Post on 04-Jul-2015
description
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 1
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
REMAJA DAN KESEHATAN REPRODUKSI
SETIAWAN PUTRA SYAH B251100011
PS Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
I. Pendahuluan
Remaja yang dalam bahasa resminya disebut adolescenc berasal dari
bahasa Latin (adolescere) yang berarti tumbuh mencapai kematangan (Prihatin
2007), merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa
mencapai kematangan, dimana merupakan suatu tahapan psikologi perkembangan
yang “rentan” dengan berbagai macam perubahan, baik secara fisik, psikis atau
biologis. Psikolog Piaget, mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah
suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu
usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang tua
atau setidaknya sejajar (Prihatin 2007). Masa remaja adalah suatu tahap antara
anak – anak dengan masa dewasa. Istilah ini menunjukkan dari awal pubertas
sampai tercapainya kematangan, biasanya mulai dari usia 14 tahun pada pria dan
12 tahun pada wanita. Transisi kemasa depan bervariasi dari suatu budaya ke
kebudayaan lain, namun secara umum di definisikan sebagai waktu dimana individu
bertindak terlepas dari orang tua mereka. Definisi remaja yang digunakan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah mereka yang berusia 10 sampai
dengan 19 tahun dan belum menikah.
Remaja memiliki peran besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan
penduduk yang diindikasikan dengan besarnya proporsi remaja (Indrawanti dan
Sadjimin 2002). Menurut WHO (1995) seperlima dari penduduk dunia adalah remaja
berusia 10-19 tahun. Data profil kesehatan Indonesia tahun 2000, menyebutkan
jumlah dan persentase penduduk golongan usia 10-24 tahun (definisi WHO untuk
young people) adalah 64 juta orang atau sekitar 31% dari total seluruh populasi.
Sedangkan untuk remaja usia 10-19 tahun (definisi WHO untuk adolesence)
berjumlah 44 juta atau 21% dari total seluruh populasi (Prihatin 2007). Pada tahun
2004 Kitting melaporkan Sekitar 20% dari penduduk Indonesia adalah remaja
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 2
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
berusia 15-24 tahun atau setara dengan 41,4 juta orang (Nursal 2008). Proporsi
yang besar pada usia ini mengindikasikan bahwa penduduk pada kelompok ini
memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan suatu
negara. Besarnya proporsi penduduk berusia muda, secara teoritis mempunyai dua
makna, Pertama, besarnya penduduk usia muda merupakan modal pembangunan
yaitu sebagai faktor produksi tenaga manusia (human resources), apabila mereka
dapat dimanfaatkan secara tepat dan baik. Memanfaatkan mereka secara tepat dan
baik diperlukan beberapa persyaratan. Di antaranya adalah kemampuan keakhlian,
kemampuan keterampilan dan kesempatan untuk berkarya. Kedua, apabila
persyaratan tersebut tidak dapat dimiliki oleh penduduk usia muda, yang terjadi
adalah sebaliknya, yaitu penduduk usia muda justru menjadi beban pembangunan
(Laksmiwati 2000).
Masa remaja diwarnai oleh pertumbuhan, perubahan, munculnya berbagai
kesempatan, dan seringkali menghadapi resiko-resiko kesehatan. Pada masa ini
terjadi perubahan fisik yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda seks primer
dan sekunder serta perubahan kejiwaan meliputi perubahan emosi menjadi sensitif
dan perilaku ingin mencoba hal-hal baru. Meskipun remaja sudah matang secara
organ seksual, tetapi emosi dan kepribadiannya masih labil karena masih mencari
jati dirinya, sehingga rentan terhadap berbagai godaan dalam lingkungan
pergaulannya. Remaja cenderung ingin tahu dan mencoba-coba apa yang dilakukan
oleh orang dewasa (Dewi 2009). Menurut Prihatin (2007), Perkembangan emosi
pada remaja ditandai dengan sifat emosional yang meledak – ledak, sulit untuk
dikendalikan. Disatu pihak emosi yang menggebu – gebu ini memang menyulitkan,
terutama untuk orang lain dalam mengerti jiwa remaja. Emosi yang tidak terkendali
disebabkan antara lain (termasuk orang tua) karena konflik peran yang sedang
dialami oleh remaja.
Apabila seorang remaja tidak berhasil mengatasi situasi - situasi krisis dalam
rangka mengatasi konflik peran dalam dirinya, karena ia terlalu mengikuti gejolak
emosinya, kemungkinannya dia akan terperangkap masuk ke jalan yang salah. Dari
sudut pandang kesehatan masyarakat, tindakan yang mengkhawatirkan adalah
masalah kesehatan reproduksi remaja. Gejolak-gejolak remaja yang telah
disebutkan diatas jika didorong oleh rangsangan seksual dapat membawa remaja
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 3
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
pada perilaku yang dampaknya merugikan remaja itu sendiri. Kegiatan seksual
menempatkan posisi remaja pada tantangan resiko terhadap berbagai masalah
kesehatan reproduksi. Masalah yang berkaitan dengan seks bebas (unprotected
sexuality), penyebaran penyakit kelamin, kehamilan di luar nikah atau kehamilan
yang tidak dikehendaki (adolecent unwanted pragnancy) di kalangan remaja dapat
mengakibatkan penularan PMS dan HIV-AIDS, serta aborsi tidak aman. Pada
remaja sering terjadi penggunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif
lainnya) yang biasanya diikuti dengan hubungan seksual di luar nikah dengan
berganti-ganti pasangan yang meningkatkan risiko tertular PMS (Penyakit Menular
Seksual) dan HIV-AIDS (Nursal 2008).
