Post on 29-Jun-2015
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan
hidup.Dasar dan prinsip pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk mencapai
kelestarian hubungan manusia dengan lingkungan hidup sehingga dapat membangun
manusia seutuhnya dan mewujudkan manusia sebagai bagian lingkungan hidup dan
tidak akan dapat dipisahkan.Untuk memberikan dasar hukum yang kuat tentang usaha
pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam melaksanakan pelestarian alam
maka di buat peraturan perundang-undangan tentang lingkunngan.
UU RI No.5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya.? UU RI No.51 tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak
lingkungan.
Untuk memperkecil pencemaran, pada saat ini pemerintah menyusun dokumen
AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bagi kegiatan yang diduga
menimbulkan pencemaran.“Pemerintah menguasai sumber daya alam dan
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, beserta pengaturannya ada
di tangan pemerintah” Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud maka
pemerintah mengatur mengatur beberapa langkah diantaranya:1. mengatur dan
mengembangkan kebijakan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.2. mengatur
penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup dan
pemanfaatan kembali sumber daya alam termasuk sumber daya alam genetika.
Namun di balik banyaknya peraturan mengenai lingkungan hidup, namun masih juga
kita dapatkan kerusakan lingkungan di mana-mana akibat ulah manusia.
Kasus kerusakan Lingkungan di Indonesia
1. Hentikan Kerusakan Lingkungan, di Darat dan Laut Bangka Belitung
Sekarang Juga (Tambang Timah)
Akibat pengerukan timah di lepas pantai terjadi perubahan topografi pantai
dari yang sebelumnya landai menjadi curam. Hal ini akan menyebabkan daya abrasi
pantai semakin kuat dan terjadi perubahan garis pantai yang semakin mengarah ke
daratan. Aktivitas pengerukan dan pembuangan sedimen akan menyebabkan perairan
di sekitar penambangan mengalami kekeruhan yang luar biasa tinggi. Radius
kekeruhan tersebut akan semakin jauh ke kawasan lainnya jika arus laut semakin
kuat. Karenanya, meskipun pengerukan tidak dilakukan di sekitar daerah terumbu
karang, namun sedimen yang terbawa oleh arus bisa mencapai daerah terumbu karang
yang bersifat fotosintetik sangat rentan terhadap kekeruhan.
Menurut data 2006, cadangan bijih timah di Indonesia mencapai 355.870 ton.
Angka itu terdiri atas 106.068 ton di darat dan 249.802 ton di lepas pantai dan
sebagian besar cadangan timah tersebut terletak di Pulau Bangka, tempat dimana kita
berpijak. Tahun lalu, produksi bijih timah PT Timah Tbk mencapai 58.086 ton.
Mayoritasnya, yakni 46.078 ton ditambang di darat dan hanya 12.008 ton yang digali
dari lepas pantai. Karenanya, di tahun-tahun mendatang PT Timah Tbk akan
mengkonsentrasikan penambangan di daerah lepas pantai. Apalagi biaya produksi
pertambangan di lepas pantai jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan
pertambangan di darat. Tahun 2007 saja, PT Timah Tbk mengeluarkan Rp 724 miliar
untuk biaya produksi pertambangan di darat (inilah.com, 2008). Selain itu, dari segi
dampak lingkungan penambangan lepas pantai yang timbul tidak terlalu parah karena
dilakukan minimal dua mil dari pantai.
Tidak ada pertambangan yang tidak merusak lingkungan, baik di darat
maupun di laut. Kerusakan itu akan memberikan dampak untuk beberapa puluh tahun
ke depan bahkan bisa bersifat permanen. Penambangan timah lepas pantai yang
membabi buta jelas-jelas telah merusak terumbu karang, mengotori pantai, dan
mengganggu perkembangan perikanan. Penambangan di sekitar pantai obyek wisata
akan memberangus pesona pantai yang bernilai jual tinggi. Potensi besar dalam
jangka panjang akan habis, hanya untuk memenuhi nafsu mengeruk keuntungan yang
sesaat.
