DISKRESI POLISI 1

125
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum jalanan yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Dalam Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Dalam menjalankan tugas sebagai hamba hukum, polisi senantiasa menghormati hukum dan hak asasi manusia. Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang teknis kepolisian. Oleh

Transcript of DISKRESI POLISI 1

Page 1: DISKRESI POLISI 1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai

aparat penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum

jalanan yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Dalam Pasal

2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi

Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.

Dalam Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian

Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi

terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum,

terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,

serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi

manusia”.

Dalam menjalankan tugas sebagai hamba hukum, polisi senantiasa

menghormati hukum dan hak asasi manusia. Penyelenggaraan fungsi kepolisian

merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas seorang

anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang

teknis kepolisian. Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap insan

kepolisian tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral.

Secara universal, tugas Polisi pada hakikatnya ada dua, yaitu menegakkan

hukum dan memelihara keamanan serta ketertiban umum. Tugas yang pertama

mengandung pengertian Represif atau tugas terbatas yang kewenangannya

dibatasi oleh kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), tugas kedua

mengandung pengertian Preventif atau tugas mengayomi adalah tugas yang luas,

tanpa batas, boleh melakukan apa saja asal keamanan terpelihara dan tidak

melanggar hukum itu sendiri.1

Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang

dijadikan pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi

1 Kunarto. 1997. Perilaku Organisasi Polri. Jakarta. Cipta Manunggal. hal: 111

Page 2: DISKRESI POLISI 1

2

setiap anggota untuk pemulihan profesi kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan

dan harapan masyarakat. Jadi polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom

dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta

clean governance dan good governance.2

Ada dua unsur yang mempengaruhi tugas Polisi, yaitu unsur bahaya dan

unsur kewenangan, termasuk kewenangan untuk melakukan tindak kekerasan

atau diskresi. Unsur bahaya membuat polisi selalu curiga, sedang unsur

kewenangan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi kesewenang-wenangan atau

penyalahgunaan wewenang. Dalam psikologi, konflik peran ini bisa

menimbulkan perilaku agresif.3

Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi

dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada

pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode

Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika profesi kepolisian

terdiri dari:

a. Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai

pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum

serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

b. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang

menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan

lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan

kehormatannya.

c. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk

senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh

kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2 Ibid. hal: 973 Sarwono. S.W. 1997. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. hal: 313

Page 3: DISKRESI POLISI 1

3

Keberhasilan penyelenggaraan fungsi kepolisian dengan tanpa

meninggalkan etika profesi sangat dipengaruhi oleh kinerja polisi yang

direfleksikan dalam sikap dan perilaku pada saat menjalankan tugas dan

wewenangnya. Dalam Pasal 13 UU Kepolisian ditegaskan tugas pokok kepolisian

adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,

dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Profesionalisme polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai

penegak hukum, mengingat modus operandi dan teknik kejahatan semakin

canggih, seiring perkembangan dan kemajuan jaman. Apabila polisi tidak

profesional maka proses penegakan hukum akan timpang, akibatnya keamanan

dan ketertiban masyarakat akan senantiasa terancam sebagai akibat tidak

profesionalnya polisi dalam menjalankan tugas. Tugas polisi disamping sebagai

agen penegak hukum (law enforcement agency) dan juga sebagai pemelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Polisi adalah

ujung tombak dalam integrated criminal justice system. Di tangan polisi-lah

terlebih dahulu mampu mengurai gelapnya kasus kejahatan.

Polisi dituntut mampu menyibak belantara kejahatan di masyarakat dan

menemukan pelakunya. Polisi harus melakukan serangkaian tindakan untuk

mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu kejahatan dan

menemukan pelakunya.4

Berbagai macam jenis kejahatan yang telah ditangani pihak kepolisian

dalam memberantas kejahatan jalanan demi untuk meningkatkan suasana yang

aman dan tertib sebagaimana yang menjadi tanggung jawab pihak kepolisian.

Maraknya tindak kejahatan Polri harus tetap menjaga kamtibmas yang

belakangan ini banyak terjadi terutama terhadap aksi demonstrasi yang mengarah

anarkhis. Begitu urgennya keberadaan polisi bagi masyarakat, maka dapat

diibaratkan seperti kolam dengan ikannya. Masyarakat dengan polisi tidak dapat

dipisahkan.5

Konflik antara polisi dengan masyarakat juga sering terjadi karena

ketidakprofesionalan dalam menjalankan tugas misalnya melakukan penyidikan

4 M. Faal. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta: Pradnya Paramita. hal: 24.

5 Anthon F Susanto. 2004. Wajah Peradilan Kita. Bandung: Refika Aditama. hal: 93

Page 4: DISKRESI POLISI 1

4

tanpa surat dan dasar hukum yang kuat, melakukan penangkapan dan penahanan

tanpa prosedur, melakukan kekerasan kepada tersangka dan sebagainya.6

Penegakan hukum di dalam sistem peradilan pidana bertujuan untuk

menanggulagi setiap kejahatan. Hal ini dimaksudkan agar setiap tindakan-

tindakan yang melanggar aturan hukum dan peraturan perundang-undangan serta

membuat kehidupan masyarakat menjadi aman, tenteram dan terkendali dan

masih dalam batas-batas toleransi masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat dari Mardjono Reksodipoetro bahwa sistem peradilan pidana adalah

sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.

“Menanggulangi” diartikan sebagai “mengendalikan” kejahatan agar berada

dalam batas-batas toleransi masyarakat.7

Dalam batas-batas yang wajar kekerasan terhadap demonstran yang

anarkhis dapat dibenarkan, namun tetap harus dilakukan secara selektif dan

terkendali. Tindakan keras dari kepolisian harus tetap berdasarkan aturan-aturan

hukum yang berlaku dan menghormati HAM. Pada demonstran yang bertindak

brutal dan anarkhis harus diperiksa sesuai dengan hukum yang berlaku. Akan

tetapi terkadang dalam menghadapi situasi di lapangan, Polisi dihadapkan pada

suatu keputusan diamana ia harus memilih suatu tindakan yang terkadang di luar

batas kewenangannya dan di luar komando pimpinannya.

Setiap kesatuan Polisi pada level apapun harus bertindak apabila melihat

ada pelanggaran hukum nasional. Bahkan tidak jarang Polisi daerah harus

mengabaikan hukum adat setempat untuk menegakan hukum nasional. Dengan

kata lain Kepolisian nasional yang sentralistik bergerak dengan satu gaya, dengan

kesamaan sense of perpose antara pimpinan Kepolisian nasional dengan para

pimpinan Kepolisian daerah dan para petugas yang ada di bawahnya. Berkenaan

dengan status itu dalam konteks masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk,

juga dalam kondisi geografi kepulauan yang sangat luas, sistem sentralisasi

cenderung kontradiktif dengan tujuannya (Kepolisian dalam masyarakat

demokratis). Oleh karena itu otoritas pemerintah lokal harus dipadukan dengan

sistem desentralisasi, dengan maksud untuk mendekatkan penyelenggaraan

manajemen Kepolisian kepada masyarakat yang dilayani8.

6 Ibid. hal: 1127 Anthon F Susanto. Ibid, hal: 758 George E Berkley. 1969. The Democratic Policeman. Boston Beacon Press, hal: 21

Page 5: DISKRESI POLISI 1

5

Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau

memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum

atau perkara pidana yang ditanganinya. Tindakan diskresi yang diputuskan oleh

petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga dan tanpa

meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya adalah diskresi yang bersifat

individual, sebagai contoh untuk menghindari terjadinya penumpukan arus lalu

lintas di suatu ruas jalan, petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan

kepada pengemudi kendaaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas

berwarna merah dan sebagainya. Adapun tindakan untuk mengesampingkan

perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap

tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan,

bukanlah tindakan diskresi individual petugas kepolisian. Tindakan tersebut

merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan

diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan–kebijaksanaan

pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara

mereka.

Manfaat diskresi dalam penanganan masalah sosial yang terjadi dalam

masyarakat antara lain adalah sebagai salah satu cara pembangunan moral

petugas kepolisian dan meningkatkan cakrawala intelektual petugas dalam

menyiapkan dirinya untuk mengatur orang lain dengan rasa keadilan bukannya

dengan kesewenang - wenangan.

Selain pantas untuk dilakukan diskresi juga merupakan hal yang penting

bagi pelaksanaan tugas polisi karena: (1) Undang-undang ditulis dalam bahasa

yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi

petugas dilapangan, (2) Hukum adalah sebagai alat untuk mewujudkan keadilan

dan menjaga ketertiban dan tindakan hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk

mencapai hal tersebut. (3) Pertimbangan sumber daya dan kemampuan dari

petugas kepolisian.

James Q Wilson mengemukakan ada empat tipe situasi tindakan diskresi

yang mungkin dilaksanakan, yaitu: (1) police-invoked law enforcement, petugas

cukup luas alasannya untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya

dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya; (2) citizen-invoked law

enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan dilaksanakan, karena

Page 6: DISKRESI POLISI 1

6

inisiatornya adalah masyarakat;(3) police-invoked order maintenance, diskresi

dan pengendalian pimpinan seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan

memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan (4) citizen-invoked order

maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan walau umumnya kurang

disetujui oleh atasannya.9

Dalam kenyataannya hukum memang tidak bisa secara kaku untuk

diberlakukan kepada siapapun dan dalam kondisi apapun seperti yang tercantum

dalam bunyi perundang-undangan. Pandangan yang sempit didalam hukum

pidana bukan saja tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana, tetapi akan

membawa akibat kehidupan masyarakat menjadi berat, susah dan tidak

menyenangkan. Hal ini dikarenakan segala gerak aktivitas masyarakat diatur atau

dikenakan sanksi oleh peraturan. Jalan keluar untuk mengatasi kekuatan-kekuatan

itu oleh hukum adalah diserahkan kepada petugas penegak hukum itu sendiri

untuk menguji setiap perkara yang masuk didalam proses, untuk selanjutnya

diadakan penyaringan-penyaringan yang dalam hal ini disebut dengan diskresi.

Sesuai dengan judul yang dipilih, maka dalam tulisan ini diskresi yang

dibahas adalah diskresi yang berkaitan dengan pekerjaan polisi yang

berhubungan dengan tugas-tugas penegakan hukum pidana, yaitu dalam rangka

sistem peradilan pidana dimana tugas polisi sebagai penyidik. Oleh karena itu

untuk membedakan dengan diskresi yang dilakukan oleh komponen fungsi yang

lain dalam tulisan ini yang menjadi tujuan adalah diskresi oleh kepolisian.

Tiap-tiap komponen dalam sistem peradilan pidana mempunyai

wewenang untuk melakukan penyaringan atau diskresi tersebut. Diskresi

diberikan baik karena berdasar peraturan perundang-undangan maupun atas dasar

aspek sosiologisnya.10

Penyaringan perkara mulai pada tingkat penyidikan11 berupa tindakan-

tindakan kepolisian yang dalam praktek disebut diskresi kepolisian. Pada tingkat

penuntutan, adanya wewenang jaksa untuk mendeponir suatu perkara yang biasa

disebut dengan asas oportunitas. Sedangkan pada tingkat peradilan berupa

9 Sarwono. S.W. 1997. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. hal: 21610 Ibid. hal: 7511 Lihat Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 6 tahun 2010 tentang

manajemen penyidikan

Page 7: DISKRESI POLISI 1

7

keputusan hakim untuk bebas, hukuman bersyarat, ataupun lepas dan hukuman

denda. Pada tingkat pemasyarakatan berupa pengurangan hukuman atau remisi.

Penyaringan-penyaringan perkara yang masuk kedalam proses peradilan

pidana tersebut merupakan perwujudan dari kebutuhan-kebutuhan praktis sistem

peradilan pidana, baik karena tujuan dan asas maupun karena semakin

beragamnya aliran-aliran modern saat ini, baik pada lingkup perkembangan

hukum pidana maupun kriminologi yang disadari atau tidak disadari, langsung

atau tidak langsung mempengaruhi nilai-nilai perkembangan yang ada pada

masyarakat dewasa ini. Tentunya diskresi oleh polisi itu sendiri terdapat hal-hal

yang mendorong ataupun menghambat didalam penerapannya di lapangan.

Polisi mempunyai peran yang sangat besar didalam penegakan hukum

pidana. Polisi sebagai bagian dari aparat penegak hukum merupakan salah satu

subsistem yang bertugas dalam bidang penyidik dan penyelidik tindak pidana.

Kedudukan Polri sebagai penegak hukum tersebut ditetapkan dalam Undang-

undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 butir (1) dan Pasal

2 bahwa:

Pasal 1 butir (1)

“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga

polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 2

“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

Dari bunyi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan

Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya

sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang

yudisial, tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dimilikinya

kewenangan diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam UU No 2 tahun 2002

pada Pasal 18 ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian

Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaiannya sendiri”, maka akan menjadi masalah apabila

dengan adanya diskresi ini justru malah merangsang atau memudahkan

penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi.

Page 8: DISKRESI POLISI 1

8

Dengan luasnya kekuasaan yang dimiliki oleh polisi, mempunyai potensi

kekuasaan itu disalahgunakan untuk keuntungan diri sendiri, kelompok maupun

organisasi lain. Padahal penggunaan kekuasaan diskresi yang diberikan oleh

pembuat undang-undang sebenarnya apabila jalur hukum yang disediakan untuk

menyelesaikan suatu masalah malah menjadi kurang efisien, kurang ada

manfaatnya maupun macet. Ditinjau dari sudut hukumpun setiap kekuasaan akan

dilandasi dan dibatasi oleh ketentuan hukum. Namun, kekuasaan diskresi yang

begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya akan menimbulkan permasalahan

terutama apabila dikaitkan dengan asas-asas hukum pidana yaitu asas kepastian

hukum dan hak asasi manusia.

Disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu

fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian tersebut, Kepolisian Negara Republik

Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai

negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa, sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.

Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, secara

tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik

Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak

pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Penyelidikan dan penyidikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 11. Dalam kenyataan

yang ada, sering dijumpai penggunaan kekerasan dalam penyidikan yang

dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka. Penggunaan kekerasan dalam

penyidikan pada masa sekarang ini telah menjadi sorotan sebagian masyarakat,

khususnya pemerhati hukum. Polri atau dalam hal ini penyidik dianggap

menggunakan kesewenang-wenangan dalam melakukan tugasnya. Akibat

kekerasan yang digunakan oleh penyidik dalam mengorek keterangan dari

tersangka menyebabkan terlanggarnya hak-hak tersangka sebagaimana diatur

oleh peraturan perundang-undangan.

Page 9: DISKRESI POLISI 1

9

Di Lumajang, berawal dari kasus penganiayaan yang Polisi menetapkan H

sebagai tersangka. Saat akan ditangkap, H berhasil melarikan diri. Hingga

akhirnya beberapa bulan berselang, tersangka belum tertangkap. Oleh karena itu,

Polsek Tekung menetapkan tersangka H masuk Daftar Pencarian Orang (DPO)12.

AKP Butar, kantreskrim polsek Tekung sedang melakukan penyelidikan

perkara tindak pidana lainnya. Dalam perjalanannya, AKP Butar bersama tim

mampir ke sebuah warung makan untuk beristirahat. Ternyata, pada saat

bersamaan, tersangka H berada di warung itu. Melihat kedatangan sejumlah

polisi masuk ke warung, tersangka H melarikan diri meninggalkan sepeda

motornya.

Polisi pun segera melakukan pengejaran namun tersangka berhasil

melarikan diri. Sepeda motor tersangka yang ditinggalkannya diamankan polisi

untuk diamankan dari pencurian. Namun tindakan yang diambil polisi tersebut

justru memicu pengaduan keluarga tersangka pada Provost dan melaporkan AKP

Butar denga tuduhan menyita/mengambil barang orang lain tanpa surat

penyitaan13.

Menerima pengaduan tersebut, Provost melakukan penyidikan terhadap

AKP Butar hingga akhirnya, Provost menetapkan tindakan yang diambil AKP

Butar sebagai Deskresi Kepolisian.

Berdasarkan hal tersebut maka apabila berbicara soal diskresi kepolisian

dalam sistem peradilan pidana, maka akan ditemukan suatu hubungan antara

hukum, diskresi, kepolisian, penyidikan dan sistem peradilan pidana. Maka

pokok permasalahan yang akan dikaji pada hakekatnya adalah bekerjanya hukum

dan diskresi kepolisian itu. Dengan lebih mengarahkan pada kenyataan-kenyataan

(empiris) yang terjadi dilapangan sebagai bahan analisis. Tekanan dalam

penelitian ini adalah pada hal-hal yang dialami oleh anggota POLRI dalam proses

penyitaan dalam rangka mengungkapkan terjadinya tindak pidana dalam

penulisan yang berjudul “Pelaksanaan Diskresi Penyidik POLRI dalam

Menangani Penyitaan”

B. Rumusan Masalah

12 Wawancara dengan Kanitreskrim Polsek Tekung, AKP Butar tanggal 12 Oktober 201113 Id.

Page 10: DISKRESI POLISI 1

10

Berdasarkan uraian di atas, maka agar permasalahan dapat dibahas secara

operasional dan sesuai dengan sasaran penelitian yang diharapkan maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan diskresi penyidik dalam melakukan

penyitaan?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban diskresi penyidik dalam

pelaksanaan diskresi penyitaan?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mempunyai tujuan untuk memberi arahan

yang tepat dalam proses penelitian yang dilakukan agar penelitian tersebut

berjalan sesuai dengan apa yang hendak dicapai, oleh karenanya ini dimaksudkan

untuk tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan diskresi dalam melakukan penyitaan;

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban diskresi penyidik dalam

pelaksanaan diskresi penyitaan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah:

a. Manfaat Teoritis

Penulis berharap dengan penelitian ini dapat memberikan sumbangan

bagi ilmu pengetahuan tentang tugas dan kewenangan anggota Polri

pada masyarakat dan Kepolisian pada khususnya.

b. Manfaat Praktis

Manfaat penulisan dari penelitian ini adalah memberikan masukan bagi

aparat keamanan khususnya Kepolisian dalam rangka proses

penangkapan, penahanan dan penyidikan dalam mengungkap tindak

pidana serta hambatan yang dialami dalam melakukan penyidikan

sehubungan dengan terjadinya tindak kejahatan.

