KERJASAMA PEMERINTAH SWASTA (KPS)

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Bergulirnya orde reformasi pada tahun 1998 yang ditandai dengan berakhirnya orde baru membuat perubahan disegala sektor kehidupan di Indonesia. Dampak yang timbul sangat mempengaruhi kehidupan bernegara khususnya dibidang pemerintahan. Semangat reformasi juga mendorong daerah untuk menuntut pelimpahan kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan periode sebelumnya yang lebih dikenal dengan otonomi daerah. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti UU No. 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola sendiri urusan daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dapat mengembangkan kerjasama melalui program kemitraan baik dengan pemerintah daerah lainnya atau dengan pihak swasta dan pihak ketiga. Kerjasama 1

Transcript of KERJASAMA PEMERINTAH SWASTA (KPS)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Bergulirnya orde reformasi pada tahun 1998 yang ditandai

dengan berakhirnya orde baru membuat perubahan disegala sektor

kehidupan di Indonesia. Dampak yang timbul sangat mempengaruhi

kehidupan bernegara khususnya dibidang pemerintahan. Semangat

reformasi juga mendorong daerah untuk menuntut pelimpahan

kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan periode

sebelumnya yang lebih dikenal dengan otonomi daerah.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah yang merupakan pengganti UU No. 32 Tahun 2004

memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah

untuk mengatur dan mengelola sendiri urusan daerah menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan yang diarahkan untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat

serta peningkatan daya saing daerah. Untuk mencapai tujuan

tersebut, pemerintah daerah dapat mengembangkan kerjasama

melalui program kemitraan baik dengan pemerintah daerah

lainnya atau dengan pihak swasta dan pihak ketiga. Kerjasama

1

dengan pemerintah daerah lain terutama daerah sekitarnya yang

berbatasan langsung merupakan kewajiban yang diamanatkan

undang-undang yang pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam

bentuk badan kerjasama yang diatur dengan keputusan bersama.

Didalam usaha pemerintah daerah untuk pemerataan dalam

otonomi daerah, pembangunan terus meningkat dengan cepat. Hal

ini tentunya tidak mungkin dipenuhi hanya oleh pemerintah,

terutama karena keterbatasan dana. Karena itu keikutsertaan

sektor swasta dalam pembangunan melalui pola kemitraan sangat

membantu usaha menanggapi permintaan jasa khususnya bidang

infrastruktur. Sebagai salah satu contohnya Frisian Flag

Indonesia melakukan penjajakan kerja sama usaha peningkatan

gizi bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan

Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT.

Dari uraian diatas maka, penulis akan membahas

permasalahan tentang kerjasama pemerintah-swasta (KPS), secara

khusus penulis akan membahas tentang kerjasama pemerintah-

swasta dalam pembangunan infrastruktur.

Permintaan terhadap pelayanan infrastruktur seperti

jalan, pelabuhan, bandara udara, telekomunikasi, dan air

bersih meningkat dengan pesat seiring dengan pertumbuhan

2

ekonomi. Untuk memenuhi permintaan jasa infrastruktur yang

meningkat dengan cepat ini tidak mungkin dipenuhi hanya oleh

pemerintah, terutama karena keterbatasan dana. Kontribusi PAD

yang kecil terhadap total pendapatan, besaran belanja pegawai

yang pasti dan semakin menigkat turut membuat pihak pemerintah

mengalami kesulitan dalam meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat khususnya dalam hal infrastruktur. Karena itu

keikutsertaan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur

melalui pola kemitraan sangat membantu usaha menanggapai

permintaan jasa infrastruktur tersebut. Kerangka peraturan

sebagai payung hukum implementasi KPS bidang infrastruktur di

Indonesia menggunakan Perpres 67/2005 yang kemudian direvisi

melalui Perpres 13/2010 dan Perpres 56/2011 tentang Kerjasama

Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Ini merupakan peraturan pemilihan badan usaha pembangunan

infrastruktur yang kompetitif, terbuka, dan transparan.

Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP) akan

digunakan sebagai alternatif sumber pembiayaan pada kegiatan

pemberian layanan dengan karakteristik layak secara keuangan

dan memberikan dampak ekonomi tinggi dan memerlukan dukungan

dan jaminan pemerintah yang minimum. Kerjasama Pemerintah dan

3

Swasta (KPS) merupakan kerjasama pemerintah dengan swasta

dalam penyediaan infrastruktur yang meliputi: desain dan

konstruksi, peningkatan kapasitas/rehabilitasi, operasional

dan pemeliharaan dalam rangka memberikan pelayanan.