II. Perilaku Seksual Remaja
Sejak remaja memasuki kehidupan sosialnya, seiring dengan perubahan
hormone dan kondisi fisik remaja pada masa awal pubertas, remaja mulai
mengalami ketertarikan kepada teman lawan jenisnya. Perkembangan sosial
individu dengan kelompoknya akan mempengaruhi seseorang untuk berinteraksi,
sehingga tidak dapat dipungkiri jika pertemanan antar lawan jenis bisa membuat
seseorang mengalami ketertarikan. Perilaku seksual adalah segala tingkah laku
yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan
sesama jenis. Prilaku seksual bagi remaja digolongkan dalam prilaku seksual
pranikah yang disebut pacaran. Gejala perilaku pacaran sudah sangat umum
dikalangan masyarakat Indonesia. Bahkan perilaku ini juga dilakukan oleh remaja
yang masih duduk di bangku sekolah menengah. Bisa diamati pula di berbagai
media massa yang membidik pasaran anak usia sekolah menengah sebagai target
pasar, banyak mengangkat tulisan mengenai hubungan antar lawan jenis yang
mereka sebut sebagai pacaran.
Pacaran merupakan proses mengenal dan memahami lawan jenisnya dan
belajar membina hubungan dengan lawan jenis sebagai persiapan sebelum menikah
untuk menghindari terjadinya ketidakcocokan dan permasalahan pada saat sudah
menikah. Masing-masing berusaha mengenal kebiasaan, karakter atau sifat, serta
reaksi-reaksi terhadap berbagai masalah maupun peristiwa (Dewi 2009). Pacaran
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 4
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
merupakan kenangan yang sangat mengesankan bagi remaja pada kehidupannya
yang mendatang. Masa-masa pacaran dapat dijadikan proses pembelajaran akan
kemajemukan bahwa manusia diciptakan berbeda sehingga dapat menimbulkan
saling pengertian dan kasih sayang dan masa-masa pacaran seharusnya dapat
memperkaya wawasan orang yang sedang berpacaran akan kesehatan reproduksi.
Menurut Dewi (2009), pacaran memberikan kesempatan bagi remaja untuk
meningkatkan kemampuan sosial dan interpersonal mereka. Pacaran juga
mempersiapkan remaja untuk memilih pasangan hidup. Pada beberapa remaja
pacaran juga dimanfaatkan untuk melakukan percobaan aktivitas seksual.
Seksualitas sudah berkembang sejak usia kanak-kanak. Seksualitas para
remaja dimulai dari perubahan-perubahan tubuh faali yang menimbulkan tujuan baru
dari dorongan seksual, yaitu reproduksi. Dorongan seksual merupakan perasaan
erotik atau terangsang terhadap lawan jenis dengan tujuan akhir melakukan
hubungan seksual. Dorongan seksual dan perasaan cinta yang mulai muncul pada
remaja menimbulkan ekspresi seksual dalam bentuk perilaku seksual. Baik remaja
putra maupun putri akan merasakan adanya suatu dorongan seksual yang dapat
menyebabkan remaja ingin melakukan hubungan seksual pranikah (Dewi 2009).
Menurut Muss (1990), dacu dalam Dewi (2009) perilaku seks yang dilakukan
saat berpacaran dimulai dari ciuman selamat malam, berpelukan, ciuman yang
mendalam (ciuman di bibir dan leher), petting ringan sampai berat dan berhubungan
seks. Dalam berpacaran remaja melibatkan beberapa kontak fisik, mulai dari
berpegangan tangan, berciuman atau berpelukan, bahkan berhubungan seksual.
Selain itu dalam berpacaran biasanya remaja juga melakukan necking dan petting.
Penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko (2007) tentang prilaku berpacaran remaja
di Kudus diketahui bahwa aktifitas yang dilakukan ketika pacaran sebanyak 33%
mengatakan ketika pacaran hanya berbagi cerita dengan pacarnya, 23% pergi
berduaan, 17% menyatakan mereka pegangan tangan, 9% memeluk pacarnya, 9%
mencium, 6% makan berduaan dan ada 3% yang melakukan hubungan suami istri.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Damayanti (2008), diacu dalam Nursal (2008)
terhadap remaja di SLTA Jakarta diperoleh hasil bahwa perilaku pacaran remaja
adalah mengobrol, pegangan tangan, berangkulan, berciuman pipi, berpelukan,
berciuman bibir, meraba-raba dada, meraba alat kelamin, menggesek kelamin, seks
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 5
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
oral, dan hubungan seks. Penelitian yang dilakukan Neni (2004) diacu dalam Nursal
(2008) pada murid SMU 9 Padang menemukan 7,8% murid telah melakukan
hubungan seks. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perilaku seksual murid
SMU Negeri di Padang dan faktor-faktor yang berhubungan dengannya. Pada
tingkat SLTP dilaporkan oleh Indarsita (2006) bahwa prilaku kesehatan reproduksi
siswa SLTPN Medan pada tahun 2002 diperoleh 28% berprilaku kesehatan
reproduksi yang termasuk beresiko.
