Post on 01-Jan-2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Umum
Setiap menit terdapat sekitar 4-6 orang meninggal di dunia karena
serangan jantung. Dan sangat disayangkan bila seseorang tiba – tiba meninggal,
yang tadinya kelihatan segar bugar, dengan kata lain jantungnya yang sehat untuk
tiba – tiba tidak berdenyut lagi.
Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di
rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung paru
(RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR). Menurut American Heart
Association tindakan resusitasi jantung paru mempunyai hubungan erat dengan
rantai kehidupan (chain of survival), karena bagi penderita yang terkena serangan
jantung, dengan diberikan RJP segera maka akan mempunyai kesempatan yang
amat besar untuk dapat hidup kembali.
RJP merupakan suatu prosedur tindakan penyelamatan jiwa yang
meningkatkan kemungkinan hidup setelah henti jantung. Meskipun pendekatan
optimal dalam RJP dapat bervariasi, tergantung dari penolong, penderita, dan
sumber yang tersedia, namun tantangan yang muncul tetap, yaitu bagaimana
untuk mencapai RJP yang dini dan efektif. Oleh karena itu, pengenalan yang dini
terhadap henti jantung dan tindakan segera oleh penolong terus menjadi prioritas
untuk AHA Guidelines for CPR and ECC 2010.
Tahun lalu American Heart Association (AHA), dalam Jurnal Circulation
yang diterbitkan 2 November 2010, mempublikasikan Pedoman Cardiopulmonary
Resucitation (CPR) dan Perawatan Darurat Kardiovaskular 2010.
Rekomendasi 2010 Pedoman mengkonfirmasi keamanan dan efektivitas
dari banyak pendekatan, mengakui ketidakefektifan orang lain, dan
memperkenalkan perawatan baru berbasis evaluasi bukti intensif dan konsensus
para ahli. Kehadiran rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa
1
pedoman sebelumnya tidak aman atau tidak efektif, melainkan untuk
menyempurnakan rekomendasi terdahulu.
1.2. Ruang Lingkup
Referat ini mengangkat topik Resusitasi Jantung Paru, yang berdasarkan
”American Heart Association (AHA) Guidelines for CPR and ECC 2010“
1.3. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang definisi,
indikasi, tahapan resusitasi dan perbedaan “Guideline CPR 2010” dengan
“Guideline CPR 2005”
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harafiah menghidupkan
kembali, dimaksudkan usaha – usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu
episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi Jantung
Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary Resucitation (CPR) adalah prosedur kegawat
daruratan medis yang diajukan untuk serangan jantung pada henti nafas.
Resusitasi Jantung Paru adalah kombinasi antara bantuan pernafasan dan
kompresi jantung yang dilakukan pada korban serangan jantung.
2.2. Indikasi RJP
RJP diindikasikan untuk setiap orang yang tidak sadar, yang tidak bernafas
atau hanya tergagap (gasping), sebagaimana yang sering terjadi pada henti jantung
A. Henti napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap / uap / gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan
infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan
terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti
jantung.
Untuk orang awam, jika tidak ada gerakan dada dan nafas tidak normal
(gasping), segera lakukan Resusitasi Jantung Paru.
3
B. Henti jantung
Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan
dapat kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat. Sebaliknya akan
menyebabkan kematian atau kerusakan otak jika tindakan yang dilakukan tidak
tepat. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak
termasuk dalam henti jantung.
Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau
penyebab ekstrakardial (dari luar jantung). Yang termasuk penyebab kardial yaitu
gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan kontraktilitas otot
jantung (decomensatio cordis, syok kardiogenik), aliran darah koroner terhenti,
aliran darah koroner yang kurang oksigen, trauma pada jantung atau pada
sternum, dan sumbatan koroner. Yang termasuk penyebab ekstrakardial yaitu
hipoksia berat, hipovolemia berat, hiperkalemia, aliran listrik.
Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner terhenti,
miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan terjadi irama
ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP habis akan menjadi
asistol. Setelah henti jantung, kontraktilitas otot jantung menurun. Selama periode
hipoperfusi, miokard mungkin rusak.
