Post on 24-Jul-2015
TERAPI
Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
mempertimbangkan pengobatan gangguan. Pertama, terlepas dari penyebabnya,
skizofrenia terjadi pada orang yang mempunyai sifat individual, keluarga, dan social
psikologis yang unik. Pendekatan pengobatan harus disusun sesuai bagaimana pasien
tertentu telah terpengaruhi oleh gangguan dan bagaimana pasien tertentu akan tertolong
oleh pengobatan. Kedua, kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada
kembar monozigotik adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk
menyarankan bahwa factor lingkungan dan psikologis yang tidak diketahui tetapi
kemungkinan spesifik telah berperan dalam perkembangan gangguan. Jadi, seperti agen
farmakologis digunakan untuk menjawab ketidakseimbangan kimiawi yang diperkirakan,
strategi nonfarmakologis harus menjawab masalah nonbiologis. Ketiga, skizofrenia
adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan terapeutik tunggal jarang
mencukupi untuk menjawab secara memuaskan gangguan yang memiliki berbagai segi.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia,
penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan
klinis. Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi
obat dan harus mendukung regimen tersebut. Sebagian besar pasien skizofrenia
mendapatkan manfaat dari pemakaian kombinasi pengobatan antipsikotik dan
psikososial.
PERAWATAN DI RUMAH SAKIT
Indikasi utama untuk perawatan di rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, dan
perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai, termasuk ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, dan tempat berlindung. Tujuan
utama perawatan di rumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien
dan sistem pendukung masyarakat.
Sejak diperkenalkan di awal tahun 1950-an, medikasi antipsikotik telah
menyebabkan revolusi dalam pengobatan skizofrenia. Kira-kira dua sampai empat kali
lebih banyak pasien yang relaps jika diobati dengan plasebo dibandingkan jika diobati
dengan antipsikotik. Tetapi, antipsikotik mengobati gejala gangguan dan bukan suatu
penyembuhan skizofrenia.
Aspek lain dari penatalaksanaan klinis mengikuti logika dari model medis dari
gangguan. Rehabilitasi dan penyesuaian berarti bahwa kecacatan spesifik pasien
diperhitungkan dan direncanakan strategi pengobatan. Dokter juga harus mengajarkan
pasien dan pengasuh dan keluarga pasien tentang skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka
menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada
keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Penelitian
menunjukkan bahwa perawatan singkat di rumah sakit (empat sampai enam minggu)
adalah sama efektifnya dengan perawatan jangka panjang di rumah sakit dan bahwa
rumah sakit dengan pendekatan perilaku yang aktif adalah lebih efektif daripada institusi
yang biasanya dan komunitas terapeutik berorientasi tilikan.
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan
sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas
pascarawat, termasuk keluarganya, keluarga angkat, board-and-care homes, and halfway
house. Pusat perawatan di siang hari (day care center) dan kunjungan rumah kadang-
kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah sakit untuk periode waktu yang lama
dan dapat memperbaiki kualitas kehidupan sehari-hari pasien.
TERAPI SOMATIK
Antipsikotik. Obat antipsikotik seringkali disebut ”neuroleptik”, yang merupakan
istilah yang dapat diterima. Tetapi, istilah ”trankuiliser mayor” harus dihindari, karena
istilah tersebut telah digunakan untuk menyatakan berbagai jenis obat dan secara tidak
akurat berarti bahwa antipsikotik mempunyai efek sedatif atau trankuilisasi sebagai cara
kerja utamanya. Antipsikotik termasuk tiga kelas obat utama : antagonis reseptor
dopamin, risperidone (Risperidal), dan clozapine (Clozaril).
Pemilihan obat. Antagonis reseptor dopamin adalah obat antipsikotik yang klasik
dan efektif dalam pengobatan skizofrenia. Obat memiliki dua kekurangan utama.
Pertama, hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen) cukup tertolong untuk
mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal. Seperti yang dinyatakan
di atas, bahkan dengan pengobatan, kira-kira 50 persen pasien skizofrenia menjalani
kehidupan yang sangat melemahkan. Kedua, antagonis reseptor dopamin disertai dengan
efek merugikan yang mengganggu dan serius. Efek mengganggu yang paling utama
adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor. Efek serius
yang potensial adalah tardive dyskinesia dan sindrom neuroleptik malignan.