Perilaku seksual yang banyak dilakukan oleh remaja dapat menimbulkan
berbagai dampak, seperti yang dijelaskan dalam tabel berikut ini:
Tabel 1. Dampak Perilaku Seksual
PERILAKU ASIKNYA NGGAK ASIKNYA
Nggak disalurkan
• nggak merasa berdosa • nggak bakal hamil • diterima masyarakat
• nggak „greng‟
Pegangan tangan
• aman • nggak bakalan hamil • diterima masyarakat
• bosan • nggak seru
Ciuman • nggak hamil • romantis • bisa dinikmati
• malu kalo ketauan • merasa berdosa • bisa nularin penyakit
Masturbasi • Aman dari kehamilan • Bisa puas juga • aman dari PMS/AIDS
• merasa bersalah • merasa berdosa
Petting
• bisa puas juga • Kemungkinan hamil kecil (bukan berarti nggak bisa) • Lebih „greng‟ dibanding ciuman
• bisa menularkan PMS • bisa menimbulkan lecet di alat kelamin
Hubungan seks • paling “heboh” • variasi banyak • sensasi paling “greng”
• resiko hamil besar • Resiko tertular PMS • resiko dicela masyarakat
Sumber : Dewi 2009
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting
dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis, seperti
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 6
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
berpacaran. Informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan,
agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang
tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali. Pemberian informasi masalah seksual
menjadi penting, mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif karena
berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak
memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri. Tentu
saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila tidak
memiliki pengetahuan dan informasi yang tepat.
III. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja
Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku
reproduksi remaja terdiri dari faktor di luar individu dan faktor di dalam individu.
Faktor di luar individu adalah faktor lingkungan di mana remaja tersebut berada.
Faktor lingkungan ini bervariasi macamnya, ada teman sepermainan (peer-group),
pengaruh media massa dan televisi, bahkan faktor orang tua sendiri (Taufik dan
Anganthi 2005). Sedang faktor di dalam individu yang cukup menonjol adalah sikap
permisif (sikap serba boleh) dari individu yang bersangkutan. Sementara sikap
permisif ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Laksmiwati 2000). Faktor lain yang
dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks bebas karena didorong oleh
rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Ini
merupakan ciri-ciri remaja pada umumnya. Remaja ingin mengetahui banyak hal
yang hanya dapat dipuaskan serta diwujudkannya melalui pengalaman mereka
sendiri (Taufik dan Anganthi 2005). Nursal (2008) menambahkan bahwa faktor yang
menyebabkan sehingga terjadinya perubahan pandangan perilaku seksual pada
remaja karena pengawasan dan perhatian orang tua dan keluarga yang longgar,
pola pergaulan bebas, lingkungan permisif, semakin banyaknya hal-hal yang
memberikan rangsangan seksual sangat mudah dijumpai dan fasilitas seringkali
diberikan oleh keluarga tanpa disadari.
Beberapa faktor lain yang disebutkan oleh Sarwono (2004) yang
mempengaruhi munculnya masalah kesehatan reproduksi remaja adalah ; a).
meningkatnya libido seksualitas, yang membutuhkan penyaluran dalam bentuk
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 7
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
tingkah laku seksual, b). penundaan usia perkawinan, c). tabu larangan, berlakunya
norma-norma agama yang melarang sesorang melakukan hubungan seksual
sebelum menikah, bagi remaja yang tidak dapat menahan diri akan cenderung
melanggarnya. d). kurang informasi tentang seks, yaitu karena belum lengkapnya
informasi yang benar, ada kecendrungan meniru apa yang dilihat dan didengar dari
media massa. e). pergaulan yang semakin bebas, hal ini berkembang karena
meningkatnya peran wanita didalam masyarakat yang kedudukannya makin sejajar,
sehingga pergaulanpun makin bebas.
A. Teman Sepermainan (peer-group)
Informasi mengenai kesehatan reproduksi dan hubungan seksual yang
diperoleh dari teman sebaya (peer) sedikit banyak telah memberikan dorongan
untuk menetukan prilaku seksual remaja dalam melakukan interaksi dengan
pasangan. Teori lain menyatakan dukungan teman menjadi salah satu motivasi
dan pembentukam identitas diri seorang remaja dalam melakukan sosialisasi,
terutama saat dia menjalin asmara dengan lawan jenis. Selanjutnya teman sebaya
dalam pergaulan kadangkala menjadi salah satu sumber informasi yang cukup
signifikan dalam membentuk pengetahuan seksual dikalangan remaja, bahakan
informasi teman sebaya bisa menimbulkan dampak negatif karena informasi yang
mereka peroleh hanya melalui tayangan media massa seperti; film, VCD,televisi
maupun pengalaman diri sendiri (Prihatin 2007).
Collins dan Loursen diacu dalam (Prihatin 2007) menyatakan remaja
cenderung lebih terbuka dalam menyelaisaikan masalah dengan kelompoknya, hal
ini karena adanya konflik atau perbedaan nilai yang dianut remaja dengan keluarga.
Dengan demikian peran teman sebaya bagi remaja sangat berarti dalam menjalin
informasi mengenai kesehatan reproduksi dan segala problematika seksual di
kalangan remaja.
