Post on 16-Mar-2023
APLIKASI STARCH-BASED PLASTICS (BIOPLASTIK)
SEBAGAI BAHAN KEMASAN PRODUK HORTIKULTURA
(TOMAT DAN PAPRIKA)
TAJUL IFLAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Starch-Based
Plastics (Bioplastik) sebagai Bahan Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan
Paprika) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Tajul Iflah
F153100021
RINGKASAN
TAJUL IFLAH. Aplikasi Starch-Based Plastics (Bioplastik) Sebagai Bahan
Kemasan Produk Hortikultura (Tomat Dan Paprika). Di bawah Bimbingan
SUTRISNO dan TITI CANDRA SUNARTI
Salah satu tindakan pascapanen yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi
terjadinya susut produk hortikultura adalah dengan memperhatikan suhu
penyimpanan dan pemilihan teknik pengemasan yang tepat. Saat ini plastik
banyak digunakan sebagai bahan kemasan yang populer karena memiliki banyak
kelebihan. Akan tetapi diantara kelebihannya, plastik juga memiliki kelemahan
yaitu adanya zat monomer dan molekul kecil dari plastik yang dapat bermigrasi
ke dalam produk yang dikemas dan plastik yang memiliki sifat tidak mudah
terurai (non-degradable) sehingga menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.
Untuk memanfaatkan kelebihan plastik sebagai bahan kemasan, dan mengurangi
efek yang tidak baik karena penggunaannya, telah dikembangkan plastik yang
dapat terurai yang dikenal dengan sebutan bioplastik. Bioplastik mulai banyak
digunakan dalam berbagai bentuk kemasan, salah satunya adalah fruit bag.
Penggunaan fruit bag telah banyak diaplikasikan untuk mengemas produk
hortikultura pada supermarket. Agar dapat memperpanjang masa simpan dan
mempertahankan mutu, buah dan sayuran harus disimpan dalam kondisi suhu
dingin. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik penyimpanan dingin
terhadap produk hortikultura dari golongan klimakterik (tomat) dan golongan non-
klimakterik (paprika) yang dikemas dengan kemasan berbentuk fruit bag dari
jenis bioplastik yang dibandingkan dengan kemasan HDPE.
Hasil dari penelitian menunjukkan kemasan bioplastik dapat menunda fase
klimaterik tomat hingga hari penyimpanan ke-21, lebih lama daripada yang
dikemas dengan HDPE. Namun paprika yang dikemas dengan bioplastik mulai
memasuki fase senescence pada hari penyimpanan ke-12, lebih cepat daripada
yang dikemas dengan HDPE. Tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik
pada suhu penyimpanan 10 oC menghasilkan pengaruh yang lebih baik terhadap
perubahan warna daripada yang dikemas dengan HDPE pada suhu yang sama.
Penggunaan kemasan bioplastik tidak sesuai pada penyimpanan suhu
rendah. Penyimpanan tomat pada suhu 15 oC yang dikemas dengan bioplastik
memiliki umur simpan lebih lama (29 hari) daripada tomat yang dikemas dengan
HDPE (25 hari). Berbeda dengan tomat, paprika yang dikemas dengan bioplastik
pada ketiga suhu penyimpanan memiliki umur simpan yang lebih singkat daripada
paprika yang dikemas dengan HDPE.
Kata kunci: bioplastik, paprika, pengemasan, penyimpanan dingin, tomat
ABSTRACT
TAJUL IFLAH. Application of Starch-Based Plastics (Bioplastics) as Packaging
Material for Horticultural Products (Tomato and Bell pepper). Supervised by
SUTRISNO and TITI CANDRA SUNARTI
One of the post-harvest handling for minimize the losses of horticultural
product was regulating the storage temperature and packaging technique. The
objective of this research was to determine the cold storage’s characteristic of
agricultural product from the climacteric products (tomato) and non-climacteric
products (bell pepper) that were packed by the fruit bag packaging from bio-
plastic compared with the HDPE. The packed product stored on three levels of
storage temperature (5, 10 and 15oC) for 21 days and every three days the product
was for respiration rate, weight losses, hardness, the changing of fruit color, total
soluble solids and vitamin C content. The result of the research showed that bio-
plastic packaging could delay the climacteric phase of tomato until the 21st day of
storage, longer than packed by the HDPE. However the bell pepper packed by the
bio-plastic started the senescence phase since the 12th
days of storage, faster than
packed by HDPE. Bio-plastic packaging was un-appropriate for low temperature
(5-10 oC) storage. Tomato and bell pepper packed by the bio-plastic were giving
better color change and hardness during the storage temperature of 15 oC. Based
on the ratio changing a*/b*, the tomato shelf life stored on the temperature of 15 oC with using the bio-plastic (29 days) was longer than using HDPE (25 days).
The bell pepper with using the bio-plastic had lower shelf life than bell pepper
using HDPE on all temperature levels.
Key words : bell pepper, bio-plastic, cold storage, packaging, tomato
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pasca Panen
APLIKASI STARCH-BASED PLASTICS (BIOPLASTIK)
SEBAGAI BAHAN KEMASAN PRODUK HORTIKULTURA
(TOMAT DAN PAPRIKA)
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
TAJUL IFLAH
Judul Tesis : Aplikasi Strach-Based Plastics (Bioplastik) sebagai Bahan
Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan Paprika)
Nama : Tajul Iflah
NIM : F153100021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Sutrisno, MAgr
Ketua
Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Pasca Panen
Dr Ir Sutrisno, MAgr
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 25 Februari 2013 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah
pengemasan, dengan judul Aplikasi Starch-Based Plastics (Bioplastik) sebagai
Bahan Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan Paprika).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir.Sutrisno, M.Agr dan Ibu
Dr.Ir.Titi Candra Sunarti, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberi
saran. Dan juga kepada Ibu Dr. Indah Yuliasih, S.TP, M.Si selaku dosen penguji
luar komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan
yang membangun. Di samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak
Eman dan Ibu Maria Ulfah dari PT. Tirta Marta serta Biantri Raynasari yang telah
banyak membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih yang tak terkira dan penghargaan setinggi-tingginya
disampaikan kepada kedua orangtua tercinta, adik-adik dan nenek serta seluruh
keluarga, atas segala doa, kepercayaan dan kasih sayangnya. Kepada rekan-rekan
TPP 2010 yang selalu dapat diandalkan (Mbak Sandra, Ninta, Fajri, Cicih, Mbak
El, Teh Susi, Ani, Putri dan Syahirman) dan teman-teman seperjuangan TMP
2010, TMB 45 dan TEP 2010 atas segala masukan, saran dan kritik serta bantuan
yang terus menerus diberikan tanpa pamrih. Untuk semua teman-teman di
Megakost yang senantiasa memberikan dukungan. Dan juga untuk seluruh staf
program studi TPP yang siap membantu. Serta masih banyak lagi ucapan
terimakasih dan penghargaan yang ingin penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang
tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi amal jariyah bagi semua
pihak.
Bogor, Februari 2013
Tajul Iflah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 4
Karakteristik Produk Hortikultura 4
Penanganan Pascapanen Produk Hortikultura 5
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Tomat 8
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Paprika 10
Plastik Biodegradabel (Bioplastik) 12
Penyimpanan Dingin 13
Pemilihan Film Kemasan 14
METODOLOGI PENELITIAN 17
Tempat dan Waktu Penelitian 17
Bahan dan Alat 17
Metode Penelitian 17
Aplikasi Bioplastik untuk Produk Hortikultura 17
Penentuan Umur Simpan 17
Rancangan Penelitian 19
Pengamatan 19
HASIL DAN PEMBAHASAN 22
Karakteristik Kemasan 22
Aplikasi Bioplastik untuk Kemasan Produk Hortikultura 25
Perubahan Fisiologi (Laju Respirasi) dari Produk Hortikultura 25
Perubahan Fisikokimia 31
Interaksi Kemasan dengan Lingkungan 47
Penentuan Umur Simpan 51
SIMPULAN DAN SARAN 55
Simpulan 55
Saran 55
DAFTAR PUSTAKA 56
LAMPIRAN 63
RIWAYAT HIDUP 93
DAFTAR TABEL
1 Kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat muda 9
2 Klasifikasi tahapan kematangan tomat 10
3 Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika hijau 11
4 Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan
(ml.mil.m-2
.jam-1
.atm-1
) 15 5 Permeabilitas gas beberapa polimer untuk pengemasan bahan pangan 16
6 Karakteristik kemasan yang digunakan 23
7 Kekerasan tomat pada suhu penyimpanan yang berbeda 35
8 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan ohue tomat 40
9 Pengaruh perbedaan suhu penyimpanan terhadap perubahan nilai L* dan
ohue paprika 41
10 Perubahan permeabilitas uap air kemasan HDPE dan bioplastik selama
penyimpanan pada berbagai suhu selama 30 hari 48
11 Umur simpan tomat berdasarkan perubahan rasio a*/b
* 53
12 Umur simpan paprika berdasarkan perubahan nilai ohue 54
DAFTAR GAMBAR
1 Indeks kematangan pada paprika 11
2 Sistem notasi warna Hunter 21
3 Orientasi film plastik 23 4 Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat,
dan (b) laju produksi CO2 tomat 26
5 Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat yang
dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) laju produksi CO2 tomat
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲) 27 6 Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika,
dan (b) laju produksi CO2 paprika 29 7 Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika
yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik (), dan (b) laju produksi CO2
paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik () 30
8 Pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot (a) tomat yang
dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas
HDPE (○) dan bioplastik () 32 9 Pengaruh suhu terhadap morfologi permukaan kemasan setelah
disimpan selama 30 hari (perbesaran 200 x) 36
10 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan kekerasan (a) tomat
yang dikemas () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas
HDPE (○) dan bioplastik () 37
11 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan nilai C* tomat yang
dikemas dengan HDPE () dan bioplastik (▲) 39
12 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan (a) nilai L* paprika
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) nilai C* paprika
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲) 42
13 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan perubahan total
padatan terlarut (TPT) (a) tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik
(▲), dan (b) paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik () 44
14 Pengaruh lama penyimpanan terhadap kandungan vitamin C (a) tomat
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang
dikemas HDPE (○) dan bioplastik () 46
15 Mekanisme permeabilitas kemasan 48
16 Mekanisme sorpsi kemasan 50
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil perhitungan densitas kemasan HDPE dan Bioplastik 63
2 Rataan laju konsumsi O2 tomat dan paprika 64
3 Rataan laju produksi CO2 tomat dan paprika 66
4 Rataan penurunan bobot tomat dan paprika 68
5 Rataan perubahan kekerasan tomat dan paprika 70
6 Rataan nilai L* tomat dan paprika 72
7 Rataan nilai C* tomat dan paprika 74
8 Rataan nilai ohue tomat dan paprika 76
9 Foto perubahan tomat selama penyimpanan 78
10 Foto perubahan paprika selama penyimpanan 81
11 Rataan perubahan total padatan terlarut (TPT) tomat dan paprika 84
12 Rataan perubahan kandungan vitamin C tomat dan paprika 87
13 Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan HDPE
berdasarkan rasio a*/b
* (Batas kritis (Qs) = 1.21) 89
14 Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan bioplastik
berdasarkan rasio a*/b
* (Batas kritis (Qs) = 1.21) 90
15 Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan HDPE
berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542) 91
16 Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan bioplastik
berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542) 92
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produk hortikultura memiliki sifat yang mudah rusak (perishable) sehingga
dapat menyebabkan susut secara kuantitas maupun kualitas. Susut kualitas
meliputi perubahan warna, rasa, dan aroma sehingga menjadi tidak sesuai dengan
keinginan konsumen dan bahkan nilai gizinya. Secara kuantitas susut pascapanen
produk hortikultura bisa mencapai 25-40%, yang disebabkan oleh beberapa hal,
dimana salah satunya diakibatkan oleh penanganan pascapanen yang belum tepat.
Menurut Siswadi (2007), penanganan pascapanen produk hortikultura di
Indonesia belum mendapat perhatian yang cukup, terlihat dari kerusakan-
kerusakan pascapanen yang masih besar, yakni antara 25-28%. Oleh sebab itu
agar produk hortikultura terutama buah-buahan dan sayuran dapat sampai ke
tangan konsumen dalam kondisi baik perlu penanganan pascapanen yang benar
dan sesuai. Bila pascapanen dilakukan dengan baik, kerusakan-kerusakan yang
timbul dapat diperkecil bahkan dihindari, sehingga kerugian di tingkat produsen
dan konsumen dapat ditekan. Tindakan pascapanen yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki mutu produk salah satunya adalah dengan memperhatikan suhu
penyimpanan dan teknik pengemasan terhadap buah-buahan tersebut.
Pengemasan merupakan salah satu bagian dari rangkaian penanganan
pascapanen dari produk hortikultura yang bertujuan untuk mencegah kontaminasi
produk yang dikemas dari mikroorganisme serta proses fermentasi ataupun
pembusukan, mengurangi kontak dengan udara sehingga proses oksidasi dapat
dihambat, mengurangi kerusakan fisik, mempertahankan kesegaran produk dan
meningkatkan minat calon konsumen. Menurut Syarief et al. (1989), kerusakan
fisik pada buah dan sayur juga dapat dikurangi dengan penggunaan kemasan yang
tepat yang dapat mengontrol kerusakan bahan pangan yang disebabkan oleh
lingkungan seperti kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan pangan,
absorpsi, serta interaksi dengan oksigen.
Saat ini plastik banyak digunakan sebagai bahan kemasan yang populer
menggeser penggunaan logam dan gelas, karena plastik memiliki banyak
kelebihan, diantaranya ringan, kuat dan mudah dibentuk, anti karat dan tahan
terhadap bahan kimia, mempunyai sifat isolasi listrik yang tinggi, dan dapat
dibuat berwarna maupun transparan dan biaya proses yang lebih murah. Oleh
karena sifatnya yang mudah dibentuk, kemasan plastik cocok digunakan untuk
mengemas produk yang bentuknya kurang simetris seperti produk hortikultura.
Kelemahan dari plastik karena adanya zat monomer dan molekul kecil dari plastik
yang mungkin bermigrasi ke dalam produk yang dikemas.
Selain kemungkinan bermigrasi ke dalam produk yang dikemas, plastik
yang sering digunakan selama ini merupakan bahan non-degradable dimana
membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun untuk terurai yang
mengakibatkan penumpukan plastik sebagai sampah sisa kemasan sehingga
menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Hal ini mengakibatkan terjadinya
pengurangan pemakaian kemasan berbahan dasar plastik, dan kini juga mulai
dikenal kemasan plastik berbahan dasar pati yang memiliki sifat biodegradable
(mudah terurai) yang dikenal dengan sebutan bioplastik.
Bioplastik berbahan dasar pati telah dikomersialisasikan beberapa tahun
terakhir dan saat ini telah mendominasi pasar kemasan berbasis biodegradable
dan komposit. Bioplastik berbahan dasar pati dapat dikatakan sebagai barrier
oksigen yang baik, akan tetapi sifat higroskopis dari pati yang digunakan tidak
sesuai untuk mengemas produk yang memiliki kadar air dan kelembaban yang
tinggi. Oleh karena itu bioplastik sesuai digunakan untuk mengemas produk yang
memiliki masa simpan yang lebih singkat. Berhubungan dengan aplikasi dalam
bahan pangan, bioplastik biasanya terdapat dalam berbagai bentuk lapisan film
yang digunakan untuk mengemas makanan dan juga dalam bentuk lainnya seperti
mangkuk, piring, dan tray yang biasanya digunakan untuk mengemas telur.
Bentuk kemasan bioplastik yang saat ini sering digunakan untuk mengemas
produk hortikultura adalah kantung plastik yang dikenal dengan sebutan fruit bag.
Penggunaan fruit bag telah banyak diaplikasikan untuk mengemas produk
hortikultura pada supermarket. Kemasan dengan bentuk seperti ini didesain
sederhana dan tipis namun kuat untuk mewadahi produk dalam jumlah banyak,
terutama buah dan sayuran. Umumnya kemasan ini hanya digunakan untuk
mewadahi produk selama pengangkutan dari supermarket ke rumah, namun
penggunaannya bertambah menjadi wadah penyimpan dalam lemari pendingin
dengan alasan kepraktisan tanpa harus memindahkan ke wadah lain. Oleh karena
itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana kemasan bioplastik
berbentuk fruit bag dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan dari
produk hortikultura (tomat dan paprika) pada penyimpanan dingin.
Rumusan Masalah
Pengemasan pangan bertujuan untuk tetap menjaga kualitas dan keamanan
pangan yang terdapat pada produk tersebut hingga ke tangan konsumen. Selain
itu, fungsi kemasan adalah melindungi produk dari kerusakan fisik, kimia ataupun
biologis. Dalam beberapa puluh tahun terakhir, bahan kemasan yang populer
digunakan untuk mengemas berbagai barang termasuk makanan adalah plastik.
Plastik tidak hanya serbaguna, murah dan juga fleksibel dalam penggunaannya,
akan tetapi salah satu keterbatasan dengan kemasan plastik yang pada akhirnya
untuk dibuang adalah kemasan plastik ini sangat sedikit didaur ulang. Kehadiran
bahan kemasan jenis ini di tempat pembuangan sampah menjadikan masalah
tersendiri. Faktor lainnya adalah bahan pembuatan plastik tergantung pada
produksi minyak bumi (Comstock et al. 2004).
Selain isu lingkungan diatas, kemasan pangan telah mengalami perubahan
penting selama distribusi, termasuk globalisasi persediaan pangan, kecenderungan
konsumen untuk mengkonsumsi pangan dalam keadaan masih segar dan nyaman,
serta keinginan untuk mendapatkannya dengan kualitas baik dan aman. Oleh
karena alasan tersebut, konsumen menuntut bahan kemasan yang lebih alami,
sekali pakai, berpotensi untuk terurai (biodegradable) serta dapat didaur ulang
(Lopez-Rubio et al. 2004). Untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan
keinginan konsumen ini, beberapa tahun terakhir sudah dikembangkan berbagai
bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan yang dengan mudah
dapat terurai yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradable (bioplastik).
Bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan ini dapat
digunakan untuk mengemas berbagai jenis produk, termasuk bahan pangan
3
(Comstock et al. 2004). Dengan alasan keamanan pangan, bioplastik ini juga
dapat digunakan untuk mengemas produk hortikultura yang dianggap sebagai
bahan pangan non-olahan. Produk hortikultura yang dipilih adalah tomat yang
mewakili golongan klimakterik dan paprika yang mewakili golongan non-
klimakterik.
Untuk memperpanjang masa simpan produk hortikultura, biasanya
dilakukan penyimpanan pada suhu rendah. Penyimpanan pada suhu rendah
menjadi salah satu faktor utama untuk dapat mempertahankan mutu dan
memperpanjang umur simpan karena produk hortikultura setelah panen tetap
mengalami proses kehidupan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu dan lama terhadap
produk hortikultura (dari golongan klimakterik yang diwakili oleh tomat dan
golongan non-klimakterik yang diwakili oleh paprika), yang dikemas dengan
menggunakan kemasan bioplastik (starch-based plastic) dibandingkan dengan
HDPE. Adapun tujuan khususnya adalah, sebagai berikut :
1) Untuk menentukan suhu dan lama penyimpanan yang sesuai dengan
karakteristik tomat dan paprika.
2) Untuk mengetahui pengaruh kemasan bioplastik terhadap masa simpan produk
hortikultura pada penyimpanan dingin.
3) Menganalisis hubungan suhu dan lama penyimpanan terhadap karakteristik
tomat dan paprika.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penggunaan bioplastik
sebagai bahan pengemasan produk hortikultura lainnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup yang menjadi batasan pada penelitian ini adalah:
a. Kemasan yang digunakan pada penelitian ini adalah yang berbentuk fruit bag
dari jenis bioplastik berbahan dasar pati tapioka dengan merek ecoplast.
Sebagai pembanding juga digunakan kemasan plastik komersial dengan jenis
HDPE polos tanpa perforasi.
b. Produk hortikultura yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari golongan
klimakterik yang diwakili oleh tomat dan golongan non-klimakterik yang
diwakili paprika.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Produk Hortikultura
Produk hortikultura terbagi atas tiga golongan yaitu buah-buahan, sayuran,
dan bunga hias yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama jika diketahui
faktor yang berpengaruh dalam memperpanjang umur simpannya seperti
kandungan air dan suhu penyimpanan (Siswadi 2007). Tahapan perkembangan
buah dimulai dari tahap pertumbuhan (growth), pematangan (maturation), matang
fisiologis (physiological maturity), pemasakan (ripening), dan pelayuan
(senescence). Pertumbuhan adalah tahap pembelahan sel-sel sampai mencapai
tahap ukuran sel maksimal (mature), selanjutnya tahap pemasakan (ripening)
adalah tahap perubahan buah dari fase matang menjadi buah yang siap dimakan,
sedangkan senescence adalah tahap kemunduran yang menuju ke arah penuaan
buah sampai terjadinya kematian jaringan (Kays 1991).
Proses metabolisme yang terpenting adalah respirasi, yaitu proses
pemecahan oksidatif substrat makromolekul seperti karbohidrat, protein dan
lemak menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana (air, CO2, dan energi).
Akibat proses respirasi terjadi perubahan kandungan kimia dan fisik yaitu
perubahan warna, tekstur, penyusutan bobot, penurunan dan kandungan bahan
terlarut dan keasaman. Selanjutnya perubahan tersebut dapat mengakibatkan
kenampakan produk hortikultura menjadi kurang menarik dan penurunan kualitas
secara keseluruhan. Proses metabolisme lainnya adalah transpirasi yaitu
penguapan air dari permukaan produk hortikultura yang menyebabkan kekeringan
dan kelayuan (Winarno 2002). Reaksi kimia sederhana untuk respirasi adalah
sebagai berikut : C6H12O6 + 6 O2 → 6 CO2 + 6 H2O + 675 kal
Menurut Winarno (2002) proses respirasi dapat diukur melalui beberapa
senyawa penting yaitu glukosa, ATP, CO2 dan O2. Perubahan kandungan gula
dalam bahan dapat digunakan untuk mengukur atau mengetahui keaktifan
respirasi, akan tetapi secara praktis sukar dilakukan karena gula yang terdapat
dalam bahan jumlahnya tidak tetap. Kandungan ATP yang dihasilkan selama
proses metabolisme dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer.
Pengukuran kandungan CO2 lebih mudah dilakukan karena jumlah produksi CO2
relatif cukup besar.
Proses respirasi dapat dibedakan dalam tiga tingkat, yaitu (1) Pemecahan
polisakarida menjadi gula sederhana, (2) Oksidasi gula menjadi asam piruvat, dan
(3) Transformasi asam piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO2, air
dan energi (Syarief dan Hariyadi 1993). Laju respirasi merupakan petunjuk yang
baik untuk menentukan daya simpan produk hortikultura setelah panen dimana
laju respirasi yang tinggi biasanya disertai dengan umur simpan yang pendek.
Berbagai produk mempunyai laju respirasi berbeda, umumnya tergantung
pada 2 faktor, yaitu faktor dalam seperti tingkat perkembangan, susunan kimiawi
jaringan, besar-kecilnya komoditas dan ada tidaknya kulit penutup
alamiah/pelapis alami serta tipe/jenis dari jaringan. Laju respirasi selain
dipengaruhi oleh faktor dari dalam juga sangat dipengaruhi oleh faktor luar
produk tersebut dimana kedua faktor tesebut saling berinteraksi apakah saling
mendukung atau sebaliknya. Faktor-faktor dari luar tersebut adalah meliputi:
5
suhu, konsentrasi O2 dan CO2, zat pengatur pertumbuhan (etilen) dan kerusakan
pada produk (Apandi,1984).
Menurut Kartasapoetra (1994) aktivitas respirasi adalah penyebab utama
terjadinya kemasakan dan menjadi tuanya hasil tanaman karena aktivitas ini masih
terjadi pada saat menjelang panen dan setelah panen. Respirasi yang terjadi ini
dapat menghasilkan panas yang berbahaya yang dapat meningkatkan suhu selama
penyimpanan sehingga mempercepat proses metabolisme yang mengakibatkan
umur simpan hasil tanaman menjadi lebih singkat.
Ditinjau dari pola respirasinya, produk hortikultura dapat dibedakan menjadi
dua yaitu klimakterik dan non-klimakterik (Winarno 2002). Pada produk
hortikultura yang termasuk golongan klimakterik ditandai dengan adanya proses
yang cepat pada fase pemasakan dan mengalami peningkatan konsumsi O2 dan
produksi CO2 yang tinggi. Sebaliknya, pada produk hortikultura golongan non-
klimakterik tidak terlihat nyata perubahan yang terjadi pada fase pemasakan
karena proses respirasi pada produk berjalan lambat.
Adanya sejumlah besar enzim yang aktif pada buah setelah panen
menyebabkan terjadinya beberapa perubahan seperti warna dan komposisi dinding
sel sehingga menjadikan tekstur buah lunak. Selain itu, adanya reaksi-reaksi kimia
yang menyebabkan perubahan rasa, bau, tekstur, dan nutrisi yang terkandung
didalamnya (Winarno 2002).
Utama (2001) mengatakan semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat
pula perombakan-perombakan tersebut yang mengarah pada kemunduran dari
produk tersebut. Air yang dihasilkan ditranspirasikan dan jika tidak dikendalikan
produk akan cepat menjadi layu, sehingga laju respirasi sering digunakan sebagai
indeks yang baik untuk menentukan masa simpan pascapanen produk segar. Laju
respirasi menentukan potensi pasar dan masa simpan yang berkaitan erat dengan;
kehilangan air, kehilangan kenampakan yang baik, kehilangan nilai nutrisi dan
berkurangnya nilai cita rasa. Masa simpan produk segar dapat diperpanjang
dengan menempatkannya dalam lingkungan yang dapat memperlambat laju
respirasi dan transpirasi melalui penurunan suhu produk, mengurangi ketersediaan
O2 atau meningkatkan konsentrasi CO2, dan menjaga kelembaban nisbi yang
mencukupi dari udara sekitar produk tersebut.
Penanganan Pascapanen Produk Hortikultura
Tiga tujuan utama untuk menerapkan teknologi pascapanen produk
hortikultura adalah : (1) Menjaga mutu (kenampakan, tekstur, citarasa dan nilai
nutrisi); (2) Untuk melindungi keamanan pangannya, dan (3) Untuk mengurangi
susut dari saat panen sampai produk tersebut dikonsumsi. Penyebab utama susut
pascapanen di negara-negara sedang berkembang adalah penanganan yang kasar,
sulitnya mempertahankan suhu optimal selama penyimpanan, tidak dilakukan
pemisahan (sortasi) sebelum produk disimpan dan penggunaan bahan kemasan
yang tidak sesuai dengan produk yang dikemas. Selain dapat mengurangi susut,
tahapan pascapanen tersebut juga dapat mempertahankan mutu produk serta
memperpanjang masa simpan (Kitinoja dan Kader 2003).
Tujuan utama penanganan pascapanen adalah memperkecil kehilangan dan
kerusakan produk panen dimana besarnya kehilangan pascapanen sangat
bervariasi menurut komoditi dan tempat penghasil, seperti di negara berkembang
diperkirakan sekitar 20-50% terjadi kehilangan pascapanen, sedangkan di negara
maju sekitar 5-25%. Perbedaan jumlah kehilangan tersebut disebabkan karena
negara maju telah menggunakan teknologi pascapanen yang memadai. Sebaliknya
di negara berkembang seperti Indonesia, penelitian pascapanen belum banyak
diterapkan. Diharapkan keberhasilan penanganan pascapanen tidak hanya
dirasakan oleh produsen, karena dapat memperkecil kehilangan panen, tetapi juga
bisa dirasakan oleh konsumen karena dapat memperoleh komoditi dengan mutu
yang baik (Rahardi et al. 2004).
