Post on 15-Mar-2023
FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN ALAMI JENIS Chaetoceros Sp YANGDIPUPUK CAIRAN RUMEN TERHADAP PERKEMBANGAN DANSINTASAN LARVA UDANG VANNAMEI STADIA ZOEA SAMPAI
MYSIS
NUR INTAN SARI10594 0839 13
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRANFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR2017
FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN ALAMI JENIS Chaetoceros Sp YANGDIPUPUK CAIRAN RUMEN TERHADAP PERKEMBANGAN DANSINTASAN LARVA UDANG VANNAMEI STADIA ZOEA SAMPAI
MYSIS
SKRIPSI
NUR INTAN SARI10594 0839 13
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan PadaProgram Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Makassar
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRANFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR2017
iii
HALAMAN HAK CIPTA
@ Hak Cipta milik Universitas Muhammadiyah Makassar, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutip tidak merugikan kepentingan yang wajar Universitas
Muhammadiyah Makassar
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk laporan apapun tanpa izin Universitas Muhammadiyah
Makassar
iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama Mahasiswa : Nur Intan Sari
NIM : 10594083913
Program Studi : Budidaya Perairan
Fakultas : Pertanian
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari skripsi ini hasil karya
orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 10 Mei 2017
Nur Intan Sari
10594 0839 13
v
ABSTRAK
Nur Intan Sari 10594 0839 13. Frekuensi Pemberian Pakan Alami Jenis
Chaetoceros sp Yang Dipupuk Cairan Rumen Terhadap Perkembangan dan
Sintasan Larva Udang Vannamei Stadia Zoea Sampai Mysis. Skripsi Program
Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah
Makassar. Dibimbing oleh Murni dan Andi Khaeriyah.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan frekuensi
pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang optimal pada perkembangan
dan sintasan pada larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis.Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Februari 2017 di PT Central Pertiwi Bahari Takalar.
Metode yang digunakan yaitu pertama pembersihan wadah dan peralatan yang
akan digunakan, selanjutnya pengambilan cairan rumen, selanjutnya kultur
Chaetoceros sp, selanjutnya pemeliharaan benih. Pada penelitian ini terdapat 5
perlakuan yaitu perlakuan A (8 kali pemberian pakan), Perlakuan B (7 kali
pemberian pakan), Perlakuan C (6 kali pemberian pakan), Perlakuan D (5 kali
pemberian pakan) dan E (pemberian pakan tanpa cairan rumen).
Hasil yang diperoleh selama penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap perkembangan dan sintasan larva udang
vannamei stadia zoea sampai mysis.
Kata Kunci : Frekuensi, Chaetoceros sp, Cairan Rumen, Udang Vannamei
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“Pengaruh Pemberian Pakan Alami Jenis Chaetoceros Sp yang Dipupuk
Cairan Rumen Terhadap Perkembangan Dan Sintasan Larva Udang
Vannamei Stadia Zoea Sampai Mysis” adalah salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Universitas Muhammadiyah Makassar,
dalam hal ini telah banyak pihak yang memberikan nasihat, bantuan, serta saran-
saran yang membangun , karena itu dengan rendah hati penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
a. Allah SWT sebagai Tuhan Semesta Alam
b. Kedua orang tuaku Tercinta yang telah memberikan semangat, do’a dan kasih
sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
c. Ibu Murni, S.Pi, M.Si., sebagai Ketua Jurusan Budidaya Perairan Fakultas
Pertanian Unismuh Makassar sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang
telah memberikan bimbingan serta saran dalam penulisan hasil penelitian.
d. Ibu Ir. Andi Khaeriyah, M.Pd., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan serta saran dalam penulisan hasil penelitian.
e. Bapak H. Burhanuddin, S.Pi, M.Si., sebagai Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Makassar.
f. Teman-teman semuanya yang telah membantu dan memotivasi untuk
menyelesaikan skripsi ini.
vii
g. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas do’a dan
dukungannya.
Penulis menyadari dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan. Dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun agar skripsi ini dapat diterima di
masyarakat umumnya dan bermanfaat bagi kita semua.
Makassar, 10 Mei 2017
Nur Intan Sari
10594 0839 13
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
HALAMAN PENGESAHAN KOMISI PENGUJI iii
HALAMAN HAK CIPTA iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN v
ABSTRAK vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan dan Manfaat 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Vannamei 4
2.2. Habitat Udang Vannamei 6
2.3. Siklus Hidup Udang Vannamei 6
2.4. Perkembangan Larva Udang Vannamei 7
2.5. Sintasan 10
2.6. Chaetoceros sp 11
2.7. Cairan Rumen 12
ix
2.8. Kualitas Air 13
III. METODE PENELITIAN 16
3.1. Waktu dan Tempat 16
3.2. Alat dan Bahan 16
3.3. Wadah dan Media Pemeliharaan 17
3.4. Hewan Uji 17
3.5. Pakan Uji 17
3.6. Prosedur Penelitian 18
3.7. Rancangan Penelitian 19
3.8. Peubah yang Diamati 20
3.9. Analisis Data 21
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22
4.1. Perkembangan Larva Udang Vannamei 22
4.2. Sintasan Larva Udang Vannamei 26
4.3. Kualitas Air 30
BAB 5. PENUTUP 33
5.1. Kesimpulan 33
5.2. Saran 33
DAFTAR PUSTAKA 34
LAMPIRAN 37
BIOGRAFI PENULIS
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Alat yang digunakan 16
2. Bahan yang digunakan 17
3. Hasil pengukuran kualitas air 30
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Siklus hidup Udang Vannamei 7
2. Perkembangan Larva Udang Vannamei 10
3. Tata Letak Satuan Percobaan Setelah Pengacakan 19
4. Perkembangan Larva Udang Vannamei Selama Penelitian 22
5. Sintasan Larva Udang Vannamei 27
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Sintasan Larva Udang Vannamei 38
2. Analisis Sidik Ragam dan Uji BNT 41
3. Dokumentasi selama penelitian 46
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di indonesia budidaya udang sudah lama dilakukan oleh petani tambak,
karena udang merupakan komoditas primadona dalam bidang perikanan yang
dapat meningkatkan devisa negara melalui ekspor komoditas perikanan.
Tingginya permintaan akan udang didalam dan diluar negeri menjadikan
indonesia sebagai pengirim udang terbesar di dunia, ini dikarenakan indonesia
mempunyai luas wilayah serta adanya sumberdaya alam yang mendukung untuk
dapat mengembangkan usaha budidaya udang. Salah satu udang yang
dibudidayakan di indonesia adalah udang vannamei.
Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan jenis udang yang dapat
dibudidayakan di tambak. Udang vannamei memiliki keunggulan, yaitu dapat
hidup pada rentang salinitas lebar dari 5 hingga 30 ppt, mampu beradaptasi
dengan kepadatan tinggi, serta tumbuh dengan baik dengan pakan berprotein
rendah (Haliman dan Adijaya, 2005). Namun salah satu kendala yang dihadapi
adalah masih rendahnya sintasan larva udang vannamei.
Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) stadia larva merupakan stadia yang
sangat rentan sehingga stadia ini sering disebut sebagai stadia kritis. Karena
peralihan pakan endogeneus ke pakan eksogeneus. Pakan merupakan sumber
nutrisi yang terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Nutrisi
digunakan oleh udang vannamei sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan
berkembang biak. Untuk itu, diperlukan pakan alami yang sesuai seperti: jenis,
2
jumlah, dan mutu. Pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan akan memacu
pertumbuhan dan perkembangan udang vannamei secara optimal sehingga
produktivitasnya bisa ditingkatkan. Salah satu jenis pakan alami yang dapat
digunakan adalah Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen.
Cairan rumen kaya akan protein, vitamin B kompleks serta mengandung
enzim-enzim hasil sintesa mikroba rumen (Gohl, 1981 dalam Afdal dan Erwan,
2006). Sehingga penggunaan cairan rumen sebagai pupuk dalam media kultur
dapat melengkapi kebutuhan nutrient Chaetoceros sp pada larva udang vannamei.
Kandungan rumen sapi menurut Rasyid (1981), meliputi protein 8,86%, lemak
2,60%, serat kasar 28,78%, kalsium 0,53%, phospor 0,55%, BETN 41,24%, abu
18,54%, dan air 10,92%.
Chaetoceros sp merupakan jenis pakan alami yang memiliki syarat yang
dibutuhkan larva karena mudah dicerna, berukuran kecil, nutrisi tinggi, mudah
dibudidayakan dan cepat berkembang biak. Kandungan nutrisi dari chaetoceros sp
yaitu protein 35%, dan lemak 6,9 %, karbohidrat 6,6%, dan kadar abu 28%,
(Isnansetyo dan kurniastuty,1995).
