Post on 12-Jan-2023
Nasionalisasi Perusahaan Minyak Swasta Venezuela
sebagai bagian dari Gerakan Revolusi Bolivarian yang
dijalankan oleh Hugo Chavez
Oleh
FADHIL AKBAR KURNIAWAN
1110852004
Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas
Nasionalisasi Perusahaan Minyak Swasta di
Venezuela sebagai bagian dari Revolusi Gerakan
Bolivarian yang dijalankan Hugo Chavez
Latar Belakang
Jatuhnya rezim komunis pasca Cold War membawa perubahan yang
begitu signifikan terhadap tatanan sistem internasional. Uni
Soviet yang menjadi representasi dari negara super power dengan
ideologi komunis harus mengakui kedigdayaan Amerika Serikat yang
keluar sebagai pemenang dalam Cold War. Amerika Serikat mulai
meperluas pegaruhnya terhadap bekas bekas negeri komunis melalui
invasi dan operasi operasi intelijen rahasia. Kekuasaan Amerika
Serikat saat ini hampir mencapai 50% dari 500 (Multi national
Coorporation) dan bank bank terbesar di seluruh dunia dan juga
ratusan misi-misi militernya1. Namun, dominasi kekuasaan
imperialism Amerika Serikat mulai ditentang oleh beberapa negara,
seperti di Irak dan Afghanistan mulai bermunculan perlawanan oleh
gerakan rakyat terhadap invasi invasi yang dilakukan oleh Amerika
Serikat dengan terjadinya konflik konflik bersenjata. Saat ini,
gelombang perlawanan rakyat terhadap globalisasi neoliberal
diseluruh dunia mulai semakin meningkat.
Gelombang perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap hegemoni
AS juga terjadi di beberapa negara di kawasan Amerika Latin,
khususnya Venezuela. Dibawah kepemimpinan Hugo Chavez yang
belakangan menjadi sangat popular di kalangan rakyat jelata
Venezuela mulai terang-terangan menentang segala bentuk
imperialis yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Trry Lyn Karl
mengemukakan bahwa pada kasus Venezuela, minyak merupakan faktor
yang paling penting dalam menjelaskan pembentukan kondisi
struktural bagi kehancuran otoriterisme militer dan kelangsungan
suatu sistem yang demokratis2. Hal tersebut disebabkan minyak
merupakan komoditi vital yang secara universal paling dibutuhkan
dalam menjalankan mekanisme pasar.
1SERIAL, Perubahan Sejati Terbukti Bisa, Institut for Global of Justice, Jakarta 2006, hal 7
2Terry Lyn Karl, “Minyak dan Fakta Politik: Transisi Menuju Demokrasi di Venezuela”, dalam Guilermo
O’Donnell, et.Al, Jakarta :LP3ES, 1993,hal.300
Venezuela merupakan salah satu negara di kawasan Amerika
Latin dengan sumber kekayaan alam yang melimpah, terutama dalam
komoditi minyak bumi. Minyak bumi menjadi salah satu sumber
pendapatan devisa terbesar bagi Venezuela. Pada tahun 2003,
Venezuela menjadi negara pengekspor minyak bumi terbesar ke lima
di dunia dan terbesar ketiga bagi Amerika Serikat3. Selama dua
dekade pelaksanaan agenda neoliberalisme yang dilakukan oleh
Amerika Serikat di Venezuela berdampak terhadap semakin
terpuruknya perekonomian Venezuela. Hal tersebut berdampak
terhadap semakin meningkatnya pengangguran akibat dari banyaknya
perusahaan yang bangkrut dan melakukan PHK besar-besaran.
Hugo Chavez yang didukung oleh rakyat yang rata-rata berasal
dari golongan menengah ke bawah, menerapkan sebuah kebijakan
ekonomi yang anti terhadap neoliberalisme. Organisasi gerakan
rakyat yang menentang kebijakan kapitalisme di kawasan Amerika
Latin, khususnya di Venezuela disebut dengan Lingkaran Bolivarian.
Kebijakan yang diterapkan oleh Hugo Chavez diantaranya yaitu
dengan melakukan kontrol terhadap nilai tukar, prioritas ekonomi
yang berlandaskan terhadap nilai nilai keadilan4.
Chavez juga menerapkan kebijakan yang controversial yaitu
dengan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan minyak PDVSA
(Petroleos de Venezuela SA) yang merupakan salah satu asset
negara yang sebelumnya dikuasai oleh pemodal asing khususnya
Amerika Serikat. Venezuela menaikkan royalti terhadap setiap
barel minyak yang diekspor Venezuela dari 1% menjadi 17%, dan
juga pajak atas laba yang sebelumnya hanya 34% dinaikkan menjadi
50% serta mengajukan tagihan pajak yang belum dibayar kepada
perusahaan minyak asing. Keuntungan yang berlipat ganda dari
sektor migas tersebut dialokasikan untuk program-program
kesejahteraan sosial terhadap kaum miskin penduduk serta untuk
membangun infrastruktur seperti jalan raya dan juga rel kereta
api yang ada di Venezuela5.
Pada akhir Desember 2012, Hugo Chavez melakukan
nasionalisasi terhadap dua perusahaan minyak asing yang
beroperasi di Venezuela, yaitu ENI (Italia) dan TOTAL SA
(Perancis)6.
3Mathew Riemer, Economic Welfare’s New Resistance, dalam www.yellowtime.org, 4Wahid, Solahudin, Bangkitnya Kekuatan Amerika Latin Melawan AS, “The Jakarta Post”, edisi :Jakarta, 15 Agustus 2006 5Swhartz, Nelson D. “Oil’s Mr. Big”, 3 Oktober, 2005. Hal. 55-60 6Michelle Billig, “The Venezuela Oli Crisis: How To Secure America’s Energy”, in Foreign Affairs, Vol. 83,No.5, August 27, 2004, hal. 4
Nasionalisasi terhadap lapangan minyak yang dikelola oleh
pihak asing tersebut dijalankan oleh Venezuela dengan menerapkan
sistem manajemen baru yang mengandung unsur politik didalamnya,
yaitu meliputi perjanjian politik antara negara dengan
perusahaan7.
