Post on 30-May-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Tidak dipungkiri lagi bahwa hidup sejahtera merupakan dambaan semua orang.
Hakikat sejahtera kerap diartikan oleh kebanyakan orang sebagai muara tujuan hidup,
dimana sebagian besar kebutuhan hidupnya terpenuhi. Ini merupakan sesuatu yang
sangat mendasar bagi kehidupan makhluk yang disebut manusia. Karenanya,
kemiskinan yang saat ini masih menjadi permasalahan utama bangsa ini harus segera
diatasi, mengingat begitu pentingnya ketercapaian hidup sejahtera bagi masyarakat
yang pada akhirnya diharapkan mampu mengantarkan ke kondisi yang memiliki harga
diri jauh lebih baik, tidak mengemis, bahkan melakukan tindakan-tindakan yang
melanggar norma, seperti mencuri yang justru akan menimbulkan bahaya dalam upaya
pemenuhan kebutuhan.
“Tidak ada yang gratis di dunia ini.” Begitulah ungkapan yang sering
terdengar di tengah semakin sulitnya kondisi ekonomi masyarakat. Uang seakan sudah
menjadi motor utama penggerak kehidupan. Tanpa uang, manusia tidak dapat
melakukan dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan untuk mendapatkannya
harus dengan bekerja. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apakah jumlah
lapangan kerja yang tersedia telah cukup mampu menampung para pencari kerja,
mengingat sampai saat ini masih banyak jumlah angkatan kerja yang tidak tertampung
oleh lapangan kerja yang tersedia. Dan persoalan pun akan terus berkembang dan
semakin kompleks. Diantaranya yang paling penting adalah isu kelayakan kerja
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
(Decent Work). Pertanyaan yang sering muncul adalah sudahkah pemberi lapangan
pekerjaan menerapkan prinsip-prinsip kerja layak bagi para pekerjanya. Mengingat
saat ini masih sering dijumpai persoalan-persoalan yang menyangkut isu kelayakan
kerja, seperti eksploitasi besar-besaran tenaga kerja, jam kerja yang melebihi batas
standar, pemutusan hubungan kerja sepihak, pemberian upah yang tidak memadai,
kurangnya situasi aman dan nyaman saat bekerja, dan lain sebagainya.
Belum semua orang yang bekerja mengerti konsep kerja layak yang
sebenarnya. Bahkan mereka memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenai
konsep kerja layak tersebut. Ada kalanya orang berpendapat bahwa kerja layak adalah
yang upahnya cukup digunakan untuk membeli kebutuhan primer, sekunder, bahkan
tersier. Ada pula yang berpendapat bahwa kerja layak adalah lebih pada persoalan
perlakuan terhadap dirinya saat bekerja. Apakah kondisi kerja yang diterima telah
sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Hal tersebut sangatlah wajar mengingat
kondisi pekerja di Indonesia yang bermacam-macam.
Seperti yang telah diketahui bahwa kondisi pekerja yang beragam, terutama
kondisi fisik, telah memunculkan istilah yang mampu melekat kuat dalam pikiran
masyarakat di dunia usaha. Istilah tersebut yakni pekerja “normal” dengan
kelengkapan fisik dan pekerja dengan keterbatasan fisik (difabel). Salah satu alasan
peneliti memilih judul penelitian di atas adalah berawal dari ketertarikan terhadap
kondisi pekerja difabel, khususnya penyandang tuna daksa yang tetap memilih bekerja
dengan kondisi keterbatasan fisik yang dimilikinya. Pekerja penyandang tuna daksa
yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok lemah ini dituntut mampu bersaing di
dunia kerja jika ingin tetap dapat memenuhi kebutuhannya. Sedangkan fakta di
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
lapangan berbicara bahwa tidak sedikit sektor lapangan kerja, baik formal maupun
informal yang kurang menginginkan tenaga mereka karena seringkali kurang
memenuhi kriteria-kriteria yang diajukan, terlebih bahwa kriteria yang diajukan
menekankan pada kesehatan dan kelengkapan jasmani.
