Post on 26-Jan-2023
J. A M P I B I 2 (1) hal. ( 1-10 ) Februari 2017
1 | P a g e
KEANEKARAGAMAN SERANGGA (INSECTA) SUBKELAS
PTERYGOTA DI HUTAN NANGA-NANGA PAPALIA
Muhammad Uksim Alrazik1, Jahidin2, Damhuri 2 1
Alumni Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi, 2Dosen Jurusan Pendidikan Biologi UHO
Email: uksymalrazyk@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman serangga yang terdapat di
Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 9 Juni
sampai dengan 19 Juni 2016. Pengambilan sampel dengan metode eksplorasi dengan menggunakan
jaring serangga dan perangkap jebak gantung (pitfall trap). Hasil penelitian menunjukan bahwa suhu
udara, kelembaban, dan intensitas cahaya mendukung bagi kehidupan dan perkembangan serangga.
Secara keseluruhan serangga yang ditemukan di lokasi penelitian terdiri dari 9 ordo dan 27 famili yaitu
Caenagrionidae, Libellulidae, Chlorocypidae, Cimbicidae, Apidae, Tryphonidae, Ichneumonidae,
Sphecidae, Acrididae, Phaneropteridae, Tetrigidae, Chrysomelidae, Cerambycidae, Meloidae, Miridae,
Rediviidae, Cantharidae, Cecidomyiidae, Muscidae, Caliphoridae, Blattidae, Grillidae, Mantidae,
Tettiginidae, Nymphalidae, Papilionidae, Hesperidae. Jumlah keseluruhan individu yang ditemukan
dalam penelitian yaitu 358 individu dari 37 spesies serangga. Berdasarkan indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener spesies serangga yang memiliki keanekaragaman sedang terdapat pada vegetasi
rumput yaitu 1,32, vegetasi semak dan pohon yaitu 1,33 dan vegetasi tegakan yaitu 1,30. Hal ini
menunjukkan status ketiga vegetasi memiliki keanekaragaman ‘sedang’.
Kata kunci : Keanekaragaman Serangga, Pterygota, Hutan Nanga-Nanga Papalia.
PENDAHULUAN
Hutan Nanga-Nanga Papalia
merupakan salah satu hutan hujan tropis
yang terletak di Sulawesi Tenggara. Hutan
ini terletak pada ketinggian 25-500 m di
atas permukaan laut dengan topografi landai,
berbukit hingga bergunung serta jenis tanah
permukaan kuning coklat. Berdasarkan data
dari Balai Pusat Statistik (2010) bahwa
curah hujan tahunan kawasan hutan Nanga-
Nanga Papalia mencapai 2.384,9 mm dari
203 ha.
Kawasan hutan Nanga-Nanga Papalia
yang memiliki potensi flora dan fauna cukup
tinggi dengan komposisi fauna yang
beragam. Berdasarkan hasil observasi salah
satu fauna yang terdapat pada kawasan
hutan lindung ini terdapat jenis serangga
terbang maupun serangga yang hidupnya
pada permukaan tanah. Serangga memegang
peranan penting dalam kehidupan manusia.
Mendengar nama serangga, selalu
diidentikkan dengan hama dibidang
pertanian, disebabkan serangga dapat
merusak tanaman sebagai hama dan sumber
vektor penyakit pada manusia. Namun, tidak
semua serangga bersifat sebagai hama atau
vektor penyakit. Kebanyakan serangga juga
sangat diperlukan dan berguna bagi
manusia. Serangga dari kelompok lebah,
belalang, jangkrik, kumbang, semut
membantu manusia dalam proses
penyerbukan tanaman.
Keberadaan serangga dapat
digunakan sebagai indikator keseimbangan
ekosistem. Apabila di dalam ekosistem
tersebut keanekaragaman serangga tinggi
maka, dapat dikatakan lingkungan ekosistem
tersebut seimbang atau stabil.
Keanekaragaman serangga yang tinggi akan
menyebabkan proses jaring-jaring makanan
berjalan secara normal, begitu pula
sebaliknya apabila di dalam ekosistem
keanekaragaman serangga rendah maka
lingkungan ekosistem tersebut tidak
seimbang dan stabil. Jumlah jenis serangga
yang terdapat pada suatu tempat tertentu
memiliki keanekaragaman jenis.
Keanekaragaman jenis yang tinggi
menunjukan bahwa suatu komunitas
memiliki kompleksitas yang tinggi dan
interaksi akan melibatkan transfer energi
J. A M P I B I 2 (1) hal. ( 1-10 ) Februari 2017
2 | P a g e
(jaring makanan), predasi, kompetisi, dan
pembagian relung. Odum (1971)
menjelaskan bahwa keanekaragaman jenis
cenderung akan rendah dalam ekosistem
yang secara fisik terkendali yaitu yang
memiliki faktor pembatas fisik kimia yang
kuat dan akan tinggi dalam ekosistem yang
diatur secara alami.
Keberadaan serangga tergantung dari
makanan yang didapatkannya. Banyak
serangga khususnya serangga herbivora
yang hidup di hutan Nanga-Nanga Papalia
yang mendukung untuk dapat bertahan
hidup. Makanan serangga bermacam-macam
tergantung jenisnya. Ada jenis serangga
herbivora atau serangga pemakan tumbuhan
lainnya. Serangga jenis herbivora antara lain
belalang, larva kupu-kupu (ulat), dan
kumbang. Ada pula serangga karnivora atau
serangga pemakan hewan atau pemakan
serangga lainnya. Contoh serangga
karnivora antara lain, lalat, belalang, dan
beberapa jenis ulat pemangsa dan larva-
larva lalat.
