Post on 07-Aug-2015
description
PENDAHULUAN
Sindroma Nefrotik merupakan penyakit yang sering ditemukan dari
beberapa penyakit ginjal dan saluran kemih. Sindroma Nefrotik (SN) dapat terjadi
secara primer dan sekunder, primer apabila tidak menyertai penyakit sistemik.
Sekunder apabila timbul sebagai bagian daripada penyakit Sistemik atau yang
berhubungan dengan obat atau toksin. Penyakit ini sering dijumpai pada anak-
anak dengan insiden antara 2-4 kasus dari setiap 100.000 anak di bawah umur 16
tahun setiap tahunnya. SN dapat menyerang semua umur tetapi terutama
menyerang anak-anak yang berusia antara 2-6 tahun. Anak laki-laki lebih banyak
menderita dibandingkan anak perempuan dengan rasio 3:2, Pada anak-anak kira-
kira 90% disebabkan oleh panyakit Glomerulus primer dan 10% adalah sekunder
disebabkan oleh penyakit sistemik seperti nefritis Henoch-Schonlein, Lupus
Eritematous Sistemik, amyloidosis dan sebagainya.
Penyakit ini merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN)
yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuri masif ≥ 3.5 g/dl,
hiperkolesterolemia, dan hipoalbumin. Pada proses awal atau SN ringan untuk
menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri
masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar
albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang, proteinuria
juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.
Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan
nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta
hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal
kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA).
Kondisi proteinuri yang berat, hematuri, hipoalbumniemia,
hiperkolesterolemia, edema dan hipertensi yang tidak terdiagnosa atau tidak
teratasi akan berkembang secara progresif menjadi kerusakan gromeruli yang
akan menurunkan Laju Filtrasi Gromerulus (LFG) yang akhirnya menjadi gagal
ginjal.
1
DEFINISI
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai
oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari),
hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan
hiperkoagulabilitas. Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan
pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder.
Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik
idiopatik dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta
histopatologinya
KLASIFIKASI
Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 2 kelompok:
A. Sindrom Nefritik Primer
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Sehingga dikatakan idiopatik namun diduga berhubungan dengan genetic
maupun imunologi alergi. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital,
yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau
usia di bawah 1 tahun.
I. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik
jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa
dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun jarang atau
bahkan tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2
II. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan yang dibuat
berdasarkan histo[atologinya, yaitu :
a. Kelainan minimal
Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot
processus sel epitel berpadu (mikroskop elektron)
Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada
dinding kapiler glomerolus
Lebih banyak terdapat pada anak
Prognosis baik
b. Nefropati membranosa
Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi sel
Prognosis kurang baik
c. Glomerulonefritis proliferatif
Eksudatif difus
Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus dan
terjadi pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler
tersumbat.
Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang
lobular.
Dengan bulan sabit (crescent)
Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan
viseral.
Glomelurosklerosis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membrana basalis de mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-
IA rendah.
d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental
Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus
Prognosis buruk
3
B. Sindrom Nefrotik Sekunder
timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai disebabkan oleh:
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
EPIDEMIOLOGI
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi
minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. SN dapat
menyerang semua umur tetapi terutama menyerang anak-anak yang berusia antara
2-6 tahun. Anak laki-laki lebih banyak menderita dibandingkan anak perempuan
dengan rasio 3:2. Pada anak-anak kira-kira 90% disebabkan oleh panyakit
Glomerulus primer dan 10% adalah sekunder disebabkan oleh penyakit sistemik
seperti nefritis Henoch-Schonlein, Lupus Eritematous Sistemik, amyloidosis dan
sebagainya.
Insidensi sindrom nefrotik pada anak-anak di Amerika Serikat
diperkirakan 2.0 hingga 2.7 kasus baru per 100.000 anak-anak dibawah 18 tahun.
Insisdensi sindrom nefrotik idiopatik 6 kali lebih besar pada anak-anak Asia
daripada Eropa. Di Jakarta Indonesia, Wira Wirya melaporkan 6 kasus baru per
100.000 anakanak di bawah 14 tahun, membuat ini menjadi penyakit relative
paling umum pada pediatric.
4
Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian
SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak
disebabkan oleh diabetes mellitus.
Sepertiga penderita SN tidak akan mengalami kambuh setelah remisi
pertama, namun duapertiga penderita SN akan mengalami kambuh. Angka
kekambuhan pada sindrom nefrotik kira-kira 70% dengan proteinuria dan edema
berulang.
PATOFISIOLOGI
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan
akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma
yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang
memicu aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon
5
katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan
air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.
Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill yang dijabarkan seperti bagan di
bawah ini :
Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan
aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua
penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita
sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan
6
Kelainan Glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminernia
Tekanan onkotik koloin plasma
Volume plasma
Retensi Na di tubulus distal dan sekresi ADH
EDEMA
penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep
baru yang disebut teori overfill yang dijabarkan seperti bagan di bawah ini:
Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula
oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara
spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol,
trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol
7
Kelainan Glomerulus
Retensi Na renal primer
Volume Plasma
EDEMA
Albuminuria
Hipoalbuminemia
disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama
pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan
VLDL ( very low density lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar
LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme.
Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL
menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL
( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme
VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan
onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun
diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol
acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini
juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk
katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia
yang terjadi pada SN.
MANIFESTASI KLINIK
Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi; menurunnya nafsu makan,
malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan
urin berbusa. Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di
intraperitoneal (Asites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada
rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat
akibat asites. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum
ataupun labia mayor. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis
dan prolaps ani.
Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta
anoreksia, dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering
dialami oleh pasien dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitang
dengan adanya infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus.
Hepatomegali dapat di temukan, hal ini dikaitkan dengan sinteis protein yang
8
meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat nyeri perut kuadran kanan
atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut
Pada anak dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi
psikososial yang merupakan akibat stress nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang.
Empat gejala klinis yang paling utama dari pasien Sindroma nefrotik
adalah sebagai berikut:
1. Proteinuria
Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang
terjadi lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain.
Jumlah protein dalam urin dapat mencapi 40mg/jam/ m2 luas permukaan tubuh
(1gr/ m2/hari) atau 2-3,5gram/ 24 jam. Proteinuria yang terjadi disebabkan
perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan pada filter glomerulus.
2. Hipoalbuminemia
Jumlah albumin dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar
dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal.
Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju eksresi protein urin
dan derajat hipoalbuminemia. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun
tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin
normal atau menurun.
3. Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein
dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan
albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.
Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid
meningkat. Paling tidak ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1)
hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk
9
lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
4. Sembab atau edema
Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori
underfilled dan teori overfille. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema
terjadi karena menurunnya albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein
melalui urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma,
yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang inervaskular keruangan
intersisial. Penurunan volume intravakular menyebabkan penurunan tekanan
perfusi ginjal, sehingga terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron,
yang merangasang reabsorbsi natrium ditubulus distal. Penurunan volume
intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antideuritik yang mempertinggi
penyerapan air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka
cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial
sehingga memperberat edema.
Sedangkan pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air
diakibatkan karena mekanisme intra renal primer dan tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Serta adanya agen dalam sirkulasi yang meningkatkan
permeabilitas kapiler diseluruh tubuh serta ginjal. Retensi natrium primer akibat
defek intra renal ini menyebabkan ekspansi cairan plasma dan cairan ekstraseluler.
Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan ke dalam ruang interstisial.
10
Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan
aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak
terdapat pada semua penderita Sindroma nefrotik. Sehingga teori overfill dapat di
pakai untuk menerangkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan volume
plama yang tinggi dan kadar renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia.
DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinik yang khas, yaitu :
1. Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik
dimana dalam urin terdapat protein ≥ 40 mg/m2 lpb/jam atau > 50 mg/kgBB/
24 jam, atau rasio albumin/ kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg, atau
dipstik ≥2+. Proteinuria pada sindrom nefrotik kelainan minimal relatif
selektif, yang terbentuk terutama oleh albumin.
2. Hipoalbuminemia
Albumin serum < 2,5 g/dl. Harga normal kadar albumin plasma pada anak
dengan gizi baik berkisar antara 3.6-4.4 g/dl. Pada sindrom nefrotik retensi
cairan dan sembab baru akan terlihat apabila kadar albumin plasma turun
dibawah 2.5-3.0 g/dl, bahkan sering dijumpai kadar albumin plasma yang jauh
dibawah kadar tersebut.
3. Oedem
11
4. Hiperlipidemia
Pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia (kolesterol
serum lebih dari 200 mg/dl).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin.
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urine
24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit,LED)
b. Kadar albumin dan kolestrol plasma
c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kratinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwatz
d. Titer ASO dan kadar komplemen C3 bila terdapat hematuria
mikroskopis persistent.
e. Bila curiga LES, pemeriksaan dilengkapi dengan pemeriksaan kadar
komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody) dan anti-dsDNA.
PENATALAKSANAAN
Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan
edema, memulai pengobatn steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan
streoid di mulai, dilakukan pemeriksaan uji mantoux. Bila hasilnya positif
diberikan profilaksis INH bersama streoid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan pada SN relaps hanya
dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah
infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan
aktifitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak
boleh sekolah.
12
Dietetik
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap
kontra indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan
sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis
glomerrulus. Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari denagn kalori yang
adekuat. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP)
dan hambatan pertumbuhan anak. Lemak dapat diberikan dengan jumlah yang
tidak melebihi 30% jumlah total kalori keseluruhan, lebih di anjurkan
memberikan karbonhidrat kompleks dari pada gula sederhana. Restriksi garam
dan cairan tidak diperlukan pada sebagian besar kasus sindrom nefrotik sensitif
steroid. Diet rendah garam (1-2 g/hari, atau 2 mmol/kg/hari) plus menghindar
camilan asin, dianjurkan selama anak mengalami edema atau hipertensis.
