bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin...

103
Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor 2, Desember Tahun 2018 Penanggungjawab: Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Reviewer: Ketua merangkap Anggota: Rubiyo (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, BBP2TP) Anggota: Rachmat Hendayana (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, BBP2TP) Trip Alihamsyah (Peneliti Utama, Sistem Usaha Pertanian, BBP2TP) Mohammad Jawal Anwarudin Syah (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, Puslitbanghorti) Mewa Ariani (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, PSE-KP) Nur Richana (Prof. (R.), Teknologi Pascapanen, BB Pasca Panen) I Wayan Laba (Prof. (R), Hama Penyakit Tanaman, PHT dan Pestisida, Balittro) Sofjan Iskandar (Prof. (R.), Pakan dan Nutrisi Ternak, Balitnak) Arief Hartono (Kimia Tanah, Institut Pertanian Bogor) Mitra Bestari I Wayan Rusastra (Ekonomi Pertanian) Fahmudin Agus (Hidrologi dan Konservasi Tanah) I Made Jaya Mejaya (Pemuliaan dan Genetika Tanaman) Redaksi Pelaksana Achmad Subaidi Elya Nurwullan Yovita Anggita Dewi Vyta Wahyu Hanifah Lira Mailena Widia Siska Ume Humaedah Nanik Anggoro Purwatiningsih Mulni Erfa Agung Susakti Alamat Redaksi Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No.10, Bogor, Indonesia Telepon/Fax : (0251) 8351277 / (0251) 8350928 E-mail : [email protected] Website : http://www.bbp2tp.litbang.pertanian.go.id Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi diterbitkan dua kali setahun, oleh balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, merupakan media ilmiah yang memuat artikel hasil Litkaji dan diseminasi inovasi pertanian, khususnya yang bernuansa spesifik lokasi. Buletin ini dapat juga memuat tinjauan kritis terhadap hasil litkaji dan diseminasi inovasi pertanian yang berupa gagasan, opini maupun konsepsi orisinil inovasi pertanian. Substansial inovasi pertanian dapat mencakup aspek teknis maupun aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.

Transcript of bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin...

Page 1: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

Volume 4, Nomor 2, Desember Tahun 2018

Penanggungjawab:

Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Reviewer:

Ketua merangkap Anggota: Rubiyo (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, BBP2TP)

Anggota: Rachmat Hendayana (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, BBP2TP) Trip Alihamsyah (Peneliti Utama, Sistem Usaha Pertanian, BBP2TP) Mohammad Jawal Anwarudin Syah (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, Puslitbanghorti) Mewa Ariani (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, PSE-KP) Nur Richana (Prof. (R.), Teknologi Pascapanen, BB Pasca Panen) I Wayan Laba (Prof. (R), Hama Penyakit Tanaman, PHT dan Pestisida, Balittro) Sofjan Iskandar (Prof. (R.), Pakan dan Nutrisi Ternak, Balitnak) Arief Hartono (Kimia Tanah, Institut Pertanian Bogor) Mitra Bestari

I Wayan Rusastra (Ekonomi Pertanian) Fahmudin Agus (Hidrologi dan Konservasi Tanah) I Made Jaya Mejaya (Pemuliaan dan Genetika Tanaman)

Redaksi Pelaksana

Achmad Subaidi Elya Nurwullan Yovita Anggita Dewi Vyta Wahyu Hanifah Lira Mailena Widia Siska Ume Humaedah Nanik Anggoro Purwatiningsih Mulni Erfa Agung Susakti Alamat Redaksi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No.10, Bogor, Indonesia Telepon/Fax : (0251) 8351277 / (0251) 8350928 E-mail : [email protected] Website : http://www.bbp2tp.litbang.pertanian.go.id

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi diterbitkan dua kali setahun, oleh balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, merupakan media ilmiah yang memuat artikel hasil Litkaji dan diseminasi inovasi pertanian, khususnya yang bernuansa spesifik lokasi. Buletin ini dapat juga memuat tinjauan kritis terhadap hasil litkaji dan diseminasi inovasi pertanian yang berupa gagasan, opini maupun konsepsi orisinil inovasi pertanian. Substansial inovasi

pertanian dapat mencakup aspek teknis maupun aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.

Page 2: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

ISSN-2407-0955

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi

Volume 4 Nomor 2, Bulan Desember 2018

BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

Page 3: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

ISSN-2407-0955

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi

Volume 4 Nomor 2, Bulan Desember 2018

SEBARAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI KALIMANTAN TENGAH

Twenty Liana, Andy Bhermana, dan Andriansyah ............................................................................... 107-116

PRODUKSI DAN POLA DISTRIBUSI BENIH SUMBER PADI UPBS DI PROVINSI BENGKULU Yahumri, Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D .............................................................................

117-126

PROSPEK PENGEMBANGAN MICROGREEN DALAM MENDUKUNG PERTANIAN PERKOTAAN DI JAKARTA

Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati..........................................................................

127-135

POTENSI DAN NILAI EKONOMIS PEMANFAATAN ONGGOK TERFERMENTASI SEBAGAI PAKAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG

Sigit Puspito dan Suharyanto................................................................................................................ 137-145

UJI ADAPTASI VARIETAS KEDELAI DI LAHAN PASANG SURUT KAB. SAMBAS KALIMANTAN BARAT

Dina Omayani Dewi dan Tietyk Kartinaty............................................................................................

147-153

MODEL PREDIKSI DINAMIKA POPULASI HAMA PENGGEREK BATANG TEBU BERGARIS (Chilo sacchariphagus) DI PERKEBUNAN CINTA MANIS SUMATERA SELATAN

Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono dan Muhamad Hidayanto .................................................... 155-168

PENGARUH SISTEM TANAM TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN SERANGAN OPT BEBERAPA VARIETAS UNGGUL PADI

Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi…………………………………………………………………...

169-177

PENGARUH APLIKASI BIOCHAR DAN PUPUK KANDANG TERHADAP KELEMBABAN TANAH DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)

Asis, Rachman Jaya, Muhammad Ismail, Irhas dan Eko…………………………………………………

179-186

PRODUKTIVITAS DAN KOMPONEN HASIL BEBERAPA VARIETAS PADI GOGO DI LAHAN SAWAH UNTUK PRODUKSI BENIH

Ammini Amrina Saragih, Awaludin Hipi, Erythrina…………………………………………………………

187-194

PENUMBUHAN PENANGKAR BENIH JAGUNG BERBASIS MASYARAKAT MELALUI DESA MANDIRI BENIH DI SULAWESI TENGGARA

Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad …………………………………………………………………..

195-206

Page 4: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

107 Sebaran Varietas Unggul Baru Padi Di Kalimantan Tengah (Twenty Liana, Andy

Bhermana, dan Andriansyah)

INTRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI KALIMANTAN TENGAH

Twenty Liana, Andy Bhermana, dan Andriansyah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah,

Jl. G. Obos km. 5 Palangka Raya

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The Distribution of High Yielding Variety of IATA in Central Kalimantan. The information of variety

characteristics preferred by breeders and farmer groups in relation with distribution and prospect of area

development for the) of Balibangtan in Central Kalimantan is required. The of Central Kalimantan as

management unit for seed has produced 32 varieties of Inbred Rice, with a total seeds production of 343,157 kg

and they have been distributed with total varieties of 31 HYV at entire Central Kalimantan region. The distribution

of HYV is mainly depending on the characteristics of each HYV. There are three characteristics of HYV that are

always required by breeders or farmer groups when producing the seeds i.e. plant age, rice taste and potential

yield. Based on plant age, rice seeds produced by the of Central Kalimantan is dominated by early maturing rice

variety. Based on the rice taste, characteristic of pulen rice dominates the choice of planting, and the favorite

variety of Inpari 30 Ciherang Sub-1 is then chosen by breeders and farmers, while in the last two years, the

demand for seeds of Inpari 42 Agritan GSR increased due to fluffy rice flavor and it has a large number of tillers

during the planting. Based on the potential yield, most rice seeds produced have potential yields between 7 - 10

tons / hectares, such as Inpari 30 Ciherang Sub-1 and Inpari 42 Agritan GSR. The results of spatial identification

for the distribution of VUB of Inbred Rice produced by SSPU of IATA of Central Kalimantan showed that

distribution of seeds in Central Kalimantan region has not been spread evenly and based on the zonation, it can be

identified that there is only 1 (one) administrative area which has the highest number of varieties of VUB i.e

Kapuas district with total varieties available more then 20 varieties.

Keywords: rice seeds, HYV, distribution, Central Kalimantan.

ABSTRAK

Informasi karakteristik varietas yang disukai dan diminati penangkar dan kelompok tani yang berperan pada

sebaran serta arah wilayah pengembangan VUB Balibangtan di Kalimantan Tengah sangat diperlukan. UPBS

BPTP Kalimantan Tengah telah memproduksi 32 VUB Padi Inbrida, dengan total produksi 343.157 kg benih dan

telah tersebar sebayak 31 VUB di seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Sebaran VUB tidak terlepas dari

karakteristik masing-masing VUB, terdapat tiga karakter VUB yang selalu ditanya penangkar atau kelompok tani

saat memproduksi dan memerlukan benih, yaitu umur tanaman, rasa nasi dan potensi hasil. Berdasarkan umur

tanaman, benih padi hasil produksi UPBS BPTP Kalimantan Tengah didominasi oleh varietas padi berumur genjah.

Berdasarkan rasa nasi, rasa nasi pulen lebih mendominasi dalam pilihan penanaman, dengan pilihan Inpari 30

Ciherang Sub-1 menjadi favorite penangkar dan petani, dan dua tahun terakhir permintaan benih Inpari 42 Agritan

GSR meningkat karena rasa nasi yang pulen dan jumlah anakannya yang banyak. Berdasarkan potensi hasil, benih

padi yang pernah diproduksi kebanyakan memiliki potensi hasil antara 7 - >10 t/ha, seperti Inpari 30 Ciherang Sub-

1 dan Inpari 42 Agritan GSR. Hasil identifikasi secara spasial terhadap sebaran VUB Padi Inbrida yang di produksi

UPBS BPTP Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa distribusi benih untuk wilayah regional Kalimantan Tengah

secara relatif masih belum merata. berdasarkan pengelompokkan wilayah dapat terindentifikasi bahwa hanya

terdapat 1 (satu) wilayah administrasi saja yang memiliki sebaran jumlah varietas VUB Padi Inbrida Balitbangtan

paling banyak yaitu Kabupaten Kapuas dengan jumlah ketersediaan jenis varietas diatas 20 jenis.

Kata kunci: padi, VUB, sebaran, Kalimantan Tengah.

Page 5: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

108 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:107-116

PENDAHULUAN

Tanaman padi (Oryza sativa L.)

merupakan tanaman pangan penting yang telah

menjadi makanan pokok lebih dari setengah

penduduk dunia. Di Indonesia, padi merupakan

komoditas utama dalam menyokong pangan

masyarakat. Untuk meningkatkan produksi

sekaligus peningkatan pendapatan petani, pada

wilayah pertanaman padi maka perlu diupayakan

penggunaan teknologi benih. Benih bermutu

merupakan salah satu hasil teknologi benih. Benih

berkualitas sangat diperlukan, karena akan

menunjang kesuksesan usaha tani. Benih yang

berkualitas baik akan mampu menghasilkan

produk yang tinggi berdasarkan karakter agronomi

dan komponen hasil yang baik (Mulsanti, dkk.,

2014; Suastika dkk, 2016). Penggunaan benih

berkualitas dari varietas unggul berkontribusi

cukup besar dalam meningkatkan produksi beras

nasional (Sutopo, 2002; Hadi dkk, 2005; De Silva

dkk, 2011). beberapa keunggulan varietas tersebut

antara lain produktivitas tinggi, tahan terhadap

hama dan penyakit, rasa enak, genjah dan harga

jual yang baik. Varietas unggul yang telah dilepas

selain unggul dalam produksi (misalnya tahan

terhadap suatu penyakit), varietas itu juga harus

memiliki sifat yang jelas berbeda dari varietas

lainnya yang sebelumnya sudah beredar

(distinctive), seragam kinerja tanaman dan

pertanamannya (uniform), mantap (stable) dalam

keunggulan sifat kinerja tanaman dan pertanaman

(Hadi dkk, 2005).

Keinginan pengguna benih perlu diketahui

sejak awal, yaitu saat pemilihan varietas yang akan

diproduksi oleh produsen benih. Informasi awal ini

sangat diperlukan agar benih yang diproduksi

menjadi tepat guna dan tepat sasaran. Pemilihan

varietas yang akan diproduksi biasanya dilihat dari

deskripsi pada karakter VUB yang digunakan.

Menurut Kartina (2010), keunggulan suatu varietas

tanaman padi tidak bersifat universal dan tidak

kekal sepanjang masa. Untuk itu mutu genetis

suatu varietas tanaman padi harus selalu

diperbaharui melalui penyediaan benih sumber.

Selama delapan tahun (2011 – 2018), UPBS BPTP

Kalimantan Tengah telah mendistribusikan benih

sumber kelas Benih Dasar (BD) dan Benih Pokok

(BP) serta Benih Sebar (BR) dari 38 varietas

unggul baru (VUB) padi inbrida Balitbangtan atau

43,67% dari total varietas yang telah dilepas oleh

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (Wahab dkk.,

2017), dengan klasifikasi padi sawah irigasi, padi

gogo, dan padi rawa. Karakter masing-masing

VUB menentukan banyaknya jenis dan sebarannya

di Kalimantan Tengah. Oleh sebab itu tulisan ini

menginformasikan karakteristik varietas-varietas

yang disukai dan diminati penangkar dan

kelompok tani yang berperan pada sebarannya

serta bagamana arah wilayah pengebangan VUB

Balibangtan di Kalimantan Tengah.

METODE

Kegiatan dilaksanakan di Kota Palangka

Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, pada bulan

Juni – Oktober 2018. Jenis data yang digunakan

adalah data primer dan sekunder. Data primer

diperoleh melalui observasi dan wawancara secara

langsung terhadap responden. Penentuan sampel

dilakukan secara purposive pada kelompok

penangkar atau kelompok tani yang memerlukan

benih VUB Padi dari UPBS BPTP Kalimantan

Tengah. Responden penelitian berjumlah 50 orang

yang berasal dari penangkar dan kelompok tadi di

13 (tiga belas) kabupaten dan 1 (satu) kota di

Kalimantan Tengah. Data sekunder diperoleh dari

SI UPBS dan form bantuan serta form pembelian

benih.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Karakteristik responden merupakan ciri

spesifik dari responden seperti asal kelompok yang

memerlu benih dan pengalaman usahatani (Tabel

1). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara

kelompok pemerlu benih terbagi menjadi tiga

kelompok, yaitu Dinas Pertanian Kabupaten/Kota

atau Balai Benih Umum Tanaman Pangan,

Page 6: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

109 Sebaran Varietas Unggul Baru Padi Di Kalimantan Tengah (Twenty Liana, Andy

Bhermana, dan Andriansyah)

penangkar dan kelompok tani. Dimana biasanya

kelompok Dinas Pertanian Kabupaten/Kota atau

Balai Benih Umum Tanaman Pangan bisa juga

mewakili untuk penangkar dan kelompok tani

binaanya. Dari kelompok pemerlu benih ini, kelas

benih sumber yang diperlukan juga bervariasi,

untuk kelompok pemerlu benih dari Dinas

Pertanian Kabupaten dan Kota atau Balai Benih

Umum Tanaman Pangan, kelas benih yang

digunakan dari FS/BD, SS/BP dan ES/BR.

Kelompok pemerlu benih dari penangkar akan

memerlu benih kelas FS/BD, dan SS/BP,

sedangkan pemerlu benih dari kelompok tani

adalah SS/BP dan ES/BR.

Sebaliknya jika dilihat dari keperluan

benih, kelompok tani masih mendominas kuantitas

keperluan benih, khususnya untuk kelas benih

ES/BR, diikuti oleh kelompok Dinas Pertanian

Kabupaten/Kota atau Balai Benih Umum Tanaman

Pangan dan penangkar.

Proses Pengambilan Keputusan Penggunaa

Benih

Produksi UPBS BPTP Kalimantan Tengah

dimulai pada akhir tahun 2011 di Terusan Karya,

Kecamatan Bataguh, Kabupaten Kapuas, dan

sampai tahun 2018 telah berkembang di Desa

Netampin dan Desa Talohen Hulu, ampah Kota,

Kabupaten Barito Timur. Selama delapan tahun

telah diproduksi 32 VUB padi inbrida (Tabel 2)

(Wahab dkk. 2017), dengan total produksi 343.157

kg benih, terdiri dari 81.870 kg kelas BD, 118.741

kg kelas BP, dan 142.546 kg kelas BR.

Tabel 1. Karakteristik Responden

Karakteristik Katagori Persentase

Kelompok pemerlu benih Kelompok Tani 73,67 %

Keperluan benih Kelompok tani 81,33 %

Pengalaman usaha tani 1-5 90,33 %

Sumber: Data olahan dari form pembelian dan form bantua benih tahun 2018

Tabel 2. Varietas padi inbrida yang telah diproduksi UPBS BPTP Kalimantan Tengah

Varietas Jenis Padi Jumlah

Inpari 9 Elo, Inpari 10 Laeya, Inpari 13, Inpari 14 Pakuan, Inpari 15

Parahyangan, Inpari 18, Inpari 19, Inpari 20, Inpari 22, Inpari 23 Bantul, Inpari

29 Rendaman, Inpari 30 Ciherang Sub-1, Inpari 33, Inpari 34 Salin Agritan,

Inpari 35 Salin Agritan, Inpari 38 Tadah Hujan Agritan, Inpari 39 Tadah Hujan

Agritan, Inpari 40 Tadah Hujan Agritan, Inpari 41 Tadah Hujan Agritan, Inpari

42 Agritan GSR, Inpari 43 Agritan GSR

Padi Sawah Irigasi 21

Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 8, Situ Bagendit Padi Gogo 5

Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, Inpara 5, Inpara 6, Inpara 7 Padi Rawa 6

Sumber : Data olahan dari SI UPBS 2011 - 2017

Page 7: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

110 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:107-116

Tabel 3. Keragaan verietas yang mempengaruhi pilihan penangkar

Keragaan Varietas Varietas

Umur tanaman Sedang Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, Inpago 4, dan Inpari 9 ELO

Genjah Inpara 5, Inpara 6, Inpara 7, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 8, Inpari 10

Laeya, Inpari 14 Pakuan, Inpari 15 Parahyangan, Inpari 18, Inpari 19,

Inpari 20, Inpari 22, Inpari 23 Bantul, Inpari 29 Rendaman, Inpari 30

Ciherang Sub , Inpari 33, Inpari 34 Salin Agritan, Inpari 35 Salin

Agritan, Inpari 38 Tadah Hujan Agritan, Inpari 39 Tadah Hujan

Agritan, Inpari 40 Tadah Hujan Agritan, Inpari 41 Tadah Hujan

Agritan, Inpari 42 Agritan GSR, Inpari 43 Agritan GSR dan Situ

Bagendit.

Sangat

Genjah

Inpari 13

Rasa Nasi Pulen Inpari 9 ELO, Inpari 10, Inpari 13, Inpari 14 Pakuan, Inpari 15

Parahyangan, Inpari 18, Inpari 19, Inpari 20, Inpari 22, Inpari 23

Bantul, Inpari 29 Rendaman, Inpari 30 Ciherang Sub 1, Inpari 38 Tadah

Hujan Agritan, Inpari 39 Tadah Hujan Agritan, Inpari 41 Tadah Hujan

Agritan, Inpari 42 Agritan GSR, Inpari 43 Agritan GSR, Situ Bagendit,

Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 8, Inpara 2, dan Inpara 7

Sedang Inpari 33, Inpari 40 Tadah Hujan Agritan, Inpara 5, dan Inpara 6

Pera Inpari 34 Salin Agritan, Inpari 35 Salin Agritan, Inpara 3, dan Inpara 4

Potensi Hasil 7 – >10 t/ha Inpari 9 Elo, Inpari 10 Laeya, Inpari 13, Inpari 14 Pakuan, Inpari 15

Parahyangan, Inpari 18, Inpari 19, Inpari 20, Inpari 22, Inpari 23

Bantul, Inpari 29 Rendaman, Inpari 30 Ciherang Sub-1, Inpari 33,

Inpari 34 Salin Agritan, Inpari 35 Salin Agritan, Inpari 38 Tadah Hujan

Agritan, Inpari 39 Tadah Hujan Agritan, Inpari 40 Tadah Hujan

Agritan, Inpari 41 Tadah Hujan Agritan, Inpari 42 Agritan GSR, Inpari

43 Agritan GSR, Inpago 8, Inpara4 dan Inpara 5

5 - <7 t/ha Inpago 4, Inpao 5, Inpago 6, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 6, dan Inpara 7

Sumber : Data olahan dari SI UPBS 2011 - 2017

Dari 32 VUB padi inbrida yang telah

diproduksi, telah tersebar dan terdistribusi 31 VUB

di seluruh wilayah Kalimantan Tengah, sedangkan

1 varietas lagi masih pada tahap prosesing calon

benih (Kegiatan UPBS 2018). Sebaran VUB ini

tidak terlepas proses pengambilan keputusan

pengguna benih. Dari karakteristik masing-masing

VUB, terdapat tiga keragaan VUB yang selalu

ditanya penangkar atau kelompok tani saat

memproduksi dan memerlukan benih dari UPBS

BPTP Kalimantan Tengah, yaitu umur tanaman,

rasa nasi dan potensi hasil (Tabel 3). Berdasarkan

umur tanaman, varietas-varietas unggul padi dibagi

menjadi tiga golongan, yaitu : 1). Berumur genjah,

varietas yang berumur kurang dari 120 hari. 2).

Berumur sedang, varietas yang berumur antara 120

– 130 hari. 3). Berumur dalam, varietas yang

berumur lebih dari 130 hari (Hadi dkk, 2005).

Benih padi hasil produksi UPBS BPTP Kalimantan

Tengah masuk dalam dua kelompok umur yaitu

berumur sedang dan berumur genjah. Kelompok

padi berumur sedang yang telah diproduksi

sebanyak 5 varietas. Sedangkan padi berumur

genjah sebanyak 26 varietas. Di lapangan,

penggunaan varietas padi yang berukur genjah dan

sangat genjah mampu meningkatkan produktivitas

lahan yaitu meningkatkan indek pertanaman.

Menurut Samaullah (2009) dan Supriatna (2012),

Page 8: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

111 Sebaran Varietas Unggul Baru Padi Di Kalimantan Tengah (Twenty Liana, Andy

Bhermana, dan Andriansyah)

bahwa untuk mencapai peningkatan indek

pertanaman (IP) Padi, yang harus diperhatikan

adalah perakitan umur tanaman ultra genjah atau

kurang dari 90 hari. Penggunaan varietas padi

berumur genjah juga

Berdasarkan rasa nasi, rasa nasi yang pulen

lebih mendominasi dalam pilihan penanaman oleh

penangkar atau kelompok tani. Terdapat 24 VUB

padi yang telah diproduksi memiliki rasa nasi yang

pulen, dengan pilihan Inpari 30 Ciherang Sub-1

masih menjadi favorite penangkar dan petani, dan

pada dua tahun terakhir permintaan benih Inpari 42

Agritan GSR juga meningkat dengan alasan rasa

nasinya yang pulen dan jumlah anakan yang

banyak pada tiap rumpun. Menurut Yang dkk.,

(2010) menyatakan bahwa masing-masing VUB

menghasilkan beras dengan karakteristik yang

berbeda dan unik seperti cita rasa, aroma, warna,

zat gizi, dan komposisi kimia. Sejalan dengan itu,

Larasati (2012) dalam Setyowati dan Kurniawati

(2015) menyampaikan bahwa konsumen di setiap

daerah mempunyai preferensi yang berbeda-beda

terhadap mutu beras. Selain perbedaan preferensi

terhadap mutu beras, preferensi penduduk

Indonesia terhadap karakteristik nasi juga beragam.

Hubeis (1985) dalam Setyowati dan Kurniawati

(2015)menyatakan bahwa mutu nasi berdasarkan

alat indra lebih utama didasarkan pada aroma, cita

rasa, tingkat kelunakan, dan tingkat keputihan nasi.

Menurut Hadi dkk, (2005), rasa nasi

ditentukan oleh kadar amilosa yang dikandung

pada nasi. Semakin tinggi kadar amilosa yang

dikandung oleh suatu varietas maka, rasanya akan

semakin kurang enak. Varietas memiliki rasa enak

apabila kadar amilosa yang dikandungnya 20-23%,

rasa nasi sedang dengan kadar amilosa 24-26%,

dan rasa nasi kurang enak apabila kadar amilose

lebih dari 27%. Varietas yang memiliki kadar

amilosa kurang dari 20% termasuk memiliki rasa

ketan.

Berdasarkan potensi hasil, varietas padi

yang pernah diproduksi kebanyakan memiliki

potensi hasil antara 7 - >10 t/ha (25 VUB) dan 5 -

<7 t/ha (7 VUB). Diantara VUB dengan potensi

hasil antara 7 - >10 t/ha, pilihan terbanyak yang

ditangkarkan petani adalah Inpari 30 Ciherang

Sub-1 dan Inpari 42 Agritan GSR.

Distribusi VUB Padi Inbrida Produksi UPBS

BPTP Kalimantan Tengah Secara Kewilayahan

di Kalimantan Tengah

Hasil identfikasi secara spasial terhadap

sebaran VUB Padi Inbrida yang di produksi UPBS

BPTP Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa

distribusi benih untuk wilayah regional Kalimantan

Tengah secara relatif masih belum merata. Untuk

wilayah Kalimantan Tengah secara umum telah

terdistribusi sebanyak 31 jenis varietas padi

unggul. Data jenis varietas dan jumlah varietas

yang terdistribusi dituangkan dalam informasi peta

sebagaimana tersaji pada Gambar 1 dan Gambar 2

(Sumber: Data peta diolah dari Data SI UPBS

2011-2017 untuk distribusi benih).

Berdasarkan pengelompokkan wilayah

dapat terindentifikasi bahwa hanya terdapat 1

(satu) wilayah administrasi saja yang memiliki

sebaran jumlah varietas VUB padi inbrida paling

banyak yaitu kabupaten Kapuas dengan jumlah

ketersediaan jenis varietas diatas 20 jenis (27

varietas padi). Sedangkan jumlah varietas yang

berada pada kelompok jumlah 10-20 jenis hanya 6

kabupaten masing-masing yaitu: kabupaten Pulang

Pisau (14 varietas), Barito Timur (13 varietas),

Katingan dan Sukamara (12 varietas), dan

Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur (10

varietas). Dan sisanya adalah beberapa kabupaten

yang masih memiliki jumlah varietas paling sedikit

yaitu < 10 jenis, masing-masing yaitu: Seruyan (8

varietas), Gunung Mas (7 varietas), Lamandau dan

Barito Selatan (4 varietas), Barito Utara (3

varietas), dan Murung Raya (2 varietas).

Page 9: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

112 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:107-116

Gambar 1. Informasi Distribusi VUB Balitbangtan di Kalimantan Tengah

Page 10: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

113 Sebaran Varietas Unggul Baru Padi Di Kalimantan Tengah (Twenty Liana, Andy

Bhermana, dan Andriansyah)

Gambar 2. Peta sebaran banyaknya VUB Balitbangtan di Kalimantan Tengah

Berdasarkan data sebagaimana telah

jelaskan, ternyata untuk wilayah Kalimantan

Tengah masih terdapat beberapa wilayah (6

kabupaten) yang memiliki keberadaan jenis

varietas yang relatif masih sedikit yaitu sekitar 2-8

varietas saja. Hal ini dapat dijadikan sebagai dasar

pertimbangan untuk memprioritaskan program

terkait diseminasi VUB Balitbangtan pada

wilayah-wilayah tersebut. Hasil identifikasi secara

spasial menjelaskan bahwa untuk beberapa

wilayah ini sebagian besar memang berada pada

agroekosistem lahan kering yang berada pada

bentuk wilayah (landform) dataran tinggi yang

bergelombang hingga berbukit. Sebagian besar

kawasan-kawasan ini hanya diusahakan untuk

usahatani padi ladang dengan luas areal pada skala

kecil. Jenis varietas yang digunakan pada

umumnya adalah padi lokal. Upaya pengembangan

VUB Balitbangtan dapat dilakukan dengan

mengintroduksi VUB padi sawah tadah hujan dan

padi gogo spesifik lokasi. Beberapa lokasi yang

dapat dipriopritaskan untuk implementasi program

pengembangan perbenihan meliputi kabupaten

Lamandau, Seruyan, Gunung Mas, Barito Selatan,

Barito Utara, dan Murung Raya.

Beberapa program tambahan dapat

disisipkan dalam rangka meningkatkan

penyebaaran VUB Balitbangtan pada wilayah-

wilayah yang relatif masih sedikit mengadopsi

VUB Balitbangtan, salah satunya adalah dengan

program perbanyakan dan perluasan areal

penangkaran perbenihan dengan memperhatikan

Page 11: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

114 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:107-116

beberapa faktor penting yang menyangkut aspek

biofik lingkungan dan sosial ekonomi. Beberapa

faktor tersebut mencakup beberapa hal seperti

kesesuaian lahan, ketersediaan sumberdaya petani

baik secara kualitas maupun kuantitas, kemampuan

fiansial, sistem penyimpanan dan pergudangan,

pendisitribusian dan penyanggaan harga jual benih

bermutu/unggul.

Prioritas pengembangan perbenihan

selanjutnya adalah diarahkan pada wilayah-

wilayah yang termasuk dalam kelompok dengan

jumlah jenis varietas antara 10-20 varietas.

Perencanaan program dapat diarahkan pada

beberapa kabupaten sebagaimana telah

dideskripsikan secara kewilayahan pada Gambar 2

meliputi kabupaten Sukamara, Kotawaringin Barat,

Kotawaringin Timur, Katingan, Pulang Pisau dan

Barito Timur. Sedangkan untuk wilayah kabupaten

Kapuas yang sudah memiliki ketersediaan benih

dalam wujud jumlah varietas yang terbanyak (>20

varietas) perlu untuk dipertahankan dan

ditingkatkan yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Sebagian besar wilayah-wilayah ini berada

pada tipologi lahan basah yang memang sudah

banyak dijumpai aktivitas usahatani padi yang

eksisting hingga saat ini. Daerah-daerah untuk

alokasi pengembangan perbenihan dapat diarahkan

pada sentra-sentra pengembangan padi yang sudah

eksisting. Selain itu upaya perluasan areal tanam

dapat dilakukan pada daerah persekitaran

pertanaman padi dengan tetap mempertimbangkan

kesesuaian lahan dan faktor pembatas lainnya.

Arahan Perwilayahan Pengembangan

Perbenihan Berbasis Kesesuaian Lahan

Program pengembangan perbenihan tidak

terlepas dari upaya melaksanakan usahatani padi

untuk tujuan penyediaan benih sumber. Aspek

biofisik lingkungan khususnya sumberdaya lahan

merupakan faktor penting penentu keberhasilan

dalam berusatani. Penetapan lokasi untuk

perencanaan wilayah pengembangan perbenihan

memerlukan informasi spasial utnuk kawasan-

kawasan yang memiliki jenis peruntukan lahan

untuk budidaya padi. Melalui pendekatan evaluasi

kesesuaian maka dapat ditentukan daerah-daerah

yang sesuai berdasarkan karakteristik lahan dan

persyaratan tumbuh tanaman padi (Ritung et al.,

2011). Hasil evaluasi yang diintegrasikan ke dalam

sistem informasi yang berorientasi pada kebumian

selanjutnya menghasilkan data dalam format

spasial berupa informasi peta peruntukkan lahan

untuk pengembangan perbenihan padi

sebagaimana disajikan pada Gambar 3.

Berdasarkan informasi peta tersebut dapat

dijelaskan bahwa luas keseluruhan kawasan untuk

proyeksi pengembangan padi di Kalimantan

Tengah mencapai 2.116.012 Ha atau 13,70% dari

luas total Kalimantan Tengah. Hasil analisis

spasial menunjukkan bahwa kawasan-kawasan ini

hampir terdapat pada selurh wilayah kabupaten

yang ada di Kalimantan Tengah dengan proporsi

luas areal yang berbeda. Terdapat 2 wilayah yang

tidak memiliki kawasan untuk peruntukkan

pengembangan padi yaitu kabupaten Lamandau

dan Murung Raya. Hal ini dikarenakan adanya

faktor kendala secara biofisik yaitu kelerengan.

Namun hal tersebut dapat ditanggulangi dengan

pembuatan teras dan bedengan untuk

pengembangan padi gogo. Namun hal ini perlu

dipertimbangkan mengingat beaya yang diperlukan

untuk penataan lahan cukup banyak sehingga

wilayah memang tidak direkomendasikan. Dengan

mempertimbangkan data-data perbenihan

sebagaimana sudah disusun sebelumnya maka

program pengembangan perbenihan yang akan

direncanakan dapat dipadukan dan disesuaikan

dengan lokasi geografis daerah yang memiliki

peruntukan lahan untuk pengembangan padi.

Page 12: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

115 Sebaran Varietas Unggul Baru Padi Di Kalimantan Tengah (Twenty Liana, Andy

Bhermana, dan Andriansyah)

Gambar 3. Peta peruntukkan lahan untuk pengembangan perbenihan padi di Kalimantan Tengah

KESIMPULAN

Keberadaan varietas unggul baru padi di

Kalimantan Tengah yang banyak diapresiasi

penangkar dan kelompok tani adalah yang

memiliki karakteristik umur tanaman, rasa nasi dan

potensi hasil Karakteristik ini pulalah yang

menentukan sebaran varietas di Kalimantan

Tengah. Kabupaten dengan sebaran varietas VUB

padi Balitbangtan terbanyak berada Kapuas.

DAFTAR PUSTAKA

De Silva H, Triatono J, dan Murdolelono B, 2011,

Potensi, Peluang dan Kendala Percepatan

Penyebaran Verietas Unggul Baru Padi dan

Jagung di NTT, Semiar Nasional Serealia.

Hadi S, Budiarti T, dan Haryadi, 2005, Studi

Komersialisasi Benih Padi Sawah Varietas

Unggul, Bul. Agron. 33 (1): 12 – 18.

Kartina AM, 2010, Evaluasi Potensi Genetis

Pertumbuhan Dan Produksi Varietas Unggul

Baru Tanaman Padi (Oryza Sativa) Di

Kecamatan Banjar Kabupaten Pandeglang

Provinsi Banten, Jur. Agroekotek. 2 (2): 18-

23.

Mulsanti IW, Wahyuni S, dan Sambiring H, 2014,

Hasil Padi Dari Empat Kelas Benih Yang

Berbeda, Penelitian Pertanian Tanaman

Pangan, 33 (3): 169-176.

Ritung, S., K. Nugroho, A. Mulyani, dan E.

Suryani. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi

Lahan Untuk Komoditas Pertanian (Edisi

Revisi). Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan

Page 13: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

116 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:107-116

Pertanian, Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Bogor.

Samaullah Yamin. 2009. IP Padi 400. Pers

Release.

Setyowati I dan Kurniawati S, 2015, Preferensi

masyarakat terhadap karakter nasi varietas

unggul baru padi: Kasus di Kecamatan

Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten, Pros

Sem Nas Masy Biodiv Indon, 1 (4): 889-893

Shereen, A., H. E. ElDeeb., and D. M. Atiya. 2011.

A New Model for Automatic Raster-to-

Vector Conversion.International Journal of

Engineering and Technology, 3 (3), 2011:

182-190.

Suastika IBK, Kamandalu AANB dan Aryawai

SAN, 2016, Peranan UPBS BPTP Bali

dalam Produksi dan Distribusi Benih

Sumber Padi Mendukung Kedaulatan

Pangan di Provinsi Bali, Prosiding Seminar

Nasional Inovasi Teknologi Pertanian,

Banjarbaru, 20 Juli 2016

Supriatna A, 2012, Meningkatkan Indeks

Pertanaman Padi Sawah Menuju Padi IP

400, Agrin. 16 (1): 1 – 18.

Sutopo L, 2002, Teknologi Benih, Rajawali Press,

Jakarta, 245 hal.

Tomlinson, R. F. 1968. A Geographical

Information System for Regional Planning.

Papers of a CSIRO Symposium Organized

in Cooperation with UNESCO 26-31 August

1968. Macmillan of Australia: 200-210.

Wahab MI, Satoto, Rachmat R, Guswara A, dan

Suhama, 2017, Deskripsi Varietas Unggul

Baru Padi, Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Kementerian

Pertanian.

Wirosoedarmo, R., Rahadi, B., dan Sasmito, D. A.

2007. Penggunaan Sistem Informasi

Geografi (SIG) Pada Penentuan Lahan Kritis

di Wilayah Sub DAS Lesti Kabupaten

Malang. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian

Indonesia. Edisi Khusus, No. 3. 2007: 452-

456.

Yang DS, Lee KS, Kays SJ, 2010, Characterization

and discrimination of premium-quality,

waxy and black pigmented rise based on

odoractive compounds. J Sci Food Agric,

DOI: 10.1002/jsfa.4126.

Page 14: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

117 Produksi dan Pola Distribusi Benih Sumber Padi UPBS di Provinsi Bengkulu (Yahumri,

Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D)

PRODUKSI DAN POLA DISTRIBUSI BENIH SUMBER PADI UPBS DI PROVINSI BENGKULU

Yahumri, Yuliasari, S., Artanti, H. dan Musaddad, D

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang Kota Bengkulu

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Production And Distribution Scheme Seeds Source Of Paddy By Ssmu In Bengkulu Province. Source Seed

Management Unit (SSMU) in Assessment Institute of Agricultural Technology (AIAT) Bengkulu has a mandate to

produce FS and SS grade seed sources with a number and varieties that are according of needs, demands,

preferences and characteristics of agroecosystems and local socio-culture. The availability of seeds with principle

6 precises at the farmer level plays an important role, and this is inseparable from the role of the large seed

breeders. In order to establish sustainable continuity between producers and technology users, especially varieties,

the provision of sustainable source seeds is one of the most important activities. In an effort to ensure the

availability of quality seeds from high-yielding varieties and to increase their use among farmers, the development

program of seedlings from upstream to downstream must be more directed, integrated and sustainable. This aims

of the study was to evaluate the production aspects and distribution patterns of source seeds produced by SSMU in

AIAT Bengkulu to meet the needs of rice seed sources in Bengkulu Province in 2017. The evaluation is focused on

production aspects and patterns of seed distribution to users. Data tabulated and analyzed descriptively based on

percentage. The results revealed that the UPBS seed production process in 2017 carried out in Seluma District and

Bengkulu City gave the results of VUB rice seeds with SS seed classes of 3,530 kg or 50.43% compared to the

production target of 7 tons. The pattern of seed distribution is carried out through two ways, commercialization

and assistance. Distribution of rice seeds in SSMU AIAT Bengkulu in 2017 included production seeds in 2016 as

many as 1,720 kg (21.46%) through commercialization and 2,674 kg (33.36%) through assistance, and production

seeds in 2017 for 1,035 kg through commercialization.

Keywords: Paddy, source seeds, production, pollen patterns

ABSTRAK

Unit Pengelola Benih sumber (UPBS) di BPTP mempunyai mandat untuk menghasilkan benih sumber kelas FS

dan SS dengan jumlah dan varietas yang disesuaikan dengan kebutuhan, permintaan, preferensi serta karakteristik

agroekosistem dan sosial budaya setempat. Ketersediaan benih dengan prinsip 6 tepat ditingkat petani memegang

peranan penting, dan hal ini tidak terlepas dari peranan para penangkar benih yang cukup besar. Agar terjalin

kesinambungan yang berlanjut antara penghasil dengan pengguna teknologi utamanya varietas, maka penyediaan

benih sumber yang berkelanjutan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting. Dalam upaya menjamin

ketersediaan benih bermutu dari varietas unggul serta meningkatkan penggunaannya di kalangan petani maka

program pengembangan perbenihan dari hulu sampai hilir harus lebih terarah, terpadu, dan berkesinambungan.

Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi aspek produksi dan pola distribusi benih sumber yang dihasilkan oleh

UPBS BPTP Balitbangtan Bengkulu terhadap pemenuhan kebutuhan benih sumber tanaman padi di Provinsi

Bengkulu tahun 2017. Evaluasi difokuskan pada aspek produksi dan pola distribusi benih ke pengguna. Data

ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif berdasarkan persentase. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa proses

produksi benih UPBS tahun 2017 yang dilaksanakan di Kabupaten Seluma dan Kota Bengkulu memberikan hasil

benih padi VUB dengan kelas benih SS sebanyak 3.530 kg atau 50,43% dibandingkan target produksi sebanyak 7

ton. Pola distribusi benih dilakukan melalaui dua cara, yaitu komersialisasi dan bantuan. Distribusi benih padi

UPBS BPTP Bengkulu pada tahun 2017 meliputi benih produksi Tahun 2016 sebanyak 1.720 kg (21,46%) melalui

Page 15: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

118

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:11-19

komersialisasi dan 2.674 kg (33,36%) melalui pemberian bantuan, serta benih produksi Tahun 2017 sebanyak

1.035 kg melalui komersialisasi.

Kata kunci: Padi, benih sumber, produksi, polasebuk sari

PENDAHULUAN

Benih merupakan salah satu komponen

produksi yang mempunyai kontribusi cukup besar

dalam peningkatan produktivitas tanaman padi.

Penggunaan dan varietas unggul dan bermutu

tinggi yang berdaya hasil tinggi, responsif terhadap

pemupukan dan toleran terhadap serangan hama

penyakit utama telah memberikan manfaat berupa

pertumbuhan tanaman yang seragam,

menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang

banyak, masak dan panen serempak dan

produktivitas tinggi sehingga dapat meningkatkan

produksi padi yang akhirnya memberikan

sumbangan pada pendapatan usahatani, efisiensi

produksi, dan kecukupan pangan (Nugraha, et al.,

2007; Suprihatno et al., 2010; Wahyuni, 2011;

Yusuf, 2012). Selanjutnya, penggunaan benih

unggul menunjukkan kontribusi terbesar terhadap

produksi dibandingkan dengan penerapan

teknologi lainnya (Saryoko, 2009; Badan Litbang

Pertanian, 2011).

Sistem perbenihan yang tangguh

(produktif, efisien, berdaya saing, dan

berkelanjutan) sangat diperlukan untuk mendukung

upaya peningkatan penyediaan benih padi dan

peningkatan produksi beras nasional. Produksi

benih bersertifikat di Indonesia sekitar 60% (tahun

2014) dari total kebutuhan benih potensial

(Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan 2015).

Produksi benih besertifikat Indonesia

tertinggi di Asia. Perbandingan produksi benih

padi bersertifikat di India 13,5%, Pakistan 5%,

Bangladesh 4%, Vietnam 8%. Implikasinya adalah

akan sangat tidak realistis bila kita mengharapkan

sektor formal menyediakan 100% benih

(bersertifikat) untuk memenuhi semua kebutuhan

benih padi. Bahkan di negara-negara yang

pertaniannya telah sangat maju sekalipun, sektor

perbenihan informal masih tetap menunjukkan

kontribusi penting dalam penyediaan benih

varietas unggul baru (Suparman, 2016).

Selain tersedia benih dalam jumlah yang

cukup, untuk mendorong percepatan penggunaan

benih bermutu diperlukan upaya penangkaran dan

sertifikasi benih. UPBS dilembaga sebagai bentuk

tindakan reponsif atas lemahnya kinerja

kelembagaan perbenihan di daerah, kurangnya

promosi dan diseminasi VUB oleh sumber inovasi,

serta minimnya stok dan logistik benih VUB

spesifik lokasi. Sejak tahun 2007, Badan Litbang

Pertanian, melalui BPTP sebagai unit pelaksana

teknis terdepan di daerah, melakukan

pengembangan dan pembinaan penangkaran benih

padi untuk mendukung industri benih padi melalui

pembentukan Unit Pengelola Benih Sumber

(UPBS) di setiap BPTP. Selanjutnya UPBS

diharapkan mampu menyediakan benih bermutu

sesuai kebutuhan daerah, mensosialisasikan

varietas unggul baru (VUB) yang dihasilkan Badan

Litbang Pertanian dan mendapatkan umpan balik

mengenai preferensi pengguna (Supriatna et al.,

2011). UPBS di BPTP mempunyai mandat untuk

menghasilkan benih sumber kelas FS dan SS

dengan jumlah dan varietas yang disesuaikan

dengan kebutuhan, permintaan, preferensi serta

karakteristik agroekosistem dan sosial budaya

setempat (BBP2TP, 2013).

Produksi benih yang efektif dan efisien

dengan memperhatikan jaminan mutu dalam skala

komersial dapat terwujud melalui suatu industri

benih dengan sistem manajemen mutu yang

memadai. Sektor perbenihan informal yang

menyediakan benih baru yang berasal dari

penangkar atau petani sendiri juga sebaiknya tidak

Page 16: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

119 Produksi dan Pola Distribusi Benih Sumber Padi UPBS di Provinsi Bengkulu (Yahumri,

Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D)

diabaikan, karena sektor ini merupakan sumber

benih yang mensuplai sekitar 60% benih padi bagi

petani. Agar benih varietas unggul baru sampai

kepada para petani melalui sektor informal, maka

perlu mendapat perhatian semua pihak yang terkait

dengan upaya peningkatan produksi padi melalui

adopsi variets unggul (Nugraha, 2013).

Total benih yang diproduksi oleh

Lembaga/Instansi/Perusahaan Perbenihan di

Provinsi Bengkulu pada tahun 2015 hanya sebesar

121,95 ton dengan luas lahan penangkaran sebesar

115,21 ha. Dari total produksi benih tersebut tidak

semua calon benih lulus seleksi. Jumlah benih

berlabel yang diproduksi pada tahun 2015 hanya

sebanyak 58,21 ton, sedangkan kebutuhan benih

mencapai 3.471,19 ton. Ini berarti jumlah benih

yang diproduksi oleh lembaga perbenihan yang ada

di Provinsi Bengkulu pada tahun 2015 hanya

mampu memenuhi sebanyak 1,7% dari total

kebutuhan benih di Provinsi Bengkulu tahun 2015.

Upaya yang dapat dilakukan untuk dapat

meningkatkan kontribusi pemenuhan kebutuhan

benih padi di Provinsi Bengkulu adalah dengan

mempercepat proses produksi dan distribusi benih

padi Varietas Unggul Baru (VUB) kepada

pengguna. Untuk meningkatan produktivitas dalam

proses produksi diperlukan penerapan teknologi

dengan pendekatan teknolgi PTT dan rekomendasi

Kalender Tanam (KATAM) Terpadu Moder

terutama rekomendasi pemupukan. Tujuan dari

penulisan ini adalah untuk mengevaluasi aspek

produksi dan pola distribusi benih sumber yang

dilakukan dalam kegiatan penangkaran benih padi

yang dilakukan oleh UPBS BPTP Balitbangtan

Bengkulu.

METODE

Lokasi penangkaran UPBS BPTP

Bengkulu tahun 2017 berada di Kabupaten Seluma

dan Kota Bengkulu. Produksi benih sumber

dilakukan pola kerjasama dengan petani

penangkar. Sistem kerjasama yang disepakati

antara UPBS BPTP Bengkulu dan petani

kooperator di lokasi penangkaran di Kabupaten

Seluma adalah sistem bagi hasil dengan

perbandingan 70:30 (petani : UPBS BPTP

Bengkulu) dalam bentuk Gabah Kering Panen.

Lokasi penangkaran di Kota Bengkulu yang

digunakan untuk kegiatan UPBS BPTP

Balitbangtan Bengkulu pada Tahun 2017 adalah

lahan sawah milik Balai Benih Dinas Pangan dan

Pertanian Kota Bengkulu. Sistem kerjasama yang

disepakati dalam kontrak kerjasama antara UPBS

BPTP Balitbangtan Bengkulu dan Dinas Pangan

dan Pertanian Kota Bengkulu adalah bagi hasil

dengan perbandingan 2:1 (UPBS BPTP

Balitbangtan Bengkulu : Dinas).

Kegiatan penangkaran padi pada lahan

UPBS dilakukan dengan pendekatan 2 komponen

teknologi utama yaitu Teknologi Pengelolaan

Tanaman Terpadu (PTT) dan Kalender Tanam

(KATAM). Komponen PTT dan teknologi yang

diterapkan disajikan pada Tabel 1.

Tahapan budidaya padi diawali dengan

penyiapan lahan. Secara umum pengolahan tanah

meliputi 3 fase, yaitu (1) Penggenangan tanah

sawah sampai tanah jenuh air, (2) Pembajakan

sebagai awal pemecahan bongkah dan membalik

tanah, dan (3) Penggaruan untuk menghancurkan

dan melumpurkan tanah. Ketiga fase pengolahan

tanah tersebut menggunakan 1/3 kebutuhan air dari

total kebutuhan air selama pertumbuhan tanaman.

Pengolahan tanah dengan cara basah yaitu tanah

sawah dibajak dalam keadaan basah serta digaru

memanjang dan menyilang sampai tanah

melumpur dengan baik. Pengolahan tanah paling

lambat 15 hari sebelum pemindahan bibit.

Page 17: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

120

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:11-19

Penanaman dilakukan pada saat bibit

masih muda yaitu pada umur < 21 hari setelah

semai. Sistem tanam yang digunakan adalah sistem

tanam jajar legowo (Jarwo) 2 : 1. Manfaat yang

dapat diperoleh petani dengan menggunakan

sistem tanam jarwo, antara lain semua barisan

rumpun tanaman berada pada bagian pinggir yang

biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman

pinggir), serta memberikan kesempatan yang sama

pada setiap tanaman dalam memperoleh sinar

matahari. Dengan demikian, pertumbuhan tanaman

lebih baik dan serempak. Pertumbuhan tanaman

yang baik tersebut dapat meningkatkan

produktivitas tanaman. Berbeda dengan sistem

tanam tegel yang barisan tanamannya rapat,

sehingga ketika tanaman padi sudah mulai tinggi

dan besar, tanaman yang berada ditengah kurang

mendapatkan sinar matahari sehingga pertumbuhan

tidak serempak.

Pengendalian hama, penyakit dan gulma

lebih mudah. Dengan sistem tanam jarwo, pangkal

tanaman tidak ternaungi karena sinar matahari

langsung dapat menyinari bagian pangkal tanaman.

Dengan keadaan seperti demikian, hama/penyakit

dan gulma yang dapat hidup dalam suasana lembab

seperti wereng dapat ditekan keberadaannya.

Penggunaan pupuk lebih berdaya guna.

Pemberian pupuk yang dilakukan pada sistem

tanam jarwo yaitu pupuk hanya ditaburkan

ditengah barisan antara tanaman. Jika pupuk

diberikan dengan cara ditaburkan di atas tanaman

seperti yang biasa petani lakukan justru membuat

pupuk banyak yang menempel pada tengah batang

tanaman, sehingga pupuk yang diperlukan lebih

banyak. Selainitu, pemberian pupuk dengan sistem

legowo dapat menghambat pertumbuhan gulma

karena pupuk hanya diberikan ditengah baris

dalam pertanaman saja, sedangkan pada baris

legowonya tidak. Dengan demikian gulma yang

berada di sekitar baris legowo pertumbuhannya

tidak terlalu pesat karena kurang menyerap pupuk.

Pemeliharaan pertanaman padi meliputi

pemupukan, pengendalian gulma, pengairan dan

pengendalian hama/penyakit. Pemupukan dibagi

menjadi tiga tahap. Pemupukan pertama diberikan

pada saat umur tanaman 7-14 hst. Pada saat itu

perakaran tanaman padi sudah mulai berkembang

Tabel 1. Komponen PTT dan teknologi yang diterapkan pada kegiatan penangkaran UPBS BPTP Bengkulu

tahun 2017.

No Komponen PTT Teknologi Yang Diterapkan

1 Varietas Unggul Baru Inpari 6, Inpari 30, Inpari 23, Inpari 32, dan Situ

Bagendit

2 Bibit bermutu dan sehat Kelas benih FS (label putih)

3 Pengaturan cara tanam (jajar legowo) Legowo 2:1 dengan jarak tanam (20 cm – 40 cm) x

10 cm.

4 Penggunaan bibit muda Umur kurang dari 21 hari setelah semai

5 Jumlah bibit per lubang 1-3 batang

6 Pemupukan berimbang dan efisien

menggunakan PUTS dan Rekomendasi

Katam

Rekomendasi Kalender Tanam:

Kecamatan Talo Kecil: NPK Phonska 350 kg/ha dan

Urea 100 kg/ha. Kota Bengkulu: Urea 250 kg, TSP

100 kg, KCl 50 kg

7 Pengendalian hama dan penyakit

tanaman

Terpadu

8 Pengolahan Tanah Olah tanah sempurna (maximum tillage)

9 Pengelolaan air Berselang (intermitten)

10 Penanganan panen dan pascapanen Tepat waktu dan segera dirontok

Page 18: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

121 Produksi dan Pola Distribusi Benih Sumber Padi UPBS di Provinsi Bengkulu (Yahumri,

Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D)

dan siap menghisap pupuk yang diberikan walau

dalam jumlah sedikit. Pemupukan kedua pada saat

umur tanaman 21-28 hst dan pemupukan ketiga

pada saat 35-40 hst. Rekomendasi dosis

pemupukan ditentukan berdasarkan hasil analisis

tanah awal dan pendekatan Kalender Tanam

(KATAM). Rekomendasi pemupukan di

Kecamatan Talo Kecil Kabupaten Seluma adalah

NPK 350 kg/ha, Urea 50 kg/ha, dan Za 50 kg/ha,

sedangkan di Kecamatan Sungai Serut Kota

Bengkulu Urea 250 kg/ha, TSP 100 kg/ha dan KCl

50 kg/ha.

Pengumpulan data primer yang terdiri dari

data produksi dan distribusi benih sumber ke

pengguna. Data produksi diperoleh dari hasil riil

dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP)

berdasarkan luas masing-masing varietas yang

ditanam, dikumpulkan dari petani kooperator. Data

Distribusi diperoleh dari data base yang ada di

UPBS BPTP Balitbangtan Bengkulu. Selanjutnya

data primer ditabulasi dan dianalisis secara

proporsional berdasarkan persentase. Untuk

menjawab tujuan yang ingin dicapai dilakukan

analisis deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada umur pertanaman padi sekitar 45-50

hst telah dilakukan pemeriksaan lapang (roguing

tahap I) dengan melibatkan petugas lapang BPSB-

TPH. Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap

masing-masing varietas padi di lahan penangkaran

di Desa Taba Kecamatan Talo Kecil Kabupaten

Seluma dan Kelurahan Semarang kecamatan

Sungai Serut Kota Bengkulu disajikan pada Tabel

2.

Tabel 2. Hasil pengamatan OPT pada tanaman padi di lahan penangkaran

Varietas Serangan Hama dan

Penyakit Tanaman

Tingkat

Serangan

Tindakan yang dilakukan

Inpari 23 Tikus

Hawar daun jingga

Sedang

Sedang

Dibasmi dengan racun, belum

sistematis perlu pengendalian serius

Dilakukan penyemprotan

Inpari 30 Ulat daun Ringan Dilakukan penyemprotan

Inpari 6 Tidak ada serangan - -

Situbagendit Hawar daun jingga Sedang Dilakukan penyemprotan

Inpari 32 Tikus dan burung Sedang Tikus dibasmi dengan racun, belum

sistematis perlu pengendalian serius

Tabel 3. Jumlah produksi dan bagi hasil benih padi kegiatan UPBS Tahun 2017

No. Varietas Luas

Penangkaran

(ha)

Jumlah produksi

riil

(kg GKP)

Bagi Hasil yang

diterima UPBS

(kg GKP)

Persentase

Bagi Hasil

(%)

1. Inpari 32 0,84 1.728 1.248 72,22

2. Inpari 6 1,00 3.360 629 18,72

3. Inpari 23 1,90 4.700 1.122 23,87

4. Inpari 30 1,08 2.640 368 13,94

5. Situ Bagendit 2,06 3.300 788 23,88

4.155

Sumber : Data primer, 2017.

Page 19: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

122

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:11-19

Hawar daun bakteri (HBD) merupakan

penyakit bakteri yang tersebar luas dan

menurunkan hasil sampai 36%. Penyakit terjadi

pada saat musim hujan atau musim kemarau yang

basah, terutama pada lahan sawah yang selalu

tergenang, dan dipupuk N tinggi (> 250 kg

Urea/ha). Hawar merupakan gejala yang paling

umum pada tanaman yang telah mencapai fase

tumbuh dan sampai fase pemasakan. Gejala

diawali dengan timbulnya bercak abu-abu

(kekuningan) umumnya pada tepi daun. Dalam

perkembangannya gejala meluas, membentuk

hawar, dan akhirnya daun mengering. Dalam

keadaan lembab (terutama pagi hari), kelompok

bakteri, berupa butiran berwarna kuning keemasan,

dapat dengan mudah ditemukan pada daun-daun

yang menunjukkan gejala hawar. Dengan bantuan

angin, gesekkan antar daun, dan percikan air hujan,

massa bakteri ini berfungsi sebagai alat penyebar

penyakit HDB. Saran yang diberikan kepada petani

adalah untuk mengurangi penggunaan urea, serta

menerapkan sistem pengairan intermitten (genang-

kering) sehingga kelembaban yang terjadi di

bagian bawah tanaman dapat berkurang.

Penyakit HDB secara efektif dikendalikan

dengan varietas tahan; pemupukan lengkap; dan

pengaturan air. Untuk daerah-daerah yang endemis

penyakit HDB, tanam varietas tahan seperti code

dan angke dan gunakan pupuk NPK dalam dosis

yang tepat. Bila memungkinkan, hindari

penggenangan yang terus menerus, misalkan 1 hari

digenangi dan 3 hari dikeringkan. Salah satu

keunggulan dari padi varietas Inpari 6, 23, dan 30

adalah daun yang tegak sehingga seluruh batang

tanaman dapat terkena sinar matahari yang

menyebabkan kelembaban di area bawah tanaman

sedikit saja.

Penyakit ini dikendalikan melalui

penanaman varietas tahan secara bergantian untuk

mengantisipasi perubahan ras blas yang sangat

cepat, dan pemupukan NPK yang tepat.

Penanaman dalam waktu yang tepat dan perlakuan

benih dapat pula diupay. Bila diperlukan dapat

menggunakan fungisida yang berbahan aktif metil

tiofanat, fosdifen, atau kasugamisin.

Proses produksi benih UPBS tahun 2017

yang dilaksanakan di Kabupaten Seluma dan Kota

Bengkulu memberikan hasil benih padi VUB

dengan kelas benih SS sebanyak 3.530 kg atau

50,43% dibandingkan target produksi sebanyak 7

ton. Rendahnya produksi benih tersebut

disebabkan beberapa spot pertanaman diserang

oleh hama tikus dan mengalami kekeringan, karena

debit air pada saluran irigasi sangat kecil akibat

musim kemarau sehingga air tidak dapat mencapai

lokasi lahan pertanaman padi. Direktorat

Perlindungan Tanaman Pangan (2015) melaporkan

bahwa 445.001 ha sawah terserang OPT dan 2.424

ha mengalami gagal panen. OPT menyebabkan

kehilangan hasil antara 24-41% (Savary dan

Willocquet 2000; Sparks et al. 2012) atau rata-rata

37% (Sparks et al. 2012). Tanaman yang

mengalami kekeringan pada fase pertumbuhan

vegetatif maun generatif juga dapat menurunkan

produksi tanaman padi yang ditangkarkan. Kondisi

ini dikarenakan pada saat padi ditanam bulan

periode April-September, dimana pada kondisi

tersebut tanaman mengalami kekeringan, menurut

Kamandalu, et al. (2010)

Tabel 4. Produksi benih sumber padi VUB melalui kegiatan UPBS BPTP Balitbangtan Bengkulu tahun 2017.

No. Varietas Kelas Benih Jumlah

(kg GKG)

1. Inpari 32 SS 1.035

2. Inpari 6 SS 555

3. Inpari 23 SS 930

4. Inpari 30 SS 310

5. Situ Bagendit SS 700

Jumlah (Kg GKG) 3.530

Sumber : Data primer, 2017

Page 20: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

123 Produksi dan Pola Distribusi Benih Sumber Padi UPBS di Provinsi Bengkulu (Yahumri,

Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D)

Tab

el 5. R

incian

pen

distrib

usian

VU

B p

adi U

PB

S B

PT

P B

engkulu

tahun 2

016

-2017.

Varietas

Tah

un

Pro

duksi

Kelas

Ben

ih

Jum

lah y

ang d

iko

mersialisasik

an

Jum

lah y

ang d

iberik

an d

alam b

entu

k b

antu

an

Pen

gguna

Jum

lah

(kg)

Pen

gguna

Jum

lah (k

g)

Inpari 3

0

2016

FS

Kelo

mpo

k T

ani

K

egiatan

Disp

lay V

UB

pad

i di K

abupaten

Selu

ma

995

185

K

elom

po

k T

ani M

ekar

Sari M

uko

mu

ko d

an

Kep

ahian

g

M

ahasiw

a Univ

ersitas

Ben

gkulu

D

inas P

ertanian

Kab

up

aten L

ebo

ng

150

15

2.0

00

Inpari 6

2016

FS

Kelo

mpo

k T

ani d

i Kota

Ben

gkulu

K

egiatan

Disp

lay V

UB

pad

i di K

abupaten

Selu

ma

40

95

K

elom

po

k T

ani d

i

Kab

up

aten S

elum

a

M

ahasiw

a Univ

ersitas

Ben

gkulu

50

5

Giliran

g

2016

FS

Kelo

mpo

k T

ani d

i Kab

upaten

Selu

ma

95

- -

Situ

Bag

endit

2016

FS

Kelo

mpo

k T

ani d

i Kota

Ben

gkulu

, Kab

upaten

Ben

gkulu

Ten

gah

dan

Ben

gkulu

Utara

K

egiatan

Disp

lay V

UB

pad

i di K

abupaten

Selu

ma d

alam ran

gka

pen

ingkatan

IP P

adi

185

125

M

ahasiw

a Univ

ersitas

Ben

gkulu

B

alai Ben

ih K

abupaten

Leb

on

g

D

inas P

ertanian

Kab

up

aten L

ebo

ng

5

210

239

Ju

mla

h

1.7

20

2.6

74

Inpari 3

2

2017

SS

Kelo

mpo

k T

ani d

i Kota B

engkulu

,

Kab

upaten

Ben

gkulu

Ten

gah

,

Muko

mu

ko d

an B

engkulu

Selatan

1.0

35

-

-

Inpari 6

2017

SS

- -

- -

Inpari 2

3

2017

SS

-

- -

-

Inpari 3

0

2017

SS

-

- -

-

Situ

Bag

endit

2017

SS

-

- -

-

Ju

mla

h

1.0

35

-

Sum

ber: D

ata prim

er, 20

17.

Page 21: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

124

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:11-19

kondisi kekeringan pada fase generative dapat

berpengaruh terhadap kehampaan gabah dan hasil

akhir, sehingga bobot 1000 butir gabah lebih

rendah dibandingkan yang dicapai BB Padi

(Suprihatno et al., 2011).

Selain itu, penerapan sistem kerjasama

bagi hasil semakin memperkecil jumlah bagi hasil

yang diterima oleh UPBS. Produksi benih sumber

padi melalui kegiatan UPBS BPTP tahun 2017

disajikan pada Tabel 3.

Kegiatan yang dapat dilakukan untuk

promosi dan distribusi hasil benih UPBS BPTP

Bengkulu, antara lain (1) Melakukan promosi

benih bersama dengan Dinas, penangkar, penjual

beras dan masyarakat (2) Pemberian bantuan benih

kepada petani melalui dinas pertanian

kabupaten/kota dan/atau badan pelaksana

penyuluhan pertanian kabupaten/kota setempat

untuk dimanfaatkan dalam kegiatan uji adaptasi

varietas, demonstrasi benih unggul (dembul),

demplot, display varietas unggul baru (VUB), kaji

terap varietas unggul, dan sebagainya, dan (3)

Monitoring oleh UPBS dalam hal pemanfaatan

benih bantuan perlu dilakukan agar tepat sasaran.

Jumlah benih sumber yang telah didistribusikan

oleh UPBS BPTP Bengkulu pada tahun 2017

meliputi benih produksi Tahun 2016 sebanyak

1.720 kg (21,46%) melalui komersialisasi dan

2.674 kg (33,36%) melalui pemberian bantuan,

serta benih produksi Tahun 2017 sebanyak 1.035

kg melalui komersialisasi. Benih produksi Tahun

2017 sebanyak 1.035 kg tersebut mampu

mencukupi kebutuhan benih padi sawah irigasi

seluas 25.875 Ha yang tersebar di beberapa

Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu, antara lain

Kota bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah,

Bengkulu Selatan, Mukomuko dan Lebong.

Rincian pendistribusian dan stok benih padi VUB

UPBS BPTP Bengkulu per 31 Desember 2017

disajikan pada Tabel 5.

KESIMPULAN

Produksi benih sumber UPBS yang

dilaksanakan di Kabupaten Seluma dan Kota

Bengkulu berhasil memproduksi benih padi VUB

dengan kelas benih SS. Varietas benih yang

dihasilkan meliputi Inpari 32, Inpari 6 Inpari 23,

Inpari 30 dan Situ Bagendit

Pola distribusi benih sumber padi

UPBS di Provinsi Bengkulu dilakukan melalui dua

cara, yaitu Pertama, pola komersialisasi dan Kedua

dengan pola bantuan. Benih UPBS yang

didistribusikan adalah meliputi produksi benih

tahun 2016 dan tahun 2017.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

atas pembiayaan yang diberikan melalui program

kerjasama (KKP3SL) TA. 2016 pada kegiatan

Kajian Efisiensi Usahatani Bawang Merah Menuju

Ramah Lingkungan di Jawa Tengah. Ucapan

terimakasih juga disampaikan kepada: 1) Dr.

Bambang Prayudi yang telah purna tugas atas

segala bimbingan dan masukan selama

pelaksanaan kegiatan, dan 2) Prof. Suwandi dari

Balitsa dan S. Endang Ambarwati, SP., MSi atas

kerjasama selama pelaksanaan kegiatan di

Kabupaten Demak.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian. 2013. Petunjuk

Pelaksanaan UPBS. Balai Besar Pengkajian

dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Bogor.

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2015.

Laporan Kinerja Tahun 2014. Direktorat

Perlindungan Tanaman Pangan, Ditjen

Page 22: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

125 Produksi dan Pola Distribusi Benih Sumber Padi UPBS di Provinsi Bengkulu (Yahumri,

Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D)

Tanaman Pangan Kementerian Pertanian,

Jakarta.

Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan. 20015.

Kebijakan dan Strategi Pengembangan

Perbenihan Tanaman Pangan. Jakarta:

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.

Kamandalu, Suryawan, dan H.M. Toha. 2010.

Produktivitas beberapa varietas unggul baru

padi melalui pendekatan pengelolaan

tanaman dan sumberdaya terpadu. Proseding

Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi,

Balai Besar Peneltian Tanaman Padi-

Sukamandi. Buku 2: 539-548.

Nugraha, U.S. 2013. Perkembangan industri dan

kelembagaan perbenihan padi. 30p.

Nugraha, U.S, Sri Wahyuni, M.Y. Samaullah, dan

A. Ruskandar. 2007. Perbenihan di

Indonesia. Prosiding Hasil Penelitian Padi

Tahun 2007. Balai Besar Penelitian

Tanaman Padi. Subang – Jawa Barat.

Saryoko, A. 2009. Kajian Pendekatan Penanda

Padi (Rice Check) di Provinsi Banten.

Widyariset 12(2):43-52.

Savary, S. and L. Willocquet. 2000. Rice pest

constraints in tropical Asia: quantification of

yield losses due to rice pests in a range of

production situations. Plant Dis. 84(3): 357-

369.

Suparman, 2016. Kajian Produksi Benih Sumber

Padi UPBS BPTP Kalimantan Tengah.

Prosiding Seminar Nasional Inovasi

Teknologi Pertanian. Banjarbaru. Hal: 423-

428.

Supriatna, A., J. Mulyono, dan Zakiah. 2011.

Percepatan Pengembangan Varietas Unggul

Baru Padi melalui Unit Pengelola Benih

Sumber. Iptek Tanaman Pangan Vol. 6 (2):

203-216.

Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki

S.E., Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari,

I.P Wardana, dan H. Sembiring. 2010.

Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi-Jawa

Barat.

Suprihatno B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki,

S.E., I.P. Wardana, Suwarno, S. Dewi

Indrasari, E. Lubis, dan M.J. Mejaya. 2011.

Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar

Tanaman Padi. Sukamandi-Jawa Barat.

Sparks, A., A. Nelson, and N. Castilla. 2012.

Where rice pests and diseases do the most

damage. Rice Today Oct-Nov 2012.

International Rice Research Institute,

Philippines.

Yusuf, R. 2012. Kajian Teknologi Perbanyakan

Benih Unggul Padi Sawah Spesifik Lokasi

di Kabupaten Rokan Hulu. Prosiding

Seminar UR-UKM ke-7. ”Optimalisasi Riset

Sains dan Teknologi Dalam Pembangunan

Berkelanjutan”. Universitas Riau. Hal.:

174-176.

Wahyuni, S. 2011. Teknik Produksi Benih Sumber

Padi. Makalah disampaikan dalam

Workshop Evaluasi Kegiatan Pendampingan

SL-PTT 2001 dan Koordinasi UPBS 2012

tanggal 28-29 November 2011. Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi.

Page 23: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

126

Page 24: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

127 Prospek Pengembangan Microgreen Dalam Mendukung Pertanian Perkotaan di Jakarta

(Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati)

PROSPEK PENGEMBANGAN MICROGREEN DALAM MENDUKUNG PERTANIAN PERKOTAAN DI JAKARTA

Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta

Jalan Raya Ragunan No.30, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Microgreens Occasion Development to Support Jakarta’s Urban Farming. Microgreens are

vegetables, herbs or other plant consumed at very early stage when the cotyledon fully grown or true leaves not

shown up yet. Purpose of this review are to discover occasion development and some cultivation components of

microgreen appropriate to develop on urban area like Jakarta. This review explained key value and classification,

commodity, microgreen existing condition in Jakarta, household and commercial scale development of microgreens

also nutritional value between microgreens and plant that grown conventionally. This review also describe

cultivation technique in some countries that have already developed it. Generally, microgreens has great potential

and compatible to grown in Jakarta. However, there are still needs some action to develop microgreens such as food

safety counseling, local seeds production that free of hazardous chemicals and research about adaptive commodities

and how significant microgreens can affect nutrition and public health.

Keywords: microgreens, narrow land, sprouts, urban farming

ABSTRAK

Microgreen adalah tanaman sayuran, tanaman rempah atau tanaman lainnya yang dikonsumsi saat masih berumur

sangat muda yaitu saat kotiledon tanaman sudah berkembang sempurna atau saat daun sejati belum muncul (tinggi

tanaman 5 - 10 cm). Ulasan ini dlakukan untuk mengetahui prospek pengembangan dan teknologi budi daya

microgreen yang sesuai untuk dikembangkan di perkotaan khususnya daerah Jakarta. Ulasan ini menjelaskan

tentang definisi dan klasifikasi, komoditas, kondisi microgreen di Jakarta saat ini, pengembangan skala rumah

tangga dan komersial serta perbandingan nilai gizi microgreen dengan tanaman yang dibudidayakan secara

konvensional. Ulasan ini juga menjelaskan teknologi budi daya microgreen yang berkembang di beberapa negara

yang sudah lebih dulu mengembangkannya. Secara umum, microgreen cocok dan memiliki potensi yang besar

untuk dikembangkan di Jakarta namun masih perlu dilakukan beberapa kegiatan untuk melakukan pengembangan

microgreen seperti sosialisasi microgreen dan keamanan pangannya, produksi benih bebas bahan kimia berbahaya

di dalam negeri dan penelitian mengenai komoditas yang adaptif dan seberapa signifikan microgreen dapat

memengaruhi tingkat gizi dan kesehatan masyarakat.

Kata kunci: kecambah, lahan sempit, microgreen, pertanian perkotaan

Page 25: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

128 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:127-135

PENDAHULUAN

Penyediaan buah dan sayur yang sehat

dengan nilai gizi yang seimbang dapat diupayakan

dengan budi daya tanaman yang dipanen saat

masih kecambah atau sering disebut dengan

microgreen. Microgreen adalah tanaman sayuran,

tanaman rempah atau tanaman lainnya yang

dikonsumsi saat masih berumur sangat muda yaitu

saat kotiledon tanaman sudah berkembang

sempurna atau saat daun sejati belum muncul

(tinggi tanaman 5-10 cm). Microgreen dikenal

karena variasi warna yang menarik, cita rasa yang

kuat dan mengandung senyawa bioaktif yang lebih

tinggi baik dari segi vitamin, mineral dan

antioksidan (Kou et al., 2013; Sun et al., 2013)

Menurut Waterland (2017), pada tanaman Kubis

hijau terdapat perbedaan signifikan pada total

kandungan mineral (K, Ca, Mg, P, Na, Fe, Mn, Zn

dan Cu) antara tanaman microgreen yang dipanen

saat kotiledon berkembang sempurna dan saat

memiliki 2 (dua) daun sejati dengan tanaman

dewasa yang dipanen pada saat terdapat 8

(delapan) atau lebih daun sejati. Pada penelitian

tersebut, tanaman microgreen yang dipanen saat

kotiledon berkembang sempurna dan memiliki 2

(dua) daun sejati mengandung ±17-18 %

kandungan mineral dari bobot keringnya,

sedangkan pada tanaman dewasa kandungan

mineral yang terkandung hanya ±5%. Hasil panen

microgreen umumnya diolah menjadi salad atau

pelengkap hidangan utama. Pemenuhan kebutuhan

microgreen di Jakarta disuplai dari daerah sekitar

Jakarta seperti Bekasi dan Bogor. Pelaku usaha

microgreen di Bekasi dan Bogor ini umumnya ada

pada skala komersial yang tujuan melakukan budi

daya untuk dijual bukan untuk dikonsumsi sendiri

seperti usaha skala rumah tangga.

Provinsi DKI Jakarta dengan luasan lahan

pertanian 1.137 ha yang hanya 0,008% dari luasan

lahan pertanian nasional di tahun 2015 (BPS,

2018), budi daya microgreen merupakan salah satu

solusi untuk melakukan budi daya berbagai

tanaman sayur, rempah ataupun tanaman lainnya

untuk daerah dengan lahan pertanian yang sangat

terbatas. budi daya microgreen dapat dilakukan di

pekarangan bahkan dalam rumah. Selain

pemeliharaan yang cukup praktis, teknik budi daya

ini juga hanya memerlukan waktu yang relatif

singkat. Tanaman microgeen ini tidak memerlukan

pengendalian hama menggunakan bahan kimia

yang berbahaya karena tanaman microgreen

umumnya dipanen pada umur tanaman yang sangat

muda sehingga tanaman microgreen ini aman

dikonsumsi serta bebas dari pestisida kimia

sintetik. Tujuan dari ulasan ini adalah untuk

mengetahui prospek pengembangan dan teknologi

budi daya microgreen yang sesuai untuk

dikembangkan di perkotaan khususnya daerah

Jakarta.

PROSPEK PENGEMBANGAN

MICROGREEN

Microgreen

Microgreen adalah tanaman yang dipanen

muda dan biasanya digunakan sebagai pelengkap

untuk memperindah warna dan memperkaya cita

rasa salad maupun sebagai garnish berbagai

macam hidangan utama. Berdasarkan ukuran dan

umurnya, terdapat 3 (tiga) klasifikasi tanaman

yang dipanen berumur muda yaitu: kecambah,

microgreen dan baby green. Kecambah adalah fase

yang paling muda dengan ukuran yang paling

kecil. Microgreen berukuran lebih besar

dibandingkan kecambah dan berumur lebih tua,

sedangkan baby green adalah yang berukuran

terbesar dan tertua di antara tanaman yang dipanen

muda. Microgreen dipanen saat sebelum tumbuh

daun sejati, sedangkan baby green dipanen setelah

tumbuh daun sejati. Microgreen dan baby green

sebenarnya tidak memiliki definisi baku dalam

penggunaannya. Microgreen dan baby green

merupakan istilah pasar yang berkembang di

lapangan untuk menjelaskan perbedaan fase dalam

waktu pemanenan tanaman (Treadwell et al.,

2010).

Jenis tanaman yang dikembangkan untuk

budi daya microgreen cukup bervariasi. Treadwell

et al. (2010) melaporkan terdapat sebanyak 80-100

jenis tanaman yang telah dicoba sebagai tanaman

Page 26: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

129 Prospek Pengembangan Microgreen Dalam Mendukung Pertanian Perkotaan di Jakarta

(Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati)

microgreen, antara lain: wortel, selada air, arugula,

basil, bawang lokio, adas, serai, jagung berondong,

soba, dan seledri. Komoditas yang benihnya

mudah dikecambahkan antara lain: kubis, bit,

bunga kol, mizuna, mustar, lobak, swiss chard dan

berbagai jenis bayam. Pada beberapa jenis bit,

benih disarankan untuk direndam terlebih dulu

untuk membantu proses perkecambahan

(Treadwell et al. 2010). Pengembangan

microgreen memiliki fokus untuk mendapatkan

kandungan mineral yang lebih tinggi untuk volume

dan bobot yang sama pada tanaman dewasa

(Weber, 2016). Selain untuk mendapatkan tanaman

yang kaya akan mineral, pengembangan

microgreen juga dilakukan untuk mempersingkat

waktu produksi dan mengurangi biaya produksi

(Murphy dan Pill, 2010)

Microgreen di Jakarta saat ini

Penggunaan microgreen sebagai bahan

makanan sudah cukup dikenal pada beberapa hotel,

restoran dan kafe di Jakarta namun secara umum

masih banyak masyarakat yang belum

mengenalnya. Microgreen umumnya digunakan

sebagai bahan baku salad atau bahan pelengkap

dari makanan utama. Kebutuhan microgreen untuk

daerah Jakarta saat ini masih disuplai dari daerah

Gambar 1. Contoh beberapa komoditas tanaman microgreen yang dikembangkan (berurutan dari kiri ke

kanan) adas/fennel; arugula; mizuna; dan soba/buckwheat

(Sumber : (berurutan dari kiri ke kanan) woolworths.co.au; medicalnewstoday.com; specialityproduce.com; dan

123RF.com)

Gambar 2. Microgreen sebagai bahan baku salad

(Sumber : vegetariantimes.com)

Page 27: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

130 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:127-135

di luar Jakarta seperti Bekasi, Bogor bahkan dari

Bandung. Microgreen memiliki pangsa pasar

khusus namun kontinyu. Microgreen sebagian

besar distribusikan ke hotel, restoran dan kafe.

Menurut Ramadhiani A., dalam Kompas (2018)

terdapat 815 hotel berbintang 4 dan 837 hotel

berbintang 5 di Jakarta. Jumlah hotel yang banyak

membuat usaha microgreen di Jakarta memiliki

potensi pasar yang sangat besar untuk terus

dikembangkan. Harga microgreen bervariasi

bergantung pada ukuran media tanam dan

komoditas yang digunakan. Salah satu pengusaha

microgreen yang ada di Bandung menjual

microgreen dengan harga Rp 25.000 – 35.000/pot

untuk microgreen komoditas tanaman sayuran dan

Rp 50.000/pot untuk microgreen komoditas

tanaman rempah. Harga yang cukup tinggi tentu

membuat microgreen memiliki potensi pasar untuk

diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut lagi

karena sampai pada saat ini masih sedikit pelaku

usahanya terutama usaha skala rumah tangga.