Berdasarkan hasil observasi yang
dilakukan di hutan Nanga-Nanga Papalia
kelurahan Anduonohu kecamatan Poasia
kota Kendari dijumpai berbagai jenis
serangga khususnya serangga yang memiliki
sayap. Hutan Nanga-Nanga Papalia
memiliki beragam jenis tumbuhan salah
satunya tumbuhan yang disukai oleh
serangga herbivora yaitu Kembang telekan
yang sering dijumpai oleh serangga
herbivora. Akan tetapi banyak jenis
serangga yang belum diketahui secara jelas
jenis serangga apa saja yang hidup di daerah
ini.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode eksplorasi
dengan tiga stasiun pengamatan.
Pengambilan sampel dengan menggunakan
teknik perangkap jebak (pitfall trap) yang
berdiameter 8 cm dan tinggi 12 cm yang
diletakan secara acak pada plot pengamatan
berukuran 10x10 meter untuk setiap stasiun
dengan pengambilan sampel sebanyak 3
kali. Untuk serangga terbang ditangkap
dengan menggunakan jaring serangga.
Jaring serangga yang digunakan
dengan diameter 40 cm dan panjang jaring
80 cm serta tungkai jaring 100 cm.
Perangkap jebak (pitfall trap) dibuat dari
botol dengan diameter 8 cm yang diisi
larutan yang berisi air dan deterjen. Adapun
volume larutan perangkap yakni sebanyak
setengah tinggi botol perangkap jebak (± 4
cm).
Prosedur pengumpulan data pertama-
tama dilakukan dengan penentuan stasiun
penelitian. Kegiatan penelitian diawali
dengan melakukan survei lapangan untuk
mengamati secara langsung kondisi vegetasi
dan serangga bersayap subkelas Pterygota di
kawasan hutan lindung Nanga-Nanga
Papalia Kelurahan Anduonohu Kecamatan
Poasia Kota Kendari. Hal ini memudahkan
penelitian dalam menetapkan stasiun dari
lokasi penelitian. Setelah itu penentuan titik
pengambilan sampel. Penetuan titik
pengambilan sampel didasarkan pada
keadaan lingkungan tanah dengan melihat
jumlah serasah dan penutupan vegetasi yang
akan dijadikan lokasi pengambilan sampel
penelitian.
Dalam hal ini yang akan menjadi
stasiun pengamatan terdiri atas tiga yaitu :
1. Stasiun I: permukaan tanah yang berada
dibawah vegetasi rumput dimana
vegetasi rumput memiliki jumlah serasah
yang kurang. Pengambilan sampel pada
stasiun I dilakukan sebanyak tiga kali
pada tiga lokasi yang berbeda. Titik
pengambilan sampel pada setiap plot
pengamatan sebanyak 5 titik yang
digantung, sehingga jumlah titik
pencuplikan untuk stasiun I sebanyak 15
titik.
2. Stasiun II: permukaan tanah yang berada
di bawah vegetasi campuran semak dan
pohon dengan jumlah serasah yang
melimpah. Pengambilan sampel pada
stasiun II dilakukan sebanyak tiga kali
pada tiga lokasi yang berbeda. Titik
pengambilan sampel pada setiap plot
pengamatan sebanyak 5 titik yang
digantung, sehingga jumlah titik
J. A M P I B I 2 (1) hal. ( 1-10 ) Februari 2017
3 | P a g e
pencuplikan untuk stasiun I sebanyak 15
titik.
3. Stasiun III: permukaan tanah yang
berada di bawah vegetasi tegakan pohon
dengan jumlah serasah yang sangat
melimpah. Jumlah pengambilan sampel
dan titik pencuplikan sama dengan
stasiun I dan stasiun II sebanyak 15 titik.
Pengambilan data pengamatan untuk
setiap stasiun terbagi atas dua pengamatan,
yaitu pengamatan pada siang hari dan
pengamatan pada malam hari. Perangkap
untuk siang hari dipasang selama satu hari
mulai pukul 07.00-17.00 WITA. Sedangkan
perangkap untuk malam hari dipasang
selama satu malam mulai pukul 17.00-07.00
WITA. Pengamatan untuk serangga terbang
ditangkap dengan menggunakan jaring
serangga dan perangkap jebak (pittfall trap)
gantung yang digantung dengan ketinggian
kurang lebih 120 cm.
Data dalam penelitian ini
dianalisis dengan menggunakan analisis
inferensial untuk mendapatkan
keanekaragaman serangga pada tiap stasiun
waktu pengamatan maka dapat digunakan
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
dengan rumus :
H’ = -
s
i
pi1
logpi
Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-
Wiener
pi = Jumlah jenis atau kelimpahan relatif
(ni/N)
ni = Jumlah individu
N = Jumlah total individu seluruh jenis
Kriteria indeks : jika
< 1 = Keanekaragaman rendah
1 – 2 = Keanekaragaman sedang
> 2 = Keanekaragaman tinggi
(Odum, 1992 )
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Sulawesi Tenggara merupakan suatu
daerah yang memiliki wilayah hutan yang
sangat luas, dengan beranekaragam jenis
tumbuh-tumbuhan. Salah satu hutan di
Sulawesi Tenggara adalah kawasan hutan
Nanga-Nanga Papalia yang terletak di
kelurahan Anduonohu kecamatan Poasia
kota Kendari.
Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan
No.465/Menhut.11/2011, kawasan hutan
Nanga-Nanga Papalia berada dalam
kompleks Hutan Papalia. Kompleks hutan
Nanga-Nanga Papalia terdiri atas 973 ha
hutan lindung dan 1.300 ha hutan produksi
(Dinas Kehutanan Kota dan Provinsi).
Kawasan hutan Nanga-Nanga Papalia
mencakup 10 Kelurahan dari 3 Kecamatan,
yaitu Kecamatan Abeli mencakup Kelurahan
Benuanirae, Tobimeita, Nambo, Sambuli
dan Tononggeu. Kecamatan Poasia
mencakup Kelurahan Anggoeya,
Rahandouna dan Andounohu. Kecamatan
Baruga mencakup Kelurahan Baruga.
Lokasi air terjun Nanga-Nanga papalia
secara administratif terletak di Kelurahan
Anduonohu, Kecamatan Poasia kota
Kendari (BPS. 2010 ).
2. Kondisi Faktor Lingkungan
Pengukuran faktor lingkungan pada setiap
stasiun di lokasi penelitian meliputi
kelembaban udara, suhu udara dan intensitas
cahaya.
Tabel 1. Kondisi Faktor Lingkungan
Berdasarkan Tabel 1. terlihat bahwa
kondisi lingkungan tiap vegetasi berbeda
karena setiap vegetasi memiliki karakter
yang berbeda-beda. Intensitas cahaya pada
tiap vegetasi yang tertinggi yaitu pada
vegetasi rumput yakni berkisar 7600-9600
Lux. Sedang pada vegetasi semak dan pohon
intensitas cahaya menurun cukup signifikan
dengan kisaran 4800-6610 lux. Sedang pada
vegetasi tegakan pohon nilai intensitas
cahaya rendah kisaran 3960-4800 lux.
J. A M P I B I 2 (1) hal. ( 1-10 ) Februari 2017
4 | P a g e
Kelembaban udara pada vegetasi
yang tertinggi terdapat pada vegetasi
tegakan pohon berkisar 75-76%. Pada
vegetasi semak dan pohon kelembaban
udara menurun berkisar menjadi 74-75% .
Pada vegetasi rumput kelembaban udara
relatif berubah-ubah, dengan kisaran 68-
70%.
Suhu udara pada vegetasi yang
tertinggi terdapat pada vegetasi rumput
berkisar 26-27oC. Sedang pada vegetasi
semak dan pohon memiliki suhu udara yang
relatif berubah, pada pengukuran 1 memiliki
nilai 25oC, pengukuran 2 memiliki nilai
26oC dan pengukuran ke-3.
Berdasarkan Tabel 2 dilihat bahwa
pada vegetasi rumput pengamatan
ditemukan 28 jenis (9 ordo) yakni ordo
Hymenoptera, ordo Diptera, ordo
Lepidoptera, ordo Celeoptera, ordo Odonata,
ordo Orthoptera, ordo Blattaria, ordo
Mantodea dan ordo Hemiptera dengan
jumlah individu 154. Pada vegetasi semak
dan pohon ditemukan 24 jenis (8 ordo)
yakni ordo Hymenoptera, ordo Diptera, ordo
Lepidoptera, ordo Celeoptera, ordo Odonata,
ordo Orthoptera, ordo Blattaria dan ordo
Hemiptera dengan jumlah individu 95.
Sedangkan pada vegetasi tegakan pohon
ditemukan 22 jenis (6 ordo) yakni ordo
Diptera, ordo Ortoptera, ordo Odonata, ordo
Celeoptera, ordo Lepidoptera dan ordo
Blattaria dengan jumlah individu 10.
3. Jumlah Serangga yang Ditemukan Dalam Penelitian di Hutan Nanga-Nanga
Papalia Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari.
Tabel 2. Serangga yang ditemukan dalam penelitian di lokasi penelitian
No Spesies Famili
Jumlah individu
Vegetasi
Rumput
Vegetasi
Semak
Vegetasi
Tegakan
1. Argia translata Caenagrionidae 3 2 2
2. Agriocnemis femina Caenagrionidae 3 3 0
3. Neurothemis fluctuans Libellulidae 6 4 3
4. Orthetrum sabina Libellulidae 6 2 0
5. Rhinocypha monochroa Chlorocypidae 0 0 6
6. Abia lonicerae Cimbicidae 6 0 0
7. Apis nigrocincta Apidae 5 2 5
8. Heterotrigona itama Apidae 0 2 6
9. Lycorina glaucomata Tryphonidae 0 4 6
10. Phobocampe unicincta Ichneumonidae 5 4 3
11. Sphex pensylvanica Sphecidae 0 0 5
12. Pimpla sp. Ichneumonidae 0 3 2
13. Isodontia auripes Sphecidae 3 4 4
14. Aulacophora sp. Chrysomelidae 6 7 4
15. Corymbia rubra Cerambycidae 0 6 0
16. Chalepus sp. Chrysomelidae 0 0 4
17. Epicauta lemniscata Meloidae 3 3 6
18. Helopeltis sp. Miridae 8 9 6
19. Charidotella sexpunctata Chrysomelidae 0 1 0
20. Zelus longipes Rediviidae 9 4 4
21. Rhagonycha fulva Cantharidae 6 2 0
22. Anopheles sp. Cecidomyiidae 18 7 13
23. Musca domestica Muscidae 8 0 7
24. Lucilia sericata Caliphoridae 0 5 6
25. Blattella asahinai Blattidae 5 3 4
26. Grillus sp. Grillidae 4 6 5
27. Statilia maculata Mantidae 4 0 0
28. Melanoplus femurrubrum Acrididae 2 0 0
29. Neoconocephalus robustus Phaneropteridae 6 0 0
J. A M P I B I 2 (1) hal. ( 1-10 ) Februari 2017
5 | P a g e
4. Indeks Keanekaragaman Serangga Bersayap Subkelas Pterygota di Hutan
Nanga-Nanga Papalia.
