Post on 25-Oct-2015
1
I. JUDUL
Pengaruh Kombinasi Basis PEG 6000 dan PEG 600 terhadap Sifat Fisik
Suppositoria Ekstrak Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff).
II. INTISARI
Daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) telah diyakini secara empiris
memiliki kemampuan untuk mengobati wasir. Secara tradisional masyarakat
menggunakan daun ungu dengan cara direbus. Untuk mendapatkan sediaan yang
praktis dan mudah digunakan, maka daun ungu diformulasikan dalam bentuk
sediaan suppositoria. Suppositoria diformulasikan menggunakan kombinasi basis
PEG 6000 dan 600. Penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk mengetahui
pengaruh kombinasi PEG 6000 dan 600 terhadap sifat fisik suppositoria ekstrak
etanol daun ungu.
Suppositoria dibuat dengan metode peleburan dan ekstrak daun ungu
diperoleh dengan cara soxhletasi. Suppositoria dibuat dalam 5 formula dengan
berbagai perbandingan PEG 6000 dan PEG 600 yaitu untuk FI 90:10; FII 85:15;
FIII 80:20; FIV 75:25 dan FV 70:30. Suppositoria dibuat dengan berat masing-
masing 2 g. Suppositoria yang dihasilkan diuji sifat fisiknya meliputi: uji titik
lebur, uji waktu lebur, dan uji kekerasan. Hasil pengujian sifat fisik kemudian
dianalisis menggunakan uji statistik ANOVA satu jalan dengan taraf kepercayaan
95%, dilanjutkan uji Tuckey apabila terjadi perbedaan yang bermakna
III. LATAR BELAKANG
Hemorrhoid merupakan sejenis penyakit atau gangguan pada anus. Saat
ambeien bibir anus mengalami pembengkakan yang terkadang disertai
2
pendarahan. Gangguan ini biasa terjadi karena kebiasaan mengejan saat buang air
besar. Selain itu, ambeien juga bisa terjadi karena terlalu banyak duduk atau
berdiri, kesalahan dalam melakukan gerakan pada olahraga tertentu misalnya pada
olahraga angkat beban atau olahraga pernapasan, dan dapat terjadi pada wanita
hamil (Suseno, 2013).
Upaya untuk mengatasi hemorhoid itu sendiri salah satunya adalah dengan
penggunaan sediaan suppositoria yang mengandung bahan alam berasal dari
tanaman. Salah satu tanaman yang dapat mengobati hemorrhoid adalah daun ungu
(Graptophyllum pictum (L.) Griff). Daun ungu mengandung senyawa aktif
diantaranya adalah alkaloid non toksik, flavonoid, glikosid, steroid, saponin,
tanin, kalsium oksalat, asam format, triterpena, alkaloida, yang dapat digunakan
untuk mengobati wasir dan mengempiskan wasir (Suseno, 2013).
Secara empiris menurut Suseno (2013), untuk mengobati wasir digunakan
15 lembar dengan cara direbus menggunakan air sebanyak 1 liter dan disisakan
menjadi 2 gelas diminum 2 kali sehari masing-masing 1 gelas. Penggunaan secara
empiris ini kurang praktis, tidak acceptable, dosis kurang seragam serta kurang
higienis. Maka dari itu perlu dibuat suatu sediaan yang inovatif dan siap
digunakan sewaktu-waktu yaitu dalam bentuk suppositoria.
Suppositoria merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi berbentuk padat
yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo dan meleleh pada
suhu tubuh. Suppositoria sangat berguna bagi pasien dengan kondisi yang tidak
memungkinkan dengan terapi obat secara peroral, misalnya pada pasien muntah,
3
mual, tidak sadar, anak-anak, orang tua yang sulit menelan dan selain itu juga
dapat menghindari metabolisme obat di hati (Voight, 1994).
Basis suppositoria memiliki peranan penting dalam kecepatan pelepasan
obat baik untuk sistemik maupun lokal. Kemungkinan adanya interaksi antara
basis dengan zat aktif secara kimia dan atau fisika akan dapat mempengaruhi
stabilitas atau bioavaibilitas dari obat. Polietilenglikol (PEG) merupakan salah
satu bahan yang dapat digunakan untuk basis suppositoria. Suppositoria dengan
menggunakan basis polietilenglikol memiliki beberapa keuntungan karena
sifatnya yang inert, tidak mudah terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur
dan dapat dikombinasikan berdasarkan bobot molekulnya sehingga didapatkan
suatu basis supositoria yang dikehendaki beda (Lachman dkk., 1986).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Hutomo (2008), yaitu Pengaruh
Penambahan Cera Flava terhadap Sifat Fisik Ekstrak Daun Ungu menyebutkan
bahwa perbedaan variasi penambahan cera flava menghasilkan suppositoria
dengan sifat fisik yang berbeda. Basis oleum cacao dengan cera flava 5%
memberikan sifat fisik suppositoria yang paling baik meliputi keseragaman bobot,
kekerasan, suhu lebur, dan waktu lebur.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai pengaruh kombinasi PEG 6000 dan PEG 600 terhadap sifat fisik
suppositoria ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff).
