semakin tinggi menunjukkan adanya peningkatan angka
harapan hidup. Sebaran contoh menurut usia ayah tertingi, yaitu golongan dewsa
madya (41-60 tahun) dengan persentase sebesar 51.3% sedangkan untuk
sebaran contoh menurut usia ibu tertinggi adalah golongan dewasa muda (20-40
tahun), yaitu sebesar 59.3%. Berdasarkan Tabel 8 juga dapat diketahui bahwa
41
sebagian besar usia orang tua contoh berada pada usia produktif (20-60 tahun).
Selain itu, terdapat contoh yang sudah tidak memiliki ayah atau menjadi yatim
sebesar 8.0 % dan contoh yang sudah tidak memiliki ibu atau menjadi piatu
sebesar 2.7%. Berikut ini merupakan sebaran contoh menurut usia orang tua.
Tabel 8 Sebaran contoh menurut usia orang tua
Usia n (113) % (100)
Usia Ayah Dewasa muda 35 31.0 Dewasa madya 58 51.3 Dewasa akhir 11 9.7 Almarhum 9 8.0
Usia Ibu Dewasa muda 67 59.3% Dewasa madya 40 35.4% Dewasa akhir 3 2.7% Almarhumah 3 2.7%
Pendidikan Orang Tua
Salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi
keluarga adalah pendidikan orang tua terutama ibu. Pendidikan ibu adalah faktor
yang sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah dalam menerima pesan dan
informasi gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Pendidikan juga
diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial seseorang dan
keluarganya. Tingkat pendidikan orang tua yang diukur pada penelitian ini adalah
tingkat pendidikan ayah dan ibu contoh yang diperoleh dari hasil wawancara
dengan instrumen kuesioner. Tingkat pendidikan orang tua dibedakan menjadi
tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, SD/sederajat, SMP/sederajat,
SMA/sederajat, Diploma/sederajat, Sarjana, dan Pascasarjana.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh sebaran contoh untuk
pendidikan akhir orang tua contoh memiliki persentase tertinggi pada pendidikan
sekolah dasar (SD) baik untuk pendidikan ayah (63.8%) maupun pendidikan ibu
(67.3%). Hasil penelitian ini berbeda dengan rata-rata pendidikan penduduk
Jawa barat, yaitu tingkat menengah pertama. Berdasarkan data BPS RI (2012)
rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas Propinsi Jawa Barat
pada tahun 2010 adalah laki-laki 8.4 tahun dan perempuan 7.6 tahun atau setara
dengan sekolah menengah pertama. Hasil penelitian Stevanie (2011) yang
dilakukan di salah satu sekolah dasar di Kota Bogor menunjukkan bahwa
sebagian besar persentase pendidikan ibu siswa adalah pada tingkat SD (36%).
Hasil Riskedas 2010 menunjukkan bahwa masih ada seorang ibu siswa yang
42
tidak bersekolah (Depkes RI 2011).Berikut ini disajikan Tabel 9 sebaran contoh
menurut pendidikan orang tua.
Tabel 9 Sebaran contoh menurut pendidikan orang tua
Pendidikan n (113) % (100)
Pendidikan Ayah [1] Tidak Pernah Sekolah 6 5.3 [2] Tidak Tamat SD 13 11.5 [3] SD/sederajat 72 63.8 [4] SMP/sederajat 14 12.4 [5] SMA/sederajat 3 2.7 [6] Diploma/Akademi 0 0.0 [7] Sarjana 5 4.4 [8] Pascasarjana/S2/S3 0 0.0
Pendidikan Ibu [1] Tidak Pernah Sekolah 7 6.2 [2] Tidak Tamat SD 20 17.7 [3] SD/sederajat 76 67.3 [4] SMP/sederajat 8 7.1 [5] SMA/sederajat 1 0.9 [6] Diploma/Akademi 0 0.0 [7] Sarjana 1 0.9 [8] Pascasarjana/S2/S3 0 0.0
Pekerjaan Orang Tua
Pendidikan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar untuk
mendapatkan pekerjaan yang baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang
diperoleh maka kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik juga
semakin besar sehingga akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh
oleh seseorang. Rendahnya pendapatan dan rendahnya daya beli tidak
memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makan dan cara-cara tertentu yang
menghalangi perbaikan gizi yang efektif, terutama untuk anak-anak (Suhardjo
1988). Pekerjaan ayah contoh dibedakan menjadi tidak bekerja, petani,
pedagang, pegawai negeri sipil (PNS), supir, pegawai swasta, dan lainnya.
Adapun pekeraan ibu contoh dibedakan menjadi ibu rumah tangga, petani,
pedagang, pegawai negeri sipil (PNS), bibi cuci, pegawai swasta, dan lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pekerjaan orang tua contoh
beragam baik ayah maupun ibu. Persentase sebaran pekerjaan ayah tertinggi
pada pilihan lainnya (44.3%), yaitu dengan rincian buruh, penjahit, wirausaha,
penjaga vila, pensiunan, dan tukang parkir. Adapun sebaran pekerjaan ibu
adalah sebagian besar sebagai ibu rumah tangga (72.6%). Hasil penelitian
tersebut sejalan dengan hasil penelitian Arrofi (2011) pada anak di beberapa
sekolah dasar di Bogor, menyatakan bahwa sebagian besar pekerjaan ibu
43
contoh adalah ibu rumah tangga. Berikut merupakan Tabel 10 sebaran contoh
menurut pekerjaan orang tua.
Tabel 10 Sebaran contoh menurut pekerjaan orang tua
Pekerjaan n (113) % (100)
Pekerjaan Ayah [1] Tidak Bekerja 1 0.9 [2] Petani 11 9.7 [3] Pedagang 35 31.0 [4] PNS 3 2.7 [5] Supir 5 4.4 [6] Pegawai Swasta 8 7.1 [7] Lainnya 50 44.3
Pekerjaan Ibu [1] Ibu Rumah Tangga 82 72.6 [2] Petani 3 2.7 [3] Pedagang 7 6.2 [4] PNS 3 2.7 [5] Bibi Cuci 3 2.7 [6] Pegawai Swasta 3 2.7 [7] Lainnya 12 10.7
Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas
makanan yang dikonsumsi (Suhardjo 1989). Pendapatan per kapita contoh
diindikasikan menjadi tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga yang
dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu miskin apabila pendapatan perkapita
<1GK, hampir miskin apabila pendapatan perkapita antara 1GK-2GK, dan
menengah atas apabila pendapatan perkapita >2GK (Puspitawati 2010). Garis
kemiskinan Propinsi Jawa Barat di daerah pedesaan yang ditetapkan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) Jabar 2012 yaitu Rp. 231.438/kap/bulan. Berikut ini
merupakan Tabel 11 sebaran contoh menurut pendapatan.
