Post on 26-Oct-2015
description
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Stroke sudah dikenal sejak dulu kala, bahkan sebelum zaman Hippocrates. Soranus
dari Ephesus (98 -138) di Eropa telah mengamati beberapa faktor yang mempengaruhi
stroke. Hippocrates adalah Bapak Kedokteran asal Yunani. Ia mengetahui stroke 2400
tahun silam. Kala itu, belum ada istilah stroke. Hippocrates menyebutnya dalam bahasa
Yunani: apopleksi. Artinya, tertubruk oleh pengabaian. Sampai saat ini, stroke masih
merupakan salah satu penyakit saraf yang paling banyak menarik perhatian.1,2
Definisi WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik
fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24
jam atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain gangguan
vaskuler. Istilah kuno apopleksia serebri sama maknanya dengan Cerebrovascular
Accidents/Attacks (CVA) dan Stroke.1
Stroke mengenai semua usia, termasuk anak-anak. Namun, sebagian besar kasus
dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun. Makin tua umur, resiko
terjangkit stroke makin besar. Penyakit ini juga tidak mengenal jenis kelamin. Tetapi,
stroke lebih banyak menjangkiti laki-laki daripada perempuan. Lalu dari segi warna
kulit, orang berkulit berwarna berpeluang terkena stroke lebih besar daripada orang
berkulit putih.2
Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di
dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin
penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang.3
Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di
dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal
dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus
stroke di dunia.2
Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang
menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di
negeri Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak
500.000 diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa
1
stroke berulang. Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan
pekerjaan.2
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan
sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan
stroke dan kecacatan.2
2
BAB II. ISI
2.1 Definisi
Stroke atau serangan otak adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,
progresif, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24
jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak non traumatik.4
Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang
berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada
umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat
atau kematian.5
Stroke non hemoragik sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di
satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh
bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau
organ distal. Trombus yang terlepas dapat menjadi embolus.6
2.2 Etiologi
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh
emboli ekstrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga
dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses
yang mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik
yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.7
2.2.1 Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi
dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.8
a. Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal
dari plaque athersclerotique yang berulserasi atau dari trombus yang
melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
b. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
1) Penyakit jantung dengan shunt yang menghubungkan bagian kanan
dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;
2) Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan
gangguan pada katup mitralis;
3) Fibralisi atrium;
3
4) Infarksio kordis akut;
5) Embolus yang berasal dari vena pulmonalis;
6) Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung
miksomatosus sistemik;
c. Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
1) Embolia septik, misalnya dari abses paru atau
2) Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru bronkiektasis.
3) Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit caisson).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-
sided circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik
adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan),
trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung
kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3 persen stroke emboli diakibatkan oleh
infark miokard dan 85 persen diantaranya terjadi pada bulan pertama setelah
terjadinya infark miokard.7
2.2.2 Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering
adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri
karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis
(ulserasi plak), dan perlengketan platelet.7
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisitemia, anemia sickle sel,
defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi
yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang menyebabkan
diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik
(contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).7
2.3 Klasifikasi
Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskular serebral,
dapat dibagi dalam:
1. Stroke non hemoragik yang mencakup8
4
a. TIA (Transient Ischemic Attack)
b. Stroke in-evolution
c. Stroke trombotik
d. Stroke embolik
e. Stroke akibat komperesi terhadap arteri oleh proses di luar arteri seperti tumor,
abses, granuloma.
2. Berdasarkan subtipe penyebab6
a. Stroke lakunar
b. Stroke trombotik pembuluh besar
c. Stroke embolik
d. Stroke kriptogenik
2.4 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko stroke non hemoragik, yakni:7,8
1. Usia lanjut (resiko meningkat setiap pertambahan dekade)
2. Hipertensi
3. Merokok
4. Penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan fibrilasi
atrium kiri)
5. Hiperkolesterolemia
6. Riwayat mengalami penyakit serebrovaskuler
2.5 Patofisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal
sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki
jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron
berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (1200-1400 gram)
dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang
ada di dalam darah arterial. Dalam jumlah normal darah yang mengalir ke otak sebanyak
50-60 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk
seluruh otak adalah 700-840 ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri
karotis interna yang terdiri dari arteri karotis dekstra dan sinistra, yang menyalurkan
darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua
adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai
5
sirkulasi arteri serebrum posterior, selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu
dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus Willisi.4,8
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri yang
membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah
ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan.
Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak
yang di perdarahi oleh arteri tersebut dikarenakan masih terdapat sirkulasi kolateral yang
memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses
yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak diantaranya dapat
berupa:6
1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan
thrombosis.
