Revisi Hari Ini

40
1 I. JUDUL Pengaruh Kombinasi Basis PEG 6000 dan PEG 600 terhadap Sifat Fisik Suppositoria Ekstrak Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff). II. INTISARI Daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) telah diyakini secara empiris memiliki kemampuan untuk mengobati wasir. Secara tradisional masyarakat menggunakan daun ungu dengan cara direbus. Untuk mendapatkan sediaan yang praktis dan mudah digunakan, maka daun ungu diformulasikan dalam bentuk sediaan suppositoria. Suppositoria diformulasikan menggunakan kombinasi basis PEG 6000 dan 600. Penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi PEG 6000 dan 600 terhadap sifat fisik suppositoria ekstrak etanol daun ungu. Suppositoria dibuat dengan metode peleburan dan ekstrak daun ungu diperoleh dengan cara soxhletasi. Suppositoria dibuat dalam 5 formula dengan berbagai perbandingan PEG 6000 dan PEG 600 yaitu untuk FI 90:10;

Transcript of Revisi Hari Ini

Page 1: Revisi Hari Ini

1

I. JUDUL

Pengaruh Kombinasi Basis PEG 6000 dan PEG 600 terhadap Sifat Fisik

Suppositoria Ekstrak Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff).

II. INTISARI

Daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) telah diyakini secara empiris

memiliki kemampuan untuk mengobati wasir. Secara tradisional masyarakat

menggunakan daun ungu dengan cara direbus. Untuk mendapatkan sediaan yang

praktis dan mudah digunakan, maka daun ungu diformulasikan dalam bentuk

sediaan suppositoria. Suppositoria diformulasikan menggunakan kombinasi basis

PEG 6000 dan 600. Penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk mengetahui

pengaruh kombinasi PEG 6000 dan 600 terhadap sifat fisik suppositoria ekstrak

etanol daun ungu.

Suppositoria dibuat dengan metode peleburan dan ekstrak daun ungu

diperoleh dengan cara soxhletasi. Suppositoria dibuat dalam 5 formula dengan

berbagai perbandingan PEG 6000 dan PEG 600 yaitu untuk FI 90:10; FII 85:15;

FIII 80:20; FIV 75:25 dan FV 70:30. Suppositoria dibuat dengan berat masing-

masing 2 g. Suppositoria yang dihasilkan diuji sifat fisiknya meliputi: uji titik

lebur, uji waktu lebur, dan uji kekerasan. Hasil pengujian sifat fisik kemudian

dianalisis menggunakan uji statistik ANOVA satu jalan dengan taraf kepercayaan

95%, dilanjutkan uji Tuckey apabila terjadi perbedaan yang bermakna

III. LATAR BELAKANG

Hemorrhoid merupakan sejenis penyakit atau gangguan pada anus. Saat

ambeien bibir anus mengalami pembengkakan yang terkadang disertai

Page 2: Revisi Hari Ini

2

pendarahan. Gangguan ini biasa terjadi karena kebiasaan mengejan saat buang air

besar. Selain itu, ambeien juga bisa terjadi karena terlalu banyak duduk atau

berdiri, kesalahan dalam melakukan gerakan pada olahraga tertentu misalnya pada

olahraga angkat beban atau olahraga pernapasan, dan dapat terjadi pada wanita

hamil (Suseno, 2013).

Upaya untuk mengatasi hemorhoid itu sendiri salah satunya adalah dengan

penggunaan sediaan suppositoria yang mengandung bahan alam berasal dari

tanaman. Salah satu tanaman yang dapat mengobati hemorrhoid adalah daun ungu

(Graptophyllum pictum (L.) Griff). Daun ungu mengandung senyawa aktif

diantaranya adalah alkaloid non toksik, flavonoid, glikosid, steroid, saponin,

tanin, kalsium oksalat, asam format, triterpena, alkaloida, yang dapat digunakan

untuk mengobati wasir dan mengempiskan wasir (Suseno, 2013).

Secara empiris menurut Suseno (2013), untuk mengobati wasir digunakan

15 lembar dengan cara direbus menggunakan air sebanyak 1 liter dan disisakan

menjadi 2 gelas diminum 2 kali sehari masing-masing 1 gelas. Penggunaan secara

empiris ini kurang praktis, tidak acceptable, dosis kurang seragam serta kurang

higienis. Maka dari itu perlu dibuat suatu sediaan yang inovatif dan siap

digunakan sewaktu-waktu yaitu dalam bentuk suppositoria.

Suppositoria merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi berbentuk padat

yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo dan meleleh pada

suhu tubuh. Suppositoria sangat berguna bagi pasien dengan kondisi yang tidak

memungkinkan dengan terapi obat secara peroral, misalnya pada pasien muntah,

Page 3: Revisi Hari Ini

3

mual, tidak sadar, anak-anak, orang tua yang sulit menelan dan selain itu juga

dapat menghindari metabolisme obat di hati (Voight, 1994).