Keamanan pangan menjadi hal yang

esensial dalam pengembangan microgreen. Saat ini

di Indonesia beberapa perusahaan benih

menggunakan lapisan fungisida, insktisida atau

bahan kimia berbahaya sejenisnya untuk

melindungi benih dari serangan hama dan penyakit

sedangkan pada benih curah yang umumnya tidak

berlabel tidak terdapat perlakuan pelapisan bahan

kimia pada benih. Tindak lanjut dari masalah

keamanan pangan tersebut adalah penyediaan

benih yang bebas dari bahan kimia berbahaya

untuk dikonsumsi manusia. Selain perlakuan

pelapisan bahan kimia pada benih, disebutkan oleh

ECO City Farms (2010) masalah keamanan pangan

pada microgreen antara lain kontaminasi bakteri

oleh manusia, kontak serangga dan hewan lainnya

dengan tanaman serta akibat penanganan pasca

panen yang tidak tepat.

Pengembangan microgreen skala rumah tangga

dan skala komersial

Pengembangan budi daya microgreen tidak

terbatas pada skala komersial saja, microgreen

juga dapat dikembangkan pada skala yang lebih

kecil seperti skala rumah tangga. Belum ada pelaku

usaha microgreen baik skala rumah tangga ataupun

skala komersial di Jakarta. Padahal Jakarta

merupakan wilayah dengan potensi tinggi untuk

pengembangan budi daya microgreen karena budi

daya microgreen ini dapat dilakukan di

pekarangan, lahan sempit lainnya atau bahkan di

dalam rumah dengan bantuan cahaya lampu.

Pengembangan microgreen skala rumah tangga

dapat menjadi sayuran yang kaya mineral serta

dapat menjadi penghasilan tambahan bagi keluarga

bila hasilnya dipasarkan. Budi daya microgreen

dalam skala rumah tangga dapat dilakukan secara

Gambar 2. Budi daya microgreen skala komersial

(Sumber : tmagazine.blogs.nytimes.com)

Page 28: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

131 Prospek Pengembangan Microgreen Dalam Mendukung Pertanian Perkotaan di Jakarta

(Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati)

Gambar 4. Grafik perbandingan kandungan beberapa unsur mineral antara microgreen dan tanaman dewasa

pada tanaman selada (g/kg)

(Sumber: Pinto et al., 2015; 40)

sesederhana mungkin. Alat dan bahan yang

digunakan dapat memanfaatkan barang alternatif

tidak harus sama seperti alat dan bahan yang

digunakan pada skala komersial. Misal

penggunaan wadah tidak harus menggunakan tray

khusus untuk microgreen, bekas kemasan brownies

ataupun wadah lain sejenis pun dapat digunakan.

Microgreen dalam skala usaha komersial

dan bisnis, dikenal dengan istilah “sweet”, “mild”,

“colorful” dan “spicy” yang mewakili beberapa

karakter dari microgreen. Warna yang unik dan

menarik menjadi salah satu faktor tingginya nilai

ekonomis dari tanaman ini (Treadwell et al., 2010).

Menurut Ebert et al. (2015), paduan dan kombinasi

berbagai komoditas ataupun variasi berbagai

varietas dalam satu komoditas dilakukan guna

mendapatkan rasa, warna dan tekstur yang lebih

beragam. Target pemasaran microgreen lebih

kepada koki restoran atau toko makanan mewah.

Secara umum microgreen dikemas menggunakan

wadah plastik dengan berbagai macam ukuran

mulai dari 100 g, 200 g, sampai dengan 500 g.

Sebagai pembanding dengan di Indonesia, harga

jual microgreen di Amerika Serikat mencapai US$

30-50 untuk ukuran ± 500 g. Penentuan fase dan

teknik pemanenan yang tepat merupakan kunci

keberhasilan dalam usaha microgreen skala

komersial. Pengusaha microgreen harus

menggunakan jenis tanaman dengan laju

pertumbuhan yang tidak jauh berbeda, sehingga

tanaman microgreen dapat langsung dipanen

secara bersamaan (Treadwell et al., 2010).

Kandungan gizi microgreen

Pekembangan budi daya microgreen terus

meluas karena pada beberapa penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya membuktikan bahwa

tanaman microgreen memiliki kandungan gizi

yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman

dewasa yang dikembangkan secara konvensional.

Penelitian yang dilakukan oleh Janovska et al.

(2010) pada tanaman soba membuktikan adanya

kandungan antioksidan pada tanaman yang

dibudidayakan secara microgreen, serta kandungan

yang tinggi untuk flavonoid, karotenoid dan α-

tocopherol. Pinto et al., (2015) pada penelitian

yang dilakukannya pada tanaman selada juga

menunjukan adanya perbedaan yang signifikan

untuk kandungan mineral pada selada yang

dipanen dewasa dan microgreen.

Penelitian terakhir yang dilakukan oleh

Weber CF (2017) pada tanaman brokoli pun

menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Pada

penelitiannya, Weber CF (2017) menyatakan

bahwa tanaman brokoli dengan budi daya

microgreen memiliki kandungan P, K, Mg, Mn,

Zn, Fe, Ca, Na, dan Cu yang lebih tinggi

dibandingkan tanaman brokoli dewasa. Lebih dari

itu, Weber (2017) juga membandingkan beberapa

metode budi daya microgreen untuk mendapatkan

Page 29: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

132 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:127-135

kandungan mineral yang paling optimal. Metode

yang dibandingkan adalah metode budi daya

microgreen yang ditumbuhkan pada (C) kompos,

(HFG) Hyrophonics FloraGro (NFT), dan (HW)

hanya menggunakan air.

TEKNOLOGI BUDI DAYA MICROGREEN

Media tanam

Budi daya microgreen dapat dilakukan

tanpa tanah sebagai media tanamnya. Microgreen

dapat tumbuh baik pada media tanam yang gembur

dan harus dalam kondisi yang steril. Pada skala

usaha komersial, media tanam yang digunakan

adalah media lembaran seperti tikar atau karung

yang dapat diangkat dengan mudah dari wadah

sehingga akan memudahkan proses panen.

Menurut Treadwell et al. (2010), media tanam

yang baik digunakan untuk microgreen adalah

peat, cocopeat, perlite dan vermiculite. Ketebalan

atau tinggi media tanam bervariasi antara 1,25-5

cm bergantung dari ukuran wadah yang digunakan.

Gambar 5. Grafik perbandingan metode budi daya microgreen yang ditumbuhkan pada (C) kompos, (HFG)

Hyrophonics FloraGro (NFT), dan (HW) hanya menggunakan air

(Sumber : Weber CF, 2017; 5)

Gambar 6. Jenis media tanam pada budi daya microgreen (kiri) cocopeat; (kanan) vermiculite; dan perlite

(Sumber : (kiri) http://hidroponikstore.com ; dan (kanan) https://www.vertigro.com

Page 30: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

133 Prospek Pengembangan Microgreen Dalam Mendukung Pertanian Perkotaan di Jakarta

(Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati)

Penggunaan benih

Hal yang harus dilakukan dalam memilih

benih yang akan digunakan adalah memilih benih

yang bebas dari perlakuan pestisida, fungisida

ataupun bahan yang berbahaya lainnya. Menurut

Ebert et al. (2015) benih yang berasal dari semi

domestikasi ataupun varietas liar umumnya

memiliki kandungan fitonutrien yang tinggi, rasa

yang enak dan tekstur yang lembut. Pada fase

penyemaian, khususnya terkait dengan kerapatan

benih yang akan ditanam, kerapatan benih akan

berbeda-beda berdasarkan komoditas yang akan

ditanam tetapi yang perlu diperhatikan bila

ditanam terlalu rapat akan meningkatkan

kemungkinan serangan penyakit (Treadwell et al.

2010) seperti serangan cendawan. Murphy dan Pill

(2010) melakukan penelitian dan mendapatkan

hasil kerapatan penyemaian benih yang tepat untuk

meningkatkan bobot segar microgreen arugula

secara optimal yaitu dengan penyebaran 55g/m2

benih arugula. Perlu dilakukan penelitian yang

lebih spesifik pada masing-masing komoditas guna

mendapatkan kerapatan penyemaian benih untuk

mendapatkan hasil yang optimal.

Pemeliharaan tanaman

Pemeliharaan pada tanaman microgreen

sangat sedikit bahkan tanpa dilakukan

pemeliharaan, karena umur panennya yang singkat.

Kebutuhan air pada tanaman microgreen dipenuhi

dengan pengairan sistem pengkabutan sampai

dengan benih berkecambah. Selanjutnya, air

diberikan melalui perendaman sebagian media

tanam untuk menghindari kelembapan bagian tajuk

yang terlalu tinggi (Treadwell et al., 2010).

Alternatif lainnya seperti pada penelitian yang

dilakukan Murphy & Pill (2010) pemberian air

juga dapat dilakukan dengan melembabkan 2 g

air/g bobot kering media tanam (vermiculite).

Murphy & Pill (2010) menyatakan pada tanaman

microgreen arugula penyediaan hara dilakukan

dengan memberikan 75-150 mg N/l sedangkan

menurut Treadwell et al., (2010) microgreen

secara umum dapat diberikan hara dengan

konsentrasi 80 ppm N dengan merendam wadah

selama 30 detik dalam larutan hara tersebut.

Panen dan pasca panen

Panen microgreen dapat dilakukan pada

saat tinggi tanaman ± 5 cm atau sekitar 7-21 hari

setelah penyemaian bergantung pada jenis tanaman

yang dibudidayakan. Panen dapat dilakukan

dengan menggunakan gunting, pisau elektrik dan

alat pemangkas lainnya yang telah disterilkan

terlebih dulu (Kou et al., 2013; Treadwell et al.,

2010). Kegiatan sterilisasi alat panen dilakukan

bertujuan menghindari kontaminasi mikroba pada

alat pemangkas. Microgreen harus segera

dibersihkan dan disimpan pada udara yang sejuk

sesegera mungkin setelah dilakukan pemanenan

(Treadwell et al., 2010). Menurut hasil penelitian

yang dilakukan Kou et al., (2013) mengenai pasca

panen tanaman microgreen soba, untuk menekan

peningkatan populasi mikroba diperlukan suhu

penyimpanan 1-10˚C. Selain dengan kontrol suhu,

peningkatan populasi mikroba dapat ditekan

dengan menambahkan Klorin (Cl) dengan

konsentrasi 100 mg/l. Peningkatan populasi

mikroba terjadi signifikan pada 7 (tujuh) hari

setelah masa penyimpanan pada tanaman

microgreen yang dicuci setelah panen (Kou et al.,

2013) sehingga setelah dilakukan pemanenan

sebaiknya microgreen tidak dicuci.

ARAH PENGEMBANGAN MICROGREEN

DI JAKARTA

Jumlah hotel dan restoran yang banyak dan

sistem budi daya microgreen yang sederhana dan

singkat membuat budi daya microgreen memiliki

potensi yang besar untuk dikembangkan di wilayah

Jakarta. Perlu dilakukan beberapa upaya untuk

kegiatan pengembangan microgreen ini.

Pemerintah daerah bekerjasama dengan pemerintah

pusat perlu melakukan sosialisasi dan penyuluhan

mengenai keamanan pangan. Sosialisasi dan

penyuluhan ini sangat penting dilakukan sehingga

pelaku usaha microgreen di Jakarta dapat

menyajikan pangan yang aman dikonsumsi oleh

masyarakat. Keamanan pangan yang dimaksud

mencakup benih yang bebas dari bahan kimia

berbahaya serta microgreen segar yang bebas dari

bakteri, jamur maupun virus, baik yang disebabkan

Page 31: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

134 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:127-135

oleh serangan hama dan penyakit tanaman,

penanganan pasca panen yang tidak tepat maupun

teknik budi daya yang keliru (tumbuhnya jamur

akibat tajuk tanaman yang terlalu rapat dengan

kelembapan relatif yang tinggi).

Produksi benih bebas bahan kimia

berbahaya juga penting dilakukan sebab saat ini

pelaku usaha microgreen masih menggunakan

benih impor organik yang bebas bahan kimia

berbahaya dengan harga yang relatif tinggi.

Adanya benih bebas bahan kimia berbahaya yang

diproduksi dalam negeri tentu akan menambah

segmentasi pasar bagi produsen benih lokal, lebih

penting lagi produksi benih ini akan memancing

munculnya pelaku usaha microgreen baru sebab

akan menurunkan biaya produksi sehingga

keuntungan yang didapat menjadi lebih besar.

Kegiatan lain yang perlu dilakukan untuk

mendukung pengembangan microgreen ini adalah

penelitian mengenai komoditas lokal yang sesuai

untuk dikembangkan karena tidak semua

komoditas yang dikembangkan di luar negeri dapat

beradaptasi baik di Indoneia. Selanjutnya dapat

dilakukan penelitian mengenai berbagai komoditas

yang paling disukai masyarakat Indonesia sehingga

microgreen dibeli dan dikonsumsi masyarkat.

Penelitian mengenai kandungan mineral komoditas

lokal juga perlu dilakukan untuk mengetahui

kandungan mineral tanaman microgreen dan

sejauh apa pengaruhnya untuk meningkatkan gizi

dan kesehatan masyarakat.

Secara umum, microgreen cocok

dikembangkan di wilayah Jakarta yang memiliki

lahan pertanian yang sangat terbatas sebab

microgreen dapat dikembangkan pada lahan

sempit dan di dalam ruangan. Selain tidak

memerlukan area yang luas, budi daya microgreen

juga sederhana dan relatif singkat. Arah

pengembangan di Jakarta saat ini dilakukan dengan

pengenalan microgreen serta aspek keamanan

pangannya. Di samping itu juga dibutuhkan

penyediaan benih non-impor yang bebas bahan

kimia berbahaya serta penelitian mengenai

komoditas yang adaptif dan seberapa signifikan

microgreen dapat memengaruhi tingkat gizi dan

kesehatan masyarakat.

KESIMPULAN

Pengembangan budi daya microgreen di

Jakarta cukup prospektif, karena selain tidak

membutuhkan lahan pertanian yang luas, budi daya

microgreen memerlukan waktu yang relatif

singkat. Hasil panen tanaman microgreen dapat

disalurkan sebagai bahan baku salad ke berbagai

hotel, restoran dan kafe yang ada di wilayah

Jakarta. Perlu dilakukan beberapa kegiatan untuk

melakukan pengembangan microgreen seperti

sosialisai microgreen dan keamanan pangannya,

produksi benih bebas bahan kimia berbahaya di

dalam negeri dan penelitian mengenai komoditas

yang adaptif dan seberapa signifikan microgreen

dapat memengaruhi tingkat gizi dan kesehatan

masyarakat.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

Dr. Sumedi, S.P., M.Si., dan Dr. Ana Feronika

Cindra Irawati, S.P., M.P., serta peneliti BPTP

Jakarta dan peneliti BBP2TP yang telah

memberikan informasi, saran dan masukan untuk

tulisan ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2018. Luas Panen,

Produktivitas dan Produksi Tanaman

Pangan Menurut Provinsi (Dinamis).

https://www.bps.go.id/subject/53/tanaman-

pangan.html#subjekViewTab3 [26

November] 2018

Ebert AW. 2012. Sprouts, microgreens, and edible

flowers: the potential for high value

specialty produce in Asia [disampaikan

pada] SEAVEG2012 Regional Symposium,

24-26 January 2012

Page 32: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

135 Prospek Pengembangan Microgreen Dalam Mendukung Pertanian Perkotaan di Jakarta

(Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati)

Ebert AW, Wu TH, Yang RY. 2015. Amaranth

sprouts and microgreens – a homestead

vegetable production option to enhance food

and nutrition security in the ruralurban

continuum. [disampaikan pada] Conference:

Regional Symposium on Sustaining Small-

Scale Vegetable Production and Marketing

Systems for Food and Nutrition Security

(SEAVEG2014). Bangkok. Thailand

ECO City Farms. 2010. Guidelines for Growing

Microgreens. ECO City Farms. Maryland,

USA: p. 24

Janovska D, Stockova L, Stehno Z. 2010.

Evaluation of buckwheat sprouts as

microgreens. Acta Agriculturae Slovenica,

95 (2010) 2

Ramadhiani A,. 2018. Hotel Bintang 4 di Jakarta

Bertambah 815 Kamar. Kompas.

https://properti.kompas.com/read/2018/05/1

0/140000121/hotel-bintang-4-di-jakarta-

bertambah-815-kamar [27 November] 2018

Kou L, Luo Y, Yang T, Xiao Z, Turner ER, Lester

GE, Wang Q, Camp MJ. 2013. Postharvest

Biology, Quality and Shelf Life of

Buckwheat Microgreens. LWT – Food

Science and Technology. 51 (2013) 73-78

Murphy C, Pill W. 2010. Cultural practices to

speed the growth of microgreen arugula

(roquette; Eruca vesicaria subsp. sativa).

Journal of Horticultural Science &

Biotechnology. 85(3) 171–176

Pinto E, Almeida AA, Aguiar AA, Ferreira I. 2010.

Comparison between the mineral profile and

nitrate content of microgreens and mature

lettuces. Journal of Food Composition and

Analysis. 37 (2015) 38–43

Sun J, Xiao Z, Lin L, Lester GE, Wang Q, Harnly

JM, Chen P. 2013. Profiling Polyphenols in

Five BrassicaSpecies Microgreens by

UHPLC-PDA-ESI/HRMS. Journal of

Agricultural and Food Chemistry. 61,

10960−10970

Treadwell DD, Hochmuth R, Landrum L, Laughlin

W. 2010. Microgreens: A New Specialty

Crop. Horticultural Sciences Department,

Florida Cooperative Extension Service,

Institute of Food and Agricultural Sciences,

University of Florida

Waterland NL, Moon Y. 2017 Mineral Content

Differs among Microgreen, Baby Leaf, and

Adult Stages in Three Cultivars of Kale.

HortScience. 52(4):566–571

Weber CF. 2016. Nutrient Content of Cabbage and

Lettuce Microgreens Grown on

Vermicompost and Hydroponic Growing

Pads. J Hortic 2016, 3:4

Weber CF. 2017. Broccoli Microgreens: A

Mineral-rich crop That Can Diversify Food

Systems. Front. Nutr. 4:7

Page 33: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

136 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:127-135

Page 34: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

137 Potensi Dan Nilai Ekonomis Pemanfaatan Onggok Terfermentasisebagai Pakan Ayam Merawang Di

Bangka Belitung (SigitPuspito danSuharyanto)

PEMANFAATAN ONGGOK TERFERMENTASI SEBAGAI PAKAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG

Sigit Puspito dan Suharyanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung

Jl. Raya Mentok Km 4, Pangkal Pinang Bangka Belitung

Email : [email protected]

ABSTRACT

The Potential and Economic Value of Fermented Tapioca By-Product as Merawang Chicken Feed in

Bangka Belitung. This paper aimed to find out the potential and economic value of fermented tapioca by product

as merawang chicken feed. Merawang chicken is a local chicken of Bangka Belitung which has the potential as

dual purpose chicken as meet produser and egg produser. Tapioca by product has potential to become an alternative

feed source but constrained by low level of nutrition. One of the effort to improve the quality of tapioca by product

is by applying fermentation technology.Tapioka by product has been proven to increased productivity and eggs

quality in broiler and layer chicken and also have high economic value because it can substitute corn to level 20 %

in the ransum.

Keywords: economic value, fermented tapioka by product, merawang chicken, Bangka Belitung

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan nilai ekonomis onggok terfermentasi sebagai pakan ayam

merawang. Ayam merawang merupakan ayam lokal Bangka Belitung yang mempunyai potensi sebagai ayam

kampung dwiguna yaitu sebagai ayam pedaging sekaligus petelur. Onggok mempunyai potensi untuk menjadi

sumber pakan alternatife ayam merawang untuk memaksimalkan produktifitasnya tetapi terkendala dengan

nutrisinya yang rendah dan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas onggok adalah dengan menerapkan

teknologi fermentasi. Onggok terfermentasi telah terbukti dapat meningkatkan produktifitas dan kualitas telur pada

ayam pedaging dan ayam petelur dengan nilai ekonomis yang tinggi karena bisa mengantikan jagung sampai level

20 % dalam ransum.

Kata kunci: nilai ekonomis, onggok terfermentasi, ayam merawang, bangka belitung

Page 35: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

138

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:137-145

PENDAHULUAN

Di wilayah Bangka Belitung usaha

peternakan belum menjadi perhatian para petani

yang tergambar dari pemenuhan kebutuhan hasil

ternak khususnya daging ayam masih dipenuhi dari

luar daerah yang tercermin dari produksi daging

ayam kampung tahun 2017 adalah sebesar 1.186

ton sedangkan konsumsi daging ayam sebesar

12.877 ton/tahun (BPS Bangka Belitung, 2018),

sehingga peluang pasar sektor peternakan

khususnya unggas masih besar di Bangka. Salah

satu potensi ternak yang bisa dikembangkan di

Bangka Belitung adalah Ayam Merawang

dikarenakan ayam tersebut adalah ayam lokal asli

Bangka Belitung dan merupakan kekayaan sumber

daya genetik lokal Bangka Belitung dengan

ditetapkannya SK Mentan No.

2846/Kpts./LB.430/8/2012. Ayam Merawang

berpotensi dikembangkan sebagai ayam dwiguna

yaitu sebagai ayam penghasil daging dan telur.

Saat ini budidaya ayam merawang di

Bangka Belitung masih tradisional dengan sistem

umbaran sehingga belum terkelola secara baik

terutama dalam hal manajeman pakan. Pakan

masih menjadi kendala karena biaya pakan

mencapai 76,16 % biaya produksi (Dewanti,

2012), sehingga jika mampu menekan biaya pakan

maka keuntungan akan semakin besar. Selain itu

dengan memperbaiki kualitas pakan dapat

meningkatkan produksi dari ternak dan juga

efisiensi pakan, hal ini sesuai dengan penelitian

Hasnelly et al., (2006) bahwa perbaikan kualitas

pakan pada pagi atau sore hari berpengaruh nyata

terhadap pertambahan berat badan dan

berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi

energi dan protein serta dapat meningkatkan

efisiensi penggunaan protein dan energi pakan

untuk pertumbuhan ayam merawang. Salah satu

usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi

khususnya menyangkut pakan adalah mencari

sumber pakan alternatif dengan kualitas tinggi,

harga murah dan tidak bersaing dengan kebutuhan

manusia.

Sumber pakan alternatif yang bisa didapat

adalah dengan memanfaatkan limbah industri

pangan. Industri pangan yang saat ini sedang

berkembang adalah industri tapioka yang berbahan

dasar singkong. Pabrik tapioka di Bangka Belitung

cukup berkembang dan hampir tersebar di semua

kabupaten seperti di Bangka Barat, Bangka,

Bangka Selatan, dan di Belitung Timur. Industri ini

membutuhkan bahan baku berupa singkong.

Produksi singkong di Provinsi Bangka Belitung

mencapai kurang lebih 70.254 ton/tahun pada 2017

(BPS Babel, 2018) yang akan diolah menjadi

tepung tapioka yang merupakan bahan baku

berbagai olahan produk pangan.

Menurut Adnan et al., (2009) dalam

pengolahan singkong menjadi tepung tapioka akan

dihasilkan 145 ton tepung tapioka dan 175 ton

onggok dari 700 ton singkong. Jika dikonversikan

ke dalam prosentase akan dihasilkan 21 % tepung

tapioka dan 25% onggok dari jumlah kilogram

bahan baku berupa singkong.

Onggok yang dianggap mempunyai nilai

yang rendah dan kurang bermanfaat akan

mempunyai nilai lebih jika dimanfaatkan sebagai

pakan ayam merawang yang tentunya tidak kalah

dibandingkan dengan pakan komersial dalam hal

peningkatan produktifitas ternak tetapi masih

mempunyai keterbatasan berupa nilai nutrisi yang

rendah sehingga perlu ditingkatkan salah satunya

dengan teknologi fermentasi. Onggok

terfermentasi telah banyak dimanfaatkan sebagai

pakan terutama ayam yang beberapa penelitian

sudah membuktikan potensi onggok terfermentasi

tersebut (Irawati et al., 2016, Nuraini et al., 2008,

Supriyati et al., 2003).

Tujuan dari penulisan makalah ini untuk

mengetahui potensi onggok terfermentasi sebagai

bahan pakan alternatif ayam merawang untuk

memaksimalkan potensi ayam merawang sebagai

ayam dwiguna dengan dengan metode kajian

literature, mengolah data yang di keuluarkan BPS

dan melakukan pengamatan di peternakan ayam

merawang di 3 kabupaten yaitu Kota Pangkal

Pinang, Kab. Bangka, Kab Bangka Tengah.

Page 36: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

139 Potensi Dan Nilai Ekonomis Pemanfaatan Onggok Terfermentasisebagai Pakan Ayam Merawang Di

Bangka Belitung (SigitPuspito danSuharyanto)

AYAM MERAWANG DI BANGKA

BELITUNG

Pertama kali Ayam Merawang dibawa

oleh penambang timah dari daratan Cina ke

Indonesia pada masa penjajahan Belanda

sekitar300 tahun lalu. Ayam Merawang merupakan

salah satu dari ayam lokal yang berasal dari spesies

Gallus-gallus, family Phasianidae (Nataamijaya

2010). Dalam perkembangannya ayam ini sudah

beradaptasi di daerah setempat sehingga ayam

Merawang menjadi ayam lokal yang berasal dari

Desa Merawang Kecamatan Merawang Kabupaten

Bangka, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Ayam merawang mempunyai karakteristik warna

bulu coklat kemerahan (jantan) dan coklat (betina),

corak bulu baik jantan maupun betina dominan

polos sedangkan lurik hanya sebagian kecil saja

untuk betina. Pola warna bulu dominan columbian,

wama shank kuning sedangkan bentuk jengger

single comb baik ayam merawang jantan maupun

betina (Hidayat, et al., 2016).

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa

ayam merawang mempunyai keunggulan jika

dilihat dari prosentase karkas 63-65 % lebih tinggi

daripada ayam KUB dan mempunyai produksi

telur antara 125-150 butir/tahun lebih tinggi

dibanding ayam sentul dan ayam pelung.

Di peternak Bangka Belitung ayam

merawang di pelihara secara tradisional dengan

menggunakan pakan berupa campuran beberapa

bahan seperti dedak padi, jagung, dan konsentrat

komersial. Penyusunan ransum pakan ayam

merawang harus memperhatikan kebutuhan nutrisi

ayam merawang untuk menghasilkan produksi

yang maksimal. Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Balitnak Ciawi, (2010) kebutuhan nutrisi

ayam buras pada umumnya adalah seperti pada

tabel 2.

Dengan mengacu kepada kebutuhan

tersebut di atas, penyusunan ransum ayam

merawang harus memperhatikan kebutuhan nutrisi

terutama kebutuhan energi metabolisme yang bisa

didapat dari pakan sumber karbohidrat dan

kebutuhan protein kasar yang didapat dari pakan

sumber protein. Salah satu sumber pakan tersebut

adalah onggok yang merupakan limbah dari

pengolahan tepung tapioka.

POTENSI UBI KAYU DAN ONGGOK

SEBAGAI PAKAN

Ubi kayu atau singkong di Bangka

Belitung mempunyai luas panen mencapai 2.228

ha dengan produksi mencapai 70.254 ton/tahun

Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan ayam merawang dengan ayam kampung lainnya

Jenis Ayam Bobot Badan Prosentase Karkas Produksi Telur

Jantan (gr) Betina (gr) % Butir/tahun

Ayam Merawang 2291a 1342a 63-65b 125-150a

Ayam KUB 59-62c

Ayam Broiler - - 68-69d -

Ayam kampung 800 700 70-80g

Ayam Sentul 1300-3000 800-2200 50-53 % 118e

Ayam Pelung 119f

Sumber : a) Nuraini et al., (2016), b) Hidayat et al., (2016), c). Ayu, et al., (2016), d). Risnajati, 2012., e). Hidayat

et al., (2010), f). Setioko, et al., (2015) ,g). Iskandar, S. 2010.

Page 37: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

140

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:137-145

pada 2017 atau produktifitasnya mencapai 31,54

ton/ha. Angka tersebut naik dibanding tahun 2015

yang hanya sebesar 61.471 ton bahkan ditahun

2014 produksinya 35.024 ton/tahun (BPS Babel,

2018). Kenaikan tersebut dipicu karena

berkembang pesatnya industri tapioka di Bangka

Belitung yang membutuhkan singkong sebagai

bahan baku utamanya. Dari pengolahan tapioka

tersebut menurut Adnan et al., (2009) dihasilkan

21 % tepung tapioka dan 25% onggok dari

jumlah kilogram bahan baku berupa singkong,

sehingga jika dikonversikan akan dihasilkan

tepung tapioka sebesar 14.753 ton/tahun dan

onggok sebesar 17.563 ton/tahun.

Tentunya produk utama berupa tepung

tapioka mempunyai nilai yang tinggi akan tetapi

akan timbul limbah hasil samping berupa onggok

dan jika tidak dimanfaatkan akan menimbulkan

masalah tersendiri seperti pencemaran lingkungan

dan dampak lainnya seperti dampak buruk sosial

ekonomi dari limbah (Liswati, 2010), bahkan

sampai pencemaran air sungai (Agustira, 2013).

Onggok yang merupakan limbah menurut beberapa

penelitian mempunyai potensi untuk digunakan

sebagai bahan penyusun pakan ayam sehingga jika

di manfaatkan sebagai pakan ayam merawang akan

mempunyai nilai lebih disamping mengurangi

dampak buruk tersebut.

Untuk melihat potensi keberlangsungan

onggok sebagai bahan pakan ayam merawang di

Bangka Belitung, kita terlebih dahulu perlu

mengetahui konsumsi pakan harian ayam

merawang. Menurut Nuraini et al., (2015)

pemberian pakan pada ayam merawang 120

gr/ekor/hari, jika dikonversikan dalam 1 tahun

membutuhkan pakan 43 kg/ekor/tahun.

Berdasarkan penelitian Nuraini et al., (2008)

penggunaan onggok terfermentasi sampai taraf 30

% dalam ransum, maka setiap ekor ayam akan

membutuhkan 13 kg onggok terfermentasi/tahun.

Dengan ketersediaan onggok sebesar 17.563

ton/tahun akan mampu memenuhi kebutuhan

1.351.000 ekor ayam merawang dalam setahun.

Dari perhitungan tersebut maka ketersediaan

onggok untuk dibuat onggok terfermentasi sebagai

bahan pakan ayam merawang mencukupi.

Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi Ayam buras (ayam kampung)

Gizi pakan Umur (minggu)

0-12 12-18 >18

Energi metabolis, (kkal/kg) 2800 2800 2600

Kalsium, (%) 0.9 1 3.4

Fosfor tersedia, (%) 0,45 0,40 0,45

Protein kasar (%) 17 16 17

Metionin, (%) 0,37 0,21 0,30

Lisin, (%) 0,87 0,45 0,68

Sumber : Balitnak (2010)

Tabel 3. Kandungan nutrient Onggok tanpa fermentasi dan onggok fermentas

Nutrisi Tanpa Fermentasi Fermentasi

% BK

Protein Kasar 2.2 25,6

Karbohidrat 51.8 36.2

Abu 2.4 2.6

Serat Kasar 10.8 10.45

Sumber: Supriyati, (2003)

Page 38: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

141 Potensi Dan Nilai Ekonomis Pemanfaatan Onggok Terfermentasisebagai Pakan Ayam Merawang Di

Bangka Belitung (SigitPuspito danSuharyanto)

ONGGOK TERFERMENTASI (OT)

Menurut Balai Penelitian Ternak (2016),

onggok mempunyai potensi yang besar untuk

menjadi pakan tetapi mempunyai keterbatasan

yaitu nilai nutrientnya yang rendah (Protein Kasar

2,2 % dan Serat Kasar 10,8 %) sehingga untuk

dapat menjadi pakan yang baik kualitas onggok

perlu ditingkatkan. Salah satu pendekatan yang

dikembangkan Balitnak adalah dengan melakukan

fermentasi/biofermentasi terhadap onggok tersebut

menggunakan spora Aspergillus Niger (Supriyati,

2003).

Dilihat dari tabel 3 terjadi peningkatan

nilai nutrient khususnya protein kasar setelah

dilakukan fermentasi menjadi 25,6 % dari

sebelumnya 2,2 % dan penurunan nilai karbohidrat

dari 51,8 % menjadi 36,2 %.

Menurut Febrianti et al.,(2017) fermentasi

onggok menggunakan Azzospirilium sp JG3

selama lima hari mampu meningkatkan kandungan

nutrient dari onggok dan dedak yaitu protein kasar

meningkat 29,15 %, lemak kasar meningkat 24,83

% dan serat kasar mengalami penurunan sebesar

36,63 %. Sedangkan menurut Wizna et al., (2009)

onggok dapat ditingkatkan kualitasnya dengan

fermentasi menggunakan Bacillus

amyloliquefaciens dengan dosis inokulen 2 %, 6

hari waktu fermentasi dan dengan suhu 40 C dapat

meningkatkan protein kasar hingga lebih dari 3

kali dari kandungan nutrient sebelumnya dan

menurunkan serat kasar hingga 32 % serta dapat

meningkatkan energy termetabolisme dari onggok

dari 1798 kkal/Kg menjadi 2190 kkal/kg sehingga

layak untuk menjadi bahan pakan ternak

khususnya unggas.

Fermentasi melalui inokulasi mikroba

telah diteliti dan memiliki kemungkinan yang

paling masuk akal untuk mengolah limbah tapioka

ini dan bisa diubah menjadi bahan pakan yang

lebih baik untuk ternak (Aro, 2008), salah satu

penelitian yang menunjukkan itu adalah onggok

fermentasi di manfaatkan sebagai penyusun

ransum ayam kampung petelur yang dipelihara

secara kelompok dan individu dan diberikan

sebesar 10 % mampu meningkatkan produksinya

masing-masing 9,7 % dan 30,9 % dan juga

mengalami peningkatan bobot telur yang

dihasilkan dan bahkan penggunaan onggok

terfermentasi tersebut bisa menekan biaya pakan

jika diasumsikan onggok terfermentasi

mensubstitusi jagung sebesar 15 % (Supriyati et

al., 2003).

OT SEBAGAI PAKAN AYAM MERAWANG

Potensi onggok sebagai bahan pakan ayam

merawang terkendala oleh kandungan nutrisinya

yang rendah yaitu protein kasarnya hanya sebesar

2,2 % dan upaya untuk meningkatkan nilai nutrisi

onggok khususnya protein kasar dapat dilakukan

melalui teknologi fermentasi sehingga nilai

nutrisinya meningkat menjadi Protein Kasar 25,6

% dan Karbohidrat 36,2 % (Supriyati, 2003).

Jika dilihat dari kandungan nutrisinya,

onggok terfermentasi berpotensi menjadi pakan

sumber protein dan sekaligus sumber karbohidrat.

Kebutuhan nutrisi ayam merawang sendiri seperti

pada jenis ayam kampung pada umumnya

menitikberatkan kepada kebutuhan protein kasar

dan energi metabolisme yang menurut penelitian

Sidadolog et al., (2009) penggunaan pakan ayam

merawang dengan konsentrasi protein-energi

sedang (protein 18 %, ME 2690,2 kkal/kg) adalah

yang terbaik karena efisiensi protein dan energi

yang tinggi pada usia ayam 0-4 minggu dan

selanjutnya sampai usia 12 minggu dapat

menggunakan pakan dengan konsentrasi protein-

energi sedang bahkan konsentrasi protein-energi

rendah juga dapat digunakan (protein 15 %, ME

2269,9 kkal/kg) dan hasil penelitian tersebut sesuai

dengan Iskandar (2012), ransum terbaik untuk

ayam lokal adalah ransum ganda yang terdiri dari

ransum starter untuk umur 0-4 minggu dan ransum

finisher untuk umur 5-12 minggu. Dari uraian

diatas kebutuhan nutrisi ayam merawang berkisar

antara 15-18 % untuk protein kasar dan ME antara

2269,9 – 2690 kkal/kg sehingga onggok

Page 39: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

142

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:137-145

terfermentasi bisa digunakan sebagai pakan

sumber protein.

NILAI TEKNIS PEMANFAATAN OT

SEBAGAI PAKAN AYAM

Beberapa penelitian sebelumnya

menyebutkan bahwa onggok terfermentasi

mempunyai pengaruh yang baik dalam

meningkatkan produktifitas ternak. Menurut

Irawati et al., (2016), penggunaan onggok

fermentasi hingga 10-30 % dalam ransum ayam

buras memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap konsumsi ransum dan berbeda sangat

nyata terhadap pertambahan bobot badan dan

konversi ransum. Sedangkan menurut penelitian

Nuraini et al., (2008) penggunaan onggok

fermentasi sampai 30 % pada ransum dapat

meningkatkan penampilan produksi dan kualitas

telur ayam petelur. Supriyati et al., (2003) dalam

penelitiannya menyebutkan penggunaan onggok

terfermentasi sampai 10 % dalam ransum ayam

petelur dapat meningkatkan produksi telur sebesar

32,2 % dan 26,06 % untuk pemeliharaan secara

individu dan kelompok serta meningkatkan bobot

telur sebesar 7,9 %.

Penggunaan onggok terfermentasi sampai

level 30 % pada ransum ayam buras menunjukkan

hasil yang baik dalam konversi pakan dan

pertambahan bobot badan dengan hasil terbaik

pada taraf 15 % dan 20 % onggok terfermentasi

dalam ransum yang menunjukkan tingkat

palatabilias onggok terfermentasi baik selain

dikarenakan tingginya kandungan protein dalam

onggok terfermentasi (Irawati et al., 2016).

Hasil-hasil penelitian diatas menunjukan

onggok terfermentasi mempunyai tingkat

palatabilitas yang baik dibuktikan dengan unggas

dalam percobaan-percobaan diatas mampu

mengkonsumsi dan mengkonversikan bahan pakan

yang mengandung OT untuk meningkatkan

produktifitas. Hal ini juga menunjukkan kecernaan

bahan pakan onggok terfermentasi cukup tinggi

karena kecernaan yang tinggi akan dilihat dari

manfaat yang dihasilkan bahan pakan tersebut

terhadap produktifitas. Sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Sulisttyawan (2015) bahwa

kecernaan protein bahan pakan yang mengandung

onggok terfermentasi tinggi mencapai 72,17 %.

Secara teknis pemberian OT pada ransum

unggas telah terbukti meningkatkan produktifitas

tetapi perlu diperhatikan juga secara teknik

pembuatannya OT, apakah mudah dilakukan oleh

petani atau sulit dilakukan. Teknologi fermentasi

pakan khususnya onggok dari beberapa penelitian

bisa dilakukan di skala lapang oleh petani seperti

pada penelitian Supriyati (2003) yang dilakukan di

Malambong Garut dengan hasil protein kasar

meningkat sebesar 7 kali dari protein sebelumnya.

Pemanfaatan MOL (mikroorganisme lokal) juga

bisa digunakan secara skala petani di karenakan

mikroorganisme lokal bisa dibuat sendiri oleh

petani.

Berdasarkan uraian dan penelitian diatas

nilai nutrisi onggok terfermentasi dapat diberikan

sampai level 30 % dalam ransum dan sanggup

memenuhi kebutuhan nutrisi ayam merawang

untuk mamaksimalkan potensi yang dimiliki ayam

merawang sebagai ayam dwiguna.

