Application of Starch-Based Plastics (Bioplastics) as Packaging Material for Horticultural Products...

111
APLIKASI STARCH-BASED PLASTICS (BIOPLASTIK) SEBAGAI BAHAN KEMASAN PRODUK HORTIKULTURA (TOMAT DAN PAPRIKA) TAJUL IFLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Transcript of Application of Starch-Based Plastics (Bioplastics) as Packaging Material for Horticultural Products...

APLIKASI STARCH-BASED PLASTICS (BIOPLASTIK)

SEBAGAI BAHAN KEMASAN PRODUK HORTIKULTURA

(TOMAT DAN PAPRIKA)

TAJUL IFLAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Starch-Based

Plastics (Bioplastik) sebagai Bahan Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan

Paprika) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Tajul Iflah

F153100021

RINGKASAN

TAJUL IFLAH. Aplikasi Starch-Based Plastics (Bioplastik) Sebagai Bahan

Kemasan Produk Hortikultura (Tomat Dan Paprika). Di bawah Bimbingan

SUTRISNO dan TITI CANDRA SUNARTI

Salah satu tindakan pascapanen yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi

terjadinya susut produk hortikultura adalah dengan memperhatikan suhu

penyimpanan dan pemilihan teknik pengemasan yang tepat. Saat ini plastik

banyak digunakan sebagai bahan kemasan yang populer karena memiliki banyak

kelebihan. Akan tetapi diantara kelebihannya, plastik juga memiliki kelemahan

yaitu adanya zat monomer dan molekul kecil dari plastik yang dapat bermigrasi

ke dalam produk yang dikemas dan plastik yang memiliki sifat tidak mudah

terurai (non-degradable) sehingga menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.

Untuk memanfaatkan kelebihan plastik sebagai bahan kemasan, dan mengurangi

efek yang tidak baik karena penggunaannya, telah dikembangkan plastik yang

dapat terurai yang dikenal dengan sebutan bioplastik. Bioplastik mulai banyak

digunakan dalam berbagai bentuk kemasan, salah satunya adalah fruit bag.

Penggunaan fruit bag telah banyak diaplikasikan untuk mengemas produk

hortikultura pada supermarket. Agar dapat memperpanjang masa simpan dan

mempertahankan mutu, buah dan sayuran harus disimpan dalam kondisi suhu

dingin. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik penyimpanan dingin

terhadap produk hortikultura dari golongan klimakterik (tomat) dan golongan non-

klimakterik (paprika) yang dikemas dengan kemasan berbentuk fruit bag dari

jenis bioplastik yang dibandingkan dengan kemasan HDPE.

Hasil dari penelitian menunjukkan kemasan bioplastik dapat menunda fase

klimaterik tomat hingga hari penyimpanan ke-21, lebih lama daripada yang

dikemas dengan HDPE. Namun paprika yang dikemas dengan bioplastik mulai

memasuki fase senescence pada hari penyimpanan ke-12, lebih cepat daripada

yang dikemas dengan HDPE. Tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik

pada suhu penyimpanan 10 oC menghasilkan pengaruh yang lebih baik terhadap

perubahan warna daripada yang dikemas dengan HDPE pada suhu yang sama.

Penggunaan kemasan bioplastik tidak sesuai pada penyimpanan suhu

rendah. Penyimpanan tomat pada suhu 15 oC yang dikemas dengan bioplastik

memiliki umur simpan lebih lama (29 hari) daripada tomat yang dikemas dengan

HDPE (25 hari). Berbeda dengan tomat, paprika yang dikemas dengan bioplastik

pada ketiga suhu penyimpanan memiliki umur simpan yang lebih singkat daripada

paprika yang dikemas dengan HDPE.

Kata kunci: bioplastik, paprika, pengemasan, penyimpanan dingin, tomat

ABSTRACT

TAJUL IFLAH. Application of Starch-Based Plastics (Bioplastics) as Packaging

Material for Horticultural Products (Tomato and Bell pepper). Supervised by

SUTRISNO and TITI CANDRA SUNARTI

One of the post-harvest handling for minimize the losses of horticultural

product was regulating the storage temperature and packaging technique. The

objective of this research was to determine the cold storage’s characteristic of

agricultural product from the climacteric products (tomato) and non-climacteric

products (bell pepper) that were packed by the fruit bag packaging from bio-

plastic compared with the HDPE. The packed product stored on three levels of

storage temperature (5, 10 and 15oC) for 21 days and every three days the product

was for respiration rate, weight losses, hardness, the changing of fruit color, total

soluble solids and vitamin C content. The result of the research showed that bio-

plastic packaging could delay the climacteric phase of tomato until the 21st day of

storage, longer than packed by the HDPE. However the bell pepper packed by the

bio-plastic started the senescence phase since the 12th

days of storage, faster than

packed by HDPE. Bio-plastic packaging was un-appropriate for low temperature

(5-10 oC) storage. Tomato and bell pepper packed by the bio-plastic were giving

better color change and hardness during the storage temperature of 15 oC. Based

on the ratio changing a*/b*, the tomato shelf life stored on the temperature of 15 oC with using the bio-plastic (29 days) was longer than using HDPE (25 days).

The bell pepper with using the bio-plastic had lower shelf life than bell pepper

using HDPE on all temperature levels.

Key words : bell pepper, bio-plastic, cold storage, packaging, tomato

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Pasca Panen

APLIKASI STARCH-BASED PLASTICS (BIOPLASTIK)

SEBAGAI BAHAN KEMASAN PRODUK HORTIKULTURA

(TOMAT DAN PAPRIKA)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

TAJUL IFLAH

Penguji Luar Komisi Pembimbing: Dr Indah Yuliasih, STP, MSi

Judul Tesis : Aplikasi Strach-Based Plastics (Bioplastik) sebagai Bahan

Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan Paprika)

Nama : Tajul Iflah

NIM : F153100021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Sutrisno, MAgr

Ketua

Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Teknologi Pasca Panen

Dr Ir Sutrisno, MAgr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 25 Februari 2013 Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah

pengemasan, dengan judul Aplikasi Starch-Based Plastics (Bioplastik) sebagai

Bahan Kemasan Produk Hortikultura (Tomat dan Paprika).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir.Sutrisno, M.Agr dan Ibu

Dr.Ir.Titi Candra Sunarti, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberi

saran. Dan juga kepada Ibu Dr. Indah Yuliasih, S.TP, M.Si selaku dosen penguji

luar komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan

yang membangun. Di samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak

Eman dan Ibu Maria Ulfah dari PT. Tirta Marta serta Biantri Raynasari yang telah

banyak membantu selama pengumpulan data.

Ungkapan terima kasih yang tak terkira dan penghargaan setinggi-tingginya

disampaikan kepada kedua orangtua tercinta, adik-adik dan nenek serta seluruh

keluarga, atas segala doa, kepercayaan dan kasih sayangnya. Kepada rekan-rekan

TPP 2010 yang selalu dapat diandalkan (Mbak Sandra, Ninta, Fajri, Cicih, Mbak

El, Teh Susi, Ani, Putri dan Syahirman) dan teman-teman seperjuangan TMP

2010, TMB 45 dan TEP 2010 atas segala masukan, saran dan kritik serta bantuan

yang terus menerus diberikan tanpa pamrih. Untuk semua teman-teman di

Megakost yang senantiasa memberikan dukungan. Dan juga untuk seluruh staf

program studi TPP yang siap membantu. Serta masih banyak lagi ucapan

terimakasih dan penghargaan yang ingin penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang

tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi amal jariyah bagi semua

pihak.

Bogor, Februari 2013

Tajul Iflah

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Karakteristik Produk Hortikultura 4

Penanganan Pascapanen Produk Hortikultura 5

Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Tomat 8

Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Paprika 10

Plastik Biodegradabel (Bioplastik) 12

Penyimpanan Dingin 13

Pemilihan Film Kemasan 14

METODOLOGI PENELITIAN 17

Tempat dan Waktu Penelitian 17

Bahan dan Alat 17

Metode Penelitian 17

Aplikasi Bioplastik untuk Produk Hortikultura 17

Penentuan Umur Simpan 17

Rancangan Penelitian 19

Pengamatan 19

HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Karakteristik Kemasan 22

Aplikasi Bioplastik untuk Kemasan Produk Hortikultura 25

Perubahan Fisiologi (Laju Respirasi) dari Produk Hortikultura 25

Perubahan Fisikokimia 31

Interaksi Kemasan dengan Lingkungan 47

Penentuan Umur Simpan 51

SIMPULAN DAN SARAN 55

Simpulan 55

Saran 55

DAFTAR PUSTAKA 56

LAMPIRAN 63

RIWAYAT HIDUP 93

DAFTAR TABEL

1 Kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat muda 9

2 Klasifikasi tahapan kematangan tomat 10

3 Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika hijau 11

4 Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan

(ml.mil.m-2

.jam-1

.atm-1

) 15 5 Permeabilitas gas beberapa polimer untuk pengemasan bahan pangan 16

6 Karakteristik kemasan yang digunakan 23

7 Kekerasan tomat pada suhu penyimpanan yang berbeda 35

8 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan ohue tomat 40

9 Pengaruh perbedaan suhu penyimpanan terhadap perubahan nilai L* dan

ohue paprika 41

10 Perubahan permeabilitas uap air kemasan HDPE dan bioplastik selama

penyimpanan pada berbagai suhu selama 30 hari 48

11 Umur simpan tomat berdasarkan perubahan rasio a*/b

* 53

12 Umur simpan paprika berdasarkan perubahan nilai ohue 54

DAFTAR GAMBAR

1 Indeks kematangan pada paprika 11

2 Sistem notasi warna Hunter 21

3 Orientasi film plastik 23 4 Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat,

dan (b) laju produksi CO2 tomat 26

5 Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat yang

dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) laju produksi CO2 tomat

yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲) 27 6 Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika,

dan (b) laju produksi CO2 paprika 29 7 Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika

yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik (), dan (b) laju produksi CO2

paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik () 30

8 Pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot (a) tomat yang

dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas

HDPE (○) dan bioplastik () 32 9 Pengaruh suhu terhadap morfologi permukaan kemasan setelah

disimpan selama 30 hari (perbesaran 200 x) 36

10 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan kekerasan (a) tomat

yang dikemas () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas

HDPE (○) dan bioplastik () 37

11 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan nilai C* tomat yang

dikemas dengan HDPE () dan bioplastik (▲) 39

12 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan (a) nilai L* paprika

yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) nilai C* paprika

yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲) 42

13 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan perubahan total

padatan terlarut (TPT) (a) tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik

(▲), dan (b) paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik () 44

14 Pengaruh lama penyimpanan terhadap kandungan vitamin C (a) tomat

yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang

dikemas HDPE (○) dan bioplastik () 46

15 Mekanisme permeabilitas kemasan 48

16 Mekanisme sorpsi kemasan 50

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil perhitungan densitas kemasan HDPE dan Bioplastik 63

2 Rataan laju konsumsi O2 tomat dan paprika 64

3 Rataan laju produksi CO2 tomat dan paprika 66

4 Rataan penurunan bobot tomat dan paprika 68

5 Rataan perubahan kekerasan tomat dan paprika 70

6 Rataan nilai L* tomat dan paprika 72

7 Rataan nilai C* tomat dan paprika 74

8 Rataan nilai ohue tomat dan paprika 76

9 Foto perubahan tomat selama penyimpanan 78

10 Foto perubahan paprika selama penyimpanan 81

11 Rataan perubahan total padatan terlarut (TPT) tomat dan paprika 84

12 Rataan perubahan kandungan vitamin C tomat dan paprika 87

13 Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan HDPE

berdasarkan rasio a*/b

* (Batas kritis (Qs) = 1.21) 89

14 Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan bioplastik

berdasarkan rasio a*/b

* (Batas kritis (Qs) = 1.21) 90

15 Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan HDPE

berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542) 91

16 Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan bioplastik

berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542) 92

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produk hortikultura memiliki sifat yang mudah rusak (perishable) sehingga

dapat menyebabkan susut secara kuantitas maupun kualitas. Susut kualitas

meliputi perubahan warna, rasa, dan aroma sehingga menjadi tidak sesuai dengan

keinginan konsumen dan bahkan nilai gizinya. Secara kuantitas susut pascapanen

produk hortikultura bisa mencapai 25-40%, yang disebabkan oleh beberapa hal,

dimana salah satunya diakibatkan oleh penanganan pascapanen yang belum tepat.

Menurut Siswadi (2007), penanganan pascapanen produk hortikultura di

Indonesia belum mendapat perhatian yang cukup, terlihat dari kerusakan-

kerusakan pascapanen yang masih besar, yakni antara 25-28%. Oleh sebab itu

agar produk hortikultura terutama buah-buahan dan sayuran dapat sampai ke

tangan konsumen dalam kondisi baik perlu penanganan pascapanen yang benar

dan sesuai. Bila pascapanen dilakukan dengan baik, kerusakan-kerusakan yang

timbul dapat diperkecil bahkan dihindari, sehingga kerugian di tingkat produsen

dan konsumen dapat ditekan. Tindakan pascapanen yang dapat dilakukan untuk

memperbaiki mutu produk salah satunya adalah dengan memperhatikan suhu

penyimpanan dan teknik pengemasan terhadap buah-buahan tersebut.

Pengemasan merupakan salah satu bagian dari rangkaian penanganan

pascapanen dari produk hortikultura yang bertujuan untuk mencegah kontaminasi

produk yang dikemas dari mikroorganisme serta proses fermentasi ataupun

pembusukan, mengurangi kontak dengan udara sehingga proses oksidasi dapat

dihambat, mengurangi kerusakan fisik, mempertahankan kesegaran produk dan

meningkatkan minat calon konsumen. Menurut Syarief et al. (1989), kerusakan

fisik pada buah dan sayur juga dapat dikurangi dengan penggunaan kemasan yang

tepat yang dapat mengontrol kerusakan bahan pangan yang disebabkan oleh

lingkungan seperti kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan pangan,

absorpsi, serta interaksi dengan oksigen.

Saat ini plastik banyak digunakan sebagai bahan kemasan yang populer

menggeser penggunaan logam dan gelas, karena plastik memiliki banyak

kelebihan, diantaranya ringan, kuat dan mudah dibentuk, anti karat dan tahan

terhadap bahan kimia, mempunyai sifat isolasi listrik yang tinggi, dan dapat

dibuat berwarna maupun transparan dan biaya proses yang lebih murah. Oleh

karena sifatnya yang mudah dibentuk, kemasan plastik cocok digunakan untuk

mengemas produk yang bentuknya kurang simetris seperti produk hortikultura.

Kelemahan dari plastik karena adanya zat monomer dan molekul kecil dari plastik

yang mungkin bermigrasi ke dalam produk yang dikemas.

Selain kemungkinan bermigrasi ke dalam produk yang dikemas, plastik

yang sering digunakan selama ini merupakan bahan non-degradable dimana

membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun untuk terurai yang

mengakibatkan penumpukan plastik sebagai sampah sisa kemasan sehingga

menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Hal ini mengakibatkan terjadinya

pengurangan pemakaian kemasan berbahan dasar plastik, dan kini juga mulai

dikenal kemasan plastik berbahan dasar pati yang memiliki sifat biodegradable

(mudah terurai) yang dikenal dengan sebutan bioplastik.

Bioplastik berbahan dasar pati telah dikomersialisasikan beberapa tahun

terakhir dan saat ini telah mendominasi pasar kemasan berbasis biodegradable

dan komposit. Bioplastik berbahan dasar pati dapat dikatakan sebagai barrier

oksigen yang baik, akan tetapi sifat higroskopis dari pati yang digunakan tidak

sesuai untuk mengemas produk yang memiliki kadar air dan kelembaban yang

tinggi. Oleh karena itu bioplastik sesuai digunakan untuk mengemas produk yang

memiliki masa simpan yang lebih singkat. Berhubungan dengan aplikasi dalam

bahan pangan, bioplastik biasanya terdapat dalam berbagai bentuk lapisan film

yang digunakan untuk mengemas makanan dan juga dalam bentuk lainnya seperti

mangkuk, piring, dan tray yang biasanya digunakan untuk mengemas telur.

Bentuk kemasan bioplastik yang saat ini sering digunakan untuk mengemas

produk hortikultura adalah kantung plastik yang dikenal dengan sebutan fruit bag.

Penggunaan fruit bag telah banyak diaplikasikan untuk mengemas produk

hortikultura pada supermarket. Kemasan dengan bentuk seperti ini didesain

sederhana dan tipis namun kuat untuk mewadahi produk dalam jumlah banyak,

terutama buah dan sayuran. Umumnya kemasan ini hanya digunakan untuk

mewadahi produk selama pengangkutan dari supermarket ke rumah, namun

penggunaannya bertambah menjadi wadah penyimpan dalam lemari pendingin

dengan alasan kepraktisan tanpa harus memindahkan ke wadah lain. Oleh karena

itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana kemasan bioplastik

berbentuk fruit bag dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan dari

produk hortikultura (tomat dan paprika) pada penyimpanan dingin.

Rumusan Masalah

Pengemasan pangan bertujuan untuk tetap menjaga kualitas dan keamanan

pangan yang terdapat pada produk tersebut hingga ke tangan konsumen. Selain

itu, fungsi kemasan adalah melindungi produk dari kerusakan fisik, kimia ataupun

biologis. Dalam beberapa puluh tahun terakhir, bahan kemasan yang populer

digunakan untuk mengemas berbagai barang termasuk makanan adalah plastik.

Plastik tidak hanya serbaguna, murah dan juga fleksibel dalam penggunaannya,

akan tetapi salah satu keterbatasan dengan kemasan plastik yang pada akhirnya

untuk dibuang adalah kemasan plastik ini sangat sedikit didaur ulang. Kehadiran

bahan kemasan jenis ini di tempat pembuangan sampah menjadikan masalah

tersendiri. Faktor lainnya adalah bahan pembuatan plastik tergantung pada

produksi minyak bumi (Comstock et al. 2004).

Selain isu lingkungan diatas, kemasan pangan telah mengalami perubahan

penting selama distribusi, termasuk globalisasi persediaan pangan, kecenderungan

konsumen untuk mengkonsumsi pangan dalam keadaan masih segar dan nyaman,

serta keinginan untuk mendapatkannya dengan kualitas baik dan aman. Oleh

karena alasan tersebut, konsumen menuntut bahan kemasan yang lebih alami,

sekali pakai, berpotensi untuk terurai (biodegradable) serta dapat didaur ulang

(Lopez-Rubio et al. 2004). Untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan

keinginan konsumen ini, beberapa tahun terakhir sudah dikembangkan berbagai

bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan yang dengan mudah

dapat terurai yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradable (bioplastik).

Bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan ini dapat

digunakan untuk mengemas berbagai jenis produk, termasuk bahan pangan

3

(Comstock et al. 2004). Dengan alasan keamanan pangan, bioplastik ini juga

dapat digunakan untuk mengemas produk hortikultura yang dianggap sebagai

bahan pangan non-olahan. Produk hortikultura yang dipilih adalah tomat yang

mewakili golongan klimakterik dan paprika yang mewakili golongan non-

klimakterik.

Untuk memperpanjang masa simpan produk hortikultura, biasanya

dilakukan penyimpanan pada suhu rendah. Penyimpanan pada suhu rendah

menjadi salah satu faktor utama untuk dapat mempertahankan mutu dan

memperpanjang umur simpan karena produk hortikultura setelah panen tetap

mengalami proses kehidupan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu dan lama terhadap

produk hortikultura (dari golongan klimakterik yang diwakili oleh tomat dan

golongan non-klimakterik yang diwakili oleh paprika), yang dikemas dengan

menggunakan kemasan bioplastik (starch-based plastic) dibandingkan dengan

HDPE. Adapun tujuan khususnya adalah, sebagai berikut :

1) Untuk menentukan suhu dan lama penyimpanan yang sesuai dengan

karakteristik tomat dan paprika.

2) Untuk mengetahui pengaruh kemasan bioplastik terhadap masa simpan produk

hortikultura pada penyimpanan dingin.

3) Menganalisis hubungan suhu dan lama penyimpanan terhadap karakteristik

tomat dan paprika.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penggunaan bioplastik

sebagai bahan pengemasan produk hortikultura lainnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup yang menjadi batasan pada penelitian ini adalah:

a. Kemasan yang digunakan pada penelitian ini adalah yang berbentuk fruit bag

dari jenis bioplastik berbahan dasar pati tapioka dengan merek ecoplast.

Sebagai pembanding juga digunakan kemasan plastik komersial dengan jenis

HDPE polos tanpa perforasi.

b. Produk hortikultura yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari golongan

klimakterik yang diwakili oleh tomat dan golongan non-klimakterik yang

diwakili paprika.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Produk Hortikultura

Produk hortikultura terbagi atas tiga golongan yaitu buah-buahan, sayuran,

dan bunga hias yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama jika diketahui

faktor yang berpengaruh dalam memperpanjang umur simpannya seperti

kandungan air dan suhu penyimpanan (Siswadi 2007). Tahapan perkembangan

buah dimulai dari tahap pertumbuhan (growth), pematangan (maturation), matang

fisiologis (physiological maturity), pemasakan (ripening), dan pelayuan

(senescence). Pertumbuhan adalah tahap pembelahan sel-sel sampai mencapai

tahap ukuran sel maksimal (mature), selanjutnya tahap pemasakan (ripening)

adalah tahap perubahan buah dari fase matang menjadi buah yang siap dimakan,

sedangkan senescence adalah tahap kemunduran yang menuju ke arah penuaan

buah sampai terjadinya kematian jaringan (Kays 1991).

Proses metabolisme yang terpenting adalah respirasi, yaitu proses

pemecahan oksidatif substrat makromolekul seperti karbohidrat, protein dan

lemak menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana (air, CO2, dan energi).

Akibat proses respirasi terjadi perubahan kandungan kimia dan fisik yaitu

perubahan warna, tekstur, penyusutan bobot, penurunan dan kandungan bahan

terlarut dan keasaman. Selanjutnya perubahan tersebut dapat mengakibatkan

kenampakan produk hortikultura menjadi kurang menarik dan penurunan kualitas

secara keseluruhan. Proses metabolisme lainnya adalah transpirasi yaitu

penguapan air dari permukaan produk hortikultura yang menyebabkan kekeringan

dan kelayuan (Winarno 2002). Reaksi kimia sederhana untuk respirasi adalah

sebagai berikut : C6H12O6 + 6 O2 → 6 CO2 + 6 H2O + 675 kal

Menurut Winarno (2002) proses respirasi dapat diukur melalui beberapa

senyawa penting yaitu glukosa, ATP, CO2 dan O2. Perubahan kandungan gula

dalam bahan dapat digunakan untuk mengukur atau mengetahui keaktifan

respirasi, akan tetapi secara praktis sukar dilakukan karena gula yang terdapat

dalam bahan jumlahnya tidak tetap. Kandungan ATP yang dihasilkan selama

proses metabolisme dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer.

Pengukuran kandungan CO2 lebih mudah dilakukan karena jumlah produksi CO2

relatif cukup besar.

Proses respirasi dapat dibedakan dalam tiga tingkat, yaitu (1) Pemecahan

polisakarida menjadi gula sederhana, (2) Oksidasi gula menjadi asam piruvat, dan

(3) Transformasi asam piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO2, air

dan energi (Syarief dan Hariyadi 1993). Laju respirasi merupakan petunjuk yang

baik untuk menentukan daya simpan produk hortikultura setelah panen dimana

laju respirasi yang tinggi biasanya disertai dengan umur simpan yang pendek.

Berbagai produk mempunyai laju respirasi berbeda, umumnya tergantung

pada 2 faktor, yaitu faktor dalam seperti tingkat perkembangan, susunan kimiawi

jaringan, besar-kecilnya komoditas dan ada tidaknya kulit penutup

alamiah/pelapis alami serta tipe/jenis dari jaringan. Laju respirasi selain

dipengaruhi oleh faktor dari dalam juga sangat dipengaruhi oleh faktor luar

produk tersebut dimana kedua faktor tesebut saling berinteraksi apakah saling

mendukung atau sebaliknya. Faktor-faktor dari luar tersebut adalah meliputi:

5

suhu, konsentrasi O2 dan CO2, zat pengatur pertumbuhan (etilen) dan kerusakan

pada produk (Apandi,1984).

Menurut Kartasapoetra (1994) aktivitas respirasi adalah penyebab utama

terjadinya kemasakan dan menjadi tuanya hasil tanaman karena aktivitas ini masih

terjadi pada saat menjelang panen dan setelah panen. Respirasi yang terjadi ini

dapat menghasilkan panas yang berbahaya yang dapat meningkatkan suhu selama

penyimpanan sehingga mempercepat proses metabolisme yang mengakibatkan

umur simpan hasil tanaman menjadi lebih singkat.

Ditinjau dari pola respirasinya, produk hortikultura dapat dibedakan menjadi

dua yaitu klimakterik dan non-klimakterik (Winarno 2002). Pada produk

hortikultura yang termasuk golongan klimakterik ditandai dengan adanya proses

yang cepat pada fase pemasakan dan mengalami peningkatan konsumsi O2 dan

produksi CO2 yang tinggi. Sebaliknya, pada produk hortikultura golongan non-

klimakterik tidak terlihat nyata perubahan yang terjadi pada fase pemasakan

karena proses respirasi pada produk berjalan lambat.

Adanya sejumlah besar enzim yang aktif pada buah setelah panen

menyebabkan terjadinya beberapa perubahan seperti warna dan komposisi dinding

sel sehingga menjadikan tekstur buah lunak. Selain itu, adanya reaksi-reaksi kimia

yang menyebabkan perubahan rasa, bau, tekstur, dan nutrisi yang terkandung

didalamnya (Winarno 2002).

Utama (2001) mengatakan semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat

pula perombakan-perombakan tersebut yang mengarah pada kemunduran dari

produk tersebut. Air yang dihasilkan ditranspirasikan dan jika tidak dikendalikan

produk akan cepat menjadi layu, sehingga laju respirasi sering digunakan sebagai

indeks yang baik untuk menentukan masa simpan pascapanen produk segar. Laju

respirasi menentukan potensi pasar dan masa simpan yang berkaitan erat dengan;

kehilangan air, kehilangan kenampakan yang baik, kehilangan nilai nutrisi dan

berkurangnya nilai cita rasa. Masa simpan produk segar dapat diperpanjang

dengan menempatkannya dalam lingkungan yang dapat memperlambat laju

respirasi dan transpirasi melalui penurunan suhu produk, mengurangi ketersediaan

O2 atau meningkatkan konsentrasi CO2, dan menjaga kelembaban nisbi yang

mencukupi dari udara sekitar produk tersebut.

Penanganan Pascapanen Produk Hortikultura

Tiga tujuan utama untuk menerapkan teknologi pascapanen produk

hortikultura adalah : (1) Menjaga mutu (kenampakan, tekstur, citarasa dan nilai

nutrisi); (2) Untuk melindungi keamanan pangannya, dan (3) Untuk mengurangi

susut dari saat panen sampai produk tersebut dikonsumsi. Penyebab utama susut

pascapanen di negara-negara sedang berkembang adalah penanganan yang kasar,

sulitnya mempertahankan suhu optimal selama penyimpanan, tidak dilakukan

pemisahan (sortasi) sebelum produk disimpan dan penggunaan bahan kemasan

yang tidak sesuai dengan produk yang dikemas. Selain dapat mengurangi susut,

tahapan pascapanen tersebut juga dapat mempertahankan mutu produk serta

memperpanjang masa simpan (Kitinoja dan Kader 2003).

Tujuan utama penanganan pascapanen adalah memperkecil kehilangan dan

kerusakan produk panen dimana besarnya kehilangan pascapanen sangat

bervariasi menurut komoditi dan tempat penghasil, seperti di negara berkembang

diperkirakan sekitar 20-50% terjadi kehilangan pascapanen, sedangkan di negara

maju sekitar 5-25%. Perbedaan jumlah kehilangan tersebut disebabkan karena

negara maju telah menggunakan teknologi pascapanen yang memadai. Sebaliknya

di negara berkembang seperti Indonesia, penelitian pascapanen belum banyak

diterapkan. Diharapkan keberhasilan penanganan pascapanen tidak hanya

dirasakan oleh produsen, karena dapat memperkecil kehilangan panen, tetapi juga

bisa dirasakan oleh konsumen karena dapat memperoleh komoditi dengan mutu

yang baik (Rahardi et al. 2004).

