Post on 05-Jul-2015
ESP-Environmental Support Programme
Danida
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Tanya Jawab
Mengenai KLHS
1
Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan
Boleh dikatakan sebagian besar aparatur pemerintah di pusat dan daerah otonom, kalangan
perusahaan, akademisi dan pegiat lingkungan telah akrab dengan istilah Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Begitu terkenalnya AMDAL sehingga ada yang menafsirkan pengelolaan
lingkungan hidup identik dengan AMDAL. Padahal spektrum pengelolaan lingkungan hidup yang
berkembang saat ini demikian luas dan beraneka. Ada yang bertujuan untuk merespon isu
lingkungan global seperti pemanasan bumi, penipisan ozon, dan keanekaragaman hayati yang
menuntut kerjasama global. Ada pula yang bertujuan untuk merespon banjir, pencemaran sungai,
pesisir dan laut yang kesemuanya menuntut kerjasama antar kabupaten dan propinsi.
Selain itu ada pula instrumen pengelolaan lingkungan yang khusus diaplikasikan pada tataran proyek
atau entitas organisasi (perusahaan atau badan pemerintah), seperti Audit Lingkungan, Sistem
Manajemen Lingkungan ISO 14001, Produksi Bersih, dan lain sebagainya (AMDAL termasuk dalam
kelompok ini). Dalam dekade terakhir bahkan, didorong oleh tuntutan keberlanjutan, di berbagai
negara telah berkembang instrumen baru yang dikenal sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS).
Buku “Tanya Jawab Mengenai KLHS” ini disusun untuk mereka yang belum dan ingin mengetahui
lebih jauh tentang KLHS. Di dalam buku ini selain dimuat tanya jawab tentang pengertian, tujuan dan
lingkup KLHS, juga dimuat tentang kelembagaan KLHS. Sehingga melalui buku ini para pembaca
diharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang sosok KLHS sekaligus perbedaannya dengan
AMDAL yang telah lama dikenal.
Buku ini dapat hadir di tengah-tengah kita berkat diselenggarakannya Environmental Support
Programme Phase (ESP) 1, suatu proyek kerjasama antara Danish International Development Agency
[DANIDA], Pemerintah Kerajaan Denmark, dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH).
Sehingga bukan suatu yang berlebihan terima kasih dan penghargaan mendalam disampaikan
kepada DANIDA yang telah memfasilitasi pengembangan konsep dan uji coba KLHS di Indonesia.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Tim Konsultan yang telah bekerja keras
memformulasikan KLHS untuk konteks Indonesia.
Akhir kata semoga buku ini dapat menjadi tempat semai yang baik bagi tumbuh dan menguatnya
kelembagaan KLHS di Indonesia di masa mendatang.
Jakarta, Desember 2007
Ir. Hermien Roosita, MM
Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Kata Pengantar
2
Dalam beberapa tahun terakhir ini KLH berinisiatif mengembangkan aplikasi Kajian Lingkungan Hidup
Strategik (KLHS) di Indonesia. Setelah dilakukan beberapa kajian pendahuluan dan digelar berbagai
diskusi dan seminar, KLHS yang akan dikembangkan di Indonesia mulai menampakkan sosoknya.
Sehingga disamping kami belajar memahami apa dan bagaimana KLHS kami juga dituntut untuk
sekaligus mengembangkan KLHS di Indonesia.
Satu hal penting dan menarik kami peroleh dari proses tersebut adalah saling komplemen antara
KLHS dan AMDAL. Bila AMDAL tampil sebagai kelembagaan yang mekanistik dan prosedural, KLHS
tampil sebagai instrumen yang non-linier. AMDAL di aras proyek atau hilir dari proses perencanaan
pembangunan, KLHS di aras kebijakan, rencana, program atau hulu. AMDAL bersifat spesifik lokasi,
dalam dan rinci, sementara KLHS cenderung umum, lebar dan tidak terlampau rinci. AMDAL untuk
menilai kelayakan lingkungan proyek pembangunan, sementara KLHS untuk menghasilkan kebijakan,
rencana atau program pembangunan yang bermuatan lingkungan hidup.
Hal-hal yang kami paparkan diatas merupakan sebagian dari informasi yang dapat diperoleh dari
buku “Tanya Jawab Mengenai KLHS”. Melalui format tanya-jawab di dalam buku ini dapat diketahui
lebih jauh tentang apa, mengapa dan bagaimana KLHS. Sehingga definisi, tujuan, aplikasi KLHS
dalam Perencanaan Pembangunan Nasional dan penataan ruang, juga dipaparkan dalam buku ini.
Buku ini terbit berkat dukungan dari dan hasil kerjasama KLH dengan Pemerintah Kerajaan Denmark
melalui Danish International Development Agency [DANIDA], Environmental Support Programme
Phase 1. Untuk itu, kepada manajemen ESP 1 diucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya. Demikian pula kepada para pakar/konsultan yang terlibat dalam penyusunan buku
ini diucapkan terima kasih dan penghargaan.
Jakarta, Desember 2007
Ir. Bambang Setyabudi, MURP
Asisten Deputi Urusan
Perencanaan Lingkungan
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
3
Diterbitkan oleh
Deputi Bidang Tata Lingkungan
Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Gedung A, Lantai 4
Jalan D.I. Panjaitan Kav. 24 Kebun Nanas, Jakarta 13410
Telp/Faks. (021) 8590667
e-mail: renling@menlh.go.id
Website: http:\\www.menlh.go.id
Pengarah
Hermien Roosita
(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)
Ketua Pelaksana
Bambang Setyabudi
(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)
Penyusun
Atiek Koesrijanti, Laksmi Wijayanti
(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)
Editor
Yenni Lisanova Chaterina, Widhi Handoyo, Teguh Irawan, Suhartono
(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)
Pendukung
Arifin, Irine Nurhayati, Supriyadi, Yusnimar, Satriajaya, Nana
(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)
M. Putrawidjaja, Pritha Wibisono, Devi Widianto
4
Grafis
Fililo
Apresiasi
Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan dan
penerbitan buku ini, antara lain:
Soeryo Adiwibowo, Triarko Nurlambang, Esthi Noorsabri
Danish International Development Agency (DANIDA) melalui Environmental Support Programme
(ESP) Phase 1.
5
Glossary
AEMS (Adaptive Environmental Management System):
Sebuah proses berkesinambungan dalam sistem manajemen lingkungan.
Kebijakan Publik:
Suatu keputusan politik yang ditetapkan oleh pemerintah dan atau bersama dewan perwakilan rakyat
di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan mekanisme peraturan perundangan yang berlaku
untuk memenuhi kepentingan publik.
Musrenbang:
Musyawarah Rencana Pembangunan, merupakan satu forum untuk membahas dan menetapkan
usulan kegiatan pembangunan berikut anggarannya untuk tahun fiskal berjalan berikutnya, baik di
tingkat pusat (Musrenbangnas) maupun daerah (Musrenbangda).
Partisipasi Publik:
Suatu mekanisme keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik.