Berdasarkan hasil perhitungan
indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
(H’) menunjukan bahwa serangga bersayap
setiap vegetasi pengamatan memiliki tingkat
keanekaragaman yang sama. Adapun indeks
keanekaragaman serangga bersayap yang
ditemukan disetiap vegetasi pengamatan di
hutan Nanga-Nanga Papalia yaitu pada
vegetasi rumput adalah 1,32, vegetasi semak
dan pohon indeks keanekaragaman (H’)
yaitu 1,33 dan vegetasi tegakan pohon
indeks keanekaragaman (H’) yaitu 1,30. Hal
ini menunjukkan keanekaragaman serangga
secara keseluruhan vegetasi tergolong
sedang yaitu 1-2.
Tabel 3. Hasil Analisis Kelimpahan dan Keanekaragaman Serangga yang Ditemukan dalam Penelitian
No Spesies Famili
Jumlah individu
Vegetasi
Rumput
Vegetasi
Semak
Vegetasi
Tegakan
1. Argia translata Caenagrionidae 3 2 2
2. Agriocnemis femina Caenagrionidae 3 3 0
3. Neurothemis fluctuans Libellulidae 6 4 3
4. Orthetrum sabina Libellulidae 6 2 0
5. Rhinocypha monochroa Chlorocypidae 0 0 6
6. Abia lonicerae Cimbicidae 6 0 0
7. Apis nigrocincta Apidae 5 2 5
8. Heterotrigona itama Apidae 0 2 6
9. Lycorina glaucomata Tryphonidae 0 4 6
10. Phobocampe unicincta Ichneumonidae 5 4 3
11. Sphex pensylvanica Sphecidae 0 0 5
12. Pimpla sp. Ichneumonidae 0 3 2
13. Isodontia auripes Sphecidae 3 4 4
14. Aulacophora sp. Chrysomelidae 6 7 4
15. Corymbia rubra Cerambycidae 0 6 0
16. Chalepus sp. Chrysomelidae 0 0 4
17. Epicauta lemniscata Meloidae 3 3 6
18. Helopeltis sp. Miridae 8 9 6
19. Charidotella sexpunctata Chrysomelidae 0 1 0
20. Zelus longipes Rediviidae 9 4 4
21. Rhagonycha fulva Cantharidae 6 2 0
22. Anopheles sp. Cecidomyiidae 18 7 13
23. Musca domestica Muscidae 8 0 7
24. Lucilia sericata Caliphoridae 0 5 6
25. Blattella asahinai Blattidae 5 3 4
26. Grillus sp. Grillidae 4 6 5
27. Statilia maculata Mantidae 4 0 0
28. Melanoplus femurrubrum Acrididae 2 0 0
29.
Neoconocephalus robustus
Phaneropteridae 6 0 0
30. Melanoplus diferentialis Acrididae 7 0 0
31. Tetrix subulata Tetrigidae 7 0 0
30. Melanoplus diferentialis Acrididae 7 0 0
31. Tetrix subulata Tetrigidae 7 0 0
32. Conocephalus fasciatus Tettiginidae 6 0 0
33. Euploea crameri Nymphalidae 5 0 0
34. Dactilispa sp. Chrysomelidae 3 3 5
35. Graphium agamemnon Papilionidae 3 0 0
36. Coenonympha dorus Nymphalidae 4 5 3
37. Taractrocera archias Hesperidae 3 4 0
Jumlah 54 95 109
J. A M P I B I 2 (1) hal. ( 1-10 ) Februari 2017
6 | P a g e
32. Conocephalus fasciatus Tettiginidae 6 0 0
33. Euploea crameri Nymphalidae 5 0 0
34. Dactilispa sp. Chrysomelidae 3 3 5
35. Graphium agamemnon Papilionidae 3 0 0
36. Coenonympha dorus Nymphalidae 4 5 3
37. Taractrocera archias Hesperidae 3 4 0
Jumlah 1,32 1,33 1,30
Pembahasan
Kelimpahan organisme adalah jumlah
individu pada suatu area. Cara menghitung
kelimpahan yang paling akurat adalah
dengan cara menghitung setiap individu
pada area tersebut. Kelimpahan jenis
serangga sangat ditentukan oleh aktivitas
reproduksinya yang didukung oleh kondisi
lingkungan yang sesuai dan tercukupinya
kebutuhan sumber makanannya.
