WACANA KEAGAMAAN DALAM PENGAJIAN DI MASJID AGUNG AL-ISTIQAMAH KUALA TUNGKAL UNTUK MEMBENTUK...

12
1 WACANA KEAGAMAAN DALAM PENGAJIAN DI MASJID AGUNG AL-ISTIQAMAH KUALA TUNGKAL UNTUK MEMBENTUK MAYSARAKAT ISLAMI Syaidah Program Pascasarjana IAIN STS Jambi Abstract: This study discussed about religious discourse that developed in the recitals in the Mosque of Agung Al-Istiqamah Kuala Tungka. The reason of this researched was the largest recitation in Kuala Tungkal and had very many members and faithful. The loyalty of members and obedience to attend lectures teachings had shaped personal self-righteous on the congregation. But this faith or knowledge was still a personal and not "contagious" to his family, as recognized by some members that despite follow the teachings over the years but had no impact on their families. This study was an issue of public concern to the author that illegible and not touched especially by the scholars. This research wanted to reveal inconsistencies between religious discourse and the problems in the society. This research used qualitative using flow analysis techniques (domain, taxonomy , and komponential). This research could be concluded that recitation in the Mosque of Al-Istiqamah gave influence to their members but still not gave a good impact to the their family. Key words: Great Mosque of Al-Istiqamah, recitation, Kuala Tungkal A. PENDAHULUAN Salah satu wadah berkembangnya wacana keagamaan adalah masjid. Di masjid para ulama mensosialisasikan berbagai wacana keagamaan dalam bentuk pengajian. 1 Di masa Rasullah SAW ataupun di masa sesudahnya, masjid menjadi pusat atau sentral kegiatan kaum muslimin. Kegiatan dibidang pemerintahnya pun mencakup idiologi, politik, ekonomi, sosial, peradilan, dan kemiliteran dibahas dan dipecahkan dilembaga masjid. Disamping itu, masjid juga menjadi tempat halaqah atau diskusi, tempat mengaji, dan memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan agama ataupun umum. 2. Ulama adalah sosok yang dianggap kompeten dalam membangun pengetahuan. keagamaan masyarakat.Dalam membangun pengetahuan tersebutpara ulama memilih wacana keagaman dengan alasan-alasan yang dipengaruhi oleh bangunan pengetahuan agamanya dan kepentingan yang ingin dicapainya. Kepentingan ulama dapat didasari oleh alasan-alasan 1 Masjid punya kedudukan yang sangat penting bagi kaum muslimin,yakni dalam rangka memperkokoh dan memantapkan ruh keislamanya. Ini berarti masjid harus dikembangkan kea rah pengokohan jiwa keislaman dari kaum muslimin.lihat ahmad yani,panduan memakmurkan masjid(Jakarta : Al Qalam, 2009). hlm. 23. 2 Moh. E. Ayub, Manajemen Masjid (Jakarta : Gema insani Press, 1996). hlm.2.

Transcript of WACANA KEAGAMAAN DALAM PENGAJIAN DI MASJID AGUNG AL-ISTIQAMAH KUALA TUNGKAL UNTUK MEMBENTUK...

1

WACANA KEAGAMAAN DALAM PENGAJIAN DI MASJID

AGUNG AL-ISTIQAMAH KUALA TUNGKAL

UNTUK MEMBENTUK MAYSARAKAT ISLAMI

Syaidah

Program Pascasarjana IAIN STS Jambi

Abstract: This study discussed about religious discourse that developed in the recitals in the

Mosque of Agung Al-Istiqamah Kuala Tungka. The reason of this researched was the largest

recitation in Kuala Tungkal and had very many members and faithful. The loyalty of

members and obedience to attend lectures teachings had shaped personal self-righteous on

the congregation. But this faith or knowledge was still a personal and not "contagious" to his

family, as recognized by some members that despite follow the teachings over the years but

had no impact on their families. This study was an issue of public concern to the author that

illegible and not touched especially by the scholars. This research wanted to reveal

inconsistencies between religious discourse and the problems in the society. This research

used qualitative using flow analysis techniques (domain, taxonomy , and komponential).

This research could be concluded that recitation in the Mosque of Al-Istiqamah gave

influence to their members but still not gave a good impact to the their family.