2.3. RESUSITASI JANTUNG PARU
Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam Chain of
Survival, yang meliputi :
Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari emergency
response system
RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada
Defibrilasi yang cepat
Advanced life support yang efektif
Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi
4
Sistem kegawatdaruratan yang secara efektif menerapkan rangkaian
tersebut diatas dapat meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup pada penderita
henti jantung sebesar 50%. Pada sebagian besar sistem kegawatdaruratan,
meskipun demikian, rata-rata kelangsungan hidupnya rendah, yang
mengindikasikan bahwa terdapat kesempatan untuk meningkatkan rata-rata
kelangsungan hidup dengan pemeriksaan setiap mata rantai secara cermat dan
memperkuat mata rantai yang lemah. Mata rantai yang satu tergantung dengan
mata rantai yang lainnya, dan kesuksesan dari setiap mata rantai tergantung dari
keefektifan mata rantai sebelumnya.
Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan, pengalaman, dan
kemampuan. Status penderita henti jantung dan responnya terhadap RJP juga
bervariasi. Tantangannya adalah bagaimana untuk mencapai RJP yang sedini
seefektif dan mungkin untuk penderita henti jantung.
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan nafas buatan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik
penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari
komponen RJP.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah
mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap
penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang
telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan
dengan ventilasi, sebagai suatu tim.
5
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi
dada menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-
anak seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun
kompresi dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian nafas buatan pada
henti jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.
2.4. BASIC LIFE SUPPORT
Algoritma Adult Basic Life Support yang secara luas dikenal adalah suatu
konsep kerangka untuk semua tingkatan penolong pada setiap kondisi. Aspek
dasar dalam BLS meliputi pengenalan (recognition) secara cepat henti jantung
yang tiba-tiba dan aktivasi emergency response system (activation), resusitasi
jantung paru yang dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation)
dengan Automated External Defibrillator (AED). Pengenalan dan respon yang
dini terhadap serangan jantung dan stroke juga termasuk bagian dari BLS.
a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response
system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung
secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali
bahwa penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak
adanya atau berkurangnya respon nafas.
6
Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus
memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita dan
memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih maupun yang
tidak terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system (dengan
menghubungi nomor darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan emergency
response system semua penolong harus segera memulai RJP.
b. Pengecekan nadi
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang tidak
terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan dalam mengecek
nadi. Penolong yang terlatih dapat juga membutuhkan waktu yang lama untuk
mengecek nadi.
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis)
dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi
penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif
dan napas tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.
7
c. Resusitasi Jantung Paru yang dini
Kompresi Dada
Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan
bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan
aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara
langsung menekan jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen
menuju miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk
menyediakan aliran darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita
henti jantung harus mendapatkan kompresi dada.
Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan
cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai paling
sedikit 100 x/menit dengan kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm).
Penolong harus memberi kesempatan agar daya rekoil paru dapat terjadi
sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk memberi kesempatan jantung
mengisi kembali secara penuh sebelum kompresi berikutnya. Penolong
seharusnya mencoba untuk mengurangi frekuensi dan durasi gangguan yang
terjadi selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang
diberikan tiap menit.
8
Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi
hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil
terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di
bagian tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inchi.
Penyelamatan pernafasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC 2010
adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi.
Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai
RJP dengan 30 kompresi daripada memulai dengan 2 ventilasi yang
menunjukkan hasil yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah
tergantung dari kompresi dada. Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari
kompresi dada harus diminimalkan selama seluruh proses resusitasi.
Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan
memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan nafas dari
mulut-ke mulut, dan mengambil alat bag-mask memakan banyak waktu.
Memulai RJP dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi menghasilkan
penundaan yang lebih singkat.
9
Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih
harus memberikan nafas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau melalui
bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut:
- Memberikan setiap nafas buatan selama satu detik
- Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan
pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)
- Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
- Ketika jalan nafas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu,
atau laryngeal mask airway [LMA]) telah dipasang selama RJP
dengan dua orang penyelamat, berikan nafas setiap 6-8 detik tanpa
menyesuaikan nafas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh
berhenti untuk memberikan ventilasi.
d. Defibrilasi dini dengan AED
Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang
seorang diri harus mencari AED (Automated External Defibrilation) (bila
AED dekat dan mudah didapatkan) dan kemudian kembali ke penderita untuk
memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan CPR
berkualitas tinggi.
10
Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera
memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan
emergency response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual
pada kebanyakan rumah sakit). AED harus digunakan secepat mungkin dan
kedua penyelamat harus memberikan RJP dengan kompresi dada dan
ventilasi.