Penanganan pascapanen harus dilakukan secara hati-hati untuk memperoleh
buah-buahan yang segar dan mempunyai mutu yang tinggi. Penanganan secara
kasar dapat mempengaruhi mutu produk baik secara morfologis (panjang,
diameter, volume, dan bobot), mekanis (ketahanan produk terhadap benturan dan
goresan) dan fisiologis. Dalam tahapan penanganan pascapanen ada beberapa
perlakuan yang mesti dilakukan yang bertujuan untuk memberikan penampilan
yang baik dan kemudahan-kemudahan untuk konsumen, memberikan
perlindungan produk dari kerusakan dan memperpanjang masa simpan. Sukses
penanganan pascapanen memerlukan koordinasi dan integrasi yang hati-hati dari
seluruh tahapan dari operasi pemanenan sampai ke tingkat konsumen untuk
mempertahankan mutu produk (Utama 2001).
Panen
Panen dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan memisahkan bagian
produk hortikultura dengan tempat hidupnya dimana jaringan produk hortikultura
tersebut tetap hidup setelah panen dan akan mengalami senescence secara alami
serta akan membusuk apabila produk tersebut tidak dikonsumsi atau diolah.
Semua produk hortikultura melakukan respirasi yang memberi perubahan
terhadap kualitas produk dan lamanya masa simpan. Faktor–faktor yang
memperlambat laju respirasi dapat juga memperlambat senescence dan dapat
menjaga kualitas produk, akan tetapi pada keadaan tertentu respirasi harus tetap
terjadi (Aked 2002).
Produk hortikultura dipanen sesuai dengan keperluan akhir produk tersebut
dimana pemanenan dilakukan berdasarkan standar kematangan yang telah
ditentukan. Pemanenan pada saat kematangan optimum menghasilkan mutu
produk terbaik, sedangkan produk yang dipanen terlalu awal akan kehilangan
citarasa khasnya dan mungkin tidak mengalami proses pematangan secara baik,
sementara produk yang dipanen melewati masanya bisa menjadi berserat atau
lewat masak (Kitinoja dan Kader 2003).
Beberapa produk hortikultura tertentu yang termasuk ke dalam golongan
klimakterik dapat dipanen sebelum matang (unripe) dan akan mengalami
pematangan buatan pada tahap selanjutnya. Selama pematangan, respirasi produk
akan meningkat tajam pada periode waktu yang singkat. Tanpa pengawasan suhu,
produk akan cepat mengalami pematangan dan senescence yang mengakibatkan
kerusakan jaringan internal (Aked 2002).
Sortasi dan Grading (Pengkelasan Mutu) Sortasi biasanya dilakukan untuk memisahkan produk luka, busuk atau
cacat sebelum pendinginan atau penanganan tambahan dilakukan. Sortasi akan
menghemat tenaga dimana bahan-bahan yang rusak tidak akan ikut pada tahapan
7
penanganan berikutnya. Memisahkan bahan-bahan busuk akan membatasi
penyebaran infeksi pada unit-unit produk lainnya, khususnya bila pestisida
pascapanen tidak digunakan (Kitinoja dan Kader 2003).
Produk hortikultura merupakan kelompok produk yang non–homogenous
dimana bervariasi antar grup, antar individu dalam kelompok dan antar daerah
produksi. Grading memberikan manfaat karena : (1) Ukurannya seragam untuk
dijual, (2) Tingkat kematangan seragam, (3) Didapatkan buah yang tidak lecet
atau tidak rusak, (4) Tercapai keuntungan yang lebih baik karena keseragaman
produk, dan (5) Menghemat biaya dalam transpor dan pemasarannya karena
bahan-bahan rusak sudah disisihkan (Utama 2001).
Grading merupakan tindakan pilihan akan tetapi memberikan manfaat
dimana dengan ukuran tingkatan tertentu produk dapat dijual dengan harga yang
lebih tinggi. Kebanyakan packaging house melakukan penanganan ini. Grading
dapat dilakukan secara subjektif (secara visual) atau dengan menggunakan alat
pengukur standar. Banyak produk hortikultura yang telah memiliki standar
grading tertentu sehingga memudahkan tahapan penanganan pascapanen
selanjutnya (Kitinoja dan Kader 2003). Tahapan proses penanganan pascapanen
sortasi biasanya dilakukan bersama-sama dengan grading sebelum ke tahapan
penanganan pascapanen selanjutnya.
Pengemasan Pengemasan atau disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan
berperan dalam memperpanjang umur simpan bahan hasil pertanian. Adanya
wadah atau pembungkusan dapat membantu mencegah atau mengurangi
kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada didalamnya, melindungi dari
bahaya pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan, dan getaran.
Selain itu, pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau
produk agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan,
pengangkutan dan distribusi (Syarief et al. 1989).
Pengemasan dapat mengurangi kehilangan air (pengurangan berat) dan
dengan demikian dapat mencegah terjadinya dehidrasi, terutama bila yang
digunakan merupakan bahan yang bersifat barrier bagi gas dan uap air (Pantastico
et al. 1989). Hal ini merupakan keuntungan utama dari pengemasan yang dapat
pula memperpanjang umur simpan komoditas yang bersangkutan. Kehilangan air
pada saat penyimpanan yang disusul dengan meningkatnya susut bobot sehingga
komoditas menjadi keriput dan kering merupakan sebab dari hilangnya kesegaran
produk. Penyimpanan
Penyimpanan adalah salah satu tahap penting dalam rantai penanganan
pasacapanen produk hortikultura dimana pada kondisi penyimpanan yang tepat
dapat mempertahankan kondisi segar produk hortikultura dan memperpanjang
masa simpannya sehingga dapat menjaga ketersediaanya. Tujuan utama
penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi penyakit, dan
mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen
(Pantastico et al. 1989).
Hingga saat ini pendinginan merupakan satu-satunya cara yang ekonomis
untuk penyimpanan jangka panjang bagi buah-buahan segar. Cara-cara lain untuk
mengendalikan pematangan dan kerusakan, paling banyak hanya merupakan
pelengkap bagi suhu yang rendah. Pendinginan merupakan proses menurunkan
dan mempertahankan suhu suatu bahan di bawah suhu lingkungan dan diatas titik
beku bahan tersebut. Suhu pendinginan merupakan faktor yang penting karena
berhubungan dengan kerusakan bahan pangan akibat mikroba, perubahan fisik
akibat pendinginan dan mempengaruhi kelembaban udara dalam ruang pendingin.
Penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi adalah penyimpanan dengan
lingkungan udara yang mempunyai komposisi gas yang berbeda dengan udara
normal. Menurut Syarief dan Hariyadi (1993) ada dua cara penyimpanan atmosfir
termodifikasi, yaitu aktif dan pasif. Dalam modifikasi atmosfir aktif udara di
dalam kemasan pada awalnya dikontrol dengan cara menarik semua udara di
dalam kemasan untuk kemudian diisi kembali dengan udara yang konsentrasinya
telah diatur dengan menggunakan alat sehingga kesetimbangan langsung tercapai.
Pada modifikasi atmosfir pasif, kesetimbangan antara CO2 dan O2 didapat melalui
pertukaran udara di dalam kemasan melalui film kemasan. Dalam hal ini
kesetimbangan yang diinginkan hanya mengandalkan permeabilitas dari kemasan
yang digunakan. Dalam penyimpanan modifikasi atmosfir, permeabilitas kemasan
memegang peranan penting karena pertukaran gas terjadi lewar kemasan yang
digunakan.
Teknik penyimpanan atmosfir termodifikasi yang dikombinasikan dengan
penyimpanan suhu rendah akan memperpanjang umur simpan produk dan baik
untuk produk selama penyimpanan. Suhu, kelembaban udara dan komposisi
atmosfir penyimpanan merupakan faktor yang dapat diatur untuk menurunkan laju
respirasi dan meminimalkan kerusakan (Pantastico et al. 1989).
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Tomat Tomat (Solanum lycopersicum syn. Lycopersicum esculentum) berasal dari
famili Solanaceae, tumbuhan asli Amerika Tengah dan Selatan, dari Meksiko
sampai Peru. Tomat merupakan tumbuhan siklus hidup singkat, dapat tumbuh
setinggi 1-3 m. Terdapat ratusan varietas tomat yang dibudidayakan dan
diperdagangkan. Pengelompokan hampir selalu didasarkan pada penampilan atau
kegunaan buahnya. Kualitas kesegaran tomat dapat dilihat dari berbagai atribut
seperti penampakan, kekerasan, citarasa dan kandungan gizi (Tugiyono 1993).
Adapun kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat dapat dilihat pada Tabel 1.
Tomat merupakan produk hortikultura golongan klimakterik. Panen buah
tomat dilakukan pada umur 90–100 HST dengan ciri kulit buah berubah dari hijau
menjadi kekuning-kuningan, bagian tepi daun tua mengering, batang menguning.
Panen dilakukan pada pagi atau sore hari pada saat cuaca cerah. Interval
pemetikan 2-3 hari sekali. Supaya tahan lama, tidak cepat busuk dan tidak mudah
memar, buah tomat dipanen setengah matang (Jones 1999).
Buah tomat sangat bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna, kekerasan, rasa
dan kandungan bahan padatnya. Semua komponen tersebut berpengaruh terhadap
mutu buah tomat. Umur petik tergantung varietas tomat yang ditanam dan kondisi
tanaman. Umumnya buah tomat dapat dipanen pertama pada waktu berumur 2
atau 3 bulan setelah tanam. Setelah dipanen, pemasakan masih tetap berlangsung
dan tomat dapat menjadi sangat cepat masak. Hal ini dapat mengakibatkan
penurunan kualitas dan umur simpan terbatas. Panen tomat dilakukan sesuai
dengan tujuan pemasarannya sehingga perlu diperhitungkan lama perjalanan
9
sampai di tujuan. Sebaiknya tomat berada di pasaran pada saat masak penuh,
tetapi tidak terlalu masak atau busuk. Pada saat masak penuh itulah tomat
memperlihatkan penampilannya yang terbaik. Jika tujuan pemasaran adalah pasar
lokal yang jaraknya tidak begitu jauh, dapat ditempuh dalam beberapa jam, panen
sebaiknya dilakukan sewaktu buah masih berwarna kekuning-kuningan. Untuk
pemasaran ke tempat yang jauh atau untuk di ekspor, buah sebaiknya dipetik
sewaktu masih berwarna hijau, tetapi sudah tua benar atau 8-10 hari sebelum
menjadi masak (berwarna merah) (Esquinas dan Alcazar 1981).
Tabel 1 Kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat muda
Kandungan Gizi Nilai Satuan
Air 93 g
Energi 23 kcal
Protein 1.20 g
Total lipid (fat) 0.2 g
Karbohidrat 5.10 g
Total gula 4 g
Fiber 1.1 g
Vitamin A 642 IU
Vitamin C 23.4 mg
Vitamin E 0.38 mg
Vitamin K 10.1 μg
Sumber : USDA National Nutrients Data Base (2012)
Selain umur petik, perubahan warna pada tomat juga bisa dijadikan
indikator. Warna merupakan salah satu indikator kematangan tomat yang mudah
untuk diamati, beberapa skala nilai subyektif dan grafik warna telah
dikembangkan untuk mengklasifikasikan tahap kematangan tomat seperti pada
Tabel 2.
Nunes (2008) mengatakan suhu optimum untuk penyimpanan dingin
tergantung pada tingkat kematangan tomat pada saat panen. Tomat kelompok
immature green dan mature green lebih sensitif terhadap suhu dingin daripada
tomat kelompok pink atau light-red. Tomat kelompok pink atau light-red jika
disimpan lebih dari 2 minggu dibawah 10 oC atau lebih lama dari 6-8 hari pada
suhu 5 oC akan mengalami chilling injury. Chilling injury merupakan indikasi
kegagalan untuk mematangkan dan perubahan warna dan citarasa yang tidak
diharapkan, pelunakan terlalu cepat, pitting pada permukaan, biji berwarna coklat
dan meningkatnya bagian yang busuk. Pada tomat kelompok immature green dan
mature green dapat disimpan sampai 14 hari pada suhu 12.5-15 oC tanpa
mengalami permasalahan utama seperti penurunan citarasa dan perubahan warna.
Jones (1999) mengatakan tomat pada tahap perkembangan breaker
merupakan tahap yang paling sering dipanen kepentingan ekspor, sedangkan
tomat untuk pasar lokal biasanya dipanen pada tingkat light–red atau red. Buah
yang dipetik pada tahap mature green akan memiliki masa simpan yang lebih
lama akan tetapi mengalami perubahan pembentukan warna dan rasa yang tidak
diinginkan.
Tabel 2 Klasifikasi tahapan kematangan tomat
Tingkatan Warna Klasifikasi Deskripsi
Mature green Seluruhnya berwarna hijau dan telah matang
Breaker
Mulai ada perubahan warna (merah muda,
merah atau hijau kekuningan) tetapi tidak
lebih dari 10%
Turning Lebih dari 10% tetapi tidak lebih dari 30%
berwarna merah muda, merah atau jingga.
Pink Lebih dari 30% tetapi tidak lebih dari 60%
berwarna merah muda atau merah
Light – red Lebih dari 60% tetapi tidak lebih dari 90%
berwarna merah
Red Lebih dari 90 % berwarna merah; tingkat
kematangan yang diharapkan
Sumber : USDA (1986) di dalam Batu (2003)
Demikian pula untuk menjamin masa simpan yang normal selama distribusi,
tomat kelompok light-red harus disimpan tidak lebih lama dari 10 hari pada suhu
10-12.5 o
C. Penyimpanan pada suhu 10-13 oC direkomendasikan untuk tomat
kelompok pink dan tomat kelompok light-red (Nunes 2008). Menurut Sargent dan
Moretti (2004), suhu penyimpanan dingin yang sesuai untuk tomat tanpa
mengalami penurunan kualitas citarasa dan aroma adalah 7-10 oC selama 3-5 hari.
Jones (1999) merekomendasikan penyimpanan untuk tomat firm ripe pada suhu
7.8-10 oC selama 1-3 minggu dan untuk tomat mature green pada suhu 12.8-21
oC
selama 4-7 minggu.
Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Paprika
Tanaman paprika diduga berasal dari Mexico dan daerah sekitar Amerika
Tengah. Kata “paprika” adalah istilah Hongaria yang semula dipakai bagi cabai
merah yang pedas Capsicum annum, di Amerika paprika disebut bell pepper.
Rasa dan aroma paprika tidak seperti tanaman cabai pada umumnya. Baunya
pedas menusuk, tetapi rasa pedasnya tidak ada sama sekali, melainkan rasa manis
sedikit. Itulah sebabnya di negara-negara Barat paprika dikenal dengan sebutan
cabai manis atau sweet pepper (Prihmantoro dan Yovita 2000).
Paprika dapat dipanen setelah berumur 60-90 hari setelah tanam, yaitu pada
saat telah mencapai ukuran penuh tetapi masih berwarna hijau atau sudah matang
berwarna (merah atau kuning). Paprika hijau diperoleh dari paprika yang masih
muda. Setelah matang paprika akan berubah menjadi merah atau kuning sesuai
dengan jenisnya, sedangkan paprika ungu sejak kecil buahnya memang berwarna
ungu kehitaman. Kriteria panen paprika untuk dijual segar adalah masih hijau,
bentuknya baik, berlapis lilin, tegar dan mengkilap (Pantastico et al. 1989).
Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika dapat dilihat pada Tabel 3.
11
Tabel 3 Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika hijau
Kandungan Gizi Nilai Satuan
Air 93.89 g
Energi 20 kcal
Protein 0.86 g
Total lipid (fat) 0.17 g
Karbohidrat 4.64 g
Total gula 2.40 g
Fiber 1.7 g
Vitamin A 370 IU
Vitamin C 127.7 mg
Vitamin E 0.37 mg
Vitamin K 7.4 μg
Sumber : USDA National Nutrients Data Base (2012)
Panen paprika biasanya dilakukan per periode tanam, berdasarkan
kematangan buah, atau sesuai dengan harga dan permintaan di pasaran. Pemetikan
paprika dilakukan beserta tangkai buah dengan menggunakan gunting atau pisau
tajam. Hal tersebut dilakukan agar tangkai buah tidak terlepas dari buah atau
tertinggal di cabang tanaman karena buah akan mudah terserang patogen. Kriteria
buah matang yang dipanen dibagi menjadi dua golongan yaitu panen buah matang
hijau dan panen buah berwarna (merah, kuning, putih atau krem, dan ungu).
Penggolongan ini disesuaikan dengan permintaan pasar dan harga di pasaran.
Kriteria buah yang matang hijau yaitu warna buah hijau mengkilap, daging buah
keras dan tebal, buah mudah dilepaskan dari tangkai, sehat dan tidak cacat, serta
bebas dari hama dan penyakit (Prihmantoro dan Yovita 2000).
Gambar 1 Indeks kematangan pada paprika (FAO 2002)
Kekerasan dan ketebalan buah dapat diketahui dengan cara memijit dan
mengetuknya. Buah yang siap panen berbunyi nyaring bila diketuk dan tidak
berubah bentuk bila ditekan atau dipijit. Kriteria paprika matang berwarna adalah
warna buah sudah merata (seragam), daging buah tebal, sehat dan tidak cacat,
serta bebas dari hama dan penyakit. Setelah dipanen, apabila akan dilakukan
penyimpanan maka paprika dapat ditempatkan pada ruangan berpendingin
bersuhu 7-10 oC atau cara hipobarik (penyimpanan dengan mengatur suhu dan
tekanan udara). Dengan sistem hipobarik tekanan udara diatur cukup rendah
dengan tujuan untuk menghambat gas etilen (gas yang mempercepat kematangan).
Suhu penyimpanan dengan metode ini biasanya 7,2–10
oC dengan tekanan 80
mmHg (Prihmantoro dan Yovita 2000).
Gonzalez-Aguilar (2004) mengatakan penyimpanan paprika segar pada suhu
7.5 oC dengan RH 90-95% direkomendasikan untuk memperpanjang masa simpan
(3-5 minggu), selain itu juga dapat mencegah terjadinya kehilangan air yang
menyebabkan paprika mengkerut. Dan apabila paprika disimpan pada suhu dan
RH lebih tinggi atau lebih rendah, kemungkinan akan terjadi kehilangan air
dengan cepat sehingga menjadikan paprika menjadi lembek, layu atau kering.
Oleh karena ada beberapa varietas tertentu dapat mengalami chilling injury pada
suhu 7 oC sehingga paprika jenis tersebut harus disimpan pada suhu 7-13
oC.
Akan tetapi apabila suhu penyimpanan diatas 13 oC, paprika dapat mengalami
senescence dan kerusakan (busuk). Paprika juga dapat disimpan pada suhu 5 oC
selama 2 minggu, walaupun suhu penyimpanan yang rendah dapat mengakibatkan
kehilangan air akan tetapi gejala chilling injury baru terjadi setelah 2 minggu.
Gejala chilling injury dapat terjadi setelah penyimpanan selama beberapa hari
pada 0 oC dan beberapa minggu pada penyimpanan suhu 5
oC. Paprika masak atau
yang berwarna memiliki sifat kurang peka terhadap chilling injury daripada
paprika hijau. Menurut Ryall dan Werner (1983), penyimpanan paprika sampai
terjadinya chilling injury pada suhu 0 oC selama 2-4 hari, pada suhu 1
oC selama 7
hari, pada 5 oC selama 9 hari dan pada suhu 6-7
oC selama 14-15 hari.
Plastik Biodegradabel (Bioplastik)
Bioplastik adalah plastik yang berbahan dasar dari bahan yang dapat
diperbaharui yang dapat digunakan untuk menggantikan plastik sintetis yang
berasal dari minyak bumi yang memiliki sifat tidak dapat didegradasi oleh
mikroorganisme di alam yang selama ini umum digunakan oleh masyarakat
(Griffin 1994). Bioplastik merupakan plastik yang dapat digunakan layaknya
plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme
menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang
ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, bahan pembuatan
plastik biodegradable ini bersifat ramah terhadap lingkungan (Pranamuda 2001).
Bioplastik merupakan jenis plastik atau polimer yang dibuat dari bahan-
bahan biotik seperti jagung, singkong ataupun mikrobiota yang berbeda dengan
plastik konvensional yang sering kita gunakan yang umumnya dibuat dari minyak
bumi dan gas alam. Bioplastik lebih ramah lingkungan karena dibuat dari bahan-
bahan organik dan dapat didegradasi oleh mikroorganisme pengurai. Salah satu
bagian dari proses pembuatan bioplastik adalah modifikasi genetik yang
melibatkan mikroorganisme. Proses modifikasi ini dianggap kunci masa depan
agar proses pembuatan bioplastik lebih murah dan lebih sedikit mengkonsumsi
bahan bakar minyak (Abbott et al. 2008).
Secara umum, terdapat tiga teknik yang berbeda dalam memproduksi
kemasan biodegradable dengan menggunakan bahan baku hasil pertanian.
Generasi pertama dari pembuatan kemasan biodegradable adalah dengan
mencampurkan poliolefin ke dalam pati untuk memperbaiki sifat-sifat mekanik
dan sifat barrier terhadap uap air dari kemasan berbahan baku pati. Plastik ini
13
belum seluruhnya terdegradasi di tanah. Generasi kedua kemasan biodegradable
dibuat dengan mencampurkan polimer sintetik dengan polimer alami seperti pati.
Komposisi campurannya adalah pati tergelatinisasi (40-75%), polimer sintetik
yang bersifat hidrofobik, dan hidrofilik ko-polimer. Pengembangan yang terakhir
adalah generasi bioplastik (generasi ketiga). Istilah bioplastik ditujukan untuk
bahan kemasan yang berasal dari polimer yang 100% biodegradable dan sudah
diuji biodegradabilitasnya berdasarkan standar yang berlaku atau dari biopolimer
(produk hasil pertanian). Oleh karena itu, istilah bioplastik tidak mencakup
kemasan biodegradable generasi pertama dan kedua (Gontard dan Guilbert 1992).
Menurut Liu (2006), bioplastik adalah istilah yang digunakan untuk bahan
kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan, dan yang dianggap aman
untuk digunakan dalam aplikasi pangan. Secara umum, dibandingkan dengan
plastik konvensional yang berasal dari minyak bumi, bioplastik berbasis polimer
memiliki lebih beragam stereokimia dan bentuk rantai samping yang
memungkinkan para peneliti memiliki lebih banyak kesempatan untuk
menyesuaikan sifat-sifat bahan kemasan akhir. Tantangan utama yang dihadapi
industri pangan dalam memproduksi kemasan bioplastik, saat ini, adalah dengan
mencocokkan daya tahan kemasan dengan masa simpan produk. Comstock et al.
(2004) mengatakan bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan ini
dapat digunakan untuk mengemas berbagai jenis produk. Bahan kemasan ini juga
dapat digunakan untuk mengemas pangan.
Aplikasi plastik biodegradable biasanya dapat digunakan untuk mengemas
berbagai produk yang memiliki umur simpan yang pendek seperti pembungkus
roti yang dapat bertahan selama beberapa bulan atau untuk tas belanja yang dapat
bertahan selama kurang lebih 5 tahun. Plastik ini dapat dengan mudah terurai pada
berbagai kondisi, baik dingin dan basah ataupun panas dan kering (Scott 2009).
Penyimpanan Dingin
Penyimpanan dingin merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan
cara pendinginan pada suhu di atas suhu pembekuannya. Penyimpanan di bawah
suhu 15 oC dan di atas titik beku bahan, tergantung pada masing-masing produk
yang disimpan dikenal sebagai penyimpanan dingin. Pendinginan menuntut
adanya pengendalian terhadap kondisi lingkungan, seperti suhu yang rendah,
komposisi udara, kelembaban dan sirkulasi udara (Kader 1992).
Menurut Muchtadi (1992) penyimpanan pada suhu rendah diperlukan untuk
komoditas sayuran yang mudah rusak, karena cara ini dapat mengurangi kegiatan
laju respirasi dan metabolisme; mengurangi laju penuaan akibat adanya
pematangan, pelunakan serta tekstur dan warna; dan mengurangi kerusakan
karena aktivitas mikroba. Budiastra dan Purwadaria (1993) mengemukakan tujuan
penyimpanan dengan suhu rendah adalah untuk memperpanjang masa kesegaran
sayuran dan buah-buahan guna menjaga kesinambungan pasokan, menciptakan
stabilitas harga dan mempertahankan mutu. Pada penyimpanan dingin yang perlu
dilakukan adalah pemilihan suhu yang tepat karena ada kemungkinan terjadinya
kerusakan komoditi akibat suhu yang terlalu dingin (chilling injury).
Menurut Winarno (2002), tujuan penyimpanan suhu dingin (cool storage)
adalah untuk mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan pematangan abnormal
atau perubahan yang tidak diinginkan sehingga mempertahankan komoditas
dalam kondisi yang dapat diterima oleh konsumen selama mungkin. Pendinginan
pada suhu di bawah 10 oC, kecuali pada waktu yang singkat ,tidak mempunyai
pengaruh yang menguntungkan bila komoditas itu peka terhadap cacat suhu
rendah (chilling injury).
Tingkat kerusakan suhu rendah (chilling injury) yang terjadi pada produk
pascapanen tergantung pada suhu dimana produk tersebut ditempatkan, lamanya
penempatan atau penyimpanan, dan sensitivitas dari produk terhadap suhu dingin.
Semakin rendah suhu dimana produk tersebut ditempatkan (di bawah batas
minimum) maka akan semakin besar pula kerusakan (Utama, 2001).
Pemilihan Film Kemasan
Pengemasan merupakan salah satu cara dalam memberikan kondisi yang
tepat bagi bahan pangan untuk menunda proses kimia dalam jangka waktu yang
diinginkan. Film kemasan memberikan lingkungan yang berbeda pada produk
yang disimpan karena laju perembesan O2 ke dalam kemasan dan CO2 ke luar
kemasan sebagai akibat proses respirasi, berbeda-beda tergantung dari jenis dan
sifat kemasan yang digunakan. Film plastik juga memberikan perlindungan
terhadap kehilangan air produk sehingga sampai waktu lama produk akan tetap
kelihatan segar. Laju dari penyerapan gas tergantung dari struktur film permeable,
ketebalan, luas permukaan, suhu, dan perbedaan kandungan gas antara bagian
dalam dan luar kemasan (Syarief et al. 1989).
Pada kemasan dalam plastik film yang tertutup rapat, hasil-hasil pertanian
dapat disimpan lebih lama, karena termodifikasinya udara di sekitar bahan.
Namun demikian bau dan rasa yang tidak diinginkan dapat muncul apabila
akumulasi CO2 dan penurunan O2 akibat respirasi bahan yang disimpan telah
melebihi ambang batas hingga respirasi berubah dari aerobik menjadi anaerobik.
Selama penyimpanan dalam kemasan plastik, dapat terjadi perubahan konsentrasi
gas O2 dan CO2 dimana konsentrasi O2 akan menurun dan konsentrasi CO2 akan
meningkat sebagai akibat kegiatan respirasi. Konsentrasi gas yang berhubungan
dengan kegiatan respirasi di dalam kemasan tergantung pada permeabilitas
plastik, laju respirasi bahan yang dikemas dan suhu penyimpanan (Deily dan
Rizvi 1981). Koefisien permeabilitas film kemasan terhadap O2 dan CO2
merupakan salah satu faktor penting bila produk hortikultura dikemas dengan film
kemasan secara kemasan.
Zagory dan Kader (1997) mengatakan penggunaan plastik sebagai bahan
pengemas dapat melindungi dan mengawetkan buah dan sayuran yang disimpan,
disamping penampakan produk yang dikemas menjadi lebih menarik. Terdapat
berbagai jenis film plastik yang digunakan untuk pengemasan, namun hanya
beberapa jenis saja yang dapat digunakan untuk pengemasan buah dan sayuran
segar. Pengemasan buah dan sayuran segar dengan film plastik yang impermeable
menyebabkan konsentrasi O2 menurun dari kondisi normal (21%) menjadi sekitar
2-5% dan konsentrasi CO2 akan meningkat dari kondisi udara normal (0.03%)
menjadi 16-19%, hal ini berakibat tidak baik bagi produk yang disimpan. Oleh
sebab itu film plastik yang ideal adalah film plastik yang mempunyai
permeabilitas CO2 3-5 kali lebih besar daripada permeabilitas O2 tergantung pada
komposisi optimum untuk masing-masing produk segar yang dikemas sehingga
15
dengan demikian laju akumulasi CO2 dari proses respirasi lebih sedikit dari laju
penyusutan O2.