SEA (Strategic Environmental Assessment):
Istilah internasional untuk Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
6
Daftar Isi
Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan .................................................................... 1
Kata Pengantar .................................................................................................................. 1
Glossary ........................................................................................................................... 5
1. Mengenai Dasar-Dasar Pengembangan KLHS .................................................................... 7
1.1 Apakah Definisi KLHS?............................................................................................ 7
1.2 Mengapa Perlu KLHS?............................................................................................. 9
1.3 Apakah Tujuan Dilakukannya KLHS? ......................................................................... 9
1.4 Apakah yang Disebut Sebagai Kepentingan Lingkungan Hidup? .................................... 10
1.5 Apa Perbedaan Antara KLHS Dengan AMDAL?............................................................ 11
2. KLHS dan Rencana Pembangunan Nasional...................................................................... 12
2.1 Bagaimana Pelembagaan KLHS Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional? ....... 12
2.2 Bagaimana Aplikasi KLHS Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional? ......................... 15
2.3 Metode Apa yang Tepat Untuk Mengaplikasikan KLHS? ............................................... 19
2.4 Bagaimana Langkah-langkah yang Ditempuh Dalam Mengaplikasikan KLHS? .................. 21
2.5 Pendekatan Apa yang Dapat Digunakan? .................................................................. 23
3. KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang ............................................................................. 26
3.1 Apakah Urgensi Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang? ......................................... 26
3.2 Pertanyaan-pertanyaan Keberlanjutan ..................................................................... 27
4. Kapasitas Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia Untuk Pengembangan KLHS ..................... 32
7
1. Mengenai Dasar-Dasar Pengembangan KLHS
Sudah banyak kebijakan publik, laporan resmi dari berbagai instansi pemerintah pusat maupun
daerah, hasil penelitian, kajian, dan observasi oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, maupun
konsultan serta lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional yang secara umum
menyampaikan semakin terpuruknya kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia,
setidak-tidaknya dalam dua dekade terakhir. Upaya riel juga telah banyak dilakukan, namun sifat dan
pelaksanaannya masih parsial. Kondisi ini menunjukkan urgensi dilakukannya pemikiran ulang dan
tindakan nyata yang lebih baik, lebih tepat, dan lebih berdampak positif luas, atau dengan kata lain,
lebih strategis demi keberlangsungan hidup dalam jangka waktu yang panjang. Terlebih lagi jika
ditilik kembali dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No. 25 tahun 2004), yang
menitikberatkan pembangunan nasional pada pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.
Pemikiran strategis ini diperlukan dan telah semakin mendesak untuk merumuskan kebijakan dan
kualitas pembangunan yang mampu menjaga keberlangsungan manfaat sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, demi perbaikan kehidupan bangsa Indonesia.
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah Indonesia telah mengenal satu konsep pemikiran yang dapat
memfasilitasi dan meningkatkan mutu proses perumusan kebijakan, rencana, dan program,
khususnya yang terkait dengan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan, yaitu Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang juga dikenal sebagai Strategic Environmental
Assessment (SEA). Konsep ini telah diimplementasikan secara efektif di negara-negara Eropa,
sebagian negara-negara di benua Afrika, Asia, dan Amerika serta di Australia dan Selandia Baru.
Sebagian besar dari mereka bahkan menerapkannya sebagai directive ataupun mandatory policy.
Pembelajaran dari negara-negara maju maupun sedang berkembang tersebut tentu dapat menjadi
inspirasi dan terobosan bagi pemerintah Indonesia, untuk mendorong penerapan KLHS ini sebagai
kunci pokok keberhasilan pembangunan nasional dan daerah di Indonesia.
1.1 Apakah Definisi KLHS?
Definisi KLHS yang secara umum dirujuk oleh sebagian besar pengguna KLHS adalah
sebagai berikut:
Suatu proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan, pertimbangan
sosial dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari usulan kebijakan, rencana, atau program
pembangunan.
8
Dalam perkembangannya, konsep KLHS telah mengalami beberapa kali penyesuaian berkaitan
dengan dinamika pembangunan berikut aktivitas rielnya pada tingkat operasional, sehingga
perkembangan terakhirnya adalah seperti yang digambarkan secara skematis sebagai berikut:
Operasionalisasi dari definisi tersebut dalam konteks pemanfaatannya bagi perumusan kebijakan
pembangunan adalah:
Apapun definisi KLHS yang akan dikonstruksikan, definisi tersebut tidak harus eksklusif, tidak
harus menjadi rujukan tunggal, dan tidak harus menegasikan definisi lain yang kemungkinan
akan timbul dan dikonstruksikan oleh para akademisi, praktisi, atau institusi tertentu.
Definisi KLHS setidaknya perlu mengandung 4 komponen:
1. Diselenggarakan pada tahap awal perumusan kebijakan, rencana, dan program (KRP);
2. Menelaah dampak lingkungan dari KRP;
3. Mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi;
4. Mempertimbangkan aspek keberlanjutan.
Sejalan dengan sifat pembangunan wilayah, perlu dipahami bahwa pengambilan kebijakan
pembangunan merupakan sebuah proses yang bersifat siklis, yang selalu menyediakan peluang
untuk mengkaji kembali kebijakan yang telah berjalan, dan dimungkinkan untuk melakukan revisi
agar lebih realistis, terkait dengan tuntutan internal dan eksternal yang muncul. Selain itu, sebagai
KLHS sebagaimana yang
umum diaplikasikan
(EIA Mainframe)
KLHS untuk keberlanjutan
pengelolaan SDA
KLHS sebagai kajian
terpadu untuk jaminan
keberlanjutan
Evolusi paradigma dan definisi KLHS
Menelaah dampak
lingkungan dari kebijakan,
rencana, atau program
dengan orientasi analisis
yang mirip AMDAL
Plus telaah dampak
terhadap kelimpahan
sumber daya alam, jasa
lingkungan, dan
konservasi.
Plus telaah secara terpadu
terhadap prospek dan
jaminan keberlanjutan
pembangunan + +
9
kajian strategis maka KLHS adalah ‟payung‟ yang memberikan arah atau rujukan strategis bagi
pelaksanaan AMDAL pada tataran proyek dalam pelaksanaan pembangunan.
1.2 Mengapa Perlu KLHS?
Dalam konteks pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam UU
SPPN, KLHS menjadi kerangka integratif untuk:
Meningkatkan manfaat pembangunan.
Menjamin keberlanjutan rencana dan implementasi pembangunan.
Membantu menangani permasalahan lintas batas dan lintas sektor, baik di tingkat kabupaten,
provinsi maupun antarnegara (jika diperlukan) dan kemudian menjadi acuan dasar bagi proses
penentuan kebijakan, perumusan strategi, dan rancangan program.
Mengurangi kemungkinan kekeliruan dalam membuat prakiraan/prediksi pada awal proses
perencanaan kebijakan, rencana, atau program pembangunan.
Memungkinkan antisipasi dini secara lebih efektif terhadap dampak negatif lingkungan di tingkat
proyek pembangunan, karena pertimbangan lingkungan telah dikaji sejak awal tahap formulasi
kebijakan, rencana, atau program pembangunan.
1.3 Apakah Tujuan Dilakukannya KLHS?
Maksud Tujuan Generik
Instrumental Mengidentifikasikan dampak penting lingkungan dari kebijakan,
rencana, dan program untuk proses pengambilan keputusan.
Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam kebijakan,
rencana, atau program.
Transformatif Memperbaiki mutu dan proses formulasi kebijakan, rencana, dan
program.
Memfasilitasi proses pengambilan keputusan untuk menyeimbangkan
tujuan pembangunan dalam konteks lingkungan hidup, sosial, dan
ekonomi.
Substantif Meminimalisir potensi dampak penting negatif yang akan timbul
sebagai akibat dari kebijakan rencana, atau program pembangunan
(tingkat keberlanjutan lemah).
10
Melakukan langkah-langkah perlindungan yang tangguh (tingkat
keberlanjutan moderat).
Memelihara potensi sumberdaya alam dan daya dukung air, udara,
tanah, dan ekosistem (tingkat keberlanjutan moderat sampai tinggi).
1.4 Apakah yang Disebut Sebagai Kepentingan Lingkungan Hidup?
Pada prinsipnya, yang dinamakan sebagai kepentingan lingkungan hidup dalam pembangunan adalah
ketergantungan (interdependency), keberlanjutan (sustainability), dan keadilan sosial-ekonomi
(socio-economic justice), sebagaimana dijabarkan lebih lanjut di bawah ini.
Prinsip I:
Pertimbangan keterkaitan/ketergantungan (interdependency). Menunjukkan sejauhmana tingkat
partisipasi pemangku kepentingan dalam proses perencanaan tata ruang. Misalnya, kejelasan
mekanisme, prosedur, dan kewenangan dalam hubungan kerja antar sektor; kesetaraan dalam
proses pengambilan keputusan antar sektor; kejelasan hubungan kerja antar seluruh kelembagaan
(formal dan non-formal) pemangku kepentingan; dan kesetaraan dalam proses pengambilan
keputusan antar pemangku kepentingan. Kejelasan dalam menggunakan pendekatan ekosistem
(misalnya ekosistem daerah aliran sungai, pulau kecil dan ekosistem khas lainnya); keterkaitan
antara rencana tata ruang nasional, provinsi dan kabupaten/kota, terutama antar wilayah
kabupaten/kota dalam satu daerah aliran sungai.
