Post on 19-Mar-2019
80
BAB IV
PENDAMPINGAN PASTORAL TERHADAP PENDERITA LEUKEMIA
ANAK DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
Pendampingan pastoral terhadap penderita leukemia anak di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta belum berjalan dengan baik, karena sampai hari ini belum
ada tenaga pendamping pastoral yang bekerja untuk melayani para pesien yang
rawat inap di rumah sakit Sardjito. Yang ada di rumah sakit Sardjito adalah
seorang rohaniawan Kristen dari Dinas Kementerian Agama Kota Yogyakarta
yang selalu menjalankan tugas pelayanannya di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
sesuai dengan jadwal setiap hari Rabu dan Sabtu. Jumlah rohaniawan yang
melayani pasien di rumah sakit Sardjito dari agama Islam ada 14 orang, Kristen
1 orang, Katholik 1 orang, Hindu 1 orang, Budha 1 orang.
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta adalah rumah sakit umum pemerintah.
Pelayanan pendampingan pastoral bagi penderita leukemia terbatas pada ruang
dan waktu. Disamping penderita leukemia di saat-saat di mana sangat
membutuhkan pendampingan pastoral untuk memberikan kekuatan secara
rohani, namun hal ini belum bisa berjalan karena mungkin masih banyak
pertimbangan dari pihak rumah sakit, bahwa penderita leukemia tidak bisa di
kunjungi atau dijenguk oleh banyak orang, karena ketika ada pengunjung yang
masuk keluar ruang inap dari penderita leukemia, akan membawa banyak kuman
atau virus dari luar, yang akan mengganggu kekebalan tubuh dari penderita yang
sementara di rawat khusus di ruangan yang sudah di steril. Ada juga karena
banyak penderita leukemia berada dalam kondisi yang tidak stabil , misalnya
81
tidak bisa berbicara, atau sementara persiapan mau menjalani kemoterapi.
Karena ini menjadi aturan paten khusus bagi penderita leukemia di ruang inap
INSKA. Mereka di perlakukan khusus dalam pelayanan medis.
Menurut penulis bahwa sebenarnya saat-saat seperti itulah, penderita
leukemia dan orangtuanya harus mendapatkan pendampingan pastoral dari
seorang pastor, karena seorang yang menderita leukemia membutuhkan suatu
situasi di mana ia mendapatkan kekuatan, dalam proses penyembuhan secara
holistik.
A. Pandangan Penderita Leukemia Anak terhadap Pelayanan di RSUP Dr.
SardjitoYogyakarta
Berdasarkan hasil wawancara, para penderita leukemia anak pada
umumnya mengatakan bahwa mereka tidak tahu apa itu penyakit leukemia, apa
penyebabnya. Sehingga ketika di bawa untuk di periksa dan hasil diagnosis
menyatakan mereka positif menderita leukemia, ada rasa takut, menangis,
kecewa bahkan putus asa. Karena sudah pasti mereka akan dirawat inap sesuai
dengan protokol dari rumah sakit selama dua tahun. Bahkan ketika para
orangtua dari anak-anak yang menderita leukemia ini di wawancarai, mereka
selalu mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang apa itu penyakit leukemia,
mereka takut, kuatir, kecewa dan putus asa, bahkan mereka takut kehilangan
anak mereka. Orangtua dapat merasakan ketidakmampuan mereka dalam
membiayai pengobatan, karena pasti membutuhkan dana yang sangat besar
untuk membiayai pengobatan dan perawatan anak mereka selama menjalani
pengobatan di rumah sakit untuk jangka waktu 2 tahun sesuai dengan protokol
82
dari rumah sakit. Orang tua berpikir tentang masa depan anak mereka yang
akan tertunda, karena anak mereka harus menunda masa belajarnya di sekolah,
demi pengobatan yang dijalani di rumah sakit. Orangtua berpikir tentang
pekerjaan mereka akan terbengkalai karena harus menjaga dan mendampingi
anak mereka yang sakit.
Bahkan ada yang menyatakan kalau mereka akan dijauhi oleh teman-
teman sekolah atau teman bermain mereka, karena mereka menderita leukemia.