NILAI EKONOMI PEMANFAATAN OT

SEBAGAI PAKAN AYAM MERAWANG

Penggunaan onggok terfermentasi sebagai

salah satu bahan penyusun pakan ayam merawang

akan meningkatkan efisiensi usaha ternak, karena

menurut penelitian Putri et al., (2014) biaya

produksi yang efisien salah satunya dipengaruhi

oleh faktor pakan, hal ini karena 70-80 % biaya

produksi berasal dari pakan sedangkan biaya

produksi sangat berpengaruh terhadap pendapatan

usaha ternak ayam kampung (Penggu et al., 2014)

dengan kata lain efisiensi pakan akan

meningkatkan pendapatan usaha ternak. Saat ini

peternak ayam merawang di Bangka Belitung pada

umumnya menggunkan jadung, dedak padi dan

konsentrat sebagai bahan pakan dengan komposisi

Page 40: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

143 Potensi Dan Nilai Ekonomis Pemanfaatan Onggok Terfermentasisebagai Pakan Ayam Merawang Di

Bangka Belitung (SigitPuspito danSuharyanto)

yang digunakan adalah 30%:35%:35%. Onggok

terfermentasi dapat digunakan sebagai pengganti

jagung berdasarkan penelitian Yohanista et al.,

(2008) Onggok fermentasi dengan menggunakan

Aspergilus niger dan Rhizopus oligosporus dengan

waktu inkubasi 2 hari dapat menggantikan jagung

dengan kandungan nutrisi protein kasar 18,95 %,

serat kasar 24,85 % dan gross energy 4222,45 %.

Dalam tabel 3 dibawah ini merupakan formula

pakan ayam merawang dengan dan tanpa

menggunakan onggok terfermentasi yang mengacu

pada penelitian Nuraini et al., (2008) onggok

terfermentasi dapat digunakan sampai 30 % dalam

ransum.

Dari tabel 4 diatas komposisi pakan ayam

merawang dengan bahan pakan jagung,dedak dan

konsentrat mempunyai nilai nutrisi Protein Kasar

14, 48 % dan Metabolisme Energi 2678 kkal/gr

dengan harga Rp 6950/kg sedangkan ransum yang

menggunakan onggok fermentasi mempunyai nilai

nutrisi Protein Kasar 17.86 % dan Metabolisme

Energi 2512 kkal/gr dengan harga Rp. 5.630/kg.

Dari perhitungan diatas terjadi efisiensi

biaya pakan sebesar Rp. 1.320/kg dengan

menggunakan onggok terfermentasi dalam pakan

ayam merawang sebagai subtitusi dari jagung

sampai 20 % untuk setiap kilogram pakan. Ayam

merawang dalam satahun membutuhkan 43

kg/ekor/tahun sehingga untuk setiap ekor ayam

merawang dapat menghemat biaya pakan sebesar

Rp 56.760 dalam setahun atau efisiensi biaya

pakan sebesar 18 % jika dibanding dengan pakan

tanpa onggok terfermentasi. Pendapatan peternak

kecil dengan skala 100 ekor ayam merawang dapat

meningkat sebesar Rp 567.600 dalam setahun jika

diilustrasikan dengan menggunakan pakan onggok

terfermentasi

Bahkan onggok terfermentasi dapat

menggantikan konsentrat komersial sebagai

sumber protein jika dilihat dari kandungan Protein

Kasar sebesar 25,6 % (Supriyati et al., 2003)

karena rata-rata kandungan protein konsentrat

komersial sebesar 18-21 % dengan harga Rp.

8.500/Kg sehingga efisiensi biaya pakan dapat

ditingkatkan.

Dilihat dari segi ekonomi onggok

terfermentasi berpotensi dapat menggantikan

bahan pakan khususnya jagung dan konsentrat

komersial dengan biaya yang lebih murah dan

efisien

KESIMPULAN

Penggunaan onggok terfermentasi

berpotensi besar sebagai bahan pakan ayam

merawang jika dilihat dari kandungan nutrisi,

ketersediaan di Bangka Belitung Kandungan

nutrisi onggok fermentasi berupa Protein Kasar

sebesar 25.6 % dapat menjadi bahan penyusun

ransum sebagai pengganti jagung dengan efisiensi

biaya pakan mencapai 18,9 % dan ketersediaan

onggok di Bangka Belitung mampu memenuhi

kebutuhan 1.351.000 ekor ayam merawang dalam

setahun.

Tabel 4. Komposisi Ransum Ayam Merawang

Bahan Baku

Tanpa Onggok

Fermentasi Dengan Onggok Fermentasi

Jagung 30 10

Dedak 35 35

Konsentrat 35 35

Onggok Fermentasi 0 20

Total 100 100

Komposisi Ransum

Protein Kasar (%) 14.48 17.86

Metabolisme Energi (kkal/gr) 2678 2512

Harga (kg) 6950 5630

Page 41: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

144

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:137-145

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis memberikan ucapan terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam

penulisan karya tulis ilmiah ini yaitu kepada Ibu

Nuraini, SPt, MSc sebagai Peneliti di BPTP

Bangka Belitung yang sudah membantu dalam

berdiskusi dan memberikan literatur-literatur dan

tentunya kepada bapak Dr. drh. Wasito, MSi yang

telah menjadi pembimbing dalam tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M, G., Hendrawati, T. 2009. Pedoman

Pengelolaan Limbah Industri Pengelolaan

Tapioka. Kementerian Lingkungan Hidup.

Agustira, R., Lubis, K, S., Jamilah. 2013. Kajian

Karakteristik Kimia Air, Fisika Air dan

Debit Sungai Pada Kawasan DAS Padang

Akibat Pembuangan Limbah Tapioka. Jurnal

Online Agroteknologi 1 (3) : 615 – 625

Aro, S, O. 2008. Improvement In The Nutritive

Quality of Cassava and Its By-Products

Through Microbial Fermentation. African

Journal of Biotechnology Vol. 7 (25), pp.

4789-4797.

Ayu, P.A., Nyoman, S., dan Eni. S.R. 2016.

Pertumbuhan dan Persentase Karkas Ayam

Kampung Unggul Badan Litbang (KUB)

pada Pemberian Ransum yang Berbeda.

Prosiding Seminar Nasional Inovasi

teknologi Pertanian, Banjarbaru.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bangka Belitung.

2018. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Dalam Angka 2018.

Dewanti, R., Sihombing, G. 2012. Analisis

Pendapatan Usaha Peternakan Ayam Buras

(Studi Kasus di Kecamatan Tegalombo,

Kabupaten Pacitan).Buletin Peternakan Vol.

36(1): 48-56.

Dinas Pangan Kab. Bangka Tengah, (2018, 12

September). Daftar Harga Komoditas.

Diperoleh 12 September 2018 dari

http://pangan.bangkatengahkab.go.id/.

Ferbrianti, T., Oedjijono, Iriyanti, N. 2017.

Peningkatan Nutrien Onggok dan Dedak

sebagai Bahan Baku Pakan Melalui

Fermentasi Menggunakan Azospirillum sp.

JG3. Widyariset 3 (2) : 173 – 182.

Hasnelly, Z., Kuntoro, A, N. 2006. Pengaruh

Perbaikan Kualitas Dan Waktu Pemberian

Pakan Terhadap Pertumbuhan Ayam

Merawang. Prosiding Seminar Nasional

Teknologi Peternakan dan Veteriner Hal

639-645.

Hidayat, C., Sopiyana, S. 2010. Potensi Ayam

Sentul sebagai Plasma Nutfah Asli Ciamis

Jawa Barat. Wartazoa 20 (4) : 190 - 205

Hidayat, Z., Nuraini, Asmarhansyah. 2016. Studi

Krakteristik Dan Ukuran-Ukuran Tubuh

Ayam Merawang F2 Di KP Petaling

Kepulauan Bangka Belitung.Prosiding

Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik

Lokasi Untuk Memantapkan Ketahanan

Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi

ASEAN.

Irawati, E., Mirzah, Ciptaan, G. 2016. Pemakaian

Onggok Fermentasi Dalam Ransum

Terhadap Performa Ayam Buras Periode

Pertumbuhan. Jurnal Peternakan 13 (2) : 48 -

53.

Iskandar, S. 2010. Usaha Tani Ayam Kampung.

Balai Penelitian Ternak.

Iskandr, S. 2012. Optimalisasi Protein dan Energi

Ransum Untuk Meningkatkan Produksi

Daging Ayam Lokal. Jurnal Pengembangan

Inovasi Pertanian 5 (2) : 96-107.

Liswati, S., Budiningsih, S., Dumasari. 2010.

Kajian Permasalaham Sosial Ekonomi dan

Solusi Pengelolaan Limbah Padat Tapioka

Pada U.D Bangkit Prima Desa Nangkod

Kecamatan Kejobong. AGRITECH XII (1) :

39 – 49.

Nataamijaya, A.G. 2010. Pengembangan Potensi

Ayam Lokal untuk Menunjang Peningkatan

Kesejahteraan Petani. Jurnal Litbang 29 (4) :

131-138.

Nuraini, Sabrina, Latif, S., A. 2008. Performa

Ayam dan Kualitas Telur yang

Page 42: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

145 Potensi Dan Nilai Ekonomis Pemanfaatan Onggok Terfermentasisebagai Pakan Ayam Merawang Di

Bangka Belitung (SigitPuspito danSuharyanto)

Menggunakan Ransum Mengandung

Onggok Fermentasi dengan Neurospora

crassa. Media Peternakan, Desember 2008,

hal. 195-202.

Nuraini, Yolanda, K., Suyatno. 2015. Karakter

Fenotip Dan Produktifitas Ayam Merawang

Berasal Dari Kabupaten Bangka. Buletin

Pengkajian Spesifik Lokasi 2(1): 9-20.

Nuraini, Hidayat, Z., Yolanda, K. 2016.

Identifikasi Karakteristik Genetik Eksternal

Dan Ukuran Tubuh Ayam Merawang Di KP

Petaling BPTP Kepulauan Bangka Belitung.

Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan

Peternakan II 2016.

Penggu, P., Santa, N, M., Makalew, A., Waleleng,

P, O, V. 2014. Hubungan Biaya Produkso

Dengan Pendapatan Usaha Ternak Ayam

Kampung ( Studi Kasus Di Desa Pungkol

Kecamatan Tatapaan Kabupaten Minahasa

Selatan). Jurnal Zootek (“Zootek” Journal)

Vol 34 (Edisi Khusus): 67-75.

Putri, S.C., Suwandari, A., Mustapit. 2014.

Analisis Pendapatan dan Kontribusi Usaha

Ternak Ayam Buras Terhadap Pendapatan

Keluarga serta Prospek Pengembangannya.

Berkala Ilmiah Pertanian 1(1): 1-10

Risnajati, D. 2012. Perbandingan Bobot Akhir,

Bobot Karkas dan Persentase Karkas

Berbagai Strain Broiler. Jurnal Sains

Peternakan 10 (1) : 11-14.

Setioko, A, G., Iskandar, S. 2005. Review Hasil-

Hasil Penelitian dan Dukungan Teknologi

dalam Pengembangan Ayam Lokal.

Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi

Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Hal

10-15

Sidadolog, J.H.P. dan T. Yuwanta. 2009.Pengaruh

konsentrasi protein-energi pakan terhadap

pertambahan berat badan, efisiensi energi

dan efisiensi protein pada masa

pertumbuhan ayam merawang. J. Anim.

Prod.11(1): 15-22.

SK Menteri Pertanian No.

2846/Kps/L8.410/8/2012 tentang Penetapan

Rumpun Ayam Merawang.

Subekti, S. 2009. Ketahanan Pakan Ternak

Indonesia. Mediagro 5 (2) : 63 – 71.

Sulistyawan, I, H. 2015. Perbaikan Kualitas Pakan

Ayam Broiler melalui Fermentasi Dua

Tahap Menggunakan Trichoderma reseei

dan Saccaromyces cerevisiae. Agripet 15 (1)

: 66 – 71.

Supriyati, Zainuddin, D., Kompiang, I. P.,

Soekamto, P. 2003. Onggok Terfermentasi

Sebagai Bahan Baku Pakan Ayam Kampung

Petelur. Lokakarya Nasional Inovasi

Teknologi Dalam Mendukung Usaha ternak

Unggas Berdaya saing.

Supriyati. 2003. Onggok Terfermentasi dan

Pemanfaatannya dalam Ransum Ayam Ras

Pedaging. JITV 8(3): 146-150.

Wizna, Abbas, H., Rizal, Y., Dharma, A.,

Kompiang, I, P. 2009. Improving the

Quality of Tapioca By-Products (Onggok) as

Poultry Feed Through Fermentation by

Bacillus amyloliquefaciens. Pakistan Journal

of Nutrition 8 (10): 1636-1640.

Yohanista, M., Sofjan, O., Widodo, E. 2008.

Evaluasi nutrisi campuran onggok dan

ampas tahu terfermentasi Aspergillus niger,

Rizhopus oligosporus dan kombinasi sebagai

bahan pakan pengganti tepung jagung.

Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (2): 72 - 83

Page 43: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

146

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:137-145

Page 44: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

147 Uji Adaptasi Varietas Kedelai di Lahan Pasang Surut Kab. Sambas Kalimantan Barat

(Dina Omayani Dewi)

UJI ADAPTASI VARIETAS KEDELAI DI LAHAN PASANG SURUT KAB. SAMBAS KALIMANTAN BARAT

Dina Omayani Dewi dan Tietyk Kartinaty Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat

Jl. Budi Utomo No. 45 Siantan Hulu, Pontianak Utara Kalimantan Barat

E-mail:[email protected]

ABSTRACT

The efforts to increase soybean production to support the National food security program face

increasingly severe challenges. Drought, land degradation, limited soil fertililty, pests and diseases and

the limited genetic ability of existing varieties for higher production. For this reason, a strong

technological recommendation is needed so that soybean production can increase along with the increase

in farmers' income and welfare. This assessment activity was carried out in Sambas District on April -

July 2017. The design used Randomized Block Design (RBD) with 5 treatments (5 New Superior

Varieties) with 5 replications. The varieties that will be studied include: Detam, Grobogan, Agromulyo,

Burangrang, and Anjasmoro. These varieties are planted in plots measuring 20 x 10 m with the number

of seeds 2 pieces per planting hole with a spacing of 30 x 20 cm. From the observations in the field, the

Burangrang variety has plant height and number of pods which are significantly different than other

varieties, namely 84.40 cm and 127 pods per plant. While for the parameters of the number of branches

per anjasmoro variety plants have more branches than the other varieties. Meanwhile, the Grobogan

variety has a faster flowering time than other varieties and has a weight of 100 seeds and higher

production which is 17.84 gr with a production of 2.55 tons / ha.

Keywords: Soybean Production, New Superior Varieties

ABSTRAK

Upaya peningkatan produksi kedelai untuk mendukung program ketahanan pangan nasional

menghadapi tantangan yang semakin berat. Kekeringan, degradasi lahan, terbatasnya lahan subur, hama

dan penyakit serta terbatasnya kemampuan genetic varietas yang ada untuk produksi lebih tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya adaptasi varietas kedelai di Lahan Pasang Surut Kasus di

Kabupaten Sambas Kalimantan Barat . Kegiatan pengkajian ini dilaksanakan di Kab. Sambas pada bulan

April – Juli 2017.Rancangan yang digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan (5

Varietas Unggul Baru) dengan 5 ulangan. Varietas yang akan dikaji meliputi: Detam, Grobogan,

Agromulyo, Burangrang, dan Anjasmoro. Varietas tersebut ditanam pada plot berukuran 20 x 10 m

dengan jumlah biji 2 buah per lubang tanam dengan jarak tanam 30 x 20 cm. Dari hasil pengamatan di

lapangan, varietas Burangrang memiliki tinggi tanaman dan jumlah polong yang berbeda nyata

dibanding varietas lainnya yaitu 84.40 cm dan 127 buah polong per tanamannya. Sedangkan untuk

parameter jumlah cabang per tanaman Varietas anjasmoro memiliki jumlah cabang yang lebih banyak

dari varietas yang lain. Varietas Grobogan memiliki daya adaptasi yang baik di lahan pasang surut yang

ditunjukkan oleh hasil biji relatif lebih berat, dan menghasilkan produksi yang relatif tinggi.

Kata Kunci: Produksi Kedelai, Varietas Unggul Baru

Page 45: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

148

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:147-153

PENDAHULUAN

Kedelai (Glycine max L merrill)

merupakan salah satu tanaman budidaya dengan

kandungan nutrisi yang tinggi, diantaranya

mengandung protein 30-50% (Richard et al.,

1984). Kandungan protein yang tinggi memberi

indikasi bahwa tanaman kedelai memerlukan hara

nitrogen yang tinggi pula. Di Indonesia sampai saat

ini produksi kedelai belum dapat memenuhi

kebutuhan konsumen dalam negeri.

Kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu

yang beragam. Suhu tanah yang optimal dalam

proses perkecambahan yaitu 30o C, bila tumbuh

pada suhu yang rendah (< 15o C), proses

perkecambahan menjadi sangat lambat bisa

mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan

perkecambahan biji tertekan pada kondisi

kelembapan tanah tinggi, banyaknya biji yang mati

akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu

cepat (Adisarwanto, 2005). Suhu yang dikehendaki

tanaman kedelai antara 21-34o C, akan tetapi suhu

optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 23-

27o C. Pada proses perkecambahan benih kedelai

memerlukan suhu yang cocok sekitar 30o C.

Kedelai menghendaki kondisi tanah yang

lembab, tetapi tidak becek. Kondisi seperti ini

dibutuhkan sejak benih ditanam hingga pengisian

polong. Kekurangan air pada masa pertumbuhan

akan menyebabkan tanaman kerdil, bahkan dapat

menyebabkan kematian apabila kekeringan telah

melampaui batas toleransinya.

Varietas kedelai berbiji kecil, sangat cocok

ditanam di lahan dengan ketinggian 0,5-300 m dpl.

Varietas kedelai berbiji besar cocok ditanam di

lahan dengan ketinggian 300-500 m dpl. Kedelai

biasanya akan tumbuh baik pada ketinggian lebih

dari 500 m dpl sehingga tanaman kedelai sebagian

besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan

subtropis. Sebagai barometer iklim yang cocok

bagi kedelai adalah bila cocok bagi tanaman

jagung. Bahkan daya tahan kedelai lebih baik dari

jagung. Tanaman kedelai dapat tumbuh baik di

daerah yang memiliki curah hujan sekitar 100-400

mm/bulan. Untuk mendapatkan hasil optimal,

tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara

100-200 mm/bulan (Najiyati, 1999).

Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia

sekitar 20,12 juta ha, terdiri dari 2,07 juta ha lahan

potensial, 6,72 juta ha lahan sulfat masam, 10,89

juta ha lahan gambut dan 0,44 juta ha lahan salin.

Lahan rawa pasang surut yang berpotensi untuk

dijadikan lahan pertanian sekitar 9,53 juta ha

(Alihamsyah, 2002). Menurut Direktorat Rawa dan

Pantai (2006) lahan rawa pasang surut yang

potensial untuk lahan pertanian di Indonesia

tersebar di pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi,

Papua, dan Jawa dengan luas sekitar 8.535.708 ha.

Luas lahan yang telah direklamasi baik oleh

pemerintah maupun masyarakat sekitar 2.833.814

ha, sedang yang belum direklamasi seluas

5.701.894 ha.

Lahan pasang surut merupakan salah satu

lahan marginal yang dijumpai sangat luas di

Kalimantan Barat. Luas lahan pasang surut dan

lebak sekitar 2.803.744 ha (18,32%) dari luas

propinsi Kalimantan Barat, dan lahan tersebut

belum dimanfaatkan secara optimal. Keadaan

lahan pasang surut pada umumnya mempunyai

keragaman biofisik yang sangat tinggi, dan oleh

karena itu penggunaannya harus benar-benar

berlandaskan pada kesesuaian lahan atau

tipologinya. Kendala yang sering dihadapi di lahan

pasang surut antara lain pH rendah, salinitas tinggi,

kahat unsur hara makro (N, P, K, Ca dan Mg )

maupun mikro (Cu), drainase jelek, serangan

hama dan penyakit yang lebih tinggi.

Pengembangan lahan pasang surut merupakan

alternatif pilihan yang sangat strategis untuk

mengatasi tantangan peningkatan produksi dan alih

fungsi lahan-lahan pertanian menjadi lahan non

pertanian. Lahan pasang surut mempunyai prospek

yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan

pertanian untuk tanaman kedelai terutama dalam

kaitannya dengan pelestarian swasembada pangan,

peningkatan produksi, peningkatan pendapatan

petani dan lapangan kerja serta pengembangan

agribisnis.

Untuk meningkatkan produktivitas lahan

rawa pasang surut, pengelolaan air memegang

peranan sangat penting. Untuk menanggulangi,

Page 46: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

149 Uji Adaptasi Varietas Kedelai di Lahan Pasang Surut Kab. Sambas Kalimantan Barat

(Dina Omayani Dewi)

mengurangi, dan menghilangkan kemasaman serta

untuk meningkatkan hasil komoditas yang

dibudidayakan di lahan pasang surut, pengelolaan

air didasarkan pada tipologi lahan pasang surut dan

tipe luapan. Tipologi lahan sulfat masam potensial

dengan tipe luapan A, tipologi lahan sulfat masam

aktual dengan tipe luapan B, C, D (Ritzema et al.,

1993).

Upaya peningkatan produksi kedelai untuk

mendukung program ketahanan pangan nasional

menghadapi tantangan yang semakin berat.

Kekeringan, degradasi lahan, terbatasnya lahan

subur, hama dan penyakit serta terbatasnya

kemampuan genetic varietas yang ada untuk

produksi lebih tinggi. Disisi lain kebutuhan pangan

masyarakat terus meningkat untuk memenuhi

kebutuhan, impor bahan pangan terpaksa dilakukan

yang beberapa tahun terakhir ini mengalami

peningkatan.

Untuk mengurangi ketergantungan pada

kedelai perlu diantisipasi sedini mungkin, baik

melalui program intensifikasi maupun

ekstensifikasi, program ekstensifikasi merupakan

pilihan utama karena lahan diluar Jawa cukup luas

yang cukup potensial dimanfaatkan antara lain

Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya

yang sebagian besar didominasi lahan marginal,

seperti lahan rawa baik rawa pasang surut, rawa

lebak, maupun rawa pantai.

Konsumsi kedelai di Kalimantan barat

rata-rata sebesar 8 kg/kapita/tahun (Kalbar Prov,

2014), dengan jumlah penduduk sekitar 4,789,574

orang (BPS, 2016) sehingga jumlah kebutuhan

kedelai sebesar 38,316 ton. Produksi kedelai di

Kalimantan Barat pada Tahun 2014 sebesar 1.5

Ton/ha (BPS, 2014), dengan luas panen sebesar

2.026 Ha atau 823 Ha lebih luas dari tahun

sebelumnya. Untuk mencukupi kebutuhan kedelai

yang ada di Kalimantan Barat memerlukan luas

panen sekitar 25,544 ha, sehingga kekurangan luas

panen kedelai di Kalbar sekitar 23,518 ha. Dalam

rangka pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri

khususnya di Kalimantan Barat, pemerintah

mencanangkan program swasembada kedelai pada

tahun 2014. Untuk memacu tercapainya program

tersebut, perlu dilakukan berbagai terobosan baik

melalui perluasan areal ke lahan-lahan berpotensi,

intensifikasi pertanaman yang ada dan kebijakan

khusus untuk memacu produksi kedelai (crass

program kedelai).

Kedelai pada dasarnya dapat tumbuh

hampir di setiap jenis tanah termasuk di lahan

rawa, baik lahan pasang surut maupun lahan lebak.

Tetapi agar tanaman kedelai dapat tumbuh dan

berproduksi dengan baik diperlukan persyaratan

tumbuh tertentu. Kedelai tergolong tanaman yang

tidak tahan terhadap kemasaman tanah tinggi dan

genangan. Oleh karena itu syarat utama agar

kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik

diperlukan lahan dengan tingkat kemasaman tanah

sedang (pH >4,5), kandungan C-organik rendah,

N-total sedang, P2O5 tinggi, K2O sedang dan

kejenuhan Al < 20% serta tidak terjadi genangan

air.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

daya adaptasi varietas kedelai di Lahan Pasang

Surut Kasus di Kabupaten Sambas Kalimantan

Barat

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi pengkajian dilaksanakan di Kab.

Sambas, dimana Kabupaten Sambas merupakan

sentra produksi kedelai yang ada di Kalimantan

Barat. Pengkajian SUT berskala agribisnis

melibatkan minimal satu kelompok tani

sehamparan dengan luasan sekitar 0.5 ha, Waktu

pelaksanaan adalah musim kemarau (April – Juli

2017), Adapun bahan dan alat yang diperlukan

dalam kegiatan ini meliputi; Benih kedelai, pupuk

dan obat-obatan. Bahan dan alat pengkajian yang

dibutuhkan di lapangan

Page 47: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

150

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:147-153

Rancangan Kegiatan

Kajian ini menggunakan Rancangan Acak

Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan (5 Varietas

Unggul Baru) dengan 5 ulangan. Varietas yang

akan dikaji meliputi: Detam, Grobogan,

Agromulyo, Burangrang, dan Anjasmoro. Varietas

tersebut ditanam pada plot berukuran 20 x 10 m

dengan jumlah biji 2 buah per lubang tanam

dengan jarak tanam 30 x 20 cm. Adapun dosis

pupuk yang digunakan untuk setiap perlakuan

sama yaitu: Urea 50 Kg, SP36 100 Kg, KCl 100

Kg, dimana pupuk dasar diberikan saat tanam

kemudian pemupukan susulan dilakukan pada saat

tanaman berumur 14 dan 28 hari. Pengendalian

hama dan penyakit dilakukan apabila terdapat

serangan di lapangan dengan menggunkan

insektisida dan fungisida.

Parameter yang diamati

Adapun parameter yang diamati meliputi:

tinggi tanaman (cm), jumlah cabang (buah), jumlah

polong per tanaman (buah), berat 100 biji (gr),

produksi (ton/ha) serta data curah hujan saat kajian

berlangsung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk parameter tinggi tanaman

menunjukkan bahwa varietas Burangrang berbeda

nyata dibanding varietas lainnya, dimana varietas

ini memiliki performan tinggi tanaman yang lebih

tinggi dari varietas lainnya yaitu sebesar 84.40 cm,

lebih tinggi dari deskripsi dari Balitkabi (60-70

cm), sedangkan varietas Anjasmoro memiliki

tinggi yang lebih rendah yaitu sekitar 67 cm, sesuai

dengan deskripsi dari Balitkabi (64-68 cm).

Perbedaan tinggi tanaman masing-masing varietas

disebabkan oleh sifat genetik tanaman berbeda.

Perbedaan sifat genetik ini dapat pula

menyebabkan terjadinya perbedaan respon dari

tanaman terhadap pupuk yang diberikan.

Sedangkan untuk parameter jumlah cabang

per tanaman Varietas anjasmoro memiliki jumlah

cabang yang lebih banyak dari varietas yang lain.

Akan tetapi jumlah cabang yang banyak tidak

diikuti dengan jumlah polong, dimana jumlah

polong untuk varietas Anjasmoro rata-rata 46

buah polong. Polong terbanyak terdapat pada

Varietas Burangrang yaitu berkisar antara 127

buah polong per tanamannya. Varietas Burangrang

jumlah polongnya berbeda sangat nyata dibanding

varietas lainnya tapi tidak berbeda nyata dengan

varietas Agromulyo (112,4 buah). Kecepatan

pembentukan polong dan pembesaran biji akan

semakin cepat setelah proses pembentukan bunga

berhenti.

Untuk waktu berbunga varietas Grobogan

memiliki waktu berbunga lebih cepat dibanding

varietas lainnya. Berbedanya umur tanaman

berbunga antar varietas diduga dipengaruhi oleh

sifat genetik pada masing-masing varietas dan

lingkungan. Menurut Baharsjah et al. (1985) faktor

utama dalam pembungaan pada tanaman kedelai

lebih dominan dipengaruhi sifat genetik tanaman.

Tanaman kedelai termasuk tanaman hari pendek

dimana kedelai tidak akan berbunga apabila

panjang hari melampaui batas kritis, karena

Tabel 1. Tinggi Tanaman (cm), Jumlah Cabang per Tanaman (buah), Jumlah Polong per Tanaman (buah) pada

Kajian Uji Varietas Kedelai di Kec Tangaran, Kab. Sambas 2017

Varietas Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Cabang Per

Tanaman (buah)

Jumlah Polong Per Tanaman

(buah)

Detam 80.20 ab 9 b 105.40 b

Grobogan 66.80 b 5c 69.00 c

Agromulyo 71.40 ab 7bc 112.40 ab

Burangrang 84.40 a 8bc 127.80 a

Anjasmoro 67.40 b 19a 46.20 d

Page 48: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

151 Uji Adaptasi Varietas Kedelai di Lahan Pasang Surut Kab. Sambas Kalimantan Barat

(Dina Omayani Dewi)

masing-masing kultivar batas kritis yang berbeda.

Darjanto dan Sarifah (1987) menambahkan bahwa

factor utama munculnya bunga ditentukan oleh

sifat genetik dari suatu varietas yang digunakan.

Jumlah polong per tanaman berkorelasi

positif dengan jumlah biji per tanaman sementara

hasil per satuan luas dipengaruhi oleh berat 100

biji dan jumlah biji Hidajat (1985). Varietas

Grobogan memiliki jumlah polong terendah kedua

setelah Anjasmoro, namun varietas ini memiliki

ukuran biji yang lebih besar dan lebih berat

sehingga produksi yang diperoleh pun lebih tinggi.

Untuk Parameter berat 100 biji dan

produksi, varietas Grobogan memiliki berat 100

biji yang lebih berat dari varietas lainnya yaitu

sebesar 17.84 gr, dimana mendekati deskripsi dari

varietas tersebut (18 gr) dengan produksi sebesar

2.55 ton/ha, sementara untuk varietas lain yang

memiliki jumlah polong yang banyak seperti

varietas Burangrang justru memiliki berat 100 biji

yang terendah kedua setelah Detam yaitu 14 gr,

sehingga produksi per ton nya juga rendah.

Jumlah curah hujan pada sat awal tanam

menengah yaitu berkisar antara 256,5 mm/bulan

dengan jumlah hari hujan sebanyak 13 hari.

Tabel 2. Waktu Berbunga Tanaman Kedelai pada Kajian Uji Varietas Kedelai di Kec Tangaran, Kab. Sambas 2017

Varietas Waktu Berbunga (Hari)

Detam 35

Grobogan 30-32

Agromulyo 35

Burangrang 35

Anjasmoro 35-39

Grafik 1. Berat 100 Biji (gr) dan Produksi (ton/ha) Tanaman Kedelai di Lahan Pasang Surut, Kec. Tangaran,

Kab. Sambas 2017

Page 49: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

152

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:147-153

Sampai menjelang panen curah hujan semakin

menurun pada kisaran 195,86 mm dengan jumlah

hari hujan sebanyak 9 hari. Selama

pertumbuhannya kedelai (85-100 hari)

membutuhkan air sebanyak 300 mmm hingga 450

mm atau 2,5 – 3,3 mm/hari. Kebutuhan air selama

periode vegetative (sampai umur 35 hati) adalah

126 mm dan selama pertumbuhan generative

(umur 35-85 hari) 203 mm. Kebutuhan air tanaman

pada awal periode pertumbuhan sedikit, kemudian

meningkat hingga kanopi daun berkembang dan

menutup sempurna, selanjutnya berkurang hingga

menjelang panen. Pada puncak berbunga dan fase-

fase kritis terhadap kekeringan, tanaman

membutuhkan air lebih banyak (cybex. Pertanian,

2014)

KESIMPULAN

Dari hasil kajian menunjukkan bahwa

Varietas Grobogan memiliki daya adaptasi yang

baik di lahan pasang surut yang ditunjukkan oleh

hasil biji relatif lebih berat, dan menghasilkan

produksi yang relatif tinggi. Hal yang perlu

diperhatikan dalam penanaman kedelai adalah

waktu tanam yang tepat sehingga hasil yang

diperoleh menjadi optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningrat, E. A. 2008. Permasalahan dalam

membangun industri perbenihan.

Disampaikan dalam Integrated Workshop:

“Konsolidasi Sumberdaya Iptek Pangan

Untuk Mencapai Kemandirian Benih dan

Bibit Dalam Rangka Mewujudkan

Ketahanan Pangan dan MDG’s 2015. BPPT.

Jakarta. 15p

Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat. 2003.

Kalimantan Barat dalam angka, BPS Kalbar

Pontianak

Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat. 2003.

Kubu Raya dalam angka, BPS Kalbar

Pontianak

Cyber Extension,2014, Kementerian Pertanian,

Badan Penyuluhan dan Pengembangan

Sumber Daya Manusia Pertanian

Harjowigeno,S. 1996. Pengembangan lahan pasang

surut untuk pertanian suatu peluang dan

tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap

Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB.22 Juni

1996

Grafik 2. Jumlah Curah Hujan (Mm) Dan Jumlah Hari Hujan (Day) Di Kecamatan Tangaran

Page 50: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

153 Uji Adaptasi Varietas Kedelai di Lahan Pasang Surut Kab. Sambas Kalimantan Barat

(Dina Omayani Dewi)

Jusniati, Pertumbuhan Dan Hasil Varietas Kedelai

(Glycine Max L.) Di Lahan pasang surut

Pada Berbagai Tingkat Naungan Jurusan

Agroteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Tamansiswa, Jurnal UNITAS,

Yogyakarta

Margaretha. 2002. Pengaruh Molybdenum

Terhadap Nodulasi dan Hasil Kedelai yang

Diinokulasi Rhizobium pada Tanah Ultisol.

Jurnal MAPETA. Vol X No 2: 4-7.

Mawardi, E., Azwar dan Tambidjo, A., 2001.

Potensi dan Peluang Pemanfaatan

Harzeburgite sebagai Amelioran Lahan

pasang surut. Prosiding Seminar Nasional

Memantapkan Rekayasa Paket Teknologi

Pertanian dan Ketahanan Pangan dalam Era

Otonomi Daerah, 31 Oktober – 1 November

2001. Bengkulu

Najiyati, S. dan Danarti, 1999. Palawija Budidaya

dan Analisa Usaha Tani. Penebar Swadaya,

Jakarta

Purwono, M.S dan Purnamawati, H., 2007.

Budidaya dan 8 Jenis Tanaman Pangan

Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rachman, I dan Setiyohadi, B. 2007. Penyakit

Osteoporosis.

http://www.medicastore.com/osteoporosis/in

dex.

Richard. J.D., J.G. Louis, and Henry. 1984.

Soybeans Crop Production. 5th edition.

Engelwood Cliffs, N.J.: Practice Hall. Inc.

Sudaryanto, T dan Swastika, D. K. S. 2007.

Ekonomi Kedelai di Indonesia. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan. Bogor.

Page 51: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

154

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:147-153

Page 52: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

155 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo

sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan

(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)

MODEL PREDIKSI DINAMIKA POPULASI HAMA PENGGEREK BATANG TEBU BERGARIS (Chilo sacchariphagus) DI PERKEBUNAN CINTA MANIS

SUMATERA SELATAN

Muh Dimas Arifin1,2, Yonny Koesmaryono2 dan Muhamad Hidayanto1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur

Jl. PM. Noor-Sempaja, Samarinda 2Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor

Jl. Meranti Darmaga Bogor 16690

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Prediction model of population dynamics on sugarcane borer (Chilo sacchariphagus) in sugarcane plantation,

South Sumatera. Chilo sacchariphagus or Spotted Sugarcane Stemborer is one of the main pests attacking at Cinta

Manis Sugarcane Estate South Sumatera. Climatic factors including rainfall, minimum and maximum air

temperature, maximum and minimum relative humidity affect the presence of the pest. The purpose of this study is to

analyze the influence of climatic factors on population dynamics of Chilo sacchariphagus in Cinta Manis Sugar

Estate and building a prediction model of this pest. Simulation conducted over year of 2008-2013 by using DYMEX

3.0 pest lifecycle model. Simulation model gives a good prediction with high value of coefficient determination (R2)

of calibration and validation respectively 76% and 84%. The model predicted insect population decreased following

the air temperature rise. The pest attack should be anticipated as the other climate factors change.

Keywords: Climate, Sugarcane stemborer, Model Simulation DYMEX 3.0

ABSTRAK

Chilo sacchariphagus atau penggerek batang tebu bergaris adalah salah satu hama utama yang paling banyak

menyerang tanaman tebu di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan. Salah satu faktor yang mempengaruhi

keberadaan hama adalah faktor iklim, yaitu curah hujan, suhu minimum dan maksimum, RH maksimum dan

minimum. Penelitian ini bertujuan menganalisa hubungan antara dinamika populasi hama Chilo sacchariphagus

dan menyusun model simulasi untuk memprediksi populasi hama. Model siklus hidup dan pendugaan populasi

hama ini memanfaatkan model simulasi DYMEX 3.0. Simulasi dilakukan selama lima tahun tanam pada 2008 -

2013. Koefisien determinasi (R2) kalibrasi dan validasi model masing-masing sebesar 76% dan 84%. Model

memprediksi populasi hama menurun dengan tren meningkatnya suhu udara. Namun peningkatan populasi hama

tetap perlu diwaspadai sebab pengaruh perubahan faktor-faktor iklim yang lain.

Kata kunci: Iklim, Penggerek batang tebu, Model simulasi DYMEX 3.0

Page 53: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

156

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168

PENDAHULUAN

Salah satu faktor yang menyebabkan

penurunan rendemen tebu adalah serangan hama.

Penggerek batang merupakan salah satu hama

utama yang menyerang perkebunan tebu dan hama

ini terdiri atas beberapa spesies, namun yang

terpenting adalah penggerek berkilat (Chilo

auricilius) dan penggerek bergaris (Chilo

sacchariphagus) atau biasa disebut Chilo sp

(Pramono, 2005; Wirioatmodjo, 1977; Goebel et

al., 2013). Keberadaan Chilo sacchariphagus di

lapangan lebih dominan serta hampir selalu

ditemukan di semua kebun tebu di Indonesia

(Pramono et al., 2009; Indrawanto et al., 2010;

Subiyakto 2016) sehingga nilai tingkat serangan

penggerek batang di Indonesia dapat mewakili

tingkat serangan Chilo sacchariphagus.

Rejeki dan Zahro’in (2013) mencatat

bahwa 31% dari keseluruhan serangan organisme

pengganggu tanaman di Jawa Timur pada triwulan

kedua tahun 2013 merupakan serangan Chilo sp.

Investigasi di Pesantren Baru, Jawa Timur

menemukan bahwa tingkat serangan Chilo sp.

tertinggi tanpa perlakuan pengendalian hama

adalah sebesar 14,5% (Goebel et al., 2011).

Tingkat kerusakan oleh penggerek batang

tebu dinyatakan dalam persentase batang/ruas yang

rusak (Pramono et al., 2009). Goebel et al. (2011)

menyatakan bahwa tingkat serangan Chilo

sacchariphagus sebesar 10% setara dengan

penurunan kandungan sukrosa sebesar 23% (R2 =

0,331). Kerusakan ruas sebesar 1% di perkebunan

Jawa dapat mengakibatkan kerugian gula hingga

100 kg per hektar yang setara dengan kerugian

ekonomi sebesar 0,5% (Pramono, 2005; Yuniarti

dan Yuliyanto, 2013). Dengan demikian,

kerusakan ruas tertinggi di Perkebunan Tebu Cinta

Manis Sumatera Selatan pada periode 2007 – 2013

sebesar 9,91% (Winarno, 2014, Komunikasi

Pribadi) setara dengan kerugian ekonomi sebesar

4,95%. Meidalima dan Kawaty (2014) menemukan

pada serangan berat penggerek batang tebu di

Perkebunan Cinta manis mengakibatkan potensi

kehilangan gula mencapai 30,67%.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan

Geofisika mencatat terjadi tren peningkatan suhu

udara secara merata di seluruh Indonesia.

Perubahan iklim berupa peningkatan suhu udara

dan kenaikan curah hujan diprediksi dapat

meningkatkan serangan hama serangga pada

komoditas pertanian di Indonesia. Penggerek

Batang Padi Kuning diprediksi meningkat di

Indramayu dan Kuningan dalam beberapa tahun ke

depan berdasarkan skenario perubahan iklim SRES

A1FI dan B1 (Koem et al., 2015) serta RCP 2.6

dan 8 (Nurhayati et al., 2017). Pengaruh serupa

diduga juga terjadi pada hama penggerek batang

tebu. Penelitian bertujuan untuk menganalisa

hubungan antara dinamika populasi hama Chilo

sacchariphagus dengan faktor iklim serta

menyusun model simulasi untuk memprediksi

populasi hama tersebut sehingga kerugian dapat

diantisipasi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di

Laboratorium Agrometeorologi, Departemen

Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian

Bogor pada April 2014 sampai September 2014.