Penanganan pascapanen harus dilakukan secara hati-hati untuk memperoleh

buah-buahan yang segar dan mempunyai mutu yang tinggi. Penanganan secara

kasar dapat mempengaruhi mutu produk baik secara morfologis (panjang,

diameter, volume, dan bobot), mekanis (ketahanan produk terhadap benturan dan

goresan) dan fisiologis. Dalam tahapan penanganan pascapanen ada beberapa

perlakuan yang mesti dilakukan yang bertujuan untuk memberikan penampilan

yang baik dan kemudahan-kemudahan untuk konsumen, memberikan

perlindungan produk dari kerusakan dan memperpanjang masa simpan. Sukses

penanganan pascapanen memerlukan koordinasi dan integrasi yang hati-hati dari

seluruh tahapan dari operasi pemanenan sampai ke tingkat konsumen untuk

mempertahankan mutu produk (Utama 2001).

Panen

Panen dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan memisahkan bagian

produk hortikultura dengan tempat hidupnya dimana jaringan produk hortikultura

tersebut tetap hidup setelah panen dan akan mengalami senescence secara alami

serta akan membusuk apabila produk tersebut tidak dikonsumsi atau diolah.

Semua produk hortikultura melakukan respirasi yang memberi perubahan

terhadap kualitas produk dan lamanya masa simpan. Faktor–faktor yang

memperlambat laju respirasi dapat juga memperlambat senescence dan dapat

menjaga kualitas produk, akan tetapi pada keadaan tertentu respirasi harus tetap

terjadi (Aked 2002).

Produk hortikultura dipanen sesuai dengan keperluan akhir produk tersebut

dimana pemanenan dilakukan berdasarkan standar kematangan yang telah

ditentukan. Pemanenan pada saat kematangan optimum menghasilkan mutu

produk terbaik, sedangkan produk yang dipanen terlalu awal akan kehilangan

citarasa khasnya dan mungkin tidak mengalami proses pematangan secara baik,

sementara produk yang dipanen melewati masanya bisa menjadi berserat atau

lewat masak (Kitinoja dan Kader 2003).

Beberapa produk hortikultura tertentu yang termasuk ke dalam golongan

klimakterik dapat dipanen sebelum matang (unripe) dan akan mengalami

pematangan buatan pada tahap selanjutnya. Selama pematangan, respirasi produk

akan meningkat tajam pada periode waktu yang singkat. Tanpa pengawasan suhu,

produk akan cepat mengalami pematangan dan senescence yang mengakibatkan

kerusakan jaringan internal (Aked 2002).

Sortasi dan Grading (Pengkelasan Mutu) Sortasi biasanya dilakukan untuk memisahkan produk luka, busuk atau

cacat sebelum pendinginan atau penanganan tambahan dilakukan. Sortasi akan

menghemat tenaga dimana bahan-bahan yang rusak tidak akan ikut pada tahapan

7

penanganan berikutnya. Memisahkan bahan-bahan busuk akan membatasi

penyebaran infeksi pada unit-unit produk lainnya, khususnya bila pestisida

pascapanen tidak digunakan (Kitinoja dan Kader 2003).

Produk hortikultura merupakan kelompok produk yang non–homogenous

dimana bervariasi antar grup, antar individu dalam kelompok dan antar daerah

produksi. Grading memberikan manfaat karena : (1) Ukurannya seragam untuk

dijual, (2) Tingkat kematangan seragam, (3) Didapatkan buah yang tidak lecet

atau tidak rusak, (4) Tercapai keuntungan yang lebih baik karena keseragaman

produk, dan (5) Menghemat biaya dalam transpor dan pemasarannya karena

bahan-bahan rusak sudah disisihkan (Utama 2001).

Grading merupakan tindakan pilihan akan tetapi memberikan manfaat

dimana dengan ukuran tingkatan tertentu produk dapat dijual dengan harga yang

lebih tinggi. Kebanyakan packaging house melakukan penanganan ini. Grading

dapat dilakukan secara subjektif (secara visual) atau dengan menggunakan alat

pengukur standar. Banyak produk hortikultura yang telah memiliki standar

grading tertentu sehingga memudahkan tahapan penanganan pascapanen

selanjutnya (Kitinoja dan Kader 2003). Tahapan proses penanganan pascapanen

sortasi biasanya dilakukan bersama-sama dengan grading sebelum ke tahapan

penanganan pascapanen selanjutnya.

Pengemasan Pengemasan atau disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan

berperan dalam memperpanjang umur simpan bahan hasil pertanian. Adanya

wadah atau pembungkusan dapat membantu mencegah atau mengurangi

kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada didalamnya, melindungi dari

bahaya pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan, dan getaran.

Selain itu, pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau

produk agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan,

pengangkutan dan distribusi (Syarief et al. 1989).

Pengemasan dapat mengurangi kehilangan air (pengurangan berat) dan

dengan demikian dapat mencegah terjadinya dehidrasi, terutama bila yang

digunakan merupakan bahan yang bersifat barrier bagi gas dan uap air (Pantastico

et al. 1989). Hal ini merupakan keuntungan utama dari pengemasan yang dapat

pula memperpanjang umur simpan komoditas yang bersangkutan. Kehilangan air

pada saat penyimpanan yang disusul dengan meningkatnya susut bobot sehingga

komoditas menjadi keriput dan kering merupakan sebab dari hilangnya kesegaran

produk. Penyimpanan

Penyimpanan adalah salah satu tahap penting dalam rantai penanganan

pasacapanen produk hortikultura dimana pada kondisi penyimpanan yang tepat

dapat mempertahankan kondisi segar produk hortikultura dan memperpanjang

masa simpannya sehingga dapat menjaga ketersediaanya. Tujuan utama

penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi penyakit, dan

mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen

(Pantastico et al. 1989).

Hingga saat ini pendinginan merupakan satu-satunya cara yang ekonomis

untuk penyimpanan jangka panjang bagi buah-buahan segar. Cara-cara lain untuk

mengendalikan pematangan dan kerusakan, paling banyak hanya merupakan

pelengkap bagi suhu yang rendah. Pendinginan merupakan proses menurunkan

dan mempertahankan suhu suatu bahan di bawah suhu lingkungan dan diatas titik

beku bahan tersebut. Suhu pendinginan merupakan faktor yang penting karena

berhubungan dengan kerusakan bahan pangan akibat mikroba, perubahan fisik

akibat pendinginan dan mempengaruhi kelembaban udara dalam ruang pendingin.

Penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi adalah penyimpanan dengan

lingkungan udara yang mempunyai komposisi gas yang berbeda dengan udara

normal. Menurut Syarief dan Hariyadi (1993) ada dua cara penyimpanan atmosfir

termodifikasi, yaitu aktif dan pasif. Dalam modifikasi atmosfir aktif udara di

dalam kemasan pada awalnya dikontrol dengan cara menarik semua udara di

dalam kemasan untuk kemudian diisi kembali dengan udara yang konsentrasinya

telah diatur dengan menggunakan alat sehingga kesetimbangan langsung tercapai.

Pada modifikasi atmosfir pasif, kesetimbangan antara CO2 dan O2 didapat melalui

pertukaran udara di dalam kemasan melalui film kemasan. Dalam hal ini

kesetimbangan yang diinginkan hanya mengandalkan permeabilitas dari kemasan

yang digunakan. Dalam penyimpanan modifikasi atmosfir, permeabilitas kemasan

memegang peranan penting karena pertukaran gas terjadi lewar kemasan yang

digunakan.

Teknik penyimpanan atmosfir termodifikasi yang dikombinasikan dengan

penyimpanan suhu rendah akan memperpanjang umur simpan produk dan baik

untuk produk selama penyimpanan. Suhu, kelembaban udara dan komposisi

atmosfir penyimpanan merupakan faktor yang dapat diatur untuk menurunkan laju

respirasi dan meminimalkan kerusakan (Pantastico et al. 1989).

Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Tomat Tomat (Solanum lycopersicum syn. Lycopersicum esculentum) berasal dari

famili Solanaceae, tumbuhan asli Amerika Tengah dan Selatan, dari Meksiko

sampai Peru. Tomat merupakan tumbuhan siklus hidup singkat, dapat tumbuh

setinggi 1-3 m. Terdapat ratusan varietas tomat yang dibudidayakan dan

diperdagangkan. Pengelompokan hampir selalu didasarkan pada penampilan atau

kegunaan buahnya. Kualitas kesegaran tomat dapat dilihat dari berbagai atribut

seperti penampakan, kekerasan, citarasa dan kandungan gizi (Tugiyono 1993).

Adapun kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tomat merupakan produk hortikultura golongan klimakterik. Panen buah

tomat dilakukan pada umur 90–100 HST dengan ciri kulit buah berubah dari hijau

menjadi kekuning-kuningan, bagian tepi daun tua mengering, batang menguning.

Panen dilakukan pada pagi atau sore hari pada saat cuaca cerah. Interval

pemetikan 2-3 hari sekali. Supaya tahan lama, tidak cepat busuk dan tidak mudah

memar, buah tomat dipanen setengah matang (Jones 1999).

Buah tomat sangat bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna, kekerasan, rasa

dan kandungan bahan padatnya. Semua komponen tersebut berpengaruh terhadap

mutu buah tomat. Umur petik tergantung varietas tomat yang ditanam dan kondisi

tanaman. Umumnya buah tomat dapat dipanen pertama pada waktu berumur 2

atau 3 bulan setelah tanam. Setelah dipanen, pemasakan masih tetap berlangsung

dan tomat dapat menjadi sangat cepat masak. Hal ini dapat mengakibatkan

penurunan kualitas dan umur simpan terbatas. Panen tomat dilakukan sesuai

dengan tujuan pemasarannya sehingga perlu diperhitungkan lama perjalanan

9

sampai di tujuan. Sebaiknya tomat berada di pasaran pada saat masak penuh,

tetapi tidak terlalu masak atau busuk. Pada saat masak penuh itulah tomat

memperlihatkan penampilannya yang terbaik. Jika tujuan pemasaran adalah pasar

lokal yang jaraknya tidak begitu jauh, dapat ditempuh dalam beberapa jam, panen

sebaiknya dilakukan sewaktu buah masih berwarna kekuning-kuningan. Untuk

pemasaran ke tempat yang jauh atau untuk di ekspor, buah sebaiknya dipetik

sewaktu masih berwarna hijau, tetapi sudah tua benar atau 8-10 hari sebelum

menjadi masak (berwarna merah) (Esquinas dan Alcazar 1981).

Tabel 1 Kandungan gizi untuk setiap 100 g tomat muda

Kandungan Gizi Nilai Satuan

Air 93 g

Energi 23 kcal

Protein 1.20 g

Total lipid (fat) 0.2 g

Karbohidrat 5.10 g

Total gula 4 g

Fiber 1.1 g

Vitamin A 642 IU

Vitamin C 23.4 mg

Vitamin E 0.38 mg

Vitamin K 10.1 μg

Sumber : USDA National Nutrients Data Base (2012)

Selain umur petik, perubahan warna pada tomat juga bisa dijadikan

indikator. Warna merupakan salah satu indikator kematangan tomat yang mudah

untuk diamati, beberapa skala nilai subyektif dan grafik warna telah

dikembangkan untuk mengklasifikasikan tahap kematangan tomat seperti pada

Tabel 2.

Nunes (2008) mengatakan suhu optimum untuk penyimpanan dingin

tergantung pada tingkat kematangan tomat pada saat panen. Tomat kelompok

immature green dan mature green lebih sensitif terhadap suhu dingin daripada

tomat kelompok pink atau light-red. Tomat kelompok pink atau light-red jika

disimpan lebih dari 2 minggu dibawah 10 oC atau lebih lama dari 6-8 hari pada

suhu 5 oC akan mengalami chilling injury. Chilling injury merupakan indikasi

kegagalan untuk mematangkan dan perubahan warna dan citarasa yang tidak

diharapkan, pelunakan terlalu cepat, pitting pada permukaan, biji berwarna coklat

dan meningkatnya bagian yang busuk. Pada tomat kelompok immature green dan

mature green dapat disimpan sampai 14 hari pada suhu 12.5-15 oC tanpa

mengalami permasalahan utama seperti penurunan citarasa dan perubahan warna.

Jones (1999) mengatakan tomat pada tahap perkembangan breaker

merupakan tahap yang paling sering dipanen kepentingan ekspor, sedangkan

tomat untuk pasar lokal biasanya dipanen pada tingkat light–red atau red. Buah

yang dipetik pada tahap mature green akan memiliki masa simpan yang lebih

lama akan tetapi mengalami perubahan pembentukan warna dan rasa yang tidak

diinginkan.

Tabel 2 Klasifikasi tahapan kematangan tomat

Tingkatan Warna Klasifikasi Deskripsi

Mature green Seluruhnya berwarna hijau dan telah matang

Breaker

Mulai ada perubahan warna (merah muda,

merah atau hijau kekuningan) tetapi tidak

lebih dari 10%

Turning Lebih dari 10% tetapi tidak lebih dari 30%

berwarna merah muda, merah atau jingga.

Pink Lebih dari 30% tetapi tidak lebih dari 60%

berwarna merah muda atau merah

Light – red Lebih dari 60% tetapi tidak lebih dari 90%

berwarna merah

Red Lebih dari 90 % berwarna merah; tingkat

kematangan yang diharapkan

Sumber : USDA (1986) di dalam Batu (2003)

Demikian pula untuk menjamin masa simpan yang normal selama distribusi,

tomat kelompok light-red harus disimpan tidak lebih lama dari 10 hari pada suhu

10-12.5 o

C. Penyimpanan pada suhu 10-13 oC direkomendasikan untuk tomat

kelompok pink dan tomat kelompok light-red (Nunes 2008). Menurut Sargent dan

Moretti (2004), suhu penyimpanan dingin yang sesuai untuk tomat tanpa

mengalami penurunan kualitas citarasa dan aroma adalah 7-10 oC selama 3-5 hari.

Jones (1999) merekomendasikan penyimpanan untuk tomat firm ripe pada suhu

7.8-10 oC selama 1-3 minggu dan untuk tomat mature green pada suhu 12.8-21

oC

selama 4-7 minggu.

Morfologi dan Fisiologi Pascapanen Paprika

Tanaman paprika diduga berasal dari Mexico dan daerah sekitar Amerika

Tengah. Kata “paprika” adalah istilah Hongaria yang semula dipakai bagi cabai

merah yang pedas Capsicum annum, di Amerika paprika disebut bell pepper.

Rasa dan aroma paprika tidak seperti tanaman cabai pada umumnya. Baunya

pedas menusuk, tetapi rasa pedasnya tidak ada sama sekali, melainkan rasa manis

sedikit. Itulah sebabnya di negara-negara Barat paprika dikenal dengan sebutan

cabai manis atau sweet pepper (Prihmantoro dan Yovita 2000).

Paprika dapat dipanen setelah berumur 60-90 hari setelah tanam, yaitu pada

saat telah mencapai ukuran penuh tetapi masih berwarna hijau atau sudah matang

berwarna (merah atau kuning). Paprika hijau diperoleh dari paprika yang masih

muda. Setelah matang paprika akan berubah menjadi merah atau kuning sesuai

dengan jenisnya, sedangkan paprika ungu sejak kecil buahnya memang berwarna

ungu kehitaman. Kriteria panen paprika untuk dijual segar adalah masih hijau,

bentuknya baik, berlapis lilin, tegar dan mengkilap (Pantastico et al. 1989).

Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika dapat dilihat pada Tabel 3.

11

Tabel 3 Kandungan gizi untuk setiap 100 g paprika hijau

Kandungan Gizi Nilai Satuan

Air 93.89 g

Energi 20 kcal

Protein 0.86 g

Total lipid (fat) 0.17 g

Karbohidrat 4.64 g

Total gula 2.40 g

Fiber 1.7 g

Vitamin A 370 IU

Vitamin C 127.7 mg

Vitamin E 0.37 mg

Vitamin K 7.4 μg

Sumber : USDA National Nutrients Data Base (2012)

Panen paprika biasanya dilakukan per periode tanam, berdasarkan

kematangan buah, atau sesuai dengan harga dan permintaan di pasaran. Pemetikan

paprika dilakukan beserta tangkai buah dengan menggunakan gunting atau pisau

tajam. Hal tersebut dilakukan agar tangkai buah tidak terlepas dari buah atau

tertinggal di cabang tanaman karena buah akan mudah terserang patogen. Kriteria

buah matang yang dipanen dibagi menjadi dua golongan yaitu panen buah matang

hijau dan panen buah berwarna (merah, kuning, putih atau krem, dan ungu).

Penggolongan ini disesuaikan dengan permintaan pasar dan harga di pasaran.

Kriteria buah yang matang hijau yaitu warna buah hijau mengkilap, daging buah

keras dan tebal, buah mudah dilepaskan dari tangkai, sehat dan tidak cacat, serta

bebas dari hama dan penyakit (Prihmantoro dan Yovita 2000).

Gambar 1 Indeks kematangan pada paprika (FAO 2002)

Kekerasan dan ketebalan buah dapat diketahui dengan cara memijit dan

mengetuknya. Buah yang siap panen berbunyi nyaring bila diketuk dan tidak

berubah bentuk bila ditekan atau dipijit. Kriteria paprika matang berwarna adalah

warna buah sudah merata (seragam), daging buah tebal, sehat dan tidak cacat,

serta bebas dari hama dan penyakit. Setelah dipanen, apabila akan dilakukan

penyimpanan maka paprika dapat ditempatkan pada ruangan berpendingin

bersuhu 7-10 oC atau cara hipobarik (penyimpanan dengan mengatur suhu dan

tekanan udara). Dengan sistem hipobarik tekanan udara diatur cukup rendah

dengan tujuan untuk menghambat gas etilen (gas yang mempercepat kematangan).

Suhu penyimpanan dengan metode ini biasanya 7,2–10

oC dengan tekanan 80

mmHg (Prihmantoro dan Yovita 2000).

Gonzalez-Aguilar (2004) mengatakan penyimpanan paprika segar pada suhu

7.5 oC dengan RH 90-95% direkomendasikan untuk memperpanjang masa simpan

(3-5 minggu), selain itu juga dapat mencegah terjadinya kehilangan air yang

menyebabkan paprika mengkerut. Dan apabila paprika disimpan pada suhu dan

RH lebih tinggi atau lebih rendah, kemungkinan akan terjadi kehilangan air

dengan cepat sehingga menjadikan paprika menjadi lembek, layu atau kering.

Oleh karena ada beberapa varietas tertentu dapat mengalami chilling injury pada

suhu 7 oC sehingga paprika jenis tersebut harus disimpan pada suhu 7-13

oC.

Akan tetapi apabila suhu penyimpanan diatas 13 oC, paprika dapat mengalami

senescence dan kerusakan (busuk). Paprika juga dapat disimpan pada suhu 5 oC

selama 2 minggu, walaupun suhu penyimpanan yang rendah dapat mengakibatkan

kehilangan air akan tetapi gejala chilling injury baru terjadi setelah 2 minggu.

Gejala chilling injury dapat terjadi setelah penyimpanan selama beberapa hari

pada 0 oC dan beberapa minggu pada penyimpanan suhu 5

oC. Paprika masak atau

yang berwarna memiliki sifat kurang peka terhadap chilling injury daripada

paprika hijau. Menurut Ryall dan Werner (1983), penyimpanan paprika sampai

terjadinya chilling injury pada suhu 0 oC selama 2-4 hari, pada suhu 1

oC selama 7

hari, pada 5 oC selama 9 hari dan pada suhu 6-7

oC selama 14-15 hari.

Plastik Biodegradabel (Bioplastik)

Bioplastik adalah plastik yang berbahan dasar dari bahan yang dapat

diperbaharui yang dapat digunakan untuk menggantikan plastik sintetis yang

berasal dari minyak bumi yang memiliki sifat tidak dapat didegradasi oleh

mikroorganisme di alam yang selama ini umum digunakan oleh masyarakat

(Griffin 1994). Bioplastik merupakan plastik yang dapat digunakan layaknya

plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme

menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang

ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, bahan pembuatan

plastik biodegradable ini bersifat ramah terhadap lingkungan (Pranamuda 2001).

Bioplastik merupakan jenis plastik atau polimer yang dibuat dari bahan-

bahan biotik seperti jagung, singkong ataupun mikrobiota yang berbeda dengan

plastik konvensional yang sering kita gunakan yang umumnya dibuat dari minyak

bumi dan gas alam. Bioplastik lebih ramah lingkungan karena dibuat dari bahan-

bahan organik dan dapat didegradasi oleh mikroorganisme pengurai. Salah satu

bagian dari proses pembuatan bioplastik adalah modifikasi genetik yang

melibatkan mikroorganisme. Proses modifikasi ini dianggap kunci masa depan

agar proses pembuatan bioplastik lebih murah dan lebih sedikit mengkonsumsi

bahan bakar minyak (Abbott et al. 2008).

Secara umum, terdapat tiga teknik yang berbeda dalam memproduksi

kemasan biodegradable dengan menggunakan bahan baku hasil pertanian.

Generasi pertama dari pembuatan kemasan biodegradable adalah dengan

mencampurkan poliolefin ke dalam pati untuk memperbaiki sifat-sifat mekanik

dan sifat barrier terhadap uap air dari kemasan berbahan baku pati. Plastik ini

13

belum seluruhnya terdegradasi di tanah. Generasi kedua kemasan biodegradable

dibuat dengan mencampurkan polimer sintetik dengan polimer alami seperti pati.

Komposisi campurannya adalah pati tergelatinisasi (40-75%), polimer sintetik

yang bersifat hidrofobik, dan hidrofilik ko-polimer. Pengembangan yang terakhir

adalah generasi bioplastik (generasi ketiga). Istilah bioplastik ditujukan untuk

bahan kemasan yang berasal dari polimer yang 100% biodegradable dan sudah

diuji biodegradabilitasnya berdasarkan standar yang berlaku atau dari biopolimer

(produk hasil pertanian). Oleh karena itu, istilah bioplastik tidak mencakup

kemasan biodegradable generasi pertama dan kedua (Gontard dan Guilbert 1992).

Menurut Liu (2006), bioplastik adalah istilah yang digunakan untuk bahan

kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan, dan yang dianggap aman

untuk digunakan dalam aplikasi pangan. Secara umum, dibandingkan dengan

plastik konvensional yang berasal dari minyak bumi, bioplastik berbasis polimer

memiliki lebih beragam stereokimia dan bentuk rantai samping yang

memungkinkan para peneliti memiliki lebih banyak kesempatan untuk

menyesuaikan sifat-sifat bahan kemasan akhir. Tantangan utama yang dihadapi

industri pangan dalam memproduksi kemasan bioplastik, saat ini, adalah dengan

mencocokkan daya tahan kemasan dengan masa simpan produk. Comstock et al.

(2004) mengatakan bahan kemasan yang berasal dari sumber daya terbarukan ini

dapat digunakan untuk mengemas berbagai jenis produk. Bahan kemasan ini juga

dapat digunakan untuk mengemas pangan.

Aplikasi plastik biodegradable biasanya dapat digunakan untuk mengemas

berbagai produk yang memiliki umur simpan yang pendek seperti pembungkus

roti yang dapat bertahan selama beberapa bulan atau untuk tas belanja yang dapat

bertahan selama kurang lebih 5 tahun. Plastik ini dapat dengan mudah terurai pada

berbagai kondisi, baik dingin dan basah ataupun panas dan kering (Scott 2009).

Penyimpanan Dingin

Penyimpanan dingin merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan

cara pendinginan pada suhu di atas suhu pembekuannya. Penyimpanan di bawah

suhu 15 oC dan di atas titik beku bahan, tergantung pada masing-masing produk

yang disimpan dikenal sebagai penyimpanan dingin. Pendinginan menuntut

adanya pengendalian terhadap kondisi lingkungan, seperti suhu yang rendah,

komposisi udara, kelembaban dan sirkulasi udara (Kader 1992).

Menurut Muchtadi (1992) penyimpanan pada suhu rendah diperlukan untuk

komoditas sayuran yang mudah rusak, karena cara ini dapat mengurangi kegiatan

laju respirasi dan metabolisme; mengurangi laju penuaan akibat adanya

pematangan, pelunakan serta tekstur dan warna; dan mengurangi kerusakan

karena aktivitas mikroba. Budiastra dan Purwadaria (1993) mengemukakan tujuan

penyimpanan dengan suhu rendah adalah untuk memperpanjang masa kesegaran

sayuran dan buah-buahan guna menjaga kesinambungan pasokan, menciptakan

stabilitas harga dan mempertahankan mutu. Pada penyimpanan dingin yang perlu

dilakukan adalah pemilihan suhu yang tepat karena ada kemungkinan terjadinya

kerusakan komoditi akibat suhu yang terlalu dingin (chilling injury).

Menurut Winarno (2002), tujuan penyimpanan suhu dingin (cool storage)

adalah untuk mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan pematangan abnormal

atau perubahan yang tidak diinginkan sehingga mempertahankan komoditas

dalam kondisi yang dapat diterima oleh konsumen selama mungkin. Pendinginan

pada suhu di bawah 10 oC, kecuali pada waktu yang singkat ,tidak mempunyai

pengaruh yang menguntungkan bila komoditas itu peka terhadap cacat suhu

rendah (chilling injury).

Tingkat kerusakan suhu rendah (chilling injury) yang terjadi pada produk

pascapanen tergantung pada suhu dimana produk tersebut ditempatkan, lamanya

penempatan atau penyimpanan, dan sensitivitas dari produk terhadap suhu dingin.

Semakin rendah suhu dimana produk tersebut ditempatkan (di bawah batas

minimum) maka akan semakin besar pula kerusakan (Utama, 2001).

Pemilihan Film Kemasan

Pengemasan merupakan salah satu cara dalam memberikan kondisi yang

tepat bagi bahan pangan untuk menunda proses kimia dalam jangka waktu yang

diinginkan. Film kemasan memberikan lingkungan yang berbeda pada produk

yang disimpan karena laju perembesan O2 ke dalam kemasan dan CO2 ke luar

kemasan sebagai akibat proses respirasi, berbeda-beda tergantung dari jenis dan

sifat kemasan yang digunakan. Film plastik juga memberikan perlindungan

terhadap kehilangan air produk sehingga sampai waktu lama produk akan tetap

kelihatan segar. Laju dari penyerapan gas tergantung dari struktur film permeable,

ketebalan, luas permukaan, suhu, dan perbedaan kandungan gas antara bagian

dalam dan luar kemasan (Syarief et al. 1989).

Pada kemasan dalam plastik film yang tertutup rapat, hasil-hasil pertanian

dapat disimpan lebih lama, karena termodifikasinya udara di sekitar bahan.

Namun demikian bau dan rasa yang tidak diinginkan dapat muncul apabila

akumulasi CO2 dan penurunan O2 akibat respirasi bahan yang disimpan telah

melebihi ambang batas hingga respirasi berubah dari aerobik menjadi anaerobik.

Selama penyimpanan dalam kemasan plastik, dapat terjadi perubahan konsentrasi

gas O2 dan CO2 dimana konsentrasi O2 akan menurun dan konsentrasi CO2 akan

meningkat sebagai akibat kegiatan respirasi. Konsentrasi gas yang berhubungan

dengan kegiatan respirasi di dalam kemasan tergantung pada permeabilitas

plastik, laju respirasi bahan yang dikemas dan suhu penyimpanan (Deily dan

Rizvi 1981). Koefisien permeabilitas film kemasan terhadap O2 dan CO2

merupakan salah satu faktor penting bila produk hortikultura dikemas dengan film

kemasan secara kemasan.

Zagory dan Kader (1997) mengatakan penggunaan plastik sebagai bahan

pengemas dapat melindungi dan mengawetkan buah dan sayuran yang disimpan,

disamping penampakan produk yang dikemas menjadi lebih menarik. Terdapat

berbagai jenis film plastik yang digunakan untuk pengemasan, namun hanya

beberapa jenis saja yang dapat digunakan untuk pengemasan buah dan sayuran

segar. Pengemasan buah dan sayuran segar dengan film plastik yang impermeable

menyebabkan konsentrasi O2 menurun dari kondisi normal (21%) menjadi sekitar

2-5% dan konsentrasi CO2 akan meningkat dari kondisi udara normal (0.03%)

menjadi 16-19%, hal ini berakibat tidak baik bagi produk yang disimpan. Oleh

sebab itu film plastik yang ideal adalah film plastik yang mempunyai

permeabilitas CO2 3-5 kali lebih besar daripada permeabilitas O2 tergantung pada

komposisi optimum untuk masing-masing produk segar yang dikemas sehingga

15

dengan demikian laju akumulasi CO2 dari proses respirasi lebih sedikit dari laju

penyusutan O2.