Key words: Great Mosque of Al-Istiqamah, recitation, Kuala Tungkal

A. PENDAHULUAN

Salah satu wadah berkembangnya wacana keagamaan adalah masjid. Di masjid para ulama

mensosialisasikan berbagai wacana keagamaan dalam bentuk pengajian.1 Di masa Rasullah

SAW ataupun di masa sesudahnya, masjid menjadi pusat atau sentral kegiatan kaum muslimin.

Kegiatan dibidang pemerintahnya pun mencakup idiologi, politik, ekonomi, sosial, peradilan,

dan kemiliteran dibahas dan dipecahkan dilembaga masjid. Disamping itu, masjid juga menjadi

tempat halaqah atau diskusi, tempat mengaji, dan memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan agama

ataupun umum.2.

Ulama adalah sosok yang dianggap kompeten dalam membangun pengetahuan.

keagamaan masyarakat.Dalam membangun pengetahuan tersebutpara ulama memilih wacana

keagaman dengan alasan-alasan yang dipengaruhi oleh bangunan pengetahuan agamanya dan

kepentingan yang ingin dicapainya. Kepentingan ulama dapat didasari oleh alasan-alasan

1

Masjid punya kedudukan yang sangat penting bagi kaum muslimin,yakni dalam rangka memperkokoh dan memantapkan ruh keislamanya. Ini berarti masjid harus dikembangkan kea rah pengokohan jiwa keislaman dari kaum muslimin.lihat ahmad yani,panduan memakmurkan masjid(Jakarta : Al Qalam, 2009). hlm. 23.

2 Moh. E. Ayub, Manajemen Masjid (Jakarta : Gema insani Press, 1996). hlm.2.

2

rasional yang menjadi landasan berfikirnya, misalnya ketika ulama melihat fakta sosial bahwa

banyak masyarakat yang tidak melaksanakan shalat, sehingga ulama perlu menyampaikan

wacana tentang shalat.

Berdasarkan argumentasi di atas, tergambar bahwa ulama, masjid, dan pengajian

merupakan unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dari komunitas Islam. Hampir dapat

dikatakan, dimana ada komunitas Islam, disana ada ulama, masjid, dan pengajian. Idealnya,

keberadaan unsur-unsur tersebut tidak sekedar membangun pengetahuan keagamaan masyarakat,

tetapi juga bertujuan menjawab berbagai problematika masyarakat. Salah satu pengajian yang

menarik untuk diteliti adalah pengajian di Masjid Agung Al-Istiqamah Kuala Tungkal. Beberapa

faktor pendorong bagi peneliti untuk meneliti pengajiaan ini, antara lain. Pertama, pengajian di

mesjid Agung Al-Istiqamah adalah pengajian terbesar Kuala Tungkal. Pengajian ini selalu ramai

dikunjungi oleh masyarakat. Diperkirakan tidak kurang 1.000 jama‟ah hadir di setiap acara

pengajian.3

Kedua, pengajian di masjid Agung Al-istiqamah rutin menyampaikan wacana

keagamaan, yang dilaksanakan setiap senin malam, selasa pagi, dan jum‟at pagi. Ketiga,

pengajian di masjid Agung Al-istiqamah merupakan penguasa pengetahuan keagaman di Kuala

Tungkal, sebagai sumber pengetahuan agama, dan menjadi pedoman masyarakat dalam

persoalan-persoalan keagamaan. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, kesalehan yang

terbentuk pada jama‟ah masih merupakan kesalehan individu dan terkesan belum menular

kepada keluarganya bahkan masyarakat luas.

Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya berita-berita yang mengambarkan

problematika masyarakat Kuala Tungkal yang tidak terselesaikan dan semakin meresahkan.

Sebagi contoh, antara lain: pertama, survey yang telah dilakukan oleh sebuah lembaga

menemukan bahwa Tanjung Jabung Barat merupakan daerah terbanyak tingkat SD buta aksara

Al-qur‟an se-Provinsi Jambi, yaitu SD sebanyak 4.835 orang, SMP 112 orang, SMA 77 orang,

dan SMK 24 orang. Kedua, maraknya kasus perzinahan atau sex bebas dan protitusi. Hasil

penelitian yang dilakukan GP Ansor Kabupaten Tanjung Jabung Barat menemukan fenomena

prostitusi yang dilakukan pelajar telah merata di semua sekolah di Kuala Tungkal.