Selain itu, Pemerintahan Hugo Chavez juga mengharuskan
beberapa puluh perusahaan asing yang beroperasi di Venezuela
untuk meninjau kembali atau memperbaharui kontraknya. Chavez
mengancam, apabila maskapai-maskapai asing tersebut tidak
menyetujui perubahan perubahan kontrak yang diusulkan oleh
pemerintah, maka maskapai maskapai tersebut lebih baik mencari
keuntungan di negara lain. Sumber-sumber energi di Venezuela
mulai dicengkram secara ketat oleh Pemerintahan Hugo Chavez, dan
juga mengancam para maskapai internasional yang melawan kontrol
pemerintah atas sumber-sumber minyak yang menjadi milik bangsa,
sehingga menyebabkan tidak satupun perusahaan asing yang memiliki
saham mayoritas.
Untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya tersebut,
Pemerintah Venezuela siap menghadapi berbagai konfrontasi dan
kecaman dari berbagai perusahaan-perusahaan asing yang tidak
menyetujui kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Venezuela.
Venezuela mengeluarkan ancaman terhadap perusahaan asing yang
terlibat dalam konfrontasi semacam itu agar mereka tidak
dilibatkan dalam proyek-proyek minyak yang akan dating di
Venezuela. Sehingga pada akhirnya perusahaan-perusahaan Amerika
Serikat seperti Exxon, Chevron, Conoco Philips), juga perusahaan
Eropa (British Petroleum dan Statoil), serta sekitar 20
perusahaan asing lainnya, secara sukarela menyetujui tawaran
pemerintah Venezuela tersebut8.
Orinoco Belt Project yang sebelumnya dikontrol oleh enam
perusahaan asing (Conoco Philips, Chevron dan Exxon Mobile dari
Amerikas Serikat bekerjasama dengan BP dari Inggris, Statoil dari
Norwegia dan Total dari Perancis), pengelolaanya kemudian
dialihkan kepada perusahaan minyak negara Venezuela yaitu PDVSA,
yang akan mengendalikan sekurang-kurangnya 60% dari proyek
tersebut, dan keuntungan atas proyek tersebut akan dikembalikan
ke Venezuela. Orinoco Belt Project ini merupakan sebuah program
yang bertujuan untuk membangun salah satu cadangan minyak
terbesar dunia ang berada di Venezuela9.
8Ngadidjo, “Kebijakan Nasionalisasi di Venezuela di Bawah Hugo Chavez”, dalamwww.itmiwordpress.com, edisi 7 November 2007
9James Ingham,”Nationalization Sweep Venezuela”, dalam www.bbcnews.co.us, edisi 15 Mei 2007
Langkah nasionalisasi yang dilakukan Chavez merupakan
upayanya dalam mengembalikan semua aset strategis negara yang
dijual melalui proyek privatisasi oleh rezim pemerintahan pro-
liberalisme sebelum Chavez. Pada masa pemerintahan sebelum
Chavez, Venezuela dikenal sebagai negara yang sangat kooperatif
dengan negara negara maju, khususnya dengan Amerika Serikat (AS).
Pada masa jabatan Carlos A. Perez sebagai presiden Venezuela,
hubungan dengan AS berjalan dengan baik dikarenakan Venezuela
masih bergantung dalam soal persenjataan bagi angkatan
bersenjatanya. Sampai jatuhnya pemerintahan Perez dikarenakan
kasus korupsi, maka ditunjuklah Ramon Velasquez sebagai presiden
sementara di Venezuela, ternyata ia juga menjalin hubungan baik
dengan AS terutama dalam pemberantasan jalur perdagangan
narkotika. Tidak berbeda dengan pendahulunya, Caldera Rodriguez
juga meningkatkan hubungan dengan AS, yang terlihat dengan adanya
berbagai pertemuan antara kedua negara untuk membahas upaya
peningkatan hubungan bilateral, khususnya dalam bidang ekonomi
dan perdagangan. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan
keadaan Venezuela pada pemerintahan Hugo Chavez.
Dalam menjalankan politik luar negerinya yang anti-
amerikanisme Presiden Hugo Chavez menggariskan politik luar
negeri dengan prinsip independensi Venezuela dan melawan campur
tangan Amerika Serikat dan turut berpartisipasi dalm pembentukan
dunia yang berdasar multipolar yaitu pendekatan dengan Eropa10.
Chavez menawarkan minyak pemanas murah kepada warga Eropa
berpenghasilan rendah untuk membantu mereka melewati musim
dingin. Chavez menyampaikan tawaran tersebut dalam pidato kepada
lebih dari seribu aktivis sayap-kiri di Wina. Dalam rangka
terciptanya dunia yang multipolar inilah Hugo Chavez mendorong
terbentuknya komunitas Amerika Latin dan menganjurkan perlawanan
terhadap neo-liberalisme. Dalam rangka ini pula Venezuela
memainkan peran aktif dalam proyek pembangunan sistem penyiaran
televise Amerika Latin yang diberi nama “Telesur” yang berpusat
di Caracas. Stasiun tersebut menjadi corong penting untuk gagasan
integrasi Amerika Latin yang dicita-citakan Hugo Chavez dengan
Bolivarianismenya11.
