bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin...

115

Transcript of bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin...

Page 1: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor
Page 2: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

Volume 5, Nomor 1, Juni 2019

Penanggungjawab:

Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Reviewer

Ketua merangkap Anggota: Rubiyo (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, BBP2TP)

Anggota: Rachmat Hendayana (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, BBP2TP) Trip Alihamsyah (Peneliti Utama, Sistem Usaha Pertanian, BBP2TP) Mohammad Jawal Anwarudin Syah (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, Puslitbanghorti) Mewa Ariani (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, PSE-KP) Nur Richana (Prof. (R.), Teknologi Pascapanen, BB Pasca Panen) I Wayan Laba (Prof. (R), Hama Penyakit Tanaman, PHT dan Pestisida, Balittro) Sofjan Iskandar (Prof. (R.), Pakan dan Nutrisi Ternak, Balitnak) Arief Hartono (Kimia Tanah, Institut Pertanian Bogor)

Mitra Bestari

I Wayan Rusastra (Ekonomi Pertanian) Fahmudin Agus (Hidrologi dan Konservasi Tanah) I Made Jaya Mejaya (Pemuliaan dan Genetika Tanaman)

Redaksi Pelaksana

Achmad Subaidi Elya Nurwullan Yovita Anggita Dewi Vyta Wahyu Hanifah Amelia Ulfah Widia Siska Ume Humaedah Nanik Anggoro Purwatiningsih Mulni Erfa Agung Susakti

Alamat Redaksi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No.10, Bogor, Indonesia Telepon/Fax : (0251) 8351277 / (0251) 8350928 E-mail : [email protected] Website : http://www.bbp2tp.litbang.pertanian.go.id

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi diterbitkan dua kali setahun, oleh Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, merupakan media ilmiah yang memuat artikel hasil Litkaji dan diseminasi inovasi pertanian, khususnya yang bernuansa spesifik lokasi. Buletin ini dapat juga memuat tinjauan kritis terhadap hasil litkaji dan diseminasi inovasi pertanian yang berupa gagasan, opini maupun konsepsi orisinil inovasi pertanian. Substansial inovasi

pertanian dapat mencakup aspek teknis maupun aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.

Page 3: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

ISSN-2407-0955

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi

Volume 5 Nomor 1, Juni 2019

BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

Page 4: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

ISSN-2407-0955

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi

Volume 5 Nomor 1, Juni 2019

PENDAMPINGAN ADALAH KUNCI KEBERHASILAN PENYEDIAAN BENIH PADI DI KABUPATEN TIMUR TENGAH SELATAN, NUSA TENGGARA TIMUR Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan Syamsuddin ……………………………….

1-8

INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA CABAI MERAH MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI DI SULBAR Rahmi H. dan Mathen P. Sirappa…………………………………………………………………………..

9-17

EKSPLORASI DAN PENAPISAN MIKROB INDIGENOS RHIZOSFER CABAI (Capsicum annuum L.) SEBAGAI AGENS PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum spp.) Tatit Sastrini dan Abd Aziz Syarif……………………………………………………………………………

19-28

PELUANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN JAGUNG DI LAHAN KERING IKLIM KERING, NUSA TENGGARA TIMUR Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina……………………………………………………………….

29-42

KETERSEDIAAN BENIH MELALUI UNIT PENGELOLA BENIH SUMBER (UPBS) PADI DI SULAWESI TENGGARA Samrin dan Muh. Asaad……………………………………………………………………………………..

43-54

UJI DAYA HASIL PADI SAWAH DATARAN TINGGI DI NAGARI KOTO GADANG GUGUAK KABUPATEN SOLOK PADA KETINGGIAN BERBEDA Heru Rahmoyo Erlangga dan Novi Aldi……………………………………………………………………

55-60

POLA PENDAMPINGAN DESA MANDIRI BENIH PADI DI JAWA BARAT Yati Haryati, M. Atang Safei dan Bebet Nurbaeti…………………………………………………………

61-69

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERTANIAN CABAI BERBASIS KORPORASI PADA GAPOKTAN MUJAGI KECAMATAN PACET KABUPATEN CIANJUR Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena………………………………………………………………………

71-83

INOVASI TEKNOLOGI BUDI DAYA DAN PENGOLAHAN HASIL UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PANGAN LOKAL PAPUA BARAT Junita Br Nambela Aser Rouw…………………………………………………………………………….

85-98

PENGGUNAAN ASAM LEMAK OMEGA-3 DAN OMEGA-6 UNTUK MENINGKATKAN KINERJA REPRODUKSI DAN KEUNTUNGAN USAHA PEMELIHARAAN INDUK DOMBA Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa……………………………………………………………………..

99-108

Page 5: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor
Page 6: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

1 Pendampingan Adalah Kunci Keberhasilan Penyediaan Benih Padi Di Kabupaten Timur Tengah

Selatan, Nusa Tenggara Timur (Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan

Syamsuddin)

PENDAMPINGAN ADALAH KUNCI KEBERHASILAN PENYEDIAAN BENIH PADI DI KABUPATEN TIMUR TENGAH SELATAN, NUSA TENGGARA TIMUR

Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan Syamsuddin

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur

Jl. Timor Raya Km. 32 Kupang,

Email: [email protected]

ABSTRACT

Assistance is the Key to the Success of Rice Seed Supply in South Central Timor District, East

Nusa Tenggara. In the context of strengthening national and regional food security, special efforts need to be

continuously improved, namely through efforts to increase production and productivity of agricultural

commodities. An important component in efforts to increase the production and productivity of lowland rice is

seed. In order to strive to increase the capacity of seed production, since 1999 the Indonesian Agency for

Agricultural Research and Development has carried out a program to supply source seeds (BS), by allocating

R&D resources optimally, which is more concentrated on assembly efforts new superior rice varieties with high

yield and adaptive to environmental conditions. Timor Tengah Selatan District (TTS) with relatively high seed

dispersal needs and often experiences seed shortages in carrying out rice development programs. The location of

the implementation of field school activities supporting integrated food self-sufficiency in rice seed independent

villages is located in TTS Regency. Batu Putih District, Tupan Village. The conclusion of the above discussion

was that with intensive assistance in the form of field schools were: Adik-Kakak farmer group already understand

and could produce labeled rice seeds using technology provided by NTT AIAT, the planting of jajar legowo rice

yields in rice yields increased more than 2 t/ha so that it became 4.5 t/ha with intensive assistance, and with

increased yields the needs for the TTS District can be achieved.

Keywords: Rice, seed supply, assistance, yield

ABSTRACT

Dalam rangka pemantapan ketahanan pangan nasional dan regional upaya-upaya khusus perlu terus

ditingkatkan yaitu melalui upaya peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian. Komponen penting

dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas padi sawah adalah benih.Dalam rangka mengupayakan

peningkatan kapasitas produksi benih, sejak tahun 1999 Badan Litbang Pertanian telah merjalankan program

penyediaan benih sumber (BS), dengan mengalokasikan sumberdaya Litbang secara optimal, yang lebih

dikonsentrasikan pada upaya perakitan varietas padi unggul baru berdaya hasil tinggi dan adaptif dengan kondisi

lingkungan. Kabupaten Timor Temgah Selatan (TTS) dengan kebutuhan benih sebar yang relatif cukup tinggi dan

sering mengalami kekurangan benih dalam menjalankan program pengembangan padi. Lokasi pelaksanaan

kegiatan sekolah lapang mendukung swasembada pangan terintegrasi desa mandiri benih padi terletak di

Kabupaten TTS. Kecamatan Batu Putih, Desa Tupan. Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah dengan

pendampingan yang intensif berupa sekolah lapang adalah :Kelompok tani Adik Kakak sudah mengerti dan bisa

memproduksi benih padi yang berlebel, Dengan menggunakan teknologi yang diberikan BPTP NTT, penanaman

padi jajar legowo hasil panen padi lebih meningkat dari 2 t/ha biasanya menjadi 4.5 t/ha dengan dampingan yang

intensif, dan dengan hasil panen yang meningkat maka kebutuhan untuk Kabupaten TTS dapat terpenuhi.

Kata kunci: padi, penyediaan benih, pendampingan, hasil

Page 7: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

2 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:1-8

PENDAHULUAN

Dalam rangka pemantapan ketahanan

pangan nasional dan regional upaya-upaya

khusus perlu terus ditingkatkan yaitu melalui

upaya peningkatan produksi dan produktivitas

komoditas pertanian. Salah satu komoditas utama

yang perlu ditingkatkan produksi dan

produktivitasnya adalah padi sawah karena padi

merupakan komoditas pangan strategis di

Indonesia.

Komponen penting dalam upaya

meningkatkan produksi dan produktivitas padi

sawah adalah benih. Mejaya et al., (2004)

mengemukakan bahwa komponen-

komponenpenting dalam budidaya padi sawah

adalah penggunaan benih berdaya hasil tinggi,

pengolahan tanah yang sempurna, jarak tanam

yang tepat, penggunaan pupuk seimbang,

pengendalian organisme pengganggu tanaman

dan panen serta pasca panen yang tepat. Dari

semua komponen tersebut, benih merupakan

factor kunci peningkatan produksi dan

produktivitas padi sawah, karena benih secara

gentika menentukan kapasitas produksi. Jika

benih padi berdaya hasil tinggi yang digunakan,

maka produksi padi akan tinggi. Oleh karena itu

ketersediaan benih padi berdaya hasil tinggi

sangat menentukan keberhasilan program

peningkatan produksi dan produktivitas padi di

suatu wilayah.

Dalam rangka mengupayakan

peningkatan kapasitas produksi benih, sejak

tahun 1999 Badan Litbang Pertanian telah

merjalankan program penyediaan benih sumber

(BS), dengan mengalokasikan sumberdaya

Litbang secara optimal, yang lebih

dikonsentrasikan pada upaya perakitan varietas

padi unggul baru berdaya hasil tinggi dan adaptif

dengan kondisi lingkungan yang terus berubah,

Sejak tahun 2002, Badan Litbang

Pertanian melaksanakan program pengembangan

sistem perbenihan dan ketersediaan benih sumber

pada balai dan loka penelitian komoditas, balai

pengkajian di seluruh Indonesia bahkan sampai

ke level petani di pedesaan. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa Badan Litbang

Pertanian memiliki komitmen yang tinggi untuk

mendukung peningkatan kinerja sistem

perbenihan dan ketersediaan benih sumber di

Indonesia.

Nusa Tenggara Timur, sebagai provinsi

yang memiliki total luas lahan sawah 76 ribu

hektar pada tahun 2016, juga telah menjalankan

program penyediaan benih sumber mendukung

program desa mandiri benih sejak tahun 2013.

Program penyediaan benih tersebut dilaksanakan

dengan pola pendampingan khusus yaitu dengan

penerapan Sekolah Lapang bagi calon penangkar

dan penangkar-penangkar pemula. Tulisan ini

menggambarkan pendampingan berupa sekolah

lapang (SL) yang dilakukan, pada beberapa

tahapan yaitu tahap persiapan, pemupukan dan

panen-pasca panen yang dilakukan untuk petani

calon penangkar padi di Desa Tupan, Kecamatan

Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan,

Provinsi NTT.

LOKASI PENDAMPINGAN

PERBANYAKAN BENIH PADI

Lokasi pelaksanaan kegiatan sekolah

lapang mendukung swasembada pangan

terintegrasi desa mandiri benih padi terletak di

Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Kecamatan Batu Putih, Desa Tupan. Lokasi ini

dipilih berdasarkan potensi pengembangan padi

di NTT, serta besarnya kebutuhan benih dan

jumlah penangkar padi yang ada wilayah

tersebut.

Waktu pelaksanaan kegiatan ini adalah

Bulan Februari s/d Desember 2018. Kriteria

penangkar/kelompok penangkar, diutamakan

penangkar atau kelompok penangkar benih yang

sudah ada tetapi belum mampu memproduksi

benih yang siap salur atau kelompok penangkar

benih yang sudah mampu memproduksi benih

siap salur tetapi belum memiliki surat ijin

penangkaran dari BPSB.

Profil Lokasi Desa Tupan, Kecamatan Batu

Putih, Kabupaten TTS

Desa Tupan memiliki luas wilayah 5000

m3 terdiri dari 3 dusun, 28 RT dan 12 RW. Desa

Tupan perbatasan dengan:

Page 8: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

3 Pendampingan Adalah Kunci Keberhasilan Penyediaan Benih Padi Di Kabupaten Timur Tengah

Selatan, Nusa Tenggara Timur (Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan

Syamsuddin)

1. Sebelah Timur perbatasan dengan: Desa

Biloto

2. Sebelah Barat perbatasan dengan: Kali

Oelmina

3. Sebelah Utara perbatasan dengan: Kali

Noeleke dan Desa Bijeni

4. Sebelag Selatan perbatasan dengan: Desa

Oebobo

Desa Tupan memiliki lahan sawah 100

ha terdiri dari sawah irigasi non teknis 80 ha dan

sawah tadah hujan 20 ha, lahan kering 300 ha

dan pekarangan 12 ha. Jumlah kk Desa Tupan

360 yang terdiri dari 341 kk tani, sedangkan

tanaman potensi padi sawah dan padi ladang,

jagung, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu,

pisang, kangkung, dan terong.

Desa Tupan adalah salah satu desa dari

sekian banyak desa yang belum tersentuh dengan

teknologi sehingga mereka masih menggunakan

benih padi yang lama, penanaman padi yang

acak tidak berbaris rapih, dengan menggunakan

pupuk sekedar saja kadang tidak menggunakan

pupuk. Hasil yang mereka capai dari 1 ha hanya

1 sampai 2 ton saja. Petani di Desa Tupan belum

menggunakan benih yang unggul karena untuk

mendatangkan benih dari luar selain benihnya

mahal juga ongkos mendatangkannya dari luar

begitu tinggi, sehingga petani tidak mampu untuk

mendapatkannya. Oleh karena itu, BPTP

Balitbangtan NTT sesuai dengan fungsinya

melakukan kegiatan SL Mandiri Padi. Binaan

yang dilakukan BPTP Balitbangtan NTT di Desa

Tupan, Kecamatan Batu Putih Kabupaten TTS,

dengan Kelompok Tani Adik Kakak yaitu

melakukan penanaman padi Inpari 41 Lebel

putih, dengan pola tanam jajar legowo 2 : 1

dengan luasan tanam 2 ha. Dari hasil penanaman

tersebut maka hasil panen yang didapat adalah

7,5 ton. Tujuan dari kegiatan ini adalah bisa

memenuhi kebutuhan Desa Tupan dan juga

Kabupaten TTS pada umumnya. Dokumentasi

yang sudah dilakukan selama pertanaman padi

Inpari 41di Desa Tupan.

Kegiatan perbanyakan benih padi di

Kabupaten TTS dilaksanakan di Kelompok

Wanita Tani Adik Kakak, desa Tupan,

Kecamatan Batu Putih. Rincian kegiatan seperti

terlihat pada Tabel 1.

SEKOLAH LAPANG MANDIRI BENIH

PADI

Definisi Sekolah Lapang untuk

peningkatan kemampuan petani atau penangkar

memproduksi benih varietas yang sesuai

preferensi, dilakukan dengan praktek langsung

dalam suatu sekolah lapang (SL). SL adalah

bentuk sekolah yang seluruh proses belajar

mengajarnya dilakukan dilapangan. Hamparan

sawah milik petani peserta produsen benih. SL

yang sudah dilakukan di petani dengan materi.

SL mandiri benih padi dilaksanakan di

Desa Tupan sebanyak 2 tahapan yaitu tahapan

persiapan lahan sampai penanaman serta

pemupukan dan perawatan tanaman.

Tahapan Persiapan Benih dan Lahan

Adapun benih padi yang dipakai adalah

Benih Padi Varietas Inpari 41 lebel putih, karena

dapat digunakan beberapa kali tanam. Mengingat

untuk mendatangkan benih baru memakan waktu

Tabel 1. Varietas, petani pelaksana, luas tanam dan tanggal tanam maupun tanggal Panen kegiatan

perbanyakan benih padi di Kabupaten TTS.

No. Kriteria Keterangan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Nama Kelompok

Nama Ketua

Luas Tanam

Varietas

Tanggal Tanam

Tanggal Panaen

Hasil Panen

Adik Kakak

Teresia Kolo Poro

2 Ha

Inpari 41

19 Maret 2018

25 Juli 2018

7,5 ton

Page 9: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

4 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:1-8

dan transportasi yang sangat tinggi. Benih padi

untuk luasan 1 ha membutuhkan benih 25 kg.

Komposisi benih Inpari 41 lebel putih adalah

sebagai berikut.

- Nomor : 257395

- Produsen Benih : UPBS BB Padi

- Kadar air : 10,3 %

- Alamat : Sukamandi Subang

- Benih Murni : 99,7 %

- Jenis Tanaman : Padi Non Hibah

- Benih varietas lain : 0,0 %

- Varietas : Inpari 41 Tada Hujan

- Kotoran Benih : 0,3 %

- No. Kelompok : I.M/SK1/0BS/17

- Tanaman lain : 0,0 %

- Berat Bersih : 5 kg

- Tanggal seleksi :

- Biji Beras : - %

- Pengujian : 05 – 09 – 2017

- Daya Kecamba : 92 %

- Tanggal Akhir :

- Penyakit : - %

- Berlaku Label : 05 – 03 – 2017

Adapun persiapan benih dapat dilihat

pada gambar 1.

Sekolah Lapang di Kelompok Tani Adik Kakak, Desa Tupan, Kec. Batu Putik, Kab. TTS

Gambar 1. Persiapan Benih Untuk penanaman padi varietas Inpari 41 lebel putih penanaman dilakukan Kel.

Tani Adik Kakak, Desa Tupan, Kec. Batu Putih, Kabupaten TTS

Page 10: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

5 Pendampingan Adalah Kunci Keberhasilan Penyediaan Benih Padi Di Kabupaten Timur Tengah

Selatan, Nusa Tenggara Timur (Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan

Syamsuddin)

Berbicara tentang persiapan lahan tak

kalah penting karena menyangkut pertumbuhan

padi yang tumbuh, kesuburan tanah dan

pengairan air yang akan sampai ke tanaman

tersebut. Diharapkan persiapan lahan yang baik

akan menghasilkan tanaman padi yang baik pula.

Penanaman padi dilakukan pada tanggal 23 Juni

2018. Adapun gambar persiapan lahan dan

penanaman padi dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Persiapan Lahan di Kel. Adik Kakak, Desa Tupan, Kec. Batu Putik, Kab. TTS Lahan pesemaian

padi

Gambar 3. Persemaian Padi Inpari 41 umur 10 Hari di Kel.Tani Adik Kakak

Gambar 4. Penanaman Padi Varietas Inpari 41, Desa Tupan, Kecamatan Batu Putih, Kab.TTS

Page 11: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

6 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:1-8

Tahapan Pemupukan dan Perawatan

Tanaman

Tanaman padi banyak membutuhkan

unsur hara dari tanah untuk pertumbuhan secara

optimal. Pada kondisi tanah yang cukup N, P, K

tanaman padi menyerap N, P, dan K berturut-

turut sekitar 198 kg, 33 kg dan 205 kg/Ha.

Untuk memperoleh pertanaman padi dengan

hasil yang tinggi, perlu dilakukan pemupukan.

Pemupukan pada tanaman padi sangat penting

karena dengan pemupukan yang baik pada

tanaman padi diharapkan hasil panen yang

meningkat. Pemupukan yang dilakukan pada

tanaman padi untuk 1 ha dibutuhkan pupuk 100

kg urea dan 100 kg Phonska dicampur merata

dan pemupukan dilakukan dengan dihambur ke

tanaman padi. Pemupukan pertama dilakukan

pada tanaman padi berumur 7 - 14 hari. dan

pemupukan kedua tanaman padi berumur 45 hari.

Proses pemupukan dapat terlihat pada gambar

Gambar 5.

Gambar 5. Pemupukan pertama pada tanaman padi Inpari 41 umur tanaman 14 hari Kel.Wanita Tani Adik Kakak, Desa

Tupan, Kec. Batu Putih, Kabupaten TTS

Gambar 6. Penampilan tanaman padi Inpari 41 di Kelompok Wanita Tani Adik Kakak, Desa Tupan, Kec. Batu Putih, Kab.

TTS berumur 90 hari

Gambar 7 : Penampilan tanaman padi Inpari 41 Siap Panen di Kelompok Wanita Tani Adik Kakak, Desa Tupan,

Kecamatan Batu Putih, Kabupaten TTS Berumur 110 Hari

Page 12: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

7 Pendampingan Adalah Kunci Keberhasilan Penyediaan Benih Padi Di Kabupaten Timur Tengah

Selatan, Nusa Tenggara Timur (Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan

Syamsuddin)

Dengan melakukan pendampingan secara

intensif berupa sekolah lapang penangkaran

benih padi sangat menentukan keberhasilan

pengembangan perbenihan padi di Kabupaten

TTS.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kelompok tani Adik Kakak sudah

mengerti dan dapat memproduksi benih padi

yang berlebel. Teknologi yang diberikan BPTP

NTT, penanaman padi jajar legowo meningkat

hasil dari 2 t/ha biasanya menjadi 4.5 t/ha dengan

dampingan yang intensif. Dengan hasil panen

yang meningkat maka kebutuhan untuk

Kabupaten TTS dapat terpenuhi.

Dalam melakukan penmbinaan petani

penangkar harus dilakukan secara intensif bisa

berupa sekolah lapang seperti yang dilakukan

oleh BPTP NTT. Penerapan inovasi/teknologi

perbanyakan benih padi menggunakan tanam

jajar legowo perlu dipertimbangkan.Dalam

melakukan dampingan terhadap penangkar benih

padi di Kabupaten TTS, harus dilakukan minimal

2 tahun untuk memastikan keberhasilan

menjadikan penangkar mandiri.

DAFTAR PUSTAKA

Balitsereal. 2005. Laporan tahunan sistem

perbenihan Balitsereal.

Bora,. 2013. Laporan hasil kegiatan mapping

potensi Balai Benih Utama (BBU), Balai

Benih Induk (BBI) dan kelompok petani

penangkar dalam penyediaan benih

berkualitas di NTT

Dahlan, M. 1988. Pembentukan dan produksi

benih varietas inbrida. p. 101-118. Dalam:

Subandi et al. (eds.). Padi. Puslitbangtan.

Bogor.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Hortikultura Provinsi NTT. 2006.

Pedoman Pelaksanaan Program Aksi

Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan

Gambar 8. Panen tanaman padi Inpari 41 di Kelompok Wanita Tani Adik Kakak, Desa Tupan, Kecamatan Batu Putih,

Kabupaten TTS.

Gambar 9. Hasil panen padi Inpari 41 di Kelompok Wanita Tani Adik Kakak, Desa Tupan, Kecamatan Batu Putih,

Kabupaten TTS.

Page 13: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

8 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:1-8

(PROKSIMANTAP) tahun 2004. Distan

Prov NTT. Kupang.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Jakarta,

2016. Pedoman teknis pemberdayaan

penangkar benih TA. 2016.

Dinas Pertanian dan Perkebunan Propinsi NTT.

2013. Alokasi kebutuhan benih dalam

pemantapan dan pengembangan pertanian

tanamana pangan Propinsi NTT.

Mejaya, M. J., Marsum M.Dahlan, dan Oman

Suherman. 2004.Teknologi produksi benih

padi unggul hibrida. Makalah disampaikan

pada Pelatihan Peningkatan Kemampuan

Petugas Produksi Benih Serealia. Maros

14-16 Juli 2004.

Saenong, S. 2004. Laporan evaluasi kinerja unit

produksi benih sumber (UPBS)

Balitsereal. Balai Penelitian Tanaman

Serealia, Badan Litbang Pertanian.

Saenong, S., Margaretha. SL., J. Tandiabang.,

Syafruddin., Y. Sinuseng dan Rahmawati.

2003. Sistem perbenihan untuk

mendukung penyebarluasan varietas padi

nasional. Laporan Hasil Penelitian

Kelompok Peneliti Fisiologi Hasil.

Balitsereal, Maros. 2003.

Saenong,S., R. Arief, Y. Sinuseng, Rahmawati,

W. Wakman, F. Koes, Margaretha S. Lalu,

dan Suwardi. 2004. Sistem perbeníhan

untuk mendukung penyebarluasan varietas

padi unggul nasional. Balai Penelitian

Tanaman Serealia. Badan Litbang

Pertanian.

Page 14: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

9 Inovasi Teknologi Budidaya Cabai Merah Mendukung Peningkatan Produksi di Sulbar (Rahmi H.

dan Mathen P. Sirappa)

INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA CABAI MERAH MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI DI SULBAR

Rahmi H. dan Mathen P. Sirappa

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat

Jl. H. Abdul Malik Pattana Endeng, Mamuju – Sulawesi Barat 91511

Telp (0426) 232 1830, Fax (0426) 232 1830

Email : [email protected]

ABSTRACT

Technology Innovation in Red Chilli Cultivation To Support Increased Production in West Sulawesi. Red chili (Capsicum annum L.) is one of the horticultural commodities that has high economic value and a high

adaptability to various regional conditions. Componens of technology that play an important role in increasing red

chili productivity are the use of his yielding varieties and black silver plastic mulch. The purpose of this paper was

to find out the appropriate innovation in chili cultivation technology in West Sulawesi. The use of high varieties

had a higher production because it has superior properties from local varieties. This advantage can be seen from the

nature of its traits which can produce high-producing fruit, response to fertilization and resistance to pests. Similarly,

the use of black silver plastic mulch had a better impact in terms of production and resistance to pest and disease.

Keywords: red chili, superior varieties, mulch

ABSTRACT

Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai

ekonomis tinggi dan dan memiliki daya adaptasi tinggi untuk diusahakan di berbagai kondisi wilayah. Salah satu

komponen teknologi yang berperan dalam meningkatkan produksi cabai merah adalah penggunaan varietas unggul

dan penggunaan mulsa plastik hitam perak. Tujuan tulisan ini adalah mengetahui inovasi teknologi budidaya cabai

yang sesuai di Sulawesi Barat. Penggunaan varietas unggul memiliki produksi yang lebih tinggi karena mempunyai

sifat unggul dari varietas lokal. Keungulan tersebut dapat dilihat dari sifat pembawaannya yang dapat menghasilkan

buah yang berproduksi tinggi, respon terhadap pemupukan dan resisten terhadap hama penyakit. Sama halnya

dengan penggunaan mulsa plastik hitam perak memberikan dampak yang lebih baik dari segi produksi dan

ketahanan terhadap hama penyakit.

Kata kunci: cabai merah, varietas unggul, mulsa

Page 15: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

10 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:9-17

PENDAHULUAN

Tanaman cabai merah (Capsicum annum

L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura

yang banyak digemari oleh masyarakat. Cabai

merah semakin menarik untuk diusahakan karena

pemanfaatannya sebagai bumbu masak atau

sebagai bahan baku berbagai industri makanan,

minuman dan obat-obatan (Sumarni et al., 2005

dalam Hadiyanti et al., 2016). Cabai memiliki

banyak kandungan gizi dan vitamin yang

diperlukan oleh tubuh manusia, terutama kalori,

protein, lemak, karbohidrat, kalsium, serta

vitamin A, B1, dan C (Harpenas dan Dermawan,

2009).

Cabai merah memiliki tingkat daya

adaptasi yang tinggi untuk diusahakan pada

berbagai kondisi wilayah (Kusmana et al., 2009).

Menurut Sutardi dan Wirasti (2017), tanaman

cabai dapat ditanam pada dataran rendah sampai

dataran tinggi karena tanaman cabai mempunyai

toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan.

Tanaman cabai umumnya tumbuh optimum di

dataran rendah hingga menengah pada ketinggian

0-800 m dpl dengan suhu berkisar 20-25 C°

(Harpenas dan Dermawan, 2009). Tanaman cabai

juga dapat tumbuh dan berproduksi di musim

hujan maupun kemarau.

Luas pertanaman cabai mencapai 254.000

ha yang menjadi luasan komoditas sayuran

terbesar di Indonesia (BPS, 2016). Produktivitas

cabai di Indonesia terus meningkat sejak tahun

2011, namun tingkat produktivitasnya baru

mencapai 8,47 ton/ha (Kementerian Pertanian,

2018). Menurut Qosim et al. (2013), hal ini masih

jauh dibandingkan potensinya yang dapat

mencapai 12 ton/ha.

Provinsi Sulawesi Barat merupakan salah

satu provinsi yang memiliki potensi untuk

pengembangan komoditas cabai. Wilayah

pertanaman cabai merah di Sulawesi Barat

menyebar ke beberapa kabupaten antara lain

Majene, Polewali Mandar, Mamasa, Mamuju,

Mamuju Utara, dan Mamuju Tengah. Luas panen

cabai merah di Sulawesi Barat pada tahun 2017

mencapai 494 ha dengan produksi yang dihasilkan

1.855 ton (Kementerian Pertanian, 2018).

Produksi cabai merah mengalami fluktuasi sejak

tahun 2010 hingga tahun 2017 dari 428,5 ton

(2010) hingga 2,499 ton (2011). Terjadinya

fluktuasi produksi cabe merah disebabkan oleh

luas pertanaman yang berbeda setiap tahun,

teknologi budidaya yang belum sepenuhnya

diterapkan oleh petani, pengendalian organisme

pengganggu tanaman (OPT) serta penanganan

pasca panen.

Upaya peningkatan produksi cabai tidak

selalu berjalan dengan lancar, banyak mengalami

hambatan dan kendala. Menurut Arief dan

Mahdalena, (2014), kendala utama penyebab

rendahnya produksi cabai pada umumnya adalah

keterbatasan teknologi budidaya yang dimiliki

petani karena kurangnya informasi teknologi.

Kendala lain adalah penggunaan varietas dengan

daya hasil rendah dan adanya serangan organisme

pengganggu tanaman (OPT) yaitu hama,

penyakit, dan gulma (Wiratama et al., 2013).

Salah satu usaha untuk meningkatkan

hasil cabai merah adalah dengan menggunakan

benih bermutu dari suatu varietas (Marliah et al.,

2011). Menurut Syukur et al. (2010), benih

bermutu dari varietas unggul merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan

produksi, sehingga perakitan varietas unggul

diperlukan untuk meningkatkan produktivitas

cabai. Penggunaan varietas unggul diharapkan

dapat meningkatkan produksi cabai merah,

sehingga dapat menjaga keseimbangan antara

ketersediaan dan permintaan. Dalam penggunaan

varietas unggul yang perlu diperhatikan adalah

tingkat adaptasi setiap varietas terhadap

agroekosistem tempat varietas ditanam (Fahmi

dan Sujitno, 2014). Menurut Wahyuni et al.

(2008), kualitas dan kuantitas produk yang

dihasilkan sangat dipengaruhi oleh penggunaan

benih yang berkualitas, yaitu benih yang jelas asal

usulnya dan diproduksi oleh penangkar benih

yang telah terdaftar di instansi terkait.

Tujuan penulisan makalah ini adalah

menguraikan inovasi teknologi budidaya untuk

meningkatkan produksi cabai di Sulawesi Barat.

Page 16: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

11 Inovasi Teknologi Budidaya Cabai Merah Mendukung Peningkatan Produksi di Sulbar (Rahmi H.

dan Mathen P. Sirappa)

HASIL-HASIL PENELITIAN INOVASI

TEKNOLOGI CABAI

Badan Litbang Pertanian telah

menghasilkan berbagai inovasi teknologi

budidaya tanaman cabai dalam upaya peningkatan

produktivitas melalui pengelolaan tanaman

terpadu (PTT). Teknologi yang digunakan antara

lain: penggunaan bibit unggul, pengolahan tanah,

pemupukan berimbang, penggunaan mulsa plastik

hitam perak, pengendalian hama penyakit, panen

dan pasca panen.

Berdasarkan hasil kajian budidaya cabai

yang dilakukan di Sulawesi Barat, dari semua

teknologi yang diujikan di PTT tanaman cabai

ternyata hanya dua faktor utama yang

berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi

tanaman cabai yaitu penggunaan varietas unggul

dan penggunaan mulsa plastik hitam perak. Oleh

karena itu pada tulisan ini hanya menekankan

pada penggunaan varietas unggul dan penggunaan

mulsa plastik hitam perak. Secara umum

dijelaskan beberapa hasil penelitian/pengkajian

berbagai inovasi teknologi budidaya tanaman

cabai. Hasil penelitian Intara et al. (2011), pada

lahan yang memiliki tekstur tanah berliat sedang

menunjukkan data tinggi tanaman tertinggi pada

perlakuan pengolahan tanah minimal tehadap

semua parameter pengairan tanaman. Tinggi

tanaman terendah tampak pada perlakuan

pengolahan tanah konvensional terutama pada

aplikasi pengairan disiram langsung pada

tanaman menggunakan ebor dengan nilai rata-rata

Tabel 1. Deskripsi Beberapa varietas unggul baru cabai

No Uraian Tanjung - 2 Lembang - 1 Ciko Inata

Agrihorti Lingga

1. Tinggi Tanaman

(cm)

± 55 cm ± 65 cm ± 65 – 76,4 ± 58,28-

59,98

87 - 97

2. Warna Buah

Muda

Hijau Hijau Hijau Hijau muda Hijau

3 Warna Buah Tua Merah Merah Merah Merah Merah

4. Ukuran Buah

(PxD) cm

± 11 x 1,3 ± 15 x 0,8 ± 11,6-13,8 x

1,5-1,8

± 13,8-16 x

1,79-1,84

11,2-12,9 x

1,2-1,4

5. Tebal Kulit Buah

(mm)

± 1,1 ± 0,7 ± 1-2 ± 2,38 –

2,45

1 - 2

6. Berat Buah Per

Buah (g)

10 3,5 13 – 15,1 15,15 –

19,8

9,5 - 11

7. Berat 1.000 biji

(g)

4,2 3 5,7 – 6,1 5,41 5,8 – 6,3

8. Berat Buah Per

Tanaman (kg)

0,512-1,08 0,625 –

0,711

0,591 – 0,878

9. Potensi Hasil

(ton/ha)

12 5,6 - 19 13,4 – 20,5 14,17 –

19,72

13,4 – 20,5

10. Kandungan

capsaicin (mg/g)

2,4 1,2 0,203 1,6

11. Umur Panen

(HST)

58 63 81 - 84 97 – 120 88 - 95

12. Wilayah adaptasi Dataran

rendah

hingga

dataran tinggi

Dataran

rendah

hingga

dataran tinggi

Beradaptasi

dengan baik

didataran

medium

dengan

ketinggian

510-550 m dpl

pada musim

hujan dan

kemarau basah

Sesuai

dataran

tinggi di

musim

kemarau

Beradaptasi

dengan baik

didataran

medium

dengan

ketinggian

510-550 m dpl

pada musim

hujan dan

kemarau basah

Sumber: Balitsa, 2018

Page 17: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

12 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:9-17

tinggi tanaman sampel 28,06 cm. Hasil penelitian

Setiawan et al. (2012) di ketinggian 505 m dpl,

cabai merah besar varietas Gantari mempunyai

pertumbuhan terbaik dan hasil buah tertinggi (8,5

ton/ha). Hasil penelitian Barus (2016) di Kebun

Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Amir

Hamzah, menunjukkan penggunaan mulsa plastik

hitam perak memberikan hasil sangat nyata lebih

tinggi 6,65 ton/ha di bandingkan mulsa hitam

plastik hitam 5,16 toh/ha. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Purnomo J. (2013), menunjukkan

pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman -

status hara tanah (150 N + 150 P2O5 + 15.000 kg

pukan/ha) memberikan hasil tetinggi. Akumulasi

hara N, P, dan K yang diamati pada perlakuan

tersebut masing-masing sebesar 16,4; 7,8; dan

14,1 kg/ha pada tingkat hasil cabai segar sebesar

8,9 ton/ha. Hasil penelitian Rochayat dan Munika

(2015) dilaksanakan di Laboratorium

Hortikultura, Fakultas Pertanian, Universitas

Padjajaran, menunjukkan bahwa kombinasi jenis

bahan pengemas dan tingkat kematangan buah

cabai merah berpengaruh terhadap kualitas dan

ketahanan simpan yang dapat dilihat dari

persentase susut bobot, perubahan fisiologis,

mekanis, warna dan biologis. Jenis bahan

pengemas yang baik adalah kombinasi perlakuan

cabai merah dengan tingkat kematangan 50– 60%

menggunakan bahan pengemas clear

polyethylene, sedangkan kombinasi perlakuan

yang kurang baik adalah kombinasi perlakuan

cabai merah dengan tingkat kematangan 60– 70%

menggunakan bahan pengemas kotak dus karton.

Teknologi Varietas Unggul

Hasil kajian budidaya cabai di Sulawesi

Barat memperlihatkan bahwa penggunaan

varietas unggul sangat menentukan pertumbuhan

dan produksi cabai. Dalam 10 tahun Badan

Litbang Pertanian telah menghasilkan varietas

unggul cabai merah, seperti ditampilkan pada

Tabel 1.

Varietas cabai yang dihasilkan Badan

Litbang Pertanian memiliki keungulan masing-

masing. Varietas Tanjung 2 dapat di budidayakan

dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan

umur panen 58 HST namun potensi hasil lebih

rendah 12 ton/ha. Varietas Lembang 1 dapat di

budidayakan dari dataran rendah sampai dataran

tinggi dan memiliki ukuran buah yang panjang 15

cm. Varietas Ciko memiliki potensi hasil hingga

20,5 ton/ha. Varietas lingga memiliki potensi

hasil 20,5 ton/ha dan memiliki tinggi tanaman 87-

97 cm. Varietas Inata agrihorti memiliki ukuran

buah, berat buah per buah dan berat buah per

pohon lebih tinggi namun memiliki umur panen

lebih lama 97-120 HST.

Varietas merupakan suatu jenis atau

spesies tanaman yang memiliki karakteristik

genotipe tertentu seperti bentuk, pertumbuhan

tanaman, daun, bunga, dan biji yang dapat

membedakan dengan jenis atau spesies tanaman

lain dan apabila diperbanyak tidak mengalami

perubahan (Rostini, 2011). Varietas cabai unggul

memiliki banyak keungulan dibandingkan dengan

varietas lain, seperti produksi tinggi, tahan hama

dan penyakit, umur genjah, dan tahan lama setelah

dipanen (Sepwanti et al., 2016). Keungulan

tersebut dapat dilihat dari sifat pembawaannya

yang dapat menghasilkan buah yang berproduksi

tinggi, respon terhadap pemupukan dan resisten

terhadap hama penyakit. Potensi cabai varietas

unggul dapat mencapai 25-30 ton/ha. Sedangkan

varietas lokal merupakan varietas yang

dibudidayakan secara turun temurun oleh petani.

Tingginya produksi suatu varietas disebabkan

oleh varietas tersebut mampu beradaptasi dengan

lingkungan (Simatupang, 1997) dalam (Sepwanti

et al.2016). Menurut Adisarwanto, (2006) potensi

varietas unggul pada saat di lapangan masih

dipengaruhi oleh interaksi antara varietas dengan

kondisi lingkungan pada saat penelitian. Bila

pengelolaan lingkungan tumbuh tidak dilakukan

dengan baik, potensi produksi yang tinggi dari

varietas unggul tersebut tidak dapat tercapai.

Hasil penelitian Hadiyanti et al. (2016)

produksi tanaman cabai varietas Kencana

(Varietas unggul) 1,8 ton lebih tinggi

dibandingkan varietas lokal 0,625 ton. Namun

pertumbuhan vegetatif menunjukkan tinggi

tanaman varietas lokal lebih tinggi dibandingkan

varietas unggul yaitu rata-rata tinggi tanaman

cabai varietas lokal 51,6 cm pada umur 50 HST,

sedangkan rata-rata tinggi tanaman cabai merah

varietas kencana 42,9 cm. Sepwanti et al. (2016)

varietas berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi

tanaman umur 15, 30, dan 45 HST. Panjang buah,

berat per buah, jumlah buah pertanaman,

berpengaruh nyata terhadap diameter batang pada

umur 15 dan 30 HST. Pertumbuhan dan hasil

Page 18: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

13 Inovasi Teknologi Budidaya Cabai Merah Mendukung Peningkatan Produksi di Sulbar (Rahmi H.

dan Mathen P. Sirappa)

tanaman cabai terbaik terdapat pada perlakuan

varietas hibrida.

Hasil penelitian Marliah et al. (2011),

menunjukkan hasil cabai merah terbaik diperoleh

pada varietas TM 999 yang tidak berbeda nyata

dengan varietas ST 168, namun berbeda nyata

dengan varietas lokal. Hal ini dapat dilihat pada

jumlah buah per tanaman 90 HST, varietas TM

999 memiliki jumlah buah pertanaman 22,37

buah, varietas ST 168 20,82 buah, dan varieas

lokal 15,04 buah. Berat buah pertanaman varietas

TM 999 34,5 g, varietas 168 32,45 g, dan varietas

lokal 22,3 g. Hal ini bertentangan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Nurahmi et al.

(2011), menunjukkan varietas berpengaruh sangat

nyata terhadap semua peubah yang diamati.

Varietas lokal memiliki tinggi tanaman 21,48 cm

lebih tinggi dari varietas TM 999 16,85 cm dan

varietas ST-168 13,44 cm. Berat buah pertanaman

varietas lokal 90,14 g lebih tinggi dari varietas TM

99 87,21 g dan varietas ST-168 83,33 g.

Teknologi Penggunaan Mulsa

Menurut Kadarso (2008), penggunaan

mulsa plastik hitam perak lebih baik untuk

pertumbuhan tanaman, karena warna perak pada

permukaan bagian atas dapat memantulkan

kembali radiasi matahari yang datang sehingga

dapat meningkatkan fotosintesis, sedangkan

warna hitam dari mulsa tersebut akan

menyebabkan radiasi matahari yang diteruskan ke

dalam tanah menjadi kecil bahkan menjadi nol.

Hal inilah yang menyebabkan suhu tanah tetap

rendah sehingga memberikan hasil yang baik bagi

pertumbuhan tanaman. Pemberian mulsa jerami,

serasa, dan plastik bermanfaat bagi tanaman

dalam hal mengurangi pertumbuhan gulma dan

meningkatkan jumlah buah yang lebih tinggi

karena penggunaan hara tanah yang lebih efisien

(Kashi et al., 2004) dalam (Heryani et al., 2013).

Menurut Topan (2008), pemakaian mulsa

diharapkan mampu menekan biaya penyiangan

atau pemberantasan gulma.

Menurut Hapsari (2011), tingginya

produktivitas buah cabai, pada teknologi

penerapan mulsa hitam perak disebabkan karena

mulsa hitam perak memiliki kemampuan untuk

mempertahankan tingkat produktivitas tanah.

Selain itu pemberian mulsa hitam perak dapat

mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

Mulsa dapat memperbaiki tata udara tanah dan

meningkatkan pori-pori tanah sehingga kegiatan

jasad renik dapat lebih baik dan ketersediaan air

dapat lebih terjamin bagi tanaman. Penerapan

teknologi mulsa hitam perak dapat pula

mempertahankan kelembaban dan suhu tanah

sehingga akar tanaman dapat menyerap unsur hara

lebih banyak.

Hasil penelitian Aditya et al. (2013),

menunjukkan pada fase pertumbuhan vegetatif

penerapan mulsa plastik hitam perak (MPHP),

jerami padi dan tanpa mulsa memberikan

pengaruh yang naya terhadap tinggi tanaman dan

tingkat percabangan tanaman cabai. Pada fase

vegetatif, penggunaan mulsa cenderung

menurunkan tinggi tanaman. Pada perlakuan

tanpa mulsa tinggi tanaman mencapai 73,75 cm

penggunaan mulsa plastik hitam perak

menghasilkan tinggi tanaman 72,75 cm,

sedangkan penggunaan mulsa jerami padi

tingginya 69,89 cm. Pada fase pertumbuhan

Tabel 2. produksi beberapa varietas cabai hasil litbang dan swasta di Sulawesi Barat

No Parameter

Lingga Arimbi Pilar

Pengunaan

MPHP

Tanpa Mulsa Pengunaan

MPHP

Tanpa

Mulsa

Pengunaan

MPHP

Tanpa

Mulsa

1. Berat Rata -

Rata (g)

8,35 5,15 16,6 13,15 14,3 12, 5

2. Panjang

Buah (cm)

12,71 10,89 15,8 14,03 13, 42 13,66

3. Lingkar

Buah (cm)

4,175 3,515 5,42 4,84 5,69 5,01

4. Panjang

tangkai (cm)

3,285 2,89 5,49 5,05 5,27 4,55

Sumber: Laporan akhir BPTP Sulbar

Page 19: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

14 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:9-17

generatif, variabel yang diamati yaitu jumlah

buah, bobot buah, dan bobot buah total

menunjukkan penggunaan mulsa plastik hitam

perak memiliki jumlah buah yang lebih tinggi

dibandingkan penggunaan mulsa jerami padi dan

tanpa mulsa. Bobot buah perlakuan tanpa mulsa

lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan

mulsa plastik hitam perak dan mulsa jerami padi.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Heryani (2013) bahwa perlakuan tanpa mulsa

menunjukkan nilai tertinggi yaitu 70,4 cm

dibandingkan dengan perlakuan penggunaan

MPHP yaitu 62,3 cm. Sedangkan pemberian

mulsa tidak memberikan pengaruh yang nyata

terhadap produktivitas tanaman cabai.

Produktivitas pada perlakuan MPHP

menunjukkan hasil 4,3 kg/plot sedangkan tanpa

mulsa 4,2 kg/plot. Menurut Aditya et al. (2013),

jumlah buah pada tanaman cabai tanpa aplikasi

mulsa lebih sedikit sehingga pembagian hasil

fotosintesis (fotosintat) ke buah lebih banyak.

DESKRIPSI DAN KEUNGGULAN

VARIETAS CABAI DI SULAWESI BARAT

Tanaman cabai mempunyai banyak jenis

dan varietas. Jenis-jenis cabai antara lain cabai

besar, cabai keriting, cabai rawit, cabai paprika

(sweet pepper), cabai dieng, dan cabai hias yang

banyak macam dan ragamnya. Namun yang

umum dibudidayakan untuk keperluan konsumsi

adalah cabai besar, cabai keriting, cabai rawit, dan

paprika (dalam jumlah sedikit) (Wiryanta, 2002).

Petani cabai di Sulawesi Barat menggunakan

cabai varietas unggul baru yang berasal dari

Balitsa atau varietas unggul baru lainnya yang

dihasilkan oleh instansi lainnya yang berada di

bawah naungan Badan Litbang Pertanian.

Varietas cabai hasil Badan Litbang

Pertanian yang banyak dikembangkan petani di

Sulawesi Barat yaitu varietas lingga. Cabai

varietas lingga merupakan varietas yang paling

banyak diminati dipasaran karena buah pada saat

masak sempurna berwarna merah mengkilap serta

memiliki daya simpan hingga 7 – 10 hari setelah

panen pada suhu 21 – 25 ºC.

Hasil kajian yang dihasilkan BPTP

Sulawesi Barat (2017) disajikan dalam Tabel 2.

Hasil kajian yang dilakukan di Sulawesi Barat

menunjukkan varietas Lingga dengan penggunaan

mulsa plastik hitam perak memberikan hasil

tertinggi dengan berat rata-rata 8,35 g, sedangkan

potensinya bisa mencapai 95 – 11 g. Hal ini

disebabkan kondisi wilayah (agroekosistem) di

Sulawesi Barat tidak terlalu sesuai dengan cabai

varietas ini sehingga hasil yang diperoleh lebih

rendah dibanding potensi yang dimiliki varietas

lingga. Hasil merupakan resultante dari potensi

tanaman dan dukungan lingkungan, kondisi

demikian menyebabkan hasil actual selalu di

bawah hasil potensial. Seperti halnya yang

disampaikan Harjadi, (1991) dalam Sepwanti et

al. (2016) setiap varietas tanaman selalu terdapat

perbedaan respon pada berbagai kondisi

lingkungan tempat tumbuhnya. Hal ini juga

mungkin disebabkan karena petani di Sulawesi

Barat belum sepenuhnya menerapkan teknologi

yang dianjurkan dalam melaksanakan usaha tani

cabai, sehingga tingkat produksi yang dihasilkan

masih dibawah potensi produksinya. Panjang

Tabel 3. Rekomendasi teknologi budidaya cabai

No. Komponen Teknologi Rekomendasi

1. Benih Varietas Lingga

2. Pengolahan Tanah Lahan dibajak atau dicangkul

3. Jarak Tanam 60 cm x 70 cm

4. Pemupukan :

a. Cara Pemupukan

b. Waktu Pemupukan

c. Dosis Pemupukan

Disebar dan dikocor

3 bulan sekali dan sesuai kondisi dana yang ada

Kompos 30 ton/ha, NPK 50 kg/ha

5. Pemeliharaan :

a. Penyiangan

b. Pembumbunan

Manual dengan mencabut gulma

Tidak dilakukan pembumbunan

Sumber: Laporan Akhir Sulbar, 2017

Page 20: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

15 Inovasi Teknologi Budidaya Cabai Merah Mendukung Peningkatan Produksi di Sulbar (Rahmi H.

dan Mathen P. Sirappa)

buah 12,71 cm sedangkan potensinya 11,2 – 12,9

cm.