Udang vannamei mempunyai sifat mencari makan pada siang dan malam hari
(diurnal dan nokturnal) dan sangat rakus. Sifat tersebut dapat diketahui karena
berkaitan dengan jumlah pakan dan frekuensi pemberian pakan yang akan
diberikan. Ukuran dan jumlah pakan yang diberikan harus dilakukan secara
cermat dan tepat sehingga udang tidak mengalami underfeeding dan overfeeding.
Pemberian pakan dalam jumlah yang tepat dapat membuat udang tumbuh dan
berkembang ke ukuran yang maksimal.
3
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang frekuensi
pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen terhadap
perkembangan dan sintasan larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis.
1.2.Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan frekuensi
pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang optimal pada perkembangan
dan sintasan pada larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah mahasiswa mampu memperoleh
pengetahuan dalam membudidayakan udang vannamei agar dapat menghasilkan
sintasan yang optimal.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Vannamei
Udang vannamei digolongkan kedalam genus Penaeid pada filum
Arthropoda. Ada ribuan spesies di filum ini namun, yang mendominasi perairan
berasal dari subfilum crustacea. Ciri-ciri subfilum crustacea yaitu memiliki 3
pasang kaki berjalan yang berfungsi untuk mencapit, terutama dari ordo
Decapoda, seperti Litopenaeus chinensis, L. Indicus, L. Japonicus, L. Monodon,
L. Stylirostris dan Litopenaeus vannmei.
Berikut tata nama udang vannamei menurut Haliman dan Dian (2006) :
Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
Secara umum tubuh udang vannamei dibagi menjadi dua bagian, yaitu
bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (Cephalothorax) dan bagian
5
tubuh sampai ekor (Abdomen). Bagian cephalothorax terlindung oleh kulit chitin
yang disebut carapace. Bagian ujung cephalotorax meruncing dan bergerigi yang
disebut rostrum. Udang vannamei memiliki 2 gerigi di bagian ventral rostrum
sedangkan di bagian dorsalnya memiliki 8 sampai 9 gerigi. Tubuh udang
vannamei beruas-ruas dan tiap ruas terdapat sepasang anggota badan yang
umumnya bercabang dua atau biramus. Jumlah keseluruhan ruas badan udang
vannamei umumnya sebanyak 20 buah. Cephalotorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5
ruas dibagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Ruas I terdapat mata bertangkai,
sedangkan pada ruas II dan III terdapat antenna dan antennula yang berfungsi
sebagai alat peraba dan pencium. Pada ruas ke III terdapat rahang (mandibula)
yang berfungsi sebagai alat untuk menghancurkan makanan sehingga dapat masuk
ke dalam mulut (Zulkarnain, 2011).
Tubuh berwarna putih transparan sehingga lebih umum dikenal sebagai
“white shrimp”. Tubuh sering berwarna kebiruan karena lebih dominannya
kromatofor biru. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm. Udang vaname dapat
dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan pada eksternal genitalnya. Ciri-ciri
udang vanameadalah rostrum bergigi, biasanya 2-4 (kadang-kadang 5-8) pada
bagian ventral yang cukup panjang dan pada udang muda melebihi panjang
antennular peduncle. Karapaks memiliki pronounced antenal dan hepatic spines.
Pada udang jantan dewasa, petasma symmetrical, semi-open, dan tidak tertutup.
Spermatofora sangat kompleks yang terdiri atas masa sperma yang dibungkus
oleh suatu pembungkus yang mengandung berbagai struktur perlekatan (anterior
wing, lateral flap, caudal flange, dorsal plate) maupun bahan-bahan adhesif dan
6
glutinous. Udang betina dewasa memiliki open thelycumdan sternit ridges, yang
merupakan pembeda utama udang vaname betina (Manoppo, 2011).
2.2. Habitat Udang Vannamei
Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari
tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang bersifat bentis
dan hidup pada permukaan dasar laut. Adapun habitat yang disukai oleh udang
adalah dasar laut yang lumer (soft) yang biasanya campuran lumpur dan pasir.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa induk udang vannamei ditemukan diperairan lepas
pantai dengan kedalaman berkisar antara 70-72 meter (235 kaki). Menyukai
daerah yang dasar perairannya berlumpur (Wyban dan Sweeney, 1991).
Udang vannamei hidup di habitat laut topis dimana suhu air biasanya lebih
dari 20°C sepanjang tahun dan akan menghabiskan siklus hidupnya di muara air
payau. Udang vannamei dewasa dan bertelur di laut terbuka, sedangkan pada
stadia post larva udang vannamei akan bermigrasi ke pantai sampai pada stadia
juvenil.
2.3. Siklus Hidup Udang Vannamei
Proses kawin udang meliputi pemindahan spermatophore dari udang jantan
ke udang betina. Peneluran bertempat pada daerah lepas pantai yang lebih dalam.
Telur-telur dikeluarkan dan difertilisasi secara eksternal di dalam air. Seekor
udang betina mampu menghasilkan setengah sampai satu juta telur setiap bertelur.
Dalam waktu 13-14 jam, telur kecil tersebut berkembang menjadi larva berukuran
mikroskopik yang disebut nauplii/ nauplius. Tahap nauplii tersebut memakan
kuning telur yang tersimpan dalam tubuhnya lalu mengalami metamorfosis
7
menjadi zoea sekitar 4 hingga 5 hari. Tahap kedua ini memakan alga dan setelah
beberapa hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis. Mysis mulai terlihat seperti
udang kecil dan memakan alga dan zooplankton. Setelah 3 sampai 4 hari, mysis
mengalami metamorfosis menjadi postlarva. Tahap postlarva adalah tahap saat
udang sudah mulai memiliki karakteristik udang dewasa. Keseluruhan proses dari
tahap nauplii sampai postlarva membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Di habitat
alaminya, postlarva akan migrasi menuju estuarin yang kaya nutrisi dan
bersalinitas rendah. Mereka tumbuh di sana dan akan kembali ke laut terbuka saat
dewasa. Udang dewasa adalah hewan bentik yang hidup di dasar laut.
Gambar 1. Siklus hidup udang vaname (Stewart, 2005 dalam Erwinda, 2008)
2.4. Perkembangan Larva Udang Vannamei
Naupli merupakan stadia paling awal pada stadia larva udang vannamei.
Kemudian berubah menjadi stadia zoea. Zoea merupakan stadia kedua pada larva
udang vannamei. Kemudian bermetamorfosa ke stadia mysis. Stadia mysis
merupakan stadia ketiga dari larva udang vannamei yang merupakan stadia
terakhir pada larva udang vannamei. Mysis mempunyai karakteristik menyerupai
udang dewasa, seperti bagian tubuh, mata, dan karakteristik ekornya. Stadia mysis
8
akan berakhir pada hari ke tiga atau hari keempat, dimana selanjutnya akan
bermetamorfosa menjadi post larva (PL). Pada PL 10 sudah terlihat seperti udang
dewasa.
Perkembangan larva udang vannamei setelah telur menetas adalah sebagai
berikut :
a. Stadia Naupli
Pada stadia ini, naupli berukuran 0,32-0,58 mm. Sistem pencernaannya belum
sempurna dan masih memiliki cadangan makanan serupa kuning telur sehingga
pada stadia ini benih udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar.
Dalam fase Naupli ini larva mengalami enam kali pergantian bentuk dengan
tanda-tanda sebagai berikut :
Nauplius I : Bentuk badan bulat telur dan mempunyai anggota badan tiga
pasang.
Nauplius II : Pada ujung antena pertama terdapat seta (rambut), yang satu
panjang dan dua lainnya pendek.
Nauplius III : Furcal dua buah mulai jelas masing-masing dengan tiga duri
(spine), tunas maxilla dan maxilliped mulai tampak.
Nauplius IV : Pada masing-masing furcal terdapat empat buah duri, Exopoda
pada antena kedua beruas-ruas.
Nauplius V : Organ pada bagian depan sudah tampak jelas disertai dengan
tumbuhnya benjolan pada pangkal maxilla.
Nauplius VI : Perkembangan bulu-bulu semakin sempurna dari duri pada
furcal tumbuh makin panjang
9
b. Stadia Zoea
Stadia Zoea terjadi setelah naupli ditebar di bak pemeliharaan sekitar 15-24
jam. Larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm. Pada stadia ini, benih udang
mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, dan zoea 3, lama
waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis) sekitar
4-5 hari.
Fase zoea terdiri dari tingkatan-tingkatan yang mempunyai tanda-tanda yang
berbeda sesuai dengan perkembangan dari tingkatannya, seperti diuraikan berikut
ini :
Zoea I : Bentuk badan pipih, carapace dan badan mulai nampak, maxilla
pertama dan kedua serta maxilliped pertama dan kedua mulai
berfungsi. Proses mulai sempurna dan alat pencernaan makanan
nampak jelas.
