Post on 15-May-2023
1
WACANA KEAGAMAAN DALAM PENGAJIAN DI MASJID
AGUNG AL-ISTIQAMAH KUALA TUNGKAL
UNTUK MEMBENTUK MAYSARAKAT ISLAMI
Syaidah
Program Pascasarjana IAIN STS Jambi
Abstract: This study discussed about religious discourse that developed in the recitals in the
Mosque of Agung Al-Istiqamah Kuala Tungka. The reason of this researched was the largest
recitation in Kuala Tungkal and had very many members and faithful. The loyalty of
members and obedience to attend lectures teachings had shaped personal self-righteous on
the congregation. But this faith or knowledge was still a personal and not "contagious" to his
family, as recognized by some members that despite follow the teachings over the years but
had no impact on their families. This study was an issue of public concern to the author that
illegible and not touched especially by the scholars. This research wanted to reveal
inconsistencies between religious discourse and the problems in the society. This research
used qualitative using flow analysis techniques (domain, taxonomy , and komponential).
This research could be concluded that recitation in the Mosque of Al-Istiqamah gave
influence to their members but still not gave a good impact to the their family.
Key words: Great Mosque of Al-Istiqamah, recitation, Kuala Tungkal
A. PENDAHULUAN
Salah satu wadah berkembangnya wacana keagamaan adalah masjid. Di masjid para ulama
mensosialisasikan berbagai wacana keagamaan dalam bentuk pengajian.1 Di masa Rasullah
SAW ataupun di masa sesudahnya, masjid menjadi pusat atau sentral kegiatan kaum muslimin.
Kegiatan dibidang pemerintahnya pun mencakup idiologi, politik, ekonomi, sosial, peradilan,
dan kemiliteran dibahas dan dipecahkan dilembaga masjid. Disamping itu, masjid juga menjadi
tempat halaqah atau diskusi, tempat mengaji, dan memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan agama
ataupun umum.2.
Ulama adalah sosok yang dianggap kompeten dalam membangun pengetahuan.
keagamaan masyarakat.Dalam membangun pengetahuan tersebutpara ulama memilih wacana
keagaman dengan alasan-alasan yang dipengaruhi oleh bangunan pengetahuan agamanya dan
kepentingan yang ingin dicapainya. Kepentingan ulama dapat didasari oleh alasan-alasan
1
Masjid punya kedudukan yang sangat penting bagi kaum muslimin,yakni dalam rangka memperkokoh dan memantapkan ruh keislamanya. Ini berarti masjid harus dikembangkan kea rah pengokohan jiwa keislaman dari kaum muslimin.lihat ahmad yani,panduan memakmurkan masjid(Jakarta : Al Qalam, 2009). hlm. 23.
2 Moh. E. Ayub, Manajemen Masjid (Jakarta : Gema insani Press, 1996). hlm.2.
2
rasional yang menjadi landasan berfikirnya, misalnya ketika ulama melihat fakta sosial bahwa
banyak masyarakat yang tidak melaksanakan shalat, sehingga ulama perlu menyampaikan
wacana tentang shalat.
Berdasarkan argumentasi di atas, tergambar bahwa ulama, masjid, dan pengajian
merupakan unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dari komunitas Islam. Hampir dapat
dikatakan, dimana ada komunitas Islam, disana ada ulama, masjid, dan pengajian. Idealnya,
keberadaan unsur-unsur tersebut tidak sekedar membangun pengetahuan keagamaan masyarakat,
tetapi juga bertujuan menjawab berbagai problematika masyarakat. Salah satu pengajian yang
menarik untuk diteliti adalah pengajian di Masjid Agung Al-Istiqamah Kuala Tungkal. Beberapa
faktor pendorong bagi peneliti untuk meneliti pengajiaan ini, antara lain. Pertama, pengajian di
mesjid Agung Al-Istiqamah adalah pengajian terbesar Kuala Tungkal. Pengajian ini selalu ramai
dikunjungi oleh masyarakat. Diperkirakan tidak kurang 1.000 jama‟ah hadir di setiap acara
pengajian.3
Kedua, pengajian di masjid Agung Al-istiqamah rutin menyampaikan wacana
keagamaan, yang dilaksanakan setiap senin malam, selasa pagi, dan jum‟at pagi. Ketiga,
pengajian di masjid Agung Al-istiqamah merupakan penguasa pengetahuan keagaman di Kuala
Tungkal, sebagai sumber pengetahuan agama, dan menjadi pedoman masyarakat dalam
persoalan-persoalan keagamaan. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, kesalehan yang
terbentuk pada jama‟ah masih merupakan kesalehan individu dan terkesan belum menular
kepada keluarganya bahkan masyarakat luas.
Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya berita-berita yang mengambarkan
problematika masyarakat Kuala Tungkal yang tidak terselesaikan dan semakin meresahkan.
Sebagi contoh, antara lain: pertama, survey yang telah dilakukan oleh sebuah lembaga
menemukan bahwa Tanjung Jabung Barat merupakan daerah terbanyak tingkat SD buta aksara
Al-qur‟an se-Provinsi Jambi, yaitu SD sebanyak 4.835 orang, SMP 112 orang, SMA 77 orang,
dan SMK 24 orang. Kedua, maraknya kasus perzinahan atau sex bebas dan protitusi. Hasil
penelitian yang dilakukan GP Ansor Kabupaten Tanjung Jabung Barat menemukan fenomena
prostitusi yang dilakukan pelajar telah merata di semua sekolah di Kuala Tungkal.
3AH, wawancara, 01 Mei 2013, Kuala Tungkal, camera, anggota pengajian, Kuala Tungkal.
3
Ketiga,tingginya tingkat perceraian. Data dari pengadilan agama Kab.Tanjung Barat
tercatat 400 kasus perceraian di tahun 2012, dimana motif utama dari perceraian tersebut
sebagian besar karena ekonomi, tidak bertanggung jawab, dan gangguan pihak ketiga.
Keempat, kasus narkoba dan mabuk-mabukan yang telah menyentuh pelajar SD, SMP,
dan SMA. Berdasarkan data Sat Resnarkoba Polres Tanjab Barat, terdapat 18 kasus di tahun
2011, dan 25 kasus di tahun 2012. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengungkapkan secara
jelas wacana keagamaan dalam pengajian di masjid Agung Al-Istiqamah Kuala Tungkal yang
disikapi beragam oleh jama‟ahnya dan terkesan belum efektif menyelesaikan persoalan
masyarakat.
B. MASJID DAN WACANA KEAGAMAN
Masjid adalah lembaga pembinaan masyarakat Islam yang didirikan di atas dasar takwa dan
berfungsi mensucikan masyarakat Islam yang dibina. Rasullah sering duduk di masjid lalu
dikerumuni oleh para sahabat dalam posisi melingkar bagaikan bintang-bintang mengelilingi
bulan purnama. Beliau menyampaikan ceramah,fatwa agama, dan ajaran-ajaran kepada mereka.
Jika berhalangan hadir, beliau mengutus para sahabat untuk mewakilinya.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa sejak zaman Rasullah SAW masjid telah
berfungsi sebagai tempat belajar mengajar dan sosialisasi berbagai wacana keagamaan,
disamping untuk kegiatan lainnya. Sosialisasi wacana ini merupakan sesuatu yang sangat penting
bagi umat Islam. Melalui sosialisasi wacana keagamaan, ditanamkan nilai-nilai, pengetahuan dan
wawasan yang sangat luas agar masyarakat menguasai ajaran Islam dengan baik dan mampu
membedakan antara haq dan bathil.
Dengan demikian, urgensi dan keberadaan mesjid bagi kaum muslim sangat besar.
Manfaat mesjid bukan hanya untuk kepentingan ukhrawi kelak, tetapi juga mengarah dan
mengisi kehidupan di dunia ini agar kehidupan kaum muslimin berjala secara lebih bermakna.
