Post on 24-Jun-2015
Transformasi DNA dan Teknik PCR
Molekul DNA dapat masuk ke dalam sel melalui selaput membran sel. Terdapat tiga cara
molekul DNA masuk ke dalam sel, yaitu konjugasi, transformasi dan transfeksi. Transformasi
adalah cara yang paling umum digunakan untuk memanipulasi DNA bakteri agar diperoleh
sifat yang diinginkan. Namun, proses transformasi tidak dapat dilakukan oleh semua spesies
bakteri, hanya terdapat beberapa bakteri seperti Bacillus dan Streptococcus. Pada percobaan
ini digunakan bakteri E. coli yang telah dimanipulasi agar dapat menyerap molekul DNA
yang berada di lingkungannya. Sel ini disebut dengan sel kompeten. Sel bakteri dapat dibuat
menjadi kompeten dengan perlakuan TB (transformation buffer) yang mengandung CaCl2
atau MnCl2 yang merupakan garam. Mekanisme pembuatan sel kompeten belum diketahui
secara pasti tetapi pelakuan dengan garam tersebut diduga meningkatkan permeabilitas
membran sel dan meningkatkan porositas membran. Hal ini memungkinkan DNA bebas
dapat masuk ke dalam sel (Brown 1997).
Transformasi sel kompeten E. coli dengan metode CaCl2 pertama kali diperkenalkan oleh
Mandel dan Higa (1970). Metode ini cukup efisien dan tidak membutuhkan alat khusus.
Dagert dan Ehrlich (1974) memodifikasi metode ini dengan meningkatkan lama paparan sel
terhadap CaCl2. Sementara itu, Kushner (1978) berusaha meningkatkan efisiensinya dengan
menggantikan kalsium dengan kation lainnya, sedangkan Hanahan (1983) menambahkan
beberapa senyawa lain untuk meningkatkan efisiensinya.
Transformasi DNA ke dalam sel bakteri dilakukan dengan metode kejut panas. Perlakuan ini
dimaksudkan untuk membuka pori membran sel dan mengaktifkan protein Hsp (heat shock
protein). Suhu yang digunakan untuk proses kejut panas adalah 42oC. Perlakuan heatshock
tidak dilakukan terlalu lama yaitu maksimal 90 detik agar sel yang sudah terbuka tidak
membuka terus sehingga sel tidak menjadi lisis. Sebelum diberi suhu 42oC sel tersebut
diinkubasi dalam es selama 20 menit. Selanjutnya untuk mengetahui DNA insert yang
digunakan telah masuk ke dalam sel, maka sel ditumbuhkan dalam media LB padat yang
mengandung ampisilin, LA, xgaL, dan IPTG, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC.
Ampisilin yang ditambahkan bertujuan untuk menyeleksi sel transforman karena plasmid
yang terinsersi memiliki gen penanda resistensi ampisilin.
Hasil yang didapatkan dari pengamatan adalah terjadi pertumbuhan bakteri baik pada kontrol
negatif maupun sampel (Gambar 2 & 3). Secara teori, bakteri yang ditumbuhkan pada cawan
kontrol negatif adalah bakteri yang bukan transforman sehingga tidak boleh ada
pertumbuhan. Adanya koloni bakteri yang dapat tumbuh menandakan terjadinya kontaminasi
bakteri transforman pada cawan kontrol negatif. Sementara pada cawan sampel terjadi
pertumbuhan bakteri E.coli transforman yang telah membentuk koloni tunggal. Transformasi
antara sel yang kompeten dapat terjadi saat bakteri ditumbuhkan dalam media dan dapat
menyebabkan kesalahan pada perhitungan laju transformasi. Hal ini dapat diperbaiki dengan
penambahan EDTA pada media seleksi (Brown TA 1997).
Sel E. coli secara alami memiliki kemampuan transformasi yang rendah. Peningkatan
kemampuan transformasi secara alami dilakukan dengan memanen sel pada fase stasioner
dan penumbuhan kembali pada media. Sel yang kompeten diperoleh pada fase lag dan
menghilang pada fase log (eksponensial). Laju transformasi meningkat seiring dengan jumlah
plasmid hingga mencapai fase plateau (Tsen et al. 2002).
LacZ akan ditranskripsi secara normal dan dapat membentuk α-complementaion menjadi β-
galaktosidase yang dapat memecah X-gal menjadi galaktosa dan turunan indoksil. Turunan
tersebut selanjutnya akan dioksidasi sehingga membentuk turunan dibromo-dikloro yang
menyebabkan berubahnya warna koloni menjadi biru saat ditumbuhkan pada media agar
yang mengandung X-gal. Akan terdapat tambahan gen insert yang ikut ditranskripsi oleh
RNA polimerase. Hal tersebut menyebabkan gen lacZ tersebut tidak dapat membentuk enzim
β-galaktosidase yang fungsional dan X-gal tidak akan dipecah sehingga koloni yang
dihasilkan tetap berwarna putih.