Data iklim harian daerah Palembang dan

sekitarnya diperoleh dari bulan Juni 2008 sampai

Agustus 2013 berupa data curah hujan, suhu udara

minimum, suhu udara maksimum, kelembaban

udara pada pukul 09.00 dan pukul 15.00 dari

stasiun meteorologi Sultan Mahmud Badarudin 2

dengan nomor WMO: 962210 (WIPP) melalui

website tutiempo.com, data persentase serangan

bulanan hama Penggerek Batang Tebu Bergaris

(Chillo sacchariphagus) pada wilayah Perkebunan

Tebu Cinta Manis tahun 2008-2013 dikumpulkan

oleh Bagian Penelitian dan Pengembangan PTPN

VII Unit Usaha Cinta Manis. Data prediksi suhu

udara harian pada tahun 2015-2022 diperoleh

berdasarkan catatan tren suhu oleh BMKG untuk

daerah Palembang dan sekitarnya. Penelitian ini

menggunakan perangkat lunak DYMEX 3.0 untuk

memodelkan dinamika populasi hama serta

Microsoft Excel dalam mengolah data.

Page 54: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

157 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo

sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan

(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)

Deskripsi Model DYMEX

Model DYMEX merupakan alat

penyusunan dan simulasi model diskrit yang

memanfaatkan konsep kohort. Setiap individu

organisme yang dimodelkan membentuk kohort

baru saat kondisi fisiologis tertentu terpenuhi

(Maywald et al., 2007; Kriticos et al., 2009).

Penyusunan model dinamik populasi hama

penggerek batang tebu bergaris diawali dengan

mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh di

dalam perkembangan fisiologis hama. Faktor-

faktor tersebut diperlukan untuk menentukan

modul yang digunakan dalam model builder

(Gambar 1).

Modul lifecycle menggambarkan

perkembangan siklus hidup hama penggerek

batang tebu bergaris. Perkembangan hama

melewati siklus telur, larva, pupa dan telur

dipengaruhi oleh developmental rate, mortalitas,

transfer, migrasi, fekunditas dan serta reproduksi.

Faktor-faktor tersebut digunakan untuk

mensimulasikan perkembangan populasi hama

dengan pendekatan cohort.

Developmental Rate

Jarosik et al. (2004) menyatakan

Developmental rate (DR) atau laju perkembangan

adalah fungsi linear dari suhu. Perpotongan antara

kurva dan sumbu-x (suhu) menunjukkan lower

development temperature (LDT) yang merupakan

suhu ambang batas bawah perkembangan hama.

Hubungan antara suhu udara (T) dan laju

perkembangan hama serta nilai LDT dari masing-

masing stadia dikemukakan dalam persamaan

dalam Tabel 1 oleh Goebel (2006). Laju

perkembangan menurun pada suhu di atas suhu

optimum (30°C). Persamaan DR pada suhu di atas

suhu optimum didapatkan melalui regresi linear

antara suhu udara dan laju perkembangan hama

berdasarkan data pengamatan Goebel (2006).

Mortalitas

Mortality Rate (MR) atau laju kematian

dinyatakan sebagai fungsi dari suhu. Nilai MR

Tabel 1 Persamaan laju perkembangan dan ambang batas bawah suhu

Stadia Persamaan laju perkembangan Ambang batas bawah suhu (LDT)

Telur 0,0087T – 0,1140 13,1 oC

Larva 0,0017T – 0,0220 12,7 oC

Pupa 0,0058T – 0,0750 13 oC

Imagoa 0,0074T – 0,0121 1,64 oC aberdasarkan data Moth Longevity (Goebel, 2006)

Gambar 1 Diagram model populasi dinamik penggerek batang tebui dalam DYMEX 3.0

Page 55: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

158

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168

linear menurun di bawah suhu optimum serta

meningkat saat melewati suhu optimum. MR

dihitung dari data pengamatan Goebel (2006)

dengan menggunakan formula Yonow et al.

(2004):

𝑀𝑅 = 1 − 𝑆𝐷

𝑆𝐷 = 𝑆𝑇

1

𝐷𝐷

Keterangan:

SD : laju survival harian (proporsi)

ST : total individu yang bertahan hidup

DD : waktu perkembangan (hari)

Persamaan mortalitas telur dimodelkan

dengan regresi linear antara suhu udara dan laju

kematian. Mortalitas imago dimodelkan dengan

menggunakan usia fisiologis pada imago,

sedangkan nilai laju kematian larva diasumsikan

konstan dan dimanfaatkan sebagai parameter yang

diubah-ubah pada proses kalibrasi.

Migrasi diasumsikan mengikuti

peningkatan mobilitas seiring kenaikan suhu udara

rata-rata (Koesmaryono, 1999; Child, 2007).

Potensi bertelur yang dihasilkan imago dengan

rasio kelamin 1:1 sebesar 250 butir. Imago betina

bertelur bertahap dengan progeny sebesar 40 butir

tiap kali bertelur yang jumlahnya menurun

terhadap waktu (Kalshoven, 1981; Pramono, 2005;

Goebel, 2006)

Simulasi, kalibrasi dan validasi model

Model simulator dijalankan dengan

memasukkan data meteorologi harian berupa suhu

udara minimum, suhu udara maksimum serta

kelembaban udara pada rentang waktu tahun 2008-

2013 dan letak lintang dari daerah kajian. Data-

data tersebut diolah oleh model simulator sehingga

dihasilkan data simulasi populasi harian.

Pengamatan populasi larva aktual dengan

membelah batang tebu tidak dapat dilakukan

karena akan menyebabkan kerusakan tanaman.

Sehingga data pembanding yang digunakan untuk

kalibrasi dan validasi model didapatkan dari

dugaan populasi larva berdasarkan data persentase

serangan. Kerusakan akibat serangan penggerek

batang dapat diamati sejak tebu berusia 1,5 bulan.

Persentase serangan pada tebu yang belum beruas

(berusia kurang dari 6 bulan) merupakan

perbandingan batang tebu yang terserang dengan

jumlah total batang tebu, sedangkan persentase

serangan tebu yang sudah beruas merupakan

perbandingan antara jumlah ruas yang terserang

dengan jumlah ruas total yang diamati (Pramono et

al., 2009). Hubungan antara usia tanaman dan

jumlah ruas merujuk kepada Hunsigi (2001) serta

asumsi jumlah tanaman 11210 tanaman dalam 10

petak amatan berukuran 10 juring x 10 m

(pengamatan oleh Bagian Litbang PTPN VII UU

Cinta Manis pada tanggal 2 Januari 2014).

Kalibrasi model dilakukan dengan

menggunakan data pada tahun tanam 2008 - 2009.

Kalibrasi dilakukan dengan mengubah parameter

mortalitas pada model lifecycle stadia larva,

sedangkan validasi terhadap model dilakukan

dengan menggunakan data pada tahun tanam 2009

- 2010, 2010 – 2011, 2011 – 2012 ,dan 2012 -

2013. Kesesuaian model dalam proses kalibrasi

dan validasi dinyatakan dalam nilai koefisien

determinasi (R2).

Hubungan Faktor Iklim dengan populasi hama

Luaran model berupa populasi hama harian

dibandingkan dengan data iklim untuk

Tabel 2 Hubungan antara jumlah ruas dan usia tanaman tebu (Hunsigi, 2001)

Fase Tebu Usia tebu (bulan) Jumlah ruas

Germinating 1 - 2 1

Tillering 3 - 4 1

Grand Growth 5 5

Maturation 6 - 14 bertambah 4 ruas / bulan

Page 56: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

159 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo

sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan

(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)

mendapatkan analisis keterkaitan antara keduanya.

Data iklim yang digunakan adalah data pada

tanggal 1 Juni 2008 sampai 31 Juli 2013 yang

merupakan rentang waktu 5 masa tanam. Analisis

dilakukan terhadap dinamika populasi yang

teramati selama simulasi serta kondisi iklim yang

menyertai. Hubungan antara populasi larva dan

parameter iklim bulanan secara khusus ditampilkan

dalam grafik scatter/pencar serta dianalisis dengan

menggunakan regresi linear. Hubungan antara

parameter iklim dengan populasi bulanan hasil

estimasi dari persentase serangan ditampilkan

untuk mengevaluasi hasil simulasi model.

Prediksi populasi hama

Prediksi populasi hama disimulasikan oleh

model dengan data masukan berupa data prediksi

suhu udara maksimum dan minimum pada tahun

2015-2016, 2018-2019 serta 2021-2022. Data

prediksi suhu udara dihitung dengan

menambahkan tren kenaikan suhu udara tahunan

dari BMKG.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi iklim wilayah kajian dan persentase

serangan hama

Perkebunan Cinta Manis berlokasi di enam

kecamatan kabupaten Ogan Ilir yaitu Indralaya

Kota, Indralaya Selatan, Tanjung Batu, Payaraman,

Lubuk Keliat, serta Rambang Kuang. Letak

astronomis Kabupaten Ogan Ilir berada pada 3o02'

dan 3o48' LS serta 104o20' dan 104o48' BT. Suhu

bulanan di wilayah kabupaten Ogan Ilir seperti

daerah lain di Indonesia yang beriklim tropis tidak

terlalu berfluktuasi. Suhu udara rata-rata selama

bulan Juni 2009 hingga Juli 2013 adalah 27 oC – 29 oC. Suhu udara bulanan minimum rata-rata adalah

23 oC – 25 oC, sedangkan suhu maksimum berkisar

antara 30 oC – 34 oC. Nilai kelembaban udara di

kabupaten Ogan Ilir berfluktuasi pada musim

kemarau dan musim hujan. Nilai RH maksimum

bulanan pada bulan Juni 2009 hingga Juli 2013

adalah 66% - 85%, sementara nilai RH minimum

bulanan pada rentang 56% - 72% (Gambar 2).

Persentase serangan memiliki

kecenderungan tinggi pada saat usia tanaman muda

(Gambar 3). Hal tersebut disebabkan oleh struktur

tanaman muda yang lunak dan sesuai bagi

perkembangan larva hama (Meidalima dan

Kawaty, 2015). Setelah bulan desember dimana

curah hujan meningkat serangan juga turut

meningkat dan umumnya berlanjut hingga akhir

tanam. Tingkat serangan tertinggi terjadi pada

tahun tanam 2010 – 2011 diduga berkaitan dengan

tingginya curah hujan pada tahun tersebut.

Gambar 2 Kondisi iklim bulanan Juni 2008 – Juni 2013 dari stasiun meteorologi Sultan Badarudin 2 (tutiempo.com)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0

50

100

150

200

250

300

350

400Ju

n-0

8

Sep

-08

Dec

-08

Mar

-09

Jun

-09

Sep

-09

Dec

-09

Mar

-10

Jun

-10

Sep

-10

Dec

-10

Mar

-11

Jun

-11

Sep

-11

Dec

-11

Mar

-12

Jun

-12

Sep

-12

Dec

-12

Mar

-13

Jun

-13

Kel

emb

aban

ud

ara

(%)

Suh

u u

dar

a (°

C)

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Bulan

Curah hujan RHmin RHmax Suhu Maksimum Suhu Minimum

Page 57: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

160

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168

Laju Perkembangan di atas Suhu Optimum dan

Laju Mortalitas

Laju perkembangan dari masing-masing

stadia mengalami penurunan saat suhu udara

melewati suhu optimum. Persamaan (Tabel 1)

dihitung berdasarkan data Goebel (2006).

Persamaan laju mortalitas untuk telur berdasarkan

data Goebel (2006) dinyatakan dengan persamaan

MR = - 0,0148 T + 0,3852 pada T < 25oC, MR =

0,0291 T – 0,7474 pada T >25oC serta MR = 0

pada saat suhu optimum (25oC)

Model Kalibrasi

Gambar 4 menunjukkan perbandingan

antara populasi larva yang diperkirakan model dan

populasi yang diestimasi dari persentase serangan

sebagai data observasi selama bulan juni 2008

hingga bulan juli 2009. Nilai hasil simulasi dan

hasil pengamatan menunjukkan angka yang

berbeda namun memiliki pola yang mirip. Hasil

regresi linear terhadap kedua data populasi

menunjukkan angka koefisien determinasi tertinggi

sebesar 76% pada nilai koefisien mortalitas larva

0,05 (Gambar 4). Koefisien determinasi yang

tinggi menunjukkan model DYMEX dapat

digunakan untuk simulasi dengan rentang waktu

yang lebih lama.

Model Validasi

Validasi dilakukan dengan

membandingkan antara nilai hasil prediksi model

Gambar 3 Perkembangan persentase serangan hama penggerek batang tebu (Winarno, komunikasi pribadi 2013).

-

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

Jun

i

Juli

Ags

t

Sep

t

Okt

No

p

Des Jan

Peb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

i

Juli

Ags

t

Per

sen

tase

ser

anga

n (

%)

Bulan dalam masa tanam

2008 - 2009

2009 - 2010

2010 - 2011

2011 - 2012

2012 - 2013

Tabel 3. Persamaan laju perkembangan di atas suhu optimum berdasarkan data Goebel (2006)

Stadia Persamaan laju perkembangan Suhu optimum

Telur -0,0037T + 0,2661 30 oC

Larva -0,0009T + 0,0548 30 oC

Pupa -0,0196T + 0,6863 30 oC

Page 58: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

161 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo

sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan

(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)

dan nilai hasil observasi pada waktu yang berbeda

dari kalibrasi. Nilai koefisien determinasi (R2) pada

tahun tanam 2009-2010 sebesar 84% menunjukkan

hubungan yang erat antara populasi larva hasil

prediksi model dan hasil observasi (Gambar 5).

Hasil validasi yang cukup tinggi tersebut

membuktikan bahwa iklim merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi keberadaan hama di

suatu wilayah sesuai dengan pendapat Clark et al.

(1967).

Populasi secara umum mengalami

peningkatan dalam satu tahun tanam. Turunnya

jumlah populasi secara tajam yang terjadi pada

awal musim tanam pada setiap tahunnya terkait

erat dengan ketersediaan makanan. Batang dan

ruas tebu yang merupakan makanan larva masih

tersedia dalam jumlah kecil pada awal musim

tanam. Hal tersebut dikarenakan tebu masih dalam

masa germinating hingga tillering.

Populasi tercatat selalu ada untuk setiap

stadia hama sepanjang tahun. Hal tersebut

disebabkan oleh suhu udara yang tidak pernah

turun hingga ambang batas bawah pertumbuhan

dari masing - masing stadia. Peningkatan populasi

mencapai puncaknya pada bulan-bulan kering yang

merupakan fase pemasakan tebu. Kelembaban

udara dan curah hujan yang rendah didukung oleh

ketersediaan makanan yang melimpah mendorong

Gambar 4 (a) Hubungan antara jumlah populasi larva Chilo sacchariphagus hasil prediksi dan estimasi berdasarkan

serangan hasil kalibrasi (b) jumlah populasi larva bulanan tahun tanam 2008-2009 hasil prediksi (- - -) dan estimasi

berdasar serangan ( - )

Gambar 5. (a) Hubungan antara jumlah populasi larva Chilo sacchariphagus hasil prediksi dan estimasi

berdasarkan serangan hasil validasi (b) jumlah populasi larva bulanan tahun tanam 2009-2010 hasil prediksi (- - -)

dan estimasi berdasar serangan ( - )

Page 59: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

162

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168

populasi hama mencapai puncaknya.

Populasi hasil prediksi model dan populasi

larva hasil estimasi dari persentase serangan

bersesuaian tren di awal masa tanam tetapi

menunjukkan perbedaan tren pada bulan April di

setiap tahun tanam (Gambar 6). Populasi hasil

estimasi pada bulan April hingga akhir tahun

tanam secara umum terus naik, sementara kenaikan

populasi hasil simulasi melambat pada periode

tersebut. Puncak populasi hasil simulasi tahun

tanam 2008/2009 dan 2011/2012 terlambat satu

bulan sedangkan pada tahun tanam 2009/2010

terlambat satu bulan. Model hanya mampu

memperkirakan puncak populasi secara tepat pada

tahun tanam 2010/2011 meskipun nilai yang

dimiliki di bawah nilai hasil estimasi populasi.

Pengaruh Parameter Iklim terhadap Populasi

Larva

Hama Chilo sacchariphagus aktif

menyerang batang tebu pada fase larva sehingga

pengaruh parameter iklim terhadap populasi larva

perlu diketahui lebih lanjut. Parameter iklim yang

berpengaruh terhadap populasi larva adalah

parameter iklim seminggu sebelumnya. Hal ini

disebabkan oleh fase telur yang terpapar langsung

oleh faktor iklim yang berlangsung 7 – 9 hari,

sementara larva dan pupa terlindung dari paparan

iklim karena terletak di dalam batang. Namun lag

satu minggu pada analisis diabaikan karena faktor

iklim yang digunakan adalah rataan bulanan.

Populasi larva hasil simulasi model

maupun hasil estimasi berdasar persentase

serangan tersebar hampir merata pada seluruh

rentang suhu minimum, suhu maksimum, suhu

rata-rata, curah hujan serta kelembaban udara

relatif (Gambar 7 dan 8). Hal tersebut

menunjukkan bahwa iklim di Perkebunan Cinta

Manis sesuai dengan yang dibutuhkan oleh larva

Chilo sacchariphagus untuk berkembang.

Suhu udara berpengaruh terhadap proses

metabolisme yang mengendalikan usia fisiologi

dan reproduksi. Dua hal tersebut memiliki dampak

terhadap perkembangan individu serta populasi

(Gillooly et al., 2002; Brown et al., 2004). Model

simulasi menunjukkan korelasi positif antara suhu

minimum dengan populasi dengan koefisien

determinasi sebesar 1,6%. Hal serupa ditunjukkan

pula pada populasi hasil estimasi berdasarkan

persentase serangan dengan R2 lebih tinggi sebesar

11,3%. Suhu minimum yang semakin tinggi

(mendekati 25oC) menyebabkan populasi larva

aktual bertambah tinggi. Hubungan tersebut sesuai

dengan Goebel (2006) yang menyatakan bahwa

suhu optimum bagi Chilo sacchariphagus untuk

bertelur adalah pada 25oC.

Sementara itu, suhu maksimum yang

tinggi menyebabkan populasi cenderung menurun.

Kenaikan suhu maksimum menyebabkan cekaman

panas yang meningkatkan mortalitas hama. Nilai

koefisien determinasi pada model mencapai 10,5%

sedangkan pada kondisi aktual hanya 0,4%. Hal ini

Gambar 6. Populasi larva Chilo sacchariphagus hasil simulasi model (- - -), estimasi berdasar serangan (-) .

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000Ju

n-0

8

Sep-0

8

Dec-0

8

Ma

r-0

9

Ju

n-0

9

Sep-0

9

De

c-0

9

Ma

r-1

0

Ju

n-1

0

Sep-1

0

De

c-1

0

Ma

r-1

1

Ju

n-1

1

Sep-1

1

Dec-1

1

Ma

r-1

2

Ju

n-1

2

Sep-1

2

De

c-1

2

Ma

r-1

3

Ju

n-1

3

La

rva

(e

ko

r)

Bulan simulasi

Page 60: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

163 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo

sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan

(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)

menunjukkan bahwa pengaruh suhu maksimum

terhadap dinamika populasi dimodelkan lebih

besar dari sebenarnya.

Suhu rata – rata bulanan memiliki korelasi

negatif terhadap populasi larva Chilo

sacchariphagus hasil model dengan koefisien

determinasi sebesar 5,6%. Sementara itu koefisien

determinasi antara suhu terhadap populasi hasil

estimasi hanya 0,4% serta bernilai negatif. Hal ini

menunjukkan bahwa model belum mampu

menggambarkan pengaruh suhu rata – rata

terhadap populasi larva.

Hubungan antara curah hujan kumulatif

bulanan dan populasi sangat kecil. Hal ini

ditunjukkan dengan korelasi senilai 1,3% (model

simulasi) dan 1,7% (data estimasi). Nilai korelasi

pada model yang mendekati nilai korelasi aktual

menunjukkan bahwa model cukup baik

menggambarkan pengaruh curah hujan. Namun

korelasi yang bernilai positif menunjukkan bahwa

Gambar 7. Unsur iklim bulanan dan sebaran populasi larva Chilo sacchariphagus bulanan hasil simulasi pada Juni

2008 – Juli 2013

Page 61: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

164

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168

bertambahnya curah hujan justru menyebabkan

populasi larva bertambah. Hal ini tidak sesuai

dengan dugaan bahwa curah hujan menyebabkan

turunnya populasi dengan menyapu telur pada

permukaan atas daun. Peningkatan populasi oleh

curah hujan diduga terjadi secara tidak langsung

melalui terhambatnya perkembangan parasit kecil

dalam kondisi basah/curah hujan tinggi (Speight et

al., 2008; Meidalima dan Kawaty, 2015).

Hubungan populasi larva dan kelembaban

relatif minimum dan maksimum dimodelkan oleh

DYMEX dengan cukup tinggi. Hal tersebut

ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi

sebesar 12,5% (RH minimum) dan 12,8% (RH

maksimum). Sementara itu, koefisien determinasi

yang ditunjukkan oleh populasi hasil estimasi

hanya 7,7% untuk RH minimum dan 7,9% untuk

RH maksimum. Tubuh serangga yang memiliki

rasio antara luas permukaan dan volume tinggi

Gambar 8. Unsur iklim bulanan dan sebaran populasi larva Chilo sacchariphagus bulanan hasil estimasi dari

persentase serangan pada Juni 2008 – Juli 2013

Page 62: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

165 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo

sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan

(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)

sangat mudah kehilangan air dalam proses

penguapan (Mavi dan Tupper, 2004).

Populasi larva mencapai kondisi optimal

pada RH minimum sebesar 70% dan RH

maksimum sebesar 80%. Larva diperkirakan

mencapai populasi di atas 10.000 ekor pada

rentang tersebut. Hal ini bersesuaian dengan Child

(2007) bahwa serangga tumbuh optimum pada RH

tinggi di atas 70%.

Prediksi populasi hama

Dinamika populasi hama Chilo

sacchariphagus pada tahun tanam 2015-2016,

2018-2019 serta 2021-2022 dimodelkan dengan

asumsi kenaikan suhu minimum sebesar 0,0409

C/tahun dan suhu maksimum rata-rata sebesar

0,0315 C/tahun (BMKG, 2018). Hasil simulasi

menunjukkan tren dinamika populasi menurun

selama tiap tahunnya (Gambar 9). Hal ini

disebabkan oleh tingginya suhu udara maksimum

yang sehingga mendekati ambang atas suhu hama

menyebabkan meningkatnya mortalitas dalam

tahun-tahun ke depan. Meski demikian, tetap perlu

diwaspadai terjadinya peningkatan populasi hama

pada bulan-bulan pertengahan hingga akhir masa

tanam dimana model cenderung under estimate

terhadap populasi sebenarn

Salah satu faktor yang diduga

menyebabkan ketidak sesuaian hasil simulasi

model pada pertengahan tanam hingga akhir adalah

terdapat menurunnya laju mortalitas hama pada

stadia larva yang diasumsikan konstan dalam

model. Perubahan laju mortalitas larva dapat

disebabkan oleh interaksi antara hama, tanaman,

dan musuh alami hama. Masing-masing faktor

tersebut juga terdampak oleh kondisi iklim

(Nurindah dan Yulianti, 2018). Model yang lebih

integratif mencakup pengaruh iklim terhadap

tanaman inang dan musuh alami hama perlu

disusun untuk menanggulangi kelemahan prediksi

model ini.

KESIMPULAN

Model DYMEX mampu menggambarkan

dinamika populasi hama Chilo sacchariphagus

dengan baik, khususnya pada bulan-bulan awal

pertumbuhan inang tebu dengan koefisien

Gambar 9. Prediksi Dinamika populasi larva C. saccharipagus pada tahun tanam 2015/2016, 2018-2019 dan 2021-

2022

Page 63: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

166

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168

determinasi kalibrasi dan validasi masing-masing

sebesar 76% dan 84%. Simulasi model

mengindikasikan penurunan populasi hama

penggerek batang tebu pada tahun-tahun

mendatang sebagai respon kenaikan suhu udara

minimum dan maksimum. Namun, serangan hama

tersebut tetap perlu diwaspadai sebab terdapat

faktor-faktor lain yang belum dipertimbangkan

oleh model.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih kepada Winarno, S.P.

dari PTPN VII UU Cinta manis atas dukungan data

serangan hama penggerek tebu dan kepada Dr

Sumedi S.P, M.Si. atas bimbingan dalam penulisan

karya tulis ini.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.

2018. Perubahan Iklim : Tren Suhu.1981 –

2016. www.bmkg.go.id

Brown, J.H., J.F. Gillooly, A.P. Allen, V.M.

Savage, G.B. West. 2004. Toward a

Metabolic Theory of Ecology. Ecology.

85(7):1771–1789.doi: 10.1890/03-9000.

Child, R.E. 2007. Insect Damage as Function of

Climate. Di dalam: Padfield T, Borchersen

K, editor. Museum Microclimates.

Copenhagen (DK): National Museum of

Denmark. hlm 57-60

Clark, L.R, P.W. Geier, R.D. Hughes, R.F. Morris.

1967. The Ecology of Insect Populations in

Theory and Practice. London (GB):

Chapmann and Hall.

Gillooly, J.F., E.L. Charnov, G.B. West, V.M.

Savage, J.H. Brown. 2002. Effects of Size

and Temperature on Developmental Time.

Nature.417:70–73.doi: 10.1038/417070a.

Goebel, F-R, E. Achadian, P. McGuire. 2013.

Economic Impact of Sugarcane Moth Borers

in Indonesia. Proc Int Soc Sugar Cane

Technol. Vol 28(8): p. 1-10, doi:

10.1007/s12355-013-0281-2.

Goebel, F-R, E. Achadian, A. Kristini, M. Sochib,

H. Adi. 2011. Investigation of Crop Losses

Due to Moth Borers in Indonesia. Proc Aust

Soc Sugar Cane Technol (2011) vol 33:1-9.

Goebel, F-R. 2006. The effect of temperature on

development and reproduction of the

sugarcane stalk borer, Chilo sacchariphagus

(Bojer 1856). African Entomology Vol

14(1): p. 103–111.

Hunsigi, G. 2001. Sugarcane in Agriculture and

Industry. Bangalore (IN): Prism Books Pvt

Ltd

Indrawanto, C., Purwono, Siswanto, M. Syakir,

Rumini W. 2010. Budidaya dan Pasca

Panen Tebu. Jakarta (ID): ESKA Media

Jarosik, V., L. Kratochvil, A. Honek, A.F.G.

Dixon. 2004. A general rule for the

dependence of developmental rate on

temperature in ecthotermic animals. Proc R

Soc Lond B vol 271: p S219-S221. doi:

10.1098/rsbl.2003.0145

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in

Indonesia. Revised and Translated By P.A.

van der Laan. Jakarta (ID): Ichtiar Baru –

Van Hoeve

Koem, Y. Koesmaryono, Impron. 2015.

Pemodelan fenologi populasi penggerek

batang padi kuning Scirpophaga incertulas

(Walker) berbasis pengaruh iklim. Jurnal

entomologi Indonesia vol 11(1): hal. 1-10.

doi:10.5994/jei.11.1.1

Koesmaryono, Y. 1999. Hubungan Cuaca-Iklim

Dengan Hama dan Penyakit Tanaman. Di

dalam: Koesmaryono Y, Impron, Sugiarto

Y, editor. Pelatihan Dosen-dosen Perguruan

Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat

dalam Bidang Agroklimatologi (Buku 2);

1999 Feb 1-12; Bogor, Indonesia. Bogor

(ID): Ditjen DIKTI Depdikbud dan FMIPA

IPB. Hal. 90-108

Kriticos, D.J., M.S. Watt, T.M. Withers, A.

Leriche, M.C. Watson. 2009. A process-

based population dynamics model to explore

Page 64: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

167 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo

sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan

(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)

target and non-target impacts of a biological

control agent. Ecological Modelling 220:p.

2035–2050.

Mavi, H.S. and G.J. Tupper. 2004.

Agrometeorology. New York (US): Haworth

Press.

Maywald, G.F., D.J. Kriticos, R.W. Sutherst, W.

Bottomley. 2007. DYMEX Model Builder

Version 3: User’s Guide. Melbourne (AU):

Herne Scientific Software Pty Ltd.

Meidalima, D dan R.R. Kawaty. 2014. Potensi

Kehilangan Gula Oleh Chilo

sacchariphagus di Pertanaman Tebu Lahan

Kering Cinta Manis Ogan Ilir. Prosiding

Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014.

Palembang, 26-27 September 2014. Pusat

Unggulan Riset Pengembangan Lahan

Suboptimal, Universitas Sriwijaya: hal. 98-

103.

Meidalima, D dan R.R. Kawaty. 2015. Eksplorasi

dan Pengamatan Intensitas Serangan Hama

Penting Tanaman Tebu di PTPN VII, Cinta

Manis Sumatera Selatan. Biosaintifika 7 (1):

hal. 68 – 76.

doi:10.15294/biosaintifika.v7i1.3541.

Nurhayati, E, Y. Koesmaryono, Impron. 2017.

Predictive Modeling of Rice Yellow Stem

Borer Population Dynamics under Climate

Change Scenarios in Indramayu. IOP Conf.

Ser.: Earth Environ. Sci. (2017) 58 012054 :

p. 1-10 doi:10.1088/1755-1315/58/1/012054

Nurindah dan T. Yulianti. 2018. Strategi

Pengelolaan Serangga Hama dan Penyakit

Tebu dalam Menghadapi Perubahan Iklim.

Buletin Tanaman Tembakau, Serat &

Minyak Industri Vol 10(1): hal. 39-53

Pramono, D, R. Hermawan, M.M. Sulistyana,

Mudakir, Harianto. 2009. Pelaksanaan dan

Manfaat Program Early Warning System

(EWS) di Kawasan PG Bungamayang –

Lampung, PTPN VII Persero Periode Tanam

2006/2007 – 2008/2009. Pasuruan (ID):

P3GI. [6 Maret 2014].

http://www.sugarresearch.org/index.php/ews

-di-pg-bungamayang.htm

Pramono, D. 2005. Pengelolaan Hama Tebu

Secara Terpadu.Volume – 2. Malang (ID):

Dioma

Rejeki, T dan E. Zahro’in. 2013. Fluktuatif

Serangan Penggerek Batang Tebu (Chilo

sp.) di Wilayah Kerja Balai Besar

Perbenihan dan Proteksi Tanaman

Perkebunan (BBPPTP) Surabaya pada

Triwulan II 2013.Surabaya (ID): BBPPTP.[

6 Maret 2014].

http://ditjenbun.deptan.go.id/bbpptpsurabaya

/tinymcpuk/gambar/file/7.%20FLUKTUATI

F%20SERANGAN%20CHILO%20sp%20-

%20Kiki%20Erna.pdf

Speight, M.R., M.D. Hunter, A.D. Watt. 2008.

Ecology of Insect: Concept and Aplication.

Chichester (UK): Wiley-Blackwell.

Subiyakto. 2016. Hama penggerek tebu dan

perkembangan teknik pengendaliannya.

Jurnal Litbang Pertanian Vol 35 (4):hal.

179-186.

Wirioatmodjo, B. 1977. Biologi lalat Jatiroto,

Diatraeophaga striatalis Townsend, dan

penerapannya dalam pengendalian

Penggerek Berkilat, Chilo Auricilius

Dudgeon [disertasi]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor

Yonow, T, M.P. Zalucki, R.W. Sutherst, B.C.

Dominiak, G.F. Maywald, D.A. Maelzer,

D.J. Kriticos. 2004. Modelling the

population dynamics of the Queensland fruit

fly, Bactrocera (Dacus) tryoni: A cohort-

based approach incorporating the effect of

weather. Ecological Modelling. Vol (173):

p. 9-30

Yuniarti, F dan Y. Yulianto. 2013. Serangan Chilo

sacchariphagus pada Tebu di Wilayah

Provinsi Jawa Timur pada Bulan Agustus

2013. Surabaya (ID): BBPPTP. [Internet]. [6

Maret 2014].

http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpsurab

aya/

Page 65: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

168

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168

Page 66: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

169 Pengaruh Sistem Tanam terhadap Produktivitas dan Serangan Opt Beberapa Varietas Unggul

Padi (Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi)

PENGARUH SISTEM TANAM TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN SERANGAN OPT BEBERAPA VARIETAS UNGGUL PADI

Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo

Jl. Muh. Van Gobel No. 270 Iloheluma, Tilongkabila Bone Bolango Gorontalo

Email : [email protected]

ABSTRACT

The Effect of Plant Systems on Productivity and Several Options of Superior Rice Varieties. The

study of the effect of the planting system on productivity and pest attack on several superior varieties of rice. This

research was held in Posso Village, Kwandang District, Gorontalo Utara Regency during on the rainy

season2017/2018. This research to find out effect of the Tabela system (direct seeding) and Tapin system

(transplanting) on the growth and yield of several rice varieties. The treatment consists of two factors : varieties

(Ciherang, Inpari 30, Inpari 41) and planting systems (Tabela and Tapin System). Every treatments use area 0,25

ha. The treatment arranged factorially (2X3) in a randomized block design and repeated four times. Parameters

observed included: plant growth, yield and yield components of rice.Data were analyzed by variance and

continued with DMRT tests at a rate of 5%.The results showed that the Ciherang variety in the Tabela system

showed better growth and yield of 5.725 t / ha compared to other varieties in two different planting systems.Effect

of the planting system on the growth and yield of wetland rice in the Tabela system (direct planting) showed better

results at 5.246 t / ha than the Tapin system (transplanting) 3,735 t / h.The parameters for observing OPT are stem

borers attacks and rice leaf rollers attacks

Keywords: Tabela, Tapin, Productivity, Intencity attack

ABSTRAK

Kajian Pengaruh sistim tanam terhadap produktivitas dan serangan OPT beberapa varietas unggul padi telah

dilaksanakan di Desa Posso, Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara pada MH 2017/2018 bulan Mei-

Agustus 2018. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sistim Tabela (tanam benih langsung) dan

Tapin (tanam pindah) terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas padi .Perlakuan terdiri atas dua faktor,

Faktor pertama adalah varietas (Ciherang, Inpari 30, dan Inpari 41). Faktor kedua adalah sistem tanam (Tabela dan

sistem tanam Tapin). Masing-masing varietas dan sistem tanam menggunakan lahan seluas 0,25 ha Perlakuan

disusun secara faktorial (2X3) dengan rancangan acak kelompok dan diulang empat kali. Parameter yang diamati

meliputi: pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil padi. Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan

dengan uji DMRT pada taraf 5 %. Hasil pengkajian menunjukkan varietas Ciherang pada sistem tanam Tabela

memberikan pertumbuhan dan hasil lebih baik yaitu 5,725 t/ha dibandingkan dengan varietas lain pada dua sistem

tanam yang berbeda. Pengaruh sistim tanam terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah pada sistim Tabela (tanam

benih langsung) memberikan hasil lebih baik yaitu 5,246 t/ha daripada sistim Tapin (tanam pindah) 3,735 t/h.

Parameter pengamatan OPT adalah intensitas serangan penggerek batang dan hama putih palsu.

Kata kunci: Tabela, Tapin, Produktivitas, intensitas serangan hama

Page 67: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

170 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:169-177

PENDAHULUAN

Padi (Oryza sativa L.) merupakan

komoditas strategis penghasil beras yang menjadi

makanan pokok sebagian besar penduduk

Indonesia.upaya peningkatan produksi beras terus

dilakukan oleh Pemerintah seiring dengan

bertambahnya jumlah penduduk yang

mengkonsumsi beras. Pemerintah melakukan

beberapa cara untuk kembali berswasembada beras

seperti yang telah dicapai pada tahun 1994 dengan

kegiatan intensifikasi lahan, peningkatan sarana

produksi dan penggunaan varietas unggul (Abid,

2015).

Terdapat beberapa cara penanaman padi

yang biasa dilakukan petani pada umumnya yaitu:

sistem Tanam Benih Langsung (Tabela), System of

Rice Intensification (SRI) dan Pindah tanam atau

Transplanting (Tapin) (Pandawani, 2012).Dalam

upaya peningkatan produksi, petani harus

menerapkan teknologi yang bersifat spesifik lokasi,

salah satunya dengan perbaikan sistem tanam yaitu

“Tabela”. Bila dibandingkan dengan sistem tanam

Tapin, Tabela memiliki beberapa keunggulan di

antaranya terjadi efektivitas dan efisiensi karena

waktu tanam cepat, tenaga tanam sedikit dan biaya

tanam bisa dikurangi serta pemupukan lebih efisien

dan mudah karena dilakukan pada larikan saja.

Pengamatan dan pengendalian OPT lebih mudah

dilaksanakan. Anakan padi lebih kuat dan tidak

mengalami stagnasi (stres).

Air yang belakangan juga kerap menjadi

masalah utama yang harus dihadapi petani bisa

diatasi, karena dengan sistem Tabela terjadi

efisiensi dalam penggunaan air dimana pengairan

terputusputus (macak -macak) dan dengan sistem

Tabela anakan banyak dan bulir-bulir padi juga

bernas karena sinar matahari bisa masuk dengan

leluasa pada larikan-larikan yang dibuat ( Mulyanti

dan Sianiapar, 2015). Tanam padi dengan sistem

Tabela sudah pernah dilaksanakan di beberapa

subak di Bali pada tahun 2011, produktivitas cukup

signifikan, yang mana dengan Tabela, rata - rata

propitas tercapai 70,00 - 82,40 Kw/Ha GKP,

sedangkan dengan tanam Tapin (tanaman pindah)

yang hanya mencapai 65,00 - 68,00 Kw/Ha GKP (

Redaksi Galang Kangin, 2012).

Tanam padi dengan sistem tabela ini dapat

menjadi alternatif, karena memberikan beberapa

keunggulan dari cara tanam konvensional karena

dirasa lebih efisien, khususnya pada saat musim

kemarau. Pada sistem tabela ini, sebelum benih

ditabur ke lahan terlebih dahulu di kecambahkan di

dalam karung yang basah selama 2 hari sampai

calon akarnya kelihatan.Teknik Tabela dalam

pengkajian ini diintroduksikan menggunakan alat

tanam benih langsung (Atabela) yang dirakit Balai

Besar Alat Mesin Pertanian (BBA) atau

dikenalAtabela tipe BBA. Benih yang telah

berkecambah kemudian dimasukan kedalam

Atabela.

Penelitian ini bertujuan mengetahui

pengaruh sistem tanam terhadap produktivitas dan

serangan OPT beberapa varietas unggul padi.

METODE

Pengkajian dilaksanakan di Desa Posso

Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara

pada bulan Mei sampai bulan Juli tahun 2018.

Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh sistim Tabela (tanam benih langsung)

dan Tapin (tanam pindah) terhadap pertumbuhan

dan hasil beberapa varietas padi serta serangan

beberapa jenis OPT. Perlakuan terdiri atas dua

faktor, faktor pertama sistem tanam Tabela dan

sistem tanam Tapin.

Faktor kedua varietas (Ciherang, Inpari 30,

Inpari 41,). Luas lahan 0,25 ha untuk masing-

masing varietas dan cara tanam. Perlakuan disusun

secara faktorial (2X3) dengan rancangan acak

kelompok dan diulang empat kali. Pengolahan

tanah untuk kedua sistim tanam dilakukan dengan

cara dibajak. Cara tanam sistim tabela, benih padi

langsung ditanam dengan jarak tanam 25 cm X 25

cm, sedangkan cara tanam sistem Tapin, benih

disemaikan dahulu, setelah berumur 21 hari

tanaman dipindah ke lahan dengan jarak tanam 30

cm X 30 cm. Luas masing – masing perlakuan

adalah 0,25 hektar.