Pengembangan KPS di Indonesia utamanya didasari oleh

keterbatasan sumber pendanaan yang bisa dialokasikan oleh

pemerintah. Berdasarkan latar belakang diataslah maka penulis

mengambil judul makalah “Kerjasama pemerintah-swasta (KPS)

dalam pembangunan infrastuktur”.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan

masalah dalam makalah ini adalah: Bagaimana cara pemerintah

melaksanakan pembangunan dalam infrastruktur melalui kemitraan

dengan pihak swasta?

1.3 Tujuan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan

pembuatan makalah ini adalah untuk “menjelaskan dan

menganalisis Kerjasama pemerintah-swasta(KPS) didalam

pembangunan infrastruktur guna meningkatkan pertumbuhan dan

perkembangan ekonomi di suatu daerah.”

1.4 Manfaat

4

Apabila pembaca bisa menganalisa dan mengerti hubungan

pemerintah-swasta dalam pembangunan ekonomi maka, pembaca akan

mendapatkan suatu gambaran yang dimana gambaran itu akan bisa

berguna sebagai evaluasi pemereintah.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pola Kemitraan Daerah

Jika mengacu pada teori barang publik, maka pada dasarnya

pelayanan public merupakan tanggungjawab pemerintah dalam

menyediakannya, sedangkan untuk barang privat sektor swastalah

yang menyediakan. Namun dalam kenyataannya terdapat beberapa

5

barang campuran, yaitu barang semi publik (quasi public goods) dan

semi privat (quasi private goods). Pelayanan publik meliputi

penyediaan barang public murni, semi publik, dan semi privat.

Untuk kategori barang campuran ini, baik sector publik maupun

swasta dapat sama-sama menyediakan. Oleh karena itu untuk

meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik,

pemerintah daerah dapat melakukan program kemitraan dengan

sector swasta (public private partnership) atau bisa juga bekerjasama

dengan sektor ketiga yaitu dengan organisasi nonprofit dan LSM

(Mardiasmo, 2002 dalam Mahmudi, 2007). Kemitraan Pemerintah-

Swasta (Public Private Partnership) merupakan suatu model kemitraan

yang didasarkan pada rerangka penyedia terbaik (Best Sourcing).

Dengan rerangka Best Sourcing tersebut pemerintah dapat mendorong

sektor swasta untuk terlibat dalam memberikan pelayanan publik

tertentu yang mana hal itu akan lebih meningkatkan efisiensi

dan efektivitas pelayanan (value for money) dan memberikan win-win

solution baik bagi pemerintah maupun pihak swasta. Bentuk

kerjasama pemerintah dengan swasta bisa berupa kontrak kerja,

tender penyediaan barang atau jasa, atau bisa juga berupa

Business Process Outsourcing (OECD, 1997, Sciulli, 1998 dalam

6

Mahmudi, 2007). Model kemitraan yang dapat diadopsi antara

lain:

1. Kontrak pelayanan (service contract)

2. Kontrak pengelolaan (management contract)

3. Kontrak sewa (lease contract)

4. Bangun-kelola-alih milik (Build, Operate and Transfer)

5. Bangun-kelola-miliki-alih milik (Build, Operate, Own, and

Transfer)

6. Konsesi (concession)

2.2 Konsep dan Model Kerjasama Kemitraan Strategis

Pengembangan kerjasama kemitraan strategis khususnya

disektor publik pada dasarnya banyak terinspirasi oleh adanya

perubahan paradigma administrasi publik sebagaimana

disampaikan oleh David Osborne dan Peter Plastrik dalam

Mustopadidjaja, AR (2003) yaitu konsep mewirausahakan

birokrasi melalui 5 strategi (5 core strategies, 5Cs) yaitu:

a. Strategi Inti (Centre Strategy), yakni menata kembali secara

jelas mengenai tujuan, peran, dan arah organisasi;

b. Strategi Konsekuensi (Consequency Strategy), yakni strategi

yang mendorong persaingan sehat guna meningkatkan

motivasi dan kinerja pegawai;

7

c. Strategi pelanggan (Customer Strategi), yaitu memusatkan

perhatian untuk bertanggung jawab terhadap pelanggan.