Proses PCR untuk memperbanyak DNA melibatkan serangkaian siklus temperatur yang
berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga tahapan. Tahapan yang pertama adalah
denaturasi cetakan DNA (DNA template), yaitu pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas
tunggal. Sesudah itu, dilakukan penurunan temperatur yang memungkinkan terjadinya
penempelan (annealing) atau hibridisasi antara oligonukleotida primer dengan utas tunggal
cetakan DNA. Tahap yang terakhir adalah tahap ekstensi atau elongasi (elongation), yaitu
pemanjangan primer menjadi suatu utas DNA baru oleh enzim DNA polimerase. Temperatur
pada tahap ini bergantung pada jenis DNA polimerase yang digunakan. Pada akhirnya, satu
siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul cetakan DNA atau DNA target, sebab setiap
utas baru yang disintesis akan berperan sebagai cetakan pada siklus selanjutnya.
Hasil PCR divisualisasikan melalui elektroforesis dengan lampu UV. Hasil elektroforesis
menunjukan pita-pita DNA hasil PCR. Pita-pita ini menunjukan hasil PCR berhasil dilkukan.
Hasil PCR dapat dilihat pada Gambar 6 hasil pengamatan.
Transformasi DNA
Koloni Pneumococcus pada percobaan transformasi DNA pertama
Transformasi DNA merupakan salah satu metode untuk memasukkan DNA ke dalam sel
bakteri.[1] Metode transformasi ini pertama kali dikembangkan untuk memindahkan sifat-sifat
genetika yang membawa kenyataan bahwa DNA adalah bahan genetika. [1] Meskipun
transformasi telah dieksploitasi untuk mempelajari pautan gen pada berbagai organisme,
metode ini sekarang secara luas dipakai untuk mentransfer plasmid-plasmid kecil dari satu
galur bakteri ke galur lainnya.[2] Prinsip dari transformasi adalah dengan ekstraksi DNA dari
sel donor, kemudian dicampur dengan sel resipien yang telah dibuat rentan terhadap
masuknya molekul DNA melalui pori atau saluran dalam dinding dan membran sel.[1] Bila
molekul DNA yang masuk berupa plasmid, maka replikasi plasmid dapat dimungkinkan
dengan genom inang yang baru selama transformasi.[1]
BAB VIII Dasar-dasar Teknologi DNA Rekombinan
Di dalam bab ini akan dibicarakan pengertian teknologi DNA rekombinan beserta tahapan-
tahapan kloning gen, yang secara garis besar meliputi isolasi DNA kromosom dan DNA
vektor, pemotongan DNA menggunakan enzim restriksi, pembentukan molekul DNA
rekombinan, dan transformasi sel inang oleh molekul DNA rekombinan. Setelah mempelajari
pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:
1. pengertian teknologi DNA rekombinan,
2. dua segi manfaat teknologi DNA rekombinan,
3. tahapan-tahapan kloning gen,
4. pengertian dan cara kerja enzim restriksi, dan
5. garis besar cara seleksi transforman dan seleksi rekombinan.
Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok bahasan
ini dengan lebih baik adalah struktur dan sifat-sifat asam nukleat seperti yang telah dibahas
pada Bab II.
Pengertian Teknologi DNA Rekombinan
Secara klasik analisis molekuler protein dan materi lainnya dari kebanyakan organisme
ternyata sangat tidak mudah untuk dilakukan karena adanya kesulitan untuk memurnikannya
dalam jumlah besar. Namun, sejak tahun 1970-an berkembang suatu teknologi yang dapat
diterapkan sebagai pendekatan dalam mengatasi masalah tersebut melalui isolasi dan
manipulasi terhadap gen yang bertanggung jawab atas ekspresi protein tertentu atau
pembentukan suatu produk.
Teknologi yang dikenal sebagai teknologi DNA rekombinan, atau dengan istilah yang lebih
populer rekayasa genetika, ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di dalam suatu
sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai kloning gen. Banyak
definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan pengertian teknologi DNA rekombinan. Salah
satu di antaranya, yang mungkin paling representatif, menyebutkan bahwa teknologi DNA
rekombinan adalah pembentukan kombinasi materi genetik yang baru dengan cara penyisipan
molekul DNA ke dalam suatu vektor sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan
mengalami perbanyakan di dalam suatu sel organisme lain yang berperan sebagai sel inang.
Teknologi DNA rekombinan mempunyai dua segi manfaat. Pertama, dengan mengisolasi dan
mempelajari masing-masing gen akan diperoleh pengetahuan tentang fungsi dan mekanisme
kontrolnya. Kedua, teknologi ini memungkinkan diperolehnya produk gen tertentu dalam
waktu lebih cepat dan jumlah lebih besar daripada produksi secara konvensional.
Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan melalui teknologi
DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu (Gambar 9.1). Tahapan-tahapan
tersebut adalah isolasi DNA genomik/kromosom yang akan diklon, pemotongan molekul
DNA menjadi sejumlah fragmen dengan berbagai ukuran, isolasi DNA vektor, penyisipan
fragmen DNA ke dalam vektor untuk menghasilkan molekul DNA rekombinan, transformasi
sel inang menggunakan molekul DNA rekombinan, reisolasi molekul DNA rekombinan dari
sel inang, dan analisis DNA rekombinan.