Sebagai daerah kepulauan, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki
potensi yang sangat besar di sektor ekosistem pesisir terutama ekosistem terumbu
karang. Namun sangat disayangkan, hingga saat ini belum jelas informasi sebaran dan
kondisi ekosistem terumbu karang yang terdapat di kawasan Pulau Bangka.
Kekeruhan perairan yang tinggi akibat penambangan timah dilepas pantai akan
menyebabkan penutupan polip-polip karang oleh sediment yang terbawa ke pesisir.
Hal ini akan menyebabkan kondisi karang menjadi merana dan akhirnya mengalami
kematian massal. Tak dapat dipungkiri, pertambangan timah lepas pantai merupakan
penyebab utama kerusakan ekosistem terumbu karang di Pulau Bangka. Tidak hanya
akibat aktivitas dari kapal keruk, tetapi juga oleh kapal hisap dan TI Apung yang
semakin marak.
Terumbu karang yang sehat menyediakan tempat tinggal, tempat berlindung
(Spawning ground), tempat berkembang biak (Nursery ground) dan sumber makanan
(Feeding ground) bagi ribuan biota laut yang tinggal di dalam dan di sekitarnya,
seperti di laut lepas, hutan mangrove, dan padang lamun. Tidak ada wilayah laut lain
yang mempunyai begitu banyak jenis kehidupan dengan rantai makanan yang sangat
produktif seperti terumbu karang. Terumbu karang mampu mendukung kehidupan
ribuan penduduk Pulau Bangka, khususnya dalam sektor perikanan dan pariwisata.
Dari 1 km2 terumbu karang yang sehat, dapat diperoleh 20 ton ikan yang cukup untuk
memberi makan 1.200 orang di wilayah pesisir setiap tahun (Burke et al., 2002).
Kerusakan terumbu karang akan kembali pulih seperti semula setidaknya
membutuhkan waktu sekitar 50 tahun tanpa ada lagi aktivitas pengrusakan di
lingkungan ekosistem terumbu karang tersebut.
Tak heran jika degradasi terumbu karang yang parah ini memberikan dampak
pada turunnya produksi perikanan tangkap, semakin kecilnya ukuran ikan yang
tertangkap, semakin jauhnya daerah penangkapan (fishing ground). Hal ini
mendorong meningkatnya biaya produksi sehingga mengurangi rente sumberdaya
(resource rent) yang menyebabkan rendahnya pendapatan nelayan khususnya nelayan
skala kecil. Jika hal ini terus terjadi maka kesejahteraan masyarakat nelayan akan
terancam. Tentu saja pihak yang paling dirugikan oleh aktivitas pertambangan lepas
pantai adalah nelayan. Karenanya, banyak nelayan yang mengajukan protes terhadap
pertambangan lepas pantai yang terjadi di sekitar daerahnya. Hal ini wajar terjadi
karena aktivitas pertambangan membuat hasil tangkapan nelayan berkurang yang
berakibat menurunnya pendapatan nelayan. Perairan pantai menjadi keruh dan
ekosistem terumbu karang rusak parah.
Gambar1. Kerusakan Lingkungan akibat Akitivitas Penambangan Timah di Bangka
Belitung
Parahnya, tidak seperti kerusakan di darat, kerusakan di laut sulit dikontrol
karena lobang-lobang bekas galian tersembunyi di dasar perairan. Namun, kerusakan
alam terutama ekosistem terumbu karang akibat pertambangan lepas pantai sangat
mudah dijelaskan secara ilmiah. Jika hal ini terus dibiarkan, pada titik klimaksnya,
bukan mustahil akan terjadi pertikaian atau penjarahan yang dilakukan oleh nelayan
yang merasa dirugikan kepada pihak penambang. Dibutuhkan win-win solution untuk
masalah ini dimana kedua belah pihak akan merasa saling diuntungkan minimal tidak
saling merugi, sayangnya alam akhirnya selalu menjadi pihak yang dirugikan.
