Post on 22-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina dan merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut yaitu tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila
pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan
pada tonsila palatina biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi
melalui udara (air borne droplets). Peradangan ini terjadi pada semua umur, terutama pada
anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain bakteri
streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus dan virus Herpes
Simplex. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis adalah bakteri Streptococcus beta
hemolitik grup A, 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan merupakan penyebab
radang tenggorokan.3 Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang
berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Terdapat referensi yang menghubungkan antara nyeri
tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik.5
Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan
ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil.
Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi
berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini
mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam
berulang, odinofagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan submandibula.6
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1
Di Amerika Serikat, antara 2,5% hingga 10,9% dari anak-anak dapat didefinisikan
sebagai carier. Prevalensi rata-rata carier dari anak sekolah yang menderita tonsillitis yang
disebabkan Streptococcus adalah 15,9% dalam satu penelitian. Pada anak sekolah usia 5 -18 di
1
Amerika Serikat Streptococcus beta hemoliticus group A didapatkan sebanyak 20-40%.2
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) ada tahun 1994-1996,
prevalensi tonsillitis kronik setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Insiden
tonsillitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang yang dilaporkan oleh Aritmoyo (1978) sebanyak
23,36 % dan 47% di antaranya pada usia 6 – 15 tahun. Sedangkan Udaya (1999) di RSUP Hasan
Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 menemukan 1024 pasien tonsillitis
kronik atau 6,75% dari seluruh kunjungan.7
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan refleksi kasus ini adalah untuk menambah pengetahuan penulis
tentang penegakkan diagnosis tonsillitis kronis dan penatalaksanaannya untuk dibandingkan
antara temuan yang didapat pada kasus dengan teori yang ada..
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tonsil
Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di bawah
epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ.8 Pada tonsil terdapat epitel permukaan yang
ditunjang oleh jaringan ikat retikuler dan kapsul jaringan ikat serta kriptus di dalamnya.1,8
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi :
Tonsila lingualis yang terletak pada radix linguae.
Tonsila palatina (tonsil) yang terletak pada isthmus faucium antara arkus glossopalatinus
dan arkus glossofaringeus.
Tonsila faringica (adenoid) yang terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
Tonsilla tubaria yang terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba
auditiva.
Plaques dari Peyer (tonsil perut) yang terletak pada ileum.8
Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsila lingualis, tonsila palatina, tonsila faringica dan
tonsila tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu saluran nafas dan saluran
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan cincin Waldeyer.1,8,9
Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan.
Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak,
adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun dan kemudian menjadi atrofi pada masa
pubertas.9,10
Jaringan limfoid pada cincin Waldeyer berperan penting pada awal kehidupan yaitu
sebagai daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar (makan,
minum, bernafas) dan sebagai surveilans imun. Fungsi ini didukung secara anatomis dimana di
daerah faring terjadi tikungan jalannya material yang melewatinya di samping itu bentuknya
tidak datar, sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengandemikian
kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada permukaan
penyusun cincin Waldeyer itu semakin besar.8
2.2. Embriologi Tonsil
3
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke dinding
faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal
kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan
membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3
hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di
dekat epitel tersebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat
limfoid. Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim,
dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil.11
2.3. Anatomi Tonsil
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian
terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil
lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa
Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.11
Gambar 2.1. Anatomi Tonsil
2.4.1 Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior
(otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi
4
seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh :
1. Lateral : m. konstriktor faring superior.
2. Anterior : m. palatoglosus.
3. Posterior : m. palatofaringeus.
4. Superior : palatum mole.
5. Inferior : tonsil lingual.11
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid).11
2.4.1.1 Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar
anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan
berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum
mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral
esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar
anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan
masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.11
2.4.1.2 Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat yang disebut
kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi
menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.11
2.4.1.3 Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis
yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat
menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering
terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.11
2.4.1.4 Vaskularisasi Tonsil
5
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. karotis eksterna, yaitu
1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina ascendens.