Tabel 4 Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan
(ml.mil.m-2
.jam-1
.atm-1
)
Jenis Film
Kemasan
Ketebalan* 10 C
a 15 C
a 25 C
b
(mil) O2 CO2 O2 CO2 O2 CO2
LDPE 0.99 - - - - 1002 3600
PP 0.61 265 364 294 430 229 656
Stretch Film 0.57 342 888 473 748 4143 6226
White Stretch 0.58 226 422 291 412 1464 1470
Keterangan : (a) hasil dari perhitungan (secara teoritis); (b) hasil penetapan (hasil
pengukuran). *1 mil = 0.0254 mm
Sumber : Gunadya 1993
Pemilihan film kemasan dengan nilai koefisien permeabilitas tertentu
mempengaruhi konsentrasi kesetimbangan gas di dalam kemasan. Gunadnya
(1993) menyatakan ketebalan film polietilen densitas rendah, polipropilen,
oriented polypropylene, polivinil klorida, stretch film dan white stretch film
berturut-turut adalah 0.99, 0.61, 1.00, 0.95, 0.57 dan 0.58 mil. Nilai β merupakan
perbandingan koefisien permeabilitas film kemasan terhadap gas CO2 dengan O2.
Koefisien permeabilitas film kemasan semakin permeabel terhadap gas-gas
dengan semakin tinggi suhu. Hasil penetapan dan perhitungan koefisien
permeabilitas film memperlihatkan kecenderungan meningkat pada suhu yang
lebih tinggi.
Apabila buah-buahan dikemas dengan bahan yang impermeabel maka
proses respirasi yang terjadi akan mengakibatkan berkurangnya O2 dan terjadi
akumulasi CO2 yang kemudian menghasilkan respirasi anaerob disertai
terbentuknya etanol, asetaldehid dan komponen-komponen yang tidak diinginkan.
Sebaliknya jika menggunakan bahan kemasan yang mempunyai bahan
permeabilitas yang sangat tinggi, efek modifikasi udara dalam kemasan hampir
tidak terjadi sehingga tujuan memperpanjang umur simpan bahan tidak tercapai
(Zagory dan Kader 1997). Permeabilitas gas beberapa jenis polimer untuk bahan
pengemasan bahan pangan pada Tabel 5.
Selain kemasan plastik sintetis yang dibuat dari bahan baku bahan minyak
bumi, masih ada bentuk lain dari kemasan yang terbuat dari bahan organik yang
disebut sebagai plastik organik atau plastik biodegradable (bioplastik). Secara
umum, dibandingkan dengan plastik konvensional yang berasal dari minyak bumi,
bioplastik berbasis polimer memiliki lebih beragam stereokimia dan bentuk rantai
samping yang memungkinkan ilmuwan penelitian memiliki lebih banyak
kesempatan untuk menyesuaikan sifat-sifat bahan kemasan akhir. Tantangan
utama yang dihadapi industri pangan dalam memproduksi kemasan bioplastik,
saat ini, adalah dengan mencocokkan daya tahan kemasan dengan masa simpan
produk (Liu 2006).
Tabel 5 Permeabilitas gas beberapa polimer untuk pengemasan bahan pangan
Jenis Polimer Permeabilitas (cc*mil/l00in
2*day*atm)
Oksigen Nitrogen Karbondioksida
Vinylidene chloride copolymer 0.01 – 0.15 0.003 – 0.035 0.05 – 0.75
Etilvinil alkohol, dry 0.007 – 0.048 --- ---
Etilvinil alkohol, 100% RH 1.1 – 0.55 --- ---
Nilon – MXD6 0.15 --- 3 – 4
Acrylonitrile 0.9 – 1.0 --- 10 – 12
Nilon 6 2 – 3 --- 15 – 25
PET 3 – 4 0.7 20 – 50
PVC 5 – 20 --- 600 – 700
HDPE 100 – 200 40 – 60 500 – 700
PP 150 – 250 30 – 50 1000 – 2000
LDPE 250 – 350 100 – 200 700 – 1500
Polystyrene 250 – 400 40 – 60 ---
Sumber : Delassus (1997) didalam Cooksey (2004)
17
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan
Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.
Penelitian ini dilaksanakan selama ± 4 bulan dimulai dari April – Agustus 2012.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah paprika dan tomat yang
diperoleh dari pedagang pengumpul yang memiliki perkebunan di daerah
Lembang. Buah tomat dan paprika dipetik pada tingkat kematangan mature green
(±60 hari bunga mekar atau tingkat kematangan 50%) dan langsung dibawa pada
hari yang sama. Bahan lain yang digunakan adalah kemasan bioplastik berbasis
pati berbentuk fruit bag dan sebagai kontrol (pembanding) juga digunakan
kemasan plastik konvensional, yaitu plastik HDPE tanpa perforasi yang juga
berbentuk fruit bag. Selain itu juga diperlukan bahan kimia untuk analisis kadar
Vitamin C berupa larutan iod, indikator kanji dan aquades.
Peralatan yang digunakan adalah lemari pendingin (cold storage) dengan
suhu 5 o
C, 10 o
C, 15 oC, Gas Analyzer Shimadzu tipe 101 dan tipe IRA 107 untuk
mengukur konsentrasi gas O2 dan CO2, Rheometer model CR-3000 untuk
mengukur kekerasan, Kromameter Minolta tipe CR-310 untuk mengukur warna,
Refraktometer Atago PR-201 untuk mengukur total padatan terlarut, timbangan
untuk mengukur susut bobot, hot sealer, pipa plastik yang dibutuhkan untuk
mengukur konsentrasi CO2 dan O2 dan peralatan gelas lainnya yang dibutuhkan
dalam analisis Vitamin C.
Metode Penelitian
Aplikasi Bioplastik untuk Produk Hortikultura Tomat dan paprika disortasi terlebih dahulu untuk mendapatkan buah
dengan tingkat kematangan yang seragam, dicuci dan kemudian ditimbang dengan
berat 500 ± 10 g. Kemudian dikemas dengan menggunakan kemasan bioplastik
berbentuk fruit bag yang kemudian dikelim dengan hot sealer. Buah juga dikemas
dalam plastik HDPE yang dijadikan sebagai kontrol. Untuk pengamatan
konsentrasi O2 dan CO2 dalam kemasan, dibuat 2 buah lubang pada salah satu sisi
kemasan yang dihubungkan dengan selang plastik. Selanjutnya produk disimpan
di dalam cold storage 5, 10 dan 15 oC selama 21 hari. Pengamatan dilakukan pada
hari ke-0 dan setiap 3 hari sekali terhadap laju respirasi, susut bobot produk,
perubahan warna, kekerasan, total padatan terlarut dan kadar vitamin C.
Penentuan Umur Simpan Umur simpan produk didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu
produk hingga tingkat yang tidak dapat diterima pada kondisi penyimpanan,
proses dan pengemasan yang spesifik. Umur simpan dianggap sebagai selang
waktu antara produksi hingga konsumsi dimana produk masih dalam kondisi yang
memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi
(Arpah 2001). Penentuan masa simpan produk dapat dilakukan dengan beberapa
metode. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperkirakan masa simpan
suatu produk adalah dengan akselerasi (penyimpanan yang dipercepat). Salah satu
metode yang digunakan untuk menentukan masa simpan produk secara akselerasi
adalah dengan menggunakan persamaan Arrhenius.
Umur simpan pada suhu tertentu dapat ditentukan dengan menghubungkan
nilai k dan nilai suhu yang telah diketahui. Nilai k dihubungkan dengan suhu
menggunakan persamaan Arrhenius :
dimana :
k = Konstanta kecepatan reaksi
k0 = Konstanta pre-eksponensial
Ea = Energi aktivasi (KJ/mol)
R = Konstanta gas (1.986 kal/mol oK)
T = Suhu mutlak (oK)
dalam bentuk logaritma:
( ⁄ ) ⁄
atau bentuk persamaan linier :
, dimana : ⁄
Menurut Labuza (1982), reaksi kehilangan mutu pada produk banyak
dijelaskan oleh reaksi ordo nol dan ordo satu. Perubahan mutu yang dapat
diwakilkan oleh reaksi ordo nol meliputi : (1) Degradasi enzimatis pada buah dan
sayuran segar, sebahagian makanan beku dan adonan yang didinginkan,
(2) Pencoklatan non-enzimatis, seperti pada sereal kering, susu bubuk, makanan
hewan dan kehilangan protein, (3) Oksidasi lemak (ketengikan pada makanan
ringan, makanan kering, makanan hewan dan makanan yang telah dibekukan).
Nilai k yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan reaksi ordo 0 untuk
menduga umur simpan dari produk :
dQ
dt k
Jika diintegrasikan, maka : Qt = Q0 – k.t
sehingga umur simpan ordo nol : t (Q0 Qs)
k
Keterangan :
t = Umur simpan (hari)
Q0 = Nilai mutu awal
Qt = Nilai mutu akhir
Qs = Batas kritis mutu
kT = Konstanta pada suhu tertentu dalam oK
Parameter yang digunakan untuk menentukan umur simpan tomat dan
paprika pada penelitian ini adalah warna. Perubahan warna dianggap sebagai
atribut mutu paling mudah untuk diamati sehingga dapat mempengaruhi tingkat
kesukaan konsumen.
19
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan tiga faktor dan tiga ulangan
untuk tiap-tiap produk yang dikemas (tomat dan paprika). Faktor pertama yang
digunakan adalah perlakuan jenis plastik yang terdiri atas 2 taraf yaitu plastik
HDPE dan bioplastik. Faktor kedua yang digunakan adalah perlakuan suhu
penyimpanan yang terdiri atas tiga taraf, yaitu 5, 10 dan 15 oC, sedangkan faktor
ketiga yang digunakan adalah lama penyimpanan yang terdiri atas 8 taraf, yaitu
hari penyimpanan ke-0, 3, 6, 9, 12, 15, 18, dan 21.
Data dianalisis dengan uji sidik ragam (anova) dengan bantuan program
SPSS v.17 dan apabila hasilnya berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5%,
maka dilakukan dengan uji lanjut Duncan untuk membedakan taraf pada tiap-tiap
perlakuan dan lama penyimpanan. Model matematis dari rancangan percobaan
tersebut, yaitu :
Keterangan :
Yijkl = Respon setiap parameter yang diamati.
µ = Nilai rata-rata umum.
Ai = Pengaruh perlakuan perbedaan jenis plastik.
Bj = Pengaruh perlakuan suhu penyimpanan.
Ck = Pengaruh perlakuan lama penyimpanan.
(AB)ij = Pengaruh interaksi perlakuan perbedaan jenis plastik dan suhu
penyimpanan.
(AC)ik = Pengaruh interaksi perlakuan perbedaan jenis plastik dan lama
penyimpanan.
(BC)jk = Pengaruh interaksi perlakuan suhu penyimpanan dan lama
penyimpanan.
(ABC)ijkl = Pengaruh interaksi perlakuan perbedaan jenis plastik, suhu
penyimpanan dan lama penyimpanan.
ijkl = Pengaruh galat percobaan.
Dimana :
i = 1,2
j = 1,2,3
k = 1,2,3,4,5,6,7,8
l = 1,2,3
Pengamatan
Laju Respirasi
Pengukuran laju respirasi dilakukan pengamatan terhadap konsentrasi O2
yang dibutuhkan dan CO2 yang dikeluarkan dalam kemasan. Untuk memudahkan
pengukuran konsentrasi gas O2 dan CO2 dibuat 2 buah lubang pada salah satu sisi
kemasan yang dihubungkan dengan selang plastik yang nantinya akan
dihubungkan ke alat gas analyzer. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran
(persen O2 dan persen CO2) dikonversi ke dalam satuan ml/kg.jam dengan
perhitungan sebagai berikut :
Dimana :
R = Laju respirasi (ml CO2/kg.jam dan ml O2/kg.jam)
V = Volume bebas wadah (ml) = Volume wadah (ml)-Volume buah (ml)
W = Berat contoh (kg)
⁄ = Laju perubahan konsentrasi O2 dan CO2 (%/jam)
Pengukuran Penurunan Bobot Produk
Pengukuran terhadap penurunan bobot dilakukan berdasarkan persentase
penurunan bobot bahan sejak awal sampai akhir penyimpanan sehingga diketahui
persentase bobot akhir dari bahan selama penyimpanan. Penimbangan dilakukan
dengan menggunakan timbangan Mettler PM-4800. Untuk mengukur penurunan
bobot digunakan rumus berikut:
(
)
Dimana :
W = Bobot bahan awal (g)
Wa = Bobot bahan akhir penyimpanan (g)
Pengukuran Nilai Kekerasan
Perubahan kekerasan selama penyimpanan diukur berdasarkan ketahanan
buah terhadap alat penekan (probe). Pengukuran kekerasan dilakukan setiap
pengamatan dengan menggunakan Rheometer model CR-3000. Alat diatur
dengan mode 20, beban maksimum 10 kg, kedalaman penekanan 20 mm,
kecepatan penurunan beban 60 mm/menit, dengan diameter probe 5 mm. Setelah
alat di-setting, produk diletakkan hingga stabil, kemudian tombol start ditekan
dan jarum akan bergerak ke bawah dan menusuk produk. Besarnya tekanan yang
diperlukan untuk menusuk produk menunjukkan ketegaran produk. Pengamatan
kekerasan yang diukur dari tiga titik secara melintang untuk masing-masing buah
yang disimpan. Buah yang diukur tingkat kekerasannya sebanyak dua buah dari
tiap-tiap kemasan. Nilai pengukuran dapat dilihat pada alat yang dinyatakan
dengan Newton.
Pengukuran Perubahan Warna
Pengukuran warna tomat dan paprika selama pengamatan dilakukan dengan
menggunakan chromameter Minolta CR-310. Melalui alat ini akan diperoleh
tingkat intensitas cahaya dengan sistem notasi warna Hunter dalam bentuk 3
parameter yaitu L*, a
* dan b
* seperti pada Gambar 2. Nilai L
* menunjukkan
tingkat kecerahan [L*= 0 (Hitam) dan L
*=100 (Putih)]. Nilai a
* terdiri dari +a
*
yang menunjukkan warna merah dengan nilai 0 hingga 60, sedangkan –a*
menunjukkan warna hijau dengan nilai 0 hingga -60. Nilai b* terdiri dari +b
* yang
menunjukkan warna kuning dengan nilai 0 hingga 60, serta nilai –b* yang
menunjukkan warna biru dengan nilai 0 hingga -60.
21
Hasil pengukuran nilai a* dan b
* dikonversikan ke dalam satuan kromatik C
*
dan derajat Hue (ohue). Nilai C* menunjukkan intensitas suatu warna sedangkan
nilai ohue mendeskripsikan warna murni dimana menunjukkan warna dominan
dalam campuran beberapa warna. Untuk memperoleh nilai C* dan ohue digunakan
rumus sebagai berikut :
√ ( ⁄ )
Gambar 2 Sistem notasi warna Hunter
Pengukuran Total Padatan Terlarut dengan Refraktometer (AOAC, 1990)
Total padatan terlarut diukur dengan menggunakan refraktometer Atago
PR-210 yang telah diatur pada suhu ruang, kemudian cairan dari buah diletakkan
pada prisma refraktometer yang telah dibersihkan terlebih dahulu. Setiap sebelum
pembacaan prisma tersebut dikalibrasi menggunakan aquades. Selanjutnya dibaca
nilai total padatan terlarut dalam satuan oBrix.
Kadar Vitamin C (Apriyantono et al. 1989)
Sampel dihancurkan kemudian ditimbang sebanyak 10 g. Masukkan dalam
labu ukur 250 ml kemudian ditambahkan air suling sampai tanda tera. Saring
dengan menggunakan kertas saring. Filtrat sebanyak 25 ml langsung dititrasi
dengan larutan iod 0.01 N. Ditambahkan indikator kanji pada filtrat sebelum
dititrasi. Dilakukan titrasi sampai terjadi perubahan warna yang stabil (terbentuk
warna biru ungu).
Asam Askorbat (mg/ 100 g bahan) =
Dimana :
P = faktor pengenceran
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Kemasan
Kemasan memiliki fungsi untuk menjaga produk yang dikemas agar tetap
dalam keadaan baik hingga dikonsumsi. Pada produk hortikultura, pengemasan
diharapkan dapat memperpanjang masa simpan serta mempertahankan kesegaran
hingga pada saat dikonsumsi. Banyak jenis kemasan yang digunakan untuk
mengemas buah, salah satunya kemasan plastik. Penggunaan kemasan plastik
semakin luas karena berbagai kelebihannya seperti ringan, serbaguna, murah
namun juga fleksibel dalam penggunaannya, akan tetapi salah satu keterbatasan
dengan kemasan plastik yang pada akhirnya untuk dibuang adalah kemasan
plastik ini sangat sedikit didaur ulang sehingga akhirnya dikembangkan plastik
yang mudah terurai yang dikenal dengan bioplastik.
Penggunaan bioplastik mulai populer di masyarakat dimana kemasan
berbahan dasar pati ini juga telah dikembangkan dalam berbagai bentuk sesuai
penggunaannya, salah satunya fruit bag. Kemasan plastik fruit bag mulai banyak
digunakan terutama oleh para konsumen kelas menegah ke atas yang senang
berbelanja di pasar swalayan. Pada awalnya kemasan jenis ini hanya digunakan
sebagai wadah produk hortikultura dari pasar swalayan hingga ke rumah
konsumen. Dengan alasan kepraktisan, konsumen juga menyimpan produk
hortikultura langsung dengan kemasan tersebut ke dalam lemari pendingin.
Pada penelitian ini digunakan kemasan bioplastik ecoplast yang terbuat dari
kombinasi polimer sintetik dengan komposisi pati tapioka sekitar 60% dan plastik
HDPE sebagai pembanding. Kemasan HDPE dan bioplastik yang digunakan
memiliki luas yang sama yaitu 250 400 mm2 dengan ketebalan sebesar 45 μm.
Informasi mengenai ukuran dimensi kemasan ini dapat digunakan untuk
menghitung nilai densitas masing-masing kemasan. Nilai densitas diperoleh dari
pembagian berat plastik terhadap volume (perkalian panjang, lebar dan tebal
plastik). Perhitungan densitas HDPE dan bioplastik dapat dilihat pada Lampiran 1.
Dari hasil perhitungan, densitas bioplastik (75.56-77.00 g/cm3) lebih kecil
daripada densitas HDPE (84.89-86.78 g/cm3), dimana nilai densitas yang rendah
menunjukkan struktur amorf (tidak teratur) lebih banyak sedangkan densitas yang
lebih tinggi memiliki struktur kristalin yang lebih besar. Allcock dan Lampe
(1981) mengatakan densitas menunjukkan kerapatan rantai suatu polimer, dimana
polimer dengan struktur yang teratur (kristalin) cenderung mempunyai kerapatan
rantai yang lebih besar karena rantai mampu berdekatan dalam jarak yang dekat
(lebih rapat) sehingga densitasnya pun lebih besar. Polimer dengan stuktur yang
tidak teratur (amorf) cenderung mempunyai densitas yang rendah karena jarak
rantai yang jauh sehingga lebih renggang.
Sifat mekanik dan fisik dari polimer sangat dipengaruhi oleh derajat
kristalinitasnya. Sifat-sifat mekanik yang dipengaruhi oleh derajat kristalinitas
adalah kekakuan (stiffness), kekerasan (hardness), dan keuletan (ductility),
sedangkan sifat fisik adalah sifat optik dan kerapatan (density) dari polimer.
Raynasari (2012) telah melakukan pengujian terhadap sifat fisik dan mekanik dari
kemasan yang digunakan dalam penelitian ini yang terangkum pada Tabel 6.
23
Tabel 6 Karakteristik kemasan yang digunakan
Karakteristik Kemasan
HDPE Bioplastik
Sifat
Mekanik
Kekuatan Tarik
(MPa)
MD 74.29 16.75
CD 48.14 6.35
Elongasi
(%)
MD 292.46 114.21
CD 445.45 656.54
Sifat
Fisik
Permeabilitas Uap Air
(g/m2/24 jam)
21.56 13.10
Morfologi Permukaan
Sumber : Raynasari (2012)
Sifat mekanik diperlukan dalam melindungi produk dari faktor-faktor
mekanis, seperti tekanan fisik (jatuh dan gesekan), getaran, serta benturan.
Sebagai bahan kemasan, plastik harus memiliki kekuatan tarik maupun
perpanjangan putus (elongasi) yang baik karena hal ini akan berpengaruh pada
kekuatan terhadap kontak fisik dengan benda lain dan kekuatan terhadap menahan
beban dari produk selama dikemas sehingga plastik tidak mudah sobek dan lebih
tahan lama.
Kuat tarik merupakan ukuran besarnya gaya yang dapat ditahan sebelum
lembaran plastik rusak atau putus. Biasanya pada lembaran plastik yang
dihasilkan terbentuk orientasi film yang disebut machine direction (MD) dan
cross-machine direction (CD). MD adalah orientasi rantai molekul yang searah
dengan arah mesin sedangkan CD melintang dengan arah mesin. Sifat mekanik
pada orientasi MD berbeda dengan CD karena ikatan molekul MD yang sejalan
dengan arah mesin menjadikannya lebih baik daripada orientasi CD. Perbedaan
orientasi CD dan MD pada plastik dapat dilhat pada Gambar 3.
Gambar 3 Orientasi film plastik (Syarief et al. 1989)
Dari Tabel 6 dapat dilihat nilai kuat tarik bioplastik lebih rendah daripada
HDPE yang disebabkan adanya campuran pati pada matriks polimernya sehingga
kekuatan ikatan antar polimernya menjadi lemah. Baik pada bioplastik maupun
HDPE nilai kuat tarik pada orientasi MD menunjukkan hasil yang lebih baik
daripada CD yang menunjukkan plastik tidak mudah patah.
Cross machine direction
Machine direction
Pengukuran kuat tarik biasanya diikuti juga dengan pengukuran
perpanjangan putus (elongasi) yang menunjukkan elastisitas dari plastik. Semakin
tinggi nilai perpanjangan putus (elongasi) maka plastik tersebut semakin elastis
sehingga bahan dapat ditarik lebih mulur. Dari Tabel 6 dapat dilihat persen
elongasi bioplastik pada orientasi MD lebih rendah daripada HDPE namun
menunjukkan nilai yang lebih besar pada orientasi CD. Ini menunjukkan
bioplastik lebih elastis apabila diberi beban yang lebih besar sehingga tidak
mudah sobek/putus.
Polimer dengan kekuatan tarik dan perpanjangan putus (elongasi) yang
tinggi tergolong ke dalam jenis polimer yang kuat dan liat. Apabila suatu bahan
memiliki kuat tarik yang tinggi namun tidak diimbangi dengan perpanjangan
putus yang tinggi maka akan cenderung menghasilkan plastik yang mudah patah
(brittle). Kemasan HDPE memiliki kekuatan tarik dan persen elongasi lebih besar
daripada bioplastik yang menjadikan kemasan ini lebih kuat dan liat sehingga
tidak mudah patah (brittle). Bioplastik memiliki kekuatan tarik yang rendah tetapi
memiliki persen elongasi tinggi pada orientasi CD sehingga lebih elastis
(fleksibel) yang menjadikan bioplastik lebih kuat untuk menahan beban.
Sifat fisik plastik dapat diketahui dengan mengukur permeabilitas uap air
dan mengamati morfologi permukaan plastik. Permeabilitas uap air berkaitan
dengan ketahanan plastik sebagai barrier bagi kemasan. Permeabilitas plastik
ditentukan dengan mengukur transmisi uap air/gas atau permean yang melewati
plastik uji. Permeabilitas uap air adalah kecepatan atau laju transmisi uap air
melalui suatu unit luasan bahan yang permukannya rata dengan ketebalan tertentu
sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan
tertentu pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Permeabilitas menyangkut
proses pemindahan larutan dan difusi dimana larutan berpindah dari satu sisi film
dan selanjutnya berdifusi ke sisi lainnya setelah menembus film tersebut. Semakin
besar nilai permeabilitasnya maka akan menunjukkan plastik tersebut semakin
mudah dilewati uap air/gas (Krochta 2007).
Dari hasil pengukuran WVTR bioplastik 21.56 g/m2/24 jam lebih besar
daripada HDPE 13.10 g/m2/24 jam ini menunjukkan bioplastik memiliki
kemampuan lebih besar untuk melewatkan air dalam bentuk uap daripada HDPE.
Nilai WVTR dipengaruhi oleh densitas plastik dimana plastik dengan densitas
yang lebih besar memiliki area kristalin yang lebih banyak sehingga lebih rapat
yang menyebabkan gas tidak mudah keluar masuk melalui kemasan. Hal
sebaliknya terjadi pada kemasan bioplastik yang memiliki densitas lebih kecil
yang mengindikasikan struktur amorf (tidak beraturan) lebih mendominasi
penyusunnya sehingga kemasan ini lebih renggang dan mudah untuk dilewati oleh
uap air dan gas lainnya.
Dari Tabel 6 menunjukkan morfologi permukaan HDPE lebih homogen
daripada bioplastik hal ini dipengaruhi karena pada bioplastik terdapat pati yang
terikat pada matriks polimer sehingga terbentuk gelembung-gelembung yang
diduga granula pati. Granula pati terlihat tersebar dengan ukuran yang beragam
dimana pati yang berukuran kecil dapat menyebabkan penurunan sifat mekanik
bioplastik karena terjadinya ikatan rantai polimer dengan granula berukuran kecil
sehingga kekuatan plastik untuk menerima tarikan menjadi lebih rendah dengan
perpanjangan putus yang besar.
25
Aplikasi Bioplastik Untuk Kemasan Produk Hortikultura
Perubahan Fisiologi (Laju Respirasi) Dari Produk Hortikultura
Respirasi merupakan proses metabolisme utama pada produk hortikultura
yang dapat menyebabkan perubahan mutu dan kimia pada produk hasil panen.
Respirasi terjadi pada semua organisme hidup termasuk juga pada tumbuhan,
termasuk pada produk hortikultura yang telah dipisahkan dari tempat tumbuhnya.
Respirasi merupakan suatu reaksi pemecahan bahan organik yang komplek
menjadi lebih sederhana dengan melepaskan energi. Reaksi kimia sederhana
untuk respirasi adalah sebagai berikut :
C6H12O6 + 6 O2 → 6 CO2 + 6 H2O + 675 kal
Laju respirasi biasanya dinyatakan dalam laju konsumsi O2 dan laju
produksi CO2. Dalam proses respirasi, produk hortikultura memerlukan oksigen
(O2) untuk memecah bahan-bahan organik dan menghasilkan CO2, uap air dan
panas. Semakin banyak oksigen yang diperlukan untuk respirasi maka CO2 yang
dihasilkan dari proses respirasi ini juga akan meningkat begitu juga dengan uap
air dan panas. Untuk mengetahui kecepatan laju respirasi pada produk hortikultura
ini biasanya digunakan perhitungan terhadap perubahan gas O2 atau CO2 pada
interval waktu tertentu.
Laju respirasi diantara produk hortikultura berbeda satu sama lainnya
sehingga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu golongan klimakterik dan non-
klimakterik. Pada produk hortikultura yang termasuk golongan klimakterik
ditandai dengan adanya proses yang cepat pada fase pemasakan dan mengalami
peningkatan konsumsi O2 dan produksi CO2 yang tinggi. Sebaliknya, pada produk
hortikultura golongan non-klimakterik tidak terlihat nyata perubahan yang terjadi
pada fase pemasakan karena proses respirasi pada produk berjalan lambat
(Winarno 2002).