Remoxipride adalah antagonis reseptor dopamin dari kelas yang berbeda daripada
antagonis reseptor dopamin yang sekarang ini tersedia. Di Eropa, remoxipride telah
dibuktikan merupakan antipsikotik yang efektif, dan data awal menyatakan bahwa obat
ini disertai oleh efek samping neurologis yang kurang bermakna dibandingkan antagonis
reseptor dopamin lainnya. Tetapi, data yang paling akhir menyatakan bahwa remoxipride
mungkin disertai dengan anemia aplastik, jadi membatasi nilai klinisnya.
Risperidon adalah suatu obat antipsikotik dengan aktivitas antagonis yang
bermakna pada reseptor serotonin tipe-2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamin tipe 2 (D2).
Data penelitian menyatakan bahwa obat ini mungkin lebih efektif dalam mengobati
gejala positif maupun gejala negative dari skizofrenia. Data penelitian yang tersedia juga
menyatakan bahwa risperidon disertai dengan efek samping neurologis yang kurang
bermakna dan kurang parah dibandingkan obat antagonis dopamin yang tipikal. Tetapi,
data tentang kemanjuran dan keamanan yang unggul didapatkan dari penelitian yang
masih terbatas yang dilakukan pada senyawa tersebut, pengertian tentang manfaat dan
keamanan senyawa baru kemungkinan akan meningkatkan dengan cepat saat didapatkan
pengalaman klinis tentang pemakainya. Risperidon menjadi obat lini pertama dalam
pengobatan skizofrenia karena kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan lebih aman
daripada antagonis reseptor dopaminergik yang tipikal
Clozapine adalah suatu obat anti psikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya
belum dimengerti secara baik, walaupun diketahui bahwa clozapin adalah suatu antagonis
lemah terhadap reseptor D2 tetapi tampaknya merupakan antagonis yang kuat terhadap
reseptor D4 dan mempunyai aktivitas antagonistik pada reseptor serotonergik. Sayangnya,
clozapine disertai dengan insidensi 1 sampai 2 persen terjadinya agranulositosis, suatu
efek samping yang mengharuskan monitoring setiap minggu pada indeks-indeks darah.
Di samping itu, clozapine harganya mahal, yang merupkan faktor pembatas dalam
pemakaiannya. Namun demikian, clozapine merupakan obat lini kedua yang jelas bagi
pasien yang tidak berespons terhadap obat lain yang sekarang ini tersedia atau dengan
tardive dyskinesia yang parah. Clozapine adalah diindikasikan pada pasien dengan
tardive dyskinesia karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapin tidak disertai
dengan perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.
Prinsip-prinsip terapeutik. Pemakaian medikasi antipsikotik pada skizofrenia
harus mengikuti ima prinsip utama. (1) Klinisi harus secara cermat menentukan gejala
sasaran yang akan diobati. (2) Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa
lalu pada pasien harus digunakan lagi. Jika tidak ada informasi tersebut, pemilihan
antipsikotik biasanya didasarkan pada sifat efek samping. Data yang sekarang tersedia
menyatakan bahwa risperidon, remoxipride, dan obat-obat yang mirip dengannya yang
akan diperkenalkan di tahun-tahun mendatang mungkin menawarkan suatu sifat efek
sampingyang unggul dan kemungkinan kemanjuran yang unggul. Dalam antagonis
dopaminergik standar, semua anggota kelas tersebut adalah sama-sama efektifnya. (3)
Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu pada dosis
yang adekuat. Jika percobaan tidak berhasil, suatu antipsikotik, yang biasanya dari kelas
lain, dapat dicoba. Tetapi, pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan pasien
pada dosis pertama obat antipsikotik adalah berhubungan erat dengan respon buruk dan
ketidakpatuhan di masa depan. Pengalaman negatif dapat termasuk perasaan negatif
subjektif yang aneh, sedasi berlebihan, atau suatu distonia akut. Jika reaksi awal yang
parah dan negatif ditemukan, klinisi dapat mempertimbangkan untuk mengganti obat
menjadi obat antipsikotik yang berbeda dalam waktu kurang dari empat minggu. (4) Pada
umumnya, penggunaan lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah
jarang diindikasikan, walaupun beberapa dokter psikiatrik menggunakan thioridazine
(Mellaril) untuk mengobati insomnia pada pasien yang mendapatkan antipsikotik lain
untuk pengobatan gejala skizofrenia. Pada pasien yang diikat pengobatan secara khusus,
kombinasi antipsikotik dan obat lain, sebagai contoh carbamazepin (Tegretol) mungkin
diindikasikan. (5) Pasien harus dipertahankan pada dosis efektifyang serendah mungkin
yang diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama epiode psikotik.