IV. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, perumusan masalah dari penelitian yang
akan dilakukan yaitu: Bagaimanakah pengaruh kombinasi basis PEG 6000 dan
4
PEG 600 terhadap sifat fisik suppositoria ekstrak daun ungu (Graptophyllum
pictum (L.) Griff)?
V. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan yaitu: untuk mengetahui
pengaruh kombinasi basis PEG 6000 dan PEG 600 terhadap sifat fisik
suppositoria ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff).
VI. PENTINGNYA SKRIPSI DIUSULKAN
Hasil dari penelitian yang akan dilakukan diharapkan memperkaya data
ilmiah tentang obat tradisional di Indonesia dan sebagai acuan membuat sediaan
yang inovatif dari bahan alam terutama daun ungu (Graptophyllum pictum (L.)
Griff) dalam bentuk suppositoria.
VII. KEASLIAN PENELITIAN
Berdasarkan penelusuran pustaka yang telah dilakukan, dilaporkan sampai
saat ini belum ditemukan penelitian mengenai pengaruh kombinasi basis PEG
6000 dan PEG 600 terhadap sediaan suppositoria ekstrak daun ungu
(Graptophyllum pictum (L.) Griff). Tetapi ditemukan penelitian serupa, yaitu :
1. Pengaruh Penambahan Cera Flava terhadap Sifat Fisik Suppositoria Ekstrak
Etanol Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) dengan Basis Berlemak
(Oleum Cacao) (Hutomo, 2008).
2. Formulasi Sediaan Suppositoria Ekstrak Etanol Daun Ungu (Graptophyllum
pictum (L.) Griff) dalam Basis Oleum Cacao dengan Penambahan Cera Alba
(Nursal dan Widayanti, 2010).
5
3. Pemeriksaan Senyawa-Senyawa Turunan Fenol Daun Handeuleum
(Garaptophyllum Pictum) (L.) Griff) (Isnawati dan Soediro, 1982).
4. Aktivitas Antibakteri dan Analisis Kandungan Kimia Daun Ungu
(Garaptophyllum Pictum) (L.) Griff) (Sitompul dan Nainggolan, 2002).
VIII. TINJAUAN PUSTAKA
A. Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff)
Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) adalah tanaman obat yang
sangat populer, yang berkhasiat mengobati wasir (hemorrhoid) atau ambeien. Di
sunda daun ini sering disebut dengan nama daun handeulum, sedangkan di
Yogyakarta daun ungu lebih sering disebut dengan nama daun wungu. Orang Bali
menyebut daun ungu dengan nama temen, karotong (Madura), daun putrid dan
dongora ( Ambon), dank obi-kobi (Ternate) (Suseno, 2013).
Daun ungu merupakan tanaman perdu yang memiliki batang tegak,
ukuran kecil, dan tingginya dapat mencapai 1,5 – 3 meter.
Tanaman ini biasanya tumbuh liar di pedesaan atau sengaja
ditanam sebagai tanaman hias karena memiliki warna daun dan
bunga yang menarik dan dapat juga dijadikan tanaman pagar
(Thomas, 1992; Wijayakusuma dkk., 1991). Gambar daun ungu
dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini:
6
Gambar 1. Daun ungu.
Tumbuhan daun ungu memiliki batang yang berwarna ungu dengan
penampang batang yang mirip segitiga tumpul. Tumbuhan ini juga lebih
menyerupai perdu dengan tinggi yang bisa mencapai 3 meter. Susunan dari daun
ungu ini adalah posisi daun yang letaknya beradu muka dengan bunga dan
tersusun dalam serangkaian tandan berwarna merah tua (Suseno, 2013).
Klasifikasi daun ungu menurut dapat dilihat di bawah ini:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Ordo : Lamiales.
Family : Acanthaceae.
Genus : Graptophyllum.
Spesies: Graptophyllum pictum
Sinonim : Handeuleum / Justicia picta L. (Heyne, 1987)
7
Daun ungu memiliki nama ilmiah Graptophyllum pictum, (L.), Griff
atau Graptophyllum hortense, Ness dan di beberapa daerah memiliki nama yang
berbeda yaitu: Demung, Tulak, Wungu (Jawa), Daun Temen-temen, handeuleum
(Sunda), Kerotong (Madura), Temen (Bali), Daun Putri, Dongora (Ambon), Kobi-
kobi (ternate) (Heyne, 1987).