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah.
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung
atau pembuluh ekstrakranium.
Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan
terjadinya kelainan-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak
mendapat suplai darah, yang diantaranya dapat terjadi kelainan di sistem motorik,
sensorik, fungsi luhur, yang lebih jelasnya tergantung saraf bagian mana yang terkena.
2.6 Gejala Klinis
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan
peredaran darah terjadi, kesadaran biasanya tidak mengalami penurunan, menurut
penelitian Rusdi Lamsudi pada tahun 1989-1991 stroke non hemoragik tidak terdapat
hubungan dengan terjadinya penurunan kesadaran, kesadaran seseorang dapat dinilai
dengan menggunakan skala koma Glasgow yaitu :4
6
Buka mata (E) Respon motorik (M) Respon verbal (V)1. Tidak ada respons 1. Tidak ada gerakan 1. Tidak ada suara
2. Respons dengan rangsangan nyeri
2. Ekstensi abnormal 2. Mengerang
3. Buka mata dengan perintah
3. Fleksi abnormal 3. Bicara kacau
4. Buka mata spontan
4. Menghindari nyeri 4. Disorientasi tempat dan waktu
5. Melokalisir nyeri 5. Orientasi baik dan sesuai
6. Mengikuti perintah
Tabel 2.1. Skala koma Glasgow 4
Penilaian skor skala koma Glasgow:
a. Koma (GCS = 3-8)
b. Konfusi, lateragi atau stupor (GCS = 9-14)
c. Sadar penuh, atentif dan orientatif (GCS = 15)
Gangguan yang biasanya terjadi yaitu gangguan motorik (hemiparese), sensorik
(anestesia, hiperestesia, parastesia, gerakan yang canggung serta simpang siur,
gangguan nervus kranial, saraf otonom (gangguan miksi, defeksi, salvias), fungsi luhur
(bahasa, orientasi, memori, emosi) yang merupakan sifat khas manusia, dan gangguan
koordinasi (sindrom serebelar) :8
1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat seseorang
akan jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri
2. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan seterusnya.
Asinergia ialah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam mewujudkan suatu
corak gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan lokomotorik dimana dalam
suatu gerakan urutan kontraksi otot-otot baik secara volunter atau reflektorik tidak
dilaksanakan lagi. Disdiadokokinesis tidak bisa gerak cepat yang arahnya
berlawanan contohnya pronasi dan supinasi. Dismetria, terganggunya memulai dan
menghentikan gerakan.
3. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan
4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan kedua
kaki ditelapakkanya secara acak-acakan. Ataksia seluruh badan dalam hal ini badan
7
yang tidak bersandar tidak dapat memelihara sikap yang mantap sehingga
bergoyang-goyang.
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesiI: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)II: Optikus Penglihatan AmaurosisIII: Okulomotorius Gerak mata; kontriksi pupil;
akomodasiDiplopia (penglihatan kembar), ptosis; midriasis; hilangnya akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata DiplopiaV: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit
kepala, dan gigi; gerak mengunyah
”mati rasa” pada wajah; kelemahan otot rahang
VI: Abdusen Gerak mata DiplopiaVII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum
pada platum dan telinga luar; sekresi kelenjar lakrimalis, submandibula dan sublingual; ekspresi wajah
Hilangnya kemampuan mengecap pada dua pertiga anterior lidah; mulut kering; hilangnya lakrimasi; paralisis otot wajah
VIII: Vestibulokoklearis
Pendengaran; keseimbangan Tuli; tinitus(berdenging terus menerus); vertigo; nitagmus
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum pada faring dan telinga; mengangkat palatum; sekresi kelenjar parotis
Hilangnya daya pengecapan pada sepertiga posterior lidah; anestesi pada farings; mulut kering sebagian
X: Vagus Pengecapan; sensasi umum pada farings, laring dan telinga; menelan; fonasi; parasimpatis untuk jantung dan visera abdomen
Disfagia (gangguan menelan) suara parau; paralisis palatum
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; leher dan bahu
Suara parau; kelemahan otot kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah
Tabel 2.2. Gangguan nervus kranial9
Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana penderita stroke
non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri akan mengakibatkan
terjadinya kelumpuhan pada sebelah kanan, dan begitu pula sebaliknya dan sebagian juga
terjadi Hemiparese dupleks, penderita stroke non hemoragik yang mengalami
hemiparese dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian tubuh
sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.10
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin
berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan disebut
sindrom neurovaskular :6
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior: gejala biasanya unilateral)
8
a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat
insufisiensi arteri retinalis
b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi
arteria serebri media
c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau
arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan
mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi
afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.