Pemeriksaan awal. Walaupun terdapatnya gangguan dari efek neurologis dan
terbayangnya kemungkinan tardive dyskinesia, obat antipsikotik adalah cukup aman,
khususnya jika diberikan selama periode waktu yang cukup singkat. Jadi, dalam situasi
gawat darurat, klinisi dapat memberikan obat, dengan pengecuaian clozapine, tanpa
melakukan pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri pasien. Tetapi, pada
pemeriksaan biasa,klinisi harus mendapatkan hitung darah lengkap dengan indeks sel
darah putih, tes fungsi hati, dan elektrocardiogram (ECG), khususnya pada wanita yang
lebih dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih dari 30 tahun. Kontraindkasi utama
untuk antipsikotik adalah (1) riwayat respon alergi yang serius, (2) kemungkinan bahwa
pasien telah mengingesti zat yang akan berinteraksi dengan antipsikotik sehingga
menyebabkan depresi sistem saraf pusat, sebagai contoh: alkohol, opioid, opiat,
barbiturat, benzodiazepin atau menyebabkan delirium- antikolinergik, sebagai contoh:
scopolamine (Donnagel) dan kemungkinanphencyclidine (PCP), (3) resio tinggi untuk
kejang dari penyebab organik atau idiopatik, dan (4) adanya glaukoma sudut sempit jika
digunakan suatu antipsikotik dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna.
Kegagalan percobaan obat. Dalam keadaan akut, hampir seluruh pasien berespon
terhadap dosis berulang suatu antipsikotik, tiap satu sampai dua jam dengan pemberian
intramuskular (IM) atau tiap dua sampai tiga jam dengan pemberian peroral. Suatu
benzodiazepin kadang-kadang diperlukan untuk mensedasi pasien lebih lanjut. Kegagalan
pasien untuk berespon dalam keadaan akut harus mengarahkan klinisi untuk
mempertimbangkan kemungkinan suatu lesi organik.
Ketidakpatuhan dengan antipsikotik adalah alasan utama untuk terjadinya relaps
dan kegagalan percobaan obat. Alasan utama lainnya untuk kegagalan percobaan obat
adalah waktu percobaan yang tidak mencukupi. Biasanya merupakan suatu kesalahan
dengan meningkatkan dosis atau untuk mengubah medikasi antipsikotik dalam dua
minggu pertama pengobatan. Jika pasien membaik dengan regimen yang sedang
digunakan pada akhir dua minggu, melanjutkan pengobatan dengan penanganan yang
sama kemungkinan akan mendapatkan perbaikan klinis yang stabil. Tetapi, jika pasien
menunjukkan sedikit perbaikan atau tanpa perbaikan dalam dua minggu, alasan yang
mungkin untuk kegagalan obat, termasuk ketidakpatuhan, harus dipertimbangkan. Pada
pasien yang tidak patuh penggunaan preparat cairan atau bentuk depot dari fluphenazine
(Prolixin) atau haloperidol (Haldol) mungkin diindikasikan. Karena perbedaan dalam
metabolisme obat, klinisi harus mendapatkan tingkat obat dalam plasma jika tersedia
kemampuan laboratrium. Kadar antipsikotik dalam plasma hanya memberikan suatu
ukuran kasar dari kepatuhan, absorpsi, dan metabolisme. Tidak terdapat rentang kadar
obat dalam darah yang jelas ditentukan bagi antipsikotik seperti yang terdapat pada
beberapa antidepresan.
Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kegagalan terapi
antipsikotik, klinisi dapat mencoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi yang
berbeda dari obat yang pertama. Strategi tambahan adalah suplementasi antipsikotk
dengan litium (Eskalith), suatu antikonvulsan seperti carbamazepine atau valproat
(Depakene), atau suat benzodiazepine. Pemakaian terapi antipskotik dosis-mega (sebagai
contoh, 100-200mg haloperidol)jarang diindikasikan, karena hampir tidak ada data yang
mendukung praktik tersebut.