Post on 05-Aug-2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Polisi adalah suatu kelompok pekerja yang unik. Mereka menjalankan
peran fungsional dan simbolik yang penting dalam masyarakat kita, mewakili
salah satu dari pelindung kebebasan yang paling penting perorangan atau
kelompok. Namun secara paradoksal kita akui atau tidak petugas polisi juga
dapat merupakan ancaman terhadap kebebasan yang sama17.
Dalam realitas kehidupan selalu saja ada dikotomi baik dan buruk,
demikian juga dengan polisi ada yang baik yang menjalankan profesinya dengan
tujuan mulia untuk melindungi dan melayani masyarakat dan ada juga polisi
yang memanfaatkan masyarakat, khususnya yang melanggar ketentuan Undang-
Undang, dengan mengambil keuntungan materil untuk diri dan korpsnya
sendiri. William ker Muir, Jr. mengatakan18;
A policemen becomes a good policeman to the extent that he develops two virtues, intellectuality, he has to grasp the nature of human suffering. Morally, he has to resolve the contradiction of achieving just ends with coercive means.
Polisi diberi Julukan sebagai gate keeper sistem peradilan pidana,
karena ia adalah penentu apakah suatu tindak pidana akan terus diproses atau
tidak. Dengan adanya laporan atau pengaduan masyarakat atau pengetahuan
polisi sendiri tentang telah terjadinya suatu tindak pidana maka dimulailah
proses peradilan pidana.
Aparat Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas,
fungsi dan wewenangnya tunduk kepada Undang-Undang Nomor 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang
17 Kunarto, Penyimpangan Polisi, Cipta Manunggal , Jakarta, 1993, hal. 518 William Ker Muir, Jr. Police Steet Corner Politicians pf Chicago Press, Chicago and
London., 1977. hal 201
1
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sebagai penegak hukum
aparat kepolisian berkewajiban menindak pelaku tindak pidana kejahatan dan
pelanggaran, serta menentukan Pasal-Pasal yang akan dituduhkan kepada
pihak-pihak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kata Polisi dalam masyarakat diterjemahkan sebagai orang, padahal
dalam Undang Undang No 2 Tahun 2002, tidak dikenal istilah polisi yang
berdiri sendiri, yang ada adalah Kepolisian yang berarti adalah segala hal
ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan sedangkan bagi orangnya, dalam hal ini
penyidik dan penyelidik, dikenai sebagai anggota kepolisian yakni pegawai
negeri pada kepolisian Republik Indonesia. Di Amerika sendiri istilah bagi
anggota polisi adalah policeman atau cop. Untuk tidak membuat rancu
pengertian dalam penelitian ini, maka istilah polisi juga digunakan sebagai
layaknya pengertian polisi dalam masyarakat, yaitu orang atau lembaga
kepolisian, sesuai dengan konteksnya.
Secara simbolis, petugas polisi bukan hanya merupakan bagian dari
sistem peradilan pidana, namun mereka juga mewakili suatu sumber pembatas
yang sah dalam suatu masyarakat bebas. Kegiatan polisi dalam suatu
masyarakat demokratis dan bebas merupakan bentuk tugas polisi yang paling
sulit. Petugas polisi bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban, tetapi
mereka harus melakukannya dalam batasan resmi yang sangat terbatas, yakni
masih kurangnya peraturan perUndang-Undangan yang khusus mengatur
tentang hal itu. Selain itu, praktek - praktek polisi dipandang - hingga tingkat
tertentu - sebagai ukuran yang kita gunakan untuk menilai kesucian
pemerintah; tekanan dan kesetiaan terhadap jaminan konstitusional. Dalam
banyak hal, integritas polisi adalah jendela yang di gunakan untuk menilai
kejujuran semua tindakan pemerintah yang bersangkuian dengan penegakan
hukum. Apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya
2
mempengaruhi persepsi kita dalam memandang kejujuran dan keadilan seluruh
sistem peradilan pidana.
Bagi polisi yang kurang memiliki integritas moral yang cukup,
kekuasaannya tentu sangat menggoda untuk dipergunakan ke arah lain yang
bukan untuk tegaknya hukum dan keadilan dalam masyarakat akan tetapi
untuk kepentingan pribadi, misalnya, membelokkan dengan sengaja suatu
perkara yang sesungguhnya merupakan perkara perdata menjadi perkara
pidana. Seseorang yang seharusnya menjadi tersangka, dengan dibungkus
alasan hukum tertentu, tidak disidik selaku tersangka, melainkan sekedar
sebagai saksi, atau malah tidak disidik sama sekali, kecuali hanya diperas,
Membisniskan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan tercela ini sulit diungkap, sehingga tetap merupakan
"dark number19, yaitu perkara-perkara yang terdaftar sebagai laporan polisi
yang dibuat oleh masyarakat, tapi tidak dilanjutkan pada proses penuntutan
atau dengan kata lain perkara yang dibiarkan mengambang (unsolveabte).
Konsep Dark Number itu sendiri menurut penjelasan Mardjono
Reksodiputro, adalah kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam suatu masyarakat
akan tetapi oleh karena satu dan lain hal tidak dilaporkan kepada polisi.
Misalnya kasus perkosaan dimana korban atau pihak lain, karena alasan
tertentu tidak mengadukan tindak pidana tersebut. Kasus-kasus dark number
ini jumlahnya jauh lebih banyak dari pada kasus yang terdata di kepolisian.
Polisi adalah bagian dari administrasi pemerintahan yang fungsinya
untuk memelihara keteraturan serta ketertiban dalam masyarakat, menegakkan
hukum, mendeteksi kejahatan serta mencegah terjadinya kejahatan. Dengan
kata lain polisi mempunyai fungsi sebagai pengayom masyarakat dari ancaman
dan tindak kejahatan yang mengganggu rasa aman serta merugikan secara
kejiwaan dan material, dengan cara memelihara keteraturan dan ketertiban
19 Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat, Sebuah Pendekatan Krimonologi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban., Gramedia, Jakarta, 2001, hal. 9
3
sosial.20
Sebagai perbandingan, fungsi dan tugas polisi di Victoria
sebagaimana dimuat daiam Laporan Tahunan atau The Annual Report and
Standing Orders of the Victoria Police Force adalah21:
a. Protect life and property;b. Preserve the peace;c. Prevent crime;d. Enforce legislation; ande. Help those in need assistance.
Filosofi fungsi dan tugas tersebut berdasarkan pada kepercayaan
masyarakat kepada polisi dan kerja sama antara polisi dan masyarakat. Polisi
harus merasa yakin bahwa hal terpenting yang harus mereka lakukan adalah
mempertahankan kehadiran mereka dalam masyarakat, bertindak hanya untuk
kepentingan masyarakat dan hanya menggunakan kekuatan kepolisian, apabila
cara konsultasi dan penegakan hukum secara arif damai dan bijaksana telah
dicoba namun gagal untuk mencapai hal yang diinginkan.
Polisi sebagai fungsi dinamakan juga polisi dalam arti materil,
sedangkan polisi sebagai organ adalah polisi dalam arti formal. Sementara
Reksodiputro menyebutkan bahwa fungsi polisi dalam pemeliharaan
keteraturan, sebagai pengayom, berada pada perbatasan antara perilaku warga
masyarakat yang bersifat kriminal dengan yang bersifat non kriminal. Dalam
pemahaman seperti ini, maka fungsi polisi adalah "mengatasi situasi”
("handling the situation").22
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, merupakan suatu organisasi yang
memiliki tujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi
20 Parsuji Suparlan, Etika Publik Polisi Indonesia : Aganda dan Tantangannya, Sarasehan, Lembaga Studi Pengemangan Etika Uaha, Alumni, Bandung, 1999, hal. 23
21 Roger Hawthorn, John Champion, Problems of the Criminal Justice Syste, Edward Arnold Australia, 1998, hal 39
22 Soebroto Brotodirejo, 1997;Pengantar Hukum Kepolisian Umum di Indonesia, Percetakan Yuselia. Surabaya, 1997, hal 8
4
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat,
serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia (Pasal 4). Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian,
merumuskan tugas pokok POLRI adalah (a) Memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat; (b) Menegakkan hukum dan (c) Memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13).
Dalam melakukan tugas pokok penegakkan hukum sebagaimana disebut
di atas, maka polisi melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan terhadap
tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangan
lainnya. Oleh karena itu dalam rangka penyelenggaraan tugas tersebut polisi
mempunyai kewenangan-kewenangan yang diatur oleh Undang-Undang .
Persoalan kadang timbul berkenaan dengan siapa yang akan jadi
penyidik untuk menyelidiki tindak pidana yang diduga dilakukan oleh oknum
polisi salah satu contoh kasus dugaan tindak pidana pemerasan oleh oknum
polisi.
Penyelesaian kasus ini tidak melalui proses penyidikan seperti
layaknya pelaku tindak pidana pada umumnya, walaupun polisi sudah
mengaku dirinya sipil dan mempunyai kedudukan setara dihadapan hukum,
maka kasusnya akan diserahkan ke Divisi Badan Reserse dan Kriminai untuk
ditingkatkan menjadi penyidikan. Kasus tersebut belum terdengar dan
diberitakan diproses pada tingkat penyidikan, dan tentu saja masyarakat
jangan berharap bahwa akan ada penahanan terhadap tersangka.
Anggota POLRI yang menurut Mayor Jendral (Pol) Drs. Nurfaizi23
adalah profesi (1) berkaitan dengan jaminan hak dan kewajiban setiap warga
negara yang berorientasi kepada kepentingan umum, (2) pelaksanaan tugasnya
terkait dengan kepastian hukum dan keadilan, (3) dibatasi oleh ketentuan
23 Nurfaizi, Peningkatan Profesi Penyidik, Polisi dan Masyarakat, Hasil Seminar Persatuan Polisi Asia Pasifik Ke enam di Taipe., 1998, hal 8
5
peraturan perUndang-Undangan sehingga memerlukan kemahiran dan
penguasaan hukum, dan (4) adanya pengawasan ketat atas perilaku pribadi
penyidik melalui kode etik profesi.
Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Penyidik mempunyai kewenangan yang diberikan Undang-Undang,24
asas pemberian wewenang untuk melaksanakan tindakan kepolisian berlaku
prinsip dasar yaitu:
Asas Legalitas, menyatakan bahwa tindakan (kepolisian) harus
didasarkan pada hukum atau Undang-Undang. Asas ini merupakan asas yang
paling pokok dalam negara hukum (tindakan secara harafiah yang disebut
dalam Undang-Undang diperbolehkan, tindakan lain tidak boleh).
Asas Kewajiban, merupakan tindakan ntuk melaksanakan tugas wajib
dan perlu dilakukan terutama yang menyangkut pemeliharaan keamanan
dan ketertiban. Jika tindakan ini tidak dilakukan maka pelanggaran -
pelanggaran akan cenderung meningkat macam dan kualitasnya.
Berkaitan dengan hal tersebut negara memberi wewenang untuk
melakukan tindakan selain yang disebut dalam Undang-Undang dengan
pembatasan dalam lingkungan jabatan yang menyangkut obyek tugas.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
memberikan batasan tentang penyidik menyatakan:
“Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan”.
Penyidik dalam melakukan tugas, harus memenuhi syarat-syarat
24 Pasal 7 KUHAP
6
kepangkatan yang telah ditentukan. Syarat kepangkatan seorang penyidik
dalam melakukan penyidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan KUHAP Nomor 27 Tahun 1983. Dalam Undang-Undang No 8
Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
memberi wewenang kepada Penyelidik Pasal 5 ayat 1 (huruf a sub 4) dan
Penyidik Pasal 7 ayat 1 sub untuk "mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab.
Tindakan lain ini dibatasi dengan syarat (Penjelasan Pasal 5 dan Pasal
7 KUHAP):
1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan.
3. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya.
4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.
5. Menghormati hak asasi manusia .
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981) dalam Pasal 56 Ayat (1) berbunyi :
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun
atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana
lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat
yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan
wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”.
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya praktek penyalahgunaan
wewenang oleh aparat penegak hukum terhadap tersangka atau terdakwa demi
mengejar pengakuan kesalahan melalui tindakan penyiksaan atau tindakan
lainya yang dapat merendahkan martabat kemanusiaan selama berlangsungnya
7
proses peradilan, sehingga ketentuan ini telah sejalan dengan ketentuan dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Declaration Against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.
Namun apabila melihat fenomena praktek penegakan hukum di
Indonesia, maka masih sangat sering terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan diatas. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Sengkong dan Karta yang
mengalami penyiksaan oleh aparat penegak hukum maupun kasus-kasus serupa
lainnya. Hal ini terjadi sebagai akibat dari tidak dipenuhinya hak konstitusional
dari tersangka/ terdakwa untuk didampingi oleh penasihat hukum dalam setiap
tingkat pemeriksaan. Salah satu maksud dan tujuan pendampingan terhadap
tersangka/ terdakwa oleh penasihat hukum sejak awal pemeriksaan di
penyidikan hingga pemeriksaan disidang pengadilan adalah untuk mengawasi
proses pemeriksaan tersebut sehingga tersangka/terdakwa terhindar dari
tindakan-tindakan aparat yang kurang terpuji.
Asas Subsidiaritas, bagi polisi adalah asas yang memberi wewenang
untuk melakukan tindakan pengganti bagi instansi atau orang yang
berkewajiban. Ini terjadl karena (1) instansi yang diperlukan memang tidak ada
(seperti di muara-muara sungai tidak terdapat instansi Bea dan Cukai atau
imigrasi). (2) Orang yang berkewajiban kebetulan tidak ditempat sedangkan
pelayanan, bantuannya sangat diperlukan (seperti korban kecelakaan yang
harus diangkut ke rumah sakit). Asas ini tumbuh dari kebiasaan masyarakat
bila memerlukan pertolongan selalu memintanya dari polisi. Dasar hukum asas
Subsidiaritas bagi POLRI adalah : (1) Pasal 30 ayat 4 sub B UU No 20 Tahun
1982 yang menyatakan :
"Melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom da/am memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. (2) Pasal 14 ayat 1 sub f UU No.28 Tahun 1997 berbunyi ".... Kepolisian Negara Republlk Indonesia melindungi dan melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara, sebelum ditangani oleh instansi pihak yang berwenang".
8
Dalam melaksanakan tugasnya Polri melakukan : (1) penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum acara Pidana
dan peraturan perUndang-Undangan lainnya; (2) memeihara ketertiban dan
menjamin keamanan umum; (3) memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda,
masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusla; (4) menyelenggarakan segala kegiatan dalam rangka
membina keamanan, ketertiban dan kefancaran lalu lintas di Jalan; (5)
melindungi dan melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara,
sebelum ditangani oleh instansi/atau pihak yang berwenang; (6) membina
ketaatan diri warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perUndang-
Undangan; (7) turut serta dalam pembinaan hukum nasional dan pembinaan
kesadaran hukum masyarakat.
Perampasan kebebasan merupakan suatu doktrin yang dikembangkan
oleh Beccaria yang dikenal dengan nama doktrin penjeraan25. Menurut doktrin
ini, derita dalam waktu lama yang dialami oleh seseorang yang dicabut
kemerdekaannya, sebagai usaha atau jerih payahnya yang harus mereka lakukan
sebagai pembayaran kembali kepada masyarakat yang diinginkan, hal ini sangat
efektif dalam hal membuat jera. Alasan Sahirnya system int adalah pencabutan
kemerdekaan seseorang akan dirasakan lebih berat daripada hukuman mati atau
badan.
Proses hukum secara legal formal adalah suatu rangkaian perbuatan yang
dilakukan oleh aparat untuk menegakkan kebenaran sesuai dengan peraturan
perUndang-Undangan dan akan menjadi tolok ukur dan wadah yang
mencerminkan keinginan masyarakat untuk melihat keadilan. Penyelesaian suatu
25 Azwar, Penjara, Pembinaan, Interaksi Sosial dan Harapan, dimuat dalam Buletin, Staf Ahli Kapolri, 2002, hal. 3
9
perkara sampai dengan tahap akhir proses peradilan adalah ungkapan kejujuran
aparat penegak keadilan. Proses hukum dalam rangka penindakan dimulai dari
tahap penyelidikan26 yang dilakukan oleh anggota kepolisian yang diberikan hak
oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan. Apabila setelah dilakukan
penyelidikan disinyalir telah terjadinya tindak pidana maka selanjutnya
dilakukan tindakan penyidikan yang akan menentukan dan menemukan
tersangkanya
Ketika seseorang melakukan perbuatan atau berada pada suatu keadaan,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan tindak pidana, maka
saat itu juga aparat dapat menetapkan statusnya sebagai tersangka. Sebagai
tersangka maka aparat berhak untuk merampas sebagian kebebasannya yang
sebelumnya dilindungi oleh Undang-Undang. Kondisi kehilangan sebagian
kebebasan ini membuat seseorang tidak berdaya dan membutuhkan bantuan
hukum dan" orang lain, khususnya orang yang dapat melindungi kepentingannya
sehubungan dengan statusnya sebagai tersangka dalam menghadapi dan
menjalani proses hukum.
Perampasan kebebasan seseorang oleh Penyidik dapat berupa
penangkapan dalam jangka waktu yang ditentukan Undang-Undang atau
Penahanan untuk jangka waktu tertentu atau dalam bentuk yang lebih ringan
polisi dapat menyuruh orang berhenti dan melakukan penggeledahan badan /
pakaian dan melakukan pemborgolan terhadap tersangka.
Tersangka bukanlah pelaku kejahatan sampai dia dinyatakan demikian
oleh hakim melalui vonis dan suatu sidang peradilan, oleh karena itu selama
proses penyidikan, penuntutan dan persidangan, hak-hak tersangka dilindungi
oleh Undang-Undang yakni sebagaimana diatur dalam KUHAP, yang antara lain
adalah:
26 Pasal 1 Ayat (5) KUHAP.
10
1. Hak untuk disegerakan dalam penyelesaian perkara27
2. Hak untuk mendapat Bantuan Hukum28
Hak tersangka untuk mendapat bantuan hukum dilindungi oleh Undang-
Undang, yaitu Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Perlunya bantuan hukum kepada seorang tersangka terdiri atas beberapa
faktor29. Faktor Pertama adalah kedudukan tersangka dalam proses penyidikan
merupakan sosok yang lemah, mengingat bahwa yang bersangkutan menghadapi
sosok yang lebih tegar yakni negara melalui aparatnya-aparatnya, kedudukan
yang tidak seimbang ini melahirkan gagasan bahwa tersangka dan terdakwa
harus memperoleh bantuan secukupnya, menurut aturan hukum agar
memperoleh keadilan hukum yang sebenamya. Faktor kedua yang melahirkan
perlunya bantuan hukum adalah bahwa tidak semua orang mengetahui apalagi
menguasai seluk beluk aturan hukum yang rumit yang dalam hai ini aparat
penegak hukum tentu saja mempunyai kedudukan yang lebih, pengalaman serta
pengetahuan dari aparat tersebut dan sebagainya. Faktor ketiga adalah faktor
kejiwaan atau faktor psikologis, bahwa meskipun belum dalam taraf sangkaan
atau dakwaan bagi pribadi yang terkena dapat merupakan suatu pukulan
psikologis. Bantuan hukum kepada tersangka sebagaimana dimaksud diatas
dilakukan oleh seorang Penasihat Hukum atau lebih dikenal dengan istilah
Pengacara.
Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
mengatur tentang keberadaan Advokat dalam menangani suatu proses
penegakan hukum bagi seorang tersangka. Pasal 1 butir 2 Undang-Undang
27 Pasal 50 ayat 1, 2 dan 3 HUHAP28 Pasal 54 KUHAP29 Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel didalam KUHAP, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986,
hal 36
11
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, menjelaskan bahwa: “Jasa Hukum
adalah Jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum,
bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. “
Dalam konteks ini pula, dapat terlihat pada Pasal 37 dan 38 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menjelaskan bahwa, setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum. Bahkan dalam perkara pidana, seorang tersangka sejak saat
dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta
bantuan hukum.
Dari uraian sebagaimana dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa yang di maksud dengan bantuan hukum adalah pelayanan hukum (Legal
Service) yang diberikan oleh penasehat hukum dalam upaya memberikan
perlindungan hukum dan pembelaan terhadap hak asasi tersangka/ terdakwa
sejak ia ditangkap/ ditahan sampai dengan diperolehnya putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi yang dibela dan diberi
perlindungan hukum bukan kesalahan tersangka/terdakwa, melainkan hak-hak
asasi dari tersangka/terdakwa agar terhindar dari perlakuan dan tindakan tidak
terpuji atau tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.
Penggunaan istilah Pengacara masih belum merata pada setiap ketentuan
perUndang-Undangan. Undang-Undang tentang Peradilan Umum (UU No. 2
Tahun 1986) juga menggunakan istilah Penasihat Hukum, agaknya 2 Undang-
Undang terakhir merujuk pada yang pertama yang secara konseptual melihat
bahwa Advokat adalah sebagai "pihak luar" dalam sistem peradilan itu. Pada
saat yang sama, praktek administratif menggunakan secara berbeda dan
inkonsisten pula. Misalnya Departemen Kehakiman menggunakan Pengacara
(1984), Pengadilan Tinggi menggunakan Advokat/Pengacara. Padahal Istilah
Pengacara tidak pemah disebut datam Undang-Undang melainkan dalam praktik
yang mungkin sebagai padanan kata Procureur yang digunakan daiam Bab IV
12
ketentuan Susunan Kahakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO)30.
Meskipun pada tanggal 5 April 2003 DPR telah mengesahkan Undang-
Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tapi untuk tidak membuat rancu
penulisan, maka dalam tesis ini akan digunakan istilah Pengacara, yang berarti
mencakup semua pengertian penasihat hukum dalam arti luas dan istilah-istilah
lain yang digunakan dalam literatur dan peraturan perundangan serta pengertian
yang juga berlaku dalam masyarakat awam yang tercermin dalam istilah yang
digunakan oleh media massa, termasuk istilah Advokat sebagaimana diatur
dalam UU Advokat.
Pengacara ada yang berlatar belakang pejabat sipil atau militer yang telah
melewati masa aktif atau dalam masa persiapan pensiun tapi masih merasa
produktif. Profesi Pengacara tidak mengenal batas maksimal usia sehingga dapat
dijadikan tempat pelarian tempat dimana mereka dapat mengeksploitasi profesi
ini untuk kepentingan dan memperkaya pribadi atau kelompoknya.
Dapat dibayangkan sebuah perkara dimana tersangka diperiksa oleh
penyidik dengan didampingi o!eh seorang pengacara yang bekas komandan
penyidik itu sendiri atau sebuah perkara yang sedang di proses di depan
persidangan oleh majelis hakim, dimana tersangka didampingi oleh penaacara
dari kantor yang kebetulan masih berkaitan dengan Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, yang nota bene adalah orang yang sangat menentukan karimya.
Hal yang riskan dalam lingkungan paternalistik dan masih terikat dengan
budaya patron-klien
Ketiadaan pengacara secara langsung atau tidak langsung jelas
mempengaruhi tingkat kemauan dari polisi guna melanggar hak tersangka
lainnya seperti asas praduga tak bersalah ("presumption of innocence"), dan hak
untuk diam ("right to remain silent). Kedua hak itu pada dasarnya adalah
mekanisme yang sah dari warga masyarakat guna melindungi diri dari
30 Luhut M.P.Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court, Suatu Proses di dewan Kehormatan Profesi, Djambatan. 2002, hal. 21
13
dilanggarnya prinsip due process of law (dilaksanakannya hukum secara teliti
dan hati-hati) oleh aparat negara31.
Dalam melakukan tugasnya kedua aparat ini, polisi dan pengacara, pasti
akan saling berhubungan, hubungan seharusnya dapat menjadi suatu saling
ketergantungan (simbiosis mutalisme), kehadiran yang satu akan memberikan
keuntungan kepada yang lainnya, memberikan manfaat kepada sistem peradilan
pidana, tapi pada kenyataanya hubungan ini sebagian besar memberikan
keuntungan materi kepada oknumnya.
Kepolisian Resort Limboto, merupakan resort yang ada dalam jajaran
Kepolisian Daerah Gorontalo dengan jumlah personil satuan reserse sebanyak
85 orang dan tingkat pendidikan perguaran tinggi/akademi sebanyak 6 orang,
serta pangkat perwira 10 orang, 5 diantaranya tamatan dari Akademi Kepolisian
dan atau Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Data total kejahatan yang menonjol
terjadi dan dilaporkan pada tahun 2006 sampai 2008 sebanyak 54 kasus . Dari
jumlah tersebut sebanyak 53 kasus tersangkanya tidak didampingi pengacara
sedangkan hanya 1 kasus, tersangkanya didampingi pengacara.32
Berdasarkan uraian diatas tersebut Peneliti mengangkat masalah
penelitian dalam tulisan ini adalah Implementasi Pasal 56 Ayat (1) Undang
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang hukum Acara
Pidana pada tingkat penyidikan di wilayah hukum Polres Limboto yang
berhubungan dengan pendampingan tersangka oleh pengacara.. Hal tersebut
ditengarai dalam banyak tulisan media massa dan anggapan yang tumbuh dalam
masyarakat bahwa hukum adalah untuk orang yang berada, sehingga bagi
mereka yang tidak mempunyai harus menerima hukum sebagaimana apa adanya,
masih untung tidak dipermainkan oleh aparat hukum. Bagi orang yang berada,
hukum merupakan alat untuk menjadikan mereka sebagai sapi perah".
Ketakutan ternadap ancaman hukuman dan demi untuk menjaga nama baik 31 Adrianus Meliala, Mengkritisi Polisi, Penerbit Konisius-PTIK, Cipta Manunggal, Jakarta,
2001, hal 932 Laporan Polres Limboto tahun 2008.
14
mereka selaku orang terhormat dan berada membuat mereka menggunakan
kekayaannya dengan cara memanfaatkan aparat yang lemah dan cendrung korup
untuk melepaskan mereka dari jerat hukum.
Masyarakat berharap agar praktek kolusi dan korupsi dan perbuatan yang
sangat menyimpang dari rasa keadilan ini diberantas tuntas, sehingga perlakuan
yang sama didepan hukum ("equal before the law”) dapat terwujud dan
kekayaan yang merupakan kelebihan yang diberikan Tuhan kepada seseorang
dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalahnya
sebagai berikut.
1. Bagaimana proses penyidikan dilakukan oleh aparat penyidik di Polres
Limboto ?
2. Apa fungsi, hak dan kewajiban Advokat terhadap kliennya
(tersangka) pada waktu proses penyidikan oleh penyidik di Polres Limboto?
3. Apakah dengan kehadiran pengacara dapat memberikan manfaat
langsung kepada tersangka?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian hukum ini merupakan sasaran yang ingin dicapai. Dengan
menetapkan suatu tujuan dari sebuah penelitian, diharapkan penelitian yang
dilakukan tidak salah arah.
Berdasar permasalahan di atas tujuan Tesis ini adalah:
15
1.Tujuan Objektif
Tujuan Objektif penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui proses penyidikan dilakukan oleh aparat penyidik di
Polres Limboto;
b. Untuk mengetahui fungsi, hak dan kewajiban Advokat terhadap kliennya
(tersangka) pada waktu proses penyidikan oleh penyidik di Polres
Limboto;
c. Untuk mengetahui manfaat langsung kehadiran pengacara kepada
tersangka.
2. Tujuan Subyektif
Tujuan Subyektif penelitian ini adalah:
a. Memberi masukan, saran, kritik dan umpan balik bagi pelaku penegak
hukum khususnya kepolisian serta masyarakat pada umumnya akan
pentingnya pengetahuan hukum dan kesadaran hukum, terkait dengan
implementasi Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
yang terkait dengan Penanganan Perkara Pidana pada Tingkat Penyidikan;
b. Untuk menambah pengetahuan penulis di bidang hukum, khususnya di
bidang Hukum dan Kebijakan Publik;
c. Memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan Tesis guna
melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar Magister dalam bidang Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat penelitian
Penulisan yang penulis lakukan mempunyai manfaat bukan hanya bagi
penulis saja, tapi diharapkan juga dapat berguna bagi pihak-pihak lain. Adapun
manfaat dari penelitian ini adalah :
16
1. Manfaat Teoritis
Manfaat Teoritis penelitian ini adalah:
a. Untuk menambah literatur dalam pengembangan ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Kebijakan Publik pada khususnya;
b. Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah
pada Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta;
c. Untuk menambah informasi bagi semua pihak mengenai Implementasi
Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang terkait
dengan Penanganan Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan dalam kajian
Hukum.