Karena itu,wacana keagamaan yang disosialisasikan harus berorientasi kearah tersebut. Untuk
mengetahui apa maksud dengan tujuan wacana keagamaan dalam penelitian ini, dapat dijelaskan
sebagai berikut. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dikemukan bahwa wacana yaitu (1)
komunikasi verbal, (2) lingkungan keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan (3)
4
lingkungan suatu bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan
utuh, (4) lingkungan secara sistimatis (5) pertukaran ide secara verbal.4
Robert E. Longacre membedakan empat macam wacana, yaitu wacana naratif,
procedural, ekspositori dan hortatory.Secara tradisional wacana dibedakan atas narasi, deskripsi,
eksposisi, dan argumentasi. James L. Kinneavy membedakan empat kelompok wacana
berdasarkan tujuan yaitu, 1) wacana ekspresif, 2) wacana referensial, 3) wacana susatra dan, 4)
wacana persuasive.2
Perbedaan yang dilakukan oleh Kinneavy berdasarkan kepada tujuan penulisan
wacana. Sebuah wacana baik lisan maupun tulisan dapat ditujukan baik kepada diri sendiri dan
untuk orang lain. Dengan istilah Kinneavy wacana itu bisa ditujukan untuk encoder
(pembicara/penulis) atau untuk decoder (pendengar/ pembaca).Wacana referensial adalah
wacana yang acuanyan kepada realitas, kepada fakta dan data.Istilah wacana referensial ini
mengingatkan kita kepada ciri-ciri imu.Ini berarti wacana lebih ditujukan kepada pengambaran
tentang realitas fakta dan data daripada kepada decoder.Tujuan untuk encoder tentu ada tetapi
tidak dominan dalam wacana tersebut.Wacana referensial dibedakan atas wacana ekxpositori,
wacana ilmiah, dan wacana informative. Wacana referensial ekspositori dapat berbentuk dialog,
seminar, definisi sementara, hipotesis, usul-usul pemecahan masalah dan diagnosis-diagnosis.
Wacana ilmiah dapat berbentuk laporan penelitian. Wacana informative dapat berbentuk
makalah-makalah di surat kabar,laporan, rangkuman dan abstrak.
Wacana kesustraan pada umumnya dikelompokkan sebagai wacana
ekspresif.Tetapi, seperti wacana referensial, argument-argumen dalam wacana kesustra berbicara
tidak untuk encoder dan decoder.Berbeda dengan wacana kesustra, wacana persuasive secara
implisit dan eksplisit ditujukan kepada wacana decoder.Wacana ini memancing satu tindakan,
emosi dan keyakinan tertentu dari decoder.
Keagamaan berasal dari kata agama dari bahasa sanskerta, din dari bahasa Arab dan
religi dari bahasa Latin. Menurut John R. Bennet, yang dikutip H. Endang Saifuddin Anshari
bahwa agama, religi atau din pada umumnya merupakan suatu Credo „tata keimanan‟ atau “tata
keyakinan” atas adanya sesuatu yang mutlak diluar manusia. Selain itu, ia juga merupakan suatu
sistem ritus „tata peribadahan‟ manusia kepada sesuatu yang mutlak, juga sebagai sistema norma
4 pusat bahasa department pendidikan nasional, kamus bahasa Indonesia (Jakarta: pusat bahasa departemen
pendidikan nasional,2008). hlm. 1804.
5
„tata kaidah‟ yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia serta antara manusia
dengan alam sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata kepribadahan itu5
Unsur-unsur penting yang terdapat dalam agama, agama lain: kekuatan gaib; manusia
merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat meminta tolong. Oleh
karena itu manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut,
keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhiratnya tergantung
pada hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud, respon yang bersifat emosional dari
manusia. Respon itu bisa mengambil bentuk perasaan takut, cinta, dan sebagainya, paham
adanya yang kudus dan suci, dalam bentuk kekuataan gaib, dalam bentuk kitab yang
mengandung ajaran-ajaran agama bersangkutan dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.6
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa keagamaan adalah tata keimanan atau
kepercayaan seseorang yang mengakui adanya kekuatan gaib, keyakinan bahwa kesejahteraanya
di dunia dan di akhirat tergantung pada hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Sehingga
menimbulkan sebuah respon yang ditujukkan dengan bentuk penyembahan dan pemujaan
C. WACANA KEAGAMAAN YANG BERKEMBANG DALAM PENGAJIAN DI
MASJID AGUNG AL-ISTIQAMAH KUALA TUNGKAL
Berdasarkan penelusuran peneliti, wacana keagamaan yang disampaikan dalam pengajian ini
mengunakan kitab Syar al-Salikin, Hidayah Al- Salikin dan Fath Al-Arifin. Pengajian Senin
malam mengunakan kitab Al-Salikin karangan Abd Samad al- Falimbani. Pengajian pagi Selasa,
mengunakan kitab Fath Al-Arifin karangan Muhamad Sarny bin Muhamad Siddiq Al-Alaby.
Kitab ini merupakan terjemahan dari kitab Hikam karya Syaikh Abu Al-Fadhli Ahmad ibn
Muhamad Abd Al-Karim ibn „Atha‟illah Al-Sakandary (w. 709 H).7 Kkitab al-arifin
membicarakan tentang jalan orang yang arif billah dan ahli tauhid yang meningkat di maqam
yang tinggi yaitu mengetahui bagaimana pengenalan mereka kepada Tuhan dan pendidikan yang
mereka berikan kepada para pengikutnya.