Kelimpahan dan aktivitas reproduksi
serangga di daerah tropik sangat dipengaruhi
oleh musim, karena musim berpengaruh
terhadap ketersediaan bahan makanan dan
kemampuan hidup serangga yang secara
langsung dapat mempengaruhi kelimpahan.
Setiap ordo serangga mempunyai respon
yang berbeda terhadap perubahan musim
dan iklim. (Odum, 1992). Keanekaragaman
merupakan perbedaan-perbedaan makhluk
hidup yang berbeda jenis (s keragaman
merupakan suatu gabungan antara jumlah
jenis dan jumlah individu masing-masing
jenis dalam satu komunitas. Perbedaan itu
dapat dijumpai pada sifat-sifat yang tampak
antara lain: bentuk, warna, fungsi organ,
tempat hidup dan lain-lain. Sedangkan
perbedaan yang dijumpai pada individu-
individu sejenis dinamakan variasi.
Keanekaragaman sangat dipengaruhi
oleh jumlah jenis dan jumlah total individu
jenis pada suatu komunitas. Untuk
mengetahui keanekaragaman suatu
komunitas ditentukan oleh kelimpahan
spesies yang terdapat pada komunitas
tersebut. Menurut Soetjipta (1993) suatu
komunitas dikatakan mempunyai
keanekaragaman jenis yang tinggi karena
komunitas itu disusun oleh banyak spesies
(jenis) dengan kelimpahan spesies yang
sama atau hampir sama. Sebaliknya jika
komunitas itu disusun oleh beberapa spesies
dengan jumlah individu masing-masing
spesies rendah maka keanekaragaman
jenisnya rendah.
Keanekaragaman ini erat kaitannya
dengan pola aktivitas serangga pada kondisi
keterikatan dengan faktor lingkungan. Hal
ini sejalan dengan pendapat Aditama dan
Kurniawan (2013) yang menyatakan bahwa
keberadaan serangga di alam dipengaruhi
oleh keberadaan faktor abiotik atau unsur
iklim sebagai komponen suatu ekosistem
meliputi suhu, intensitas cahaya,
kelembaban udara. Serangga merupakan
bagian dari keanekaragaman hayati yang
harus dijaga kelestariannya dari kepunahan
maupun penurunan keanekaragaman
jenisnya. Serangga memiliki nilai penting
antara lain nilai ekologi, endemisme,
konservasi, pendidikan, budaya, estetika,
dan ekonomi. Penyebaran serangga dibatasi
oleh faktor-faktor geologi dan ekologi yang
cocok, sehingga terjadi perbedaan
keragaman jenis serangga. Perbedaan ini
disebabkan adanya perbedaan iklim, musim,
ketinggian tempat, serta jenis makanannya.
Keanekaragaman serangga di semua
vegetasi baik vegetasi rumput, vegetasi
semak dan pohon maupun vegetasi tegakan
pohon memiliki kategori sedang berada pada
rentan indeks Shannon-Wiener 1-2. Pada
vegetasi rumput yaitu dengan nilai indeks
1,32 pada vegetasi semak dan pohon yaitu
dengan nilai indeks 1,33 dan pada vegetasi
tegakan pohon yaitu dengan nilai indeks
1,30.
Pada ketiga stasiun pengamatan
terdapat perbedaan iklim mikro lingkungan
berupa suhu udara, kelembaban udara dan
intensitas cahaya sehingga menyebabkan
serangga permukaan yang ditemukan
berbeda pula. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Suin (1997) bahwa keberadaan
populasi dalam suatu vegetasi juga
bergantung pada kerapatan vegetasi juga
bergantung pada suhu dan kelembaban.
J. A M P I B I 2 (1) hal. ( 1-10 ) Februari 2017
7 | P a g e
Eksistensi suatu organisme tergantung pada
suatu keadaan lingkungan yang rumit.
Perubahan lingkungan sangat
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.
Perubahan yang terjadi pada lingkungan
hidup manusia, menyebabkan adanya
gangguan terhadap keseimbangan, karena
sebagian dari komponen lingkungan
menjadi berkurang fungsinya. Perubahan
lingkungan juga dapat terjadi karena campur
tangan manusia, namun dapat pula terjadi
karena faktor alami (Odum, 1971).
Berdasarkan hasil analisis pada
vegetasi rumput memiliki indeks
keanekaragaman yang sedang 1,32. Salah
satu jenis serangga yang mendominasi yang
terdapat pada vegetasi rumput yaitu ordo
Diptera dan ordo Orthoptera dikarenakan
jumlah serasah yang sangat kurang dan
presentasi penutupan vegetasi yang rendah
bahkan tidak ada sehingga menyebabkan
faktor lingkungan yang tidak mendukung
keberadaan atau variasi beberapa spesies
serangga. Ordo Orthoptera dari jenis
belalang ini termasuk spesies yang sukar
didekati, tetapi jika terbang menghindar,
biasanya hanya pada jarak - jarak 5-6 meter.