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis Penelitian ini adalah:
a. Untuk mempraktekkan teori penelitian (hukum) yang penulis dapatkan di
bangku kuliah;
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna mencapai jenjang Magister ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta;
c. Untuk menulis Tesis dalam mengungkap permasalahan tertentu secara
sistematis dan berusaha memecahkan masalah yang ada tersebut dengan
metode ilmiah sehingga menunjang pengembangan ilmu pengetahuan yang
pernah penulis terima selama kuliah;
d. hasil penelitian ini mampu memberikan masukan dan umpan balik bagi
pelaku penegak hukum serta masyarakat pada umumnya akan
pentingnya pengetahuan hukum dan kesadaran hukum, betapa
berbahayanya tindakan manipulatif dalam proses penyidikan, baik bagi
kepentingan penegakkan hukum itu sendiri maupun kepentingan orang -
perorangan dalam kehidupan bermasyarakat;
17
e. Penelitian ini hendaknya dapat dijadikan rekomendasi oleh polri dalam
mengambil keputusan dan untuk menata kembali tata cara penyidikan,
khususnya dalam petunjuk petaksanaan di lapangan. Tak kalah pentingnya
penelitian ini juga diharapkan dapat memperbanyak dan
memperkaya perkembangan ilmu pengetahuan.
18
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori
1. Pengertian Implementasi dan Kebijakan Publik (Public Policy)
Implementasi dalam kamus Webster dirumuskan : to implement
(mengimplementasikan) yang berarti: to provide the means for carryng out
(menyediakan sarana untuk menyediakan sesuatu); to give practical effect to
(menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu), maka diartikan sebagai suatu
proses melaksanakan kebijakan pemerintah. Pendapat lain, merumuskan secara
pendek bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses pelaksanaan
keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk Undang-Undang, peraturan
pemerintah, keputusan pengadilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden)33.
Pengertian lain juga menjelaskan makna implementasi dengan
mengatakan bahwa: "memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu
program dinyatakan berlaku atau dirumuskan yang mencakup baik usaha-
usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak
nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian "Lebih lanjut dijelaskan, bahwa
proses implementasi adalah keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk
Undang-Undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.
Pada umumnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin
diatasi dengan menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin
dicapai, dan berbagai cara untuk menstruktur atau mengatur proses
implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui tahapan tertentu,
yang biasanya diawali dengan tahapan pengesahan Undang-Undang, kemudian
output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan
33 Efendi Eddie Wibowo, Hukum dan kebijakan Publik, YPAPI, Yogyakarta, 2004, hal 40
19
pelaksanaannya34.
Memperhatikan pendapat tersebut di atas, maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa pengertian implementasi adalah suatu proses yang
melibatkan sejumlah sumber-sumber yang didalamnya termasuk manusia,
dana, kemampuan organisasional, baik oleh pemerintah maupun swasta
(individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh pembuat kebijakan35. Jadi, agar implementasi suatu kebijakan
dapat tercapai tujuannya serta dapat diwujudkan, harus dipersiapkan dengan
baik. Sebaliknya, bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan
implementasi kebijakan, namun kalau tidak dirumuskan dengan baik, maka
apa yang menjadi tujuan kebijakan juga tidak akan dapat diwujudkan. Jadi,
apabila harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik sejak tahap
perumusannya atau pembuatan kebijakan publik sampai kepada antisipasi
terhadap kebijakan tersebut diimplementasikan.
Kebijakan yang dilakukan tentunya perlu persiapan matang. Kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintah, dari waktu ke waktu tentunya terus
mengalami perbaikan. Pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijakan yang
tidak sesuai dengan harapan. Seperti yang disampaikan oleh Owen Hughes
dalam Pan S. Kim:36
“ summarized for this group: “The administrative paradigm is in its terminal stages and is unlikely to be revived…[It is being replaced by] a new paradigm of public management which puts forward a different relationship between government, the public service and the public”..
Terjemahan bebasnya kurang lebihnya adalah:
“Paradigma administratif berada pada tahap akhirnya dan tidak mungkin dibangkitkan kembali … [hal ini digantikan oleh] sebuah paradigma baru tentang manajemen pemerintahan yang mengusulkan suatu hubungan
34 Mazmanian dan Sabiter, Good Governance, Gramedia, Jakarta, 2000, hal 34
35 Joko Widodo, Hukum dan kebijakan Publik, Alumni, Bandung, 2003, hal. 19336 Pan S. Kim, Civil Service reform in Japan and Korea: toward competitiveness and
competency, International Review of Administrative Sciencxe. 2002, Vol. 68
20
yang berbeda antara pemerintah, pelayanan masyarakat dan masyarakat”:.
Dengan demikian apa yang terus dilakukan dari waktu ke waktu terus
mengalami perubahan. Termasuk di dalamnya adalah kebijakan bidang
administrasi misalnya, tidak akan ada proses perubahan ke belakang atau ke
arah kemunduran dari kebijakan yang sudah ada dan tentunya sudah berjalan
dengan baik. Paradigma yang sudah mentok atau pada dasarnya sudah tidak
bisa dikembangkan lagi, tentunya akan diganti dengan paradigma yang baru.
Selanjutnya Kebijaksanaan (Policy;Beleid) merupakan kata atau
istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi justru karena "keterbiasaannya"
terdapat semacam kekacauan atau kebingungan, kekacauan atau kekeliruan
dalam mendefinisikan atau menguraikan istilah tersebut, terlebih bila
dihadapkan dengan kata atau istilah kebijakan (wisdom; wijsheid) yang
acapkali ditautkan dengan istilah diskresi (discretion; frets Ermessen). Selain
itu istilah kebijaksanaan/policy seringkali penggunaannya dipertukarkan
dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan
(decision), Undang-Undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan
rancangan-rancangan besar. Bahkan kadangkala orang awam bingung
(confused) dan tidak dapat membedakan antara policy (kebijaksanaan) dan
politics (Politik).
Kebijakan dalam kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata bijak
yang berarti: 1) selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir. 2) pandai
bercakap-cakap, petah lidah. Sedangkan kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti: 1) kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan. 2) rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak37. Menurut perserikatan
bangsa-bangsa, kebijaksanaan itu diartikan sebagai pedoman untuk bertindak.
James E.Anderson merumuskan kebijaksanaan sebagai perilaku dari sejumlah
37 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bali Pustaka, Jakarta 2002, hal 7
21
aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu.38
Kebijaksanaan sebenarnya dapat dirumuskan sebagai perilaku dari
sejumlah pemeran (actors) baik pejabat atau perorangan, kelompok kekuatan
politik atau kelompok pakar atau instansi/lembaga pemerintah yang terlibat
dalam suatu bidang kegiatan tertentu yang diarahkan pada rumusan
masalah/permasalahan sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan
tertentu. Untuk selanjutnya mengacu kepada tindak atau tindakan berpola yang
mengarah kepada tujuan seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai
tujuan dan atau mewujudkan sasaran yang ingin dicapai.
James E. Anderson seperti yang dikutip pula oleh Solichin Abdul
Wahab dalam Abdul Latif merumuskan kebijaksanaan negara sebagai langkah
tindakan secara sengaja dilakukan oleh seorang pemeran atau sejumlah
pemeran (acton) berkenaan dengan masalah atau persoalan tertentu yang
dihadapi39.
Suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau suatu perbuatan atau
peristiwa tidak akan mempunyai arti atau bermanfaat apabila tidak
diimplementasikan. Hal ini disebabkan karena implementasi terhadap
kebijakan masih bersifat abstrak ke dalam realita nyata. Kebijakan yang
dimaksud adalah berkaitan dengan kebijakan publik.
Dengan kata lain, kebijakan berusaha menimbulkan hasil (outcome)
yang dapat dinikmati terutama oleh kelompok sasaran atau target group 40.
Thomas R. Dye Dalam Subarsono menjelaskan bahwa kebijaksanaan
negara atau public policy is whatever goverments choose to do or not to do
(pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh
38 Abdul Latif, Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan, Alumni, Bandung, 2005, hal. 88
39 Ibid, hal. 89 40 Joko Widodo. Op.Cit. hal.192
22
pemerintah)41.
Apa yang disebut kebijaksanaan (policy) tidak ada pendapat tunggal,
tetapi menurut konsep demokrasi modern kebijaksanaan negara tidaklah hanya
berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi
opini publik juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan dalam
kebijaksanaan-kebijaksanaan negara. Seperti kebijaksanaan negara harus
selalu berorientasi pada kepentingan publik. Kebanyakan warga negara
menaruh harapan banyak agar mereka selalu memberikan pelayanan sebaik-
baiknya, sebagai abdi masyarakat yang selalu memperhatikan kepentingan
publik dengan semangat "kepublikan" (the spirit of publicnes) Harold Laswell
dan Abrahan Kapaln memberi arti kebijaksanaan sebagi suatu program
pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah, sedang Carl J.
Friedrich mendefinisikan kebijaksanaan sebagai ".... Serangkaian tindakan
yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertcntu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-
kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka
mencapai tujuan tertentu". Secara lebih rinci James E. Anderson dalam Joko
Purwono memberi pengertian kebijaksanaan negara sebagai kebijaksanaan
yang dikembangkan oleh badan-badan pejabat-pejabat pemerintah yang
memiliki 4 (empat) implikasi sebagai berikut:42
1. Kebijaksanaan Negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi kepada tujuan;
2. Kebijaksanaan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah;
3. Kebijaksanaan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud;
4. Kebijaksanaan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu, atau bisa bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk melakukan sesuatu.
41 Subarsono, Hukum Kebijakan Publik, Alumni, Bandung, 2005, hal. 242 Joko Purwono, Hukum dan Birokrasi, (Ringkasan Kuliah), Pascasarjana UNS, 2004,
hal.11-12
23
Proses pembuatan kebijaksanaan (policy making process) pada
dasarnya melibatkan aneka pemeran (actors) pemerintahan non pejabat yang
mengadakan interaksi; dan hasil interaksi tersebut berupa kebijaksanaan.
Beberapa teori dalam kebijakan publik antara lain :43
a. Teori Rasional Komprehensif1) Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat
dibedakan dari masalah-masalah lain atau sedikitnya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain.
2) Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang mempedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.
3) Pelbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara seksama.
4) Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan oleh setiap alternatif yang dipilih diteliti.
5) Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya, dapat diperbandingkan dengan alternatif-alternatif lainnya.
6) Pembuat keputusan akan memilih alternatif, dan akibat-akibatnya, yang
7) memaksimasi tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan.
b. Teori Inkremental1) Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang
diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu hal yang terikat daripada sesuatu yang saling terpisah.
2) Pembuat keputusan dianggap yang mempertimbangkan beberapa alternatif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah, dan alternatif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau marginal bila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang ada sekarang.
3) Bagi tiap alternatif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang akan dievaluasi.
4) Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dan diredefinisikan secara teratur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkinan untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi.
43 Ibid, hal. 14
24
5) Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan yang tepat bagi setiap masalah. Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada keyakinan bahwa berbagai analisis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu, meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
6) Pembuat keputusan yang inkremental pada hakikatnya bersifat perbaika-perbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki ketidaksempurnaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalah sosial yang ada sekarang daripada sebagai
7) upaya untuk menyodorkan tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru di masa yang akan datang.
c. Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning Theory)Sebagai suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan, yang
memperhitungkan baik keputusan-keputusan yang fundamental maupun keputusan-keputusan yang inkremental dan memberikan urutan teratas bagi proses pembuatan kebijaksanaan fundamental yang memberikan arahan dasar dan proses-proses pembuatan kebijaksanaan inkremental yang melapangkan jalan bagi keputusan-keputusan ini tercapai.
Jadi dari ketiga teori kebijakan public tersebut di atas, dalam
apenelitian ini diambil suatu pemahaman, bahwa setiap keputusan yang
berkaitan dengan kebijakan public, didalam pelaksanaannya merupakan
implementasi dari segala aspek yang menyertainya. Hal ini nantinya terjadi
kesinambungan bagi para pembuat dan pelaksana kebijakan public
tersebut.
Adnan Buyung Nasution44, mengemukakan bahwa “dalam kondisi
sekarang, syarat transparansi dan akuntabilitas public ini amat diperlukan,
terutama dalam menghadapi korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah
melanda bidang peradilan”
Dengan demikian implementasi kebijakan mengacu pada tindakan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu
keputusan, tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan
tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusaha mencapai
44 Adnan Buyung Nasution, Journal Internasional, Pra Peradilan Versus hakim Komisaris; Newsletter. KHN, Monday, Secember 22, 2008.
25
perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan
sebelumnya. Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa
yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan.
Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang
bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga
menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran
praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar.
2. Kejahatan
Kejahatan adalah suatu tindakan yang melanggar ketentuan perUndang-
Undangan pidana sehingga pelaku kejahatan juga akan dikenakan sanksi yang
diatur dalam Undang-Undang, oleh karena itu penting juga rasanya
mengetahui apa sebenamya yang diklasifkasikan sebagai kejahatan. Ada
banyak pendapat tentang hal itu, salah satu diantaranya adalah:45
"What is a crime?, if we are to believe many judicial opinions and treaties, the answer is simple, circular, and useless: a "crime" is anything that lawmaker's say is a crime. We need to look deeper for an answer to the question and, thus, to understand how a crime differs from civil wrong, such as tort or breach of contract.
Unlike tort and contract, the criminal law involves public (aw. That is although the direct and immediate victim of crime may be a private party (e.g., a person who robbed, assaulted, or kidnapped) a crime involve more 'is a social harm, in that the injury suffered involves "a breach violation of the public right and duties, due to the whole community, considered as community, in its social in aggregate capacity. Because of this latter feature, crimes are persecuted by public attorneys representing the community at large, and not by privately retained counsel". Criminal Policy is policy of designating human behavior as crime.
Setiap tindak kejahatan yang dilakukan sesorang menurut hukum harus
dikenakan sanksi sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Menurut
45 Joshua Dressler, Understanding Criminal Law,Legal Text Series, New York. 1995, hal 149
26
Loebby Loqman46 sanksi mempunyai dua arti; di satu pihak artinya adalah
memperkuat atau menyetujui suatu keadaan atau keputusan yang diambil, dan
dilain pihak berarti suatu sarana paksaan untuk melaksanakan suatu ketentuan
tertentu. Salah satu sanksi yang dikenakan terhadap tersangka yang diatur oleh
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah tersangka.
3. Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana adalah suatu rangkaian antara unsur/faktor yang
saling kait terkait dengan lainnya dalam hukum pidana sehingga menciptakan
suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga mencapai tujuan dari sistem
tersebut. Tujuannya Sistem Peradilan Pidana adalah untuk mencapai suatu
masyarakat yang terbebas dari kejahatan. Menghilangkan kejahatan dan bukan
penjahatnya. Tidak mungkin dalam suatu masyarakat tidak pemah ada tindak
kejahatan, karena kejahatan juga merupakan suatu perilaku yang menyimpang
dan oleh karenanya diperlukan peraturan-peraturan serta sanksi-sanksi yang
akan dijatuhkan kepada individu dari masyarakat yang melakukan
penyimpangan tersebut.
Sistem peradilan Indonesia menganut asas bahwa kasus pidana adalah
merupakan sengketa antara individu dengan masyarakat (publik) dan sengketa
itu akan diselesaikan oleh pemerintah (negara) sebagai wakil dari publik.
Penyelesaian seperti ini mengikuti sistem civil law atau kadang-kadang disebut
juga enacted law. Sistem ini dibangun dari satu doktrin bahwa pemerintah
senantiasa akan berbuat baik. Doktrin yang demikian karena pengaruh bentuk
negara yang teokratis. Dalam imptementasinya, hukum dirancang, ahli politik
dan atau ahli hukum dan filsafat dan kemudian dibuat dalam bentuk tertulis
yang bersifat kodifikasi. Bila terjadi sengketa hukum dengan warga negara,
maka akan diselesaikan negara itu sendiri melalui cabang-cabang
46 Loebby Loqman,. Pidana dan Pemidanaan, Datacom, Jakarta. 2002, hal. 12
27
kekuasaannya dalam hal ini kekuasaan kehakiman.47
Sistem peradilan pidana bertujuan untuk menjamin adanya kepastian
hukum dan terjadinya keadilan hukum bagi semua pihak dalam bermasyarakat.
Kepastian hukum dapat dilihat dari pelaksanaan tugas polisi dan jaksa karena
pada kedua instansi ini yang menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara
diproses lebih lanjut. Sedangkan keadilan hukum dicerminkan dari hasil
keputusan hakim dan kerja pengacara sebagai suatu mekanisme control
teradap pelaksanaan tugas dan kewajjban aparat penegak hukum lainnya
bahkan terhadap putusan hakim sekalipun.
William Clifford dari Australia institute yang dikutip oleh J. E.
Sahetapy48. Memberikan pengertian secara deskriptif apa itu Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System), menurutnya:
"Criminal Justice System extends to all aspects of human being in contact with the law. It covers the judiciary, the police, the custody of offenders and other connective services as well as the related laws. The network of criminal justice system has to be serviced by capable and honest people whose presence will guarantee the efficiency of the services rendered. Good and solid institutions are not enough. They need the right people to promote their good principles. Additionally, these types of agencies need independence from political authorities so that their judgment is not stained by political considerations'1
Dengan demikian sebagus apapun sistem peradilan pidana tanpa
didukung oleh pelaksana yang bersih dan profesional serta bebas oleh
kepentingan politik tidak akan berjalan sebagaimana mestinya dan tetap saja
akan tejadi penyimpangan terhadap hukum pidana, baik materil maupun
formil.
Sistem peradilan pidana yang ditata dalam KUHAP tidak bisa
dilepaskan dari "desain prosedur" (procedural design) yang dibagi secara garis
47 Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court, Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi. Penerbit Jakarta.2002, hal 188
48 J.E. Sahetapy, Pendayagunaan Sistem Kamtibmas Dalam Tertib Hukum dan Tertib Sosial. Makalah dalam Diskusi HukumIntegrited Criminal Justice Sistem di UGM.,1999, hal 3
28
besar dalam tiga tahap, yaitu : (a) tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap
pra-ajudikasi (pre - adjudication), (b) tahap sidang atau tahap ajudikasi
(adjudication), dan (c) tahap setelah pengadilan atau tahap purna ajudikasi
(post-adjudication).
Dalam praktek, proses peradilan pidana dimulai dengan kegiatan
kepolisian di dalam melakukan suatu penyelidikan setelah adanya laporan atau
pengaduan dari masyarakat atau temuan polisi sendiri berikenaan dengan ada
atau tidak terjadinya tindak pidana. Dengan demikian kepolisian dianggap
sebagai penjaga pintu gerbang (gate keeper) proses peradilan pidana, karena
dari sanalah dimulainya apakah seorang akan masuk dalam proses peradilan
pidana atau tidak. Berdasarkan hasil penyelidikan apabila ternyata ditemukan
unsur pidana, maka kepolisian akan meneruskan kepada proses penyidikan,
dan hasil penyidikan ini akan disampaikan kepada pihak kejaksaan untuk
dilakukan penuntutan.
Apabila putusan hakim sudah mengikat (inkracht vangewijsdezaak),
maka terpidana mengikuti prases selanjutnya yaitu penjara dalam suatu
lembaga pemasyarakatan hingga berakhir masa hukumannya, meskipun
demikian diantara masa hukumannya, terpidana dapat saja memperoleh remisi,
abolisi dan atau amnesti dari negara, sehingga masa hukuman yang telah
diputuskan oleh hakim tidak dijalani lagi sesuai dengan putusan tersebut.
Proses peradilan pidana, menurut Mardjono Reksodiputro terdiri atas
dua model yaitu Pertama adalah Crime Control Model yang berarti
memberikan penilaian tertinggi terhadap profesionalisme penegak hukum,
seperti pengenaan ketentuan pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan
tersangka. Kebenaran atas tindakan penegak hukum tersebut tidak perlu
dipertanyakan lagi kebenarannya. Menurut Herbert L. Packer49, Crime Control
Model is a formidable consumer of human resources. Kedua Due Process of
49 Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, 1968, hal 76
29
Law berarti setiap proses dalam sistem peradilan pidana dapat dipertanyakan
kebenarannya, terutama oleh pengacara. Beliau mengibaratkan model ini
bagaikan lari halang rintang dalam cabang atletik dimana dalam jarak tertentu
diadakan rintangan untuk menghambat laju si atlet. Menurut Packer;
Due Process Model looks very much like an obstacle course. Each of
its succesive stages is designed to present formidable impediments to carrying
the accused any further along in the process
4. Proses Penyidikan Tindak Pidana.
Menurut M. Yahya Harahap, yang dimaksud Penyidikan adalah
pemeriksaan di muka pejabat penyidik dengan jakan menghadirkan tersangka,
saksi atau ahli.50. Penyidikan ini merupakan rangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan dengan cara yang diatur Undang-Undang umtuk mencari serta
mengumpulkan bukti. Dengan bukti yang ditemukan dan dikumpulkan, tindak
pidana yang terjadi akan menjadi terang dan jelas dapat menemukan tersangka
yang menjadi pelaku tindak pidana yang sedang di sidik.
Tahap pertama dimulainya penyidikan diawali dengan penyelidikan,
hal ini secara jelas diuraikan dalam pengertian penyelidikan yaitu serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Oleh sebab
itu, penyelidikan merupakan filter terhadap peristiwa yang terjadi, apakah
dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sekalipun penyelidikan merupakan
tahap pertama dari penyidikan, penyelidikan bukanlah tindakan yang berdiri
sendiri terpisah dari fungsi penyidikan, akan tetapi penyeledikan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari fungsi penyidikan.
50 M. Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 129
30
Berdasarkan Pasal 1 butir 4 KUHAP, yang berwenang melakukan
penyelidikan adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan. Menurut
Pasal 5 KUHAP, kewenangan penyelidik adalah sebagai berikut.
a. Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 KUHAP :
1) Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
b) Mencari keterangan dan barang bukti;
c) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
d) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
2) Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
a) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
b) Pemeriksaan dan penyitaan surat;
c) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
d) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik
b. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) a dan huruf b kepada penyidik.
Dari ketentuan Pasal 5 KUHAP di atas dapat diketahui bahwa
kewenangan penyelidik itu ada 2 (dua) macam, yaitu ada kewenangan yang
didasarkan kepada kewajibannya dan ada kewenangan yang didasarkan kepada
atas perintah penyidik. Dalam melaksanakan kewenangan yang didasarkan
kepada kewajibannya, penyelidik dapat melakukan sendiri tindakan itu.
Penyelidik mandiri dalam melakukan tindakan-tindakan yang disebutkan pada
Pasal 5 (1) butir a KUHAP.
Sebaliknya, dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud
31
dalam Pasal 5 (1) butir b KUHAP, penyelidik tidak mandiri, harus ada terlebih
dahulu surat perintah dari penyidik. Kewenangan yang dimiliki penyelidik atas
perintah dari penyidik tersebut dapat diartikan bahwa pada dasarnya
kewenangan itu sebenarnya adalah kewenangan dari penyidik, tetapi dapat
dilimpahkan kepada penyelidik. Semua tindakan penyelidik selalu dilaporkan
kepada penyidik. Hal ini juga berarti bawah tugas penyelidikan itu berada di
bawah pengawasan penyidik.
Pasal 1 butir 1 KUHAP menyebutkan, penyidik adalah pejabat polisi
Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.
Sedangkan menurut Pasal 1 butir 2, penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini
untuk mencari serta yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tugas
dari penyidik adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi.
Kewenangan penyidik Polri diatur dalam Pasal 7 (1) KUHAP, sebagai
berikut :
Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau
tersangka.
32
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dengan demikian Penyidik mempunyai kewenangan yang sudah ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan, khususnya tertuang dalam Pasal 7
(1) KUHP, seperti dijelaskan tersebut di atas.
5. Penyimpangan oleh Polisi
Menyimpang (deviance) menurut para Sosiolog diartikan sebagai: "any
behavior that member of a social group define as violating their norms." Salah
satu teori penyimpangan adalah seperti apa yang dikemukakan Cohen yakni,
penyimpangan adalah sebagian tingkah laku yang melanggar aturan-aturan
normatif maupun harapan-harapan lingkungan sosial.51
Barker menyoroti tiga bidang penyimpangan perilaku polisi yaitu ; (1)
Penyiksaan fisik, yang menggunakan "brutalitas" dan "kekerasan polisi
penyiksaan fisik yang digunakan oleh polisi secara berlebihan dalam
melakukan penangkapan atau penggeledahan terhadap orang lain tanpa alasan
dengan menyalahgunakan wewenang polisi; (2) penyiksaan psikologis,
tercakup keadaan dimana seorang petugas polisi secara lisan menyerang,
mengolok-olok, memperlakukan secara terbuka atau melecehkan seseorang
dan atau menempatkan seseorang yang berada dibawah kekuasaan polisi
dalam situasi dimana penghargaan dan citra orang tersebut terhina atau tidak
berdaya; (3) penyiksaan hukum, yaitu suatu tipe yang khusus akan terjadi
secara berdiri sendiri tanpa penyiksaan psikologis. Penyiksaan hukum
didefinisikan sebagai pelanggaran hak-hak konstitusional seseorang yang
dilindungi oleh hukum negara atau Undang-Undang.
51 Saparina Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Disertasi Memperoleh Doktor 1976. hal. 79
33
Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa penyimpangan trersebut
merupakan suatu tindakan yang dilakukan di luar aturan yang berlaku dan
disengaja dengan penuh kesadaran, tanpa ada rasa paksaan ataupun pengaruh
dari pihak manapun juga. Jadi, seseorang yang melakukan penyimpangan,
dapat diartikan juga, bahwa apa yang diperbuat afalah merupakan kesengajaan.
Penyimpangan bias terjadi jika di dalam suatuaturan hukum memiliki banyak
celah dan multi dimensi di dalam penafsirannya. Selain itu pengawaan yang
longgar di dalam pelaksanaan aturan hukum dapat juga menjadi pendukung
untuk seseorang melakukan penyimpangan. Kebiasaan atau tradisi budaya juga
merupakan salah satu factor yang mengakibatkan adanya suatu penyimpangan.
Penyimpangan dapat diaminimalkan jika adanya suatu aturan tegas dan
mengikat terhadap para pembuat aturan dan para pelaksana aturan tersebut. Di
samping itu pengawasan yangdilakukan secara kontinyu, juga mempunyai
peanan untuk menekan adanya suatu penyimpangan. Apalagi jika hal tersebut
di dukung juga oleh berubahnyaa seara total kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan dan di jadikan kebiasaan oleh masyarakat. Apalagi jika masyarakat
juga turut serta di dalam melakukan pengawasannya.
6. Hak Asasi Manusia pada saat Penyidikan
Seseorang yang menghadapi proses hukum berhak atas perlindungan
yang sama tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan perwujudan adanya
perlindungan Hak Asasi manusia selama dalam proses hukum. Dalam article
7, Universal Declaration of Human Right, dijelaskan bahwa:
“All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination”.
Dalam terjemahan Bahasa Indonesia antara lain : ”Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama
34
terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini”
Dalam prases penyidikan terhadap tindak pidana, kedudukan antara
penyidik dengan tersangka berada dalam dua kutub yang berbeda. Penyidik
dengan segala kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Undang-Undang
berada dalam posisi yang "kuat, tersangka berada dalam posisi yang "lemah"
dan cendrung berada dalam tekanan, baik psikologis maupun fisik sehingga
tanpa adanya prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang
merupakan salah satu instrumen dalam Hak Asasi Manusia (HAM), maka
hampir dapat dipastikan akan terjadi pelanggaran HAM terhadap tersangka.
Pemahaman yang lebih manusiawi itulah yang melatar belakangi
konsep modern tentang hak asasi manusia, sebagai berikut:52
Human rights could generally be defined as those rights which are Inherent in our nature and without which we cannot like as human beings.
Artinya : Secara umum hak asasi manusia dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada, mustahil kita akan dapat hidup sebagai manusia.
Karena KUHP merupakan warisan dari kolonial dan disusun jauh
sebelum lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHANM),
apalagi ketika itu KUHP di buat dan diciptakan untuk melindungi kepentingan
colonial. Hal tersebut ternyata berlangsung terus sejak jaman kemerdekaan
Indonesia sehingga runtuhnya orde baru belum pernah ada ratifikasi atau
amandemen dari KUHP dilakukan secara signifikan dan totaliter. Selain itu,
oleh penguasa Negara pada saat sebelum era reformasi sepertinya ada unsure
kesengajaan untuk tidak perlu dilakaukan amandemen ataupun perubahan.
Karena itu sangatlah wajar jika pada akhirnya setiap orang yang memiliki
jabatan baik yang ditinagkat eksekutif, legislatif maupun yudikatif, selalu
merasa bahwa mereka memiliki kekebalan hukum dan dapat mengatur hukum.