Isolasi DNA
Isolasi DNA diawali dengan perusakan dan atau pembuangan dinding sel, yang dapat
dilakukan baik dengan cara mekanis seperti sonikasi, tekanan tinggi, beku-leleh maupun
dengan cara enzimatis seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya adalah lisis sel. Bahan-
bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah diresuspensi di dalam medium bufer
nonosmotik, sedangkan bahan-bahan yang lebih kasar perlu diperlakukan dengan deterjen
yang kuat seperti triton X-100 atau dengan sodium dodesil sulfat (SDS). Pada eukariot
langkah ini harus disertai dengan perusakan membran nukleus. Setelah sel mengalami lisis,
remukan-remukan sel harus dibuang. Biasanya pembuangan remukan sel dilakukan dengan
sentrifugasi. Protein yang tersisa dipresipitasi menggunakan fenol atau pelarut organik seperti
kloroform untuk kemudian disentrifugasi dan dihancurkan secara enzimatis dengan
proteinase. DNA yang telah dibersihkan dari protein dan remukan sel masih tercampur
dengan RNA sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA.
Molekul DNA yang telah diisolasi tersebut kemudian dimurnikan dengan penambahan
amonium asetat dan alkohol atau dengan sentrifugasi kerapatan menggunakan CsCl (lihat
Bab II).
Gambar 9.1. Skema tahapan kloning gen
Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik maupun DNA
vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam molekul DNA ini yang
akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid pada umumnya berada
dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai bentuk covalently closed
circular (CCC), sedangkan DNA kromosom jauh lebih longgar ikatan kedua untainya dan
mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi. Perbedaan tersebut menyebabkan DNA plasmid
jauh lebih tahan terhadap denaturasi apabila dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh
karena itu, aplikasi kondisi denaturasi akan dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA
kromosom.
Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium bromid, zat pewarna DNA
yang menyisip atau melakukan interkalasi di sela-sela basa molekul DNA. DNA plasmid
akan menyerap etidium bromid jauh lebih sedikit daripada jumlah yang diserap oleh DNA
kromosom per satuan panjangnya. Dengan demikian, perlakuan menggunakan etidium
bromid akan menjadikan kerapatan DNA kromosom lebih tinggi daripada kerapatan DNA
plasmid sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan.
Enzim Restriksi
Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA, baik genomik maupun
plasmid. Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat ditemukannya sistem
restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang berkaitan dengan infeksi virus atau
bakteriofag lambda (l). Virus l digunakan untuk menginfeksi dua strain E. coli, yakni strain K
dan C. Jika l yang telah menginfeksi strain C diisolasi dari strain tersebut dan kemudian
digunakan untuk mereinfeksi strain C, maka akan diperoleh l progeni (keturunan) yang lebih
kurang sama banyaknya dengan jumlah yang diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini,
dikatakan bahwa efficiency of plating (EOP) dari strain C ke strain C adalah 1. Namun, jika l
yang diisolasi dari strain C digunakan untuk menginfeksi strain K, maka nilai EOP-nya hanya
10-4. Artinya, hanya ditemukan l progeni sebanyak 1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan.
Sementara itu, l yang diisolasi dari strain K mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika
direinfeksikan pada strain K maupun pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem
restriksi/modifikasi (r/m) pada strain K.
Pada waktu bakteriofag l yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K, molekul
DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam strain K. Di sisi
lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri, strain K juga
mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi beberapa basa pada sejumlah
urutan tertentu yang merupakan tempat-tempat pengenalan (recognition sites) bagi enzim
restriksi tersebut.
DNA bakteriofag l yang mampu bertahan dari perusakan oleh enzim restriksi pada siklus
infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh kekebalan terhadap enzim
restrisksi tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwariskan dan harus dibuat pada setiap akhir
putaran replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag l yang diinfeksikan dari strain K ke
strain C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi rentan terhadap enzim restriksi.
Metilasi hanya terjadi pada salah satu di antara kedua untai molekul DNA. Berlangsungnya
metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir replikasi hingga molekul DNA baru hasil
replikasi tidak akan sempat terpotong oleh enzim restriksi.
Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dipelajari. Selanjutnya, enzim ini
dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim restriksi tipe I.
Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada berbagai spesies bakteri lainnya.
Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kemudian dimasukkan ke dalam
kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II. Ia mengisolasi enzim
tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan sejak saat itu ditemukan lebih
dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan strain bakteri. Semuanya sekarang
telah menjadi salah satu komponen utama dalam tata kerja rekayasa genetika.
Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum yang penting sebagai berikut:
1. mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di dalam
molekul DNA
2. memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat tempat
pengenalannya
3. menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan basa.
Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong urutan pengenal yang
mempunyai sumbu simetri rotasi. Gambar 11.3 memperlihatkan beberapa enzim restriksi
beserta tempat pengenalannya.
Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan sebagai berikut. Huruf pertama
adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber isolasi enzim, sedangkan huruf kedua dan
ketiga masing-masing adalah huruf pertama dan kedua nama petunjuk spesies bakteri sumber
tersebut. Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari nama strain bakteri, dan angka romawi
digunakan untuk membedakan enzim yang berbeda tetapi diisolasi dari spesies yang sama.
Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah sejauh beberapa pasang basa.
Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini akan menghasilkan fragmen-
fragmen dengan ujung 5’ yang runcing karena masing-masing untai tunggalnya menjadi tidak
sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang runcing akan mudah disambungkan
satu sama lain sehingga ujung runcing sering pula disebut sebagai ujung lengket (sticky end)
atau ujung kohesif.
Hal itu berbeda dengan enzim restriksi seperti Hae III, yang mempunyai tempat pemotongan
DNA pada posisi yang sama. Kedua fragmen hasil pemotongannya akan mempunyai ujung 5’
yang tumpul karena masing-masing untai tunggalnya sama panjangnya. Fragmen-fragmen
DNA dengan ujung tumpul (blunt end) akan sulit untuk disambungkan. Biasanya
diperlukan perlakuan tambahan untuk menyatukan dua fragmen DNA dengan ujung tumpul,
misalnya pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim
deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’.
Ligasi Molekul – molekul DNA
Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan enzim restriksi harus
menghasilkan ujung-ujung potongan yang kompatibel. Artinya, fragmen-fragmen DNA
genomik nantinya harus dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA vektor yang sudah
berbentuk linier.
Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meligasi fragmen-fragmen DNA secara in vitro.
Pertama, ligasi menggunakan enzim DNA ligase dari bakteri. Kedua, ligasi menggunakan
DNA ligase dari sel-sel E. coli yang telah diinfeksi dengan bakteriofag T4 atau lazim disebut
sebagai enzim T4 ligase. Jika cara yang pertama hanya dapat digunakan untuk meligasi
ujung-ujung lengket, cara yang kedua dapat digunakan baik pada ujung lengket maupun pada
ujung tumpul. Sementara itu, cara yang ketiga telah disinggung di atas, yaitu pemberian
enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’.
Dengan untai tunggal semacam ini akan diperoleh ujung lengket buatan, yang selanjutnya
dapat diligasi menggunakan DNA ligase.
Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37ºC. Akan tetapi, pada suhu ini ikatan
hidrogen yang secara alami terbentuk di antara ujung-ujung lengket akan menjadi tidak stabil
dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan tersebut. Oleh karena itu, ligasi
biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan 15ºC dengan waktu inkubasi (reaksi) yang
diperpanjang (sering kali hingga semalam).
Pada reaksi ligasi antara fragmen-fragmen DNA genomik dan DNA vektor, khususnya
plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi atau ligasi sendiri sehingga plasmid yang telah
dilinierkan dengan enzim restriksi akan menjadi plasmid sirkuler kembali. Hal ini jelas akan
menurunkan efisiensi ligasi. Untuk meningkatkan efisiensi ligasi dapat dilakukan beberapa
cara, antara lain penggunaan DNA dengan konsentrasi tinggi (lebih dari 100µg/ml),
perlakuan dengan enzim alkalin fosfatase untuk menghilangkan gugus fosfat dari ujung 5’
pada molekul DNA yang telah terpotong, serta pemberian molekul linker, molekul adaptor,
atau penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal
homopolimerik 3’ seperti telah disebutkan di atas.
Transformasi Sel Inang
Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil pemotongan DNA genomik dan
DNA vektor serta analisis hasil ligasi molekul-molekul DNA tersebut. menggunakan teknik
elektroforesis (lihat Bab X). Jika hasil elektroforesis menunjukkan bahwa fragmen-fragmen
DNA genomik telah terligasi dengan baik pada DNA vektor sehingga terbentuk molekul
DNA rekombinan, campuran reaksi ligasi dimasukkan ke dalam sel inang agar dapat
diperbanyak dengan cepat. Dengan sendirinya, di dalam campuran reaksi tersebut selain
terdapat molekul DNA rekombinan, juga ada sejumlah fragmen DNA genomik dan DNA
plasmid yang tidak terligasi satu sama lain. Tahap memasukkan campuran reaksi ligasi ke
dalam sel inang ini dinamakan transformasi karena sel inang diharapkan akan mengalami
perubahan sifat tertentu setelah dimasuki molekul DNA rekombinan.
Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 oleh M. Mandel dan A.
Higa, yang melakukan transformasi bakteri E. coli. Sebelumnya, transformasi pada beberapa
spesies bakteri lainnya yang mempunyai sistem transformasi alami seperti Bacillus subtilis
telah dapat dilakukan. Kemampuan transformasi B. subtilis pada waktu itu telah
dimanfaatkan untuk mengubah strain-strain auksotrof (tidak dapat tumbuh pada medium
minimal) menjadi prototrof (dapat tumbuh pada medium minimal) dengan menggunakan
preparasi DNA genomik utuh. Baru beberapa waktu kemudian transformasi dilakukan
menggunakan perantara vektor, yang selanjutnya juga dikembangkan pada transformasi
E.coli.
Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah perlakuan kalsium klorid
(CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk mengambil DNA dari bakteriofag l. Pada
tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan-kawannya menemukan bahwa sel-sel yang diperlakukan
dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid. Frekuensi transformasi tertinggi akan
diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di dalam larutan CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC.
Perlakuan kejut panas antara 37 dan 45ºC selama lebih kurang satu menit yang diberikan
setelah pencampuran DNA dengan larutan CaCl2 tersebut dapat meningkatkan frekuensi
transformasi tetapi tidak terlalu esensial. Molekul DNA berukuran besar lebih rendah
efisiensi transformasinya daripada molekul DNA kecil.
Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Namun, setidak-tidaknya
transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini. Molekul CaCl2 akan menyebabkan sel-sel
bakteri membengkak dan membentuk sferoplas yang kehilangan protein periplasmiknya
sehingga dinding sel menjadi bocor. DNA yang ditambahkan ke dalam campuran ini akan
membentuk kompleks resisten DNase dengan ion-ion Ca2+ yang terikat pada permukaan sel.
Kompleks ini kemudian diambil oleh sel selama perlakuan kejut panas diberikan.
Seleksi Transforman dan Seleksi Rekombinan
Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya DNA rekombinan,
maka kita harus melakukan seleksi untuk memilih sel inang transforman yang membawa
DNA rekombinan. Selanjutnya, di antara sel-sel transforman yang membawa DNA
rekombinan masih harus dilakukan seleksi untuk mendapatkan sel yang DNA rekombinannya
membawa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan.
Cara seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang plasmid (lihat
Bab XI). Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah transformasi
dilakukan, yaitu (1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti transformasi gagal,
(2) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan (3) sel inang dimasuki
vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan. Untuk
membedakan antara kemungkinan pertama dan kedua dilihat perubahan sifat yang terjadi
pada sel inang. Jika sel inang memperlihatkan dua sifat marker vektor, maka dapat dipastikan
bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi. Selanjutnya, untuk membedakan antara
kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika
sel inang hanya memperlihatkan salah satu sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat
dipastikan bahwa kemungkinan ketigalah yang terjadi.
Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan dengan mencari
fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang pembuatannya dilakukan
secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi berantai atau polymerase chain
reaction (PCR). Penjelasan lebih rinci tentang teknik PCR dapat dilihat pada Bab XII.
Pelacakan fragmen yang diinginkan antara lain dapat dilakukan melalui cara yang dinamakan
hibridisasi koloni (lihat Bab X). Koloni-koloni sel rekombinan ditransfer ke membran nilon,
dilisis agar isi selnya keluar, dibersihkan protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal
tersisa DNAnya saja. Selanjutnya, dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan
pelacak. Posisi-posisi DNA yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan dengan
posisi koloni pada kultur awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan
koloni-koloni sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan.
BAB X Vektor Kloning
Bab ini akan membahas pengertian dan macam-macam vektor kloning, baik yang digunakan
pada sel inang prokariot maupun eukariot. Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab
ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:
1. pengertian vektor kloning,
2. ciri-ciri plasmid,
3. ciri-ciri kosmid,
4. ciri-ciri bakteriofag, dan
5. ciri-ciri vektor kloning pada khamir dan eukariot tingkat tinggi.
Untuk dapat mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini dengan lebih baik mahasiswa
disarankan telah memahami pokok bahasan tentang dasar-dasar teknologi DNA rekombinan
dan konstruksi perpustakaan gen, yang masing-masing telah diberikan pada Bab IX dan X.
Pengertian dan Macam-macam Vektor Kloning
Pada Bab IX antara lain telah dibicarakan bahwa transformasi sel inang dilakukan
menggunakan perantara vektor. Jadi, vektor adalah molekul DNA yang berfungsi sebagai
wahana atau kendaraan yang akan membawa suatu fragmen DNA masuk ke dalam sel inang
dan memungkinkan terjadinya replikasi dan ekspresi fragmen DNA asing tersebut. Vektor
yang dapat digunakan pada sel inang prokariot, khususnya E. coli, adalah plasmid,
bakteriofag, kosmid, dan fasmid. Sementara itu, vektor YACs dan YEps dapat digunakan
pada khamir. Plasmid Ti, baculovirus, SV40, dan retrovirus merupakan vektor-vektor yang
dapat digunakan pada sel eukariot tingkat tinggi.
Plasmid
Secara umum plasmid dapat didefinisikan sebagai molekul DNA sirkuler untai ganda di luar
kromosom yang dapat melakukan replikasi sendiri. Plasmid tersebar luas di antara organisme
prokariot dengan ukuran yang bervariasi dari sekitar 1 kb hingga lebih dari 250 kb (1 kb =
1000 pb).
Agar dapat digunakan sebagai vektor kloning, plasmid harus memenuhi syarat-syarat berikut
ini:
1. mempunyai ukuran relatif kecil bila dibandingkan dengan pori dinding sel inang
sehingga dapat dengan mudah melintasinya,
2. mempunyai sekurang-kurangnya dua gen marker yang dapat menandai masuk
tidaknya plasmid ke dalam sel inang,
3. mempunyai tempat pengenalan restriksi sekurang-kurangnya di dalam salah satu
marker yang dapat digunakan sebagai tempat penyisipan fragmen DNA, dan
4. mempunyai titik awal replikasi (ori) sehingga dapat melakukan replikasi di dalam sel
inang.
Salah satu contoh plasmid buatan yang banyak digunakan dalam kloning gen adalah pBR322.