3AH, wawancara, 01 Mei 2013, Kuala Tungkal, camera, anggota pengajian, Kuala Tungkal.

3

Ketiga,tingginya tingkat perceraian. Data dari pengadilan agama Kab.Tanjung Barat

tercatat 400 kasus perceraian di tahun 2012, dimana motif utama dari perceraian tersebut

sebagian besar karena ekonomi, tidak bertanggung jawab, dan gangguan pihak ketiga.

Keempat, kasus narkoba dan mabuk-mabukan yang telah menyentuh pelajar SD, SMP,

dan SMA. Berdasarkan data Sat Resnarkoba Polres Tanjab Barat, terdapat 18 kasus di tahun

2011, dan 25 kasus di tahun 2012. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengungkapkan secara

jelas wacana keagamaan dalam pengajian di masjid Agung Al-Istiqamah Kuala Tungkal yang

disikapi beragam oleh jama‟ahnya dan terkesan belum efektif menyelesaikan persoalan

masyarakat.

B. MASJID DAN WACANA KEAGAMAN

Masjid adalah lembaga pembinaan masyarakat Islam yang didirikan di atas dasar takwa dan

berfungsi mensucikan masyarakat Islam yang dibina. Rasullah sering duduk di masjid lalu

dikerumuni oleh para sahabat dalam posisi melingkar bagaikan bintang-bintang mengelilingi

bulan purnama. Beliau menyampaikan ceramah,fatwa agama, dan ajaran-ajaran kepada mereka.

Jika berhalangan hadir, beliau mengutus para sahabat untuk mewakilinya.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa sejak zaman Rasullah SAW masjid telah

berfungsi sebagai tempat belajar mengajar dan sosialisasi berbagai wacana keagamaan,

disamping untuk kegiatan lainnya. Sosialisasi wacana ini merupakan sesuatu yang sangat penting

bagi umat Islam. Melalui sosialisasi wacana keagamaan, ditanamkan nilai-nilai, pengetahuan dan

wawasan yang sangat luas agar masyarakat menguasai ajaran Islam dengan baik dan mampu

membedakan antara haq dan bathil.

Dengan demikian, urgensi dan keberadaan mesjid bagi kaum muslim sangat besar.

Manfaat mesjid bukan hanya untuk kepentingan ukhrawi kelak, tetapi juga mengarah dan

mengisi kehidupan di dunia ini agar kehidupan kaum muslimin berjala secara lebih bermakna.

Karena itu,wacana keagamaan yang disosialisasikan harus berorientasi kearah tersebut. Untuk

mengetahui apa maksud dengan tujuan wacana keagamaan dalam penelitian ini, dapat dijelaskan

sebagai berikut. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dikemukan bahwa wacana yaitu (1)

komunikasi verbal, (2) lingkungan keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan (3)

4

lingkungan suatu bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan

utuh, (4) lingkungan secara sistimatis (5) pertukaran ide secara verbal.4

Robert E. Longacre membedakan empat macam wacana, yaitu wacana naratif,

procedural, ekspositori dan hortatory.Secara tradisional wacana dibedakan atas narasi, deskripsi,

eksposisi, dan argumentasi. James L. Kinneavy membedakan empat kelompok wacana

berdasarkan tujuan yaitu, 1) wacana ekspresif, 2) wacana referensial, 3) wacana susatra dan, 4)

wacana persuasive.2

Perbedaan yang dilakukan oleh Kinneavy berdasarkan kepada tujuan penulisan

wacana. Sebuah wacana baik lisan maupun tulisan dapat ditujukan baik kepada diri sendiri dan

untuk orang lain. Dengan istilah Kinneavy wacana itu bisa ditujukan untuk encoder

(pembicara/penulis) atau untuk decoder (pendengar/ pembaca).Wacana referensial adalah

wacana yang acuanyan kepada realitas, kepada fakta dan data.Istilah wacana referensial ini

mengingatkan kita kepada ciri-ciri imu.Ini berarti wacana lebih ditujukan kepada pengambaran

tentang realitas fakta dan data daripada kepada decoder.Tujuan untuk encoder tentu ada tetapi

tidak dominan dalam wacana tersebut.Wacana referensial dibedakan atas wacana ekxpositori,

wacana ilmiah, dan wacana informative. Wacana referensial ekspositori dapat berbentuk dialog,

seminar, definisi sementara, hipotesis, usul-usul pemecahan masalah dan diagnosis-diagnosis.