E. Landasan Teori

Hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang

menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa

Page 11: DISKRESI POLISI 1

11

peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari

aksi manusia yang deliberatif. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan

oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang

melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic)

yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.14

Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan

(rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada

satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu

kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya, adalah

tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.15

Selain itu, definisi hukum yang tidak menentukan hukum sebagai perintah

yang memaksa harus ditolak, karena:

(1) hanya dengan memasukkan elemen sanksilah hukum dapat dibedakan

secara jelas dengan tatanan sosial lainnya;

(2) paksaan adalah faktor yang sangat penting sebagai pengetahuan

hubungan sosial dan menjadi karakter utama dari hukum; dan

(3) adanya sanksi adalah karakter utama dari hukum modern dalam

hubungannya antara hukum dan negara.16

Friedman mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen

sebagai berikut:

1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk

mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.

2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku,

bukan mengenai hukum yang seharusnya.

3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.

4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada

hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.

5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata,

mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum

14 Hans Kelsen. 1992. Pure Theory. Introduction To The Problems Of Legal Theory; A Translationof the First Edition of the Reine Rechtslehre orPure Theory of Law. Translated by: Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson. Oxford: Clarendon Press. hal : 69-72.

15 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press Cetakan Pertama. hal: 13.

16 Ibid. hal: 29

Page 12: DISKRESI POLISI 1

12

dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang

mungkin dengan hukum yang nyata.17

Konsep hukum seringkali secara luas digunakan dengan mengalami bias

politik dan bias ideologis. Pendapat yang menyatakan bahwa hukum dalam rezim

Bolshevism, sosialisme nasional, atau fasisme yang menindas kebebasan adalah

bukan hukum, menunjukkan bagaimana bias politik dapat mempengaruhi definisi

hukum. Akhirnya konsep hukum dibuat terkait dengan cita keadilan, yaitu

demokrasi dan liberalisme. Padahal dari optik ilmu yang bebas dari penilaian

moral dan politik, demokrasi dan liberalisme hanyalah dua prinsip yang mungkin

ada dalam suatu organisasi sosial, seperti halnya juga otokrasi dan sosialisme

yang juga mungkin ada pada masyarakat yang lain.18

Kelahiran KUHAP merupakan era baru dalam dunia peradilan pidana di

Indonesia. Selain sebagai produk hukum nasional yang menggantikan hukum

ciptaan kolonial Belanda, KUHAP juga memberikan spesialisasi dalam perihal

pelaksanaan dan pembagian tugas antara Kepolisian dan PPNS sebagai Penyidik,

Jaksa sebagai Penuntut Umum, serta Hakim yang mengambil keputusan di

Sidang Pengadilan dalam pelaksanaan penegakan hukum yang mencakup

koordinasi fungsional dan institusional, serta adanya sinkronisasi dalam

pelaksanaan tugas tersebut. Dengan diundangkannya Undang Undang No. 8

Tahun 1981 Tentang KUHAP dan Undang Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka semakin tegas diatur tentang

peranan POLRI sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sebelum menampilkan tugas-tugas pemerintah dalam negara hukum

modern, terlebih dahulu dikemukakan beberapa pendapat para sarjana berkenaan

dengan pembagian tugas-tugas negara dan pemerintahan. Pendapat para sarjana

mengenai pembagian tugas-tugas negara ini diilhami oleh kenyataan historis

bahwa pemusatan kekuasaan negara pada satu tangan atau satu lembaga telah

membawa bencana bagi kehidupan demokrasi dan kemasyarakatan. Oleh karena

itu kekuasaan negara perlu dipencarkan atau dipisahkan.

17 Ali Safa’at dalam alisafaat.wordpress.com/2009/02/06/perkembangan-teori-hukum-tata-negara-dan-penerapannya-di-indonesia/ diakses pada hari Sabtu. 20/08/11. Pukul 22.05.

18 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at. Op Cit. hal: 15

Page 13: DISKRESI POLISI 1

13

Pentingnya pemencaran dan pemisahan kekuasaan inilah yang kemudian

melahirkan teori pemisahan kekuasaan atau teori pemencaran kekuasaan

(spreading van machten of machtensscheiding). Adalah John Locke yang

dianggap pertama kali mengintrodusir ajaran pemisahan kekuasaan negara,

dengan membaginya menjadi kekuasaan legislatif (membuat undang-undang),

ekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan kekuasaan federatif

(keamanan dan hubungan luar negeri).

Ajaran pemisahan kekuasaan ini menjadi kian popular segera setelah

seorang ahli berkebangsaan Prancis Montesquieu menerbitkan buku “L’Esprit

des Lois” (The spirit of the law), yang di dalamnya terdapat ajaran pemisahan

kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan

eksekutif (melaksanakan undang-undang), kekuasaan yudikatif (mengadili

pelanggar undang-undang). Meskipun dalam perkembangannya dalam pemisahan

kekuasaan ini mendapat berbagai modifikasi terutama melalui ajaran pembagian

kekuasaan (machtsverdeling atau distribution of power), yang menekankan

pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian lembaga, dan ajaran check and

balance yang menekankan pentingnya hubungan saling mengawasi dan

mengendalikan antar lembaga negara, akan tetapi esensi bahwa kekuasaan negara

itu harus dibagi atau dipisah masih tetap relevan hingga kini.19

Terdapat perbedaan antara pemerintah dengan pemerintahan.

Pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksana tugas pemerintahan,

sedangkan pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang menjalankan

pemerintahan. Pemerintah sebagai alat kelengkapan negara dapat diberi

pengertian yang luas (in the broad sense) atau dalam arti sempit (in the norrow

sense).

Pemerintah dalam arti luas mencakup semua alat kelengkapan negara,

yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif,

dan yudisial atau alat-alat kelengkapan negara lain yang bertindak untuk dan atas

nama negara. Dalam pengertian sempit pemerintah adalah cabang kekuasaan

eksekutif.20

19 HR. Ridwan. 2002. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press Indonesia. hal: 1220 Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara

Indonesia. Bandung: Alumni. hal: 158-159

Page 14: DISKRESI POLISI 1

14

Pemerintah dalam arti sempit adalah organ/alat perlengkapan negara

yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan undang-undang, sedangkan

dalam arti luas mencakup semua badan yang menyelenggarakan semua

kekuasaan di dalam negara baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif

dan yudikatif.21

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas

memelihara keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan pembukaan Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 alinea empat yang

berbunyi:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah Kemerdekaan

Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang

berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta

dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

POLRI harus menjadi satu kekuatan mandiri tanpa intervensi dari

manapun yang garis hirarkinya langsung kepada negara sesuai konsep

manajemen tata negara modern. Konsep ini sudah diperkenalkan oleh pakar tata

negara Belanda Van Volenhoven dengan teorinya yang terkenal “Catur Praja”.

Negara akan kuat jika 4 pilarnya kuat, 4 pilar itu adalah Eksekutif (Pelaksana

UU), Legislatif (Pembuat UU), Yudikatif (Penegak UU), dan Kepolisian

(Pemaksa UU).22

Dalam menjalankan tugas memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, POLRI memiliki tanggung jawab terhadap suatu kondisi yang aman

dan tertib dalam kehidupan masyarakat. Keamanan adalah keadaan bebas dari

kerusakan atau kehancuran yang mengancam keseluruhan atau perorangan dan

memberikan rasa bebas dari ketakutan atau kekhawatiran, sehingga ada kepastian

21 SF. Marbun dan Moh. Mahfud. 2001. Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press. hal: 8

22 Anton Tabah. 1998. Reformasi Kepolisian. Klaten: CV. Sahabat. hal: 5

Page 15: DISKRESI POLISI 1

15

dan rasa kepastian dari jaminan segala kepentingan atau suatu keadaan yang

bebas dari pelanggaran norma-norma hukum.23 Ketertiban adalah suasana bebas

yang terarah, tertuju kepada suasana yang didambakan oleh masyarakat, yang

menjadi tujuan hukum. Ketertiban ini adalah cerminan adanya patokan, pedoman

dan petunjuk bagi individu di dalam pergaulan hidupnya24. Hidup tertib secara

individu sebagai landasan terwujudnya tertib masyarakat. Tertib masyarakat yang

di dalamnya terkandung kedamaian dan keadilan.25

Visi POLRI adalah POLRI yang mampu menjadi pelindung pengayom

dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta

sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu

menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia, Pemelihara

keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu

kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.

Berdasarkan uraian visi sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya uraian tentang

jabaran misi POLRI kedepan adalah sebagai berikut:

1. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace)

sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psykis.

2. Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preemtif

dan preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta

kepatuhan hukum masyarakat (Law abiding Citizenship).

3. Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan

menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia menuju

kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.

4. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap

memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam

bingkai tegritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

a. Mengelola sumber daya manusia POLRI secara profesional dalam

mencapai tujuan POLRI yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri

23 Soebroto Brotodirejo dalam R. Abdissalam. Penegakan Hukum di Lapangan oleh Polri. Dinas Hukum Polri. Jakarta. hal: 22.

24 Soedjono Dirdjosisworo. 1994. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal: 132

25 Abdurrahman. 1986. Tebaran Pikiran Studi Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Media Sarana Press. hal: 76

Page 16: DISKRESI POLISI 1

16

sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai

kesejahteraan masyarakat

5. Meningkatkan upaya konsolidasi kedalam (internal POLRI) sebagai

upaya menyamakan visi dan misi POLRI ke depan.

6. Memelihara soliditas institusi POLRI dari berbagai pengaruh eksternal

yang sangat merugikan organisasi.

7. Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah

konflik guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

8. Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari

masyarakat yang berbhineka tunggal ika.26

Melayani dan melindungi merupakan kata kunci yang menjadi ciri Polisi

sipil. Melayani dan melindungi seharusnya bukan merupakan tugas, tetapi

kewajiban setiap individu Polisi, bahkan pada setiap tempat dan di sepanjang

waktu. Pengabaiannya harus merupakan pelanggaran kode etik yang dapat

dijatuhi sanksi yang lebih berat daripada sekedar tindakan disiplin. Dengan

prinsip ini, pendekatan kasus dalam penanganan permasalahan Kepolisian sejauh

mungkin harus diganti dengan pendekatan kemanusian (human approach).

Artinya dalam setiap langkah tindakan, Polisi harus memberikan respek

manusiawi terhadap kliennya tanpa mengenyampingkan kepentingan penegakan

hukum terutama terhadap kejahatan menonjol yang meresahkan masyarakat,

sesuai motto universal Kepolisian: fight crime, love humanity and help

definquen.27

Dalam menyelenggarakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat tersebut dicapai melalui tugas preventif dan represif. Tugas di bidang

preventif dilaksanakan dengan konsep dan pola pembinaan dalam wujud

pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, agar masyarakat

merasa aman dan tidak terganggu segala aktifitasnya. Faktor-faktor yang

dihadapi pada tatanan preventif secara teoritis dan teknis Kepolisian, mencegah

adanya Faktor Korelasi Kriminologi (FKK) tidak berkembang menjadi Police 26 Puskom Info Bidang Humas Polda Metro Jaya. Visi dan Misi Kepolisian Republik Indonesia.

Dalam. www.polri.go.id: Visi dan Misi Kepolisian Republik Indonesia. Diakses pada hari Selasa, 06/09/2011. Pukul 15.02

27 Bambang Widodo Umar. Kebijakan Negara di Bidang Kepolisian. Dalam idsps.org/kebijakan-negara-di-bidang-kepolisian. Diakses pada Selasa. 06/09/2011. Pukul 14.53

Page 17: DISKRESI POLISI 1

17

Hazard (PH) dan muncul sebagai Ancaman Faktual (AF). Dengan demikian

dapat di formulasikan apabila niat dan kesempatan bertemu maka akan terjadi

kriminalitas atau kejahatan, oleh karena itu langkah preventif adalah usaha

mencegah bertemunya niat dan kesempatan berbuat jahat, sehingga tidak terjadi

kejahatan atau kriminalitas.

Pengertian dari Faktor Korelasi Kriminologi (FKK) tersebut adanya

situasi dan kondisi yang padat dengan faktor-faktor yang dapat menstimulir

terjadinya Police Hazard dan Ancaman Faktual (AF). Police Hazard adalah

situasi dan kondisi sangat potensial untuk menjadi gangguan keamanan dan

ketertiban masyarakat, sedangkan Ancaman Faktual adalah ancaman yang nyata

dan terwujud dalam bentuk gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat

seperti kejahatan atau pelanggaran hukum.28

Tindakan preventif biasanya dilakukan melalui cara penyuluhan,

pengaturan, penjagaan, pengawalan, patroli Polisi dan lain-lain sebagai teknis

dasar Kepolisian. Sementara di bidang represif adalah mengadakan penyidikan

atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan dalam undang-undang. Tugas

represif ini sebagai tugas Kepolisian dalam bidang peradilan atau penegakan

hukum. Tugas dan wewenang Kepolisian tersebut merupakan tugas dan

wewenang Kepolisian secara umum, artinya segala kegiatan pekerjaan yang

dilaksanakan oleh Polisi yang meliputi kegiatan pencegahan (preventif) dan

penegakan hukum (represif). Perumusan tugas dan wewenang dimaksud

didasarkan pada tipe Kepolisian yang tiap-tiap negara berbeda-beda, ada tipe

Kepolisian yang ditarik dari kondisi sosial yang menempatkan Polisi sebagai

tugas yang bersama-sama dengan rakyat, dan Polisi hanya menjadi status qou dan

menjalankan hukum saja.29

Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari

kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya

kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana

ditentukan dalam Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman pasal 6 ayat (2) yang menyatakan “Tiada seorang juapun dapat

dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah

28 Kunarto. 1997. Op Cit. hal: 38429 Satjipto Rahardjo. 1983. Masalah Penegakan Hukum. Bandung: Sinar Baru. hal: 35.

Page 18: DISKRESI POLISI 1

18

menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap

dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas

dirinya”.

Dengan adanya ketentuan perundang-undangan di atas, maka dalam

proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan

pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani

dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah

sebagaimana dimaksud di atas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan

perundang-undangan adalah sebagaimana di atur dalam Undang Undang No. 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat (1). Di

dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan

pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri

dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya.

Page 19: DISKRESI POLISI 1

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tugas dan Wewenang Kepolisian

Kewenangan menilai keadaan anggota POLRI yang akan melakukan

penindakan terhadap seorang penjahat harus mempertimbangkan manfaat serta

resiko dari tindakannya itu demi untuk kepentingan umum (landasan hukum

Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia). Sebelum penggunaan senjata api (dalam

kerusuhan massa misalnya) lebih dahulu harus dilakukan dengan memberi

peringatan teriakan dan anjuran oleh petugas POLRI melalui cara: (1) Suara

anggota POLRI tersebut cukup untuk menghentikan aksi si penjahat. (2) Suara

tersebut harus jelas dan dapat dimengerti. (3) Kalimatnya harus singkat dan tegas.

(4) Peringatan dengan suara tersebut harus dengan sikap yang sungguh-sungguh.

Setelah tindakan dengan seruan teriakan peringatan tersebut dilakukan maka

dapat dilakukan tembakan peringatan ke atas tiga kali.

Apabila masih belum dapat diatasi situasinya, diberikan tembakan terarah

di bawah pinggang dengan peluru karet untuk melumpuhkan. Jika

membahayakan jiwa masyarakat/petugas ditembakkan senjata api dengan peluru

tajam untuk melumpuhkan dengan sasaran pinggang ke bawah. Urutan-urutan

tindakan tersebut di atas diberlakukan POLRI apabila menghadapi pelaku

kerusuhan yang membahayakan keselamatan jiwa petugas/masyarakat, merusak

tempat ibadah/fasilitas umum/kantor pemerintahan dan markas TNI/melakukan

penjarahan massal. Penggunaan kekerasan dengan senjata api dilaksanakan tidak

boleh sembarangan tetapi dengan sasaran yang jelas.

Dengan kriteria tepat waktu, tepat situasi, tepat sasaran dan tepat

prosedur. Secara internasional ada ketentuan yang mengatur tentang penggunaan

kekerasan dan senjata api oleh aparat penegak hukum, ketentuan tersebut antara

lain: (a) Kode etik untuk para pejabat penegak hukum yang telah disahkan oleh

resolusi Majelis Umum PBB tanggal 17 Desember 1979, dalam Pasal (3)

ditegaskan bahwa: Para pejabat penegak hukum dapat menggunakan kekerasan

hanya apabila sangat perlu dan sebatas dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas

mereka. Pengertian Pasal ini mengandung empat hal, yaitu: (1) Bahwa para

Page 20: DISKRESI POLISI 1

20

pejabat penegak hukum dapat diberi wewenang untuk menggunakan kekerasan

apabila perlu menurut keadilan untuk mencegah kejahatan, atau dalam

melaksanakan penangkapan sah terhadap pelaku kejahatan yang dicurigai sebagai

pelaku kejahatan. (2) Sesuai atas keseimbangan antara penggunaan kekerasan

dengan tujuan yang hendak dicapai. (3) Pelaku kejahatan memberi perlawanan

dengan senjata api atau membahayakan jiwa orang lain. (4) Tindakan-tindakan

lain yang kurang ekstrim tidak efektif lagi; (b) Kongres VII PBB tanggal 27

Agustus sampai dengan 2 September 1990 di Havana Cuba telah mensahkan

prinsip-prinsip penggunaan kekerasan dan senjata api oleh para pejabat penegak

hukum. Penggunaan senjata api diatur dalam Pasal 9 yang intinya adalah bahwa

penggunaan senjata api dapat dilakukan dalam hal: (1) Untuk membela diri atau

membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka parah yang segera

terjadi. (2) Untuk mencegah dilakukannya suatu tindakan kejahatan yang sangat

serius. (3) Untuk mencegah pelaku kejahatan melarikan diri. (4) Dan apabila cara

yang kurang ekstrim tidak cukup untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Dalam

prinsip dasar tersebut juga diatur tentang bagaimana sikap penegak hukum dalam

menjaga ketertiban perhimpunan yang tidak sah namun non-kekerasan (aksi

damai) maupun menghadapi perhimpunan keras (brutal). Menghadapi aksi

damai, kekerasan dibatasi sekecil mungkin. Untuk menghadapi massa brutal,

senjata api dapat digunakan bila cara/sarana yang kurang berbahaya tidak dapat

digunakan dan penggunaan senjata api hanya dapat digunakan dalam kondisi

seperti di Pasal 9 Konvensi Havana 1999.