Prinsip II:
Dalam penyusunan perencanaan tata ruang harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keberlanjutan
(untuk memudahkan pemahaman tentang daya lenting/resiliensi). Menunjukkan sejauhmana faktor-
faktor pendukung keberlanjutan, seperti faktor daya dukung dan daya tampung LH serta faktor
kemampuan pulih kembali menjadi dasar perencanaan tata ruang. Selain faktor-faktor tersebut,
prinsip-prinsip keberlanjutan juga menekankan pentingnya kesadaran bahwa alokasi ruang/lahan
harus mempertimbangkan timbulnya dampak penting terhadap LH/ekosistem. Misalnya, dilakukannya
analisis daya dukung dan daya tampung LH; evaluasi kesesuaian dan kemampuan lahan sebelum
menetapkan alokasi ruang.
Prinsip III:
Keadilan sosial dan ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) (socio-economic justice).
Mencegah timbulnya penataan ruang yang berakibat pada marjinalisasi dan kemiskinan akibat
ketidakadilan dalam akses, pemanfaatan, penguasaan, dan pengendalian terhadap sumberdaya alam.
Pertimbangan ini juga termasuk jaminan keadilan atas akses terhadap infrastruktur dasar dan
informasi pemanfaatan SDA.
11
1.5 Apa Perbedaan Antara KLHS Dengan AMDAL?
KLHS merupakan bagian dari keseluruhan Kajian Lingkungan Hidup (Environmental Assessments),
yang dalam konteks proses pengambilan kebijakan pembangunan, dimanfaatkan mulai dari
perumusan kebijakan, perencanaan, dan program. Tipikal kajiannya dapat berupa kajian terhadap
aspek kebijakan, aspek regional, aspek programatik, maupun aspek sektoral. Sementara itu pada
tahap proyek, kajian lingkungan hidup dilaksanakan dengan menggunakan metode AMDAL. Cakupan
dari KLHS dalam tahapan pengambilan keputusan dapat dilihat dalam skema di bawah ini:
Dari gambaran di atas, jelas bahwa KLHS ini ada pada tataran konsep sampai dengan program.
Dengan kata lain, pelaksana KLHS adalah lembaga yang bertugas untuk menyusun kebijakan,
rencana, dan program. Demikian pula, sumberdaya yang dibutuhkan adalah yang memiliki kualifikasi
untuk dapat merumuskan konsep dan strategi yang bersifat makro, sistemik serta mencakup daerah
kajian yang lebih luas. Oleh karena itu, dibutuhkan satu lembaga berikut sumberdaya manusianya
yang mampu menangani suatu fenomena yang tingkat kerumitannya cukup tinggi, karena mencakup
interrelasi seluruh kegiatan dalam satu daerah kajian.
Relung Aplikasi Kajian Analisis Lingkungan
Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS)
KLHS Kebijakan
KLHS Regional / Program
KLHS Sektor
AMDAL
KLHS Tata Ruang
Kebijakan Rencana Program Proyek
KAJIAN ANALISIS LINGKUNGAN
Partidario (2000, 2003)
12
2. KLHS dan Rencana Pembangunan Nasional
2.1 Bagaimana Pelembagaan KLHS Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional?
Kebijakan pembangunan nasional Indonesia pada prinsipnya harus mengacu pada UU Nomor 25
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang memayungi segala
turunan operasional perencanaan pembangunan, baik yang bersifat sektoral (diatur dalam Peraturan
Presiden RI Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2004-2009), maupun pengaturan alokasi peruntukannya di satu lokasi (diatur dalam UU Nomor 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Kerangka penyelenggaraan pelaksanaan kegiatan
pembangunan pada prinsipnya diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan
UU tentang Perimbangan Keuangan Daerah.
Hal-hal pokok dalam UU SPPN yang terkait dengan penerapan konsep KLHS adalah sebagaimana
dijelaskan di bawah ini.
Definisi yang relevan dengan konsep KLHS, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 1: Ketentuan Umum,
pasal 1, adalah sebagai berikut:
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui
urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia.
Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam
rangka mencapai tujuan bernegara.
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang,
jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan
masyarakat di tingkat pusat dan daerah.
Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan.
Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan
visi.
Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan
misi.
Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh pemerintah pusat/daerah untuk mencapai
tujuan pembangunan.
Program adalah instrumen kebijakan yang berisikan satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan
oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi
anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
13
Lembaga adalah organisasi non-Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran
negara, yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Pada Bab 2 pasal 2 dalam UU SPPN disebutkan bahwa tujuan pembangunan nasional memiliki azas-
azas sebagai berikut:
1. Diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan nasional.
2. Disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan.
3. Diselenggarakan berdasarkan azas umum penyelenggaraan negara.
4. Bertujuan untuk:
mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antar daerah, antar ruang, antar
waktu, antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah;
menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan
pengawasan;
mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan
berkelanjutan.
Alur proses penyusunan perencanaan, dikaitkan dengan garis besar mekanisme anggaran
pembangunan secara kelembagaan, yang ditetapkan dalam UU SPPN dan diatur tata caranya dalam
Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2006, dapat dilihat pada skema sebagai berikut:
14
Keterangan:
RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang
RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RKP : Rencana Kerja Pemerintah
Renstra : Rencana Strategis
Renja : Rencana Kerja
RKA : Rencana Kerja Anggaran
KL : Kementerian/Lembaga
SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah
APBN : Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara
RAPBN : Rencana Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara
APBD : Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah
RAPBD : Rencana Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah
UU SPPN : Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
UU KN : Undang-Undang Keuangan Negara
Selanjutnya, kegiatan pembangunan yang telah ditetapkan melalui mekanisme yang digambarkan
dalam skema di atas direalisasikan dalam proses alokasi tempat kegiatan pembangunan, yang
pengaturannya mengacu pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kedudukan dan peran
Alur Perencanaan dan Anggaran Pembangunan Nasional
Visi, misi, program
Presiden
Renstra-
KL
Renja-
KLRKA-KL Rincian
APBN
APBNRAPBNRKPRPJM
Nasional
RPJP
Nasional
RPJP Daerah RPJM
Daerah
RKP
DaerahRAPBD APBD
Rincian
APBD
RKA-
SKPD
Renja
SKPD
Renstra
SKPD
Visi, Misi, Program
Kepala Daerah
pedoman
pedoman
pedoman pedoman
pedoman
pedoman
pedomanpedoman
pedoman
Pedoman dijabarkan
dijabarkan
dijabarkan
dijabarkanacuan
acuan
acuan
diperhatikan Diserasikan melalui Musrenbang
Pem
erin
tah
Pu
sa
tP
em
erin
tah
Da
erah
UU SPPN
UU KN
15
KLHS dalam kedua sistem perencanaan yaitu sektoral dan ruang dan dalam konteks kelembagaan
dapat diilustrasikan seperti di bawah ini.