Wacana ilmiah dapat berbentuk laporan penelitian. Wacana informative dapat berbentuk

makalah-makalah di surat kabar,laporan, rangkuman dan abstrak.

Wacana kesustraan pada umumnya dikelompokkan sebagai wacana

ekspresif.Tetapi, seperti wacana referensial, argument-argumen dalam wacana kesustra berbicara

tidak untuk encoder dan decoder.Berbeda dengan wacana kesustra, wacana persuasive secara

implisit dan eksplisit ditujukan kepada wacana decoder.Wacana ini memancing satu tindakan,

emosi dan keyakinan tertentu dari decoder.

Keagamaan berasal dari kata agama dari bahasa sanskerta, din dari bahasa Arab dan

religi dari bahasa Latin. Menurut John R. Bennet, yang dikutip H. Endang Saifuddin Anshari

bahwa agama, religi atau din pada umumnya merupakan suatu Credo „tata keimanan‟ atau “tata

keyakinan” atas adanya sesuatu yang mutlak diluar manusia. Selain itu, ia juga merupakan suatu

sistem ritus „tata peribadahan‟ manusia kepada sesuatu yang mutlak, juga sebagai sistema norma

4 pusat bahasa department pendidikan nasional, kamus bahasa Indonesia (Jakarta: pusat bahasa departemen

pendidikan nasional,2008). hlm. 1804.

5

„tata kaidah‟ yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia serta antara manusia

dengan alam sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata kepribadahan itu5

Unsur-unsur penting yang terdapat dalam agama, agama lain: kekuatan gaib; manusia

merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat meminta tolong. Oleh

karena itu manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut,

keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhiratnya tergantung

pada hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud, respon yang bersifat emosional dari

manusia. Respon itu bisa mengambil bentuk perasaan takut, cinta, dan sebagainya, paham

adanya yang kudus dan suci, dalam bentuk kekuataan gaib, dalam bentuk kitab yang

mengandung ajaran-ajaran agama bersangkutan dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.6

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa keagamaan adalah tata keimanan atau

kepercayaan seseorang yang mengakui adanya kekuatan gaib, keyakinan bahwa kesejahteraanya

di dunia dan di akhirat tergantung pada hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Sehingga

menimbulkan sebuah respon yang ditujukkan dengan bentuk penyembahan dan pemujaan

C. WACANA KEAGAMAAN YANG BERKEMBANG DALAM PENGAJIAN DI

MASJID AGUNG AL-ISTIQAMAH KUALA TUNGKAL

Berdasarkan penelusuran peneliti, wacana keagamaan yang disampaikan dalam pengajian ini

mengunakan kitab Syar al-Salikin, Hidayah Al- Salikin dan Fath Al-Arifin. Pengajian Senin

malam mengunakan kitab Al-Salikin karangan Abd Samad al- Falimbani. Pengajian pagi Selasa,

mengunakan kitab Fath Al-Arifin karangan Muhamad Sarny bin Muhamad Siddiq Al-Alaby.

Kitab ini merupakan terjemahan dari kitab Hikam karya Syaikh Abu Al-Fadhli Ahmad ibn

Muhamad Abd Al-Karim ibn „Atha‟illah Al-Sakandary (w. 709 H).7 Kkitab al-arifin

membicarakan tentang jalan orang yang arif billah dan ahli tauhid yang meningkat di maqam

yang tinggi yaitu mengetahui bagaimana pengenalan mereka kepada Tuhan dan pendidikan yang

mereka berikan kepada para pengikutnya.

5 Endang saifuddin anshari, Wawasan Islam. Jakarta : gema insani, 20004, hlm. 30.

6 endang saifuddin anshari, wawasan islam (Jakarta : gema insani, 20004), hlm. 30.

7

7Muhamad Sarny bin Jurnmany bin Muhamad Siddiq al-alaby,fath al-arifin (banjar masin:t, penerbit,1983)

jilid 1-2, hlm l.7.