Buah golongan klimakterik memiliki karakteristik dengan adanya puncak
aktivitas respirasi selama pematangan yang menunjukkan kualitas buah siap untuk
dikonsumsi dimana puncak respirasi ini bervariasi pada tiap-tiap buah. Sebaliknya
pada buah golongan non-klimakterik hanya menunjukkan penurunan bertahap
pada proses respirasi selama pematangan dengan pola yang berbeda tergantung
dari masing-masing buah. Respirasi untuk golongan non-klimakterik juga
memiliki hubungan antara tingkat respirasi yang tinggi dengan umur simpan yang
pendek (Tucker et al. 1993). Buah golongan non-klimakterik tidak menunjukkan
proses pematangan setelah dipanen dan pola respirasinya akan berubah menjadi
lambat setelah pemanenan. Istilah klimakterik hanya melibatkan peningkatan
respirasi buah ditinjau dari produksi CO2 (Villavicencio et al. 2001).
Dari Lampiran 2 dan Lampiran 3 menunjukkan selama masa penyimpanan
rerata laju konsumsi O2 pada tomat (0.056-1.057 mlO2/kg.jam) lebih rendah
daripada rerata laju konsumsi O2 pada paprika (0.059-0.982 mlO2/kg.jam). Begitu
juga dengan rerata laju produksi CO2 pada tomat (0.008-0.412 mlCO2/kg.jam)
lebih rendah daripada rerata laju produksi CO2 pada paprika (0.015-0.513
mlCO2/kg.jam).
Laju respirasi (konsumsi O2 dan produksi CO2) dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, umumnya tergantung pada 2 faktor, yaitu (1) faktor dari dalam
seperti tingkat perkembangan, susunan kimiawi jaringan, besar-kecilnya
komoditas dan ada tidaknya kulit penutup alamiah/pelapis alami serta tipe/jenis
dari jaringan dan (2) faktor dari luar yang meliputi: suhu, konsentrasi O2 dan CO2,
zat pengatur pertumbuhan (etilen) dan kerusakan pada produk. Kedua faktor ini
saling berinteraksi apakah saling mendukung ataupun sebaliknya.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam Lampiran 2a menunjukkan jenis
plastik dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap laju konsumsi O2 tomat
namun suhu penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak memberikan
pengaruh terhadap laju konsumsi O2. Dari uji lanjut Duncan menunjukkan laju
konsumsi O2 tomat yang dikemas dengan HDPE berbeda nyata dengan bioplastik
dan laju konsumsi O2 tomat selama penyimpanan berbeda nyata pada tiap harinya.
Dari hasil analisis sidik ragam 3a juga menunjukkan jenis plastik dan lama
penyimpanan berpengaruh terhadap laju produksi CO2 tomat sedangkan suhu
penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap laju
produksi CO2 tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan laju produksi CO2
tomat yang dikemas dengan HDPE berbeda nyata dengan bioplastik dan laju
produksi CO2 tomat selama penyimpanan berbeda nyata pada tiap harinya.
Gambar 4 menunjukkan laju konsumsi O2 dan produksi CO2 pada tomat
yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik. Buah yang dikemas dengan
bioplastik baik dari laju konsumsi O2 ataupun dari laju produksi CO2nya lebih
tinggi daripada yang dikemas dengan HDPE. Ini dipengaruhi oleh densitas dari
kemasan dimana bioplastik memiliki densitas yang cenderung lebih rendah yang
mengindikasikan dominasi struktur amorf yang lebih besar sehingga ikatan antar
molekul penyusunnya lebih renggang daripada HDPE. Dengan keadaan yang
lebih renggang ini menyebabkan kemampuan bioplastik untuk dilewati oleh O2
dan CO2 lebih mudah. Hal ini berbeda dengan kemasan HDPE yang densitasnya
lebih kecil sehingga O2 dan CO2 yang terdapat di dalam kemasan konsentrasinya
lebih besar akibat lebih rapatnya molekul penyusun HDPE.
(a)
(b) Gambar 4 Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2
tomat, dan (b) laju produksi CO2 tomat
Konsentrasi O2 dan CO2 yang rendah di dalam bioplastik juga dipengaruhi
oleh bahan utama penyusun plastik tersebut. Pada kemasan bioplastik, pati
merupakan bahan utama penyusun yang dapat bereaksi dengan O2 dan hasil
respirasi yaitu CO2, dan uap air yang terdapat pada bagian dalam kemasan.
Dengan kemampuan yang demikian menjadikan konsentrasi O2 dan CO2 di dalam
0.00
0.04
0.08
0.12
0.16
0.20
0.24
0.28
0.32
0.36
HDPE Bioplastik
Laj
u K
onsu
msi
O2 (
ml/
kg.j
am)
Jenis Plastik
0.00
0.04
0.08
0.12
0.16
0.20
0.24
0.28
0.32
0.36
HDPE Bioplastik
Laj
u P
rod
uksi
CO
2 (
ml/
kg.j
am)
Jenis Plastik
27
kemasan bioplastik lebih rendah daripada di dalam kemasan HDPE. Dengan
konsentrasi O2 yang lebih rendah di dalam kemasan bioplastik menjadikan
konsumsi O2 tomat untuk melakukan reaksi respirasi juga lebih kecil sehingga
respirasi tomat di dalam kemasan bioplastik berlangsung lebih lambat. Kondisi
seperti ini mengindikasikan laju respirasi buah yang dikemas dengan bioplastik
dapat diminimalisir sehingga penurunan kualitas tidak berlangsung dengan cepat.
Selain pengaruh jenis plastik yang menyebabkan keterbatasan O2 sehingga
laju respirasi yang terjadi lebih lambat juga dipengaruhi oleh lamanya
penyimpanan. Pada awal penyimpanan tomat laju respirasi cenderung lebih cepat
karena masih tersedianya substrat untuk dipecah menjadi komponen yang lebih
sederhana. Laju respirasi tomat ditinjau dari laju konsumsi O2 dan produksi CO2
selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5.
(a)
(b)
Gambar 5 Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) laju produksi
CO2 tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲)
Pengukuran laju respirasi biasanya dilihat dari perubahan laju produksi CO2
selama penyimpanan. Pola perubahan laju respirasi ini berbeda antara buah
golongan klimakterik dan golongan non-klimakterik. Tomat merupakan golongan
klimakterik dengan pola respirasi mengalami penurunan produksi CO2 hingga
memasuki fase klimakteriknya yang ditandai dengan adanya peningkatan produksi
CO2 sebelum akhirnya kembali menurun yang merupakan awal dari fase
senescence.
Sampaio et al. (2007) melaporkan buah mombin kuning sebagai golongan
klimakterik dari pola respirasinya. Pada saat memasuki fase pra-klimakterik buah-
buahan golongan klimakterik mengalami laju respirasi yang rendah, kemudian
mengalami peningkatan drastis hingga mencapai respirasi maksimum (klimakterik
maksimum) yang diikuti dengan penurunan akitifitas respirasi yang diindikasikan
sebagai senescence.
Laju respirasi produk hortikultura biasanya dihitung berdasarkan analisa
produksi CO2 atau konsumsi O2 per berat produk dalam waktu tertentu. Beberapa
teknik dapat digunakan untuk menghitung gas produk yang dianggap sebagai
respirasi. Hal yang mesti diperhatikan pada saat mengukur respirasi adalah untuk
tidak menyimpan produk terlalu lama dalam tempat tertutup karena dapat
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
3 6 9 12 15 18 21
Laj
u K
onsu
msi
O2 (
ml/
kg.j
am)
Penyimpanan (Hari)
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
3 6 9 12 15 18 21Laj
u P
rod
uksi
CO
2 (
ml/
kg.j
am)
Penyimpanan (Hari)
menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen dan peningkatan CO2 yang akan
mempengaruhi laju respirasi selanjutnya. Oleh karena perubahan konsentrasi O2
yang terjadi lebih kecil daripada konsentrasi O2 di udara, umumnya respirasi lebih
mudah diketahui dari laju produksi CO2 (Bower et al. 1998).
Dari Gambar 5 dapat dilihat perbedaan pola respirasi antara tomat yang
dikemas dengan bioplastik dan HDPE dari perubahan laju produksi CO2 selama
penyimpanan. Pada hari penyimpanan ke-3, laju produksi tomat yang dikemas
dengan HDPE (0.299 ml/kg.jam) lebih besar daripada tomat yang dikemas dengan
bioplastik (0.151 ml/kg.jam). Keduanya mengalami penurunan laju produksi CO2
sebelum akhirnya mengalami peningkatan pada hari yang berbeda. Tomat yang
dikemas dengan HDPE mulai mengalami penurunan laju produksi CO2
penyimpanan ke-6 (0.120 ml/kg.jam) kemudian secara bertahap mengalami
peningkatan laju produksi CO2 antara hari penyimpanan ke-12 dan 15. Diduga
antara hari penyimpanan tersebut tomat yang dikemas dengan HDPE mengalami
fase klimakteriknya karena penyimpanan pada hari ke-18 laju produksi tomat
mengalami penurunan yang merupakan awal dari fase senescence.
Pada tomat yang dikemas dengan bioplastik penurunan laju produksi CO2
terjadi pada hari penyimpanan ke-9 (0.018 ml/kg.jam). Pada hari penyimpanan
berikutnya secara bertahap laju produksi tomat yang dikemas dengan bioplastik
mengalami peningkatan hingga akhir penyimpanan pada hari ke-21. Ini
menandakan hingga akhir penyimpanan tomat yang dikemas dengan bioplastik
belum mengalami puncak klimakteriknya karena laju produksi CO2nya belum
menunjukkan penurunan yang merupakan awal dari fase senescence. Dapat
disimpulkan tomat yang dikemas dengan bioplastik dapat menunda tahapan
pematangan tomat hingga hari ke-21.
Perbedaan puncak klimakterik dari produksi CO2 pada tomat yang dikemas
dengan bioplastik dan HDPE dipengaruhi oleh ketersediaan gas O2 dimana
semakin banyaknya jumlah gas O2 respirasi juga akan berlangsung dengan cepat
yang menyebabkan produksi CO2 meningkat. Ketersediaan gas O2 di dalam
kemasan bioplastik lebih sedikit daripada HDPE karena O2 tersebut juga bereaksi
dengan bahan bioplastik (pati). Kondisi seperti ini tidak terjadi pada tomat yang
dikemas dengan HDPE, dimana HDPE memiliki sifat inert (tidak bereaksi dengan
produk yang dikemas) sehingga seluruh gas O2 yang terdapat di dalam kemasan
digunakan untuk berlangsungnya respirasi tomat selama penyimpanan.
Selain karena bereaksi dengan bahan utama penyusun kemasan, kecepatan
respirasi tomat di dalam kemasan juga dipengaruhi oleh densitas kemasan itu
sendiri. Bioplastik memiliki densitas lebih besar yang mengindikasikan struktur
penyusunnya lebih renggang sehingga mampu melewatkan gas dari kemasan ke
lingkungan atau sebaliknya sehingga komposisi gas di dalam kemasan diharapkan
tetap stabil. Hal sebaliknya terjadi pada kemasan HDPE.
Berbeda dengan tomat yang merupakan golongan klimakterik, paprika yang
mewakili golongan non-klimakterik selama penyimpanan tidak mengalami
peningkatan produksi CO2 hingga akhirnya menuju fase senescence. Dari hasil
analisis sidik ragam Lampiran 2b menunjukkan jenis plastik dan lama
penyimpanan berpengaruh terhadap laju konsumsi O2 paprika namun suhu
penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap laju
konsumsi O2 paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kemasan HDPE
29
berbeda nyata dengan bioplastik terhadap laju konsumsi O2 dan laju konsumsi O2
berbeda nyata selama penyimpanan.
Hasil sidik ragam Lampiran 3b menunjukkan jenis plastik, suhu dan lama
penyimpanan berpengaruh terhadap laju produksi CO2 paprika namun interaksi
tiap perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap laju produksi CO2 paprika. Uji
lanjut Duncan menghasilkan perbedaan terhadap laju produksi CO2 antara paprika
yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik. Hasil uji lanjut Duncan terhadap laju
produksi CO2 paprika pada suhu penyimpanan 5 dan 10 0C tidak memberikan
perbedaan tetapi keduanya berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 15 0C. Dan
laju produksi CO2 paprika berbeda nyata selama penyimpanan.
Gambar 6 menunjukkan paprika yang dikemas dengan HDPE lebih tinggi
laju konsumsi O2 dan produksi CO2nya daripada paprika yang dikemas dengan
menggunakan bioplastik. Kondisi seperti ini sama seperti pada tomat dimana
dipengaruhi oleh bahan utama penyusun bioplastik yang dapat bereaksi dengan
gas yang terdapat dalam kemasan dan densitas bioplastik yang lebih kecil
daripada HDPE sehingga kelebihan gas tertentu di dalam kemasan bioplastik
dapat dengan mudah keluar masuk melalui lapisan bioplastik.
(a) (b)
Gambar 6 Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2
paprika, dan (b) laju produksi CO2 paprika
Densitas pada plastik sangat dipengaruhi oleh derajat kristalinitasnya.
Rantai molekul pada daerah kristalin ditandai dengan rantai lurus sedangkan pada
daerah amorf memiliki rantai bebas atau bercabang. Kombinasi struktur amorf
dan kristalin ini menentukan bentuk kemasan yang akan dihasilkan. Plastik yang
lebih banyak struktur amorfnya akan memiliki sifat fisik plastik yang fleksibel
sedangkan kristalin akan sangat kaku dan keras. Plastik yang memiliki densitas
tinggi akan memiliki derajat kristalinitas yang tinggi (Equistar 2004)
Laju respirasi juga dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan dari produk.
Semakin lama waktu penyimpanan menunjukkan semakin banyak komponen
komplek dari produk terdegradasi yang digunakan sebagai substrat pada respirasi.
Respirasi terus berlangsung selama penyimpanan hingga memasuki fase
senescence yang ditandai dengan tidak adanya lagi substrat untuk tetap disintesa.
Dari Gambar 7 dapat dilihat perbedaan pola respirasi antara paprika ditinjau
dari perubahan laju produksi CO2 selama penyimpanan. Pada awal penyimpanan
0.00
0.04
0.08
0.12
0.16
0.20
0.24
0.28
0.32
0.36
HDPE Bioplastik
Laj
u K
onsu
msi
O2 (
ml/
kg.j
am)
Jenis Plastik
0.00
0.04
0.08
0.12
0.16
0.20
0.24
0.28
0.32
0.36
HDPE Bioplastik
Laj
u P
rod
uksi
CO
2 (
ml/
kg.j
am)
Jenis Plastik
laju produksi CO2 paprika yang dikemas dengan HDPE (0.342 ml/kg.jam) lebih
besar daripada bioplastik (0.126 ml/kg.jam). Paprika yang dikemas dengan
bioplastik mengalami penurunan produksi CO2 (0.020 ml/kg.jam) pada hari
penyimpanan ke-9 sedangkan paprika yang dikemas dengan HDPE mengalami
penurunan produksi CO2 (0.069 ml/kg.jam) pada hari penyimpanan ke-12. Namun
setelah mengalami penurunan produksi CO2, keduanya mengalami peningkatan
kembali pada hari penyimpanan berikutnya. Peningkatan ini diduga karena
aktivitas mikroorganisme yang ditandai dengan adanya miselium cendawan pada
pangkal buah. Aktivitas mikroorganisme ini berlangsung dengan cepat hingga
pada hari penyimpanan ke-18 produksi CO2 paprika yang dikemas dengan
bioplastik lebih besar daripada paprika yang dikemas dengan HDPE karena
paprika yang dikemas dengan bioplastik sebagian sudah mengalami kebusukan
dan berair.
(a)
(b)
Gambar 7 Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika
yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik (), dan (b) laju produksi CO2
paprika yang dikemas HDPE HDPE (○) dan bioplastik ()
Dari pola respirasi tersebut dapat disimpulkan paprika yang dikemas dengan
bioplastik mulai memasuki fase senescence pada hari penyimpanan ke-12
sedangkan paprika yang dikemas dengan HDPE mulai memasuki tahap
senesecence pada hari penyimpanan ke-15. Berbeda dengan tomat, laju produksi
CO2 paprika yang dikemas dengan HDPE yang densitasnya lebih besar memiliki
waktu yang lebih lama menuju senescence (12 hari) daripada paprika yang
dikemas dengan bioplastik (9 hari) yang densitasnya lebih kecil.
Paprika merupakan buah golongan non-klimakterik dimana selama
penyimpanan laju produksi CO2nya hanya mengalami penurunan hingga fase
senescence. Dengan kondisi demikian menjadikan jumlah O2 di dalam kemasan
tidak semuanya digunakan untuk melakukan respirasi karena buah golongan non-
klimakterik tidak mengalami perubahan menuju kondisi optimalnya selama
penyimpanan. Namun produksi CO2 dan uap air tetap dihasilkan dari reaksi
respirasi sehingga O2, CO2 dan uap air yang terdapat pada bioplastik akan
bereaksi dengan dengan pati sebagai bahan utama penyusun kemasan ini.
Semakin lama reaksi ini berlangsung mengakibatkan bioplastik kehilangan
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
3 6 9 12 15 18 21
Laj
u K
onsu
msi
O2 (
ml/
kg.j
am)
Penyimpanan (Hari)
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
3 6 9 12 15 18 21
Laj
u P
rod
uksi
CO
2 (
ml/
kg.j
am)
Penyimpanan (Hari)
31
performanya untuk melindungi produk yang menyebabkan paprika yang dikemas
dengan bioplastik lebih cepat menuju fase senescence.
Laju produksi CO2 pada paprika selain dipengaruhi jenis plastik dan lama
penyimpanan, suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh terhadap laju
produksi CO2 paprika. Suhu sangat berpengaruh pada cepat atau tidaknya laju
respirasi karena pada suhu tinggi dapat menyebabkan proses pemecahan
komponen komplek seperti karbohidrat dapat berlangsung lebih cepat. Rataan
produksi CO2 pada paprika yang disimpan pada suhu 15 oC lebih tinggi (0.192
ml/kg-jam) daripada laju produksi paprika yang disimpan pada suhu 5 oC (0.102
ml/kg-jam) dan suhu 10 oC (0.119 ml/kg-jam). Hal ini sesuai dengan Wills (1989)
yang mengemukakan setiap peningkatan suhu 10 oC maka laju respirasi
meningkat 2 kali lipat, tetapi pada suhu di atas 35 oC laju respirasinya menurun
karena aktivitas enzim terganggu sehingga menghambat difusi oksigen.
Perubahan Fisikokimia
Perubahan fisikokimia dari tomat dan paprika yang dikemas dengan
menggunakan HDPE dan bioplastik pada tiga tingkatan suhu penyimpanan (5, 10
dan 15 oC) selama 21 hari merupakan pengaruh dari reaksi respirasi dimana
terjadi degradasi senyawa makromolekul komplek. Semakin cepat laju respirasi
terjadi menandakan pemecahan makromolekul komplek cenderung lebih cepat
yang mengakibatkan perubahan fisikokimia dari tomat dan paprika selama
penyimpanan berlangsung lebih cepat sehingga waktu yang diperlukan menuju
senescence lebih singkat. Respirasi dapat mengakibatkan perubahan terhadap
kandungan kimia dan fisik buah, seperti pati menjadi gula sehingga buah terasa
manis, perubahan warna sehingga lebih menarik, melunaknya buah dan perubahan
lainnya yang diharapkan hingga pada batas tertentu. Akan tetapi semakin lamanya
penyimpanan menyebabkan produk hortikultura mengalami kemunduran kualitas
secara keseluruhan.
Proses respirasi dapat dibedakan dalam tiga tingkat, yaitu (1) Pemecahan
polisakarida menjadi gula sederhana, (2) Oksidasi gula menjadi asam piruvat, dan
(3) Transformasi asam piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO2, air
dan energi (Syarief dan Hariyadi, 1993). Berbagai macam perubahan yang terjadi
saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Pada saat respirasi berlangsung
terjadi pemecahan pati dan terbentuk gula-gula yang lebih sederhana yang
dikonversikan menjadi asetil CoA yang nantinya akan digunakan pada jalur
metabolisme lainnya. Proses ini berlangsung terus menerus dengan kecepatan
yang tergantung pada kondisi lingkungan hingga tidak adanya lagi substrat yang
bisa digunakan. Pada kondisi seperti ini biasanya buah telah memasuki fase
senescence (busuk) sehingga mengalami penurunan kualitas.
Penurunan Bobot
Penurunan bobot selama penyimpanan merupakan salah satu parameter
mutu yang mencerminkan tingkat kesegaran produk hortikultura. Selama
penyimpanan selain terjadi respirasi, juga terjadi trasnpirasi yaitu penguapan air
dari permukaan produk hortikultura yang menyebabkan kekeringan dan kelayuan.
Proses transpirasi ini merupakan bagian dari proses respirasi yang terjadi selama
penyimpanan dimana pada saat terjadinya pemecahan makromolekul kompleks
menghasilkan air dalam bentuk uap.
Berat rata-rata pada awal penyimpanan tomat sebesar 513.878 g dan paprika
sebesar 516.542 g. Pada akhir penyimpanan, yaitu pada hari ke-21 berat rata-rata
tomat menjadi 488.505 g dan paprika menjadi 469.832 g. Ini menunjukkan
persentase susut bobot tomat yang berkurang selama penyimpanan (0.064-
1.043%) lebih rendah daripada persentase susut bobot paprika yang berkurang
(0.063-14.905%) yang dapat dilihat pada Lampiran 4.
Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 4a menunjukkan hanya lama
penyimpanan berpengaruh terhadap persentase penurunan bobot dari tomat. Hasil
uji lanjut Duncan menunjukkan penurunan bobot tomat pada awal penyimpanan
berbeda pada setiap harinya. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 4b juga
menunjukkan hanya lama penyimpanan yang berpengaruh terhadap penurunan
bobot paprika sedangkan jenis plastik, suhu penyimpanan dan interaksi antar
perlakuan tidak memberikan pengaruh. Hasil analisis uji lanjut Duncan
menunjukkan penurunan bobot paprika pada awal penyimpanan berbeda nyata
dengan akhir penyimpanan.
Gambar 8 menunjukkan penurunan bobot yang merupakan persentase bobot
akhir dari tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama
penyimpanan. Tomat yang dikemas dengan menggunakan bioplastik mulai
mengalami penurunan bobot pada hari penyimpanan ke-9 (98.893%) lebih besar
daripada tomat yang dikemas dengan menggunakan HDPE (99.165%). Penurunan
bobot lebih besar pada tomat yang dikemas dengan bioplastik terus terjadi hingga
akhir penyimpanan (hari ke-21).
(a)
(b)
Gambar 8 Pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot (a) tomat yang
dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas
HDPE (○) dan bioplastik ()
Kondisi ini dipengaruhi oleh karakteristik plastik terhadap permeabilitas uap
air, dimana selama penyimpanan selain terjadi respirasi, juga terjadi transpirasi
yaitu penguapan air dari permukaan buah yang menyebabkan kekeringan dan
kelayuan. Proses transpirasi ini merupakan bagian dari proses respirasi yang
terjadi selama penyimpanan dimana pada saat terjadinya pemecahan
makromolekul kompleks menghasilkan air dalam bentuk uap. Uap air yang
terbentuk ini akan lebih mudah melewati kemasan bioplastik karena kemasan ini
85
90
95
100
0 3 6 9 12 15 18 21
Pen
uru
nan
Bo
bo
t (%
)
Penyimpanan (Hari)
85
90
95
100
0 3 6 9 12 15 18 21
Penyimpanan (Hari)
33
memiliki nilai permeabilitas yang lebih tinggi (21.56 g/m2/24 jam) daripada
HDPE (13.10 g/m2/jam) yang mengindikasikan bioplastik memiliki kemampuan
untuk melewatkan uap air dari dalam kemasan lebih besar daripada HDPE.
Permeabilitas juga berkaitan erat dengan densitas (kerapatan) dari kemasan.
Pendapat tersebut didukung oleh Equistar (2004) dimana permeabilitas plastik
dapat dipengaruhi oleh struktur kristalin dari plastik. Daerah kristalin pada plastik
lebih tahan terhadap permeabilitas gas dan uap air sedangkan daerah amorf lebih
mudah untuk ditembusi oleh molekul uap air dan gas.
Nunes (2008) mengatakan persentase penurunan susut bobot tomat yang
disimpan pada suhu 15 oC (2%) lebih tinggi daripada suhu penyimpanan 20
oC
(2.5%) tetapi pada tomat yang disimpan dibawah suhu 15 oC susut bobot yang
terjadi kurang dari 1%. Tomat yang dipanen pada tingkat kematangan mature-
green yang disimpan pada suhu 12 oC selama 4 minggu mengalami kehilangan
bobot 9.8% dengan kenampakan tomat semakin menurun yang ditandai dengan
adanya keriput, kisut pada kulit dan kehilangan kecerahan.
Paprika yang dikemas dengan bioplastik mengalami penurunan pada hari
ke-9 (99.208%) lebih besar daripada paprika yang dikemas dengan HDPE
(99.406%). Setelah hari penyimpanan ke-12, penurunan bobot paprika yang
dikemas dengan HDPE (94.680%) lebih besar daripada paprika yang dikemas
dengan bioplastik (98.661%). Penurunan bobot secara drastis yang terjadi pada
paprika yang dikemas dengan HDPE diduga karena komposisi udara di dalam
kemasan tersebut. Paprika yang dikemas dengan HDPE pada hari penyimpanan
ke-15 mengalami akumulasi CO2 hasil dari proses respirasi lebih besar daripada
CO2 di dalam kemasan bioplastik sehingga lebih memungkinkan terjadinya
respirasi anaerobik di dalam kemasan HDPE daripada bioplastik. Kondisi seperti
ini mengakibatkan paprika yang dikemas dengan HDPE lebih cepat mengalami
kebusukan dan berair serta beraroma tajam hingga mengalami penurunan bobot
yang drastis.
Penelitian Manolopoulou et al. (2010) juga menghasilkan pola penurunan
bobot paprika yang sama dimana plastik dengan densitas lebih rendah (LDPE)
menghasilkan nilai susut bobot yang lebih tinggi dibandingkan plastik dengan
densitas yang lebih besar (MDPE). Pada akhir penyimpanan, paprika pada suhu
10 oC yang dikemas dengan LDPE mengalami kehilangan bobot sebesar 0.65%
sedangkan paprika yang dikemas dengan MDPE sebesar 0.32%.
Kehilangan air, pelunakan jaringan, pengkerutan dan chilling injury
merupakan faktor utama batasan kualitas dari paprika. Paprika merupakan produk
hortikultura yang berongga dimana ketebalan dindingnya sekitar 5-8 mm sehingga
menjadikannya mudah mengalami pengurangan volume air dalam jumlah yang
besar selama penyimpanan yang mengakibatkan produk menjadi mengkerut dan
kehilangan ketegarannya. Penyimpanan pada suhu 7.5 oC dengan RH 90-95%
disarankan untuk memperpanjang masa simpan maksimum paprika (3-5 minggu)
dan mengurangi penguapan air yang dapat menyebabkan pengkerutan. Paprika
juga dapat disimpan pada suhu 5 oC selama 2 minggu dan juga penyimpanan pada
suhu rendah dapat mengurangi kehilangan air akan tetapi gejala chilling injury
akan muncul apabila melebihi masa simpan tersebut (Gonzalez-Aguilar 2004).
Kader (1992) menjelaskan terjadinya susut bobot dikarenakan hilangnya air
dalam buah dan oleh respirasi yang mengubah gula menjadi CO2 dan H2O. Hal ini
juga dijelaskan oleh Muchtadi (1992) dimana kehilangan bobot pada buah dan
sayuran selama penyimpanan disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat
proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi yang menimbulkan
kerusakan dan menurunkan mutu produk tersebut.
Kekerasan
Perubahan tekstur merupakan salah satu perubahan fisiologis yang terjadi
sebagai akibat langsung dari kehilangan air pada produk hortikultura. Biasanya
perubahan tekstur yang terjadi pada produk hortikultura selama penyimpanan
adalah menurunnya tingkat kekerasan sehingga menjadi lunak kecuali pada
produk tertentu seperti manggis (kulit buahnya menjadi keras). Perubahan tekstur
produk yang semula keras menjadi lunak ini dikarenakan kehilangan air yang
menjadikan komposisi dinding sel berubah sehingga menyebabkan menurunnya
tekanan turgor sel dan kekerasan buah menurun. Selain itu juga terjadi perubahan
secara kimiawi pada dinding sel yang tersusun dari senyawa-senyawa komplek
dari golongan karbohidrat struktural, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan
lignin.