5 Endang saifuddin anshari, Wawasan Islam. Jakarta : gema insani, 20004, hlm. 30.
6 endang saifuddin anshari, wawasan islam (Jakarta : gema insani, 20004), hlm. 30.
7
7Muhamad Sarny bin Jurnmany bin Muhamad Siddiq al-alaby,fath al-arifin (banjar masin:t, penerbit,1983)
jilid 1-2, hlm l.7.
6
Pengajian pagi Jum‟at, mengunakan kitab Hidayah Al-Salikin karya Abd Samad Al-
Falimbani. Kitab ini berbahasa melayu, yang selesai ditulisnya pada tanggal 5 muharram tahun
1202 H/1778 M.8
kitab Hidayah Al-salikin membicarakan, antara lain:
Kelebihan ilmu yang bermanfaat
Aqidah orang yang menuntut ilmu yang bermanfaat
Aqilah ahlu sunnah
Perbuatan taat dan ibadah yang zahir
Adab qada‟ hajat
Adab mengambil air wudhu‟
Adab mandi junub
Adab tayammum
Beberapa kitab di atas yang digunakan oleh Kyai Ustad dalam menyampaikan wacana
keagamaan sarat dengan tasawuf. Sebagian ada yang berisi tauhid dan fiqih tetapi
pembahasannya dibingkai dengan tasawuf.
Berdasarkan keterangan beberapa nara sumber
menyebutkan bahwa ada ajaran-ajaran tasawuf yang memberikan pemahaman yang menghambat
semangat hidup seseorang untuk hidup layak dan bahagia. Sebagai contoh ada kitab tasawuf
yang menyebutkan bahwa cenderung kepada harta adalah tercela, Cenderung kepada pangkat
dan kedudukan adalah tercela, dan sebagainya. Bagi jama‟ah yang tidak sependapat dengan
paham ini, sebagian dari mereka berhenti menghadiri pengajian.
Beberapa alasan atau respon yang muncul di lingkungan para jamaah dalam memilih
wacana keagaman untuk disampaikan kepada jama‟ah pengajian di Masjid Agung Al-Istiqamah
Kuala Tungkal, antara lain: kitab-kitab yang dipilih dipandang sebagai kitab yang mu’tabar,
dikarang oleh walii yang diakui kebesarannya dan terkenal di kaangan ulama Islam serta tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, wasiat dari MA untuk selalu mengunakan kitab-kitab yang
selama ini dibaca dan digunakan dalam menyampaikan wacana keagamaan kepada masyarakat.
Jika memilih kitab untuk disampaikan kepada jama‟ah, jangan lepas dari ilmu yang berhubungan
dengan akidah, fiqih, dan tasawuf karena hal ini merupakan fardu ain bagi muslimin dan
muslimat.
8 abd damad al-falimabni,hidayat al-salikin (Jakarta: al aidrus,1354 H/ 1936), hlm 4 dan 345.
7
Selain itu, adanya rasa hormat dan tunduk kepada orang tua sekaligus guru. MA telah
merintis pengajian dengan melanjutkan semua perjuangannya, termasuk dalam memberikan
materi pengajian kepada masyarakat sebagaimana adanya. Kemudian, pertimbangan memilih
wacana keagamaan yang berhubungan dengan tasawuf, karena adanya antusiasme yang tinggi
dari masyarakat untuk mempelajari ketiga ilmu tersebut, terutama ilmu tasawuf, ilmu-ilmu yang
disampaikan tersebut dipandang sesuai dengan I’tikad ahlu sunnah wal jama’ah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa alasan ulama memilih wacana
keagamaan antara lain kitab-kitab tersebut dipandang sebagai kitab yang mu’tabar, adanya
wasiat MA untuk mengunakan kitab-kitab tersebut, sebagai penghormatan kepada ulama pendiri
pengajian, adanya antusiasme yang tinggi dari masyarakat untuk mepelajari ketiga ilmu tersebut,
dan ilmu-ilmu tersebut sesuai dengan I’tikad ahlu sunnah wal jama’ah.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber, mengambarkan respon mereka
terhadap wacan keagamaan, antara lain:
1). tauhid,
Secara umum, pemahaman kyai dan jama‟ah yang berhubungan dengan tauhid lebih
menekankan pada pengenalan sifat 20 dan zikir. Zikir yang dimaksud disini adalah
menyebut-nyebut kalimah La ila ha iilailah, baik yang dilakukan dengan zahar maupun
sir. Dapat dipastikan, hampir semua jama‟ah yang telah dibai‟at melaksanakan amalan
zikir tersebut dengan jumlah yang bervariasi.