6

Pengajian pagi Jum‟at, mengunakan kitab Hidayah Al-Salikin karya Abd Samad Al-

Falimbani. Kitab ini berbahasa melayu, yang selesai ditulisnya pada tanggal 5 muharram tahun

1202 H/1778 M.8

kitab Hidayah Al-salikin membicarakan, antara lain:

Kelebihan ilmu yang bermanfaat

Aqidah orang yang menuntut ilmu yang bermanfaat

Aqilah ahlu sunnah

Perbuatan taat dan ibadah yang zahir

Adab qada‟ hajat

Adab mengambil air wudhu‟

Adab mandi junub

Adab tayammum

Beberapa kitab di atas yang digunakan oleh Kyai Ustad dalam menyampaikan wacana

keagamaan sarat dengan tasawuf. Sebagian ada yang berisi tauhid dan fiqih tetapi

pembahasannya dibingkai dengan tasawuf.

Berdasarkan keterangan beberapa nara sumber

menyebutkan bahwa ada ajaran-ajaran tasawuf yang memberikan pemahaman yang menghambat

semangat hidup seseorang untuk hidup layak dan bahagia. Sebagai contoh ada kitab tasawuf

yang menyebutkan bahwa cenderung kepada harta adalah tercela, Cenderung kepada pangkat

dan kedudukan adalah tercela, dan sebagainya. Bagi jama‟ah yang tidak sependapat dengan

paham ini, sebagian dari mereka berhenti menghadiri pengajian.

Beberapa alasan atau respon yang muncul di lingkungan para jamaah dalam memilih

wacana keagaman untuk disampaikan kepada jama‟ah pengajian di Masjid Agung Al-Istiqamah

Kuala Tungkal, antara lain: kitab-kitab yang dipilih dipandang sebagai kitab yang mu’tabar,

dikarang oleh walii yang diakui kebesarannya dan terkenal di kaangan ulama Islam serta tidak

bertentangan dengan ajaran Islam, wasiat dari MA untuk selalu mengunakan kitab-kitab yang

selama ini dibaca dan digunakan dalam menyampaikan wacana keagamaan kepada masyarakat.

Jika memilih kitab untuk disampaikan kepada jama‟ah, jangan lepas dari ilmu yang berhubungan

dengan akidah, fiqih, dan tasawuf karena hal ini merupakan fardu ain bagi muslimin dan

muslimat.

8 abd damad al-falimabni,hidayat al-salikin (Jakarta: al aidrus,1354 H/ 1936), hlm 4 dan 345.

7

Selain itu, adanya rasa hormat dan tunduk kepada orang tua sekaligus guru. MA telah

merintis pengajian dengan melanjutkan semua perjuangannya, termasuk dalam memberikan

materi pengajian kepada masyarakat sebagaimana adanya. Kemudian, pertimbangan memilih

wacana keagamaan yang berhubungan dengan tasawuf, karena adanya antusiasme yang tinggi

dari masyarakat untuk mempelajari ketiga ilmu tersebut, terutama ilmu tasawuf, ilmu-ilmu yang

disampaikan tersebut dipandang sesuai dengan I’tikad ahlu sunnah wal jama’ah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa alasan ulama memilih wacana

keagamaan antara lain kitab-kitab tersebut dipandang sebagai kitab yang mu’tabar, adanya

wasiat MA untuk mengunakan kitab-kitab tersebut, sebagai penghormatan kepada ulama pendiri

pengajian, adanya antusiasme yang tinggi dari masyarakat untuk mepelajari ketiga ilmu tersebut,

dan ilmu-ilmu tersebut sesuai dengan I’tikad ahlu sunnah wal jama’ah.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber, mengambarkan respon mereka

terhadap wacan keagamaan, antara lain:

1). tauhid,

Secara umum, pemahaman kyai dan jama‟ah yang berhubungan dengan tauhid lebih

menekankan pada pengenalan sifat 20 dan zikir. Zikir yang dimaksud disini adalah

menyebut-nyebut kalimah La ila ha iilailah, baik yang dilakukan dengan zahar maupun

sir. Dapat dipastikan, hampir semua jama‟ah yang telah dibai‟at melaksanakan amalan

zikir tersebut dengan jumlah yang bervariasi.