REKOMENDASI TEKNOLOGI BUDIDAYA

CABAI DI SULAWESI BARAT

Pengembangan cabai di Sulawesi Barat

perlu dukungan teknologi spesifik lokasi untuk

meningkatkan produksi sepanjang tahun terutama

produksi cabai di luar musim sehingga kestabilan

harga dapat dijaga. Adapun teknologi yang dapat

diadopsi oleh petani cabai disajikan dalam tabel 3.

Rekomendasi teknologi budidaya cabai di

Sulawesi Barat yaitu benih yang digunakan

varietas Lingga karena varietas ini yang paling

banyak digemari di pasaran. Pengolahan tanah

dilakukan secara sempurna dengan bajak atau

cangkul untuk memutuskan rantai hama penyakit

dari pertanaman sebelumnya. Jarak tanaman yang

digunakan Cara 60 x 70 karena tingkat serangan

hama penyakit lebih rendah dan memudahkan

dalam perawatan tanaman. Pemupukannya

dilakukan dengan di sebar dan dikocor karena

lokasinya memiliki curah hujan yang rendah

sehingga penyerapan unsure hara rendah.

Penggunaan pupuk merujuk pada Pusat Penelitian

dan Pengembangan Hortikultura. Dalam

pemeliharaan tidak dilakukan pembumbunan

karena sudah menggunakan mulsa plastik hitam

perak.

KESIMPULAN

Provinsi Sulawesi Barat merupakan salah

satu provinsi yang memiliki potensi untuk

pengembangan komoditas cabai. Usaha

peningkatan produksi dan produktivitas cabai

dengan inovasi teknologi penggunaan varietas

unggul dan mulsa plastik hitam perak.

Penggunaan varietas unggul memberikan hasil

yang lebih baik dari penggunaan varietas lokal.

Begitupun dengan penerapan mulsa plastik hitam

perak memberikan dampak yang lebih baik dari

pada yang tidak menerapkan mulsa plastik hitam

perak, baik segi produksi maupun serangan hama

dan penyakit.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan

kepada Balai Besar Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian yang telah

memberikan kesempatan kepada kami untuk ikut

dalam program pembinaan penulisan karya tulis

ilmiah dan Dr. Ir. Muchamad Yusron, M.Phil

yang telah membimbing menyusun karya tulis

ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2006. Budidaya kedelai dengan

pemupukan yang efektif dan

pengoptimalan peran bintil akar. Penebar

Swadaya, Jakarta, 107 hlm.

Aditya, A., Hendarto, K., Pangaribuan, D., dan

Hidayat, K.F. 2013. Pengaruh penggunaan

mulsa plastik hitam perak dan jerami padi

terhadap pertumbuhan dan produksi

tanaman cabai merah (Capsicum annum L.)

di Dataran Tinggi.J. Agrotek Tropika,

1(2):147-152.

Arief, T. dan Mahdalena, 2014. Petunjuk teknis

teknologi budidaya cabai secara benar.

Palembang.

Barus, W.A. 2006. Pertumbuhan produksi cabai

(capsicum annum l.) dengan penggunaan

mulsa dan pupuk PK. Jurnal Penelitian

Ilmu Pertanian. 4(1):41-44.

BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2016.

Produksi, luas panen, dan produktivitas

sayuran di

Indonesia.http://www.pertanian.go.id/Indi

kator/tabel-2-prod-lspn-prodvitas-

horti.pdf.

Balitsa, 2018. Deskripsi tanaman cabai.

http://balitsa.litbang.pertanian.go.id/ind/in

dex.php/joomla-pages-iii/categories-

list/36-halaman/612-cabai-besar-varietas-

diakses 25 November 2018.

Fahmi, T., dan E. Sujitno.2014. Produksi

beberapa varietas cabai merah pada lahan

kering dataran tinggi Jawa Barat.

Hadiyanti, D., Sari, M.D., dan S. Emma. 2016.

Perbaikan Varietas dapat meningkatkan

produktivitas cabai merah dan pendapatan

petani di lahan kering (Studi Kasus di Desa

Lubuk Saung Kecamatan Banyuasin III,

Page 21: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

16 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:9-17

Kabupaten Banyuasin).Prosiding Seminar

Nasional Lahan Suboptimal. Palembang

20-21 Oktober 2016.

Hapsari D. T. 2011. Tiada henti panen cabai. Tri

Media Pustaka. Klaten.

Harpenas, A. dan R. Dermawan. 2009. Budidaya

cabai unggul. Penebar Swadaya.

Heryani, N., Kartiwa, B., Sugiarto, Y., dan

Handayani, T. 2013. Pemberian mulsa

dalam budidaya cabai rawit di lahan kering:

Dampaknya terhadap Hasil Tanaman dan

Aliran Permukaan. J. Agron. Indonesia, 41

(2):147-153.

Intara Y.I., Sapei A., Erizal, Sembiring N., dan

M.H.B. Djoefrie. 2011. Mempelajari

pengaruh pengolahan tanah dan cara

pembarian air terhadap pertumbuhan

tanaman cabai (Capsicum annum L.)

Kadarso.2008. Kajian penggunaan jenis mulsa

terhadap hasil tanaman cabai merah

varietas Red Charm. J. Agros. 10(2):134-

139.

Kementerian Pertanian, 2018. Produktivitas

tanaman hortikultura. Https://aplikasi2.

Pertanian.go.id/bdsp/id/komoditas

Kusmana, R., Kirana, I., M. Hidayat, dan Y.

Kusandriani. 2009. Uji adaptasi beberapa

galur cabai merah di dataran medium garut

dan dataran tinggi Lembang. J. Hort., 19(4)

: 371-376.

Marliah, A., Nasution, M., dan Armin. 2011.

Pertumbuhan dan hasil beberapa varietas

cabai merah pada media tumbuh yang

berbeda. J. Floratek., 6: 84-91.

Nurahmi E., T. Mahmud, dan S. Rossiana. 2011.

Efektivitas pupuk organik terhadap

pertumbuhan dan hasil cabai merah.

J.Floratek 6: 158-164.

Nurhafsah, 2017. Laporan akhir kajian potensi

pengembangan SUT tanaman cabai di luar

musim di Sulawesi Barat.

Prajnanta, F. 2004. Pemeliharaan tanaman

budidaya secara intensif dan kiat sukses

beragribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta.

163 hlm.

Purnomo J. 2013. Pemupukan berimbang pada

tanaman cabai pada tanah typic hapludands

di Cikembang, Sukabumi. Prosising

Seminar Nasional Peningkatan

Produktivitas Sayuran Dataran Tinggi. p.

218 – 228.

Qosim, W.A., Rachmadi M., Hamdani J.S., Nuri

I. 2013. Penampilan fenotipik, variabilitas,

dan heritabilitas 32 genotipe cabai merah

berdaya hasil tinggi. J. Agron. Indonesia,

41 (2): 140-146.

Rochayat, Y. dan V.R. Munika. 2015. Respon

kualitas dan ketahanan simpan cabai merah

(Capsicum annum L.) dengan penggunaan

jenis bahan pengemas dan tingkat

kematangan buah. Jurnal Kultivasi, 14(1):

65-71.

Rostini, N. 2011.Enam jurus bertanam cabai

bebas hama dan penyakit. Agromedia

Pustaka, Jakarta, 87 hlm.

Sepwanti, W., Rahmawati, M., dan Kesumawati,

E. 2016.Pengaruh varietas dan dosis

kompos yang diperkaya trichoderma

harzianum terhadap pertumbuhan dan hasil

tanaman cabai merah (Capsicum annum

L.). Jurnal Kawista, 1(1):68-74.

Setiawan A.B., Purwanti S. dan Toekidjo. 2012.

Pertumbuhan dan hasil benih lima varietas

cabai merah (Capsicum annum L.) di

dataran menengah. Jurnal UGM 1(3).

Sutardi dan Wirasti C.A. 2017.Sistem usahatani

cabai merah pada lahan pasir di

Yogyakarta. J. Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian,

20(2):125-139.

Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti, dan D.A.

kusumah.2010. Evaluasi daya hasil cabai

hibrida dan adaptasinya di empat lokasi

dalam dua tahun. J.Agron. Indonesia

38(1):43-51.

Topan, M. 2008. Budidaya dan bisnis cabai.

Penerbit: Agro Media, Jakarta.

Wiratama, D.M.P., Sudiarta, P., Sukewijaya, M.,

Sumiartha, K., dan M.S. Utama.2013.

Kajian ketahanan beberapa galur dan

varietas cabai terhadap serangan

antraknosa di Desa Abang Songan

Kecamatan Kintamani Kabupaten

Bangli.E-Jurnal Agroekoteknologi

Tropika, 2(2).

Page 22: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

17 Inovasi Teknologi Budidaya Cabai Merah Mendukung Peningkatan Produksi di Sulbar (Rahmi H.

dan Mathen P. Sirappa)

Wahyuni, S., A. Ruskandar, dan I. W.

Mulsanti.2008. Peran produsen benih

dalam diseminasi varietas unggul di Jawa

Barat. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil

Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku

2:889-889.

Wiryanta, B.T.W. 2002. Bertanam cabai pada

musim hujan. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Page 23: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor
Page 24: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

19 Eksplorasi dan Penapisan Mikrob Indigenos Rhizosfer Cabai (Capsicum annuum L.) sebagai

Agens Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Spp.) (Tatit Sastrini dan Abd

Aziz Syarif)

EKSPLORASI DAN PENAPISAN MIKROB INDIGENOS RHIZOSFER CABAI (Capsicum annuum L.) SEBAGAI AGENS PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT

ANTRAKNOSA (Colletotrichum spp.)

Tatit Sastrini dan Abd Aziz Syarif

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat,

Jl. Raya Padang-Solok Km 40 Sukarami

Email: [email protected]

ABSTRACT

Exploration and Screening of Microbes Indigenous Rhizofer Chili (capsium annum L.) as an

Anthracnose (Colletotrium spp.) Biological Control Agent. Chili pepper (Capsicum annuum L.) is one of the

important commodities in Indonesia. Productivity of chili pepper in the central areas of chili production is lower

than the potential yield. One of the factors that affect the low productivity of the chili pepper is the attack of pest

and plant disease. This study aims to review the potential of rhizosphere microbes of chilli pepper plants as

biological control agents of Colletotrichum spp., the causal fungi of anthracnose, and to review the optimum method

for its exploration and screening. Biological control is an effort to utilize antagonistic microbes for controlling plant

pathogens that are environmentally-friendly and can support sustainable agriculture. The principle of biological

control is focused on maintaining environmental balance. Rhizosphere is a potential source to exploration of

biological control agents. Non-pathogenic organisms in the rhizosphere and soil have important roles in supporting

plant vigority, increasing plant growth, and controlling plant diseases. Exploration and screening of indigenous

rhizosphere microbes (fungi and bacteria) from chilli pepper plants which are antagonistic against Colletotrichum

spp. can be obtained through several processes. Microbial isolation was carried out using conventional techniques

by isolating of potential microbes as biological control agents from rhizosphere samples on certain culture media.

Isolation of pathogenic fungi (Colletotrichum spp.) from symptomatic plants was verified through pathogenicity

testing and virulence level analysis to avoid results that were biased in the stages of biological control agents

screening. Screening of potentially microbial antagonists to Colletotrichum spp. conducted using dual-culture

methods to obtain biological control agents with antibiosis and competition mechanisms. In addition, screening was

conducted to obtain biological control agent candidates with a parasitism mechanism through the slide culture

method. Biological control is very promising to be applied for sustainable agriculture.

Keywords: antibiosis, chili pepper, colletotrichum spp., competition, parasitism

ABSTRACT

Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah-satu komoditas penting di Indonesia. Produktivitas

cabai pada daerah sentra produksi cabai masih lebih rendah dibandingkan potensi hasilnya. Salah satu faktor yang

mempengaruhi rendahnya produktivitas cabai yaitu serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Kajian ini

bertujuan mengulas potensi mikrob indigenos rhizosfer tanaman cabai yang berpotensi sebagai agens pengendali

hayati Colletotrichum spp. penyebab penyakit antraknosa serta metode yang tepat dalam eksplorasi dan

penapisannya. Pengendalian hayati merupakan suatu usaha pemanfaatan mikrob antagonis untuk pengendalian

patogen tanaman yang bersifat ramah lingkungan dan dapat mendukung pertanian yang berkelanjutan. Prinsip

pengendalian hayati lebih mengarah kepada menjaga keseimbangan lingkungan. Rhizosfer merupakan sumber yang

potensial dalam eksplorasi agens hayati. Organisme non-patogenik yang berada di daerah rhizosfer dan tanah

memiliki peran penting dalam mendukung vigoritas tanaman, meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan

mengendalikan penyakit tanaman. Eksplorasi dan penapisan mikrob (kelompok cendawan dan bakteri) indigenos

rhizosfer tanaman cabai yang bersifat antagonis terhadap Colletotrichum spp. dapat diperoleh melalui beberapa

tahapan. Isolasi mikrob dilakukan dengan menggunakan teknik konvensional dengan cara mengisolasi mikrob

calon agens hayati dari suatu sampel rhizosfer pada media biakan tertentu. Isolasi cendawan patogen

Colletotrichum spp. dari tanaman bergejala diverifikasi melalui uji patogenisitas dan analisis tingkat virulensi agar tidak menimbulkan hasil yang bias dalam tahapan penapisan agens hayati. Penapisan mikrob yang

Page 25: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

20 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:19-28

berpotensial sebagai antagonis terhadap Colletotrichum spp. menggunakan metode biakan ganda untuk memperoleh

agens hayati dengan mekanisme pengendalian antibiosis dan kompetisi. Selain itu, penapisan dilakukan untuk

memperoleh kandidat agens hayati dengan mekanisme pengendalian parasitisme melalui metode kultur slide.

Pengendalian hayati sangat prospektif untuk digunakan dalam pertanian berkelanjutan.

Kata kunci: antibiosis, cabai, colletotrichum spp., kompetisi, parasitisme

PENDAHULUAN

Cabai merah (C. annuum L.) merupakan

salah-satu komoditas penting di Indonesia,

termasuk di Sumatera Barat. Produktivitas cabai

pada daerah sentra produksi cabai Sumatera Barat

antara 5,23-12,7 t ha-1, jauh lebih rendah

dibandingkan potensi hasil yang mencapai ton/ha

(Indrawanto, 2016). Faktor-faktor yang

mempengaruhi produktivitas cabai, yaitu syarat

tumbuh, pemilihan benih, cara bercocok tanam

atau teknik budidaya, pengendalian OPT, dan

penanganan pasca panen (Sumarni & Muharam,

2005).

Terdapat beberapa patogen yang umum

menyerang pertanaman cabai, diantaranya yaitu

Ralstonia solanacearum, Meloidogyne spp., Virus

Potato Virus Y. Virus Cucumber Mosaic Virus,

Xanthomonas campestris pv. vesicolaria,

Colletotrichum spp., Cercospora capsici,

Phytopthora capsici, Fusarium oxysporum, dan

sebagainya (Duriat et al., 2007).

Colletotrichum spp. merupakan patogen

penting penyebab penyakit antraknosa pada cabai.

Penyakit tersebut dapat mengakibatkan

menurunnya hasil antara 20% dan 90%

(Balitbangtan 2016). Pengendalian penyakit

tersebut pada saat ini masih mengandalkan

pestisida kimia sintetik. Bahan aktif yang umum

digunakan untuk pengendalian penyakit

antraknosa yaitu mancozeb (Andriani et al.,

2017). Pestisida dengan bahan aktif mancozeb

yang umum digunakan oleh petani mencakup

Antila®, Dithane®, Manzate®, Nemispor®, dan

Tridex®.

Aktar et al. (2009) menjelaskan bahwa

aplikasi pestisida kimia sintetik secara intensif

dalam budidaya tanaman dapat melindungi

tanaman dari kerusakan akibat penyakit, tetapi

dapat pula menimbulkan dampak buruk bagi

manusia dan lingkungan, baik secara langsung

maupun tidak langsung seperti terganggunya

keseimbangan lingkungan termasuk keberadaan

organisme non-target. Hasil penelitian Nurbailis

et al. (2014) pada beberapa daerah di Sumatera

Barat mengenai keanekaragaman cendawan

rizosfer cabai, menunjukkan bahwa kepadatan

propagul dan jumlah isolat cendawan rizosfer

cabai pertanaman organik lebih tinggi dari

rizosfer cabai pertanaman konvensional yang

menggunakan pestisida secara intensif dalam

sistem budidayanya. Perlakuan pestisida yang

intensif dapat menurunkan populasi mikrob tanah

sehingga menyebabkan kerusakan terhadap

struktur dan kesuburan tanah. Di lain pihak,

mikrob tanah termasuk mikrob rhizosfer yang

memiliki manfaat penting untuk kesuburan

tanaman, memacu pertumbuhan tanaman, dan

dapat mengendalikan patogen tanaman, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Hal

tersebut menunjukkan bahwa harus ada

keterpaduan antara komponen dalam sistem usaha

tani yang digunakan termasuk teknik

pengendalian patogen.

Munif et al. (2012) menjelaskan bahwa

pemanfaatan mikrob antagonis untuk

pengendalian patogen tanaman yang disebut

sebagai pengendalian hayati merupakan suatu

usaha untuk pengendalian patogen penyebab

penyakit dan perlindungan tanaman yang ramah

lingkungan. Prinsip pengendalian hayati lebih

mengarah kepada menjaga keseimbangan

lingkungan dan dapat mendukung pertanian yang

berkelanjutan sehingga perlu banyak dikaji.

Ketersediaan informasi mengenai metode

eksplorasi dan penapisan mikrob (kelompok

cendawan dan bakteri) indigenos rhizosfer

tanaman cabai yang bersifat antagonis terhadap

Colletotrichum spp. penting untuk menggali

informasi mengenai potensi agens hayati yang

lebih besar, efektif, dan spesifik lokasi dalam

pengendalian penyakit antraknosa. Kajian ini

bertujuan mengulas potensi mikrob indigenos

Page 26: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

21 Eksplorasi dan Penapisan Mikrob Indigenos Rhizosfer Cabai (Capsicum annuum L.) sebagai

Agens Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Spp.) (Tatit Sastrini dan Abd

Aziz Syarif)

rhizosfer tanaman cabai yang berpotensi sebagai

agens pengendali hayati Colletotrichum spp.

penyebab penyakit antraknosa serta metode yang

tepat dalam eksplorasi dan penapisannya.

TANAMAN CABAI (C. annuum L.)

Cabai merah (C. annuum L.) merupakan

jenis tanaman perdu semusim. Budidaya tanaman

cabai merah di Indonesia pada umumnya

dilakukan pada lahan kering atau tegalan. Potensi

hasil cabai merah berkisar antar 12-20 t ha-1 bila

syarat tumbuh terpenuhi. Faktor-faktor yang

mempengaruhi produktivitas cabai yaitu kondisi

iklim dan tanah, pemilihan benih, cara bercocok

tanam, pengendalian OPT, dan penanganan pasca

panen (Sumarni & Muharam 2005).

Tanaman cabai merah memiliki daya

adaptasi yang cukup luas terhadap kondisi

lingkungan tumbuh. Tanaman ini dapat

dibudidayakan di dataran rendah maupun dataran

tinggi hingga ketinggian 1400 m di atas

permukaan laut, tetapi pertumbuhannya di dataran

tinggi lebih lambat (Sumarni & Muharam 2005).

Kusmana et al. (2016), mendapatkan genotipe

cabai C. annuum L. Yaitu YK-2 yang dapat

beradaptasi dengan baik pada dataran tinggi di

Lembang Jawa Barat yang memiliki ketinggian

tempat 1.250 m di atas permukaan laut. Hal ini

ditandai dengan diperolehnya potensi hasil yang

tinggi, yaitu 22,64 t ha-1. Pada tahun 2018,

Balitbangtan melepas Varietas unggul baru

(VUB) cabai besar yaitu Cabai Carvi Agrihorti.

Cabai ini memiliki rasa yang lebih pedas dari

cabai besar pada umumnya, potensi hasil

mencapai 21-23 ton.ha-1, dan tahan terhadap virus

belang cabai (ChiVMV). Varietas tersebut sesuai

ditanam di sentra-sentra produksi cabai dengan

ketinggian 500-1400 mdpl (BB Biogen 2018).

ORGANISME PENYEBAB PENYAKIT

TANAMAN

Penyakit tanaman adalah suatu gangguan

fisiologis baik yang terlihat maupun tidak terlihat

pada sel dan jaringan tanaman. Penyakit

disebabkan oleh organisme yang bersifat

patogenik yang didukung oleh faktor lingkungan

sehingga mengakibatkan kerusakan bentuk,

fungsi, dan integritas yang dapat menyebabkan

kerusakan secara parsial atau keseluruhan

tanaman. Organisme penyebab penyakit tanaman

atau patogen terdiri atas kelompok virus, viroid,

cendawan, bakteri, molekut, protozoa, dan

nematoda (Agrios, 2005; Jibril et al., 2016).

Patogen menyebabkan penyakit dengan cara

mengganggu proses metabolisme sel tanaman

menggunakan enzim, toksin, zat pengatur

pertumbuhan, menyumbat jaringan pembuluh

xilem atau floem, dan lain sebagainya (Agrios,

2005). Cendawan merupakan kelompok mikrob

yang berperan sebagai patogen penting pada

tanaman karena menyebabkan kehilangan hasil

pertanian yang cukup tinggi. Salah satu cendawan

patogenik yang banyak menyebabkan kehilangan

hasil yaitu Colletotrichum spp. (Voorrips et al.,

2004; Phoulivong et al., 2012; Udayanga et al.,

2013; Andriani et al., 2017; De Silva et al., 2017).

PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA

TANAMAN CABAI

Patogen Penyebab Penyakit Antraknosa

Colletotrichum spp. merupakan spesies

cendawan yang menjadi patogen utama pada

tanaman cabai di seluruh dunia termasuk

Indonesia baik di dataran rendah maupun dataran

tinggi. Penyakit yang disebabkan oleh patogen

Colletotrichum spp. disebut antraknosa. Penyakit

antraknosa dilaporkan dapat menyerang daun dan

buah tanaman cabai (Herwidyarti et al., 2013;

Udayanga et al., 2013). Serangan pada buah dapat

terjadi pada stadia muda yang masih berwarna

hijau dan buah merah yang telah matang dengan

gejala awal berupa bercak kecil yang kemudian

berkembang menjadi lesio yang lebih luas dan

membentuk lekukan.

Page 27: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

22 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:19-28

Pola gejala terlihat konsentris yang terbentuk dari

propagul cendawan (Duriat et al., 2007; De Silva

et al., 2017). Colletotrichum spp. memiliki

banyak spesies dan yang banyak menyerang

pertanaman cabai di Indonesia yaitu C.

gloeosporioides, C. capsici (Voorrips et al., 2004

& De Silva et al., 2017) , C. acutatum (Andriani

et al., 2017).

Mekanisme Infeksi Colletotrichum spp.

Infeksi Colletotrichum spp. diawali

dengan tahapan penetrasi yang dimulai dengan

proses perkecambahan konidia dan pembentukan

suatu struktur infeksi khusus yang disebut

appressoria atau kapak penetrasi. Struktur tersebut

masuk melalui kutikula dan epidermis dinding sel

(Perfect et al., 1999; Wharton & Schilder 2008).

Selain itu, Colletotrichum spp. juga dapat masuk

melalui luka (De Silva et al., 2017).

Proses infeksi oleh Colletotrichum spp.

dapat terjadi secara hemibiotropi intraseluler.

Proses tersebut diawali dengan mekanisme

biotrofik yang tidak menimbulkan gejala, kapak

penetrasi menginvasi sel epidermis dan hifa

primer menghasilkan vesikula yang membesar

dalam sel epidermis dan mesofil. Selanjutnya

terjadi fase nekrotik yaitu hifa sekunder tumbuh

secara intra dan interseluler serta mensekresi

enzim pendegradasi dinding sel yang kemudian

mematikan sel inang (O’Connell et al., 2012; De

Silva et al., 2017).

AGENS PENGENDALI HAYATI

Salah satu teknik pengendalian patogen

tumbuhan yang sedang banyak dikaji dan

dikembangkan pada saat ini adalah teknik

pengendalian hayati dengan memanfaatkan

mikrob antagonis (agens hayati) untuk menekan

penyakit. Mekanisme dalam pengendalian hayati

meliputi hiperparasitisme, predasi, antibiosis,

perlindungan silang, kompetisi ruang dan nutrisi,

serta induksi resistensi (Pal & Gardener 2006;

Heidari A & Passarakli M 2010; Amaresan et al.,

2012) (Tabel 1).

Tabel 1. Mekanisme pengendalian oleh agens pengendali hayati

Tipe Mekanisme

Aktivitas

antagonisme

langsung

Hiperparasitisme atau

Predasi

Patogen diserang langsung oleh agen pengendali hayati yang

membunuh patogen atau propagul patogen.

Contoh:

Bakteri Pasteuria penetrans yang memiliki sifat antagonis

terhadap nematoda root-knot.

Trichoderma virens yang memiliki sifat antagonisme terhadap

Rhizoctonia solani

Antibiosis Antibiosis merupakan salah-satu mekanisme penghambatan

organisme oleh senyawa bioaktif berupa antibiotik, enzim

pendegradasi dinding sel, atau senyawa volatil yang diproduksi

oleh organisme lain.

Contohnya seperti antibiotik 2, 4-diacetylphloroglucinol

(DAPG) dan enzim kitinase.

Aktivitas

antagonisme tidak

langsung

Kompetisi ruang dan

nutrisi

Agar berhasil melakukan kompetisi dengan patogen, mikrob

agens hayati harus secara efektif bersaing untuk mendapatkan

nutrisi yang tersedia dari eksudat yg dihasilkan tanaman dan

nutrisi lain dari jaringan tua yang telah terdekomposisi.

Induksi resistensi Respon tanaman terhadap berbagai rangsangan bahan kimia

yang dihasilkan oleh mikrob tanah dan tanaman yang terkait.

Rangsangan tersebut dapat menginduksi pertahanan tanaman

inang melalui perubahan biokimia yang meningkatkan

ketahanan terhadap infeksi berikutnya oleh berbagai patogen.

Sumber: Heidari & Passarakli (2010); Amaresan et al. (2012); Chaisemsaeng et al. (2013); Pal & Gardener

(2017)

Page 28: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

23 Eksplorasi dan Penapisan Mikrob Indigenos Rhizosfer Cabai (Capsicum annuum L.) sebagai

Agens Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Spp.) (Tatit Sastrini dan Abd

Aziz Syarif)

Wartono et al. (2015) melaporkan bahwa

pemanfaatan agens hayati seperti Bacillus subtilis

dalam formulasi spora dapat menekan penyakit

hawar daun bakteri di lapang hingga 21% dan

berpotensi meningkatkan hasil panen hingga 50%.

Djaenuddin dan Muis (2017) melaporkan bahwa

perlakuan tunggal formulasi B. subtilis dapat

menekan perkembangan penyakit hawar pelepah

dan pelepah daun pada jagung di lapang sampai

17 %.

Keanekaragaman dan Potensi Mikrob

Rhizosfer

Rhizosfer merupakan sumber yang

potensial dalam eksplorasi agens hayati.

Nihorimbere et al., (2011) menjelaskan bahwa

rhizosfer adalah tanah yang menempel atau paling

dekat dengan perakaran tanaman.

Keanekaragaman mikrob di rhizosfer tinggi

karena pada daerah tersebut terdapat sejumlah

besar metabolit yang dihasilkan oleh akar

tanaman dan dibutuhkan oleh mikrob sebagai

nutrisi yang memungkinkan mikrob untuk

berkolonisasi di daerah tersebut. Berebdsen et al.,

(2012) menjelaskan bahwa keberadaan organisme

non-patogenik terutama di daerah rizosfer dan

tanah memiliki peran yang sangat penting dalam

mendukung vigoritas tanaman, meningkatkan

pertumbuhan tanaman, dan mengendalikan

penyakit tanaman.

Beberapa mikrob asal rhizosfer telah

banyak dilaporkan mampu menekan patogen

tanaman sekaligus meningkatkan pertumbuhan

tanaman. Beberapa spesies bakteri indigenos

rhizosfer cabai seperti Pseudomonas fluorescens,

Serratia spp., dan Bacillus spp. dilaporkan

berpotensi dikembangkan sebagai agens hayati

karena mampu menghambat pertumbuhan koloni

patogen C. capsici dan Fusarium oxysporum

(Sutariati & Wahab 2010).

Keanekaragaman komunitas mikrob pada

sampel tanah dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor biotik maupun abiotik. Faktor abiotik yang

mempengaruhi mikrob adalah fisik dan kimia,

salinitas, suhu, pH, tekanan, polusi kimia, logam

berat, pestisida, antibiotik, dan sebagainya (Baath

et al., 1998; Fakruddin & Mannan 2013).

Penggunaan sistem budidaya yang ramah

lingkungan menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi keanekaragaman mikrob di area

pertanaman termasuk rhizosfer. Hasil penelitian

Nurbailis et al., (2014) menunjukkan bahwa

keanekaragaman cendawan agens hayati yang

mampu menghambat pertumbuhan C.

gloeosporioides pada rhizosfer cabai di lahan

dengan cara pertanaman organik lebih banyak

daripada lahan yang diolah menggunakan cara

konvensional dengan aplikasi pestisida yang

intensif. Hal tersebut menunjukkan bahwa harus

ada keterpaduan antara komponen dalam sistem

usaha tani yang digunakan. Secara umum, semua

variasi faktor biotik maupun abiotik pada suatu

lingkungan mempengaruhi keanekaragaman

komunitas mikrob di tempat tersebut (Fakruddin

& Mannan 2013). Berdasarkan informasi tersebut

dapat diperkirakan bahwa keanekaragaman

komunitas mikrob antara satu tempat dengan

tempat lainnya akan berbeda. Dengan demikian,

kajian mengenai eksplorasi dan penapisan mikrob

(kelompok cendawan dan bakteri) indigenos

rhizosfer tanaman cabai sebagai agens pengendali

hayati Colletotrichum spp. pada berbagai sumber

yang berbeda bermanfaat untuk menggali potensi

agens hayati yang lebih besar, efektif, dan spesifik

lokasi.

Eksplorasi Mikrob Indigenos Rhizosfer

Tanaman Cabai

Baker dan Cook (1974) menjelaskan

bahwa agens hayati dapat diperoleh dari area yang

tidak mengandung patogen (mikrob patogenik),

aktivitas patogenik yang menurun, atau pathogen

tidak berkembang meskipun tanaman rentan

terhadap infeksinya. Isolasi mikrob pada

penelitian eksplorasi potensi agens hayati

umumnya dilakukan dengan teknik konvensional.

Teknik tersebut diawali dengan mengisolasi

mikrob calon agens hayati dari suatu sampel

seperti sample rhizosfer yang telah melalui

tahapan pengenceran berseri pada media biakan

tertentu. Selanjutnya dilakukan seleksi,

karakterisasi, dan uji potensi agens hayati dengan

metode standar yang sederhana (Wahyudi et al.,

2011; Munif et al., 2012).

Penggunaan teknik konvensional dalam

isolasi mikrob memiliki keterbatasan karena

hanya dapat mengisolasi mikrob yang bisa

dikulturkan pada media biakan (culturable

microbe). Penelitian-penelitian yang dilakukan

telah berhasil mengeksplorasi berbagai agens

Page 29: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

24 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:19-28

hayati untuk berbagai patogen tumbuhan

menggunakan teknik konvensional (Hastuti et al.

2012; Chaisemsaeng et al., 2013; Hartati et al.,

2014). Cao et al., (2005) menjelaskan bahwa

penelitian tentang eksplorasi agens hayati juga

dapat digunakan untuk mengeksplorasi berbagai

senyawa bioaktif alami baru yang dapat

mengendalikan patogen. Tahapan pemurnian

mikrob kelompok bakteri dapat dilakukan dengan

metode penggoresan bakteri dari koloni tunggal,

pemurnian dengan metode spora tunggal untuk

pemurnian mikrob kelompok cendawan yang

menghasilkan spora (Choi et al., 1999), dan

pemurnian cendawan yang tidak berspora dapat

dilakukan dengan isolasi ujung hifa (Photita et al.,

2005; Than et al., 2008).

Isolasi, Uji Patogenisitas, dan Analisis

Virulensi Colletotrichum spp.

Terdapat beberapa metode yang dapat

digunakan untuk memperoleh isolat cendawan

patogen Colletotrichum spp. dari jaringan

tanaman sakit, diantaranya dengan mengisolasi

cendawan tersebut dari bagian antaran jaringan

sehat dan sakit. Potongan jaringan tersebut

kemudian disterilisasi permukaan dengan

mencelupkannya ke dalam 1% sodium hypoklorit

selama 3-5 menit dan dibilas dengan air steril

sebanyak tiga kali. Selanjutnya potongan jaringan

tersebut disimpan diatas permukaan water agar

(WA) dan diinkubasi. Ujung hifa yang tumbuh

kemudian ditransfer pada media potato dextrose

agar (PDA) (Photita et al., 2005; Than et al.,

2008). Namun demikian, metode tersebut

memiliki kelemahan yaitu dapat terjadi

kontaminasi oleh cendawan atau mikroorganisme

lain yang berada di dalam jaringan tanaman sakit.

Choi et al., (1999) menjelaskan bahwa banyak

metode yang dikembangkan dan dapat digunakan

untuk isolasi cendawan, namun beberapa

diantaranya sulit dilakukan. Dalam proses isolasi

cendawan masalah yang sering terjadi adalah

kontaminasi oleh bakteri, yeast, atau spesies

mikrob non target lainnya. Salah satu cara yang

dapat dilakukan untuk mengatasinya adalah

dengan melakukan pengenceran masa spora dan

dilanjutkan dengan isolasi menggunakan metode

single-spore.

Proses isolasi patogen dapat dilakukan

dengan metode single-spore (Choi et al., 1999;

Than et al., 2008) dengan beberapa modifikasi.

Colletotrichum spp. merupakan kelompok

cendawan yang berspora, isolasi single-spore

dilakukan langsung dari buah cabai yang

terinfeksi dan diberi perlakuan sporulasi. Massa

spora diambil menggunakan loop kawat steril

kemudian disuspensikan pada 20 µl air steril

diatas gelas objek. Suspensi tersebut diambil

menggunakan pipet steril kemudian disebar pada

permukaan media WA dalam cawan petri. Single-

spore yang berkecambah diamati pada mikroskop

stereo dan diambil menggunakan ujung jarum

steril dan ditransfer pada media PDA dalam

cawan petri. Metode tersebut biasa digunakan

untuk menghasilkan biakan murni berbagai

cendawan yang menghasilkan spora. Identifikasi

morfologi dilakukan dengan kunci identifikasi

Barnett & Hunter (1998) dan Alexopoulos &

Mims (1996).

Uji patogenisitas sering dilakukan melalui

penyiapan isolat patogen uji untuk tahapan

skreening agens hayati. Hal tersebut perlu

dilakukan untuk memastikan patogen uji yang

digunakan masih memiliki kemampuan

menyebabkan penyakit antraknosa (Hartati et al.,

2004; Than et al., 2008; Ibrahim et al., 2017). Uji

patogenisitas dilakukan dengan metode sebagai

berikut (Ibrahim et al., 2017), sebanyak 5 µL

suspensi spora (105 spora.mL-1) Colletotrichum

spp. pada permukaan cabai yang telah disterilisasi

permukaan dan dilukai menggunakan jarum steril.

Inkubasi dilakukan pada wadah steril tertutup

dengan kondisi kelembaban 95% dan suhu 25oC.

Pengamatan dilakukan terhadap rata-rata ukuran

lesio yang diamati pada 10 hari setelah inokulasi

(HSI). Selanjutnya tingkat virulensi dianalisis

menggunakan skoring patogenisitas dengan nilai

0 sampai dengan 3 (Tabel 2). Isolat

Colletotrichum spp. yang menyebabkan gejala

antraknosa bersifat patogenik dapat digunakan

untuk pengujian selanjutnya. Tahapan uji

patogenisitas dan analisis tingkat virulensi dalam

proses memperoleh isolat cendawan uji penting

dilakukan agar tidak menimbulkan hasil yang bias

dalam tahapan penapisan agens hayati.

Page 30: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

25 Eksplorasi dan Penapisan Mikrob Indigenos Rhizosfer Cabai (Capsicum annuum L.) sebagai

Agens Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Spp.) (Tatit Sastrini dan Abd

Aziz Syarif)

Penapisan Mikrob yang Bersifat Antagonis

Terhadap Colletotrichum spp.

Penapisan dilakukan untuk memperoleh

mikrob yang bersifat antagonis terhadap patogen

sasaran. Penapisan mikrob antagonis terhadap

Colletotrichum spp. penyebab penyakit

antraknosa pada cabai dapat dilakukan

menggunakan dua metode, yaitu (1) metode

biakan ganda (dual-culture) (Sutariati & Wahab

2010; Chaisemsaeng et al., 2013; Nurbailis et al.,

2014) dan (2) metode kultur slide (Nurbailis et al.,

2014). Pada umumnya, kegiatan penelitian

menggunakan metode biakan ganda untuk

memperoleh agens hayati dengan mekanisme

antibiosis dan kompetisi dilakukan dengan

menumbuhkan biakan patogen dan mikrob uji

(kandidat agens hayati) dalam satu cawan petri

berisi media (Sutariati & Wahab, 2010;

Chaisemsaeng et al., 2013; Nurbailis et al., 2014).

Metode kultur ganda memiliki sejumlah

keunggulan diantaranya ialah metodenya

sederhana, mikrob dengan senyawa anti mikrob

atau dengan sifat antagonis dapat di tapis dengan

cepat, dan mampu menghilangkan bias akibat

false positives yang biasanya ditemui dalam

skrining antimikrob (Kevin et al., 1996). Menurut

Munif et al., (2012) dan Hastuti (2012), uji biakan

ganda dapat digunakan untuk mendeteksi

mekanisme antibiosis dari agens hayati dalam

mengendalikan patogen. Antibiosis merupakan

salah-satu mekanisme penghambatan organisme

oleh senyawa bioaktif berupa antibiotik, enzim

pendegradasi dinding sel, atau senyawa volatil

yang diproduksi oleh organisme lain. Pal dan

Gardener (2006) menjelaskan bahwa senyawa

bioaktif dapat menghambat pertumbuhan bahkan

membunuh organisme lain.

Pengamatan dalam metode biakan ganda

dilakukan dengan perhitungan daya hambat

kandidat agens hayati terhadap cendawan

patogenik yang ditunjukkan dengan terbentuknya

zone bening di antara keduanya dengan

menggunakan rumus (Bivi, 2010):

P = 𝑟1−𝑟2

𝑟1 x 100%,

dengan P merupakan persentase penghambatan

pertumbuhan patogen (%), r1 merupakan jari-jari

miselium hingga tepi cawan petri (cm), dan r2

merupakan jari-jari miselium hingga tepi zona

hambat (cm).

Metode kultur slide digunakan untuk

mengamati daya parasitisme isolat cendawan uji

(kandidat agens hayati) terhadap cendawan

patogenik. Kultur slide dibuat dengan

menumbuhkan cendawan kandidat agens hayati

dan patogen masing-masing pada WA tipis yang

ditempatkan secara berhadapan kemudian ditutup

dengan gelas penutup pada permukaan gelas

objek. Pengamatan dilakukan menggunakan

mikroskop monokuler untuk melihat adanya

pelilitan, penetrasi, dan atau lisis pada hifa

patogen (Nurbailis et al., 2014).

KESIMPULAN

Cabai (C. annuum L.) merupakan salah

satu komoditas penting di Indonesia. Penyakit

utama pada tanaman cabai yang umumnya

menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi adalah

penyakit antraknosa. Teknik yang banyak

digunakan untuk pengendalian adalah teknik

konvensional dengan menggunakan pestisida

sintetis yang memiliki dampak kurang baik

terhadap keseimbangan lingkungan. Pada saat ini,

teknik pengendalian yang banyak dikaji dan

dikembangkan adalah teknik pengendalian hayati

karena dinilai lebih aman terhadap keseimbangan

lingkungan. Pengendalian hayati merupakan

pemanfaatan mikrob antagonis untuk

Tabel 2. Skor dan kriteria patogenisitas isolat C. acutatum pada buah cabai.

Skor Ukuran Lesio Tingkat virulensi

0 Tidak ada tidak virulen

1 <3 mm rendah

2 3-5 mm sedang

3 >5 mm tinggi

Sumber: Ibrahim et al. (2017)

Page 31: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

26 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:19-28

pengendalian patogen tanaman yang bersifat

ramah lingkungan dan dapat mendukung

pertanian yang berkelanjutan. Prinsip

pengendalian hayati lebih mengarah kepada

menjaga keseimbangan lingkungan. Rhizosfer

merupakan sumber yang potensial dalam

eksplorasi agens hayati. Organisme non-

patogenik yang berada di daerah rizosfer dan

tanah memiliki peran penting dalam mendukung

vigoritas tanaman, meningkatkan pertumbuhan

tanaman, dan pengendalian penyakit tanaman.

Agens hayati dapat diperoleh dari area

yang tidak mengandung patogen (mikrob

patogenik), aktivitas patogenik yang menurun,

atau patogen tidak berkembang meskipun

tanaman rentan terhadap infeksinya. Metode

isolasi mikrob dalam kegiatan eksplorasi agens

hayati dapat dilakukan menggunakan teknik

konvensional dengan mengisolasi mikrob calon

agens hayati dari suatu sampel seperti sample

rhizosfer pada media biakan tertentu untuk

selanjutnya dilakukan seleksi dan karakterisasi.

Tahapan pemurnian mikrob kelompok bakteri

dapat dilakukan dengan metode penggoresan

bakteri dari koloni tunggal, pemurnian kelompok

cendawan yang berspora dapat dilakukan dengan

metode spora tunggal, dan pemurnian cendawan

yang tidak berspora dapat dilakukan dengan

isolasi ujung hifa. Metode isolasi spora tunggal ini

juga dapat dilakukan untuk mendapatkan biakan

murni dari isolat cendawan patogen

Colletotrichum spp.. Proses untuk memperoleh

isolat cendawan uji kamudian harus melalui uji

patogenisitas dan analisis tingkat virulensi agar

tidak menimbulkan hasil yang bias dalam tahapan

penapisan agens hayati. Tahapan penapisan untuk

mendapatkan kandidat agens hayati potensial

dapat dilakukan menggunakan metode biakan

ganda untuk memperoleh agens hayati dengan

mekanisme pengendalian antibiosis dan

kompetisi. Selain itu, untuk mendapatkan

kandidat agens hayati dengan mekanisme

pengendalian parasitisme dapat dilakukan dengan

metode kultur slide. Metode tersebut

memungkinkan kita mengamati adanya pelilitan,

penetrasi, dan atau lisis pada hifa patogen oleh

agens hayati.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis sampaikan kepada

Dr Achmad Dinoto sebagai pembimbing dalam

penyusunan kajian ilmiah dalam kegiatan

Pelatihan Pembentukan Jabatan Fungsional

Peneliti dan Ir Agus Muharam sebagai

pembimbing dalam kegiatan Penyusunan Karya

Tulis Ilmiah BBP2TP yang telah memberikan

masukan dan perbaikan terhadap karya tulis

ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th edition.

Amsterdam: Elsevier Academic Press.

Aktar, W., D. Sengupta, and A. Chowdhury. 2009.

Impact of pesticides use in agriculture: their

benefits and hazards. Interdisciplinary

Toxicology. 2(1): 1-12.

Alexopoulos, C.J., C.W. Mims, and M.

Blackwell. 1996. Introductory Mycology.

Ed ke-4. New York: John Wiley & Sons,

Inc.

Andriani, D., S. Wiyono, dan Widodo. 2017.

Sensitivitas Colletotrichum spp. pada cabai

terhadap benomil, klorotalonil, mankozeb,

dan propineb. 13(4): 119-126. Doi: 10.

14692/jfi.13.4.119

Amaresan, N., V. Jayakumar, K. Kumar, and N.

Thajuddin. 2012. Isolation and

characterization of plant growth promoting

endophytic bacteria and their effect on

tomato (Lycopersicon esculentum) and

chilli (Capsicum annuum) seedling growth.

Ann Microbiol. 62: 805–810. Doi:

10.1007/s13213-011-0321-7.

Baath, E., M. Di´az-ravi, A. Frostegard, and C.D.

Campbel. 1998. Effect of metal-rich sludge

amendments on the soil microbial

community. Applied and Environmental

Microbiology. 64(1): 238-245.

[BB Biogen]. Balai Besar Litbang Bioteknologi

dan Sumberdaya Genetika Pertanian.

Kementan lepas varietas unggul cabai hasil

bioteknologi in vitro Carvi-Agrihorti.

http://biogen.litbang.pertanian.go.id/2018/

07/kementan-lepas-varietas-unggul-cabai-

Page 32: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

27 Eksplorasi dan Penapisan Mikrob Indigenos Rhizosfer Cabai (Capsicum annuum L.) sebagai

Agens Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Spp.) (Tatit Sastrini dan Abd

Aziz Syarif)

hasil-bioteknologi-in-vitro-carvi-agrihorti/

[diakses tanggal 27 November 2108].

Baker, K.F. and R.J. Cook. 1974. Biological

Control of Plant Patogens. San Francisco

(US): WH Freeman.

[Balitbangtan] Balai Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. 2016.

Pengendalian antraknosa pada tanaman

cabai. http://www.litbang.pertanian.go.id/

berita/one/2630/ [diakses 27 November

2018].

Barnett, H.L. and B.B. Hunter. 1998. Illustrated

marga of imperfect fungi. 4th ed. USA:

Prentice-Hall, Inc.

Berebdsen, R.L., C.M.J. Pieterse, and P.M.H.M.

Bakker. 2012. The rhizosphere microbiome

and plant health. Trends Plant Sci. 17(8):

478-486.

Bivi, M.R., M.S. Farhana, Khairulmazmi, and A.

Indist. 2010. Control of Ganoderma

boninense: A causal agent of basal stem rot

disease in oil palm with endophyte bacteria

In Vitro. Int J Agric Biol. 12: 833-839. Doi:

10–371/STS/2010/12–6–833–839.

Cao, L.X., Z.Q. Qiu, J.L. You, H.M. Tan, and S.

Zhou. 2004. Isolation and characterization

of endophytic Streptomyces antagonists of

Fusarium wilt patogen from surface

sterilized banana roots. FEMS Microbiol

Lett. 247: 147–152.

Chaisemsaeng, P., W. Mongkolthanaruk, and W.

Bunyatratchata. 2013. Screening and

potential for biological control of

anthracnose disease (Colletotrichum

capsici) on chili fruits by yeast isolates.

Journal of Life Sciences and Technologies.

1(4): 201-204.

Choi, Y.W., K.D. Hyde, and W.H. Ho. 1999.

Single spore isolation of fungi. Fungal

Diversity. 3: 29-38.

De Silvaa, D.D., P.K. Adesb, P.W. Crousac, and

P.W.J. Taylora. 2017. Colletotrichum

species associated with chili anthracnose in

Australia. Plant Pathology. 66: 254–267.

Doi: 10.1111/ppa.12572.

Djaenuddin, N., dan A. Muis. 2017. Efektivitas

biopestisida Bacillus subtilis BNt 8 dan

pestisida nabati untuk pengendalian

penyakit hawar pelepah dan upih daun

jagung. J. HPT Tropika. 17(1): 53-61.

Duriat, A.S., N. Gunaeni, dan A.W. Wulandari.

2007. Penyakit Penting Tanaman Cabai

dan Pengendaliannya. Indonesia: Balai

Penelitian Tanaman Sayuran.