Tahapan defibrilasi :
- Nyalakan AED
- Ikuti petunjuk
- Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan
gangguan)
11
12
2.5. PANDUAN RJP 2010
1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus
Kompresi dada efektif yang dilakukan secara dini merupakan aspek yang
penting dalam resusitasi henti jantung. RJP meningkatkan kemungkinan
kelangsungan hidup penderita dengan memberikan sirkulasi pada jantung dan
paru. Penolong harus melakukan kompresi dada untuk semua penderita henti
jantung, tanpa melihat tingkatan ketrampilan, karaktrikstik penderita, atau sumber
daya yang tersedia. AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 mengutamakan
kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:
Kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit (perubahan dari
”kurang lebih” 100 x/menit)
Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan
paling sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada
penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inchi [4cm] pada bayi dan 2
inchi [5cm] pada anak-anak)
Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan
kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi
sebelumnya dari AHA Guidelines for CPR and ECC
Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap
setiap kali selesai kompresi
Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada
Menghindari ventilasi yang berlebihan
Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi
yaitu sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang
baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi
untuk memberikan nafas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan nafas telah
dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan
kecepatan paling sedikit 100 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi.
Nafas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali nafas setiap 6 sampai 8 detik
(sekitar 8-10 nafas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari.
2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B
13
Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-
Circulation berubah menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk
menghindari penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan
efektif. Mengamankan jalan nafas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu
yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong
yang seorang diri.
Mayoritas besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling
umum adalah Ventricular Fibrilation atau pulseless Ventricular Tachycardia.
Pada penderita tersebut, elemen paling penting dari Basic Life Support adalah
kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada
seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan nafas untuk memberikan nafas
buatan, mencari alat pembatas (barrier devices), atau mengumpulkan peralatan
ventilasi. Setelah memulai emergency response system hal berikutnya yang
penting yaitu untuk segera memulai kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang
merupakan perkecualian dari protokol ini, dimana urutan yang lama tidak
berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look, listen, feel, sehingga komponen ini
dihilangkan dari panduan.
Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai
sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus
pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar
penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan
pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal
tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang
dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan
memberikan nafas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat
mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.
3. Rata-rata kompresi
14
Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100 kali/ menit. Jumlah kompresi
dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan
kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation [ROSC]) dan
fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada
per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya
gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan nafas,
memberikan nafas buatan, dan melakukan analisis AED [Automated Electrical
Defibrilator]).
Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan
dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit
dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah.
Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan
tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan
gangguan pada komponen penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat
atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total
kompresi yang diberikan per menit.
4. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2 inch
menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan
cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada
jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan
meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.
Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk
dialirkan ke jantung dan otak.
15
5. RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR)
Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA
mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih
diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka.
Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan oleh
penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli
melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil
yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi.
16
6. Identifikasi pernafasan agonal oleh pengantar (Dispatcher Identification
of Agonal Gasps)
Hal ini sangat penting bahwa penolong seharusnya dilatih dengan baik
untuk mengidentifikasi antara pernafasan normal dengan pernafasan agonal,
selama proses RJP. Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak
bernafas atau sulit bernafas. Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan
untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas atau pernafasan yang tidak normal.
Pengecekan kecepatan pernafasan seharusnya dilakukan sebelum aktivasi
emergency response system.
7. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian
tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior
dan menekan esophagus ke vertebra servikal. Penekanan krikoid dapat
menghambat inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi
selama ventilasi dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat
ventilasi.
Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan.
Penelitian menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan
airway dan aspirasi dapat terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. Ditambah
lagi, tindakan ini sulit dilakukan dengan tepat bahkan oleh penolong yang terlatih.
Penekanan krikoid masih dapat digunakan dalam beberapa keadaan tertentu
(misalnya dalam usaha melihat pita suara selama intubasi trakea).
8. Aktivasi Emergency Response System.
Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah
penilaian respon penderita dan pernafasan, namun seharusnya tidak ditunda.
Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan
dilakukan setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia pelayanan kesehatan
tidak merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai dan
menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia.
9. Tim Resusitasi
17
Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif.
Misalnya : satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan
sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu
ventilasi atau memakaikan bag mask untuk membantu pernafasan dan penolong
ke-empat mempersiapkan dan defibrilator.
Tabel perbandingan dasar BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk
RJP pada neonatus).
Keterangan :
AED, automated external defibrillator;
18
AP, anterior-posterior;
CPR, cardiopulmonary resuscitation;
HCP, healthcare provider.
*termasuk neonatus dengan kasus henti jantung yang biasanya disebabkan oleh asfiksia.