2.2 Bagaimana Aplikasi KLHS Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional?
Seperti yang dijelaskan pada Bab 1 dan sub-Bab 2.1 di atas, maka KLHS seyogyanya dilakukan pada
setiap awal proses penyusunan perencanaan pembangunan. Dilihat dari mekanisme perencanaan
pembangunan nasional yang bersifat siklis dalam pengambilan keputusan, maka KLHS ini diterapkan
secara dini pada saat disusun RPJP Nasional, yang kemudian akan dijadikan acuan dalam menyusun
pedoman bagi penyusunan RPJM Nasional, dan selanjutnya dijadikan perhatian dalam penyusunan
RPJM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di sinilah letak perbedaan aplikasi KLHS dengan
AMDAL, yang lebih lengkapnya terlihat dalam tabel di bawah ini:
Atribut AMDAL KLHS
Posisi Akhir siklus pengambilan Hulu siklus pengambilan keputusan
Perencanaan Tata
Ruang Nasional
Perenc. Pemb. Nasional
Perencanaan Tata
Ruang Provinsi
Perenc. Pemb. Provinsi
Perenc. Tata Ruang
Kabupaten/Kota
Perenc. Pemb. Kab/Kota
BAPPENAS
BKTRN
DPU
SEKTOR
DDN
KLH
BAPPEDA
BKTRD
DPU/TARKIM
DINAS
BAPPEDA
BKTRD
DINAS
KLHS
KLHS
KLHS
Perenc. Sektor Nasional
Perenc. Sektor Provinsi
Perenc. Sektor Kab/Kota
Provinsi
Kab/Kota
Nasional
BAPEDALDA
BAPEDALDA
16
keputusan
Pendekatan Cenderung bersifat reaktif Cenderung proaktif
Fokus Analisis Identifikasi, prakiraan & evaluasi
dampak lingkungan
Evaluasi implikasi lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan
Dampak Kumulatif Amat terbatas Peringatan dini atas adanya dampak
kumulatif
Titik Berat Telaahan Mengendalikan dan
meminimalisir dampak negatif
Memelihara keseimbangan alam, dan
pembangunan berkelanjutan
Alternatif Terbatas jumlahnya Banyak alternatif
Kedalaman Sempit, dalam, dan rinci Luas dan tidak terinci sebagai
landasan untuk mengarahkan visi
dan kerangka umum
Deskripsi Proses Proses dideskripsikan dengan
jelas, mempunyai awal dan akhir
Proses multi-pihak dan tumpang
tindih komponen, karena KRP
merupakan proses iteratif dan
kontinyu
Fokus Pengendalian Dampak Menangani simptom kerusakan
lingkungan
Fokus pada agenda pembangunan
berkelanjutan, terutama ditujukan
untuk menelaah agenda
keberlanjutan
Sumber: KLH, dokumen Kebijakan KLHS, 2007
Dari penerapan KLHS ini akan diperoleh Kebijakan RPJP yang lebih bermutu, yang dimaksud dengan
bermutu di sini terutama didasarkan pada konteks untuk memenuhi prinsip pengarusutamaan
pembangunan berkelanjutan, dan arah pembangunan yang direfleksikan dalam azas-azas
pembangunan nasional, seperti yang ditetapkan dalam Bab II UU SPPN sendiri. Sebagai catatan
penting, perlu dipahami bahwa filosofi konsep aplikasi KLHS sendiri pada dasarnya adalah sejalan
dengan azas-azas SPPN yang dimaksud.
17
Dari perspektif KLHS seperti yang dijelaskan secara skematis di atas, kajian dapat dilakukan untuk
kepentingan perumusan kebijakan pembangunan, rancangan perencanaan, penetapan program
pembangunan sektoral, dan peruntukannya di lokasi tertentu sesuai dengan konsep penataan ruang
yang telah ditetapkan sebelumnya. Terintegrasinya KLHS dalam proses penyusunan strategi dan
program pelaksanaannya dapat memberikan peluang kualitas kebijakan publik yang lebih bermutu,
sehingga layak dan rasional untuk dijalankan dalam masa pembangunan yang akan datang.
Menyadari bahwa RPJP telah menjadi UU yang harus ditaati oleh seluruh bangsa Indonesia, maka
KLHS pun harus dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber
daya manusianya guna memenuhi amanat UU RPJP ini. Dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJP
disebutkan bahwa masa pembangunan RPJP ini adalah dari tahun 2005 sampai dengan 2025 atau
selama kurun waktu 20 tahun. Periode ini dibagi menjadi empat tahapan yang masing-masing
tahapan disebut sebagai RPJM dengan periode 5 tahunan bagi masing-masing tahapan. Berikut ini
adalah tabel yang menjelaskan prioritas utama dan hal-hal yang berkaitan dengan urusan
pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup pada masing-masing periode RPJM.
Tahapan dan Prioritas RPJP (UU Nomor. 17 Tahun 2007)
Periode Prioritas
RPJM
2005 - 2009
Prioritas Utama: menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang untuk
menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang
tingkat kesejahteraan rakyat yang meningkat.
Relung Aplikasi Kajian Analisis Lingkungan
Kajian Lingkungan Hidup Strategik (KLHS)
KLHS Kebijakan
KLHS Regional / Program
KLHS Sektor
AMDAL
KLHS Tata Ruang
Kebijakan Rencana Program Proyek
KAJIAN ANALISIS LINGKUNGAN
Partidario (2000, 2003)
18
Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan:
Meningkatkan kemampuan mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi.
Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan didukung oleh meningkatnya
kesadaran masyarakat mencintai lingkungan hidup. Untuk itu perlu peningkatan
kapasitas kelembagaan dan SDM apalagi menyadari keadaan Indonesia yang rawan
bencana, Rencana Tata Ruang merupakan “payung” kebijakan spasial tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten untuk segala sektor untuk mencegah kerusakan lingkungan
hidup atau meminimalisasi dampak bencana.
RPJM
2010 – 2014
Prioritas Utama: memantapkan penataan kembali Indonesia dengan penekanan pada
upaya peningkatan kualitas SDM termasuk pengembangan kemampuan IPTEK serta
penguatan daya saing perekonomian.
Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan:
Pencapaian pembangunan berkelanjutan, pengelolaan SDA dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup makin berkembang melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan
kesadaran masyarakat (partisipasi). Kualitas perencanaan tata ruang meningkat dan
konsistensi pemanfaatan ruang serta pengendalian pengawasan dan pengendalian
pemanfaatan ruang
RPJM
2015 - 2019
Prioritas Utama: untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai
bidang dengan penekanan pada pencapaian daya saing kompetitif perekonomian
berlandaskan keunggulan SDA dan SDM.
Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan:
Pembangunan berkelanjutan semakin mantap dicerminkan dengan terjaganya daya
dukung lingkungan dan kemampuan pemulihan untuk mendukung kualitas kehidupan
sosial ekonomi secara serasi, seimbang dan lestari. Pengelolaan SDA semakin membaik
diimbangi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup berkat dukungan peningkatan
kesadaran sikap mental, dan perilaku masyarakat serta makin mantapnya kelembagaan
dan kapasitas penataan ruang di Indonesia.
RPJM
2020 - 2024
Prioritas Utama: masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui
percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya
struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai
wilayah yang didukung oleh SDM yang berkualitas dan berdaya saing.
Relevansi dengan urusan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan:
Untuk memantapkan pembangunan berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan
kekhasan SDA terus terpelihara dan dimanfaatkan untuk terus mempertahankan nilai
tambah dan daya saing bangsa serta meningkatkan modal pembangunan nasional pada
masa mendatang.
Memahami situasi saat ini (tahun 2007/2008) yang masih dalam periode pelaksanaan RPJM 2004 –
2009, maka untuk berikutnya KLHS dapat diterapkan dalam evaluasi RPJP dan penyusunan RPJM
19
periode berikutnya, tahun 2009 – 2014. Demikian pula untuk periode-periode selanjutnya. Proses
evaluasi RPJP dan penyusunan RPJM 2009 – 2014 dilaksanakan dalam forum Musyawarah Rencana
Pembangunan (Musrenbang).
2.3 Metode Apa yang Tepat Untuk Mengaplikasikan KLHS?
Dalam perkembangannya, metode aplikasi KLHS yang digunakan dapat dilakukan dengan
menggabungkan berbagai teknik kajian secara terbuka (disebut sebagai family of tools ataupun one
concept multiple forms) dan disesuaikan dengan variasi problematika riel kondisi di masing-masing
wilayah pembangunan, baik dari sisi substansi pembangunan maupun kapasitas kelembagaan
penyelenggara pembangunan yang tersedia. Dalam rangka mempertahankan mutu, maka kebijakan,
perencanaan, dan program pembangunan yang dihasilkan hendaknya memenuhi standar prinsip
KLHS dan kriteria KLHS, seperti yang telah dijelaskan dalam dokumen Kebijakan KLHS (lihat buku
seri publikasi KLH untuk KLHS, ”Mengarusutamakan Pembangunan Berkelanjutan: Naskah Kebijakan
KLHS”). Dari beberapa pengalaman dan kajian terhadap perumusan RKP, khususnya untuk
pengembangan wilayah seperti RTRWN ataupun RTRWD, secara kualitatif dapat dikatakan masih ada
sejumlah butir prinsip KLHS yang harus diperhatikan, untuk secara seksama dilaksanakan sesuai
dengan nilai-nilai dasar pembangunan berkelanjutan (keterkaitan, keberlanjutan, dan keadilan sosial-
ekonomi). Adapun catatan kualitatif yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Prinsip Catatan
Sesuai kebutuhan Belum secara definitif ditetapkan siapa yang akan dilayani dan isu
atau kebutuhan apa yang dianggap penting.