Fakruddin, and S.B. Mannan. 2013. Methods for

analyzing diversity of microbial

communities in natural environments.

Ceylon Journal of Science (Bio. Sci.).

42(1): 19-33. Doi:

10.4038/cjsbs.v42i1.5896.

Hartati, Wiyono, S.H. Hidayat, dan M.S. Sinaga.

2014. Seleksi khamir epifit sebagai agens

antagonis penyakit antraknosa pada cabai.

J Hort. 24(3): 258-265.

Hastuti, R.D., Y. Lestari, A. Suwarso, dan R.

Saraswati. 2012. Endophytic Streptomyces

spp. as biocontrol agents of rice bacterial

leaf blight patogen (Xanthomonas oryzae

pv. oryzae). Hayati, 19(4): 155-162.

Heidari, A., and M. Passarakli. 2010. A review on

biological control of plant patogens using

microbial antagonists. 10(4): 273-290.

Herwidyarti, K.H., S. Ratih, dan D.R.J. Sembodo.

2013. Keparahan penyakit antraknosa pada

cabai (Capsicum annuum l) dan berbagai

jenis gulma. J. Agrotek Tropika. ISSN

2337-4993. 1(1): 102-106.

Ibrahim, R., S.H. Hidayat, dan Widodo. 2017.

Keragaman morfologi, genetika, dan

patogenisitas Colletotrichum acutatum

penyebab antraknosa cabai di Jawa dan

Sumatera. Jurnal Fitopatologi Indonesia.

13(1): 9–16. Doi: 10.14692/jfi.13.1.9–16.

Indrawanto, C. 2017. Laporan Akuntabilitas

Kinerja Instansi Pemerintah. Balai

Pengkajian Teknologi Pertania Sumatera

Barat. Indonesia.

Jibril, S.M., B.H. Jakada, A.S. Kutama, and H.Y.

Umar. 2016. Plant and patogens: Patogen

recognision, invasion and plant defense

mechanism. Int J Curr Microbiol App Sci.,

5(6): 247-257 . Doi:

org/10.20546/ijcmas.2016.506.028.

Page 33: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

28 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:19-28

Kevin, R., Oldenburg, T.V. Kham, B. Ruhland,

P.J. Schatz, and Z. Yuan. 1996. A dual

culture assay for detection of abtimicrobial

activity. Journal of Biomolecular

Screening, Inc., 1(3): 123-130.

Kusmana, Y. Kusandriani, R. Kirana, dan Liferdi.

2016. Keragaan Tiga Galur Lanjut Cabai

Merah pada Ekosistem Dataran Tinggi

Lembang. J Hort., 26(2): 133-142.

Munif, A., S. Wiyono, dan Suwarno. 2012. Isolasi

bakteri endofit asal padi gogo dan

potensinya sebagai agens biokontrol dan

pemacu pertumbuhan. J Fitopatol Indones.,

8(3): 57-64.

Nurbailis, Martinius, dan A. Verry. 2014.

Keanekaragaman jamur pada rizosfer

tanaman cabai sistem konvensional dan

organik dan potensinya sebagai agen

pengendali hayati Colletotrichum

gloeosporioides. J HPT Tropika, 14(1): 16-

24.

Nihorimbere, V., M. Ongena, M. Smargiassi, and

P. Thonart. 2011. Beneficial effect of the

rhizosphere microbial community for plant

growth and health. Biotechnol Agron Soc

Environ, 15(2): 327-337.

O’Connell, R.J., M.R. Thon, S. Hacquard, S.G.

Amyotte, J. Kleemann, and M.F. Torres.

2012. Life style transitions in plant

patogenic Colletotrichum fungi deciphered

by genome and transcriptome analyses.

Nature Genetics, 44(9): 1060-1067.

Pal, K.K., and B.M. Gardener. 2006. Biological

Control of Plant Patogens. The Plant Health

Instructor. Doi: 10.1094/PHI-A-2006-

1117-02.

Photita, W., P.W.J. Taylor, R. Ford, K.D. Hyde,

and S. Lumyong. 2005. Morphological and

molecular characterization of

Colletotrichum species from herbaceous

plants in Thailand. Fungal Diversity, 18:

117-133.

Phoulivong, S., E.H.C. McKenzie, and K.D.

Hyde. 2012. Cross infection of

Colletotrichum species; a case study with

tropical fruits. Current Research in

Environmental and Applied Mycology, 2:

99–111.

Perfect, S.E., H.B. Hughes, R.J. O’Connell, and

J.R. Green. 1999. Colletotrichum: A model

genus for studies on pathology and

fungalplant interactions. Fungal Genet

Biol, 27(2-3): 186-198.

Sumarni, N., dan A. Muharam. 2005. Budidaya

Tanaman Cabai Merah. Indonesia: Balai

Penelitian Tanaman Sayuran.

Sutariati, G.A.K. dan A. Wahab. 2010. Isolasi dan

uji kemampuan Rizobakteri Indigenous

sebagai agensia pengendali hayati penyakit

pada tanaman cabai. J Hort., 20(1): 86-95.

Than, P.P., R. Jeewon, K.D. Hyde, S.

Pongsupasamit, O. Mongkolporn, and

P.W.J. Taylor. 2008. Characterization and

patogenicity of Colletotrichum species

associated with anthracnose on chilli

(Capsicum spp.) in Thailand, 57: 562-572.

Udayanga, D., D.S. Manamgoda, X. Liu, E.

Chukeatirote, and K.D. Hyde. 2013. What

are the common anthracnose patogens of

tropical fruits?. Fungal Diversity, Doi:

10.1007/s13225-013-0257-2.

Voorrips, R.E., R. Finkers, L. Sanjaya, and R.

Groenwold. 2004. QTL mapping of

anthracnose (Colletotrichum spp.)

resistance in a cross between Capsicum

annuum and C. chinense. Theor Appl

Genet. 109: 1275–1282. Doi:

10.1007/s00122-004-1738-1.

Wahyudi, A.T., S. Meliah, dan A.A. Nawangsih.

2011. Xanthomonas oryzae pv. oryzae

bakteri penyebab hawar daun pada padi:

isolasi, karakterisasi, dan telaah

mutagenesis dengan transposon. Makara

Sains, 15(1): 89-96.

Wartono, Giyanto, dan K.H. Mutaqin. 2015.

Efektivitas formulasi spora Bacillus subtilis

B12 sebagai agen pengendali hayati

penyakit hawar daun bakteri pada tanaman

padi”. Penelitian Pertanian Tanaman

Pangan, 34(1): 21-28.

Wharton, P.S., and A.C. Schilder. 2008. Novel

infection strategies of Colletotrichum

acutatum on ripe blueberry fruit. Plant

Pathol, 57: 122-134.

Page 34: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

29 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa

Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)

PELUANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN JAGUNG DI LAHAN KERING IKLIM KERING, NUSA TENGGARA TIMUR

Alfonso Sitorus1, Tony Basuki1, dan Erythrina2 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur

Jl. Timor Raya Km. 32, Naibonat, Kupang, Nusa Tenggara Timur

2Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Jl. Tentara Pelajar No. 10, Bogor 16114

Email: [email protected]

ABSTRACT

Opportunity for Increasing Maize Productivity Under Upland Dry Climate, East Nusa Tenggara. The

province of East Nusa Tenggara (NTT) is an area dominated by dry land and influenced by dry climate which

characterized by low annual rainfall. The geographical conditions are bumpy, hilly, and mountainous with shallow

and rocky solums make the lands are vulnerable to degradation. The availability of water is the main limiting factor

in corn farming in this area. This paper provides an overview of land and climate characteristics and efforts that

allow to increased productivity of maize in upland dry climate. Opportunities to increase maize productivity in

upland dry climate can be done through the application of advanced technological innovations such as the use of

high yielding varieties of composite and hybrid maize, use of organic matter, biochar, mulch, balanced fertilization,

and water management as well as land conservation techniques. Technically the prospect of developing maize

production in dry land with dry climate is still promising. On the other hand, optimization of upland dry climate is

often hampered by socio-economic constraints. Institutional support is still far from adequate and farmers' access

to production inputs and markets is still limited.

Keywords: maize, dry climate dry land, technological innovation

ABSTRAK

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan wilayah yang didominasi oleh lahan kering dan

dipengaruhi iklim kering serta dicirikan dengan curah hujan tahunan yang rendah. Kondisi geografis yang

bergelombang, berbukit, sampai bergunung dengan solum dangkal dan berbatu menyebabkan lahan rentan

mengalami degradasi. Ketersediaan air merupakan faktor pembatas utama dalam usahatani jagung. Makalah ini

memberikan gambaran umum karakteristik lahan dan air serta upaya-upaya yang memungkinkan untuk peningkatan

produktivitas tanaman jagung di lahan kering iklim kering. Peluang peningkatan produktivitas jagung di lahan

kering iklim kering dapat dilakukan melalui penerapan berbagai inovasi teknologi maju seperti penggunaan varietas

unggul jagung komposit dan hibrida, pemberian bahan organik, biochar, mulsa, pemupukan berimbang, dan

pengelolaan air serta penerapan teknik konservasi lahan. Secara teknis prospek pengembangan tanaman jagung di

lahan kering beriklim kering masih sangat besar. Di lain pihak, optimalisasi lahan kering iklim kering seringkali

terbentur pada kendala sosial ekonomi. Dukungan kelembagaan masih jauh dari memadai dan akses petani terhadap

input produksi dan pasar masih terbatas.

Kata kunci: jagung, lahan kering iklim kering, inovasi teknologi

Page 35: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

30 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42

PENDAHULUAN

Seiring dengan peningkatan pertumbuhan

penduduk Indonesia sebesar 1,38% per tahun dan

pemenuhan kebutuhan pangan nasional untuk 255

juta jiwa (BPS, 2013), diperlukan peningkatan

luas areal pertanian setiap tahunnya. Ketersediaan

lahan pertanian subur sudah sangat terbatas dan

yang tersisa sebagai lahan cadangan masa depan

adalah lahan sub optimal dengan segala

keterbatasannya. Lahan sub optimal yang paling

luas sebarannya adalah lahan kering seluas 122,1

juta ha yang terdiri dari lahan kering iklim basah

108,8 juta ha dan lahan kering iklim kering 13,3

juta ha. Dari 13,3 juta ha lahan kering iklim

kering, sekitar 3 juta ha berada di Provinsi Nusa

Tenggara Timur (Mulyani dan Sarwani, 2013).

Lahan kering iklim kering adalah lahan kering

dengan jumlah curah hujan <2.000 mm/tahun

dan bulan kering >7 bulan (<100 mm/bulan)

(Balitklimat, 2003).

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

adalah provinsi kepulauan dengan total 1.192

pulau dan 43 pulau yang dihuni. Provinsi NTT

didominasi oleh lahan kering dan dipengaruhi

oleh iklim kering. Pertanian di NTT dikenal

dengan pertanian lahan kering iklim kering yang

dicirikan oleh curah hujan tahunan tergolong

rendah, kurang dari 1.500 mm/tahun (BPS

Provinsi NTT, 2017a). Faktor pembatas pertanian

di daerah beriklim kering adalah ketersediaan air

irigasi. Musim Hujan di NTT terjadi dalam waktu

yang relatif pendek sehingga hanya dapat

ditanami satu kali dalam setahun. Kondisi

geografis NTT secara umum bergelombang

sampai bergunung dengan solum dangkal dan

berbatu, menyebabkan lahan rentan mengalami

erosi. Apabila lahan tidak dikelola dengan baik

maka akan mengalami degradasi (Widiyono,

2008).

Pemanfaatan lahan di NTT belum

optimal, diindikasikan oleh luasnya lahan yang

sementara tidak diusahakan, yaitu 782.611 ha atau

46,5% dari total luas lahan pertanian (BPS

Provinsi NTT, 2017a). Produktivitas tanaman

jagung juga jauh lebih rendah dibandingkan

rataan produktivitas jagung nasional. Rendahnya

produktivitas jagung disebabkan ketersediaan air

terbatas (hanya mengandalkan curah hujan);

tingkat penerapan teknologi budidaya rendah

(terutama varietas unggul dan pupuk berimbang);

serta tidak memperhatikan aspek konservasi tanah

(Tandisau dan Thamrin, 2009). Selain kendala

fisik, optimalisasi lahan kering iklim kering

seringkali terbentur pada kendala sosial ekonomi.

Dukungan kelembagaan masih jauh dari memadai

dan akses petani terhadap input produksi sangat

terbatas. Upaya untuk menerapkan teknologi budi

daya seringkali terbentur akibat keterbatasan

modal usahatani. Upaya konservasi lahan

membutuhkan biaya yang tinggi yang sulit

dipenuhi oleh petani maupun masyarakat

berkemampuan terbatas (Suradisastra, 2013).

Kondisi demikian menjadi tantangan

pengembangan tanaman jagung di lahan kering

beriklim kering, NTT.

Inovasi teknologi tanaman pangan untuk

pengembangan lahan sub optimal khususnya di

lahan kering iklim kering sudah banyak dihasilkan

oleh berbagai lembaga penelitian di Indonesia,

meliputi varietas unggul toleran kekeringan serta

tahan hama dan penyakit, pengelolaan hara dan

tanah, pengelolaan bahan organik, dan

pengelolaan ternak (Balitbangtan, 2015).

Aplikasinya di lahan petani masih terbatas karena

rendahnya akses dan adopsi terhadap teknologi

tersebut. Data BPS Provinsi NTT (2017b)

menunjukkan bahwa sebanyak 75,2% petani

jagung tidak menerima penyuluhan dan sebanyak

44,5% belum merupakan anggota kelompok tani.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk

memberikan gambaran umum karakteristik lahan

kering iklim kering di Nusa Tenggara Timur, dan

upaya-upaya yang memungkinkan untuk

peningkatan produktivitas tanaman jagung.

KARAKTERISTIK LAHAN KERING

BERIKLIM KERING

Karakteristik Tanah

Di Provinsi NTT bahan induk tanah

dengan sebaran terluas adalah batuan sedimen dan

volkan. Jenis tanah dominan adalah Inceptisols

yang berasosiasi dengan Alfisols dan Entisols

dengan jumlah sekitar 2,1 juta ha (Mulyani et al.,

2015). Tanah Inceptisols mempunyai selang sifat

Page 36: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

31 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa

Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)

kimia tanah sangat lebar tergantung bahan induk

dan kondisi lingkungannya. Di Kabupaten Ngada,

Inceptisols yang berasal dari bahan induk volkan

mempunyai pH 6-7, Kapasitas Tukar Kation

(KTK) dan Kejenuhan Basa (KB) tergolong tinggi

(Hikmatullah dan Chendy, 2003). Di Kabupaten

Kupang, Inceptisols yang berasal dari bahan

induk batu kapur mempunyai pH lebih tinggi 7,0-

8,2 dengan KTK tinggi dan KB sangat tinggi

(Mulyani et al., 2010). Di Kabupaten Sumba

Tengah dimana curah hujan tahunan rata-rata

>2.000 mm, pencucian hara lebih tinggi dibanding

lokasi lainnya dengan bahan induk sedimen.

Secara umum Provinsi NTT mempunyai

tingkat kesuburan tanah sedang sampai tinggi,

yang dicirikan oleh pH netral sampai agak alkalin,

kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation

tergolong tinggi seperti terlihat pada Tabel 1. Hal

ini berhubungan dengan bahan induk tanah yang

berasal dari batuan kapur. Kapasitas Tukar Kation

(KTK) dan Kejenuhan Basa (KB) cenderung

beragam, misalnya karakteristik tanah di Desa

Baudaok, Kecamatan Tasifeto Timur Kabupaten

Belu menunjukkan pH netral sampai agak alkalin

(7,1-7,6), KTK tinggi (35,7-40,7 me/100g), dan

KB sangat tinggi (mencapai 100%) (Widiyono,

2010). Hartutik et al. (2012) menjelaskan

karakteristik tanah pada kedalaman 0-15 cm di

Kabupaten Kupang, yaitu pH netral (6,9) dan C-

organik sangat rendah (0,1%). Hal yang sama juga

dilaporkan oleh Ishaq et al. (2017) bahwa sifat

tanah di Kupang bereaksi netral dengan P dan K

sangat tinggi, basa-basa dapat tukar sangat tinggi,

dan N total tergolong sedang.

Secara umum basa-basa dapat tukar

dalam tanah didominasi oleh kation Ca (Pamuji et

al., 2016; Nur et al., 2014). Kandungan Ca yang

tinggi dalam tanah menyebabkan P tersedia

menjadi sangat rendah sampai rendah walaupun

kandungan P potensial (HCl 25%) dalam tanah

tinggi (Pamuji et al., 2016). Hara P dalam tanah

bereaksi alkalin, diikat oleh Ca membentuk Ca-P

yang tidak tersedia bagi tanaman. Untuk

mengekstrak P dari Ca-P, diperlukan adanya

mikroorganisme pelarut P. Jenis mikroorganisme

pelarut fosfat antara lain Bacillus firmus, B.

subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B. polymixa,

B. megatherium Arthrobacter, Pseudomonas,

Achromobacter, Flavobacterium, Micrococus,

dan Mycobacterium (Nursanti, 2017).

Mikroorganisme pelarut fosfat banyak yang sudah

diformulasi dalam pupuk hayati. Secara umum

tanah di lahan kering iklim kering memiliki

tingkat kesuburan yang lebih baik dibandingkan

dengan lahan kering iklim basah yang bereaksi

masam.

Karakteristik Iklim

Secara umum tipe iklim di Indonesia

dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu iklim

basah (curah hujan >2.000 mm/tahun) dan iklim

kering (curah hujan <2.000 mm/tahun)

(Balitklimat, 2003). Menurut Ritung et al. (2015)

luas lahan yang dipengaruhi iklim basah di NTT

seluas 1,2 juta ha atau 26,5% dan iklim kering

seluas 3,3 juta ha atau 73,5%. Ritung et al. (2015)

mengelompokkan iklim basah adalah curah hujan

≥ 2.000 mm/tahun, dan rejim kelembaban udik

dan akuik. Iklim kering adalah curah hujan <

2.000 mm, dan rejim kelembaban ustik. Luasan

lahan kering iklim kering yang sangat luas

menyebabkan peranan lahan kering di NTT sangat

penting.

Tabel 1. Sifat fisik dan kimia tanah di beberapa kabupaten, Nusa Tenggara Timur.

Kabupaten

Tekstur pH BO Contoh tanah kering 105oC

Pasi

r

Deb

u

Li

at

H2

O

C N P2O

5

K2O P2O

5

Ca M

g

K KT

K

KB

% % mg/100g ppm cmolc/kg %

Sumba Barat Daya 11 49 40 6,2 2,93 0,27 56 16 184 40,6 2,6 0,24 40,1 >100

Sumba Barat 13 35 52 5,2 2,75 0,24 92 13 21 13,4 1,6 0,2 20,9 73

Sumba Timur 17 21 62 6,0 1,07 0,09 22 14 15 44,0 2,8 0,3 40,8 >100

Kupang 22 35 43 6,0 1,61 0,15 174 65 35 16,5 2,0 0,8 14,7 >100

Malaka 37 27 36 7,8 0,95 0,09 60 164 13 28,3 0,8 0,8 14,2 >100

Timor Tengah

Utara

31 31 28 7,7 0,77 0,07 114 268 14 25,6 2,3 3,0 22,7 >100

Sumber: Mulyani et al. (2014)

Page 37: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

32 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42

Rata-rata curah hujan tahunan di NTT

adalah 1.411 mm/tahun dengan delapan bulan

kering berurutan, dan curah hujan < 100 mm

(Gambar 1). Ketersediaan air merupakan faktor

pembatas utama usaha tani di lahan ini.

Penanaman tanaman-tanaman hemat air dan

toleran kekeringan sangat sesuai dibudidayakan di

daerah ini (Rengganis, 2016).

Provinsi NTT mempunyai periode musim

hujan sangat pendek dan musim kering yang

panjang. Bulan Basah (BB) di NTT pada

Desember sampai Maret diikuti Bulan Kering

(BK) April sampai November. Musim hujan yang

sangat pendek menyebabkan pertanaman hanya

dapat dilakukan satu kali musim tanam dalam

setahun atau Indeks Pertanaman (IP) 100.

Banjarnahor dan Simanjuntak (2015)

menunjukkan dengan pengaturan pola tanam

berdasarkan pola curah hujan dan aplikasi panen

air di Kabupaten Sumba Tengah, IP lahan dapat

ditingkatkan menjadi IP 150 atau bahkan IP 200.

Supriatna (2012) mengemukakan peningkatan IP

dapat dilakukan melalui pengaturan pola tanam

dengan memanfaatkan air dari embung

menggunakan pompa.

DEMOGRAFI PENDUDUK DAN

USAHATANI JAGUNG

Jumlah penduduk Provinsi NTT pada

tahun 2016 sekitar 5.203.514 jiwa dengan

kepadatan penduduk 109 jiwa/km2 (BPS Provinsi

NTT, 2017a). Berdasarkan klasifikasi kepadatan

penduduk dalam SNI 03-1733-2004 kepadatan

penduduk di NTT termasuk kategori rendah (<150

jiwa/ha). Meskipun kepadatan penduduk NTT

tergolong rendah tetapi jumlah penduduk yang

berada di bawah garis kemiskinan pada tahun

2016 masih cukup besar, yaitu sebanyak

1.149.920 jiwa atau 22,2% dari total penduduk.

Jumlah angkatan kerja pada 2016 adalah

2.353.648 jiwa dimana sebanyak 2.277.068 atau

96,75% berstatus bekerja. Jumlah yang bekerja

pada sektor pertanian, kehutanan, perkebunan,

dan perikanan, mencapai 1.214.060 jiwa atau

53,3% dari angkatan kerja (BPS Provinsi NTT,

2017a). Hal ini menunjukkan bahwa sektor

pertanian merupakan sektor yang sangat penting

bagi perekonomian NTT.

Usaha tani jagung di NTT sebagian besar

dilakukan di lahan kering (96,1%), pada lahan

milik sendiri (88,6%) dengan dua sistem tanam

Gambar 1. Rataan curah hujan bulanan di Provinsi NTT tahun 2012-2016 (BPS Provinsi NTT 2013-2016)

0

50

100

150

200

250

300

350

400

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Page 38: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

33 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa

Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)

utama yaitu tumpang sari (63,1%) dan

monokultur (36,7%) (BPS Provinsi NTT, 2017b).

Dari total panen jagung seluas 273.194 ha pada

tahun 2015 diperoleh produksi sebanyak 685.081

ton atau dengan produktivitas hanya 2,5 t/ha (BPS

Provinsi NTT, 2016). Produktivitas tanaman

jagung ini sekitar 50% di bawah rataan

produktivitas nasional sebesar 5,2 t/ha (BPS,

2016). Hasil survei struktur ongkos usaha tani

tanaman jagung tahun 2017 menunjukkan jumlah

petani jagung yang menggunakan benih berasal

dari pertanaman sendiri sebanyak 30,2% dan

petani yang tidak menggunakan pupuk mencapai

80,2% dengan B/C 0,64 (BPS Provinsi NTT,

2017b). Hal ini mengindikasikan bahwa

pengelolaan usaha tani jagung di NTT belum

memberikan keuntungan yang layak bagi petani.

POTENSI LAHAN DAN AIR DI WILAYAH

IKLIM KERING NTT

Lahan pertanian di NTT cukup luas, tetapi

pemanfaatannya masih belum optimal. Luas lahan

pertanian pada tahun 2016 tercatat 1,8 juta ha

dengan proporsi dari lahan yang sementara tidak

diusahakan sangat tinggi yaitu 41,7% dari total

luas lahan (BPS Provinsi NTT, 2017a). Lahan

yang sementara tidak diusahakan adalah lahan

yang biasanya diusahakan tetapi untuk sementara

(lebih dari satu tahun dan kurang dari dua tahun)

tidak diusahakan. Hal ini juga mengindikasikan

bahwa potensi pengembangan pertanian lahan

kering masih sangat besar bilamana kendala bio-

fisik dan sosial ekonomi dapat diatasi.

Total pertanian lahan kering di NTT

(tegal/kebun dan ladang/huma) tahun 2016 yaitu

46,8% dari total luas lahan pertanian di NTT

(Tabel 2). Luasan ini dapat bertambah pada

musim kemarau di mana lahan sawah dapat

digunakan sebagai pertanian lahan kering

terutama pada musim kemarau setelah

pertanaman padi musim hujan (MH). Luas lahan

sawah pada 2016 adalah 214.883 ha yang terdiri

dari sawah irigasi 122.895 ha (57,2%) dan sisanya

sawah tadah hujan 91.988,10 ha (BPS Provinsi

NTT, 2017a).

Tabel 2. Luasan berbagai tipe penggunaan lahan di

NTT, 2016.

Tipe Penggunaan Lahan Luas (ha)

Sawah 214.883

Tegal/Kebun 531.670

Ladang/Huma 347.364

Sementara tidak diusahakan 782.612

Jumlah 1.876.529

Sumber: BPS Provinsi NTT (2017a)

Sebagian besar wilayah NTT memiliki

iklim kering dengan curah hujan tahunan yang

rendah. Sumber-sumber air baik berupa air

permukaan, dan air tanah masih dapat ditemukan

di beberapa lokasi di NTT. Provinsi NTT

memiliki 13 bendungan dengan luas bendungan

berkisar antara 12,8-155,0 ha dengan rata-rata

55,7 ha tersebar di Kabupaten Kupang, Belu, Rote

Ndao, Sabu Raijua, Alor, Sumba Timur, dan

Sikka (Prianto et al., 2017). NTT juga memiliki

sebanyak 17 embung irigasi dengan luas embung

berkisar antara 1,28-35,194 ha atau rata-rata 9,06

ha yang tersebar di Kabupaten Kupang, TTU,

Rote Ndao, Sabu Raijua, Alor, dan Sikka (Prianto

et al., 2017). Wilayah dengan sumber-sumber air

ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai sentra

pertanian lahan kering iklim kering. Secara total

NTT memiliki 486 embung dimana sebagian

besar didominasi oleh embung kecil. Kapasitas

total dari 486 embung yang ada adalah 12,28 juta

m3, dan telah dimanfaatkan untuk air irigasi pada

lahan seluas 5.136 ha dan air baku 77,23 l/dtk

(KemenPUPR, 2017).

Wilayah NTT juga memiliki potensi air

tanah untuk irigasi. NTT memiliki 38 Cekungan

Air Tanah (CAT) dengan total luas 31.929 km2

dengan jumlah air tanah 8.429 juta m3/tahun

(Kementerian ESDM, 2017). Rengganis (2016)

menyatakan potensi air tanah di NTT sebesar

267.282 l/dtk, dan dapat dimanfatkan untuk

melengkapi irigasi air permukaan terutama pada

saat periode curah hujan rendah.

Page 39: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

34 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42

PENGELOLAAN TANAMAN JAGUNG DI

LAHAN KERING IKLIM KERING

Varietas Unggul Jagung

Penggunaan benih jagung oleh petani di

NTT sebagian besar berasal dari hasil pertanaman

sendiri. Persentase rumah tangga petani menurut

sumber benih yang digunakan disajikan pada

Tabel 3. Jika benih yang bersumber dari

pembelian diasumsikan sebagai benih unggul,

maka penggunaan benih unggul jagung di NTT

masih rendah, hanya 15,18%. Hal ini merupakan

salah satu penyebab rendahnya produktivitas

tanaman jagung di NTT. Penggunaan benih

unggul diketahui memiliki potensi hasil yang

tinggi. Oleh karena itu, pengelolaan lahan kering

iklim kering melalui pemanfaatan varietas unggul

masih sangat potensial.

Tabel 3. Persentase rumah tangga petani menurut

sumber benih jagung yang digunakan di

NTT

Sumber Benih Jagung

Pembelian 15,18

Penangkaran sendiri 2,37

Budidaya sendiri 30,23

Lainnya 52,22

Sumber: BPS Provinsi NTT (2017b)

Penggunaan varietas unggul baik hibrida

maupun komposit (varietas bersari bebas),

berpotensi meningkatkan hasil tanaman jagung di

lahan kering iklim kering (Tabel 4). Jagung

hibrida Bima 1 dan jagung komposit Srikandi

Putih memiliki hasil masing-masing 2,6 dan 2,2

kali lebih tinggi dibanding varietas lokal (Seran et

al., 2012).

Tabel 4. Produktivitas tanaman jagung varietas lokal

dan unggul di NTT

Varietas Hasil

(ton/ha)

Delta terhadap

varietas lokal (%)

Bima 1 (hibrida) 5,42 261

Srikandi Putih

(komposit) 4,61 222

Lokal 2,08 100

Sumber: Seran et al. (2012)

Kaihatu dan Periseron (2016)

menunjukkan hasil varietas unggul jagung

komposit (Gumarang, Sukmaraga, Srikandi

Kuning) serta jagung hibrida (Bima 2 dan Bima 4)

berkisar antara 7,26 - 10,31 t/ha; lebih tinggi

dibandingkan dengan varietas lokal (Mutiara,

Ungu Hati Putih, Merah, Orange Hati Merah, dan

Orange Hati Putih) antara 2,45 - 3,75 t/ha.

Da Silva dan deRosari (2017)

menunjukkan hasil display varitas jagung

komposit di Kabupaten Sikka tahun 2014.

Produktivitas tertinggi untuk varietas komposit

Tabel 5. Produktivitas tanaman jagung komposit dan hibrida, Kabupaten Sikka, NTT, 2014

Varietas Jenis Hasil (t/ha) Delta hibrida terhadap

komposit (%)

Provit A1 Komposit 4,37

Provit A2 Komposit 6,22

Gumarang Komposit 6,16

Anoman Komposit 5,37

Srikandi Putih Komposit 4,90

Rata-rata 5,40 100

Bima 19 URI Hibrida 9,79

Bima 3 Hibrida 5,49

Bima 4 Hibrida 6,91

Bima 5 Hibrida 6,09

Bima 6 Hibrida 5,18

Rata-rata 6,84 126

Sumber: Da Silva dan deRosari (2017)

Page 40: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

35 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa

Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)

yaitu: Provit A2 (6,22 t/ha), diikuti varietas

Gumarang (6,16 t/ha). Sedangkan produktivitas

tertinggi untuk hibrida Bima 19 URI (9,79 t/ha)

diikuti oleh Bima 4 (6,91 t/ha) (Tabel 5).

Produktivitas jagung hibrida di NTT

sekitar 26% lebih tinggi dibandingkan jagung

komposit (Da Silva dan deRosari, 2017). Data

varietas jagung hibrida yang direlease Badan

Litbang Pertanian menunjukkan rataan potensi

hasilnya 40% lebih tinggi dibandingkan varietas

komposit (Tabel 6). Gambaran ini menunjukkan

jika infrastruktur irigasi, dan sarana produksi

tersedia serta kelembagaan petani mendukung,

potensi peningkatan produksi menggunakan

jagung hibrida masih cukup besar.

Varietas Unggul Baru yang

direkomendasikan adalah yang beradaptasi baik

dengan kondisi NTT memiliki musim hujan yang

pendek yaitu varietas berumur genjah dan/atau

toleran kekeringan (Tabel 6). Pemanfaatan

tanaman berumur genjah dapat menghindarkan

tanaman dari cekaman kekeringan, karena umur

panen pendek sehingga tidak mencapai musim

kemarau.

Memperhatikan kondisi biofisik lahan,

sosial ekonomi petani dan ketersediaan sarana

produksi, peningkatan produksi jagung di NTT

dalam jangka pendek sebaiknya difokuskan

melalui penyebaran varietas unggul jagung

komposit. Benih jagung komposit dapat

menyebar luas melalui sesama petani (berbasis

komunitas). Dalam prakteknya, biji pipilan hasil

panen jagung komposit dapat diseleksi untuk

digunakan kembali sebagai benih pada musim

berikutnya.

Pengelolaan Bahan Organik

Salah satu indikator penting penentu

kualitas lahan adalah status bahan organik dalam

tanah. Kandungan bahan organik yang rendah

menunjukkan telah terjadi degradasi lahan.

Obalum et al. (2017) menyatakan bahan organik

sebagai indikator terjadinya degradasi lahan

karena berkaitan dengan sifat fisik, kimia, dan

biologi tanah serta proses-proses yang terjadi di

dalam tanah. Hasil penelitian Supit et al. (2016)

menunjukkan bahwa pemberian kompos sebesar

30 t/ha pada lahan kritis dapat meningkatkan

kandungan bahan organik tanah yang diikuti

dengan peningkatan hasil tanaman dibandingkan

tanpa pemberian kompos. Upaya perbaikan yang

relatif murah adalah dengan pemanfaatan sumber

Tabel 6. Potensi hasil beberapa VUB jagung komposit dan hibrida umur genjah

VUB Jenis Umur Panen (hari) Potensi Hasil (ton/ha)

Bima 7 hibrida 89 12,1

Bima 8 hibrida 88 11,7

HJ 21 Agritan hibrida 82 12,2

HJ 22 Agritan hibrida 80 12,1

JH 36 hibrida 89 12,2

Pulut URI 1 hibrida 85 9,4

Pulit URI 2 hibrida 85 9,2

Pulut Uri 3 H hibrida 85-88 10,7

Pulut URI 4 hibrida 85-88 7,1

Rata-rata 10,7

Wisanggeni komposit 90 8,0

Bisma komposit 96 7,5

Surya komposit 98 8,0

Lagaligo komposit 90 7,5

Gumarang komposit 82 8,0

Lamuru komposit 95 7,6

Kresna komposit 90 7,0

Srikandi komposit 97 8,0

Rata-rata 7,7

Sumber: Diolah dari Puslitbangtan (2016)

Page 41: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

36 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42

bahan organik in situ seperti pengembalian sisa

tanaman berupa pupuk kandang, kompos, dan

biomasa tanaman.

Potensi bahan organik yang berasal dari

tanaman pangan di NTT sangat besar. Secara total

potensi bahan organik dari tanaman pangan

adalah 3,5 juta ton (Tabel 7). Karena NTT juga

merupakan sentra ternak sapi, pemberian pupuk

kandang sapi meningkatkan kadar air tanah, total

ruang pori, dan C-organik, menurunkan bulk

density dan pH, serta meningkatkan hasil tanaman

jagung (Adijaya dan Yasa, 2015).

Laju dekomposisi bahan organik yang

tergolong tinggi menyebabkan pengaruh

pemberian bahan organik alami hanya bersifat

sementara (temporary). Bahan ameliorasi yang

relatif tahan terhadap dekomposisi salah satunya

adalah Biochar. Biochar relatif resisten terhadap

serangan mikroorganisme sehingga proses

dekomposisi berjalan lebih lambat (Cheng et al.,

2006). Biochar berasal dari limbah pertanian yang

dibakar secara tidak sempurna (pyrolysis). Dariah

dan Nurida (2012) menyatakan, pemberian

biochar 2,5 t/ha dapat meningkatkan efisiensi

pemupukan, pertumbuhan dan hasil tanaman

jagung di lahan kering beriklim kering. Pemberian

biochar dan pupuk ¾ dosis rekomendasi

memberikan hasil tanaman jagung yang lebih

tinggi dibandingkan dengan perlakuan pupuk

sesuai rekomendasi. Meningkatnya KTK tanah

setelah aplikasi biochar disebabkan oleh adanya

pembentukan gugus karboksilat hasil oksidasi

abiotik yang terjadi pada permukaan luar partikel

biochar (Cheng et al., 2006). Peningkatan KTK

akan meminimalkan kehilangan hara, seperti K+

dan NH4+.

Dalam pertanian lahan kering iklim

kering pemanfaatan biochar berpotensi untuk

meningkatkan ketersediaan air. Yu et al. (2013)

menunjukkan efektivitas biochar dalam

meningkatkan kemampuan tanah memegang air

(water holding capacity) pada tanah bertekstur

pasir berlempung. Tanah bertekstur pasir

berlempung dikenal memiliki kadar air yang

rendah. Peningkatan proporsi biochar akan

meningkatkan kadar air. Pada tanah tanpa biochar

hanya memiliki kadar air 16,0%. Penambahan

biochar sebesar 1% meningkatkan kadar air tanah

menjadi 16,8% atau meningkat 5,1% dibanding

tanpa biochar (Tabel 8). Pemberian biochar

sampai 5% meningkatkan kadar air tanah menjadi

23,5% atau meningkat 47,3%. Hal ini

menunjukkan bahwa pemberian biochar sangat

sesuai di lahan kering iklim kering.

Tabel 7. Potensi hasil limbah pertanian dari tanaman pangan di NTT, 2016

Komoditas

Luas

panen1)

(ha)

Hasil limbah pertanian2)

(t/ha)

Potensi limbah pertanian

(t)

Padi 266.242 5,94 1.581.477

Jagung 273.194 6,00 1.639.164

Kedelai 3.563 2,79 9.773

Kacang Tanah 12.231 4,94 60.421

Kacang Hijau 11.130 5,45 60.658

Ubi Kayu 60.557 1,73 104.798

Ubi Jalar 8.701 4,93 42.896

Jumlah 3.499.188

Sumber: 1)BPS Provinsi NTT (2016); 2) Syamsu (2006)

Page 42: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

37 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa

Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)

Tabel 8. Kadar air tanah berbagai proporsi biochar

pada tanah bertekstur pasir berlempung

Proporsi

Biochar (%)

Kadar air tanah

(%)

Persentase

Peningkatan

0 16,0 -

1 16,8 5,1

2 19,0 18,9

3 19,3 20,7

4 21,4 33,9

5 23,5 47,3

10 32,3 102,1

15 44,4 178,0

20 50,4 215,5

25 60,1 276,6

30 78,3 390,2

40 91,2 470,8

50 124,9 681,7

75 209,6 1212,6

100 274,1 1616,1

Sumber: Yu et al. (2013)

Pengelolaan Hara

Tandisau dan Thamrin (2014)

menunjukkan bahwa pemupukan yang tidak

lengkap pada tanaman jagung menyebabkan

kualitas pertumbuhan dan hasil berkurang hingga

10-30%, sementara dengan aplikasi pupuk

lengkap (200 kg N/ha, 35 kg P/ha, dan 100 kg

K/ha) memberikan hasil yang lebih tinggi (5,5

ton/ha). Kresnatita et al. (2013) menunjukkan

bahwa kombinasi pupuk kandang sapi 10 t/ha dan

pupuk Urea 150 kg/ha dapat meningkatkan hasil

tongkol jagung manis, yaitu 14,94 t/ha

dibandingkan dengan tanpa pupuk (3,63 t/ha) dan

pemberian pupuk Urea sesuai dosis rekomendasi,

yaitu 200 kg/ha (12,38 ton/ha).

Pengelolaan Air

Pengembangan lahan kering iklim kering

perlu didukung dengan eksplorasi dan eksploitasi

sumber daya air untuk irigasi. Survei-survei

sumber daya air perlu dilakukan untuk

mengidentifikasi titik-titik sumber air baru. Selain

itu, teknik pemanenan air di lahan kering iklim

kering sangat diperlukan karena jumlah curah

hujan yang rendah dalam setahun dan laju

evapoprasi yang tinggi selama musim tanam.

Teknik pemanenan air permukaan dapat berupa

embung, long storage, dan dam parit. Penggunaan

air permukaan dapat menjadi solusi untuk air

irigasi pada musim kemarau. Selain penggunaan

air permukaan, pemanfaatan air tanah untuk

irigasi di lahan kering iklim kering sangat

potensial.

Pengelolaan air merupakan faktor kunci

pertanian di lahan kering iklim kering. Sabaruddin

et al. (2003) melaporkan kombinasi perlakuan

bahan organik 10 t/ha yang diberi penyiraman 4

hari sekali pada musim hujan dan 3 hari sekali

pada musim kemarau dengan sistem tanam

tumpang sari kacang tanah dan jagung secara

bersamaan memberikan hasil jagung dan kacang

tanah terbaik.

Pada tahun 2010 Badan Litbang Pertanian

telah mengembangkan model sistem pertanian

terpadu lahan kering iklim kering (SPTLKIK) di

kebun percobaan Naibonat, NTT. Pada tahun

2011-2014 model SPTLKIK dikembangkan pada

6 lokasi yang menyebar di NTT dan NTB,

dilaksanakan di lahan petani dalam kawasan 5-10

ha. Berdasarkan pengalaman selama 4 tahun

tersebut, penyediaan air di musim kemarau dapat

menjadi titik ungkit dalam pengembangan

pertanian di lahan kering iklim kering, sehingga

eksplorasi dan eksploitasi sumber air menjadi

kegiatan utama yang perlu dilakukan pada awal

kegiatan. Pengembangan pertanian di lahan

kering iklim kering lebih diutamakan untuk

memanfaatkan potensi sumberdaya air yang

tersedia dengan teknologi yang sederhana dan

murah, dipadukan dengan penggunaan varietas

unggul baru dan pengelolaan bahan organik in

situ. Kombinasi ini dapat meningkatkan

produktivitas lahan dan indeks pertanaman dari IP

1 menjadi IP 2 - 3 serta meningkatkan pendapatan

masyarakat petani (Mulyani et al., 2015).

Pertanian Konservasi

Lahan kering iklim kering memiliki curah

hujan tahunan yang rendah, tetapi rentan

mengalami degradasi lahan. Walaupun curah

hujan tahunan rendah bukan berarti lahan kering

iklim kering tidak mengalami erosi. Hujan harian

yang tercurah dalam jumlah yang tinggi dan

dalam waktu relatif pendek, menyebabkan aliran

permukaan yang besar dan mendorong terjadinya

erosi. Hal ini terjadi di Kabupaten Kupang, Pulau

Page 43: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

38 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42

Timor, NTT dimana terjadi kehilangan tanah

akibat erosi sekitar 11 t/ha/tahun (Widiyono,

2006). Sebagian besar lahan yang terbuka dengan

fisiografi bergelombang sampai berbukit dan

bergunung, solum tanahnya relatif sangat tipis

akibat terkikis oleh erosi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

penerapan teknik konservasi dapat memperbaiki

kondisi lahan dan meningkatkan hasil tanaman.

Endriani (2010) melaporkan bahwa olah tanah

minimum disertai penutupan mulsa 30 - 60%

dapat memperbaiki sifat fisika tanah, antara lain

meningkatkan kandungan bahan organik tanah,

pori aerase dan pori air tersedia. Suparwata et al.

(2012) menyatakan bahwa teknik konservasi

mulsa vertikal dapat menurunkan aliran

permukaan dan jumlah tanah tererosi.

Penggunaan mulsa diketahui sebagai

salah satu teknik konservasi yang dapat

mengurangi evavotranspirasi. Penggunaan mulsa

pada pertanaman jagung mampu meningkatkan

kadar air tanah, kandungan N, P, K, serta bobot

100 biji tanaman jagung dibandingkan dengan

perlakuan tanpa mulsa (Hinarti et al., 2012). Lama

penggunaan mulsa berkorelasi positif terhadap

hasil tanaman jagung. Penggunaan mulsa sampai

35 HST meningkatkan hasil sebesar 11,5%

dibanding tanpa menggunakan mulsa (Utama et

al. 2013).

Manfaaat jangka panjang dari pertanian

konservasi adalah dapat mempertahankan

keberlanjutan dari usahatani. Hasil penelitian Da

Silva et al. (2015) menunjukkan bahwa lahan

konservasi vegetatif (budidaya lorong)

dibandingkan dengan lahan yang tidak

dikonservasi memberikan gross margin yang

lebih tinggi mulai tahun ketiga dari pengusahaan

lahan tersebut (Tabel 9). Lahan yang tidak

dikonservasi mengalami penurunan kualitas lahan

dimana gross margin yang diterima petani

cenderung mengalami penurunan. Hal ini

membuktikan bahwa lahan yang dikonservasi

dapat mempertahankan keberlanjutan usaha tani

dengan mencegah terjadinya degaradasi lahan.

Tabel 9. Gross Margin pada lahan konservasi dan tidak

konservasi di Kab. Timor Tengah Utara

(TTU) dan Kab. Timor Tengah Selatan (TTS)

Tahun

ke

Penerimaan

(Rp)

Biaya

(Rp)

Gross Margin

(Rp)

Konservasi

1 9.257.862 4.657.019 4.600.843

2 9.570.702 4.976.537 4.594.165

3 12.357.919 6.941.165 5.416.754

4 16.302.760 8.116.861 8.185.899

5 15.020.805 7.851.054 7.169.751

Tanpa Konsevasi

1 6.044.444 1.440.000 4.604.444

2 5.822.222 1.440.000 4.382.222

3 4.311.111 1.440.000 2.931.111

4 2.953.333 1.440.000 1.613.333

5 1.133.968 1.440.000 -146.032

Sumber: da Silva et al. (2015)

DUKUNGAN KELEMBAGAAN

Optimalisasi lahan kering iklim kering

seringkali terbentur pada kendala sosial ekonomi.

Dukungan kelembagaan masih jauh dari memadai

dan akses petani terhadap input produksi dan

pasar masih terbatas. Da Silva dan deRosari

(2017) menyatakan peran kelembagaan di NTT

dipilah menjadi empat kelompok, yaitu: (1)

lembaga yang berperan dalam penyediaan input,

(2) lembaga yang bergerak di bidang produksi, (3)

lembaga pengolahan hasil, serta (4) lembaga

pembiayaan dan pemasaran hasil. Kelangkaan

input produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida

adalah kendala dalam produksi jagung.

Pengolahan hasil jagung seperti

pembuatan roti, brownish, kue kering, dan mie

memberikan nilai tambah bagi pendapatan. Hal

lain yang perlu mendapat perhatian dalam

pengembangan jagung adalah pasar. Akses petani

pada kelembagaan pasar sangat penting.

Penguatan peran kelembag/aan berpeluang

meningkatkan produktivitas jagung di lahan

kering iklim kering.

Page 44: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

39 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa

Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)

KESIMPULAN

Kondisi geografis yang bergelombang,

berbukit, sampai bergunung dengan solum

dangkal dan berbatu menyebabkan lahan rentan

mengalami degradasi. Ketersediaan air

merupakan faktor pembatas utama dalam

usahatani jagung. Meskipun Provinsi NTT

beriklim kering dengan curah hujan <2.000

mm/tahun, namun sumber air permukaan dari

gunung (sungai, embung, dam parit) dan mata air

cukup tersedia dan belum dimanfaatkan secara

optimal. Jika air dapat disediakan, potensi

peningkatan produksi jagung pada lahan kering

iklim kering sangat besar. Teknologi pengelolaan

air merupakan titik ungkit dalam pengembangan

pertanian di lahan kering iklim kering.

Peluang peningkatan produktivitas

jagung di lahan kering iklim kering dapat

dilakukan melalui penerapan inovasi teknologi

maju seperti penggunaan varietas unggul jagung

komposit dan hibrida, pemberian bahan organik,

biochar, mulsa, pemupukan berimbang, dan

pengelolaan air serta penerapan teknik konservasi

lahan. Secara teknis prospek pengembangan

tanaman jagung di lahan kering beriklim kering

masih sangat besar. Di lain pihak, optimalisasi

lahan kering iklim kering seringkali terbentur

pada kendala sosial ekonomi. Dukungan

kelembagaan masih jauh dari memadai dan akses

petani terhadap input produksi dan pasar masih

terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

Adijaya, I.N. dan I.M.R. Yasa. 2015. Pengaruh

pupuk organik terhadap sifat tanah,

pertumbuhan, dan hasil jagung. Prosiding

Seminar Nasional “Inovasi Teknologi

Pertanian Spesifik Lokasi”. Balai Besar

Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Banjarbaru. Hal.

299-310.

Balitbangtan. 2015. 500 Teknologi Inovatif

Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. IAARD Press.

Jakarta

Balitklimat. 2003. Atlas Sumberdaya Iklim

Pertanian Indonesia Skala 1: 1.000.000.

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi,

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah

dan Agroklimat, Bogor. Indonesia.

Banjarnahor, D. dan B.H. Simanjuntak. 2015.

Pola tanam Kabupaten Sumba Tengah yang

sesuai dengan curah hujan setempat.

Prosiding Konser Karya Ilmiah. Fakultas

Pertanian dan Bisnis. Universitas Kristen

Satya Wacana. Salatiga. Hal. 97-107.

BPS. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-

2035. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 472

hal

BPS. 2016. Statistik Indonesia 2016. Badan Pusat

Statistik, Jakarta.

BPS Provinsi NTT. 2013-2016. Provinsi Nusa

Tenggara Timur Dalam Angka. Badan

Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur,

Kupang.

BPS Provinsi NTT 2017a. Provinsi Nusa

Tenggara Timur Dalam Angka 2017.

Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa

Tenggara Timur. Kupang. 521 hal.

BPS Provinsi NTT. 2017b. Hasil Survei Struktur

Ongkos Usaha Tanaman Palawija. Badan

Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara

Timur, Kupang.112 hal.

Cheng, C.H., J. Lehmann, J.E. Thies, S.D. Burton,

dan M.H. Engelhard. 2006. Oxidation of

black carbon through biotic and abiotic

processes. Organic Geochemistry 37: 1477-

1488.

Da Silva, H. dan B.B. deRosari. 2017. Dukungan

Inovasi Teknologi Jagung dan

Kelembagaan Penunjang Swasembada

Pangan di Ekoregional Lahan Kering Nusa

Tenggara Timur. Dalam Pasandaran, E., M.

Syakir, R. Heriawan, dan M.P. Yufdy (Ed).

Pembangunan Pertanian Wilayah Berbasis

Kearifan Lokal dan Kemitraan. IAARD

Press. Jakarta. Hal. 63-88.

Da Silva, H., B.B. deRosari, dan S. Ratnawaty.

2015. An economic analysis of the effect of

soil conservation on food and feed

provision in dryland agribusinesses on

Timor Island, Indonesia. The 6th

Page 45: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

40 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42

International Seminar on Tropical Animal

Production “Integrated Approach in

Developing Sustainable Tropical Animal

Production”. Faculty of Animal Science.

Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Hal.

586-595.

Dariah, A. dan N.L. Nurida. 2012. Pemanfaatan

biochar untuk meningkatkan produktivitas

lahan kering beriklim kering. Buana Sains,

12(1): 33-38.

Endriani. 2010. Sifat Fisika dan Kadar Air Tanah

Akibat Penerapan Olah Tanah Konservasi.

Jurnal Hidrolitan, 1(1): 26-34.

Hartutik, S., P.T. Fernandez, dan S. Ratnawaty.

2012. Evaluation of legume herbs nutritive

value as a ruminant feed and nitrogen

supply on soil in West Timor, Indonesia.

Pakistan Journal of Agriculture Research,

25(4): 323-331.

Hikmatullah dan Chendy. 2008. Klasifikasi dan

Sifat-sifat Tanah. hlm. 37-91 dalam Buku

Sumberdaya Tanah dan Pulau Flores Nusa

Tenggara Timur: Karakteristik dan

Potensinya untuk Pertanian. Balai Besar

Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian,

Bogor.

Hinarti, W.O., L.O. Safuan, dan A. Bahrun. 2012.

Produksi tanaman jagung (Zea mays L.)

dengan pemberian bahan organik dan

mulsa pada lahan kering Kabupaten Muna.

Berkala Penelitian Agronomi, 1(1):79-85.

Ishaq, L., A.S.J.A. Tae, M.A. Airthur, dan P.O.

Bako. 2017. Abundance of Arbuscular

Mycorrhiza associated with corn planted

with traditional and more modern farming

systems in Kupang, East Nusa Tenggara,

Indonesia. Biodiversitas, 18(3): 887-892.

Kaihatu, S.S. dan M. Periseron. 2016. Adaptasi

beberapa varietas jagung pada

agroekosistem lahan kering di Maluku.

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan,

35(2):141-148.

KemenPUPR, 2017. Buku Informasi Statistik

2017. Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat, Jakarta.

Kementerian ESDM, 2017. Peraturan Menteri

ESDM nomor 2 tahun 2017. Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.

Kresnatita, S., Koesriharti, dan M. Santoso. 2013.

Pegaruh pupuk organik terhadap

pertumbuhan dan hasil tanaman jagung

manis. Indonesian Green Technology

Journal, 2(1):8-17.

Mulyani, A. dan M. Sarwani. 2013. Karakteristik

dan potensi lahan sub optimal untuk

pengembangan pertanian di Indonesia.

Jurnal Sumberdaya Lahan, 7(1):47-56.

Mulyani, A., A. Dariah, N. L. Nurida, H.

Sosiawan, I. Las. 2014. Penelitian dan

pengembangan pertanian di lahan sub

optimal lahan kering iklim kering: Desa

Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten

Bima, Provinsi NTB. Makalah pada

Seminar Ilmiah Sistem Riset Inovasi

Nasional (InSinas 2014), Kemenristek,

Bandung, 1-2 Oktober 2014.

Mulyani, A., A. Suriadi, R. E. Subandiono, dan

Suratman. 2015. Biophysical

characteristics of dry-climate upland and

agriculture development challenges in

West Nusa Tenggara and East Nusa

Tenggara Provinces. International Soil

Conference. Sustainable Uses of Soil in

Harmony with Food Security. Land

Development Department. Phetchaburi

Thailand.

Nur, M.S.M., T. Islami, E. Handayanto, W.H.

Nugroho, dan W.H. Utomo. 2014. The Use

of biochar fortified compost on calcareous

soil of East Nusa Tenggara, Indonesia: 2.

Effect on the Yield of Maize (Zea Mays L.)

and Phosphate Absorption. American-

Eurasian Journal of Sustainable

Agriculture, 8(5): 105-111.

Nursanti, I. 2017. Teknologi produksi dan aplikasi

mikroba pelarut hara sebagai pupuk hayati.

Jurnal Media Pertanian, 2(1):24-36.

Obalum, S.E., G.U. Chibuike, S. Peth, dan Y.

Ouyang. 2017. Soil organic matter as sole

indicator of soil degradation. Environment

Monitoring and Assesment, 189(4):176.

Pamuji, T.D., A. Hartono, dan S. Anwar. 2016.

Karakterisasi Erapan Fosfor pada Tanah

Berkapur dari Nusa Tenggara Timur, Jawa

Timur, dan Jawa Barat. Skripsi. Fakultas

Pertanian. Departemen Ilmu Tanah dan

Page 46: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

41 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa

Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)

Sumberdaya Lahan. Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Prianto, E., C. Umar, E.S. Kartamihardja, dan

Husnah. 2017. Pengelolaan dan

pemanfaatan air embung dan bendung di

Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal

Kebijakan Perikanan Indonesia, 9(2): 105-

114.

Puslitbangtan, 2016. Deskripsi Varietas Unggul

Tanaman Pangan 2010-2016. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Bogor.

Rengganis, H. 2016. Potensi dan upaya

pemanfaatan air tanah untuk irigasi lahan

kering di Nusa Tenggara. Jurnal Irigasi,

11(2): 67-80.

Ritung, S., E. Suryani, D. Subardja, Sukarman, K.

Nugroho, Suparto, Hikmatullah, A.

Mulyani, C. Tafakresnanto, Y. Sulaeman,

R. E. Subandiono, Wahyunto, Ponidi, N.

Prasodjo, U. Suryana, H. Hidayat, A.

Priyono, dan W. Supriatna. 2015. Sumber

Daya Lahan Pertanian Indonesia: Luas,

Penyebaran, dan Potensi Ketersediaan.

IAARD Press. Jakarta.

Sabaruddin, L., Y. Koesmaryono, H. Pawitan, dan

H.M.H.B. Djoefrie. 2003. Tanggap

fisiologis tanaman jagung dan kacang tanah

dalam sistem tumpangsari di lahan beriklim

kering. Jurnal Agromet, 17(1-2): 21-29.

Seran, Y.L., M. Kote, dan J. Triastono. 2012.

Produktivitas jagung dan pendapatan petani

pada sistem usahatani jagung ahuklean di

Daerah Aliran Sungai Benanai, Kawasan

Besikama, NTT. Prosiding Seminar

Nasional Serelia: Inovasi Teknologi

Mendukung Swasembada Jagung dan

Diversifikasi Pangan. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan. Badan

Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan. Maros. Hal. 666-674.

Suparwata, D.O., Nurmi, dan M.I. Bahua. 2012.

Penggunaan mulsa vertikal pada lahan

kering untuk menekan erosi, aliran

permukaan dan pengaruhnya terhadap

pertumbuhan dan produksi jagung. Jurnal

Agrotekno Tropika, 1(3): 138-145.

Supit, J.M.J., Y.E.B. Kamagi, dan W.J.

Kumolontang. 2016. Pemanfaatan kompos

pada lahan kritis untuk menunjang produksi

bawang merah, kacang tanah, dan kedele di

Kabupaten Minahasa Utara. Eugenia,

22(2): 70-79.

Supriatna, A. 2012. Meningkatkan indeks

pertanaman padi sawah menuju IP Padi

400. Agrin: Jurnal Penelitian Pertanian,

16(1): 1-18.

Suradisastra, K. 2013. Pengembangan lahan

kering masa depan tekno-sosial. Makalah

dipresentasikan pada FGD Konsorsium

Penelitian dan Pengembangan Sistem

Pertanian Terpadu di Lahan Sub Optimal

(Lahan Kering Masam dan Lahan Kering

Iklim Kering) Berbasis Inovasi Teknologi,

Jakarta, 13 September 2013.

Syamsu, J.A. 2006. Analisis Potensi Limbah

Tanaman Pangan sebagai Sumber Pakan

Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan.

Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut

Pertanian Bogor. Bogor

Tandisau, P. dan M. Thamrin. 2009. Kajian

pemupukan N, P dan K terhadap jagung

pada lahan kering tanah Typic Ustropepts.

Jurnal Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian, 12 (2): 126-134

Utama, H.N., H.T. Sebayang, dan T. Sumarni.

2012. Pengaruh lama penggunaan mulsa

dan pupuk kandang pada pertumbuhan dan

hasil tanaman jagung (Zea mays L.)

varietas Potre Koneng. Jurnal Produksi

Tanaman, 1(4): 292-298.

Widiyono, W., R. Abdulhadi, dan B. Lidon. 2006.

Kajian erosi dan pendangkalan embung di

Pulau Timor-NTT: Studi kasus Embung

Oemasi dan Embung’Leosama. Limnotek

XIII, (2): 21-28.

Widiyono, W. 2008. Konservasi flora, tanah dan

sumberdaya air embung-embung di Timur

Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur (Studi

Kasus embung Oemasi-Kupang dan

embung Leosama-Belu). Jurnal Teknologi

Lingkungan, 9(2):197-204

Widiyono, W. 2010. Inventarisasi jenis-jenis

tumbuhan dan kesesuaian lahan untuk

konservasi daerah tangkapan sumber mata

Page 47: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

42 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42

air ’Wetihu’ Desa Baudaok Kecamatan

Tasifeto Timur – Belu. Jurnal Teknologi

Lingkungan, 11(3): 353-361.

Yu, O.Y., B. Raichle, dan S. Sink. 2013. Impact

of biochar on the water holding capacity of

loamy sand soil. International Journal of

Energy and Environmental Engineering,

4(1):1-9.

Page 48: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

43 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara

(Samrin dan Muh. Asaad)

KETERSEDIAAN BENIH MELALUI UNIT PENGELOLA BENIH SUMBER (UPBS) PADI DI SULAWESI TENGGARA

Samrin dan Muh. Asaad

Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian Sulawesi Tenggara.

Jln. Prof. Muh. Yamin No.89. Puwatu. Kendari

Email: [email protected]

ABSTRACT

Seed Availability Through the Paddy Seed Source Management Unit in Southeast Sulawesi. Seed is one

of the factors that determine the success of plant cultivation whose role cannot be replaced by other factors, because

seed is a plant material and a carrier of genetic potential. The high yelding varieties can be enjoyed by consumers

if the seeds planted have good quality. Provision high yelding seeds plays a prominent role among the technology

produced through research, both in its contribution to increasing yield per unit area or as one of the main

components in controlling pests and diseases. High yelding varieties are one of the technologies that play an

important role in increasing the quantity and quality of agricultural products. The availability of sufficient quality

high yelding varieties of seeds is a major technological component in farming. Quality seeds from high yelding

varieties of location specific species are also the fastest technological component adopted by farmers. This activity

aims to produce ES class certified seeds as much as 15 tons (varieties, quality, quantity, time and price) according

to user needs. Accelerate the use of new high yelding varieties (VUB) seeds in accordance with consumer

preferences, and synchronize with seed institutions in the regions. The activities of the paddy seed source

management unit (UPBS) of paddy rice were carried out in the Wawotobi Experiment Garden of Southeast Sulawesi

in Konawe Regency. By using technical irrigated rice fields, starting in January-December 2017. The yield of seeds

of several superior varieties in the first planting season (MT-I 2017) was 11,800 kg, namely Inpari 1 /ES (750 kg),

Inpari 30/ES (2,500 kg), Mekongga/ES (2,850 kg, and Ciliwung/ES (5,700 kg), while for Planting Season II (MT-II

2017) as many as 5,900 kg, namely Inpari 30/class FS (225 kg), Inpari 34/FS (200 kg), Inpari 38/B (200 kg), Inpari

30/ES (750 kg), Inpari 40/ES (400 kg), Inpari Blast/ES (225 kg), Mekongga/ES (1600 kg), Ciherang/ES (2300 kg).

Seed yields have been distributed at the farmer and breeder levels in several areas Southeast Sulawesi.

Keywords: rice, quality seeds, production, height

ABSTRACT

Benih merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya tanaman yang perannya tidak

dapat digantikan oleh faktor lain, karena benih sebagai bahan tanaman dan pembawa potensi genetik. Keunggulan

varietas dapat dinikmati oleh konsumen bila benih yang ditanam bermutu baik. Penyediaan benih unggul memegang

peranan yang menonjol diantara teknologi yang dihasilkan melalui penelitian, baik dalam kontribusinya terhadap

peningkatan hasil per/satuan luas maupun sabagai salah satu komponen utama dalam pengendalian hama dan

penyakit. Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan

kualitas produk pertanian. Ketersediaan benih varietas unggul bermutu yang cukup merupakan komponen teknologi

utama dalam usahatani. Benih bermutu dari varietas unggul spesik lokasi juga merupakan komponen teknologi yang

paling cepat diadopsi oleh petani. Kegiatan ini bertujuan menghasilkan benih unggul bersertifikat klas ES sebanyak

15 ton secara tepat (varietas, mutu, jumlah, waktu dan harga) sesuai kebutuhan pengguna. Mempercepat

penggunaan benih varietas unggul baru (VUB)yang sesuai dengan preferensi konsumen. Melakukan sinkronisasi

dengan lembaga perbenihan yang ada di daerah. Kegiatan Unit pengelola benih sumber (UPBS) padi sawah

dilaksanakan di Kebun Percobaan Wawotobi BPTP Sulawesi Tenggara di Kabupaten Konawe. Dengan

menggunakan lahan sawah irigasi teknis, mulai bulan Januari-Desember 2017. Hasil produksi benih beberapa

Varietas unggul pada musim tanam I (MT-I 2017) sebanyak 11.800 kg, yaitu Varietas Inpari 15/ES (750 kg), Inpari

Page 49: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

44 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54

30/ES (2.500 kg), Mekongga/ES (2.850 kg, dan Ciliwung/ES (5.700 kg), sedangkan untuk Musim Tanam II (MT-

II 2017) sebanyak 5.900 kg, yaitu Inpari 30/klas FS (225 kg), Inpari 34/FS (200 kg), Inpari 38/FS (200 kg), Inpari

30/ES (750 kg), Inpari 40/ES (400 kg), Inpari Blast/ES (225 kg), Mekongga/ES (1600 kg), Ciherang/ES (2300 kg).

Benih Hasil produksi telah terdistribusi di tingkat petani dan penangkar di beberapa daerah Sulawesi Tenggara.

Kata kunci: padi, benih bermutu, produksi, tinggi

PENDAHULUAN

Benih merupakan salah satu unsur pokok

dalam usahatani padi, dimana sebagian besar hasil

panen dan kualitas tanaman tergantung pada

kualitas benih yang ditanam (Awotide et

al.,2011). Kedepannya kebutuhan benih

berkualitas tersebut akan semakin meningkat

sejalan dengan target pemerintah dalam

pencapaian swasembada beras. Pengembangan

komoditi ini masih dihadapkan permasalahan

akses terhadap sarana produksi diantaranya benih

berlabel, pupuk dan permodalan. Begitu pula

kondisi di Sulawesi tenggara, sebagian besar

petani masih menggunakan benih dari hasil

pertanamannya dan umumnya sudah ditanam

beberapa kali musim tanam. Santoso, et al.,

(2005) menyatakan bahwa penggunaan benih

bermutu rendahakan mempengaruhi produksi

baik jumlah maupun kualitas. Dampaknya akan

berpengaruh terhadap capaian program pemerin-

tah dalam pelestarian dan peningkatan produksi

pangan.

Upaya menjamin ketersediaan benih

bermutu dari varietas unggul serta meningkatkan

penggunaannya di kalangan petani maka program

pengembangan perbenihan dari hulu sampai hilir

harus lebih terarah, terpadu, dan

berkesinambungan (Balibangtan, 2011). Hal ini

penting artinya mengingat alur produksi benih

melibatkan berbagai institusi. Upaya penciptaan

benih bermutu dan berlabel dapat dilakukan

dengan menumbuhkan calon-calon produsen

benih padi dan menggairahkan pasar perbenihan.

Peluang usaha perbenihan padi masih cukup

terbuka karena setiap tahunnya petani

membutuhkan benih ditambah kebutuhan untuk

mensupport program pemerintah yang berkaitan

pengadaan benih.

Perkembangan selanjutnya benih tidak

hanya berfungsi sebagai bahan untuk tujuan

pertanaman, namun juga berfungsi sebagai sarana

pembawa inovasi teknologi (Nugraha, 2003).

Sebagai contoh, keunggulan varietas baru dengan

hasil yang tinggi baru akan dirasakan manfaatnya

oleh petani jika tersedia benih bermutu yang

cukup untuk ditanam. Oleh karena itu, industri

benih sangat diperlukan untuk mendukung

pertanian yang tangguh terutama untuk

memfasilitasi penyebaran varietas unggul kepada

petani dan melindungi mutu yang dihasilkan

selama proses produksi dan distribusinya

sehingga keunggulan varietas yang dirakit oleh

pemulia sampai ke tangan konsumen benih.

Kebutuhan benih padi di Sulawesi

Tenggara masih cukup tinggi, jika dilihat dari luas

sawah 121.122 ha dengan asumsi per/hektar 25

kg, maka kebutuhan benih sebanyak 3.028.050

ton/MT (Dinas Pertanian Sultra, 2015). Dalam

rangka mendukung ketersediaan benih sumber di

Sulawesi Tenggara, Unit Pengelola Benih Sumber

(UPBS) BPTP Sultra sampai dengan tahun 2016,

telah memproduksi benih sumber dari berbagai

jenis varietas unggul baru (VUB) diantaranya

Ciherang, Cisantana, Mekongga, Inpari, Inpara,

dan Inpago.

Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS)

BPTP Sulawesi Tenggara mempunyai mandat

menghasilkan benih sumber kelas FS dan SS

dengan jumlah dan varietas yang disesuaikan

dengan kebutuhan, permintaan, preferensi serta

karakteristik agroekosistem, dan sosial budaya

setempat (BBP2TP, 2013).

Produksi benih sumber di UPBS KP

Wawotobi BPTP Sultra sejak tahun 2010 sampai

dengan 2016 yaitu masing-masing tahun 2010

(15.590 kg) tahun 2011 (13.400 kg), tahun 2012

(18.368 kg), tahun 2013 (10.780 kg), tahun 2014

(7.575 kg), tahun 2015 (8.000 kg) dan tahun 2016

(11.250 kg). Lebih jelasnya dapat dilihat pada

Tabel 1. Hasil benih tersebut telah dimanfaatkan

oleh petani dan beberapa penangkar yang berada

di wilayah Sulawesi Tenggara. Faktor anomali

musim yang menyebabkan ledakan populasi dan

serangan OPT yang tinggi masih merupakan

Page 50: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

45 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara

(Samrin dan Muh. Asaad)

kendala di dalam peningkatan hasil produksi

benih sumber.

Tabel 1. Produksi benih sumber di UPBS KP

Wawotobi BPTP Sultra 2010 – 2016

Tahun Produksi (ton)

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

15.590

13.400

18.368

10.780

7.575

8.000

11.250

Sumber : BPTP Sultra 2016

Adapun tujuan dari kegiatan ini yaitu

menghasilkan benih unggul bersertifikat secara

tepat (varietas, mutu, jumlah, waktu dan harga)

sesuai kebutuhan dan preferensi konsumen.

METODE PENGKAJIAN

Koordinasi dan Sosialisasi

Kegiatan koordinasi dan sosialisasi

dilaksanakan pada tingkat propinsi Sulawesi

Tenggara dan Kabupaten Konawe. Terutama

dengan instansi teknis yang berkaitan dengan

kegiatan perbenihan benih sumber padi yaitu

Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten konawe,

serta UPTD BPSBTPH Sulawesi Tenggara.

Pengumpulan Data

Data yang berhubungan dengan kegiatan

perbenihan benih sumber padi diperoleh dari

instansi terkait diantaranya Dinas Pertanian, BPS

(Badan Pusat Statistik) dan UPTD BPSBTPH

Propinsi Sulawesi Tenggara. Kemudian data

keragaan tanaman, hasil produksi benih di peroleh

dari hasil pengamatan di lapangan dan setelah

kegiatan prosesing benih.

Waktu dan Lokasi Kegiatan

Kegiatan perbenihan benih sumber padi

telah dilaksanakan di Kebun Percobaan

Wawotobi BPTP Sulawesi Tenggara di

Kabupaten Konawe. Dengan menggunakan lahan

sawah irigasi teknis seluas 4 Ha/ Musim Tanam,

mulai bulan Januari-Desember 2017.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan antara lain

benih VUB Inpari 15, Inpari 30, Ciliwung dan

Mekongga pada musim tanam I (MT I), dan Inpari

Blast, Inpari 30, Inpari 34, Inpari 38, Inpari 40,

Inpari 43, Ciherang, dan Mekongga pada musim

Tanam II (MT II), Pupuk Urea, NPK Phonska dan

pestisida. Sedangkan peralatan yang digunakan

antara lain PUTS, cangkul, sabit/arit, meteran,

traktor, caplak tanam, sprayer, power trheser,

seed cleaner, dryer, timbangan duduk kapasitas

100 kg, timbangan kecil kapasitas 5 kg, gerobak

gudang, arco/lori, sealer, karung benih (25 kg),

karung gabah(karung besar), plastik benih

kemasan 5 kg, moisture tester, mesin penjahit

karung,spidol, ballpoint, mistar, kamera dan map

snelhekter.

Tahapan Pelaksanaan

A. Pengolahan tanah

Pengolahan tanah dilakukan dengan

traktor, menggunakan bajak singkal hingga

setelah pembajakan I, sawah digenangi 7 hari

kemudian dilakukan pembajakan II diikuti dengan

penggaruan/penglembekan untuk pelumpuran dan

perataan. Pelumpuran dan perataan dimaksudkan

untuk penyediaan media pertumbuhan yang baik

bagi tanaman padi dan untuk mematikan gulma.

B. Pesemaian

Luas pesemaian kira-kira 4% dari luas

tanam atau 400 m²/ha lahan dengan

jumlah benih 25kg/ha

Membuat bedengan dengan lebar 120

cm, tinggi sekitar 10 cm dan panjangnya

disesuaikan dengan ukuran petak dan

kebutuhan.

C. Persiapan benih

Benih padi yang digunakan adalah benih

varietasInpari 15, Inpari 30, Inpari 34,

Inpari 38, Inpari 40, Inpari 43, Inpari

Blast, Ciliwung, Ciherang dan

Mekongga masing-masing sebanyak 25

kg.

Sebelum benih padi ditabur terlebih

dulu dilakukan perendaman selama 24

jam, kemudian ditiriskan dan diperam

Page 51: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

46 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54

selama 48 jam agar mendapatkan

pertumbuhan bibit yang seragam.

Menaburkan benih dengan kerapatan 50

g/m2 atau setara dengan 25 kg/ 400 m²

untuk kebutuhan 1 ha.

D. Penanaman

Penanaman dilakukan pada saat bibit

telah berumur 18 HSS, dengan cara tanam pindah

dengan sistem tanam jajar legowo 2 : 1, dengan

jarak tanam 20 cm x 10 cm x 40 cm. Jumlah bibit

perumpun 1-3 bibit dan ditanam dengan

kedalaman 1–3 cm.Setelah tanam, lahan

E. Pemupukan

Dosis pupuk yang digunakan yaitu 100 -

150 kg/ha Urea, 300 - 400 kg NPK

Phonska /ha

Waktu pemberian:

Pemupukan I (14 HST): Seluruh dosis

pupuk NPK Phonska

Pemupukan II (35 HST): Urea

(berdasarkan BWD)

F. Pemeliharaan Tanaman (Puslitbangtan,

2003)

Penyiangan dilakukan secara intensif

agar tanaman tidak terganggu oleh

gulma. Penyiangan dilakukan paling

sedikit 2 kali.

Pengairan dilakukan sejak penanaman

hingga menjelang panen.

Lahan pertanaman produksi benih diairi

setinggi 3 cm selama 3 hari segera setelah

selesai tanam.

Lahan kemudian dikeringkan dan

dibiarkan dalam keadaan macak-macak

selama 10 hari.

Selama fase pembentukan anakan hingga

menjelang primordia bunga, lahan

digenangi setinggi 3 cm.

Pada fase primordia sampai fase bunting

lahan digenangi setinggi sekitar 5 cm

untuk mencegah tumbuhnya anakan baru.

Pada fase bunting hingga fase berbunga

lahan dikeringkan dan diari secara

bergantian.

Selesai fase pembungaan hingga fase

pengisian bulir lahan diairi setinggi

sekitar 3 cm.

Pada fase pengisian bulir hingga 7 hari

menjelang panen lahan dikeringkan dan

diairi secara bergantian.

Lahan dikeringkan sejak 7 hari menjelang

panen hingga panen

G. Seleksi (Rouging )

Untuk menghasilkan benih murni perlu

dilakukan pembuangan rumpun-rumpun yang

tidak dikehendaki, minimal tiga kali selama

pertanaman yaitu pada stadia anakan maksimum,

stadia berbunga, dan stadia masak.

a. Seleksi pada stadia anakan maksimum

Identifikasi tanaman tipe simpang (Off-

type) dapat dilakukan berdasarkan perbedaan

morfologi tanaman/varietas yang diseleksi.

Tanaman yang harus dibuang dalam

seleksi adalah :

Tanaman yang tumbuh di luar jalur.

Tanaman yang kedudukan, bentuk, dan

ukuran daunnya berbeda.

Tanaman yang warna kakinya berbeda.

Tanaman yang tingginya berbeda.

Pembuangan tanaman tersebut dilakukan

dengan cara dicabut bersama akarnya agar tidak

tumbuh kembali.

b. Seleksi pada stadia berbunga

Seleksi pada fase ini sangat penting,

karena pada fase ini dapat diidentifikasi tanaman-

tanaman off-type yang pada awal pertumbuhan

tidak teridentifikasi yaitu:

Tanaman yang terlalu cepat/lambat

berbunga.

Tanaman yang bentuk gabahnya berbeda.

c. Seleksi pada stadia masak

Seleksi pada stadia ini merupakan

kesempatan terakhir untuk membuang tanaman-

tanaman off-type sebelum dipanen.

H. Panen dan prosesing hasil

Waktu panen yang tepat adalah pada saat

tanaman masak fisiologis atau apabila 90 %

gabah telah menguning. Perontokan gabah

Page 52: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

47 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara

(Samrin dan Muh. Asaad)

dilakukan dengan menggunakan mesin perontok

(power threiser). Untuk menghindari

tercampurnya benih dengan benih lain atau terjadi

kontaminasi,semua peralatan yang digunakan

harus bersih dari kotoran dan sisa gabah yang

tertinggal. Pengeringan benih dapat dilakukan

segera setelah perontokan dengan memanfaatkan

sinar matahari dan jika cuaca tidak mendukung,

maka pengeringan dilakukan dengan

menggunakan mesin pengering (dryer).

I. Pengawasan dan Pengujian Laboratorium

Pengawasan lapangan, gudang atau

tempat penyimpanan, dan pengawasan ketika

pemrosesan benih, serta pengujian benih di

laboratorium dilakukan oleh Pengawas Benih

yang mengemban tugas Dinas/Balai Pengawasan

dan Sertifikasi Benih (Kartasapoetra, 1986).

Apabila permohonan sertifikasi benih diluluskan

atau dinyatakan memenuhi standar mutu

laboratorium, produsen atau penangkar dapat

meminta pemasangan label sesuai dengan kelas

tertentu yang disetujui laboratorium.

J. Distribusi benih

Supaya benih yang telah dihasilkan dapat

terdistribusi dengan baik kepada pengguna, maka

dapat dilakukan dengan 2 (dua) mekanisme yaitu

(1) promosi/diseminasi dan (2) komersial.

1. Distribusi untuk kegiatanpromosi/diseminasi

Sosialisasi benih VUB padi kepada dinas

Pertanian, BP4K (Propinsi/Kabupaten/Kota).

Pemberian bantuan benih kepada petani

melalui dinas pertanian kabupaten/kota

dan/atau badan pelaksana penyuluhan

pertanian kabupaten/kota setempat untuk

dimanfatkan dalam kegiatan demo varietas,

demplot, display VUB, kaji terap varietas

unggul,dsb.

Mengikuti atau menjadi peserta pameran

dalam rangka hari pertanian, hari ulang tahun

(HUT) propinsi /kabupaten/kota, pameran

pembangunan, dsb.

2. Distribusi benih secara komersial

Produksi benih yang dimanfaatkan secara

komersial atau dijual, maka hasil penjualan

sepenuhnya harus disetorkan kepada kas negara

sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Pada prinsipnya dalam penyaluran (distribusi)

benih, baik yang bersifat bantuan (gratis) maupun

benih yang dikomersialkan (dijual) sebagai

PNBP, maka perlu dilengkapi dengan bukti tanda

terima (serah-terima) benih atau berita acara serah

terima benih.

K. Sistem informasi (SI ) UPBS

Salah satu media informasi yang berbasis

komputer atau web, yang bertujuan untuk

memudahkan monitoring logistik benih secara

real time di tiap UPBS BPTP dan memudahkan

koordinasi kebutuhan, jenis, varietas dan stok

benih antar UPBS BPTP, instansi lain dan

masyarakat umum.

LAYANAN INFORMASI BENIH UNTUK

MASYARAKAT/ PENGGUNA (Home)

www.upbs.litbang.pertanian.go.id

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi

Kegiatan Unit Pengelola Benih Sumber

(UPBS) padi ini dilaksanakan di Kebun

Percobaan Wawotobi yang terletak di Kelurahan

Lalosabila, Kecamatan Wawotobi, Kabupaten

Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Letak KP

Wawotobi 67 km pada jalur poros Kendari –

Kolaka yang berada di sebelah barat ibu kota

Propinsi Sulawesi Tenggara. Pada ketinggian

tempat 55 m dpl, dan berada pada posisi ordinat

3,55˚ LS dan 122,6˚ BT. Secara administrasi

Kebun Percobaan Wawotobi di Kelurahan

Lalosabila berbatasan wilayah dengan sebelah

utara: Kelurahan Parauna, sebelah

selatan:Kelurahan Konawe, sebelah barat:

Page 53: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

48 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54

Kelurahan Tuoy, sebelah timur: Kelurahan

Wawotobi.

Status Hara Tanah

Hasil analisis tanah dengan menggunakan

PUTS dilokasi pengkajian menunjukkan bahwa

status hara N sedang ( Urea 200 Kg/ha), hara P

sedang (SP 36 75 Kg/ha), dan hara K sedang (

KCl 50 Kg/ha).

Sertifikasi Benih Sumber

Benih sering menjadi masalah utama

dalam usahatani padi sawah, yang disebabkan

antara lain terbatasnya ketersediaan benih sumber,

kurangnya produsen atau penangkar benih lokal,

tingginya risiko dan minimnya keuntungan usaha

perbenihan, dan kecenderungan petani

menggunakan benih seadanya.

Selanjutnya Wahyuni (2005)

mengungkapkan, bahwa rendahnya efisiensi

produksi industri perbenihan disebabkan oleh

rendahnya produksi benih, tingginya persentase

ketidaklulusan benih dalam uji di laboratorium

yang disebabkan oleh pengendalian mutu yang

tidak efektif, dan pembatalan oleh penangkar

karena harga calon benih yang tidak menarik.

Sementara di tingkat petani, beberapa penyebab

rendahnya penggunaan benih padi bersertifikat

antara lain benih padi secara tradisional telah

tersedia di tangan petani dalam bentuk gabah hasil

panen dari pertanaman sebelumnya.

Penggunaan benih padi bersertifikat oleh

petani pada tahun 2008 sebesar 53,20%, dan pada

tahun 2009 diperkirakan penggunaan benih padi

bersertifikat meningkat menjadi 62,89% (Sinar

Tani 2010). Menurut laporan BPSBTPH (2013),

bahwa jumlah benih padi yang bersertifikat di

Sulawesi Tenggara mencapai 843.915 ton.

Untuk memproduksi benih sumber padi

hal pertama yang harus dilakukan yaitu

mengajukan permohonan sertifikasi benih kepada

BPSB Provinsi Sultra secara tertulis dengan

menggunakan formulir yang berlaku paling

lambat 10 hari sebelum tanam. Satu permohonan

berlaku untuk satu unit sertifikasi yang terdiri atas

satu varietas dan satu kelas benih serta

permohonan di lampiri label benih sumber yang

akan di produksi. Penentuan waktu persemaian

benih dilakukan ketika sudah berlangsung

kegiatan pengolahan lahan.

Pemeriksaan lapangan pendahuluan

dilakukan terhadap dokumen dan lahan yang

digunakan untuk memproduksi benih sumber

yang meliputi sejarah penggunaan lahan dan

keadaan lahan. Pemeriksaan pendahuluan ini di

lakukan sebelum kegiatan tanam dimulai. Untuk

pemeriksaan pertama (fase vegetatif) diajukan

paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan

pemeriksaan dan dilakukan pada umur minimal

12 hari setelah tanam. Pemeriksaan lapangan

kedua (fase berbunga) dilakukan pada saat

pertanaman padi berbunga (85 – 90 HST)

sedangkan untuk pemeriksaan lapangan ketiga

(sebelum panen) dilaksanakan pada saat

menjelang panen.

Page 54: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

49 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara

(Samrin dan Muh. Asaad)

Panen dilakukan setelah dinyatakan lulus

sertifikasi lapangan oleh BPSB, Peralatan yang

digunakan untuk panen (sabit, karung, terpal, alat

perontok atau trheser dan driyer) dibersihkan

terlebih dahulu. Panen dilakukan pada waktu biji

telah masak fisiologis atau 90 -95 % malai telah

menguning. Gabah calon benih yang telah di

prosesing/pengolahan selanjutnya diambil

contoh/sampel benihnya oleh BPSB yang

selanjutnya akan di lakukan pengujian

laboratorium. Benih sumber yang telah lulus

sertikasi selanjutnya diberikan label (putih,ungu,

biru) sesuai kemasannya (kemasan 25 kg dan 5

kg).

Pengawasan mutu benih memiliki

peranan utama dalam produksi benih. Semua

tahapan dari perbanyakan benih, pengolahan dan

penyimpanan sampai kepada distribusi dan

pemasaran harus dilakukan pengawasan yang

meliputi (1) pengujian mutunya, (2) pengawasan,

(3) peraturan, dan (4) sertifikasi.

Benih sumber yang digunakan untuk

pertanaman produksi benih satu kelas lebih tinggi

dari kelas benih yang akan diproduksi. Untuk

memproduksi benih kelas FS (Foundation

Seed/Benih Dasar (BD) atau lebel putih, maka

benih sumbernya adalah benih padi kelas BS

(Breeder Seed/Benih Penjenis/BS) atau label

kuning, sedangkan untuk memproduksi benih

kelas SS (Stock Seed/Benih Pokok/BP) atau label

ungu, maka benih sumbernya adalah benih FS

atau boleh juga BS dan untuk memproduksi benih

kelas ES (Extension Seed/benih Sebar/BR) label

Biru maka benih sumbernya adalah benih kelas SS

atau FS ( BBP2TP, 2011).

Keragaan Agronomis Tanaman

Varietas unggul memberikan manfaat

teknis dan ekonomis yang banyak bagi

perkembangan suatu usaha pertanian,

diantaranya: pertumbuhan tanaman menjadi

seragam sehingga panen menjadi serempak,

rendemen lebih tinggi, mutu hasil lebih tinggi dan

sesuai dengan selera konsumen, dan tanaman akan

mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap

gangguan hama dan penyakit serta mempunyai

daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan

sehingga dapat memperkecil biaya penggunaan

input seperti pupuk dan obat-obatan (Suryana dan

Prayogo , 1997).

Pengamatan terhadap komponen

pertumbuhan menunjukkan bahwa rata-rata tinggi

tanaman antara 91,50 – 100,15, anakan produktif

antara 11,15 – 14,10 batang perumpun dan umur

tanaman antara 108–115 hari (Tabel 3).

Tabel 2. Prosedur sertifikasi benih sumber padi

No Uraian kegiatan Pelaksanaan Hasil

1 Mengajukan permohonan dengan kelas benih (FS dan

SS )

BPSB, lampirkan label

benih

Berkas

2 Menentukan tanggal semai dan tanam UPBS dan BPSB Lokasi/tempat

siap tanam

3 Pemeriksaan pendahuluan BPSB dan UPBS Berkas, lokasi

4 Pemeriksaan lapangan pertama ( fase vegetatif) BPSB dan UPBS Berkas,

pertanaman

5 Pemeriksaan lapangan kedua ( fase berbunga) BPSB dan UPBS Berkas,

pertanaman

6 Pemeriksaan lapangan ketiga (sebelum panen) BPSB dan UPBS Berkas,

pertanaman

7 Penentuan waktu panen BPSB dan UPBS Berkas,

pertanaman

8 CBKS ( calon benih kering sawah ) UPBS Benih

9 Proses menjadi calon benih UPBS Benih

10 Uji laboratorium BPSB Lulus uji

11 Keluar draf sertifikat BPSB Pengemasan

benih

12 Cetak label BPSB Label benih

13 Pengemasan benih ( kemasan 25 kg) UPBS Benih

Page 55: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

50 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54

Produksi dan Distribusi Benih Sumber Padi

Upaya untuk terus menemukan dan

mengembangkan varietas unggul yang lebih

unggul (kualitas dan kuantitas, termasuk

aromatik) dan mempunyai daya adaptasi yang

lebih baik terhadap lingkungan tumbuh tertentu

(spesifik) merupakan salah satu kebijakan yang

tepat untuk pengembangan usahatani padi yang

produktif, efektif dan efisien dimasa yang akan

datang ( Imran et al., 2003).

Perbanyakan benih pada umumnya

dimulai dari penyediaan benih penjenis (BS) oleh

Balai Penelitian komoditas, sebagai sumber bagi

perbanyakan benih dasar (FS), benih dasar

sebagai sumber bagi perbanyakan benih Pokok

(SS), dan benih pokok sebagai sumber bagi

perbanyakan benih sebar (ES). Kesinambungan

alur perbanyakan benih tersebut sangat

berpengaruh terhadap ketersediaan benih sumber

yang sesuai dengan kebutuhan petani/penangkar

benih dan menentukan proses produksi benih.

kelancaran alur perbanyakan benih sangat

menentukan kecepatan penyebaran varietas

unggul baru kepada petani

Keragaan Hasil produksi benih varietas

unggul padi pada musim tanam I (MT-I 2017 ),

Sebanyak 11.800 kg,yaitu Varietas Inpari 15/ES

(750 kg), Inpari 30/ES (2.500 kg), Mekongga/ES

(2.850 kg, dan Ciliwung/ES (5.700 kg). Lebih

jelasnya dapat lihat pada Tabel 4.

Keragaan hasil produksi benih Varietas

unggul padipada musim tanam II (MT-II 2017 ),

Sebanyak 5.900 kg, yaitu Inpari 30/klas FS (225

kg), Inpari 34/FS (200 kg), Inpari 38/FS (200 kg),

Inpari 30/ES (750 kg), Inpari 40/ES (400 kg),

Inpari Blast/ES (225 kg), Mekongga/ES (1600

kg), Ciherang/ES (2300 kg).Lebih jelasnya dapat

lihat pada Tabel 5.

Distribusi benih unggul bersertifikat

dilakukan setelah benih dinyatakan lulus

sertifikasi/ uji laboratorium dan di label oleh

BPSBTPH dinas Tanaman pangan dan

Tabel 3. Rata-rata Komponen Agronomis VUB yang di produksi Tahun 2017

No Varietas Tinggi Tanaman (cm) Anakan Produktif (batang) Umur panen (hari) 1 Inpari 15 91,50 13,25 115 2 Inpari 30 97,50 13,50 110 3

4 Mekongga

Ciliwung

99,25

100,15

11,15

14,10

108

113

Sumber: Data primer yang diolah, 2017

Tabel 4. Produksi benih mt-i 2017 di kebun percobaan Wawotobi BPTP Sultra.

No Varietas Kelas Benih Hasil Benih (kg) Keterangan

1 Inpari 15 ES 750 Bersertifikat

2 Inpari 30 ES 2.500 Bersertifikat

3 Ciliwung ES 5.700 Bersertifikat

4 Mekongga ES 2.850 Bersertifikat

Jumlah Total 11.800

Keterangan : Laboratorium BPSBTPH 2017

Tabel 5.Produksi Benih MT-II 2017di KebunPercobaan Wawotobi BPTP Sultra.

No Varietas Kelas Benih Hasil Benih (kg) Keterangan

1 Inpari 30 FS 225 Bersertifikat

2 Inpari 34 FS 200 Bersertifikat

3 Inpari 38 FS 200 Bersertifikat

4

5

6

7

8

Inpari 30

Inpari 40

Inpari Blast

Mekongga

Ciherang

ES

ES

ES

ES

ES

750

400

225

1.600

2.300

Bersertifikat

Bersertifikat

Bersertifikat

Bersertifikat

Bersertifikat

Jumlah Total 5.900

Keterangan : Laboratorium BPSBTPH 2018

Page 56: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

51 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara

(Samrin dan Muh. Asaad)

Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil

produksi tahun 2017 yang dinyatakan lulus

sertifikasi telah didistribusikan baik dalam bentuk

komersial maupun hibah kepadaBPTP,

penangkar, dan petani di beberapa daerah

kabupaten/kota di sulawesi tenggara.

Distribusi benih kepada BPTP dan TNI

dilakukan dalam bentuk hibah dalam rangka

mendukung kegiatan Upaya Khusus (UPSUS)

dan penyebaran VUB di Kabupaten Konawe,

Kabupaten Konawe Kepulauan dan Muna Barat,

sedangkan untuk penangkar dan petani

pendistribusiannya dilakukan dalam bentuk

komersial dimana petani yang datang langsung

membeli di UPBS KP Wawotobi.

Kelembagaan Perbenihan

Untuk mendorong penyebaran benih

varietas unggul diperlukan pengenalan varietas

yakni melalui sosialisasi varietas dan pembekalan

teknologi produksi benih sumber kepada

penangkar benih di daerah sentra produksi.

Keberhasilan diseminasi dan adopsi teknologi

varietas unggul ditentukan antara lain oleh

kemampuan produsen dan industri benih untuk

memasok dan menyediakan benih secara enam

tepat hingga ke petani. Oleh karena itu, sistem

perbenihan yang tangguh (produktif, efisien,

berdaya saing, dan berkelanjutan) sangat

diperlukan untuk mendukung upaya peningkatan

produksi dan mutu produk pertanian (BBP2TP,

2011).

Kelembagaan perbenihan padi sawah

antara lain UPBS, Balai Benih Induk (BBI), Balai

Benih Utama (BBU), swasta (PT. Pertani dan

Sang Hyang Seri), dan penangkar. Khusus untuk

UPBS BPTP Sulawesi Tenggara pada tahun 2017

telah melakukan pembinaan dan kerjasama

dengan kelompok tani dan penangkar dalam hal

penyediaan benih unggul bersertifkat dan teknik

budidaya padi sawah.

Tabel 6. Penangkar binaan UPBS KP Wawotobi BPTP Sultra

tahun 2017

Kabupaten/Kot

a

Nama

Penangkar

Lua

s

(Ha)

Varietas

Konawe Sumber

Rejeki

6 Inpari 30

Mekongg

a

Kota Kendari Toromeamb

o

22 Inpari 30,

Mekongg

a

Kolaka Utara Tunas

Harapan

2 Inpari 30

Sebaran Benih Varietas Unggul

Produksi padi diharapkan meningkat

seiring dengan peningkatan permintaan. Salah

satu teknologi untuk meningkatkan produksi

adalah penggunaan VUB. Hapsah (2005)

menyatakan bahwa peningkatan produktivitas

padi dapat diupayakan melalui penggunaan VUB.

Kontribusi varietas unggul baru terhadap

peningkatan produksi sangat tinggi, menurut

Saidah et al., (2015) varietas sebagai salah satu

komponen produksi telah memberikan

sumbangan sebesar 56%. Namun, belum semua

petani mengetahui varietas unggul tersebut

dikarenakan lambatnya proses transfer teknologi

dari balai penelitian (Balit) ke petani.

Penggunaan varietas secara terus menerus

dari musim ke musim dalam satu hamparan akan

berdampak negatif yaitu produktivitas padi

cenderung menurun (Ardjasa et.al. 2004). Oleh

karena itu, perlu dilakukan pergiliran varietas

dengan penggunaan varietas unggul baru lainnya.

Diharapkan varietas unggul baru ini mempunyai

produktivitas yang lebih tinggi dan berumur lebih

genjah dibandingkan dengan varietas yang selama

ini dikembangkan oleh petani.

BPTP Sultra telah melakukan serangkaian

pengkajian untuk mendapatkan varietas yang

unggul pada setiap wilayah dan telah

direkomendasikan sebagai VUB pada masing-

masing kabupaten/kota di Sultra. Pada Tabel 7,

selain ditampilkan VUB, juga disajikan pula

varietas yang yang banyak diusahakan oleh

masyarakat atau biasa dikenal sebagai varietas

eksisting.

Page 57: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

52 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54

Berdasarkan hasil pengamatan di

lapangan diketahui adanya beberapa varietas yang

eksisting di Sultra antara lain: Mekongga,

Cisantana, Ciherang, Ciliwung, Konawe, dan

Cigeulis. Sedangkan VUB yang telah dihasilkan

Balitbangtan, Kementerian Pertanian dan

diketahui memiliki produksi tinggi dan banyak

disukai oleh masyarakat di Sultra antara lain:

Inpari 3, 6, 13, 15, 16, 22 dan 30 (Suharno et al.,

2014). Diketahui bahwa VUB yang dianjurkan

tersebut, memiliki produktivitas berkisar antara 7

- 10 t/ha dan umumnya berumur genjah (103-125

hari) serta sesuai diusahakan pada lahan sawah

irigasi sampai ketinggian 600 m di atas

permukaan laut (dpl).

Hasil produksi benih UPBS KP

Wawotobi pada tahun 2017 terdiri varietas Inpari

15, Inpari 30, Ciliwung dan Mekongga telah

terdistribusi dan tersebar di beberapa daerah

kabupaten di Sulawesi Tenggara. Di kabupaten

Konawe adalah Inpari 15 (180 kg), Inpari 30

(1.150 kg), Mekongga (1.825 kg), Ciliwung (625

kg), Konawe Utara adalah Inpari 15 (25 kg), Kab.

Konawe Selatan adalah Inpari 30 (25 kg),Kab.

Kolaka adalah Inpari 30 (50 kg), Kab. Kolaka

Timur adalah Inpari 30 (100 kg), Ciliwung (25

kg). (Gambar 1).