52 Safroedin Bahar, United Nastions, Human Right, Question and Answer, dikutif dari Buku Hak Asasi Manusia karangan, Pustaka Sinar, Harapan, Jakarta. 1987, hal. 68
35
Karena itu dahulu sem,pat muncul pameo bahwa KUHP itu kepanjangan dari
Kasih uang Habis Perkara.
Namun setelah era Namun setelah era reformasi seperti saat ini KUHP
banyak mengalami amandemen serta perubahan yang kemajuannya sangat
signifikan,dan hal yang demikianlah yang sangat diharapkan masyarakat
Indonesia.Saat ini Negara Republik Indonesia telah meratifikasi empat dari
enam perjanjian Internasional yang pokok, yaitu CEDAW, CRC, CAT dan
ICERD. Serta dua perjanjian Induk, yaitu: International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR). Saat ini setiap negara (state obligation)
memiliki suatu kewajiban apabila sudah meratifikasi bukan saja membuat
laporan awal (tahun pertama) dan periodik (empat tahun sekali) kepada komite
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi perjanjian tertentu,
namun juga menyesuaikan produk hukum dan kebijakannya dengan
perjanjian-perjanjian itu. Hukum pidana sangat berkaitan dengan perlindungan
hak sipil dan politik terutama hak atas kebebasan maupun perampasan hak
milik. Pelaksanaan hak atas kebebasan ini akan terpenuhi bila negara sangat
sedikit untuk campur tangan dalam kehidupan pribadi warganya.
Kebebasan bergerak dan berdomisili, kebebasan dari campur tangan
kehidupan pribadi, menganut pikiran dan keyakinan serta agama, berpendapat
dan berekspresi, berkumpul maupun berserikat, menikah dan membentuk
keluarga serta partisipasi politik adalah hak-hak yang dilindungi dalam
ICCPR.
Dalam “International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR)” yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2005, dijelaskan bahwa setiap orang yang berada dalam
posisi dituntut secara pidana, maka kepadanya melekat hak minimum dalam
persamaan yang penuh. Salah satu hak minimum tersebut adalah hak bantuan
hukum sebagaimana ditegaskan pada Pasal 14 Ayat (3) huruf (d) sebagai
36
berikut.
“To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal
assistance of his own choosing; to be informed, if he does not have legal
assistance, of this right; and to have legal assistance assigned to him, in any
case where the interests of justice so require, and without payment by him in
any such case if he does not have sufficient means to pay for it” 111111
Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara
langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan
tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan
bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak
memiliki dana yang cukup untuk membayarnya)
Konsekuensi logis dari ratifikasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah
terhadap covenant internasional ICCPR ini, pemerintah tentu mewajibkan hak
bantuan hukum sebagai hal yang patut diberikan secara penuh tanpa
pengecualian kepada masyarakat. Pemerintah sebagai stuktur kerja pelaksana
Negara, memiliki relasi yang kuat untuk memenuhi kebutuhan dasar warga
Negara tersebut. Untuk itu, adalah penting untuk melakukan upaya refleksi
menyangkut sejauh mana dan bentuk kontribusi kongkrit seperti apa yang
telah dijalankan Negara terhadap warga Negaranya saat ini. Peraturan
Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, adalah produk hukum
Pemerintah yang diharapkan dapat mempermudah akses bantuan hukum bagi
masyarakat miskin. Tapi substansi PP ini merupakan cerminan terpenuhinya
tanggung jawab Negara terhadap masyarakat. PP No. 83 tersebut secara
implisit hanya menegaskan kembali kewajiban advokat memberikan bantuan
hukum secara cuma-cuma kepada para pencari keadilan yang tidak mampu
secara ekonomi.
37
Apabila kita merujuk pada konstitusi dasar Negara, maka yang paling
utama berkewajiban untuk menjamin hak pencari keadilan bagi masyarakat
yang tidak mampu, adalah negara, dalam hal ini Pemerintah. Dalam Pasal 28I
ayat (4) Undang-undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa,
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Untuk
menggimplementasikan Pasal 281 ayat (4) UUD 1945 pemerintah bekerja
sama dengan organisasi advokat dan lembaga-lembaga bantuan hukum yang
ada, dibebani tanggung jawab untuk membentuk unit kerja khusus yang
diharapkan dapat mengurusi bantuan hukum cuma-cuma ini.
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU
HAM) memberikan definisi hak asasi manusia dalam Pasal 1 ayat (1),
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Adanya posisi yang kuat dan lemah cenderung mengakibatkan
terjadinya penekanan dan tindak kekerasan secara fisik berupa penyiksaan,
meskipun penyiksaan merupakan pelanggaran terhadap HAM.53 Hal penting
lainnya adalah pemberian pemahaman kepada penyidik tentang konsep-konsep
hak asasi manusia dan tidak hanya mendasarkan pengakuan sebagai alat bukti
yang kuat.
Berkenaan dengan hak asasi manusia, ada sepuluh asas yang
ditegaskan dalam penjelasan Undang Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terdiri dan tujuh asas
umum dan tiga asas khusus, yaitu:54
- asas-asas umum:53 Pasal 33 ayat (1) UU HAM.54 Mardjono Reksodiputro, 1997, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum, 1997, hal 54
38
1) perilakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun;
2) praduga tidak bersalah;
3) hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
4) hak untuk mendapat bantuan hukum;
5) hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6) peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7) peradilan yang terbuka untuk umum; serta
- asas-asas khusus:
1) pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada Undang-Undang
dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis)
2) hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya; dan
3) kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-
putusannya.
Dilain pihak KUHAP, apabila dikaitkan dengan dokumen Internasional
yang berkenaan dengan Hak Asasi Manusia, masih banyak yang belum
mengatur tentang hak-hak tersangka, yaitu:55
a) Hak untuk tidak ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang.
b) Hak untuk tidak dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
c) Hak untuk mendapatkan keamanan atau keselamatan pribadi.d) Hak untuk mendapatkan fasilitas yang memadai untuk
mempersiapkan pembelaannya.e) Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan pengadilan
dan badan peradtlan lainnya.f) Hak untuk tidak diganggu kehidupan pribadi, keluarga, rumah tangga
atau hubungan surat-meyuratnya, kehormatan dan nama baiknya.
Meskipun demikian, beberapa kekurangan ini telah ditutup 55 Budiyanto, Perlindungan Atas Hak-Hak Tersangka Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia (Studi Terhadap Penerapan KUHAP di Kabupaten Bandung) Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar 2000
39
sebagian56 oleh Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM,
sehingga pelaksanaan KUHAP tidak dapat berdiri sendiri tetapi harus
berkattan langsung dengan UU HAM dan oleh karenanya pembekalan
prinsip-prinsip HAM kepada penyidik sebagai aparat penegak hukum
menjadi sangat berarti demikian juga bagi pengacara yang harus
membela kepentingan tersangka.
Pelaksanaan tindakan kepolisian seperti, penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan terhadap tersangka merupakan
suatu upaya paksa yang berkemungkinan besar akan mengaktbatkan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, sehingga perlu suatu pengawas
terhadap pelaksanaan tindakan tersebut. Berdasarkan pemikiran itu maka
diperlukan seorang Hakim Pengawas sebagaimana merujuk kepada
Rechter Commisaris yang terdapat di Belanda, yang bukan merupakan
"hakim palu” seperti di pengadilan, meskipun memang hakim komisaris
tersebut adalah dijabat oleh hakim dari Pengadilan tapi berkantor di
kantor pegawai penyidik sehingga dapat secara langsung melakukan
pelaksanaan perintah upaya paksa.57
Dengan demikian, setiap penidikan yang dilakukan oleh pihak
kepolisian tidak diperbolehkan menggunakan cara-cara yang
bertentangan dengan perlindungan Hukum, khususnya pelanggaran
trhadap hak asasi manusia. Mesipun yang bersangkutan sudah ditetapkan
sebagai tersanggka dalam menjalani proses penyidikan di kepolisian.
Dengan demikian Undang-Undang HAM memberikan bekal prinsip-
prinsip akan masalah perlindungan hukum bagi tersangka dalam
menjalani proses penyidikan oleh pihak kepolisian.
7. Pendampingan Hukum oleh Advokat
Masalah pendampingan hukum oleh Pengacara bagi seorang yang harus
56 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 17, 29, 33 dan Pasal 34.57 Loebby Loqman, HAM dalam KUHAP, Datacom, Jakarta,2000, hal 85
40
menjalani proses hukum baik perdata maupun pidana telah diatur dengan
Undang-Undang jauh sebelum Indonesia merdeka. Pendampingan hukum
dilakukan oleh seorang yang berprofesi pengacara, yaitu merupakan suatu
profesi hukum yang ideal bagi yang membantu pencari keadilan dalam
berperkara, baik di luar maupun di dalam pengadilan. Sebagai suatu profesi,
maka pekerjaan pengacara tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk
mendapatkan mata pencaharian;58
Aturan-aturan yang memberikan landasan bagi profesi pengacara dan
tindakan bantuan hukum sudah diterbitkan sejak zaman Belanda yang
berlanjut kepada era Indonesia merdeka bahkan dengan zaman reformasi,
diantaranya adalah:
1. Reglement op de Recftteliijke Organisatie en Het Beleid der Justitie (R.O)
Staatblaad (Stb) 1847, No. 27 juncto Stb 1848 NO. 58, yang berlaku pada
tanggal 1 Juni 1848. Mengatur masalah bantuan hukum dalam Pasal 185
sampai dengan Pasal 192.
2. Vertegenwoordiging van de Lande in Rechten, Stb. 1922 No. 533 yang
mengatur tentang bagaimana mewakili negara/aparatur negara dalam
bertindak di depan pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai
tergugat.
3. Regeling van de Bijstand en de Vertegenwordiging van Partijen in de
Bungelijke zaken voor Landeran, Stb. 1927 No. 496. Peraturan ini dimuat
dalam ordonansi tanggal 21 Oktober 1927, merupakan peraturan tentang
bantuan hukum dan perwakilan para pihak dalam perkara perdata di
Pengadilan Negeri.
4. Herziene inlandsch Reglement, Stb. 1941 No. 44, disingkat dengan HIR
atau kadang kala disebut juga Regtement Indonesia yang Diperbaharui
(RIB) yang merupakan hasil pembaharuan dari indlandsch Reglement 58 Menurut Soetandyo Wignjo Soebroto, dikutif dari Basuki Rekso Wibowo, SH,MH.
Pemanfaatn Jasa Pengacara oleh Pencari Keadilan Dalam proses Penanganan Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Surabaya, Laporn Penelitian, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga 1993.
41
(R) Stb. 1848 No. 16.
5. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981) dalam Pasal 56 Ayat (1) berbunyi : “Dalam hal tersangka
atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau
lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana
lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri,
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka, serta Bab VII,
Pasal 69 sampai dengan Pasal 74. Pasal-Pasal tersebut lebih banyak
mengatur masalah hak-hak pengacara.
6. Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam
Pasal 36 diatur tentang pengawasan bersama pemerintah terhadap
penasehat hukum dan notaris.
7. Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam Pasal
64 mengatur tentang pemberian wewenang kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk mengawasi pekeqaan pengacara dan notaris di daerah
hukumnya. Ketentuan ini dapat dikatakan merupakan pendelegasian
wewenang dari Ketua Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam
Pasal 36 UU No. 14 tahun 1985 tersebut diatas, karena Ketua
Pengadilan Negeri setempat memang sehari-hari yang bisa berhadapan
langsung dengan pengacara dan notaris.
8. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 18
ayat (4) mengatur tentang Bantuan Hukum, yang selengkapnya
berbunyi "setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan
hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap"
9. Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat. Undang-Undang ini
dianggap sebagai buah dari perjuangan para pengacara untuk
42
menghasilkan satu Undang-Undang yang khusus mengatur masalah profesi
pengacara. Satu hal terpenting dalam Undang-Undang ini bahwa terhitung
dua tahun sejak berlakunya maka harus berdiri organisasi pengacara yang
merupakan satu-satunya onganisasi yang diakui.
10. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman,
perubahan atas Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang Undang ini masalah
pemberian bantuan hukum diatur dalam Pasal 35 sampal dengan Pasal 38,
yang sifatnya jauh lebih luas apabila dibandingkan dengan pada yang
diatur dalam HIR/RIB.
Pengacara merupakan suatu bentuk profesi terhormat (officium
nobile). Dalam menjalankan profesi, seorang apengacara harus memiliki
kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian pengacara
yang berpegang teguh kepada kejujuran, kemandirian, kerahasiaan dan
keterbukaan, guna mencegah lahirnya sikap-sikap tidak terpuji dan
berperilakuan kurang terhormat.
Pasal 1 butir 1 Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat mendefinisikan bahwa advokat adalah orang yang berpotensi
member jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.Lebih lanjut
disebutkan dalam Pasal 3 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, persyaratan yang dimaksud adalah :
a. Warga Negara Republik Indonesiab. Bertempat tinggal di Indonesiac. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negarad. Berusia sekurang – kurangnya 25 (dua puluh lima) tahune. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)f. Lulus ujian yang diadakan organisasi advokat
43
g. Magang sekurang- kurangnya 2 (dua) tahun terus – menerus pada kantor advokat
h. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
i. Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Sedangkan menurut Kode Etik Advokat Advokat adalah orang yang
berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, baik
sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara praktek ataupun
sebagai konsultan hukum
Dalam hal ini, seorang advokat selain memberikan bantuan hukum di
dalam pengadilan, seperti mendampingi, mewakili, membela, atau
menjalankan kuasa demi kepentingan klien, juga dapat memberikan bantuan
hukum diluar pengadilan, berupa konsultasi hukum, negosiasi maupun dalam
hal pembuatan perjanjian kontrak-kontrak dagang serta melakukan tindakan
hukum lainnya untuk kepentingan hukum klien baik orang, badan hukum, atau
lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat.
Secara garis besar fungsi dan peranan advokat, sebagai berikut:
1) Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia;2) Memeperjuangkan hak asasi manusia;3) Melaksanakan Kode Etik Advokat;4) Memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum,
keadilan dan kebenaran;5) Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai
keadilan,kebenaran dan moralitas);6) Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat
advokat;7) Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat
dengan cara belajar terus-menerus (continuous legal education) untuk memperluas wawasan dan ilmu hukum;
8) Menangani perkara-perkara sesuai dengan kode etik advokat, baik secara nasional maupun secara internasional;
9) Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan
44
masyarakat dengan cara mengawasi pelaksanaan etika profesi advokat melalui Dewan Kehormatan Asosiasi advokat;
10) Memelihara kepribadian advokat karena profesi advokat yang terhormat (officium nobile);
11) Menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat;12) Memelihara persatuan dan kesatuan advokat agar sesuai dengan maksud
dan tujuan organisasi advokat;13) Member pelayanan hukum (legal services), nasehat hukum (legal advice),
konsultan hukum (legal consultation), pendapat hukum (legal opinion), informasi hukum (legal information) dan menyusun kontrak-kontrak (legal drafting);
14) Membela kepentingan klien (litigasi) dan mewakili klien di muka pengadilan (legal representation);
15) Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu (melaksanakan pro bono publico).59
Dari bebrapa hal tersebut di atas terkait dengan pendampingan pengacara
antara lain adalah berkaitan dengan kepentingan klien (litigas) dan mewakili
klien di muka pengadilan (legal representation); dan juga Member pelayanan
hukum (legal services), nasehat hukum (legal advice), konsultan hukum (legal
consultation), pendapat hukum (legal opinion) dan juga memberikan
informasi hukum (legal information).
8. Teori Bekerjanya Hukum Di Masyarakat
Teori Lawrence Meir Friendman dalam Achmad Ali tentang tiga
Unsur Sistem Hukum {Three Elements of Legal SystemJ.kttiga unsur sistem
hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum yaitu :60
a. Struktur Hukum (Legal Structure)
b. Subtansi Hukum (Legal Subtance)
c. Kultural Hukum (Legal Calture)
Menurut Fiendman (1975: 14), the structure of system its skeletal
59 dikutip dari http://agushutabarat.wordpress.com/2009/07/09tinjauan-kode-etik-advokat-indonesia-dan-undang–undang-nomor-18-tahun-2003-tentang-advokat-dalam-penetapan-tarifisasi-serta-pendampingan-hukum-yang-diberikan-oleh-advokat/
60 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Alumni, Bandung, 2001, hal. 7-9
45
framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the
tough, rigid bones that keepthe process flowing within bounds.......". jadi,
struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian
yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan 61. Jelasnya,
struktur bagian foto diam yang menghentikan gerak (a kind of still
photograph, which freezes the action).
Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem
hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung
bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat
bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan
bahan-bahan hukum secara teratur62.
Selanjutnya, menurut Friedman63 the subtance is composed of
subtantive rules and rules about how institutions should be have. Jadi, yang
dimksud dengan substansi menurut Friedman64 adalah aturan, norma, dan pola
perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu,
mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya
aturan yang ada dalam kitab Undang-Undang atau law books65.
Komponen subatansi yaitu sebagai output dari sistem hukum yang
berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh
pihak yang mengatur maupun yang diatur66.
Akhirnya, pemahaman Friedman tentang the legal culture, system
their beliefs. Ideas, and expectation. Jadi, kultur hukum menurut Friedman 61 Lawrence Friedman , Hukum Amerika Sebuah Pengantar (terjemahn Wisnu Basuki), 2001,
Bandung: Alumni. hal. 762 Esmi Warassih, Pranata Hukum sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru
Utama,2005, hal. 3063 Lawrence Friedman, Op. Cit. hal. 1464 Ibid, hal. 765 Esmi Warasih. Op. Cit. hal. 4366 Ibid, hal. 30
46
adalah Sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai,
pemikiran, serta larapannya. "legal Culture refers. Then, to those parts of
general Culture-customs. Opinions, ways of doing and thinking-that bend
social forces to war or away from the 'aw and in particular ways" Pemikiran
dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Jadi,
dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana digunakan, dihindari atau dipergunakan.
Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti
ikan hidup yang berenang di laut.
Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang
mempengaruhi pekerjanya hukum, atau yang menurut Lawrence M. Friedman
disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku
hukum seluruh warga masyarakat.67
Secara singkat, menurut Lawrence M. Friedman cara lain untuk
menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai berikut:
a. Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin.
b. Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin
itu.
c. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan
untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan
bagaimana mesin itu digunakan.
Selain membangun itu, untuk mengenal hukum sebagai sistem maka
harus dicermati apakah ia memenuhi 8 (delapan) asas atau priciples of legality
atau delapan prinsip legatitas sebagai berikut: 68
1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan . Peraturan
67 Ibid, hlm. 868 Ibid, hal. 31
47
tidak boleh berlaku surut.2) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti 3) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain 4) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa
yang dapat dilakukan5) Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah. Harus ada kecocokan antara
peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari
Paul dan Dias dalam Esmi Warassihmengajukan 5 (lima) syarat yang
harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu:69
1) Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami
2) Luas tidaknya kalangan didalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan
3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum 4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah
dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa
5) Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif70.
Untuk memahami bagaimana fungsi hukum itu, ada baiknya dipahami
terlebih dulu bidang pekerjaan hukum. Sedikitnya ada 4 (empat) bidang
pekerjaan yang dilakukan oleh hukum, yaitu :
1) Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan
menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh
dilakukan.
2) Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh melakukan
kekuasaan atau siapa berikut prosedurnya.
3) Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat.
4) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur
kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala ada.
69 Ibid, hal. 105-10670 Ibid, hal. 9
48
Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan
menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang
boleh dilakukan.
Dari empat pekerjaan hukum tersebut di atas, menurut
Sartjipto Rahardjo) secara sosiologis dapat dilihat dari adanya 2 (dua) fungsi
utama hukum, yaitu :
a. Sosial Control (kontrol sosial) Yaitu mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan
dengan apa yang telah digariskan sebagai urutan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.
b. Sosial Engineering (rekayasa sosial)- Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau
keadaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum.- Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk
kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat dimasa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat Undang-Undang.71
Dua fungsi hukum tersebut (sebagai sarana kontrol sosial dan untuk
melakukan rekayasa sosial) dapat dijalankan oleh hukum di dalam masyarakat.
Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada
akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di
masyarakat72 .
Selanjutnya dikatakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum atau
keefektifan hukum (yang tentunya juga pelaksanaan suatu kebijaksanaan
atau suatu komitmen) bersangkutan dengan 5 faktor pokok yaitu:
a. Faktor hukumnya sendiri yaitu Pasal 56 Ayat (1) KUHAP UU Nomor 8
Tahun 1981 yang berhubungan dengan pendampingan dan pembelaan
tersangka oleh pengacara dalam proses penyidikan tindak pidana oleh
polisi.
71 Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah,Alumni, Bandung, 2002, hal 125
72 Ibid, hal. 119-120
49
b. Faktor penegak hukum. Yakni adalah pihak-pihak yang membentuk
peraturan daerah tersebut yaitu pihak eksekutif dan legislatif serta pihak
lain yang terlibat dalam pembuatan peraturan tersebut.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat atau adresat hukum yakni lingkungan dimana hukum
berlaku atau diterapkan.
e. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur
dari efektifitas penegakan hukum. 73
Menurut Radbruch dalam, hukum harus mempunyai 3 (tiga) nilai
idealis atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik, yaitu:74
a) Keadilan
b) Kemanfaatan/kegunaan
c) Kepastian hukum
Sehingga nilai idealitas atau nilai dasar dan dasar berlakunya hukum
atau Undang-Undang dapat di gambarkan sebagai berikut:
Gambar 1 :
Nilai dasar dan dasar berlakunya hukum atau Undang-Undang
Nilai - nilai Dasar Berlakunya hukum
Keadilan Filosofis73 Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan Hukum, Faja Grafindo
persada, Jakarta, 2004, hal. 574 Satjipto Raharjo, Op. Cit. hal. 19-20
50
HUKUM
Kegunaan Sosiologi
Kepastian Yuridis
Hukum
Ketertiban masyarakat yang tampak dari luar dalam di dukung oleh
lebih dari satu macam tatanan. Keadaan yang demikian itu memberikan
pengaruhnya tersendiri segi peraturan hukum, sehingga ukuran-ukuran untuk
menilai tingkah laku dan hubungan-hubungan antara orang-orang pun
didasarkan pada hukum dan tatanan hukum. Bahwa masyarakat kita
sesungguhnya merupakan suatu rimba tatanan, karena di dalamnya tidak hanya
terdapat satu macam tatanan. Sifat majemuk ini dilukiskan oleh Chambliss dan
seidman dalam Esmi Warassih Pujirahayu yang dikenal dengan "Teori
Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat" sebagai berikut:75
Gambar 2:
Bagan Teori Robert Saidman dan Chamblis dalam Law, Order and
Power 76
Faktor-faktor sosial dan personal lainnya
75 Esmi Warassih Pujirahayu, Op. Cit hal. 3976 ? Chamblis, William J, Seidman, dalam Law, Order and Power, Reading, Mass: Affison-Wesley, 1971, hal. 12
51
Lembaga Pembuat Peraturan
Lembaga penerapan peraturan Pemega
ng Peran
Umpan Balik
Nor
ma
Umpan Balik
Norma
aktivitas penerapan
Umpan Balik
Faktor-faktor sosial dan faktor-faktor sosial dan personal lainnya personal lainnya
Dari bagan tersebut, tampak peranan dari kekuatan sosial, yang tidak
hanya berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran yang diatur oleh hukum,
melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum Ke dalam "kekuatan sosial"
ini termasuk kompleks tatanan lain yang telah dibicarakan. Dari arah panah-
panah tersebut, dapat diketahui bahwa hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam
masyarakat tidak bisa hanya imonopoli oleh hukum. Kita lihat, bahwa tingkah
laku rakyat tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan
sosial lainnya, yang dalam rangka pembicaraan ini tidak lain berarti kedua
tahanan yang lain. Melihat permasalahan dalam gambaran sebagaimana
diberikan oleh Chambliss dan Seidman tersebut, memberikan perspektif yang
lebih baik kepada kita dalam memahami: " Bekerjanya Hukum Dalam
Masyarakat “.
Satjipto Rahardjo77. Olehnya, bagan itu diuraikan di dalam dalil-dalil
sebagai berikut:
a) Setiap peraturan hukum memberikan tentang bagaimana seorang
77 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Gramedia, Jakart, 2002, hal. 21
52
pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak.
b) Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu
respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan
yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-
lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan
lainnya.
c) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon
terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang
ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksi, keseluruhan kompleks kekuatan-
kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta
umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peranan.
d) Bagaimana para pembuat Undang-Undang itu akan bertindak merupakan
fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku, sanksi-sanksinya
keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, ideologi, dan
lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang
datang dari pemegang peranan serta birokrasi.
Dengan menggunakan model dari Seidman dan Chambliss
tersebut dapat dijelaskan pengaruh faktor-faktor atau ketentuan-ketentuan
sosial mulai dari tahap pembuatan Undang-Undang, penerapannya dan
sampai kepada peran yang diharapkan.
Demikian pula pengaruh kekuatan-kekuatan sosial dirasakan
juga dalam bidang penerapan hukum. Menurut Radbruch78. Ada tiga nilai
dasar hukum yaitu keadilan, kegunaan/kemanfaatan dan kepastian hukum.
Nilai kegunaan ini akan mengarah pada suatu saat tertentu, sehingga
hukum itu benar-benar mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakat. Di
samping itu ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi agar hukum/peraturan
itu berlaku efektif, ketiga unsur tersebut yaitu:
78 Ibid; hal 19
53
1) Unsur filosofis yakni bahwa ruusan atau norma-normanya mendapat
pembenaran bila dikaji secara filosofis mempunyai alasan yang dapat
dibenarkan apabila dipikirkan secara mendalam. Alasan yang
dimaksud sesuai dengan cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan dan
cita-cita kesusilaan.
2) Unsur yuridis yakni bahwa hukum atau peraturan perUndang-
Undangan mempunyai dasar yuridis ataupun legalitas yang
merupakan dasar yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan hukum,
hukum yang lebih tinggi derajadnya.
3) Unsur sosiologis yakni ketentuan-ketentuan sesuai dengan
keyakinan masyarakat umum atau kesadaran hukum masyarakat.
Selanjutnya, peranan apa yang diharapkan dari warga masyarakat.
Juga sangat ditentukan dan dibatasi oleh kekuatan-kekuatan sosial
tersebut, terutama sistem budaya. Yang dimaksud "Pemegang Peran"
adalah semua warga negara baik itu Hakim, Jaksa, Polisi dan
sebagainya. Apapun terminologi yang kita ajukan untuk menjelaskan apa
itu hukum, pada akhirnya kita harus diingat bahwa pada dasarnya hukum
itu merupakan budaya masyarakat dan bidang budaya atau aktivitas
masyarakat tertentu ternyata sangat berjalinan erat dengan aspek-aspek
lain dalam masyarakat.
Suatu peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapan-
harapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang
peran. Namun bekerjanya harapan itu tidak ditentukan hanya oleh
kehadiran peiaturan itu sendiri, melainkan juga oleh beberapa faktor lain.
Faktor-faktor yang turut menentukan bagaimana respon yang akan diberikan
oleh pemegang peran, antara lain:
1) Sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya
2) Aktifitas dari lembaga pelaksana hukum, dan
3) Seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang
54
bekerja atas diri pemegang peranan di situ.
Perubahan-perubahan itu juga disebabkan oleh berbagai reaksi
yang ditimbulkan oleh pemegang peran terhadap pembuat Undang-
Undang dan birokrasi. Demikian pula sebaliknya. Komponen birokrasi
juga memberikan umpan balik terhadap pembuat Undang-Undang maupun
pemegang peran79.
Dengan demikian, dengan menggunakan model Seidman dan
Chambliss tersebut dijelaskan bahwa setiap Undang-Undang sekali
dikeluarkan akan berubah baik melalui perubahan formal maupun melalui
cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak. la berubah disebabkan
oleh adanya perubahan kekuatan sosial, budaya, ekonomi politik dan Iain-
lain yang melingkupinya. Perubahan itu terutama disebabkan oleh
pemegang peran terhadap pembuat Undang-Undang dan terhadap
birokrasi penegakan, dan demikian sebaliknya.
Hukum benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga
masyarakat, maka hukum tadi harus disebarluaskan sehingga
melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu
merupakan salah satu syarat bagi penyebar serta pelembagaan hukum.