Ternyata bukan hanya PT Timah Tbk yang mulai memindahkan prioritas
penambangannya ke daerah lepas pantai Pulau Bangka. Beberapa perusahaan swasta
skala menengah yang telah membuka smelternya di Pulau Bangka atau di Pulau
Belitung pun mulai jenuh dengan carut marut penambangan timah di darat. Mereka
pun mulai membidik potensi timah di laut Pulau Bangka. Beberapa perusahaan
smelter mulai mengadakan kapal hisap untuk mengeruk timah di Propinsi ini. Kapal
hisap yang dioperasikan hanya berjarak kurang dari 4 mil laut dari bibir pantai dan
kedalaman 5 – 20 meter.
Gambar2. Akitivitas Tambang Inkonvensional (TI) Apung di perairan laut
Bangka Belitung
Memang setiap kegiatan pertambangan skala menengah hingga besar di
daerah lepas pantai harus melalui tahap analisis mengenai dampak lingkungan
(AMDAL), namun sayangnya kontrol terhadap aktivitas pertambangan di lapangan
sangat lemah oleh pihak terkait.
Terbukti!!! Dari hasil pantauan satelit yang dimiliki Badan koordinasi
Keamanan Laut (Bakorkamla) 100% kapal hisap yang beroperasi di perairan Babel
beroperasi diluar wilayah yang sudah ditentukan (Bangkapos, 9 November 2008).
Tak dapat dipungkiri, yang menjadi acuan dalam pertambangan adalah ada tidaknya
"timah" di lokasi tersebut, bukan karena ada tidaknya "ekosistem terumbu karang".
Jika di suatu lokasi ditemukan banyak bijih timahnya dan banyak karangnya
pemanambangan tetap dilakukan.
Jika tidak ada ketegasan dari pemerintah daerah kita untuk mengatur
sumberdaya alam ini dengan bijaksana, propinsi ini akan menunggu detik-detik
kehancuran ekosistem pesisirnya setelah ekosistem di darat kita luluh lantak oleh
penambangan timah darat. Laut kita kini menunggu gilirannya (Indra A.S.)
2. Hutan Ku yang makin Sempit
Kelangkaan minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah
akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu penduduk untuk menggunakan kayu bakar dan
menebang pohon tanaman keras. Jika itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan
semakin cepat. Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan
terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk. Di
lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh
kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya.
kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan
penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan
minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar.
Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat
101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada
dalam kawasan hutan. Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam
di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan
hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total Pulau
Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa masih tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak
tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap
tahunnya.
Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-
1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan
diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan
dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas
terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum,
dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas
tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di
seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia
akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai
sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan
pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan
tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar
kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir
mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana
Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan
Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di
Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan
kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai
harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5
milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap
tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati
serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia
mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh
aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data
Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari
sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004).
Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat
terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada
semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah
longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap
kondisi perekonomian masyarakat (Diyah Yulistira, 2010)
3. Tambang Batu Bara di Kalimantan Selatan
Seiring penaikan harga minyak dan gas, harga batu bara juga merangkak naik.
Kini, harga emas hitam ini mencapai 23 - 25 dolar AS per ton untuk batu bara kalori
rendah dan 42 - 43 dolar AS per ton untuk kalori tinggi.
Kalsel adalah salah satu provinsi penghasil batu bara terbesar di Indonesia.
Pada 2006, provinsi ini menghasilkan 55 juta metrik ton atau 30 persen dari produk
nasional yang mencapai 155 juta metrik ton. Tambang batu bara di provinsi ini
diusahakan oleh tidak kurang 260 pemegang Kuasa Pertambangan (KP) yang semua
izinnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah, dan 13 pemegang Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang dikeluarkan pemerintah pusat.