Organisasi harus menang dalam persaingan dan memberikan

kepastian mutu bagi pelanggan;

d. Strategi Kendali (Control Strategy), yaitu merubah lokasi dan

bentuk kendali di dalam organisasi. Kendali dialihkan

kepada lapisan organisasi paling bawah, yaitu pelaksanaan

atau masyarakat. Kendali organisasi dibentuk berdasarkan

visi, dan misi yang telah ditentukan.

e. Strategi Budaya (Cultural Strategy), yakni merubah budaya

kerja organisasi yang terdiri dari unsur-unsur kebiasaan,

emosi dan psikologi, sehingga pandangan masyarakat

terhadap budaya organisasi publik inipun berubah (tidak

lagi memandang rendah).

Terkait dengan kerjasama kemitraan strategis terdapat

beberapa konsep dan model yang telah dikembangkan antara lain

adalah : (1) kerjasama antar daerah Propinsi dan

Kabupaten/Kota dengan pihak ketiga; (2) kerjasama kemitraan

strategis; (3) kerjasama kemitraan dalam bentuk aliansi

strategis; dan (4) kerjasama kemitraan terpadu (KKT).

8

2.3 Konsep dan Model Kerjasama Antar Daerah Propinsi dan

Kabupaten/Kota dengan Pihak Ketiga

Upaya-upaya pengembangan otonomi daerah yang bertumpu

pada potensi dan kapasitas daerah dilakukan melalui berbagai

kajian otonomi daerah, dan identifikasi kewenangan daerah.

Langkah-langkah ini diarahkan untuk mengurangi kesenjangan

yang ada dalam rangka mengoptimalkan potensi daerah untuk

kesejahteraan masyarakat. Peningkatan potensi dan kapasitas

daerah perlu dilakukan melalui kerjasama kemitraan lintas

sector yang bertujuan menciptakan iklim yang kondusif antar

Pemerintah Daerah dengan memanfaatkan peluang nasional,

regional dan global guna kepentingan daerah dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat sesuai

dengan amanat konstitusi Negara Undang-undang Dasar 1945.

Sebagai landasan dalam rangka mewujudkan peningkatan

potensi dan kapasitas daerah untuk kesejahteraan masyarakat

daerah melalui pengembangan kerjasama antar daerah, BUMD,

swasta dan masyarakat telah diamanatkan oleh Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 195 dan

196 yang menyatakan bahwa : (1) Dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan

9

daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan

efektivitas pelayanan publik, senergi dan saling

menguntungkan; (2) Kerjasama dimaksud dapat diwujudkan dalam

bentuk badan kerja sama antar daerah yang diatur dengan

keputusan bersama; (3) Dalam penyediaan pelayanan publik,

daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga; (4) Kerja sama

antar daerah dan kerjasama dengan pihak ketiga yang membebani

masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD.

Selanjutnya Pasal 196 UU 32 tahun 2004 menyatakan bahwa :

(1) Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak

lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait; (2) Untuk

menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik

secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan

masyarakat; (3) Untuk pengelolaan kerjasama dalam pelaksanaan

urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah

dan untuk menciptakan efisiensi dalam pengelolaan pelayanan

publik daerah dapat membentuk badan kerja sama.

Terkait dengan pengembangan kerjasama antara pemerintah

daerah, BUMD dan pihak ketiga, sebenarnya sudah diatur sejak

tahun 1986, yaitu sejak dikeluarkannya PERMENDAGRI Nomor 3

10

Tahun 1986 tentang Penyertaan Modal Daerah, dimana terdapat 5

bentuk Kerjasama antara pemerintah dengan swasta, yaitu:

1) Kerjasama bagi hasil usaha,

2) Kerjasama produksi,

3) Kerjasama manajemen,

4) Kerjasama bagi tempat usaha, dan

5) Kerjasama bagi keuntungan.