Tugas dan wewenang kepolisian terdapat Dalam Undang-Undang

Kepolisian No. 2 Tahun 2002 Pasal 13 Sampai 19:

Pasal 13:

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Pasal 14:

Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,

KepolisianNegara Republik Indonesia bertugas:

Page 21: DISKRESI POLISI 1

21

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap

hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana

sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas

kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi

manusia;

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya

dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15:

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a. menerima laporan dan/atau pengaduan;

a. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

mengganggu ketertiban umum;

Page 22: DISKRESI POLISI 1

22

b. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

c. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam

persatuan dan kesatuan bangsa;

d. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan

administrative kepolisian;

e. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan

kepolisian dalam rangka pencegahan;

f. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

g. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

h. mencari keterangan dan barang bukti;

i. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

j. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam

rangka pelayanan masyarakat;

k. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan

pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

l. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-

undangan lainnya berwenang :

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan

masyarakat lainnya;

b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,

dan senjata tajam;

f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan

usaha di bidang jasa pengamanan;

g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus

dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan

memberantas kejahatan internasional;

i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang

berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

Page 23: DISKRESI POLISI 1

23

j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian

internasional;

k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas

kepolisian.

Pasal 16:

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia

berwenang untuk :

a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan;

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

a. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

b. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

f. mengadakan penghentian penyidikan;

g. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

h. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau

mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka

melakukan tindak pidana;

i. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai

negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil

untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Page 24: DISKRESI POLISI 1

24

(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan

penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat

sebagai berikut :

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan

tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan

e. menghormati hak asasi manusia.

2.1.1 Polisi Sebagai Penyelidik dan Penyidik

Setiap dalam melakukan tugasnya polisi (dalam hal ini adalah penyidik)

harus selalu bertindak berdasarkan peratuan perundang-undangan yang berlaku

sehingga tidak boleh melakukan sesuatu hanya dengan sewenang-wenang saja

dan tidak boleh melanggar hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum

didalam pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat

dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang

telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri”.30

Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Dalam

melakukan penyelidikan Polisi sebagai penyelidik memiliki wewenang yaitu:

1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana;

2. mencari keterangan dan barang bukti;

3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab.

Atas perintah penyidik Polisi dapat melakukan tindakan berupa:

1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan

penahanan;

2. pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

30 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 123

Page 25: DISKRESI POLISI 1

25

4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

Sebagai penyidik Polisi dalam menjalankan kewajibannya memiliki

wewenang: 

a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka ;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan hlain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2.1.2 Proses penangkapan yang dilakukan Polisi

Untuk kepentingan penyelidikan penyelidik atas perintah penyidik

berwenang melakukan penangkapan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap

seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti

permulaan yang cukup. Penangkapan dilakukan apabila pelaku yang diduga keras

melakukan tindak sebelumnya ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut

tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. Pelaksanaan tugas

penangkapan. Dilakukan oleh petugas kepolisian Negara Republik Indonesia

dengan memperhatikan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat

perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan

alas an penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan

serta tempat ia diperiksa. Apabila tersangka didapat tangan oleh polisi melakukan

tindak pidana maka proses penangkapan dapat dilakukan tanpa memperlihatkan

surat tugas dan surat perintah penangkapan dengan ketentuan bahwa penangkap

harus membawa tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau

penyidik pembantu terdekat.

Page 26: DISKRESI POLISI 1

26

2.1.3 Proses Penahanan

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas

perintah penyidik berwenang maka polisi boleh melakukan penahan terhadap

tersangka untuk kepentingan penyidikan dan karena di khawatirkan tersangka

melarikan diri, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi kembali

tindak pidana yang serupa proses penahan yang dilakukan oleh penyidik hanya

berlaku paling lama 20 hari (Pasal 24 Ayat 1 UU NO.8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana), namun apabila diperlukan guna

kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, maka diperpanjang oleh penuntut

umum yang berwenang paling lama 40 hari(Pasal 24 Ayat 2 UU NO.8 Tahun

1981tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Untuk dapat melepas orang yang diperintah dari tangung jawab atas

perbuatannya ada 2 syarat. Pertama: yang subjektif, yaitu dalam batin orang yang

diperintah harus mengira bahwa perintahnya adalah sah, baik dilihat dari segi

pejabat yang mengeluarkan perintah, maupun dari segi macamnya perintah.

Tentu saja kesimpulan kearah ini harus berdasar atas fakta-fakta yang masuk akal

sebab, meskipun terdakwa mengatakan dia mengira bahwa perintah adalah sah,

tetapi kalau hal itu dengan wajar tidak dapat disimpulkan dari fakta-fakta yang

ada maka di situ unsur dengan itikad baik tidak ada. Kedua: kalau dari fakta-fakta

yang ada, adalah masuk akal jika terdakwa mengira bahwa perintah adalah sah,

atau berwenang maka apa yang diperintahkan itu secara objektif, yaitu dalam

kenyataannya, harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya.31

Setelah Polisi melakukan penangkapan, penyelidikan, penyidikan, dan

penahanan maka polisi membua BAP (Berita Acara Pidana) yang diserahkan

kepada pihak kejaksaan, sehingga untuk selanjutnya penyidikan dilakukan oleh

Pihak Kejaksaan.

2.2 HAM dalam Hukum Positif Indonesia

Undang-Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 dalam

penjelasannya menyebutkan bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum

(Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Bila kita

mencermati keseluruhan gagasan, pemikiran jiwa dan semangat teks Undang-

31 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 163.

Page 27: DISKRESI POLISI 1

27

Undang Dasar 1945, mulai pembukaan, batang tubuh sampai penjelasannya serta

perkembangan pemahaman kita terhadap hal-hal yang mendasar dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pengertian negara hukum yang kita

miliki ternyata mengandung makna yang luas dan mendalam, yang memuat

prinsip-prinsip tertib hukum, serta kesadaran untuk menjunjung tinggi hukum.

Prinsip-prinsip tersebut bilamana diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka

akan mencakup tidak saja segi legalitas tindakan negara/pemerintah, dengan

adanya peradilan bebas tetapi juga mencakup penghargaan dan perlindungan hak-

hak asasi manusia.”32

Oleh karena itu setiap penegakan hukum haruslah diartikan tidak saja

untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan tetapi juga termasuk di

dalamnya tujuan kepastian hukum dan termasuk juga di dalamnya tujuan

perlindungan HAM. Ada beberapa Pasal dalam UUD 1945 yang berhubungan

dengan HAM dan bisa disarikan setidaknya menjadi 15 prinsip HAM di mana

beberapa prinsip yang terpenting dari 15 prinsip HAM tersebut antara lain yaitu:

(1) Preambule: Hak untuk menentukan nasib sendiri,

(2) Pasal 26: Hak akan warga negara,

(3) Pasal 27: Hak akan kesamaan dan persamaan di depan hukum,

(4) Pasal 27: Hak untuk bekerja,

(5) Pasal 27: Hak untuk hidup layak,

(6) Pasal 29: Hak beragama,

(7) Pasal 30: Hak untuk membela negara,

(8) Pasal 31: Hak akan pendidikan,

(9) Pasal 33: Hak akan kesejahteraan sosial,

(10) Pasal 34: Hak akan jaminan sosial,

(11) Pasal 24 dan 25: Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan,

(12) Pasal 32: Hak mempertahankan tradisi budaya,

(13) Pasal 31: Hak mempertahankan bahasa daerah.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Dalam

Undang-Undang tentang Hak asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 dalam Pasal-

Pasalnya mengatur tentang:

32 Alamsyah, Nur. 2000. Peradilan Terhadap Pelaku Kejahatan HAM Yang Berat. LBH Medan. hal 112

Page 28: DISKRESI POLISI 1

28

(1) Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 mengatur tentang Hak untuk

mengembangkan diri,

(2) Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 mengatur tentang Hak untuk

memperoleh keadilan,

(3) Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 mengatur tentang Hak atas kebebasan

pribadi,

(4) Pasal 28 sampai dengan Pasal 35 mengatur tentang Hak atas rasa aman,

(5) Pasal 36 sampai dengan Pasal 42 mengatur tentang Hak atas

kesejahteraan, (6) Pasal 43 sampai dengan Pasal 44 mengatur tentang

Hak untuk turut serta dalam pemerintahan,

(6) Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 mengatur tentang Hak-hak wanita,

(7) Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 mengatur tentang Hak anak. Di

samping itu diatur juga tentang masalah pengadilan hak asasi manusia

untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia dan serta terhadap

pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka dari itu dibentuklah

pengadilan hak asasi manusia di lingkungan peradilan umum (Pasal

104).

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia; Dalam Undang-Undang tersebut diatur ketentuan-ketentuan antara lain

tentang jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat yaitu kejahatan genocida

dan kejahatan terhadap manusia (Pasal 7 sampai Pasal 9).

Hukum Acara dari Pengadilan Hak Asasi Manusia diatur mulai dari Pasal

10 sampai Pasal 33, yang mengatur tentang cara penangkapan, penahanan,

penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut pada Tahun 2002 populer di Indonesia

antara lain karena disidangkannya kasus Pelanggaran HAM berat di Timor-timur

pada bulan Maret 2002, di Pengadilan Jakarta Pusat. Undang-Undang Kepolisian

Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002; Adanya 15 prinsip-prinsip HAM

dalam UUD 1945 jelas merupakan “Prime Factie Evidence” dari komitmen

negara ini terhadap HAM, namun bisa juga dilihat sebagai possession paradox

dalam artian memiliki HAM tetapi tidak menikmati HAM karena lemahnya rasa

hormat terhadap HAM. HAM diatur dalam Undang- Undang No. 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 4, Kepolisian Negara

Page 29: DISKRESI POLISI 1

29

Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang

meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tegaknya hukum,

terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat,

serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia.

Pasal 14 Ayat (1) menyatakan: “Dalam melaksanakan tugas pokok

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf I: “Kepolisian Negara Republik

Indonesia bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda masyarakat

dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberi bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia.”

Pasal 16 Ayat (2): “Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)

huruf I adalah tindakan penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat

sebagaimana yang dimaksud dalam huruf E yaitu: “Menghormati Hak Asasi

Manusia.” Pasal 19 Ayat (1): “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,

Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan

norma hak dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta

menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. KUHAP; KUHAP bukanlah produk yang

sempurna, tetapi secara umum bisa disebut bahwa KUHAP telah memberikan

dasar-dasar hukum prosedural yang komprehensif bagi perlindungan HAM

seperti perlindungan terhadap tersangka antara lain untuk diperlakukan tidak

bersalah, hak akan bantuan hukum, hak untuk tidak ditahan semena-mena, hak

untuk tidak disiksa dan dianiaya, hak akan pra peradilan dan sebagainya.

2.2.1 Penegakan Hukum dan Pelanggaran HAM

Pelanggaran HAM oleh oknum POLRI; Pelanggaran HAM dalam Rangka

Perlindungan HAM; dalam melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi

pelanggaran HAM yang seharusnya ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas

penegakan berdasarkan ketentuan hukum maka hilanglah sifat melanggar HAM

misalnya tugas POLRI dalam menangkap, menahan, memborgol dan sebagainya.

Semuanya itu dilaksanakan berdasarkan kewenangannya sebagai penegak

hukum. Tindakan kekerasan yang melanggar HAM; Dalam hal-hal tertentu

tindakan kekerasan dibenarkan oleh Konvensi HAM yaitu Pasal 29 Deklarasi

Umum HAM, tindakan kekerasan tersebut bermaksud untuk menjamin hak orang

Page 30: DISKRESI POLISI 1

30

lain, moral, ketertiban dan keselamatan umum yang harus ditegakkan oleh

Undang-Undang.

Tetapi harus kita akui juga bahwa kenyataan dalam praktek penegakan

hukum tidak sesuai dengan Pasal 29 di atas. Misalnya tindakan kekerasan

penegak hukum dalam rangka mendapatkan informasi, atau kadang-kadang

karena emosional petugas yang sangat bersemangat menegakkan HAM

masyarakat lalu melupakan hak asasi tersangka. Tindakan kekerasan lain yang

juga sering kita dengar dan lihat adalah tindakan kekerasan terhadap pelaku

kejahatan atau petugas, dengan kata lain tersangka tidak lagi membahayakan

kepentingan umum, karena sudah tertangkap, tetapi karena masih ada tindak

kekerasan main hakim sendiri yang melanggar HAM maka tindakan tersebut

tidak kita tolerir/ salah. Pelanggaran HAM oleh masyarakat; Pelanggaran HAM

oleh anggota masyarakat terhadap masyarakat lainnya; Tindak kekerasan yang

melanggar HAM bukan hanya monopoli aparat, tetapi juga dilakukan oleh

anggota masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya, seperti penganiayaan,

pembunuhan, penghinaan, perkosaan, dan jenis-jenis kejahatan lain yang

mengganggu hak-hak asasi manusia di bidang hak hidup, hak milik dan hak

penghormatan.” 33

Hak-hak tersebut menimbulkan pemikiran bagi kita, bahwa pengertian

dan pemahaman tentang HAM harus dipahami secara baik oleh setiap anggota

masyarakat agar masyarakat tersebut mengerti akan hak-haknya dan juga respon

terhadap hak asasi orang lain. Pelanggaran masyarakat terhadap hukum;

Pelanggaran masyarakat terhadap hukum antara lain adalah: (1) Perusakan sarana

hukum. Dari berbagai sarana dan prasana hukum yang paling menonjol adalah

perusakan markas kesatuan POLRI, tidak sedikit kerusakan yang diderita

sejumlah markas komando POLRI diberbagai wilayah. (2) Serangan terhadap

aparat penegak hukum. Selain merusak sarana POLRI, juga ada tindak kekerasan

oleh masyarakat yang ditujukan kepada personel POLRI yang mengakibatkan

korban nyawa anggota POLRI34.

33 Marbun, BN. 2000. Penegakan Hukum dan Hak Asasi di Indonesia. Bina Cipta. Jakarta. Hal 39

34 Senoadji, Indriyanto. 1998. Penyidikan dan HAM dalam Prospektif KUHAP Bidang Penyidikan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Hal 82

Page 31: DISKRESI POLISI 1

31

2.2.2 Peran Anggota POLRI dalam Upaya Perlindungan HAM dan

Penegakan Hukum

Peranan POLRI dalam perlindungan HAM; Peran POLRI sebagai

penegak hukum dituntut untuk mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap setiap bentuk tindak pidana, termasuk upaya pembuktian secara ilmiah

dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi guna

melindungi hak asasi manusia. Aktualisasi dari peran sebagai penegak hukum ini

adalah:

1. Menguasai dan mahir dalam hukum acara pidana maupun perdata

sehingga mampu menghadapi setiap permasalahan hukum dengan tepat

dan dapat mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM pada tingkat pra

peradilan.

2. Menguasai teknik dan taktik penyelidikan serta penyidikan sehingga

mampu membuat terang dan terungkapnya setiap tindak pidana yang

terjadi.

3. Mempunyai semangat dan tekad yang kuat untuk menjadi“Crime

Hunter” dengan motto “Walaupun langit esok akan runtuh namun hukum

harus tetap ditegakkan.”

4. Mampu memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk

membantu mengungkapkan pembuktian secara ilmiah kasus kejahatan

yang terjadi.

5. Mampu melakukan koordinasi dengan segenap instansi terkait dalam

usahanya menegakan hukum menurut sistem peradilan pidana khususnya

dan serta mengkoordinasikan dan mengawasi penyidik pegawai negeri

sipil dalam rangka perlindungan Hak Asasi Manusia.

Bidang Peraturan Dan Instumen35;

(1) Ratifikasi Konvensi-Konvensi Anti Kekerasan, Dalam TAP MPR

Nomor: TAP/X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi

Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi

Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, ditegaskan bahwa

kebijaksanaan reformasi pembangunan hukum antara lain adalah

penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan

35 Hutauruk, M. 1982. Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Erlangga. Jakarta. hal 117

Page 32: DISKRESI POLISI 1

32

terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban,

ketenangan dan ketentraman masyarakat. Salah satu agenda yang

harus dijalankan adalah memantapkan penghormatan dan

penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia melalui penegakan

hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat.

Menindaklanjuti TAP MPR tersebut, pemerintah antara lain telah

meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan ataupun

hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan

martabat manusia. Di samping itu pada tahun 1993 pemerintah telah

membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)

yang tugasnya antara lain mengkaji berbagai instumen PBB tentang

HAM dengan tujuan memberikan sarana-sarana yang memungkinkan

adanya ratifikasi dikaitkan dengan tindak kekerasan yang terdapat

dalam beberapa konvensi tentang standard HAM Internasional demi

penegakan hukum, peraturan standard minimum, perlakuan terhadap

narapidana, serta konvensi HAM internasional tentang penghapusan

semua bentuk diskriminasi rasial.