Tampaknya spesies ini lebih menyenangi
hinggap di permukaan tanah, di rerumputan,
dibanding dengan hinggap dihelai daun-
daun tumbuhan dan serangga ini aktif
disiang hari (diurnal). Tingkat presentase
penutupan tajuk yang tinggi mempengaruhi
suhu tanah dan suhu udara yang masuk pada
vegetasi tersebut. Semakin rendah suhu
udara berarti presentase penutupan tajuknya
tinggi sehingga mengakibatkan rendahnya
intensitas cahaya yang masuk. Menurut
Susniati dkk., (2005) menyatakan bahwa
pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga
berbeda antara serangga yang aktif siang
hari dengan yang aktif pada malam hari.
Pada siang hari keaktifan serangga
dirangsang oleh keadaan intensitas maupun
panjang gelombang cahaya disekitarnya.
Sebaliknya ada serangga pada keadaan
cahaya tertentu justru menghambat
keaktifannya.
Pada vegetasi semak dan pohon
jumlah individu yang ditemukan yaitu 95
individu dengan indeks keanekaragaman
yaitu 1,33. Salah satu jenis serangga yang
mendominasi yang terdapat pada vegetasi
semak dan pohon yaitu famili Miridae
(Helopeltis sp.) sebanyak 9 individu.
Jumlah individu pada vegetasi semak dan
vegetasi tegakan yang relatif sama terkait
dengan bahan organik berupa serasah yang
melimpah sebagai sumber makanan atau
sebagai sarang dibandingkan vegetasi
rumput. Keanekaragaman vegetasi di hutan
alam menyediakan bahan organik berupa
serasah yang melimpah dan sangat
diperlukan oleh serangga sebagai sumber
makanan atau sebagai sarang.
Karakteristik biologis dari serangga
dipengaruhi terutama oleh suhu, kelembaban
relatif dan intensitas cahaya berbeda dengan
kelompok serangga yang memanfaatkan
cahaya matahari. Hal tersebut didukung juga
dengan kondisi vegetasi dalam hal ini
habitat serangga yang menurut Kamal dkk.,
(2011) melaporkan bahwa komponen
lingkungan (biotik dan abiotik) akan
mempengaruhi kelimpahan dan
keanekaragaman biota pada suatu tempat,
sehingga tingginya kelimpahan dan
keanekaragaman individu tiap jenis dapat
dipakai untuk menilai kualitas suatu habitat.
Pada vegetasi tegakan pohon yaitu
dengan nilai indeks keanekaragaman yaitu
1,30 dengan jumlah sebanyak 109 individu.
Jenis serangga yang mendominasi yang
terdapat pada vegetasi tegakan pohon yaitu
ordo Isoptera dan ordo Celeoptera. Jumlah
individu pada vegetasi semak dan vegetasi
tegakan yang relatif sama terkait dengan
bahan organik berupa serasah dan bahan
anorganik berupa sampah plastik yang
digunakan sebagai sumber makanan atau
sebagai sarang oleh serangga. Menurut
Jumar (2000) menyatakan bahwa kisaran
suhu yang ideal bagi serangga berada pada
rentan 150C-45
0C dengan suhu optimumnya
yakni 250C. Pada suhu optimum umumnya
serangga sangat melimpah karena
kecenderungan untuk berkembang biak.
Kemampuan serangga pada kisaran suhu
optimum dapa meningkatkan angka
reproduktif serta menekan angka kematian
dini. Kandungan uap air dan suhu
merupakan faktor yang paling penting yang
J. A M P I B I 2 (1) hal. ( 1-10 ) Februari 2017
8 | P a g e
mempengaruhi ekologi mahluk hidup
daratan. Perbedaan kecil dalam kandungan
uap air seringkali menentukan apakah
habitat tersebut sesuai atau tidak untuk
sebuah spesies. Batasan toleransi terhadap
uap air merupakan salah satu faktor penentu
utama dalam penyebaran spesies.
Kelembaban udara menyatakan besarnya
kandungan uap air yang terkandung dalam
udara.
Ordo Hymenoptera, Orthoptera,
Celeoptera dan Hemiptera merupakan ordo
yang memiliki spesies dan jumlah individu
paling banyak dijumpai selama penelitian.
Hal ini berkaitan dengan tempat hidupnya
pada berbagai kondisi baik basah maupun
kering dan mempunyai kemampuan
bergerak dan melompat dengan baik. Seperti
halnya dijelaskan pada Borror (1996) bahwa
jumlah jenis dan individu serangga dari ordo
Hymenoptera, Orthoptera, Celeoptera dan
Hemiptera lebih banyak ditemukan
dibandingkan dengan ordo yang lain. Hal ini
dapat disebabkan karena serangga tersebut
merupakan serangga yang umum dan
banyak jumlah familinya yang beraktivitas
di permukaan tanah.
Famili Papilionidae merupakan
serangga yang memiliki spesies dan jumlah
individu paling sedikit yang dijumpai ketiga
stasiun selama penelitian. Hal ini berkaitan
dengan tempat hidupnya pada berbagai
kondisi. Kelembaban adalah salah satu
faktor iklim yang sangat penting bagi kupu-
kupu. Pada umumnya kupu-kupu menyukai
habitat yang mempunyai kelembaban tinggi,
seperti lokasi-lokasi yang ada dipinggir
sungai, dibawah tegakan pohon yang
lembab karena berair. Kehidupan dan
aktivitas kupu-kupu sangat dipengaruhi oleh
suhu dan kelembaban udara. Kupu-kupu
akan mencari makanan berkisar pada suhu
30oC. Suhu tubuh kupu-kupu saat terbang 5-
10oC diatas suhu lingkungan. Pencarian
makanan pada suhu yang rendah akan
membutuhkan energi yang banyak
(Suwarno, 2007).
