Post on 10-Mar-2023
FETISHISME KOMODITAS DAN DESAIN DALAM
PERSPEKTIF BUDAYA POPULER
(Objek kajian: Deus ex machine custom bike)
Makalah sebagai UAS
Mata Kuliah Desain dan Kebudayaan
Oleh
FREDDY CHRISSWANTRA 27114028
PROGRAM STUDI MAGISTER DESAIN
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2014
I. PENDAHULUAN
Sudah menjadi kodrat manusia untuk memiliki rasa dan
cinta dalam mengagumi Tuhan dan ciptaan-Nya. Selain
itu, manusia juga memiliki kekaguman atas sesuatu
dikarenakan keindahan, kemampuan dan kekuatan pesona
dari suatu objek. Sehingga tidak mengherankan jika
manusia memuja dan mengidolakan serta menginginkan
objek tersebut menjadi miliknya dan merepresentasikan
dirinya menjadi apa yang manusia inginkan dihadapan
sesama manusia yang lain. Perilaku inilah yang disebut
sebagai fetishism. Untuk menjadi idola bagi
penggemarnya, sebuah objek harus mampu “menghipnotis”
dan membuai calon-calon penggemarnya dengan suatu
penawaran. Penawaran tersebut dapat dikategorikan
sebagai “performa” dari objek tersebut, apakah
bentuknya, materialnya, atau kegunaannya hingga pada
kebanggaan dari penggunanya. Pada titik inilah desain
memegang peranan yang sangat krusial. Desain menjadi
sebuah alat atau media yang dianggap mampu memberikan
nilai tambah pada suatu objek hingga memiliki persona
yang dikehendaki pada objek itu.
Oleh sebab itu pemujaan pada objek tidak akan bisa
lepas dari peranan desain. Desain pada tahap ini
membantu perwujudan dari suatu objek menjadi lebih
didambakan dan sesuai dengan keinginan dari calon
penggunanya. Desain mampu menggugah hati dengan tampil
dalam wujud objek yang disukai oleh umum sehingga kesan
objek tersebut dapat tampil sebagai pujaan atau
dambaan. Dampak dari pemujaan terhadap sebuah objek
hadir melalui kesepakatan bersama dari para dan calon
pemujanya. Kesepakatan ini hadir menjadi sebuah
penyeragaman baik dari segi ideologi maupun estetik
melalui sebuah komoditi (objek) yang dapat berujung
pada pembentukan budaya populer. Sebagai suatu kajian,
budaya populer merupakan konsep yang masih
diperdebatkan. Didefinisikan menurut berbagai kajian
dan sudut pandang, serta seringkali tumpang tindih
dengan apa yang disebut sebagai budaya massa (disukai
oleh umum).
II. PEMBAHASAN
2.1 FETHISISME KOMODITAS
Pernahkah membayangkan dan mengingat kembali pada
sesuatu atau seseorang yang membuat kita berpikir “
saya ingin menjadi sosok seperti itu atau andai saja
saya memiliki itu maka saya bisa….”? Mungkin setiap
orang pernah mengalami pada kondisi itu. Bayangan-
bayangan kesan tersebut muncul dihadapan kita
melalui berbagai media. Imej-imej tersebut kerap
kali “meracuni” pemikiran-pemikiran setiap individu
dengan tujuan mengajak untuk membeli atau
menggunakan komoditas tersebut. Pada akhirnya
timbulnya sebuah kesepakatan umum yang menyatakan
bahwa objek tersebut adalah simbolisasi dari sesuatu
yang didambakan seperti kegagahan, kecantikan,
keseksian atau apapun yang kita inginkan. Penjelasan
di atas merupakan salah satu contoh dari terjadinya
fetishisme komoditas.
2.2 TEORI FETISHISME KOMODITAS
Menurut Strinati dalam Jones (2010) yang dimaksud
dengan fetishisme komoditas adalah segala sesuatu
yang dimulai ketika kita meminjam kekuatan atau
pengaruh tertentu dari suatu objek yang kita pakai
atau beli dan jika pada proses peminjaman kekuatan
dari objek yang kita konsumsi tersebut terjadi, maka
detik itu pula hal tersebut telah menjadikan subyek
pelaku sebagai konsumen. Sebagai contoh ketika kita
membeli sepasang sepatu sepak bola mahal dengan
merek tertentu yang dipakai oleh seorang atlet sepak
bola dunia (melalui iklan) dan berpikir atau
membayangkan bahwa kita dapat bermain layaknya
bintang sepak bola tersebut saat bermain sepak bola.
Fenomena tersebut telah membuktikan terjadi
pergantian nilai antara nilai guna dengan nilai
tukar. Kita lebih menikmati dan memuja pada nilai-
nilai sugesti yang kita anggap hadir dari sepasang
sepatu daripada nilai guna sesungguhnya seperti,
kenyamanan, material yang digunakan, atau tehnik
produksi yang diterapkan.
2.3 DESAIN
Definisi desain menurut Jervis (1984) dalam Sachari
dan Sunarya (2002), secara etimologis kata desain
berasal dari kata designo (Itali) yang berarti gambar.