2. Arteri serebri media (tersering).
a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan)
b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral
c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi
yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi
d. Disfasia
3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai
b. Defisit sensorik kontralateral
c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)
a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
b. Meningkatnya reflek tendon
c. Ataksia
d. Tanda Babinski bilateral
e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
f. Disfagia
g. Disartria
h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
j. Gangguan penglihatan dan pendengaran
5. Arteri serebri posterior
a. Koma
b. Hemiparese kontralateral
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia)
d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis.
9
2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit
neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak
terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan non
hemoragik meskipun gejala seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat
kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa gejala umum yang
terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau qudriparese, hilangnya
penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau
penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri
namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala
tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik.
Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejala atau onset stroke seperti:7
1. Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan
hingga pasien bangun (wake up stroke).
2. Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari
pertolongan.
3. Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
4. Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang,
infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan
hiponatremia.
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan
menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus
mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan
iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke
membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung
(ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan
femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk
menjaga jalan napasnya sendiri.7
2.7.3 Pemeriksaan Neurologi
10
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala stroke,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala seperti stroke, dan
menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen
penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan
tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi
serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus
diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot
wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s palsy
biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau mengerutkan
dahinya.7
2.7.4 Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin
pula menunjukkan faktor risiko stroke seperti polisitemia, trombositosis,
trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan
kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.11
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang
memiliki gejala seperti stroke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula
menunjukkan penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).11
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada
pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan
antikoagulan.11
Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan
penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan
anatara peningkatan enzim jantung dengan hasih yang buruk dari stroke.11
2.7.5 Gambaran Radiologi
1. CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik
dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik
memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan
ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan
mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalanya mirip
dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses).7
11
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus
dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional
yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah
hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai
waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah
adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus,
dan hilangnya perberdaan gray-white matter.7
2. CT perfussion
Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk
mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan
pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur.
Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.7
3. CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT
angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian
arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab
stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena
daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.7
4. MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi
lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan
MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan
yang agak panjang.7
Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR
T1 dan T2 standar dapat dikombinasikan dengan protokol lain seperti
diffusion-weighted imaging (DWI) dan perfussion-weighted imaging (PWI)
untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non hemoragik
akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan MRI.
Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat
mengukur langsung perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan
CT perfusion. Kontras dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke
waktu serta dibandingkan.7
5. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray
12
Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai
stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks
karotis. USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi
vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis
intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi)
dilakukan pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai
mengalami emboli kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk
mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat
untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga
berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.7
2.8 Penatalaksanaan
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non hemoragik
yang diperlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi dari stroke hanya 3-6
jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat memegang peranan besar dalam
menentukan hasil akhir pengobatan.4
2.8.1 Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik
a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)
menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen
activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan hasil CT
scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya dapat di lakukan di rumah
sakit yang fasilitasnya lengkap.
b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang
diantaranya yaitu :
i. Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan
manitol dan hindari cairan hipotonik.
ii. Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah
trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah
yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.
iii. Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor
utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut,
ini tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada
hipertensi beri obat antihipertensi.
13
c. Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke terapi
dengan heparin.
2.8.2 Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg) 10% di
berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam waktu 1 jam jika
onset di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan infrak yang
luas.
b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia
miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan
digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau
amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.
c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat memperluas
infrak dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan hipertensi bila
terdapat salah satu hal berikut :
i. Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi
neurologis seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik,
hipertensi maligna (retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.
ii. Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali
pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik
>120 mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.
iii. Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana
tekanan darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.
Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin
sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan darahnya
sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah masih sulit di turunkan
maka harus diberikan nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5%
dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi
sampai tekanan darah yang di inginkan. Alternatif lain dapat diberikan
nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila di jumpai tekanan darah yang rendah
pada stroke maka harus dinaikkan dengan dopamin atau debutamin drips.
d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis
atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun, gangguan
pernafasan atau stroke dalam evolusi.
14
e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke
vetebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada CT
scan.
g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam,
20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai
masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi:
iv. Kemungkinan besar stroke kardioemboli
v. TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
vi. Stroke dalam evolusi
vii. Diseksi arteri
viii. Trombosis sinus dura
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas. Pasien
stroke non hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit
katup jantung atau trombus intrakardiak harus diberikan antikoagulan oral
(warfarin) sampai minimal satu tahun.