Dengan dikeluarkannya Permendagri tersebut, maka daerah

mempunyai peluang untuk membangun kerjasama antar daerah

pemerintah daerah dengan pihak swasta, swastanisasi dan

keterlibatan sector swasta dalam kegiatan pemerintahan dan

kegiatan yang dikembangkan pemerintah daerah, membeli saham

dalam suatu perusahaan perseroan terbatas yang ada (PT),

mendirikan perusahaan perseroan terbatas (PT), mengadakan

kontrak manajemen, kontrak produksi, kontrak bagi hasil dan

kontrak pembagian lokasi bisnis.

Sebagai tindak lanjut Kepmendagri No. 3 tahun 1986,

Menteri Dalam Negeri lebih lanjut mengeluarkan PERMENDAGRI No.

4 Tahun 1990, tentang pedoman bagi kerjasama antara

perusahaan-perusahaan pemerintah daerah (BUMD) dengan pihak

ketiga (sektor swasta), untuk : 1) membentuk perusahaan

11

patungan, operasi bersama, saham keuntungan bersama,

pengeluaran bersama, saham produksi bersama; 2) mengadakan

negosiasi kontrak manajemen, kontrak produksi, pembagian

kontrak produksi, dan pembagian kontrak lapangan; 3) membeli

saham-saham dari perusahaan perseroan terbatas lainnya; 4)

menetapkan hak penjualan, penggunaan dan distribusi; 5)

menjual saham, obligasi, menyebarkan saham; 6) mendapatkan

bantuan teknis dan bantuan asing.

Bentuk kerjasama yang bersifat kemitraan strategis antara

pemerintah daerah dengan pihak ketiga (swasta), The Kian Wie

(1992) dalam Mahmudi 2007, dalam dialog kemitraan dan

keterkaitan antara usaha besar dan kecil, menyatakan bahwa “

agar pelaksanaan kerjasama kemitraan dapat berkelanjutan

(sustainable) antara satu pihak dengan pihak lain, maka harus

berdasarkan pada tiga azas Kerjasama yaitu: (1) saling

membutuhkan dengan unsur: motivasi hubungan kerjasama, jenis/

bidang kerjasama dan sistem pengelolaan kerjasama; (2) saling

memperkuat dengan unsur: jenis dan syarat kerjasama, dampak

dari kerjasama; (3) saling menguntungkan dengan unsur:

pengembangan aspek ekonomi dan kesejahteraan, pengembangan

aspek cultural.

12

Bentuk-bentuk kerjasama yang bersifat kemitraan strategis

antara Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga yang selama ini

telah dikembangkan antara lain :

a. Kerjasama Bangun-Kelola-Sewa-Serah (Build, Operate, Lease-hold

and Transfer/ BOLT). Merupakan bentuk Kerjasama antara

Pemerintah Daerah dan Pihak Kedua yang memberikan hak

kepada pihak kedua untuk membangun suatu infrastuktur

atau bangunan di atas tanah yang dimiliki Pemerintah

Daerah kemudian mengelolanya dengan menyewakan kepada

pihak lain. Sebagai imbalan Pemerintah Daerah menerima

bagian dari hasil sewa dengan jumlah yang disepakati

bersama pihak kedua.

b. Kerjasama Bangun-Serah-Sewa (Build, Transfer and Leasehold = BTL).

Dalam kerjasama ini pihak kedua membangun infrastruktur

di atas tanah Pemerintah Daerah, dan setelah selesai ia

menyerahkannya kepada Pemerintah Daerah. Bentuk Kerjasama

yang belum banyak dilakukan oleh pemerintah pusat maupun

Daerah ini dapat dilakukan untuk membangun infrastruktur

berupa hotel, convention hall, dsb.

c. Kerjasama Bangun-Sewa-Serah (Build, Rent and Transfer = BRT).

Bentuk Kerjasama ini hampir sama dengan BTL, bedanya

13

hanyalah dalam BRT pihak kedua dapat mengelola dan

mengoperasikan bangunan atau infrastruktur yang telah

dibangunnya dengan cara menyewa kepada Pemerintah, yang

diperhitungkan dari biaya pembangunan.

d. Kerjasama Bangun-Kelola-Alih Milik (Built, Operate, and Transfer

= BOT). Pihak kedua membangun dan mengoperasikan suatu

fasilitas infrastruktur yang kemudian dipindah tangankan

kepada pemerintah daerah setelah masa konsesi habis.

e. Kerjasama Bangun-Guna-Milik (Build Own Operate = BOO). Tidak

seperti pada pendekatan BOT, perusahaan swasta yang

memenangkan konsensi proyek BOO tetap memiliki hak

terhadap proyek tersebut setelah masa konsensi usai.

