SINDROMA NEFROTIK

56
PENDAHULUAN Sindroma Nefrotik merupakan penyakit yang sering ditemukan dari beberapa penyakit ginjal dan saluran kemih. Sindroma Nefrotik (SN) dapat terjadi secara primer dan sekunder, primer apabila tidak menyertai penyakit sistemik. Sekunder apabila timbul sebagai bagian daripada penyakit Sistemik atau yang berhubungan dengan obat atau toksin. Penyakit ini sering dijumpai pada anak-anak dengan insiden antara 2-4 kasus dari setiap 100.000 anak di bawah umur 16 tahun setiap tahunnya. SN dapat menyerang semua umur tetapi terutama menyerang anak-anak yang berusia antara 2-6 tahun. Anak laki-laki lebih banyak menderita dibandingkan anak perempuan dengan rasio 3:2, Pada anak-anak kira-kira 90% disebabkan oleh panyakit Glomerulus primer dan 10% adalah sekunder disebabkan oleh penyakit sistemik seperti nefritis Henoch-Schonlein, Lupus Eritematous Sistemik, amyloidosis dan sebagainya. Penyakit ini merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuri masif ≥ 3.5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan hipoalbumin. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein 1

description

SINDROMA NEFROTIK

Transcript of SINDROMA NEFROTIK

Page 1: SINDROMA NEFROTIK

PENDAHULUAN

Sindroma Nefrotik merupakan penyakit yang sering ditemukan dari

beberapa penyakit ginjal dan saluran kemih. Sindroma Nefrotik (SN) dapat terjadi

secara primer dan sekunder, primer apabila tidak menyertai penyakit sistemik.

Sekunder apabila timbul sebagai bagian daripada penyakit Sistemik atau yang

berhubungan dengan obat atau toksin. Penyakit ini sering dijumpai pada anak-

anak dengan insiden antara 2-4 kasus dari setiap 100.000 anak di bawah umur 16

tahun setiap tahunnya. SN dapat menyerang semua umur tetapi terutama

menyerang anak-anak yang berusia antara 2-6 tahun. Anak laki-laki lebih banyak

menderita dibandingkan anak perempuan dengan rasio 3:2, Pada anak-anak kira-

kira 90% disebabkan oleh panyakit Glomerulus primer dan 10% adalah sekunder

disebabkan oleh penyakit sistemik seperti nefritis Henoch-Schonlein, Lupus

Eritematous Sistemik, amyloidosis dan sebagainya.

Penyakit ini merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN)

yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuri masif ≥ 3.5 g/dl,

hiperkolesterolemia, dan hipoalbumin. Pada proses awal atau SN ringan untuk

menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri

masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar

albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang, proteinuria

juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.

Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan

nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta

hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal

kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir

(PGTA).

Kondisi proteinuri yang berat, hematuri, hipoalbumniemia,

hiperkolesterolemia, edema dan hipertensi yang tidak terdiagnosa atau tidak

teratasi akan berkembang secara progresif menjadi kerusakan gromeruli yang

akan menurunkan Laju Filtrasi Gromerulus (LFG) yang akhirnya menjadi gagal

ginjal.

1

Page 2: SINDROMA NEFROTIK

DEFINISI

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai

oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari),

hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan

hiperkoagulabilitas. Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan

pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder.

Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik

idiopatik dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta

histopatologinya

KLASIFIKASI

Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 2 kelompok:

A. Sindrom Nefritik Primer

Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara

primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab

lain. Sehingga dikatakan idiopatik namun diduga berhubungan dengan genetic

maupun imunologi alergi. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.

Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital,

yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau

usia di bawah 1 tahun.

I. Sindrom Nefrotik Bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi

maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik

jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa

dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun jarang atau

bahkan tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal

dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

2

Page 3: SINDROMA NEFROTIK

II. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan yang dibuat

berdasarkan histo[atologinya, yaitu :

a. Kelainan minimal

Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot

processus sel epitel berpadu (mikroskop elektron)

Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada

dinding kapiler glomerolus

Lebih banyak terdapat pada anak

Prognosis baik

b. Nefropati membranosa

Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa

proliferasi sel

Prognosis kurang baik

c. Glomerulonefritis proliferatif

Eksudatif difus

Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus dan

terjadi pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler

tersumbat.

Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)

Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang

lobular.

Dengan bulan sabit (crescent)

Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan

viseral.

Glomelurosklerosis membranoproliferatif

Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai

membrana basalis de mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-

IA rendah.

d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental

Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus

Prognosis buruk

3

Page 4: SINDROMA NEFROTIK

B. Sindrom Nefrotik Sekunder

timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai

akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.

Penyebab yang sering dijumpai disebabkan oleh:

Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,

sindrom Alport, miksedema.

Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,

AIDS.

Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun

serangga, bisa ular.

Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,

purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.

Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

EPIDEMIOLOGI

Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi

minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat

diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. SN dapat

menyerang semua umur tetapi terutama menyerang anak-anak yang berusia antara

2-6 tahun. Anak laki-laki lebih banyak menderita dibandingkan anak perempuan

dengan rasio 3:2. Pada anak-anak kira-kira 90% disebabkan oleh panyakit

Glomerulus primer dan 10% adalah sekunder disebabkan oleh penyakit sistemik

seperti nefritis Henoch-Schonlein, Lupus Eritematous Sistemik, amyloidosis dan

sebagainya.

Insidensi sindrom nefrotik pada anak-anak di Amerika Serikat

diperkirakan 2.0 hingga 2.7 kasus baru per 100.000 anak-anak dibawah 18 tahun.