Tantangan dan kendala dalam pelaksanaan

kegiatan UPBS Padi

Selain untuk memproduksi benih sumber

padi, UPBS juga mempunyai tugas untuk

mendiseminasikan VUB yang telah di lepas oleh

Tabel 7.Anjuran varietas unggul baru (VUB) dan varietas yang eksisting pada tanaman padi sawah di Sultra

No Kabupaten/kota Varietas eksisting VUB

1. Baubau Cisantana Inpari 3,8,11,dan 16

2. Bombana Mekongga,Cisantana,Ciherang,dan Cigeulis Inpari 3, 6, 8,13,15,16,dan 22

3. Buton Cisantana Inpari 3,13,15, dan 16

4. Buton Utara Mekongga,Konawe, danCiherang Inpari 8,10,13,15, dan 16

5. Kendari Mekongga danCisantana Inpari 3,6,11, dan 16

6. Kolaka Mekongga,Cisantana,Ciherang,dan Cigeulis Inpari 3,6,13,15, dan16

7. Kolaka Utara Mekongga,Cisantana,dan Cimelati Inpari 3,6,8,10,13,15,dan 16

8. Kolaka Timur Mekongga,Cisantana,Cigeulis,dan Ciherang Inpari 3,6,13,15,16,22,dan 30

9. Konawe Mekongga,Cisantana,Ciherang,dan Cigeulis Inpari 3,11,13,15,16, dan 30

10. Konawe Selatan Ciherang, Mekongga,Cisantana,dan Cigeulis Inpari 3,6,11,15,16,dan 22

11. Konawe Utara Mekongga,Konawe,dan Ciherang Inpari 3,6,8,15,dan 16

12. Muna Ciherang danCisantana Inpari 3,6,8,10,13,15,dan 16

Sumber: BPTP Sultra 2015

Gambar 1. Sebaran benih varietas unggul

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

Konawe Konut Konsel Kolaka Koltim

jum

lah

ben

ih (

kg)

Kabupaten

Sebaran Varietas Unggul

Inpari 15

Inpari 30

Mekongga

Ciliwung

Page 58: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

53 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara

(Samrin dan Muh. Asaad)

kementerian pertanian. Salah satunya adalah VUB

padi Inpari, tetapi di tingkat penangkar dan petani

masih cenderung terhadap varietas-varietas yang

existing seperti Mekongga, Ciherang, Cigeulis,

Ciliwung dan Cisantana. Benih VUB Padi yang

telah di produksi oleh UPBS sering tidak

terdistribusi di tingkat petani.

Seringnya terjadi anomali musim di

wilayah Sulawesi Tenggara menyebabkan

ledakan populasi dan serangan hama dan penyakit

yang mempengaruhi hasil produksi yang dicapai.

Disamping itu akibat intensitas hujan tinggi

menyebabkan waktu panen yang tidak tepat pada

waktunya yang berdampak pada kualitas gabah

menjadi jelek (kusam dan hitam).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Produksi benih musim tanam I sebanyak

11.800 kg yang terdiri dari Varietas Inpari

15 (750 kg), Inpari 30 (2.500 kg),

Mekongga (2.850 kg), dan Ciliwung

(5.700 kg).

2. Produksi benih pada musim tanam Iterdiri

dari 4 varietas yang telah terdistribusi di

kabupaten Konawe Inpari 15 (180 kg),

Inpari 30 (1.150 kg), Mekongga (1.825

kg), Ciliwung ( 625 kg), Konawe Utara

Inpari 15 (25 kg), Kab. Konawe Selatan

Inpari 30 (25 kg), Kab. Kolaka Inpari 30

(50 kg), Kab. Kolaka Timur Inpari 30

(100 kg), Ciliwung (25 kg).

3. Kerjasama dalam hal penyediaan benih

dilakukan dengan beberapa penangkar

yang ada di Kab. Konawe, Kab. Kolaka

dan Kolaka Timur.

4. Kebutuhan benih yang terdistribusi di

tingkat petani dan penangkar sebanyak

4005 kg.

Saran

Varietas Unggul Baru (VUB) yang

dihasilkan harus disosialisasikan dan

diadaptasikan di tingkat petani serta varietas yang

akan diproduksi harus sesuai dengan preferensi

konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, M., M.T Ratule, dan Dahya. 2012.

Laporan Akhir Kegiatan perbenihan padi

sawah di kebun percobaan Wawotobi.

Kartasapoetra A. G., 1986. Teknologi benih.

Pengolahan Benih dan Tuntunan

Praktikum. Cetakan I. Diterbitkan oleh

Bina Aksara Jakarta.

Ardjasa, W.S., Suprapto, dan B. Sudaryanto.

2004. Komponen teknologi unggulan usaha

tani padi sawah di Lampung. Buku III.

Kebijakan perberasan dan inovasi

teknologi padi. Puslitbangtan. Bogor: 653-

666

Awotide, B. A., T. T. Awoyemi, dan A. Diagne.

2011. Factors Influencing The Use Of

Good Quality Improved Rice Seed In

Nigeria: Implication For Sustainable Rice

Productivity. OIDA International Journal

of Sustainable Development 02:09 (2011):

53-67.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

2011. Dekripsi Varietas Padi (edisi revisi).

BB Padi Sukamandi, Subang.

BBP2TP. 2011. Petunjuk pelaksanaan unit

pengelola benih sumber tanaman. Lingkup

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian. Balai Besar

Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanan. Departemen

Pertanian.

BPSBTPH, 2014. Laporan kegiatan sertifikasi

dan pelabelan tanaman pangan. Dinas

Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara.

BPSBTPH. 2013. Laporan akhir kegiatan UPTD

BPSBTPH Sulawesi Tenggara.

Hapsah MD. 2005. Potensi, peluang, dan strategi

pencapaian swasembada beras dan

kemandirian pangan nasional. In:

Suprihatno B (ed). Inovasi Teknologi Padi

menuju Swasembada Beras Berkelanjutan.

Buku satu. Balitbangtan, Badan Litbang

Pertanian. Jakarta.

Imran, A., S. Sama, Suriany, & D. Baco. 2003. Uji

Mulitilokasi beberapa galur dan Kultivar

Padi Superior baru di daerah sidrap, Wajo

Page 59: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

54 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54

dan Soppeng di Sulawesi Selatan. Jurnal

Agrivigor 3: 74-92.

Litbangtan, 2003.Panduan teknis produksi benih

dan pengembangan padi dan kedelai

hibrida dan padi dan kedelai tipe baru.

Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan. Departemen Pertanian

Nugraha, U.S. 2003. Perkembangan industri dan

kelembagaan perbenihan padi. 30p.

Saidah, I.S., Padang dan Abdi Negara.2015.

Adaptasi beberapa varietas unggul padi di

dataran tinggi Lore Utara Kabupaten Poso

Sulawesi Tengah. Pros Sem Nas Masy

Biodiv Indon, 1(7) : 1670-1673. ISSN:

2407-8050. Doi:

10.13057/Psnmbi/M010724

Samrin, M. T. Ratule, A. R. Sery. 2013.Laporan

akhir kegiatan perbenihan padi sawah di

Kebun Percobaan Wawotobi. BPTP

Sulawesi Tenggara

Samrin, dan M. Asaad. 2014. Laporan akhir

Kegiatan pengelolaan unit perbenihan

benih sumber di Kebun Percobaan

Wawotobi. BPTP Sulawesi Tenggara.

Samrin, dan M. Asaad. 2016. Laporan akhir

Kegiatan Unit Pengelola benih sumber padi

sawah di Kebun Percobaan Wawotobi.

BPTP Sulawesi Tenggara.

Santoso, Alfandi, dan Dukat. 2005. Analisis

usahatani padi sawah ( oryza sativa l.)

dengan benih sertifikasi dan non sertifikasi

(Studi Kasus Di Desa Karangsari,

Kecamatan Weru, Kabupaten

Cirebon).Jurnal Agrijati 1 (1), Desember

2005: 52-64.

Sinar tani. 2010 dalam http://www. Sinar

tani.com.mimbar penyuluh/proses- benih-

padi- bersertifikat –dan- penggunaannya-

para- petani- 1265599338.htm.

Suharno, Rusman, M., Abidin, Z., Nugroho, C.,

Raharjo, D., dan Syamsiar. 2014. Laporan

hasil kegiatan pendampingan PTT padi

Sawah di Sulawesi Tenggara. BPTP

Sulawesi Tenggara. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Kementerian

Pertanian.

Suryana dan U.H Prajogo.1997. Subsidi benih dan

dampaknya terhadap peningkatan produksi

pangan. Kebijaksanaan Pembangunan

Pertanian. Analisis Kebijaksanaan

Antisipatif dan Responsif. Pusat Penelitian

Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang

Pertanian.

Wahyuni, S. 2005. Teknologi produksi benih

bermutu. Makalah disampaikan pada

lokakarya Pengembangan Jaringan Alih

Teknologi Produksi dan Distribusi Benih

Sumber. Balitpa Sukamandi. 21 – 22

November 2005.

Page 60: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

55 Uji Daya Hasil Padi Sawah Dataran Tinggi di Nagari Koto Gadang Guguak Kabupaten Solok

pada Ketinggian Berbeda (Heru Rahmoyo Erlangga dan Novi Aldi)

UJI DAYA HASIL PADI SAWAH DATARAN TINGGI DI NAGARI KOTO GADANG GUGUAK KABUPATEN SOLOK PADA KETINGGIAN BERBEDA

Heru Rahmoyo Erlangga dan Novi Aldi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

Jln. Raya Padang-Solok KM.40 Gunung Talang Kab. Solok, Sumatera Barat

Email: [email protected]

ABSTRACT

Evaluation of Highland Rice Varieties At Nagari Koto Gadang Guguak Solok District At Different

Altitute. Solok district is a center of rice production at West Sumatra Province with total production of 332,455

tones and has contribution of 13.69% from total rice production in 2013. Nagari Koto Gadang Guguak as one of 8

Nagari at Talang Mountain district represents biophysic land for rice at altitude 700-1,100 m asl. The research

aims to investigate the yield of several rice varieties Irkusuma, Saganggam Panuah, planted at different altitude

which were 800-900 m asl and 600-700 m asl. The experiment used several varieties of rice planted in 2013 and

2014. The yield was recorded. The results showed that Saganggam Panuah and Irkusuma varieties were suitable

planted at altitude of 800 m asl, while Cisokan was suitable planted under 800 m asl. Technology of Legowo row

4:1 and 6:1 improved the rice production.

Keywords: rice, highland, legowo row system, solok district, west sumatera

ABSTRAK

Kabupaten Solok merupakan sentra produksi padi sawah Sumatera Barat dengan total produksi 332,455

ton dan memberikan kontribusi sebesar 13.69% terhadap total produksi padi tahun 2013. Nagari Koto Gadang

Guguak sebagai salah satu dari 8 nagari di Kecamatan Gunung Talang merupakan representasi biofisik lahan

kawasan padi sawah dataran tinggi yang berada pada ketinggian 700-1,100 m dpl. Tujuan penelitian ini adalah

untuk melakukan uji daya hasil beberapa padi dataran tinggi dua ketinggian lokasi berbeda. Penelitian dilakukan

pada lahan dengan ketinggian 800-900 m dpl dan 600-700 m dpl. Penelitian menggunakan varietas padi sawah

Irkusuma, Saganggam Panuah, Cisokan, Anak Daro, Inpari 21 Batipuah dan musim tanam berbeda pada tahun 2013

dan 2014. Parameter yang diamati adalah hasil panen masing-masing varietas yang ditanam. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa produksi varietas padi Saganggam Panuah cocok ditanam pada ketinggian di atas 800 m dpl

dan varietas Cisokan cocok ditanam di bawah ketinggian 800 m dpl serta varietas lokal Irkusuma cocok ditanam

pada ketinggian di atas 800 m dpl. Teknologi tanam jajar legowo 4 : 1 maupun 6 : 1 dapat meningkatkan hasil

produksi padi dibandingkan dengan cara kebiasaan petani.

Kata kunci: padi sawah, dataran tinggi, jajar legowo, kabupaten solok, sumatera barat

Page 61: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

56 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:55-60

PENDAHULUAN

Padi sawah merupakan komoditas yang

sangat dominan pada sub sektor tanaman pangan

dengan luas pertanaman 479,399 ha atau setara

dengan 83,3% dari total luas komoditas pangan di

Sumatera Barat. Pada tahun 2013 produksi padi

Sumatera Barat diperkirakan sebesar 2.430.384

ton, Kabupaten Solok menyumbang 332.455 ton

(13.69%) dan sekitar 20% dari total produksi

berasal dari padi sawah dataran tinggi. (DPH

Prov. Sumbar, 2013). Akan tetapi kontribusi padi

sawah dataran tinggi tidak selalu berkorelasi

positif dengan potensi sumberdaya areal

persawahan dataran tinggi yang luasnya tersebar

di Kabupaten Solok, Solok Selatan, Agam, Tanah

Datar, dan Padang Pariaman.

Kontribusi sektor pertanian pada

perekonomian Sumatera Barat sebesar 22,81%

adalah pada pembentukan Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) dan sekitar 11,44%

berasal dari tanaman pangan dan hortikultura.

Sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar

45,39% dari jumlah angkatan kerja 2.213.000

jiwa penduduk yang bekerja. Dalam kebijakan

nasional, Sumatera Barat ditetapkan sebagai

daerah penyangga produksi padi dengan sasaran

luas panen, produktifitas, dan produksi masing-

masing sebesar 2,498,673 ton pada tahun 2013

(BPS Sumbar, 2012).

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat

menetapkan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM) dalam pengembangan wilayah

perdesaan melalui program utama yaitu Gerakan

Pensejahteraan Petani (GPP) dengan target

sebanyak 930 nagari dengan melibatkan 1.860

kelompok tani pada tahun 2015. Untuk

mendukung program tersebut maka Pemerintah

Provinsi Sumatera Barat menetapkan tanaman

padi, jagung, dan usaha peternakan sapi sebagai

komoditas pertanian unggulan daerah ini

(Prayitno, 2010). Masyarakat Sumatera Barat

tempo dulu sudah menetapkan padi sebagai

indikator utama kesejahteraan masyarakat dengan

istilah ”padi manguniang-jaguang maupiah-

taranak bakambang biak” dan memberikan

petunjuk tentang kearifan lokal masyarakat yang

menjadikan padi dan jagung sebagai bahan

pangan serta mengintegrasikannya dengan usaha

peternakan.

Permasalahan budidaya padi sawah

dataran tinggi berkaitan erat dengan produktifitas

yang umumnya masih rendah (kurang dari 4 ton

per ha), benih padi yang digunakan belum

merupakan varietas unggul lokal berlabel, cara

pertanaman padi masih menggunakan sistem dan

jarak tanam mengikuti kebiasaan lama dan

cenderung tidak ramah lingkungan. Padahal,

areal sawah dataran tinggi tersebar pada lahan

dengan agroekosistem berpotensi tinggi untuk

budidaya tanaman padi sawah karena berada pada

kawasan pegunungan yang termasuk kategori

subur di daerah ini. Untuk memecahkan

permasalahan yang dihadapi pada usaha tani padi

sawah dataran tinggi diperlukan uji varietas padi

sawah dataran tinggi dengan menggunakan

inovasi teknologi ramah lingkungan.

Budidaya padi sawah yang disesuaikan

dengan kondisi fisiografi Sumatera Barat,

dilakukan petani mulai dari sawah dataran rendah

sampai sawah dataran tinggi dengan berbagai

jenis tanah. Selama ini, padi sawah dataran

rendah memberikan kontribusi sebesar 80% lebih

dari total produksi padi di Sumatera Barat.

Sedangkan total luas lahan sawah dataran tinggi di

atas 700 m dpl diperkirakan luasnya mencapai di

atas 30% dari total sawah di Sumatera Barat (BPS

Sumbar, 2012). Kendala utama pengembangan

padi sawah dataran tinggi adalah suhu rendah dan

belum berkembangnya penggunaan varietas

unggul yang adaptif pada kondisi agroekosistem

ini (Azwar et al., 1985). Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Sumatera Barat pada tahun

2002 merekomendasikan paket teknologi

budidaya padi sawah dataran tinggi pada dua

tingkat ketinggian, yaitu dataran tinggi I (700-900

m dpl) dan dataran tinggi II (900-1,050 m dpl)

(BPS Sumbar, 2012).

Semua komponen teknologi

dintegrasikan secara sinergis, efisien, dan spesifik

lokasi dalam suatu model pengelolaan tanaman

terpadu (PTT) dengan melibatkan petani dan

pihak terkait lainnya. Model PTT ini selaras

dengan konsep Revolusi Hijau Lestari yang lebih

mengedepankan aspek kelestarian lingkungan dan

peningkatan produksi. Dari hasil pengujian

menunjukkan bahwa inovasi teknologi model

Page 62: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

57 Uji Daya Hasil Padi Sawah Dataran Tinggi di Nagari Koto Gadang Guguak Kabupaten Solok

pada Ketinggian Berbeda (Heru Rahmoyo Erlangga dan Novi Aldi)

PTT mampu meningkatkan produksi sebesar 7-

38% (Fagi, 2004). Dari semua inovasi PTT padi

sawah tersebut dua diantaranya merupakan

inovasi yang dapat meningkatkan produktivitas

padi sawah, yaitu dengan pemanfaatan Varietas

Unggul Baru (VUB) dan budidaya sistem tanam

jajar legowo (Last et al., 2004). Selama ini,

peningkatan produksi padi lebih terfokus pada

budidaya padi sawah irigasi dengan penggunaan

varietas unggul baru dan input produksi tinggi

dengan tingkat efisiensi rendah namun kurang

memperhatikan aspek lingkungan dan kestabilan

produktifitas jangka panjang (Hasan dan Zulrasdi,

2013).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hasil uji varietas padi sawah dataran tinggi

dengan tingkat ketinggian yang berbeda yaitu

600-700 m dpl dan 800-900 m dpl di Nagari Koto

Gadang Guguak Kabupaten Solok.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada Musim Tanam

(MT) II 2013 sampai MT II 2014, panen

dilakukan di dua lokasi berbeda yaitu pada

ketinggian lahan 600-700 dan 800-900 m dpl di

Nagari Koto Gadang Guguak, Kecamatan

Gunung Talang, Kabupaten Solok.

Hasil produksi padi sawah diketahui

dengan mengambil data produksi padi sawah

dataran tinggi anggota Kelompok Tani Karya

Tani seluas 3 ha dengan ketinggian tempat 800-

900 m dpl (lokasi ketinggian 1) dan Kelompok

Wanita Tani Hidayatul Karya seluas 4 ha dengan

ketinggian tempat 600-700 m dpl (lokasi

ketinggian 2).

Percobaan pertama adalah pada

ketinggian 800-900 m dpl dengan menggunakan

varietas Saganggam Panuah, Cisokan, dan

Irkusuma yang dilakukan pada MT I dan MT II

tahun 2013 menggunakan sistem tanam jajar

legowo 4:1. Percobaan kedua dilakukan pada

ketinggian 600-700 m dpl menggunakan varietas

Anak Daro, Inpari 21, Batipuah, dan Cisokan

dilakukan pada MT I tahun 2013 dan MT I tahun

2014 dengan sistem tanam jajar legowo 6:1.

Percobaan ketiga dilakukan pada ketinggian 800-

900 m dpl menggunakan varietas Irkusuma dan

Saganggam Panuah dilakukan pada MT II tahun

2013 untuk cara tanam petani biasa dan MT I serta

MT II tahun 2014 dengan sistem tanam jajar

legowo 4:1.

Dengan sistem tanam petani biasa (sistem

tegel), padi ditanam dengan jarak tanam 25 x 25

cm dan sistem tanam jajar legowo 4:1 maupun 6:1

dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Pemupukan

dilakukan dua kali selama musim tanam dengan

dosis 75 kg pupuk urea, 100 kg SP-36 dan 50 kg

KCl/ha disamping pemberian pupuk organik dari

pelapukan jerami yang terdapat di hamparan

sawah tersebut disetiap musim tanam.

Pemeliharaan tanaman dilakukan dua kali selama

musim tanam dengan pembersihan gulma dan

sanitasi pematang sawah (Bur et al., 2007). Hasil

panen padi diperoleh dari jumlah produksi

disetiap panen dan dilakukan pengukuran

kenaikan hasil dari musim tanam sebelumnya.

Cara tanam sistem jajar legowo dilakukan

dengan memanfaatkan pengaruh barisan pinggir

tanaman padi (border effect) yang lebih banyak.

Parameter yang diamati adalah hasil panen dan

perbandingan produksi sesuai musim tanam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil panen padi sawah dengan

menggunakan varietas Saganggam Panuah,

Cisokan, dan Irkusuma pada MT I dan MT II

tahun 2013 di lahan sawah dengan ketinggian

800-900 m dpl disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel

1 diketahui bahwa hasil panen varietas

Saganggam Panuah dengan menggunakan sistem

tanam jajar legowo 4:1 menunjukkan kenaikan

hasil sebesar 1,2 ton/ha. Hasil panen varietas

Saganggam Panuah dengan menggunakan jajar

legowo 4:1 ini lebih tinggi dibandingkan dengan

produktivitas rata-rata padi sawah dengan sistem

tanam petani biasa (sistem tegel) pada MT I 2013.

Varietas Cisokan sebagai varietas unggul yang

selama ini berkembang pada ketinggian di bawah

700 m dpl tidak memperlihatkan peningkatan

hasil yang tinggi dengan kenaikan hasil produksi

hanya 0,1 ton/ha dibandingkan hasil panen yang

didapatkan petani dibawah ketinggian 800 m dpl

dengan produksi rata-rata diatas 5,0 ton/ha di

Kabupaten Solok (BPS Solok, 2012).

Page 63: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

58 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:55-60

Berdasarkan Tabel 1 varietas Irkusuma

yang benihnya berasal dari hasil pemurnian

varietas lokal masing-masing menghasilkan

produksi maksimal 6,1 dan 6,2 ton/ha pada MT II.

Peningkatan hasil Irkusuma I dan Irkusuma II

masing-masing sebesar 1,2 dan 1,0 ton/ha lebih

tinggi dibandingkan varietas Irkusuma I yang

diusahakan petani dengan sistem tanam biasa.

Hasil panen varietas Irkusuma lebih kecil

dibandingkan dengan produksi hasil panen

varietas Saganggam Panuah namun mengalami

kenaikan hasil yang cukup tinggi dari hasil MT I

ke MT II. Peningkatan hasil ini akan menjadi

signifikan bila perbaikan teknologi dilakukan

pada areal persawahan yang lebih luas.

Keragaan varietas Anak Daro, Inpari 21

Batipuah dan Cisokan dengan sistem jajar legowo

6:1 di tanam pada ketinggian tempat 600-700 m

dpl MT I tahun 2013 dan MT II tahun 2014

ditampilkan pada Tabel 2. Varietas Anak Daro

dan Cisokan I mempunyai hasil yang tinggi

dibandingkan varietas Inpari 21 dan Cisokan II.

Namun demikian pada MT I tahun 2014 Cisokan

II mempunyai hasil yang juga tinggi dan

mempunyai kenaikan hasil paling tinggi

dibandingkan varietas lainnya. Varietas Inpari 21

Batipuah II mempunyai hasil terendah

dibandingkan varietas lainnya.

Tabel 1. Hasil panen padi sawah Nagari Koto Gadang Guguak pada ketinggian 800-900 m dpl. Musim Tanam

I dan II dengan sistem tanam jajar legowo 4:1 pada Tahun 2013

No Varietas

MT I

Sistem Tanam Biasa

(ton/ha)

MT II

Sistem Tanam Jajar

Legowo 4:1

(ton/ha)

Kenaikan Hasil Panen MT

I dan MT II

(ton/ha)

1. Saganggam Panuah 6,3 7,5 1,2

2. Cisokan 4,8 4,9 0,1

3. Irkusuma I 5,0 6,2 1,2

4. Irkusuma II 5,1 6,1 1,0

Gambar 1. Lokasi Koto Gadang Guguak Kab. Solok

Page 64: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

59 Uji Daya Hasil Padi Sawah Dataran Tinggi di Nagari Koto Gadang Guguak Kabupaten Solok

pada Ketinggian Berbeda (Heru Rahmoyo Erlangga dan Novi Aldi)

Keragaan hasil panen dengan

menggunakan varietas unggul baru Saganggam

Panuah dan varietas unggul lokal Irkusuma pada

ketinggian tempat 800-900 m dpl di MT II tahun

2013 dan MT I serta MT II tahun 2014

menggunakan sistem tanam jajar legowo 4:1

ditampilkan pada Tabel 3. Varietas Irkusuma pada

MT I 2014 sistem jajar legowo 4:1 meningkat 2.1

ton/ha dibandingkan dengan produksi MT II 2013

sistem tanam petani biasa. Hal ini menunjukkan

bahwa varietas Irkusuma cocok ditanam pada

ketinggian lebih dari 800 m dpl dan tahan

terhadap cuaca dingin serta angin kencang.

Produksi varietas Saganggam panuah pada MT I

2014 dengan menggunakan sistem tanam jajar

legowo 4:1 meningkat 2,8 ton/ha dibandingkan

produksi MT II 2013 menggunakan sistem tanam

petani biasa. Sedangkan produksi varietas

Saganggam Panuah MT II 2014 sistem jajar

legowo 4:1 meningkat 0,02 ton/ha dari produksi

MT I 2014 dengan sistem tanam jajar legowo.

Dengan demikian varietas Saganggam Panuah

cocok di tanam pada ketinggian lebih dari 800 m

dpl karena tahan kekeringan, cuaca dingin serta

angin kencang. Peningkatan produksi pada

kegiatan percobaan tersebut dipengaruhi sistem

tanam padi jajar legowo yang dapat meningkatkan

pertumbuhan dan daya tahan tanaman sehingga

produksi padi bisa maksimal. Peningkatan rata-

rata produksi varietas Irkusuma 1,06 ton/ha dan

varietas Saganggam Panuah 1,15 ton/ha.

KESIMPULAN

Varietas padi dataran tinggi Saganggam

Panuah cocok ditanam pada ketinggian lebih dari

800 m dpl karena tahan cuaca dingin dan angin

yang cukup kencang serta embun. Varietas

Cisokan, Anak Daro dan Inpari 21 Batipuah cocok

ditanam di bawah ketinggian 800 m dpl. Varietas

Irkusuma cocok ditanam pada ketinggian diatas

800 m dpl karena tahan kekeringan, cuaca dingin,

angin kencang dan embun. Teknologi tanam jajar

legowo 4 : 1 maupun 6 : 1 dapat meningkatkan

hasil produksi padi dataran tinggi.

Tabel 2. Hasil panen padi sawah di Nagari Koto Gadang Guguak pada ketinggian 600-700 m dpl dengan sistem

tanam jajar legowo 6:1 pada MT I 2013 dan MT I 2014

No Varietas Hasil panen MT I 2013

(ton/ha)

Hasil panen MT I 2014

(ton/ha)

Kenaikan hasil **)

(ton)

1. Anak Daro 7,4 9,3 1,9

2. Inpari 21 Batipuah I 6,5 8,1 1,6

3. Inpari 21 Batipuah II 6,5 7,7 1,2

4. Cisokan I 7,5 9,4 1,9

5. Cisokan II 6,8 9,2 2,4

Tabel 3. Hasil panen padi sawah di ketinggian 800-900 m dpl pada MT 2 Tahun 2013, MT I dan MT II Tahun

2014

No Varietas Hasil Sistem

Tanam Petani Biasa

MT II 2013(ton/ha)

Hasil Jajar Legowo

4:1 MT I 2014

(ton/ha)

Hasil Jajar Legowo 4:1

MT II 2014 (ton/ha)

Rata-rata

kenaikan

produksi

(ton/ha)

1 Irkusuma 3,57 5,67 5,69 1,06

2 Saganggam

Panuah 3,15 5,43 5,45 1,15

Page 65: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

60 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:55-60

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, R., S. Zen, Harnel, Z Hamzah, dan Z.

Harahap. 1985. Batang ombilin, varietas

padi sawah dataran tinggi. Pemberitaan

Puslitbangtan ISSN 0216-9215

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera

Barat. 2002. Tiga puluh lima (35) paket

teknologi pertanian spesifik lokasi

Sumatera Barat. Edisi khusus. Solok: BPTP

Sumatera Barat.

Biro Pusat Statistik Sumatera Barat. 2012.

Sumatera Barat dalam angka. Kerjasama

Bappeda Sumbar dan Biro Pusat Statistik

Sumatera barat. Padang: BPS.

Biro Pusat Statistik Sumbar. 2012. Sumatera

Barat dalam angka. Kerjasama Bappeda

Sumbar dan Biro Pusat Statistik Sumatera

barat. Padang: BPS.

Biro Pusat Statistik Solok. 2012. Kabupaten Solok

dalam angka. Kerjasama Bappeda

Kabupaten Solok dan Biro Pusat Statistik

Kabupaten Solok. Arosuka: BPS.

Bur,B., H. Nasrul, A. Dedi dan Wentrisno. 2007.

Empat Puluh Sembilan (49) Paket

Teknologi Pertanian Spesifikasi Lokasi

Sumatera Barat. Solok: BPTP Sumatera

Barat.

Dinas Pertanian dan Hortikultura Provinsi

Sumatera Barat. 2013. Statistik tanaman

pangan dan hortikultura Sumatera Barat.

Padang: Dinas Pertanian dan Hortikultura

Provinsi Sumatera Barat.

Fagi, A.M. 2004. Penelitian padi menuju revolusi

hijau lestari. Dalam Makarim, A.K,

Hermanto, dan Sunihardi. Inovasi

Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbang

Tanaman Pangan. Badan Litbang

Pertanian. Jakarta: Kementerian Pertanian

Hasan,N dan Zulrasdi. 2013. Pemanfaatan

varietas unggul baru dan budidaya sistem

tanam jajar legowo dalam peningkatan

produksi padi sawah di Sumatera Barat.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Sumatera Barat. Solok: BPTP Sumatera

Barat.

Las, I., I.N. Widiarta, dan B. Sprihatno. 2004.

Penelitian padi menuju revolusi hijau

lestari. Dalam Makarim, A.K, Hermanto,

dan Sunihardi. Inovasi Pertanian Tanaman

Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan.

Badan Litbang Pertanian. Jakarta:

Kementerian Pertanian.

Prayitno, I. 2010. Gerakan pensejahteraan petani

Sumbar. Makalah Gubernur Sumbar.

Disampaikan dalam Rakor Pemda Sumbar,

26-27 Januari 2010 di Solok Selatan.

Page 66: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

61 Pola Pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Jawa Barat (Yati Haryati, M. Atang Safei dan

Bebet Nurbaeti)

POLA PENDAMPINGAN DESA MANDIRI BENIH PADI DI JAWA BARAT

Yati Haryati, M. Atang Safei dan Bebet Nurbaeti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Jl. Kayu Ambon No.80, Kayuambon, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 40391

Email: [email protected]

ABSTRACT

Patterns of Assistance for Independent Villages of Rice Seeds in West Java. The pattern of assistance

was carried out in the development of the Independent Rice Seed Village by increasing knowledge and skills in

producing quality and labeled seeds. Independent Village Assistance Pattern Benih implemented a Field School

Model for the application of seed production technology practiced in the Field Laboratory (LL) with an area of ±

5 ha which was a stretch of natural rice fields owned by farmers. The activity was carried out in April (MK I)

2017. Field Laboratory plots became a demonstration plot for the application of technological innovation. On this

land, New high yielding varieties was introduced (Inpari 38, 39, 41, 42 and 43) in the form of displays covering ±

1 ha and the rest (± 4 ha) produced by Inpari 32 variety seeds. Observations included increased knowledge,

attitudes and skills, seed production and seed distribution planning. Data were analyzed using Wilcoxon and

quantitative descriptive tests. The purpose of the study was to find out the pattern of assistance for the

Independent Village of Specific Rice Seeds in West Java. The results of the study showed that the pattern of

assistance for the Rice Padi Independent Village in West Java Province was done by assisting in seed production

technology, compiling a business plan/ business plan, facilitation and seed certification of the performance of

institutions and institutions and involving relevant institutions (Majalengka District Agriculture and Fisheries

Agency) in seed distribution through seed assistance programs and BPSBTPH in fostering seed certification to

produce quality and certified seeds.

Keywords: pattern, accompaniment, self, seed

ABSTRACT

Pola pendampingan yang dilakukan dalam pengembangan Desa Mandiri Benih Padi dengan

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam memproduksi benih yang berkualitas dan berlabel. Pola

pendampingan Desa Mandiri Benih menerapkan Model Sekolah Lapang untuk penerapan teknologi produksi

benih dipraktekkan di lahan Laboratorium Lapang (LL) dengan luasan ± 5 ha yang merupakan hamparan petak

sawah alami milik petani. Kegiatan dilakukan pada Bulan April (MK I) 2017. Petak Laboratorium Lapang

menjadi petak demostrasi penerapan inovasi teknologi. Pada lahan tersebut diperkenalkan Varietas Unggul Baru

(Inpari 38, 39, 41, 42 dan 43) dalam bentuk display seluas ± 1 ha dan sisanya (± 4 ha) diproduksi benih Varietas

Inpari 32. Pengamatan meliputi peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan, produksi benih dan

perencanaan distribusi benih. Data dianalisis dengan menggunakan uji wilcoxon dan deskriptif kuantitatif. Tujuan

pengkajian untuk mengetahui pola pendampingan Desa Mandiri Benih Padi Spesifik Lokasi di Jawa Barat. Hasil

kajian bahwa pola pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan

pendampingan teknologi produksi benih, menyusun rencana bisnis/business plan, fasilitasi dan sertifikasi benih

kinerja lembaga dan kelembagaan penangkaran dan melibatkan instansi terkait (Dinas Pertanian dan Perikanan

Kab. Majalengka) dalam distribusi benih melalui program bantuan benih dan BPSBTPH dalam pembinaan

sertifikasi benih untuk menghasilkan benih yang bermutu dan bersertifikat.

Kata kunci: pola, pendampingan, mandiri, benih

Page 67: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

62 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:61-69

PENDAHULUAN

Salah satu strategi untuk mencapai

swasembada pangan melalui penyediaan benih

bermutu varietas unggul baru sesuai preferensi

konsumen. Ketersediaan benih bermutu dengan

jumlah yang cukup dan tepat waktu mempunyai

peranan yang sangat penting. Melalui

penggunaan benih bermutu, produktivitas

tanaman akan meningkat, kualitas hasil juga

meningkat.

Penggunaan benih padi bersertifikat pada

saat ini masih rendah dan belum mampu

menyediakan benih sesuai dengan kriteria enam

tepat yaitu tepat mutu, tepat varietas, tepat

jumlah, tepat tempat, tepat waktu dan tepat

harga. Dalam mewujudkan hasil yang lebih

optimal, maka diperlukan penanganan secara

terpadu dan berkesinambungan mulai dari hulu

sampai hilir, dari penciptaan varietas, produksi,

penyaluran, sosialisasi benih sumber dan benih

sebar serta pengawasan mutu di bidang produksi

dan peredaran benih. Oleh karena itu

ketersediaan benih berkualitas dengan jumlah

cukup, tepat waktu, dan mudah diperoleh

memegang peranan penting dalam penyediaan

benih bermutu (Wulanjari dan Setiani, 2018).

Percepatan adopsi varietas unggul baru

untuk memenuhi permintaan benih padi,

dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan

perluasan areal tanam. Kedua upaya tersebut

memerlukan ketersediaan benih yang cukup

memadai dan kualitas benih yang sesuai dengan

preferensi. Inovasi teknologi varietas unggul

baru dan produksi benih diandalkan untuk

meningkatkan produktivitas untuk mencapai

sasaran produksi. Akselerasi pengembangan

produksi benih padi agar sampai di lahan petani

dilakukan melalui sekolah lapang pada areal

laboratorium lapang (Puslitbangtan, 2016).

Pembinaan kelompok tani sebagai

penangkar atau produsen benih dilakukan untuk

meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dalam

upaya untuk meningkatkan pendapatan.

Pengembangan Desa Mandiri Benih merupakan

salah satu kegiatan yang diharapkan dapat

mendukung pencapaian sasaran produksi dan

merupakan salah satu upaya pemecahan masalah

dari aspek perbenihan. Penguatan Desa Mandiri

Benih dilakukan dengan adanya penumbuhan

penangkar atau kelompok penangkar/produsen

yang mampu menyediakan benih untuk

memenuhi kebutuhan benih di wilayah (Dirjen

Tanaman Pangan, 2016).

Pola pendampingan yang dilakukan

dalam pengembangan Desa Mandiri Benih Padi

dengan meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan dalam memproduksi benih yang

berkualitas dan berlabel. Dalam pengembangan

agribisnis tidak terlepas dari peran kelembagaan

yang akan menentukan pola pembinaan dan

pemanfaatan secara maksimal. Bentuk

kelembagaan yang berhubungan secara langsung

dan tidak langsung dengan pembangunan

pertanian termasuk di dalamnya organisasi kaum

muda tani sebagai generasi penerus dari

pengembangan agribisnis di masa mendatang

(Mustari, 2017). Tujuan dari kajian ini untuk

mengetahui pola pendampingan Desa Mandiri

Benih Padi Spesifik Lokasi di Jawa Barat.

BAHAN DAN METODOLOGI

Pola pendampingan Desa Mandiri Benih

menerapkan Model Sekolah Lapang untuk

penerapan teknologi produksi benih dipraktekkan

di lahan Laboratorium Lapang (LL) dengan

luasan ± 5 ha yang merupakan hamparan petak

sawah alami milik petani. Kegiatan dilakukan

pada Bulan April (MK I) 2017. Petak LL

menjadi petak demostrasi penerapan inovasi

teknologi. Pada lahan tersebut diperkenalkan

VUB (Inpari 38, 39, 41, 42 dan 43) dalam bentuk

display seluas ± 1 ha dan sisanya (± 4 ha)

diproduksi benih varietas Inpari 32. Kegiatan

Sekolah Lapang dengan sistem belajar aktif

praktek langsung di lahan sawah. Teknologi yang

diterapkan yaitu jarak tanam legowo (40 x 30 15

cm), seed treatment menggunakan pupuk hayati

agrimeth dengan dosis 400 gr per 25 kg benih,

aplikasi biodekomposer pada saat pengolahan

tanah pertama dnegan cara disemprotkan dengan

dosis 2 kg per ha dengan cara dilarutkan pada air

400 liter, pupuk anorganik berdasarkan status

hara tanah (dosis NPK Phonska 180 kg dan Urea

200 kg per ha), pemupukan pertama diberikan

pupuk NPK Phonska 180 kg dan Urea 100 kg

diaplikasikan pada umur 7 - 10 HST dan pada

Page 68: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

63 Pola Pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Jawa Barat (Yati Haryati, M. Atang Safei dan

Bebet Nurbaeti)

pemupukan kedua diaplikasikan pupuk Urea 100

kg pada umur tanaman 25 - 30 HST,

pengendalian hama/penyakit berdasarkan konsep

PHT, rouging pada fase vegetatif awal dan akhir,

generatif awal dan akhir dan fase masak/sebelum

panen. Pengamatan meliputi peningkatan

pengetahuan, sikap dan keterampilan, produksi

benih dan perencanaan distribusi benih. Data

dianalisis dengan menggunakan uji wilcoxon dan

deskriptif kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendampingan Teknis Produksi Benih

Penerapan pola pendampingan Sekolah

Lapang Mandiri Benih Padi dilaksanakan secara

terencana dan sesuai tahapan kegiatan produksi

benih. Pola yang diterapkan yaitu pendampingan

langsung praktek di lapangan dan penyampaian

materi di ruangan meliputi teknis produksi benih

dan permasalahan di lapangan. Pendampingan

dilaksanakan di lahan Laboratorium Lapang (LL)

yang dijadikan sebagai wahana tempat belajar

bagi petani/calon penangkar/penangkar untuk

diterapkan pada lahan Sekolah Lapang (SL) di

lahan masing-masing anggota. Pola Sekolah

Lapang dalam pengembangan Desa Mandiri

Benih Padi dengan melibatkan instansi terkait

untuk penyediaan benih sumber dan distribusi

benih hasil produksi benih di LL dan SL

(Gambar 1).

Materi bimbingan teknologi yang

disampaikan mencakup teknologi produksi

benih, kelembagaan penangkaran benih dan

penyusunan rencana bisnis/business plan.

Penerapan teknologi produksi benih

dipraktekkan di lahan LL. Dalam penerapan

teknologi tersebut dilihat perubahan sebelum dan

sesudah mengikuti pelatihan dan pendampingan

dalam hal perubahan pengetahuan, sikap dan

keterampilan peserta/calon penangkar terutama

dalah hal teknologi produksi benih padi.

Tahapan Pemupukan dan Perawatan

Tanaman

Tanaman padi banyak membutuhkan

unsur hara dari tanah untuk pertumbuhan secara

optimal. Pada kondisi tanah yang cukup N, P, K

tanaman padi menyerap N, P, dan K berturut-

turut sekitar 198 kg, 33 kg dan 205 kg/Ha.

Untuk memperoleh pertanaman padi dengan

hasil yang tinggi, perlu dilakukan pemupukan.

Pemupukan pada tanaman padi sangat penting

karena dengan pemupukan yang baik pada

tanaman padi diharapkan hasil panen yang

meningkat. Pemupukan yang dilakukan pada

tanaman padi untuk 1 Ha dibutuhkan pupuk 100

kg urea dan 100 kg Phonska dicampur merata

dan pemupukan dilakukan dengan dihambur ke

tanaman padi. Pemupukan pertama dilakukan

pada tanaman padi berumur 7 - 14 hari dan

pemupukan kedua tanaman padi berumur 45 hari.

Proses pemupukan dapat terlihat pada gambar

Gambar 5.

Page 69: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

64 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:61-69

Gambar 1. Pola sekolah lapang dalam pengembangan Desa Mandiri Benih Padi

di Keltan Gangsa I, Ds. Jatitengah, Kec. Jatitujuh, Kab. Majalengka, Provinsi Jawa Barat,

2017

Sekolah

Lapang (SL)

Produksi

Benih

Target adopsi VUB

di luar wilayah Desa

Mandiri Benih

Laboratorium

Lapang (LL)

Tabel 1. Materi pelatihan/pendampingan kegiatan model sekolah lapang kedaulatan pangan mendukung swasembada

pangan terintegrasi Desa Mandiri Benih Padi, 2017

No. Materi Narasumber/Pendamping

1. Teknis Produksi Benih Padi : Budidaya Tanaman Padi Model

PTT (VUB, jajar Legowo 2, Pemupukan spesifik lokasi

berdasarkan PUTS, Pengendalian OPT), dan Jarwo Super

(VUB, biodekomposer, penggunaan pupuk hayati,

penggunaan pestisida nabati dan penggunaan alsintan

transplanter dan combine harvester) rouging, sertifikasi dan

penyimpanan

Tim BPTP, PPL, UPTD

2. Prosedur dan sertifikasi benih padi mencakup pendaftaran

secara on line dalam proses sertifikasi benih

BPSB TPH

3. Praktek pengisian formulir/blanko untuk proses sertifikasi

benih (a.l.: pengajuan pemeriksaan lapang 3 kali, pengajuan

uji lab, pengajuan legalisasi label)

BPSB TPH, Tim BPTP, PPL, UPTD

4. Pemeriksaan lapang (3 kali) BPSB TPH

5. Praktek Rouging/seleksi tanaman (4 kali) BPSB TPH, Tim BPTP, PPL, UPTD

6. Prosesing, pengemasan dan penyimpanan benih Tim BPTP, PPL, UPTD

BPTP Jawa Barat

- Pendampingan teknologi produksi benih

- Pendampingan penyusunan rencana distribusi/business plan

- Pendampingan fasilitasi dan sertifikasi benih

- Pendampingan kinerja kelembagaan penangkaran

Kelompok

Penangkar Padi

dan Kedelai

PSBTPH Kabupaten

Sertifikasi untuk menghasilkan

benih yang bermutu dan

bersertifikat

Dinas Pertanian

Kabupaten

- Pembinaan kelompok penangkar benih padi

- Distribusi benih melalui program penyediaan benih bantuan

Mitra Kerjasama dalam

Distribusi Benih

- Kelompok Tani - Kios Tani - Penangkar - Instansi terkait - Swasta

Keterangan :

: Garis Koordinasi

: Garis hubungan Langsung

- Balai Besar Penelitian Tanaman Padi dan Balitkabi (Penyediaan benih sumber VUB)

- Puslitbangtan

Page 70: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

65 Pola Pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Jawa Barat (Yati Haryati, M. Atang Safei dan

Bebet Nurbaeti)

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

peningkatan pengetahuan yaitu pendidikan,

sosial budaya, ekonomi, lingkungan,

pengalaman, dan umur. Pengetahuan petani

dipengaruhi oleh pengalaman, lama bertani dan

lingkungan. Perubahan perilaku seseorang

dipengaruhi pengetahuan yang menyebabkan

seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut

dan sebaliknya (Rambe dan Honorita, 2011).

Hasil analisis dengan menggunakan

analisis non parametrik Uji Wilcoxon

menunjukkan bahwa sesudah pelaksanaan

pendampingan dan pelatihan teknis produksi

benih padi ada perubahan ke arah yang lebih baik

dalam pemahaman (pengetahuan), perilaku

(sikap) dan kemampuan dalam melaksanakan

produksi benih (keterampilan).

Pengetahuan merupakan tahap awal dari

persepsi yang kemudian mempengaruhi sikap

dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau

tindakan (Keterampilan). Dengan adanya

wawasan petani yang baik tentang suatu hal,

akan mendorong terjadinya sikap yang pada

gilirannnya mendorong terjadinya perubahan

perilaku. Petani memiliki keterampilan yang baik

dapat menentukan pilihannya dengan tepat

sehingga dapat mengetahui hal efesien dan

efektif (Rambe dan Honorita, 2011).

Pengetahuan merupakan tahap awal dari

persepsi yang berpengaruh terhadap sikap

gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan

(keterampilan). Dengan adanya wawasan petani

yang baik tentang suatu hal, akan mendorong

terjadinya sikap yang pada gilirannnya

mendorong terjadinya perubahan perilaku.

Pengetahuan mencerminkan tingkat kesadaran

petani untuk menggali dan menerima informasi

inovasi teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa

pengetahuan yang tinggi dimiliki oleh petani

berkorelasi positif terhadap tingkat kesadaran

yang tinggi. Kesadaran yang tinggi mendorong

petani untuk memberdayakan diri dengan

meningkatkan pengetahuannya (Daliani dan

Nasriati, 2017).

Pengalaman bertani dengan rentang

waktu yang lama berpengaruh terhadap

pengetahuan dan keterampilan usaha tani. Hal ini

sesuai dengan hasil penelitian

Istiantoro et al., (2013), bahwa pengalaman

dalam bertani dan ditunjang dengan pendidikan

non formal berpengaruh nyata terhadap tingkat

penerapan sistem pertanian berkelanjutan pada

budidaya padi sawah.

Pendampingan Dalam Perencanaan

Distribusi Benih Padi

Dalam usaha penangkaran benih padi

dengan orientasi bisnis di dalam kelompok tani

diperlukan dukungan perilaku petani yang baik.

Perilaku petani terdiri dari elemen pengetahuan,

sikap dan keterampilan yang membentuk

karakter petani sebagai pelaku dalam agribisnis

tersebut. Pengembangan agribisnis tidak terlepas

dari pengembangan di bidang kelembagaan yang

akan menentukan pola pembinaan dan

pemanfaatan secara maksimal. Segala bentuk

kelembagaan yang berhubungan secara langsung

dan tidak langsung dengan pembangunan

pertanian berkaitan dengan pengembangan

agribisnis pada masa depan. Peluang usaha

merupakan situasi yang sangat menguntungkan,

oleh karena itu perlu adanya strategi yang

diterapkan dengan menggunakan kekuatan untuk

memanfaatkan peluang ke depan, seperti rencana

penentuan penjualan benih padi yang

terkonsentrasi dan terdiversifikasi berdasarkan

strategi pemasaran. Sedangkan faktor eksternal

seperti ancaman harus mendapat perhatian

karena dapat mempengaruhi strategi pemasaran

(Mustari, 2017).

Tabel 2. Hasil Analisis sebelum dan sesudah pelatihan teknis produksi benih padi terhadap tingkat pengetahuan, sikap dan

keterampilan petani di Kelompok Tani Gangsa I, Desa Jatitengah, Kecamatan Jati Tujuh, Kabupaten Majalengka,

Provinsi Jawa Barat, 2017.

Uraian Pengetahuan Sikap Keterampilan

Z -2,371b -2,028b -2,032b

Asymp. Sig. (2-tailed) ,018 ,043 ,042

a. Wilcoxon Signed Ranks Test

b. Based on negative ranks.

Page 71: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

66 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:61-69

Dalam usaha penangkaran benih padi di

Keltan Gangsa I dibuat rencana bisnis untuk

menentukan produksi benih yang akan

diproduksi dengan jenis varietas padi yang sesuai

dengan preferensi konsumen di khususnya di

wilayah Desa Jatitengah dan umumnya di

wilayah Kabupaten Majalengka. Hal yang perlu

diperhatikan dalam menjalankan usaha

penangkaran benih padi yaitu memproduksi

benih dengan volume yang sesuai permintaan,

menjaga kualitas/mutu benih, menjalin kemitraan

dengan kios tani/instansi pemerintah/swasta

dalam meningkatkan usaha kelompok tani

sebagai lembaga penangkaran. Dalam usaha

penangkaran benih padi, perorangan maupun

kelompok, berperan peran yang penting dalam

industri benih, khususnya dalam proses

diseminasi varietas unggul yang dihasilkan oleh

lembaga penelitian dan diproduksi oleh produsen

benih (Sayaka et al., 2015).