Sedangkan dalam dunia seni rupa di Indonesia, kata
desain kerapkali dipadankan dengan: rekabentuk, rekarupa,
tatarupa, rancangan, mode, fashion dan pelbagai kegiatan
yang berhubungan dengan kegiatan merancang dalam
arti luas (Sachari dan Sunarya, 2002).
Sedangkan menurut Yasraf dalam Walker (2010)
mendefinisikan desain berbeda dengan bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi yang mempunyai kesatuan
ilmu dan objek kajian yang relatif koheren dengan
ukuran pasti. Desain juga berbeda dari ilmu sosial
dan kemanusiaan yang lebih menaruh perhatian pada
kajian manusia dan masyarakat dan tidak terlau
banyak berurusan dengan dunia benda. Sebaliknya
desain berurusan dengan benda dan manusia sekaligus,
sehingga dalam kajiannya memerlukan pendekatan yang
lebih holistik dan kompleks.
2.3.1 PERAN DESAIN PADA FETISHISME KOMODITAS
Fetishisme komoditas berkaitan dengan awal
perkembangan desain, yang dipicu oleh peristiwa
revolusi industri di belahan dunia Eropa. Pada
masa itu, produk barang-barang kebutuhan yang
sebelumnya dikerjakan secara manual, kuantitas
produk terbatas dan harga mahal, diproduksi
secara masal dan berakibat pada barang konsumsi
tidak lagi menjadi hak khusus orang-orang berada
(Widagdo, 2000). Akibat produksi masal tersebut,
telah menciptakan produk barang kebutuhan yang
sangat berlimpah dengan kecenderungan bentuk
yang sama. Berdasarkan fenomena itu, maka para
industrialis memutar haluan, bahwa produk-produk
mereka harus memiliki kekhasan, pada momen
inilah desain mulai dianggap sebagai pembeda
dengan menampilkan penanda dan petanda sehingga
dapat dijadikan ujung tombak dari
industrialisasi dalam menciptakan citra produk
di mata calon konsumennya.
Desain saat ini erat kaitannya dengan dunia
industri. Desain dianggap sebagai ujung tombak
dari tampilan atau sistem dari suatu produk
(visual) yang akan diproduksi secara masal oleh
pelaku-pelaku industri sebagai komoditas dalam
lingkup bisnis. Desain juga diharapkan mampu
untuk menjawab kebutuhan konsumen (desire) dan
memberikan pengalaman yang unik kepada konsumen
yang berujung pada kepuasan konsumen. Dalam
proses pengembangan sebuah produk, desain
merupakan sebuah metode atau pendekatan yang
digunakan karena berada pada posisi irisan
antara market research, tehnik dan seni rupa.
Menerapkan desain pada sebuah objek berdampak
pada membawa objek menjadi lebih “dekat” kepada
calon penggunanya.
Melalui desain, fetishisme terhadap suatu objek
dapat dibangun, baik melalui reka bentuk, atau
komunikasi sebagai iklan. Desainer sebagai
pelaku rancangan dapat melakukan reka bentuk
yang ditujukan pada segmentasi pasar tertentu
dengan diperkuat oleh iklan yang ditujukan untuk
membangun sistem kesepakatan bersama bahwa objek
yang mereka rancang atau pasarkan merupakan
sebuah objek yang mampu memberikan nilai dambaan
dan sangat cocok bagi suatu komunal dalam
masyarakat.
2.4 DEUS EX MACHINA CUSTOM BIKE SEBAGAI FETISHISME
KOMODITAS.
Gambar 1 gambar objek dan pengguna dues ex machine custom bike
Sumber : http://www.deuscustom.com diakses pada 17 Desember 2014
Pada makalah ini, penulis mengambil objek motor
modifikasi karya dari deus ex machina (DEM) yang
berkedudukan di Bali sebagai objek kajian dari
bentuk fetishisme komoditas dan desain. Menggunakan
berbagai mediasi, DEM terus menerus mengisyaratkan
gaya hidup yang diusung olehnya. Gaya hidup
bersepeda motor bebas, mandiri, pemberontak namun
dikemas dengan desain yang kustom adalah nilai-nilai
yang ditawarkan kepada para penonton, penggemar dan
calon penggemarnya. Melalui gambar sosok wanita dan
pria dengan motor sebagai objek yang mengisyaratkan
dan menegasi kebebasan (terkesan tidak perduli) dan
keseksian yang baru sehingga memungkinkan untuk
memunculkan penikmat yang memiliki keinginan yang
sama.
Untuk mewujudkan kehendak tersebut, maka para
“penontonnya” pun sepakat bahwa mereka harus
memiliki atau mengendarai objek motor seperti itu.
Mereka yakin bahwa objek motor tersebut dapat
memberikan arti kebebasan, kegagahan, keseksian yang
sesungguhnya bagi mereka dari pada nilai fungsi.
Objek sepeda motor bukan lagi dilihat dari fungsi
sesungguhnya, yaitu sebagai moda transportasi,
tetapi lebih pada symbol representasi pemiliknya.