2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desendens.
3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.
4) A. faringeal ascendens.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh A. palatina ascendens, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A.
tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran
balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.11
2.4.1.5 Aliran Getah Bening Tonsil
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah m. sternokleidomastoideus, selanjutnya
ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh
getah bening eferan, sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.11
2.4.1.6 Persarafan Tonsil
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.11
2.4.2 Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang
sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu
segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.
Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan
adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada
masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7
tahun kemudian akan mengalami regresi.11
2.5. Fisiologi dan Imunologi Tonsil
6
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%
: 50%, sedangkan di darah 55-75% : 15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang
terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang
berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin
spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.11
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu
1) Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif.
2) Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.11
Tonsilitis Kronik
2.4. Definisi
Tonsilitis kronik merupakan peradangan kronik pada tonsila palatina setelah serangan
akut yang terjadi berulang-ulang. Biasanya sering didahului dengan peradangan pada bagian
tubuh lain seperti sinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili dan sebagainya.12
2.5. Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara aerogen
yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke
tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan. Etiologi penyakit
ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akutyang mengakibatkan kerusakan
permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.13
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri aerobik dan
anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang paling
sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora
normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi patogen infeksius yang
memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.14,15
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan
bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alfa
kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Staphylococcus
7
epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella
dan E. coli.16 Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan yang khusus
karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab penting dari infeksi virus adalah
adenovirus, influenza A dan herpes simpleks (pada remaja). Selain itu, infeksi virus juga
termasuk infeksi dengan coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi
pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan
pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut.15
Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan bayi atau pada anak-
anak dengan immunocompromised.15
2.6. Epidemiologi
Di Indonesia, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab
tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996 - 1997 cakupan temuan penderita
ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan sasaran temuan pada penderita ISPA
pada tahun tersebut adalah 78% - 82% sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya
pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat, absensi sekolah sekitar 66% diduga disebabkan
ISPA. Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau
karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.16
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika Serikat
mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada
7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi
kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah
kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008 – Mei 2009 sebanyak 63 orang.
Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama, maka angka ini
merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.17
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657 data
penderita tonsilitis kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%). Sebaliknya
penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita tonsilitis kronis,
sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita.16
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-anak
muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus
biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi pada
8
anak-anak muda.2,14 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis kronis merupakan
penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam
suatu penelitian prevalensi karier Streptokokus group A yang asimptomatis yaitu 10,9% pada
usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15 - 44 tahun dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut
penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita tonsilitis kronis adalah
kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 %. Sedangkan Kisve pada penelitiannya
memperoleh data penderita tonsilitis kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-
14 tahun.11 Suku terbanyak pada penderita tonsilitis kronis berdasarkan penelitian yang
dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh 38%,
Malay 25%, Iban 20% dan Chinese 14%.16
2.7. Patogenesis
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil.
Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal
infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat
keadaan umum tubuh menurun.16 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal bereaksi
dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena proses
radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripti ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submadibularis.1
2.8. Faktor Predisposisi
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun
lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit tonsilitis kronis. Pada
penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara
relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor
genetik sebagai faktor predisposisi penyakit tonsilitis kronis.18
9
Beberapa faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis yaitu :
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan.
2. Higiene mulut yang buruk.
3. Pengaruh cuaca.
4. Kelelahan fisik.
5. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.1
2.9. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri tenggorokan
yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas. Gejala-gejala
konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.19 Pada pemeriksaan tampak
tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripta melebar dan beberapa kripta terisi
oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas
yang berbau.1 Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal.2
Pada umumnya, terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan ke dalam
kategori tonsillitis kronik berupa :
(a) Pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar
di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent.
(b) Tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed”
dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.14
Gambar 2.2. Tonsillitis Kronik
10
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi : 21,22,23
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
Gambar 2.3. Rasio perbandingan orofaring dengan tonsil.