Sembab
Sebagian pasien dengan sembab ringan tidak memerlukan diuretik.
Pasien dengan sembab nyata tanpa deplesi volume intravaskular diberikan
terapi sebagai berikut. Dimulai dengan furosemid 1-3 mg/kgBB/hari 2 kali sehari.
Bila tidak ada respons, dosis dinaikkan sampai 4-6 mg/kgBB/hari bersama dengan
spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3 mg/kg/hari, sebagai pottasium-sparing
agent (diuretik hemat kalium). Kadang-kadang perlu diberikan furosemid bolus
intravena atau infus. Pemakaian diuretik lebih dari 1 minggu dengan dosis tinggi
harus hati-hati, perlu pemantauan terhadap hipovolumia dan elektrolit serum.
Intake air tidak perlu direstriksi, kecuali pada pasien dengan sembab hebat.
Pada keadaan tersebut, intake cairan dibatasi sesuai dengan insensible loss plus
jumlah urine sehari sebelumnya.
Terapi diuretik kadang-kadang tidak efektif bahkan dapat membahayakan
pasien yang mengalami hipoalbuminemia (albumin serum < 1,5 g/dL) plus deplesi
volume intravaskular. Pemberian infus albumi 20% dengan furosemid dapat
memacu diuresis dan mengurangi sembab. Pada keadaan demikian kadang-kadang
diperlukan beberapa kali infus albumi. Bila pemberian diuretik tidak berhasil
13
mengurangi edema (edema refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau
hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1 g/dl), dapat diberikan infus albumin
20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
interstitial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB.
Bila pasien tidak mampu dari segi beaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20
ml/kgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila di perlukan, albumin atau plasma dapat
diberikan selang-sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan
mencegah overload cairan. Pemberian plasma berpotensi menyebabkan penularan
infeksi hepatitis, HIV, dan lain lain. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernafasan dapat dilakukan fungsi asites berulang.
Imunisasi
Semua vaksin mati secara umum aman untuk anak yang mengalami remisi.
Semua vaksin yang hidup sebaiknya dihindari hingga steroid dihentikan selama
paling sedikit 6 minggu. Selain itu, harus dihindari jika terapi cyclofosfamid atau
cyclosporine A telah diinisiasi.
PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID
14
Sebagian besar anak datang dengan sembab hebat atau dengan infeksi
berat yang harus ditangani dengan benar sebelum terapi steriod dimulai.
Prednison atau prednisolon merupakan obat pilihan utama untuk terapi.
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut :
Remisi
Kambuh(Relaps)
Kambuh tidak sering
Kambuh sering
Responsif-steroid
Dependen-steroid
Resisten-steroid
Responder lambat
Nonresponder awal
Nonresponder lambat
Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4
mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut.
Proteinuria ³ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.
Kambuh ³ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau ³4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.
Resisten-steroid sejak terapi awal.
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.
15
Pengobatan inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (international study on kidney diseases in
children), pengobatan inisial prednison dimulai dengan dosis penuh (full dose) 2
mg/kg/hari atau 60 mg/m2LPB/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi 3 dosis, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prenison dosis penuh inisial diberikan selama
4 minggu. Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada
80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid
Gb1 Pengobatan inisial dengan kortikosteroid
Keterangan:
Prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPB/hari (2 mg/kgBB/hari)
dibagi 3 dosis diberikan setiap hari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan
prednison 40 mg/m2LPB/hari (2/3 dosis penuh), dapat diberikan secara intermitent
(3 hari berturut-turut dalam 1 minggu) atau alternating (selang sehari), selama 4
minggu.
Bila remisi terjadi dalam 4 minggu pertama, maka prednison
intermitent/alternating 40 mg/m2LPB/hari diberikan selama 4 minggu. Bila remisi
tidak terjadi pada 4 minggu pertama, maka pasien tersebut didiagnosis sebagai
sindrom netritik resisten steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu
pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan
dosis 40 mg/m2LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali
sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh
tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resistan steroid.
16
Berbagai kelompok pakar menganjurkan bahwa dengan pemberian
prednison dosis penuh selama 6 minggu dilajutkan dengan dosis alternating
selama 6 minggu, akan memperpanjangan remisi dibandingkan dengan dosis
standar 8 minggu. Pada pengamatan 12 bulan pasca terapi, kejadian relaps
menurun menjadi 36,2% vs 81% (dosis standar) (APNkons).