Berorientasi pada tujuan
Tujuan dirumuskan secara normatif ketimbang realistis sejalan
dengan keinginan konstituen yang akan dilayani. Rumusan normatif
inipun sering kali tidak mengacu pada dasar rumusan pembangunan
nasional (lebih pada semata-mata entitas parsial atau lokal).
Didorong motif keberlanjutan Masih ada ketimpangan pemahaman antara keberlanjutan ekonomi
dan keberlanjutan ekologi.
Lingkup yang komprehensif
Kepentingan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur masih
mendominasi, sementara aspek atau bidang pembangunan yang lain
menjadi semacam prasyarat atau ikutan.
Relevan dengan kebijakan
Kalau SPPN dan/atau RPJP jadi acuan sebagaimana ditetapkan
mekanismenya, maka baru produk-produk kebijakan terbatas saja
yang mengacu suprastruktur tersebut. Ini mungkin dapat terjadi
20
Prinsip Catatan
karena RPJPnya pun baru diundangkan pada tahun 2007 sementara
RPJMnya tahun 2004. Sementara, jika berpijak pada relevansi
terhadap keinginan politis konstituen di masing-masing daerah atau
bidang juga belum teruji betul.
Terpadu
Masih dilaksanakan secara parsial kepentingan bidang pembangunan
walau sudah ada media untuk integratif pada mekanisme
Musrenbang(da) atau pada tingkat awal proses penetapan hukum di
Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah). Inilah konsekuensi dari
mekanisme pendanaan yang masih didominasi oleh dekonsentrasi
(per bidang pembangunan). Lebih meninjau cash-flow daripada
portofolio.
Transparan
Sudah mulai ada gejala menuju tuntutan transparansi melalui
mekanisme politik kelembagaan (fungsi Dewan), namun instrumen
pengukuran transparansi masih harus dirumuskan secara sederhana
dan mudah dipahami seluruh konstituen.
Partisipatif
Tidak mudah melaksanakan mekanisme partisipatif yang menyeluruh
selama kapasitas masyarakat berikut lembaga representatifnya dan
kelembagaan pemerintah masih terbatas kemampuan konseptualisasi
dan teknisnya.
Akuntabel Akuntabilitas yang dapat dilaksanakan baru sebatas akuntabilitas
keuangan negara, belum sampai pada akuntabilitas publik.
Efektif-biaya Masih terbatas pada pertimbangan kajian tahun fiskal daripada
rencana jangka menengah, apalagi jangka panjang.
Sebagai catatan, prioritas pembangunan bagi pengentasan kemiskinan ini selaras dengan program
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Millenium Development Goals (MDGs), yang disepakati
sebagai komitmen untuk dicapai pada tahun 2015. Dalam MDGs disebutkan bahwa pengentasan
kemiskinan merupakan urutan pertama dari delapan tujuan pembangunan dunia, dimana Indonesia
telah menyatakan komitmennya untuk melaksanakan program ini. Agar program ini dapat
diimplementasikan secara efektif, Sekretaris Jenderal PBB membuat suatu pernyataan:
"We will have time to reach the Millennium Development Goals –worldwide and in most, or even all,
individual countries but only if we break with business as usual . We cannot win overnight. Success
will require sustained action across the entire decade between now and the deadline. It takes time to
train the teachers, nurses and engineers; to build the roads, schools and hospitals; to grow the small
and large businesses able to create the jobs and income needed. So we must start now. And we must
21
more than double global development assistance over the next few years. Nothing less will help to
achieve the Goals."
Sekretaris Jenderal PBB, 2005
Dari pernyataan Sekretaris Jenderal PBB di atas, dapat diinterpretasikan bahwa dibutuhkan waktu
untuk melaksanakan proses pencapai tujuan pembangunan ini sampai tahun 2015. Masih ada waktu
atau kesempatan untuk melaksanakannya, tetapi harus ada upaya melakukan suatu terobosan
pelaksanaan, yang berbeda dari yang dijalankan selama ini. Untuk itu diperlukan upaya terus
menerus mulai dari saat ini sampai dengan tahun 2015 sebagai batas waktu, dan melibatkan
berbagai pihak pemangku jabatan (stakeholders). Pada kondisi ini penerapan konsep KLHS menjadi
relevan untuk dapat memberikan jaminan lebih bagi tercapainya perumusan Kebijakan, Perencanaan,
dan Program pembangunan yang lebih bermutu serta lebih dapat mengawal pencapaian tujuan dan
target pembangunan.
Sebagai satu negara yang memiliki keunikan (secara geografis, kependudukan, dan manajemen
kepemerintahan ataupun politik), maka Indonesia memerlukan satu rumusan kebijakan yang
spesifik. Sesama negara berkembang, misalnya Ghana yang juga menetapkan pengentasan
kemiskinan sebagai prioritas utama, pembangunannya memiliki lima tema strategis pengentasan
kemiskinan seperti yang dirumuskan dalam Buku Pegangan bagi penerapan KLHSnya. Sementara itu,
Indonesia merumuskan sebelas tema atau fokus, dimana satu tema merupakan target yang ingin
dicapai dan sepuluh lainnya merupakan sasaran utama strategi. Sebagai prioritas utama program
pembangunan, tentu dapat dikatakan bahwa pengentasan kemiskinan menjadi setara dengan
kebijakan yang bersifat mandatory, khususnya bagi semua instansi pemerintah berikut komponennya
yang terkait langsung dengan urusan kemiskinan ini.
2.4 Bagaimana Langkah-langkah yang Ditempuh Dalam Mengaplikasikan KLHS?
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II bahwa KLHS diterapkan melalui pendekatan sustainable
appraisal, dan mengingat saat ini sudah berada dalam proses peralihan untuk memasuki tahapan
pembangunan kedua, maka langkah-langkah yang dilakukan secara berurutan adalah sebagai
berikut:
a. Penilaian awal yang harus dilakukan terhadap kebijakan, RKP, dan pelaksanaannya lebih
merupakan proses monitoring dan evaluasi;
b. Kemudian ditindaklanjuti dengan penilaian secara terpadu dampaknya terhadap lingkungan
dan SDA;
c. Penilaian akhir yang mengkaji keterikatan, relevansi, dan konsistensi terhadap visi, misi,
tujuan, sasaran pokok dan rencana strategis pembangunan dilihat dari perspektif
22
kepentingan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, dimana proses penilaian
akhir ini menghasilkan satu rekomendasi bagi kebijakan, perencanaan dan program
pembangunan berikutnya.
Untuk menjaga konsistensi mutu dari penilaian di atas maka prinsip, kriteria perfoma, dan nilai dasar
dari aplikasi konsep KLHS harus tetap diterapkan sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.
Prinsip Catatan
Sesuai kebutuhan Sudah tepat dan sesuai dengan harapan sebagian besar
masyarakat Indonesia.
Berorientasi pada tujuan Tujuan perlu dirumuskan secara lebih realistis dan konstruktif
sehingga operasionalisasinya lebih terarah dan konsisten serta
tetap mengacu pada tujuan dan kebijakan pembangunan
nasional.
Didorong motif keberlanjutan Penyesuaian terhadap keseimbangan (counter-balance) bagi
kepentingan keberlanjutan ekologis perlu lebih dipertegas secara
operasional.
Lingkup yang komprehensif Sudah komprehensif hanya belum dijelaskan hubungan dinamika
sistemiknya.
Relevan dengan kebijakan Secara prinsip sudah relevan dan konsisten dengan arah
kebijakan dalam SPPN dan/atau RPJP.