Tabel 11 Sebaran keluarga contoh menurut pendapatan per kapita
Pendapatan per Kapita n (113) % (100)
[1] Miskin < Rp 231.438 64 56.6% [2] Hampir miskin = Rp 231.438- Rp 462.876 31 27.4% [3] Menengah atas > Rp 462.876 18 15.9%
Rata-rata ± SD Rp 313.813 ± Rp 162.854
Pendapatan per kapita contoh diindikasikan menjadi tingkat
kesejahteraan ekonomi keluarga yang dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu
miskin, hampir miskin apabila, dan menengah atas. Sebagian besar keluarga
contoh (56.6%) memiliki pendapatan per kapita yang tergolong miskin dan
sisanya memiliki pendapatan per kapita yang tergolong hampir miskin (27.4%)
dan tergolong menengah atas (15.9%). Berdasarkan data BPS (2012) diketahui
44
bahwa rata-rata pengeluaran per kapita di Propinsi Jawa Barat tahun 2011
sebesar Rp 608.708. Data pengeluaran tersebut dapat dijadikan estimasi untuk
memperoleh pendapatan per kapita sehingga dapat dikatakan rata-rata
pendapatan per kapita pada penelitian ini (Rp 313.813 ± Rp 162.854) masih di
bawah rata-rata pendapatan per kapita Propinsi Jawa Barat (Rp 608.708).
Besar Keluarga
Menurut Sediaoetama (2006), pengaturan pengeluaran untuk pangan
sehari-hari akan lebih sulit apabila jumlah anggota keluarga banyak. Hal ini
menyebabkan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi anggota keluarga
tidak mencukupi kebutuhan. Besar keluarga berdasarkan jumlah anggota
keluarga dikategorikan menjadi tiga, yaitu kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang),
dan besar (>7 orang) (Hurlock 2004). Jumlah anggota yang diperhitungkan
adalah anggota keluarga yang tinggal satu atap. Berikut ini disajikan Tabel 12
sebaran contoh menurut besar keluarga.
Tabel 12 Sebaran contoh menurut jumlah anggota keluarga
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa besar keluarga contoh
tersebar ke dalam tiga golongan besar keluarga. Persentase tertinggi untuk
besar keluarga contoh adalah pada kategori besar, yaitu 66.4% dengan jumlah
anggota keluarga lebih dari 6 orang. Hal tersebut diduga karena pelaksanaan
program keluarga berencana pada sebagian besar keluarga contoh masih
kurang dan juga berkaitan dengan kebiasaan masyarakat sekitar dan masih
terdapat ibu contoh yang berpendapat semakin banyak keturunan semakin
banyak rejekinya. Adapun sisanya menyebar pada kategori sedang dengan
jumlah anggota keluarga 4-6 orang (31%) dan pada kategori kecil dengan jumlah
anggota keluarga kurang dari sama dengan 4 orang. Menurut Suhardjo (1989)
jumlah anggota keluarga mempunyai andil dalam permasalahan gizi. Keluarga
yang memiliki anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan berusaha
membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak
sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Besar keluarga
akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga. Hal ini disebabkan
Besar Keluarga n %
Kecil (< 4 orang) 3 2.7
Sedang (5-6 orang) 35 31.0
Besar (> 6 orang) 75 66.4
Total 113 100.0%
45
oleh besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi di dalam satu
keluarga.
Pengetahuan Gizi Ibu Contoh
Pengetahuan gizi pada ibu contoh dilakukan dengan memberikan 25 butir
soal pilihan ganda. Skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah.
Semakin tinggi skor pengetahuan gizi ibu maka semakin baik pengetahuan gizi
ibu. Berikut disajikan sebaran contoh yang menjawab pertanyaan dengan benar.
Tabel 13 Sebaran ibu contoh yang menjawab pertanyaan dengan benar
Pertanyaan n %
1. Pengertian makanan 46 40.7
2. Makna dari makanan yang dibutuhkan oleh tubuh 102 90.3
3. Contoh zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh 86 76.1
4. Zat gizi yang berfungsi sebagai zat tenaga 45 39.8
5. Zat gizi yang berfungsi sebagai zat pembangun 50 44.2
6. Zat gizi yang berfungsi sebagai zat pengatur 39 34.5
7. Kandungan zat gizi pada mentega dan minyak 81 71.7
8. Pangan sumber protein hewani 85 75.2
9. Manfaat konsumsi garam beryodium 86 76.1
10. Akibat kekurangan vitamin A 53 46.9
11. Zat gizi pendukung pertumbuhan anak 13 11.5
12. Kebiasaan sarapan yang baik 94 83.2
13. Jumlah konsumsi air putih 62 54.9
14. Pengertian makanan jajanan 47 41.6
15. Hal positif dari makanan jajanan 77 68.1
16. Hal negatif dari makanan jajanan 45 39.8
17. Makanan jajanan sumber energi 90 79.6
18. Makanan jajanan sumber protein 91 80.5
19. Ciri makanan jajanan yang baik 89 78.8
20. Lingkungan penjual makanan jajanan 47 41.6
21. Penyebab keracunan makanan jajanan 99 87.6
22. Ciri produk makanan yang baik 52 46.0
23. Bungkus aneka gorengan yang aman 38 33.6
24. Akibat makan dan minum yang tidak bersih 99 87.6
25. Zat yang boleh digunakan sebagai zat tambahan 92 81.4
Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukkan
kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang
dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper et al. 1985).
Penyelenggaraan makanan dalam rumah tangga sehari-hari pada umumnya
dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi dan berkesadaran
gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan yang sehat sedini mungkin
46
kepada semua putra-putrinya. Ibu merupakan guru pertama bagi anak. Oleh
karena itu, ibu harus mengajarkan pola makan yang beragam dan seimbang
sejak dini. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang maka akan semakin
memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsinya (Khomsan
dkk 2009).