Namun di balik semua itu, ada satu hal yang wajib diperhatikan serius oleh
masyarakat Kalsel yaitu terjadinya kerusakan lingkungan dan kehidupan sosial.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel mencatat, penambangan batu bara telah
berdampak serius pada kerusakan infrastruktur jalan yang dilalui truk pengangkut
batu bara; berkurangnya mata pencaharian rakyat dari hasil pertanian, rotan dan karet;
terjadi pencemaran air akibat limbah dan lubang galian yang dibiarkan memicu
berkembangbiaknya nyamuk anopheles balabacensis dan maculator atau nyamuk
malaria, yang terkena dampaknya adalah masyarakat di sekitar tambang rentan
terserang penyakit yang mematikan tersebut (pada 2007, dari yang terdata 1.183
kasus klinis malaria di Kalsel, 17 orang meninggal dunia); menyebarnya penyakit
pernafasan karena pencemaran udara; terjadinya banjir akibat penggundulan hutan;
rusaknya tatanan sosial masyarakat akibat maraknya prostitusi dan penyebaran miras
di areal tambang.
Semua hal itu merupakan harga yang sangat mahal dari balik proses
penambangan batu bara. Apakah harga ini sudah setimpal dengan tingkat
kesejahteraan masyarakat? Saya melihat, lebih banyak masyarakat yang memperoleh
kerugian: karena wabah penyakit, banjir, kerusakan tatanan sosial, dan lain
sebagainya.
Hal ini terjadi karena proses penambangan batu bara tidak dibarengi dengan
kemauan semua pihak untuk mematuhi peraturan yang ada. Pemda tingkat
kabupaten/kota yang mengeluarkan banyak izin KP terkesan tidak serius untuk
menegakkan aturan, seperti aturan tentang reklamasi di samping memonitor
(mengawasi) kewajiban pengusaha yang memiliki izin KP.
Sebaliknya, pelaku usaha pertambangan terkesan bermain-main dengan aturan
yang ada untuk kepentingan bisnis semata tanpa memikirkan dampak dari kegiatan
terhadap lingkungan baik ekonomi, sosial termasuk melaksanakan Community
Development (CD) untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang.
Kata kunci untuk menyelesaikan persoalan tambang batu bara, sebenarnya ada
di tangan pemda yang berada di garda terdepan untuk melindungi masyarakat
sekaligus mengatur proses penambangan emas hitam ini. Dalam PP No 75 Tahun
2001 tentang Pelaksanaan UU No 2 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan dikatakan, pemda provinsi, kabupaten/kota bisa membatalkan izin KP
jika pengusaha pertambangan tidak melakukan pemantauan dan pengelolaan
lingkungan serta tidak menyetorkan jaminan reklamasi (Pasal 41 huruf e). Pemegang
KP juga wajib melakukan usaha pengamanan terhadap benda, bangunan dan keadaan
tanah sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum (Pasal 46 ayat 4).
Pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari UU No 11/1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ataupun dari UU lain yang terkait, seperti
UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan pengusaha
pertambangan untuk memperhatikan kondisi lingkungan dan sosial masyarakat di
sekitar areal pertambangan yang dikelolanya, sehingga mempunyai kekuatan hukum
yang sangat kuat (Asfihani, Ir.H., 2007).
4. Ekspansi Kebun Sawit Percepat Sedimentasi DAS Konaweha
“ Fungsi hutan sebagai daerah tangkapan air di hulir sungai Lalindu, kabupaten
Konawe Utara, semakin memprihatinkan akibat tingginya sedimentasi karena
pengaruh maraknya aktivitas perkebunan kelapa sawit di sekitar kawasan hutan di
kecamatan Wiwirano, Langikima, Asera”.