Zoea II : Mata bertangkai, pada carapace sudah terlihat rostrum dan duri
supra orbital yang bercabang
Zoea III : Sepasang uropoda yang bercabang dua (Biramus) mulai
berkembang duri pada ruas-ruas perut mulai tumbuh.
c. Stadia Mysis
Pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan
sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah
mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sudah
berkisar 3,50-4,80 mm.
Fase ini mengalami tiga perubahan dengan tanda-tanda sebagai berikut :
10
Mysis I : Bentuk badan sudah seperti udang dewasa, tetapi kaki renang
(Pleopoda) masih belum nampak.
Mysis II : Tunas kaki renang mulai nampak nyata, belum beruas-ruas.
Mysis III : Kaki renang bertambah panjang dan beruas-ruas.
d. Stadia Post Larva (PL)
Stadia ini, benih udang vannamei sudah tampak seperti udang dewasa.
Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. Misalnya, PL 1 berarti
post larva berumur 1 hari. Pada stadia ini udang mulai aktif bergerak lurus ke
depan.
Gambar 2. Perkembangan Larva Udang Vannamei
2.5. Sintasan
Sintasan adalah presentase jumlah udang yang hidup dalam kurun waktu
tertentu (Effendie, 1979). Sintasan organisme dipengaruhi oleh padat penebaran
dan faktor lainnya seperti, umur, pH, suhu dan kandungan amoniak. Faktor
penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang adalah
tersedianya jenis makanan serta adanya lingkungan yang baik seperti oksigen,
amoniak, karbondioksida, nitrat, hidrogen sulfida dan ion hidrogen.
11
2.6. Chaetoceros Sp
Chaetoceros sp merupakan diatom dari ordo centrales (Bachtiar, 2003).
Diatom merupakan organisme/ganggang bersel tunggal yang tergolong dalam
divisi Bacillariophyta. Diatom dari ordo centrales memiliki ciri bentuk tubuh
silinder. Chaetoceros sp ada yang memiliki bentuk tubuh bulat dengan ukuran
tubuh yang sangat kecil yakni berkisar antara 4 – 6 mikron dan ada yang
berbentuk segi empat dengan ukuran 8-12 x 7-18 mikron. Sama seperti diatom
pada umumnya, Chaetoceros sp memiliki dinding sel yang dibentuk dari silika
(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Lebih lanjut ditambahkan oleh Sumeru dan
Anna (2005), bahwa pada setiap sel Chaetoceros sp dipenuhi oleh cytoplasma.
diatom memiliki beberapa pigmen warna yakni chlorophyl a, chlorophyl c,
karoten diatomin dan fukosantin. Pigmen chlorophyl memiliki peran sebagai
katalisator dalam proses fotosintesis sedangkan adanya pigmen karoten dan
diatomin menyebabkan dinding sel dari Chaetoceros sp berwarna cokelat
keemasan. Pertumbuhan optimumnya memerlukan suhu pada kisaran antara 25-
300c, salinitas optimal 28-30
0/00.
Chaetoceros sp memiliki peran yang besar dalam hal penyediaan pakan
untuk larva khususnya larva udang dalam bidang budidaya dan perikanan. Hal
tersebut karena Chaetoceros sp memiliki kandungan nutrisi yang tinggi yaitu
protein 35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6%, dan kadar abu 28% (Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995). Secara garis besar kebutuhan unsur hara bagi kehidupan
fitoplankton dapat dibagi menjadi dua yaitu unsur hara makro dan unsur hara
mikro. Makro diberikan dalam bentuk senyawa yang diperlukan tanaman dalam
12
jumlah yang relatif banyak. Unsur hara makro terdiri dari N, P, K, S, Na, Si, dan
Ca. Sedangkan unsur mikro terdiri dari Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Mo, Co, dan B.
Unsur mikro adalah unsur hara yang diperlukan fitoplankton dalam jumlah yang
sedikit namun harus ada dalam media pertumbuhannya.
2.7.Cairan Rumen
Pada dasarnya isi rumen merupakan bahan-bahan makanan yang terdapat
dalam rumen belum menjadi feces dan dikeluarkan dari dalam lambung rumen
setelah hewan dipotong. Kandungan nutriennya cukup tinggi, hal ini disebabkan
belum terserapnya zat-zat makanan yang terkandung didalamnya sehingga
kandungan zat-zatnya tidak jauh berbeda dengan kandungan zat makanan yang
berasal dari bahan bakunya.
Perut hewan ruminansia terdiri atas rumen, retikulum, omasum, dan
abomasum. Volume rumen pada ternak sapi dapat mencapai 100 liter atau lebih
dan untuk domba berkisar 10 liter. Rumen dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pakan dan sumber mikrobia karena mengandung karbohidrat, serat kasar, dan
protein kasar. Adanya protein menunjukkan adanya mikrobia dalam rumen dan
berpotensi memperbaiki kualitas pakan.
Anggorodi (1979), menyatakan bahwa ternak ruminansia dapat mensintesis
asam amino dari zat-zat yang mengandung nitrogen yang lebih sederhana melalui
kerjanya mikroorganisme dalam rumen. Mikroorganisme tersebut membuat zat-
zat yang mengandung nitrogen bukan protein menjadi protein yang berkualitas
tinggi. Mikroorganisme dalam rumen terdiri dari kelompok besar yaitu bakteri
dan protozoa, temperatur rumen 39 sampai 40 derajat celcius, pH 7,0 sehingga
13
memberikan kehidupan optimal bagi mikroorganisme rumen. Sekitar 80%
Nitrogen dijumpai dalam tubuh bakteri rumen berupa protein dan 20 % berupa
asam nukleat. Berdasarkan analisa berbagai rumen kadar berbagai asam amino
dalam isi rumen diperkirakan 9-20 kali lebih besar dari pada dalam makanan.
2.8.Kualitas Air
a. Salinitas
Menurut Amri dan kanna (2008), dalam bahasa sederhana salinitas disebut
sebagai kadar garam atau tingkat keasinan air. Secara ilmiah salinitas
didefenisikan sebagai total padatan dalam air setelah semua karbonat dan semua
nyawa organi dioksidasi, bromida dan iodida dianggap sebagai klorida. Besarnya
salinitas dinyatakan dalam permil (0/00) dan ada juga yang menyebutkan dalam
gram per kilogram (ppt). Untuk mengukur salinitas air tambak secara praktis
dapat digunakan refraktometer atau pun salinometer. Dibanding udang jenis lain,
udang vannamei menyukai air media budidaya dengan salinitas atau kadar garam
lebih rendah, yaitu berkisar antara 10–350/00. Pertumbuhan yang baik (optimal)
untuk larva udang vannamei dari zoea sampai misys diperoleh pada kisaran
salinitas 15–200/00.
b. Oksigen terlarut
Ketersediaan oksigen dalam air sangat menentukan kehidupan udang, baik
untuk kelangsungan hidup maupun untuk pertumbuhannya. Oksigen yang bisa
dimanfaatkan udang adalah oksigen terlarut (dalam air). Kandungan oksigen
terlarut yang baik untuk kehidupan udang vannamei adalah >3 ppm dan sebaiknya
diusahakan berada pada kisaran 4-8 ppm (mg/liter). Rendahnya kandungan
14
oksigen terlarut didalam tambak sering terjadi pada periode musim kemarau yang
tidak berangin.
Disamping itu, pada malam hari suhu menjadi rendah yang diikuti dengan
meningkatnya aktivitas fitoplankton, sering mengakibatkan turunnya kandungan
oksigen. Keadaan ini ditandai dengan mengambangnya udang (udang naik ke
permukaan air). Untuk menanggulanginya diperlukan upaya menaikkan
kandungan oksigen terlarut di dalam tambak yang dapat dilakukan dengan
menggunakan aerator.
c. Suhu
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), suhu optimal pertumbuhan udang dari
zoea hingga misys antara 26-320C. Jika suhu lebih dari angka optimum maka
metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat. Imbasnya kebutuhan
oksigen terlarut meningkat. Itu berarti penambahan kincir air perlu dilakukan
yang berarti menambah biaya produksi. Pada suhu air di bawah 250C, umunya
terjadi saat masa-masa peralihan musim antara Juni - Agustus, udang sudah
kurang aktif mencari pakan. Langkah pertama yang harus segera dilakukan yaitu
mengurangi jumlah pakan yang diberikan untuk mencegah terjadinya overfeeding.