Salah satu bentuk penilaian suatu produk pertanian masih layak simpan
untuk dikonsumsi adalah ketika tekstur buah masih dalam keadaan cukup keras.
Dari Lampiran 5 dapat dilihat nilai kekerasan tomat selama penyimpanan (1.322-
2.907 N) lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai kekerasan paprika (2.082-
2.941 N). Perbedaan nilai kekerasan bisa dikarenakan faktor internal seperti
perbedaan kadar air, ketebalan daging buah dan komposisi kandungan senyawa
komplek penyusun dinding sel.
Tucker et al. (1993) mengatakan hampir semua buah mengalami pelunakan
selama tahap pematangan. Perubahan tekstur menjadi lunak (softening) pada
kebanyakan buah salah satunya dapat disebabkan oleh mekanisme kehilangan
tekanan turgor (loss of turgor pressure), degradasi kandungan pati atau kerusakan
pada dinding sel buah. Kehilangan tekanan turgor sebagian besar merupakan
proses non-fisiologis yang berhubungan dengan dehidrasi buah pascapanen.
Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 5a menunjukkan jenis plastik tidak
berpengaruh terhadap perubahan kekerasan tomat sedangkan suhu dan lama
penyimpanan berpengaruh terhadap perubahan kekerasan tomat. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan suhu penyimpanan 5 oC berbeda nyata dengan 15
oC,
namun keduanya tidak berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 10 0C terhadap
kekerasan tomat. Hasil uji lanjut Duncan juga menunjukkan perubahan kekerasan
tomat berbeda selama masa penyimpanan.
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 5b terhadap perubahan kekerasan
paprika menunjukkan hanya dipengaruhi oleh perlakuan lama. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan perubahan kekerasan paprika berbeda nyata selama masa
penyimpanan.
Suhu penyimpanan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan tekstur dari buah. Apabila suhu penyimpanan terlalu tinggi
dapat menyebabkan proses respirasi dan transpirasi berlangsung lebih cepat
sehingga kandungan air dari buah lebih cepat mengalami penurunan yang
mengakibatkan berkurangnya ketegaran buah (firmness).
Dari Tabel 7 dapat dilihat nilai kekerasan tomat yang disimpan pada suhu
yang lebih rendah (5 oC) memberikan nilai cenderung lebih besar daripada tomat
yang disimpan pada suhu yang lebih tinggi (10 dan 15 oC). Hal ini disebabkan
35
pada suhu yang lebih tinggi respirasi dan transpirasi berlangsung lebih cepat
sehingga air yang terdapat pada produk semakin berkurang dengan cepat yang
menjadikan ketegaran dari produk semakin menurun sehingga mengakibatkan
nilai kekerasan dari buah juga semakin kecil.
Tabel 7 Kekerasan tomat pada suhu penyimpanan yang berbeda
Suhu Penyimpanan
(⁰C)
Kekerasan (N)
HDPE Bioplastik
5 2.484b
2.415b
10 2.206ab
2.172ab
15 1.983a 1.912
a
Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Menurut Gonzalez-Aguilar (2004) pelunakan buah berhubungan langsung
dengan berkurangnya kadar air dalam buah. Selain itu kekerasan dapat disebabkan
karena terhambatnya proses respirasi atau metabolisme sehingga perombakan
karbohidrat menjadi senyawa yang larut air berkurang maka kekerasan dari
produk hortikultura akan bertahan. Kitinoja dan Kader (2003) menyatakan suhu
dingin sangat mempengaruhi perubahan nilai kekerasan buah. Semakin rendah
suhu penyimpanan maka semakin lambat penurunan nilai kekerasan buah.
Prasanna et al. (2007) mengatakan proses hidrolisis protopektin dan pektin
yang berperan dalam menjaga tingkat kekerasan buah berlangsung lebih cepat
pada suhu yang lebih tinggi. Pektin sendiri merupakan polimer yang tersusun dari
asam galakturonat dimana secara alami pektin akan dihidrolisa oleh enzim
pektinase selama proses pematangan. Hidrolisa pektin menjadi unit yang lebih
sederhana dan bersifat larut dalam air akan menyebabkan perubahan tekstur buah.
Dari Tabel 7 dapat dilihat nilai kekerasan tomat yang dikemas dengan
HDPE cenderung lebih tinggi daripada bioplastik terutama pada suhu yang lebih
rendah. Ini disebabkan pada suhu penyimpanan yang rendah, permeabilitas uap air
dari bioplastik semakin menurun sehingga proses transpirasi tidak terjadi dengan
cepat dan buah tidak akan mengalami kehilangan turgor yang akan mempengaruhi
kekerasan buah. Sebaliknya hal yang berbeda terjadi pada HDPE dimana
permeabilitas uap air akan meningkat pada suhu penyimpanan yang rendah.
Hasil penelitian Raynasari (2002) menunjukkan permeabilitas uap air
bioplastik mengalami penurunan dengan semakin rendahnya suhu penyimpanan
dimana bioplastik yang disimpan selama 30 hari pada suhu 3-7 oC (13.8528-
19.1088 g/m2/24 jam) lebih kecil daripada suhu -10-(-6)
oC (16.7208-20.5416
g/m2/24 jam). Permeabilitas uap air HDPE meningkat dengan menurunnya suhu
penyimpanan dimana pada suhu 3-7 oC (11.0088-16.7208 g/m
2/24 jam) namun
lebih kecil daripada suhu penyimpanan -10-(-6) oC (13.3752-19.1088 g/m
2/24
jam). Menurunnya permeabilitas uap air bioplastik disebabkan granula pati yang
merupakan bahan utama penyusun bioplastik mengalami pembengkakkan hingga
akhirnya pecah yang menyebabkan terjadinya ikatan kuat antara molekul
penyusun bioplastik sehingga mengakibatkan molekul uap air semakin sulit dapat
melewati kemasan ini.
Dari Gambar 9 dapat dilihat perubahan morfologi permukaan kedua jenis
plastik yang dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Terlihat dengan jelas semakin
rendah suhu penyimpanan mengakibatkan semakin banyak granula pati yang
berukuran besar jadi pecah. Ini dapat dilihat dari hasil uji SEM terhadap
morfologi permukaan bioplastik pada suhu 10-(-6) oC terdapat granula pati
dengan ukuran lebih kecil yang tersebar diseluruh permukaan bioplastik. Hasil uji
SEM terhadap morfologi permukaan HDPE menunjukkan permukaan homogen
yang mengindikasikan tidak terjadinya perubahan apabila disimpan pada suhu
rendah.
Suhu Penyimpanan (
oC)
24-28 3-7 (-10)-(-6)
Bioplastik
HDPE
Gambar 9 Pengaruh suhu terhadap morfologi permukaan kemasan setelah
disimpan selama 30 hari (perbesaran 200 x) (Raynasari 2012)
Dengan berubahnya ukuran partikel pati penyusun bioplastik pada suhu
rendah menyebabkan kemampuannya untuk melindungi produk menurun.
Kemampuan ini semakin menurun seiring dengan lamanya penyimpanan dimana
menyebabkan semakin banyak granula pati yang mengalami kerusakan pada suhu
yang terlalu rendah. Selama penyimpanan proses respirasi terus berlangsung
dimana lajunya akan terjadi lebih cepat pada suhu penyimpanan yang tinggi
sehingga menyebabkan perubahan secara kimiawi lebih cepat terjadi pada dinding
sel yang tersusun dari senyawa-senyawa komplek.
Gambar 10 menunjukkan perubahan kekerasan pada tomat dan paprika yang
dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan. Perubahan kekerasan
tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE memiliki nilai yang
hampir sama. Selama penyimpanan nilai kekerasan tomat cenderung menurun
berbeda dengan paprika yang cenderung mengalami kenaikan. Pada awal
penyimpanan daging buah paprika masih dalam keadaan segar dimana dinding sel
belum mengalami pelunakan. Daging buah paprika ini memiliki ketebalan sekitar
5-8 mm dengan bagian dalamnya yang berongga dengan tekstur daging paprika
dalam keadaan segarnya adalah renyah. Dan ini berbeda dengan daging buah
tomat yang lebih tebal dengan tekstur yang bersifat juicy.
Peningkatan nilai kekerasan yang terjadi pada paprika disebabkan
berkurangnya tekanan turgor akibat berkurangnya air pada permukaan buah.
Dengan berkurangnya tekanan turgor menjadikan konsistensi paprika berubah
sehingga pada saat dilakukan uji kekerasan, daging buah paprika menjadi liat
37
(hampir seperti jeli) yang menjadikan probe rheometer susah untuk menembus
daging buah sehingga nilai tekanan yang terlihat pada display lebih besar nilainya.
Tucker et al. (1993) mengatakan kehilangan turgor sebagian besar bukan
dikarenakan oleh proses fisiologi.
(a)
(b)
Gambar 10 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan kekerasan (a) tomat
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang
dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()
Peningkatan nilai kekerasan pada paprika juga dikemukan oleh Hasanah
(2009) dimana selama penyimpanan 21 hari tanpa diberi perlakuan pencelupan
dalam larutan edible coating nilai kekerasan paprika meningkat. Pada awal
penyimpanan nilai kekerasan paprika sebesar 3.483 (50g/mm.s) atau setara
dengan 1.742 N sedangkan pada akhir penyimpanan yaitu hari ke-21 nilai
kekerasan paprika sebesar 6.667 (50g/mm.s) atau setara dengan 3.334 N.
Berbeda dengan paprika, nilai kekerasan tomat cenderung mengalami
penurunan selama penyimpanan. Penurunan nilai kekerasan tomat selama
penyimpanan disebabkan karena terjadinya kehilangan air dari tomat dan juga
terdegradasinya senyawa struktural pembentuk dinding sel. Nilai kekerasan tomat
yang mengalami penurunan selama penyimpanan juga ditemukan pada hasil
penelitian Musaddad (2002) dimana pada saat awal penyimpanan rerata nilai
kekerasan tomat berkisar 0.41 MPa (8.050 N). Setelah disimpan selama 20 hari
tanpa dilapisi edible khitosan, pada suhu kamar (28-30 oC) kekerasan tomat
menjadi 0.18 MPa (3.534 N) dan pada suhu dingin (9-12 oC) menjadi 0.21 MPa
(4.123 N).
Perbedaan kecenderungan nilai kekerasan yang terjadi pada tomat dan
paprika dapat dikarenakan perbedaan ketebalan dinding sel dan komposisi
karbohidrat struktural (pembangun) dinding sel. Dari Tabel 1 dan Tabel 4 dapat
dilihat nilai dietary fiber paprika lebih besar daripada tomat sehingga diduga efek
seperti jeli pada dinding sel selama penyimpanan lebih dominan terjadi pada
paprika.
Winarno (2002) mengemukakan secara kimiawi dinding sel tersusun dari
senyawa-senyawa yang sangat komplek, antara lain selulosa, hemiselulosa, pektin
dan lignin. Pektin adalah polisakarida yang menyusun sepertiga bagian dinding
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
0 3 6 9 12 15 18 21
Kek
eras
an (
N)
Penyimpanan (Hari)
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
0 3 6 9 12 15 18 21
Penyimpanan (Hari)
sel tanaman, terletak pada bagian tengah lamella dinding sel. Sifat terpenting dari
pektin adalah kemampuannya membentuk gel dan sebagai bahan pengental. Pada
waktu buah menjadi matang, kandungan pektat dan pektinat yang larut meningkat
sedangkan jumlah zat pektat seluruhnya menurun, akibatnya akan melemahkan
ikatan dinding sel sehingga ketegaran buah akan berkurang. Dalam proses
pengembangan dan pematangan, tekanan turgor sel selalu berubah. Perubahan
turgor pada umumnya disebabkan oleh perubahan dinding sel dan perubahan
tersebut akan mempengarui firmness dari buah.
Sjaifullah et al. (1996) menyatakan proses hidrolisis protopektin dan pektin
yang berperan dalam menjaga tingkat kekerasan buah berlangsung lebih cepat
pada suhu yang lebih tinggi. Kerja enzim pektinesterase adalah mengubah
protopektin menjadi pektin yang larut dalam air dan/atau enzim α- amilase dan β-
amilase bekerja lebih cepat pada suhu tinggi. Salah satu enzim yang memotong
ikatan glikosidik pada polisakarida adalah enzim α-amilase yang terdapat pada
jaringan tanaman. Mekanisme pemotongan ikatan α, 1-4 pada molekul amilosa
dimulai dengan cara mendegradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa.
Proses tersebut terjadi secara acak dan cepat yang diikuti dengan penurunan
viskositas sel secara drastis yang menyebabkan kekerasan buah menjadi
berkurang.
Perubahan Warna
Sebagai parameter visual, umumnya konsumen cenderung melakukan
penilaian pertama terhadap tingkat kematangan buah melalui warna. Perubahan
warna merupakan perubahan yang paling menonjol pada waktu pematangan.
Perubahan warna terjadi akibat sintesis dari pigmen tertentu, seperti karatenoid
dan flavonoid, disamping terjadinya perombakan klorofil. Perombakan klorofil
menyebabkan pigmen karotenoid yang sudah ada namun tidak nyata menjadi
nampak. Perubahan warna yang terjadi pada buah-buahan sering dijadikan sebagai
kriteria utama bagi konsumen untuk menentukan mentah ataupun matangnya
suatu buah. Warna pada buah-buahan disebabkan oleh pigmen yang umumnya
dibedakan atas 4 kelompok yaitu klorofil, antosianin, flavonoid dan karotenoid
(Winarno 2002).
Nilai L* menunjukkan tingkat kecerahan dari tomat dan paprika dimana
nilai L* berkisar antara 0 (hitam) hingga 100 (putih). Dari Lampiran 6 dapat
dilihat selama 21 hari penyimpanan perubahan nilai L* tomat (43.731-50.453)
lebih tinggi daripada perubahan nilai L* paprika (34.508-45.387) dimana kisaran
angka tersebut mengindikasikan bahwa tomat lebih cerah daripada paprika. Dari
Lampiran 7 menunjukkan data nilai C* selama penyimpanan tomat (12.040-
27.771) lebih tinggi daripada nilai C* paprika (7.883-20.933) dan Lampiran 8
yang memperlihatkan perubahan ohue selama penyimpanan untuk tomat (-45.570-
68.453) lebih besar kisarannya daripada ohue paprika (-66.007-(-8.699)).
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 6a menunjukkan jenis plastik, suhu
penyimpanan dan lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap nilai L* pada
tomat. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 7a menunjukkan jenis plastik dan suhu
penyimpanan tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai C* tomat, namun lama
penyimpanan memberikan pengaruh terhadap perubahan nilai C* tomat. Hasil uji
lanjut Duncan menunjukkan perubahan nilai C* tomat berbeda nyata antara awal
penyimpanan hingga akhir penyimpanan.
39
Gambar 11 menunjukkan perubahan nilai C* tomat yang dikemas dengan
HDPE dan bioplastik cenderung memiliki pola yang sama. Pada awal
penyimpanan nilai C* tomat baik yang dikemas dengan bioplastik ataupun HDPE
cenderung mengalami peningkatan hingga penyimpanan hari ke-9. Pada hari
penyimpanan selanjutnya (hari ke-12) nilai C* tomat stabil hingga akhir
penyimpanan (hari ke-21).
Gambar 11 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan nilai C* tomat yang
dikemas HDPE () dan bioplastik (▲)
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 8a memperlihatkan jenis plastik dan
lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan ohue tomat,
hanya suhu penyimpanan memberikan pengaruh terhadap perubahan ohue tomat.
Uji lanjut Duncan menghasilkan suhu penyimpanan 5oC tidak berbeda nyata
dengan suhu penyimpanan 10oC namun keduanya berbeda nyata dengan suhu
penyimpanan 15 oC.
Tabel 8 menunjukkan pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan ohue
tomat dimana pada suhu penyimpanan 5 dan 10 C masih bernilai negatif yang
mengindikasikan tomat yang dikemas pada suhu tersebut masih berwarna hijau
sedangkan pada suhu penyimpanan 15 oC nilai
ohue bertanda positif yang
menunjukkan tomat berwarna merah. Hasil penelitian ini menunjukkan
penyimpanan pada suhu rendah dapat memperlambat proses perombakan klorofil
dan sekaligus memperlambat pula proses pembentukan likopen. Suhu mempunyai
peranan yang penting dalam pembentukan pigmen. Pada pembentukan likopen,
bila suhu naik maka perubahannya akan cepat. Rendahnya nilai warna pada
perlakuan suhu penyimpanan 5 oC disebabkan oleh suhu yang terlalu rendah
sehingga degradasi klorofil.
Nunes (2008) menyatakan pigmen buah tomat didominasi oleh karoten dan
likopen, akumulasi likopen selama ripening akan menghambat biosintesa karoten
sehingga menjadikan buah tomat terlihat berwarna merah. Sintesa dan
perombakan likopen dipengaruhi oleh suhu, sedangkan karoten tidak. Suhu antara
30-35 oC dapat menghambat sintesa likopen.
10.0
12.5
15.0
17.5
20.0
22.5
25.0
0 3 6 9 12 15 18 21
Nil
ai C
*
Penyimpanan (Hari)
Tabel 8 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan ohue tomat
Suhu Penyimpanan
( C) Perubahan ⁰hue Tomat
HDPE Bioplastik
5 -22.242a -23.574
a
10 -16.276a -7.854
a
15 21.965b 21.910
b
Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Winarno (2002) menyatakan perubahan warna tomat dimulai dengan
hilangnya warna hijau, dimana kandungan klorofil buah yang sedang masak dan
lambat laun berkurang. Dengan dimulainya proses pematangan, pigmen kuning
xantofil diproduksi. Kemudian pada tahap kematangan berikutnya pigmen merah
(likopen) akan terakumulasi. Kartasapoetra (1994) menyatakan perubahan warna
pada buah merupakan hasil pembongkaran klorofil akibat adanya pengaruh
perubahan kimiawi dan fisiologis.
Dari Tabel 8 dapat dilihat nilai ohue tomat yang dikemas dengan bioplastik
lebih rendah daripada yang dikemas pada HDPE kecuali pada suhu penyimpanan
10 oC dimana tomat yang dikemas dengan bioplastik nilai
ohue lebih tinggi. Ini
menunjukkan tomat yang dikemas dengan bioplastik pada suhu penyimpanan 10 oC dapat menunda perubahan warna tomat untuk menjadi merah. Kondisi ini
terjadi akibat perubahan sifat mekanik bioplastik pada penyimpanan suhu rendah
dimana tidak hanya terjadi perubahan nilai permeabilitas juga terjadi perubahan
densitas. Granula pati yang merupakan bahan utama bioplastik pada suhu rendah
mengalami pembengkakkan (retrogradasi) hingga pecah yang mengakibatkan
ikatan antar molekul bioplastik jadi lebih kuat yang berakibat nilai permeabilitas
uap airnya jadi menurun. Oleh karena ikatan antar molekul bioplastik menjadi
lebih kuat menyebabkan bioplastik menjadi kaku dan kehilangan sifat plastisnya
(fleksibel) yang mengindikasikan densitasnya semakin besar yang menunjukkan
kerapatan bioplastik semakin tinggi.
Perubahan densitas bioplastik menjadi lebih besar mengakibatkan
kerapatannya juga meningkat sehingga kemasan ini tidak dapat melewatkan panas
bahan yang dikemas dan panas akibat dari proses respirasi yang tetap
terakumulasi di dalam kemasan. Budiastra dan Purwadaria (1993) mengatakan
secara umum tujuan dari pengemasan buah dan sayuran adalah untuk melindungi
komoditas dari kerusakan mekanik, tidak menghambat lolosnya panas bahan dan
panas pernapasan dari produk serta mempunyai kekuatan konstruksi yang cukup
untuk mengatasi penanganan dan pengangkutan yang wajar. Perubahan warna
tomat selama penyimpanan yang dikemas dengan kedua jenis kemasan pada tiap-
tiap suhu dapat dilihat pada Lampiran 9.
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 6b menunjukkan jenis plastik tidak
berpengaruh terhadap nilai L* paprika namun suhu dan lama penyimpanan
berpengaruh terhadap nilai L* paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan
perubahan nilai L* pada suhu penyimpanan 5
oC paprika tidak berbeda nyata
dengan perubahan nilai L* paprika yang disimpan pada suhu 10
oC, akan tetapi
keduanya berbeda nyata terhadap perubahan nilai L* paprika pada suhu
penyimpanan 15 oC.
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 7b menunjukkan perubahan nilai C*
paprika hanya dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan dimana uji lanjut Duncan
41
menghasilkan hanya penyimpanan hari ke-0 yang berbeda nyata dengan
penyimpanan hari berikutnya. Dan analisis sidik ragam Lampiran 8b
menghasilkan perubahan nilai ohue paprika juga hanya dipengaruhi oleh suhu
penyimpanan dimana hasil uji lanjut Duncan menunjukkan suhu penyimpanan 5
dan 10 oC tidak berbeda nyata namun keduanya berbeda dengan suhu
penyimpanan 15 oC.
Tabel 9 menunjukkan nilai L* pada suhu penyimpanan 15
oC lebih besar
daripada suhu penyimpanan 5 oC dan 10
oC. Ini menandakan paprika yang
disimpan pada suhu 15 oC memiliki tingkat kecerahan yang lebih besar sehingga
dapat diindikasikan penyimpanan paprika pada suhu ini mulai mengalami
perubahan komposisi pigmen yang diikuti dengan nilai ohue yang juga besar.
Tabel 9 Pengaruh perbedaan suhu penyimpanan terhadap perubahan nilai L* dan
ohue paprika
Suhu Penyimpanan
(⁰C)
Perubahan warna paprika
Nilai L* Nilai ohue
HDPE Bioplastik HDPE Bioplastik
5 39.126a 38.583
a -52.488
a -52.822
a
10 39.329a 40.260
a -54.602
a -56.558
a
15 41.345b 41.623
b -31.926
b -34.529
b
Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
Nyanjage et al. (2005) mengatakan kehilangan warna hijau terjadi dengan
cepat pada penyimpanan suhu kamar yang disebabkan oleh peningkatan
kerusakan klorofil dan sintesa pigmen β-karoten dan likopen yang terjadi selama
proses pematangan. Penyimpanan buah golongan non-klimakterik pada suhu
rendah seperti paprika dapat mencegah terjadinya penurunan kualitas sehingga
dapat mempertahankan warna hijau paprika lebih lama.
Dari Tabel 9 dapat dilihat nilai ohue paprika baik yang dikemas dengan
HDPE ataupun bioplastik masih menunjukkan ohue negatif yang menandakan
paprika masih tetap berwarna hijau pada tiga tingkatan suhu tersebut. Namun
paprika yang dikemas dengan bioplastik pada ketiga suhu penyimpanan
cenderung lebih rendah daripada paprika yang dikemas dengan HDPE. Ini
menunjukkan paprika yang dikemas dengan bioplastik mulai mengalami
perubahan warna hijau paprika. Hal ini terjadi akibat perubahan karakteristik
bioplastik pada suhu rendah sehingga mempengaruhi produk yang dikemas. Hasil
pengamatan perubahan warna paprika yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE
pada ketiga suhu penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 10.
Gambar 12 menunjukkan perubahan warna paprika yang dikemas dengan
HDPE dan bioplastik selama penyimpanan berdasarkan perubahan nilai L*dan C
*.
Dapat dilihat bahwa pola perubahan nilai L* dan C
* paprika yang dikemas dengan
HDPE dan bioplastik cenderung sama. Pada awal penyimpanan paprika masih
berwarna hijau ditandai dengan nilai a* negatif tetapi nilai L
* dan b
* paprika
positif. Nilai L* paprika pada awal penyimpanan masih cenderung stabil, namun
begitu memasuki hari penyimpanan ke-9 nilai L* paprika mengalami penurunan
yang menunjukkan warna paprika berubah dari hijau menjadi hijau gelap. Setelah
penyimpanan hari ke-12 nilai L* paprika mengalami peningkatan.
(a)
(b)
Gambar 12 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan (a) nilai L* paprika
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) nilai C* paprika
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲)
Sama halnya dengan tomat, perubahan warna pada paprika juga terjadi
sebagai akibat terdegradasinya klorofil atau terjadi perombakan klorofil selama
penyimpanan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan tingkat kecerahan
pada paprika. Pada awal penyimpanan paprika masih berwarna hijau, ini
mengindikasikan pigmen dominan yang ada pada paprika berwarna hijau dimana
klorofil belum terdegradasi. Semakin lama penyimpanan maka akan terjadi
perombakan klorofil sehingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi kuning.
Nunes (2008) mengatakan nilai L* pada paprika cenderung mengalami
penurunan selama penyimpanan walaupun nilai L* perubahan yang terjadi sedikit.
Paprika yang disimpan pada suhu 0, 5,10 dan 15 oC menunjukkan perubahan
warna dari warna hijau terang menjadi hijau gelap (kusam) selama penyimpanan,
namun beberapa paprika yang disimpan pada suhu 20 oC menunjukkan perubahan
warna dari hijau menjadi semburat kuning pada hari penyimpanan ke-10 dan akan
berubah menjadi kuning keseluruhan pada hari penyimpanan ke-20.
Warna yang ada pada buah ditimbulkan oleh keberadaan pigmen yang
dikandungnya. Buah akan menampilkan warna-warna yang menarik yang
ditunjukkan oleh fisikokimia dari pigmen. Sebagai salah satu secondary plants
products, pigmen-pigmen warna dihasilkan melalui serangkaian proses yang juga
melibatkan hasil dari proses primer yaitu respirasi. Sebagai tahapan pada respirasi,
jalur glikolisis, menghasilkan ATP dan Acetyl CoA. Kedua produk ini yang akan
digunakan dalam pentose phosphate pathway (PPP), yaitu jalur rangkaian proses
yang akan membentuk pigmen-pigmen warna pada buah (Tucker et al. 1993).
Total Padatan Terlarut (TPT) Buah-buahan dan sayuran menyimpan karbohidrat untuk persediaan bahan
dan energi. Persediaan ini digunakan untuk melaksanakan aktivitas sisa hidupnya.
Oleh karena itu dalam proses pematangan, kandungan gula dan karbohidrat selalu
berubah (Winarno 2002). Total padatan terlarut diukur dengan menggunakan
refraktometer dimana bagian terbesar dari pengukuran TPT ini adalah total
kandungan gula dalam buah sehingga nilai TPT yang diukur dalam satuan oBrix
37
38
39
40
41
42
43
0 3 6 9 12 15 18 21
Nil
ai L
*
Penyimpanan (Hari)
6
8
10
12
14
16
18
0 3 6 9 12 15 18 21
Nil
ai C
*
Penyimpanan (Hari)
43
ini dianggap sebagai gambaran banyaknya kandungan gula pada produk yang
diamati.
Dari Lampiran 11dapat dilihat bahwa rataan nilai TPT tomat selama
penyimpanan (3.70-4.46 oBrix) jauh lebih besar bila dibandingkan dengan rataan
nilai TPT paprika (3.21-4.19 oBrix). Perbedaan nilai TPT dari kedua produk
hortikultura ini dipengaruhi oleh komposisi kimia yang berbeda. Nilai TPT pada
tiap-tiap produk hortikultura dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat (pati) dan
kecepatan laju respirasi.
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 11a menunjukkan jenis plastik dan
suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap nilai TPT tomat akan tetapi lama
penyimpanan berpengaruh terhadap nilai TPT tomat. Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan nilai TPT tomat pada penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan
nilai TPT pada hari penyimpanan ke-21 dimana pada awal penyimpanan nilai
TPT (3.944 oBrix) lebih rendah daripada akhir penyimpanan (4.316
oBrix).
