BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN -...

149
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Situasi Kejadian Kebakaran Hutan/Lahan Situasi kejadian kebakaran hutan/lahan di Indonesia tergambarkan oleh dua macam data yaitu data jumlah titik panas (hotspots) dan data luasan kebakaran. Kedua macam data tersebut diperoleh dari Dit. PKH, Kementerian Kehutanan. Data hotspot diperoleh Dit. PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra satelit dari stasiun pemantauan di Kantor Dit. PKH, Gedung Pusat Kementerian Kehutanan Jakarta. Data hotspot lebih sering dijadikan indikator kebakaran hutan/lahan oleh berbagai pihak baik para pengamat dan penulis mengenai kebakaran hutan/lahan maupun pemerintah, karena data tersebut dianggap relatif lebih lengkap dalam serial waktu, tersedia dan dapat diperoleh dengan relatif mudah di berbagai media informasi terutama di internet, dan mencakup data pada lokasi-lokasi yang terpencil. Data kejadian kebakaran hutan/lahan yang faktual dari lapangan sulit diperoleh pada organisasi-organisasi yang seharusnya mengelolanya sesuai dengan kawasan yang dikelolanya. Di tingkat nasional, hanya Dit. PKH yang memiliki data faktual tersebut, sementara di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota data yang diminta tersebut tidak dapat disediakan. Namun demikian, data dari Dit. PKH tersebut juga dinyatakan kurang mewakili kondisi sebenarnya di lapangan. Alasan utamanya adalah tidak setiap kejadian kebakaran hutan/lahan ada laporannya. Ketiadaan laporan tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain (1) tidak setiap kejadian kebakaran hutan/lahan diketahui lokasinya oleh organisasi penanggung jawabnya, (2) tidak setiap kebakaran dilakukan penanganan atau pemadaman, termasuk pengukuran luasannya, (3) belum ada standar pengukuran luasan kebakaran di lapangan sehingga luasan kebakaran yang dilaporkan masih belum jelas apakah mencakup seluruh kawasan yang terbakar sampai api padam ataukah hanya luasan kebakaran yang dipadamkan oleh tim pemadam yang melaporkan. Oleh karena tidak adanya data luasan kebakaran yang

Transcript of BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN -...

Page 1: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Situasi Kejadian Kebakaran Hutan/Lahan

Situasi kejadian kebakaran hutan/lahan di Indonesia tergambarkan oleh dua

macam data yaitu data jumlah titik panas (hotspots) dan data luasan kebakaran.

Kedua macam data tersebut diperoleh dari Dit. PKH, Kementerian Kehutanan.

Data hotspot diperoleh Dit. PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra

satelit dari stasiun pemantauan di Kantor Dit. PKH, Gedung Pusat Kementerian

Kehutanan Jakarta. Data hotspot lebih sering dijadikan indikator kebakaran

hutan/lahan oleh berbagai pihak baik para pengamat dan penulis mengenai

kebakaran hutan/lahan maupun pemerintah, karena data tersebut dianggap relatif

lebih lengkap dalam serial waktu, tersedia dan dapat diperoleh dengan relatif

mudah di berbagai media informasi terutama di internet, dan mencakup data pada

lokasi-lokasi yang terpencil.

Data kejadian kebakaran hutan/lahan yang faktual dari lapangan sulit

diperoleh pada organisasi-organisasi yang seharusnya mengelolanya sesuai

dengan kawasan yang dikelolanya. Di tingkat nasional, hanya Dit. PKH yang

memiliki data faktual tersebut, sementara di tingkat provinsi dan tingkat

kabupaten/kota data yang diminta tersebut tidak dapat disediakan. Namun

demikian, data dari Dit. PKH tersebut juga dinyatakan kurang mewakili kondisi

sebenarnya di lapangan. Alasan utamanya adalah tidak setiap kejadian kebakaran

hutan/lahan ada laporannya. Ketiadaan laporan tersebut disebabkan oleh beberapa

hal antara lain (1) tidak setiap kejadian kebakaran hutan/lahan diketahui lokasinya

oleh organisasi penanggung jawabnya, (2) tidak setiap kebakaran dilakukan

penanganan atau pemadaman, termasuk pengukuran luasannya, (3) belum ada

standar pengukuran luasan kebakaran di lapangan sehingga luasan kebakaran yang

dilaporkan masih belum jelas apakah mencakup seluruh kawasan yang terbakar

sampai api padam ataukah hanya luasan kebakaran yang dipadamkan oleh tim

pemadam yang melaporkan. Oleh karena tidak adanya data luasan kebakaran yang

Page 2: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

76

faktual, data kebakaran hutan/lahan selalu berdasarkan pada jumlah titik panas

(hotspot).

5.1.1. Korelasi antara jumlah hotspot dengan luasan kebakaran hutan/lahan

Jumlah hotspot, seperti disampaikan di atas, selama ini dijadikan sebagai

indikator kebakaran hutan/lahan. Penggunaan hotspot sebagai indikator juga

masih beragam yakni sebagai indikator untuk luasan kebakaran atau indikator

untuk jumlah kejadian kebakaran. Jika memahami makna hotspot yang

sebenarnya, maka penggunaan bagi kedua maksud tersebut sebenarnya masih

kurang tepat, bahkan penggunaan sebagai indikator adanya kebakaran hutan/lahan

pun sebenarnya masih perlu memenuhi beberapa persyaratan.

Keberadaan titik panas (hotspot) tidak selalu berarti adanya kebakaran

hutan/lahan, bergantung pada suhu ambang (threshold temperature) pengukuran

yang ditetapkan, namun untuk kepentingan pencegahan kebakaran, informasi

hotspot dapat menjadi indikator terjadinya kebakaran hutan (Hiroki & Prabowo

2003; Suprayitno & Syaufina 2008). Studi ini menguji kelayakan penggunaan

hotspot sebagai indikator kebakaran hutan/lahan dengan menghitung koefisien

korelasi secara linier antara jumlah akumulasi hotspot dengan luasan kebakaran

hutan/lahan.

Hasil perhitungan statistik berdasarkan data pada kurun waktu 10 tahun

(n=10) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif sebesar 0,53 atau 53% antara

jumlah hotspot dengan luasan kebakaran hutan/lahan seluruh Indonesia. Hal ini

berarti penggunaan jumlah hotspot sebagai indikator kebakaran hutan/lahan masih

dapat diterima. Data pada Tabel 2 dan diagram pada Gambar 5 memperlihatkan

bahwa trend line dari kedua data tersebut menunjukkan kecenderungan yang

relatif sama.

Namun demikian, koefisien korelasi yang relatif rendah tersebut juga

sekaligus memberikan peringatan untuk tidak serta merta menyatakan bahwa

jumlah hotspot yang tinggi berarti terdapat kebakaran hutan/lahan yang luas.

Jumlah hotspot kurang dapat menggambarkan luasan kebakaran karena sebuah

Page 3: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

77

hotspot sebenarnya mewakili sebuah luasan 1,1 km2. Hal ini tidak berarti bahwa

sebuah hotspot kemudian menunjukkan adanya kebakaran hutan/lahan seluas 1,1

km2

Tahun

karena sebuah hotspot muncul atau tertangkap oleh citra satelit ketika suatu

area di permukaan bumi mengalami panas permukaan sampai suatu suhu tertentu

yang sudah ditetapkan pada sensor di satelit. Suhu tersebut dapat dicapai

meskipun luas kebakaran kurang dari 1,1 km dan begitu pula dapat terjadi situasi

Tabel 2 Jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan/lahan seluruh Indonesia

ΣHotspot Luas Karhutla

2000 11.583 43.648,08 2001 21.137 17.968,79 2002 69.765 45.527,93 2003 44.262 3.545,45 2004 65.693 42.806,99 2005 40.197 13.739,01 2006 146.264 56.218,65 2007 37.909 11.233,46 2008 30.616 16.137,49 2009 39.463 49.253,58

Sumber: Dit. PKH 2010

Gambar 5 Grafik jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan/lahan seluruh Indonesia (Sumber: Dit. PKH 2010).

Page 4: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

78

di mana pada waktu yang sama di dalam luasan 1,1 km2 terdapat lebih dari satu

kebakaran dan secara kumulatif suhu yang ditimbulkan mencapai suhu ambang

tersebut, sehingga beberapa kebakaran tertangkap sebagai sebuah hotspot (Hiroki

& Prabowo, 2003). Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa sebuah hotspot

mewakili sebuah titik kebakaran hutan/lahan. Belum ada data yang rinci mengenai

frekuensi kejadian kebakaran yang dapat digunakan untuk menghitung korelasi

antara jumlah hotspot dengan jumlah kejadian kebakaran hutan/lahan.

5.1.2. Korelasi antara jumlah hotspot dengan curah hujan

Data hotspot dari Dit. PKH menunjukkan jumlah akumulasi hotspot di

seluruh Indonesia selama 10 tahun (2000 – 2009) berkisar antara 11.583 titik

sampai dengan 146.264 titik seperti ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 6

tersebut di atas. Jumlah rata-rata per tahun titik panas selama 10 tahun tersebut

adalah 50.689 titik. Jika dilihat per lima tahun, maka tampak bahwa jumlah

akumulasi titik panas pada lima tahun pertama (2000 – 2004) cenderung

meningkat sedangkan pada lima tahun terakhir (2005-2009) tampak menurun.

Sementara itu, untuk wilayah Provinsi Riau jumlah akumulasi titik panas juga

berfluktuasi dengan rata-rata sekitar 7.900 titik per tahun, dan di Provinsi Kalbar

rata-rata sekitar 9.200 titik per tahun seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

Fluktuasi jumlah hotspot tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Faktor pertama yang sering dianggap sangat berpengaruh adalah kondisi cuaca.

BAPPENAS (1999) menyatakan bahwa 26 dari 28 tahun-tahun kekeringan di

Indonesia sejak 1887 berkaitan dengan El Nino South Oscillation (ENSO) dan hal

ini sejalan dengan terjadinya kebakaran hutan/lahan besar. Kebakaran besar tahun

1997-1998, misalnya, juga diduga dipengaruhi oleh terjadinya ENSO yang terkuat

di abad tersebut (abad ke-20). Pendapat tersebut terus berkembang sehingga

sistem peringatan dan deteksi dini kebakaran (fire early warning and detection

systems) maupun peramalan kebakaran (fire forecasting) yang dikembangkan di

Indonesia berdasarkan pada perhitungan kondisi cuaca.

Page 5: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

79

Analisis hotspot pada penelitian ini menemukan hasil yang cukup

mengejutkan di mana korelasi antara jumlah titik panas dengan salah satu

parameter cuaca yaitu curah hujan ternyata relatif kecil berdasarkan data curah

hujan rata-rata dan jumlah titik panas selama 10 tahun . Korelasi antara jumlah

hotspot dengan curah hujan pada Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat dan

Kabupaten Inderagiri Hulu, Riau adalah negatif (-) yang artinya semakin tinggi

curah hujan, maka akan semakin rendah jumlah titik panas. Korelasi tersebut

logis, tidak seperti yang terjadi di Kabupaten Ketapang di mana korelasi tersebut

positif (+) yang artinya semakin tinggi curah hujan semakin banyak jumlah titik

panas. Tingkat korelasinya pun relatif rendah yakni 0,7% untuk Kab. Kubu Raya,

39% untuk Kab. Inderagiri Hulu, dan 1,12% untuk Kab. Ketapang.

Jika dilhat dari tingkat korelasi yang relatif rendah tersebut, maka dapat

dikatakan bahwa curah hujan kurang signifikan pengaruhnya terhadap jumlah

hotspot. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan pendapat yang berkembang selama

ini bahwa kebakaran hutan/lahan sangat dipengaruhi oleh cuaca, terutama curah

hujan. Hal tersebut tentu masih perlu dikonfirmasikan dengan kajian yang lebih

mendalam terhadap, misalnya, korelasi antara titik panas dengan curah hujan

bulanan, periode atau bulan-bulan terjadinya kebakaran, dan sebagainya. Namun

demikian, hasil analisis tersebut juga setidaknya mengisyaratkan bahwa pada

kurun waktu sepuluh tahun terakhir terdapat faktor-faktor lain yang lebih

berpengaruh terhadap terjadinya hotspot (titik panas). Penelitian ini tidak

Gambar 6 Jumlah akumulasi titik panas (hot spot) tahunan di Provinsi Riau

dan Provinsi Kalimantan Barat (sumber: Dit. PKH 2010).

Page 6: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

80

mengkaji lebih mendalam faktor-faktor tersebut, tetapi membahasnya berdasarkan

hasil kajian dari berbagai pustaka.

Berbagai studi menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan/lahan

terutama di Sumatera dan Kalimantan adalah penggunaan api atau pembakaran

yang disengaja di dalam kawasan hutan atau lahan karena berbagai alasan.

Bompard dan Guizol (1999) mencatat beberapa tindakan penggunaan api secara

sengaja di Sumatera Selatan, yang kondisinya relatif serupa dengan kondisi di

lokasi penelitian, untuk alasan-alasan antara lain: (1) penyiapan lahan untuk

permukiman transmigrasi, (2) merangsang pertumbuhan pakan bagi hewan

peliharaan, (3) merangsang pertumbuhan pakan bagi satwa buru, dan (4) sebagai

pernyataan ketidakpuasan oleh masyarakat setempat terhadap konsesi hutan yang

mewakili suatu administrasi hutn yang mengabaikan hak-hak mereka atas lahan

dan sumber daya hutan. Di samping itu, Bompard dan Guizol (1999) menegaskan

bahwa sebuah tradisi budidaya pertanian di daerah rawa-rawa yang disebut sonor

merupakan sumber utama kebakaran lahan di berbagai wilayah di Sumatera.

Sonor adalah sebuah bentuk budidaya padi rawa (swamp-rice) yang diterapkan

hanya setelah adanya periode tiga bulan kering di mana vegetasi sepanjang sungai

rawa benar-benar terpapar matahari dan cukup kering untuk dibakar (akhir

September – Oktober).

Pendapat serupa dinyatakan oleh Adinugroho et al. (2005) yang

menyebutkan bahwa kebakaran hutan/lahan di Indonesia disebabkan 99,9% oleh

manusia dan Saharjo (1999) yang memberikan angka 99% untuk penyebab oleh

manusia. Aktivitas penyiapan lahan untuk hutan tanaman industri dan perkebunan

di kedua wilayah tersebut kemungkinan juga berfluktuasi cukup tinggi

sebagaimana diprediksi oleh Casson (2003). Pembukaan lahan baru untuk

perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan meningkat tajam setelah

tahun 1967 dan sempat melambat di awal-awal reformasi sekitar tahun 1997 –

1999, namun kemudian diprediksi akan terus berkembang lagi. Penyiapan lahan

perkebunan tersebut pada umumnya menggunakan cara dengan pembakaran

sehingga berkembangnya usaha perkebunan dapat pula meningkatkan frekuensi

kebakaran hutan/lahan seperti diungkapkan Resosudarmo dan Colfer (2003).

Kegiatan-kegiatan penyiapan lahan tersebut pada umumnya dilakukan pada awal

Page 7: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

81

dan akhir musim hujan di mana masih terdapat hari-hari hujan. Hal ini pula

barangkali yang menyebabkan koefisien korelasi yang positif di Kab. Ketapang.

Semua penyebab tersebut di atas pada dasarnya berada di bawah kendali

pemerintah, sehingga jumlah hotspot dapat menjadi indikator dari kinerja

pemerintah. Jumlah hotspot yang masih relatif tinggi, sementara korelasi yang

rendah antara jumlah titik panas dengan kondisi alam yang diwakili oleh curah

hujan dapat menggambarkan bahwa kendali organisasi pemerintah yang

berwewenang terhadap aktivitas-aktivitas penyebab kebakaran hutan/lahan

tersebut masih relatif lemah. Hasil analisis pada sub bab-sub bab berikut akan

membuktikan hal tersebut.

Data titik panas yang sudah memisahkan antara hotpot yang berada di

kawasan hutan dan yang di luar kawasan hutan (lahan) menunjukkan bahwa

persentase dari jumlah akumulasi hotspot di luar kawasan hutan selalu lebih

banyak daripada yang di kawasan hutan (Tabel 3 dan Gambar 7). Sayangnya

masih sulit untuk memperoleh data yang rinci mengenai jumlah hotspot dan

luasan kebakaran pada masing-masing fungsi kawasan hutan dan jenis peruntukan

lahannya. Sebagai gambaran, perbandingan rata-rata persentase jumlah hotspot

antara yang berada di kawasan hutan dengan yang berada di lahan adalah 24,61:

75,39 (Tabel 3)

Tabel 3 Jumlah hotspot menurut peruntukan hutan dan lahan seluruh Indonesia

Peruntukan 2006 2007 2008 2009 2010 Rata2

Kawasan Hutan

Titik 48.481 10.083 5.631 8.654 2.270 15.024 % 33,15 26,60 18,39 21,93 22,98 24.61

Lahan Titik 97.783 27.826 24.985 30.809 7.610 37.803

% 66,85 73,40 81,61 78,07 77,02 75.39

Jumlah Hotspot 146.264 37.909 30.616 39.463 9.880 52.827

Sumber: Dit. PKH 2011

Page 8: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

82

Persentase keberadaan hotspot yang lebih besar di luar kawasan hutan

tampaknya tidak diimbangi oleh kinerja organisasi-organisasi pemerintah yang

memangku lahan. Hal ini dapat dilihat dari persentase rata-rata luasan kebakaran

yang ternyata lebih besar untuk kebakaran di kawasan hutan daripada kebakaran

lahan, yakni 57,94 : 42,06 (Tabel 4). Menurut pengamatan langsung dan

penjelasan responden di lapangan, memang instansi yang menangani kehutanan di

tiap tingkatan, baik kabuapten/kota, provinsi maupun nasional, relatif lebih aktif

dalam menangani kebakaran hutan/lahan dan aktivitas tersebut ditunjukkan oleh

lebih tingginya persentase luasan kebakaran yang dicatat instansi-instansi tersebut.

Instansi-instansi pemangku lahan pada umumnya belum memiliki kapasitas untuk

melakukan pengendalian kebakaran. Hasil analisis terhadap kapasitas organisasi

di daerah penelitian akan diuraikan pada sub bab 5.4.

Gambar 7 Grafik jumlah akumulasi hotspot di kawasan hutan dan lahan di luar kawasan hutan seluruh Indonesia tahun 2006 – 2010. (Sumber: Dit. PKH 2011).

Data jumlah titik panas (hotspot), luasan kawasan terbakar dan korelasi-

korelasi tersebut di atas serta kecenderungan jumlah hotspot yang masih

meningkat menurut data sepuluh tahun terakhir menggambarkan bahwa

permasalahan kebakaran hutan/lahan ke depan masih ada dan perlu mendapat

Page 9: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

83

perhatian lebih serius. Sementara itu, kecenderungan dalam lima tahun terakhir

yang memperlihatkan arah menurun kemungkinan merupakan indikasi adanya

pengaruh positif dari sistem pengorganisasian yang dibentuk di daerah pada lima

tahun terakhir setelah sempat terhenti pada lima tahun pertama awal era

Reformasi. Detail mengenai keterkaitan pembentukan sistem pengorganisasian

pengendalian kebakaran hutan/lahan tersebut dengan kecenderungan jumlah

hotspot dan luasan kebakaran masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Tabel 4 Luas kebakaran di kawasan hutan dan lahan seluruh Indonesia

Peruntukan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata2

Kawasan

Hutan

Ha 5,503 32,199 7,078 6,793 9,791 3,493 10,809

% 40.04 57.27 63.01 42.10 59.48 85.72 57.94

Lahan Ha 8,240 24,020 4,155 9,344 6,671 582 8,835

% 59.96 42.73 36.99 57.90 40.52 14.28 42.06

Jumlah (Ha) 13,742 56,219 11,233 16,137 16,462 4,075

Sumber: Dit.PKH 2011

Hasil kajian tersebut di atas mendukung pendapat yang ada sekarang ini

bahwa faktor alam relatif kurang berpengaruh dan faktor yang sangat berpengaruh

adalah manusia, yaitu orang-orang atau masyarakat yang masih memanfaatkan

pembakaran dalam kegiatan penyiapan lahannya untuk berbagai kepentingan.

Oleh sebab itu, pengendalian kebakaran hutan/lahan perlu diarahkan pada

penghentian atau pengurangan sampai ke titik terendah penggunaan api atau

pembakaran tersebut. Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran

hutan/lahan hasil penelitian ini memberi kejelasan mengenai organisasi atau

instansi pemerintah yang berwewenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan

faktor manusia tersebut prioritas pada bidang pencegahan kebakaran, dengan

penguatan kapasitas organisasi di tingkat bawah yang memungkinkan pelaksanaan

secara optimal program-program pengawasan kawasan dan peningkatan kesadaran

masyarakat mengenai kebakaran hutan/lahan.

Page 10: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

84

5.2. Posisi dan Peranan Organisasi

Posisi dan peranan organisasi di dalam sistem pengorganisasian

pengendalian kebakaran hutan/lahan pada penelitian ini dianalisis dari tiga sisi

yaitu (a) profil organisasi, (b) persepsi dari responden praktisi, dan (c) persepsi

responden pakar.

5.2.1. Posisi dan peranan menurut profil organisasi

Analisis dimaksudkan untuk mengetahui posisi dan peranan organisasi pada saat

ini dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Hasil identifikasi terhadap

organisasi-organisasi di tingkat nasional,tingkat provinsi dan tingkat

kabupaten/kota menunjukkan bahwa berdasarkan profilnya, organisasi-organisasi

yang secara jelas menyebutkan kebakaran hutan/lahan dalam profilnya adalah

sebagai berikut:

• Tingkat nasional ada tiga organisasi, yaitu Dit. PKH, Asdep PKHL, dan

BNPB;

• Tingkat provinsi untuk Riau ada tiga organisasi yaitu: Dishut, Disbun, dan

BLHD, sedangkan untuk Kalimantan Barat terdapat hanya 1 (satu) organisasi

yaitu Dishut.

• Tingkat kabupaten/kota tidak ada satupun organisasi di empat kabupaten/kota

yang diamati yang profilnya secara tegas menyebutkan kebakaran hutan/lahan.

Uraian tentang profil masing-masing organisasi tersebut di atas yang

menunjukkan keterlibatannya dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan adalah

sebagai berikut.

1. Dit. PKH, Kementerian Kehutanan

Dit PKH sesuai dengan namanya sudah menyebutkan secara eksplisit

keterlibatannya dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Hal tersebut

secara jelas tertulis di dalam pernyataan visi dan misi, struktur organisasi,

maupun uraian tugas jabatan di dalam organisasi tersebut. Struktur organisasi

Page 11: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

85

yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.13/Menhut-

II/2005 mencakup empat jabatan eselon III yaitu Subdit Program dan

Evaluasi, Subdit Pencegahan dan Penanganan Pasca, Subdit Tenaga dan

Sarana, dan Subdit Pemadaman, dan sembilan jabatan eselon IV yaitu Seksi

Program, Seksi Evaluasi, Seksi Pencegahan, Seksi Penanganan Pasca, Seksi

Tenaga, Seksi Sarana, Seksi Pemadaman Wilayah I, Seksi Pemadaman

Wilayah II, dan Sub Bagian Tata Usaha.

2. Asdep PKHL, Kementerian Negara Lingkungan Hidup

Asdep PKHL berperan dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan

sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup

(Permeneg LH) No. 4 Tahun 2005 berupa indikator bagi kegiatan

pengendalian kerusakan hutan dan lahan. Di dalam struktur organisasinya

sesuai dengan Permeneg LH No. 1 Tahun 2005, Asdep PKHL berada di

bawah Deputi III Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan

Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Asdep PKHL, disebut juga Asisten

Deputi 4/III, mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan,

pengawasan penataan, analisis, evaluasi dan laporan di bidang peningkatan

konservasi dan pengendalian kerusakan hutan dan lahan. Di bawahnya

terdapat tiga bidang yaitu: (1) Bidang Pengelolaan Kawasan Non Budidaya,

(2) Bidang Pengendalian Kebakaran hutan/lahan, dan (3) Bidang Pengendalian

Kawasan Budidaya. Peranan dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan

tergambar dari sub bidang yang ada pada Bidang (2) yaitu Sub Bidang Deteksi

dan Advokasi, dan Sub Bidang Pengawasan dan Mitigasi. Uraian tugas

masing-masing sub bidang tersebut cukup jelas diuraikan di dalam Permeneg

LH No. 1 Tahun 2005 tersebut.

3. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)

Posisi dan peranan BNPB dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menjadi

lebih penting daripada sebelumnya ketika masih bernama Badan Koordinasi

Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB) sejak terbitnya UU No. 24

Tahun 2007 yang memasukkan kebakaran hutan/lahan sebagai salah satu dari

jenis bencana dan BNPB merupakan organisasi yang diberi mandat untuk

Page 12: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

86

mengelolanya. BNPB menangani semua jenis bencana dan struktur

organisasinya menurut Peraturan Presiden RI No. 8 Tahun 2008 dan Peraturan

Kepala BNPB No. 1 Tahun 2008 disusun bukan berdasarkan jenis bencana

yang ditangani melainkan berdasarkan fungsi-fungsi pengelolaan bencana,

yang meliputi pencegahan dan kesiapsiagaan, penanganan darurat, rehabilitasi

dan rekonstruksi, logistik dan peralatan, serta informasi dan hubungan

masyarakat.

BNPB dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan dapat dikatakan

berada pada posisi utama dengan peranan pada semua tahapan pengendalian

kebakaran. Namun demikian, pada prakteknya terutama terhadap kebakaran

hutan/lahan, posisi dan peranan BNPB berubah sesuai tahapan penanganan

bencananya. Pada tahapan tidak terjadi bencana yakni pencegahan dan

kesiapsiagaan serta rehabilitasi dan rekonstruksi BNPB lebih berposisi sebagai

pendukung dengan posisi utama pada organisasi yang tugas dan fungsi

utamanya memangku kawasan di mana kebakaran dapat terjadi. Dalam hal ini,

untuk kawasan hutan adalah Kementerian Kehutanan, dan untuk lahan

perkebunan dan tanaman hortikultura adalah Kementerian Pertanian. Jika

terjadi kebakaran hutan/lahan, sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2007, PP No.

21 Tahun 2008, maupun PP No. 22 Tahun 2008, tanpa pengecualian untuk

kebakaran hutan/lahan seharusnya BNPB langsung mengambil komando

untuk operasi pemadamannya, tetapi dalam prakteknya BNPB masih

menerapkan kesepakatan tidak tertulis di antara organisasi-organisasi yang

menangani kebakaran hutan/lahan, yang dibuat di masa masih Bakornas PB

bahwa Bakornas PB, dan sekarang BNPB, hanya memantau situasi dan tidak

terlibat langsung dalam operasi pemadaman kebakaran sampai dengan situasi

kebakaran hutan/lahan dinyatakan sebagai bencana. Pernyataan status bencana

nasional kebakaran hutan/lahan sampai saat ini belum pernah ada dan

demikian pula peraturan atau kesepakatan tertulis mengenai kriteria dan

indikator bagi bencana kebakaran hutan/lahan yang menjadi landasan bagi

dinyatakannya situasi kebakaran hutan/lahan sebagai bencana.

Page 13: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

87

4. Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Riau

Dishut Provinsi Riau dibentuk dengan Perda Riau No. 9 Tahun 2008 yang

menyebutkan secara eksplisit dalam struktur organisasinya sebagai organisasi

yang menangani penanggulangan kebakaran hutan. Hal tersebut tercantum di

dalam Pasal 47 Ayat (1) yang menyatakan adanya Seksi Penanggulangan

Kebakaran Hutan di bawah Bidang Perlindungan Hutan. Namun demikian,

uraian tugasnya secara rinci belum disusun. Dishut Provinsi Riau di dalam

Pusdalkarhutla ditunjuk sebagai Koordinator Bidang Operasi Penanggulangan

(Pemadaman) dan Pemulihan.

5. Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Riau

BLHD Provinsi Riau dibentuk dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Riau No.

16 Tahun 2009. Kebakaran hutan/lahan menjadi salah satu tugas dari Bidang

Pengendalian Kerusakan Lingkungan, khususnya Sub Bidang Pengendalian

Kerusakan Ekosistem Darat sebagaimana tersebut pada Pasal 14 Ayat (1)

Butir c dan d. BLHD Provinsi Riau menurut Pergub Riau No. 6 Tahun 2006

bertindak sebagai Koordinator Sekretariat Bersama Pusdalkarhutla Provinsi

Riau.

6. Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau

Disbun Provinsi Riau dibentuk dengan Perda Provinsi Riau No. 9 Tahun 2008.

Organisasi ini bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan perkebunan. Hal

ini tercermin dalam struktur organisasinya sesuai dengan Pasal 44 Ayat (1) di

mana terdapat Seksi Penanggulangan Kebakaran Kebun pada Bidang

Perlindungan Perkebunan. Di dalam Pusdalkarhutla Disbun Provinsi Riau

ditugasi sebagai Koordinator Bidang Deteksi/Peringatan Dini, Pemantauan

dan Pencegahan.

7. Unit Pelaksana Teknis Daerah Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan

Unit pelaksana teknis daerah penanggulangan kebakaran hutan dan lahan

(UPT-PKHL) di Kalimantan Barat dibentuk di tingkat provinsi dengan

Peraturan Gubernur nomor 35 tahun 2009. UPT tersebut dibentuk sesuai

dengan amanat di dalam Peraturan Gubernur nomor 54 tahun 2008 mengenai

Page 14: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

88

uraian tugas pokok dan fungsi Dishut Provinsi Kalimantan Barat untuk

melaksanakan tugas-tugas teknis operasional penanggulangan kebakaran

hutan/lahan.

Berdasarkan profil tersebut terlihat bahwa penanganan kebakaran

hutan/lahan di tingkat nasional terpecah di tiga organisasi yakni Kemenhut, KLH,

dan BNPB. Selanjutnya, di antara ketiga organisasi tersebut, Kemenhut memiliki

struktur yang relatif lengkap untuk menangani bidang-bidang pengendalian

kebakaran hutan/lahan yaitu pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca-

kebakaran. Hal ini akan menjadi pertimbangan nanti di dalam rancang bangun

sistem pengorganisasian pada akhir bab ini.

Ketiga organisasi di tingkat nasional tersebut ternyata belum berbagi

peranan secara formal, di mana pada saat ini, belum ada sebuah sistem yang

mengoordinaskan peranan-peranan dari ketiga organisasi tersebut. Sistem

pengorganisasian yang berlaku adalah hasil kesepakatan tidak tertulis di antara

organisasi-organisasi di tingkat nasional. Kesepakatan tersebut didasarkan pada

pengaturan yang pernah ada berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan

Hidup nomor Kep-40/MENLH/09/97 tentang Pembentukan Tim Koordinasi

Nasional Kebakaran Hutan dan Lahan (TKN-KHL), yang membagi posisi dan

peranan organisasi-organisasi pemerintah di tingkat nasional terutama pada

bidang pemadaman. Keputusan tersebut belum dicabut, tetapi juga tidak lagi

menjadi landasan acuan, hanya kandungan aturannya yang tampaknya masih

dipegang sebagai kesepakatan. Kesepakatan tersebut mengatur bahwa pencegahan

dilakukan oleh masing-masing organisasi penanggung jawab kawasan, Kemenhut

bertanggung jawab atas pemadaman pada level bukan bencana, Bakornas PB yang

kemudian menjadi BNPB bertanggung jawab atas pemadaman ketika kebakaran

dinyatakan sebagai bencana, dan KNLH yang menjadi KLH bertanggung jawab

atas penanganan pasca kebakaran, terutama yustisi, serta departemen-departemen

lainnya sebagai pendukung sesuai dengan bidang tugas dan wewenang yang

dimilikinya. Pengaturan tersebut kemudian diperkuat dengan PP nomor 4 tahun

2001 yang memberi mandat kepada Menteri Kehutanan untuk menangani

pemadaman kebakaran lintas provinsi dan lintas batas negara.

Page 15: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

89

Hasil identifikasi peranan organisasi pada tingkat provinsi di Riau dan

Kalimantan Barat berdasarkan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran

hutan/lahan yang ada terdapat perbedaan, yakni pada departementasi dalam

struktur organisasinya. Departementasi pada Pusdalkarhutla di Riau berdasarkan

pada bidang-bidang dari pengendalian kebakaran yang meliputi bidang

deteksi/peringatan dini, pemantauan dan pencegahan, bidang operasi

penanggulangan dan pemulihan, dan bidang evaluasi dan penegakan hukum,

sedangkan di Kalimantan Barat departementasi disusun menurut sektor-sektor

yaitu kehutanan, perkebunan, pertanian, kehewanan dan peternakan, tenaga kerja

dan kependudukan, dan kesehatan.

Perbedaan departementasi tersebut berimplikasi pada wilayah pertanggung-

jawaban di mana organisasi atau instansi yang ditunjuk sebagai penanggung

jawab bidang di Riau bertanggung jawab atas penyelenggaraan bidang tersebut di

semua status kawasan. Sebaliknya, di Kalimantan Barat, sektor-sektor tersebut

mewakili status kawasan sehingga organisasi atau instansi yang menjadi

penanggung jawab suatu sektor akan bertanggung jawab atas seluruh bidang

pengendalian kebakaran di kawasan sektornya. Sebagai contoh, Dishut Provinsi

Kalimantan Barat bertanggung jawab atas pengendalian kebakaran baik

pencegahan, pemadaman maupun penanganan pasca kebakaran di seluruh

kawasan hutan.

Dalam prakteknya di Kalimantan Barat, meskipun organisasi pemangku

kawasan yang seharusnya bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan

pangkuannya, ternyata ketika terjadi kebakaran, peranan tersebut tidak

dilaksanakan dengan benar. Hal ini disebabkan oleh ketidaksiapan organisasi-

organisasi tersebut dengan sumber daya pengendalian kebakarannya.

Ketidaksiapan tersebut karena tidak tersedianya anggaran akibat dari tidak adanya

urusan kebakaran hutan/lahan di dalam struktur organisasinya. Ketersediaan

anggaran sangat ditentukan oleh bidang tugas yang tercermin di dalam struktur

organisasi. Sementara itu, di sisi lain, Pusdalkarhutla tidak juga memiliki

anggaran sendiri karena sesuai dengan mekanisme anggaran, Pusdalkarhutla yang

dianggap bukan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tidak dapat mengelola

anggaran sendiri.

Page 16: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

90

Untungnya, di Kalimantan Barat telah dibentuk UPTD-PKHL yang

merupakan SKPD sehingga meskipun hanya pada level eselon III yang pembinaan

teknisnya di bawah Dishut Provinsi, organisasi tersebut dapat mengelola anggaran

sendiri. Peranan UPTD tersebut menurut penjelasan Kepala UPTD terutama

adalah pada bidang pemadaman, sedangkan bidang pencegahan ditangani oleh

masing-masing organisasi pemangku kawasannya dan bidang penanganan pasca-

kebakaran, terutama yustisi ditangani oleh pemegang otoritas penegakan hukum

yaitu Polri, kejaksanaan, dan pengadilan, sesuai dengan tugas dan fungsi yang

tercantum di dalam Pusdalkarhutla.

Kondisi tersebut hanya berlaku di tingkat provinsi, sedangkan di tingkat

kabupaten/kota di Kalimantan Barat adalah serupa dengan kondisi yang ada di

tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota di Riau. Peranan pengendalian

kebakaran hutan/lahan yang ada pada Pusdalkarhutla maupun Satlakdalkarhutla di

di Riau maupun Kalimantan Barat menghadapi problema yang serupa yakni tidak

tersedianya anggaran tersendiri untuk menjalankan peranan tersebut karena alasan

serupa yaitu kedua organisasi tersebut bukan SKPD.

Di samping organisasi-organisasi yang profilnya secara jelas menyebut

kebakaran hutan/lahan, terdapat beberapa organisasi yang selama ini berperan

dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan, meskipun profilnya tidak menyatakan

secara eksplisit hal tersebut. Polri dan Kejagung dapat dimasukkan ke dalam

posisi utama dalam peranan yustisi karena tugas dan fungsi pokok kedua

organisasi tersebut memang di bidang yustisi yang mencakup semua jenis

pelanggaran pidana, termasuk pidana pada kebakaran hutan/lahan. Posisi Dit.

PKH dan Asdep PKHL sebagai pendukung dalam yustisi dilakukan baik dalam

penyediaan data dan informasi sebagai bahan dan keterangan (baket) bagi proses

yustisi maupun dalam penyediaan tenaga penyidik, yakni penyidik pegawai negeri

sipil (PPNS) yang mendampingi penyidik Polri dan Kejagung.