Berdasarkan hasil informasi dan

preferensi petani di wilayah Kabupaten

Majalengka bahwa varietas yang disukai adalah

Varietas Inpari 32, oleh karena itu dalam usaha

penangkaran yang dikelola oleh Kelompok Tani

menggunakan varietas tersebut. Produksi benih

kegiatan LL dengan luasan ± 5 ha dengan

produksi benih 25 ton dan SL seluas 40,50 ha

dengan produksi benih 100 ton. Total produksi

benih yang ditargetkan dari kegiatan

Laboratorium Lapang dan dari Sekolah Lapang

125 ton.

Strategi yang harus dilakukan dalam

usaha penangkaran benih padi yaitu dengan

meningkatkan volume pengadaan dan penyaluran

untuk melayani permintaan yang semakin

meningkat, serta bekerjasama dengan pemerintah

dalam pengadaan benih, dan memperluas pangsa

pasar guna memenuhi kebutuhan benih padi

dengan perkembangan teknologi; meningkatkan

pendidikan SDM, meningkatkan kontinuitas

produk agar dapat memenuhi permintaan pasar

pada saat permintaan benih berkelanjutan;

meningkatkan kerja sama dengan penyedia faktor

produksi dan bahan baku agar mendapatkan

harga yang sesuai sehingga harga produk lebih

kompetitif dengan pesaing; dan mengoptimalkan

kegiatan promosi agar konsumen petani

mengetahui produk yang dipasarkan (Sugiharta

et al., 2016).

Tabel 3. Rencana bisnis/business plan distribusi benih varietas Inpari 32 di Keltan Gangsa I, Ds. Jatitengah, Kec.

Jatitujuh, Kab. Majalengka, Provinsi Jawa Barat. 2017

No. Mitra Kerjasama dalam Distribusi Benih Alamat Jumlah (ton)

Wilayah Kecamatan Jatitujuh

1. Kios Tani Gangsa I Jatitengah 5

2. Kios Subur Jaya Jatitujuh 20

3. Kis Tani Sejahtera Panongan 5

4. Kios Sobat Tani Panyingkiran 5

5. Kios Ciherang Tani Biyawak 2

6. Kios Harapan Mulya Jatitujuh 3

7. Kios Buyung Tani Jatitujuh 10

8. Kios Sinar Tani Bantarwangi 20

Wilayah Kab. Majalengka

1. Kios Wanasalam Ligung 5

2. Kios Kertajati Kertajati 5

3. Kios Wawan Ciborelang-Jatiwangi 10

4. Kios Heru Gandawesi-Ligung 5

5. Kios Hambali Sumberjaya 5

6. PT. PERTANI Bantuan Dinas Pertanian dan

Perikanan Kab. Majalengka 5

Wilayah luar Kab. Majalengka

1. Kios Dewa Tani Rancajawat-Indramayu 10

2. Kios Kertawinangun Cirebon 5

3. Kios Pasar Baru Pemalang-Jateng 5

Jumlah 125

Page 72: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

67 Pola Pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Jawa Barat (Yati Haryati, M. Atang Safei dan

Bebet Nurbaeti)

Pada tahun 2017, penggunaan VUB

Inpari 32 di wilayah Desa Mandiri Benih Padi

(Desa Jati Tengah) mencapai 90% dan di luar

wilayah di Kecamatan Jatitujuh mencapai 75%

dan di wilayah Kabupaten Majalengka mencapai

39% (Kec. Kertajati, Ligung, Sumber Jaya,

Dawuan, Kadipaten, Palasah, Leuwimunding,

Sukahaji dan Jatiwangi). Di Jawa Barat varietas

padi yang disukai konsumen yang mempunyai

karakter adalah warna nasi putih, aromanya

harum, dan tekstur pulen (Rohaeni et al., 2012).

Selanjutnya petani menyatakan memilih

menanam VUB dengan alasan varietas tersebut

mempunyai produktivitas tinggi (50%),

ketahanannya terhadap OPT (25%), rasa nasi

yang lebih enak (22%), dan umur tanaman yang

lebih pendek (5-8%) (Ariani et al., 2012).

Hasil kajian Ramija et al., (2010), di

Sumatera Utara bahwa penyebaran benih padi

bermutu (Mekongga, Conde, Angke) dapat

terlaksana karena adanya kerjasama antara

gapoktan dengan pihak swasta yang membeli

gabah. Hal ini menunjukkan dengan adanya

kerjasama tersebut, mempercepat proses

diseminasi benih padi varietas unggul.

Selanjutnya menurut Darwis (2018), bahwa

untuk memenuhi benih sesuai preferensi petani,

penangkar harus menangkarkan varietas yang

diminati petani di wilayahnya.

Pendampingan, Fasilitasi, dan Sertifikasi

Benih

Pendampingan dalam proses sertifikasi

benih padi melibatkan BPSBTPH Kabupaten

Majalengka mulai dari proses permohonan

pendaftaran sampai mendapatkan sertifikasi

(label) benih yang diproduksi. Pembinaan juga

dilakukan kepada penangkar sebagai produsen

benih mengenai tahapan kegiatan dalam proses

mendapatkan benih yang bermutu dan berlabel.

Pendampingan sertifikasi dimulai dari

permohonan dan prosedur dilakukan dengan

pendaftaran ke BPSB TPH Kabupaten

Majalengka untuk didaftarkan menjadi benih.

Dalam peningkatan pengetahuan dalam proses

sertifikasi benih kepada penangkar dilakukan

pendampingan dengan mengundang BPSBTPH

sebagai narasumber. Varietas yang diajukan

untuk menjadi benih yaitu Inpari 32 dengan

luasan 5 ha dengan produksi benih 25 ton lulus

sertifikasi mendapatkan label ungu (SS) dan

benih yang dihasilkan dari Kelompok Tani

Gangsa I secara mandiri sebanyak 100 ton.

Faktor genetik yang berpengaruh terhadap hasil

gabah mencakup sifat fisiologik, morfologi

tanaman, dan ketahanan terhadap hama penyakit.

Hasil gabah dipengaruhi oleh setiap karakter

fisiologik tanaman seperti efisiensi fisiologis

tanaman dalam sistem produksi, termasuk tingkat

kegagalan dan sterilitas gabah (Singh et al.,

2013). Sedangkan persyaratan mutu benih yang

berbeda antar kelas benih pada persentase

kotoran benih, biji tanaman lain, dan campuran

varietas lain, namun pembatasnya adalah

persentase maksimum.

Pendampingan Kelembagaan Penangkaran

Benih

Pendampingan kinerja kelembagaan

dilakukan dalam upaya optimalisasi fungsi

masing-masing pengurus untuk mengelola usaha

penangkaran sebagai lembaga usaha bersama

anggota kelompok tani yang tergabung dalam

Kelompok Tani Gangsa I. Peningkatan kinerja

kelembagan terlihat dari fungsi kelompok dalam

melaksanakan kegiatan produksi benih padi dan

peran dari ketua kelompok sebagai motor

penggerak dalam jalannya kelompok.

Dengan adanya optimalisasi struktur

organisasi dan partisipasi pengurus serta anggota,

Tabel 4. Hasil analisis statistik non parametrik menggunakan willcoxon Peningkatan Kinerja Kelembagaan Penangkaran

Padi Keltan Gangsa I, Desa Jatitengah, Kecamatan Jati Tujuh, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. 2017

Rencana

Kegiatan

Mengorganisasikan

Kegiatan

Melaksanakan

Kegiatan

Pengendalian dan

Pelaporan Kepemimpinan

Z -,948b -,816b -2,207b -,921b -2,060b

Asymp. Sig. (2-

tailed)

,343 ,414 ,027 ,357 ,039

a. Wilcoxon Signed Ranks Test

b. Based on negative ranks

Page 73: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

68 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:61-69

kelompok tani menjalin kerjasama dengan

beberapa kios tani di wilayah kecamatan Jati

Tujuh dan sekitarnya. Kelompok menjual benih

untuk dijual di kios tani dan instansi terkait

(pemda) dalam menyalurkan produksi benih

untuk mendukung kegiatan Dinas Pertanian dan

Perikanan Kabupaten Majalengka dan pihak

BUMN. Kelompok tani memainkan peran di

antaranya sebagai forum belajar, wadah

bekerjasama, wadah berorganisasi, unit produksi

usahatani, dan sebagai unit merespons umpan

balik kinerja teknologi. Peran kelompok tani dan

petani penangkar benih sangat diharapkan dalam

mewujudkan penyiapan cadangan benih daerah.

Keberlanjutan usahatani penangkaran benih akan

tetap berlanjut apabila adanya motivasi

melanjutkan penangkaran benih, persiapan

modal, dan perluasan jangkauan pemasaran

(Nuryanti dan Swastika, 2011).

Kegiatan penangkaran benih sumber padi

sawah akan berlanjut apabila memaksimalkan

peran kelompok tani dalam menciptakan pasar

benih. Faktor adanya motivasi kepada anggota

yang terus menerus oleh pengurus dalam

melaksanakan penangkar benih. Kelompok tani

sudah berperan dalam distribusi benih kedaerah

sebagai unit produksi benih (Putra et al., 2016).

Peningkatan kapasitas penangkar benih dapat

melalui transfer informasi teknologi kepada

kelompok seperti manajemen dan pemasaran

(Ishak dan Siang, 2013). Upaya melakukan

pendampingan dan penyuluhan dengan membina

calon penangkar melalui pertemuan rutin

berpengaruh terhadap penguatan kelembagaan

calon penangkar secara berkelompok (Jumakir et

al., 2016).

KESIMPULAN

Pola pendampingan Desa Mandiri Benih

Padi di Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan

pendampingan teknologi produksi benih,

menyusun rencana bisnis/business plan, fasilitasi

dan sertifikasi benih kinerja lembaga dan

kelembagaan penangkaran dan melibatkan

instansi terkait (Dinas Pertanian dan Perikanan

Kab. Majalengka) dalam distribusi benih melalui

program bantuan benih dan BPSBTPH dalam

pembinaan sertifikasi benih untuk menghasilkan

benih yang bermutu dan bersertifikat.

DAFTAR PUSTAKA

Ariani M, Umiarsih R, Haryani D. 2012. Adopsi,

kelayakan dan sumber informasi

komponen teknologi pengelolaan tanaman

terpadu di Provinsi Banten. Dalam: Ariani

M, Dariah A, Ananto EE, Suradisastra K,

Subagyono K, Sarwani M, Pasandaran E,

Soeparno H, editors. Membangun

kemampuan inovasi berbasis potensi

wilayah. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Jakarta (ID):

IAARD Press.

Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2016.

Program Desa Mandiri Benih.

Kementerian Pertanian Republik

Indonesia. Jakarta.

Daliani dan Nasriati. 2017. Pengetahuan petani

terhadap teknologi Pengelolaan Tanaman

Terpadu (PTT) padi sawah di Kabupaten

Seluma. Prosiding Seminar Nasional

Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk

Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat

Ekonomi ASEAN. Balai Besar Pengkajian

dan Pengembangan Teknologi Pertanian,

Badan Litbang, Kementan, hal : 524 - 531.

Darwis, V. 2018. Sinergi kegiatan desa mandiri

benih dan kawasan mandiri benih untuk

mewujudkan swasembada benih. Analisis

Kebijakan Pertanian, 16(1):

59-72 DOI:

http://dx.doi.org/10.21082/akp.v16n1

Ishak E, Siang R.,D. 2013. Penguatan kapasitas

kelompok nelayan wirausaha mandiri

melalui transfer teknologi tepat guna.

Jurnal Manajemen IKM, 10 (1): 9 - 16.

Istiantoro, Bambang, N, A., dan Soeprobowati,

T., R. Tingkat penerapan sistem pertanian

berkelanjutan pada budidaya padi sawah

(Studi Kasus di Kecamatan Ambal,

Kabupaten Kebumen), Prosiding Seminar

Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan, p: 19 - 25.

Page 74: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

69 Pola Pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Jawa Barat (Yati Haryati, M. Atang Safei dan

Bebet Nurbaeti)

Jumakir, Mulyadi, T., M., dan Bobihoe, J. 2016.

Keragaan dan produksi benih padi melalui

calon penangkar mendukung mandiri

benih di lahan rawa pasang surut Provinsi

Jambi, Prosiding Seminar Nasional Lahan

Suboptimal, hal : 709 - 718.

Mustari. 2017. Strategi pemasaran dan

kelembagaan agribisnis benih padi (Studi

Kasus PT. Sang

Hyang Seri Maros), Jurnal Economix, vol.

5(1): 215 - 225.

Nuryanti dan S, Swastika DKS. 2011. Peran

kelompok tani dalam penerapan teknologi

pertanian, Jurnal Pusat Sosial Ekonomi

dan Kebijakan Pertanian, 29(2):115 - 128.

Putra, R. , A. Saleh, dan Purnaningsih, N. 2016.

Strategi meningkatkan kapasitas

penangkar benih padi sawah dengan

optimalisasi peran kelompok tani di

Kabupaten Lampung Timur. Prosiding

Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik

Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era

Masyarakat Ekonomi ASEAN. Balai

Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian, Badan Litbang,

Kementan,p: 499 - 506.

Rambe, S. M. dan Honorita, B. 2011. Perilaku

petani dalam usahatani di lahan rawa

lebak. Prosiding Seminar Nasional

Budidaya Pertanian, p: 115 - 128.

Ramija, K., E., N. Chairuman dan D.Harnowo.

2010. Keragaan Pertumbuhan Komponen

Hasil dan Produksi Tiga Varietas Padi

Unggul Baru di Lokasi Primatani

Kabupaten Mandailing Natal. Jurnal

Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Pertanian, 13(1): 42 - 51.

Rohani WR, Sinaga A, Ishaq. 2012. Preferensi

responden terhadap keragaan tanaman dan

kualitas produk beberapa varietas unggul

baru padi. Jurnal Informasi Pertanian,

2(2) : 107 - 115.

Puslitbangtan. 2016. Panduan umum sekolah

lapang model desa mandiri benih padi,

Jagung, dan Kedelai. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian.

Sayaka B, Hermanto, Rachmat M, Darwis V,

Dabukke FBM, Suharyono S, dan

Kariyasa K. 2015. Penguatan kelembagaan

penangkar benih untuk mendukung

kemandirian benih padi dan kedelai.

Laporan Penelitian. Bogor (ID): Pusat

Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian.

Sugiharta, N., Darmawan, D., P., dan Yudhari I.,

D., A., S. 2016. Strategi pemasaran benih

padi pada UD Tani Sejati di Kecamatan

Blahbatuh Kabupaten Gianyar, E-Jurnal

Agribisnis dan Agrowisata, 5 (4): 648 -

657.

Wulanjari, M., E dan Setiani, C. 2018.

Pemberdayaan gapoktan berkah melalui

program desa mandiri benih. Seminar

Nasional Dalam Rangka Dies Natalis UNS

Ke 42 Tahun 2018 “Peran

Keanekaragaman Hayati untuk

Mendukung Indonesia sebagai Lumbung

Pangan Dunia”, 2(1): 61 - 68.

Page 75: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor
Page 76: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

71 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERTANIAN CABAI BERBASIS KORPORASI PADA GAPOKTAN MUJAGI

KECAMATAN PACET KABUPATEN CIANJUR

Endang Pudji Astuti1 dan Lira Mailena2

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Jl. Tentara Pelajar No. 10, Cimanggu Bogor 16114, Indonesia

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Strategies for Developing a Chlili-Based Agriculture Business in Mujagi Union Farmer Group, Pacet

Subdistrict, Cianjur District. Chili is a strategic horticultural commodity in Indonesia because it is a determinant

of national inflation. Problems that are often faced by chilli farmers are not optimal productivity, fluctuating chili

prices, and low farmers' bargaining position. Corporate farming are expected to be a solution in the

consolidation of narrow and scattered production site management, increased productivity, increased cost

efficiency, creation of product value added, and capital strengthening. In addition, farmers 'corporations can also

improve the quality of farmers' human resources in the fields of cultivation and managerial management, and are

expected to change the mindset of farmers to be business oriented. The purpose of this study was to identify the

characteristics of chili farming that has the potential to lead to corporate agricultural business and the strategy of

developing corporate-based chili farming. Pacet Subdistrict was determined to be the location of the study

because it is one of the centers of chili production in Cianjur Regency, with Gapoktan Mujagi as a pilot model.

Analysis of the data used in this study was descriptive analysis to produce information on the performance of chili

farming businesses. In addition, SWOT analysis and Grand Strategy Matrix were used to determine the strategy

of developing a corporation-based chili farming business. Chili is planted once a year with an average

productivity of 10 tons per ha. The market of this commodity are modern and traditional markets. Based on the

SWOT analysis and grand strategy matrix, the strategy of developing a corporation-based chili farming business

that could be applied consists of increasing productivity, expanding market reach, product diversification,

attracting investors, and establishing economic institutions of farmers who are legal, independent and sovereign.

Keywords: development strategy, corporate farming, grand strategy matrix

ABSTRAK

Cabai merupakan komoditas hortikultura strategis di Indonesia karena menjadi penentu inflasi nasional.

Permasalahan yang sering dihadapi petani cabai adalah produktivitas yang belum optimal, harga cabai yang

berfluktuatif, dan posisi tawar petani yang rendah. Korporasi petani diharapkan dapat menjadi solusi dalam

konsolidasi pengelolaan lokasi produksi yang sempit dan tersebar, peningkatan produktivitas, peningkatan

efisiensi biaya, penciptaan nilai tambah produk, dan penguatan permodalan. Selain itu, korporasi petani juga dapat

meningkatkan kualitas sumber daya manusia petani di bidang budidaya dan manajerial, serta diharapkan dapat

merubah pola pikir petani untuk berorientasi bisnis. Tujuan pengkajian ini adalah mengidentifikasi karakteristik

usahatani cabai yang berpotensi menuju usaha pertanian korporasi dan strategi pengembangan usahatani cabai

berbasis korporasi. Kecamatan Pacet ditetapkan menjadi lokasi kajian karena merupakan salah satu sentra

produksi cabai di Kabupaten Cianjur, dengan Gapoktan Mujagi sebagai model percontohan. Analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk menghasilkan informasi keragaan usaha pertanian

cabai. Selain itu, dilakukan analisis SWOT dan Grand Strategy Matrix untuk menentukan strategi pengembangan

usaha pertanian cabai berbasis korporasi. Cabai ditanam sekali dalam setahun dengan produktivitas rata-rata 10

ton per ha. Pemasaran hasil panen ke pasar modern dan tradisional. Berdasarkan analisis SWOT dan matriks

grand strategi, maka strategi pengembangan usaha pertanian cabai berbasis korporasi yang bisa diterapkan terdiri

dari peningkatan produktivitas, memperluas jangkauan pasar, diversifikasi produk, menjaring investor, dan

pembentukan kelembagaan ekonomi petani yang berbadan hukum, mandiri, dan berdaulat.

Kata kunci: strategi pengembangan, korporasi petani, matriks grand strategi

Page 77: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

72 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83

PENDAHULUAN

Berdasarkan Renstra Direktorat Jenderal

Hortikultura tahun 2015-2019, cabai dinilai

menjadi salah satu komoditas unggulan

hortikultura di Indonesia karena berdampak

terhadap ekonomi mikro, berpotensi ekspor,

banyaknya jumlah pelaku usaha, bernilai

ekonomi, dan berpotensi nilai tambah. Pada

tahun 2016, cabai juga termasuk salah satu dari

lima komoditas sayuran semusim dengan

produksi terbesar (BPS, 2016). Hal ini

menunjukkan bahwa cabai merupakan komoditas

hortikultura yang strategis di Indonesia.

Tabel 1 menunjukkan luas panen,

produksi, produktivitas, konsumsi, dan

kesenjangan antara produksi dan konsumsi

komoditas cabai di Indonesia. Selama tahun

2005-2014, luas panen cabai di Indonesia

semakin meningkat, sedangkan produksi

berfluktuatif. Seharusnya dengan penambahan

luas panen, produksi juga semakin meningkat.

Kesenjangan tersebut menandakan usahatani

cabai di Indonesia belum dikelola dengan

optimal.

Rata-rata produktivitas cabai di

Indonesia sebesar 7,11 ton/ha. Potensi

produktivitas cabai menurut Direktorat Budidaya

Tanaman Sayur dan Biofarmaka (2007)

mencapai 20 ton/ha. Ini memperlihatkan bahwa

produktivitas rata-rata cabai di Indonesia masih

sangat rendah dan berpotensi untuk ditingkatkan.

Selain itu, terlihat juga gap antara produksi dan

konsumsi di Indonesia. Selama 10 tahun (tahun

2005-2014), kinerja produksi terhadap konsumsi

selalu negatif.

Selain masalah produktivitas, harga cabai

yang fluktuatif menjadi permasalahan yang

belum terselesaikan setiap tahunnya. Saptana et

al., (2012) mengungkapkan bahwa harga cabai

akan turun saat panen raya yang terjadi pada

musim panas, sedangkan pada musim tertentu

seperti musim hujan, perayaan hari besar, dan

musim hajatan, harga cabai meningkat tajam.

Kenaikan harga cabai terbukti mempengaruhi

tingkat inflasi di Indonesia. Bank Indonesia

(2017) mengungkapkan bahwa cabai adalah

komoditas penyebab inflasi terbesar pada

Tabel 1. Luas panen, produksi, produktivitas, konsumsi, gap produksi, dan konsumsi

No. Tahun

Luas

Panen

(Ha)

Produksi

(Ton) (%)

Provitas

(Ton/Ha) (%)

Konsumsi

(Ton) (%)

Gap

Produksi dan

Konsumsi

1 2005 187.236 1.058.023 5,65 1.113.000

2 2006 204.747 1.185.057 12,01 5,79 2,43 1.260.000 5,32 (74.943)

3 2007 204.048 1.128.792 (4,75) 5,53 (4,42) 1.211.000 5,04 (82.208)

4 2008 211.566 1.153.060 2,15 5,45 (1,48) 1.266.000 5,21 (112.940)

5 2009 233.904 1.378.727 19,57 5,89 8,15 1.498.000 6,08 (119.273)

6 2010 237.105 1.328.864 (3,62) 5,60 (4,92) 1.454.000 5,66 (125.136)

7 2011 239.770 1.483.079 11,61 6,19 10,36 1.644.000 6,30 (160.921)

8 2012 242.366 1.656.524 11,69 7,49 21,08 1.786.000 6,84 (129.476)

9 2013 249.232 1.726.382 4,22 6,93 (7,51) 1.872.000 7,07 (145.618)

10 2014 263.616 1.875.075 13,19 7,11 (5,03) 2.048.000 7,63 (172.925)

Sumber: BPS dan Pusdatin, diolah (2018)

Page 78: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

73 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)

kelompok volatile food pada tahun 2016.

Harga cabai yang berfluktuatif

dikarenakan produksi yang tidak konstan pada

saat on season dan off season (Gambar 1). Masa

on season usahatani cabai pada terjadi pada

musim hujan, sedangkan masa off season jatuh

pada bulan kemarau. Fenomena kesenjangan

pasokan ini terjadi di semua sentra produksi

cabai di Indonesia (Saptana et al., 2012).

Harga yang berfluktuasi tersebut

merugikan petani sekaligus menyebabkan

ketidakpuasan bagi konsumen. Perbedaan harga

cabai dari sisi produsen dan konsumen dapat

dilihat pada Gambar 2. Kesenjangan tersebut

akibat panjangnya rantai pemasaran dan margin

yang diterima pedagang perantara. Semakin

besar gap antara harga cabai antara produsen dan

konsumen, mengindikasikan harga cabai yang

tinggi tidak berdampak positif pada

kesejahteraan petani cabai yang bertndak sebagai

price taker.

Dalam rangka mengatasi permasalahan

tersebut, pada tahun 2018 Balai Besar Pengkajian

dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BB

Pengkajian) menginisiasi model pengembangan

usaha pertanian berbasis korporasi berlokasi di

Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Hal ini

dikarenakan Jawa Barat merupakan sentra

produksi cabai terbesar di Indonesia, dengan

kontribusi sebesar 22,95% dari total produksi

Gambar 1. Perkembangan produksi bulanan cabai dan cabai rawit di Indonesia tahun 2012-2015

sumber: Ditjen Hortikultura, 2016

Gambar 2. Perkembangan harga cabai di tingkat produsen dan konsumen di Indonesia Tahun 2000-2014

sumber: (BPS, diolah)

0

20.000

40.000

60.000

200

0

20

01

20

01

20

03

20

04

20

05

200

6

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

20

14

Har

ga (

Rp

/Kg)

Tahun

Harga Produsen (Rp/Kg) Harga Konsumen (Rp/Kg)

Page 79: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

74 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83

nasional. Dari total produksi di Jawa Barat pada

tahun 2014, Cianjur menempati peringkat kedua

dengan kontribusi sebesar 25,96%. Kabupaten

Cianjur juga menjadi kabupaten penyangga

kebutuhan cabai Jabodetabek. Dari produksi

cabai di Cianjur tahun 2015 sebesar 58.020 ton,

hanya 12% yang digunakan untuk konsumsi di

Cianjur. Sisanya sebanyak 88% dipergunakan

untuk konsumsi daerah lain.

Korporasi petani diharapkan dapat

menjadi solusi dalam konsolidasi pengelolaan

lokasi produksi yang sempit dan tersebar,

peningkatan produktifitas, peningkatan efisiensi

biaya, penciptaan nilai tambah produk, dan

penguatan permodalan. Selain itu, korporasi

petani juga dapat meningkatkan kualitas sumber

daya manusia petani di bidang budidaya dan

manajerial, serta diharapkan dapat merubah pola

pikir petani untuk berorientasi bisnis.

Gapoktan Multi Tani Jaya Giri (Mujagi)

yang bergerak dalam bidang budidaya dan

pemasaran cabai, diharapkan dapat menjadi

model usaha pertanian korporasi. Hal ini sejalan

dengan Musthofa dan Kurnia (2013) yang

menyarankan bahwa dibutuhkannya suatu contoh

penerapan konsep corporate farming skala kecil

yang dibiayai pemerintah untuk meningkatkan

keyakinan petani terhadap konsep tersebut.

Oleh karena itu, kajian mengenai strategi

pengembangan usaha dengan

mempertimbangkan kondisi internal sangat

diperlukan untuk menjawab tantangan eksternal

yang mempengaruhi usaha pertanian cabai.

Untuk kepentingan tersebut, tujuan dari kajian ini

adalah untuk (1) Mengidentifikasi karakteristik

usaha pertanian cabai dan (2) Mengidentifikasi

strategi pengembangan usahatani cabai berbasis

korporasi.

KORPORASI PETANI

Pengertian korporasi petani berdasarkan

Permentan No. 18 tahun 2018 adalah

kelembagaan ekonomi petani berbadan hukum

berbentuk koperasi atau badan hukum lain

dengan sebagian besar kepemilikan modal

dimiliki oleh petani. Korporasi petani yang ideal

bisa digambarkan sebagai petani dalam jumlah

besar yang mengelola usahatani dengan

manajemen yang baik dan berorientasi bisnis.

Kegiatan ini mencakup satu kesatuan sistem

agribisnis. Menurut Said et al. (2001) faktor

kunci dalam pengembangan agribisnis adalah

peningkatan dan perluasan kapasitas produksi

melalui pembenahan setiap bagian subsistem

agribisnis agar dapat meningkatkan pendapatan

petani secara nyata.

Tujuan korporasi petani adalah

meningkatkan efisiensi biaya, meningkatkan nilai

tambah komoditas pertanian serta memperkuat

kelembagaan petani dalam mengakses informasi,

teknologi, prasarana dan sarana publik,

permodalan, pengolahan, dan pemasaran

(Kementan, 2018). Keterlibatan pemerintah

dalam hal ini bisa berupa bentuk bantuan input

produksi, alsintan, pengawalan, pendampingan,

pelatihan, dan paket teknologi unggulan.

Wibowo (2004) mengemukakan bahwa

korporasi petani agribisnis adalah perusahaan

yang dimiliki oleh masyarakat/petani. Menurut

Musthofa dan Kurnia (2013), corporate farming

adalah kegiatan penggabungan lahan yang

dimiliki petani (biasanya dalan ukuran kecil)

untuk dikelola bersama-sama dalam satu

manajemen. Beberapa faktor yang

mempengaruhi penerapan corporate farming

adalah penerimaan kelompok tani dan dukungan

pemerinta daerah terhadap program tersebut

(Sitanggang, 2002). Wahyuni dan Pranadji

(2015) mengungkapkan bahwa fokus konsolidasi

dari corporate farming ada tujuh, yaitu lahan,

komoditas, manajemen on-farm, manajemen off-

farm, manajemen vertikal, manajemen

horizontal, dan manajemen lingkungan.

Dari penjelasan sebelumnya, diperoleh

beberapa penciri korporasi yang akan

menentukan variabel-variabel yang

mempengaruhi faktor internal dan faktor

eksternal usaha pertanian cabai yang pada

Gapoktan Mujagi. Penciri tersebut adalah: (1)

Kelembagaan ekonomi petani berbadan hukum,

yang dimiliki bersama-sama oleh petani; (2)

Berorientasi pasar, seperti jaminan pasar,

keuntungan, permintaan konsumen, dan lain-lain;

(3) Adanya konsolidasi pengelolaan usaha

pertanian dalam satu manajemen professional

yang merupakan sistem agribisnis; dan (4)

Adanya kemitraan dengan lembaga permodalan,

Page 80: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

75 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)

lembaga pemasaran, serta pemerintah pusat dan

daerah.

METODOLOGI

Penentuan daerah pengkajian dilakukan

secara sengaja (purposive sampling), yaitu Desa

Cipendawa Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.

Kajian ini dilakukan pada bulan November 2018

dengan menggunakan data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh melalui Focus

Group Discussion (FGD) dengan petani mitra

dan anggota gapoktan sejumlah 30 orang

responden. Selain itu, dilakukan observasi dan

wawancara mendalam dengan informan kunci

(key informan) secara mendalam dengan bantuan

pengisian daftar pertanyaan (kuesioner) yang

telah disiapkan sebelumnya. Data sekunder yang

dibutuhkan diperoleh dari BPS, jurnal, literatur

terkait lainnya.

Analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif untuk

menghasilkan informasi karakteristik usaha

pertanian cabai. Selain itu, digunakan Analisis

SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, and

Threads) dan Matriks Grand Strategi untuk

menentukan strategi yang diperlukan dalam

pengembangan usaha pertanian cabai berbasis

korporasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Gapoktan Mujagi yang terletak di

Kampung Pasir Cina Desa Cipendawa

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur, bergerak

pada bidang budidaya dan pemasaran cabai. Dari

survei yang dilakukan, diketahui bahwa

mayoritas usia responden antara 15-60 tahun

(95%) dan pengalaman bertani responden antara

10-20 tahun (41%).

Produktivitas yang belum optimal (10

ton/ha), biaya produksi yang tidak efisien akibat

lahan petani yang sempit, pengolahan yang

belum terintegrasi, dan penggunaan pupuk yang

berlebihan, dan mayoritas luas lahan petani yang

sempit (di bawah 0,5 ha) adalah permasalahan

yang dihadapi petani. Konsep korporasi sangat

sesuai diterapkan untuk menggabungkan

pengelolaan lahan yang relatif sempit dan biaya

produksi yang tidak efisien. Lahan yang

merupakan milik petani, ketersediaan air dan

infrastruktur jalan yang memadai, serta mata

pencaharian dan pendapatan utama sebagai

petani hortikultura juga merupakan penunjang

terbentuknya korporasi petani.

Dari sisi kelembagaan, anggota gapoktan

sudah terbiasa berorganisasi. Pengalaman dalam

budidaya juga sangat baik. Karakteristik mereka

yang mudah menerima dan memahami informasi

baru, merupakan potensi dalam pengembangan

usaha pertanian korporasi sebagai konsep baru

yang akan diperkenalkan.

Masalah gapoktan diantaranya adalah

rendahnya kompetensi SDM dalam hal

manajemen, laporan keuangan dan penyimpanan

bukti transaksi yang belum rapi, serta

kepemilikan aset yang belum terpisah antara

gapoktan dan ketua gapoktan. Peran pemerintah

dalam mendukung terciptanya korporasi petani

adalah sebagai fasilitator, bersama-sama petani

membuat aturan main untuk menjaga komitmen

mitra dan menciptakan manajemen yang stabil.

Selain itu, pemerintah perlu melakukan pelatihan

dan pendampingan dalam hal manajemen SDM,

manajemen pemasaran, dan manajemen

keuangan.

Existing market Gapoktan Mujagi

diantaranya restoran, minimarket, dan pasar

tradisional. Pasokan aneka cabai ke pasar modern

sebesar 1 Kuintal per 2 hari dengan harga rata-

rata Rp 42.000,00 per Kg. Pasokan ke restoran

sejumlah 4 Kuintal per 2 hari. Sisanya sebanyak

2 Kuintal per hari dipasok ke pasar tradisional.

Dari sisi pasca panen dan pengolahan,

Gapoktan Mujagi sudah mencoba pengolahan

produk berupa cabai giling, cabai bubuk, dan bon

cabai. Namun mereka terbentur oleh terbatasnya

modal berupa mesin pengolahan, produk yang

belum terstandardisasi, serta kepastian harga.

Permintaan dari restoran berupa produk cabai

giling sebanyak 100 kuintal per hari belum dapat

mereka penuhi. Kendala yang dihadapi adalah

kapasitas alat penggilingan yang kecil, dengan

kapasitas 10 kg per hari.

Dengan adanya diversifikasi produk,

diharapkan tercipta pula diversifikasi pasar.

Page 81: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

76 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83

Diversifikasi ini bisa berupa pasar cabai segar

dan pasar produk olahan cabai seperti cabe

giling, cabai bubuk, blok cabai, saus cabai, dan

minyak cabai. Konsep kemitraan dalam

korporasi memungkinkan gapoktan untuk

bekerja sama dengan pihak yang dianggap

mampu memperluas jangkauan dan diversifikasi

pasar.

Tabel 3. Faktor internal dan faktor eksternal usaha pertanian gapoktan Mujagi

FAKTOR INTERNAL

Kekuatan/Strenght (S) Kelemahan/Weakness (W)

1. Ketersediaan input produksi tercukupi

2. Lahan milik sendiri

3. Mata pencaharian utama anggota dan mitra gapoktan adalah

petani hortikultura khususnya cabai

4. Kontinyuitas produksi

5. Jumlah anggota dan petani mitra cukup banyak

6. Karakteristik pengurus yang terbuka dan solid

7. Petani aware terhadap peningkatan nilai tambah melalui

proses pasca panen dan pengolahan produk

8. Kepemilikan peralatan dan mesin produksi dan pengolahan

9. Kepastian kuantitas dan harga dalam kontrak

10. Petani anggota dan petani mitra sudah terbiasa mengikuti

aturan pengurus/manajemen Gapoktan Mujagi

1. Luas lahan garapan relatif

sempit

2. Kompetensi pengurus di bidang

manajerial usaha rendah

3. Biaya produksi belum efisien

4. Ketersediaan modal kecil

5. Belum ada standardisasi produk

olahan

6. Minimya promosi dan inovasi

strategi pemasaran

7. Komitmen petani anggota dan

petani mitra masih rendah

FAKTOR EKSTERNAL

Peluang/Opportunity (O) Ancaman/Threads (T)

1. Potensi pasar cabai segar yang besar dan stabil

2. Potensi pasar produk olahan cabai masih terbuka luas

3. Dukungan pemerintah pusat dan daerah

4. Kondisi wilayah sebagai sentra produksi cabai Inovasi

teknologi produksi cabai cukup banyak

5. Inovasi teknologi pasca panen, dan pengolahan cabai cukup

banyak

6. Aksesibilitas menuju lokasi usahatani cukup baik

7. Potensi kemitraan dengan lembaga permodalan

8. Potensi kemitraan dengan lembaga pemasaran

1. Persaingan usaha

2. Fluktuasi harga cabai

3. Komoditas cabai perishable

4. Kondisi alam yang tidak

mendukung (iklim, hama)

Sumber: data primer, diolah (2018)

Tabel 4. Matriks SWOT

STRATEGI S-O STRATEGI W-O

1. Meningkatkan produktivitas

2. Memperluas jangkauan pasar

3. Diversifikasi produk

4. Menjaring investor

5. Pembentukan KEP yang berbadan hukum,

mandiri, dan berdaulat

1. Konsolidasi pengelolaan untuk memperluas jangkauan pasar

dan meningkatkan efisiensi produksi

2. Melakukan sertifikasi produk untuk mengembangkan pasar

3. Peningkatan kompetensi pengurus gapoktan dibidang

manajerial untuk menjaring investor dan memperluas pasar

4. Memaksimalkan dukungan pemerintah berupa pelatihan,

modal, dan alsintan

STRATEGI S-T STRATEGI W-T

1. Meningkatkan kualitas produk untuk manjaga

pelanggan tetap dan menjaring pelanggan baru

2. Peningkatan produksi saat off season dan

pengaturan pola tanam

3. Memperkuat pasca panen dan pengolahan cabai

4. Diversifikasi pasar

5. Alih pengetahuan dan teknologi dalam

penanggulangan OPT

6. Penguatan bargaining position petani

1. Konsolidasi lahan dan pengelolaan untuk meningkatkan

produktivitas dan efisiensi biaya

2. Melakukan sertifikasi produk olahan untuk menghadapi

persaingan

3. Meningkatkan performa manajemen gapoktan untuk

menghadapi persaingan usaha

4. Ikut serta asuransi pertanian

Sumber: data primer, diolah (2018)

Page 82: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

77 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)

Jumlah petani anggota dan petani mitra

Gapoktan Mujagi yang cukup besar berefek pada

potensi pasokan cabai yang melimpah. Namun

pasokan tersebut belum terserap seluruhnya

karena gapoktan kekurangan modal untuk

membayar petani secara langsung. Perputaran

uang tunai yang lama akibat sistem pembayaran

tempo dari restoran dan minimarket. Pembayaran

dari supermarket dan minimarket berkisar antara

2 minggu sampai 1 bulan. Hal ini mengakibatkan

petani memilih menjual hasil panen kepada

pengepul/tengkulak. Dengan korporasi,

diharapkan gapoktan mampu menjaring lebih

banyak investor untuk mengatasi masalah

kurangnya modal.

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA

PERTANIAN CABAI BERBASIS

KORPORASI

Analisis SWOT (Strength, Weakness,

Opportunity, Thread)

Analisis SWOT digunakan untuk

mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan

kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan

ancaman) untuk merumuskan strategi dalam

pengembangan usaha pertanian Gapoktan

Mujagi. Faktor internal merupakan faktor-faktor

yang berasal dari Gapoktan itu sendiri, sementara

faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal

dari luar Gapoktan.

Kekuatan yang dimaksud adalah adalah

segala kelebihan yang dimiliki Gapoktan Mujagi

dalam menjalankan usaha pertaniannya.

Kelemahan adalah keterbatasan yang dimiliki

Gapoktan yang perlu ditindaklanjuti sehingga

dapat ditemukan solusi untuk meminimalkan

dampak kelemahan tersebut. Peluang perlu

dianalisis untuk meningkatkan daya saing dan

menciptakan inovasi baru, serta memperluas

pasar untuk memaksimalkan keuntungan.

Sedangkan ancaman adalah segala sesuatu yang

berasal dari luar sehigga perlu diantisipasi untuk

mencapai tujuan organisasi.

Faktor internal dan eksternal diperoleh

dari hasil observasi, wawancara mendalam, dan

focus discussion group (FGD) yang dilakukan

dengan pengurus, petani anggota gapoktan, dan

petani mitra gapoktan. Data yang terangkum

dapat terlihat pada tabel 3.

Dari faktor internal dan eksternal yang

diperoleh, selanjutnya diformulasikan dalam

matriks SWOT. Hasilnya adalah adanya empat

strategi utama yang merupakan perpaduan dari

faktor internal dan faktor eksternal yang

Gapoktan Mujagi dalama menjalankan usahatani

cabai. Strategi tersebut adalah S-O (Strength –

Opportunities), S-T (Strength – Threats), W-O

(Weakness – Opportunities), dan W-T

(Weakness – Threats). Pilihan strategi tersebut

dapat dilihat pada Tabel 4.

Grand Strategy Matrix

Sebelum melakukan perumusan strategi

dengan Grand Strategy Matrix, terlebih dahulu

dibutuhkan matriks Faktor Strategi Eksternal

atau Eksternal Factor Evaluation (EFE) dan

matriks Evaluasi Faktor Internal atau Internal

Factor Evaluation (IFE).

Oleh karena itu, dibutuhkan pengolahan

data mengenai pembobotan dan penilaian

(rating) untuk setiap faktor tersebut. Nilai

pembobotan dan penilaian dilakukan dengan

wawancara dan mengisi kuesioner dengan

pengurus inti Gapoktan Mujagi.

Matriks EFE adalah suatu matriks yang

menampilkan faktor-faktor eksternal yang

mempengaruhi Gapoktan Mujagi dalam

menjalankan usahanya. Menurut Firdaus (2011),

faktor-faktor eksternal diantaranya faktor

ekonomi, budaya, demografi, lingkungan, politik,

pemerintahan, legalitas, teknologi, dan

persaingan. Berdasarkan hasil pengolahan data

menggunakan Microsoft Office Excel, maka

dihasilkan pembobotan dan penilaian untuk

matriks EFE pada Tabel 5.

Page 83: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

78 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83

Total skor yang diperoleh Gapoktan

Mujagi untuk faktor eksternal sebesar 3,19.

Faktor peluang yang dinilai paling penting

adalah potensi kemitraan dengan lembaga

pemasaran dengan skor tertimbang 0,46.

Hal ini menunjukkan bahwa mitra yang

mampu memberikan jaminan harga dan

permintaan yang stabil sangat penting dan

berperan positif bagi pengembangan usaha

pertanian korporasi cabai. Faktor tersebut harus

menjadi prioritas untuk perkembangan usaha

pertanian kedepan.

Dengan pengembangan usaha berbasis

korporasi, potensi bermitra dengan lembaga

pemasaran lainnya semakin terbuka lebar.

dengan berkorporasi, petani akan mencapai skala

usaha yang lebih baik sehingga akan terjadi

peningkatan efisiensi biaya produksi. Selain itu,

korporasi menekankan kepada petani anggota

dan petani mitra untuk lebih memperhatikan nilai

tambah produk melalui penanganan pasca panen

dan pengolahan cabai segar. Hal ini berdampak

positif bagi gapoktan untuk memperluas mitra

pemasaran, tidak hanya lembaga pemasaran yang

bergerak pada penjualan cabai besar, namun juga

pada pemasaran cabai olahan.

Faktor ancaman yang terbesar adalah

komoditas cabai yang perishable dengan skor

sebesar 0,06. Faktor ancaman ini harus dihadapi

dengan kekuatan dan peluang yang ada. Selama

ini petani sudah menguasai beberapa teknik

pasca panen seperti pencucian, sortasi, dan

grading. Pasokan cabai yang melimpah dan sifat

cabai yang perishable mengharuskan gapoktan

memberi perhatian pada kegiatan pasca panen

dan pengolahan cabai.

Selain matriks EFE, diperlukan juga

Matriks Evaluasi Faktor Internal atau IFE yang

menunjukkan kekuatan dan kelemahan yang

terjadi dalam organisasi Gapoktan Mujagi.

Adapun hasil pembobotan dan penilaian untuk

matriks IFE dapat dilihat pada Tabel 6.

Berdasarkan matriks IFE pada Tabel 6

dapat dilihat bahwa total skor yang diperoleh

Gapoktan Mujagi untuk faktor internal sebesar

2,9. Faktor kekuatan yang yang memiliki peran

terbesar adalah pengurus yang terbuka dan solid

dengan skor sebesar 0,36. Faktor tersebut harus

dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Gapoktan.

Tabel 5. Hasil pembobotan dan penilaian matriks EFE

FAKTOR EKSTERNAL BOBOT RATING NILAI BOBOT X

RATING

Peluang/Opportunity (O)

1. Potensi pasar cabai segar yang besar dan konstan 0,06 3,6 0,23

2. Potensi pasar produk olahan cabai masih terbuka luas 0,04 2,3 0,09

3. Dukungan pemerintah pusat dan daerah 0,08 4,0 0,30

4. Kondisi wilayah sebagai sentra produksi cabai 0,11 3,7 0,40

5. Inovasi teknologi produksi cabai cukup banyak 0,09 3,7 0,35

6. Inovasi teknologi pasca panen, dan pengolahan cabai

cukup banyak 0,09 3,6 0,31

7. Aksesibilitas menuju lokasi usahatani cukup baik 0,09 2,9 0,27

8. Potensi kemitraan dengan lembaga permodalan 0,13 3,4 0,45

9. Potensi kemitraan dengan lembaga pemasaran 0,13 3,6 0,46

0,82 2,85

Ancaman/Threads (T)

1. Persaingan usaha 0,04 1,7 0,08

2. Fluktuasi harga cabai 0,03 2,3 0,08

3. Komoditas cabai perishable 0,04 1,6 0,06

4. Kondisi alam yang tidak mendukung (iklim, hama) 0,06 2,0 0,13

0,18 0,34

SKOR EFE 1 3,19

Sumber : Data primer, diolah (2018)

Page 84: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

79 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)

Dengan pengembangan usaha berbasis

korporasi, pengurus yang solid dapat menjadi

cikal bakal manajemen korporasi yang baik.

Adanya kelembagaan yang kuat dan mandiri,

akan berdampak positif terhadap kinerja

Gapoktan. Konsolidasi manajemen yang baik

akan meningkatkan bargaining position petani

dalam menghadapi ancaman persaingan usaha

dan fluktuasi harga di pasar.

Kelemahan terkait manajemen yang

belum stabil dan kompetensi SDM di bidang

manajerial masih rendah adalah permasalahan

yang perlu diselesaikan. Peran pemerintah

sebagai fasilitator adalah melakukan pelatihan

dan pendampingan dalam hal manajemen SDM,

manajemen pemasaran, dan manajemen

keuangan.

Dari matriks IFE diatas juga dapat dilihat

faktor kelemahan terbesar bagi gapoktan adalah

luas lahan garapan yang relatif sempit dengan

skor 0,03. Faktor kelemahan tersebut harus

segera dicarikan solusi yang tepat untuk

menyelesaikannya. Konsep konsolidasi lahan dan

manajemen yang profesional dalam korporasi

dilakukan karena lahan yang dimiliki masing-

masing petani anggota dan petani mitra

berukuran sempit (dibawah 0,5 ha). Dengan

penggabungan lahan, maka pengelolaan akan

lebih efisien. Hal ini dikarenakan mekanisasi

atau mesin modern seperti traktor dan

transplanter akan bisa digunakan pada lahan

yang luas (Irianto, 2015).

Pengelolaan dalam satu manajemen

memungkinkan untuk melakukan perencanaan

yang matang sebelum dilakukan pengadaan input

produksi. Pembelian benih, pupuk, maupun obat-

obatan cukup dilakukan satu kali setiap musim

tanam langsung pada supplier. Biaya transportasi

Tabel 6. Hasil Pembobotan dan Penilaian Matriks IFE

FAKTOR INTERNAL BOBOT RATING NILAI BOBOT X

RATING

Kekuatan/Strenght (S)

1. Ketersediaan input produksi tercukupi 0,06 3,7 0,24

2. Lahan milik sendiri 0,04 3,4 0,12

3. Mata pencaharian utama anggota dan mitra gapoktan

adalah petani hortikultura khususnya cabai 0,06 3,6 0,22

4. Kontinyuitas produksi 0,06 3,4 0,18

5. Jumlah anggota dan petani mitra cukup banyak 0,07 3,3 0,21

6. Karakteristik pengurus yang terbuka dan solid 0,09 3,9 0,36

7. Petani aware terhadap peningkatan nilai tambah

melalui proses pasca panen dan pengolahan produk 0,07 3,6 0,28

8. Kepemilikan peralatan dan mesin produksi dan

pengolahan 0,07 3,1 0,21

9. Kepastian harga dan jumlah permintaan dalam

kontrak 0,08 3,4 0,24

10. Petani anggota dan petani mitra sudah terbiasa

mengikuti aturan pengurus/manajemen Gapoktan

Mujagi

0,07 3,3 0,20

0,66 2,26

Kelemahan/Weakness (W)

1. Luas lahan garapan relatif sempit 0,03 1,43 0,03

2. Kompetensi pengurus di bidang manajerial usaha

rendah 0,06 2,00 0,12

3. Biaya produksi belum efisien 0,04 1,57 0,09

4. Ketersediaan modal kecil 0,04 2,00 0,09

5. Belum ada standardisasi produk olahan 0,04 1,86 0,08

6. Minimya promosi dan inovasi strategi pemasaran 0,04 2,14 0,08

7. Komitmen petani anggota dan petani mitra masih

rendah 0,07 1,83 0,14

0,34 1,43 0,64

SKOR IFE 1 2,90

Data primer, diolah (2018)

Page 85: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

80 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83

yang ditanggung secara kolektif dan perbedaan

harga input produksi yang lebih rendah akan

menekan pengeluaran biaya produksi sehingga

terjadi efisiensi biaya.