B. Keluarga
Perubahan bentuk keluarga juga berakibat adanya perubahan dalam sifat
hubungan antara orang tua dengan anak-anak mereka, khususnya anak-anak
remaja. Perubahan tersebut adalah dalam arah semakin berkurangnya pengawasan
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 8
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
orang tua terhadap anak-anaknya, dan semakin terpisahnya orang tua dan anak-
anak mereka ke dalam dua dunia yang berbeda. Peran orang tua dalam mendidik
anak sangat menentukan pembentukan karakter dan perkembangan kepribadian
anak. Selanjutnya hubungan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak akan
menciptakan saling memahami terhadap masalah – masalah keluarga, khususnya
mengenai problematika remaja, sehingga akan berpengaruh terhadap sikap dan
perilaku yang dibawa anak yang sesuai dengan nilai – nilai yang ditanamkan kepada
anak oleh orang tua mereka (Davis 2006, diacu dalam Prihatin 2007). Pendapat lain
menyatakan bahwa orang tua memegang peranan penting untuk meningkatkan
pengetahuan anak remaja secara umum dan khususnya kesehatan reproduksi
(Hambali 2000).
Permasalahan yang sering muncul adalah bahwa sebagian orang tua dan
lingkungan masih menganggap tabu untuk membicarakan masalah seks. Adanya
anggapan bahwa membicarakan tentang kesehatan seksual adalah hal yang
memalukan dan tabu bagi keluarga dan masyarakat membuat remaja yang haus
informasi berusaha sendiri mencari informasi. Terkadang informasi yang di dapat
malah menyesatkan dan setengah-setengah. Menurut Surono (1997), diacu dalam
Nursal (2008) pengetahuan yang setengah setengah justru lebih berbahaya
ketimbang tidak tahu sama sekali, tetapi ketidaktahuan juga membahayakan.
Pengetahuan seksual yang hanya setengah-setengah tidak hanya mendorong
remaja untuk mencoba-coba, tapi juga bisa menimbulkan salah persepsi.
Komunikasi adalah inti suksesnya suatu hubungan antara orang tua dan remaja.
Hubungan komunikasi secara lancar dan terbuka harus selalu dijaga agar dapat
diketahui hal – hal yang diinginkan oleh remaja sehubungan dengan pertumbuhan
dan perkembangan remaja. Lebih jauh dikatakan bahwa orang tua harus dapat
menyediakan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan anak remaja di rumah
dan berbicara apasaja mengenai kehidupan yang berhubungan dengan remaja dan
jangan menggurui atau mengatakan ”tidak”, serta dapat menjadi teman yang baik
bagi remaja (Prihatin 2007).
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 9
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
C. Media Massa
Selain melalui teman sumber informasi utama remaja tenang kesehatan
reproduksi pada umumnya adalah media massa (cetak dan elektronik). Indarsita
(2006) melaporkan, media cetak dan media elektronik masing-masing memiliki
19,5% dan 33,3% proporsi dalam meningkatkan prilaku kesehatan reproduksi
beresiko pada remaja. Dewasa ini rangsangan seksual melalui media visual (televisi,
bioskop, vcd, internet), media cetak (majalah, buku-buku stensilan, novel roman dan
koran) sangatlah terbuka dengan lebar dan mengglobal, sangatlah membuat was-
was banyak pihak dikarenakan ketidaktahuan remaja dalam memahami masalah
seks karena remaja membahasnya dengan teman-teman sebaya (peer- group) yang
tidak tahu secara benar apa sebetulnya seks itu (Widjanarko 2007). Menurut
Indarsita (2006) prilaku kesehatan reproduksi yang beresiko pada remaja banyak
disebabkan oleh karena informasi tentang kesehatan reproduksi terutama seks lebih
mudah diperoleh karena aksesnya banyak antara lain melalui media cetak (buku,
majalah, stensilan) dan elektronik (radio, televise, dan Internet). Dengan makin
seringnya remaja terpapar oleh hal-hal tersebut maka memungkinkan bagi mereka
untuk berperilaku kesehatan reproduktif yang beresiko.
Paparan informasi seksual melalui media massa tidak begitu banyak
memberikan kontribusi positif bagi remaja. Tidak jarang informasi yang yang
diperoleh hanya berupa alternatif pemecahan masalah bagi mereka yang pernah
mempunyai masalah kesehatan reproduksi, seperti konsultasi seksologi di beberapa
majalah atau Koran. Rubrik konsultasi seperti tersebut biasanya diikuti oleh mereka
yang sudah berumah tangga atau mereka yang berperilaku tidak sehat. Keadaan
pengetahuan seperti ini menjadi faktor penting yang menyebabkan mereka semakin
permisif melakukan hubungan seks pranikah (Laksmiwati 2000). Mudahnya remaja
mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dari berbagai media tanpa adanya
batasan atau sensor, apalagi saat mendapatkan informasi tersebut tidak didampingi
oleh keluarga sehingga remaja tersebut menerima sesuai dengan alur pikirnya
sendiri, mengakibatkan tidak jarang terjadinya penyimpangan seksual akibat media
massa (Indarsita 2006).