Dalam kaitannya dengan implementasi Pasal 56 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang terkait dengan Penanganan Perkara
Pidana Pada Tingkat Penyidikan oleh Polres Limboto, bahwa polisi dalam
menerapkan Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981,
tentunya mempertimbangkan beberapa faktor baik itu faktor yang berasal
dari pelaku (tersanagka) maupun lingkup keluarga maupun faktor
lingkungan. Selain itu polisi tentu dalam menjalankan tugasnya berpijak
pada aturan hukum yaitu Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia serta KUHP. Hal ini tentunya agar
tercapai suatu keadilan bagi masyarakat. Polisi bekerja dipengaruhi oleh 79 Ibid; hal 15 - 16
55
faktor-faktor yang bekerja atas dirinya. Teori inilah yang juga menjadi
pijakan dalam pembahasan tesis tentang implementasi Pasal 56 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang terkait dengan Penanganan
Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan oleh Polres Limboto.
B. Kerangka Berpikir
Fokus penelitian adalah pada pola hubungan antara pengacara, polisi
(penyidik) dan tersangka dalam proses penyidikan.
Proses penyidikan dimulai dari Laporan Polisi (LP) yang ditindak lanjuti
dengan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka, penangkapan,
penggeledahan, penyitaan dan penahanan. Disinyalir praktek penyimpangan
dengan melakukan manipulasi dasar-dasar hukum oleh penyidik, tersangka dan
pengacara dimulai dari pemeriksaan. Dengan demikian penelitian ini akan dimulai
dari meneliti cara-cara penyidik melakukan penyidikan dengan mengikuli alur
proses sedemikian rupa sehingga akan dapat diketahui tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh penyidik, tersangka dan pengacara. baik yang prosedural maupun
yang manipuiatif, formal maupun non-formal.
Selanjutnya akan dilakukan wawancara dengan penyidik, tersangka dan
pengacara yang sedang mengurus perkara atau tindak pidana yang sedang diproses
dan kalau perlu mewawancarai pengacara yang telah berpengalaman untuk
mengetahui tindakan manipuiatif yang dilakukan o!eh penyidik, tersangka dan
pengacara sebagai bahan pertimbangan. Untuk melengkapi data, peneliti juga akan
melakukan pengkajian dokumen penyidikan dan data lain yang dapat menunjang
penelitian.
Polres Limboto dalam mengimplementasiakn Pasal 56 ayat (1) UU No. 1
tahun 81 tentang KUHP di dalam penagaanan masalah penyidikan tentunya
berpijak pada parameter-parameter ketentuan perundang-undangn yang berlaku.
Parameter yang digunakan untuk untuk melihat dan menilai secara utuh adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor
56
2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, Etika Profesi Pengacara, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Dan tidak kalah
pentingnya adalah parameter teori-teori dan konsep-konsep yang disampaikan
oleh beberapa ilmuwan dan pakar. Oleh sebab itu penelitian ini dimaksudkan
untuk mengungkap implementasi Pasal 56 ayat (1) UU No. 1 tahun 81 tentang
KUHP di dalam penanganan masalah penyidikan oleh Polres Lomboto. Tentunya
banyak faktor yang mempengaruhi baik dari segi kultur, substansi maupun kultur
yang ada di wilayah hukum Polres Limboto.
Sehubungan dengan masalah yang ditelusuri penelitian ini, dapat dibuat
alur berpikir sebagai berikut :
Gambar 3 :
Alur Kerangka Berpikir
57
Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang
Advokat
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Azasi Manusia.
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
58
Implementasi Pasal 56 Aayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Teori Kebijakan dan Teori Bekerjanya Hukum serta Konsep Hukum ke lima
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian adalah suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan
metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan
kebenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada80. Metode Penelitian menurut
Kartini Kartono dalam bukunya Hilman Hadikusuma adalah cara-cara berpikir dan
berbuat yang dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan
untuk mencapai suatu tujuan penelitian81
Dalam suatu penelitian, metode penelitian merupakan salah satu faktor
penting yang menunjang suatu proses penelitian yaitu berupa penyelesaian suatu
permasalahan yang akan dibahas, dimana metode penelitian merupakan cara
utama yang betujuan untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang
akan dihadapi.
Berdasarkan pada masalah yang diteliti maka pendekatan yang dapat
dipergunakan adalah penelitian yuridis sosiologis atau penelitian yuridis empiris
yang mempergunakan data primer. Apabila dilihat dari sifatnya maka merupakan
penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-
gejala lain82 .
Dilihat dari pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah
penelitian dengan pendekatan kualitatif. Dilihat dari sudut pandang bentuk
penelitan, Penelitian ini termasuk penelitian Evaluatif yaitu penelitian yag
dilakukan apabila seseorang ingin menilai program-program yang dijalankan.83.
80 Bambang Waluyo, 2001, Metodologi Penelitian Sosial, Gramedia, Jakarta, hal. :281 Op. Cit, hal. 5882 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remadja Karya, Bandung, 1991, hal. 19683 Pedoman Pembimbingan Tesis, Surakarta: Program Pascasarjana. Magister Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2005, hal. 6
59
Dalam hal ini adalah implementasi Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 yang terkait dengan Penanganan Perkara Pidana Pada Tingkat
Penyidikan. Sebelum penulis melangkah lebih jauh dalam pembahasan penelitian
ini, maka untuk memudahkan pemahaman tentang Metode Penelitian Hukum
terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian hukum.
Pengertian Hukum bermacam-macam. Hukum itu banyak seginya dan
meliputi segala macam hal, menyebabkan orang tak mungkin membuat suatu
definisi apa sebenarnya hukum itu. Suatu ilmu yang berusaha mencari jawab apa
itu hukum antara lain filsafat hukum. Dalam filsafat hukum terdapat berbagai
aliran yang ingin memberi pengertian apa itu hukum.84 Pengertian hukum menurut
Soetandyo Wignjosoebroto dalam Setiono adalah:85
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perUndang-Undangan hukum nasional
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconreto dan tersistematisasi sebagai judge made law
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka.
Kalau peneliti sudah menentukan akan mengadakan penelitian terhadap
suatu hukum tertentu, maka langkah selanjutnya adalah menentukan metode apa
yang akan dipakai yaitu metode yang sesuai dengan hukum yang diteliti.86 Dari
kelima konsep hukum tersebut di atas, penelitian ini mengambil konsep hukum
yang ke lima adalah manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial
sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka. Karena setiap perilaku atau
aksi itu merupakan realita sosial yang terjadi dalam alam pengalaman indrawi dan
empiris, maka setiap penelitian yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum
84 Ibid, hal. 2085 Ibid, hal. 2086 Ibid, hal. 2
60
sebagai mkna-makna simbolik atau perilaku sosial dan aksi ini dapat disebut
sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau penelitian yang non
doktrinal dengan mempergunakan analisis data kualitatif. Dalam penelitian ini
yang akan diteliti adalah implementasi Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 yang terkait dengan Penanganan Perkara Pidana Pada Tingkat
Penyidikan .
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan diwilayah hukum Polres Limboto Kabupaten
Gorontalo Provinsi Gorontalo.
Landasan pemilihan lokasi adalah:
a) Data penelitian tersedia;
b) Fasilitas Pendukung Penelitian tersedia;
C. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Data yang dikumpulkan terutama merupakan data pokok yaitu data
yang paling relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Namun untuk
kelengkapan dan keutuhan dari masalah yang diteliti, maka akan
disempurnakan dengan penggunaan data pelengkap yang berguna untuk
melengkapi data pokok dan data pelengkap tersebut adalah sebagai berikut:
a. Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau data
dasar87. Adapun yang termasuk dalam data primer dalam penelitian ini
adalah pihak-pihak yang terkait dalam pengambilan tentang Kebijakan
implementasi Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
yang terkait dengan Penanganan Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan
serta tersangka.
87 ? Soerjono Soekanto, Loc. Cit. hal. 12
61
b. Data sekunder, adalah data yang berasal dari data yang sudah tersedia
misalnya, dokumen resmi, surat perjanjian atau buku-buku.
2. Sumber data
Sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Sumber Data Primer
Sumber Data Primer adalah sumber data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan yang meliputi keterangan atau data hasil
wawancara kepada pejabat yang berwenang dalam hal kebijakan di
bidang implementasi Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 yang terkait dengan Penanganan Perkara Pidana Pada Tingkat
Penyidikan. Sumber data primer adalah data atau keterangan yang
diperoleh semua pihak terkait langsung dengan permasalahan yang
menjadi objek penelitian. Dalam hal ini, bertindak sebagai informan adalah
pejabat dan staf di Polres Limboto serta tersangka.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber Data Sekunder merupakan sumber data yang didapatkan
secara tidak langsung berupa keterangan yang mendukung data primer.
Sumber data sekunder merupakan pendapat para ahli, dokumen-dokumen,
tulisan-tulisan dalam buku ilmiah, dan literatur-literatur serta peraturan-
peraturan perundang-undangan yang terkait.
Data sekunder dalam penelitian ini meliputi :
a) Bahan-bahan hukum Primer :
1) Undang-Undang Dasar 1945.
2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi
Manusia.
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
4) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
62
5) Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat
b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis
dan memahami bahan hukum primer adalah :
1) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan penyidikan oleh
Kepolisian di Indonesia;
2) Buku-buku Kebijakan Publik.
b) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan sekunder,
misalnya :
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia
2) Kamus Umum Lengkap Inggris –Indonesia, Indonesia- Inggris
3) Kamus Hukum
D.Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini
adalah dengan metode Observasi (pengamatan), Interview (wawancara), studi
pustaka. Lebih jelasnya sebagai berikut:
1. Observasi
Merupakan pengamatan yang dilakukan secara langsung dari obyek
penelitian. Penulis melakukan observasi di Polres Limboto khususnya dalam
hal implementasi Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
yang terkait dengan Penanganan Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan .
Hal ini dilakukan penulis dengan cara pengamatan, pencatatan, yang
kemudian disimpulkan dan disajikan secara sistematis dengan
menggambarkan obyek yang diteliti. Hal-hal yang dijadikan sebagai obyek
pengamatan dalam penelitian ini adalah: aktifitas di Kepolisian Resort
Limboto.
63
2. Wawancara
Dalam studi lapangan ini penulis melaksanakan kegiatan wawancara,
yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara mendapatkan keterangan
secara lisan dari seorang responden dengan bercakap-cakap secara langsung.
Wawancara dilakukan pada tersangka, penyidik dan pengacara dan kepala
unit maupun kepala satuan dengan tetap bersandar kepada pedoman yang
telah disusun. Meskipun tidak menutup kemungkinan wawancara
berkembang sedemikian rupa akan tetapi tetap menjaga dalam koridornya
atau, dalam hal terjadi penyimpangan, mengembalikannya ke masalah
penelitian sampai pada saatnya peneliti merasa informasi dan beberapa
pertanyaan pokok telah cukup untuk menunjang kelengkapan penulisan.
Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangananan
tentang kehidupan manusia serta pendapat-pendapat mereka88. Secara
umum ada dua jenis teknik wawancara, yaitu wawancara terpimpin
(terstruktur) dan wawancara dengan teknik bebas (tidak terstruktur) yang
disebut wawancara mendalam (in-depth interviewing)89. Dalam wawancara
ini dilakukan dengan cara mengadakan komunikasi langsung dengan pihak-
pihak yang dapat mendukung diperolehnya data yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti guna memperoleh data baik lisan maupun tulisan
atas sejumlah data yang diperlukan.
Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode campuran, dengan menggabungkan metode terpimpin (terstruktur)
dengan metode bebas (tidak terstruktur) dengan cara, penulis membuat
pedoman wawancara dengan pengembangan secara bebas sebanyak
mungkin sesuai kebutuhan data yang ingin diperoleh. Metode wawancara
ini dilakukan dalam rangka memperoleh data primer serta pendapat-
pendapat dari para pihak yang berkaitan dengan kebijakan di bidang
88 ? Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 9589 ? HB. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta, 2002, hal. 58
64
pengimplementasian Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 yang terkait dengan Penanganan Perkara Pidana Pada Tingkat
Penyidikan.
Wawancara dilakukan selama penelitian antra lain dengan Aipda
Alek sebagai Kanit Tipikor pada Polres Limboto. Selain itu wawancara
djuga dilakukan terhadap Bripka Nasar yang berkedudukan sebagai Kanit
pidana Umum. Kedua orang inilah yang sering menangani kasus-kasus
selama penyidikan di Polres Limboto serta wawancara terhadap tersangka.
3. Studi Pustaka
Dalam studi ini penulis mengumpulkan data dengan cara membaca,
memahami dan mengumpulkan bahan-bahan Hukum yang akan diteliti,
yaitu dengan membuat lembar dokumen yang berfungsi untuk mencatat
informasi atau data dari bahan-bahan Hukum yang diteliti yang berkaitan
dengan masalah penelitian yang sudah dirumuskan terhadap:
a) Buku-buku literatur.
b) Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan
penelitian ini.
c) Dokumen
E. Validitas data
Untuk memperoleh derajad valaiditas tinggi, dilakukan dengan teknik
triangulasi, recheck dan peerdebriefing. Triangulasi dilakukan dengan cara cross
chek data yang dikumpulkan dari berbagai sumber data (Informan,
tempat/peristiwa, dokumen/arsip) mengenai masalah yang sama. Sedangkan
teknik recheck dilakukan dengan menguji hasil data wawancara dari informan
yang telah dimintai keterangan, untuk memperkaya, dan memantapkan bahwa
data hasil penelitian terbukti kesahihannya. Selanjutnya teknik validitas dengan
menggunakan model peerdebriefing ditempuh dengan cara mendiskusikan hasil
penelitian dengan berbagai personel, yang didasarkan atas kemampuan
65
pengetahuan yang serupa. Dengan demikian akan memantapkan hasil yang telah
diuji dengan argumentasi yang logis, sehingga diperoleh data yang benar-benar
diinginkan atau valid.
E. Teknik Analisis Data
Sebelum melakukan analisis data, ada beberapa hal penting yang
diperhatikan dalam menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Burhan
Ashofa dalam Setiono hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain :90
1. Bahwa apa yang ingin diperoleh dan dikaji oleh sebuah penelitian kualitatif adalah: pemikioran, makna, cara pandang manusia mengenai gejala-gejala yang menjadi fokus penelitian;
2. Gejala dapat ditangkap oleh panca indera, sedang gagasan hanya dapat ditangkap dengan cara memahami gagasan yang bersangkutan.
3. Gejala yang ingin dipahami di dalam penelitian kualitatif selalu dilihat sebagai hal yang mempunyai komponen-komponen yang lebihj kecil, komponen yang satu dengan yang lainnya saling berkait satu dengan yang lainnya secara fungsional (saling mempengaruhi).
Dalam analisis data, data yang telah terkumpul dengan lengkap dari
lapangan kemudian dianalisis sesuai jenis penelitiannya. Dalam tahap analisis
data, data yang telah terkumpul diolah dan dimanfaatkan sehingga dapat
dipergunakan untuk menjawab persoalan penelitian. Analisis data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena data yang diperoleh
bukan angka atau yang akan di-angkakan secara statistik. Menurut Soerjono
Soekanto, analisis data kualitatif adalah suatu cara analisis yang menghasilkan
data diskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis
atau lisan dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh91
Dalam operasionalisasinya, peneliti membatasi permasalahan yang diteliti
90 Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Surakarta, Program Pascasarjana UNS. 2005. hal. 32
91 Soerjono Soekanto, Loc. Cit. hal. 154
66
dan juga membatasi pada pertanyaan-pertanyaan pokok yang perlu dijawab dalam
penelitian. Dari hasil penelitian tersebut data yang sudah diperoleh disusun sesuai
dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian data tersebut diolah dalam
bentuk sajian data. Setelah pengumpulan data selesai, peneliti melakukan
penarikan kesimpulan atau verifikasi berdasarkan semua hal yang terdapat dalam
reduksi data maupun sajian datanya. Misalnya untuk mengetahui jawaban tentang
mengetahui pengimplementasian Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun
1981 tentang KUHP di Polres Limboto maka penulis menanyakan langsung ke
pokok permasalahannya. Kemudian dari jawaban yang diperoleh tersebut diolah
menjadi sajian data untuk kemudian dianalisis. Setelah data tersebut selesai
dianalisis kemudian disimpulkan. Apabila di dalam kesimpulannya dirasa kurang
mantap, maka penulis kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah
terfokus dan juga pendalaman data.
Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis interaktif yaitu
model analaisis data yang dilaksanakan dengan menggunakan tiga tahap/komponen
berupa reduksi data, sajian data serta penarikan kesimpulan/verivikasi dalam suatu
proses siklus antara tahap-tahap tersebut sehingga data terkumpul akan berhuibungan
satu dengan lainnya secara otomatis92
Dalam penelitian ini proses analisis sudah dilakukan sejak proses
pengumpulan data masih berlangsung. Peneliti terus bergerak di antara tiga
komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama proses data terus
berlangsung. Setelah proses pengumpulan data selesai, peneliti bergerak diantara tiga
komponen analisis dengan menggunakan waktu penelitian yang masih tersisa..
Agar lebih jelas proses/siklus kegiatan dari analisis tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:93
92 HB. Sutopo. Loc. Cit. hal. 8693 ? Ibid, hal. 87
67
Gambar : 4
Bagan model analisis data interaktif (Interactive Model Of Analysis)
Ketiga Komponen tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
a) Reduksi Data.
Reduksi data adalah bagian analisis, berbentuk mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting
dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat
dilakukan. Menurut H.B. Soetopo, reduksi data merupakan proses seleksi,
pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi dari data dari fieldnote. Proses
ini berlangsung sejak awal penelitian, dan pada saat pengumpulan data.
Reduksi data dilakukan dengan membuat singkatan, coding, memusatkan
tema, menulis memo dan menentukan batas-batas permasalahan.94
Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman dalam Tjejep
Rohendi Rohidi reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, 94 H.B. Soetopo,. 1992 . Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universtas
Sebelas Maretm hal. 12
68
Pengumpulan Data
IISajian Data
IReduksi Data
IIIPenarikan
Kesimpulan/Verifikasi
pemusatan perhatian pada penyederhaan, pengabstrakan, dan transformasi
data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi
data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data
dengan cara demikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat
ditarik dan diverifikasi.
b) Penyajian Data.
Penyajian data sebagai kumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian-penyajian yang lebih merupakan suatu cara yang
utama bagi analisis kualitatif yang valid.95
Sajian data sebaiknya berbentuk tabel, gambar, matriks, jaringan
kerja dan kaitan kerja, sehingga memudahkan peneliti untuk mengambil
kesimpulan. Peneliti diharapkan dari awal dapat memahami arti dari
berbagai hal yang ditemui sejak awal penelitian, dengan demikian dapat
menarik kesimpulan yang terus dikaji dan diperiksa seiring dengan
perkembangan penelitian yang dilakukan. Proses analisis dengan 3 (tiga)
komponen diatas dilakukan secara bersamaan merupakan model analisis
mengalir (flow model of analysis). Metode analisis inilah yang digunakan
dalam penelitian ini. Reduksi yang dilakukan sejak proses pengumpulan
data yang belum dilakukan, diteruskan pada waktu pengumpulan data dan
bersamaan dengan dua komponen yang lain. Tiga komponen tersebut
masih mengalir dan tetap saling menjalin pada waktu kegiatan
pengumpulan data sudah berakhir sampai dengan proses penulisan
penelitian selesai96
c) Menarik kesimpulan/verifikasi
Kesimpulan merupakan sebagian dari satu kegiatan konfigurasi 95 Tjejep Rohendi Rohidi, 1992 . Metodologi penelitian Sebuah pengantar, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, : 1796 HB. Sutopo, Op. Cit, hal. 14
69
yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama penelitian
berlangsung.97
Berkaitan dengan penarikan kesimpulan tersebut, penerapan
metode pada penelitian ini adalah untuk mengungkap kebenaran dan
memahaminya. Penelitian ini menggunakan pendekatan induktif, yaitu
mencari, menjelaskan dan memahami prinsip-prinsip umum yang berlaku
dalam suatu kehidupan masyarakat dengan memulai dari kenyataan
(phenomena) menuju ke teori (thesis) bukan sebaliknya seperti dalam
pendekatan deduktif98 Burhan Ashshofa, dalam silogisme induksi, premis-
premis (kecuali konklusi) selalu berupa hasil pengamatan yang
diverifikasi. Konklusi dari dalam silogisme induksi dalam penelitian-
penelitian yang non doktrinal selalu berupa deskripsi atau eksplanasi
tentang ada tidaknya hubungan (kausal atau korelasi) antara berbagai
variabel sosial-hukum. Setiap data yang diperoleh diverifikasi kemudian
dideskripsikan dan dieksplanasikan hingga mendapat penjelasan mendalam
dari berbagai variabel yang diteliti.
Dalam penelitian ini diawali dengan suatu usulan penelitian
berupa usulan judul penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan
pertanyaan penelitian yang berhubungan dengan proyek (kegiatan)
penelitian. Pengumpulan data dilakukan sesuai pertanyaan penelitian yang
diketengahkan, sementara sambil mengumpulkan data, peneliti secara terus
menerus membuat catatan di lapangan, dan kemudian menganalisisnya.
Proses ini diulang-ulang beberapa kali, tergantung luas sempitnya lingkup
pertanyaan yang diketengahkan sampai sebuah laporan ditulis sampai final.
BAB IV
HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN
97 Tjejep Rohendi Rohidi, Op. Cit. hal. 19
98 Burhan Ashshofa, 2004. Op. Cit. hal. 74.
70
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Polres Limboto
a. Lokasi dan Wilayah Hukum Polres Limboto
Polres Limboto adalah organisasi kepolisian yang merupakan bagian
dari Polda Gorontalo, teletak di Jl Limboto Raya Kabupaten Gorontalo.
Lokasi yang merupakan pusat kegiatan ekononm, politik, sosial budaya dan
pertahanan keamanan.
Polres Limboto menjadi begitu berarti karena wilayah cakupannya
menjangkau lokasi-lokasi yang merupakan titik kumpul pendatang dari
berbagai suku, ras dan agama yang dapat meimbulkan kerawanan akan
tindak kejahatan serta konflik SARA, pusat-pusat perdagangan dalam arti
sebenarnya para penjual dan pembeli berhadapan secara langsung serta
melakukan tawar menawar.
Keramaian ini memberikan peluang bagi orang untuk melakukan
tindakan kejahatan dan yang jelas membuat petugas keamanan bekerja lebih
keras.
Wilayah Kabupaten Gorontalo sebagai wilayah hukum Polres
Limboto mempunyai sejumlah polsek, yaitu:
1) Polsek Limboto
2) Polsek Telaga
3) Polsek Limboto Barat
4) Polsek Batudaa
5) Polsek Tibawa
6) Polsek Pulubala
7) Polsek Bongomeme
8) Polsek Batudaa Pantai
9) Polsek Tolangohula
10) Polsek Asparaga
11) Polsek Mootilango
71
12) Posek Tolango Hula
13) Polsek Boliyohuto
14) Polsek Tolango
15) Polsek Tabongo
16) Polsek Telaga Biru dan;
17) Polsek Biluhu
Di samping itu, pusat pemerintahan berkedudukan di Kecamatan
Limboto sebagai Ibu Kota Kabupaten Gorontalo. Luas wilayah Kabupaten
Gorontalo 3.426, 98 km² atau 28,05 % dari luas Provinsi Gorontalo terdiri dari
17 Kecamatan dan 199 desa untuk Kabupaten Gorontalo yang meliputi areal
pertanian, pekarangan, dan hutan. Iklim dan Cuacauhu udara di wilayah
Kabupaten Gorontalo pada umumnya rata-rata mencapai 23,8° (Celsius)s/d
suhu 31,3° (Celsius ) Adapun cuaca kemarau dari bulan Maret s/d bulan
Oktober dan musim hujan antara bulan Nopember s/d bulan Februari serta
musim pancaroba antara bulan Oktober s/d bulan Nopember.
Bentuk – bentuk medan yang terdapat di wilayah Kabupaten Gorontalo
adalah sebagai berikut :
(a) Pegunungan = 625.525 Ha.
(b) Dataran rendah = 292.375 Ha.
(c) Dataran Tinggi = 116.550 Ha.
(d) Danau Limboto = 5.600 Ha.
b. Kondisi Fisik
Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) terletak di lantai 1 bahagian
Tengah gedung markas Polres Limboto. Memasuki area Satserse pengunjung
akan dihadapi oleh petugas penerima tamu dari petugas anggota polri atau
pegawai negeri sipil polri hingga ketukang antar minuman atau bagian
kebersihan, setelah diminta meninggalkan kartu pengenal yang ditukar dengan
kartu pengunjung, maka berikutnya berjejer ruangan-ruangan unit, dimuai dari
72
untuk Ekonomi, Unit Ranmor, Unit Kriminal Khusus, Unit Kriminal Umum,
Unit Ranmor, ruangan Kepala Satuan Reserse, ruangan informasi dan terakhir
ruangan Kapolres dan Wakapolres.
c. Tugas Pokok Satserse
Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol :
Skep/14/XII/1993, tentang Tugas Satuan Reserse adalah:
1) Memberikan bimbingan tehnis atas pelaksanaan fungsi reserse
dan identifikasi pada tingakat Polsek;
2) Menyelenggarakan fungsi reserse yang meliputi:
a) Kegiatan represif kepolisian, melalui upaya penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana, baik kejahatan umum maupun kejahatan
ekonomi, kejahatan pemalsuan uang, surat berharga dan dokumen,
kejahatan narkotika, kejahatan terhadap tindak pidana tetentu serta
korupsi.
b) Koordinasi dan pengawasan penyidik Pegawai Negeri Sipil.
3) Melaksanakan fungsi kriminalistik lapangan dalam rangka pembuktian
secara ilmiah kasus-kasus kejahatan yang ditanganinya;
4) Menyelenggarakan fungsi identifikasi;
5) Memberikan bantuan operasional kepada satuan bawahan dan instans-
insatansi diluar Polri termasuk pelayanan umum di bidang
identifikasi/daktiloskopi;
6) Membantu penyelengaraan operasi khusus yang diperintahkan kepadanya;
7) Melaksanakan kegiatan adminstrasi operasional termasuk pengumpultan
dan penyajian data/informasi yang berkenaan dengan aspek pembinaan dan
penyelenggaraan fungsinya termasuk dalam rangka penyelenggaraan Pusat
Informasi Kriminal.
Satuan Reserse Kriminal dipimpin oleh seorang Kepala yang bertugas
memimpin seluruh kegiatan Reserse, termasuk penyelenggaraan kegiatan
73
identifikasi, Tahanan, dan barang bukti, yang dalam pelaksanaan tugasnya
dibantu Wakasat Serse dan bertanggung jawab kepada Kapolres. Kasat Serse
juga selaku pembina fungsi memberikan bantuan operasional dan bimbingan
teknis kepada Kanit Resintel kewilayahan. Kasat Serse dalam tugasnya sehari-
hari mempunyai kewenangan menanda-tangani surat-surat yang berkaitan
dengan Adminstrasi Penyidikan, antara lain;
1) Surat Perintah Tugas;
2) Surat Perintah Penyidikkan;
3) Surat Panggilan;
4) Surat Perintah Membawa Tersangka/Saksi;
5) Surat Perintah Penangkapan;
6) Surat Perintah Penahanan:
7) Surat Perintah Penyitaan;
8) Surat Perintah Penggeledahan;
9) Surat Pemberitahuan dimuiat Penyidikan;
10) Surat Pemberitahuan Penahanan Kepada Keluarga Tersangka;
11) Surat Permohonanan Ijin Khusus Sita dan Laporan Permohonan Sita;
12) Surat Pelimpahan Berkas Perkara;
Surat-surat lain yang bersifat Pra-Justitia dan masih dalam kaitan
adminstrasi penyidikan dan hal yang sangat mendesak, kecuali surat
permohonan pencabutan Visum Et Repertum.
d. Struktur Organisasi dan Personalia Satuan Reserse
Satuan Reserse Polres Limboto dipimpin oleh seorang Kepala dengan
memiiki Seorang Wakilnya- keduanya dibantu oleh Kepala Urusan
Pembinaan Operasional dan Kepala Urusan identitikasi serta memliki 5 unit
satuan, masing-masing:
1) Unit Kendaraan Bermotor (Ranmor);
2) Unit Harta Benda (Harda);
74
3) Krminal Umum (Krim Urn);
4) Unit Krimfnal Khusus (Krirn Sus);
5) Unit Reserse Moba (Resmob).