2). fiqih,

Pemahaman mengenai zakat menimbulkan kontroversi dimana surat At-Taubah ayat 60,

yang artinya berbunyi:

اات إنما ا ع لها ال اا ي الم اا ي ا ل ت ا ال ي في ال ااا ي ا ر اا في ت ت وتهت ل المت

اي ف ي ة ا ي ولي ت م ع م

Artinya: “sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang

miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk

(memerdekakan) budak, orang-orang yangberhutang. Untuk jalan Allah dan untuk

mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,

dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At- Taubah : 60).

8

3). tasawuf.

Hasil pengamatan dan wawancara, wacana tentang tasawuf menimbulkan kontraversi

pada jama‟ah pengajian, terutama wacana yang membicarakan tentang tercelanya

seseorang bila mengiginkan harta, pangkat, kedudukan atau segala yang bersifat duniawi.

Konstraversi tersebut di satu sisi telihat dari kurangnya etos kerja dan kekuranganya

pendidikan dalam keluarga.

Jama‟ah mengungkapkan bahwa beberapa wacana keagamaan yang disampaikan dalam

pengajian ini tidak sesuai dengan pemahaman mereka karena seakan menghambat semangat

hidup. Sebagaimana yang diungkapkan oleh AHK bahwa ada jama‟ah yang mengritik beberapa

ajaran yang disampaikan dalam pengajian, seperti tasawuf yang mengatakan bahwa cenderung

kepada harta adalah tercela, cenderung kepada pangkat atau jabatan adalah tercela dan

sebagainya. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, hampir sebagian besar jama‟ah

menerima wacana keagamaan yang disampaikan. Jama‟ah yang menerima wacana besar

kemungkinan terbentuk kesalehan pada dirinya, seperti menjadi taat, berzikir, rajin ke masjid,

dan sebagainya.

D. EFEKTIVITAS WACANA KEAGAMAAN DALAM MEMBENTUK MASYARAKAT

ISLAMI

Dari beberapa pembahasan di atas, penulis berusaha mengambarkan efectivitas wacana dalam

upaya membentuk masyarakat Kuala Tungkal yang Islami. Dalam hal ini, penulis melihat dari

dua sisi, antara lain: pertama, efektivitas wacana dilihat dari sisi jama‟ah pengajian. Dilihat dari

sisi sosialisasi jama‟ah dan internalisasi wacana telah membentuk jama‟ah yang saleh, taat, dan

setia. Kesalehan yang nampak adalah mereka rajin ke masjid, rajin pergi ke pengajian dan

berzikir secara teratur sesuai ketentuan. Hampir setiap jama‟ah yang menjadi narasumber

mengatakan bahwa mereka melaksanakan nasehat-nasehat ulama, dan merasakan ketenangan.

Hasil analisis penulis, beberapa faktor pendukung makin ramainya jama‟ah menghadiri

pengajian tidak hanya ramai karena materi, metode dan suasannya saja, tetapi juga didukung

oleh perasaan-perasaan pribadi antara jama‟ah dan ulama.

Data dari Departman Agama tahun 2012 mencatat tahun 2012 mencatat ada 44 masjid, 28

mushalla dan 30 majlis taklim yang terbesar di Kecamatan Tungkal Ilir. Hampir dapat dikatakan

9

setiap masjid, mushalla, dan majlis taklim memberikan pengajian kepada masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa wacana keagamaan yang disosialisasikan oleh

para ulama pengajian “cenderung” efektif mensalehkan jama‟ahnya. Namun sebagaimana diakui

oleh para jama‟ah, kesalehan tersebut masih bersifat pribadi dan belum „menular‟ kepada

keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat ditelusuri dengan melihat wacana yang hanya membahas

masalah tauhid, fiqih dan tasawuf yang sasaran utamanya adalah „diri sendiri‟ dan tidak

menyentuh kepada persoalan keluarga atau masyarakat lainya.