Pada suhu di bawah 250C, nafsu makan udang berkurang sehingga perlu diambil
solusi supaya nafsu makannya kembali membaik dan ketahanan tubuhnya
meningkat. Beberapa cara yang dapat diaplikasikan yaitu penambahan atraktan
(minyak ikan dan minyak cumi), imunostimulan (vitamin C dan peptidoglikan),
serta pakan segar (cumi, kepeting, dan rebon). Pemberian pakan segar perlu
dicermati agar tidak merusak kualitas air tambak. Pemberian pakan tidak boleh
15
berlebiahan karena pakan yang tidak terdekomposisi akan menimbulkan senyawa
berbahaya bagi kehidupan udang, seperti nitrit dan amoniak.
d. Derajat Keasamaan (pH)
Derajat keasamaan biasa disebut sebagai pH. Nilai pH yang normal untuk
tambak udang berkisar antara 6-9. Nilai pH di atas 10 dapat mematikan udang.
Sedangkan pH di bawah 5 mengakibatkan pertumbuhan udang menjadi lambat.
Khusus untuk udang vannamei, kisaran pH yang optimum adalah 7,5-8,5.
Untungnya, dalam budidaya udang di tambak, guncangan pH air tidak begitu
mengkhawatirkan karena air laut mempunyai daya penyangga atau buffer yang
cukup kuat. Terlepas dari itu semua, karena adanya proses pembusukan dan kadar
karbon dioksida yang tinggi, maka untuk mengatasi terjadinya guncangan pH
perlu diusahakan penggantian air sesering mungkin dan pengoperasian aerator
terutama pada pagi hari. Adapun guncangan pH yang bisa ditoleransi adalah tidak
lebih dari 0,5. Pengukuran pH umumnya dilakukan dengan kertas lakmus (kertas
pH) dan pH Water Tester. Namun alat pH meter ini sulit diaplikasikan di
lapangan, selain itu juga harganya relatif mahal. Meskipun demikian, kalau
tersedia dana dan tenaga terlatih, penggunaan pH meter baik untuk dilakukan
(Amri dan Kanna, 2008).
16
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2017 bertempat di PT Central
Pertiwi Bahari, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, Provinsi
Sulawesi Selatan.
3.2.Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Alat yang digunakan selama penelitian.
No. Nama Alat Kegunaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Baskom volume 7 liter
Selang dan batu aerasi
Mikroskop
Objek glass
Cover glass
Gelas ukur
Pipet tetes
Termometer
pH meter
Counter
Refraktometer
Haemocytometer
Wadah pemeliharaan udang dan
media kultur Chaetoceros sp
Penyuplai oksigen
Pengamatan dan penghitungan
sampel
Meletakkan objek yang akan
diamati dengan mikroskop
Penutup objek yang telah
diletakkan di atas kaca preparat
Sampling sintasan
Ukur pupuk
Pengukur suhu
Mengukur pH ( derajat keasaman
atau kebasaan )
Menghitung kepadatan plankton
Pengukur salinitas
Menghitung kepadatan plankton
17
Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Bahan yang digunakan selama penelitian.
No Nama Bahan Kegunaan
1
2
3
4
5
Chaetoceros sp
Cairan rumen
Larva Udang vannamei
Aquades
Tissue
Organisme uji
Pupuk
Hewan uji stadia zoea
Mensterilkan alat
Mengeringkan alat
3.3. Wadah dan Media Pemeliharaan
Wadah penelitian yang digunakan adalah baskom plastik berkapasitas 7
liter sebanyak 15 buah dengan wadah kontrol. Masing–masing baskom diisi air
laut sebanyak 5 liter dan dilengkapi dengan aerasi. Media yang digunakan adalah
air laut yang telah disterilkan yang terlebih dahulu ditampung dan diendapkan
selama 24 jam kemudian dipindahkan ke wadah penelitian dengan menggunakan
pompa Dab yang dilengkapi dengan selang ¾ cm yang diujung selang dipasangi
saringan kapas.
3.4. Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah benih udang vannamei,
stadia zoea1 dengan ukuran panjang ± 3,30 mm.
3.5. Pakan Uji
Pakan uji yang digunakan pada pemeliharaan benih udang vannamei adalah
pakan alami Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen dan tanpa cairan rumen
yang diperoleh dari PT Central Pertiwi.
18
3.6. Prosedur Penelitian
3.6.1. Wadah dan Peralatan
Wadah dan peralatan yang digunakan pada penelitian ini terlebih dahulu
disikat merata pada bagian permukaan kemudian dicuci dan dikeringkan selama
24 jam. Pengeringan peralatan aerasi dilakukan selama 1 hari. Setelah wadah
kering kemudian diisi dengan air laut.
3.6.2. Cairan Rumen
Isi rumen sapi diambil dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
Sungguminasa Gowa. Cairan rumen sapi diambil dari isi rumen sapi dengan cara
filtrasi (penyaringan dengan kain katun) dibawah kondisi dingin. Cairan rumen
hasil filtrasi disentrifuse dengan kecepatan 10.000 x g selama 10 menit pada suhu
4 0C untuk memisahkan supernatan dari sel-sel dan isi sel mikroba (Lee et al.
2000).
3.6.3. Kultur Chaetoceros sp
Kultur Chaetoceros sp skala intermediate menggunakan ember berkapasitas
7 liter. Sebelum kultur dilakukan, perlengkapan yang akan digunakan harus
disterilkan, dengan mengunakan detergen kemudian dibilas dengan air tawar.
Peralatan yang digunakan antara lain selang aerasi dan batu aerasi.
Penggunaan air laut terlebih dahulu dinetralkan dengan menggunakan
natrium thiosulfat. Setelah itu, air laut yang sudah dinetralkan dengan kadar
garam 28 ppt dimasukkan ke wadah kultur sebanyak 5 liter. Air media kultur
diberikan cairan rumen sesuai dengan dosis yang terbaik dari penelitian
pendahuluan yang dilakukan sebelumnya setelah itu diberikan aerasi dan ditunggu
19
beberapa saat agar cairan rumen tercampur secara merata terlebih dahulu sebelum
bibit Chaetoceros sp dimasukkan. Jumlah bibit Chaetoceros sp yang diberikan
sebanyak 100 ml/liter. Setelah cairan rumen sudah bercampur dengan
Chaetoceros sp maka sudah bisa diberikan pada larva udang vannamei sebagai
pakan alami.
3.6.4. Pemeliharaan Benih
Sebelum penebaran benih udang vanamei, terlebih dahulu dilakukan
adaptasi lingkungan terutama suhu dan salinitas. Padat tebar benih udang
vannamei dengan kepadatan 20 ekor/liter. Benih udang vannamei dipelihara
selama 6 hari. Selama masa pemeliharaan diberi pakan cairan rumen dan tanpa
cairan rumen dengan kepadatan sesuai perlakuan. Penyiponan dilakukan apabila
ada sisa pakan atau kotoran benih udang vanamei yang mengendap didasar wadah
penelitian. Untuk mengetahui sintasan dilakukan sampling dengan cara
menggunakan gelas ukur.
3.7. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan masing–masing perlakuan diulang 3 kali
sehingga jumlah satuan percobaan sebanyak 15 unit. Tata letak satuan percobaan
setelah pengacakan seperti disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Tata Letak Satuan Percobaan Setelah Pengacakan
A3 C3 B1 D3 E3
C1 B3 E1 B2 A2
E2 D2 D1 A1 C2
20
Perlakuan A : Pemberian pakan 5 kali
Perlakuan B : Pemberian pakan 6 kali
Perlakuan C : Pemberian pakan 7 kali
Perlakuan D : Pemberian pakan 8 kali
Perlakuan E : Pemberian pakan tanpa rumen
3.8.Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.8.1. Perkembangan
Perkembangan larva udang vannamei adalah dengan cara mengamati
perubahan larva udang vannamei dari stadia zoea sampai mysis dengan
menggunakan mikroskop.
3.8.2. Sintasan
Sintasan larva udang vannamei dilakukan dengan cara mengambil hewan
uji kemudian dilakukan penyamplingan tiap wadah, adapun rumus yang
dianjurkan oleh Effendi (1997) dalam menghitung sintasan adalah sebagai
berikut:
Dimana:
SR = Sintasan (%)
Nt = Jumlah individu pada akhir penelitian (ind)
No = Jumlah individu pada awal penelitian (ind)
21
3.8.3. Kualitas Air
Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran parameter kualitas air yang
meliputi: suhu, salinitas, DO, dan pH. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap
pagi sekitar jam 09.00.
3.9. Analisis data
Untuk mengetahui penggunaan cairan rumen sebagai pupuk pakan alami
Chaetoceros sp dengan frekuensi yang berbeda pada larva udang Vannamei, maka
dianalisis menggunakan analisis sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% dan
dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk melihat perbedaan antar
perlakuan (Gasperz, 1991).