Kandungan kimia yang berada di daun ungu diantaranya alkoloid
nontoksik, flavonoid, glikosid, steroid, polifenol, saponin, tanin, lendir (Ardi,
1987; Purawinata, 1990; Suwarni, 1993; Wijayakusuma dkk., 1995; Suseno,
2013).
Tanaman ini dikenal mampu mengobati berbagai macam penyakit.
Kandungan tersebut menyebabkan daun ungu ini memiliki sifat sebagai anti
inflamasi, Peluruh air seni, mempercepat pemasakan bisul, pencahar ringan,
pelembut kulit kaki, melunakkan feaces, mengempiskan wasir (Suseno, 2013).
Ramuan tradisional daun ungu dapat digunakan dengan cara merebus 15
helai daun ungu, kunyit sebesar ibu jari, dan sedikit gula aren dengan 4 gelas air
sampai airnya tinggal 2 gelas saja. Disaring ramuan tersebut, lalu diminum secara
rutin 2x sehari, masing-masing 1 gelas (Suseno, 2013).
B. Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan sari pekat yang dibuat dengan menyari simplisia
baik tumbuh-tumbuhan atau hewan, dimana sari diperoleh dengan cara
melepaskan zat aktif dari masing-masing bahan obat menggunakan pelarut yang
cocok. Jika menstrum diuapkan maka akan diperoleh sisa endapan atau serbuk
yang dapat ditetapkan standarnya (Ansel, 1989).
8
Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan zat aktif yang
semula berada di sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam
cairan hayati. Metode dasar penyarian adalah maserasi, perkolasi, daan soxhletasi.
Pemilihan terhadap ketiga metode tersebut disesuaikan dalam memperoleh sari
yang baik (Depkes RI, 1986). Salah satu metode ekstraksi yang sering digunakan
di dalam penyarian adalah sokhletasi (Ansel, 1989).
Metode dasar dalam mengekstraksi bahan obat dapat digunakan beberapa
cara diantaranya adalah infundasi, maserasi, perkolasi dan penyarian
berkesinambungan menggunakan alat soxhlet. Pemilihan metode ekstraksi
didasarkan pada beberapa factor seperti sifat bahan mentah obat dan daya
penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi serta keinginan dalam
memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna dari obat (Ansel,
1989).
Soxhletasi merupakan cara ekstraksi panas dengan menggunakan pelarut
yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi
ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik (Depkes RI, 2000). Soxhletasi selain membutuhkan bahan pelarut dalam
jumlah kecil juga ekstrak secara terus-menerus diperbaharui artinya dimasukkan
bahan pelarut bebas bahan aktif (pembaharuaan terus menerus dari perbedaan
konsentrasi). Bahan yang diekstraksi berada dalam sebuah kantong ekstraksi di
dalam sebuah alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinyu (Voight, 1994).
Kekurangan soxhletasi yaitu dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk ekstraksi
sehingga membutuhkan energi yang tinggi (listrik, gas) (Voight, 1994).
9
Penyari air selain melarutkan garam alkaloid, minyak menguap, glikosida,
tannin dan gula, juga dapat melarutkan gom, pati, protein, lender, enzim, lilin,
lemak, pectin, zat warna dan asamorganik. Penggunaan air sendiri sebagai cairan
penyari kurang menguntungkan karena disamping zat aktif ikut tersari, zat lain
yang tidak diperlukan juga ikut tersari sehingga akan mengganggu proses
pembuatan sari (Depkes RI, 1986).
Penyari etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena memiliki sifat
yang lebih selektif jika dibandingkan air, selain itu etanol pada kadar diatas 20%
membuat kapang dan kuman sulit tumbuh. Etanol tidak beracun, bersifat netral,
memiliki absorbs yang baik, dapat bercampur dengan air pada segala
perbandingan dan untuk proses pemekatan memerlukan panas yang lebih sedikit.
Penyari etanol maupun methanol dalam proses ekstraksi dapat memerlukan
alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, antrakinon, flavanoid,
steroid, dammar dan klorofil, sedangkan lemak, malam, tannin dan saponin hanya
sedikit larut, dengan demikian zat pengganggu yang larut akan terbatas (Depkes
RI, 1986).
C. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi merupakan teknik pemisahan campuran menjadi
komponen-komponenya. Kromatografi ini mempunyai satu keunggulan dari segi
kecepatan dari kromatografi kertas, proses ini membutuhkan hanya setengah jam
saja, sedangkan pemisahan yang umum pada kertas membutuhkan waktu
beberapa jam. TLC sangat terkenal dan rutin digunakan di berbagai laboratorium
(Day dan Underwood, 2002).