Kupu-kupu beraktivitas pada
kelembaban udara yang sedang sekitar 60%
karena dapat mengurangi resiko kekurangan
air akibat terik matahari sehinnga ordo Lepidoptera jarang dijumpai khususnya
pada vegetasi rumput Kelembaban udara
dan intensitas cahaya merupakan dua faktor
lingkungan yang juga mempengaruhi
aktivitas kupu-kupu dalam mencari
makanan. Kupu-kupu dan ulat menghindari
tempat yang kering dan mencari tempat dan
kelembaban yang tinggi untuk beristrahat.
Jenis serangga yang ditemukan di
ketiga vegetasi pada siang hari juga terdapat
pada malam hari. Sehingga jenis serangga
tersebut akan selalu ditemukan pada tiap
vegetasi walaupun intensitas cahaya setiap
vegetasi berbeda baik siang dan malam hari.
Hal ini sejalan dengan Sugiyarto dkk.,
(2002) menyatakan bahwa jika serangga
ditemukan baik pada penangkapan malam
maupun siang hari maka serangga tersebut
termaksud jenis hewan aritmis atau
krepuskular. kebanyakan hewan mempunyai
daur kegiatan sehari-hari yang nyata, dengan
kegiatan paling besar dimalam hari, pada
siang hari atau sekitar fajar dan senja
(krepuskular) daur kegiatan ini jelas
berkaitan dengan cahaya siang dan
kegelapan.
Serangga memiliki mobilitas yang
tinggi dan kemampuan adaptif terhadap
faktor lingkungan yang ada. Adanya aliran
sungai yang melintasi kawasan hutan diduga
berpengaruh terhadap jumlah jenis serangga
yang mengunjungi habitat ini dengan variasi
lebih beragam yang merupakan makanan
serangga. Selain itu, menurut Borror (1989)
kelimpahan populasi serangga pada suatu
habitat ditentukan oleh adanya
keanekaragaman dan kelimpahan sumber
pakan maupun sumber daya lain yang
tersedia pada habitat tersebut. Serangga
menanggapi sumber daya tersebut dengan
cara yang kompleks.
Keadaan pakan yang berfluktuasi
secara musiman akan menjadi faktor
pembatas bagi keberadaan populasi hewan
di suatu tempat oleh adanya kompetisi antar
individu. Sejumlah organisme bergantung
pada sumber yang sama, persaingan akan
terjadi. Persaingan demikian dapat terjadi
antara anggota-anggota spesies yang
J. A M P I B I 2 (1) hal. ( 1-10 ) Februari 2017
9 | P a g e
berbeda (persaingan interspesifik) atau
antara anggota spesies yang sama
(persaingan intraspesifik). Persaingan dapat
terjadi dalam mendapatkan makanan atau
ruang. Spesies yang bersaing untuk suatu
sumber tertentu tidak perlu saling
mengacuhkan. Organisme yang saling mirip
cenderung menempati habitat yang sama
dan membuat kebutuhan yang sama atas
lingkungan serta memodifikasi lingkungan
dengan cara yang sama. Persaingan diantara
hewan sering kali tidak langsung karena
daya geraknya. Tidaklah umum bagi hewan
bersaing untuk sumber yang sama dan
melanjutkan permusuhan langsung yang
menyebabkan pesaing cedera. Persaingan
intraspesifik pada hewan bertambah sering
bila populasi berkembang dan rapatannya
melebihi tingkat optimal.
Indeks keanekaragaman (H’)
serangga bersayap di kawasan hutan Nanga-
Nanga Papalia yang ditemukan secara
keseluruhan pada tiga vegetasi pengamatan
tergolong relatif sama yaitu sedang
disebabkan peningkatan aktivitas
masyarakat yang kini sedikit demi sedikit
khususnya kegiatan berladang dana
pembalakan. Aktivitas masyarakat seperti
yang dimaksud tentunya akan
mempengaruhi keberadaan organisme dan
tingkat keanekaragaman khususnya pada
kelompok serangga, dalam hal ini serangga
bersayap dimana seharusnya pada kawasan
hutan harus memiliki tingkat
keanekaragaman yang tinggi dengan adanya
daya dukung yang dibutuhkan oleh serangga
bersayap.
Jenis serangga yang ditemukan
memiliki daur hidup salah satunya famili
Muscidae Musca domestica (lalat)
merupakan insekta yang mengalami
metamorfosis yang sempurna, dengan
stadium telur, larva, kepompong dan
stadium dewasa. Hal ini menunjukkan
semua lalat mengalami metamorfosis
sempurna dalam perkembangannya.
Metamorfosis sempurna yang dialami lalat
adalah Stadium telur, stadium larva, stadium
kepompong dan terakhir stadium dewasa.
Siklus yang bervariasi ini bergantung pada
keadaan lingkungan perkembangbiakannya,
waktu yang dibutuhkan lalat menyelesaikan
siklus hidupnya dari sejak masih telur
sampai dengan dewasa antara 12 sampai 30
hari. Rata-rata perkembangan lalat
memerlukan waktu antara 7 sampai 22
haritergantung dari suhu dan makanan yang
tersedia (Hadi dkk., 2009).