Stigma sosial yang telah melekat dalam masyarakat yang menganggap bahwa
pekerja penyandang tuna daksa kurang memiliki potensi diri dalam bekerja
menyebabkan sulitnya meraih sektor lapangan kerja yang diinginkan. Pihak penyedia
kerja lebih memprioritaskan calon pekerja yang memenuhi persyaratan sehat jasmani
dan rohani. Jika demikian yang terjadi, lantas kemana lagi mereka harus mencari biaya
hidup. Tentunya sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, kita
tidak mungkin sampai hati melihat dan membiarkan mereka terpaksa mencari
penghidupan dengan jalan mengemis atau mengamen, walaupun saat ini tengah
menjadi fenomena dalam masyarakat bahwa sebagian dari mereka ada yang lebih
memilih cara tersebut daripada mendapatkan nafkah dari bekerja.
Sebagai respon atas kondisi di atas, saat ini banyak LSM yang didirikan
dengan tujuan utama meningkatkan kemampuan kaum difabel. Program
pemberdayaan seringkali diusung sebagai wacana dan tujuan utama dalam rangka
meningkatkan kapasitas kaum difabel. Kemandirian untuk tidak selalu bergantung dari
belas kasihan orang lain menjadi tujuan berdirinya lembaga non pemerintah ini. Kota
Surakarta adalah salah satu kota yang memiliki cukup banyak yayasan penampung
difabel. Diantaranya adalah Yayasan Sosial Budi Insani, Yayasan Asuhan Anak Tuna
(YAAT), Yayasan Sosial Setya Dharma, Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara,
dan sebagainya. Secara umum, kegiatan yang diselenggarakan hampir sama, yaitu
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
pemberian pelatihan dan kursus keterampilan sebagai bekal untuk terjun di dunia
kerja.
Di samping semakin menjamurnya pusat rehabilitasi bagi kaum difabel, yang
tak kalah menarik adalah berdirinya berbagai Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) yang memperkerjakan kaum difabel, khususnya penyandang tuna daksa.
Salah satunya adalah Rumah Lidi Handicraft. Industri kerajinan yang beralamat di
Jalan Kyai Mojo No.4 RT 04 RW 23 Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasar Kliwon
Surakarta ini berdiri sejak tahun 2010. Dikarenakan faktor keterbatasan ruang, maka
kegiatan industri dilakukan di lokasi yang berbeda, yaitu di Jalan Sampangan RT 03
RW 22 Semanggi, Pasar Kliwon, Surakarta. Walaupun sifat kepemilikannya
perseorangan, namun pada awal pendirian industri kerajinan ini turut dibantu oleh
pemerintah melalui PNPM Mandiri, seperti pemberian alat-alat produksi tenun lidi dan
pengadaan pelatihan keterampilan di bidang kerajinan tangan.
Awal tujuan didirikannya UMKM yang bergerak dalam bidang industri
kerajinan ini didorong oleh rasa keprihatinan direktur Rumah Lidi Handicraft terhadap
kaum difabel yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Diharapkan
dengan adanya Rumah Lidi Handicraft bisa menampung calon pekerja dari kaum
difabel, khususnya penyandang tuna daksa yang memang membutuhkan pekerjaan.
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa para pencari kerja bukan difabel pun bisa
diterima untuk bekerja di industri kerajinan ini.
Secara spesifik, industri kerajinan ini bergerak di bidang usaha pembuatan tas
dan perlengkapan rumah tangga lainnya dari bahan baku utama lidi, yang mana bahan
baku lidi didatangkan langsung dari Jawa Barat dan Lampung sebagai daerah pemasok
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
utama bahan baku. Hingga kini, pemasarannya tidak hanya di Surakarta, Yogyakarta,
dan sekitarnya, namun sudah merambah sampai Palembang, Batam, Bali, Kalimantan,
dan Sulawesi. Walaupun usahanya masih berskala kecil, namun sangat menarik jika
diteliti karena Rumah Lidi Handicraft seolah-olah menjadi “penyelamat” kehidupan
perekonomian, khususnya bagi kaum penyandang tuna daksa ditengah sulitnya
mencari pekerjaan. Kehadirannya sebagai sektor lapangan kerja informal memiliki arti
strategis sebagai katup pengaman pengangguran, terutama bagi para pekerja
penyandang tuna daksa.