Pada penelitian di jakarta didapatkan kesan adanya penurunan jumlah
relaps pada kelompok yang mendapat steroid lebih lama, tetapi karena jumlah
kasus yang diteladi sedikit, perbedaan ini tidak dapat dinilai secara statistik,(15)
sedangkan penelitian di Surabaya menemukan perbedaan kejadian relaps yang
tidak bermakna.
Sebuah meta-analisis dari penelitian randomized controlled trials
menunjukkan bahwa anak-anak dengan sindrom nefroik sebaiknya diterapi paling
tidak selama 3 bulan.
Pengobatan relaps
Relaps sering didahului oleh infeksi saluran papas atas, yang harus
dideteksi dan diobati secara benar. Pengobatan relaps terdiri dari prednison dosis
penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu kemudian dilanjutkan dengan
prednisone intermitten/alternating 40 mg/m2LPB/ hari selama 4 minggu. Bila
sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga terjadi remisi maka
pasien didiagnosis sebagai sindrom nefrotiok resisten steroid dap harus diberikan
terapi imunosupresif lain.
Prednison yang diberikan setup hari dapat diberikan secara dosis tunggal
atau terbagi; sedangkan dosis alternating diberikan secara dosis tunggal pada pagi
hari. Pernanjangan terapi relaps lebih dari 5-6 minggu tidak diperlukan pada
pasien dengan kambuh tidak sering.
17
Gb2 Pengobatan sindrom nefrotik relaps
Keterangan:
Prednison dosis penuh setup hari sampai remisi (maksimal 4 minggu)
kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent/alternating 40
mg/m2LPB/hari selama 4 minggu.
Bila sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga terjadi
remisi, maka pasien di diagnosis sebagai SN resisten steroid dap harus di berikan
terapi imunosupresif lain.
Pengobatan sindrom nefrotik relaps Bering atau dependen steroid
Saat ini ada 4 opsi pengobatan sindrom nefrotik relaps Bering dan dependen
steroid, yaitu:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin
Disamping pengobatan tersebut diatas tidak boleh dilupakan untuk mencari fokus
infeksi seperti misalnya tuberkulosis, infeksi gigi, atau kecacingan.
Faktor risiko terjadinya relaps sering adalah:
a. Onset penyakit pada umur kurang dari 3 tahun
b. Relaps terjadi pada 6 bulan pertama
c. Remisi lambat pada episode awal
18
1. Steroid jangka panjang
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka
panjang dapat dicoba lebih dahulu sebelum pemberian siklofosfamid (CPA),
mengingat efek samping steroid yang lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan
sebagai sindrom nefrotik relaps sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi
dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis
yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut
dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba
dihentikan (Gambar 3). Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednison
0,5 mg/ kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating.
Bila terjadi rel~pspada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB
alternating, tetapi 11 < 1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat,
dapat dicoba dikombinasikan dengan levailusol dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari,
selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan CPA. Dibecikaii CPA dengan dosis 2-
3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12 minggu.
2. Levamisof
Levamisol adalah obat dengan efek imunomodulasi sel T. Pemakaian levamisol
pada sindrom nefrotik masih terbatas karena efeknya masih diragukan. Di Jakarta,
penelitian pemberian levamisol pernah dilakukan, tetapi hasilnya kurang
memuaskan. Efek samping levamisol antara lain mual, muntah, dan neutropenia
reversibel.
Oleh karena itu pada saat ini pemberian levamisol belum dapat
direkomendasikan secara umum, keputusan diserahkan kepada dokter spesialis
anak atau dokter spesialis anak konsultan yang mengobati pasien. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgBB dosis tunggal selang sehari, selama 4-12
bulan.
19
Gb3 Diagram pengobatan sindrom nefrotik relaps frekuen atau dependen steroid
Keterangan:
1) Langsung diberi CPA (+ prednisonAD.)
2) Sesudah prednison jangka panjang , dilanjutkan dengan CPA
3) Sesudah prednison jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA
20
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang Bering dipakai pada pengobatan sindrom nefrotik
anak adalah siklofosfamid (CPA) dosis 2-3 mg/kgBB selama 8 minggu.
Sitostatika dapat mengurangi relaps sampai lebih dari 50°0, yaitu 67-93% pada
tahun pertama, dan 36-66% selama 5 tahun. APN melaporkan pemberian CPA
selama 12 minggu dapat mempertahankan remisi lebih lama daripada pemberian
CPA selama 8 minggu, yaitu 67% dibandingkan 30%(16kons), tetapi hal ini tidak
dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.
Gb 4 Pengobatan sindrom nefrotik relaps frekuen
Keterangan :
Prednison dosis penuh setup hari sampai remisi (maksimal 4 minggu)
kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent/alternating 40
mg/m2LPB/hari dan imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2-3
mg/kgBB/hari) dosis tunggal selama 8 minggu.
Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada sindrom
nefrotik relaps sering (70%) daripada SN dependen steroid (30%). Efek samping
sitostatika antara lain depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,
azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh
karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi seperti kadar hemoglobin,
leukosit, trombosit, 1-2 kali seminggu. Bila jumlah leukosit kurang dari 3.000/uL,
kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dL, atau jumlah trombosit kurang dari
100.000/uL, sitostatika dihentikan sernentara, dan diteruskan kembali bila jumlah
21
leukosit lebih dari 5.000/uL, hemoglobin lebih dari 8 g/dL, dan trombosit lebih
dari 100.000/uL.
Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai >
200-300 mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total
180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak. CPA dapat diberikan secara oral
atau puls, baik pada SN relaps sering atau dependen steroid, dengan skerna
pengobatan seperti tampak pada Gambar 4 dan Gambar 5.
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin (suatu inhibitor calcineurin)
dengan dosis 5-6 mg/kgBB/hari untuk mempertahankan kadar dalam darah (whole
blood trough level) sebesar 50-150 ng/ml(Gambar 3). Pada SN relaps
sering/dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,
sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA
dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping
dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pad SN resister steroid.
Gb5 Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid
22
Keterangan :
Prednison dosis penuh setup hari sampai temisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puts dengan dosis 500-750
mg/m2LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan
berturut-turut dan prednison intermttent/ alternating 40 mg/m2LPB/hari
selama 12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari
selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
Prednison dosis penuh setup hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjulkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis
tunggal selama 12 minggu dan prednison alternating 40 mg/m2LPB/hari
selama 12 minggu. Kemudian prednison difapering-off dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari
selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Kebanyakan publikasi dalatn literatur tidak dengan subyek kontrol.
Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi
anatorni tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan
hash lebih baik pada SNKM dibanding GSFS. Demikian pula hasil pengobatan
pada SNRS nonresponder kasep lebih baik daripada SNRS sejak awal (initial non
reponder).
23
Gb6 Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid.
Keterangan :
Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6
bulan
Prednison dosis 40 mg/met-PB/hari alternating selama pemberian
siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 1 bulan, diianjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus
satu kali sebulan selama 6 bulan, dapat diianjutkan tergantung keadaan pasien.
Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid puss (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis
1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjuft. dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).
24
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SNRS dilaporkan dapat menimbulkan remisi
pada 20% pasien. Bila terjadi relaps kembali setelah pemberian CPA, meskipun
sebelumnya merupakan SN resisten steroid, dapat dicoba lagi pengobatan relaps
dengan prednison, karma SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif lagi.
Tetapi bila terjadi resisten atau dependen steroid kembali, dapat diberikan
siklosporin, bila pasien mampu. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat
pada Gambar 6.
CPA puls dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik daripada CPA oral
tetapi jumlah kasus yang dilaporkan hanya sedikit. Yang jelas dosis kumulatif
pada pemberian CPA puts lebih kecil daripada CPA oral, dan efek sampingnya
lebih sedikit, tetapi karma harga CPA puls lebih mahal maka pemakaiannya di
Indonesia masih selektif.
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA antara lain hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,
hipertrofi ginggiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan
terhadap:
a. Kadar CyA dalam serum dipertahankan antara 100-200 ug/mL
b. Kadar kreatinin darah berkala
c. Biopsi ginjal berkala setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat ini mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif.
25
3. Metil-prednisolon puls
Mendoza dkk (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil-
prednisolon puls selama 82 minggu bersamaan dengan prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Pada pengamatan selama 6 tahun,
21 dari 32 pasien (66%) tetap menunjukkan remisi total dan gagal ginjal terminal
hanya ditemukan pada 5% dibandingkan 40% pada kontrol, tetapi hash ini tidak
dapat dikonfirmasi oleh laporan penelitian lainnya. Di samping itu efek samping
metil-prednisolon puls juga banyak, sehingga pengobatan dengan cara ini agak
sukar untuk direkomendasikan di Indonesia.
4. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dipakai pada SNRS adalah vinkristin,
takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur masih
sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum
direkomendasi secara luas di Indonesia.
Pemberian non imunosupresif untuk mengurangi proteinuria
Pada pasien SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik,
dan siklosporin (atau tidak marnpu membeli obat ini), dapat diberikan diuretik
(bila ada edema) dikombinasikan dengan inhibitor ACE (angiotensin converting
enzyme) untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat ini yang biasa dipakai adalah
kaptopril 0.3 mg/kgBB, 3 kali sehari, atau enalapril 0.5 mg/kgBB/hari dibagi 2
dosis. Tujuan pemberian inhibitor ACE juga untuk menghambat terjadinya gagal
ginjal terminal (renoprotektif), dapat dikombinasi dengan golongan anti reseptor
bloker (ARB) misalnya losaktan 0.75 mg/kgBB dosis tunggal.