Selain sebaran pertanyaan, dapat juga diketahui sebaran kategori
pengetahuan gizi ibu berdasarkan 25 pertanyaan yang diajukan. Terdapat tiga
kategori untuk penilaian tingkat pengetahuan gizi, yaitu kategori kurang, sedang,
dan baik. Contoh yang mendapatkan total skor <60% dikategorikan kurang.
Apabila contoh mendapatkan total skor antara 60 sampai 80% maka termasuk
kategori sedang dan apabila contoh mendapatkan total skor >80% maka
termasuk kategori baik (Khomsan 2000). Berikut ini merupakan Tabel 14 sebaran
contoh menurut kategori pengetahuan gizi ibu.
Tabel 14 Sebaran contoh menurut kategori pengetahuan gizi ibu
Kategori n %
Kurang (<60%) 50 44.2
Sedang (60-80%) 55 48.7
Baik (>80%) 8 7.1
Total 113 100.0
Rata-rata ± SD (%) 60 ± 15
Pengetahuan gizi ibu contoh berada pada ketiga kategori, yaitu kurang,
sedang, dan baik. Sebanyak 48.7% ibu contoh memiliki pengetahuan gizi dengan
kategori sedang dan sebanyak 44.2% ibu contoh memiliki pengetahuan gizi
kategori kurang. Adapun ibu contoh yang memiliki pengetahuan gizi baik dengan
kategori baik adalah sebanyak 7.1%. Sebaran pengetahuan gizi contoh yang
beragam tersebut diduga karena adanya perbedaan informasi yang diperoleh
masing-masing ibu contoh tentang gizi dan juga perbedaan lingkungan sekitar
yang mendukung sehingga tingkat pengetahuan gizi yang dimiliki masih terbatas.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Khomsan dkk. (2006)
yang menyatakan bahwa rata-rata pengetahuan gizi ibu di Kabupaten Bogor
masih tergolong sedang sehingga perlu peningkatan.
Konsumsi Pangan
Jenis Sarapan
Hidangan saat sarapan pagi sebaiknya terdiri dari makanan sumber zat
tenaga, sumber zat pembangun, dan sumber zat pengatur dalam jumlah yang
47
seimbang (Depkes 1995). Pemecahan atau pembakaran karbohidrat akan
berlangsung terlebih dahulu sampai empat jam pertama, kemudian protein dan
terakhir adalah lemak. Vitamin dan mineral akan membantu proses metabolisme
tersebut. Jadi sarapan harus merupakan kombinasi yang baik diantara zat gizi
yang di dalam makanan (Khomsan 2005). Berikut ini Tabel 15 mengenai sebaran
jenis sarapan contoh.
Tabel 15 Sebaran contoh menurut jenis sarapan
Jenis Sarapan n %
Nasi dan lauk pauk 84 74.3 Mi 11 9.7 Roti 10 8.8 Lainnya 8 7.1
Total 113 100
Berdasarkan Tabel 15 diketahui jenis sarapan yang biasa dikonsumsi
oleh contoh. Sebagian besar jenis sarapan yang biasa dikonsumsi contoh adalah
makanan pokok,yaitu nasi dan lauk-pauk (74.3%) dan sisanya menyebar pada mi
(9.7%), roti (8.8%), dan lainnya (7.1%). Jenis lainnya tersebut antara lain nasi
goreng, pisang goreng, singkong, dan bubur. Hasil penelitian ini sesuai dengan
hasil penelitian Harahap et al. (1998) yang menunjukkan bahwa jenis hidangan
yang biasa dikonsumsi untuk sarapan pagi oleh anak sekolah pada umumnya
terbatas pada makanan pokok saja dan jenis hidangan lainnya adalah makanan
jajanan. Makanan seperti pisang goreng, singkong, atau ubi terkadang
dikonsumsi sebagai pengganti sarapan pagi. Secara kuantitas sarapan harus
dapat memenuhi kecukupan setiap individu serta memenuhi syarat gizi
seimbang. Hal ini karena setiap jenis zat gizi tersebut mempunyai waktu
metabolisme yang berbeda-beda (Khomsan 2005).
Kebiasaan Sarapan
Menurut Khomsan (2005), sarapan adalah suatu kegiatan makan yang
penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada pagi hari. Kebiasaan penting
tersebut yang sering kali diabaikan oleh para orang tua padahal sarapan
bermanfaat dalam pemenuhan zat gizi anak selama belajar di sekolah. Sarapan
yang rutin dilakukan akan memberikan kontribusi tenaga di pagi hari dan
mencegah konsumsi yang berlebihan pada waktu makan siang. Kebiasaan
sarapan pada penelitian ini dikategorikan menjadi tidak pernah (0 kali sehari),
jarang (1-3 kali sehari), kadang-kadang (4-6 kali sehari), dan selalu (>7 kali
48
sehari). Berikut ini merupakan Tabel 16 sebaran contoh menurut kebiasaan
sarapan contoh.
Tabel 16 Sebaran contoh menurut kebiasaan sarapan
Kebiasaan Sarapan n %
Tidak Pernah 1 0.9 Jarang 7 6.2 Kadang-Kadang 54 47.8 Selalu 51 45.1
Total 113 100.0
Berdasarkan Tabel 16 diatas dapat diketahui sebaran contoh menurut
frekuensi kebiasaan sarapan yang dikategorikan antara lain tidak pernah, jarang,
kadang-kadang, dan selalu. Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan kadang-
kadang sarapan, yaitu sebesar 47.8%. Adapun sisanya menyebar pada selalu
sarapan (45.1%), jarang sarapan (6.2%), dan tidak pernah sarapan (0.9%).
Menurut Khomsan (2005) bahwa membiasakan sarapan pada anak-anak
memang tidak mudah.
Terdapat contoh yang menyatakan tidak pernah sarapan. Hal tersebut
bukan berarti selama ini contoh tidak pernah sarapan melainkan contoh sudah
terbiasa tidak melakukan sarapan. Masih banyaknya contoh yang menyatakan
kadang-kadang dan jarang sarapan kemungkinan disebabkan contoh bangun
kesiangan sehingga tidak sempat untuk sarapan dan harus segera berangkat ke
sekolah yang lokasinya lumayan jauh dari tempat tinggal. Sebagian besar contoh
berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, dengan jarak yang cukup jauh.