Namun ada yang menceritakan bahwa mereka harus menyemangati diri
mereka untuk bisa sembuh dari penyakit leukemia, karena setiap pelayanan dari
RSUP Dr. Sardjito, mereka mengatakan bahwa ketika menjalani pengobatan,
perawatan dray awal sampai berada di ruang rawat inap RSUP Dr. Sardjito,
pelayanan dari paramedis yakni dokter dan perawat sangat baik dan bersahabat.
Penderita leukemia anak di perlakukan seperti anak, teman, sahabat bahkan
saudara. Penderita leukemia bisa menjadi akrab dan bersahabat dengan dokter
dan perawat yang merawat mereka di bagian INSKA. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa dokter spesialisnya selalu bergurau bahkan memberikan
hadiah/kado berupa tas, buku agenda harian, ketika mereka di periksa dan
dilayani di ruang rawat inap. Dan menjadi semangat bagi dirinya untuk bangkit
dari rasa takut, putus asa dan kecewa.Walaupun mereka dalam keadaan sakit,
mereka senang karena selalu ada ayah atau ibu yang setia menjaga dan
mendampingi mereka setiap hari di ruang rawat inap.
Melakukan pendampingan bagi penderita leukemia bukanlah hal yang
mudah, dan tidak bisa dilakukan sembarangan. Seorang pendamping harus
83
memiliki keterampilan lebih, bahkan harus bisa memahami dan menerima
keadaan mereka dengan ketulusan. Dengan kata lain, seorang pendamping
pastoral yang mau menjalankan pendampingannya di rumah sakit harus
memiliki sikap dasar pastoral serta keterampilan yang memadai sehingga
menjadi seorang pendamping yang benar-benar memberi hidupnya untuk
menjadi seorang pendamping yang aktif, kreatif, dan efektif.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa selama penderita leukemia berada
dan di rawat di ruang inap di instalasi rawat INSKA di RSUP Dr Sardjito,
pendampingan terus dilakukan oleh orangtua/keluarga, dokter atau perawat dan
rohaniawan yang bertugas di bagian INSKA. Sedangkan pendampingan pastoral
dari seorang konselor belum ada, karena penderita leukemia yang Kristen
jumlahnya sedikit dibandingkan dengan yang non Kristen. Sehingga yang selalu
mengadakan pelayanan pendampingan dan doa di ruang instalasi rawat inap
penderita leukemia anak yang Kristen adalah seorang rohaniawan yang sudah di
berikan tugas untuk mendampingi seluruh pasien Kristen dan penderita leukemia
yang beragama Kristen yang di rawat di RSUP Dr Sadjito.
Penderita leukemia anak yang ada di RSUP Dr. Sardjito di tempatkan di
ruang instalasi rawat inap INSKA yang terdiri dari Ruang Melati : 1, 2, 3, 4, 5,
ruang Cempaka Mulya dan Ruang Estella 1 dan 2. Sesuai dengan data yang
penulis peroleh, bahwa semakin hari jumlah penderita leukemia semakin
meningkat.
Menurut penulis bahwa baik pelayanan dari RSUP Dr.Sardjito dan
pendampingan sudah dijalankan sesuai dengan profesi baik itu paramedis,
84
rohaniawan dan orangtua. Ketiganya berjalan bersamaa-sama dan memberikan
suatu pelayanan yang holistik kepada penderita leuekemia anak yang mendapat
perawatan selama berada di rumah sakit. Namun pendampingan pastoral dari
seorang pastor belum ada.
B. Pelayanan Pendampingan Pastoral terhadap Penderita Leukemia
Anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Dalam pelayanan pendampingan terhadap penderita leukemia anak, tentu
tidak semudah seperti mendampingi penderita penyakit yang lain atau
mendampingi orang dewasa. Ada banyak hambatan-hambatan yang dialami oleh
seorang pendamping pastoral antara lain:
1. Penderita leukemia anak tidak bisa dikunjungi oleh pengunjung,
karena penderita berada dalam ruangan khusus yang sudah
diisolasi/disteril dan yang bisa berada dalam ruangan itu adalah satu
orang saja, ayah atau ibu yang menjaga.
2. Penderita leukemia anak pada umumnya dipersiapkan untuk
menjalani kemoterapi, sehingga pengunjung dilarang untuk masuk
dan juga bersentuhan dengan penderita, karena bisa saja terjadi
kegagalan menjalani kemoterapi.
3. Penderita leukemia anak, pada umumnya mereka tidak banyak
berbicara, selain dengan orangtua atau perawat, dokter yang
melayaninya.