10Bangkitnya Sosialisme di Amerika Latin http://amerikalatin.blogspot.com/206/06/bangkitnya-sosialisme-di-amerika-latin.html
11Robert E. Qurik, Poros Setan: Kisah Empat Presiden Revolusioner, hal.191
Pada dasarnya modal yang dimiliki Venezuela dalam menentang
pengaruh As, dikarenakan Venezuela memiliki ccadangan minyak
terbesar di belahan bumi barat, Sikap keras Chavez menentang
kebijakan AS yang merugikan rakyat Venezuela didukung luas tidak
hanya dari rakyat Venezuela saja, bahkan beberapa negara kawasan
Amerika Latin lainnya seperti Kuba dan Bolivia.
Rumusan Masalah
Revolusi Bolivarian semakin bergema di dunia internasional
semenjak munculnya Hugo Chavez dengan kebijakan kebijakannya yang
menentang hegemoni Amerika Serikat di Venezuela, khususnya dalam
hal menasionalisasikan perusahaan perusahaan minyak swasta milik
Amerika Serikat. Dimana kebijakan politik yang diambil Hugo
Chavez dilandaskan terhadap upaya dalam mengembalikan hak-hak
ekonomi, politik, dan kebudayaan pada rakyat Venezuela. Dengan
merebut kembali aset-aset dan sumber daya ekonomi dari tangan
pemodal asing, yang selama ini digunakan untuk menumpuk kekayaan
dan kepentingannya sendiri. Hal ini menjadi sangat menarik bagi
penulis untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari Bolivarianism
yang dianut oleh Hugo Chavez dalam mengubah keadaan yang ada di
Venezuela.
Pertanyaan Penelitian
Apa pengaruh dari Revolusi Bolivarian terhadap kabijakan
Chavez untuk menasionalisasi Perusahaan Minyak Swasta di
Venezuela ?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguak kebenaran
dan faktor yang mempengaruhi mengapa muncul tindakan Hugo Chavez
menasionalisasikan perusahaan minyak swasta di Venezuela dan
mengetahui andil dari Hugo Chavez atas kemajuan dari Venezuela
dengan gerakan Revolusi Bolivariannya.
Kajian Pustaka
Dalam Jurnal Ilmiah SERIAL (Solidaritas Rakyat Indonesia
untuk Alternatif Amerika Latin) yang bertemakan “Perubahan Sejati
Terbukti Bisa” Institute for Global Justice, tahun 2006, yang
menjelaskan mengenai perubahan kebijakan Amerika Latin khususnya
Venezuela yang melakukan perlawanan terhadap Amerika Serikat.
Selain itu, juga dijelaskan mengenai permasalahan internasional
mengenai kawasan Amerika Latin, dengan dipelopori oleh Kuba,
Venezuela dan Bolivia. Ketiga negara tersebut menjadi pusat
perhatian dunia dalam perjuangan bersama-sama menentang neo-
liberalisme, dan neo-kolonialisme yang dilakukan oleh Amerika
Serikat terhadap negara-negara berkembang yang mempunyai sumber
daya alam yang melimpah. Dominasi imperialisme Amerika Serikat
ini mulai ditentang dan dilawan oleh ebebrapa negara di dunia,
seperti Afghanistan dan Irak.
Gelombang perlawanan rakyat di dunia terhadap globalisasi
neoliberal mulai semakin meningkat sehingga menimbulkan konflik
konflik bersenjata. Di Amerika Latin saja terjadi beberapa
perlawanan yaitu di Venezuela pada tahun 2001-2001, di Argentina
tahun 2001, di Peru tahun 2002, di Bolivia tahun 2000, 2003, dan
2000, dan di Equador pada tahun 2000 dan 2005. Gelobang
perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap hegemoni AS juga
terjadi pada masa kepemimpinan Chavez yang sangat popular di
kalangan rakyat jelata Venezuela. Ia secara terang-terangan
menentang segala bentuk imperialis yang dilakukan oleh Amerika
Serikat. Sangat bertolak belakang dengan kepemimpinan sebelum
Chavez, yang dipimpin oleh Carlos Andrea Perez yang dikenal
sangat dekat dengan Amerika Serikat.
Pihak oposisi pemerintah Perez menyebut Perez sebagai
komperador atau sebutan bag seseorang yang menjadi kaki
tangan/mengikuti kebijakan orang lain. Segala kebijakan ternyata
tidak berpihak terhadap rakyat Venezuela, melainkan lebih tunduk
dalam segala desakan atau kebijakan dari pemerintah AS.
Tulisan selanjutnya, Steve Ellener dalam “Rethinking
Venezuelan Politics, Class, Conflict, and the Chavez Phenomenon,
Lynne Rienner Publisher”, yang membahas mengenai upaya yang
dilakukan oleh Hugo Chavez dalam melakukan nasionalisasi di
Venezuela. Chavez mengorganisir Pergerakan Bolivarian
Revolusioner (Revolutionary Bolivarian Movement-MBR 200).
Pemberontakan yang dipicu oleh peristiwa Caracazo 1989 yaitu
pemogokan rakyat melawan kenaikan harga BBM dan kebijakan
pendidikan yang merugikan rakyat yang hanya menjadi agenda
kebijakan dari neo-liberal. Gerakan ini mengalami kegagalan, yang
disebabkan pada saat itu rakyat belum terpimpin. Chavez pada saat
itu ditangkap, namun menjadi sosok yang popular di tengah tengah
rakyat. Gerakan tersebut menjadi salah satu investasi olitik bagi
perubahan untuk kedepannya, terutama dalam hal menyatukan massa
untuk bergerak. Selepas Chavez keluar dari penjara dan semakin
populer di kalangan masyarakat Venezuela, partainya yaitu
“Pergerakan untuk Republik ke Lima” (The Movement for a Fifth
Republic) memenangkan pemilu pada tahun 199912.