Kementerian Kesehatan juga memiliki organisasi yang berkaitan dengan

penanganan keadaan darurat yaitu Pusat Penanggulangan Krisis (PPK). Organisasi

tersebut dapat mendukung kegiatan pengendalian kebakaran, terutama dari segi

penanganan medis. PPK dibentuk dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor

Page 17: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

91

1575/SK/XI/2005. Tugas utama PPK adalah melaksanakan perumusan kebijakan

teknis penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain berdasarkan kebijakan

yang ditetapkan oleh Menteri dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PPK melaksanakan fungsi: (1) penyusunan rancangan kebijakan umum

penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, (2) penyiapan rumusan

kebijakan pelaksanaan dan perumusan kebijakan teknis dalam penanggulangan

krisis dan masalah kesehatan lain, (3) koordinasi pelaksanaan bimbingan dan

pengendalian di bidang pemantauan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan

lain, (4) mobilisasi sumber daya dalam penanggulangan krisis dan masalah

kesehatan lain, (5) mengumpulkan data, menganalisa dan menyajikan informasi

yang berkaitan dengan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, (6)

evaluasi pelaksanaan kebijakan, peraturan dan standar dan program yang

berkaitan dengan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, (7)

pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Berdasarkan tugas dan fungsi

tersebut, PPK dapat mengambil posisi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan

sebagai pendukung dengan peranan sebagai penyedia layanan kesehatan baik bagi

korban kebakaran maupun bagi pelaksana pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Keterlibatan organisasi-organisasi lain pada umumnya adalah juga dalam

operasi pemadaman kebakaran. Kementerian Luar Negeri terlibat sebagai

pendukung terutama dalam fasilitasi keimigrasian ketika terjadi pengerahan

sumber daya pemadaman dari luar negeri dan fasilitasi bagi penyebarluasan

informasi pengendalian kebakaran ke dunia internasional. Kementerian Keuangan

berperan dalam fasilitasi bea dan cukai bagi masuknya barang-barang dalam

mobilisasi bantuan internasional untuk kepentingan operasi pemadaman.

Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) terlibat sebagai pendukung dalam

pencegahan dan pemadaman kebakaran karena adanya Direktorat Manajemen

Pencegahan dan Penanggulangan Bencana di bawah Direktorat Jenderal

Pemerintahan Umum yang dibentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 130

tahun 2003 dan diperbarui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 41

tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri. Salah

satu sub direktorat menangani pencegahan dan penanggulangan kebakaran, tanpa

merinci jenis kebakaran yang dimaksud. Uraian tugas sub direktorat tersebut

Page 18: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

92

menunjukkan bahwa organisasi tersebut tidak terlibat dalam operasional

pengendalian kebakaran di lapangan melainkan pada perumusan kebijakan,

fasilitasi, pemantauan dan evaluasi.

Posisi dan peranan organisasi-organisasi tersebut di atas tidak dijelaskan

secara eksplisit, tetapi berdasarkan analisis terhadap profil dan bidang kegiatan

yang selama ini biasa dilakukan peranan-peranan tersebut dapat diidentifikasi

seperti pada Tabel 5 berikut. Tabel tersebut hanya menyajikan organisasi-

organisasi yang dianggap memegang posisi utama, sedangkan Tabel yang

memasukkan juga organisasi-organisasi lain yang menjadi pendukung disajikan

pada Lampiran 8.

Tabel 5 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat nasional menurut profil organisasi

Organisasi Peranan Pencegahan Pemadaman Pasca Kebakaran

Dit. PKH U U P Asdep PKHL P P U

BNPB - U P Kemkes - U U Polri - P U Kejakgung - - U Keterangan: U = posisi utama, P = posisi pendukung

Pada tingkat provinsi, di samping organisasi-organisasi yang sudah

disebutkan di atas yang profilnya menyebutkan secara eksplisit kebakaran

hutan/lahan, terdapat pula beberapa organisasi yang dapat digolongkan sebagai

organisasi yang berperanan dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Seperti di

tingkat nasional, Polda dan Kejaksaan Tinggi di tingkat provinsi serta Polres dan

Kejaksaan Negeri di tingkat kabupaten/kota berada di posisi utama pada peranan

pasca-kebakaran (yustisi). Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla di Kalimantan

Barat mempunyai departementasi berdasarkan wilayah pemangkuan. Oleh sebab

itu, setiap organisasi yang memangku kawasan yang disebutkan di dalam struktur

organisasi Pusdalkarhutla ataupun Satlakdalkarhutla dapat dikatakan menduduki

posisi utama dan berperanan dalam setiap bidang pengendalian kebakaran.

Page 19: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

93

Berbeda halnya dengan di Riau, Pusdalkarhutla di tingkat provinsi dan

Satlak-dalkarhutla di tingkat kabupaten/kota memiliki departementasi menurut

bidang-bidang dalam pengendalian kebakaran, sehingga setiap organisasi yang

ditunjuk sebagai penanggung jawab bidang dapat dikatakan sebagai pemegang

posisi utama dan berperanan dalam bidang tersebut. Organisasi-organisasi lain

yang dalam Pusdalkarhutla atau Satlak-dalkarhutla baik di Riau maupun di

Kalimantan ditunjuk sebagai anggota dapat disebut sebagai berada pada posisi

pendukung dengan peranan sesuai dengan bidang di mana organisasi tersebut

ditempatkan.

Berdasarkan analisis tersebut maka posisi dan peranan organisasi-organisasi

di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota di kedua lokasi penelitian (Riau

dan Kalimantan Barat) yang berada di posisi utama dapat dirangkum seperti pada

Tabel 6. Hasil identifikasi selengkapnya terhadap seluruh organisasi disajikan

pada Lampiran 8. Adapun keterkaitan masing-masing organisasi tersebut dengan

pengendalian kebakaran hutan/lahan dapat dilihat dari kedudukan masing-masing

organisasi tersebut di dalam struktur organisasi Pusdalkarhutla seperti pada

Gambar 8 dan Gambar 9. Setiap penanggung jawab sektor, kecuali sektor

kesehatan dan sekretariat, mempunyai tugas yang serupa yaitu: pembinaan

terhadap badan usaha di sektornya, pemantauan, pengarahan, dukungan sumber

daya, dan koordinasi dalam pelaksanaan pengendalian kebakaran di areal/kawasan

yang berada di bawah tanggung jawabnya.

1. Kota Dumai, Provinsi Riau

Tingkat Kabupaten/Kota

Organisasi-organisasi di tingkat kabupaten/kota yang menangani kebakaran

hutan/lahan relatif sama dengan organisasi-organisasi di tingkat provinsi baik di

Riau maupun Kalimantan Barat. Organisasi-organisasi tersebut adalah yang

menangani lingkungan hidup, kehutanan, pertanian, dan perkebunan.

Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan lahan di Kota Dumai

berbentuk Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

Page 20: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

94

(Satlakdalkarhutla) Kota Dumai yang dibentuk dengan Peraturan Walikota

Dumai nomor 01 Tahun 2006. Susunan organisasi Satlakdalkarhutla Kota

Dumai ditetapkan dengan Keputusan Walikota Dumai nomor

334/PEREKO/2006. Satlakdalkarhutla dipimpin oleh Wakil Walikota. Dinas

Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) Kota Dumai menduduki

posisi utama dengan menjadi Sekretariat Satlak dan Kepala Distanbunhut Kota

bertindak sebagai Ketua Pelaksana Harian Satlak.

Tabel 6 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota menurut profil organisasi

No. Organisasi Peranan

Sekretariat Pencegahan Pemadaman Pasca Kebakaran

A. Riau 1. Dishut Prov. Riau - P U P 2. Disbun Prov. Riau - U P P 3. BLHD Prov. Riau U - P P 4. Polda Riau - - P U

B. Kalimantan Barat 1. Dishut Prov. Kalbar - U U P 2. Disbun Prov. Kalbar - U U P 3. Distan Prov. Kalbar - U U P 4. Distamben Prov. Kalbar - U U P 5. BLHD Prov.Kalbar U - - P 6. Polda Kalbar - - P U

C. Kota Dumai 1. DistanbunhutKota Dumai U P U P 2. Dinas KPLH Kota Dumai - U P - 3. Polresta Dumai - - P U

D. Kab. Inderagiri Hulu 1. BLHD Kab. Inhu U - - P 2. Dishutbun Kab. Inhu - U U P 3. Polres Inhu - - P U

E. Kab. Ketapang 1. Dishut Kab. Ketapang - U U P 2. Disbun Kab. Ketapang - U U P 3. BLHD Kab. Ketapang U - - P 4. Polres Ketapang - - P U

F. Kab. Kubu Raya 1. BLHD Kab.Kubu Raya U - - P 2. Dishutbun - U U P 3. Polres Pontianak - - P U

Keterangan: U = posisi utama, P = posisi pendukung

Page 21: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

95

Gambar 8 Struktur organisasi Pusdalkarhutla Provinsi Riau (Sumber: Peraturan Gubernur Riau nomor 6 tahun 2006).

Di samping itu, Kepala Bidang Kehutanan sebagai Sekretaris dan

Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai Koordinator

Bidang Penanggulangan dan Wakil Koordinator Bidang Monitoring dan

Pencegahan. Namun demikian, profil organisasi Distanbunhut Kota Dumai sesuai

dengan Peraturan Daerah Kota Dumai nomor 13 tahun 2005 yang merupakan

dasar pembentukan instansi tersebut baik dalam struktur organisasi maupun uraian

tugas jabatan-jabatannya sama sekali tidak menyebutkan tentang kebakaran

Page 22: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

96

hutan/lahan. Urusan kebakaran ditangani di tingkat eselon IV yaitu Seksi

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam pada Bidang Kehutanan.

Gambar 9 Struktur organisasi Pusdalkarhutla Provinsi Kalimantan Barat (Sumber: Keputusan Gubernur Kalimantan Barat nomor 164 tahun 2002).

Page 23: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

97

2. Kabupaten Inderagiri Hulu, Provinsi Riau

Kabupaten Inderagiri Hulu belum memiliki sistem pengorganisasian

pengendalian kebakaran hutan/lahan. Meskipun termasuk daerah rawan

kebakaran, sejak era Reformasi di tahun 1999 kabupaten ini belum

membangun kembali sistem pengendalian kebakarannya. Sistem yang berlaku

adalah Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

(Satlakdalkarhutla) sebagai bagian dari Pusdalkarhutlada yang dibangun

sebelum era Reformasi tersebut. Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD)

yang sebelumnya bernama Bapedalda Kabupaten bertindak sebagai Sekretariat

dan Dinas Kehutanan Kabupaten Inderagiri Hulu sebagai Ketua Pelaksana

Harian, sementara sebagai koordinator pelaksana pemadaman kebakaran sejak

tahun 2003 ditunjuk Manggala Agni Daerah Operasi (Daops) Rengat.

3. Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat

Pengendalian kebakaran hutan/lahan di Kabupaten Ketapang seperti halnya di

tingkat provinsi ditangani oleh masing-masing sektor. Pengorganisasian

pengendalian kebakaran masih menggunakan organisasi masa Orde Baru yaitu

Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran hutan/lahan di mana bupati sebagai

penanggung jawab. Penunjukan instansi-instansi yang bertanggung jawab atas

masing-masing sektor dikaitkan dengan struktur organisasi dan uraian tugas

instansi-instansi yang bersangkutan menurut Peraturan Daerah nomor 11

tahun 2008 secara singkat disampaikan sebagai berikut.

Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang bertanggung jawab atas

kebakaran di kawasan hutan, tetapi di dalam struktur organisasinya tidak

terdapat bidang atau seksi yang khusus menangani kebakaran hutan. Dinas

Perkebunan Kabupaten yang bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan

kebun memiliki seksi yang menangani kebakaran lahan/kebun. Dinas

Pertambangan Kabupaten dan Dinas Pertanian dan Peternakan yang masing-

masing menangani sektor pertambangan dan sektor pertanian dan peternakan

juga tidak memiliki bagian di dalam struktur organisasinya yang menangani

kebakaran. Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kabupaten, yang dulunya adalah

Page 24: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

98

Bapedalda Kabupaten, yang sebelumnya bertindak sebagai Sekretariat

Satlakdalkarhutla Kabupaten juga tidak memiliki unsur yang menangani

kebakaran, bahkan dengan diturunkannya level jabatan dari eselon II (badan)

menjadi eselon III (kantor) menurut Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang

nomor 12 tahun 2008, posisi KLH Kabupaten hanya sebagai pendukung.

4. Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat

Kabupaten Kubu Raya merupakan kabupaten baru, hasil dari pemekaran

Kabupaten Pontianak berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2007.

Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan belum terbentuk, tetapi

sementara ditangani oleh Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Transmigrasi

(Dishutbuntrans) Kabupaten. Pelaksanaan operasional dilakukan bersama

dengan Manggala Agni Daerah Operasi Pontianak yang bermarkas di Rasau

Jaya yang berada di wilayah Kabupaten Kubu Raya. Dishutbuntrans

Kabupaten Kubu Raya memang berada di posisi utama dalam pengendalian

kebakaran hutan/lahan tetapi tidak ada unsur di dalam struktur organisasi

maupun uraian tugas jabatan-jabatan di organisasinya yang secara jelas

menyebutkan kebakaran hutan/lahan. Organisasi-organisasi lain di

pemerintahan kabupaten juga tidak ada yang secara jelas menyebutkan hal

tersebut.

Hasil pengamatan terhadap profil organisasi tersebut memperlihatkan bahwa

peranan organisasi dalam pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan

telah secara formal didefinisikan pada tingkat provinsi dan tingkat

kabupaten/kota, tetapi justru belum terjadi di tingkat nasional. Pada tingkat

nasional, Kementerian Kehutanan yang menurut PP nomor 4 tahun 2001 Pasal 23

bertanggung jawab atau berperan dalam penanggulangan kebakaran hutan/lahan

jika dampaknya telah melintas batas provinsi dan/atau batas negara, tetapi

menurut PP nomor 45 tahun 2004 yang menjadi landasan utamanya justru

membatasi diri pada penanganan kebakaran hutan saja.

Hal tersebut di atas menunjukkan adanya diskrepansi peranan (Brown &

Harvey 2006) karena Kemenhut diharapkan menangani kebakaran tidak hanya di

kawasan hutan melainkan juga di lahan. Peranan yang diberikan oleh PP nomor 4

Page 25: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

99

tahun 2001 seharusnya diterima oleh Kemenhut dengan penuh tanggung jawab

karena di setiap peranan ada harapan dan tanggung jawab (Martin & MacNeil,

2007) dan peranan tersebut diberikan karena adanya kepercayaan (Wehmeyer et

al. 2001) bahwa Kemenhut memiliki kapabilitas untuk menjalankannya.

Kepercayaan (trust) dalam hubungan antar organisasi, apapun organisasinya baik

bisnis maupun pemerintahan, merupakan sesuatu yang biasanya diperjuangkan

dengan sangat keras karena menurut berbagai literatur yang dikutip Wehmeyer et

al (2001) kepercayaan merupakan sebuah faktor yang sangat krusial bagi operasi

jejaring yang efisien. Kepercayaan serupa diberikan juga kepada organisasi yang

menangani kehutanan di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota seperti

terungkap pada hasil angket maupun wawancara.

Asdep PKHL yang secara tegas menyebutkan keterlibatannya pada

kebakaran hutan/lahan pada kenyataannya mengambil peranan lebih pada

penanganan pasca kebakaran yakni berhubungan dengan dampak kebakaran

hutan/lahan. Di sisi lain, BNPB juga belum secara tegas mengambil semua

peranan seperti yang diamanatkan oleh UU nomor 24 tahun 2007. Ketentuan di

masa lalu ketika masih bernama Bakornas PB, organisasi tersebut terlibat dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan, khususnya dalam operasi pemadaman jika

kondisi kebakaran dianggap telah menjadi bencana. UU tersebut kemudian

memberikan peranan penuh kepada BNPB untuk menangani bencana kebakaran

hutan/lahan. Namun demikian, sampai saat ini kriteria bencana kebakaran

hutan/lahan belum ditetapkan sehingga peranan BNPB tersebut masih belum jelas.

Keadaan tersebut di atas menunjukkan bahwa di tingkat nasional,

pembagian peranan memang belum ada kesepakatan di antara organisasi-

organisasi yang terlibat. Situasi yang terjadi masih menunjukkan adanya apa yang

disebut oleh Brown dan Harvey (2006) sebagai role ambiguity maupun role

conflict. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang belum jelas dan utuh dari

masing-masing organisasi tentang posisi dan peranannya, karena memang belum

ada kesepakatan formal mengenai hal tersebut. Suatu sistem pengorganisasian

harus segera dibangun dengan memberikan kejelasan mengenai posisi dan

peranan dari masing-masing unsur di dalam sistem tersebut. Jika melibatkan

Page 26: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

100

berbagai organisasi, maka posisi dan peranan dari masing-masing organisasi yang

dilibatkan juga harus jelas.

5.2.2. Posisi dan peranan organisasi menurut pendapat responden praktisi

Posisi dan peranan organisasi selain dianalisis berdasarkan profil organisasi

juga dianalisis berdasarkan hasil pengisian angket penelitian dan wawancara

dengan para responden dari organisasi-organisasi yang diamati. Hasil pengujian

terhadap validitas dan reliabilitas angket penelitian memperoleh angka validitas

75% dan reliabilitas 80%. Hal tersebut menunjukkan bahwa angket tersebut layak

untuk digunakan. Jumlah angket yang diterima dalam keadaan terisi lengkap

sebanyak 72% dari jumlah angket yang dibagikan kepada responden dari

organisasi yang diamati di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

Persentase dari jumlah angket yang kembali tersebut sebenarnya telah

diperkirakan sebesar sekitar 75%. Pencapaian 100% sulit dicapai karena beberapa

alasan antara lain yaitu:

1. rendahnya perhatian responden terhadap penelitian tersebut, terutama dari para

responden yang jabatannya tidak pernah berkaitan dengan pengendalian

kebakaran atau secara pribadi responden yang bersangkutan tidak memiliki

perhatian ataupun terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan;

2. responden tidak berada di tempat tugas selama penelitian dilaksanakan,

sehingga meskipun angket penelitian telah diserahkan, responden tersebut

tidak mengetahuinya;

Hasil pengisian angket penelitian oleh responden di dalam organisasi-

organisasi yang diamati menunjukkan pemahaman responden terhadap posisi dan

peranan organisasinya dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan dapat disajikan

secara ringkas di bawah ini.

1.

Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran

Identifikasi terhadap keterlibatan organisasi-organisasi di tingkat nasional

dalam dalkarhutla boleh dikatakan tepat sesuai dengan hasil pengisian angket

Page 27: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

101

penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan

organisasinya terlibat atau berperan dalam dalkarhutla (Gambar 10). Hampir

separuh (41,67%) dari jumlah responden bahkan sangat yakin mengenai hal

tersebut. Jika dilihat dari asal organisasinya, semua organisasi yang diamati

terdapat respondennya yang menjawab setuju atau sangat setuju bahwa

organisasinya terlibat dalam dalkarhutla.

Gambar 10 Keterlibatan organisasi di tingkat nasional dalam dalkarhutla

Para responden adalah pejabat di organisasi-organisasi tersebut yang

tentunya mengetahui dan memahami dengan baik mengenai terlibat tidaknya

organisasinya dalam dalkarhutla. Beberapa responden yang ragu-ragu adalah

mereka yang masih baru di organisasinya tersebut atau jabatannya memang tidak

berkaitan sama sekali dengan dalkarhutla. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan

para pejabat tersebut secara pribadi dalam dalkarhutla. Gambar 11 menunjukkan

bahwa hampir sepertiga responden menyatakan tidak pernah terlibat dalam

kegiatan dalkarhutla dan bila ditambahkan dengan yang ragu-ragu maka hampir

separuh responden menyatakan hal tersebut.

Jika dikaitkan dengan profil organisasi pada sub bab tersebut di atas, hal ini

dapat menggambarkan bahwa keterlibatan organisasi dalam dalkarhutla lebih

disebabkan oleh kepedulian pejabatnya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan

Page 28: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

102

dalkarhutla. Menurut pengamatan penulis selama bertugas di bidang dalkarhutla,

banyak organisasi yang menurut profilnya tidak berperanan dalam dalkarhutla,

pada periode pejabat tertentu hampir selalu terlibat dalam dalkarhutla dalam

berbagai bentuk seperti menghadiri rapat-rapat di tingkat nasional maupun tingkat

provinsi dan internasional. Namun, pada periode yang lain dengan pejabat yang

lain, organisasi tersebut seringkali sulit untuk dilibatkan karena kurangnya

perhatian dari pejabatnya.

Keinginan organisasi-organisasi untuk berperan dalam dalkarhutla

sebenarnya juga dinyatakan oleh para responden di mana lebih dari 80%

responden menyatakan bahwa dalkarhutla perlu melibatkan banyak organisasi dan

lebih dari 80% pula menyatakan bahwa organisasinya perlu terlibat dalam

dalkarhutla. Namun demikian alasannya tidak terkait dengan apa yang disebut

dalam teori peranan organisasi sebagai motivasi pelayanan publik atau public

service motivation atau PSM yakni keinginan atau motivasi untuk melayani

kepentingan publik (Moynihan & Pandey 2007). Pengendalian kebakaran

hutan/lahan merupakan kepentingan publik, untuk itu maka pengendaliannya

ditangani oleh pemerintah. Beberapa indikasi PSM yang belum terpenuhi jika

menggunakan kriteria PSM (Moynihan & Pandey 2007) yaitu bahwa mereka

seharusnya (a) berkontribusi positif terhadap upaya pengendalian kebakaran; (b)

menunjukkan level komitmen yang tinggi terhadap kinerja pengendalian

kebakaran; (c) bekerja lebih keras karena percaya bahwa pekerjaannya adalah

Gambar 11 Keterlibatan responden dari organisasi di tingkat nasional dalam kegiatan dalkarhutla.

Page 29: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

103

penting; dan (d) terus meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya sehingga

kinerjanya tinggi dan tingkat kepuasan atas pekerjaannya juga lebih tinggi.

Alasan untuk berperan pada umumnya adalah untuk berbagi sumber daya

karena tidak ada satupun organisasi yang memiliki semua sumber daya yang

dibutuhkan untuk pengendalian kebakaran dan sumber daya yang dimiliki pada

umumnya masih sangat kurang untuk menjalankan peranannya secara optimal.

Namun demikian, usaha untuk dapat memiliki sumber daya atau kapasitas dan

kapabilitas pada tingkat yang optimal tampaknya masih kurang kuat. Hal ini juga

didukung oleh pendapat di dalam focus group discussion (FGD) di tingkat

nasional maupun provinsi dan kabupaten/kota.

Di tingkat provinsi, baik di Riau maupun Kalimantan Barat sebagian besar

responden juga menyatakan hal serupa bahwa organisasinya terlibat dalam

dalkarhutla, tetapi persentase jumlah responden yang menyatakan hal tersebut

relatif lebih rendah dibandingkan dengan di tingkat nasional. Organisasi yang

diamati di kedua provinsi tersebut adalah organisasi yang secara formal terdaftar

di dalam Pusdalkarhutlada, sehingga para pejabatnya seharusnya sudah

mengetahui hal tersebut. Di Riau bahkan masih ada (4,76%) pejabat di Dishut

Provinsi yang ragu-ragu mengenai keterlibatan organisasinya dalam dalkarhutla.

Para responden dari organisasi-organisasi di tingkat kabupaten/kota yang

termasuk sebagai penanggung jawab bidang atau sektor dalam Satlakdalkarhutla

hampir seluruhnya mengetahui bahwa organisasinya terlibat dalam dalkarhutla,

kecuali di Kabupaten Inderagiri Hulu ada sebagian kecil (12,5%) yang masih

ragu-ragu. Hal ini menggambarkan tingkat pengetahuan responden yang relatif

baik tentang peranan organisasi dalam dalkarhutla. Mereka yang masih ragu-ragu

mungkin karena pejabat baru yang datang bukan dari internal organisasi tersebut

atau yang tidak pernah terlibat dalam kegiatan dalkarhutla.

2.

Peranan dalam Sistem Peringatan dan Deteksi Dini (SPDD) Kebakaran

Sistem peringatan dan deteksi dini (SPDD) kebakaran hutan/lahan

mencakup dua hal yang sebenarnya terpisah yaitu sistem peringatan kebakaran

Page 30: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

104

dan sistem deteksi kebakaran (Suprayitno & Syaufina 2008). Sistem peringatan

merupakan bagian dari pencegahan kebakaran sedangkan sistem deteksi

merupakan bagian dari pemadaman kebakaran. Kedua sistem tersebut di berbagai

negara termasuk Indonesia memanfaatkan terutama data dan informasi cuaca dan

peta. Oleh sebab itu, organisasi-organisasi yang dapat menyediakan, mengolah,

dan atau menyajikan data dan informasi cuaca menduduki posisi utama dalam

pengendalian kebakaran.

Gambar 12 menunjukkan bahwa hampir 90% responden dari organisasi-

organisasi di tingkat nasional menyatakan setuju (50%) dan sangat setuju

(37,50%) bahwa organisasinya berperan dalam SPDD. Organisasi yang seluruh

respondennya menyatakan bahwa organisasinya perlu berperan dalam SPDD

yaitu: Dit. PKH, Dit. Linbun, Asdep PKHL, BMKG, Bakosurtanal dan LAPAN.

Ketiga organisasi yang terakhir tersebut memang mempunyai tugas dan fungsi

yang sangat berkaitan dengan penyediaan data dan informasi untuk SPDD,

sedangkan ketiga organisasi yang pertama, berdasarkan hasil wawancara diketahui

memiliki alasan yang berbeda-beda.

Responden dari Dit. PKH menyatakan bahwa organisasinya berperan dalam

mengolah dan menyajikan informasi peringatan dan deteksi dini kebakaran.

Informasi yang dimaksud meliputi peringkat bahaya kebakaran (fire danger

rating) dan lokasi serta jumlah titik panas (hotspot). Informasi tersebut disebarkan

Gambar 12 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam sistem peringatan dan deteksi dini kebakaran hutan/lahan.

Page 31: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

105

kepada berbagai instansi dan publik melalui sistem komunikasi radio terpadu

(SKRT) Kementerian Kehutanan dan media massa cetak maupun media massa

elektronik. Responden dari Dit. Linbun menyatakan bahwa organisasinya

berperan mendistribusikan informasi bahaya kebakaran dan lokasi titik panas

melalui sistem komunikasi di Kementerian Pertanian terutama kepada jajaran

instansi dan badan usaha pertanian dan perkebunan di seluruh provinsi. Peranan

Asdep PKHL menurut respondennya adalah menyebarluaskan informasi titik

panas kepada badan-badan lingkungan hidup di provinsi dan masyarakat..

Responden dari organisasi-organisasi tingkat provinsi maupun tingkat

kabupaten/kota baik di Riau maupun Kalimantan Barat sebagian besar

menyatakan organisasinya terlibat dalam SPDD. Keterlibatan tersebut, menurut

hasil wawancara terutama adalah sebagai penerima informasi dan penyebarluas

informasi. Organisasi-organisasi yang diamati di tingkat provinsi menerima

informasi peringkat bahaya kebakaran dan titik panas secara harian dari tingkat

nasional yaitu Dit. PKH. Organisasi-organisasi tersebut memilah-milah informasi,

terutama titik panas (hotspot), tersebut menurut lokasi kabupaten/kotanya dan

menyampaikan informasi tersebut kepada instansi serupa, misalnya instansi

kehutanan di tingkat provinsi kepada instansi kehutanan di tingkat kabupaten/kota

di mana terdapat titik panas pada waktu tersebut. Instansi-instansi di tingkat

kabupaten/kota tersebut selanjutnya menyampaikan informasi SPDD tersebut

kepada instansi-instansi pemda setempat melalui surat-menyurat atau

telekomunikasi dan kepada publik di wilayahnya melalui media massa lokal.

Pengakuan para responden mengenai keterlibatan organisasi dalam SPDD

tersebut di atas menunjukkan bahwa sebuah peranan “dikeroyok” oleh begitu

banyak organisasi tanpa kejelasan peranan spesifik dari masing-masing organisasi

yang terlibat tersebut, sehingga yang terjadi adalah konflik peranan (role

conflicts). Langkah yang harus ditempuh untuk menghindarkan konflik peranan

yang membuat peranan tersebut tidak dapat dijalankan secara efektif dan efisien

adalah membuat accurate descriptions of expectations (uraian yang tepat

mengenai hal-hal yang diharapkan) dari peranan tersebut dan menunjuk pemimpin

atau organisasi yang menduduki posisi utama dalam peranan tersebut (Martin &

MacNeil 2007).

Page 32: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

106

Page 33: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

107

3. Peranan dalam pencegahan

Peranan dalam pencegahan kebakaran hutan/lahan seperti ditunjukkan pada

Gambar 13 tampaknya juga menjadi pilihan sebagian besar responden dari

organisasi-organisasi di tingkat nasional. Responden yang memilih peranan dalam

pencegahan bagi organisasinya hampir seluruhnya berasal dari organisasi-

organisasi yang memangku kawasan yaitu Dit. PKH, Dit. Linbun dan Dit. Lintan.

Hal tersebut tampaknya dipahami oleh para responden bahwa kebakaran

hutan/lahan terjadi di kawasan-kawasan yang berada di bawah pemangkuan dan

tanggung jawab mereka dan disadari bahwa mereka harus mengambil peran dalam

pencegahan kebakaran.

Responden dari organisasi-organisasi yang menjadi koordinator atau

penanggung jawab bidang atau sektor di dalam Pusdalkarhutla di tingkat provinsi

maupun mereka yang berada di tingkat kabupaten/kota baik di Riau maupun

Kalimantan Barat sebagian besar, sekitar 95%, juga memilih setuju organisasinya

berperan di dalam pencegahan kebakaran hutan/lahan. Organisasi-organisasi

tersebut adalah pemangku kawasan sehingga hal tersebut dapat mengindikasikan

bahwa masing-masing organisasi tersebut merasa bertanggung jawab atas

pencegahan di kawasannya.

Gambar 13 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam pencegahan kebakaran.

Page 34: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

108

4. Peranan dalam pemadaman

Preferensi responden dari organisasi-organisasi di tingkat nasional mengenai

peranan organisasinya dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan cukup beragam.

Dibandingkan dengan peranan dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran

maupun pencegahan kebakaran yang dipilih oleh lebih dari 50% bahkan hampir

oleh seluruh responden, peranan dalam pemadaman dipilih oleh kurang dari 50%

responden (Gambar 14). Hampir separuh responden lainnya menyatakan bahwa

organisasinya tidak berperan dalam pemadaman kebakaran. Para responden yang

menyatakan bahwa organisasinya berperan dalam pemadaman kebakaran

semuanya berasal dari Dit. PKH dan BNPB, serta sebagian dari Dit. Linbun,

sementara responden dari organisasi-organisasi lainnya di tingkat nasional

menyatakan tidak setuju atau ragu-ragu.

Para responden dari organisasi-organisasi di tingkat provinsi maupun

tingkat kabupaten/kota di Kalimantan Barat berpendapat serupa dengan mereka di

tingkat nasional bahwa organisasinya berperanan dalam pemadaman. Hal ini

berbeda dengan di Riau di mana responden yang menyatakan organisasinya

berperanan dalam pemadaman relatif lebih rendah, yakni di bawah 50% dari total

responden di daerah tersebut. Hal ini menggambarkan pengaruh dari posisi dan

peranan organisasi mereka di dalam Pusdalkarhutlada di mana organisasi-

organisasi di Kalimantan Barat bertanggung jawab atas kebakaran di sektornya,

yang artinya setiap organisasi tersebut bertanggung jawab atas semua bidang

Gambar 14 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam pemadaman kebakaran.

Page 35: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

109

dalam pengendalian kebakaran, termasuk pemadamam. Di Riau, pembagian tugas

dan tanggung jawab dalam Pusdalkarhutlada berdasarkan bidang-bidang dalam

pengendalian kebakaran, sehingga hanya organisasi-organisasi yang termasuk

dalam bidang pemadaman yang menyatakan keterlibatan atau peranannya.

Hal tersebut dapat dikonfirmasi dari hasil angket penelitian di mana

responden di tingkat provinsi di Riau adalah hampir seluruhnya (lebih dari 95%)

berasal dari Dishut Provinsi, yang dalam Pusdalkarhutla bertanggung jawab atas

bidang operasi pemadaman. Hal tersebut pada tingkat kabupaten/kota, kurang

nampak perbedaan antara bidang pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca

kebakaran karena organisasi yang ditunjuk menangani bidang-bidang tersebut

yakni kehutanan dan perkebunan kebetulan bergabung dalam satu instansi, yaitu

Distanbunhut Kota Dumai dan Dishutbun Kabupaten Inderagiri Hulu.

5. Peranan dalam penanganan pasca kebakaran

Komposisi jumlah responden dari organisasi-organisasi di tingkat nasional

yang menyatakan peranan organisasinya dalam penanganan pasca kebakaran

cukup menyebar (Gambar 15), namun lebih dari separuh jumlah responden

menyatakan keterlibatan organisasinya dalam penanganan pasca kebakaran.

Organisasi-organisasi yang sebagian besar respondennya memilih organisasinya

berperan adalah Dit. PKH, Dit. Linbun dan Asdep PKHL, sedangkan organisasi

lainnya yang ada respondennya yang memilih peranan tersebut adalah BNPB dan

Bakosurtanal.

Para responden di tingkat provinsi di Riau, 47,5% menyatakan bahwa

organisasinya berperanan dalam penanganan pasca kebakaran, selebihnya yaitu

38,1% dan 14,4% menyatakan tidak terlibat dan ragu-ragu. Pada tingkat

kabupaten/kota di Dumai maupun Inderagiri Hulu terjadi hal yang serupa. Alasan

mengenai hal ini kemungkinan sama dengan alasan pada peranan di dalam

pemadaman yakni berkaitan dengan pembagian tanggung jawab dalam

pengendalian kebakaran baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota

yang berdasarkan bidang-bidang.

Page 36: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

110

Selanjutnya, ketika dirinci bentuk keterlibatan tersebut, responden dari Dit.

PKH lebih memilih terlibat dalam rehabilitasi kawasan bekas kebakaran dan

pemulihan korban (satwa), sedangkan responden dari Dit. Linbun dan Asdep

PKHL lebih memilih keterlibatan dalam yustisi kebakaran. Responden BNPB

memilih keterlibatan dalam pemulihan korban (manusia), dan responden dari

Bakosurtanal memilih keterlibatan dalam proses yustisi.

Hal yang serupa dengan yang ada pada peranan pemadaman di Kalimantan

Barat terjadi pula pada peranan dalam penanganan pasca kebakaran di provinsi

tersebut. Para responden dari organisasi-organisasi baik di tingkat provinsi

maupun di tingkat kabupaten/kota juga menyatakan bahwa organisasinya

berperanan dalam penanganan pasca kebakaran. Alasannya pun tampaknya serupa

yakni bahwa masing-masing organisasi tersebut bertanggung jawab bukan hanya

pada bidang pengendalian tertentu melainkan pada semua bidang di sektornya

masing-masing.

Posisi dan peranan organisasi di tingkat nasional, tingkat provinsi dan

tingkat kabupaten/kota berdasarkan hasil dari pengisian angket penelitian dapat

dirangkum seperti berturut-turut pada Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9.

5.2.3 Posisi dan peranan organisasi menurut pendapat responden pakar

Analisis ini dimaksudkan untuk memperoleh pandangan dari para pakar di

bidang kelembagaan dan pakar di bidang kebakaran mengenai posisi dan peranan

Gambar 15 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam pasca-kebakaran.