Plasmid ini dikonstruksi oleh F. Bolivar dan kawan-kawanya pada tahun 1977. Urutan basa
lengkapnya telah ditentukan sehingga baik tempat marker maupun pengenalan restriksinya
juga telah diketahui. Sayangnya, tempat pengenalan EcoR I, salah satu enzim restriksi yang
sangat umum digunakan, terletak di luar marker. Oleh karena salah satu marker akan menjadi
tempat penyisipan fragmen DNA asing, maka EcoR I tidak dapat digunakan untuk memotong
pBR322 di tempat penyisipan tersebut. Namun, saat ini telah dikonstruksi derivat-derivat
pBR322 yang mempunyai tempat pengenalan EcoR I di dalam marker, misalnya plasmid
pBR324 dan pBR325 yang masing-masing mempunyai tempat pengenalan EcoR I di dalam
gen struktural kolisin dan di dalam gen resisten kloramfenikol.
Gambar 11.1. Plasmid pBR322
ampR = marker resisten ampisilin
tetR = marker resisten tetrasiklin
Misalnya saja kita menyisipkan suatu fragmen DNA pada daerah marker resisten ampisilin
dengan memotong daerah ini menggunakan enzim restriksi tertentu selain EcoR I (mengapa
harus selain EcoR I?). Plasmid pBR322 yang tersisipi oleh fragmen DNA akan kehilangan
sifat resistensinya terhadap ampisilin, tetapi masih mempunyai sifat resistensi terhadap
tetrasiklin. Oleh karena itu, ketika plasmid pBR322 rekombinan ini dimasukkan ke dalam sel
inangnya, yakni E. coli, bakteri transforman ini tidak mampu tumbuh pada medium yang
mengandung ampisilin, tetapi tumbuh pada medium tetrasiklin. Secara alami E. coli tidak
mampu tumbuh baik pada medium ampisilin maupun tetrasiklin sehingga sel transforman
dapat dengan mudah dibedakan dengan sel nontransforman yang tidak mengandung pBR322
sama sekali. Sementara itu, E. coli transforman yang membawa plasmid pBR322 utuh
(religasi) mampu tumbuh pada kedua medium antibiotik tersebut. Jadi, untuk memperoleh sel
E. coli transforman yang membawa DNA rekombinan dicari koloni yang hidup di tetrasiklin
tetapi mati di ampisilin. Secara teknis pekerjaan ini dilakukan menggunakan transfer koloni
atau replica plating (lihat Bab X).
Plasmid yang digunakan pada bakteri gram negatif seperti halnya pBR322 tidak dapat
digunakan pada bakteri gram positif. Namun, saat ini telah tersedia plasmid untuk kloning
pada bakteri gram positif, misalnya pT127 dan pC194, yang dikonstruksi oleh S.D. Erlich
pada tahun 1977 dari bakteri Staphylococcus aureus. Demikian juga, telah ditemukan plasmid
untuk kloning pada eukariot, khususnya pada khamir, misalnya yeast integrating plasmids
(YIps), yeast episomal plasmids (YEps), yeast replicating plasmids (YRps), dan yeast
centromere plasmid (YCps).
Bakteriofag
Bakteriofag adalah virus yang sel inangnya berupa bakteri. Dengan daur hidupnya yang
bersifat litik atau lisogenik bakteriofag dapat digunakan sebagai vektor kloning pada sel
inang bakteri. Ada beberapa macam bakteriofag yang biasa digunakan sebagai vektor
kloning. Dua di antaranya akan dijelaskan berikut ini.
Bakteriofag l
Bakteriofag atau fag l merupakan virus kompleks yang menginfeksi bakteri E. coli. Berkat
pengetahuan yang memadai tentang fag ini, kita dapat memanfaatkannya sebagai vektor
kloning semenjak masa-masa awal perkembangan rekayasa genetika. DNA l yang diisolasi
dari partikel fag ini mempunyai konformasi linier untai ganda dengan panjang 48,5 kb.
Namun, masing-masing ujung fosfatnya berupa untai tunggal sepanjang 12 pb yang
komplementer satu sama lain sehingga memungkinkan DNA l untuk berubah konformasinya
menjadi sirkuler. Dalam bentuk sirkuler, tempat bergabungnya kedua untai tunggal sepanjang
12 pb tersebut dinamakan kos.
Seluruh urutan basa DNA l telah diketahui. Secara alami terdapat lebih dari satu tempat
pengenalan restriksi untuk setiap enzim restriksi yang biasa digunakan. Oleh karena itu, DNA
l tipe alami tidak cocok untuk digunakan sebagai vektor kloning. Akan tetapi, saat ini telah
banyak dikonstruksi derivat-derivat DNA l yang memenuhi syarat sebagai vektor kloning.
Ada dua macam vektor kloning yang berasal dari DNA l, yaitu
vektor insersional, yang dengan mudah dapat disisipi oleh fragmen DNA asing, vektor
substitusi, yang untuk membawa fragmen DNA asing harus membuang sebagian atau seluruh
urutan basanya yang terdapat di daerah nonesensial dan menggantinya dengan urutan basa
fragmen DNA asing tersebut.
Di antara kedua macam vektor l tersebut, vektor substitusi lebih banyak digunakan karena
kemampuannya untuk membawa fragmen DNA asing hingga 23 kb. Salah satu contohnya
adalah vektor WES, yang mempunyai mutasi pada tiga gen esensial, yaitu gen W, E, dan S.
