repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58953/1/...Judul Penelitian:...

228
DISERTASI MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI B361080011 ILMU BIOMEDIS HEWAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Transcript of repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/58953/1/...Judul Penelitian:...

DISERTASI

MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK

JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN

ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN

SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI

B361080011

ILMU BIOMEDIS HEWAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK

JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN

ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN

SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Biomedis hewan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Judul Penelitian: Model Pengelolaan Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)

berdasarkan Analisis Nutrisi dan Tingkat Cekaman sebagai

Parameter Kesehatan

Nama: Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi

NRP: B361080011

Program Studi: Ilmu Biomedis Hewan

Menyetujui:

Komisi Pembimbing

Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD

Ketua

Dr. Drh. Hera Maheshwari, MSc Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra MS

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS

Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

drh.Agus Setiyono, MS, PhD, ApVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam

disertasi saya yang berjudul:

Model Pengelolaan Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)

Berdasarkan Analisis Nutrisi dan Tingkat Cekaman Sebagai Parameter

Kesehatan

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan arahan

Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunkan telah dinyatakan

secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Bogor, September 2012

Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi

NIM B361080011

ABSTRACT

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI. Model of population management for

javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) based on analysis of nutrition and

stress levels as health parameters. Under the guidance DONDIN SAJUTHI,

HERA MAHESHWARI, HADI SUKADI ALIKODRA, and DEWI APRI ASTUTI.

This research was designed to establish a model for population

management for javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus), a critically

endangered species inhabiting Ujung Kulon National Park. Population increase

by 3% every year had been assigned by the Ministry of forestry and this rate of

population increase heavily relied on the ability of this species to survive and to

reproduce naturally. The habitat of the rhino has conditions that were not

always favourable to the rhinos and these conditions could potentially trigger

stress for these animals. The research was divided into three stages consisting of

analysis of nutritions and digestibility profiles of three male rhinoceros, analysis

of relationship between stress levels on hormone profile of these animals, and

stress induction to model animals. Two horses were selected as models for stress

on rhinoceros, as the stress induction could not be done on the rhinoceros

directly due to their small numbers worldwide; thus designated as a criticaly

endangered species. The results of this research showed that the feed profile

directly correlated with the home range and the vegetation structure around each

individual rhinoceros and there were indications that the rhinos experienced feed

deficit in quantity and quality. Analysis using 3α, 11β-dihydroxy-CM as an

indicator of glucocorticoid stress hormon levels suggested that the rhinos

experienced greater stress during the dry season when the water source was

significantly depleted. This fact was also consistent with the result from stress

induction on horse as model animal suggesting that feed deficit created acute

type stress while water deficit created a chronic type stress. Compilations of the

results from the research stages were formulated into a model of population

management for javan rhinoceros with recommendations such as: habitat

enrichment using feed plants high in protein (Moringa citrifolia, Callicarpa

longifolia, Chisocheton microcarphus), high in fat (Alstonia angustiloba,

Callicarpa longifolia, Macaranga spp), high in energy (Derris thyorsifolia,

Pterospermum javanicum, Percampyulus glances) with density of 15 per hectare

(tree form) to 5,406 per hectare (seedling form); water availability can be

enhanced by replenishing feed plants high in water contents such as: Paederia

scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus, as well as maintaining access

and trais to water sources that were available year round. The use of 3α, 11β-

dihydroxy-CM needs to be validated using biological and chemical measures to

investigate its potential use in monitoring stress levels of javan rhinos in the wild;

horse can be used as relevant model animal for research in stress and its

implications to the javan rhinoceros.

Keywords: javan rhinoceros, nutrients, digestibility, hormon, stress, model for

population management

ABSTRAK

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI. Model pengelolaan populasi

badak jawa (Rhinoceros sondaicus) berdasarkan analisis nutrisi dan tingkat

cekaman sebagai parameter kesehatan. Dibawah bimbingan DONDIN

SAJUTHI, HERA MAHESHWARI, HADI SUKADI ALIKODRA, dan DEWI

APRI ASTUTI.

Penelitian ini dirancang untuk membangun suatu model pengelolaan

populasi untuk badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang merupakan satwa langka

yang hidup di Taman Nasional Ujung Kulon. Peningkatan populasi sebesar 3%

setiap tahun bergantung pada kemampuan spesies ini untuk bertahan hidup dan

berkembang biak secara alami. Habitat yang dihuni oleh badak memiliki kondisi

yang tidak selalu mendukung terhadap kesehatan satwa ini dan berpotensi untuk

memicu cekaman. Penelitian dibagi menjadi tiga tahap yaitu kajian status nutrisi

dan kecernaan, kajian hubungan tingkat cekaman terhadap profil hormon pada

tiga ekor badak jantan, serta uji coba cekaman terhadap hewan model. Kuda

dipilih sebagai hewan model untuk mewakili fisiologi badak terhadap cekaman

karena uji coba cekaman tidak dapat dilakukan langsung terhadap badak jawa

yang merupakan satwa yang terancam punah karena jumlahnya yang sangat

sedikit di seluruh dunia. Profil pakan badak berkorelasi dengan ruang jelajah

yang ditempuhnya dan habitat tumbuhan di sekitarnya. Analisis menggunakan

3α, 11β-dihydroxy-CM sebagai indikator profil hormon glukokortikoid yang

merupakan respons terhadap cekaman menunjukkan bahwa badak cenderung

menunjukkan tingkat cekaman yang tinggi pada musim kering dimana

ketersediaan air sangat berkurang. Hal ini juga konsisten dengan uji coba

kuantifikasi yang dilakukan pada hewan model kuda dan berdasarkan parameter

hematologi (netrofil:limfosit) hasilnya menunjukkan bahwa defisit pakan

merupakan sumber cekaman yang memiliki karakteristik akut sementara defisit

air menunjukkan karakteristik kronis. Kompilasi dari simpulan dalam tahapan

penelitian ini dirumuskan menjadi suatu model pengelolaan populasi dengan

rekomendasi yang terdiri dari: pengkayaan habitat dengan tumbuhan yang kaya

protein (Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus),

kaya lemak (Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp), dan

kaya energi (Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus

glances) dalam kerapatan 15 individu per hektar (untuk jenis pohon) sampai

5,406 individu per hektar (untuk jenis semai); pemenuhan kebutuhan air

dilakukan dengan memperbanyak tumbuhan pakan dengan kadar air tinggi seperti

Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus serta menjamin

akses/jalur ke air yang tersedia sepanjang tahun; 3α, 11β-dihydroxy-CM perlu

menjalani validasi lebih lanjut (biologi dan kimia) untuk menjajagi potensi

penggunaannya dalam implementasi pemantauan cekaman pada badak;

penggunaan kuda sebagai hewan model yang relevan bagi badak dalam penelitian

cekaman serta implikasinya.

Kata kunci: badak jawa, nutrien, kecernaan, hormon, cekaman, hewan model,

pengelolaan

RINGKASAN

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI. Model pengelolaan populasi

badak jawa (Rhinoceros sondaicus) berdasarkan analisis nutrisi dan tingkat

cekaman sebagai parameter kesehatan. Dibawah bimbingan DONDIN

SAJUTHI, HERA MAHESHWARI, HADI SUKADI ALIKODRA, dan DEWI

APRI ASTUTI.

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan satwa langka yang hanya

terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten Indonesia. Kondisi habitat

yang ada saat ini diduga mengalami perubahan perlahan akibat suksesi alami

yang berakibat pada berubahnya struktur vegetasi yang ada. Sebagai hewan

herbivora yang sangat bergantung pada vegetasi sebagai sumber makanannya,

maka faktor nutrisi menjadi bagian yang penting untuk dipantau dalam populasi

saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengetahui pola pergerakan badak

di habitatnya dan mengukur kualitas, palatabilitas, serta asupan nutrien dan

antinutrisi (toksin) dari badak yang diikuti. Parameter yang dicatat terdiri dari:

jalur lintasan badak (trajektori) beserta korelasinya dengan keragaman,

palatabilitas, jumlah konsumsi pakan, kualitas nutrien tumbuhan pakan, risiko

toksisitas lantaden dari tumbuhan Lantana camara, kecernaan, serta ketersediaan

garam di sekitar jalur lintasan dan di dalam ruang jelajah badak tersebut.

Palatabilitas ditentukan dengan memilih maksimal lima jenis tumbuhan pakan

dengan estimasi jumlah ragutan terbanyak dari setiap badak. Analisis proksimat

digunakan untuk mengukur dan menghitung kualitas nutrien yang ada pada setiap

pakan badak, sementara risiko toksisitas lantaden dari konsumsi Lantana camara

dihitung berdasarkan estimasi jumlah konsumsi kering tumbuhan Lantana

camara setiap hari. Acid insoluble ash (AIA) digunakan untuk mengukur tingkat

kecernaan dan menunjukkan kompatibilitas dengan hasil penghitungan kecernaan

berdasarkan koleksi total.

Hasil pengamatan menunjukkan korelasi yang kuat antara ruang jelajah

dengan keragaman pakan serta jumlah kubangan, tumbuhan dengan palatabilitas

tinggi bukan merupakan tumbuhan dengan kualitas nutrisi terbaik, serta ada

fluktuasi komposisi pakan yang menyebabkan rendahnya kualitas asupan air,

nutrien, dan energi pada waktu-waktu tertentu. Dinamika komposisi pakan yang

terjadi adalah: asupan air dari pakan berada pada tingkat yang rendah pada bulan

November (setelah musim kering di bulan Oktober); asupan protein menunjukkan

titik terendah di bulan Oktober (musim kering); asupan lemak menunjukkan titik

terendah pada bulan-bulan Oktober, November, Februari, Maret; dan asupan

energi terlihat ada pada tingkat terendah pada bulan Desember. Perbandingan

konsumsi lantaden pada badak jawa dengan referensi dari literatur yang

menyatakan konsumsi lantaden dapat mulai menimbulkan gejala klinis pada

kadar 4,000 mg/ekor/hari menunjukkan bahwa risiko toksisitas dari komsumsi

lantaden pada badak jawa berada pada tingkatan yang rendah yaitu: 174.15

mg/ekor/hari.

Salah satu aspek penting dalam pengelolaan populasi badak jawa

(Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon Banten adalah upaya

untuk mempelajari dan memantau tingkat cekaman yang dihadapi oleh badak

jawa di habitatnya. Tingkat kesulitan untuk mendapatkan sampel darah

mengharuskan peneliti untuk menggunakan sampel feses untuk assay hormon

cekaman. 3α, 11β-dihydroxy-CM merupakan salah satu metabolit glukokortikoid

yang layak digunakan untuk analisis tingkat cekaman pada badak jawa. Kajian

cekaman dilakukan antar individu dengan tingkat asupan pakan dan nutrien yang

berbeda dan juga antar musim untuk mempelajari variasi kadar glukokortikoid di

musim kering dan musim hujan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa

individu 18 (individu muda) mengalami cekaman yang fluktuatif yang mungkin

disebabkan oleh cekaman akibat interaksi sosial dengan badak dewasa. Badak

menunjukkan kecenderungan cekaman tinggi pada musim kering yang memiliki

jumlah kejadian hujan yang rendah yaitu rataan 0.2 kejadian hujan setiap harinya.

Penelitian ini menunjukkan bahwa keterbatasan air merupakan sumber cekaman

yang besar bagi badak jawa.

Setelah mempelajari faktor cekaman yang dihadapi oleh badak jawa

akibat defisit pakan dan defisit air, maka penelitian ini dirancang untuk lebih

mendalami respons yang ditunjukkan oleh kuda (sebagai hewan model untuk

badak) terhadap cekaman tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat respons

perilaku, fisiologis (hematologi dan respirasi) pada hewan model kuda akibat

cekaman defisit pakan dan air 50% dari kebutuhan normal. Perlakuan yang

diberikan adalah pakan kontrol sesuai kebutuhan (K) dan 50% dari kebutuhan

(50%K). Jumlah kuda yang dipakai terdiri dari dua ekor kuda jantan berusia

dewasa dan muda dengan bobot badan masing-masing 104 dan 98 kg. Induksi

cekaman dilakukan pada dua ekor kuda model dengan mengurangi asupan pakan

secara bertahap sampai asupan pakan hanya 2.65% dari berat tubuh kuda (defisit

pakan) dan pengurangan air minum sampai 50% dari jumlah ad libitum yang

biasanya tersedia di kandang. Parameter yang diamati terdiri dari hematologi

rutin dan kadar kortisol darah yang diukur selama periode kontrol dan perlakuan

induksi cekaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kortisol dan

hematologi (rasio netrofil:limfosit) menunjukkan bahwa defisit pakan merupakan

cekaman akut yang dapat diatasi oleh kuda (ditandai dengan penurunan kortisol

pada penghujung perlakuan). Kadar kortisol dan hematologi (rasio

netrofil:limfosit) menunjukkan bahwa defisit air merupakan cekaman yang

bersifat kronis dan tidak dapat diatasi dengan mudah. Dengan defisit pakan dan

air, kedua ekor kuda menunjukkan perubahan-perubahan: perilaku (mengurangi

aktifitas berjalan dan melakukan aktifitas menggigit ember/pagar / crib biting),

peningkatan kadar kortisol, hematologi (perubahan rasio Netrofil/limfosit yang

menunjukkan adanya migrasi limfosit/imunosupresi saat cekaman), dan

peningkatan respirasi pada kedua ekor kuda saat mengalami cekaman. Penelitian

ini menunjukkan bahwa tingginya cekaman (sebagaimana ditunjukkan oleh

tingginya kadar indikator hormon cekaman) terjadi bersamaan dengan

keterbatasan air di musim kering, dan ini dapat disimpulkan bahwa keterbatasan

air tersebut cenderung dapat mengakibatkan cekaman bagi badak jawa.

Untuk memastikan kuantitas dan kualitas pakan yang memadai, perlu ada

upaya pengkayaan habitat dengan mengurangi dominasi tumbuhan langkap

(Arenga obtusifolia) yang mendominasi hampir 70% dari ruang jelajah badak di

semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon, serta pengendalian tumbuhan

Lantana camara yang menempati hampir 60% areal pakan badak (rumpang)

terutama di daerah utara. Intervensi seperti ini akan memicu pertumbuhan jumlah

ketersediaan tumbuhan pakan yang disukai badak. Kualitas nutrisi pakan badak

dapat ditingkatkan dengan menanam tumbuhan pakan yang terdiri dari: Moringa

citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (protein tinggi);

Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi);

Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (energy

tinggi); Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air

tinggi).

Tumbuhan-tumbuhan ini idealnya ditanam dalam komposisi kerapatan

tertentu agar ketersediannya berimbang. Ketersediaan air sepanjang tahun dapat

dipastikan dengan membuat jalur lintasan untuk badak ke lokasi-lokasi air dan

kubangan yang tersedia sepanjang tahun serta membuat kubangan ataupun

sumber air buatan yang dapat memberikan pasokan air bagi badak yang

menjelajah ke lokasi tersebut.

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisankritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapu tanpa izin tertulis dari

IPB

MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK

JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN

ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT

CEKAMAN

SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Biomedis hewan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Judul Penelitian: Model Pengelolaan Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)

berdasarkan Analisis Nutrisi dan Tingkat Cekaman sebagai Parameter

Kesehatan

Nama: Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi

NRP: B361080011

Program Studi: Ilmu Biomedis Hewan

Menyetujui:

Komisi Pembimbing

Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD

Ketua

Dr. Drh. Hera Maheshwari, MSc Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra MS

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS

Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

drh.Agus Setiyono, MS, PhD, ApVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 28 April 1971 dan merupakan anak

pertama dari 2 bersaudara dari ayah yang bernama Hariyadi Suwandar dan ibu bernama

Mita Djuwita. Sejak kecil penulis tertarik dengan kegiatan alam terbuka dan juga

mempelajari ilmu biologi. Dengan berbekal latar belakang ini, pendidikan S1 di bidang

biologi dari University of Alberta, Kanada diselesaikan pada tahun 1994 dengan gelar

Bachelor of Science (BSc). Selepas pendidikan, penulis menempuh berbagai

pengalaman kerja antara lain sebagai teknisi karantina dan kesehatan ikan di SeaWorld

Indonesia, konsultan biologi, sampai akhirnya menangani kegiatan pelestarian satwa

badak jawa sebagai manajer proyek WWF Indonesia di Taman Nasional Ujung Kulon.

Didorong oleh keinginan untuk mempelajari kesehatan pada satwa liar, penulis

mengikuti pendidikan Magister Pascasarjana Program Studi Sains Veteriner di Institut

Pertanian Bogor sejak tahun 2004, lulus pada tahun 2006, dan setelah itu membimbing

beberapa mahasiswa kedokteran hewan IPB yang memiliki minat untuk mempelajari

kesehatan satwa liar.

Untuk lebih memperdalam pengetahuan di bidang kesehatan satwa liar,

khususnya badak jawa, penulis bergabung dengan program Doktor dalam bidang Ilmu

Biomedis hewan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor sejak tahun 2008 sambil

melibatkan diri untuk bekerja di kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon-

Banten, Bukit Barisan Selatan-Lampung, dan Kawasan ekosistem Leuser-Aceh dalam

upaya melestarikan spesies badak di Indonesia.

Penulis telah menerbitkan beberapa publikasi mengenai badak yang terdiri dari:

dua buah artikel jurnal ilmiah di jurnal Pachyderm milik Rhino Specialist Group, dua

artikel di jurnal veteriner sebagai penulis kedua, dan dua buah artikel yang sedang

dalam proses peer review di jurnal Pachyderm dan jurnal on-line Biomed Research

Notes

PRAKATA

Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberi jalan,

petunjuk, dan kekuatan selama penulis menempuh studi di sekolah pasca sarjana

Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini tidak mungkin dapat tersusun tanpa bantuan dan

dukungan moral dari keluarga tercinta yaitu Istri: Indriani Noverita, serta ananda:

Rahadrian Ksatria, dan Ayodhya Tangguh yang selalu memberikan motivasi dan juga

inspirasi.

Rasa terimakasih dan penghormatan yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan

kepada para dosen pembimbing: Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD, Prof. Dr. Dewi

Apri Astuti, MSc, Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS, dan Dr. drh. Hera maheshwari,

MSc, yang dengan penuh kesabaran dan dedikasi memberikan pengarahan dan

masukan yang sangat berarti dalam penelitian ini. Terimakasih dan penghormatan juga

penuli sberikan kepada Dr. drh. M. Agil yang telah banyak memberi masukan dan

arahan selama pendidikan, dan kepada Handayani, drh. Dedi Setiadi, Msi, dan Ir.

Ghalib, Msc yang telah banyak membantu kerja penulis di laboratorium, serta kepada

ibu Nani di PSSP atas perhatian dan kesabarannya dalam menyusun keadministrasian

dan penjadwalan..

Penelitian ini didukung pula oleh kekompakan rekan-rekan WWF proyek Ujung

Kulon: Timer, Andri, Nina, Yuyun, Mutia, Ngatiman, Iwan, Mawi, Rani, Makmun, dan

Neng yang berhasil menjalankan kegiatan kantor secara sempurna selama penulis

meninggalkan tugas-tugas kantor untuk menempuh pendidikan dan juga terimakasih tak

terhingga pada Maryono dan Diki yang telah mengantar penulis bepergian dari tempat

kerja ke kampus tanpa kenal lelah mulai sejak dini hari sampai sore, dan bahkan malam

hari.

Penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada tim ROAM Taman Nasional

Ujung Kulon: Daryan, Hendra Purnama, Asep Yayusm dan masyarakat desa Ujung

Jaya, kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten memberikan bantuan

dan dukungan selama pengambilan data di lapangan dan mendampingi perjalanan

menembus belantara Taman Nasional Ujung Kulon untuk mengikuti gerak langkah

badak jawa.

Semoga Allah memberikan yang terbaik

Bogor, September 2012

Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI......................................................................................................... i

DAFTAR TABEL................................................................................................. v

DAFTAR GAMBAR............................................................................................. vii

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... x

PENDAHULUAN................................................................................................ 1

Permasalahan............................................................................................ 2

Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis.......................................... 3

Tujuan Penelitian............................................................................... ........ 4

Hipotesis Penelitian................................................................................... 5

Novelty/kebaruan............................................................................... ........ 5

Alur Penelitian........................................................................................... 6

Metode Umum........................................................................................... 7

Tahap I: Habitat Badak dan Profil Nutrisi................................................. 8

Tahap II: Habitat Badak dan Profil Cekaman........................................... 8

Tahap III: Simulasi Cekaman pada Hewan Model.................................... 9

TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 10

Habitat Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon............................... 10

Informasi Umum tentang Badak Jawa........................................................ 11

Jenis-jenis Cekaman.................................................................................. 14

Cekaman Akut........................................................................................... 14

Cekaman Kronis........................................................................................ 15

Penyakit-penyakit pada Badak........................................................... ........ 15

Pengaruh Perubahan Iklim......................................................................... 16

Mekanisme Fisiologis Terhadap Cekaman Kekeringan................................ 18

Termoregulasi............................................................................................ 18

Kondisi Kulit............................................................................................. 18

Defisit Glukosa........................................................................................... 24

Lapar Serum............................................................................................... 26

Ambang Batas dan Proses Perbaikan dalam Kondisi Lapar Sel................. 27

Peranan dan Interaksi Hormon Kortisol dan Tiroksin sebagai Caraka...... 29

Lantana camara sebagai Bahan Toksin / Antinutrisi................................. 31

Hewan-hewan Model dan Pembanding untuk Badak Jawa......................... 33

Badak Sumatra (Dicerorhinus bicornis).................................................... 33

Badak India (Rhinoceros unicornis)........................................................... 34

Kuda............................................................................................................ 34

Analogi Perbandingan................................................................................. 36

Daftar pustaka.............................................................................................. 38

STUDI POLA PERGERAKAN, PALATABILITAS, KUALITAS PAKAN, DAN

KECERNAAN NUTRIEN SERTA RISIKO TOKSISITAS LANTADEN PADA

BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG

KULON................................................................................................................. 47

Abstrak...................................................................................................... 47

Abstract...................................................................................................... 48

Pendahuluan............................................................................................... 49

Tujuan Penelitian............................................................................ 50

ii

Bahan dan Metode...................................................................................... 51

Ruang Jelajah Badak Jawa............................................................... 51

Palatabilitas.................................................................................... 54

Kualitas Pakan............................................................................. 55

Konsumsi Pakan............................................................................. 56

Kecernaan....................................................................................... 58

Metode AIA (Acid insoluble ash) menurut Van Keulen & Young.. 60

Risiko toksisitas dari konsumsi Lantana camara........................... 61

Ketersediaan Garam......................................................................... 61

Analisis Data..................................................................................... 62

Hasil dan Pembahasan................................................................................ 63

Karakteristik Ruang Jelajah Badak................................................... 63

Palatabilitas dan Keragaman Pakan................................................. 66

Kualitas dan Kuantitas Asupan Nutrien......................................... 67

Identifikasi Tumbuhan Pakan dengan Kualitas Nutrisi Tinggi....... 68

Kecernaan....................................................................................... 71

Kajian Risiko Toksisitas Lantaden................................................... 72

Ketersediaan Garam dan Air di Lokasi Kubangan............................ 73

Simpulan dan Saran.................................................................................... 75

Simpulan......................................................................................... 75

Saran................................................................................................ 76

Daftar pustaka............................................................................................. 77

PENENTUAN ASAI HORMON GLUKOKORTIKOID UNTUK MEMANTAU

INDIKATOR CEKAMAN PADA BADAK JAWA

JANTAN.................................................................................................................... 79

Abstrak........................................................................................................ 79

Abstract........................................................................................................ 80

Pendahuluan.................................................................................................. 81

Mekanisme dan Respons Individu terhadap Cekaman..................... 81

Definisi Cekaman............................................................................. 83

Hormon Terkait Cekaman Beserta Metabolitnya............................. 83

Tujuan penelitian............................................................................. 85

Bahan dan Metoda...................................................................................... 86

Penetapan Faktor Cekaman di Habitat Badak Jawa........................ 86

Penetapan Sampel Feses.................................................................. 86

Pengumpulan Sampel Feses............................................................ 87

Pemilihan Indikator Kadar Hormon Cekaman Asal Feses.............. 87

Persiapan Sampel Feses................................................................... 88

Asai Kortisol.................................................................................... 89

Prosedur Asai Kortisol..................................................................... 89

Asai Kortikosteron........................................................................... 90

Prosedur Asai Kortikosteron............................................................ 90

Asai 3α, 11β-dihydroxy-CM............................................................ 91

Prosedur Asai 3α, 11β-dihydroxy-CM............................................. 91

Analisis Data.................................................................................... 93

Hasil dan pembahasan............................................................................... 94

iii

Hasil Uji Paralelisme......................................................................... 94

Faktor Pengenceran untuk Kuantifikasi Metabolit

Glukokortikoid (3α, 11β-dihydroxy-

CM).................................................................................................... 94

Profil 3α, 11β-dihydroxy-CM pada Individu Badak & Populasi....... 95

Kondisi cekaman............................................................................... 97

Faktor cekaman dan Profil Glukokortikoid..................................... 98

Simpulan dan saran..................................................................................... 100

Simpulan.......................................................................................... 101

Saran................................................................................................. 101

Daftar pustaka.............................................................................................. 102

KAJIAN KUANTITATIF MENGGUNAKAN HEWAN MODEL SEBAGAI

PEMBANDING UNTUK BADAK JAWA DALAM PENELITIAN CEKAMAN

AKIBAT DEFISIENSI PAKAN DAN DEFISIENSI AIR...................................... 105

Abstrak......................................................................................................... 105

Abstract........................................................................................................ 106

Pendahuluan................................................................................................. 107

Proses Pemilihan Hewan Model........................................................ 108

1) Kelompok Hewan Model Konvensional..................................... 108

2) Kelompok Hewan Badak (Rhinoceratidae)................................ 109

Tujuan Penelitian.............................................................................. 110

Bahan dan metoda........................................................................................ 112

Perbandingan Perilaku...................................................................... 112

Pengambilan Data Pakan dan Air Minum (Fase Kontrol)............... 113

Induksi Cekaman.............................................................................. 114

1) Perlakuan Defisiensi Pakan........................................................ 114

2) Perlakuan Defisiensi Air.............................................................. 115

Periode “Pencucian”......................................................................... 116

Pengamatan Pola Respirasi................................................................ 116

Penghitungan Konsumsi dan Kecernaan Kuda................................. 116

Analisis Data..................................................................................... 117

Hasil dan Pembahasan.................................................................................. 118

Pemilihan Hewan Model.................................................................... 118

Perbandingan Perilaku Hewan Model............................................... 118

Proses Adaptasi Kuda di Dalam Kandang........................................ 120

1) Perilaku..................................................................................... 120

2) Tingkat Cekaman....................................................................... 121

3) Hematologi............................................................................... 122

Induksi Cekaman dengan Defisit Pakan............................................ 123

Respons Terhadap Perlakuan Defisiensi Pakan................................ 124

1) Perilaku.................................................................................... 124

2) Tingkat Cekaman...................................................................... 124

3) Hematologi............................................................................... 125

Respons Terhadap Perlakuan Defisiensi Air.................................... 126

1) Perilaku.................................................................................... 126

2) Tingkat Cekaman...................................................................... 127

3) Hematologi............................................................................... 129

Pola Respirasi dalam Kondisi Cekaman............................................ 130

iv

Identifikasi Komponen Pemicu Cekaman…………………………. 132

Kecernaan dalam Kondisi Cekaman................................................. 132

Adaptasi Fisiologis terhadap Cekaman............................................. 135

Simpulan dan saran..................................................................................... 136

Simpulan.......................................................................................... 136

Saran................................................................................................ 136

Daftar pustaka.............................................................................................. 137

PEMBAHASAN UMUM: MODEL DALAM PENGELOLAAN POPULASI BADAK

JAWA...................................................................................................................... 141

Pendahuluan............................................................................................... 141

Tekanan yang dihadapi badak jawa................................................. 143

1) Defisit Energi Asal Pakan.......................................................... 143

2) Defisit Air................................................................................. 144

Model Pengelolaan Badak Jawa....................................................... 145

Komponen 1: Teknik Pemantauan................................................... 146

Pemantauan Status Nutrisi.................................................... 146

Pemantauan Cekaman Berdasarkan Profil Hormon.............. 146

Komponen 2: Pengkayaan Nutrisi.................................................... 147

Menekan Laju Invasi dan Dominasi Tumbuhan

Langkap (Arenga obtusifolia)............................................... 147

Pengkayaan Air, Nutrien, & Energi dari Tumbuhan Pakan... 149

Pengendalian Lantana camara............................................. 150

Komponen 3: Mitigasi Cekaman Akibat Defisit Air......................... 151

Komponen 4: Penggunaan Hewan Model Untuk Riset..................... 152

Kecernaan dan Nutrisi........................................................... 152

Pencegahan Cekaman dan Implikasi Kesehatan.................... 153

Faktor-faktor lain yang relevan......................................................... 153

1) Faktor Habitat.............................................................................. 153

2) Faktor Populasi............................................................................ 153

3) Faktor Individu dan Perilaku Hewan........................................... 154

SIMPULAN DAN SARAN UMUM....................................................................... 155

Simpulan umum.......................................................................................... 155

Saran umum................................................................................................ 156

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 157

v

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Daftar karakteristik antara badak jawa dengan hewan model yang

digunakan dalam penelitian (kuda dan badak sumatra)...........................

37

2 Jenis vegetasi tumbuhan paling dominan di lokasi ruang jelajah badak

jawa………………………………………………………………………

52

3 Rangkuman luas ruang jelajah dan jarak tempuh tiap ekor badak........... 64

4 Badak jawa, lokasi, dan jenis pakan dengan palatabilitas tertinggi

(persentase konsumsi basah rata-rata per hari) selama pengamatan bulan

Oktober 2009 sampai April 2010..............................................................

67

5 Komposisi nutrien dan energi dari tumbuhan pakan yang disukai badak

jawa (palatabilitas tinggi)........................................................................

67

6 Daftar tumbuhan pakan dengan kandungan air, nutrien, dan energi

tertinggi.....................................................................................................

68

7 Data asupan nutrisi harian badak

jawa............................................................................................................

70

8 Rataan asupan air, protein, lemak, dan energi per ekor per hari pada tiga

ekor badak yang diamati dalam penelitian...............................................

71

9 Persen kecernaan berat kering dari tiga ekor badak dengan koreksi 10%

menurut Mainka et al. (1989).....................................................................

71

10 Estimasi penghitungan asupan antinutrisi lantaden harian melalui

konsumsi tumbuhan Lantana camara pada badak jawa

(g/ek/h)......................................................................................................

73

11 Perbandingan hewan model serta kriteria pengamatan yang relevan

dengan penelitian pada badak jawa (dari berbagai sumber).....................

110

12 Pemberian air minum untuk setiap ekor kuda pada periode perlakuan

defisit air.....................................................................................................

115

vi

13 Ethogram (daftar perilaku) berdasarkan pengamatan kuda, badak jawa,

dan badak sumatra. Ethogram badak sumatra disusun berdasarkan

Siswandi et al.

(2005).........................................................................................................

119

14 Konsumsi pakan (% bahan kering per berat badan kuda)......................... 123

15 Konsumsi nutrien setiap ekor kuda selama periode perlakuan defisiensi

pakan...........................................................................................................

123

16 Persen kecernaan dua ekor kuda dengan koreksi 10 % menurut Mainka

et al. (1989).................................................................................................

133

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema alur penelitian serta kontribusi yang dihasilkan terhadap

konservasi badak jawa. Garis putus mewakili aspek konservasi

(Pemanfaatan dan Riset) yang tidak secara langsung difokuskan dalam

penelitian ini..............................................................................................

7

2 Badak jawa jantan yang tertangkap oleh kamera otomatis (kamera jebak)

di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Foto: WWF Indonesia –

Balai Taman Nasional Ujung Kulon.........................................................

12

3 Struktur kulit badak afrika dalam keadaan normal yang terdiri dari

lapisan keratin pada bagian terluar. Pada gambar ini terlihat lapisan

keratin mengelupas dan digantikan dengan lapisan yang baru. Sumber:

Munson et al. (1998).................................................................................

19

4 Histopatologi pada epidermis badak (badak afrika) yang menunjukkan

adanya degenerasi hidroskopik, dan pembentukan celah/retakan pada

kulit. Tidak ada inflamasi ditemukan pada lesio ini. Pewarnaan HE, bar

= 100 mikron. Sumber: Munson et al. (1998)..........................................

20

5 Rangkaian reaksi yang dipicu oleh kondisi lapar sel (menurunnya kadar

gula dalam sel) yang berujung pada pemisahan sel (cell detachments),

dan kematian sel. Sumber: Suzuki et al (2003), Wu et al (2001), dan

Cavaliere et al (2001)...............................................................................

29

6 Tumbuhan perdu Lantana camara di habitat badak di Taman Nasional

Ujung Kulon memiliki bunga berwarna cerah. Foto: Ahariyadi – WWF

Indonesia...................................................................................................

32

7 Filogram yang menunjukkan kekerabatan berbagai spesies berdasarkan

variasi pada DNA 12S RNA. Angka menunjukkan kedekatan

kekerabatan berdasarkan perhitungan parsimoni maksimum. Sumber:

Fernando et al. (2005)...............................................................................

35

8 Tiga ekor badak jantan yang dipilih sebayak obyek penelitian: badak

nomor 12 (A), nomor 13(B), dan nomor 18(C). Foto: Balai Taman

Nasional Ujung Kulon-WWF Indonesia..................................................

53

9 Kondisi lahan pakan badak (rumpang) dengan perbandingan tinggi

tumbuhan pakan dan manusia (A) serta kondisi rumpang yang relatif

terbuka dibandingkan areal pepohonan di sekitarnya (B). Foto:

RSetiawan – WWF Indonesia...................................................................

54

viii

10 Contoh jejak badak yang relatif segar. Badak berada di lokasi ini 12 jam

sebelum jejak ditemukan. Foto: Ahariyadi-WWF Indonesia...................

59

11 Pola lintasan badak no 13 di Utara (A), badak 18 di Barat (B), dan badak

no 12 di Selatan (C) beserta aktifitas dari masing-masing badak

sebagaimana tercatat dalam survey lapangan..........................................

65

12 Beberapa contoh tumbuhan pakan badak Jawa yang tercatat dalam

pengamatan di lapangan. Foto di atas menunjukkan jenis tumbuhan

tepus: Amomum sp (A), Rotan: Calamus sp (B), dan Mara: Mallotus

floribundus (C). Foto: Rsetiawan – WWF Indonesia...............................

66

13 Rentang kandungan NaCl dalam tanah di empat lokasi kubangan yang

berada dalam lingkup ruang jelajah tiga ekor badak jawa yang diamati

dalam penelitian........................................................................................

74

14 Reaksi biokimia yang merupakan proses tanggap terhadap cekaman bagi

mamalia (sumber: Coenen 2005)..............................................................

82

15 Grafik paralelisme antara kadar 5-beta androstandiol (5-beta adiol) pada

feses dengan kurva standard berdasarkan hasil uji paralelisme......

95

16 Fluktuasi kadar hormon glukokortikoid pada semua individu badak....... 96

17 Rentang kadar metabolit glukokortikoid (5-beta adiol) antar individu

badak..........................................................................................................

96

18 Karakteristik musim pada periode pengamatan (bulan Oktober 2009-

April 2010) berdasarkan rata-rata jumlah kejadian hujan, cerah, ataupun

berawan dalam satu hari............................................................................

97

19 Perbandingan tingkat konsumsi energi per berat badan (sumbu x)

dengan kadar metabolit glukokortikoid pada feses………………………

99

20 Perbandingan kadar hormon cekaman antar individu badak dengan

asupan berat kering yang berbeda (A) dan antar musim/curah hujan

(B)...............................................................................................................

99

21 Perbandingan anatomi system pencernaan kuda (A) dan badak (B) yang

menunjukkan karakteristik hewan monogastrik (lambung satu) dan

keberadaan sekum untuk pencernaan selulosa. Sumber:

www.wren.aps.uo.guelph.ca......................................................................

108

22 Kuda jantan dewasa bernama Garuda (A) dan kuda jantan dewasa muda

bernama Elang (B) yang digunakan sebagai hewan model dalam

pengamatan di Rumah Sakit Hewan IPB Darmaga...................................

113

23 Komposisi aktifitas badak 18 (A), badak 12 (B), dan badak 13 (C)

berdasarkan durasi yang terekam dengan menggunakan kamera

otomatis.....................................................................................................

120

ix

24 Komposisi perilaku kuda jantan muda (A) dan jantan dewasa (B) yang

tercatat dalam pengamatan perilaku........................................................

120

25 Komposisi perilaku kuda Dewasa (A) dan kuda remaja (B) selama

periode aklimatisasi di kandang................................................................

122

26 Penurunan kadar kortisol dalam darah pada kedua ekor hewan (Garuda

dan Elang) selama periode aklimatisasi di kandang.................................

122

27 Fluktuasi kadar kortisol pada hewan pada perlakuan minus pakan......... 125

28 Perbandingan perilaku hewan model kuda jantan dewasa (A) dan kuda

jantan muda (B) dalam berbagai perlakuan..............................................

128

29 Trend peningkatan kadar kortisol dalam darah pada perlakuan minus air. 128

30 Trend peningkatan respirasi pada kuda dalam perlakuan defisit pakan

(A) dan defisit air (B) dibanding dengan kondisi normal istirahat.........

131

31 Perbandingan peningkatan respirasi badak dan kuda dalam kondisi

normal dan cekaman (stress).....................................................................

131

32 Trend kecernaan badak dan kuda dalam kondisi normal dan cekaman

(stress)........................................................................................................

134

33 Lokasi temuan kematian badak Jawa dalam periode tahun 2000-2010.

Titik hijau menunjukkan kasus dengan informasi yang relatif lengkap

mengenai penyebab kematian...................................................................

142

34 Model pengelolaan populasi dan habitat badak jawa dengan pendekatan

aspek nutrisi, cekaman, dan kesehatan......................................................

146

35 Distribusi badak jawa di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon

(titik merah) berdasarkan hasil survey 2005-2010. (sumber: WWF

Indonesia & Balai TNUK).........................................................................

148

36 Lokasi ideal untuk plot pengendalian langkap (Arenga obtusifolia) di

semanjung Ujung Kulon ditandai dengan poligon berwarna merah........

149

37 Usulan areal pengendalian tumbuhan Lantana camara di areal pakan

badak ditandai dengan poligon berwarna kuning......................................

151

x

DAFTAR LAMPIRAN

1 IZIN KOMISI ETIK HEWAN................................................................... 171

2 DATA NUTRISI BADAK JAWA............................................................. 175

3 DATA HEWAN MODEL.......................................................................... 181

4 DATA PARALELISME KIT HORMON.................................................. 191

PENDAHULUAN

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan mamalia besar yang tergolong

langka karena jumlahnya tidak melebihi 60 ekor di seluruh dunia, sehingga IUCN

memasukan badak jawa dalam kategori terancam punah. Badak jawa berada pada dua

lokasi yaitu: sekitar delapan ekor di Taman Nasional Cat Tien Vietnam dan sekitar 50

ekor di Taman Nasional Ujung Kulon di Indonesia. Tentang jumlah dan keragaman

genetika yang ada saat ini, para ahli berpendapat bahwa populasi di Taman Nasional

Ujung Kulon adalah satu-satunya populasi yang berpotensi untuk berkembang biak,

dan merupakan kunci kelestarian spesies ini di muka bumi. Hal ini bukanlah hal yang

ideal dari segi konservasi, karena dengan hanya bertumpu pada satu populasi saja,

justru risiko kepunahan akan semakin besar. Satu populasi memiliki tingkat

kerentanan yang tinggi, sehingga bencana alam katastropik (gunung berapi, tsunami)

dan/atau epidemik yang melanda populasi di Ujung Kulon akan menyebabkan

mortalitas massal yang berpotensi melenyapkan spesies ini.

Badak jawa yang telah bertahan hidup di Ujung Kulon dalam waktu yang lama

sempat mengalami penurunan jumlah populasi di tahun 1962 mencapai jumlah hanya

25 ekor saja pada saat itu. Saat ini badak jawa telah mengalami peningkatan dari

jumlah populasi di tahun 1962 ke jumlah sekitar 50 ekor, dan terbentuk paradigma

yang beranggapan bahwa badak jawa merupakan satwa yang tangguh dan selama

mereka berada di habitat alami, kesehatan mereka termasuk baik. Upaya pelestarian

badak jawa umumnya dititik beratkan pada upaya pengamanan dan pengelolaan

habitat, sementara aspek medis konservasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan

peluang keberlangsungan spesies ini menjadi terabaikan.

Kelestarian spesies badak jawa ini terletak pada kemampuan populasi yang

ada pada saat ini untuk mempertahankan jumlahnya (stable population) dan

meningkatkan jumlahnya (viable population). Data terkini menunjukkan bahwa

populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon berada pada jumlah yang stabil

serta tidak menunjukkan perkembang biakkan yang signifikan. Pertumbuhan populasi

secara signifikan ditetapkan pada angka pertumbuhan minimal 3% setiap tahun

sebagaimana dimandatkan dalam strategi konservasi badak Indonesia (PHKA 2007).

2

Sebagai populasi tertutup dimana tidak terjadi proses migrasi keluar atau

masuk ke dalam Taman Nasional Ujung Kulon, pertumbuhan populasi badak jawa

dapat dicapai dengan dua cara yaitu: meredam tingkat mortalitas dan/atau

meningkatkan reproduksi yang ada pada populasi saat ini.

Permasalahan

Dua hal yang besar pengaruhnya terhadap peluang reproduksi dan juga risiko

mortalitas adalah aspek asupan nutrisi dan tingkat cekaman. Sejak awal tahun 70an

tidak ada lagi terjadi kasus perburuan badak jawa, oleh karena itu slah satu ancaman

terbesar yang dapat menyebabkan kematian bagi badak jawa muncul dari risiko

penyakit dan perubahan pada komposisi ekosistem baik yang berupa suksesi alami

maupun perubahan yang terjadi sebagai dampak dari aktifitas manusia seperti

perubahan iklim. Dari sudut pandang epidemiologi, nutrisi dan cekaman merupakan

dua aspek yang ada dalam lingkungan / habitat badak yang berperan penting dalam

menentukan kemampuan badak untuk menurunkan risiko kematian dengan cara

mengatasi penyakit berupa agen infeksius dan non-infeksius.

Dalam dunia medis, agen infeksius didefinisikan sebagai penyebab penyakit

yang dapat berpindah atau ditularkan dari satu individu kepada individu lainnya baik

secara langsung maupun melalui perantara (vektor). Contoh-contoh agen infeksius

terdiri dari: virus, bakteri, dan parasit yang dapat membahayakan kehidupan satwa liar

dan juga manusia (Daszak 2000). Sebaliknya, agen non-infeksius didefinisikan

sebagai penyebab penyakit yang tidak dapat berpindah atau menular dari satu individu

ke individu lainnya seperti toksin (racun) yang menyebabkan penyakit akibat

konsumsi ataupun kontaminasi bahan toksin yang berasal dari lingkungan.

Oleh karena itu, fokus kajian ini dititik beratkan pada upaya untuk

mengidentifikasi status kualitas nutrisi dan profil cekaman serta dampaknya terhadap

individu badak agar upaya untuk menurunkan tingkat cekaman terhadap badak jawa

dapat dirancang. Harapannya spesies ini akan memiliki peluang yang lebih besar

untuk mampu bertahan terhadap penyakit serta peluang yang lebih besar pula untuk

meningkatkan kapasitas reproduksinya.

3

Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis

Teknik medis konservasi mulai diperlukan dengan mempertimbangkan adanya

berbagai ancaman yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan hidup

badak jawa. Secara kualitatif, mortalitas akibat gangguan kesehatan badak jawa

pernah terjadi pada lima ekor badak di tahun 1982 (WWF-IUCN 1982), dan satu ekor

badak di tahun 2003. Semua kasus kematian diawali dengan gejala klinis kolik yang

mengindikasikan adanya gangguan pada sistem pencernaan. Beberapa kemungkinan

gangguan kesehatan dapat muncul karena adanya infeksi silang antar satwa liar

(banteng dan badak menggunakan areal yang sama di semenanjung Taman Nasional

Ujung Kulon), dan infeksi dari hewan ternak yang lepas dan masuk ke dalam

kawasan. Selain ancaman dari agen infeksius, ancaman dari sumber non-infeksius

seperti: asupan metabolit sekunder dari sumber makanan dan bahan-bahan yang

bersifat toksik juga merupakan aspek yang harus dicermati dalam pengelolaan

populasi.

Habitat di Ujung Kulon secara perlahan namun pasti mengalami perubahan

akibat berbagai kejadian seperti: invasi tumbuhan langkap Arenga obtusifolia (Putro

1997) dan perubahan iklim. Kedua faktor di atas menyebabkan berkurangnya

ketersediaan tumbuhan pakan yang dibutuhkan oleh badak, sementara perubahan

iklim ditengarai dapat mengakibatkan perubahan pada iklim mikro (Suprayogi et al.

2006), keragaman jenis tumbuhan (Huxman & Scott 2007), serta perubahan pada

mekanisme penyebaran penyakit (Harvell et al. 2002). Suksesi vegetasi alami dapat

mendorong terjadinya dominasi tumbuhan tertentu dan dapat mengakibatkan

keterbatasan pakan. Beberapa jenis tumbuhan yang mendominasi struktur vegetasi

tersebut mengandung antinutrisi/toksin seperti pada jenis Lantana cammara yang

mengandung zat yang dikenal dengan nama: lantaden (Sharma et al. 2000). Zat

lantaden ini merupakan suatu senyawa yang diproduksi secara alami oleh tumbuhan

Lantana cammara dan bersifat racun hepatotoksin, atau senyawa racun yang dapat

mengganggu sistem pencernaan (McSweeney & Pass 1983; Sagar et al. 2005), dan

merusak hati (liver) berbagai hewan ternak (Pass et al. 1979). Selain keterbatasan

pakan, ketersediaan air merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas

hidup dan kesehatan badak jawa. Aspek pakan dan air tersebut di atas berpotensi

mengakibatkan stres akut (yang terjadi dalam periode waktu singkat) maupun kronik

(yang terjadi dalam waktu yang relatif panjang atau) karena badak sepenuhnya

bergantung pada sumber tumbuhan pakan dan air yang terbatas di habitat alaminya.

4

Sampai saat ini belum ada metode aplikatif yang dapat digunakan untuk

memantau kualitas asupan nutrisi dan tingkat cekaman yang dihadapi olah badak

jawa. Tingkat kesulitan untuk menemukan badak di habitatnya dan tidak adanya

badak jawa di penangkaran mengharuskan peneliti untuk mengembangkan metode

pengamatan dan pemantauan dengan menggunakan sampel feses badak yang relatif

lebih mudah didapat. Tantangan berikutnya ada pada proses untuk menggali

informasi serta memperoleh parameter kesehatan dari feses badak tersebut sebagai

indikator yang akurat dan sensitif untuk mencerminkan kesehatan secara umum dan

kondisi pencernaan secara khusus. Indikator ini dapat digunakan sebagai baseline,

namun informasi mengenai fluktuasi dan ambang batas indikator-indikator terkait

masih diperlukan sebagai data pelengkap untuk menjadikan metode ini lebih relevan

dan aplikatif sebagai perangkat pemantauan kesehatan badak jawa. Berdasarkan

informasi baseline inilah suatu model pengelolaan populasi badak disusun dengan

tujuan meningkatkan peluang untuk dapat bertahan terhadap penyakit dengan upaya

untuk mengurangi risiko mortalitas serta meningkatkan peluang reproduksi. Selain

menjadi bagian dalam upaya pengelolaan populasi badak jawa di Taman Nasional

Ujung Kulon, perangkat pemantauan kesehatan seperti ini merupakan bagian dari

metoda pemantauan populasi yang juga merupakan suatu kebutuhan pengelolaan

badak jawa terkait pembentukan populasi ke-2 dimana beberapa ekor badak akan

dipindahkan dari habitat yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon ke lokasi lain.

Melalui upaya pemindahan badak ke habitat baru, perangkat untuk mengukur tingkat

cekaman, status/profil nutrisi, dan analisis risiko kesehatan pada badak saat adaptasi,

dalam proses, dan pasca pemindahan merupakan suatu keharusan untuk menjamin

kelangsungan hidup populasi badak di habitat barunya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membangun suatu model pengelolaan populasi

badak jawa dengan memperhatikan aspek nutrisi dan cekaman yang dapat

mempengaruhi status kesehatan serta daya tahan spesies ini terhadap penyakit. Untuk

mencapai tujuan tersebut, penelitian ini memerlukan analisis mengenai:

5

1. Pola pergerakan dan lintasan badak di habitatnya (trajektori) sebagai basis dari

pengumpulan informasi daya dukung alam Taman Nasional Ujung Kulon.

2. Palatabilitas, kuantitas, kualitas pakan, kecernaan, risiko toksin lantaden, dan

ketersediaan garam bagi badak jawa jantan di kawasan Taman Nasional Ujung

Kulon.

3. Profil hormon glukokortikoid akibat cekaman defisit nutiren dan ketersediaan air

dengan menggunakan 5-beta-adiol sebagai indikatornya.

4. Potensi penggunaan hewan model (kuda) sebagai pembanding bagi badak jawa

dalam penelitian cekaman akibat defisit pakan dan air.

5. Penyusunan rekomendasi model pengelolaan badak jawa berbasis nutrisi dan

ketersediaan air di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

Hipotesis Penelitian

1. Kondisi habitat di Taman Nasional Ujung Kulon merupakan daerah dengan daya

dukung (ketersediaan pakan dan air) yang kurang memadai bagi badak jawa.

Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya cekaman pada badak jawa.

2. Metabolit hormon asal feses dapat digunakan sebagai indikator status dan profil

glukokortikoid akibat cekaman, mengingat glukokortikoid merupakan indikator

aktifitas korteks adrenal yang disebabkan oleh adanya cekaman.

3. Kuda dapat digunakan sebagai hewan model pembanding yang baik untuk

penelitian terkait cekaman akibat keterbatasan pakan dan air yang mempengaruhi

badak jawa, mengingat kuda memiliki kesamaan genetika, anatomi saluran cerna,

dan perilaku dengan badak.

Novelty / Kebaruan

Kebaruan yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah model yang merupakan

bagian dari solusi bagi masalah reproduksi dan mortalitas yang sampai saat ini belum

terpecahkan. Pendekatan konservasi yang mengacu kepada upaya mitigasi cekaman

bagi spesies badak jawa baru kali ini dilakukan dengan harapan untuk meningkatkan

kapasitas reproduksi serta menekan risiko kematian pada badak jawa. Selain itu,

penelitian ini juga menghasilkan suatu mekanisme penelitian badak jawa melalui

hewan model sehingga berbagai penelitian badak jawa dapat dilakukan pada hewan

6

model tertentu untuk menghindari risiko dan kesulitan yang timbul bila menggunakan

badak jawa secara langsung.

Produk nyata yang merupakan novelty atau kebaruan hasil penelitian ini

adalah penerapan hasil-hasil penelitian ini untuk kepentingan pengelolaan badak jawa

di habitat alaminya. Langkah-langkah penerapan hasil dari penelitian ini terdiri dari:

1. Penggunaan hewan model untuk mensimulasi kondisi habitat serta

mempelajari respons yang mungkin terjadi pada badak jawa di habitat

alaminya.

2. Rekomendasi pengelolaan vegetasi potensial untuk kehidupan badak jawa.

3. Penggunaan profil glukokortikoid sebagai indikator cekaman pada badak.

Alur Penelitian

Tahap pertama dalam penelitian ini menguatkan dugaan adanya korelasi

antara ruang jelajah dan kualitas nutrisi di habitat badak di Taman Nasional Ujung

Kulon dan juga identifikasi cekaman yang berasal dari kuantitas, kualitas, dan

kecernaan nutrien dalam tumbuhan pakan; tahap ini dilanjutkan dengan menguatkan

dugaan adanya cekaman yang bersifat individual (bervariasi antar individu yang

berbeda) ataupun yang bersifat musiman (bervariasi antar musim) akibat terbatasnya

ketersediaan air di musim kering. Informasi kualitatif yang didapat dari kajian ini

kemudian diterapkan dalam uji coba menggunakan hewan model untuk mendapatkan

informasi yang lebih kuantitatif dengan perlakuan yang jauh lebih terukur

dibandingkan dengan temuan dan data dari lapangan sehingga dampak dari cekaman

tersebut dapat dipelajari langsung keterkaitan atau korelasinya. Data dan informasi

dari setiap tahap dari penelitian ini kemudian digunakan untuk menyusun suatu model

pengelolaan badak jawa. Model ini terdiri dari rekomendasi prosedur pemantauan

cekaman dan juga rekomendasi untuk membangun suatu sistem pengelolaan habitat

untuk mitigasi cekaman yang terdiri dari pemantauan intensif untuk melihat status

cekaman dan dampak dari implementasi upaya mitigasi cekaman terhadap

perkembangbiakkan badak jawa secara alami. Pemantauan status cekaman dapat

dilakukan secara non-invasif melalui analisis sampel feses yang dilakukan secara

periodik. Secara teoretis, mitigasi cekaman pada populasi badak jawa akan dapat

meningkatkan peluang keberlangsungan hidup spesies ini (meningkatkan kapasitas

reproduksi dan menekan risiko mortalitas). Penelitian ini juga menjajagi

7

kemungkinan pengembangan metoda pemantauan kesehatan yang dapat dilakukan

secara non-invasif terkait tekanan yang dapat terjadi di habitat alami yaitu: akibat

keterbatasan pakan (kadar toksisitas dalam pakan) serta minimnya ketersediaan air,

maka penelitian ini memiliki kerangka acuan sebagaimana ditampilkan pada Gambar

1 di bawah ini.