Tabel 4 Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan

(ml.mil.m-2

.jam-1

.atm-1

)

Jenis Film

Kemasan

Ketebalan* 10 C

a 15 C

a 25 C

b

(mil) O2 CO2 O2 CO2 O2 CO2

LDPE 0.99 - - - - 1002 3600

PP 0.61 265 364 294 430 229 656

Stretch Film 0.57 342 888 473 748 4143 6226

White Stretch 0.58 226 422 291 412 1464 1470

Keterangan : (a) hasil dari perhitungan (secara teoritis); (b) hasil penetapan (hasil

pengukuran). *1 mil = 0.0254 mm

Sumber : Gunadya 1993

Pemilihan film kemasan dengan nilai koefisien permeabilitas tertentu

mempengaruhi konsentrasi kesetimbangan gas di dalam kemasan. Gunadnya

(1993) menyatakan ketebalan film polietilen densitas rendah, polipropilen,

oriented polypropylene, polivinil klorida, stretch film dan white stretch film

berturut-turut adalah 0.99, 0.61, 1.00, 0.95, 0.57 dan 0.58 mil. Nilai β merupakan

perbandingan koefisien permeabilitas film kemasan terhadap gas CO2 dengan O2.

Koefisien permeabilitas film kemasan semakin permeabel terhadap gas-gas

dengan semakin tinggi suhu. Hasil penetapan dan perhitungan koefisien

permeabilitas film memperlihatkan kecenderungan meningkat pada suhu yang

lebih tinggi.

Apabila buah-buahan dikemas dengan bahan yang impermeabel maka

proses respirasi yang terjadi akan mengakibatkan berkurangnya O2 dan terjadi

akumulasi CO2 yang kemudian menghasilkan respirasi anaerob disertai

terbentuknya etanol, asetaldehid dan komponen-komponen yang tidak diinginkan.

Sebaliknya jika menggunakan bahan kemasan yang mempunyai bahan

permeabilitas yang sangat tinggi, efek modifikasi udara dalam kemasan hampir

tidak terjadi sehingga tujuan memperpanjang umur simpan bahan tidak tercapai

(Zagory dan Kader 1997). Permeabilitas gas beberapa jenis polimer untuk bahan

pengemasan bahan pangan pada Tabel 5.

Selain kemasan plastik sintetis yang dibuat dari bahan baku bahan minyak

bumi, masih ada bentuk lain dari kemasan yang terbuat dari bahan organik yang

disebut sebagai plastik organik atau plastik biodegradable (bioplastik). Secara

umum, dibandingkan dengan plastik konvensional yang berasal dari minyak bumi,

bioplastik berbasis polimer memiliki lebih beragam stereokimia dan bentuk rantai

samping yang memungkinkan ilmuwan penelitian memiliki lebih banyak

kesempatan untuk menyesuaikan sifat-sifat bahan kemasan akhir. Tantangan

utama yang dihadapi industri pangan dalam memproduksi kemasan bioplastik,

saat ini, adalah dengan mencocokkan daya tahan kemasan dengan masa simpan

produk (Liu 2006).

Tabel 5 Permeabilitas gas beberapa polimer untuk pengemasan bahan pangan

Jenis Polimer Permeabilitas (cc*mil/l00in

2*day*atm)

Oksigen Nitrogen Karbondioksida

Vinylidene chloride copolymer 0.01 – 0.15 0.003 – 0.035 0.05 – 0.75

Etilvinil alkohol, dry 0.007 – 0.048 --- ---

Etilvinil alkohol, 100% RH 1.1 – 0.55 --- ---

Nilon – MXD6 0.15 --- 3 – 4

Acrylonitrile 0.9 – 1.0 --- 10 – 12

Nilon 6 2 – 3 --- 15 – 25

PET 3 – 4 0.7 20 – 50

PVC 5 – 20 --- 600 – 700

HDPE 100 – 200 40 – 60 500 – 700

PP 150 – 250 30 – 50 1000 – 2000

LDPE 250 – 350 100 – 200 700 – 1500

Polystyrene 250 – 400 40 – 60 ---

Sumber : Delassus (1997) didalam Cooksey (2004)

17

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan

Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Penelitian ini dilaksanakan selama ± 4 bulan dimulai dari April – Agustus 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah paprika dan tomat yang

diperoleh dari pedagang pengumpul yang memiliki perkebunan di daerah

Lembang. Buah tomat dan paprika dipetik pada tingkat kematangan mature green

(±60 hari bunga mekar atau tingkat kematangan 50%) dan langsung dibawa pada

hari yang sama. Bahan lain yang digunakan adalah kemasan bioplastik berbasis

pati berbentuk fruit bag dan sebagai kontrol (pembanding) juga digunakan

kemasan plastik konvensional, yaitu plastik HDPE tanpa perforasi yang juga

berbentuk fruit bag. Selain itu juga diperlukan bahan kimia untuk analisis kadar

Vitamin C berupa larutan iod, indikator kanji dan aquades.

Peralatan yang digunakan adalah lemari pendingin (cold storage) dengan

suhu 5 o

C, 10 o

C, 15 oC, Gas Analyzer Shimadzu tipe 101 dan tipe IRA 107 untuk

mengukur konsentrasi gas O2 dan CO2, Rheometer model CR-3000 untuk

mengukur kekerasan, Kromameter Minolta tipe CR-310 untuk mengukur warna,

Refraktometer Atago PR-201 untuk mengukur total padatan terlarut, timbangan

untuk mengukur susut bobot, hot sealer, pipa plastik yang dibutuhkan untuk

mengukur konsentrasi CO2 dan O2 dan peralatan gelas lainnya yang dibutuhkan

dalam analisis Vitamin C.

Metode Penelitian

Aplikasi Bioplastik untuk Produk Hortikultura Tomat dan paprika disortasi terlebih dahulu untuk mendapatkan buah

dengan tingkat kematangan yang seragam, dicuci dan kemudian ditimbang dengan

berat 500 ± 10 g. Kemudian dikemas dengan menggunakan kemasan bioplastik

berbentuk fruit bag yang kemudian dikelim dengan hot sealer. Buah juga dikemas

dalam plastik HDPE yang dijadikan sebagai kontrol. Untuk pengamatan

konsentrasi O2 dan CO2 dalam kemasan, dibuat 2 buah lubang pada salah satu sisi

kemasan yang dihubungkan dengan selang plastik. Selanjutnya produk disimpan

di dalam cold storage 5, 10 dan 15 oC selama 21 hari. Pengamatan dilakukan pada

hari ke-0 dan setiap 3 hari sekali terhadap laju respirasi, susut bobot produk,

perubahan warna, kekerasan, total padatan terlarut dan kadar vitamin C.

Penentuan Umur Simpan Umur simpan produk didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu

produk hingga tingkat yang tidak dapat diterima pada kondisi penyimpanan,

proses dan pengemasan yang spesifik. Umur simpan dianggap sebagai selang

waktu antara produksi hingga konsumsi dimana produk masih dalam kondisi yang

memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi

(Arpah 2001). Penentuan masa simpan produk dapat dilakukan dengan beberapa

metode. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperkirakan masa simpan

suatu produk adalah dengan akselerasi (penyimpanan yang dipercepat). Salah satu

metode yang digunakan untuk menentukan masa simpan produk secara akselerasi

adalah dengan menggunakan persamaan Arrhenius.

Umur simpan pada suhu tertentu dapat ditentukan dengan menghubungkan

nilai k dan nilai suhu yang telah diketahui. Nilai k dihubungkan dengan suhu

menggunakan persamaan Arrhenius :

dimana :

k = Konstanta kecepatan reaksi

k0 = Konstanta pre-eksponensial

Ea = Energi aktivasi (KJ/mol)

R = Konstanta gas (1.986 kal/mol oK)

T = Suhu mutlak (oK)

dalam bentuk logaritma:

( ⁄ ) ⁄

atau bentuk persamaan linier :

, dimana : ⁄

Menurut Labuza (1982), reaksi kehilangan mutu pada produk banyak

dijelaskan oleh reaksi ordo nol dan ordo satu. Perubahan mutu yang dapat

diwakilkan oleh reaksi ordo nol meliputi : (1) Degradasi enzimatis pada buah dan

sayuran segar, sebahagian makanan beku dan adonan yang didinginkan,

(2) Pencoklatan non-enzimatis, seperti pada sereal kering, susu bubuk, makanan

hewan dan kehilangan protein, (3) Oksidasi lemak (ketengikan pada makanan

ringan, makanan kering, makanan hewan dan makanan yang telah dibekukan).

Nilai k yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan reaksi ordo 0 untuk

menduga umur simpan dari produk :

dQ

dt k

Jika diintegrasikan, maka : Qt = Q0 – k.t

sehingga umur simpan ordo nol : t (Q0 Qs)

k

Keterangan :

t = Umur simpan (hari)

Q0 = Nilai mutu awal

Qt = Nilai mutu akhir

Qs = Batas kritis mutu

kT = Konstanta pada suhu tertentu dalam oK

Parameter yang digunakan untuk menentukan umur simpan tomat dan

paprika pada penelitian ini adalah warna. Perubahan warna dianggap sebagai

atribut mutu paling mudah untuk diamati sehingga dapat mempengaruhi tingkat

kesukaan konsumen.

19

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan tiga faktor dan tiga ulangan

untuk tiap-tiap produk yang dikemas (tomat dan paprika). Faktor pertama yang

digunakan adalah perlakuan jenis plastik yang terdiri atas 2 taraf yaitu plastik

HDPE dan bioplastik. Faktor kedua yang digunakan adalah perlakuan suhu

penyimpanan yang terdiri atas tiga taraf, yaitu 5, 10 dan 15 oC, sedangkan faktor

ketiga yang digunakan adalah lama penyimpanan yang terdiri atas 8 taraf, yaitu

hari penyimpanan ke-0, 3, 6, 9, 12, 15, 18, dan 21.

Data dianalisis dengan uji sidik ragam (anova) dengan bantuan program

SPSS v.17 dan apabila hasilnya berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5%,

maka dilakukan dengan uji lanjut Duncan untuk membedakan taraf pada tiap-tiap

perlakuan dan lama penyimpanan. Model matematis dari rancangan percobaan

tersebut, yaitu :

Keterangan :

Yijkl = Respon setiap parameter yang diamati.

µ = Nilai rata-rata umum.

Ai = Pengaruh perlakuan perbedaan jenis plastik.

Bj = Pengaruh perlakuan suhu penyimpanan.

Ck = Pengaruh perlakuan lama penyimpanan.

(AB)ij = Pengaruh interaksi perlakuan perbedaan jenis plastik dan suhu

penyimpanan.

(AC)ik = Pengaruh interaksi perlakuan perbedaan jenis plastik dan lama

penyimpanan.

(BC)jk = Pengaruh interaksi perlakuan suhu penyimpanan dan lama

penyimpanan.

(ABC)ijkl = Pengaruh interaksi perlakuan perbedaan jenis plastik, suhu

penyimpanan dan lama penyimpanan.

ijkl = Pengaruh galat percobaan.

Dimana :

i = 1,2

j = 1,2,3

k = 1,2,3,4,5,6,7,8

l = 1,2,3

Pengamatan

Laju Respirasi

Pengukuran laju respirasi dilakukan pengamatan terhadap konsentrasi O2

yang dibutuhkan dan CO2 yang dikeluarkan dalam kemasan. Untuk memudahkan

pengukuran konsentrasi gas O2 dan CO2 dibuat 2 buah lubang pada salah satu sisi

kemasan yang dihubungkan dengan selang plastik yang nantinya akan

dihubungkan ke alat gas analyzer. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran

(persen O2 dan persen CO2) dikonversi ke dalam satuan ml/kg.jam dengan

perhitungan sebagai berikut :

Dimana :

R = Laju respirasi (ml CO2/kg.jam dan ml O2/kg.jam)

V = Volume bebas wadah (ml) = Volume wadah (ml)-Volume buah (ml)

W = Berat contoh (kg)

⁄ = Laju perubahan konsentrasi O2 dan CO2 (%/jam)

Pengukuran Penurunan Bobot Produk

Pengukuran terhadap penurunan bobot dilakukan berdasarkan persentase

penurunan bobot bahan sejak awal sampai akhir penyimpanan sehingga diketahui

persentase bobot akhir dari bahan selama penyimpanan. Penimbangan dilakukan

dengan menggunakan timbangan Mettler PM-4800. Untuk mengukur penurunan

bobot digunakan rumus berikut:

(

)

Dimana :

W = Bobot bahan awal (g)

Wa = Bobot bahan akhir penyimpanan (g)

Pengukuran Nilai Kekerasan

Perubahan kekerasan selama penyimpanan diukur berdasarkan ketahanan

buah terhadap alat penekan (probe). Pengukuran kekerasan dilakukan setiap

pengamatan dengan menggunakan Rheometer model CR-3000. Alat diatur

dengan mode 20, beban maksimum 10 kg, kedalaman penekanan 20 mm,

kecepatan penurunan beban 60 mm/menit, dengan diameter probe 5 mm. Setelah

alat di-setting, produk diletakkan hingga stabil, kemudian tombol start ditekan

dan jarum akan bergerak ke bawah dan menusuk produk. Besarnya tekanan yang

diperlukan untuk menusuk produk menunjukkan ketegaran produk. Pengamatan

kekerasan yang diukur dari tiga titik secara melintang untuk masing-masing buah

yang disimpan. Buah yang diukur tingkat kekerasannya sebanyak dua buah dari

tiap-tiap kemasan. Nilai pengukuran dapat dilihat pada alat yang dinyatakan

dengan Newton.

Pengukuran Perubahan Warna

Pengukuran warna tomat dan paprika selama pengamatan dilakukan dengan

menggunakan chromameter Minolta CR-310. Melalui alat ini akan diperoleh

tingkat intensitas cahaya dengan sistem notasi warna Hunter dalam bentuk 3

parameter yaitu L*, a

* dan b

* seperti pada Gambar 2. Nilai L

* menunjukkan

tingkat kecerahan [L*= 0 (Hitam) dan L

*=100 (Putih)]. Nilai a

* terdiri dari +a

*

yang menunjukkan warna merah dengan nilai 0 hingga 60, sedangkan –a*

menunjukkan warna hijau dengan nilai 0 hingga -60. Nilai b* terdiri dari +b

* yang

menunjukkan warna kuning dengan nilai 0 hingga 60, serta nilai –b* yang

menunjukkan warna biru dengan nilai 0 hingga -60.

21

Hasil pengukuran nilai a* dan b

* dikonversikan ke dalam satuan kromatik C

*

dan derajat Hue (ohue). Nilai C* menunjukkan intensitas suatu warna sedangkan

nilai ohue mendeskripsikan warna murni dimana menunjukkan warna dominan

dalam campuran beberapa warna. Untuk memperoleh nilai C* dan ohue digunakan

rumus sebagai berikut :

√ ( ⁄ )

Gambar 2 Sistem notasi warna Hunter

Pengukuran Total Padatan Terlarut dengan Refraktometer (AOAC, 1990)

Total padatan terlarut diukur dengan menggunakan refraktometer Atago

PR-210 yang telah diatur pada suhu ruang, kemudian cairan dari buah diletakkan

pada prisma refraktometer yang telah dibersihkan terlebih dahulu. Setiap sebelum

pembacaan prisma tersebut dikalibrasi menggunakan aquades. Selanjutnya dibaca

nilai total padatan terlarut dalam satuan oBrix.

Kadar Vitamin C (Apriyantono et al. 1989)

Sampel dihancurkan kemudian ditimbang sebanyak 10 g. Masukkan dalam

labu ukur 250 ml kemudian ditambahkan air suling sampai tanda tera. Saring

dengan menggunakan kertas saring. Filtrat sebanyak 25 ml langsung dititrasi

dengan larutan iod 0.01 N. Ditambahkan indikator kanji pada filtrat sebelum

dititrasi. Dilakukan titrasi sampai terjadi perubahan warna yang stabil (terbentuk

warna biru ungu).

Asam Askorbat (mg/ 100 g bahan) =

Dimana :

P = faktor pengenceran

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Kemasan

Kemasan memiliki fungsi untuk menjaga produk yang dikemas agar tetap

dalam keadaan baik hingga dikonsumsi. Pada produk hortikultura, pengemasan

diharapkan dapat memperpanjang masa simpan serta mempertahankan kesegaran

hingga pada saat dikonsumsi. Banyak jenis kemasan yang digunakan untuk

mengemas buah, salah satunya kemasan plastik. Penggunaan kemasan plastik

semakin luas karena berbagai kelebihannya seperti ringan, serbaguna, murah

namun juga fleksibel dalam penggunaannya, akan tetapi salah satu keterbatasan

dengan kemasan plastik yang pada akhirnya untuk dibuang adalah kemasan

plastik ini sangat sedikit didaur ulang sehingga akhirnya dikembangkan plastik

yang mudah terurai yang dikenal dengan bioplastik.

Penggunaan bioplastik mulai populer di masyarakat dimana kemasan

berbahan dasar pati ini juga telah dikembangkan dalam berbagai bentuk sesuai

penggunaannya, salah satunya fruit bag. Kemasan plastik fruit bag mulai banyak

digunakan terutama oleh para konsumen kelas menegah ke atas yang senang

berbelanja di pasar swalayan. Pada awalnya kemasan jenis ini hanya digunakan

sebagai wadah produk hortikultura dari pasar swalayan hingga ke rumah

konsumen. Dengan alasan kepraktisan, konsumen juga menyimpan produk

hortikultura langsung dengan kemasan tersebut ke dalam lemari pendingin.

Pada penelitian ini digunakan kemasan bioplastik ecoplast yang terbuat dari

kombinasi polimer sintetik dengan komposisi pati tapioka sekitar 60% dan plastik

HDPE sebagai pembanding. Kemasan HDPE dan bioplastik yang digunakan

memiliki luas yang sama yaitu 250 400 mm2 dengan ketebalan sebesar 45 μm.

Informasi mengenai ukuran dimensi kemasan ini dapat digunakan untuk

menghitung nilai densitas masing-masing kemasan. Nilai densitas diperoleh dari

pembagian berat plastik terhadap volume (perkalian panjang, lebar dan tebal

plastik). Perhitungan densitas HDPE dan bioplastik dapat dilihat pada Lampiran 1.

Dari hasil perhitungan, densitas bioplastik (75.56-77.00 g/cm3) lebih kecil

daripada densitas HDPE (84.89-86.78 g/cm3), dimana nilai densitas yang rendah

menunjukkan struktur amorf (tidak teratur) lebih banyak sedangkan densitas yang

lebih tinggi memiliki struktur kristalin yang lebih besar. Allcock dan Lampe

(1981) mengatakan densitas menunjukkan kerapatan rantai suatu polimer, dimana

polimer dengan struktur yang teratur (kristalin) cenderung mempunyai kerapatan

rantai yang lebih besar karena rantai mampu berdekatan dalam jarak yang dekat

(lebih rapat) sehingga densitasnya pun lebih besar. Polimer dengan stuktur yang

tidak teratur (amorf) cenderung mempunyai densitas yang rendah karena jarak

rantai yang jauh sehingga lebih renggang.

Sifat mekanik dan fisik dari polimer sangat dipengaruhi oleh derajat

kristalinitasnya. Sifat-sifat mekanik yang dipengaruhi oleh derajat kristalinitas

adalah kekakuan (stiffness), kekerasan (hardness), dan keuletan (ductility),

sedangkan sifat fisik adalah sifat optik dan kerapatan (density) dari polimer.

Raynasari (2012) telah melakukan pengujian terhadap sifat fisik dan mekanik dari

kemasan yang digunakan dalam penelitian ini yang terangkum pada Tabel 6.

23

Tabel 6 Karakteristik kemasan yang digunakan

Karakteristik Kemasan

HDPE Bioplastik

Sifat

Mekanik

Kekuatan Tarik

(MPa)

MD 74.29 16.75

CD 48.14 6.35

Elongasi

(%)

MD 292.46 114.21

CD 445.45 656.54

Sifat

Fisik

Permeabilitas Uap Air

(g/m2/24 jam)

21.56 13.10

Morfologi Permukaan

Sumber : Raynasari (2012)

Sifat mekanik diperlukan dalam melindungi produk dari faktor-faktor

mekanis, seperti tekanan fisik (jatuh dan gesekan), getaran, serta benturan.

Sebagai bahan kemasan, plastik harus memiliki kekuatan tarik maupun

perpanjangan putus (elongasi) yang baik karena hal ini akan berpengaruh pada

kekuatan terhadap kontak fisik dengan benda lain dan kekuatan terhadap menahan

beban dari produk selama dikemas sehingga plastik tidak mudah sobek dan lebih

tahan lama.

Kuat tarik merupakan ukuran besarnya gaya yang dapat ditahan sebelum

lembaran plastik rusak atau putus. Biasanya pada lembaran plastik yang

dihasilkan terbentuk orientasi film yang disebut machine direction (MD) dan

cross-machine direction (CD). MD adalah orientasi rantai molekul yang searah

dengan arah mesin sedangkan CD melintang dengan arah mesin. Sifat mekanik

pada orientasi MD berbeda dengan CD karena ikatan molekul MD yang sejalan

dengan arah mesin menjadikannya lebih baik daripada orientasi CD. Perbedaan

orientasi CD dan MD pada plastik dapat dilhat pada Gambar 3.

Gambar 3 Orientasi film plastik (Syarief et al. 1989)

Dari Tabel 6 dapat dilihat nilai kuat tarik bioplastik lebih rendah daripada

HDPE yang disebabkan adanya campuran pati pada matriks polimernya sehingga

kekuatan ikatan antar polimernya menjadi lemah. Baik pada bioplastik maupun

HDPE nilai kuat tarik pada orientasi MD menunjukkan hasil yang lebih baik

daripada CD yang menunjukkan plastik tidak mudah patah.

Cross machine direction

Machine direction

Pengukuran kuat tarik biasanya diikuti juga dengan pengukuran

perpanjangan putus (elongasi) yang menunjukkan elastisitas dari plastik. Semakin

tinggi nilai perpanjangan putus (elongasi) maka plastik tersebut semakin elastis

sehingga bahan dapat ditarik lebih mulur. Dari Tabel 6 dapat dilihat persen

elongasi bioplastik pada orientasi MD lebih rendah daripada HDPE namun

menunjukkan nilai yang lebih besar pada orientasi CD. Ini menunjukkan

bioplastik lebih elastis apabila diberi beban yang lebih besar sehingga tidak

mudah sobek/putus.

Polimer dengan kekuatan tarik dan perpanjangan putus (elongasi) yang

tinggi tergolong ke dalam jenis polimer yang kuat dan liat. Apabila suatu bahan

memiliki kuat tarik yang tinggi namun tidak diimbangi dengan perpanjangan

putus yang tinggi maka akan cenderung menghasilkan plastik yang mudah patah

(brittle). Kemasan HDPE memiliki kekuatan tarik dan persen elongasi lebih besar

daripada bioplastik yang menjadikan kemasan ini lebih kuat dan liat sehingga

tidak mudah patah (brittle). Bioplastik memiliki kekuatan tarik yang rendah tetapi

memiliki persen elongasi tinggi pada orientasi CD sehingga lebih elastis

(fleksibel) yang menjadikan bioplastik lebih kuat untuk menahan beban.

Sifat fisik plastik dapat diketahui dengan mengukur permeabilitas uap air

dan mengamati morfologi permukaan plastik. Permeabilitas uap air berkaitan

dengan ketahanan plastik sebagai barrier bagi kemasan. Permeabilitas plastik

ditentukan dengan mengukur transmisi uap air/gas atau permean yang melewati

plastik uji. Permeabilitas uap air adalah kecepatan atau laju transmisi uap air

melalui suatu unit luasan bahan yang permukannya rata dengan ketebalan tertentu

sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan

tertentu pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Permeabilitas menyangkut

proses pemindahan larutan dan difusi dimana larutan berpindah dari satu sisi film

dan selanjutnya berdifusi ke sisi lainnya setelah menembus film tersebut. Semakin

besar nilai permeabilitasnya maka akan menunjukkan plastik tersebut semakin

mudah dilewati uap air/gas (Krochta 2007).

Dari hasil pengukuran WVTR bioplastik 21.56 g/m2/24 jam lebih besar

daripada HDPE 13.10 g/m2/24 jam ini menunjukkan bioplastik memiliki

kemampuan lebih besar untuk melewatkan air dalam bentuk uap daripada HDPE.

Nilai WVTR dipengaruhi oleh densitas plastik dimana plastik dengan densitas

yang lebih besar memiliki area kristalin yang lebih banyak sehingga lebih rapat

yang menyebabkan gas tidak mudah keluar masuk melalui kemasan. Hal

sebaliknya terjadi pada kemasan bioplastik yang memiliki densitas lebih kecil

yang mengindikasikan struktur amorf (tidak beraturan) lebih mendominasi

penyusunnya sehingga kemasan ini lebih renggang dan mudah untuk dilewati oleh

uap air dan gas lainnya.

Dari Tabel 6 menunjukkan morfologi permukaan HDPE lebih homogen

daripada bioplastik hal ini dipengaruhi karena pada bioplastik terdapat pati yang

terikat pada matriks polimer sehingga terbentuk gelembung-gelembung yang

diduga granula pati. Granula pati terlihat tersebar dengan ukuran yang beragam

dimana pati yang berukuran kecil dapat menyebabkan penurunan sifat mekanik

bioplastik karena terjadinya ikatan rantai polimer dengan granula berukuran kecil

sehingga kekuatan plastik untuk menerima tarikan menjadi lebih rendah dengan

perpanjangan putus yang besar.

25

Aplikasi Bioplastik Untuk Kemasan Produk Hortikultura

Perubahan Fisiologi (Laju Respirasi) Dari Produk Hortikultura

Respirasi merupakan proses metabolisme utama pada produk hortikultura

yang dapat menyebabkan perubahan mutu dan kimia pada produk hasil panen.

Respirasi terjadi pada semua organisme hidup termasuk juga pada tumbuhan,

termasuk pada produk hortikultura yang telah dipisahkan dari tempat tumbuhnya.

Respirasi merupakan suatu reaksi pemecahan bahan organik yang komplek

menjadi lebih sederhana dengan melepaskan energi. Reaksi kimia sederhana

untuk respirasi adalah sebagai berikut :

C6H12O6 + 6 O2 → 6 CO2 + 6 H2O + 675 kal

Laju respirasi biasanya dinyatakan dalam laju konsumsi O2 dan laju

produksi CO2. Dalam proses respirasi, produk hortikultura memerlukan oksigen

(O2) untuk memecah bahan-bahan organik dan menghasilkan CO2, uap air dan

panas. Semakin banyak oksigen yang diperlukan untuk respirasi maka CO2 yang

dihasilkan dari proses respirasi ini juga akan meningkat begitu juga dengan uap

air dan panas. Untuk mengetahui kecepatan laju respirasi pada produk hortikultura

ini biasanya digunakan perhitungan terhadap perubahan gas O2 atau CO2 pada

interval waktu tertentu.

Laju respirasi diantara produk hortikultura berbeda satu sama lainnya

sehingga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu golongan klimakterik dan non-

klimakterik. Pada produk hortikultura yang termasuk golongan klimakterik

ditandai dengan adanya proses yang cepat pada fase pemasakan dan mengalami

peningkatan konsumsi O2 dan produksi CO2 yang tinggi. Sebaliknya, pada produk

hortikultura golongan non-klimakterik tidak terlihat nyata perubahan yang terjadi

pada fase pemasakan karena proses respirasi pada produk berjalan lambat

(Winarno 2002).

Buah golongan klimakterik memiliki karakteristik dengan adanya puncak

aktivitas respirasi selama pematangan yang menunjukkan kualitas buah siap untuk

dikonsumsi dimana puncak respirasi ini bervariasi pada tiap-tiap buah. Sebaliknya

pada buah golongan non-klimakterik hanya menunjukkan penurunan bertahap

pada proses respirasi selama pematangan dengan pola yang berbeda tergantung

dari masing-masing buah. Respirasi untuk golongan non-klimakterik juga

memiliki hubungan antara tingkat respirasi yang tinggi dengan umur simpan yang

pendek (Tucker et al. 1993). Buah golongan non-klimakterik tidak menunjukkan

proses pematangan setelah dipanen dan pola respirasinya akan berubah menjadi

lambat setelah pemanenan. Istilah klimakterik hanya melibatkan peningkatan

respirasi buah ditinjau dari produksi CO2 (Villavicencio et al. 2001).