Terpadu Perlu dijelaskan dinamika hubungan sistemik di antara aspek-
aspek dan komponen urusan kemiskinan, agar lebih mudah
diterjemahkan dalam konteks koordinasi kelembagaannya.
Transparan Sudah mulai ada gejala menuju tuntutan transparansi melalui
mekanisme politik kelembagaan (fungsi Dewan), namun
instrumen pengukuran transparansi masih harus dirumuskan
secara sederhana dan mudah dipahami seluruh konstituen.
Partisipatif Tidak mudah melaksanakan mekanisme partisipatif yang
menyeluruh, selama kapasitas masyarakat berikut lembaga
representatifnya dan lembaga pemerintahan masih terbatas
kemampuan konseptualisasi dan teknisnya. Ada kecenderungan
lapis masyarakat miskin masih termarjinalisasi secara budaya,
sosial, ekonomi, dan politis.
Akuntabel Sebagai kebijakan publik maka pertanggungjawaban publik harus
lebih diutamakan, bukan hanya akuntabilitas keuangan negara.
23
Prinsip Catatan
Efektif-biaya Masih terbatas pada pertimbangan kajian tahun fiskal daripada
rencana jangka menengah, apalagi jangka panjang mengikuti
skenario tahapan pembangunan
Adapun perbedaan dengan penerapan bagi pembangunan nasional keseluruhan, cakupan kriteria
pada pembangunan sektoral ini lebih rinci dan beragam. Namun demikian, harmonisasi di antara
kriteria tetap dijaga agar tetap dihasilkan satu kesatuan penilaian dalam konteks pembangunan
nasional. Penerapan KLHS bagi pembangunan sektoral harus lebih rinci dan beragam karena tataran
penilaian yang lebih spesifik dan lebih pada tingkat operasional. Secara teknis kriteria ini dapat
dibangun pada saat dilakukan penapisan dan pelingkupan dalam proses tahapan penilaian awal tadi.
Mengikuti proses penyusunan RKP dan penyusunan anggaran negara, maka waktu yang tersedia bagi
KLHS ini diperkirakan paling lama adalah tiga bulan dan sebaiknya lebih cepat, mengingat masih
diperlukan proses integrasi dengan sektor lain untuk kemudian diintegrasikan lebih lanjut dalam satu
kesatuan konsep perencanaan pembangunan nasional.
2.5 Pendekatan Apa yang Dapat Digunakan?
Pendekatan penerapan KLHS yang diperlukan setidaknya adalah kajian terpadu (sustainability
appraisal) dimana expert dan public judgement menjadi bagian yang tidak terpisahkan, apalagi RKP
adalah satu kebijakan publik. Kajian terpadu ini dapat terwujud melalui forum Musrenbang dan debat
atau diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah). Di sinilah kapasitas kelembagaan dan
sumberdaya manusia sangat menentukan tingkat kelayakan proses dan mutu hasil rumusan
kebijakan, rencana sampai dengan pelaksanaan program pembangunan yang integratif antar
kepentingan lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas kepentingan stakeholders (konstituen). Aplikasi
KLHS sebagai instrumen dapat memfasilitasi bahkan mengawal pengembangan proses integrasi ini.
Instrumen ini harus dikembangkan sendiri sesuai dengan kondisi dan sumberdaya yang tersedia,
atau dengan kata lain harus dikembangkan instrumen atau tools KLHS yang tailor-made. Syarat
pokok dari tailor-made ini adalah terwujudnya harmonisasi kriteria dan metode kajian yang
diterapkan, dimana keterlibatan expert dan publik menjadi syarat pokok sebelum dijadikan dasar
pengambilan keputusan oleh para birokrat dan politisi. Harmonisasi yang dimaksud memiliki struktur
hirarkis sejalan dengan tingkat kebijakan yang akan dirumuskan. Ilustrasi dari tingkat harmonisasi
kriteria adalah sebagai berikut:
24
Mengacu pada RPJP, yang selanjutnya diterjemahkan dalam RPJM, maka pada tahun 2005 – 2009
kriteria pada tingkat nasional harus mengandung aspek-aspek yang terkait dengan prioritas
pembangunan berkelanjutan berbasis kepentingan lingkungan hidup, yang terdiri dari:
Meningkatkan kemampuan mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi. Kriteria
kunci: kemampuan mitigasi.
Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan didukung oleh meningkatnya kesadaran
masyarakat untuk mencintai lingkungan hidup. Kriteria kunci: pengendalian dan kesadaran
masyarakat.
Perlu peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, terutama menyadari keadaan Indonesia
yang rawan bencana. Kriteria kunci: peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM.
Rencana Tata Ruang merupakan „payung‟ kebijakan spasial tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten untuk segala sektor guna mencegah kerusakan lingkungan hidup atau
meminimalisasi dampak bencana. Kriteria kunci: „payung‟ kebijakan spasial.
Pada dasarnya, kriteria ini harus dimaknai sebagai faktor kritis, yaitu faktor yang jika tidak dipenuhi
akan memberikan dampak negatif terhadap proses maupun hasil pelaksanaan pembangunannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam membangun kriteria yang operasional diperlukan syarat
sebagai berikut:
a. Tersedianya data, informasi dan pengetahuan yang memadai untuk dikaji, terutama untuk
kepentingan kajian keberlanjutan.
b. Adanya partisipasi publik (stakeholders atau konstituen); dapat diperoleh melalui mekanisme
debat yang terstruktur antara publik dan pemerintah.
Rencana Nasional
Rencana Sektoral
Rencana Daerah
Proyek
Cakupan Kriteria
Semakin
sederhana
dan pokok
25
c. Aspek atau komponen kriteria yang ditetapkan merupakan hasil kajian atau kesepakatan
dalam debat tadi.
Proses penerapan KLHS ini dirumuskan dalam satu dokumen pedoman (guideline) yang memuat
penjelasan di bawah ini:
Kontekstualitas isu bagi kepentingan tujuan, strategi, dan prioritas pembangunan (nasional).
Kelayakan bagi kepentingan pencapaian pembangunan jangka panjang dan tentunya
termasuk jangka menengah, ditinjau dari sisi substansi pembangunan, kapasitas
kelembagaan, termasuk kapasitas pengelolaan (manajemen) dan SDM.
Evaluasi terhadap relevansinya dengan kebijakan pembangunan yang berlaku.
Membangun metode kajian dan indikator, serta memprediksi kemungkinan hasil penerapan
program pembangunan.
Membangun alternatif sejalan dengan dinamika perubahan pada masa depan.
Merumuskan lingkup mitigasi yang realistis sesuai dengan kondisi lingkungan hidup dan
ketersediaan sumberdaya alam, serta sumberdaya manusia.
Merumuskan metode monitoring dan evaluasi.
26
3. KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang
Proses penyusunan panduan implementasi KLHS dalam penataan ruang wilayah dilakukan dengan
menyiapkan makalah kerja (working paper) berjudul: “Integrasi Kepentingan Lingkungan dalam
Perencanaan Tata Ruang: Implementasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis”. Makalah kerja ini
disusun berdasarkan hasil studi tentang “Penerapan KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang” yang
merupakan kerjasama antara Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran pada tahun 2006. Sebagai tindak lanjut studi ini, Kementerian Negara
Lingkungan Hidup bekerjasama dengan DANIDA melalui proyek ESP-1 SEA, pada tahun 2007
menyiapkan panduan implementasi KLHS dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi.
Alasan pemilihan implementasi KLHS pada tingkat provinsi dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa
permasalahan lingkungan hidup umumnya bersifat lintas wilayah (dalam hal ini antar wilayah
kabupaten/kota), dan oleh pertimbangan menguatnya kepentingan parsial masing-masing
kabupaten/kota dalam penataan ruang, sehingga diperlukan “intervensi” pemerintah provinsi dengan
mengacu pada UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Laporan ini menunjukkan proses
penyempurnaan substansi panduan implementasi KLHS dalam penyusunan rencana tata ruang
wilayah provinsi (RTRWP).