Penyebab lainnya adalah terdapat beberapa contoh yang tidak memiliki ayah
dan yang bekerja adalah ibu. Ibu contoh harus berangkat bekerja sejak pagi
sehingga tidak sempat menyiapkan sarapan. Selain itu, ketidaktahuan ibu akan
manfaat sarapan bagi anak juga dapat menjadi salah satu penyebabnya.
(Depkes 1996).
Tempat sarapan
Sarapan merupakan kegiatan yang sangat penting dilakukan setiap hari.
Melewatkan makan pagi atau sarapan menyebabkan tubuh kekurangan glukosa
sehingga tubuh lemah karena tidak adanya suplai energi sebagai modal awal
aktifitas pada pagi hari. Sarapan menjadi modal bagi produktifitas seseorang
termasuk anak sekolah yang berguna untuk menjaga konsentrasi belajar.
sarapan bagi anak sekolah dapat dilakukan di rumah atau membawanya ke
sekolah. Berikut adalah sebaran tempat sarapan yang biasa dilakukan contoh.
49
Tabel 17 Sebaran contoh menurut tempat sarapan
Tempat Sarapan n %
Rumah 112 99.1 Sekolah 0 Rumah dan sekolah 1 0.9
Total 113 100
Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa sarapan yang biasa dilakukan
contoh pada penelitian ini antara lain rumah, sekolah, atau keduanya. Sebagian
besar contoh biasa melakukan sarapan di rumah (99.1%) dan sisanya
melakukan sarapan di rumah dan sekolah (0.9%). Kegiatan sarapan di rumah
mempunyai kelebihan anatara lain sarapan contoh dapat diawasi oleh keluarga
dan dapat membimbing contoh untuk menghabiskan sarapannya dan juga
sarapan tersebut dapat dikontrol higienitas dan sanitasinya karena ibu atau
keluarga contoh sendiri yang membuatnya. Tidak sarapan pagi menyebabkan
kekosongan lambung selama 10-11 jam karena mungkin makanan terakhir yang
masuk ke dalam tubuh adalah makan malam yang berkisar antara pukul 18.00-
20.00. Sarapan pagi akan menyumbangkan gizi sekitar 25% kebutuhan gizi ideal
(Khomsan 2005). Selain itu hampir semua contoh menyatakan bahwa kebiasaan
sarapan dilakukan pada rentang pukul 06.30-07.00 WIB.
Orang yang Membuatkan Sarapan
Sarapan pagi kadang-kadang merupakan kegiatan yang tidak
menggairahkan karena nafsu makan belum ada atau waktu yang terbatas.
Peranan orang tua terutama ibu dalam pembentukan kebiasaan makan pagi
pada anak sangat menentukan, karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan
makanan rumah tangga. Sumber atau orang yang menyediakan sarapan yang
biasa dilakukan contoh pada penelitian ini beragam sebagaimana dijabarkan
pada Tabel 18 berikut ini.
Tabel 18 Sebaran contoh menurut sumber sarapan
Sumber Sarapan n %
Ibu/Ayah 94 83.2 Membeli 19 16.8 Lainnya 0 0
Total 113 100
Berdasarkan Tabel 18 diketahui sumber sarapan yang biasa dikonsumsi
oleh contoh. Sebagian besar contoh melakukan sarapan yang disediakan oleh
ibu dan atau ayah (83.2%) dan sisanya dengan cara membeli (6.8%). Hasil
penelitian ini sesuai dengan pernyataan Notoatmodjo (2005) bahwa pada
50
umumnya penyelenggaraan makanan dalam rumah tangga sehari-hari
dikoordinir oleh ibu. Namun, faktor kesibukan ibu, khususnya yang bekerja,
seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat menyediakan sarapan sehingga
penyediaannya dilakukan dengan membeli di warung. Sarapan yang biasa dibeli
antara lain roti, nasi uduk, dan bubur.
Kebiasaan Jajan
Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan. Kebiasaan
untuk jajan dapat ditemukan pada semua lapisan masyarakat pada berbagai
tingkat sosial ekonomi (Kusharto 1984 diacu dalam Rizki 2010). Kebiasaan jajan
pada penelitian ini dikategorikan menjadi tidak pernah (0 kali sehari), jarang (1-3
kali sehari), kadang-kadang (4-6 kali sehari), dan selalu (> 7 kali sehari). Berikut
ini akan disajikan Tabel 19 yang menyatakan kebiasaan jajan contoh.
Tabel 19 Sebaran contoh menurut kebiasaan jajan
Kebiasaan Jajan n %
Tidak Pernah 0 0.0 Jarang 3 2.7 Kadang-Kadang 7 6.2 Selalu 103 91.2
Total 113 100,0
Berdasarkan Tabel 19 diatas dapat diketahui sebaran contoh menurut
frekuensi kebiasaan jajan yang dikategorikan antara lain tidak pernah, jarang,
kadang-kadang, dan selalu. Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan selalu
jajan, yaitu sebesar 91.%. Adapun sisanya menyebar pada kadang-kadang
(6.2%) dan jarang jajan (2.7%). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian
Windyaningrum (2012) yang menyatakan bahwa separuh contoh (50%) dari total
keseluruhan yang ada menyatakan selalu jajan di sekolah.
Berdasarkan Gambar 2 diketahui alasan jajan contoh yang beragam.
Sebagian besar contoh memiliki alasan organoleptik baik rasa, warna, maupun
penampilan dari makanan jajanan (51%). Jenis jajanan yang biasa dibeli oleh
contoh adalah roti bakar, siomay, gorengan, es, permen, nugget goreng, kacang
sukro, makaroni, bakso, kwaci, dan cireng. Hasil tersebut juga sesuai dengan
hasil penelitian Paraendro (2012) di sekolah dasar di Kecamatan Cijeruk yang
menyatakan bahwa sebagian besar preferensi siswa sekolah dasar terhadap
makanan jajanan dipengaruhi oleh rasa. Alasan contoh untuk jajan yang
beragam tersebut dijabarkan pada Gambar 2 berikut ini:
51
Gambar 2 Sebaran contoh berdasarkan alasan jajan
Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
942/MENKES/SK/VII/2003, makanan jajanan adalah makanan dan minuman
yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan
sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa
boga, rumah makan atau restoran, dan hotel (Kemenkes 2003). Pangan jajanan
umumnya dijual untuk langsung dikonsumsi tanpa proses penanganan atau
pengolahan lebih lanjut. Tahapan akhir pengolahannya dilakukan di tempat
penjualan untuk beberapa pangan jajanan,
Peranan pangan jajanan di Indonesia sangat strategis dan mudah
dijumpai di lingkungan sekitar sekolah, serta pada umumnya rutin dikonsumsi
oleh sebagian besar anak usia sekolah. Hasil Survei Ekonomi Sosial Nasional
(SUSENAS) 2004 menunjukkan bahwa pengeluaran keluarga untuk pangan
jajanan di Indonesia mencapai 18.84% perkapita per minggu dari total makanan
dan minuman atau 10.36% dari total pengeluaran keluarga (BPS 2004).