(2) Penyesuaian Hukum Dengan Ratifikasi HAM, Instrumen Hukum

Internasional sesungguhnya telah menyatakan bahwa persoalan HAM

harus diatur dengan hukum sebagaimana yang termuat dibagian

mukaddimah dari Universal Declaration of Human Rights, bahwa:

“Human Right Should be Protected by The Rule Of Law”, dengan

demikian terdapatlah suatu amanat yang berisikan bahwasanya HAM

sangat mengindahkan akan asas-asas Hukum Internasional yang

bersifat universal.

(3) Penertiban Profesi POLRI, Upaya penertiban Pejabat Kepolisian

Negara Republik Indonesia antara lain dengan usaha: memberikan

tanda pengenal sebagai keabsahan wewenang sebagai pejabat

penyidik dengan maksud agar masyarakat mengerti dan/atau

memahami bahwa dirinya tengah berhadapan dengan petugas resmi,

penataran pengawasan melekat (waskat) kepada eselon pimpinan di

lingkungan POLRI dengan tujuan terciptanya mekanisme pengawasan

di lingkungan kerjanya, pengadaan Kotak Pos 5000 dan Kotak Pos

Page 33: DISKRESI POLISI 1

33

777 di Kantor Polisi untuk menampung laporan kasus pungli-korupsi

dan penyalahgunaan wewenang serta hal-hal yang tidak terpuji dari

anggota POLRI, pengawasan fungsional oleh Irwasum POLRI dan

Irwasda yang bertugas antara lain menyelenggarakan pengawasan dan

pemeriksaan di bidang pembinaan kesiapsiagaan operasional serta

menyelenggarakan pengawasan dan pemeriksaan di bidang

pelanggaran hukum – pelanggaran disiplin – pelanggaran tertib

anggota POLRI, tindakan hukum disiplin oleh atasan serta pengajuan

ke sidang pengadilan umum kasus HAM pada seluruh jajaran anggota

POLRI,desiminasi dan sosialisasi HAM pada seluruh jajaran anggota

POLRI, memasukkan mata pelajaran HAM pada setiap jajaran

anggota POLRI, upaya memandirikan POLRI/memisahkan dari TNI

agar tindakan-tindakan POLRI tidak berbau militer tetapi lebih

mengutamakan perlindungan dan pelayanan masyarakat. Penindakan

Terhadap Anggota POLRI yang Melanggar Hukum; Dalam praktek

masih banyak terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan anggota

POLRI terhadap masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut pimpinan

POLRI tidak menutup mata terhadap pelanggaran HAM yang

dilakukan anggotanya. Dalam hal ini pada tahun 2010 pimpinan

POLRI telah menindak 161 anggotanya yang melakukan pelanggaran

HAM antara lain perkelahian dengan masyarakat atau sesama TNI,

penganiayaan dan penyalahgunaan senjata api, sedang pada tahun

2009 untuk kasus yang sama seperti di atas pimpinan POLRI telah

menindak 212 anggota POLRI namun demikian masih banyak lagi

kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak terdeteksi oleh pimpinan

POLRI oleh karena itu diharapkan peningkatan kesadaran masyarakat

akan hal kesadaran tentang hak asasi manusia hingga ada kontrol

timbal balik antara masyarakat dan kepolisian dalam hal pelaksanaan

tugas penegakan hukum tentang HAM36.

2.2.3 Hambatan Perlindungan HAM dalam Praktek Penegakan Hukum

Budaya Paternalistik; Budaya Paternalistik masih hidup dan melekat pada

sebagian besar masyarakat khususnya di kalangan masyarakat pedesaaan, hal-hal

36 Hutauruk, Op Cit. hal 75

Page 34: DISKRESI POLISI 1

34

yang diucapkan oleh pimpinan formal maupun informal walaupun terkadang

pernyataan itu tidak sesuai dengan HAM namun karena diucapkan oleh pimpinan

kharismatik lalu dianggap sebagai suatu kebenaran atau walaupun dalam hati

kecilnya menolak namun tidak berani mengungkapkan hak dan perasaannya, hak

dan pemikirannya, sehingga menghambat pelaksanaan hak asasinya.

Kesadaran Hukum Yang Rendah; Kesadaran hukum yang rendah

mengakibatkan keengganan masyarakat untuk melaporkan adanya pelanggaran

HAM disekitarnya terutama karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain,

keengganan menjadi saksi atau tidak ingin repot karena urusan orang lain. Dalam

hal tertentu keengganan (tidak mau) menjadi saksi ini menyulitkan POLRI dalam

mengungkap kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga POLRI lalu cenderung

untuk mengejar pengakuan tersangka yang kadang-kadang dilakukan dengan

dibarengi dengan tindakan-tindakan kekerasan. Budaya Loyalitas; Sikap loyalitas

ini juga hidup subur di seluruh lapisan masyarakat, di suatu sisi lain loyalitas

mengandung konotasi negatif yakni kepatuhan/kesetiaan yang berlebihan

terhadap perintah atau petunjuk pimpinannya baik dalam suatu organisasi resmi

maupun dalam suatu organisasi non formal.

Seharusnya yang kita kembangkan adalah budaya komitmen terhadap

tugas, tanggung jawab terhadap HAM dan masyarakat dalam arti harus ada

keberanian anggota untuk menentang perintah pimpinannya apabila perintah

tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum, moral, ketertiban, keamanan dan

terutama tidak sesuai dengan HAM. Kesenjangan; Adanya kesenjangan hukum di

dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat ditinjau dari

beberapa sisi yaitu antara lain: (1) Teori Hukum dan Praktek Hukum. Walaupun

teori hukum dan hukum-hukum tertulis yang kita miliki belum sempurna namun

sebenarnya dengan aturan-aturan yang ada pelanggaran HAM seharusnya sudah

dapat diminimalkan tetapi dalam praktek terlihat bahwa belum tentu aturan-

aturan yang baik itu lalu dalam pelaksanaannya juga baik, manusia-manusia

pelaksananya yang masih terlihat tidak sepenuhnya mengaplikasi secara tepat dan

benar aturan-aturan tersebut. (2) Sosialisasi Hukum. Masalah hukum khususnya

yang menyangkut masalah sosialisasi hukum kepada masyarakat awam belum

menggembirakan atau lebih tepatnya belum gencar dilaksanakan, contohnya

sosialisasi tentang masalah keluarga berencana atau sosialisasi tentang masalah

Page 35: DISKRESI POLISI 1

35

Hak Asasi Manusia. Sosialisasi perlu agar seluruh lapisan masyarakat mengerti

dan paham akan arti dan nilai-nilai yang terkandung dalam pengertian tentang

Hak Asasi Manusia agar masyarakat awam lebih pintar dan dapat menghormati

Hak Asasi manusia lain. (3) Pembangunan Hukum. Pembangunan bidang-bidang

hukum seperti aturan hukum, aparatur hukum, sarana prasarana hukum, budaya

hukum belum pernah mencapai sasaran yang diinginkan, semua bidang-bidang

hukum yang disebut tadi belum melembaga dalam masyarakat ditambah lagi

kelemahan-kelemahan unsur-unsur pendukung hukum lainnya seperti psykologi

masyarakat, antropologi dan sosiologi yang menyebabkan lambatnya pemajuan

dan perlindungan HAM terhadap manusia pada khususnya dan masyarakat pada

umumnya. (4) Interaksi Dalam Pemajuan Dan Perlindungan HAM. Interaksi yang

dimaksud disini adalah upaya dari dalam bagaimana supaya HAM dapat

ditegakkan yaitu dengan cara membina segala kaitan yang berkenaan dengan

HAM antara lain: (1) Dari segi geografis. Dari segi geografis adalah dilihat dari

segi penduduk atau lebih jelas lagi dari kondisi penduduknya, di Indonesia

perbandingan antara jumlah polisi dan masyarakat yang telah mempunyai

intelektualitas tentang hukum dan HAM yang baik dibandingkan dengan yang

belum mempunyai pengetahuan hukum dan HAM sangat kurang, sehingga jika

ditinjau ke lapangan masih banyak terdapat masyarakat dan aparat yang memilih

jalan pintas dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum hal ini sangat

berpengaruh buruk terhadap usaha penegakan hukum tentang HAM yang tengah

kita tempuh. (2) Dari dalam diri POLRI sendiri. Cara pembinaan dan pendidikan

sumber daya atau calon-calon anggota POLRI. Jumlah anggaran yang tidak

mencukupi dalam pelaksanaan tugas yaitu dalam usaha penegakan hukum

materil, fasilitas yang kurang serta kendala lain yang tidak akan dengan mudah

diatasi dalam jangka waktu yang singkat. (3) Dari segi yuridis. Tumpang

tindihnya hukum acara pidana, ketidakpastian dan rekayasa hukum, konsistensi

yang tidak jelas dalam pelaksanaan hukum serta kecenderungan pembuatan

Undang-Undang yang kurang mengacu kepada kepentingan umum melainkan

untuk kepentingan golongan atau organisasi masih terus saja berlangsung.

2.3 Pertanggungjawaban Kewenangan Diskresi Anggota POLRI

Sebagai aparat penegak hukum, kepolisian sebagai pengayom dan

pelindung masyarakat harus banyak melakukan tindakan-tindakan pencegahan

Page 36: DISKRESI POLISI 1

36

(preventif) maupun tindakan represif dalam rangka mencegah dan

menanggulangi kejahatan yang akan terjadi maupun yang sudah terjadi. Dalam

melakukan kedua tindakan tersebut, kepolisian selaku penegak hukum (law

enforcer official), diberi kekuasaan untuk menggunakan kekuasaannya (power)

berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bila perlu

menggunakan kekerasan (forced) dalam rangka menciptakan keamanan dan

ketertiban masyarakat.

Pada kenyataannya, hingga saat ini masih terdapat tindakan kekerasan aau

penyimpangan terhadap prosedur tetap yang dilakukan Polisi dalam upaya

melakukan penegakan hukum dan penanggulangan kejahatan, tindakan tersebut

dapat terjadi karena ulah oknum atau tindakan yang sudah melembaga sebagai

suatu sistem, karena bagaimanapun oknum yang melakukan tindakan kekerasan

adalah produk dari hukum itu sendiri. Namun tentunya penggunaan kekerasan

tersebut tidak boleh sampai terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia,

karena jika keadaan terjadi, maka tentu saja bertentangan dengan Pasal 6

Undang-Undang Nomor 8 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(selanjutnya disebut KUHAP), yang mengatur tentang tugas polisi, antara lain

yaitu sebagai badan penyidik dan menjaga ketertiban dalam masyarakat.

Banyak sekali contoh kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian

sehubungan dengan pelaksanaan penyelidikan yang dilakukan oleh pihak

kepolisian dengan penerapan hak asasi manusia, di mana mereka kurang mampu

bertindak persuasif dan profesional sehingga melegitimasi kekerasan dengan

berlindung di balik undang-undang yang ada.

Persuasif dalam pengertian bukan dalam mengungkap kebenaran saja,

tetapi tercakup di dalamnya upaya melindungi dan mengayomi masyarakat serta

sekaligus pula dalam menegakkan dan menghormati hak asasi manusia. Harus

diakui bahwa dalam menjalankan tugasnya, Polri masih menghadapi kerancuan

dan hambatan serta seringkali melalaikan ketentuan-ketentuan mendasar dari

aturan yang mengikat dirinya. Penyebabnya adalah, pertama karena aparat

kepolisian belum mempunyai cukup kemampuan, atau tepatnya tidak

diberdayakan untuk kemampuan menangani semua aspek keamanan dan

penegakan hukum. Kedua, aparat kepolisian belum sepenuhnya mengerti adanya

perkembangan dan penambahan berbagai aturan, karena sosialisasi di lingkungan

Page 37: DISKRESI POLISI 1

37

Polri atas aturan yang ada tidak pernah bersifat intensif. Ketiga, karena tekanan

tugas yang sangat besar, selalu terabaikan upaya-upaya meng-update

pengetahuan dan keterampilan, khususnya masalah hukum dan etika, sehingga

polisi yang melek hukum secara luas dan mendalam serta berbuat etis dalam

bertugas menjadi semakin langka. Sedangkan yang keempat, unsur pimpinan

yang seharusnya memprakarsai, bertanggung jawab dan mengendalikan

kecerdasan Polri, rata-rata tidak melaksanakan tugas pembinaan dengan baik.

Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat kepolisian secara total

tidak mungkin dilakukan, hal ini dikarenakan hukum sendiri membatasi secara

ketat oleh hukum acara pidana, seperti adanya aturan-aturan tentang

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan

pendahuluan. selain itu, mungkin terjadi hukum pidana substansif sendiri

memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan adanya aduan (klacht

delicten) sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan.

Permasalahan akan muncul apabila polisi yang dengan kewenangan

diskresinya (power of discreation) justru malah tidak menegakkannya,

memanfaatkan, mengesampingkan, menghentikan atau mengambil tindakan lain

di luar ketentuan yang telah ditetapkan sehingga menimbulkan resiko yang lebih

besar baik terhadap masyarakat, tersangka baik terhadap dirinya sendiri. Luasnya

kewenangan itu, polisi dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan

dirinya sendiri, kelompok atau organisasi lain di mana pada dasarnya

kewenangan diskresi yang diberikan oleh undang-undang. Sebenarnya diberikan

apabila hukum yang disediakan untuk menghadapi suatu kasus malah menjadi

macet, tidak efisien atau kurang ada manfaatnya. Kewenangan polisi dalam

pelaksanaan tidakan keras yang dimiliki oleh Polri yang begitu luas dan kurang

jelas batas-batasnya juga akan menimbulkan permasalahan terutama bila

dikaitkan dengan asas-asas rule of law dan atau hak-hak azasi manusia (human

right).

Menurut sistem peradilan terpadu, peranan polisi dalam sistem peradilan

merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Kepolisian merupakan

garda depan dalam sistem peradilan khususnya peradilan pidana. Dalam sistem

peradilan terdapat dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendahuluan dan

pemeriksaan depan sidang.

Page 38: DISKRESI POLISI 1

38

Ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan

utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan

penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian,

hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang

dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Pasal 1 angka (5) KUHAP memberikan pengertian terhadap penyelidikan

yaitu: “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini.”

Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak

pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidik karena kewajibannya

mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti,

menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda

pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

Dalam hal penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering

digunakan istilah reserse. Di mana tugas utamanya adalah menerima laporan dan

mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi berarti

penyelidikan ini tindakan mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan

teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka

penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara

pidana, yang berati mencari kebenaran37.

Namun, penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

bidang penyidikan. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan

merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang

mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan,

37 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 hal 118

Page 39: DISKRESI POLISI 1

39

penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan

pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum38.

Jadi sebelum melakukan penyidikan, dilakukan lebih dulu penyelidikan

oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti

permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.

Menurut R. Tresna, penyidikan merupakan pemeriksaan permulaan oleh

pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah

mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada

terjadi suatu pelanggaran hukum39.

Adapun menurut Pasal 1 butir (2) KUHAP bahwa pengertian penyidikan

adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.

38 M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hal 101

39 Ibid. hal 22

Page 40: DISKRESI POLISI 1

40

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai

suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi.

Akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman,

dapat ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk

mencapai suatu maksud.40

Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan

menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana

dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.41

2.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan Penulis termasuk dalam jenis penelitian

yuridis empiris yang bersifat deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh

responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang

diteliti dan dipelajari secara utuh.42

2.2 Pendekatan penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan

yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada data yang dinyatakan

responden secara lisan atau tulisan, dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan

dipelajari sebagai suatu yang utuh.43 Pendekatan kualitatif ini di gunakan karena

beberapa pertimbangan, antara lain:

a. Metode ini mampu menyesuaikan secara lebih mudah untuk

berhadapan dengan kenyataan.

b. Metode ini lebih peka dan lebih mudah menyesuaikan diri dengan

banyak penajaman terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.44

40 Winarno Soerakhmat. 1982. Dasar dan Teknik Research. Bandung: Tarsito. hal: 13141 Sutrisno Hadi. 1989. Metodologi Research. Jilid 3. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas

Psikologi UGM. hal: 442 Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. hal: 3243 Ibid. hal: 25044 Lexy J Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

hal:26

Page 41: DISKRESI POLISI 1

41

2.3 Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan

data awal yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala

lainnya.45

2.4 Sumber Data

a. Data primer

Data yang diperoleh secara langsung dari lapangan yang terdapat pada

lokasi penelitian melalui studi pustaka/dokumen dan atau wawancara.

b. Data Sekunder

1. Bahan hukum primer yaitu: norma atau kaidah dasar, peraturan

perundang-undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang

digunakan adalah:

a) Undang Undang Dasar 1945;

b) Kitab Undang Undang Hukum Pidana;

c) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana;

d) Undang Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia;

e) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 6

Tahun 2010 tentang manajemen penyidikan

2. Bahan Hukum Sekunder yaitu: hasil karya ilmiah dari kalangan hukum,

hasil-hasil penelitian, artikel koran dan internet serta bahan lain yang

berkaitan dengan pokok bahasan.

3. Bahan Hukum Tertier. Bahan hukum tertier, yaitu: bahan yang memberi

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yakni kamus

hukum, kamus besar bahasa Indonesia dan sebagainya.

2.5 Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat

penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah:

a. Studi Pustaka, yaitu: proses pengumpulan data yang berupa data-

data tertulis yang berkaitan dengan permasalahan.

45 Ibid. hal: 10

Page 42: DISKRESI POLISI 1

42

b. Wawancara, yaitu: proses pengumpulan data melalui tanya jawab

secara langsung dengan sumber data primer.