Basis suppositoria memiliki peranan penting dalam kecepatan pelepasan

obat baik untuk sistemik maupun lokal. Kemungkinan adanya interaksi antara

basis dengan zat aktif secara kimia dan atau fisika akan dapat mempengaruhi

stabilitas atau bioavaibilitas dari obat. Polietilenglikol (PEG) merupakan salah

satu bahan yang dapat digunakan untuk basis suppositoria. Suppositoria dengan

menggunakan basis polietilenglikol memiliki beberapa keuntungan karena

sifatnya yang inert, tidak mudah terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur

dan dapat dikombinasikan berdasarkan bobot molekulnya sehingga didapatkan

suatu basis supositoria yang dikehendaki beda (Lachman dkk., 1986).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Hutomo (2008), yaitu Pengaruh

Penambahan Cera Flava terhadap Sifat Fisik Ekstrak Daun Ungu menyebutkan

bahwa perbedaan variasi penambahan cera flava menghasilkan suppositoria

dengan sifat fisik yang berbeda. Basis oleum cacao dengan cera flava 5%

memberikan sifat fisik suppositoria yang paling baik meliputi keseragaman bobot,

kekerasan, suhu lebur, dan waktu lebur.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai pengaruh kombinasi PEG 6000 dan PEG 600 terhadap sifat fisik

suppositoria ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff).

IV. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, perumusan masalah dari penelitian yang

akan dilakukan yaitu: Bagaimanakah pengaruh kombinasi basis PEG 6000 dan

Page 4: Revisi Hari Ini

4

PEG 600 terhadap sifat fisik suppositoria ekstrak daun ungu (Graptophyllum

pictum (L.) Griff)?

V. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan yaitu: untuk mengetahui

pengaruh kombinasi basis PEG 6000 dan PEG 600 terhadap sifat fisik

suppositoria ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff).

VI. PENTINGNYA SKRIPSI DIUSULKAN

Hasil dari penelitian yang akan dilakukan diharapkan memperkaya data

ilmiah tentang obat tradisional di Indonesia dan sebagai acuan membuat sediaan

yang inovatif dari bahan alam terutama daun ungu (Graptophyllum pictum (L.)

Griff) dalam bentuk suppositoria.

VII. KEASLIAN PENELITIAN

Berdasarkan penelusuran pustaka yang telah dilakukan, dilaporkan sampai

saat ini belum ditemukan penelitian mengenai pengaruh kombinasi basis PEG

6000 dan PEG 600 terhadap sediaan suppositoria ekstrak daun ungu

(Graptophyllum pictum (L.) Griff). Tetapi ditemukan penelitian serupa, yaitu :

1. Pengaruh Penambahan Cera Flava terhadap Sifat Fisik Suppositoria Ekstrak

Etanol Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) dengan Basis Berlemak

(Oleum Cacao) (Hutomo, 2008).

2. Formulasi Sediaan Suppositoria Ekstrak Etanol Daun Ungu (Graptophyllum

pictum (L.) Griff) dalam Basis Oleum Cacao dengan Penambahan Cera Alba

(Nursal dan Widayanti, 2010).

Page 5: Revisi Hari Ini

5

3. Pemeriksaan Senyawa-Senyawa Turunan Fenol Daun Handeuleum

(Garaptophyllum Pictum) (L.) Griff) (Isnawati dan Soediro, 1982).

4. Aktivitas Antibakteri dan Analisis Kandungan Kimia Daun Ungu

(Garaptophyllum Pictum) (L.) Griff) (Sitompul dan Nainggolan, 2002).

VIII. TINJAUAN PUSTAKA

A. Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff)

Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) adalah tanaman obat yang

sangat populer, yang berkhasiat mengobati wasir (hemorrhoid) atau ambeien. Di

sunda daun ini sering disebut dengan nama daun handeulum, sedangkan di

Yogyakarta daun ungu lebih sering disebut dengan nama daun wungu. Orang Bali

menyebut daun ungu dengan nama temen, karotong (Madura), daun putrid dan

dongora ( Ambon), dank obi-kobi (Ternate) (Suseno, 2013).

Daun ungu merupakan tanaman perdu yang memiliki batang tegak,

ukuran kecil, dan tingginya dapat mencapai 1,5 – 3 meter.

Tanaman ini biasanya tumbuh liar di pedesaan atau sengaja

ditanam sebagai tanaman hias karena memiliki warna daun dan

bunga yang menarik dan dapat juga dijadikan tanaman pagar

(Thomas, 1992; Wijayakusuma dkk., 1991). Gambar daun ungu

dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini:

Page 6: Revisi Hari Ini

6

Gambar 1. Daun ungu.

Tumbuhan daun ungu memiliki batang yang berwarna ungu dengan

penampang batang yang mirip segitiga tumpul. Tumbuhan ini juga lebih

menyerupai perdu dengan tinggi yang bisa mencapai 3 meter. Susunan dari daun

ungu ini adalah posisi daun yang letaknya beradu muka dengan bunga dan

tersusun dalam serangkaian tandan berwarna merah tua (Suseno, 2013).