Page 37: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

111

Tabel 7 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat nasional menurut pendapat responden praktisi

No. Organisasi Peranan

SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh % Manusia Satwa 1 Dit. PKH √ √ √ - √ - √ 5 19,2 2 Dit. Lintan - √ - - - - - 1 3,8 3 Dit. Linbun √ √ √ √ - - - 4 15,4 4 Asdep PKHL √ √ - √ - - - 3 11,5 5 BNPB - - √ - - √ - 2 7,7 6 Bappenas - - - - - - - 0 0 7 BMKG √ - - - - - - 1 3,8 8 Basarnas - - - - - √ - 1 3,8 9 Bakosurtanal √ - - √ - - - 2 7,7 10 LAPAN √ - - - - - - 1 3,8 11 Kemdagri - - - - - - - 0 0 12 Kemlu - - - - - - - 0 0 13 Kemsos - - - - - √ - 1 3,8 14 Kemkes - - - - - √ - 1 3,8 15 Kemhub - - - - - - - 0 0 16 Kemkeu - - - - - - - 0 0

817 TNI - - √ - - √ - 2 7,7 18 Polri - - - √ - - - 1 3,8 19 Kejakgung - - - √ - - - 1 3,7 20 APHI - - - - - - - 0 0 21 GPPI - - - - - - - 0 0

26 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran; Pulih = pemulihan korban

Tabel 8 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat provinsi menurut pendapat responden praktisi

No. Organisasi Peranan

SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh % Manusia Satwa A. Riau

1. Dishut Prov. √ √ - - √ - √ 4 22,2 2. Disbun Prov. √ √ √ √ √ - - 5 27,8 3. Distan Prov. √ √ - √ √ - - 5 27,8 4. BLHD Prov √ - √ - √ √ - 4 22,2

18 100 B. Kalbar

1. Dishut Prov. √ √ √ √ √ - √ 6 35,3 2. Disbun Prov. √ √ √ √ √ - - 6 35,3 3. Distan Prov. √ - - √ √ - - 3 17,6 4. BLHD Prov √ - - - √ - - 2 11,8

17 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran;

Page 38: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

112

No. Organisasi Peranan

SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh % Manusia Satwa Pulih = pemulihan korban

Tabel 9 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat kabupaten/kota menurut pendapat responden praktisi

No. Organisasi Peranan

SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh % Manusia Satwa A. Kota Dumai

1. Distanbunhut √ √ √ √ √ - - 5 62,5 2. Satpol PP - - √ - - - - 1 12,5 3. KLH √ - - √ - - - 2 25.0

8 100 B. Kab. Inhu

1. Dishutbun √ √ √ √ √ - - 5 62,5 2. Satpol PP - - √ - - - - 1 12,5 3. BLHD √ - - √ - - - 2 25,0

8 100 C. Kab. Ketapang - -

1. Dishut √ √ √ √ √ - - 5 41,7 2. Disbun. √ √ √ √ √ - - 5 41,7 3. BLHD √ - - √ - - - 2 16,6

12 100 D. Kab. Kubu Raya

1. Dishutbuntrans √ √ √ √ √ - - 5 71,4 2. BLHD √ - - √ - - - 2 28,6

7 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran; Pulih = pemulihan korban

organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Hal ini selanjutnya bersama dengan hasil analisis posisi dan peranan menurut

profil organisasi dan pendapat praktisi dari organisasi-organisasi tersebut di atas

dipergunakan dalam merancang bangun sistem pengorganisasian. Para pakar

tersebut terdiri atas tiga orang pakar di bidang kebakaran hutan yaitu seorang

praktisi dari Kementerian Kehutanan dan dua orang akademisi dari Fakultas

Kehutanan IPB, seorang pakar di bidang kelembagaan dari Fakultas Kehutanan

IPB, serta seorang pakar di bidang bencana alam dari BNPB.

Page 39: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

113

Pengolahan data dengan perangkat analisis Interpretive Structural Modeling

(ISM) memperoleh gambaran mengenai posisi dari organisasi-organisasi yang

diamati dalam setiap aspek dari pengendalian kebakaran hutan/lahan. Posisi

organisasi yang penting sebagai key element (Eriyatno 2003) adalah organisasi

yang menduduki peringkat pertama yaitu yang di dalam diagram model struktur

berada di level terbawah. Level ini menggambarkan bahwa elemen atau dalam hal

ini organisasi tersebut memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang terbesar

dengan tingkat ketergantungan (dependence) terendah. Hasil dari analisis ISM ini

dapat ditafsirkan bahwa organisasi atau organisasi-organisasi yang berada di level

terbawah tersebut menduduki posisi terpenting (kunci) dalam aspek yang diamati.

Adapun aspek-aspek yang diamati yaitu: (1) perumusan kebijakan, (2) sistem

peringatan dan deteksi kebakaran, (3) pencegahan kebakaran, (4) pemadaman

kebakaran, (5) rehabilitasi kawasan bekas kebakaran, dan (6) yustisi kebakaran.

Posisi juga dibedakan tingkatannya menurut tingkatan pemerintahan yaitu tingkat

nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota.

a. Posisi dan peranan dalam perumusan kebijakan

Hasil identifikasi terhadap organisasi-organisasi di tingkat nasional

menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut dapat dikelompokkan ke

dalam tiga posisi yang ditunjukkan pada Matriks DP-D yaitu independent

(kwadran IV), dependent (kwadran II) dan autonomus (kwadran I). Organisasi

yang berada pada posisi independent, yaitu Dit. PKH, Dit. TD-BNPB, Dit.

Linbun, dan Bappenas (Gambar 16.a) memiliki pengaruh kuat terhadap

organisasi-organisasi lain dalam merumuskan kebijakan pengendalian kebakaran

hutan/lahan. Organisasi-organisasi inilah yang diharapkan berperan utama dalam

perumusan kebijakan tersebut.

Sementara itu, tidak ada satupun organisasi yang berada pada posisi linkage

(kwadran III). Posisi ini menggambarkan pengaruh yang kuat tetapi tingkat

keterkaitannya dengan organisasi lain juga tinggi. Sedangkan organisasi yang

berada di kwadran II adalah organisasi yang bergantung pada organisasi lain.

Dengan demikian, perumusan kebijakan akan lebih ditentukan oleh keempat

Page 40: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

114

organisasi yang tersebut di atas. Selanjutnya, berdasarkan struktur hirarkinya

(Gambar 16.b) Dit. PKH merupakan organisasi yang berada di posisi utama, yang

harus berperan dalam menyiapkan rumusan dan memimpin dalam pembuatan

kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat nasional.

Situasi tersebut dapat juga ditafsirkan sebagai penggambaran bahwa

organisasi-oganisasi tersebut sebenarnya membawa atau mewakili masing-masing

kepentingan utama di dalam perumusan kebijakan. Dit. PKH (1)

merepresentasikan kepentingan Kehutanan, Dit. Linbun (2) mewakili kepentingan

Pertanian, atau dapat pula dianggap sebagai mewakili lahan, BNPB (6) dari sisi

kepentingan penanganan bencana, dan Bappenas (7) pada sisi pendukung

terutama dalam hal koordinasi perencanaan dan penganggaran.

(a) (b)

Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI

Gambar 16 Posisi organisasi di tingkat nasional dalam perumusan kebijakan. (a) Matrik DP-D menunjukkan posisi relatif organisasi terhadap organisasi lain; (b) Diagram ISM menunjukkan struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan.

1

2

3, 13

4

5

6

7

8, 12, 16

910

1114

15

17

18

19, 20

21, 22

0123456789

10111213141516171819202122

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

3 5 9 10 13 15 21 22

11 14 18 19 20

4 8 12 16

17

7

2

6

1

DRIVER POWER

DEPENDENCE

I II

III IV

Page 41: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

115

Bappenas dan Depkeu sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya

mengoordinasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Koordinasi dalam perumusan

kebijakan sangat penting agar tercipta kebijakan yang komprehensif dan

pelaksanaannya dapat efektif dan efisien. Kondisi demikian mengisyaratkan

perlunya kemampuan tinggi dari Bappenas untuk menjalankan peranan sebagai

koordinator. Jika tidak, maka kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan

menjadi kurang terpadu dan lebih bersifat sektoral.

Perumusan kebijakan di tingkat provinsi, menurut matriks DP-D, akan

diarahkan oleh Dishut dan BLHD. Kedua organisasi tersebut berada di kwadaran

yang sama yang memiliki kekuatan penggerak (DP) tinggi. Diagram ISM pada

Gambar 17 memperlihatkan bahwa Dishut Provinsi dan Bapedalda (BLHD)

merupakan organisasi kunci dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran

hutan/lahan di tingkat provinsi.

Pada tingkat kabupaten/kota, sesuai dengan Diagram ISM pada Gambar 18,

Dishut, Disbun dan BLHD berada pada satu level tertinggi. Hal ini

mengisyaratkan bahwa pada tingkat terbawah yang berhubungan langsung dengan

3 4 5 6 7 8 9 10 11 13 14

2

12

1

Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.

Gambar 17 Struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat pada

perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat provinsi.

Page 42: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

116

situasi dan kondisi lapangan di mana kebakaran terjadi, kebijakan

pengendaliannya dirumuskan bersama-sama dengan menyatukan kepentingan

pada kawasan hutan yang direpresentasikan oleh Dishut, lahan oleh Disbun, dan

dampak kebakaran serta koordinasi oleh BLHD. Posisi organisasi-organisasi

lainnya dalam aspek perumusan kebijakan dapat dikatakan sebagai pendukung.

Keberadaan institusi Kehutanan pada posisi utama di semua tingkat baik

nasional maupun provinsi dan kabupaten/kota dalam perumusan kebijakan

pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut profil organisasi, pendapat para

praktisi maupun pendapat para pakar memberikan pesan bahwa dalam perumusan

sistem pengorganisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan institusi tersebut perlu

ditempatkan sebagai organisasi kunci. Hal ini juga mengisyaratkan akan adanya

kemudahan-kemudahan bagi institusi tersebut dalam berkoordinasi lintas

tingkatan karena organisasi-organisasi tersebut berada dalam satu jajaran,

Kehutanan. Kendala yang dihadapi adalah berupa terputusnya hubungan komando

antar tingkatan akibat penerapan otonomi daerah. Hal ini akan dibahas lebih lanjut

dalam sub bab terakhir dari bab ini yang membahas alternatif-alternatif rumusan

sistem pengorganisasian.

4 5 6 7 8 9 10 11 13 14

3

1 2 12

Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.

Gambar 18 Struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat pada perumusan

kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat kabupaten/kota.

Page 43: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

117

Page 44: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

118

b. Sistem peringatan dan deteksi kebakaran

Matriks DP-D menempatkan BMKG (8), Dit. PKH (1), dan BNPB (6)

dalam satu kwadran yakni Kwadran IV untuk kepentingan dalam sistem

peringatan dan deteksi kebakaran di tingkat nasional (Gambar 19). Hal ini

menunjukkan bahwa ketiga organisasi yang memiliki kekuatan penggerak (driver

power/DP) tertinggi tersebut yang dianggap sesuai untuk memiliki kewenangan

dan tanggung jawab bagi pengelolaan sistem peringatan dan deteksi kebakaran di

tingkat nasional.

(a) (b)

Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI

Gambar 19 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi di tingkat

nasional dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutan/lahan.

Ketiga organisasi tersebut memang selama ini dalam prakteknya dianggap

paling berperanan untuk kepentingan tersebut. Sistem peringatan dan deteksi

kebakaran hutan/lahan sangat berkaitan dengan tersedianya data dan informasi

iklim dan cuaca, dan sesuai tugas dan fungsinya, BMKG yang menyediakannya.

3 5 9 10 13 18 19 20 21 22

2 4 11 14 15 16

12

7 17

6

1

8

Page 45: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

119

Data dan informasi iklim dan cuaca dari BMKG biasanya masih berupa data

mentah yang memerlukan pengolahan untuk menjadi data dan informasi cuaca

kebakaran (fire weather). Dit. PKH dan BNPB inilah yang melakukan pengolahan

data. Namun posisi tidak saling bergantung (independent) antara kedua organisasi

tersebut dapat ditafsirkan bahwa pengolahan dan penyajian informasi cuaca

kebakaran dilakukan terpisah demi kepentingan yang berbeda.

Kondisi tersebut adalah seperti yang terjadi sekarang di mana informasi

cuaca kebakaran dan titik panas (hotspot) dikeluarkan oleh beberapa instansi yang

berbeda. Meskipun sudah ada penjelasan bahwa informasi berbeda tersebut

memang untuk kepentingan yang berbeda, penjelasan tersebut belum tentu

dipahami oleh setiap orang sehingga terjadi persepsi yang bermacam-macam.

Untuk itu, sesuai dengan asas kesatuan tujuan, asas kesatuan komando, dan asas

tanggung jawab agar terwujud organisasi yang efektif (Hasibuan, 2008), peranan

sebagai penanggung jawab sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutan/lahan

sebaiknya diserahkan kepada satu organisasi yang paling layak yaitu BMKG.

Di tingkat provinsi, tampaknya masalah integrasi tersebut lebih mudah

diatasi karena sesuai dengan diagram ISM (Gambar 20), organisasi-organisasi

yang dianggap memiliki kekuatan penggerak (DP) tinggi untuk kepentingan

sistem peringatan dan deteksi kebakaran berada pada satu level dan dalam satu

kwadran yakni Kwadran III. Berada di kwadran ini, disebut linkage, bermakna

bahwa ada keterkaitan di antara organisasi-organisasi tersebut untuk suatu

kepentingan, yang dalam hal ini adalah pengelolaan sistem peringatan dan deteksi

kebakaran.

Organisasi-organisasi yang berada pada posisi terpenting tersebut adalah

Dishut (1), Disbun (2), BLHD (12), dan BMKG (13). Namun demikian, kesamaan

tersebut juga membuat kesulitan di dalam menentukan siapa di antara keempat

organisasi tersebut yang bertindak sebagai koordinator. Untuk itu, agar asas-asas

seperti tersebut di atas (Hasibuan, 2008) dapat terpenuhi, peranan koordinator

jejaring atau network coordinator (Wehmeyer 2001) juga diserahkan kepada

BMKG di tingkat provinsi.

Page 46: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

120

Situasi serupa terjadi juga pada tingkat kabupaten/kota. Keempat organisasi

yaitu Dishut (1), Disbun (2), BLHD (12) dan BMKG (13) di tingkat

kabupaten/kota menurut matrik DP-D berada pada kwadran yang sama, yaitu

Kwadran III (Linkage) dan menurut diagram ISM berada pada level yang sama.

Dengan demikian, perlakuan serupa yaitu menyerahkan peranan koordinator

jejaring kepada BMKG di tingkat kabupaten/kota.

(a) (b)

Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.

Gambar 20 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi di tingkat

provinsi dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutan/lahan.

Penyerahan peranan sebagai koordinator jejaring kepada BMKG di semua

tingkatan memberikan peluang lebih besar bagi terciptanya keterpaduan kebijakan

atau policy integration (Meijers & Stead 2004) maupun koordinasi terpadu atau

integrative coordination (Bolland &Wilson 1994). Peranan sebagai koordinator

pada sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutan/lahan tersebut memberikan

kewenangan dan tanggung jawab kepada BMKG untuk mengoordinasikan data

dan informasi bagi kepentingan sistem tersebut. Kebutuhan akan segala data dan

informasi tersebut untuk berbagai kepentingan dalam bidang-bidang pengendalian

kebakaran (pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca-kebakaran)

4 5 6 7 8 9 10 11 14

3

1 2 12 13

Page 47: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

121

disediakan oleh BMKG dan penyampaian kepada publik juga hanya dilakukan

oleh BMKG, sehingga tidak terjadi simpang siur data dan informasi. Untuk

mendukung peranan tersebut, BKMG telah memiliki dan harus terus

mengembangkan sistem informasi yang mantap, termasuk kerja sama dengan

berbagai media massa.

c. Pencegahan kebakaran

Hasil analisis posisi dan peranan di bidang pencegahan memperoleh

gambaran cukup jelas bahwa bidang pencegahan ditangani secara berbeda antara

di tingkat nasional dengan di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.

Penanganan pencegahan kebakaran hutan/lahan tingkat nasional pada saat ini

menjadi wewenang dan tanggumg jawab organisasi pemangku kawasan.

Pencegahan pada kawasan hutan dengan cukup tegas dinyatakan di dalam PP

nomor 45 tahun 2004 pada Pasal 20 (3) sebagai tanggung jawab pencegahan di

kawasan hutan ada pada Menteri Kehutanan. Pencegahan di luar kawasan hutan,

dalam hal ini adalah lahan, belum ada penegasan siapa yang memiliki wewenang

dan tanggung jawabnya. PP nomor 4 tahun 2001 hanya menyebutkan bahwa

kewajiban pencegahan kebakaran hutan/lahan dibebankan kepada setiap orang

(Pasal 12) atau setiap penanggung jawab usaha (Pasal 13). Pertanggungjawaban

kepada pemerintah berhenti hanya sampai kepada Gubernur (Pasal 15), sedangkan

tanggung jawab kepada tingkat nasional tidak disebutkan secara tegas dan jelas.

Hal serupa juga terjadi untuk pencegahan kebakaran pada lahan perkebunan, di

mana UU nomor 18 tahun 2004 mewajibkan usaha pencegahan kebakaran hanya

kepada pelaku usaha perkebunan (Pasal 25 Ayat 1 dan Pasal 26). Pembinaannya

dilakukan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota (Pasal 44) tanpa

menjelaskan organisasi pemerintah yang dimaksud, kecuali untuk pelanggarannya

jelas dilakukan oleh instansi penegak hukum (Pasal 45).

Ketidakjelasan posisi dan peranan tersebut juga tampak pada profil

organisasi-organisasi yang memangku kawasan. Kemenhut yang memangku

kawasan hutan secara tegas seperti disebutkan di atas (PP nomor 45 tahun 2004)

hanya bertanggung jawab atas pencegahan kebakaran di kawasan hutan yang

Page 48: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

122

dilaksanakan oleh Dit.PKH. Kementan yang bertanggung jawab atas hampir

seluruh fungsi lahan (pertanian pangan dan hortikultura, perkebunan, dan

peternakan) tidak secara tegas dan jelas pula menyatakan tanggung jawabnya atas

pencegahan kebakaran di kawasan yang menjadi tanggung jawabnya.

(a) (b)

Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI

Gambar 21 Struktur hirarki organisasi di tingkat nasional dalam pencegahan

kebakaran hutan/lahan.

Matriks DP-D dan diagram ISM pada Gambar 21 memberikan sebuah

alternatif solusi. Peranan dan tanggung jawab pencegahan kebakaran hutan/lahan

sebaiknya di tangan satu organisasi tingkat nasional yaitu Dit. PKH (1), yang

harus memegang posisi dan peranan sebagai koordinator di bidang pencegahan

kebakaran. Hal ini berbeda dari pendapat yang selama ini berkembang bahwa

pencegahan kebakaran hutan/lahan merupakan urusan bagi instansi pemangku

kawasan. Pendapat yang berkembang selama ini adalah bahwa urusan pencegahan

di kawasan hutan menjadi tanggung jawab Kemenhut, di lahan perkebunan dan

lahan pertanian di bawah Kementan, dan di luar ketiga fungsi kawasan tersebut

3 4 7 9 10 12 13 14 18 20

19

21 22

2 8 11 15 16 17

6

5

1

Page 49: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

123

menjadi tanggung jawab Kemendagri. Menurut diagram ISM, kedua organisasi

yang disebut terakhir itu justru berada pada level kepentingan yang lebih rendah.

Hal ini berarti bahwa pencegahan kebakaran di tingkat nasional tidak menjadi

tanggung jawab masing-masing organisasi pemangku kawasan, melainkan

diserahkan kepada salah satu organisasi yang memiliki kekuatan penggerak (DP)

tertinggi di antara ketiga organisasi tersebut di atas, yaitu Dit. PKH.

Di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, Dishut (1) dan Disbun (2)

merupakan organisasi yang dianggap memiliki kekuatan penggerak (DP) tertinggi

untuk kepentingan pencegahan kebakaran. Keduanya baik yang di provinsi

maupun yang di kabupaten/kota berada pada kwadran III (linkage). Menurut

diagram ISM, di tingkat provinsi (Gambar 22), hanya terdapat dua level, di mana

pada posisi utama atau yang memiliki kekuatan tinggi untuk mengarahkan

dipegang oleh kedua organisasi tersebut ditambah dengan dua organisasi lain

yaitu BLHD (12) dan BMKG (13). Organisasi-organisasi lainnya dengan

kekuatan penggerak (DP) rendah berada pada level berikutnya. Demikian pula

halnya di tingkat kabupaten/kota (Gambar 23), terdapat tiga level, dengan level

kedua diduduki oleh Distan (3) dan BMKG (13), sedangkan organisasi-organisasi

lainnya berada di level berikutnya dengan kekuatan penggerak (DP) terendah.

Posisi-posisi tersebut dapat ditelaah dengan dua tafsiran. Pertama,

organisasi-organisasi yang memiliki kekuatan penggerak (DP) tinggi berada pada

posisi utama dengan tanggung jawab maupun pelaksanaan pencegahan kebakaran

hutan/lahan sepenuhnya dan organisasi-organisasi lainnya hanya sebagai

pendukung atau pelaksana atas program-program yang telah disusun oleh posisi

utama. Tafsir lainnya adalah bahwa organisasi dengan kekuatan penggerak (DP)

tertinggi hanya sebagai koordinator, sedangkan program dan pelaksanaan

pencegahan berada di tangan organisasi-organisasi lain yang berada di level-level

dengan kekuatan penggerak (DP) lebih rendah. Dishut dan Disbun baik di tingkat

provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota memiliki memiliki peluang yang sama

untuk ditunjuk sebagai koordinator bidang pencegahan di masing-masing

tingkatan. Dalam perancangan sistem pengorganisasian, hal ini menjadi

pertimbangan dan pemilihan koordinator akan ditentukan berdasarkan sistem yang

Page 50: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

124

akan digunakan, apakah melibatkan banyak organisasi ataukah hanya satu

organisasi yang ditunjuk.

(a) (b)

Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.

Gambar 22 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi di tingkat provinsi dalam pencegahan kebakaran hutan/lahan.

(a) (b)

Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.

4 5 6 7 8 9 10 11 13 14

3 12

1 2

3 4 5 6 7 8 9 10 11 14

1 2 12 13

Page 51: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

125

Gambar 23 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi yang terlibat pada pencegahan kebakaran hutan/lahan di tingkat kabupaten/kota.

d. Pemadaman kebakaran

Hasil identifikasi terhadap posisi organisasi untuk urusan pemadaman

kebakaran menunjukkan bahwa organisasi-organisasi yang memiliki kekuatan

penggerak (DP) tinggi pada tingkat nasional (Gambar 24) yaitu Dit. PKH (1),

BNPB (6), dan Basarnas (9), sedangkan di tingkat provinsi (Gambar 25) dan

tingkat kabupaten/kota (Gambar 26) adalah Dishut (1) dan Disbun (2). Di tingkat

nasional ketiga organisasi berada dalam satu kwadran yakni Kwadran IV dan

menurut diagram ISM ketiganya independen dengan Dit. PKH pada posisi

tertinggi, disusul BNPB. Posisi tersebut tampaknya sejalan dengan anggapan dan

kondisi faktual sekarang bahwa untuk pemadaman kebakaran hutan/lahan,

organisasi yang telah memiliki sumber daya pemadaman adalah Kemenhut.

Keberadaan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni yang berada

di berbagai daerah di bawah kendali Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemenhut

tampaknya turut mempengaruhi penempatan Dit. PKH di posisi utama tersebut.

3 4 5 7 8 10 11 12 13 14 15 17 18 19 20 21 22

2 16

9

6

1

Page 52: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

126

Sementara itu, di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, Dishut (1)

dan Disbun (2) dipandang sebagai organisasi yang bertanggung jawab terhadap

pemadaman kebakaran. Hal ini mungkin karena kebakaran banyak terjadi di

kawasan-kawasan yang berada di bawah wewenang dan tanggung jawab kedua

organisasi tersebut. Dikaitkan dengan profil organisasi yang disajikan di bagian

awal bab ini, di Provinsi Riau dan Provinsi Kalbar memang kedua organisasi

tersebut yang diberi mandat baik melalui keputusan atau peraturan gubernur atau

bupati/walikota untuk menjadi koordinator pemadaman kebakaran hutan/lahan.

(a) (b)

Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.

Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI

Gambar 24 Struktur hirarki organisasi di tingkat nasional dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan.

4 5 6 7 8 9 10 11 13

12

3 14

1 2

Page 53: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

127

Gambar 25 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi di

tingkat provinsi dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan.

Persoalannya adalah kembali pada penerapan asas-asas pengorganisasian

yang efektif terutama asas kesatuan komando, asas rentang kendali, dan asas

pembagian kerja (Hasibuan 2008). Struktur hirarki ISM untuk tingkat nasional

sudah dengan tegas menunjukkan organisasi yang dapat berada di puncak

tanggung jawab yakni Dit. PKH, tetapi untuk tingkat provinsi dan tingkat

kabupaten/kota masih terdapat dua organisasi di masing-masing tingkatan

tersebut. Penetapan mengenai organisasi mana yang ditunjuk sebagai koordinator

bidang pemadaman sebaiknya diserahkan kepada penanggung jawab wilayah,

dalam hal ini gubernur dan bupati/walikota. Namun demikian, kepada gubernur

dan bupati/walikota tersebut tetap perlu diberikan arahan pilihan yaitu memilih

salah satu di antara Dishut dan Disbun. Pertimbangan lainnya adalah berkaitan

dengan status fungsi kawasan di mana frekuensi dan skala tertinggi kejadian

kebakaran dan kapasitas organisasinya.

(a) (b)

Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran

Gambar 26 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi di

tingkat kabupaten/kota dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan.

4 5 6 7 8 9 10 11 13

12 14

3

1 2

Page 54: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

128

e. Rehabilitasi kawasan bekas kebakaran

Matriks DP-D untuk rehabilitasi kawasan bekas kebakaran hutan/lahan

menurut para responden pakar menjadi wewenang dan tanggung jawab KNLH (5)

sebagai organisasi dengan kekuatan penggerak (DP) tertinggi seperti pada Gambar

27. Sementara itu, di level berikutnya terdapat Dit. Linbun (2) dan APHI (21) dan

organisasi-organisasi lainnya di level terakhir. Penempatan KNLH, dalam hal ini

Asdep PKHL, di posisi utama dapat ditafsirkan sebagai pemberian mandat kepada

organisasi tersebut untuk berperan sebagai pemegang tanggung jawab di tingkat

nasional untuk urusan rehabilitasi. Tanggung jawab tersebut mungkin dalam

penyusunan program dan kegiatan, penyediaan anggaran, pengarahan,

pemantauan, pengawasan, dan pelaporan. Sedangkan posisi Dit. Linbun dan APHI

tampaknya mewakili kawasan tempat kejadian kebakaran, di mana Dit. Linbun

bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan perkebunan khususnya dan lahan

pada umumnya,dan APHI untuk rehabilitasi di kawasan hutan.

1 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 22

2 21

5

Page 55: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

129

Pemilihan APHI, yang merupakan organisasi non-pemerintah, menyiratkan

suatu harapan bahwa upaya-upaya rehabilitasi kawasan bekas kebakaran

sebaiknya menjadi tanggung jawab pengusaha, yang dalam hal ini adalah para

pengusaha kehutanan. Para pengusaha kehutanan pada dasarnya telah menerima

wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola suatu kawasan hutan, sehingga

apapun yang terjadi di dalam kawasannya, termasuk kebakaran hutan dan semua

tindakan penanganannya, yang meliputi rehabilitasi bekas kebakaran menjadi

tanggung jawabnya.

Di tingkat provinsi, Dishut (1), Disbun (2) dan Distan (3) menjadi organisasi

yang juga dipandang paling layak untuk mengarahkan upaya rehabilitasi kawasan

bekas kebakaran. Ketiga organisasi tersebut yang kawasannya paling banyak

terbakar tampaknya menjadi alasan untuk menempatkan ketiganya pada posisi

utama meskipun pada level yang berbeda menurut diagram ISM-nya. Hal serupa

berlaku pula di tingkat kabupaten/kota di mana ketiga organisasi, Dishut, Disbun

dan Distan, juga memperoleh skor kekuatan penggerak (DP) tertinggi.

f. Yustisi Kebakaran

Kebakaran hutan/lahan baik disengaja atau tidak disengaja menurut UU nomor 42

tahun 1999 dan UU nomor 23 tahun 1997 merupakan tindak pidana. Hal ini

tampaknya menjadi alasan bagi para responden pakar untuk menempatkan Mabes

POLRI (19) dan Kejagung (20) di posisi utama untuk urusan yustisi kebakaran

hutan/lahan seperti ditunjukkan oleh diagram ISM pada Gambar 28.

Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI

Gambar 27 Struktur hirarki organisasi-organisasi di tingkat nasional dalam

rehabilitasi kawasan bekas kebakaran hutan/lahan.

Page 56: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

130

Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI

Gambar 28 Struktur hirarki organisasi-organisasi di tingkat nasional dalam yustisi kebakaran hutan/lahan.

Kedua organisasi tersebut berada pada level yang sama dengan kekuatan

penggerak (DP) tertinggi. Dit. PKH (1) dan KNLH (5) yang berada di level

berikutnya adalah untuk mendukung secara teknis kedua organisasi di posisi

utama tersebut yang menjalankan proses penanganan perkara pidananya.

Mahkamah Agung (MA) tidak diamati, karena penanganan perkara pidana oleh

organisasi tersebut merupakan tingkat penanganan yang terakhir setelah tingkat

pengadilan negeri di kabupaten/kota dan pengadilan tinggi di tingkat provinsi,

sekalipun kasusnya ditangani langsung oleh Mabes Polri dan Kejagung.

3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 21

22

2

1 5

19 20

Page 57: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

131

Hal ini tergambar dari posisi utama untuk yustisi kebakaran di tingkat

provinsi yang posisi utamanya pada tiga organisasi penegak hukum yaitu Polda

(7), Kejakti (8), dan Pengadilan Tinggi (9) seperti pada diagram ISM (Gambar

29). Begitu pula halnya di tingkat kabupaten/kota, Polres (7), Kejari (8), dan

Pengadilan Negeri (9) merupakan organisasi-organisasi yang mendapat kekuatan

penggerak (DP) tertinggi dan berada pada satu level (Gambar 30).

Posisi di level berikutnya untuk tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota

adalah Dishut (1), Disbun (2) dan Distan (3). Ketiga organisasi tersebut berada di

level kedua pada posisi sebagai pendukung dalam upaya penegakan hukum dan

penanganan perkara karena kasus-kasus yustisi kebakaran hutan/lahan terjadi di

kawasan-kawasan yang berada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya.

(a) (b) Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.

Gambar 29 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi di tingkat provinsi dalam yustisi kebakaran hutan/lahan.

4 5 6 10 11 13 14

12

1 2 3

7 8 9

Page 58: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

132

Hasil pengolahan angket penelitian dari responden pakar dengan ISM

selengkapnya disajikan pada Lampiran 9. Rekapitulasi hasil analisis posisi dan

peranan organisasi menurut pendapat pakar disajikan pada Tabel 10. Tabel

tersebut hanya menyajikan organisasi-organisasi yang menduduki posisi utama

pada setiap peranan di setiap tingkatan. Hasil identifikasi selengkapnya disajikan

pada Lampiran 10.

Tabel 10 Hasil identifikasi organisasi pemeran utama dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut pendapat pakar

No. Organisasi Peranan Bijak SPDD Gah Dam Yus Rehab

A. Tingkat Nasional 1 Dit. PKH √ √ √ √ √ - 2 Dit. Linbun √ - - - - √ 3 KNLH - - √ - √ √ 4 BNPB √ √ √ √ - - 5 Bappenas √ - - - - - 6 BMKG - √ - - - - 7 Basarnas - - - √ - - 8 Mabes POLRI - - - - √ - 9 Kejagung - - - - √ -

10 APHI - - - - - √

(a) (b) Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran

Gambar 30 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi di tingkat kabupaten/kota dalam yustisi kebakaran hutan/lahan.

5 6 11 13 14

3 4 10 12

1 2

7 8 9

Page 59: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

133

Tabel 10 Lanjutan

No. Organisasi Peranan

Bijak SPDD Gah Dam Yus Rehab B. Tingkat Provinsi

1. Dishut √ √ √ √ - √ 2. Disbun - √ √ √ - √ 3. Distan - - - √ - - 4. Polda - - - - √ - 5. Kejati - - - - √ - 6. Pengadilan Tinggi - - - - √ - 7. BLHD √ √ √ - - - 8. BMKG - √ √ - - - 9. Disdamkar - - - √ - -

C. Tingkat Kabupaten/Kota 1. Dishut √ √ √ √ √ - 2. Disbun √ √ √ √ √ - 3. Distan - - - √ - - 4. Polres - - - - - √ 5. Kejari - - - - - √ 6. Pengadilan Negeri - - - - - √ 7. BLHD √ √ - - - - 8. BMKG - √ - - - -

Keterangan: Bijak = perumusan kebijakan; SPDD=sistem peringatan dan deteksi dini; Gah= pencegahan; Dam= pemadaman; Yus= yustisi; Rehab= rehabilitasi kawasan bekas terbakar.

Analisis terhadap posisi dan peranan organisasi menurut profil organisasi,

pendapat responden praktisi dan pendapat pakar tersebut di atas menunjukkan

bahwa peranan dalam bidang-bidang dari pengendalian kebakaran hutan/lahan

masih tersebar di berbagai organisasi. Beberapa peranan dipegang oleh lebih dari

satu organisasi, tetapi sejauh ini tidak ada penunjukan kejelasan secara definitif

organisasi yang berada di posisi utama dan posisi pendukung untuk masing-

masing peranan tersebut. Pada tingkat nasional sebenarnya telah ditetapkan BNPB

sebagai organisasi di posisi utama yang mendapat mandat menurut UU nomor 24

tahun 2007, namun dalam pelaksanaannya struktur organisasi BNPB yang

melibatkan berbagai organisasi justru tidak memasukkan Kemenhut dan

Kementan yang menurut analisis posisi dan peranan tersebut di atas paling banyak

berperanan dan seharusnya masuk di dalam struktur BNPB tersebut.

Page 60: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

134

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi dan

kabupaten/kota di kedua lokasi penelitian belum termasuk organisasi yang diamati

dalam pengumpulan data melalui angket penelitian untuk posisi dan peranan

organisasi. BPBD merupakan organisasi yang relatif baru di kedua provinsi.

BPBD Kalimantan Barat baru dibentuk pada Mei 2009 dengan Peraturan

Gubernur nomor 76 tahun 2009. Seperti halnya di tingkat nasional, BPBD

tersebut juga tidak secara eksplisit menyebutkan kebakaran hutan/lahan sebagai

salah satu bidang tugasnya.

Menurut hasil wawancara dengan responden yang terdiri dari pimpinan

instansi-instansi penanggung jawab sektor pada Pusdalkarhutla Provinsi

Kalimantan Barat diperoleh penjelasan bahwa pada saat ini ada wacana

“perebutan” kewenangan dan tanggung jawab pengendalian kebakaran

hutan/lahan antara Pusdalkarhutla dengan BPBD. BPBD menganggap bahwa

urusan kebakaran hutan/lahan menjadi bagian dari kewenangannya sesuai dengan

UU nomor 24 tahun 2007 sedangkan Pusdalkarhutla beranggapan bahwa akan

lebih baik jika penanganan kebakaran hutan/lahan dilaksanakan oleh sebuah

organisasi tersendiri yang khusus menangani hal tersebut yakni Pusdalkarhutla.

Untuk itu, pada saat penelitian ini berjalan Pemerintah Daerah Provinsi

Kalimantan Barat yang dikoordinasikan oleh BLHD Provinsi sedang

mempersiapkan revisi Peraturan Gubernur tentang Pusdalkarhutla untuk

mendudukkan posisi dan peranan masing-masing organisasi termasuk BPBD

Provinsi serta mekanisme kerjanya dalam penanganan kebakaran hutan/lahan.

BPBD Provinsi Riau pada saat penelitian ini berjalan belum terbentuk dan

sedang dalam proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang

pembentukannya. Struktur organisasi BPBD menurut Raperda tersebut serupa

dengan struktur organisasi BPBD Provinsi Kalimantan Barat. Pembagian posisi

dan peranan antara BPBD dengan Pusdalkarhutla masih belum jelas. BPBD

tersebut kelak akan merupakan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dengan

kedudukan langsung di bawah Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) untuk

mempermudah koordinasi.

Page 61: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

135

Selama BPBD tersebut belum terbentuk, penanganan bencana masih

dilakukan oleh Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan

Pengungsi (Satkorlak PBP). Satkorlak PBP Provinsi Riau dibentuk dengan

Keputusan Gubernur Riau nomor KPTS.594/XIII/2002. Gubernur Riau bertindak

sebagai Ketua dengan wakil-wakil terdiri dari Komandan Resort Militer

(Danrem), Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), dan Komandan Landasan Udara

(Danlanud).

Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat

kabupaten/kota sebenarnya juga relatif jelas di setiap kabupaten/kota yang diamati

di mana beberapa peranan dipegang oleh instansi yang menangani kehutanan

dan/atau perkebunan. Pada keempat kabupaten/kota yang diamati, kedua urusan

tersebut kebetulan ditangani oleh satu organisasi dan organisasi tersebut, yakni

Dishutbun atau Distanbunhut, ditunjuk sebagai penanggung jawab bidang-bidang

dalam pengendalian kebakaran ataupun sektor-sektor di mana kebakaran

hutan/lahan dianggap paling banyak terjadi. Namun demikian, pembagian posisi

dan peranan tersebut secara definitif, kecuali di Kota Dumai, belum memiliki

landasan hukum karena masih mengacu pada pengorganisasian masa lalu sebelum

era reformasi yakni Satlakdalkarhutla yang sebenarnya sudah tidak berlaku lagi

sejak era Reformasi. Ketiga kabupaten tersebut (Inderagiri Hulu di Riau dan

Ketapang dan Kubu Raya di Kalimantan Barat) belum merevisi Satlakdalkarhutla

tersebut.

5.3. Hubungan Antar Organisasi

Sub bab ini membahas hasil penelitian untuk menjawab tujuan penelitian kedua

yaitu menganalisis hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran

hutan dan lahan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan antar tingkatan.

Dua hal yang dianalisis dari hubungan antara organisasi yaitu: (1) pola hubungan

antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan, dan (2) tingkat

pengetahuan dan pemahaman para pemangku kepentingan mengenai mekanisme

hubungan antar organisasi. Analisis terhadap pola hubungan dilakukan pada tiga

aspek yaitu: (a) bantuan layanan, (b) administrasi, dan (c) perencanaan,

Page 62: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

136

5.3.1. Pola hubungan antar organisasi

Pola hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan

dapat dilihat dari tiga aspek yang diadaptasi dari Bolland dan Wilson (1994), yaitu

(1) bantuan layanan, yakni hubungan antar organisasi yang diwujudkan dalam

bentuk memberi dan/atau menerima bantuan, (2) administrasi, yakni hubungan

antar organisasi dalam bentuk kontribusi suatu organisasi bagi pencapaian tujuan

organisasi lain, dan (3) perencanaan, yang diwujudkan dalam bentuk saling

mengenal antar orang-orang dari organisasi-organisasi tersebut. Ketiga aspek

tersebut dianalisis dari data yang diperoleh melalui angket dengan responden para

pimpinan atau pejabat pada organisasi-organisasi yang diamati.

Selama ini sering kali dinyatakan bahwa pengendalian kebakaran hutan dan

lahan belum efektif disebabkan antara lain oleh kurangnya koordinasi antara

instansi-instansi yang terkait. Laporan mengenai kurangnya koordinasi tersebut

seringkali tidak tepat menurut Bolland dan Wilson (1994), karena laporan (a)

tanpa dilandasi suatu dasar empiris bagi kesimpulannya, ataupun (b) tanpa

menunjukkan temuan-temuan empiris yang akan diterima sebagai bukti

koordinasi. Analisis terhadap ketiga aspek di bawah ini antara lain adalah untuk

memberikan gambaran apakah benar bahwa koordinasi antar instansi atau

organisasi yang terkait dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di

Indonesia masih kurang.

Hasil pengisian angket penelitian dan wawancara menunjukkan bahwa

semua responden menyatakan perlunya pelibatan berbagai organisasi pemerintah

baik dalam satu tingkatan maupun antar tingkatan dalam pengendalian kebakaran

hutan/lahan. Pelibatan berbagai organisasi tersebut memungkinkan adanya saling

membantu dalam berbagai hal, terutama sumber daya pengendalian kebakaran.

Pendapat responden tersebut sesuai dengan teori Muldford dan Klonglan (1982) di

mana dalam menghadapai permasalahan masa kini yang kompleks, organisasi

tunggal akan sulit jika bekerja sendirian sekalipun ia memiliki sumber daya yang

mencukupi. Sejauh mana konsistensi pendapat responden tersebut dikonfirmasi

dengan hasil analisis terhadap ketiga aspek tersebut di atas.

Page 63: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

137

1. Bantuan layanan (client referral)

Hasil analisis bantuan layanan antar organisasi menunjukkan bahwa hanya

sedikit hubungan bantuan layanan yang terkonfirmasi, yang ditandai dengan

angka 1 pada matriks di Lampiran 11. Hubungan tersebut dapat digambarkan

dengan diagram baik dalam satu tingkatan maupun antar tingkatan, untuk Provinsi

Riau adalah seperti pada Gambar 31 dan untuk Provinsi Kalimantan Barat seperti

pada Gambar 32.

Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat nasional hanya

ada sembilan organisasi yang memiliki hubungan bantuan layanan saling

terkonfirmasi. LAPAN dan Bakosurtanal merupakan dua organisasi yang

Gambar 31 Diagram hubungan bantuan layanan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota di Provinsi Riau.

Page 64: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

138

memiliki paling banyak hubungan layanan dengan organisasi-organisasi lain. Hal

ini terkait dengan jenis layanan yang diberikan kedua organisasi tersebut yaitu

informasi yang dibutuhkan oleh organisasi-organisasi lain. BMKG menurut

matriks pada Lampiran 11 sebenarnya juga memiliki banyak hubungan bantuan

layanan, tetapi hubungan tersebut tidak terkonfirmasi dan lebih banyak organisasi

yang menyatakan menerima bantuan layanan BMKG. Hal ini dapat menunjukkan

bahwa meskipun BMKG menyediakan layanan informasi kepada banyak

organisasi, layanan tersebut pada umumnya tersedia bagi publik dan mudah

diakses tanpa memerlukan kontak dengan BMKG.

Hubungan bantuan layanan antar organisasi di tingkat provinsi pada kedua

daerah, Riau dan Kalbar, menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hubungan

bantuan layanan di Riau relatif lebih baik di mana organisasi-organisasi pada satu

Gambar 32 Diagram hubungan bantuan layanan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat.

Page 65: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

139

tingkatan maupun antar tingkatan dari tingkat nasional, provinsi sampai dengan

kabupaten/kota saling memiliki hubungan layanan yang terkonfirmasi. Berbeda

halnya dengan di Kalbar, tidak ada satupun hubungan bantuan layanan yang

terkonfirmasi baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun antar tingkatan.

Kondisi hubungan bantuan layanan di kedua daerah tersebut tampaknya

berkaitan dengan pembagian peranan yang ditunjukkan oleh departementasi pada

struktur organisasi Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla. Departementasi di Riau

yang berdasarkan bidang-bidang pengendalian kebakaran mengharuskan

dilakukannya kerja sama dengan pola koordinasi integratif sesuai dengan kriteria

Bolland dan Wilson (1994). Sebaliknya, pola hubungan yang terjadi di Kalbar

dengan departementasi berdasarkan wilayah pemangkuan tidak mengharuskan

adanya kerja sama antar organisasi. Di Kalbar, organisasi pemangku kawasan

bertanggung jawab atas semua bidang pengendalian kebakaran hutan/lahan di

kawasannya. Hal ini berarti masing-masing organisasi tersebut harus

mengembangkan kapasitas dan kapabilitas sendiri. Bantuan dari pihak lain tidak

dapat diharapkan karena masing-masing pihak lain tersebut juga harus

mempersiapkan dirinya untuk mengendalikan kebakaran di wilayahnya.

Hal tersebut di atas dapat mengindikasikan bahwa sekarang ini aliran

bantuan untuk pengendalian, khususnya dalam operasi pemadaman kebakaran

hutan/lahan sulit untuk mencapai sasaran di lapangan karena lemahnya koordinasi

antar tingkatan dari nasional sampai dengan lapangan (lokasi kebakaran).

Berbagai aspek dari koordinasi masih belum berjalan. Peranan-peranan dalam

koordinasi (Wehmeyer et al. 2001; Malone et al. 1999) belum terdefinisikan

dengan jelas. Sebagai contoh, peranan entry management yang bertanggung jawab

atas pengembangan infrastruktur dan pemantapan hubungan antar organisasi

belum ditetapkan siapa atau organisasi mana yang berperan, apakah semua

organisasi yang terlibat, ataukah ditunjuk satu organisasi untuk memegang

peranan tersebut. Peranan ini sebenarnya ada di tangan penanggung jawab bidang

untuk di Riau atau wilayah kerja untuk di Kalbar, namun penelitian ini tidak

menemukan adanya bukti-bukti bahwa peranan tersebut telah dijalankan, misalnya

belum ada rencana pengembangan infrastruktur pengendalian kebakaran dan

belum ada langkah-langkah menggalang kesepakatan dengan berbagai pihak.

Page 66: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

140

Kesepakatan-kesepakatan dan komitmen untuk saling membantu antar pihak

seharusnya sudah dicapai sebelum operasi pengendalian kebakaran (Anonim

1998).

Hasil angket penelitian dan wawancara memperoleh gambaran baik di Riau

maupun di Kalbar bahwa meskipun responden menyatakan kerja sama untuk

pengendalian kebakaran hutan/lahan adalah keharusan, masih terdapat kesan yang

kuat bahwa kerja sama tersebut adalah lebih untuk memperoleh bantuan dari pada

berbagi bantuan. Dalam hal ini, Dishut atau organisasi yang menangani kehutanan

seperti Balai KSDA atau Balai Taman Nasional, baik di tingkat provinsi maupun

di tingkat kabupaten/kota dianggap sebagai organisasi yang menjadi sumber

bantuan karena dipandang telah memiliki sumber daya pengendalian

(pemadaman) kebakaran yang relatif paling lengkap.

Sementara itu, ketika organisasinya dimintai bantuan, respon terhadap

permintaan bantuan tersebut memerlukan beberapa pertimbangan. Keterkaitan

dengan tanggung jawab terhadap status kawasan yang terbakar menjadi

pertimbangan utama untuk merespon permintaan bantuan, sebagaimana

dinyatakan oleh 62,50% responden di tingkat nasional, 85,71% responden di

tingkat provinsi di Riau dan 55,50% responden di Kalbar. Alasan lainnya adalah

kedekatan hubungan secara psikologis antara pimpinan organisasi, di mana

permintaan bantuan oleh “kawan baik” berpeluang lebih besar untuk direspon

positif dan lebih cepat dibandingkan jika permintaan bantuan datang dari

organisasi yang pimpinannya kurang saling mengenal. Pernyataan tersebut

disetujui oleh sebagian besar responden di semua tingkatan, di mana di tingkat

nasional 41,67% responden setuju dan 29,16% responden menolak, di tingkat

Riau 57,14% responden setuju dan 23,81% menolak dan di Kalbar 50%

responden setuju dan 23,20% menolak serta yang lain ragu-ragu.

Organisasi-organisasi yang diamati tampaknya kurang memahami konsep

kerja sama (Mulford & Klonglan 1982) maupun konsep kemampuan (Ulrich

1997) dalam pengembangan organisasi. Mereka bukannya membangun

kapabilitasnya sendiri untuk dapat mengatasi masalahnya sendiri dan baru

meminta bantuan (kerja sama) jika sumber daya atau kapabilitasnya habis, tetapi

Page 67: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

141

sejak dari awal sudah mengandalkan bantuan dari organisasi lain. Untuk itu,

penetapan tugas atau peranan atau task/role assignment (Malone et al. 1999)

seharusnya diperjelas di dalam struktur dan uraian tugas Pusdalkarhutla ataupun

sistem pengorganisasian yang akan dibangun.

Mekanisme perbantuan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran

hutan/lahan juga belum jelas tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak

yang berhubungan. Kedua hal tersebut harus jelas, tertulis dan disepakati bersama,

seperti yang diterapkan di Amerika Serikat dalam bentuk rencana mobilisasi

pemadaman kebakaran (fire suppression mobilization plan/FSMP) di tingkat

nasional dan di tingkat negara bagian (Anonim 1998). Mekanisme semacam itu

harus dibangun, dipahami dan dilatih-praktekkan oleh pihak-pihak yang terkait

sebelum adanya kejadian kebakaran, sehingga ketika terjadi kebakaran, masing –

masing pihak dapat menjalankan peranannya.

2. Pencapaian Tujuan (Administrative)

Hubungan administratif antar organisasi biasanya melibatkan transaksi

sumber daya yang memungkinkan organisasi tersebut lebih efektif dalam

mencapai tujuannya (Bolland & Wilson 1994). Hasil analisis untuk aspek

administrasi menunjukkan bahwa dari 21 organisasi yang diamati di tingkat

nasional, terdapat 15 organisasi yang memiliki hubungan mutualistik dalam

pencapaian tujuan organisasi, dan dua di antaranya yang memiliki hubungan

mutualistik terbanyak adalah Dit. PKH dan Asdep PKHL (Gambar 33).

Kondisi hubungan administratif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota

untuk di Riau (Gambar 34) dan di Kalbar (Gambar 35) menunjukkan perbedaan

yang cukup mencolok di mana hubungan adminsitratif antar organisasi pada satu

tingkatan di Riau telah terjalin relatif lebih semarak daripada yang terjadi di

Kalbar. Pada tingkat provinsi di Riau, organisasi-organisasi yang terlibat dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan telah saling membantu di dalam pencapaian

tujuan organisasi, sedangkan di Kalbar hal tersebut tidak terjadi karena tidak

adanya hubungan yang terkonfirmasi dalam pencapaian tujuan.

Page 68: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

142

Gambar 33 Diagram hubungan administratif (pencapaian tujuan) antar

organisasi pada tingkat nasional.

Secara umum, baik di Riau maupun di Kalbar, telah terjadi hubungan

administratif antar tingkatan, meskipun baru terjadi antar beberapa organisasi,

bahkan di Kalbar hanya Asdep PKHL yang memiliki hubungan tersebut. Di Riau,

hubungan administratif antara provinsi dengan kabupaten/kota telah terjalin,

sedangkan di Kalbar tidak terdapat hubungan tersebut.

Hubungan yang digambarkan pada kedua diagram di atas adalah hubungan

yang mutualistik, dan tidak berarti bahwa hanya organisasi-organisasi tersebut

yang saling berhubungan. Organisasi-organisasi lainnya juga berhubungan tetapi

derajat hubungannya tidak sampai pada level terkonfirmasi. Matriks yang

disajikan pada Lampiran 12 dapat memperlihatkan hubungan-hubungan yang

terjadi. Setiap hubungan yang memiliki angka 1 menunjukkan adanya pengakuan

oleh responden tentang adanya hubungan tersebut. Hubungan dinyatakan

mutualistik jika angkanya adalah (1,1), dan tidak ada hubungan sama sekali jika

angkanya adalah (0,0).

Hasil analisis dengan matriks tersebut menunjukkan bahwa Asdep PKHL

merupakan organisasi yang paling banyak memiliki komposisi (1,1) yakni

sebanyak 25 dan paling sedikit memiliki komposisi (0,0) yakni hanya 6. Hal ini

Page 69: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

143

berarti bahwa Asdep PKHL merupakan organisasi yang paling banyak

berhubungan secara mutualistik dengan organisasi-organisasi lain. Di tingkat

provinsi, Disbun dan BLHD Provinsi Riau adalah organisasi yang mempunyai

hubungan mutualistis terbanyak, sedangkan di tingkat kabupaten/kota, Dishut

Gambar 34 Diagram hubungan administratif antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota Provinsi Riau.

Page 70: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

144

merupakan organisasi yang terbanyak hubungan mutualistiknya. Kondisi tersebut

akan turut menentukan dalam pemilihan organisasi yang dapat ditunjuk sebagai

koordinator jejaring (network coordinator) atau pemegang posisi utama dalam

sistem pengorganisasian yang akan dibangun.

Gambar 35 Diagram hubungan administrasi antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat.

Page 71: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

145

Koordinasi merupakan pengelolaan saling ketergantungan antar aktivitas

untuk mencapai tujuan (Malone et al. 1999) dan adanya hubungan administrasi

menunjukkan adanya saling ketergantungan dalam bentuk transaksi sumber daya

untuk mencapai tujuan (Bolland & Wilson 1994). Tidak adanya hubungan

tersebut mengindikasikan tidak adanya transaksi atau pertukaran sumber daya di

antara organisasi-organisasi tersebut, padahal tindakan-tindakan pengendalian

kebakaran memerlukan sumber daya dan masing-masing organisasi tersebut

belum memiliki sumber daya yang memadai untuk bertindak sendirian. Transaksi

atau pertukaran atau aliran sumber daya tidak terjadi karena belum jelasnya tujuan

bersama yang akan dicapai oleh pihak-pihak atau aktor-aktor yang bertransaksi

(Malone et al. 1999).

Menurut teori koordinasi, aktor di dalam organisasi-organisasi menghadapi

masalah koordinasi yang timbul dari ketergantungan yang menjadi kendala dalam

pelaksanaan tugas-tugas (Malone & Crowston 1994). Dalam konteks

pengendalian kebakaran hutan/lahan, terlihat jelas bahwa meskipun telah

dilakukan pembagian tugas di dalam Pusdalkarhutla maupun Satlakdalkarhutla,

baik menurut bidang-bidang pengendalian kebakaran maupun menurut wilayah

kerja, para pimpinan organisasi (aktor) masih menggantungkan diri pada

organisasi-organisasi lain. Mereka, para aktor tersebut, memang tidak mengakui

hal tersebut baik dalam mengisi angket maupun dalam wawancara, tetapi tidak

adanya usaha, bahkan rencana, untuk memiliki sumber daya yang memadai bagi

pelaksanaan tugasnya dapat menunjukkan bahwa ketergantungan tersebut

memang terjadi. Sikap saling bergantung tersebut sayangnya juga tidak

dinyatakan secara terbuka kepada pihak-pihak lain yang sebenarnya juga saling

bergantung, sehingga masalahnya menjadi tidak terselesaikan. Langkah yang

seharusnya dilakukan adalah seperti yang disarankan Malone dan Crowston

(1994) yakni melakukan aktivitas tambahan yang disebutnya sebagai coordination

mechanisms.

Mekanisme koordinasi tersebut dapat dilakukan dengan jalan seluruh

organisasi yang terlibat, terutama yang berada dalam satu bidang tugas, misalnya

pemadaman, pertama kali harus membahas dan menyepakati tujuan bersamanya.

Masalahnya adalah bahwa para pimpinan organisasi masih kurang perduli dengan

Page 72: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

146

tujuan organisasi. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya responden yang

mengisi salah atau sama sekali tidak mengisi baris isian pada angket untuk visi

dan misi organisasinya (Gambar 36). Kondisi bahwa responden masih kurang

mengetahui tujuan organisasinya serupa dengan ketika ditanyakan tentang visi dan

misi pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan atau visi dan misi

Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla. Visi dan misi yang merupakan tujuan

jangka panjang juga belum didefinisikan lebih lanjut menjadi tujuan-tujuan dan

sasaran-sasaran jangka pendek. Oleh sebab itu, untuk meperbaiki mekanisme

koordinasi, seluruh organisasi yang terlibat dalam sistem pengorganisasian

pengendalian kebakaran hutan/lahan harus menyepakati tujuan bersama tersebut.

Langkah selanjutnya adalah membagi tugas, mengidentifikasi sumber daya

yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas tersebut, mengidentifikasi sumber

daya mana saja yang harus dimiliki atau disediakan oleh organisasi mana, dan

bagaimana prosedur untuk memobilisasinya ketika diperlukan. Hal ini harus

dilakukan ketika sistem pengorganisasian melibatkan banyak organisasi dan

anggaran untuk penyediaan sumber daya berada di masing-masing organisasi

yang terlibat tersebut, seperti yang terjadi sekarang di mana Pusdalkarhutla dan

Satlakdalkarhutla masih dianggap sebagai bukan satuan kerja perangkat daerah

atau SKPD sehingga tidak dapat mengusulkan anggarannya sendiri.

Gambar 36 Komposisi responden (dalam %) tentang pengetahuannya terhadap visi dan misi organisasinya.

Page 73: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

147

Di samping itu, kendala-kendala institusional yang pernah, sedang dan

mungkin akan dihadapi dalam manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan,

misalnya tentang ketersediaan anggaran harus diidentifikasi dan disepakati

bersama untuk berkomitmen untuk menyelesaikannya. Pengendalian kebakaran

masih dianggap sebagai kegiatan konsumtif yang hanya menghabiskan anggaran,

sementara masih banyak kegiatan lain yang dinilai lebih produktif sehingga dalam

keterbatasan kemampuan penyediaan anggaran bagi daerah, pengendalian

kebakaran hutan/lahan belum mendapatkan cukup prioritas. Hal ini dapat

dimaklumi pada kondisi keuangan daerah sekarang ini, di mana porsi belanja atau

pengeluaran daerah (22%) masih jauh lebih besar daripada porsi penerimaannya

(7%) dari keseluruhan penerimaan negara (Basri 2009). Porsi penerimaan daerah

dari pemerintah pusat yang sangat rendah tersebut menurut Basri (2009) juga telah

mendorong usaha daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)-nya.

Usaha tersebut antara lain berupa peningkatan pembangunan pertanian,

perkebunan, pertambangan, dan permukiman yang dalam penyiapan lahannya

biasanya menggunakan pembakaran. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor

penyebab masih kurang efektifnya pengendalian kebakaran hutan/lahan.

3. Perencanaan (agenda setting)

Hasil analisis terhadap angket mengenai agenda setting menunjukkan bahwa

telah terjadi cukup saling mengenal di antara pimpinan dari organisasi-organisasi

yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan/lahan, baik pada satu

tingkatan maupun antar tingkatan. Hal ini terlihat dari diagram hubungan antar

organisasi dari aspek perencanaan pada Gambar 37.

Diagram tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat nasional hubungan

saling mengenal antar organisasi relatif baik. Hubungan tersebut di Provinsi Riau

(Gambar 37) juga sudah relatif terjalin baik pada satu tingkatan maupun antar

tingkatan dari tingkat nasional, provinsi, sampai dengan kabupaten/kota, bahkan

terdapat pula hubungan dari tingkat nasional langsung ke tingkat kabupaten/kota.

Di Kalimantan Barat, hubungan antar tingkatan terjadi hanya antara tingkat

Page 74: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

148

nasional dengan tingkat provinsi, dan tidak terjadi antara tingkat provinsi dengan

tingkat kabupaten/kota (Gambar 38).

Kondisi di mana saling mengenal di antara para pimpinan organisasi yang

terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan masih sedikit tersebut

berdasarkan tuturan responden disebabkan antara lain oleh: (a) organisasi

responden jarang melakukan kontak atau terlibat dalam pertemuan-pertemuan

dengan organisasi-organisasi lain dalam konteks kebakaran hutan/lahan, (b)

responden baru beberapa waktu menduduki jabatan di organisasinya yang

dianggap terkait dengan pengendalian kebakaran hutan/lahan dan selama masa

Gambar 37 Diagram hubungan perencanaan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, di Provinsi Riau.

Page 75: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

149

tersebut belum pernah atau jarang sekali mengikuti pertemuan atau kontak dengan

organisasi-organisasi lain, (c) responden tidak selalu ditunjuk untuk

mengadakan kontak atau pertemuan dengan orang-orang dari organisasi-

organisasi lain dalam konteks kebakaran hutan/lahan karena tidak jelasnya kaitan

antara uraian tugas responden dengan urusan kebakaran hutan/lahan sehingga

sering terjadi penugasan terhadap pejabat atau staf berubah-ubah setiap kali

kontak atau pertemuan dengan organisasi-organisasi lain.

Gambar 38 Diagram hubungan perencanaan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, di Provinsi Kalimantan Barat.

Page 76: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

150

Pengamatan terhadap hubungan saling mengenal antar organisasi antar

tingkatan menunjukkan bahwa pada umumnya organisasi-organisasi tersebut

saling mengenal hanya pada jajarannya di tingkatan-tingkatan lain. Sebagai

contoh, organisasi yang menangani kehutanan mengenali orang-orang dari

organisasi di tingkatan lain yang juga menangani kehutanan. Hal ini

menggambarkan bahwa hubungan antar organisasi antar tingkatan terjadi terutama

pada organisasi-organisasi yang berada dalam jajaran yang sama.

Tabel 11 Jumlah organisasi yang pimpinannya dikenali dan yang mengenali pimpinan-pimpinan organisasi lain

No. Organisasi Organisasi yang

dikenali Organisasi yang

mengenali Total % Total %

1 Asdep PKHL 14 35.90 7 17.95 2 Dit. PKH 3 7.69 4 10.26 3 Dit. TD-BNPB 2 5.13 2 5.13 4 BMKG 3 7.69 3 7.69 5 Dishut Prov. Riau 2 5.13 4 10.26 6 Disbun Prov. Riau 4 10.26 4 10.26 7 BLHD Prov. Riau 4 10.26 4 10.26 8 Dishut Prov. Kalbar 3 7.69 4 10.26 9 Disbun Prov. Kalbar 1 2.56 3 7.69 10 Distanbunhut Kota Dumai 4 10.26 1 2.56 11 Dishut Kab. Ketapang 2 5.13 2 5.13

Saling mengenal di antara orang-orang yang terlibat dalam suatu organisasi

atau pengorganisasian sangat penting, terutama untuk membina komunikasi. Hal

ini terkait dengan keterlibatan emosi di dalam manajemen organisasi dan orang-

orang (Everaert 1997). Everaert menegaskan hubungan atau kedekatan emosional

adalah sangat penting untuk menjaga tingkat produktivitas atau kinerja yang

tinggi dalam organisasi masa depan. Hasil penelitian ini menguatkan sinyalemen

Everaert (1997) bahwa organisasi-organisasi masa kini yang telah meninggalkan

aspek emosional ternyata banyak yang gagal dalam mencapai tujuannya. Pada

Page 77: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

151

bagian hubungan bantuan layanan di atas disebutkan bahwa respon permintaan

bantuan dipengaruhi oleh kedekatan emosional pemimpin organisasi.

Kemampuan untuk saling mengenal juga penting dalam mekanisme untuk

membangun sistem sosial dan saling mengenal tersebut didasarkan pada level

saling mempercayai (Janssen 2005). Kondisi hubungan saling mengenal yang

masih relatif rendah seperti yang terjadi pada pengorganisasian pengendalian

kebakaran hutan/lahan sekarang ini dengan demikian menjadi salah satu faktor

penyebab lemahnya manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Salah satu kelemahan dalam manajemen pengendalian kebakaran

hutan/lahan adalah masih lemahnya aturan-aturan dan oleh sebab itu untuk

membangun manajemen pengendalian kebakaran yang baik diperlukan penguatan

aturan-aturan. Aturan-aturan, menurut Jenssen (2005), dibuat, dipilih, disimpan,

ditegakkan, diubah, dan dihapuskan, untuk itu penguatan aturan-aturan

pengendalian kebakaran hutan/lahan yang dimaksud haruslah mencakup

kapabilitas untuk membuat, memilih, menyimpan, menegakkan, mengubah, dan

menghapus aturan-aturan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi kebakaran

hutan/lahan. Keberhasilan tindakan-tindakan terhadap aturan-aturan tersebut

bergantung pada modal sosial (social capital), yang terdiri antara lain hubungan-

hubungan kepercayaan (relations of trust), hubungan timbal-balik (reciprocity),

aturan-aturan, norma-norma dan sanksi-sanksi, dan keterkaitan (connectedness) di

dalam institusi (Pretty 2001 diacu dalam Jenssen 2005).

Kondisi saling mengenal di antara organisasi-organisasi yang terlibat dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan tersebut dapat menggambarkan kondisi

tentang masih sulitnya menjalankan tindakan-tindakan terhadap aturan-aturan

dalam pengendalian kebakaran. Perencanaan atau agenda setting bersama

tampaknya masih sulit dikarena hubungan antar orang-orang dari organisasi-

organisasi tersebut belum akrab, bahkan banyak yang belum saling mengenal.

Alasan yang mungkin dari kondisi tersebut antara lain adalah frekuensi pertemuan

dan/atau komunikasi antar organisasi tersebut kemungkinan besar masih sangat

kurang, dan belum adanya penunjukan orang-orang tertentu dari masing-masing

organisasi sebagai kontak (contact persons) yang tetap. Kondisi hubungan antar

Page 78: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

152

organisasi seperti ini pula yang tampaknya membuat penanganan kebakaran

hutan/lahan di semua tingkatan masih belum optimal.

Analisis terhadap pola hubungan antar organisasi berdasarkan dari ketiga

aspek tersebut di atas dapat memperoleh kesimpulan sementara bahwa integrative

coordination (Bolland & Wilson 1994) belum terpenuhi. Di sisi lain, integrasi

kebijakan (Meijers & Stead 2004) masih sulit dibangun karena konsep

keterpaduan (integrated) atau “kemenyeluruhan” (comprehensiveness) belum

menjadi acuan bagi organisasi-organisasi yang terlibat tersebut. Putusnya

hubungan antar tingkatan di hampir seluruh dari ketiga aspek hubungan antar

organisasi tersebut di atas masih menjadi kendala dalam penanganan pengendalian

kebakaran hutan/lahan di Indonesia.

5.3.2. Tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap mekanisme hubungan

antar organisasi

Hasil analisis terhadap angket penelitian tersebut menunjukkan bahwa

sebagian besar responden dari organisasi-organisasi yang diamati di tingkat

nasional, provinsi dan kabupaten/kota pada dasarnya telah mengetahui adanya

mekanisme hubungan internal organisasinya. Mekanisme hubungan internal

tersebut telah ditetapkan dalam bentuk tata hubungan kerja (tahubja) yang

mengikuti struktur dari organisasi yang bersangkutan. Sebagian besar organisasi,

terutama di tingkat nasional dan provinsi, pada umumnya telah relatif

berkembang, dalam arti bahwa aktivitas-aktivitas di dalam organisasi telah

direncanakan dengan baik, telah mengembangkan suatu mekanisme dalam bentuk

prosedur-prosedur yang mengatur aliran tugas, tanggung jawab, informasi, dan

lain-lain dari satu bagian ke bagian lain (Brown & Harvey 2006). Sebaliknya,

oganisasi-organisasi yang belum memiliki mekanisme hubungan internal terutama

adalah di tingkat kabupaten/kota. Hal ini disebabkan antara lain oleh belum

mantapnya organisasi dalam menetapkan visi dan misi, struktur organisasi,

sumber daya manusia, maupun sarana dan prasarana di dalam organisasi.

Organisasi-organisasi tersebut baru dibentuk mengikuti terbentuknya

kabupaten/kota baru hasil pemekaran dan/atau struktur pemerintahan baru yang

Page 79: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

153

otonom, seperti di Kota Dumai, Riau dan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan

Barat. Penggabungan tiga organisasi pemerintah daerah di Kota Dumai yaitu

Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan menjadi satu yaitu

Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan telah mengubah mekanisme

hubungan antar ketiga organisasi yang sebelumnya bersifat eksternal untuk

mencapai visi yang berbeda-beda menjadi hubungan internal untuk mencapai satu

visi bersama. Sementara itu, di Kubu Raya yang merupakan pemekaran dari

Kabupaten Pontianak, pada saat penelitian ini dilakukan pemerintah daerahnya

masih disibukkan oleh penataan elemen-elemen organisasi, terutama sumber daya

manusia dan sarana dan prasarana organisasi.

Pada tingkat nasional, hanya sekitar separuh dari jumlah responden yang

menyatakan bahwa organisasinya telah memiliki mekanisme hubungan antar

organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan, dan seperempat dari

jumlah responden masih meragukan adanya mekanisme tersebut (Gambar 39).

Ketika hal tersebut dikonfirmasi dengan hasil wawancara terhadap beberapa

responden, semuanya menyatakan bahwa mekanisme hubungan tersebut masih

berupa suatu kesepakatan tidak tertulis di antara organisasi-organisasi tersebut.

Hampir semua responden yang menyatakan telah adanya mekanisme hubungan

tersebut adalah berasal dari organisasi-organisasi yang memang aktif terlibat

dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan yaitu Dit. PKH, Asdep PKHL, dan

Ditlinbun.

Keragu-raguan dan ketidaksetujuan responden mengenai sudah adanya

mekanisme hubungan antar organisasi di tingkat nasional tersebut beralasan

karena ternyata pada tingkat nasional belum terbentuk secara formal sistem

pengorganisasian untuk pengendalian kebakaran hutan/lahan. Sistem

pengorganisasian yang berlaku sekarang hanyalah merupakan kesepakatan tidak

tertulis untuk menjalankan sistem pengorganisasian yang pernah ada yaitu berupa

organisasi yang bernama Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional

(Pusdalkarhutnas). Organisasi tersebut dibentuk dengan Keputusan Menteri

Kehutanan nomor 188/Kpts-II/1995 dan berlaku di jajaran Departemen

Kehutanan, sedangkan sistem pengorganisasian yang melibatkan organisasi-

organisasi pemerintah lainnya di tingkat nasional adalah Tim Koordinasi Nasional

Page 80: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

154

Penanggulangan Kebakaran Hutan/lahan (TKN-PKHL) yang dibentuk oleh

Menteri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1995. Kedua organisasi tersebut

tidak pernah dibubarkan tetapi juga dianggap sudah tidak berlaku lagi sejak era

reformasi tahun 1998/1999.

Mekanisme hubungan di tingkat nasional yang belum tertulis tersebut

tampaknya yang membuat para responden di tingkat provinsi baik di Riau

maupun Kalimantan Barat menyatakan ketidaktahuan mereka mengenai adanya

mekanisme tersebut. Namun mereka di tingkat kabupaten/kota di kedua provinsi

tersebut sebagian besar menjawab setuju mengenai sudah adanya mekanisme

tersebut di tingkat nasional. Hasil wawancara terhadap beberapa responden di

tingkat kabupaten/kota mengenai hal tersebut memperoleh gambaran tentang

keyakinan mereka bahwa di tingkat nasional pasti sudah ada mekanisme tersebut

karena selama ini instansi pemerintah pusat (nasional) dianggap cepat dalam

merespon laporan kejadian kebakaran dari kabupaten/kota.

Para responden di tingkat provinsi sendiri sebagian besar juga menyatakan

bahwa provinsinya belum memiliki mekanisme hubungan antar organisasi dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan. Gambar 40 merupakan contoh proporsi

jumlah responden di Provinsi Riau dan gambaran serupa bagi Kalimantan Barat

Gambar 39 Pendapat responden di tingkat nasional tentang adanya mekanisme hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat nasional.

Page 81: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

155

dengan 16,67% menyatakan sangat tidak setuju dan 50% tidak setuju bahwa

provinsinya telah memiliki mekanisme tersebut.

Gambar 40 Pendapat responden di Provinsi Riau tentang adanya mekanisme hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Pendapat responden dari kabupaten/kota di kedua provinsi terhadap

mekanisme hubungan antar organisasi tersebut di tingkat provinsi sama dengan

pendapat mereka untuk tingkat nasional. Mereka percaya bahwa mekanisme

tersebut telah ada dengan alasan yang sama yaitu dapat mengalirnya respon dari

tingkat nasional ke kabupaten/kota melalui provinsi karena sudah adanya

mekanisme di tingkat provinsi. Pada kenyataannya, mekanisme yang baku di

masing-masing level maupun antar level belum terbentuk secara formal.

Ketiadaan mekanisme tersebut jelas menghambat proses pengerahan sumber daya

untuk pengendalian kebakaran, terutama terkait dengan penyediaan anggaran

untuk penanganan kejadian kebakaran.

Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut

lebih dari separuh responden baik di tingkat nasional, di tingkat provinsi maupun

di tingkat kabupaten/kota bukan hanya kalau dibutuhkan melainkan sudah

melekat di dalam bidang tugas. Persentase jumlah responden yang menyatakan hal

tersebut pada tingkat nasional adalah sekitar 66% (Gambar 41), di Provinsi Riau

dan Provinsi Kalimantan Barat, masing-masing 70% dan 88%, dan di tingkat

kabupaten/kota di Riau dan Kalimantan Barat masing-masing 67% dan 70%

(Gambar 42). Hal tersebut dapat dikaitkan dengan banyaknya responden yang

memiliki pengetahuan mengenai adanya prosedur tetap kerja sama dalam

Page 82: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

156

pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkatannya masing-masing yakni

sebanyak 68% responden di tingkat nasional, 90% di Provinsi Riau, 93% di

Provinsi Kalimantan Barat, 66% di kedua kabupaten dan kota di Riau dan 58% di

kedua kabupaten di Kalimantan Barat.

Gambar 41 Alasan keterlibatan organisasi di tingkat nasional dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Gambar 42 Alasan keterlibatan organisasi di tingkat provinsi dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Hasil wawancara memperoleh gambaran bahwa para responden tersebut

sekadar mengetahui adanya dokumen yang mengatur tentang kerja sama berbagai

organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan, tetapi mereka

tidak mengetahui rincian tentang bagaimana mekanisme hubungan kerja sama

tersebut. Responden mengetahui tentang hubungan kerja sama tersebut juga hanya

pada tingkatan di mana organisasi mereka berada dan antar tingkatan (nasional,

Page 83: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

157

provinsi, dan kabupaten/kota), sedangkan mengenai hubungan dengan organisasi

internasional sebagian besar (60%) menyatakan belum tahu.

Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut

sebagian besar responden baik di tingkat nasional, di tingkat provinsi maupun di

tingkat kabupaten/kota ditentukan oleh ketersediaan sumber daya, terutama

ketersediaan sarana dan prasarana dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh

organisasi yang bersangkutan (Gambar 41 dan Gambar 42 ). Ketersediaan dana

atau anggaran dari organisasi sendiri menjadi pertimbangan berikutnya. Hal ini

berarti bahwa organisasi akan terlibat atau mengirimkan bantuan dalam

pengendalian kebakaran, terutama dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan jika

mereka memiliki peralatan dan personil. Namun demikian, pengerahan bantuan

yang sebenarnya, akan terjadi jika organisasi tersebut memiliki cukup dana untuk

itu, sedangkan ketersediaan dana dari luar organisasi kurang menjadi

pertimbangan. Hal ini yang menjadi salah satu alasan organisasi-organisasi

tersebut tidak segera bertindak mengerahkan sumber dayanya ketika ada

kebakaran karena ternyata anggaran atau dana yang ada pada organisasinya

sendiri tidak ada atau sangat sedikit sedangkan dana dari luar organisasi juga

belum jelas mekanismenya.

Mekanisme baku mengenai perbantuan sumber daya antar organisasi sejauh

ini belum ada. Upaya untuk membangun kesepakatan antar organisasi untuk

menciptakan mekanisme tersebut juga belum ada. Kekosongan mekanisme

perbantuan sumber daya antar organisasi tersebut belum menjadi agenda dalam

pengorganisasian pengendalian kebakaran baik di tingkat nasional, provinsi

maupun kabupaten/kota, sehingga penanganan pengendalian kebakaran

hutan/lahan berjalan sendiri-sendiri oleh masing-masing organisasi.

Keterlibatan dalam pengendalian kebakaran juga dipengaruhi oleh

keterkaitan dengan tanggung jawab terhadap status kawasan yang terbakar,

sebagaimana dinyatakan oleh 62,50% responden di tingkat nasional, 85,71% di

tingkat provinsi Riau, 55,50% di tingkat provinsi Kalimantan Barat, 54,55% di

Kota Dumai, 44,40% di Kabupaten Inderagiri Hulu, 76,47% di Kabupaten

Ketapang, dan 52,50% di Kabupaten Kubu Raya. Hal ini berarti bahwa

Page 84: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

158

keterlibatan organisasi dalam operasi pengendalian kebakaran, baik dalam bidang

pencegahan, penanganan pasca-kebakaran, maupun terutama pemadaman

kebakaran, sangat ditentukan oleh lokasi di mana kegiatan dilaksanakan. Dishut,

misalnya, akan dengan segera merespon permintaan bantuan jika kebakaran

terjadi di kawasan hutan. Demikian pula halnya dengan Disbun yang akan

memberikan prioritas respon kepada permintaan bantuan untuk penanganan

kebakaran di kawasan perkebunan.

Kedekatan hubungan antara organisasi yang meminta bantuan dengan

organisasi yang dimintai bantuan turut menjadi pertimbangan juga. Di tingkat

nasional, komposisi antara sangat tidak setuju dan tidak setuju dengan setuju dan

sangat setuju adalah 29,16% dengan 41,67%, dan 29,17% ragu-ragu, yang berarti

organisasi akan mengirimkan bantuan jika organisasi yang memintanya dianggap

dekat secara psikologis. Di Provinsi Riau, komposisinya relatif serupa yaitu

57,14% setuju dan 23,81% tidak setuju, sementara di Provinsi Kalimantan Barat

terjadi sebaliknya yaitu 50% tidak setuju dan 23, 20% setuju. Hal tersebut

kemungkinan berkaitan dengan departementasi pada struktur organisasi

Pusdalkarhutlada di mana di Riau pembagian tugas berdasarkan pada bidang-

bidang pengendalian kebakaran sehingga batas-batas kawasan pemangkuan

kurang menjadi perhatian, sementara di Kalimantan Barat pembagian tugas

berdasarkan tanggung jawab pada kawasan sehingga apapun yang terjadi di

kawasan yang menjadi tanggung jawabnya adalah benar-benar menjadi tugas dan

tanggung jawabnya dengan kurang mengharapkan bantuan dari organisasi lain

yang sudah memiliki tanggung jawab di kawasannya sendiri.

Hal serupa terjadi pada tingkat kabupaten/kota, di mana di kabupaten/kota

di Riau persentase responden yang tidak setuju dengan yang setuju adalah sama

yaitu 44,44, sedangkan di kedua kabupaten di Kalimantan Barat komposisinya

adalah 58,82% tidak setuju dan 29,41 setuju. Alasan untuk hal tersebut juga

tampaknya serupa karena pembagian tugas pada Pusdalkarhutlada di tingkat

provinsi dan Satlakdalkarhutla di tingkat kabupaten/kota di provinsi yang sama

juga serupa.

Page 85: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

159

Hasil analisis data menunjukkan bahwa kurang dari separuh jumlah

responden menjawab pertanyaan di bagian tersebut. Hal ini ketika dikonfirmasi

kepada beberapa responden yang tidak menjawab angket tersebut diperoleh dua

alasan pokok. Pertama, responden merasa tidak mengetahui atau kurang yakin

mengenai hubungan organisasinya dengan organisasi-organisasi lain yang ada di

dalam daftar angket tersebut dalam hal-hal yang dipertanyakan. Sebagai contoh,

mengenai pertukaran bantuan, responden merasa kurang yakin mengenai adanya

saling memberi dan menerima bantuan antara organisasinya dengan organisasi

lain. Bantuan yang dimaksud sebenarnya tidak terbatas pada bantuan dalam

konteks pengendalian kebakaran hutan/lahan saja melainkan bantuan dalam

berbagai bidang. Hal ini memang tidak dijelaskan di dalam angket penelitian dan

peneliti juga tidak memberikan penjelasan ketika melakukan wawancara dan

konfirmasi tersebut karena peneliti beranggapan bahwa responden adalah pejabat

atau pimpinan organisasi yang dianggap telah mampu memahami makna yang

tersurat maupun tersirat dari kalimat-kalimat di dalam angket penelitian. Namun

demikian, hal tersebut juga dapat mengindikasikan bahwa responden yang terdiri

dari para pimpinan organisasi tersebut pada dasarnya belum memahami hubungan

atau keterkaitan antara organisasinya dengan organisasi-organisasi lain di

berbagai hal. Kekurangpahaman responden mengenai bantuan layanan yang

diberikan organisasinya ataupun yang diterima oleh organisasinya juga dapat

mengindikasikan bahwa organisasi-organisasi tersebut masih lebih banyak bekerja

atau berjalan secara sendiri-sendiri dan masih kurang bekerja sama baik dalam

bentuk koordinasi ataupun kolaborasi dengan organisasi-organisasi lain.

Kedua, responden merasa bahwa angket tersebut terlalu rumit dan sulit

mengisinya karena kurangnya petunjuk pengisian. Kerumitan dan kesulitan dalam

pengisian angket tersebut ternyata berkaitan dengan alasan pertama setelah

peneliti mengonfirmasi alasan kedua tersebut. Peneliti tidak melakukan perubahan

terhadap angket tersebut karena angket tersebut merupakan satu bentuk adaptasi

metode yang sedang diujicobakan melalui penelitian ini. Di samping itu, peneliti

melihat alasan utama tampaknya adalah keengganan responden untuk mengisi

semua pertanyaan dalam angket karena dari pemantauan peneliti terhadap

beberapa responden, mereka sepertinya sengaja melewatkan bagian dari angket

Page 86: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

160

yang memerlukan perhatian lebih serius dan yang mengharuskan responden

menuliskan jawaban, bukan sekadar mencontreng. Hal ini dapat menjadi

pertimbangan bagi peneliti sendiri maupun para peneliti lain ketika membuat

angket penelitian serupa agar dapat memperoleh tingkat yang lebih tinggi dalam

pengisian angket yang disebarkan.

Kondisi seperti itu dapat terjadi antara lain karena kurang jelas dan rincinya

prosedur atau mekanisme hubungan antar organisasi di dalam dokumen

pembentukan organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan tersebut. Di tingkat

nasional, hubungan dalam bentuk perbantuan antar organisasi belum didefinisikan

dengan jelas. Salah satu landasan hukum yang menjelaskan hubungan antar

organisasi adalah Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana yang di dalamnya mengamanatkan adanya unsur pengarah yang

melibatkan berbagai instansi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (2).

Aturan tersebut kemudian diuraikan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden nomor

8 tahun 2008 di mana unsur pengarah tersebut melibatkan 10 (sepuluh) organisasi

Pemerintah. Peraturan Presiden tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut peranan

dari masing-masing organisasi tersebut yang seharusnya menjadi alasan

dilibatkannya mereka dalam BNPB. Ketiadaan uraian tentang peranan, tugas,

fungsi, dan tanggung jawab dari masing-masing organisasi tersebut serta tidak

adanya kejelasan mekanisme perbantuan dari dan oleh organisasi-organisasi

tersebut dapat membuat penanganan bencana menjadi tidak optimal.

Hal serupa juga terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di mana

dokumen pembentukan Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla juga tidak

menguraikan dengan jelas bentuk-bentuk layanan yang harus disediakan oleh

masing-masing organisasi yang terlibat serta mekanisme penyediaan dan

penerimaan layanan-layanan tersebut. Seharusnya, masing-masing organisasi

tersebut didefinisikan bentuk-bentuk layanan yang harus disediakan dan yang

diterima sehingga ketika diperlukan, organisasi-organisasi tersebut dengan

sendirinya dapat segera menyediakan layanan-layanan sesuai dengan

kewajibannya.

Page 87: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

161

Jika mengacu pada hasil angket penelitian, dari jawaban yang diberikan

responden terlihat komposisi perbantuan layanan terbagi atas empat situasi, yaitu:

(1) situasi di mana responden tidak mendefinisikan bentuk perbantuan layanan

atau menganggap bahwa organisasinya tidak ada hubungan perbantuan layanan

dengan organisasi-organisasi lain, yang dalam hal ini digambarkan dengan

susunan (0,0);

(2) situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya memberikan

bantuan layanan kepada organisasi lain, yang digambarkan dengan susunan (1,0);

(3) situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya menerima

bantuan layanan dari organisasi lain, yang digambarkan dengan susunan (0,1); dan

(4) situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya memberikan

kepada dan juga menerima bantuan layanan dari organisasi lain, yang

digambarkan dengan susunan (1,1).

Jawaban dari responden secara ringkas dapat direkapitulasi seperti pada

Gambar 43. Responden memilih susunan (0,0) sebanyak 90,51%, susunan (1,0)

sebanyak 2,44%, susunan (0,1) sebanyak 3,27%, dan susunan (1,1) sebanyak

3,78% dari seluruh susunan yang ada. Hal ini dapat menggambarkan bahwa

sebagian besar responden masih menganggap bahwa organisasinya tidak memiliki

hubungan dengan organisasi lain dalam hal bantuan layanan. Di samping itu, jika

ada hubungan tersebut, responden menyatakan bahwa organisasinya lebih banyak

Gambar 43 Hubungan bantuan layanan menurut pendapat responden.

Page 88: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

162

menerima (0,1) daripada memberikan (1,0) bantuan. Angket penelitian memang

tidak merinci pendapat responden sebagai gambaran kondisi yang sebenarnya

ataukah kondisi yang diinginkan responden saat penelitian. Namun demikian dari

wawancara dapat diketahui bahwa hal tersebut lebih merupakan keinginan

responden yang dilatari oleh kenyataan pada sekarang ini bahwa organisasi

mereka memiliki sumber daya yang sangat terbatas sehingga mereka berkeinginan

untuk memperoleh bantuan sumber daya, terutama dana, khususnya untuk

keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Permasalahan di dalam hubungan antar organisasi terutama dalam

perbantuan dan transaksi sumber daya baik dalam satu tingkatan maupun terutama

antar tingkatan terkait dengan persoalan-persoalan yang ada dalam penerapan

kebijakan otonomi daerah. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian

pembahasan rancang bangun sistem pengorganisasian di bagian akhir bab ini.

5.4. Kapasitas Organisasi

Kedua sub bab tersebut di atas telah menguraikan aspek-aspek dalam sistem

pengorganisasian dari sisi keterkaitan antara organisasi yang terlibat dalam sistem

tersebut. Sub bab ini menganalisis kondisi internal dari setiap organisasi yang

terlibat langsung dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Analisis dilakukan

terhadap efektivitas masing-masing organisasi dan terhadap komponen-komponen

dalam organisasi yang menunjukkan kapasitas organisasi-organisasi tersebut.

Sebagaimana diuraikan di dalam Bab II, penelitian ini membedakan antara

efektivitas dengan kinerja, di mana efektivitas organisasi digunakan untuk

menggambarkan kapasitas organisasi sedangkan kinerja organisasi adalah untuk

menggambarkan hasil yang dicapai oleh organisasi. Pengukuran efektivitas

organisasi dalam penelitian ini menggunakan salah satu pendekatan untuk

mengukur efektivitas organisasi yang dikemukakan Kreitner dan Kinicki (1992)

yakni pendekatan sistem-sistem yang sehat (healthy system). Pendekatan ini

meminta ukuran-ukuran efektivitas berupa antara lain adanya aliran informasi

yang baik, loyalitas pegawai, komitmen, kepuasan kerja dan kepercayaan.

Page 89: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

163

Studi ini mencoba memberikan interpretasi terhadap pendekatan tersebut

karena tidak adanya arahan rinci mengenai hal tersebt. Penerapannya di dalam

penelitian ini adalah dengan membuat ukuran obyektif dan ukuran subyektif

(Young Lee & Whitford 2008). Ukuran obyektif dibangun dari catatan-catatan

atau arsip-arsip, yaitu dokumen-dokumen organisasi yang menunjukkan

komponen-komponen pengukuran efektivitas, seperti tertuang dalam prosedur

pengukuran efektivitas organisasi pada Lampiran 7. Sebagai contoh, Daftar Urut

Kepangkatan (DUK) digunakan untuk menilai kapasitas sumber daya manusia

(SDM) organisasi dari segi tingkat pendidikan dan keikutsertaan dalam pelatihan-

pelatihan yang berhubungan dengan pengendalian kebakaran hutan/lahan. Ukuran

subyektif dibangun dari respon survei yang diperoleh dari anggota organisasi.

Studi ini menggunakan komponen-komponen efektivitas organisasi dalam

melihat kapasitas organisasi untuk menjalankan tanggung jawabnya dalam

pengendalian kebakaran. Komponen-komponen yang dimaksud, yang dirangkum

dari Philbin dan Mikhus (2008) dan standar dari good governance (OPM dan

CIPFA 2004) meliputi: (1) visi dan misi, (2) struktur organisasi, (3) sumber daya

manusia, (4) sarana dan prasarana, dan (5) mekanisme kerja. Formula untuk

mengukur efektivitas organisasi pemerintah, terutama dalam pengendalian

kebakaran hutan/lahan belum ditemukan sampai dilaksanakannya studi ini. Studi

ini membuat formula sederhana dengan menjumlahkan skor dari kelima

komponen tersebut di atas.

Hasil analisis dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) terhadap hasil

pengisian angket penelitian oleh para pakar mendapatkan nilai bobot untuk

masing-masing dari kelima komponen kapasitas organisasi tersebut dan

selanjutnya nilai-nilai tersebut dimasukkan ke dalam rumus efektivitas organisasi

(EO) sehingga diperoleh rumus pengukuran efektivitas sebagai berikut:

di mana:

V = skor visi dan misi

S = skor struktur organisasi

EO = 0,285V + 0,238S + 0,243D + 0,089P + 0,145M

Page 90: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

164

D = skor sumber daya manusia

P = skor sarana dan prasarana

M = skor mekanisme kerja

Nilai-nilai V, S, D, Pdan M diperoleh dari penilaian terhadap kondisi di

lapangan yakni profil organisasi, keberadaan dokumen bukti dari komponen-

komponen tersebut, dan hasil pengisian kuisioner. Penentuan tingkat efektivitas

dilakukan dengan menggunakan rumus tersebut dan memasukkan jumlah skor

minimum dan skor maksimum yang dapat diperoleh organisasi yang diamati.

Jumlah skor minimum adalah 0 (nol), sedangkan jumlah skor maksimum adalah

43. Penilaian efektivitas organisasi dilakukan dengan menempatkan EO hasil

pengamatan terhadap organisasi yang bersangkutan ke dalam daftar kisaran pada

Tabel 12.

Tabel 12 Kisaran untuk penilaian efektivitas organisasi

Tingkat Efektivitas Skor Total Tidak efektif 0 s/d 10,75

Kurang efektif > 10,75 s/d 21,50 Efektif > 21,50 s/d 32,25

Sangat efektif > 32,25 s/d 43

Pengukuran efektivitas organisasi dengan menggunakan tabel tersebut

menghasilkan kondisi efektivitas dari organisasi-organisasi yang di amati di tiap

tingkatan seperti ditunjukkan pada Tabel 13 untuk tingkat nasional, Tabel 14

untuk tingkat provinsi dan Tabel 15 untuk tingkat kabupaten/kota.

Tabel 13 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat nasional

No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO 1 Dit. PKH 8.917 5.678 6.275 1.761 3.553 26.184 E 2 Dit. Linbun 7.441 5.210 5.725 1.404 3.625 23.405 E 3 Dit. Lintan 5.288 6.214 6.318 1.859 4.189 23.868 E 4 Dit. TD 6.270 7.164 6.641 2.035 4.205 26.315 E 5 Asdep PKHL 7.553 5.950 6.500 1.780 3.625 25.408 E

VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja; ST = skor total; EO = efektivitas organisasi; E = efektif

Page 91: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

165

Tabel 14 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat provinsi

No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO Provinsi Riau 1 Dishut Prov 6.555 5.474 5.832 1.780 3.335 22.976 E

2 Disbun Prov 5.914 4.701 5.346 1.424 2.900 20.285 KE 3 BLH Prov 7.533 5.543 5.623 1.131 3.128 22.958 E 4 BBKSDA Riau 7.980 5.686 6.128 1.652 3.335 24.781 E Provinsi Kalimantan Barat 1 Dishut Prov 7.233 5.743 5.621 1.424 3.566 23.587 E 2 Disbun Prov 6.726 5.284 6.075 1.355 3.321 22.761 E 3 BLHD Prov 7.664 6.267 6.371 1.711 3.496 25.509 E 4 BKSDA Kalbar 7.980 5.686 6.128 1.652 3.335 24.781 E

Keterangan: VM = skor visi dan misi; SO = skor struktur organisasi; SDM = skor sumber daya manusia; SP = skor sarana dan prasarana; MK = skor mekanisme kerja; ST = skor total, EO = efektivitas organisasi; E = efektif

Tabel 15 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat kabupaten/kota

No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO

Kota Dumai 1 Distanbunhut 5.606 5.077 6.318 1.484 2.900 21.385 KE 2 KLH 5.415 4.284 5.711 1.113 2.828 19.351 KE

Kab. Inhu 1 Dishutbun 5.358 4.950 5.881 1.355 3.031 20.575 KE 2 BLHD 5.415 4.205 5.183 1.217 3.093 19.113 KE

Kab. Ketapang 1 Dishut Kab 6.060 4.643 4.521 1.314 3.456 19.994 KE 2 Disbun Kab 5.911 4.184 5.065 1.245 3.211 19.616 KE 3 BLHD Kab 6.664 5.167 5.271 1.601 3.386 22.089 E

Kab. Kubu Raya 1 Dishutbun 5.448 4.705 5.772 1.300 3.047 20.272 KE 2 BLHD Kab 5.015 3.975 5.303 1.273 3.185 18.751 KE

Keterangan: VM = skor visi dan misi; SO = skor struktur organisasi; SDM = skor sumber daya manusia; SP = skor sarana dan prasarana; MK = skor mekanisme kerja; ST = skor total, EO = efektivitas organisasi; E = efektif; KE = kurang efektif

Hasil tersebut menunjukkan bahwa organisasi-organisasi di tingkat nasional

dan provinsi tersebut sudah efektif, sedangkan yang di tingkat kabupaten/kota

masih kurang efektif. Jika dilihat dari besarnya skor yang diperoleh, yang lebih

dekat kepada batas bawah pada tingkat efektif, maka dapat dikatakan bahwa

organisasi-organisasi di tingkat provinsi sudah berada pada tingkat efektif tetapi

Page 92: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

166

relatif masih rendah, sedangkan di tingkat kabupaten/kota, hasil pengukuran

menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut masih belum efektif.

Efektivitas yang masih relatif rendah atau bahkan belum efektif pada

organisasi-organisasi tersebut dapat menunjukkan masih belum terpenuhinya

komponen-komponen prasyarat bagi organisasi yang efektif. Seberapa jauh

masing-masing organisasi tersebut telah memenuhi komponen-komponen tersebut

dapat dilihat dari persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per

komponennya, seperti ditunjukkan untuk organisasi-organisasi di tingkat nasional

pada Tabel 16 berikut. Persentase tersebut juga menggambarkan kapasitas dari

organisasi yang bersangkutan.

Persentase tersebut dihitung dari skor yang diperoleh masing-masing

organisasi pada komponen tersebut dibagi dengan skor maksimum (kontrol) pada

komponen tersebut. Persentase tersebut menunjukkan bahwa semua organisasi

yang diukur pada umumnya telah mencapai lebih dari 50% dari tingkat efektivitas

maksimum, tetapi masih di bawah 75%. Persentase tertinggi yang dicapai Dit.

PKH pada komponen visi dan misi yakni 74,49 % wajar karena hanya organisasi

tersebut yang memang visi dan misinya secara eksplisit menyebutkan unsur-unsur

dari pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Tabel 16 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi di tingkat nasional

No. Organisasi VM %

SO %

SDM %

SP %

MK %

1 Dit. PKH-Kemhut 74,49 51,86 57,38 56,53 61,26

2 Dit. Linbun-Kemtan 62,16 47,59 52,35 45,07 62,50

3 Dit. Lintan-Kemtan 44,18 56,76 57,78 59,68 72,22

4 Dit. TD-BNPB 52,38 65,44 60,73 65,33 72,50

5 Asdep PKHL-KNLH 63,10 54,35 59,44 57,14 62,50

Rata-rata 59,26 55,20 57,53 56,75 66,20

Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja

Page 93: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

167

Sementara itu, adalah wajar juga jika Dit. Lintan memperoleh persentase

terendah untuk komponen visi dan misi karena dari angket penelitian maupun

wawancara dan profil organisasi, organisasi tersebut tidak berurusan dengan

kebakaran hutan/lahan. Penyiapan lahan yang biasanya menggunakan pembakaran

dianggap oleh para responden dari Dit. Lintan sebagai tidak lagi menjadi urusan

organisasi tersebut melainkan menjadi urusan dari pemilik atau pemangku

kawasan, yaitu para petani sendiri dan pemerintah daerah. Hal serupa juga

dinyatakan oleh Dit. Linbun, di mana organisasi tersebut hanya berurusan dengan

perlindungan perkebunan dari organisme pengganggu tanaman (OPT), sedangkan

urusan penyiapan lahan menjadi urusan pemilik atau pemangku kawasan.

BNPB memiliki persentase tertinggi di hampir semua komponen, kecuali

visi dan misi, dibandingkan dengan keempat organisasi lainnya di tingkat

nasional. Skor total bagi organisasi tersebut juga tertinggi, diikuti Dit. PKH dan

Asdep PKHL. Hal ini dapat menunjukkan bahwa di antara organisasi-organisasi

tersebut, BNPB merupakan organisasi yang paling siap kapasitasnya untuk

menangani pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Pada tingkat provinsi, seperti pada Tabel 17 dan Tabel 18, persentase skor

perolehan hampir seluruhnya masih di bawah 50%. Hal ini menggambarkan suatu

kondisi kapasitas organisasi yang masih jauh di bawah kapasitas optimalnya untuk

menangani kebakaran. Alasan ketidaksiapan organisasi-organisasi tersebut untuk

terlibat dalam pengendalian kebakaran biasanya adalah masih kurangnya sarana

dan prasarana. Hal ini memang sangat tampak dari Tabel tersebut.

Tabel 17 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi di tingkat provinsi untuk Provinsi Riau

No. Organisasi VM %

SO %

SDM %

SP %

MK %

1 Dishut Prov 54,76 50,00 53,33 57,14 57,50 2 Disbun Prov 49,41 42,94 48,89 45,71 50,00 3 BLHD Prov 62,93 50,63 51,42 36,31 53,93 4 BBKSDA 66,67 51,94 56,04 53,03 57,50 Rata-rata 58,44 48,88 52,42 48,05 54,73

Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja.

Page 94: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

168

Tabel 18 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada

organisasi di tingkat provinsi untuk Provinsi Kalimantan Barat

No. Organisasi VM %

SO %

SDM %

SP %

MK %

1 Dishut Prov 60,43 52,46 51,40 45,71 61,48 2 Disbun Prov 56,19 48,26 55,56 43,50 57,26 3 BLHD Prov 64,03 57,24 58,26 54,93 60,28 4 BKSDA 66,67 51,94 56,04 53,03 57,50 Rata-rata 61,83 52,38 55,32 49,29 59,13

Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja.

Kepemilikan sarana dan prasarana baik untuk kepentingan umum organisasi

tersebut maupun untuk pengendalian kebakaran hutan/lahan masih relatif rendah.

Dishut Provinsi dan Balai KSDA merupakan organisasi yang memiliki sarana dan

prasarana relatif terbesar di antara organisasi-organisasi lain. Hal ini terkait

dengan tugas pengendalian kebakaran yang melekat pada kedua organisasi

tersebut. Dishut Provinsi memang diberi tugas di bidang pemadaman yang

memang memerlukan sarana dan prasarana pemadaman, sedangkan Balai KSDA

di kedua provinsi tersebut telah memiliki sumber daya pengendalian kebakaran

dengan adanya Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni.

Komponen lain yang mempunyai persentase besar adalah mekanisme kerja.

Pada umumnya organisasi-organisasi di tingkat nasional dan provinsi merupakan

organisasi lama dan telah memiliki prosedur-prosedur kerja tertulis tentang tata

hubungan kerja antar bagian di dalamnya. Sementara di tingkat kabupaten/kota,

penggabungan beberapa instansi menjadi satu, seperti di Kota Dumai di mana

Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, dan Dinas Kehutanan digabung menjadi satu

dan perubahan eselon dari organisasi eselon II (Badan Lingkungan Hidup) ke

eselon III (Kantor Lingkungan Hidup) membuat organisasi tersebut harus menata

diri kembali terutama dalam struktur organisasi dan mekanisme kerjanya. Hal ini

terlihat pada Tabel 19 dan Tabel 20 di mana persentase komponen-komponen

pada kedua organisasi tersebut masih di bawah 50%.

Page 95: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

169

Tabel 19 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi tingkat kabupaten/kota di Provinsi Riau

No. Organisasi VM %

SO %

SDM %

SP %

MK %

1 Distanbunhut Kota Dumai 46,83 46,37 57,78 47,64 50,00 2 KLH Kota Dumai 45,24 39,13 52,23 35,73 48,76 3 Dishutbun Kab. Inhu 44,76 45,21 53,78 43,50 52,26 4 BLHD Kab. Inhu 45,24 38,41 47,40 39,07 53,33 Rata-rata 45,52 42,28 52,80 41,48 51,09

Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja;

Tabel 20 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada

organisasi tingkat kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat

No. Organisasi VM %

SO %

SDM %

SP %

MK %

1 Dishut Kab. Ketapang 50,63 42,41 41,34 42,18 59,59 2 Disbun Kab. Ketapang 49,38 38,22 46,32 39,97 55,36 3 BLHD Kab. Ketapang 55,67 47,20 48,20 51,40 58,38 4 Dishutbun Kab. Kubu Raya 45,51 42,98 52,78 41,73 52,53 5 BLHD Kab. Kubu Raya 41,90 36,31 48,50 40,87 54,91 Rata-rata 48,43 42,22 47,71 44,04 56,35

Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja;

Semua kondisi tersebut, baik cuaca yang sulit diatasi maupun pembukaan

lahan dan faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kebakaran sebenarnya dapat

diprediksi dan dikelola dengan kesiapan organisasi-organisasi yang bertanggung

jawab atas masalah tersebut, terutama yang berkaitan dengan pengendalian

kebakaran. Permasalahannya adalah apakah organisasi-organisasi yang menangani

masalah kebakaran sudah memiliki kapasitas yang memadai dan sudah efektif.

Jika melihat kondisi efektivitas organisasi tersebut di atas, terutama di tingkat

kabupaten/kota maka tampaknya masih terdapat masalah pada masing-masing

organisasi tersebut sehingga organisasi-organisasi tersebut belum mampu

mengatasi kebakaran hutan/lahan sampai tuntas. Berikut adalah analisis terhadap

masalah-masalah yang berkaitan dengan komponen-komponen efektivitas

organisasi dan kapasitas organisasi.

Page 96: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

170

1. Visi dan Misi

Visi dan misi merupakan komponen efektivitas organisasi yang penting dan

bahkan beberapa pakar menyatakannya sebagai komponen terpenting dalam

pengembangan organisasi. Visi dan misi menurut Philbin dan Mikush (2008)

merupakan inti atau jantungnya sebuah organisasi (the heart of an organization)

dan sebagai komponen utama dalam standar dari good governance (OPM &

CIPFA 2004). Para responden pakar pun berpendapat serupa dengan memberikan

bobot terbesar pada visi dan misi (Bv).

Setiap organisasi atau instansi yang diamati telah memiliki pernyataan visi

dan misi secara tertulis. Organisasi di tingkat nasional yang secara jelas

menyatakan visinya mengenai pengendalian kebakaran adalah hanya Dit. PKH.

Visi dari organisasi-organisasi lainnya tidak secara jelas menunjukkan kaitan

dengan kebakaran hutan/lahan. Visi Dit. Linbun misalnya menyatakan tentang

perlindungan perkebunan, tetapi misinya lebih berfokus pada perlindungan

terhadap organisme penganggu tanaman (OPT), bukan pada perlindungan dari

kebakaran. Visi dan misi organisasi-organisasi di tingkat provinsi dan

kabupaten/kota juga tidak menggambarkan keterkaitannya dengan pengendalian

kebakaran hutan/lahan, kecuali untuk BLH Provinsi Riau yang salah satu misinya

secara jelas menyebutkan pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Pengetahuan dan pemahaman dari pimpinan dan anggota organisasi

terhadap visi dan misi organisasinya tampaknya juga masih relatif rendah. Hal ini

terlihat antara lain dari sedikitnya atau rata-rata kurang dari 30% dari jumlah

responden di setiap organisasi yang menyebutkan dengan benar visi dan misi

organisasinya. Padahal organisasi akan efektif jika terdapat pemahaman yang jelas

dan tegas terhadap nilai-nilai, prioritas dan arahan-arahan sehingga setiap orang

paham dan dapat berkontribusi (Muhammad 2004; Kasim 1993). Hasil

wawancara menunjukkan bahwa para personil organisasi tidak begitu peduli

dengan ada tidaknya visi dan misi.

Visi dan misi belum menjadi nilai dan jiwa serta motivasi bagi setiap

personil organisasi. Beberapa alasan mungkin menyebabkan hal tersebut. Pertama,

pernyataan visi dan misi masih keliru. Pernyataan visi dan misi (mission

Page 97: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

171

statement) belum berfokus pada apa yang dapat dilakukan dan dicapai oleh

organisasi tersebut (Drucker; 1990), sehingga setiap orang dalam organisasi

belum dapat berkata, “inilah kontribusi saya kepada tujuan tersebut.” Sebagai

contoh, Puspitojati (2008) menyatakan dengan tegas bahwa rencana strategis

berbagai dinas kehutanan provinsi tidak jelas, bahkan untuk Dishut Provinsi

Kalbar rumusan tujuan tidak sesuai dengan pengertiannya dan rumusan

strateginya juga tidak menjelaskan ide atau konsep serta cara terbaik untuk

mencapai tujuan.

Selain itu, visi dan misi harus sederhana dan jelas (Drucker 1990). Setiap

organisasi memiliki kompetensi, tetapi tidak mungkin, bahkan tidak perlu,

memiliki keseluruhan kompetensi atau total competence (Mulford & Klonglan

1982). Oleh sebab itu, visi dan misi organisasi harus sesuai dengan

kompetensinya. Hampir semua organisasi yang diamati menyatakan visi dan misi

yang belum memenuhi kriteria tersebut. Sebagai contoh, Dit. PKH memiliki visi

dan misi yang berbunyi: “Terwujudnya kondisi masyarakat yang terlindungi dari

berbagai ancaman jiwa, raga, dan harta benda serta terbebas dari pencemaran

asap.” Dilihat dari kriteria Drucker (1990) tersebut di atas, pernyataan tersebut

baru sekadar keinginan baik, karena untuk mewujudkan visi dan misi tersebut

diperlukan total competence dan Dit. PKH hanya memiliki sebagian kecil

kompetensi tersebut. Sebagai contoh, pencemaran asap dapat berasal dari berbagai

sumber selain kebakaran hutan/lahan antara lain kendaraan bermotor dan

kebakaran struktur. Dit PKH tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk

menangani semua sumber pencemaran tersebut, maka visi tersebut seharusnya

membatasi diri, misalnya, pada pencemaran asap yang ditimbulkan oleh

kebakaran hutan.

Kedua, visi dan misi hanya dibuat untuk level tertinggi organisasi,

sedangkan level-level di bawahnya tidak memiliki visi dan misi tersendiri. Pada

setiap organisasi dalam studi ini, visi dan misi hanya ada pada level eselon II, dan

belum ada di level eselon III dan IV serta di setiap personil. Ketiga, belum semua

personil mengetahui, memahami dan hafal pernyataan visi dan misi tersebut. Hal

ini disebabkan oleh sangat minimnya upaya sosialisasi visi dan misi terhadap

Page 98: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

172

personil organisasi. Padahal, untuk membangun organisasi yang efektif setiap

orang di dalam organisasi harus memahami tujuan dan sasaran organisasi.

Tindakan yang harus dilakukan oleh organisasi-organisasi yang terlibat

dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan agar lebih efektif dan efisien adalah

merekayasa ulang (reengineering) organisasi antara lain melalui pemahaman

terhadap visi organisasi dan komitmen untuk mencapainya (Bennis & Mische

1996), meningkatkan pemahaman dan antusiasme orang-orang di dalam

organisasi terhadap nilai-nilai organisasi, terutama yang mengedepankan hasil

atau commitment to results dengan memandang pelanggan sebagai raja atau

customers are kings (Hammer 1997), dan meningkatkan motivasi pelayanan

publik (Moynihan & Pandey 2007). Dalam konteks kebakaran hutan/lahan,

kebutuhan utama pelanggan adalah tidak adanya kebakaran hutan/lahan.

Pada tingkat operasional, visi dan misi tersebut juga belum dapat

memberikan arahan yang semestinya. Ketika organisasi-organisasi tersebut

ditunjuk untuk suatu posisi dan peranan tertentu di dalam pengorganisasian

pengendalian kebakaran hutan/lahan, seharusnya mereka menunjukkan tanggung

jawab akan posisi dan peranan tersebut dalam bentuk memasukkan urusan

penanganan kebakaran hutan/lahan sebagai prioritas ke dalam rencana strategis

dan rencana kerjanya agar dapat memperoleh anggarannya. Jika memang

organisasi-organisasi tersebut sulit untuk memasukkan urusan kebakaran

hutan/lahan ke dalam rencananya, maka mungkin lebih baik bila pengendalian

kebakaran hutan/lahan ditangani oleh sebuah organisasi tersendiri yang tidak

melibatkan organisasi-organisasi yang ada tersebut.

2. Struktur Organisasi

Permasalahan utama dalam sistem pengorganisasian pengendalian

kebakaran hutan/lahan yang berlaku sekarang dari sisi struktur organisasi adalah

belum masuknya secara formal urusan kebakaran hutan/lahan ke dalam struktur

organisasi dari organisasi-organisasi yang terlibat, kecuali pada Dit. PKH dan

Asdep PKHL. Pada Dit. PKH semua level di struktur organisasinya adalah

mengenai pengendalian kebakaran hutan, dan di struktur organisasi Asdep PKHL

urusan kebakaran ada pada level eselon IV.