10
Media pemisahannya adalah lapisan setebal sekitar 0,1 sampai 0,3mm zat
padat adsorben pada lempeng kaca, plastik, atau aluminium. Lempeng yang
paling umum digunakan berukuran 8,2 inci. Zat padat yang umum digunakan
adalah alumina, silika gel, dan selulosa. Para peneliti biasanya menyiapkan
lempengannya sendiri dengan melapisi lempeng kaca dengan zat padat tersuspensi
encer,yang biasanya mengandung zat pengikat seperti plester paris, dan kemudian
mengeringkan lempengan di dalam oven. Lempeng dan lembaran kaca dari plastik
dan alumunium foil, telah dilapis sebelumnya,yang dapat dipotong dengan
gunting sudah diperjualbelikan, dan mayoritas dari peneliti sekarang
menggunakan lempengan jenis ini (Day dan Underwood, 2002).
Sampel yang biasanya berupa campuran senyawa organik diteteskan di
dekat salah satus sisi lempengan dalam bentuk larutan dengan jumlah kecil,
biasanya beberapa mikroliter berisi sejumlah mikrogram senyawa. Sebuah
suntikan hipodermik atau sebuah pipet gelas kecil dapat digunakan. Noda Sampel
dikeringkan, dan kemudian sisi lempengan tersebut dicelupkan ke dalam fasa
bergerak yang sesuai. Pelarut bergerak naik di sepanjang lapisan tipis zat padat di
atas lempengan, dan bersamaan dengan pergerakan pelarut tersebut, zat terlarut
sampel dibawa dengan laju yang tergantung pada kelarutan zat terlarut tersebut
dalam fasa bergerak dan interaksinya denagn zat padat setelah garis depan pelarut
bergerak sekitar 10 cm, lempengan dikeringkan dan noda-noda zat terlarutnya
diperiksa seperti pada kromatografi kertas. Percobaan berdimensi dua dengan
menggunakan dua fasa bergerak yang berbeda sering dilakukan: disini lempengan
berbujur sangkar lebih banyak digunakan dari pada lempengan yang sempit.
11
Pemisahan dapat diikuti oleh penentuan kuantitatif, dimana sebuah noda
diletakkan, adsorben dapat dikerok dari lempengan dengan menggunakan spatula,
zat terlarutnya beresolusi dari bahan padat bersama-sama pelarutnya, dan
konsentrasi dari larutan ditentukan dengan suatu teknik seperti spektrofotometri
(Day dan Underwood, 2002).
Bersama-sama dengan kromatrografi kertas, TLC kadang-kadang disebut
kromatografi planar. Tidak ada cara yang mudah dalam mengelusi komponen
sampel dari lempengan (atau kertas) untuk melintasi sebuah detektor, tetapi telah
dikembangkan peralatan untuk mengamati lempengan dengan sifat-sifat sampel
seperti itu seperti adsorpsi sinar ultraviolet dan perpedaran (fluorescence). Jadi,
tidaklah adil untuk dikatakan bahwa TLC akhir-akhir ini mencakup pemasukan
lapisasn berpartikel halus dengan ukuran distribusi yang sempit yang sangat
efisien jika ditinjau dari HETP. Pendeteksian yang lebih sensitif memungkinkan
pengguna sampel-sampel yang lebih kecil (katakanlah 0,1 atau 0,2 µL) pada
lempengan TLC. Pemisahan yang efektif dapat diperoleh setelah pergerakan
pelarut sejauh 3 sampai 6 cm, dan 18 sampai 36 sampel dapat dijalankan secara
simultan dengan jalur pararel pada lempengan. Status terknik TLC baru-baru telah
dijelaskan dengan lebih rinci (Day dan Underwood, 2002).
Zat penyerap pada KLT merupakan lapisan tipis serbuk halus yang
dilapiskan pada lempeng kaca, plastik atau logam secara merata, umumnya
digunakan lempeng kaca (Depkes, 1995). Kromatografi lapis tipis memiliki
kelebihan dibanding kromatografi kertas yaitu keserbagunaan, kecepatan dan
12
kepekaan. Sedangkan kekurangannya terletak pada kerja penyalutan pelat kaca
dengan penjerap (Harboure, 1987).
D. Suppositoria
Supositoria adalah suatu bentuk sediaan obat padat yang umumnya
dimaksudkan untuk dimaksukkan ke dalam rectum, vagina. Bobot supositoria
adalah 3 gram untuk orang dewasa dan 2 gram untuk anak-anak (Anief, 1997).
Tujuan penggunaan suppositoria diantaranya adalah :
1. Untuk tujuan lokal, seperti pada pengobatan wasir atau hemoroi dan penyakit
infeksi lainya. Supositoria juga dapat digunakan untuk tujuan sistemik karena
dapat diserap oleh membran mukosa dalam rektum. Hal inir dilakukan
terutama bila penggunaan obat per oral tidak memungkinkan, seperti pada
pasien yang mudah muntah atau pingsan.
2. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih cepat
karena obat diserap oleh mukosa rektal dan langsung masuk ke dalam
sirkulasi pembuluh darah.
3. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran
gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati.
4. Bentuknya yang seperti torpedo menguntungkan karena suppositoria akan
tertarik masuk dengan sendirinya bila bagian yang besar masuk melalui oto
penutup dubur.
5. Supositoria dapat menghindari terjadinya iritasi obat pada lambung.
6. Obat dapat langsung masuk ke dalam saluran darah sehingga efeknya lebih
cepat daripada panggunaan obat secara oral.
13
E. Basis Suppositoria
Bahan dasar atau basis yang digunakan untuk membuat supositoria harus
dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar yang sering
digunakan adalah lemak cokelat (oleum cacao), polietilenglikol (PEG), lemak
tengkawang (oleum shoreae), atau gelatin (Voigt, 1994).
1. Lemak coklat
Lemak ini merupakan senyawa trigliserida, berwarna kekuning-
kuningan, dan baunya khas. Jika dipanaskan sekitar 30ºC, lemak coklat
mulai mencair dan akan meleleh pada suhu 34ºC – 35ºC. Jika dibawah suhu
30ºC zat ini merupakan massa semi padat yang mengandung lebih banyak
kristal (polimorfisme) daripada trigliserida padat. Bila dipanaskan pada suhu
tinggi, lemak coklat mencair sempurna seperti minyak tetapi akan
kehilangan semua inti kristalnya yang berguna untuk memadat. Lemak
coklat akan mengkristal dalam bentuk kristal metastabil bila didinginkan
dibawah 1ºC. Oleh karena itu, pemanasan lemak coklat sebaiknya dilakukan
sampai meleleh dan bisa dituang sehingga tetap memiliki inti kristal bentuk
stabil. Agar titik lebur naik. Lemak coklat dapat ditambahkan cera atau
cetaseum. Penambahan cera flava dapat menaikan daya erap lemakk cokelat
terhadap air. Lemak coklat sangat cepat membeku pada saat pengisian
massa supositoria ke dalam cetakan dan akan terjadi penyusutan volume
pada saat pendinginan hingga terbentuk lubang di atas massa. Maka dari itu,
pada saat melakukan pengisian cetakan harus diisi berlebih dan kelebihanya
dipotong setelah massa menjadi dingin.
14
Lemak coklat memiliki beberapa bentuk polimorfisme, yaitu:
Bentuk gamma tidak stabil yang melebur pada suhu 18ºC, bentuk alfa yang
melebur pada suhu 22ºC, bentuk beta tidak stabil melebur pada suhu 28ºC,
bentuk beta stabil yang melebur pada suhu 34,5ºC.
2. Polietilenglikol (PEG) atau carbowax
PEG adalah polimerasi etilenglikol dengan bobot molekul 300-
6000 (dalam perdagangan yang tersedia carbowax 400, 1000, 1500, 4000,
6000). PEG yang bobotnya kurang dari 1000 merupakan zat cair, sedangkan
yang memiliki bobot molekul di atas 1000 berupa padatan lunak aseperti
malam.
Bila dibandingkan lemak cokelat supositoria berbahan dasar PEG
lebih dipilih karena memiliki keuntungan mudah larut dalam cairan rektum,
tidak ada modifikasi titik lebur yang berarti, dan tidak mudah meleleh pada
penyimpanan suhu kamar. Selain itu basis PEG tidak toksik, mudah
bercampur dengan obat, stabil atau tidak meleleh saat penyimpanan dan
dapat melarut dalam cairan tubuh (Lachman dkk., 1986).
IX. LANDASAN TEORI
Salah satu tanaman yang dapat mengobati hemorrhoid adalah daun ungu
(Graptophyllum pictum (L.) Griff). Daun ungu mengandung senyawa aktif antara
lain: alkaloid non toksik, flavonoid, glikosid, steroid, saponin, tanin, kalsium
oksalat, asam format, triterpena, alkaloida, yang dapat digunakan untuk
mengobati wasir dan mengempiskan wasir (Suseno, 2013).
15
Penelitian yang telah dilakukan oleh Hutomo (2008), yaitu “ Pengaruh
Penambahan Cera Flava terhadap Sifat Fisik Ekstrak Daun Ungu”, menyebutkan
bahwa perbedaan variasi penambahan cera flava menghasilkan suppositoria
dengan sifat fisik yang berbeda. Basis oleum cacao dengan cera flava 5%
memberikan sifat fisik suppositoria yang paling baik meliputi keseragaman bobot,
kekerasan, suhu lebur, dan waktu lebur.