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 10
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
IV. Kesehatan Reproduksi Remaja
Definisi kesehatan reproduksi dalam konfrensi kependudukan di Kairo 1994,
dilandaskan pada definisi sehat menurut WHO, yaitu keadaaan sehat secara
menyeluruh baik aspek fisik, mental, maupun sosial, dan bukan semata-mata
terbebas dari penyakit dan kecacatan yang berkaitan dengan sistem reproduksi,
fungsi dan prosesnya (ICPD 1994, diacu dalam Purwanto 2000). Kesehatan
reproduksi mencakup tiga komponen yaitu; kemampuan (ability), keberhasilan
(success), dan keamanan (safety). Kemampuan berarti dapat bereproduksi.
Keberhasilan berarti dapat menghasilkan anak sehat yang tumbuh dan berkembang.
Keamanan berarti semua prosess reproduksi termasuk hubungan seks, kehamilan,
persalinan, kontrasepsi dan abortus seyogianya bukan merupakan aktifitas yang
berbahaya (Affandy 1997).
Kesehatan reproduksi remaja mencakup tiga hal (Indrawanti dan Sadjimin
2002), yaitu; 1). Kesehatan masa remaja, ketika secara biologis kehidupan
seksualnya mulai aktif, dan ketika kaum wanita mulai mengalami haid. Haid seperti
juga hamil adalah proses wajar yang terjadi pada kaum wanita, tetapi dapat juga
mempengaruhi kesehatannya. Masalah bahaya penyakit kelamin AIDS juga mulai
diperhatikan dan disarakan sejak usia ini karena dampaknya data berkelanjutan
sampai mereka tua. 2). Kesehatan sewaktu masa usia produktif, yang mencakup
hamil dan sewaktu tidak hamil, ataupun ketidak mampuan untuk hamil. deteksi dini
terhadap keganasan dan kelaianan-kelainan yang secara kronis dapat
mempengaruhi kesehatan sampai tua harus mendapat perhatian sejak manusia
dalam usia produktif. 3). Kesehatan masa menopause
Menurut Purwanto (2000), Agar seseorang dapat melalui fungsi
reproduksinya secara sehat, kesehatan harus dijaga sejak masih berusia remaja,
bahkan sejak masih usia anak-anak. Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan yaitu;
1. Menjaga agar baik laki-laki maupun perempuan berproduksi dalam
keadaan sehat, serta mampu mengasuh anak-anaknya secara
bertanggung jawab, sehingga merekapun kelak akan mampu menjalani
tugas reproduksinya secara sehat pula.
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 11
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
2. Menjamin bahwa mereka akan melewati masa reproduksinya secara
aman, tanpa komplikasi baik secara fisik, mental maupun sosial.
3. Menjamin bahwa setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang
sama untuk mencapai semua itu.
Berbicara mengenai kesehatan reproduksi remaja, dewasa ini kebanyakan
dari perilaku seksual remaja telah banyak mengalami penyimpangan Berbagai
macam penelitian yang dilakukan terhadap para remaja menunjukkan
kecenderungan perubahan perilaku seksual remaja. Dari beberapa penelitian
tentang kesehatan reproduksi remaja yang telah dilakukan, menunjukkan tingkat
permisivitas (sikap serba boleh) remaja di Indonesia cukup memprihatinkan. Seperti
hasil penelitian yang dilakukan oleh Gatra bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI) menjaring
800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta, Yogyakarta, Medan,
Surabaya, dan Ujungpandang menjelang akhir 1997. Penelitian itu dimaksudkan
untuk mengetahui perhatian dan sikap para remaja terhadap masalah seks, sosial
politik, ekonomi, nilai-nilai agama, dan berbagai masalah aktual. Dari hasil penelitian
dapat diketahui bahwa responden menunjukkan sikap yang makin permisif (sikap
serba boleh) terhadap perilaku seks gaya modern. Sebanyak 45,9% (367
responden) memandang berpelukan antarlawan jenis adalah hal wajar, 47,3% (378
responden) membolehkan cium pipi, 22% tak menabukan cium bibir, 11% (88
responden) membolehkan necking atau cium leher atau cupang, 4,5% (36
responden) tak mengharamkan kegiatan raba-meraba, 2,8% (22 responden)
menganggap wajar melakukan petting (saling menggesek-gesekkan alat kelamin),
dan 1,3% (10 responden) tak melarang sanggama di luar nikah (Dewi 2009).
Perilaku seksual yang menyimang tersebut tersebut dapat ditimbulkan
karena berbagai macam kondisi. Seperti pada masa sekarang ini, terjadi kemajuan
yang sangat pesat dalam hal teknologi. Alat yang digunakan untuk mempermudah
komunikasi dan mencari informasi seperti telepon seluler (ponsel) dan internet
sudah banyak digunakan. Akan tetapi kecanggihan teknologi ini banyak disalah
gunakan oleh remaja, misalnya untuk mengakses situs porno, menyimpan video
porno, dan mengabadikan perilaku seksual yang mereka lakukan. Bila hal tersebut
diperparah dengan adanya informasi dan pengetahuan tentang kesehatan
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 12
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
reproduksi dan HIV/AIDS yang tidak tepat, maka remaja yang sedang berada dalam
masa pubertas dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dapat melakukan hubungan
seks yang tidak aman yang akan mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan,
HIV/AIDS maupun Infeksi Menular Seksual (IMS).
V. Berbagai Resiko Kesehatan Reproduksi
Pengetahuan remaja yang rendah dan tidak memadai akan kesehatan
reproduksi akan membuat remaja cenderung bersikap negatif tentang seksualitas.