Vektor ini hanya dapat digunakan pada sel inang yang dapat menekan mutasi tersebut.
Cara substitusi fragmen DNA asing pada daerah nonesensial membutuhkan dua tempat
pengenalan restriksi untuk setiap enzim restriksi. Jika suatu enzim restrisksi memotong
daerah nonesensial di dua tempat berbeda, maka segmen DNA l di antara kedua tempat
tersebut akan dibuang untuk selanjutnya digantikan oleh fragmen DNA asing. Jika
pembuangan segmen DNA l tidak diikuti oleh substitusi fragmen DNA asing, maka akan
terjadi religasi vektor DNA l yang kehilangan sebagian segmen pada daerah nonesensial.
Vektor religasi semacam ini tidak akan mampu bertahan di dalam sel inang. Dengan
demikian, ada suatu mekanisme seleksi automatis yang dapat membedakan antara sel inang
dengan vektor rekombinan dan sel inang dengan vektor religasi.
Gambar 11.2. DNA bakteriofag l
konformasi linier (di luar sel inang)
konformasi sirkuler (di dalam sel inang)
Bakteriofag l mempunyai dua fase daur hidup, yaitu fase litik dan fase lisogenik. Pada fase
litik, transfeksi sel inang (istilah transformasi untuk DNA fag) dimulai dengan masuknya
DNA l yang berubah konformasinya menjadi sirkuler dan mengalami replikasi secara
independen atau tidak bergantung kepada kromosom sel inang. Setelah replikasi
menghasilkan sejumlah salinan DNA l sirkuler, masing-masing DNA ini akan melakukan
transkripsi dan translasi membentuk protein kapsid (kepala). Selanjutnya, tiap DNA akan
dikemas (packaged) dalam kapsid sehingga dihasilkan partikel l baru yang akan keluar dari
sel inang untuk menginfeksi sel inang lainnya. Sementara itu, pada fase lisogenik DNA l akan
terintegrasi ke dalam kromosom sel inang sehingga replikasinya bergantung kepada
kromosom sel inang. Fase lisogenik tidak menimbulkan lisis pada sel inang.
Di dalam medium kultur, sel inang yang mengalami lisis akan membentuk plak (plaque)
berupa daerah bening di antara koloni-koloni sel inang yang tumbuh. Oleh karena itu, seleksi
vektor rekombinan dapat dilakukan dengan melihat terbentuknya plak tersebut.
Bakteriofag M13
Ada jenis bakteriofag lainnya yang dapat menginfeksi E. coli. Berbeda dengan l yang
mempunyai struktur ikosahedral berekor, fag jenis kedua ini mempunyai struktur berupa
filamen. Contoh yang paling penting adalah M13, yang mempunyai genom berupa untai
tunggal DNA sirkuler sepanjang 6.408 basa. Infeksinya pada sel inang berlangsung melalui
pili, suatu penonjolan pada permukaan sitoplasma.
Ketika berada di dalam sel inang genom M13 berubah menjadi untai ganda sirkuler yang
dengan cepat akan bereplikasi menghasilkan sekitar 100 salinan. Salinan-salinan ini
membentuk untai tunggal sirkuler baru yang kemudian bergerak ke permukaan sel inang.
Dengan cara seperti ini DNA M13 akan terselubungi oleh membran dan keluar dari sel inang
menjadi partikel fag yang infektif tanpa menyebabkan lisis. Oleh karena fag M13
terselubungi dengan cara pembentukan kuncup pada membran sel inang, maka tidak ada
batas ukuran DNA asing yang dapat disisipkan kepadanya. Inilah salah satu keuntungan
penggunaan M13 sebagai vektor kloning bila dibandingkan dengan plasmid dan l.
Keuntungan lainnya adalah bahwa M13 dapat digunakan untuk sekuensing (penentuan urutan
basa) DNA dan mutagenesis tapak terarah (site directed mutagenesis) karena untai tunggal
DNA M13 dapat dijadikan cetakan (templat) di dalam kedua proses tersebut.
Meskipun demikian, M13 hanya mempunyai sedikit sekali daerah pada DNAnya yang dapat
disisipi oleh DNA asing. Di samping itu, tempat pengenalan restriksinya pun sangat sedikit.
Namun, sejumlah derivat M13 telah dikonstruksi untuk mengatasi masalah tersebut.
Kosmid
Kosmid merupakan vektor yang dikonstruksi dengan menggabungkan kos dari DNA l dengan
plasmid. Kemampuannya untuk membawa fragmen DNA sepanjang 32 hingga 47 kb
menjadikan kosmid lebih menguntungkan daripada fag l dan plasmid.
Fasmid
Selain kosmid, ada kelompok vektor sintetis yang merupakan gabungan antara plasmid dan
fag l. Vektor yang dinamakan fasmid ini membawa segmen DNA l yang berisi tempat att.
Tempat att digunakan oleh DNA l untuk berintegrasi dengan kromosom sel inang pada fase
lisogenik.