Hasil perhitungan nilai faktor-faktor

internal dan eksternal pada usaha pertanian cabai

yang dikelola Gapoktan Mujagi terlihat pada

Gambar 4 yang menunjukkan Matriks Grand

Strategi usaha pertanian cabai Gapoktan Mujagi.

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh skor

EFE dan IFE sebesar 3,19 dan 2,9. Posisi

tersebut berada pada Kuadran I (Bidang Kuat-

Berpeluang).

Posisi usaha petanian cabai di bawah

pengelolaan Gapoktan Mujagi merupakan posisi

yang sangat strategis bagi pengembangan

usahatani cabai berbasis korporasi, karena

peluang pengembangan yang tinggi didukung

oleh kekuatan yang juga tinggi. Strategi yang

dapat diterapkan pada kondisi ini adalah strategi

pertumbuhan agresif (Growth Oriented Strategy).

Menurut David (2006), Pada posisi ini,

Gapoktan Mujagi seharusnya melakukan strategi

agresif. Strategi yang dapat dipakai meliputi

pengembangan pasar, pengembangan produk,

penetrasi pasar, integrasi ke belakang, integrasi

ke depan, dan diversifikasi konsentrik.

Berdasarkan hasil analisis SWOT dan

Grand Strategy Matrix, dihasilkan beberapa

strategi yang dapat diterapkan. Strategi tersebut

merupakan strategi agresif, dengan

memanfaatkan kekuatan internal dan peluang

yang ada untuk mengembangkan usaha pertanian

cabai berbasis korporasi. Strategi tersebut adalah:

1. Meningkatkan produktivitas (S1, S2, S3, S4,

S8, S10, O1, O2, O5)

Wilayah Pacet dan sekitarnya adalah

salah satu sentra produksi cabai dengan sebagian

besar penduduknya bermata pencaharian utama

sebagai petani hortikultura khususnya cabai. Ini

adalah potensi yang bisa dimanfaatkan dalam

pengembangan usahatani cabai. Konsep

korporasi yang bisa diterapkan adalah

konsolidasi manajemen dalam pengelolaan lahan

bersama secara profesional. Konsep ini sangat

memungkinkan mengingat petani adalah pemilik

lahan yang bisa mengambil keputusan secara

mandiri.

Potensi pasar cabai segar dan cabai

olahan yang masih terbuka lebar menjadi satu

kesempatan untuk mengembangkan usaha

pertanian cabai. Kontinuitas produksi dan

ketersediaan input produksi, sumber air,

peralatan yang memadai, dan teknik budidaya

yang baik merupakan kekuatan yang bisa

dimanfaatkan.

Dengan menerapkan korporasi, kekuatan

dan peluang tersebut dipadukan dengan

pengelolaan yang profesional diharapkan akan

mengoptimalkan output sehingga terjadi

peningkatan produktivitas. Petani anggota dan

petani mitra yang sudah terbiasa mengikuti

Gambar 4. Matriks Grand Strategy

Page 86: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

81 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)

aturan pengurus/manajemen akan memudahkan

konsep tersebut dilakukan.

Dukungan BBP2TP terhadap usaha

pertanian korporasi bisa diwujudkan dalam insert

teknologi yang sesuai. Karakteristik petani yang

terbuka dalam menerima inovasi baru akan

semakin mempercepat peningkatan produktivitas

cabai.

2. Memperluas jangkauan pasar (S4, S7, O1,

O2, O4, O6, O7, O9)

Jumlah anggota dan petani mitra yang

cukup banyak menghasilkan produksi cabai yang

melimpah dan kontinyu. Konsolidasi dalam

konsep korporasi memungkinkan pengelolaan

pasokan cabai yang melimpah dan kontinyu

tersebut dalam satu manajemen, sehingga

diharapkan dapat menjangkau pasar yang lebih

luas.

Selain pasar cabai segar, kekuatan

internal dimana petani dan pengurus aware

terhadap peningkatan nilai tambah dalam proses

pasca panen dan pengolahan produk juga bisa

dimanfaatkan dengan optimal. Hal ini

dikarenakan Cianjur sebagai salah satu sentra

produksi cabai sehingga sangat memungkinkan

insert inovasi teknologi pasca panen dan

pengolahan cabai. Selain itu, aksesibilitas

menuju lokasi usahatani cukup baik sehingga

sangat berpotensi menjaring kemitraan dengan

lembaga pemasaran untuk menjangkau pasar

yang lebih luas.

3. Diversifikasi produk (S4, S7, S8, O2, 03,

06)

Potensi pasar produk olahan cabai masih

terbuka luas merupakan peluang bagi usaha

pertanian cabai. Kontinyuitas produksi dari

petani mitra dan petani anggota gapoktan,

kepemilikan peralatan dan mesin pengolahan,

disertai kemampuan penanganan pasca panen

dan pengolahan produk cabai akan berpotensi

untuk dilakukannya diversifikasi produk. Dari

yang semula hanya bergerak dalam pemasaran

cabai segar, ke depannya akan berupaya

memenuhi permintaan pasar produk cabai

olahan.

Hal ini adalah upaya diharapkan

berpengaruh positif terhadap pendapatan petani.

Dukungan pemerintah terhadap usaha pertanian

korporasi dapat diwujudkan dalam bentuk

bantuan alsintan dan bimtek teknologi pasca

panen dan pengolahan cabai.

4. Menjaring investor (S4, S6, S9, O3, O7, O8)

Dengan produksi yang melimpah dan

kontinyu, serta pengelolaan budidaya dalam

manajemen yang profesional, mengindikasikan

bahwa usaha ini berprospek cerah untuk

dikembangkan. Selain itu, kelembagaan yang

sudah berjalan cukup baik, dengan struktur

organisasi dan pengurus yang solid menjadi

kekuatan bagi usaha pertanian cabai yang

dikelola Gapoktan Mujagi.

Selain itu, aksesibilitas menuju lokasi

yang cukup baik, telah terjalinnya beberapa

kontrak pemasaran yang sudah berjalan, dan

pengelolaan laporan keuangan yang baik dapat

dimanfaatkan dalam menarik investor yang

berminat menanamkan modal. Dukungan

pemerintah pusat dan daerah disini adalah

sebagai fasilitator antara korporasi petani agar

dapat bermitra dengan lembaga permodalan.

5. Pembentukan kelembagaan ekonomi petani

yang berbadan hukum, mandiri, dan

berdaulat (S5, S6, S10, O3, O8, O9)

Jumlah anggota dan petani mitra yang

cukup banyak dan telah terbiasa mengikuti

aturan pengurus/manajemen berpotensi untuk

dikembangkan dalam suatu wadah organisasi.

Selain itu, karakteristik pengurus yang terbuka

dan solid juga merupakan kekuatan yang

mendorong terbentuknya satu lembaga ekonomi

petani yang berbadan hukum, mandiri, dan

berdaulat.

Dukungan pemerintah pusat dan daerah

diharapkan dapat membantu penguatan

kelembagaan korporasi petani tersebut. Dengan

kelembagaan yang kuat, potensi

mengembangkan usaha pertanian berbasis

korporasi menjadi lebih mudah dilakukan.

Dengan kelembagaan, potensi bermitra dengan

lembaga permodalan dan lembaga pemasaran

akan semakin terbuka lebar.

Page 87: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

82 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83

KESIMPULAN

Karakteristik usahatani cabai yang

dikelola Gapoktan Mujagi meliputi mayoritas

umur petani 15-60 tahun (95%), pengalaman

petani 10-20 tahun (41%), luas lahan sempit

(dibawah 0,5 ha), ketersediaan air memadai,

infrastruktur jalan baik, pekerjaan dan

pendapatan utama dari bertani. Produktivitas

rata-rata petani 10 Ton per ha. Gapoktan sudah

memahami pentingnya proses pasca panen dan

pengolahan. Gapoktan memasarkan hasil panen

petani anggota dan petani mitra ke pasar modern

dan tradisional.

Strategi pengembangan usahatani cabai

yang dikelola Gapoktan Mujagi berbasis

korporasi terdiri dari peningkatan produktivitas,

memperluas jangkauan pasar, diversifikasi

produk, menjaring investor, dan pembentukan

kelembagaan ekonomi petani yang berbadan

hukum, mandiri, dan berdaulat.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik tanaman

sayuran dan buah-buahan semusim. BPS.

Jakarta.

Budiman, S. 2013. Pengolahan dan analisis data

dalam penelitian kualitatif. Makalah

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

Univeritas Islam Negeri Sumatera Utara.

Medan.

Cahyono, B. 2003. Cabai rawit teknik budidaya

dan analisis usaha tani. kanisius. Jakarta.

Direktorat Jenderal Hortikultura. 2017. Laporan

kinerja Direktorat Jenderal Hortikultura

TA 2016. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan

Biofarmaka. 2007. Standar operasional

prosedur cabai merah. Kementerian

Pertanian. Jakarta.

David, Fred R. 2006. Manajemen strategi .Ed.

10. Salemba Empat. Jakarta.

Fahmi, I. 2013. Manajemen strategis teori dan

aplikasi. Alfabeta. Bandung.

Firdaus, F. 2011. Perumusan strategi bersaing

pada industri transportasi trayek Jakarta-

Bandung: Studi Kasus PT. Primajasa

Perdanarayautama. Skripsi Program Studi

Teknik Industri. Fakultas Teknik.

Universitas Indonesia. Depok.

Irianto, Sumarjo G. 2015. Pedoman teknis

pengembangan optimasi lahan APBN-P

TA. 2015. Direktorat Perluasan dan

Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal

Prasarana dan Sarana Pertanian.

Kementerian Pertanian. Jakarta.

Maflahah, I. 2010. Studi kelayakan industri cabe

bubuk di Kabupaten Cianjur. Jurnal

Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas

Trunojoyo. Madura. Embryo 7(2): 90-96

Musthofa, I. dan Ganjar K. 2013. Prospek

penerapan sistem Corporate faming (Studi

Kasus di Koperasi Pertanian Gerbang

Emas, Desa Cibodas, Kecamatan

Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Jurnal Universitas Padjadjaran. Bandung.

Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT: teknik

membedah kasus bisnis. Gramedia.

Jakarta.

Said, E. Gumbira dan I. A. Haritz. 2001.

Manajemen agribisnis. Ghalia Indonesia.

Jakarta.

Saptana, N.K. Agustin, dan A.M. Ar-Rozi. 2012.

Kinerja produksi dan harga komoditas

cabai. Laporan Akhir Anjak. PSEKP.

Bogor.

Sitanggang, L. K. 2002. Kemungkinan penerapan

corporate farming guna keberlanjutan

usaha produksi padi sawah (Studi Kasus:

Kecamatan Katapang dan Soreang,

Kabupaten Bandung). Tugas Akhir

Departemen Teknik Planologi. Fakultas

Teknik Sipil dan Perencanaan. Institut

Teknologi Bandung. Bandung.

Sugiyono. 2005. Metode penelitian bisnis.

alfabeta. Bandung.

Suratiyah, K. 2015. Ilmu usahatani (Edisi

Revisi). Penebar Swadaya. Jakarta.

Tim Pemantauan dan Pengendalian inflasi Bank

Indonesia 2017. Release Note Inflasi

Desember 2016: Inflasi 2016 Cukup

Rendah dan Berada dalam Batas Bawah

Sasaran Inflasi Bank Indonesia. Bank

Indonesia. Jakarta.

Page 88: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

83 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi

Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)

Wahyuni, S dan T. Pranadji. 2015. Konsep,

implementasi, dan faktor penentu

keberhasilan program konsolidasi

usahatani.

http://journal.ipb.ac.id/index.php/jmagr

Nomor DOI: 10.17358/JMA.12.1.14

Wibowo, R. 2004. Koperasi dan korporasi

petani: kunci pembuka pengembangan

agribisnis berdaya saing, berkerakyatan,

dan berkeadilan. Universitas Jember.

Jember.

Page 89: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor
Page 90: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

85 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan

Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)

INOVASI TEKNOLOGI BUDI DAYA DAN PENGOLAHAN HASIL UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PANGAN LOKAL PAPUA BARAT

Junita Br Nambela1 dan Aser Rouw2

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat

Jalan Brigjen (Purn) Abraham O. Atururi, Komplek Kantor Gubernur Manokwari

Kodepos 98312 Telepon & Fax : (0986) 2210832

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Innovation in Yield Processing Technology to Increase Local Food Productivity in West Papua. West

Papua is known to have the potential of high local food as a non-rice alternative food source. On the other hand

the status of the average food security is only enough. The focus of the development problem is the lack of absorption

of adoption of technological innovations to increase the productivity of local food in West Papua. The purpose of

this study was to find out the types of local food, distribution, and production potential as well as alternative

cultivation technologies and yield processing to increase the productivity of local food commodities. Based on the

search for various research reports, articles, books, and other supporting documents, the results showed that: there

were seven types of local food substitutes for rice consumed by the people of West Papua, namely: sago, cassava,

sweet potato, banana, corn, taro and breadfruit. The district that produced sago in West Papua were Sorong, Raja

Ampat, and South Sorong districts. While the biggest cassava producing districts are Sorong, Manokwari, and

Maybrat. In addition, the three biggest sweet potato producing districts are Sorong, Manokwari and Maybrat. The

biggest banana producing districts were Sorong City, South Sorong, and Bintuni Bay. Finally, the district producing

breadfruit was South Sorong. The productivity of local food in West Papua is still far from national, so it requires

the support of technological innovation to increase the rate of productivity for the welfare of local food farmers and

increase regional food security.

Keywords: availability of food technology, food cultivation technology, food processing technology, local food of

West Papua

ABSTRAK

Papua Barat dikenal memiliki potensi pangan lokal yang tinggi sebagai sumber pangan alternatif non beras.

Di sisi lain status rata-rata ketahanan pangannya hanya cukup. Titik berat permasalahan pengembangannya adalah

minimnya serapan adopsi inovasi teknologi untuk peningkatan produktivitas pangan lokal di Papua Barat. Tujuan

dari studi ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis pangan lokal, sebaran, dan potensi produksi serta alternatif

teknologi budidaya dan pengolahan hasil untuk meningkatkan produktivitas komoditas pangan lokal. Berdasarkan

dari penelusuran berbagai laporan penelitian, artikel, buku, dan dokumen pendukung lainnya diperoleh hasil bahwa:

terdapat tujuh jenis pangan lokal pengganti beras yang dikonsumsi oleh masyarakat Papua Barat yaitu: sagu, ubi

kayu, ubi jalar, pisang, jagung, talas dan sukun. Kabupaten yang menghasilkan sagu di Papua Barat yaitu Kabupaten

Sorong, Raja Ampat, dan Sorong Selatan. Kabupaten penghasil ubi kayu terbesar adalah Sorong, Manokwari, dan

Maybrat. Di samping itu, tiga kabupaten penghasil ubi jalar terbesar adalah Sorong, Manokwari, dan Maybrat.

Kabupaten penghasil pisang terbesar adalah Kota Sorong, Sorong Selatan, dan Teluk Bintuni. Kabupaten penghasil

sukun adalah Sorong Selatan. Produktivitas pangan lokal Papua Barat masih jauh dari nasional sehingga diperlukan

dukungan inovasi teknologi untuk meningkatkan laju produktivitas untuk kesejahteraan petani pangan lokal dan

peningkatan ketahanan pangan daerah.

Kata kunci: teknologi budi daya pangan, teknologi pengolahan hasil pangan, pangan lokal Papua Barat

Page 91: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

86 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98

PENDAHULUAN

Papua barat, sebagaimana provinsi

induknya Papua, dikenal memiliki potensi pangan

lokal yang tinggi. Meskipun demikian, status rata-

rata ketahanan pangan masih pada status cukup.

Menurut Badan Ketahanan Pangan pada tahun

2015, secara nasional Papua Barat masih

dikategorikan wilayah dengan kerentanan pangan

yang tinggi yaitu masuk prioritas 2 (Gambar 1).

Hal ini disebabkan ketergantungan daerah yang

tinggi terhadap pasokan pangan beras dari luar

daerah seperti Jawa, Sulawesi bahkan dari luar

negeri. Untuk mengurangi bahkan bila

memungkinkan menghilangkan ketergantungan

pemenuhan kebutuhan pangan dari luar wilayah

diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan

kapasitas produksi pangan sendiri, baik pangan

strategis seperti beras maupun pangan lokal

(Sumedi dan Djauhari, 2016). Dengan kata lain,

diversifikasi pangan melalui peningkatan

konsumsi pangan lokal dapat meningkatkan

ketahanan pangan daerah dan mengurangi

ketergantungan tersebut.

Tingkat kerentanan terhadap kerawanan

pangan dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan

peta kerentanan pangan di Indonesia pada

Gambar 1 diperoleh informasi bahwa seluruh

kabupaten yang paling rentan pangan (Prioritas 1)

berada di provinsi Papua. Kebanyakan kabupaten

di Papua Barat masuk dalam Prioritas 2 kecuali

kabupaten Fakfak. Kabupaten Fakfak sudah

cukup baik ketahanan pangannya dan hanya

masuk dalam wilayah prioritas 5. Akses fisik dan

ekonomi terhadap pangan merupakan

permasalahan utama di wilayah miskin dan

terpencil.

Optimalisasi pengembangan teknologi

budi daya dan pengolahan hasil pangan lokal

seharusnya lebih difokuskan. Hal ini dikarenakan

ketersediaan pangan lokal diproduksi oleh bangsa

sendiri cukup beragam tapi produktivitas dan

pengolahan hasilnya masih sangat terbatas. Di

samping itu, kehadiran inovasi teknologi sudah

terbukti dapat mendongkrak kenaikan

produktivitas komoditas pertanian. Terobosan-

terobosan teknologi peningkatan produktivitas

dilakukan melalui perbaikan teknologi baik dari

Gambar 1. Peta Kerentanan Pangan di Indonesia

Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2015)

Page 92: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

87 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan

Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)

aspek varietas maupun pengelolaan budi daya

termasuk pengelolaan budi daya pangan lokal

(Badan Litbang Pertanian, 2018).

PRODUKSI DAN KONSUMSI PANGAN

LOKAL PAPUA BARAT

Kebiasaan makan merupakan cara-cara

individu/kelompok masyarakat dalam memilih,

mengkonsumsi dan menggunakan bahan makanan

yang tersedia berdasarkan latar belakang sosial

budaya dimana mereka hidup (Datu, 2012). Pola

makan masyarakat di Indonesia pada umumnya

diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang

umum dan dapat diproduksi setempat. Pola

pangan masyarakat di pulau Papua (termasuk

Papua Barat) pada umumnya berpola pangan

pokok sagu. Hal ini karena jenis tanaman pangan

sagu banyak tumbuh di wilayah tersebut

walaupun tidak dibudi-dayakan secara khusus

oleh masyarakat setempat. Jenis tanaman pangan

yang diusahakan petani adalah ubi jalar, ubi kayu,

dan keladi (Wasaraka dan Madanijah, 2011).

Tanaman pangan lokal yang telah

dimanfaatkan masyarakat Papua (dalam hal ini

Papua dan Papua Barat) sebagai sumber pangan

secara turun-temurun adalah umbi-umbian (ubi

jalar, talas, gembili), sagu, dan jawawut (Rauf dan

Lestari, 2009). Bahkan di Papua pisang

merupakan subsitusi makanan pokok, seperti di

beberapa negara di Afrika (Badan Litbang

Pertanian, 2008). Widjaja et al., (2014)

menjelaskan bahwa terdapat 1.702 aksesi ubi jalar

di Papua dan sudah dilepas sebanyak 17 varietas

ubi jalar. Sedangkan menurut Widati (2016)

komoditas pangan yang terdapat di Provinsi

Papua Barat adalah padi, ubi jalar, ubi kayu,

jagung, sagu, aneka kacang, sayuran dan hasil

ternak serta ikan.

Diantara 13 kabupaten/ kota di Papua

Barat, Kabupaten Pegunungan Arfak memiliki

potensi unggulan pertanian tanaman pangan

seperti padi ladang, jagung, dan palawija serta

tanaman hortikultura seperti kentang dan sayuran

(Sagrim et al., 2017).

Di Papua (provinsi Papua dan Papua

Barat) makanan pokok berupa tepung sagu yang

dipanen dari sagu yang ditanam dan sagu liar

(Metroxylon sagu). Jenis bahan pangan lainnya

adalah pisang (Musa sp.), ubi jalar (Ipomoea

batatas), singkong (Manihot esculenta) dan

beberapa jenis sayuran hijau (Boissière etal.,

2005).

Pada Tabel 1 disajikan data produksi, luas

panen, produktivitas pangan lokal Papua Barat,

dan produktivitas pangan lokal Indonesia tahun

2011 – 2017. Berdasarkan data produksi dan luas

panen diperoleh gambaran produktivitas pangan

lokal provinsi Papua Barat yang masih jauh dari

rata-rata nasional. Hal tersebut dapat kita lihat

pada Tabel 1 yaitu pada komoditas jagung, ubi

kayu, dan ubi jalar. Untuk hal inilah mutlak peran

teknologi dibutuhkan. Inovasi teknologi

diharapkan dapat memperkecil nilai senjang

tersebut dan meningkatkan ketahanan Papua

Barat untuk waktu mendatang.

Jika dilihat dari segi kandungan gizi

bahan makanan, pangan lokal tidak kalah dari

beras (Anonim, 2013). Kandungan kalori aci sagu

hampir sama dengan beras. Selain itu, kandungan

protein ubi jalar juga sama dengan beras. Dari

kadar karbohidratnya tapioka dan aci sagu

memiliki kadar karbohidrat lebih tinggi daripada

beras. Kelebihan lainnya yaitu semua jenis pangan

lokal memiliki kandungan kalsium yang jauh

lebih besar dibanding beras (Tabel 2).

Page 93: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

88 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98

Produksi pangan padi di Indonesia Timur

(Maluku dan Papua) dalam hampir lima dekade

terakhir hampir konsisten mengalami peningkatan

walaupun terjadi penurunan beberapa kali tetapi

tidak signifikan. Berbeda halnya dengan ubi kayu

yang produksinya cenderung tetap. Sementara

Tabel 1. Produksi, luas panen, dan produktivitas pangan lokal Papua Barat tahun 2011 – 2017

Komoditas Tahun Produksi

(Ton) Luas Panen (Ha)

Produktivitas Papua

Barat (Ton/Ha)

Produktivitas

Nasional (Ton/Ha)

Jagung

2011 2049 1199 1,71 4,56

2012 2138 1250 1,71 4,89

2013 2138 1250 1,71 4,84

2014 2450 1421 1,72 4,95

2015 2264 1307 1,73 5,17

2016 na na Na na

2017 2148 1202 1,79 na

Ubi Kayu

2011 20440 1744 0,09 20,29

2012 9748 844 0,09 21,40

2013 12218 1082 0,09 22,46

2014 11169 992 0,09 23,35

2015 13101 1157 0,09 22,95

2016 na na Na na

2017 10783 942 0,09 na

Ubi Jalar

2011 10410 1018 0,10 12,32

2012 10646 1029 0,10 13,92

2013 14901 1343 0,09 14,74

2014 11826 1080 0,09 15,20

2015 11181 987 0,09 16,05

2016 na na Na na

2017 12385 1046 0,08 na

Sagu

2011 594 na Na na

2012 594 na Na na

2013 602 na Na na

2014 1957 843 0,43 na

2015 2357 843 0,36 na

2016 na na Na na

2017 5073 7264 1,43 na

Pisang

2011 2609 na Na na

2012 5452 na Na na

2013 1884 na Na na

2014 16142 na Na na

2015 2091 na Na na

2016 15321 na Na na

2017 6462 na Na na

Sukun

2011 231 na Na na

2012 468 na Na na

2013 231 na Na na

2014 1937 na Na na

2015 302 na Na na

2016 1538 na Na na

2017 1454 na Na na

Talas

2011 2609 na Na na

2012 5452 na Na na

2013 1884 na Na na

2014 16142 na Na na

2015 na na Na na

2016 15321 na Na na

2017 6462 na Na na

Sumber: BPS, 2018

Keterangan: na = data tidak tersedia

Page 94: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

89 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan

Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)

untuk jagung dan ubi jalar produksinya cenderung

fluktuatif yang bisa saja disebabkan permintaan

pasar yang besar (misalnya industri) atau memang

kondisi harga yang cukup baik yang membuat

petani menanam dalam waktu yang relatif sama.

SEBARAN POTENSI PRODUKSI PANGAN

LOKAL PAPUA BARAT

Jenis pangan lokal yang terdapat di Papua

Barat sangat banyak jenisnya. Tetapi ada tujuh

jenis pangan lokal yang paling diminati

masyarakat Papua Barat yaitu: sagu, ubi kayu, ubi

jalar, pisang, jagung, talas, dan sukun. Ketujuh

Tabel 2. Tabel perbandingan kandungan gizi berbagai bahan makanan

No Kandungan Gizi Beras Terigu Ubi Kayu Sukun Jagung Tapioka Aci Sagu Kentang Ubi Jalar Talas

1 Kalori (kal) 360 365 146 108 136 362 353 83 123 98

2 Protein (g) 6,8 8,9 1,2 1,3 1,1 0,5 0,7 2 1,8 1,9

3 Lemak (g) 0,7 1,3 0,3 0,3 0,4 0,3 0,2 0,1 0,7 0,2

4 Karbohidrat (g) 78,8 77,3 34,7 28,2 32,3 86,9 84,7 19,1 27,9 23,7

5 Kalsium (mg) 6 16 33 21 57 0 11 11 30 28

6 Fosfor (mg) 140 106 40 59 52 0 13 56 0 61

7 Zat Besi (mg) 0,8 1,2 0,7 0,4 0,7 0 1,5 0,7 0 1

8 Vitamin A (SI) 0 0 0 0,12 900 0 0 0 7000 3

9 Vitamin B-1 0,12 1,12 0,06 0,06 0,1 0 0 0,11 0 4

10 Vitamin C (mg) 0 0 30 17 35 0 0 17 22 0,13

11 Air 13 12 62,5 70,65 0 12 14 77,8 0 73

12 Bagian yang

dapat dimakan

100 100 75 90 100 100 100 85 75 85

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Gambar 2. Produksi tanaman pangan di wilayah Maluku & Papua (ton)1970-2016.

Sumber: Anonim (2018)

Page 95: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

90 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98

komoditas tersebut menggantikan fungsi beras

sebagai pangan pokok (Gambar 3).

Daerah penghasil sagu di Indonesia

berdasarkan Gambar 4 antara lain: Riau

(Kabupaten Pekanbaru), Kepulauan Riau

(Kabupaten Karimun dan Natuna), Kalimantan

Barat (Kabupaten Pontianak), Kalimantan Tengah

(Kabupaten Sampit), Sulawesi Tengah

(Kabupaten Parigi Moutong dan Poso), Sulawesi

Tenggara (Kota Kendari), Sulawesi Utara

(Kabupaten Sangihe), Maluku (Kota Ambon,

Seram Bagian Timur, dan Maluku Tengah), Papua

(Kabupaten Keerom dan Jayapura), dan Papua

Barat (Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan)

Gambar 3. Jenis-jenis pangan lokal Papua Barat ubi kayu, sagu, sukun, pisang, talas, jagung dan ubi jalar

Gambar 4. Potensi produksi sagu di Indonesia

Page 96: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

91 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan

Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)

(PKP BKP, 2011). Peta potensinya tersaji dalam

gambar 4.

Areal sagu terkonsentrasi sangat besar di

Kawasan Timur Indonesia yang mencapai 95,9%

sedangkan di Kawasan Barat Indonesia hanya

sekitar 4,1% saja. Hutan sagu tersebut tersebar di

pulau Papua seluas 1,2 juta hektar dan Maluku

seluas 50 ribu hektar serta 148 ribu hektar sagu

semi budi daya yang tersebar di Papua, Maluku,

Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepualauan

Riau dan Kepulauan Mentawai (Tirta, et al.,

2013).

Sagu di lndonesia termasuk di Papua

Barat umumnya masih dibudidayakan secara

tradisional dan dapat dikatakan masih tumbuh

secara liar. Petani sagu umumnya belum

melaksanakan teknik budidaya seperti pada

tanaman lainnya seperti umbi umbian atau

serealia. Budidaya sagu di Indonesia masih

menuntut teknik budidaya yang lebih intensif

(Muhidin, 2008). Gambaran sistem produksi,

pengolahan dan pemanfaatan hutan sagu di Papua

Barat secara umum digambarkan seperti pada

Tabel 3.

Menurut Hariyanto et al., (2013) pada

saat ini, sistem pengolahan hasil sagu di Papua

Barat yang dilakukan oleh masyarakat masih

sangat sederhana. Pemanfaatan hasil sagu

ditujukan hanya untuk pemenuhan pangan harian

masing-masing keluarga yang dilakukan secara

tradisional. Nilai ekonomi dan nilai manfaat dari

sagu dapat menjadi sangat besar manakala

dimasukkan inovasi teknologi dalam pertanaman

dan pengolahannya.

Kabupaten penghasil sagu berdasarkan

Gambar 5 tersebar di Kabupaten Sorong (4.655

ton), Raja Ampat (1.098 ton), Sorong Selatan

(1.060 ton), dan Teluk Bintuni (451 ton). Di

samping itu, tiga daerah penghasil ubi kayu

terbesar adalah Sorong (4.351 ton), Manokwari

(1.773 ton), dan Maybrat (1.010 ton). Tiga daerah

penghasil ubi jalar terbesar adalah Sorong (4.942

ton), Manokwari (2.714 ton), dan Maybrat (1.710

ton). Tiga daerah penghasil sukun adalah Sorong

Selatan (1.157 ton), Kota Sorong (250 ton), dan

Maybrat (23 ton). Tiga daerah penghasil pisang

terbesar adalah Kota Sorong (2.302 ton), Sorong

Selatan (1.671 ton), dan Teluk Bintuni (1.614

ton).

Selain sagu, pangan penting lainnya di

Papua Barat adalah betatas atau ubi jalar.

Produktivitas ubi jalar yang rendah di tingkat

petani disebabkan oleh teknologi budi daya yang

digunakan masih sederhana dan menggunakan

varietas lokal yang pada umumnya potensi

produksinya rendah serta rentan terhadap hama

dan penyakit tanaman (Widodo dan

Rahayuningsih, 2009).

Menurut Limbongan dan Soplanit (2007)

langkah operasional yang dapat dilakukan untuk

mengembangkan tanaman pangan diantaranya

penyediaan benih bermutu atau varietas unggul,

pemupukan berimbang, penyediaan sarana

produksi, perluasan areal tanam dan optimalisasi

pemanfaatanlahan, pengendalian Organisme

Pengganggu Tanaman (OPT), serta penanganan

panen dan pascapanen. Teknologi untuk

mendukung program tersebut telah tersedia dan

siap diimplementasikan di lapangan.

Pengolahan merupakan suatu kegiatan

atau rentetan kegiatan terhadap suatu bahan

mentah untuk dirubah bentuknya dan atau

Tabel 3. Sistem Produksi, Pengolahan dan Pemanfaatan Hutan Sagu di Papua Barat

No Keadaan Sistem Produksi Pengolahan Pemanfaatan

1. Keadaan saat ini Tanaman sagu

masih dikelola

secara subsisten

Pati sagu diolah dalam

bentuk tradisional

(papeda, bagea, sagu

lempeng dll)

Hutan sagu dibiarkan

saja dan hasil pati sagu

dari hutan sagu kembali

ke alam

2. Keadaan yang

diinginkan

Tanaman sagu dikelola

secara industri

Pati sagu diolah dalam

bentuk bahan baku

industri, dibuat mie dll

Hutan sagu dikelola

menjadi kebun sagu

sebagai penyedia bahan

baku industri

Sumber: Hariyanto, et.al., 2013

Page 97: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

92 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98

komposisinya yang dapat memberi nilai tambah,

menghasilkan produk yang dapat dipasarkan/

digunakan atau dimakan, menambah daya

simpan, dan dapat meningkatkan pendapatan dan

keuntungan produsen (Ruku et al., 2009).

Pengolahan pangan lokal merupakan salah satu

wujud pengembangan pertanian bio industri yang

hasil akhirnya peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan petani.

KETERSEDIAAN INOVASI TEKNOLOGI

PANGAN LOKAL

Ketersediaan inovasi teknologi pangan

lokal dari masing-masing komoditas yang terdiri

dari 3 aspek yaitu budi daya,

mekanisasi/keteknikan, dan pengolahan hasil

dengan membandingkan teknologi

lokal/indigenous yang telah ada di masyarakat

secara turun temurun dan teknologi

introduksi/baru yang diperkenalkan baik oleh

Pemerintah maupun pihak swasta. Ketersediaan

inovasi teknologi baru/introduksi sangat beragam.

Berbagai inovasi teknologi tersebut jika

dimanfaatkan secara baik, diharapkan mampu

memperbaiki produktivitas dan kualitas pangan

lokal Papua Barat pada masa yang akan datang.

Dari aspek budidaya, secara umum, pemilihan

bahan tanam atau varietas unggul dan aplikasi

pupuk/amelioran berimbang merupakan solusi

yang dapat digunakan. Dari aspek pengolahan

hasil, pengembangan pengolahan pangan lokal ke

arah bio industri harus didesain untuk peningkatan

kualitas dan nilai ekonomis pangan lokal itu

sendiri.

Komoditas sagu merupakan jenis pangan

lokal utama masyarat pulau Papua. Jika ditinjau

dari aspek budidaya teknologi lokal perbanyakan

dilakukan dari anakan tanaman induk atau sering

disebut abut, sedangkan teknologi introduksi

dilakukan secara in vitro. Pada pertanaman

masyarakat lokal belum ada penggunaan pupuk

dan pestisida atau budi daya dilakukan secara

organik. Sementara pada budi daya introduksi,

aplikasi pupuk dan amelioran secara berimbang

harus dilakukan untuk produktivitas yang optimal.

Dari aspek mekanisasi/keteknikan pengolahan

sagu eksisiting dilakukan secara manual

menggunakan tenaga manusia sedangkan pada

teknologi introduksi sudah terdapat mesin

pengolah dan penepung sagu sehingga lebih cepat

dan praktis. Dari aspek pengolahan hasil, pasca

panen dan penyimpanan sagu masih dilakukan

secara tradisional oleh masyarakat lokal, contoh

kasusnya di Kabupaten Sorong Selatan.

Sedangkan teknologi intoduksi yang ingin

Gambar 5. Sebaran produksi pangan lokal di Papua Barat tahun 2017

Sumber: BPS (2018)

0500

1000150020002500300035004000450050005500

Pro

du

ksi (

Ton

)

Kabupaten/Kota

Ubi Kayu Ubi Jalar Sagu Jagung Sukun Pisang

Page 98: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

93 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan

Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)

diperkenalkan yaitu pengolahan hasil menjadi

produk pangan, bio energi (bio ethanol) maupun

bio plastik/biodegradable plastic.

Untuk komoditas umbi-umbian baik ubi

kayu, ubi jalar, maupun talas/keladi. Dari aspek

budidaya teknologi eksisting milik masyarakat

antara lain: bahan tanam didapatkan dari setek

batang tanaman induk dari pertanaman

sebelumnya; budi daya dilakukan secara organik;

sistem ladang berpindah untuk mengembalikan

kesuburan tanah; dan sistem tumpang sari dan

tumpang gilir. Teknologi baru yang dapat

diperkenalkan kepada petani antara lain:

Penggunaan varietas unggul atau bahan tanam

(setek) berkualitas; pengaturan populasi tanaman

atau jarak tanam; serta pemupukan berimbang

sesuai keadaan tanah dan tanaman. Dari aspek

mekanisasi/keteknikan yang ingin diperkenalkan

adalah teknologi alat pengolahan ubi kayu yang

terdiri dari 5 macam yaitu penyawut (slicer),

pengatus (spinner), pengering (driyer), penepung,

dan pengayak. Dari aspek teknologi hasil dan

pengolahan, teknologi yang modern yaitu

pengolahan lebih lanjut ubi kayu menjadi aneka

produk pangan dan bio energi. Hanya saja untuk

ubi jalar sangat jarang diolah menjadi energi.

Perbedaan lainnya, pada ubi jalar pada budi daya

lokal dilakukan pemanenan dengan sistem

kuming yaitu memanen umbi yang berukuran

besar terlebih dahulu dan membiarkan/menutup

kembali umbi yang kecil.

Komoditas sukun dari aspek budidaya,

teknologi eksisting yaitu pertanaman yang

dilakukan secara polikultur dan pemanenan

dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan. Dari

aspek pengolahan hasil, masyarakat lokal biasa

mengolah sukun dengan digoreng atau direbus

saja, sedangkan teknologi baru dapat menjadikan

sukun menjadi olahan pangan yang enak dan

menarik seperti stik/keripik, mie, brownis dan

aneka kue.

Untuk komoditas pisang, teknologi lokal

indigenous dari aspek budi daya termasuk

perbanyakan tanaman dari anakan dan budidaya

pisang yang dilakukan secara polikultur seperti

yang dilakukan masyarakat Pengunungan Arfak

untuk ketahanan pangan serta pemanenan

dilakukan setelah buah tua atau masak di pohon.

Teknologi introduksi aspek budi daya antara lain:

teknologi kultur jaringan pisang untuk

perbanyakan, budi daya monokultur, serta

pemanenan dengan derajat ketuaan 75-85%

sehingga kualitas buah cukup baik dan daya

simpan cukup lama. Aspek teknologi hasil dan

pengolahan meliputi produk olahan pangan dan

cemilan dari pisang seperti: tepung pisang,

keripik, sale, puree, pasta/jam, ledre, getuk, jus,

dan nugget pisang.

Pada komoditas jagung, petani lokal

menggunakan teknologi yang sederhana seperti

bertani tanpa pupuk dan bahan kimia, melakukan

shifting cultivation atau ladang berpindah, dan

budi daya secara tumpang sari dan tumpang gilir.

Teknologi yang ingin diperkenalkan yaitu

penggunaan varietas unggul, pemupukan

berimbang (terutama varietas hibrida), dan sistem

jarak tanam misalnya sistem jajar legowo/jarwo,

dan sebagainya. Dari aspek

mekanisasi/keteknikan sudah digunakan alat

tanam jagung (seed planter) dan alat pemanen

(combine harvester) sedangkan pada masyarakat

lokal dilakukan secara manual. Dari aspek

pengolahan hasil, tanaman jagung pada

masyarakat lokal hanya diolah dengan cara

direbus dan langsung dimakan sebagai menu

makanan harian, sedangkan pada pengolahan

lanjutan jagung dapat diolah menjadi aneka

jajanan/makanan yang enak, bergizi dan menarik.

Ketersediaan inovasi teknologi pangan

lokal dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 99: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

94 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98

Tabel 4. Ketersediaan inovasi teknologi pangan lokal

Jenis

Komoditas Aspek Teknologi Lokal/Indigenos Teknologi Introduksi/Baru

Sagu Budidaya Diperbanyak dari anakan tanaman

induk (abut) (Harahap, 2017)

Perbanyakan in vitro

Sistem seleksi pohon sagu siap panen

Pupuk dan obat-obatan pertanian

belum digunakan (organik)

Pemanenan dilakukan secara bertahap

sesuai kebutuhan

Aplikasi pupuk atau amelioran

secara berimbang dan sesuai

kebutuhan

Mekanisasi/Keteknikan Manual dengan tangan Alat pengolah sagu

Teknologi hasil dan

pengolahan

Pengolahan pasca panen dan

penyimpanan sagu secara tradisional

(Sorong Selatan)

Bioethanol

Mie sagu instan

Salat dressing

Cendol dawet

Roti sagu

Beras analog sagu

Gula cair dari pati sagu

Macaroni sagu

Bioplastik

Ubi Kayu Budidaya Bibit/bahan tanam berasal dari setek

batang tanaman induk

Pupuk dan obat-obatan pertanian

belum digunakan (organik)

Varietas unggul seperti: Adira 1,

Adira 2, Adira 4, Malang 1,

Malang 2,

Darul hidayah, Malang 4,

Malang 6,

UJ 3, UJ 5, Litbang UK 2, UK 1

Agritan,

CMM 2048-6, Ketan jabung,

Kristal,

Gajah, Mentega

Populasi tanaman dan jarak

tanam

Shifting cultivation atau ladang

berpindah

Budidaya tumpang sari dan tumpang

gilir

Produksi bibit ubi kayu setek

(bibit berkualitas)

Peningkatan produktivitas

dengan pemupukan berimbang

Mekanisasi/Keteknikan

Teknologi hasil dan

pengolahan

Manual dengan tangan Teknologi alat mesin

pengolahan ubi kayu yang terdiri

dari 5 macam yaitu: penyawut

(slicer), pengatus (spinner),

pengering (driyer), penepung,

dan pengayak

Gaplek (Koswara, 2014)

Tepung tapioka

Tiwul, getuk

Tapai singkong

Tepung cassava

Keripik ubi kayu

Bioethanol pati ubi kayu

Page 100: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

95 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan

Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)

Jenis

Komoditas Aspek Teknologi Lokal/Indigenos Teknologi Introduksi/Baru

Ubi Jalar Budidaya Bibit/bahan tanam berasal dari setek

batang/pucuk tanaman induk

Pupuk dan obat-obatan pertanian

belum digunakan (organik)

Varietas unggul ubi jalar seperti:

Pating 1, Pating 2 (2018; pati

tinggi), Antin 1, Antin 2, Antin 3

(2014), Sari, Boko, Sukuh, Jago,

Cangkuang, Sewu, Kidal, Papua

Solossa, Papua Pattipi,

Sawentar, Beta 1, dan Beta 2

Sistem kuming (panen) Peningkatan produktivitas

dengan pemupukan berimbang

Shifting cultivation atau ladang

berpindah

Teknologi hasil dan

pengolahan

Budidaya tumpang sari dan tumpang

gilir

Es krim ubi jalar berbahan baku

50 - 100 %

Brownis ubi jalar berbahan baku

30 - 50 % pasta ubi jalar

Jus ubi jalar

Snackbar ubi jalar

pasta ubi jalar

Kue muffin

Talas Budidaya Shifting cultivation atau ladang

berpindah

Pupuk dan obat-obatan pertanian

belum digunakan (organik)

Sistem kuming (panen)

Talas Beneng (besar dan koneng

(kuning)) yang berasal dari

Banten

Peningkatan produktivitas

dengan pemupukan berimbang

Budidaya polikultur

Budidaya tumpang sari dan tumpang

gilir

Pemanenan dilakukan secara bertahap

sesuai kebutuhan

Teknologi hasil dan

pengolahan

Mie basah berbahan baku talas

Papua

Tepung talas

Keripik talas

Bubur instan talas

Pengolahan tepung komposit

talas menjadi taro crunch

Sukun Budidaya Budidaya polikultur

Pemanenan dilakukan secara bertahap

sesuai kebutuhan

-

Teknologi hasil dan

pengolahan

Digoreng atau direbus Tepung sukun

Stik/keripik sukun

Mie sukun

Brownis sukun

Aneka kue

Pisang Budidaya Diperbanyak dari anakan dari tanaman

induk

Teknologi kultur jaringan pisang

Budidaya polikultur di Pegunungan

Arfak untuk ketahanan pangan

Pemanenan dilakukan setelah buah tua

atau masak di pohon

Budidaya monokultur

Pemanenan dengan derajat

ketuaan 75-85% sehingga

kualitas buah cukup baik dan

daya simpan cukup lama

Page 101: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

96 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98

Jenis

Komoditas Aspek Teknologi Lokal/Indigenos Teknologi Introduksi/Baru

Teknologi hasil dan

pengolahan

Keripik pisang

Tepung pisang

Sale pisang

Puree pisang

Pasta/jam pisang

Ledre

Getuk

Jus pisang

Nugget pisang

Jagung Budidaya

Pupuk dan obat-obatan pertanian

belum digunakan (organik)

Shifting cultivation atau ladang

berpindah

Budidaya tumpang sari dan tumpang

gilir

Varietas unggul baik komposit

maupun hibrida

Pemupukan berimbang

(terutama varietas hibrida)

Sistem jarak tanam

Mekanisasi/Keteknikan

Manual dengan tangan Alat tanam jagung (seed planter)

Alat pemanen jagung (combine

harvester)

Teknologi hasil dan

pengolahan

Direbus

Tepung maizena

Pie jagung manis

Susu jagung

Es krim jagung

Pop corn/snack jagung

Bioethanol dari jagung

Cake jagung

Saus jagung

Mie bihun jagung

Puding jagung

Bika/Bingka jagung

Aneka jajanan/makanan dari

olahan jagung manis segar

KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat tujuh jenis pangan lokal

pengganti beras yang dikonsumsi oleh masyarakat

Papua Barat yaitu: sagu, ubi kayu, ubi jalar,

pisang, jagung, talas dan sukun. Kabupaten

penghasil sagu di Papua Barat yaitu kabupaten

Sorong, Raja Ampat, dan Sorong Selatan.

Sedangkan kabupaten penghasil ubi kayu terbesar

adalah Sorong, Manokwari, dan Maybrat. Di

samping itu, tiga kabupaten penghasil ubi jalar

terbesar adalah Sorong, Manokwari, dan Maybrat.

Kabupaten penghasil pisang terbesar adalah Kota

Sorong, Sorong Selatan, dan Teluk Bintuni.

Kabupaten penghasil sukun adalah Sorong

Selatan. Produktivitas pangan lokal Papua Barat

masih jauh dari nasional sehingga diperlukan

dukungan inovasi teknologi untuk meningkatkan

laju produktivitas untuk kesejahteraan petani

pangan lokal dan peningkatan ketahanan pangan

daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Ragam jenis pangan lokal

Indonesia. https://berandainovasi.com/

ragam-jenis-pangan-lokal-indonesia/.

Diakses pada tanggal 27 November 2018

pukul 09.33 WIB

Anonim. 2018. Beras menggerus pangan lokal

Maluku dan Papua.

Page 102: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

97 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan

Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)

https://beritagar.id/artikel/berita/beras-

menggerus-pangan-lokal-maluku-dan-

papua. Diakses tanggal 01 November 2018

pukul 22.35 WIB

Datu, A.K. 2012. Pola konsumsi pangan

masyarakat Toraja Utara. Skripsi.

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/han

dle/123456789/841/SKRIPSI.pdf?ssequen

c=3

Badan Litbang Pertanian. 2008. Prospek dan arah

pengembangan agribisnis pisang. Jakarta.

Kementerian Pertanian

Badan Litbang Pertanian. 2018. Inotek ketahanan

pangan.

http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/In

oTek-Ketahanan-Pangan/. Diakses pada

tanggal 12 November 2018 pukul 11.00

WIB

Badan Litbang Pertanian. 2018. Berita Teknologi

jarwo super mendongkrak kenaikan

provitas padi sawah di OKU Timur.

http://sumsel.litbang.pertanian.go.id/BPTP

SUMSEL /berita-teknologi-jarwo-super-

mendongkrak-kenaikan-provitas-padi-

sawah-di-oku-

timur.html#ixzz5WunqI0Qy. Diakses pada

tanggal 12 November 2018 pukul 11.00

WIB

Boissière, M., Heist, M.V., Sheil, D., Basuki, I.,

Frazier, S., Ginting, U., Wan, M., Hariadi,

B., Hariyadi, H., Kristianto, H. D., Bemei,

J., Haruway, R., Marien, E.R.C., Koibur,

D.P.H., Watopa, Y. Rachman, dan I.,

Liswanti, N. 2005. Pentingnya sumberdaya

alam bagi masyarakat lokal di daerah aliran

sungai Mamberamo, Papua, dan

Implikasinya bagi Konservasi. Journal of

Tropical Ethnobiology I (2): 76 – 95

BPS. 2018. Provinsi Papua Barat Dalam Angka.