Insisdensi sindrom nefrotik idiopatik 6 kali lebih besar pada anak-anak Asia

daripada Eropa. Di Jakarta Indonesia, Wira Wirya melaporkan 6 kasus baru per

100.000 anakanak di bawah 14 tahun, membuat ini menjadi penyakit relative

paling umum pada pediatric.

4

Page 5: SINDROMA NEFROTIK

Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),

umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian

SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa

3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak

disebabkan oleh diabetes mellitus.

Sepertiga penderita SN tidak akan mengalami kambuh setelah remisi

pertama, namun duapertiga penderita SN akan mengalami kambuh. Angka

kekambuhan pada sindrom nefrotik kira-kira 70% dengan proteinuria dan edema

berulang.

PATOFISIOLOGI

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya

sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.

Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang

biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.

Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif

tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan

akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar

albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan

konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma

intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus

dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan

edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan

stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini

timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan

intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan

pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma

yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang

memicu aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon

5

Page 6: SINDROMA NEFROTIK

katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan

air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.

Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill yang dijabarkan seperti bagan di

bawah ini :

Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan

aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua

penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita

sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan

6

Kelainan Glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminernia

Tekanan onkotik koloin plasma

Volume plasma

Retensi Na di tubulus distal dan sekresi ADH

EDEMA

Page 7: SINDROMA NEFROTIK

penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep

baru yang disebut teori overfill yang dijabarkan seperti bagan di bawah ini:

Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme

intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi

natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan

ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke

dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume

plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai

akibat hipervolemia.

Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang

dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung

bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena

patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi

rangsangan yang lebih dari satu.

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula

oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-glikoprotein sebagai

perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara

spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid

kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol,

trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol

7

Kelainan Glomerulus

Retensi Na renal primer

Volume Plasma

EDEMA

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Page 8: SINDROMA NEFROTIK

disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama

pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan

VLDL ( very low density lipoprotein).

Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan

sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar

LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme.

Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL

menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL

( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme

VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan

onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun

diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol

acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini

juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk

katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia

yang terjadi pada SN.

MANIFESTASI KLINIK

Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi; menurunnya nafsu makan,

malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan

urin berbusa. Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di

intraperitoneal (Asites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada

rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat

akibat asites. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum

ataupun labia mayor. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis

dan prolaps ani.

Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta

anoreksia, dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering

dialami oleh pasien dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitang

dengan adanya infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus.

Hepatomegali dapat di temukan, hal ini dikaitkan dengan sinteis protein yang

8

Page 9: SINDROMA NEFROTIK

meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat nyeri perut kuadran kanan

atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut

Pada anak dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi

psikososial yang merupakan akibat stress nonspesifik terhadap anak yang sedang

berkembang.

Empat gejala klinis yang paling utama dari pasien Sindroma nefrotik

adalah sebagai berikut:

1. Proteinuria

Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang

terjadi lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain.

Jumlah protein dalam urin dapat mencapi 40mg/jam/ m2 luas permukaan tubuh

(1gr/ m2/hari) atau 2-3,5gram/ 24 jam. Proteinuria yang terjadi disebabkan

perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan pada filter glomerulus.

2. Hipoalbuminemia

Jumlah albumin dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar

dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal.

Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju eksresi protein urin

dan derajat hipoalbuminemia. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun

tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin

normal atau menurun.

3. Hiperlipidemi

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density

lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein

(HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan

sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan

pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein

dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan

albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.

Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid

meningkat. Paling tidak ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1)

hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk

9

Page 10: SINDROMA NEFROTIK

lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein

lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.

4. Sembab atau edema

Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori

underfilled dan teori overfille. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema

terjadi karena menurunnya albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein

melalui urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma,

yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang inervaskular keruangan

intersisial. Penurunan volume intravakular menyebabkan penurunan tekanan

perfusi ginjal, sehingga terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron,

yang merangasang reabsorbsi natrium ditubulus distal. Penurunan volume

intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antideuritik yang mempertinggi

penyerapan air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka

cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial

sehingga memperberat edema.

Sedangkan pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air

diakibatkan karena mekanisme intra renal primer dan tidak bergantung pada

stimulasi sistemik perifer. Serta adanya agen dalam sirkulasi yang meningkatkan

permeabilitas kapiler diseluruh tubuh serta ginjal. Retensi natrium primer akibat

defek intra renal ini menyebabkan ekspansi cairan plasma dan cairan ekstraseluler.

Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan ke dalam ruang interstisial.

10

Page 11: SINDROMA NEFROTIK

Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan

aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak

terdapat pada semua penderita Sindroma nefrotik. Sehingga teori overfill dapat di

pakai untuk menerangkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan volume

plama yang tinggi dan kadar renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia.

DIAGNOSIS

Sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinik yang khas, yaitu :

1. Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik

dimana dalam urin terdapat protein ≥ 40 mg/m2 lpb/jam atau > 50 mg/kgBB/

24 jam, atau rasio albumin/ kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg, atau

dipstik ≥2+. Proteinuria pada sindrom nefrotik kelainan minimal relatif

selektif, yang terbentuk terutama oleh albumin.

2. Hipoalbuminemia

Albumin serum < 2,5 g/dl. Harga normal kadar albumin plasma pada anak

dengan gizi baik berkisar antara 3.6-4.4 g/dl. Pada sindrom nefrotik retensi

cairan dan sembab baru akan terlihat apabila kadar albumin plasma turun

dibawah 2.5-3.0 g/dl, bahkan sering dijumpai kadar albumin plasma yang jauh

dibawah kadar tersebut.