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perkembangan Larva Udang Vannamei
Perkembangan larva udang vannamei selama penelitian dapat dilihat pada
Gambar 4:
Hari/Perlakuan Hari-1 Hari-2 Hari-3
Perlakuan A
(Pemberian
pakan 5 kali)
Zoea 1 Zoea 2 Zoea 3
Perlakuan B
(Pemberian
pakan 6 kali)
Zoea 1 Zoea 2 Zoea 3
Perlakuan C
(Pemberian
pakan 7 kali)
Zoea 1 Zoea 2 Zoea 3
Perlakuan D
(Pemberian
pakan 8 kali)
Zoea 1 Zoea 2 Zoea 3
Perlakuan E
(Pemberian
pakan tanpa
rumen)
Zoea 1 Zoea 2 Zoea 3
23
Hari/Perlakuan Hari-4 Hari-5 Hari-6
Perlakuan A
(Pemberian
pakan 5 kali)
Mysis 1 Mysis 1 Mysis 2
Perlakuan B
(Pemberian
pakan 6 kali)
Mysis 1 Mysis 2 Mysis 3
Perlakuan C
(Pemberian
pakan 7 kali)
Mysis 1 Mysis 2 Mysis 3
Perlakuan D
(Pemberian
pakan 8 kali)
Mysis 1 Mysis 2 Mysis 3
Perlakuan E
(Pemberian
pakan tanpa
rumen)
Mysis 1 Mysis 1 Mysis 2
Berdasarkan gambar 4, menunjukkan perkembangan larva udang vannamei
pada semua perlakuan. Perkembangan terbaik terdapat pada perlakuan B,C, dan
D. Disusul perlakuan A dan E memiliki perkembangan yang lebih lambat. Hal ini
dibuktikan dengan pemeliharaan selama 6 hari mengalami perubahan
perkembangan yang terjadi pada perlakuan A,B,C,D,dan E.
24
Menurut Chanratchakool et al. (2005), menyatakan bahwa pakan alami yang
diberikan pada larva akan mempengaruhi pertumbuhan, dimana larva akan
tumbuh dan berkembang bergantung pada asupan nutrisi makanan.
Pada hari pertama pemeliharaan larva udang vannamei, semua perlakuan
berada pada stadia zoea 1. Zoea 1 memiliki bentuk badan pipih, karapaks dan
bentuk badan mulai nampak dan alat pencernaan makanan nampak jelas.
Chaetoceros sp dipupuk cairan rumen diharapkan dapat membantu proses
kecernaan makanan dengan enzim yang terkandung pada cairan rumen. Menurut
Suhtanry (1985), enzim berperan dalam mempercepat perombakan dan reaksi
kimia yang terjadi dalam tubuh makhluk hidup, enzim berperan spesifik sebagai
katalisator.
Pada hari kedua pemeliharaan larva udang vannamei, semua perlakuan
berada pada stadia zoea 2. Zoea 2 memiliki bentuk mata bertangkai. Pada hari
ketiga pemeliharaan larva udang vannamei pada semua perlakuan berada pada
stadia zoea 3. Pada zoea 3 sepasang uropoda yang bercabang dua mulai
berkembang duri pada ruas-ruas perut mulai tumbuh. Pada hari keempat
pemeliharaan larva udang vannamei berada pada mysis 1 pada semua perlakuan.
Pada stadia mysis 1 memiliki bentuk badan yang sudah seperti udang dewasa
tetapi kaki renang masih belum nampak.
Pada hari kelima pemeliharaan larva udang vannamei perlakuan B,C, dan D
berada pada stadia mysis 2. Pada stadia mysis 2 tunas kaki renang mulai nampak
nyata tetapi belum beruas-ruas. Sedangkan perlakuan A dan E berada pada stadia
mysis 1. Pada hari keenam pemeliharaan larva udang vannamei perlakuan
25
B,C,dan D berada pada stadia mysis 3. Pada stadia mysis 3 memiliki kaki renang
yang bertambah panjang dan beruas-ruas. Sedangkan perlakuan A dan E berada
pada stadia mysis 2. Menurut Subandiyono dan Hastuti (2014), menyatakan
bahwa ketersedian pakan pada waktu larva mencari makan menjadi faktor yang
sangat penting, dimana larva yang kekurangan makanan akan berakibat pada
perkembangan dan pertumbuhan yang terhambat.
Frekuensi pemberian pakan alami Chaetoceros sp yang dipupuk cairan
rumen pada perlakuan B,C, dan D menunjukkan perkembangan yang lebih baik
dibandingkan dengan perlakuan A dan E, karena kandungan nutrisi yang dimiliki
oleh Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen cukup terpenuhi bagi larva udang
vannamei. Hasil dari penelitian ini diperkuat oleh penelitian Gallardo et al.,
(2013) bahwa kandungan nutrisi yang sesuai dengan kubutuhan larva akan
mempercepat proses pertumbuhan dan perkembangan. Adapun kebutuhan protein
untuk larva udang berkisar 40-60%. Sedangkan perlakuan A dan E memiliki
perkembangan yang lambat, hal ini disebabkan karena pakan yang diberikan tidak
sesuai dengan kebutuhan larva udang vannamei.
Hal ini juga dapat dilihat pada hasil penelitian Hafid (2016) selama 6 hari
tentang frekuensi pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang dipupuk
cairan rumen terhadap perkembangan larva udang windu stadia zoea sampai
mysis dimana pada perlakuan D (pemberian pakan 6 kali) dan C (pemberian
pakan 5 kali) menunjukkan perkembangan larva udang vannamei yang lebih baik
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Dimana perlakuan D (pemberian pakan 6
kali) dan perlakuan C (pemberian pakan 5 kali) yang telah diberi pakan
26
Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen berada pada mysis 3 pada hari
keenam. Sedangkan perlakuan A (pemberian pakan 3 kali) berada pada mysis 1
serta perlakuan B (pemberian pakan 4 kali) berada pada mysis 2. Semakin sering
pemberian pakan akan memberikan peluang yang lebih besar kepada udang untuk
memperoleh makanan setiap saat sehingga kebutuhan pakan akan selalu terpenuhi
dan baik untuk perkembangan. Ghufran (2010) menambahkan bahwa frekuensi
pemberian pakan yang lebih sering dengan jumlah pakan perharinya tetap maka
tiap kali pakan menjadi sedikit dan dengan cara ini maka pakan tidak tertumpuk
pada suatu waktu saja tetapi merata sepanjang hari. Berdasarkan pemberian pakan
Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen pada udang yang berbeda dapat
dilihat perbedaan yaitu pada pemberian pakan 5 kali dimana pada larva udang
vannamei pada pemberian pakan 5 kali perkembangannya berada pada stadia
mysis 2 tetapi pada hasil penelitian Hafid (2016) pada larva udang windu dengan
pemberian pakan 5 kali perkembangannya berada pada stadia mysis 3. Hal ini
dapat dikatakan bahwa semakin tinggi frekuensi pemberian pakan maka
perkembangan larva udang vannamei semakin meningkat.
4.2. Sintasan Larva Udang Vannamei
Hasil penelitian tentang frekuensi pemberian pakan alami jenis Chaetoceros
sp yang dipupuk cairan rumen dan tanpa cairan rumen pada larva udang vannamei
terhadap sintasan larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis.
Berdasarkan penelitian, pemberian pakan jenis Chaetoceros sp yang dipupuk
cairan rumen berpengaruh terhadap sintasan larva udang vannamei stadia zoea
sampai mysis.
27
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5:
Gambar 5. Sintasan larva udang vannamei pada akhir penelitian
Berdasarkan gambar diatas, hasil penelitian tentang frekuensi pemberian
pakan alami jenis Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen terhadap sintasan
larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis, diperoleh sintasan tertinggi pada
perlakuan D (pemberian pakan 8 kali) yaitu 83%, kemudian disusul perlakuan C
(pemberian pakan 7 kali) yaitu 68%, kemudian disusul dengan perlakuan B
(pemberian pakan 6 kali) yaitu 54%, kemudian disusul dengan perlakuan A
(pemberian pakan 5 kali) yaitu 41%, dan sintasan terendah diperoleh pada
perlakuan E (pemberian pakan tanpa cairan rumen) yaitu 39%.