Gambar 1. Skema alur penelitian serta kontribusi yang dihasilkan terhadap

konservasi badak jawa. Garis putus mewakili aspek konservasi

(Perlindungan dan Pembuatan kubangan) yang tidak secara langsung

difokuskan dalam penelitian ini.

Metode Umum

Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yang dirancang untuk mempelajari

kondisi habitat badak serta profil asupan (nutrien, air, energi) dan toksin; mempelajari

profil cekaman dan dinamikanya antar individu badak dan antar musim; dan

menggunakan informasi dari kedua tahapan ini dalam tahap ketiga yaitu simulasi

cekaman di habitat badak terhadap hewan model untuk mengkuantifikasi reaksi

tanggap yang terjadi pada hewan model sebagai gambaran atas reaksi tanggap yang

mungkin terjadi pada badak jawa. Tiga ekor badak jawa berkelamin jantan dipilih

sebagai contoh dalam penelitian ini.

8

Tahap 1: Habitat Badak dan Profil Nutrisi

Tahap ini bertujuan untuk mempelajari profil asupan pada badak jawa di

habitat aslinya di Taman Nasional Ujung Kulon sebagai bahan informasi yang

digunakan dalam simulasi/induksi cekapam pada tahap tiga. Penguatan analogi antara

badak dengan hewan model dilakukan dengan membandingkan hasil dari tahap ini

(kecernaan) dengan hasil kecernaan hewan model pada tahap tiga. Tahap ini terdiri

dari metoda:

1. Identifikasi ruang jelajah dan ruang pergerakan badak contoh untuk

mempelajari kondisi habitat (keragaman pakan, ketersediaan kubangan/air,

ketersediaan garam) terkait ruang jelajah dari setiap ekor badak.

2. Identifikasi pakan serta komposisi tumbuhan pakan yang di sukai

3. Identifikasi kualitas pakan serta penghitungan kualitas nutrisi tumbuhan

pakan

4. Penghitungan tingkat kecernaan dengan metode AIA

5. Analisis deskriptif untuk mengidentifikasi perbedaan profil asupan dan

kecernaan antar individu badak.

Tahap 2: Habitat Badak dan Profil Cekaman

Tahap ini bertujuan untuk mempelajari profil cekaman yang terjadi pada

badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Perbedaan profil cekaman diamati antar

individu dan juga antar musim yang berbeda (musim kering dan penghujan).

Identifikasi sumber cekaman dalam tahap ini digunakan dalam simulasi/induksi

cekaman pada Tahap 3. Informasi mengenai profil cekaman ini dibandingkan dengan

hasil induksi cekaman dalam Tahap 3 sebagai bagian dari penguatan analogi hewan

model dan badak. Tahap ini terdiri dari metode:

1. Pengumpulan sampel feses dari tiga individu badak contoh pada musim

kering dan penghujan.

2. Pemilihan asai hormon yang memadai untuk digunakan pada sampel feses

sebagai cara mengidentifikasi tingkat cekaman. Pemilihan asai hormon

terdiri dari: pemilihan kit hormon glukokortikoid/metabolitnya, serta

validasi dari hormon/metabolit tersebut.

3. Asai hormon asal feses untuk mempelajari perbedaan kandungan hormon

glukokortikoid/metabolitnya serta profil dan dinamikanya.

9

4. Analisisi deskriptif untuk mempelajari profil cekaman antar individu dan

trend keterkaitan antara profil cekaman dengan musim.

Tahap 3: Simulasi Cekaman pada Hewan Model

Tahap ketiga ini bertujuan untuk memilih hewan model yang sesuai untuk

badak jawa dan mensimulasikan cekaman yang teridentifikasi pada Tahap 1 dan 2

serta mengukur reaksi tanggap yang terjadi pada hewan model tersebut. Penguatan

analogi hewan model dengan badak jawa dilakukan dengan membandingkan hasil

data tahap tiga ini dengan hasil dari tahapan-tahapan sebelumnya. Tahap tiga terdiri

dari metode:

1. Pemilihan hewan model berdasarkan kaidah hewan model serta

kesamaan/kedekatan genetika, anatomi, dan perilaku.

2. Simulasi dan induksi cekaman yang terjadi di habitat asli badak jawa di

Taman Nasional Ujung Kulon (hasil dari tahap satu dan tahap dua)

terhadap hewan model.

3. Kuantifikasi reaksi tanggap terhadap induksi cekaman berdasarakan

parameter perilaku dan parameter fisiologis (respirasi, kadar hormon

kortisol, hematologi, respirasi, dan kecernaan).

4. Penguatan analogi antara hewan model dengan badak melalui

perbandingan reaksi tanggap yang terjadi pada hewan model dan reaksi

pada badak berdasarakan pengamatan dan literatur.

Hasil dari ketiga tahapan di atas digunakan dalam merumuskan sebuah model

pengelolaan yang dapat diusulkan pada otoritas pengelola populasi badak jawa untuk

melengkapi informasi yang diperlukan dalam menyusun strategi intervensi

konservasi. Pendekatan baru dari sisi medis konservasi dan hewan model akan

memberikan kontribusi dalam upaya meningkatkan peluang reproduksi sekaligus

menurunkan risiko mortalitas yang dapat terjadi pada populasi badak jawa. Dua hal

ini pada akhirnya akan memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan populasi

badak jawa sebesar 3% setiap tahun.

10

TINJAUAN PUSTAKA

Habitat Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon

Dari lima spesies badak di seluruh dunia, badak jawa merupakan satu-satunya

spesies yang ditemukan hanya di Indonesia, tepatnya di Taman Nasional Ujung Kulon

Banten. Pada tahun 1999 survei menyatakan keberadaan badak jawa di Vietnam

dengan jumlah delapan ekor (Polet et al. 1999), namun saat ini populasi tersebut

sudah dinyatakan punah (IRF-WWF 2011). Dengan punahnya populasi badak jawa di

Vietnam pada tahun 2011, maka keberlangsungan hidup spesies ini hanya bergantung

pada populasi yang ada di Ujung Kulon. Ujung Kulon merupakan kawasan lindung

yang ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1990 dan diberi status sebagai

situs warisan dunia (World heritage site) oleh UNESCO di tahun 1992.

Taman Nasional Ujung Kulon memiliki luasan 120,000 hektar yang terdiri

dari kawasan darat dan laut, dan 30,000 hektar dari luasan ini merupakan

semenanjung yang dihuni oleh badak jawa. Habitat badak di semenanjung Ujung

Kulon ini sebagian besar merupakan dataran dengan tingkat kelerengan yang rendah

dan ditumbuhi berbagai jenis vegetasi mulai dari hutan bakau, hutan rawa pantai,

hutan pantai, hutan sekunder, dan hutan primer (Hommel 1987). Perbatasan antara

hutan sekunder dan hutan primer merupakan area yang sangat disukai oleh badak

karena area tersebut biasanya ditumbuhi oleh tumbuhan pakan badak.

Hommel (1987) juga menyebutkan bahwa tipologi tanah di semenanjung

Ujung Kulon ini terdiri dari jenis tanah litosol yang memiliki kemampuan untuk

menampung air dan menjadikan daerah ini banyak dipenuhi oleh genangan-genangan

air yang digunakan sebagai kubangan oleh banyak satwa, termasuk badak jawa.

Sebagai suatu kawasan lindung dengan status Taman Nasional, Ujung Kulon

merupakan tempat perlindungan satwa sekaligus tempat penelitian yang bersifat

ilmiah maupun edukasi. Kegiatan wisata yang bertanggung jawab (eko-wisata)

merupakan salah satu kegiatan yang diterapkan di Taman Nasional Ujung Kulon

untuk memberikan manfaat ekonomis maupun edukasi kepada masyarakat luas.

Untuk memastikan bahwa konservasi badak jawa dapat berjalan selaras dengan

penelitian dan wisata, maka pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon dibagi

menjadi tiga seksi konservasi dengan pembagian zonasi (zona inti, rimba,

11

pemanfaatan tradisional, dan zona khusus) dengan pengelolaan berbasis resort agar

dapat disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing seksi dan zona tersebut.

Informasi Umum tentang Badak Jawa

Badak jawa pertama kali dikaji secara ilmiah oleh Desmarest di tahun 1822

dan dikategorikan sebagai spesies Rhinoceros sondaicus (Corbett & Hill 1992) dan

merupakan merupakan salah satu spesies langka yang dikategorikan sebagai spesies

yang terancam punah. Menurut Lekagul & McNeely (1977) taksonomi badak Jawa

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Sub-filum : Vertebrata

Super kelas : Gnathostomata

Kelas : Mamalia

Super Ordo : Mesaxonia

Ordo : Perissodactyla

Super famili : Rhinocerotidae

Famili : Rhinocerotidae

Genus : Rhinoceros Linnaeus, 1758

Spesies : Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822

Hoogerwerf (1970) menyebutkan bahwa badak Jawa dewasa memiliki ukuran

tinggi (dari telapak hingga bahu): 169-175 cm dan panjang badan (dari moncong

hingga ujung ekor): 392 cm, dan berat tubuh pada kisaran 2.280 kg. Dibandingkan

dengan badak hitam afrika (Diceros bicornis), badak putih afrika (Ceratoterium

simum) dan badak india (Rhinoceros unicornis), badak jawa merupakan badak yang

tergolong berukuran kecil namun masih lebih besar bila dibandingkan dengan badak

sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Badak jawa memiliki tampilan sebagaimana

disajikan dalam Gambar 2 di bawah ini.

12

Gambar 2. Badak jawa jantan yang tertangkap oleh kamera otomatis (kamera jebak)

di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Foto: WWF Indonesia – Balai

Taman Nasional Ujung Kulon (2003).

Di masa lampau badak jawa menghadapi tekanan berupa perburuan dan

gangguan langsung dari masyarakat karena waktu itu mereka dianggap sebagai

“hama” yang mengganggu lahan perkebunan masyarakat. Hal ini terjadi karena

badak jawa memiliki preferensi makanan yang merupakan tumbuhan semak dan

perdu yang banyak ditemukan di lahan pertanian masyarakat. Badak jawa yang

dahulu tersebar di pulau Jawa, Sumatera, bahkan sampai ke Indocina populasinya

makin terdesak dan badak jawa terakhir di pulau Sumatera ditembak mati di

Palembang sekitar tahun 1920an dan badak jawa terakhir di luar Ujung Kulon

ditembak di daerah Garut pada tahun 1930an. Sejak itu, badak jawa hanya terdapat di

Taman Nasional Ujung Kulon, Banten dan di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam.

Namun, populasi badak jawa di Vietnam telah dinyatakan punah pada pertengahan

tahun 2010 sehingga nasib keberlangsungan spesies ini hanya ada pada populasi di

Indonesia. Walaupun perburuan sudah tidak ada lagi, saat ini populasi badak Jawa

masih menghadapi tantangan yang dapat membahayakan kehidupan mereka.

Sebagaimana dihadapi oleh berbagai spesies badak di seluruh dunia, badak

Jawa juga menghadapi risiko infeksi penyakit dan/atau gangguan kesehatan baik yang

diakibatkan oleh agen infeksius maupun non-infeksius. Fisiologi dan kesehatan pada

spesies badak ini adalah aspek yang belum banyak dipelajari sampai saat ini.

Walaupun telah ada beberapa individu badak yang pernah dipindahkan dari alam dan

ditempatkan di kebun binatang sekitar tahun 1800an (Newton 1874; Rookmaaker

1982; Rookmaaker 2005, Reynolds 1961), belum pernah ada catatan mengenai

13

kerentanan satwa ini terhadap cekaman dan risiko kematian akibat tekanan dan/atau

proses pemindahannya dari habitat alami. Ilmu biomedis hewan diharapkan dapat

digunakan sebagai acuan untuk mempelajari aspek fisiologis, kesehatan, dan juga

kemungkinan perlakuan untuk mencegah gangguan kesehatan pada spesies langka ini.

Penelitian dititik beratkan pada kajian tingkat stres, toksisitas, dan analisis risiko

akibat asupan nutrisi dan konsumsi jenis pakan alami tertentu bagi badak jawa yang

tersedia di habitatnya. Sebagai hewan yang hidup liar, badak jawa sangat bergantung

pada ketersediaan pakan di habitatnya, oleh karena itu, disamping perburuan, faktor

lingkungan seperti perubahan iklim dan ketersediaan pakan merupakan penyebab

kepunahan satwa ini dari berbagai habitat historisnya seperti di Borneo (Cranbrook &

Piper 2007), Kamboja (Poole & Duckworth 2005), Malaysia (Kloss 1927), dan juga

di Pulau Jawa (Scheltema 1912; Walcott 1914).

Sejak tahun 60an pemantauan badak sudah banyak dilakukan oleh beberapa

pihak dengan menggunakan metode yang sederhana seperti penghitungan jejak,

penggunaan kamera dan video otomatis, sampai metode yang lebih rumit yaitu telaah

genetika, jenis, dan komposisi pakan dari feses. Identifikasi individu badak dengan

kamera otomatis juga memungkinkan penghitungan estimasi jumlah individu dengan

metode mark-recapture, analisis komposisi populasi, nisbah kelamin, dan juga

perhitungan untuk menduga pertumbuhan populasi dengan adanya kelahiran individu-

individu baru (Hariyadi et al. 2008). Secara holistik, interaksi badak dengan

komponen lainnya dalam ekosistem juga telah dipelajari. Berdasarkan salah satu

kajian yang pernah dilakukan diperoleh data bahwa ada persaingan ruang antara

banteng (Bos javanicus) dan badak yang mengakibatkan keterbatasan akses badak ke

daerah-daerah tertentu (YMR 2002). Kajian palatabilitas tumbuhan pakan yang

dilakukan oleh berbagai peneliti yang menginventarisir sekitar 94 jenis tumbuhan

yang menjadi konsumsi harian badak jawa, namun kajian lain menunjukkan bahwa

pertumbuhan dan dominasi sejenis palma (Arenga obtusifolia) mengancam

ketersediaan jenis-jenis tumbuhan pakan yang dibutuhkan oleh badak tersebut (Putro

1997; YMR 2004). Jika antara hasil pengamatan dan penelitian terdahulu

dibandingkan dengan keberhasilan badak jawa untuk bertahan hidup sampai saat ini,

badak jawa dikenal sebagai satwa yang tangguh dan dapat mempertahankan

kelangsungan hidupnya dalam jumlah populasi yang sangat sedikit. Diet utama yang

terdiri dari berbagai jenis tumbuhan semak memberi nutrisi yang memadai untuk

bertahan dari berbagai tekanan, termasuk juga tekanan dari penyakit. Berdasarkan

14

penggalian informasi dari masyarakat di sekitar zona penyangga Taman Nasional

Ujung Kulon, berbagai jenis tumbuhan pakan badak telah dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai sumber obat tradisional yang memiliki khasiat sebagai anti

inflamasi, antipiretika, antiseptik, dan juga sebagai obat untuk memperlancar proses

persalinan.

Jenis-jenis Cekaman

Berdasarkan rentang waktu pemaparannya, cekaman dapat dikategorikan ke

dalam dua jenis yaitu: cekaman akut yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat

dalam hitungan detik sampai sekitar 60 menit (Figueiredo et al. 2003) dan cekaman

kronis yang berulang setiap hari selama 5 hari (Melia & Duman 1991) sampai waktu

yang lebih lama (mingguan, bulanan, tahunan) seperti yang dialami oleh badak di

kebun binatang yang mengalami cekaman kronis akibat pengandangan dan kunjungan

wisatawan (Carlstead & Brown 2005). Kedua jenis cekaman ini memberikan respons

berupa peningkatan aktifitas adrenal korteks yang ditunjukkan dengan adanya

peningkatak sekeresi hormon glukokortikoid (Barja et al. 2007) pada berbagai hewan

termasuk badak (Turner Jr et al. 2002; Menargues et al. 2008). Selain kadar hormon

glukokortikoid, cekaman akut dan kronis menimbulkan reaksi yang berbeda pada

metabolisme dan sistem pertahanan tubuh hewan. Selain profil hormon dari kelas

glukokortikoid, Davis et al. (2008) menyatakan bahwa profil hematologi khususnya

netrofil dan limfosit merupakan indikator akan adanya cekaman pada hewan-hewan

vertebrata.

Cekaman Akut

Cekaman akut menimbulkan respons yang spesifik berupa aktifitas pada aksis

HPA (Hipotalamus-pituitari-adrenal korteks) yang berujung pada sekresi hormon

glukokortikoid (Figuireido et al. 2003). Cekaman akut juga memicu sistem kekebalan

tubuh untuk bekerja lebih baik dengan cara mendistribusikan lekosit dari darah ke

kulit seperti yang ditunjukkan Dhabhar (2000). Mekanisme ini merupakan kerja

hormon cekaman serupa dengan mekanisme bertahan atau lari (fight or flight) yang

terjadi saat terjadi cekaman akut dan berpotensi untuk meningkatkan daya tahan tubuh

terhadap penyakit, terutama yang masuk melalui jaringan perifer seperti kulit. Selain

distribusi lekosit, reaksi sistem pertahanan tubuh terhadap cekaman akut juga

termasuk distribusi sel Natural Killer (NK) yang senyawa kimianya berfungsi sebagai

15

pembunuh bagi agen-agen asing yang masuk ke dalam tubuh. Sel-sel NK ini

berkurang di dalam darah dan paru-paru, namun jumlahnya tidak berkurang di limpa

(Kanemi et al. 2005).

Cekaman Kronis

Dhabhar (2000) menunjukkan bahwa cekaman kronis memberikan respons

berupa pengurangan distribusi lekosit dari kulit kembali ke dalam darah, hal ini

merupakan kebalikan dari respons yang ditunjukkan oleh adanya cekaman akut.

Figuireido et al. (2003) menunjukkan bahwa cekaman kronis juga menghasilkan

respons berupa sensitisasi aksis HPA terhadap sumber cekaman (biasanya terjadi pada

cekaman yang sama dan berulang). Sensitisasi seperti ini merupakan contoh bahwa

cekaman kronis dapat memicu dan mempertahankan perubahan pada beberapa proses

biokimia yang berujung pada implikasi klinis (Melia & Duman 1991). Perubahan

parameter fungsi-fungsi hormonal, sistem pertahanan tubuh, metabolisme, dan sistem

kardio vaskular akibat adanya cekaman kronis dapat dirumuskan menjadi sebuah

indeks yang dikenal dengan indeks beban allostatic yang dapat menunjukkan

kemungkinan cekaman kronis tersebut mendorong terjadinya penyakit (Juster et al.

2009).

Penyakit-penyakit pada Badak

Selain suspect antraks pada kasus kematian badak jawa di tahun 1980an,

informasi mengenai agen infeksius yang mengancam kehidupan badak jawa belum

dapat diketahui dengan pasti. Salah satu telaah yang pernah dilakukan pada badak

jawa adalah telaah endoparasit yang menemukan berbagai parasit cacing

(Strongyloides spp, Bunostomum spp, Trichostrongylus spp, Fasciola spp,

Schistosoma spp) dan protozoa (Balantidium spp, Entamoeba spp, Cryptosporidium

spp, Cycloposthium spp) dalam feses badak (Tiuria et al. 2006). Sebagai

pembanding, beberapa penyakit yang mungkin menyerang badak di populasi

alaminya terdiri dari: penyakit darah (parasit protozoa Theileria sp dan Trypanosoma

sp), penyakit infeksius (bakteri, fungi, virus), penyakit parasitik (helminth), penyakit

reproduksi (brucellosis, vibriosis), luka, leptospirosis (Jessup et al. 1992), infeksi

Cowdria sp (Kock et al. 1992), dan defisiensi nutrisi dalam kasus

translokasi/pemindahan badak (Clausen 1981; Jonyo 2003).

16

Penyakit yang ditemukan pada badak dalam penangkaran/kebun binatang

lebih beragam dibandingkan dengan penyakit pada populasi alami dan ini

mengakibatkan kerugian material bagi pengelola kebun binatang serta kerugian

ekologis berupa berkurangnya jumlah badak akibat kematian. Hal ini disebabkan oleh

stress dan kondisi habitat buatan manusia yang berbeda dengan habitat alami badak.

Penyakit yang umum ditemukan pada badak dalam penangkaran/kebun binatang

antara lain: lingual abscess (Hatt et al. 2004), retak pada kuku, laminitis, chronic foot

disease (Jacobsen 2005), lesio pada mata, katarak (Sanborn 1908), aneurism pada

arteri koroner (Kock et al. 1991), hemolitik anemia (Jessup et al. 1992),

degenerasi/nekrosa dengan fibrosis pada purkinje myokardial (Kock 1996), ulcer pada

kornea (Gandolf et al. 1999), dermatitis eksudatif (Völlm et al. 2000), dan leukimia

limfoblastik akut (Paglia & Radcliffe 2000). Dari beberapa catatan yang ada, dapat

dilihat bahwa penyakit pada badak yang hidup liar berbeda dengan penyakit pada

badak di kebun binatang. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan pada agen

penyebab penyakit, lingkungan, dan juga kondisi fisiologis badak itu sendiri.

Dalam tiga dasawarsa terakhir, banyak muncul jenis-jenis penyakit baru yang

menginfeksi manusia maupun hewan termasuk satwa liar. Beberapa contoh dari

patogen baru yang muncul adalah: Virus Hendra, Virus Nipah, dan Virus West Nile

(Daszak et al. 2004). Bidang medis konservasi ini menjadi bagian penting dalam

proses antisipasi penyakit yang dapat muncul dan menginfeksi populasi satwa liar.

Infeksi penyakit pada satwa liar akan menambah rumit upaya konservasi beberapa

spesies, karena infeksi penyakit ini dapat menyebabkan kematian dan bahkan dapat

meningkatkan risiko kepunahan pada spesies-spesies tertentu. Berdasarkan informasi

yang disampaikan oleh Deem et al. (2001), Wildlife Conservation Society (WCS)

telah mengidentifikasi pentingnya bidang medis konservasi ini dan telah mempelopori

prosedur pemantauan kesehatan pada beberapa spesies satwa liar seperti: Llama

guanaco (Lama guanicoe) dan orangutan (Pongo pygmaeus).

Pengaruh Perubahan Iklim

Iklim pada skala mikro memberikan pengaruh pada fisiologi hewan seperti

dipelajari oleh Suprayogi et al. (2006) yang menunjukkan bahwa pola respirasi pada

kambing sangat dipengaruhi oleh tingkat kelembaban udara. Pada skala global,

perubahan iklim akan menyebabkan perubahan pada dinamika vegetasi akibat

17

meningkatnya kadar CO2 di atmosfir dan juga berubahnya keseimbangan air di dalam

tanah (Huxman & Scott 2007). Korelasi antara perubahan iklim dan dinamika

vegetasi ditunjukkan pula pada studi yang dilakukan oleh Williams et al. (2002) yang

mempelajari perubahan vegetasi dan kondisi atmosferik pada zaman es. Perubahan

struktur vegetasi ini dapat menimbulkan berbagai konsekuensi bagi badak jawa, satwa

herbivora yang menggantungkan sumber pakan sepenuhnya dari vegetasi yang ada.

Perubahan iklim menuju kekeringan seperti ini dapat mengakibatkan perubahan pada

jenis-jenis tumbuhan dominan yang kemudian berpotensi pula untuk mengancam

keberadaan jenis tumbuhan yang dibutuhkan oleh badak. Apabila jenis tumbuhan

pakan badak berkurang akibat perubahan iklim seperti ini, maka defisit pakan akan

dialami oleh badak sebagai konsekuensinya. Salah satu contoh kepunahan

megaherbivora akibat perubahan iklim adalah kepunahan mammoth di Pulau Wrangle

Siberia akibat hilangnya padang rumput serta berbagai tumbuhan yang menjadi bahan

makanan mammoth di lokasi tersebut (Martin & Stuart, 1995).

Pemodelan yang dilakukan oleh Permadi (2008) menunjukkan bahwa

perubahan iklim berpotensi untuk merubah semenanjung Ujung Kulon menjadi

daerah yang lebih kering dengan ketersediaan air yang terbatas. Pemodelan ini

menunjukkan bahwa ada risiko kekeringan yang dapat melanda habitat badak di

semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon akibat perubahan iklim. Risiko

kekeringan merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat bahwa Cameron &

Perdue (2005) menunjukkan cekaman kronik yang terjadi pada hewan coba dapat

timbul akibat kekeringan atau kelangkaan air (water avoidance stress), dengan

demikian perlu dikaji lebih lanjut apakah ketersediaan air yang lebih sedikit pada

musim kemarau akan memberikan suatu tekanan pada badak jawa.

Tanah dan lumpur juga merupakan komponen penting di dalam ekosistem

habitat badak karena dari komponen ini badak kerap memperoleh mineral untuk

memenuhi kebutuhan metabolisme sehari-hari. Seperti halnya ingesti pakan dan air,

badak jawa memiliki kebiasaan untuk “memakan” lumpur (salt licking) sebelum

dan/atau setelah berkubang sebagaimana yang diamati pada beberapa sesi pemantauan

perilaku yang dilakukan di Taman Nasional Ujung Kulon (Data Taman Nasional

Ujung Kulon & WWF 2010). Kualitas mineral serta kontaminasi yang ada pada

tanah/lumpur juga berpotensi untuk memberikan dampak terhadap mekanisme peny

rapan nutrien pada badak jawa.

18

Mekanisme fisiologis terhadap cekaman berupa kekeringan

Ketersediaan air dan aktifitas berkubang pada badak jawa (Rhinoceros

sondaicus) merupakan beberapa syarat penting untuk keberlangsungan hidup badak

jawa di habitat alaminya di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon. Banyak

peneliti badak terdahulu (Schenkel, Hoogerwerf, Van Strien, Sajudin, dan Setiawan)

mencatat bahwa badak berkubang lebih dari satu kali dalam sehari dan ditambah

dengan aktifitas berendam di sungai maupun di laut (pesisir pantai).

Termoregulasi

Aktifitas berkubang ini erat kaitannya dengan upaya termoregulasi yang

dilakukan badak untuk menjaga keseimbangan (homeostasis) tubuh mereka.

Termoregulasi merupakan suatu proses yang terkait dengan perilaku hewan untuk

berusaha mempertahankan suhu tubuh yang optimal. Suhu yang terlalu tinggi akibat

proses metabolisme ataupun suhu tubuh yang terlalu rendah akan mengkibatkan

ketimpangan dalam berbagai proses fisiologi tubuh hewan (fungsi dan kinerja

berbagai protein) yang akhirnya mendorong kondisi yang tidak seimbang dalam

fisiologi hewan tersebut. Badak memiliki kulit berlipat dengan lapisan subkutan yang

mengandung banyak pembuluh darah. Lipatan kulit dan pembuluh darah tersebut

berfungsi dalam proses termoregulasi pada badak (Endo et al. 2009).

Kondisi kulit

Kelembaban kulit pada badak menjamin kecukupan kadar air yang diperlukan

untuk menjaga kulit agar dapat mempertahankan struktur dan berfungsi secara

optimal. Struktur kulit badak (badak afrika) disajikan pada Gambar 3, sementara

gambaran kulit yang tidak normal (mengalami lesio) disajikan pada Gambar 4.

Kekurangan kadar air pada kulit dapat menyebabkan terjadinya lesio berupa

retak/celah pada kulit akibat berkurangnya kelenturan kulit saat kelembaban tidak

mencukupi. Baron (2006) menjelaskan bahwa lesio ini memberikan stimulasi pada

reseptor syaraf pada permukaan kulit yang kemudian mengirimkan sinyal rasa nyeri

akibat terjadinya perubahan molekuler pada neuron yang mengakibatkan

meningkatnya sensitifitas neuron tersebut. Sensitifitas neuron ini kemudian

menghantarkan sinyal rasa nyeri ke bagian hipotalamus pada otak.

19

Gambar 3. Struktur kulit badak afrika dalam keadaan normal yang terdiri dari

lapisan keratin pada bagian terluar. Pada gambar ini terlihat lapisan

keratin mengelupas dan digantikan dengan lapisan yang baru. Sumber:

Munson et al. (1998).

20

Gambar 4. Histopatologi pada epidermis badak (badak afrika) yang menunjukkan

adanya degenerasi hidroskopik, dan pembentukan celah/retakan pada

kulit. Tidak ada inflamasi ditemukan pada lesio ini. Pewarnaan HE, bar

= 100 mikron. Sumber: Munson et al. (1998).

Kekurangan kadar air pada kulit mengakibatkan kondisi kulit kurang

fleksibel/elastis sebagai stimulus bagi sekumpulan sel-sel syaraf yang dikenal dengan

istilah neuron pada permukaan kulit yang berfungsi sebagai reseptor mekanis. Woolf

& Mannion (1999) menjelaskan bahwa stimulus seperti ini mengakibatkan buka tutup

kanal ion yang menyebabkan perubahan kadar ion Na++ dan Cl--pada lingkungan

ekstrasel dan intrasel karena adanya aliran ion masuk ataupun keluar. Lebih lanjut

Stuart et al. (1997) menjelasakan bahwa perbedaan ion seperti ini (depolarisasi)

mengakibatkan terjadinya perubahan resting potential (-70 mV) menjadi action

potential yang menjalar sepanjang neuron. Karena adanya insulasi myelin bagian

akson pada sel neuron, maka “lompatan” elektrik action potential ini terjadi pada

node of Ranvier yang tidak terlapisi oleh myelin. Node of Ranvier merupakan satu

bagian dari jaringan syaraf vertebrata berbentuk nodus (simpul) yang tidak terlindungi

oleh lapisan insulasi myelin sehingga memungkinkan bagi aliran ‘listrik’ ringan untuk

melompat dari satu nodus ke nodus berikutnya. Lompatan elektrik seperti ini

memungkinkan action potential untuk menjalar sepanjang serabut syaraf (axon)

menuju ujung neuron yang dikenal sebagai bagian pre synaptic. Bagian ini

21

mengandung rongga di dalam sel yang disebut vesikula berisi zat-zat kimia yang

dikenal dengan istilah neurotransmitter yang terbentuk dari senyawa asam amino

ataupun mono-amina. Sinapsis yang merupakan jembatan antar serabut syaraf dari sel

syaraf perifer seperti ini terdapat di bagian dorsal horn pada tulang belakang atau di

dalam sistem susunan syaraf pusat. Action potential yang mencapai bagian ini

kemudian memicu pergerakan vesikula ke arah membran sel, peleburan vesikula pada

membran yang mengakibatkan terlepasnya neurotransmitter ke celah synapse

(synaptic cleft) untuk mempengaruhi kerja neuron berikut (neuron post-synaptic).

Nyeri pada kulit akibat kekeringan berbeda dengan rasa nyeri akut yang

memberikan stimulus dalam intensitas tinggi (seperti tusukan dan panas) yang

ditanggapi oleh neuron A-delta, nyeri pada kulit akibat kekeringan terjadi pada neuron

tipe C dalam intensitas rendah yang mengakibatkan perasaan tidak nyaman pada

badak, namun tidak cukup kuat untuk memicu refleks otot. Proses komunikasi antar

neuron pada synapse tidak menimbulkan reaksi adrenergik yang mengakibatkan

kontraksi otot, tapi menghantarkan signal nyeri dari saraf perifer ke susunan syaraf

pusat dengan bantuan neurotransmitter (Woolf & Mannion 1999). Neurotransmitter

asetilkolin pada neuron post-synapse melekat pada reseptor asetilkolin yang ada pada

membran sel. Melekatnya asetilkolin menyebabkan terbukanya kanal ion Na++ yang

mengakibatkan depolarisasi pada neuron pada susunan syaraf pusat yang

mengakibatkan terjadinya action potential yang menjalar pada susunan syaraf pusat

menuju sistem korteks pada otak (untuk persepsi) dan berlanjut ke sistem limbik

(untuk respons).

Pada sistem korteks, impulse dari syaraf pusat yang menghantarkan sinyal

nyeri dari syaraf perifer bekerja pada bagian sebelum sambungan (pre-synapse)

dengan mengeluarkan neurotransmitter (serotonin) yang berfungsi untuk merekam

(proses memori) rasa ketidaknyamanan akibat kekeringan yang terjadi pada bagian

kulit. Dalam kondisi seperti ini, bila badak menemukan kubangan dan/atau sumber

air untuk melembabkan kulitnya maka stimulus pada reseptor mekanis pada kulit akan

berkurang. Sel reseptor akan kembali ke resting potential dan berhenti mengirimkan

sinyal nyeri/ketidaknyamanan ke otak. Di otak, serotonin akan mempelajari asosiasi

antara kegiatan berkubang atau berendam dengan hilangnya rasa ketidaknyamanan.

Hal ini kemudian membentuk pola perilaku terkait dengan pengurangan rasa nyeri

dan ketidaknyamanan pada kulit dengan berkubang dan berendam. Selain serotonin,

dalam proses interaksi yang rumit neurotransmitter dopamin bekerja dan

22

menimbulkan rasa nyaman sebagai bagian dari “imbalan” kegiatan berkubang dan

berendam. Perilaku berkubang merupakan suatu dampak reflektif dari adanya nyeri

(Bennet 1999) dan merupakan suatu tindakan mempertahankan diri (self preservation)

yang difasilitasi oleh neurotransmitter dopamin dan serotonin pada otak.

Dinamika yang terjadi pada ekosistem habitat badak tidak selalu

memungkinkan badak untuk dapat segera menghilangkan rasa ketidaknyamanan

akibat kekeringan pada kulit. Selama musim kemarau curah hujan jauh berkurang

dan menyebabkan berkurangnya sumber air untuk berkubang dan berendam. Dengan

berkurangnya sumber air seperti ini, kemungkinan besar badak harus bertahan lebih

lama dengan kondisi tidak nyaman akibat kekeringan pada kulit untuk waktu yang

relatif lebih lama dibanding pada musim hujan. Rasa tidak nyaman ditambah dengan

intensitas kerusakan pada kulit yang makin tinggi menyebabkan impuls nyeri juga

makin meningkat intensitasnya disertai meningkatnya durasi dari stimulasi yang

terjadi pada reseptor nyeri pada kulit. Kondisi seperti ini menyebabkan otak untuk

bekerja menanggapi kondisi yang terjadi dengan aktifasi sistem noradrenergik pada

otak yang memicu sekresi hormon norepinefrin (Morilak et al. 2005).

Berbeda dengan penghantaran rasa nyeri dari reseptor pada kulit melalui

syaraf perifer dan syaraf pusat menuju ke otak yang terjadi dalam waktu yang cepat

(hitungan detik), maka dalam menanggapi intensitas serta durasi ketidaknyamanan

kekeringan pada kulit stimulasi yang terjadi melewati suatu ambang batas yang

kemudian memicu sel-sel neuron pada otak untuk mengeluarkan suatu respons yang

berjalan lambat (dalam hitungan jam atau hari) melalui perantara peptida berupa

hormon. Dalam kondisi seperti ini sel-sel otak terpicu untuk memproduksi hormon

ACTH (Adrenocortocotrophic Hormone). Serotonin yang dikeluarkan oleh neuron

pada sistem korteks menginduksi sekresi ACTH dengan melekat pada reseptor

serotonergik pada membran sel (Bruni et al. 1982) serta mendorong aktifasi caraka

Inositol triosfosfat (IP3) yang dihasilkan dari hidrolisis fosfatidil inositol pada

membran sel. Aktifasi caraka IP3 mengakibatkan mobilisasi ion Ca++ dari retikulum

endoplasmik serta badan golgi sebagai depo ion Ca di dalam sel yang bila digabung

dengan kalmodulin akan mengaktifasi berbagai protein kinase yang akhirnya

mengaktifasi berbagai fungsi enzim dan protein dengan fosforilasi (Berridge 1984).

Kalmodulin dan ion Ca++ mendorong aktifasi kalcineurin, sebuah protein fosfatase

yang bergantung pada kalmodulin dan ion Ca++ dan mengatur aktifitas kanal ion,

neurotransmitter dan juga transkripsi hormon ACTH (Yakel et al. 1997). Sekresi

23

ACTH didorong juga dengan adanya hormon Corticotropin Releasing Factor (CRF)

yang melekat pada reseptor pada membran sel neuron pada bagian otak yang

memproduksi ACTH.

ACTH yang beredar di dalam darah mencapai target organnya yaitu kelenjar

adrenal yang berada di daerah ginjal. Sebagai kelenjar endokrin, adrenal memiliki

sel-sel yang bertugas untuk mentranskripsi hormon berupa protein adrenalin

(epinephrin) dan juga glukokortokoid kortisol yang terkait erat dengan kondisi

cekaman (stres). ACTH melekat pada reseptor pada membran sel adrenal dan

berfungsi sebagai agonis yang memicu hidrolisis fosfatidil inositol menjadi IP3 (Jolles

et al. 1980). IP3 kemudian memicu serangkaian reaksi yang terdiri dari: mobilisasi

ion Ca++ (dari retikulum endoplasmik dan golgi) yang selanjutnya bersama

calmodulin mengaktifasi protein calcineurin dengan fosforilasi yang berujung pada

transkripsi, translasi dan sekresi hormon-hormon cekaman dari sel-sel kelenjar

adrenal. Kortisol yang muncul akibat adanya cekaman, dan hormon tiroksin yang

senatiasa dibutuhkan dalam kehidupan sel bekerja secara sinergis dalam memberikan

keluaran berupa peningkatan metabolisme lipid (trigliserida) di hati untuk kemudian

digunakan dalam proses glukoneogenesis yang terfasilitasi oleh meningkatnya

aktifitas (ekspresi) berbagai enzim. Lipid yang terakumulasi kemudian mengalami

lipolisis dan terurai menjadi asam lemak sebagai bahan baku dalam proses

glukoneogenesis.

Pada hierarki terkecil keseimbangan dalam sistem tubuh badak jawa berjalan

pada tingkat seluler dengan terjaganya metabolisme sel untuk mempertahankan

berbagai fungsi sel sebagai bagian dari jaringan, sistem, dan tingkat individu. Kondisi

“lapar sel” merupakan kondisi dimana kebutuhan metabolisme sel tidak dapat

terpenuhi dalam periode waktu yang cukup lama dan melampaui kemampuan sel

untuk bertahan. Energi yang digunakan oleh sel untuk menjalankan fungsi normal

berasal dari ATP yang disintesis dengan bantuan senyawa berenergi tingi NADH hasil

reaksi kimia dalam siklus Kreb yang terjadi di mitokondria. Siklus Kreb memerlukan

asupan substrat berupa gula yang berasal dari karbohidrat, protein, maupun lemak

yang memasok reaksi-reaksi tertentu dalam siklus tersebut untuk memastikan siklus

berjalan dan menghasilkan NADH dan air sebagai produknya. Kondisi “lapar” pada

sel didefinisikan sebagai defisit berbagai senyawa yang dibutuhkan dalam

metabolisme sel (glukosa) dan juga defisit dari berbagai growth factor, caraka yang

24

diperlukan dalam proses signalling untuk mendorong berbagai fungsi dan respons

selular.

Penelitian yang dilakukan Soto-Gamboa et al. (2009) menunjukkan adanya

korelasi antara kadar ACTH dan kadar hormon kortisol di dalam darah. Selain itu,

penelitian yang sama juga menunjukkan adanya korelasi antara kadar hormon kortisol

dalam darah dengan kadar hormon kortisol beserta metabolitnya dalam feses. Wasser

et al. (2000) menunjukkan bahwa metabolit hormon kortisol yang dapat ditemukan

pada feses terdiri dari: kortisol, kortikosteron, 11-deoksikortisol, deoksikortikosteron,

kortison, prednisolon, progesteron, dan prednison. Penelitian yang sama

menunjukkan bahwa kortikosteron merupakan metabolit yang lazim dijumpai pada

berbagai jenis spesies.

Defisit Glukosa

Monosakarida glukosa merupakan nutrien penting dalam metabolisme karena

glukosa merupakan gula sederhana hasil dari pemecahan karbohidrat dalam

metabolisme hewan dan merupakan sumber utama produksi NADH yang digunakan

dalam sintesa ATP, kebutuhan energi di dalam sel. Penyerapan karbohidrat di dalam

usus halus terjadi berkat bantuan protein khusus SGLT1 yang berfungsi sebagai co-

transporter yang memerlukan ion Na+ dan glukosa untuk dapat menjadi pintu gerbang

terserapnya karbohidrat di dalam usus yang berada pada dinding usus (Dyer et al.

2002). Lebih lanjut Mace et al. (2007) menjelaskan bahwa glukosa masuk ke dalam

sel dari lingkungan ekstraseluler melalui protein transport khusus GLUT2 pada

membran sel yang berfungsi sebagai kanal masuknya molekul glukosa ke dalam sel

dengan bantuan Na. Tanpa adanya protein kanal ini, molekul glukosa yang tidak larut

dalam lemak akan mengalami kesulitan untuk menembus membran sel dan masuk ke

dalam lingkungan intrasel. Protein transpor ini bekerja secara sinergis dengan resptor

insulin yang juga berada pada membran sel untuk membantu penyerapan molekul

glukosa ke dalam sel. Hormon insulin sebagai caraka yang disekresikan oleh sel

insula (sel β pada pankreas) berfungsi sebagai pemicu terbukanya GLUT2 untuk

memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel.

Pada sel paru glukosa merupakan substrat yang dapat mencegah kematian sel

dengan meningkatkan produksi ATP (Allen & White 1998). Sel yang mengalami

defisit glukosa ditandai dengan meningkatnya aktifitas dan produksi enzim Laktat

Dehidrogenase (LDH) di dalam sitosol seperti yang dinyatakan oleh Allen & White

25

(1998). Peningkatan aktifitas dan produksi enzim ini merupakan mekanisme internal

sel untuk meningkatkan laju konversi piruvat menjadi laktat (atau sebaliknya) dan

memastikan proses kimia dalam siklus Kreb dapat terus berjalan untuk memenuhi

kebutuhan sel. Namun demikian, tanpa adanya glukosa, sel harus menggunakan

substrat lain yaitu lemak yang dirubah menjadi asam lemak dan Asetil-CoA, serta

protein yang diurai menjadi asam amino yang dapat digunakan di dalam siklus Kreb.

Defisit glukosa mengakibatkan meningkatnya AMP di dalam sel yang

kemudian mendorong fosforilasi beberapa enzim dan mengaktifasi sejenis AMP

kinase. AMP Kinase ini kemudian mendorong terjadinya pemisahan antar sel (sel

detachments) yang ditandai dengan adanya protein G-aktin. Aktifitas AMP Kinase ini

menghambat fosforilasi Focal Adhesion Kinase (FAK) yang berperan dalam

perlekatan antar sel dan juga menghambat fosforilasi Protein Kinase C (Suzuki et al.

2003).

Kondisi lapar sel (defisit glukosa di dalam sel) mengakibatkan menurunnya

rasio ATP:AMP di dalam sel yang kemudian mendorong mekanisme metabolisme

tubuh dan memobilisasi sel-sel lemak untuk digunakan sebagai sumber energi

alternatif. Mobilisasi dan penguraian lemak mengakibatkan kadar asam lemak bebas

menjadi tinggi di dalam darah dan ekstrasel, dan asam lemak ini kemudian berfungsi

sebagai caraka yang mengaktifasi reseptor α dengan bantuan peroxisome proliferator.

Aktifasi reseptor ini kemudian mendorong ekspresi isoform dari piruvat

dehidrogenase kinase (PDK4) yang kemudian menghambat aktifitas enzim kompleks

piruvat dehidrogenase yang berakibat pada penumpukan asam laktat dan alanin

sebagai bahan baku glukoneogenesis (Wu et al. 2001). Mekanisme lainnya terjadi

dengan perlekatan antagonis Basilen Blue yang melekat pada reseptor P2 yang

berperan sebagai reseptor bagi messenger yang memicu ekspresi dan keluarnya

sitokrom c dari mitokondria dalam kondisi “lapar” glukosa. Sitokrom c ini

mendorong peningkatan ekspresi Heat Shock Protein (HSP), enzim kaspase-2, GRP-

75 dan GRP-78 yang diatur oleh kadar glukosa. Dengan melekatnya antagonis pada

reseptor P2, maka sitokrom c tidak keluar dari mitokondria dan peningkatan ekspresi

protein dan enzim lainnya tidak terjadi (Cavaliere et al. 2001).

Dalam kondisi lapar (defisit glukosa), sel dapat berhenti untuk berkembang

(replikasi) dan bahkan dapat terdorong untuk mengalami apoptosis/kematian sel.

Rasio ATP:AMP serta kadar glukosa yang rendah di dalam sel menyebabkan aktifasi

reseptor “kematian sel” yang selanjutnya mengaktifasi enzim kaspase 8 dan

26

pengiriman signal untuk mematikan sel. Aktifasi reseptor “kematian sel” dihambat

oleh aktifasi suatu kelas protein kinase ARK5 yang ekspresinya didorong oleh aktifasi

protein Akt. Growth factors dan Fosfatidil inositol 3 kinase merupakan caraka yang

diterima oleh protein Akt tersebut dan merupakan bagian dari mekanisme pertahanan

hidup sel (Suzuki et al. 2003).

Lapar Serum

Selain glukosa, sel juga membutuhkan berbagai pembawa pesan (caraka)

untuk memastikan keberlangsungan hidup dan fungsi sel secara normal. Caraka ini

terdiri dari berbagai senyawa seperti epidermal growth factor (EGF) maupun faktor-

faktor pertumbuhan lainnya. Secara in vitro, kondisi lapar serum dapat diciptakan

dengan menggunakan media pertumbuhan yang mengandung Fetal Calf Serum (FCS)

atau Fetal Bovine Serum (FBS) sebagai nutrisi sel yang kandungannya dapat

dikurangi untuk menciptakan kondisi lapar tersebut. Kondisi lapar serum pada sel

dapat menimbulkan hambatan pada pertumbuhan bahkan kematian sel melalui

berbagai mekanisme. Yamada et al. (1996) menunjukkan bahwa pengurangan nutrisi

pada media pertumbuhan sel (medium Eagle termodifikasi) mengakibatkan aktifasi

suatu reseptor yang dikenal sebagai AT2 (Angiotensin receptor) pada membran sel

yang kemudian mendorong ekspresi dari protein angiotensin II yang mendorong

defosforilasi pada kinase MAP (Mitogen-activated). Dengan defosforilasi seperti ini,

enzim MAP kinase menjadi inaktif dan sel tidak dapat melakukan pembelahan

(replikasi), dan dengan demikian kondisi lapar serum ini mengakibatkan hambatan

pada pertumbuhan yang dapat berakhir dengan terjadinya apoptosis sel tersebut.

Salah satu penyebab terjadinya hambatan pertumbuhan sel akibat lapar serum

adalah tidak adanya faktor-faktor pertumbuhan (EGF dan Insulin-like Growth Factor)

yang merupakan caraka yang diterima oleh reseptor EGF pada membran sel.

Melekatnya EGF pada membran sel memicu serangkaian reaksi yang merupakan

fosforilasi (aktifasi) berbagai enzim tertentu termasuk MAP kinase yang mendorong

faktor transkripsi dan aktifasi protein adaptor Nck yang menghubungkan reseptor

Tirosin kinase dengan Pak-1 yaitu suatu kinase serin-threonin yang berperan dalam

pembentukan aktin dari sitoskeleton (Galisteo et al. 1996). Tanpa adanya faktor

pertumbuhan (EGF) yang melekat pada reseptor yang ada di membran sel, maka

proses pertumbuhan sel tidak dapat berjalan. Peranan reseptor tirosin kinase terlihat

juga dari hasil penelitian Zeng et al. (2001) pada sel endothel HUVEC (Human

27

Umbilical Vein Endothel) yang berinteraksi dengan vascular endothelial growth

factor (VEGF). VEGF sebagai caraka melekat dan mengaktifasi dua jenis reseptor

tirosin kinase pada membran sel yaitu: Flt-1 dan KDR yang memiliki mekanisme

respons yang berbeda. Aktifasi reseptor KDR mendorong proliferasi sel, sementara

aktifasi Flt-1 mendorong respons Fosfatidil Inositol yang bersifat sebagai inhibitor

terhadap proliferasi yang dipicu oleh aktifasi reseptor KDR. Aktifasi KDR sendiri

berujung pada mekanisme mobilisasi Ca+ intrasel, syarat bagi berbagai fungsi sel

seperti pertumbuhan, transkripsi, dan juga kehidupan sel secara umum. Tidak adanya

growth factor yang melekat pada reseptor dalam kondisi lapar serum mengakibatkan

tidak adanya signal yang mendorong proliferasi sel dan/atau ekspresi protein-protein

tertentu yang esensial dalam menjalankan fungsi sel yang dapat berujung pada

kematian sel (Vaux & Korsmeyer 1999).

Ketiadaan caraka seperti growth factor pada kondisi lapar serum tidak hanya

mematikan beberapa proses seluler namun juga mengaktifasi ekspresi beberapa gen

seperti gen sdr (starvation deprivation response) yang ekspresinya meningkat dalam

kondisi lapar serum, namun menurun dengan adanya Epidermal growth factor-EGF

(Gustincich & Schneider 1993) dan protein SRBC yang memiliki 43% kesamaan

dengan sdr (Izumi et al. 1997). Protein SRBC dapat berikatan dengan protein kinase

C dan memodifikasi (menghambat) fungsi PKC dalam perkembangan sel. Kondisi

lapar serum juga dapat menstimulasi ekspresi ADP ribose sintetase yang

menyebabkan tingginya kadar ADP-ribosa di dalam sel yang berujung pada

fragmentasi DNA (Wielckens et al. 1983).

Ambang Batas dan Proses Perbaikan dalam Kondisi Lapar Sel

Lapar sel mengakibatkan kondisi sel yang dapat berakibat pada kematian sel

berupa apoptosis ataupun nekrosa yang didorong oleh berbagai caraka seperti Fas

Ligand, Tumor Necrosing Factor (TnF) dan lain-lain yang memicu rangkaian reaksi

yang berujung pada kematian sel. Namun demikian, sel memiliki mekanisme

pertahanan hidup yang memungkinkan sel untuk menghambat reaksi berantai tadi dan

mencegah kematian sel. Mekanisme pertahanan hidup sel ini dijelaskan oleh Suzuki

et al. (2003) dan disajikan dalam Gambar 5. Berdasarkan diagram ini, maka ambang

batas terjadinya kematian sel sangat ditentukan oleh kemampuan aktifitas enzim

caspase-3 untuk memulai proses kematian sel. Aktifitas enzim ini juga dipengaruhi

oleh aktifitas protein ARK5 yang menunjukkan bahwa peranan konsentrasi caraka

28

kematian sel dan juga caraka growth factor pemicu aktifitas ARK5 merupakan faktor

penentu ambang batas kemampuan sel untuk bertahan hidup (mencegah kematian

sel). Pemisahan sel (cell detachments) dan kematian sel didorong oleh melekatnya

caraka kematian sel berupa TNF dan Fas Ligand. Ekspresi protein caspase yang

merupakan komponen penting pemicu kematian sel dapat dihambat oleh aktifitas

protein ARK5 yang diaktifasi melalui serangkaian reaksi yang diawali dengan

melekatnya caraka berupa growh factor dan enzim kinase Fosfatidil Inositol 3 (PI3).