Dari Lampiran 2 dan Lampiran 3 menunjukkan selama masa penyimpanan

rerata laju konsumsi O2 pada tomat (0.056-1.057 mlO2/kg.jam) lebih rendah

daripada rerata laju konsumsi O2 pada paprika (0.059-0.982 mlO2/kg.jam). Begitu

juga dengan rerata laju produksi CO2 pada tomat (0.008-0.412 mlCO2/kg.jam)

lebih rendah daripada rerata laju produksi CO2 pada paprika (0.015-0.513

mlCO2/kg.jam).

Laju respirasi (konsumsi O2 dan produksi CO2) dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, umumnya tergantung pada 2 faktor, yaitu (1) faktor dari dalam

seperti tingkat perkembangan, susunan kimiawi jaringan, besar-kecilnya

komoditas dan ada tidaknya kulit penutup alamiah/pelapis alami serta tipe/jenis

dari jaringan dan (2) faktor dari luar yang meliputi: suhu, konsentrasi O2 dan CO2,

zat pengatur pertumbuhan (etilen) dan kerusakan pada produk. Kedua faktor ini

saling berinteraksi apakah saling mendukung ataupun sebaliknya.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam Lampiran 2a menunjukkan jenis

plastik dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap laju konsumsi O2 tomat

namun suhu penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak memberikan

pengaruh terhadap laju konsumsi O2. Dari uji lanjut Duncan menunjukkan laju

konsumsi O2 tomat yang dikemas dengan HDPE berbeda nyata dengan bioplastik

dan laju konsumsi O2 tomat selama penyimpanan berbeda nyata pada tiap harinya.

Dari hasil analisis sidik ragam 3a juga menunjukkan jenis plastik dan lama

penyimpanan berpengaruh terhadap laju produksi CO2 tomat sedangkan suhu

penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap laju

produksi CO2 tomat. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan laju produksi CO2

tomat yang dikemas dengan HDPE berbeda nyata dengan bioplastik dan laju

produksi CO2 tomat selama penyimpanan berbeda nyata pada tiap harinya.

Gambar 4 menunjukkan laju konsumsi O2 dan produksi CO2 pada tomat

yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik. Buah yang dikemas dengan

bioplastik baik dari laju konsumsi O2 ataupun dari laju produksi CO2nya lebih

tinggi daripada yang dikemas dengan HDPE. Ini dipengaruhi oleh densitas dari

kemasan dimana bioplastik memiliki densitas yang cenderung lebih rendah yang

mengindikasikan dominasi struktur amorf yang lebih besar sehingga ikatan antar

molekul penyusunnya lebih renggang daripada HDPE. Dengan keadaan yang

lebih renggang ini menyebabkan kemampuan bioplastik untuk dilewati oleh O2

dan CO2 lebih mudah. Hal ini berbeda dengan kemasan HDPE yang densitasnya

lebih kecil sehingga O2 dan CO2 yang terdapat di dalam kemasan konsentrasinya

lebih besar akibat lebih rapatnya molekul penyusun HDPE.

(a)

(b) Gambar 4 Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2

tomat, dan (b) laju produksi CO2 tomat

Konsentrasi O2 dan CO2 yang rendah di dalam bioplastik juga dipengaruhi

oleh bahan utama penyusun plastik tersebut. Pada kemasan bioplastik, pati

merupakan bahan utama penyusun yang dapat bereaksi dengan O2 dan hasil

respirasi yaitu CO2, dan uap air yang terdapat pada bagian dalam kemasan.

Dengan kemampuan yang demikian menjadikan konsentrasi O2 dan CO2 di dalam

0.00

0.04

0.08

0.12

0.16

0.20

0.24

0.28

0.32

0.36

HDPE Bioplastik

Laj

u K

onsu

msi

O2 (

ml/

kg.j

am)

Jenis Plastik

0.00

0.04

0.08

0.12

0.16

0.20

0.24

0.28

0.32

0.36

HDPE Bioplastik

Laj

u P

rod

uksi

CO

2 (

ml/

kg.j

am)

Jenis Plastik

27

kemasan bioplastik lebih rendah daripada di dalam kemasan HDPE. Dengan

konsentrasi O2 yang lebih rendah di dalam kemasan bioplastik menjadikan

konsumsi O2 tomat untuk melakukan reaksi respirasi juga lebih kecil sehingga

respirasi tomat di dalam kemasan bioplastik berlangsung lebih lambat. Kondisi

seperti ini mengindikasikan laju respirasi buah yang dikemas dengan bioplastik

dapat diminimalisir sehingga penurunan kualitas tidak berlangsung dengan cepat.

Selain pengaruh jenis plastik yang menyebabkan keterbatasan O2 sehingga

laju respirasi yang terjadi lebih lambat juga dipengaruhi oleh lamanya

penyimpanan. Pada awal penyimpanan tomat laju respirasi cenderung lebih cepat

karena masih tersedianya substrat untuk dipecah menjadi komponen yang lebih

sederhana. Laju respirasi tomat ditinjau dari laju konsumsi O2 dan produksi CO2

selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5.

(a)

(b)

Gambar 5 Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 tomat

yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) laju produksi

CO2 tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲)

Pengukuran laju respirasi biasanya dilihat dari perubahan laju produksi CO2

selama penyimpanan. Pola perubahan laju respirasi ini berbeda antara buah

golongan klimakterik dan golongan non-klimakterik. Tomat merupakan golongan

klimakterik dengan pola respirasi mengalami penurunan produksi CO2 hingga

memasuki fase klimakteriknya yang ditandai dengan adanya peningkatan produksi

CO2 sebelum akhirnya kembali menurun yang merupakan awal dari fase

senescence.

Sampaio et al. (2007) melaporkan buah mombin kuning sebagai golongan

klimakterik dari pola respirasinya. Pada saat memasuki fase pra-klimakterik buah-

buahan golongan klimakterik mengalami laju respirasi yang rendah, kemudian

mengalami peningkatan drastis hingga mencapai respirasi maksimum (klimakterik

maksimum) yang diikuti dengan penurunan akitifitas respirasi yang diindikasikan

sebagai senescence.

Laju respirasi produk hortikultura biasanya dihitung berdasarkan analisa

produksi CO2 atau konsumsi O2 per berat produk dalam waktu tertentu. Beberapa

teknik dapat digunakan untuk menghitung gas produk yang dianggap sebagai

respirasi. Hal yang mesti diperhatikan pada saat mengukur respirasi adalah untuk

tidak menyimpan produk terlalu lama dalam tempat tertutup karena dapat

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

3 6 9 12 15 18 21

Laj

u K

onsu

msi

O2 (

ml/

kg.j

am)

Penyimpanan (Hari)

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

3 6 9 12 15 18 21Laj

u P

rod

uksi

CO

2 (

ml/

kg.j

am)

Penyimpanan (Hari)

menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen dan peningkatan CO2 yang akan

mempengaruhi laju respirasi selanjutnya. Oleh karena perubahan konsentrasi O2

yang terjadi lebih kecil daripada konsentrasi O2 di udara, umumnya respirasi lebih

mudah diketahui dari laju produksi CO2 (Bower et al. 1998).

Dari Gambar 5 dapat dilihat perbedaan pola respirasi antara tomat yang

dikemas dengan bioplastik dan HDPE dari perubahan laju produksi CO2 selama

penyimpanan. Pada hari penyimpanan ke-3, laju produksi tomat yang dikemas

dengan HDPE (0.299 ml/kg.jam) lebih besar daripada tomat yang dikemas dengan

bioplastik (0.151 ml/kg.jam). Keduanya mengalami penurunan laju produksi CO2

sebelum akhirnya mengalami peningkatan pada hari yang berbeda. Tomat yang

dikemas dengan HDPE mulai mengalami penurunan laju produksi CO2

penyimpanan ke-6 (0.120 ml/kg.jam) kemudian secara bertahap mengalami

peningkatan laju produksi CO2 antara hari penyimpanan ke-12 dan 15. Diduga

antara hari penyimpanan tersebut tomat yang dikemas dengan HDPE mengalami

fase klimakteriknya karena penyimpanan pada hari ke-18 laju produksi tomat

mengalami penurunan yang merupakan awal dari fase senescence.

Pada tomat yang dikemas dengan bioplastik penurunan laju produksi CO2

terjadi pada hari penyimpanan ke-9 (0.018 ml/kg.jam). Pada hari penyimpanan

berikutnya secara bertahap laju produksi tomat yang dikemas dengan bioplastik

mengalami peningkatan hingga akhir penyimpanan pada hari ke-21. Ini

menandakan hingga akhir penyimpanan tomat yang dikemas dengan bioplastik

belum mengalami puncak klimakteriknya karena laju produksi CO2nya belum

menunjukkan penurunan yang merupakan awal dari fase senescence. Dapat

disimpulkan tomat yang dikemas dengan bioplastik dapat menunda tahapan

pematangan tomat hingga hari ke-21.

Perbedaan puncak klimakterik dari produksi CO2 pada tomat yang dikemas

dengan bioplastik dan HDPE dipengaruhi oleh ketersediaan gas O2 dimana

semakin banyaknya jumlah gas O2 respirasi juga akan berlangsung dengan cepat

yang menyebabkan produksi CO2 meningkat. Ketersediaan gas O2 di dalam

kemasan bioplastik lebih sedikit daripada HDPE karena O2 tersebut juga bereaksi

dengan bahan bioplastik (pati). Kondisi seperti ini tidak terjadi pada tomat yang

dikemas dengan HDPE, dimana HDPE memiliki sifat inert (tidak bereaksi dengan

produk yang dikemas) sehingga seluruh gas O2 yang terdapat di dalam kemasan

digunakan untuk berlangsungnya respirasi tomat selama penyimpanan.

Selain karena bereaksi dengan bahan utama penyusun kemasan, kecepatan

respirasi tomat di dalam kemasan juga dipengaruhi oleh densitas kemasan itu

sendiri. Bioplastik memiliki densitas lebih besar yang mengindikasikan struktur

penyusunnya lebih renggang sehingga mampu melewatkan gas dari kemasan ke

lingkungan atau sebaliknya sehingga komposisi gas di dalam kemasan diharapkan

tetap stabil. Hal sebaliknya terjadi pada kemasan HDPE.

Berbeda dengan tomat yang merupakan golongan klimakterik, paprika yang

mewakili golongan non-klimakterik selama penyimpanan tidak mengalami

peningkatan produksi CO2 hingga akhirnya menuju fase senescence. Dari hasil

analisis sidik ragam Lampiran 2b menunjukkan jenis plastik dan lama

penyimpanan berpengaruh terhadap laju konsumsi O2 paprika namun suhu

penyimpanan dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh terhadap laju

konsumsi O2 paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kemasan HDPE

29

berbeda nyata dengan bioplastik terhadap laju konsumsi O2 dan laju konsumsi O2

berbeda nyata selama penyimpanan.

Hasil sidik ragam Lampiran 3b menunjukkan jenis plastik, suhu dan lama

penyimpanan berpengaruh terhadap laju produksi CO2 paprika namun interaksi

tiap perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap laju produksi CO2 paprika. Uji

lanjut Duncan menghasilkan perbedaan terhadap laju produksi CO2 antara paprika

yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik. Hasil uji lanjut Duncan terhadap laju

produksi CO2 paprika pada suhu penyimpanan 5 dan 10 0C tidak memberikan

perbedaan tetapi keduanya berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 15 0C. Dan

laju produksi CO2 paprika berbeda nyata selama penyimpanan.

Gambar 6 menunjukkan paprika yang dikemas dengan HDPE lebih tinggi

laju konsumsi O2 dan produksi CO2nya daripada paprika yang dikemas dengan

menggunakan bioplastik. Kondisi seperti ini sama seperti pada tomat dimana

dipengaruhi oleh bahan utama penyusun bioplastik yang dapat bereaksi dengan

gas yang terdapat dalam kemasan dan densitas bioplastik yang lebih kecil

daripada HDPE sehingga kelebihan gas tertentu di dalam kemasan bioplastik

dapat dengan mudah keluar masuk melalui lapisan bioplastik.

(a) (b)

Gambar 6 Pengaruh perbedaan jenis plastik terhadap (a) laju konsumsi O2

paprika, dan (b) laju produksi CO2 paprika

Densitas pada plastik sangat dipengaruhi oleh derajat kristalinitasnya.

Rantai molekul pada daerah kristalin ditandai dengan rantai lurus sedangkan pada

daerah amorf memiliki rantai bebas atau bercabang. Kombinasi struktur amorf

dan kristalin ini menentukan bentuk kemasan yang akan dihasilkan. Plastik yang

lebih banyak struktur amorfnya akan memiliki sifat fisik plastik yang fleksibel

sedangkan kristalin akan sangat kaku dan keras. Plastik yang memiliki densitas

tinggi akan memiliki derajat kristalinitas yang tinggi (Equistar 2004)

Laju respirasi juga dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan dari produk.

Semakin lama waktu penyimpanan menunjukkan semakin banyak komponen

komplek dari produk terdegradasi yang digunakan sebagai substrat pada respirasi.

Respirasi terus berlangsung selama penyimpanan hingga memasuki fase

senescence yang ditandai dengan tidak adanya lagi substrat untuk tetap disintesa.

Dari Gambar 7 dapat dilihat perbedaan pola respirasi antara paprika ditinjau

dari perubahan laju produksi CO2 selama penyimpanan. Pada awal penyimpanan

0.00

0.04

0.08

0.12

0.16

0.20

0.24

0.28

0.32

0.36

HDPE Bioplastik

Laj

u K

onsu

msi

O2 (

ml/

kg.j

am)

Jenis Plastik

0.00

0.04

0.08

0.12

0.16

0.20

0.24

0.28

0.32

0.36

HDPE Bioplastik

Laj

u P

rod

uksi

CO

2 (

ml/

kg.j

am)

Jenis Plastik

laju produksi CO2 paprika yang dikemas dengan HDPE (0.342 ml/kg.jam) lebih

besar daripada bioplastik (0.126 ml/kg.jam). Paprika yang dikemas dengan

bioplastik mengalami penurunan produksi CO2 (0.020 ml/kg.jam) pada hari

penyimpanan ke-9 sedangkan paprika yang dikemas dengan HDPE mengalami

penurunan produksi CO2 (0.069 ml/kg.jam) pada hari penyimpanan ke-12. Namun

setelah mengalami penurunan produksi CO2, keduanya mengalami peningkatan

kembali pada hari penyimpanan berikutnya. Peningkatan ini diduga karena

aktivitas mikroorganisme yang ditandai dengan adanya miselium cendawan pada

pangkal buah. Aktivitas mikroorganisme ini berlangsung dengan cepat hingga

pada hari penyimpanan ke-18 produksi CO2 paprika yang dikemas dengan

bioplastik lebih besar daripada paprika yang dikemas dengan HDPE karena

paprika yang dikemas dengan bioplastik sebagian sudah mengalami kebusukan

dan berair.

(a)

(b)

Gambar 7 Pengaruh lama penyimpanan terhadap (a) laju konsumsi O2 paprika

yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik (), dan (b) laju produksi CO2

paprika yang dikemas HDPE HDPE (○) dan bioplastik ()

Dari pola respirasi tersebut dapat disimpulkan paprika yang dikemas dengan

bioplastik mulai memasuki fase senescence pada hari penyimpanan ke-12

sedangkan paprika yang dikemas dengan HDPE mulai memasuki tahap

senesecence pada hari penyimpanan ke-15. Berbeda dengan tomat, laju produksi

CO2 paprika yang dikemas dengan HDPE yang densitasnya lebih besar memiliki

waktu yang lebih lama menuju senescence (12 hari) daripada paprika yang

dikemas dengan bioplastik (9 hari) yang densitasnya lebih kecil.

Paprika merupakan buah golongan non-klimakterik dimana selama

penyimpanan laju produksi CO2nya hanya mengalami penurunan hingga fase

senescence. Dengan kondisi demikian menjadikan jumlah O2 di dalam kemasan

tidak semuanya digunakan untuk melakukan respirasi karena buah golongan non-

klimakterik tidak mengalami perubahan menuju kondisi optimalnya selama

penyimpanan. Namun produksi CO2 dan uap air tetap dihasilkan dari reaksi

respirasi sehingga O2, CO2 dan uap air yang terdapat pada bioplastik akan

bereaksi dengan dengan pati sebagai bahan utama penyusun kemasan ini.

Semakin lama reaksi ini berlangsung mengakibatkan bioplastik kehilangan

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

3 6 9 12 15 18 21

Laj

u K

onsu

msi

O2 (

ml/

kg.j

am)

Penyimpanan (Hari)

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

3 6 9 12 15 18 21

Laj

u P

rod

uksi

CO

2 (

ml/

kg.j

am)

Penyimpanan (Hari)

31

performanya untuk melindungi produk yang menyebabkan paprika yang dikemas

dengan bioplastik lebih cepat menuju fase senescence.

Laju produksi CO2 pada paprika selain dipengaruhi jenis plastik dan lama

penyimpanan, suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh terhadap laju

produksi CO2 paprika. Suhu sangat berpengaruh pada cepat atau tidaknya laju

respirasi karena pada suhu tinggi dapat menyebabkan proses pemecahan

komponen komplek seperti karbohidrat dapat berlangsung lebih cepat. Rataan

produksi CO2 pada paprika yang disimpan pada suhu 15 oC lebih tinggi (0.192

ml/kg-jam) daripada laju produksi paprika yang disimpan pada suhu 5 oC (0.102

ml/kg-jam) dan suhu 10 oC (0.119 ml/kg-jam). Hal ini sesuai dengan Wills (1989)

yang mengemukakan setiap peningkatan suhu 10 oC maka laju respirasi

meningkat 2 kali lipat, tetapi pada suhu di atas 35 oC laju respirasinya menurun

karena aktivitas enzim terganggu sehingga menghambat difusi oksigen.

Perubahan Fisikokimia

Perubahan fisikokimia dari tomat dan paprika yang dikemas dengan

menggunakan HDPE dan bioplastik pada tiga tingkatan suhu penyimpanan (5, 10

dan 15 oC) selama 21 hari merupakan pengaruh dari reaksi respirasi dimana

terjadi degradasi senyawa makromolekul komplek. Semakin cepat laju respirasi

terjadi menandakan pemecahan makromolekul komplek cenderung lebih cepat

yang mengakibatkan perubahan fisikokimia dari tomat dan paprika selama

penyimpanan berlangsung lebih cepat sehingga waktu yang diperlukan menuju

senescence lebih singkat. Respirasi dapat mengakibatkan perubahan terhadap

kandungan kimia dan fisik buah, seperti pati menjadi gula sehingga buah terasa

manis, perubahan warna sehingga lebih menarik, melunaknya buah dan perubahan

lainnya yang diharapkan hingga pada batas tertentu. Akan tetapi semakin lamanya

penyimpanan menyebabkan produk hortikultura mengalami kemunduran kualitas

secara keseluruhan.

Proses respirasi dapat dibedakan dalam tiga tingkat, yaitu (1) Pemecahan

polisakarida menjadi gula sederhana, (2) Oksidasi gula menjadi asam piruvat, dan

(3) Transformasi asam piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO2, air

dan energi (Syarief dan Hariyadi, 1993). Berbagai macam perubahan yang terjadi

saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Pada saat respirasi berlangsung

terjadi pemecahan pati dan terbentuk gula-gula yang lebih sederhana yang

dikonversikan menjadi asetil CoA yang nantinya akan digunakan pada jalur

metabolisme lainnya. Proses ini berlangsung terus menerus dengan kecepatan

yang tergantung pada kondisi lingkungan hingga tidak adanya lagi substrat yang

bisa digunakan. Pada kondisi seperti ini biasanya buah telah memasuki fase

senescence (busuk) sehingga mengalami penurunan kualitas.

Penurunan Bobot

Penurunan bobot selama penyimpanan merupakan salah satu parameter

mutu yang mencerminkan tingkat kesegaran produk hortikultura. Selama

penyimpanan selain terjadi respirasi, juga terjadi trasnpirasi yaitu penguapan air

dari permukaan produk hortikultura yang menyebabkan kekeringan dan kelayuan.

Proses transpirasi ini merupakan bagian dari proses respirasi yang terjadi selama

penyimpanan dimana pada saat terjadinya pemecahan makromolekul kompleks

menghasilkan air dalam bentuk uap.

Berat rata-rata pada awal penyimpanan tomat sebesar 513.878 g dan paprika

sebesar 516.542 g. Pada akhir penyimpanan, yaitu pada hari ke-21 berat rata-rata

tomat menjadi 488.505 g dan paprika menjadi 469.832 g. Ini menunjukkan

persentase susut bobot tomat yang berkurang selama penyimpanan (0.064-

1.043%) lebih rendah daripada persentase susut bobot paprika yang berkurang

(0.063-14.905%) yang dapat dilihat pada Lampiran 4.

Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 4a menunjukkan hanya lama

penyimpanan berpengaruh terhadap persentase penurunan bobot dari tomat. Hasil

uji lanjut Duncan menunjukkan penurunan bobot tomat pada awal penyimpanan

berbeda pada setiap harinya. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 4b juga

menunjukkan hanya lama penyimpanan yang berpengaruh terhadap penurunan

bobot paprika sedangkan jenis plastik, suhu penyimpanan dan interaksi antar

perlakuan tidak memberikan pengaruh. Hasil analisis uji lanjut Duncan

menunjukkan penurunan bobot paprika pada awal penyimpanan berbeda nyata

dengan akhir penyimpanan.

Gambar 8 menunjukkan penurunan bobot yang merupakan persentase bobot

akhir dari tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama

penyimpanan. Tomat yang dikemas dengan menggunakan bioplastik mulai

mengalami penurunan bobot pada hari penyimpanan ke-9 (98.893%) lebih besar

daripada tomat yang dikemas dengan menggunakan HDPE (99.165%). Penurunan

bobot lebih besar pada tomat yang dikemas dengan bioplastik terus terjadi hingga

akhir penyimpanan (hari ke-21).

(a)

(b)

Gambar 8 Pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot (a) tomat yang

dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang dikemas

HDPE (○) dan bioplastik ()

Kondisi ini dipengaruhi oleh karakteristik plastik terhadap permeabilitas uap

air, dimana selama penyimpanan selain terjadi respirasi, juga terjadi transpirasi

yaitu penguapan air dari permukaan buah yang menyebabkan kekeringan dan

kelayuan. Proses transpirasi ini merupakan bagian dari proses respirasi yang

terjadi selama penyimpanan dimana pada saat terjadinya pemecahan

makromolekul kompleks menghasilkan air dalam bentuk uap. Uap air yang

terbentuk ini akan lebih mudah melewati kemasan bioplastik karena kemasan ini

85

90

95

100

0 3 6 9 12 15 18 21

Pen

uru

nan

Bo

bo

t (%

)

Penyimpanan (Hari)

85

90

95

100

0 3 6 9 12 15 18 21

Penyimpanan (Hari)

33

memiliki nilai permeabilitas yang lebih tinggi (21.56 g/m2/24 jam) daripada

HDPE (13.10 g/m2/jam) yang mengindikasikan bioplastik memiliki kemampuan

untuk melewatkan uap air dari dalam kemasan lebih besar daripada HDPE.

Permeabilitas juga berkaitan erat dengan densitas (kerapatan) dari kemasan.

Pendapat tersebut didukung oleh Equistar (2004) dimana permeabilitas plastik

dapat dipengaruhi oleh struktur kristalin dari plastik. Daerah kristalin pada plastik

lebih tahan terhadap permeabilitas gas dan uap air sedangkan daerah amorf lebih

mudah untuk ditembusi oleh molekul uap air dan gas.

Nunes (2008) mengatakan persentase penurunan susut bobot tomat yang

disimpan pada suhu 15 oC (2%) lebih tinggi daripada suhu penyimpanan 20

oC

(2.5%) tetapi pada tomat yang disimpan dibawah suhu 15 oC susut bobot yang

terjadi kurang dari 1%. Tomat yang dipanen pada tingkat kematangan mature-

green yang disimpan pada suhu 12 oC selama 4 minggu mengalami kehilangan

bobot 9.8% dengan kenampakan tomat semakin menurun yang ditandai dengan

adanya keriput, kisut pada kulit dan kehilangan kecerahan.

Paprika yang dikemas dengan bioplastik mengalami penurunan pada hari

ke-9 (99.208%) lebih besar daripada paprika yang dikemas dengan HDPE

(99.406%). Setelah hari penyimpanan ke-12, penurunan bobot paprika yang

dikemas dengan HDPE (94.680%) lebih besar daripada paprika yang dikemas

dengan bioplastik (98.661%). Penurunan bobot secara drastis yang terjadi pada

paprika yang dikemas dengan HDPE diduga karena komposisi udara di dalam

kemasan tersebut. Paprika yang dikemas dengan HDPE pada hari penyimpanan

ke-15 mengalami akumulasi CO2 hasil dari proses respirasi lebih besar daripada

CO2 di dalam kemasan bioplastik sehingga lebih memungkinkan terjadinya

respirasi anaerobik di dalam kemasan HDPE daripada bioplastik. Kondisi seperti

ini mengakibatkan paprika yang dikemas dengan HDPE lebih cepat mengalami

kebusukan dan berair serta beraroma tajam hingga mengalami penurunan bobot

yang drastis.

Penelitian Manolopoulou et al. (2010) juga menghasilkan pola penurunan

bobot paprika yang sama dimana plastik dengan densitas lebih rendah (LDPE)

menghasilkan nilai susut bobot yang lebih tinggi dibandingkan plastik dengan

densitas yang lebih besar (MDPE). Pada akhir penyimpanan, paprika pada suhu

10 oC yang dikemas dengan LDPE mengalami kehilangan bobot sebesar 0.65%

sedangkan paprika yang dikemas dengan MDPE sebesar 0.32%.

Kehilangan air, pelunakan jaringan, pengkerutan dan chilling injury

merupakan faktor utama batasan kualitas dari paprika. Paprika merupakan produk

hortikultura yang berongga dimana ketebalan dindingnya sekitar 5-8 mm sehingga

menjadikannya mudah mengalami pengurangan volume air dalam jumlah yang

besar selama penyimpanan yang mengakibatkan produk menjadi mengkerut dan

kehilangan ketegarannya. Penyimpanan pada suhu 7.5 oC dengan RH 90-95%

disarankan untuk memperpanjang masa simpan maksimum paprika (3-5 minggu)

dan mengurangi penguapan air yang dapat menyebabkan pengkerutan. Paprika

juga dapat disimpan pada suhu 5 oC selama 2 minggu dan juga penyimpanan pada

suhu rendah dapat mengurangi kehilangan air akan tetapi gejala chilling injury

akan muncul apabila melebihi masa simpan tersebut (Gonzalez-Aguilar 2004).

Kader (1992) menjelaskan terjadinya susut bobot dikarenakan hilangnya air

dalam buah dan oleh respirasi yang mengubah gula menjadi CO2 dan H2O. Hal ini

juga dijelaskan oleh Muchtadi (1992) dimana kehilangan bobot pada buah dan

sayuran selama penyimpanan disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat

proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi yang menimbulkan

kerusakan dan menurunkan mutu produk tersebut.

Kekerasan

Perubahan tekstur merupakan salah satu perubahan fisiologis yang terjadi

sebagai akibat langsung dari kehilangan air pada produk hortikultura. Biasanya

perubahan tekstur yang terjadi pada produk hortikultura selama penyimpanan

adalah menurunnya tingkat kekerasan sehingga menjadi lunak kecuali pada

produk tertentu seperti manggis (kulit buahnya menjadi keras). Perubahan tekstur

produk yang semula keras menjadi lunak ini dikarenakan kehilangan air yang

menjadikan komposisi dinding sel berubah sehingga menyebabkan menurunnya

tekanan turgor sel dan kekerasan buah menurun. Selain itu juga terjadi perubahan

secara kimiawi pada dinding sel yang tersusun dari senyawa-senyawa komplek

dari golongan karbohidrat struktural, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan

lignin.

Salah satu bentuk penilaian suatu produk pertanian masih layak simpan

untuk dikonsumsi adalah ketika tekstur buah masih dalam keadaan cukup keras.