Akibat pembukaan perkebunan sawit di wilayah itu sejak tahun 1996, kini
Daerah Aliran Sungai (DAS) Konaweha yang melintasi Konawe Utara pun
memburuk dengan total lahan kritis seluas 352.527,67 hektar dari luas 715.067,81
hektar. Sementara tingkat sedimentasi mencapai 295,92 ton pertahun. DAS Konawe
menjadi sumber air bagi masyarakat di enam daerah di Sultra yaitu Konawe, Konawe
Utara, Kolaka, Kolaka Utara, Konawe Selatan dan Kota Kendari. Hal tersebut dipicu
oleh penggundulan hutan dan pembangunan yang tak terencana di daerah hulu, yakni
Kolaka dan Konawe Utara.
Saat ini, air sungai Lalindu, bagian tengah DAS Konaweha yang melintasi
kabupaten Konawe Utara berwarna coklat, mengalir lamban karena beratnya beban
sedimentasi yang dibawa dari bagian hulu. Sungai Lalindu adalah salah satu sub DAS
Konaweha yang melewati kecamatan Langkikima, Wiwirano, Asera dan Lasolo. “Ini
menggambarkan laju degradasi hutan di wilayah hulu,” kata Amir Mahmud, Kepala
Seksi DAS dan Hutan, YascitaKendari.
Menurut Amir, kondisi DAS Konaweha saat ini sedang mengalami
permasalahan mendasar dengan adanya penguasaan lahan yang syarat akan masalah,
misalnya eksploitasi tambang dan perkebunan besar. Dimana aspek hukum dan
pengelolaan yang tidak berkelanjutan dan tidak pro kepada masyarakat.
Faisal Misran, staf Seksi Program dan Perencanaan Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sampara, dalam tulisannya menjelaskan bahwa
bagian tengah dan hilir DAS Konaweha juga mengalami tekanan. Tengah dan hilir
ditekan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan, tambang pasir, pertanian lahan
kering tidak konservatif, sedimentasi tinggi, kekeringan sumber mata air, tekanan
penduduk yang tinggi, banjir hingga lahan tidur dan irigasi sawah yang terganggu.
Kondisi lahan kritis pada wilayah DAS Konaweha seperti tersebut di atas,
membutuhkan prioritas utama dalam pengelolaannya. Selain kritis, pengelolaan DAS
Konaweha menjadi prioritas utama karena erosi dan sedimentasi yang cukup tinggi,
terdapat bangunan yang berinvestasi tinggi di bendungan Wawotobi, okupasi lahan
yang cukup tinggi yang belum memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah serta
merupakan DAS lintas wilayah administrasi kabupaten Kolaka, Konawe, Konawe
Utara, Konawe Selatan dan Kota Kendari.
Hartono, Ekesekutif Daerah WALHI Sultra, mengatakan banyaknya
perusahaan yang beroperasi menambah tekanan terhadap lingkungan hidup dan
penghancuran keanekaragaman hayati di Kecamatan Asera dan Wiwirano. Ia
menyarankan, pemerintah Konawe Utara meninjau kembali dan selektif dalam
memberikan izin terhadap perusahaan yang akan masuk di daerah itu. Banyak hal
yang harus dipertimbangkan sebelum mengeluarkan izin. Salah satunya harus
memperhatikan AMDAL dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Menurutnya, topografi gunung Asera cekung sehingga arus air cepat
merambat turun ke lembah. Disekitar lembah ini terdapat pemukiman penduduk,
sehingga pada saat hujan deras mengancam banjir pemukiman penduduk. “Untuk itu,
mestinya Pemerintah setempat lebih teliti dalam mengeluarkan izin pembukaan lahan,
apalagi kawasan hutan,” katanya.
Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Maritim Sultra, Adi
Setiadi, menilai gundulnya hutan di Konawe Utara akan berdampak besar terhadap
debit air pada DAS Lasolo dan sungai Lalindu. Banjir dan tanah longsor akan
mengancam warga disaat musim penghujan. Pengalihan fungsi lahan juga berdampak
pada struktur tanah. Saat musim kemarau, tanah menjadi keras dan tandus karena
daya serap matahari yang menembus ke tanah.