Jika dihubungkan dengan konsep kerja layak, Organisasi Buruh Internasional
(ILO) sebagai badan Perserikatan Bangsa-Bangsa tengah aktif mempromosikan
standar kerja layak. Mengingat saat ini potensi ekonomi Indonesia dengan pasar
domestik tengah menjadi daya tarik utama bagi investor global. Globalisasi membuat
persaingan di pasar kerja semakin ketat dan berakibat meningkatkan tekanan terhadap
pekerja domestik. Imbasnya, penguatan pasar kerja domestik pun menjadi satu
kebutuhan. Penciptaan lapangan kerja inklusif, hubungan industrial yang harmonis,
dan perlindungan sosial sebagai bentuk program pekerjaan layak nasional semestinya
dapat diwujudkan.
Konsep kerja layak sering dimaknai berbeda oleh para pekerja di masing-masing
sektor lapangan pekerjaan dimana mereka bekerja. Tidak terkecuali dengan yang
dialami pekerja penyandang tuna daksa di sektor industri kerajinan. Mereka berhak
menilai apakah kondisi kerja yang diterima telah memenuhi indikator kelayakan kerja
sesuai dengan pemahaman mereka mengenai konsep kerja layak. Hal inilah yang
mendasari peneliti untuk memilih judul penelitian: “Pemaknaan Kerja Layak Oleh
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Pekerja Penyandang Tuna Daksa di Industri Kerajinan Rumah Lidi Handicraft
Semanggi, Pasar Kliwon, Surakarta.”
1. Orisinalitas
Pertanyaan yang muncul dari kondisi ini adalah bagaimanakah para pekerja
penyandang tuna daksa memaknai kerja layak itu sendiri. Kondisi lingkungan kerja
yang seringkali tidak memenuhi standar kenyamanan pekerja tentunya sangat
bertentangan dengan hakikat kerja layak yang telah ditetapkan. Maka dari itu perlu
dilakukan penelitian yang mendalam terkait dengan pemaknaan kerja layak oleh
pekerja penyandang tuna daksa, mengingat setiap orang memiliki pemahaman yang
berbeda mengenai konsep tersebut. Terlebih jika membandingkan pemahaman konsep
kerja layak antara pekerja “normal” dengan yang memiliki keterbatasan fisik.
Perbedaannya pun pasti akan sangat menyolok. Bisa jadi pekerja dengan kondisi
normal menilai suatu kondisi kerja yang diterima sudah dirasakan layak. Namun, di
sisi lain kondisi tersebut belum tentu dapat dikatakan telah memenuhi standar
kelayakan kerja sesuai dengan yang diharapkan pekerja penyandang tuna daksa.
Terkait dengan orisinalitas penelitian, sejauh ini sudah banyak penelitian yang
dilakukan, khususnya yang mengangkat tema kaum difabel. Misalnya, penelitian yang
dilakukan oleh Dodi Taresa (2006), Fisipol UGM, Jurusan Ilmu Sosiatri, yang
berjudul “Eksistensi Penyandang Cacat dalam Masyarakat (Persepsi Masyarakat
Terhadap Penyandang Autis)“ yang dilakukan di Yogyakarta. Fokus penelitian ini
menekankan pada masalah mengenai kecacatan itu sendiri, mengenai penyandang
autis beserta sosialisasi mereka dan juga masalah-masalah yang mungkin timbul.
Masalah yang lebih spesifik adalah mengenai persepsi masyarakat tentang penyandang
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
cacat yang mempengaruhi eksistensi penyandang cacat dalam menjalani kehidupannya
dalam bermasyarakat, sehingga sudah sangat berbeda dengan fokus kajian peneliti
yang mengangkat isu pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa.