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 11b menunjukkan hanya lama
penyimpanan yang berpengaruh terhadap nilai TPT paprika. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan nilai TPT paprika hari penyimpanan ke-9 berbeda nyata
dengan nilai TPT paprika hari penyimpanan ke-18.
Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Permatasari (2009) dimana total
padatan terlarut secara umum akan meningkat seiring pertambahan waktu
penyimpanan. Hal ini disebabkan hidrolisis pati menjadi glukosa, fruktosa dan
sukrosa. Setelah mengalami peningkatan, total padatan terlarut akan mengalami
penurunan. Penurunan ini disebabkan karena gula yang terbentuk dari hasil
perombakan pati kembali digunakan sebagai substrat respirasi untuk
menghasilkan energi.
Gambar 13 menunjukkan perubahan total padatan terlarut tomat dan paprika
yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan. Pada tomat
yang dikemas dengan bioplastik nilai TPTnya lebih rendah daripada tomat yang
dikemas dengan HDPE karena laju respirasi tomat yang dikemas dengan HDPE
berlangsung lebih cepat dimana fase klimakteriknya antara hari penyimpanan ke-
12 dan 15. Tomat yang dikemas dengan bioplastik produksi CO2nya mulai
mengalami peningkatan setelah hari penyimpanan ke-9. TPT paprika yang
dikemas dengan HDPE dan bioplastik memiliki pola yang sama dimana
mengalami penurunan pada hari penyimpanan ke-9 dan 15.
Secara umum TPT tomat dan paprika cenderung mengalami peningkatan
selama penyimpanan walaupun juga terjadi penurunan. Peningkatan nilai total
padatan terlarut ini disebabkan adanya pengaruh respirasi yang mendegradasi
komponen kompleks yang terdapat pada produk yang disimpan menjadi
komponen yang sederhana. Penurunan nilai TPT pada hari penyimpanan ke-12
(tomat) dan hari penyimpanan ke-9 dan 15 (paprika) bisa jadi disebabkan karena
komposisi komponen komplek tidak sama seperti pada awal penyimpanan dimana
sudah terjadi akumulasi gula-gula sederhana yang kemudian digunakan kembali
pada reaksi respirasi selanjutnya.
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Hasanah (2009) pada paprika yang
disimpan pada suhu 15 oC tanpa perlakuan pencelupan edible coating. Pada awal
penyimpanan nilai TPT paprika sebesar 3.82 oBrix setelah penyimpanan selama 3
hari nilainya turun menjadi 3.53 oBrix akan tetapi kembali meningkat pada
penyimpanan hari ke-6 (3.80 oBrix). Dan pada penyimpanan hari ke-9 dan 12
stabil dengan nilai 3.67 oBrix sebelum akhirnya mengalami peningkatan secara
bertahap hingga akhir penyimpanan (4.70 oBrix).
(a)
(b)
Gambar 13 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan Total Padatan
Terlarut (TPT) (a) tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik
(▲), dan (b) paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()
Hal ini sesuai dengan Winarno (2002) yang mengatakan total padatan
terlarut buah akan meningkat dengan cepat ketika buah mengalami pematangan
dan akan terus menurun seiring dengan lamanya penyimpanan. Semakin lama
penyimpanan, komponen gula yang terurai semakin banyak sehingga gula yang
merupakan komponen utama bahan total padatan terlarut akan semakin menurun.
Peningkatan total gula disebabkan oleh terjadinya akumulasi gula sebagai hasil
dari degradasi pati, sedangkan penurunan total gula disebabkan karena sebagian
gula digunakan untuk berlangsungnya proses respirasi.
Menurut Apandi (1984) selama penyimpanan sukrosa dapat mengalami
hidrolisa menjadi glukosa dan fruktosa dan selanjutnya akan menjadi substrat
dalam proses respirasi. Perubahan ini terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti suhu dan lama penyimpanan. Suhu berpengaruh terhadap aktivitas enzim
invertase yang berperan dalam pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.
Selain berpengaruh terhadap aktivitas enzim invertase, pada suhu penyimpanan
yang lebih tinggi juga akan memicu laju respirasi sehingga akan semakin banyak
gula yang dikonsumsi dalam proses respirasi. Akumulasi sukrosa pada suhu
penyimpanan dingin dimungkinkan karena secara relatif aktivitas enzim invertase
lebih tinggi dibandingkan penggunaannya dalam proses respirasi.
Sampaio et al. (2007) mengatakan total padatan terlarut berkaitan erat
dengan total asam dari buah dimana selama proses pematangan, terjadi
peningkatan progresif total padatan terlarut sebagai akibat dari transformasi
polisakarida menjadi gula. Semakin banyak terjadinya pemecahan polisakarida
tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan keasaman sehingga terjadinya
peningkatan ratio total padatan terlarut terhadap asam.
Vitamin C Vitamin C atau yang dikenal juga dengan sebutan asam askorbat merupakan
mikro-nutrien yang dibutuhkan tubuh manusia agar semua metabolisme tubuh
3.20
3.40
3.60
3.80
4.00
4.20
4.40
0 3 6 9 12 15 18 21
TP
T ( B
rix)
Penyimpanan (Hari)
3.20
3.40
3.60
3.80
4.00
4.20
4.40
0 3 6 9 12 15 18 21
Penyimpanan (Hari)
45
tetap berlangsung. Oleh karena tubuh manusia tidak bisa memproduksi atau
menyimpan vitamin C, sumber vitamin C utama adalah buah dan sayur. Tomat
dan paprika merupakan salah satu buah yang memiliki kandungan vitamin C
tinggi. Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air dan hampir terdapat
pada semua sayuran dan buah-buahan (Winarno, 2002).
Dari data perubahan vitamin C selama masa penyimpanan Lampiran 12
menunjukkan rerata kandungan vitamin C tomat (63.067-183.333 mg/100 g) lebih
rendah daripada kandungan vitamin C paprika (156.933-309.467 mg/100g).
Menurut Winarno (2002), vitamin C mudah sekali rusak karena pengaruh alkali,
enzim, intensitas cahaya, panas, oksidator dan katalis Cu dan Fe.
Hasil analisis sidik ragam Lampiran 12a menunjukkan jenis plastik dan
suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap kandungan vitamin C tomat akan
tetapi lama penyimpanan berpengaruh terhadap kandungan vitamin C tomat. Hasil
uji lanjut Duncan menunjukkan kandungan vitamin C berbeda nyata pada hari
penyimpanan tertentu.
Sama halnya dengan tomat, hasil analisis sidik ragam Lampiran 12b
menunjukkan kandungan vitamin C paprika selama penyimpanan tidak
dipengaruhi oleh jenis plastik dan suhu penyimpanan hanya lama penyimpanan
yang berpengaruh terhadap kandungan vitamin C paprika. Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan kandungan vitamin C paprika berbeda nyata pada hari penyimpanan
tertentu.
Lama penyimpanan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
kandungan vitamin C produk hortikultura selama penyimpanan. Hal ini
dikarenakan selama penyimpanan respirasi terus terjadi, dimana akan terbentuk
gula-gula sederhana yang bertindak sebagai prekursor dalam pembentukan
vitamin C. Peningkatan kandungan vitamin C biasanya akan terjadi seiring
lamanya waktu penyimpanan akan tetapi apabila substrat pembentukan vitamin C
tidak lagi tersedia maka kandungan vitamin C akan mengalami penurunan.
Gambar 14 menunjukkan perubahan kandungan vitamin C tomat dan
paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama masa penyimpanan.
Tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik memiliki pola
perubahan kandungan vitamin C yang sama selama penyimpanan walaupun
secara umum nilai vitamin C tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik
sedikit lebih besar daripada HDPE.
Dari Gambar 14 juga terlihat perbedaan perubahan kandungan vitamin C
dari tomat dan paprika selama penyimpanan. Pada awal penyimpanan nilai rataan
kandungan vitamin C tomat dan paprika hampir sama yaitu sebesar 170.87
mg/100 g bahan untuk tomat dan 171.60 mg/100 g bahan untuk paprika. Selama
masa penyimpanan kandungan vitamin C tomat cenderung mengalami penurunan
sedangkan kandungan vitamin C paprika cenderung mengalami peningkatan. Dari
Tabel 1 dan 3 juga diketahui kandungan vitamin C paprika lebih tinggi (127.7
mg/100 g) daripada kandungan vitamin C tomat (23.4 mg/100 g), hal ini yang
menyebabkan kandungan vitamin C paprika selama penyimpanan jauh lebih besar
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kandungan vitamin C tomat
selama penyimpanan. Penyebab lainnya kecenderungan penurunan kandungan
vitamin C tomat bisa jadi disebabkan tidak cukupnya lagi substrat untuk
pembentukan vitamin C.
(a)
(b)
Gambar 14 Pengaruh lama penyimpanan terhadap kandungan vitamin C (a) tomat
yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yangg
dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()
Nunes (2008) mengatakan kandungan asam askorbat akan mengalami
peningkatan pada tomat yang disimpan pada suhu 20 oC akan tetapi setelah 8 hari
mulai mengalami penurunan. Untuk tomat yang disimpan pada suhu 4 atau 10 oC
kandungan asam askorbat mengalami peningkatan pada awal penyimpanan akan
tetapi kemudian mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan kandungan asam
askorbat bisa mengalami penurunan setelah mencapai puncak kandungan
tertingginya. Meskipun kandungan asam askorbat tomat setelah panen mengalami
peningkatan pada masa penyimpanannya tetapi tidak semua tingkat kematangan
tomat pada saat pemanenan mengalami peningkatan kandungan asam askorbat.
Selain itu pemasakan buah pada suhu tinggi bisa menyebabkan penurunan asam
askorbat karena oksidasi.
Terjadinya perubahan parameter sensori pada paprika juga menunjukkan
perubahan komposisi yang tergantung dari kondisi penanganan pascapanen. Pada
saat paprika disimpan pada suhu dingin kisaran 0-3 oC, asam askorbat meningkat
17% daripada paprika yang disimpan pada suhu 10 0C. Begitu juga pada suhu
penyimpanan 7 0C selama 20 hari, asam askorbat mengalami peningkatan tetapi
setelah penyimpanan selama 35 hari mulai mengalami penurunan (Gonzalez-
Aguilar 2004). Peningkatan kandungan vitamin C pada paprika juga dilaporkan
pada penelitian Hasanah (2009) dimana vitamin C paprika yang tidak dilapisi
edible coating (kontrol) yang disimpan pada suhu 15 oC pada awal penyimpanan
sebesar 36.80 mg/100 g bahan. Setelah disimpan selama 21 hari vitamin C paprika
menjadi 111.89 mg/100 g bahan.
Vitamin C pada produk hortikultura disintesa dari heksosa, dimana
kandungan heksosa akan meningkat selama penyimpanan sehingga kandungan
vitamin C dari produk hortikultura juga akan meningkat. Meningkatnya
kandungan vitamin C selama fase pematangan buah terjadi akibat adanya
pembentukan vitamin C yang berasal dari substrat glukosa 6-PO4-. Pembentukan
vitamin C ini terjadi pada jalur pentosa pospat (pentose phosphate pathway) dan
melibatkan senyawa intermediet lakton 6-PO4- (Hasanah 2009). Penurunan kadar
vitamin C selama penyimpanan disebabkan karena jumlah substrat pembentuk
50
100
150
200
250
300
0 3 6 9 12 15 18 21
Vit
amin
C (
mg/1
00
g)
Penyimpanan (Hari)
50
100
150
200
250
300
0 3 6 9 12 15 18 21
Penyimpanan (Hari)
47
vitamin C kemungkinan sudah tidak tersedia dan akibat pengaruh lingkungan
internal dan eksternal (suhu dan intensitas matahari pada saat pertumbuhan buah).
Penelitian Toor dan Savage (2006) menghasilkan akumulasi asam askorbat
dalam jumlah yang sedikit selama penyimpanan pada tiga tingkatan suhu 25, 7
dan 15 oC. Secara keseluruhan tidak terjadi kehilangan kandungan asam askorbat
selama penyimpanan. Total asam tertitrasi yang tinggi mempengaruhi terhadap
stabilnya kandungan asam askorbat dari buah. Dan buah dengan kandungan total
asam tertitrasi yang tinggi menghasilkan kandungan vitamin C yang relatif stabil
selama penyimpanan.
Interaksi Kemasan dengan Lingkungan
Selama penyimpanan perubahan tidak hanya terjadi pada produk yang
dikemas tetapi juga terhadap kemasan itu sendiri yang menyebabkan kemasan
kehilangan performa terbaiknya sehingga fungsinya untuk menjaga kualitas
produk tidak tercapai. Oleh karena fungsi utama kemasan untuk menjaga produk
yang dikemas agar tetap dalam kondisi baik menjadikan kemasan harus memiliki
sifat barrier. Dengan sifat tersebut menjadikan kemasan sebagai bahan pertama
yang berinteraksi apabila terjadinya perubahan lingkungan selama penyimpanan
berlangsung.
Perubahan yang dialami oleh kemasan dapat disebabkan oleh pengaruh
lingkungan yang menunjukkan kemampuan kemasan untuk menjaga produk yang
dikemasnya ataupun disebabkan pengaruh dari produk yang mengindikasikan
kemampuan kemasan untuk menjaga komponen produk tetap dalam kondisi baik.
Pada waktu dan kondisi tertentu kemasan masih dapat menunjukkan performa
terbaiknya, namun hingga batasan tertentu kemasan tidak dapat menjaga produk
dengan baik.
Perubahan yang dapat terjadi pada kemasan selama penyimpanan adalah
permeabilitas dan sorpsi (scalping). Permeabilitas menunjukkan kemampuan
suatu luasan kemasan untuk dapat dilewati oleh gas dan uap air, sedangkan sorpsi
merupakan kemampuan kemasan untuk tetap menjaga komponen utama produk
yang dikemas. Mekanisme kedua perubahan ini berlangsung secara bersamaan
dimana pada saat kemasan berinteraksi dengan produk yang dikemas (scalping)
maka kemampuan kemasan untuk melewatkan bahan (permeabilitas) menjadi
semakin rendah. Permeabilitas
Yam (2007) mengatakan pemahaman dasar terhadap proses perembesan gas
(permeasi) dapat menjelaskan sifat barrier dari suatu polimer. Molekul permean
akan bergerak melewati barrier dalam proses yang bertahap. Proses diawali
dengan tabrakan antara molekul dan permukaan polimer, kemudian molekul
tersebut akan menyebar dan beradsorpsi ke dalam polimer. Didalam polimer,
permean menyebar dan berdifusi secara acak dimana energi kinetik termalnya
akan mempertahankan molekul untuk tetap bergerak di antara cabang polimer.
Difusi acak ini menunjukkan molekul permean akan bergerak dari sisi polimer
yang kontak dengan permean berkonsentrasi tinggi menuju sisi kontak dengan
permean berkonsentrasi rendah. Cooksey (2004) menggambarkan mekanisme
permeabilitas seperti pada Gambar 15.
Gambar 15 Mekanisme permeabilitas kemasan
Kemasan yang digunakan pada penelitian ini telah diuji permeabilitas uap
airnya oleh Raynasari (2012) pada berbagai tingkatan suhu penyimpanan selama
selang waktu tertentu. Dari hasil pengujian awal didapatkan nilai permeabilitas
uap air bioplastik lebih besar (21.56 g/m2/24 jam) daripada kemasan HDPE (13.10
g/m2/24 jam).
Baik bioplastik ataupun HDPE kemudian disimpan pada tiga tingkatan suhu
yaitu 24-28 oC yang mewakili suhu ruang, 3-7
oC yang mewakili suhu dingin dan
(-10)-(-6) oC yang mewakili suhu freezing. Kedua jenis kemasan ini diamati
perubahan nilai permeabilitas uap airnya hingga hari ke-30. Hasil dari pengamatan
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Perubahan permeabilitas uap air kemasan HDPE dan bioplastik selama
penyimpanan pada berbagai suhu selama 30 hari
Kemasan Permeabilitas Uap Air (g/m
2.24 jam)
Suhu 24-28 oC Suhu 3-7
oC Suhu (-10)-(-6)
oC
HDPE 16.719 13.739 16.719
Bioplastik 18.486 16.122 18.989
Sumber : Raynasari (2012)
Pengujian awal yang dilakukan Raynasari (2012) terhadap permeabilitas
kemasan menunjukkan kemampuan bioplastik untuk melewatkan uap air lebih
tinggi daripada HDPE, dikarenakan bahan utama penyusun bioplastik yaitu pati
yang bersifat hidrofilik. Perpindahan uap air lebih mudah terjadi pada bagian yang
bersifat hidrofilik yang terdapat pada bioplastik. Krochta (2007) mengatakan
permeabilitas uap air tergantung pada perbandingan bahan yang bersifat hidrofilik
dan hidrofobik dalam formulasi film. Film dari polisakarida mempunyai
ketahanan yang rendah terhadap uap air.
Dari Tabel 10 dapat dilihat permeabilitas uap air bioplastik cenderung
mengalami penurunan selama penyimpanan pada berbagai tingkatan suhu
penyimpanan. Hal ini dikarenakan pati yang menyusun matriks plastik tersebut
mengalami retrogradasi pada suhu rendah yang menyebabkan granula pati yang
O2
Packaging
O2
CO2 CO2
O2
CO2
Uap
Air
CO2
Uap
Air
49
awalnya berukuran besar menjadi serbuk sehingga terbentuk ikatan kuat antara
molekul penyusun bioplastik. Semakin kuatnya ikatan yang terbentuk menjadikan
uap air semakin susah melewati kemasan bioplastik pada suhu yang lebih rendah.
Selain itu, akibat terbentuknya ikatan kuat tersebut menjadikan bioplastik
kehilangan sifat plastisnya yang mengindikasikan daerah kristalin bioplastik
semakin mendominasi dan menyebabkan densitas semakin besar. Semakin
besarnya densitas bioplastik ini menunjukkan kerapatan bioplastik semakin besar
yang menyebabkan tidak hanya uap air yang susah untuk melewati kemasan ini
tetapi juga oksigen dan karbondioksida. Dengan kondisi demikian menjadikan
bioplastik mengalami penurunan performanya pada suhu rendah karena tidak
terjadi kondisi modifikasi pasif di dalam kemasan sehingga produk yang dikemas
tidak dapat dilindungi dengan baik.
Equistar (2004) mengatakan permeabilitas plastik dapat dipengaruhi oleh
struktur kristalin dari plastik. Daerah kristalin pada plastik lebih tahan terhadap
permeabilitas gas dan uap air, sedangkan daerah amorf lebih mudah ditembusi
oleh molekul uap air dan gas. Densitas pada plastik sangat dipengaruhi oleh
derajat kristalinitasnya. Rantai molekul pada daerah kristalin ditandai dengan
rantai lurus sedangkan pada daerah amorf memiliki rantai bebas atau bercabang.
Kombinasi struktur amorf dan kristalin ini menentukan bentuk kemasan yang
akan dihasilkan. Plastik yang lebih banyak struktur amorfnya akan memiliki sifat
fisik plastik yang fleksibel sedangkan kristalin akan sangat kaku dan keras. Plastik
yang memiliki densitas tinggi akan memiliki derajat kristalinitas yang tinggi.
Oleh karena kemasan HDPE memiliki ikatan hidrofobik yang lebih besar
menjadikan kemasan ini lebih rendah nilai permeabilitas uap airnya pada saat
pengujian awal. Namun selama penyimpanan nilai permeabilitas uap air HDPE
mengalami peningkatan seiring dengan rendahnya suhu penyimpanan yang
mengindikasikan semakin mudahnya uap air dapat melewati kemasan tersebut. Ini
dikarenakan rusaknya ikatan lurus pada matriks penyusun HDPE yang
menyebabkan daerah kristalin semakin berkurang jumlahnya sehingga densitas
kemasan ini semakin rendah. Dengan demikian kerapatannya menurun yang
menyebabkan ikatan penyusun kemasan HDPE menjadi lebih renggang.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap permeabilitas adalah suhu
dan kelembaban. Permeabilitas uap air adalah kecepatan atau laju transmisi uap
air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan
tertentu sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua
permukaan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Pada beberapa jenis
kemasan meningkatnya RH menyebabkan meningkatnya nilai permeabilitas yang
dikarenakan terbentuknya gugus hidroksil (-OH) yang terdapat pada polimer.
Polietilen (dengan densitas tinggi ataupun rendah), diketahui memiliki sifat
barrier yang baik terhadap air sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh tingkat
kelembaban (Cooksey 2004).
Selama penyimpanan tomat dan paprika pada ketiga suhu juga dilakukan
pencatatan terhadap nilai RH cold storage. Nilai RH pada suhu 5 oC antara 85-
88%, suhu 10 oC antara 80-85% dan pada suhu 15
oC sekitar 77-80%. Nilai
kelembaban yang tinggi pada cold storage juga dapat menyebabkan terjadinya
perubahaan permeabilitas kemasan tersebut.
Dalam kondisi kelembaban yang tinggi, air terabsorpsi ke dalam polimer
dan berinteraksi dengan ikatan polar untuk menggembungkan struktur polimer
(Yam 2007). Alasan ini yang menyebabkan pecahnya granula pati penyusun
matriks bioplastik yang awalnya berukuran besar menjadi ukuran kecil bahkan
pada suhu yang semakin rendah berbentuk serbuk-serbuk halus.
Pada awalnya granula menyerap air di lingkungan hingga mengalami
pembengkakkan. Semakin lama masa penyimpanan menyebabkan pati yang
membengkak semakin banyak menyerap air sehingga pada waktu tertentu granula
ini menjadi pecah. Granula pati yang pecah tersebut menjadi ukuran kecil yang
kembali menyerap air di lingkungan. Semakin lama masa simpan dan semakin
rendah suhu penyimpanan menjadikan semakin banyak granula pati yang pecah
sehingga terbentuk serbuk di seluruh permukaan bioplastik. Perubahan morfologi
permukaan bioplastik dan HDPE dapat dilihat pada Gambar 9.
Sorption (scalping)
Krochta (2007) menjelaskan sorpsi merupakan kemampuan bahan penyusun
kemasan untuk menyerap komponen utama dari produk tanpa memindahkan
komponen tersebut ke lingkungan selama penyimpanan. Tingkat sorpsi kemasan
ini tergantung pada sifat produk yang dikemas dan materi bahan pengemas.
Cooksey (2004) menggambarkan mekanisme terjadinya sorpsi pada kemasan
selama penyimpanan seperti pada Gambar 16.
Gambar 16 Mekanisme sorpsi kemasan
Pada produk hortikultura yang mengalami respirasi dengan menghasilkan
sejumlah konsentrasi gas CO2 juga memerlukan sifat kemasan dengan sorpsi
tinggi sehingga tidak terjadi akumulasi CO2 yang memungkinkan terjadinya
respirasi anaerob. Dengan mengemas produk hortikultura menggunakan plastik
diharapkan terjadinya perubahan atau modifikasi konsentrasi CO2 dan O2 sekitar
produk di dalam kemasan, dimana konsentrasi CO2 akan terus meningkat dan O2
menurun akibat interaksi dan respirasi produk yang dikemas dan permeabilitas
bahan kemasan terhadap kedua gas tersebut. Menurut Zagory dan Kader (1997),
buah dan sayur segar masih melakukan respirasi sehingga membutuhkan kemasan
yang memungkinkan terjadinya permeasi oksigen dan keluarnya karbondioksida
pada jumlah yang sesuai dengan produk yang dikemas.
Terjadinya mekanisme sorpsi komponen produk oleh kemasan sangat
dipengaruhi oleh bahan penyusun kemasan tersebut. Bahan utama penyusun
bioplastik merupakan pati yang dapat menyerap kelebihan konsentrasi oksigen
dan karbondioksida serta uap air sehingga terjadinya keseimbangan di dalam
kemasan bioplastik. CO2 dan uap air yang dihasilkan dari respirasi juga dapat
memecah ikatan makromolekul pati penyusun bioplastik. Semakin lama masa
simpan produk hortikultura yang dikemas dengan menggunakan bioplastik
kemasan
51
mengakibatkan pemecahan makromolekul penyusun bioplastik menjadi lebih
sederhana. Dengan kondisi seperti ini dapat mengakibatkan bioplastik kehilangan
performanya untuk melindungi produk. Selain itu pemecahan makromolekul pati
menjadi CO2, H2O dan O2 dapat mengakibatkan pertumbuhan mikroorganisme.
Namun kemampuan bioplastik tersebut tidak bekerja dengan baik pada
penyimpanan suhu rendah. Karakteristik pati penyusun matriks bioplastik akan
mengalami perubahan apabila disimpan pada suhu rendah yang menyebabkan
terbentuknya ikatan kuat antar molekul pati sehingga tidak mampu lagi menyerap
gas yang berlebihan di dalam kemasan. Pada kondisi jenuh seperti ini, kondisi di
dalam kemasan akan didominasi oleh konsentrasi CO2 sehingga kemungkinan
respirasi anaerob lebih besar terjadi. Ikatan kuat yang terbentuk tersebut juga
menjadikan kemasan bioplastik semakin rapat sehingga gas dengan BM lebih
tinggi (CO2) susah melewati kemasan ini dibandingkan dengan gas yang memiliki
BM lebih rendah (O2 dan H2O dalam bentuk uap).
Siracusa et al. (2008) mengatakan penentuan barrier properties pada
polimer tertentu merupakan hal penting yang dapat menentukan masa simpan
produk yang dikemas. Secara umum plastik relatif lebih permeabel terhadap
molekul kecil. Uap air dan oksigen merupakan dua hal utama yang harus
diperhatikan dalam aplikasi kemasan, karena dapat mengalami perpindahan dari
dalam atau keluar lingkungan melalui dinding matriks kemasan yang
menghasilkan perubahan terus menerus terhadap mutu produk yang dikemas dan
umur simpan. Permeabilitas CO2 juga merupakan faktor penting pada pengemasan
MAP karena dapat mengurangi permasalahan utama yang berhubungan dengan
produk segar. Laju respirasi produk segar merupakan hal penting dalam
merancang MAP sehingga dapat ditentukan penggunaan kemasan yang sesuai.
Penentuan Umur Simpan
Umur simpan adalah periode waktu bagi sebuah produk hingga produk
tersebut tidak dapat lagi diterima secara sensorik, nutrisi dan keamanannya.
Penentuan umur simpan produk hortikultura dapat didasarkan pada beberapa
parameter namun umumnya parameter yang diuji biasanya merupakan parameter
yang paling cepat tidak dapat diterima oleh konsumen. Dalam menentukan umur
simpan dilakukan beberapa langkah kegiatan antara lain : (1) menentukan batas
penurunan dari parameter yang dijadikan acuan, (2) menentukan parameter mutu
kritis, (3) menentukan batas kritis dari parameter yang diamati, (4) menentukan
laju penurunan mutu (berdasarkan mutu kritis) untuk setiap perlakuan, dan (5)
menentukan umur simpan produk yang dikemas untuk setiap perlakuan.
Untuk menentukan umur simpan tomat dan paprika yang dikemas dengan
bioplastik dan HDPE pada tiga tingkatan suhu (5, 10 dan 15 oC) digunakan salah
satu dari metode akselerasi, yaitu metode Arrhenius. Labuza (1982) mengatakan
metode Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan
akhir pada minimal tiga suhu. Kemudian tabulasi data dari penurunan mutu
berdasarkan parameter mutu tertentu tersebut dimasukkan ke dalam persamaan
Arrhenius sehingga dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta
penurunan mutu) dan umur simpan masing-masing produk pangan pada berbagai
suhu penyimpanan. Pada model Arrhenius, suhu merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap produk pangan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi
laju reaksi berbagai senyawa kimia yang akan semakin mempercepat pula
penurunan mutu produk.
Penentuan umur simpan pada penelitian ini menggunakan metode Arrhenius
ordo 0 karena kinetika reaksi ordo 0 lebih mewakili terjadinya perubahan terhadap
parameter yang diamati. Parameter yang diamati adalah perubahan warna dan
kekerasan pada tomat, pada paprika adalah perubahan kekerasan yang disebabkan
oleh kepekaan sifat produk terhadap air dan udara yang menyebabkan terjadinya
perubahan kimia.