Bentuk kerjasama ini biasanya dilakukan terhadap obyek

yang output-nya berkaitan dengan hajat hidup orang banyak

misalnya listrik, gas dan sebagainya.

f. Kerjasama Bangun-Serah (Build and Tranfer = BT). Dalam

kerjasama ini Pemerintah Daerah meminta kepada pihak

kedua untuk membangun prasarana di atas tanah milik

Pemerintah Daerah. Pihak kedua membangun dan membiayai

sampai dengan selesai, dan setelah pembangunan selesai

pihak kedua menyerahkan kepada Pemda. Sebagai imbalannya

14

Pemerintah Daerah membayar biaya prasarana ditambah bunga

Bank.

g. Kerjasama Bangun-Serah-Kelola (Build transfer operate = BTO).

Dalam pola ini, pihak swasta membangun suatu fasilitas

infrastruktur di atas tanah miliki Pemerintah Daerah dan

menyerahkan fasilitas tersebut kepada pemerintah setelah

fasilitasnya terbangun.

h. Kerjasama Rehabilitasi-Guna-Serah (Renovate, Operate and

Transfer = ROT). Dalam kerjasama ini pihak kedua menyediakan

modal dan melakukan renovasi atas bangunan atau fasilitas

lain yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah hingga nilainya

meningkat. Obyek kerjasama ini biasanya dapat dilakukan

terhadap pembangunan hotel, pusat perbelanjaan dsb.

i. Kerjasama Renovasi-Guna-Sewa-Serah (Renovate, Operate,

Leashehold and Tranfer = ROLT). Berbeda dengan bentuk Kerjasama

ROT, Pihak kedua merenovasi bangunan atau bentuk

fasilitas lain yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah namun

untuk menggunakannya ia harus menyewa kepada Pemda.

j. Kerjasama Sewa-Tambah dan Guna (Contract, Add and Operate =

CAO). Dalam kerjasama ini pihak kedua menyewa dan

menambah bangunan dan atau mening-katkan kualitas

15

bangunan dan mengelolanya. Nilai sewa bangunan setiap 2

tahun ditinjau kembali. Jangka waktu kerjasama paling

lama 10 tahun.

k. Kerjasama Bantuan teknis atau Dana. Dalam kerjasama ini

Pemerintah Daerah meminta bantuan berupa tenaga ahli/alih

teknologi atau bantuan dana/pembiayaan dari pihak kedua.

Kerjasama ini dilakukan untuk bidang usaha yang

memerlukan teknologi atau managerial skill dan know how

khusus yang tidak dimiliki oleh Pemerintah Daerah.

l. Kontrak Pelayanan (service contract). Dalam pola ini

perusahaan swasta menangani suatu pelayanan atau terhadap

infrastruktur yang dimiliki pemerintah daerah. Contoh

yang dapat dilakukan oleh swasta melalui kontrak

pelayanan ini adalah pengumpul-an limbah sampah di kota-

kota, pemeliharaan fasilitas air minum dan tenaga

listrik, tagihan air minum dan listrik.