Masing-masing unit dipimpin oleh seorang perwira pertama berpangkat
Ajun Komisatis Polisi atau Inspektur Satu Polisi. Untuk lebih rincinya struktur
Organlsasi Satuan Reserse Polres Limboto, digambarkan sebagai berikut:
Sumber Satreskrim Pores Limboto , April 2009
Gambar 4
Struktur organisasi Satuan Reserse Polres Limboto
Berdasarkan tingkat pendidikan personalia satuan reserse dapat di
lihat dari tabel berikut :
Tabel 1
75
KASATRESKRIM
KAURBIN OPS
PAUR IDENT
KANIT HARDA
KANIT RANMOR
KASUBNITI
KASUBNITII
KASUBNIT III
KASUBNITI
KASUBNITII
KASUBNIT III
KANIT KRIM
KASUBNITJATANRAS
KANIT JUDSUS
KANIT BPK
KANIT KRIM
KASUBNITTIPITER
KASUBNITTIPIKOR
KASUBNITFK
KANIT RESMOB
KA TIM I
KA TIKII
KA TIM III
Tingkat Pendidikan Personalia Satuan Reserse Polres Limboto
JENIS PENDIDIKAN JUMLAH KETERANGANPENDIDIKAN UMUM PT/AKADEMIK 2
SLTA 38PENDIDIKAN KEPOLISIAN
SECAPA 4SECABA 8PPS 2AKPOL/PTIK 2DAS PA SERSE 3
KEJURUAN LAN PA SERSE 2DAS BA SERSE 3LAN BA SERSE 3NON SERSE 5DAS BRIMOB 2OLEH TKP 2FUSLAP FOR 1IDENTIFIKASI 1PERINTIS 3DAS BA TURLAP 1DAS INTEL 2LAND UDPAL 1DAS PJR 3DAS BA BINJAS 2
Sumber : Polres Limboto tahun 2009
Dilihat dari tabel di atas, bahwa perbandingan pendidikan umum antara
akademi/universitas dengan SLTA personil satuan reserse kurang memadai
yakni 38 : 6, padahal pendidikan umum merupakan salah satu cara
pembentukan tata cara pemikiran dan ajang untuk mengasah daya analisa
seseorang. Disamping itu dari Sembilan puluh Peresonil tersebut personil
tersebut diatas hanya 2 orang yang merupakan tamatan akademi kepolisian
atau Perguruan Tinggi ilmu Kepolisian.
Sebagai perbandingan, di Amerika personil polisi merupakan lulusan
akademi kepolisian (Police Academy) dengan lama pendidikan bergantung
pada beban tugas masing-masing badan kepolisian, yang dapat dilihat dari
76
ukuran jumlah peresonilnya (yang mencerminkan populasi penduduknya).
Untuk menjadi polisi pada kota kecil dengan penduduk kurang dari 2.500
orang, misalnya, badan kepolisian yang bersangkutan biasanya mensyaratkan
hanya 400 jam pelajaran, sementara badan kepolisian yang tebih besar yang
menuntut pendidikan yang tebih profesional pada umumnya mensyaratkan
sekitar 1.000 jam pelajaran atau mencapai 1.266 jam untuk badan kepolisian
kota-kota besar (metropolitan)99.
Penyesuaian pangkat/golongan otomatis bagi anggota yang
menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi sebagaimana layaknya pegawai
negeri tidak betaku pada intstiusi Kepolisian. Seorang anggota yang
berpangkat brigadir meskipun mati-matian menyisihkan waktu, penghasilan
dan fikirannya guna menyelesaikan pendidikannya pada tingkat strata 1
bahkan strata 2, tetap saja akan berpangkat brigadir. Bandingkan dengan
seorang anggota yang baru menyelesaikan pendidikan tingkat akademi
kepolisian (D3) langsung mendapat pangkat dipundaknya menjadi perwira
berpangkat letnan dua dengan karir yang cenderung jelas dan dapat dihitung
rata-rata pada usia 50 akan berpangkat Komisaris Besar. Belum lagi perilaku
ekslusif dan para perwira yang tamatan Akademi Kepolisian atau Perguruan
Tinggi llmu Kepolisian semakin membuat para perwira yang di luar itu
menjadi terkucil.
Dalam suatu wawancara pada tanggal 23 Mel 2009, seorang perwira
pertama yang menjabat salah satu kanit dalam satuan reserse yang merupakan
perwira dengan latar belakang bukan akademi kepolisiaan mengatakan bahwa
dia sangat menyadari posisinya dan karir yang dihadapinya, untuk itu ia tidak
berani muluk-muluk untuk menyusun masa depannya sebagai anggota
kepolisian, bahkan ia bertekad akan melanjutkan studi lanjutan sehingga pada
suatu ketika ia akan mundur dari polri dan mambuat karir di bidang lain
99 Farouk Muhammad, 2004, Sistem Kepolisian di Amerika Serikat (Suatu Pengantar), Penerbit Restu Agung, Jakarta, hal. 45
77
dengan memanfaatkan pengalaman dan relasinya pada waktu masih menjabat.
e. Kejahatan di Polres Limboto
Kejahatan dalam pengertian yuridis sebagai perbuatan yang teiah
ditetapkan oteh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan
diancam dengan suatu sanksi. Sementara penjahat merupakan para pelaku
pelanggar hukum pidana dan telah diputus oleh pengadilan atas perbuatannya
tersebut. Penetapan aturan dalam hukum pidana itu merupakan gambaran dari
reaksi negatif masyarakat atas suatu kejahatan yang diwakili oleh para
pembentuk Undang-Undang pidana tidak sepenuhnya setuju dengan definisi
yang diberikan oleh para sarjana yang menganut aliran yuridis, Bonger
menyatakan bahwa Kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang secara
sadar mendapat reaksi dan negara berupa pemberian derita dan Kemudian
sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai
kejahatan.100
Kejahatan (kriminalitas/crime) merupakan suatu fenomena yang
komplek dan karenanya tidak dapat dipahami hanya dan satu sisi pelanggaran
aturan pidana saja tetapi banyak sisi yang harus digunakan untuk menyelidiki
perilaku yang menyimpang ini. Salah satu tugas polisi adalah menciptakan
keamanan antara lain dengan memberantas kejahatan dengan mengunakan
rambu-rambu hukum yang berlaku untuk itu, keberhasilan dalam menekan
tingkat kejahatan menjadi salah satu barometer penilaian kinerja anggota polisi
dan kesatuan kepolisian setempat.
Jumlah rata-rata anggota polisi dibandingkan dengan jumlah
masyarakat juga dapat dijadikan acuan untuk mempelajari tingkat kejahatan.
Ratio jumlah polisi dengan jumlah penduduk101 di Indonesia atau dengan skala
nasional adaiah 1 :1200 bahkan di daerah ada yang mencapai 1 : 7000. 100 Topo Santoso dan Eva Achyadi Zulfa,2002, Kriminologi. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal 34101 Menurut standar PBB, rasio ideal jumlah polisi dengan penduduk adalah 1:400
78
Dibandingkan dengan skala nasional, maka ratio polisi dengan penduduk di
Polres Limboto pada tahun 2008 masih berada dibawahnya yakni 1:750
Meningkatnya gangguan kamtibmas seperti Curas, Curat dan
Curanmor di wliayah hukum Polres Limboto ditinjau dari segi kualitas
maupun kuantitas tidak terlepas dari pengaruh perkembangan situasi politik,
sosial budaya maupun ekonomi dan krisis kepercayaan kepada hukum dan
penegak hukum itu sendiri. Ketidak-percayaan masyarakat kepada penegak
hukum semakin memperparah keadaan, hal ini tak luput dari tingkah laku
oknum anggota polri yang meyimpang dari etika dan bahkan melanggar
hukum, sehingga makin memperparah keadaan.
Menurut catatan laporan Kesatuan Polres Limboto tahun dari tahun 2006
sampai tahun 2008, tingkat kejahatan yang tercatat dan dapat diselesaikan
kasatuan di wilayah hukum Polres Limboto cenderung naik.
Data tentang diantara Kasus yang ditangani oleh Pores Limboto:
Tabel 2
Kasus yang ditangani Polres Limboto
NO JENIS KASUS TAHUN2006 2007 2008
1 Pembunuhan 3 1 22 Pengeroyokan 4 11 43 Pencurian 9 9 84 Illegal logging - 1 2
Sumber data : Polres limboto tahun 2009
2. Proses Penyidikan Tersangka Oleh Penyidik di Polres Limboto
a. Pemeriksaan Tersangka
Pemeriksaan tersangka secara regulatif berdasarkan UU Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana terutama tentang hak tersangka untuk
79
didampingi oleh penasihat hukum selama pemeriksaan. Pemeriksaan sebagai
salah satu proses dalam penyidikan dimulat dengan dikeluaricannya Surat
Perintah Penyidikan oleh Kepala Satuan Reserse untuk dan atas nama Kepala
Kepolisian Resort Limboto yang memerintahkan kepada anggotanya yang
nama-namanya dicantumkan dalan surat perintah tersebut untuk melakukan
tugas penyidikan terhadap peristiwa tindak pidana yang dijelaskan.
Dalam rangka melengkapi alat bukti, maka penyidik akan memanggil
pihak-pihak, baik selaku saksi, saksi korban/pelapor atau tersangka, melalui
Surat Panggiian yang dikeluarkan oleh Kasat Reserse. Apabila dirasa belum
cukup bukti maka Kasat Reserse dapat memerintahan untuk menggeledah
rumah/badan tersangka dengan cara mengeluarkan Surat Perintah
Penggeledahan.
Dalam praktek di Polres Limboto pemeriksaan lebih lanjut terhadap
tersangka dilakukan dengan cara membuat Berita Acara Pemeriksaan yang
dilakukan diruang kerja penyidik. Ruangan kerja tersebut boleh dikalakan
sumpek dan setiap orang dapat berlalu lalang serta ada kalanya ikut nimbrung
dalam mengajukan pertanyaan yang bukan urusannya, sehingga konsentrasi
pemeriksaan dan tersangka bahkan pengacara menjadi terganggu. Pemeriksaan
seringkali terputus karena intervensi dan hal-hal yang tidak beikaitan dengan
pemeriksaan, bahkan tersangka dan pengacara dbiarkan menunggu sementara
penyidik dipanggil oleh komandan.
Di lain pihak pemeriksaan juga dapat tertunda dari jadwa! yang
ditetapkan karena keterlambatan pengacara atau atas permintaan lisan,
biasanya melalui telepon, dari pengacara karena ia juga sedang melakukan
tugas lain. Penundaan ini bisa dalam ukuran jam atau hari.
Pimpinan tidak mengeluarkan kebijaksanaan tertulis kepada anggota
penyidik berkenaan dengan tata cara pemeriksaan. Petunjuk lisan diberikan
secara kasus per kasus setelah anggota penyidik menghadap untuk rneminta
petunjuk, petunjuk lisan pertama-tama akan diberikan oleh masing-masing
80
kepala unit dan dalam hal dibutuhkan petunjuk lebih lanjut, maka kepala unit
akan menghadap kepada kepala satuan.
Penyidikan atau Pemeriksaan merupakan suatu tindakan dalam rangka
penyidikan untuk mengumpulkan bukti guna memperjelas telah terjadinya
kejahatan atau tindak pidana. Pemeriksaan dilakukan oleh anggota polri yang
memiliki klasifikasi untuk itu dan dilaksanakan pada tempat-tempat yang
memungkinkan dilakukannya pemeriksaan. KUHAP tidak mengatur masalah
tempat pemeriksaan kecuali bahwa dalam setiap pemeriksaan harus dibuatkan
berita acara pemeriksaan.
Hal lain yang perlu dicatat adalah proses interogasi, menurut AKP
HS102, yaitu suatu proses yang tidak diatur dalam KUHAP tapi merupakan
bagian dari penyidikan untuk mendapatkan informasi dalam pengembangan
kasus. Interogasi diperlukan untuk mengetahui latar belakang, motivasi dan
kemungkinan adanya tersangka lain dan proses ini dilakukan tanpa dibuat
berita acara. Interogasi biasanya dilakukan tidak lama setelah tersangka
tertangkap karena diperlukan keterangan dalam waktu segera dan biasanya
dalam proses yang emosional ini terjadi tindakan kekerasan seperti pemukulan
terhadap tersangka.
Bripka S, anggota unit Harda, menjelaskan:103
".. Pernah pada suatu waktu dulu, setelah mengintai beberapa jam kami
melakukan penangkapan terhadap tersangka yang memegang alat bukti dan
untuk mengembangkan kasus kami harus mengetahui dari mana ia mendapat
alat bukti tersebut tapi ia tidak mau memberikan keterangan sehingga dengan
sedikit teknik interogasi kami akhimya mendapat keterangan dari mulutnya".
Ketika ditanyakan apa itu "teknik interogasi maka ia sambil tersenyum simpul
mengatakan "seperti meletakkan jempol kaki tersangka dibawah kaki meja
yang ada diruang pemeriksaan dan mendudukinya atau menekuk jari tangan
102 Wawancara dilakukan pada Polres Limboto, 8 Juli 2009103 Wawancara dilakukan pada Polres Limboto, 8 Juli 2009
81
tersangka sedemiklan rupa sehingga menimbulkan rasa sakit. Tekhnik ini tidak
meninggalkan bekas secara fisik".
b. Ruangan Pemeriksaan
Ruangan pemeriksaan masing-masing unit di Polres Limboto pada
waktu peneliti melakukan penelitian dapat dikatakan hampir tidak memadai
dan dapat dipastikan akan semakin membuat tidak betah orang yang diperiksa.
Sebagai contoh ruangan pemeriksaan Unit Harda dengan ukuran ruangan
kurang luas dijejali dengan sejumlah meja kerja sehingga petugas yang
berjumlah 6 orang hendak keluar masuk meja kerja harus antri. Kondisi dan
susunan meja sedemikian rupa sehingga mirip ruangan kelas Sekolah Dasar.
Sarana untuk pemeriksaan yang terlihat hanya 2 buah komputer yang sudah
tidak baru lagi. Kertas-kertas bertebaran hampir disettap meja dan lemari-
lemari usang serta sofa yang juga usang di tumpuk di depan. Salah seorang
pemeriksa yang berpangkat Brigadir Kepaia pada saat wawancara pernah
mengeluhkan keadaan ini, tapi keluhan tersebut walapun sudah disampaikan
kepada atasan baginya tidak berarti apa-apa karena, sebagaimana dengan
jawaban yang dia sampaikan sendiri, sampai saat ini tidak ada perbaikan dari
atasan.
Unit-unit lain juga tidak kalah memprihatinkannya, tapi sampai sejauh
ini pemeriksaan tidak pemah mengalami hambatan yang berarti, perintah
atasan untuk melaksanakan pemeriksaan tetap berjalan sebagaimana yang
diperintahkan.
Tersangka tetap bisa dihadirkan dalam “ruangan pemeriksaan,” yang
secara formalitas, tersangka tersebut dalam keadaan sehat dan tanpa tekanan
serta siap dan bersedia untuk diperiksa, sebagaimana tertuang dalam Berita
Acara Pemeriksaan. Posisi tersangka dan pemeriksa diatur sedemikan rupa
82
sehingga tersangka tidak mempunyai kesempatan untuk mencoba melarikan
diri atau melakukan tindakan lain yang dapat membahayakan pemeriksa atau
orang lain.104
Dalam kondisi tertentu berdasarkan pertimbangan kepala unit,
pemeriksaan dapat dilakukan di ruangan kepala unit yang sedikit lebih baik,
karena tidak banyak orang yang hilir mudik serta ruangan lebih nyaman dan
boleh dikatakan memiliki privasi yang lebih tinggi dari pada ruangan
pemeriksaan unit. Ruangan kepala unit merupakan ruangan kerja yang
ukurannya memadai dengan seperangkat alat kerja seperti komputer dan meja
kursi, terkesan lebih bersih karena mendapat perhatian khusus dengan adanya
petugas yang secara rutin membersihkan serta merapikan ruangan.
Berdasarkan keterangan kepala sub unit pada unit harta benda
(harda),105 beberapa tahun yang lalu pernah dibuat ruang khusus untuk
pemeriksaan dengan disain khusus sebagaimana layaknya yang dilihat di
dalam film detektif Amerika. Sebuah ruangan yang salah satu sisinya dilapisi
dengan kaca berukuran besar memiliki pandangan satu arah, sehingga
tersangka tidak menyadari dan merasa kalau dirinya sedang diawasi oleh orang
lain yang berada dibalik dinding kaca tersebut. Menurut keterangan sumber
tersebut hal ini juga bertujuan untuk membuat saksi maupun korban tidak takut
memberitahukan kebenaran pelaku kejahatan dan korban tidak sempat
memberikan tekanan psikologis kepada saksi maupun korban, baik dengan
kata-kata maupun dengan pandangan serta bahasa tubuh iainnya. Karena
kebutuhan ruangan untuk anggota semakin sempit, maka ruangan ini akhimya
ditiadakan dan dijadikan ruang kerja unit-unit dan pemeriksaan saksi
dikembalikan kepada masing-masing unit sebagaimana dijeiaskan diatas.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa, pernah juga dibuat sebuah
ruangan pemeriksaan yang cukup luas dan disekat-sekat sedemikian rupa 104 Pada waktu pemeriksaan, dan guna memenuhi ketentua bahwa tersangka dalam keadaan
sehat dan tanpa tekanan, maka tersangka tidak diborgol atau diamankan dengan cara-cara tertentu.105 Wawancara dilakukan pada, 8Juli 2009 di Polres Limboto.
83
sehingga terdiri atas beberapa meja pemeriksaan, masing-masing meja dibatasi
oleh sekat setinggi dada orang dewasa. Ruangan ini pada akhirnya juga
ditiadakan karena anggota pemeriksa menjadi tidak dapat bekerja dengan baik,
mereka terganggu oleh suara berisik mesin tik manual yang digunakan pada
waktu itu. Sebelum pemeriksaan menggunakan komputer, pemeriksa pada
waktu membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) masih menggunakan mesin
tik manual yang menimbulkan suara berisik apalagi cara mengetik pemeriksa
yang sering menekan tuts mesin tik dengan hanya menggunakan kedua jari
telunjuknya dan daya tekan maksimal. Penekanan tuts secara maksimal
diperlukan karena BAP dibuat sekaligus rangkap lima dengan menggunakan
kertas karbon, sehingga untuk mencapai lembaran terakhir diperlukan tekanan
tuts yang kuat.
c. Waktu Pemeriksaan
Undang-Undang dan peraturan pelaksanaan tain tidak mengatur secara
tegas waktu pemeriksaan temadap tersangka, sehingga penyidik bebas untuk
melakukan pemeriksaan tersangka menurut waktu dan tempat yang dianggap
tepat olehnya, terutama terhadap tersangka yang tertangkap tangan. Pasal 19
KUHAP yang mengatur bahwa penangkapan hanya boleh dilakukan dalam
waktu paling lama satu hari maka terhadap tersangka yang ditangkap atau
tertangka tangan harus ditakukan pemeriksaan sesegera mungkin dan tidak
lebih dan satu hari
Bripka S106 menerangkan bahwa ia pernah melakukan pemeriksaan
pada jam 01.00 dini hari, segera setelah pelaku tindak pidana tertangkap
tangan, dengan alasan bahwa besok dia punya acara lain juga bahwa
keterangan si pelaku juga diperlukan untuk penangkapan pelaku yang lain.
Apabila dilihat dari asas praduga tidak bersalah, cara seperti ini jelas tidak
relevan dan bahkan memiliki kecendrungan pada pelanggaran Hak Asasi 106 Wawancara dilakukan pada , 8 Juli 2009 di Polres Limboto
84
Manusia, tapi dilain pihak pada umumnya kejahatan tidak berdiri sendiri maka
diperlukan tindakan cepat dan akurat, maka tindakan ini pantas untuk
didahulukan.
Seseorang yang disangka telah melakukan tindak pidana dapat
diperiksa oleh penyidik dan apabila dirasa bukti cukup maka penyidik dapat
menahan tersangka tersebut. Seorang tersangka yang dipanggil untuk diperiksa
dan setelah dilakukan pemeriksaan ternyata menunjukan indikasi yang kuat
akan keterlibatan tersangka dan adanya dasar yang kuat untuk penahanan maka
saat itu juga tersangka ditahan. Setelah tersangka tersebut ditahan maka
dibuatlah surat perintah penahanan yang diikuti dengan proses berikutnya,
seperti pemberitahuan tembusan surat perintah penahanan kepada pihak
keluarga.
d. Tersangka yang Tidak Ditahan
Apabila ada bukti permulaan, maka seseorang dapat diperiksa, baik
dalam status saksi maupun tersangka. Pemeriksaan pada tersangka yang tidak
ditahan dimulai dari pemanggilan melalui surat oleh polisi, pemanggilan harus
mencantumkan alasan pemanggiian yang Jelas serta pasa!-pasa! yang diduga
dilanggar oleh tersangka serta waktu dan termpat pemeriksaan serta petugas
penyidik yang akan melakukan pemeriksaan.107
Dalam prakteknya, waktu pemeriksaan sebagaimana dicantumkan
dalam surat panggilan tersebut, dapat ditunda atau bahkan dipercepat sesuai
dengan keadaan, karena biasanya, terutama bagi tersangka yang telah
menunjuk pengacara, telah terjadi komunikasi dan mengagendakan pada
waktu yang tepat. Meskipun secara hukum tidak ada penundaan waktu
pemeriksaan, bahkan sebaliknya apabila tersangka tidak bisa hadir dengan
alasan yang patut dan wajar maka penyidik yang akan mendatangi
107 Pasal 112 KUHAP ayat (1) dan (2)
85
tersangka108. Apabila tersangka atau saksi yang akan diperiksa bendomisili
diluar wilayah hukum penyidik yang melakukan penyidikkan, maka
pemeriksaan dapat dilakukan dengan berkoordinasi atau dibebankan kepada
penyidik yang wilayah hukumnya mencakup tempat kedudukan tersangka atau
saksi109.
Pada umumnya pemeriksaan terhadap tersangka yang dipanggil
melalui surat panggilan akan diiakukan pada jam kerja kantor penyidik,
kecuali dalam hal tersebut diatas, maka pemeriksaan akan diiakukan ditempat
tersangka berada dan pada waktu yang tidak ditentukan, tergantung kepada
situasi dan kondisi. Iptu SGG yang telah bertugas selama kurang tebih 10
tahun sebagai anggota polri belum pernah melakukan pemeriksaan tersangka
di tempat kediaman tersangka karena adanya "toleransi" dan keterbatasan
waktu serta biaya yang harus dikeluarkan apabila penyidik harus mendatangi
tempat kediaman tersangka.
e. Tersangka yang Ditahan
Tersangka yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup dapat dilakukan diadakan penangkapan yang hanya
berlaku dengan tenggat waktu 24 jam sebagaimana diatur dalam Pasal 19
KUHAP. Untuk kepentingan penyidikan tebih lanjut, maka penyidik pembantu
atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan sesuai dengan
Undang-Undang dan ketentuan yang berlaku.110
Penahanan juga merupakan suatu upaya penyidik untuk menaikkan
posisi tawar menawar bahkan juga merupakan suatu bentuk penyanderaan
(gijzeling) atas perlunasan suatu prestasi yang tunduk dalam hukum perdata,
padahal penahanan terhadap seseorang atas dasar hutang piutang jelas
melanggar hak asasi manusia, bahkan pada tingkat putusan pengadilan 108 Pasal 113KUHAP 109 Pasal 119 KUHAP 110 Pasal 21 KUHAP ayat (1)
86
sekalipun. Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, mengatur sebagai berikut:
Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau
kurungan berdasarkan atas alasan ketidak mampuan untuk memenuhi suatu
kewajiban utang piutang.
Baldwin, Robert and Richard Kinsey111 menjelasakan alasan penahanan
secara lebih rinci, yakni dapat dilakukan apabila terdapat kriteria berikut :
1) keengganan seseorang untuk memberikan identifikasi dirinya sehingga
surat panggilan dapat dilayangkan kepadanya;
2) keharusan untuk mencegah keberlanjutan atau pengulangan kejahatan
terkait;
3) keharusan untuk melindungi orang yang ditangkap atau orang lain atau hak
milik;
4) keharusan untuk mengamankan, melindungi atau mendapatkan melalui
proses interogasi, barang bukti yang berkaitan dengan tindak kejahatan
yang dilakukan;
5) kemungkinan orang terkait tidak muncul di pengadilan.
Mengingat tenggang waktu tersebut di atas, maka pemeriksaan, dalam
pengertian interogasi, dapat dilakukan menurut waktu yang dianggap tepat
oleh penyidik, sepanjang kondisi tersangka memungkinkan untuk dilakukan
pemeriksaan. Misalnya apabila tersangka tertangkap dalam keadaan mabuk
atau masih dibawah pengaruh obat-obatan, maka pemeriksaan dilangsungkan
setelah diperkirakan tersangka sudah hilang dan pengaruh alkohol atau obat-
obatan tersebut.
Pemeriksaan dalam bentuk meminta keterangan juga dilakukan dalam
waktu yang sesegera mungkin dan pada tempat yang tidak ditentukan, seperti
di tempat kejadian perkara dalam hal penyidik atau penyidik pembantu 111 Robert Baldwin, and Richard Kinsey, 2002, Police Powers dan Politic (Kewenangan Polisi
dan Politik) disadur oleh Kunarto, Jakarta, Cipta Manunggal, hal. 33
87
membutuhkan keterangan berkenaan dengan informasi lain tentang adanya
tersangka lain atau barang bukti yang dapat dimusnahkan atau dihilangkan
oleh komplotan tersangka apabila tidak diamankan dalam waktu yang cepat
dan tepat
f. Tata Cara Pemeriksaan
Penghargaan akan hak kemerdekaan seorang warga penting, karena
segera setelah seorang menjadi “tersangka”, maka status hukumnya berubah,
orang tersebut dikenakan berbagai pembatasan dalam kemerdekaannya dan
sering pula dengan degradasi secara moral. Kemungkinan kesewenangan
aparat dalam menjadikan seseorang menjadi tersangka yang diikuti dengan
berbagai pembatasan kemerdekaannya sebagai inidividu, pada hakekatnya
akan membatasi pula kemampuannya untuk membela diri terhadap
“persangkaan” yang diajukan negara, menjadikan hak-hak seorang tersangka
ini termasuk dalam hak-hak pokok warga negara yang harus diatur dalam dan
diuji oleh konstitusi.112
Pemeriksaan tersangka untuk mendapatkan keterangan dan pengakuan
dimulai dari pemanggilan tersangka untuk diperiksa dalam hal tersangka tidak
ditahan atau dengan membawa tersangka yang ditahan di hadapan pemeriksa.
Pemeriksaan tersangka akan lebih mudah kalau tersangka mengakui
perbuatannya dan ini akan dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan,
meskipun KUHAP menganggap bahwa pengakuan hanya sebagai salah satu
bukti dari bukti-bukti yang lain, bisa saja pengakuan tersangka pada waktu
pemeriksaan setelah di hadapan pengadilan dibantah oleh tersangka sendiri,
atau pada waktu proses persidangan ternyata alat bukti lain tidak mendukung
pengakuan tersangka. Aturan ini berbeda dengan Pasal 295 HIR dimana
pengakuan tersangka merupakan bukti yang cukup kuat, sehingga penyidikkan
112 Mardjono Reksodiputo, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, UI.Jakarta., 1999, hal 32
88
cenderung diarahkan pada pengakuan tersangka bahkan kalau perlu penyidik
menggunakan cara kekerasan dan penyiksaan untuk mendapat pengakuan
tersangka.
Pemeriksaan dilakukan pertama kali dengan menanyakan kesiapan dan
kesehatan tersangka untuk diperiksa karena KUHAP mengatur bahwa
keterangan tersangka atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari
siapapun dan dalam bentuk apapun. Selanjutnya penyidik akan mengajukan
pertanyaan sekitar tuduhan tindak pidana yang disangkakan. Setiap pertanyaan
dan jawaban dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) secara berurutan
dan pada akhir pertanyaan ditutup dengan pernyataan bahwa pemeriksaan
dilakukan dengan keadaan sadar dan tanpa tekanan dari pihak manapun juga.
Berita Acara Pemeriksaan selanjutnya ditanda-tangani oleh tersangka dan
pemeriksa, dalam hal tersangka menolak untuk menanda-tanganinya maka
pemeriksa akan mambuat berita acara tersendiri dan dengan mencantumkan
alasan keengganan tersangka untuk menanda tangani BAP.113
Dalam hal menurut penilaian penyidik ternyata masih diperlukan
keterangan tersangka, maka dapat dilakukan pemeriksaan tambahan dengan
cara pemanggilan atau dengan menghadirkan tersangka kembali untuk
diperiksa.