“Kerusakan DAS otomatis akan menyebabkan tergganggunya kualitas hidup
warga yang tergantung pada air tersebut,” katanya. Karena itu diperlukan pendekatan
sistem yang terencana untuk menganalisis model hidrologi, pengelolaan tanah dan
kebijakan daerah serta pengorganisasian yang melibatkan warga pengguna air agar
pengelolaan DAS bisa padu padan dengan satu tujuan menjaminkan ketersediaan air
untuk warga Sulawesi Tenggara. Pengelolaan DAS yang memperhitungkan berbagai
aspek akan membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi,sosial dan
ekologi.
Kelapa sawit adalah jenis tanaman rakus dengan kebutuhan unsur hara dan
air. Akar sawit memiliki akar serabut yang sistem perakarannya dangkal, sehingga
kurang mampu menahan air dalam tanah dan aliran air permukaan (run off) yang
tinggi ketika hujan. Keadaan seperti itu dapat menimbulkan banjir di hilir, terkikisnya
permukaan tanah yang mengandung humus, keruh dan mendangkalnya sungai-
sungai, serta dampak negatif lainnya. Ketika musim kemarau lahan mengering,
pertanaman sawit itu sendiri kekurangan air, sungai-sungai mendangkal, sungai
sebagai prasrana transportasi menjadi terganggu.
Konawe Utara yang baru dimekarkan, harus menerima dampak buruk dari
aktivitas perkebunan sawit dan pertambangan yang ijin pengelolaanya dikeluarkan
oleh Pemerintah Kabupaten Konawe, induk Konawe Utara sebelum memekarkan diri.
Sebelumnya, Pemkab Konawe sudah menerbitkan izin untuk 40 perusahaan,
selebihnya izin diterbitkan oleh Pemkab Konawe Utara sendiri. Prospek yang cerah
membuat pemilik modal dari dalam dan luar negeri, dari yang kakap sampai kelas
teri, mulai berinvestasi di sektor ini.
Kendati telah banyak perusahaan sawit yang mendapatkan izin, namun tidak
satu pun perusahaan yang memberikan hasil dan keuntungan pada masyarakat di
Konawe Utara. PT. PN XIV yang telah lama eksis dengan luas lahan yang telah
dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit seluas 4.162 hektar dari rencana seluas
6.000 hektar telah beroperasi kurang lebih 10 tahun. Namun petani sawit baru
merasakan hasilnya senilai 250 ribu rupiah. PT. Damai Jaya Lestari yang telah
memanfaatkan sekitar 1000 hektar dari rencana pengembangan 16.000 hektar juga
belum mengolah buah kelapa sawitnya.
Potret petani sawit di Konawe Utara cukup memprihatinkan. “Tapi ini sudah
terlanjur. Kami menerima dampak kebijakan yang buruk dari pemerintah
sebelumnya,” kata Abd. Rauf, ketua DPRD Konawe Utara saat audiance di kantor
DPRD Konawe Utara dengan tim Joint Campaign YPSHK Green Network, Januari
lalu.
Dia menilai, kebijakan yang tepat untuk dilakukan saat ini adalah dengan
mempolarisasi kawasan. Menetapkan batas-batas kawasan kelola budidaya dan
kawasan proteksi melalui penetapan tata ruang kabupaten. “Sebelum ada aturan tata
ruang kabupaten, maka tidak ada izin pembukaan lahan bagi pihak perkebunan kelapa
sawit maupun pertambangan,” katanya.
Kepala Dinas Kehutanan Konawe Utara, Kahar Haris mengungakapkan
hingga saat ini belum ada satu pun perusahaan perkebunan yang memiliki izin pinjam
pakai kawasan. Pada umumnya, perusahaan baru mendapatkan izin mencari lokasi
dari Pemda Konawe.