BAB III

PEMBAHASAN

16

Untuk memahami dan melaksanakan kerjasama antara pihak

pemerintah dan swasta maka perlu dipahami mengenai prinsip

dasar dalam KPS. Prinsip Dasar KPS antaralain : Adanya

pembagian risiko antara pemerintah dan swasta dengan memberi

pengelolaan jenis risiko kepada pihak yang dapat mengelolanya,

Pembagian risiko ini ditetapkan dengan kontrak di antara pihak

dimana pihak swasta diikat untuk menyediakan layanan dan

pengelolaanny a a tau kombina si keduanya ,Pengembalian

investasi dibayar melalui pendapatan proyek (revenue) yang

dibayar oleh pengguna (user charge), Kewajiban penyediaan

layanan kepada masyarakat tetap pada pemerintah, untuk itu

bila swasta tidak dapat memenuhi pelayanan (sesuai kontrak),

pemerintah dapat mengambil alih. Pelaksanaan kerjasama antara

pihak swasta dan pemerintah tentunya harus memiliki tujuan

yang pasti sehingga pelaksanaannya akan lebih terarah dan akan

memberikan manfaat yang maksimal. Tujuan pelaksanaan KPS yaitu

: Mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan melalui

pengerahan dana swasta, Meningkatkan kuantitas, kualitas dan

efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat, Meningkatkan

kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan

17

infrastruktur, Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar

pelayanan yang diterima atau dal am hal tertentu

mempertimbangkan kemampuan membayar pengguna. Manfaat Skema

KPS: Tersedianya alternatif berbagai sumber pembiayaan,

Pelaksanaan penyediaan infr astruktur lebih cepat,

Berkurangnya beban (APBN/APBD) dan risiko pemerintah,

Infrastruktur yang dapat disediakan semakin banyak, Kinerja

layanan masyarakat semakin baik, Akuntabilitas dapat lebih

ditingkatkan, Swasta menyumbangkan modal, teknologi, dan

kemampuan manajerial. Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa

infrastruktur harus dibangun menggunakan anggaran Pemerintah

sehingga pada kondisi anggaran Pemerintah yang terbatas, pola

pikir tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan

infrastruktur yang memadai bagi perekonomian yang berkembang

pesat. Saat ini telah didorong pola pikir yang lebih maju

dalam penyediaan infrastruktur melalui model kerjasama

pemerintah dan swasta (KPS) atau Public-Private Partnership

(PPP). Dengan adanya KPS, maka Pemerintah dapat memfokuskan

diri untuk membangun infrastruktur yang tidak bersifat

komersial namun sangat diperlukan oleh masyarakat, seperti

pembangunan infrastruktur perdesaan, jalan arteri, drainase,

18

dan sebagainya. Peran pemerintah adalah menyediakan perangkat

aturan dan regulasi yang memberi insentif bagi dunia usaha

untuk memberikan layanan infrastruktur tersebut. Insentif

tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun tarif) pajak,

bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan

lainnya, sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Tidak semua

kegiatan pemberian layanan di bidang infrastruktur melalui

skema KPS memberikan tingkat pengembalian yang wajar (cost

recovery atau financially viable). Untuk meningkatkan kelayakan

finansial tersebut diperlukan campur tangan pemerintah berupa

pemberian dukungan pemerintah. Pemberian dukungan pemerintah

pada saat ini dilakukan dalam bentuk penyediaan lahan dan

pembangunan sebagian konstruksi. Dalam rangka menjamin

efisiensi dan efektifitas dalam penyediaan infrastruktur,

risiko dikelola berdasarkan prinsip alokasi risiko antara

pemerintah dan badan usaha secara memadai dengan

mengalokasikan risiko kepada pihak yang paling mampu

mengendalikan risiko serta dilakukan dengan memperhatikan

prinsip pengelolaan dan pengendalian risiko keuangan dalam

APBN/APBD.

3.1 Upaya Pengembangan Mekanisme Kerjasama Pemerintah-Swasta

19

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan sebelumnya,

dapat disimpulkan bahwa pemerintah suatu daerah, khususnya

daera otonomi sudah seharusnya lebih menekankan upaya

keterlibatan sector swasta didalam mengembangkan sarana

prasarana, mengingat pemerintah memiliki keterbatasan

kemampuan, terutama keterbatasan sumber daya keuangan.

Keberhasilan kerjasama pemerintah-swasta hanya dapat diraih

dengan adanya pengertian antara pihak swasta dan pemerintah.

Untuk mencapai hal tersebut, maka upaya awal yang harus

dilakukan pemerintah adalah dengan menarik perhatian (minat)

pihak swasta untuk berperanserta mengembangkan sarana

prasarana kota. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:

1. Pemerintah mempromosikan sarana prasarana kota yang hendak

dikerjasamakan (pemerintah berinisiatif mengajukan usulan

kegiatan).

a. Upaya promosi dapat dilakukan dengan lebih

memfungsikan badan / kantor yang memiliki akses

dengan pihak swasta seperti Dinas Perindustrian dan

Perdagangan dan badan pemerintah lainnya.

20

b. Memanfaatkan event berskala local, regional atau

nasional, seperti hut suatu daerah, komodo sale,

musrenbang, event promosi dan lainnya.

2. Pemerintah merespon sektor swasta yang berinisiatif

mengajukan usulan kerjasama pengembangan sarana prasarana

daerah.