Klasifikasi daun ungu menurut dapat dilihat di bawah ini:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Ordo : Lamiales.

Family : Acanthaceae.

Genus : Graptophyllum.

Spesies: Graptophyllum pictum

Sinonim : Handeuleum / Justicia picta L. (Heyne, 1987)

Page 7: Revisi Hari Ini

7

Daun ungu memiliki nama ilmiah Graptophyllum pictum, (L.), Griff

atau Graptophyllum hortense, Ness dan di beberapa daerah memiliki nama yang

berbeda yaitu: Demung, Tulak, Wungu (Jawa), Daun Temen-temen, handeuleum

(Sunda), Kerotong (Madura), Temen (Bali), Daun Putri, Dongora (Ambon), Kobi-

kobi (ternate) (Heyne, 1987).

Kandungan kimia yang berada di daun ungu diantaranya alkoloid

nontoksik, flavonoid, glikosid, steroid, polifenol, saponin, tanin, lendir (Ardi,

1987; Purawinata, 1990; Suwarni, 1993; Wijayakusuma dkk., 1995; Suseno,

2013).

Tanaman ini dikenal mampu mengobati berbagai macam penyakit.

Kandungan tersebut menyebabkan daun ungu ini memiliki sifat sebagai anti

inflamasi, Peluruh air seni, mempercepat pemasakan bisul, pencahar ringan,

pelembut kulit kaki, melunakkan feaces, mengempiskan wasir (Suseno, 2013).

Ramuan tradisional daun ungu dapat digunakan dengan cara merebus 15

helai daun ungu, kunyit sebesar ibu jari, dan sedikit gula aren dengan 4 gelas air

sampai airnya tinggal 2 gelas saja. Disaring ramuan tersebut, lalu diminum secara

rutin 2x sehari, masing-masing 1 gelas (Suseno, 2013).

B. Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan sari pekat yang dibuat dengan menyari simplisia

baik tumbuh-tumbuhan atau hewan, dimana sari diperoleh dengan cara

melepaskan zat aktif dari masing-masing bahan obat menggunakan pelarut yang

cocok. Jika menstrum diuapkan maka akan diperoleh sisa endapan atau serbuk

yang dapat ditetapkan standarnya (Ansel, 1989).

Page 8: Revisi Hari Ini

8

Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan zat aktif yang

semula berada di sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam

cairan hayati. Metode dasar penyarian adalah maserasi, perkolasi, daan soxhletasi.

Pemilihan terhadap ketiga metode tersebut disesuaikan dalam memperoleh sari

yang baik (Depkes RI, 1986). Salah satu metode ekstraksi yang sering digunakan

di dalam penyarian adalah sokhletasi (Ansel, 1989).

Metode dasar dalam mengekstraksi bahan obat dapat digunakan beberapa

cara diantaranya adalah infundasi, maserasi, perkolasi dan penyarian

berkesinambungan menggunakan alat soxhlet. Pemilihan metode ekstraksi

didasarkan pada beberapa factor seperti sifat bahan mentah obat dan daya

penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi serta keinginan dalam

memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna dari obat (Ansel,

1989).

Soxhletasi merupakan cara ekstraksi panas dengan menggunakan pelarut

yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi

ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin

balik (Depkes RI, 2000). Soxhletasi selain membutuhkan bahan pelarut dalam

jumlah kecil juga ekstrak secara terus-menerus diperbaharui artinya dimasukkan

bahan pelarut bebas bahan aktif (pembaharuaan terus menerus dari perbedaan

konsentrasi). Bahan yang diekstraksi berada dalam sebuah kantong ekstraksi di

dalam sebuah alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinyu (Voight, 1994).

Kekurangan soxhletasi yaitu dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk ekstraksi

sehingga membutuhkan energi yang tinggi (listrik, gas) (Voight, 1994).

Page 9: Revisi Hari Ini

9

Penyari air selain melarutkan garam alkaloid, minyak menguap, glikosida,

tannin dan gula, juga dapat melarutkan gom, pati, protein, lender, enzim, lilin,

lemak, pectin, zat warna dan asamorganik. Penggunaan air sendiri sebagai cairan

penyari kurang menguntungkan karena disamping zat aktif ikut tersari, zat lain

yang tidak diperlukan juga ikut tersari sehingga akan mengganggu proses

pembuatan sari (Depkes RI, 1986).

Penyari etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena memiliki sifat

yang lebih selektif jika dibandingkan air, selain itu etanol pada kadar diatas 20%

membuat kapang dan kuman sulit tumbuh. Etanol tidak beracun, bersifat netral,

memiliki absorbs yang baik, dapat bercampur dengan air pada segala

perbandingan dan untuk proses pemekatan memerlukan panas yang lebih sedikit.

Penyari etanol maupun methanol dalam proses ekstraksi dapat memerlukan

alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, antrakinon, flavanoid,

steroid, dammar dan klorofil, sedangkan lemak, malam, tannin dan saponin hanya

sedikit larut, dengan demikian zat pengganggu yang larut akan terbatas (Depkes

RI, 1986).

C. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi merupakan teknik pemisahan campuran menjadi

komponen-komponenya. Kromatografi ini mempunyai satu keunggulan dari segi

kecepatan dari kromatografi kertas, proses ini membutuhkan hanya setengah jam

saja, sedangkan pemisahan yang umum pada kertas membutuhkan waktu

beberapa jam. TLC sangat terkenal dan rutin digunakan di berbagai laboratorium

(Day dan Underwood, 2002).

Page 10: Revisi Hari Ini

10

Media pemisahannya adalah lapisan setebal sekitar 0,1 sampai 0,3mm zat

padat adsorben pada lempeng kaca, plastik, atau aluminium. Lempeng yang

paling umum digunakan berukuran 8,2 inci. Zat padat yang umum digunakan

adalah alumina, silika gel, dan selulosa. Para peneliti biasanya menyiapkan

lempengannya sendiri dengan melapisi lempeng kaca dengan zat padat tersuspensi

encer,yang biasanya mengandung zat pengikat seperti plester paris, dan kemudian

mengeringkan lempengan di dalam oven. Lempeng dan lembaran kaca dari plastik

dan alumunium foil, telah dilapis sebelumnya,yang dapat dipotong dengan

gunting sudah diperjualbelikan, dan mayoritas dari peneliti sekarang

menggunakan lempengan jenis ini (Day dan Underwood, 2002).

Sampel yang biasanya berupa campuran senyawa organik diteteskan di

dekat salah satus sisi lempengan dalam bentuk larutan dengan jumlah kecil,

biasanya beberapa mikroliter berisi sejumlah mikrogram senyawa. Sebuah

suntikan hipodermik atau sebuah pipet gelas kecil dapat digunakan. Noda Sampel

dikeringkan, dan kemudian sisi lempengan tersebut dicelupkan ke dalam fasa

bergerak yang sesuai. Pelarut bergerak naik di sepanjang lapisan tipis zat padat di

atas lempengan, dan bersamaan dengan pergerakan pelarut tersebut, zat terlarut

sampel dibawa dengan laju yang tergantung pada kelarutan zat terlarut tersebut

dalam fasa bergerak dan interaksinya denagn zat padat setelah garis depan pelarut

bergerak sekitar 10 cm, lempengan dikeringkan dan noda-noda zat terlarutnya

diperiksa seperti pada kromatografi kertas. Percobaan berdimensi dua dengan

menggunakan dua fasa bergerak yang berbeda sering dilakukan: disini lempengan

berbujur sangkar lebih banyak digunakan dari pada lempengan yang sempit.

Page 11: Revisi Hari Ini

11

Pemisahan dapat diikuti oleh penentuan kuantitatif, dimana sebuah noda

diletakkan, adsorben dapat dikerok dari lempengan dengan menggunakan spatula,

zat terlarutnya beresolusi dari bahan padat bersama-sama pelarutnya, dan

konsentrasi dari larutan ditentukan dengan suatu teknik seperti spektrofotometri

(Day dan Underwood, 2002).

Bersama-sama dengan kromatrografi kertas, TLC kadang-kadang disebut

kromatografi planar. Tidak ada cara yang mudah dalam mengelusi komponen

sampel dari lempengan (atau kertas) untuk melintasi sebuah detektor, tetapi telah

dikembangkan peralatan untuk mengamati lempengan dengan sifat-sifat sampel

seperti itu seperti adsorpsi sinar ultraviolet dan perpedaran (fluorescence). Jadi,

tidaklah adil untuk dikatakan bahwa TLC akhir-akhir ini mencakup pemasukan

lapisasn berpartikel halus dengan ukuran distribusi yang sempit yang sangat

efisien jika ditinjau dari HETP. Pendeteksian yang lebih sensitif memungkinkan

pengguna sampel-sampel yang lebih kecil (katakanlah 0,1 atau 0,2 µL) pada

lempengan TLC. Pemisahan yang efektif dapat diperoleh setelah pergerakan

pelarut sejauh 3 sampai 6 cm, dan 18 sampai 36 sampel dapat dijalankan secara

simultan dengan jalur pararel pada lempengan. Status terknik TLC baru-baru telah

dijelaskan dengan lebih rinci (Day dan Underwood, 2002).

Zat penyerap pada KLT merupakan lapisan tipis serbuk halus yang

dilapiskan pada lempeng kaca, plastik atau logam secara merata, umumnya

digunakan lempeng kaca (Depkes, 1995). Kromatografi lapis tipis memiliki

kelebihan dibanding kromatografi kertas yaitu keserbagunaan, kecepatan dan

Page 12: Revisi Hari Ini

12

kepekaan. Sedangkan kekurangannya terletak pada kerja penyalutan pelat kaca

dengan penjerap (Harboure, 1987).

D. Suppositoria

Supositoria adalah suatu bentuk sediaan obat padat yang umumnya

dimaksudkan untuk dimaksukkan ke dalam rectum, vagina. Bobot supositoria

adalah 3 gram untuk orang dewasa dan 2 gram untuk anak-anak (Anief, 1997).