“Ini ibarat buah simalakahmah, semua izin terdahulu diterbitkan oleh Pemda
Konawe. Tapi semenjak saya menjabat kepala dinas, tak ada izin yang kami berikan.
Banyak perusahaan yang mengajukan perpanjangan izin, tapi semuanya saya
pending,” katanya.
Ia mengungkapkan, sejumlah perusahaan perkebunan sawit telah habis masa
berlaku izinnya, namun aktivitas masih terus dilakukan. “Kami melihat perusahaan
memperalat masyarakat agar mengakui kepemilikan tanah adat, padahal tidak ada
dalam kawasan hutan,” tukasnya.
Tak hanya itu, areal perkebunan sawit juga tak jelas batas-batasnya. Pihak
perusahaan dengan leluasa menggarap hutan seluasluasnya tanpa batas. Itulah
sebabnya, kata Kahar, perlunya tata ruang wilayah agar semua penggunaan kawasan
jelas peruntukannya.
Sementara Analisi Dampak Lingkungan (AMDAL) yang seharusnya wajib
dimiliki setiap perusahaan sebelum melakukan kegiatan, hingga saat ini tak Perlu
Pemetaan Tata Ruang satupun yang memiliki AMDAL. “Sampai saat ini belum ada
yang mengajukan AMDAL,” kata Mani Ibrahim, sekretaris Kehutanan Provinsi.
Terkait berbagai fakta di atas, maka pada pada diskusi beberapa waktu lalu
yang diselenggarakan di aula dinas kehutanan, dan dihadiri seluruh lembaga peduli
lingkungan dan instansi terkait, akhirya sepakat merekomendasikan kepada
pemerintah untuk meninjau kembali investasi perkebunan sawit di Konawe Utara.
Rekomendasi itu diajukan dengan memperhatikan pembukaan perkebunan sawit telah
menghasilkan kerusakan lingkungan seperti kerusakan DAS yang hingga saat ini
belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Waode Amrifah,
2010).
4. Lingkungan Samarinda Rusak Akibat "Dikepung" Perusahaan Batubara
"Menghentikan izin perusahaan batubara itu sangat sulit karena pemerintah
sudah terlanjur mengeluarkan izin. Kalau secara sepihak dihentikan maka pihak
perusahaan bisa saja melakukan gugatan," kata pengamat lingkungan Kalimantan
Timur, Ir. Ambrianto Amin di Samarinda, Rabu.
Ambrianto Amin yang juga dikenal sebagai staf ahli bidang kehutanan dan
lingkungan di DPRD Kaltim itu menjelaskan bahwa sebagian perusahaan batubara
yang kini mengupas lahan di Samarinda sudah memegang perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), sehingga tidak bisa dihentikan secara
sepihak karena memegang izin eksploitasi jangka panjang.
"Perusahaan batubara tersebut baru bisa dihentikan apabila melanggar
PKP2B atau melakukan pencemaran lingkungan, namun apabila mereka memenuhi
kewajibannya tidak bisa dhentikan begitu saja," imbuh dia.
Khusus untuk perusahaan pemegang KP (kuasa penambangan) batubara
yang dikeluarkan Pemkot Samarinda, katanya menambahkan, masih bisa ditinjau
ulang sehingga butuh "political will" (kemauan politik) dari pemerintah kota dan
DPRD setempat untuk lebih mengutamakan masalah lingkungan ketimbang hanya
keinginan menambah PAD (pendapatan asli daerah).
"Kalau alasannya untuk menambah PAD maka lebih banyak sektor lain
yang bisa digarap tanpa harus mengorbankan rakyat karena merasakan langsung
dampak kerusakan lingkungan antara lain banjir dan tanah longsor," kata mantan
Direktur Ekskutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim itu.
Ia sependapat dengan mantan Rektor Universitas Mulawarman Samarinda,
Prof Dr. (almarhum) Yunus Rasyid yang menyatakan bahwa potensi batubara di perut
bumi Kaltim --termasuk di Samarinda-- yang diperkirakan mencapai dua triliun ton
"bukan harta warisan namun peninggalan untuk anak cucu".