Selanjutnya, penelitian Marlina Nur Hayati yang berjudul “Efektifitas Rehabilitasi
Penyandang Cacat dalam Usahanya Meningkatkan Kemandirian Bagi Para
Penyandang Cacat: Studi Kasus Tentang Upaya Peningkatan Keterampilan di Pusat
Rehabilitasi Yakkum di Desa Besi, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta.” Sudah sangat jelas bahwa fokus penelitiannya adalah tentang
seberapa efektif upaya rehabilitasi dalam meningkatkan kemandirian para penyandang
cacat. Selain itu, penelitian lain adalah karya Puraneori Sukma Sakti yang berjudul
“Kerja Layak dalam Perspektif Penyandang Cacat Tuna Daksa di Industri Kerajinan:
Studi Pemaknaan Kerja Layak oleh Pekerja Penyandang Cacat Tuna Daksa di Mandiri
Craft, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.”
Dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah disebutkan,
penelitian ini memiliki kesamaan fokus kajian, dimana meneliti tentang pemberian
makna kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa di lingkup industri kerajinan.
Yang berbeda adalah lokasi penelitian, dimana penelitian sebelumnya mengambil
lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, sedangkan peneliti memilih lokasi di
Surakarta. Perbedaan lainnya adalah asal mula berdirinya industri kerajinan, dimana
Mandiri Craft didirikan oleh komunitas penyandang tuna daksa dan perekrutan pekerja
didasarkan dari kalangan penyandang tuna daksa pula. Sedangkan Rumah Lidi
Handicraft yang tergolong dalam jenis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
tidak hanya memperkerjakan penyandang tuna daksa semata, namun juga dari pekerja
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
yang memiliki kelengkapan fisik, bahkan anak-anak jalanan pun pernah direkrut untuk
bekerja di sana. Jadi, sifat perekrutan kerjanya lebih terbuka untuk umum. Pendirinya
pun bukan berasal dari kelompok difabel. Perbedaan lainnya adalah para pekerja
penyandang tuna daksa di Rumah Lidi Handicraft tidak diharuskan bekerja di pabrik,
akan tetapi diperkenankan bekerja di rumah masing-masing. Walaupun pekerjanya
terdiri dari kaum penyandang tuna daksa dan pekerja “normal”, namun peneliti
membatasi obyek penelitian dengan hanya mengambil para pekerja penyandang tuna
daksa sebagai unit analisa utama.
Walaupun tema dan obyek kajian sama dengan penelitian sebelumnya, namun
pertimbangan peneliti untuk memilih fokus kajian tersebut adalah pemahaman dan
pemberian makna kerja layak yang berbeda oleh pekerja penyandang tuna daksa. Hasil
penelitian sebelumnya mengatakan bahwa kondisi kerja layak di lokasi penelitian
belum sesuai dengan harapan pekerja. Hal ini terlihat dari pemberian upah yang
rendah, sistem perekrutan calon pekerja yang seringkali masih menggunakan sistem
kekerabatan, dan temuan lapangan tentang aspirasi pekerja yang tidak tersalurkan
karena tidak adanya serikat pekerja. Walaupun esensi temuan lapangan peneliti
nyatanya hampir sama dengan hasil temuan pada penelitian sebelumnya, namun hal ini
tidak mengurangi tujuan awal peneliti untuk mengkaji mengenai pemaknaan kerja
layak oleh pekerja penyandang tuna daksa. Hal ini justru dapat memberikan
kesimpulan terkait pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa yang
bekerja di industri kerajinan. Selain itu, hasil penelitian juga diharapkan dapat
memberi tambahan referensi terkait pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang
tuna daksa bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang mengangkat tema serupa.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
2. Keterkaitan dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan sebuah jurusan yang
dikembangkan sebagai jawaban atas tuntutan-tuntutan sosial untuk menjawab
permasalahan-permasalahan sosial, dimana fokus kajiannya berkaitan dengan
pembangunan sosial dan kebijakan sosial yang tujuannya untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya, konsep pembangunan sosial adalah suatu
usaha untuk menciptakan hubungan yang seimbang antara sumber daya hidup
(resources) dengan kebutuhan hidup masyarakat (needs), sehingga kesejahteraan
masyarakat dapat tercapai.