3. Oedem

11

Page 12: SINDROMA NEFROTIK

4. Hiperlipidemia

Pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia (kolesterol

serum lebih dari 200 mg/dl).

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:

1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin.

2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urine

24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari

3. Pemeriksaan darah

a. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,

hematokrit,LED)

b. Kadar albumin dan kolestrol plasma

c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kratinin dengan cara klasik atau

dengan rumus Schwatz

d. Titer ASO dan kadar komplemen C3 bila terdapat hematuria

mikroskopis persistent.

e. Bila curiga LES, pemeriksaan dilengkapi dengan pemeriksaan kadar

komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody) dan anti-dsDNA.

PENATALAKSANAAN

Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan

untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan

edema, memulai pengobatn steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan

streoid di mulai, dilakukan pemeriksaan uji mantoux. Bila hasilnya positif

diberikan profilaksis INH bersama streoid, dan bila ditemukan tuberkulosis

diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan pada SN relaps hanya

dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah

infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan

aktifitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak

boleh sekolah.

12

Page 13: SINDROMA NEFROTIK

Dietetik

Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap

kontra indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan

sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis

glomerrulus. Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA

(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari denagn kalori yang

adekuat. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP)

dan hambatan pertumbuhan anak. Lemak dapat diberikan dengan jumlah yang

tidak melebihi 30% jumlah total kalori keseluruhan, lebih di anjurkan

memberikan karbonhidrat kompleks dari pada gula sederhana. Restriksi garam

dan cairan tidak diperlukan pada sebagian besar kasus sindrom nefrotik sensitif

steroid. Diet rendah garam (1-2 g/hari, atau 2 mmol/kg/hari) plus menghindar

camilan asin, dianjurkan selama anak mengalami edema atau hipertensis.

Sembab

Sebagian pasien dengan sembab ringan tidak memerlukan diuretik.

Pasien dengan sembab nyata tanpa deplesi volume intravaskular diberikan

terapi sebagai berikut. Dimulai dengan furosemid 1-3 mg/kgBB/hari 2 kali sehari.

Bila tidak ada respons, dosis dinaikkan sampai 4-6 mg/kgBB/hari bersama dengan

spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3 mg/kg/hari, sebagai pottasium-sparing

agent (diuretik hemat kalium). Kadang-kadang perlu diberikan furosemid bolus

intravena atau infus. Pemakaian diuretik lebih dari 1 minggu dengan dosis tinggi

harus hati-hati, perlu pemantauan terhadap hipovolumia dan elektrolit serum.

Intake air tidak perlu direstriksi, kecuali pada pasien dengan sembab hebat.

Pada keadaan tersebut, intake cairan dibatasi sesuai dengan insensible loss plus

jumlah urine sehari sebelumnya.

Terapi diuretik kadang-kadang tidak efektif bahkan dapat membahayakan

pasien yang mengalami hipoalbuminemia (albumin serum < 1,5 g/dL) plus deplesi

volume intravaskular. Pemberian infus albumi 20% dengan furosemid dapat

memacu diuresis dan mengurangi sembab. Pada keadaan demikian kadang-kadang

diperlukan beberapa kali infus albumi. Bila pemberian diuretik tidak berhasil

13

Page 14: SINDROMA NEFROTIK

mengurangi edema (edema refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau

hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1 g/dl), dapat diberikan infus albumin

20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan

interstitial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB.

Bila pasien tidak mampu dari segi beaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20

ml/kgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya

komplikasi dekompensasi jantung. Bila di perlukan, albumin atau plasma dapat

diberikan selang-sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan

mencegah overload cairan. Pemberian plasma berpotensi menyebabkan penularan

infeksi hepatitis, HIV, dan lain lain. Bila asites sedemikian berat sehingga

mengganggu pernafasan dapat dilakukan fungsi asites berulang.

Imunisasi

Semua vaksin mati secara umum aman untuk anak yang mengalami remisi.

Semua vaksin yang hidup sebaiknya dihindari hingga steroid dihentikan selama

paling sedikit 6 minggu. Selain itu, harus dihindari jika terapi cyclofosfamid atau

cyclosporine A telah diinisiasi.

PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID

14

Page 15: SINDROMA NEFROTIK

Sebagian besar anak datang dengan sembab hebat atau dengan infeksi

berat yang harus ditangani dengan benar sebelum terapi steriod dimulai.

Prednison atau prednisolon merupakan obat pilihan utama untuk terapi.

Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan

sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut :

 Remisi 

Kambuh(Relaps) 

Kambuh tidak sering 

Kambuh sering 

Responsif-steroid

Dependen-steroid 

Resisten-steroid 

Responder lambat 

Nonresponder awal

Nonresponder lambat

 Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4

mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut.

Proteinuria ³ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.

Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.

Kambuh ³ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal,  atau  ³4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.

Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.

Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.

Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.

Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.

Resisten-steroid sejak terapi awal.

Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.

15

Page 16: SINDROMA NEFROTIK

Pengobatan inisial

Sesuai dengan anjuran ISKDC (international study on kidney diseases in

children), pengobatan inisial prednison dimulai dengan dosis penuh (full dose) 2

mg/kg/hari atau 60 mg/m2LPB/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi 3 dosis, untuk

menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal

(berat badan terhadap tinggi badan). Prenison dosis penuh inisial diberikan selama

4 minggu. Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada

80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid

Gb1 Pengobatan inisial dengan kortikosteroid

Keterangan:

Prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPB/hari (2 mg/kgBB/hari)

dibagi 3 dosis diberikan setiap hari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan

prednison 40 mg/m2LPB/hari (2/3 dosis penuh), dapat diberikan secara intermitent

(3 hari berturut-turut dalam 1 minggu) atau alternating (selang sehari), selama 4

minggu.