Proses perbaikan sangat bergantung pada proses masuknya gula yang

dibutuhkan oleh metabolisme sel ke dalam lingkungan intrasel. Proses ini dapat

terjadi berkat adanya aktifitas protein GLUT2 dan SGLT 1 yang berperan dalam

transport glukosa dengan bantuan ion Na+, serta protein GLUT5 yang berperan dalam

transport fruktosa ke dalam sel (Harmon & Macleod 2001). Setelah molekul

monosakarida masuk ke dalam lingkungan intrasel, maka aktifitas enzim heksokinase

diperlukan untuk mengubah glukosa menjadi glukosa-6-fosfat melalui proses

fosforilasi. Pada hewan herbivora monosakarida yang didapat dari penguraian

polisakarida dari tumbuhan adalah fruktosa, oleh karena itu peranan protein transport

GLUT5, GLUT2, dan berbagai enzim sangat diperlukan dalam proses transpor

fruktosa ke dalam lingkungan intrasel serta merubah dan mengurai molekul fruktosa

menjadi piruvat yang merupakan salah satu bahan baku yang diperlukan dalam siklus

Krebs. Selain interaksi ion-ion dan protein tertentu, dalam proses metabolisme

lainnya interaksi antar hormon merupakan kunci dari keseimbangan metabolisme

karena hormon-hormon tersebut berinteraksi dan berfungsi sebagai pembawa pesan

untuk memastikan proses perbaikan ataupun proses perkembangan sel dapat terus

berlangsung. Hal ini terjadi dalam proses respons terhadap cekaman di mana hormon

kortisol memainkan peran yang penting bagi hewan untuk bertahan dalam kondisi

tersebut.

29

Peranan dan Interaksi Hormon Kortisol dan Tiroksin sebagai Caraka

Komunikasi antar sel dalam konteks lapar sel, kebutuhan hidup, dan

kebutuhan sel untuk bertahan hidup difasilitasi oleh berbagai caraka berupa hormon

seperti tiroksin (hormon tiroid – T4) dan hormon yang berhubungan dengan kondisi

cekaman (adrenalin, kortisol). Hormon tiroid merupakan hormon yang berperan

dalam berbagai proses metabolisme terutama yang berhubungan dengan

pertumbuhan. Hormon tiroid larut di dalam lemak sehingga dapat dengan mudah

menembus membran sel dan masuk ke dalam nukleus untuk mendorong transkripsi

enzim-enzim yang bersifat oksidatif fosforilatif. Enzim-enzim ini merupakan

komponen penting dalam pembentukan ATP, modal utama kehidupan sel dan

menempatkan peranan hormon tiroksin sebagai suatu hormon yang esensial untuk

kehidupan sel.

Gambar 5. Rangkaian reaksi yang dipicu oleh kondisi lapar sel (menurunnya kadar gula

dalam sel) yang berujung pada pemisahan sel (cell detachments), dan kematian

sel. Sumber: Suzuki et al. (2003), Wu et al. (2001), dan Cavaliere et al.

(2001).

Sementara itu kortisol merupakan hormon yang sekresinya diatur oleh

corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipothalamus dan merupakan suatu

respons terhadap cekaman metabolik seperti dalam kondisi lapar sel. CRH

30

merupakan caraka yang melekat pada membran sel kelenjar adrenal memicu ekspresi

dan sekresi hormon kortisol. Kortisol kemudian memainkan peranan penting dalam

metabolisme lipid, suatu kondisi yang terpicu oleh kondisi lapar sel. Berbeda dengan

tiroksin, hormon kortisol bukan merupakan kompenen esensial dalam kehidupan sel,

melainkan bagian dari mekanisme yang diperlukan oleh sel untuk bertahan hidup

dalam kondisi cekaman metabolik seperti kelaparan, keberadaan zat hepatotoksin, dan

cekaman lainnya (Helen & Brindley 1978). Penelitian yang dilakukan oleh Garg &

Chander (1997) menunjukkan tingginya kadar hormon kortisol pada plasma darah

kerbau yang mengalami cekaman berupa torsio uteri. Tingginya kadar hormon

kortisol diiringi dengan rendahnya kadar hormon tiroksin yang disebabkan oleh

adanya efek inhibitori kortisol terhadap sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH).

Keberadaan kortisol ini dikaitkan juga dengan adanya kondisi lapar akibat torsio uteri

yang menyebabkan anoreksia pada hewan tersebut.

Dalam penelitian yang dilakukan pada hati tikus, Helen & Brindley (1978)

menunjukkan bahwa kortisol mengakibatkan peningkatan pada biomasa liver, dan

peningkatan trigliserida pada plasma darah. Peningkatan kadar trigliserida ini terjadi

akibat peranan hormon kortisol dalam meningkatkan proses lipolisis dan menurunkan

esterifikasi asam lemak. Dalam penelitian yang sama hormon tiroksin juga berperan

dalam peningkatan kadar trigliserida dalam darah dengan meningkatkan sintesa

trigliserida dari gliserol fosfat. Kortisol juga memiliki peranan langsung maupun

tidak langsung dalam meningkatkan aktifitas enzim fosfatida fosfohidrolase, enzim

yang berperan dalam sintesa dan akumulasi trigliserida pada hati.

Hormon kortisol –seperti yang ditunjukkan oleh Nessmith et al. (1983)-

memilki peranan dalam meningkatkan aktifitas enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase

yang berperan dalam produksi NADPH suatu senyawa berenergi tinggi yang biasanya

dihasilkan siklus Krebs. Kerja sinergi kortisol dan tiroksin menghasilkan keluaran

berupa peningkatan aktifitas enzim yang disertai dengan peningkatan lipid pada hati.

Bila bekerja sendirian tiroksin menghasilkan peningkatan lipid pada hati dan hanya

menunjukkan peningkatan kecil pada aktifitas enzim, sementara kortisol sendiri hanya

memberikan keluaran berupa peningkatan aktifitas enzim. Selain meningkatkan

metabolisme lipid dalam kondisi lapar sel, kortisol dan tiroksin juga berperan dalam

mendorong penguraian otot menjadi asam amino alanin, senyawa yang diperlukan

untuk mempertahankan proses dalam siklus krebs saat kadar monosakarida menjadi

31

rendah dalam kondisi lapar sel. Sebaliknya, kedua hormon ini memiliki fungsi dalam

meredam pelepasan asam amino glutamin dari sel otot tersebut (Karl et al. 1976).

Interaksi antara sistem endokrin dengan sistem tanggap kebal telah dipelajari

pada sistem endokrin hormon glukokortikoid (termasuk kortisol) yang memberikan

pengaruh pada sistem tanggap kebal dengan berfungsi sebagai caraka untuk memicu

perubahan pada fungsi sel-sel limfoid seperti sel T (Kelley 1988). Dalam keadaan

lain hormon glukokortikoid memiliki kemampuan untuk memicu apoptosis pada sel

leukimia yang berasal dari sel T dengan cara berperan dalam proses fragmentasi DNA

(Bansal et al. 1991).

Berbagai ancaman dan gangguan pada keseimbangan sel dapat terjadi akibat

dorongan berbagai aspek seperti toksisitas, nutrisi, dan juga faktor cekaman yang

kemudian memicu berbagai reaksi hormonal sebagai respon dan upaya sel untuk

bertahan hidup. Salah satu ancaman yang mengancam kehidupan herbivora seperti

badak adalah konsumsi antinutrisi yang bersifat toksin yang berasal dari tumbuhan

jenis Lantana camara. Tumbuhan ini adalah salah satu jenis tumbuhan pakan badak

yang mengandung toksin namun juga disukai oleh badak sebagai makanan sehari-hari

dengan palatabilitas yang cukup tinggi.

Lantana camara sebagai Sumber Bahan Toksin/Antinutrisi

Sebagai satwa liar yang sepenuhnya tergantung pada ketersediaan pakan di

alam, badak jawa memakan sekitar 27 famili tumbuhan pakan yang ada di kawasan

Taman Nasional Ujung Kulon (Hoogerwerf 1970). Dengan ketersediaan pakan yang

ada saat ini, dan ditunjang dengan pengamatan visual menggunakan kamera otomatis

pada kondisi fisik badak jawa yang dapat dilihat dalam kondisi normal (tidak kurus),

tidak ada indikasi bahwa satwa ini untuk mengalami malnutrisi. Namun demikian,

keracunan akibat konsumsi jenis pakan dan anti nutrisi tertentu merupakan salah satu

ancaman yang mungkin terjadi pada satwa liar seperti badak jawa. Pengamatan yang

dilakukan di lapangan selama lima tahun terakhir menunjukkan adanya jenis

tumbuhan yang dapat mendominasi tumbuhan pakan yang tersedia bagi badak jawa.

Jenis tumbuhan Lantana camara merupakan salah satu tumbuhan dengan kandungan

zat lantaden yang dikenal telah mengakibatkan keracunan pada berbagai hewan ternak

(Mandial 2006; Sharma 2006). Secara kualitatif berdasarkan frekuensi ragutan yang

ditemukan dalam sensus badak di Taman Nasional Ujung Kulon, tumbuhan ini

merupakan salah satu jenis tumbuhan yang banyak dimakan oleh badak (Sriyanto et

32

al. 1995). Tumbuhan Lantana camara memiliki ciri khas berupa bunga berwarna

cerah sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 6.

Gambar 6. Tumbuhan perdu Lantana camara di habitat badak di Taman Nasional

Ujung Kulon memiliki bunga berwarna cerah. Foto: Ahariyadi – WWF

Indonesia (2004)

Tumbuhan ini merupakan tumbuhan invasif yang memiliki daya tahan lebih

tinggi dibandingkan dengan berbagai jenis tumbuhan lainnya, dan berpotensi untuk

mengakibatkan ketidakseimbangan di dalam ekosistem (Sharma et al. 2005). Sharma

(2006) menyebutkan bahwa ekstraksi dan identifikasi Lantaden A (C32H44O5) dan

Lantaden B (C33H48O5) sebagai komponen hepatotoksin yang ditemukan dalam

tumbuhan Lantana camara telah dilakukan sejak tahun 1948. Lantaden diserap

melalui saluran pencernaan, namun penyerapan paling optimal terjadi di usus halus.

Keracunan lantaden terjadi dalam dua tahap yaitu tahap saluran pencernaan saat

toksin keluar setelah tumbuhan dicerna, dan toksin tersebut diserap masuk ke

peredaran darah, diikuti dengan tahap hepatik, toksin masuk ke hati dan disertai

timbulnya gejala-gejala klinis seperti anoreksia, jaundice, dan fotosensitifitas

(Mandial 2006). Keracunan lantaden disebabkan oleh konsumsi tumbuhan Lantana

camara tanpa memerlukan metabolisme perantara, dan mengakibatkan kerusakan

pada hati (Pass et al. 1979). Konsumsi daun Lantana kering sebanyak 4 g/kg berat

badan setiap hari pada ruminansia kecil (kambing) selama 6 hari berturut-turut

menyebabkan stasis pada rumen yang merupakan akibat dari menurunnya impuls

syaraf karena kerusakan pada hati (Pass et al. 1979). Selain lantaden, tumbuhan

33

Lantana cammara juga mengandung zat-zat antinutrisi dari golongan triterpenoid dan

flavonoid (Nayak et al. 2008).

Hewan-hewan Model dan Pembanding untuk Badak Jawa

Dalam kajian-kajian biomedis, penggunaan hewan model lazim dilakukan

untuk menganalogikan respons biologis pada manusia. Dalam bidang biomedis

hewan, konsep pemilihan hewan model dapat diterapkan untuk melakukan analogi

sistem biologis pada satwa langka tanpa harus mengorbankan dan/atau mengancam

kehidupan satwa langka tersebut. Kaidah-kaidah pemilihan hewan model meliputi:

ketersediaan, kemudahan-kemudahan (perawatan, transportasi, perizinan), kemiripan

fisiologis, efisiensi biaya, dan yang terpenting kemiripan respons hewan model dan

badak jawa terhadap parameter-parameter nutrisi, dan hormon cekaman.

Badak Sumatera (Dicerorhinus bicornis)

Secara kekerabatan, badak sumatera dan badak jawa berada dalam famili yang

sama yaitu Rhinocerotidae. Hal ini memberikan potensi bagi badak sumatra untuk

menjadi analog yang tepat untuk badak jawa. Badak sumatera hidup secara soliter di

ekosistem hutan hujan tropis (Strien 1986) dengan pakan alami yang terdiri dari 31

genera tumbuhan dari 13 famili (Strien 1974). Sama halnya dengan badak jawa,

badak sumatera juga merupakan browser yang meragut tumbuhan pakan

menggunakan bibir bagian atas. Secara anatomis, semua spesies badak merupakan

hewan monogastrik dengan sistem pencernaan yang mengandalkan fermentasi dan

penguraian selulosa pada sekum (Pough 1989). Penyakit-penyakit seperti: dermatitis

dan kecacingan merupakan kasus-kasus yang pernah terjadi pada badak sumatra baik

di alam maupun di penangkaran. Penyakit dan/atau gejala klinis seperti ini merupakan

hal yang dapat terjadi pada semua spesies badak yang hidup liar, dan berpotensi pula

untuk terjadi pada badak jawa. Berdasarkan kekerabatan yang dekat, kesamaan

tipologi habitat, kemiripan komposisi pakan, dan juga kemiripan kerentanan terhadap

penyakit dan/atau gejala klinis yang bersumber dari nutrisi dan cekaman, maka

penggunaan badak sumatra sebagai model untuk badak jawa kemungkinan besar akan

memberikan hasil yang akurat.

34

Badak India (Rhinoceros unicornis)

Berdasarkan filogram pada gambar 7 dapat dilihat bahwa salah satu kerabat

dekat dari badak jawa adalah badak India yang dikenal juga sebagai Greater One-

Horned Rhinoceros. Studi yang dilakukan oleh Clauss et al. (2005) telah

menghasilkan suatu data fisiologi pencernaan tentang tingkat retensi dan penyerapan

air serta nutrisi yang terjadi pada spesies badak yang berada di penangkaran. Atas

dasar kekerabatan yang dekat, dan juga banyaknya informasi yang telah digali dari

spesies badak ini, maka badak india merupakan hewan model yang cukup tepat bagi

badak jawa untuk mempelajari dan membandingkan beberapa aspek fisiologi dan

perilaku.

Kuda (Equus caballus)

Berdasarkan telaah genetika dengan membandingkan urutan gen r12S RNA

pada DNA mitokondria, tapir dan kuda termasuk kerabat dekat badak (Fernando et al.

2005) sebagaimana disajikan dalam Gambar 7. Sebagai herbivora monogastrik,

anatomi sistem pencernaan kuda dan badak memiliki kesamaan dengan adanya sekum

(Fowler & Miller 2003) yang berfungsi sebagai reservoir tempat bakteri yang

membantu penguraian selulosa (komponen utama tumbuhan) sebagai sumber

polisakarida bagi herbivora monogastrik (Raven & Johnson 1989). Demikian pula

dengan kebutuhan makronutrien dan mineral, kuda dan badak memiliki kesamaan

dengan perbedaan pada kebutuhan vitamin yang larut dalam lemak (Fowler & Miller

2003). Penelitian digesti yang dilakukan oleh Clauss et al. (2005) pada badak india

(Rhinoceros unicornis) menajamkan kemiripan fisiologi pencernaan badak dan kuda

pada tingkat retensi dan absorpsi nutrisi. Kuda bukan merupakan satwa dilindungi

dan sudah dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai keperluan, oleh karena itu,

induksi stres dan toksisitas dapat dilakukan pada kuda tanpa menimbulkan implikasi

dan ancaman bagi kelestarian satwa yang dilindungi. Penggunaan kuda sebagai

hewan model untuk badak memenuhi kaidah pemilihan hewan model untuk hewan

(orphan). Salah satu hal penting yang perlu dicermati dalam perbandingan ini adalah

fakta bahwa palatabilitas pakan badak tidak sama dengan kuda, oleh karena itu

penggunaan kuda sebagai model pencernaan untuk badak memerlukan pembuatan

formulasi pakan khusus (ransum) untuk menjamin palatabilitas tinggi dan kualitas

nutrisi yang memadai untuk kuda.

35

Gambar 7. Filogram yang menunjukkan kekerabatan berbagai spesies berdasarkan variasi

pada DNA 12S RNA. Angka menunjukkan kedekatan kekerabatan berdasarkan

perhitungan parsimoni maksimum. Sumber: Fernando et al. (2005)

Kuda dan badak diklasifikasikan dalam ordo yang sama yaitu Perissodactyla

(hewan berkuku ganjil) dengan berbagai persamaan anatomis dan fisiologis. Seperti

halnya badak, kuda merupakan hewan herbivora yang monogastrik. Komposisi darah

kuda dan badak mengandung asam amino tirosin dalam bentuk bebas di dalam sel

darah merah, serta memiliki antioksidan yang tinggi. Kedua hal ini menyebabkan

kuda dan badak memiliki kemampuan tinggi untuk melakukan aktifitas, bertahan

terhadap penyakit, serta untuk bertahan hidup di lingkungan yang berat (Harley et al.

2004). Uji coba dengan tikus menunjukkan bahwa tyrosin berperan sebagai peredam

stres dengan mempengaruhi proses biokimia dalam hippokampus (Hao et al. 2001).

36

Analogi Perbandingan

Pemilihan hewan model sebagai pembanding untuk badak jawa dilakukan

berdasarkan kesamaan-kesamaan fisiologis, anatomis, genetika, dan juga perilaku.

Badak merupakan hewan monogastrik yang mengandalkan penguraian selulosa dari

makanannya di sekum yang berada di bagian belakang (hindgut fermenter), dan oleh

karena itu hewan model yang digunakan dalam kajian pakan harus juga merupakan

hewan yang juga merupakan hindgut fermenter seperti badak. Clauss et al. (2005)

menunjukkan bahwa kuda dan badak memiliki kemiripan dalam sistem pencernaan,

termasuk karakteristik penyerapan nutrien.

Kesamaan antar hewan model dipertegas dengan fakta bahwa hewan-hewan

dalam ordo Perissodactyla (kuda dan badak) kerap menunjukkan gejala klinis yang

serupa. Salah satu contoh kemiripan ini adalah gejala klinis yang dikenal dengan

istilah kolik yang disebabkan oleh etiologi yang beragam (Chaffin & Cohen 1999),

sementara kolik juga ditemukan pada kasus kematian badak di tahun 1982 (Strien

1982; WWF/IUCN 1982) dan kasus kematian di tahun 2003 di Taman Nasional

Ujung Kulon. Hal ini menunjukkan bahwa secara klinis kedua spesies hewan ini

memiliki persamaan, walaupun penyebab kolik pada kuda lebih banyak disebabkan

karena faktor pemeliharaan, sementara risiko dan penyebab kolik pada badak yang

hidup secara alami belum diketahui secara pasti sampai saat ini.

Faktor komposisi pakan dan asupan antinutrisi pada hewan-hewan

Perissodactyla merupakan aspek yang penting dan berpotensi untuk mengakibatkan

perubahan fisiologis. Glade et al. (1984) dalam suatu eksperimen mencatat bahwa

perubahan diet berupa komposisi kandungan energi dan protein mengakibatkan

meningkatnya kadar kortisol dalam serum yang merupakan karakteristik yang sama

dengan respons hewan terhadap cekaman. Dalam aspek antinutrisi Sharma (2006)

menyebutkan bahwa hepatotoksin lantaden dari Lantana camara dalam tingkat

asupan tertentu dapat menyebabkan keracunan dengan gejala klinis berupa perubahan

perilaku pada hewan ruminansia dan non-ruminansia termasuk kuda.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa kuda merupakan hewan model

responsif terhadap jenis-jenis cekaman yang dihadapi oleh badak di habitat alaminya

terkait keterbatasan pakan dan air. Pemilihan kuda sebagai hewan model pembanding

badak jawa untuk telaah diet dan dinamika hormon kortisol merupakan langkah yang

logis dan dapat digunakan untuk memastikan bahwa keterbatasan pakan dan air

37

merupakan faktor cekaman yang memberikan respons berupa tingkat sekresi hormon

kortisol dan perubahan perilaku akibat adanya cekaman tersebut.

Tabel 1. Menunjukkan hasil studi komparatif berdasarkan informasi sekunder

untuk menunjukkan kesesuaian penggunaan badak sumatra dan kuda sebagai hewan

model untuk aspek medis konservasi badak jawa. Berdasarkan klaskifikasi ordo

ketiga spesies hewan berada dalam ordo yang sama dengan sistem pencernaan yang

sama (monogastrik dengan sekum). Namun demikian kuda memiliki perbedaan

dengan badak dari aspek diet dan kebiasaan berkubang.

Tabel 1. Daftar karakteristik antara badak jawa dengan hewan model yang digunakan

dalam penelitian (kuda dan badak sumatera). Hewan Ordo Diet Sistem Pencernaan Berkubang

Badak jawa Perissodactyla Semak (browsing) Monogastrik Ya

Badak sumatera

Badak india

Perissodactyla

Perissodactyla

Semak (browsing)

Rumput dan semak

(grazing)

Monogastrik

Monogastrik

Ya

Ya

Kuda Perissodactyla Rerumputan (grazing) Monogastrik Tidak

38

Daftar Pustaka

Allen CW, White CB,. 1998. Glucose modulates cell death due to normobaric

hyproxic by maintaining cellular ATP. Am J Physiol Lung Cell Mol

Physiol 274:159-164

Bansal N, Houle A, Melnykovych G,. 1991. Apoptosis: mode of cell death

induced in T Cell leukimia lines by dexamethasone and other agents.

FASEB J. 5:211-216

Barja I, et al. 2007. Stress physiological response to tourist pressure in the wild

population of European pine marten. The journal of steroid biochemistry

and molecular biology. (104)3-5:136-142

Baron R. 2006. Mechanism of disease: neuropathic pain-a clinical perspective.

Nature clinical practice neurology. 2:95-106

Bennet RM,. 1999. Emerging Concepts in the Neurobiology of Chronic Pain:

Evidence of Abnormal Sensory Processing in Fibromyalgia. Mayo Clin

Proc;74:385-398

Berridge MJ,. 1984. Inositol Trisphosphate and Diacylglycerol as Second

messengers. Biochem J 220: 345-360

Bruni JF, Hawkins RL, Yen SS,. 1982. Serotonergic Mechanism in the Control of

Beta-endorphin and ACTH Release in Male Rats. Life Sci. 30(15): 1247-

1254

Cameron HL, Perdue MH. 2005. Stres Impairs Murine Intestinal Barrier Function:

Improvement by Glucagon-Like Peptide-2. The journal of pharmacology

and experimental therapeutics Vol. 314, No. 1

Carlstead K, Brown JL,. 2005. Relationships between patterns of fecal corticoid

excretion and behaviour, reproduction, and environemental factors in

captive black (Diceros bicornis) and white (Ceratohterium simum)

Rhinoceros. Zoo biology 24: 215-232

Cavaliere F, et al. 2001. Hypoglycaemia-induced cell death: features of

neuroprotection by the P2 receptor antagonist basilen blue. Neurochemistry

International Volume 38, Issue 3: 199-207

Chaffin MK, Cohen ND,. 1999. Diagnostic Assessment of Foals with Colic.

Proceedings of the Annual Convention of the AAEP vol 45

Clausen B,. 1981. Survey For Trypanosomes in Black Rhinoceros (Diceros

bicornis). Journal of Wildlife Diseases Vol. 17, No. 4, October, 1981

39

Clauss M, et al. 2005. Studies on digestive physiology and feed digestibilities in

captive Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Journal of Animal

Physiology and Animal Nutrition 89 (2005) 229–237

Corbett GB, Hill JE. 1992. The mammals of Indomalayan region: a systematic

review. Natural History Museum Publications. Oxford University Press.

Cranbrook E, Piper PJ,. 2007. Short Communications: Javan rhinoceros

Rhinoceros sondaicus in Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology 2007

55(1): 217-220

Daszak P, Cunningham AA, Hyatt AD,. 2000. Emerging infectious diseases of

wildlife –threats to biodiversity and humant health. Science 287: 443-449

Daszak P,. et al. 2004. Conservation Medicine and New Agenda for Newly

Emerging Diseases. Ann. N.Y. Acad. Sci. 1026: 1–11

Deem SL, et al. 2001. Conservation Medicine. Annals New York Academy of

Sciences pp: 370-377

Dhabhar FS,. 2000. Acute stress enhances while chronic stress supresses skin

immunity: the roles of stress hormones and leukocyte trafficking. Annals of

the New York academy of Sciences vol 917: Neuroimmunomodulation

perspectives at the new millenium:876-893

Dyer J, et al. 2002. Molecular characterisation of carbohydrate digestion and

absorption in equine small intestines. Equine veterinary journal 34(4):349-

358

Endo H, et al. 2009. The morphological basis of the armor-like folded skin of the

greater Indian rhinoceros as a thermoregulator. Mammal study 34: 195-200

Fernando P, Polet G, Foead N. Ng L. Melnick DJM. 2004. Mitochondrial DNA

analysis of the critically endangered Javan Rhinoceros. PHKA-WWF-

Columbia University

Figueiredo HF, et al. 2003. Stress integration after acute and chronic predator

stress: Differential activation of central stress circuitry and sensitization of

th ehypothalamo-pituitary-adrenocortical axis. Endocrinology 144(12):

5249-5258

Firdaus Y,. 2008. Laporan Climate Modelling. Kajian Dampak Perubahan Iklim

Terhadap Kerentanan Badak Jawa. WWF Indonesia – Program Iklim dan

Energi

Fowler ME, Miller RE,. 2003. Zoo and Wild Animal Medicine 5th

edition.

Saunder Publishing, St Louis Missouri. p: 559.

40

Galisteo ML, et al. 1996. The Adaptor protein Nck Links receptor tyrosine

kinases with Serine-Threonin Kinase Pak1. The Journal of Biological

Chemistry 271(35): 20997-2100

Gandolf AR, Willis AM, Blumer ES, Atkinson MW,. 1999. Management of a

Melting Corneal Ulcer in a Greater One-horned Rhinoceros (Rhinoceros

unicornis). Proceedings American Associations of Zoo Veterinarians

Garg SL, Chander S,. 1997. Plasma Cortisol and thyroid hormone Concentrations

in Buffaloes with uterine Torsions. Buffalo Bullettin Vol 16(4): 75-76

Glade MJ, Gupta S, Reimers TJ,. 1984. Hormonal Responses to High and Low

Planes of Nutrition in Weanling Thoroughbreds. J Anim Sci 1984. 59:658-

665

Gustincich S, Schenider C,. 1993. Serum Deprivation Response Gene Is Induced

by Serum Starvation but not by contact Inhibition. Cell Growth and

Differentiation vol 4: 753-760

Hao S, Avraham Y, Bonne O, Berry EM,. 2001. Separation-induced body weight

loss, impairment in alternation behavior, and autonomic tone: effects of

tyrosine. Pharmacology Biochemistry and Behavior Volume 68, Issue 2

Hariyadi ARS, Santoso A, Setiawan R, Priambudi A,. 2008. Automatic Camera

Survey for Monitoring Reproductive Pattern and Behaviour of Javan

Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park,

Indonesia. Proceeding of the 3rd

International Meeting on Asian

Zoo/Wildlife Medicine and Conservation (AZWMC)

Harley EH, Matshikiza M, Robson P, Weber B,. 2004. Red blood cell metabolism

shows major anomalies in Rhinocerotidae and Equidae, suggesting a novel

role in general antioxidant metabolism. Animals and Environments.

Proceedings of the Third International Conference of Comparative

Physiology and Biochemistry. Pp 334-340

Harmon DL, MacLeod KR,. 2001. Glucose Uptake and Regulation By Intestinal

Tissues: Implications and whole-body Energetics. J. Anim. Sci. 79(E.

Suppl.):E59–E72

Harvell CD, et al. 2002. Climate warming and disease risks for terrestrial and

marine biota. Science 296(5576):2158-2162

Hatt JM, Wenker C, Castell J, Clauss M,. 2004. Dietary dan Veterinary

Management of a Lingual Abscess in a Geriatric Captive Black Rhino

(Diceros bicornis) With Iron storage Disease. European Association of Zoo

and Wildlife Veterinarians (EAZWV) 5th

Scientific Meeting. Ebeltoft-

Denmark

41

Helen PG, Brindley DN,. 1978. The Effects of Cortisol, Corticotropin, and

thyroxine on the synthesis of Glycerolipids and on Phospatidae

Phophohydrolase activity in Rat Liver. Biochem J. 176: 777-784

Hommel PWFM, 1987. Landscape ecology of Ujung Kulon (West java). Disertasi

universitas Wageningen, Belanda.

Hoogerwerf A. 1970. Udjung Kulon the land of the last javan rhinoceros. E.J.

brills. Leiden, Netherlands

Huxman TE, Scott RL., 2007. Climate Change, Water Dynamics, and Landscape

Water Balance. Southwest Hydrology. January-February

IRF-WWF. 2011. Vietnam’s javan rhino now extinct. WWW.panda.org. [9 Juni

2012]

Izumi Y, et al. 1997. A protein Kinase Cδ binding Protein SRBC whose

expression is Induced by Serum Starvation. The Journal of Biological

Chemistry Vol 272(11): 7381-7389

Jacobsen J,. 2005. A Review of Rhino Foot Problem. Fort Worth Zoo

Jessup DA, et al. 1992. Retrospective Evaluation of Leptospirosis In Free-ranging

and Captive Black Rhinoceros (Diceros bicornis) by Microscopic

Agglutination Titers dan Fluorescence Antibody Testing. Journal of Zoo

and Wildlife Medicine 23(4): 401-408

Juster RP, McEwen BS, Lupien SJ. 2009. Allostatic load biomarkers of chronic

stress and impact on helath and cognition. Neuroscience and

biobehavioural reviews: 1-15

Jolles J, et al. 1980. Modulation of brain Phosphoinotiside metabolism by ACTH-

sensitive Protein Phosporylation. Nature vol 289: 623-625

Jonyo JF,. 2005. Doctoring Rhinos: Diseases seen in Kenya

Kanemi O, et al. 2005. Acute stress reduces intraprenchymal lung natural killer

cells via beta-adrenergic stimulation. Clinical experimental immunology

139(1): 25-34

Karl IE, Garber AJ, Kipnis DM,. 1976. Alanine and Glutamine Sythesis and

Release from Skeletal Muscle. The Journal of biological Chemistry 251(3):

844-850

Kelley KW,. 1998. Cross-talk between the Immune and Endocrine Systems, J

Anim Sci. 66:2095-2108

Kloss CB,. 1927. Further records of the one-horned rhinoceros in the Malay

States. Journ. Fed. Malay States Mus. XIII, 1927

42

Kock N, et al. 1991. Coronary Artery Aneurism In Two Black Rhinoceroses

(Diceros bicornis) in Zimbabwe. Journal of Zoo and Wildlife Medicine

22(3): 355-358

Kock ND, et al. 1992. Serological Evidence for Cowdria Ruminantium Infection

in Free-ranging Black (Diceros bicornis) dan White (Ceratotherium simum)

Rhinoceroses in Zimbabwe. Journal of Zoo and Wildlife Medicine 23(4):

409-413

Kock ND,. 1996. Myocardial Purkinje Degeneration and Necrosis with Fibrosis in

Free-Ranging Black Rhinoceroses (Diceros bicornis) in Zimbabwe.

Journal of Wildlife Diseases, :32(2), 1996, pp :367-369

Lekagul , McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Sahakarnbhath Co. Bangkok

Mace OJ, Afflek J, Patel N, Kellet GL,. 2007. Sweet taste recpetors in rats small

intestines stimulate glucose absorption through apical GLUT2. Journal of

Physiology 582.1:379-392

Mandial RK, 2006. An Insight into the Toxicological and Medicinal Properties of

Lantana camara plant. College of Veterinary and Animal Science

Palampur Himachal Pradesh

Martin PS, Stuart AJ,. 1995. Mammoth extinction: two continents and Wrangel

island. Radiocarbon Volume 37 no.1: 7-10.

McSweeney CS, Pass MA,. 1983. The mechanism of ruminal stasis in Lantana-

poisoned sheep. Quarterly journal of experimental physiology 68: 301-313

Melia KL, Duman RS,. 1991. Involvement of corticotropin –releasing factor in

chronic stress regulation of the brain noradrenergic system. Proc. Natl.

Acad. Sci. USA. Vol 88: 8382-8386 Neurobiology

Menargues A, Urios V, Mauri M,. 2008. Welfare assessments of captive asian

elephants (Elephas maximus) and Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis)

using salivary cortisol measurements. Animal Welfare (17): 305-312

Morilak DA, et al. 2005. Role of brain norepinephrine to behavioural response to

stress. Progress in neuro-psychopharmacology & biological psychiatry

29:1214-1224.

Munson L, Koehler JW, Wikonson JE, Miller RE,. 1998. Vesicular and Ulcerative

Dermatopathy resembling Superficial Necrotic Dermatitis in Captive Black

Rhinoceroses (Diceros bicornis). Vet Pathol 35: 31-42

Nayak BS, Raju SS, Rasumbhag A. 2008. Investigation of wound healing activity

of Lantana Camara L. In Sprague dawley Rats using burn wound model.

International Journal of Applied Research in Natural Products Vol 1(1): 15-

19

43

Nessminth S, Baltzell J, Bardanier CD,. 1983. Interaction of Glucocorticoid and

thyroxine in the responses of rats starvation-refeeding J. Nutr. 113: 2260-

2265

Newton FRS,. March 17 1874. The Secretary on Addition to the menagerie.

PHKA. 2007. Strategi dan rencana aksi konservasi badak Indonesia. Direktorat

jendral Perlindungan hutan dan kelestarian Alam, kementerian kehutanan

Republik Indonesia.

Paglia DE, Radcliffe RW,. 2000. Anthracycline Cardiotoxicity in a Black

Rhinoceros (Diceros bicornis): Evidence for Impaired Antioxidant

Capacity Compounded by Iron Overload. Vet Pathol 37:86–88

Pass MA, Seawright AA, Lamberton JA, Heath TJ,. 1979. Lantaden A toxicity in

sheep. A model for cholestasis. Pathology. 1979 Jan;11(1):89-94

Permadi YF,. 2008. Kajian dampak perubahan iklim terhadap kerentanan badak

Jawa. Laporan proyek WWF Indonesia.

Polet G, et al. 1999. The javan rhinos, Rhinoceros sondaicus annamiticus, of Cat

Tien National Park, Vietnam: Current status and management implications.

Pachyderm 27:34-48

Poole CM, Duckworth JW,. 2005. A documented 20th

century record of Javan

rhino Rhinoceros sondaicus from Cambodia. Mammalia 69(3-4): 443-444

Pough FH, Heisser JB, McFarland WN,. 1989. Vertebrate Life – 3rd

edition.

MacMillan Publishing Company, New York p: 744

Putro HR,. 1997. Heterogenitas habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desm.

1822) Di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus,

1997 : Hal.17-40

Raven PH, Johnson GB,. 1989. Biology – Second Edition. Times Mirror/Mosby

College Publishing. St Louis Missouri. p: 981

Reynolds RJ, 1961. Javan Rhino in The Berlin zoo. International Zoo news 8(3):

June –July 1961

Rookmaaker K,. 2005. A Javan Rhinoceros, Rhinoceros sondaicus,in Bali in

1839. Zool Garten N. F. 75 (2005) 2, 5. 129-131

Rookmaaker LC, 1982. The type locality of the Javan rhinoceros (Rhinoceros

sondaicus Desmarest, 1822). Sonderdrudre aus Zeitschrifl f.

Siugetierkunde Bd. 47 (1982), H. 6, S. 381-382

Sanborn ER,. 1908. Interesting Animal Surgery. Zoological Society Bullettin no

30. 1908

44

Scheltema JF,. 1912. Peeps at Many lands – Java. Adam & Charles Black. London

Schoeman JP, Goddard A, Herrtage ME,. 2007. Serum cortisol and thyroxine

concentrations as predictors of death in critically ill puppies with parvoral

diarrhea. Journal of the American veterinary medical association (231)10:

1534-1539

Sharma S, Sharma O, Singh B, Bhat TK,. 2000. Biotransformation of lantadenes,

the pentacyclic triterpenoid hepatotoxins of lantana plant, in guinea pig.

Toxicon 38(9): 1191-1202

Sharma GP, Ragubhanshi AS, Singh JS,. 2005. Lantana invasion: an overview.

Weed biology and management (5)4: 157-165

Sharma OP, 2006. An Overview of the Research on the Hepatotoxic Plant

Lantana Camara.

Soto-Gamboa M, Gonzalez S, Hayes LD, Ebensperger LA,. 2009. Validation of a

radioimmunoassay for measuring fecal cortisol metabolites in the

Hystricomorph rodent, Octodon degus. Journal of experimental zoology

311A:496-503

Sriyanto A, et al. 1995. A Current status of the Javan Rhino population in Ujung

Kulon National Park. Javan Rhino Colloquium

Strien NJ,. 1974. Dicerorhinus sumatrensis (Fisher). The Sumatran or two-horned

Asiatic rhinoceros: a study of literature. Medelebingen

Landbouwwhogeschool, Wageningen, Netherland

Strien NJ, 1982. Report on short mission to Ujung Kulon National Park, Java

Indonesia inconnectionwith the reported deaths of the five Javan rhinos.

Laporan kegiatan WWF.

Strien NJ,. 1986. The Sumatran rhinoceros – Dicerorhinus sumatrensis (Fischer,

1814) – in the Gunung Leuser National Park, Sumatra, Indonesia: its

distribution, ecology, and conservation. Verlag Paul Parey, Hamburg

Stuart G, Nelson S, Sakmann B, Hausser M,.1997. Action potential initiation and

backpropagation in neurons of the mammalian CNS. Trends in

neuroscience 20:125-131

Suprayogi A, Astuti DA, Satrija F, Suprianto. 2006. Physiological Status of Sheep

Reared Indoor System Under the Tropical Rain Forest Climatic Zone.

Supporting papers Proceedings of the 4th

ISTAP “Animal Production and

Sustainable Agriculture in the Tropic”. Faculty of Animal Science, Gajah

Mada University.

45

Suzuki A, et al. 2003. Induction of cell–cell detachment during glucose starvation

through F-actin conversion by SNARK, the fourth member of the AMP-

activated protein kinase catalytic subunit family. Biochemical and

Biophysical Research Communications Volume 311(1): 156-161

Suzuki A, et al. 2003. ARK5 suppresses the cell death induced by nutrient

starvation and death receptors via inhibition of caspase 8 activation, but not

by chemotherapeutic agents or UV irradiation. Oncogene 22: 6177–6182

Tiuria R, et al. 2006. Identification of endoparasites from faeces of Javan rhino

(Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, Indonesia.

Proceedings of AZWMP 2006 Chulalongkorn Uni. Fac. Of Vet. Sc.,

Bangkok, Thailand

Turner Jr JW, Tolson P, Hamad M,. 2002. Remote assessment of stress in white

rhinoceros (Ceratotherium simum) and black rhinoceros (Diceros bicornis)

by measurements of adrenal steroids in feces. Journal of zoo and wildlife

medicine 33(3): 214-221

Vaux DL, Korsmeyer SJ,. 1999. Cell Death in Development. Cell vol 96: 245-254

Völlm J, et al. 2000. A case of extended exsudative dermatitis in an Indian rhino.

European Association of zoo and wildlife veterinarians (EAZWV) Paris,

France: 205-208

Walcott AS,. 1914. Java and Her Neighbours. A Traveler’s note in Java, Celebes,

the Molluccas, and Sumatra. GP Putnams and Sons. The knickerbockers

press. New York & London

Wasser SK, et al. 2000. A generalized fecal glucocorticoid assay for use in diverse

array of nondomestic mammalian and avian species. General and

comparative endocrinology 120:260-275

Wielckens K, et al. 1983. Stimulation of Poly(ADP-ribosyl)ation during Erlich

Ascites Tumor Cell “Starvation” and Suppression of Concomitant DNA

Fragmentation by Benzamide. The Journal of Biological Chemistry Vol

258(7): 4098-4104

Williams JW, et al. 2002. Rapid and widespread vegetation responses to past

climate change in the North Atlantic region. Geology vol 30; no. 11; p.

971–974

Woolf CJ, Mannion RJ,. 1999. Neuropathic pain: aetiology, symptoms,

mechanism, and management. Lancet 353:1959-64

Wu P, Peters JM, Harris RA,. 2001. Adaptive Increase in Pyruvate

Dehydrogenase Kinase 4 During Starvation is mediated by Peroxisome

Proliferator-activated Receptor α. Biochemical and Biophysical Research

Communication. 287(2): 391-396

46

WWF-IUCN. 1982. Mystery of Dead Javan rhinos. The Environmentalist vol. 2

no. 3

Yamada T, Horiuchi M, Dzau VJ,. 1996. Angiotensi type II receptor mediates

programmed cell death. Proc Acad Sci. USA. Cell Biology Vol 93: 156-160

Yakel JL, et al. 1997. Calcineurin regulation of synaptic function: from ion

channels to transmitter release and gene transcription. Trends in

Pharmacological Sciences. Volume 18, Issue 4: 124-134

YMR [Yayasan Mitra Rhino]. 2004. Implementasi monitoring habitat badak jawa

dengan menekan laju invasi langkap (Arenga obtusifolia) di Taman

Nasional Ujung Kulon. PHKA-WWF-YMR

Zeng H, Dvorak HF, Mukhopadhyay D,. 2001. Vascular Permeability Factor

(VPF)/Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Receptor-1 Down-

modulates VPF/VEGF Receptor-2-mediated Endothelial Cell Proliferation,

but Not Migration, through Phosphatidylinositol 3-Kinase-dependent

Pathways. The Journal of Biological Chemistry 270(29): 26969-26979

STUDI POLA PERGERAKAN, PALATABILITAS, KUALITAS PAKAN, DAN

KECERNAAN NUTRIEN SERTA RISIKO TOKSISITAS LANTADEN PADA

BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

Abstrak

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan satwa langka yang hanya terdapat di

Taman Nasional Ujung Kulon, Banten Indonesia. Kondisi habitat yang ada saat ini

diduga mengalami perubahan perlahan akibat suksesi alami yang berakibat pada

berubahnya struktur vegetasi yang ada. Sebagai hewan herbivora yang sangat

bergantung pada tumbuhan sebagai sumber makanannya, maka kualitas nutrisi

tumbuhan pakan serta kualitas asupan pakan menjadi bagian yang penting untuk

dipantau dalam populasi saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk dapat memetakan

pola pergerakan badak di habitatnya dan mengukur palatabilitas, kualitas pakan,

kecernaan, serta asupan nutrien dan lantaden (toksin) dari badak yang diikuti.

Parameter yang dicatat terdiri dari: jalur lintasan badak (trajektori)beserta korelasinya

dengan keragaman pakan, dan jumlah kubangan. Palatabilitas, kualitas pakan, risiko

toksisitas dari konsumsi Lantana camara, kecernaan nutrien, dan juga ketersediaan

garam. Palatabilitas ditentukan dengan memilih lima jenis pakan dengan jumlah

ragutan terbanyak dari setiap badak. Analisis proksimat digunakan untuk mengukur

kualitas nutrien pakan, dan jumlah asupan nutrien.Toksin lantaden dihitung dengan

mengalikan hasil perhitungan jumlah ragutan (dalam gram) dengan kadar lantaden

dari studi literatur. Kandungan garam diukur dari tanah kubangan dengan metode

titrimetri,sementaraAcid insoluble ash (AIA) digunakan untuk mengukur tingkat

kecernaan bahan kering (BK). Hasil pengamatan menunjukkan korelasi yang kuat

antara ruang jelajah dengan keragaman jenis pakan serta jumlah kubangan. Hasil

pengamatan palatabilitas dan analisis proksimat menunjukkan keragaman jenis pakan,

identifikasi jenis pakan dengan kualitas nutrien tinggi, dan indikasi rendahnya kadar

air, nutrien, energi dari pakan pada bulan-bulan dengan jumlah kejadian hujan yang

rendah (kering) di bulan Oktober 2009 dan Maret 2010. Kadar asupan lantaden berada

pada tingkat yang relatif rendah (23.63 mg/ekor/hari). Upaya untuk memperbaiki

kondisi ini dapat dilakukan dengan pengkayaan jumlah tumbuhan pakan yang

mengandung kualitas nutrien tinggi yang antara lain terdiri dari: Moringa citrifolia,

Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (protein tinggi); Alstonia

angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi); Derris

thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (energy tinggi);

Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air

tinggi).Tumbuhan-tumbuhan ini idealnya ditanam dalam kerapatan 15 tumbuhan per

hektar (untuk jenis pohon) sampai kerapatan 5,406 tumbuhan per hektar (untuk jenis

semai) untuk memastikan ketersediaan yang seimbang.

Kata kunci: badak jawa, palatabilitas, nutrien, kecernaan

48

Study of movement, palatability, feed quality , nutrient digestibility, and risk of

lantadene toxicity in Javan rhinoceros in Ujung Kulon National Park

Abstract

Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) is a critically endangered species

living in Ujung Kulon National Park, Banten Indonesia. The condition of the current

habitat is predicted to undergo gradual changes due to natural succession that affects

the structures of vegetations. This species is a large herbivore that relies on the feed

plant type as the source of food, so the quality of these plants, as well as the nutrient

intake become a crucial factor determining the well being of the animal and nutrition

status needs to be included as part of the population monitoring. This research is

designed for mapping the movement patterns (trajectory) and their correlation with

feed diversity and the abundance of the wallow holes. This research also measured

feed palatability, feed quality, nutrient digestibility, the risk of toxin intake from

Lantana camara consumption, as well as NaCl availability. Palatability was

determined by selecting the five feed plants with the highest amount of consumption

from each rhino based on the estimation of browse marks. Proximate analysis was

done to determine the nutrient quality form each feed plant. Lantadene toxin intake

was calculated by multiplying the calculated feed intake (in gram) with toxin contents

based on references. NaCl content was determined using tirimetric method done on

mud samples from wallow sites, while acid insolubel ash (AIA) is used as indicator in

measuring the digestibility. The result showed that feed plants with high palatability

(most liked), identification of feed plants with high nutritional values, and there was

an indication of low water, nutrien, and energy intake at certain times during months

with low rain occurences (dry) in October 2009 and March 2010. Lantaden toxin

intake was relatively small to cause clinical implications to the rhino (23.63 mg/day).

The possible intervention to overcome the situation is to enhance the feed availability

as well as to improve feed quality by replenishing high quality feed plants consisting

of: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (high

protein); Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (high fat);

Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (high energy);

Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (high water). These plants

should ideally be planted in the density of: 15 plants per hectare (tree forms) to 5,406

plants per hectara (seedling forms) to ensure availability of these plants for the

rhinoceros.

Key words: Javan rhinoceros, palatability, nutrients, digestibility

49

Pendahuluan

Dari seluruh habitat badak yang ada di dunia, Taman Nasional Ujung Kulon

merupakan satu-satunya habitat yang dihuni oleh badak jawa. Walaupun kondisi

ekosistem di Taman Nasional ini bukanlah kondisi yang paling ideal bagi badak jawa

karena kondisi vegetasi yang berubah (suksesi) dan juga kondisi ketersediaan air yang

sangat terbatas di musim kering,dengan demikian, faktor nutrisi merupakan faktor

penting yang perlu dipelajari dari badak jawa. Nutrisi merupakan faktor penentu dari

kemampuan hewan untuk bertahan hidup, beradaptasi, serta bertahan terhadap

cekaman yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.

Pengamatan pada badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang dilakukan

oleh Mundiany et al.(2005) menunjukkan bahwa konsumsi berat kering harian setiap

ekor badak berada pada angka 3-4% dari berat badannya dengan kecernaan bahan

kering mencapai 57.49% sampai 80.45%.Badak sumatera menyukai 37 jenis pakan

yang tersedia secara alami di hutan yang antara lain terdiri dari: cakar elang

(Gardenia tubifera), soka merah (Psychotria angulata), sulangkar (Leea sambucina),

waru (Hibiscus tiliaceus), dan kasapan (Croton caudatus). Tumbuhan sulangkar dan

waru merupakan jenis tumbuhan yang juga disukai oleh badak jawa.

Dengan jumlah populasi yang kecil yaitu dalam kisaran 32-47 ekor (Hariyadi

et al. 2011), kemampuan badak jawa untuk bertahan hidup, beradaptasi, mentolerir

cekaman, serta pada akhirnya kemampuan untuk bertahan terhadap penyakit menjadi

faktor yang sangat penting dalam menentukan kemampuan spesies ini untuk terus

bertahan hidup dan bertahan dari kepunahan. Terlebih lagi, faktor nutrisi merupakan

faktor yang sangat penting dalam proses perkembang biakan yang kemampuannya

ditentukan oleh kemampuan sistem tubuh untuk mensintesis hormon reproduksi

(hormon steroid) yang bahan dasarnya diperoleh dari asupan nutrien seperti glukosa

dan asam lemak (Koolman & Röhm, 2001).

Permasalahan yang dihadapai dalam pengelolaan badak jawa adalah

kurangnya data dan informasi mengenai kondisi habitat serta implikasinya pada status

nutrisi pada badak jawa. Rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam kajian nutrisi dan

kecernaan ini memberikan tambahan informasi yang antara lain terdiri dari: pola

pergerakan badak yang dicatat oleh pengamat yang mengikuti pergerakan badak dari

hari ke hari, keragaman pakan dari setiap ekor badak, dan persentase asupan nutrien

dari setiap ekor badak. Informasi ini merupakan basis yang digunakan sebagai

50

landasan dan acuan dalam merancang kajian-kajian dan analisis dalam bab-bab

selanjutnya. Palatabilitias, pendugaan jumlah asupan, dan identifikasi antinutrisi

(toksin) merupakan informasi kunci yang dihasilkan dalam kajian penelitian ini.

Tujuan Penelitian

Status nutrisi merupakan kunci keberlangsungan hidup badak jawa di Taman

Nasional Ujung Kulon, namun ironisnya perangkat dan protokol pemantauan yang

memungkinkan pihak pengelola untuk mendapatkan informasi terkait status nutrisi ini

belum tersedia. Mempertimbangkan adanya kebutuhan untuk mengembangkan suatu

protokol pemantauan status nutrisi secara intensif yang dapat diterapkan untuk satwa

langka seperti badak jawa, maka penelitian ini bertujuan untuk menyusun protokol

pemantauan yang memberikan informasi mengenai:

1. Pola pergerakan, ruang jelajah, dan lintasan badak di habitatnya

(trajektori) sebagai basis dari pengamatan asupan pakan yang terjadi di

alam.

2. Keragaman pakan yang digemari (palatabilitas) badak obyek penelitian ini

3. Kualitas dan kuantitas asupan nutrien yang didapat badak jawa

4. Kecernaan bahan kering pakan

5. Ketersediaan garam di lokasi kubangan

6. Risiko toksisitas tumbuhan Lantana camara

Penelitian ini dirancang untuk menguji hipotesis bahwa kondisi habitat di Taman

Nasional Ujung Kulon merupakan daerah dengan daya dukung yang kurang memadai

bagi badak jawa.

51

Bahan dan Metode

Penelitian di Taman Nasional Ujung Kulon dilakukan untuk mempelajari:

komposisi pakan, palatabilitas, konsumsi, dan kecernaan tiga individu badak jawa

(Individu kode: 12, 13, dan 18) berkelamin jantan yang diikuti secara intensif selama

6 hari setiap bulannya dalam periode pengamatan bulan Oktober 2009 sampai April

2010. Penelitian ini menggunakan badak jantan sebagai sampel dengan pertimbangan

sebagai berikut:

1. Badak jantan memiliki pola ruang jelajah yang relatif konsisten sepanjang

waktu dibandingkan betina karena tidak dipengaruhi oleh masa

kebuntingan dan pengasuhan anak (White et al. 2007),maka pola

pergerakan dan profil diet setiap ekor badak yang diamati merupakan satu

hal yang dapat mewakili kondisi normal.

2. Badak jantan memiliki jumlah lebih banyak dibanding badak betina

dengan rasio 3:2 yaitu 16 jantan dan 11 betina (Hariyadi et al. 2011),

sehingga peluang untuk menemukan badak jantan akan lebih tinggi

dibandingkan dengan peluang untuk menemukan badak betina.

3. Badak yang dipilih dalam penelitian ini memiliki ruang jelajah yang datar

dan memungkinkan pengumpulan feses untuk analisis AIA.

Ruang Jelajah Badak Jawa

Tiga individu badak jawa jantan dewasa yang dipilih sebagai contoh dalam

penelitian ini sudah tercatat melalui kegiatan video trap WWF Indonesia periode

April 2008 – Juni 2009 dan setiap individu mewakili daerah konsentrasi yang berbeda

di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Sriyanto et al. (1995), individu 12 mewakili daerah konsentrasi 3

dengan kepadatan tinggi di area selatan, individu 18 mewakili daerah konsentrasi 1

dengan kepadatan sedang di area barat, sementara individu 13 mewakili daerah

konsentrasi 4 dengan kepadatan rendah di area utara. Ketiga daerah ini memiliki

struktur vegetasi dengan kepadatan tumbuhan yang berbeda (7.000 – 17.000

individu/ha untuk tumbuhan bawah; 5.200 – 8.400 individu/ha tumbuhan semai; 650-

1.200 individu/ha tumbuhan pancang; 80-180 individu/ha untuk tumbuhan tiang; dan

52

70-50 individu/ha untuk tumbuhan pohon) seperti ditampilkan pada Tabel 2 yang

disusun berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan oleh Rahmat et al.(2007).