Di Amerika Latin, rakyat selalu memahami satu prinsip, yaitu
“El pueblo unidohama serra fencido”, yang berarti rakyat bersatu
tidak dapat dikalahkan. Dengan semangat kerjasama, lingkaran
Bolivarian di bawah Chavez memberikan tempat bagi solidaritas
dalam hubungan antar manusia dan antar kelompok. Mereka membangun
kesatuan ekonomi baru, dibiayai oleh negara untuk menciptakan
pembangunan.
Tulisan selanjutnya, Harold Molineu dalam U.S Policy Toward
Latin America; From Regionalism to Globalism Westview Press, San
Fransisco 1990, yang menjelaskan kepentingan Amerika Serikat di
wilayah Amerika Latin. Wilayah Amerika Latin memiliki nilai-nilai
yang sangat strategis dan menguntungkan bagi Amerika Serikat.
Adapun beberapa poin yang dinilai di Amerika Latin, antara lain,
yaitu :
1. Letak geografis wilayah Amerika Latin
2. Pengaruh Amerika Latin bagi posisi Amerika Serikat di dunia
Internasional
3. Hasil-hasil sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh
negara-negara Amerika Latin
4. Ikatan tradisional dan keterikatan terhadap wilayah
5. Tingginya tingkat investasi dan perdagangan terhadap wilayah
ini
6. Nilai-nilai kemanusiaan
12Steve Ellener, Rethinking Venezuelan Politics, “Class, Conflict, and the Chavez
Phenomenon”, Lynne Rienner Publisher, 2005
Dari poin-poin tersebut dapat dilihat kepentingan Amerika
Serikat, yang terdiri atas:
1. Letak geografis wilayah Amerika Latin merupakan kepentingan
keamanan.
2. Pengaruh Amerika Latin bagi posisi Amerika Serikat di dunia
Internasional adalah kepentingan politik, dan
3. Sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh negara-negara
Amerika Latin merupakan kepentingan ekonomi.
Bagi negara yang memiliki pengaruh besar seperti Amerika
Serikat, wilayah Amerika Latin merupakan kawasan yang memiliki
nilai-nilai strategis dan menguntungkan. Hubungan Amerika Serikat
dan Amerika Latin telah terjalin sejak lama, hal ini terlihat
dari dukungan Amerika Serikat terhadap perjuangan kemerdekaan
Amerika Latin yang dilakukan oleh Simon Bolivar13.
Selanjutnya, Michelle Billig dalam bukunya “The Venezuelan
Crisis: How To Secure America’s Energy in foreign Affairs”,
August 27, 2004, yang menjelaskan bahwa nasionalisasi Perusahaan
Minyak Asing di Venezuela oleh Hugo Chavez. Pada tahun 2001
menasionalisasi PDVSA (Petroleos de Venezuela SA) yang awalnya
dikuasai oleh konglomerat swasta. Dengan nasionalisasi PDVSA
semakin mengukuhkan eksistensi Hugo Chavez dalam politik di
Amerika Latin khususnya dan di dunia umumnya. Hugo Chavez
melakukan tindakan yang sangat berani mengenai optimalisasi
potensi minyak yang dimiliki negara Venezuela. Keyakinan bahwa
Venezuela merupakan negara penghasil minyak terbesar kelima dunia
dan diperkuat dengan pendapat dari berbagai kalangan dalam
industry minyak, bahwa Venezuela akan melampaui Saudi Arabia,
mendorong Chavez untuk melakukan nasionalisasi terhadapa
perusahaan minyak asing yang beroperasi di Venezuela. Pada akhir
Desember 2002, Hugo Chavez melakukan nasionalisasi terhadap 2
lapangan minyak di Venezuela yang dikelola oleh investor asing,
yaitu : TOTAL SA (Perancis) dan ENI (Italia)14.
13Harold Molineu, U.S Policy Toward Latin America; From Regionalism to GlobalismWestview Press, San Fransisco. 1990 14Michelle Billing dalam bukunya “The Venezuelan Oil Crisis: How To Secure America’sEnergy in foreign Affairs”, Vol. 83 No.5, August 27, 2004
Kebijakan nasionalisasi yang dilakukan oleh Hugo Chavez
membawa dampak yang positif terhadap masyarakat Venezuela, dengan
pemberlakukan nasionalisasi pemerintah Venezuela dapat mengelola
sendiri sumber daya minyak yang dimilikinya demi kebutuhan
masyarakat. Dengan dana dari hasil nasionallisasi Chavez mampu
membangun sebuah gerakan ekonomi rakyat mandiri dengan 70.000
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dari jumlah semula yang hanya
sebanyak 762 BUMN ketika Chavez baru pertama kalinya naik menjadi
presiden Venezuela.
Selanjutnya, tulisan dari Jurnal Sosial Demokrasi yang
berjudul “Belajar dari Sosialisme Baru Amerika Latin: INDONESIA
BARU”, edisi Oktober – Desember 2008, Vol.4, No.1. Bangkitnya
kekuatan rakyat dan tampilnya para pemimpin berhaluan “kiri” dan
“kiri-tengah” di kawasan ini, kerap disebut para pengamat sebagai
jalan “sosialisme baru” Amerika latin. Dimana slogan yang
disampaikan Hugo Chavez yang mengemuka ketika masyarakat dunia
menyaksikan dinamika politik dan perubahan sosial berlangsung
intens di negara-negara kawasan Amerika Latin, yang berbunyi
“Bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus berikan
kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi
pada si miskin” (Hugo Chavez, 2005)15.
Ted Sprague (2008), memaknai sosialisme abad ke 21 yang
dipopulerkan oleh Chavez tersebut sebagai versi baru sosialisme
yang telah terbebas dari distorsi Stalinisme. Perspektif lain
menyebutkan, sosialisme abad 21 yang tampil di kawasan Amerika
Latin adalah sosialisme demokratik, dimana perjuangan untuk
mencapai panggung politik kekuasaan negara dilakukan melalui
arena politik electoral, bukan melalui sebuah revolusi
proletariat seperti yang dianjurkan oleh Marx. Ada pula sebagian
pengamat yang menyatakan bahwa sosialisme abad 21 ala Amerika
Latin merupakan gerakan sosialisme genuine, yan bercirikan
tradisi penduduk asli Amerika Latin, bukan praktik sosialisme
yang diimpor dari Eropa, dank arena itu terbebas dari kecongkakan
ras kulit putih.