Bila remisi terjadi dalam 4 minggu pertama, maka prednison

intermitent/alternating 40 mg/m2LPB/hari diberikan selama 4 minggu. Bila remisi

tidak terjadi pada 4 minggu pertama, maka pasien tersebut didiagnosis sebagai

sindrom netritik resisten steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu

pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan

dosis 40 mg/m2LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali

sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh

tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resistan steroid.

16

Page 17: SINDROMA NEFROTIK

Berbagai kelompok pakar menganjurkan bahwa dengan pemberian

prednison dosis penuh selama 6 minggu dilajutkan dengan dosis alternating

selama 6 minggu, akan memperpanjangan remisi dibandingkan dengan dosis

standar 8 minggu. Pada pengamatan 12 bulan pasca terapi, kejadian relaps

menurun menjadi 36,2% vs 81% (dosis standar) (APNkons).

Pada penelitian di jakarta didapatkan kesan adanya penurunan jumlah

relaps pada kelompok yang mendapat steroid lebih lama, tetapi karena jumlah

kasus yang diteladi sedikit, perbedaan ini tidak dapat dinilai secara statistik,(15)

sedangkan penelitian di Surabaya menemukan perbedaan kejadian relaps yang

tidak bermakna.

Sebuah meta-analisis dari penelitian randomized controlled trials

menunjukkan bahwa anak-anak dengan sindrom nefroik sebaiknya diterapi paling

tidak selama 3 bulan.

Pengobatan relaps

Relaps sering didahului oleh infeksi saluran papas atas, yang harus

dideteksi dan diobati secara benar. Pengobatan relaps terdiri dari prednison dosis

penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu kemudian dilanjutkan dengan

prednisone intermitten/alternating 40 mg/m2LPB/ hari selama 4 minggu. Bila

sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga terjadi remisi maka

pasien didiagnosis sebagai sindrom nefrotiok resisten steroid dap harus diberikan

terapi imunosupresif lain.

Prednison yang diberikan setup hari dapat diberikan secara dosis tunggal

atau terbagi; sedangkan dosis alternating diberikan secara dosis tunggal pada pagi

hari. Pernanjangan terapi relaps lebih dari 5-6 minggu tidak diperlukan pada

pasien dengan kambuh tidak sering.

17

Page 18: SINDROMA NEFROTIK

Gb2 Pengobatan sindrom nefrotik relaps

Keterangan:

Prednison dosis penuh setup hari sampai remisi (maksimal 4 minggu)

kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent/alternating 40

mg/m2LPB/hari selama 4 minggu.

Bila sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga terjadi

remisi, maka pasien di diagnosis sebagai SN resisten steroid dap harus di berikan

terapi imunosupresif lain.

Pengobatan sindrom nefrotik relaps Bering atau dependen steroid

Saat ini ada 4 opsi pengobatan sindrom nefrotik relaps Bering dan dependen

steroid, yaitu:

1. Pemberian steroid jangka panjang

2. Pemberian levamisol

3. Pengobatan dengan sitostatik

4. Pengobatan dengan siklosporin

Disamping pengobatan tersebut diatas tidak boleh dilupakan untuk mencari fokus

infeksi seperti misalnya tuberkulosis, infeksi gigi, atau kecacingan.

Faktor risiko terjadinya relaps sering adalah:

a. Onset penyakit pada umur kurang dari 3 tahun

b. Relaps terjadi pada 6 bulan pertama

c. Remisi lambat pada episode awal

18

Page 19: SINDROMA NEFROTIK

1. Steroid jangka panjang

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka

panjang dapat dicoba lebih dahulu sebelum pemberian siklofosfamid (CPA),

mengingat efek samping steroid yang lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan

sebagai sindrom nefrotik relaps sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi

dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis

yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak

menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut

dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba

dihentikan (Gambar 3). Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednison

0,5 mg/ kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating.

Bila terjadi rel~pspada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB

alternating, tetapi 11 < 1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat,

dapat dicoba dikombinasikan dengan levailusol dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari,

selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan CPA. Dibecikaii CPA dengan dosis 2-

3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12 minggu.

2. Levamisof

Levamisol adalah obat dengan efek imunomodulasi sel T. Pemakaian levamisol

pada sindrom nefrotik masih terbatas karena efeknya masih diragukan. Di Jakarta,

penelitian pemberian levamisol pernah dilakukan, tetapi hasilnya kurang

memuaskan. Efek samping levamisol antara lain mual, muntah, dan neutropenia

reversibel.

Oleh karena itu pada saat ini pemberian levamisol belum dapat

direkomendasikan secara umum, keputusan diserahkan kepada dokter spesialis

anak atau dokter spesialis anak konsultan yang mengobati pasien. Levamisol

diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgBB dosis tunggal selang sehari, selama 4-12

bulan.

19

Page 20: SINDROMA NEFROTIK

Gb3 Diagram pengobatan sindrom nefrotik relaps frekuen atau dependen steroid

Keterangan:

1) Langsung diberi CPA (+ prednisonAD.)