Polietilenglikol (PEG) merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan
untuk basis suppositoria. Suppositoria dengan menggunakan basis polietilenglikol
memiliki beberapa keuntungan karena sifatnya yang inert, tidak mudah
terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur dan dapat dikombinasikan
berdasarkan bobot molekulnya sehingga didapatkan suatu basis supositoria yang
dikehendaki beda (Lachman dkk., 1986).
X. HIPOTESIS
Kombinasi basis PEG 6000 dan PEG 600 berpengaruh terhadap sifat fisik
suppositoria ekstrak etanol daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) yaitu
titik lebur, waktu leleh, dan uji kekerasan.
XI. METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian eksperimental
dengan rancangan penelitian dibuat formulasi dengan variasi konsentrasi
PEG (polietilen glikol) terhadap sifat fisik sediaan suppositoria ekstrak
etanol daun ungu.
16
B. Variabel Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian
eksperimental dengan beberapa variabel, yaitu:
1. Variabel bebas : kombinasi basis PEG 600 dan PEG 6000 dalam
berbagai kadar.
2. Variabel tergantung : sifat fisik suppositoria yaitu titik lebur, waktu
leleh dan kekerasan.
3. Variabel terkendali : metode pembuatan suppositoria.
C. Bahan dan Alat
1. Bahan Penelitian
a. Bahan Tanaman
Simplisia yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah adalah
simplisia daun ungu jenis (Graptophyllum pictum (L.) Griff) diperoleh dari
daerah Semarang pada bulan april 2013.
b. Bahan kimia
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian antara lain PEG
6000 dan PEG 600, Aquadest, Cera alba, Bentonit.
2. Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan simplisia dan serbuk daun
ungu adalah pisau, blender (Maspion), tampah, kain hitam, toples, sampul
coklat, solasi.
17
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan ekstrak daun ungu
adalah Soxhletasi, alat-alat gelas, botol warna gelap, corong pisah, timbangan
elektrik (Ohaus), thermostatic waterbath (Memmert).
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan suppositoria ekstrak
daun ungu yaitu: Timbangan analitik (Shimadzu type AY220), alat-alat gelas
(Iwaki-pyrex), mortir dan stamper, cetakan suppositoria, alat uji kekerasan
suppositoria, alat uji waktu leleh, alat uji titik lebur Stuart.
Alat yang digunakan dalam uji kromatografi lapis tipis untuk
mengetahui kandungan kimia adalah lempeng KLT, bejana kromatografi,
pipa kapiler, alat penampak bercak, sinar UV λ254 dan lampu UV λ366.
D. Jalannya Penelitian
1. Pengumpulan Bahan
Simplisia yang digunakan berasal dari daun ungu (Graptophyllum
pictum (L.) Griff) yang diperoleh dari daerah sekitar Perumahan
Pedurungan Semarang (Jawa tengah).
2. Determinasi Tanaman
Determinasi dilakukan di Laboratorium Ekologi dan
Biosistematika Jurusan Biologi Fakultas MIPA Undip Semarang. Hal
iniuntuk membuktikan bahwa tanaman yang digunakan adalah tanaman
daun ungu jenis (Graptophyllum pictum (L.) Griff).
3. Pembuatan Simplisia
a. Sortasi basah, dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan kotoran atau
bahan lainnya yang mungkin mengotori tanaman.
18
b. Pencucian, dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran yang
melekat pada tanaman. Pencucian dilakukan menggunakan air bersih
yang mengalir dan dibilas sampai 2 kali.
c. Pengeringan, dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kadar air
dalam daun dan untuk menghentikan proses enzimatik sehingga
simplisia tidak mudah busuk dan rusak. Pengeringan dilakukan dengan
cara dikeringkan dibawah sinar matahari
d. Penyimpanan, Penyimpanan dilakukan dengan cara memasukkan
serbuk ke dalam kantong plastik, kemudian disimpan dalam toples kaca
tertutup rapat dan diberi silika gel.
4. Pembuatan Ekstrak Daun Ungu
Pembuatan ekstrak pada penelitian ini dilakukan dengan menyari
serbuk daun ungu menggunakan metode soxhletasi. Proses soxhletasi
dilakukan sebagai berikut: serbuk daun ungu sebanyak 400 g dibagi
menjadi 4 bagian yang sama banyak dimasukkan ke dalam alat soxhlet
dengan labu alas bulat 1000 mL yang terisi kira-kira 350 mL (1/3 bagian
volume) etanol dan beberapa butir batu didih. Proses soxhletasi dilakukan
pengulangan sebanyak 4 kali. Serbuk herba alfalfa diekstraksi dengan
penyari etanol 70% menggunakan alat soxhlet pada suhu 78oC kemudian
ditunggu hingga zat aktif dalam simplisia tersari seluruhnya yang ditandai
dengan jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifron. Sari atau
menstrum herba alfalfa yang diperoleh dari 4 kali soxhletasi selanjutnya
19
diuapkan dengan thermostatic waterbath sampai diperoleh ekstrak kental
yang dianggap mempunyai konsentrasi 100%.