Tujuan penggunaan suppositoria diantaranya adalah :

1. Untuk tujuan lokal, seperti pada pengobatan wasir atau hemoroi dan penyakit

infeksi lainya. Supositoria juga dapat digunakan untuk tujuan sistemik karena

dapat diserap oleh membran mukosa dalam rektum. Hal inir dilakukan

terutama bila penggunaan obat per oral tidak memungkinkan, seperti pada

pasien yang mudah muntah atau pingsan.

2. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih cepat

karena obat diserap oleh mukosa rektal dan langsung masuk ke dalam

sirkulasi pembuluh darah.

3. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran

gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati.

4. Bentuknya yang seperti torpedo menguntungkan karena suppositoria akan

tertarik masuk dengan sendirinya bila bagian yang besar masuk melalui oto

penutup dubur.

5. Supositoria dapat menghindari terjadinya iritasi obat pada lambung.

6. Obat dapat langsung masuk ke dalam saluran darah sehingga efeknya lebih

cepat daripada panggunaan obat secara oral.

Page 13: Revisi Hari Ini

13

E. Basis Suppositoria

Bahan dasar atau basis yang digunakan untuk membuat supositoria harus

dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar yang sering

digunakan adalah lemak cokelat (oleum cacao), polietilenglikol (PEG), lemak

tengkawang (oleum shoreae), atau gelatin (Voigt, 1994).

1. Lemak coklat

Lemak ini merupakan senyawa trigliserida, berwarna kekuning-

kuningan, dan baunya khas. Jika dipanaskan sekitar 30ºC, lemak coklat

mulai mencair dan akan meleleh pada suhu 34ºC – 35ºC. Jika dibawah suhu

30ºC zat ini merupakan massa semi padat yang mengandung lebih banyak

kristal (polimorfisme) daripada trigliserida padat. Bila dipanaskan pada suhu

tinggi, lemak coklat mencair sempurna seperti minyak tetapi akan

kehilangan semua inti kristalnya yang berguna untuk memadat. Lemak

coklat akan mengkristal dalam bentuk kristal metastabil bila didinginkan

dibawah 1ºC. Oleh karena itu, pemanasan lemak coklat sebaiknya dilakukan

sampai meleleh dan bisa dituang sehingga tetap memiliki inti kristal bentuk

stabil. Agar titik lebur naik. Lemak coklat dapat ditambahkan cera atau

cetaseum. Penambahan cera flava dapat menaikan daya erap lemakk cokelat

terhadap air. Lemak coklat sangat cepat membeku pada saat pengisian

massa supositoria ke dalam cetakan dan akan terjadi penyusutan volume

pada saat pendinginan hingga terbentuk lubang di atas massa. Maka dari itu,

pada saat melakukan pengisian cetakan harus diisi berlebih dan kelebihanya

dipotong setelah massa menjadi dingin.

Page 14: Revisi Hari Ini

14

Lemak coklat memiliki beberapa bentuk polimorfisme, yaitu:

Bentuk gamma tidak stabil yang melebur pada suhu 18ºC, bentuk alfa yang

melebur pada suhu 22ºC, bentuk beta tidak stabil melebur pada suhu 28ºC,

bentuk beta stabil yang melebur pada suhu 34,5ºC.

2. Polietilenglikol (PEG) atau carbowax

PEG adalah polimerasi etilenglikol dengan bobot molekul 300-

6000 (dalam perdagangan yang tersedia carbowax 400, 1000, 1500, 4000,

6000). PEG yang bobotnya kurang dari 1000 merupakan zat cair, sedangkan

yang memiliki bobot molekul di atas 1000 berupa padatan lunak aseperti

malam.

Bila dibandingkan lemak cokelat supositoria berbahan dasar PEG

lebih dipilih karena memiliki keuntungan mudah larut dalam cairan rektum,

tidak ada modifikasi titik lebur yang berarti, dan tidak mudah meleleh pada

penyimpanan suhu kamar. Selain itu basis PEG tidak toksik, mudah

bercampur dengan obat, stabil atau tidak meleleh saat penyimpanan dan

dapat melarut dalam cairan tubuh (Lachman dkk., 1986).

IX. LANDASAN TEORI

Salah satu tanaman yang dapat mengobati hemorrhoid adalah daun ungu

(Graptophyllum pictum (L.) Griff). Daun ungu mengandung senyawa aktif antara

lain: alkaloid non toksik, flavonoid, glikosid, steroid, saponin, tanin, kalsium

oksalat, asam format, triterpena, alkaloida, yang dapat digunakan untuk

mengobati wasir dan mengempiskan wasir (Suseno, 2013).