11
Gambar 2.4. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) Grade-
III tonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)
2.10. Diagnosis
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis secara
tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara menyeluruh untuk menyingkirkan
kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan diagnosis. Pada
anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang berupa nyeri
tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal di tenggorok, ada rasa kering di
tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran
napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat
ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan adanya
pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,19,20
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripta
melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Pada umumnya, terdapat dua gambaran tonsil
yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik.20 Pada biakan tonsil
dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa organisme yang virulensinya relatif
rendah dan pada kenyataannya jarang menunjukkan Streptokokus beta hemolitikus.14,20
2.11. Pemeriksaan Penunjang
12
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita tonsilitis kronis :
Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen
dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organism patogen
disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat.
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari permukaan tonsil. Berdasarkan penelitian
Kurien di India, terhadap 40 penderita tonsillitis kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan
kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan
diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri tonsilitis kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.
Kuman terbanyak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diikuti Stafilokokus
aureus.24
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan - sedang
infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abcess dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal
tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa
tonsilitis kronis.24
2.12. Diagnosis Banding
1. Tonsillitis difteri
Tonsilitis yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang
yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam
darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat / cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar
imunitas. Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia sampai 5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu
umum, lokal, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya
yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah,
nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane
semu (pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian
13
besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-
otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.1
Gambar 2.5. Tonsila Difteri
2. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau treponema. Gejala pada penyakit
ini berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan lemah, rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi
dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membran
putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau
(foetor ex ore) dan kelenjar submandibular membesar.1
Gambar 2.6. Angina Plaut Vincent
3. Faringitis
14
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,
trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena
bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan
katup jantung, glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya
kompleks antigen antibodi. Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri
tenggorok, sulit menelan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik, tampak tonsil membesar,
faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan
nyeri pada penekanan.1
Gambar 2.7. Faringitis
4. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada
penyakit ini, tampak adanya bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding
posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah faring yang
tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri
tekan.1
5. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Gejala klinik pada faringitis
tuberkulosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoreksia dan odinofagia. Pasien
mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar limfa
servikal.1
15
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok dan
kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau
kultur, X-ray dan biopsi.
2.13. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan operatif.
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada higien mulut dengan cara berkumur atau obat isap, pemberian
antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.1,14 Pemberian antibiotika
sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis adalah
cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau
abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).16
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal. Dengan tindakan tonsilektomi.9 Pada
penelitian Khasanov et al mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis
Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa
tonsilitis kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi.16
Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner terhadap 15.788
penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah
itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%)
penderita dirujuk ke rumah sakit.16
Indikasi Tonsilektomi
Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi belum dievaluasi
secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk pengobatan tonsilitis akut atau kronik,
tetapi tidak ada bukti ilmiah randomized controlled trials untuk panduan klinisi dalam
memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. Tidak ditemukan studi Randomized
Controlled Trial (RCT) yang mengkaji efektivitas tonsilektomi pada dewasa. Untuk keadaan
emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak
diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non
16
emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah
kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.
Indikasi absolut :
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas, disfagia berat, gangguan
tidur atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.
b) Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika
dilakukan fase akut.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.
Indikasi relatif :
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil per tahun, meskipun tidak diberikan pengobatan medik
yang adekuat.
b) Halitosis akibat tonsilitas kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik.
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.14,16,21
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah 1
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapat terapi yang adekuat.
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan
orofasial.
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas, sleep apneu,
gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonal.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil hilang
dengan pengobatan.
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh Streptokokus beta hemolitikus grup A.
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
h. Otitis media supuratif.
Kontraindikasi Tonsilektomi
17
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya
dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan
risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit
berat, anemia dan infeksi akut yang berat. 16,22
Persiapan Pasien Tonsilektomi
Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari bahwa mungkin
tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit
yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khusus terhadap
adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama kecenderungan terjadinya pendarahan.