Ekstrak etanol daun ungu yang diperoleh selanjutnya dikumpulkan
dan diukur bobotnya untuk menghitung rendemen yang dihasilkan.
Rendemen yang diperoleh dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Rendemen Hasil = bobot ekstrak kental x 100%bobot bahan
5. Pemeriksaan Organoleptik Ekstrak Daun Wungu
Pengamatan dilakukan secara organoleptik dengan mendeskripsikan
bentuk, bau, kelarutan, pH dan warna ekstrak yang dihasilkan (Depkes RI,
2000).
6. Pemeriksaaan Uji Fitokimia
a. Pengujian kandungan flavonoid
Ekstrak kental 1 gram di tambahkan H2SO4 (p), jika terbentuk
warna kuning sampai jingga menunjukkan adanya flavonoid. Cara lain
dengan menambahkan FeCl3 terhadap ekstrak maka akan terbentuk warna
hijau coklat. (pustaka)
b. Pengujian kandungan tanin
Ekstrak kental (±1 g) ditambah 50 ml air panas, kemudian
dididihkan 150°C, didinginkan lalu disaring dengan ketas saring dan di
ambil filtratnya kemudian di tambah 1-2 tetes FeCl3 1%. Tebentuknya
warna hijau kehitaman atau biru tua menunjukkan adanya tanin.(pustaka)
20
c. Pengujian kandungan alkaloid
Ditimbang 500 mg sampel, kemudian di tambahkan 1 ml HCl 2 N
dan 9 ml air, panaskan di atas penangas selama 2 menit, dinginkan dan
saring. Tambahkan larutan Mayer. Hasil positif dengan adanya gumpalan
putih yang larut dalam methanol. .(pustaka)
d. Pengujian kandungan saponin
Ekstrak kental (±1 g ) ditambahkan 10 ml air panas, dinginkan lalu
kocok kuat-kuat 10 detik. Amati ada / tidak buih, jika terbentuk buih
setinggi 3 cm dan pada penambahan asam klorida buih tidak hilang
menunjukkan adanya saponin.
7. Formula Suppositoria
Penelitian yang akan dilakukan suppositoria dibuat dalam 5 formula
dan 1 formula kontrol dalam berbagai perbandingan PEG 6000 dan PEG
600 yaitu untuk FI 90:10; FII 85:15; FIII 80:20; FIV 75:25 dan FV 70:30.
Bobot suppositoria dibuat seberat 2 g. Formula suppositoria dapat dilihat
pada table I di bawah ini:
Tabel I. Formula Suppositoria
Bahan FI FII FIII FIV FV FKEkstrak daun ungu 16,42 16,42 16,42 16,42 16,42 16,42
Cera alba 3 3 3 3 3 3Bentonit 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5Aquadest Qs Qs Qs qs qs qsPEG 6000 90 85 80 75 70 100PEG 600 10 15 20 25 30 0
Keterangan: FI = FII =FIII =FIV =FV =
21
8. Pembuatan Suppositoria
:
1. Pembuatan supositoria
Setelah membeku
Gerus bahan-bahan tersebut dengan air secukupnya,
Campurkan ekstrak daun ungu pada setiap formula kemudian tuang ke
dalam cetakan yang telah disiapkan dalam keadaan dingin.
9. Pemeriksaan sifat fisik supositoria
a. Pengujian titik lebur supositoria
Bahan :
1. Cera alba
2. Bentonit
3. Aquadest
4. PEG 6000
5. PEG 600
perbandingan PEG 6000 dan PEG 600 yaitu FI 90:10; FII 85:15; FIII 80:20; FIV 75:25 dan FV 70:30,
F1 F2 F3 F5F4
suppositoria
22
Pengujian titik lebur suppositoria menggunakan pipa gelas
berbentuk “U”. Potongan suppositoria dimasukkan ke dalam pipa gelas
lebih kurang sepertiga tinggi pipa. Pipa gelas yang berisi potongan
suppositoria ekstrak daun ungu tersebut dimasukkan ke dalam beker gelas
yang berisi air yang diletakkan di atas kompor sampai titik lebur
suppositoria diketahui dengan melihat jika pada termometer yang terdapat
dalam suppositoria tersebut mulai meluncur ke bawah.
b. Pengujian waktu melebur suppositoria
Pengujian waktu lebur suppositoria mengggunakan alat penerapan
waktu lebur suppositoria dalam sirkulasi air pada alat tersebut
dihubungkan sebagaimana gambar 3. Air diatur pada suhu 37oC.