Page 99: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

173

Pada organisasi-organisasi lainnya di tingkat nasional yang sebelumnya

dianggap ikut secara langsung menangani kebakaran hutan/lahan ternyata urusan

kebakaran tidak ada di dalam struktur organisasinya. Dit Linbun, misalnya, tidak

memasukkan urusan kebakaran di dalam uraian tugas. Demikian pula di Dit. TD

maupun BNPB, sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2008,

urusan kebakaran hutan/lahan sama sekali tidak disebut bahkan di dalam uraian

tugas seluruh jabatan yang ada. Unsur Pengarah yang anggotanya adalah pejabat

pemerintah eselon I pun tidak memasukkan pejabat dari Kementerian Kehutanan

dan Kementerian Pertanian yang selama ini dianggap sebagai organisasi yang

wilayah kerjanya dan tugasnya berkaitan dengan kebakaran hutan/lahan. Hal ini

dapat dimaklumi karena BNPB menangani semua jenis bencana, namun demikian

dalam uraian tugas yang semestinya rinci, urusan kebakaran tetap tidak disebutkan

secara tersendiri sebagai bagian dari urusan yang secara formal harus ditangani

organisasi tersebut.

Di tingkat provinsi, sesuai dengan Perda mengenai organisasi dan tata kerja

masing-masing provinsi (Riau dan Kalbar), kebakaran hutan/lahan masuk dalam

struktur organisasi pada level eselon IV (Seksi) di Dishut dan Disbun. Namun

sesuai dengan wilayah kerjanya, kedua organisasi tersebut hanya menangani

kebakaran di kawasan hutan dan di kawasan perkebunan, sedangkan untuk

kebakaran di fungsi lahan lainnya tidak ada yang menanganinya. Dinas Tanaman

Pangan yang semestinya menangani urusan-urusan di lahan pertanian, di dalam

struktur organisasinya tidak terdapat jabatan yang mengurusi kebakaran lahan,

bahkan tidak ada seorang staf pun yang ditugasi untuk menangani urusan tersebut.

Di tingkat kabupaten/kota, pengendalian kebakaran hutan/lahan juga belum

mendapat prioritas memadai. Sebagai contoh, di Kota Dumai, menurut Perda

nomor 13 tahun 2005, semua urusan pertanian, perkebunan, dan kehutanan

masing-masing berada pada level jabatan eselon III, dengan masing-masing terdiri

atas 2 jabatan eselon IV yang tidak mencakup urusan kebakaran. Urusan

kebakaran hutan/lahan ditangani hanya oleh seorang staf non-eselon. Sementara

itu, pada organisasi-organisasi lain yang terkait dengan kebakaran, yaitu

kebakaran kota, juga ditangani hanya di level eselon IV (seksi) pada Satpol PP.

Page 100: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

174

Struktur organisasi merupakan pengaturan orang-orang dan tugas-tugas

untuk mencapai tujuan organisasi (Dubrin & Ireland 1993). Dengan tidak

tercantumnya penanganan kebakaran hutan/lahan pada struktur organisasi, maka

tidak ada komponen-komponen terkait seperti SDM, sarana dan prasarana serta

anggaran yang didedikasikan khusus untuk kebakaran hutan/lahan, sehingga

organisasi tidak mungkin mencapai tujuan pengendalian kebakaran hutan/lahan

secara efektif.

3. Sumber Daya Manusia

Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) merupakan isu yang

sangat penting dalam pengembangan organisasi. Oleh sebab itu, manajemen SDM

menjadi sangat penting dalam setiap organisasi (Rivai 2004), karena

pengembangan SDM merupakan salah satu ciri dari organisasi yang efektif

(Philbin & Mikush 2008). Salah satu aspek SDM dalam organisasi adalah

kompetensi. Data profil organisasi menunjukkan bahwa semua organisasi yang

diamati baik di tingkat nasional, tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota

memiliki kurang dari 25% jumlah SDM yang pernah mengikuti pelatihan

kebakaran hutan/lahan. Sementara itu, di dalam rencana strategis maupun rencana

kerja organisasi tidak terdapat program manajemen SDM yang jelas. Dengan

tingkat kompetensi seperti itu, sulit diharapkan bagi organisasi-organisasi tersebut

untuk efektif dan berkinerja tinggi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahannya.

Organisasi-organisasi tersebut belum menyadari pentingnya manajemen

SDM. Padahal manajemen SDM merupakan salah satu program penting bagi

organisasi untuk meningkatkan kontribusi produktif orang-orang yang ada dalam

organisasi melalui sejumlah cara yang bertanggung jawab secara strategis, etis dan

sosial (Rivai 2004). Tujuan akhirnya adalah peningkatan efisiensi, peningkatan

efektivitas, peningkatan produktivitas, rendahnya tingkat perpindahan pegawai,

rendahnya tingkat absensi, tingginya kepuasan kerja karyawan, tingginya kualitas

pelayanan, rendahnya komplain dari pelanggan, dan meningkatnya bisnis

organisasi.

Organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran

hutan/lahan perlu berfokus pada kebijakan SDM. Organisasi-organisasi tersebut

Page 101: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

175

harus membantu personilnya memperoleh ketrampilan dan kemampuan diri untuk

menghadapi lingkungan baru, menemukan keamanan dan dukungan untuk

menghadapi tantangan yang terus meningkat (Kanter 1997). Hal ini memang

ditujukan untuk organisasi swasta yang sangat memungkinkan adanya pemecatan

pegawai, namun pada organisasi pemerintah pun sebenarnya hal serupa bisa

terjadi dalam konteks persaingan untuk memperoleh jabatan, promosi, dan

kepercayaan atasan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan dalam proses reformasi

birokrasi melalui perampingan organisasi para pegawai akan tersingkir jika tidak

memiliki kompetensi yang diperlukan organisasi. Organisasi masa depan harus

belajar untuk menangkap modal intelektual pegawainya, karena modal intelektual

merupakan aset yang paling dihargai dalam organisasi (Ulrich 1997).

Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang efektif

mensyaratkan adanya manajemen SDM yang berfokus pada kebijakan yang

menjadikan modal intelektual sebagai aset yang berharga. Program rekrutmen

harus berdasarkan persyaratan penerimaan pegawai yang ketat. Peningkatan

kapasitas dan kapabilitas pegawai melalui pendidikan dan pelatihan juga harus

dikelola secara sistematis dengan mempertimbangkan sistem karir yang jelas.

Pemahaman individu-individu dalam organisasi mengenai kebakaran

hutan/lahan relatif masih rendah. Hal ini dapat diindikasikan oleh sangat

rendahnya persentase responden, yakni rata-rata baru 12%, yang pernah mengikuti

pendidikan atau pelatihan kebakaran hutan/lahan. Rendahnya tingkat pemahaman

tersebut dapat menjadi penyebab rendahnya bukan hanya kapasitas dari masing-

masing organisasi tersebut melainkan juga kapasitas dari sistem pengorganisasian

pengendalian kebakaran hutan/lahan. Pelibatan banyak organisasi dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan memerlukan saling memahami dan saling

menerima di antara organisasi-oganisasi yang terlibat. Kesamaan pengertian dan

persepsi di antara organisasi-organisasi tersebut tentang berbagai hal berpengaruh

positif di dalam hubungan antar organisasi dalam mencapai keberhasilan bersama

termasuk dalam persoalan kebakaran hutan/lahan. Oleh sebab itu, sesuai dengan

konsep organizational receptivity (Nieminen 2005), setiap organisasi yang terlibat

harus membina setiap individu, terutama yang diberi tugas, wewenang dan

tanggung jawab atau sebagai kontak dalam hubungan antar organisasi untuk

Page 102: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

176

secara sendiri-sendiri atau terutama bersama-sama antar organisasi

mengembangkan diri dalam pemahaman mengenai pengendalian kebakaran

hutan/lahan agar lebih terjalin saling pengertian di antara organisasi-organisasi

tersebut. Setiap organisasi yang terlibat harus memiliki program pengembangan

SDM yang mendorong para pimpinan dan stafnya untuk mengikuti pendidikan

dan pelatihan pengendalian kebakaran hutan/lahan, baik diadakan sendiri ataupun

mengikutkan pada pendidikan dan pelatihan yang ada.

4. Sarana dan Prasarana

Organisasi-organisasi yang diamati pada umumnya menyatakan bahwa

mereka tidak memiliki cukup sarana dan prasarana untuk pengendalian kebakaran

hutan/lahan. Hasil wawancara memperoleh fakta bahwa keterlibatan organisasi

mereka dalam pengendalian kebakaran selalu dimaksudkan sebagai keterlibatan di

dalam operasi pemadaman kebakaran sehingga sarana dan prasarana pengendalian

kebakaran hampir selalu diartikan sebagai sarana dan prasarana pemadaman.

Ketika dijelaskan bahwa sarana dan prasarana yang dimaksud adalah yang

berkaitan dengan bidang tugasnya, beberapa organisasi di tingkat nasional,

provinsi maupun kabupaten/kota ternyata telah memiliki sarana dan prasarana

yang memadai.

Semua organisasi telah memiliki sarana dan prasarana yang mencukupi

untuk menjalankan tugas-tugas di kantornya terutama tugas-tugas administratif.

Sarana dan prasarana yang dianggap kurang, baik jenis maupun jumlahnya, adalah

yang dipergunakan di lapangan untuk operasi pencegahan, pemadaman, maupun

penanganan pasca-kebakaran. Sebagai contoh, perangkat komputer dengan

fasilitas internet telah tersedia dan operasional di setiap organisasi tersebut untuk

memperoleh data dan informasi titik panas, namun GPS dan alat transportasi

untuk pengecekan titik panas tersebut ke lapangan pada umumnya belum cukup

tersedia.

Sejauh ini belum ditemukan hasil studi mengenai standar kebutuhan sarana

dan prasarana pengendalian kebakaran hutan/lahan, sehingga masih sulit untuk

menyatakan cukup atau tidaknya sarana dan prasarana tersebut. Namun demikian,

penilaian subyektif dapat menyatakan bahwa sarana dan prasarana terutama untuk

Page 103: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

177

operasi pemadaman yang meliputi peralatan pemadaman, perlengkapan logistik,

perlengkapan medis, dan sebagainya belum memadai di semua organisasi

tersebut. Oleh sebab itu beralasan bila intensitas penanganan kebakaran

hutan/lahan masih relatif rendah.

5. Mekanisme Kerja

Setiap organisasi organisasi yang diamati telah membangun mekanisme

kerja internal di mana tata hubungan antar bagian dalam struktur organisasi telah

didefinisikan dan dijalankan. Mekanisme hubungan antar organisasi juga

sebenarnya telah terbentuk. Di tingkat nasional, tata hubungan tersebut pernah

terbangun melalui TKN-PKHL dan masih dipraktekkan pada masa sekarang.

Sementara itu di era Reformasi sekarang mekanisme secara formal belum ada.

BNPB yang diberi mandat oleh UU nomor 24 tahun 2007 untuk

mengorganisasikan pengendalian kebakaran hutan/lahan memang telah menyusun

tata kerja dengan Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2008, namun tata kerja

hanya untuk unsur pelaksana, sedangkan tata kerja untuk unsur pengarah yang

melibatkan beberapa kementerian belum disusun. Seperti disebutkan di atas,

Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian tidak termasuk baik dalam

unsur pelaksana maupun dalam unsur pengarah. Ketika terjadi kebakaran

hutan/lahan, keterlibatan BNPB masih ditentukan oleh status keadaan

bencananya. Jika skala kebakaran dianggap belum sampai pada tahap bencana,

maka penanganannya oleh Kementerian Kehutanan. Hal ini mengindikasikan

masih diberlakukannya tata kerja menurut aturan tak tertulis seperti yang berlaku

pada masa sebelum era reformasi.

Hal serupa terjadi di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota di mana

tata hubungan antar organisasi di beberapa daerah masih mengikuti tata hubungan

yang pernah dijalin di masa sebelum era Reformasi. Tata hubungan antar

organisasi yang menyesuaikan dengan perubahan struktur pemerintahan di era

Reformasi baru dilakukan oleh beberapa daerah. Provinsi Riau dan Provinsi

Kalbar termasuk daerah yang telah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

Perubahan struktur pemerintahan di daerah telah mengubah hubungan antar

organisasi antar tingkat pemerintahan. Otonomi daerah telah membalikkan

Page 104: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

178

kosmopolitanisme imperial menuju micro-politics dengan desentralisasi dan

otonomi yang menjadi gerak utama (Dhakidae 2010). Hubungan antara

kementerian di tingkat nasional dengan lembaga teknis di tingkat provinsi dan

tingkat kabupaten/kota bukan lagi hubungan komando langsung. Lembaga-

lembaga teknis berupa dinas-dinas dan badan daerah dibentuk dengan peraturan

daerah dan bertanggung jawab kepada pimpinan daerah. Komando dari

kementerian tidak lagi langsung kepada dinas-dinas dan badan daerah tersebut

melainkan melalui pimpinan daerah (gubernur atau bupati/walikota).

Dalam konteks pengendalian kebakaran hutan/lahan, Riau dan Kalbar telah

menyusun prosedur tetap pengendalian kebakaran hutan/lahan tingkat provinsi. Di

Provinsi Riau, prosedur yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur nomor 91

tahun 2009, mengatur mekanisme kerja dalam pencegahan dan pemadaman

kebakaran. Di dalam prosedur tersebut, hubungan secara formal antara

kabupaten/kota dengan provinsi dilakukan hanya oleh bupati/walikota dengan

gubernur, bukan oleh pimpinan dinas-dinas dan lembaga teknis daerah karena

sesuai PP nomor 41 tahun 2007, mereka berkedudukan di bawah dan bertanggung

jawab kepada gubernur atau bupati/walikota. Prosedur tersebut tidak mengatur

hubungan antara provinsi dengan tingkat nasional.

Peraturan gubernur tersebut juga hanya mengatur prosedur-prosedur teknis

dan tidak mengatur prosedur pendanaan dan pembiayaannya, terutama dalam hal

sumber pendanaan untuk menjalankan prosedur teknis tersebut. Prosedur

pengawasan keuangan diatur yakni mengikuti aturan yang berlaku pada

pengawasan anggaran negara pada umumnya. Masalah utamanya adalah dalam

hal penyediaan anggaran.

Sebagaimana dijelaskan di bab terdahulu bahwa pengorganisasian

pengendalian kebakaran hutan/lahan di daerah baik provinsi maupun

kabupaten/kota dilakukan dengan membentuk sebuah organisasi yang melibatkan

berbagai instansi pemerintahan daerah. Organisasi yang dibentuk tersebut masih

dianggap bukan merupakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sehingga tidak

dapat mengusulkan anggaran tersendiri. Anggaran dibebankan kepada masing-

masing instansi yang terlibat, tetapi sebagaimana disampaikan di atas, urusan

kebakaran hutan/lahan tidak masuk di dalam struktur organisasi sehingga instansi

Page 105: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

179

tidak dapat mengusulkan anggaran untuk kebakaran hutan/lahan. Hanya instansi

yang struktur organisasinya mencakup urusan kebakaran seperti dinas kehutanan

dan dinas perkebunan provinsi maupun kabupaten/kota yang dapat mengusulkan

anggaran untuk kebakaran hutan/lahan. Namun demikian, karena level yang

menangani kebakaran hutan/lahan hanya pada eselon terbawah maka jumlah

anggaran yang teralokasikan juga relatif rendah.

5.5. Rancang Bangun Sistem Pengorganisasian

5.5.1. Pertimbangan dalam perancangan

Tujuan pokok penelitian ini adalah merancang sistem pengorganisasian

pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia berdasarkan kajian terhadap

posisi dan peranan organisasi, hubungan antar organisasi, kapasitas organisasi,

dan contoh pengorganisasian di negara-negara lain yang memiliki permasalahan

kebakaran hutan/lahan. Beberapa negara yang menjadi bahan kajian dan

pertimbangan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, Thailand dan Malaysia.

Analisis posisi dan peranan organisasi mendapatkan beberapa hal yang

menjadi pertimbangan perancangan model sistem pengorganisasian pengendalian

kebakaran hutan/lahan. Pertama, meskipun terjadi role discrepancy atau perilaku

organisasi yang menjalankan peranan tidak seperti yang diharapkan (Brown &

Harvey 2006), organisasi-organisasi yang menangani kehutanan baik di tingkat

nasional, tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota di samping karena

profilnya, juga memperoleh kepercayaan dan harapan (role expectation) para

praktisi dari organisasi-organisasi lain dan para pakar untuk memegang posisi

utama dan berperanan sebagai koordinator dalam bidang-bidang pengendalian

kebakaran hutan/lahan.

Kedua, masih terdapat role ambiguity atau kekurangpahaman terhadap

peranan yang diharapkan (Brown & Harvey 2006) dari organisasi-organisasi yang

terlibat dalam pengendalian kebakaran karena belum jelasnya batasan-batasan

tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing organisasi tersebut. Ketiga,

masih rendahnya public service motivation atau keinginan untuk melayani

Page 106: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

180

kepentingan publik (Moynihan & Pandey 2007) dari organisasi-organisasi

tersebut, dan keempat, sebenarnya telah terjadi integrative coordination (Bolland

& Wilson 1994) dan policy integration (Meijers & Stead 2004) secara vertikal

antar tingkatan, tetapi hal tersebut masih kurang secara horizontal. Penyerahan

peranan sebagai network coordinator (Wehmeyer 2001) kepada organisasi-

organisasi tertentu untuk membangun kedua keterpaduan tersebut perlu disertai

dengan kejelasan tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing aktor

(organisasi) tersebut.

Analisis hubungan antar organisasi mencatat beberapa hal penting dan

memberikan bukti-bukti empiris mengenai masih lemahnya koordinasi di antara

organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan

baik pada satu tingkatan maupun antar tingkatan. Hasil analisis tersebut juga

menunjukkan bahwa departementasi pada struktur organisasi Pusdalkarhutla yang

berdasarkan pada bidang-bidang dari pengendalian kebakaran hutan/lahan

memberikan gambaran pola hubungan yang relatif lebih “akrab” antar organisasi-

organisasi yang terlibat. Kedekatan hubungan secara psikologis antara pimpinan

organisasi masih mendominasi alasan dalam memrioritaskan bantuan layanan.

Role assignment (Malone et al. 1999) yang belum tertuang dengan jelas di dalam

struktur dan uraian tugas organisasi-organisasi tersebut dan masih adanya

pemahaman yang keliru mengenai konsep kerja sama (Mulford & Klonglan 1982)

dan konsep kapabilitas (Ulrich 1997) menyebabkan organisasi-organisasi tersebut

tidak terpacu untuk mengembangkan kapasitas organisasinya.

Analisis hubungan antar organisasi juga mendapatkan gambaran bahwa

organisasi yang menangani kehutanan dan yang menangani lingkungan hidup

mempunyai hubungan yang relatif paling baik atau akrab dengan organisasi-

organisasi lain. Dengan demikian, kedua organisasi tersebut yang dapat

memperoleh prioritas untuk berperan sebagai koordinator jejaring (network

coordinator).

Analisis efektivitas organisasi mendapatkan bahwa BNPB dan Kemenhut

merupakan instansi yang memiliki kapasitas terbesar untuk dapat menangani

pengendalian kebakaran hutan/lahan. Kapabilitas BNPB untuk dapat

Page 107: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

181

mengerahkan sumber daya dari berbagai pihak di seluruh Indonesia dan bahkan

dari internasional dapat menjadi pertimbangan bagi ditunjuknya organisasi

tersebut sebagai koordinator.

Kajian terhadap sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran

hutan/lahan yang berlaku di berbagai negara (Sukrismanto et al. 1998)

memperoleh beberapa pelajaran yang dipertimbangkan dalam rancang bangun

sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia.

Amerika Serikat mempunyai instansi-instansi pengendalian kebakaran

hutan/lahan di tingkat nasional, negara bagian, dan distrik yang beroperasi di

bawah payung sebuah struktur komando dan pengendalian nasional yaitu National

Interagency Fire Center (NIFC). Instansi yang berperan penting di setiap tingkatan

adalah instansi yang menangani kehutanan yakni forest service. Di Canada

hampir serupa, tetapi tanggung jawab utama ada di provinsi, sedangkan instansi di

tingkat nasional yaitu Canadian Interagency Foret Fire Center (CIFFC) bertindak

sebagai perantara dalam mobilisasi sumber daya antar provinsi yang didasarkan

atas kesepakatan saling menguntungkan untuk berbagi sumber daya (Mutual Aid

Resource Sharing). Di Australia, kebakaran hutan/lahan menjadi tanggung jawab

penuh provinsi dengan sumber daya pemadaman sebagian besar terdiri dari

relawan yang dikelola oleh sekumpulan profesional karir. Instansi di tingkat

nasional hanya berfungsi untuk mengoordinasikan mobilisasi sumber daya lintas

negara. Di Rusia tanggung jawab penuh pengendalian kebakaran hutan/lahan pada

tingkat nasional oleh dinas kehutanan federal (Federal Forest Service of Russia)

dengan rantai komando tunggal dari tingkat nasional sampai ke tingkat lokal.

Sementara itu, di Thailand, kebakaran hutan/lahan secara nasional ditangani oleh

satu divisi di bawah satu departemen yaitu Forest Fire Control Division (FFCD) di

bawah National Park, Wildlife and Plant Conservation Department.

Hal penting yang dapat dipelajari dari berbagai negara tersebut adalah

bahwa pengendalian kebakaran hutan/lahan harus ditangani dalam kesatuan

komando dan kontrol yang jelas (clear unity of command and control). Kesatuan

komando dan rantai komando (chain of command) merupakan prasyarat prinsip di

Page 108: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

182

dalam pengorganisasian (organizing) yang efektif dan efisien (Hasibuan 2008;

ensklopedia manajemen7

Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia pada

saat ini tampaknya juga menerapkan prinsip kesatuan komando dan kendali, tetapi

belum konsisten. Hal tersebut dapat dikaji dari beberapa hal. Pertama, masih

terjadinya role ambiguity (Brown & Harvey 2006) berupa ketidakjelasan fungsi,

maksud dan tujuan dari pihak-pihak yang terlibat dalam rantai komando.

Landasan hukum pembentukan Pusdalkarhutla di tingkat provinsi dan

Satlakdalkarhutla di tingkat kabupaten/kota tidak menyebutkan hubungan

komando antara kedua level pengorganisasian tersebut. Hal ini dapat dilihat juga

misalnya pada landasan hukum pembentukan Satlakdalkarhutla yang dalam

konsideran ‘Mengingat’ tidak menyebutkan satupun produk hukum dari tingkat

provinsi. Masing-masing berdiri sendiri, bahkan karena di tingkat nasional belum

).

Di samping itu, di semua negara tersebut pengendalian kebakaran

hutan/lahan tetap menjadi urusan pemerintah baik di tingkat nasional, provinsi

atau negara bagian, maupun tingkat kabupaten/kota atau distrik, tetapi operasional

di lapangan dapat dilaksanakan bersama oleh sumber daya pemerintah dan non-

pemerintah termasuk relawan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

Negara-negara tersebut telah menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah di

mana kawasan hutan dan lahan telah ditetapkan pengelolaannya. Di Amerika

Serikat, misalnya, kawasan hutan federal dikelola oleh US-Forest Service,

sedangkan di hutan negara bagian oleh State Forest Service. Dengan demikian,

jika terjadi kebakaran di kawasan hutan negara bagian maka State Forest Service

dari negara bagian yang bersangkutan yang bertanggung jawab. Jika State tersebut

tidak mampu lagi, maka State-FS akan meminta bantuan ke NIFC melalui

National Interagency Coordinating Center/NICC. Keadaan serupa terjadi di

Indonesia, di mana kawasan hutan konservasi masih di bawah pemerintah pusat,

sedangkan kawsan hutan produksi dan hutan lindung di bawah pemerintah daerah.

Oleh sebab itu, prinsip-prinsip tersebut menjadi pertimbangan di dalam

perancangan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan ini.

7http://www.enotes.com/management-encyclopedia/organizing, [25 Mar 2010]

Page 109: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

183

ada pengorganisasian yang formal, maka rantai komando sebenarnya terputus-

putus antar tingkatan.

Kedua, konsep dasar otonomi daerah menyatakan bahwa sistem otonomi

adalah tidak bertingkat artinya tidak ada hubungan hirarki antara pemerintah

provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, maka hubungan antara provinsi dan

kabupaten/kota bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan (Rasyid 2009).

Konsep tersebut menganut intergrated prefectoral system di mana gubernur

memiliki dual role yakni sebagai kepala daerah sekaligus sebagai wakil

pemerintah pusat (Hoessein 2009). Namun demikian, penerapan sistem tersebut

yang terbatas di tingkat provinsi sesuai UU nomor 32 tahun 2004, menurut

Hoessein, menyebabkan terputusnya rantai komando dan tidak terciptanya

akuntabilitas manajerial (managerial accountability) dari bupati/walikota ke

gubernur hingga presiden. Konsep hubungan semacam itu sepertinya tidak lagi

mengijinkan adanya perintah atau komando gubernur kepada bupati/walikota dan

pimpinan instansi provinsi kepada pimpinan instansi kabupaten/kota seperti atasan

kepada bawahan. Hal semacam itu menjadi pertimbangan dalam perancangan

sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang tentunya juga

mengambil bentuk hubungan antar organisasi antar tingkatan berupa koordinasi.

Bentuk hubungan koordinasi tersebut mengharuskan terpenuhinya beberapa

syarat agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Koordinasi memerlukan

kepastian yang terkait dengan informasi, karena kepastian atau ketidakpastian

(uncertainty) mengubah mekanisme atau mode yang digunakan oleh suatu

organisasi untuk mengoordinasikan operasi-operasinya (Fenema et al. 2004).

Uncertainty menurut Fenema et al. (2004) merupakan perbedaan antara jumlah

informasi yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas dengan jumlah informasi

yang sudah dimiliki oleh organisasi. Organisasi yang terlibat dalam sistem

pengorganisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan harus memiliki dan

mengelola informasi yang memadai. Hasil analisis hubungan antar organisasi dan

efektivitas organisasi tersebut di atas menggambarkan bahwa organisasi-

organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan belum

memiliki cukup informasi. Sebagai contoh, hampir semua organisasi yang diamati

belum memiliki informasi mengenai sumber daya pemadaman, baik manusia

Page 110: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

184

maupun sarana dan prasarana. Ketidakpastian tersebut dapat dikurangi melalui

investasi pada sistem informasi atau meningkatkan kontak di antara unit-unit kerja

atau organisasi (Femena et al. 2004).

Prasyarat lain yang harus dipenuhi bagi koordinasi yang efektif dan efisien

adalah kejelasan mengenai saling ketergantungan (interdependence) di antara

organisasi-organisasi yang terlibat. Dalam konteks pengendalian kebakaran

hutan/lahan, koordinasi terjadi dalam satu tingkatan dan antar tingkatan. Bentuk

ketergantungan yang mungkin terjadi adalah team interdependence atau saling

ketergantungan tim di mana beberapa organisasi bekerja bersama-sama untuk

menangani suatu tugas yang sama (Fenema et al. 2004), misalnya dalam operasi

pemadaman kebakaran. Bentuk koordinasi tersebut dinyatakan Fenema et al.

(2004) sebagai bentuk yang sulit dan memakan biaya (costly). Untuk itu,

pembagian peranan dengan batasan-batasan yang jelas harus dilakukan dan

diberitahukan serta disepakati oleh semua pihak yang terlibat.

Koordinasi yang efektif dan efisien juga harus memerhatikan kompleksitas,

yakni konektivitas yang kompleks (intricate connectivity) di antara tugas-tugas

dan aktor-aktor (Fenema et al. 2004). Dalam konteks sistem pengorganisasian

pengendalian kebakaran hutan/lahan, kompleksitas menyangkut berapa banyak

atau besar tugas-tugas yang akan dilaksanakan dan berapa banyak organisasi yang

akan dilibatkan untuk menjalankan tugas-tugas tersebut. Secara garis besar, tugas

yang dilaksanakan mencakup pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca

kebakaran, sedangkan untuk mengurangi kompleksitas koordinasi, maka pelibatan

organisasi diusahakan sesedikit mungkin, bahkan jika perlu tidak perlu pelibatan

organisasi lain. Hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan jumlah

organisasi yang perlu dilibatkan adalah kapasitas dan kapabilitas organisasi

tersebut.

Jika memerhatikan hasil analisis mengenai kapasitas organisasi, maka dapat

disimpulkan bahwa hanya beberapa organisasi, terutama yang menangani

kehutanan dan perkebunan, yang telah memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk

menjalankan tugas-tugas pengendalian kebakaran hutan/lahan. Namun, kapasitas

dan kapabilitas tersebut pun masih relatif sangat kecil jika melihat sumber daya

Page 111: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

185

yang tersedia, terutama manusia, sarana dan prasarana serta dana. Oleh sebab itu,

dari sisi ini, sistem pengorganisasian yang dirancang lebih cenderung pada

pembentukan organisasi baru, kemudian menarik semua sumber daya yang

tersebar di berbagai organisasi lain untuk menjadi modal awal organisasi yang

baru dibentuk tersebut. Setelah organisasi terbentuk, kemudian dilakukan

peningkatan kapasitas dan kapabilitas.

Penegasan mengenai koordinasi sebagai bentuk dari hubungan antar

organisasi tampaknya juga akan dapat mengatasi kerancuan di dalam pengaturan

hubungan antar organisasi antar tingkatan dalam kerangka desentralisasi dan

otonomi daerah. Kesan mengenai masih berlakunya komando atau perintah dari

level pemerintah di atas terhadap pemerintah di bawahnya menurut hasil

wawancara masih dirasakan oleh para responden, terutama di tingkat provinsi dan

tingkat kabupaten/kota, karena dalam prakteknya hal tersebut masih ada.

Sementara menurut pemahaman mereka, hal tersebut seharusnya sudah tidak

berlaku lagi, sejak berlakunya desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga

seringkali pimpinan instansi di tingkat kabupaten/kota tidak bersedia memenuhi

perintah atau komando tersebut. Hal inilah yang terkadang menimbulkan

ketidakserasian atau disharmoni hubungan antara pusat dan daerah, karena

menurut Sanit (2009) masih banyak pihak yang terlibat, terutama para elit atau

pimpinan organisasi pemerintah, baik di tingkat nasional maupun di daerah, yang

kurang pemahamannya terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Sebagian para elit pimpinan organisasi pemerintah masih memiliki persepsi

yang keliru tentang desentralisasi dan otonomi daerah (La Bakry 2009). Otonomi

seharusnya dipahami sebagai kesetaraan kedudukan antara kabupaten/kota dengan

provinsi. Masing-masing daerah otonom memang memiliki kedudukan mandiri.

Hubungan antara provinsi dengan kabupaten/kota tidak bersifat hirarki dan para

pejabat di kabupaten/kota tidak dapat dianggap berada pada posisi bawahan dari

para pejabat provinsi. Namun hal tersebut seharusnya tidak berhenti di sini. Asas

desentralisasi dan dekonsentrasi di provinsi menempatkan gubernur pada posisi

dua peranan (dual role) yakni sebagai kepala daerah dan sebagai wakil

pemerintah. Dalam posisi sebagai wakil pemerintah inilah hubungan antara

gubernur dan bupati/walikota bersifat hirarki, subordinasi, di mana pemerintahan

Page 112: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

186

kabupaten/kota menjalankan fungsi pemerintahan pusat terhadap kabupaten/kota.

Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah provinsi campur tangan terhadap

kewenangan pemerintah kabupaten/kota, melainkan memberi kedudukan kepada

pemerintah provinsi untuk menjalankan tugas dan wewenang pembinaan,

pengawasan, dan koordinasi atas jalannya pemerintahan daerah dan tugas

perbantuan sebagai aspek-aspek pemerintahan umum.

Sinyalemen mengenai masih kuatnya ketergantungan daerah kepada

pemerintah pusat akibat dari penerapan sistem perencanaan terpusat (central

planning) pada masa lalu yang sangat lama (Rasyid 2009), tampaknya terkoreksi.

Hasil wawancara dengan para pimpinan organisasi pemerintah provinsi maupun

kabupaten/kota mengindikasikan bahwa sistem perencanaan sekarang tidak lagi

terpusat melainkan sudah berada di masing-masing daerah. Tahapan-tahapan

perencanaan sudah dimulai di tingkat pemerintahan terbawah yakni

kabupaten/kota dengan dilaksanakannya Musrenbangda (musyawarah

perencanaan pembangunan daerah) kabupaten/kota di mana usulan program dan

anggaran dari setiap SKPD kabupaten/kota dibahas. Program-program yang

anggarannya diusulkan kepada level di atasnya (provinsi atau nasional) juga

disiapkan dan dibahas di tingkat kabupaten/kota. Selanjutnya, di tingkat provinsi,

setiap SKPD, di samping mengusulkan program dan anggarannya sendiri, juga

menjaring usulan program dan anggaran dari SKPD jajarannya di tingkat

kabupaten/kota melalui forum Rakorenbangda (rapat koordinasi perencanaan

pembangunan daerah). Usulan-usulan program yang memang didanai oleh

anggaran provinsi, perencanaannya berhenti di tingkat provinsi, sedangkan yang

akan dimintakan dananya ke pusat/nasional diteruskan oleh pemerintah provinsi

ke tingkat nasional. Pada kondisi inilah ketergantungan pemerintah daerah kepada

pemerintah pusat dipandang masih kuat terutama dalam hal anggaran di sisi

penerimaan (Basri 2009).

Pengendalian kebakaran hutan/lahan pada umumnya belum mendapatkan

porsi anggaran yang memadai karena masih kalah prioritas dibandingkan

program-program lain di setiap SKPD, baik di provinsi maupun kabupaten/kota.

Keberadaan Pusdalkarhutlada dan Satlakdalkarhutla yang bukan SKPD masih

terpinggirkan. Di Kalimantan Barat masih relatif beruntung karena adanya unit

Page 113: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

187

pelaksana teknis daerah (UPTD-PKHL) yang meskipun secara teknis tanggung

jawabnya berada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi, namun tanggung jawab

anggaran sudah tersendiri karena termasuk sebagai SKPD dan selaku kuasa

pengguna anggaran (KPA) sendiri. Oleh sebab itu, untuk menjamin berjalannya

sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan, organisasi yang

mengelola sistem tersebut di daerah harus menjadi SKPD dan KPA. Kalaupun

tidak dapat berdiri sendiri dan harus berada di bawah tanggung jawab organisasi

lain, hanya tanggung jawab teknisnya saja, seperti UPTD-PKHL Kalimantan

Barat tersebut.

Penanggung jawab teknis dari organisasi tersebut sesuai dengan pilihan

berdasarkan profil organisasi maupun pilihan responden adalah organisasi yang

menangani kehutanan. Untuk itu, di tingkat nasional adalah Kementerian

Kehutanan, di tingkat provinsi adalah Dinas Kehutanan Provinsi dan di tingkat

kabupaten/kota adalah Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Namun dari sisi lain,

dengan masuknya kebakaran hutan/lahan sebagai salah satu jenis bencana, maka

sistem pengorganisasian dapat juga mengacu pada jalur organisasi pengelola

bencana yaitu BNPB, BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota.

Pertimbangan lain dalam memberikan kepercayaan kepada organisasi untuk

memegang tanggung jawab adalah berdasarkan kapasitas. Peranan hendaknya

diberikan kepada organisasi yang memiliki sistem yang sehat yaitu yang memiliki

kapasitas yang baik (Kreitner & Kinicki 1992). Analisis terhadap kapasitas

organisasi mendapati bahwa organisasi yang menangani kehutanan memiliki

kapasitas terbesar dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain. Kapasitas yang

dimaksud tergambarkan dari komponen-komponen efektivitas organisasi yaitu

visi dan misi, struktur organisasi, sumber daya manusia, sarana dan prasarana,

serta mekanisme kerja.

Akhirnya, pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah faktor sejarah,

di mana pengelolaan pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia sampai

sekarang selalu berada pada organisasi pemerintah yang menangani kehutanan

baik di tingkat nasional, tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota. Faktor

ini penting karena menyangkut kapasitas dan kapabilitas di mana yang terbaik

salah satunya ada pada organisasi yang menangani kehutanan tersebut. Oleh sebab

Page 114: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

188

itu, organisasi-organisasi kehutanan yang selayaknya diberi peranan, wewenang

dan tanggung jawab untuk mengelola pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Meskipun demikian, terdapat pula fakta bahwa sejak kejadian kebakaran

hutan/lahan yang relatif besar pada tahun 1997-1998 mulai ada keterlibatan

Bakornas PB pada waktu itu, yang sekarang menjadi BNPB, dalam menangani

kebakaran hutan/lahan yang dianggap menjadi bencana. Berlakunya Undang-

Undang nomor 24 tahun 2007 yang memasukkan kebakaran hutan/lahan sebagai

salah satu jenis bencana dapat memperkuat pertimbangan untuk menjadikan

BNPB sebagai alternatif koordinator.