Kontribusi pangan jajanan terhadap pemenuhan gizi juga dilaporkan cukup
penting, misalnya rata-rata kebutuhan energi dan protein murid SD dapat
terpenuhi olah pangan jajanan hingga sekitar 36% untuk energi dan 30% untuk
protein (Komalasari 1991).
Identifikasi frekuensi konsumsi makanan jajanan pada contoh dilakukan
dengan menanyakan beberapa jenis makanan jajanan yang sering dikonsumsi
dan ditambahkan opsi lainnya agar contoh dapat menyebutkan jenis makanan
jajanan lainnya yang tidak terdapat pada pertanyaan. Berdasarkan hasil survei
52
dan wawancara diperoleh sekitar 80 jenis makanan jajanan yang biasa
dikonsumsi contoh dalam kesehariannya dan kemudian dikelompokkan menjadi
sembilan kelompok makanan jajanan, yaitu makanan sepinggan, makanan
tradisional, produk ekstruksi, aneka gorengan, biskuit dan wafer, hasil olahan
daging dan ikan, aneka kue, minuman, dan buah dan olahannya (Umardhani
2010). Berdasarkan pengelompokkan tersebut kemudian diperoleh frekuensi
konsumsi kelompok makanan jajanan per minggu. Berikut ini disajikan Tabel 20
kesembilan kelompok makanan jajanan yang paling sering dikonsumsi contoh.
Tabel 20 Frekuensi konsumsi makanan jajanan
Kelompok Makanan Jajanan Waktu n % Rata-rata Frekuensi ± SD (kali)
[1] Makanan Sepinggan Mingguan 113 100% 6,6 ± 2,9 [2] Makanan Tradisional Mingguan 113 100% 14,2 ± 5,5 [3] Produk Ekstruksi Mingguan 113 100% 25,9 ± 11,9 [4] Aneka Gorengan Mingguan 113 100% 9,4 ± 4,5 [5] Biskuit dan Wafer Mingguan 113 100% 7,4 ± 3,4 [6] Hasil Olahan Daging dan Ikan Mingguan 113 100% 2,6 ± 2,6 [7] Aneka Kue Mingguan 113 100% 7,6 ± 3,8 [8] Minuman Mingguan 113 100% 25,4 ± 12,1 [9] Buah dan Olahannya Mingguan 113 100% 2,7 ± 2,1
Berdasarkan Tabel 20 di atas diketahui bahwa frekuensi makanan jajanan
yang paling sering dikonsumsi adalah kelompok produk ekstruksi dengan rata-
rata frekuensi konsumsi 25.9 ± 11.9 kali/minggu. Hal ini diduga karena kelompok
produk ekstruksi memiliki pilihan rasa yang bervariasi dengan kemasan yang
variatif dan menarik. Selain itu, sebagian besar produk ekstruksi menggunakan
iklan atau promo yang lebih gencar sehingga contoh lebih tertarik. Hal tersebut
didukung oleh hasil penelitian Anschutz et al. (2009) yang menyatakan bahwa
anak-anak terutama anak laki-laki sangat menyukai makanan jajanan terutama
yang diiklankan melalui televisi. Adapun sebaran frekuensi konsumsi makanan
jajanan contoh untuk kelompok lainnya antara lain makanan sepinggan 6.6± 2.9
kali/minggu, makanan tradisional 14.2 ± 5.5 kali/minggu, aneka gorengan 9.4 ±
4.5 kali/minggu, biskuit dan wafer 7.4 ± 3.4 kali/minggu, hasil olahan daging dan
ikan 2.6 ± 2.6 kali/minggu, aneka kue 7.6 ± 11.9 kali/minggu ± 3.8 kali/minggu,
minuman 25.4 ± 12.1 kali/minggu, dan buah dan olahannya .7 ± 2.1 kali/minggu.
Tingginya frekuensi jajan tersebut kemungkinan disebabkan oleh kebiasaan
contoh untuk saling berbagi ketika mengonsumsi makanan jajanan yang
berbeda-beda sehingga dalam sehari contoh dapat merasakan berbagai jenis
makanan jajanan.
53
Kontribusi Makanan Jajanan terhadap AKG
Konsumsi makanan jajanan sebaiknya tidak dihilangkan dari konsumsi
harian karena memberikan sumbangan yang cukup berarti. Makanan jajanan
juga dapat dijadikan salah satu alternatif pemenuhan sumber zat gizi yang
kurang dari konsumsi hariannya. Kontribusi zat gizi makanan jajanan yang
dikonsumsi oleh contoh diperhitungkan. Hasil perhitungan dimaksudkan untuk
melihat banyaknya zat gizi yang dikonsumsi oleh contoh khususnya pada
makanan jajanan. Zat gizi yang dihitung kontribusinya adalah energi, protein,
kalsium, zat besi, vitamin A, dan vitamin C. Berikut ini disajikan Tabel 21
kontribusi zat gizi makanan jajanan contoh terhadap angka kecukupan zat gizi
contoh.
Tabel 21 Kontribusi makanan jajanan terhadap angka kecukupan zat gizi
Zat gizi Rataan konsumsi % kontribusi AKG
Energi 515 31 Protein 7.68 19 Kalsium 181.17 36 Besi 3.23 35 Vit. A 48.23 5 Vit. C 5.83 31
Berdasarkan Tabel 21 di atas dapat diketahui rata-rata kontribusi
konsumsi zat gizi makanan jajanan pada contoh. Kontribusi zat gizi tertinggi dari
makanan jajanan yaitu kalsium (36%). Hal tersebut disebabkan makanan jajanan
yang paling sering dikonsumsi oleh contoh adalah kelompok ekstruksi yang
mengandung banyak kalsium. Makanan jajanan yang banyak menyumbangkan
kalsium dalam satu porsinya antara lain Biskuat, dadar gulung, dan Susu Milkuat.