2) Sesudah prednison jangka panjang , dilanjutkan dengan CPA

3) Sesudah prednison jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA

20

Page 21: SINDROMA NEFROTIK

3. Sitostatika

Obat sitostatika yang Bering dipakai pada pengobatan sindrom nefrotik

anak adalah siklofosfamid (CPA) dosis 2-3 mg/kgBB selama 8 minggu.

Sitostatika dapat mengurangi relaps sampai lebih dari 50°0, yaitu 67-93% pada

tahun pertama, dan 36-66% selama 5 tahun. APN melaporkan pemberian CPA

selama 12 minggu dapat mempertahankan remisi lebih lama daripada pemberian

CPA selama 8 minggu, yaitu 67% dibandingkan 30%(16kons), tetapi hal ini tidak

dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.

Gb 4 Pengobatan sindrom nefrotik relaps frekuen

Keterangan :

Prednison dosis penuh setup hari sampai remisi (maksimal 4 minggu)

kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent/alternating 40

mg/m2LPB/hari dan imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2-3

mg/kgBB/hari) dosis tunggal selama 8 minggu.

Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada sindrom

nefrotik relaps sering (70%) daripada SN dependen steroid (30%). Efek samping

sitostatika antara lain depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,

azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh

karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi seperti kadar hemoglobin,

leukosit, trombosit, 1-2 kali seminggu. Bila jumlah leukosit kurang dari 3.000/uL,

kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dL, atau jumlah trombosit kurang dari

100.000/uL, sitostatika dihentikan sernentara, dan diteruskan kembali bila jumlah

21

Page 22: SINDROMA NEFROTIK

leukosit lebih dari 5.000/uL, hemoglobin lebih dari 8 g/dL, dan trombosit lebih

dari 100.000/uL.

Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai >

200-300 mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total

180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak. CPA dapat diberikan secara oral

atau puls, baik pada SN relaps sering atau dependen steroid, dengan skerna

pengobatan seperti tampak pada Gambar 4 dan Gambar 5.

4. Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau

sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin (suatu inhibitor calcineurin)

dengan dosis 5-6 mg/kgBB/hari untuk mempertahankan kadar dalam darah (whole

blood trough level) sebesar 50-150 ng/ml(Gambar 3). Pada SN relaps

sering/dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,

sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA

dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping

dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pad SN resister steroid.

Gb5 Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid

22

Page 23: SINDROMA NEFROTIK

Keterangan :

Prednison dosis penuh setup hari sampai temisi (maksimal 4 minggu),

kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puts dengan dosis 500-750

mg/m2LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan

berturut-turut dan prednison intermttent/ alternating 40 mg/m2LPB/hari

selama 12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1

mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari

selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

atau

Prednison dosis penuh setup hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),

kemudian dilanjulkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis

tunggal selama 12 minggu dan prednison alternating 40 mg/m2LPB/hari

selama 12 minggu. Kemudian prednison difapering-off dengan dosis 1

mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari

selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum

memuaskan. Kebanyakan publikasi dalatn literatur tidak dengan subyek kontrol.

Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS sebaiknya dilakukan biopsi

ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi

anatorni tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan

hash lebih baik pada SNKM dibanding GSFS. Demikian pula hasil pengobatan

pada SNRS nonresponder kasep lebih baik daripada SNRS sejak awal (initial non

reponder).

23

Page 24: SINDROMA NEFROTIK

Gb6 Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid.

Keterangan :

Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6

bulan

Prednison dosis 40 mg/met-PB/hari alternating selama pemberian

siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1

mg/kgBB/hari selama 1 bulan, diianjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1

bulan (lama tapering off 2 bulan).

atau

Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus

satu kali sebulan selama 6 bulan, dapat diianjutkan tergantung keadaan pasien.

Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian

siklofosfamid puss (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis

1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjuft. dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1

bulan (lama tapering off 2 bulan).

24

Page 25: SINDROMA NEFROTIK

1. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SNRS dilaporkan dapat menimbulkan remisi

pada 20% pasien. Bila terjadi relaps kembali setelah pemberian CPA, meskipun

sebelumnya merupakan SN resisten steroid, dapat dicoba lagi pengobatan relaps

dengan prednison, karma SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif lagi.

Tetapi bila terjadi resisten atau dependen steroid kembali, dapat diberikan

siklosporin, bila pasien mampu. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat

pada Gambar 6.

CPA puls dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik daripada CPA oral

tetapi jumlah kasus yang dilaporkan hanya sedikit. Yang jelas dosis kumulatif

pada pemberian CPA puts lebih kecil daripada CPA oral, dan efek sampingnya

lebih sedikit, tetapi karma harga CPA puls lebih mahal maka pemakaiannya di

Indonesia masih selektif.

2. Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total

sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.

Efek samping CyA antara lain hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,

hipertrofi ginggiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi

tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan

terhadap:

a. Kadar CyA dalam serum dipertahankan antara 100-200 ug/mL

b. Kadar kreatinin darah berkala

c. Biopsi ginjal berkala setiap 2 tahun

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam

literatur, tetapi karena harga obat ini mahal maka pemakaian CyA jarang atau

sangat selektif.

25

Page 26: SINDROMA NEFROTIK

3. Metil-prednisolon puls

Mendoza dkk (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil-

prednisolon puls selama 82 minggu bersamaan dengan prednison oral dan

siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Pada pengamatan selama 6 tahun,

21 dari 32 pasien (66%) tetap menunjukkan remisi total dan gagal ginjal terminal

hanya ditemukan pada 5% dibandingkan 40% pada kontrol, tetapi hash ini tidak

dapat dikonfirmasi oleh laporan penelitian lainnya. Di samping itu efek samping

metil-prednisolon puls juga banyak, sehingga pengobatan dengan cara ini agak

sukar untuk direkomendasikan di Indonesia.