Terpilihnya beberapa politisi dan aktivis politik “kiri” di
berbagai negara di kawasan Amerika Latin yang mempromosikan
agenda anti-neoliberalisme sebagai presiden merupakan bukti nyata
kebangkitan sosialisme Amerika Latin. Mayoritas politisi dan
aktivis politik di negara-negara ini memenangkan suara dalam
mekanisme politik electoral, dengan perolehan suara rata-rata di
atas 40 persen. Maereka yang naik ke panggung kekuasaan negara-
negara di Amerika Latin, antara lain adalah Presiden Venezuela,
Hugo Chavez (1998), Presiden Brazil, Luis Ignacio “Lula” da Silva
(2001); Presiden Argentina Nestor Kirchner (2003, yang beberapa
waktu setelahnya digantikan isterinya, Christina Fernandez);
Presiden Uruguay, Tabarez Vasquez (2005); Evo Morales, Petani
koka miskin yang terpilih sebagai Presiden Bolivia (2006);
Michelle Bachelet, aktivis Partai Sosialis, menjadi Presiden
Chili (2006); tokoh revolusioner lama Nikaragua, Daniel Ortega,
yang kemballi ke panggung kekuasaan negara sebagai Presiden
Nikaragua (2006), Rafael Correra, ekonom dan doctor ekonomi
lulusan Amerika Serikat, yang terpilih sebagai Presiden Ekuador
(2007), dan Fernando Lugo, Presiden Paraguay (2008). Dan, dalam
gembong tersebut, terdapat tokoh “kiri” yang menjadi kuncen
Amerika Latin, presiden Kuba, Fidel Castro. Pemimpin revolusioner
Kuba yang telah lebih dari 30 tahun menghadapi berbagai
“serangan” AS terhadap diri dan pemerintahannya ini, kini secara
resmi telah digantikan oleh adiknya, Raul Castro15.
Para pemimpin Amerika Latin yang berhaluan “kiri” yang
terpilih melalui pemilu demokratis di masing-masing negaranya,
kini terus berjuang untuk memperkuat bangunan blok oposisi
terhadap Washington yang mempromosikan kebijakan “pasar bebas”.
Konsensus Washington yang berisi kebijakan pengetatan anggaran
publik, liberalisasi keuangan dan perdagangan, mendorong
investasi langsung asing, privatisasi BUMN, reformasi pajak,
disiplin fiscal, pengendalian deficit anggaran, dan seterusnya,
dianggap sebagai salah satu biang keladi dari kian terperosoknya
kehidupan ekonomi dan sosial negara-negara di kawasan Amerika
Latin ked alam kubangan kemiskinan, pengangguran, dan tumpukan
utang luar negeri. Ada 3 elemen utama dari “Kiri” Amerika Latin
yang bisa kita catat, yakni; (a) adanya komitmen yang kuat, baik
secara ideologis maupun politis, upaya untuk mempromosikan
egalitarianism; (b) ada keinginan yang besar untuk menjadikan
“negara” sebagai pengimbang kekuatan pasar; dan (c) penekanan
pada partisipasi rakyat (popular participation).
15Jurnal Sosial Demokrasi, “Belajar dari Sosialisme Baru Amerika Latin: Indonesia Baru”, edisi
Oktober – Desember 2008, Vol.4, No.1, hal 1
Kerangka Dasar Teori
Nasionalisasi
Dalam usaha peningkatan kesejahteraan, negara perlu
melakukan nasionalisasi ‘expropriation’, yang sudah tentu
menimbulkan pertanggung jawaban negara. Nasionalisasi merupakan
pengambilalihan perusahaan asing yang kemudian menjadi milik
nasional atau negara yang dikuasai oleh pemerintah untuk
penerapan kebijaksanaan ekonomi negara. Nasionalisasi merupakan
tindakan yang sangat penting dan berpengaruh terhadap negara.
Nasionalisasi dulu sering dilakukan oleh negara negara komunis
yang dipelopori Uni Soviet, Negara negara Asia-Afrika dan negara
negara Eropa Barat. Hal ini dianggap sebagai syarat esensial
untuk pelaksanaan pembangunan dan dalam kepentingan ekonomi dan
kepentingan sosial Negara16.
Ada beberapa alasan mengapa nasionalisasi dilakukan, dikutip
dari buku Hukum dan Hubungan Internasional, oleh M. Burhan Tsani,
yaitu :
1. Nasionalisasi adalah untuk memenuhi dana Negara guna
melangsungkan aktifitas kesejahteraan sosial yang disebabkan
tidak adanya penghasilan negara yang memadai.
2. Kebijakan negara menghendaki dilakukan nasionalisasi.
3. Perusahaan asing dianggap hanya merupakan pengaliran devisa
kenegara asing, dan reatriasi keuntungan kenegaranya.
4. Kecurangan terhadap aktifitas bisnis dan menggunakan hal itu
sebagai pijakan. Negara penjajah dalam menguasai jajahan,
perusahaan asing, perusahaan multinasional.
5. Nasionalisme sebagai uapaya untuk menghasilkan pemerintahan
yang colonial, sebagai perusahaan asing merupakan wujud
terakhir kolonialisme.