Kedua, efektivitas wacana dilihat dari sisi masyarakat Kuala Tungkal dilihat dari sisi

masyarakat, penulis merasakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sebagaimana telah penulis

paparkan sebelumnya bahwa masyarakat Kuala Tungkal penuh dengan berbagai persoalan sosial,

diantaranya: prostitusi peajar yang telah menjadi pemberitaan media cetak maupun elektronik,

perceraian yang mengalami kenaikan setiap tahunya dimana data dari pengadilan agama

mencatat terjadi 400 kasus perceraian di tahun 2012 dan 411 kasus di tahun 2013. Perjinahan,

narkoba, buta aksara Al-Qur‟an, dan persoalan masyarakat lainnya yang sangat meresahkan.

kondisi ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan fenomena pengajian yang semakin

berkembang. Persoalan-persoalan masyarakat yang sangat meresahkan tersebut seakan tidak

terbaca dan tidak tersentuh oleh pengajian. Eksistensi pengajian di satu sisi mungkin

menyelesaikan persoalan keagamaan jama‟ahnya, namun di sisi lain belum menyentuh berbagai

persoalan sosial masyarakat.

Jika melihat kembali definisi masyarakat islami yaitu sistem sosial yang tumbuh dan

berkembang ataupun ditumbuhkan kembangkan menurut nilai-nilai, akidah-akidah, dan norma-

norma yang islami, maka penulis melihat masyarakat Kuala Tungkal jauh dari definisi islami

karena cara hidup dan kehidupan masyarakat tidak sesuai dengan ajaran Islam. Banyaknya

sarana prasarana keagamaan di Kuala Tungkal ternyata tidak menjamin masyarakatnya hiduo

dalam sistem sosial yang islami. Kondisi inilah yang mengunggah penulis untuk menemukan

„benang merah‟ tidak tersentuhnya wacana dengan persoalan masyarakat, antara lain:

Kitab-kitab yang digunakan hanya sekedar antara ilmu akidah, figh, dan tasawuf yang

ditujukan untuk jama‟ah yang usia lanjut. Sehingga pengajian hanya diminati oleh jama‟ah yang

berusia lanjut.Jika dilihat lagi sasaran pengajian ini adalah lapisan masyarakat, pria, wanita tua

atau muda dengan latar belakang dan profesi yang berbeda.

10

Dengan menyampaikan wacana tasawuf, fiqh, dan tauhid saja dalam merangkul jama‟ah

dari kalangan remaja, karena seperti yang diungkapkan oleh paranara sumber bahwa ilmu-ilmu

tersebut hanya sesuai untuk kalangan usia lanjut.

Sikap para ulama terkesan „ekslusif‟ belum membaur ke dalam masyarakat sehingga

pilihan yang disampaikan belum membaca tingkat kebutuhan masyarakat. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh narasumber (jama‟ah) bahwa ke-eklusif-an ulama tersebut membuat jarak

antara mereka. Harapan jama‟ah adalah para ulama dapat membaur dengan masyarakat dan

membaca persoalan yang terjadi di tengah masyarakat sehingga wacana keagamaan yang

disosialisasikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, jika ulama melihat

banyak terjadi perjinahan dan pergaulan bebas bahkan prositusi pelajar, maka sosialisasi wacana

yang paling tepat menurut penulis adalah tentang perzinahan, bagaimana melindungi diri, dan

keluarga dari perzinahan, dan seterusnya. Penulis berharap para ulama tidak menutup mata,

telinga dan hati dari berbagai problematika yang terjadi.

Belum adanya kerjasama antara pihak-pihak yang berwenang yaitu: ulama, departemen

agama, pemerintah daerah, DIKNAS, tokoh masyarakat, guru, bahkan orang tua untuk duduk

bersama mancari akar penyebab serta solusi dari berbagai persoalan masyarakat. Kerjasama

antara pihak-pihak tersebut sangat menentukan perbaikan masyarakat Kuala Tungkal ke

depannya. Memperbaiki masyarakat bukan hanya beban para ulama, tetapi juga tanggung jawab

seluruh lapisan masyarakat itu sendiri. Mewujudkan masyarakat Kuala Tungkal yang islami

tidak akan efektif dengan hanya menyampaikan wacana-wacana tanpa didukung tindakan-

tindakan preventif dan representative dari berbagai pihak yang berwenang.

Walaupun keprihatinan tentang situasi sosial di Kuala Tungkal banyak terdengar dari

berbagai sumber, namun sampai saat ini kesadaran dan tindakan untuk memperbaiki keadaan

tersebut belum terwujud. Kecemasan penulis adalah tentang cara membangun kesadaran semua

pihak terutama pihak-pihak yang berwenang agar peduli terhadap masalah sosial lingkungannya

yang belum terlihat hingga saat ini. Membangun kesadaran ini boleh jadi lebih rumit

dibandingkan dengan membangun masyarakat yang islami. Sistem sosial masyarakat yang islami

tidak akan terwujud jika setiap lapisan masyarakat belum menyadari peran dan fungsinya sebagai

makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial.