4. Obat imunosupresif lain

Obat imunosupresif lain yang dipakai pada SNRS adalah vinkristin,

takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur masih

sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum

direkomendasi secara luas di Indonesia.

Pemberian non imunosupresif untuk mengurangi proteinuria

Pada pasien SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik,

dan siklosporin (atau tidak marnpu membeli obat ini), dapat diberikan diuretik

(bila ada edema) dikombinasikan dengan inhibitor ACE (angiotensin converting

enzyme) untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat ini yang biasa dipakai adalah

kaptopril 0.3 mg/kgBB, 3 kali sehari, atau enalapril 0.5 mg/kgBB/hari dibagi 2

dosis. Tujuan pemberian inhibitor ACE juga untuk menghambat terjadinya gagal

ginjal terminal (renoprotektif), dapat dikombinasi dengan golongan anti reseptor

bloker (ARB) misalnya losaktan 0.75 mg/kgBB dosis tunggal.

26

Page 27: SINDROMA NEFROTIK

Pengobatan komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif steroid

maupun SN resisten steroid. Deteksi dini sangat diperlukan sehingga dapat

dilakukan penanggulangan yang cepat.

a. Infeksi

Pada SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis dan

peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen

faktor B dan D dalam urin. Pemakaian obat imunosupresif menambah.risiko

terjadinya infeksi. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman

Gram negatif dan Streptokokus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin

parenteral, dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim

atau seftriakson selama 10-14 hari.

Tabel : Infeksi yang sering terjadi pada pasien SN dan penatalaksanaannya

Infection Clinical features Organisme Treatment

Peritonitis Abdominal pain /

tenderness, diarrhea,

vomiting

Pneumococci,

E.coli,

H.influenzae

ivi Ceftriaxone (or

Cefotaxime) or Ampicilin

with aminoglycoside for

10-14 days

Pneumonia Fever, tachypnea,

cough

Pneumococci,

H.influenzae

Oral Amoxicilin /

Cephalexin/Coamoxiclay

for mild disease ivi

Ceftriaxone or Ampicilin

with Aminoglycoside for

7-10 days for severe

illness

Cellulitis Redness, trendemess

or induration

Beta-hemolytic

streptococci,

H.influenzae,

Ivi Cloxacillin with

Ceftriaxone till resolution

of induration, followed by

27

Page 28: SINDROMA NEFROTIK

pneumoccocci,

staphylococi

Candida,

Aspergillus

oral Cholaxillin and

Cefixime for 10 days

Fungal infection Pulmonary infiltrate,

persistent fever

unresponsive to

antibacterial therapy,

sputum/urine showing

septate hyphae

Candida,

Aspergillus

spp.

Skin, mucosa.

Fluconazole for 10-14

days

Systemic. Amphotericin B

for 14-21 days

Dikutip dari: Bagga A, Menon S. Idiopathic Nephrotic Syndrome: Initial

Management. In: Chiu MC, Yap HK, editors. Practical Paediatric Nephrology -

An Update of Current Practices. Hong Kong: Ivledcom Limited; 2005. p. 109-15.

Tuberkulosis

Prevalensi tuberkulosis dilaporkan cukup tinggi pada anak-anak dengan sindrom

nefrotik terutama di negara-negara berkembang.

Pasien sindrom nefrotik yang menunjukkan uji tuberkulin positif tanpa

gejala lain, sebaiknya diberikan isoniazid profilaksis 5 mg/kg/hari peroral atau

rifampicin 10 mg/kg/hari selama 6 bulan, Anak yang menderita tuberkulosis aktif

harus diobati dengan tempi antituberkulosis standar yang diberikan 2 minggu

sebelum tempi kortikosteroid dimulai.

Profilaksis

Relaps harus diterapi sedini mungkin sebelum sembab menjadi nyata.

Dianjurkan untuk melengkapi imunisasi primer dan vaksinasi terhadap

pneumokokus dan varisela.

Tidak ada evidence-based data yang menganjurkan pemberian antibiotik

profilaksis untuk mencegah risiko infeksi bakteri pada anak dengan sindrom

28

Page 29: SINDROMA NEFROTIK

nefrotik. Beberapa pakar menganjurkan pada anak dengan sembab masif dan

asites untuk diberikan profilaksis dengan penisilin V oral 125-250 mg 2 kali

sehari sampai sembab menghilang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian

antibiotk profilaksis, tetapi perlu dipantau berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda

infeksi segera diberikan antibiotik. Biasanya diberikan antibiotik jenis

amoksisilin, eritromisin, atau sefaleksin.

Imunisasi

Oleh karena kerentanan terhadap infeksi, sangat diperlukan perhatian

untuk melengkapi imunisasi primer.

Pasien yang sedang dalam tempi kortikosteroid 2 mg/kg/hari, atau total 20

mg atau lebih (berat badan lebih dari 10 kg) selama 2 minggu atau lebih harus

diperlakukan sebagai immunocompromised. Pasien tersebut tidak diperbolehkan

mendapatkan vaksin hidup. Vaksin mati aman diberikan.

Vaksin hidup hanya boleh diberikan apabila anak telah lepas steroid

selama 6 minggu. Apabila diperlukan, dapat diberikan pada anak yang mendapat

prednison dengan dosis kurang dari 0,5 mg/kg selang sehari.