Syarief et al. (1989) menyatakan sifat alamiah atau sifat produk dan
mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan
oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal sangat
mempengaruhi umur simpan produk yang dikemas. Untuk menganalisisi
penurunan mutu dengan metode akselerasi diperlukan beberapa pengamatan yaitu
harus adan parameter yang diukur seperti pengukuran kimiawi (daya serap O2,
kadar peroksida, kadar vitamin C), uji organoleptik (cita rasa, tekstur, warna) dan
uji mikrobiologi (total mikroba). Untuk satu produk yang diuji tidak semua
parameter melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang paling cepat
mempengaruhi penerimaan konsumen.
Tomat
Parameter yang dijadikan acuan penentuan umur simpan pada tomat adalah
warna dimana kebiasaan konsumen untuk mengosumsi tomat adalah pada
keadaan warna merah maksimal dengan tekstur yang lunak sehingga diperoleh
tomat bersifat juicy. Oleh karena itu perubahan warna tomat dijadikan parameter
mutu yang dianggap paling sesuai untuk menentukan umur simpan tomat
Perubahan warna pada tomat selama penyimpanan dapat dilihat dari
perubahan nilai a* (-60 (hijau) menjadi +60 (merah)) dan perubahan nilai b
* ((-60
(biru) menjadi +60 (kuning)) sehingga batas mutu kritis untuk tomat yang
digunakan adalah rasio a*/b
*. Nunes (2008) mengatakan peningkatan nilai a
* yang
diukur dengan kromameter berkaitan erat dengan sintesa likopen, dimana rasio
a*/b
* merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kandungan
likopen dan juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan tomat.
Pada tingkat kematangan breaker, nilai rasio a*/b
* berkisar 0 atau negatif
(meratanya warna hijau) namun kandungan karotenoid yang tidak menunjukkan
perbedaan. Pada indeks kematangan merah, likopen dan konsentrasi β-karoten
akan meningkat secara bertahap.
Batu (2003) telah menglasifikasikan indeks warna tomat berdasarkan rasio
a*/b
* dimana mature green (-0.59-(-0.47)), breaker (-0.47-(0.27)), turning (-0.27-
0.08), pink (0.08-0.60), light red (0.60-0.95) dan merah (0.95-1.21). Berdasarkan
laporan tersebut maka batas mutu kritis yang digunakan untuk menentukan umur
simpan yang digunakan adalah 1.21 dimana pada ratio a*/b
* dengan nilai tersebut
tomat dianggap telah berubah menjadi merah sempurna.
Penentuan umur simpan tomat berdasarkan perubahan warna tomat yang
dikemas dengan HDPE dan bioplastik pada tiga tingkatan suhu dapat dilihat pada
Lampiran 13 dan Lampiran 14. Hasil perhitungan penentuan umur simpan
menunjukkan perbedaan umur simpan tomat pada ketiga suhu penyimpanan
dimana semakin tinggi suhu penyimpanan menunjukkan semakin singkat umur
simpannya.
53
Dari Tabel 11 dapat dilihat tomat yang dikemas dengan HDPE mengalami
perubahan warna menjadi merah sempurna memerlukan waktu yang lebih lama
daripada tomat yang dikemas dengan bioplastik terlebih pada suhu rendah. Hal ini
dikarenakan bioplastik mengalami perubahan sifat fisiknya pada suhu rendah
akibat terjadinya retrogradasi pati bahan penyusun utama bioplastik. Akibat
retrogradasi ini menyebabkan ukuran granula pati besar menjadi serbuk sehingga
terbentuknya ikatan kuat antara molekul penyusun bioplastik yang menjadikan
kemasan ini lebih rapat. Dengan kondisi kemasan yang lebih rapat menjadikan
pertukaran gas di dalam kemasan bioplastik pada suhu rendah semakin susah
sehingga CO2 hasil respirasi terakumulasi di dalam kemasan ini yang
memungkinkan terjadinya respirasi anaerob lebih besar.
Tabel 11 Umur simpan tomat berdasarkan rasio a*/b
*
Kemasan 5 oC 10
oC 15
oC
HDPE 106 hari 51 hari 25 hari
Bioplastik 83 hari 49 hari 29 hari
Dengan kondisi demikian menjadikan tomat yang dikemas dengan
bioplastik tidak sesuai apabila disimpan pada suhu rendah. Hal ini dapat dilihat
pada tomat yang dikemas dengan bioplastik pada suhu penyimpanan 15 oC
memiliki umur simpan yang lebih lama daripada yang dikemas dengan HDPE.
Pada suhu penyimpanan 15 oC bioplastik berada dalam performa terbaiknya
sehingga perubahan karakteristiknya tidak terjadi begitu besar.
Lamanya terjadi perubahan warna merah sempurna pada tomat yang
disimpan pada suhu yang lebih rendah juga dapat mengindikasikan terjadinya
chilling injury. Dari foto perubahan warna tomat selama penyimpanan (Lampiran
9) dapat dilihat baik tomat yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik pada suhu
5 oC tidak mengalami perubahan warna menjadi merah hingga hari penyimpanan
ke-21. Nunes (2008) mengatakan tomat kelompok immature green dan mature
green lebih sensitif terhadap suhu dingin daripada tomat kelompok pink atau
light-red. Tomat kelompok pink atau light-red jika disimpan lebih dari 2 minggu
dibawah suhu 10 oC atau lebih lama 6-8 hari pada suhu 5
oC akan mengalami
chilling injury. Chilling injury merupakan indikasi kegagalan untuk mematangkan
dan perubahan warna dan citarasa yang tidak diharapkan, pelunakan terlalu cepat,
pitting pada permukaan, biji berwarna coklat dan meningkatnya bagian yang
busuk. Pada tomat kelompok immature green dan mature green dapat disimpan
sampai 14 hari pada suhu 12.5-15 oC tanpa mengalami permasalahan utama
seperti penurunan citarasa dan perubahan warna.
Paprika Sama halnya dengan tomat, parameter yang dijadikan acuan untuk
menentukan umur simpan paprika juga berdasarkan perubahan warna. Frank et al.
(2001) mengatakan sejumlah atribut paprika dapat mempengaruhi preferensi
konsumen, termasuk warna, ukuran, bentuk dan kandungan gizi. Warna
merupakan atribut utama untuk memilih paprika. Warna hijau pada paprika adalah
warna yang paling disukai (80%), sedangkan merah (10%) dan kuning (8%)
hanya digunakan untuk menghias makanan.
Walaupun selama pengamatan nilai a* paprika tetap bernilai negatif yang
menandakan paprika tetap berwarna hijau, namun hijau paprika antara perlakuan
tetap saja berbeda sehingga yang digunakan adalah nilai ohue. Nilai hue dapat
mendeskripsikan warna murni dimana menunjukkan warna dominan dalam
campuran beberapa warna.
Paprika yang disimpan pada suhu 0, 5, 10 dan 15 oC menunjukkan
perubahan warna dari warna hijau terang menjadi hijau gelap (kusam) selama
penyimpanan, namun beberapa paprika yang disimpan pada suhu 20 oC
menunjukkan perubahan warna dari hijau menjadi semburat kuning pada hari
penyimpanan ke-10 dan akan berubah menjadi kuning keseluruhan pada hari
penyimpanan ke-20 (Nunes 2008). Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
selama penyimpanan warna hijau paprika akan semakin kuat (hijau gelap)
sehingga batas kritis yang digunakan untuk menentukan umur simpan paprika
adalah nilai ohue yang memiliki tanda negatif lebih besar, yaitu -78.542.
Penentuan umur simpan paprika berdasarkan perubahan ohue paprika yang
dikemas dengan HDPE dan bioplastik pada tiga tingkatan suhu dapat dilihat pada
Lampiran 15 dan Lampiran 16.
Tabel 12 Umur simpan paprika berdasarkan perubahan nilai ohue
Kemasan 5 oC 10
oC 15
oC
HDPE 69 hari 43 hari 27 hari
Bioplastik 56 hari 38 hari 22 hari
Tabel 12 menunjukkan semakin tinggi suhu penyimpanan menunjukkan
umur simpan paprika semakin singkat dimana pada suhu yang lebih tinggi reaksi
berbagai senyawa kimia berlangsung lebih cepat. Paprika yang dikemas dengan
bioplastik memiliki masa simpan cenderung lebih singkat daripada yang dikemas
dengan HDPE. Kondisi seperti ini juga dipengaruhi oleh laju respirasi paprika
dimana paprika yang dikemas dengan bioplastik (hari ke-12) lebih cepat
memasuki fase senescence daripada paprika yang dikemas dengan HDPE (hari ke-
15) sehingga perubahan komposisi warna (pigmen) juga akan berlangsung dengan
cepat.
Tucker et al. (1993) mengatakan sebagai salah satu secondary plants
products, pigmen-pigmen warna dihasilkan melalui serangkaian proses yang juga
melibatkan hasil dari proses primer yaitu respirasi. Sebagai tahapan pada respirasi,
jalur glikolisis, menghasilkan ATP dan Acetyl CoA. Kedua produk ini yang akan
digunakan dalam pentose phosphate pathway (PPP), yaitu jalur rangkaian proses
yang akan membentuk pigmen-pigmen warna pada buah.
55
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Kemasan bioplastik sesuai untuk mengemas produk hortikultura golongan
klimakterik karena dapat menunda fase klimakterik dari tomat hingga hari
penyimpanan ke-21 (0.102 mlCO2/kg.jam) sedangkan tomat yang dikemas
dengan HDPE fase klimakteriknya terjadi pada hari penyimpanan ke-15 (0.163
mlCO2/kg.jam). Untuk golongan non-klimakterik kemasan bioplastik tidak
dapat menunda fase senescence dimana paprika yang dikemas dengan
bioplastik mulai memasuki fase senescence pada hari ke-12 (0.069
mlCO2/kg.jam) dan paprika yang dikemas dengan HDPE mulai memasuki fase
senescence pada hari ke-15 (0.138 mlCO2/kg.jam). 2. Kemasan bioplastik tidak sesuai untuk mengemas tomat pada suhu rendah
karena tidak dapat mencegah terjadinya chilling injury. Tomat yang dikemas
dengan bioplastik yang disimpan pada suhu 15 oC memerlukan waktu 29 hari
untuk berubah menjadi merah sempurna lebih lama daripada tomat yang
dikemas dengan HDPE (25 hari). Berdasarkan perubahan nilai ⁰hue, paprika
yang dikemas dengan bioplastik pada tiga tingkatan suhu memiliki umur
simpan yang lebih singkat daripada yang dikemas dengan HDPE.
3. Semakin tinggi suhu penyimpanan, maka umur simpan produk semakin singkat
namun khusus untuk tomat yang dikemas dengan bioplastik umur simpannya
cenderung lebih lama daripada tomat yang dikemas dengan HDPE.
Saran
Untuk meningkatkan aplikasi bioplastik sebagai kemasan produk
hortikultura maka perlu dilakukan pengemasan dengan cara Modified Atmosphere
Packaging (MAP) menggunakan bioplastik dengan penerapan penyimpanan pada
suhu ruang.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Analysis of Association Analitical Chemistry. 1990. Official Methods of
Analysis of Association Analitical Chemistry. Arlington (GB): AOAC Inc. [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2002. Manual
for the preparation and sale of fruits and vegetables from field to market.
www.fao.org/docrep/008/y4893e/y4893e04.htm. [17 Desember 2011]. [USDA] United State Department of Agriculture. 1986. Ripening classes of
tomatoes. Didalam: Batu A. 2003. Determination of acceptable firmness and
colour values of tomatoes. J Food Eng. 61(2004):471-475. [USDA] United State Department of Agriculture. 2012. Agricultural Research
Service, USDA National Nutrient Data Base for Standard Reference.
Release 25. http://www.ars.usda.gov./ndb. [14 Juni 2012]. Abbott DA, Suir E, Maris van AJA, Pronk JT. 2008. Physiological and
transcriptional responses to high concentrations of lactic acid in anaerobic
chemostat cultures of Saccharomyces cerevisiae. Appl Environ Microbiol.
74(18): 5759-5768. Aked J. 2002. Fruit and Vegetable Processing : Improving Quality. Washington
(US): CRC Pr. Allcock HR, Lampe FW. 1981. Contemporary Polymer Chemistry. New Jersey
(US): Prentice-Hall. Apandi M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Bandung (ID): Alumni. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budijanto S. 1998.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor (ID): PAU Pangan dan Gizi
IPB. Arpah M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan.
Bogor (ID): Program Studi Ilmu Pangan Pasca Sarjana IPB. Batu A. 2003. Determination of acceptable firmness and colour values of
tomatoes. J Food Eng. 61(2004): 471-475. Bower JH, Jobling JJ, Patterson BD, Ryan DJ. 1998. A method for measuring the
respiration rate and respiratory quotient of detached plant tissues.
Postharvest Biol Technol.(13): 263–270. Budiastra IW, Purwadaria HK. 1993. Penanganan pasca panen sayuran dan buah-
Buahan dalam rumah kemasan. Makalah Pelatihan Pascapanen Sayuran
dan Buah-Buahan (10-15 Mei); Bogor, Indonesia. Comstock K, Farrell D, Godwin C, Xi Y. 2004. From hydrocarbons to
carbohydrates : food packaging of The Future. Website : http:// depts.
washington.edu/poeweb/gradprograms/envmgt/2004symposium/GreenPack
agingReport.pdf. [28 Maret 2011].
57
Cooksey K. 2004. Important factors for selecting food packaging materials based
on permeability. Flexible Packaging Conference; Clemson, Swedia. Deily KR, Rizvi SSH. 1981. Optimation of parameter packaging of fresh Peaches
in polymeric film. J Food Process.5: 23-41. Equistar. 2004. A Guide to Polyolefin Film Extrusion. Houston (US) : Lyondell
Chemical Company. Esquinas JT, Alcazar. 1981. Genetic Resources of Tomatoes and Wild Relatives.
Roma (IT): Genetis Resources Officer – IBPGR. Frank CA, Nelson RG, Simonne EH, Behe BK, Simonne AH. 2001. Consumer
preferences for color, price, and vitamin C content of bell peppers. Hort Sci
36 (4): 795-800. Gontard N, Guilbert S. 1999. Bio-packaging : technology and properties of edible
and/or biodegradable material of agricultural origin. Didalam: Mathlouthi
M. Food Packaging Interaction and Packaging Disposability; Proceedings
of the IFTEC Symposium; 1992 November 15-18; Hague, Perancis (FR).
New York (US): Aspen Publish. 159-178. Gonzalez-Aguilar GA. 2004. Pepper : In The Commercial Storage of Fruits,
Vegetables, and Florist and Nursery Crops. Beltsville (US): Department of
Agricultural Research Service. Griffin GJL. 1974. Biodegradable synthetic resin sheet material containing starch
and a fatty mineral. USA: US Patent No. 4016117. Gunadnya IBP. 1993. Pengkajian Penyimpanan Salak Segar (Salacca edulis
Reinw) dalam Kemasan Film dengan Modified Atmosphere. Tesis. Program
Pascasarjana IPB, Bogor. Hasanah U. 2009. Pemanfaatan Gel Lidah Buaya sebagai Edible Coating untuk
Memperpanjang Umur Simpan Paprika (Capsicum annum var. Sunny).
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Jones JB. 1999. Tomato Plant Culture : In The Field, Greenhouse, and Home
Garden. Washington (US): CRC Pr. Kader AA. 1985. Modified Atmosphere and Low-Pressure Systems During
Transport and Storage. Didalam: Kader AA. 2002. Postharvest Technology
of Horticulture Crops. California (US): University of California Division of
Agriculture and Natural Resources. Kartasapoetra AG. 1994. Teknologi Penanganan Pascapanen. Jakarta (ID):
Rineka Cipta. Kays SJ. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Product. Connecticut
(US): AVI Publish. Kitinoja L, Kader AA. 2003. Praktik-praktik Penanganan Pascapanen Skala
Kecil: Manual untuk Produk Hortikultura (Edisi ke-4). Davis (US):
Postharvest Technology Research dan Information Center-University of
California.
Krochta JM. 2007. Food Engineering: Food Packaging. Washington (US): CRC
Pr. Labuza TP. 1982. Shelf-life Dating of Foods. Connecticut (US): Food and
Nutrition Pr. Liu L. 2006. Bioplastic in Food Packaging: Innovative Technologies for
Biodegradable Packaging. San Jose (US): Packaging Engineering-San Jose
State Univ. Lopez-Rubio A, Almenar E, Hernandez-Munoz P, Lagaron JM, Catala R, Gavara
R. 2004. Overview of Active Polymer-based Packaging Technologies for
Food Applications. Food Rev Int. 20: 357–387. Manolopoulou H, Xanthopoulos G, Dourous N, Lambrinos Gr. 2010. Modified
Atmosphere Packaging Storage of Green Bell Peppers : Quality Criteria. J
Biosystem Eng. 106: 535-543. Muchtadi TR. 1992. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor (ID): PAU
Pangan dan Gizi IPB. Musaddad D. 2002. Mempelajari Efektivitas Pelapis Edibel Khitosan pada Buah
Tomat Segar Selama Penyimpanan di Suhu Kamar dan Suhu Dingin. Tesis.
Program Pascasarjana IPB, Bogor. Nunes MCN. 2008. Color Atlas Postharvest Quality of Fruits and Vegetables :
Solanaceous and Other Fruit Vegetables. New York (US): J Wiley. Nyanjage MO, Nyalala SPO, Illa AO, Mugo BW, Limbe AE, Vulimu EM. 2005.
Extending post-harvest life of sweet pepper (Capsicum annum L. „California
Wonder‟) with modified atmosphere packaging and storage temperature.
Agricultura Tropica et Subtropica. 38 (2): 28-32. Pantastico EB. Hall CW dan Hardenburg RE. 1989. Fisiologi Pasca Panen
Penanganan dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran Tropika
dan Subtropika : Pengemasan untuk Konsumen dengan Plastik. Yogyakarta
(ID): UGM Pr. Permatasari ED.1998. Aplikasi Edible Coating dalam Upaya Mempertahankan Mutu
dan Masa Simpan Paprika (Capsicum Annum Var. Grosssum).Tesis. Program
Pascasarjana IPB, Bogor. Pranamuda H. 2001. Pengembangan Bahan Plastik Biodegradable Berbahan
Baku Pati Tropis. Sinergy Forum-PPI Tokyo, Japan. Prasanna V. Prabha TN. Tharanathan RN. 2007. Fruit ripening phenomena:an
overview. Critical Rev in Food Sci Nutrition. 47(1): 1-19. doi:10.1080. Prihmantoro H, Yovita H. 2000. Paprika Hidroponik dan Non-Hidroponik.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Rahardi F, Palungkun R, Budiarti 2004. Agribisnis Tanaman Sayuran. Jakarta
(ID): Penebar Swadaya.
59
Raynasari B. 2012. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Sifat Fisik dan
Mekanik Kemasan Plastik Retail. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB,
Bogor. Ryall AL, Werner JL. 1983. Handling, Transportation, and Storage of Fruits and
Vegetable. Connecticut (US): AVI Publish. Sampaio SA, Bora PS, Holschuh HJ, Silva SM. 2007. Postharvest respiratory
activity and changes in some chemical constituents during maturation of
yellow mombin (Spondias mombin) fruit. Ciênc Tecnol Aliment. 27(3): 511-
515. Sargent SA, Moretti CL. 2004. Tomat : In The Commercial Storage of Fruits,
Vegetables, and Florist and Nursery Crops. Beltsville (US): Department of
Agricultural Research Service. Scott G. 2009. Oxobiodegradable Plastic. http://bioplastics-cms.de/bioplastics/
download/Pages_30-31_from_bioplasticsMAGAZINE_0906.pdf. [4 Juli
2011]. Siracusa V, Rocculi P, Romani S, Rosa MD. 2008. Biodegradable polymers for
food packaging: a review. Food Sci Technol. 19: 634-643. Siswadi. 2007. Penanganan pasca panen buah-buahan dan sayuran. J Inovasi Pert.
6(1): 68-71. Sjaifullah, Dondy ASB, Yadi H. 1996. Efek konsentrasi etilen dan suhu terhadap
mutu dan kecepatan pematangan buah pisang ambon putih pada kelembaban
tinggi. J Hort. 6(4): 411-419. Sulchan M, Endang NW. 2007. Keamanan pangan kemasan plastik dan
styrofoam. Majalah Kedokteran Indon. 57(2): 54-59. Syamsu K, Liesbestini H, Anas MF, Ani S, Dede R. 2007. Peran PEG 400 dalam
pembuatan lembaran bioplastik polihidroksialkanoat yang dihasilkan oleh
Ralstonia eutropha dari substrat hidrolisat pati sagu. J Ilmu Pert. 12(2):63-68. Syarief R, Hariyadi H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta (ID):
Penerbit Arcan. Syarief R, Santaussa S, Isyana S. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan
Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Bogor (ID): PAU Pangan dan Gizi
IPB. Toor RK, Savage GP. 2006. Changes in major antioxidant components of
tomatoes during post-harvest storage. J Food Chem. 99: 724-727. doi:
10.1016. Tucker GA, Taylor J, Seymour G. 1993. Biochemistry of Fruit Ripening. London
(GB): Chapman & Hall. Tugiyono. 1993. Bertanam Tomat. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Utama MS. 2001. Penanganan pascapanen buah dan sayuran segar : stress pada
produk pascapanen. Bali (ID): Forum Konsultasi Teknologi Dinas Pertanian
Tanaman Pangan.
Villavicencio LE, Blankenship SM, Sanders DC, Swallow WH. 2001. Ethylene
and carbon dioxide concentrations in attached fruits of pepper cultivars
during ripening. Sci Hort. 91: 17-24. Wills HH. 1989. Post Harvest: An Introduction to the Physiology and Handling
on Fruits and Vegetable. Australia (AU): NSW Pr Limited. Winarno FG. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. Bogor (ID): M-
Brio Pr. Yam KL. 2007. Gas Permeation of Packaging Materials. New York (US): J
Willey. Zagory D, Kader AA. 1997. Encyclopedia of Packaging Technology: Modified
Atmosphere Packaging of Produce. New York (US): J Willey.