Suppositoria ekstrak daun ungu yang akan diuji waktu leburnya
dimasukkan ke dalam bagian spiral alat tersebut. Batang kaca diatur
sampai tepat menyentuh suppositoria. Bagian spiral alat tersebut yang
berisi suppositoria ekstrak daun ungu dimasukkan ke dalam tabung kaca
dan diatur sehingga skala 0 sejajar dengan permukaan air di luar batang
kaca dalam sirkulasi air kemudian diaktifkan. Waktu lebur dicatat mulai
dari air menyentuh suppositoria sampai semua fraksi suppositoria hilang
dari spiral.
c. Pengujian kekerasan suppositoria
23
Uji ini menggunakan alat penguji kekerasan suppositoria, dimana
suppositoria diletakkan dengan ujung keatas di sebuah ruang yang telah
ditentukan pada alat. Penguntai diperpanjang ke bawah sampai
menunjukkan massa dasar 600 g. Ruang pengujian ditutup dengan sebuah
lempeng kaca dan suhu dijaga pada 25°C. Dalam interval waktu setiap satu
menit, anak timbangan yang berbentuk lempengan bercelah masing-masing
200 g diletakkan pada penguntai sampai penempatan beban terakhir.
Sebagai skala kekerasan digunakan jumlah total dari massa beban pada
suppositoria sampai mencapai titik patahnya termasuk beban dasar pada
penguntai.
24
E. Skema jalannya penelitian
Skema pembuatan suppositoria dapat dilihat pada gambar 2 di bawah
ini:
25
Gambar 2. Skema pembuatan suppositoria
26
F. Analisis Data
Hasil pengujian sifat fisik suppositoria dianalisis menggunakan uji
statistik ANOVA satu jalan dengan taraf kepercayaan 95%, dilanjutkan
uji Tuckey apabila terjadi perbedaan yang bermakna.
X. FASILITAS YANG DIPERLUKAN
1. Laboratorium Biologi Farmasi dan Farmasetika Fakultas Farmasi
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
2. Laboratorium Ekologi dan Biosistematika Jurusan Biologi Fakultas MIPA
Undip Semarang.
XII. JADWAL WAKTU
Tahap Waktu PelaksanaanPembuatan Proposal Desember 2012-Oktober 2013Ujian Proposal Oktober 2013Persiapan Penelitian Oktober 2013Pelaksanaan Penelitian Oktober 2013-Nopember 2013Pengolahan Data Desember 2013Penyususunan Laporan Januari 2014
27
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1997, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek, Gadjah Mada Uneversity, Yogyakarta, hal 158.
Ansel, H. C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi IV, Cetakan Pertama, Indonesia University Press, Jakarta, hal. 453-473,607-609.
Ardi, A. W., 1987, Pemeriksaan Senyawa Golongan Flavanoid dari Daun Handeulum (Graptophyllum pictum (L.) Griff), Skripsi, Program Studi Farmasi, FMIPA ITB, Bandung.
Day, R. A., and Underwood, A. L., 2002, Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi VI, Erlangga, Jakarta, hal. 155.
Depkes RI., 1986, Sediaan Galenik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hal 152.
Depkes RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Cetakan Pertama, 11, Departemen Kesehatan Indonesia, Jakarta, hal 226.
Harborne, J. B., 1987, Metode Fitokimia; Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, Penerbit ITB, Bandung, hal 13, 69.
Heyne, K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid III, Badan Litbang
Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Nugroho. E., Whendrato. I., Suhartanto., Madyana., dan Kusomo. E., 1993, Tetumbuhan Berkhasiat Melawan Haemorrhoide, Eka Offset, Semarang, hal.22-24.
Permadi. A., 2008, Membuat Kebun Tanaman Obat , Pustaka Bunda, Jakarta, hal 12.
Syamsuni., 2005, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, cetakan pertama, IGC, Jakarta, hal 224.
Thomas.,1992, Tanaman Obat Tradisional, Edisi 2, Cetakan ke limabelas, Kanisius,Yogyakarta, hal 132.
Widjajanti, N.,1993 , Obat-obatan, Kanisius, Yogyakarta, hal 16.
Suseno. M., 2013, Sehat Dengan Daun, Cetakan pertama, Buku Pintar, Yogyakarta, 209-215.
28
Voigt, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh Soendani Noerono Soewandhi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal 224.
Wijayakusuma, H., S., Dalimartha., dan Wirian, A. S. 1995, Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia, Jilid 4, Pustaka Kartini, Jakarta, hal 148.