2.6 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di wilayah Kepolisian Resort (POLRES)

Lumajang

2.7 Tehnik analisis data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data

dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.46 Penulis

menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analisis), yaitu data

yang dikumpulkan akan dianalisis melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data,

menyajikan data dan menarik kesimpulan. Dalam model ini dilakukan suatu

proses siklus antar tahap-tahap, sehingga data yang terkumpul akan berhubungan

dengan satu sama lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan

laporan penelitian.47 Tiga tahap tersebut adalah:

a. Reduksi Data

Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat

fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan

pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus-menerus sampai laporan

akhir penelitian selesai.

b. Penyajian Data

Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat

dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, tabel dan sebagainya.

c. Penarikan kesimpulan

Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang

ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-

pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat,

akhirnya peneliti menarik kesimpulan.48

46 Lexy J Moleong. Op. Cit. hal: 10347 H.B sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. hal: 3548 Ibid. hal: 37

Page 43: DISKRESI POLISI 1

43

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Positif di Indonesia

Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia

(HAM), yang melekat pada manusia secara hakiki dan kodrati sebagai anugerah

Tuhan yang Maha Esa. Hak tersebut tidak dapat diingkari, pengingkaran terhadap

hak tersebut berarti pengingkaran terhadap martabat manusia, oleh karena itu

negara, pemerintah, organisasi maupun pengemban kewajiban untuk mengakui

dan melindungi HAM pada setiap manusia tanpa terkecuali, sehingga HAM

menjadi titik tolak dan tujuan dalam menyelenggaraan kehidupan masyarakat

berbangsa dan bernegara.

Penghormatan terhadap hak asasi merupakan suatu keharusan dan tidak

perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Hak asasi

merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia

merupakan suatu keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan

kemanusiaannya. Itulah sebabnya hak asasi terkait erat dengan kemanusiaan yang

adil dan beradab, sebagaimana tercantum dalam Dasar Negara Pancasila. Hak

asasi manusia tentunya melingkupi hak atas kebebasan berpendapat, hak atas

kebebasan berorganisasi, hak atas keyakinan agamanya, hak atas kecukupan

pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, dan hak atas

hidup yang sehat.

Negara Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak

asasi manusia. Sebagai negara hukum, berarti segala tindakan harus berdasarkan

norma hukum yang berlaku (bersumber pada hukum positif), sehingga dengan

demikian dapat diperjelas bahwa segala tindakan penguasa terhadap rakyat

maunpun tindakan rakyat dengan rakyat atau tindakan rakyat terhadap penguasa

haruslah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 dalam

penjelasannya menyebutkan bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum

(Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Bila kita

mencermati keseluruhan gagasan, pemikiran jiwa dan semangat teks Undang-

Undang Dasar 1945, mulai pembukaan, batang tubuh sampai penjelasannya serta

Page 44: DISKRESI POLISI 1

44

perkembangan pemahaman kita terhadap hal-hal yang mendasar dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pengertian negara hukum yang

memiliki ternyata mengandung makna yang luas dan mendalam, yang memuat

prinsip-prinsip tertib hukum, serta kesadaran untuk menjunjung tinggi hukum.

Prinsip-prinsip tersebut bilamana diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka

akan mencakup tidak saja segi legalitas tindakan negara/pemerintah, dengan

adanya peradilan bebas tetapi juga mencakup penghargaan dan perlindungan hak-

hak asasi manusia.”49

Oleh karena itu setiap penegakan hukum haruslah diartikan tidak saja

untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan tetapi juga termasuk di

dalamnya tujuan kepastian hukum dan termasuk juga di dalamnya tujuan

perlindungan HAM. Ada beberapa Pasal dalam UUD 1945 yang berhubungan

dengan HAM dan bisa disarikan setidaknya menjadi 15 prinsip HAM di mana

beberapa prinsip yang terpenting dari 15 prinsip HAM tersebut antara lain yaitu:

(1) Preambule: Hak untuk menentukan nasib sendiri, (2) Pasal 26: Hak akan

warga negara, (3) Pasal 27: Hak akan kesamaan dan persamaan di depan hukum,

(4) Pasal 27: Hak untuk bekerja, (5) Pasal 27: Hak untuk hidup layak, (6) Pasal

29: Hak beragama, (7) Pasal 30: Hak untuk membela negara, (8) Pasal 31: Hak

akan pendidikan, (9) Pasal 33: Hak akan kesejahteraan sosial, (10) Pasal 34: Hak

akan jaminan sosial, (11) Pasal 24 dan 25: Hak akan kebebasan dan kemandirian

peradilan, (12) Pasal 32: Hak mempertahankan tradisi budaya, (13) Pasal 31: Hak

mempertahankan bahasa daerah.

1. Hak Asasi dalam Perspektif Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat

pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha

Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan

dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan

serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

49 Alamsyah, Nur, 2000, Peradilan Terhadap Pelaku Kejahatan HAM Yang Berat. LBH Medan, hlm 17

Page 45: DISKRESI POLISI 1

45

Dalam Undang-Undang tentang Hak asasi Manusia No. 39 Tahun 1999

dalam Pasal-Pasalnya mengatur tentang: (1) Pasal 11 sampai dengan Pasal 16

mengatur tentang Hak untuk mengembangkan diri, (2) Pasal 17 sampai dengan

Pasal 19 mengatur tentang Hak untuk memperoleh keadilan, (3) Pasal 20 sampai

dengan Pasal 27 mengatur tentang Hak atas kebebasan pribadi, (4) Pasal 28

sampai dengan Pasal 35 mengatur tentang Hak atas rasa aman, (5) Pasal 36

sampai dengan Pasal 42 mengatur tentang Hak atas kesejahteraan, (6) Pasal 43

sampai dengan Pasal 44 mengatur tentang Hak untuk turut serta dalam

pemerintahan, (7) Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 mengatur tentang Hak-hak

wanita, (8) Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 mengatur tentang Hak anak. Di

samping itu diatur juga tentang masalah pengadilan hak asasi manusia untuk

mengadili pelanggaran hak asasi manusia dan serta terhadap pelanggaran hak

asasi manusia yang berat, maka dari itu dibentuklah pengadilan hak asasi

manusia di lingkungan peradilan umum (Pasal 104).

2. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Undang-Undang No. 26 Tahun 2000

Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Dalam Undang-Undang tersebut diatur ketentuan-ketentuan antara lain

tentang jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat yaitu kejahatan genocida

dan kejahatan terhadap manusia (Pasal 7 sampai Pasal 9).

Hukum Acara dari Pengadilan Hak Asasi Manusia diatur mulai dari Pasal

10 sampai Pasal 33, yang mengatur tentang cara penangkapan, penahanan,

penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut pada Tahun 2002 populer di

Indonesia antara lain karena disidangkannya kasus Pelanggaran HAM berat di

Timor-timur pada bulan Maret 2002, di Pengadilan Jakarta Pusat.

3. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Undang-Undang Kepolisian Negara

Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002

Adanya 15 prinsip-prinsip HAM dalam UUD 1945 jelas merupakan “Prime

Factie Evidence” dari komitmen negara ini terhadap HAM, namun bisa juga

dilihat sebagai possession paradox artinya memiliki HAM tetapi tidak menikmati

HAM karena lemahnya rasa hormat terhadap HAM.

HAM diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia Pasal 4, Kepolisian Negara Republik Indonesia

Page 46: DISKRESI POLISI 1

46

bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi

terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tegaknya hukum,

terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat,

serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia.

Pasal 14 Ayat (1) menyatakan: “Dalam melaksanakan tugas pokok

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf I: “Kepolisian Negara Republik

Indonesia bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda masyarakat

dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberi bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia.”

Pasal 16 Ayat (2):

“Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf I adalah tindakan

penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagaimana yang

dimaksud dalam huruf E yaitu: “Menghormati Hak Asasi Manusia.”

Pasal 19 Ayat (1): “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma

hak dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung

tinggi Hak Asasi Manusia.

4. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif KUHAP

KUHAP bukanlah produk yang sempurna, tetapi secara umum bisa disebut

bahwa KUHAP telah memberikan dasar-dasar hukum prosedural yang

komprehensif bagi perlindungan HAM seperti perlindungan terhadap tersangka

antara lain untuk diperlakukan tidak bersalah, hak akan bantuan hukum, hak

untuk tidak ditahan semena-mena, hak untuk tidak disiksa dan dianiaya, hak akan

pra peradilan dan sebagainya.

B. Kepolisian

Kata “polisi” dalam bahasa indonesia merupakan kata pinjaman dan jelas

berasal dari kata Belanda “politie”. Adapun kata Belanda “politie” didasarkan

atas serangkain kata Yunani Kuno dan Latin yang berasal dari kata Yunani-Kuno

“polis”. Kata tersebut berarti “kota” atau “negara kota”. Atas dasar

perkembangan itu maka kata “polis”, mendapat pengertian “negara” dan dalam

Page 47: DISKRESI POLISI 1

47

bentuk-bentuk perkembangannya masuk unsur “pemerintah” dan lain sebagainya.

Kata Yunani kuno tersebut masuk kedalam bahasa Lain sebagai “poliyia” dan

kata itulah yang diduga menjadi kata dasar kata “police” (Inggris), “ politie”

(Belanda), “polisi” (Indonesia).

Bilamana secara tepat kata “polisi” mendapat arti yang kini digunakan, sulit

dipastikan. Namun demikian, perkembangan sebagimana dicatat di inggris, yang

dicatat penggunaan kata “police” sebagai kata kerja yang berarti “memerintah”

dan “mengawasi” (sekitar tahun 1589). Selanjutnya sebagai kata benda diartikan

“pengawasan”, yang kemudian meluas dan menunjukkan “organisasi yang

menangani pengawasan dan pengamanan” (tahun 1716).

Di Indonesia, istilah polisi digunakan dalam pengertian “organisasi

pengamanan” pada abad ke-19 dalam interregum Inggris dari 1811 – 1817.

wilayah Indonesia saat itu merupakan bagian dari wilayah yang dipimpin

“bupati” masing-masing diserahi tugas pengamanan terib hukum dan polisi

bertanggungjawab pada bupati setempat itu.

Dari kata “polisi” tersebut. Kemudian para cendikiawan Kepolisian

menyimpulkan bahwa terdapat 3 pengertian, yaitu:

1) Polisi sebagai fungsi,

2) Polisi sebagai organ kenegaraan dan

3) Polisi sebagai jabatan atau petugas.

Yang banyak disebut sehari-hari adalah pengertian polisi sebagai pejabat

atau petugas. tiga pengertian kata polisi tersebut, kadang dicampur adukkan oleh

masyarakat, yang seharusnya diartikan sesuai dengan konteks yang menyertai.

Oleh karena itu timbul penilaian yang sebenarnya untuk individu (pejabat) tetapi

diartikan sebagai tindakan suatu lembaga (alat negara).

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia

Secara historis, posisi kelembagaan kepolisian sebagaimana dipaparkan

oleh Harsja Bahtiar dalam bukunya Ilmu Kepolisian Suatu Cabang Ilmu

Pengetahuan yang baru, bahwa pada masa penjajahan Hindia Belanda Kepolisian

berada di bawah Procedur General (Jaksa Agung), baik itu Besturs Politie (Polisi

Pamong Praja) maupun Algeneu Politie (polisi umum). Pada masa revolusi

tanggal 19 agustus 1945, Kepolisian merupakan bagian dari Departemen Dalam

Negeri.

Page 48: DISKRESI POLISI 1

48

2. Visi dan Misi Kepolisian RI

Berdasarkan Undang-undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, visi Polri

adalah “Polri yang mampu menjadi pelindung, pengayom dan pelayan

masyarakat, serta sebagai aparat penegak hukum yang profesional dan

proporsional yang selalu menjunjung tinggi hak azasi manusia, pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mewujudkan keamanan dalam negeri

dalam suatu kehidupan nasional yang demikratis dan masyarakat yang sejahtera”.

Sedangkan Misi Polri adalah memberikan perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyrakat (meliputi aspek security, surety, safety, and peace).

Memberi bimbingan kepada masyarakat melalui upaya Pre-emtif dan Preventif

yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan hukum masyarakat.

Menegakkan hukum secara bprofesional dan proposional dengan menjunjung

tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia menuju kepada adanya kepastian

hukum dan rasa keadilan. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

dengan tetap memperliahatkan norma-norma dan nilai yang berlaku dalam

bingkai integritas wilayah hokum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari gambaran Visi dan Misi Polri diatas dapat kita ketahui bahwa dewasa

ini orientasi pelaksanaan tugas Polri adalah memberi perlindungan dan pelayanan

kepada masyarakat.

3. Tugas, Wewenang dan fungsi Kepolisian RI

Undang-undang No. 20 tahun 1982 Tentang ketentuan-ketentuan pokok

pertahanan keamanan Negara Republik Indonesia, pasal 30 ayat (4) merumuskan

Tugas Pokok Polri sebagai berikut:

1) Selaku alat Negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan

tertib hukum dan bersama-sama dengan segenap komponen kekuatan

pertahanan keamanan negara lainnya membina ketentaman masyarakat

dalam wilayah Negara guna mewujudkan keamanan dan ketertiban

masyarakat.

2) Melaksanankan tugas Kepolisian selaku pengayom dalam memberikan

perlindungan dalam pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 49: DISKRESI POLISI 1

49

3) Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang

terselenggaranya usaha dan kegiatan sebagaimana dihuruf adan huruf b

ayat (4) pasal ini.

Dalam Undang-undang Kepolisian No. 2 tahun 2002, tugas pokok

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: Pertama, Memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat, kedua, menegakkan hukum, dan ketiga, Memberikan

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Masih ada pasal

lain yang menjabarkan tugas pokok Polri yaitu tercantum pada penjelasan pasal

39 ayat (2) UU no. 20 Tahun 1982, yaitu:

1) Mengusahakan ketaatan diri dan warga masyarakat terhadap hukum dan

peraturan perundang-undangan;

2) Melaksanakan penyidikan perkara berdasarkan peraturan perundang-

undangan;

3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat dan

aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

4) Memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda dan lingkungan alam

dari gangguan ketertiban atau bencana, termasuk memberikan

perlindungan dan pertolongan, yang dalam pelaksanaannya wajib

menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, hukum dan peraturan

perundang-undangan;

5) Menyelenggarakan kerjasama dan koordinasi dengan instansi, badan

atau lembaga yang bersangkutan dengan fungsi dan tugasnya dalam

keadaan darurat, bersama-sama segenap komponen;

6) Kekuasaan pertahanan keamanan negara melaksanakan tugas sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-undang Kepolisian No. 2 tahun 2002,tugas pokok

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: Pertama, memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat, Kedua, Menegakkan hukum, dan Ketiga, memberikan

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Dari uraian tugas diatas, pada hakekatnya tugas pokok Polri adalah

menegakkan hukum, membina keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas)

serta pelayanan dan pengayom masyarakat.

Page 50: DISKRESI POLISI 1

50

Secara sektoral tugas pelayanan Polri kepada masyarakat dapat

dikelompokkan ke dalam struktur fungsi-fungsi sebagai berikut:

(a) Fungsi Intelpam

Upaya pengamanan masyarakat terhadap segala bentuk ancaman untuk

menghilangkan kerawanan-kerawanan Kamtibmas, Upaya pengamanan,

pengawasan, perlindungan, dan penindakan terhadap orang asing,

Penyidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran ketentuan perundang-

undangan tentang orang asing, Pengamanan dan pengawasan perizinan

senjata api, amunisi dan bahan peledak serta alat/bahan berbahaya lainnya,

Penyelidikan terhadap penyimpan/penimbunan, penggunaan, pemindahan

tangan senjata api, amunisi dan bahan peledak serta alat/bahan berbahaya

lainnya termasuk radio aktif yang bukan organik ABRI, Upaya pengamanan

atau pengawasan kegiatan masyarakat.

(b) Fungsi Serse

Menerima laporan atau pengaduan, mendatangi TKP dan melakukan

penindakan.

(c) Fungsi Samapta

Menyelenggarakan dan melaksanakan tugas-tugas penjagaan,

pengawalan, patroli dan tindakan pertama ditempat kejadian (TPTKP),

Memberikan pertolongan dalam rangka SAR.

(d) Fungsi Lantas

Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Kendaraan bermotor, Buku Pemilik

kendaraan Bermotor, Menyelenggarakan pengawalan, Menangani laka lintas,

Menyelenggarakan peraturan lalu lintas.

(e) Fungsi Bimmas

Membimbing, mendorong, mengarahkan dan menggerakkan,

masyarakat guna terwujudnya daya tangkal dan daya cegah, Tumbuhnya

daya perlawanan masyarakat terhadap kriminalitas serta terwujudnya

ketaatan serta kesadaran hukum masyarakat, Pembinaan potensi masyarakat

untuk memelihara dan menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang

menguntungkan bagi pelaksanaan tugas kepolisian serta mencegah timbul

faktor kriminogen, Pembinaan keamanan swakarsa, Menyelenggarakan dan

Page 51: DISKRESI POLISI 1

51

memberikan bimbingan dan penyuluhan, Pembinaan dan bimbingan terhadap

remaja dan anak-anak, kenakalan remaja.

(f) Fungsi Pembinaan Personel

Fungsi ini dimasukkan ke dalam tugas-tugas pelayanan masyarakat

mengingat dalam kenyataan sehari-harinya juga melayani para

Purnawirawan, warakauri dan sebagian kelompok pemuda dalam rangka:

1) Penerimaan dan seleksi personel baru,

2) Administrasi pengakhiran dinas termasuk pembinaan administrasi

purnawirawan/warakauri dan yatim piatu keluarga besar Polri.

Untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, kepada masing-masing

anggota polisi diberi wewenang. Wewenang kepolisian diatur dalam pasal 15

Undang-Undang No. 28 Tahun 1997:

a) Menerima laporan dan pengadaan;

b) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

c) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret

seseorang;

d) Mencari keterangan dan barang bukti;

e) Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional Membantu

menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

menganggu ketertiban umum;

f) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

g) Mengawasi aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan

perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

h) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan

putusan pengadilan kegiatan instansi lain, serta kegiatan

masyarakat;

i) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan

kepolisian dalam rangka pencegahan;

j) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu;

k) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan

dalam rangka pelayanan;

l) Mengeluarkan peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan

administratif Kepolisian yang mengikat warga masyarakat.