26
Pengobatan komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif steroid
maupun SN resisten steroid. Deteksi dini sangat diperlukan sehingga dapat
dilakukan penanggulangan yang cepat.
a. Infeksi
Pada SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis dan
peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen
faktor B dan D dalam urin. Pemakaian obat imunosupresif menambah.risiko
terjadinya infeksi. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman
Gram negatif dan Streptokokus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin
parenteral, dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim
atau seftriakson selama 10-14 hari.
Tabel : Infeksi yang sering terjadi pada pasien SN dan penatalaksanaannya
Infection Clinical features Organisme Treatment
Peritonitis Abdominal pain /
tenderness, diarrhea,
vomiting
Pneumococci,
E.coli,
H.influenzae
ivi Ceftriaxone (or
Cefotaxime) or Ampicilin
with aminoglycoside for
10-14 days
Pneumonia Fever, tachypnea,
cough
Pneumococci,
H.influenzae
Oral Amoxicilin /
Cephalexin/Coamoxiclay
for mild disease ivi
Ceftriaxone or Ampicilin
with Aminoglycoside for
7-10 days for severe
illness
Cellulitis Redness, trendemess
or induration
Beta-hemolytic
streptococci,
H.influenzae,
Ivi Cloxacillin with
Ceftriaxone till resolution
of induration, followed by
27
pneumoccocci,
staphylococi
Candida,
Aspergillus
oral Cholaxillin and
Cefixime for 10 days
Fungal infection Pulmonary infiltrate,
persistent fever
unresponsive to
antibacterial therapy,
sputum/urine showing
septate hyphae
Candida,
Aspergillus
spp.
Skin, mucosa.
Fluconazole for 10-14
days
Systemic. Amphotericin B
for 14-21 days
Dikutip dari: Bagga A, Menon S. Idiopathic Nephrotic Syndrome: Initial
Management. In: Chiu MC, Yap HK, editors. Practical Paediatric Nephrology -
An Update of Current Practices. Hong Kong: Ivledcom Limited; 2005. p. 109-15.
Tuberkulosis
Prevalensi tuberkulosis dilaporkan cukup tinggi pada anak-anak dengan sindrom
nefrotik terutama di negara-negara berkembang.
Pasien sindrom nefrotik yang menunjukkan uji tuberkulin positif tanpa
gejala lain, sebaiknya diberikan isoniazid profilaksis 5 mg/kg/hari peroral atau
rifampicin 10 mg/kg/hari selama 6 bulan, Anak yang menderita tuberkulosis aktif
harus diobati dengan tempi antituberkulosis standar yang diberikan 2 minggu
sebelum tempi kortikosteroid dimulai.
Profilaksis
Relaps harus diterapi sedini mungkin sebelum sembab menjadi nyata.
Dianjurkan untuk melengkapi imunisasi primer dan vaksinasi terhadap
pneumokokus dan varisela.
Tidak ada evidence-based data yang menganjurkan pemberian antibiotik
profilaksis untuk mencegah risiko infeksi bakteri pada anak dengan sindrom
28
nefrotik. Beberapa pakar menganjurkan pada anak dengan sembab masif dan
asites untuk diberikan profilaksis dengan penisilin V oral 125-250 mg 2 kali
sehari sampai sembab menghilang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian
antibiotk profilaksis, tetapi perlu dipantau berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda
infeksi segera diberikan antibiotik. Biasanya diberikan antibiotik jenis
amoksisilin, eritromisin, atau sefaleksin.
Imunisasi
Oleh karena kerentanan terhadap infeksi, sangat diperlukan perhatian
untuk melengkapi imunisasi primer.
Pasien yang sedang dalam tempi kortikosteroid 2 mg/kg/hari, atau total 20
mg atau lebih (berat badan lebih dari 10 kg) selama 2 minggu atau lebih harus
diperlakukan sebagai immunocompromised. Pasien tersebut tidak diperbolehkan
mendapatkan vaksin hidup. Vaksin mati aman diberikan.
Vaksin hidup hanya boleh diberikan apabila anak telah lepas steroid
selama 6 minggu. Apabila diperlukan, dapat diberikan pada anak yang mendapat
prednison dengan dosis kurang dari 0,5 mg/kg selang sehari.
Varisela dapat mengakibatkan dampak buruk yang signifikan pada anak-
anak dengan sindrom nefrotik. Apabila seorang anak mengalami kontak dengan
pasien varisela, maka hendaknya diberikan imunoglobulin varicella-zoster 125
iu/10 kg dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat
diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena dengan dosis 400
mg/kg dalam 96 jam setelah eksposur. Bila sudah terjadi infeksi perlu diberikan
obat asiklovir oral 40-60, mg/kg/hari 4 kali sehari selama 5-7 hari dan pengobatan
steroid sebaiknya dihentikan sementara. Vaksinasi varisela dengan dosis 2 kali
selang 4 minggu, dianjurkan untuk diberikan pada pasien non-imun yang telah
mengalami remisi dan lepas kortikosteroid.