Varisela dapat mengakibatkan dampak buruk yang signifikan pada anak-

anak dengan sindrom nefrotik. Apabila seorang anak mengalami kontak dengan

pasien varisela, maka hendaknya diberikan imunoglobulin varicella-zoster 125

iu/10 kg dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat

diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena dengan dosis 400

mg/kg dalam 96 jam setelah eksposur. Bila sudah terjadi infeksi perlu diberikan

obat asiklovir oral 40-60, mg/kg/hari 4 kali sehari selama 5-7 hari dan pengobatan

steroid sebaiknya dihentikan sementara. Vaksinasi varisela dengan dosis 2 kali

selang 4 minggu, dianjurkan untuk diberikan pada pasien non-imun yang telah

mengalami remisi dan lepas kortikosteroid.

Anak-anak yang belum mendapatkan imunisasi campak, perlu diberikan

profilaksis dengan imunoglobulin apabila mereka terekspos dengan pasien

campak.

29

Page 30: SINDROMA NEFROTIK

Imunisasi terhadap pneumokokus dianjurkan untuk semua anak dengan

sindrom nefrotik yang berusia lebih dari 2 tahun, selama masa remisi dan lebih

baik lagi pada masamasa mereka tidak mendapatkan steroid setup hari. Booster

dapat diberikan setup 5 tahun bagi anak-anak yang mendapatkan imunisasi inisial

sebelum berusia 5 tahun dan masih mengalami relaps berlanjut.

Imunisasi hepatitis B diberikan saat remisi.

Saudara kandung pasien sindrom nefrotik yang mendapat terapi

imunosupresan jangka panjang sebaiknya diberikan imunisasi polio inaktif

daripada polio oral. Sebaiknya juga diberikan imunisasi MMR dan varisela.

Tromboemboli

Pada SN dapat terjadi trombosis karena adanya hiperkoagulasi,

peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, dan penurunan kadar antitrombin III.

Trombosis dapat terjadi di dalam versa maupun arteri. Adanya dehidrasi

menin(ykatkan kemungkinan terjadinya trombosis.

Pencegahan tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian aspirin

dosis rendah (80 mg) dan dipiridamol, tetapi sampai saat ini belum ada studi

terkontrol terhadap efektivitas penggunaan obat ini. Heparin diberikan bila sudah

terjadi trombosis.

Hiperlipidemia

Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol

LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa), sedangkan kolesterol HDL

menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik.

Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat

sementara, cukup dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid dapat

dipertimbangkan pemberian obat penurun lipid seperti questran, derivat fibrat dan

inhibitor HmgCoA reduktasia (statin), karena biasanya peningkatan kadar lemak

tersebut berlangsung lama, tetapi manfaat pemberian obat tersebut masih

diperdebatkan.

30

Page 31: SINDROMA NEFROTIK

Hipokalsemia

Pada SN dapat terjadi hipokalsernia karena:

1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan

osteopenia

2. Kebocoran metabolit vitamin D

Oleh karena itu pada SN relaps sering dan SN resisten steroid dianjurkan

pemberian suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi

tetani, diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgBB intravena.

Hipovolemia

Pemberian diuretik yang berlebihan, pasca episode sepsis, muntah atau

diare atau dalam keadaan SN relaps dapat mengakibatkan hipovolernia dengan

gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan Bering disertai sakit perut.

Pada pemeriksaan akan didapatkan peningkatan hematokrit, BUN dan asam urat.

Pengukuran kadar natrium urin dan ekskresi fraksionalnya (FENa)

berguna untuk asesmen status cairan. Kadar natrium urin kurang dari 10 mmol/1,

atau FENa kurang dari 1% (diukur pada saat anak belum mendapat diuretik

selama 6-8 jam terakhir) merupakan tanda karakterisitik hipovolemia. Rasio kadar

kalium urin terhadap jumlah kalium dan natrium urin [Uk+ / (Uk

+ + UNa+)] lebih

dari 60% juga merupakan tanda hipovolemia.

Pasien harus segera diberikan infus NaCl fisiologik 20 ml/kg dalam waktu

1-2 jam dan disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau plasma 20 ml/kgBB (tetesan

lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap

oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB intravena. Pemberian albumin harus

hati-hati karena risiko terjadinya sembab paru.

KOMPLIKASI

1. Infeksi

31

Page 32: SINDROMA NEFROTIK

Anak-anak dengan NS berada pada risiko yang lebih tinggi terkena infeksi,

sebagian karena penyakit itu sendiri dan sebagian karena terapi imunosupresif.

Mereka memiliki kecenderungan yang kuat untuk infeksi pneumokokus. Beberapa

ahli mengusulkan bahwa anak-anak dengan NS diberikan profilaksis penisilin

selama relaps dari penyakit ini. Penting untuk diingat bahwa bakteri gram negatif

menyebabkan proporsi yang signifikan dari infeksi pada anak-anak

dengan NS, dan sampai organisme telah diidentifikasi dalam pasien tertentu,

antibiotika spektrum luas harus ditentukan. Pasien pada obat-obatan

imunosupresif, jika terkena infeksi varicella, sebaiknya menerima imunoglobulin

zoster dalam waktu 72 jam. Pasien dengan varicellaharus ditangani dengan infus

asiklovir.

2.Hipovolemia

Shock dan hipovolemia umumnya terjadi pada perkembangan edema.