Page 68: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

171 Pengaruh Sistem Tanam terhadap Produktivitas dan Serangan Opt Beberapa Varietas Unggul

Padi (Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi)

Waktu tanam Tabela bersamaan dengan

waktu semai Tapin. Dosis pupuk pada masing-

masing perlakuan adalah sama yaitu: Urea

sebanyak 250 kg/ha diberikan pada awal tanam

sebanyak 150 kg, dan pada umur 21 hari sebanyak

50 kg, serta pada umur 45 hari sebanyak 50 kg.

Pupuk SP36 sebanyak 150 kg diberikan pada awal

tanam, Pupuk KCl sebanyak 100 kg diberikan pada

awal tanam. Pemeliharaan tanaman meliputi

pengendalian gulma, hama dan penyakit

disesuaikan dengan konsep PHT (pengendalian

hama terpadu). Parameter yang diamat meliputi :

tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah

gabah isi, jumlah gabah hampa dan hasil (GKP).

Sedangkan, Parameter pengamatan hama

yang dilakukan ádalah menghitung intensitas

serangan dan populasi hama. Pengamatan

dilakukan setiap minggu. Intensitas serangan

penggerek batang padi dihitung dengan

menggunakan rumus (Direktorat Perlindungan

tanaman Pangan, 2018) sebagai berikut :

I = a

X 100 % a+b

dengan penjabaran :

I = intensitas serangan

a = jumlah anakan yang terserang

b = jumlah anakan yang tidak terserang.

Intensitas serangan penggerek batang padi

dihitung dengan menggunakan rumus (Direktorat

Perlindungan tanaman Pangan, 2018) sebagai

berikut :

I = Σ(nixvi)

X 100 % (NxV)

dengan penjabaran :

I = Intensitas Serangan

ni = Jumlah Tanaman atau Bagian Tanaman

Contoh dengan Skala Kerusakan vi

vi = Nilai Skala Kerusakan Contoh

N = Jumlah Tanaman atau Bagian Tanaman

Contoh yang Diamati

Z = Nilai Skala Kerusakan Tertinggi

Nilai skala kerusakan beberapa jenis OPT

penting pada beberapa tanaman pangan (padi dan

jagung) yang sering digunakan oleh pengamat

lapangan adalah sebagai berikut (Sunoto, 2003) :

1 = Serangan / kerusakan kurang dari 25 %

2 = Serangan antara 25 – 50 %

3 = Serangan antara 50 – 75 %

4 = Serangan> 75 %

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh sistem tanam terhadap pertumbuhan

dan hasil

Secara umum hasil rata-rata parameter

pengamatan terhadap komponen pertumbuhan

menunjukan bahwa sistem tanam Tabela lebih

unggul jika dibandingkan dengan sistem tanam

Tapin (Tabel 1).

Hasil pengamatan jumlah anakan produktif

dan hasil GKP pada sistem tanam Tabela lebih

unggul dari sistem tanam tapin dan berbeda

nyata.Hasil rata-rata tinggi tanaman, jumlah gabah

isi panjang malai lebih unggul tetapi tidak berbeda

nyata. Jumlah jumlah anakan produktif yang

dihasilkan tanaman akan mempengaruhi bobot

produksi dan bobot gabah kering panen. Jumlah

anakan produktif merupakan salah satu indikator

produksi padi..

Jumlah anakan perumpun pada sistem

Tabela 40,67 batang nyata lebih tinggi dari jumlah

anakan pada sistem Tapin yaitu 34,96 batang atau

terjadi peningkatan jumlah anakan secara nyata

16,33 % pada sistem Tabela dibandingkan dengan

sistem Tapin. Jumlah anakan produktif perumpun

pada sistem Tabela mencapai 26,64 batang

sedangkan pada system Tapin 18,34 batang. Pada

sistem Tabela terjadi peningkatan jumlah anakan

produktip secara nyata yaitu 45,25 % dibandingkan

Tapin (Tabel 1).

Page 69: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

172 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:169-177

Tabel 1.Pengaruh Sistim Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi beberapa Varietas Padi.Kwandang MH

2017/2018

Varietas

Parameter

tinggi

tanaman

(cm)

jumlah anakan

produkif

(batang)

panjang

malai (cm)

jumlah

gabah isi

(butir)

gabah

hampa

(butir)

bobot 100

benih

(gram)

Hasil

GKP

(ton/ha)

Tapin 88.70 a 28.51 b 23.45 a 124.18 a 24.94 a 25.43 a 3.73 b

Tabela 89.88 a 30.55 a 23.64 a 125.98 a 26.08 a 25.29 a 5.25 a

KK (%) 3.34 17.91 3.358 7.686 29.75 3.653 14.05

Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada 0.05 DMRT.

Panen dilakukan pada saat cuaca

terang.Padi dipanen pada umur antara 80-110 hari

setelah tanam. Kriteria tanaman padi yang siap

dipanen adalah sebagai berikut : Umur tanaman

telah mencapai umur yang tertera pada deskripsi

varietas tersebut. Daun bendera dan 90% bulir padi

telah menguning. Malai padi menunduk karena

menopang bulirbulir yang bernas.Butir gabah

terasa keras bila ditekan.Panen dilakukan dengan

caramemotong batang berikut malainya.

Tabela memberikan hasil gabah kering

panen 5,246ton perhektar yaitu 6,81 % nyata lebih

tinggi dari pada hasil gabah kering panen pada

sistim Tapin yang mencapai 3,735 ton perhektar.

Hasil ini diperoleh karena pada sistim Tabela

persentase gabah berisi juga lebih tinggi yang juga

memberikan hasil panen yang lebih tinggi. Gabah

berisi merupakan salah satu indikator produktivitas

karena semakin tinggi gabah berisi dapat menjadi

kriteria dari masa pertumbuhan generatif dan

reproduktif yang cukup baik.

Pengaruh varietas terhadap pertumbuhan dan

hasil

Hasil rata-rata pengamatan terhadap

komponen pertumbuhan dan hasil dari tiga

varietas, secara umum varietas Inpari 41

memberikan pertumbuhan dan hasil lebih unggul

dibandingkan dengan varietas Inpari Ciherang dan

Inpari 30 . inpari 41 merupakan varietas unggul

Tabel 2.Pengaruh Varietas terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi beberapa Varietas Padi. Kwandang MH 2017/2018

Varietas

Parameter

tinggi tanaman

(cm)

jumlah

anakan

produkif

(batang)

panjang

malai (cm)

jumlah

gabah isi

(butir)

gabah

hampa

(butir)

bobot 1000

benih

(gram)

Hasil

GKP

(ton/ha)

Ciherang 89.56 Ab 33.15 a 23.36 a 108.06 b 20.31 b 26.79 a 4.79 a

Inpari 30 91.10 A 28.15 b 23.67 a 116.39 b 23.74 b 25.75 b 4.38 a

Inpari 41 87.21 b 27.30 b 23.60 a 150.78 a 32.49 a 23.55 c 4.30 a

KK (%) 3.34 17.91 3.36 7.69 29.75 3.65

14.05

Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada 0.05 DMRT.

Page 70: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

173 Pengaruh Sistem Tanam terhadap Produktivitas dan Serangan Opt Beberapa Varietas Unggul

Padi (Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi)

padi sawah tadah hujan yang memiliki potensi

hasil 7,83 t/Ha agak peka terhadap kekeringan

sehingga cocok di ekosistem sawah dataran rendah

(Badan Litbang Pertanian, 2018)

Hasil GKP menunjukan Varietas Ciherang

memberikan hasil yang lebih baik yaitu sebesar

4,791 t/ha tapi tidak berbeda nyata dengan hasil

varietas Inpari 30 dan Inpari 41.

Pengamatan jumlah gabah produktif

panjang malai varietas ciherang lebih unggul dan

berbeda nyata. Pengamatan tinggi tanaman pada

tiga varietas yang diuji menunjukkan bahwa

varietas Inpari 30 lebih Unggul dan berbeda nyata

dengan Inpari 41, tetapi tidak berbeda nyata

dengan Ciherang (Tabel 2), sedangkan pada

pengamatan jumlah anakan, varietas Ciherang

lebih tinggi dibandingkan dengan Inpari 30 dan

Inpari 41.

Pengamatan gabah hampa pada ketiga

varietas tidak menunjukkan varietas Inpari 41 lebih

tinggi dibandingkan varietas Ciherang dan Inpari

30.Hasil gabah kering panen, varietas Ciherang

memberikan hasil tertinggi, namun tidak berbeda

nyata dengan varietas Inpari 30 dan Inpari 41.

Pengaruh interaksi sistem tanam dan varietas

terhadap pertumbuhan dan hasil

Pengaruh interaksi varietas dan sistim

tanam terhadap pertumbuhan dan hasil dapat

dilihat pada tabel 3.

Varietas Inpari Ciherang terhadap sistim

tanam tabela memberikan hasil yang lebih baik

jika dibandingkan dengan sistim tanam pindah

(Tapin) yaitu sebesar 5,735 t/ha dan berbeda nyata

dengan sistim tanam pindah sebesar 3,848 t/ha.

Varietas Inpari 30 terhadap sistim tanam

tabela memberikan hasil yang lebih baik jika

dibandingkan dengan sistim tanam pindah (Tapin)

yaitu sebesar 5,12 t/ha dan berbeda nyata dengan

sistim tanam pindah sebesar 3,54 t/ha.

Tabel 3.Pengaruh Interaksi Varietas dan Sistim Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi beberapa Varietas Padi.

Kwandang MH 2017/2018

Varietas

/sistem

tanam

Parameter

tinggi

tanaman

(cm)

jumlah

anakan

produkif

(batang)

panjang

malai (cm)

jumlah

gabah isi

(butir)

gabah

hampa

(butir)

bobot 1000

benih (gram)

Hasil GKP

(ton/ha)

Ciherang

Tapin 88.22 ab 32.50 a 23.34 a 100.67 b 25.1 b 26.47 ab 3.85 b

Tabela 90.90 ab 33.80 a 23.39 a 115.45 b 15.52 b 27.1 a 5.73 a

Inpari 30

Tapin 90.15 ab 27.70 a 23.56 a 115.43 b 23.47 b 26.37 ab 3.547 b

Tabela 92.05 a 28.60 a 23.77 a 117.35 b 24.00 b 25.12 bc 5.21 a

Inpari 41

Tapin 87.72 ab 25.35 a 23.44 a 156.43 a 26.25 b 23.45 cd 3.81 b

Tabela 86.70 b 29.25 a 23.77 a 145.13 a 38.72 a 23.65 d 4.79 a

KK (%) 3.34 17.91 a 3.36 7.69 29.7 3.65 14.05

Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada 0.05 DMRT.

Page 71: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

174 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:169-177

Varietas Inpari 41 terhadap sistim tanam

tabela memberikan hasil yang lebih baik jika

dibandingkan dengan sistim tanam pindah yaitu

sebesar 4.78 t/ha dan berbeda nyata dengan sistim

tanam tapin sebesar 3,81 t/ha.

Teknik penanaman yang ditetapkan dalam

bidang pertanian dimaksudkan untuk menaikkan

hasil dan meningkatkan produktivitas usaha tani

padi adalah dengan dikembangkannya teknologi

dari sistem tanam pindah (Tapin) yang melalui

persemaian ke sistim tanam benih langsung

(Tabela).Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ni

Putu Pandawani (2006) menunjukkan bahwa

tanam benih langsung berbeda nyata pertumbuhan

dan hasil padi dengan system tanam pindah.

Teknik budidaya system Tabela

dikembangkan untuk menghindari serangan OPT

terutama serangan penyakit tungro yang

disebabkan oleh wereng hijau sebagi vektor

dipersemaian.Infeksi tungro biasanya lebih rendah

pada Tabela karena lebih tingginya populasi

tanaman jika dibandingkan tanam pindah (Tapin).

(Gonzaga, 2010)

Guna memantapkan peningkatan produksi,

petani harus menerapkan teknologi yang bersifat

spesifik lokasi, salah satunya dengan perbaikan

sistem tanam yaitu “Tabela”.Jika dibandingkan

dengan sistem tanam Tapin, Tabela memiliki

beberapa keunggulan di antaranya terjadi

efektivitas dan efisiensi karena waktu tanam cepat,

tenaga tanam sedikit dan biaya tanam bisa

dikurangi serta pemupukan lebih efisien dan

mudah karena dilakukan pada larikan saja.

Pengamatan dan pengendalian OPT lebih mudah

dilaksanakan. Anakan padi lebih kuat dan tidak

mengalami stagnasi (stres).Air yang belakangan

juga kerap menjadi masalah utama yang harus

dihadapi petani bias diatasi, karena dengan sistem

Tabela terjadi efisiensi dalam penggunaan air

dimana pengairan terputus putus (macak-macak)

dan dengan sistem Tabela anakan banyak dan

bulir-bulir padi juga bernas karena sinar matahari

bisa masuk dengan leluasa pada larikan-larikan

yang dibuat (Ikhwani, 2014).

Beberapa keuntungan budidaya padi

dengan sistem tabela adalah sistem tabela

memastikan jarak tanam lebih tepat dan teratur

sehingga produksi yang diperoleh petani lebih

banyak 500-1000 kg gabah kering per hektar bila

dibandingkan dengan sistem persemaian. Dengan

sistem tabela dapat menghasilkan 6–6,5 ton gabah,

sedangkan melalui sistem persemaian

konvensional (Tapin) menghasilkan 5 - 5,5 ton

gabah.

Tingkat serangan OPT

Organisme pengganggu tumbuhan (OPT)

yang dominan menyerang pada saat percobaan

adalah penggerek batang padi (Scirpophaga

inotata) dan hama putih palsu (Cnaphalocrocis

medinalis).

Tingkat serangan Penggerek Batang

(Scirpophaga inotata)

Tingkat serangan penggerek batang pada 3

minggu setelah tanam (MST) pada 9 lokasi

menunjukan serangan yang cukup tinggi baik di

sistem tanam pindah maupun tabela berkisar antara

14-23,23 %. Rata-rata intensitas serangan

Scirpophaga inotata tertinggi pada varietas Inpari

41 baik yang ditanam dengan sistem tapin maupun

tabela. Hal ini diduga karena adanya perbedaan

karakteristik setiap varietas, misalnya varietas

Lapang mempunyai anakan yang sedikit dan rentan

terhadap serangan hama sedangkan varietas Inpari

meskipun jumlah anakannya sedikit tapi semua

anakannya produktif. Selain itu varietas tersebut

tahan terhadap serangan hama (Anonim, 2004).

Tingkat serangan penggerek batang

cenderung fluktuatif, Perilaku imago penggerek

batang berbeda dalam setiap varietas dan biasanya

lebih banyak ditemukan pada inang yang

disenangi. Selain itu tingkat keseimbangan

populasi penggerek batang di suatu daerah dapat

berubah bila terjadi perubahan varietas .Selain hal

tersebut perbedaan intensitas serangan dapat juga

dipengaruhi oleh perilaku penggerek batang

setelah menemukan inangnya. Sebagai contoh

imago Scirpophaga inotata dalam melakukan

peletakan telur mencoba setiap varietas tapi akan

meletakkan lebih banyak telur pada varietas yang

disenangi.

Page 72: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

175 Pengaruh Sistem Tanam terhadap Produktivitas dan Serangan Opt Beberapa Varietas Unggul

Padi (Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi)

Tabel 4. Intensitas serangan penggerek batang (Scirpophaga inotata) pada dua sistim tanam yang berbeda.

Sistem

tanam Var

Intensitas serangan penggerek batang (%)

3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata

MST MST MST MST MST MST MST MST MST

TAPIN Ciherang 18.00 20.00 18.47 16.63 15.57 18.53 18.07 21.73 15.10 18.01

Inpari 30 17.00 19.63 18.73 16.73 15.00 19.57 18.00 18.07 17.33 17.79

Inpari 41 23.23 19.57 19.63 20.07 26.30 19.57 17.00 18.07 17.33 20.09

TABELA Ciherang 14.01 14.33 12.90 11.70 11.43 13.33 11.40 15.03 13.03 13.02

Inpari 30 13.82 14.34 14.67 11.70 13.03 13.73 11.40 14.67 13.03 13.40

Inpari 41 14.00 15.93 15.03 13.03 11.80 13.67 13.73 14.40 16.00 14.18

Keterangan: MST : minggu setelah tanam

Chr : Ciherang, Inp 30 : Inpari 30, Inp 41 : inpari 41

Tingginya intensitas serangan padi dilokasi

percobaan disebabkan beberapa hal diantaranya

suhu udara Suhu udara memiliki fungsi dalam

menentukan fisiologi dan ekologi hama terutama

pada distribusi populasi, tingkat perkembangan,

dan fenologi (Huang et al. 2010). Suhu optimum

untuk pertumbuhan telur penggerek batang padi

kuning, yaitu sekitar 24–29 °C. Penggerek batang

padi (Scirpophaga inotata)akan dapatberkembang

pada fase telur hingga pupa pada suhu 16 °C–35

°C.

Rata-rata tingkat serangan penggerek

batang padi pada padi dengan sistem tanam tabela

relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan padi

yang ditanam dengan sistem pindah hal ini

disebabkan pada sisten Tapin bibit yang dicabut

dari persemaian akan terjadi pelukaan pada sistem

perakarannya, hal ini mempengaruhi daya tahan

tanaman dimana luka yang ada akan menyebabkan

bibit penyakit dapat masuk ke dalam tanaman serta

rentan terhadap serangan hama. Selain itu pada

persemaian sistem tapin inang penngerek akan

bertelur sehingga ketika bibit dipindah tanam telur

ataupun larva penggerek sudah terbawa ke areal

pertanaman.

Tabel 5. Intensitas serangan Hama Putih Palsu (Cnaphalocrocis medinalis) pada dua system tanam yang berbeda

Sistem

tanam Var

Intensitas serangan HPP (%)

3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata

MST MST MST MST MST MST MST MST MST

TAPIN Ciherang 5.00 4.00 2.83 2.70 8.47 4.00 6.23 6.37 8.10 5.30

Inpari 30 5.23 4.77 5.13 3.73 5.20 6.27 5.47 4.53 8.03 5.37

Inpari 41 7.00 6.67 6.80 5.03 4.00 4.73 4.50 5.57 7.00 5.70

TABELA Ciherang 5.00 4.03 3.33 2.70 10.00 4.00 6.23 6.37 8.10 5.53

Inpari 30 6.23 4.77 5.13 4.10 5.20 5.93 5.47 4.53 8.03 5.49

Inpari 41 7.33 13.83 7.80 5.03 4.00 4.73 4.50 5.57 8.00 6.76

Keterangan: MST : minggu setelah tanam

Page 73: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

176 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:169-177

Tingkat serangan Hama Putih Palsu

(Cnaphalocrocis medinalis)

Intensitas serangan Hama Putih Palsu

(Cnaphalocrocis medinalis) antara sistem tapin

dan tabela secara rata-rata tidak jauh berbeda.

Banyak atau sedikitnya intensitas serangan hama

putih palsu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,

terjadi. seperti faktor lingkungan, varietas padi

yang ditanam, cara tanam, dan pemeliharaaan.

Faktor lingkungan tersebut adalah keadaan tempat

penanaman, perbedaan tinggi rendahnya tempat.

Varietas padi yang ditanam petani adalah

varietas Ciherang, Inpari 30 dan Inpari 41. Faktor

lainnya adalah faktor kultur teknis, yaitu dengan

mengurangi dosis pupuk N atau melakukan

pemupukan yang berimbang antara N, P, dan K.

banyaknya gulma yang muncul dari pertanaman

sistem tabela juga sangat mempengaruhi intensitas

serangan hama putih palsu ini (Sudjarwo dkk,

2003). Populasi hama putih palsu juga dipengaruhi

oleh faktor hayati seperti kurangnya musuh alami.

KESIMPULAN

Sistim tanam terbukti berpengaruh positif

terhadap produktivitas yang ditunjukkan oleh

capaian hasil padi Varietas Ciherang yang lebih

baik dibandingkan Inpari 30 dan Inpari 41. Cara

tanam benih langsung (Tabela) memberikan

pertumbuhan dan hasil yang lebih baik daripada

Sistim tanam pindah (Tapin). Pengaruh interaksi

varietas dan sistim tanam terhadap pertumbuhan

dan hasil, untuk varietas Ciherang, Inpari 30 dan

Inpari 41 pada sistim tanam Tabela memberikan

hasil yang lebih baik dibandingkan sistem tanam

Tapin.

Serangan OPT yang menyerang adalah

penggerek batang padi (Scirpophaga inotata)

dominan terhadap sistem tanam Tapin

.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimaksih disampaikan kepada

Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian, Kepala BPTP Gorontalo,

para teknisi dan semua pihak yang terlibat dalam

penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abid, M. 2015. Sikap Petani Terhadap Sistem

Tanam Benih langsung (Tabela) dalam

Meningkatkan Pendapatan Usaha Tani Padi

Sawah.Seminar Nasional Padi. Hal 900-905.

Arafah dan Najma. 2012. Pengkajian Beberapa

Varietas Unggul Baru Terhadap

Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah. Jurnal

Agrivigor. 11 (2).188-194.

Baehaki, S.E. 2013. Hama Penggerek Batang Padi

dan Teknologi Pengendalian. Jurnal Iptek

Tanaman Pangan 8(1):1 - 14.

Bambang, PHS. 2011. Cuaca Ekstrem Tanam

Tabela Siapa Takut

http://pertanian.jombangkab.go.id.

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2018.

Petunjuk Teknis Pengamatan dan Pelaporan

Organisme Pengganggu Tumbuhan dan

Dampak Perubahan Iklim (OPT-DPI).

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan

Kementerian Pertanian.

Gonzaga, I. 2010. Virus Tungro Padi. Retrivied

from

http://biologigonz.blogspot.com/2010on

November 2018.

Ikhwani. 2014. Pengaruh Interaksi Varietas

Unggul Baru dan Cara Tanam Terhadap

Produktivitas Padi Sawah. Informatika

Pertanian. 24 (2). Hal 245-256.

Mulijanti, S. dan Ratima Sianipar.2015. Analisis

Profitabilitas Usaha Tani Beberapa VUB

Padi Pada Musim Kemarau Panjang.

Prosiding Padi 2 (2): 1041-1050.

Page 74: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

177 Pengaruh Sistem Tanam terhadap Produktivitas dan Serangan Opt Beberapa Varietas Unggul

Padi (Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi)

Ngatimin, Sri Nur Aminah 2005. Pengaruh Pola

Tanam Campuran Beberapa Varietas Padi

Terhadap Populasi danIntensitas Serangan

Beberapa Hama Tanaman Padi.J. Sains &

Teknologi, Agustus 2005, Vol.5 No. 2: 85 –

89.

Ni Putu Pandawani dan I Gede Cahyadi Putra.

2015. Peningkatan Produktivitas Padi Sawah

dengan Penerapan Sistim Tabela. Jurnal

Pertanian Berbasis Keseimbangan

Ekosistem Agrimeta. Vol 5 No. 10 Hal 51-

57.

Redaksi Galang Kangin. 2012. Tabela

MenujuSwasembada. Retrivied from

http://etabloidgalangkangin.blogspot.com/20

12/04/tabela-menuju swasembadaedisi-

iv2012.html on January 2018.

Soraya dan Junita Barus 2010.Kajian Sistim

Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil

Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah.

Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi

Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan

Pada Era Masyarakat Ekonomi

ASEAN.Hal.267-271.

Sudjarwo, Herminanto dan Leo Ardiyanto. 2003.

Eksistensi Hama Putih Palsu

(Cnaphalocrocis medinalis) dan

Pengaruhnya Pada Usaha Tani Padi di

Kabupaten Banyumas. Jurnal Pembanguan

Pedesaan Vol. III No. 2 Agustus 2003. Hal.

109-119

Page 75: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

70 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:169-177

Page 76: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

179 Pengaruh Aplikasi Biochar dan Pupuk Kandang terhadap Kelembaban Tanah dan Produksi

Tanaman Jagung (Zea mays L.) (Asis, Rachman Jaya, Muhammad Ismail, Irhas dan Eko)

PENGARUH APLIKASI BIOCHAR DAN PUPUK KANDANG TERHADAP KELEMBABAN TANAH DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)

Asis1, Rachman Jaya2, Muhammad Ismail3, Irhas4 dan Eko5 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh

Jalan Panglima Nyak Makam No. 27 Lampineung-Banda Aceh 23125

Telp (0651) 7551811, Fax (0651) 7552077

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

The Effect of Biochar and Manure Application on Soil Humidity and Production of Maize Plants

(Zea mays L.). Lahan kering dengan kandungan hara dan air yang rendah akibat daya ikat tanah yang rendah menjadi

faktor utama penghambat pengelolaan lahan kering. Pada kondisi lingkungan dengan suhu yang tingga dapat

mempercepat hilangnya air tanah melalui evaporasi dan transpirasi sehingga dibutuhkan bahan organik dengan

biochar dan pupuk kandang sebagai bahan pengikat air tanah. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan daya ikat

tanah terhadap air sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah sekitar tanaman dan mempertahankan produksi

tanaman jagung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2018 di lahan percobaan BMKG Indrapuri,

Aceh Besar. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan yaitu tanpa biochar

dan pupuk kandang (A), Mandiri biochar (B), mandiri pupuk kandang (C) dan kombinasi biochar dengan pupuk

kandang (D) yang diulang 4 kali sehingga terdapat 16 unit percobaan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan

analisis sidik ragam (ANOVA) 95%, jika F hitung lebih besar dari F tabel maka dilakukan analisis beda BNT 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan biochar dan pupuk kandang mempertahankan kelembaban tanah

sampai 40,82%, sedangkan tanpa biochar dan pupuk kandang 35,67%. Kombinasi biochar dan pupuk kandang (D)

mencapai berat pipilan (ton h-1) rata-rata deskripsi tanaman atau mencapai 77% sedangkan tanpa biochar dan pupuk

kandang (A) sebesar 58%. Aplikasi biochar dan pupuk kandang baik digunakan pada lahan yang yang memiliki daya

ikat air yang rendah dan unsur hara yang rendah karena aplikasi biochar dan pupuk kandang mampu mempertahankan

kelembaban tanah dan produktivitas lebih tinggi.

Keywords: Biochar, perubahan iklim dan pupuk kandang

ABSTRAK

Lahan kering dengan kandungan hara dan air yang rendah akibat daya ikat tanah yang rendah menjadi faktor utama

penghambat pengelolaan lahan kering. Pada kondisi lingkungan dengan suhu yang tingga dapat mempercepat

hilangnya air tanah melalui evaporasi dan transpirasi sehingga dibutuhkan bahan organik dengan biochar dan pupuk

kandang sebagai bahan pengikat air tanah. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan daya ikat tanah terhadap air

sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah sekitar tanaman dan mempertahankan produksi tanaman jagung.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2018 di lahan percobaan BMKG Indrapuri, Aceh Besar.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan yaitu tanpa biochar dan pupuk

kandang (A), Mandiri biochar (B), mandiri pupuk kandang (C) dan kombinasi biochar dengan pupuk kandang (D)

yang diulang 4 kali sehingga terdapat 16 unit percobaan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam

(ANOVA) 95%, jika F hitung lebih besar dari F tabel maka dilakukan analisis beda BNT 95%. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perlakuan biochar dan pupuk kandang mempertahankan kelembaban tanah sampai 40,82%,

sedangkan tanpa biochar dan pupuk kandang 35,67%. Kombinasi biochar dan pupuk kandang (D) mencapai berat

pipilan (ton h-1) rata-rata deskripsi tanaman atau mencapai 77% sedangkan tanpa biochar dan pupuk kandang (A)

sebesar 58%. Aplikasi biochar dan pupuk kandang baik digunakan pada lahan yang yang memiliki daya ikat air yang

rendah dan unsur hara yang rendah karena aplikasi biochar dan pupuk kandang mampu mempertahankan kelembaban

tanah dan produktivitas lebih tinggi.

Kata kunci: Biochar, perubahan iklim dan pupuk kandang

Page 77: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

180

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2 ,2018:179-187

PENDAHULUAN

Aceh merupakan salah satu daerah yang

berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan

karena memiliki lahan yang luas, teruma lahan

kering. Lahan kering di Aceh mencapai 530.638 Ha

dengan penggunaan sebagai lahan pertanian seluas

2.563 Ha dan 528.075 Ha masih menjadi lahan tidur

(BPTP Aceh dan UNSIYAH, 2017). Pengelolaan

lahan kering sebagai lahan pertanian memiliki

hambatan yang besar karena rendahnya

produktifitas lahan. Rendahnya produktivitas lahan

kering disebabkan oleh bebrapa faktor utama

diantaranya ketersediaan hara dan air yang rendah,

curah hujan rendah dan suhu tinggi.

Lahan kering dapat dikembangkan menjadi

lahan produksi dengan pemanfaatan komoditas

yang toleran atau mampu bertahan pada kondisi air

dan hara yang relatif rendah serta pengelolaan

dengan input teknologi yang tepat. Salah satu

tanaman pangan yang dapat dikembangkan pada

lahan kering adalah jagung. Tanaman jagung (Zea

mays L.) merupakan tanaman semusim yang sangat

dipengaruhi oleh kondisi perubahan atau kestabilan

iklim/cuaca lingkungan tumbuh terutama suhu,

kelembaban tanah dan curah hujan. Tanaman

jagung membutuhkan suhu antara 210C-300C

dengan suhu optimal berkisar antara 230C-270C

sehingga suhu yang terlalu tinggi dengan

kelembaban yang rendah dapat mengganggu proses

generatif diawal pembungaan (Warisno, 2007).

Suhu udara dan iklim mikro perakaran

sekitar tanaman berperan secara langsung terhadap

proses laju transpirasi, pembukaan stomata, proses

penyerapan hara, fotosintesis dan respirasi tanaman.

Suhu disekitar perakaran tanaman (iklim mikro)

sangat mempengaruhi proses hilangnya lengas

tanah (daya ikat tanah terhadap air). Peningkatan

suhu mikro akan mempercepat kehilangan lengas

tanah terutama pada musim kemarau dan lahan

kering, sehingga pada musim kemarau dan lahan

kering peningkatan suhu berkorelasi negatif dengan

pertumbuhan dan produksi tanaman. Upaya untuk

mempertahankan hilangnya air dalam tanah dapat

dilakukan dengan penambahan bahan organik yang

memiliki kemampuan mengikat air tanah dan

meningkatkan ketersedian hara tanaman.

Peningkatan daya ikat tanah terhadap air

dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik

yang mampu mempertahankan agregat tanah untuk

menyerap air sehingga tidak mudah mengalami

evaporasi dan perkolasi, salah satunya dengan

biochar yang dikombinasi dengan pupuk kandang.

Mekanisme kombinasi biochar dan pupuk kandang

merupakan upaya mempertahankan kelembaban

tanah, penyedian unsur hara dan perbaikan sifat-

sifat tanah, seperti fisik, biologi dan kimia tanah.

Biochar merupakan bahan pembenah tanah untuk

memperbaiki sifat-sifat tanah seperti struktur tanah,

aerasi tanah, ketersedian air dan hara, menurunkan

kemasaman tanah dan membantu konservasi karbon

(IAARD PRESS, 2016).

Penelitian bertujuan untuk mengetahui

pengaruh penggunaan biochar dan pupuk kandang

terhadap produksi tanaman jagung pada lahan

kering

METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan

Februari-Agustus 2018 di lahan percobaan BMKG

Indrapuri, Aceh Besar. Penelitian menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4

perlakuan dan 4 kelompok sehingga diperoleh 16

unit penelitian. Masing-masing unit (petak)

penelitian berukuran 4x3 meter dengan jarak tanam

50x25 cm. Pada satu petakan penelitian terdapat 86

populasi tanaman dengan sampel pengamatan

sebanyak 10 tanaman yang ditentukan secara acak.

RAK dilakukan untuk meminimalisir pengaruh

lingkungan luar selain faktor perlakaun yang dapat

mempengaruhi produksi tanaman jagung. RAK

didesain berdasarkan kondisi lahan penelitian yang

memiliki keiringan berbeda. Perlakuan terdiri atas

tanpa penggunaan biochar dan pupuk kandang (A),

penggunaan mandiri biochar (B), penggunaan

mandiri pupuk kandang (C) dan kombinasi biochar

dan pupuk kandang (D) dengan dosis biochar dan

pupuk kandang masing-masing 2 ton ha-1.

Page 78: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

181 Pengaruh Aplikasi Biochar dan Pupuk Kandang terhadap Kelembaban Tanah dan Produksi

Tanaman Jagung (Zea mays L.) (Asis, Rachman Jaya, Muhammad Ismail, Irhas dan Eko)

Alat dan bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah biochar, pupuk kandang, NPK,

benih jagung, alat pengukur suhu (termometer) dan

alat pengukur kelembaban tanah (Soil moisture

meter).

Variabel yang diamati yaitu komponen

produksi tanaman jagung dan unsur iklim sekitar

tanaman. Data hasil pengamatan dilakukan analisis

data dengan analisis sidik ragam (ANOVA) pada

taraf kepercayaan 95%, jika F hitung lebih besar

dari F tabel maka dilakukan uji lanjut dengan Uji

Beda Nyata Terkecil (BNT) 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Hubungan suhu dan kelembaban tanah

Berdasarkan hasil analisis rata-rata suhu

lokasi penelitian, kelembaban tanah dan hasil 1000

biji tanaman jagung pada setiap perlakuan maka

terdapat perbedaan kelembaban tanah dan hasil

1000 biji jagung pada kondisi suhu lingkungan yang

sama.

Pada kondisi suhu lingkungan 32,940C,

perlakuan biochar dan pupuk kandang mampu

mempertahankan kelembaban tanah 40,82%

sedangkan tanpa biochar dan pupuk kandang

35,67%. Kondisi suhu yang diamati berdasarkan

skala rata-rata suhu lingkungan disekitar lokasi

penelitian menjadi dasar penentuan suhu

lingkungan dan kelembaban tanah berdasarkan hasil

pengamatan pada sekitar perakaran tanaman.

Perlakuan paket teknologi dengan biochar dan

pupuk kandang menghasilkan kelembaban tanah

yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanpa

biochar dan pupuk kandang. Pengaruh perlakuan

mampu menjaga atau mempertahankan kelembaban

tanah lebih baik dari pada tanpa perlakuan sehingga

secara langsung mempengaruhi komponen hasil

tanaman jagung berdasarkan hasil pengamatan.

Gambar 1. Hubungan suhu dan kelembaban tanah pada setiap perlakuan

Tabel 1. Hasil analisis uji lanjut BNT pada taraf 95% pada komponen produksi tanaman jagung

32,94 32,94 32,94 32,9435,67

37,4239,14 40,82

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

A B C D

Suhu (

0C)

Kele

mbaban (

%)

Perlakuan

Suhu Kelembaban

Page 79: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

182

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2 ,2018:179-187

Perlakuan

Variabel

Bobot Tongkol

(g)

Bobot Biji

Pertongkol (g)

Bobot 100 biji

(g)

Produksi ton/ha

Pertongkol Pipilan

A 103,31 b 90,72 b 22.13 c 8.26 b 7.26 c

B 131,27 a 103,68 a 25.48 b 10.98 a 8.29 bc

C 140,79 a 111,71 a 26.67 ab 11.26 a 8.94 ab

D 157.80 a 121,24 a 28.43 a 12.62 a 9.70 a

2. Produktivitas Tanaman jagung

Hasil uji lanjut BNT α0,05 menunjukkan

bahwa penggunaan teknologi kombinasi pupuk

biochar dan pupuk kandang (D) memberikan hasil

bobot tongkol tanaman tertinggi yang berbeda nyata

dengan perlakuan tanpa paket teknologi biochar dan

pupuk kandang (A), tetapi tidak berbeda nyata

dengan perlakuan biochar (B) dan pupuk kandang

(C). Bobot tongkol merupakan gambaran berat hasil

tanaman jagung berupa tongkol buah utuh dengan

biji dan kelobot buah.

Hasil uji lanjut BNT α0,05 menunjukkan

bahwa penggunaan teknologi kombinasi biochar

dan pupuk kandang (D) memberikan hasil bobot biji

pertongkol tanaman tertinggi yang berbeda nyata

dengan perlakuan tanpa paket teknologi biochar dan

pupuk kandang (A), tetapi tidak berbeda nyata

dengan perlakuan biochar (B) dan pupuk kandang

(C).

Hasil uji lanjut BNT α0,05 menunjukkan

bahwa penggunaan teknologi kombinasi biochar

dan pupuk kandang (D) menghasilkan bobot 100

biji tertinggi yang berbeda nyata dengan perlakuan

tanpa paket teknologi biochar dan pupuk kandang

(A) serta perlakuan biochar (B), tetapi tidak berbeda

nyata dengan perlakuan pupuk kandang (C).

Perlakuan Pupuk kandang (C) berbeda nyata dengan

perlakuan tanpa paket teknologi (A), tetapi tidak

berbeda nyata dengan perlakuan biochar (B) dan

perlakuan biochar (B) berbeda nayata dengan

perlakuan tanpa paket teknologi (A).

Hasil uji lanjut BNT α0,05 menunjukkan

bahwa penggunaan teknologi kombinasi biochar

dan pupuk kandang (D) menghasilkan produksi

bobot tongkol (ha ton-1) tertinggi yang berbeda

nyata dengan perlakuan tanpa paket teknologi

biochar dan pupuk kandang (A) tetapi tidak berbeda

nyata dengan perlakuan biochar (B) dan pupuk

kandang (C).

Hasil uji lanjut BNT α0,05 menunjukkan

bahwa penggunaan teknologi kombinasi biochar

dan pupuk kandang (D) menghasilkan produksi

berat pipilan (ha ton-1) tertinggi yang berbeda nyata

dengan perlakuan tanpa paket teknologi biochar dan

pupuk kandang (A) dan biochar (B) tetapi tidak

berbeda nyata pupuk kandang (C). Perlakuan pupuk

kandang (C) berbeda nayata dengan perlakuan tanpa

biochar dan pupuk kandang (A) tetapi tidak berbeda

nyata dengan perlakuan biochar (B).

Pembahasan

Hasil penelitian dari komponen produksi

tanaman jagung menunjukkan respon positif

terhadap penggunaan biochar dan pupuk kandang,

karena penggunaan biochar dan pupuk kandang

memberikan hasil terbaik pada variabel produksi

yang diamati jika dibandingkan dengan kontrol

(tanpa penggunaan biochar dan pupuk kandang).

Kombinasi aplikasi biochar dan pupuk kandang

merupakan mekanisme peningkatan atau

mempertahankan produksi tanaman pada kondisi

lahan kering atau suhu yang tinggi akibat perubahan

iklim. Biochar memiliki kemampuan untuk

mempertahankan kelembaban tanah karena

memiliki daya ikat terhadap air yang tinggi

sehingga air tanah tidak mudah mengalami infiltrasi

dan evaporasi. Aplikasi biochar dan pupuk kandang

dengan dosis 2 ton ha-1 memberikan hasil terbaik

jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan biochar

Page 80: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

183 Pengaruh Aplikasi Biochar dan Pupuk Kandang terhadap Kelembaban Tanah dan Produksi

Tanaman Jagung (Zea mays L.) (Asis, Rachman Jaya, Muhammad Ismail, Irhas dan Eko)

dan pupuk kandang. Hasil penelitian Endriani et al.,

(2013) menyatakan bahwa aplikasi biochar

cangkang kelapa sawit dengan takaran 2 ton/ha

dapat meningkatkan pH dan menurunkan Al-dd

tanah Ultisol Sungai Bahar Jambi dan

meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai,

biomassa tanaman dan meningkatkan hasil kedelai.