Berdasarkan hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup pada larva udang
vannamei selama penelitian menunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi
pada perlakuan D (pemberian pakan 8 kali). Tingginya tingkat kelangsungan
hidup pada perlakuan D karena pakan yang diberikan sebanyak 8 kali lebih baik
dibandingkan dengan perlakuan lainnya, dimana pakan alami diberikan dengan
selang waktu 3 jam sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi yang dapat menunjang
kelangsungan hidup udang dan mengurangi kondisi stress yang memungkinkan
0
20
40
60
80
100
A B C D E
SIN
TASA
N (
%)
PERLAKUAN
28
terjadinya kematian selama pemeliharaan. Menurut Rostini (2007), Pemberian
pakan yang berkualitas dalam jumlah yang cukup akan memperkecil presentase
larva kematian larva udang. Kebutuhan pakan dalam udang tercukupi dengan baik
seiring dengan berkembangnya stadia larva, karena itu pakan yang diberikan juga
lebih banyak. Semakin besarnya stadia dalam pertumbuhan udang maka pakan
yang dibutuhkan juga semakin banyak. Kandungan nutrisi dari pakan sangat
mempengaruhi tingkat kelulushidupan (Harefa, 1996). Pada perlakuan A,B,C dan
E memiliki kelangsungan hidup yang rendah karena masih kurangnya pakan yang
diberikan sehingga menyebabkan terjadinya pertumbuhan yang tidak merata dan
terjadi kompetisi. Udang yang memiliki bobot tubuh lebih kecil akan kalah dalam
persaingan mendapatkan pakan, juga bisa disebabkan karena stress pada saat
penanganan. Selain itu kematian udang disebabkan adanya aktivitas moulting
untuk pertumbuhan. Pada saat moulting ketahanan tubuh udang akan melemah
dan nafsu makannya akan menurun sehingga udang akan lebih sering berdiam
didasar bak, dan pada saat ini dapat menyebabkan kanibalisme pada udang
vannamei yang sehat sehingga dapat menimbulkan kematian.
Haliman dan Adijaya (2004) menjelaskan bahwa moulting pada udang
ditandai dengan seringnya muncul udang ke permukaan air sambil meloncat-
loncat. Gerakan ini bertujuan untuk membantu melonggarkan kulit luar udang dari
tubuhnya. Gerakan tersebut merupakan salah satu cara mempertahankan diri
karena cairan moulting yang dihasilkan dapat merangsang udang lain untuk
mendekat dan memangsa (kanibalisme). Pada saat moulting berlangsung, otot
perut melentur, kepala membengkak, dan kulit luar bagian perut melunak. Dengan
29
sekali hentakan, kulit luar udang dapat terlepas. Moulting merupakan proses yang
rumit dimana tingkat kematiannya sulit dihindari.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan A
berbeda nyata terhadap perlakuan (B,C, dan D) tetapi tidak berbeda nyata pada
perlakuan E. Pada perlakuan B berbeda nyata terhadap perlakuan (A,D, dan E)
tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan C. Pada perlakuan C berbeda nyata
terhadap perlakuan (A,D, dan E) tetapi tidak berbeda nyata pada perlakuan B.
Pada perlakuan D berbeda nyata terhadap perlakuan (A,B,C, dan E). Sedangkan
pada perlakuan E berbeda nyata terhadap perlakuan (B,C, dan D) tetapi tidak
berbeda nyata terhadap perlakuan A.
Hal ini juga dapat dilihat pada hasil penelitian Amiruddin (2016) tentang
frekuensi pemberian pakan alami jenis Skeletonema sp yang dipupuk cairan
rumen terhadap sintasan larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis dimana
kelangsungan hidup yang paling tertinggi diperoleh pada perlakuan D (6 kali
pemberian pakan) dengan sintasan 40% yang diduga karena pakan alami yang
diberikan memiliki selang waktu 4 kali jadi kebutuhan nutrisi dari zoea tersebut
terpenuhi untuk melakukan pertumbuhan dan perlakuan A, B, dan C merupakan
perlakuan yang memiliki kelangsungan hidup terendah dimana perlakuan A
(pemberian pakan 3 kali) dengan kelangsungan hidup 14%, perlakuan B
(pemberian pakan 4 kali) dengan kelangsungan hidup 6% dan perlakuan C
(pemberian pakan 5 kali) dengan kelangsungan hidup 0%.
Selain itu, juga dapat dilihat pada hasil penelitian Hafid (2016) tentang
frekuensi pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen
30
terhadap sintasan larva udang windu stadia zoea sampai mysis dimana
kelangsungan hidup yang tertinggi diperoleh pada perlakuan D (6 kali pemberian
pakan) dengan sintasan 16%. Yuwono (2005) dalam Qamari (2013) menjelaskan
bahwa faktor yang mempengaruhi kelulushidupan organisme ditentukan oleh
ketersediaan pakan yang sesuai. Perlakuan A,B, dan C memperoleh kelangsungan
hidup yang lebih rendah dimana A (3 kali pemberian pakan) dengan kelangsungan
hidup 5% , B (4 kali pemberian pakan) dengan kelangsungan hidup 9% dan C (5
kali pemberian pakan) dengan kelangsungan hidup 13%.
4.3. Kualitas Air
Kualitas air yang sesuai bagi kehidupan organisme akuatik merupakan faktor
penting karena berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kelangsungan
hidup organisme perairan. Cuzon et al. (2004) menyatakan faktor lingkungan
harus optimal bagi proses fisiologi udang vannamei. Selama penelitian, dilakukan
pengukuran kualitas air media pemeliharaan yang meliputi suhu,pH,DO dan
salinitas. Nilai parameter kualitas air media pemeliharaan dapat disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Kisaran parameter kualitas air media pemeliharaan larva udang vannamei
stadia zoea dan mysis setiap perlakuan selama penelitian.
Parameter Perlakuan
A B C D E
pH
Suhu (oC)
DO (ppm)
Salinitas
7,16-8,13
29-31
4,21-5,62
28
7,92-8,79
29-32
4,15-5,71
28
7,63-8,39
30-32
4,33-5,57
28
7,89-8,31
29-32
4,24-5,77
28
7,01-7,56
30-32
4,16-5,32
28
Sumber : Hasil pengukuran kualitas air 2017
Hasil pengukuran pH selama penelitian diperoleh kisaran antara 7,01-8,79.
Nilai ini menunjukkan bahwa pH air masih berada pada kisaran pH yang optimum
31
bagi larva udang vannamei. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purba (2012)
bahwa derajat keasaman (pH) air media pemeliharaan Larva udang vannamei
selama penelitian adalah 7,7 - 8,7. Kisaran pH tersebut masih layak bagi kegiatan
pembenihan udang vannamei serta mendukung pertumbuhan dan kelangsungan
hidup larva. Elovaara (2001) menambahkan bahwa untuk stadia larva pH yang
layak untuk udang vaname berkisar antara 7,8-8,4, dengan pH optimum 8,0.
Hasil pengukuran suhu selama penelitian diperoleh kisaran antara 29-34oC.
Nilai ini menunjukkan suhu air masih berada dalam kisaran yang normal yang
dapat ditolerir oleh larva udang vannamei. Hal ini sesuai dengan pendapat
Haliman dan Adijaya (2005), suhu optimal pertumbuhan larva udang antara 26-
32°C. Suhu berpengaruh langsung pada metabolisme udang, pada suhu tinggi
metabolisme udang dipacu, sedangkan pada suhu yang lebih rendah proses
metabolisme diperlambat. Bila keadaan seperti ini berlangsung lama, maka akan
mengganggu kesehatan udang karena secara tidak langsung suhu air yang tinggi
menyebabkan oksigen dalam air menguap, akibatnya larva udang akan
kekurangan oksigen. Zweig et al (1999) dalam Suwoyo (2009) menambahkan
bahwa pertumbuhan udang optimal terjadi pada kisaran suhu 25-30oC, serta
berakibat kematian pada suhu di atas 35C. Menurut Dharmadi dan Ismail (1993),
temperatur yang cocok untuk pertumbuhan larva udang antara 25-32°C.
Hasil pengukuran DO (Dissolved Oxygen) selama penelitian diperoleh
kisaran antara 4,16-5,77. Kisaran ini masih dikategorikan baik bagi budidaya L.
vannamei, hal ini sesuai dengan pernyataan Fegan (2003) bahwa kosentrasi
oksigen terlarut selama pemeliharaan udang vaname berkisar antara 3-8 ppm.
32
Nilai tersebut menunjukan bahwa kandungan oksigen yang terdapat pada media
pemeliharaan masih optimal dan cukup baik dalam mendukung pertumbuhan
udang vaname. Kadar oksigen terlarut tersebut baik untuk pemeliharaan larva
udang vanamei. Kondisi oksigen terlarut yang baik untuk pembenihan udang
adalah minimal 3 mg/L (Manik dan Mintardjo, 1983).
Hasil pengukuran salinitas selama penelitian yaitu 28 ppt. Nilai ini tergolong
baik dan masih dalam batas toleransi larva udang vannamei. Xincai dan
Yongquan (2001) menjelaskan bahwa salinitas optimal untuk udang vaname
berkisar antara 5-35 ppt. Saoud et al. (2003), udang vaname dapat tumbuh pada
perairan dengan salinitas berkisar 0,5-38,3 ppt. Pengukuran salinitas selama
penelitian diperoleh hasil dengan kisaran 26 – 28 ppt. Kisaran tersebut baik untuk
kelangsungan hidup larva udang.