Ada 3 konsentrasi yang dipelajari di dalam jurusan ini, yakni kebijakan sosial
(Social Policy), Corporate Social Responsibility (CSR), dan pemberdayaan masyarakat
(Community Empowerment). Jika dihubungkan dengan fokus judul penelitian, maka
pemberdayaan masyarakat menjadi tema besar dalam penelitian ini. Mengingat
penyelenggaraan Rumah Lidi Handicraft tidak lepas dari tujuan guna menaungi
sebagian besar pekerja penyandang tuna daksa untuk memberdayakan mereka dalam
bidang ekonomi. Dan isu kelayakan kerja menarik untuk diperbincangkan mengingat
bentuk kegiatan pemberdayaan yang dilakukan mengarah pada sektor ekonomi
informal yang berorientasi profit.
Berangkat dari konsep pemberdayaan yang menyatakan bahwa tujuan utama
pemberdayaan adalah mengubah kondisi masyarakat dari yang sebelumnya kurang
bahkan tidak berdaya (powerless) menuju ke suatu kondisi yang lebih berdaya
(powerfull), maka sangat sesuai dengan fokus penelitian karena obyek utama
penelitian adalah pekerja penyandang tuna daksa. Penyandang tuna daksa yang sangat
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
rentan terhadap permasalahan sosial yang mungkin terjadi saat berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya diharapkan menjadi lebih berdaya dan memiliki kapasitas serta
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan hadirnya Rumah Lidi
Handicraft. Menurut peneliti, penelitian tentang pemaknaan kerja layak oleh pekerja
penyandang tuna daksa perlu dilakukan terlebih dahulu agar penerapan prinsip-prinsip
kerja layak benar-benar sesuai dengan harapan, keinginan, dan kondisi pekerja,
terutama pekerja penyandang tuna daksa.
3. Aktualitas
Kelayakan kerja menjadi salah satu isu sentral dalam upaya penciptaan
hubungan kerja yang saling menguntungkan antara pekerja dengan majikan. Kerja
layak yang sering berjalan beriringan dengan isu jaminan sosial merupakan bentuk
perlindungan sosial yang harus didapatkan masyarakat, termasuk pekerja. Aksi unjuk
rasa pekerja yang kerap terjadi selama ini mengindikasikan bahwa
pengimplementasian prinsip-prinsip kerja layak, seperti kesetaraan kesempatan dalam
mendapatkan lapangan kerja, pemenuhan upah yang sesuai standar ketentuan,
hubungan kerja yang harmonis antara pekerja dengan majikan, serta penciptaan
perlindungan sosial bagi pekerja belum diterapkan secara maksimal.
Belum lama ini Organisasi Buruh Internasional (ILO), pemerintah, Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo), dan pimpinan serikat buruh meluncurkan Program
Pekerjaan Layak untuk Indonesia periode 2012-2015 yang menekankan penciptaan
lapangan kerja inklusif, hubungan industrial yang harmonis, serta penciptaan
perlindungan sosial. Tidak terkecuali bagi penyandang tuna daksa yang sama-sama
berhak memperoleh pekerjaan yang layak. Berbagai aksi unjuk rasa yang menuntut
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
persamaan hak untuk memperoleh kelayakan kerja bagi penyandang tuna daksa akhir-
akhir ini sering dijumpai di berbagai daerah. Hal ini merupakan wujud ketidakpuasan
pekerja terkait penerapan kerja layak yang kurang sesuai dengan kondisi pekerja di
tempat kerja.
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat menjawab indikator-
indikator kerja layak yang bagaimanakah yang sesuai dengan karakteristik pekerja di
Indonesia sebagai negara berkembang. Pemaknaan kerja layak oleh pekerja
penyandang tuna daksa menjadi langkah awal untuk memahami lebih detail tentang
kondisi kerja yang diharapkan. Perolehan hasil penelitian yang memaparkan
pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa diharapkan bisa dijadikan
rumusan awal terkait dengan pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan prinsip-
prinsip kerja layak.