Ketiga individu badak jantan yang digunakan sebagai contoh dalam penelitian ini

ditampilkan dalam Gambar 8. Rahmat et al. (2007) mencatat 231 jenis tumbuhan di

ruang jelajah badak, dan 184 diantaranya (80%) merupakan tumbuhan makanan

badak jawa.

Tabel 2. Jenis vegetasi tumbuhan paling dominan di lokasi ruang jelajah badak jawa.

Badak Vegetasi dominan

Bawah Semai Pancang Tiang Pohon

12 Donax canaeformis Leea sambucina Arenga obtusifolia Arenga obtusifolia Hibiscus tiliaceus

13 D melanochaetis Leea sambucina E polyantha Ardisia humilis B arborescens

18 D melanochaetis E polycntha Ardisia humilis Cerbera manghas Vitex pubescens

Sumber: Rahmat et al. (2007)

Informasi lintasan badak didapatkan dengan cara mengikuti setiap badak

secara langsung di jalur lintasan masing-masing yang telah diidentifikasi sebelumnya.

Untuk menghindari cekaman terhadap badak akibat keberadaan pengamat yang terlalu

dekat dengan badak, maka pengamat mengikuti pergerakan badak dalam jarak yang

cukup jauh yaitu sekitar 24-30 jam di belakang badak yang diikuti. Jarak ini

menempatkan pengamat dalam jarak yang relatif aman dan tidak dapat terdeteksi oleh

badak baik melalui penciuman, pendengaran, maupun penglihatan. Lokasi terjadinya

kontak visual pertama dengan badak dan verifikasi atas identitas badak (kode

individu: 12, 3, dan 18) didefinisikan sebagai titik awal. Pengambilan data

pengamatan dilakukan mulai dari titik awal ini yang kemudian dilanjutkan dengan

penelusuran jejak selama 1-3 bulan (minimal enam hari intensif setiap bulannya)

mengikuti ruang jelajah masing-masing badak. Titik akhir pengamatan didefinisikan

sebagai lokasi yang sama yaitu sampai badak kembali ke titik awal sehingga saat

dipetakan lintasan badak tersebut membentuk suatu lingkaran yang realatif tertutup

(temu gelang).

53

A

B

C

Gambar 8. Tiga ekor badak jantan yang dipilih sebagai obyek penelitian: badak

nomor 12 (A), nomor 13(B), dan nomor 18(C). Foto: Balai Taman

Nasional Ujung Kulon-WWF Indonesia (2010)

Informasi koordinat temuan jejak dan trajektori badak direkam dalam alat GPS

(Global Positioning system) Garmin 76CSX dan kemudian diterjemahkan ke dalam

peta digital untuk menggambarkan ruang jelajah badak secara visual, serta

memastikan bahwa badak telah diikuti secara penuh sampai kembali ke titik awal

(temu gelang) selama 7 bulan pengamatan dari bulan Oktober 2009 sampai bulan

April 2010. Luas ruang jelajah dan jarak tempuh yang ditunjukkan oleh ketiga ekor

badak sampel dibandingkan dengan pola asupan serta nutrisi untuk mendapatkan

korelasi antara keempat parameter di atas.

54

Palatabilitas

Palatabilitas ditentukan dengan memilih jenis tumbuhan pakan dengan

kuantitas terbanyak berdasarkan estimasi ragutan di lokasi tempat makan badak

(rumpang). Lima jenis tumbuhan pakan dengan jumlah ragutan terbanyak dari setiap

ekor badak dikategorikan sebagai tumbuhan dengan palatabilitas tinggi, dan

penggabungan dari tumbuhan palatabilitas tinggi dari setiap ekor badak digabungkan

untuk mewakili palatabilitas dari sampel populasi badak yang diamati dalam

penelitian ini.

Data dikumpulkan dengan cara mengikuti lintasan, mengidentifikasi rumpang

(lahan pakan), mengidentifikasi bekas ragutan untuk memastikan aktifitas makan,

mencatat, dan menimbang bekas makan (feeding marks). Pengamatan seperti ini

mengikuti metode yang pernah dilakukan Birkett & Stevens-Wood (2005) untuk

memberikan informasi tentang komposisi pakan kesukaan dari tiap individu. Gambar

9 menunjukkan kondisi lahan pakan badak yang ada di ekosistem Taman Nasional

Ujung Kulon.

A

B

Gambar 9. Kondisi lahan pakan badak (rumpang) dengan perbandingan tinggi

tumbuhan pakan dan manusia (A) serta kondisi rumpang yang relatif

terbuka dibandingkan areal pepohonan di sekitarnya (B). Foto:

RSetiawan – WWF Indonesia (2009).

55

Tiga kelompok pengamat yang masing-masing terdiri dari lima orang

mencatat jenis tumbuhan yang dimakan oleh badak dan mengukur (dengan

pendugaan) banyaknya tumbuhan pakan yang dikonsumsi oleh badak-badak tersebut.

Pendugaan ini dilakukan dengan memperkirakan banyaknya tumbuhan yang dimakan

badak dan menimbang tumbuhan tersebut untuk menduga berat pakan yang dimakan

oleh masing-masing badak dalam periode pengamatan. Bekas ragutan badak dapat

dibedakan dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi hewan besar selain badak yang memiliki perilaku makan

mirip dengan badak Jawa. Salah satu hewan ini adalah banteng (Bos

javanicus) yang juga menjelajahi daerah badak dan memakan beberapa

jenis tumbuhan yang sama dengan badak. Membedakan bekas ragutan

badak dengan bekas ragutan hewan lain. Bekas ragutan badak memiliki

karakteristik berupa potongan dahan dan ranting yang mirip seperti

pemotongan dengan menggunakan gunting tumpul. Hal ini terjadi karena

karakteristik anatomi rahang dan perilaku makan badak yang

menggunakan bibir atas (prehensil) untuk menggenggam dahan dan

ranting serta memangkas dahan dan ranting tersebut dengan menggunakan

gigi seri yang berada di rahang bawahnya.

2. Mengikuti pergerakan badak berdasarkan lokasi pakan dan bekas ragutan

untuk mendapatkan informasi mengenai ruang jelajah yang digunakan

setiap ekor badak.

3. Identifikasi dan pendugaan jumlah tumbuhan yang diragut dilakukan

dengan mengamati bekas ragutan, mengambil sebagian tumbuhan dari

ranting lain (sampel) untuk menyamai dengan bekas ragutan, dan

menimbang sampel tersebut dalam keadaan segar, kering jemur, dan

kering akhir.

Kualitas Pakan

Sampel tumbuhan pakan yang telah diidentifikasi dan dipilih kemudiandikirim

ke laboratorium Balai Penelitian Ternak (Balitnak) di Ciawi, Bogor untuk menjalani

analisis proksimat untuk mendapatkan data kandungan air, protein dan lemak dari

setiap jenis tumbuhan pakan. Sampel tumbuhan pakan juga dianalisis dengan bom

kalorimeter untuk mengukur energi yang terkandung.

56

Asupan nutrien dihitung berdasarkan konsumsi kering (KBK) yang dikalikan

dengan jumlah nutrien (protein dan lemak) dan energi hasil dari analisis

proksimat.Asupan nutrien ini disajikan dalam satuan g/hari bagi setiap individu,

sementara asupan energi disajikan dalam satuan kilokalori (kkal) per hari untuk setiap

ekor badak. Informasi tersebut merupakan basis yang digunakan dalam analisis

nutrien dan perbandingan dengan hewan model pada penelitian berikutnya.

Penghitungan kadar air dari tumbuhan pakan (dalam persen) dilakukan dengan

menghitung selisih berat segar dengan berat kering jemur serta menghitung persen

penyusutan yang terjadi untuk menentukan kadar air. Pengukuran berat kering akhir

sampel tumbuhan pakan dilakukan di laboratorium Balitnak Ciawi dan berat kering

akhir ini didapatkan setelah pengeringan dalam oven dengan suhu 105o C sampai

mencapai berat konstan.

Total kadar air tumbuhan pakan kemudian dihitung berdasarkan penjumlahan

dari kadar air antara berat segar dengan berat kering jemur dengan kadar air yang

terukur dari berat kering akhir hasil analisis laboratorium menggunakan metode

gravimetri.

Konsumsi Pakan

Pengamatan dilakukan dengan mengidentifikasi jenis tumbuhan pakan serta

memastikan adanya bekas ragutan. Badak jawa meragut tumbuhan pakan dengan cara

memegang ranting tumbuhan tersebut dengan bibir atas (prehensil) dan kemudian

memotong/memangkas bagian ranting tersebut dengan gigi insisor bawah yang

memiliki bagian tajam. Cara pemangkasan tumbuhan seperti ini memberikan tanda

bekas ragutan yang memiliki ciri sebagai berikut:

1. Tumbuhan menunjukkan adanya bagian yang lebih pendek dibanding

dengan bagian tumbuhan lainnya

2. Dahan atau ranting yang dipangkas menunjukkan adanya bekas potongan

yang halus seperti digunting.

Pendugaan jumlah dan jenistumbuhan yang dikonsumsi oleh badak dilakukan

dengan cara memotong bagian dahan ataupun ranting dari tumbuhan yang sama

sampai kira-kira ke titik bekas ragutan berada. Bagian tumbuhan ini kemudian

ditimbang untuk mendapatkan berat segar dari bagian dahan dan ranting tersebut.

Prosedur ini dilakukan pada bagian tumbuhan lainnya yang menunjukkan adanya

57

bekas ragutan. Total jumlah dahan dan ranting yang ditimbang ini merupakan

estimasi dari jumlah asupan pakan badak dari satu lokasi rumpang (areal pakan).

Pengamat memperhatikan dan memperkirakan usia bekas ragutan yang ada

pada tumbuhan tersebut untuk memastikan bahwa ragutan tersebut merupakan bekas

aktifitas makan yang dilakukan dalam periode pengamatan (maksimum 30 jam yang

lalu) dan bukan merupakan bekas aktifitas makan yang dilakukan oleh badak di luar

periode waktu ini.

Kuantitas asupan berupa konsumsi bahan kering (KBK) ditentukan dengan

menggunakan referensi literatur. Dengan mengacu kepada informasi konsumsi berat

kering pada badak india menurut Clauss et al. (2005) yang berada pada rentang 0.8-

1.3% dari berat badan per hari, maka konsumsi berat kering (KBK) harian pada

badak jawa diasumsikan berada pada tingkat 1% dari berat badan yang merupakan

nilai tengah dalam rentang tersebut. Berat badan badak dalam penelitian ini

diestimasi berdasarkan ukuran jejak yang dibandingkan dengan estimasi usia dan

berat berdasarkan tabel regresi yang disusun oleh Purchase (2007) dan ditentukan

sebagai berikut:

• Badak 12 (dewasa tua>65-70 bulan): 1,000 kg

• Badak 13 (dewasa sekitar >50 tahun): 1,000 kg

• Badak 18 (muda>25 bulan): 700 kg

Langkah-langkah ini menghasilkan informasi mengenai komposisi jenis

tumbuhan yang dikonsumsi, pendugaan jumlah pakan segar dan bahan kering yang

dikonsumsi (dalam kg). Berikut ini metode uji yang digunakan dalam analisis

proksimat untuk mengukur: kadar air (gravimetrik), nutrien protein (Kjeldahl) dan

lemak (ekstraksi dengan sokslet), energi, serat kasar, kalsium, fosfor, AIA, dan tannin

dari sampel pakan yang telah dikeringkan.

58

Metode Uji

Air : IKM 01 (gravimetri)

Protein : IKM 02 (Kjelhdahl destruksi – autoanalisis)

Lemak : IKM 03 (gravimetri dan ekstraksi dengan soxlet)

Energi : IKM 04 (bomb kalorimeter )

Serat Kasar : IKM 05 (ekstraksi asam dan basa)

Abu : IKM 06 (gravimetri)

Ca : IKM 09 (AAS )

P : IKM 10 (spektrofotometri )

AIA : (gravimetri )

Tanin : (Spektrofotometri )

Kecernaan

Pengukuran kecernaan dilakukan dengan metode Van Keulen dan Young

(1977) penghitungan koefisien penyerapan (persen kecernaan) dilakukan dengan

mengukur selisih kandungan AIA (acid insoluble ash) pada asupan pakan dengan

feses. Hal ini sangat cocok untuk diterapkan dalam penelitian satwa liar seperti badak

jawa yang hanya dapat dipelajari di habitat alaminya sehingga metode penghitungan

koefisien kecernaan berdasarkan koleksi feses total (total fecal collection) hampir

tidak mungkin untuk dilakukan.

Pengambilan feses dilakukan dengan tata cara pengambilan yang menjamin

tersedianya sampel feses segar lengkap dengan informasi pendukung yang diperlukan

sebagaimana yang telah dilakukan oleh Fernando et al. (2004). Prosedur

pengumpulan sampel terdiri dari kegiatan-kegiatan di bawah ini:

1. Mencari dan menemukan feses badak jawa yang terbaru atau sesegar

mungkin, dengan cara menyusuri jejak badak terbaru (usia jejak di bawah

tiga hari). Usia jejak dikenali dengan memperhatikan keutuhan jejak,

kesegaran tanah, adanya sisa-sisa daun, dan keberadaan jamur yang tumbuh

di dalam jejak. Usia jejak yang segar biasanya memiliki bentuk yang utuh

sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 10 dan tidak terdapat sisa daun

(serasah) ataupun jamur.

2. Memperhatikan letak feses serta memastikan bahwa sampel feses tersebut

tidak berada di aliran air sungai/terapung dikubangan. Perlu dipastikan juga

bahwa gumpalan feses (boli) yang ditemukan berada dalam kondisi utuh

tidak rusak akibat hujan.

59

3. Pengambilan sampel feses dilakukan dengan mengambil beberapa boli feses

dan menyimpannya dalam kantong plastik bersegel (plastik klip)

4. Peneliti mengisi lembar data informasi mengenai temuan contoh feses yang

meliputi; tanggal, waktu, koordinat posisi, lokasi, tipe vegetasi dominan,

temuan tapak dan arahnya

5. Peneliti mencatat informasi detil tentang sampel feses tersebut yang terdiri

dari: kondisi feses (letaknya ternaung atau daerah terbuka, apakah dekat

aliran sungai, keadaan kering atau basah, prakiraan usia, jumlah boli dalam

satu tumpukan, apakah tersebar atau mengumpul, adanya dekomposer, bau

dan rata-rata diameter boli) juga perlu diketahui prakiraan jarak dari feses

sebelumnya, dari aliran sungai, dari kubangan dan dari transek.

6. Peneliti juga mencatat informasi lain seperti: tapak satwa lainnya, adanya

tumpukan feses yang berdekatan tetapi berbeda ukuran, dan lain sebagainya

Gambar 10. Contoh jejak badak yang relatif segar. Badak berada di lokasi ini 12

jam sebelum jejak ditemukan. Foto: Ahariyadi-WWF Indonesia (2007)

Feses badak ditemukan dalam bentuk tumpukan yang terdiri dari beberapa

gumpalan feses berbentuk bola (boli), dan kesegaran feses tersebut dapat ditentukan

dari warna, kelembaban, serta keberadaan serangga yang mengelilinginya. Feses

segar biasanya berwarna coklat kehijauan dengan kelembaban permukaan yang khas

karena masih mengandung lapisan lendir (tidak lebih dari satu jam sejak ekskresi),

serta masih banyak dikelilingi serangga lalat. Dua buah boli dari setiap tumpukan

60

segar diambil sebagai sampel untuk analisis. Sampel ini kemudian ditimbang untuk

mendapatkan berat feses segar.

Keseluruhan sampel feses yang diekskresikan setiap hari oleh individu badak

dalam penelitian ini dikumpulkan dan ditimbang dalam keadaan basah untuk

mendapatkan berat feses segar, dan kemudian dikeringkan dengan menjemurnya di

udara terbuka sampai sampel dapat dilihat lebih kering. Sampel feses tersebut

kemudian ditimbang kembali untuk mendapatkan berat feses kering udara.

Sampel feses untuk mengukur pengeringan diambil dengan cara memilih

tumpukan boli yang relatif paling segar dan utuh dengan memperoleh kualitas sampel

feses yang baik. Maksimal 10% dari jumlah feses yang ada dalam tumpukan tersebut

diambil secara manual, dan sisa tumpukan feses dibiarkan berada di lokasi tersebut

agar tidak mempengaruhi fungsi tumpukan feses dalam penandaaan ruang jelajah

yang dilakukan oleh badak. Penghitungan penyusutan berat kering sampel feses dan

tumbuhan pakan dilakukan dengan menimbang berat basah di lapangan, berat kering

udara setelah mengalami penjemuran di bawah sinar matahari sampai berat menjadi

konstan, dan berat kering akhir setelah mengalami pengeringan dengan oven bersuhu

105o sampai mencapai berat konstan. Dalam kondisi ini sampel siap dianalisis lebih

lanjut di laboratorium untuk pengukuran AIA dari feses dalam kondisi kering akhir.

Hal yang sama juga dilakukan terhadap sampel tumbuhan pakan yang diragut

oleh badak untuk mendapatkan pengukuran AIA dari masing-masing jenis tumbuhan

pakan tersebut.

Metode AIA (Acid Insoluble Ash) Menurut Van Keulen & Young (1977)

Pengukuran AIA dilakukan dengan menggunakan 2 g sampel (pakan dan/atau

feses) yang diabukan pada suhu 600oC. Lalu abu dimasukkan dalam piala gelas dan

ditambah 25 ml HCl 2N dan dididihkan hingga volume awal menjadi kira-kira

setengahnya. Abu disaring ke dalam Crucible (yang sudah diketahui bobotnya).

Endapan dicuci dengan air suling panas (85-100oC) sampai bebas asam. Hasil

saringan diabukan lagi dan kemudian berat abu yang tidak larut dalam asam hasil

proses ini ditimbang dan dihitung dengan menggunakan rumus yang berlaku untuk

feses dan pakan sebagai berikut:

Persen AIA = berat abu yang tidak larut dalam asam x 100%

Berat sampel

61

Sementara dengan banyaknya AIA pada fese, maka penghitungan kecernaan berat

kering dilakukan dengan menggunakan rumus:

AIA feses – AIA pakan yang dikonsumsi x 100%

AIA feses

Analisis AIA ini dikoreksi dengan menggunakan faktor koreksi sebesar 10%

seperti yang digunakan dalam beberapa analisis kecernaan menggunakan metode AIA

(Mainka et al. 1989; Sims et al. 2007). Faktor koreksi ini perlu digunakan dalam

menghitung kecernaan berat kering mengingat adanya variasai akibat proses dehidrasi

saat konversi dari asupan segar menjadi asupan kering (Sims et al. 2007). Mainka et

al. (1989) menggunakan angka 10% sebagai faktor koreksi untuk memperhitungkan

dehidrasi.

Risiko Toksisitas dari Konsumsi Lantana camara

Kandungan antinutrisi lantaden dalam setiap gram kering tumbuhan Lantana

camara dihitung berdasarakan informasi yang disampaikan oleh Sharma et al.(2000)

yang mengidentifikasi adanya lantaden dari berat kering tumbuhan Lantana camara.

Kandungan lantaden dalam tumbuhan Lantana kering didefinisikan sebagai jumlah

lantaden yang telah diukur dalam studi laboratorium yaitu: 1,930.4 mg/100g Lantana

kering. Penghitungan asupan lantaden dilakukan dengan mengukur berat kering

konsumsi harian Lantana camara pada setiap ekor badak dan mengalikan jumlah

tersebut dengan kandungan Lantaden. Perhitungan tersebut dikompilasi dalam rumus

sebagai berikut:

Asupan lantanden = konsumsi bahan kering x kandungan lantaden

(mg/ekor/hari) (gram kering/ekor/hari) (mg/100g)

100

Ketersediaan Garam

Empat kubangan di wilayah jelajah ketiga ekor badak dipilih berdasarkan

status kubangan yang merupakan kubangan aktif (masih digunakan oleh badak paling

tidak dalam 1 bulan terakhir). Untuk memastikan ketersediaan kandungan mineral

NaCl dalam tanah di sekitar kubangan, maka sampel tanah dari beberapa kubangan di

wilayah jelajah ketiga ekor badak tersebut dikumpulkan dengan menggunakan pipa

62

PVC berukuran diameter 1.75 cm (0.5 inci) yang ditancapkan sedalam 10 sentimeter

ke dalam lumpur di tepi kubangan. Lumpur yang mengisi pipa tersebut didorong

keluar dan dikumpulkan dalam kantong plastik untuk dianalisis lebih lanjut dengan

metode titrimetrik di laboratorium SUCOFINDO Cilegon Banten.

Analisis Data

Data disajikan secara deskriptif dan korelasi antara jarak tempuh dengan keragaman

pakan yang tersedia dianalisis menggunakan koefisien korelasi Pearson.

63

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Ruang Jelajah Badak Jawa

Penyusuran jejak dengan mengikuti jalur lintasan badak (trajektori)

menunjukkan bahwa ketiga badak jantan yang dipilih sebagai obyek penelitian

memiliki jarak dan ruang jelajah yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan adanya

perbedaan ketersediaan pakan, air, dan kubangan. Bentuk ruang jelajah dari masing-

masing badak disajikan dalam Gambar 11. Hubungan antara luas ruang jelajah

dengan kondisi habitat ini dipertegas dengan adanya korelasi positif yang kuat (R=

0.9971) antara luas ruang jelajah badak dalam hektar dengan keragaman asupan pakan

(jumlah pakan yang dimakan) serta korelasi positif yang kuat pula (R = 0.9998) antara

luas ruang jelajah tersebut dengan jumlah kubangan yang digunakan (15 kubangan di

wilayah badak nomor 12; 25 kubangan di wilayah badak nomor 18; 33 kubangan di

wilayah badak nomor 13). Dari data yang ada dapat dilihat bahwa individu 12 yang

berada pada daerah yang memiliki kepadatan populasi tinggi di daerah selatan

semenanjung memiliki ruang jelajah yang lebih sempit (169 ha), sementara individu

13 dan 18 yang masing-masing berada di daerah dengan kepadatan populasi rendah

dan sedang memiliki ruang jelajah yang lebih luas (974 ha dan 631 ha).

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pada area dengan konsentrasi

kepadatan tinggi di area selatan (individu no 12) badak cenderung memiliki ruang

jelajah yang kecil, sementara pada area dengan konsentrasi kepadatan rendah di utara

(individu 13) badak menunjukkan ruang jelajah yang relatif besar. Berdasarkan

catatan ini dapat dilihat adanya indikasi bahwa tingkat kepadatan populasi (kualitatif)

memiliki korelasi negatif dengan luasnya ruang jelajah.

Dinerstein (2003) mencatat dari spesies badak di India dan Nepal (Rhinoceros

unicornis) bahwa badak jantan cenderung untuk memiliki ruang jelajah yang tidak

saling bersinggungan dengan pejantan lainnya. Sebaliknya, badak betina

menunjukkan persinggungan yang cukup besar dengan badak jantan. Dinerstein

(2003) juga mencatat bahwa ruang jelajah badak cenderung berubah menjadi lebih

besar pada musim kering dan berubah menjadi lebih sempit di musim hujan.

Berdasarkan informasi ini, maka pada kondisi badak jawa dalam penelitian ini ada

dua faktor yang mempengaruhi ruang jelajah badak yaitu faktor teritorial dan faktor

ketersediaan sumber daya pakan, dan kemungkinan situasi yang terjadi pada badak

jawa:

64

1. Faktor teritorial: Badak jantan cenderung mempertahankan ruang

jelajahnya sehingga di daerah dengan populasi padat (dan kemungkinan

ada kehadiran badak jantan lainnya) badak memperkecil luas ruang

jelajahnya walaupun persinggungan antara ruang jelajah dua ekor badak

atau lebih sangat mungkin untuk terjadi.

2. Faktor ketersediaan sumber daya: daerah tersebut memiliki kelimpahan

dalam ketersediaan pakan, kubangan, air, dan/atau mineral yang memadai

sehingga badak tidak perlu memiliki ruang jelajah yang luas dan

memungkinkan lebih banyak individu badak yang dapat mendiami suatu

lokasi.

Berdasarkan informasi perilaku dari kamera video otomatis dapat dilihat

bahwa, selain pada musim kawin, badak hampir tidak pernah menunjukkan interaksi

negatif (agresi) sesama spesies, bahkan beberapa data menunjukkan bahwa interaksi

positif terjadi antara dua individu dewasa. Berdasarkan pengamatan bahwa perbedaan

luas ruang jelajah kemungkinan besar diakibatkan oleh faktor yang disajikan pada

butir 2 di atas. Faktor habitat yang menentukan luasnya ruang jelajah dan bukan

faktor perilaku. Rangkuman luas ruang jelajah dan jarak tempuh badak dalam

penelitian ini disajikan dalam Tabel 3. Analisis korelasi menggunakan koefisien

Pearson menunjukkan bahwa ruang jelajah berkorelasi positif kuat dengan keragaman

pakan (R= 0.9971) dan juga dengan jumlah kubangan (R=0.9998).

Tabel 3. Rangkuman luas ruang jelajah dan jarak tempuh tiap ekor badak

Badak no Luas ruang jelajah (ha) Total Jarak tempuh (km)

12 169 26.40

13 974 45.93

18 631 44.70

65

A

B

C

Gambar 11. Pola lintasan badak no 13 di Utara (A), badak 18 di Barat (B), dan

badak no 12 di Selatan (C) beserta aktifitas dari masing-masing badak

sebagaimana tercatat dalam survei lapangan.

66

Palatabilitas dan Keragaman Pakan

Beberapa contoh tumbuhan pakan badak jawa ditampilkan dalam Gambar 12

untuk menunjukkan jenis tumbuhan pakan berupa tumbuhan semak dengan daun

lebar.Kompilasi catatan tumbuhan pakan yang dikomsumsi oleh badak selama masa

pengamatan terdiri dari 108 jenis tumbuhan, dan 94 dari 108 jenis tumbuhan ini

dipilih sebagai perwakilan dari jenis tumbuhan pakan tersebut untuk menjalani

analisis proksimat di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi, Bogor. Hasil analisis

proksimat tumbuhan pakan ini disajikan dalam Lampiran 2. Selain ruang jelajah yang

berbeda, setiap badak menunjukkan variasi palatabilitas jenis pakan yang berbeda-

beda pula sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4. Perbandingan jenis tumbuhan

palatabilitas tinggi dengan data kelimpahan pakan yang dikumpulkan oleh Rahmat et

al. (2007) menunjukkan adanya indikasi keterkaitan antara tingkat palatabilitas

tumbuhan pakan dengan kelimpahannya di lokasi tersebut. Tumbuhan dengan

palatabilitas tinggi biasanya secara proporsional memiliki kelimpahan yang tinggi di

lokasi tersebut.

A B C

Gambar 12. Beberapa contoh tumbuhan pakan badak Jawa yang tercatat dalam

pengamatan di lapangan. Foto di atas menunjukkan jenis tumbuhan

tepus: Amomum sp (A), Rotan: Calamus sp (B), dan Mara: Mallotus

floribundus (C). Foto: Rsetiawan – WWF Indonesia (2009)

67

Tabel 4. Badak jawa, lokasi, dan jenis pakan dengan palatabilitas tertinggi

(persentase konsumsi basah rata-rata per hari) selama pengamatan bulan

Oktober 2009 sampai April 2010.

Badak no Blok Palatabilitas tertinggi

12 B52 Leea sambucina, Dracontomelon puberulum,

Amomum megalocheilos, Spondias pinnata

13 B55 Zanthoxylum rhetsa, Lantana camara

18 B20 Diospyros macrophylla, Ficus hispida

Keterangan: Nama lokal disajikan dalam Tabel 5

Jenis-jenis tumbuhan yang memiliki palatabilitas tinggi memiliki kadar lemak

yang rendah (1.49-4.45%) dan energi yang memadai antara 3,521 – 4,151 kkal/kg.

Kadar lemak yang rendah merupakan faktor yang perlu diperhatikan mengingat lemak

adalah bahan baku dalam sintesa hormon steroid yang berperan penting dalam siklus

reproduksi badak jantan maupun betina (Koolman & Röhm 2001).

Kualitas dan Kuantitas Asupan Nutrien

Analisis proksimat menunjukkan kandungan air, nutrien (protein dan lemak),

serta energi dari masing-masing tumbuhan pakan dengan palatabilitas tinggi seperti

yang ditampilkan pada Tabel 5. Untuk melakukan penghitungan konsumsi bahan

kering (KBK) yang besarnya 1% BB dari setiap ekor badak.

Tabel 5. Komposisi nutrien dan energi dari tumbuhan pakan yang disukai badak jawa

(palatabilitas tinggi).

Tumbuhan pakan Rataan

Konsumsi

segar

(g/hr)

Air

(%)

Protein

(%)

Lemak

(%)

Energi

(kkal/kg) Nama Ilmiah Nama lokal

Leea sambucina Sulangkar 1,232.86 8.93 5.60 3.07 3,607

Dracontomelon p Dahu 66.09 10.51 9.84 1.49 3,906 Amomum

megalocheilos Tepus 845.50 9.58 10.24 1.63 4,151

Spondias pinnata Kedondong 257.73 9.42 9.16 2,62 3,005

Zanthoxylum

rhetsa

Kitanah 164.31 16.33 17.11 1.94 3,667

Diospyros

macrophylla Kicalung 70.71 9.85 10.96 1.96 4,098

Ficus hispida Bisoro 1,217.55 13.11 11.84 1.97 2,721

Lantana camara Cente 344.85 8.37 7.67 4.11 4,004

Keterangan: Kadar air merupakan kadar yang diukur setelah sampel tumbuhan

dikeringkan. Kadar air dalam tumbuhan segar memiliki angka 60-80%

lebih tinggi dibanding angka dalam tabel ini.

68

Identifikasi Tumbuhan Pakan dengan Kualitas Nutrisi Tinggi

Identifikasi tumbuhan pakan dengan kualitas nutrisi yang tinggi dilakukan dengan

memilih jenis-jenis tumbuhan pakan dengan kandungan nutrien dan energi yang

paling tinggi berdasarkan data dari analisis proksimat. Jenis-jenis tumbuhan pakan ini

ditampilkan dalam Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Daftar tumbuhan pakan dengan kandungan air, nutrien dan energi tertinggi

Nama Ilmiah Nama Lokal Air

g/100g

Protein

g/100g

Lemak

g/100g

Energi

kkal/kg

Moringa citrifolia Cangkudu 7.38 23.39 6.30 4,460

Callicarpa longifolia Areuy

Katumpang 8.76 23.61 6.69 4,110

Chisocheton

microcarphus

Kilangir 8.65 20.64 6.00 4,656

Alstonia angustiloba Lame Peucang 8.26 17.11 8.61 4,358

Callicarpa longifolia Areuy

katumpang 8.76 23.61 6.69 4,110

Macaranga spp Mara 13.38 10.78 6.78 3,901

Derris thyorsifolia Areuy Kawao 7.12 15.22 2.83 4,718

Pterospermum

javanicum

Bayur 6.94 12.36 2.06 4,678

Percampyulus glances Geureung 8.56 16.37 2.49 4,702

Paederia scandens Areuy kipuak 55.17 4.97 0.95 1,951

Alstonia scholaris Lame koneng 61.08 3.83 2.18 2,090

Costus speciosus Pacing 45.86 5.30 0.57 2,247

Keterangan: Kadar air merupakan kadar yang diukur setelah sampel tumbuhan

dikeringkan. Kadar air dalam tumbuhan segar memiliki angka 60-80%

lebih tinggi dibanding angka dalam tabel ini.

Bila informasi pada Tabel 4 (palatabilitas pakan) dan informasi pada Tabel 6

(pakan dengan kualitas nutrisi tinggi) dibandingkan, maka dapat dilihat bahwa hanya

jenis tumbuhan pakan Zanthoxylum rhetsa (kitanah) yang merupakan tumbuhan

pakan dengan palatabilitas tinggi sekaligus juga tumbuhan dengan kandungan protein

tinggi setara dengan kandungan protein pada Alstonia angustiloba (lame peucang).

Fakta ini menunjukkan bahwa tumbuhan dengan kualitas yang paling baik belum

tentu merupakan makanan yang paling banyak dimakan oleh badak jawa. Hal

tersebut tergantung pada struktur vegetasi dengan ketersediaan pakan (kepadatan

tumbuhan pakn) dengan kualitas nutrisi yang baik ini. Dengan mengacu pada

kerapatan tumbuhan pakan yang disukai oleh badak jawa berdasarkan Rahmat et al.

69

(2007), maka kerapatan masing-masing tumbuhan pakan berkualitas baik dalam Tabel

6 idealnya tersedia dalam kerapatan: 5,406 individu/ha (jenis tumbuhan bawah); 2,222

individu/ha untuk jenis semai ; 268 individu/ha untuk jenis pancang ; 32 individu/ha

untuk jenis tiang ; dan 15 individu per hektar untuk jenis pohon.

Konsumsi bahan kering berbanding lurus dengan asupan air, nutrien (lemak

dan protein), serta energi. Data asupan harian dari komponen-komponen yang terdiri

dari air, nutrien (protein & lemak), serta energi disajikan dalam Tabel 7. Data dari

Tabel ini menunjukkan bahwa ada fluktuasi asupan harian yang menyebabkan asupan

air, nutrient, dan energi tidak selalu tersedia dalam jumlah yang besar sepanjang

tahun.

Asupan air dari pakan berada pada tingkat yang rendah pada bulan November

(setelah musim kering di bulan Oktober); asupan protein menunjukkan titik terendah

di bulan Oktober (musim kering); asupan lemak menunjukkan titik terendah pada

bulan-bulan Oktober, November, Februari, Maret; dan asupan energi dapat dilihat ada

pada tingkat terendah pada bulan Desember. Fakta ini menunjukkan bahwa populasi

badak jawa menghadapi waktu-waktu tertentu saat terjadi keterbatasan air, nutrien,

dan energi.

Kompilasi perhitungan total konsumsi air, nutrien, serta energi dari setiap

badak sampel penelitian ini disajikan dalam Tabel 8. Analisis deskriptif pada rataan

asupan bahan kering harian pada ketiga ekor badak menunjukkan adanya perbedaan

antara badak 18 dengan kedua ekor badak lainnya (badak 12 dan 13). Hal ini

disebabkan karena perbedaan bobot tubuh antara badak dewasa (badak 12 dan badak

13) dengan badak muda (badak 18) yang memiliki bobot badan lebih kecil.

70

Tabel 7. Data asupan nutrisi harian badak jawa

Individu Bulan

Asupan Harian (g/ek/h)

Air Protein Lemak Energi (Kal/ek/h)

BADAK 12 Oktober

6,817.47

803.37

249.00

36,698.43

November

6,782.38

1,132.47

238.38

38,123.76

Desember

3,271.27

1,061.48

277.83

38,065.81

Januari

3,843.73

1,333.57

288.78

37,306.61

Februari

6,214.17

1,257.08

246.22

39,878.90

Maret

3,271.98

1,169.00

280.77

40,064.76

April

4,910.03

1,124.94

287.25

33,491.94

BADAK 13 Oktober

5,220.71

1,161.44

297.52

37,160.07

November

3,067.49

1,215.83

353.37

38,026.67

Desember

19,869.04

1,099.87

290.81

35,909.84

Januari

31,633.70

966.16

266.54

37,338.69

Februari

18,155.98

1,045.49

273.25

35,470.19

Maret

3,537.91

1,052.38

255.36

35,800.96

April

7,470.35

1,243.47

351.06

36,922.17

BADAK 18 Oktober

3,535.39

754.34

166.89

25,669.98

November

1,173.19

764.45

186.49

25,266.01

Desember

12,813.47

767.19

175.48

11,096.92

Januari

7,023.90

796.14

179.01

22,607.03

Februari

8,394.51

792.38

181.89

22,716.09

Maret

3,741.64

696.49

170.48

23,755.24

April

1,209.83

695.29

214.81

26,226.10

Keterangan: data diambil pada tahun 2009-2010

Pada bulan-bulan dengan jumlah kejadian hujan yang rendah (Oktober-

Desember dan Maret-April) nampak jumlah konsumsi air asal pakan yang rendah,

kecuali pada badak no 12 yang menunjukkan konsumsi air yang tetap rendah di bulan

Desember dan Januari. Analisis regresi pada data di atas menunjukkan adanya

korelasi (koefisien Pearson = 0.87) dan hubungan linear positif (R2 = 0.76) antara

rata-rata kejadian hujan per bulan dengan kadar air pada tumbuhan pakan. Hasil

analisis ini menunjukkan adanya kecenderungan jumlah kandungan air asal pakan

yang dipengaruhi oleh curah hujan.

71

Tabel 8. Rataan asupan air, protein, lemak, dan energi per ekor per hari pada tiga

ekor badak yang diamati dalam penelitian.

Kode

Badak

Air

(g/ek/h)

Protein

(g/ek/h)

Lemak

(g/ek/h)

Energi

(kkal/ek/h)

12 5,015.86 1,125.99 266.89 37,661.46

13 12,707.88 1,112.09 298.27 36,661.23

18 5,413.13 752.33 182.15 22,476.77

Kecernaan

Perhitungan kecernaan berat kering (BK) menggunakan metode Van Keulen

(1977) menunjukkan bahwa tingkat kecernaan pada sistem digesti badak yang diamati

dalam penelitian ini berada pada rentang 77% sampai 91% dengan rata-rata 83%dan

rentang kecernaan terkoreksi pada 69.3%-81.9% sebagaimana ditampilkan dalam

Tabel 8. Rentang ini cukup besar bila dibandingkan dengan rentang kecernaan pada

badak lain berdasarkan literatur. Perbedaan kecernaan ini menunjukkan adanya suatu

implikasi yang terjadi akibatperbedaan kondisi ketersediaan pakan yang dihadapi oleh

badak di habitat alaminya. Pagan et al. (1998) menunjukkan adanya perubahan

persen kecernaan akibat perbedaan diet dan tingkat aktifitas pada kuda, hewan yang

memiliki anatomi dan sistem pencernaan yang sama dengan badak. Perbedaan pakan

yang tersedia bagi badak serta perbedaan tingkat aktifitas yang dilakukan masing-

masing badak dapat menyebabkan perbedaan dan rentang kecernaan seperti ini.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan pakan terdiri dari: umur, kualitas

pakan, status hewan, jumlah konsumsi dan laju pakan (McDonald, 2002).

Tabel 9. Persen kecernaan berat kering dari tiga ekor badak dengan koreksi 10%

menurut Mainka et al.(1989)

Kode Badak

AIA Pakan AIA Feses % kecernaan %

kecernaan

terkoreksi

12 18.68 216.92 91% 81.9%

13 201.11 881.48 77% 69.3%

18 216.19 1,007.22 79% 71.1%

Tabel 9 menunjukkan bahwa individu badak nomor 12 tersebut memiliki

tingkat kecernaan pakan yang paling tinggi disertai dengan jumlah palatabilitas pakan

terbanyak berdasarkan informasi dari Tabel 4. Badak 12 yang merupakan badak

72

dewasa tua dengan ruang jelajah terkecil memiliki palatabilitas jenis pakan yang lebih

beragam dibandingkan dengan badak 13 dan badak 18. Selain faktor kondisi habitat,

kecernaan juga dipengaruhi faktor usia, fisiologi, dan juga genetika dari hewan yang

diamati.

Kecernaan terkoreksi yang dihitung dengan metode AIA dalam penelitian ini

(69.3%-81.9%) dapat dibandingkan dengan kecernaan pada badak sumatra (Koleksi

total): 57.49% - 80.45% (Mundiany et al. 2005), dan perbandingan ini menunjukkan

bahwa ada kemiripan dalam hal kecernaan berdasarkan kedua metode ini yaitu pada

pada rentang kecernaan berat kering 69.3%-80.45%. Informasi ini menunjukkan

kemungkinan adanya kompatibilitas antara kedua metode (AIA dan koleksi total)

dalam menghitung kecernaan pada badak. Kecernaan pada badak jawa berada pada

rentang yang sebanding dengan perhitungan kecernaan pada badak Sumatra

menggunakan koleksi total. Fakta ini menunjukkan bahwa perhitungan kecernaan

menggunakan metode AIA adalah kompatibel dengan perhitungan kecernaan

menggunakan metode koleksi total.Pengukuran dengan metode AIA biasanya

mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan metode koleksi total, hal ini

disebabkan saat pengambilan sampel feses secara kualitatif.

Kajian RisikoToksisitas Lantaden

Berdasarkan jumlah asupan Lantana camara yang tercatat di lapangan,

estimasi asupan lantaden perhari pada ketiga ekor badak dalam penelitian ini disajikan

dalam Tabel 10 di bawah ini. Rataan asupan Lantana camara dari Tabel 10 ini

menunjukkan bahwa badak mengkonsumsi lantana kering: 122.43 g/ekor/hari atau

setara dengan asupan lantaden sebesar rataan 23.63 g/ek/hari. McSweeney & Pass

(1983) menunjukkan bahwa jumlah asupan Lantana camara dengan dosis 4g/kg berat

badan yang setara dengan konsumsi Lantana kering sebanyak 4,000 g/ek/hari pada

badak berbobot 1 ton (dosis lantanden 772.16 g/ek/hari) akan menyebabkan

kerusakan pada hati yang ditunjukkan dengan gejala klinis berupa ruminal stasis

seperti yang terjadi pada domba. Asupan yang terjadi pada badak masih lebih kecil

dibandingkan dengan dosis ini.

73

Tabel 10. Estimasi penghitungan asupan antinutrisi lantaden harian melalui konsumsi

tumbuhan Lantana camara pada badak jawa (g/ek/h)

Badak no Rataan konsumsi

Lantana

harian(g/ek/h)

Konsumsi Lantaden

harian(g/ek/h)

12 28.00 5.41

13 286.27 55.26

18 53.02 10.23

Tabel 10 menunjukkan bahwa badak jawa juga nampaknya menghadapi risiko

dari konsumsi toksin lantaden di daerah-daerah tertentu di mana tumbuhan pakan

badak banyak didominasi oleh jenis Lantana camara. Badak nomor 13 menunjukkan

jumlah asupan tumbuhan Lantana sp dan juga toksin lantaden yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kedua ekor badak lainnya dalam penelitian ini. Hal tersebut

menunjukkan bahwa individu badak nomor 13 tersebut memiliki ruang jelajah dengan

dominasi tumbuhan Lantana sp yang tumbuh di areal pakan yang dikunjunginya.

McFadyen (1998) menunjukkan bahwa pengendalian tumbuhan Lantana sp dapat

dilakukan secara mekanis dan biologis, dan dapat menjadi bagian dari pengelolaan

habitat badak berbasis nutrisi dan kesehatan.

Ketersediaan Garam dan Air di Lokasi Kubangan

Analisis kandungan NaCl dalam tanah disajikan dalam box plot pada Gambar

13. Diagram ini menunjukkan bahwa lokasi 1 dan 2 (blok Cikeusik dan Cigenter)

tempat individu 12 dan 18 masing-masing berada memiliki kadar NaCl yang tinggi

dan kemungkinan besar menarik bagi badak sebagaimana dijelaskan oleh Rahmat et

al. (2007). Nilai tengah kandungan NaCl berada dalam kisaran 5-60 ppm dengan

beberapa pengecualian lokasi di muara cigenter (lokasi 2) yang memiliki outlier

kandungan NaCl yang sangat tinggi. Tingginya kadar garam ini dapat disebabkan

oleh lokasi daerah tersebut yang berada di daerah pasang surut yang terkadang

terendam oleh air laut saat pasang. Air laut yang menggenangi lokasi ini

menyebabkan kadar garam di daerah ini menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan

dengan lokasi ataupun daerah lainnya. Ketersediaan garam seperti ini akan membantu

proses absorpsi nutrien (termasuk glukosa) dari saluran cerna ke dalam darah.

Efisiensi absorpsi seperti ini akan membantu proses penyediaan energi dalam kondisi

cekaman ataupun meningkatkan kemampuan badak dalam mempertahankan

homeostasis.

74

Gambar 13.Rentang kandungan NaCl dalam tanah di empat lokasi kubangan yang

berada dalam lingkup ruang jelajah tiga ekor badak jawa yang diamati

dalam penelitian.

75

Simpulan dan Saran

Simpulan

1. Metode penyusuran lintasan (trajektori) merupakan suatu cara yang memiliki

peluang keberhasilan tinggi dan berpotensi untuk diterapkan sebagai prosedur

pemantauan kualitas nutrisi yang dapat diterapkan untuk pemantauan

kecukupan nutrisi badak di habitat alaminya.

2. Hasil analisis komposisi pakan di lapangan menunjukkan bahwa pakan yang

memiliki palatabilitas tinggi terdiri dari: Leea sambucina (Sulangkar),

Dracontomelon puberulum (Dahu), Amomum megalocheilos (Tepus),

Spondias pinnata (Tepus), Zanthoxylum rhetsa (Kitanah), Diospyros

macrophylla (Kicalung), dan Ficus hispida (Bisoro).

3. Badak 12 menghuni daerah dengan keragaman pakan yang cukup tinggi

dengan kualitas pakan yang relatif tinggi protein dan energi. Hal ini

menunjukkan struktur vegetasi yang memadai di ruang jelajah badak 12,

sehingga hewan ini tidak memerlukan ruang jelajah yang besar.

4. Jenis pakan ideal yang kaya nutrisi (protein dan lemak) serta energi bagi badak

jawa terdiri dari tumbuhan: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia,

Chisocheton microcarphus, (protein tinggi); Alstonia angustiloba, Callicarpa

longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi); Derris thyorsifolia, Pterospermum

javanicum, Percampyulus glances, (energi tinggi); Paederia scandens,

Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air tinggi).

5. Ada indikasi kualitas air, nutrien, dan energi yang kurang memadai pada

waktu-waktu tertentu (periode kering Oktober-November 2009 dan Februari-

Maret 2010), terutama kandungan protein dan lemak yang rendah pada

tumbuhan dengan palatabilitas tinggi. Defisit nutrien lemak akan

mempengaruhi proses sintesa hormon steroid yang berfungsi dalam siklus

reproduksi. Secara keseluruhan konsumsi nutrien badak jawa masih memenuhi

kebutuhan untuk bertahan hidup dengan tingkat kecernaan yang tinggi.

6. Perbandingan hasil berdasarkan metode AIA dan koleksi total ini

menunjukkan bahwa metode AIA sedikit lebih tinggi bila dibandingkan

dengan metode koleksi total dan dapat digunakan dalam menghitung

kecernaan pada satwa liar dimana metode koleksi total tidak dapat dilakukan.

76

7. Asupan toksin lantaden melalui konsumsi Lantana camara yang terjadi pada

badak jawa tidak akan menimbulkan dampak pada kesehatan karena

jumlahnya yang sangat kecil (23.63 mg/ek/hari) atau 2.36 x 10-7

% dari berat

badan badak.

8. Kebiasaan menjilat lumpur (salt licking) merupakan upaya untuk memenuhi

kebutuhan garam, karena ada kandungan garam yang memadai pada lumpur

dan tanah di sekitar kubangan.

Saran

1. Perlu pengkajian potensi persemaiantumbuhan pakan bernutrisi tinggi untuk

dikembangkan sebagai bagian dari upaya pengkayaan habitat badak jawa.

2. Dengan berpedoman pada hasil analisis vegetasi yang dilakukan oleh Rahmat

et al. (2007), optimalisasi habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon perlu

dilakukan dengan memperluas sebaran dan memperbanyak ketersediaan

tumbuhan (sebutkan 5 terbaik) dengan formulasi kerapatan: 5,406 individu/ha

(jenis tumbuhan bawah) ; 2,222 individu/ha untuk jenis semai ; 268

individu/ha untuk jenis pancang ; 32 individu/ha untuk jenis tiang ; dan 15

individu per hektar untuk jenis pohon.

77

Daftar Pustaka

Birkett A, Stevens-Wood B,. 2005. Effect of low rainfall and browsing by large

herbivores on an enclosed savannah habitat in Kenya. African journal of

ecology 43: 123-130

Clauss M, et al. 2005. Studies on digestive physiology and feed digestibilities in

captive Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Journal of Animal

Physiology and Animal Nutrition 89 (2005) 229–237

Dinerstein E, 2003. The return of the unicorns. The natural history and conservation

of the greater one-horned rhinoceros. Columbia Universtiy Press, New york

Fernando P, Polet G, Foead N. Ng L. Melnick DJM. 2004. Mitochondrial DNA

analysis of the critically endangered Javan Rhinoceros. PHKA-WWF-Columbia

University

Hariyadi ARS, et al. 2011. Estimating the population structure of the Javan rhino

(Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park using the mark-recapture

method based on camera and video trap identification. Pachyderm no 49: 90-99

Koolman J, Rohm KH, Wanandi SI[ed], Sadikin M [ed]. 2001. Atlas berwarna dan

teks Biokimia. Cetakan I. Penerbit Hipokrates, Jakarta

Mainka SA, Zhao GL, Li M, 1989. Utilization of a bamboo, sugar cane, and gruel diet

by two juvenile giant pandas (Ailuropoda melanoleuca). Journal of zoo and

wildlife medicine 20:39-44

McFadyen REC,. 1998. Biological control of weeds. Annual review of entomology

43:369-393

McSweeney CS, Pass MA,. 1983. The mechanism of ruminal stasis in Lantana-

poisoned sheep. Quarterly journal of experimental physiology 68: 301-313

Mundiany L, Agil M, Astuti DA,. 2005. Studi Kasus: Estimasi Gambaran Nutrien

pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) Jantan di Suaka Rhino

Sumatera Taman Nasional Way Kambas. [Skripsi] Institut Pertanian Bogor

Pagan JD, et al. 1998. Exercise affects digestibility and rate of passage of all-forage

and mixed diets in throroughbred horses. American society for nutritional

sciences. J. Nutr. 128: 2704S-2707S

Purchase D,. 2007. Using spoor to determine the age and weight of subadult black

rhinoceroses (Diceros bicornis L). South African Journal of Wildlife Research

37(1): 96-100

78

Rahmat UM, Santosa Y, Kartono AP,. 2007. Analisis Tipologi Habitat Preferensial

bagi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional

Ujung Kulon. Institut Pertanian Bogor

Sharma OP, Singh A, Sharma S,. 2000. Levels of lantadene, bioactive pentacyclic

triterpenoids, in young and mature leaves of Lantana camara var acuelata.

Fitoterapia 71(5):487-491

Sims JA, et al. 2007. Determination of bamboo-diet digestibility and fecal output by

giant pandas. Ursus 18(1): 38-45

Sriyanto A, et al. 1995. A Current status of the Javan Rhino population in Ujung

Kulon National Park. Javan Rhino Colloquium

VanKeulen J, Young, BA. 1977. Evaluation of Acid Insoluble Ash as a Natural

Marker in Ruminant digestibility Studies. Journal of Animal Science vol 44 no:

2. 282-287

White AM, Swaisgood RR, Czekala N,. 2007. Ranging patterns in white rhinoceros,

Ceratotherium simum simum: implications for mating strategies. Animal

behaviour (74): 349-356

PENENTUAN ASAI HORMON GLUKOKORTIKOID UNTUK MEMANTAU

INDIKATOR CEKAMAN PADA BADAK JAWA JANTAN.

Abstrak

Salah satu aspek penting dalam pengelolaan populasi badak jawa (Rhinoceros

sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon Banten adalah upaya untuk mempelajari

dan memantau tingkat cekaman yang dihadapi oleh badak jawa di habitatnya. 3α,11β-

dihydroxy-CM dari feses merupakan metabolit glukokortikoid yang diduga dapat

digunakan untuk analisis tingkat cekaman pada badak jawa. Kajian cekaman dilakukan

pada tiga individu (badak 12, 13, dan 18) dengan tingkat asupan pakan dan nutrien

yang berbeda dan juga antar musim untuk mempelajari variasi kadar glukokortikoid di

musim kering dan musim hujan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya fluktuasi

pada profil 3α,11β-dihydroxy-CM pada individu badak 12 dan 18 selama musim

kering, dan individu 18 (individu muda) memiliki fluktuasi 3α,11β-dihydroxy-CM yang

besar. Hal ini menunjukkan bahwa individu nomor 18 tersebut mengalami cekaman

yang fluktuatif yang tidak hanya disebabkan oleh faktor kekeringan, namun mungkin

pula disebabkan oleh cekaman akibat rendahnya asupan energi asal pakan per berat

badan (%), dan juga disebabkan oleh adanya interaksi sosial dengan badak dewasa.

Musim kering yang memiliki jumlah kejadian hujan yang rendah yaitu rataan 0.2

kejadian hujan setiap harinya cenderung menyebabkan cekaman yang tinggi pada

badak. Penelitian ini menunjukkan bahwa defisit energi asal pakan dan keterbatasan air

merupakan sumber cekaman yang besar bagi badak jawa.