Page 52: DISKRESI POLISI 1

52

4. Kinerja Polisi Dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi

Kata kinerja berasal dari kata “kerja”yang artinya perbuatan melakukan

sesuatu; sesuatu yang dilakukan (diperbuat). Kinerja merupakan faktor-faktor

manifest dalam perilaku. dasar dasar teori yang akan dikemukakan tentang

pemahaman kinerja sebagai berikut:

Menurut WJS Purwodarminto: kinerja adalah hasil kerja yang dicapai

seseorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.

Menurut Drs Paustino Cardoso G: “...kinerja adalah hasil kerja yang

didapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi,

sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka

upaya untuk mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legai tidak

melanggar hukum dan sesuai dengan etika”.

Bernadin dan Russel memberikan batasan mengenai kinerja atau

performance sebagai berikut:“in the record of outcomes produced on a specifid

job function or activity during a specifiet time periode”. (pengeluaran yang

dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama suatu periode

waktu tertentu).

Kinerja berasal dari kata “to perform” mempunyai istilah sebagai berikut:

1. melakukan, menjalankan, dan melaksanakan,

2. memenuhi atau menjalankan kewajiban dalam suatu permainan,

3. menggambarkan suatu karakter dalam suatu organisasi,

4. menggambarkan dengan sarana alat music,

5. melakasanakan atau menempurnakan tangguang jawab,

6. melakukan usaha kegiatan dalam suatu permainan,

7. melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin.

Jadi kinerja dapat diartikan perencanaan yang dilaksanakan untuk

kelompok atau individu untuk mencapai tujuan atau hasil yang diharapkan sesuai

dengan perencanaan.

Kinerja Polri mencakup faktor-faktor manifest dalam perilaku individu dan

lembaga Polri. Kinerja Polri merupakan fungsi dari pencapaian tujuan lembaga,

baik berupa keberhasilan maupun kegagalan. Kinerja merupakan perilaku yang

dapat diamati dan dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat. Pada dasarnya ada

dua bentuk pengukuran kinerja kepolisian. Yang pertama adalah pengukuran

Page 53: DISKRESI POLISI 1

53

secara kuantitatif, dan yang kedua pengukuran secara kualitatif. Bentuk

kuantitatif ukuran kinerja adalah ukuran seperti jumlah pelanggaran lalu lintas

yang fatal. Sedangkan bentuk kualitatif ukuran kinerja pada dasarnya terkait

dengan pendapat masyarakat tentang polisi.

Kinerja Polri lebih mudah dipahami dalam pembagian sesuai dengan tugas

dan fungsi pokoknya, yaitu kinerja di bidang hukum, kinerja di bidang keamanan

dan ketertiban masyarakat serta kinerja di bidang pelayan dan pengayom

masyarakat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melihat kinerja Polri,

yaitu:

1. Bidang Penegakan Hukum.

Polisi adalah instansi yang berperan dalam penegakan hukum dan norma

yang hidup dalam masyarakat (police as an enforment officer). Pada

pelaksanaan demikian, polisi adalah instansi yang dapat memaksakan

berlakunya hukum. Manakala hukum dilanggar, terutama oleh perilaku

menyimpan yang namanya kejahatan, diperlukan peran polisi untuk

memulihkan keadaan (restitutio in intreguman) pemaksa agar sipelanggar

hukum menanggung akibat dari perbuatannya. Untuk mengetahui

bagaimana hukum ditegakkan tidaklah harus dilihat dari institusi hukum

seperti kejaksaan atau pengadilan, tetapi dilihat pada perilaku polisi yang

merupakan garda terdepan dari proses penegakkan hukum.Sebagai

penegak hukum, polisi adalah pribadi atau anggota yang menguasai

pengetahuan hukum, bersifat jujur, bersih, berani bertindak dengan penuh

tanggungjawab, sehingga hukum dapat ditegakkan.

2. Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.

Sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kantibmas),

polisi melakukan tugas mengantisipasi, menjaga dan mengayomi

masyarakatnya dari perilaku jahat yang diperagakan para penjahit. Polisi

bersamaan anggota masyarakat lainnya, menjalankan upaya preventif,

yaitu mencegah terjadinya kejahatan. Polisi harus siap siaga terhadap

keadaan yang mengancam keselamatan masyarakat.

Agar polisi mampu menyelesaikan berbagai permasalahan keamanan dan

ketertiban yang muncul di tengah masyarakat, penulis berpendapat

pentingnya kemesraan hubungan polisi dengan masyarakat. Polisi harus

Page 54: DISKRESI POLISI 1

54

mampu mendekati masyarakat melalui proses kondisioning secara

bertahap dan keteladanan dari para anggota polisi, sehingga masyarakat

semakin percaya kepada polisi. Dengan bekal kepercayaan tersebut,

diharapkan masyarakat akan semakin lekat pada polisi.

Dalam pelaksanaan tugas Bimmas. Polri bekerja sama dengan berbagai

instansi pemerintah,organisasi kemasyarakatan sampai kepada pemimpin-

peminpin informal yang berpengaruh di daerah pedesaan.Memberikan

penyuluhan pada masyarakat dan bimbingan pada

remaja/anak-anak/pelajar/Mahasiswa/pemuda supaya taat pada hukum

dan norma-norma yang ada. Fungsi ini penting dalam rangka peningkatan

disiplin nasional

3. Bidang Pelayanan dan pengayom Masyarakat.

Dalam pelaksanaan fungsinya sebagai pelayan masyarakat setiap anggota

kepolisian memerlukan sikap mental yang menyadari apa yang dimaksud

dengan kata “pelayan”. Seorang pelayan tidak berada diatas. Setidak-

tidaknya polisi harus menyadari bahwa kedudukannya sebagai warga

negara adalah sama dengan warga masyarakat yang lain. Polisi harus

memberikan apa yang diharapkan oleh yang dilayani, walaupun semuanya

dilaksanakan dalam batas-batas ketentuan peraturan dan atau hukum yang

berlaku.

Sebagai pengayom masyarakat, polisi memelihara keselamatan orang,

benda dan masyarakat, termasuk memberikan pertolongan dan

perlindungan, menjadi teman siapapun yang memerlukan bantuan tanpa

membedakan status sosial maupun status kekayaan, mengamati

lingkungan yang dapat menimbulkan situasi yang tidak tertib, misalnya

traffic light yang tidak menyala, dan memberikan saran kepada pihak

yang bertanggung jawab untuk mengaturnya. Baharudin Lopa

mengemukakan, polisi harus menjadi pelayan yang terpercaya, artinya

kapanpun dan dimanapun polisi berada,ia harus siap untuk memberikan

pelayanan kepada masyarakat, memiliki integritas moral yang terpuji

(disiplin, jujur dan sikap-sikap terpuji lainnya),karena betapapun

profesionalnya seorang polisi, jika tidak memiliki moral yang tangguh,

tidak akan pernah berhasil dalam mengemban tugasnya Tugas-tugas

Page 55: DISKRESI POLISI 1

55

pelayanan dan pengayoman oleh polisi kepada masyarakat

diaktualisasikan dalam tindakan konkrit yang sebenarnya sepele,tetapi

maknanya dalam bagi masyarakat yang mengerti arti sebuah nilai

pengabdian. Misalnya, polisi harus bersedia menyeberangkan orang tua

atau anak-anak manakala jalanan ramai. Atau polisi harus terjaga dengan

kewaspadaan tinggi ditengah malam saat warga masyarakat sudah terlelap

dalam tidur.

5. Diskresi Kepolisian

Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau

memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum

atau perkara pidana yang ditanganinya. Menurut Davis diskresi kepolisian is

maybe defined as the capacity of police officers to select from among a number of

legal and ilegal courses of action or inaction while performing their duties.50

Tindakan diskresi dapat dibedakan sebagai berikut; (1) tindakan diskresi

yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara individu dalam mengambil

keputusan tersebut; (2) tindakan diskresi yang beradasar petunjuk atau keputusan

atasan atau pimpinanannya.

Tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan

secara langsung pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan

dari atasannya adalah diskresi yang bersifat individual, sebagai contoh untuk

menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan, petugas

kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaaraan

meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah dan sebagainya.

Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak

melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau

menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual petugas

kepolisian. Tindakan tersebut merupakan tindakan diskresi birokrasi karena

dalam pengambilan keputusan diskresi berdasarkan atau berpedoman pada

kebijaksanaan–kebijaksanaan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah

dijadikan kesepakatan diantara mereka.

50 Bailey e.d dalam http//www.law-insight.blogspot.com/kasus-kasus-menarik/ tanggal 27 Oktober 2011 jam 13.00 WIB

Page 56: DISKRESI POLISI 1

56

Manfaat diskresi dalam penanganan masalah sosial yang terjadi dalam

masyarakat antara lain adalah sebagai salah satu cara pembangunan moral

petugas kepolisian dan meningkatkan cakrawala intelektual petugas dalam

menyiapkan dirinya untuk mengatur orang lain dengan rasa keadilan bukannya

dengan kesewenang - wenangan.

Selain pantas untuk dilakukan diskresi juga merupakan hal yang penting

bagi pelaksanaan tugas polisi karena: (1) Undang-undang ditulis dalam bahasa

yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi

petugas dilapangan, (2) Hukum adalah sebagai alat untuk mewujudkan keadilan

dan menjaga ketertiban dan tindakan hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk

mencapai hal tersebut. (3) Pertimbangan sumber daya dan kemampuan dari

petugas kepolisian.

Konsep mengenai diskresi Kepolisian terdapat dalam pasal 18 Undang-

undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, yang berbunyi: Untuk kepentingan

umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

dilakukan dlam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan

perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal

18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan

yang bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids

beginsel) taitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat

kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri,

dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan

menjamin keamanan umum.

Secara umum, kewenangan ini dikenal sebagai “diskresi kepolisian” yang

keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk tugas

kewajiban (Pflichtmassiges Ermessen). Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-

undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 merupakan konsep kewenangan

kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu

digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang “diskresi kepolisian” dalam

Page 57: DISKRESI POLISI 1

57

pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi

yang diatur dalam pasal 1, 32, dan 33 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002

sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas Kepolisisan Negara Republik

Indonesia akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan professional

berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya.Rumusan

dalam pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi pelaksanaan “diskresi”

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan

diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan perundang undangan

serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pada awal tahun 1985 kita hanya mengenal istilah “Kode Etik Polri” ,

Kode Etik Polri ini ditetapkan oleh KaPolri dengan Surat Keputusan KaPolri No.

Pol. : Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud

terkenal dengan “Naskah Ikrar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia

beserta pedoman pengamalannya”, yang biasa di ucapkan/diikrarkan sesaat

menjelang akhir suatu pendidikan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor

28 Tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001

diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

dengan Keputusan KaPolri No. Pol: KEP/05/III/2001, serta Kep. KaPolri No.

Pol: KEP/04/III/2001 tentang Buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik

Polri. Adapun landasan dari Kode Etik Profesi Polri ini adalah UU. Kepolisian

No. 28/ 1997.

Seiring dengan dikeluarkannya UU Kepolisian yang baru yaitu UU No. 2

tahun 2002, terdapat pula beberapa perubahan terhadap Kode Etik Profesi Polri.

Pada UU.No.2/2002, yaitu pada bab V (pasal 31s/d 35) mengatur secara khusus

mengenai “Pembinaan Profesi” (Polri). Salah satu upaya dalam rangka

pembinaan Profesi Polri adalah melalui Pembinaan Etika Profesi, yaitu seperti

pada pasal 32 (1) UU. No 2/2002 , yang berbunyi:

“Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi….”.

Page 58: DISKRESI POLISI 1

58

Selanjutnya etika profesi ini kemudian diwujudkan pada apa yang disebut

dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti yang

diatur pada pasal 34 dan 35 UU. No. 2/2002:

Pasal 34:

(1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat

pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi

pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan

tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

lingkungannya.

(3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia diatur dengan Keputusan KaPolri.

Pasal 35:

(1) Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik

Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan KaPolri.

Ketentuan yang berkaitan dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara

Republik Indonesia, sesuai dengan amanat Undang-undang No.2/2002 pasal 34 &

35 kemudian di wujudkan melalui Kep. KaPolri No.Pol.: KEP/01/VII/2003,

tentang Naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kode etik ini adalah merupakan pedoman perilaku dan moral bagi

anggota Polri bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai upaya

pemuliaan terhadap profesi kepolisian, yang berfungsi sebagai pembimbing

pengabdian, sekaligus menjadi pengawas hati nurani setiap anggota agar

terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.Kode etik profesi

Kepolisian adalah merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri

Brata dan Catur Prasetya bersifat Normatif Praktis sehingga dapat digunakan

untuk menilai kepatuhan dan kelayakan tindakan dari segi persyaratan teknis

profesi.

Page 59: DISKRESI POLISI 1

59

Etika profesi Kepolisian memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu Etika

Pengabdian, Kelembagaan dan Kenegaraan, yang pengertiannya adalah:

a. Etika pengabdian; merupakan komitmen moral setiap anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai

pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta

pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Etika Pengabdian pada

Kode Etik Profesi Kepolisian di jabarkan dalam pasal 1 s/d 7.

b. Etika kelembagaan; merupakan komitmen moral setiap anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang

menjadi wadah pengabdian dan patut dijunjung tinggi sebagai ikatan

lahir batin dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat dan

kehormatannya. Etika Kelemagaan dijabarkan pada pasal 8 s/d 12

c. Etika kenegaraan; merupakan komitmen moral setiap anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk

senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh

kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Etika Kenegaraan ini dijabarkan

pada pasal 13 s/d 16.

Kode etik Profesi Kepolisian (KEP. KaPolri No.: KEP/01/VII/2003) yang

baru ini lebih operasional dibanding dengan Kode Etik Profesi sebelumnya (Kep

KaPolri No.: Kep/04/III/2001 dan Kep/05/III/2001), hal ini dikarenakan pada

Kode Etik Profesi Kepolisian yang baru masing-masing bentuk etika

(Pengabdian, Kelembagaan dan Kenegaraan) diatur perilaku-perilaku yang Etis

dan yang tidak Etis lebih rinci, sehingga ada batasan jelas yang dibakukan, selain

itu juga diatur pula bentuk sanksinya dan cara penegakannya.

Didalam pasal 18 ayat (1) undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang

kepolisian; Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesi dalam melaksanaan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut

penilaiannya sendiri.

Ayat (2) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan

peraturan perundang-undangan, serta kode etik profesi kepolisian Negara

Republik Indonesia. Dalam hal ini bertindak dengan penilaian sendiri dapat

Page 60: DISKRESI POLISI 1

60

disebut sebagai diskresi. Diskresi dalam polisi dimulai pada tahun 1960, pada

awalnya dalam sistem peradilan pidana tidak mengenal adanya diskresi karena

polisi dan jaksa harus bekerja sesuai dengan hukum bila melakukan diluar itu

berarti illegal. Definisi diskresi menurut K.C.Davis, adalah membuat pilihan atau

putusan dari sejumlah kemungkinan yang akan ada atau bisa terjadi.

Diskresi didalam penegakan hukum memang tidak dapat dihindarkan,

mengingat keterbatasan-keterbasan baik dalam kualitas perundang-undangan,

sarana dan prasarana, kualitas penegak hukum maupun partisipasi masyarakat.

Diskresi ini merupakan refleksi pengakuan bahwa konsep penegakan hukum

secara total (total enforcement) dan penegakan hukum secara penuh (full

enforcement) tidak mungkin dilaksanakan, sehingga penegakan hukum yang

aktual (actual enforcement) yang terjadi. Hikmah yang terjadi adalah, bahwa

diskresi inilah yang menjadi sumber pembaharuan hukum apabila direkam dan

dipantau dengan baik dan sistematis.

Ada tiga bagian dan tiga kebijakan policy dalam diskresi yaitu:

1. Diskresi of judgment

Adalah dilawankan kepada disiplin mati/menentang aturan yang seperti

robot (militer). Petugas disini harus mempunyai pengetahuan, kemampuan,

dan pemahaman atas dasar pengalaman, contohnya adalah penegakan

aturan oleh polisi lalu-lintas yang terkadang melanggar aturan yang ada.

2. Diskresi of choice

Adalah menciptakan sesuatu yang baru sesuai dengan penilaian pribadi

(yurispudensi baru).

3. Diskresi as liberty

Diskresi ini erat kaitannya dengan tugas dan fungsi jabatan oleh karenanya

menjadi hak orang yang menjabat untuk membuat putusan

(menginterprestasikan kewenangannya).dicontohkan seorang hakim yang

memutus suatu perkara yang terkadang bertentangan dengan aturan yang

ada tapi bukan karena interpensi, melainkan karena factor yang dianggap

penting cruetial.

Kebijakan policy dalam diskresi ada tiga bentuk yaitu

1. Kebijakan yang dibatasi restrectif policy, dengan kata lain harus ada aturan

yang buat serta dilaksanakan dapat/boleh atau tidaknya suatu hal dilakukan.

Page 61: DISKRESI POLISI 1

61

2. Discouragement (membuat orang berpikir ulang/menganjurkan untuk tidak)

yaitu dengan membuat aturan dengan sangsinya sehingga menciptakan

pilihan untuk seseorang (seolah melarang tapi tidak secara langsung).

3. Judgmental mengaitkan diskresi adalah judgment dengan cara membuat

pedoman/aturan yang ditetapkan yang apabila di langgar akan dikenakan

hukuman atau sanksi.

Seorang petugas kepolisian Negara Repoblik Indonesia yang bertugas

ditengah-tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusan

berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap keteriban dan

keamanan umum atau bila diperkirakan akan timbul bahaya bagi kepentingan

umum. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin baginya untuk meminta

pengarahan terlebih dahulu dari atasannya sehingga dia harus berani

memutuskan sendiri tindakannya. Namun dalam pelaksanaannya perlu beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang petugas Kepolisian akan

“diskresi” yaitu51:

1. Tindakan yang harus “benar-banar dilakukan “noodzakelijk, notwending”

atau azas keperluan.