4. Penderita leukemia anak pada umumnya berada dalam kondisi
terminal illness.
85
5. Penderita leukemia anak bila mau mendapatkan pendampingan
pastoral, biasanya orang tua atau keluarganya menghubungi
pendetanya di mana mereka berjemaat, atau menginformasikan
kepada para medis atau rumah sakit untuk mendapatkan
pendampingan pastoral.
Di ruang instalasi rawat inap pasien/penderita leukemia anak, tidak boleh
ada yang menjenguk atau berkunjung. Penderita hanya boleh dijaga oleh satu
orang, ayah atau ibu. Perawatan yang nyaman, atau perawatan paliatif,
membantu penderita kanker merasa sebaik mungkin dan mengelola gejala-gejala
yang berkembang. Perawatan paliatif menangani gejala, tetapi tidak ditujukkan
untuk mengontrol penyakit ini. RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta adalah salah satu
Rumah Sakit yang sudah memiliki tim paliatif dalam menangani penyakit
kanker stadium lanjut.
Pendampingan pastoral terhadap penderita leukemia anak di RSUP Dr.
SarjitoYogyakarta sangat penting dan harus di perhatikan. Penyakit leukemia ini
adalah penyakit yang sangat ganas, dan mematikan yang dalam hitungan hari
atau minggu dapat merenggut nyawa seseorang, bila si penderita kurang
mendapat pertolongan dan perawatan medis. Kadang-kadang orang
menganggap bahwa penyakit leukemia atau kanker darah merupakan penyakit
yang tidak bisa disembuhkan. Ketika orang tua, keluarga yang mengetahui
bahwa hasil diagnosis terhadap anak mereka difonis menderita leukemia, pasti
perasaan, pikiran dan tingkah laku mereka akan kacau dan berada dalam situasi
depresi.
86
Kesimpulan yang dapat diambil, menurut penulis adalah bahwa RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta seharusnya memperhatikan kebutuhan spritual
penderita leukemia dengan mengangkat seorang pendamping pastoral untuk
membantu para penderita leukemia dan orangtuanya untuk mendapat
pendampingan pastoral dengan baik. RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dapat
menganalisis secara baik sosialisasi kepada masyarakat secara terus menerus
agar dapat memahami dan mengerti apa itu penyakit kanker pada umumnya dan
penyakit leukemia atau kanker darah pada khususnya, sehingga ada kesamaan
pemahaman dari masyarakat tentang penyakit leukemia atau kanker darah itu
sendiri dengan gejala dan penyebabnya dan ada keberhasilan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab II, bahwa pendampingan pastoral
memiliki empat fungsi yaitu menyembuhkan, membimbing, menyokong dan
memperbaiki hubungan. Empat fungsi pendampingan pastoral tadi dapat
dikatakan juga sebagai terapi pendampingan pastoral.
Dalam pendampingan pastoral ada dua fungsi pendampingan yang sangat
cocok untuk diterapkan bagi penderita leukemia yakni : fungsi menyembuhkan
dan mendukung. Dari kedua fungsi pastoral ini sangat mendukung apa yang
dikatakan oleh Albert Ellis dalam rational-emotive behavior therapy (REBT)
yang merupakan terapi yang sangat komprehensif, yang menangani masalah-
masalah yang berhubungan dengan emosi, kognisi dan perilaku. Karena sangat
memprihatinkan ketika penderita leukemia mengalami shock, depresi, putus asa,
penyangkalan akan apa yang ia alami.
Di dalam dunia kesehatan, tenaga-tenaga paramedik tersebut selalu
ditanamkan bahwa bentuk pelayanan professional merupakan bagian integral
87
dari seluruh pelayanan kesehatan yang berdasakan ilmu dan kiat perawatan
kesehatan yang meliputi aspek biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang
bersifat komprehensif. Mereka yang melayani orang sakit seharusnya
memahami pentingnya perhatian yang teliti terhadap semua hukum kesehatan.
Dalam rumah sakit atau sanitarium, di mana perawat senantiasa bergaul dengan
sejumlah besar orang sakit, diperlukan usaha yang keras supaya selalu
menyenangkan dan gembira, menunjukkan perhatian penuh dalam setiap
perkataan dan tindakan. Di lembaga-lembaga ini, adalah hal yang paling penting
agar perawat berusaha melakukan tugasnya dengan baik dan bijaksana. Mereka
perlu tetap ingat bahwa dalam tugas sehari-hari mereka sedang melayani Tuhan.