2). fiqih,
Pemahaman mengenai zakat menimbulkan kontroversi dimana surat At-Taubah ayat 60,
yang artinya berbunyi:
اات إنما ا ع لها ال اا ي الم اا ي ا ل ت ا ال ي في ال ااا ي ا ر اا في ت ت وتهت ل المت
اي ف ي ة ا ي ولي ت م ع م
Artinya: “sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yangberhutang. Untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At- Taubah : 60).
8
3). tasawuf.
Hasil pengamatan dan wawancara, wacana tentang tasawuf menimbulkan kontraversi
pada jama‟ah pengajian, terutama wacana yang membicarakan tentang tercelanya
seseorang bila mengiginkan harta, pangkat, kedudukan atau segala yang bersifat duniawi.
Konstraversi tersebut di satu sisi telihat dari kurangnya etos kerja dan kekuranganya
pendidikan dalam keluarga.
Jama‟ah mengungkapkan bahwa beberapa wacana keagamaan yang disampaikan dalam
pengajian ini tidak sesuai dengan pemahaman mereka karena seakan menghambat semangat
hidup. Sebagaimana yang diungkapkan oleh AHK bahwa ada jama‟ah yang mengritik beberapa
ajaran yang disampaikan dalam pengajian, seperti tasawuf yang mengatakan bahwa cenderung
kepada harta adalah tercela, cenderung kepada pangkat atau jabatan adalah tercela dan
sebagainya. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, hampir sebagian besar jama‟ah
menerima wacana keagamaan yang disampaikan. Jama‟ah yang menerima wacana besar
kemungkinan terbentuk kesalehan pada dirinya, seperti menjadi taat, berzikir, rajin ke masjid,
dan sebagainya.
D. EFEKTIVITAS WACANA KEAGAMAAN DALAM MEMBENTUK MASYARAKAT
ISLAMI
Dari beberapa pembahasan di atas, penulis berusaha mengambarkan efectivitas wacana dalam
upaya membentuk masyarakat Kuala Tungkal yang Islami. Dalam hal ini, penulis melihat dari
dua sisi, antara lain: pertama, efektivitas wacana dilihat dari sisi jama‟ah pengajian. Dilihat dari
sisi sosialisasi jama‟ah dan internalisasi wacana telah membentuk jama‟ah yang saleh, taat, dan
setia. Kesalehan yang nampak adalah mereka rajin ke masjid, rajin pergi ke pengajian dan
berzikir secara teratur sesuai ketentuan. Hampir setiap jama‟ah yang menjadi narasumber
mengatakan bahwa mereka melaksanakan nasehat-nasehat ulama, dan merasakan ketenangan.
Hasil analisis penulis, beberapa faktor pendukung makin ramainya jama‟ah menghadiri
pengajian tidak hanya ramai karena materi, metode dan suasannya saja, tetapi juga didukung
oleh perasaan-perasaan pribadi antara jama‟ah dan ulama.
Data dari Departman Agama tahun 2012 mencatat tahun 2012 mencatat ada 44 masjid, 28
mushalla dan 30 majlis taklim yang terbesar di Kecamatan Tungkal Ilir. Hampir dapat dikatakan
9
setiap masjid, mushalla, dan majlis taklim memberikan pengajian kepada masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa wacana keagamaan yang disosialisasikan oleh
para ulama pengajian “cenderung” efektif mensalehkan jama‟ahnya. Namun sebagaimana diakui
oleh para jama‟ah, kesalehan tersebut masih bersifat pribadi dan belum „menular‟ kepada
keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat ditelusuri dengan melihat wacana yang hanya membahas
masalah tauhid, fiqih dan tasawuf yang sasaran utamanya adalah „diri sendiri‟ dan tidak
menyentuh kepada persoalan keluarga atau masyarakat lainya.