Kata kunci: badak jawa, hormon, cekaman, EIA

80

Analysis of 3α,11β-dihydroxy-CM profile for indicator of stress on male javan

rhinoceros

Abstract

One of the most important aspects in conservation of javan rhinoceros

(Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, Banten was to study and to

monitor the levels of stress that the animals faced in their habitat.There was an

indication that 3α,11β-dihydroxy-CM from feces was a glucocorticoid metabolite that

could potentially be used for analyzing the levels of stress in javan rhino. Assessment

was done to study stress variations among the three rhinos (rhino 12,13 and 18) that

had different levels of feed intake, as well as to study variations of glococorticoid levels

in dry and rainy seasons. The result from this study showed that there was a fluctuation

in 3α,11β-dihydroxy-CM levels in rhino number 18 and 12, while rhino number 18 (a

young rhino) showed a large fluctuation in 3α,11β-dihydroxy-CM level. This indicated

that this young rhinoexperienced fluctuative stress that may be caused not only by

energy intake deficit (energy intake per body weight) and water deficit, but also by

social interactions involving adult males in the same home range. Dry season where

the daily rain occassion is low (0.2 rain occurrences per day) tend to cause higher

stress for the rhinos. This research shows that the deficit in energy intake per body

weight (%) and water limitation are among the biggest sources of stress for rhino

population.

Key words: Javan rhinoceros, hormones, stress, EIA

81

Pendahuluan

Mekanisme dan Respons Individu terhadap Cekaman

Seperti halnya hewan mamalia lainnya, badak jawa menghadapi berbagai

macam kondisi yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat mengganggu fungsi

fisiologis tubuh. Kondisi yang mengancam keseimbangan fungsi fisiologis ini

didefinisikan sebagai sumber cekaman atau stressor (Morgan & Tromborg 2007).

Dengan adanya cekaman ini, badak jawamelakukan proses tanggap cekaman melalui

mekanisme yang melibatkan berbagai proses pengiriman sinyal melalui sistem saraf,

sistem endokrin, dan juga melibatkan proses adaptasi fisiologis. Proses-proses tersebut

merupakan mekanisme tanggap cekaman yang dilakukan oleh hewan untuk

mempertahankan keseimbangan metabolisme (homeostasis). Salah satu strategi dalam

mempertahankan homeostasis ini adalah dengan produksi hormon-hormon seperti

adrenalin dan kortisol yang dapat membantu penyediaan energi secara cepat. Uji coba

Induksi cekaman pada hewan model kuda dalam salah satu bagian penelitian disertasi

ini telah membuktikan bahwa kadar kortisol dalam darah meningkat secara

signifikan.Hal ini menandakan adanya peningkatan aktifitas korteks adrenal melalui

mekanisme pengaturanporos hipotalamus-pituitari-adrenal. Sekresi hormon-hormon

tersebutkemudian beredar di dalam darah dan mendorong proses glukoneogenesis dan

lipolisis (Koolman & Röhm 2001) sebagai upaya untuk menyediakan energi secara

cepat sebagai upaya mempertahankan keseimbangan fungsi fisiologis tubuh dalam

kondisi cekaman.

Cekaman dari lingkungan yang dirasakan oleh badak diterima langsung oleh

berbagai reseptor yang terdapat pada permukaan tubuh yang mengirimkan sinyal ke

pusat nyeri yang kemudian mengirimkan sinyal cekaman ke hipotalamus (Baron 2006),

adapun cekaman fisiologis akibatperubahan komposisi kimia darah (hipoglisemia,

toksin) juga mengirimkan sinyal cekaman kepada hipotalamus ini. Demikian pula

dengan perubahan pada nutrisi yang dapat dideteksi di dalam saluran pencernaan serta

pusat termoregulasi yang mengirimkan sinyal kepada hipotalamus dalam kondisi

adanya cekaman (Coenen 2005). Sinyal cekaman yang diterima oleh hipotalamus ini

kemudian dilanjutkan dengan reaksi tanggap cekaman yang dikenal dengan aksis HPA

(Hipotalamus-Pituitari-Adrenal) yang berujung pada peningkatan aktifitas korteks

adrenal dan adanya peningkatan sekresi hormon cekaman seperti adrenalin dan kortisol

tergantung dari sifat cekaman tersebut (akut atau kronis).Reaksi tanggap cekaman juga

82

dapat menyebabkan adanya perubahan perilaku yang dimediasi oleh proses neuro-

endokrin yang melibatkan pengiriman sinyal oleh sistem saraf yang kemudian memicu

sekresi hormon. Perubahan ini merupakan mekanisme perilaku stress avoidance yang

memungkinkan hewan tersebut untuk mendeteksi dan menghindari sumber cekaman

(Dickens et al. 2010).

Gambar 14. Reaksi biokimia yang merupakan proses tanggap terhadap cekaman bagi

mamalia (sumber: Coenen 2005).

83

Definisi Cekaman

Dickens et al. (2010) menjelaskan bahwa badak memiliki mekanisme tanggap

cekaman yang bertujuan untuk mempertahankan homeostasis atau keseimbangan

fisiologi di dalam tubuh. Mekanisme ini memiliki proses yang berbeda terhadap

sumber cekaman akut yang berupa tekanan tunggal yang segera ditanggapi dengan

mekanisme fight or flight hasil dari mediasi sistem saraf simpatetik. Bila sumber

cekaman ini berlangsung berulang-ulang atau berlangsung dalam waktu yang cukup

lama, maka cekaman ini menjadi kronis (Wingfield & Romero 2001). Kedua jenis

cekaman ini memberikan stimulasi terhadap hipotalamus dan memberikan respons

berupa peningkatan aktifitas adrenal korteks yang ditunjukkan dengan adanya

peningkatan sekeresi hormon glukokortikoid (Barja et al. 2007) pada berbagai hewan

termasuk badak (Turner Jr et al. 2002; Menargues et al. 2008). Selain kadar hormon

glukokortikoid, cekaman akut dan kronis menimbulkan reaksi yang berbeda pada

metabolisme dan sistem pertahanan tubuh hewan.

Hal ini sangat relevan dengan keadaan yang dihadapi oleh badak jawa di

habitatnya yang mengalami defisit pakan dan juga defisit air pada musim kering.

Individu badak no 12 dipilih sebagai sampel untuk mewakili kondisi defisit pakan

karena individu ini menunjukkan ruang jelajah yang paling kecil dengan jumlah

asupan, keragaman pakan, dan juga kualitas nutrisi yang paling rendah dibandingkan

dengan kedua ekor badak lainnya.

Kondisi defisit air di habitat badak jawa didefinisikan sebagai musim kering

saat ketersediaan sumber air bagi badak di Taman Nasional Ujung Kulon diprediksi

menurun berdasarkan skenario perubahan iklim (Permadi 2008). Musim kering ini

memiliki karakteristik berupa curah hujan yang rendah, dan oleh karena itu, data

hormon untuk menggambarkan kondisi defisit air didefinisikan sebagai kadar hormon

pada bulan-bulan dengan curah hujan yang rendah berdasarkan jumlah kejadian hujan

per hari pada bulan tersebut.

Hormon Terkait Cekaman Beserta Metabolitnya

Kadar hormon kelompok glukokortikoid yang merupakan respons dari aktifitas

Adrenocorticotrophin Hormone (ACTH) telah banyak digunakan sebagai indikator

adanya stress pada berbagai spesies hewan seperti: anjing (Schoeman et al. 2007),

karnivora (Young et al. 2004), Kerbau (Garg & Chander 1997), pengerat (Soto-

Gamboa et al. 2009), dan sapi perah (Morrow et al. 2000). Selain kortisol, indikator

84

hormon stres lainyang dapat digunakan untuk mengukur cekaman pada hewan adalah

kortikosteron (Wasser et al. 2000). Kejadian cekaman dapat juga diukur dengan

indikator metabolit kortisol yang diekskresikan dalam feces dan/atau urin seperti

androstenediol yang meningkat seiring adanya cekaman pada hewan (peningkatan

aktifitas pada korteks adrenal) sebagaimana dijelaskan dalam Barja et al. (2007). Salah

satu metabolit kortisol yang memiliki potensi sebagai indikator adanya aktifitas korteks

adrenal akibat cekaman adalah 3α,11β-dihydroxy-CM (Ghalib et al. 2011).

Kortisol merupakan hormon cekaman yang disekresikan oleh kelenjar adrenal

dan dieksresikan melalui feses ataupun urin seperti yang ditampilkan pada Gambar 14.

Namun demikian, ada kemungkinan bahwa kortisol yang telah diekskresikan melalui

feses ataupun urine sudah mengalami inaktivasi dimana hormon tersebut sudah

mengalami konversi metabolik, konjugasi dan reduksisehingga akan diekskresikan

sebagai metabolit dari kortisol. Oleh karena itu, dalam merancang suatu metoda untuk

memantau tingkat cekaman berdasarkan kadar hormon pada feses, opsi untuk

mendeteksi metabolit kortisol telah dikembangkan dan digunakan untuk memastikan

bahwa tingkat hormon cekaman tetap dapat diukur walaupun hormon kortisol telah

mengalami perubahan karena flukutasi cekaman berkorelasi positif dengan fluktuasi

kortisolatau kortikosteron (Wasser et al. 2000). Pada hewan monitoring stress dapat

dilakukan dengan menganalisa metabolit glukokortikoid 5-beta-androstendiol pada

sampel (Barja et al. 2007) dan pada hewan dengan menganalisa 3α,11β-dihydroxy-CM

pada sampel.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan populasi badak jawa saat ini

adalah tidak adanya perangkat yang dapat digunakan untuk memantau tingkat cekaman

yang dihadapi badak jawa dengan tepat. Kendala ini mengakibatkan kurangnya

informasi yang diperlukan untuk meningkatkan peluang untuk berkembang biak dan

bertahan dari penyakit. Sampai saat ini belum diketahui tentang indikator yang dapat

digunakan untuk memantau tingkat cekaman pada badak jawa dari feses, belum ada

informasi mengenai profil glukokortikoid pada badak, dan belum ada analisis mengenai

kemungkinan adanya perbedaan profil glukokortikoid (sebagai reaksi tanggap terhadap

cekaman) antar individu badak maupun perbedaan profil glukokortikoid antara kondisi

musim (kering dan penghujan).

85

Tujuan Penelitian

Dengan mempertimbangkan potensi dari penggunaan metabolit glukokortikoid

pada sampel feses, dan juga mengingat adanya kebutuhan untuk memantau tingkat

cekaman dan kapasitas reproduksi pada hewan langka seperti badak jawa, maka

penelitian ini dirancang untuk mendapatkan informasi sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi indikator yang potensial untuk digunakan dalam analisis profil

glukokortikoid pada feses badak jawa.

2. Mempelajari karekteristik profil glukokortikoid asal feses pada individu badak

yang digunakan pada penelitian.

3. Mempelajari hubungan antara faktor cekaman (defisit air) dengan profil

glukokortikoid asal feses pada badak jawa.

Penelitian ini dirancang untuk menguji hipotesis bahwa metabolit hormon asal feses

badak jawa dapat digunakan sebagai indikator status dan profil glukokortikoid

86

Bahan dan Metode

Penetapan FaktorCekaman di Habitat Badak Jawa

Cekaman di habitat badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon didefinisikan

dalam dua faktor yaitu faktor asupan pakan dan faktor ketersediaan air. Faktor pakan

dibedakan dengan jumlah asupan pakan dan nutrisi setiap ekor badak seperti yang telah

dirangkum dalam Tabel 7 pada penelitian tentang asupan dan nutrisi. Ketersediaan air

diwakili oleh musim dengan membedakan bulan-bulan berdasarkan jumlah kejadian

hujan per hari yang dicatat oleh pengamat selama berada di habitat badak di Taman

Nasional Ujung Kulon.

PenetapanSampel Feses

Badak jawa adalah salah satu spesies hewan yang sudah langka dan sangat sulit

untuk dijumpai di habitat alaminya. Selain itu, sampai saat ini belum ada Badak Jawa

yang berada di penangkaran ataupun di kebun binatang. Oleh karena itu, pengambilan

sampel darah untuk kepentingan analisis hormon hampir tidak mungkin untuk

dilakukan. Salah satu hal yang paling mungkin dilakukan adalah melakukan analisis

hormon berdasarkan sampel feses sebagaimana pernah dilakukan oleh Santymire &

Armstrong (2009) pada spesies anjing liar.

Konsep yang sama dicoba diterapkan pada badak jawa dengan syarat bahwa

sampel feses yang digunakan dalam analisis ini harus berada dalam kondisi segar

(kurang lebih 24-30 jam).Analisis hormon dari feses badak dirancang untuk dapat

mempelajari perbedaan hormon (terkait cekaman dan reproduksi) antar individu dan

juga antar musim. Tahap induksi cekaman pada hewan model dalam rangkaian

penelitian ini menunjukkan bahwa defisit pakan menyebabkan meningkatnya cekaman

(ditunjukkan dengan meningkatnya kadar kortisol dalam darah), dengan demikian,

pengukuran kadar hormon stress dilakukan untuk menguji apakah pola yang sama juga

terjadi pada badak yang mengalami cekaman (defisit pakan dan juga defisit air).

87

Pengumpulan Sampel Feses

Feses badak merupakan tumpukan yang terdiri dari beberapa boli, dan

kesegaran feses tersebut dapat ditentukan dari warna, kelembaban, serta keberadaan

serangga yang mengelilinginya. Feses segar biasanya berwarna coklat kehijauan

dengan kelembaban permukaan yang khas karena masih mengandung lapisan lendir

(tidak lebih dari satu jam sejak ekskresi), serta masih banyak dikelilingi serangga lalat.

Dengan memperhitungkan jarak antara pengamat dengan badak berdasarkan jejak dan

dengan prosedur pengamatan yang mengharuskan pengamat berada 24-30 jam

(maksimum 1.25 hari) di belakang badak yang diamatinya, maka dapat disimpulkan

bahwa feses yang dikumpulkan berdasarkan kriteria di atas berusia tidak lebih dari 30

jam sejak defekasi.Sampel feses dikumpulkan dalam periode waktu yang sama (musim

hujan atau musim kering) untuk dibandingkan dalam musim yang sama.

Lima gram feses segar (diukur berdasarkan jumlah feses yang dapat diambil

dengan menggunakan sendok kayu khusus) diambil untuk analisis hormon. Feses yang

relatif segar dapat menjamin ketersediaan hormon kortisol serta metabolitnya untuk

digunakan dalam analisis hormon. Sampel feses untuk analisis hormon dengan EIA

dipreservasi (diawetkan) dalam 25 ml etanol 90% (teknis) dan disimpan dalam botol

plastik 50 ml untuk kemudian dikirim ke laboratorium Unit Reproduksi dan

Rehabilitasi di Institut Pertanian Bogor untuk disimpan dalam freezer dengan suhu -20o

C.

Pemilihan Indikator Kadar Hormon Cekaman Asal Feses

Indikator kadar hormon cekaman dipilih berdasarkan kemungkinan adanya

hormon cekaman (glukokortikoid) maupun metabolitnya di dalam feses. Kit yang

tersedia untuk asai ini adalah: kortisol (Produksi DRG Jerman), kortikosteron (Produksi

CUSABIO,Cina), dan 3α, 11β-dihydroxyetiocholanolone (3α,11β-dihydroxy-CM) yang

dikembangkan oleh German Primate Centre di Gottingen, Jerman dan asainya

dilakukan di laboratorium Unit Rehabilitasi dan Reproduksi (URR) IPB, Bogor. Setiap

kit/indikator ini digunakan dalam uji paralelisme untuk menentukan kelayakan kit dan

indikator tersebut dalam asai hormon.

Uji paralelisme digunakan sebagai prosedur baku untuk menguji kelayakan

sebuah kit atau antibodi bila digunakan dalam assay hormon yang dimaksud. Kurva

yang dihasilkan dari assay pada sampel harus menunjukkan paralel (tidak ada

kemungkinan persinggungan atau perpotongan) denga kurva baku yang sudah

88

ditentukan dari produsen kit. Kurva baku ini dibuat berdasarkan kalibrasi

perikatanyang spesifik antara antibodi dan antigen yang digunakan dalam kit tersebut

(Francois-Gerard et al. 1988). Schoeneker et al. (2004) menjelaskan bahwa selain

untuk validasi kelayakan penggunaan kit atau antibodi tertentu uji paralelisme juga

diperkuat dengan penghitungan variasi intra-assay and inter-assay. Kretzschmar et al.

(2004) menggunakan assay EIA pada badak putih Afrika dan mencari faktor pencairan

(dilution factor) yang paling optimal. Titik perikatan (binding) 50% dimana setengah

dari penanda dapat melekat pada antibodi merupakan titik ideal untuk menentukan

faktor pencairan. Faktor pencairan di luar rentang tersebut akan mengurangi akurasi

dari asai hormon yang dilakukan.

Faktor lainnya yang sangat mempengaruhi ketepatan asai hormon yang

digunakan adalah cross reactivity atau reaktifitas silang antara penanda / antibodi yang

digunakan untuk asai sebuah hormon yang dapat juga mendeteksi hormon lain (atau

metabolitnya) yang tidak diharapkan, oleh karena itu reaktifitas silang yang tinggi

antara dua hormon atau lebih akan secara signifikan mengurangi ketepatan asai hormon

yang digunakan (Agil et al. 2008). 5-beta-androstenediol sebagai salah satu metabolit

glukokortikoid merupakan antibodi yang tidak memiliki reaktifitas silang dengan

hormon lain dan hanya memiliki tingkat reaktifitas silang dibawah 0.5% dengan

testosteron. 5-beta-androstenediol ini memiliki reakfitas silang 1.49% dengan

androstenedione yang digunakan dalam assay testosteron (Brown et al. 2002). 3α, 11β-

dihydroxy-CM merupakan antibodi yang belum pernah digunakan pada sampel feses

badak jawa dan memiliki kemungkinan terjadi reaktifitas silang dengan androgen

karena antibodi ini mendeteksi metabolit kortisol dan juga metabolit androgen yang

memiliki 19 karbon dalam rangkaian molekulnya.

Persiapan Sampel Feses

Sebagai prosedur baku dalam kajian hormon dari feses, maka penggunaan kit

kortisol, kortikosteron, dan 3α,11β-dihydroxy-CM pada feses harus menjalani uji

validitas menggunakan uji paralelisme. Uji validitas ini merupakan langkah penting

untuk menentukan kekuatan validitas dari EIA untuk kajian kuantitatif (Francois-

Gerard et al. 1988). Kit Kortisol (produksi DRG, Jerman), Kortikosteron (Produksi

CUSABIO, Cina), dan antibodi 3α,11β-dihydroxy-CM digunakan untuk melakukan uji

paralelisme pada sampel feses badak jawa yang telah dikumpulkan.

89

Setiap sampel yang dikumpulkan dari lapangan diproses dengan metode yang

dijelaskan dalam Ziegler & Wittwer (2005). Ekstraksi dilakukan dengan mencairkan

sampel yang berada dalam kondisi beku sampai kondisi sampel yang berada dalam

larutan fiksasi etanol 90% (teknis) kembali menjadi cair dan larutan fiksasi menguap

secara menyeluruh dan menyisakan sampel feses dalam kondisi kering. Ekstraksi 0.1-

0.5g dari sampel feses dilanjutkan dengan mencampur feses tersebut dengan 2.5 ml

etanol 90% dan 2.5 ml akuades. Campuran diaduk di dalam tabung plastik secara

merata dengan mengguncang tabung tersebut. Setelah tercampur, larutan ini kemudian

disentrifugasi selama lima menit untuk memisahkan cairan dengan partikel padat yang

merupakan ekstrak untuk digunakan dalam assay kortisol, kortikosteron, dan 3α,11β-

dihydroxy-CM.

Asai Kortisol

Kit kortisol produksi DRG Jerman bekerja dengan sistem ELISA kompetitif dan

terdiri dari: sumur mikrotiter (96 sumur) yang sudah dilapisi dengan antibodi anti-

kortisol monoclonal, larutan standard dengan pengawet Proclin 0.3%, Konjugat enzim

kortisol-horseradish peroxidase dengan menggunakan pengawet Proclin 0.3%, Larutan

substrat tetrametilbenzidin (TMB), larutan stop yang mengandung 0.5 M H2SO4. Asai

kortisol ini memiliki karakteristik rentang asai 0-800 ng/ml dan konsentrasi untuk kurva

standard pada 800ng/ml, 400ng/ml, 200ng/ml, 100ng/ml, 50 ng/ml, 20 ng/ml, dan 0

ng/ml; reaktifitas silang dengan kortisol (100%), Kortikosteron (45%), Progesteron

(95%), Deoxycortisol dan Dexametason (masing-masing 2%), estron, estriol, dan

testosteron (masing-masing dibawah 0.01%); sensitifitas 2.5 ng/ml (6.9 nmol/l); presisi

intra asai 3.2%-8.1% (20 repetisi); dan presisi inter asai 6.6%-7.7% (20 repetisi).

Prosedur Asai Kortisol

1. Sumur-sumur pada lempeng mikrotiter (plate) ditempatkan sesuai nomor

dan dipastikan tidak bergeser.

2. 20 µl standard, kontrol, dan sampel ditempatkan di sumur yang telah

disediakan dengan menggunakan ujung mikropipet yang baru untuk setiap

sampel.

3. 200 µl konjugat enzim diteteskan di setiap sumur dengan menggunakan

mikro pipet.

4. Semua larutan diaduk dengan sempurna selama 10 detik.

90

5. Inkubasi dilakukan selama 60 menit tanpa menutup sumur pada lempeng

mikrotiter.

6. Cairan yang ada di dalam sumur dikeluarkan dan setiap sumur dibilas

dengan menggunakan larutan pencuci (400 µl setiap sumur). Sisa tetes

larutan dikeringkan dengan bantuan kertas penyerap.

7. 100 µl larutan substrat diteteskan di setiap sumur yang sudah kering

8. Inkubasi dilakukan selama 15 menit pada suhu ruangan

9. Reaksi enzimatik dihentikan dengan menambahkan larutan stop sebanyak

100 µl ke setiap sumur.

10. Lempeng mikrotiter dibaca dengan menggunakan optical density (OD) 450

+/- 10 nm tidak lebih dari 10 menit setelah larutan stop diberikan.

Asai Kortikosteron

Kit kortikosteron produksi CUSABIO Cina terdiri dari: sumur mikrotiter (96

sumur) yang sudah dilapisi dengan antibodi anti-kortikosteron monoclonal, larutan

standard, Konjugat enzim HRP, Larutan substrat A dan B, larutan stop yang

mengandung 0.5 M H2SO4. Asai kortikosteron ini memiliki karakteristik rentang asai

0.6-160 ng/ml dan konsentrasi untuk kurva standard pada 160ng/ml, 40ng/ml, 10ng/ml,

2.5ng/ml, dan 0.63 ng/ml; tidak ada reaktifitas silang; sensitifitas dibawah 0.4 ng/ml;

presisi intra asai di bawah 10% (20 repetisi); dan presisi inter asai dibawah8% (35

repetisi).

Prosedur Asai Kortikosteron

1. Sumur-sumur pada lempeng mikrotiter (plate) ditempatkan sesuai nomor

dan dipastikan tidak bergeser.

2. 50 µl standard, kontrol, dan sampel ditempatkan di sumur yang telah

disediakan dengan menggunakan ujung mikropipet yang baru untuk setiap

sampel.

3. 50 µl konjugat enzim dan 50 µl antibodi diteteskan di setiap sumur dengan

menggunakan mikro pipet.

4. Semua larutan diaduk dengan sempurna selama 10 detik.

5. Inkubasi dilakukan selama 60 menit tanpa menutup sumur pada lempeng

mikrotiter pada suhu 370 C.

91

6. Cairan yang ada di dalam sumur dikeluarkan dan setiap sumur dibilas

dengan menggunakan larutan pencuci (200 µl setiap sumur). Aduk selama

10 detik, buang semua larutan, dan sisa tetes larutan dikeringkan dengan

bantuan kertas penyerap.

7. 50 µl larutan A dan 50 µl larutan Bpewarna diteteskan di setiap sumur yang

sudah kering.

8. Inkubasi dilakukan selama 15 menit pada suhu ruangan

9. Reaksi enzimatik dihentikan dengan menambahkan larutan stop sebanyak

50 µl ke setiap sumur dan aduk selama 1-2 detik sampai warna merata.

10. Lempeng mikrotiter dibaca dengan menggunakan optical density (OD) 450

+/- 10 nm tidak lebih dari 10 menit setelah larutan stop diberikan.

Asai 3α,11β-dihydroxy-CM

Kit 3α,11β-dihydroxy-CM yang terdiri dari: sumur mikrotiter (96 sumur) yang

sudah dilapisi dengan antibodi anti- 3α,11β-dihydroxy-CM monoclonal, larutan

standard, Konjugat enzim 3α,11β-dihydroxy-CM, Larutan substrat tetrametilbenzidin

(TMB), larutan stop yang mengandung 0.5 M H2SO4. Asai 3α,11β-dihydroxy-CM ini

memiliki karakteristik rentang konsentrasi hormon pada standar kurvanya antara 0.6

ng/ml sampai dengan 78 ng/ml dengan konsentrasi untuk kurva standar adalah 78ng/ml,

39ng/ml, 19.5ng/ml, 9.6ng/ml, 4.8 ng/ml, 2.4 ng/ml, 1.2 ng/ml, 0.6 ng/ml,; reaktifitas

silang dengan androgen (testosteron); sensitifitas 2.5 ng/ml (6.9 nmol/l); presisi intra

asai 4.4%-5.4% (18 repetisi masing-masing untuk high dan low); dan presisi inter asai

6.8%-11.2% (6 repetisi masing-masing untuk high dan low).

Prosedur Asai 3α,11β-dihydroxy-CM.

1. Sumur-sumur pada lempeng mikrotiter (plate) ditempatkan sesuai nomor

dan dipastikan tidak bergeser.

2. 50 µl standard, kontrol, dan sampel ditempatkan di sumur yang telah

disediakan dengan menggunakan ujung mikropipet yang baru untuk setiap

sampel.

3. 50 µl konjugat enzim dan 50 µl antibodi diteteskan di setiap sumur dengan

menggunakan mikro pipet.

4. Semua larutan diguncang dengan sempurna selama 10 detik.

92

5. Inkubasi dilakukan selama satu malamdalam lempeng mikrotiter pada suhu

40 C.

6. Cairan yang ada di dalam sumur dikeluarkan dan setiap sumur dibilas empat

kali dengan menggunakan larutan pencuci. Guncang selama 10 detik, buang

semua larutan, dan sisa tetes larutan diketukkan sampai habis pada kertas

penyerap.

7. 150 µl streptavidin-peroksidase (produksi Sigma, Jerman) ditambahkan ke

dalam setiap sumur.

8. Lempeng di inkubasi selama 30 menit di dalam gelap pada suhu ruangan.

9. Cairan yang ada di dalam sumur dikeluarkan dan setiap sumur dibilas empat

kali dengan menggunakan larutan pencuci. Guncang selama 10 detik, buang

semua larutan, dan sisa tetes larutan diketukkan sampai habis pada kertas

penyerap.

10. 150 µl larutan substrat/pewarna (0.025% benzidin dan 0.05% H2O2).

11. Lempeng diinkubasi selama 30-45 menit di dalam gelap pada suhu ruangan

sampai warna kuning muncul.

12. Reaksi enzimatik dihentikan dengan menambahkan larutan stop (H2SO4)

sebanyak 50 µl ke setiap sumur dan aduk selama 1-2 detik sampai warna

merata.

13. Lempeng mikrotiter dibaca dengan menggunakan optical density (OD) 450

nm tidak lebih dari 10 menit setelah larutan stop diberikan.

Perangkat lunak Gen5 (Biotek, Jerman) digunakan untuk menyusun kurva

berdasarkan pembacaan dari EIA reader pada semua jenis asai. Perbandingan kurva

standard sesuai spesifikasi dari masing-masing kit pada uji paralelisme dijadikan

sebagai penentu konsistensi hormon pada feses badak. Bila kurva standar

menunjukkan garis yang paralel (tidak saling memotong), maka uji paralelisme ini

dilanjutkan ke tahap duauntuk melihat adanya perbedaan kadar hormon glukokortikoid

maupun metabolitnya pada beberapa sampel dan kemudian melakukan uji paralelisme

pada beberapa perwakilan sampel yang dipilih. Pemilihan sampel dilakukan dengan

memperkirakan sampel-sampel yang mewakili kondisi cekaman rendah: individu

dengan jumlah asupan dan kualitas pakan yang tinggi hujan (2 sampel), cekaman

tinggi: individu dengan jumlah dan kualitas asupan yang rendah (2 sampel),

sertacekaman sedang: individu dengan jumlah dan asupan nutrisi dalam tingkat

93

sedang/menengah (2 sampel). Semua sampel dipilih untuk mewakili kondisi pada

musing kering dengan jumlah hari hujan yang rendah serta musim hujan dengan jumlah

hari hujan yang tinggi. Semua sampel digunakan untuk mengukur variasi inter-assay

dan intra-assay. Deviasi kurang dari 15% pada variasi intra-assay dan inter-assay ini

menunjukkan kelayakan assay hormon yang dilakukan pada sampel yang dikumpulkan

dari feses badak jawa yang terkumpul dari lapangan.

Analisis Data

Kuantifikasi cekaman dilakukan untuk memastikan adanya perbedaan cekaman

antar individu badak jawa berupa tingginya kadar indikator glukokortikoid.

Perbandingan cekaman antar individu dilakukan dengan membandingkan tingkat

cekaman yang dialami badak dengan konsumsi pakan dengan kandungan air rendah

terhadap badak dengan konsumsi pakan dengan kandungan air tinggi pada musim yang

sama. Kadar glukokortikoid dari sampel feses setiap individu badak diukur dan rata-

rata kuantitas hormon (dalam ng/g feses) digunakan sebagai indikator untuk

membandingkan perbedaan yang ada secara deskriptif. Analisis dilakukan secara

deskriptif mengingat jumlah sampel yang terlalu sedikit untuk digunakan dalam

ANOVA.

Kuantifikasi cekaman dilakukan antar musim yang berbeda dilakukan untuk

mempelajari dinamika cekaman yang dialami semua badak (12, 13, dan 18) dalam

kondisi sumber air yang terbatas di musim kering dan dalam kondisi kecukupan air di

musim hujan. Sampel feses perlu didapat dari ketiga individu di bulan Oktober (musim

kering dengan rata-rata jumlah curah hujan yang rendah) dan di bulan Januari (musim

hujan dengan rata-rata jumlah curah hujan yang tinggi). Kadar hormon dari sampel

feses setiap individu badak diukur dan rata-rata kuantitas hormon (dalam ng/g feses)

digunakan untuk mebandingkan perbedaan yang ada secara deskriptif.

94

Hasil dan Pembahasan

Hasil Uji Paralelisme

Dari uji validitas menggunakan uji paralelisme dari ketiga kit hormon di atas

dapat dilihat bahwa hormon kortisol dan kortikosteron tidak dapat digunakan untuk

menganalisa metabolit glukokortikoid pada feses badak karena kurva standar dari

kedua kit ini tidak paralel dengan kurva sampel pada pengenceran bertingkat.

Berdasarkan uji paralelisme ini kit kortisol dan kortikoseron tidak dilanjutkan

penggunaannya dalam penelitian ini.

Pengukuran metabolit glukokortikoid 3α,11β-dihydroxy-CM sebagai indikator

keberadaan hormon cekaman menunjukkan hasil yang paralel antara kurva standard

dengan kurva sampel dengan tampak adanya kecenderungan yang sama antara profil

kurva standard an kurva sampel.

Uji paralelisme menggunakan 3α,11β-dihydroxy-CM ini menunjukkan 50%

binding pada konsentrasi 3,04 pg dan pengenceran 1:80. Validasi lanjutan juga

menunjukkan bahwa koefisien variasi (CV) intra-assay adalah 5.4% untuk QC low dan

4.4% untuk QC high dengan 18 repetisi. Demikian pula dengan CV inter-assay yang

menunjukkan angka 11.2% QC low dan 6.8% untuk QC high dengan 6 repetisi.

Berdasarkan hasil dari uji paralelisme ini yang didukung dengan CVintra-assay dan

inter-assay yang berada di bawah 15%, maka dapat disimpulkan bahwa, 3α,11β-

dihydroxy-CMmenunjukkan kemungkinan untuk dapat digunakan dan dapat

dilanjutkandengan validasi lebih lanjut sebelum diimplementasikan dalam kajian profil

glukokortikoid dari sampel feses badak jawa.

Faktor Pengenceran untuk Kuantifikasi Metabolit Glukokortikoid (3α,11β-

dihydroxy-CM)

Kurva standar dan kurva sampel pada uji paralelisme ditampilkan pada Gambar

15 dapat digunakan untuk menentukan faktor pengenceran ekstrak sampel feces badak

jawa yang akan dianalisa dengan kit hormon tersebut. Garis vertikal putus-putus pada

Gambar 15 menandai titik tengah pada kurva standard menunjukkan titik dimana terjadi

perikatan (binding) 50% dari antibodi terhadap antigen yang kemudian menunjukkan

faktor pengenceran1:80.

95

Gambar 15. Grafik paralelisme antara kurva standar3α,11β-dihydroxy-CMdengan

pengenceran bertingkat pada sampel feses badak jawa.

Profil 3α,11β-dihydroxy-CM pada Individu Badak dan Populasi

Kuantifikasi 3α,11β-dihydroxy-CM sebagai metabolit dari glukokortikoid dikaji

lebih lanjut dengan melihat rentang kadar hormon glukokortikoid dari setiap individu

untuk melihat adanya variasi rentang tersebut. Fluktuasi kadar hormon dari setiap

individu sepanjang periode pemantauan ditampilkan pada Gambar 16 yang

menunjukkan adanya fluktuasi yang besar dari kadar hormon pada individu badak 18

dan 12 pada bulan Oktober dan November. Hal ini dapat terjadi akibat adanya

cekaman dengan jenis dan intensitas yang berbeda sehingga terjadi fluktuasi hormon

cekaman seperti itu. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai rentang interval dari

fluktuasi hormon yang terjadi pada setiap individu badak, analisis box plot dilakukan

agar dapat menunjukkan rentang kadar hormon dari setiap individu seperti yang

ditampilkan pada Gambar 17.

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0.0 0.6 1.2 2.4 4.8 9.6 19.5 39.0 78.0

Ab

sorb

an

s

Kosentrasi (pg/50ul)/ Pengenceran

Standar

Sampel 1

Sampel 2

Sampel 3

Sampel 4

Sampel 5

Sampel 6

1:320 1:160 1:80 1:40 1:20

96

Gambar 16. Fluktuasi kadar 3α,11β-dihydroxy-CM antar musim pada semua individu

badak

Gambar 17. Rentang kadar metabolit glukokortikoid (3α,11β-dihydroxy-CM) antar

individu badak sepanjang periode pengamatan

Mengingat adanya kemungkinan reaktifitas silang ini, maka validasi lebih lanjut

perlu dilakukan secara biologis dengan membandingkan profil 3α,11β-dihydroxy-CM

pada beberapa individu yang berbeda (jantan dan betina) serta melakukan validasi

secara kimiawi dengan mengkuantifikasi reaksi silang antara 3α,11β-dihydroxy-CM

dengan kortisol dan androgen. Selain itu, analisis lebih lanjut dari kadar glukokortikoid

perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang dapat mempengaruhi seluruh

populasi yaitu faktor ketersediaan pakan dan ketersediaan air mengingat adanya

kecenderungan dinamika cekaman yang tidak spesifik terhadap seluruh populasi.

0

100

200

300

400

500

600

700

Oktober November Desember Januari Februari

Ka

da

r 5

be

ta a

dio

l (n

g/g

ram

fe

ses)

Bulan pengamatan

Badak 12

Badak 13

Badak 18

97

Kondisi Cekaman

Kondisi defisit energi asal pakan ditunjukkan dengan membandingkan jumlah

asupan energi per berat badan pada badak no 12 dibandingkan dengan parameter yang

sama pada badak no 13 dan 18 berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dalam

penelitian nutrisi. Selain keterbatasan asupan energi asal pakan pada badak 18,

selama penelitian terjadi kondisi defisit air di musim kering di Taman Nasional Ujung

Kulon yang terjadi terjadi pada bulan Oktober 2010 dengan rataan jumlah kejadian

hujan per hari yang rendah, sementara kondisi kecukupan air terjadi pada bulan Januari

dimana jumlah kejadian hujan per hari angka tertinggi sebagaimana ditampilkan pada

Gambar 18, maka feses badak no 18 digunakan sebagai sampel untuk mewakili kondisi

cekaman tinggi dan feses badak no 12 digunakan sebagai sampel untuk mewakili

kondisi cekaman rendah dalam konteks ketersediaan pakan. Gambar 18 menunjukkan

bahwa rataan jumlah hari hujan (berdasarkan pengamatan di lapangan) di bulan

Oktober merupakan masa-masa dengan curah hujan paling rendah (kering).

Berdasarkan data jumlah hari hujan, sampel feses semua badak di bulan Oktober

digunakan sebagai sampel untuk mewakili kondisi defisit air yang diduga menimbulkan

cekaman tinggi, dan feses semua badak di bulan Januari digunakan sebagai sampel

untuk mewakili kondisi cekaman rendah dalam konteks ketersediaan air.

Gambar 18. Karakteristik musim pada periode pengamatan (bulan Oktober 2009-

April 2010) berdasarkan rata-rata jumlah kejadian hujan, cerah, ataupun

berawan dalam satu hari.

-

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

1,40

1,60

1,80

Ra

ta-r

ata

Ju

mla

hk

eja

dia

n p

er

Ha

ri

Cerah

Berawan

Hujan

98

Faktor Cekaman dan Profil Glukokortikoid

Statistik deskriptif menunjukkan adanya trend perbedaan rataan kadar hormon

antara badak 12, 13, 18 (yang memiliki perbedaan tingkat kecernaan dan konsumsi

energi per berat badan). Dari data ini dapat dilihat bahwa median tertinggi kadar

3α,11β-dihydroxy-CM ada pada individu badak 18, demikian juga dengan rentang

tertinggi dari fluktuasi kadar hormon tersebut ditunjukkan oleh individu 18. Hal ini

menunjukkan bahwa badak 18 menghadapi intensitas cekaman yang tinggi dan

berbeda-beda selama periode pengamatan. Individu 18 adalah seekor badak muda

(sub-adult) yang menunjukkan rataan asupan energi yang relatif lebih rendah

dibandingkan dengan badak lainnya. Selain itu, badak muda seperti ini sering

mendapatkan cekaman sosial dibandingkan dengan badak dewasa, dan cekaman seperti

ini sering terjadi saat badak muda berusaha menentukan ruang jelajahnya sendiri

(Hearne & Swart 1991). Intensitas cekaman juga menguat seiring dengan peningkatan

kadar testosteron pada jantan saat memasuki masa kematangan seksual (siklus

spermatogenesis) yang biasanya jatuh di awal musim hujan (Kretzschmar et al. 2002).

Hal yang perlu dicermati dari temuan tingginya kadar glukokortikoid pada badak 18 di

bulan November ini adalah kemungkinan adanya reaktifitas silang antara 3α,11β-

dihydroxy-CM dengan androgen. Badak 18 (badak jantan muda) kemungkinan

menghadapi masa peningkatan kematangan seksual (masa pubertas) yang ditandai

dengan meningkatnya hormon testosteron. Kemungkinan lain yang perlu diperhatikan

adalah perubahan kadar androgen yang berfluktuasi secara musiman (Paplinska et al.

2007).

Badak dengan rataan konsumsi energi per berat badan (%) yang rendah

cenderung menunjukkan profil rataan kadar 3α,11β-dihydroxy-CM yang tinggi di

dalam feses. Defisit energi sangat mungkin menjadi pemicu aktifitas glukokortikoid,

dimana glukokortikoid berperan dalam glukoneogenesis yang berperan dalam

pengadaan sumber energi tambahan untuk memasok siklus Kreb. Kemungkinan ini

diperkuat dengan adanya kecenderungan tingginya metabolit glukokortikoid pada

tingkat konsumsi energi yang rendah seperti yang ditunjukkan oleh grafik pada Gambar

19.

99

Gambar 19. Perbandingan tingkat konsumsi energi per berat badan (sumbu x) dengan

kadar metabolit glukokortikoid pada feses.

Demikian pula dengan juga rataan kadar hormon di musim dengan curah hujan

yang berbeda(perbedaan antar musim) dimanakadar hormon cenderung lebih tinggi

pada individu badak dan di musim kering di bulan Oktober sebagaimana ditampilkan

pada Gambar 20.

Gambar 20. Perbandingan kadar hormon cekaman antar individu badak dengan asupan

berat kering yang berbeda (A) dan antar musim/curah hujan (B)

Ketersediaan air merupakan salah satu faktor yang diduga sebagai pemicu

cekaman pada badak jawa, dan hal ini dibuktikan dengan analisis data yang

menunjukkan adanya hubungan antara jumlah curah hujan dengan kadar hormon

0

50

100

150

200

250

300

350

3,00% 3,20% 3,40% 3,60% 3,80%K

an

du

ng

an

, 1

-dih

yd

roxy

-CM

d

ala

m f

ese

s

(ng

/g f

ese

s)Konsumsi energi per berat badan (%)

0

50

100

150

200

250

300

350

400

0 0,5 1 1,5 2

Ra

taa

n k

ad

ar

,11

β-d

ihy

dro

xy-C

M(n

g/g

ram

fese

s)

Rataan curah hujan (kejadian hujan per hari)

100

glukokortikoid. Rataan kadar glukokortikoid pada hari-hari dengan curah hujan rendah

(sekitar 0.3 kejadian hujan per hari) menunjukkan angka yang tinggi, sementara rataan

kadar glukokortikoid pada hari-hari dengan curah hujan tinggi (sekitar 1-1.5 kejadian

hujan per hari) menunjukkan angka yang rendah. Fakta seperti ini menunjukkan bahwa

rendahnya curah hujan memiliki implikasi terhadap menurunnya ketersediaan air (Smit

& Grant 2009) dan merupakan faktor pemicu cekaman pada badak jawa yang berujung

pada tingginya sekresi glukokortikoid pada periode tersebut.

101

Simpulan dan Saran

Simpulan

1. Kit komersial hormon kortisol dan kortikosteron tidak dapat digunakan untuk

menganalisa metabolit glukokorticoid dalam sampel feces badak Jawa karena

uji parelelisme menunjukkan bahwa kit tersebut tidak dapat mendeteksi

keberadaan metabolit glukokortikoid yang dieskresikan dalam feces

2. Hasil analisis dengan asai hormone 3α, 11β-dihydroxy-CM menunjukkan bahwa

kurva pengenceran bertingkat dari sampel feses badak jawa paralel dengan

kurva standar. Hal tersebut mengindikasikan kemungkinan asai hormon 3α,

11β-dihydroxy-CM dapat mendeteksi keberadaan metabolit glukokortikoid pada

feses badak jawa.

3. Profil kadar glukokortikoid pada setiap individu menunjukkan adanya indikasi

perbedaan dan kadar hormon tinggi pada badak 18 yang merefleksikan

dinamika cekaman yang lebih bervariasi dibandingkan dengan badak lainnya.

4. Faktor cekaman berupa keterbatasan asupan energi dan ketersediaan air

merupakan faktor yang diduga memicu terjadinya peningkatan kadar

glukokortikoid.

Saran

1. Melakukan validasi lebih lanjut terhadap 3α,11β-dihydroxy-CM untuk

menentukan potensi penggunaannya dalam pemantauan cekaman pada badak

jawa.

2. Melakukan validasi lanjutan untuk menentukan apakah hormone assay tersebut

dapat digunakan untuk menganalisa metabolit glucocorticoid dalam feces badak

jawa. (masih ada beberapa step validasi yang harus dilakukan untuk

memastikan apakah hormone assay tersebut tepat)

3. Mengembangkan protokol studi longitudinal monitoring fisiologi stress secara

non-invasif dengan menganalisa metabolit glukokortikoid dalam feces dengan

asai hormon yang tepat

102

Daftar Pustaka

Barja I, et al. 2007. Stress physiological response to tourist pressure in the wild

population of European pine marten. The journal of steroid biochemistry and

molecular biology. (104)3-5:136-142

Baron R. 2006. Mechanism of disease: neuropathic pain-a clinical perspective. Nature

clinical practice neurology. 2:95-106

Coenen M,. 2005. Exercise and stress: impact on adaptive processes involving water

and electrolytes. Livestock production science 92:131-145

Dickens MJ, Delehanty DJ, Romero LM,. 2010. Stress: an inevitable component of

animal translocation. Biological conservation 143:1329-1341

Francois-Gerard C, Gerard P, Rentier B,. 1988. Elucidation of non-parallel EIA curves.

Journal of immunological methods (111)1:59-65

Garg SL, Chander S,. 1997. Plasma Cortisol and thyroid hormone Concentrations in

Buffaloes with uterine Torsions.Buffalo BullettinVol 16(4): 75-76

Ghalib, Supriatna I, Agil M, Engelhardt A,. 2011. Non-invasive hormone monitoring:

fecal androgen and glucocorticoid in male crested macaques (Macacanigra) in

relation to seasonal and social factors. Thesis. Bogor Agriculture University

Hearne JW, Swart J,. 1991. Optimal translocation strategies for saving the black

rhinoceros. Ecological modelling 59: 279-292

Kretzschmar P, Gansloßer U, Dehnhard M,. 2004. Relationships between androgens,

environmental factors and reproductive behaviours in male white rhinoceros

(Ceratotherium simum simum). Hormones and Behaviour 45: 1-9

Koolman J, Rohm KH, Wanandi SI[ed], Sadikin M [ed]. 2001. Atlas berwarna dan teks

Biokimia. Cetakan I. Penerbit Hipokrates, Jakarta

Menargues A, Urios V, Mauri M,. 2008. Welfare assessments of captive asian

elephants (Elephas maximus) and Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis)

using salivary cortisol measurements. Animal Welfare (17): 305-312

Morgan KN, Tromborg CT. 2007. Sources of stress in captivity. Applied animal

behaviour science 102: 262-302

Morrow CJ, Kolver ES, Verkerk GA, Matthews LR,. 2000. Urinary corticosteroids: an

indicator of stress in dairy cattle. Proceedings of the New Zealand Society of

Animal Production 60: 218-221

Paplinska JZ, et al. 2007. Reproduction in male swamp wallabies (Wallabia bicolor):

puberty and the effects of season. Journal of Anatomy 211:518-533

103

Permadi YF,. 2008. Kajian dampak perubahan iklim terhadap kerentanan badak Jawa.

Laporan proyek WWF Indonesia.

Santymire RM, Armstrong, DM,. 2009. Development of a Field-Friendly Technique for

Fecal Steroid Extraction and Storage Using the African Wild Dog (Lycaon

pictus). Zoo Biology (28): 1 -14

Schoeman JP, Goddard A, Herrtage ME,. 2007. Serum cortisol and thyroxine

concentrations as predictors of death in critically ill puppies with parvoral

diarrhea. Journal of the American veterinary medical association (231)10:

1534-1539

Smit IPJ, Grant CC,. 2009. Managing surface-water in a large semi-arid savanna park:

effects on grazer distribution patterns. Journal for nature conservation 17(2):61-

71

Soto-Gamboa M, Gonzalez S, Hayes LD, Ebensperger LA,. 2009. Validation of a

radioimmunoassay for measuring fecal cortisol metabolites in the

Hystricomorph rodent, Octodon degus. Journal of experimental zoology

311A:496-503

Turner Jr JW, Tolson P, Hamad M,. 2002. Remote assessment of stress in white

rhinoceros (Ceratotherium simum) and black rhinoceros (Diceros bicornis) by

measurements of adrenal steroids in feces. Journal of zoo and wildlife medicine

33(3): 214-221

Wasser SK, et al. 2000. A generalized fecal glucocorticoid assay for use in diverse

array of nondomestic mammalian and avian species. General and comparative

endocrinology 120:260-275

Wingfield JC, Romero LM,. 2001. Adrenocortical responses to stress and their

modulation. Dalam: McEwen BS, Goodman HM (eds), Handbook of physiology

section 7: The endocrine system, coping with the environments: Neural and

endocrine mechanism vol. IV Oxford University Press New York: 211-234

Young KM, et al. 2004. Noninvasive monitoring of adrenocortical activity in

carnivores by fecal glucocorticoids analyses. General and comparative

endocrinology: 1-18

Ziegler TE, Wittwer DJ,. 2005. Fecal Steroid Research In the Field and In Laboratory:

Improved methods for Storage, Transport, Processing, and Analysis. American

Journal of Primatology 67: 159-174

KAJIAN KUANTITATIF MENGGUNAKAN HEWAN MODEL SEBAGAI

PEMBANDING UNTUK BADAK JAWA DALAM PENELITIAN CEKAMAN

AKIBAT DEFISIENSI PAKAN DAN DEFISIENSI AIR

Abstrak

Setelah mempelajari faktor cekaman yang dihadapi oleh badak jawa akibat

defisit pakan dan defisit air, maka penelitian ini dirancang untuk lebih mendalami

respons yang ditunjukkan oleh kuda (sebagai hewan model untuk badak) terhadap

cekaman tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat respons perilaku, fisiologis

(hematologi dan respirasi) pada hewan model kuda akibat cekaman defisit pakan dan

air 50% dari kebutuhan normal. Perlakuan yang diberikan adalah pakan kontrol sesuai

kebutuhan (K) dan 50% dari kebutuhan (50%K). Jumlah kuda yang dipakai terdiri dari

dua ekor kuda jantan berusia dewasa dan muda dengan bobot badan masing-masing

104 dan 98 kg. Induksi cekaman dilakukan pada dua ekor kuda model dengan

mengurangi asupan pakan secara bertahap sampai asupan pakan hanya 2.65% dari berat

tubuh kuda (defisit pakan) dan pengurangan air minum sampai 50% dari jumlah ad

libitum yang biasanya tersedia di kandang. Parameter yang diamati terdiri dari

hematologi rutin dan kadar kortisol darah yang diukur selama periode kontrol dan

perlakuan induksi cekaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kortisol dan

hematologi (rasio netrofil:limfosit) menunjukkan bahwa defisit pakan merupakan

cekaman akut yang dapat diatasi oleh kuda (ditandai dengan penurunan kortisol pada

penghujung perlakuan). Kadar kortisol dan hematologi (rasio netrofil:limfosit)

menunjukkan bahwa defisit air merupakan cekaman yang bersifat kronis dan tidak

dapat diatasi dengan mudah. Dengan defisit pakan dan air, kedua ekor kuda

menunjukkan perubahan-perubahan: perilaku (mengurangi aktifitas berjalan dan

melakukan aktifitas menggigit ember/pagar / crib biting), peningkatan kadar kortisol,

hematologi (perubahan rasio Netrofil/limfosit yang menunjukkan adanya migrasi

limfosit/imunosupresi saat cekaman), dan peningkatan respirasi pada kedua ekor kuda

saat mengalami cekaman.

Kata kunci: badak jawa, hewan model, cekaman, kortisol, perilaku

106

Quantitiative study using animal model for javan rhinoceros in research for stress

due to feed and water deprivations

Abstract

After learning that feed and water limitations are the major factores causing

stress in javan rhinoceros, this research is designed to further study the possible

physiological responses from horse (as a model for the rhinoceros) in the presence of

the stress. This research is designed to study the changes in the behaviour, blood

cortisol level, hematology (neutrophil/limphocyte ratio), and respiration rate.

Induction of stress is done by reducing the ration down to the level of 50% of the

normal supply. Treatments consist of : control for feed (K) and reduction of feed to

50% (50%K) of the normal ad libitum quantity. Two horses are used in this study

consisting of one adult and one juvenile weighing 104 kg and 98 kg respectively.

Induction of stress is done by reduing the feed intake to only 2.65% dry matter intake

of the body weight (feed deprivation), and reducing the water supply to 50% of the

normal supply. Parameters include: behaviour, blood cortisol, hematology, and

respiration rate measured thorughout the control and treatments. The result shows

thatcortisol level and hematology (Neutrophil:lymphocyte ratio) suggests that feed

deprivation is an acute stress that can be overcome (marked with reduction of cortisol

level at the end of treatment). The same parameters show that water deprivation is a

chronic stress that cannot be readily overcome. With water and feed deprivation, both

horses show changes in behaviour such as reduction of walking and crib biting

activities, increase in cortisol level in blood, as well as the changes in neutrophil :

lymphocyte ratio suggesting that there are migration of lymphocytes from the blood

stream, as well as immunosuppression during the stress conditions. The result also

shows increase in respiration rate in both horses under stress.