Kajian yang dilakukan oleh Suryoputro et al. (2006) memperilahatkan temuan yang
mengejutkan bahwa pengetahuan responden remaja di jawa tengah tentang
kesehatan reproduksi pada umumnya “sangat rendah” (lebih dari 75% responden).
Tidak ada perbedaan yang bermakna antara mahasiswa yang berpendidikan lebih
tinggi dengan buruh pabrik yang berpendidikan lebih rendah. Hasilnya bahkan lebih
buruk pada variabel pengetahuan mereka mengenai PMS dan HIV/AIDS, dimana
seluruh reponden (100%) mempunyai tingkat pengetahuan yang “sangat rendah”.
Hal ini mengindikasikan adanya kekurangan informasi dan pendidikan yang
berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi yang diperlukan bagi
masyarakat remaja di Jawa Tengah. Jika keadaan tersebut berlangsung terus,
akibat negatif yang berkaitan dengan perilaku seksual remaja yang berisiko,
dikhawatirkan akan meningkat diwaktu mendatang.
Penyimpangan seksualitas dari remaja tersebut dapat menimbulkan berbagai
resiko diantaranya resiko kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual, kekerasan
seksual, dan lainnya yang dapat menjerumuskan remaja kedalam keterpurukan.
Prihatin (2007) menambahkan resiko dari penyimpangan seksual remaja dapat
berupa; a). kehamilan tak diinginkan, b). terkena penyakit menular dan HIV/AIDS,
c). infeksi saluran reproduksi, d). aborsi dengan segala resikonnya, e). hilangnya
keperawanan dan keperjakaan; f). ketagihan, g). gangguan fungsi seksual, h).
perasaan malu, bersalah dan berdosa, dan perasaan tak berharga.
A. Kehamilan
Di berbagai dunia, wanita menikah dan melahirkan dimasa remaja
kebanyakan disebabkan keterpaksaan, salah satu diantaranya yaitu hamil diluar
nikah (kehamilan yang tidak diinginkan). Kehamilan dan persalinan membawa
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 13
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
resiko morbiditas dan mortalitas yang lebih besar pada usia remaja dibandingkan
pada wanita yang telah berusia 20 tahunan, terutama diwilayah dimana pelayanan
medis sangat langkah atau tidak tersedia. Remaja putrid yang berusia kurang dari
18 tahun mempunyai 2 sampai 5 kali resiko kematian (maternal mortality)
dibandingkan dengan wanita yang telah berusia 18 – 25 tahun akibat persalinan
lama dan persalinan macet, perdarahan maupun faktor lain. Kegawatan darurat
yang berkaitan dengan kehamilan, misalnya tekanan darah tinggi (hipertensi) dan
anemia juga lebih sering terjadi pada ibu-ibu berusia remaja, terutama pada daerah
dimana kekurangan gizi merupakan endemis.(Kilbourne & Brook 2000).
B. Aborsi yang Tidak Aman
Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja sering kali berakhir dengan
aborsi. Banyak survey yang telah dilakukan di Negara-negara berkembang
menunjukkan bahwa hamper 60% kehamilan pada wanita dibawah umur 20 tahun
adalah kehamilan yang tidak diinginkan atau salah waktu. Pada akhir tahun 1980-an
di Kanada, Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa 50%
lebih dari semua aborsi terjadi pada wanita dibawah umur 25 tahun. Dibanyak
Negara berkembang, mahasiswa atau pelajar yang hamil diluar nikah seringkali
mencari pelayanan aborsi agar mereka tidak dikeluarkan dari sekolah (Zabin &
kiragu 1998).
Aborsi yang disengaja (induced abortion) seringkali beresiko lebih besar
pada remaja putrid dibandingkan pada wanita yang lebih tua. Remaja cenderung
menunggu lebih lama sebelum mencari bantuan karena tidak dapat mengakses
pelayanan kesehatan, atau bahkan mungkin mereka tidak sadar atau tidak tahu
bahwa mereka hamil. Di berbagai Negara, seperti di Indonesia, rsiko ini menjadi
berat dimana aborsi hanya tersedia dalam keadaan yang tidak aman, karena
merupakan suatu aib (rahasia) yang harus ditutupi. Di Nigeria 50-70% wanita yang
masuk rumah sakit akibat komplikasi aborsi yang disengaja, umumnya mereka yang
berusia dibawah 20 tahun. sebuah telaah yang dilaksanakan di sana selama 13
tahun, menemukan bahwa 72% kematian ibu di sebuah rumah sakit di Universitas,
terjadi pada wanitadi bawah usia 19 tahun dan disebabkan oleh komplikasi akibat
aborsi yang tidak aman (Kilbourne & Brook 2000).
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 14
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
C. Penyakit Menular Seksual (PSM) dan HIV-AIDS
Infeksi PMS dapat menyebabkan masalah kesehatan seumur hidup,
termasuk kemandulan dan rasa sakit kronis, serta meningkatkan resiko penularan
HIV-AIDS. Sekitar 333 juta kasus PMS yang dapat disembuhkan terjadi setiap
tahunnya. Data-data yang ada menunjukkan bahwa sepertiga dari infeksi PMS
dinegara-negara berkembang terjadi pada mereka yang berusia 13-20 tahun.