Pelayanan ditujukkan kepada individu, keluarga dan masyarakat yang
sehat maupun yang sakit yang mencakup hidup manusia untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal. Perawatan yang diberikan harus bersifat komprehensif,
artinya pelayanan perawatan harus bersifat menyeluruh, karena bisa dikatakan
bahwa “manusia merupakan biopsiko sosial dan spiritual.”
Para perawat dan semua orang yang bertugas di kamar pasien haruslah
gembira, tenang dan mengendalikan diri. Semua tindakan tergesa-gesa,
kegemparan, atau kebingungan, harus dihindari. Pintu harus dibuka dan ditutup
dengan hati-hati.1
Kemampuan menganalisa adalah kemampuan melihat komponen-
komponen yang membangun timbulnya masalah dalam hidup penderita
leukemia. Bagaimana komponen yang satu berhubungan dan memengaruhi
1 Ellen G. White, Hidup Yang Terbaik (Bandung: Indonesia Publishing House, 1994), 215.
88
komponen lainya. Sikap, perasaan, dan tingkah laku tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya, karena saling berkaitan.
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dalam pendampingan pelayanan terhadap
penderita leukemia melibatkan berbagai unsur diantaranya para rohaniawan,
dokter, perawat, keluarga, orang tua. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam
bab II, mengatakan bahwa pendampingan pastoral haruslah bersifat holistik.
Sebagaimana data yang telah dipaparkan dalam bab III bahwa semua penderita
leukemia anak menjalani perawatan rutin selama dua tahun dengan mengikuti
protokol Yogya yang disiapkan oleh RDUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Langkah-
langkah yang harus dilakukan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta adalah
mensosialisasikan penyakit kanker pada umumnya, khususnya leukemia atau
kanker darah kepada masyarakat. Proses sosialisasi dapat dilakukan dengan
berbagai mekanisme, misalnya seminar, loka karya, diskusi, rapat kerja, forum
ilmiah dan lewat media massa.
Tentu sebagai orang tua, keluarga yang setiap hari mendampingi anak
mereka yang menderita penyakit leukemia, memiliki beban dan tanggung jawab
yang sangat besar. Selain bagaimana orang tua menjelaskan kepada anak mereka
tentang penyakit yang diderita, orang tua juga berpikir tentang biaya pengobatan
selama anak mereka di rawat di Rumah Sakit, orang tua berpikir tentang sekolah
dan masa depan anak mereka, orangtua berpikir tentang pekerjaan mereka yang
ditinggalkan demi memberi perhatian khusus kepada anak mereka yang sakit.
Secara umum ada dua prinsip yang mendominasi manusia, yaitu pikiran
dan perasaan. REBT beranggapan bahwa setiap manusia yang normal memilii
pikiran, perasaan dan perilaku, yang ketiganya berlangsung secara simultan.
89
Pikiran mempengaruhi perasaan dan perilaku, perasaan mempengaruhi pikiran
dan perilaku, dan perilaku mempengaruhi pikiran dan perasaan. Dalam
memandang hakikat manusia, REBT memiliki sejumlah asumsi tentang
kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dalam hubungannya dengan dinamika
pikiran dan perasaan itu (Ellis, 1994). Asumsi tentang hakikat manusia menurut
REBT adalah sebagai berikut:
1. Pada dasarnya individu adalah unik, yang memiliki kecenderungan
untuk berpikir irasional. Ketika berpikir dan berperilaku rasional dia
efektif, bahagia dan kompeten. Ketika berpikir dan berperilaku
irasional dia tidak efektif.
2. Reaksi “emosional” seseorang sebagian besar disebabkan oleh
evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak
disadari oleh individu.
3. Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir
yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang
berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal dan irasional.
4. Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang
diperoleh dari orang tua dan kultur tempat dibesarkan. Dalam proses
pertumbuhannya, akan terus berpikir dan merasakan dengan pasti
tentang dirinya dan tentang yang lain. “Ini adalah baik” dan yang “itu
adalah jelek”. Pandangan ini terus membentuk cara pandangan yang
selanjutnya.
5. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang
digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir
90
yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikirnya
yang tepat. Dalam kaitannya dengan hal ini tujuan konseling adalah
(1) menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi diri telah menjadi
sumber hambatan emosional (2) membenarkan bahwa verbalisasi diri
adalah tidak logis dan irasional dan (3) membenarkan atau
meluruskan cara berpikir dengan verbalisasi diri yang lebih logis dan
efisien dan tidak berhubungan dengan emosi negatif dan perilaku
penolakan diri (self-defeating).
6. Perasaan dan berpikir negatif serta penolakan diri harus dilawan
dengan cara berpikir yang rasional dan logis yang dapat diterima
menurut akal yang sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang
rasional.2
Albert Ellis memperkenalkan kata behavior (tingkah laku) pada
pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) dengan alasan bahwa
tingkah laku sangat terkait dengan emosi dan perasaan.
Albert Ellis lebih tertarik pada bagaimana individu lebih memilih
mengelola masalah-masalahnya dengan sistem-sistem keyakinannya ketimbang
bagaimana problema-problema tersebut diperoleh. Ellis mengartikan masalah
manusia sebagai hasil dari konsepsi yang keliru dan persepsi yang salah
terhadap realita. Pada dasarnya masalah manusia tidak hanya berhubungan
dengan apa yang mereka rasakan melainkan lebih banyak berhubungan dengan
apa yang mereka pikirkan dan percayai.
2 Latipun, Psikologi Konseling (Malang: UMM, 2006), 120-121.
91
Sistem keyakinan ini pada dasarnya diperoleh individu sejak kecil dari
orangtua, masyarakat atau lingkungan di mana anak hidup. Mengapa anak tidak
mampu berpikir rasional? Ellis mengemukakan sebab-sebab indiividu tidak
mampu berpikir secara rasional karena hal-hal berikut (Nelson-Jones)
1. Anak tidak berpikir secara jelas tentang yang ada saat ini dan
yang akan datang, antara kenyataan dan imajinasi.
2. Anak tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain.
3. Orang tua dan masyarakat memiliki kecenderungan berpikir
irasional dan diajarkan kepada anak melalui berbagai media.
Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) dapat menyumbangkan
banyak hal berhubungan dengan konseling pastoral. Karena konselor Rational-
Emotive Behavior Therapy (REBT) memberikan penghargaan positif tanpa
syarat kepada klien. Bahkan keterampilan konseling yang harus dimiliki
konselor adalah : empati, menghargai, ketulusan, kekongkritan dan konfrontasi.
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia mempunyai kebutuhan untuk
berhubungan dan bergaul dengan orang lain. Dalam membangun hubungan
tersebut komunikasi tercipta secara emosional dan akal sehat, yang memberikan
kemungkinan bagi manusia menikmati persekutuan batin dengan orang lain.
Orang dapat memahami diri sendiri dan orang lain, bila komunikasi itu
membangun hubungan atau relasi yang intim dan mesra, sehingga dalam
komunikasi tersebut kebutuhan setiap orang dapat terpenuhi.
Hampir semua individu tahu bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah
memelihara hubungan sosial dengan sesamanya, dan di dalam suatu lingkungan
masyarakat, setiap orang pasti membutuhkan keberadaan orang lain. Sosialisasi
92
menumbuhkan kemampuan seseorang dalam membina berbagai hubungan,
sehingga diharapkan muncul perkembangan sosial yang positif dan sehat pada
setiap manusia yang membentuk mentalitas.
Manusia adalah mahluk yang membutuhkan orang lain untuk
beradaptasi. Hal ini disebabkan karena setiap manusia memiliki keterkaitannya
atau hubungan sehingga berdampak pada kelangsungn hidupnya. Inilah proses
kehidupan manusia. Adanya suatu keterkaitan antara satu dengan yang lain yang
terbentuk dalam suatu komunitas hidup bersama, memiliki muatan-muatan
emosional sehingga melahirkan kehidupan yang sejalan. Hubungan hidup secara
horizontal merupakan suatu tindakan dalam rangka menjalin kekerabatan dengan
menyatukan berbagai budaya yang ada.
Faktor ekonomi keluarga merupakan bagian dari proses kehidupan.