Keywords: javan rhinoceros, model animal, stress, cortisol, behaviour

107

Pendahuluan

Respons badak terhadap cekaman merupakan salah satu aspek penting yang

perlu dipelajari agar dampak dari cekaman tersebut dapat diantisipasi dan upaya

mitigasi cekaman dapat dilakukan untuk menunjang pelestarian spesies ini. Namun

demikian, induksi cekaman secara langsung pada badak jawa tidak mungkin dilakukan

karena tingkat kesulitan untuk menemukan badak jawa secara langsung dan juga status

spesies tersebut yang sudah terancam punah menyebabkan uji coba yang berpotensi

untuk membahayakan kehidupan badak jawa tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu

kebutuhan akan penelitian kuantitatif berdasarkan hasil kajian sumber cekaman secara

kualitatif di habitat alami badak jawa muncul.

Kebutuhan ini melandasi konsep pendekatan baru dengan menggunakan hewan

model sebagai pembanding bagai badak jawa. Sesuai dengan kaidah penggunaan

hewan model pada ilmu biomedis hewan, jenis hewan model dipilih berdasarkan

berbagai kecocokan seperti: kedekatan secara genetis, kemiripan anatomi, dan

kemiripan perilaku. Informasi dari berbagai sumber memberikan informasi mengenai:

genetika badak jawa dan kekerabatan dengan badak sumatera, tapir, dan kuda

(Fernando et al. 2004); anatomi saluran pencernaan badak sebagai hindgut fermenter

yang mengandalkan proses fermentasi pada saluran pencernaan bagian belakang atau

sekum (Clauss et al. 2005; Clauss et al. 2006); dan perilaku badak jawa yang diamati

langsung di lapangan (Sajudin & Djaja 1984) ataupun yang diamati dengan

menggunakan kamera jebak (Hariyadi et al. 2010).

Studi kualitatif maupun kuantitatif untuk membandingkan perilaku hewan

dapatdisusun dalam sebuah ethogram yang kemudian menjadi dasar (baseline) yang

dibandingkan penelitian. Ethogram merupakan perangkat yang kerap digunakan oleh

pengamat perilaku untuk dapat mengklasifikasikan berbagai perilaku hewan serta

memungkinkannya untuk dapat dianalisis lebih lanjut secara kuantitatif sehingga

analisis perilaku dapat memberikan informasi yang obyektif (Colgan 1978).

Penggunaan ethogram pada penelitian ini dimaksudkan untuk dapat mengklasifikasikan

perilaku badak jawa, badak Sumatra, dan kuda serta memungkinkan perbandingan yang

obyektif pada penggolongan tersebut. Pemilihan hewan model dilakukan untuk

membandingkan sistem pencernaan (saluran digesti) dengan fokus pada proses

kecernaan yang terjadi setelah proses pencernaan di lambung. Oleh karena itu,

kesamaan sistem pencernaan pada kuda dan badak seperti yang ditampilkan pada

108

Gambar 21 merupakan salah satu kriteria penting pemilihan kuda sebagai hewan model

untuk aspek kecernaan pada badak jawa.

A B

Gambar 21. Perbandingan anatomi sistem pencernaan kuda (A) dan badak (B) yang

menunjukkan karakteristik hewan monogastrik (lambung satu) dan

keberadaan sekum untuk pencernaan selulosa. Sumber:

http.wren.aps.uo.guelph.ca.

Kriteria pemilihan hewan model dilakukan pula dengan mengidentifikasi

parameter perilaku yang tepat, sehingga perlakuan dan induksi cekaman pada hewan

model akan dapat memberikan gambaran perubahan perilaku serta fisiologis yang

kompatibel dan dapat diterapkan pada badak jawa.

Proses Pemilihan Hewan Model

Hewan model untuk badak jawa dipilih berdasarkan beberapa kriteria yang

terdiri dari: kedekatan genetika, kemiripan anatomi, kemiripan kimia darah, dan

kemiripan perilaku. Perbandingan kriteria di atas dilakukan melalui studi literatur yang

memberikan informasi mengenai genetika, anatomi, kimia darah, dan perilaku dari

masing-masing kandidat hewan model. Kandidat model dalam penelitian ini terdiri

dari dua kelompok hewan yaitu: (1) kelompok hewan model yang lazim digunakan

dalam studi biomedis yang terdiri dari tikus, kambing, dan kuda; serta (2) kelompok

hewan badak: Badak sumatera dan badak india.

1) Kelompok hewan model konvensional

Tikus banyak digunakan dalam kajian mengenai cekaman kronis dan akut

(Figuireido et al. 2003),dampak dari defisit pakan (Nessmithet al. 1983),dan dampak

dari defisit air (Cameron & Perdue 2005), namun tikus tidak memiliki sistim

Sekum

109

pencernaan yang mirip dengan badak sehingga dikhawatirkan tidak dapat memberikan

gambaran yang obyektif terhadap penyerapan nutrisi yang terjadi pada badak.

Kekurangan ini menyebabkan tikus tidak dipilih sebagai hewan model untuk badak

jawa.

Kambing juga banyak digunakan dalam penelitian mengenai ruminal stasis

akibat keracunan (McSweeney & Pass 1983) dan gangguan pencernaan akibat

keracunan (Pass et al. 1979), namun kambing merupakan hewan ruminan yang

memiliki sistem pencernaan yang jauh berbeda dengan badak. Perbedaan anatomi

pencernaan ini menyebabkan kambing tidak dipilih sebagai hewan model bagi badak

jawa.

Kuda telah banyak digunakan dalam penelitian terkait cekaman (Coenen 2005),

kecernaan dan penyerapan karbohidrat (Pagan et al. 1998; Dyer et al. 2002), serta

fluktuasi hormon (Glade et al. 1984). Kuda memiliki kimia darah yang serupa dengan

badak dalam konteks kadar tyrosin bebas di dalam sel darah merah (Harley et al. 2004),

dan juga kemiripan dalam anatomi saluran pencernaan sebagai hindgut fermenter

(Clauss et al. 2005; Clauss et al. 2006). Dari kelompok hewan model konvensional,

kuda memiliki kekerabatan genetik yang paling dekat dengan badak jawa, dan

berdasarkan informasi ini kuda dipilih sebagai hewan model yang paling memadai

untuk badak jawa.

2) Kelompok hewan badak (Rhinoceratidae)

Badak india telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian terkait kecernaan

(Clauss et al. 2005; Clauss et al. 2006), hormon cekaman (Carlstead & Brown 2005),

dan perilaku (Hutchin & Kreger 2006). Badak india memiliki kekerabatan yang sangat

dekat dengan badak jawa, namun status spesies badak ini masih ada di dalam kategori

terancam punah sehingga perlakuan intensif ataupun induksi cekaman tidak dapat

dilakukan pada hewan dengan status seperti ini.

Badak sumatera telah digunakan dalam studi perilaku, kecernaan, dan kajian

hormon (Agil et al. 2007; Agil et al. 2008). Badak sumatera memiliki kekerabatan

genetika yang tidak terlalu dekat dengan badak jawa, namun spesies badak ini dapat

dengan mudah diamati di fasilitas Suaka badak sumatera di Way Kambas. Spesies

badak ini berada dalam kategor sangat terancam punah (Critically endangered)

sehingga tidak mungkin untuk dijadikan obyek penelitian intensif dan induksi cekaman.

110

Berdasarkan proses ini dapat disimpulkan bahwa badak india dan badak

sumatera dapat dijadikan sebagai pembanding, sementara induksi cekaman dapat

dilakukan pada kuda yang akan memberikan gambaran obyektif mengenai respons

yang mungkin terjadi pada badak jawa.Aspek-aspek yang dapat diteliti dari setiap jenis

hewan model serta relevansinya dengan Badak jawa ditampilkan pada Tabel 11.

Tabel 11. Perbandingan hewan model serta kriteria pengamatan yang relevan dengan

penelitian pada Badak jawa (dari berbagai sumber).

Hewan Model Aspek yang Diamati Relevansi dengan Badak

jawa

Badak Sumatra Perilaku

Konsumsi pakan

Kecernaan

Perilaku badak jawa (video)

Jumlah asupan pakan

Perhitungan kecernaan

Badak India Konsumsi Pakan

Kecernaan

Jumlah asupan pakan

Perhitungan kecernaan

Kuda Perilaku

Respons terhadap defisit pakan

Respons terhadap defisit air

Perilaku badak jawa (video)

Defisit pakan / nutrisi

Defisit air pada musim kering

Tujuan Penelitian

Tingkat kesulitan yang tinggi dalam mempelajari badak jawa secara langsung di

habitatnya serta status badak jawa yang sudah terancam punah menyebabkan penelitian

biomedis langsung dengan menggunakan badak jawa sebagai obyek nyaris tidak

mungkin dilakukan. Oleh karena itu penggunaan hewan model atau orphan perlu

dilakukan untuk mempelajari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan badak

jawa tersebut seperti faktor cekaman akibat defisiensi pakan dan defisiensi air.

Mengingat adanya kebutuhan penelitian tersebut, maka penelitian ini dirancang untuk

mendapatkan informasi sebagai berikut:

111

1. Kompilasi dan dinamika perilaku kuda pada kondisi cekaman defisit

pakan dan defisit air.

2. Dinamika hormon kortisol/glukokortikoid dan hematologi terhadap

cekaman berupa defisiensi pakan dan air.

3. Dinamika pola respirasi dan kecernaan kuda dalam kondisi cekaman.

Adapun hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: model untuk

penelitian badak jawa dapat dilakukan dengan menggunakan kuda sebagai pembanding

dalam aspek kecernaan (posterior dari esophagus) dengan adanya respons (sensitifitas)

terhadap perlakuan defisit air dan pakan (profil hormon, kecernaan, dan respirasi).

112

Bahan dan Metode

Perbandingan Perilaku

Perilaku badak dan hewan model pembandingnya (badak sumatera dan kuda)

perlu disusun dalam sebuah ethogram yang kemudian menjadi dasar (baseline) yang

dibandingkan dengan perilaku badak jawa sebagai contoh dalam penelitian ini.

Ethogram merupakan perangkat yang kerap digunakan oleh pengamat perilaku untuk

dapat mengklasifikasikan berbagai perilaku hewan serta memungkinkannya untuk

dapat dianalisis lebih lanjut secara kuantitatif sehingga analisis perilaku dapat

memberikan informasi yang obyektif sesuai dengan penjelasan Colgan (1978).

Penggunaan ethogram pada penelitian ini dimaksudkan untuk dapat mengklasifikasikan

perilaku badak Jawa, badak Sumatra, dan kuda serta memungkinkan perbandingan

yang obyektif pada penggolongan tersebut.

Perilaku badak Jawa dapat dengan mudah diamati menggunakan kamera video

otomatis yang digunakan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan WWF Indonesia

dalam memantau populasi badak jawa di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon

(Hariyadi et al. 2010). Melalui pemilihan hewan model serta pemilihan parameter

perilaku yang tepat, perlakuan dan induksi cekaman pada hewan model akan dapat

memberikan gambaran perubahan perilaku serta fisiologis yang kompatibel dan dapat

diterapkan pada badak jawa.

Dua ekor badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan dua ekor kuda sumba

berkelamin jantan dipilih sebagai hewan model yang digunakan sebagai model perilaku

untuk dibandingkan dengan perilaku pada badak jawa yang sudah tercatat dalam

penelitian kamera jebak (Hariyadi et al. 2010). Tabel perilaku badak sumatera dibuat

berdasarkan informasi berdasarkan kompilasi oleh Siswandi(2005) yang mengamati

perilaku badak sumatera jantan Torgamba dan Andalas di Taman Nasional Way

Kambas.Dua ekor kuda jantan (satu ekor dewasa dan satu ekor kuda muda) dengan

berat masing-masing 104 kg dan 98 kg dipilih sebagai hewan model untuk menjalani

perlakuan induksi cekaman dengan mengurangi ransum pakan 50% dari jumlah yang

biasanya tersedia di kandang (defisit pakan) dan mengurangi ransum air 50% dari

jumlah yang biasanya tersedia di kandang (defisit air).

Perilaku kuda dikompilasi dengan melakukan pengamatan dan menyusun tabel

perilaku dua ekor kuda sumba yang menjadi obyek penelitian di Rumah Sakit Hewan

113

Fakultas Kedokteran Hewan IPB Darmaga dengan dasar ijin dari komisi etik no: 05-

2011 RSH-IPB untuk melakukan induksi cekaman.

Gambar 22 menampilkan profil kedua ekor kuda jantan yang digunakan dalam

penelitian ini yang terdiri dari kuda jantan dewasa bernama Garuda dan kuda jantan

muda bernama Elang.Untuk menyesuaikan dengan ketersediaan data perilaku pada

badak jawa dan badak sumatera, perilaku kuda dicatat pada pagi, siang/sore, dan malam

hari baik saat kuda dalam keadaan bebas sebelum penelitian, maupun dalam periode

pencucian atau washing out setelah perlakuan defisit pakan.

A B

Gambar 22. Kuda jantan dewasa bernama Garuda (A) dan kuda jantan dewasa muda

bernama Elang (B) yang digunakan sebagai hewan model dalam

pengamatan di Rumah Sakit Hewan IPB Darmaga

Pengambilan Data Pakan dan Air Minum (Fase Kontrol)

Sebelum perlakuan defisit pakan dan defisit air diberikan kepada kuda yang

menjadi hewan model dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan pencatatan jadwal

dan kuantitas pakan yang diberikan sehari-hari dalam keadaan normal. Kedua ekor

kuda model ditempatkan dalam kandang untuk memastikan bahwa konsumsi pakan dan

air dapat terpantau dan tercatat secara obyektif.

Kedua ekor kuda model ditempatkan di dalam kandang dan diberi waktu enam

hariyang cukup untuk aklimatisasi (Noble et al. 2007) sebelum pemberian pakan dan

air, dan sebelum pengamatan perilaku dilakukan. Sampel darah diambil dari vena

jugularis kuda model untuk mendapatkan data hematologi rutin, dan juga kadar kortisol

pada darah. Pemeriksaan darah dilakukan di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB.

Pengambilan darah dilakukan pada saat kuda baru dimasukkan ke kandang dan enam

hari kemudian setelah masa aklimatisasi berakhir, sementara pengamatan perilaku

dilakukan pada pagi dan siang hari dalam dua hari selama periode aklimatisasi.

114

Kuda diberi pakan ransum yang terdiri dari pelet (Royal Horse) dan bran

(Bogasari) dengan perbandingan 1:2 (pelet:bran) yang dicampur dengan 800 ml air.

Selain itu, kuda juga diberi rumput segar sebanyak 14.8-14.9 kg/e/h yang diambil dari

lapangan tempat kedua ekor kuda tersebut makan dalam di luar kandang dalam keadaan

normal. Komposisi pakan seperti ini diberikan setiap dua hari pada kedua ekor kuda

model. Air minum diberikan dalam bak minum yang diisi penuh dengan menggunakan

ember takar berukuran delapan liter setiap tiga hari. Pemberian pakan dan air minum

secara normal ini dilakukan dalam periode enam hari.

Induksi Cekaman

1. Perlakuan defisiensi Pakan

Untuk mensimulasikan kondisi defisit pakan yang terjadi pada badak jawa,

maka pengurangan ransum pakan (perlakuan defisit pakan) dilakukan pada kedua ekor

kuda jantan yang digunakan sebagai hewan model dalam penelitian ini. Perlakuan

defisit pakan dilakukan secara bertahap dengan mengurangi jumlah ransum pakan yang

diberikan menjadi 70% dan akhirnya menjadi 50% dari jumlah yang biasanya

diberikan. Dengan berat badan kuda sebesar 104 kg untuk kuda dewasa (Garuda) dan

98 kg untuk kuda muda (Elang), pengurangan yang dilakukan dirancang untuk

menurunkan asupan pakan kering kuda dari 5.34%-5.56% berat badan menjadi 2.65%-

2.76% berat badan.Tingkat asupan ini berbeda dengan asupan kering pakan badak yang

berada pada 1% berat badan. Pengurangan jatah pakan kuda ini tidak dilakukan untuk

menyamai secara persis kondisi yang dihadapi oleh badak dengan mempertimbangkan

etika penggunaan hewan model. Pengurangan pakan dilakukan secara bertahap agar

tidak menimbulkan perubahan yang dapat mengakibatkan kolik (Evans et al. 1990) dan

juga dengan mempertimbangkan agar total asupan pakan kering tidak jatuh di bawah

2.35% dari berat badan kuda. NRC (1989) menyebutkan bahwa kebutuhan minimun

bagi seekor kuda untuk mempertahankan fungsi normalnya adalah dengan asupan

kering 2.35% setiap hari, oleh karena itu, asupan kering di bawah 2.35% dikhawatirkan

akan menimbulkan defisit asupan nutrien yang akan berdampak negatif.Pengurangan

pakan secara bertahap seperti ini dilakukan dengan memperhitungkan faktor

kesejahteraan hewan model (animal welfare).

Pada hari pertama sampai hari ketiga pada perlakuan defisit pakan ini, setiap

ekor kuda model menerima pakan 70% dari biasanya yaitu konsumsi bahan kering

(KBK) sebesar 3,41 g/ek/hari atau 3.28% berat badan kuda dewasa (Garuda) dan 3.48%

115

berat badan kuda muda (Elang) . Kemudian pada hari keempat sampai keenam jumlah

asupan kering dikurangi menjadi 50% dari yang biasa diberikan yaitu konsumsi bahan

kering (KBK) sebesar 2.7 g/ek/hari atau 2.6% berat badan kuda dewasa (Garuda) dan

2.76% berat badak kuda muda (Elang). Dalam setiap perlakuan (kontrol dan defisiensi

pakan) pengamatan perilaku kuda model dilakukan pada pagi, dan siang/sore pada hari

keempat, dan keenam.

Pengambilan sampel darah dilakukan pada harikeempat dan ketujuh dengan

mengambil darah dari vena jugularis. Sampel darah kemudian dikirim ke laboratorium

Pusat Studi Satwa Primata IPB untuk menjalani analisis: hematologi rutin, fungsi ginjal

(ureum, kreatinin), dan hormon kortisol.

2. Perlakuan Defisiensi Air

Untuk mensimulasikan kondisi defisit air yang kerap dialami oleh badak jawa,

maka kedua ekor kuda model mendapatkan perlakuan berupa pengurangan jatah air

minum harian selama enam hari. Baseline data air minum didapatkan dari informasi

yang tercatat selama periode kontrol adalah pemberian rata-rata 16 liter setiap hari dan

pengurangan jumlah ketersediaan air menjadi 50% dilakukan dengan memberikan air

satu kali setiap dua hari (16 liter air pada hari berselang). Jadwal pemberian air selama

periode uji coba defisiensi air disajikan dalam Tabel 12.

Perlakuan dilakukan selama enam hari dan pengamatan perilaku dilakukan pada

pagi, dan siang/sore di hari ketiga dan hari keenam. Pengambilan sampel darah

dilakukan dua kali yaitu pada hari kedua dan ketujuh dengan mengambil darah dari

vena jugularis. Sampel darah kemudian dikirim ke laboratorium Pusat Studi Satwa

Primata IPB untuk menjalani analisis: hematologi rutin, fungsi ginjal (ureum,

kreatinin), dan hormon kortisol.

Tabel 12. Pemberian air minum untuk setiap ekor kuda pada periode perlakuan defisit

air

Kuda 100% air

(l/hari)

50%air

(l/hari)

Garuda 16 8

Elang 16 8

116

Periode “Pencucian”

Periode pencucian bukanlah bagian dari perlakuan, namun proses ini dilakukan

setelah perlakuan defisit pakan dan sebelum perlakuan defisit air untuk memastikan

bahwa kedua ekor kuda model terbebas dari pengaruh perlakuan defisit pakan dan

pengandangan yang dijalani sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan melepaskan kuda

model dari kandangnya dan membiarkan mereka beraktifitas dan merumput seperti

biasanya. Periode ini dilakukan selama tiga hari untuk memungkinkan kuda

beradaptasi kembali dengan kondisi dan lingkungannya. Rivera et al.

(2002)menunjukkan bahwa kuda sudah menunjukkan perubahan kadar kortisol ke

tingkat basal pada hari ke-empat, oleh karena itu, masa “pencucian” yang dilakukan

selama tiga hari sudah mencukupi untuk mengembalikan kadar kortisol ke tingkat awal

(aklimatisasi) untuk kemudian dibandingkan dengan kadar kortisol setelah induksi

cekaman.

Pengamatan Pola Respirasi

Respirasi pada kuda dihitung berdasarkan pergerakan pada bagian samping

badan (rusuk dan abdomen) pada saat respirasi berlangsung. Satu siklus respirasi

dihitung sebagai satu proses yang dimulai dari penghirupan udara yang ditandai dengan

mengembangnya rongga dada dan abdomen dan diakhiri dengan penghembusan udara

yang ditandai dengan menyusutnya rongga dada dan abdomen. Penghitungan siklus

respirasi dilakukan dengan mengamati kuda di dalam kandang dalam waktu 30 detik

sambil menghitung siklus respirasi yang terjadi dalam periode pengamatan, data ini

kemudian dikonversikan menjadi jumlah siklus per menit (respirasi per menit) dengan

mengalikan jumlah respirasi dalam 30 detik dengan dua.

Penghitungan Konsumsi dan Kecernaan kuda

Konsumsi dihitung dengan menimbang, mencatat, dan menjumlahkan berat

pakan segar harian yang diberikan kepada setiap ekor kuda di kandang. Konsumsi

pakan kuda terdiri dari rumput, pelet, dan dedak yang diberikan setiap hari dan

ditimbang menggunakan timbangan top loading merk Oxone dengan kapasitas

maksimum 15 kg. Jumlah pemberian pakan dicatat setiap hari dan kemudian rataan

pemberian pakan per ekor per hari dilakukan berdasarkan jumlah hari perlakuan.

Untuk melengkapi informasi mengenai perubahan pada kecernaan yang terjadi

dalam kondisi cekaman, feses kuda dikumpulkan untuk kemudian menjalani proses

117

gravimetri untuk mendapatkan kadar Acid Insoluble Ash (AIA) pada feses sebelum dan

setelah perlakuan induksi cekaman untuk mempelajari adanya perubahan kecernaan

sebagai respons terhadap adanya cekaman defisit pakan maupun air. Penghitungan

kecernaan dilakukan dengan metoda VanKeulen & Young (1977) dengan koreksi 10%

berdasarkan Mainka et al. (1989) dan Sims et al. (2007).

Analisis Data

Analisis perilaku dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif untuk

membandingkan trend perilaku pada kedua ekor kuda model pada fase kontrol dan pada

saat diberikan perlakuan. Statistik deskriptif juga akan dilakukan pada hasil

laboratorium untuk hematologi (rasio netrofil : limfosit), dan cekaman (berdasarkan

kadar kortisol dalam darah).Statistik deskriptif digunakan untuk memperlajari pola

kecenderungan pada respirasi sebelum dan setelah induksi cekaman akibat defisit pakan

dan defisit air. Regresi linear berganda dilakukan untuk mengidentifikasi komponen

yang paling berperan dalam menimbulkan gejala-gejala terkait cekaman.

Penguatan analogi antara kuda dengan badak dilakukan dengan

membandingkan trend peningkatan respirasi dan kecernaan. Data tingkat respirasi dan

kecernaan kuda dalam kondisi normal didapat dari hasil studi literatur, sementara data

tingkat respirasi dan kecernaan kuda dalam kondisi cekaman diperoleh dengan

mengukur respirasi kuda selama masa percobaan dan mengukur kecernaan berdasarkan

metoda AIA agar hasilnya dapat dibandingkan dengan data pada badak. Data tingkat

respirasi badak dalam keadaan normal dan dalam kondisi cekaman diperoleh dari hasil

pengamatan menggunakan rekaman video (Hariyadi et al. 2010).

Penguatan analogi hewan model dengan badak dilakukan dengan

membandingkan hasil penelitian menggunakan hewan model dengan parameter yang

sama pada badak berdasarkan penelitian sebelumnya dan data-data dari studi literatur.

Kemiripan trend perilaku dan parameter lain (respirasi, kecernaan, glukokortikoid)

dijadikan landasan untuk menguatkan analogi antara kuda dengan badak.

118

Hasil dan Pembahasan

Pemilihan Hewan Model

Berdasarkan proses pemilihan hewan model badak sumatera (Dicerorhinus

sumatrensis), badak India (Rhinoceros unicornis) dipilih sebagai pembanding untuk

mendapatkan parameter perilaku dan kecernaan, sementara kuda (Equus caballus)

dipilih sebagai hewan model yang dapat digunakan untuk perlakuan berupa induksi

cekaman mensimulasi kondisi yang dihadapi badak jawa di habitatnya. Kesesuaian

kuda sebagai hewan model untuk badak jawa diperkuat dengan adanya persamaan

perilaku antara kuda dan badak.

Perbandingan Perilaku Hewan Model

Perilaku hewan model (badak sumatera dan kuda) disusun dalam sebuah

ethogram yang kemudian menjadi dasar (baseline) yang dibandingkan dengan perilaku

badak jawa yang dijadikan contoh dalam penelitian ini. Ethogram perilaku ketiga

spesies ini disajikan dalam Tabel 13, sementara kuantitas aktifitas (durasi waktu) pada

badak dan kuda disajikan dalam Gambar 23 dan Gambar 24. Ethogram yang

ditampilkan menunjukkan bahwa ketiga spesies hewan di atas memiliki kesamaan

perilaku berupa: Jalan maju, Bersuara/dengus, garuk/gosok muka, dan makan/minum.

Kuda dan badak jawa memiliki kesamaan perilaku yang terdiri dari: Jalan maju, gerak

kepala, gerak ekor, jalan mundur, gerak satu kaki, bersuara/dengus, gosok muka, dan

makan/minum. Dari 23 perilaku (event behaviour) yang tercatat dalam ethogram

terlihat bahwa badak jawa memiliki 14 (60.87%) kesamaan perilaku dengan kuda dan 9

(39%) kesamaan perilaku dengan badak sumatera. Fakta ini menguatkan analogi antara

kuda dan badak jawa dalam pemilihan kuda sebagai hewan model.

Perbandingan perilaku pada badak jawa dan pada kuda menunjukkan adanya

perbedaan pada durasi aktifitas yang tercatat. Badak jawa menunjukkan bahwa

aktifitas lokomotor (bergerak dan berjalan) merupakan aktifitas yang dominan,

sedangkan pada kuda makan merupakan aktifitas yang dominan dilakukan oleh kuda

dalam kondisi lepas kandang. Di dalam kandang kuda menunjukkan aktifitas berdiri

diam sebagai aktifitas yang dominan, dan aktifitas berdiri diam seperti ini juga banyak

dilakukan oleh badak jawa sebagaimana terekam melalui video yang dipasang di

Taman Nasional Ujung Kulon untuk memantau perilaku badak jawa (Hariyadi et al.

2010).

119

Tabel 13. Ethogram (daftar perilaku) berdasarkan pengamatan kuda, badak jawa, dan

badak sumatera. Ethogram badak sumatera disusun berdasarkan Siswandi

et al (2005)

Badak jawa Badak sumatera Kuda

Lokomotor

Bangun berdiri

Gerakan telinga

Gerakan kepala

Jalan maju

Jalan maju

Gerakan telinga

Gerakan kepala

Jalan maju

Jalan mundur Jalan mundur

Gerak satu kaki Gerak satu kaki

Lari kecil

Berguling

Lari kecil

Berputar / rubah arah

Gerakan ekor

Berdiri diam

Berdiri diam

Gerakan ekor

Berdiri diam

Buka mulut / menguap

Merawat diri

Istirahat / diam

Kedutan kulit

Gosok muka/kepala Gosok muka/kepala Garuk/gosok muka

Gosok leher

Gosok perut samping

Makan/minum

Minum

Menjilat / saltlick

Gosok badan

Makan/minum

Menjilat / saltlick

Makan/minum

Menjilat/mengendus

Istirahat/berkubang

Berkubang

Tidur

Sosial / Komunikasi

Mendengus/suara

Kontak

Agonistik

Menyerang

Berkubang

Tidur

Bersuara / mendengus

Tidur

Bersuara/dengus

Kontak

Berjaga

Urinasi / Defekasi

Urinasi Urinasi

Defekasi Defekasi

Membaui

120

Perbandingan perilaku antara hewan model (Badak Sumatra, Badak India, dan

Kuda) menunjukkan tingkat kemiripan yang cukup tinggi dengan badak jawa.

Kemiripan perilaku ini menunjukkan bahwa pengamatan perilaku merupakan salah satu

cara yang dapat diandalkan dalam memantau respons badak jawa terhadap cekaman di

habitatnya. Dengan demikian, pengamatan perilaku pada Badak jawa menggunakan

kamera jebak memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai protokol pemantauan

status kesehatan Badak jawa dalam konteks cekaman. Hal ini diperkuat dengan

peluang untuk menggunakan feses Badak jawa sebagai sampel untuk mengukur kadar

kortisol.

A B

Gambar 23. Komposisi aktifitas badak 12 (A), dan badak 13 (B) berdasarkan durasi

yang terekam dengan menggunakan kamera otomatis.

A B

Gambar 24. Komposisi perilaku kuda jantan muda (A) dan jantan dewasa (B) yang

tercatat dalam pengamatan perilaku di kandang.

Proses Adaptasi Kuda di Dalam Kandang

1) Perilaku

Perilaku kedua ekor kuda di dalam kandang sangat berbeda dengan karakteristik

perilaku di padang rumput dilihat dari perbedaan durasi (persentase waktu) yang

Locomotor

Sosial

Makan/Minum

Urinasi/defekasi

agonistik

Istirahat

Merawat diri / Berkubang

Locomotor

Sosial

Makan/Minum

Urinasi/defekasi

agonistik

Istirahat

Merawat diri / berkubang

Lokomotor

Sosial

Istirahat

Merawat Diri

Urinasi/defekasi

Locomotor

Istirahat

Sosial

Merawat diri

Urinasi/Defekasi

121

digunakan oleh hewan. Di padang rumput, sebagian besar aktifitas yang dilakukan

adalah makan atau merumput, sementara di dalam kandang kedua ekor kuda lebih

banyak menghabiskan waktu dengan berdiri diam saat tidak ada makanan di kandang

mereka. Gambar 25 menunjukkan komposisi aktifitas harian kedua ekor kuda selama

periode aklimatisasi di dalam kandang. Perbedaan aktifitas kegiatan kuda yang dilepas

dengan kuda di kandang disampaikan oleh Rivera et al (2002) yang juga menunjukkan

bahwa perubahan fisiologi terkati adaptasi dari kegiatan di lapangan ke dalam kandang

memerlukan waktu 3-4 hari.

2) Tingkat Cekaman

Kadar kortisol dalam periode aklimatisasi ini menunjukkan adanya trend

penurunan pada kedua ekor kuda sebagaimana ditampilkan pada Gambar 26. Hal ini

terjadi akibat tingginya tingkat cekaman yang diterima oleh hewan saat ditarik dari

padang rumput ke dalam kandang yang mengakibatkan meningkatnya kadar kortisol

dalam darah. Setelah menghabiskan waktu beberapa hari di dalam kandang, hewan

mulai beradaptasi dengan situasi kandang dan tidak merasakan cekaman setinggi pada

saat pertama kali dimasukkan ke dalam kandang. Linklater et al (2010) menyebutkan

bahwa penurunan kortisol juga mungkin terjadi akibat adanya mekanisme kontrol

intrinsik yang menekan aktifitas korteks adrenal yang berujung pada penurunan kadar

kortisol. Linklater et al (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa mekanisme kontrol

internal ini biasanya terjadi akibat penggunaan pengekang atau anestesi/sedasi terhadap

hewan tersebut keberadaan mekanisme kontrol internal seperti ini. Kadar kortisol

setelah proses aklimatisasi masih merupakan data yang relevan untuk digunakan

sebagai baseline kadar kortisol pra perlakuan mengingat mekanisme kontrol internal

tersebut bukan merupakan peubah,mengingat tidak ada pengekangan dan penggunaan

anestesi dalam penelitian ini.Sesuai dengan yang disampaikan oleh Rivera et al (2002),

kadar kortisol serta juga perilaku kuda setelah aklimatisasi ini digunakan sebagai basis

dalam analisis perbandingan kadar kortisol danperilaku dalam setiap perlakuan induksi

cekaman.

122

A B

Gambar 25. Komposisi perilaku kuda dewasa (A) dan kuda remaja (B) selama periode

aklimatisasi di kandang.

3) Hematologi

Rasio perbandingan persentase netrofil dan limfosit dalam darah saat

aklimatisasi kuda dari lapangan ke dalam kandang menunjukkan trend penurunan dari

rataan 1.05 ke 0.79. Trend ini konsisten dengan trend penurunan kadar kortisol dalam

darah serta menguatkan indikasi adanya proses adaptasi dengan menurunnya tingkat

cekaman seperti yang disampaikan oleh Davis et al. (2008).

Gambar 26. Penurunan kadar kortisol dalam darah pada kedua ekor hewan (Garuda

dan Elang) selama periode aklimatisasi di kandang.

Gambar 26 menunjukkan adanya penurunan konsentrasi kortisol dalam darah

saat kedua ekor kuda dibiarkan di dalam kandang selama 4 hari. Hal ini menunjukkan

adanya proses penurunan cekaman pada kedua ekor kuda tersebut. Selain itu, data pada

Gambar 26 ini juga menunjukkan perbedaan antara kuda dewasa (Garuda) dan kuda

muda (elang) di mana kuda muda menunjukkan kadar konsentrasi kortisol yang relatif

lebih rendah dibandingkan kuda dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa kuda muda

mengalami aktifitas korteks adrenal yang lebih rendah dibandingkan kuda dewasa yang

dapat diasosiasikan dengan kemampuan kuda muda untuk menghadapi cekaman dan

atau melakukan desensitisasi terhadap cekaman yang ada.

Lokomotor

Makan/Minum

Istirahat

sosial

Defekasi/urinasi

Merawat Diri

Lokomotor

Makan/minum

Urinasi/Defekasi

Sosial

Agonistik

Merawat diri

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

Masuk Kandang Aklimatisasi

ko

nse

ntr

asi

ko

rtis

ol

da

lam

da

rah

(μg

/dL

)

Garuda

Elang

123

Induksi Cekaman dengan Defisit Pakan

Hasil pengamatan pada porsi pakan yang diberikan pada kedua ekor kuda jantan

yang digunakan sebagai model dalam penelitian ini menunjukkan bahwa setiap ekor

kuda mendapatkan pakan yang terdiri dari bran, pelet, dan rumput dengan kualitas

nutrisi, jadwal, dan jumlah pemberian pakan yang terukur. Tabel 14 menunjukkan

bahwa persentase asupan pakan kering per berat badan kuda mengalami penurunan

akibat adanya pengurangan pemberian ransum segar. Hal ini menunjukkan bahwa

defisiensi pakan sedang terjadi, namun pengurangan jumlah pakan masih berada di atas

2.35% asupan kering per berat badan dan masih berada dalam batas aman berdasarkan

kebutuhan nutrisi kuda yang tercantum dalam NRC (1989).

Tabel 14. Konsumsi pakan (% bahan kering per berat badan kuda)

Kuda Kontrol Defisit 30% Defisit 50%

Garuda (104 kg) 5.34% 3.34% 2.65%

Elang (98 kg) 5.56% 3.48% 2.76%

Informasi dalam Tabel 15 menunjukkan bahwa pengurangan jumlah ransum

segar yang dilakukan selama uji coba defisiensi pakan memberikan implikasi berupa

berkurangnya asupan pakan kering beserta nutrien yang terdiri dari protein dan lemak,

serta berkurangnya asupan energi pada setiap ekor kuda.

Tabel 15. Konsumsi nutrien setiap ekor kuda selama periode perlakuan defisiensi

pakan

Kuda dan

Perlakuan

Berat Pakan

Kering (kg/h)

Protein (kg/h) Lemak

(kg/h)

Energi

(Kal/h)

Garuda

Kontrol 5.45 0.31 0.08 1,321.39

Defisit 30% 3.41 0.20 0.06 920.32

Defisit 50% 2.70 0.15 0.04 604.64

Elang

Kontrol 5.45 0.31 0.08 1,321.39

Defisit 30% 3.41 0.20 0.06 920.32

Defisit 50% 2.70 0.15 0.04 604.64

124

Respons terhadap Perlakuan Defisit Pakan

Perlakuan defisit pakan (pengurangan ransum pakan) secara bertahap dilakukan

untuk mensimulasikan kondisi defisit energi dan nutrien sebagaimana dialami oleh

badak di ruang jelajah di habitat alaminya di Taman Nasional Ujung Kulon.

1) Perilaku

Pengamatan dilakukan untuk mengamati perubahan pada durasi dari berbagai

aktifitasyang dilakukan kuda sebagai perilaku yang umum, dan pengamatan juga

dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penambahan perilaku yang tidak muncul pada

periode aklimatisasi. Pada perlakuan defisit pakan nampak bahwa durasi aktifitas

berjalan menunjukkan trend penurunan dibandingkan dengan kontrol dan juga

perlakuan defisit air sementara aktifitas yang muncul pada perlakuan defisit pakan

namun tidak muncul pada periode kontrol adalah: mengunyah (dengan mulut kosong)

dan menggigit ember. Tambahan kebiasaan dengan gerakan mulut dan mengigit ember

merupakan respons yang kerap dijumpai pada kuda yang tengah mengalami cekaman

dan perilaku ini terkait dengan adanya peningkatan detak jantung (Bachman et al 2003;

Nagy et al. 2009). Perbandingan komposisi aktifitas perilaku kuda dalam penelitian ini

disajikan pada Gambar 28.

2) Tingkat Cekaman

Tingkat cekaman diamati dari kadar kortisol dalam darah dan Gambar 27

menunjukkan bahwa kadar kortisol selama perlakuan defisit pakan menunjukkan

fluktuasi/lonjakan yang cukup tinggi pada saat perlakuan baru berjalan 3 hari, namun

kadar kortisol ini menurun pada hari-hari berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa kuda

mengalami cekaman yang cukup tinggi saat ransum pakan mulai dikurangi menjadi

70% dari ransum yang biasa diterima. Menurunnya kadar kortisol pada hari-hari

berikutnya dalam perlakuan defisit pakan ini menunjukkan bahwa kuda dapat

beradaptasi dengan kondisi berkurangnya pakan (walaupun jumlah pakan yang diterima

berkurang lagi menjadi hanya 50% dari ransum yang biasa diterima).

125

Gambar 27. Fluktuasi kadar kortisol pada hewan pada perlakuan defisit pakan

Buff et al (2005) menunjukkan bahwa adaptasi ini terjadi berkat adanya sekresi

leptin, sebuah hormon protein, yang disekresikan oleh jaringan lemak (adiposa) dan

berfungsi untuk mengatur nafsu makan serta keseimbangan energi melalui mekanisme

biokimia di hipotalamus. Sekresi leptin ini sangat sensitif terhadap perubahan akut

pada diet dan merupakan hal yang relevan dengan fakta yang ditunjukkan oleh kuda

dalam penelitian ini dalam beradaptasi dengan kondisi defisit pakan.

3) Hematologi

Data hematologi menunjukkan trend yang berbeda dengan profil kortisol pada

kuda setelah perlakuan induksi cekaman berupa defisit pakan. Rasio netrofil : limfosit

menunjukkan penurunan rataan dari 0.79 ke 0.49 pada tiga hari pertama dan

menunjukkan peningkatan ke 0.88 pada hari ke enam. Hal ini sangat berlawanan

dengan fluktuasi hormon kortisol dalam darah seperti yang disajikan dalam Gambar 26.

Migrasi limfosit dari darah ke organ perifer pada kondisi cekaman terjadi setelah

adanya peningkatan hormon kortisol (Davis et al. 2008), oleh karena itu, rasio N:L

yang rendah pada hari ketiga bukan merupakan reaksi langsung akibat adanya

peningkatan hormon kortisol tersebut karena data tersebut merupakan gambaran

hematologi pada saat yang sama dan tidak dapat digunakan sebagai pembanding

korelasi antara kortisol dan rasio N:L. Profil fluktuasi rasio N:L seperti ini

menunjukkan kecenderungan adanya cekaman akut dimana kadar limfosit darah

menurun karena sebagian besar limfosit dimobilisasi ke organ perifer seperti kulit

(Dhabhar 2006). Mobilisasi limfosit seperti ini terjadi akibat adanya peningkatan

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

Aklimatisasi - pakan 1 - pakan 2

Ko

nse

ntr

asi

Ko

rtis

ol

da

lam

Da

rah

g/d

L)

Garuda

Elang

Rata-rata

126

ekspresi molekul adesif yang mendorong perlekatan sel-sel monosit, granulosit, dan

limfosit ke organ-organ terentu mulai dari dinding pembuluh darah dan organ-organ

perifer (Goebel & Mills 2000). Dengan fakta seperti ini dapat disimpulkan bahwa

defisit pakan memberikan cekaman yang bersifat akut.

Kekurangan pakan merupakan satu jenis cekaman yang dapat dihadapi dengan

adaptasi sehingga defisit pakan tersebut tidak lagi menjadi cekaman yang tinggi atau

kronis. Sebagai mekanisme untuk mengurangi kebutuhan energi, terlihat bahwa hewan

mengurangi aktifitas berjalan dalam kondisi defisit pakan ini. Hal ini sangat relevan

dengan data dari Badak jawa individu no 12 di Taman Nasional Ujung Kulon yang

menunjukkan tingkat asupan pakan paling rendah dan menunjukkan ruang dan jarak

jelajah yang paling kecil dibandingkan dua ekor Badak lainnya sebagaimana

dipaparkan dalam penelitian mengenai analisi nutrisi dan kecernaan pada Badak jawa.

Respons hormonal terhadap variasi dan perbedaan diet juga telah ditunjukkan oleh

Glade et al (1984) dimana flukutasi hormonal yang tidak seimbang dapat menimbulkan

risiko kesehatan pada kuda, terutama kuda yang masih muda.

Respons terhadap Perlakuan Defisit Air

Perlakuan defisit air merupakan simulasi dari kondisi yang dihadapi oleh badak

jawa di Taman Nasional Ujung Kulon di musim kering di mana banyak sumber air

(anak sungai) yang mengering dan ketersediaan air bagi Badak jawa akan jauh

berkurang. Selain itu prediksi skenario perubahan iklim yang dilakukan oleh Permadi

(2008) menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya kekeringan yang berkepanjangan

sepanjang tahun.

1) Perilaku

Pengamatan dilakukan untuk mengamati perubahan pada durasi dari berbagai

aktifitas yang dilakukan kuda sebagai perilaku yang umum, dan pengamatan juga

dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penambahan perilaku yang tidak muncul pada

periode aklimatisasi. Pada perlakuan defisit pakan nampak bahwa durasi aktifitas

berjalan menunjukkan trend penurunan dibandingkan dengan kontrol dan juga

perlakuan defisit air sementara aktifitas yang muncul pada perlakuan defisit pakan

namun tidak muncul pada periode kontrol adalah: mengunyah (dengan mulut kosong)

dan aktifitas menggigit ember yang banyak dilakukan oleh kuda jantan muda.

Kebiasaan menggigit seperti ini dijelasakan oleh Bachman et al. (2003) dan Nagy et al.

127

(2009) sebagai mekanisme yang dilakukan oleh kuda dalam kondisi tercekam, dan

perilaku seperti ini memiliki korelasi positif dengan peningkatan detak jantung dan

kadar kortisol dalam plasma darah. Perbandingan komposisi aktifitas perilaku kuda

dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 28.

2) Tingkat Cekaman

Tingkat cekaman diamati dari kadar kortisol dalam darah serta tingkat respirasi

pada kuda dibandingkan dengan tingkat respirasi normal atau istirahat. Respirasi

normal/istirahat berdasarkan Evans et al. (1990) adalah 8-16 respirasi per menit.

Fluktuasi kadar kortisol dalam darah menunjukkan kecenderungan untuk meningkat

secara eksponensial (R2=0.948) selama periode perlakuan seperti yang ditampilkan

dalam Gambar 29. Demikian juga halnya dengan tingkat respirasi yang meningkat

hampir secara linear (R2 = 0.912) selama perlakuan defisit air sebagaimana ditampilkan

pada Gambar 28. Peningkatan kadar kortisol nampak berjalan seiring dengan

meningkatnya respirasi pada kuda, namun demikian belum dapat disimpulkan apakah

kedua parameter ini (kortisol dan respirasi) saling berkorelasi ataupun bergantung satu

dengan yang lainnya mengingat pada perlakuan defisit pakan respirasi terus meningkat

walaupun kadar kortisol mulai menurun akibat adanya proses adaptasi.

128

A

B

Gambar 28. Perbandingan perilaku hewan model kuda jantan dewasa (A) dan kuda

jantan muda (B) dalam berbagai perlakuan

Gambar 29. Trend peningkatan kadar kortisol dalam darah pada perlakuan defisit air

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Kontrol

Min pakan 1

Min Pakan 2

Min airMakan

Gerak Kepala

Jalan maju

Jalan mundur

Gerak ekor

kedut

langkah

Garuk

Bersuara

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Kontrol

Min pakan 1

Min Pakan 2

Min air Makan

Gerak Kepala

jalan

Gerak ekor

Twitch

Stomp

Garuk

Bersuara

R² = 0,9484

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

aklimatisasi - air 1 - air 2

Ka

da

r k

ort

iso

l d

ala

m d

ara

h (

μg

/dL)

Garuda

Elang

Rata-rata

Expon. (Rata-rata)

129

3) Hematologi

Data hematologi menunjukkan trend yang berbeda dengan profil kortisol pada

kuda setelah perlakuan induksi cekaman berupa defisit pakan. Rasio netrofil : limfosit

tidak menunjukkan perubahan yang nyata dari rataan dari 0.79 ke 0.81 pada tiga hari

pertama dan menunjukkan penurunan ke rataan 0.63 pada hari ke enam. Hal ini tidak

seiring dengan fluktuasi hormon kortisol dalam darah seperti yang disajikan dalam

Gambar 29. Rasio N:L yang relatif tidak berubah pada hari ketiga bukan merupakan

reaksi langsung akibat adanya peningkatan hormon kortisol tersebut karena data

tersebut merupakan gambaran hematologi pada saat yang sama dan tidak dapat

digunakan sebagai pembanding korelasi antara kortisol dan rasio N:L.

Kecenderungan penurunan rasio N:L pada hari keenam menunjukkan persentase

limfosit yang lebih besar di dalam darah dibandingkan dengan kondisi pada hari ketiga.

Hal ini dapat langsung dikaitkan dengan tidak adanya mobilisasi limfosit dari darah ke

organ perifer dan menunjukkan adanya kecenderungan imunosupresi yang lazim terjadi

pada cekaman yang bersifat kronis (Dhabhar 2006). Dengan kecenderungan seperti ini

dapat disimpulkan bahwa defisit air merupakan cekaman yang bersifat kronis.

Ketersediaan air merupakan faktor yang sangat penting dan perlu diperhatikan

mengingat cekaman akibat menurunnya ketersediaan air merupakan cekaman yang

bersifat kronis dan sulit untuk diatasi sebagaimana dicerminkan dari kecenderungan

peningkatan kadar kortisol dan penurunan rasio N:L. Selain melakukan perilaku

tambahan seperti aktifitas menggigit ember dan menjilati pagar, kuda tidak melakukan

pengurangan aktifitas berjalan atau perubahan aktifitas lainnya untuk beradaptasi

dengan kondisi keterbatasan air. Coenen (2005) juga menunjukkan adanya peningkatan

kortisol dalam darah kuda akibat berkurangnya asupan air sebagaimana disimulasikan

dalam penelitian ini. Cekaman kronis seperti yang terjadi akibat defisit air dapat

menimbulkan implikasi kesehatan yang serius karena mengakibatkan imunosupresi

(Domingues-Gerpe & Rey-Mendez 2001) yang menurunkan daya tahan tubuh hewan

terhadap serangan agen infeksius.

130

Pola Respirasi Dalam Kondisi Cekaman

Pengamatan respirasi serta perbandingan tingkat respirasi pada kuda

dibandingkan dengan tingkat respirasi pada kondisi normal atau istirahat. Respirasi

normal/istirahat yang diambil berdasarkan informasi dalam Evans et al. (1990) adalah

8-16 respirasi per menit. Analisis pada tingkat respirasi saat kondisi defisit pakan dan

defisit airmenunjukkan bahwa kedua ekor kuda menunjukkan tingkat respirasi yang

tinggi dibandingkan dengan respirasi dalam kondisi normal atau istirahat seperti yang

ditampilkan pada Gambar 30. Peningkatan tingkat respirasi terjadi dari 8-16 respirasi

per menit melonjak ke 35-47 respirasi per menit yang merupakan kenaikan sebesar

1.93-3.37 kali lipat dari pernapasan dalam kondisi normal. Pada badak, peningkatan

respirasi akibat cekaman dari adanya interaksi agonistik terjadi dari 16-23 respirasi per

menit (Citino & Bush 2007) menjadi 42.60respirasi per menit (Hariyadi et al. 2010)

atau kenaikan sebesar 0.85-1.66 kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa kuda

mengalami peningkatan respirasi yang relatif sebanding dengan badak jawa seperti

yang ditampilkan pada Gambar 31. Walaupun peningkatan tingkat respirasi tidak

menunjukkan adanya korelasi dengan fluktuasi pada kadar kortisol dalam darah, baik

kuda maupun badak menunjukkan kecenderungan peningkatan respirasi dalam kondisi

cekaman. Fakta ini menunjukkan bahwa peningkatan respirasi seperti ini merupakan

indikator yang cukup sensitif untuk memantau keadaan cekaman secara kualitatif pada

kuda ataupun pada badak jawa.

Tingkat respirasi hewan pada saat menjalani kedua jenis cekaman menunjukkan

kecenderungan peningkatan. Oleh karena itu, pengamatan pada tingkat respirasi dapat

digunakan sebagai data penunjang dalam menganalisis tingkat cekaman yang dihadapi.

Namun demikian tingkat respirasi ini bukan merupakan indikator yang spesifik untuk

cekaman pada badak, karena selain akibat adanya cekaman peningkatan respirasi dapat

pula disebabkan oleh meningkatnya aktifitas hewan (Evans et al. 1990).

131

A

B

Gambar 30. Trend peningkatan respirasi pada kuda dalam perlakuan defisit pakan (A)

dan defisit air (B) dibanding dengan kondisi normal istirahat.

Gambar 31. Perbandingan peningkatan respirasi badak dan kuda dalam kondisi

normal dan cekaman (stress).

R² = 0,8673

-

10

20

30

40

50

60

Istirahat - pakan 1 - pakan 2R

esp

ira

si

(re

spir

asi

/ m

en

it)

Garuda

Elang

Rata-rata

Linear (Rata-rata)

R² = 0,9124

-

10

20

30

40

50

60

Istirahat - air 1 - air 2

Re

spir

asi

(re

spir

asi

/me

nit

)

Garuda

Elang

Rata-rata

Linear (Rata-rata)

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

min max min max

Normal Stress

Re

spir

asi

pe

r m

en

it

Kuda

Badak

132

Identifikasi Komponen Pemicu Cekaman

Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa terjadinya cekaman dapat diasosiasikan

dengan meningkatnya kadar kortisol dalam darah dan juga meningkatnya respirasi.

Regresi linear berganda dilakukan untuk mengindentifikasi kontribusi dan korelasi dari

berbagai faktor seperti: asupan protein, asupan air, asupan energi, rasio N/L terhadap

Kadar kortisol dan respirasi. Regresi linear berganda menunjukkan hasil sebagai

berikut:

• Respirasi = 99.3785 – 538.6646 x protein + 0.0803 x Energi – 2.0521 x Air

(L) + 11.2048 x n/l + 0.0006 x kortisol. (R2 =0.8358)

• Kortisol = 11,409.0257 – 60,927.1702 x protein + 11.5232 x Energi – 240.3852

x Air (L) – 2,648.2992 x n/l + 27.8213 x Respirasi. (R2 = 0.6284)

Hasil ini menunjukkan kecenderungan bahwa faktor yang paling menentukan

dalam peningkatan respirasi adalah asupan protein (koefisien = 538.67), diikuti dengan

rasio n/L (koefisien 11.20), dan air (koefisien = 2.05). Demikian pula dengan

peningkatan kadar kortisol dalam darah yang ditentukan oleh asupan protein (koefisien

= 60,927.17), diikuti dengan rasio n/L (koefisien= 2,648.30), dan air (koefisien =

240.3852).

Kecernaan Kuda Dalam Kondisi Cekaman

Pada kondisi kualitas pemeliharaan yang sama, komposisi pakan yang terukur,

dan periode pemberian pakan yang teratur selama perlakuan pada kedua ekor kuda,

maka dapat dipastikan bahwa konsumsi pakan bagi kedua ekor kuda tersebut

merupakan faktor konstan dalam uji coba ini. Oleh karena itu, perubahan fisiologi

pencernaan yang terjadi pada kedua ekor kuda tersebut merupakan pengaruh dari

cekaman yang timbul. AIA pada pakan dan feses kuda serta perhitungan kecernaan

selama perlakuan ditampilkan pada Tabel 16.