Disamping itu riwayat saudara pasien yang mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum
sebaiknya diketahui untuk menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna.
Pemeriksaan laboratorium seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah
trombosit, pemeriksaan hitung darah komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain itu
pemeriksaan antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta
sebagai salah satu indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu pertama dan
mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi. Pemeriksaan dikatakan
positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari 200 IU/ml. Selain itu pemeriksaan
radiologi dada dan elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan.5,6,14
Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi
oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Di Indonesia teknik
tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.16,25
Diseksi
Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil dijepit dengan forsep
dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membrane mukus. Dilakukan diseksi dengan
disektor tonsil atau gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan menggunakan
senar untuk menggangkat tonsil.
Guilotine
18
Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil dapat
digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.
Elektrokauter
Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini
mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
Laser tonsilektomi:
Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat
digunakan namun laser CO2 lebih disukai. Tehnik yang dilakukan sama dengan yang dilakukan
pada tekhnik diseksi.
Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah
perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri.
Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya
infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih berpengalaman
dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit
sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler
atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar,
dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong,
maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior
dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.25
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada cara
guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan jaringan
di sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau
dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.25 Komplikasi pasca
bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu immediate, intermediate dan late
complication. 25
Komplikasi segera (immediate complication)
19
Pasca bedah dapat berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi.
Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24
jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat
bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas
menyebabkan asfiksia. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau
terlepasnya ikatan. 25 Perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar
dan mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 26
Komplikasi kemudian (intermediate complication)
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (intermediate complication) dapat
berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya
terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta trauma akibat
makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi
fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya
terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari
pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer.25
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis
uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang
mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat
mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis.
Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan
gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring
akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan dengan
ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan ini
biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil.25
Komplikasi lambat (Late complication)
Pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole. Bila berat, gerakan
palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil.
Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat mengakibatkan
tonsilitis akut atau abses peritonsil.25
20
Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 21,22
· Immediate and Delayed Hemorrhage
· Postoperative Airway Compromise : Jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh terlepasnya
bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post operasi edema oropharingeal atau
hematom retropharyngeal.
· Dehidrasi.
· Edema pulmonal : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas yang obstruksi
karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan penurunan mendadak tekanan
intratoracal, peningkatan volume darah paru dan peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat
terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan jalan napas.
· Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut.
· Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan darah.
2.14. Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis
kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara
hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis
iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.1 Beberapa literatur, menyebutkan
komplikasi tonsillitis kronis antara lain : 16,27
a) Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed.
Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah
malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan
melakukan aspirasi abses.
21
Gambar 2.8. Abses peritonsil
b) Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula,
demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah medial. Abses
dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
c) Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan
penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang
bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa
dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu
terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi
ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak
nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan
palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
e) Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan diatas
tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah dilakukan drainase.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada
43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta
22
hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini
megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit
Glomerulonefritis.
2.15. Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman.
Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai
arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan
dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita
mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga
dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius
seperti demam rematik atau pneumonia.16
BAB III
REFLEKSI KASUS
3.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. G.
Usia : 21 tahun.
Jenis Kelamin : Laki-laki.
Alamat : Jl. Merapi No. 35 Lempake.
Pekerjaan : Montir Bengkel.
23
Suku : Jawa.
Agama : Islam.
Tanggal Pemeriksaan : 15 Mei 2013
Ruang Perawatan : Ruang Anggrek
3.2. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dengan pasien oleh pasien pada tanggal 15 Mei 2013.
Keluhan Utama : Rasa mengganjal pada tenggorokan
Riwayat Sakit Sekarang
Rasa mengganjal pada tenggorokan dialami sejak 1 bulan yang lalu.
Keluhan tidak disertai nyeri menelan, hanya kesulitan menelan untuk makan dan minum.
Jika tidur, pasien selalu mengorok.