B. Latar Belakang Masalah
Saat ini, isu kerja layak (Decent Work) marak diperbincangkan banyak pihak
setelah makin kompleksnya permasalahan yang terjadi dalam dunia kerja. Kondisi
kerja yang dianggap tidak layak oleh para pekerja tidak jarang membuahkan aksi
unjuk rasa yang saat ini sering dijumpai di berbagai daerah. Padahal, kelayakan kerja
sudah menjadi agenda utama ILO yang dinilai sudah cukup memperhatikan masalah
kelayakan kerja. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana
pihak pemberi lapangan kerja menerapkan prinsip-prinsip kerja layak sesuai dengan
yang telah diagendakan ILO tersebut.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
Minimnya jumlah lapangan kerja yang tersedia yang tidak mampu menampung
semua pencari kerja menjadi salah satu pemicu perlakuan sewenang-wenang majikan
terhadap pekerja. Kondisi ini sepintas mengindikasikan bahwa majikan sebagai
penyedia lapangan kerja selalu berada di posisi yang lebih diunggulkan, sehingga
selalu menjadi pihak yang dibutuhkan para pencari kerja. Akibatnya adalah muncul
eksploitasi tenaga kerja demi profit sebesar-besarnya yang kerapkali kurang
memperhatikan prinsip-prinsip kerja layak bagi para pekerjanya. Di sisi lain,
kurangnya jumlah lapangan kerja yang tersedia mengakibatkan membludaknya jumlah
pengangguran di Indonesia. Walaupun data yang tersedia saat ini menunjukkan bahwa
angka pengangguran di Indonesia menurun, namun jumlahnya masih cukup besar.
Menurut data Bappenas tahun 2012, jumlah pengangguran di triwulan III-12
berkurang sebanyak 460 ribu, dari 7,70 juta pada tahun 2011 menjadi 7,24 juta orang
sampai bulan Agustus 2012. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurun dari
6,56% (2011) menjadi 6,14% (2012). Menurunnya TPT diikuti dengan membaiknya
kesempatan kerja formal, yang bertambah sebanyak 2,67 juta dan kesempatan kerja
informal berkurang 1,54 juta. Tingkat pengangguran usia muda di tiap jenjang
pendidikan juga mengalami penurunan. Seperti diketahui bahwa pada tahun 2001-
2005, daya serap kesempatan kerja baru jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan
jumlah angkatan kerja baru, sehingga jumlah pengangguran meningkat. Baru pada
tahun 2006 mulai menunjukkan perbaikan, dan hingga tahun 2012, kesempatan kerja
baru lebih besar daripada jumlah angkatan kerja baru, sehingga jumlah pengangguran
terbuka menurun dengan tingkat 6,14%. Walaupun TPT usia muda sudah menurun,
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
namun jumlahnya masih terlampau besar, yaitu lebih dari 5,3 juta, sehingga mimpi
untuk meraih kesejahteraan masih dirasa sulit untuk dicapai.
Grafik 1.1
TPT Usia Muda Tahun 2005-2012
Sumber: data Bappenas, 2005-2012
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
Bagan 1.1
Jumlah Penganggur Usia Muda Menurut Tingkat Pendidikan
Sumber: data Bappenas, 2007-2012
Walaupun perolehan data di atas secara sepintas mengindikasikan bahwa
jumlah pengangguran dari rentang tahun 2007 ke tahun 2012 menurun, namun
pemerataan kesempatan kerja untuk semua belum terealisasi dengan baik. Rendahnya
tingkat pendidikan serta tidak meratanya sektor lapangan pekerjaan yang diminati
menjadi salah satu faktor penyebab ketidakmerataan kesempatan kerja. Tingginya
persentase jumlah penganggur berpendidikan SD dan SMP menunjukkan fenomena
penganggur usia muda didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Tren
peralihan pekerja dari sektor informal ke sektor formal juga berdampak pada
ketidakmerataan sektor lapangan kerja yang dimasuki. Sehingga, syarat masuk kerja
ke sektor formal pun jauh lebih ketat. Akibatnya, jumlah pengangguran semakin
membludak.
0
500
1000
1500
2000
2500
SD SMP SMA SMK Diploma Universitas
2007
2012
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
Sebagaimana telah diketahui bahwa negara telah mengatur pemerataan
kesempatan kerja bagi semua dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “tiap-
tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan” dan pasal 28D ayat 2 yang berbunyi “setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja,” isu
Decent Work seakan-akan menjadi isu sentral saat berbicara tentang ketenagakerjaan.