Dari Lampiran 5 dapat dilihat nilai kekerasan tomat selama penyimpanan (1.322-

2.907 N) lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai kekerasan paprika (2.082-

2.941 N). Perbedaan nilai kekerasan bisa dikarenakan faktor internal seperti

perbedaan kadar air, ketebalan daging buah dan komposisi kandungan senyawa

komplek penyusun dinding sel.

Tucker et al. (1993) mengatakan hampir semua buah mengalami pelunakan

selama tahap pematangan. Perubahan tekstur menjadi lunak (softening) pada

kebanyakan buah salah satunya dapat disebabkan oleh mekanisme kehilangan

tekanan turgor (loss of turgor pressure), degradasi kandungan pati atau kerusakan

pada dinding sel buah. Kehilangan tekanan turgor sebagian besar merupakan

proses non-fisiologis yang berhubungan dengan dehidrasi buah pascapanen.

Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 5a menunjukkan jenis plastik tidak

berpengaruh terhadap perubahan kekerasan tomat sedangkan suhu dan lama

penyimpanan berpengaruh terhadap perubahan kekerasan tomat. Hasil uji lanjut

Duncan menunjukkan suhu penyimpanan 5 oC berbeda nyata dengan 15

oC,

namun keduanya tidak berbeda nyata dengan suhu penyimpanan 10 0C terhadap

kekerasan tomat. Hasil uji lanjut Duncan juga menunjukkan perubahan kekerasan

tomat berbeda selama masa penyimpanan.

Hasil analisis sidik ragam Lampiran 5b terhadap perubahan kekerasan

paprika menunjukkan hanya dipengaruhi oleh perlakuan lama. Hasil uji lanjut

Duncan menunjukkan perubahan kekerasan paprika berbeda nyata selama masa

penyimpanan.

Suhu penyimpanan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan

terjadinya perubahan tekstur dari buah. Apabila suhu penyimpanan terlalu tinggi

dapat menyebabkan proses respirasi dan transpirasi berlangsung lebih cepat

sehingga kandungan air dari buah lebih cepat mengalami penurunan yang

mengakibatkan berkurangnya ketegaran buah (firmness).

Dari Tabel 7 dapat dilihat nilai kekerasan tomat yang disimpan pada suhu

yang lebih rendah (5 oC) memberikan nilai cenderung lebih besar daripada tomat

yang disimpan pada suhu yang lebih tinggi (10 dan 15 oC). Hal ini disebabkan

35

pada suhu yang lebih tinggi respirasi dan transpirasi berlangsung lebih cepat

sehingga air yang terdapat pada produk semakin berkurang dengan cepat yang

menjadikan ketegaran dari produk semakin menurun sehingga mengakibatkan

nilai kekerasan dari buah juga semakin kecil.

Tabel 7 Kekerasan tomat pada suhu penyimpanan yang berbeda

Suhu Penyimpanan

(⁰C)

Kekerasan (N)

HDPE Bioplastik

5 2.484b

2.415b

10 2.206ab

2.172ab

15 1.983a 1.912

a

Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Menurut Gonzalez-Aguilar (2004) pelunakan buah berhubungan langsung

dengan berkurangnya kadar air dalam buah. Selain itu kekerasan dapat disebabkan

karena terhambatnya proses respirasi atau metabolisme sehingga perombakan

karbohidrat menjadi senyawa yang larut air berkurang maka kekerasan dari

produk hortikultura akan bertahan. Kitinoja dan Kader (2003) menyatakan suhu

dingin sangat mempengaruhi perubahan nilai kekerasan buah. Semakin rendah

suhu penyimpanan maka semakin lambat penurunan nilai kekerasan buah.

Prasanna et al. (2007) mengatakan proses hidrolisis protopektin dan pektin

yang berperan dalam menjaga tingkat kekerasan buah berlangsung lebih cepat

pada suhu yang lebih tinggi. Pektin sendiri merupakan polimer yang tersusun dari

asam galakturonat dimana secara alami pektin akan dihidrolisa oleh enzim

pektinase selama proses pematangan. Hidrolisa pektin menjadi unit yang lebih

sederhana dan bersifat larut dalam air akan menyebabkan perubahan tekstur buah.

Dari Tabel 7 dapat dilihat nilai kekerasan tomat yang dikemas dengan

HDPE cenderung lebih tinggi daripada bioplastik terutama pada suhu yang lebih

rendah. Ini disebabkan pada suhu penyimpanan yang rendah, permeabilitas uap air

dari bioplastik semakin menurun sehingga proses transpirasi tidak terjadi dengan

cepat dan buah tidak akan mengalami kehilangan turgor yang akan mempengaruhi

kekerasan buah. Sebaliknya hal yang berbeda terjadi pada HDPE dimana

permeabilitas uap air akan meningkat pada suhu penyimpanan yang rendah.

Hasil penelitian Raynasari (2002) menunjukkan permeabilitas uap air

bioplastik mengalami penurunan dengan semakin rendahnya suhu penyimpanan

dimana bioplastik yang disimpan selama 30 hari pada suhu 3-7 oC (13.8528-

19.1088 g/m2/24 jam) lebih kecil daripada suhu -10-(-6)

oC (16.7208-20.5416

g/m2/24 jam). Permeabilitas uap air HDPE meningkat dengan menurunnya suhu

penyimpanan dimana pada suhu 3-7 oC (11.0088-16.7208 g/m

2/24 jam) namun

lebih kecil daripada suhu penyimpanan -10-(-6) oC (13.3752-19.1088 g/m

2/24

jam). Menurunnya permeabilitas uap air bioplastik disebabkan granula pati yang

merupakan bahan utama penyusun bioplastik mengalami pembengkakkan hingga

akhirnya pecah yang menyebabkan terjadinya ikatan kuat antara molekul

penyusun bioplastik sehingga mengakibatkan molekul uap air semakin sulit dapat

melewati kemasan ini.

Dari Gambar 9 dapat dilihat perubahan morfologi permukaan kedua jenis

plastik yang dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Terlihat dengan jelas semakin

rendah suhu penyimpanan mengakibatkan semakin banyak granula pati yang

berukuran besar jadi pecah. Ini dapat dilihat dari hasil uji SEM terhadap

morfologi permukaan bioplastik pada suhu 10-(-6) oC terdapat granula pati

dengan ukuran lebih kecil yang tersebar diseluruh permukaan bioplastik. Hasil uji

SEM terhadap morfologi permukaan HDPE menunjukkan permukaan homogen

yang mengindikasikan tidak terjadinya perubahan apabila disimpan pada suhu

rendah.

Suhu Penyimpanan (

oC)

24-28 3-7 (-10)-(-6)

Bioplastik

HDPE

Gambar 9 Pengaruh suhu terhadap morfologi permukaan kemasan setelah

disimpan selama 30 hari (perbesaran 200 x) (Raynasari 2012)

Dengan berubahnya ukuran partikel pati penyusun bioplastik pada suhu

rendah menyebabkan kemampuannya untuk melindungi produk menurun.

Kemampuan ini semakin menurun seiring dengan lamanya penyimpanan dimana

menyebabkan semakin banyak granula pati yang mengalami kerusakan pada suhu

yang terlalu rendah. Selama penyimpanan proses respirasi terus berlangsung

dimana lajunya akan terjadi lebih cepat pada suhu penyimpanan yang tinggi

sehingga menyebabkan perubahan secara kimiawi lebih cepat terjadi pada dinding

sel yang tersusun dari senyawa-senyawa komplek.

Gambar 10 menunjukkan perubahan kekerasan pada tomat dan paprika yang

dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan. Perubahan kekerasan

tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE memiliki nilai yang

hampir sama. Selama penyimpanan nilai kekerasan tomat cenderung menurun

berbeda dengan paprika yang cenderung mengalami kenaikan. Pada awal

penyimpanan daging buah paprika masih dalam keadaan segar dimana dinding sel

belum mengalami pelunakan. Daging buah paprika ini memiliki ketebalan sekitar

5-8 mm dengan bagian dalamnya yang berongga dengan tekstur daging paprika

dalam keadaan segarnya adalah renyah. Dan ini berbeda dengan daging buah

tomat yang lebih tebal dengan tekstur yang bersifat juicy.

Peningkatan nilai kekerasan yang terjadi pada paprika disebabkan

berkurangnya tekanan turgor akibat berkurangnya air pada permukaan buah.

Dengan berkurangnya tekanan turgor menjadikan konsistensi paprika berubah

sehingga pada saat dilakukan uji kekerasan, daging buah paprika menjadi liat

37

(hampir seperti jeli) yang menjadikan probe rheometer susah untuk menembus

daging buah sehingga nilai tekanan yang terlihat pada display lebih besar nilainya.

Tucker et al. (1993) mengatakan kehilangan turgor sebagian besar bukan

dikarenakan oleh proses fisiologi.

(a)

(b)

Gambar 10 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan kekerasan (a) tomat

yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yang

dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()

Peningkatan nilai kekerasan pada paprika juga dikemukan oleh Hasanah

(2009) dimana selama penyimpanan 21 hari tanpa diberi perlakuan pencelupan

dalam larutan edible coating nilai kekerasan paprika meningkat. Pada awal

penyimpanan nilai kekerasan paprika sebesar 3.483 (50g/mm.s) atau setara

dengan 1.742 N sedangkan pada akhir penyimpanan yaitu hari ke-21 nilai

kekerasan paprika sebesar 6.667 (50g/mm.s) atau setara dengan 3.334 N.

Berbeda dengan paprika, nilai kekerasan tomat cenderung mengalami

penurunan selama penyimpanan. Penurunan nilai kekerasan tomat selama

penyimpanan disebabkan karena terjadinya kehilangan air dari tomat dan juga

terdegradasinya senyawa struktural pembentuk dinding sel. Nilai kekerasan tomat

yang mengalami penurunan selama penyimpanan juga ditemukan pada hasil

penelitian Musaddad (2002) dimana pada saat awal penyimpanan rerata nilai

kekerasan tomat berkisar 0.41 MPa (8.050 N). Setelah disimpan selama 20 hari

tanpa dilapisi edible khitosan, pada suhu kamar (28-30 oC) kekerasan tomat

menjadi 0.18 MPa (3.534 N) dan pada suhu dingin (9-12 oC) menjadi 0.21 MPa

(4.123 N).

Perbedaan kecenderungan nilai kekerasan yang terjadi pada tomat dan

paprika dapat dikarenakan perbedaan ketebalan dinding sel dan komposisi

karbohidrat struktural (pembangun) dinding sel. Dari Tabel 1 dan Tabel 4 dapat

dilihat nilai dietary fiber paprika lebih besar daripada tomat sehingga diduga efek

seperti jeli pada dinding sel selama penyimpanan lebih dominan terjadi pada

paprika.

Winarno (2002) mengemukakan secara kimiawi dinding sel tersusun dari

senyawa-senyawa yang sangat komplek, antara lain selulosa, hemiselulosa, pektin

dan lignin. Pektin adalah polisakarida yang menyusun sepertiga bagian dinding

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

0 3 6 9 12 15 18 21

Kek

eras

an (

N)

Penyimpanan (Hari)

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

0 3 6 9 12 15 18 21

Penyimpanan (Hari)

sel tanaman, terletak pada bagian tengah lamella dinding sel. Sifat terpenting dari

pektin adalah kemampuannya membentuk gel dan sebagai bahan pengental. Pada

waktu buah menjadi matang, kandungan pektat dan pektinat yang larut meningkat

sedangkan jumlah zat pektat seluruhnya menurun, akibatnya akan melemahkan

ikatan dinding sel sehingga ketegaran buah akan berkurang. Dalam proses

pengembangan dan pematangan, tekanan turgor sel selalu berubah. Perubahan

turgor pada umumnya disebabkan oleh perubahan dinding sel dan perubahan

tersebut akan mempengarui firmness dari buah.

Sjaifullah et al. (1996) menyatakan proses hidrolisis protopektin dan pektin

yang berperan dalam menjaga tingkat kekerasan buah berlangsung lebih cepat

pada suhu yang lebih tinggi. Kerja enzim pektinesterase adalah mengubah

protopektin menjadi pektin yang larut dalam air dan/atau enzim α- amilase dan β-

amilase bekerja lebih cepat pada suhu tinggi. Salah satu enzim yang memotong

ikatan glikosidik pada polisakarida adalah enzim α-amilase yang terdapat pada

jaringan tanaman. Mekanisme pemotongan ikatan α, 1-4 pada molekul amilosa

dimulai dengan cara mendegradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa.

Proses tersebut terjadi secara acak dan cepat yang diikuti dengan penurunan

viskositas sel secara drastis yang menyebabkan kekerasan buah menjadi

berkurang.

Perubahan Warna

Sebagai parameter visual, umumnya konsumen cenderung melakukan

penilaian pertama terhadap tingkat kematangan buah melalui warna. Perubahan

warna merupakan perubahan yang paling menonjol pada waktu pematangan.

Perubahan warna terjadi akibat sintesis dari pigmen tertentu, seperti karatenoid

dan flavonoid, disamping terjadinya perombakan klorofil. Perombakan klorofil

menyebabkan pigmen karotenoid yang sudah ada namun tidak nyata menjadi

nampak. Perubahan warna yang terjadi pada buah-buahan sering dijadikan sebagai

kriteria utama bagi konsumen untuk menentukan mentah ataupun matangnya

suatu buah. Warna pada buah-buahan disebabkan oleh pigmen yang umumnya

dibedakan atas 4 kelompok yaitu klorofil, antosianin, flavonoid dan karotenoid

(Winarno 2002).

Nilai L* menunjukkan tingkat kecerahan dari tomat dan paprika dimana

nilai L* berkisar antara 0 (hitam) hingga 100 (putih). Dari Lampiran 6 dapat

dilihat selama 21 hari penyimpanan perubahan nilai L* tomat (43.731-50.453)

lebih tinggi daripada perubahan nilai L* paprika (34.508-45.387) dimana kisaran

angka tersebut mengindikasikan bahwa tomat lebih cerah daripada paprika. Dari

Lampiran 7 menunjukkan data nilai C* selama penyimpanan tomat (12.040-

27.771) lebih tinggi daripada nilai C* paprika (7.883-20.933) dan Lampiran 8

yang memperlihatkan perubahan ohue selama penyimpanan untuk tomat (-45.570-

68.453) lebih besar kisarannya daripada ohue paprika (-66.007-(-8.699)).

Hasil analisis sidik ragam Lampiran 6a menunjukkan jenis plastik, suhu

penyimpanan dan lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap nilai L* pada

tomat. Hasil analisis sidik ragam Lampiran 7a menunjukkan jenis plastik dan suhu

penyimpanan tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai C* tomat, namun lama

penyimpanan memberikan pengaruh terhadap perubahan nilai C* tomat. Hasil uji

lanjut Duncan menunjukkan perubahan nilai C* tomat berbeda nyata antara awal

penyimpanan hingga akhir penyimpanan.

39

Gambar 11 menunjukkan perubahan nilai C* tomat yang dikemas dengan

HDPE dan bioplastik cenderung memiliki pola yang sama. Pada awal

penyimpanan nilai C* tomat baik yang dikemas dengan bioplastik ataupun HDPE

cenderung mengalami peningkatan hingga penyimpanan hari ke-9. Pada hari

penyimpanan selanjutnya (hari ke-12) nilai C* tomat stabil hingga akhir

penyimpanan (hari ke-21).

Gambar 11 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan nilai C* tomat yang

dikemas HDPE () dan bioplastik (▲)

Hasil analisis sidik ragam Lampiran 8a memperlihatkan jenis plastik dan

lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan ohue tomat,

hanya suhu penyimpanan memberikan pengaruh terhadap perubahan ohue tomat.

Uji lanjut Duncan menghasilkan suhu penyimpanan 5oC tidak berbeda nyata

dengan suhu penyimpanan 10oC namun keduanya berbeda nyata dengan suhu

penyimpanan 15 oC.

Tabel 8 menunjukkan pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan ohue

tomat dimana pada suhu penyimpanan 5 dan 10 C masih bernilai negatif yang

mengindikasikan tomat yang dikemas pada suhu tersebut masih berwarna hijau

sedangkan pada suhu penyimpanan 15 oC nilai

ohue bertanda positif yang

menunjukkan tomat berwarna merah. Hasil penelitian ini menunjukkan

penyimpanan pada suhu rendah dapat memperlambat proses perombakan klorofil

dan sekaligus memperlambat pula proses pembentukan likopen. Suhu mempunyai

peranan yang penting dalam pembentukan pigmen. Pada pembentukan likopen,

bila suhu naik maka perubahannya akan cepat. Rendahnya nilai warna pada

perlakuan suhu penyimpanan 5 oC disebabkan oleh suhu yang terlalu rendah

sehingga degradasi klorofil.

Nunes (2008) menyatakan pigmen buah tomat didominasi oleh karoten dan

likopen, akumulasi likopen selama ripening akan menghambat biosintesa karoten

sehingga menjadikan buah tomat terlihat berwarna merah. Sintesa dan

perombakan likopen dipengaruhi oleh suhu, sedangkan karoten tidak. Suhu antara

30-35 oC dapat menghambat sintesa likopen.

10.0

12.5

15.0

17.5

20.0

22.5

25.0

0 3 6 9 12 15 18 21

Nil

ai C

*

Penyimpanan (Hari)

Tabel 8 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan ohue tomat

Suhu Penyimpanan

( C) Perubahan ⁰hue Tomat

HDPE Bioplastik

5 -22.242a -23.574

a

10 -16.276a -7.854

a

15 21.965b 21.910

b

Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Winarno (2002) menyatakan perubahan warna tomat dimulai dengan

hilangnya warna hijau, dimana kandungan klorofil buah yang sedang masak dan

lambat laun berkurang. Dengan dimulainya proses pematangan, pigmen kuning

xantofil diproduksi. Kemudian pada tahap kematangan berikutnya pigmen merah

(likopen) akan terakumulasi. Kartasapoetra (1994) menyatakan perubahan warna

pada buah merupakan hasil pembongkaran klorofil akibat adanya pengaruh

perubahan kimiawi dan fisiologis.

Dari Tabel 8 dapat dilihat nilai ohue tomat yang dikemas dengan bioplastik

lebih rendah daripada yang dikemas pada HDPE kecuali pada suhu penyimpanan

10 oC dimana tomat yang dikemas dengan bioplastik nilai

ohue lebih tinggi. Ini

menunjukkan tomat yang dikemas dengan bioplastik pada suhu penyimpanan 10 oC dapat menunda perubahan warna tomat untuk menjadi merah. Kondisi ini

terjadi akibat perubahan sifat mekanik bioplastik pada penyimpanan suhu rendah

dimana tidak hanya terjadi perubahan nilai permeabilitas juga terjadi perubahan

densitas. Granula pati yang merupakan bahan utama bioplastik pada suhu rendah

mengalami pembengkakkan (retrogradasi) hingga pecah yang mengakibatkan

ikatan antar molekul bioplastik jadi lebih kuat yang berakibat nilai permeabilitas

uap airnya jadi menurun. Oleh karena ikatan antar molekul bioplastik menjadi

lebih kuat menyebabkan bioplastik menjadi kaku dan kehilangan sifat plastisnya

(fleksibel) yang mengindikasikan densitasnya semakin besar yang menunjukkan

kerapatan bioplastik semakin tinggi.

Perubahan densitas bioplastik menjadi lebih besar mengakibatkan

kerapatannya juga meningkat sehingga kemasan ini tidak dapat melewatkan panas

bahan yang dikemas dan panas akibat dari proses respirasi yang tetap

terakumulasi di dalam kemasan. Budiastra dan Purwadaria (1993) mengatakan

secara umum tujuan dari pengemasan buah dan sayuran adalah untuk melindungi

komoditas dari kerusakan mekanik, tidak menghambat lolosnya panas bahan dan

panas pernapasan dari produk serta mempunyai kekuatan konstruksi yang cukup

untuk mengatasi penanganan dan pengangkutan yang wajar. Perubahan warna

tomat selama penyimpanan yang dikemas dengan kedua jenis kemasan pada tiap-

tiap suhu dapat dilihat pada Lampiran 9.

Hasil analisis sidik ragam Lampiran 6b menunjukkan jenis plastik tidak

berpengaruh terhadap nilai L* paprika namun suhu dan lama penyimpanan

berpengaruh terhadap nilai L* paprika. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan

perubahan nilai L* pada suhu penyimpanan 5

oC paprika tidak berbeda nyata

dengan perubahan nilai L* paprika yang disimpan pada suhu 10

oC, akan tetapi

keduanya berbeda nyata terhadap perubahan nilai L* paprika pada suhu

penyimpanan 15 oC.

Hasil analisis sidik ragam Lampiran 7b menunjukkan perubahan nilai C*

paprika hanya dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan dimana uji lanjut Duncan

41

menghasilkan hanya penyimpanan hari ke-0 yang berbeda nyata dengan

penyimpanan hari berikutnya. Dan analisis sidik ragam Lampiran 8b

menghasilkan perubahan nilai ohue paprika juga hanya dipengaruhi oleh suhu

penyimpanan dimana hasil uji lanjut Duncan menunjukkan suhu penyimpanan 5

dan 10 oC tidak berbeda nyata namun keduanya berbeda dengan suhu

penyimpanan 15 oC.

Tabel 9 menunjukkan nilai L* pada suhu penyimpanan 15

oC lebih besar

daripada suhu penyimpanan 5 oC dan 10

oC. Ini menandakan paprika yang

disimpan pada suhu 15 oC memiliki tingkat kecerahan yang lebih besar sehingga

dapat diindikasikan penyimpanan paprika pada suhu ini mulai mengalami

perubahan komposisi pigmen yang diikuti dengan nilai ohue yang juga besar.

Tabel 9 Pengaruh perbedaan suhu penyimpanan terhadap perubahan nilai L* dan

ohue paprika

Suhu Penyimpanan

(⁰C)

Perubahan warna paprika

Nilai L* Nilai ohue

HDPE Bioplastik HDPE Bioplastik

5 39.126a 38.583

a -52.488

a -52.822

a

10 39.329a 40.260

a -54.602

a -56.558

a

15 41.345b 41.623

b -31.926

b -34.529

b

Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

Nyanjage et al. (2005) mengatakan kehilangan warna hijau terjadi dengan

cepat pada penyimpanan suhu kamar yang disebabkan oleh peningkatan

kerusakan klorofil dan sintesa pigmen β-karoten dan likopen yang terjadi selama

proses pematangan. Penyimpanan buah golongan non-klimakterik pada suhu

rendah seperti paprika dapat mencegah terjadinya penurunan kualitas sehingga

dapat mempertahankan warna hijau paprika lebih lama.

Dari Tabel 9 dapat dilihat nilai ohue paprika baik yang dikemas dengan

HDPE ataupun bioplastik masih menunjukkan ohue negatif yang menandakan

paprika masih tetap berwarna hijau pada tiga tingkatan suhu tersebut. Namun

paprika yang dikemas dengan bioplastik pada ketiga suhu penyimpanan

cenderung lebih rendah daripada paprika yang dikemas dengan HDPE. Ini

menunjukkan paprika yang dikemas dengan bioplastik mulai mengalami

perubahan warna hijau paprika. Hal ini terjadi akibat perubahan karakteristik

bioplastik pada suhu rendah sehingga mempengaruhi produk yang dikemas. Hasil

pengamatan perubahan warna paprika yang dikemas dengan bioplastik dan HDPE

pada ketiga suhu penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 10.

Gambar 12 menunjukkan perubahan warna paprika yang dikemas dengan

HDPE dan bioplastik selama penyimpanan berdasarkan perubahan nilai L*dan C

*.

Dapat dilihat bahwa pola perubahan nilai L* dan C

* paprika yang dikemas dengan

HDPE dan bioplastik cenderung sama. Pada awal penyimpanan paprika masih

berwarna hijau ditandai dengan nilai a* negatif tetapi nilai L

* dan b

* paprika

positif. Nilai L* paprika pada awal penyimpanan masih cenderung stabil, namun

begitu memasuki hari penyimpanan ke-9 nilai L* paprika mengalami penurunan

yang menunjukkan warna paprika berubah dari hijau menjadi hijau gelap. Setelah

penyimpanan hari ke-12 nilai L* paprika mengalami peningkatan.

(a)

(b)

Gambar 12 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan (a) nilai L* paprika

yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) nilai C* paprika

yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲)

Sama halnya dengan tomat, perubahan warna pada paprika juga terjadi

sebagai akibat terdegradasinya klorofil atau terjadi perombakan klorofil selama

penyimpanan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan tingkat kecerahan

pada paprika. Pada awal penyimpanan paprika masih berwarna hijau, ini

mengindikasikan pigmen dominan yang ada pada paprika berwarna hijau dimana

klorofil belum terdegradasi. Semakin lama penyimpanan maka akan terjadi

perombakan klorofil sehingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi kuning.

Nunes (2008) mengatakan nilai L* pada paprika cenderung mengalami

penurunan selama penyimpanan walaupun nilai L* perubahan yang terjadi sedikit.

Paprika yang disimpan pada suhu 0, 5,10 dan 15 oC menunjukkan perubahan

warna dari warna hijau terang menjadi hijau gelap (kusam) selama penyimpanan,

namun beberapa paprika yang disimpan pada suhu 20 oC menunjukkan perubahan

warna dari hijau menjadi semburat kuning pada hari penyimpanan ke-10 dan akan

berubah menjadi kuning keseluruhan pada hari penyimpanan ke-20.

Warna yang ada pada buah ditimbulkan oleh keberadaan pigmen yang

dikandungnya. Buah akan menampilkan warna-warna yang menarik yang

ditunjukkan oleh fisikokimia dari pigmen. Sebagai salah satu secondary plants

products, pigmen-pigmen warna dihasilkan melalui serangkaian proses yang juga

melibatkan hasil dari proses primer yaitu respirasi. Sebagai tahapan pada respirasi,

jalur glikolisis, menghasilkan ATP dan Acetyl CoA. Kedua produk ini yang akan

digunakan dalam pentose phosphate pathway (PPP), yaitu jalur rangkaian proses

yang akan membentuk pigmen-pigmen warna pada buah (Tucker et al. 1993).

Total Padatan Terlarut (TPT) Buah-buahan dan sayuran menyimpan karbohidrat untuk persediaan bahan

dan energi. Persediaan ini digunakan untuk melaksanakan aktivitas sisa hidupnya.

Oleh karena itu dalam proses pematangan, kandungan gula dan karbohidrat selalu

berubah (Winarno 2002). Total padatan terlarut diukur dengan menggunakan

refraktometer dimana bagian terbesar dari pengukuran TPT ini adalah total

kandungan gula dalam buah sehingga nilai TPT yang diukur dalam satuan oBrix

37

38

39

40

41

42

43

0 3 6 9 12 15 18 21

Nil

ai L

*

Penyimpanan (Hari)

6

8

10

12

14

16

18

0 3 6 9 12 15 18 21

Nil

ai C

*

Penyimpanan (Hari)

43

ini dianggap sebagai gambaran banyaknya kandungan gula pada produk yang

diamati.

Dari Lampiran 11dapat dilihat bahwa rataan nilai TPT tomat selama

penyimpanan (3.70-4.46 oBrix) jauh lebih besar bila dibandingkan dengan rataan

nilai TPT paprika (3.21-4.19 oBrix). Perbedaan nilai TPT dari kedua produk

hortikultura ini dipengaruhi oleh komposisi kimia yang berbeda. Nilai TPT pada

tiap-tiap produk hortikultura dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat (pati) dan

kecepatan laju respirasi.

Hasil analisis sidik ragam Lampiran 11a menunjukkan jenis plastik dan

suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap nilai TPT tomat akan tetapi lama

penyimpanan berpengaruh terhadap nilai TPT tomat. Hasil uji lanjut Duncan

menunjukkan nilai TPT tomat pada penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan

nilai TPT pada hari penyimpanan ke-21 dimana pada awal penyimpanan nilai

TPT (3.944 oBrix) lebih rendah daripada akhir penyimpanan (4.316

oBrix).

Hasil analisis sidik ragam Lampiran 11b menunjukkan hanya lama

penyimpanan yang berpengaruh terhadap nilai TPT paprika. Hasil uji lanjut

Duncan menunjukkan nilai TPT paprika hari penyimpanan ke-9 berbeda nyata

dengan nilai TPT paprika hari penyimpanan ke-18.

Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Permatasari (2009) dimana total

padatan terlarut secara umum akan meningkat seiring pertambahan waktu

penyimpanan. Hal ini disebabkan hidrolisis pati menjadi glukosa, fruktosa dan

sukrosa. Setelah mengalami peningkatan, total padatan terlarut akan mengalami

penurunan. Penurunan ini disebabkan karena gula yang terbentuk dari hasil

perombakan pati kembali digunakan sebagai substrat respirasi untuk

menghasilkan energi.