"Almarhum Yunus Rasyid sudah menyatakan bahwa potensi batubara itu
jangan dulu digarap sampai kita punya teknologi ramah lingkungan serta hasilnya
benar-benar memiliki kontribusi besar untuk daerah," katanya.
Upaya yang bisa dilakukan Pemkot untuk sementara ini, kata dia
menambahkan, yakni dengan mengajak perusahaan batubara yang sudah memiliki
izin itu sama-sama menjalankan berbagai program penyelamatan lingkungan tanpa
harus menghentikan kegiatan mereka secara sepihak.
"Kawasan yang perlu mendapat perhatian serius adalah daerah aliran sungai
(DAS) Sungai Karang Mumus karena kerusakan di daerah itu bisa menimbulkan
dampak lingkungan yang besar, antara lain banjir yang kini kerap melanda
Samarinda," katanya. Paling Parah Hutan di DAS Karang Mumus diperkirakan
hanya tinggal 0,8 persen dari luas kawasan itu sehingga menjadi daerah aliran sungai
terparah ketimbang daerah lain di Kaltim. Selain kehadiran sejumlah perusahaan
batubara di DAS Karang Mumus, kawasan itu juga menjadi tempat bermukim
241.996 orang Samarinda dengan berbagai profesi. Sungai Karang Mumus sepanjang
20 Km menjadi sumber air pertanian di Lempake, lumbung padi serta membelah kota
berpenduduk 700.000 jiwa itu. "Luas hutan tinggal 0,8 persen, padahal luas hutan
dalam suatu DAS idealnya 30 persen sehingga perlu upaya rehabilitasi dan reboisasi,"
kata Abrianto. Ia yakin bahwa apabila perusahaan batubara itu terus mengupas lahan
di DAS Karang Mumus dan sekitar pinggiran Kota Samarinda, maka banjir kian
kerap melanda kota itu.
Selama tiga bulan terakhir saja --sejak November dan Desember 2008 serta
Januari 2009-- Samarinda lima kali didera banjir cukup besar menyebabkan puluhan
ribu warga menjadi korban akibat rumahnya terendam air antara 30 Cm sampai satu
meter. Berdasarkan data Antara, dari 44 perusahaan batubara di Samarinda, 17 di
antaranya sudah melakukan aktifitas pengupasan lahan untuk mengeksploitasi
batubara di perut bumi Samarinda. Padahal Samarinda apabila dibandingkan dengan
daerah lain di Kalimantan Timur termasuk sebagai "kota mini" karena luasnya hanya
71.000 Ha sedangkan daerah lain mencapai ratusan ribu hectare (Iwan Siswanto,
2009).
Sumber :
Asfihani, Ir.H., 2007. Pertambangan, Kerusakan Lingkungan dan Tanggung jawab Pemda . di akses dari http://klipingtambang.blogspot.com/2007/05/pertambangan-kerusakan-lingkungan-dan.html
Diyah Yulistira, 2010. Hutanku Semakin Sempit. Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi – FPPB Universitas Negeri bangka Belitung. Indonesia
Indra A.S., 2009. Hentikan Kerusakan Lingkungan di darat dan di Laut sekarang Juga. Universitas Negeri Bangka Belitung. Indonesia.
Iwan Siswanto, 2009. Lingkungan Samarinda Rusak Akibat "Dikepung" Perusahaan Batubara. Di akses dari http://www.borneotribune.com/eco-borneo/lingkungan-samarinda-rusak-akibat-qdikepungq-perusahaan-batubara.html
Waode Amrifah, 2010. Ekspansi Kebun Sawit Percepat Sedimentasi DAS Konaweha. Di akses dari https://m3sultra.wordpress.com/2010/02/03/lingkungan-2010-02-03-dampak-konversi-hutan-di-konawe-utara/