Decent Work juga telah menjadi salah satu prioritas agenda kerja ILO. Menurutnya,
agenda pekerjaan layak perlu diterapkan di berbagai negara dalam upaya penciptaan
kondisi kerja yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak, yaitu majikan dan
pekerja atau buruh.
Agenda kerja layak merupakan pendekatan terpadu untuk mengejar tujuan
pekerjaan penuh dan produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua pada tingkat
global, regional, nasional, dan lokal. Dalam hal ini, tujuan pekerjaan penuh dan
produktif memiliki pengertian pencapaian target pemenuhan barang dan jasa sebagai
hasil produksi yang bermutu dan berkualitas. Sedangkan pekerjaan yang layak untuk
semua berkaitan dengan pemenuhan hak-hak pekerja selama bekerja sesuai prinsip-
prinsip kelayakan kerja. Pemenuhan kelayakan kerja mencakup kesetaraan dalam
memperoleh kesempatan kerja, pemberian hak-hak di tempat kerja, perlindungan
sosial, pemberian upah, dan dialog sosial (ILO Decent Work Agenda, 2011).
Berbicara mengenai kemajemukan pekerja di Indonesia, pekerja dapat
dikategorikan menjadi pekerja yang memiliki kelengkapan fisik (pekerja normal) dan
pekerja yang memiliki keterbatasan fisik (pekerja difabel). Jika dikaitkan dengan
kesetaraan dalam mendapatkan pekerjaan, kaum difabel pun semestinya mempunyai
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
kesempatan yang sama untuk memperoleh kesempatan kerja. Karena selain yang
utama untuk memenuhi kebutuhan hidup, bekerja juga dijadikan sebagai penentu
identitas seseorang dalam masyarakat. Orang yang bekerja tentunya lebih dihargai
daripada yang tidak bekerja. Sesuai dengan kutipan sebagai berikut, ”setiap hari kita
selalu diingatkan bahwa kerja, bagi semua orang, menentukan eksistensi dari manusia
tersebut. Kerja adalah cara untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar.
Namun, kerja juga merupakan kegiatan dimana individual mengakui identitas mereka,
baik untuk diri mereka sendiri dan orang-orang di sekeliling mereka. Hal ini
sangatlah penting bagi diri mereka, kesejahteraan keluarga, dan stabilitas
masyarakat” (Somavia, ILO Director General, June 2001).
Selama ini, masih banyak kaum difabel yang mengalami kesulitan dalam
mendapatkan kesempatan kerja. Perekrutan tenaga kerja difabel seolah-olah masih
menjadi hal langka dalam dunia kerja. Keterbatasan fisik dijadikan alasan utama
mengapa kaum difabel seringkali disingkiri oleh pihak penyedia kerja. Walaupun
dalam kenyataannya tidak jarang ditemui kaum difabel yang justru memiliki potensi
diri di atas rata-rata pekerja “normal”. Namun, kemampuan dan potensi tersebut
seringkali tertutupi oleh keterbatasan fisik yang dimiliki.
WHO memperkirakan sekitar 15% dari populasi dunia (7 miliar jiwa)
hidup dengan berbagai bentuk keterbatasan fisik, dimana 2-4% diantaranya mengalami
kesulitan dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Perkiraan jumlah kaum difabel di
seluruh dunia ini meningkat karena menuanya populasi dunia dan penyebaran penyakit
kronis yang cukup cepat, serta peningkatan dalam metodologi yang digunakan untuk
mengukur derajat ketidakmampuan fisik. Meskipun banyak diantara mereka yang
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
bekerja dan mampu berbaur dengan masyarakat, namun kebanyakan dari kaum difabel
masih hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih terperinci lagi, jumlah difabel di
Indonesia menunjukkan angka yang cukup signifikan.