2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian

“Zakelijk, sachlich).

3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya suatu

gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang tidak dikhawatirkan. Dalam

hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan

(Zweckmassig, doelmatiq).

4. Azas keseimbangan (evenredoig) dalam mengambil tindakan, harus

senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknya) tindakan

atau sasaran yang dipergunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan

atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak,    

Selanjutnya didalam mengambil tindakan berdasarkan penilaiannya sendiri

yang paling menentukan kualitas tindakan adalah kemampuan dan pengalaman

petugas kepolisian yang mengambil tindakan tersebut. Oleh karena itu,

51 Kombes Pol Drs. DBM. Suharya, Diskresi Kepolisian dalam rangka Penaganan Anak Berkonflik Dengan Hukum, disampaikan dalam acara Seminar Sehari “Peradilan Anak” Atas Kerjasama Maber Polri-Unisef-Sntra HAM Univ. Indonesia, Jakarta 11 Desember 2003.

Page 62: DISKRESI POLISI 1

62

pemahaman tentang penting “diskresi kepolisian” dalam pasal 18 ayat 1 harus

dikaitkan dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 31, 32,

33 UU No. 2 tahun 2002 sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas

Kepolisian Negara Republik Indonesia akan mampu mengambil tindakan secara

tepat dan profesional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan

tugasnya.

  Diskresi juga tidak hanya wewenang yang ada pada kepolisian, secara

umum diskresi diartikan adalah wewenang yang diberikan kepada setiap anggota

birokrasi/pemerintahan yang mempunyai otoritas membuat keputusan. Polisi

secar penuh mempunyai kewenangan diskresi tersebut dikarenakan tugas polisi

yang mandiri, sama halnya dengan petugas pemasyarakatan, imigrasi ataupun bea

cukai.

Filosofi hukum oleh R.Dworkien and Hart,teori donat doughnut theory

mengatakan diskresi tidak diatur seperti halnya aturan dan kebijakan rules and

policies tapi diskresi adanya didalam hal tersebut. Kenapa adanya diskresi hal ini

disebabkan karena ada aturan atau kebijakan tertentu yang tidak dibuat untuk

masalah-masalah tertentu (diberikan pada perkuliahan Prof Mardjono-KIK,2008)

a) Posisi Kasus

Di Lumajang, berawal dari kasus penganiayaan yang Polisi menetapkan H

sebagai tersangka. Saat akan ditangkap, H berhasil melarikan diri. Hingga

akhirnya beberapa bulan berselang, tersangka belum tertangkap. Oleh karena itu,

Polsek Tekung menetapkan tersangka H masuk Daftar Pencarian Orang (DPO)52.

Aipda Utar Wardhani, kanitreskrim polsek Tekung sedang melakukan

penyelidikan perkara tindak pidana lainnya. Dalam perjalanannya, Aipda Utar

Wardhani bersama tim mampir ke sebuah warung makan untuk beristirahat.

Ternyata, pada saat bersamaan, tersangka H berada di warung itu. Melihat

kedatangan sejumlah polisi masuk ke warung, tersangka H melarikan diri

meninggalkan sepeda motornya.

Polisi pun segera melakukan pengejaran namun tersangka berhasil

melarikan diri. Sepeda motor tersangka yang ditinggalkannya diamankan polisi

untuk diamankan dari pencurian. Namun tindakan yang diambil polisi tersebut

justru memicu pengaduan keluarga tersangka pada Provost dan melaporkan

52 Wawancara dengan Kanitreskrim Polsek Tekung, AKP Butar tanggal 12 Oktober 2011

Page 63: DISKRESI POLISI 1

63

Aipda Utar Wardhani dengan tuduhan menyita/mengambil barang orang lain

tanpa surat penyitaan53.

Menerima pengaduan tersebut, Provost melakukan penyidikan terhadap

Aipda Utar Wardhani hingga akhirnya, Provost menetapkan tindakan yang

diambil Aipda Utar Wardhani sebagai Deskresi Kepolisian.

Diskresi yang dilakukan Aipda Utar Wardhani merupakan langkah untuk

mengamakan barang berharga milik seseorang untuk menghindari tindak pidana

pencurian, dalam hal ini merupakan sepeda motor milik tersangka H yang

sengaja ditinggalkan untuk menghindari kejaran Polisi.

b) Pelaksanaan Diskresi Dalam Penyitaan

Berdasarkan UU RI No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia Pasal 14 ayat (1) yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan

perundang – undangan lain.

Wewenang kepolisian dalam proses pidana diatur dalam pasal 16 UU RI

No2 Tahun 2002 sebagai berikut:

1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan

2) Melarang setiap orang meninggalkan/memasuki TKP untuk kepentingan

penyidikan

3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan

4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai, menyakan serta memeriksa

tanda pengenal diri

5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan diri

6) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara

7) Mengadakan penghentian penyidikan

8) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum

9) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dan menangkap orang yang

disangka untuk melakukan tindak pidana

10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

53 Id.

Page 64: DISKRESI POLISI 1

64

Dengan demikian kewenangan penyidik POLRI dalam memberantas

tindak pidana korupsi sudah jelas dan terarah sehingga apa yang diharapkan oleh

pemerintah/ masyarakat kepada aparat penegak hukum dalam hal ini POLRI

dapat berjalan dengan baik.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2

tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya sebagai

aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang yudisial,

tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dimilikinya kewenangan

diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam UU No 2 tahun 2002 pada Pasal

18 ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaiannya sendiri”, maka akan menjadi masalah apabila

dengan adanya diskresi ini justru malah merangsang atau memudahkan

penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi.

Dengan lebih mengarahkan pada kenyataan-kenyataan (empiris) yang

terjadi dilapangan sebagai bahan analisis dengan luasnya kekuasaan yang dimiliki

oleh polisi, mempunyai potensi kekuasaan itu disalahgunakan untuk keuntungan

diri sendiri, kelompok maupun organisasi lain. Padahal penggunaan kekuasaan

diskresi yang diberikan oleh pembuat undang-undang sebenarnya apabila jalur

hukum yang disediakan untuk menyelesaikan suatu masalah malah menjadi

kurang efisien, kurang ada manfaatnya maupun macet. Ditinjau dari sudut

hukumpun setiap kekuasaan akan dilandasi dan dibatasi oleh ketentuan hukum.

Namun, kekuasaan diskresi yang begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya

akan menimbulkan permasalahan terutama apabila dikaitkan dengan asas-asas

hukum pidana yaitu asas kepastian hukum dan hak asasi manusia.

6. Kepolisian sebagai Pelayan Masyarakat, Penegak Hukum, Pembina

Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat

Kinerja Polri mencakup faktor-faktor manifest dalam perilaku individu dan

lembaga Polri. Kinerja Polri merupakan fungsi dari pencapaian tujuan lembaga,

baik berupa keberhasilan maupun kegagalan. Kinerja merupakan perilaku yang

dapat diamati dan dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat. Pada dasarnya ada

dua bentuk pengukuran kinerja kepolisian. Yang pertama adalah pengukuran

Page 65: DISKRESI POLISI 1

65

secara kuantitatif, dan yang kedua pengukuran secara kualitatif. Bentuk

kuantitatif ukuran kinerja adalah ukuran seperti jumlah pelanggaran lalu lintas

yang fatal. Sedangkan bentuk kualitatif ukuran kinerja pada dasarnya terkait

dengan pendapat masyarakat tentang polisi.

a) Polisi sebagai Pelayan Masyarakat

Dalam pelaksanaan fungsinya sebagai pelayan masyarakat setiap

anggota kepolisian memerlukan sikap mental yang menyadari apa yang

dimaksud dengan kata”pelayan”. Seorang pelayan tidak berada diatas.

Setidak-tidaknya polisi harus menyadari bahwa kedudukannya sebagai warga

negara adalah sama dengan warga masyarakat yang lain. Polisi harus

memberikan apa yang diharapkan oleh yang dilayani, walaupun semuanya

dilaksanakan dalam batas-batas ketentuan peraturan dan atau hukum yang

berlaku.

Sebagai pengayom masyarakat, polisi memelihara keselamatan orang,

benda dan masyarakat, termasuk memberikan pertolongan dan perlindungan,

menjadi teman siapapun yang memerlukan bantuan tanpa membedakan

status sosial maupun status kekayaan, mengamati lingkungan yang dapat

menimbulkan situasi yang tidak tertib, misalnya traffic light yang tidak

menyala, dan memberikan saran kepada pihak yang bertanggung jawab

untuk mengaturnya, polisi harus menjadi pelayan yang terpercaya, artinya

kapanpun dan dimanapun polisi berada,ia harus siap untuk memberikan

pelayanan kepada masyarakat, memiliki integritas moral yang terpuji

(disiplin, jujur dan sikap-sikap terpuji lainnya), karena betapapun

profesionalnya seorang polisi, jika tidak memiliki moral yang tangguh, tidak

akan pernah berhasil dalam mengemban tugasnya Tugas-tugas pelayanan

dan pengayoman oleh polisi kepada masyarakat diaktualisasikan dalam

tindakan konkrit yang sebenarnya sepele,tetapi maknanya dalam bagi

masyarakat yang mengerti arti sebuah nilai pengabdian. Misalnya, polisi

harus bersedia menyeberangkan orang tua atau anak-anak manakala jalanan

ramai atau polisi harus terjaga dengan kewaspadaan tinggi ditengah malam

saat warga masyarakat sudah terlelap dalam tidur.

Dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara

umum tugas ini masih jauh dari harapan. Dapat dimengerti adanya

Page 66: DISKRESI POLISI 1

66

kekurangan personil, anggaran, dan peralatan. Namun, nampaknya perlu

dicari pola-pola yang inovatif dalam pelaksanaannya, agar tidak monoton

dan bersifat tradisional belaka. Sangat dirasakan oleh masyarakat kurangnya

rasa aman dan tertib disemua tempat karena kejahatan semakin brutal

sementara aparat kemanan tidak mengimbanginya dengan sistem keamanan

secara menyeluruh. Yang dapat dilihat dan dirasakan antara lain kurang

tegasnya polisi, kurang konsisten dan konsekwennya dalam pencegahan dan

penindakan. Operasi Kepolisian sering hanya bersifat sporadis. Akibatnya

pelanggar hanya mereda beberapa saat dan di wilayah tertentu saja,

sementara jika pelanggaran dan kejahatan sudah meningkat lagi baru

diadakan operasi lagi dan terbatas pula. Di bidang lalu lintas juga sangat

tidak tertib, misalnya di Jakarta, Surabaya dan atau kota besar lainnya di

Indonesia. Mungkin lalu lintas di kota inilah yang paling semrawut di dunia.

Untuk mengatasi hal ini perlu adanya keterpaduan dari semua instansi yang

terkait.

b) Polisi sebagai Penegak Hukum

Polisi adalah instansi yang berperan dalam penegakan hukum dan

norma yang hidup dalam masyarakat (police as an enforment officer). Pada

pelaksanaan demikian, polisi adalah instansi yang dapat memaksakan

berlakunya hukum. Manakala hukum dilanggar, terutama oleh perilaku

menyimpan yang namanya kejahatan, diperlukan peran polisi untuk

memulihkan keadaan (restitutio in intreguman) pemaksa agar sipelanggar

hukum menanggung akibat dari perbuatannya. Untuk mengetahui bagaimana

hukum ditegakkan tidaklah harus dilihat dari institusi hukum seperti

kejaksaan atau pengadilan, tetapi dilihat pada perilaku polisi yang

merupakan garda terdepan dari proses penegakkan hukum.Sebagai penegak

hukum, polisi adalah pribadi atau anggota yang menguasai pengetahuan

hukum, bersifat jujur, bersih, berani bertindak dengan penuh tanggungjawab,

sehingga hukum dapat ditegakkan.

Dalam penegakan hukum. Secara umum mengalami kemajuan, namun

masih perlu peningkatan kinerja secara sungguh-sungguh,utamanya perkara

yang menjadi sorotan masyarakat adalah tentang penanganan koruptor dan

hal-hal lain yang menyangkut banyak merugikan negara. Di tubuh Polri

Page 67: DISKRESI POLISI 1

67

sendiri harus ada konsistensi dan transparansi dalam pemberantasan korupsi

jika Polri ingin mendapat dukungan masyarakat dan memiliki citra yang

baik. Pemberantasan korupsi di tubuh Polri dan pemberantasan perjudian

adalah merupakan point of no return, apabila Polri konsisten dengan

reformasi internalnya. Masyarakat sangat berharap akan keberlanjutan

penanganan masalah tersebut walaupun sudah pasti banyak korban dan

resistensi baik dari dalam tubuh Polri sendiri maupun orang luar yang

mempunyai kepentingan tertentu.Terkadang juga ada kasus berat namun

hanya dapat terungkap kalau ada pejabat penting yang turun tangan.

Faktanya memang menunjukkan adanya fenomena seperti itu.

c) Polisi sebagai Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat

Sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kantibmas),

polisi melakukan tugas mengantisipasi, menjaga dan mengayomi

masyarakatnya dari perilaku jahat yang diperagakan para penjahit. Polisi

bersamaan anggota masyarakat lainnya, menjalankan upaya preventif, yaitu

mencegah terjadinya kejahatan. Polisi harus siap siaga terhadap keadaan

yang mengancam keselamatan masyarakat.

Agar polisi mampu menyelesaikan berbagai permasalahan keamanan

dan ketertiban yang muncul di tengah masyarakat, sangatlah penting

kemesraan hubungan polisi dengan masyarakat. Polisi harus mampu

mendekati masyarakat melalui proses kondisioning secara bertahap dan

keteladanan dari para anggota polisi, sehingga masyarakat semakin percaya

kepada polisi. Dengan bekal kepercayaan tersebut, diharapkan masyarakat

akan semakin lekat pada polisi.

Dalam pelaksanaan tugas Bimmas, Polri harus bekerja sama dengan

berbagai instansi pemerintah, organisasi kemasyarakatan sampai kepada

pemimpin-peminpin informal yang berpengaruh di daerah

pedesaan.Memberikan penyuluhan pada masyarakat dan bimbingan pada

remaja/anak-anak/pelajar/Mahasiswa/pemuda supaya taat pada hukum dan

norma-norma yang ada.

Dalam perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam bidang inipun masih jauh dari harapan masyarakat. Masyarakat pada

umumnya belum merasa terlindungi secara baik, belum merasa diayomi, dan

Page 68: DISKRESI POLISI 1

68

belum merasa dilayani dengan baik oleh Polri. Oleh karena itu, perlu

peningkatan sikap, perilaku, dan tindakan yang lebih baik, lebih proaktif

dengan benar-benar setiap anggota Polri menempatkan diri sebagai

pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Merubah kultur ke arah

demikian memang tidak mudah dan tidak bisa dalam waktu singkat. Namun,

perlu kesungguhan, konsistensi, dan keberlanjutan dari semua lapisan

organisasi Polri. Untuk masalah ini, yang sangat diperlukan adalah teladan

dari setiap atasan. Pengawasan yang ketat dan berlanjut dari setiap atasan

akan lebih memacu keberhasilan Polri.

7. Pertanggungjawaban Dalam Pelaksanaan Diskresi

Pandangan Masyarakat terhadap Kinerja Polri Kinerja Polri dari hari ke

hari telah menampakkan kemajuan yang berarti walaupun belum dapat memenuhi

harapan masyarakat. Banyak prestasi yang telah dicapai oleh Polri dalam

menemukan penjahat dalam waktu yang relatif tidak lama. Namun, juga masih

banyak harapan masyarakat akan dapat ditangkapnya para koruptor besar yang

sampai saat ini belum berhasil ditangkap. Keberhasilan Polri melumpuhkan

komplotan teroris di Batu-Malang (Jawa Timur) dan menewaskan Dr. Azahari

sangat menggembirakan masyarakat. Juga ditemukannya sejumlah bahan peledak

dan bom rakitan seperti di Ngebel-Ponorogo dan Bojonegoro, Jawa Timur54.

Polri pula yang berhasil membongkar dan menangkap produsen Narkoba.

Dalam penggrebekannya di desa Cemplang-Serang (Banten) itu Polri menangkap

13 tersangka pelaku termasuk pemilik pabrik, serta menyita sejumlah barang

bukti. Konon, pabrik Narkoba itu merupakan terbesar ketiga di dunia dengan

omset mencapai kurang lebih satu triliun rupiah setiap minggu. Keberhasilan-

keberhasilan itu diakui oleh masyarakat sebagai prestasi Polri yang

membanggakan dan pantas mendapat pujian.55

Namun, harus diakui juga bahwa harapan masyarakat untuk memiliki polisi

yang benar-benar baik dan bersih masih belum menjadi kenyataan. Masih banyak

oknum polisi yang melakukan pelanggaran etika kepolisian, memeras, bahkan

melakukan kejahatan Narkoba, penadah perampasan taksi seeperti belum lama

54 Kompas 12-13 Nov. 2005, dalam www.kompas.com diakses tanggal 22 Oktober 2011 jam 19.30 WIB55 Indo Pos 15 Nov. 2005, dalam www.google.co.id diakses tanggal 22 Oktober 2011 jam 18.00 WIB

Page 69: DISKRESI POLISI 1

69

berselang56. Masih banyak lagi kejadian kejahatan yang melibatkan polisi dan

sering dapat dibaca atau ditonton dalam berita di media massa.

Masyarakat juga banyak bergonjing tentang adanya polisi yang

menghentikan kendaraan truk terutama di luar kota di mana pengemudinya sudah

menyiapkan kotak korek api untuk diberikan kepada oknum polisi itu. Tentu saja

kotak itu tidak berisi korek api karena bukan itu yang diminta oleh polisi.

Pengurusan Surat Ijin Mengemudi dan surat-surat lainnyapun menjadi “ladang”

yang subur bagi pemasukan uang bagi polisi57. Masih banyak lagi “ladang”

lainnya yang dapat menjadi tempat korupsi polisi, tetapi bukan terhadap uang

negara.