Pada umumnya siklus hidup dan pola
hidup lalat rumah ini sama dengan siklus
dan pola hidup lalat pada umumnya, yakni
memerlukan suhu 300C untuk hidup dan
kelembaban yang tinggi, tertarik pada warna
terang sesuai dengan sifat fototrofiknya,
ukurannya yang berkisar 12-13 mm dan
seterusnya. Perbedaan dengan lalat jenis lain
yakni terletak pada beberapa bentuk
tubuhnya dan kebiasaannya tinggal.
Umumnya segala jenis atau spesies lalat
memiliki kecenderungan pola hidup dan
siklus hidup yang hampir sama. Namun
pada keadaan-keadaan tertentu dan tempat-
tempat tertentu ada lalat yang mampu
bertahan kuat dibandingkan dengan lalat-
lalat yang lainnya. Lalat yang merupakan
vektor pembawa penyakit dan merupakan
hewan pengganggu yang harus dikendalikan
sehingga perlu diketahui siklus dan pola
hidupnya agar mudah untuk dikendalikan.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan dikawasan hutan lindung Nanga-
Nanga Papalia baik pada vegetasi rumput,
vegetasi semak dan pohon dan vegetasi
tegakan pohon ditemukan serangga bersayap
tergolong dalam filum Arthropoda kelas
insekta yang terdiri dari 9 ordo yaitu
Hymenoptera (8 spesies), Lepidoptera (4
spesies), Diptera (3 spesies), Odonata (5
spesies), Celeoptera (3 spesies),
Orthoptera (6 spesies), Blattaria (1
spesies), Mantodea (1 spesies) dan
Hemiptera (6 spesies) dan 27 famili yaitu
Caenagrionidae, Libellulidae, Chlorocypidae, Cimbicide, Apidae, Tryphonidae, Ichneumonidae, Sphecidae, Acrididae, Phaneropteridae, Tetrigidae, Chrysomelidae, Cerambycidae, Meloidae, Miridae, Rediviidae, Cantharidae, Cecidomyiidae, Muscidae, Caliphoridae, Blattidae, Grillidae, Mantidae, Tettiginidae, Nymphalidae, Papilionidae, Hesperidae.
J. A M P I B I 2 (1) hal. ( 1-10 ) Februari 2017
10 | P a g e
Jumlah keseluruhan individu serangga yang
ditemukan dalam penelitian ini yaitu 358
individu dari 37 spesies serangga selama
tiga kali pengambilan sampel.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, analisis
dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan indeks keanekaragaman
serangga subkelas Pterygota di kawasan
hutan Nanga-Nanga Papalia termaksud
dalam kategori sedang yakni vegetasi
rumput 1,32, vegetasi semak 1,33 dan
vegetasi tegakan 1,30 dengan jumlah
keseluruhan vegetasi H’ yakni sebesar 1,48.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama CR, dan Kurniawan N. 2013.
Struktur komunitas serangga
nokturnal areal pertanian padi
organik pada musim penghujan di
Kecamatan Lawang, Kabupaten
Malang. Jurnal Biotropika. 1(4) :
186-190.
Borror DJ, Triplehorn CA, dan Johnson NF.
1996. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Edisi Keenam
(Terjemahan). Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Borror DJ, Triplehorn CA, dan Johnson NF.
1989. An Introduction to the Study
of Insects.7th edition. New York:
Saunders College Publishing.
Hadi M, Tarwotjo. U., Rahadyan. R. 2009.
Biologi Insekta (Entomologi).
Graha Ilmu. Yogyakarta.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka
Cipta. Jakarta.
Kamal M, Yustian I, dan Rahayu S. 2011.
Keanekaragaman jenis arthropoda
di Gua Putri dan Gua Selabe
Kawasan Karst Padang Bindu.
Jurnal Penelitian Sains. 14 (1): 33-
37.
Michael P. 1995. Metode Ekologi Untuk
Penyelidikan Ladang dan
Laboratorium. UI. Press. Jakarta.
Odum EP. 1971. Dasar-Dasar Ekologi Edisi
Ketiga. Gadjah Mada Univesity
Press. Yogyakarta.
Odum EP. 1992. Fundamentals of Ecology.
3rd Edition. W. B. Saunders Book
co. Philadelpia.
Soetjipta. 1993. Dasar-Dasar Ekologi
Hewan. Dirjen Dikti. Depdikbud.
Sugiyarto, Wijayah D, dan Rahayu SY.
2002. Biodiversitas. Hewan
permukaan tanah pada berbagai
tegakan hutan di sekitar Goa
Jepang, BKPH Nglerak, Lawu
Utara, Kabupaten Karanganyar. 1
(3).
Suin NM. 1997. Ekologi Hewan Tanah.
Bumi Aksara. Jakarta.
Susanto P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan.
Dirjen Dikti. Depdiknas.
Susniati N, Sumeno, dan Sudrajat. 2005.
Bahan Ajar Ilmu Hama Tumbuhan.
Universitas Padjajaran. Bandung.
Suwarno S. Salmah A. Hassan, dan Norani.
2007. Effect of different host plants
on the life cycle of papilio polytes
cramer (Lepidoptera : Papilionidae)
(Common Mormon Butterfly).
Journal of Bioscience.18 (1) : 35-
44.