33
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa frekuensi
pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang berbeda yang dipupuk cairan
rumen pada setiap perlakuan memberikan efek yang berpengaruh nyata terhadap
perkembangan dan sintasan larva udang vannamei. Kelulushidupan tertinggi
terdapat pada perlakuan D (8 kali pemberian pakan) dengan sintasan rata-rata
83%.
5.2. Saran
Saran yang dapat saya berikan yaitu perlu dilakukan penelitian dengan
frekuensi pemberian pakan yang lebih tinggi untuk mengetahui frekuensi
pemberian pakan yang selayaknya untuk larva udang vannamei agar mendapatkan
sintasan yang optimal.
34
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin. 2016. Frekuensi Pemberian Pakan Alami jenis Skeletonema Sp yang
Dipupuk Cairan Rumen Terhadap Sintasan Larva Udang Vannamei.
Makassar.
Amri, K dan Kanna, I. 2008. Budidaya Udang Vanname Secara Intensif dan
Tradisional. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anggorodi HR. 1979. Nutrisi Aneka Ternak . Jakarta.
Chanratchakool, P., F. Corsin and M. Briggs. 2005. Better Management Practices
(BMP) Manual for Black Tiger Shrimp (Penaues monodon) Hatcheries in
Vietnam. NACA, SUMA dan THUY SAN, 59 p.
Cuzon, G., A. Lawrence, G. Gaxiol, C. Rosa and J. Guillaume. 2004. Nutrition of
Litopenaeus vannamei reared in tanks or in ponds. Aquaculture 235:513-
551.
Darmadi dan A Ismail., 1993. Tinjauan Beberapa Faktor Penyebab Kegagalan
Usaha Budidaya Udang di Tambak. Dalam Prosiding Seminar Sehari Hasil
Penelitian. Sub Balai Perikanan Budidaya Pantai, Bojonegoro – Serang,
Cilegon, 11 Maret 1993
Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor : Yayasan Pustaka
Nusantama
Elovaara AK. 2001. Shrimp Farming Manual, 400. Practical Technology For
Intensive Commercial Shrimp Production. United States Of America.
Fegan D F, 2003. Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Asia
Gold Coin Indonesia Specialities Jakarta.
Gallardo, G. Martinez, G. Palomino, A. Paredes, G. Gaxiola, G. Cuzon, R. P.
Islas. 2013. Replacement of Artemia franciscana Naupli by
Microencapsulated Diets: Effect on Development, Digestive Enzymes and
Body Consumption of White Shrimp Larvae. J.World. Aquat. Scienc. 44 (2):
187-197.
Ghufran, M. 2006. Pemeliharaan Udang Vanname. INDAH. Surabaya. Gramedia
Hafid. 2016. Frekuensi Pemberian Pakan Alami jenis Chaetoceros Sp yang
Dipupuk Cairan Rumen Terhadap Sintasan Larva Udang Vannamei.
Makassar
35
Haliman R.W, Adijaya DS. 2004. Udang Vannamei. Jakarta: Penebar Swadaya.
Haliman, R.W. & Adijaya, D. (2005). Udang Vannamei, Pembudidayaan dan
Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya.
Jakarta
Haliman, W. R dan Dian Adijaya. 2006. Udang Vannamei. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Harefa, F., 1996. Pembudidayaan Artemia Untuk Pakan Udang dan Ikan. PT.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Isnansetyo, A. dan Kurniastuti. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton. Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Penerbit
Kanisus. Yogyakarta.
Manik, R. dan K. Mintardjo, 1983. Kolam Ipukan. Dalam Pedoman Pembenihan
Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian.
Jakarta.
Manoppo, Henky. 2011. Peran nukleotida sebagai imunostimulan terhadap respon
imun nonspesifik dan resistensi udang vaname (Litopenaeus vannamei).
IPB. Bogor
Rasyid, S.B., 1981. Pemanfaatan isi rumen sapi sebagai subtitusi sebagian ransum
basal terhadap performa ayam broiler. Laporan Penelitian, Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang. Hal.10-24
Rostini, Iis. 2007. Kultur Fitoplankton (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) Pada
Skala Laboratorium. Universitas Padjadjaran Fakultas Perikanan Dan Ilmu
Kelautan.Jatinangor
Saoud, I.P, D.A. Davis, D.B. Rouse. 2003. Suitability studies of inland well
waters for Litopenaeus vannamei culture. Aquaculture 217:373-383.
Subandiyono dan S. Hastuti. 2014. Beronang serta Prospek Budidaya Laut di
Indonesia. Lestari Media kreatif. Semarang.
Suhtanry, 1985. Kimia Pangan. Badan Kerja Sama Perguruan Negeri Indonesia
Bagian Timur, Makassar.
Wyban, J.A. dan Sweeney, J.A. 1991. Intensive Shrimp Production Technology.
The Oceanic Institute. USA.
36
Xincai, C., Yongquan, S., 2001. Shrimp Culture. China Internasional Training
Course on Technology of Marineculture (Precious Fishes). China : Yiamen
Municipal Sciense & Technology Commission.hlm.107-113.
Yuwono. 2013. Pandemi Resistensi Antimikroba: Belajar dari MRSA.
Departemen Mikrobiologi FK Unsri.
Zulkarnain, Muh Nur Fatih. 2011. Identifikasi Parasit yang Menyerang Udang
Vanamei (Litopenaeus vannamei) di Dinas Kelautan Perikanan dan
Peternakan. Gresik.
Zweig. RD, Morton JD, Stewart MM. 1999. Source water quality for aquaculture.
A Guide for Assessment. Enviromentally and Socially Sustainable
Development. The World Bank Washington DC. U.S.A. 62 p.
38
Lampiran 1. Sintasan Larva Udang Vanname
Tabel 1 . Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama
penelitian pada hari-1
Perlakuan
Ulangan
Jumlah
Rata-rata 1 2 3
A= 5 kali 100 100 100 300 100
B= 6 kali 100 100 100 300 100
C= 7 kali 100 100 100 300 100
D= 8 kali 100 100 100 300 100
E=kontrol 100 100 100 300 100
Sumber : Data hasil olahan, 2017
Tabel 2. Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama
penelitian pada hari-2
Perlakuan
Ulangan
Jumlah
Rata-rata 1 2 3
A= 5 kali 89 87 94 270 90
B= 6 kali 93 95 91 279 93
C= 7 kali 92 96 94 282 94
D= 8 kali 97 95 99 291 97
E=kontrol 87 88 95 270 90
Sumber : Data hasil olahan, 2017
39
Tabel 3. Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama
penelitian pada hari-3
Perlakuan
Ulangan
Jumlah
Rata-rata 1 2 3
A= 5 kali 78 75 81 234 78
B= 6 kali 80 79 78 237 79
C= 7 kali 78 85 80 243 81
D= 8 kali 85 83 93 261 87
E=kontrol 72 76 80 228 76
Sumber : Data hasil olahan, 2017
Tabel 4. Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama
penelitian pada hari-4
Perlakuan
Ulangan
Jumlah
Rata-rata 1 2 3
A= 5 kali 59 60 64 183 61
B= 6 kali 65 64 60 189 63
C= 7 kali 70 74 72 216 72
D= 8 kali 84 85 89 258 86
E=kontrol 56 59 65 180 60
Sumber : Data hasil olahan, 2017
40
Tabel 5. Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama
penelitian pada hari-5
Perlakuan
Ulangan
Jumlah
Rata-rata 1 2 3
A= 5 kali 48 51 51 150 50
B= 6 kali 58 56 54 168 56
C= 7 kali 69 69 72 210 70
D= 8 kali 86 83 86 255 85
E=kontrol 49 45 50 144 48
Sumber : Data hasil olahan, 2017
Tabel 6. Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama
penelitian pada hari-6
Perlakuan
Ulangan
Jumlah
Rata-rata 1 2 3
A= 5 kali 39 42 42 123 41
B= 6 kali 55 54 53 162 54
C= 7 kali 69 68 67 204 68
D= 8 kali 80 84 85 249 83
E=kontrol 40 38 39 117 39
Sumber : Data hasil olahan, 2017
41
Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji BNT
ANOVA
Ulangan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 104,400 4 26,100 2,966 ,074
Within Groups 88,000 10 8,800
Total 192,400 14
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Ulangan
LSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
A b -3,00000 2,42212 ,244 -8,3968 2,3968
c -4,00000 2,42212 ,130 -9,3968 1,3968
d -7,00000* 2,42212 ,016 -12,3968 -1,6032
e ,00000 2,42212 1,000 -5,3968 5,3968
B a 3,00000 2,42212 ,244 -2,3968 8,3968
c -1,00000 2,42212 ,688 -6,3968 4,3968
d -4,00000 2,42212 ,130 -9,3968 1,3968
e 3,00000 2,42212 ,244 -2,3968 8,3968
C a 4,00000 2,42212 ,130 -1,3968 9,3968
b 1,00000 2,42212 ,688 -4,3968 6,3968
d -3,00000 2,42212 ,244 -8,3968 2,3968
e 4,00000 2,42212 ,130 -1,3968 9,3968
D a 7,00000* 2,42212 ,016 1,6032 12,3968
b 4,00000 2,42212 ,130 -1,3968 9,3968
c 3,00000 2,42212 ,244 -2,3968 8,3968
e 7,00000* 2,42212 ,016 1,6032 12,3968
E a ,00000 2,42212 1,000 -5,3968 5,3968
b -3,00000 2,42212 ,244 -8,3968 2,3968
c -4,00000 2,42212 ,130 -9,3968 1,3968
d -7,00000* 2,42212 ,016 -12,3968 -1,6032
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
42
ANOVA
Ulangan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 212,400 4 53,100 3,963 ,035
Within Groups 134,000 10 13,400
Total 346,400 14
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Ulangan
LSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
A b -1,00000 2,98887 ,745 -7,6596 5,6596
c -3,00000 2,98887 ,339 -9,6596 3,6596
d -9,00000* 2,98887 ,013 -15,6596 -2,3404
e 2,00000 2,98887 ,519 -4,6596 8,6596
B a 1,00000 2,98887 ,745 -5,6596 7,6596
c -2,00000 2,98887 ,519 -8,6596 4,6596
d -8,00000* 2,98887 ,023 -14,6596 -1,3404
e 3,00000 2,98887 ,339 -3,6596 9,6596
C a 3,00000 2,98887 ,339 -3,6596 9,6596
b 2,00000 2,98887 ,519 -4,6596 8,6596
d -6,00000 2,98887 ,072 -12,6596 ,6596
e 5,00000 2,98887 ,125 -1,6596 11,6596
D a 9,00000* 2,98887 ,013 2,3404 15,6596
b 8,00000* 2,98887 ,023 1,3404 14,6596
c 6,00000 2,98887 ,072 -,6596 12,6596
e 11,00000* 2,98887 ,004 4,3404 17,6596
E a -2,00000 2,98887 ,519 -8,6596 4,6596
b -3,00000 2,98887 ,339 -9,6596 3,6596
c -5,00000 2,98887 ,125 -11,6596 1,6596
d -11,00000* 2,98887 ,004 -17,6596 -4,3404
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
43
ANOVA
Ulangan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1431,600 4 357,900 38,902 ,000
Within Groups 92,000 10 9,200
Total 1523,600 14
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Ulangan
LSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
A b -2,00000 2,47656 ,438 -7,5181 3,5181
c -11,00000* 2,47656 ,001 -16,5181 -5,4819
d -25,00000* 2,47656 ,000 -30,5181 -19,4819
e 1,00000 2,47656 ,695 -4,5181 6,5181
B a 2,00000 2,47656 ,438 -3,5181 7,5181
c -9,00000* 2,47656 ,005 -14,5181 -3,4819
d -23,00000* 2,47656 ,000 -28,5181 -17,4819
e 3,00000 2,47656 ,254 -2,5181 8,5181
C a 11,00000* 2,47656 ,001 5,4819 16,5181
b 9,00000* 2,47656 ,005 3,4819 14,5181
d -14,00000* 2,47656 ,000 -19,5181 -8,4819
e 12,00000* 2,47656 ,001 6,4819 17,5181
D a 25,00000* 2,47656 ,000 19,4819 30,5181
b 23,00000* 2,47656 ,000 17,4819 28,5181
c 14,00000* 2,47656 ,000 8,4819 19,5181
e 26,00000* 2,47656 ,000 20,4819 31,5181
E a -1,00000 2,47656 ,695 -6,5181 4,5181
b -3,00000 2,47656 ,254 -8,5181 2,5181
c -12,00000* 2,47656 ,001 -17,5181 -6,4819
d -26,00000* 2,47656 ,000 -31,5181 -20,4819
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
44
ANOVA
Ulangan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2654,400 4 663,600 92,167 ,000
Within Groups 72,000 10 7,200
Total 2726,400 14
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Ulangan
LSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
A b -6,00000* 2,19089 ,021 -10,8816 -1,1184
c -10,00000* 2,19089 ,001 -14,8816 -5,1184
d -35,00000* 2,19089 ,000 -39,8816 -30,1184
e 2,00000 2,19089 ,383 -2,8816 6,8816
B a 6,00000* 2,19089 ,021 1,1184 10,8816
c -4,00000 2,19089 ,098 -8,8816 ,8816
d -29,00000* 2,19089 ,000 -33,8816 -24,1184
e 8,00000* 2,19089 ,004 3,1184 12,8816
C a 10,00000* 2,19089 ,001 5,1184 14,8816
b 4,00000 2,19089 ,098 -,8816 8,8816
d -25,00000* 2,19089 ,000 -29,8816 -20,1184
e 12,00000* 2,19089 ,000 7,1184 16,8816
D a 35,00000* 2,19089 ,000 30,1184 39,8816
b 29,00000* 2,19089 ,000 24,1184 33,8816
c 25,00000* 2,19089 ,000 20,1184 29,8816
e 37,00000* 2,19089 ,000 32,1184 41,8816
E a -2,00000 2,19089 ,383 -6,8816 2,8816
b -8,00000* 2,19089 ,004 -12,8816 -3,1184
c -12,00000* 2,19089 ,000 -16,8816 -7,1184
d -37,00000* 2,19089 ,000 -41,8816 -32,1184
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
45
ANOVA
ulangan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3738,000 4 934,500 186,900 ,000
Within Groups 50,000 10 5,000
Total 3788,000 14
Multiple Comparisons
Dependent Variable: ulangan
LSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
A b -13,00000* 1,82574 ,000 -17,0680 -8,9320
c -17,00000* 1,82574 ,000 -21,0680 -12,9320
d -42,00000* 1,82574 ,000 -46,0680 -37,9320
e 2,00000 1,82574 ,299 -2,0680 6,0680
B a 13,00000* 1,82574 ,000 8,9320 17,0680
c -4,00000 1,82574 ,053 -8,0680 ,0680
d -29,00000* 1,82574 ,000 -33,0680 -24,9320
e 15,00000* 1,82574 ,000 10,9320 19,0680
C a 17,00000* 1,82574 ,000 12,9320 21,0680
b 4,00000 1,82574 ,053 -,0680 8,0680
d -25,00000* 1,82574 ,000 -29,0680 -20,9320
e 19,00000* 1,82574 ,000 14,9320 23,0680
D a 42,00000* 1,82574 ,000 37,9320 46,0680
b 29,00000* 1,82574 ,000 24,9320 33,0680
c 25,00000* 1,82574 ,000 20,9320 29,0680
e 44,00000* 1,82574 ,000 39,9320 48,0680
E a -2,00000 1,82574 ,299 -6,0680 2,0680
b -15,00000* 1,82574 ,000 -19,0680 -10,9320
c -19,00000* 1,82574 ,000 -23,0680 -14,9320
d -44,00000* 1,82574 ,000 -48,0680 -39,9320
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
BIOGRAFI PENULIS
Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 27
November 1995. Penulis merupakan anak pertama dari 3
bersaudara, dari Ayahanda Muhammad Amin Junubi dan
Ibunda Nurhafsah. Penulis memulai pendidikan formal
di TK Aisyiyah Bustanul Athfal Limbung Kabupaten
Gowa tahun 1999 dan tamat tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan ke
SDN Limbung Putra tahun 2001 dan tamat tahun 2007. Tingkat pendidikan
selanjutnya ditempuh pada SMP Negeri 1 Bajeng pada tahun 2007 dan tamat pada
tahun 2010, yang kemudian diteruskan ke SMA Negeri 1 Bajeng pada tahun 2010
hingga selesai pada tahun 2013. Selanjutnya pada tahun 2013 melanjutkan ke
jenjang perguruan tinggi sehingga pada bulan September 2013 diterima menjadi
mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar pada Fakultas Pertanian dengan
memilih Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan sebagai bidang
keilmuan yang akan digeluti dimasa depan. Selama mengikuti perkuliahan,
penulis pernah melaksanakan magang budidaya di Balai Budidaya Laut Lombok.
Akhirnya setelah melakukan penelitian pada bulan Februari 2017 dengan
judul “ Frekuensi Pemberian Pakan Alami Jenis Chaetoceros sp yang Dipupuk
Cairan Rumen Terhadap Perkembangan dan Sintasan Larva Udang Vannamei
Stadia Zoea sampai Mysis” maka penulis berhasil mempertahankan karya ilmiah
tersebut sekaligus menyelesaikan studi di perguruan tinggi dan berhak atas gelar
Sarjana Perikanan (S.Pi) pada tahun 2017 dengan IPK 3,87 dengan masa studi 3
tahun 8 bulan.