Korupsi itu korupsi terhadap uang masyarakat secara perseorangan. Hal itu

sulit dibuktikan, namun bagi masyarakat dianggapnya bukan rahasia lagi. Hal ini

menyebabkan masyarakat belum merasa “menjadi satu” sebagai mitra polisi,

pada hal perkara ini sangat penting dalam mendukung tugas polisi. Masyarakat

masih takut atau segan berhubungan dengan polisi karena berbagai sebab yang

pada umumnya takut “kehilangan” uang. Menjadi saksipun kalau bisa dihindari,

demikian pula melaporkan kejadian kehilangan barangnya saja masih ada yang

tidak merasa perlu karena pesimis akan manfaatnya, dan bisa jadi ujung-ujungnya

akan “kehilangan” uang.

Di samping banyak “ladang” untuk korupsi dari uang masyarakat secara

perseorangan, ada pula korupsi dari intern tubuh Polri sendiri tetapi juga bukan

terkait dengan uang negara. Ini juga sulit dibuktikan karena yang bersangkutan

menganggap pengeluaran uang itu demi melicinkan kepentingannya, misalnya

masuk pendidikan jenjang, kenaikan pangkat, jabatan dan sebagainya. Walaupun

berulang kali KaPolri atau Kapolda menegaskan tidak ada pungutan uang untuk

masuk pendidikan atau kenaikan pangkat, namun dalam kenyataannya masih

berlangsung terus. Tentu saja hal ini tidak akan diketahui oleh KaPolri atau

Kapolda. Masyarakat juga tahu kalau di lingkungan organisasi Polri ada “wajib

setor”. Hal itu akan berdampak luas, antara lain timbulnya kecenderungan

melakukan penekanan dan pemerasan untuk mencapai target setoran. Belum lagi

berbicara tentang adanya “beking” terhadap cukong dan suap. Bukankah ada

56 Ibid57 Dalam www.wikipedia.com, diakses tanggal 19 Oktober 2011 jam 7.20 WIB

Page 70: DISKRESI POLISI 1

70

oknum polisi yang melakukannya dari skala kecil sampai yang besar. Mungkin

dengan alasan gaji kurang. Memang, hal itu bisa dimengerti, tetapi jika

penyimpangan-penyimpangan itu berjalan terus maka resikonya negeri ini akan

semakin keropos dan lemah.

Apabila penyimpangan-penyimpangan dibiarkan, maka yang salah itu bisa

dianggap benar. Kalau hal itu berlangsung terus berarti merupakan banalisasi

yang menganggap penyimpangan merupakan hal yang biasa/seolah-olah yang

salah itu benar.

Perilaku menyimpang polisi disebabkan oleh banyak faktor, antara lain

pengaruh lingkungan yang mengakibatkan ingin menjalani gaya hidup

hedonisme, gaji yang relatif kurang, sikap mental yang buruk, dan diberikannya

kekuasaan polisi oleh hukum untuk mengambil tindakan dalam situasi tertentu

menurut “pertimbangan sendiri” atau disebut kekuasaan diskresi-fungsional yang

menempatkan pribadi-pribadi polisi sebagai faktor sentral dalam penegakan

hukum.58

Jadi, diskresi merupakan kebijakan, keleluasaan atau kemampuan untuk

memilih rencana kebijakan atau mempertimbangkan bagi diri sendiri atau suatau

kebijakan berdasarkan keleluasaannya untuk melakukan suatu tindakan atas dasar

pertimbangan dan keyakinan dirinya. Oleh karena itu, diskresi tidak terlepas dari

ketentuan hukum, artinya diskresi itu dilakukan dalam kerangka hukum.59

Dari pengertian di atas itulah, maka pribadi-pribadi polisi mendapat peran

yang sangat penting dan sentral dalam penegakan hukum. Polisi merupakan salah

satu pilar dalam mewujudkan tegaknya hukum. Namun, jika polisi tidak memiliki

integritas moral yang tinggi dan kuat, maka dengan kekuasaan diskresi-

fungsional tersebut justru memberi peluang untuk menggunakan kekuasaan itu

untuk kepentingan pribadinya sendiri yang tidak untuk tegaknya hukum dan

keadilan dengan melakukan tindakan yang bernuansa pemerasan atau intimidasi

ataupun rekayasa dan kolusi dalam penanganan suatu perkara.

Untuk mencegah digunakannya kekuasaan diskresi fungsional yang tidak

proporsional, maka masalah peningkatan moral, etika dan berfungsinya hati

nurani menjadi sangat penting. Moral dan etika akan menjadi pendorong untuk

58 Ronny Nitibaskara, 2001, “Polisi dan Polisi”, Jakarta: Ghalia, hal.2959 Ibid, hal 106

Page 71: DISKRESI POLISI 1

71

menjadi polisi yang baik, yang menuntun sikap, tindakan, dan perilaku polisi.

Moralitas adalah norma atau standard tingkah laku manusia yang didasarkan atas

pertimbangan benar-salah, dan baik-buruk. Etika merupakan nilai-nilai dan

norma yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok masyarakat dalam

mengatur tingkah lakunya.

Menghidupkan berfungsinya hati nurani juga sangat penting karena

sesungguhnya hati nurani tidak pernah bohong. Hati nurani yang sensitif (tidak

tumpul) dapat mengarahkan pada hal-hal yang baik dan terpuji. Pentingnya

peningkatan moral dan etika serta mensensitifkan hati nurani itu juga berkaitan

dengan prinsip bahwa “yang legal belum tentu bermoral.” Kalau berdasarkan

legal saja maka seperti jawaban Eichman (Nazi Jerman) ketika dalam proses

peradilan ditanya” mengapa dia tega membunuh puluhan ribu manusia” yang

dengan entengnya dijawabnya “saya tidak bersalah karena saya taat”. Orang yang

berpikir hanya berdasar legalitas saja akan cenderung seperti Machiavellis yang

berprinsip “tujuan menghalalkan cara” yang menumpulkan hati nurani. Di

samping itu, ada masalah keseharian polisi yaitu persoalan menggunakan hukum.

Apabila hukum digunakan oleh polisi secara semestinya niscaya kedilan

akan mendukung terwujudnya keadilan dan citra polisi akan membaik. Mungkin

ada aturan hukum yang tidak sempurna, tetapi akan menciptakan kebaikan jika

penegak hukumnya baik. Sebaliknya, hukum yang baik tidak menjamin akan

terciptanya keadilan, keteriban atau kebaikan jika aparat penegak hukumnya

buruk. Disini lagi menunjukkan pentingnya moral, etika dan hati nurani

diketengahkan.

Sikap dan perilaku anggota Polri terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian

Negara R.I. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya anggota Polri harus

dapat mencerminkan kepribadian Bhayangkara Negara seutuhnya. Anggota Polri

juga harus menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin

dalam sikap dan perilakunya seperti dirumuskan dalam Kode Etiknya yang

merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur

Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila. Kode Etik tersebut bukan

Page 72: DISKRESI POLISI 1

72

hanya untuk dihafalkan tetapi harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari

terutama dalam melaksanakan tugasnya.60

Masalah lain adalah perlu ditegaskan dan ditegakkannya lagi pertanggung

jawaban Kepolisian, artinya setiap anggota polisi yang melakukan kesalahan baik

secara sengaja maupun tidak sengaja (lalai) harus menanggung kesalahannya

dengan memberikan pertanggung jawaban atas tindakannya yang bisa

dikatagorikan tidak sah. Dalam kaitan ini, Warsito Hadi Utomo61 menyimpulkan

rumusan tindakan seseorang petugas polisi yang dapat dianggap tidak sah, seperti

berikut:

1) Melanggar hukum, baik yang berlaku umum maupun yang berlaku

khusus, misalnya melakukan pemeriksaan kendaraan di jalan umum

yang ada larangan dari dinas.

2) Tanpa dasar hukum baik berupa tindakan tanpa hak dan wewenang,

misalnya memaksa seseorang membayar hutangnya, maupun tindakan

melampaui batas-batas wewenang, misalnya memborgol tersangka

yang lemah badannya.

3) Mempunyai pertimbangan-pertimbangan di luar persoalan, misalnya

mengulur-ulur pemeriksaan tersangka bukan karena kurang alat bukti

tetapi karena sikap tersangka yang tidak sopan.

4) Ingin mencapai tujuan lain, misalnya menahan Surat Ijin Mengemudi

agar mendapat uang tebusan

5) Sewenang-wenang.

6) Melanggar kesusilaan, misalnya menggeledah badan sambil meraba-

raba bagian terlarang.

7) Tidak hati-hati, misalnya menggeledah rumah begitu rupa sehingga ada

barang-barang yang menjadi rusak.

Dalam praktek masih banyak terjadi tindakan-tindakan petugas polisi yang

dapat digolongkan dalam salah satu atau lebih katagori tersebut di atas. Itu akan

membawa kerugian manusia, masyarakat atau negara. Hal itu juga akan

merugikan citra Kepolisian. Pendapat itu memang benar dan nampaknya hal-hal

60 Anang Usman, SH, MSi. Kaur Penerapan Hukum dan Undang Undang Bidang Pembinaan Hukum Polda Jawa Barat, Dosen Unpas, Unpad dan STIA Al Jawami.

61 Prof. Mardjono Reksodiputro dengan judul “Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri” dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (KIK-UI)

Page 73: DISKRESI POLISI 1

73

seperti itu kurang mendapat perhatian dari pejabat yang membawahi anggota

yang melakukan tindakan tidak sah itu.

Dilihat dari kaca mata tugas pokok Polri, maka kinerja Polri juga masih

belum memenuhi harapan masyarakat. Menurut UU No. 2 Tahun 2002 dalam

pasal 13 dinyatakan tugas pokok Kepolisian Negara R.I adalah:

1. Memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat

2. Menegakkan hukum, dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Untuk mewujudkan tugas pokok tersebut tentunya perlu dukungan dari

masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban

serta penegakan hukum adalah sangat penting. Partisipasi itu bisa terwujud

apabila masyarakat merasa memiliki dan mencintai Polri. Hal itu bisa terwujud

jika Polri dapat merebut hati masyarakat, dekat dengan masyarakat dengan

menunjukkan sikap, perilaku, dan pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Pengungkapan masalah-masalah tersebut di atas mungkin dirasakan “pahit”

bagi Polri, tetapi kebanyakan obat adalah pahit. Anggaplah itu sebagai obat yang

pahit yang perlu bagi polisi untuk memperbaiki diri. Yang jelas pengungkapan ini

tidak bermaksud memojokkan Polri, tetapi didasari oleh kecintaan pada Polri dan

keinginan memiliki polisi sipil yang bersih, berwibawa, bermartabat dan

bermoral, yang benar-benar dapat menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan

masyarakat yang baik. Di negara manapun, keinginan masyarakat adalah seperti

itu.

Harapan Masyarakat terhadap Kinerja Polri Harapan masyarakat sudah

banyak disebutkan pada perbincangan sebelumnya, yang pada intinya masyarakat

ingin agar Polri dapat mewujudkan tugas pokoknya dengan baik, yang dilandasi

oleh moralitas, profesionalisme sebagai polisi sipil, dan memiliki kedekatan

dengan rakyat yang positif. Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan. Untuk itu,

setiap anggota Polri juga harus memperhatikan beberapa hal, yaitu:62

1) Mengenal diri, artinya tahu dan paham, dan menghayati benar siapa

dirinya (sebagai anggota polisi sipil), paham dan menghayati tugasnya

62 Bambang Widodo Umar. Kebijakan Negara di Bidang Kepolisian. Dalam idsps.org/kebijakannegara-di-bidang-kepolisian diakses tanggal 18 Oktober 2011 jam 14.25

Page 74: DISKRESI POLISI 1

74

dan bagaiman melakukan tugas dengan baik, serta memahami apa yang

menjadi keharusan dan larangannya;

2) Integritas pribadi, artinya bersikap jujur, adil, dan amanah dalam

melakukan tugas;

3) Pengendalian diri, yang berarti dapat menunda gratifikasi dan

bertindak secara proporsional serta tidak emosional;

4) Komitmen dan konsistensi, artinya memiliki tekad yang kuat untuk

menjadi polisi yang baik sebagai pelindung, pengayom,dan pelayan

masyarakat;

5) Kepercayaan diri, artinya dalam melaksanakan tugas tidak bersikap

ragu-ragu, tegas tetapi tetap terukur dan tetap sopan santun;

6) Fleksibel, berarti tidak bersifat kaku dalam bertindak.

Page 75: DISKRESI POLISI 1

75

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari uraian pada bab-bab diatas, maka dapat penulis simpulkan sebagai

berikut:

1) Sikap dan perilaku anggota Polri terikat pada Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara R.I. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

anggota Polri harus dapat mencerminkan kepribadian Bhayangkara

Negara seutuhnya. Anggota Polri juga harus menghayati dan menjiwai

etika profesi kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya

seperti dirumuskan dalam Kode Etiknya yang merupakan kristalisasi

nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang

dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila. Kode Etik tersebut bukan hanya

untuk dihafalkan tetapi harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari

terutama dalam melaksanakan tugasnya. Apabila hukum digunakan oleh

polisi secara semestinya niscaya kedilan akan mendukung terwujudnya

keadilan dan citra polisi akan membaik. Mungkin ada aturan hukum yang

tidak sempurna, tetapi akan menciptakan kebaikan jika penegak

hukumnya baik. Sebaliknya, hukum yang baik tidak menjamin akan

terciptanya keadilan, ketertiban atau kebaikan jika aparat penegak

hukumnya buruk.

2) Dengan reformasi internalnya, Polri sudah mengalami kemajuan untuk

menjadi polisi sipil bagi mewujudkan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum dan perlindungan, pengayom, dan pelayan

masyarakat. Untuk mewujudkan tugas pokok tersebut tentunya perlu

dukungan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan

keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum adalah sangat penting.

Partisipasi itu bisa terwujud apabila masyarakat merasa memiliki dan

mencintai Polri.

Page 76: DISKRESI POLISI 1

76

5.2 Saran

Bertolak dari temuan penelitian tentang kewenangan diskresi polisi

berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia tersebut diatas, maka penulis menganggap perlu

disempurnakan dan dilakukan tentang hal –hal sebagai berikut:

1) Bagi Polri, memenuhi harapan masyarakat yang begitu banyak dan

beraneka ragam kepentingan dan kebutuhan bukanlah hal yang mudah,

apalagi jika dikaitkan dengan keterbatasan personil, anggaran, dan

peralatan yang dimiliki Polri. Namun, mewujudkan harapan itu bukan

sesuatu yang mustahil, tergantung pada niat yang kuat dan tulus.

Perwujudan harapan itu harus dilakukan dari dua arah baik dari Polri

maupun dari masyarakat sendiri. Yang perlu digarap lebih dulu adalah

bagaimana menciptakan kondisi dari dua pihak itu untuk menuju ke arah

harapan itu.

2) Peningkatan moralitas, etika, dan mensensitifkan hati nurani menjadi

kunci pokok dalam mewujudkan harapan masyarakat. Untuk itu, setiap

anggota Polri perlu bertanya pada diri sendiri “sudah patutkah saya

menjadi polisi harapan masyarakat?” Bertanyalah pada hati nurani sendiri,

seandainya saya anggota masyarakat biasa, apa harapan anda kepada

Polri? Sudah memadaikah apa yang saya lakukan selama ini? Hal-hal

seperti itu perlu dilakukan agar perilaku dan kinerja polisi tidak jauh

berbeda dengan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap Polri.

Page 77: DISKRESI POLISI 1

77

DAFTAR PUSTAKA

Buku-BukuHamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

Alamsyah, Nur. 2000. Peradilan Terhadap Pelaku Kejahatan HAM Yang Berat. LBH Medan

Anthon F Susanto. 2004. Wajah Peradilan Kita. Bandung: Refika Aditama.

Atmasasmitha, Romli. 2001. Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Mandar Maju. Bandung.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni.

George E Berkley. 1969. The Democratic Policeman. Boston Beacon Press.

Hans Kelsen. 1992. Pure Theory. Introduction To The Problems Of Legal Theory; A Translationof the First Edition of the Reine Rechtslehre orPure Theory of Law. Translated by: Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson. Oxford: Clarendon Press.

H.B sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

HR. Ridwan. 2002. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press Indonesia.

Hutauruk, M. 1982. Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Erlangga. Jakarta.

Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press Cetakan Pertama.

Kunarto. 1997. Perilaku Organisasi Polri. Jakarta. Cipta Manunggal.

Lexy J Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

M. Faal. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta: Pradnya Paramita.

Marbun, BN. 2000. Penegakan Hukum dan Hak Asasi di Indonesia. Bina Cipta. Jakarta.

Page 78: DISKRESI POLISI 1

78

Muladi, 1995, Kapita Selekte Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Sarwono. S.W. 1997. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

SF. Marbun dan Moh. Mahfud. 2001. Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press.

Satjipto Rahardjo. 1983. Masalah Penegakan Hukum. Bandung: Sinar Baru.

Senoadji, Indriyanto. 1998. Penyidikan dan HAM dalam Prospektif KUHAP Bidang Penyidikan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Sitompul, DPM, 2005, Beberapa tugas dan Wewenang Polri, Aoudie, Jakarta

Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Sutrisno Hadi. 1989. Metodologi Research. Jilid 3. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM.

Winarno Soerakhmat. 1982. Dasar dan Teknik Research. Bandung: Tarsito.

Undang-Undang

Undang Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian.

Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Makalah dan Website

Kombes Pol Drs. DBM. Suharya, Diskresi Kepolisian dalam rangka Penaganan Anak Berkonflik Dengan Hukum, disampaikan dalam acara Seminar Sehari “Peradilan Anak” Atas Kerjasama Maber Polri-Unisef-Sntra HAM Univ. Indonesia, Jakarta 11 Desember 2003.

Ali Safa’at dalam alisafaat.wordpress.com/perkembangan-teori-hukum-tata-negara-dan-penerapannya-di-indonesia/