Sebuah negara yang berdaulat mempunyai hak yang sah atas
pengambilan kebijakan nasionalisasi dan mempunyai hak inheren
alam penanganan harta maupun usaha yang ada di wilayahnya sesuai
dengan hukum yang berlaku. Jika tidak ada perjanjian
internasional atau jaminan pemerintah terhadap modal asing,
negara bebas menasionalisasi harta kekayaan asing
16M. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional (Yogyakarta: Liberty,1990)halm.51
Manapun dengan pembayaran kompensasi. Dalam kasus ini, yang
paling berkenan dalam alasan nasionalisasi adalah kebijakan
negara yang menghendakinya. Negara bebas menasionalisasi sehingga
apaun alasannya, keputusan itu bisa dilaksanakan, baik oleh
pemimpin atau presiden, ataupun pemerintah.
Dependence Theory
Dalam konteks global, teori ini hendak menjelaskan mengenai
persoalan kemunduran dari negara-negara bekas jajahan yang berada
di Dunia Ketiga. Teori ini berbeda dengan teori imperialism yang
melihat hubungan antar negara kuat dan lemah dari segi perspektif
negara penjajah, sedangkan teori dependensi memandang persoalan
dari perspektif negara yang dijajah.
Teori dependensi melihat dengan adanya pembagian negara oleh
Wallerstein dalam “Worl System Theroy” yaitu core, semi phery
phery dan phery phery, terjadi sebuah eksploitasi oleh elite lit
negara phery phery yang menyebabkan negara negara tersebut
ketergantungan terhadap negara maju.
Dependence theory mengajukan argument bahwa para penanam
modal asing hanya tertarik pada sektor-sektor ekonomi yang
dinamis di negara pinggiran. Teori ini juga menawarkan agar
negara negara pinggiran tersebut menjalankan strategi sendiri,
tanpa adanya campur tangan asing. Teori ini juga
menginterpretasikan fenomena pembangunan yang mengalami distorsi
yaitu, membandingkan pola perkembangan ini dengan suatu model
ekonomi yang tumbuh lambat tapi merata, berimbang, terintegrasi
dan homogen. Bukannya dalam bentuk kediktatoran, penetrasi asing
dalam bentuk investasi yang padat modal yang mengurangi kebutuhan
akan tenaga buruh dalam jumlah yang besar. Semakin besar jumlah
tenaga kerja yang menganggur, maka semakin besardesakan
merendahkan tingkat upah buruh, karena buruh yang menuntut
terlalu banyak akan mudah diganti.
Realisme
Penulis melihat permasalahan ini dari perspektif Realis,
dimana suatu negara seharusnya tidak bergantung terhadap negara
lain untuk dapat bertahan dalam lingkungan tatanan internasional
yang bersifat “anarchy”. Suatu negara memiliki kepentingan yang
sangat besar mengenai “power”, dimana hamper semua negara
mengarahkan untuk mengukuhkan posisinya dalam konteks
menyeimbangkan kekuatan dengan pihak lainnya. Menurut Thomas
Hobbes (1588-1679) dalam bukunya “Leviathan”, suatu negara
merupakan suatu instrument yang digunakan individu-individu untuk
mencapai sebuah keadaan yang aman. Negara memiliki kewajiban
untuk melindungi dan menyejahterakan individu-individu yang
berada dibawah naungannya.
Selain itu, Hobbes juga menjelaskan mengenai “Negara yang
Berdaulat” merupakan negara yang mampu menjaga wilayah
teritorrialnya beserta etnis didalamnya dari kekuasaan asing, dan
juga mampu untuk berdiri sendiri dengan memaksimalkan kemampuan
yang ada didalam negara tersebut.
Hal tersebutlah yang juga dilakukan oleh Hugo Chavez, untuk
mengembalikan ketimpangan posisi antara Venezuela dan Amerika
Serikat beserta negara maju yang berinvestasi di Venezuela. Hugo
Chavez mencoba menjadikan kemampuan sumber daya alam yang
melimpah di Venezuela khususnya minyak sebagai “kekuatan” untuk
dapat mencapai kepentingan nasional Venezuela agar mampu bertahan
dalam tatanan internasional.
Gerakan Revolusi Bolivarian yang dijalankan Hugo Chavez
Hugo Chavez merupakan seorang mantan ketnan colonel militer,
yang pergerakannya didasarkan pada filosofi dan ideology dari
Simon Bolivar. Simon Bolivar merupakan seorang pembebas besar di
Amerika Selatan, yang berusaha untuk menyatukan benua agar
menjadi kekuatan besar melawan kekuatan kapitalisme. Gerakan
Chavez berusaha untuk menerapkan ide-ide serupa dengan mendorong
unifikasi politik di kawasan Amerika Selatan melalui penciptaan
yang berdaulat dan blok ekonomi yang kuat. Konsep tersebut
diterima dengan baik oleh rakyat dikarenakan penderitaan rakyat
akibat dari sebuah agenda neoliberal yang telah melumpuhkan
ekonomi dan peningkatan kemiskinan secara drastic. Sehingga
konsep tersebut dinamakan Revolusi Bolivarian.
Dalam mengimplementasikan gerakan Revolusi Bolivarian,
Chavez dan para pendukungnya melakukan perubahan undang-undang
(konstitusi) Venezuela guna menjamin berjalannya revolusi di
Venezuela. Dibawah kepemimpinannya, Revolusi Bolivarian telah
melahirkan konstitusi baru yang menjadi landasan konstitusional
bagi kebijakan-kebijakan yang membawa perubahan structural di
Venezuela.
Konstitusi Venezuela disusun pada tahun 1999 oleh Majelis
Konstitusional yang dipilih melalui referendum rakyat. Konstitusi
1999 diadopsi pada bulan Desember 1999 yang menggantikan
konstitusi 1961. Konsekuensi pertama dari konstitusi 1999 adalah
perubahan nama resmi Venezuela menjadi “Republik Bolivarian
Venezuela”17. Perubahan signifikan terlihat dari upaya pemisahan
kekuasaan (separation power). Hal ini menggantikan tiga cabang
pemerintahan dalam bentuk republik lama, dimana Republik
Bolivarian Venezuela memiliki lima cabang pemerintahan, yaitu
cabang eksekutif (the Presidency), cabang legislatif
17Nurani Soyomukti, Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal (Yogyakarta: Resist Book,
2007), hlm.105
(The National Assembly), cabang yudisial (the judiciary), cabang pemilihan
(electoral power), cabang kewarganegaraan (citizens’ power).