Pengendara sepeda motor DEM tersebut meyakini bahwa
dengan mengendarai sepeda motor itu akan membuat
mereka tampak sebagai seseorang yang didambakan oleh
lingkungannya karena kebebasan, kemandirian, dan
keseksian dirinya.
2.5 BUDAYA POPULER
Suatu kebudayaan lahir karena memiliki latar
belakang dan bisa dikatakan lahirnya budaya populer
karena kehadiran dari industri budaya, dimana dalam
industri budaya itu yang terjadi adalah
komersialisasi, sehingga proses yang berlangsung
dalam industri budaya adalah komodifikasi,
standarisasi serta masifikasi (Ristinawati, R.
2009).
Salah satu kategori dalam budaya popular adalah
budaya pop sebagai budaya massa. Pengertiannya
adalah budaya populer yang bukan berasal dari rakyat
atau kalangan masyarakat namun berasal dari desakan
kalangan tertentu yang memiliki tujuan komersial.
Dalam lingkup pengertian ini, budaya populer
mempunyai tujuan untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya melalui mekanisme pasar.
Budaya populer yang ditonjolkan merupakan perwujudan
relasi antar individu yang memiliki kesamaan
karakter (homogenitas) yang di dalamnya mengandung
simbol, nilai, ide dan perilaku individu dalam
lingkup industri.
Gambar 2 Pengaruh gaya DEM pada gaya berkendaraan masyarakat
sebagai contoh budaya populer (imitasi)
Sumber:
http://s479.photobucket.com/user/lilshot23/media/9B7E0262-D070-
42C1-A20D-208AB83CC8FB-16747-0000061C4B60F927.jpg.html diakses
pada 19 Desember 2014
Hal ini dapat ditilik dari eksistensi DEM yang
mengusung gaya berkendaraan yang baru. DEM telah
melakukan penetrasi terhadap komunal yang memiliki
kemungkinan akan kesamaan karakter dan nilai yang
telah ada sebelumnya namun belum muncul dan belum
terlihat eksistensinya. Penetrasi ini dapat dibilang
berhasil, terbukti dengan maraknya dan bermunculan
komunitas atau individu yang mengusung gaya
berkendaraan tersebut.
Gaya yang ditawarkan oleh DEM kepada masyarakat
sebenarnya merupakan imitasi budaya berkendaraan di
dunia Barat. Hal ini dapt tercermin dari gaya-gaya
yang diterapkan pada setiap karya motornya yang
menganut gaya-gaya jalanan ala barat. Namun untuk
jenis dan merek motor disesuaikan dengan yang sudah
ada sehingga berkesan lebih membumi dengan harapan
dapat diterima dengan baik oleh calon penggunanya di
Indonesia.
3. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa fetishisme komoditas dan desain memiliki
hubungan yang sangat dekat, jika fetishisme
komoditas adalah sebuah proses peminjaman “kekuatan”
tertentu dari sebuah objek hingga menjelma menjadi
sebuah bentuk “pemujaan” maka desain berperan dalam
memproduksi “kekuatan” dari suatu objek dengan
melakukan reka bentuk dan kekuatan komunikasi yang
dilakukan dalam skala industri budaya.
Setelah nilai-nilai objek tersebut diproduksi dan
didistribusi pada masyarakat dengan segementasi
tertentu maka tahap selanjutnya adalah menunggu
terjadinya kesepakatan bersama “homogenitas” yang di
dalamnya mengandung simbol, nilai, ide dan perilaku
individu dalam lingkup industri (perspektif budaya
populer). Storey (2010) mempertegas bahwa teks
ditarik mendekat buka agar penggemar bisa dimiliki
olehnya melainkan sebaliknya agar penggemar bisa
lebih penuh memilikinya. Hanya dengan
mengintegrasikan isi media kembali dalam kehidupan
sehari-hari mereka, hanya dengan keterlibatan yang
karib dengan makna dan materinya, para penggemar
bisa mengkonsumsi fiksi dan menjadikannya sebagai
sumber daya yang aktif.
REFERENSI
Walker, John A. (2010). Desain, Sejarah, Budaya Sebuah Pengantar Komperehensif. (cetakan pertama) . Yogyakarta: Jalasutra.
Sachari, Agus., Sunarya, Yan Yan (2002). Sejarah Dan Perkembangan Desan Dan Dunia Kesenirupaan Di Indonesia. Bandung: Penerbit ITB.
Storey, John. ((2010). Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. (edisi ke empat). Yogyakarta: Jalasutra.
Kellner, Douglas. (2010). Budaya Media Cultural Studies, Identitas, Dan Politik: Antara Modern Dan Postmodern. (edisi pertama). Yogyakarta: Jalasutra.
Widagdo. (2000). Desain Dan Kebudayaan (cetakan pertama). Bandung: Penerbit ITB.
Lawson, Bryan. (2007). Bagaimana Cara Berpikir Desainer. (edisi pertama). Yogyakarta: Jalasutra.
Strinati, D. (2010) The Theory of Commodity of Fetishism. In Jones, A., R. Fads, Fetishes, and Fun : A Sociological Analysis of Pop Culture (1st edition). (pp11-13). California: Cognella.