Selain itu, kontribusi zat gizi lainnya dari makanan jajanan terhadap angka
kecukupan gizi contoh antara lain energi (31%), protein (19%), zat besi (35%),
dan vitamin C (31%).
Kontribusi zat gizi terendah dari makanan jajanan adalah vitamin A (5%)
yang diduga disebabkan oleh kurangnya contoh dalam mengonsumsi makanan
jajanan yang terbuat dari pangan hewani. Hal ini diperkuat dengan frekuensi
makanan jajanan contoh selama seminggu. Kelompok makanan hasil daging
atau ikan merupakan kelompok makanan jajanan yang dikonsumsi dengan
frekuensi terendah dalam seminggu. Makanan jajanan yang banyak
menyumbangkan vitamin A antara lain makanan yang diolah dengan cara
digoreng dan berasal dari pangan hewani seperti nugget. Makanan yang berasal
54
dari pangan hewani jarang diberikan kepada anak-anak di daerah sosioekonomi
rendah (Jiang et al. 2008).
Makanan jajanan yang banyak mengandung energi antara lain mi, nasi
goreng, siomay, batagor, aneka gorengan, roti, biskuit, donat, dan aneka
minuman kemasan yang manis. Makanan jajanan yang banyak mengandung
protein antara lain bakso goreng, nugget, kacang dan aneka biskuit. Bakso, mi
goreng, roti, biskuit, kacang hijau dan keripik singkong merupakan makanan
jajanan yang banyak menyumbang zat besi. Biskuat, wafer, dan Chitato
merupakan makanan jajanan yang banyak menyumbang kalsium. Makanan
jajanan yang banyak mengandung vitamin C lebih banyak dari minuman
kemasan berbagai merek seperti Segar Sari, Frutamin, Ale-Ale, Nutrisari, dan
Oky Jeli. Makanan jajanan yang banyak menyumbangkan vitamin A antara lain
aneka gorengan, baso goreng, dan nugget.
Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Tingkat kecukupan zat gizi contoh adalah perbandingan antara konsumsi
zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG). AKG diacu dari
WNPG tahun 2004, mencakup zat gizi energi, protein, kalsium, zat besi,vitamin
A, dan Vitamin C. Rata-rata konsumsi zat gizi diperoleh dari recall 24 jam.
Identfikasi konsumsi atau asupan zat gizi contoh menggunakan metode recall 1x
24 jam. Metode Recall 24 jam merupakan suatu metode yang paling banyak
digunakan dalam survey konsumsi gizi. Hal ini disebabkan metode ini cukup
akurat, cepat pelaksanaannya, murah, mudah, dan tidak memerlukan peralatan
yang mahal dan rumit. Berikut ini disajikan Tabel 22 konsumsi dan tingkat
kecukupan energi dan zat gizi contoh.
Tabel 22 Rataan konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh
Variabel Energi Protein Ca Fe Vit A Vit C
Konsumsi 1165 30 504 9 995 19 Angka kecukupan 1683 41 659 13 481 50 Tingkat kecukupan (%) 71.69 75.74 78.82 72.08 207.87 38.22
Rata-rata konsumsi energi contoh adalah 1165 kkal dan berada dibawah
angka kecukupannya (1683 kkal). Rata-rata konsumsi energi contoh masih
berada di bawah rata-rata konsumsi energi siswa Sekolah Dasar Arjowinangun I
Pacitan, yaitu sebesar 1710 kkal/hari (Isdaryanri 2007). Sumber energi yang
sering dikonsumsi oleh contoh adalah nasi karena nasi merupakan pangan
pokok. Sumber energi lainnya yang sering dikonsumsi contoh adalah mi dan roti.
Kekurangan energi dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan
55
sehingga dapat menyebabkan penurunan konsentrasi belajar. Rata-rata
konsumsi energi contoh dibandingkan dengan rata-rata angka kecukupan energi
sehingga diperoleh rata-rata tingkat kecukupan energi, yaitu 71.69%. Rata-rata
tingkat kecukupan energi contoh berada dalam kategori defisit sedang, yaitu 70-
79% (Depkes 1996).
Rata-rata konsumsi protein contoh adalah 30 gram dan juga berada di
bawah angka kecukupannya (41 gram). Rata-rata konsumsi protein contoh masih
berada di bawah rata-rata konsumsi protein siswa Sekolah Dasar Arjowinangun I
Pacitan, yaitu sebesar 42.5 gram/hari (Isdaryanti 2007). Konsumsi protein yang
rendah berhubungan dengan penurunan densitas mineral tulang (Rapuri et al.
2003). Rendahnya rata-rata konsumsi protein contoh disebabkan contoh kurang
mengonsumsi pangan hewani yang merupakan sumper protein utama. Pangan
sumber protein utama terdapat pada pangan hewani seperti telur dan susu
(Gallagher 2004). Sumber protein yang sering dikonsumsi oleh contoh adalah
pangan nabati, yaitu tahu dan tempe. Rata-rata tingkat kecukupan protein contoh
adalah 75.74%. Rata-rata tingkat protein contoh berada dalam kategori defisit
tingkat sedang, yaitu 70-79% (Depkes 1996).
Rata-rata konsumsi zat gizi mikro masih berada di bawah angka
kecukupannnya kecuali vitamin A. Rata-rata konsumsi kalsium, zat besi, dan
vitamin C contoh masih berada di bawah rata-rata konsumsi kalsium, zat besi,
dan vitamin C siswi beberapa sekolah dasar di Bogor, yaitu masing-masing
1285.5 mg, 9.95 mg, dan 41.1 mg (Arrofi 2011). Konsumsi kalsium, zat besi, dan
vitamin C yang rendah disebabkan oleh rendahnya konsumsi pangan sumber
kalsium, zat besi, dan vitamin C seperti pangan hewani dan buah-buahan.
Tingkat kecukupan energi dan protein contoh dibedakan menjadi lima
kategori, yaitu defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit
tingkat ringan (80-89%), normal (90-119%) dan lebih (≥120%) (Depkes 1996).