133

Tabel 16. Persen kecernaan dua ekor kuda dengan koreksi 10% menurut Mainka et al

(1989)

Kuda &

Perlakuan

AIA Pakan AIA Feses % kecernaan %

kecernaan

terkoreksi

Garuda

Defisit Pakan 1.85 6.50 71.54% 64.38%

Defisit Air 1.85 6.64 72.14% 64.92%

Elang

Defisit Pakan 1.85 5.95 68.91% 62.02%

Defisit Air 1.85 -

Dengan menggunakan metoda AIA (Van Keulen & Young 1977) dan koreksi

berdasarkan Mainka et al (1989) sebagai formula penghitungan tingkat kecernaan

(karena koleksi total tidak mungkin untuk dilakukan dalam penelitian ini), didapat

bahwa kecernaan kuda dalam perilaku defisit pakan adalah: 62.02%-64.38% sementara

kecernaan dalam kondisi defisit air adalah: 64.92% (data dari satu ekor kuda tidak

dapat digunakan). Angka kecernaan ini lebih tinggi dibanding dengan kecernaan pada

kuda dalam kondisi normalyang didapat dari literatur yaitu: 54.6%-62.1% (Pagan et al

1998).

Kecernaan pada badak 12 digunakan untuk mewakili kondisi cekaman tinggi

akibat defisit air (berdasarkan jumlah asupan air dari pakan dalam pengamatan nutrisi)

dan menunjukkan tingkat kecernaan 81.9%. Kecernaan pada badak 18 dan 13

digunakan untuk mewakili kondisi cekaman rendah yang menunjukkan tingkat

kecernaan 69.3%-71.1%. Dalam perbandingannya kuda menunjukkan peningkatan

kecernaan dalam kondisi defisit pakan dan dalam kondisi defisit air, sementara badak

menunjukkan kecernaan lebih besar pada individu yang mengalami berupa defisit air

bila dibandingkan dengan badak sumatera sebagai baseline kecernaan. Kecernaan yang

tinggi dalam konsumsi rendah dapat terjadi karena jumlah konsumsi pakan yang rendah

(50%) dari total mengakibatkan laju pakan lambat sehingga peluang bahan dicerna

menjadi tinggi.

Perbandingan ini menunjukkan adanya kesamaan pada kecenderungan reaksi

tanggap berupa peningkatan kecernaan pada kuda dan badak yang mengalami cekaman

(khususnya defisit air) seperti yang ditampilkan pada Gambar 32 yang menunjukkan

reaksi tanggap berupa peningkatan kecernaan pada badak dan kuda dalam kondisi

cekaman. Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan bahwa baik kuda ataupun badak

134

memberikan reaksi tanggap terhadap cekaman defisit air berupa peningkatan pada

tingkat kecernaan.Peningkatan kadar AIA feses serta perbandingan tingkat kecernaan

dalam kondisi normal (kontrol) dengan kondisi cekaman berupa defisit pakan maupun

defisit air menunjukkan bahwa kuda beradaptasi secara fisiologis untuk meningkatkan

kapasitas absorpsi nutrisi untuk memenuhi kebutuhan ekstra dalam beradaptasi dengan

kondisi cekaman. Hal ini konsisten dengan tingginya kecernaan pada badak jawa

sebagai mekanisme dalam menghadapi kondisi cekaman berupa rendahnya nutrisi dan

keterbatasan pakan. Informasi ini menunjukkan bahwa kecernaan merupakan

parameter yang dapat digunakan untuk mendukung analisis keberadaan cekaman pada

kuda ataupun badak, dan memiliki potensi untuk digunakan dalam pemodelan dan

penelitian mengenai reaksi tanggap cekaman pada badak jawa.

Gambar 32. Trend kecernaan badak dan kuda dalam kondisi normal dan cekaman

(stress) defisit air.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

min max min max

Normal Stress

Pe

rse

n k

ece

rna

an

Kuda

Badak

135

Adaptasi Fisiologis Terhadap Cekaman

Peningkatan respirasi dan tingkat kecernaan merupakan fenomena yang lazim

ditemukan pada kuda dalam kondisi cekaman (Pagan et al 1998; Coenen 2005). Kedua

perubahan ini merupakan respons fisiologis tubuh untuk menghadapi cekaman yang

datang. Peningkatan respirasi menunjang peningkatan produksi energi dari molekul

ATP yang diurai dalam siklus Krebs yang banyak didorong oleh proses enzimatik dan

oksidatif (Koolman & Rohm 2001). Peningkatan kecernaan juga merupakan salah satu

mekanisme untuk meningkatkan penyerapan nutrien dari saluran pencernaan ke

pembuluh darah dan kemudian didistribusikan ke sel untuk digunakan sebagai sumber

energi yang siap pakai seperti glukosa, ataupun bahan baku lainnya untuk siklus Krebs

seperti protein ataupun lemak. Peningkatan metabolisme seperti ini merupakan langkah

untuk menggalang energi yang digunakan dalam respons fight or flight yang dipicu

oleh hormon cekaman yang disekresikan dari korteks adrenal.

136

Simpulan dan Saran

1. Perlakuan defisit pakan dan defisit air merupakan cara dapat dilakukan untuk

menimbulkan cekaman pada hewan model (kuda).

2. Cekaman akibat defisit pakan mengakibatkan perubahan perilaku berupa

pengurangan aktifitas berjalan dan adanya aktifitas menggigit embar atau pagar

(crib biting).

3. Defisit air merupakan sumber cekaman dengan karakteristik kronis yang ditandai

dengannaiknya kadar kortisol dan turunnya rasio N/L akibat migrasi limfosit dari

organ perifer kembali ke darah (imunosupresi).

4. Defisit pakan merupakan sumber cekaman dengan karakteristik akut yang

ditandai dengan kenaikan sementara kadar kortisol dalam darah yang diikuti

dengan peningkatan rasio N/L akibat migrasi limfosit dari darah ke organ perifer

(imunomodulasi).

5. Dampak lain dari adanya cekaman adalah adanya peningkatan respirasi dan

kecernaan pada kuda yang mengalami cekaman, dan hal ini merupakan adaptasi

fisiologis yang dilakukan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan energi dalam

kondisi cekaman tersebut.

6. Kuda menunjukkan trend peningkatan kecernaan dan respirasi yang sebanding

dengan badak, dan ini menunjukkan bahwa kuda merupakan model yang layak

untuk digunakan dalam studi terkait cekaman pada badak.

Saran

1. Melakukan penelitian mengenai korelasi antara tingkat cekaman kronis ataupun

akut dengan kerentanan terhadap penyakit yang dapat mengancam populasi

badak jawa dengan menggunakan hewan model.

2. Menerapakan konsep pemantauan perilaku dan profil hormon cekaman untuk

badak jawa di habitat alaminya dengan referensi reaksi tanggap pada hewan

model.

3. Menerapkan upaya mitigasi cekaman kronis akibat defisit air dengan

meningkatkan akses jalur badak ke titik-titik air untuk minum maupun

berkubang

137

Daftar Pustaka

Agil M, Purwantara B, Alikodra HS, Hodges K, Toelihere MS. 2007. Reproductive

biology of the sumatran rhinoceros Dicerorhinus sumatrensis (Fischer 1814).

Disertasi program Doktor Institut Pertanian Bogor. Sekolah Pasca Sarjana IPB

Agil M, Setiadi DR, Supriatna I, Purwantara B,. 2008. Non-Invasive Endocrine

Monitoring of Reproduction and Stres in the wild animal: Analyzing hormone

metabolites in Urine and Faeces using Enzymeimmunoassay. Proceeding of

AZWMC 2008

Bachman I, et al. 2003. Behavioural and physiological responses to an acute stressor in

crib-biting and control horses. Applied animal behaviour science 82: 297-311

Buff PR, Morrison CD, Ganjam VK, Keisler DH,. 2005. Effects of short-term feed

deprivation and melatonin implants on circadian patterns of leptin in the horse.

Journal of animal science 83(5): 1023-1032

Cameron HL, Perdue MH. 2005. Stres Impairs Murine Intestinal Barrier Function:

Improvement by Glucagon-Like Peptide-2. The journal of pharmacology and

experimental therapeutics Vol. 314, No. 1

Carlstead K, Brown JL,. 2005. Relationships between patterns of fecal corticoid

excretion and behaviour, reproduction, and environmental factors in captive

black (Diceros bicornis) and white (Ceratohterium simum) Rhinoceros. Zoo

biology 24: 215-232

Citino SB, Bush M. 2007. Reference Cardiopulmonary Physiologic Parameters for

Standing, Unrestrained White Rhinoceroses (Ceratotheriumsimum). Journal of

Zoo and Wildlife Medicine 38(3):375–379

Clauss M, et al. 2005. Studies on digestive physiology and feed digestibilities in

captive Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Journal of Animal

Physiology and Animal Nutrition 89 (2005) 229–237

Clauss M, et al. 2006. Digestion coefficients achieved by the black rhinoceros (Diceros

bicornis) a large, browsing, hidgut fermenter. Journal of animal physiology and

animal nutrition. 1-10

Coenen M,. 2005. Exercise and stress: impact on adaptive processes involving water

and electrolytes. Livestock production science 92:131-145

Colgan, PW. 1978. Quantitative ethology. Wiley-Interscience publications. John Wiley

and Sons, New York

Davis AK, Maney DL, Maersz JC,. 2008. The use of leucocyte profiles to measure

stress in vertebrates: a review for ecologists. Functional ecology 22(5): 760-772

138

Dhabhar FS,. 2000. Acute stress enhances while chronic stress supresses skin

immunity: the roles of stress hormones and leukocyte trafficking. Annals of the

New York academy of Sciences vol 917: Neuroimmunomodulation perspectives

at the new millenium:876-893

Domingues-Gerpe L, Rey-Mendez M,. 2001. Alterations induced by chronic stress in

lymphocyte subsets of blood and primary and secondary immune organs of

mice. BMC Immunology 2:7. http://www.biomedcentral.com/1471-2172/2. [9

Juni 2012]

Dyer J, et al. 2002. Molecular characterisation of carbohydrate digestion and absorption

in equine small intestines. Equine veterinary journal 34(4):349-358

Evans W, Borton A, Hints HF, Vleck LDV,. 1990. The Horse Second Edition. W.H.

Freeman and Company, New York

Fernando P, Polet G, Foead N. Ng L. Melnick DJM. 2004. Mitochondrial DNA

analysis of the critically endangered Javan Rhinoceros. PHKA-WWF-Columbia

University

Figueiredo HF, et al. 2003. Stress integration after acute and chronic predator stress:

Differential activation of central stress circuitry and sensitization of th

ehypothalamo-pituitary-adrenocortical axis. Endocrinology 144(12): 5249-5258

Firdaus Y,. 2008. Laporan Climate Modelling. Kajian Dampak Perubahan Iklim

Terhadap Kerentanan Badak jawa. WWF Indonesia – Program Iklim dan

Energi

Glade MJ, Gupta S, Reimers TJ,. 1984. Hormonal Responses to High and Low Planes

of Nutrition in Weanling Thoroughbreds. J Anim Sci 1984. 59:658-665

Goebel MU, Mills PJ,. 2000. Acute psychological stress and exercise and changes in

peripheral leukocytes adhesion molecule expression and density. Psychosomatic

medicine 62: 664-670.

Hariyadi ARS, Setiawan R, Daryan, Yayus A, Purnama H,. 2010. Preliminary

behaviour observations of the Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) based

on video trap surveys in Ujung Kulon National Park. Pachyderm 47: 93-99

Harley EH, Matshikiza M, Robson P, Weber B,. 2004. Red blood cell metabolism

shows major anomalies in Rhinocerotidae and Equidae, suggesting a novel role

in general antioxidant metabolism. Animals and Environments. Proceedings of

the Third International Conference of Comparative Physiology and

Biochemistry. Pp 334-340

Hutchin M, Kreger MD,. 2006. Rhinoceros behaviour: implications for captive

management and conservation. Int. Zoo. Yb 40:150-173

Koolman J, Rohm KH, Wanandi SI[ed], Sadikin M [ed]. 2001. Atlas berwarna dan teks

Biokimia. Cetakan I. Penerbit Hipokrates, Jakarta

139

Linklater WL, MacDonald EA, Flamand JRB, Czekala NM,. 2010. Declining and low

fecal corticoids are associated with distress, not acclimatization to stress, during

the translocation of African rhinoceros. Animal conservation 13: 104-111.

Mainka SA, Zhao GL, Li M, 1989. Utilization of a bamboo, sugar cane, and gruel diet

by two juvenile giant pandas (Ailuropoda melanoleuca). Journal of zoo and

wildlife medicine 20:39-44

Sims JA, et al. 2007. Determination of bamboo-diet digestibility and fecal output by

giant pandas. Ursus 18(1): 38-45

McSweeney CS, Pass MA,. 1983. The mechanism of ruminal stasis in Lantana-

poisoned sheep. Quarterly journal of experimental physiology 68: 301-313

NRC. 1989. Nutrient requirements of horses, 5th ed. National Academy Press,

Washington DC.

Nagy K, et al. 2009. The effect of a feeding stress-test on the behaviour and the heart

rate variability of control and crib-biting horses (with or without inhibition).

Applied animal behaviour science 121: 140-147

Nessminth S, Baltzell J, Bardanier CD,. 1983. Interaction of Glucocorticoid and

thyroxine in the responses of rats starvation-refeeding J. Nutr. 113: 2260-2265

Noble GK, et al. 2007. Effect of excercise training, circadian rythm, age, and sex, on

insulin-like growth factor-1 in the horse. Journal of animal science 85: 163-171

Pagan JD, et al. 1998. Exercise affects digestibility and rate of passage of all-forage and

mixed diets in throroughbred horses. American society for nutritional sciences.

J. Nutr. 128: 2704S-2707S

Pass MA, Seawright AA, Lamberton JA, Heath TJ,. 1979. Lantadene A toxicity in

sheep. A model for cholestasis. Pathology. 1979 Jan;11(1):89-94

Permadi YF,. 2008. Kajian dampak perubahan iklim terhadap kerentanan badak jawa.

Laporan proyek WWF Indonesia.

Rivera E, Benjamin B, Nielsen J, Shelle J, Zanella AJ,. 2002. Behavioural and

physiological responses of horses to initial training: the comparison between

pastured versus stalled horses. Applied animal behavioural science 78(2-4): 235-

252

Sajudin HR, Djaja B,. 1984. Monitoring populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus

Desmarest 1822) di Semenanjung Ujung Kulon. Laporan akhir penelitian

IUCN/WWF proyok nomor 1960. Fakultas Biologi UNAS

VanKeulen J, Young, BA. 1977. Evaluation of Acid Insoluble Ash as a Natural Marker

in Ruminant digestibility Studies. Journal of Animal Science vol 44 no: 2. 282-

287

PEMBAHASAN UMUM:

MODEL DALAM PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA

Pendahuluan

Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan salah satu megaherbivora

yang tidak ikut punah pada saat terjadi perubahan iklim global di satu periode

geologis yang dikenal dengan nama periode Holocene. Pada periode ini banyak

spesies menjadi punah (terutama herbivora besar) akibat perubahan iklim yang

berujung pada perubahan sebaran dan kelimpahan vegetasi (Williams et al. 2002). Hal

ini menunjukkan tingkat ketergantungan yang tinggi pada herbivora besar, termasuk

badak jawa, terhadap struktur vegetasi di lingkungan/habitat tempat tinggalnya;

padahal vegetasi itu sendiri bukanlah komponen habitat yang statis.

Perubahan habitat badak -walaupun tidak se ekstrem perubahan yang terjadi

pada periode holocene- telah teramati oleh beberapa penelitian diantaranya adalah

oleh Muntasib et al. (2002) yang melihat adanya kecenderungan dari sejenis

tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia) untuk mendominasi habitat badak di Taman

Nasional Ujung Kulon. Kecenderungan seperti ini mengakibatkan menurunnya

ketersediaan pakan badak serta berpotensi untuk mengakibatkan berubahnya iklim

mikro. Penelitian yang dilakukan oleh Sarma et al. (2009) juga menjelaskan bahwa

suksesi alami mengakibatkan perubahan pada habitat dan perubahan ini

mengakibatkan penurunan dari ketersediaan pakan di padang rumput yang dihuni oleh

badak india (Rhinoceros unicornis) di suaka margastwa Pobitora, Assam, India.

Perubahan pada habitat dapat terjadi secara berangsur-angsur ataupun secara

drastis akibat bencana alam seperti letusan gunung berapi. Letusan Krakatau di tahun

1883 adalah salah satu contoh fenomena alam yang dapat dikategorikan sebagai

bencana klimatik yang mengakibatkan perubahan signifikan pada vegetasi di daerah

sekitarnya (Budyko 1999). Oleh karena itu, berbagai fenomena alam dapat menjadi

risiko yang mengancam kepunahan badak Jawa secara langsung seperti epidemi

penyakit, letusan gunung berapi, dan tsunami; maupun secara tidak langsung seperti

perubahan iklim drastis ataupun perubahan vegetasi akibat suksesi yang terjadi secara

alamiah.

Populasi badak Jawa di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon

menghadapi ancaman risiko penyakit yang dapat mendorong populasi ini menuju

kepunahan. Pada awal tahun 1982, lima ekor badak ditemukan mati di daerah selatan

142

semenanjung Ujung Kulon dengan dugaan adanya penyakit menular (Strien 1982).

Dugaan ini muncul didorong dengan adanya temuan kematian satwa lain di

semenanjung Ujung Kulon dan beberapa kematian pada kerbau di sekitar kawasan

Taman Nasional. Kasus kematian karena penyakit masih ditemukan pada seekor

badak betina di tahun 2003.

Kasus kematian badak masih berlanjut di tahun 2010 dimana 3 tumpukan

tulang belulang yang berasal dari 3 ekor badak ditemukan di semenanjung Ujung

Kulon dan analisis menunjukkan adanya agen infeksius Trypanosoma evansi yang

kemungkinan dapat menulari badak dan menyebabkan kematian (Hariyadi et al.

2011). Berdasarkan kasus kematian dari tahun 2000 sampai 2010, perhitungan angka

mortalitas adalah 1 kematian setiap tahun. Dengan demikian, tiga kematian di tahun

2010 merupakan angka yang secara signifikan berada di atas rata-rata angka kematian

per tahun. Sebaran temuan kasus kematian badak dari tahun 2000 sampai 2010

ditampilkan pada Gambar 33.

Gambar 33. Lokasi temuan kematian badak Jawa dalam periode tahun 2000-2010.

Titik hijau menunjukkan kasus dengan informasi yang relatif lengkap

mengenai penyebab kematian.

Keberadaan ancaman penyakit terhadap badak jawa diperkuat dengan adanya

hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairani (2009) yang menunjukkan adanya agen

infeksius berupa parasit darah dan juga cacing yang dapat menular dari ternak kerbau

143

ke badak Jawa dan bahkan kepada manusia (zoonosis). Berdasarkan temuan-temuan

ini, para pakar yang tergabung dalam kelompok spesialis badak Asia: Asian Rhino

Specialist Group (AsRSG) merekomendasikan untuk menyusun sebuah protokol

kajian risiko penyakit serta pemantauan penyakit yang dapat menyerang populasi

badak Jawa. Penyusunan protokol yang dilengkapi dengan pelatihan bagi staf

lapangan merupakan langkah penting yang akan meningkatkan efektifitas patroli serta

meningkatkan peluang untuk menemukan dan mencegah penyakit-penyakit yang

membahayakan populasi badak Jawa.

Tekanan yang Dihadapi oleh Badak Jawa

Populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon telah diketahui sebagai

populasi yang jumlahnya tidak lebih dari 50 individu saja, sementara rata-rata

perkembangan populasinya tidak lebih dari 1% saja setiap tahunnya (Hariyadi et al.

2011). Pemerintah Indonesia telah mentargetkan pertumbuhan populasi badak jawa

untuk bertambah dengan tingkat laju pertumbuhan populasi 3% setiap tahunnya.

Perbandingan kondisi pertumbuhan populasi yang teramati saat ini dengan

target yang telah dicanangkan oleh pemerintah menunjukkan adanya kesenjangan

(gap) pada laju pertumbuhan populasi badak tersebut. Kesenjangan ini diharapkan

dapat dikurangi dengan meminimalisir cekaman yang dihadapi oleh badak, sehingga

mereka dapat melakukan adaptasi secara optimal terhadap perubahan yang terjadi di

habitatnya. Penelitian ini telah mengidentifikasi berbagai cekaman yang dihadapi

badak jawa di habitat aslinya, dan cekaman ini antara lain terdiri dari:

1) Defisit Energi Asal Pakan

Perbandingan jumlah asupan nutrien (protein dan lemak) dalam penelitian ini

dengan asupan nutrien (protein dan lemak) pada badak sumatera yang dilakukan oleh

Dierenfeld et al. (2000) menunjukkan jumlah asupan yang relatif sama. Hal yang

perlu dicermati adalah perlakuan pada badak sumatera dicatat berdasarkan asupan

yang diterima badak sumatera di dalam fasilitias penangkaran yang biasanya memiliki

kualitas asupan lebih rendah dari kualitas asupan yang ada di alam (Dierenfeld et al.

2000). Berdasarkan informasi ini, maka kualitas asupan pakan badak sumatera di

penangkaran berdasarkan literatur ini merupakan tingkat minimum yang diperlukan

oleh badak jawa di habitat alaminya.

144

Perhitungan dengan menggunakan formula Kleiber seperti yang dilakukan

oleh Clauss et al. (2005) pada badak india menunjukkan bahwa kebutuhan energi

ideal untuk mempertahankan homeostasis (maintenance energy) bagi badak jawa

adalah: 20,825-28,051 kkal per hari (badak 12 dan 13) dan 15,937-21-467 kkal per

hari (badak 18). Secara umum, jumlah asupan pakan yang tercatat di lapangan

menunjukkan rataan harian yang memadai untuk memenuhi kebutuhan energi badak

jawa, namun perhatian khusus perlu diberikan pada badak 18 (badak muda) yang

jumlah rataan energi hariannya hanya sedikit di atas kebutuhan minimum. Hal ini

terjadi akibat adanya penurunan asupan energi asal pakan pada bulan Desember.

Fakta ini menunjukkan adanya risiko bahwa kebutuhan energi kemungkinan tidak

dapat dipenuhi pada waktu-waktu tertentu dan harus segera dipenuhi dalam waktu

berikutnya. Jumlah asupan energi asal pakan pada badak jawa perlu dipastikan untuk

menjamin kemampuan badak untuk mempertahankan hidup dan berkembang biak.

Hasil kajian hematologi pada hewan model menunjukkan bahwa kondisi

defisit jumlah konsumsi pakan -bila terjadi- merupakan jenis cekaman bersifat akut

dan merupakan kondisi riil yang harus dihadapi oleh badak Jawa di Taman Nasional

Ujung Kulon. Data dari tabel 4 menunjukkan adanya kemungkinan bahwa pakan

sebagian besar pakan yang dipilih oleh badak adalah jenis-jenis dengan kandungan air

yang cukup tinggi (9-17% air) sehingga berat kering dari tumbuhan pakan menjadi

sangat kecil dibandingkan dengan berat segarnya. Ini merupakan salah satu

mekanisme yang dilakukan oleh badak untuk mencegah terjadinya defisit air yang

merupakan tingkat cekaman yang tinggi sebagaimana ditunjukkan dalam pengamatan

profil glukokortikoid dan juga induksi defisit air pada hewan model.

2) Defisit Air

Analisis kadar glukokortikoid dari feses badak menunjukkan adanya

kecenderungan peningkatan hormon cekaman pada musim kering dengan jumlah

kejadian hujan yang rendah setiap harinya. Perbedaan kadar hormon ini sangat jelas

terlihat (walaupun tidak berbeda nyata secara statistik) di semua badak contoh dalam

penelitian ini terutama badak 12. Badak 12 merupakan badak dengan kandungan air

yang paling kecil dari asupan pakannya sehingga hewan ini memerlukan ketersediaan

air minum yang banyak. Perhitungan kebutuhan air dilakukan berdasarkan informasi

145

dari Galpine (2006) yang menunjukkan kebutuhan air 0.03 liter air per kilogram berat

badan, dan perhitungan ini menunjukkan bahwa badak 12 dengan bobot 1,000 kg

memerlukan 28 L air setiap harinya. Hasil kajian pakan dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa badak 12 hanya mendapatkan rataan 5.01 L air dari tumbuhan

pakan dan harus mendapatkan 23 liter dari minum setiap harinya. Kebutuhan akan air

pada badak 12 ini akan meningkat pada musim kering di mana beberapa sumber air

mengering dan mengakibatkan menurunnya ketersediaan air. Hal ini konsisten

dengan temuan tingginya kadar glukokortikoid dari feses badak 12 di musim kering

sekitar bulan Oktober 2010 (0,2 kejadian hujan per hari). Fakta ini diperkuat dengan

kecenderungan yang sama saat cekaman defisit air disimulasikan pada kuda yang

menunjukkan peningkatan kortisol secara eksponensial. Kajian hematologi pada

hewan model menunjukkan bahwa kondisi defisit air merupakan cekaman yang

bersifat kronis.

Model Pengelolaan Badak Jawa

Hasil penelitian ini memberikan beberapa opsi yang potensial untuk

diterapkan sebagai bagian dari pengelolaan badak jawa. Opsi-opsi ini dapat dijadikan

model pengelolaan dengan pendekatan baru (basis pengkayaan nutrisi dan mitigasi

cekaman) yang belum pernah dirancang dan diimplementasikan secara optimal

sebelumnya. Model pengelolaan Badak Jawa berbasis nutrisi dan mitigasi cekaman

ditampilkan pada Gambar 34 dan terdiri dari berbagai komponen yaitu:

1. Komponen pemantauan yang terdiri dari: pemantauan status nutrisi dan

status cekaman berdasarkan profil hormon glukokortikoid dan/atau

metabolitnya.

2. Komponen pengkayaan nutrisi berupa intervensi habitat secara aktif untuk

memastikan ketersediaan tumbuhan pakan dengan kualitas nutrisi yang

tinggi untuk badak di Taman Nasional Ujung Kulon

3. Komponen mitigasi cekaman dengan memastikan ketersediaan air serta

akses menuju air yang tersedia sepanjang tahun.

4. Komponen riset menggunakan hewan model untuk mempelajari kecernaan

dan reaksi tanggap cekaman untuk mengantisipasi dan meminimalisir

dampak negatif dari nutrisi dan kecernaan, dampak negatif dari cekaman,

serta implikasi kesehatan lainnya.

146

Gambar 34. Model pengelolaan populasi dan habitat badak jawa dengan pendekatan

aspek nutrisi, cekaman, dan kesehatan

Komponen 1: Teknik Pemantauan

Pemantauan Status Nutrisi

Keberhasilan pengamat dalam mengikuti pola pergerakan badak (trajektori)

serta identifikasi lokasi-lokasi yang menjadi areal makan badak (rumpang)

menunjukkan potensi pengembangan dari teknik ini menjadi suatu teknik pemantauan

kuantitas dan kualitas nutrisi yang terjadi di habitat alami badak. Kemampuan

pemetaan dan analisis spatial akan mendorong keakuratan dari metode ini ke tingkat

yang lebih tinggi dan dapat memberikan informasi yang sahih bagi pihak pengelola

populasi badak jawa

Pemantauan Cekaman Berdasarkan Profil Hormon

Penelitian ini menunjukkan bahwa badak kemungkinan besar bisa beradaptasi

terhadap kondisi defisit pakan ini sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya kadar

hormon cekaman (kelas glukokortikoid) dari feses badak yang mengalami defisit

pakan (individu 12). Kemampuan badak untuk beradaptasi saat ini ditunjang dengan

kemampuan jelajah badak di areal yang masih cukup banyak ditumbuhi vegetasi

pakan yang disukai badak (palatabilitas tinggi). Literatur juga menyebutkan

147

kemungkinan adanya mekanisme internal dalam fisiologi tubuh badak yang

melakukan supresi terhadap sekresi glukokortikoid (Linklater et al. 2010).

Kecenderungan (trend) kenaikan kadar kortisol dalam darah dan penurunan kadar

kortisol tersebut pada pola cekaman yang muncul pada kuda sebagai hewan model

yang digunakan untuk mempelajari respons akibat kondisi cekaman terkait dengan

defisit pakan. Kemampuan mendeteksi kadar glukokortikoid merupakan hal yang

penting dalam mengembangkan protokol pemantauan yang memungkinkan pengamat

untuk mengambil data tingkat cekaman yang dihadapi oleh populasi badak di habitat

alaminya.

Komponen 2: Pengkayaan Nutrisi

Berkurangnya ketersediaan pakan bagi badak Jawa disebabkan oleh berbagai

hal yang sebagian tidak dapat dikendalikan seperti suksesi alami dan perubahan iklim.

Namun demikian, sebagian dari penyebab berkurangnya ketersediaan pakan masih

dapat dikendalikan seperti: dominasi/invasi vegetasi tertentu (Arenga sp atau Lantana

camara), dan kualitas nutrisi yang kurang memadai. Pengkayaan nutrisi dapat

dilakukan dengan tiga langkah yang terdiri dari: mengendalikan tumbuhan invasif;

meningkatkan ketersediaan tumbuhan dengan kandungan air, nutrien, dan energi

tinggi; serta mengurangi tumbuhan Lantana camara yang memiliki kandungan toksin.

Menekan Laju Invasi dan Dominasi Tumbuhan Langkap (Arenga obtusifolia)

Tumbuhan jenis palma ini memiliki pola penyebaran dengan menggunakan

akar dan biji. Tumbuhan langkap ini memiliki sifat alelopatik yang menghambat

pertumbuhan vegetasi lainnya di areal tempat mereka tumbuh. Risiko invasi vegetasi

dapat ditentukan menggunakan protokol yang dikenal dengan Weed Risk Assessment

(Dawson et al. 2009). Penyebaran tumbuhan langkap ini dapat dihambat dengan

bernagai cara seperti menebang atau menggunakan herbisida sebagaimana telah

dilakukan oleh YMR (2004). Talukdar et al. (2010) menyebutkan bahwa WWF telah

melakukan uji coba penebangan tumbuhan langkap ini dan mencatat bahwa areal uji

coba tersebut ditumbuhi oleh tumbuhan pakan badak tiga bulan setelah tumbuhan

langkap ditebang dari areal ini.

Setelah tumbuhan pakan tumbuh, areal ini kemudian dikunjungi untuk

pertama kalinya oleh badak Jawa (induk dan anak) yang menunjukkan bahwa

intervensi habitat semacam ini memiliki potensi untuk memberikan dampak positif

148

berupa peningkatan akses bagi badak ke areal yang tadinya tidak pernah dikunjungi

(potensi perluasan ruang jelajah). Tumbuhnya vegetasi yang merupakan makanan

badak menunjukkan bahwa pengelolaan semacam ini berpotensi untuk meningkatkan

ketersediaan pakan yang dibutuhkan oleh badak disamping juga berpotensi untuk

membuka ruang jelajah baru yang lebih luas. Analisis nutrisi dan kecernaan

menunjukkan bahwa ruang jelajah yang luas memiliki korelasi yang kuat dengan

keragaman pakan. Oleh karena itu, meningkatnya luas ruang jelajah memiliki potensi

untuk membantu badak menemukan keragaman pakan yang lebih tinggi.

Dengan mempertimbangkan berbagai potensi dari upaya untuk menekan laju

invasi dan dominasi tumbuhan langkap, maka upaya pengelolaan perlu

memperhatikan dan memilih lokasi-lokasi ideal untuk mengimplementasikan upaya

ini agar memberikan hasil yang optimal. Dengan mengetahui sebaran badak di

semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon saat ini (Gambar 35), maka lokasi-lokasi

ideal untuk melakukan pengendalian langkap ini ditampilkan dalam gambar 36.

Gambar 35. Distribusi badak jawa di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon

(titik merah) berdasarkan hasil survey 2005-2010. (sumber: WWF

Indonesia & Balai TNUK)

149

Pengkayaan Air, Nutrien, dan Energi dari Tumbuhan Pakan

Selain defisit dari jumlah asupan pakan, referensi silang antara tumbuhan

pakan dengan palatabilitas tinggi dengan kandungan nutrisinya (protein, lemak,

energi) menunjukkan bahwa jenis tumbuhan pakan dengan palatabilitias tinggi tidak

mengandung kualitas nutrisi yang tinggi. Hal ini merupakan masalah yang cukup

besar dalam konteks asupan dan nutrisi bagi badak Jawa di Taman Nasional Ujung

Kulon.

Gambar 36. Lokasi ideal untuk plot pengendalian langkap (Arenga obtusifolia) di

semanjung Ujung Kulon ditandai dengan poligon berwarna merah.

Berdasarkan identifikasi jenis-jenis tumbuhan pakan dalam analisis nutrisi dan

kecernaan, maka tindak lanjut yang paling memungkinkan adalah membuat

persemaian khusus untuk memperbanyak tumbuhan pakan bernutrisi tinggi yang

terdiri dari: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus,

(protein tinggi); Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (lemak

tinggi); Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (energi

tinggi); Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air

tinggi).

150

Hasil dari persemaian ini dapat kemudian digunakan untuk memperkaya areal

pakan (rumpang) badak yang sudah ada ataupun yang akan dibuat dengan

memperhitungkan kerapatan dari tumbuhan pakan ideal yaitu kerapatan 5,406

individu/ha (jenis tumbuhan bawah) ; 2,222 individu/ha untuk jenis semai ; 268

individu/ha untuk jenis pancang ; 32 individu/ha untuk jenis tiang ; dan 15 individu

per hektar untuk jenis pohon.

Pengendalian Lantana camara

Hasil analisis pakan dan palatabilitias tumbuhan pakan menunjukkan bahwa

individu badak nomor 13 menunjukkan pola asupan antinurisi lantaden yang relatif

lebih tinggi dibandingkan dengan kedua ekor badak lainnya. Hal ini menunjukkan

kemungkinan bahwa daerah pakan di dalam ruang jelajah badak nomor 13 ini

memiliki jumlah tumbuhan Lantana camara yang lebih tinggi dibandingkan daerah

pengamatan lainnya, dan oleh karenanya patut dijadikan prioritas dalam upaya

pemeliharaan habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon. Lokasi ideal bagi

upaya pengendalian Lantana camara ditampilkan dalam Gambar 37.

Pengurangan tumbuhan Lantana camara diharapkan dapat membantu

pertumbuhan tumbuhan pakan lain yang memiliki nutrisi tinggi. Untuk memastikan

ketersediaan pakan dengan nutrisi tinggi yang telah diidentifikasi, upaya pembibitan

dan penanaman tumbuhan-tumbuhan tersebut dapat dilakukan di areal pakan badak

yang telah dikurangi jumlah Lantana nya, ataupun di areal pengendalian langkap

(Arenga obtusifolia). Upaya optimalisasi habitat seperti ini dapat diperkuat dengan

upaya pembuatan akses terhadap kubangan atau air dengan cara membuatkan jalur

lintasan yang memungkinkan badak untuk mencapai sumber air dan/atau kubangan

yang dibutuhkannya. Cara lainnya adalah dengan membuat sumber air, kubangan

buatan, ataupun daerah resapan garam secara manual untuk memastikan ketersediaan

komponen ini demi menunjang kehidupan badak Jawa.

151

Gambar 37. Usulan areal pengendalian tumbuhan Lantana camara di areal pakan

badak ditandai dengan poligon berwarna kuning.

Komponen 3: Mitigasi Cekaman Akibat Defisit Air

Defisit air merupakan satu faktor yang cukup sulit untuk ditangani karena

penyebab dari defisit air ini adalah faktor iklim global (curah hujan). Air berperan

penting dalam kehidupan badak sebagai sumber air minum dan sebagai fungsi

termoregulasi (berkubang).

Cara-cara yang dapat dilakukan oleh pihak pengelola untuk membantu badak

dalam beradaptasi terhadap kondisi defisit air ini adalah dengan membuat akses bagi

badak ke sumber-sumber air permanen yang tidak pernah kering sepanjang tahun.

Akses ini dapat dilakukan dengan membuat areal pakan (rumpang) ataupun membuat

lintasan menuju kantong-kantong air tersebut. Cara lainnya adalah dengan

memperkaya areal pakan (rumpang) badak dengan tumbuhan pakan yang kaya air dan

bila memungkinkan kaya akan nutrisi. Jenis-jenis tumbuhan dengan karakter seperti

ini adalah tumbuhan Areuy kipuak (Paederia scandens), Lame kuning (Alstonia

scholaris), dan Pacing (Costus speciosus).

Langkah pengelolaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat

kubangan di tempat-tempat yang telah diperhitungkan secara strategis. Pembuatan

152

kubangan yang biasanya didampingi juga dengan pembuatan salt lick dilakukan untuk

memfasilitasi fungsi termoregulasi sekaligus untuk menjaga integritas kulit yang

dibutuhkan oleh badak. Salt lick berfungsi sebagai reservoir di mana badak

mendapatkan garam yang dibutuhkan untuk proses metabolisme.

Komponen 4: Penggunaan Hewan Model untuk Riset

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa analogi hewan model dengan badak

jawa dapat diperkuat dalam aspek-aspek tertentu. Kaidah penggunaan hewan model

dalam riset biomedis dapat pula diterapkan dalam upaya konservasi badak jawa

terkait aspek kecernaan dan nutrisi, serta mitigasi cekaman dan mitigasi penyakit.

Kecernaan dan Nutrisi

Dalam konteks pengelolaan populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung

Kulon, hewan model dapat digunakan untuk mempelajari aspek komposisi diet,

nutrisi, dan kecernaan secara lebih dalam serta mempelajari implikasinya terhadap

aspek kesehatan hewan yang terdiri dari:

1. Kesehatan reproduksi (dapat dipantau melalui profil siklus pada betina atau

kadar hormon androgen pada badak jantan)

2. Kesehatan secara umum (dipantau melalui pemantauan agen penyakit).

Hewan model (kuda) dapat digunakan untuk menemukan komposisi pakan

yang optimal bagi badak jawa. Berbagai komposisi pakan dengan kandungan air,

energi, nutrien, dan mineral yang berbada dapat diuji coba pada kuda untuk

mempelajari tingkat kecernaan, asupan gizi, implikasi terhadap pakan terhadap

kapasitas reproduksi (siklus, profil hormon, sperm count), toleransi terhadap

cekaman, dan toleransi terhadap penyakit ataupun agen infeksius tertentu.

Informasi dari komponen ini berupa perhitungan komposisi pakan yang tepat

dapat digunakan untuk memberi masukan untuk upaya pengkayaan nutrisi badak pada

komponen 2.

153

Pencegahan Cekaman dan Implikasi Kesehatan

Dalam konteks penelitian lanjut terkait pengelolaan populasi badak jawa di

Taman Nasional Ujung Kulon, hewan model (kuda) dapat digunakan untuk

melakukan berbagai uji coba dan kuantifikasi dari sumber cekaman yang ada di

habitat alami serta mengantisipasi reaksi tanggap terhadap sumber cekaman tersebut.

Sumber cekaman yang dapat digunakan dalam uji coba menggunakan hewan model

adalah reaksi tanggap fisiologis terhadap cekaman serta mengukur ambang batas

tingkat cekaman (intensitas dan durasi) yang dapat ditolerir dengan melakukan

ekstrapolasi data uji coba hewan model. Ambang batas toleransi hewan terhadap

cekaman dapat dikembangkan lebih lanjut untuk melakukan kuantifikasi sehingga

para pengelola dapat mengantisipasi tingkat cekaman pada badak jawa dan dapat

mencegah peningkatan intensitas dan durasu cekaman tersebut sehingga implikasi

klinis dan dampak negatif cekaman tersebut terhadap kesehatan pada populasi badak

jawa dapat dicegah.

Faktor-faktor Lain yang Relevan

1) Faktor Habitat

Kelimpahan pakan merupakan kunci pertahanan hidup badak jawa. Oleh

karena itu, selain tersedianya habitat bagi badak Jawa di Taman Nasional Ujung

Kulon, pemerintah Indonesia telah mencanangkan perlunya untuk melakukan

optimasi dan perluasan habitat serta mencari habitat kedua demi membentuk populasi

kedua untuk melengkapi populasi yang sudah ada di Taman Nasional Ujung Kulon.

Untuk mencapai tujuan ini, para pengambil keputusan dan pembuat kebijakan perlu

mempertimbangkan faktor-faktor habitat seperti: ketersediaan air, ketersediaan pakan,

dan juga kualitas pakan yang tersedia mengingat faktor-faktor tersebut merupakan

sumber cekaman bagi badak bila tidak dikelola dengan baik dan optimal.

2) Faktor Populasi

Komposisi dan demografi dalam populasi badak yang ada saat ini merupakan

informasi yang penting dalam pengelolaan badak Jawa saat ini. Daya dukung alam

yang ada saat ini diduga sudah mencapai kapasitas optimal untuk populasi badak

jawa, dan persaingan antar individu badak untuk mendapatkan sumber daya untuk

bertahan hidup (makanan, air, pasangan) akan semakin ketat. Faktor ini perlu

dicermati oleh pengelola populasi agar keberadaan badak jawa di Taman Nasional

154

Ujung Kulon dapat terus berlanjut. Selain populasi di Ujung Kulon, para ahli sudah

menyepakati perlunya pembentukan populasi kedua di luar Taman Nasional Ujung

Kulon. Pembentukan populasi kedua akan menimbulkan dampak negatif bagi

populasi induk dan populasi baru bila komposisi rasio kelamin tidak seimbang dalam

memilih pionir bagi populasi kedua. Selain itu, pemilihan induk perlu

mengidentifikasi banyaknya individu betina produktif yang masih mampu

menghasilkan keturunan. Informasi ini kemudian ditindak lanjuti dengan memilih

induk yang sesuai untuk membentuk populasi baru, namun meninggalkan individu-

individu betina produktif lainnya di Taman Nasional Ujung Kulon untuk memastikan

bahwa populasi Ujung Kulon masih memiliki kapasitas untuk berkembang biak.

Informasi seperti ini bisa didapatkan melalui: identifikasi visual kamera ataupun video

jebak, analisis hormon reproduksi jantan dan betina melalui sampel feses, dan juga

mencatat (track record) kelahiran badak dari tahun ke tahun.

3) Faktor Individu dan Perilaku Hewan

Kesehatan dan kesejahteraan individu badak merupakan faktor yang sangat

penting dalam konsep pelestarian badak terutama dalam konteks perluasan habitat dan

pembentukan populasi baru di habitat kedua. Hariyadi et al. (2011) menunjukkan

secara kualitatif tentang adanya risiko penyakit yang terdiri dari bakteria (E.coli,

Salmonella spp, dan Clostridium sp) serta risiko tertinggi yang berasal dari parasit

Trypanosoma evansi. Oleh karenanya, pengelola populasi badak Jawa idealnya

menerapkan upaya untuk mencegah penyebaran atau mencegah risiko patogenisitas

dari agen-agen infeksius di atas.

Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mencegah interaksi antara hewan

ternak masyarakat dengan hewan liar di Taman Nasional Ujung Kulon yang

berpotensi menjadi vektor ataupun reservoir bagi agen infeksius. Hal ini dapat

dilakukan dengan mendorong masyarakat untuk mengandangkan ternak mereka atau

menggembalakan ternak mereka di luar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

Cara lain yang tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk mengurangi risiko

ataupun tingkat cekaman bagi badak Jawa. Minimnya tingkat cekaman akan

memungkinkan badak untuk mengoptimalkan asupan nutrisi dan mineral untuk

meningkatkan daya tahan tubuh mereka serta meningkatkan kekebalan tubuh terhadap

penyakit.

155

SIMPULAN DAN SARAN UMUM

Simpulan Umum

Setelah semua informasi dianalisis dan dirangkum dari setiap bagian dalam disertasi

ini, maka hasil penelitian dalam disertasi ini dapat dirumuskan menjadi berbagai

simpulan dan saran/rekomendasi sebagai berikut:

1. Kondisi habitat berkorelasi kuat dengan keragaman pakan yang juga

mempengaruhi ketersediaan nutrisi, air, dan energi asal pakan untuk badak

jawa. Setidaknya satu wilayah jelajah badak dalam penelitian ini menunjukkan

rataan konsumsi energi dan air yang rendah. Kandungan air asal pakan

mengalami fluktuasi dan pada musim kering terlihat ada kecenderungan

penurunan pada kandungan air asal pakan di musim kering

2. Metabolit hormon kortisol berupa 3α, 11β-dihidroxy-CM diduga memiliki

potensi untuk digunakan sebagai indikator aktifitas korteks adrenal akibat

adanya cekaman. Pada musim kering terjadi kecenderungan peningkatan

cekaman pada badak.

3. Analogi antara badak jawa dan kuda terbangun dan diperkuat dengan

informasi dari berbagai literatur serta dari pengamatan langsung dalam

penelitian ini. Kuda adalah hewan model yang layak digunakan untuk

penelitian badak jawa terkait dengan aspek spesifik terkait perilaku,

kecernaan, dan respons fisiologis terhadap cekaman terutama cekaman yang

bersifat akut.

156

Saran Umum

1. Perlu penyusunan protokol pemantauan reguler dengan menggunakan

parameter yang telah dikaji dalam penelitian ini, serta mengoptimalkan

penggunaan hewan model untuk mensimulasikan berbagai peubah yang dapat

mempengaruhi kesejahteraan dan keberlangsungan hidup badak jawa seperti:

cekaman dan penyakit

2. Pemantauan populasi dengan teknik yang lebih canggih untuk memantau

status nutrisi, cekaman, dan kapasitas reproduksi (siklus pada betina dan kadar

testosteron pada jantan)

3. Pengkayaan habitat dengan mendorong perbanyakan tumbuhan pakan

terutama yang mengandung nutrien tinggi. Pengkayaan habitat seperti ini

dapat dikaitkan dengan upaya pengendalian tumbuhan pengganggu serta

mengurangi jumlah tumbuhan yang mengandung toksin dan/atau antinutrisi.r

DAFTAR PUSTAKA

Agil M, Purwantara B, Alikodra HS, Hodges K, Toelihere MS. 2007. Reproductive

biology of the sumatran rhinoceros Dicerorhinus sumatrensis (Fischer 1814).

Disertasi program Doktor Institut Pertanian Bogor. Sekolah Pasca Sarjana IPB

Agil M, Setiadi DR, Supriatna I, Purwantara B,. 2008. Non-Invasive Endocrine

Monitoring of Reproduction and Stres in the wild animal: Analyzing hormone

metabolites in Urine and Faeces using Enzymeimmunoassay. Proceeding of

AZWMC 2008

Albaugh GP, et al. 1992. Isolation of exfoliated colonic epithelial cells, a novel, non-

invasive approach to the study of cellular markers. Int J Cancer. 1992 Sep

30;52(3):347-50

Allen CW, White CB,. 1998. Glucose modulates cell death due to normobaric

hyproxic by maintaining cellular ATP. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol

274:159-164

Bachman I, et al. 2003. Behavioural and physiological responses to an acute stressor

in crib-biting and control horses. Applied animal behaviour science 82: 297-

311

Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK). 2010. Pemantapan zonasi di Taman

Nasional Ujung Kulon. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam (PHKA), Kementrian Kehutanan RI.

Bansal N, Houle A, Melnykovych G,. 1991. Apoptosis: mode of cell death induced in

T Cell leukimia lines by dexamethasone and other agents. FASEB J. 5:211-216

Barja I, et al. 2007. Stress physiological response to tourist pressure in the wild

population of European pine marten. The journal of steroid biochemistry and

molecular biology. (104)3-5:136-142

Baron R. 2006. Mechanism of disease: neuropathic pain-a clinical perspective. Nature

clinical practice neurology. 2:95-106

Bennet RM,. 1999. Emerging Concepts in the Neurobiology of Chronic Pain:

Evidence of Abnormal Sensory Processing in Fibromyalgia. Mayo Clin

Proc;74:385-398

Berridge MJ,. 1984. Inositol Trisphosphate and Diacylglycerol as Second

messengers. Biochem J 220: 345-360

Birdane FM, et al. 2004. Renal Cell Carcinoma in a Dog: Pathologic and Cytologic

Findings. Revue Méd. Vét., 155, 3, 212-216

158

Birkett A, Stevens-Wood B,. 2005. Effect of low rainfall and browsing by large

herbivores on an enclosed savannah habitat in Kenya. African journal of

ecology 43: 123-130

Brown GE, et al. 2002. Acute hormonal response to sublingual androstenediol intake

in young men. Journal of applied Physiology 92:142-146

Bruni JF, Hawkins RL, Yen SS,. 1982. Serotonergic Mechanism in the Control of

Beta-endorphin and ACTH Release in Male Rats. Life Sci. 30(15): 1247-1254

Budyko M,. 1999. Climate catastrophes. Global and planetary change 20: 281-288

Buff PR, Morrison CD, Ganjam VK, Keisler DH,. 2005. Effects of short-term feed

deprivation and melatonin implants on circadian patterns of leptin in the horse.

Journal of animal science 83(5): 1023-1032

Cameron HL, Perdue MH. 2005. Stres Impairs Murine Intestinal Barrier Function:

Improvement by Glucagon-Like Peptide-2. The journal of pharmacology and

experimental therapeutics Vol. 314, No. 1

Carlstead K, Brown JL,. 2005. Relationships between patterns of fecal corticoid

excretion and behaviour, reproduction, and environmental factors in captive

black (Diceros bicornis) and white (Ceratohterium simum) Rhinoceros. Zoo

biology 24: 215-232

Cavaliere F, et al. 2001. Hypoglycaemia-induced cell death: features of

neuroprotection by the P2 receptor antagonist basilen blue. Neurochemistry

International Volume 38, Issue 3: 199-207

Chaffin MK, Cohen ND,. 1999. Diagnostic Assessment of Foals with Colic.

Proceedings of the Annual Convention of the AAEP vol 45

Citino SB, Bush M,. 2007. Reference cardiopulmonary physiologic parameters for

standing, unrestrained white rhinoceroses (Ceratotherium simum). Journal of

Zoo and Wildlife Medicine 38(3): 375-379

Clausen B,. 1981. Survey For Trypanosomes in Black Rhinoceros (Diceros bicornis).

Journal of Wildlife Diseases Vol. 17, No. 4, October, 1981

Clauss M, et al. 2005. Studies on digestive physiology and feed digestibilities in

captive Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Journal of Animal

Physiology and Animal Nutrition 89 (2005) 229–237

Clauss M, et al. 2005. Energy and mineral nutrition and water intake in the captive

indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Zoo Biology 24: 1-14

Clauss M, et al. 2006. Digestion coefficients achieved by the black rhinoceros

(Diceros bicornis) a large, browsing, hidgut fermenter. Journal of animal

physiology and animal nutrition. 1-10

159

Coenen M,. 2005. Exercise and stress: impact on adaptive processes involving water

and electrolytes. Livestock production science 92:131-145

Corbett GB, Hill JE. 1992. The mammals of Indomalayan region: a systematic

review. Natural History Museum Publications. Oxford University Press.

Colgan, PW. 1978. Quantitative ethology. Wiley-Interscience publications. John

Wiley and Sons, New York

Cranbrook E, Piper PJ,. 2007. Short Communications: Javan rhinoceros Rhinoceros

sondaicus in Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology 2007 55(1): 217-220

Daszak P, Cunningham AA, Hyatt AD,. 2000. Emerging infectious diseases of

wildlife –threats to biodiversity and humant health. Science 287: 443-449

Daszak P,. et al. 2004. Conservation Medicine and New Agenda for Newly Emerging

Diseases. Ann. N.Y. Acad. Sci. 1026: 1–11

Davis AK, Maney DL, Maersz JC,. 2008. The use of leucocyte profiles to measure

stress in vertebrates: a review for ecologists. Functional ecology 22(5): 760-772

Dawson W, Burslem DFRP, Hulme PE,. 2009. The suitabilityof weed risk assessment

as a conservation tool to identify invasive pant threats in East African

rainforests. Biological Conservation (142): 1018-1024

Deem SL, et al. 2001. Conservation Medicine. Annals New York Academy of

Sciences pp: 370-377

DeSouza MJ, et al. 1994. Gonadal hormones and semen quality in male runners a

volume threshold effect of endurance training. International journal of sports

medicine 15(7): 383-391

Dhabhar FS,. 2000. Acute stress enhances while chronic stress supresses skin

immunity: the roles of stress hormones and leukocyte trafficking. Annals of the

New York academy of Sciences vol 917: Neuroimmunomodulation perspectives

at the new millenium:876-893

Dickens MJ, Delehanty DJ, Romero LM,. 2010. Stress: an inevitable component of

animal translocation. Biological conservation 143:1329-1341

Dierenfeld ES, Widman REC, Romo S,. 2000. Feed intake, diet utilization, and

composition browses consumed by the Sumatran rhino (Dicerorhinus

sumatrensis) in a north American zoo. Zoo Biology 19: 169-180

Dinerstein E, 2003. The return of the unicorns. The natural history and conservation

of the greater one-horned rhinoceros. Columbia Universtiy Press, New york

Domingues-Gerpe L, Rey-Mendez M,. 2001. Alterations induced by chronic stress in

lymphocyte subsets of blood and primary and secondary immune organs of

160

mice. BMC Immunology 2:7. http://www.biomedcentral.com/1471-2172/2. [9

Juni 2012]

Dyer J, et al. 2002. Molecular characterisation of carbohydrate digestion and

absorption in equine small intestines. Equine veterinary journal 34(4):349-358

Endo H, et al. 2009. The morphological basis of the armor-like folded skin of the

greater Indian rhinoceros as a thermoregulator. Mammal study 34: 195-200

Evans W, Borton A, Hints HF, Vleck LDV,. 1990. The Horse Second Edition. W.H.