Chavez melakukan reformasi struktur pemerintahan melalui
Konstitusi 1999 dengan menambah lama masa jabatan presiden dari 4
tahun menjadi 6 tahun dan masa jabantan presiden paling lama dua
kali periode. Reformasi juga dilakukan pada Majelis Nasional yang
sebelumnya bersifat bikameral menjadi unicameral dengan
menghilangkan kekuatan lembaga legislative sebelumnya. Sehingga
Majelis Nasional yang baru mempunyai satu kamar (singe chamber)
dengan merubah susunan lama sebelumnya yang memiliki dua kekuatan
(bidang) kekuasaan legislatif antara Bidang Deputi (Chamber Of
Deputies) dan Senat. Selain itu, kekuasaan cabang-cabang
legislative dikurangi dan diberikan kepada presiden. Perubahan
konstitusi yang dilakukan Chavez memperlihatkan bahwa Chavez
ingin mempertahankan kekuasaannya dan menjamin berjalannya proses
Bolivarian di Venezuela.
Masyarakat Venezuela melihat kontradiksi yang timbul dari
imperialis yang menjadi sebab-sebab ketertindasan ekonomi,
ketidakadilan, yang membuat masyarakat memandang sistem ini penuh
dengan masalah, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa
neoliberalisme AS memang masih sangat berkuasa di dunia saat ini.
Penggunaan cara-cara perang (hard power) yang merupakan cara
Amerika Serikat dalam mencapai tujuannya menjadikan pemikiran
bagi banyak negara. Gelombang anti Amerikanisme ditandai dengan
berbagai macam gerakan yang dilakukan oleh para aktivis. Sentimen
anti Amerikanisme paling kuat salah satunya berasal dari Amerika
Latin, khususnya Venezuela.
Revolusi Venezuela ingin membuat perubahan positif, membuat
suatu (sistem) alternatif menjadi mustahil dan menggugat apa yang
dianggap oleh perspektif dominan sebagai akhir dari sejarah.
Seiring perlawanan terhadap neoliberalisme di banyak tempat di
dunia, perluasan alternative Venezuela telah menjadi sebuah isu
besar diantara gerakan sosial: suatu alternative yang
mengembalikan revolusi dan sosialisme ke dalam agenda perjuangan
rakyat18.
Revolusi Venezuela dilakukan melalui proses pemindahan
kekuasaan ke tangan rakyat (dengan demokrasi langsung dan
partisipatif) serta mendistribusi kepemilikan pribadi (baik
secara bertahap maupun simultan) yang membuka jalan bagi
sosialisme abad 21.
18Nurani Soyomukti, Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal (Yogyakarta: Resist Book,
2007), hlm.158.
Sosialisme ini harus sanggup member jawaban kongkret bagi
kemajuan tenaga produktif yang telah dihancurkan oleh kapitalisme
di banyak negeri di dunia ketiga; meningkatkan produktivitas
rakyat yang selaras dengan keberlanjutan lingkungan,
memperjuangkan suatu demokrasu langsung yang partisipatif untuk
membangkitkan kesadaran rakyat atas kekuatannya sendiri untuk
mengatur negara dalam kehidupannya.
Proses revolusioner yang menempatkan Chavez di Venezuela
dengan konsep Sosialisme Abad 21 nya sebagai suatu pilihan
tandingan dari Bush di Washington dengan konsep
Neoliberalismenya,, bersamaan dengan kemajuan di Kuba, Bolivia,
dan Ekuador, yang telah menginspirasi banyak kekuatan demokratik
dan revolusioner di seluruh dunia yang harus dibela oleh kaum
kiri dan gerakan sosial di seluruh dunia.
Revolusi sosialis dalam pengertian kongkritnya berupa
sosialisasi kepemilikan pribadi, transformasi kesadaran dan
kebudayaan, serta peningkatan tenaga produktif, yang sedang
berkembang di Venezuela. Melalui apa yang disebut dengan
“revolusi damai”. Dimana proses tersebut terus berlanjut dan
membuat yang dianggap mustahil menjadi kenyataan. Momen-momen
penting dan menentukan dalam tahap revolusi adalah 13 April 2002
ketika mobilisasi jutaan rakyat miskin Venezuela berhasil
mengalahkan kudeta ooposisi sayap kanan serta keberhasilan
perjuangan melawan pemogokan para pemilk bisnis di akhir tahun
yang sam. Sejak saat itu, proses revolusioner semakin
ditingkatkan, meski beberpaa pendapat menganggapnya masih terlalu
lamban. Karena sosialisme tidak terjadi lewat dekrit atau
deklarasi walau Chavez sudah mendeklarasinya di akhir Desember
2005.
Hugo Chavez dan gerakannya, didukung oleh kepercayaan rakyat
Venezuela dan terpilih sebagai presiden Venezuela pada tahun
1988. Sosialisme merupakan jalan yang dipilih oleh Hugo Chavez
sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialism. Sosialisme
tersebut untuk mengatasi adanya pertentangan antara dua kelas,
digantikan dengan hubungan kesetaraan. Saat ini, sosialisme
disebut bukan sebagai sosialisme yang sudah lama ada, melainkan
sosialisme abad 21 yang menekankan tentang demokratis dan
humanis. Salah satu sikap Hugo Chavez dalam melawan
neoliberalisme adalah kebijakan nasionalisasi perusahaan minyak
swasta di Venezuela, hal ini sangay didukung oleh rakyatnya
dimana para buruh di Venezuela sangat antusias akan kebijakan
tersebut.