Terdapat napas berbau.
Pasien tidak ada mengeluhkan pilek ataupun sakit telinga saat pemeriksaan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sering mengalami batuk pilek berulang disertai demam sejak 2 tahun yang lalu
namun membaik setelah berobat ke puskesmas dan berulang lagi beberapa minggu
kemudian.
Pasien tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa.
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat alergi.
Riwayat Kebiasaan
Pasien suka mengkonsumsi minuman dingin, gorengan dan makanan pedas.
Riwayat Pekerjaan
Pasien bekerja di bengkel sebagai montir dan sering merasa kelelahan.
24
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sakit sedang.
Kesadaran : Compos mentis.
Tanda vital : Tekanan darah : 120/80 mmHg.
Nadi : 80 kali / menit.
Napas : 20 kali / menit.
Suhu : 36,4 oc.
Status Generalisata
Kepala dan leher : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks
cahaya (+/+), pembesaran KGB (-).
Thorax :
Paru : Inspeksi : gerakan dada simetris, retraksi ICS (-), Palpasi : fremitus raba simetris,
Perkusi : sonor, Auskultasi : suara napas vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-).
Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak, Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS V
MCL sinistra, Perkusi : redup, Auskultasi : S1S2 tunggal regular.
Abdomen : Inspeksi : datar, Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, Perkusi : timpani,
Auskultasi : bising usus (+)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-).
Status Lokalis
Telinga Kanan Kiri
Aurikula Radang (-), nyeri tekan tragus (-) Radang (-), nyeri tekan tragus (-)
Retroaurikula Radang (-), nyeri tekan (-) Radang (-), nyeri tekan (-)
Meatus Akustikus
Eksternus
Mukosa hiperemi (-), edema (-) Mukosa hiperemi (-), edema (-)
Membran Timpani MT intak, hiperemis (-), edema (-),
reflex cahaya (+) arah jam 5
MT intak, hiperemis (-), edema
(-), reflex cahaya (+) arah jam 7
Hidung Kanan Kiri
25
Kulit luar Warna kulit sama dengan sekitarnya
Discharge (-) (-)
Septum nasi Deviasi septum (-) Deviasi septum (-)
Mukosa rongga hidung Hiperemis (-), pucat (-) Hiperemis (-), pucat (-)
Konka nasi Hipertrofi (-), edema (-) Hipertrofi (-), edema (-)
Tenggorok
Fetor (+)
Tonsil T3, hiperemis (-), kripta
melebar (-), detritus (-)
T3, hiperemis (-), kripta
melebar (-), detritus (-)
Uvula Simetris, hiperemis (-), edema (-), letak di tengah.
Palatum mole Simetris, hiperemis (-)
Dinding faring Mukosa halus, hiperemis (-), refleks muntah (+)
3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : Leukosit : 7.200 / mm3
Hb : 16,3 g/dl
Trombosit : 290.000 / mm3
Bleeding time : 2’
Clotting time : 8’
3.4 DIAGNOSIS
Tonsilitis Kronis
3.5 PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
Menghindarkan makanan yang merangsang seperti makanan pedas, gorengan dan
minuman dingin.
Istirahat yang cukup.
Menjaga higiene mulut.
Medikamentosa Pre Operasi
26
Infus RL : D5 = 1 : 2 (20 tpm).
Ranitidin inj 3 x 1 ampul IV.
Operatif
Tonsilektomi tanggal 18 Mei 2013
Medikamentosa Post Operasi
Cefotaxim inj 2 x 1 gram IV
Ranitidin inj 3 x 1 ampul IV
Natrium metamizol inj 3 x 1 ampul IV
Dexamethason inj 3 x 1 ampul IV
3.6 PROGNOSIS
Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien An. G, usia 21 tahun, dirawat di ruang Anggrek dengan keluhan rasa mengganjal
pada tenggorokan yang dialami sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan tersebut tidak disertai dengan
nyeri menelan, hanya kesulitan menelan untuk makan dan minum. Jika tidur pasien cenderung
selalu mengorok dan napas pasien berbau. Pasien sering mengalami batuk pilek berulang disertai
demam sejak 2 tahun yang lalu namun membaik setelah berobat ke puskesmas dan berulang lagi
27
beberapa minggu kemudian. Pasien tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya. Pasien suka
mengkonsumsi minuman dingin, gorengan dan makanan pedas. Pasien sering kelelahan selama
bekerja sebagai montir.