Manokwari. CV. Dharmaputra

Harahap, B.R., Ardian, Yoseva, S. 2017. Kajian

budidaya sagu (Metroxylon spp) Rakyat di

Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten

Kepulauan Meranti. Departement of

Agroteknology, Faculty of Agriculture,

University of Riau. JOM Faperta 4 (1):1-

14.

Hariyanto, B., Atmadji, P., Putranto, A.T., dan

Kurniasari, I. 2013. Sistem produksi,

pengolahan dan pemanfaatan hutan sagu

untuk penyediaan pangan karbohidrat di

Papua Barat

Koswara, S. 2014. Teknologi pengolahan umbi-

umbian bagian 6: Pengolahan Singkong.

Southeast Asian Food And Agricultural

Science and Technology (SEAFAST)

Center Research and Community Service

Institution. Bogor Agricultural University

Limbongan, J. dan Soplanit, A. 2007.

Ketersediaan teknologi dan potensi

pengembangan ubi jalar. Jurnal Litbang

Pertanian, 26 (4):1-13.

Muhidin. 2008. Identifikasi Sagu Unggul Asal

Jazirah Kendari Sulawesi Tenggara.

Agriplus 18 (1).

PKP Badan Ketahanan Pangan. 2011. Potensi

Produksi Sagu. Jakarta. Badan Ketahanan

Pangan Kementerian Pertanian

Rauf, A. W. dan Lestari, M.S. 2009. Pemanfaatan

komoditas pangan lokal sebagai sumber

pangan alternatif di Papua. Jayapura. Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Papua

Rauf, A. W. dan Subiadi. 2012. Inovasi teknologi

budidaya ubi jalar. Manokwari. BPTP

Papua Barat

Ruku, S., Haddade, I., dan Wijanarko, R.D.T.

2009. Teknologi pengolahan hasil tanaman

pangan. Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Sulawesi Tenggara. Buletin

Teknologi dan Informasi Pertanian.

Kendari

Supriadi H. 2009. Strategi dan kebijakan

pembangunan pertanian Di Papua Barat.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian. Bogor

Sagrim, M., Sumule, A.I., Iyai, D.A., dan

Baransano, M. 2017. Potensi unggulan

komoditas pertanian pada daerah dataran

tinggi kabupaten pegunungan Arfak, Papua

Barat (Prime Potency of Agriculture

Commodities on Highland of Arfak

Mountains Regency, Papua Barat). Jurnal

Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Desember

2017 22(3):141-146.

Sumedi dan Djauhari, A. 2016. Upaya

memperkuat kemandirian pangan pulau-

pulau kecil dan wilayah perbatasan.

Page 103: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

98 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98

http://www.litbang.pertanian.go.id/

buku/swasembada/BAB-V-3.pdf

Tirta, P.W.W.K., Indrianti, N. dan Ekafitri, R.

2013. Potensi tanaman sagu (Metroxylon

sp.) dalam mendukung ketahanan pangan

di Indonesia. Balai Besar Pengembangan

Teknologi tepat Guna LIPI. Jurnal Pangan

22 (1):61-76.

Wasaraka, Y.N.K. dan Madanijah, S. 2011. Pola

konsumsi pangan masyarakat Papua (Studi

Kasus di Kampung Tablanusu, Distrik

Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi

Papua). Skripsi. Departemen Gizi

Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor.

Widati, A.W. 2016. Ketersediaan pangan di

Provinsi Papua Barat. Seminar Nasional &

Call For Paper Kearifan Lokal Nilai

Adiluhung Batik Indonesia Untuk Daya

Saing Internasional DIES NATALIS

XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta

Widjaja, E.A., Rahayuningsih, Y., Rahajoe, J.S.,

Ubaidillah, R., Maryanto, I., Walujo, E.B.,

dan Semiadi, G. 2014. Kekinian

keanekaragaman hayati Indonesia. Jakarta.

LIPI Press

Widodo, Y. dan Rahayuningsih, St.A. 2009.

Teknologi budidaya praktis ubi jalar

mendukung ketahanan pangan dan usaha

agroindustri. Buletin Palawija, No. 17: 29-

8.

Page 104: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

99 Penggunaan Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan

Keuntungan Usaha Pemeliharaan Induk Domba (Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa)

PENGGUNAAN ASAM LEMAK OMEGA-3 DAN OMEGA-6 UNTUK MENINGKATKAN KINERJA REPRODUKSI DAN KEUNTUNGAN USAHA

PEMELIHARAAN INDUK DOMBA

Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balibangtan Bali

JL. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar Selatan, Bali, 80222

Email: [email protected]

ABSTRACT

Use of Omega3 and Omega6 Fatty Acids to Improve the Reproductive Performance and Profitability

of Raising Sheep. Sheep have been known for a long time by the Indonesian people as dual-purpose livestock,

namely meat producers and agility, and very adaptive to the tropical climate. The way to improve the reproductive

performance of livestock have been carried out, one of them is added unsaturated fatty acids in the ration. Addition

of fatty acids in the ration can stimulate follicle development and steroid hormones production. Unsaturated fatty

acids that are known to have a specific role on reproductive cycle are omega-3 and omega-6. Omega-3 and omega-

6 fatty acids have an effect to increase the number of lambs per birth. The Ewes that was given a high omega-6

ration produced a higher number of male lambs births, this also happened in ewes who were given high omega-3

rations. Economically, the use of omega-3 and omega-6 fatty acids with a ratio of 1:2, increases the profitability

breeding of lambs, from IDR 8,782,578, - for control to IDR 15,558,791,-.

Keywords: ewes, profitability, reproduction, omega-3, omega-6

ABSTRACT

Ternak domba telah dikenal lama oleh masyarakat Indonesia sebagai ternak dwiguna yaitu penghasil

daging dan adu ketangkasan, serta adaptif terhadap iklim tropis. Upaya untuk meningkatkan performa reproduksi

ternak telah banyak dilakukan, salah satunya dengan menambahkan asam lemak tidak jenuh dalam ransum.

Penambahan asam lemak dalam ransum dapat merangsang perkembangan folikel dan produksi hormon steroid.

Asam lemak tidak jenuh yang diketahui memiliki peranan spesifik terhadap siklus reproduksi adalah omega-3 dan

omega-6. Asam lemak omega-3 dan omega-6 berpotensi meningkatkan jumlah anak per kelahiran. Induk domba

yang diberi ransum tinggi omega-6 menghasilkan jumlah kelahiran anak jantan lebih tinggi, hal ini juga terjadi pada

domba yang diberi ransum tinggi omega-3. Secara ekonomis, penggunaan asam lemak omega-3 dan omega-6

dengan perbandingan 1:2, meningkatkan keuntungan usaha pemeliharaan ternak domba, dari Rp. 8.782.578,- untuk

kontrol menjadi Rp. 15.558.791,-.

Kata kunci: domba, keuntungan, reproduksi, omega-3, omega-6

Page 105: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

100 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:99-108

PENDAHULUAN

Ternak domba merupakan sumber protein

hewani alternatif setelah ternak unggas dan sapi.

Permintaan komoditi ternak domba juga cukup

tinggi terutama pada perayaan hari besar umat

Islam. Menurut data Direktorat Jenderal

Peternakan dan Kesehatan Hewan (2017), tingkat

pemotongan ternak domba pada tahun 2016

mencapai 1,1 juta ekor. Jumlah tersebut

meningkat 16,13% dibandingkan tahun

sebelumnya. Di sisi lain, populasi domba pada

tahun 2016 mengalami penurunan sekitar 7,68%

dibandingkan tahun sebelumnya. Usaha

penyediaan bibit domba dan produksi daging yang

belum terintegrasi mengakibatkan populasi

domba semakin menurun.

Ternak domba memiliki sifat prolifik atau

mampu menghasilkan anak lebih dari satu per

kelahiran. Jumlah kelahiran anak lebih dari satu

merupakan tambahan keuntungan bagi peternak,

oleh karena itu sifat ini perlu dioptimalkan. Sifat

prolifik akan berjalan optimal apabila didukung

dengan asupan nutrien yang cukup. Asupan

nutrien ternak dapat mempengaruhi proses

reproduksi dari ternak tersebut (McDonald et al.,

2011). Pada ternak muda yang kekurangan asupan

nutrien dapat mengakibatkan pubertas terhambat

sedangkan pada ternak dewasa berakibat pada

penurunan produksi ovum dan spermatozoa

(McDonald et al., 2011).

Kekurangan pakan juga dapat

mengurangi sekresi hormon gonadotropin dan

hormon-hormon lainnya oleh hypofisa anterior

(Hedah, 2000). Menurut Butler dan Smith (1989)

menyusui dan pemberian pakan yang terbatas

menyebabkan penurunan sekresi LH (Luteinizing

Hormone) dan FSH (Folicle Stimulating

Hormone) dari hipofisa anterior sehingga

mempengaruhi perkembangan folikel dari

ovarium.

Upaya untuk meningkatkan performa

reproduksi ternak telah banyak dilakukan, salah

satunya dengan menambahkan asam lemak tidak

jenuh dalam ransum. Leroy et al., (2013)

menyatakan bahwa penambahan asam lemak

dalam ransum dapat merangsang perkembangan

folikel dan produksi hormon steroid. Asam lemak

tidak jenuh yang diketahui memiliki peranan

spesifik terhadap siklus reproduksi adalah omega-

3 dan omega-6. Menurut Khotijah et al., (2014),

penambahan asam lemak omega-6 dalam ransum

mampu meningkatkan ovulasi, daya tahan

embrio, jumlah kelahiran anak kembar, dan

jumlah kelahiran anak jantan. Asam lemak

omega-3 juga memiliki peranan spesifik terhadap

siklus reproduksi ternak, oleh karena itu kedua

asam lemak tidak jenuh ini perlu tersedia dalam

pakan. Berdasarkan kajian-kajian yang telah

dilakukan terkait pengaruh omega-3 dan omega-6

terhadap sistem reproduksi, maka tujuan dari

review ini untuk menganalisis beberapa hasil

kajian asam lemak tidak jenuh omega-3 dan

omega-6 terhadap performa reproduksi ternak

domba.

BAHAN PAKAN SUMBER ASAM LEMAK

OMEGA-3 DAN OMEGA-6

Asam lemak omega-3 dan omega-6 yang

berpengaruh terhadap kinerja reproduksi adalah

asam lemak rantai panjang dan rantai pendek.

Asam lemak omega-3 rantai panjang yang

berpengaruh yaitu eicosapentaenoic acid (EPA,

20:5n-3) dan docohexaenoic acid (DHA, 22:6n-

3), sedangkan asam lemak omega-6 rantai panjang

yang berpengaruh terhadap kinerja reproduksi

adalah n-6 asam arakidonat (AA, 20:4n-3). Asam

lemak rantai pendek juga mempengaruhi kinerja

reproduksi antara lain n-3 asam -linolenat (ALA,

18:3n-3) dan n-6 asam linoleat (LA, C18:2n-6)

(Gulliver et al. 2012). Menurut Lands (1992),

asam lemak omega-3 dan omega-6 rantai pendek,

tidak dapat disintesis di dalam tubuh, sehingga

perlu tersedia dalam pakan. Pada dasarnya

sumber asam lemak tidak jenuh seperti omega-3

dan omega-6 lebih dikenal sebagai bahan pangan

dibandingkan sebagai bahan pakan. Beberapa

sumber bahan pakan yang mengandung asam

lemak tidak jenuh yang mudah dijumpai dalam

bahan pangan disajikan pada Tabel 1.

Penggunaan bahan-bahan sumber asam

lemak tidak jenuh sebagai bahan pangan

mengakibatkan penggunaan bahan tersebut

Page 106: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

101 Penggunaan Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan

Keuntungan Usaha Pemeliharaan Induk Domba (Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa)

sebagai pakan ternak menjadi terbatas karena

harga yang terlalu tinggi (Tabel 1). Akan tetapi

meninjau dari berbagai fungsi asam lemak tidak

jenuh terhadap sistem reproduksi, maka beberapa

kajian penggunaan bahan pangan sumber asam

lemak tidak jenuh sebagai pakan telah banyak

dilakukan. Kajian penggunaan minyak biji bunga

matahari, minyak flaxseed, minyak kanola,

minyak kedelai, dan minyak ikan telah dilakukan

dan diketahui memiliki pengaruh terhadap

reproduksi ternak (Khotijah et al., 2014; Pujiawati

et al., 2018; Nieto et al., 2015; Otto et al., 2014;

Suharti et al., 2017). Alternatif lain dari bahan

pakan sumber asam lemak tidak jenuh adalah

hijauan pakan ternak (Gulliver et al. 2012). Salah

satu pakan hijauan yang memiliki kandungan

omega-3 adalah rumput Brachiaria humidicola.

Rumput Brachiaria humidicola mengandung

asam omega-3 (asam -linolenat) sebesar 0,12%

(Pujiawati 2017). Kombinasi rumput Brachiaria

humidicola sebanyak 30% dalam ransum dengan

imbangan omega-3 dan omega-6 1:2 memiliki

performa reproduksi paling baik (Pujiawati 2017).

PERANAN ASAM LEMAK OMEGA-3 DAN

OMEGA-6 DALAM METABOLISME

HORMON REPRODUKSI

Peranan asam lemak omega-3 dan omega-

6 terhadap fungsi reproduksi ternak terjadi secara

langsung dan tidak langsung. Secara tidak

langsung asam lemak omega-3 dan omega-6

merupakan unsur nutrien penyusun lemak.

Komponen lemak dalam tubuh berperan sebagai

sumber energi yang terindikasi mampu

memberikan pengaruh positif terhadap fungsi

reproduksi ternak (Suharti et al., 2017). Selaras

dengan hal tersebut Koyuncu dan Canbolat (2009)

menyatakan bahwa pemberian ransum tinggi

energi berdampak positif terhadap kinerja

reproduksi, seperti persentase kebuntingan, litter

size, fekunditas, dan bobot lahir anak. Kandungan

energi dalam tubuh diperlukan untuk proses

pertumbuhan dan produksi. Salah satu parameter

pertumbuhan yang berkaitan dengan performa

reproduksi adalah pertambahan bobot badan.

Nieto et al., (2013) menyatakan setiap kg

pertambahan bobot badan Domba Merino mampu

meningkatkan performa reproduksi sebesar 4,5%.

Asam lemak omega-6 juga dilaporkan

berperan dalam metabolisme glukosa dalam

tubuh. Asam lemak omega-6 yang berasal dari

minyak biji bunga matahari ini dapat

Tabel 1. Bahan pangan atau pakan sebagai sumber asam lemak tidak jenuh

Asam lemak Jumlah ikatan

rangkap

Jenis asam

lemak Nama Lain Formula

Bahan

Pangan/Pakan

Sumber

Asam stearat 0 Jenuh - 18:0 Lemak hewan

dan coklat

Asam oleat 1 Tidak jenuh Omega-9 18: 1n-9 atau

18:1-9

Minyak zaitun

dan minyak

kanola

Asam

palmitoleat

1 Tidak jenuh Omega-7 16:1n-7 atau

16:1-7

Lemak Sapi (Beef

tallow)

Asam linoleat 2 Tidak jenuh Omega-6 18:2n-6 atau

18:2-6

Minyak biji

bunga matahari,

minyak jagung

Asam -

linolenat

3 Tidak jenuh Omega-3 18:3n-3 atau

18:3-3

Minyak flaxseed,

minyak kanola,

minyak kedelai,

rumput

Brachiaria

humidicola*

Sumber : Morris (2007); *Pujiawati (2017)

Page 107: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

102 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:99-108

Gambar 1. Metabolisme omega-3 dan omega-6 dalam proses sintesis hormon prostaglandin (Sumber:

Gulliver et al., 2012)

meningkatkan kadar glukosa plasma darah induk

domba (Khotijah, 2014). Penggunaan asam lemak

omega-6 tanpa diikuti dengan penggunaan

omega-3 diindikasi lebih mampu menghidrolisis

lemak menjadi asam lemak dan gliserol

(Pujiawati, 2017). Gliserol hasil pemecahan

lemak merupakan salah satu prekursor

pembentukan asam propionat yang pada jalur

glukoneogenesis akan diubah menjadi glukosa

(Khotijah 2014). Glukosa merupakan energi yang

diperlukan dalam proses ovulasi (Teleni et al.,

1989).

Secara langsung asam lemak omega-3

dan omega-6 berpengaruh terhadap sintesis

hormon-hormon reproduksi seperti prostaglandin,

progesteron, dan estrogen (Gulliver et al., 2012).

Kaitan asam lemak tidak jenuh omega-3 dan

omega-6 dengan sintesis hormon prostaglandin

disajikan pada Gambar 1.

Dalam siklus reproduksi hormon

prostaglandin berperan penting dalam proses

estrus. Hormon PGF2 bersifat luteolitik dengan

mekanisme menghambat aliran darah menuju

korpus luteum (CL) sehingga CL mengalami lisis

(Toelihere 1981). CL yang lisis menandai awal

terjadinya siklus estrus. Burke et al., (1996)

menyatakan infusi minyak kedelai dan minyak

zaitun ke dalam vena jugularis domba

meningkatkan sekresi hormon PGF2 dan PGE2.

Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa

prekursor pembentuk hormon PGF2 adalah

omega-6, sedangkan prekursor pembentuk

hormon PGF3 adalah omega-3. Hormon PGF2

dan PGF3 memiliki fungsi yang berbeda.

Hormon PG jenis 1 dan 3 memiliki fungsi anti

inflamasi sedangkan hormon PG jenis 2

mengakibatkan inflamasi (Horrobin dan Bennet,

1999; Lands, 1992). Pengaruh omega-3 dan

omega-6 terhadap metabolisme hormon

Page 108: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

103 Penggunaan Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan

Keuntungan Usaha Pemeliharaan Induk Domba (Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa)

prostaglandin secara langsung juga

mempengaruhi siklus estrus ternak. Menurut

Nieto et al., (2015), penambahan omega-3 dari

minyak ikan dapat memperlambat terjadinya

onset estrus pada domba. Selaras dengan hal

tersebut Pujiawati et al., (2018) menyatakan

bahwa onset estrus terjadi lebih lambat pada

domba yang diberi ransum tinggi omega-3 dari

minyak flaxseed, dibandingkan dengan domba

yang diberi ransum tinggi omega-6. Hal ini terjadi

akibat penurunan sintesis asam arakidonat dari

omega-6 yang disebabkan penggunaan asam

lemak omega-3 yang akan mengalami elongase

dengan enzim yang sama yaitu Δ6-desaturase

(Sprecher, 1981).

Penggunaan omega-3 dan omega-6 juga

berpengaruh terhadap metabolisme hormon

steroid seperti progesteron dan estrogen (Gulliver

et al. 2012). Pemberian omega-3 dapat

menurunkan konsentrasi hormon progesteron dan

estrogen (Staples et al., 1998). Hal ini diduga

berkaitan dengan kadar kolesterol plasma yang

rendah akibat ransum yang mengandung kadar

omega-3 tinggi (Robinson et al. 2002). Akan

tetapi, pengaruh asam lemak omega-3 terhadap

kadar kolesterol masih beragam. Pujiawati (2017)

menunjukkan bahwa kombinasi omega-3 dan

omega-6 dengan perbandingan 1:2 memiliki

kadar kolesterol plasma yang tinggi dibandingkan

perlakuan tanpa asam lemak omega-3 dan omega-

6. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari

perubahan kadar glukosa menjadi asam piruvat

kemudian menjadi acetyl-CoA sebagai prekursor

pembentuk kolesterol melalui jalur HMG-CoA

(Pujiawati, 2017). Mekanisme lain yang

menunjukan bahwa omega-3 mampu

mempengaruhi konsentrasi progesteron ditinjau

dari peranan omega-3 sebagai prekursor

pembentuk hormon PGF3, seperti pada Gambar

1.

Asam lemak omega-3 dan omega-6 juga

memiliki peranan berbeda terhadap produksi

Tabel 2. Ringkasan hasil kajian asam lemak omega-3 dan omega-6 terhadap metabolisme hormon reproduksi

Referensi Jenis Ternak Perlakuan yang diberikan Kesimpulan

Burke et al. (1996) Domba Infus 200 ml minyak

kedelai dan minyak zaitun

ke dalam vena jugularis

selama 5 jam per hari pada

perode hari ke-9 hingga

hari ke-15 siklus estrus

Penambahan minyak kedelai dan

minyak zaitun kedalam vena jugularis

mampu meningkatkan kadar kolesterol

total, progesteron dan prostaglandin

dibandingkan dengan kontrol.

Espinoza et al. (1997) Domba Pemberian Sabun Kalsium

Megalac® sebanyak 2,5%-

5% dalam ransum

Pemberian 2,5% sabun kalsium

Megalac® menghasilkan konsentrasi

hormon progesteron paling tinggi

Wonnacott et al. (2010) Domba Perbandingan pengaruh

omega-3 dan omega-6

dalam pakan

Konsentrasi hormon progesteron dalam

cairan folikel lebih tinggi pada

perlakuan penambahan omega-3

dibandingkan penambahan omega-6

Khotijah et al. (2015) Domba Garut Suplementasi minyak biji

bunga matahari sebagai

sumber omega-6 (0%, 2%,

4% dan 6%) pada ransum

induk domba

Penambahan minyak biji bunga

matahari hingga 6% tidak

mempengaruhi kadar progesteron

plasma akan tetapi pada perlakuan 4%

minyak biji bunga matahari mampu

meningkatkan kandungan kolesterol

plasma

Nieto et al. (2015) Domba Penambahan minyak ikan

sebanyak 0,84% dalam

ransum

Penambahan minyak ikan dalam

ransum tidak mempengaruhi

konsentrasi level progesteron akan

tetapi memperlambat onset estrus dan

meningkatkan presentase prolifik

Pujiawati (2017) Domba Garut Pemberian omega-3 dan

omega-6 dengan rasio

berbeda yaitu P0 = tanpa

penambahan omega-3 dan

omega-6; P1 = 1:8; P2 =

1:6, P3 :1:4, P4 = 1:2

Pemberian omega-3 dan omega-6 1:2

memiliki kandungan progesteron yang

rendah pada fase akhir kebuntingan

Page 109: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

104 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:99-108

hormon progesteron dan estrogen. Robinson et

al., (2002) menyebutkan bahwa asam lemak

omega-6 mendorong proses sintesis kolesterol.

Hal tersebut mengindikasikan penambahan

omega-6 dalam ransum mampu mempengaruhi

produksi hormon progesteron. Kadar omega-6

berhubungan dengan kadar hormon progesteron

plasma yang tinggi pada domba (Burke et al.,

1996). Kondisi ini berbeda ketika omega-6

dikombinasikan dengan omega-3. Pujiawati

(2017) menyebutkan kombinasi omega-3 dan

omega-6 dengan perbandingan 1:2 menghasilkan

kadar kolesterol plasma paling tinggi pada fase

akhir kebuntingan, akan tetapi berbanding terbalik

dengan kadar progesteron yang rendah pada fase

yang sama. Selaras dengan hal tersebut Robinson

et al. (2002) menyatakan kandungan omega-3

yang tinggi dalam ransum menghasilkan kadar

progesteron plasma yang rendah akan tetapi

menghasilkan kadar estrogen plasma yang tinggi

pada sapi perah. Hal ini menunjukkan pengaruh

omega-3 dan omega-6 terhadap kadar hormon

progesteron dan estrogen tergantung pada

kombinasi dari kedua asam lemak tidak jenuh

tersebut dan fase siklus reproduksi.

Ringkasan pengaruh asam lemak tidak

jenuh omega-3 dan omega-6 terhadap hormon

reproduksi disajikan pada Tabel 2. Pengaruh asam

lemak tidak jenuh omega-3 dan omega-6 terhadap

hormon reproduksi diketahui belum konsisten

akan tetapi sudah memiliki kecenderungan bahwa

dengan penambahan omega-6 dari minyak

kedelai, zaitun, minyak biji bunga matahari

memiliki pengaruh meningkatkan kandungan

kolesterol dalam plasma yang diketahui sebagai

prekursor hormon progesteron dan estrogen

(Burke et al., 1996, Espinoza et al., 1997,

Wonnacott et al., 2010, Khotijah et al,. 2015,

Nieto et al., 2015, Pujiawati 2017).

Penggunaan asam lemak tidak jenuh

omega-3 dan omega-6 juga berkaitan dengan

waktu pemberian yang berkaitan dengan fase-fase

siklus reproduksi. Pada fase pra-kawin asam

lemak tidak jenuh lebih berperan sebagai sumber

energi untuk keberhasilan sikus reproduksi, juga

sebagai perekursor hormon estrogen dan PGF2

untuk mengawali terjadinya proses estrus. Pada

fase tengah kebuntingan, asam lemak tidak jenuh

omega-6 berperan dalam mendorong produksi

progesteron sehingga daya tahan embrio tinggi

begitu pula dengan asam lemak omega-3 sebagai

prekursor hormon PGF3 yang berperan

mencegah terjadinya lisis korpus luteum. Pada

fase akhir kebuntingan asam lemak omega-6

mendorong sintesis kolesterol sehingga kadar

estrogen tinggi, selain itu juga dipergunakan

sebagai prekursor hormon PGF2 sehingga korpus

luteum dapat lisis.

PENGARUH OMEGA-3 DAN OMEGA-6

TERHADAP KINERJA REPRODUKSI

Penambahan lemak dalam ransum

meningkatkan persentase kebuntingan pada

ternak kambing, domba, dan sapi perah (Titi dan

Awad, 2007; Khotijah, 2014; Staples et al., 1998).

Akan tetapi pengaruh asam lemak omega-3 dan

omega-6 terhadap tingkat kebuntingan masih

beragam. Hal ini berkaitan dengan peranan

omega-3 dan omega-6 dalam metabolime hormon

reproduksi. Asam lemak omega-6 merupakan

prekursor pembentuk hormon PGF2 yang

berfungsi untuk meluruhkan korpus luteum.

Berdasarkan hal tersebut pemberian ransum tinggi

omega-6 memiliki daya tahan embrio yang rendah

(Khotijah, 2014; Hess et al., 2008). Di lain sisi

peranan omega-3 sebagai prekursor hormon

PGF3 lebih berpotensi meningkatkan daya tahan

embrio. Hal ini berkaitan dengan peranan hormon

PGF3 mempertahankan korpus luteum dengan

menghambat produksi hormon PGF2. Tingkat

kebuntingan sapi meningkat dengan pemberian

ransum tinggi omega-3 (Santos et al,. 2008).

Pemberian ransum tinggi omega-3 dan

omega-6 diindikasikan mampu meningkatkan

jumlah kelahiran dan tipe kelahiran anak kembar.

Induk domba yang diberi ransum tinggi omega-6

melahirkan jumlah anak kembar lebih banyak

(Khotijah, 2014). Pujiawati (2017) menyatakan

penambahan asam lemak omega-3 dan omega-6

dalam ransum induk domba meningkatkan tipe

kelahiran kembar. Pengaruh asam lemak omega-3

dan omega-6 terhadap tipe kelahiran lebih

berkaitan dengan fungsi asam lemak penyumbang

energi. Koyuncu dan Canbolat (2009)

menyatakan tipe kelahiran kembar lebih tinggi

pada ransum tinggi energi. Akan tetapi

keunggulan penambahan asam lemak tidak jenuh

dalam ransum mampu mempengaruhi produksi

Page 110: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

105 Penggunaan Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan

Keuntungan Usaha Pemeliharaan Induk Domba (Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa)

hormon-hormon reproduksi. Pengaruh omega-3

dan omega-6 terhadap hormon prostaglandin dan

steroid juga berpotensi terhadap onset estrus dan

ovulasi (Abayasekara dan Wathes, 1999).

Asam lemak omega-3 dan omega-6

berpotensi meningkatkan jumlah anak

sekelahiran. Induk domba yang diberi ransum

tinggi omega-6 menghasilkan jumlah kelahiran

anak jantan lebih tinggi (Khotijah, 2014), hal ini

juga terjadi pada domba yang diberi ransum tinggi

omega-3 (Gulliver et al., 2010). Hasil kajian yang

dilakukan oleh Pujiawati (2017) menunjukkan,

pemberian asam lemak omega-3 dan omega-6

dengan perbandingan 1:2 meningkatkan jumlah

anak sekelahiran menjadi rata-rata 2 ekor, berbeda

dengan kontrol yang hanya 1 ekor per kelahiran.

Kombinasi omega-3 dan omega-6 dengan

perbandingan 1:6 dan 1:8 dilaporkan

menghasilkan anak jantan lebih tinggi. Hasil ini

sejalan dengan laporan-laporan sebelumnya

bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

jenis kelamin adalah makanan, kondisi tubuh, dan

bobot badan induk (Cameron et al., 2008).

Gulliver et al. (2010) melaporkan bahwa omega-

3 berpengaruh terhadap jenis kelamin anak.

Embrio jantan (XY) lebih rentan terhadap

inflamasi dibandingkan embrio betina, sehingga

pemberian omega-3 sebagai prekursor

pembentukan PGF3 berfungsi sebagai anti-

inflamasi, yang dapat mempertahankan embrio

jantan.

Tabel 3. Perbandingan hasil analisis R/C untuk penggunaan asam lemak tidak jenuh omega-3 dan omega-6

No Uraian

Perlakuan

P1 (Pemberian omega-3

dan omega-6

perbandingan 1:2

P0 (Kontrol)

I. Komponen biaya tetap

1. Sewa lahan 700.000 700.000

2. Biaya pemeliharaan dan perlengkapan kandang 750.000

750.000

3 Biaya penyusutan kandang 1.000.000 1.000.000

II. Komponen biaya tidak tetap

1.

Pengadaan bibit domba

a. Pejantan 1 ekor 2.100.000 2.100.000

b. Induk 5 ekor 3.600.000 3.600.000

2.

Pengadaan pakan

a. Konsentrat 1.674.303 1.698.876

b. suplementasi omega-6 81.000 0

c. suplementasi omega-3 2.637.360 0

d. rumput 942.545 942.545

3. obat dan vitamin 120.000 120.000

4.

Biaya tenaga kerja

Tenaga kerja untuk memelihara domba 336.000 336.000

Total biaya pengeluaran 13.941.209 11.247.422

III. Komponen pendapatan

1.

Hasil Penjualan

Anak lepas sapih (jumlah anak sekelahiran 2 ekor

untuk P1, dan 1 ekor untuk P0)

a. Anak Jantan 12.000.000 1.500.000

b. Anak Betina 2.000.000 3.000.000

indukan 12.500.000 12.500.000

Pejantan 3.000.000 3.000.000

2. Produksi pupuk kandang 30.000 30.000

Total Penerimaan 29.500.000 20.030.000

IV. Keuntungan 15.558.791 8.782.578

V R/C 2,12 1,78

Sumber: Pujiawati (2017)

Page 111: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

106 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:99-108

PENGGUNAAN ASAM LEMAK OMEGA-3

DAN OMEGA-6 DALAM RANSUM

MENINGKATKAN KEUNTUNGAN

USAHATANI TERNAK DOMBA

Analisis R/C bertujuan untuk melihat

kelayakan teknologi berdasarkan aspek ekonomi.

Analisis R/C pada review ini didasarkan pada data

penelitian Pujiawati (2017) tentang penambahan

asam lemak tidak jenuh omega-3 dan omega-6

dalam ransum induk domba lokal terhadap kinerja

reproduksi. Hasil analisis R/C dari kedua

perlakuan yaitu perlakuan A (P1) dan perlakuan B

(P0) disajikan pada Tabel 3. Perlakuan A adalah

penambahan asam lemak omega-3 dan omega-6

dengan perbandingan 1:2, sedangkan perlakuan B

sebagai kontrol, yaitu tanpa penambahan asam

lemak tidak jenuh. Hasil kajian yang dilakukan

oleh Pujiawati (2017) menunjukkan, perlakuan A

memiliki jumlah anak sekelahiran rata-rata dua

ekor (10 ekor anak dari 5 ekor induk), sedangkan

untuk perlakuan B jumlah anak sekelahiran rata-

rata satu ekor (4 ekor anak dari 4 ekor induk).

Hasil analisis finansial menunjukkan,

walaupun ada penambahan biaya sebanyak Rp.

81.000 untuk pembelian asam lemak omega-6 dan

Rp. 2.637.360 untuk asam lemak omega-3, P1

lebih menguntungkan. Jumlah keuntungan yang

diperoleh P1 sebanyak Rp 15.558.791 sedangkan

perlakuan P0 sebesar Rp 8,782.578 Selisih

keuntungan P1 dan P2 sebanyak Rp 6,776.213

dengan R/C, berturut-turut 2,12 dan 1,78. R/C

2,12 artinya, untuk setiap Rp1000 biaya yang

dikeluarkan, peternak menghasilkan keuntungan

Rp 2.120. Potensi keuntungan P1 berpotensi dapat

ditingkatkan, melalui pemanfaatan bahan pakan

lokal yang mengandung asam lemak omega-3;

tentunya melalui penelitian lanjutan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Asam lemak omega-3 dan omega-6

memiliki pengaruh yang sangat kompleks

terhadap performa reproduksi ternak, dan

terbukti dapat meningkatkan kinerja

reproduksi ternak domba, dengan jumlah

anak sekelahiran rata-rata 2 ekor,

dibandingkan kontrol yang hanya satu

ekor.

Secara ekonomis, penggunaan asam

lemak omega-3 dan omega-6 dengan

perbandingan 1:2, meningkatkan

keuntungan usaha pemeliharaan ternak

domba, dari Rp 8.782.578 untuk kontrol

menjadi Rp 15.558.791.

Saran

Pemanfaatan Asam lemak omega-3 dan

omega-6 telah terbukti mampu meningkatkan

jumlah anak sekelahiran dan keuntungan

usahatani ternak domba. Keuntungan tersebut

berpotensi dapat ditingkatkan melalui

penggunaan bahan pakan lokal yang mengandung

asam lemak omega-3, sehingga perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Dr. drh

Wasito, M.Si selaku pembimbing. Ucapan terima

kasih juga disampaikan kepada dosen

pembimbing Dr. Asep Sudarman M.RurSc dan

Dr. Ir. Lilis Khotijah. Terima kasih diucapkan

kepada rekan penyuluh di BPTP Bali Bapak Eko

Nugroho Jati S.IP dan rekan peneliti BPTP

Sulawesi Tengah Bapak Wardi, S.Pt atas

kerjasamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Abayasekara D. R, dan Wathes, D. C. 1999.

Effects of altering dietary fatty acid

composition on prostaglandin synthesis and

fertility. Prostaglandins Leukot. Essent.

Fatty Acids 61:275-287.

Burke, J. M., Caroll, D. J., Rowe, K. E., Thatcher,

W. W., Stromshak, F. 1996. Intravascular

infusion of lipid into ewes stimulates

production of progesterone and

prostaglandins. Biol. Reprod. 55:169-175

Butler, W.R dan R.D. Smith. 1989.

Interrelationship Between Energy Balance

and Postpartum Reproductive Function in

Dairy Cattle. J. Dairy Sci 72 :767-783.

Page 112: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

107 Penggunaan Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan

Keuntungan Usaha Pemeliharaan Induk Domba (Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa)

Cameron, E. Z., Lemons, P. R., Bateman, P. W.,

Bennet, N. C. 2008. Experimental

alteration of litter sex ratio in mammal.

Proc.R.Soc.B. 273:323-327.

[Ditjen PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan. 2017. Statistik

Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta

(ID). Direktorat Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan.

Espinoza, J. L., Ramirez-Godinez, J. A., Simental,

S. S., Jimenez, J., Ramirez, R., Palacios, A.,

De Lun, R. 1997. Effects of calcium soaps

of fatty acids on serum hormones and lipid

metabolites in Pelibuey ewes. Small

Ruminant Research 26: 61-68.

Gulliver, C. E., Piltz, J. W., Friend, M.A.,

Clayton, E. H. 2010. Improving the omega-

3 status of sheep by feeding silage, In: Proc.

Nutr. Soc. Aust. Vol. 34, Perth, Australia, p.

73.

Gulliver CE, Friend MA, King BJ, Clayton EH.

2012. The role of omega-3 polyunsaturated

fatty acids in reproduction of sheep and

cattle. J. Anim. Reprod. Sci. 9-22.

Hedah, H.D. 2000. Gangguan Reproduksi.

Makalah disampaikan pada Pelatihan

Inseminator Sapi/Kerbau Tingkat Nasional

Angkatan Ke I, 22 Agustus- 11 September

2000.

Hess, B. W., Moss, G. E., Rule, D. C. 2008. A

decade of developments in the area of fat

supplementation research with beef cattle

and sheep. J.Anim.Sci. 86:188-204

Horrobin, D. F., dan Bennett, C. N. 1999.

Depression and bipolar

disorder:relationships to impaired fatty acid

and phospholipid metabolism and to

diabetes, cardiovascular disease,

immunological abnormalities, cancer,

aging and osteoporosis. Possible candidate

genes. Prostaglandins leukot. Essent. Fatty

Acid 60:217-234

Khotijah, L. 2014. Performa reproduksi dan

ketahanan tubuh anak domba prolifik

berbasis pakan lokal dengan sumber

linoleat minyak bunga matahari [disertasi].

Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Khotijah, L., Wiryawan, K. G., Setiadi, M. A.,

Apriastuti, D., Zulihar, R. 2014.

Suplementasi minyak bunga matahari

(helianthus annus) pada ransum pra kawin

terhadap konsumsi nutrien dan

karakteristik estrus domba garut. JITV

19:9-16.

Khotijah, L., Wiryawan, K. G., Setiadi, M. A.,

Astuti, D. A. 2015. Reproductive

performance, cholesterol and progesterone

status of Garut Ewes fed ration containing

different levels of sunflower oil. Pak. J.

Nutr 14 (7): 388-391.

Koyuncu, M. dan Canbolat, O. 2009. Effect of

different dietary energy levels on the

reproductive performance of Kivircik

sheep under a semi-intensive system in the

South-Marmara region of Turkey. Journal

of anim feed sci 18: 620-627.

Lands, W. E. 1992. Biochemistry and

physiological of n-3 fatty acids. FASEB J.

6:2350-2536.

Leroy, J. L. M. R., Sturnet, R. G, Van Hoeck, V.,

Bie, D. J, McKeegan, P. J, dan Bols, P. E.

J. 2013. Dietary fat supplementation and

the consequences for oocytes and embryo

quality hype or significant benefit for dairy

cow reproduction?. Reprod. Dom. Anim.

49:353-361.

McDonald, P., Edwardss, R. A., Greenhalgh, J. F.

D., Morgan, C. A., Sinclair, L. A, dan

Wilkinson, R. G. 2011. Animal Nutrition.

7th ed. Inggris (UK) : Pearson.

Morris, D. H. 2007. Flax- A Health and Nutrition

Primer. 4th ed. Kanada: Flax Council of

Canada.

Nieto, R., Ferguson, M. B., dan Macleay, C. A.

2013. Selection for superior growth

advances the onset of puberty in Merino

ewes. Proc. Assoc. Advmt. Anim. Breed

19:303-306.

Nieto, R., Torres, M. T. S., Mejia, O., Figueroa, J.

L., Olivares, L., Peralta, J. G., Cordero, J.

L., Molina, P., dan Cardenas, M. 2015.

Effect of fish meal and oil on hormone

profile and reproductive variables in ewes

inseminated by laparoscopy. J Livestock

Scie. 178:357-362.

Otto, J. R., Freeman, M. J, Malau-Aduli, B. S.,

Nichols, P. D., Lane, P. A., Malau-Aduli,

A. E. O. 2014. Rperoduction and fertility

Page 113: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

108 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:99-108

parameters of dairy cows supplemented

with omega-3 fatty acid-rich canola oil.

Annual research and review in biology

4(10):1611-1636.

Pujiawati, Y. 2017. Performa reproduksi induk,

bobot lahir dan mortalitas anak domba yang

diberi ransum komplit dengan imbangan

omega-3 dan omega-6 yang berbeda.

[tesis]. Institut Pertanian Bogor : Bogor.

Pujiawati, Y., Khotijah, L., Sudarman, A., dan

Wijayanti, I. 2018. Effect of different ratio

omega-3 dan omega-6 in total mix ration on

productive performance, blood metabolites

and estrous characteristic of ewes. Bulletin

of Animal Science 42(4):1-6.

Robinson, R. S., Pushpakumara, P. G., Cheng, Z.,

Peters, A. R., Abayasekara, D. R., dan

Wathes, D. C. 2002. Effects of dietary

polyunsaturated fatty acids on ovarian and

uterine function in lactating dairy cows.

Reproduction 124:119-131.

Santos, J. E. P, Bilby, T. R., Thatcher, W. W,

Staples, C. R, dan Silvestre, F. T. 2008.

Long chain fatty acids of diet as factors

influencing reproduction in cattle. Reprod.

Domest. Anim.43:23-30.

Sprecher, H. 1981. Biochemistry of essential fatty

acid. Progress in Lipid Research 20:13-22.

Staples, C. R., Burke, J. M., dan Thatcher, W. W.

1998. Influence of supplemental fats on

reproductive tissues and performance of

lactating cows. J. Dairy Sci. 81:856-871

Suharti, S., Khotijah, L., Nasution, A. R.,

Warmadewi, D. A., Cakra, I. G. L. O.,

Arman, C., dan Wiryawan, K. G. 2017.

Productive and reproductive performance

and blood profile of Bali cows

supplemented with calcium soap-soybean

oil. Pak. J. Nutr 16(11):882-887.

Titi, H. H., dan Awad, R. 2007. Effect of dietary

fat supplementation on reproductive

performance of goats. Anim Reprod. 4(1-

2):23-20.

Teleni, E., Rowe, J. B., Croker, K. P., Murray, P.

J., dan King, W. R. 1989. Lupins and

energy-yielding nutrients in ewes.II*

responses in ovulation rate in ewes to

increased availability of glucose, acetate

and amino acid. Reprod. Fertil. Dev 1:117-

125.

Toelihere, M. R. 1997. Fisiologi Reproduksi Pada

Ternak. Bandung (ID): Angkasa.

Wathes, D. C., Abayasekara, D. R. E, dan Aitken,

R. J. 2007. Polyunsaturated fatty acids in

male and female reproduction. Biol.

Reprod. 77:190-210.

Wonnacot, K. E., Kwong, W.Y., Hughes, J.,

Salter. A. M., Lea, R. G., Gamsworthy, P.

C., dan Sinclair, K. D. 2010. Dietary

omega-3 and -6 polyunsaturated fatty acids

affect the composition and development of

sheep granulosa cells, oocytes and

embryos. Reproduction 139:57-69.

Margaretha, S. Lalu, dan Suwardi. 2004. Sistem

Perbeníhan untuk mendukung

penyebarluasan varietas padi unggul

nasional. Balai Penelitian Tanaman

Serealia. Badan Litbang Pertanian.

Page 114: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor

PEDOMAN BAGI PENULIS

NASKAH. Redaksi hanya menerima naskah yang belum pernah dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan pada publikasi lain.

BENTUK NASKAH. Naskah diketik dengan Microsoft Word, jenis huruf Arial, 2 spasi termasuk abstrak. Panjang naskah tidak melebihi 20 halaman termasuk tabel, gambar, perhitungan dan literatur.

Naskah disusun dengan urutan sebagai berikut: Judul Naskah, Nama Penulis beserta instansi dan alamat, Abstrak beserta Kata Kunci (dalam bahasa Indonesia dan Inggris). Untuk tulisan review, urutannya: Pendahuluan, Sub-sub Topik Bahasan, Kesimpulan, dan ditutup dengan Daftar Pustaka. Untuk tulisan naskah hasil Litkaji setelah Pendahuluan dilanjutkan dengan Metodologi, dilanjutkan dengan Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka.

BAHASA. Gunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang baku. Pemakaian istilah-istilah asing hendaknya dikurangi/disesuaikan dengan Pedoman Bahasa Indonesia.

JUDUL NASKAH. Judul merupakan ungkapan yang mencerminkan isi naskah, tidak lebih dari 15 kata.

ABSTRAK. Naskah dalam bahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris ditulis ringkas dan jelas tidak lebih dari 250 kata. Abstrak dituangkan dalam satu paragraf, mencakup latar belakang, tujuan, metode penelitian, hasil pembahasan dan kesimpulan.

KATA KUNCI. Pemilihan kata kunci mengacu pada deskriptor yang tercantum dalam AGROVOC. Apabila istilah yang dipilih tidak terdapat dalam AGROVOC, maka Thesaurus lain atau kamus istilah dapat dipakai sebagai

rujukan. Maksimal 4 kata kunci

PENDAHULUAN. Memuat alur pikir serta justifikasi perlunya penelitian/pengkajian atau penulisan dilakukan, perumusan tujuan secara rinci dan spesifik mengacu pada permasalahan yang akan diteliti atau ditulis

METODE. Memuat unsur lokasi dan waktu, rancangan penelitian/pengkajian meliputi penentuan/penetapan parameter/peubah; metode pengumpulan data (sampling method), metode pengolahan dan analisis data. Penyajian metode memerlukan acuan pustaka. Uraian agar mencantumkan rumusan matematis yang hasil numeriknya dapat divalidasi. Penyajian metode harus cukup terperinci sehingga dapat diulangi (repeatability). Untuk naskah berupa ulasan/review, setelah Pendahuluan langsung pada uraian Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Memuat tampilan dalam bentuk tabulasi data; analisis dan evaluasi terhadap data sesuai formula hasil kajian teoritis yang dilakukan; dan interpretasi hasil analisis

KESIMPULAN. Harus mengakomodasi semua tujuan yang telah ditetapkan, dan secara substantif mampu mengaitkan temuan pokok penelitian dan pengkajian dengan permasalahan yang dihadapi, azas manfaat penelitian, dilengkapi implikasinya dan bukan merupakan pengulangan atau ringkasan dari hasil dan pembahasan

TABEL. Tabel diberi judul singkat, jelas dan diikuti keterangan tempat dan waktu pengambilan data.

GAMBAR DAN GRAFIK. Gambar dan grafik dibuat ukuran besar sehingga memungkinkan direduksi antara 50-60% dari gambar dan grafik asli. Judul gambar dan grafik diletakkan di bawahnya tanpa mempengaruhi bagian gambar atau grafik.

SATUAN PENGUKURAN. Satuan pengukuran dalam teks, grafik dan gambar memakai sistem metrik misalnya kg, g, cm, km, l, ha dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA. Menyajikan semua pustaka yang dikutip (sebaiknya terbitan 10 tahun terakhir), Minimal 80% dari tulisan jurnal primer, disusun menurut abjad dengan urutan nama pengarang, tahun terbit, judul karangan, nama publikasi, volume dan nomor jurnal serta halaman.

Contoh Penulisan Daftar Pustaka:

Gonzales, N.J., T.W. Sullivan, J.H. Douglas, and M.M. Beck. 1993. Effect on inorganic sulfate on bone mineralization in broilers. Poultry Science 72(3):135-174.

Sutriadi, M.T., dan B. Rochayati. 2002. Pengkayaan P dengan phosphat alam pada lahan kering masam. Dalam Suptapto, Hartono (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering. Banjarbaru, 18-19 Desember 2002. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: hal. 47-58.

Chute, H.L. 1984. Fungal infections. In Hofstad, M.S (Eds). Diseases of Poultry. 8th ed. Iowa State Uvinersity Press. Iowa, USA: p. 309-322.

Cooper, M. McG. and R. J. Thomas. 1982. Profitable Sheep Farming. 5th ed. Farming Press Ipswich, UK.

Sutrisno, P.S. 2005. Integrasi Padi dan Ternak. http://www.ajol.info/viewarticle.php?id=abstak [28 Mei] 2006.

BPTP Kalteng. 2006. Pemanfaatan Lahan Rawa Eks PLG Kalimantan Tengah. BPTP Kalteng. Palangkaraya.

PENYERAHAN NASKAH. Naskah (hard copy) diserahkan ke Dewan Redaksi rangkap 3 (tiga) bersama dengan file naskah (soft copy) dengan dilengkapi surat pengantar dari kepala unit kerja/instansi.

WAKTU PENERBITAN. Buletin diterbitkan satu kali setahun. Urutan naskah yang diterbitkan didasarkan pada kelancaran proses pemeriksaan oleh Dewan Redaksi dan perbaikan oleh Penulis.

Page 115: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Gabungan_bulettin_vol_5_no_1_2019...Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 5, Nomor