Tingkat kecukupan energi dan protein contoh berbeda-beda tergantung pada
konsumsi pangan dan angka kecukupan gizi tiap individu.
Berdasarkan Tabel 23 diketahui bahwa sebagian besar contoh
mengalami defisit berat, baik energi (56.6%) maupun protein (47.8%). Hal ini
diduga disebabkan karena frekuensi makan contoh yang kurang dari tiga
kali/hari. Selain itu masih terdapat contoh yang jarang sarapan bahkan ada juga
yang terbiasa tidak sarapan. Saat wawancara juga terdapat contoh yang
menyatakan jarang makan siang. Contoh jarang sarapan dan makan siang
56
diduga disebabkan karena beberapa ibu contoh ada yang harus bekerja pada
pagi hari sehingga tidak sempat membuatkan sarapan dan makan siang untuk
anaknya. Selain itu, pada saat siang hari beberapa contoh merasa sudah
kelelahan setelah belajar di sekolah setengah hari sehingga langsung tidur siang
atau bahkan ada yang langsung main bersama teman sebaya untuk melepas
stres. Kadang-kadang anak malas makan di rumah, hal ini disebabkan akibat
stres atau sakit (Hidayat dan Alimul 2004). Konsumsi protein yang rendah
tersebut juga kemungkinan dapat disebabkan oleh kualitas asupan makan yang
masih kurang. Berikut ini disajikan Tabel 23 sebaran contoh menurut tingkat
kecukupan energi dan protein.
Tabel 23 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan energi dan protein
Kategori TKE TKP
n % n %
Defisit berat 64 56,6 54 47,8
Defisit sedang 11 9,7 16 14,2
Defisit ringan 9 8,0 13 11,5
Normal 20 17,7 17 15,0
Lebih 9 8,0 13 11,5
Total 113 100 113 100
Selain zat gizi makro, dilakukan penilaian juga terhadap zat gizi mikro,
antara lain kalsium, zat besi, vitamin A, dan vitamin C. Tingkat kecukupan zat gizi
mikro dihitung tanpa menggunakan koreksi berat badan. Perhitungan dilakukan
dengan langsung membandingkan konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan
gizi (AKG) berdasarkan WNPG VIII tahun 2004. Tingkat kecukupan vitamin dan
mineral <77% AKG tergolong kurang dan ≥ 77% tergolong cukup (Gibson 2005).
Berikut ini disajikan Tabel 24 tingkat kecukupan mineral dan vitamin.
Tabel 24 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan mineral dan vitamin
Kategori TK. Ca TK. Fe TK. Vit A TK. Vit C
n % n % n % n %
Kurang 93 82% 71 63% 13 12% 100 88%
Cukup 20 18% 42 37% 100 88% 13 12%
Total 113 100 113 100 113 100 113 100
Tingkat kecukupan zat gizi mikro sebagian besar contoh tergolong dalam
kategori kurang, kecuali tingkat kecukupan vitamin A. Rendahnya tingkat
kecukupan kalsium contoh disebabkan kurangnya contoh dalam mengonsumsi
pangan hewani yang merupakan sumber kalsium utama seperti susu. Contoh
juga kurang mengonsumsi pangan hewani lainnya yang juga merupakan sumber
zat besi dan kalsium, seperti ayam, daging sapi,dan telur. Salah satu akibat dari
defisiensi zat besi adalah anemia (iron deficiency anemia). Sekitar 43% anak
57
usia sekolah di negara berkembang menderita anemia defisiensi besi. Prevalensi
tersebut empat kali lebih besar apabila dibandingkan dengan prevalensi pada
negara berkembang. Tingginya prevalensi tersebut disebabkan oleh buruknya
kondisi sanitasi dan rendahnya kondisi sosioekonomi (Queiroz & Torres 2000).
Hal tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Windyaningrum (2012) yang
menyatakan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi pada anak sekolah di
sebuah sekolah dasar di Kecamatan Cijeruk adalah sebesar 96.3%.
Defisiensi zat gizi mikro lainnya juga ditemukan pada vitamin C.
Sebanyak 88% contoh mempunyai tingkat kecukupan vitamin C termasuk dalam
kategori kurang. Hal tersebut diduga karena contoh kurang mengonsumsi
pangan sumber vitamin C seperti buah-buahan. Status sosioekonomi merupakan
salah satu penentu terjadinya defisiensi vitamin C, karena diduga buah yang
merupakan sumber vitamin C tidak biasa dikonsumsi oleh kelompok
sosioekonomi rendah (Villalpando 2003). Berbeda dengan tingkat kecukupan
kalsium, zat besi, dan vitamin C yang mengalami defisit, sebagian besar contoh
mempunyai tingkat kecukupan vitamin A yang tergolong cukup. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh contoh sering mengonsumsi makanan yang
mengandung minyak, seperti gorengan dan pada sehari sebelum proses recall
contoh banyak yang mengonsumsi sayuran sumber vitamin A seperti kangkung,
bayam, wortel, dan sawi. Sayur-sayuran tersebut dan minyak mengandung
vitamin A yang cukup tinggi untuk setiap 100 gramnya, yaitu berturut-turut 945
RE, 914 RE, 1800 RE, 969 RE, dan 8000 RE (DKBM 2010).
Status Gizi Contoh
Status gizi contoh ditentukan dengan menggunakan indikator tinggi badan
berdasarkan usia (TB/U) dan indeks masa tubuh berdasarkan usia (IMT/U).
Sebaran status gizi contoh bervariasi pada kedua indikator yang digunakan.
Berdasarkan indikator TB/U diperoleh sebaran status gizi contoh antara lain
55.7% normal, 43.4 % pendek, dan 0.9% tinggi. Selain itu sebanyak 76.1%
contoh berstatus gizi normal menurut IMT/U dan sisanya menyebar pada status
gizi sangat kurus (8.8%), kurus (8.8%), gemuk (5.3%), dan obesitas (0.9%).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar contoh memiliki
status gizi normal berdasarkan indikator TB/U (55.7%) maupun IMT/U (76.1%).
Kondisi status gizi yang baik dapat dicapai apabila tubuh memperoleh cukup zat-
zat gizi yang akan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan terjadinya
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja untuk mencapai
58
tingkat kesehatan optimal (Depkes RI 2003). Berikut ini merupakan Tabel 25
sebaran contoh menurut status gizi.