Hal serupa juga terjadi di beberapa negara, di mana instansi yang menangani

kehutanan diberi kewenangan sebagai koordinator. Di Amerika Serikat yang

pengorganisasiannya melibatkan banyak pihak, meskipun kepemimpinan

organisasi, NIFC, dipegang secara bergantian di antara instansi-instansi yang

terlibat, ketergantungan sumber daya untuk pengendalian kebakaran hutan/lahan

tetap lebih besar pada dinas kehutanan (forest service) baik di tingkat federal

maupun di negara bagian dan distrik. Demikian pula di Kanada, kebijakan dan

pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan/lahan berada di tangan dewan menteri

kehutanan yang beranggotakan para menteri yang menangani kehutanan di tingkat

nasional, teritori dan provinsi.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka studi ini

mengusulkan rancang bangun sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran

hutan/lahan di Indonesia seperti diuraikan di bawah ini.

5.5.2. Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran

hutan/lahan

Kebakaran hutan dan kebakaran lahan di dalam sistem pengorganisasian

yang diusulkan dalam penelitian ini tidak dipisahkan pengelolaannya dan untuk

menggambarkan hal tersebut selanjutnya sesuai dengan istilah yang tercantum di

dalam UU nomor 24 tahun 2007 ditulis sebagai kebakaran hutan/lahan. Tanda “/”

dibaca “dan” untuk menyatakan tidak ada pembedaan antara kejadian di dalam

atau di luar kawasan hutan, kecuali di dalam pelaporan.

Page 115: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

189

Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang ada

sekarang, seperti ditunjukkan dengan diagram pada Gambar 44, menunjukkan

bahwa penanganan kebakaran pada saat ini masih terpisah-pisah berdasarkan

fungsi kawasan. Kebakaran di kawasan hutan konservasi dikelola Balai Besar atau

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA/BKSDA) atau Taman Nasional

(BBTN/BTN) dengan garis komando dari tingkat nasional oleh Kemenhut sampai

tingkat lapangan pada Seksi Wilayah KSDA/TN. Kebakaran di kawasan hutan

lindung dan kawasan hutan produksi serta lahan dikelola di tingkat

kabupaten/kota oleh Satlakdalkarhutla dan di tingkat provinsi oleh Pusdalkarhutla.

Kelemahan dari pengorganisasian yang ada sekarang terutama adalah pada

tidak adanya hubungan formal antar tingkatan, baik antara Satlakdalkarhutla

dengan Pusdalkarhutla maupun Pusdalkarhutla dengan tingkat nasional. Hal ini

terbukti pada hasil analisis hubungan antar organisasi antar tingkatan. Hubungan

tersebut kadang dijembatani oleh hubungan baik dan saling mengenal antara

pejabat dari tingkat kabupaten/kota dengan pejabat dari tingkat provinsi.

Hubungan informal semacam ini tentunya tidak tepat untuk perkembangan

organisasi yang sehat. Sistem pengorganisasian yang diusulkan oleh penelitian ini

akan mengoreksi kelemahan-kelemahan tersebut, terutama dengan menempatkan

wewenang dan tanggung jawab manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan

pada satu organisasi atau instansi pemerintah dan memperjelas hubungan

koordinasi dan komando antar tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

Sistem pengorganisasian dirancang dengan memadukan temuan-temuan dari

studi ini dengan teori-teori organisasi dan pengendalian kebakaran hutan/lahan,

serta peraturan perundang-undangan yang berlakunya. Hasil analisis mendapatkan

bahwa terdapat dua alternatif organisasi yang dipandang tepat untuk ditunjuk

sebagai penanggung jawab manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan yaitu

organisasi yang menangani kehutanan ataukah yang menangani bencana. Oleh

sebab itu, diusulkan tiga alternatif pengorganisasian yaitu (1) menyerahkan

seluruh kewenangan dan tanggung jawab manajemen pengendalian kebakaran

hutan/lahan kepada instansi pengelola kehutanan, (2) menyerahkan seluruh

kewenangan dan tanggung jawab kepada instansi pengelola bencana, dan (3)

kombinasi antara (1) dan (2) pada situasi dan kondisi tertentu.

Page 116: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

190

Alternatif 1

Alternatif ini memberikan kewenangan dan tanggung jawab manajemen

pengendalian kebakaran hutan/lahan kepada instansi yang mengelola kehutanan di

tiap tingkatan. Hal ini berarti bahwa seluruh koordinasi dan komando yang saat ini

dipegang oleh berbagai organisasi penanggung jawab baik di Pusdalkarhutla dan

Satlakdalkarhutla pada pencegahan dan pemadaman di level sebelum bencana

maupun oleh instansi pengelola bencana (BNPB dan BPBD) untuk pemadaman

setelah pada level bencana ditarik seluruhnya dan diserahkan kepada instansi-

instansi pengelola kehutanan di tiap tingkatan tersebut.

Pemberian wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya kepada instansi

kehutanan juga memiliki alasan penting yaitu terkait dengan penanganan dampak

kebakaran terhadap ekosistem. Penanganan kebakaran hutan/lahan tidak hanya

terhadap apinya, melainkan juga terhadap ekosistem beserta isinya. Pemulihan

ekosistem setelah terbakar menjadi perhatian utama. Penanganan korban

kebakaran hutan/lahan tidak hanya terhadap korban manusia tetapi juga korban

tumbuhan dan satwa liar yang ada di kawasan kebakaran. Penyelamatan tumbuhan

liar dan pengungsian satwa memerlukan penanganan khusus yang dapat dilakukan

oleh instansi kehutanan yang memang sudah memiliki sumber daya untuk itu.

Wewenang yang diberikan kepada instansi kehutanan di tiap tingkatan dalam

pengendalian kebakaran hutan/lahan akan mempermudah akses dalam

penyelamatan dan pemulihan korban bukan manusia tersebut.

Struktur pengorganisasian sesuai dengan alternatif 1 adalah seperti

diuraikan di bawah ini.

1. Tingkat nasional

a. Kebakaran hutan/lahan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah dan

dalam hal ini berada di tangan Presiden RI. Untuk itu Presiden RI

membentuk sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan

Indonesia yang disebut Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan

Indonesia. Brigade tersebut sebaiknya diberi nama Manggala Agni, karena

nama tersebut sudah cukup populer di Indonesia dan di ASEAN sebagai

nama organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan Indonesia.

Page 117: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

191

Pembentukan sistem pengorganisasian tersebut dapat dilakukan dengan

Peraturan Presiden.

b. Di bawah Presiden, terdapat sebuah Forum Pengendalian Kebakaran

Hutan/Lahan (FPKHL). Forum ini merupakan pertemuan para menteri dan

pimpinan lembaga nasional yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan

kebakaran hutan/lahan.

• Forum ini dipimpin oleh Menteri Kehutanan, dengan keanggotaan

tetap terdiri dari Menteri Pertanian, Menteri Perhubungan, Menteri

Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Kepala Kepolisian RI (Kapolri),

Panglima TNI, dan Kepala BNPB.

• Forum tersebut dapat mengundang pimpinan lembaga-lembaga lain

dari pemerintah di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota

dan jika memandang perlu dapat mengangkat satu atau lebih pimpinan

lembaga-lembaga tersebut sebagai anggota tidak tetap untuk jangka

waktu tertentu.

• Forum juga dapat mengundang tenaga ahli dari lembaga-lembaga atau

perorangan jika dipandang perlu nasihatnya untuk hal-hal tertentu.

• Forum tersebut memiliki fungsi pembuatan kebijakan dan koordinasi

di tingkat nasional dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Tugas

pokoknya antara lain: (1) merancang kebijakan nasional untuk

diajukan kepada dan ditetapkan oleh Presiden, (2) menetapkan

kebijakan operasional pengendalian kebakaran hutan/lahan, (3)

mengoordinasikan program dan anggaran pengendalian kebakaran

hutan/lahan, (4) mengkaji dan mengusulkan penetapan status bencana

nasional kebakaran hutan/lahan, (5) memberikan arahan kepada

Pusdalkarhutla Nasional, dan (6) mengoordinasikan mobilisasi sumber

daya pemadaman tingkat nasional dan internasional.

• Forum mengadakan pertemuan sedikitnya dua kali dalam setahun.

c. Untuk menjalankan tugas-tugas operasional harian, dibentuk Pusat

Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan Nasional (Pusdalkarhutlanas).

• Pusdalkarhutlanas merupakan organisasi yang berfungsi

mengoordinasikan penyelenggaraan operasional pengendalian

Page 118: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

192

kebakaran hutan/lahan di tingkat nasional dan antara tingkat nasional

dengan tingkat provinsi. Tugas pokoknya antara lain: (1)

mengoordinasikan upaya-upaya pencegahan, pemadaman, dan

penanganan pasca kebakaran hutan/lahan lintas provinsi dan lintas

negara, (2) mengadakan dan memobilisasi sumber daya pengendalian

kebakaran hutan/lahan lintas provinsi dan lintas negara.

• Pusdalkarhutlanas berkedudukan secara struktural pada Kementerian

Kehutanan di bawah Sekretariat Jenderal atau badan yang dibentuk

untuk menangani perlindungan hutan dan kebakaran hutan/lahan.

Pusdalkarhutnas dan dipimpin oleh seorang Kepala Pusdalkarhutlanas.

• Struktur organisasi Pusdalkarhutlanas terdiri atas:

o Bagian Umum, yang menangani urusan administrasi atau tata

usaha, keuangan atau anggaran, pengelolaan sumber daya

manusia, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran;

o Bagian Pencegahan, yang menangani data dan informasi serta

program pencegahan, sistem peringatan dan deteksi kebakaran,

dan pengerahan bantuan sumber daya pencegahan;

o Bagian Pemadaman, yang menangani data dan informasi serta

program pemadaman dan pengerahan sumber daya pemadaman;

o Bagian Penanganan Pasca Kebakaran, yang menangani data dan

informasi serta program penanganan pasca kebakaran dan

pengerahan sumber daya pendukung penanganan pasca

kebakaran.

d. Untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas tertentu atau khusus, menteri

Kehutanan membentuk satuan khusus nasional pengendalian kebakaran

hutan/lahan, yang disebut Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis

(SMART) dengan kualifikasi tingkat nasional. Satuan khusus tersebut

terdiri atas individu-individu terpilih yang telah memperoleh pelatihan

tertentu untuk memenuhi kualifikasi tingkat nasional. Satuan ini juga

dapat menjadi sumber daya cadangan nasional dan dapat diperbantukan

atau di bawah kendali operasi (BKO) kepada BNPB untuk mendukung

penanganan bencana.

Page 119: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

193

2. Tingkat provinsi

a. Gubernur bertanggung jawab atas kebakaran hutan/lahan di provinsinya,

dan untuk itu gubernur menunjuk Dinas Kehutanan Provinsi sebagai

penanggung jawab operasional pengendalian kebakaran hutan/lahan. Jika

bukan Dinas Kehutanan Provinsi, maka instansi yang dapat ditunjuk

sesuai dengan hasil analisis adalah BPBD Provinsi atau BLHD Provinsi.

b. Instansi yang ditunjuk tersebut merupakan organisasi yang berfungsi

mengoordinasikan penyelenggaraan operasional pengendalian kebakaran

hutan/lahan di tingkat provinsi dan koordinasi dengan tingkat nasional

maupun dengan tingkat kabupaten/kota. Tugas pokoknya antara lain: (1)

menyiapkan rancangan kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan

tingkat provinsi untuk diajukan kepada dan ditetapkan oleh gubernur, (2)

mengoordinasikan upaya-upaya pencegahan, pemadaman, dan

penanganan pasca kebakaran hutan/lahan lintas kabupaten/kota, (3)

mengadakan sumber daya pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat

provinsinya, (4) mengoordinasikan mobilisasi sumber daya pengendalian

kebakaran hutan/lahan lintas kabupaten/kota di provinsinya, antara

provinsinya dengan provinsi lain di Indonesia dan antara provinsinya

dengan Pusdalkarhutlanas menurut perintah gubernur.

c. Untuk menangani tugas pokok tersebut, instansi yang ditunjuk harus

membentuk unit pelaksana teknis pengendalian kebakaran hutan/lahan

(UPT-PKHL) di bawah struktur dan komandonya. UPT-PKHL tersebut

dipimpin oleh seorang Kepala UPT-PKHL Provinsi yang diangkat dan

diberhentikan oleh Gubernur atas pertimbangan dari Kepala Dinas

Kehutanan Provinsi atau instansi yang ditunjuk.

d. UPT-PKHL memiliki struktur yang terdiri atas:

• Bagian/Seksi Umum, yang menangani urusan administrasi atau tata

usaha, keuangan atau anggaran, pengelolaan sumber daya manusia,

sarana dan prasarana pengendalian kebakaran;

• Bagian/Seksi Pencegahan, yang menangani data dan informasi serta

program pencegahan, sistem peringatan dan deteksi kebakaran, dan

pengerahan bantuan sumber daya pencegahan;

Page 120: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

194

• Bagian/Seksi Pemadaman, yang menangani data dan informasi serta

program pemadaman dan pengerahan sumber daya pemadaman;

• Bagian/Seksi Penanganan Pasca Kebakaran, yang menangani data

dan informasi serta program penanganan pasca kebakaran dan

pengerahan sumber daya pendukung penanganan pasca kebakaran.

e. Untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas tertentu atau khusus, UPT-

PKHL Provinsi memiliki satuan khusus pengendalian kebakaran

hutan/lahan, yang disebut Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis

(SMART) dengan kualifikasi tingkat provinsi. Satuan khusus tersebut

terdiri atas individu-individu terpilih yang telah memperoleh pelatihan

tertentu untuk memenuhi kualifikasi tingkat provinsi. Satuan ini dapat

menjadi sumber daya cadangan provinsi dan dapat diperbantukan kepada

BPBD Provinsi untuk mendukung penanganan bencana.

3. Tingkat kabupaten/kota

a. Bupati/Walikota bertanggung jawab atas kebakaran hutan/lahan di

kabupaten/kotanya, dan untuk itu Bupati/Walikota menunjuk Dinas

Kehutanan Kab/Kota atau instansi yang menangani kehutanan di

Kab/Kota-nya sebagai penanggung jawab operasional pengendalian

kebakaran hutan/lahan di Kabupaten/Kota. Jika bukan Dinas Kehutanan

Kab/Kota atau instansi kehutanan yang ditunjuk, maka instansi lain yang

ditunjuk adalah instansi yang menangani bencana (BPBD Kab/Kota) atau

yang menangani lingkungan hidup (BLHD Kab/Kota).

b. Dinas Kehutanan Kab/Kota atau instansi yang ditunjuk tersebut

merupakan organisasi yang berfungsi menyelenggarakan operasional

pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat kabupaten/kota. Tugas

pokoknya antara lain: (1) menyiapkan rancangan kebijakan pengendalian

kebakaran hutan/lahan tingkat kabupaten/kota untuk diajukan kepada dan

ditetapkan oleh Bupati/Walikota, (2) melakukan upaya-upaya

pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran hutan/lahan

di kabupaten/kotanya, (3) mengadakan sumber daya pengendalian

kebakaran hutan/lahan untuk kabupaten/kotanya, (4) mengoordinasikan

mobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran hutan/lahan di

Page 121: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

195

kabupaten/kotanya dan dengan kabupaten/kota lain di provinsinya dan

dengan instansi provinsi yang ditunjuk di tingkat provinsi untuk

menangani mobilisasi sumber daya ke wilayah-wilayah lain menurut

perintah bupati/walikotanya.

c. Dinas Kehutanan Kab/Kota atau instansi yang ditunjuk tersebut

membentuk unit pelaksana teknis pengendalian kebakaran hutan/lahan

(UPT-PKHL) di bawah struktur dan komandonya. UPT-PKHL Kab/Kota

dipimpin oleh seorang Kepala UPT-PKHL Kab/Kota yang diangkat dan

diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas pertimbangan dari Kepala Dinas

Kehutanan Kab/Kota atau instansi yang ditunjuk tersebut.

d. UPT-PKHL Kab/Kota memiliki struktur yang terdiri atas:

• Bagian/Seksi Umum, yang menangani urusan administrasi atau tata

usaha, keuangan atau anggaran, perencanaan dan pengelolaan

sumber daya manusia, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran;

• Bagian/Seksi Pencegahan, yang menangani data dan informasi serta

program pencegahan, sistem peringatan dan deteksi kebakaran, dan

pengerahan bantuan sumber daya pencegahan;

• Bagian/Seksi Pemadaman, yang menangani data dan informasi serta

program pemadaman dan pengerahan sumber daya pemadaman;

• Bagian/Seksi Penanganan Pasca Kebakaran, yang menangani data

dan informasi serta program penanganan pasca kebakaran dan

pengerahan sumber daya pendukung penanganan pasca kebakaran.

e. Untuk pelaksanaan tindakan pengendalian kebakaran hutan/lahan,

terutama pencegahan dan pemadaman, dibentuk Satuan Pengendalian

Kebakaran Hutan/Lahan (Satdal karhutla).

• Setiap Satdal tersebut bertanggung jawab atas pencegahan dan

pemadaman dalam satu atau lebih kecamatan yang ditetapkan oleh

Kepala UPT-PKHL Kab/Kota;

• Setiap Satdal terdiri atas regu-regu pengendalian kebakaran

hutan/lahan, yang jumlahnya disesuaikan dengan situasi dan kondisi

kerawanan kebakaran hutan/lahan. Setiap regu terdiri atas seorang

kepala regu dan 14 orang anggota regu.

Page 122: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

196

f. Untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas tertentu atau khusus,

Pusdalkarhutla Kab/Kota memiliki satuan khusus pengendalian

kebakaran hutan/lahan, yang disebut Satuan Manggala Agni Reaksi

Taktis (SMART) dengan kualifikasi tingkat kabupaten/kota. Satuan

khusus tersebut terdiri atas individu-individu terpilih yang telah

memperoleh pelatihan tertentu untuk memenuhi kualifikasi tingkat

kabupaten/kota. Satuan ini dapat menjadi sumber daya cadangan provinsi

dan dapat diperbantukan kepada BPBD Kabupaten/Kota untuk

mendukung penanganan bencana

Sistem pengorganisasian tersebut ditunjukkan dengan diagram model

konseptual pada Gambar 45. Keterlibatan berbagai pihak, baik organisasi-

organisasi pemerintah yang lain, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan

swasta tetap diutamakan, tetapi tanggung jawab tetap berada pada pemerintah.

Gambar 44 Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia sekarang.

Page 123: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

197

Sebagaimana disebutkan di atas, sistem tersebut memberikan wewenang dan

tanggung jawab penuh di tingkat nasional kepada Kemenhut. Wewenang dan

tanggung jawab tersebut mencakup pula koordinasi dalam mobilisasi sumber daya

pemadaman domestik maupun internasional pada semua tingkat kondisi bencana

kebakaran, termasuk pada bencana nasional kebakaran hutan/lahan. Hal ini berarti

mencabut wewenang dan tanggung jawab BNPB yang ditetapkan oleh UU nomor

24 tahun 2007. Untuk mendukung hal tersebut diperlukan sebuah landasan hukum

yang kuat berupa amandemen terhadap UU nomor 24 tahun 2007 tersebut.

Gambar 46 dan Gambar 47 menunjukkan model konseptual untuk

mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran hutan/lahan. Tahapan mobilisasi

dilaksanakan oleh pemerintah dari tingkat kabupaten/kota yakni oleh Dinas yang

menangani kehutanan, dan jika belum tertangani dengan tuntas karena kurangnya

sumber daya, maka dimintakan bantuan sumber daya ke tingkat provinsi melalui

bupati/wali kota kepada gubernur. Selanjutnya, gubernur meminta Dinas

Kehutanan Provinsi untuk mengerahkan sumber daya provinsi, termasuk sumber

daya dari kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Jika kebakaran belum

padam, gubernur dapat meminta dukungan sumber daya nasional melalui Menhut.

Dengan kewenangan dari Menhut, Pusdalkarhutla Nasional dapat mengerahkan

sumber daya nya dan sumber daya dari provinsi-provinsi lain, bahkan sumber

daya dari bantuan internasional. kepada Presiden berlanjut yang berwewenang dan

bertanggung jawab pada setiap tingkatan. Para pihak lain yang memiliki sumber

daya yang dapat dimobilisasi, baik organisasi pemerintah, swasta, maupun

masyarakat, tidak ditampilkan dalam diagram tersebut karena mereka berada di

bawah komando dan kendali desa, dinas kehutanan kabupaten/kota, dinas

kehutanan provinsi, dan Pusalkarhutlanas. Mekanisme untuk memperoleh dan

memobilisasi sumber daya kelak akan diatur dan disepakati bersama antara

organisasi-organisasi pemerintah dengan para pihak tersebut.

Rancang bangun sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran

hutan/lahan ini juga menampilkan sebuah model konseptual (Gambar 47) yang

menggambarkan langkah-langkah yang ditempuh oleh organisasi-organisasi yang

menjadi koordinator.

Page 124: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

198

Gambar 45 Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran

hutan/lahan di Indonesia alternatif 1.

Page 125: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

199

Gambar 46 Tahapan mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran hutan/lahan alternatif 1.

Page 126: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

200

Gambar 47 Urutan langkah dalam proses pelaporan dan tindakan mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran hutan/lahan.

Alternatif 2

Alternatif ini hanya menegaskan keberadaan urusan pengendalian kebakaran

hutan/lahan pada BNPB dan BPBD. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa

selama ini belum ada ketegasan mengenai institusi yang menangani urusan

tersebut, seperti tergambarkan pada sistem pengorganisasi saat ini (Gambar 44),

sehingga masih terjadi saling lempar tanggung jawab ketika timbul kebakaran

hutan/lahan dan dampak negatifnya.

Alternatif ini mencabut kewenangan dan tanggung jawab seluruh

manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan dari organisasi-organisasi lain,

termasuk dari Kemenhut dan Kementan, yang diberikan oleh Instruksi Presiden

nomor 16 tahun 2011, kecuali untuk urusan yustisi, dan meletakkannya di bawah

struktur organisasi pengelolaan bencana. Dengan demikian, segala urusan

Page 127: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

201

manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan menjadi wewenang dan

tanggung jawab BNPB di tingkat nasional dan BPBD di tingkat daerah (provinsi

dan kabupaten/kota) baik dalam status normal maupun dalam status darurat.

Hal tersebut di atas sebenarnya tidak akan mengubah struktur organisasi

pada BNPB dan BPBD karena struktur organisasi BNPB dan BPBD pada

prinsipnya telah mencakup semua urusan bencana termasuk pengendalian

kebakaran hutan/lahan. Namun demikian, karena kebakaran hutan/lahan memiliki

karakteristik yang khas, yang berbeda dari jenis-jenis bencana lainnya, maka

diperlukan penanganan tersendiri. Seperti diuraiakan di atas, kebakaran

hutan/lahan berdampak terhadap ekosistem alam sehingga memerlukan

penanganan khusus, terutama mengenai penyelamatan dan pemulihan korban

bukan manusia berupa tumbuhan dan satwa. Terbitnya Inpres nomor 16 tahun

2011 dapat menjadi indikasi mengenai hal tersebut, di mana kebakaran

hutan/lahan memiliki kekhasan dalam pengelolaannya dan selama ini masih

kurang mendapat porsi perhatian yang memadai oleh BNPB dan BPBD, sehingga

dirasa perlu mengaturnya secara khusus.

Struktur organisasi BNPB dan BPBD sesuai dengan Pasal 11 dan Pasal 19

UU nomor 24 tahun 2007 terdiri atas unsur pengarah dan unsur pelaksana. Pasal

10 dan Pasal 11 dari Peraturan Presiden RI (Perpres) nomor 8 tahun 2008 dan

Pasal 10 dari Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2008, pada Ayat (2)

menunjukkan bahwa kebakaran hutan/lahan belum mendapatkan cukup perhatian.

Pejabat Pemerintah Eselon I dari Kemenhut dan Kementan yang berwewenang

dan bertanggung jawab atas kawasan kebakaran hutan/lahan tidak termasuk di

dalam unsur pengarah.

Oleh sebab itu, sistem pengorganisasian yang diusulkan ini menghendaki

masuknya kedua kementerian tersebut sebagai anggota unsur pengarah.

Pembatasan jumlah anggota unsur pengarah sebanyak 10 pejabat seperti

disebutkan pada Pasal 11 Perpres nomor 8 tahun 2008 dan Pasal 10 Ayat (1)

Peraturan Kepala BNPB tersebut di atas perlu diamandemen dengan mengubah

jumlah anggota unsur pengarah tersebut karena batasan jumlah tersebut tidak

secara tegas diatur di dalam UU nomor 24 tahun 2007 yang menjadi acuannya.

Page 128: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

202

Dengan demikian, diusulkan agar jumlah anggota dari pejabat eselon I ditambah

sehingga menjadi 12 orang, yakni masing-masing satu orang dari kedua

kementerian tersebut di atas.

Unsur pelaksana juga perlu perubahan berupa penambahan jabatan.

Penambahan jabatan diusulkan terutama adalah tingkat eselon IV pada hampir

setiap eselon I yang ada. Jabatan yang ditambahkan adalah untuk khusus

menangani kebakaran hutan/lahan sesuai dengan eselon I-nya. Model konseptual

dari sistem pengorganisasian alternatif 2 adalah seperti pada Gambar 48.

Sedangkan untuk prosedur mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran

hutan/lahan dapat mengikuti prosedur penanganan bencana lainnya.

Gambar 48 Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia alternatif 2.

Page 129: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

203

Alternatif 3

Alternatif ini memadukan alternatif 1 ke dalam manajemen bencana oleh

BNPB dan BPBD ketika kondisi kebakaran hutan/lahan ditetapkan sebagai status

darurat bencana nasional. Ketika kebakaran hutan/lahan berada pada kondisi biasa

dan status darurat bencana kabupaten/kota maupun provinsi, wewenang dan

tanggung jawab pengendalian kebakaran hutan/lahan masih berada di tangan

bupati/walikota atau gubernur dan komando tetap dilaksanakan oleh Dishut

Kab/Kota atau Dishut Provinsi. Komando di tingkat nasional masih di tangan

Kemenhut dan laporan situasi dan kondisi kebakaran dari daerah tetap

disampaikan secara berjenjang oleh Dishut Kab/Kota dan Dishut Provinsi kepada

Kemenhut (Pusdalkarhutlanas).

Berdasarkan laporan dari daerah tersebut dan hasil pemantauan serta analisis

situasi kebakaran hutan/lahan oleh Pusdalkarhutlanas, Menteri Kehutanan

(Menhut) melaporkan situasi tersebut kepada Menko Kesra. Jika situasi kebakaran

hutan/lahan sudah memenuhi syarat bagi status darurat bencana nasional, maka

laporan Menhut tersebut disertai dengan usulan bagi ditetapkannya status darurat

bencana nasional. Atas laporan tersebut, Menko Kesra segera mengundang Forum

PKHL untuk pertemuan pembahasan usulan penetapan status darurat bencana

nasional kepada Presiden dan atau dapat langsung mengusulkan kepada Presiden

untuk segera menetapkan status darurat bencana nasional kebakaran hutan/lahan.

Status darurat bencana kebakaran hutan/lahan nasional ditetapkan secara resmi

oleh Presiden RI sesuai dengan Pasal 51 UU nomor 24 tahun 2007.

Selama status darurat bencana nasional kebakaran hutan/lahan belum

ditetapkan secara resmi oleh Presiden, wewenang, tanggung jawab dan komando

pengendalian kebakaran hutan/lahan masih berada pada Menhut. Pada kondisi

tersebut, Menhut dapat melakukan koordinasi dan komando kepada semua

instansi atau organisasi pemerintah, LSM, maupun swasta di semua tingkatan

dalam rangka mobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran hutan/lahan

domestik. Menhut melaporkan perkembangan kondisi terkini kepada Menko

Kesra dan BNPB. Menko Kesra jika memandang perlu, dapat mengalihkan

Page 130: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

204

wewenang dan tanggung jawab serta komando dari Menhut kepada BNPB

meskipun status darurat bencana nasional belum ditetapkan secara resmi oleh

Presiden. Hal ini sangat penting untuk kejelasan mengenai kesatuan wewenang,

tanggung jawab dan komando. Pengalihan tersebut harus dilakukan Menko Kesra

secara formal.

Ketika status darurat bencana nasional secara resmi ditetapkan oleh

Presiden, wewenang dan tanggung jawab koordinasi dan komando pengendalian

kebakaran hutan/lahan secara nasional diserahkan oleh Kemenhut kepada Menko

Kesra dan selanjutnya dilaksanakan oleh BNPB. Pada kondisi tersebut, status

Kemenhut berada di bawah komando operasi (BKO) BNPB. Tugas Kemenhut

adalah mendukung operasi tersebut sesuai dengan komando BNPB, antara lain

tetap mengoordinasikan mobilisasi sumber daya yang ada di bawah wewenang

dan tanggung jawabnya sesuai dengan sistem pada alternatif 1 dan bertanggung

jawab atas penyelamatan dan pemulihan korban kebakaran berupa tumbuhan dan

satwa liar. Model konseptual dari sistem pengorganisasian alternatif 3 adalah

seperti pada Gambar 49.

5.5.3. Integrasi dan koordinasi

Rancangan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan

tersebut di atas memiliki konsekuensi bagi dilakukannya integrasi dan koordinasi

beberapa hal. Langkah-langkah integrasi dan koordinasi yang dimaksud antara

lain diuraikan berikut ini.

1. Sistem pengorganisasian yang diusulkan tersebut menghendaki adanya

integrasi kebijakan dari tingkat nasional sampai dengan tingkat

kabupaten/kota dan lapangan (desa). Hubungan antara tingkat nasional,

tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota berdasarkan sistem prefektoral

terpadu (Hoessein 2009) adalah koordinasi. Presiden menetapkan kebijakan

nasional pengendalian kebakaran hutan/lahan yang menjadi acuan bagi

gubernur dalam menetapkan kebijakan untuk provinsinya, dan kebijakan

nasional dan kebijakan provinsi harus menjadi landasan bagi kebijakan

bupati/walikota.

Page 131: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

205

Gambar 49 Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran

hutan/lahan di Indonesia alternatif 3. 2. Bupati/walikota bertanggung jawab penuh terhadap kebakaran hutan/lahan di

wilayahnya sehingga dapat mengeluarkan kebijakan yang dapat mendukung

pelaksanaan tanggung jawab tersebut, namun kebijakan-kebijakannya tidak

bertentangan dengan kebijakan provinsi dan kebijakan nasional.

Bupati/walikota tidak menerima perintah dari gubernur dalam pengendalian

kebakaran hutan/lahan, kecuali pada waktu pemadaman di level provinsi di

mana gubernur dapat memerintahkan bupati/walikota di provinsinya untuk

memobilisasi sumber daya dan di bawah kendali operasi (BKO) kepada

bupati/walikota yang meminta bantuan provinsi. Dalam hal ini, gubernur

menggunakan peranan gandanya sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah

pusat memantau dan mengawasi bupati/walikota.

3. Hal tersebut di atas berlaku terhadap gubernur pada tingkat provinsi, dan

untuk kepentingan mobilisasi sumber daya nasional dalam operasi

Page 132: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

206

pemadaman, Menhut dapat memerintah gubernur secara langsung untuk

mememobilisasi sumber daya dari provinsinya ke provinsi yang meminta

bantuan.

4. Akuntabilitas bupati/walikota dalam pengelolaan pengendalian kebakaran

hutan/lahan adalah langsung kepada publik atau melalui Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota atau DPRD Provinsi bagi gubernur.

Jika bupati/walikota atau gubernur dengan UPT-PKHL-nya dinilai tidak

melaksanakan tanggung jawabnya, publik atau masyarakat yang menilai dan

memberikan sanksi, baik secara moral dengan pernyataan tidak percaya lagi

kepada bupati/walikota atau gubernur tersebut atau melalui mekanisme

hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebaliknya, penghargaan perlu diberikan pula kepada bupati/walikota atau

gubernur yang telah mengelola dengan baik pengendalian kebakaran

hutan/lahannya. Penghargaan dapat diberikan oleh masyarakat, DPRD,

gubernur bagi bupati/walikota maupun oleh Presiden bagi gubernur.

5. Hubungan ke atas dari bupati/walikota kepada gubernur adalah dalam bentuk

pelaporan hasil pelaksanaan tanggung jawabnya dalam mengelola

pengendalian kebakaran hutan/lahannya dan permintaan bantuan sumber daya

untuk mendukung pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut jika terjadi

kekurangan sumber daya setelah seluruh sumber daya yang dimilikinya sudah

dimobilisasi.

6. Mekanisme serupa berlaku pula untuk hubungan gubernur dengan Presiden,

di mana gubernur bertanggung jawab atas keseluruhan pengelolaan

pengendalian kebakaran hutan/lahan di wilayahnya. Hubungan ke atas antara

gubernur dengan Presiden adalah dalam bentuk pelaporan

pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan pengendalian kebakaran

hutan/lahannya dan permintaan bantuan sumber daya untuk mendukung

pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut jika terjadi kekurangan sumber daya

setelah seluruh sumber daya yang dimilikinya sudah dimobilisasi.

7. Urusan penanganan pasca kebakaran, terutama yustisi kebakaran hutan/lahan,

diserahkan sepenuhnya kepada organisasi penegak hukum (Polri, Kejaksaan,

dan Pengadilan) di setiap tingkatan. Pusdalkarhutnas dan UPT-PKHL di

Page 133: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

207

masing-masing tingkatan hanya berperan memantau dan memberikan

dukungan yang diperlukan oleh organisasi penegak hukum. Keterlibatan

penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) hanya bersifat membantu dan

mendukung, terutama ketika pelanggaran hukum terjadi di wilayah kerjanya,

serta tetap dalam komando penyidik Polri.

8. Sistem pengorganisasian yang dirancang juga memerlukan penyesuaian status

pengelolaan sumber daya pengendalian kebakaran. Pada saat ini, Kementerian

Kehutanan telah memiliki sebuah brigade pengendalian kebakaran hutan yang

diberi nama Manggala Agni. Nama tersebut disarankan untuk tetap digunakan

untuk semua jajaran pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia karena

nama tersebut sudah cukup dikenal di dunia sebagai organisasi pengendalian

kebakaran hutan/lahan Indonesia. Di dalam sistem pengorganisasian yang

dirancang oleh penelitian ini, keberadaan Manggala Agni tersebut tetap

diperhatikan, tetapi kedudukannya mengalami sedikit perubahan.

Sekarang Manggala Agni berada di bawah UPT-PHKA (Balai/Balai

Besar KSDA atau Taman Nasional) dengan garis komando dari tingkat

terbawah pada Daerah Operasi (Daops) di kabupaten/kota, ke atas di tingkat

provinsi pada UPT-PHKA dan ke tingkat nasional pada Menteri Kehutanan

melalui Direktur Jenderal PHKA. Penunjukan Kementerian Kehutanan

sebagai organisasi penanggung jawab pengendaian kebakaran hutan/lahan

secara otomatis menjadikan Manggala Agni yang sudah ada sebagai modal

dasar.

Di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, integrasi dan koordinasi

Manggala Agni terhadap sistem pengorganisasian tersebut memiliki tiga

alternatif, yaitu:

(a) Manggala Agni tetap dalam komando dan tanggung jawab Kementerian

Kehutanan dengan status penempatan atau kepegawaian pada UPT-PHKA

dengan tanggung jawab utama pada kawasan konservasi. Jika diperlukan

untuk operasi pengendalian kebakaran hutan/lahan, pada tingkat

kabupaten/kota, UPT-PKHL Kab/Kota atas perintah bupati/walikota dapat

meminta langsung kepada Daops Manggala Agni terdekat dan pada tingkat

provinsi, UPT-PKHL Provinsi atas perintah gubernur dapat meminta

Page 134: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

208

langsung kepada UPT-PHKA setempat atau terdekat sumber daya

Manggala Agni tersebut. Selanjutnya, sumber daya Manggala Agni

tersebut di bawah kendali operasi (BKO) UPT-PKHL tersebut dengan

tanggung jawab pembiayaan operasional oleh Kementerian Kehutanan

melalui Pusdalkarhutnas kepada UPT-PKHL.