Kedua upaya tersebut perlu didukung dengan terlebih dahulu

menyiapkan prosedur (panduan) dasar, bagi pelaksana kerjasama

penerintah-swasta.

3.2 Prosedur (panduan) dasar pelaksanaan kerjasama

pemerintah-swasta

Secara garis besar terdapat empat tahapan yang harus

dilakukan pemerintah daerah untuk tercapainya kesepakatan

kerja sama antara pemerintah dan swasta, yaitu :

1. Persiapan proyek

2. Analisa pemilihan bentuk kerjasama pemerintah-swasta

3. Proses pelibatan partisipasi pihak swasta

4. Membuat hubungan kerja sama yang kuat dan berkelanjutan

21

3.2.1 Persiapan proyek

Merupakan tahapan awal dari rencana pelaksanaan kerjasama

pemerintah-swasta. Materi yang perlu dilakakukan pada

tahapan ini adalah :

1. Identifikasi pelayanan sarana prasarana daerah : Apakah

cukup baik atau buruk dengan analisisnya yang terdiri

dari :

a. Kepemilikan asset yang ada termasuk sarana prasarana

daerah, modal dan tariff

b. Cukup pelayanan yang ada

c. Keadaan kepuasan konsumen secara menyeluruh

d. Perbandingan pendapatan dan biaya yang ada

2. Penentuan tujuan: adanya kejelasan tujuan yang hendak

dicapai apakah perbaikan pelayanan, perluasan cakupan

ataupun peningkatan standar pelayanan.

3. Pembentukan tim pengkaji: apabila hasil identifikasi

pelayanan dan penentuan tujuan merekomendasikan

perlunya keterlibatan pihak swasta, maka pemerintah

perlu membentuk tim pengkaji multidisiplin ilmu.

Tugas tim pengkaji adalah menilai kelayakan

ususlan/proposal kerjasama yang diajukan pihakswasta,

22

baik dari segi teknologi yang akan digunakasn, struktur

pembiayaan, aspek social, politik, maupun hukum dan

perundangan (aspek teknis, non teknis maupun keuangan)

3.2.2 Analisa pemilihan bentuk kerjasama pemerintah-swasta

Pada tahapan ini, kegiatan yang harus dilakukan oleh

pihak swasta, berupa :

a. Menilai kelayakan usulan / proposal kerjasama yang

diajukan oleh pihak swasta, berupa :

1. Penentuan model kerjasama pemerintah-swasta

2. Jangka waktu kerjasama

3. Keuntungan dan kerugian

4. Tariff dan kontribusi

5. Tantangan dan hambatan dalam kerjasama

pemerintah-swasta

6. Aspek kelembagaan dan dasar hukum

Pemerintah sebagai provider harus cermat memilih system

kerjasama apa yang akan digunakan dengan segala pertimbangan.

Salah satu pertimbangan adalah ketersediaan dana yang ada pada

pemerintah, artinya dengan dana yang ada, fasilitas apa yang

dapat disediakan dan seberapa besar jangkauan pelayanannya.

Selain itu, pemerintah harus menetapkan pula standar-standar

23

performance yang harus disiapkan oleh swasta dalam

penyediaannya.

b. Membuka dialog dengan beberapa patner swasta yang

berminat bekerjasama serta mengevaluasi setiap patner

berdasarkan transparansi maupun efektifitas kerja.

c. Menentukan perlu atau tidaknya, keikutsertaan pihak

ketiga sebagai katalis atau fasilitator proyek

pembangunan. Dimana peranan pihak ketiga adalah

meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan antara

pemerintah dan swasta, sehingga dapat menyelesaikan

kemungkinan permasalahan yang timbul.

3.2.3 Proses Pengikutsertaan Pihak Swasta

Secara umum, terdapat dua prosedur pengikutsertaan pihak

swasta yaitu :

1. Tender terbuka secara kompetitif

2. Negosiasi langsung

Apapun bentuk prosedur yang dipilih, proses ini harus

dapat menjamin bahwa keikutsertaan swasta dapat meningkatkan

kondisi sarana prasarana suatu daerah dan pelayanannya,

menghasilkan suatu inovasi dan kreatifitas yang berharga serta

terlepas dari korupsi.