Kedua, efektivitas wacana dilihat dari sisi masyarakat Kuala Tungkal dilihat dari sisi
masyarakat, penulis merasakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sebagaimana telah penulis
paparkan sebelumnya bahwa masyarakat Kuala Tungkal penuh dengan berbagai persoalan sosial,
diantaranya: prostitusi peajar yang telah menjadi pemberitaan media cetak maupun elektronik,
perceraian yang mengalami kenaikan setiap tahunya dimana data dari pengadilan agama
mencatat terjadi 400 kasus perceraian di tahun 2012 dan 411 kasus di tahun 2013. Perjinahan,
narkoba, buta aksara Al-Qur‟an, dan persoalan masyarakat lainnya yang sangat meresahkan.
kondisi ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan fenomena pengajian yang semakin
berkembang. Persoalan-persoalan masyarakat yang sangat meresahkan tersebut seakan tidak
terbaca dan tidak tersentuh oleh pengajian. Eksistensi pengajian di satu sisi mungkin
menyelesaikan persoalan keagamaan jama‟ahnya, namun di sisi lain belum menyentuh berbagai
persoalan sosial masyarakat.
Jika melihat kembali definisi masyarakat islami yaitu sistem sosial yang tumbuh dan
berkembang ataupun ditumbuhkan kembangkan menurut nilai-nilai, akidah-akidah, dan norma-
norma yang islami, maka penulis melihat masyarakat Kuala Tungkal jauh dari definisi islami
karena cara hidup dan kehidupan masyarakat tidak sesuai dengan ajaran Islam. Banyaknya
sarana prasarana keagamaan di Kuala Tungkal ternyata tidak menjamin masyarakatnya hiduo
dalam sistem sosial yang islami. Kondisi inilah yang mengunggah penulis untuk menemukan
„benang merah‟ tidak tersentuhnya wacana dengan persoalan masyarakat, antara lain:
Kitab-kitab yang digunakan hanya sekedar antara ilmu akidah, figh, dan tasawuf yang
ditujukan untuk jama‟ah yang usia lanjut. Sehingga pengajian hanya diminati oleh jama‟ah yang
berusia lanjut.Jika dilihat lagi sasaran pengajian ini adalah lapisan masyarakat, pria, wanita tua
atau muda dengan latar belakang dan profesi yang berbeda.
10
Dengan menyampaikan wacana tasawuf, fiqh, dan tauhid saja dalam merangkul jama‟ah
dari kalangan remaja, karena seperti yang diungkapkan oleh paranara sumber bahwa ilmu-ilmu
tersebut hanya sesuai untuk kalangan usia lanjut.
Sikap para ulama terkesan „ekslusif‟ belum membaur ke dalam masyarakat sehingga
pilihan yang disampaikan belum membaca tingkat kebutuhan masyarakat. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh narasumber (jama‟ah) bahwa ke-eklusif-an ulama tersebut membuat jarak
antara mereka. Harapan jama‟ah adalah para ulama dapat membaur dengan masyarakat dan
membaca persoalan yang terjadi di tengah masyarakat sehingga wacana keagamaan yang
disosialisasikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, jika ulama melihat
banyak terjadi perjinahan dan pergaulan bebas bahkan prositusi pelajar, maka sosialisasi wacana
yang paling tepat menurut penulis adalah tentang perzinahan, bagaimana melindungi diri, dan
keluarga dari perzinahan, dan seterusnya. Penulis berharap para ulama tidak menutup mata,
telinga dan hati dari berbagai problematika yang terjadi.
Belum adanya kerjasama antara pihak-pihak yang berwenang yaitu: ulama, departemen
agama, pemerintah daerah, DIKNAS, tokoh masyarakat, guru, bahkan orang tua untuk duduk
bersama mancari akar penyebab serta solusi dari berbagai persoalan masyarakat. Kerjasama
antara pihak-pihak tersebut sangat menentukan perbaikan masyarakat Kuala Tungkal ke
depannya. Memperbaiki masyarakat bukan hanya beban para ulama, tetapi juga tanggung jawab
seluruh lapisan masyarakat itu sendiri. Mewujudkan masyarakat Kuala Tungkal yang islami
tidak akan efektif dengan hanya menyampaikan wacana-wacana tanpa didukung tindakan-
tindakan preventif dan representative dari berbagai pihak yang berwenang.