Hal ini dibenarkan oleh Kasatreskrim Limboto dalam wawancara yang dilakukan selama penelitin. dengan Kasatreskrim Limboto, dijelaskan bahwa :114
”Apabila masih diperlukan keterangan-keterangan selama masa penyelidikan, maka tersangka dapat dipanggil kembali untuk dimintai keterangan-keterangan yang diperlukan oleh penyidik, dan ini sudah sering dilakukan dalam proses penyidikan di kepolisian”
g. Pemeriksaan yang Tidak didampingi Pengacara
Dalam melakukan proses penyidikan, polisi berusaha untuk memenuhi
113 Pasal 118 ayat (1) dan (2) KUHAP114 Wawancara, 8 Agustus 2010
89
ketentuan prosedur peraturan yang berlaku. Di dalam pemeriksaan terhadap
tersangka, penyidik akan menanyakan kepada tersangka, mengenai
pendampingan oleh pengacara selama dalam pemeriksaan pihak kepolisian.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 56 KUHAP. Hal ini penting
karena Ancaman yang akan dijatuhkan kepada tersangka lebih dari lima
tahun. Sehingga tersangka perlu mendapat pendampingan pengacara, namun
itu semua dikembalikan kepada tersangka, mengenai didampingi pengacara
atau tidaknya. Dalam prakteknya tidak semua tersangka selama proses
penyidikan ada yang bersedia didampingi pengacara.
Pemeriksaan yang tidak didampingi pengacara dilakukan secara biasa
dketika tersangka dihadirkan ke ruangan pemeriksaan dan selanjutnya
diajukan beberapa pertanyaan. Pada waktu proses pemeriksaan tidak ada
perbedaan yang khusus untuk perlakuan antara tersangka yang tidak
didampingi dan didampingi pengacara, kecuali seorang tersangka yang
didampingi oleh pengacara, apabila pengacaranya belum datang maka
penyidik bersedia menunggu sampai hadirnya pengacara tersebut.
Dengan tidak adanya pengacara yang ditunjuk oleh tersangka sendiri,
maka penyidik akan lebih santai, tapi sebaliknya bagi tersangka akan
membuatnya lebih tegang, karena dalam pertanyaan tertentu ia tidak atau takut
menjawab karena jawabannya dapat membahayakan diri sendiri. Hal ini
berbeda dengan pengacara yang ditunjuk atau dirujuk oleh penyidik, maka
proses pemeriksaan tidak lebih merupakan upaya formalitas untuk memenuhi
ketentuan perUndang-Undangan.
Ketidakberadaan pengacara pada dasamya lebih “menguntungkan”
penyelidik, karena dengan demikian maka hubungan cukup menjadi dua pihak
dan segala tindakan antara penyidik dengan tersangka tidak ada yang perlu
mengkoreksi, dan tidak menutup kemungkinan bahwa pembagian “upeti jauh
lebih besar dan” birokrasi menjadi lebih singkat115
115 Guna memenuhi ketentuan Pasal 56 KUHAP, Penyidik akan menanyakan kepada tersangka
90
h. Pemeriksaan Yang Didampingi Pengacara
Keberadaan Pengacara dalam pemeriksaan awal menjadi sangat
penting untuk mendapatkan perhatian, mengingat dalam tahap penyidikan
suatu proses perkara pidana dimulai. Sering diberitakan oleh media massa
bahwa dalam proses pemeriksaan ini sering terjadi kekerasan yang dilakukan
oleh penyidik yang berlaku sewenang-wenang. Penyidik mengejar pengakuan
tersangka dengan cara-cara kasar, melakukan penyiksaan dalam berbagai
bentuk, hanya untuk mendapatkan sebuah pengakuan, bahwa tersangka telah
melakukan suatu kejahatan yang disangkakan.
Pada prinsipnya pemeriksaan yang didampingi pengacara berjalan
sebagaimana pemeriksaan yang tidak didampingi pengacara, sebab fungsi
pengacara semata-mata mendampingi, yakni melihat dan mendengar tanpa ada
hak untuk mencampuri materi pemeriksaan dan apabila tindak pidananya
dilakukan terhadap keamanan negara, maka pengacara hanya dapat melihat
tanpa boleh mendegar pemeriksaan. Hal ini dltujukan agar pemeriksaan yang
berlangsung sudah sesuai dengan KUHAP dan hak-hak tersangka sebagaimana
diatur dalam KUHAP telah dilindungi sebagaimana mestinya.116
Berbagai kendala yang sering terjadi dan menimbulkan permasalahan
dalam proses penyidikan yang didampingi pengacara antara lain adalah :
pertama, masih banyak yang mengaku atau menjadi pengacara tetapi
kurang/tidak memiliki pengetahuan, kemampuan dan tidak memahami kode
etik setaku pengacara. Pengacara model ini seringkali “over acting atau
memanfaatkan “kenalannya” atau “mengepit kepala harimau” dalam
apakah ia ingin didampingi oleh pengacara mengingat tindak pidana yang akan dikenakan kepada tersangka akan diancam dengan hukuman penjara lebih lima tahun.
116 Dalam prakteknya keberadaan pengacara disamping tersangka ternyata mencampuri proses materi pemriksaan dengan diarahkannya tersangka untuk membeikan jawaban yang kadangkala tersangka itu sendiri tidak mengerti.
91
berhubungan dengan penyidik ketimbang menunjukan kebolehannya sebagai
pengacara. Kedua, sangat terbatasnya pengacara di wilayah-wilayah tertentu
sehingga tidak semua tersangka dalam proses penyidikan dapat didampingi
oleh pengacara, disamping kurangnya pengetahuan masyarakat tentang haknya
untuk didampingi pengacara bilamana mereka menjadi tersangka dalan suatu
tindak pidana atau ada yang mengetahui haknya tetapi mereka tidak mau
menggunakan jasa pengacara dengan alasan tidak mampu untuk membayar
pengacara. Ketiga, masih dijumpai adanya pengacara yang menghalalkan
segala cara demi membela kliennya117.
Sikap “over acting dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka
bekerja secara profesional dan bahkan bagi pengacara muda untuk
memberikan kesan bahwa mereka adalah kelompok elit dan terpelajar, karena
berdasarkan latar belakang pendidikan formal, mereka adalah sarjana (bahkan
ada yang pasca sanana) sedangkan penyidik rata-rata lulusan SLTA118.
Tidak jarang penyidik tersinggung dengan cara pengacara yang terlalu
ikut campur dalam proses pemeriksaan, dalam keadaan ini penyidik yang
punya pertimbangan akan meninggalkan tereangka dengan pengacaranya atau
membementikan sementara proses pemeriksaan. Dalam kejadian yang ekstrim
penyidik akan menyuruh pengacara meninggalkan ruangan pemeriksaan serta
hanya melihatnya dan jauh.119
i. Penyimpangan
Secara fungsional polisi dituntut untuk melaksanakan tugas dengan
sikap etis, adil dan ramah, memberikan layanan dan menjaga ketertiban. 117 Alwil Luton, Kedudukan Advokat Dalam sistem Peradilan ndonesia (dalam perspektif
enyidikan), Makalah seminar, 2000, hal 7118 Wawancara dengan pengacara dinyatakan mengapa ia mengambil peranan yang berlebihan
pada waktu pemeriksaan, dan menurutnya untuk itulah dia dibayar disamping untuk mennjukkan kepada kliennya bahwa ia memegang peranan dalam proses pemeriksaan dan pembelaannya. (6 Juli 2010)
119 Menurut keterangan Bripka S. pada 8 Juli 2009, tindakan ini pernah dilakukukannya pada satu ketika.
92
Dalam tuntutan ini, petugas penegak hukum diberi wewenang besar untuk
membatasi kebebebasan gerak seseorang dan secara hukum dapat
mempermalukan atau menghina seseorang dalam rangkaian penyidikan,
penggeledahan, dan/atau proses penangkapan.120
Penyimpangan polisi muncul dalam dua bentuk, yaitu korupsi dan
penyelewengan polisi. Semua tindakan menyeleweng yang melibatkan
penyalahgunaan kedudukan atau jabatan untuk mendapatkan penghargaan atau
keuntungan materi baik untuk pribadi atau organisasi adalah merupakan
tindakan korupsi.
Penyimpangan terjadi karena berbagai alasan, seperti karena kaitan
kekerabatan, politis dan yang paling banyak terjadi adalah karena alasan
ekonomis. Anggaran polisi untuk penyelidikan kasus besar hanya Rp.
250.000,- sedangkan kasus kecil nilainya juga layak membuat prihatin, cuma
Rp. 7.500,- Dengan anggaran teratas seperti itu dan tuntutan akan penyelesaian
kasus secara cepat, baik dari masyarakat maupun atasan, membuat penyidik
memutar otak dan menggunakan segala kesempatan untuk menghasilkan uang
sebanyak-banyaknya.
Penghasilan polisi melalui gaji juga setali tiga uang, seorang anggota
polisi dengan pangkat Komisaris, lulusan Akademi Polisi dan telah bertugas
cukup lama dengan gaji sebesar Rp. 1.800.000,- dipotong dengan biaya lain
seperti bhayangkari, majalah dan lain lain. Jumlah sebanyak itu memang
masih jauh di atas Upah Minimum Regional tapi perbandingan itu tidak adil
bagi beban yang dipikul oleh seorang polisi dalam tugasnya. Bandingkan
dengan gaji seorang polisi dengan standar pangkat atau golongan yang sama di
Hongkong, berkisar US $ 1323 perbulan atau berkisar Rp. 10.800.000,- 121
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polres Limboto, menegaskan,
120 Thomas Barker dan Davi L. Carter, Penyimpangan Polisi, disadur oleh Jend. Pol (Pur) Kunarto, , Cipta Manunggal, Jakarta. 1999, hal. 42
121 Anton Tabah, Membangun Polri yang Kuat (Belajar dari macam-macam Asia). PT Sumber Sewu Lestari Jakarta, 2002, hal 8
93
ada banyak faktor yang membuat polisi menyalah-gunakan wewenang.
Penyebab itu bisa dirunut dari lingkungan masa kecil si polisi, masa
pendidikannya mulai dari SD, SLTP hingga SLTA, pendidikannya setelah
masuk Polri dan lingkungan kerjanya semasa di Polri122.
"Ada banyak faktor Ada yang karena bibitnya sudah jelek sebelum masuk
Polri, ada yang kerena salah memilih teman semasa di Polri, dan sebagainya.
Jadi bukan semata-mata karena masalah kesejahteraan. Kesejahtrran itu
salah satu, tetapi ada banyak faktor lain.
3. Fungsi Advokat terhadap Tersangka Pada Waktu Proses Penyidikan Oleh
Penyidik di Polres Limboto.
Advokat mempunyai fungsi yang sangat mendukun bagi kelangsungan
pemeriksaan oleh penyidik terhadap tersangka. Karena pengacara dapat
membantu memberikan masukan-masukan kepada tersangka di dalam
memberikan keterangan seputar kasus yang dihadapi.
Pengacara dapat memberikan pendampingan kepada tersangka di
dalam maupun di luar pengadilan. Karena hanya pengacaralah yang
memenuhi persyarafan berdasarkan ketentuan undang undang untuk
memberikan bantuan pendampingan kepada tersangka selama penyidikan.
Berdasarkan wawancara dengan Aipda Alex dalam wawancara tanggal
5 Agustus 2009 menyatakan bahwa:
“ pengacara mempunyai fungsi yanag sangat fital. Mengingat kondisi psikologis tersangka pada saat pemeriksaan dapat kembali bangkit selama pemeriksaan apabila didampingi oleh pengacara.”
Hal tersebut dibenarkan oleh Bripka Nasar dalam wawancara
mentyatakan bahwa :123
“selama menangani penyidikan: Apabila tersangka didampingi oleh 122 Wawancara Humas di Polres Limboto, 10 Juli 2009123 Wawancara dengan Bripka Nasar, 5 Agustus 2010
94
seorang Advokat, dapat memperlancar proses pemeriksaan. Selain itu banyak tersangka yang terkadang ketakutan selama masa pemeriksaan, apabila didampingi oleh pengacara, maka proses pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar. “
Pengacara secara umum terdiri atas pengacara yang melakukan acara
di depan pengadilan (litigasi) dan pengacara yang tidak. beracara didepan
Pengadilan (non-litigasi). Untuk menjadi Pengacara litigasi harus mendapat
ijin dan instansi tertentu dan melewati serangkaian ujian dan persyaratan
tertentu, sedangkan pengacara non litigasi (Penasihat Hukum) tidak
memerlukan syarat yang ketat, kecuali memilki pengetahuan hukum yang
memadai yang ditandai dengan menyelesaikan kuliah hukum di Universitas.
Pada kasus tertentu bahkan seorang dapat menjadi Penasehat
Hukum/Pembela tanpa harus menjadi sarjana hukum tertebih dahulu.
Sebelum keluarya UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, maka
Pengacara terdiri atas Pengacara Praktek dan Advokat. Pembedaan mana
terjadi berdasarkan sumber Surat Keputusan dan Kewenangan untuk wilayah
kerja masing-mastng. Pengacara Praktek mendapat ijin melalui Surat
Keputusan Ketua Pengadilan Tinggi dengan wilayah kerja mencakup
wilayah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan sedangkan Advokat
ijin dan Menteri Kehakiman dengan wilayah kerja seluruh Indonesia.
Dengan diundangkannya UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat,
maka tidak ada pembedaan pengacara lagi. Pengacara adalah orang yang
berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan
yang memenuhi persyaratan, yakni (Pasal 3 ayat 1):
1) Warga Negara Republik Indonesia;
2) Bertempat tinggal di Indonesia;
3) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
4) Berusia sekurang-kurangnya 25 {duapuluh !ima) tahun;
5) Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum
95
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1;
6) Lulus ujian yang diadakan oleh Organtsasi Advokat;
7) Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada
kantor Pengacara;
8) Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
9) Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai
integritas tinggi.
Dalam melakukan pekerjaannya khususnya terkait dalam
pendampingan tersangka, ada kode etik yang tentunya tidak dapat dilanggar
oleh pengacara. Dengan demikian pengacara dalam menjalankan tugas dan
fungsinya berpijak pada kode etik pengacara.
Etika sendiri dapat diciptakan dan dibehakukan menurut luas dan
sempitnya. Etika diciptakan dan diberiakukan dalam arti luas adalah etika yang
nilai-nilainya terkandung dalam moral dan susila. Dalam arti luas di sini
adalah karena diciptakan dan diberlakukan untuk seluruh umat manusia secara
universal. Sedangkan etika diciptakan dan diberlakukan dalam arti sempit
adalah etika yang ditujukan untuk suatu golongan atau keiompok manusia
dalam masyarakat. Tetapi sumber dan etika yang diciptakan dan diberlakukan
dalam arti sempit ini sesungguhnya bersumber dari nilai-nilai etika dalam arti
luas dan berlaku untuk seluruh manusia secara universal tadi.124
Gavin Mac Kenzie125 mengatakan begitu pentingya etika bagi
pengacara maka la menulis "Almost all decisions made by lawyer affect others
and therefore have ethical implications. In this sense, ethics is part of the
everyday life of lawyers". Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat
kepada profesi pengacara, maka pengacara harus selalu meningkatkan
kemampuannya, yang lebih jauh dinyatakan :124 Yudha Pandu, 2001.op.cit125 Gavin Mac Kenzie, Lawyers and Ethics, Profesional Resposibility and Disipline, Carswell,
Ontario, Kanada. 1999, hal 36
96
First, lawyers should upgrade the educator) and training of law students and
junior lawyers by continuing to enhance the teaching of ethics both in law
school and in practice. Second, lawyers should moderate their scorched earth
warrior impulses. Third, lawyers should enlafge their sense of obligation
beyond the unremitting pursuit of narrow client interests to the interests of
other stakeholders.
Etika sebagai suatu aturan moral yang mengatur tingkah laku golongan
masyarakat bukanlah suatu hukum positif yang mempunyai daya paksa untuk
pelaksanaannya. Etika hanya berlaku bagi goiongan tertentu yang sepakat
untuk tunduk kepada etika yang mereka buat sendiri dan dimuat dalam suatu
aturan-aturan tertulis (code), seperti Etika Rumah Sakit Indonesia, Kode Etik
Dokter, Kode Etik Pengacara, bahkan dalam cakupan lebih kecil lagi kode etik
juga dibuat untuk suatu kelompok yang lebih kecil walaupun dalam profesi
yang sama, seperti ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat
Indonesia (AAI), dan lain-lain. Kode Etik profesi pengacara menurut
Mohamad Sanusi sebagaimana dikutip dari buku Yudha Pandu adalah
"Ketentuan atau norma yang mengatur sikap, perilaku dan perbuatan yang
boleh atau tidak boleh dilakukan seorang pengacara dalam menjalankan
kegiatan profesinya, baik sewaktu beracara di muka pengadilan maupun di luar
pengadilan”.
Kebutuhan kode etik oleh para advokat dapat didasarkan pada skema
klasik Robert D Kohn126. Kohn menuliskan "lima tahap perkembangan yang
memberi gambaran tentang peran yang dibebankan oleh profesi pada kode
etiknya". tahap pertama, kode etik ditujukan untuk melindungi anggota-
anggotanya dalam menghadapi persaingan yang tidak jujur dan untuk
mengembangkan profesi yang sesuai dengan cita-cita masyarakat. Kedua,
hubungan antar anggota adaiah sesuatu yang dianggap paling penting. Ketiga
kode etik berperan sebagai pelindung dari campur tangan pihak luar atau 126 Binzaid Kadafi, op,cit.
97
perlakuan yang tidak adil Keempat, kode etik mulai diarahkan pada
pengembangan profesi dalam praktek sehingga kualiftkasi pendidikan para
anggota menjadi salah satu tekanan khusus baik dalam standar profesi maupun
kode etik profesi. Terakhir, tahap kelima adalah cara orang memandang
pentingnya diadakan hubungan antara profesi dan pelayanan yang memang
dibutuhkan oleh masyarakat umum.
Dengan berpijak pada kode etik inilah pengacara dapat menjalankan
tugasnya dengan baik dan benar terkait di dalam pendampingan terjadap
tersangka dalam proses hukum.
4. Manfaat Pemeriksaan Tersangka yang Didampingi Advokat
Kehadairan Pengacara tentunya memberikan dampak tersendiri bagi
tersangka. Hal ini tentunya akan berdampak dalam kelancaran pemeriksaan
oleh penyidik. Namun tidak semua orang mempunyai kemampuan dan
kemapanan ekonomis yang membuatnya bisa menyewa seorang pengacara
dalam hal menghadapi permasalahan hukum, terutama proses hukum pidana.
Pengalaman membuktikan bahwa seorang pencuri ayam bisa saja mendapat
hukuman penjara yang sama dengan seorang koruptor, hanya karena sang
koruptor didampingi oleh seorang pengacara handal sementara pencuri ayam
menghadapi proses hukum sendiri.
Padahal Undang Undang Dasar 1945, menjamin persamaan kedudukan
warga negara di depan hukum dan mendapat periakuan yang sama dalam
setiap proses hukum. Jaminan tersebut dapat dilthat dalam ketentuan Pasal 27
ayat (1) yang berbunyi:
"Segala warga negana bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan mwajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya".
Serta Pasal 28 D ayat (1) hasil amandemen kedua yang disahkan pada
98
tanggal 18 Agustus 2000, berbunyi:
Makna dari bunyi Pasal-Pasal di atas lebih jauh adalah bahwa setiap
warga mempunyai hak dibela (acces to legal counsel), perlakuan yang sama di
muka hukum (equality before the law) dan keadilan untuk semua (justice for
all).127
Bantuan Hukum dapat berupa, pendampingan hukum dalam pengertian
aktif, yakni mendampingi secara fisik megikuti proses hukum sebagaimana
dimaksud dalam KUHAP tentang tindakan yang dapat dilakukan oteh
pengacara pada setiap proses peradilan, atau dapat juga berupa nasehat hukum
yaitu pengacara tidak aktif secara langsung oleh karena kendala tertentu dan
hanya memberikan nasehat serta opini tentang peristiwa dan tindakan hukum
yang terjadi pada kliennya.
Menurut Schuyt, Groenendyk dan Sloot (dikutip dari Binzaid Kadafi,
dkk.), bantuan hukum dapat dibedakan ke dalam lima jenis, yaitu 128:
1. Bantuan Hukum Preventif: bantuan hukum yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian penerangan dan penyutuhan hukum kepada masyarakat sehingga mereka mengerti akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara
2. Bantuan Hukum Diagnostik; bantuan hukum yang diiaksanakan dengan pemberian nasehat-nasehat hukum atau biasa dikenal dengan konsultasi hukum.
3. Bantuan Hukum Pengendltian Konflik; bantuan hukum yang lebjh bertujuan mengatasi secara aktif permasalahan-permasalahan hukum kongkret yang terjadi di masyarakat. Biasanya dilakukan dengan cara memberikan asistensi hukum kepada anggota masyarakat yang tidak mampu menyewa / menggunakan jasa pengacara untuk memperjuangkan kepentingannya.
4. Bantuan Hukum Pembentukan Hukum; bantuan hukum yang dimaksudkan untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas, dan benar.
5. Bantuan Hukum Pembaruan Hukum; bantuan hukum yang lebih ditujukan bagi pembaruan hukum, baik itu metalui hakim atau melalui pembentuk Undang-Undang (dalam arti materil).
127 Yudha Pandu, 2001, op, cit. hal 49128 Binzaid Kadafi, op.cit. hal. 54
99
Dalam skala nasional, perubahan terpenting terjadi dalam kegiatan
bantuan hukum untuk masyarakat miskin di Indonesia pada Nopember 1978.
Ketika itu diadakan Lokakarya Nasional Bantuan Hukum se-Indonesia, pada
lokakarya tersebut ditetapkan suatu pengertian bantuan hukum dengan lingkup
kegiatannya yang cukup luas. Lokakarya tersebut menetapkan bahwa bantuan
hukum adalah kegiatan pelayanan hukum yang diberikan pada golongan yang
tidak mampu (miskin), baik secara perorangan maupun kepada kelompok-
kelompok masyarakat yang tidak mampu secara kolektif berupa pembelaan,
psrwakilan baik di dalam maupun di luar pengadilan, pendidikan, dan
penyebaran gagasan129.
Lembaga Bantuan Hukum yang terkenal membela kepentingan rakyat
miskin adalah adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang lebih dikenal
dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), disamping
Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM), yang hampir selalu ada pada setiap
pengadilan negeri dan juga lembaga bantuan hukum, dengan nama apapun,
yang ada di setiap FakuKas Hukum Universitas yang memiliki reputasi di
Indonesia. Konsep perlindungan hukum bagi rakyat miskin dituangkan dalam
anggaran dasar LBH, yang didalamnya disebutkan bahwa tujuan LBH
adalah130:
1. Memberi pelayanan hukum kepada rakyat miskin;2. Mengembangkan dan meningkatkan kesadaran hukum rakyat, terutama
mengenai hak-haknya sebagai subjek hukum;3. Mengusahakan perubahan dan perbaikan hukum untuk mengisi kebutuhan
bagi dan masyarakat yang berkembang.
Oleh karena tidak memungut bayaran dalam proses pembelaan hukum
terhadap masyarakat yang tidak mampu, maka pendanaan LBH sangat
bergantung kepada donatur dan bantuan-bantuan organisasi non-pemerintah
dan luar negeri..129 Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonseia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia, Jakarta. 1988, hal 84130 Binzaid Kadafi dkk.op.cit. hal 39
100
Organisasi Pengacara Intemasional yang tergabung dalam
International BAR Association (JBA) juga mengatur tentang standar dari
profesi hukum yang independent, dan yang khusus mengenai layanan hukum
bagi masyarakat miskin {legal service for the poor), berbunyi:
- It /s a necessary corollary of the concept of an independent bar that its
members shad make their services avaSabie to all sectors of society so that
no one may denied justice.
- Lawyers engaged in legal service programmes and organizations, which
are financed wholly or in part from public funds, shall enjoy full
guarantees of their professionalindependene in particular by:
a. The direction of such programmes or organizations being entrusted to
an independent board with control over its policies, budget and staff;
b. Recognition that, in serving that cause of justice, the lawyer's primary
duty toward the client, who must be advised and represented in
conformity with professional conscience and judgement.
Undang-Undang Advokat juga telah mengatur tentang bantuan hukum
secara cuma-cuma kepada masyarakat pencari keadilan bagi orang
miskin/ekonomi lemah dan atau atas permintaan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Kejaksaan atau Pengadilan (Pasal 22 ayat (1), akan tetapi ketentuan
ini masih membutuhkan Peraturan Pemerintah lebih lanjut (ayat (2). Ketentuan
ini ditindak lanjuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No.83 tahun
2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara
Cuma-Cuma yang merupakan pelaksanaan Pasal 22 Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dalam dunia pengacara, terutama pengacara litigasi, dapat
dikategorikan tiga jenis pengacara masing-masing: Pertama, pengacara yang
menyelesaikan konflik (pengacara putih), yaitu pengacara ideal yang
berdasarkan pengetahuan dan kemampuannya menyelesaikan masalah yang
menimpa kliennya dengan tuntas dan tidak meninggalkan ekses lebih lanjut.
101
Kedua, pengacara yang memelihana konflik (pengacara abu-abu), yaitu
pengacara yang dengan segala cara mepertahankan konflik yang ada, sehingga
semakin panjang dan semakin lama konflik yang ada akan menambah
penghasilannya dan kalaupun menyelesaikannya akan dilakukan dengan
meninggalkan ekor permasalahan yang akan mengibas kemana mana dan akan
menimbulkan konflik susulan. Ketiga, pengacara yang mmciptakan konffik
(pengacara hitam), yaitu pengacara dengan kemampuannya malah
menciptakan konflik dan dengan konflik yang tumbuh dan berkembang dia
akan masuk sebagai pahlawan yang akan menyelesaikan konflik tersebut.
Keberadaan Pengacara dalam pemeriksaan awal menjadi sangat
penting untuk mendapatkan perhatian, mengingat dalam tahap penyidikan
suatu proses perkara pidana dimulai. Sering diberitakan oleh media massa
bahwa dalam proses pemeriksaan ini sering terjadi kekerasan yang dilakukan
oleh penyidik yang berlaku sewenang-wenang. Penyidik mengejar pengakuan
tersangka dengan cara-cara kasar, melakukan penyiksaan dalam berbagai
bentuk, hanya untuk mendapatkan sebuah pengakuan, bahwa tersangka telah
melakukan suatu kejahatan yang disangkakan.
Pada prinsipnya pemeriksaan yang didampingi pengacara berjalan
sebagaimana pemeriksaan yang tidak didampingi pengacara, sebab fungsi
pengacara semata-mata mendampingi, yakni melihat dan mendengar tanpa ada
hak untuk mencampuri materi pemeriksaan dan apabila tindak pidananya
dilakukan terhadap keamanan negara, maka pengacara hanya dapat melihat
tanpa boleh mendegar pemeriksaan. Hal ini dltujukan agar pemeriksaan yang
berlangsung sudah sesuai dengan KUHAP dan hak-hak tersangka sebagaimana
diatur dalam KUHAP telah dilindungi sebagaimana mestinya.
Berbagai kendala yang sering terjadi dan menimbulkan permasalahan
dalam proses penyidikan yang didampingi pengacara antara lain adalah :
pertama, masih banyak yang mengaku atau menjadi pengacara tetapi
102
kurang/tidak memiliki pengetahuan, kemampuan dan tidak memahami kode
etik setaku pengacara. Pengacara model ini seringkali “over acting atau
memanfaatkan “kenalannya” atau “mengepit kepala harimau” dalam
berhubungan dengan penyidik ketimbang menunjukan kebolehannya sebagai
pengacara. Kedua, sangat terbatasnya pengacara di wilayah-wilayah tertentu
sehingga tidak semua tersangka dalam proses penyidikan dapat didampingi
oleh pengacara, disamping kurangnya pengetahuan masyarakat tentang haknya
untuk didampingi pengacara bilamana mereka menjadi tersangka dalan suatu
tindak pidana atau ada yang mengetahui haknya tetapi mereka tidak mau
menggunakan jasa pengacara dengan alasan tidak mampu untuk membayar
pengacara. Ketiga, masih dijumpai adanya pengacara yang menghalalkan
segala cara demi membela kliennya131.
Sikap “over acting dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka
bekerja secara profesional dan bahkan bagi pengacara muda untuk
memberikan kesan bahwa mereka adalah kelompok elit dan terpelajar, karena
berdasarkan latar belakang pendidikan formal, mereka adalah sarjana (bahkan
ada yang pasca sanana) sedangkan penyidik rata-rata lulusan SLTA132.
Tidak jarang penyidik tersinggung dengan cara pengacara yang terlalu
ikut campur dalam proses pemeriksaan, dalam keadaan ini penyidik yang
punya pertimbangan akan meninggalkan tersangka dengan pengacaranya atau
memberhentikan sementara proses pemeriksaan. Dalam kejadian yang ekstrim
penyidik akan menyuruh pengacara meninggalkan ruangan pemeriksaan serta
hanya melihatnya dan jauh.133
131 Alwil Luton, Kedudukan Advokat Dalam sistem Peradilan Indonesia (dalam Perspektif Penyidikan) Makalah seminar. 2000, hal. 9
132 Wawancara dengan pengacara dinyatakan mengapa ia mengambil peranan yang berlebihan pada waktu pemeriksaan, dan menurutnya untuk itulah dia dibayar disamping untuk mennjukkan kepada kliennya bahwa ia memegang peranan dalam proses pemeriksaan dan pembelaannya.