Manusia akan tetap bertahan hidup ketika ia berada pada posisi ekonomi yang
cukup memadai. Berdasarkan fakta deskripsi kasus yang ada jelaslah bahwa
penderita leukemia anak berada pada kehidupan keluarga ekonomi menengah ke
atas, ini berarti segala bentuk pengobatan yang mau dilakukan ataupun akan
dilakukan untuk proses kesembuhan dari penderita leukemia akan tercukupi oleh
keluarganya.
Keseimbangan hidup yang sebenarnya menuntut besarnya pengeluaran
dalam keluarga bukanlah penghalang dalam proses penyembuhan dan terapi
yang dilakukan. Penghasilan sebagai Pegawai Negeri Sipil, wiraswasta, dan
dengan usaha lainnya secara jelas menyatakan bahwa orang tua penderita
leukemia benar-benar siap untuk melakukan pengobatan medis sampai pada
tingkatan pengobatan terakhir.
93
Banyak penderita leukemia yang awalnya terpuruk oleh guncangan jiwa
yang datang setelah diagnosis. Bagaimana diagnosis leukemia dan rencana
tindakannya sudah menimbulkan dampak psikologi pada penderita leukemia.
Betapa penting disadari bahwa orang yang sedang sakit adalah berada dalam
keadaan krisis. Mengapa demikian? Pertama-tama karena tubuh mereka tidak
dapat berfungsi dengan baik. Kebiasaan-kebiasaan yang dapat dilakukan atau
dikerjakan menjadi tidak dapat dilakukan lagi. Mereka berada di dalam situasi
yang tidak biasa/abnormal. Apalagi bila harus menjalani perawataan di Rumah
Sakit.3
Pemulihan yang diharapkan mengharuskan konselor dapat menciptakan
situasi psikologis yang menyebabkan konseli merasa aman, merasa ada
perhatian, kepedulian dan perlakuan yang menyenangkan. Situasi psikologis
diciptakan berdasarkan kebutuhan konseli, sehingga konselor harus dapat
mengembangkan kemampuannya, baik dalam penampilan fisik seperti cara
menyapa, air muka yang menyenangkan, pandangan mata, gerak tangan,
anggukan kepala, yang semuanya merupakan wujud dari perilaku konselor
untuk menimbulkan rasa puas terhadap setiap layanan konseling.4
Dalam analisis psikologis, para psikolog pada umumnya memperhatikan
beberapa hal misalnya emosi atau perasaan. Contoh: rasa takut, cemas, kuatir
semua berakar pada emosi kegelisahan. Psikologi berasal dari kata Yunani
“psyche” yang artinya jiwa dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi
3 Totok Soemartha & Aart M. Van Beek, Mendampingi Orang Sakit (Yogyakarta: RS. Bethesda,
1984), 10. 4 J.D. Engel, Konseling Dasar dan Pendampingan Pastoral (Salatiga: Widya Sari Press, 2003),
54.
94
dapat diartikan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa,
baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya.5
Pada dasarnya pertumbuhan hidup setiap orang akan terbentuk dari
mental dan spiritualnya sendiri. Pembentukan mental dan spiritual ini
berlandaskan pada kejiwaan manusia itu sendiri, artinya dalam perkembangan
hidup yang berkelanjutan manusia diharapkan mampu memiliki pola berpikir
yang baik sehingga segala sesuatu dapat berjalan sebagaimana mestinya. Proses
inilah yang akan menentukan jalannya suatu kehidupan. Kehidupan yang
didasari pada kepribadian yang bersih sehingga menghasilkan pola tindak dan
pola pikir yang dapat menjawab kebutuhan.
Tindakan orang tua untuk tetap menghadirkan teman-teman bermain dan
teman-teman sekolah dan orang terdekatnya telah membantu penderita leukemia
dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Sehat secara psikologis diperoleh melalui proses perkembangan yang
diberikan dalam bentuk pola asuh yang baik dari lingkungan (seperti orang tua,
kerabat, masyarakat lingkungan sekitar, para pendidik, pemuka agama dan lain-
lain) sehingga dapat membentuk perilaku yang baik, santun, bertanggungjawab,
dan memiliki wawasan yang postif.6
5 Abu Ahmadi, Psikologi Sosial (Jakarta:Rineke Cipta, 1999), 1.
6 Arie Arumwardhani, Psikologi kesehatan (Yogyakarta : Galangpress, 2011), 38.