Berdasarkan literatur, tonsilitis kronik merupakan peradangan kronik pada tonsila
palatina setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang. Biasanya sering didahului dengan
peradangan pada bagian tubuh lain.12 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis
kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25
tahun. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita tonsilitis kronis
adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 %.11 Manifestasi klinik yang timbul dapat
bervariasi. Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang berupa
nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal di tenggorok, ada rasa
kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan dan obstruksi pada saluran cerna dan
saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala
konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.1,19,20 Beberapa faktor
predisposisi timbulnya tonsillitis kronis antara lain rangsangan menahun (kronik) rokok dan
beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.1
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak tonsil membesar dengan gradasi T3 disertai
dengan pelebaran kripta dan adanya halitosis. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kripta melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Berdasarkan
literatur, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripta
melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Pada umumnya, terdapat dua gambaran tonsil
yang secara menyeluruh dimasukkan ke dalam kategori tonsillitis kronik berupa pembesaran
tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di atasnya
tertutup oleh eksudat yang purulen dan tonsil tetap kecil, biasanya mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan
diatasnya tampak eksudat yang purulen.14,20
Pada kasus dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk persiapan operasi. Menurut
literatur, dilakukan pemeriksaan gold standard berupa pemeriksaan kultur kuman dari tonsil
yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil agar pemberian antibiotik sesuai dengan jenis
kuman penyebab infeksi pada tonsil tersebut.24 Selain itu, pemeriksaan laboratorium seperti
28
waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit, pemeriksaan hitung darah
komplit dilakukan sebagai persiapan operasi.5,6,14
Penatalaksanaan yang diberikan adalah infus RL : D5 = 1 : 2 (20 tpm) dan ranitidin
injeksi 3 x 1 ampul IV dan direncanakan untuk dilakukan tonsilektomi. Untuk post tonsilektomi
diberikan terapi cefotaxim inj 2 x 1 gram IV, ranitidin inj 3 x 1 ampul IV, natrium metamizol inj
3 x 1 ampul IV, dexamethason inj 3 x 1 ampul IV. Berdasarkan literatur, penatalaksanaan untuk
tonsilitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan operatif. Untuk medikamentosa, terapi ini
ditujukan pada menjaga higiene mulut dengan cara berkumur, pemberian antibiotik, pembersihan
kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.1,14 Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan
mengangkat tonsil (tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.16 Untuk
pasien ini dilakukan tonsilektomi atas indikasi yaitu pembesaran tonsil yang menyebabkan
sumbatan jalan napas atas, disfagia berat, gangguan tidur atau terdapat komplikasi
kardiopulmonal, halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan
medik.14,16,21
Prognosis pada pasien ini adalah bonam, karena dilakukan pengobatan yang adekuat.
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan pasien laki-laki dengan usia 21 tahun dirawat di ruang Anggrek RSUD
AWS Samarinda dengan keluhan rasa mengganjal pada tenggorokan. Berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis tonsillitis kronis. Penatalaksanaan yang diberikan yaitu
pembedahan berupa tonsilektomi dan diberikan medikamentosa yang bersifat suportif,
simptomatik maupun kausatif berupa cairan infus, analgetik, anti radang dan antibiotik serta
29
edukasi. Prognosis pasien ini bonam karena diberikan terapi yang adekuat dan dilakukan
tindakan pembedahan sesuai dengan indikasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. 2007. Tonsilitis Kronik. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi VI. Jakarta : FK UI. Hal. 212-225.