133 Menurut keterangan Bripka S. pada bulan 8 Juli 2009, tindakan ini pernah dilakukukannya pada satu ketika.
103
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh sebagaiamana yang telah
diuraikan diatas maka dalam pembahasan ini dengan menggunakan metode dan
teori hukum mengenai implementasi Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang KUHAP. yang berfokus pendampingan tersangka oleh
pengacara dalam penanganan perkara pidana pada tingkat penyidikan di Polres
Limboto dapat diuraikan sebagai berikut :
Lawrence M. Friedman pernah mengatakan bahwa, efektifitas
implementasi suatu produk hukum ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: pertama;
faktor substansi atau materi dari Undang-Undangnya sendiri yakni Pasal 56 ayat
(1 ) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, kedua; faktor
aparatur penegak hukum yang terkait, seperti, polisi, jaksa dan hakim, dan ketiga
adalah faktor budaya hukum yang ada di masyarakat.134
1. Proses Penyidikan Tersangka oleh Penyidik di Polres Limboto
a. Subtansi Hukum
Sesuai dengan teori Friedman di atas, maka yang dimaksud dengan
substansi meliputi materi perundang-undangan yang ada hubungannya
dengan proses penyidikan di Polres Limboto. Substansi atau materi dari
suatu produk peraturan perundangan merupakan faktor yang cukup penting
untuk diperhatikan dalam penegakkan hukum. Tanpa substansi atau materi
yang baik dari suatu peraturan perundangan rasanya sangat sulit bagi
aparatur penegak hukum untuk dapat menegakkan peraturan perundangan
secara baik pula, dan hal tersebut sangat ditentukan atau dipengaruhi ketika
proses penyusunan suatu peraturan perundangan dilakukan.134 Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, (New York: W.W. Norton and
Co.), 1978, hal.6-10.
104
Suatu produk peraturan perundangan dapat dikatakan baik apabila
hal-hal yang diatur dalam peraturan perundangan tersebut dirumuskan
secara jelas, tegas, sistematis dan mudah untuk dimengerti oleh semua
pihak, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda bagi
setiap orang yang membaca peraturan perundangan tersebut, termasuk oleh
Penyidik di Polres Limboto. Polres Limboto di dalam melaksanakan proses
penyidikan berpijak pada aturan hukum yang berlaku yaitu KUHAP serta
peraturan terkait dengan kepolisian.
Dalam penanganan penyidikan tersangka oleh penyidik Polres
Limboto berpijak pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
faktor substansi KUHAP ini terdapat beberapa hal utama yang
kemungkinan dapat mempengaruhi implementasi Pasal 56 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu: tujuan dan
perumusan Pasal KUHAP.
Dari segi materi muatan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang
KUHAP telah mengatur, polisi dalam menjalankan tugasnya. Undang-
Undang sudah memberikan petunjuk tentang aturan yang harus dijalankan.
Namun pengimplementasiannya tentu tergantung pihak yang
melaksanakannya. Sebagai gambaran, Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP secara umum hukum memiliki tiga
tujuan yang ingin dicapai dari pembentukannya, yaitu: Kepastian hukum,
Keadilan dan Kemanfaatan.
Pasal tersebut di atas menjadi pijakan bagi kepolisian di dalam
menjalankan tugas. Secara substansi Undang-Undang tersebut telah
memuat aturan yang dapat dipergunakan oleh kepolisian, sehingga apa
yang sudah termuat di dalam Undang-Undang tersebut dapat
mencerminkan rasa keadilan dan dapat memberikan kepastian hukum.
Namun dalam proses penyelidikan tersangka oleh penyidik terkadang
tujuan hukum tidak dipahami secara komrehensip, sehingga
105
mengakibatkan penyimpangan dalam ketentuan.
Dengan berbagai alasan polisi melakukan penangkapan tanpa
didahului dengan surat perintah. Untuk memenuhi ketentuan Undang-
Undang, maka surat perintah akan dibuat dan diselesaikan setelah
tersangka berada di kantor polisi.135 Dengan demikian aturan hukum yang
mengatur tentang tugas kepolisian terabaikan. Padahal Tidak seorang pun
dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Perintah penangkapan menurut ketentuan pasal 17 KUHAP
dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan pasal 17
KUHAP, definsi dari “bukti permulaan yang cukup”ialah bukti permulaan
untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir
.Pasal ini menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat dilakukan
dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-
betul melakukan tindak pidana.
Warga negara yang diduga sebagai tersangka dalam peristiwa
pidana berhak melihat dan meminta surat tugas dan surat perintah
penangkapan terhadap dirinya. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 18
ayat (1) KUHAP yang menyatakan :
“Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”.
135 Ketika penyimpangan ini dinyatakan kepada salah seorang penyidik, ia memberikan keterangan bahwa:tugas Polisi adalah tugas yang berpacu dengan waktu, apabila proses birokrasi tersebut dilaksanakan, maka tersangka keburu kabur atau menghilangkan barang bukti.
106
Saat dilakukan penangkapan terhadap tersangka, tersangka berhak
bebas dari segala tindakan penyiksaan ataupun intimidasi dalam bentuk
apapun dari aparat yang menangkapnya serta keluarga tersangka berhak
untuk mendapat tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) KUHAP, segera setelah penangkapan
terhadap tersangka dilakukan.
Selain itu sudah diatur berdasarkan Pasal 56 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Padahal KUHAP sebagai
sumber hukum yang mengatur hak dan kewajiban aparat penegak hukum,
diantaranya adalah polisi, cenderung untuk disimpangkan karena lemahnya
pengawasan terhadap pelaksanaannya. Konsekuensi dari penyimpangan
yang dilakukan oleh aparat polisi terhadap ketentuan KUHAP adalah
bebasnya tersangka dari ancaman hukuman yang diatur dalam KUHP,
sedikit sekali informasi tentang polisi yang melakukan penyimpangan
ditangkap serta dikenakan sanksi hukum, kecuali sanksi dari atasan polisi
sendiri.
Penyimpangan ketentuan lain adalah terhadap Undang-Undang No.
2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 19 ayat
(1), Undang-Undang ini mengatakan bahwa dalam melaksanakan tugas
wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantisa
bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama,
kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam
(ayat 2) diatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Kepolisian Negara Republik
Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.
Selain hal tersebut di atas, secara substansi pengaturan tentang
bantuan hukum dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang
Advokat sudah diatur. Undang-Undang Advokat telah mengatur tentang
bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat pencari keadilan
107
bagi orang miskin/ekonomi lemah dan atau atas permintaan Kepolisian
Negara Republik Indonesia Kejaksaan atau Pengadilan yaitu Pasal 22 ayat
(1). Peraturan yang mengatur tentang tindak lanjut pelaksaaan Pasal 22
Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yaitu Peraturan
Pemerintah (PP) No.83 tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma yang merupakan
pelaksanaan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat
b. Struktur Hukum
Struktur dalam hal ini Kepolisian, yang menggerakkan sistem
hukum yang terlibat dalam proses penyidikan tersangka di Polres
Limboto. Peranan aparatur penegak hukum juga tidak kalah pentingnya
dalam menentukan tingkat keberhasilan penegakkan suatu peraturan
perundangan, baik buruknya aparatur penegak hukum dapat menentukan
baik buruknya pula suatu penegakkan peraturan perundangan. Suatu
peraturan perundang yang baik terkadang tidak dapat ditegakkan secara
baik, apabila yang menegakkan peraturan perundangan tersebut adalah
aparatur penegak hukum yang tidak baik atau cakap. Dan hal tersebut
dapat dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya rendahnya tingkat
pemahaman dari aparatur penegak hukum terhadap substansi suatu
peraturan perundangan.
Kemudian diberlakukannya suatu peraturan perundang-undang
yang mempunyai maksud dan tujuan baik belum tentu memberikan suatu
manfaat yang nyata bagi masyarakat, apabila tidak ditegakkan secara
konsisten dan bertanggung jawab aturan-aturan hukum yang ada
didalamnya. Karena suatu peraturan perundang-undangan pada dasarnya
hanyalah rangkaian kalimat136 yang tidak akan memberikan makna tanpa 136
108
adanya mekanisme penegakkan hukum yang jelas dan pelaksanaan yang
konsisten dari aparatur penegak hukumnya.137
Pemeriksaan oleh penyidik di polres Limboto adalah suatu
kesempatan awal untuk berinteraksi antara penyidik, tersangka dan
pengacara. Pemeriksaan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan oleh
penyidik dan jawaban tersangka, semuanya dimuat datam Berita Acara
Pemeriksaan (BAP). Lamanya proses pemeriksaan tergantung kepada
pertanyaan dan jawaban tersebut serta kesepakatan para pihak, tapi rata-
rata beikisar antara 3 sampai 5 jam138.
Pemeriksaan terhadap tersangka yang tidak mampu yang ancaman
hukumannya lebih dari lima tahun, menurut Pasal 56 KUHAP wajib untuk
didampingi pengacara, akan tetapi dalam praktek hal ini jarang terjadi
karena berbagai alasan. Alasan pembenaran berdasarkan hukum yang
sering digunakan adalah penjelasan dari Pasal 56 itu sendiri yang mengatur
bahwa:
Menyadari atas peradilan yang wajib dilaksanakan secara sederhana, cepat dan dengan biaya ringan serta dengan pertimbangan bahwa mereka yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali tindak pidana tersebut dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b, maka untuk itu bagi mereka yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih tetapi kurang dari lima belas tahun, penunjukan penasehat hukumnya disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasehat hukum di tempat itu.139
Salah satu masalah utama yang sulit diatasi di Indonesia sampai
saat ini adalah masalah dalam penegakan hukum (law enforcement),
? Ayudha D Prayoga et al, ed., Persaingan Usaha Dan Hukum Yang Mengaturnya Di Indonesia (Jakarta: ELIPS, 1999), hal.125.
137
? Abdul Hakim G Nusantara dan Benny K Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli: Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 1999), hal.105.
138 Wawancara kepada seorang pengacara, setelah pemeriksaan tersangka oleh penyidik mengungkapkan cara penyelesaian kasus menimpa kliennya mengakui bahwa antara tersangka, penyedik dan ia sendiri sudah ada suatu kesepakatan untuk menyelesaikan perkara.
139 Menyiasati ketiadaan pengacara tersebut, maka antara penyidik dan tersangka merekayasa sedemikian rupa sehingga tersangka membuat pernyataan tertulis menolak untuk didampingi pengacara.
109
karena sebaik apapun suatu peraturan perUndang-Undangan hanya akan
menjadi ”macan kertas” yang tidak akan membuat takut bagi siapapun
untuk tidak mematuhinya, apabila tidak ada penegakan hukum yang
konsisten dan bertanggung jawab dari para aparatur penegak hukum,
seperti yang telah dikemukan sebelumnya. Sehingga sekarang ini
Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap lembaga penegak
hukum yang ada.
Dilihat dari hasil penelitian di lapangan bahwa penyidikan
tersangka oleh Polres Limboto ada beberapa hal yang menurut peneliti
tidak sesuai dengan aturan hukum. Adanya aparat yang melakukan
perbuatan-perbuatan yang menyalahi aturan dalam proses penyidikan
seperti melakukan korupsi serta penyimpangan prosedur lainnya yang pada
umumnya dipakai dalam proses penyidikan di kepolisian. Hal ini
menandakan kurang profesionalnya penyidik di Polres Limboto dalam
menangani proses penyidikan terhadap tersangka.
Dalam praktek, sebagaimana kebanyakan ditampilkan dalam
adegan visual di televisi, masih terlihat bahwa aparat kepolisian dalam
melakukan tugasnya masih cenderung melakukan kekerasan fisik terhadap
tersangka, penggunaan senjata api untuk membuat takut dan melumpuhkan
dengan cara menembak tersangka yang belum tentu bersalah. Tidak jarang
tersangka diperlakukan secara represif dan melanggar hak asasi manusia.
Penangkapan dan pemukulan tersangka dihadapan anak-anaknya sehingga
akan meninggalkan bekas pengalaman yang traumatis, menelanjangi
tersangka hingga hampir bugil dan melakukan tindakan lain yang
menyimpang dari norma agama, kesopanan dan kesusilaan.
Dengan demikian ada beberapa hal yang dilanggar oleh pihak
penyidik Polres Limboto dalam penyidikan seperti sudah dijelaskan di
atas. Undang-Undang sudah jelas mengatur mengenai proses penyidikan
namun dalam pelaksanaan masih banyak penyimpangan. Sehingga aturan
110
hukum seperti KUHAP maupun Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia belum dilaksanakan secara
maksimal. Hal ini terbukti masih adanya alasan polisi melakukan
penangkapan tanpa didahului dengan surat perintah. Hal ini jelas
melanggar peraturan Hukum Acara Pidana. Selain itu adanya kekerasan
fisik terhadap tersangka, penggunaan senjata api untuk membuat takut dan
melumpuhkan dengan cara menembak tersangka yang belum tentu
bersalah. Padahal sudah ada ketentuan yang mengaturnya yaitu Undang-
Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 19 ayat (1), dan ayat (2).
c. Kultur Hukum
Adanya Kultur Hukum yang berpengaruh di dalam proses penyidikan
di kepolisian merupakan suatu hal yang dapat memperlancar atau
menghambat proses penyidikan di Polres Limboto. Tindakan Kepolisian
dapat mempengaruhi citra polisi di mata masyarakat, khususnya perbuatan
terkait dengan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Di Polres
Limboto dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, masih terjadinya
pelanggaran-pelanggaran yang justru dilakukan oleh pihak kepolisian.
Terbukti dengan tidak mengindahkan aturan hukum yang berlaku missal
kekerasan fisik selama proses penyidikan, padahal tersangka belum tentu
bersalah. Hal ini tentunya melanggar hak asasi manusia. Masih adanya
pelanggaran, yang sudah biasa terjadi, yaitu penangkapan yang tidak
didahului adanya perintah penahanan.
Selanjutnya faktor budaya hukum tidak dapat diabaikan begitu saja
dalam menentukan sukses atau tidaknya penegakkan suatu produk
peraturan perundangan, meskipun materi suatu peraturan perundangan itu
baik, dan dilengkapi oleh aparatur hukum yang cakap dalam
menegakkannya, tanpa adanya budaya hukum yang kondusif di masyarakat
111
rasanya akan sangat sulit bagi suatu produk peraturan perundangan dapat
berjalan secara efektif. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap penerapan
hukum yang mengatur perilaku dalam hal ini Pasal 56 ayat (1 )Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP akan sangat dipengaruhi
oleh sistem nilai yang dianutnya. Apabila produk hukum yang mengatur
mengacu pada sistem nilai tertentu dihadapkan pada masyarakat yang
menganut sistem nilai dan memiliki budaya hukum yang berbeda, bukan
hal yang aneh bila penerapan produk hukum tersebut akan mengalami
kesulitan.
Faktor Kultur hukum atau budaya hukum sangat penting untuk
menjembatani kesesuaian norma hukum dengan tingkah laku agar
pelaksanaan atau bekerjanya hukum tersebut dapat dikatakan efektif
maupaun efisien atau dengan kara lain hukum dapat bekerja sesuai
harapan. KUHAP memberikan ketegasan dan membedakan antara
penyelidikan dan penyidikan. Pasal 4 dan Pasal 5 KUHAP mengatur
tentang pejabat yang menjalankan kewajiban-kewajiban penyelidikan.
Sedangkan Pasal 6, 7, dan 8 KUHAP dijelaskan mengenai pejabat yang
menjalankan kewajiban sebagai penyidik. Tugas penyelidikan yang
dilakukan oleh penyidik merupakan monopoli tunggal bagi Polri. Hal ini
cukup beralasan untuk menyederhanakan dan memberi kepastian kepada
masyarakat siapa yang berhak melakukan penyelidikan, kemudian
menghilangkan kesimpangsiuran penyelidik oleh aparat penegak hukum
sehingga, tidak lagi terjadi tumpang tindih. Perilaku Polisi dalam proses
Penyidikan di Polres Limboto dapat dikatakan cukup baik, namun tidak
semuanya dapat dikatakan baik. Hal ini masih ada tindakan-tindakan dari
penyidik yang melakukan tugas dan pekerjaannya, dengan mencari
keuntungan sendiri. Hal ini memang sangat kontras sekali dengan slogan
peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Terbukti masih ada pungutan-
pungutan dalam proses penyidikan.
112
Aturan hukum hanya seonggok kertas lusuh tanpa dilaksanakan
dengan konsisten dan integritas oleh pelaksananya hukum tidak netral,
tetapi efektifitasnya terpengaruh sekali oleh persepsi aparatur pelaksananya
serta konsistensinya.
2. Fungsi Advokat terhadap Tersangka pada Saat Proses Penyidikan oleh
Penyidik di Polres Limboto.
a. Subtansi Hukum
Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, mengatur tentang keberadaan Advokat dalam menangani
suatu proses penegakan hukum bagi seorang tersangka. Pasal 1 butir 2
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, tentang Advokat
menjelaskan bahwa: “Jasa Hukum adalah Jasa yang diberikan advokat
berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien. “
Dalam konteks ini pula, dapat terlihat pada Pasal 37 dan 38
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menjelaskan bahwa, setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum. Bahkan dalam perkara pidana, seorang
tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak
menghubungi dan meminta bantuan hukum.
Dari uraian sebagaimana dikemukakan di atas dapat di simpulkan
bahwa yang di maksud dengan bantuan hukum adalah pelayanan hukum
(Legal Service) yang diberikan oleh penasehat hukum dalam upaya
memberikan perlindungan hukum dan pembelaan terhadap hak asasi
tersangka/ terdakwa sejak ia ditangkap/ ditahan sampai dengan
diperolehnya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
113
tetap. Jadi yang dibela dan diberi perlindungan hukum bukan kesalahan
tersangka/terdakwa, melainkan hak-hak asasi dari tersangka/terdakwa agar
terhindar dari perlakuan dan tindakan tidak terpuji atau tindakan
sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.
Advokat merupakan salah satu penegak hukum yang bertugas
memberikan bantuan hukum atau jasa hukum kepada masyarakat atau
klien yang menghadapi masalah hukum yang keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh masyarakat. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang -
Undang No.18 Tahun 2003, Advokat adalah salah satu unsur dari
caturwangsa penegak hukum. Unsur-unsur caturwangsa penegak hukum
adalah hakim, Jaksa, Polisi serta Advokat.
Pada saat menjalankan tugasnya seorang pengacara memiliki hak
dan kewajiban. Hak dan kewajiban seorang pengacara adalah menjalankan
tugas dan fungsinya sesuai Kode Etik Advokat Indonesia, Undang –
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan peraturan perUndang
– Undangan lainnya yang mengatur tentang advokat. Hubungan antara
advokat dan kliennya dipandang dari advokat sebagai officer of the court,
terdapat dua konsekuensi yuridis. Konsekuensi itu antara laina Pengadilan
akan memantau bahkan memaksakan agar advokat selalu tunduk pada
ketentuan Undang – Undang atau berperilaku yang patut dan pantas
terhadap kliennya dan tentunya juga advokat harus membela kliennya
semaksimal mungkin , maka advokat harus hati-hati dan tunduk
sepenuhnya kepada aturan hukum yang berlaku.
Dalam membela kliennya advokat tidak boleh melanggar aturan
hukum yang berlaku. Tidak boleh melanggar prinsip moral, serta tidak
boleh merugikan kepentingan orang lain. Dalam proses penyidikan
banyak penyimpangkan terhadap Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat yang dilakukan oleh pengacara, terutama pengakuan
114
tentang profesi pengacara yang merupakan profesi yang mulia (officium
nobite) pada kenyataannya sering digunakan sebagai upaya untuk
mendapat keuntungan materi semata. Pengacara kadangkala menjadi satu
bagian dalam mata rantai yang menciptakan ketidak pastian hukum,
dengan tindakan-tindakan yang mereka lakukan diantaranya mengajarkan
kliennya untuk merekayasa jawaban dari pertanyaan penyidik, mendatangi
penyidik dan menawarkan suatu kerja sama dengan kompensasi tertentu.
Dalam kedudukannya sebagai sutau profesi yang mulia atau lebih
dikenal dengan istilah officium nobile maka pengacara, berdasarkan Pasal
22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
berbunyi;
Pasal 22
(1) Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
pencari keadilan yang tidak mampu.
Selain menangani perkara dengan menetapkan suatu legal fee atau
honorarium, pengacara juga memiliki kewajiban dalam memberikan
bantuan hukum untuk kaum miskin dan buta huruf. Secara ideal dapat
dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial dari
advokat. Oleh sebab itu maka pencacara dituntut agar dapat
mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk
orang miskin yang membutuhkan bantuan hukum secara cuma-cuma atau
probono. Pemberian bantuan hukum oleh advokat bukan hanya dipandang
sebagai suatu kewajiban an sich namun harus dipandang pula sebagai
bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social contribution and
social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi sosial dari
profesi advokat.
Adanya Peraturan Pemerintah (PP) No.83 tahun 2008 tentang
Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-
Cuma yang merupakan pelaksanaan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18
115
Tahun 2003 tentang Advokat yang mengisyaratn advokat wajib
memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan
yang tidak mampu.
Profesi advokat seringkali mengalami hambatan dituduh oleh
masayarakat dengan cap buruk karena ideologinya yang sejalan dengan
siterdakwa yang dibelanya, dianggap menghisap klien secara materi, serta
adanya pandangan bahwa seorang pengacara acapkali membantu klien
dalam melakukan tindak pidana. Sebagai contoh dalam pembelaan masalah
tindak pidana terkadang seorang advokat dianggap membantu klien
memindahkan hasil tindak pidana melalui pembayaran jasa hukum atau
legal fee.
Dengan demikian Substansi hukum mengenai advokat sudah jelas
tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.83 tahun 2008 tentang
Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-
Cuma yang merupakan pelaksanaan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat. Aturan ini dalam prakteknya belum dapat
dilaksanakan secara maksimal.
b. Struktur Hukum
Komponen struktur yaitu pengacara yang ditetapkan oleh sistem
hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung
bekerjanya sistem tersebut.
Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem
hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan
hukum secara teratur. Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin yang
menggerakan sistem hukum. Maka efektifnya hukum itu sangat ditentukan
oleh struktur pelaksanahukum tersebut.
Ruang lingkup struktur hukum dapat diistilahkan sebagai “ Penegak
116
Hukum” adalah mencakup mereka secara langsung maupun tidak langsung
berkecimpung dibidang penegakkan hukum.
Dalam menangani sebuah kasus seorang advokat terikat dengan
Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan kode etik
advokat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari pembatasan hal-hal apa saja
yang boleh dibela seorang advokat di muka pengadilan. Selain itu juga
agar seorang advokat tidak bertidak diluar kewajaran saat membela
seorang klien.
Dalam organisasi advokat yang diakui oleh Undang-Undang
mengenal sebuah Dewan Kehormatan. Dewan kehormatan inilah yang
berperan untuk memberikan sanksi kepada seorang advokat yang
melanggar kode etik. Sejauh ini peranan Dewan Kehormatan ini dipandang
cukup efektif. Dalam Pasal Pasal 7 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang advokat.
Sering terjadi pandangan di masyarakat terhadap seorang advokat
yang membela seorang klien yang di mata masyarakat telah dinyatakan
bersalah atas suatu kasus. Tidak jarang masyarakat mencemooh advokat
yang menjadi kuasa hukum si terdakwa. Dari sudut Undang - Undang
Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat hal ini dapat dimungkinkan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal Pasal 15 Undang–Undang
Nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat. Disebutkan pula dalam Pasal 18
ayat 2, bahwa advokat tidak dapat diidentikkan dengan klien yang sedang
dibelanya.
Pandangan mengenai pembelaan yang dilakukan seorang advokat
terhadap klien yang bersalah. Namun dalam hal ini seorang advokat tidak
dapat membela seorang klien yang telah nyata-nyata bersalah agar
dibebaskan dari semua tuntutan, namun semata-mata seorang advokat
hanya sebagai penasehat atau pendamping si tersangka di muka
pengadilan. Di sini si advokat bertugas untuk mendampingi agar hak-hak
117
yang dimiliki si tersangka tidak dilanggar. Karena walaupun demikian dia
tetap manusia dan warga Negara yang memiliki hak dan kewajiban yang
sama.
Karena tidak jarang seorang tersangka diperlakukan semena-mena
oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini si
tersangka dapat dapat dikatakan sebagai pencari keadilan, terlepas dari
tindak pidana yang dilakukannya. Namun seorang advokat berhak untuk
menolak pendampingan hukum kepada seorang klien dengan alasan
bertentangan dengan hati nurani si advokat, tetapi tidak diperkenankan
karena alasan perbedaan agama, suku, kepercayaan, keturunan dan lain
sebagainya, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 poin (a) Kode
Etik Advokat Indonesia. Pendampingan hukum yang dilakukan oleh
seorang advokat sesuai dengan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003
Tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia, bebas kepada
siapapun tanpa membedakan agama, kepercayaan dan lain sebagainya.
Hubungan kerjasama terpadu (integrated) dalam penegakan hukum
antara penyidik dengan advokat dalam sistem peradilan pidana adalah
sangat penting. Penyidik sebagai pihak yang mengumpulkan bukti serta
membuat terang tentang terjadinya tindak pidana jelas sangat menentukan
gagal atau berhasilnya suatu penuntutan dan penghukuman seorang pelaku
tindak pidana, sementara dilain pihak pengacara sebagai orang yang
mendampingi tersangka dalam proses pencarian kebenaran atas suatu
tindak pidana memastikan bahwa tindakan yang dilakukan penyidik dalam
melaksnakan tugasnya sudah sesuai dengan hukum yang berlaku serta
membebaskan tersangka apabila ia tidak bersalah menurut hukum, paling
tidak fungsi pengacara adalah untuk memastikan seorang terdakwa yang
melakukan tindak pidana telah menerima perlakuan yang adil dan dihukum
sesuai dengan hukum yang berlaku atas kesalahan yang dilakukannya.
118
Hubungan advokat dengan Penyidik secara langsung terjadi pada
saat advokat tersebut mendampingi tersangka yang menjadi kliennya.
Pengacara dalam proses pemeriksaan tersangka berada diantara tersangka
dan penyidik dan sesekali menimpali jawaban tersangka dan dalam
pertanyaan tertentu melarang kliennya untuk menjawab kalau hal itu
dianggap tidak relevan dan akan membahayakan tersangka pada waktu
proses penuntutan nantinya.
Hubungan ini pada kasus tertentu hanya sebatas pendampingan
dalam pemeriksaan tersebut, tapi adakalanya atas permintaan kliennya
pengacara dapat menghubungi penyidik diatur waktu pemeriksaan, untuk
menanyakan perkembangan kasus dan tindakan lain yang bisa memberikan
kemudahan bagi kliennya, hal yang paling sering dijumpai adalah untuk
permintaan penangguhan penahanan tersangka oheh penyidik.
Hubungan antara penyidik tidak terbatas pada satu kasus, tetapi
berlanjut terus pada kasus yang lain. Pembinaan hubungan ini
dimaksudkan untuk memenui kewajiban Undang-Undang tentang
pendampingan hukum terhadap tersangka yang tindak pidananya diancam
dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dalam hal terjadi suatu kasus
tindak pidana yang pelakunya diancam dengan hukuman penjara lebih dari
lima tahun, sedangkan tersangka tidak mampu untuk menyediakan
pengacara dan “menyerahkannya” kepada penyidik, maka penyidik akan
menghubungi pengacara yang telah dikenal sebelumnya melalui kasus
terdahulu.
Bendasarkan hal tersebut, maka terjalinlah hubungan kerja sama
antara penyidik dengan pengacara yang didasari kepentingan atau
keinginan yang sama, dengan kerja sama akan mempermudah atau
mempercepat mendapatkan hasil yang dicapai, dalam hal ini kemudahan
kalau perlu pembebasan terhadap tersangka dan sama-sama berujung
kepada keuntungan materi diantra mereka. Menurut Charles H. Coley yang
119
dikutip oleh Hary Sudwijanto140;
“kerja-sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai
kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan
mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut”.