Menyadari bahwa integrasi kepentingan Lingkungan Hidup (LH) dan/atau isu-isu pembangunan
berkelanjutan dalam penataan ruang memerlukan kejelasan tentang makna “kepentingan” LH, maka
proses penyempurnaan substansi panduan tersebut juga mendiskusikan dan merumuskan apa makna
“kepentingan” LH yang harus dipertimbangkan dalam penataan ruang. Proses penyempurnaan
substansi panduan implementasi KLHS dalam penataan ruang (RTRWP) dilakukan dengan
menyelenggarakan lokakarya di lima Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional selama periode
Juli – September 2007. Lokakarya tersebut didahului dengan pengenalan instrumen pengelolaan LH,
yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), kemudian dilanjutkan dengan diskusi
penyempurnaan panduan.
3.1 Apakah Urgensi Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang?
Setiap proses pembangunan diawali oleh perencanaan. Tahap berikutnya adalah mengalokasikan
pembangunan tersebut di suatu wilayah, sehingga pada kondisi inilah diperlukan suatu mekanisme
pengaturan penataan ruang. Memahami bahwa segala fenomena pembangunan yang memerlukan
alokasi ruang ini mempunyai dampak sistemik, maka urusan ruang dapat dikatakan identik dengan
urusan lingkungan hidup. Oleh karena itu, secara substansial penerapan konsep KLHS memiliki
relevansi yang tinggi dengan pembangunan wilayah atau daerah, yang diatur dalam UU No. 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang. Kondisi lintas sektor atau departemen di atas pada dasarnya telah
27
diakomodir dalam Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional dan Daerah sebagaimana terlihat pada
skema di bawah ini.
Sumber: Depdagri, bahan presentasi, 2007
3.2 Pertanyaan-pertanyaan Keberlanjutan
Berikut ini ditunjukkan pertanyaan-pertanyaan keberlanjutan (sustainability questions) sesuai dengan
langkah-langkah “intervensi” KLHS dalam proses penyusunan RTRWP. Masing-masing pertanyaan
diajukan sesuai dengan konteks ketiga tahapan dalam perencanaan tata ruang yang diacu dalam
RTRWP, yaitu Tahap Review RTRW (Laporan Pendahuluan), Tahap Analisis (Buku Data dan Analisis),
dan Tahap Konsepsi Rencana (Buku Rencana). Pertanyaan-pertanyaan tersebut di bawah ini mengacu
pada ketiga prinsip kepentingan LH, yaitu ketergantungan (interdependency), keberlanjutan
(sustainability), dan keadilan sosial-ekonomi (socio-economic justice). Jumlah dan bentuk pertanyaan
dapat berbeda tergantung pada karakteristik, kepentingan, dan kebutuhan masing-masing daerah
(provinsi). Demikian pula, karena sifatnya yang dinamis, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut
dapat bertambah dan berkurang sesuai kebutuhan/aspirasi/kepentingan.
Sekretaris (Sekretariat
)
TIM TEKNIS
POKJA
(2 Pokja)
POKJA
(2 Pokja)
PRESIDEN
GUBERNUR
BUPATI/
WALIKOTA
BKTRN
(8
Menteri/LPND)
BKPRD PROVINSI
BKPRD KABUPATEN/KO
TA
Keppres 62/2000
Fungsional
Laporan setiap 3 (tiga) bulan
(Melalui Mendagri)
Kep. Gubernur
Kep. Bupati/Walikota
POKJA
(3 Pokja)
Fungsional Laporan setiap 4 (empat) bulan
(Tembusan Kepada Mendagri)
Sekretaris
(Sekretariat)
28
Prinsip I:
Dalam perencanaan tata ruang harus mempertimbangkan keterkaitan/ketergantungan
(interdependency).
Kriteria
Sejauhmana tingkat partisipasi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses
pengambilan keputusan perencanaan tata ruang; kejelasan mekanisme, prosedur, dan
kewenangan dalam hubungan kerja antarsektor, antarlembaga (formal dan non-formal),
dan antarwilayah.
Daftar Pertanyaan Indikator
Apakah data dasar dan potensi SDA daerah telah
diidentifikasi secara menyeluruh?
Data dasar dan potensi SDA terdeskripsi dengan
jelas dan dimanfaatkan dalam analisis
perencanaan tata ruang
Apakah seluruh aspek yang akan dianalisis telah
dideskripsikan dan dianalisis secara terintegrasi?
Analisis integratif, misalnya menggunakan
analisis SWOT
Apakah kepentingan antarsektor, antarwilayah dan
antarlembaga sudah dianalisis secara menyeluruh dan
terintegrasi? (dalam analisis kebijakan dan strategi
pengembangan dan analisis regional berdasarkan Kep.
Men. Kimpraswil No. 327/2002)
Analisis sistem
Analisis multi-kriteria
Apakah telah diidentifikasi batas-batas ekosistem (DAS,
pulau kecil, lainnya) dalam penataan ruang?
Pemetaan batas ekosistem (DAS, pulau kecil,
atau ekosistem tertentu/khas) selain batas
administrasi
Apakah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA
yang dikuasai pemerintah telah dianalisis?
Pola pengelolaan SDA bersama masyarakat
Pola pengelolaan SDA lain yang bersifat
melibatkan masyarakat secara aktif
Apakah penyusunan RTRW Provinsi telah
mempertimbangkan dan disesuaikan dengan RTRW
Nasional?
Uraian dalam RTRWP yang menunjukkan
diacunya RTRWN
Tidak ada substansi yang bertentangan antara
RTRWP dan RTRWN
Apakah mekanisme pemantauan dan evaluasi telah
menentukan dengan jelas tanggung jawab dan wewenang
masing-masing pemangku kepentingan lintas sektor dan
lintas wilayah?
Dokumen pemantauan dan evaluasi (monev)
implementasi RTRWP termasuk menunjukkan
siapa, melakukan apa, kapan, dan di mana
Mekanisme pelaksanaan monev termasuk
29
tindaklanjut hasil monev
Prinsip II:
Pertimbangan kaidah-kaidah keberlanjutan (sustainability).
Kriteria
Sejauhmana faktor-faktor penunjang keberlanjutan, antara lain daya dukung dan daya
tampung LH serta faktor kemampuan sumberdaya alam untuk pulih kembali, menjadi
pertimbangan perencanaan tata ruang. Penekanan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam
alokasi dan pemanfaatan ruang melalui pertimbangan implikasi dampaknya terhadap
ekosistem.
Daftar Pertanyaan Indikator
Apakah telah dilakukan analisis struktur dan fungsi lanskap
(tata ruang) skala lokal dan regional?
Hasil analisis struktur dan fungsi tata ruang
wilayah provinsi
Apakah telah dilakukan identifikasi penyimpangan
(ketidaksesuaian) pemanfaatan ruang? Bagaimana
tindaklanjut terhadap penyimpangan pemanfaatan ruang?
Informasi bentuk dan lokasi penyimpangan
pemanfaatan ruang
Peta yang menunjukkan terjadinya
penyimpangan
Tindaklanjut/respons terhadap penyimpangan
Apakah daerah rawan bencana telah dipetakan dan
dipertimbangkan dalam penataan ruang?
Pemetaan wilayah rawan bencana
Perlakuan terhadap wilayah rawan bencana
Apakah wetland, cagar budaya/agama, dan keunikan lokal
lainnya telah diidentifikasi dan dipertimbangkan dalam
penataan ruang?
Pemetaan wilayah-wilayah khusus yang perlu
perlindungan
Apakah dalam pemanfaatan ruang, misalnya penetapan
pola kawasan budidaya (industri, pertanian, permukiman)
telah dilakukan analisis daya dukung dan daya tampung
lingkungan?
Hasil analisis daya dukung (air, lahan, lainnya)
Hasil analisis daya tampung (limbah)
Analisis kesesuaian dan kemampuan lahan
Analisis neraca air
Apakah dalam penentuan sektor unggulan/andalan telah
dilakukan valuasi ekonomi lingkungan?
Hasil valuasi ekonomi lingkungan terhadap
penetapan sektor unggulan PDRB Hijau
Apakah dalam pemanfaatan ruang telah memprakirakan
dampak positif dan negatif penting? Apa dampaknya?
Bagaimana mitigasi dampak negatif dilakukan?