(b) Penempatan sumber daya Manggala Agni dan status kepegawaiannya, yang

mencakup pembinaan karir, gaji/upah, dan berbagai pembiayaan rutin lainnya

tetap di bawah Kementerian Kehutanan melalui UPT-PHKA, tetapi komando

operasional dan seluruh pembiayaan operasional ditanggung oleh anggaran

APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota di bawah Dinas Kehutanan atau

instansi yang ditunjuk gubernur dan bupati/walikota (UPT-PKHL).

(c) Semua sumber daya Manggala Agni ditempatkan dan di bawah komando

serta tanggung jawab UPT-PKHL, termasuk status kepegawaian, pembinaan

karir, gaji/upah dan seluruh pembiayaan operasionalnya. UPT-PKHL Provinsi

bertanggung jawab atas sumber daya Manggala Agni di tingkat provinsi dan

UPT-PKHL Kab/Kota bertanggung jawab atas sumber daya Manggala Agni

di Daops.

Pada alternatif (c), Manggala Agni yang sumber dayanya ada di Daops

di tingkat kabupaten/kota diserahkan kepada UPT-PKHL Kab/Kota, dan

dengan demikian status kepegawaiannya serta operasionalnya diserahkan

kepada UPT-PKHL Kab/Kota. Alternatif (c) tersebut memberi UPT-PKHL

modal awal berupa sumber daya dari Manggala Agni sehingga langkah ke

depannya tinggal meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya untuk mencapai

tingkat sesuai dengan kebutuhan setempat, sedangkan alternatif (a) dan (b)

akan memaksa UPT-PKHL, terutama di kabupaten/kota untuk memulai

membangun kapasitas sumber dayanya sendiri, karena Manggala Agni

tersebut tidak berada di bawah komando langsungnya. Alternatif (a) akan

tetap memberikan beban kepada Pemerintah Pusat, alternatif (b) akan

membagi beban antara Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian

Kehutanan dan Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota), sedangkan

alternatif (c) akan memberikan beban pengelolaan sumber daya pengendalian

kebakaran hutan/lahan pada pemerintah provinsi dan pemerintah

Page 135: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

209

kabupaten/kota, terutama dalam hal manajemen sumber daya manusia seperti

gaji/upah, dan manajemen sarana dan prasarana seperti pengadaan,

operasional dan pemeliharaan. Pemilihan alternatif tersebut masih

memerlukan kajian lebih lanjut, sambil menunggu terbitnya undang-undang

tentang kepegawaian sebagai revisi terhadap UU nomor 43 tahun 1999, yang

dianggap masih sentralistik dan tidak sesuai lagi dengan semangat dan tujuan

desentralisasi (Dwiyono 2011).

Sumber daya pengendalian kebakaran juga telah dimiliki oleh

organisasi-organisasi pemerintah lainnya baik di tingkat nasional, tingkat

provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Status kepemilikan sumber daya

tersebut, baik SDM maupun peralatan pengendalian kebakaran menghadapi

tiga alternatif yang serupa dengan yang ada pada Manggala Agni. Sistem

pengorganisasian dirancang untuk tetap memberikan tanggung jawab

pengelolaan pengendalian kebakaran hutan/lahan pada instansi pemangku

kawasan hutan/lahan. Oleh sebab itu, instansi-instansi tersebut tetap harus

memiliki dan mengelola sumber daya untuk pengendalian kebakaran di

kawasan pemangkuannya. Rancangan sistem pengorganisasian ini

memberikan penegasan mengenai keharusan adanya mekanisme tertulis yang

disepakati berupa rencana mobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran

yang mengatur pengerahan sumber daya yang ada di instansi-instansi tersebut

di bawah komando Pusdalkarhutlanas dan UPT-PKHL pada setiap

tingkatannya.

Di samping itu, keberadaan instansi atau organisasi yang sekarang

menangani pengendalian kebakaran hutan/lahan yaitu UPTD-PKHL, seperti di

Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, yang merupakan SKPD dan

Pusdalkarhutlada dan Satlakdalkarhutla yang merupakan organisasi tersendiri

dan bukan SKPD di setiap provinsi dan kabupaten/kota, dalam rancangan

sistem pengorganisasian ini harus dilebur ke dalam UPT-PKHL yang berada

di dalam instansi yang ditunjuk gubernur dan bupati/walikota di setiap

provinsi dan kabupaten/kota. Peleburan tersebut mencakup sumber daya yang

ada di organisasi atau instansi tersebut seperti SDM, sarana dan prasarananya

Page 136: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

210

maupun anggaran yang statusnya dipindahkan atau dimutasi kepada UPT-

PKHL.

9. Peranan para pihak non-pemerintah dalam pengendalian kebakaran

hutan/lahan diintegrasikan di dalam sistem pengorganisasian. Hal ini terutama

untuk alasan-alasan antara lain:

(a) Meningkatkan akuntabilitas sosial dalam penyelenggaraan pengendalian

kebakaran. Keterlibatan masyarakat akan mendorong perbaikan kinerja

pemerintah (Antlov & Watterberg 2010).8

(b) Mewujudkan hubungan yang lebih baik antara negara dengan masyarakat

(state-society relation). Sebelumnya masyarakat kurang mendapat tempat

dalam pembuatan kebijakan atau keputusan dan lebih berposisi sebagai obyek

dari kebijakan atau keputusan pemerintah, termasuk dalam pengendalian

kebakaran hutan/lahan. Di era Reformasi hubungan semacam itu bergeser di

mana masyarakat mengambil peranan cukup signifikan sebagai bagian dari

pembuat kebijakan atau keputusan (Hidayat 2010). Keterlibatan masyarakat

yang demikian ini akan membuat mereka ikut merasa bertanggung jawab atas

keberhasilan atau kegagalan pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan dirancang

untuk memberikan peluang bagi keterlibatan masyarakat yang lebih jelas. Peranan

utama memang masih dipegang oleh pemerintah dan keterlibatan masyarakat dan

lembaga non-pemerintah tidak tergambarkan secara eksplisit di dalam struktur

organisasi yang ditawarkan, tetapi sebenarnya masyarakat dengan berbagai

disiplin ilmu dan tingkat kapasitas dan kapabilitasnya merupakan bagian dari

unsur pendukung di tiap tingkatan. Keterlibatan masyarakat tertampung di dalam

Forum PKHL di tingkat nasional maupun UPT-PKHL di setiap tingkatan yang

harus memberikan ruang kepada tenaga ahli dan wakil-wakil masyarakat untuk

berperan serta di dalam perumusan kebijakan. Di samping itu, masyarakat dan

lembaga non-pemerintah berperanan memberikan pemantauan dan pengawasan

kepada pemerintah melalui berbagai mekanisme yang ada, baik secara moral

maupun secara yuridis. 8 Akuntabilitas sosial adalah kewajiban pemerintah dan DPRD (yang diberi kuasa oleh warga) untuk menyajikan pertanggungjawaban dan jawaban atas pelaksanaan tanggung jawab kepada mereka yang memberi amanah, yaitu masyarakat.

Page 137: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

211

Posisi dan peranan masyarakat sangat penting pada tingkatan di bawah

kabupaten/kota, terutama di tingkat desa. Prinsip uniformitas struktur yang

menyamakan struktur organisasi pemerintahan desa sekarang sudah ditinggalkan

dan dengan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,

desa diberikan kebebasan untuk menyusun struktur organisasi pemerintahannya

sendiri sesuai dengan kebutuhan (Rasyid 2009). Langkah-langkah pemerintah,

dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan

Hidup berupa pembentukan kelompok-kelompok masyarakat peduli api (MPA)

harus lebih ditingkatkan, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Australia yang

lebih menitikberatkan kekuatan sumber daya pengendalian kebakarannya pada

para relawan yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat. Dalam rancangan

ini, MPA menjadi bagian dari struktur Pusdalkarhutla pada sumber daya manusia.

Sangat diharapkan bahwa MPA dapat menjadi bagian dari struktur pemerintahan

desa atau setidaknya menjadi bagian dari uraian tugas salah satu bagian dari

struktur pemerintahan desa tersebut.

5.5.4. Prasyarat Bagi Sistem Pengorganisasian

Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang

diusulkan penelitian ini akan dapat berjalan dengan baik jika dan hanya jika

memenuhi beberapa prasyarat seperti diuraikan di bawah ini.

(1) Pemahaman dan persepsi yang tepat tentang desentralisasi dan otonomi

daerah

Sistem pengorganisasian tersebut di atas memberlakukan hubungan

koordinatif antara tingkat nasional, provinsi sampai kabupaten/kota karena sistem

yang diterapkan dalam desentralisasi dan otonomi daerah tidak memungkinkan

lagi diterapkannya komando dari atas ke bawah. Namun demikian, prinsip

kesatuan komando tetap harus dipegang untuk menghindarkan kesimpangsiuran.

Prinsip tersebut menghendaki kesamaan persepsi bahwa meskipun masing-masing

tingkatan diberikan kebebasan menetapkan strategi dan taktik pengelolaan

kebakarannya, bukan berarti bahwa masing-masing kemudian bebas

melaksanakan atau tidak melaksanakan kebijakan di atasnya. Keberadaan Forum

Page 138: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

212

PKHL diharapkan dapat menjadi ajang diskusi untuk mempertemukan

kepentingan dari masing-masing tingkatan. Kekhawatiran sementara pimpinan

organisasi di provinsi dan kabupaten/kota tentang sentralisasi yang membatalkan

prinsip-prinsip otonomi daerah, seperti terungkap dalam wawancara, dapat

dibicarakan di dalam forum tersebut.

Sistem pengorganisasian yang akan dibangun dari hasil penelitian ini tidak

akan menentang prinsip-prinsip otonomi di negara kesatuan, yang menurut

Hidayat (2010) terutama adalah berupa pembagian wewenang. Hal ini bermakna

bahwa rantai komando tetap sesuai dengan prinsip otonomi dan sifat hubungannya

adalah hubungan sinergistik. Hubungan sinergistik adalah hubungan kegiatan

kooperatif subsistem-subsistem semi independen yang bersama-sama

menghasilkan keluaran (output ) total yang lebih besar dibandingkan dengan

jumlah output mereka masing-masing disatukan secara independen (Winardi

2005).

Kesatuan komando dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran

hutan/lahan ini tidak berarti bahwa setiap organisasi di level atas dapat seenaknya

memerintahkan organisasi-organisasi di level bawahnya, melainkan tetap

menghormati hirarki pertanggungjawaban. Sebagai contoh, Direktur PKH di

tingkat nasional tidak dapat mengomando langsung Kepala Dinas di provinsi,

Dinas Kehutanan sekalipun, apalagi Kepala Dinas di kabupaten/kota.

Pemahaman bahwa otonomi daerah sebagai pemisahan atau pemberian

kewenangan penuh kepada daerah dan pemerintah di atasnya tidak boleh campur

tangan kepada pemerintah daerah di bawahnya juga harus diluruskan. Padahal

menurut landasan konsepsi mengenai hubungan pusat dan daerah dinyatakan

bahwa gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah harus melakukan supervisi,

monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building)

terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah

kabupaten/kota tersebut bisa berjalan secara optimal (Suwandi 2009). Jika hal

tersebut dipahami dan dipersepsi dengan tepat, rancangan sistem pengorganisasi

ini pada dasarnya menganut prinsip kesatuan komando dari tingkat nasional

Page 139: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

213

sampai kabupaten/kota, tetapi memberikan kebebasan kepada provinsi dan

kabupaten/kota untuk implementasi komando tersebut.

Pemahaman dan persepsi yang tepat mengenai prinsip-prinsip otonomi

daerah dan berbagai peraturan yang bersangkutan dapat dibangun melalui

penyiapan para calon pimpinan dan staf pemerintahan, hal yang tampaknya

terlupakan di era Reformasi ini. Penyiapan yang dimaksud adalah adanya

persyaratan yang ketat untuk rekrutmen di mana pemahaman dan persepsi yang

tepat tersebut menjadi salah satunya, dan sistem pendidikan dan pelatihan yang

mampu membekali mereka dengan pemahaman dan persepsi yang tepat tersebut.

Pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (diklatpim) dari berbagai tingkat sampai

dengan kursus Lemhanas yang memberikan materi berisi berbagai aspek dari

desentralisasi dan otonomi daerah harus diberlakukan tidak hanya bagi para calon

pimpinan organisasi-organisasi SKPD melainkan juga bagi para calon pimpinan

organisasi di tingkat nasional dan para calon kepala daerah sebelum pemilukada.

(2) Landasan yang kuat bagi pembangunan sistem pengorganisasian

Kelemahan utama sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran

hutan/lahan sekarang ini adalah belum adanya landasan pembentukan

pengorganisasian yang terpadu untuk semua tingkatan. Di tingkat nasional sampai

saat ini belum jelas pengorganisasiannya karena memang belum dilakukan

pembentukan. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pengorganisasian dibentuk

dengan landasan yang sama di masing-masing tingkatan, yaitu peraturan gubernur

di provinsi dan peraturan bupati/walikota di kabupaten/kota.

Peraturan gubernur maupun peraturan bupati/walikota tersebut ternyata

tidak memiliki kekuatan untuk menjadikan organisasi yang dibentuk tersebut

sebagai SKPD. Untuk itu, penempatan organisasi pengendalian kebakaran

hutan/lahan sebagai bagian dari struktur SKPD yang ada secara otomatis

menjadikan organisasi tersebut sebagai bagian dari SKPD, sehingga anggaran

belanja organisasi dapat disediakan melalui APBD maupun sumber-sumber lain

yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

Landasan hukum yang kuat juga perlu diberikan kepada organisasi yang

diberi wewenang dan tanggung jawab sebagai koordinator di tiap tingkatan agar

Page 140: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

214

dapat bergerak bebas dalam pengendalian kebakaran di semua fungsi kawasan

hutan dan lahan. Selama ini, instansi kehutanan, baik unit pelaksana teknis (UPT)

Kemenhut yakni Balai Besar/Balai KSDA atau TN maupun dinas kehutanan

provinsi dan kabupaten berperan lebih besar daripada organisasi pemerintah

lainnya dalam pengendalian kebakaran. Hal ini tampak pada persentase kejadian

kebakaran yang relatif lebih rendah di kawasan hutan daripada di lahan.

Organisasi-organisasi tersebut telah memperoleh kepercayaan dari organisasi

pemerintah yang lain maupun masyarakat untuk menangani kebakaran tidak

hanya di kawasan hutan, melainkan juga di lahan, tetapi organisasi kehutanan

tersebut tidak memiliki landasan hukum untuk secara langsung melakukan

pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran. Keterlibatan

organisasi-organisasi tersebut dalam pengendalian kebakaran di luar kawasan

hutan biasanya karena permintaan bantuan oleh instansi pemangku lahan atau

karena instuksi gubernur atau bupati/walikota. Oleh sebab itu, sistem

pengorganisasian yang diusulkan perlu memberikan landasan hukum yang

mengijinkan organisasi yang ditunjuk dan diberi wewenang dan tanggung jawab

sebagai koordinator untuk dapat “memasuki” semua fungsi kawasan hutan dan

lahan.

(3) Komitmen yang kuat untuk pengembangan organisasi

Organisasi di masa kini harus mampu menghadapi perubahan yang begitu

cepat kondisi lingkungannya, oleh sebab itu organisasi perlu beradaptasi dengan

kondisi lingkungan (pasar) yang berubah-ubah dan pada saat yang sama perlu

mengatasinya dengan pembaruan dan bukan sekadar reaktif (Brown & Harvey

2006). Organisasi terus-menerus berinteraksi dengan lingkungannya, bukan hanya

lingkungan setempat melainkan sampai pada lingkungan global. Kebakaran

hutan/lahan telah menjadi masalah nasional dan global. Hal ini harus dipahami

dan disadari oleh setiap pembuat kebijakan di setiap tingkatan.

Para pembuat kebijakan perlu berkomitmen kuat bahwa masalah kebakaran

hutan/lahan harus ditangani bersama oleh semua tingkatan. Mereka harus

memiliki komitmen untuk mengubah orientasi organisasinya kepada orientasi

nasional dan global, mengubah dari sentimen kedaerahannya menjadi sentimen

Page 141: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

215

nasional dan global. Oleh sebab itu, agar rancangan sistem pengorganisasian

tersebut dapat diterapkan diperlukan kemauan para pembuat kebijakan, termasuk

para pimpinan organisasi-organisasi yang terkait di semua tingkatan untuk mau

mengubah organisasinya dari organisasi yang berjalan biasa-biasa saja menjadi

organisasi yang berjalan sesuai dengan kebutuhan lingkungannya, sehat dan

efektif.

Salah satu wujud dari komitmen tersebut adalah kemauan para pembuat

kebijakan untuk melakukan perubahan yang terkait dengan kebutuhan vital

organisasi yaitu anggaran. Mereka harus menciptakan suatu mekanisme

penyediaan dan penggunaan serta pertanggungjawaban anggaran yang menjamin

tersedianya dana dengan cepat pada waktu diperlukan untuk pengendalian

kebakaran. Penulis dalam kunjungan ke Markas NIFC di Boise, Idaho, Amerika

Serikat pada tahun 1997 memperoleh penjelasan bahwa NIFC memiliki

mekanisme penyediaan anggaran yang menjamin tersedianya dana pemadaman

kebakaran siap dalam satu-dua jam, sehari, dan beberapa hari ke depan sesuai

dengan kebutuhan dan dapat dikeluarkan dengan persetujuan Direktur NIFC.

Komitmen lain yang diperlukan dari para pembuat kebijakan, terutama para

pembuat peraturan baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan-

peraturan teknis, untuk mau membuat kebijakan-kebijakan dan peraturan-

peraturan yang rinci. Kebijakan dan peraturan yang akan menjadi landasan kerja

organisasi harus dibuat cukup rinci dan jelas, termasuk tafsirannya, sehingga

setiap pihak yang berkepentingan dengan pengendalian kebakaran hutan/lahan,

terutama yang menjalankan organisasi, masing-masing mengetahui dengan jelas

batasan-batasan wewenangnya, tanggung jawabnya, tugasnya, fungsinya, hak-

haknya, kewajiban-kewajibannya, dan konsekuensi-konsekuensinya.

5.5.5. Kebutuhan Organisasi Setelah Terbentuk

Setelah sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan

terbentuk dari tingkat nasional sampai dengan kabupaten/kota, berbagai hal perlu

dilakukan agar organisasi yang terbentuk tersebut dapat berfungsi secara efektif

dan efisien. Brown dan Harvey (2006) mengarahkan bahwa organisasi di masa

Page 142: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

216

mendatang harus mengembangkan diri. Arahan Brown dan Harvey tersebut

memang ditujukan lebih kepada organisasi berorientasi keuntungan (profit

oriented) atau perusahaan, namun prinsip-prinsipnya dapat diadopsi pada

organisasi pemerintah. Arahan tersebut adalah bahwa organisasi masa depan perlu

melakukan rekayasa ulang (reengineering), menyesuaikan kembali strukturnya

(restructuring), dan memangkas hirarki (flattening the hierarchy) untuk

menghadapi tekanan pasar.

Brown dan Harvey (2006) menyarankan bahwa organisasi harus fleksibel

dan dapat berubah dalam kerangka waktu tahunan, bulanan, mingguan, atau

harian. Saran tersebut tampaknya kurang cocok diterapkan pada organisasi

pemerintah, termasuk organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan di

Indonesia, yang lebih mengutamakan pelayanan publik (Al Gore 1996; Ramses &

La Bakry 2009). Oleh sebab itu, pengembangan organisasi pemerintah tentunya

dilakukan agak berbeda, namun prinsip-prinsip pengembangan organisasi non-

pemerintah dapat diadopsi dengan beberapa penyesuaian. Perubahan dalam jangka

pendek dapat dilakukan bukan pada sistem pengorganisasian pengendalian

kebakarannya tetapi hanya pada pengorganisasian di lokasi kebakaran yang

dikenal dengan incident management system (IMS) yang mencakup mobilisasi

sumber daya dan sistem komando kejadian (incident command system/ICS)

ketika operasi pemadaman kebakaran hutan/lahan.

Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang dibangun

berdasarkan penelitian ini perlu dikembangkan secara sistematis agar efektif dan

efisien. Birokrasi yang selama ini dipandang secara negatif karena dipandang

lamban, tidak efektif, tidak efisien dan tidak produktif (Dwiyanto 2011), harus

diperbaiki. Beberapa hal yang perlu dilakukan terhadap pengorganisasian tersebut

antara lain adalah seperti diuraikan di bawah ini.

(1) Penetapan tujuan dan sasaran organisasi

Hampir semua penulis tentang pengembangan organisasi menyarankan

bahwa langkah pertama atau utama untuk menjadikan sebuah organisasi itu

merupakan organisasi masa depan (the organization of the future) yang sehat

(Beckhard 1997), kompetitif dan inovatif (Brown & Harvey 2006), dan efektif dan

Page 143: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

217

efisien (Al Gore 1996) langkah utamanya adalah menetapkan tujuan dan sasaran

organisasi secara tepat. Pencakupan tujuan tersebut, selain memberikan panduan

bagi pengelola organisasi, juga akan memberikan landasan bagi organisasi

tersebut untuk dapat memperoleh sumber pendanaan (anggaran).

Tujuan dan sasaran Pusdalkarhutla di masing-masing tingkatan diwujudkan

dalam visi dan misi sesuai tingkatannya, tetapi berada dalam satu alur di mana visi

dan misi Pusdalkarhutla di tingkat kabupaten/kota diarahkan untuk mencapai visi

dan misi tingkat provinsi dan seterusnya visi dan misi di tingkat provinsi harus

merupakan jalan menuju tercapainya visi dan misi nasional. Visi dan misi

biasanya masih sangat global dan agar dapat dipahami oleh semua pihak terutama

yang terlibat dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan,

visi dan misi di masing-masing tingkatan harus disusun dalam rencana strategis

dan rencana operasional. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa tingkat

nasional harus menjadi acuan bagi tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota,

maka penetapan tujuan dan sasaran yang jelas harus segera dilakukan di tingkat

nasional dan disusul oleh tingkat provinsi sebelum tingkat kabupaten/kota.

Rencana-rencana tersebut harus secara gamblang menguraikan strategi, program

dan kegiatan dari setiap bidang dari pengendalian kebakaran hutan/lahan yang

meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca-kebakaran.

Visi Dit. PKH saat ini sebenarnya bukan hanya visi Dit. PKH melainkan

visi negara ini, karena visi tersebut tidak mungkin dilaksanakan sendirian oleh

Dit. PKH. Visi tersebut dapat diangkat menjadi visi Pusdalkarhutlanas yang

menurut sistem pengorganisasian yang diusulkan penelitian ini mewakili negara

karena menjadi organisasi yang menangani kebakaran hutan/lahan secara

nasional. Namun demikian, agar visi tersebut operasional perlu ditambahkan

pembatas yang jelas, sehingga visi tersebut menjadi berbunyi, “Terwujudnya

sistem pengendalian kebakaran hutan/lahan yang menjamin terlindungnya jiwa,

raga dan harta benda masyarakat Indonesia dari kebakaran hutan/lahan dan

dampak negatifnya.”

(2) Struktur organisasi yang lengkap tetapi ramping

Page 144: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

218

Bechard (1997) mengarahkan bahwa organisasi yang sehat menetapkan

strukturnya dengan mode “form follows function”, artinya struktur dan mekanisme

organisasi ditentukan oleh fungsi atau pekerjaan yang akan dilakukan. Organisasi

sebaiknya dibuat seramping mungkin (Al Gore 1996). Penyusunan struktur

organisasi memerhatikan elemen-elemen yang umumnya ada pada organisasi,

yaitu: the operating core, the strategic apex, the middle line, the technostructure,

dan the supporting staff (Winardi 2005). Prinsip dasarnya adalah komando

diperpendek jalurnya dari atas ke bawah, ide atau gagasan dari bawah juga

diperpendek jalurnya untuk sampai ke atas dan mendapatkan persetujuan.

Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan struktur organisasi

pengendalian kebakaran hutan/lahan sebaiknya adalah kombinasi dari bidang-

bidang dalam pengendalian kebakaran, yang mencakup pencegahan, pemadaman,

dan penanganan pasca-kebakaran dengan fungsi-fungsi manajemen terutama

perencanaan, operasi, dan pengawasan. Bentuk strukturnya seperti dikemukakan

di atas adalah kesatuan komando (unity of command). Pemilihan model struktur

ini mempertimbangkan beberapa hal seperti diarahkan Davis (1979) yaitu tiga

dimensi dasar untuk pemilihan struktur yaitu: (1) fungsional, (2) produk, dan (3)

wilayah. Organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan bukan organisasi yang

menghasilkan suatu produk, sehingga struktur berdasarkan tahapan pembuatan

suatu produk dipandang kurang cocok. Wilayah dapat menjadi dimensi dalam

menyusun struktur organisasi pengendalian kebakaran, tetapi dimensi ini

digunakan pada struktur organisasi pada skala besarnya. Dimensi wilayah

digunakan untuk membedakan tingkatan atau hirarki organisasi antar tingkatan

pemerintahan yakni nasional, provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan struktur di

masing-masing wilayah lebih cocok menggunakan dimensi fungsional. Fungsi-

fungsi yang ada dalam struktur adalah berupa bidang-bidang dalam pengendalian

kebakaran dan fungsi-fungsi manajemen.

Model struktur organisasi menurut Davis (1979) ada dua macam yaitu unity

of command dan balance of power. Balance of power biasanya diterapkan pada

dimensi produk dan wilayah, sedangkan unity of command pada fungsional.

Model struktur pada sistem pengorganisasian yang dirancang dalam penelitian ini

adalah fungsional maka unity of command dianggap yang tepat.

Page 145: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

219

Tanggung jawab tertinggi pengendalian kebakaran hutan/lahan di masing-

masing tingkatan adalah ada pada presiden, gubernur dan bupati/walikota, maka

kesatuan komando harus dibangun antar ketiga pemimpin tersebut. Jika masing-

masing pemimpin tersebut tidak dapat menjalankan komando hari-ke-hari (day to

day command), maka mereka harus menunjuk satu pemegang komando atas

namanya. Penunjukan pemegang komando tersebut dapat dilakukan secara

permanen ataupun kasus per kasus, yang terpenting adalah pemberitahuan yang

jelas kepada semua pihak yang terlibat agar komando dapat diterima oleh

penerima yang tepat dan dituruti. Pusdalkarhutlanas dan UPT-PKHL di masing-

masing tingkatan merupakan pemegang komando hari-ke-hari tersebut..

Tahap selanjutnya, yang sering dilupakan adalah membuat uraian tugas dan

fungsi serta wewenang dan tanggung jawabnya secara rinci untuk setiap unsur

dalam struktur. Uraian tersebut akan menjadi landasan untuk menentukan

persyaratan bagi para calon pengisi masing-masing jabatan tersebut, menjadi

pedoman mekanisme hubungan antar unsur, dan menjadi kriteria dan indikator

keberhasilan masing-masing unsur. Uraian tugas secara rinci tersebut belum

dibuat di dalam penelitian ini.

(3) Pembangunan kapasitas organisasi

Pembangunan kapasitas organisasi yang terkait dengan lingkungan hidup

dibedakan menjadi dua hal yaitu capacity building dan capacity development

(Muller-Glodde 1994). Capacity building dipahami sebagai penciptaan dan

penguatan kapasitas individu dan organisasi pada level mikro, sedangkan capacity

development lebih menekankan pada proses di mana individu meningkatkan

kapasitasnya untuk bertindak dan organisasi atau struktur kelembagaan

meningkatkan efisiensinya. Penulis memahami hal tersebut dengan perkataan lain

bahwa capacity building merupakan penyiapan “bekal” bagi individu atau

organisasi, sedangkan capacity development merupakan kemampuan

menggunakan “bekal” tersebut untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi.

Kedua-duanya harus dilakukan setiap individu dalam organisasi agar memiliki

kemampuan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan secara

bersama-sama membawa organisasi mencapai tujuannya.

Page 146: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

220

Dalam konteks pengorganisasian kebakaran hutan/lahan, terdapat beberapa

kapasitas organisasi yang harus dikembangkan. Sumber daya manusia, sarana dan

prasarana, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengembangan

jejaring merupakan beberapa kapasitas yang tersebut. Sumber daya manusia

(SDM) pengendalian kebakaran hutan/lahan meliputi regu-regu pengendali

kebakaran, para pimpinan dan staf administrasi, para ahli dari berbagai disiplin

ilmu, personil penegak hukum, dan tenaga pendukung. Sarana dan prasarana

pengendalian kebakaran meliputi peralatan dan perlengkapan untuk administrasi

dan teknis operasional pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran.

Ilmu pengetahuan dan teknologi mencakup seluruh disiplin yang terkait dengan

kebakaran hutan/lahan, bukan hanya ilmu dan teknologi kebakaran, melainkan

juga disiplin-disiplin ilmu pendukung seperti sosiologi, antropologi, hukum,

ekonomi, sosial, politik, kesehatan, dan sebagainya.

Di masa depan, pengembangan organisasi dalam sistem pengorganisasian

pengendalian kebakaran hutan/lahan harus mencakup suatu sistem pengembangan

sarana dan prasarana maupun sumber daya manusia bagi semua aspek

pengendalian kebakaran. Untuk mendukung hal tersebut, maka penelitian dan

pengembangan (research and development) yang menangani sarana dan prasarana

serta pendidikan dan pelatihan (education and training) menjadi bagian penting

dalam rancangan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan.

Pada rancangan sistem pengorganisasian yang diusulkan tersebut, keduanya masih

tercakup dalam bidang tugas badan-badan yang menanganinya di Kementerian

Kehutanan, dengan lebih meningkatkan porsi bagi pengendalian kebakaran

hutan/lahan.

(4) Peningkatan hubungan antar organisasi

Kelemahan yang ada dalam pengorganisasian pengendalian kebakaran

hutan/lahan di Indonesia sekarang ini adalah kurang dekatnya hubungan antar

organisasi-organisasi yang terlibat, sebagaimana ditunjukkan pada analisis

hubungan antar organisasi di atas. Kurang dekatnya hubungan tersebut tidak

hanya terjadi antara tingkatan, melainkan juga terjadi di dalam satu tingkatan.

Salah satu hal yang perlu dibangun dalam sistem pengorganisasian pengendalian

Page 147: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

221

kebakaran hutan/lahan adalah peningkatan kedekatan hubungan antar organisasi

atau instansi yang terlibat baik pada satu tingkatan maupun antar tingkatan. Untuk

itu, prasyarat berupa pemahaman dan persepsi yang benar mengenai otonomi

daerah benar-benar harus dipenuhi agar hubungan terutama antar tingkatan dapat

berjalan dekat dan harmonis.

Hubungan antar organisasi sangat penting terutama dalam penyediaan

sumber daya pengendalian kebakaran. Sumber daya yang meliputi SDM, sarana

dan prasarana, dana, ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi, dan sebagainya

mungkin dimiliki oleh organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan dalam jenis

dan jumlah yang kurang dari yang dibutuhkan pada suatu waktu diperlukan. Di

sisi lain, organisasi-organisasi lain mungkin memiliki sumber daya tersebut.

Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme penggalangan dan pengerahan sumber

daya pengendalian kebakaran yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang

berkaitan, yang disebut Rencana Mobilisasi Sumberdaya Pengendalian Kebakaran

Hutan/lahan. Hal ini belajar dari Amerika Serikat yang memiliki Fire Suppression

Mobilization Plan (FSMP), yakni sebuah dokumen yang mengatur mekanisme

penggalangan dan pengerahan sumber daya, tetapi khusus untuk pemadaman

kebakaran. Diagram model konseptual mobilisasi sumber daya tersebut disajikan

pada Lampiran 19.

Di samping itu, perlu pula dikembangkan suatu sistem komando yang

diterapkan ketika diadakan operasi pengendalian kebakaran, khususnya

pemadaman kebakaran, yang disebut sistem komando operasi pemadaman

(SKOP) kebakaran hutan/lahan. Sistem komando ini diadopsi dari sistem

komando kejadian atau incident command system (ICS) yang berlaku di negara-

negara lain, terutama Amerika Serikat dan Australia.

Peningkatan hubungan antar organisasi dapat ditempuh antara lain melalui

pelatihan simulasi mobilisasi sumber daya maupun SKOP kebakaran hutan/lahan

tersebut di atas. Pelatihan tersebut melibatkan berbagai pihak yang terkait, yang

sudah tercakup di dalam dokumen-dokumen tersebut. Pelatihan simulasi akan

membuat pihak-pihak yang terkait mengetahui, memahami dan mampu serta

Page 148: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

222

terbiasa melakukan peranannya dalam suatu operasi pengendalian kebakaran

secara benar dan bertanggung jawab.

(5) Skema pendanaan

Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang ada

sekarang berjalan kurang optimal disebabkan antara lain oleh lemahnya anggaran

akibat dari tidak jelasnya skema pendanaan. Landasan hukum pembentukan

Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla di lokasi penelitian pada amar mengenai

pendanaan hanya menyebutkan bahwa anggaran untuk organisasi tersebut

dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan sumber-

sumber lain yang tidak mengikat. Namun demikian, status organisasi yang bukan

SKPD tidak memungkinkan organisasi tersebut untuk memperoleh anggaran dari

sumber manapun kecuali anggaran yang “disisihkan” oleh instansi-instansi

anggotanya.

Sistem pengorganisasian yang dirancang oleh penelitian ini menghapus

Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla yang ada sekarang dan tidak menggantinya

dengan organisasi serupa yang baru antara lain karena pertimbangan sulitnya

membentuk SKPD baru. Sistem yang dirancang ini meletakkan organisasi

pengelola pengendalian kebakaran hutan/lahan ke dalam SKPD yang ada yakni

instansi yang menangani kehutanan atau salah satu instansi lain yang ditunjuk

oleh gubernur atau bupati/walikota. Penambahan sub-organisasi pada SKPD

tersebut tentu akan membebani SKPD yang bersangkutan dan beban tersebut

tentunya harus diikuti dengan penambahan jumlah anggaran. Penambahan jumlah

anggaran ini dapat dilakukan dengan skema antara lain sebagai berikut:

(1) Penambahan anggaran bagi instansi yang ditunjuk mengelola pengendalian

kebakaran hutan/lahan di dalam APBD. Pemerintah daerah (provinsi dan

kabupaten/kota) harus memiliki komitmen kuat untuk mengalokasikan

anggaran bagi pengendalian kebakaran hutan/lahan sebagai salah satu wujud

kepeduliannya terhadap permasalahan lingkungan hidup.

(2) Pengalihan pengelolaan sumber daya, terutama SDM dari Manggala Agni

yang sudah ada dan penambahan SDM baru untuk pengendalian kebakaran

hutan/lahan tentu menambah alokasi dasar untuk gaji atau upah pegawai.

Page 149: BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54114/BAB V Hasil... · PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra ... Ketiadaan

223

Begitu pula halnya dengan pengalihan pengelolaan sarpras pengendalian

kebakaran hutan/lahan dan pengadaan sarpras baru akan menambah kebutuhan

anggaran untuk operasi dan pemeliharaan (O & M). Hal tersebut pasti

meningkatkan kebutuhan fiskal daerah dan tampaknya cukup sulit untuk

diimbangi oleh kapasitas fiskal daerah sehingga diperlukan dukungan

anggaran dan seperti diatur pada Bagian Ketiga dari UU nomor 33 tahun 2004

dapat diusulkan berupa Dana Alokasi Umum (DAU).

(3) Program atau kegiatan teknis tertentu, seperti peningkatan kualitas SDM,

pengadaan sarpras, dan kebutuhan operasi pengendalian kebakaran

hutan/lahan dapat dimasukkan ke dalam kriteria teknis sesuai Pasal 40 Ayat

(4) UU nomor 33 tahun 2004 oleh Kementerian Kehutanan sehingga instansi

yang ditunjuk gubernur atau bupati/walikota tersebut dapat menerima Dana

Alokasi Khusus (DAK).

(4) Pusdalkarhutlanas bersama-sama UPT-PKHL provinsi maupun

kabupaten/kota aktif mencari peluang sumber dana dari pihak-pihak lain baik

di dalam maupun luar negeri untuk mendanai program atau kegiatan-kegiatan

yang mendukung pengembangan pengelolaan pengendalian kebakaran

hutan/lahan. Program-program yang mendapat peluang untuk memperoleh

bantuan dana ataupun bantuan teknis biasanya adalah pendidikan dan

pelatihan, penelitian, dan pengadaan sarpras.