2. Udayan, K.S. 2011. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. Available from : http://emedicine.
medscape.com/. Diakses tanggal 18 Mei 2013.
3. Medical Disbility Advisor. 2011. Tonsillitis and Adenoiditis. Available from : http://www.
mdguidelines.com/tonsillitis-and-adenoiditis/. Diakses tanggal 18 Mei 2013.
30
4. John, P.C., William, C.S. 2011. Tonsillitis and Adenoid Infection. Available from :
http://www.medicinenet.com. Diakses tanggal 18 Mei 2013.
5. Christopher, M.D., David, H.D., Peter, J.K. 2003. Infectious Indications for Tonsillectomy.
In : The Pediatric Clinics Of North America. Page 445 - 458.
6. Adnan, D., Ionita, E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis.
7. Farokah. 2005. Laporan Penelitian : Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi Belajar
Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Available from : http://eprints.undip.ac.id
/12393/1/2005FK3602.pdf. Diakses tanggal 18 Mei 2013.
8. Wirawan, S., Putra, I.G.A.G. 1979. Arti Fungsional dari Elemen-Elemen Histologis Tonsil
dalam Masna P.W (ed) Tonsila Palatina dan Permasalahannya. Denpasar : FK UNUD.
9. Pracy, R et al. 1974. Pelajaran Ringkas THT. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
10. Richard, S.S. 2006. Pharynx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: ECG. Page 795-801.
11. Hatmansjah. 1993. Tonsilektomi. Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan
Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura. Cermin Dunia Kedokteran No. 89.
12. Lee, K.J. 2003. The Oral Cavity, Pharynx & Esophagus dalam Essential Otolaryngology
Head & Neck Surgery. USA : Mc Graw Hill Medical Publishing Division.
13. Mandavia, Rishi. 2012. Tonsillitis. Available from : http://www.entfastbleep.com. Diakses
tanggal 18 Mei 2013.
14. Boies, A.H. 1997. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta :
ECG. Page 263-340.
15. Gross, C.W., Harrison, S.E. 2000. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review. Available
from : http://www.pediatricsinrewiew.com Diakses tanggal 18 Mei 2013.
16. Amalia, Nina. 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik
Medan.
17. Indo, S., Raden, S., Linda, K., Sutji, P.R., Lapran. Penelitian : Kadar Imunoglobulin A
Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum Dan Setelah Tonsilektomi.
18. Ellen, K., Kari, Jo, K., Espen, R. et al. 2005. Heritability of Reccurent Tonsillitis. Available
from : http://www. Archotolaryngelheadnecksurg.com. Diakses tanggal 18 Mei 2013.
31
19. Nelson, W.E., Behrman, R.E., Kliegman, R., Arvin, A.M. 2000. Tonsil dan Adenoid. In:
Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2. Jakarta : ECG. Page 1463-1464.
20. Hassan, R., Alatas, H. 2007. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
Jilid 2. Jakarta : FKUI. Page 930-933.
21. Bailey, B.J., Johnson, J.T., Newlands, S.D. 2006. Tonsillitis, Tonsillectomy and
Adenoidectomy. In : Head&Neck Surgery-Otolaryngology 4th edition.
22. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In : Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. Page 158-165.
23. Andrews, B.T., Hoffman, H.T., Trask, D.K. 2007. Pharyngitis / Tonsillitis. In: Head and
Neck Manifestations of Systemic Disease. USA. Page 493-508.
24. Uğraş, Serdar, Kutluhan, Ahmet. 2008. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.
Available from : http://www. Bioline International .com. Diakses tanggal 18 Mei 2013.
25. Hatmansjah. 1993. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89. Available from :
http://www. cerminduniakedokteran .com. Diakses tanggal 18 Mei 2013.
26. Harrison, S.E., Osborne, E., Lee, S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy. In:
Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates.
27. Lalwani, A.K. 2007. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In : Current
Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill.
32