Dipedesaan di Kenya misalnya, 41% wanita berusia 15-24 tahun yang mengunjungi
klinik Kesehatan Ibu-Anak & KB (KIA/KB) terinfeksi PMS dibanding 16% dari seluruh
wanita usia produktif (Kilbourne & Brook 2000).
Resiko remaja untuk tertular HIV-AIDS juga meningkat. Perkiraan terakhir
memperhitungkan bahwa 40% dari infeksi HIV terjadi pada kaum muda berusia
15024 tahun, 7.000 dari 16.000 kasus infeksi baru yang terjadi setiap hari. Infeksi
baru pada kelompok wanita jauh lebih tinggi dibandingkan pada pria, dengan rasio
2:1 (Kilbourne & Brook 2000). Di Denpasar sendiri, menurut guru besar Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, per November 2007, 441 wanita dari 4.041 orang
dengan HIV/AIDS. Dari 441 wanita penderita HIV/AIDS ini terdiri dari pemakai
narkoba suntik 33 orang, 120 pekerja seksual, 228 orang an baik. Karena keadaan
wanita penderita HIV/AIDS mengalami penurunan sistem kekebelan tubuh
menyebabkan 20 kasus HIV/AIDS menyerang anak dan bayi yang dilahirkannya
(Muzayyanah 2009).
Kaum muda cenderung lebih beresiko tertular PMS, termasuk HIV-AIDS
karena berbagai sebab. Seringkali hubungan seksual terjadi tanpa direncanakan
atau tanpa diinginkan. Walaupun hubungan seksual dilakukan atas keinginan
bersama. Seringkali remaja tidak merencanakan lebih dahulu sehingga tidak siap
dengan kondom maupun alat kontrasepsi lain, dan mereka yang belum
berpengalaman berKB cenderung menggunkan alat kontrasepsi tersebut secara
tidak benar, sehingga resiko terjangkit PMS dan HIV-AIDS lebih tinggi. Remaja putri
mempunyai resiko lebih tinggi terhadap infeksi dibandingkan wanita lebih tua karena
belum matang sistem reproduksi mereka (Kilbourne & Brook 2000).
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 15
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
VI. Upaya-upaya Penanggulangan Penyimpangan Kesehatan Reproduksi Remaja
Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyimapngan-
penyimpangan seksual yang terjadi pada remaja seperti diantaranya yaitu dengan
melaksanakan pendidikan kesehatan reproduksi remaja di setiap jenjang sekolah
lanjutan di mulai pada tingkat pertama (SMP) sederajat, sekolah menengah atas
(SMA) (Prihatin 2007; Nursal 2007; Widjanarko 2007) dan kalau perlu pada jenjang
pendidikan tinggi atau diploma, baik sekolah negeri atau swasta melalui metode
peer education yang bersifat youth freendly (ramah terhadap remaja) artinya tidak
hanya memberi materi melauli proses belajar mengajar di kelas, tetapi
dikembangkan dengan metode lain seperti pemasangan mading, poster tentang
kesehatan reproduksi (Gambar 1), pembentukan Kegiatan ekstrakurikuler dengan
memasukkan materi-materi kesehatan reproduksi di dalamnya (Dewi 2009; Taufik
dan Anganthi 2005) seperti acara kesenian sekolah atau drama teater, dan lain –
lain, yang memuat materi dasar kesehatan reproduksi yang proporsional seperti: 1)
fungsi organ sistem reproduksi manusia yang mencangkup pemahaman remaja
tentang perubahan fisik anak laki – laki dan perempuan saat menjadi remaja,
mengenal masa subur, terjadinya proses kehamilan; 2) metode kontrasepsi KB; 3)
pencegahan penyakit menular seksual; 4) prilaku seksual yang sehat dan
bertanggung jawab; 5) Akibat dari kehamilan tak dikehendaki (Prihatin 2007).
Petuga kesehatan sebaiknya dapat melakukan kunjungan ke sekolah –
sekolah untuk memberikan informasi dasar kesehatan reproduksi dan seksualitas
yang proporsional sesuai dengan pemahaman dan tingkat pendidikan remaja serta
tidak menganggap tabu untuk membicarakan permasalahan kesehatan reproduksi
dan seksualitas serta penerapan program reproduksi secara benar dan
berkelanjutan (Widjanarko 2007; Prihatin 2007).
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 16
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
Gambar 1. Poster yang diproduksi oleh Pusat Program Kesehatan
Reproduksi Wanita Rusia, punya pesan sederhana
berbunyi; “Masa Muda sungguh indah jangan bergantung
pada kesempatan. Gunakan kontrasepsi”. (Kilbourne &
Brook 2000)
Taufik dan Anganthi (2005) menambahkan beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menaggapi sikap dan prilaku reproduksi remaja antara lain yaitu;
1). Perlunya informasi mengenai kesehatan reproduksi remaja buat orang tua agar
orang tua bisa mengikuti perkembangan seksualitas anaknya. Pentingnya
meningkatkan peran orang tua dan guru sebagai sumber informasi tentang
kesehatan reproduksi bagi remaja dengan cara membekali dengan pengetahuan
yang benar tentang kesehatan reproduksi (Gambar 2), 2). Peningkatan peranan
orang tua dan guru dapat dilakukan dengan membuat pertemuan rutin (semacam
parenting class) bagi remaja, 3). Menjalin kerja sama dengan stasiun radio atau
televisi untuk membuat paket acara yang berisi informasi tentang kesehatan
reproduksi remaja. Hal ini mengingat radio dan televisi adalah media yang paling
diminati oleh remaja sementara informasi tentang kesehatan reproduksi di radio dan
televisi sangat minim. Acara-acara yang patut dipertimbangkan adalah acara seperti
talk show dan curhat remaja yang bersifat interaktif. 3). Lebih mengoptimalkan peran
masjid atau musholla serta tempat-tempat ibadah agama lain di sekolah sebagai
pusat kegiatan siswa, agar siswa lebih dekat dengan kegiatan ibadah dan aktivitas-
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 17
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
Gambar 2. Poster dari Tanzania ini menekankan tanggung jawab
orang tua untuk mendidik anak-anak mereka mengenai
kesehatan reproduksi. Dari FAmili Planning Association
of Tanzania, 1995 (Kilbourne & Brook 2000).