Peran biochar dan pupuk kandang terhadap

kelembaban tanah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

perlakuan biochar dan pupuk kandang

mempertahankan kelembaban tanah sampai

40,82%, tertinggi dari perlakuan lain yang berkisar

tanpa biochar dan pupuk kandang 35,67%. Biochar

dengan mikro pori yang melimpah dapat menutup

atau memperkecil pori tanah pada tanah gembur dan

memperbanyak pori-pori tanah pada lahan kering

sehingga dapat meretensi air tanah dari kehilangan

akibat infiltrasi dan aliran permukaan serta memiliki

daya ikat air yang tinggi tetapi memiliki masa

dekomposisi yang cukup lama. Biochar memiliki

peran untuk mendukung perbaikan kondisi tanah

pada perkaran tanaman dan mendukung ketersedian

hara serta meningkatkan penyerapan hara dari

dalam tanah dengan mempertahankan kadar air

tanah. Penggunaan biochar pada tanah dapat

meningkatkan kadar air tanah sebesar 16% pada

musim pertama, 24% musim kedua dan 11% pada

musim ke-3 (Sukartono dan Utomo, 2012).

Selain biochar, penggunaan pupuk kandang

memiliki sifat alami yang tidak merusak sifat-sifat

tanah, menyediakan unsur makro (nitrogen, fosfor,

kalium, kalsium dan belerang) dan mikro (besi,

seng, boron, kobalt dan molibdenium) serta mampu

menyimpan air. Pupuk kandang berfungsi untuk

meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah, nilai

Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan memperbaiki

struktur tanah (Syekhfani, 2000).

Berdasarkan data (BMKG, 2017) terlihat

bahwa dalam 30 Tahun terakhir telah terjadi

peningkatan suhu sebesar 0,90C sehingga

mengakibatkan adanya perubahan lingkungan

sekitar tanaman budidaya berupa suhu udara dan

tanaman meningkat, evaporasi meningkat dan kadar

air tanah menurun. Peningkatan evaporasi dan

transpirasi akan mempercepat kehilangan air tanah

yang dibutuhkan tanaman untuk

menetralkan/mengurangi kehilangan air dari

jaringan tanaman akibat suhu udara yang tinggi. Hal

ini menjadi dasar modifikasi lingkungan mikro

tanaman untuk mempertahankan kondisi kadar air

tanah/kelembaban tanah dengan penggunaan

biochar dan pupuk kandang yang memiliki

kemampuan untuk mengikat dan mempertahankan

kadar air tanah. Evaporasi terjadi secara cepat akibat

rendahnya daya ikat tanah terhadap aair sehingga

dengan penambahan biochar yang kaya bahan C-

Organik dapat mengikat air dalam tanah sehingga

tidak mudah mengalami penguapan (evaporasi).

Hasil penelitian (Syaikhu et al., 2016)

menyatakan bahwa pemberian biochar dan pupuk

kandang dapat meningkatkan kadar air tanah karena

biochar mampu meningkatkan daya rekat tanah

terhadap air pada tanah berpasir. Pada tanah kering,

biochar dan pupuk kandang dengan bahan organik

yang mengandung pori-pori mikro dan peran

mikroorganisme dapat meningkatkan pori-pori

tanah pad alahan kering yang padat sehingga

mengurangi aliran permukaan atau run off.

Peningkatan daya ikat tanah pada lahan kering akan

meningkatkan ketersedian air tanah pada kondisi

selisih kapasitas lapang dan titik layu permanen

untuk memenuhi ketersedian air tanaman jagung.

Liu and Zhang (2009) menyatakan bahwa

biochar berpengaruh signifikan dalam

pembentukan agregat tanah yang terbentuk melalui

interaksi antara bahan organik, mikroorganisme,

mineral tanah dan faktor lain seperti bahan baku,

proses pembuatan dan sifat dasar tanah. Bahan

organik tanah berfungsi sebagai perekat (cementing

agent) sehingga agregat tanah tidak mudah hancur

oleh pukulan butiran air serta mampu

mempertahankan atau meningkatkan ruaang atau

pori tanah yang dapat terisi oleh udara dan air tanah

(Subagyono et al., 2004). Pupuk kandang dapat

meningkatkan kemampuan tanah menahan air

dengan mengikat molekul-molekul air melalui

gugus-gugus fungsional dan pori-pori mikro

sebagai uapaya perbaikan agregasi tanah

(Stevenson, 1982).

Page 81: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

184

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2 ,2018:179-187

Penggunaan biochar dengan dosis 5-10 t ha-

1 meningkatkan ketersedian air dalam tanah

sehingga indeks pertanaman meningkat dari satu

menjadi dua kali pertahun (IAARD PRESS, 2015).

Biochar dengan mikro pori yang melimpah dapat

menutup atau memperkecil pori tanah pada tanah

gembur dan memperbanyak pori-pori tanah pada

lahan kering sehingga dapat meretensi air tanah dari

kehilangan akibat infiltrasi dan aliran permukaan

serta memiliki daya ikat air yang tinggi tetapi

memiliki masa dekomposisi yang cukup lama.

Maftu’ah dan Nursyamsi (2015) menyatakan bahwa

karakteristik biochar tergantung pada kualitas bahan

dasar yang digunakan yang berkaitan dengan

perbandingan lignin dan rasio C/N, dimana semakin

tinggi kandungan lignin dan C/N bahan semakin

lama proses dekomposisi.

Peran biochar dan pupuk kandang terhadap

produksi tanaman jagung

Hasil penelitian persentase capaian

produksi tanaman jagung (ton ha-1) dengan

kombinasi biochar dan pupuk kandang (D)

mencapai hasil rata-rata deskripsi tanaman atau

mencapai 77%, tunggal biochar (B) mencapai 66%,

tunggal pupuk kandang (C) mencapai 71% dan

kontrol tanpa biochar dan pupuk kandang (A)

sebesar 58%. Hal ini menunjukkan bahwa capaian

hasil tanaman jagung dengan kombinasi

memberikan hasil produksi tanaman lebih tinggi

dalam pencapaian hasil rata-rata tanaman.

Peran langsung terhadap Ketersedian Hara

Biochar dan pupuk kandang merupakan

bahan organik yang mengandung unsur hara pada

masa dekomposisi. Hara-hara yang tersedia dalam

biochar dan pupuk kandang dapat menjadi sumber

unsur hara yang tersedia untuk memenuhi

kebutuhan tanaman jagung. Aplikasi 2,5 t ha-1

biochar telah mampu memberikan pengaruh nyata

terhadap produksi tongkol basah tanaman jagung

dibandingkan tanpa biochar dan meningkatkan

produksi pipilan kering tanaman jagung lebih tinggi

dibandingkan tanpa biochar. Aplikasi biochar juga

memiliki kontribusi terhadap peningkatan sifat fisik

dan kimia tanah seperti N, P, K, Ca dan Mg serta

meningkatkan KTK tanah (Dariah dan Nurida,

2012).

Produksi tanaman dengan aplikasi lebih

baik jika dibandingkan dengan tanpa biochar dan

pupuk kandang (kontrol) karena biochar

mengandung unsur hara N yang dapat

meningkatkan ketesedian hara dalam tanah untuk

diserap tanaman sebagai sumber nutri. Kandungan

N biochar bahan dasar kayu 0,71%, sekam padi

0,81% dan tempurung kelapa 9,95%. Kandungan

hara dalam biochar besarnya tergantung pada bahan

baku dengan karakteristik biochar tempurung untuk

N 9,95%, P 0,10%, K 0,71%, Na 3,82%, Ca 2,16%

dan Mg 0,06%, biochar sekam padi dengan N

0,71%, P 0,06%, K 0,14%, Na 2,24%, Ca 1,37% dan

Mg 0,06% dan biochar kayu dengan N 0,81%, P

0,01%, K 0,36%, Na 0,43%, Ca 0,20% dan Mg

0,06% (Widowati dan Utomo, 2014).

Ketersedian hara dalam biochar sangat

mendukung ketersedian hara untuk memenuhi

kebutuhan hara N pada tanah-tanah yang

mengalami degradasi. Tanah yang mengalami

degradasi memiliki kandungan hara yang rendah

sehingga tidak mampu menyediakan hara bagi

tanaman. Biochar dan pupuk kandang yang

memiliki bahan organik yang tinggi dan pori-pori

yang banyak dapat memperbaiki sifat fisik dan

biologi tanah. Habitat tanah yang baik untuk

pertumbuhan mikroorganisme tanah sangat

ditentukan oleh ketersedian bahan organik dan air

tanah untuk makan mikroorganisme tanah.

Mikroorganisme tanah sangat penting dalam proses

dekomposisi bahan organik menjadi hara yang

tersedia untuk tanaman. Biochar mampu

memperbaki degradasi atau penurunan kesuburan

tanah akibat pembatas sifat-sifat tanah dengan

fungsi biochar yang multifungsi sebagai pembedah

tanah yang mampu mengikat air tanah, menjaga pori

tanah, makan biologi tanah (mikroorganisme) dan

peningkatkan ketersedian hara tanah setelah

mengalami dekomposisi.

Selain kandungan hara biochar, pupuk

kandang juga memiliki unsur hara yang lengkap

dari unsur hara makro maupun mikro. Kandungan

hara pada pupuk kandang seimbang dan

Page 82: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

185 Pengaruh Aplikasi Biochar dan Pupuk Kandang terhadap Kelembaban Tanah dan Produksi

Tanaman Jagung (Zea mays L.) (Asis, Rachman Jaya, Muhammad Ismail, Irhas dan Eko)

menyeluruh dari unsur makro maupun mikro.

Berdasarkan hasil penelitian unsur hara dalam

pupuk kandang kambing N2 10%, P2O5 0,66%, K2O

1,97%, Ca 1,64%, Mg 0,60%, Mn 233 ppm dan Zn

90,8 ppm (Samekto, 2006). Ketersedian bahan

organik dalam biochar dan pupuk kandang sangat

mendukung ketersedian hara untuk memenuhi

kebutuhan hara N pada tanah-tanah yang

mengalami degradasi. Tanah yang mengalami

degradasi memiliki kandungan hara yang rendah

sehingga tidak mampu menyediakan hara bagi

tanaman.

Hasil penelitian Tambunan et al., (2014)

bahwa aplikasi 20 t ha-1 biochar serasah jagung dan

40 t ha-1 serasah jagung meningkatkan P tersedia

242.95% dan 10,40% KTK. Biochar dapat

meningkatkan P tersedia pada tanah alkalin karena

reaktivitas P dengan tanah meningkat (DeLuca et

al., 2009). Penggunaan biochar dan pupuk kandang

dapat menjerap unsur hara lebih kuat dalam tanah

sehingga menjadi unsur yang tersedia untuk

tanaman. Hara-hara P yang terikat dalam tanah

dapat terurai menjadi hara tersedia dengan bahan

pembenah tanah biochar. Selain itu, kandungan

unsur P dalam pupuk kandang dapat terdekomposisi

menjadi unsur hara tersedia.

Biochar dan pupuk kandang yang memiliki

bahan organik yang tinggi dan pori-pori yang

banyak dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi

tanah. Habitat tanah yang baik untuk pertumbuhan

mikroorganisme tanah sangat ditentukan oleh

ketersedian bahan organik dan air tanah sebagai

bahan makanan mikroorganisme tanah.

Mikroorganisme tanah sangat penting dalam proses

dekomposisi bahan organik menjadi hara yang

tersedia untuk tanaman.

Peran terhadap Penyerapan Hara

Hasil penelitian meninjukkan respon positif

antara penggunaan biochar dan pupuk kandang

terhadap produksi tanaman pada kondisi suhu yang

sama. Pada kondisi suhu lingkungan tanaman 320C,

penggunaan teknologi dengan aplikasi biochar dan

pupuk kandang mampu mempertahankan kondisi

kelembaban tanah pada kisaran 42% sedangkan

tanpa biochar dan pupuk kandang sekitar 35%.

Kelembaban tanah merupakan salah satu indikator

ketersedian air tanaman yang berpengaruh pada

proses penyerapan hara dan stabilitas metabolisme

tanaman. Kadar air tanah yang tersedia akan

mempercepat pelarutan hara untuk memenuhi

kebutuhan pertumbuhan dan produksi tanaman

jagung.

Kadar air tanah sangat mempengaruhi

penyerapan hara tanaman baik dari jumlah dan

kecepatan penyerapan hara karena kadar air tanah

merupakan media larutan hara yang terserap oleh

tanaman melalui mekasime aliran masa dan difusi.

Hara dapat terserap tanaman jika telah terlarut

dalam air tanah, jadi air tanah yang rendah juga

memperkecil larutan hara yang dapat terserap oleh

tanaman. Tanaman menyerap hara melalui aliran

masa, difusi dan intersepsi akar. Penyepan hara

melalui aliran masa merupakan penyerapan hara

yang terjadi bersaan dengan penyerapan air oleh

tanaman pada proses transpirasi, sehingga sebagian

besar hara yang larut dalam air akan terbawa masuk

kedalam tanaman. Ketersedian air yang rendah

akibat tingginya evaporasi dan infiltrasi akan

berakibat secara langsung pada penurunan serapan

hara tanaman untuk pertumbuhan dan produksi

tanaman.

Air berperan sebagai pelarut berbagai

senyawa molekul organik (unsur hara) dari dalam

tanah kedalam tanaman, transportasi fotosintat dari

sumber (source) ke limbung (sink), menjaga

turgiditas sel dengan mempengaruhi pembukaan

dan penutupan stomata daun, penyusun utama

protoplasma dan menjaga/pengatur keseimbangan

suhu tanaman. Ketersediaan air tanah yang kurang

bagi tanaman akan mengakibatkan rendahnya suplai

bahan baku fotosintesis dan transportasi unsur hara

ke daun akan terhambat sehingga berdampak pada

produksi yang dihasilkan (Maryani, 2012).

Peningkatan ketersedian unsur hara dan air

tanah melalui aplikasi biochar dan pupuk kandang

akan meningkatkan ketersedian hara yang dapat

diserap oleh tanaman selama proses pertumbuhan

dan produksi tanaman sehingga peningkatan kadar

air tanah dengan penambahan biochar dan pupuk

kandang dapat berperan dalam mempertahankan

stabilitas hasil tanaman jagung yang dibudidayakan

Page 83: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

186

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2 ,2018:179-187

pada lahan kering dengan ketersedian air yang

rendah dan suhu yang tinggi.

KESIMPULAN

Perlakuan biochar dan pupuk kandang

terbukti berpengaruh positif terhadap

kelembaban tanah dan pupuk kandang yang

ditunjukkan oleh kemampuannya dapat

mempertahankan kelembaban tanah lebih baik

dari tanpa aplikasi biochar dan pupuk kandang

Penggunaan kombinasi biochar dengan

pupuk kandang memberikan perbedaan hasil

yang signifikan terhadap kontrol (tanpa biochar

dan pupuk kandang).

DAFTAR PUSTAKA

BMKG. 2017. Perubahan iklim global, tren suhu.

Jakarta

Dariah, A dan N. L. Nurida. 2012. Pemanfaatan

biochar untuk meningkatkan produktivitas

lahan kering beriklim kering. Buana sains 12

(1), 33-38.

DeLuca, T. H., M. Derek., J. MacKenzie and M. J.

Gundale 2009. Biochar effects on soil

nutrient transformation. Earthscan Publisher.

P 251– 270.

Endriani, Sunarti dan Ajidiman. 2013. Pemnafaatan

biochar cangkang Kelapa Sawit sebagai soil

amandement ultisols sungai bahar-Jambi.

Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri

Sains 15 (1): 39-46.

IAARD Press. 2015. Biochar pembenah tanah yang

potensial. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Bogor.

Liu, Z. and F. S. Zhang. 2009. Renoval of lead from

water using biochars prepared from

hydrothermal liquefaction o biomass. J.

Hazard. Mater., 167, 933–939

Maryani, A. T. 2012. Pengaruh volume pemberian

air terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit

di pembibitan utama. Program Studi

Agroteknologi 1 (2), ISSN:2302-6472.

Maftu’ah, E. Dan D. Nursyamsi. 2015. Potensi

berbagai bahan organik rawa sebagai sumber

biochar. Balai Besar Sumber Daya Lahan

Pertanian (BBSDLP). Bogor.

Samekto. 2006. Pupuk Kandang. PT. Citra Aji

Parama. Yogyakarta.

Stevenson, J. F. 1982. Humus chemistry genesis,

composition and reaction. John Willey and

Sons. New York.

Subagyono, K., U. Haryati dan S. H. Talaohu. 2004.

Teknologi konservasi air pada pertanian

lahan kering. Pusat penelitian dan

Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Badang Litbang Pertanian, 151-188.

Sukatono dan Utomo, H.W. 2012. Peran biochar

sebagai pembenah tanah pada pertanaman

jagung di tanah lempung berpasir (sandy

loam) semiarid tropis Lombok. Buana sains

12 (1), 91-98.

Syaiukhu, A. H. F., H. Budi dan S. Didik. 2016. Uji

kemanfaatan biochar dan bahan pembenah

tanah untuk perbaikan beberapa sifat fisik

tanah berpasir serta dampaknya terhadap

pertumbuhan dan produksi tebu. Jurnal

Tanah dan Sumber Daya Lahan 3 (2), 345-

357.

Tambunan, S., B. Siswanto dan E. Handayanto.

2014. Pengaruh aplikasi bahan organik segar

dan biochar terhadap ketersediaan p dalam

tanah di lahan kering Malang Selatan. Jurnal

Tanah dan Sumberdaya Lahan 1 (1):85-92.

Warisno. 2007. Jagung Hibrida. Kanisius.

Yogyakarta.

Page 84: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

187 Produktivitas dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi Gogo di Lahan Sawah untuk

Produksi Benih (Ammini Amrina Saragih, Awaludin Hipi, Erythrina)

PRODUKTIVITAS DAN KOMPONEN HASIL BEBERAPA VARIETAS PADI GOGO DI LAHAN SAWAH UNTUK PRODUKSI BENIH

Ammini Amrina Saragih1, Awaludin Hipi1, Erythrina2 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo

Jl. Moh Van Gobel No. 270, Desa Iloheluma, Bone Bolango, Gorontalo 2Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Jl. Tentara Pelajar No.10, Bogor 16114

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Productivity and Yield Component of Several Upland Rice Varieties Grown in Irrigated Rice Field for

Seed Production. Gorontalo Province is a new development area for upland rice production. The harvested area of

upland rice has the potential to be increased due to the availability of suitable dry land for development of upland

rice. The lack of available seeds of high-yielding upland rice at the farm level is a major obstacle in the

development of new high yielding varieties. The assessment aimed to study the performance of the seed production

of several new upland rice varieties under irrigated rice fields in an effort to accelerate the development of new

high yielding varieties on farmers' land. The assessment was carried out on irrigated paddy fields in the

Tilongkabila Experimental Garden, Gorontalo Province, from July to October 2018. The study used a randomized

block design with five treatments and four replications. Five new varieties of upland rice were used as assessment

material, namely Situ Bagendit, Rindang 1 Agritan, Rindang 2 Agritan, Inpago 8 and Inpago 11 Agritan. Seed

production of five upland rice varieties grown in paddy fields ranged from 4.1 to 6.7 t/ha. Inpago 8 varieties

provide the highest productivity of 6.7 t/ha, while varieties of Situ Bagendit, Rindang 1 and Inpago 11 is not

significantly different from each other. Rindang 2 variety provides the lowest productivity of 4.1 t/ha. The

productivity performance of each variety tested, supported by observed yield component data.

Keywords: Upland rice, productivity, yield component, seed production

ABSTRAK

Provinsi Gorontalo merupakan wilayah pengembangan baru untuk produksi padi gogo. Luas panen padi gogo

berpotensi ditingkatkan karena tersedianya lahan kering yang sesuai untuk pengembangan padi gogo. Ketidak

tersediaan benih varietas unggul padi gogo di tingkat petani menjadi kendala utama dalam pengembangan varietas

unggul baru yang dihasilkan. Pengkajian bertujuan untuk mempelajari keragaan produksi benih sumber beberapa

varietas unggul padi gogo di lahan sawah dalam upaya percepatan pengembangan varietas unggul baru di lahan

petani. Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah irigasi di Kebun Percobaan Tilongkabila, Provinsi Gorontalo,

bulan Juli sampai Oktober 2018. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan lima perlakuan dan

empat ulangan. Lima varietas unggul baru padi gogo digunakan sebagai bahan pengkajian, yaitu Situ Bagendit,

Rindang 1 Agritan, Rindang 2 Agritan, Inpago 8 dan Inpago 11 Agritan. Produksi benih lima varietas padi gogo

yang ditanam di lahan sawah berkisar antara 4,1 sampai 6,7 t/ha. Varietas Inpago 8 memberikan produktivitas

tertinggi 6,7 t/ha, sedangkan varietas Situ Bagendit, Rindang 1 dan Inpago 11 tidak berbeda nyata satu sama

lainnya. Varietas Rindang 2 memberikan produktivitas terendah 4,1 t/ha. Keragaan produktivitas masing-masing

varietas yang diuji, didukung oleh data komponen hasil yang diamati.

Kata kunci: Padi gogo, produktivitas, komponen hasil, produksi benih

Page 85: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

188 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:187-194

PENDAHULUAN

Pengembangan padi gogo merupakan

salah satu program pemerintah sebagai upaya

meningkatkan produksi padi nasional dalam upaya

mendukung kecukupan pangan dan peningkatan

kesejahteraan petani. Provinsi Gorontalo

merupakan wilayah pengembangan baru untuk

produksi padi gogo. Luas wilayah Provinsi

Gorontalo sekitar 1,22 juta ha, mempunyai potensi

lahan pertanian seluas 443.140 ha dimana 285.449

ha atau 64,4% terdiri dari lahan kering. Luas panen

padi gogo saat ini tercatat sebesar 2.201 ha dan

hanya berkontribusi sekitar 3,6% dari total luas

panen padi di Gorontalo (BPS Provinsi Gorontalo,

2017). Luas panen padi gogo tersebut berpotensi

ditingkatkan karena tersedianya lahan kering yang

sesuai untuk pengembangan padi gogo.

Logistik perbenihan sebagai salah satu

pilar utama dalam sistem produksi sangat

menentukan keberhasilan dan produktivitas

budidaya tanaman pangan. Ketersediaan benih

bermutu merupakan salah satu kendala dalam

upaya meningkatkan produktivitas padi gogo di

Provinsi Gorontalo. Produktivitas padi gogo hanya

sekitar 3,2 t/ha, lebih rendah dibandingkan

produktivitas nasional (BPS Provinsi Gorontalo,

2015). Rendahnya produktivitas padi gogo antara

lain disebabkan rendahnya pemanfaatan benih

unggul akibat kurangnya informasi dan

penyuluhan mengenai varietas unggul baru

disamping tidak tersedianya benih di pasar atau

kios saprodi (Syahri dan Somantri, 2016).

Ketidak tersediaan benih varietas unggul

baru (VUB) di pasar atau di tingkat petani menjadi

kendala utama dalam peningkatan adopsi VUB

padi gogo. Hasil wawancara di lapangan

menunjukkan, sebagian besar petani masih

menanam varietas lokal, umur panjang dan

produktivitas rendah. Petani terus berulang

menanam benih padi gogo lokal yang diproduksi

sendiri (Toha, 2013). Petani tidak dapat mengelola

usaha taninya sebagaimana diharapkan, termasuk

penerapan berbagai inovasi teknologi yang

dianjurkan.

Badan Litbang Pertanian Kementerian

Pertanian (Balitbangtan) memegang peran sangat

besar, khususnya dalam menghasilkan VUB. Unit

Pengelola Benih Sumber (UPBS) dibentuk

bersama di BPTP setiap provinsi pada tahun 2011

(Balitbangtan, 2011). UPBS merupakan

kelembagaan internal lingkup Balitbangtan yang

mempunyai tugas melakukan pengelolaan benih

sumber. Ketersediaan benih bermutu dan

berkelanjutan dinilai strategis karena sangat

menentukan dalam usaha pengembangan padi

gogo.

Padi gogo biasanya ditanam di musim

hujan, sehingga perbanyakan benih harus

dilakukan satu musim sebelumnya.

Mempertimbangkan keterbatasan air di musim

kemarau di lahan kering, salah satu alternatif yang

dapat digunakan adalah dengan memproduksi

benih padi gogo di lahan sawah irigasi (Wahyuni,

2008; Wahyuni et al, 2017). Produksi benih di

lahan sawah berdampak pada penyediaan benih

padi gogo yang menjadi tidak tergantung pada

musim (Ardi dan Yardha, 2014).

Pengkajian bertujuan untuk mempelajari

keragaan produksi benih sumber beberapa varietas

unggul padi gogo di lahan sawah dalam upaya

percepatan pengembangan varietas unggul baru di

lahan petani.

METODE

Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah

irigasi di Kebun Percobaan Tilongkabila, Desa

Iloheluma, Kecamatan Tilongkabila, Kabupaten

Bone Bolango, Provinsi Gorontalo dari bulan Juli

hingga Oktober 2018. Lima varietas unggul baru

padi gogo digunakan sebagai bahan kajian, yaitu

Situ Bagendit, Rindang 1 Agritan, Rindang 2

Agritan, Inpago 8 dan Inpago 11 Agritan. Benih

padi gogo varietas Situ Bagendit diperoleh dari

UPBS BPTP Provinsi Gorontalo sedangkan untuk

varietas lainnya berasal dari Balai Besar Penelitian

Tanaman Padi Sukamandi. Kelas benih yang

digunakan adalah benih dasar (Foundation Seed).

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok

Page 86: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

189 Produktivitas dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi Gogo di Lahan Sawah untuk

Produksi Benih (Ammini Amrina Saragih, Awaludin Hipi, Erythrina)

dengan lima perlakuan dan empat ulangan.

Masing-masing varietas ditanam pada lahan

dengan luas petakan 10 m x 13 m.

Sebelum ditabur di persemaian, benih

dicampur dengan insektisida Marshal 25 DS

dengan takaran 10 g Marshal untuk 5 kg benih.

Pengolahan tanah dilakukan dua minggu sebelum

tanam. Lahan dibajak dan digaru kemudian

diratakan menggunakan traktor tangan. Bibit

ditanam umur 21 hari sebanyak 2 batang/rumpun.

Jarak tanam menggunakan sistem jajar legowo 4:1

(25 cm x 12,5 cm) x 50 cm. Sistem tanam legowo

4:1 merupakan sistem tanam pindah dimana pada

setiap empat barisan tanaman padi (jarak antar

baris 25 cm) terdapat lorong kosong (50 cm)

memanjang sejajar dengan barisan tanaman

sedangkan dalam barisan menjadi setengah jarak

tanam antar baris atau 12,5 cm (Ikhwani et al,

2013)

Pengairan dilakukan secara berselang atau

teknik Alternate Wetting and Drying (Lampayan et

al, 2015), dimulai 14 hari setelah tanam. Setelah

stadia berbunga lahan terus diairi setinggi 5 cm,

kemudian 7 hari sebelum panen lahan dikeringkan.

Takaran pupuk ditetapkan berdasarkan

hasil analisis tanah menggunakan alat Perangkat

Uji Tanah Sawah (PUTS) (Balittanah, 2007).

Pupuk dasar diberikan umur tujuh hari setelah

tanam (HST) dengan dosis 350 kg NPK/ha.

Pemupukan kedua pada umur 35 HST dengan

takaran 150 kg urea dan 50 kg ZA/ha.

Pemeliharaan tanaman serta pengendalian hama

dan penyakit dilakukan secara preventif untuk

mendapatkan pertanaman yang sehat dan tumbuh

optimal. Rouging atau membuang tipe simpang

dilakukan tiga kali pada stadia anakan maksimum

(50-60 HST), stadia berbunga (85-90 HST) dan

stadia masak (100-115 HST) mengacu kepada

Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi

(Balitbangtan, 2007). Panen dilakukan saat 90-

95% malai telah menguning. Panen dilakukan

menggunakan sabit, kemudian gabah dirontok dan

dikeringkan hingga kadar air 12%.

Pengamatan dilakukan saat panen meliputi

tinggi tanaman, komponen hasil (jumlah

malai/rumpun, jumlah gabah/malai, persentase

gabah isi, dan bobot 1000 butir gabah), hasil gabah

kering panen, hasil gabah kering giling (kadar air

14%) dan berat kering benih (kadar air 12%).

Jumlah sampel yang diamati 10 rumpun per petak

yang ditentukan secara acak.

Tinggi tanaman (cm) diukur dari

permukaan tanah hingga ujung daun atau malai

tertinggi, diukur satu minggu menjelang panen.

Jumlah anakan produktif atau jumlah

malai/rumpun dihitung satu minggu menjelang

panen dengan cara menghitung seluruh anakan

yang mengeluarkan malai per rumpun. Komponen

hasil ditentukan setelah panen. Panjang malai (cm)

ditentukan dengan mengukur malai dari ruas

pertama hingga ujung malai (Yunanda et al, 2013).

Jumlah gabah/malai, jumlah gabah isi/malai, dan

jumlah gabah hampa/malai ditentukan dalam

persen antara gabah isi atau gabah hampa per malai

dengan total jumlah gabah per malai. Bobot 1000

butir gabah (g) dihitung dengan cara menimbang

1000 butir gabah isi yang telah dikeringkan hingga

kadar air 14 %. Hasil atau produksi gabah kering

panen (GKP) ditentukan dengan cara ubinan.

Pengambilan sampel ubinan mengikuti prosedur

ubinan sistem tanam legowo (Abdulrachman et al,

2013). Gabah kering giling (GKG) dihitung pada

kadar air 14% dan berat kering benih dihitung pada

kadar air 12%.

Data pengamatan dianalisis secara

statistika menggunakan SAS Software. Analisis

statistika didasarkan pada analisis keragaman,

diikuti dengan Uji Jarak Berganda Duncan

(Duncan’s Multiple Range Test/DMRT) pada taraf

5% untuk mengetahui beda antar perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Curah Hujan

Berdasarkan pengolahan data curah hujan

bulanan di Kabupaten Bone Bolango selama 10

tahun (2006–2016) diketahui bahwa rata-rata curah

hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Oktober

dan tertinggi pada bulan Juli. Rata-rata curah hujan

tahunan berkisar antara 1.301 mm/tahun hingga

1.758 mm/tahun. Pada bulan Oktober sampai

Page 87: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

190 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:187-194

April arus angin berasal dari Barat/Barat Laut yang

banyak mengandung uap air sehingga

mengakibatkan musim penghujan. Sementara itu

pada bulan Juni sampai September arus angin

berasal dari Timur yang tidak mengandung uap air

(Taslim, 2016).

Gambar 1. Grafik curah hujan (mm) Kabupaten Bone

Bolango, Provinsi Gorontalo, 2017 (BMKG

Provinsi Gorontalo, 2018).

Jumlah curah hujan yang diambil dari

Stasiun Pengamat Kabupaten Bone Bolango pada

tahun 2017 menunjukkan bahwa curah hujan rata-

rata kurang dari 200 mm per bulan (Gambar 1).

Bulan basah (curah hujan >200 mm/bulan) hanya

terdapat pada bulan Januari dan bulan kering

(curah hujan <100 mm/bulan) terdapat pada bulan

Apri, Mei, Oktober, November, dan Desember.

Analisis Sidik Ragam

Analisis sidik ragam berbagai komponen

hasil beberapa varietas padi gogo untuk produksi

benih di lahan sawah pada MK 2018 di Kebun

Percobaan Tilongkabila, Kabupaten Bone Bolango,

Provinsi Gorontalo menunjukkan bahwa perlakuan

varietas berpengaruh nyata terhadap semua

variabel komponen hasil yang diamati (Tabel 1).

Hasil gabah kering giling menunjukkan perbedaan

yang sangat nyata antar varietas.

Tabel 1. Analisis sidik ragam tinggi tanaman, hasil, dan komponen hasil beberapa varietas padi gogo untuk produksi

benih di lahan sawah, MK 2018 Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.

Sumber Keragaman F-hitung Faktor koreksi

Ulangan Varietas (%)

Tinggi tanaman (cm) 1,91* 90,75* 3,48

Jumlah malai/rumpun 0,34ns 7,18* 20,45

Jumlah gabah per malai (butir) 2,89* 26,47* 8,16

Jumlah gabah isi (butir) 3,41* 11,11* 11,43

Bobot 1000 butir gabah (g) 7,62* 39,36* 2,99

Persentase gabah isi (%) 1,82* 2,77* 5,32

Hasil gabah/GKP (t/ha GKP) 0,46ns 64,26* 4,27

Produksi benih (t/ha Benih) 0,55ns 65,67** 4,22

Keterangan: ns) tidak signifikan *) signifikan pada p <0.05, dan **) signifikan pada p <0.01

0

50

100

150

200

250

Ja

n

Fe

b

Ma

r

Apr

Me

i

Ju

n

Ju

l

Agt

Sep

Okt

No

v

De

s

Page 88: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

191 Produktivitas dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi Gogo di Lahan Sawah untuk

Produksi Benih (Ammini Amrina Saragih, Awaludin Hipi, Erythrina)

Tabel 2. Tinggi tanaman saat panen lima varietas padi gogo di lahan sawah MK 2018, Kabupaten Bone Bolango,

Provinsi Gorontalo.

Varietas Tinggi tanaman (cm) Deskripsi varietas (cm)*)

Situ Bagendit 88,2 c 99-105

Rindang 1 121,8 b 130

Rindang 2 121,5 b 130

Inpago 8 138,8 a 122

Inpago 11 136,8 a 124

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p<0.05

*) BB Padi, 2018

Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman di lapangan beragam antar

varietas. Hasil analisis statistika menunjukkan

tinggi tanaman paling rendah adalah Situ Bagendit

, diikuti Rindang 1, Rindang 2, serta Inpago 8 dan

Inpago 11 (Tabel 2). Dibandingkan dengan data

deskripsi varietas padi menunjukkan tinggi

tanaman varietas Situ Bagendit, Rindang 1 dan

Rindang 2 lebih rendah dibandingkan data

deskripsi varietasnya (BB Padi, 2018). Sebaliknya,

terjadi pada varietas Inpago 8 dan Inpago 11.

Variasi tinggi tanaman yang terjadi antar varietas

disebabkan karena setiap varietas dipengaruhi oleh

faktor genetik dan lingkungan (Efendi et al, 2012).

Tinggi tanaman dikendalikan oleh beberapa gen

yang mempengaruhi arsitektur tanaman, dominasi

apikal, biomassa, ketahanan terhadap rebah, dan

kemudahan terhadap pemanenan secara mekanis

(Liu et al, 2018).

Tinggi tanaman merupakan salah satu

karakter agronomi yang penting pada tanaman padi

sebab berpengaruh langsung terhadap ketahanan

tanaman terhadap kerebahan yang berdampak pada

potensi hasil (Zhang et al, 2014). Yunanda et al

(2013) menyatakan pada sistem budidaya padi

sawah menghasilkan tanaman yang lebih tinggi

dibandingkan sistem budidaya padi gogo.

Berdasarkan pengamatan, varietas Inpago 8 dan

inpago 11 meskipun menampilkan tinggi tanaman

yang lebih tinggi dibandingkan dengan

deskripsinya, kedua varietas tersebut tidak

mengalami kerebahan selama periode penelitian.

Wang et al (2016) menyatakan bahwa perbedaan

tinggi tanaman ditentukan oleh faktor genetik

disamping dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

tumbuh tanaman. Apabila lingkungan tumbuh

sesuai bagi pertumbuhan tanaman, maka dapat

meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.

Kondisi lapangan yang bervariasi dari suatu tempat

ke tempat yang lain, dan tanggap tanaman akan

keadaan lingkungan mengakibatkan keragaman

dalam pertumbuhan tanaman.

Komponen Hasil Padi Gogo

Hasil analisis statistika terhadap komponen

hasil beberapa varietas padi gogo ditampilkan pada

Tabel 3. Varietas Inpago 11 mempunyai panjang

malai dan jumlah gabah/malai paling tinggi tetapi

juga mempunyai persentase gabah hampa tertinggi.

Inpago 8 walaupun mempunyai jumlah

gabah/malai lebih rendah dibandingkan Inpago 11

tetapi mempunyai persentase gabah hampa lebih

rendah dan bobot 1.000 biji paling tinggi. Varietas

Situ Bagendit mempunyai panjang malai relatif

pendek dengan jumlah gabah/malai paling rendah

tetapi dikompensasi oleh jumlah malai/rumpun

paling tinggi. Varietas padi gogo Rindang 1 dan

Rindang 2 yang toleran naungan mempunyai

jumlah malai/rumpun dan persentase gabah hampa

yang tidak banyak berbeda nyata. Di antara kedua

Page 89: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

192 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:187-194

Tabel 3. Komponen hasil lima varietas padi gogo di lahan sawah MK 2018, Kabupaten Bone

Bolango, Provinsi Gorontalo.

Varietas Jumlah

malai/rumpun

Jumlah

gabah/malai

Jumlah gabah

hampa (%)

Bobot 1.000 biji

(g)

Situ Bagendit 11,0 a 131,3 d 13,3 b 26,5 b

Rindang 1 6,0 b 187,8 c 14,8 b 28,9 a

Rindang 2 7,0 b 215,8 b 13,5 b 23,3 d

Inpago 8 7.0 b 193,0 bc 18,0 ab 29,0 a

Inpago 11 7,0 b 240,5 a 22,0 a 24,9 c

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p<0.05

varietas padi gogo ini, varietas Rindang 1

mempunyai keunggulan bobot 1.000 biji lebih

tinggi sedangkan Rindang 2 mempunyai jumlah

gabah/malai yang lebih tinggi (Tabel 3).

Komponen hasil tanaman padi dipengaruhi

oleh siklus pertumbuhan tanaman. Siklus

pertumbuhan tanaman padi dibagi menjadi tiga

tahap, yaitu stadia vegetatif, stadia

reproduksi/bunting, dan stadia pengisian biji

menjelang panen. Potensi hasil padi terbentuk atau

ditentukan selama tahap-tahap pertumbuhan

tersebut. Tinggi tanaman, jumlah anakan (terkait

dengan jumlah malai), pertumbuhan akar, luas

daun, dan morfologi adalah fitur utama dari tahap

pertumbuhan vegetatif. Pada tahap pertumbuhan

reproduksi perkembangan malai berlangsung.

Booting dan berbunga adalah bagian dari tahap

pertumbuhan reproduksi. Ukuran atau jumlah biji

per malai malai ditentukan dalam tahap

pertumbuhan reproduksi. Ukuran atau bobot biji

ditentukan selama tahap pertumbuhan pengisian

biji. Tahap pertumbuhan reproduksi adalah yang

paling sensitif terhadap tekanan biotik dan abiotik,

diikuti oleh pengisian biji dan tahap pertumbuhan

vegetatif (Fageria, 2007; Hafeeza et al, 2017).

Hasil Varietas Padi Gogo

Rataan hasil gabah kering panen dan gabah

kering giling (kadar air 14%) varietas padi gogo

disajikan pada Tabel 4. Varietas Inpago 8

memberikan hasil tertinggi yaitu 7,5 t/ha GKP, 6,9

t/ha GKG, dan 6,7 t/ha benih. Hasil gabah terendah

ditemukan pada varietas Rindang 2, yaitu 4,6 t/ha

GKP, 4,2 t/ha GKG, dan 4,1 t/ha benih.

Ketersediaan air menjadi faktor penting

dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Pengelolaan air yang baik dapat meningkatkan

produktivitas padi (Thakur et al, 2018). Pada lahan

sawah irigasi, ketersediaan air dan hara yang cukup

dapat berpengaruh terhadap peningkatan

fotosintesis tanaman dan meningkatkan

pembentukan asimilat. Akumulasi asimilat hasil

fotosintesis akan mempengaruhi persentase gabah

berisi dan bobot gabah yang menentukan ukuran

Tabel 4. Hasil lima varietas padi gogo di lahan sawah, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, MK 2018

Varietas Gabah kering panen

(t/ha)

Gabah kering giling

(t/ha)

Produksi benih

(t/ha)

Situ Bagendit 5,8 b 5,3 b 5,2 b

Rindang 1 5,9 b 5,4 b 5,3 b

Rindang 2 4,6 c 4,2 c 4,1 c

Inpago 8 7,5 a 6,9 a 6,7 a

Inpago 11 6,1 b 5,5 b 5,4 b

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p<0.05

Page 90: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

193 Produktivitas dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi Gogo di Lahan Sawah untuk

Produksi Benih (Ammini Amrina Saragih, Awaludin Hipi, Erythrina)

akhir biji. Hasil pengkajian ini sejalan dengan

penelitian lainnya bahwa produktivitas padi gogo

di lahan sawah lebih tinggi dibandingkan

pertanaman di lahan kering (Yunanda et al, 2013;

Nazirah dan Damanik, 2015).