Page 15: Revisi Hari Ini

15

Penelitian yang telah dilakukan oleh Hutomo (2008), yaitu “ Pengaruh

Penambahan Cera Flava terhadap Sifat Fisik Ekstrak Daun Ungu”, menyebutkan

bahwa perbedaan variasi penambahan cera flava menghasilkan suppositoria

dengan sifat fisik yang berbeda. Basis oleum cacao dengan cera flava 5%

memberikan sifat fisik suppositoria yang paling baik meliputi keseragaman bobot,

kekerasan, suhu lebur, dan waktu lebur.

Polietilenglikol (PEG) merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan

untuk basis suppositoria. Suppositoria dengan menggunakan basis polietilenglikol

memiliki beberapa keuntungan karena sifatnya yang inert, tidak mudah

terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur dan dapat dikombinasikan

berdasarkan bobot molekulnya sehingga didapatkan suatu basis supositoria yang

dikehendaki beda (Lachman dkk., 1986).

X. HIPOTESIS

Kombinasi basis PEG 6000 dan PEG 600 berpengaruh terhadap sifat fisik

suppositoria ekstrak etanol daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) yaitu

titik lebur, waktu leleh, dan uji kekerasan.

XI. METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian eksperimental

dengan rancangan penelitian dibuat formulasi dengan variasi konsentrasi

PEG (polietilen glikol) terhadap sifat fisik sediaan suppositoria ekstrak

etanol daun ungu.

Page 16: Revisi Hari Ini

16

B. Variabel Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian

eksperimental dengan beberapa variabel, yaitu:

1. Variabel bebas : kombinasi basis PEG 600 dan PEG 6000 dalam

berbagai kadar.

2. Variabel tergantung : sifat fisik suppositoria yaitu titik lebur, waktu

leleh dan kekerasan.

3. Variabel terkendali : metode pembuatan suppositoria.

C. Bahan dan Alat

1. Bahan Penelitian

a. Bahan Tanaman

Simplisia yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah adalah

simplisia daun ungu jenis (Graptophyllum pictum (L.) Griff) diperoleh dari

daerah Semarang pada bulan april 2013.

b. Bahan kimia

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian antara lain PEG

6000 dan PEG 600, Aquadest, Cera alba, Bentonit.

2. Alat

Alat yang digunakan dalam pembuatan simplisia dan serbuk daun

ungu adalah pisau, blender (Maspion), tampah, kain hitam, toples, sampul

coklat, solasi.

Page 17: Revisi Hari Ini

17

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan ekstrak daun ungu

adalah Soxhletasi, alat-alat gelas, botol warna gelap, corong pisah, timbangan

elektrik (Ohaus), thermostatic waterbath (Memmert).

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan suppositoria ekstrak

daun ungu yaitu: Timbangan analitik (Shimadzu type AY220), alat-alat gelas

(Iwaki-pyrex), mortir dan stamper, cetakan suppositoria, alat uji kekerasan

suppositoria, alat uji waktu leleh, alat uji titik lebur Stuart.

Alat yang digunakan dalam uji kromatografi lapis tipis untuk

mengetahui kandungan kimia adalah lempeng KLT, bejana kromatografi,

pipa kapiler, alat penampak bercak, sinar UV λ254 dan lampu UV λ366.

D. Jalannya Penelitian

1. Pengumpulan Bahan

Simplisia yang digunakan berasal dari daun ungu (Graptophyllum

pictum (L.) Griff) yang diperoleh dari daerah sekitar Perumahan

Pedurungan Semarang (Jawa tengah).

2. Determinasi Tanaman

Determinasi dilakukan di Laboratorium Ekologi dan

Biosistematika Jurusan Biologi Fakultas MIPA Undip Semarang. Hal

iniuntuk membuktikan bahwa tanaman yang digunakan adalah tanaman

daun ungu jenis (Graptophyllum pictum (L.) Griff).

3. Pembuatan Simplisia

a. Sortasi basah, dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan kotoran atau

bahan lainnya yang mungkin mengotori tanaman.

Page 18: Revisi Hari Ini

18

b. Pencucian, dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran yang

melekat pada tanaman. Pencucian dilakukan menggunakan air bersih

yang mengalir dan dibilas sampai 2 kali.

c. Pengeringan, dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kadar air

dalam daun dan untuk menghentikan proses enzimatik sehingga

simplisia tidak mudah busuk dan rusak. Pengeringan dilakukan dengan

cara dikeringkan dibawah sinar matahari

d. Penyimpanan, Penyimpanan dilakukan dengan cara memasukkan

serbuk ke dalam kantong plastik, kemudian disimpan dalam toples kaca

tertutup rapat dan diberi silika gel.