2.6. KEPUTUSAN UNTUK MENGAKHIRI UPAYA RESUSITASI
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu
dari berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif;
ada orang lain yang mengambil alih tanggung jawab; penolong terlalu capek
sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi; pasien dinyatakan mati; setelah
dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam
stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir
dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit – 1 jam
terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJPO.
Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak,
fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible.
Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada
pernafasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap
selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek
barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak
adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun
dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung
adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya
resusitasi.
2.7. Komplikasi
Penyulit yang dapat terjadi akibat RJP adalah edema paru, fraktur iga,
dilatasi lambung, fraktur sternum, vomitus orofaring, vomitus trakea, darah masuk
ke dalam perikard, salah penempatan pipa endotrakeal, ruptur hati, aspirasi, ruptur
lambung atau kontusio miokardial.
BAB III
KESIMPULAN
19
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
merupakan prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan
jantung dan pada henti napas. RJP merupakan salah satu bagian yang penting
dalam chain of survival. Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung
membutuhkan gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang meliputi
pengenalan segera henti jantung dan aktivasi emergency response system, RJP
awal dengan menekankan pada kompresi dada, defibrilasi yang cepat, advanced
life support yang efektif, perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi.
Dalam perkembangannya, American Heart Association telah membuat
beberapa perubahan dalam panduan RJP, yang terdapat dalam American Heart
Association (AHA) Guidelines for CPR and ECC 2010. Beberapa hal diantaranya
yaitu dengan merubah urutan A-B-C menjadi C-A-B. Dengan merubah urutan
tersebut maka RJP menjadi lebih mudah dilakukan oleh penolong yang tidak
terlatih, karena membebaskan jalan nafas dan memberikan nafas buatan
membutuhkan teknik dan pengalaman, serta menghabiskan banyak waktu.
Panduan RJP yang terbaru ini juga menekankan pada pemberian RJP yang
berkualitas tinggi, dengan kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit dan
kedalamannya paling sedikit 2 inchi (5cm) pada dewasa dan anak-anak, serta 1,5
inchi (4cm) pada bayi. AHA juga menyarankan pemberian RJP hanya dengan
tangan (hands only CPR) atau RJP tanpa ventilasi dengan maksud untuk
memudahkan penolong yang tidak terlatih dalam menyelamatkan penderita henti
jantung.
RJP ini dilakukan sampai sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif
telah timbul kembali atau sampai ada orang lain yang mengambil alih tanggung
jawab atau penolong terlalu capai. Dengan adanya panduan RJP tahun 2010 yang
lebih ringkas ini diharapkan dapat memacu penolong awam yang tidak terlatih
untuk menyelamatkan penderita yang mengalami henti jantung, sehingga rata-rata
kelangsungan hidup penderita yang mengalami henti jantung dapat meningkat.
20
BAB IV
PENUTUP
Demikian telah dibahas tentang RJP dan Management,, sekiranya apa yang
telah kami bahas dalam referat ini dapat bermanfaat bagi teman-teman sejawat
yang membacanya agar dapat lebih memahami tentang RJP dan Managementnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Zaritsky A. Morley P.2005 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Editorial : The evidence evaluation process for the 2005 International
Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care Science with Treatment Recommendations. Circulation. 2005; 112: III-
128-III-130
2. International Liaison Committee on Resuscitation 2005 International
Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiocascular
Care Science with Treatment Recommendations. Circulation. 2005; 112: III-
1-III-136.
3. http: www.kesad.mil.id/content/perubahan-paradigma-resusitasi-jantung-paru-
%E2%80%90-abc-cab%E2%80%90
4. Field, John M.Hazinski, Mary Fran. Sayre, Michael R. et al. 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. 2010. Diakses dari
http://circ.ahajournal.org.cgi/content/full/122/18_suppl_3/S640
5. Andrey. Resusitasi Jantung Paru pada Kegawatan Kardiovaskuler. 2008.
Diakses dari http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasi-jantung-
paru-pada-kegawatan-kardiovaskuler/
6. Cardiopulmonary Resuscitation. 2009. Diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Cardipulmonary_resuscitation
7. Latief, Said A.Suryadi, Kartini A. Dachlan, M Ruswan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK UI.2009.
8. Morgan, G Edward, Jr, MD. Mikhail, Maged S, MD. Murray, Michael J,
MD,PhD. et. al. Clinical Anesthesiology. 3rd edition USA : The McGraw-Hill
Companies,Inc.2002.
9. Alena Lira, MD. 2011. Cardio Pulmonary Rususcitation.
http://emedicine.medscape.com/article/1344081
22