Tabel 25 Sebaran status gizi contoh
Status Gizi n (113) % (100)
Menurut TB/U Sangat pendek 14 12.4 Pendek 35 31.0 Normal 63 55.8 Tinggi 1 0.9 Menurut IMT/U Sangat kurus 10 8.8 Kurus 10 8.8 Normal 86 76.1 Gemuk 6 5.3 Obesitas 1 0.9
Hubungan Berbagai Variabel
Uji korelasi Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antara
berbagai variabel pada penelitian ini. Hasil uji korelasi Spearman menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan jajan dengan
status gizi contoh baik menurut TB/U maupun IMT/U contoh (p>0.05). Hasil
penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Suwaiba (1997) yang menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan jajan dan
status gizi siswa SD Ngesrep I Semarang. Hal ini mungkin dapat disebabkan
oleh jenis jajanan yang dikonsumsi oleh contoh. Sebagian besar contoh dalam
penelitian ini mempunyai kebiasaan mengonsumsi jajan jenis produk ekstrusi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Roberto (2010) di Amerika menyatakan
bahwa anak sekolah dasar lebih tertarik pada makanan jajanan khususnya snack
yang dibungkus (makanan pabrikan) dibandingkan dengan jajanan tradisional.
Makanan pabrikan (ekstrusi) sedikit mengandung zat gizi sehingga tidak
berpengaruh terhadap status gizi contoh. Status gizi contoh selain dipengaruhi
oleh kebiasaan jajan juga dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dianalisi pada
penelitian ini, antara lain aktivitas fisik dan penyakit infeksi.
Pengetahuan gizi ibu terkait erat dengan kebiasaan makan anak, baik
kebiasaan makan utama maupun jajanan. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi
dan berkesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan yang sehat
sedini mungkin kepada semua putra-putrinya (Notoatmodjo 2005). Hasil uji
Spearman dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara kebiasaan jajan dan pengetahuan gizi ibu contoh (p>0.05).
Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Madanijah, Zulaikha, dan
59
Munthe (2006) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara
pengetahuan gizi ibu dengan kebiasaan jajan anak pada keluarga nelayan dan
bukan nelayan di Jakarta. Hal yang sama juga terjadi antara pendidikan ibu
dengan kebiasaan jajan. Hasil uji Spearman dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan jajan dan
pendidikan ibu contoh (p>0.05). Begitu juga dengan hasil uji Spearman yang
menunjukkan tidak terdapat hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan
kebiasaan sarapan contoh.
Tidak terdapatnya hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan
kebiasaan jajan maupun sarapan contoh dapat disebabkan terdapatnya faktor
lain yang mempengaruhi kebiasaan jajan dan sarapan contoh, seperti lingkungan
dan teman main. Pengaruh teman main dapat meningkat sejalan perkembangan
usia dan dapat mempengaruhi pemilihan makanan pada anak (Lucas & Feucht
2004). Kebiasaan makan pada anak usia sekolah tergantung pada kehidupan
sosial di sekolah. Anak usia sekolah cenderung lebih menyukai makan secara
bersamaan dengan teman sekolahnya (Hidayat dan Alimul 2004).
Pengetahuan gizi ibu juga akan berpengaruh terhadap pembentukan
sikap dan tindakan anak dalam konsumsi makanan jajanan. Pengetahuan gizi
ibu tersebut dan kebiasaan jajan siswa dapat berpengaruh terhadap status gizi
siswa. Pengetahuan gizi ibu sangat berpengaruh terhadap pemilihan dan
konsumsi makanan anak (Madanijah 2003). Hasil uji Spearman menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signfikan antara status gizi dan
pengetahuan gizi ibu contoh (p>0.05). Hal ini diduga adanya pengaruh sikap dan
perilaku ibu terhadap pemilihan makanan anak. Sikap dan perilaku gizi tidak
selalu linear terhadap pengetahuan gizi, artinya semakin tinggi tingkat
pengetahuan gizi ibu belum tentu kebiasaan makannya juga baik (Sanjur 1982).
Latar belakang pendidikan dapat mempengaruhi keadaan gizi seseorang.
Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan pengetahuan atau informasi
tentang gizi yang dimilikinya akan lebih baik. Faktor tingkat pendidikan perlu
ditimbangkan untuk menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan
memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh (Fikawati&Syafiq 2007).
Namun berdasarkan hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi ibu (p>0.05).
Walaupun sebagian besar pendidikan ibu berada di tingkat SD, namun sebagin
besar ibu memiliki pengetahuan gizi dalam kategori sedang. Pengetahuan gizi
60
tidak mutlak dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan seseorang.
Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai
macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk,
petugas kesehatan, kerabat, dan sebagainya (Khomsan dkk 2009).
Sarapan pagi pada umumnya menyumbang gizi sekitar 25% dari angka
kebutuhan gizi sehari. Anak yang tidak sarapan pagi cenderung mengonsumsi
energi dan zat gizi lebih sedikit daripada anak yang sarapan pagi (Lucas and
Feucht 2008). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara kebiasaan sarapan dengan kebiasaan jajan
contoh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan sarapan contoh yang
kurang baik yaitu kadang-kadang (47.8%) dan selalu (45.1%). Namun,
kebiasaan sarapan contoh tersebut tidak berkaitan dengan kebiasaan jajan
contoh. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian bahwa terdapat sebagian
besar contoh (91.2%) yang selalu membeli jajan di sekolah baik sudah sarapan
maupun belum sarapan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Ariandani (2011) di SDN Pekunden Semarang yang menunjukkan bahwa
frekuensi sarapan pagi pada subjek tidak berkaitan dengan kebiasaan jajan di
sekolah.
Kebiasaan sarapan tidak berhubungan dengan kebiasaan jajan contoh
kemungkinan disebabkan oleh kebiasaan jajan contoh sering dipengaruhi oleh
lingkungan atau teman sebaya. Kebiasaan makan pada anak usia sekolah
tergantung pada kehidupan sosial di sekolah. Anak usia sekolah cenderung lebih
menyukai makan secara bersamaan dengan teman sekolahnya (Hidayat dan
Alimul 2004). Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2009) disebutkan
bahwa anak-anak membeli makanan jajanan pada saat jam istirahat sekolah
(92,2%) dengan alasan untuk mengurangi rasa lapar setelah beberapa jam
belajar di kelas.