4. Pembuatan Ekstrak Daun Ungu

Pembuatan ekstrak pada penelitian ini dilakukan dengan menyari

serbuk daun ungu menggunakan metode soxhletasi. Proses soxhletasi

dilakukan sebagai berikut: serbuk daun ungu sebanyak 400 g dibagi

menjadi 4 bagian yang sama banyak dimasukkan ke dalam alat soxhlet

dengan labu alas bulat 1000 mL yang terisi kira-kira 350 mL (1/3 bagian

volume) etanol dan beberapa butir batu didih. Proses soxhletasi dilakukan

pengulangan sebanyak 4 kali. Serbuk herba alfalfa diekstraksi dengan

penyari etanol 70% menggunakan alat soxhlet pada suhu 78oC kemudian

ditunggu hingga zat aktif dalam simplisia tersari seluruhnya yang ditandai

dengan jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifron. Sari atau

menstrum herba alfalfa yang diperoleh dari 4 kali soxhletasi selanjutnya

Page 19: Revisi Hari Ini

19

diuapkan dengan thermostatic waterbath sampai diperoleh ekstrak kental

yang dianggap mempunyai konsentrasi 100%.

Ekstrak etanol daun ungu yang diperoleh selanjutnya dikumpulkan

dan diukur bobotnya untuk menghitung rendemen yang dihasilkan.

Rendemen yang diperoleh dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Rendemen Hasil = bobot ekstrak kental x 100%bobot bahan

5. Pemeriksaan Organoleptik Ekstrak Daun Wungu

Pengamatan dilakukan secara organoleptik dengan mendeskripsikan

bentuk, bau, kelarutan, pH dan warna ekstrak yang dihasilkan (Depkes RI,

2000).

6. Pemeriksaaan Uji Fitokimia

a. Pengujian kandungan flavonoid

Ekstrak kental 1 gram di tambahkan H2SO4 (p), jika terbentuk

warna kuning sampai jingga menunjukkan adanya flavonoid. Cara lain

dengan menambahkan FeCl3 terhadap ekstrak maka akan terbentuk warna

hijau coklat. (pustaka)

b. Pengujian kandungan tanin

Ekstrak kental (±1 g) ditambah 50 ml air panas, kemudian

dididihkan 150°C, didinginkan lalu disaring dengan ketas saring dan di

ambil filtratnya kemudian di tambah 1-2 tetes FeCl3 1%. Tebentuknya

warna hijau kehitaman atau biru tua menunjukkan adanya tanin.(pustaka)

Page 20: Revisi Hari Ini

20

c. Pengujian kandungan alkaloid

Ditimbang 500 mg sampel, kemudian di tambahkan 1 ml HCl 2 N

dan 9 ml air, panaskan di atas penangas selama 2 menit, dinginkan dan

saring. Tambahkan larutan Mayer. Hasil positif dengan adanya gumpalan

putih yang larut dalam methanol. .(pustaka)

d. Pengujian kandungan saponin

Ekstrak kental (±1 g ) ditambahkan 10 ml air panas, dinginkan lalu

kocok kuat-kuat 10 detik. Amati ada / tidak buih, jika terbentuk buih

setinggi 3 cm dan pada penambahan asam klorida buih tidak hilang

menunjukkan adanya saponin.

7. Formula Suppositoria

Penelitian yang akan dilakukan suppositoria dibuat dalam 5 formula

dan 1 formula kontrol dalam berbagai perbandingan PEG 6000 dan PEG

600 yaitu untuk FI 90:10; FII 85:15; FIII 80:20; FIV 75:25 dan FV 70:30.

Bobot suppositoria dibuat seberat 2 g. Formula suppositoria dapat dilihat

pada table I di bawah ini:

Tabel I. Formula Suppositoria

Bahan FI FII FIII FIV FV FKEkstrak daun ungu 16,42 16,42 16,42 16,42 16,42 16,42

Cera alba 3 3 3 3 3 3Bentonit 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5Aquadest Qs Qs Qs qs qs qsPEG 6000 90 85 80 75 70 100PEG 600 10 15 20 25 30 0

Keterangan: FI = FII =FIII =FIV =FV =

Page 21: Revisi Hari Ini

21

8. Pembuatan Suppositoria

:

1. Pembuatan supositoria

Setelah membeku

Gerus bahan-bahan tersebut dengan air secukupnya,

Campurkan ekstrak daun ungu pada setiap formula kemudian tuang ke

dalam cetakan yang telah disiapkan dalam keadaan dingin.

9. Pemeriksaan sifat fisik supositoria

a. Pengujian titik lebur supositoria

Bahan :

1. Cera alba

2. Bentonit

3. Aquadest

4. PEG 6000

5. PEG 600

perbandingan PEG 6000 dan PEG 600 yaitu FI 90:10; FII 85:15; FIII 80:20; FIV 75:25 dan FV 70:30,

F1 F2 F3 F5F4

suppositoria

Page 22: Revisi Hari Ini

22

Pengujian titik lebur suppositoria menggunakan pipa gelas

berbentuk “U”. Potongan suppositoria dimasukkan ke dalam pipa gelas

lebih kurang sepertiga tinggi pipa. Pipa gelas yang berisi potongan

suppositoria ekstrak daun ungu tersebut dimasukkan ke dalam beker gelas

yang berisi air yang diletakkan di atas kompor sampai titik lebur

suppositoria diketahui dengan melihat jika pada termometer yang terdapat

dalam suppositoria tersebut mulai meluncur ke bawah.

b. Pengujian waktu melebur suppositoria

Pengujian waktu lebur suppositoria mengggunakan alat penerapan

waktu lebur suppositoria dalam sirkulasi air pada alat tersebut

dihubungkan sebagaimana gambar 3. Air diatur pada suhu 37oC.