Anak-anak yang belum mendapatkan imunisasi campak, perlu diberikan
profilaksis dengan imunoglobulin apabila mereka terekspos dengan pasien
campak.
29
Imunisasi terhadap pneumokokus dianjurkan untuk semua anak dengan
sindrom nefrotik yang berusia lebih dari 2 tahun, selama masa remisi dan lebih
baik lagi pada masamasa mereka tidak mendapatkan steroid setup hari. Booster
dapat diberikan setup 5 tahun bagi anak-anak yang mendapatkan imunisasi inisial
sebelum berusia 5 tahun dan masih mengalami relaps berlanjut.
Imunisasi hepatitis B diberikan saat remisi.
Saudara kandung pasien sindrom nefrotik yang mendapat terapi
imunosupresan jangka panjang sebaiknya diberikan imunisasi polio inaktif
daripada polio oral. Sebaiknya juga diberikan imunisasi MMR dan varisela.
Tromboemboli
Pada SN dapat terjadi trombosis karena adanya hiperkoagulasi,
peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, dan penurunan kadar antitrombin III.
Trombosis dapat terjadi di dalam versa maupun arteri. Adanya dehidrasi
menin(ykatkan kemungkinan terjadinya trombosis.
Pencegahan tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian aspirin
dosis rendah (80 mg) dan dipiridamol, tetapi sampai saat ini belum ada studi
terkontrol terhadap efektivitas penggunaan obat ini. Heparin diberikan bila sudah
terjadi trombosis.
Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol
LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa), sedangkan kolesterol HDL
menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat
sementara, cukup dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid dapat
dipertimbangkan pemberian obat penurun lipid seperti questran, derivat fibrat dan
inhibitor HmgCoA reduktasia (statin), karena biasanya peningkatan kadar lemak
tersebut berlangsung lama, tetapi manfaat pemberian obat tersebut masih
diperdebatkan.
30
Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsernia karena:
1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopenia
2. Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada SN relaps sering dan SN resisten steroid dianjurkan
pemberian suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi
tetani, diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgBB intravena.
Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan, pasca episode sepsis, muntah atau
diare atau dalam keadaan SN relaps dapat mengakibatkan hipovolernia dengan
gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan Bering disertai sakit perut.
Pada pemeriksaan akan didapatkan peningkatan hematokrit, BUN dan asam urat.
Pengukuran kadar natrium urin dan ekskresi fraksionalnya (FENa)
berguna untuk asesmen status cairan. Kadar natrium urin kurang dari 10 mmol/1,
atau FENa kurang dari 1% (diukur pada saat anak belum mendapat diuretik
selama 6-8 jam terakhir) merupakan tanda karakterisitik hipovolemia. Rasio kadar
kalium urin terhadap jumlah kalium dan natrium urin [Uk+ / (Uk
+ + UNa+)] lebih
dari 60% juga merupakan tanda hipovolemia.
Pasien harus segera diberikan infus NaCl fisiologik 20 ml/kg dalam waktu
1-2 jam dan disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau plasma 20 ml/kgBB (tetesan
lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap
oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB intravena. Pemberian albumin harus
hati-hati karena risiko terjadinya sembab paru.
KOMPLIKASI
1. Infeksi
31
Anak-anak dengan NS berada pada risiko yang lebih tinggi terkena infeksi,
sebagian karena penyakit itu sendiri dan sebagian karena terapi imunosupresif.
Mereka memiliki kecenderungan yang kuat untuk infeksi pneumokokus. Beberapa
ahli mengusulkan bahwa anak-anak dengan NS diberikan profilaksis penisilin
selama relaps dari penyakit ini. Penting untuk diingat bahwa bakteri gram negatif
menyebabkan proporsi yang signifikan dari infeksi pada anak-anak
dengan NS, dan sampai organisme telah diidentifikasi dalam pasien tertentu,
antibiotika spektrum luas harus ditentukan. Pasien pada obat-obatan
imunosupresif, jika terkena infeksi varicella, sebaiknya menerima imunoglobulin
zoster dalam waktu 72 jam. Pasien dengan varicellaharus ditangani dengan infus
asiklovir.
2.Hipovolemia
Shock dan hipovolemia umumnya terjadi pada perkembangan edema.
Kehilangan cairan selama diare, muntah, sepsis dan terapi diuretik secara gegabah
memicu terjadinya hipovolemia. Tanda-tanda klinis dan gejala termasuk kram
pusat perut parah dengan atau tanpa muntah, penurunan output urine, kaki dingin,
tekanan darah rendah atau hipertensi reaktif. Laboratorium temuan natrium urin
rendah (<10 mEq / l) dan hematokrit meningkat menandakan shock hipovolemik.
pengobatan sangat penting dan infus koloid adalah andalan pengobatan; 4,5%
albumin, albumin 20% atau plasma harus diinfus perlahan-lahan di bawah
pengawasan hati-hati. Jika terjadi edema paru, infus harus dihentikan dan
diberikan furosemid intravena (1 mg / kg).