Vektor YACs
Seperti halnya kosmid, YACs (yeast artifisial chromosomes atau kromosom buatan dari
khamir) dikonstruksi dengan menggabungkan antara DNA plasmid dan segmen tertentu DNA
kromosom khamir. Segmen kromosom khamir yang digunakan terdiri atas sekuens telomir,
sentromir, dan titik awal replikasi.
YACs dapat membawa fragmen DNA genomik sepanjang lebih dari 1 Mb. Oleh karena itu,
YACs dapat digunakan untuk mengklon gen utuh manusia, misalnya gen penyandi cystic
fibrosis yang panjangnya 250 kb. Dengan kemampuannya itu YACs sangat berguna dalam
pemetaan genom manusia seperti yang dilakukan pada Proyek Genom Manusia.
Vektor YEps
Vektor-vektor untuk keperluan kloning dan ekspresi gen pada Saccharomyces cerevisiae
dirancang atas dasar plasmid alami berukuran 2 μm, yang selanjutnya dikenal dengan nama
plasmid 2 mikron. Plasmid ini memiliki sekuens DNA sepanjang 6 kb, yang mencakup titik
awal replikasi dan dua gen yang terlibat dalam replikasi.
Vektor-vektor yang dirancang atas dasar plasmid 2 mikron disebut YEps (yeast episomal
plasmids). Segmen plasmid 2 mikronnya membawa titik awal replikasi, sedangkan segmen
kromosom khamirnya membawa suatu gen yang berfungsi sebagai penanda seleksi, misalnya
gen LEU2 yang terlibat dalam biosintesis leusin. Meskipun biasanya bereplikasi seperti
plasmid pada umumnya, YEps dapat terintegrasi ke dalam kromosom khamir inangnya.
Plasmid Ti Agrobacterium tumefaciens
Sel-sel tumbuhan tidak mengandung plasmid alami yang dapat digunakan sebagai vektor
kloning. Akan tetapi, ada suatu bakteri, yaitu Agrobacterium tumefaciens, yang membawa
plasmid berukuran 200 kb dan disebut plasmid Ti (tumor inducing atau penyebab tumor).
Bakteri A. tumefaciens dapat menginfeksi tanaman dikotil seperti tomat dan tembakau serta
tanaman monokotil, khususnya padi. Ketika infeksi berlangsung bagian tertentu plasmid Ti,
yang disebut T-DNA, akan terintegrasi ke dalam DNA kromosom tanaman, mengakibatkan
terjadinya pertumbuhan sel-sel tanaman yang tidak terkendali. Akibatnya, akan terbentuk
tumor atau crown gall.
Plasmid Ti rekombinan dengan suatu gen target yang disisipkan pada daerah T-DNA dapat
mengintegrasikan gen tersebut ke dalam DNA tanaman. Gen target ini selanjutnya akan
dieskpresikan menggunakan sistem DNA tanaman.
Dalam prakteknya, ukuran plasmid Ti yang begitu besar sangat sulit untuk dimanipulasi.
Namun, ternyata apabila bagian T-DNA dipisahkan dari bagian-bagian lain plasmid Ti,
integrasi dengan DNA tanaman masih dapat terjadi asalkan T-DNA dan bagian lainnya
tersebut masih berada di dalam satu sel bakteri A. tumefaciens. Dengan demikian, manipulasi
atau penyisipan fragmen DNA asing hanya dilakukan pada T-DNA dengan cara seperti
halnya yang dilakukan pada plasmid E.coli. Selanjutnya, plasmid T-DNA rekombinan yang
dihasilkan ditransformasikan ke dalam sel A. tumefaciens yang membawa plasmid Ti tanpa
bagian T-DNA. Perbaikan prosedur berikutnya adalah pembuangan gen-gen pembentuk
tumor yang terdapat pada T-DNA.
Baculovirus
Baculovirus merupakan virus yang menginfeksi serangga. Salah satu protein penting yang
disandi oleh genom virus ini adalah polihedrin, yang akan terakumulasi dalam jumlah sangat
besar di dalam nuklei sel-sel serangga yang diinfeksi karena gen tersebut mempunyai
promoter yang sangat aktif. Promoter ini dapat digunakan untuk memacu overekspresi gen-
gen asing yang diklon ke dalam genom bacilovirus sehingga akan diperoleh produk protein
yang sangat banyak jumlahnya di dalam kultur sel-sel serangga yang terinfeksi.
Vektor Kloning pada Mamalia
Vektor untuk melakukan kloning pada sel-sel mamalia juga dikonstruksi atas dasar genom
virus. Salah satu di antaranya yang telah cukup lama dikenal adalah SV40, yang menginfeksi
berbagai spesies mamalia. Genom SV40 panjangnya hanya 5,2 kb. Genom ini mengalami
kesulitan dalam pengepakan (packaging) sehingga pemanfaatan SV40 untuk mentransfer
fragmen–fragmen berukuran besar menjadi terbatas.
Retrovirus mempunyai genom berupa RNA untai tunggal yang ditranskripsi balik menjadi
DNA untai ganda setelah terjadi infeksi. DNA ini kemudian terintegrasi dengan stabil ke
dalam genom sel mamalia inang sehingga retrovirus telah digunakan sebagai vektor dalam
terapi gen. Retrovirus mempunyai beberapa promoter yang kuat.