Suppositoria ekstrak daun ungu yang akan diuji waktu leburnya

dimasukkan ke dalam bagian spiral alat tersebut. Batang kaca diatur

sampai tepat menyentuh suppositoria. Bagian spiral alat tersebut yang

berisi suppositoria ekstrak daun ungu dimasukkan ke dalam tabung kaca

dan diatur sehingga skala 0 sejajar dengan permukaan air di luar batang

kaca dalam sirkulasi air kemudian diaktifkan. Waktu lebur dicatat mulai

dari air menyentuh suppositoria sampai semua fraksi suppositoria hilang

dari spiral.

c. Pengujian kekerasan suppositoria

Page 23: Revisi Hari Ini

23

Uji ini menggunakan alat penguji kekerasan suppositoria, dimana

suppositoria diletakkan dengan ujung keatas di sebuah ruang yang telah

ditentukan pada alat. Penguntai diperpanjang ke bawah sampai

menunjukkan massa dasar 600 g. Ruang pengujian ditutup dengan sebuah

lempeng kaca dan suhu dijaga pada 25°C. Dalam interval waktu setiap satu

menit, anak timbangan yang berbentuk lempengan bercelah masing-masing

200 g diletakkan pada penguntai sampai penempatan beban terakhir.

Sebagai skala kekerasan digunakan jumlah total dari massa beban pada

suppositoria sampai mencapai titik patahnya termasuk beban dasar pada

penguntai.

Page 24: Revisi Hari Ini

24

E. Skema jalannya penelitian

Skema pembuatan suppositoria dapat dilihat pada gambar 2 di bawah

ini:

Page 25: Revisi Hari Ini

25

Gambar 2. Skema pembuatan suppositoria

Page 26: Revisi Hari Ini

26

F. Analisis Data

Hasil pengujian sifat fisik suppositoria dianalisis menggunakan uji

statistik ANOVA satu jalan dengan taraf kepercayaan 95%, dilanjutkan

uji Tuckey apabila terjadi perbedaan yang bermakna.

X. FASILITAS YANG DIPERLUKAN

1. Laboratorium Biologi Farmasi dan Farmasetika Fakultas Farmasi

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

2. Laboratorium Ekologi dan Biosistematika Jurusan Biologi Fakultas MIPA

Undip Semarang.

XII. JADWAL WAKTU

Tahap Waktu PelaksanaanPembuatan Proposal Desember 2012-Oktober 2013Ujian Proposal Oktober 2013Persiapan Penelitian Oktober 2013Pelaksanaan Penelitian Oktober 2013-Nopember 2013Pengolahan Data Desember 2013Penyususunan Laporan Januari 2014

Page 27: Revisi Hari Ini

27

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 1997, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek, Gadjah Mada Uneversity, Yogyakarta, hal 158.

Ansel, H. C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi IV, Cetakan Pertama, Indonesia University Press, Jakarta, hal. 453-473,607-609.

Ardi, A. W., 1987, Pemeriksaan Senyawa Golongan Flavanoid dari Daun Handeulum (Graptophyllum pictum (L.) Griff), Skripsi, Program Studi Farmasi, FMIPA ITB, Bandung.

Day, R. A., and Underwood, A. L., 2002, Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi VI, Erlangga, Jakarta, hal. 155.

Depkes RI., 1986, Sediaan Galenik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hal 152.

Depkes RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Cetakan Pertama, 11, Departemen Kesehatan Indonesia, Jakarta, hal 226.

Harborne, J. B., 1987, Metode Fitokimia; Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, Penerbit ITB, Bandung, hal 13, 69.

Heyne, K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid III, Badan Litbang

Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.

Nugroho. E., Whendrato. I., Suhartanto., Madyana., dan Kusomo. E., 1993, Tetumbuhan Berkhasiat Melawan Haemorrhoide, Eka Offset, Semarang, hal.22-24.

Permadi. A., 2008, Membuat Kebun Tanaman Obat , Pustaka Bunda, Jakarta, hal 12.

Syamsuni., 2005, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, cetakan pertama, IGC, Jakarta, hal 224.

Thomas.,1992, Tanaman Obat Tradisional, Edisi 2, Cetakan ke limabelas, Kanisius,Yogyakarta, hal 132.

Widjajanti, N.,1993 , Obat-obatan, Kanisius, Yogyakarta, hal 16.

Suseno. M., 2013, Sehat Dengan Daun, Cetakan pertama, Buku Pintar, Yogyakarta, 209-215.

Page 28: Revisi Hari Ini

28

Voigt, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh Soendani Noerono Soewandhi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal 224.

Wijayakusuma, H., S., Dalimartha., dan Wirian, A. S. 1995, Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia, Jilid 4, Pustaka Kartini, Jakarta, hal 148.