Freeman and Company, New York

Fernando P, Polet G, Foead N. Ng L. Melnick DJM. 2004. Mitochondrial DNA

analysis of the critically endangered Javan Rhinoceros. PHKA-WWF-Columbia

University

Figueiredo HF, et al. 2003. Stress integration after acute and chronic predator stress:

Differential activation of central stress circuitry and sensitization of th

ehypothalamo-pituitary-adrenocortical axis. Endocrinology 144(12): 5249-5258

Fowler ME, Miller RE,. 2003. Zoo and Wild Animal Medicine 5th edition. Saunder

Publishing, St Louis Missouri. p: 559.

Francois-Gerard C, Gerard P, Rentier B,. 1988. Elucidation of non-parallel EIA

curves. Journal of immunological methods (111)1:59-65

Galisteo ML, et al. 1996. The Adaptor protein Nck Links receptor tyrosine kinases

with Serine-Threonin Kinase Pak1. The Journal of Biological Chemistry

271(35): 20997-2100

Galpine, NJ. 2006. Boma management of black and white rhinoceros at Mombo,

Okavango delta – Some lessons. Ecological Journal 7: 55-61

Gandolf AR, Willis AM, Blumer ES, Atkinson MW,. 1999. Management of a Melting

Corneal Ulcer in a Greater One-horned Rhinoceros (Rhinoceros unicornis).

Proceedings American Associations of Zoo Veterinarians

Garg SL, Chander S,. 1997. Plasma Cortisol and thyroid hormone Concentrations in

Buffaloes with uterine Torsions. Buffalo Bullettin Vol 16(4): 75-76

Ghalib, Supriatna I, Agil M, Engelhardt A,. 2011. Non-invasive hormone monitoring:

fecal androgen and glucocorticoid in male crested macaques (Macaca nigra) in

relation to seasonal and social factors. Thesis. Bogor Agriculture University

Glade MJ, Gupta S, Reimers TJ,. 1984. Hormonal Responses to High and Low Planes

of Nutrition in Weanling Thoroughbreds. J Anim Sci 1984. 59:658-665

Goebel MU, Mills PJ,. 2000. Acute psychological stress and exercise and changes in

peripheral leukocytes adhesion molecule expression and density. Psychosomatic

medicine 62: 664-670.

161

Gustincich S, Schenider C,. 1993. Serum Deprivation Response Gene Is Induced by

Serum Starvation but not by contact Inhibition. Cell Growth and Differentiation

vol 4: 753-760

Hao S, Avraham Y, Bonne O, Berry EM,. 2001. Separation-induced body weight loss,

impairment in alternation behavior, and autonomic tone: effects of tyrosine.

Pharmacology Biochemistry and Behavior Volume 68, Issue 2

Hariyadi ARS, Santoso A, Setiawan R, Priambudi A,. 2008. Automatic Camera

Survey for Monitoring Reproductive Pattern and Behaviour of Javan

Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, Indonesia.

Proceeding of the 3rd

International Meeting on Asian Zoo/Wildlife Medicine and

Conservation (AZWMC)

Hariyadi ARS, Setiawan R, Daryan, Yayus A, Purnama H,. 2010. Preliminary

behaviour observations of the Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) based

on video trap surveys in Ujung Kulon National Park. Pachyderm 47: 93-99

Hariyadi ARS, et al. 2011. Estimating the population structure of the Javan rhino

(Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park using the mark-recapture

method based on camera and video trap identification. Pachyderm no 49: 90-99

Hariyadi ARS, Handayani, Priambudi A, Setiawan R,. 2011. Investigation of the

death of Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National

Park. Proceedings of 5th ASVP (Asian Society of Veterinary Pathology)

conference and congress: 32-34

Harley EH, Matshikiza M, Robson P, Weber B,. 2004. Red blood cell metabolism

shows major anomalies in Rhinocerotidae and Equidae, suggesting a novel role

in general antioxidant metabolism. Animals and Environments. Proceedings of

the Third International Conference of Comparative Physiology and

Biochemistry. Pp 334-340

Harmon DL, MacLeod KR,. 2001. Glucose Uptake and Regulation By Intestinal

Tissues: Implications and whole-body Energetics. J. Anim. Sci. 79(E.

Suppl.):E59–E72

Harvell CD, et al. 2002. Climate warming and disease risks for terrestrial and marine

biota. Science 296(5576):2158-2162

Hatt JM, Wenker C, Castell J, Clauss M,. 2004. Dietary dan Veterinary Management

of a Lingual Abscess in a Geriatric Captive Black Rhino (Diceros bicornis)

With Iron storage Disease. European Association of Zoo and Wildlife

Veterinarians (EAZWV) 5th Scientific Meeting. Ebeltoft-Denmark

Hearne JW, Swart J,. 1991. Optimal translocation strategies for saving the black

rhinoceros. Ecological modelling 59: 279-292

162

Helen PG, Brindley DN,. 1978. The Effects of Cortisol, Corticotropin, and thyroxine

on the synthesis of Glycerolipids and on Phospatidae Phophohydrolase activity

in Rat Liver. Biochem J. 176: 777-784

Hermes R, Hildebrandt TB, Goritz F,. 2004. Reproductive problems directly

attributable to long-term captivity –assymetric reproductive aging. Animal

reproduction science (82-83):49-60

Hermes R, Goritz F, Streich WJ, Hildebrandt TB,. 2007. Assisted reproduction in

female rhinoceros and elephants – Current status and future persepectives.

Reprod. Dom. Anim. 42(suppl 2):33-44

Hommel PWFM, 1987. Landscape ecology of Ujung Kulon (West java). Disertasi

universitas Wageningen, Belanda.

Hoogerwerf A. 1970. Udjung Kulon the land of the last javan rhinoceros. E.J. brills.

Leiden, Netherlands

Hutchin M, Kreger MD,. 2006. Rhinoceros behaviour: implications for captive

management and conservation. Int. Zoo. Yb 40:150-173

Huxman TE, Scott RL., 2007. Climate Change, Water Dynamics, and Landscape

Water Balance. Southwest Hydrology. January-February

IRF-WWF. 2011. Vietnam’s javan rhino now extinct. WWW.panda.org. [9 Juni 2012]

Izumi Y, et al. 1997. A protein Kinase Cδ binding Protein SRBC whose expression is

Induced by Serum Starvation. The Journal of Biological Chemistry Vol

272(11): 7381-7389

Jacobsen J,. 2005. A Review of Rhino Foot Problem. Fort Worth Zoo

Jensen TK, et al. 2002. Inhibin B as a serum marker of spermatogenesis: correlation

to differences in sperm concentration and follicle-stimulating hormone levels. A

study of 349 Danish men. Journal of clinical endocrinology and metabolism

82(12): 4059-4063

Jessup DA, et al. 1992. Retrospective Evaluation of Leptospirosis In Free-ranging and

Captive Black Rhinoceros (Diceros bicornis) by Microscopic Agglutination

Titers dan Fluorescence Antibody Testing. Journal of Zoo and Wildlife

Medicine 23(4): 401-408

Juster RP, McEwen BS, Lupien SJ. 2009. Allostatic load biomarkers of chronic stress

and impact on helath and cognition. Neuroscience and biobehavioural reviews:

1-15

Jolles J, et al. 1980. Modulation of brain Phosphoinotiside metabolism by ACTH-

sensitive Protein Phosporylation. Nature vol 289: 623-625

Jonyo JF,. 2005. Doctoring Rhinos: Diseases seen in Kenya

163

Kanemi O, et al. 2005. Acute stress reduces intraprenchymal lung natural killer cells

via beta-adrenergic stimulation. Clinical experimental immunology 139(1): 25-

34

Karl IE, Garber AJ, Kipnis DM,. 1976. Alanine and Glutamine Sythesis and Release

from Skeletal Muscle. The Journal of biological Chemistry 251(3): 844-850

Khairani KO, 2009. Disease surveillance and epidemiology of water buffalo (Bubalus

bubalis) surrounding Ujung Kulon national park for conservation program of

the Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) in Indonesia. Laporan kegiatan

International Rhino Foundation (IRF).

Kelley KW,. 1998. Cross-talk between the Immune and Endocrine Systems, J Anim

Sci. 66:2095-2108

Kloss CB,. 1927. Further records of the one-horned rhinoceros in the Malay States.

Journ. Fed. Malay States Mus. XIII, 1927

Kock N, et al. 1991. Coronary Artery Aneurism In Two Black Rhinoceroses (Diceros

bicornis) in Zimbabwe. Journal of Zoo and Wildlife Medicine 22(3): 355-358

Kock ND, et al. 1992. Serological Evidence for Cowdria Ruminantium Infection in

Free-ranging Black (Diceros bicornis) dan White (Ceratotherium simum)

Rhinoceroses in Zimbabwe. Journal of Zoo and Wildlife Medicine 23(4): 409-

413

Kock ND,. 1996. Myocardial Purkinje Degeneration and Necrosis with Fibrosis in

Free-Ranging Black Rhinoceroses (Diceros bicornis) in Zimbabwe. Journal of

Wildlife Diseases, :32(2), 1996, pp :367-369

Koolman J, Rohm KH, Wanandi SI[ed], Sadikin M [ed]. 2001. Atlas berwarna dan

teks Biokimia. Cetakan I. Penerbit Hipokrates, Jakarta

Kretzschmar P, Gansloßer U, Dehnhard M,. 2004. Relationships between androgens,

environmental factors and reproductive behaviours in male white rhinoceros

(Ceratotherium simum simum). Hormones and Behaviour 45: 1-9

Kudryavtseva NN, Amstislavskaya TG, Kucheryavy S,. 2004. Effects on repeated

aggressive encounters on approach to a female and plasma testosterone in male

mice. Hormones and behaviour 45: 103-107

Lekagul , McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Sahakarnbhath Co. Bangkok

Linklater WL, MacDonald EA, Flamand JRB, Czekala NM,. 2010. Declining and

low fecal corticoids are associated with distress, not acclimatization to stress,

during the translocation of African rhinoceros. Animal conservation 13: 104-

111.

164

Mace OJ, Afflek J, Patel N, Kellet GL,. 2007. Sweet taste recpetors in rats small

intestines stimulate glucose absorption through apical GLUT2. Journal of

Physiology 582.1:379-392

Mainka SA, Zhao GL, Li M, 1989. Utilization of a bamboo, sugar cane, and gruel diet

by two juvenile giant pandas (Ailuropoda melanoleuca). Journal of zoo and

wildlife medicine 20:39-44

Mandial RK, 2006. An Insight into the Toxicological and Medicinal Properties of

Lantana camara plant. College of Veterinary and Animal Science Palampur

Himachal Pradesh

Martin PS, Stuart AJ,. 1995. Mammoth extinction: two continents and Wrangel

island. Radiocarbon Volume 37 no.1: 7-10.

McFadyen REC,. 1998. Biological control of weeds. Annual review of entomology

43:369-393

McSweeney CS, Pass MA,. 1983. The mechanism of ruminal stasis in Lantana-

poisoned sheep. Quarterly journal of experimental physiology 68: 301-313

Melia KL, Duman RS,. 1991. Involvement of corticotropin –releasing factor in

chronic stress regulation of the brain noradrenergic system. Proc. Natl. Acad.

Sci. USA. Vol 88: 8382-8386 Neurobiology

Menargues A, Urios V, Mauri M,. 2008. Welfare assessments of captive asian

elephants (Elephas maximus) and Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis)

using salivary cortisol measurements. Animal Welfare (17): 305-312

Moen AN, 1973. Wildlife Ecology An Analytical Approach. Cornell University. WH

Freeman and Company. San Fransisco

Morgan KN, Tromborg CT. 2007. Sources of stress in captivity. Applied animal

behaviour science 102: 262-302

Morilak DA, et al. 2005. Role of brain norepinephrine to behavioural response to

stress. Progress in neuro-psychopharmacology & biological psychiatry

29:1214-1224.

Morrow CJ, Kolver ES, Verkerk GA, Matthews LR,. 2000. Urinary corticosteroids:

an indicator of stress in dairy cattle. Proceedings of the New Zealand Society of

Animal Production 60: 218-221

Mundiany L, Agil M, Astuti DA,. 2005. Studi Kasus: Estimasi Gambaran Nutrien

pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) Jantan di Suaka Rhino

Sumatera Taman Nasional Way Kambas. Skripsi Institut Pertanian Bogor

Munson L, Koehler JW, Wikonson JE, Miller RE,. 1998. Vesicular and Ulcerative

Dermatopathy resembling Superficial Necrotic Dermatitis in Captive Black

Rhinoceroses (Diceros bicornis). Vet Pathol 35: 31-42

165

Muntasib EKSH, Suratmo FG, Alikodra HS, Mardiastuti A, Prasetyo LB,. 2002.

Penggunaan ruang habitat oleh badak jawa (Rhinoceros sondaicus, Desm 1822)

di Taman Nasional Ujung Kulon. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor (IPB).

NRC. 1989. Nutrient requirements of horses, 5th ed. National Academy Press,

Washington DC.

Nagy K, et al. 2009. The effect of a feeding stress-test on the behaviour and the heart

rate variability of control and crib-biting horses (with or without inhibition).

Applied animal behaviour science 121: 140-147

Nayak BS, Raju SS, Rasumbhag A. 2008. Investigation of wound healing activity of

Lantana Camara L. In Sprague dawley Rats using burn wound model.

International Journal of Applied Research in Natural Products Vol 1(1): 15-19

Nessminth S, Baltzell J, Bardanier CD,. 1983. Interaction of Glucocorticoid and

thyroxine in the responses of rats starvation-refeeding J. Nutr. 113: 2260-2265

Newton FRS,. March 17 1874. The Secretary on Addition to the menagerie.

Noble GK, et al. 2007. Effect of excercise training, circadian rythm, age, and sex, on

insulin-like growth factor-1 in the horse. Journal of animal science 85: 163-171

PHKA. 2007. Strategi dan rencana aksi konservasi badak Indonesia. Direktorat

jendral Perlindungan hutan dan kelestarian Alam, kementerian kehutanan

Republik Indonesia.

Pagan JD, et al. 1998. Exercise affects digestibility and rate of passage of all-forage

and mixed diets in throroughbred horses. American society for nutritional

sciences. J. Nutr. 128: 2704S-2707S

Paglia DE, Radcliffe RW,. 2000. Anthracycline Cardiotoxicity in a Black Rhinoceros

(Diceros bicornis): Evidence for Impaired Antioxidant Capacity Compounded

by Iron Overload. Vet Pathol 37:86–88

Paplinska JZ, et al. 2007. Reproduction in male swamp wallabies (Wallabia bicolor):

puberty and the effects of season. Journal of Anatomy 211:518-533

Pass MA, Seawright AA, Lamberton JA, Heath TJ,. 1979. Lantadene A toxicity in

sheep. A model for cholestasis. Pathology. 1979 Jan;11(1):89-94

Permadi YF,. 2008. Kajian dampak perubahan iklim terhadap kerentanan badak

Jawa. Laporan proyek WWF Indonesia.

Plechner AJ,. 2004. Cortisol abnormality as a cause of elevated estrogen and immune

destabilization: insights for human medicine from a veterinary perspective.

Medical hypotheses (6)4:575-581

166

Polet G, et al. 1999. The javan rhinos, Rhinoceros sondaicus annamiticus, of Cat

Tien National Park, Vietnam: Current status and management implications.

Pachyderm 27:34-48

Poole CM, Duckworth JW,. 2005. A documented 20th century record of Javan rhino

Rhinoceros sondaicus from Cambodia. Mammalia 69(3-4): 443-444

Pough FH, Heisser JB, McFarland WN,. 1989. Vertebrate Life – 3rd

edition.

MacMillan Publishing Company, New York p: 744

Prasad AS,. 2005. 3 clinical, endocrinological, and biochemical effects of zinc

deficiency. Clinics in endocrinology and metabolism (14)3:567-589

Purchase D,. 2007. Using spoor to determine the age and weight of subadult black

rhinoceroses (Diceros bicornis L). South African Journal of Wildlife Research

37(1): 96-100

Putro HR,. 1997. Heterogenitas habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desm.

1822) Di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus, 1997

: Hal.17-40

Putz T, et al. 1999. Epidermal Growth Factor (EGF) receptor blocakde inhibits the

action of EGF, Insulin-like Growth Factor I, and a protein kinase A activator on

the mitogen-activated protein kinase pathway in prostate cancer cell lines.

Cancer Research 59: 227-233

Rahmat UM, Santosa Y, Kartono AP,. 2007. Analisis Tipologi Habitat Preferensial

bagi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional

Ujung Kulon. Institut Pertanian Bogor

Raven PH, Johnson GB,. 1989. Biology – Second Edition. Times Mirror/Mosby

College Publishing. St Louis Missouri. p: 981

Reynolds RJ, 1961. Javan Rhino in The Berlin zoo. International Zoo news 8(3): June

–July 1961

Rivera E, Benjamin B, Nielsen J, Shelle J, Zanella AJ,. 2002. Behavioural and

physiological responses of horses to initial training: the comparison between

pastured versus stalled horses. Applied animal behavioural science 78(2-4):

235-252

Rookmaaker K,. 2005. A Javan Rhinoceros, Rhinoceros sondaicus,in Bali in 1839.

Zool Garten N. F. 75 (2005) 2, 5. 129-131

Rookmaaker LC, 1982. The type locality of the Javan rhinoceros (Rhinoceros

sondaicus Desmarest, 1822). Sonderdrudre aus Zeitschrifl f. Siugetierkunde

Bd. 47 (1982), H. 6, S. 381-382

167

Sagar L, Sehgal R, Ojha S,. 2005. Evaluation of antimotility effect of Lantana camara

L. Var. acuelata constituents on neostigmine induced gastrointestinal transit in

mice. BMC complementary and alternative medicine 5(18): 1-6

Sajudin HR, Djaja B,. 1984. Monitoring populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus

Desmarest 1822) di Semenanjung Ujung Kulon. Laporan akhir penelitian

IUCN/WWF proyok nomor 1960. Fakultas Biologi UNAS

Sanborn ER,. 1908. Interesting Animal Surgery. Zoological Society Bullettin no 30.

1908

Santymire RM, Armstrong, DM,. 2009. Development of a Field-Friendly Technique

for Fecal Steroid Extraction and Storage Using the African Wild Dog (Lycaon

pictus). Zoo Biology (28): 1 -14

Sarma PK, Talukdar BK, Sarma K, Barua M,. 2009. Assessment of habitat change

and threats to the grater one-horned rhino (Rhinoceros unicornis) in Pobitora

Wildlife Sanctuary, Assam, using multi-temporal satellite data. Pachyderm no

46. 18-24

Scheltema JF,. 1912. Peeps at Many lands – Java. Adam & Charles Black. London

Schoeman JP, Goddard A, Herrtage ME,. 2007. Serum cortisol and thyroxine

concentrations as predictors of death in critically ill puppies with parvoral

diarrhea. Journal of the American veterinary medical association (231)10:

1534-1539

Schoenecker KA, Lyda RO, Kirkpatrick J,. 2004. Comparison of three fecal steroid

metabolites for pregnancy detection used with single sampling in bighorn sheep

(Ovis canadiensis). Journal of wildlife diseases 40(2): 273-281

Sharma OP, Singh A, Sharma S,. 2000. Levels of lantadene, bioactive pentacyclic

triterpenoids, in young and mature leaves of Lantana camara var acuelata.

Fitoterapia 71(5):487-491

Sharma S, Sharma O, Singh B, Bhat TK,. 2000. Biotransformation of lantadenes, the

pentacyclic triterpenoid hepatotoxins of lantana plant, in guinea pig. Toxicon

38(9): 1191-1202

Sharma GP, Ragubhanshi AS, Singh JS,. 2005. Lantana invasion: an overview. Weed

biology and management (5)4: 157-165

Sharma OP, 2006. An Overview of the Research on the Hepatotoxic Plant Lantana

Camara.

Sims JA, et al. 2007. Determination of bamboo-diet digestibility and fecal output by

giant pandas. Ursus 18(1): 38-45

168

Siswandi R, Agil M, Setijanto H,. 2005. Pola Aktifitas Harian Badak Sumatera

(Dicerorhinus sumatrensis) di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way

Kambas. Skripsi Institut Pertanian Bogor

Smit IPJ, Grant CC,. 2009. Managing surface-water in a large semi-arid savanna park:

effects on grazer distribution patterns. Journal for nature conservation

17(2):61-71

Soto-Gamboa M, Gonzalez S, Hayes LD, Ebensperger LA,. 2009. Validation of a

radioimmunoassay for measuring fecal cortisol metabolites in the

Hystricomorph rodent, Octodon degus. Journal of experimental zoology

311A:496-503

Sriyanto A, et al. 1995. A Current status of the Javan Rhino population in Ujung

Kulon National Park. Javan Rhino Colloquium

Strien NJ,. 1974. Dicerorhinus sumatrensis (Fisher). The Sumatran or two-horned

Asiatic rhinoceros: a study of literature. Medelebingen Landbouwwhogeschool,

Wageningen, Netherland

Strien NJ, 1982. Report on short mission to Ujung Kulon National Park, Java

Indonesia inconnectionwith the reported deaths of the five Javan rhinos.

Laporan kegiatan WWF.

Strien NJ,. 1986. The Sumatran rhinoceros – Dicerorhinus sumatrensis (Fischer,

1814) – in the Gunung Leuser National Park, Sumatra, Indonesia: its

distribution, ecology, and conservation. Verlag Paul Parey, Hamburg

Stuart G, Nelson S, Sakmann B, Hausser M,. 1997. Action potential initiation and

backpropagation in neurons of the mammalian CNS. Trends in neuroscience

20:125-131

Suprayogi A, Astuti DA, Satrija F, Suprianto. 2006. Physiological Status of Sheep

Reared Indoor System Under the Tropical Rain Forest Climatic Zone.

Supporting papers Proceedings of the 4th

ISTAP “Animal Production and

Sustainable Agriculture in the Tropic”. Faculty of Animal Science, Gajah Mada

University.

Suzuki A, et al. 2003. Induction of cell–cell detachment during glucose starvation

through F-actin conversion by SNARK, the fourth member of the AMP-

activated protein kinase catalytic subunit family. Biochemical and Biophysical

Research Communications Volume 311(1): 156-161

Suzuki A, et al. 2003. ARK5 suppresses the cell death induced by nutrient starvation

and death receptors via inhibition of caspase 8 activation, but not by

chemotherapeutic agents or UV irradiation. Oncogene 22: 6177–6182

Talukdar, B.K., Sectionov and L.B. Whetham. 2010. Proceeding of the Asian Rhino

Specialist Group meeting held at Kaziranga National Park, India 10-12 February

2010. Guwahati, Assam, India. Page 6-7

169

Tiuria R, et al. 2006. Identification of endoparasites from faeces of Javan rhino

(Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, Indonesia. Proceedings

of AZWMP 2006 Chulalongkorn Uni. Fac. Of Vet. Sc., Bangkok, Thailand

Turner Jr JW, Tolson P, Hamad M,. 2002. Remote assessment of stress in white

rhinoceros (Ceratotherium simum) and black rhinoceros (Diceros bicornis) by

measurements of adrenal steroids in feces. Journal of zoo and wildlife medicine

33(3): 214-221

VanKeulen J, Young, BA. 1977. Evaluation of Acid Insoluble Ash as a Natural

Marker in Ruminant digestibility Studies. Journal of Animal Science vol 44 no:

2. 282-287

Vaux DL, Korsmeyer SJ,. 1999. Cell Death in Development. Cell vol 96: 245-254

Völlm J, et al. 2000. A case of extended exsudative dermatitis in an Indian rhino.

European Association of zoo and wildlife veterinarians (EAZWV) Paris,

France: 205-208

Walcott AS,. 1914. Java and Her Neighbours. A Traveler’s note in Java, Celebes, the

Molluccas, and Sumatra. GP Putnams and Sons. The knickerbockers press.

New York & London

Wasser SK, et al. 2000. A generalized fecal glucocorticoid assay for use in diverse

array of nondomestic mammalian and avian species. General and comparative

endocrinology 120:260-275

White AM, Swaisgood RR, Czekala N,. 2007. Ranging patterns in white rhinoceros,

Ceratotherium simum simum: implications for mating strategies. Animal

behaviour (74): 349-356

Wielckens K, et al. 1983. Stimulation of Poly(ADP-ribosyl)ation during Erlich

Ascites Tumor Cell “Starvation” and Suppression of Concomitant DNA

Fragmentation by Benzamide. The Journal of Biological Chemistry Vol 258(7):

4098-4104

Williams JW, et al. 2002. Rapid and widespread vegetation responses to past climate

change in the North Atlantic region. Geology vol 30; no. 11; p. 971–974

Wingfield JC, Romero LM,. 2001. Adrenocortical responses to stress and their

modulation. Dalam: McEwen BS, Goodman HM (eds), Handbook of

physiology section 7: The endocrine system, coping with the environments:

Neural and endocrine mechanism vol. IV Oxford University Press New York:

211-234

Woolf CJ, Mannion RJ,. 1999. Neuropathic pain: aetiology, symptoms, mechanism,

and management. Lancet 353:1959-64

170

Wright EM, Loo, DDF,. 2000. Coupling Between Na+, Sugar, and Water Transport

Across the Intestine. Annals of The New York Academy of Science Volume 915:

Epithelial Transport and Barrier Function: Pathomechanisms in Gastrointestinal

Disorders. 54-66

Wu P, Peters JM, Harris RA,. 2001. Adaptive Increase in Pyruvate Dehydrogenase

Kinase 4 During Starvation is mediated by Peroxisome Proliferator-activated

Receptor α. Biochemical and Biophysical Research Communication. 287(2):

391-396

WWF-IUCN. 1982. Mystery of Dead Javan rhinos. The Environmentalist vol. 2 no. 3

Yamada T, Horiuchi M, Dzau VJ,. 1996. Angiotensi type II receptor mediates

programmed cell death. Proc Acad Sci. USA. Cell Biology Vol 93: 156-160

Yakel JL, et al. 1997. Calcineurin regulation of synaptic function: from ion channels

to transmitter release and gene transcription. Trends in Pharmacological

Sciences. Volume 18, Issue 4: 124-134

Young KM, et al. 2004. Noninvasive monitoring of adrenocortical activity in

carnivores by fecal glucocorticoids analyses. General and comparative

endocrinology: 1-18

YMR [Yayasan Mitra Rhino]. 2004. Implementasi monitoring habitat badak jawa

dengan menekan laju invasi langkap (Arenga obtusifolia) di Taman Nasional

Ujung Kulon. PHKA-WWF-YMR

YMR-WWF. 2002. Studi Persaingan Ekologi antara Badak Jawa (Rhinoceros

sondaicus) dengan Banteng (Bos javanicus). Laporan Kegiatan kerjasama

BTNUK-WWF-YMR

Zeng H, Dvorak HF, Mukhopadhyay D,. 2001. Vascular Permeability Factor

(VPF)/Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Receptor-1 Down-

modulates VPF/VEGF Receptor-2-mediated Endothelial Cell Proliferation, but

Not Migration, through Phosphatidylinositol 3-Kinase-dependent Pathways. The

Journal of Biological Chemistry 270(29): 26969-26979

Ziegler TE, Wittwer DJ,. 2005. Fecal Steroid Research In the Field and In Laboratory:

Improved methods for Storage, Transport, Processing, and Analysis. American

Journal of Primatology 67: 159-174

Zmuda JM, et al. 1997. Longitudinal relation between endogenous testosterone and

cardiovascular disease risk factors in middle-aged men. American journal of

epidemiology 146(8): 609-617

LAMPIRAN 1

IZIN KOMISI ETIK

172

173

LAMPIRAN 2

DATA NUTRISI BADAK JAWA

176

177

ASUPAN DAN NUTRISI BADAK MSADUB5212 (BADAK 12)

Bulan

Segar Kering Air Protein Lemak Energi

Oktober 3.970,00 1.270,00 180,02 102,03 31,62 4.660,70

November 1.837,50 412,09 44,54 46,67 9,82 1.571,03

Desember 3.020,00 652,21 58,93 69,23 18,12 2.482,70

Januari 1.786,30 392,99 41,54 52,41 11,35 1.466,09

Februari 2.223,33 497,69 51,62 62,56 12,25 1.984,71

Maret 1.538,80 370,56 34,67 43,32 10,40 1.484,64

April 3.700,00 900,00 189,90 101,25 25,85 3.014,28

Rata-rata 2.582,28 642,22 85,89 68,21 17,06 2.380,60

StDev 980,87 334,27 68,17 24,50 8,59 1.159,17

Asupan / berat 0,10% 0,03% 0,01% 0,00% 0,00% 0,12%

(asumsi 1 ton berat)

Estimasi asupan

Lantana 129,11 gram segar per hari

36,15 gram kering per hari

0,004% gram kering per berat badan

Konsumsi (gram) Nutrisi

ASUPAN DAN NUTRISI BADAK MADUB5513 (BADAK 13)

Bulan

Segar Kering Air Protein Lemak Energi

Oktober 2.101,17 768,15 86,38 87,64 22,51 2.852,88

November 1.307,05 287,55 29,57 34,96 10,16 1.093,46

Desember 4.792,50 1.054,35 124,23 115,97 30,66 3.786,15

Januari 7.560,76 1.424,95 136,03 137,67 37,98 5.320,58

Februari 3.633,46 799,36 92,04 83,57 21,84 2.835,35

Maret 3.456,41 760,41 64,02 80,02 19,42 2.722,34

April 2.788,36 613,44 58,01 76,28 21,54 2.264,95

Rata-rata 3.662,82 815,46 84,33 88,02 23,44 2.982,24

StDev 2.052,10 354,40 37,49 32,36 8,79 1.310,34

Asupan / berat 0,21% 0,04% 0,00% 0,00% 0,00% 0,13%

(asumsi 1 ton berat)

Estimasi asupan

Lantana 1.318,61 gram segar per hari

369,21 gram kering per hari

0,037% gram kering per berat badan

Konsumsi (gram) Nutrisi

178

ASUPAN DAN NUTRISI BADAK MSADUB2018 (BADAK 18)

Bulan

Segar Kering Air Protein Lemak Energi

Oktober 4.360,00 1.528,00 153,54 164,66 36,43 5.603,39

November 10.210,49 2.246,31 234,70 245,31 59,84 8.107,89

Desember 15.249,09 1.078,48 103,97 113,96 28,53 4.058,33

Januari 7.265,23 1.058,62 121,16 118,87 27,20 3.428,20

Februari 4.520,89 710,10 78,41 80,38 18,45 2.304,37

Maret 3.383,80 744,44 117,22 74,07 18,13 2.526,32

April 755,18 166,14 14,73 16,50 5,10 622,46

Rata-rata 6.534,95 1.076,01 117,68 116,25 27,67 3.807,28

StDev 4.866,58 664,07 67,48 73,06 17,31 2.448,49

Asupan / berat 0,49% 0,07% 0,01% 0,01% 0,00% 0,24%

(asumsi 1 ton berat)

Estimasi asupan

Lantana 416,93 gram segar per hari

116,74 gram kering per hari

0,012% gram per kg badan

Konsumsi (gram) Nutrisi

179

Nama Lokal Nama Ilmiah Air Protein Lemak Energi SK Abu Ca P Tannin

g / 100 g g / 100 g g / 100 g kcal /kg g / 100 g g / 100 g g / 100 g g / 100 g

Pisang kole Musa paradisiaca 8,13 7,56 2,59 2.707,00 16,25 7,20 0,90 0,07 0,05

Tepus amommum sp 9,58 10,24 1,63 4.151,00 33,79 8,69 0,67 0,23 0,18

Lame Peucang Alstonia angustiloba 8,26 17,11 8,61 4.358,00 19,43 10,14 3,43 0,16 0,09

Kicalung Diospyros macrophylla 9,85 10,96 1,96 4.098,00 14,50 5,44 0,05 0,14 0,05

Songgom Barringtonia macrocarpa 9,53 11,94 2,18 3.637,00 41,26 7,09 0,94 0,15 0,78

Areuy Kacambang Lecananthus erubescens 8,79 12,00 5,74 3.501,00 15,84 6,52 1,03 0,21 0,06

Areuy Kawao Derris thyorsifolia 7,12 15,22 2,83 4.718,00 33,04 8,66 1,92 0,10 0,10

Cangkudu Moringa citrifolia 7,38 23,39 6,30 4.460,00 12,77 13,15 2,96 0,47 0,23

Ar Kapirarung 23,33 13,74 4,56 3.930,00 21,62 6,79 1,51 0,30 0,01

Kilalayu Lepisanthes tetraphylla 7,64 13,95 0,85 4.342,00 29,39 5,79 0,97 0,19 0,13

Sauheun Popowia pisocarpa 7,19 14,44 2,59 4.178,00 25,07 10,80 2,60 0,10 0,35

Bayur Pterospemum javanicum 6,94 12,36 2,06 4.678,00 33,53 8,16 2,43 0,14 1,28

Ar Kacepot Salacia macropylla 7,26 10,61 4,99 4.453,00 23,44 6,95 1,59 0,07 0,18

Kilaja areuy Oxymitra cunneiformis 7,91 10,99 3,04 4.087,00 29,33 5,95 1,82 0,10 1,00

Kilaja Tangkal Oxymitra cunneiformis 8,31 9,70 5,86 4.012,00 19,34 6,26 2,15 0,08 0,00

Ar Katumpang Callicarpa longifolia 8,76 23,61 6,69 4.110,00 18,88 8,36 1,59 0,16 0,52

Pandan Bidur Pandanus bidur 7,45 5,69 2,90 3.776,00 41,23 4,92 1,72 0,04 0,09

Kadongdong Spondias pinnata 9,42 9,16 2,62 3.005,00 15,57 20,16 4,70 0,19 0,02

Reunghas Buchanania arborescens 8,41 11,93 2,67 3.832,00 22,60 10,99 1,69 0,19 0,37

Hoe Seel Daemonorops melanochaetes 7,40 9,32 1,93 3.993,00 29,91 10,64 0,76 0,15 1,05

Padali Radermachera gigantea 8,83 7,89 3,61 3.984,00 29,59 7,28 1,65 0,19 0,20

Manggu Leuweung Garcinia celebica 5,63 9,04 5,20 4.251,00 30,43 6,40 1,45 0,09 0,31

Palunpung Beureum Meremia peltata 7,33 14,58 4,11 3.316,00 16,33 7,69 1,40 0,17 0,00

Segel Dillenia exelsa 7,25 4,99 2,03 3.343,00 15,29 7,72 1,30 0,08 0,00

Waru Rot Thespesia populnes 7,89 15,71 4,45 3.521,00 25,93 11,42 2,42 0,30 0,91

Kijahe Croton auypelas 7,85 20,09 2,06 2.804,00 19,33 9,34 1,82 0,29 0,00

Leuksa Pepturus repundus 9,67 12,41 2,68 3.382,00 17,49 19,74 3,95 0,17 0,02

Jejerukan Acronychya laurifolia 8,18 9,80 2,28 3.597,00 17,54 18,97 2,94 0,12 0,04

Geureung Percampyulus glances 8,56 16,37 2,49 4.702,00 27,05 7,93 1,53 0,16 0,25

Sariawan Peujit Desmodium trifolium 7,07 8,52 1,97 3.612,00 23,89 10,84 3,20 0,10 2,56

Pulus Laportea stimulans 10,74 11,45 4,36 2.414,00 10,41 20,02 3,35 0,20 0,04

Cente Lantana camara 8,37 7,67 4,11 4.004,00 15,96 9,99 2,04 0,16 0,05

Sulangkar Leea sambucina 8,93 5,60 3,07 3.607,00 14,93 9,54 2,60 0,13 0,17

Kikunti 6,80 5,17 2,91 3.314,00 21,30 15,47 3,25 0,09 0,04

Kilangir Chisocheton sp 8,65 20,64 6,00 4.656,00 16,39 8,77 1,99 0,25 0,06

Dalumpit Terminalia arborea 7,49 9,74 2,05 3.096,00 19,73 11,41 3,20 0,23 11,40

Amis mata Ficus Montana 9,57 7,38 1,82 2.426,00 20,80 34,72 2,19 0,18 0,05

Areuy bungburutu 12,78 11,90 2,05 3.454,00 24,72 12,88 2,82 0,26 0,62

Areuy carulang Spatholobus ferrugineus 8,63 9,72 2,96 4.649,00 46,05 5,77 0,69 0,14 0,08

Areuy garut Marantha arundacea 10,13 9,96 0,89 4.082,00 46,93 6,14 1,39 0,19 0,28

Areuy jaha Rourea minor 16,20 7,74 1,59 3.357,00 25,07 7,36 2,15 0,13 1,46

Areuy kikukupu Phanera fulva 14,99 8,74 2,51 3.828,00 16,19 6,84 1,34 0,12 0,36

Areuy kipuak Paederia scandens 55,17 4,97 0,95 1.951,00 11,96 5,94 1,10 0,09 0,05

Areuy lolo Anadendrum microstachyum 8,43 8,09 2,75 3.602,00 29,52 10,94 2,83 0,11 0,14

Babanjaran Eupatorium inulifolium 23,27 13,55 4,72 3.377,00 30,90 16,07 1,22 0,23 0,52

Bangban Donax cannaeformis 52,05 4,38 1,53 2.124,00 18,89 7,97 0,23 0,09 0,46

Bisoro Ficus hispida 13,11 11,84 1,97 2.721,00 18,81 24,08 4,31 0,26 0,16

Bungur Lagerstroemia speciosa 9,53 15,47 1,97 3.797,00 35,90 9,39 1,54 0,19 0,21

Canar biasa Smilax zeylanica 9,83 10,84 2,20 4.228,00 38,29 7,11 0,70 0,12 0,08

Capituher Mikania cordata 11,80 15,99 2,22 3.652,00 22,22 16,10 2,23 0,59 0,20

Cerlang Pterospermum diversifolium 10,67 7,56 1,92 4.257,00 59,60 6,21 0,88 0,20 0,36

Ciciap Ficus septica 42,05 6,58 2,69 2.440,00 14,13 11,98 2,25 0,12 0,00

Dahu Dracontomelon pubelarum 10,51 9,84 1,49 3.906,00 30,55 9,16 0,98 0,12 0,10

Darewak Microcosm lomentosa 10,71 11,43 1,30 3.658,00 33,15 13,68 0,90 0,13 0,39

Gadog Bischofia javanica 15,09 7,27 3,55 3.365,00 25,64 10,03 1,66 0,13 1,31

Gompong Arthrophyllum diversifolium 11,34 13,59 2,13 3.907,00 32,98 8,88 1,23 0,28 0,14

Hantap heulang Sterculia coccinea 60,45 5,52 1,07 1.832,00 15,26 4,46 0,78 0,10 0,02

Hoe berem Meremia vitivolia 8,46 8,67 2,47 3.735,00 17,51 12,84 0,51 0,09 2,19

Huhunian Antidesma spp 10,41 7,21 2,15 3.661,00 24,39 7,59 1,51 0,07 4,38

Huni Antidesma bunius 13,16 10,43 1,72 3.488,00 21,40 12,19 1,40 0,18 0,13

Huru Kemplong Cryptocarya densiflora 8,75 9,44 4,19 4.229,00 36,11 8,19 0,97 0,12 0,25

Jingjing kulit no 1 Zizypus tupula 15,50 16,12 4,43 3.804,00 21,87 8,55 1,45 0,37 0,54

Jingjing kulit no 2 Zizypus horsfeldii 12,03 8,55 1,75 3.866,00 24,90 10,87 1,64 0,13 0,11

Jingjing kulit no 3 Zizypus sp 12,34 7,62 4,51 4.114,00 26,36 8,40 2,60 0,13 0,23

Kanyere badak Bridelia glauca 10,22 10,26 2,73 4.045,00 23,95 9,00 1,65 0,18 0,61

Kanyere laut Desmodium umbellatum 9,73 11,72 4,51 4.288,00 28,07 6,41 0,94 0,13 1,11

Kidangdeur Bombax malabaricum 14,88 9,08 3,12 3.632,00 21,05 11,38 2,37 0,19 2,53

Kikangkareng 14,39 9,44 2,03 3.545,00 31,98 12,05 2,07 0,24 0,15

Kilinn 11,99 13,48 4,07 4.168,00 23,49 7,99 1,40 0,16 0,21

Kipare Glachidion rubeum 9,84 7,97 1,71 4.101,00 22,46 8,04 1,42 0,11 0,07

Kitanah Xanthoxylum rhetsae 16,33 17,11 1,94 3.667,00 15,32 12,10 2,10 0,36 0,18

Kitanjung Saccopetalum heterophylla 12,70 6,15 1,49 3.672,00 16,17 11,04 2,94 0,07 3,15

Kuku heulang Uncaria gambir 11,74 9,08 1,69 4.396,00 24,28 5,14 0,66 0,14 0,05

Lame koneng Alstonia scholaris 61,08 3,83 2,18 2.090,00 10,55 5,95 0,48 0,07 0,10

Lampeni Ardisia humilis 11,23 11,66 5,16 4.076,00 26,02 10,61 2,09 0,20 0,54

Leles Ficus retusa 11,97 9,02 3,29 3.513,00 17,00 11,75 2,38 0,11 0,05

Mara biasa Macarenga blumeunus 13,38 10,78 6,78 3.901,00 13,09 7,05 1,08 0,13 5,13

Marengpeng Croton argyratus 11,50 16,53 6,28 4.039,00 18,83 8,50 1,85 0,28 1,10

Meuhmal Litsea noronhae 8,18 11,54 5,05 4.200,00 38,09 7,87 1,18 0,15 0,09

Pacing Costus speciosus 45,86 5,30 0,57 2.247,00 22,90 8,13 0,75 0,17 0,03

Putat Plachonia valida 11,26 8,55 3,37 3.866,00 18,45 6,40 0,91 0,19 0,06

Sariawan db Symplocos oderatissima 10,49 7,73 2,78 3.082,00 18,91 15,77 2,70 0,08 0,06

Sayar Caryota mitis 11,84 9,03 1,41 3.656,00 33,02 11,73 1,01 0,19 0,34

Sempur Dillenia indica 12,27 5,10 2,20 3.811,00 18,89 7,37 0,53 0,10 0,07

Siwurungan Mussaenda frondosa 40,56 6,24 2,19 2.850,00 21,55 9,07 0,62 0,13 0,11

Soro Bebek Tadehagi triquetrum 13,27 10,08 2,03 3.502,00 18,17 13,82 2,81 0,26 0,43

Tangkele Sumbaviopsis albiccans 20,94 16,63 1,48 3.359,00 23,67 12,57 1,72 0,27 0,02

Teureup Artocarpus elastica 11,29 11,37 1,67 3.347,00 25,11 15,17 1,37 0,12 0,21

Totoet 9,83 10,72 2,26 4.061,00 28,42 6,15 0,79 0,13 0,01

Tua laleur Milletia sericae 10,18 14,06 1,68 4.131,00 40,63 6,05 1,20 0,14 0,48

Tukultakal 13,12 11,90 1,34 3.519,00 25,33 13,37 3,30 0,39 0,11

Tundun sayong Xerrospermum noronhianum 8,09 8,85 3,63 4.110,00 29,47 10,59 1,39 0,13 5,07

Turug tomo Moraceae 10,37 8,85 2,19 3.980,00 19,34 7,25 1,02 0,09 2,29

Wareng Randia patula 8,76 11,37 1,96 4.092,00 21,12 5,97 0,88 0,10 0,29

TABEL KOMPOSISI PAKAN BADAK DI SEMENANJUNG TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

LAMPIRAN 3

DATA HEWAN MODEL

182

183

Jumlah pakan yang diberikan secara rutin kepada kedua ekor kuda model (Garuda dan

Elang) selama periode kontrol.

Kuda Model Air (L/hari) Bran (kg/hari) Pellet (kg/hari) Rumput (kg/hari)

Garuda 8 0.875 0.38 17.375

Elang 8 0.875 0.375 17.25

184

185

186

187

188

189

LAMPIRAN 4

DATA PARALELISME KIT HORMON

192

193

Hasil uji paralelisme hormon kortisol pada feses badak (kode F5E, F4E, dan F3E) dan feses

kuda

ng/ml Standard F5E F4E F3E

Kuda 2

(betina)

kuda 4

(jantan)

0 1.137 0.741 0.741 0.714 0.742 0.776

20 0.841 0.731 0.697 0.696 0.736 0.77

50 0.626 0.698 0.692 0.681 0.745 0.767

100 0.47 0.643 0.644 0.603 0.709 0.736

200 0.277 0.575 0.6 0.575 0.656 0.716

400 0.15 0.506 0.535 0.507 0.622 0.696

800 0.097 0.434 0.464 0.429 0.675 0.707

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

0 200 400 600 800 1000

OD

kadar kortsiol,

standart

F5E

F4E

194

Hasil uji validitas hormon kortikosteron pada feses badak

ng/ml Standard F1a/Cgtr 12/B45 12/B52 13 Nyw 13/B24

0 3.184 2.984 3.023 3.115 3.014 2.892

6.25 2.453 3.131 3.006 3.245 3.225 3.192

12.5 1.208 3.117 3.102 3.079 3.181 3.098

25 0.715 2.996 3.061 3.023 3.176 3.112

50 0.369 2.943 2.996 2.827 2.979 3.222

100 0.164 2.974 2.937 2.719 2.947 2.916

Perbandingan hasil uji paralelisme kortikosteron dengan kurva standard

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

0 50 100 150

OD

kadar kortikosterone

stnadar kortikosteron

Cgtr

B45

B52

Nyw

B24

195

Hasil uji paralelisme 5-beta-a diol pada feses badak

Ng/ml Standard Sampel

1

Sampel

2

Sampel

3

Sampel

4

Sampel

5

Sampel

6

0.0 0,496

0.6 0,3885

1.2 0,3415 0,325 0,323 0,397 0,32 0,259 0,383

2.4 0,2845 0,265 0,249 0,344 0,237 0,187 0,351

4.8 0,2085 0,187 0,167 0,254 0,17 0,127 0,293

9.6 0,1525 0,126 0,098 0,177 0,105 0,073 0,227

19.5 0,103 0,068 0,058 0,123 0,068 0,041 0,18

39.0 0,0665

78.0 0,047

0.0 0,496

Grafik perbandingan antara kadar 5-beta androstandiol (5-beta adiol) pada feses

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0.0 0.6 1.2 2.4 4.8 9.6 19.5 39.0 78.0

Ab

sorb

an

s

Kosentrasi (pg/50ul)/ Pengenceran

Standar

Sampel

1Sampel

2Sampel

3Sampel

4

196

Hormon testosteron berdasarkan pengenceran yang dilakukan dalam uji

paralelisme.

ng/ml Standard F1a/B22 12/B45 12/B52 13 Nyw 13/B24

0 2.126 1.591 1.64 1.65 1.641 1.645

0.2 1.955 1.579 1.615 1.588 1.573 1.574

0.5 1.738 1.574 1.55 1.474 1.512 1.583

1 1.428 1.443 1.424 1.335 1.356 1.507

2 1.064 1.225 1.175 1.158 1.181 1.433

6 0.552 0.869 0.904 0.866 0.924 1.244

16 0.242 0.656 0.563 0.631 0.684 1.179

Perbandingan hasil uji paralelisme pada hormon testosteron dengan kurva

standard.

0

0,5

1

1,5

2

2,5

0 5 10 15 20

OD

Kadar testosteron

stnadart

B22

B45

B52

13 Nyw

197

Hasil uji paralelisme

Uji paralelisme dilakukan menggunakan semua kit yang telah dipilih berdasarkan

indikator hormon cekaman. Uji paralelisme kit hormon kortisol, kortikosteron, dan antibodi

terhadap salah satu metabolit glukokortikoid yaitu 5-beta adiol disajikan dalam Lampiran 4.

Dari uji validitas menggunakan uji paralelisme dari keempat kit hormon di atas dapat

dilihat bahwa hormon kortisol pada feses badak masih menunjukkan kemungkinan paralel

dengan kurva standard (walaupun masih terjadi perpotongan antara kurva standard dengan

sampel). Penelitian yang dilakukan oleh Turner et al. (2002) menunjukkan bahwa kadar

kortisol dapat dikuantifikasi dari feses badak putih (Ceratotherium simum). Hal ini

menunjukkan bahwa hormon kortisol memiliki kemungkinan yang cukup besar untuk

dideteksi dan diukur dalam feses badak, namun pengukuran ataupun kuantifikasi dari kadar

hormon ini masih belum dapat dilakukan dengan validitas yang dapat dipertanggung jawabkan

dalam penelitian ini.

Penggunaan kit kortikosteron pada feses tidak menunjukkan hasil yang paralel; hal ini

ditunjukkan dengan adanya perpotongan antara kurva standard dengan sampel yang

kemudian diikuti oleh slope yang samasekali berbeda antara keduanya. Dengan hasil seperti

ini kit kortikosteron tidak dapat digunakan untuk mengukur ataupun melakukan kuantifikasi

kadar hormon cekaman pada sampel feses badak Jawa, walaupun Turner et al. (2002) masih

dapat menggunakan kortikosteron sebagai hormon indikator cekaman pada badak putih. Hal

ini dapat terjadi karena ketidak cocokan kit kortikosteron yang dirancang untuk penggunaan

serum dengan sampel feses.

198

Penggunaan metabolit glukokortikoid yaitu 5-beta-adiol sebagai indikator keberadaan

hormon cekaman menunjukkan hasil yang paralel antara kurva standard dengan kurva sampel

dimana relatif tidak ada perpotongan antara kedua kurva ini dan slope dari kedua kurva ini

menunjukkan kemiringan yang sama sehingga dapat dipastikan bahwa kedua kurva ini berada

dalam kondisi paralel dan tidak saling memotong. Uji paralelisme menggunakan 5-beta adiol

ini menunjukkan 50% binding pada konsentrasi 3,04 pg dan pengenceran 1:80. Hasil uji

paralelisme juga menunjukkan bahwa koefisien variasi intra-assay adalah 5.4% untuk sampel

dengan konsentrasi hormon rendah dan 4.4% untuk sampel konsentrasi hormon tinggi.

Demikian pula dengan koefisien variasi inter-assay yang menunjukkan angka 11.2% untuk

sampel dengan konsentrasi hormon rendah dan 6.8% untuk sampel dengan konsentrasi

hormon yang tinggi. Berdasarkan hasil dari uji paralelisme ini yang didukung dengan

koefiesien variasi intra-assay dan inter-assay yang berada di bawah 15%, maka dapat

disimpulkan bahwa, 5-beta-adiol memiliki potensi untuk digunakan dalam kajian profil

glukokortikoid dari sampel feses badak jawa. Penggunaan secara umum/luas dapat dilakukan

setelah kit ini menjalani validasi biologis dan kimiawi untuk memastikan ketepatan kit tersebut

dalam mendeteksi hormon asal feses.

MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK

JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN

ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN

SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Biomedis hewan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Penguji Luar Komisi

Penguji Ujian Tertutup : 1. Dr. drh. Setyo Widodo

(Staff pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB)

2. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni

(Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB)

Pelaksanaan : 27 Juli 2012

Penguji Ujian Terbuka : 1. Dr. Iman Santoso

(Kepala Badan Litbang Kementerian Kehutanan RI)

2. Prof. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer

(Guru Besar Program Studi Satwa Primata IPB)

Pelaksanaan : 20 September 2012

Judul Penelitian: Model Pengelolaan Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) berdasarkan

Analisis Nutrisi dan Tingkat Cekaman sebagai Parameter Kesehatan

Nama: Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi

NRP: B361080011

Program Studi: Ilmu Biomedis Hewan

Menyetujui:

Komisi Pembimbing

Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD

Ketua

Dr. Drh. Hera Maheshwari, MSc Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra MS

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS

Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

drh.Agus Setiyono, MS, PhD, ApVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………

Tanggal Ujian : 20 September 2012 Tanggal Lulus : ………………