KESIMPULAN

Varietas padi gogo yang ditanam di lahan

sawah berpotensi menghasilkan benih sumber yang

cukup tinggi berkisar antara 4,1 sampai 6,7 t/ha.

Potensi produksi benih tertinggi dihasilkan

Varietas Inpago 8 sedangkan terendah dihasilkan

Varietas Rindang 2

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada

Hasim D. Moko, Wasirin, Aryandi Kurniawan dan

Santty F. Pomalingo selaku teknisi BPTP

Gorontalo yang telah membantu dalam

pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data

selama percobaan berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S., M. J. Mejaya, N. Agustiani, I.

Gunawan, P. Sasmita, A. Guswara. 2013.

Sistem Tanam Legowo. Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang

Pertanian, Jakarta. 36p.

Ardi dan Yardha. 2014. Upaya peningkatan

produktivitas padi melalui varietas unggul

baru mendukung swasembada berkelanjutan

di provinsi Jambi. Jurnal .Agroekoteknologi

6(1):1-11.

Balitbangtan, 2007. Pedoman Umum Produksi

Benih Sumber Padi. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Departemen

Pertanian. 52 hal.

Balitbangtan. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Unit

Pengelola Benih Sumber Tanaman. Lingkup

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Kementerian

Pertanian. 51 hal.

Balittanah, 2007. Petunjuk Penggunaan Perangkat

Uji Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber

Daya Lahan Pertanian. Badan Litbang

Pertanian. 12 hal.

BMKG Provinsi Gorontalo. 2018. Data curah

hujan kabupaten Bone Bolango. Gorontalo.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan

Geofisika Provinsi Gorontalo.

BPS Provinsi Gorontalo. 2015. Gorontalo Dalam

Angka Tahun 2015. Gorontalo. Badan Pusat

Statistik Provinsi Gorontalo.

BPS Provinsi Gorontalo. 2017. Gorontalo Dalam

Angka Tahun 2017. Gorontalo. Badan Pusat

Statistik Provinsi Gorontalo.

BB Padi. 2018. Deskripsi Varietas Unggul Baru

Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Badan Litbang Pertanian, Kementerian

Pertanian.

Fageria, N. K. 2007. Yield Physiology of Rice.

Journal of Plant Nutrition 30(6):843-879

Efendi, H., dan H. R. Simajuntak. 2012. Respon

pertumbuhan dan produksi plasma nutfah

padi lokal Aceh terhadap sistem budidaya

aerob.

Jurnal Agrista 16(3):114-121.

Hafeeza, S., T. Jin, Y. Zhou. 2017. Factors

affecting yield and yield components of

main and ratoon rice: A Review.

Agricultural Science and Technology

18(7):1228-1231.

Ikhwani, G. R. Pratiwi, E. Paturrohman, A. K.

Makarim. 2013. Peningkatan produktivitas

padi melalui penerapan jarak tanam Jajar

Legowo. Jurnal Iptek Tanaman Pangan

8(2):72- 79.

Lampayan, R.M., R. M. Rejesus, G. R. Singleton,

B. A. M. Bouman. 2015. Adoption and

Page 91: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

194 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:187-194

economics of alternate wetting and drying

water management for irrigated lowland

rice. Field Crop Res. 170:95-108.

Liu, F., P. Wang, X. Zhang, X. Li, X. Yan, D. Fu,

and G. Wu. 2018. The genetic and molecular

basis of crop height based on a rice model.

Planta 247(1):1-26.

Nazirah, L, dan B. S. J. Damanik. 2015.

Pertumbuhan dan hasil tiga varietas padi

gogo pada perlakuan pemupukan. Journal

Floratek 10:54-60.

Syahri dan R. U. Somantri. 2016. Penggunaan

varietas unggul tahan hama dan penyakit

mendukung peningkatan produksi padi

nasional. Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Pertanian 35(1):25-36.

Taslim, I. 2016. Analisis kesesuaian iklim untuk

lahan perkebunan di Kabupaten Bone

Bolango. Bindhe 1(1): 44-53.

Thakur, A. K., K. G, Mohanty, R. K. Ambast.

2018. Rice root growth, photosynthesis,

yield and water productivity improvements

through modifying cultivation practices and

water management. Agricultural Water

Management. 206 : 67-77.

Toha, H. M. 2013. Pengembangan padi gogo

mengatasi rawan pangan wilayah lahan

marjinal. Dalam Prospek Pertanian Lahan

Kering Dalam Mendukung Ketahanan

Pangan. Jakarta (ID) : Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian.

Yunanda A. P., A. R. Fauzi, A. Junaedi. 2013.

Pertumbuhan dan produksi padi varietas

Jatiluhur dan IR64 pada sistem budidaya

gogo dan sawah. Bul. Agrohorti 1(4):18-25.

Wahyuni, S, T. S. Kadir, dan U. S. Nugraha. 2017.

Hasil dan mutu benih padi gogo pada

lingkungan tumbuh berbeda. Penelitian

Pertanian Tanaman Pangan 25(1):30-37.

Wahyuni, S. 2008. Hasil padi gogo dari dua

sumber benih yang berbeda. Penelitian

Pertanian Tanaman Pangan 27(3):135-140.

Wang J.X., J. Sun, C.X. Li, H. L. Liu, J. G. Wang,

H. W. Zhao, D. T. Zou. 2016. Genetic

dissection of the developmental behavior of

plant height in rice under different water

supply conditions. Journal of Integrative

Agriculture 15(12): 2688-2702.

Zhang, J., G. H. Li, Y. P. Song, Z. H. Liu, C. D.

Yang, S. Tang, C. Y. Zheng, S. H. Wang,

Y. F. Ding. 2014. Lodging resistance

characteristics of high-yielding rice

populations. Field Crops Research 161:64-

74.

Page 92: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

195 Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih

di Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)

PENUMBUHAN PENANGKAR BENIH JAGUNG BERBASIS MASYARAKAT MELALUI DESA MANDIRI BENIH DI SULAWESI TENGGARA

Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad

Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian Sulawesi Tenggara.

Jln. Prof. Muh. Yamin No.89. Puwatu. Kendari

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The development of community based-maize breeder through independent seed villages in southeast

Sulawesi. One of the strategies adopted in the effort to achieve self-sufficiency in maize is the provision of quality

seeds through the development of a seed independent village model that is built based on a community-based seed

system model. The activity was carried out in South Konawe District, Southeast Sulawesi. The activity took place in

January-December 2015 with the aim of: 1) Initiating a standalone model of community-based corn seed in a corn

development area in Southeast Sulawesi, and 2) Establishing a maize seedling institution in a maize development area

to ensure adequate supply and distribution of quality seeds. The activity involved 20 maize farmers. The breeder

group will then be given assistance, learning and technical training regarding the production of corn sources. Area of

field laboratory area was 10 ha as a place for farmers to learn producing source seeds and see the appearance of new

high yielding varieties. The results of the activities were obtained: 1) the activity of developing a model of

independent area of maize seed had successfully initiated the institutional growth of a formal group of maize seed

breeder 2) through the development of a community-based independent model of maize seed, succeeded in producing

quality seeds that passed 21 tons of BPSB TPH certification, which consisted of: 2 tons of Bima-20 varieties of URI

seeds, 5 tons of Lamuru and 14 tons of Sukmaraga. 3) Analysis of farmers' perceptions obtained that 82% farmers

gave a positive perception of the breeding business of maize seeds.

Key Word : village, independent, seed, maize, Southeast Sulawesi

ABSTRAK

Salah satu strategi yang ditempuh dalam upaya pencapaian swasembada jagung adalah penyediaan benih

bermutu melalui pengembangkan model desa mandiri benih yang dibangun berdasarkan model sistem perbenihan

berbasis masyarakat. Kegiatan dilaksanakan di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. kegiatan berlangsung

pada Januari -Desember 2015 dengan tujuan: 1) Menginisiasi model mandiri benih jagung berbasis masyarakat di

daerah pengembangan jagung di Sulawesi Tenggara, dan 2) Membangun kelembagaan perbenihan jagung di daerah

pengembangan jagung untuk menjamin penyediaan dan pendistribusian benih berkualitas secara cukup. Kegiatan

melibatkan 20 orang petani jagung. Kelompok penangkar ini selanjutnya diberi pendampingan, pembelajaran dan

pelatihan teknis mengenai produksi benih sumber jagung. Luas LL kegiatan 10 ha, sebagai tempat petani belajar

memproduksi benih sumber dan melihat penampilan varietas unggul baru. Hasil kegiatan diperoleh: 1) kegiatan

pengembangan model kawasan mandiri benih jagung telah berhasil menginisiasi penumbuhan kelembagaan kelompok

penangkar formal benih jagung 2) melalui kegiatan pengembangan model desa mandiri benih jagung berbasis

masyarakat, berhasil memproduksi benih bermutu yang lulus sertifikasi BPSB TPH sebanyak 21 ton, yang terdiri dari:

benih varietas Bima-20 URI sebanyak 2 ton, Lamuru sebanyak 5 ton dan Sukmaraga 14 ton. 3)Analisis persepsi

petani diperoleh 82% petani memberikan persepsi yang positif terhadap usaha penangkaran benih jagung.

Kata Kunci: Desa, Mandiri, Benih, Jagung, Sulawesi Tenggara

Page 93: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

196 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206

PENDAHULUAN

Salah satu cita-cita pemerintah Indonesia

yang tertuang dalam nawacita adalah mewujudkan

kemandirian pangan (Kementan, 2015).

Kementerian Pertanian telah mencanangkan target

swasembada jagung dan salah satu strategi untuk

pencapaiannya adalah melalui penyediaan benih

bermutu dengan penggunaan varietas unggul baru

(VUB).

Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan

salah satu wilayah potensial pengembangan jagung

yang memiliki luas areal pengembangan 31.534 ha,

dengan produktivitas 2,5 t/ha (BPS , 2014), masih

jauh dari potensi produktivitas jagung yang

mencapai 84 hingga 117 kw/ha (Badan Litbang,

2009). Salah satu faktor penyebabnya adalah

kurangnya adopsi benih unggul bermutu oleh

petani (Dinas Pertanian Sultra, 2013). Menurut

Margaretha dan Saenong (2009), masih banyak

petani yang menggunakan benih dari hasil panen

musim tanam sebelumnya dengan alasan harga

benih mahal.

Oleh karena itu, perlu penumbuhan dan

pembinaan kelompok tani sebagai penangkar benih

di pedesaan, khususnya di daerah-daerah sentra

produksi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan

mengembangkan model desa mandiri benih yang

dibangun berdasarkan model sistem perbenihan

berbasis masyarakat. Melalui pengembangan

model desa mandiri benih, petani dapat memenuhi

kebutuhan benih melalui produksi benih dari

wilayah sendiri secara mandiri, sehingga benih

unggul bersertifikat dapat diakses oleh petani

dengan harga yang terjangkau.

Namun demikian, penumbuhan penangkar

berbasis masyarakat (komunitas) membutuhkan

beberapa prasyarat diantaranya adalah factor

keterampilan petani dan ketersediaan benih sumber

(Abidin dan Harnowo, 2010). Selanjutnya

Harnowo., dkk (2007) : Deptan (2007) menyatakan

bahwa pengembangan sistem penyediaan benih

bermutu dari varietas unggul baru di suatu wilayah

memerlukan penanganan dalam hal : (1)

penumbuhan dan pengembangan

penangkar/produsen benih, (2) penyediaan benih

sumber dari varietas unggul baru yang sesuai

dengan daerah setempat (spesifik lokasi), (3)

transfer teknologi produksi hingga penanganan

pasca panen benih, (4) penyediaan ruang

simpan/gudang yang memadai untuk penyimpanan

benih sumber, (5) penerapan quality control

(pengendalian mutu), dan (6) penumbuhan ‘pasar’

aktual bagi benih bermutu yang diproduksi oleh

penangkar.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu

diinisiasi penumbuhan penangkar benih jagung

sebagai salah satu langkah strategis untuk

menjawab permasalahan ketersediaan benih

varietas unggul berkualitas tinggi sehingga mudah

diakses oleh petani dengan harga lebih murah

Kajian ini bertujuan untuk menginisiasi

penumbuhan penangkar benih mandiri benih

jagung berbasis masyarakat melalui Desa Mandiri

Benih di Sulawesi Tenggara..

METODOLOGI

Pelaksanaan kegiatan bertempat di Desa

Pangan Jaya, kecamatan Lainea, Kabupaten

Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Waktu

pelaksanaan kegiatan berlangsung dari Januari

hingga Desember 2015.

Kegiatan pengembangan model desa mandiri

benih jagung terdiri dari enam kegiatan operasional

utama yang meliputi: (1) perencanaan kebutuhan

benih, (2) identifikasi calon penangkar dan calon

lokasi, (3) penyediaan benih sumber, (4)

pendampingan dan bimbingan teknis produksi

benih, (5) fasilitasi dan bimbingan proses

sertifikasi benih, dan (6) sistem informasi

perbenihan.

Penyediaan benih sumber dilakukan oleh

Balit Serealia Maros. Varietas yang digunakan

terdiri dari: Sukmaraga, Lamuru dan Bima-20 URI.

Luas unit pelaksanaan kegiatan 10 ha, yang

selanjutnya menjadi laboratorium lapang (LL)

tempat petani calon penangkar belajar langsung

cara memproduksi benih dan melihat penampilan

Page 94: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih Di

Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)

197

varietas yang diperkenalkan. Selanjutnya produksi

benih yang dihasilkan dalam LL didaftarkan pada

BPSB TPH.

Untuk mengetahui persepsi petani terhadap

usaha penangkaran benih jagung digunakan

analisis persepsi. Variabel yang diamati meliputi:

1) persepsi petani mengenai minat petani dalam

penangkaran benih jagung dan 2) persepsi petani

mengenai teknologi produksi benih sumber jagung.

Selanjutnya variabel tersebut dijabarkan dalam

item-item pernyataan, masing-masing variabel

terdiri dari 4 item pernyataan. Untuk keperluan

analisis setiap item pernyataan diberi skor sesuai

dengan persepsi dan pilihan petani responden.

Analisis menggunakan pendekatan likert,

dimana nilai skor yang disusun sesuai dengan

gradasi persetujuan mulai dari setuju sampai tidak

setuju, dengan nilai dari angka 1 sampai 3. Berikut

penilaian skor sebagai berikut:

- Setuju (S) : skor 3

- Ragu (R) : skor 2

- Tidak setuju (TS) : skor 1

Persamaan yang digunakan untuk mengukur

persepsi menggunakan nilai tertimbang dengan

formula sebagai berikut:

K = n/N x 100 % (Hendayana, 2014).

Dimana :

K = Nilai Konstanta

n = jumlah responden yang

menyatakan (orang)

N = Total Jumlah responden

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Usahatani Jagung di Sulawesi

Tenggara

Keragaan tanaman jagung di Sultra dalam

kurun waktu 2003-2013 menunjukkan trend yang

menurun. Tabel 1 memperlihatkan luas panen

jagung Sulawesi Tenggara semakin berkurang

dalam kurun waktu 11 tahun terakhir. Demikian

juga dengan produksi yang juga mengalami

penurunan. Dalam kurun waktu 2003-2013 luas

Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung di Sulawesi Tenggara

Tahun Luas Panen

(Ha)

Trend

Pertumbuhan

(%)

Produktvts

(Ku/Ha)

Trend

Pertumbhn

(%)

Produksi

(Ton)

Trend

Pertumbhn

(%)

2003 37,927

23.11

87,650

2004 35,151 (7.32) 22.23 (3.81) 78,147 (10.84)

2005 32,665 (7.07) 22.39 0.72 73,153 (6.39)

2006 33,343 2.08 22.4 0.04 74,672 2.08

2007 40,975 22.89 23.68 5.71 97,037 29.95

2008 37,249 (9.09) 24.98 5.49 93,064 (4.09)

2009 27,214 (26.94) 26.33 5.40 71,655 (23.00)

2010 29,607 8.79 25.28 (3.99) 74,840 4.44

2011 28,892 (2.41) 23.53 (6.92) 67,997 (9.14)

2012 30,884 6.89 25.4 7.95 78,447 15.37

2013 27,133 (12.15) 24.91 (1.93) 67,578 (13.86)

Rata-

Rata 32,821.82 (2.43) 24.02 0.87 78,567.27 (1.55)

Sumber: Statistika Indonesia, 2004-2014

Page 95: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206

198

panen jagung menunjukkan trend menurun sebesar

2,43% pertahun, sementara produksi juga

menunjukkan penurunan rata-rata 1,55% pertahun.

Selengkapnya perkembangan luas Panen,

Produktivitas dan Produksi Jagung di Sulawesi

Tenggara ditampilkan di Tabel 1.

Rata rata capaian produktivitas jagung

Sultra 24.02 kw/ha, masih jauh dari potensi

produktivitas jagung yang mencapai 84 hingga

117 kw/ha. Hal ini disebabkan karena penggunaan

benih unggul bermutu yang belum banyak

diadopsi oleh petani. Penyebab utamanya adalah

sulitnya memperoleh benih unggul bersertifikat

dan jumlah penangkar jagung yang masih sangat

kurang. Jumlah penangkar jagung di Sulawesi

Tenggara yang resmi terdaftar sebagai

penangkar/kelompok penangkar pada Tahun 2014

hanya dua penangkar dengan kapasitas produksi

320 kg. Produksi benih tersebut tidak dapat

memenuhi kebutuhan benih jagung di Sulawesi

Tenggara yang mencapai 473.010 kg dengan

asumsi kebutuhan benih per ha sebesar 15 kg.

Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan benih

jagung unggul bersertifikat yang diperuntukkan

untuk kegiatan/program pemerintah di Sulawesi

Tenggara masih harus didatangkan dari luar

provinsi. Oleh karena itu dibutuhkan penumbuhan

penangkar benih jagung agar dapat memberikan

kontribusi dalam penyediaan benih jagung unggul

bersertifikat di Sulawesi Tenggara, sehingga

kebutuhan akan benih sumber dapat terpenuhi dari

wilayah sendiri (secara mandiri).

Identifikasi calon penangkar dan Inisiasi

Kelembagaan Kelompok Penangkar Desa

Mandiri Benih Berbasis Masyarakat

Calon penangkar yang ditargetkan menjadi

penangkar benih pada model kawasan mandiri

benih adalah calon penangkar atau penangkar non

formal, yaitu penangkar yang sudah terbiasa

memproduksi benih tetapi dalam proses

produksinya belum melakukan sertifikasi benih

oleh BPSB. BPTP Sulawesi Tenggara

berkoordinasi dengan BPSB mengindentifikasi

calon penangkar yang akan dibina. Penangkarnon

formal ini selanjutnya mendapatkan bimbingan

dari BPTP Sulawesi Tenggara dalam hal teknik

produksi benih (pra dan pasca panen) serta proses

sertifikasi benih, sehingga penangkar non formal

tersebut dapat berkembang menjadi penangkar

formal. Penumbuhan kelompok penangkar

berbasis masyarakat dengan pendekatan kelompok

di daerah sentra produksi akan mempermudah

pembinaan, pendampingan sekaligus sosialisasi

perbenihan.

Metode pembinaan penangkaran perbenihan

di kelompok tani disamping mendekatkan sistem

perbenihan pada pengguna (petani), juga memiliki

manfaat dalam percepatan penyebaran varietas

unggul baru, sehingga adopsi varietas unggul baru

ke petani lebih mudah dan cepat. Melalui

kelompok yang dibentuk sebagai penangkar,

varietas unggul baru dikenalkan sekaligus

ditangkarkan sebagai benih yang bersertifikasi.

Berdasarkan hal tersebut, BPTP Sulawesi

Tenggara melalui kegiatan pengembangan model

kawasan mandiri benih jagung menginisiasi

pembentukan kelembagaan kelompok penangkar

benih jagung yang beranggotakan 20 orang petani

jagung yang selanjutnya menjadi calon penangkar.

Ke-20 orang petani calon penangkar tersebut

dihimpun dalam satu kelembagaan kelompok

penangkar yang didaftarkan sebagai produsen

benih di BPSB TPH dengan nama “Citra Sari”.

Kelompok calon penangkar tersebut yang

kemudian didampingi dengan memberikan

pembelajaran, pelatihan teknis dan berbagai

materi terkait teknologi produksi benih sumber

agar menjadi penangkar formal.

Model desa mandiri benih berbasis

masyarakat yang dilaksanakan di kegiatan

pengembangan model desa mandiri benih jagung

disajikan pada gambar 1 berikut:

Page 96: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih Di

Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)

199

Kondisi Existing Teknologi

Kegiatan Pengembangan Model Kawasan

Mandiri Benih Jagung berlokasi di Desa Pangan

Jaya yang termasuk dalam wilayah Kecamatan

Lainea Kabupaten Konawe Selatan. Pertanaman

jagung di lokasi kajian dilakukan pada

agroekosistem lahan sawah. Umumnya petani

menanam jagung setelah pertanaman padi. Namun

terdapat petani yang tidak memanfaatkan lahannya

untuk menanam padi tapi menanam palawija

(jagung/kedelai) seperti petani koperator pada

kegiatan model desa mandiri benih jagung dimana

lahan yang digunakan untuk produksi benih

sumber desa mandiri benih sebagian besar adalah

lahan

setelah pertanaman jagung. Berikut existing

teknologi jagung petani koperator (Tabel 3).

Tabel 3. Kondisi Existing Teknologi Jagung Petani

Tabel 3. Kondisi Existing Teknologi

Jagung Petani koperator

No Karakteristik Kondisi Exixting

1 Luas lahan < 1 (40%)

1 – 2 (35%)

> 2 (20%)

2 Penyiapan lahan Olah tanah sempurna

dengan traktor

3 Pola tanam a. Jagung –

kedelai – jagung

(10%)

b. Kedelai –

kedelai – jagung

(5%)

c. Kedelai –

jagung – jagung

(10%)

1. VUB 2. Benih sumber,

benih dasar (BS, BD)

3. Teknologi produksi

4. Manajemen mutu

1. Varietas adopsi 2. Benih sebar 3. Teknologi

produksi 4. Manajemen mutu

1. Koordinasi 2. Regulator 3. Pembinaan 4. Manajemen mutu

Distan, BP4K,

BPSB

Mandiri benih

Desa

1. LL perbenihan VUB

2. BD dan BP 3. Pendampingan

teknologi 4. Manajemen mutu

Gambar 1. Model Desa Mandiri Benih Berbasis Masyarakat

Page 97: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206

200

No Karakteristik Kondisi Exixting

d. Padi – jagung –

jagung (10%)

e. Jagung –

jagung – jagung

(65%)

4 Varietas Bisi 2, NT 10, NT 30,

NK 33,.

5 Sumber benih Beli sendiri dan benih

bantuan

6 Penggunaan

benih/ha

15 kg/ha, jumlah 1

biji/lubang

7 Jarak tanam 70-75 cm x 20 cm

8 Pemupukan - NPK Phonska :

200 kg/ha

- Urea :

200 kg/ha

- SP36 :

100 kg

9 Pengendalian

hama penyakit

Insektisida Furadan

10 Pengemdalian

gulma

Herbisida Roundup 2

l/ha dan Calaris 1 l/ha

11 Panen Kelobot telah

mengering dan

berwarna cokelat Sumber: Data Survei Wawancara Petani, 2015

Introduksi Teknologi Produksi Benih Jagung

Pelaksanaan tanam untuk produksi benih

sumber pada kegiatan mandiri benih dilaksanakan

pada pertengahan bulan April hingga awal Mei.

Selanjutnya dari hasil pengamatan lapang,

karakteristik teknologi produksi benih jagung yang

diterapkan pada kegiatan pengembangan model

kawasan mandiri benih jagung di Konawe Selatan

ditampilkan pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Karakteristik Teknologi Produksi Benih

Jagung pada Kegiatan Mandiri Benih

Jagung di Sultra, 2015.

Karakteristik

Teknologi

Keterangan

Penyiapan Lahan - Lahan dibersihkan

dari sisa-sisa

tanaman

menggunakan

herbisida

- Olah lahan

sempurna

menggunakan

traktor

Penanaman - Plotting untuk

penanaman

menggunakan ajir

bambu

- Jarak tanam antar

barisan 75cm dan

jarak tanam dalam

barisan 25 cm

- Penanaman

dilakukan dengan

cara tugal,

- Jumlah biji : 1 biji

per lubang dan

ditutup dengan

segenggam pupuk

kandang

- Tenaga kerja yang

digunakan sistim

borongan (20

orang/ha/hari)

Pemupukan - Jenis pupuk dan

takaran yang

diberikan terdiri

dari:

Urea : 100 kg/ha,

NPK : 350-400

kg/ha dan SP-36 :

50-100 kg/ha.

Organik 1000 kg/ha

- Cara pemupukan;

pembuatan lubang

Page 98: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih Di

Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)

201

Karakteristik

Teknologi

Keterangan

dengan tugal

disamping tanaman

dengan jarak 5 cm

dari tanaman

Penyiangan dan

Pembumbunan - Penyiangan I

sekaligus

pembumbunan

dilakukan pada

umur 15:20 hst

- Penyiangan II

dilakukan pada

umur 30-35 hst

sekaligus

memperbaiki

guludan

Pengendalian

Hama Penyakit - aplikasi insektisidda

(furadan) melalui

pucuk daun pada

umur tanaman : 20

dan 35 hst.

Pengendalian

Gulma - rindomyl

Seleksi

pertanaman jagung

untuk produksi

benih(roughing)

- Roughing 1: vigor

tanaman

Umur: 2-4 minggu

setelah tanam

- Roughing 2:

berbunga

Umur 7-10 minggu

setelah tanam

- Roughing 3: posisi

tongkol

Umur: 2 minggu

sebelum panen

- Roughing 4. Seleksi

tongkol

Panen dan

prosesing - Panen dilakukan

pada saat tanaman

masak fisiologis

Tongkol yang telah

lolos seleksi

pertanaman di

panen, selanjutnya

dijemur

Karakteristik

Teknologi

Keterangan

- Seleleksi tongkol,

tongkol yang

memenuhi kriteria

menjadi benih

selanjutnya dipipil

menggunakan mesin

pemipil.

- Setelah pemipilan

dilakukan sortasi

biji

- Biji yang telah

terpilih dijemur

kembali.

- Terakhir benih di

kemas. Sumber: Hasil Pengamatan Lapangan. 2015

Fasilitasi dan Bimbingan Kepada Calon

Penangkar Untuk Sertifikasi Benih

Dalam kegiatan pengembangan model desa

mandiri benih, diharapkan benih yang dihasilkan

oleh calon penangkar dari hasil pendampingan dan

pembelajaran teknis yang diberikan dapat

menghasilkan benih yang lulus sertfikasi.

Sertifikasi merupakan proses pemberian

sertifikat benih tanaman setelah melalui

pemeriksaan, pengujian dan pengawasan serta

memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan

dengan tujuan untuk menjamin kemurnian dan

kebenaran varietas. Dalam hal ini, BPSB TPH

merupakan instansi pemerintah yang memiliki

tugas dan wewenang dalam hal sertifikasi Benih

tanaman pangan, pengujian benih laboratorium,

pengawasan peredaran benih dan monitoring stock

benih tanaman pangan dan hortikultura.

Berdasarkan hal tersebut, kegiatan Pengembangan

Model Kawasan Mandiri Benih Jagung melibatkan

BPSB TPH Sultra. Keterlibatan BPSB TPH dimulai

dari proses pendaftaran produsen benih untuk

memperoleh tanda daftar hingga keluarnya label.

Proses sertifikasi benih selengkapnya dapat dilihat

pada alur pelayanan sertifikasi benih tanaman

Page 99: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206

202

pangan yang ditampilkan dalam gambar 2 (BPSB

TPH Prov. Sultra, 2015)

Kegiatan pengembangan model desa

mandiri benih jagung di Sulawesi Tenggara sudah

melalui proses tersebut, dan dari hasil

pendampingan BPTP Sultra, melalui kegiatan ini

telah dihasilkan benih bersertifikat sebanyak 21

ton, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 5.

Hasil pengujian laboratorium terhadap

produksi benih penangkar dalam kegiatan desa

mandiri benih jagung di Sulawesi Tenggara

diperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 6).

Persepsi Petani terhadap Teknologi

Penangkaran Benih Jagung

ALUR PROSES PELAYANANSERTIFIKASI BENIH TANAMAN PANGAN

Gambar 2. Alur Pelayanan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan

Page 100: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih Di

Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)

203

Persepsi petani terhadap teknologi anjuran

(produksi benih) merupakan faktor kunci yang

mempengaruhi apresiasi petani terhadap inovasi

teknologi. Sebaik apapun teknologi yang

dianjurkan tidak akan direspon oleh petani bila

persepsi petani terhadap teknologi tersebut kurang

baik. Berdasarkan hal tersebut, perlu diketahui

bagaimana respon dan tanggapan petani mengenai

teknologi produksi benih sumber jagung.

Selengkapnya hasil analisis persepsi terhadap

usaha penangkaran benih jagung ditampilkan pada

Tabel 7.

Persepsi petani terhadap usaha

penangkaran benih jagung menunjukkan besarnya

minat petani terhadap usaha penangkaran benih

jagung, dimana 100% petani menyatakan setuju

dalam artian berminat terhadap usaha penangkaran

benih jagung. Dicermati lebih lanjut, sebagian

besar petani (50%) tertarik menjadi penangkar

walaupun tanpa adanya bantuan pemerintah atau

keinginan melakukan secara mandiri, sementara

25% petani lainnya masih ragu dan 25% hanya

mau menjadi penangkar bila terdapat

program/bantuan pemerintah. Ketertarikan atau

minat petani tesebut karena usaha penangkaran

benih jagung lebih menguntungkan dibanding

Tabel 5. Hasil Produksi Benih Bersertifikat Kegiatan Model Pengembangan Kawasan/Desa Mandiri

Benih Jagung Di Sulawesi Tenggara, 2015

Uraian

Varietas

Bima-20 Lamuru Sukmaraga Sukmaraga

Kelas benih FS FS FS SS

Hasil produksi rata-rata calon

benih (kg/ha)

4000 3825 3700 3700

Jumlah benih yang diuji BPSB

(kg)

2000 5000 7000 7000

Jumlah benih yang lulus

sertifikasi (kg)

2000 5000 7000 7000

Tabel 6. Hasil Pengujian Laboratorium Benih Jagung pada Kegiatan Desa Mandiri Benih di Sulawesi

Tenggara, 2015.

Uraian

Varietas dan Kelas Benih

Bima 20

(FS)

Lamuru

(FS)

Sukmaraga

(FS)

Sukmaraga

(SS)

1. Kadar air (%) 12.0 12,0 12,0 12,0

2. Benih murni (%) 99,8 99,8 99,9 99,9

3. Benih tanaman lain/ varietas

lain (%)

0,0 0,0 0,0 0,0

4. Kotoran benih (%) 0,2 0,2 0,1 0,1

5. Benih rerumputan (%) - - - -

6. Daya berkecambah (%) 89,0 86,0 87,0 87,0

7. Biji keras (%) - - - -

Sumber: BPSB TPH Sultra, 2015

Page 101: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206

204

jagung pakan. Dimana hal tersebut dinyatakan

oleh 75% sementara 25% petani lainnya masih

ragu jika usaha penangkaran benih memberikan

keuntungan yang lebih dibanding jagung pakan.

Informasi lebih lanjut diperoleh, 100% petani

setuju jika ketersediaan pasar menjadi faktor yang

paling menentukan terhadap keberlanjutan usaha

penangkaran benih jagung. Petani menyatakan

bahwa ketidakpastian pasar membuat petani ragu

untuk melakukan penangkaran benih. Informasi

dari BPSB TPH juga menguatkan bahwa

permohonan untuk pengujian benih umumnya

tergantung adanya permintaan benih saja, atau

lebih karena respon terhadap pemenuhan akan

kebutuhan program program pemerintah. Dengan

kata lain, mereka melakukan penangkaran dengan

tujuan untuk memenuhi permintaan/kebutuhan

program pemerintah. Fakta tersebut tentunya

berdampak terhadap penyediaan benih

bermutu/benih bersertifikat yang tidak dapat

berlangsung secara kontinyu.

Persepsi petani sebanyak 80% menyatakan

setuju bahwa teknologi penangkaran benih jagung

sudah dipahami dengan baik sementara 20%

lainnya tidak setuju (belum memahami). Terkait

dengan teknologi penangkaran benih jagung, hal

ini merupakan pengalaman baru bagi petani,

walaupun demikian pemahaman petani sudah baik.

Hal tersebut tidak terlepas dari pengalaman petani

sebelumnya dalam hal penangkaran khususnya

penangkaran kedelai. Dari aspek kemudahan, 90%

Tabel 7. Persepsi Petani Terhadap Usaha Penangkaran Benih Jagung pada kegiatan

Pengembangan Model Desa Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Tenggara, 2015.

No

Item Pernyataan

Persepsi Petani (persentase)

Setuju Ragu Tidak

Setuju Total

1) Petani sangat berminat dalam usaha

penangkaran benih jagung

100

-

-

100

2) petani tertarik menjadi penangkar

benih jagung secara mandiri

50

25

25

100

3) Usaha penangkaran benih jagung

lebih menguntungkan dari jagung

pakan

75

25

-

100

4) Ketersediaan pasar menjadi faktor

penting keberlanjutan usaha

penangkaran benih jagung

100

-

-

100

5) Teknologi penangkaran benih jagung

sudah dipahami dengan baik oleh

petani

80

20

100

6) Teknologi penangkaran benih jagung

mudah dilaksanakan oleh petani

90

-

10

100

7) Teknogi penangkaran benih jagung

memiliki kesesuaian dengan

teknologi yang telah ada sebelumnya

90

10

100

8) Karakteristik Teknologi

penangkaran benih jagung disukai

oleh petani

75

25

-

100

Rata-Rata 83 12 6 100

Page 102: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih Di

Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)

205

petani menyatakan setuju bahwa teknologi

penangkaran benih jagung mudah dilaksanakan

sementara 10% petani menyatakan tidak mudah

dilaksanakan.

. Dalam hal ini teknologi yang dirasakan

sulit oleh petani adalah seleksi atau pemotongan

bunga jantan pada produksi jagung hibrida.

Selanjutnya persepsi petani mengenai aspek

kesesuaian teknologi diperoleh 90% petani

menyatakan setuju bahwa teknologi penangkaran

benih jagung memiliki kesesuaian atau

keselarasan dengan teknologi yang telah ada

sebelumnya. Dalam hal ini, teknologi produksi

benih jagung yang dianjurkan tidak berbenturan

dengan nilai budaya dan kepercayaan petani dalam

melakukan usahatani sebelumnya (jagung pakan).

Untuk karakteristik teknologi penangkaran benih

jagung, 75% petani menyatakan menyukai dan

25% lainnya masih ragu. Kesukaan terhadap

teknologi berpengaruh terhadap penerimaan dan

penolakan petani terhadap teknologi tersebut, dan

akan berpengaruh terhadap kemauan petani untuk

mengadopsi teknologi anjuran. Lebih lanjut,

penerimaan petani terhadap suatu teknologi akan

semakin baik bilamana teknologi tersebut

dirasakan menguntungkan dan sesuai dengan

kebutuhan petani. Berdasarkan uraian tersebut,

dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar

petani (83%) memberikan persepsi yang baik

mengenai usaha penangkaran benih jagung dan hal

tersebut menunjukkan bila usaha penangkaran

benih jagung sangat berpeluang untuk diusahakan

dan dikembangkan lebih lanjut, dengan

memperhatikan faktor ketersediaan pasar untuk

pemasaran hasil produksi benih penangkar.

KESIMPULAN

1. BPTP Sulawesi Tenggara melalui kegiatan

pengembangan model kawasan mandiri benih

jagung telah berhasil menginisiasi penumbuhan

kelembagaan kelompok penangkar formal

benih jagung di desa Pangan Jaya, kecamatan

Lainea, Kabupaten Konawe Selatan.

2. Hasil pendampingan dan pembelajaran teknis

produksi benih sumber jagung kepada petani

melalui kegiatan pengembangan model desa

mandiri benih jagung berbasis masyarakat di

Sulawesi Tenggara, berhasil memproduksi

diproduksi benih bermutu yang lulus sertifikasi

BPSB TPH sebanyak 21 ton, yang terdiri dari:

benih varietas Bima-20 URI sebanyak 2 ton,

Lamuru sebanyak 5 ton dan Sukmaraga 14 ton.

Hasil tersebut telah mampu sehingga

memenuhi kebutuhan benih untuk desa sendiri

3. Analisis persepsi petani diperoleh 83% petani

memberikan persepsi yang positif terhadap

usaha penangkaran benih jagung. Artinya,

Penangkaran benih jagung sangat berpeluang

untuk diusahakan dan dikembangkan lebih

lanjut, tentunya dengan memperhatikan faktor

ketersediaan pasar untuk pemasaran hasil

produksi benih penangkar.

4. Perlu adanya dibangun dan dikembangkan

kemitraan atau kerjasama penangkar benih

dengan pemda atau produsen benih

(BUMN/Swasta) untuk menjamin kepastian

pasar. Adanya kepastian pasar akan

memberikan peluang bagi tumbuh kembangnya

penangkar-penangkar baru, sehingga benih

dapat tersedia secara kontinyu.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., Dan Harnowo, D., 2010. Penumbuhan

Penangkar Benih Kedelai Berbasis

Komunitas di Sulawesi Tenggara.

Prosiding Seminar.

BPSB TPH Provinsi Sultra, 2015. Laporan

Perkembangan Penangkar/Produsen Benih

Jagung. Kendari. Tahun 2015.

BPS Indonesia, 2004-2014. Indonesia dalam

Angka 2004-2014. Badan Pusat Statistik

Indonesia. Jakarta

BPS Sultra, 2014. Sulawesi Tenggara dalam

Angka 2014. Badan Pusat Statistik

Provinsi Sulawesi Tenggara.

Deptan, 2009. Pedoman Umum PTT Jagung.

Departemen Pertanian Badan Penelitian

Page 103: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/Buletin-vol_4_no_2_2018_Gabungan.pdfBuletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206

206

dan Pengembangan Pertanian. Departemen

Pertanian. Jakarta.

Dinas Pertanian Provinsi Sultra, 2013. Data Luas

Tanam, Panen, Produksi dan Produktivitas

Padi dan Palawija Tahun 2014. Dinas

Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi

Sulawesi Tenggara. Kendari.

Dinas Pertanian Provinsi Sultra, 2015. Laporan

Perkembangan Jagung Provinsi Sulawesi

Tenggara. Kendari. Tahun 2015.

Harnowo, D., J. R. Hidajat, dan Suyamto. 2007.

Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih

Kedelai. Hal. 383-415. Dalam Sumarno

dkk. (ed.). Kedelai : Teknik Produksi dan

Pengembangan. Puslitbang Tanaman

Pangan, Bogor.

Hendayana, Rachmat, 2011. Metode Analisis Data

Hasil Pengkajian. Balai Besar Pengkajian

dan Pengembangan Teknologi. Bogor.

Kementan, 2015. Pedoman Umum pengembangan

Model Kawasan Mandiri benih Padi,

Jagung, dan kedelai. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Kemenerian

Pertanian. Jakarta.

Margaretha .,S.L. Dan Saenong, 2010.

Pembentukan Penangkaran Benih Untuk

Percepatan Distribusi Benih Varietas

Jagung Nasional. Prosiding Seminar

Nasional Serealia 2009