Gambar 13 menunjukkan perubahan total padatan terlarut tomat dan paprika

yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama penyimpanan. Pada tomat

yang dikemas dengan bioplastik nilai TPTnya lebih rendah daripada tomat yang

dikemas dengan HDPE karena laju respirasi tomat yang dikemas dengan HDPE

berlangsung lebih cepat dimana fase klimakteriknya antara hari penyimpanan ke-

12 dan 15. Tomat yang dikemas dengan bioplastik produksi CO2nya mulai

mengalami peningkatan setelah hari penyimpanan ke-9. TPT paprika yang

dikemas dengan HDPE dan bioplastik memiliki pola yang sama dimana

mengalami penurunan pada hari penyimpanan ke-9 dan 15.

Secara umum TPT tomat dan paprika cenderung mengalami peningkatan

selama penyimpanan walaupun juga terjadi penurunan. Peningkatan nilai total

padatan terlarut ini disebabkan adanya pengaruh respirasi yang mendegradasi

komponen kompleks yang terdapat pada produk yang disimpan menjadi

komponen yang sederhana. Penurunan nilai TPT pada hari penyimpanan ke-12

(tomat) dan hari penyimpanan ke-9 dan 15 (paprika) bisa jadi disebabkan karena

komposisi komponen komplek tidak sama seperti pada awal penyimpanan dimana

sudah terjadi akumulasi gula-gula sederhana yang kemudian digunakan kembali

pada reaksi respirasi selanjutnya.

Hal yang sama juga dilaporkan oleh Hasanah (2009) pada paprika yang

disimpan pada suhu 15 oC tanpa perlakuan pencelupan edible coating. Pada awal

penyimpanan nilai TPT paprika sebesar 3.82 oBrix setelah penyimpanan selama 3

hari nilainya turun menjadi 3.53 oBrix akan tetapi kembali meningkat pada

penyimpanan hari ke-6 (3.80 oBrix). Dan pada penyimpanan hari ke-9 dan 12

stabil dengan nilai 3.67 oBrix sebelum akhirnya mengalami peningkatan secara

bertahap hingga akhir penyimpanan (4.70 oBrix).

(a)

(b)

Gambar 13 Pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan Total Padatan

Terlarut (TPT) (a) tomat yang dikemas HDPE () dan bioplastik

(▲), dan (b) paprika yang dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()

Hal ini sesuai dengan Winarno (2002) yang mengatakan total padatan

terlarut buah akan meningkat dengan cepat ketika buah mengalami pematangan

dan akan terus menurun seiring dengan lamanya penyimpanan. Semakin lama

penyimpanan, komponen gula yang terurai semakin banyak sehingga gula yang

merupakan komponen utama bahan total padatan terlarut akan semakin menurun.

Peningkatan total gula disebabkan oleh terjadinya akumulasi gula sebagai hasil

dari degradasi pati, sedangkan penurunan total gula disebabkan karena sebagian

gula digunakan untuk berlangsungnya proses respirasi.

Menurut Apandi (1984) selama penyimpanan sukrosa dapat mengalami

hidrolisa menjadi glukosa dan fruktosa dan selanjutnya akan menjadi substrat

dalam proses respirasi. Perubahan ini terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan

seperti suhu dan lama penyimpanan. Suhu berpengaruh terhadap aktivitas enzim

invertase yang berperan dalam pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.

Selain berpengaruh terhadap aktivitas enzim invertase, pada suhu penyimpanan

yang lebih tinggi juga akan memicu laju respirasi sehingga akan semakin banyak

gula yang dikonsumsi dalam proses respirasi. Akumulasi sukrosa pada suhu

penyimpanan dingin dimungkinkan karena secara relatif aktivitas enzim invertase

lebih tinggi dibandingkan penggunaannya dalam proses respirasi.

Sampaio et al. (2007) mengatakan total padatan terlarut berkaitan erat

dengan total asam dari buah dimana selama proses pematangan, terjadi

peningkatan progresif total padatan terlarut sebagai akibat dari transformasi

polisakarida menjadi gula. Semakin banyak terjadinya pemecahan polisakarida

tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan keasaman sehingga terjadinya

peningkatan ratio total padatan terlarut terhadap asam.

Vitamin C Vitamin C atau yang dikenal juga dengan sebutan asam askorbat merupakan

mikro-nutrien yang dibutuhkan tubuh manusia agar semua metabolisme tubuh

3.20

3.40

3.60

3.80

4.00

4.20

4.40

0 3 6 9 12 15 18 21

TP

T ( B

rix)

Penyimpanan (Hari)

3.20

3.40

3.60

3.80

4.00

4.20

4.40

0 3 6 9 12 15 18 21

Penyimpanan (Hari)

45

tetap berlangsung. Oleh karena tubuh manusia tidak bisa memproduksi atau

menyimpan vitamin C, sumber vitamin C utama adalah buah dan sayur. Tomat

dan paprika merupakan salah satu buah yang memiliki kandungan vitamin C

tinggi. Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air dan hampir terdapat

pada semua sayuran dan buah-buahan (Winarno, 2002).

Dari data perubahan vitamin C selama masa penyimpanan Lampiran 12

menunjukkan rerata kandungan vitamin C tomat (63.067-183.333 mg/100 g) lebih

rendah daripada kandungan vitamin C paprika (156.933-309.467 mg/100g).

Menurut Winarno (2002), vitamin C mudah sekali rusak karena pengaruh alkali,

enzim, intensitas cahaya, panas, oksidator dan katalis Cu dan Fe.

Hasil analisis sidik ragam Lampiran 12a menunjukkan jenis plastik dan

suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap kandungan vitamin C tomat akan

tetapi lama penyimpanan berpengaruh terhadap kandungan vitamin C tomat. Hasil

uji lanjut Duncan menunjukkan kandungan vitamin C berbeda nyata pada hari

penyimpanan tertentu.

Sama halnya dengan tomat, hasil analisis sidik ragam Lampiran 12b

menunjukkan kandungan vitamin C paprika selama penyimpanan tidak

dipengaruhi oleh jenis plastik dan suhu penyimpanan hanya lama penyimpanan

yang berpengaruh terhadap kandungan vitamin C paprika. Hasil uji lanjut Duncan

menunjukkan kandungan vitamin C paprika berbeda nyata pada hari penyimpanan

tertentu.

Lama penyimpanan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap

kandungan vitamin C produk hortikultura selama penyimpanan. Hal ini

dikarenakan selama penyimpanan respirasi terus terjadi, dimana akan terbentuk

gula-gula sederhana yang bertindak sebagai prekursor dalam pembentukan

vitamin C. Peningkatan kandungan vitamin C biasanya akan terjadi seiring

lamanya waktu penyimpanan akan tetapi apabila substrat pembentukan vitamin C

tidak lagi tersedia maka kandungan vitamin C akan mengalami penurunan.

Gambar 14 menunjukkan perubahan kandungan vitamin C tomat dan

paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik selama masa penyimpanan.

Tomat dan paprika yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik memiliki pola

perubahan kandungan vitamin C yang sama selama penyimpanan walaupun

secara umum nilai vitamin C tomat dan paprika yang dikemas dengan bioplastik

sedikit lebih besar daripada HDPE.

Dari Gambar 14 juga terlihat perbedaan perubahan kandungan vitamin C

dari tomat dan paprika selama penyimpanan. Pada awal penyimpanan nilai rataan

kandungan vitamin C tomat dan paprika hampir sama yaitu sebesar 170.87

mg/100 g bahan untuk tomat dan 171.60 mg/100 g bahan untuk paprika. Selama

masa penyimpanan kandungan vitamin C tomat cenderung mengalami penurunan

sedangkan kandungan vitamin C paprika cenderung mengalami peningkatan. Dari

Tabel 1 dan 3 juga diketahui kandungan vitamin C paprika lebih tinggi (127.7

mg/100 g) daripada kandungan vitamin C tomat (23.4 mg/100 g), hal ini yang

menyebabkan kandungan vitamin C paprika selama penyimpanan jauh lebih besar

mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kandungan vitamin C tomat

selama penyimpanan. Penyebab lainnya kecenderungan penurunan kandungan

vitamin C tomat bisa jadi disebabkan tidak cukupnya lagi substrat untuk

pembentukan vitamin C.

(a)

(b)

Gambar 14 Pengaruh lama penyimpanan terhadap kandungan vitamin C (a) tomat

yang dikemas HDPE () dan bioplastik (▲), dan (b) paprika yangg

dikemas HDPE (○) dan bioplastik ()

Nunes (2008) mengatakan kandungan asam askorbat akan mengalami

peningkatan pada tomat yang disimpan pada suhu 20 oC akan tetapi setelah 8 hari

mulai mengalami penurunan. Untuk tomat yang disimpan pada suhu 4 atau 10 oC

kandungan asam askorbat mengalami peningkatan pada awal penyimpanan akan

tetapi kemudian mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan kandungan asam

askorbat bisa mengalami penurunan setelah mencapai puncak kandungan

tertingginya. Meskipun kandungan asam askorbat tomat setelah panen mengalami

peningkatan pada masa penyimpanannya tetapi tidak semua tingkat kematangan

tomat pada saat pemanenan mengalami peningkatan kandungan asam askorbat.

Selain itu pemasakan buah pada suhu tinggi bisa menyebabkan penurunan asam

askorbat karena oksidasi.

Terjadinya perubahan parameter sensori pada paprika juga menunjukkan

perubahan komposisi yang tergantung dari kondisi penanganan pascapanen. Pada

saat paprika disimpan pada suhu dingin kisaran 0-3 oC, asam askorbat meningkat

17% daripada paprika yang disimpan pada suhu 10 0C. Begitu juga pada suhu

penyimpanan 7 0C selama 20 hari, asam askorbat mengalami peningkatan tetapi

setelah penyimpanan selama 35 hari mulai mengalami penurunan (Gonzalez-

Aguilar 2004). Peningkatan kandungan vitamin C pada paprika juga dilaporkan

pada penelitian Hasanah (2009) dimana vitamin C paprika yang tidak dilapisi

edible coating (kontrol) yang disimpan pada suhu 15 oC pada awal penyimpanan

sebesar 36.80 mg/100 g bahan. Setelah disimpan selama 21 hari vitamin C paprika

menjadi 111.89 mg/100 g bahan.

Vitamin C pada produk hortikultura disintesa dari heksosa, dimana

kandungan heksosa akan meningkat selama penyimpanan sehingga kandungan

vitamin C dari produk hortikultura juga akan meningkat. Meningkatnya

kandungan vitamin C selama fase pematangan buah terjadi akibat adanya

pembentukan vitamin C yang berasal dari substrat glukosa 6-PO4-. Pembentukan

vitamin C ini terjadi pada jalur pentosa pospat (pentose phosphate pathway) dan

melibatkan senyawa intermediet lakton 6-PO4- (Hasanah 2009). Penurunan kadar

vitamin C selama penyimpanan disebabkan karena jumlah substrat pembentuk

50

100

150

200

250

300

0 3 6 9 12 15 18 21

Vit

amin

C (

mg/1

00

g)

Penyimpanan (Hari)

50

100

150

200

250

300

0 3 6 9 12 15 18 21

Penyimpanan (Hari)

47

vitamin C kemungkinan sudah tidak tersedia dan akibat pengaruh lingkungan

internal dan eksternal (suhu dan intensitas matahari pada saat pertumbuhan buah).

Penelitian Toor dan Savage (2006) menghasilkan akumulasi asam askorbat

dalam jumlah yang sedikit selama penyimpanan pada tiga tingkatan suhu 25, 7

dan 15 oC. Secara keseluruhan tidak terjadi kehilangan kandungan asam askorbat

selama penyimpanan. Total asam tertitrasi yang tinggi mempengaruhi terhadap

stabilnya kandungan asam askorbat dari buah. Dan buah dengan kandungan total

asam tertitrasi yang tinggi menghasilkan kandungan vitamin C yang relatif stabil

selama penyimpanan.

Interaksi Kemasan dengan Lingkungan

Selama penyimpanan perubahan tidak hanya terjadi pada produk yang

dikemas tetapi juga terhadap kemasan itu sendiri yang menyebabkan kemasan

kehilangan performa terbaiknya sehingga fungsinya untuk menjaga kualitas

produk tidak tercapai. Oleh karena fungsi utama kemasan untuk menjaga produk

yang dikemas agar tetap dalam kondisi baik menjadikan kemasan harus memiliki

sifat barrier. Dengan sifat tersebut menjadikan kemasan sebagai bahan pertama

yang berinteraksi apabila terjadinya perubahan lingkungan selama penyimpanan

berlangsung.

Perubahan yang dialami oleh kemasan dapat disebabkan oleh pengaruh

lingkungan yang menunjukkan kemampuan kemasan untuk menjaga produk yang

dikemasnya ataupun disebabkan pengaruh dari produk yang mengindikasikan

kemampuan kemasan untuk menjaga komponen produk tetap dalam kondisi baik.

Pada waktu dan kondisi tertentu kemasan masih dapat menunjukkan performa

terbaiknya, namun hingga batasan tertentu kemasan tidak dapat menjaga produk

dengan baik.

Perubahan yang dapat terjadi pada kemasan selama penyimpanan adalah

permeabilitas dan sorpsi (scalping). Permeabilitas menunjukkan kemampuan

suatu luasan kemasan untuk dapat dilewati oleh gas dan uap air, sedangkan sorpsi

merupakan kemampuan kemasan untuk tetap menjaga komponen utama produk

yang dikemas. Mekanisme kedua perubahan ini berlangsung secara bersamaan

dimana pada saat kemasan berinteraksi dengan produk yang dikemas (scalping)

maka kemampuan kemasan untuk melewatkan bahan (permeabilitas) menjadi

semakin rendah. Permeabilitas

Yam (2007) mengatakan pemahaman dasar terhadap proses perembesan gas

(permeasi) dapat menjelaskan sifat barrier dari suatu polimer. Molekul permean

akan bergerak melewati barrier dalam proses yang bertahap. Proses diawali

dengan tabrakan antara molekul dan permukaan polimer, kemudian molekul

tersebut akan menyebar dan beradsorpsi ke dalam polimer. Didalam polimer,

permean menyebar dan berdifusi secara acak dimana energi kinetik termalnya

akan mempertahankan molekul untuk tetap bergerak di antara cabang polimer.

Difusi acak ini menunjukkan molekul permean akan bergerak dari sisi polimer

yang kontak dengan permean berkonsentrasi tinggi menuju sisi kontak dengan

permean berkonsentrasi rendah. Cooksey (2004) menggambarkan mekanisme

permeabilitas seperti pada Gambar 15.

Gambar 15 Mekanisme permeabilitas kemasan

Kemasan yang digunakan pada penelitian ini telah diuji permeabilitas uap

airnya oleh Raynasari (2012) pada berbagai tingkatan suhu penyimpanan selama

selang waktu tertentu. Dari hasil pengujian awal didapatkan nilai permeabilitas

uap air bioplastik lebih besar (21.56 g/m2/24 jam) daripada kemasan HDPE (13.10

g/m2/24 jam).

Baik bioplastik ataupun HDPE kemudian disimpan pada tiga tingkatan suhu

yaitu 24-28 oC yang mewakili suhu ruang, 3-7

oC yang mewakili suhu dingin dan

(-10)-(-6) oC yang mewakili suhu freezing. Kedua jenis kemasan ini diamati

perubahan nilai permeabilitas uap airnya hingga hari ke-30. Hasil dari pengamatan

dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Perubahan permeabilitas uap air kemasan HDPE dan bioplastik selama

penyimpanan pada berbagai suhu selama 30 hari

Kemasan Permeabilitas Uap Air (g/m

2.24 jam)

Suhu 24-28 oC Suhu 3-7

oC Suhu (-10)-(-6)

oC

HDPE 16.719 13.739 16.719

Bioplastik 18.486 16.122 18.989

Sumber : Raynasari (2012)

Pengujian awal yang dilakukan Raynasari (2012) terhadap permeabilitas

kemasan menunjukkan kemampuan bioplastik untuk melewatkan uap air lebih

tinggi daripada HDPE, dikarenakan bahan utama penyusun bioplastik yaitu pati

yang bersifat hidrofilik. Perpindahan uap air lebih mudah terjadi pada bagian yang

bersifat hidrofilik yang terdapat pada bioplastik. Krochta (2007) mengatakan

permeabilitas uap air tergantung pada perbandingan bahan yang bersifat hidrofilik

dan hidrofobik dalam formulasi film. Film dari polisakarida mempunyai

ketahanan yang rendah terhadap uap air.

Dari Tabel 10 dapat dilihat permeabilitas uap air bioplastik cenderung

mengalami penurunan selama penyimpanan pada berbagai tingkatan suhu

penyimpanan. Hal ini dikarenakan pati yang menyusun matriks plastik tersebut

mengalami retrogradasi pada suhu rendah yang menyebabkan granula pati yang

O2

Packaging

O2

CO2 CO2

O2

CO2

Uap

Air

CO2

Uap

Air

49

awalnya berukuran besar menjadi serbuk sehingga terbentuk ikatan kuat antara

molekul penyusun bioplastik. Semakin kuatnya ikatan yang terbentuk menjadikan

uap air semakin susah melewati kemasan bioplastik pada suhu yang lebih rendah.

Selain itu, akibat terbentuknya ikatan kuat tersebut menjadikan bioplastik

kehilangan sifat plastisnya yang mengindikasikan daerah kristalin bioplastik

semakin mendominasi dan menyebabkan densitas semakin besar. Semakin

besarnya densitas bioplastik ini menunjukkan kerapatan bioplastik semakin besar

yang menyebabkan tidak hanya uap air yang susah untuk melewati kemasan ini

tetapi juga oksigen dan karbondioksida. Dengan kondisi demikian menjadikan

bioplastik mengalami penurunan performanya pada suhu rendah karena tidak

terjadi kondisi modifikasi pasif di dalam kemasan sehingga produk yang dikemas

tidak dapat dilindungi dengan baik.

Equistar (2004) mengatakan permeabilitas plastik dapat dipengaruhi oleh

struktur kristalin dari plastik. Daerah kristalin pada plastik lebih tahan terhadap

permeabilitas gas dan uap air, sedangkan daerah amorf lebih mudah ditembusi

oleh molekul uap air dan gas. Densitas pada plastik sangat dipengaruhi oleh

derajat kristalinitasnya. Rantai molekul pada daerah kristalin ditandai dengan

rantai lurus sedangkan pada daerah amorf memiliki rantai bebas atau bercabang.

Kombinasi struktur amorf dan kristalin ini menentukan bentuk kemasan yang

akan dihasilkan. Plastik yang lebih banyak struktur amorfnya akan memiliki sifat

fisik plastik yang fleksibel sedangkan kristalin akan sangat kaku dan keras. Plastik

yang memiliki densitas tinggi akan memiliki derajat kristalinitas yang tinggi.

Oleh karena kemasan HDPE memiliki ikatan hidrofobik yang lebih besar

menjadikan kemasan ini lebih rendah nilai permeabilitas uap airnya pada saat

pengujian awal. Namun selama penyimpanan nilai permeabilitas uap air HDPE

mengalami peningkatan seiring dengan rendahnya suhu penyimpanan yang

mengindikasikan semakin mudahnya uap air dapat melewati kemasan tersebut. Ini

dikarenakan rusaknya ikatan lurus pada matriks penyusun HDPE yang

menyebabkan daerah kristalin semakin berkurang jumlahnya sehingga densitas

kemasan ini semakin rendah. Dengan demikian kerapatannya menurun yang

menyebabkan ikatan penyusun kemasan HDPE menjadi lebih renggang.

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap permeabilitas adalah suhu

dan kelembaban. Permeabilitas uap air adalah kecepatan atau laju transmisi uap

air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan

tertentu sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua

permukaan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Pada beberapa jenis

kemasan meningkatnya RH menyebabkan meningkatnya nilai permeabilitas yang

dikarenakan terbentuknya gugus hidroksil (-OH) yang terdapat pada polimer.

Polietilen (dengan densitas tinggi ataupun rendah), diketahui memiliki sifat

barrier yang baik terhadap air sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh tingkat

kelembaban (Cooksey 2004).

Selama penyimpanan tomat dan paprika pada ketiga suhu juga dilakukan

pencatatan terhadap nilai RH cold storage. Nilai RH pada suhu 5 oC antara 85-

88%, suhu 10 oC antara 80-85% dan pada suhu 15

oC sekitar 77-80%. Nilai

kelembaban yang tinggi pada cold storage juga dapat menyebabkan terjadinya

perubahaan permeabilitas kemasan tersebut.

Dalam kondisi kelembaban yang tinggi, air terabsorpsi ke dalam polimer

dan berinteraksi dengan ikatan polar untuk menggembungkan struktur polimer

(Yam 2007). Alasan ini yang menyebabkan pecahnya granula pati penyusun

matriks bioplastik yang awalnya berukuran besar menjadi ukuran kecil bahkan

pada suhu yang semakin rendah berbentuk serbuk-serbuk halus.

Pada awalnya granula menyerap air di lingkungan hingga mengalami

pembengkakkan. Semakin lama masa penyimpanan menyebabkan pati yang

membengkak semakin banyak menyerap air sehingga pada waktu tertentu granula

ini menjadi pecah. Granula pati yang pecah tersebut menjadi ukuran kecil yang

kembali menyerap air di lingkungan. Semakin lama masa simpan dan semakin

rendah suhu penyimpanan menjadikan semakin banyak granula pati yang pecah

sehingga terbentuk serbuk di seluruh permukaan bioplastik. Perubahan morfologi

permukaan bioplastik dan HDPE dapat dilihat pada Gambar 9.

Sorption (scalping)

Krochta (2007) menjelaskan sorpsi merupakan kemampuan bahan penyusun

kemasan untuk menyerap komponen utama dari produk tanpa memindahkan

komponen tersebut ke lingkungan selama penyimpanan. Tingkat sorpsi kemasan

ini tergantung pada sifat produk yang dikemas dan materi bahan pengemas.

Cooksey (2004) menggambarkan mekanisme terjadinya sorpsi pada kemasan

selama penyimpanan seperti pada Gambar 16.

Gambar 16 Mekanisme sorpsi kemasan

Pada produk hortikultura yang mengalami respirasi dengan menghasilkan

sejumlah konsentrasi gas CO2 juga memerlukan sifat kemasan dengan sorpsi

tinggi sehingga tidak terjadi akumulasi CO2 yang memungkinkan terjadinya

respirasi anaerob. Dengan mengemas produk hortikultura menggunakan plastik

diharapkan terjadinya perubahan atau modifikasi konsentrasi CO2 dan O2 sekitar

produk di dalam kemasan, dimana konsentrasi CO2 akan terus meningkat dan O2

menurun akibat interaksi dan respirasi produk yang dikemas dan permeabilitas

bahan kemasan terhadap kedua gas tersebut. Menurut Zagory dan Kader (1997),

buah dan sayur segar masih melakukan respirasi sehingga membutuhkan kemasan

yang memungkinkan terjadinya permeasi oksigen dan keluarnya karbondioksida

pada jumlah yang sesuai dengan produk yang dikemas.

Terjadinya mekanisme sorpsi komponen produk oleh kemasan sangat

dipengaruhi oleh bahan penyusun kemasan tersebut. Bahan utama penyusun

bioplastik merupakan pati yang dapat menyerap kelebihan konsentrasi oksigen

dan karbondioksida serta uap air sehingga terjadinya keseimbangan di dalam

kemasan bioplastik. CO2 dan uap air yang dihasilkan dari respirasi juga dapat

memecah ikatan makromolekul pati penyusun bioplastik. Semakin lama masa

simpan produk hortikultura yang dikemas dengan menggunakan bioplastik

kemasan

51

mengakibatkan pemecahan makromolekul penyusun bioplastik menjadi lebih

sederhana. Dengan kondisi seperti ini dapat mengakibatkan bioplastik kehilangan

performanya untuk melindungi produk. Selain itu pemecahan makromolekul pati

menjadi CO2, H2O dan O2 dapat mengakibatkan pertumbuhan mikroorganisme.

Namun kemampuan bioplastik tersebut tidak bekerja dengan baik pada

penyimpanan suhu rendah. Karakteristik pati penyusun matriks bioplastik akan

mengalami perubahan apabila disimpan pada suhu rendah yang menyebabkan

terbentuknya ikatan kuat antar molekul pati sehingga tidak mampu lagi menyerap

gas yang berlebihan di dalam kemasan. Pada kondisi jenuh seperti ini, kondisi di

dalam kemasan akan didominasi oleh konsentrasi CO2 sehingga kemungkinan

respirasi anaerob lebih besar terjadi. Ikatan kuat yang terbentuk tersebut juga

menjadikan kemasan bioplastik semakin rapat sehingga gas dengan BM lebih

tinggi (CO2) susah melewati kemasan ini dibandingkan dengan gas yang memiliki

BM lebih rendah (O2 dan H2O dalam bentuk uap).

Siracusa et al. (2008) mengatakan penentuan barrier properties pada

polimer tertentu merupakan hal penting yang dapat menentukan masa simpan

produk yang dikemas. Secara umum plastik relatif lebih permeabel terhadap

molekul kecil. Uap air dan oksigen merupakan dua hal utama yang harus

diperhatikan dalam aplikasi kemasan, karena dapat mengalami perpindahan dari

dalam atau keluar lingkungan melalui dinding matriks kemasan yang

menghasilkan perubahan terus menerus terhadap mutu produk yang dikemas dan

umur simpan. Permeabilitas CO2 juga merupakan faktor penting pada pengemasan

MAP karena dapat mengurangi permasalahan utama yang berhubungan dengan

produk segar. Laju respirasi produk segar merupakan hal penting dalam

merancang MAP sehingga dapat ditentukan penggunaan kemasan yang sesuai.

Penentuan Umur Simpan

Umur simpan adalah periode waktu bagi sebuah produk hingga produk

tersebut tidak dapat lagi diterima secara sensorik, nutrisi dan keamanannya.

Penentuan umur simpan produk hortikultura dapat didasarkan pada beberapa

parameter namun umumnya parameter yang diuji biasanya merupakan parameter

yang paling cepat tidak dapat diterima oleh konsumen. Dalam menentukan umur

simpan dilakukan beberapa langkah kegiatan antara lain : (1) menentukan batas

penurunan dari parameter yang dijadikan acuan, (2) menentukan parameter mutu

kritis, (3) menentukan batas kritis dari parameter yang diamati, (4) menentukan

laju penurunan mutu (berdasarkan mutu kritis) untuk setiap perlakuan, dan (5)

menentukan umur simpan produk yang dikemas untuk setiap perlakuan.

Untuk menentukan umur simpan tomat dan paprika yang dikemas dengan

bioplastik dan HDPE pada tiga tingkatan suhu (5, 10 dan 15 oC) digunakan salah

satu dari metode akselerasi, yaitu metode Arrhenius. Labuza (1982) mengatakan

metode Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan

akhir pada minimal tiga suhu. Kemudian tabulasi data dari penurunan mutu

berdasarkan parameter mutu tertentu tersebut dimasukkan ke dalam persamaan

Arrhenius sehingga dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta

penurunan mutu) dan umur simpan masing-masing produk pangan pada berbagai

suhu penyimpanan. Pada model Arrhenius, suhu merupakan faktor yang

berpengaruh terhadap produk pangan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi

laju reaksi berbagai senyawa kimia yang akan semakin mempercepat pula

penurunan mutu produk.

Penentuan umur simpan pada penelitian ini menggunakan metode Arrhenius

ordo 0 karena kinetika reaksi ordo 0 lebih mewakili terjadinya perubahan terhadap

parameter yang diamati. Parameter yang diamati adalah perubahan warna dan

kekerasan pada tomat, pada paprika adalah perubahan kekerasan yang disebabkan

oleh kepekaan sifat produk terhadap air dan udara yang menyebabkan terjadinya

perubahan kimia.

Syarief et al. (1989) menyatakan sifat alamiah atau sifat produk dan

mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan

oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal sangat

mempengaruhi umur simpan produk yang dikemas. Untuk menganalisisi

penurunan mutu dengan metode akselerasi diperlukan beberapa pengamatan yaitu

harus adan parameter yang diukur seperti pengukuran kimiawi (daya serap O2,

kadar peroksida, kadar vitamin C), uji organoleptik (cita rasa, tekstur, warna) dan

uji mikrobiologi (total mikroba). Untuk satu produk yang diuji tidak semua

parameter melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang paling cepat

mempengaruhi penerimaan konsumen.