Kehilangan cairan selama diare, muntah, sepsis dan terapi diuretik secara gegabah

memicu terjadinya hipovolemia. Tanda-tanda klinis dan gejala termasuk kram

pusat perut parah dengan atau tanpa muntah, penurunan output urine, kaki dingin,

tekanan darah rendah atau hipertensi reaktif. Laboratorium temuan natrium urin

rendah (<10 mEq / l) dan hematokrit meningkat menandakan shock hipovolemik.

pengobatan sangat penting dan infus koloid adalah andalan pengobatan; 4,5%

albumin, albumin 20% atau plasma harus diinfus perlahan-lahan di bawah

pengawasan hati-hati. Jika terjadi edema paru, infus harus dihentikan dan

diberikan furosemid intravena (1 mg / kg).

3. Hipertensi

Dalam sindrom nefrotik sensitive steroid (SSNS), tekanan darah biasanya

normal. Namun, hipertensi pada anak dengan SSSN harus dievaluasi sangat hati-

hati. Ini mungkin mencerminkan hipervolemia atau vasokonstriksi ekstrim dalam

menanggapi hipovolemia dimediasi melalui sistem renin-angiotensin. kemudian,

kadar natrium urin akan sangat rendah. Jika tekanan darah melebihi batas normal,

terapi singkat antihipertensi dapat ditentukan setelah hipovolemia tidak

32

Page 33: SINDROMA NEFROTIK

diperhitungkan. Umumnya obat antihipertensi yang digunakan adalah nifedipin,

hydralazine atau atenolol. Diuretik sangat berguna ketika hipertensi diakibatkan

overload cairan

4. Trombosis

Anak-anak dengan sindrom nefrotik dapat berkembang menjadi

thrombosis arteri dan vena. Kejadian thrombosis karena kombinasi factor

hemodinamik dan status hiperkoagulasi yang berhubungan dengan sindrom

nefrotik. Ini terjadi kehilanngan antitrombus melalui urine, sehingga

meningkatkan resiko terjadinya thrombosis pada sindrom nefrotik.

5. Gagal Ginjal Akut

Gagal ginjal akut sangat jarang terjadi pada SSNS, tetapi derajat ringan azotemia

prerenal terlihat dalam hubungan hipovolemia yang merespon penggantian

volume.

6. Osteoporosis

Risiko osteoporosis terpengaruh-steroid memiliki implikasi signifikan

jangka panjang. Faktor prediktif massa tulang yang rendah adalah usia lebih tua

saat onset, asupan kalsium yang rendah dan dosis steroid kumulatif.

7. Gizi Buruk :

Kehilangan protein darah terlalu banyak dapat mengakibatkan kekurangan

gizi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, tapi tertutupi oleh adanya

pembengkakan.

PROGNOSIS

33

Page 34: SINDROMA NEFROTIK

Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera

dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme

kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit

memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.

Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya

terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.

Factor yang paling penting dalam menentukan prognosis anak- anak

dengan sindrom nefrotik adalah kemampuan merespon steroid. Sementara lebih

dari 70 persen anak-anak dengan sindrom nefrotik sensitive steroid relaps dan

hamper 50 persen memiliki relaps sering atau tergantung steroid, resiko mereka

untuk progersi kearah gagal ginjal kronis minimal. Studi-studi pada sajarah alam

menunjukkan bahwa 15-25 persen pasien dapat berlanjut menjadi relaps setelah

10-15 tahun setelah onset penyakit.usia muda pada onset dan relaps sering selama

masa anak berhubungan dengan relaps pada masa dewasa.

Secara garis besar, prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-

keadaan sebagai berikut :

Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas

6 tahun.

Disertai oleh hipertensi.

Disertai hematuria.

Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.

Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi

respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%

di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10%  tidak memberi respons lagi

dengan pengobatan steroid.

DAFTAR PUSTAKA

34

Page 35: SINDROMA NEFROTIK

1. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Kompendium

Nefrologi Anak. 2011.IDAI. Jakarta,

2. Lestari, Sukmarini, Sindrom Nefrotik. [online] 2009: www. fk-ui.com

3. Noer, MS. Pedoman Diagnosa dan Terapi Ilnau Kesehatan Anak. 2008:

RSUD dr. Soetorno Surabaya.

4. Wigya, IGN. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. 2004: FKUI. Jakarta.

5. Kasper, Dennis, M. 2005. Harrison's Principles of Internal Medicine, edisi 16.

New York. McGraw-Hill.

6. Komite Medik RSUD dr. Soebandi. 2002. Pedoman Diagnosis dan Terapi

SMF Ilmu Kesehatan Anak, Sindrom Nefrotik. Jember.

7. Anonim. Sindroma Nefrotik Ilmu Kesehatan Anak. [online] 2010:

www.scrib.com.

8. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website:

Indonesia Kidney Care Club. [cited 2010, Dec 12]. Available:

http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170

9. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan

Pelayanan Medik PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009

10. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006 53. Website: kalbe farma. [cited

2010, Nov 28]. Available:

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.

pdf/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.html

11. Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17,

2010. [cited Dec 05, 2010]. Available:

http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview

12. Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M. Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran., edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2001

35

Page 36: SINDROMA NEFROTIK

13. Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelpia:

Elsevier saunders. 1996

14. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-

hill.2001

15. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:

vol.336.Website: BMJ. [cited 2010 Dec, 20]

16. Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In :

Webb NJ.A, Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3rd ED.

Great Britain: Oxford Universsity Press., 197-22

17. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrison’s Manual Of

Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-806

18. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th ed. Jakarta: IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549

19. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA

Davis Company; 2007

20. Stephen JM, William G. Nephrotic Syndrome. Pathophysiology of Disease.

5th ed. USA: Lange-Mc Graw Hill. 2003. Page: 476-477

36