Perawatan umum untuk mempertahankan kenyamanan dan jalan nafas yang
adekuat sangatlah penting. Pastikan pasien bisa menelan dengan aman dan jaga pasien
agar tetap mendapat hidrasi dan nutrisi. Menelan harus dinilai (perhatikan saat pasien
mencoba untuk minum, dan jika terdapat kesulitan cairan harus di berikan melalui
selang lambung atau intravena. Beberapa obat telah terbukti bermanfaat untuk
pengobatan penyakit serebrovaskular, obat-obatan ini dapat dikelompokkan atas tiga
kelompok yaitu obat antikoagulansia, penghambat trombosit dan trombolitika:12
1. Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah dan di
gunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk membeku.
Obat yang termasuk golongan ini yaitu heparin dan kumarin.
2. Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama
sering ditemukan pada sistem arteri. Obat yang termasuk golongan ini adalah
aspirin, dipiridamol, tiklopidin, idobufen, epoprostenol, clopidogrel.
3. Trombolitika juga disebut fimbrinolitika berkhasiat melarutkan trombus
diberikan 3 jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat menyebabkan
perdarahan otak, obat yang termasuk golongan ini adalah streptokinase,
alteplase, urokinase, dan reteplase.
15
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema
serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.13
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik ntr terjadi meskipun agak
jarang (10-20%)
2. Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah ntracran
independen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain
untuk mengurangi tekanan ntracranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat,
meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke iskemik lebih lanjut
belum diketahui. Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark
mereka. Hal ini diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke iskemik yang tidak rumit,
tanpa adanya trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan
penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma
yang memerlukan evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke
iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami
serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder
dari stroke iskemik harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan kejang
lain yang timbul sebagai akibat neurologis injury.
2.10 Pencegahan
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan menghindari rokok, stres mental,
alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebih, obat-obat golongan amfetamin, kokain
dan sejenisnya. Mengurangi kolesterol dan lemak dalam makanan. Mengendalikan
hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit vaskular aterosklerotik lainya.
Perbanyak konsumsi gizi seimbang dan olahraga teratur.4
Pencegahan skunder dengan cara memodifikasi gaya hidup yang berisiko seperti
hipertensi dengan diet dan obat antihipertensi, diabetes melitus dengan diet dan obat
hipoglikemik oral atau insulin, penyakit jantung dengan antikoagulan oral, dislipidemia
dengan diet rendah lemak dan obat anti dislipidemia, berhenti merokok, hindari
kegemukan dan kurang gerak.4
16
BAB III. PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang
berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada
umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat
atau kematian.
Stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh emboli ekstrakranial atau
trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga dapat diakibatkan oleh
penurunan aliran serebral.
Terdapat beberapa faktor risiko stroke non hemoragik, yakni: usia lanjut,
hipertensi, merokok, penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri,
dan fibrilasi atrium kiri), hiperkolesterolemia, dan riwayat mengalami penyakit
serebrovaskuler.
Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana penderita stroke
non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri akan mengakibatkan
terjadinya kelumpuhan pada sebelah kanan, dan begitu pula sebaliknya dan sebagian juga
terjadi Hemiparese dupleks, penderita stroke non hemoragik yang mengalami hemiparese
dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian tubuh sekaligus
bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non hemoragik
yang diperlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi dari stroke hanya 3-6
jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat memegang peranan besar dalam
menentukan hasil akhir pengobatan.
Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema
serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan
peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan keenam editor Harsono.
Yogyakarta: Gadjah Mada university press, 2007; hal: 81-115.
2. Sutrisno, Alfred. Stroke? You Must Know Before you Get It!. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2007; hal: 1-13
3. Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke.
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2006.
4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita selekta kedokteran
fkui jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius, 2000; hal. 17-18.
5. Widjaja AC. Uji diagnostik pemeriksaan kadar d-dimer plasma pada diagnosis stroke
iskemik. UNDIP. Semarang. 2010.
http://eprints.undip.ac.id/24037/1/Andreas_Christian_Widjaja.pdf
6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 2. Jakarta:
EGC, 2006; hal. 1110-19.
7. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2013 Sept 01. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview
8. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 2010; hal
270, 287, 290-93.
9. Swartz MH. Buku ajar diagnostic fisik. Jakarta: EGC, 2002; hal. 359-98.
10. Januar R. Karakteristik penderita stroke non hemorage yang di rawat inap di rsu herna
medan tahun 2002. FKM USU. Medan. 2002.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14569
11. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2013 Sept 01. available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-diagnosis
12. Rubenstein D, Waine D & Bradley J. Kedokteran Klinis Edisi Ke 6. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2005; hal. 98-99.
13. Hassmann KA. Stroke Ischemic. [Online]. Cited 2013 Sept 01. available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-followup
18