Tomat

Parameter yang dijadikan acuan penentuan umur simpan pada tomat adalah

warna dimana kebiasaan konsumen untuk mengosumsi tomat adalah pada

keadaan warna merah maksimal dengan tekstur yang lunak sehingga diperoleh

tomat bersifat juicy. Oleh karena itu perubahan warna tomat dijadikan parameter

mutu yang dianggap paling sesuai untuk menentukan umur simpan tomat

Perubahan warna pada tomat selama penyimpanan dapat dilihat dari

perubahan nilai a* (-60 (hijau) menjadi +60 (merah)) dan perubahan nilai b

* ((-60

(biru) menjadi +60 (kuning)) sehingga batas mutu kritis untuk tomat yang

digunakan adalah rasio a*/b

*. Nunes (2008) mengatakan peningkatan nilai a

* yang

diukur dengan kromameter berkaitan erat dengan sintesa likopen, dimana rasio

a*/b

* merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kandungan

likopen dan juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan tomat.

Pada tingkat kematangan breaker, nilai rasio a*/b

* berkisar 0 atau negatif

(meratanya warna hijau) namun kandungan karotenoid yang tidak menunjukkan

perbedaan. Pada indeks kematangan merah, likopen dan konsentrasi β-karoten

akan meningkat secara bertahap.

Batu (2003) telah menglasifikasikan indeks warna tomat berdasarkan rasio

a*/b

* dimana mature green (-0.59-(-0.47)), breaker (-0.47-(0.27)), turning (-0.27-

0.08), pink (0.08-0.60), light red (0.60-0.95) dan merah (0.95-1.21). Berdasarkan

laporan tersebut maka batas mutu kritis yang digunakan untuk menentukan umur

simpan yang digunakan adalah 1.21 dimana pada ratio a*/b

* dengan nilai tersebut

tomat dianggap telah berubah menjadi merah sempurna.

Penentuan umur simpan tomat berdasarkan perubahan warna tomat yang

dikemas dengan HDPE dan bioplastik pada tiga tingkatan suhu dapat dilihat pada

Lampiran 13 dan Lampiran 14. Hasil perhitungan penentuan umur simpan

menunjukkan perbedaan umur simpan tomat pada ketiga suhu penyimpanan

dimana semakin tinggi suhu penyimpanan menunjukkan semakin singkat umur

simpannya.

53

Dari Tabel 11 dapat dilihat tomat yang dikemas dengan HDPE mengalami

perubahan warna menjadi merah sempurna memerlukan waktu yang lebih lama

daripada tomat yang dikemas dengan bioplastik terlebih pada suhu rendah. Hal ini

dikarenakan bioplastik mengalami perubahan sifat fisiknya pada suhu rendah

akibat terjadinya retrogradasi pati bahan penyusun utama bioplastik. Akibat

retrogradasi ini menyebabkan ukuran granula pati besar menjadi serbuk sehingga

terbentuknya ikatan kuat antara molekul penyusun bioplastik yang menjadikan

kemasan ini lebih rapat. Dengan kondisi kemasan yang lebih rapat menjadikan

pertukaran gas di dalam kemasan bioplastik pada suhu rendah semakin susah

sehingga CO2 hasil respirasi terakumulasi di dalam kemasan ini yang

memungkinkan terjadinya respirasi anaerob lebih besar.

Tabel 11 Umur simpan tomat berdasarkan rasio a*/b

*

Kemasan 5 oC 10

oC 15

oC

HDPE 106 hari 51 hari 25 hari

Bioplastik 83 hari 49 hari 29 hari

Dengan kondisi demikian menjadikan tomat yang dikemas dengan

bioplastik tidak sesuai apabila disimpan pada suhu rendah. Hal ini dapat dilihat

pada tomat yang dikemas dengan bioplastik pada suhu penyimpanan 15 oC

memiliki umur simpan yang lebih lama daripada yang dikemas dengan HDPE.

Pada suhu penyimpanan 15 oC bioplastik berada dalam performa terbaiknya

sehingga perubahan karakteristiknya tidak terjadi begitu besar.

Lamanya terjadi perubahan warna merah sempurna pada tomat yang

disimpan pada suhu yang lebih rendah juga dapat mengindikasikan terjadinya

chilling injury. Dari foto perubahan warna tomat selama penyimpanan (Lampiran

9) dapat dilihat baik tomat yang dikemas dengan HDPE dan bioplastik pada suhu

5 oC tidak mengalami perubahan warna menjadi merah hingga hari penyimpanan

ke-21. Nunes (2008) mengatakan tomat kelompok immature green dan mature

green lebih sensitif terhadap suhu dingin daripada tomat kelompok pink atau

light-red. Tomat kelompok pink atau light-red jika disimpan lebih dari 2 minggu

dibawah suhu 10 oC atau lebih lama 6-8 hari pada suhu 5

oC akan mengalami

chilling injury. Chilling injury merupakan indikasi kegagalan untuk mematangkan

dan perubahan warna dan citarasa yang tidak diharapkan, pelunakan terlalu cepat,

pitting pada permukaan, biji berwarna coklat dan meningkatnya bagian yang

busuk. Pada tomat kelompok immature green dan mature green dapat disimpan

sampai 14 hari pada suhu 12.5-15 oC tanpa mengalami permasalahan utama

seperti penurunan citarasa dan perubahan warna.

Paprika Sama halnya dengan tomat, parameter yang dijadikan acuan untuk

menentukan umur simpan paprika juga berdasarkan perubahan warna. Frank et al.

(2001) mengatakan sejumlah atribut paprika dapat mempengaruhi preferensi

konsumen, termasuk warna, ukuran, bentuk dan kandungan gizi. Warna

merupakan atribut utama untuk memilih paprika. Warna hijau pada paprika adalah

warna yang paling disukai (80%), sedangkan merah (10%) dan kuning (8%)

hanya digunakan untuk menghias makanan.

Walaupun selama pengamatan nilai a* paprika tetap bernilai negatif yang

menandakan paprika tetap berwarna hijau, namun hijau paprika antara perlakuan

tetap saja berbeda sehingga yang digunakan adalah nilai ohue. Nilai hue dapat

mendeskripsikan warna murni dimana menunjukkan warna dominan dalam

campuran beberapa warna.

Paprika yang disimpan pada suhu 0, 5, 10 dan 15 oC menunjukkan

perubahan warna dari warna hijau terang menjadi hijau gelap (kusam) selama

penyimpanan, namun beberapa paprika yang disimpan pada suhu 20 oC

menunjukkan perubahan warna dari hijau menjadi semburat kuning pada hari

penyimpanan ke-10 dan akan berubah menjadi kuning keseluruhan pada hari

penyimpanan ke-20 (Nunes 2008). Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa

selama penyimpanan warna hijau paprika akan semakin kuat (hijau gelap)

sehingga batas kritis yang digunakan untuk menentukan umur simpan paprika

adalah nilai ohue yang memiliki tanda negatif lebih besar, yaitu -78.542.

Penentuan umur simpan paprika berdasarkan perubahan ohue paprika yang

dikemas dengan HDPE dan bioplastik pada tiga tingkatan suhu dapat dilihat pada

Lampiran 15 dan Lampiran 16.

Tabel 12 Umur simpan paprika berdasarkan perubahan nilai ohue

Kemasan 5 oC 10

oC 15

oC

HDPE 69 hari 43 hari 27 hari

Bioplastik 56 hari 38 hari 22 hari

Tabel 12 menunjukkan semakin tinggi suhu penyimpanan menunjukkan

umur simpan paprika semakin singkat dimana pada suhu yang lebih tinggi reaksi

berbagai senyawa kimia berlangsung lebih cepat. Paprika yang dikemas dengan

bioplastik memiliki masa simpan cenderung lebih singkat daripada yang dikemas

dengan HDPE. Kondisi seperti ini juga dipengaruhi oleh laju respirasi paprika

dimana paprika yang dikemas dengan bioplastik (hari ke-12) lebih cepat

memasuki fase senescence daripada paprika yang dikemas dengan HDPE (hari ke-

15) sehingga perubahan komposisi warna (pigmen) juga akan berlangsung dengan

cepat.

Tucker et al. (1993) mengatakan sebagai salah satu secondary plants

products, pigmen-pigmen warna dihasilkan melalui serangkaian proses yang juga

melibatkan hasil dari proses primer yaitu respirasi. Sebagai tahapan pada respirasi,

jalur glikolisis, menghasilkan ATP dan Acetyl CoA. Kedua produk ini yang akan

digunakan dalam pentose phosphate pathway (PPP), yaitu jalur rangkaian proses

yang akan membentuk pigmen-pigmen warna pada buah.

55

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Kemasan bioplastik sesuai untuk mengemas produk hortikultura golongan

klimakterik karena dapat menunda fase klimakterik dari tomat hingga hari

penyimpanan ke-21 (0.102 mlCO2/kg.jam) sedangkan tomat yang dikemas

dengan HDPE fase klimakteriknya terjadi pada hari penyimpanan ke-15 (0.163

mlCO2/kg.jam). Untuk golongan non-klimakterik kemasan bioplastik tidak

dapat menunda fase senescence dimana paprika yang dikemas dengan

bioplastik mulai memasuki fase senescence pada hari ke-12 (0.069

mlCO2/kg.jam) dan paprika yang dikemas dengan HDPE mulai memasuki fase

senescence pada hari ke-15 (0.138 mlCO2/kg.jam). 2. Kemasan bioplastik tidak sesuai untuk mengemas tomat pada suhu rendah

karena tidak dapat mencegah terjadinya chilling injury. Tomat yang dikemas

dengan bioplastik yang disimpan pada suhu 15 oC memerlukan waktu 29 hari

untuk berubah menjadi merah sempurna lebih lama daripada tomat yang

dikemas dengan HDPE (25 hari). Berdasarkan perubahan nilai ⁰hue, paprika

yang dikemas dengan bioplastik pada tiga tingkatan suhu memiliki umur

simpan yang lebih singkat daripada yang dikemas dengan HDPE.

3. Semakin tinggi suhu penyimpanan, maka umur simpan produk semakin singkat

namun khusus untuk tomat yang dikemas dengan bioplastik umur simpannya

cenderung lebih lama daripada tomat yang dikemas dengan HDPE.

Saran

Untuk meningkatkan aplikasi bioplastik sebagai kemasan produk

hortikultura maka perlu dilakukan pengemasan dengan cara Modified Atmosphere

Packaging (MAP) menggunakan bioplastik dengan penerapan penyimpanan pada

suhu ruang.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Analysis of Association Analitical Chemistry. 1990. Official Methods of

Analysis of Association Analitical Chemistry. Arlington (GB): AOAC Inc. [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2002. Manual

for the preparation and sale of fruits and vegetables from field to market.

www.fao.org/docrep/008/y4893e/y4893e04.htm. [17 Desember 2011]. [USDA] United State Department of Agriculture. 1986. Ripening classes of

tomatoes. Didalam: Batu A. 2003. Determination of acceptable firmness and

colour values of tomatoes. J Food Eng. 61(2004):471-475. [USDA] United State Department of Agriculture. 2012. Agricultural Research

Service, USDA National Nutrient Data Base for Standard Reference.

Release 25. http://www.ars.usda.gov./ndb. [14 Juni 2012]. Abbott DA, Suir E, Maris van AJA, Pronk JT. 2008. Physiological and

transcriptional responses to high concentrations of lactic acid in anaerobic

chemostat cultures of Saccharomyces cerevisiae. Appl Environ Microbiol.

74(18): 5759-5768. Aked J. 2002. Fruit and Vegetable Processing : Improving Quality. Washington

(US): CRC Pr. Allcock HR, Lampe FW. 1981. Contemporary Polymer Chemistry. New Jersey

(US): Prentice-Hall. Apandi M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Bandung (ID): Alumni. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budijanto S. 1998.

Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor (ID): PAU Pangan dan Gizi

IPB. Arpah M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan.

Bogor (ID): Program Studi Ilmu Pangan Pasca Sarjana IPB. Batu A. 2003. Determination of acceptable firmness and colour values of

tomatoes. J Food Eng. 61(2004): 471-475. Bower JH, Jobling JJ, Patterson BD, Ryan DJ. 1998. A method for measuring the

respiration rate and respiratory quotient of detached plant tissues.

Postharvest Biol Technol.(13): 263–270. Budiastra IW, Purwadaria HK. 1993. Penanganan pasca panen sayuran dan buah-

Buahan dalam rumah kemasan. Makalah Pelatihan Pascapanen Sayuran

dan Buah-Buahan (10-15 Mei); Bogor, Indonesia. Comstock K, Farrell D, Godwin C, Xi Y. 2004. From hydrocarbons to

carbohydrates : food packaging of The Future. Website : http:// depts.

washington.edu/poeweb/gradprograms/envmgt/2004symposium/GreenPack

agingReport.pdf. [28 Maret 2011].

57

Cooksey K. 2004. Important factors for selecting food packaging materials based

on permeability. Flexible Packaging Conference; Clemson, Swedia. Deily KR, Rizvi SSH. 1981. Optimation of parameter packaging of fresh Peaches

in polymeric film. J Food Process.5: 23-41. Equistar. 2004. A Guide to Polyolefin Film Extrusion. Houston (US) : Lyondell

Chemical Company. Esquinas JT, Alcazar. 1981. Genetic Resources of Tomatoes and Wild Relatives.

Roma (IT): Genetis Resources Officer – IBPGR. Frank CA, Nelson RG, Simonne EH, Behe BK, Simonne AH. 2001. Consumer

preferences for color, price, and vitamin C content of bell peppers. Hort Sci

36 (4): 795-800. Gontard N, Guilbert S. 1999. Bio-packaging : technology and properties of edible

and/or biodegradable material of agricultural origin. Didalam: Mathlouthi

M. Food Packaging Interaction and Packaging Disposability; Proceedings

of the IFTEC Symposium; 1992 November 15-18; Hague, Perancis (FR).

New York (US): Aspen Publish. 159-178. Gonzalez-Aguilar GA. 2004. Pepper : In The Commercial Storage of Fruits,

Vegetables, and Florist and Nursery Crops. Beltsville (US): Department of

Agricultural Research Service. Griffin GJL. 1974. Biodegradable synthetic resin sheet material containing starch

and a fatty mineral. USA: US Patent No. 4016117. Gunadnya IBP. 1993. Pengkajian Penyimpanan Salak Segar (Salacca edulis

Reinw) dalam Kemasan Film dengan Modified Atmosphere. Tesis. Program

Pascasarjana IPB, Bogor. Hasanah U. 2009. Pemanfaatan Gel Lidah Buaya sebagai Edible Coating untuk

Memperpanjang Umur Simpan Paprika (Capsicum annum var. Sunny).

Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Jones JB. 1999. Tomato Plant Culture : In The Field, Greenhouse, and Home

Garden. Washington (US): CRC Pr. Kader AA. 1985. Modified Atmosphere and Low-Pressure Systems During

Transport and Storage. Didalam: Kader AA. 2002. Postharvest Technology

of Horticulture Crops. California (US): University of California Division of

Agriculture and Natural Resources. Kartasapoetra AG. 1994. Teknologi Penanganan Pascapanen. Jakarta (ID):

Rineka Cipta. Kays SJ. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Product. Connecticut

(US): AVI Publish. Kitinoja L, Kader AA. 2003. Praktik-praktik Penanganan Pascapanen Skala

Kecil: Manual untuk Produk Hortikultura (Edisi ke-4). Davis (US):

Postharvest Technology Research dan Information Center-University of

California.

Krochta JM. 2007. Food Engineering: Food Packaging. Washington (US): CRC

Pr. Labuza TP. 1982. Shelf-life Dating of Foods. Connecticut (US): Food and

Nutrition Pr. Liu L. 2006. Bioplastic in Food Packaging: Innovative Technologies for

Biodegradable Packaging. San Jose (US): Packaging Engineering-San Jose

State Univ. Lopez-Rubio A, Almenar E, Hernandez-Munoz P, Lagaron JM, Catala R, Gavara

R. 2004. Overview of Active Polymer-based Packaging Technologies for

Food Applications. Food Rev Int. 20: 357–387. Manolopoulou H, Xanthopoulos G, Dourous N, Lambrinos Gr. 2010. Modified

Atmosphere Packaging Storage of Green Bell Peppers : Quality Criteria. J

Biosystem Eng. 106: 535-543. Muchtadi TR. 1992. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor (ID): PAU

Pangan dan Gizi IPB. Musaddad D. 2002. Mempelajari Efektivitas Pelapis Edibel Khitosan pada Buah

Tomat Segar Selama Penyimpanan di Suhu Kamar dan Suhu Dingin. Tesis.

Program Pascasarjana IPB, Bogor. Nunes MCN. 2008. Color Atlas Postharvest Quality of Fruits and Vegetables :

Solanaceous and Other Fruit Vegetables. New York (US): J Wiley. Nyanjage MO, Nyalala SPO, Illa AO, Mugo BW, Limbe AE, Vulimu EM. 2005.

Extending post-harvest life of sweet pepper (Capsicum annum L. „California

Wonder‟) with modified atmosphere packaging and storage temperature.

Agricultura Tropica et Subtropica. 38 (2): 28-32. Pantastico EB. Hall CW dan Hardenburg RE. 1989. Fisiologi Pasca Panen

Penanganan dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran Tropika

dan Subtropika : Pengemasan untuk Konsumen dengan Plastik. Yogyakarta

(ID): UGM Pr. Permatasari ED.1998. Aplikasi Edible Coating dalam Upaya Mempertahankan Mutu

dan Masa Simpan Paprika (Capsicum Annum Var. Grosssum).Tesis. Program

Pascasarjana IPB, Bogor. Pranamuda H. 2001. Pengembangan Bahan Plastik Biodegradable Berbahan

Baku Pati Tropis. Sinergy Forum-PPI Tokyo, Japan. Prasanna V. Prabha TN. Tharanathan RN. 2007. Fruit ripening phenomena:an

overview. Critical Rev in Food Sci Nutrition. 47(1): 1-19. doi:10.1080. Prihmantoro H, Yovita H. 2000. Paprika Hidroponik dan Non-Hidroponik.

Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Rahardi F, Palungkun R, Budiarti 2004. Agribisnis Tanaman Sayuran. Jakarta

(ID): Penebar Swadaya.

59

Raynasari B. 2012. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Sifat Fisik dan

Mekanik Kemasan Plastik Retail. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB,

Bogor. Ryall AL, Werner JL. 1983. Handling, Transportation, and Storage of Fruits and

Vegetable. Connecticut (US): AVI Publish. Sampaio SA, Bora PS, Holschuh HJ, Silva SM. 2007. Postharvest respiratory

activity and changes in some chemical constituents during maturation of

yellow mombin (Spondias mombin) fruit. Ciênc Tecnol Aliment. 27(3): 511-

515. Sargent SA, Moretti CL. 2004. Tomat : In The Commercial Storage of Fruits,

Vegetables, and Florist and Nursery Crops. Beltsville (US): Department of

Agricultural Research Service. Scott G. 2009. Oxobiodegradable Plastic. http://bioplastics-cms.de/bioplastics/

download/Pages_30-31_from_bioplasticsMAGAZINE_0906.pdf. [4 Juli

2011]. Siracusa V, Rocculi P, Romani S, Rosa MD. 2008. Biodegradable polymers for

food packaging: a review. Food Sci Technol. 19: 634-643. Siswadi. 2007. Penanganan pasca panen buah-buahan dan sayuran. J Inovasi Pert.

6(1): 68-71. Sjaifullah, Dondy ASB, Yadi H. 1996. Efek konsentrasi etilen dan suhu terhadap

mutu dan kecepatan pematangan buah pisang ambon putih pada kelembaban

tinggi. J Hort. 6(4): 411-419. Sulchan M, Endang NW. 2007. Keamanan pangan kemasan plastik dan

styrofoam. Majalah Kedokteran Indon. 57(2): 54-59. Syamsu K, Liesbestini H, Anas MF, Ani S, Dede R. 2007. Peran PEG 400 dalam

pembuatan lembaran bioplastik polihidroksialkanoat yang dihasilkan oleh

Ralstonia eutropha dari substrat hidrolisat pati sagu. J Ilmu Pert. 12(2):63-68. Syarief R, Hariyadi H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta (ID):

Penerbit Arcan. Syarief R, Santaussa S, Isyana S. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan

Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Bogor (ID): PAU Pangan dan Gizi

IPB. Toor RK, Savage GP. 2006. Changes in major antioxidant components of

tomatoes during post-harvest storage. J Food Chem. 99: 724-727. doi:

10.1016. Tucker GA, Taylor J, Seymour G. 1993. Biochemistry of Fruit Ripening. London

(GB): Chapman & Hall. Tugiyono. 1993. Bertanam Tomat. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Utama MS. 2001. Penanganan pascapanen buah dan sayuran segar : stress pada

produk pascapanen. Bali (ID): Forum Konsultasi Teknologi Dinas Pertanian

Tanaman Pangan.

Villavicencio LE, Blankenship SM, Sanders DC, Swallow WH. 2001. Ethylene

and carbon dioxide concentrations in attached fruits of pepper cultivars

during ripening. Sci Hort. 91: 17-24. Wills HH. 1989. Post Harvest: An Introduction to the Physiology and Handling

on Fruits and Vegetable. Australia (AU): NSW Pr Limited. Winarno FG. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. Bogor (ID): M-

Brio Pr. Yam KL. 2007. Gas Permeation of Packaging Materials. New York (US): J

Willey. Zagory D, Kader AA. 1997. Encyclopedia of Packaging Technology: Modified

Atmosphere Packaging of Produce. New York (US): J Willey.

61

LAMPIRAN

63

Lampiran 1 Hasil perhitungan densitas kemasan HDPE dan Bioplastik

Dimensi Ukuran

Tebal 45 m 0.0045cm

Panjang 40 mm 4 cm

Lebar 25 mm 2.5 cm

Volume 0.045 cm3

Karena kemasan yang ditimbang kedua sisinya sehingga

volume yang digunakan 0.09 cm3

No Berat Kemasan (g) Densitas (g/cm

3)

HDPE Bioplastik HDPE Bioplastik

1 7.81 6.88 86.78 76.44

2 7.79 6.80 86.56 75.56

3 7.79 6.92 86.56 76.89

4 7.78 6.81 86.44 75.67

5 7.73 6.83 85.89 75.89

6 7.76 6.89 86.22 76.56

7 7.77 6.89 86.33 76.56

8 7.81 6.92 86.78 76.89

9 7.64 6.89 84.89 76.56

10 7.76 6.92 86.22 76.89

11 7.78 6.93 86.44 77.00

12 7.75 6.86 86.11 76.22

Rataan 7.76 6.88 86.27 76.43

Lampiran 2 Rataan Laju Konsumsi O2 Tomat dan Paprika

Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21

K1T1P1 0 0.200 0.112 0.422 0.504 0.475 0.678 0.399

K1T2P1 0 0.306 0.362 0.140 0.279 0.392 0.335 0.223

K1T3P1 0 0.485 0.218 0.247 0.451 0.143 1.057 0.285

K1T1P2 0 0.245 0.108 0.165 0.275 0.056 0.056 0.134

K1T2P2 0 0.343 0.169 0.084 0.112 0.143 0.137 0.084

K1T3P2 0 0.489 0.246 0.109 0.137 0.109 0.326 0.520

K2T1P1 0 0.262 0.086 0.158 0.231 0.144 0.951 0.982

K2T2P1 0 0.232 0.649 0.506 0.298 0.331 0.124 0.526

K2T3P1 0 0.545 0.323 0.602 0.290 0.297 0.489 0.485

K2T1P2 0 0.191 0.193 0.059 0.355 0.150 0.208 0.268

K2T2P2 0 0.267 0.134 0.305 0.142 0.328 0.476 0.222

K2T3P2 0 0.292 0.175 0.088 0.263 0.117 0.337 0.541

a. Hasil analisis sidik ragam laju konsumsi O2 tomat

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 0.840 0.840 11.760 0.001*

Suhu 2 0.277 0.139 1.939 0.149

Lama Penyimpanan 7 2.033 0.290 4.066 0.001*

Plastik * Suhu 2 0.079 0.040 0.553 0.576

Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.995 0.142 1.990 0.064

Suhu * Lama Penyimpanan 14 1.157 0.083 1.157 0.320

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 0.566 0.040 0.566 0.885

Galat 96 6.857 0.071

Total 143 12.804

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis plastik terhadap laju konsumsi O2 tomat

Duncan

Grouping Mean N Jenis Plastik

B 0.321 72 HDPE

A 0.169 72 Bioplastik Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap laju konsumsi O2 tomat

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

A 0.000 18 0

BC 0.345 18 3

B 0.203 18 6

B 0.195 18 9

BC 0.293 18 12

B 0.220 18 15

C 0.432 18 18

BC 0.274 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Keterangan :

K1 = Tomat ; K2 = Paprika

T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C

P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik

65

b. Hasil analisis sidik ragam laju konsumsi O2 paprika

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 0.721 0.721 7.414 0.008*

Suhu 2 0.035 0.018 0.180 0.837

Lama Penyimpanan 7 2.789 0.398 4.097 0.001*

Plastik * Suhu 2 0.036 0.018 0.185 0.833

Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.433 0.062 0.636 0.725

Suhu * Lama Penyimpanan 14 1.133 0.081 0.834 0.633

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 1.902 0.136 1.397 0.169

Galat 96 9.336 0.097

Total 143 16.385

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis plastik terhadap laju konsumsi O2 paprika

Duncan

Grouping Mean N Jenis Plastik

B 0.355 72 HDPE

A 0.213 72 Bioplastik Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap laju konsumsi O2 paprika

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

A 0.000 18 0

BC 0.298 18 3

B 0.260 18 6

BC 0.286 18 9

B 0.263 18 12

B 0.228 18 15

BC 0.431 18 18

C 0.504 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Lampiran 3 Rataan Laju Produksi CO2 Tomat dan Paprika

Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21

K1T1P1 0 0.175 0.066 0.173 0.223 0.153 0.135 0.257

K1T2P1 0 0.311 0.144 0.078 0.097 0.182 0.146 0.230

K1T3P1 0 0.412 0.149 0.152 0.161 0.154 0.073 0.092

K1T1P2 0 0.140 0.068 0.010 0.033 0.056 0.087 0.065

K1T2P2 0 0.143 0.047 0.015 0.034 0.041 0.037 0.039

K1T3P2 0 0.170 0.071 0.030 0.008 0.036 0.083 0.201

K2T1P1 0 0.241 0.060 0.104 0.074 0.142 0.181 0.344

K2T2P1 0 0.273 0.358 0.194 0.099 0.116 0.073 0.124

K2T3P1 0 0.513 0.127 0.117 0.141 0.156 0.382 0.226

K2T1P2 0 0.082 0.048 0.020 0.038 0.040 0.115 0.137

K2T2P2 0 0.133 0.033 0.015 0.026 0.174 0.193 0.085

K2T3P2 0 0.163 0.061 0.025 0.143 0.146 0.420 0.458

a. Hasil analisis sidik ragam laju produksi CO2 tomat

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 0.288 0.288 27.213 0.000*

Suhu Penyimpanan 2 0.006 0.003 0.283 0.758

Lama Penyimpanan 7 0.514 0.073 6.938 0.000*

Plastik * Suhu 2 0.005 0.003 0.236 0.778

Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.080 0.011 1.080 0.385

Suhu * Lama Penyimpanan 14 0.080 0.006 0.540 0.903

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 0.159 0.011 1.073 0.389

Galat 96 1.016 0.011

Total 143 2.148

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis plastik terhadap laju produksi CO2 tomat

Duncan

Grouping Mean N Jenis Plastik

B 0.148 72 HDPE

A 0.059 72 Bioplastik Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap laju produksi CO2 tomat

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

A 0.000 18 0

C 0.225 18 3

B 0.091 18 6

B 0.076 18 9

B 0.093 18 12

B 0.104 18 15

B 0.094 18 18

B 0.147 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Keterangan :

K1 = Tomat ; K2 = Paprika

T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C

P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik

67

b. Hasil analisis sidik ragam laju produksi CO2 paprika

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 0.138 0.138 5.346 0.023*

Suhu 2 0.224 0.112 4.339 0.016*

Lama Penyimpanan 7 0.923 0.132 5.108 0.000*

Plastik * Suhu 2 0.018 0.009 0.349 0.703

Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.227 0.032 1.256 0.279

Suhu * Lama Penyimpanan 14 0.430 0.031 1.190 0.296

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 0.311 0.022 0.861 0.604

Galat 96 2.478 0.026

Total 143 4.749

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis plastik terhadap laju produksi CO2 paprika