Hubungan antara penyidik dengan pengacara dalam rangka proses
pendampingan tersangka pada waktu penyidikan terlihat adanya pola
hubungan pertukaran. Dalam hal ini penyidik sebagai pihak yang
mempunyai kekuatan dan kewenangan terhadap sebagaian kebebasan
tersangka yang nota bene adalah klien si pengacara, akan selalu didekati
dengan berbagai macam cara, termasuk dengan memberi sesuatu yang
memiliki nilai, baik intrinsik maupun ekstrinsik sehingga pengacara
mendapat kemudahan dalam menyelesaikan kasus yang ditanganinya. Hal
ini seperti yang diungkapkan oleh Peter Blau yang ditulis oleh Poloma dan
dikutip oleh Hary Sudwijanto" dijelaskan bahwa:
"... mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang
intrins'tk maupun ekstrinsik... dua persyaratan yang harus dipenuhi bagi
perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial; (!) perilaku tersebut harus
harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui
interaksi dengan orang lain, dan (2) perilaku harus bertujuan untuk
memperofeh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebuf. Tujuan
tersebut dapat berupa ganjaran ekstrinsik (seperti uang, faarang, atau jasa-
jasa) atau fntrinsik (termasuk kasih sayang, kehormatan, atau kecantikan).
Tidak semua transaksi sosial bereifat simetrts dan berdasarkan pertukaran
sosial seimbang... dalam hal terjadi hubungan sosial yang bersifat simetris,
dimana semua anggota menerima ganjaran yang sesuai dengan apa yang
diberikannya, maka Rita dapat menyebut hal demikian sebagai hubungan
140 Hary Sudwijanto, Hubungan Polisi dan Pers Dalam Pemberitaan Kejahatan Yang di Sidik. UI, Jakarta, .2003, hal 47
120
pertukaran.
Hubungan pertukaran tersebut terjadi melalui interaksi antara
penyidik dengan pengacara, dimana penyidik dan pengacara
mengharapkan suatu ganjaran, baik inthnslk maupun ekstrinsik. Penyidik
mengharapkan suatu pemberian dari pengacara yang merupakan
perpanjangan tangan dari tersangka dan sebaliknya pengacara
mengharapkan untuk mendapat suatu pengakuan dan penghormatan dari
penyidik seperti kesempatan untuk dapat menemui penyidik tanpa
melewati prosedur birokrasi bahkan dengan mengabaikan kepentingan
orang lain. Hal ini jelas akan memberikan kesan yang baik bagi tersangka
yang didampinginya dan karena itu tersangka juga akan memberikan
sesuatu kepada pengacara.
Secara moral tidak ada salahnya seseorang mencari penghidupan
dengan menyediakan berbagai pelayanan yang nyata-nyata dibutuhkan
masyarakat. Akan tetapi biasanya kode etik profesi akan mengambarkan
hubungan profesional dengan kliennya yang memiliki dimensi ekonomis
dalam pengertian non ekonomis. Dalam profesi advokat, honorarium pula
yang menjadi pembeda antara jasa hukum yang diberikan dengan bantuan
hukum secara pro bono.141
Sumber penghasilan dari profesi advokat adalah honorarium dari
klienya, sumber penghasilan ini sejalan dengan pertanggung jawaban kerja
profesional yang juga diberikan kepada klien.
Kegiatan profesional harus dibedakan dari kegiatan bisinis,
terutama pada pencapaian tujuannya. Dalam konteks bisnis, kembali
modal/uang kepada pemilik modal adalah tujuan akhir, sedangkan profesi
justru menitik beratkan tujuan pada kesdiaan melakukan kegiatan yang
141 Aria Suyudi, Binziad Kadafi, Bani Pamungkas, Bivitri Susanti, Erni Setyowati, Eryanto Nugroho, Gita Putri Damayana, Hadi Herdiansyah, Heni Sri Nurbayanti, Rival Gulam Ahmad, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Penerbit Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia,hal 231.
121
bermotif melayani. Cita – cita sebuah profesi pada dasarnya menuntut
individu untuk memberikan pelayanan dan memperoleh kompensasinya
berupa upaya memajukan kepentingan umum. Perbedaan nilai merupakan
titik utama pembeda profesional dengan wirausaha, para profesional tidak
meletakan imbalan materi sebagai tujuan utama meskipun tetap
menganggapnya perlu, sebaliknya para pengusaha menganggap mencari
keuntungan adalah tujuannya.142
Salah satu hak dari advokat adalah menerima honorarium atau legal
fee atas bantuan hukum yang ia berikan kepada, sesuai dengan Pasal 21
Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang
berbunyi:“(1) Advokat berhak menerima honorarium tasa jasa hukum yang telah diberikan kepada
klienya.
(2) Besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah
pihak.
dan sesuai dengan Kode Etik Profesi Advokat Indonesia Bagian II
Hubungan dengan Klien:
Bagian II Pasal 2 butir 2.8 Advokat harus menentukan honorarium dalam
batas-batas yang layak dengan mengingat kemampuan klien.
Bagian II Pasal 2 butir 2.9 Advokat tidak dibenarkan dengan sengaja
membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
Perjanjian memberikan bantuan hukum merupakan ranah hukum
perdata dengan ukuran yang wajar dan disepakati kedua belah pihak,
sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Legalitas legal fee dijamin pula
oleh Undang – Undang Nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat. Hak
advokat untuk mendapatkan suatu pemabayaran atau honorarium sebagai
imbalan atas kewajibannya memberikan bantuan hukum sesuai perjanjian
142Ibid, hal 232 .
122
yang kedua belah pihak sepakati.
Pada prinsipnya seorang perofesional menurut Luhut Pangaribuan
adalah free of charge, akan tetapi hal itu sudah tidak dapat lagi
dipertahankan karena adanya pergeseran dalam masyarakat. Advokat
sebagai profesional selain dituntut untuk memenuhi tanggung jawab pada
masyarakat juga dituntut memenuhi kebutuhan materinya. Masalahnya
sekarang, mana yang lebih dikedepankan oleh seorang advokat,
pemenuhan kebutuhan material atau melaksanakan fungsinya didalam
masyarakat.143
C. Kultur Hukum
Kultur Hukum di sini adalah advokat yang melakukan pendampingan
trerhadap tersangka selama proses perkara. Pengacara di dalam
melaksanakan tugas dan fungsi kepengacaraan berpijak terhadap aturan
hukum tentunya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dalam upaya mengefektifkan penerapan hukum, maka perlu dipahami pula
kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya. Karena sekalipun hukum itu
nampak sebagai seperangkat norma-norma hukum, tetapi ia selalu
merupakan hasil dari pada suatu proses sosial. Kekuatan-kekuatan sosial itu
akan selalu berusaha untuk masuk dan mempengaruhi setiap proses
pembentukan dan pelaksanaan hukum.
Penegakkan hukum terhadap masyarakat bertujuan untuk mencapai
kedamaian dan ketentraman di masyarakat, oleh karena itu dipandang dari
sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakkan hukum
Hubungan tersangka dengan pengacara adalah hubungan
profesional, dimana Pengacara mendampingi tersangka ditunjuk oleh
tersangka itu sendiri yang dibuktikan dengan adanya surat kuasa yang
143 Ibid, hal 235.
123
ditanda tangani oleh tersangka dan pengacara untuk menyerahkan
pendampingan hukum kepada pengacara tersebut. Atas pemberian kuasa
tersebut, maka pengacara akan mendapat kompensasi dalam jumlah
tertentu sesuai dengan kesepakatan.144
Hubungan advokat dengan tersangka secara perdata berlangsung
berdasarkan surat kuasa yang dibuat antara pemberi kuasa dengan
penerima kuasa, sehingga sewaktu-waktu pemberi kuasa dapat mengakhiri
hubungan dengan cara mencabut kuasanya. Kuasa berdasarkan hukum
perjanjian adalah suatu perjanjian yang bersegi satu (einzijdig
overeenskomst) yaitu perjanjian yang terjadi karena inisiatif salah satu
pihak sehingga mengikat secara perdata hanya kepada pihak yang memberi
kuasa dan dapat diakhiri secara sepihak oleh pemberi kuasa tersebut.
Kecuali terhadap proses pendampingan oleh advokat yang
tergabung dalam suatu Lembaga Swadaya Masyarakat atau Pos Bantuan
Hukum dan penanganan perkara secara pro bono oleh kantor pengacara,
hubungan advokat dengan tersangka belangsung secara komersil,
maksudnya pengacara adalah orang yang menjalankan profesinya dan
untuk itu ia dibayar. Besarnya bayaran seorang advokat sangat bervariasi
dan tergantung kepada negosiasi, walaupun kantor pengacara tertentu telah
menentukan besarnya tarif mereka tapi adakalanya mereka memberikan
keringanan biaya bagi tersangka yang tidak mampu bahkan kalau perlu
tanpa dibayar, terutama untuk kasus yang menjadi perhatian publik. Hal ini
diiakukan karena advokat menjadikan kasus tersebut untuk berpromosi
"secara tidak langsung dan gratis.
3. Manfaat yang diperoleh Tersangka dengan kehadiran Advokat
Hubungan antara advokat dengan tersangka dalam menyelesaikan suatu 144 Seorang pengacara yang tidak mau dicantumkan walaupun itu hanya berupa insial
menjelaskan Kilen saya telah melakukan penipuan dan telah mengambil keuntungan sejumlah uang dan dia tidak segan-segan mengelurkan sebagiannya untuk menyelamatkannya dari jeratan hukum.
124
kasus pidana berdasar kepercayaan dari keduanya, karena tersangka
mempertaruhkan hidupnya kepada pengacara. Tersangka dapat saja
mengorbankan materi sebanyak apapun yang dimilikinya demi
mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Begitu juga ketika tersangka
demi kepentingan penyelesaian perkara dan alasan pembuktian atau
memperkuat suatu alibi ia terpaksa harus mengungkapkan informasi dan
keterangan bersifat sangat rahasia yang pernah dialami dalam perkara tersebut,
termasuk rahasia pribadi, keluarga dan bisnis mungkin saja terjadi, informasi
dan keterangan bersifat sangat rahasia tersebut justru dapat merugikan dirinya
apabila kepercayaan yang telah diberikan melanggar atau dikhianati oleh
pengacara. Berdasarkan kemampuan dan keahlian dan pengetahuan advokat,
maka ia lebih berpotensi untuk melakukan pengkhianatan dan pelanggaran atas
kepercayaan yang diberikan tersangka (violation of trust). Sebaliknya dengan
adanya rasa kepercayaan, maka akan dapat melahirkan sikap kerja sama yang
baik (cooperative behavior), menurunkan beban transaksi, melahirkan
keharmonisan dalam hubungan, menghapuskan perpecahan serta mengurangi
sikap-sikap yang bertele-tele.
Berdasarkan pola hubungan yang terjadi, maka interaksi sosial antara
pengacara dengan tersangka dapat juga dikategorikan sebagai hubungan
pertukaran.. Pengacara dalam melakukan tugasnya mengharapkan ganjaran
berupa uang dan atau barang, sedangkan tersangka mengharapkan mendapat
perlakuan yang memberikan kemudahan dan kehormatan atas keberadaannya
sewaktu ia berada dalam tahanan penyidik bahkan kalau perlu
membebaskannya dari jerat hukum. Hal ini dapat dimaklumi mengingat
manusia selalu berusaha untuk mencari keuntungan dalam transaksi sosialnya
dengan orang lain. Dengan demikian ada hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan. Dengan adanya pendampingan pengacara terhadap tersangka
dapat memperlancar jalannya proses penyidikan. Pengacara dapat memberikan
masukan-masukan dan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilakukan oleh
125
tersangka selama dalam menghadapi proses hukum.
Namun demikian dalam merealisasikan sesuatu yang dianggap baik itu
tidak boleh menyebabkan tidak enak bagi pihak lain. Dengan demikian nilai
dalam hukum itu selalu berpasang-pasangan, satu nilai tidak berdiri sendiri, ia
dibatasi oleh nilai pasangannya. Sebagai contoh kebebasan itu dianggap baik
oleh seseorang, akan tetapi kebebasan itu tidak boleh mengganggu kebebasan
orang lain. Kebebasan itu dibatasi oleh ketertiban sehingga kebebasan orang
lain juga terjamin. Bila nilai yang berpasang-pasangan itu tidak berada dalama
posisi saling mendesak atau bertegangan maka nilai tersebut dinamakan serasi
(harmonis). Nilai yang berada dalam keadaan yang serasi itu merupakan
keadaan yang ini dicapai oleh hukum. Dengan perkataan lain keserasian itu
adalah tujuan hukum.
Secara konsepsional, inti dan arti penegakkan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-
kaidah dan pengejawantahan dari sikap dan tindak sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian hidup. Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut,
memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih kongrit
Nilai-nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan penjabaran secara
kongrit lagi, oleh karena nilai-nilai lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran itu
dalam bentuk kaedah-kaedah hukum yang berisikan suruhan, perintah,
kewajiban, larangan bahkan sanksi. Dengan demikian Kehadiran Penasehat
Hukum (pengacara) dimaksudkan untuk dapat melakukan kontrol, sehingga
proses pemeriksaan berlangsung fair dan manusiawi dengan menjunjung tinggi
asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dalam proses
penyidikan di samping itu adanya kontrol oleh pengacara terhadap jalannya
pemeriksaan tersangka selama dalam proses penyidikan.
126
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dalam tesis ini dapat disimpulkan
berkenaan Implementasi Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
pada tingkat Penyidikan di wilayah hukum Polres Limboto sebagai berikut.
1. Proses penyidikan dilakukan oleh Aparat Penyidik
di Polres Limboto Ditinjau dari Substansi hukum, Struktur hukum dan
Budaya hukum:
a. Subtansi hukum
Secara substansi Proses penyidikan tersangka oleh penyidik Polres
127
Limboto sudah diatur oleh perundang-undangan yang berlaku yaitu .
KUHAP khususnya Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang KUHAP. Undang-undang tersebut sudah memberikan
petunjuk tentang aturan yang harus dijalankan. Substansi hukum
pengaturan mengenai pengacara dalam mendampingi tersangka dalam
proses penyidikan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.83 Tahun
2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
secara Cuma-Cuma yang merupakan pelaksanaan Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Aturan ini dalam
prakteknya juga belum dapat dilaksanakan dengan baik oleh Penyidik
Polres Limboto.
b. Struktur hukum
Secara kelembagaan penyidikan tersangka dalam proses penyidikan
dilakukan oleh kepolisian di Polres Lomboto. Penyidikan yang dilakukan
oleh aparat Penyidik di Polres Limboto bahwa penyidik sering melakukan
penyimpangan hukum tetapi hal itu dilakukan karena alasan kesejahteraan
dan untuk mensukseskan tugas yang diberikan oleh atasan. Pemberian dan
pelaksanaan tugas oleh pimpinan sering tidak diiringi dengan dukungan
prasarana dan sarana, akan tetapi penyidik diberikan kebebasan untuk
mendapatkannya sehingga peluang terbesar yang memungkinkan bagi
penyidik adalah dengan melakukan penekanan kepada tersangka atau
pelapor. Sedangkan bagi pengacara dalam mendampingi tersangka dalam
proses penyidikan terjadi penyimpangan sebagiamana ketentuan Undang
Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat yang dilakukan oleh
pengacara itu sendiri , terutama pengakuan tentang profesi pengacara
yang merupakan profesi yang mulia (officium nobite) pada kenyataannya
sering digunakan sebagai upaya untuk mendapat keuntungan materi
semata. Kode etik pengacara juga tidak banyak membantu, bahkan
sebaliknya dijadikan sebagai alat perlindungan bagi pengacara dari jeratan
128
hukum yang berlaku.
c. Budaya Hukum
Budaya internal dalam hal ini Polres Limboto terkait dengan
Penyidikan yang dilakukan oleh aparat Penyidik di Polres Limboto sering
terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan tugasnya, hal itu dilakukan
karena alasan kesejahteraan dan untuk mensukseskan tugas yang diberikan
oleh atasan. Pemberian dan pelaksanaan tugas oleh pimpinan sering tidak
diiringi dengan dukungan prasarana dan sarana, akan tetapi penyidik
diberikan kebebasan untuk mendapatkannya sehingga peluang terbesar
yang memungkinkan bagi penyidik adalah dengan melakukan penekanan
kepada tersangka atau pelapor. Sedangkan bagi pengacara dalam
mendampingi tersangka dalam proses penyidikan terjadi penyimpangan
sebagiamana ketentuan Undang Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang
Advokat yang dilakukan oleh pengacara itu sendiri , terutama pengakuan
tentang profesi pengacara yang merupakan profesi yang mulia (officium
nobite) pada kenyataannya sering digunakan sebagai upaya untuk
mendapat keuntungan materi semata. Kode etik pengacara juga tidak
banyak membantu, bahkan sebaliknya dijadikan sebagai alat perlindungan
bagi pengacara dari jeratan hukum yang berlaku. Selain itu Pandangan
masyarakat terhadap penegakkan hukum sekarang ini menurun. Begitu
juga dalam implementasi Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang KUHAP
2. Fungsi, hak dan kewajiban pengacara terhadap kliennya (Tersangka)
pada waktu proses penyidikan oleh Penyidik di Polres Limboto.
Ditinjau dari segi Substansi hukum, Struktur hukun dan Budaya hukum:
a. Subtansi Hukum
Secara Substansi fungsi, hak dan kewajiban pengacara terhadap
kliennya (tersangka) pada waktu proses penyidikan diatur dalam muatan
129
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP serta dalam ketentuan
Peraturan Pemerintah (PP) No.83 tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan
Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma yang
merupakan pelaksanaan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat.
b. Struktur Hukum
Pengacara sebagai safah satu pilar dalam penegakan hukum dan
sebagai pengontrol pelaksanaan hukum oleh para penegak hukum ternyata
juga menjadi bagian dari pemain yang melemahkan sendi hukum
mengingat adanya pengacara yang dalam prakteknya tidak menerapkan
Peraturan Pemerintah (PP) No.83 tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan
Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma yang
merupakan pelaksanaan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat dengan mementingkan kepentingan sendiri terbukti
dengan menarik biaya yang cukup banyak dari tersangka. Ketidak
mampuan pengacara menjadi bagian dari sendi penegakan hukum karena
cenderung mengikuti keinginan kliennya dan untuk kepentingan pribadi
dengan memperkaya din sendiri serta tidak kalah pentingnya tidak banyak
keinginan pengacara untuk memperbaharui pengetahuannya, terutama
dengan dinamika perkembangan hukum.
c. Kultur Hukum
Pengacara belum dapat menerapkan ketentuan Peraturan
Pemerintah (PP) No.83 tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma yang merupakan pelaksanaan
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Seta
cenderung mementingkan kepentingan sendiri. Motivasi pengacara dalam
proses pendampingan hukum lebih banyak untuk menjadi "agen" penghubung
antara tersangka dan penyidik dan mengambil keuntungan materi dalam
permainan tersebut. Peranan sebagai agen tidak menuntut kadar intelektualitas
130
keilmuan dalam bidangnya, sehingga lebih banyak pengacara yang yang
menjadi "agen" puas dengan tingkat pendidikannya yang hanya sekedar
sarjana hukum sehingga tidak memiliki tingkat profesionalitas memadai,
mengambil peran menjadi penghubung diantara tersangka dengan penyidik
dengan mengabaikan tugas dan kewajibannya menurut hukum.
3. Manfaat kehadiran pengacara dalam memberikan manfaat kepada
tersangka
Manfaat yang dapat diporeoleh tersangka yaitu dapat memperlancar
jalannya proses penyidikan. Pengacara dapat memberikan masukan-masukan
dan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilakukan oleh tersangka selama
dalam menghadapi proses hukum. Kehadiran pengacara dimaksudkan untuk
dapat melakukan kontrol, sehingga proses pemeriksaan berlangsung fair dan
manusiawi dengan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption
of innocence) dalam proses penyidikan di samping itu adanya kontrol oleh
pengacara terhadap jalannya pemeriksaan tersangka selama dalam proses
penyidikan.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan maka, implikasinya sebagai berikut.
1. Dengan tidak dipahami secara konfrehensif dan diimplemntasikan secara
konsisten Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
KUHAP yang menjadi rujukan Proses penyidikan yang dilakukan Penyidik
Polres Limboto serta menjadi pegangan bagi pengacara dalam pendampingan
tersangka pada waktu penyidikan maka peraturan tersebut belum dapat
dilaksanakan secara maksimal.
2. Dengan belum dilaksanakannya fungsi, hak dan kewajiban pengacara secara
maksimal terhadap kliennya (tersangka) pada waktu proses penyidikan oleh
131
penyidik di Polres Limboto berdampak pada kurang lancarnya proses
penyidikan oleh kepolisian.
3. Dengan kurang maksimalnya pengimpklentasian Peraturan Pemerintah (PP)
No.83 tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum secara Cuma-Cuma yang merupakan pelaksanaan Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sehingga kehadiran
pengacara belum dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi tersangka
dalam proses penyidikan oleh Kepolisian.
C. Saran
Berdasarkan implikasi disarankan agar :
1. Menambah jumlah personil polri atau setidak-tidaknya meningkatkan mutu
sumber daya manusia dengan memberikan kesempatan untuk melanjutkan
studi ke jenjang yang lebih tinggi atau paling tidak pendidikan singkat dan
terarah.
2. Peningkatan penghasilan resmi polisi, apakah itu dengan menaikan gaji atau
dengan menambah bonus-bonus yang diatur olah peraturan yang berlaku dan
diiringi dengan penegakan hukum {law enforcement) secara konsekuen
sehingga polisi merasa takut dan malu untuk melanggar peraturan, dan tak
kalah pentingnya adalah menghilangkan budaya "setoran" dari bawahan
kepada atasan serta promosi dan penempatan pensonil yang transparan serta
profesional.
3. Menjadikan pengacara sebagai salah satu dari bagian masyarakat yang dapat
mengontrol penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Pengacara harus
sesegera mungkin membentuk wadah tunggal pengacara, sehingga
memudahkan pengawasan dan pengenaan sanksi etika bagi pencarara yang
melanggar kode etik. Mengadakan rangkaian ujian kepada pengacara untuk
dapat memperoleh predikat pengacara profesional yang diadakan oleh
organisasi terpisah dan organisasi pengacara serta menjatuhkan sanksi yang
132
berat kepada pengacara yang melanggar etika sebagaimana diatur dalam Kode
Etik Profesi.
b. Menghindari tindakan sewenang-wenang terhadap tersangka dan menghormati
asas praduga tidak bersalah, maka perlu membuat lembaga atau hakim
pengawas yang bertugas sehari-hari dikantor polisi untuk memberikan
persetujuan kepada setiap tindakan kepolisian yang memerlukan persetujuan
sebagaimana diatur Undang-Undang. Hakim pengawas adalah hakim
pengadilan negeri yang ditugaskan secara bergantian oleh Ketua Pengadiian
Negeri yang ada di wilayah resort kepolisian yang bertugas secara bergantian
dan tidak cacat moral serta telah melewati serangkaian seleksi yang ketat,
tidak terlibat dalam praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
133
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Hakim G. Nusantara. 1988. Politik Hukum Indonesia., Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Abdul Latif. 2005. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Bandung: Alumni
Adnan Buyung Nasution. 2008. “Pra Peradilan Versus hakim Komisaris”. Journal Internasional: Newsletter. KHN. Monday. December 22.,
Adrianus Meliala. 2001. Mengkritisi Polisi, Jakarta: Kanisius-PTIK,
Ahmad Ali. 2001. Menguak Tabir Hukum. Bandung: Alumni.
Alwil Luton. 2000. Kedudukan Advokat Dalam sistem Peradilan ndonesia (dalam perspektif penyidikan), Makalah Seminar Nasiona. Jakarta: Fakultas Hukum UI.
Anton Tabah. 2000. Membangun Polri yang Kuat (Belajar dari macam-macam Asia). Jakarta: PT Sumber Sewu Lestari
Aria Suyudi.dkk. tt. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesi
Azwar. 2002. “Penjara, Pembinaan, Interaksi Sosial dan Harapan”, Buletin Staf Ahli Kapolri
Bambang Waluyo. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta, Gramedia
Baldwin, Robert dan Richard Kinsey. 2002. Police Powers dan Politic (Kewenangan Polisi dan Politik) disadur oleh Kunarto. Jakarta: Cipta Manunggal
Budiyanto. 2000. “Perlindungan Atas Hak-Hak Tersangka Dalam Sistem Peraditan Pidana Indonesia (Studi Terhadap Penerapan KUHAP di Kabupaten Badung”. Thesis Program Pasca Sarjana. Denpasar: Universitas Udayana.
Burhan Ashshofa. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta.
Barker, Thomas dan David L. Carter, 1999. Penyimpangan Polisi, Disadur oleh Jend Pol (purn). Kunarto. Jakarta: Cipta Manunggal.
Djoko Prakoso. 1986. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia,
134
Dressier, Joshua. 1995. Understanding Criminal Law. New York: Legal Text Series
Esmi Warassih Pujirahayu. 2005. Pranata Hukum sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama
Efendi Eddie Wibowo. 2004. Hukum dan kewbijakan Publik. Yogyakarta: YPAPI
Farouk Muhammad. 2004. Sistem Kepolisian di Amerika Serikat (Suatu Pengantar). Jakarta: Penerbit Restu Agung,
Friedman, M. Lawrence. 1978. American Law an Introduction. New York: W.W. Norton and Co.
____________. 2001. Hukum Amerika Sebuah Pengantar (terjemahan Wisnu Basuki). Bandung: Alumni
HB. Soetopo. H.B. 1992. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hary Sudwijanto. 2003. Hubungan Polisi dan Pers Dalam Pemberitaan Kejahatan Yang di Sidik. Jakarta: UI.
Herbert L. Packer. 1968. The Limits of the Criminal Sanction. Sanford University Press.
J.E. Sahetapy. 1999. “Pendayagunaan Sistem Kamtibmas dalam Tertib Hukum dan Tertib Sosial”. Makalah dalam Diskusi HukumIntegrited Criminal Justice Sistem di UGM
Joko Purwono. 2004. Hukum dan Birokrasi. Diktat. Surakarta: Pascasarjana UNS.
Joko Widodo. 2003. Hukum dan kebijakan Publik. Bandung: Alumni
Ker Muir. William, Jr. 1977. Police Street Comer Politicians. Chicago and London: The University of Chicago Press.
Kunarto. 1993. Penyimpangan Polisi. Jakarta: Cipta Manunggal
Loebby Loqman. 2002. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana. Jakarta: Datacom.
___________, 2002. Pidana dan pemidanaan. Jakarta. Datacom.
Lexy J. Meleong. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya.
135
Luhut M.P Pangaribuan. 2002. Advokat dan Contempt of Court, Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi. Jakarta : Djambatan.
Mac Kenzie, Gavin. 1999. Lawyers and Ethics, Profesional Resposibility and Disipline. Kanada: Carswell, Ontario.
Mardjono Reksodiputro.1999. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Mazmanian dan Sabiter. 2000. Good Governance. Jakarta: Gramedia.
Nurfaizi. 1998. “Peningkatan Kuatitas Profesi Penyidik, Polisi dan Masyarakat”. Hasil Seminar Persatuan Polisi Asia Pasrfik Ke enam di Taipei, 11-14 Januari
Pan S. Kim. 2002. “Civil Service reform in Japan and Korea: toward competitiveness and competency”. International Review of Administrative Sciencxe. Vol. 68
Parsuji Suparlan. 1999. Etika Publik Polisi Indonesia : Aganda dan Tantangannya, Sarasehan, Lembaga Studi Pengemangan Etika Uaha. Bandung: Alumni.
Roger Hawthorn, John Champion. 1988. Problems of the Criminal Justice System, Australia: Edward Arnold.
Safroedin Bahar. 1997. Hak Asasi Manusia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
Satjipto Rahardjo. 2002. Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah.Bandung: Alumni.
Saparinah Sadli. 1976. “Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang”, Disertasi.
Setiono. 2005. Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Surakarta : Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Soebroto Brotodirejo. 1997. Pengantar Hukum Kepolisian Umum di Indonesia.
Surabaya: Percetakan Yuselia.
Soerjono Soekanto. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
136
Soetandyo Wognjosoebroto. 2002. Hukum. Paradigma dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perklumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa).
Subarsono. 2005. Hukum Kebijakan Publik. Bandung: Alumni
Topo Santoso. dan Eva Achjadi Zulfe. 2002 Kriminotogi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, 2001. Ketika Kejahatan Bertiaulat, Sebuah Pendekatan Kriminoiogi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban. Jakarta: Gramedia
Tjejep Rohendi Rohidi. 1992. Metodologi Penelitian Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
William J, Seidman, Chamblis. 1971. Law, Order and Power. Reading, Mass:
Affison-Wesley.
William Ker Muir, Jr. 1977. Police Steet Corner Politicians, pf Chicago Press, Chicago and London.
Yahya Harahap M. 2002. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
137