3. Hipertensi
Dalam sindrom nefrotik sensitive steroid (SSNS), tekanan darah biasanya
normal. Namun, hipertensi pada anak dengan SSSN harus dievaluasi sangat hati-
hati. Ini mungkin mencerminkan hipervolemia atau vasokonstriksi ekstrim dalam
menanggapi hipovolemia dimediasi melalui sistem renin-angiotensin. kemudian,
kadar natrium urin akan sangat rendah. Jika tekanan darah melebihi batas normal,
terapi singkat antihipertensi dapat ditentukan setelah hipovolemia tidak
32
diperhitungkan. Umumnya obat antihipertensi yang digunakan adalah nifedipin,
hydralazine atau atenolol. Diuretik sangat berguna ketika hipertensi diakibatkan
overload cairan
4. Trombosis
Anak-anak dengan sindrom nefrotik dapat berkembang menjadi
thrombosis arteri dan vena. Kejadian thrombosis karena kombinasi factor
hemodinamik dan status hiperkoagulasi yang berhubungan dengan sindrom
nefrotik. Ini terjadi kehilanngan antitrombus melalui urine, sehingga
meningkatkan resiko terjadinya thrombosis pada sindrom nefrotik.
5. Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut sangat jarang terjadi pada SSNS, tetapi derajat ringan azotemia
prerenal terlihat dalam hubungan hipovolemia yang merespon penggantian
volume.
6. Osteoporosis
Risiko osteoporosis terpengaruh-steroid memiliki implikasi signifikan
jangka panjang. Faktor prediktif massa tulang yang rendah adalah usia lebih tua
saat onset, asupan kalsium yang rendah dan dosis steroid kumulatif.
7. Gizi Buruk :
Kehilangan protein darah terlalu banyak dapat mengakibatkan kekurangan
gizi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, tapi tertutupi oleh adanya
pembengkakan.
PROGNOSIS
33
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera
dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme
kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit
memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.
Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya
terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Factor yang paling penting dalam menentukan prognosis anak- anak
dengan sindrom nefrotik adalah kemampuan merespon steroid. Sementara lebih
dari 70 persen anak-anak dengan sindrom nefrotik sensitive steroid relaps dan
hamper 50 persen memiliki relaps sering atau tergantung steroid, resiko mereka
untuk progersi kearah gagal ginjal kronis minimal. Studi-studi pada sajarah alam
menunjukkan bahwa 15-25 persen pasien dapat berlanjut menjadi relaps setelah
10-15 tahun setelah onset penyakit.usia muda pada onset dan relaps sering selama
masa anak berhubungan dengan relaps pada masa dewasa.
Secara garis besar, prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-
keadaan sebagai berikut :
Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas
6 tahun.
Disertai oleh hipertensi.
Disertai hematuria.
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi
respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%
di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi
dengan pengobatan steroid.
DAFTAR PUSTAKA
34
1. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Kompendium
Nefrologi Anak. 2011.IDAI. Jakarta,
2. Lestari, Sukmarini, Sindrom Nefrotik. [online] 2009: www. fk-ui.com
3. Noer, MS. Pedoman Diagnosa dan Terapi Ilnau Kesehatan Anak. 2008:
RSUD dr. Soetorno Surabaya.
4. Wigya, IGN. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. 2004: FKUI. Jakarta.
5. Kasper, Dennis, M. 2005. Harrison's Principles of Internal Medicine, edisi 16.
New York. McGraw-Hill.
6. Komite Medik RSUD dr. Soebandi. 2002. Pedoman Diagnosis dan Terapi
SMF Ilmu Kesehatan Anak, Sindrom Nefrotik. Jember.
7. Anonim. Sindroma Nefrotik Ilmu Kesehatan Anak. [online] 2010:
www.scrib.com.
8. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website:
Indonesia Kidney Care Club. [cited 2010, Dec 12]. Available:
http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170
9. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan
Pelayanan Medik PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009
10. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan.
Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006 53. Website: kalbe farma. [cited
2010, Nov 28]. Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.
pdf/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.html
11. Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17,
2010. [cited Dec 05, 2010]. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview
12. Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran., edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2001
35
13. Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelpia:
Elsevier saunders. 1996
14. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-
hill.2001
15. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:
vol.336.Website: BMJ. [cited 2010 Dec, 20]
16. Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In :
Webb NJ.A, Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3rd ED.
Great Britain: Oxford Universsity Press., 197-22
17. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrison’s Manual Of
Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-806
18. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th ed. Jakarta: IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549
19. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA
Davis Company; 2007
20. Stephen JM, William G. Nephrotic Syndrome. Pathophysiology of Disease.
5th ed. USA: Lange-Mc Graw Hill. 2003. Page: 476-477
36