Sosialisme abad 21 merujuk pada Revolusi Bolivarian pada
tingkat perkembangan dunia sekarang ini. Konsep baru presiden
Hugo Chavez diimplementasikan dengan menarik sejarah sosialisme
yang kaya teoritik dengan menganalisa pengalaman yang baik dan
buruk. Revolusi ini berdasarkan semangat solidaritas dan
kerjasama yang dianggap oleh Hugo Chavez sebagai pembangunan. Ini
membuka gerak solidaritas hubungan antar manusia dan kelompok.
Revolusi Bolivarian ini mengedepankan pembangunan kesatuan
ekonomi baru yang dibiayai negara yang berkelebihan dengan model
kapitalis19.
Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode
analisis deskriptif, yakni suatu bentuk penulisan dengan cara
memaparkan dan menjelaskan mengenai masalah yang diangkat secara
jelas. Tujuan analisis ini ialah untuk membuat deskriptif atau
gambaran secara sstematis, factual dan akurat, mengenai fakta-
fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki20.
Metode ini ditunjang dengan pengumpulan data melalui studi
kepustakaan, yaitu berupa buku-buku yang menyangkut dan
berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dalam penulisan
ini. Terdapat pula jurnal, tulisan, buku, dan media cetak
lainnya, baik yang terbit harian, mingguan, maupun bulanan.
Kemudian data juga diperoleh dari media internet.
Setelah tahap pencarian data, selanjutnya dilakukan
pengolahan data. Penulis menggunakan metode dedukasi, yaitu
dengan menguraikan masalah-masalah yang bersifat umum dan
kemudian dilanjutkan dengan menguraikan masalah yang bersifat
khusus. Berdasarkan data-data yang telah diseleksi sebelumnya,
penulis melakukan pengklasifikasian data, disesuaikan dengan tema
yang dibahas. Data-data tersebut digunakan untuk menjawab pokok
permaslaahan dengan menggunakan teori sebagai laat analisisnya,
sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu kesimpulan.
19 Nurani Soyomukti, Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal (Yogyakarta: Resist Book,2007). 20 Moh. Nasir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, hal.63
Sistematika Penulisan
Penulisan proposal ini dimulai dengan Bab I yang berisikan
latar belakang, maslaah, rumusan masalah, kerangka dasar teori,
metode analisis dan sistematika penulisan.
Setelah itu, masuk ke Bab kedua yang berisi mengenai
gambaran umum Venezuela, yang dijelaskan dengan lengkap mengenai
data-data kondisi alam, profil Venezuela, ekonomi dan politik
Venezuela saat sebelum dan sesudah Hugo Chavez terpilih sebagai
presiden Venezuela pada tahun 1998. Ketergantungan dunia akan
minyak Venezuela dan Tinjauan Historis Venezuela dalam kondisi
kesengsaraan oleh imperialisme dan kapitalisme global sebagai
bentuk pejajahan dengan berbagai keuntungan.
Selanjutnya dilanjutkan pembahasan Bab Ketiga. Dalam Bab ini
penulis akan membahas mengenai Hugo Chavez dengan gerakan
Bolivariannya. Disini penulis ingin menjelaskan siapa Hugo Chavez
dengan menurut sejarah riwayat hidup Chavez, motivasi Chavez
sejak awal hingga menjadi presiden Venezuela.
Pada Bab Keempat akan membahsa mengenai lahirnya kebijakan
nasionalisasi perusahaan minyak swasta asing oleh presiden
Venezuela, Hugo Chavez. Disamping membahsa mengenai tujuan
kebijakan itu dibuat, juga akan dibahas mengenai sosialisme abad
21 yang diusung oleh Chavez yang sangat berhubungan dengan
lahirnya nasionalisasi perusahaan minyak swasta asing tersebut.
Setelah membahas Bab Keempat, maka penulis akan melanjutkan
pembahsannya dengan menyimpulkan seluruh rangkaian bahsan
sebelumnya (Bab I – IV), dimana bahsan ini akan terangkum dalam
Bab Kelima.
Daftar Pustaka
SERIAL, Perubahan Sejati Terbukti Bisa, Institut for Global of Justice, Jakarta 2006
Terry Lyn Karl, “Minyak dan Fakta Politik: Transisi Menuju Demokrasi di
Venezuela”, dalam Guilermo O’Donnell, et.Al, Jakarta :LP3ES, 1993
Mathew Riemer, Economic Welfare’s New Resistance, dalam
www.yellowtime.org,
Wahid, Solahudin, Bangkitnya Kekuatan Amerika Latin Melawan AS,
“The Jakarta Post”, edisi : Jakarta, 15 Agustus 2006
Swhartz, Nelson D. “Oil’s Mr. Big”, 3 Oktober, 2005.
Michelle Billig, “The Venezuela Oli Crisis: How To Secure America’s Energy”,
in Foreign Affairs, Vol. 83, No.5, August 27, 2004
Ngadidjo, “Kebijakan Nasionalisasi di Venezuela di Bawah Hugo Chavez”, dalamwww.itmiwordpress.com, edisi 7 November 2007
James Ingham,”Nationalization Sweep Venezuela”, dalam www.bbcnews.co.us,edisi 15 Mei 2007
Ellener, Rethinking Venezuelan Politics, “Class, Conflict, and
the Chavez Phenomenon”, Lynne Rienner Publisher, 2005
Jurnal Sosial Demokrasi, “Belajar dari Sosialisme Baru Amerika Latin:
Indonesia Baru”, edisi Oktober – Desember 2008
Nurani Soyomukti, Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal
(Yogyakarta: Resist Book, 2007), hlm.105, Vol.4, No.1