Informasi prakiraan dampak negatif penting
Strategi mitigasi dampak negatif
Strategi peningkatan dampak positif, khususnya
yang bermanfaat bagi masyarakat
30
Apakah telah dilakukan konsultasi publik dalam
perencanaan tata ruang? Dalam bentuk apa konsultasi
publik dilakukan?
Hasil konsultasi publik
Bentuk/cara konsultasi publik
Siapa yang terlibat dalam konsultasi publik
Prinsip III:
Keadilan untuk mengakses, memanfaatkan dan mengendalikan sumberdaya alam,
fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan.
Kriteria
Mencegah bertambahnya golongan penduduk miskin atau termarjinalisasinya
sekelompok masyarakat tertentu, sebagai akibat dari penataan ruang yang
menimbulkan:
(1) ketidakadilan dalam mengakses, memanfaatkan, dan mengendalikan
sumberdaya alam; dan/atau
(2) ketidakberdayaan (powerlessness) pada sekelompok masyarakat untuk mengakses,
memanfaatkan, dan mengendalikan sumberdaya alam, mutu lingkungan hidup, atau
fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
Daftar Pertanyaan Indikator
Apakah terjadi kesenjangan pendapatan yang lebar antara
penduduk perkotaan dan perdesaan di suatu wilayah? Bila
Ya, telusuri apakah penyebabnya terkait dengan penataan
ruang yang tidak adil?
Indeks Gini atau indikator lainnya yang
menunjukkan sebaran jumlah penduduk di suatu
wilayah menurut kelompok/kategori pendapatan
(income)
Apakah ada “hak” penguasaan sumberdaya alam (misalnya
hak ulayat) yang telah ada dan menjadi bagian kehidupan
suatu kelompok masyarakat (masyarakat hukum adat)?
Struktur akses, pemanfaatan dan kontrol
masyarakat atas sumberdaya alam tertentu
(hutan, sungai, danau, dsb), yang merefleksikan
“hak” de-facto penguasaan sumberdaya alam
yang hidup di tengah-tengah masyarakat
Bila ada, bagaimana struktur akses, pemanfaatan, dan
kontrol masyarakat tersebut terhadap sumberdaya alam?
Pemetaan partisipatif atas pola spasial akses dan
kontrol masyarakat atas sumberdaya alam
Apakah “hak” de-facto penguasaan sumberdaya alam
tersebut tumpang-tindih dengan de-jure penguasaan
sumberdaya alam oleh negara (hutan lindung, hutan
produksi, hutan konservasi)?
Struktur penguasaan sumberdaya alam oleh
negara (hutan produksi, hutan lindung, hutan
konservasi, tanah negara) di suatu wilayah
Apakah “hak” de-facto penguasaan sumberdaya alam
tersebut diakui atau memperoleh legitimasi dari
Pola persebaran spasial akses dan kontrol negara
atas sumberdaya alam
31
pemerintah?
Apakah penetapan suatu ruang untuk peruntukan tertentu
(a.l, kawasan wisata pantai) berpotensi menimbulkan
marjinalisasi pada sekelompok masyarakat karena akses
menjadi tertutup?
Pemetaan persebaran spasial akses dan kontrol
masyarakat atas sumberdaya alam terhadap
rencana pengembangan ekonomi wilayah
Apakah lokasi-lokasi tertentu yang dipandang mempunyai
nilai ekologi penting di mata masyarakat dan/atau
mempunyai nilai-nilai sakral di mata masyarakat setempat,
telah dipertimbangkan atau dilindungi dari perubahan
peruntukan ruang?
Pemetaan partisipatif atas ruang hidup
masyarakat yang dipandang penting untuk
dilindungi dan dicegah dari gangguan perubahan
(lokasi mata air, hutan larangan, makam sakral,
cagar budaya)
32
4. Kapasitas Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia Untuk
Pengembangan KLHS
4.1 Mengapa Perlu Membangun Kapasitas?
Berdasarkan hasil-hasil sejumlah pertemuan dengan stakeholder pembangunan nasional dan daerah,
yang dilaksanakan oleh KLH pada bulan Maret sampai Desember 2007 di sembilan kota besar yang
merepresentasikan kawasan Indonesia Barat, Tengah, dan Timur, dapat disimpulkan bahwa
kebutuhan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) telah sampai pada taraf penting dan mendesak.
Salah satu isu pokok yang urgen dalam konteks penerapan KLHS adalah perlunya segera dibangun
kapasitas kelembagaan dan sumberdaya penggeraknya, khususnya sumberdaya manusia dalam
merumuskan konsep sampai dengan operasionalisasinya. Sebagai sebuah pemikiran yang relatif baru
dan bahkan secara praktikal belum resmi digunakan dalam proses pembangunan, sementara ini
dapat diasumsikan bahwa kapasitas yang tersedia untuk melaksanakan KLHS masih sangat terbatas
dibandingkan kebutuhannya, atau bahkan dapat dikatakan mulai dari posisi awal.
4.2 Bagaimana Pengembangan Kapasitas Tersebut Diupayakan?
Asumsi yang digunakan dalam konteks pelaksanaan penerapan konsep KLHS adalah posisi
Kementerian Negara Lingkungan Hidup sebagai leading agency. Selain alasan relevansi, posisi
Kementerian Negara Lingkungan Hidup juga dapat dipandang sebagai lembaga yang berfungsi untuk
dapat berperan mengakomodir berbagai kepentingan dalam merealisasi perencanaan pembangunan
di suatu wilayah atau daerah.
Ada lima dimensi yang perlu menjadi perhatian atau dikaji dalam menyusun upaya peningkatan
yaitu:
a. Kondisi lingkungan kegiatan; terkait dengan dampak ekonomi, sosial, dan politik terhadap
kegiatan dan performa lembaga bersangkutan yang tercakup dalam dinamika tersebut.
b. Konteks lembaga sektor publik; menunjukkan kapasitas perhatian dan kepedulian publik yang
dapat memfasilitasi ataupun menghambat lembaga yang bersangkutan untuk mencapai
performa yang baik.
Kedua butir di atas merupakan dimensi utama dalam pengembangan kapasitas kelembagaan untuk
mencapai optimalisasi hasil pelaksanaan kebijakannya. Dimensi lainnya yang juga perlu mendapat
perhatian dalam rangka peningkatan kapasitas adalah:
c. Jaringan penugasan; seberapa jauh kemampuan lembaga yang bersangkutan memanfaatkan
jaringan kerjasama dengan beberapa lembaga lain yang ada, sesuai dengan kebutuhan
pemenuhan tugasnya. Interaksi jaringan ini dapat memfasilitasi ataupun menghambat
performa lembaga yang bersangkutan.
33
d. Organisasi; fokus pada struktur organisasi, proses pengambilan keputusan internal,
sumberdaya yang dimiliki, dan gaya manajemen yang mempengaruhi bagaimana bakat dan
ketrampilan individual dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan tugas-tugas. Dalam konteks
tugas dan wewenang Kementerian Negara Lingkungan Hidup, perlu ada penetapan unit pada
tingkat lini kedua (dalam hal ini adalah Deputi Menteri) yang ditugasi menerapkan konsep
KLHS.
e. Sumberdaya manusia; terkait dengan program pelatihan, rekrutmen, pemanfaatan dan
retensi manajerial, profesionalitas, dan bakat teknis yang dapat disumbangkan bagi proses
peningkatan performa lembaga. Kapasitas yang tinggi dari sumberdaya manusia yang dimiliki
unit lini kedua (Deputi) pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup dapat menunjukkan
perwujudan kapasitas Kementerian, untuk secara internal dan eksternal mampu menerapkan
konsep KLHS. Jika dikaitkan dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka melalui
sumberdaya manusia yang berkapasitas tinggi inilah, kebijakan KLHS nantinya dapat
direalisasi secara terprogram dalam waktu yang lebih cepat dan tepat, dalam skala yang lebih
luas (di kalangan pusat dan daerah).
Agar dapat lebih rinci merumuskan kapasitas yang dibutuhkan, maka diperlukan kajian yang lebih
teknis dan rinci terhadap kondisi saat ini dan kebutuhan yang akan datang.