Duncan

Grouping Mean N Jenis Plastik

B 0.168 72 HDPE

A 0.106 72 Bioplastik Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap laju produksi CO2 paprika

Duncan

Grouping Mean N Suhu Penyimpanan

A 0.102 48 5 C

A 0.119 48 10 C

B 0.192 48 15 C Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap laju produksi CO2 paprika

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

A 0.000 18 0

D 0.234 18 3

ABC 0.114 18 6

AB 0.079 18 9

AB 0.087 18 12

BCD 0.129 18 15

CD 0.227 18 18

CD 0.229 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Lampiran 4 Rataan Penurunan Bobot Tomat dan Paprika

Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21

K1T1P1 100 99.455 99.369 99.304 99.226 99.123 99.075 98.899

K1T2P1 100 99.414 99.339 99.219 99.043 98.914 97.871 97.831

K1T3P1 100 99.442 99.219 98.973 98.703 98.330 97.640 97.305

K1T1P2 100 99.350 99.248 98.883 97.995 97.847 97.101 96.311

K1T2P2 100 99.358 99.249 99.144 99.014 98.926 98.837 98.747

K1T3P2 100 99.277 99.096 98.652 98.418 98.178 97.982 96.715

K2T1P1 100 99.846 99.782 99.649 99.534 99.419 99.287 92.556

K2T2P1 100 99.827 99.741 99.514 99.281 86.573 82.857 67.952

K2T3P1 100 99.716 99.317 99.054 98.397 98.047 97.817 97.336

K2T1P2 100 99.819 99.646 99.406 99.233 99.050 98.722 95.218

K2T2P2 100 99.670 99.544 99.422 99.203 99.104 98.769 95.791

K2T3P2 100 99.568 99.299 98.795 98.331 97.829 97.278 88.895

a. Hasil analisis sidik ragam penurunan bobot tomat

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 3.392 3.392 1.344 0.249

Suhu 2 4.566 2.283 0.905 0.408

Lama Penyimpanan 7 71.348 10.193 4.039 0.001*

Plastik * Suhu 2 8.589 4.295 1.702 0.188

Plastik * Lama Penyimpanan 7 2.028 0.290 0.115 0.997

Suhu * Lama Penyimpanan 14 3.932 0.281 0.111 1.000

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 10.656 0.761 0.302 0.993

Galat 96 242.230 2.523

Total 143 346.741

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot tomat

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

D 100 18 0

CD 99.383 18 3

BCD 99.253 18 6

BCD 99.029 18 9

ABC 98.733 18 12

ABC 98.553 18 15

AB 98.085 18 18

A 97.635 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

Keterangan :

K1 = Tomat ; K2 = Paprika

T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C

P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik

69

b. Hasil analisis sidik ragam penurunan bobot paprika

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 138.570 138.570 1.436 0.234

Suhu 2 302.483 151.242 1.567 0.214

Lama Penyimpanan 7 1559.167 222.738 2.308 0.032*

Plastik * Suhu 2 462.142 231.071 2.394 0.097

Plastik * Lama Penyimpanan 7 286.089 40.870 0.424 0.885

Suhu * Lama Penyimpanan 14 612.398 43.743 0.453 0.952

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 1010.230 72.159 0.748 0.721

Galat 96 9264.329 96.503

Total 143 13635.408

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan bobot paprika

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

B 100 18 0

B 99.741 18 3

B 99.555 18 6

B 99.307 18 9

B 98.997 18 12

B 96.670 18 15

A 95.788 18 18

A 89.625 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

Lampiran 5 Rataan Perubahan Kekerasan Tomat dan Paprika Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21

K1T1P1 2.481 2.907 2.347 2.481 2.667 2.472 2.490 2.024

K1T2P1 2.580 2.216 2.378 2.044 2.170 2.016 2.220 2.021

K1T3P1 2.606 2.246 2.236 2.043 2.070 1.349 1.991 1.322

K1T1P2 2.597 2.778 2.480 2.488 2.613 2.053 2.424 1.886

K1T2P2 2.684 2.468 2.239 2.021 2.076 2.033 1.877 1.974

K1T3P2 2.790 2.223 2.242 1.949 1.693 1.523 1.546 1.327

K2T1P1 2.523 2.516 2.766 2.861 2.941 2.874 2.855 2.817

K2T2P1 2.376 2.214 2.700 2.867 2.643 2.697 2.739 2.746

K2T3P1 2.182 2.308 2.812 2.669 2.366 2.517 2.550 2.756

K2T1P2 2.238 2.559 2.901 2.839 2.642 2.651 2.752 2.847

K2T2P2 2.275 2.545 2.893 2.871 2.677 2.889 2.803 2.626

K2T3P2 2.499 2.082 2.355 2.531 2.528 2.712 2.843 2.744

a. Hasil analisis sidik ragam kekerasan tomat

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 0.121 0.121 0.187 0.666

Suhu 2 6.054 3.027 4.683 0.011*

Lama Penyimpanan 7 10.088 1.441 2.230 0.038*

Plastik * Suhu 2 0.010 0.005 0.008 0.992

Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.515 0.074 0.114 0.997

Suhu * Lama Penyimpanan 14 3.386 0.242 0.374 0.979

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 0.681 0.049 0.075 1.000

Galat 96 62.050 0.646

Total 143 82.905

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap kekerasan tomat

Duncan

Grouping Mean N Suhu Penyimpanan

B 2.449 48 5 C

AB 2.189 48 10 C

A 1.947 48 15 C Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap kekerasan tomat

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

C 2.623 18 0

BC 2.473 18 3

ABC 2.320 18 6

ABC 2.171 18 9

ABC 2.215 18 12

AB 1.908 18 15

ABC 2.091 18 18

A 1.759 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

Keterangan :

K1 = Tomat ; K2 = Paprika

T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C

P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik

71

b. Hasil analisis sidik ragam kekerasan paprika

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 0.000 0.000 0.000 0.995

Suhu 2 0.954 0.477 2.977 0.056

Lama Penyimpanan 7 3.939 0.563 3.512 0.002*

Plastik * Suhu 2 0.168 0.084 0.524 0.593

Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.09 0.013 0.080 0.999

Suhu * Lama Penyimpanan 14 0.47 0.034 0.210 0.999

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 1.236 0.088 0.551 0.896

Galat 96 15.382 0.160

Total 143 22.239

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap kekerasan paprika

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

A 2.349 18 0

AB 2.370 18 3

C 2.738 18 6

C 2.773 18 9

BC 2.633 18 12

C 2.723 18 15

C 2.757 18 18

C 2.756 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

Lampiran 6 Rataan nilai L* Tomat dan Paprika Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21

K1T1P1 43.731 46.571 45.932 45.673 45.354 47.639 46.522 47.781

K1T2P1 47.887 50.453 48.497 47.554 46.534 48.202 45.878 47.315

K1T3P1 43.507 50.116 48.218 43.952 44.147 45.032 43.923 45.804

K1T1P2 43.947 45.893 45.205 45.779 45.758 47.768 47.312 47.973

K1T2P2 46.893 49.057 47.523 47.439 45.593 48.531 45.731 47.051

K1T3P2 45.353 49.069 48.269 45.656 47.266 47.214 46.800 46.939

K2T1P1 39.442 39.478 38.256 37.788 38.116 41.969 39.244 39.293

K2T2P1 40.129 39.770 40.828 39.376 38.356 41.768 40.268 34.508

K2T3P1 39.500 39.536 39.931 38.382 43.294 43.266 42.574 44.648

K2T1P2 38.644 38.335 38.540 38.542 37.812 39.054 39.734 38.598

K2T2P2 39.255 38.781 39.759 39.257 38.916 42.739 41.823 42.129

K2T3P2 40.636 41.522 40.755 36.667 40.067 43.783 43.684 45.387

a. Hasil analisis sidik ragam nilai L* tomat

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 4.128 4.128 0.227 0.635

Suhu 2 60.418 30.209 1.664 0.195

Lama Penyimpanan 7 154.558 22.080 1.216 0.301

Plastik * Suhu 2 29.187 14.594 0.804 0.451

Plastik * Lama Penyimpanan 7 18.301 2.614 0.144 0.994

Suhu * Lama Penyimpanan 14 150.960 10.783 0.594 0.864

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 9.686 0.692 0.038 1.000

Galat 96 1742.763 18.154

Total 143 2170.001

b. Hasil analisis sidik ragam nilai L* paprika

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 1.778 1.778 0.150 0.700

Suhu 2 170.466 85.233 7.176 0.001*

Lama Penyimpanan 7 202.087 28.870 2.431 0.025*

Plastik * Suhu 2 13.109 6.555 0.552 0.578

Plastik * Lama Penyimpanan 7 38.265 5.466 0.460 0.861

Suhu * Lama Penyimpanan 14 141.419 10.101 0.850 0.614

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 90.45 6.461 0.544 0.901

Galat 96 1140.225 11.877

Total 143 1797.799

Keterangan :

K1 = Tomat ; K2 = Paprika

T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C

P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik

73

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai L* paprika

Duncan

Grouping Mean N Suhu Penyimpanan

A 38.854 48 5 C

A 39.795 48 10 C

B 41.484 48 15 C Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai L* paprika

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

ABC 39.601 18 0

ABC 39.570 18 3

ABC 39.678 18 6

A 38.000 18 9

AB 39.427 18 12

C 42.097 18 15

BC 41.221 18 18

BC 40.761 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Lampiran 7 Rataan nilai C* Tomat dan Paprika

Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21

K1T1P1 12.040 20.135 20.532 21.529 22.308 22.216 21.769 22.328

K1T2P1 12.186 20.753 22.998 23.761 25.687 26.980 25.334 26.854

K1T3P1 15.696 17.191 17.648 24.484 23.207 22.574 24.353 22.245

K1T1P2 12.646 21.136 22.163 22.831 22.913 22.380 23.342 22.354

K1T2P2 12.099 20.132 22.343 21.992 24.576 24.225 24.930 25.432

K1T3P2 14.959 20.425 20.652 27.771 23.285 24.164 24.105 24.172

K2T1P1 7.883 16.242 17.185 16.904 16.054 15.653 16.957 16.130

K2T2P1 8.321 15.208 15.360 16.035 17.336 15.971 16.140 12.454

K2T3P1 7.938 14.054 13.012 18.670 19.479 20.933 17.773 16.248

K2T1P2 8.292 15.784 14.558 13.277 14.447 12.722 14.225 12.176

K2T2P2 8.887 11.669 16.290 19.782 17.201 17.304 17.742 15.413

K2T3P2 8.487 11.158 12.815 18.549 14.856 14.148 17.190 14.206

a. Hasil analisis sidik ragam nilai C* tomat

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 6.528 6.528 0.235 0.629

Suhu 2 71.734 35.867 1.289 0.280

Lama Penyimpanan 7 1739.88 248.554 8.933 0.000*

Plastik * Suhu 2 44.635 22.318 0.802 0.451

Plastik * Lama Penyimpanan 7 13.084 1.869 0.067 1.000

Suhu * Lama Penyimpanan 14 192.685 13.763 0.495 0.931

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 26.808 1.915 0.069 1.000

Galat 96 2671.106 27.824

Total 143 4766.46

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai C* tomat

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

A 13.271 18 0

B 19.962 18 3

BC 21.056 18 6

BC 23.728 18 9

BC 23.663 18 12

BC 23.756 18 15

C 23.972 18 18

BC 23.897 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

Keterangan :

K1 = Tomat ; K2 = Paprika

T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C

P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik

75

b. Hasil analisis sidik ragam nilai C* paprika

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 44.756 44.756 1.119 0.293

Suhu 2 17.719 8.860 0.222 0.802

Lama Penyimpanan 7 1027.822 146.832 3.672 0.001*

Plastik * Suhu 2 75.571 37.786 0.945 0.392

Plastik * Lama Penyimpanan 7 43.425 6.204 0.155 0.993

Suhu * Lama Penyimpanan 14 165.847 11.846 0.296 0.993

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 100.602 7.186 0.180 1.000

Galat 96 3838.414 39.983

Total 143 5314.16

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap nilai C* paprika

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

A 8.301 18 0

B 14.019 18 3

B 14.870 18 6

B 17.203 18 9

B 16.562 18 12

B 16.122 18 15

B 16.671 18 18

B 14.438 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Lampiran 8 Rataan nilai ⁰hue Tomat dan Paprika Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21

K1T1P1 -36.755 -14.601 -16.184 -19.361 -18.222 -23.204 -23.138 -26.469

K1T2P1 -36.909 -21.472 -30.017 -33.997 -40.752 14.681 11.187 7.075

K1T3P1 -37.709 -31.319 19.171 6.156 61.433 53.546 55.173 49.268

K1T1P2 -35.316 -15.589 -18.372 -20.225 -21.217 -23.410 -24.571 -29.889

K1T2P2 -35.993 -18.765 -28.803 -35.387 18.829 14.335 12.890 10.063

K1T3P2 -38.005 -33.113 -45.570 68.453 59.830 57.103 53.059 53.524

K2T1P1 -29.209 -55.718 -55.724 -55.368 -55.767 -55.494 -56.426 -56.198

K2T2P1 -29.142 -56.043 -56.925 -56.891 -60.294 -57.483 -58.259 -61.779

K2T3P1 -29.469 -55.818 -56.305 -61.258 -8.699 -12.702 -12.715 -18.443

K2T1P2 -29.058 -55.084 -54.086 -54.711 -54.495 -54.826 -65.774 -54.545

K2T2P2 -23.227 -61.059 -57.347 -60.300 -59.007 -63.190 -63.980 -64.351

K2T3P2 -24.856 -54.308 -57.062 -60.740 -66.007 -18.730 -22.977 28.446

a. Hasil analisis sidik ragam nilai ⁰hue tomat

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 197.974 197.974 0.041 0.840

Suhu 2 52557.1 26278.550 5.449 0.006*

Lama Penyimpanan 7 50212.184 7173.169 1.487 0.181

Plastik * Suhu 2 674.445 337.223 0.070 0.933

Plastik * Lama Penyimpanan 7 5291.101 755.872 0.157 0.993

Suhu * Lama Penyimpanan 14 45752.234 3268.017 0.678 0.791

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 11413.767 815.269 0.169 1.000

Galat 96 462948.330 4822.378

Total 143 629047.14

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai ⁰hue tomat

Duncan

Grouping Mean N Suhu Penyimpanan

A -22.908 48 5 C

A -12.065 48 10 C

B 21.938 48 15 C

Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

b. Hasil analisis sidik ragam nilai ⁰hue paprika

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 95.764 95.764 0.080 0.778

Suhu 2 14169.502 7084.751 5.929 0.004*

Lama Penyimpanan 7 14176.067 2025.152 1.695 0.119

Plastik * Suhu 2 32.770 16.385 0.014 0.986

Plastik * Lama Penyimpanan 7 2905.518 415.074 0.347 0.930

Suhu * Lama Penyimpanan 14 19002.257 1357.304 1.136 0.338

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 5801.079 414.363 0.347 0.985

Galat 96 114710.630 1194.902

Total 143 170893.59

Keterangan :

K1 = Tomat ; K2 = Paprika

T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C

P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik

77

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai ⁰hue paprika

Duncan

Grouping Mean N Suhu Penyimpanan

A -52.655 48 5 C

A -55.580 48 10 C

B -33.228 48 15 C

Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Lampiran 9 Foto perubahan tomat selama penyimpanan

a. Suhu penyimpanan 5 oC

Hari

ke- HDPE Bioplastik

0

3

6

9

12

15

18

21

79

b. Suhu penyimpanan 10 oC

Hari

ke- HDPE Bioplastik

0

3

6

9

12

15

18

21

c. Suhu penyimpanan 15 oC

Hari

ke- HDPE Bioplastik

0

3

6

9

12

15

18

21

81

Lampiran 10 Foto perubahan paprika selama penyimpanan

a. Suhu penyimpanan 5 oC

Hari

ke- HDPE Bioplastik

0

3

6

9

12

15

18

21

83

b. Suhu penyimpanan 10 oC

Hari

ke- HDPE Bioplastik

0

3

6

9

12

15

18

21

c. Suhu penyimpanan 15 oC

Hari

ke- HDPE Bioplastik

0

3

6

9

12

15

18

21

85

Lampiran 11 Rataan perubahan total padatan terlarut (TPT) Tomat dan Paprika Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21

K1T1P1 4.022 4.072 4.067 4.300 4.078 4.161 4.083 4.406

K1T2P1 3.956 4.006 4.044 3.961 3.989 4.272 4.172 4.183

K1T3P1 3.900 4.172 3.944 3.772 3.922 4.033 4.350 4.244

K1T1P2 3.950 4.083 3.933 4.344 4.111 4.017 4.233 4.167

K1T2P2 3.933 4.067 4.022 4.150 3.772 3.922 4.044 4.461

K1T3P2 3.906 3.889 4.150 4.139 3.700 4.161 3.956 4.433

K2T1P1 4.000 4.022 3.556 3.700 3.633 3.722 4.067 4.194

K2T2P1 3.978 3.872 3.822 3.656 4.083 3.606 4.022 4.183

K2T3P1 4.011 3.783 3.683 3.511 3.628 3.689 4.117 3.783

K2T1P2 4.044 4.100 3.789 3.417 3.878 3.711 4.189 3.989

K2T2P2 4.028 3.850 3.583 3.611 3.567 3.672 4.250 4.050

K2T3P2 4.067 3.961 3.678 3.211 3.856 3.883 3.883 4.106

a. Hasil analisis sidik ragam total padatan terlarut tomat

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 0.020 0.020 0.196 0.658

Suhu 2 0.192 0.096 0.943 0.394

Lama Penyimpanan 7 1.896 0.271 2.659 0.015*

Plastik * Suhu 2 0.011 0.006 0.054 0.946

Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.432 0.062 0.606 0.750

Suhu * Lama Penyimpanan 14 0.555 0.040 0.389 0.975

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 0.952 0.068 0.668 0.800

Galat 96 9.778 0.102

Total 143 13.836

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap total padatan terlarut tomat

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

A 3.944 18 0

A 4.048 18 3

A 4.027 18 6

AB 4.111 18 9

A 3.929 18 12

AB 4.094 18 15

AB 4.140 18 18

B 4.316 18 21

Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

Keterangan :

K1 = Tomat ; K2 = Paprika

T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C

P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik

b. Hasil analisis sidik ragam total padatan terlarut paprika

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 0.000 0.000 0.000 0.980

Suhu 2 0.147 0.074 0.295 0.746

Lama Penyimpanan 7 5.308 0.758 3.038 0.006*

Plastik * Suhu 2 0.115 0.058 0.230 0.794

Plastik * Lama Penyimpanan 7 0.275 0.039 0.157 0.993

Suhu * Lama Penyimpanan 14 0.512 0.037 0.147 1.000

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 1.163 0.083 0.333 0.988

Galat 96 23.959 0.250

Total 143 31.479

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap total padatan terlarut aprika

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

BC 4.021 18 0

BC 3.931 18 3

AB 3.685 18 6

A 3.518 18 9

ABC 3.774 18 12

ABC 3.714 18 15

C 4.088 18 18

BC 4.051 18 21

Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

87

Lampiran 12 Rataan perubahan kandungan Vitamin C Tomat dan Paprika

Perlakuan Hari 0 Hari 3 Hari 6 Hari 9 Hari 12 Hari 15 Hari 18 Hari 21

K1T1P1 143.733 132.000 71.867 83.600 117.333 79.200 118.800 86.533

K1T2P1 171.600 133.467 79.200 71.867 124.667 115.867 90.933 124.667

K1T3P1 183.333 149.600 68.933 86.533 127.600 70.400 121.733 123.200

K1T1P2 168.667 117.333 71.867 90.933 96.800 145.200 114.400 126.133

K1T2P2 176.000 117.333 68.933 77.733 133.467 115.867 114.400 110.000

K1T3P2 181.867 148.133 63.067 70.400 111.467 111.467 101.200 96.800

K2T1P1 156.933 252.267 171.600 211.200 233.200 286.000 205.333 242.000

K2T2P1 170.133 173.067 173.067 243.467 246.400 200.933 221.467 218.533

K2T3P1 174.533 252.267 173.067 242.000 215.600 206.800 274.267 234.667

K2T1P2 167.200 309.467 195.067 195.067 236.133 278.667 288.933 227.333

K2T2P2 176.000 186.267 183.333 227.333 259.600 246.400 300.667 272.800

K2T3P2 184.800 253.733 202.400 225.867 271.333 236.133 184.800 237.600

a. Hasil analisis sidik ragam vitamin C tomat

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 174.240 174.240 0.122 0.728

Suhu 2 408.442 204.221 0.143 0.867

Lama Penyimpanan 7 120670.342 17238.620 12.044 0.000*

Plastik * Suhu 2 2049.740 1024.870 0.716 0.491

Plastik * Lama Penyimpanan 7 6991.111 998.730 0.698 0.674

Suhu * Lama Penyimpanan 14 9342.544 667.325 0.466 0.946

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 8609.016 614.930 0.430 0.961

Galat 96 137404.373 1431.296

Total 143 285649.81

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap vitamin C tomat

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

C 170.867 18 0

B 132.978 18 3

A 70.644 18 6

A 80.178 18 9

B 118.556 18 12

B 106.333 18 15

B 110.244 18 18

B 111.222 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

Keterangan :

K1 = Tomat ; K2 = Paprika

T1 = 5 ⁰C; T2 = 10 ⁰C; T3 = 15 ⁰C

P1 = HDPE ; P2 = Bioplastik

b. Hasil analisis sidik ragam vitamin C paprika

Sumber Keragaman Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Sig.

Plastik 1 44.759 44.759 1.119 0.293

Suhu 2 17.719 8.860 0.222 0.802

Lama Penyimpanan 7 1027.829 146.833 3.672 0.001*

Plastik * Suhu 2 75.566 37.783 0.945 0.392

Plastik * Lama Penyimpanan 7 43.425 6.204 0.155 0.993

Suhu * Lama Penyimpanan 14 165.852 11.847 0.296 0.993

Plastik*Suhu*Lama Penyimpanan 14 100.601 7.186 0.180 1.000

Galat 96 3838.417 39.984

Total 143 5314.168

Hasil uji lanjut Duncan pengaruh lama penyimpanan terhadap vitamin C paprika

Duncan

Grouping Mean N Lama Penyimpanan

A 171.600 18 0

BC 237.844 18 3

AB 183.089 18 6

ABC 224.156 18 9

C 243.711 18 12

C 242.489 18 15

C 245.911 18 18

BC 238.822 18 21 Huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05.

89

Lampiran 13 Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan HDPE berdasarkan

rasio a*/b

*(Batas kritis (Qs) = 1.21)

Suhu

( C) Hari Rasio a*/b*

Perhitungan Nilai k

Slope Intercept R2 Q0 – Qs

5

0 -0.469

0.014 -0.335 0.676 1.679

3 -0.173

6 -0.241

9 -0.158

12 -0.179

15 -0.090

18 -0.104

21 -0.063

10

0 -0.432

0.038 -0.283 0.907 1.642

3 -0.160

6 0.018

9 0.145

12 0.273

15 0.298

18 0.386

21 0.410

15

0 -0.387

0.057 -0.159 0.884 1.597

3 0.025

6 0.239

9 0.535

12 0.626

15 0.839

18 0.742

21 0.876

Persamaan Umur Simpan

Suhu Nilai K LN K T 1/T Intercept Slope R2

5 C 0.014 -4.243 278 0.004 35.53 -11030.81 0.95

10 C 0.038 -3.268 283 0.004

y = 35.53 – 11030.81(1/T) 15 C 0.057 -2.868 288 0.003

Perhitungan Umur Simpan

Suhu LN K K Umur Simpan

(Hari)

5 C -4.153 0.016 106.804

10 C -3.452 0.032 51.821

15 C -2.775 0.062 25.609

Lampiran 14 Penentuan umur simpan tomat yang dikemas dengan bioplastik berdasarkan

rasio a*/b

* (Batas kritis (Qs) = 1.21)

Suhu

( C) Hari Rasio a*/b*

Perhitungan Nilai k

Slope Intercept R2 Q0 – Qs

5

0 -0.457

0.019 -0.346 0.849 1.667

3 -0.241

6 -0.178

9 -0.134

12 -0.084

15 -0.086

18 -0.054

21 0.037

10

0 -0.418

0.038 -0.297 0.899 1.628

3 -0.215

6 -0.032

9 0.157

12 0.261

15 0.323

18 0.355

21 0.369

15

0 -0.369

0.050 -0.1079 0.847 1.579

3 0.077

6 0.323

9 0.431

12 0.677

15 0.711

18 0.774

21 0.744

Persamaan Umur Simpan

Suhu Nilai K LN K T 1/T Intercept Slope R2

5 C 0.019 -3.977 278 0.004 24.62 -7932.53 0.95

10 C 0.038 -3.276 283 0.004

y = 24.62 – 7932.53(1/T) 15 C 0.050 -2.989 288 0.003

Perhitungan Umur Simpan

Suhu LN K K Umur Simpan

(Hari)

5 C -3.912 0.020 83.378

10 C -3.408 0.033 49.170

15 C -2.921 0.054 29.324

91

Lampiran 15 Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan HDPE

berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542)

Suhu

( C) Hari Nilai

ohue

Perhitungan Nilai k

Slope Intercept R2 Q0 – Qs

5

0 -29.909

-0.763 -44.481 0.354 49.334

3 -55.718

6 -55.724

9 -55.368

12 -55.767

15 -55.494

18 -56.426

21 -56.198

10

0 -29.142

-0.971 -44.410 0.465 49.400

3 -56.043

6 -56.925

9 -56.891

12 -60.294

15 -57.483

18 -58.259

21 -61.779

15

0 -29.469

1.889 -51.762 0.386 49.073

3 -55.818

6 -56.305

9 -61.258

12 -8.699

15 -12.702

18 -12.715

21 -18.443

Persamaan Umur Simpan

Suhu Nilai K LN K T 1/T Intercept Slope R2

5 C 0.763 -0.271 278 0.004 25.708 -7242.322 0.93

10 C 0.971 -0.030 283 0.004

y = 25.708 - 7242.322(1/T) 15 C 1.889 0.636 288 0.003

Perhitungan Umur Simpan

Suhu LN K K Umur Simpan

(Hari)

5 C -0.343 0.710 69.531

10 C 0.117 1.124 43.941

15 C 0.561 1.753 27.992

Lampiran 16 Penentuan umur simpan paprika yang dikemas dengan bioplastik

berdasarkan perubahan nilai ohue (Batas kritis (Qs) = -78.542)

Suhu

( C) Hari Nilai

ohue

Perhitungan Nilai k

Slope Intercept R2 Q0 – Qs

5

0 -29.058

-0.928 -43.078 0.433 49.484

3 -55.084

6 -54.086

9 -54.711

12 -54.495

15 -54.826

18 -65.774

21 -54.545

10

0 -23.227

-1.265 -43.278 0.461 55.315

3 -61.059

6 -57.347

9 -60.300

12 -59.007

15 -63.190

18 -63.980

21 -64.351

15

0 -24.856

2.538 -61.175 0.347 53.686

3 -54.308

6 -57.062

9 -60.740

12 -66.007

15 -18.730

18 -22.977

21 28.446

Persamaan Umur Simpan

Suhu Nilai K LN K T 1/T Intercept Slope R2

5 C 0.928 -0.075 278 0.004 28.762 -8035.050 0.95

10 C 1.265 0.235 283 0.004

y = 28.762 – 8035.050(1/T) 15 C 2.538 0.931 288 0.003

Perhitungan Umur Simpan Ordo 0

Suhu LN K K Umur Simpan

(Hari)

5 C -0.141 0.869 56.974

10 C 0.370 1.447 38.219

15 C 0.863 2.369 22.658

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 27 Juli 1984 sebagai anak

sulung dari bapak Prof. Dr. Iskandar Usman, MA dan ibu Ummul Khair.

Pendidikan sarjana ditempuh pada tahun 2002 di Jurusan Teknologi Pertanian,

Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala-Banda Aceh, lulus pada tahun 2008.

Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana program magister

pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Mayor Teknologi Pasca Panen di

Institut Pertanian Bogor.