Walaupun keprihatinan tentang situasi sosial di Kuala Tungkal banyak terdengar dari
berbagai sumber, namun sampai saat ini kesadaran dan tindakan untuk memperbaiki keadaan
tersebut belum terwujud. Kecemasan penulis adalah tentang cara membangun kesadaran semua
pihak terutama pihak-pihak yang berwenang agar peduli terhadap masalah sosial lingkungannya
yang belum terlihat hingga saat ini. Membangun kesadaran ini boleh jadi lebih rumit
dibandingkan dengan membangun masyarakat yang islami. Sistem sosial masyarakat yang islami
tidak akan terwujud jika setiap lapisan masyarakat belum menyadari peran dan fungsinya sebagai
makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial.
11
E. SIMPULAN
Berdasarkan temuan di lapangan dan analisa pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan antara
lain: pertama, wacana keagamaan yang disampaikan dan diinternalisasikan kepada jama‟ah
pengajian Masjid Agung Al-istiqamah Kuala Tungkal pada satu sisi telah berhasil membentuk
jama‟ah yang saleh dan setia, tetapi disisi lain terkesan lemah dalam kepekaan sosial. Kesalehan
yang terbentuk masih bersifat pribadi dan belum berpengaruh terhadap keluarga dan masyarakat.
Banyak jama‟ah yang telah mengikuti pengajian selama bertahun-tahun, tetapi keluarga dan
anak-anak merekat terlibat perbuatan dosa. Di sisi lain, banyaknya persoalan-persoalan yang
terjadi di tengah masyarakat seakan tidak tersentuh oleh ulama pengajian dan belum
terselesaikan. Lebih ironis lagi, semakin berkembangnya pengajian semakin banyak pula
problematika yang terjadi di tengah masyarakat. Kota Kuala Tungkal telah sampai pada kondisi
memperihatinkan yang jika dibiarkan tanpa penyelesaian oleh pihak akan berakibat fatal pada
beberapa tahun mendatang.
Kedua, wacana keagamaan yang disampikan masih bertahan pada kitab-kitap lama dan
belum menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Rasionalitas tujuan yang mendasari ulama
memilih wacana masih bermuatan vertical dan sangat minim muatan horizontal.Kondisi ini
dapat penulis katakan sebagai bentukan internalisasi nilai-nilai yang lebih berorientasi pada
ibadah dan zikir. Pernyataan ini bukan ungkapan antipasti terhadap tujuan tersebut, tetapi lebih
pada keinginan untuk melihat kembali hakikat „saleh‟ yang sesungguhnya. Semangat ajaran
Islam lainnya, bukan kaum muslimin agar menjadi orang yang bermanfaat bagi manusia lainnya,
bukan hanya kepada diri sendiri dan bagi umat muslim saja. Bahkan manusia yang bermanfaat
bagi manusia lainnya merupakan predikat tertinggi dalam Islam. Sebagimana sabdaRasulullah
SAW: “sebaik-baik adalah orang yang bermanfaat bagi manusia lainya,” (HR Ahmad.
Thabrani, Daruqutni, dishahihkan al-albani dalam as-silsilah as-shahihah). Sikap beragama yang
individual belum memenuhi tujuan ajaran Islam itu sendiri yaitu yang “rahmatan ili’alamin‟‟
sebagai orang muslim, selain memiliki tanggung jawab pribadi juga memiliki tanggung jawab
sosial dengan melakukan yang terbaik bagi orang lain tanpa mengabaikan urusan pribadi.
Pelaksanaan wasiat yang pernah disampaikan Kyai untuk tetap mempertahankan kitab-
kitab tersebut sebagai tradisi yang telah dilaksanakan selama bertahun-tahun merupakan bentuk
rasa hormat dan segan kepada sosok Kyai sekaligus guru. Namun hal ini menjadikan para ulama
12
penerus tidak mempunyai pilihan dan tidak berkeinginan melakukan pembaharuan baik dari sisi
orientasi tujuan maupun pada pemilihan nilai-nilai yang relevan secara tekstual dan kontekstual.
BIBLIOGRAFI
Abdulah, Al-Khatib, Muhamad. Model Masyarakat Muslim Wajah Peradaban Masa
Depan.Bandung: Syamil Cipta Media. 2006
Alwi, Hasan.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2003
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2010
Anwar Rosihan, Badruzzaman, dan Saehudin. Pengamtar Studi Islam. Bandung: Pustaka. 2009
Falimbani, Samad, Abdul, Syaikh, Hidayah Al-Salikin. Indonesia: Syirkah Maktabah Al-
Madaniyah. 135 H
Hermawan, A, Heris. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kemeneg. 2006