63
Lampiran 1 Hasil perhitungan densitas kemasan HDPE dan Bioplastik
Dimensi Ukuran
Tebal 45 m 0.0045cm
Panjang 40 mm 4 cm
Lebar 25 mm 2.5 cm
Volume 0.045 cm3
Karena kemasan yang ditimbang kedua sisinya sehingga
volume yang digunakan 0.09 cm3
No Berat Kemasan (g) Densitas (g/cm
3)
HDPE Bioplastik HDPE Bioplastik
1 7.81 6.88 86.78 76.44
2 7.79 6.80 86.56 75.56
3 7.79 6.92 86.56 76.89
4 7.78 6.81 86.44 75.67
5 7.73 6.83 85.89 75.89
6 7.76 6.89 86.22 76.56
7 7.77 6.89 86.33 76.56
8 7.81 6.92 86.78 76.89
9 7.64 6.89 84.89 76.56
10 7.76 6.92 86.22 76.89
11 7.78 6.93 86.44 77.00
12 7.75 6.86 86.11 76.22
Rataan 7.76 6.88 86.27 76.43
Lampiran 2 Rataan Laju Konsumsi O2 Tomat dan Paprika
Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21
K1T1P1 0 0.200 0.112 0.422 0.504 0.475 0.678 0.399
K1T2P1 0 0.306 0.362 0.140 0.279 0.392 0.335 0.223
K1T3P1 0 0.485 0.218 0.247 0.451 0.143 1.057 0.285
K1T1P2 0 0.245 0.108 0.165 0.275 0.056 0.056 0.134
K1T2P2 0 0.343 0.169 0.084 0.112 0.143 0.137 0.084
K1T3P2 0 0.489 0.246 0.109 0.137 0.109 0.326 0.520
K2T1P1 0 0.262 0.086 0.158 0.231 0.144 0.951 0.982
K2T2P1 0 0.232 0.649 0.506 0.298 0.331 0.124 0.526
K2T3P1 0 0.545 0.323 0.602 0.290 0.297 0.489 0.485
K2T1P2 0 0.191 0.193 0.059 0.355 0.150 0.208 0.268
K2T2P2 0 0.267 0.134 0.305 0.142 0.328 0.476 0.222
K2T3P2 0 0.292 0.175 0.088 0.263 0.117 0.337 0.541
a. Hasil analisis sidik ragam laju konsumsi O2 tomat
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 0.840 0.840 11.760 0.001*
Suhu 2 0.277 0.139 1.939 0.149
Lama Penyimpanan 7 2.033 0.290 4.066 0.001*
Plastik * Suhu 2 0.079 0.040 0.553 0.576
Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.995 0.142 1.990 0.064
Suhu * Lama Penyimpanan 14 1.157 0.083 1.157 0.320
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 0.566 0.040 0.566 0.885
Galat 96 6.857 0.071
Total 143 12.804
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis plastik terhadap laju konsumsi O2 tomat
Duncan
Grouping Mean N Jenis Plastik
B 0.321 72 HDPE
A 0.169 72 Bioplastik Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap laju konsumsi O2 tomat
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
A 0.000 18 0
BC 0.345 18 3
B 0.203 18 6
B 0.195 18 9
BC 0.293 18 12
B 0.220 18 15
C 0.432 18 18
BC 0.274 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Keterangan :
K1 = Tomat ; K2 = Paprika
T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C
P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik
65
b. Hasil analisis sidik ragam laju konsumsi O2 paprika
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 0.721 0.721 7.414 0.008*
Suhu 2 0.035 0.018 0.180 0.837
Lama Penyimpanan 7 2.789 0.398 4.097 0.001*
Plastik * Suhu 2 0.036 0.018 0.185 0.833
Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.433 0.062 0.636 0.725
Suhu * Lama Penyimpanan 14 1.133 0.081 0.834 0.633
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 1.902 0.136 1.397 0.169
Galat 96 9.336 0.097
Total 143 16.385
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis plastik terhadap laju konsumsi O2 paprika
Duncan
Grouping Mean N Jenis Plastik
B 0.355 72 HDPE
A 0.213 72 Bioplastik Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap laju konsumsi O2 paprika
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
A 0.000 18 0
BC 0.298 18 3
B 0.260 18 6
BC 0.286 18 9
B 0.263 18 12
B 0.228 18 15
BC 0.431 18 18
C 0.504 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Lampiran 3 Rataan Laju Produksi CO2 Tomat dan Paprika
Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21
K1T1P1 0 0.175 0.066 0.173 0.223 0.153 0.135 0.257
K1T2P1 0 0.311 0.144 0.078 0.097 0.182 0.146 0.230
K1T3P1 0 0.412 0.149 0.152 0.161 0.154 0.073 0.092
K1T1P2 0 0.140 0.068 0.010 0.033 0.056 0.087 0.065
K1T2P2 0 0.143 0.047 0.015 0.034 0.041 0.037 0.039
K1T3P2 0 0.170 0.071 0.030 0.008 0.036 0.083 0.201
K2T1P1 0 0.241 0.060 0.104 0.074 0.142 0.181 0.344
K2T2P1 0 0.273 0.358 0.194 0.099 0.116 0.073 0.124
K2T3P1 0 0.513 0.127 0.117 0.141 0.156 0.382 0.226
K2T1P2 0 0.082 0.048 0.020 0.038 0.040 0.115 0.137
K2T2P2 0 0.133 0.033 0.015 0.026 0.174 0.193 0.085
K2T3P2 0 0.163 0.061 0.025 0.143 0.146 0.420 0.458
a. Hasil analisis sidik ragam laju produksi CO2 tomat
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 0.288 0.288 27.213 0.000*
Suhu Penyimpanan 2 0.006 0.003 0.283 0.758
Lama Penyimpanan 7 0.514 0.073 6.938 0.000*
Plastik * Suhu 2 0.005 0.003 0.236 0.778
Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.080 0.011 1.080 0.385
Suhu * Lama Penyimpanan 14 0.080 0.006 0.540 0.903
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 0.159 0.011 1.073 0.389
Galat 96 1.016 0.011
Total 143 2.148
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis plastik terhadap laju produksi CO2 tomat
Duncan
Grouping Mean N Jenis Plastik
B 0.148 72 HDPE
A 0.059 72 Bioplastik Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap laju produksi CO2 tomat
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
A 0.000 18 0
C 0.225 18 3
B 0.091 18 6
B 0.076 18 9
B 0.093 18 12
B 0.104 18 15
B 0.094 18 18
B 0.147 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Keterangan :
K1 = Tomat ; K2 = Paprika
T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C
P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik
67
b. Hasil analisis sidik ragam laju produksi CO2 paprika
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 0.138 0.138 5.346 0.023*
Suhu 2 0.224 0.112 4.339 0.016*
Lama Penyimpanan 7 0.923 0.132 5.108 0.000*
Plastik * Suhu 2 0.018 0.009 0.349 0.703
Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.227 0.032 1.256 0.279
Suhu * Lama Penyimpanan 14 0.430 0.031 1.190 0.296
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 0.311 0.022 0.861 0.604
Galat 96 2.478 0.026
Total 143 4.749
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis plastik terhadap laju produksi CO2 paprika
Duncan
Grouping Mean N Jenis Plastik
B 0.168 72 HDPE
A 0.106 72 Bioplastik Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap laju produksi CO2 paprika
Duncan
Grouping Mean N Suhu Penyimpanan
A 0.102 48 5 C
A 0.119 48 10 C
B 0.192 48 15 C Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap laju produksi CO2 paprika
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
A 0.000 18 0
D 0.234 18 3
ABC 0.114 18 6
AB 0.079 18 9
AB 0.087 18 12
BCD 0.129 18 15
CD 0.227 18 18
CD 0.229 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Lampiran 4 Rataan Penurunan Bobot Tomat dan Paprika
Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21
K1T1P1 100 99.455 99.369 99.304 99.226 99.123 99.075 98.899
K1T2P1 100 99.414 99.339 99.219 99.043 98.914 97.871 97.831
K1T3P1 100 99.442 99.219 98.973 98.703 98.330 97.640 97.305
K1T1P2 100 99.350 99.248 98.883 97.995 97.847 97.101 96.311
K1T2P2 100 99.358 99.249 99.144 99.014 98.926 98.837 98.747
K1T3P2 100 99.277 99.096 98.652 98.418 98.178 97.982 96.715
K2T1P1 100 99.846 99.782 99.649 99.534 99.419 99.287 92.556
K2T2P1 100 99.827 99.741 99.514 99.281 86.573 82.857 67.952
K2T3P1 100 99.716 99.317 99.054 98.397 98.047 97.817 97.336
K2T1P2 100 99.819 99.646 99.406 99.233 99.050 98.722 95.218
K2T2P2 100 99.670 99.544 99.422 99.203 99.104 98.769 95.791
K2T3P2 100 99.568 99.299 98.795 98.331 97.829 97.278 88.895
a. Hasil analisis sidik ragam penurunan bobot tomat
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 3.392 3.392 1.344 0.249
Suhu 2 4.566 2.283 0.905 0.408
Lama Penyimpanan 7 71.348 10.193 4.039 0.001*
Plastik * Suhu 2 8.589 4.295 1.702 0.188
Plastik * Lama Penyimpanan 7 2.028 0.290 0.115 0.997
Suhu * Lama Penyimpanan 14 3.932 0.281 0.111 1.000
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 10.656 0.761 0.302 0.993
Galat 96 242.230 2.523
Total 143 346.741
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot tomat
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
D 100 18 0
CD 99.383 18 3
BCD 99.253 18 6
BCD 99.029 18 9
ABC 98.733 18 12
ABC 98.553 18 15
AB 98.085 18 18
A 97.635 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
Keterangan :
K1 = Tomat ; K2 = Paprika
T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C
P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik
69
b. Hasil analisis sidik ragam penurunan bobot paprika
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 138.570 138.570 1.436 0.234
Suhu 2 302.483 151.242 1.567 0.214
Lama Penyimpanan 7 1559.167 222.738 2.308 0.032*
Plastik * Suhu 2 462.142 231.071 2.394 0.097
Plastik * Lama Penyimpanan 7 286.089 40.870 0.424 0.885
Suhu * Lama Penyimpanan 14 612.398 43.743 0.453 0.952
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 1010.230 72.159 0.748 0.721
Galat 96 9264.329 96.503
Total 143 13635.408
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot paprika
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
B 100 18 0
B 99.741 18 3
B 99.555 18 6
B 99.307 18 9
B 98.997 18 12
B 96.670 18 15
A 95.788 18 18
A 89.625 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
Lampiran 5 Rataan Perubahan Kekerasan Tomat dan Paprika Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21
K1T1P1 2.481 2.907 2.347 2.481 2.667 2.472 2.490 2.024
K1T2P1 2.580 2.216 2.378 2.044 2.170 2.016 2.220 2.021
K1T3P1 2.606 2.246 2.236 2.043 2.070 1.349 1.991 1.322
K1T1P2 2.597 2.778 2.480 2.488 2.613 2.053 2.424 1.886
K1T2P2 2.684 2.468 2.239 2.021 2.076 2.033 1.877 1.974
K1T3P2 2.790 2.223 2.242 1.949 1.693 1.523 1.546 1.327
K2T1P1 2.523 2.516 2.766 2.861 2.941 2.874 2.855 2.817
K2T2P1 2.376 2.214 2.700 2.867 2.643 2.697 2.739 2.746
K2T3P1 2.182 2.308 2.812 2.669 2.366 2.517 2.550 2.756
K2T1P2 2.238 2.559 2.901 2.839 2.642 2.651 2.752 2.847
K2T2P2 2.275 2.545 2.893 2.871 2.677 2.889 2.803 2.626
K2T3P2 2.499 2.082 2.355 2.531 2.528 2.712 2.843 2.744
a. Hasil analisis sidik ragam kekerasan tomat
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 0.121 0.121 0.187 0.666
Suhu 2 6.054 3.027 4.683 0.011*
Lama Penyimpanan 7 10.088 1.441 2.230 0.038*
Plastik * Suhu 2 0.010 0.005 0.008 0.992
Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.515 0.074 0.114 0.997
Suhu * Lama Penyimpanan 14 3.386 0.242 0.374 0.979
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 0.681 0.049 0.075 1.000
Galat 96 62.050 0.646
Total 143 82.905
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap kekerasan tomat
Duncan
Grouping Mean N Suhu Penyimpanan
B 2.449 48 5 C
AB 2.189 48 10 C
A 1.947 48 15 C Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap kekerasan tomat
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
C 2.623 18 0
BC 2.473 18 3
ABC 2.320 18 6
ABC 2.171 18 9
ABC 2.215 18 12
AB 1.908 18 15
ABC 2.091 18 18
A 1.759 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
Keterangan :
K1 = Tomat ; K2 = Paprika
T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C
P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik
71
b. Hasil analisis sidik ragam kekerasan paprika
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 0.000 0.000 0.000 0.995
Suhu 2 0.954 0.477 2.977 0.056
Lama Penyimpanan 7 3.939 0.563 3.512 0.002*
Plastik * Suhu 2 0.168 0.084 0.524 0.593
Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.09 0.013 0.080 0.999
Suhu * Lama Penyimpanan 14 0.47 0.034 0.210 0.999
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 1.236 0.088 0.551 0.896
Galat 96 15.382 0.160
Total 143 22.239
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap kekerasan paprika
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
A 2.349 18 0
AB 2.370 18 3
C 2.738 18 6
C 2.773 18 9
BC 2.633 18 12
C 2.723 18 15
C 2.757 18 18
C 2.756 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
Lampiran 6 Rataan nilai L* Tomat dan Paprika Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21
K1T1P1 43.731 46.571 45.932 45.673 45.354 47.639 46.522 47.781
K1T2P1 47.887 50.453 48.497 47.554 46.534 48.202 45.878 47.315
K1T3P1 43.507 50.116 48.218 43.952 44.147 45.032 43.923 45.804
K1T1P2 43.947 45.893 45.205 45.779 45.758 47.768 47.312 47.973
K1T2P2 46.893 49.057 47.523 47.439 45.593 48.531 45.731 47.051
K1T3P2 45.353 49.069 48.269 45.656 47.266 47.214 46.800 46.939
K2T1P1 39.442 39.478 38.256 37.788 38.116 41.969 39.244 39.293
K2T2P1 40.129 39.770 40.828 39.376 38.356 41.768 40.268 34.508
K2T3P1 39.500 39.536 39.931 38.382 43.294 43.266 42.574 44.648
K2T1P2 38.644 38.335 38.540 38.542 37.812 39.054 39.734 38.598
K2T2P2 39.255 38.781 39.759 39.257 38.916 42.739 41.823 42.129
K2T3P2 40.636 41.522 40.755 36.667 40.067 43.783 43.684 45.387
a. Hasil analisis sidik ragam nilai L* tomat
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 4.128 4.128 0.227 0.635
Suhu 2 60.418 30.209 1.664 0.195
Lama Penyimpanan 7 154.558 22.080 1.216 0.301
Plastik * Suhu 2 29.187 14.594 0.804 0.451
Plastik * Lama Penyimpanan 7 18.301 2.614 0.144 0.994
Suhu * Lama Penyimpanan 14 150.960 10.783 0.594 0.864
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 9.686 0.692 0.038 1.000
Galat 96 1742.763 18.154
Total 143 2170.001
b. Hasil analisis sidik ragam nilai L* paprika
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 1.778 1.778 0.150 0.700
Suhu 2 170.466 85.233 7.176 0.001*
Lama Penyimpanan 7 202.087 28.870 2.431 0.025*
Plastik * Suhu 2 13.109 6.555 0.552 0.578
Plastik * Lama Penyimpanan 7 38.265 5.466 0.460 0.861
Suhu * Lama Penyimpanan 14 141.419 10.101 0.850 0.614
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 90.45 6.461 0.544 0.901
Galat 96 1140.225 11.877
Total 143 1797.799
Keterangan :
K1 = Tomat ; K2 = Paprika
T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C
P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik
73
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai L* paprika
Duncan
Grouping Mean N Suhu Penyimpanan
A 38.854 48 5 C
A 39.795 48 10 C
B 41.484 48 15 C Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai L* paprika
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
ABC 39.601 18 0
ABC 39.570 18 3
ABC 39.678 18 6
A 38.000 18 9
AB 39.427 18 12
C 42.097 18 15
BC 41.221 18 18
BC 40.761 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Lampiran 7 Rataan nilai C* Tomat dan Paprika
Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21
K1T1P1 12.040 20.135 20.532 21.529 22.308 22.216 21.769 22.328
K1T2P1 12.186 20.753 22.998 23.761 25.687 26.980 25.334 26.854
K1T3P1 15.696 17.191 17.648 24.484 23.207 22.574 24.353 22.245
K1T1P2 12.646 21.136 22.163 22.831 22.913 22.380 23.342 22.354
K1T2P2 12.099 20.132 22.343 21.992 24.576 24.225 24.930 25.432
K1T3P2 14.959 20.425 20.652 27.771 23.285 24.164 24.105 24.172
K2T1P1 7.883 16.242 17.185 16.904 16.054 15.653 16.957 16.130
K2T2P1 8.321 15.208 15.360 16.035 17.336 15.971 16.140 12.454
K2T3P1 7.938 14.054 13.012 18.670 19.479 20.933 17.773 16.248
K2T1P2 8.292 15.784 14.558 13.277 14.447 12.722 14.225 12.176
K2T2P2 8.887 11.669 16.290 19.782 17.201 17.304 17.742 15.413
K2T3P2 8.487 11.158 12.815 18.549 14.856 14.148 17.190 14.206
a. Hasil analisis sidik ragam nilai C* tomat
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 6.528 6.528 0.235 0.629
Suhu 2 71.734 35.867 1.289 0.280
Lama Penyimpanan 7 1739.88 248.554 8.933 0.000*
Plastik * Suhu 2 44.635 22.318 0.802 0.451
Plastik * Lama Penyimpanan 7 13.084 1.869 0.067 1.000
Suhu * Lama Penyimpanan 14 192.685 13.763 0.495 0.931
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 26.808 1.915 0.069 1.000
Galat 96 2671.106 27.824
Total 143 4766.46
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai C* tomat
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
A 13.271 18 0
B 19.962 18 3
BC 21.056 18 6
BC 23.728 18 9
BC 23.663 18 12
BC 23.756 18 15
C 23.972 18 18
BC 23.897 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
Keterangan :
K1 = Tomat ; K2 = Paprika
T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C
P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik
75
b. Hasil analisis sidik ragam nilai C* paprika
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 44.756 44.756 1.119 0.293
Suhu 2 17.719 8.860 0.222 0.802
Lama Penyimpanan 7 1027.822 146.832 3.672 0.001*
Plastik * Suhu 2 75.571 37.786 0.945 0.392
Plastik * Lama Penyimpanan 7 43.425 6.204 0.155 0.993
Suhu * Lama Penyimpanan 14 165.847 11.846 0.296 0.993
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 100.602 7.186 0.180 1.000
Galat 96 3838.414 39.983
Total 143 5314.16
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai C* paprika
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
A 8.301 18 0
B 14.019 18 3
B 14.870 18 6
B 17.203 18 9
B 16.562 18 12
B 16.122 18 15
B 16.671 18 18
B 14.438 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Lampiran 8 Rataan nilai ⁰hue Tomat dan Paprika Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21
K1T1P1 -36.755 -14.601 -16.184 -19.361 -18.222 -23.204 -23.138 -26.469
K1T2P1 -36.909 -21.472 -30.017 -33.997 -40.752 14.681 11.187 7.075
K1T3P1 -37.709 -31.319 19.171 6.156 61.433 53.546 55.173 49.268
K1T1P2 -35.316 -15.589 -18.372 -20.225 -21.217 -23.410 -24.571 -29.889
K1T2P2 -35.993 -18.765 -28.803 -35.387 18.829 14.335 12.890 10.063
K1T3P2 -38.005 -33.113 -45.570 68.453 59.830 57.103 53.059 53.524
K2T1P1 -29.209 -55.718 -55.724 -55.368 -55.767 -55.494 -56.426 -56.198
K2T2P1 -29.142 -56.043 -56.925 -56.891 -60.294 -57.483 -58.259 -61.779
K2T3P1 -29.469 -55.818 -56.305 -61.258 -8.699 -12.702 -12.715 -18.443
K2T1P2 -29.058 -55.084 -54.086 -54.711 -54.495 -54.826 -65.774 -54.545
K2T2P2 -23.227 -61.059 -57.347 -60.300 -59.007 -63.190 -63.980 -64.351
K2T3P2 -24.856 -54.308 -57.062 -60.740 -66.007 -18.730 -22.977 28.446
a. Hasil analisis sidik ragam nilai ⁰hue tomat
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 197.974 197.974 0.041 0.840
Suhu 2 52557.1 26278.550 5.449 0.006*
Lama Penyimpanan 7 50212.184 7173.169 1.487 0.181
Plastik * Suhu 2 674.445 337.223 0.070 0.933
Plastik * Lama Penyimpanan 7 5291.101 755.872 0.157 0.993
Suhu * Lama Penyimpanan 14 45752.234 3268.017 0.678 0.791
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 11413.767 815.269 0.169 1.000
Galat 96 462948.330 4822.378
Total 143 629047.14
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai ⁰hue tomat
Duncan
Grouping Mean N Suhu Penyimpanan
A -22.908 48 5 C
A -12.065 48 10 C
B 21.938 48 15 C
Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
b. Hasil analisis sidik ragam nilai ⁰hue paprika
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 95.764 95.764 0.080 0.778
Suhu 2 14169.502 7084.751 5.929 0.004*
Lama Penyimpanan 7 14176.067 2025.152 1.695 0.119
Plastik * Suhu 2 32.770 16.385 0.014 0.986
Plastik * Lama Penyimpanan 7 2905.518 415.074 0.347 0.930
Suhu * Lama Penyimpanan 14 19002.257 1357.304 1.136 0.338
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 5801.079 414.363 0.347 0.985
Galat 96 114710.630 1194.902
Total 143 170893.59
Keterangan :
K1 = Tomat ; K2 = Paprika
T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C
P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik
77
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai ⁰hue paprika
Duncan
Grouping Mean N Suhu Penyimpanan
A -52.655 48 5 C
A -55.580 48 10 C
B -33.228 48 15 C
Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
Lampiran 9 Foto perubahan tomat selama penyimpanan
a. Suhu penyimpanan 5 oC
Hari
ke- HDPE Bioplastik
0
3
6
9
12
15
18
21
81
Lampiran 10 Foto perubahan paprika selama penyimpanan
a. Suhu penyimpanan 5 oC
Hari
ke- HDPE Bioplastik
0
3
6
9
12
15
85
Lampiran 11 Rataan perubahan total padatan terlarut (TPT) Tomat dan Paprika Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21
K1T1P1 4.022 4.072 4.067 4.300 4.078 4.161 4.083 4.406
K1T2P1 3.956 4.006 4.044 3.961 3.989 4.272 4.172 4.183
K1T3P1 3.900 4.172 3.944 3.772 3.922 4.033 4.350 4.244
K1T1P2 3.950 4.083 3.933 4.344 4.111 4.017 4.233 4.167
K1T2P2 3.933 4.067 4.022 4.150 3.772 3.922 4.044 4.461
K1T3P2 3.906 3.889 4.150 4.139 3.700 4.161 3.956 4.433
K2T1P1 4.000 4.022 3.556 3.700 3.633 3.722 4.067 4.194
K2T2P1 3.978 3.872 3.822 3.656 4.083 3.606 4.022 4.183
K2T3P1 4.011 3.783 3.683 3.511 3.628 3.689 4.117 3.783
K2T1P2 4.044 4.100 3.789 3.417 3.878 3.711 4.189 3.989
K2T2P2 4.028 3.850 3.583 3.611 3.567 3.672 4.250 4.050
K2T3P2 4.067 3.961 3.678 3.211 3.856 3.883 3.883 4.106
a. Hasil analisis sidik ragam total padatan terlarut tomat
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 0.020 0.020 0.196 0.658
Suhu 2 0.192 0.096 0.943 0.394
Lama Penyimpanan 7 1.896 0.271 2.659 0.015*
Plastik * Suhu 2 0.011 0.006 0.054 0.946
Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.432 0.062 0.606 0.750
Suhu * Lama Penyimpanan 14 0.555 0.040 0.389 0.975
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 0.952 0.068 0.668 0.800
Galat 96 9.778 0.102
Total 143 13.836
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap total padatan terlarut tomat
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
A 3.944 18 0
A 4.048 18 3
A 4.027 18 6
AB 4.111 18 9
A 3.929 18 12
AB 4.094 18 15
AB 4.140 18 18
B 4.316 18 21
Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
Keterangan :
K1 = Tomat ; K2 = Paprika
T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C
P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik
b. Hasil analisis sidik ragam total padatan terlarut paprika
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 0.000 0.000 0.000 0.980
Suhu 2 0.147 0.074 0.295 0.746
Lama Penyimpanan 7 5.308 0.758 3.038 0.006*
Plastik * Suhu 2 0.115 0.058 0.230 0.794
Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.275 0.039 0.157 0.993
Suhu * Lama Penyimpanan 14 0.512 0.037 0.147 1.000
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 1.163 0.083 0.333 0.988
Galat 96 23.959 0.250
Total 143 31.479
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap total padatan terlarut aprika
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
BC 4.021 18 0
BC 3.931 18 3
AB 3.685 18 6
A 3.518 18 9
ABC 3.774 18 12
ABC 3.714 18 15
C 4.088 18 18
BC 4.051 18 21
Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05
87
Lampiran 12 Rataan perubahan kandungan Vitamin C Tomat dan Paprika
Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21
K1T1P1 143.733 132.000 71.867 83.600 117.333 79.200 118.800 86.533
K1T2P1 171.600 133.467 79.200 71.867 124.667 115.867 90.933 124.667
K1T3P1 183.333 149.600 68.933 86.533 127.600 70.400 121.733 123.200
K1T1P2 168.667 117.333 71.867 90.933 96.800 145.200 114.400 126.133
K1T2P2 176.000 117.333 68.933 77.733 133.467 115.867 114.400 110.000
K1T3P2 181.867 148.133 63.067 70.400 111.467 111.467 101.200 96.800
K2T1P1 156.933 252.267 171.600 211.200 233.200 286.000 205.333 242.000
K2T2P1 170.133 173.067 173.067 243.467 246.400 200.933 221.467 218.533
K2T3P1 174.533 252.267 173.067 242.000 215.600 206.800 274.267 234.667
K2T1P2 167.200 309.467 195.067 195.067 236.133 278.667 288.933 227.333
K2T2P2 176.000 186.267 183.333 227.333 259.600 246.400 300.667 272.800
K2T3P2 184.800 253.733 202.400 225.867 271.333 236.133 184.800 237.600
a. Hasil analisis sidik ragam vitamin C tomat
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 174.240 174.240 0.122 0.728
Suhu 2 408.442 204.221 0.143 0.867
Lama Penyimpanan 7 120670.342 17238.620 12.044 0.000*
Plastik * Suhu 2 2049.740 1024.870 0.716 0.491
Plastik * Lama Penyimpanan 7 6991.111 998.730 0.698 0.674
Suhu * Lama Penyimpanan 14 9342.544 667.325 0.466 0.946
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 8609.016 614.930 0.430 0.961
Galat 96 137404.373 1431.296
Total 143 285649.81
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap vitamin C tomat
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
C 170.867 18 0
B 132.978 18 3
A 70.644 18 6
A 80.178 18 9
B 118.556 18 12
B 106.333 18 15
B 110.244 18 18
B 111.222 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
Keterangan :
K1 = Tomat ; K2 = Paprika
T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C
P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik
b. Hasil analisis sidik ragam vitamin C paprika
Sumber Keragaman Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Sig.
Plastik 1 44.759 44.759 1.119 0.293
Suhu 2 17.719 8.860 0.222 0.802
Lama Penyimpanan 7 1027.829 146.833 3.672 0.001*
Plastik * Suhu 2 75.566 37.783 0.945 0.392
Plastik * Lama Penyimpanan 7 43.425 6.204 0.155 0.993
Suhu * Lama Penyimpanan 14 165.852 11.847 0.296 0.993
Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 100.601 7.186 0.180 1.000
Galat 96 3838.417 39.984
Total 143 5314.168
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap vitamin C paprika
Duncan
Grouping Mean N Lama Penyimpanan
A 171.600 18 0
BC 237.844 18 3
AB 183.089 18 6
ABC 224.156 18 9
C 243.711 18 12
C 242.489 18 15
C 245.911 18 18
BC 238.822 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.
89
Lampiran 13 Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan HDPE berdasarkan
rasio a*/b
*(Batas kritis (Qs) = 1.21)
Suhu
( C) Hari Rasio a*/b*
Perhitungan Nilai k
Slope Intercept R2 Q0 – Qs
5
0 -0.469
0.014 -0.335 0.676 1.679
3 -0.173
6 -0.241
9 -0.158
12 -0.179
15 -0.090
18 -0.104
21 -0.063
10
0 -0.432
0.038 -0.283 0.907 1.642
3 -0.160
6 0.018
9 0.145
12 0.273
15 0.298
18 0.386
21 0.410
15
0 -0.387
0.057 -0.159 0.884 1.597
3 0.025
6 0.239
9 0.535
12 0.626
15 0.839
18 0.742
21 0.876
Persamaan Umur Simpan
Suhu Nilai K LN K T 1/T Intercept Slope R2
5 C 0.014 -4.243 278 0.004 35.53 -11030.81 0.95
10 C 0.038 -3.268 283 0.004
y = 35.53 – 11030.81(1/T) 15 C 0.057 -2.868 288 0.003
Perhitungan Umur Simpan
Suhu LN K K Umur Simpan
(Hari)
5 C -4.153 0.016 106.804
10 C -3.452 0.032 51.821
15 C -2.775 0.062 25.609
Lampiran 14 Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan bioplastik berdasarkan
rasio a*/b
* (Batas kritis (Qs) = 1.21)
Suhu
( C) Hari Rasio a*/b*
Perhitungan Nilai k
Slope Intercept R2 Q0 – Qs
5
0 -0.457
0.019 -0.346 0.849 1.667
3 -0.241
6 -0.178
9 -0.134
12 -0.084
15 -0.086
18 -0.054
21 0.037
10
0 -0.418
0.038 -0.297 0.899 1.628
3 -0.215
6 -0.032
9 0.157
12 0.261
15 0.323
18 0.355
21 0.369
15
0 -0.369
0.050 -0.1079 0.847 1.579
3 0.077
6 0.323
9 0.431
12 0.677
15 0.711
18 0.774
21 0.744
Persamaan Umur Simpan
Suhu Nilai K LN K T 1/T Intercept Slope R2
5 C 0.019 -3.977 278 0.004 24.62 -7932.53 0.95
10 C 0.038 -3.276 283 0.004
y = 24.62 – 7932.53(1/T) 15 C 0.050 -2.989 288 0.003
Perhitungan Umur Simpan
Suhu LN K K Umur Simpan
(Hari)
5 C -3.912 0.020 83.378
10 C -3.408 0.033 49.170
15 C -2.921 0.054 29.324
91
Lampiran 15 Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan HDPE
berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542)
Suhu
( C) Hari Nilai
ohue
Perhitungan Nilai k
Slope Intercept R2 Q0 – Qs
5
0 -29.909
-0.763 -44.481 0.354 49.334
3 -55.718
6 -55.724
9 -55.368
12 -55.767
15 -55.494
18 -56.426
21 -56.198
10
0 -29.142
-0.971 -44.410 0.465 49.400
3 -56.043
6 -56.925
9 -56.891
12 -60.294
15 -57.483
18 -58.259
21 -61.779
15
0 -29.469
1.889 -51.762 0.386 49.073
3 -55.818
6 -56.305
9 -61.258
12 -8.699
15 -12.702
18 -12.715
21 -18.443
Persamaan Umur Simpan
Suhu Nilai K LN K T 1/T Intercept Slope R2
5 C 0.763 -0.271 278 0.004 25.708 -7242.322 0.93
10 C 0.971 -0.030 283 0.004
y = 25.708 - 7242.322(1/T) 15 C 1.889 0.636 288 0.003
Perhitungan Umur Simpan
Suhu LN K K Umur Simpan
(Hari)
5 C -0.343 0.710 69.531
10 C 0.117 1.124 43.941
15 C 0.561 1.753 27.992
Lampiran 16 Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan bioplastik
berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542)
Suhu
( C) Hari Nilai
ohue
Perhitungan Nilai k
Slope Intercept R2 Q0 – Qs
5
0 -29.058
-0.928 -43.078 0.433 49.484
3 -55.084
6 -54.086
9 -54.711
12 -54.495
15 -54.826
18 -65.774
21 -54.545
10
0 -23.227
-1.265 -43.278 0.461 55.315
3 -61.059
6 -57.347
9 -60.300
12 -59.007
15 -63.190
18 -63.980
21 -64.351
15
0 -24.856
2.538 -61.175 0.347 53.686
3 -54.308
6 -57.062
9 -60.740
12 -66.007
15 -18.730
18 -22.977
21 28.446
Persamaan Umur Simpan
Suhu Nilai K LN K T 1/T Intercept Slope R2
5 C 0.928 -0.075 278 0.004 28.762 -8035.050 0.95
10 C 1.265 0.235 283 0.004
y = 28.762 – 8035.050(1/T) 15 C 2.538 0.931 288 0.003
Perhitungan Umur Simpan Ordo 0
Suhu LN K K Umur Simpan
(Hari)
5 C -0.141 0.869 56.974
10 C 0.370 1.447 38.219
15 C 0.863 2.369 22.658
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 27 Juli 1984 sebagai anak
sulung dari bapak Prof. Dr. Iskandar Usman, MA dan ibu Ummul Khair.
Pendidikan sarjana ditempuh pada tahun 2002 di Jurusan Teknologi Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala-Banda Aceh, lulus pada tahun 2008.
Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana program magister
pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Mayor Teknologi Pasca Panen di
Institut Pertanian Bogor.