24

4 Mendirikan kerjasama yang kuat dan berkelanjutan

Kerjasama pemerintah-swasta yang kuat dan berkelanjutan,

merupaka kunci bagi pembangunan yang berkelanjutan. Berkenaan

dengan hal tersebut, maka diperlukan kesiapan berupa :

1. Komitmen sumber daya dari semua pihak.

2. Partisipasi dan transparansi : terakomodirnya

kepentingan dari hamper semua stakeholder khususnya

untuk kaum miskin, dan harus dituangkan dalam proyek

pembangunan yang akan dilaksanakan.

3. Capacity building : kesiapan setiap stakeholder.

a. Konsumen akan dikenakan biaya sesuai dengan biaya

yang disepakati bersama.

b. Sector privat meningkatkan kemampuan usaha

c. Pemerintah dengan menggunakan kerangka kerjanya

meningkatkan pemantauan untuk tingkat pelayanan yang

telah disepakati.

4. Kesabaran : panjangnya proses negosiasi dan penyiapan

proyek

25

5. Fleksibilitas : adanya system prosedur yang bersih

untuk mengakomodir terjadinya perubahan yang berdampak

negatif, ketika kerjasama telah berjalan.

6. Tanggung jawab sosial : peningkatan pelayanan sarana

prasarana suatu daerah memiliki tujuan untuk membuat

tingkat kehidupan penduduk akan lebih, khususnya

peningkatan tingkat kehidupan pada kaum miskin.

7. Tanggung jawab terhadap lingkungan : mekanisme

investasi yang akan dilakukan, harus mempertimbangkan

dampak terhadap lingkungan, kesehatan masyarakat dan

pemerintah. Untuk itu diperlukan jaminan yang tercantum

dalam seluruh perjanjian kontrak kerjasama, berupa

penggunaan system teknologi yang “eco-efisien”.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pemerintah suatu daerah sudah selayaknya lebih

mngembangkan konsep kerjasama Pemerintah-swasta (KPS)

untuk meningkatkan potensi pembangunan, dikarenakan :

26

1. Keterbatasan kemampuan pemerintah daerah khususnya

keterbatasan sumber daya keuangan untuk dapat mengola

dengan optimal seluruh sarana prasarana yang dibutuhkan

masyarakta.

2. Masih banyak sarana prasarana daerah baik yang sudah

dikelola maupun belum dikelola, yang ketersediaan

maupun tingkat pelayanan belum optimal, sehingga perlu

di perhatikan khususnya melalui kerjasama dengan pihak

swasta.

3. Dalam melakuka kerjasama dengan pihak swasta pemerintah

daerah harus memperhatikan prosedur dan bentuk

kerjasama yang akan dijalankan demi membangun daerahnya

khususnya dibidang infrastruktur.

4.2 Saran

Sebagai langkah awal untuk mengembangkan konsep kerjasama

Pemerintah-swasta, maka perlu dilakukan kajian detail untuk

mendapatkan gambaran yang sesungguhnya dari potensi, peluang

dan hambatan dari setiap upaya keterlibatan sector sasta dalam

pengembangan sarana prasarana perkotaan. Berdasarkan hasil

kajian diharapkan diperoleh profil investasi, sebagai

masukan/bahan pertimbangan pemerintah suatu daerah berupa :

27

1. Evaluasi kondisi sarana prasarana yang ada di daerah.

2. Merumuskan kebijakan kerjasama pemerintah-swasta berupa :

a. Penentuan sarana prasarana daerah atau pelayanan

public, yang hendak dikembangkan melalui kemitraan

dengan pihak swasta.

b. Penentuan skala prioritas pengembangan sarana prasarana

daerah melalui kerjasama pemerintah-swasta.

28

DAFTAR PUSTAKA

http://slideshare.net/antonirfanilham/pengembangan-kerjasama-

pemerintah-swasta.html

http://marsono-manajemenpublik.blogspot.com/2008/10/konsep-

dan-model-kerjasama-kemitraan.html

http://makalainet.blogspot.com/2013/10/kerjasama-antar-

daerah.html

Mahmudi.2007.Kemitraan Pemerintah Daerah dan Efektivitas Pelayanan Publik.

Jurnal Kajian Bisnis dan ManajemenVol. 9 No. 1.Fakultas

Ekonomi Universitas Islam Indonesia

29

30