11

E. SIMPULAN

Berdasarkan temuan di lapangan dan analisa pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan antara

lain: pertama, wacana keagamaan yang disampaikan dan diinternalisasikan kepada jama‟ah

pengajian Masjid Agung Al-istiqamah Kuala Tungkal pada satu sisi telah berhasil membentuk

jama‟ah yang saleh dan setia, tetapi disisi lain terkesan lemah dalam kepekaan sosial. Kesalehan

yang terbentuk masih bersifat pribadi dan belum berpengaruh terhadap keluarga dan masyarakat.

Banyak jama‟ah yang telah mengikuti pengajian selama bertahun-tahun, tetapi keluarga dan

anak-anak merekat terlibat perbuatan dosa. Di sisi lain, banyaknya persoalan-persoalan yang

terjadi di tengah masyarakat seakan tidak tersentuh oleh ulama pengajian dan belum

terselesaikan. Lebih ironis lagi, semakin berkembangnya pengajian semakin banyak pula

problematika yang terjadi di tengah masyarakat. Kota Kuala Tungkal telah sampai pada kondisi

memperihatinkan yang jika dibiarkan tanpa penyelesaian oleh pihak akan berakibat fatal pada

beberapa tahun mendatang.

Kedua, wacana keagamaan yang disampikan masih bertahan pada kitab-kitap lama dan

belum menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Rasionalitas tujuan yang mendasari ulama

memilih wacana masih bermuatan vertical dan sangat minim muatan horizontal.Kondisi ini

dapat penulis katakan sebagai bentukan internalisasi nilai-nilai yang lebih berorientasi pada

ibadah dan zikir. Pernyataan ini bukan ungkapan antipasti terhadap tujuan tersebut, tetapi lebih

pada keinginan untuk melihat kembali hakikat „saleh‟ yang sesungguhnya. Semangat ajaran

Islam lainnya, bukan kaum muslimin agar menjadi orang yang bermanfaat bagi manusia lainnya,

bukan hanya kepada diri sendiri dan bagi umat muslim saja. Bahkan manusia yang bermanfaat

bagi manusia lainnya merupakan predikat tertinggi dalam Islam. Sebagimana sabdaRasulullah

SAW: “sebaik-baik adalah orang yang bermanfaat bagi manusia lainya,” (HR Ahmad.

Thabrani, Daruqutni, dishahihkan al-albani dalam as-silsilah as-shahihah). Sikap beragama yang

individual belum memenuhi tujuan ajaran Islam itu sendiri yaitu yang “rahmatan ili’alamin‟‟

sebagai orang muslim, selain memiliki tanggung jawab pribadi juga memiliki tanggung jawab

sosial dengan melakukan yang terbaik bagi orang lain tanpa mengabaikan urusan pribadi.

Pelaksanaan wasiat yang pernah disampaikan Kyai untuk tetap mempertahankan kitab-

kitab tersebut sebagai tradisi yang telah dilaksanakan selama bertahun-tahun merupakan bentuk

rasa hormat dan segan kepada sosok Kyai sekaligus guru. Namun hal ini menjadikan para ulama

12

penerus tidak mempunyai pilihan dan tidak berkeinginan melakukan pembaharuan baik dari sisi

orientasi tujuan maupun pada pemilihan nilai-nilai yang relevan secara tekstual dan kontekstual.

BIBLIOGRAFI

Abdulah, Al-Khatib, Muhamad. Model Masyarakat Muslim Wajah Peradaban Masa

Depan.Bandung: Syamil Cipta Media. 2006

Alwi, Hasan.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2003

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2010

Anwar Rosihan, Badruzzaman, dan Saehudin. Pengamtar Studi Islam. Bandung: Pustaka. 2009

Falimbani, Samad, Abdul, Syaikh, Hidayah Al-Salikin. Indonesia: Syirkah Maktabah Al-

Madaniyah. 135 H

Hermawan, A, Heris. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam

Kemeneg. 2006