aktivitas lainnya yang lebih terkontrol, misalnya dengan membentuk kelompok-
kelompok pengajian (halaqah), dll.
KESIMPULAN
Remaja memiliki peran besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan
penduduk yang diindikasikan dengan besarnya proporsi remaja di dunia sehingga
perhatian terhadap remaja perlu ditekankan, terutama dalam hal masalah kesehatan
reproduksi remaja. Kesehatan reproduksi remaja sampai sekarang ini masih sangat
memperihatinkan dan sangat berpotensi menyebabkan berbagai resiko seperti,
kehamilan yang tak diinginkan, terkena penyakit menular seksual dan HIV/AIDS,
infeksi saluran reproduksi, aborsi, dll. yang dapat mengakibatkan keterpurukan dan
hilangnya produktifitas dari remaja. Dengan melakukan upaya-upaya seperti
melaksanakan pendidikan kesehatan reproduksi remaja di setiap jenjang sekolah,
pembentukan kegiatan ekstrakurikuler dengan memasukkan materi-materi
kesehatan reproduksi di dalamnya, meningkatkan peran orang tua dan guru sebagai
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 18
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
sumber informasi kesehatan reproduksi bagi remaja, tidak menganggap tabu untuk
membicarakan permasalahan kesehatan reproduksi, serta menjalin kerja sama
dengan stasiun radio atau televisi untuk membuat paket acara yang berisi informasi
tentang kesehatan reproduksi remaja. Hal-hal tersebut diharapkan mampu
memberikan pendidikan kepada remaja seputar masalah kesehatan reproduksi
sehingga mereka dapat mengerti dan dapat terhindarkan dari prilaku penyimpangan
seksual dengan berbagai resiko yang dapat ditimbulkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Affandy B.1997. Kesehatan Reproduksi, Hak Reproduksi, dan Realitas Sosial. Popoluasi 8(2):25-28.
Dewi INCT. 2009. Pengaruh Faktor Personal dan Lingkungan Terhadap Perilaku Seksual Pra Nikah pada Remaja di SMA Negeri 1 Baturaden dan SMA Negeri 1 Purwokerto. tesis]. Semarang : Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro.
Hambali. 2000. Mensosialisasikan Pendidikan Seks Untuk Remaja, Jender dan Kesehatan. Berita Berkala. 6:29-30.
Indarsita D. 2006. Hubungan Faktor Eksternak dengan Perilaku Remaja dalam Hal
Kesehatan Reproduksi di SLTPN Medan Tahun 2002. Jurnal Ilmiah PANNMED 1(1):14-19.
Indrawanti R dan T Sadjimin. 2002. Pengetahuan Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kotamadya Yogyakarta mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja. Berkala Ilmu Kedokteran 34(4):257-268
Kilbourne M, Brook. 2000. Kesehatan Reproduksi Remaja : Membangun Perubahan yang Bermakna. OutLook Volume 16.
Laksmiwati IAA. 2000. Transformasi Sosial dan Perilaku Reproduksi Remaja. Artikel Ilmiah.
Muzayyanah SN. 2009. Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja: Bagaimana
Menyikapinya? http://poltekestniau.ac.id/node/15. [19 April 2011].
Nursal DGA. 2008. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual Murid Smu Negeri di Kota Padang Tahun 2007. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(2):175-180
S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 19
Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner
Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor
Prihatin TW. 2007. Analisis Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Sikap Siswa SMA terhadap Hubungan Seksual (intercourse) Pranikah di Kota Sukoharjo Tahun 2007. [tesis]. Semarang : Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro.
Purwanto E. 2000. Perbandingan Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Siswa Sekolah Menengah Umum di Pedesaan dan Perkotaan. [tesis]. Semarang : ProgramPendidikan Dokter Spesialis I, Universitas Diponegoro.
Sarwono S W 2004. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Suryoputro A. Nicholas JF, Shaluhiyah Z. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya Terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Makara, Kesehatan 10(1): 29-40
Taufik, NRN Anganthi. 2005. Seksualitas Remaja: Perbedaan Seksualitas antara Remaja yang Tidak Melakukan Hubungan Seksual dan Remaja yang Melakukan Hubungan Seksual. Jurnal Penelitian Humaniora 6(2):115-129.
Widjanarko M. 2007. Perilaku Seks Remaja Kudus. ISSN : 1979-6889.
Zabin L, K Kiragu. 1998.Healt Consequences of Adolescens sexuality and Vertility Behavior in sub-Sahara Afrika. Studies in Family Planning 29(2):210-232.