Tabel 1.1
Jumlah Penyandang Difabel di Beberapa Provinsi Tahun 2011
Provinsi Jumlah
Jawa Barat 130.324
Jawa Tengah 236.304
DI Yogyakarta 30.887
Jawa Timur 179.344
Bali 18.861
Sulawesi Selatan 82.170
Sumber: Data Kemensos RI, 2011
Di samping Jawa Barat dan Jawa Timur, Jawa Tengah ternyata juga memiliki
jumlah difabel cukup tinggi. Tingginya angka difabel tersebut turut mempengaruhi
tingginya angka pengangguran dari kalangan difabel, tidak terkecuali yang terjadi di
Surakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar kaum difabel sulit untuk
memperoleh pekerjaan, dan yang terjadi pada akhirnya adalah sebagian besar dari
mereka hanya bekerja serabutan untuk tetap dapat menyambung hidup. Ironisnya,
sebagian besar dari mereka yang berkeluarga sudah memiliki anak yang tidak jarang
dari mereka tidak bersekolah atau putus sekolah lantaran ketiadaan biaya.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
Sebenarnya tidak sedikit dari kaum difabel yang memiliki keterampilan dan
kemampuan kendati memiliki keterbatasan fisik. Keterampilan dan kemampuan
tersebut seringkali didapat dari sebuah panti atau pusat rehabilitasi yang ada di
Surakarta. Namun, di sisi lain, tidak banyak lapangan pekerjaan yang membutuhkan
tenaga mereka sehingga tidak jarang sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk
mengemis atau mengamen di jalanan (Solopos, 17 Mei 2011).
Tabel 1.2
Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Tahun 2007
Kota Surakarta
No Jenis PMKS – Difabel Laki-Laki Perempuan
1 Tuna Daksa 337 205
2 Tuna Rungu Wicara 115 99
3 Tuna Netra 124 139
4 Tuna Mental Raterdasi 109 95
5 Tuna Mental Eks Psikotik 141 104
6 Tuna Ganda 54 33
7 Tuna Bibir Sumbing 17 14
Total 897 689
Sumber: Dinsosnaker Kota Surakarta, 2007
Dominasi penyandang tuna daksa dibanding dengan penyandang jenis difabel
lainnya turut mempersulit kesempatan memasuki sektor lapangan kerja. Terlebih lagi
pada sektor lapangan kerja formal yang kurang begitu berminat merekrut pekerja
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
difabel. Hal ini tentu mengakibatkan kurang terserapnya tenaga kerja penyandang
difabel secara optimal. Bahkan sebagian besar dari mereka hanya sebagai
pengangguran. Tingginya jumlah pengangguran kaum difabel di berbagai wilayah di
Indonesia menunjukkan bahwa pemerataan kesempatan kerja belum cukup dinikmati
oleh semua kalangan difabel. Kesetaraan dalam memperoleh pekerjaan bagi kaum
difabel seakan dirasa masih sulit didapat padahal telah banyak peraturan dan undang-
undang yang dibuat pemerintah untuk menangani persoalan tersebut. Kemajuan yang
ditunjukkan Indonesia dalam melibatkan kaum difabel dapat dilihat dari upaya negara
saat menandatangani Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau
United Nation Convention on the Rights of Person with Disabilities (UNCRPD) dan
pembuatan Rencana Aksi Nasional untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi
difabel di Indonesia (2004-2013), serta meratifikasi Konvensi ILO No. 111 Mengenai
Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan). Langkah awal untuk meratifikasi Konvensi ILO
No. 159 mengenai Rehabilitasi dan Pelatihan Keterampilan bagi Penyandang
Disabilitas juga telah dilakukan.
Namun kenyataannya, akses pilihan pekerjaan untuk kaum difabel masih
belum dapat terealisasikan. Padahal Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas atau United Nation Convention on the Rights of Person with Disabilities
(UNCRPD) tahun 2007 telah bertujuan untuk mempromosikan, melindungi, dan
memastikan para difabel dapat menikmati secara penuh dan setara semua hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental serta mempromosikan penghargaan terhadap
harkat dan martabat kaum difabel. Konvensi ini menandai sebuah pergeseran
paradigma dalam perilaku dan pendekatan terhadap difabel. Kaum difabel tidak dilihat
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
sebagai obyek kegiatan amal, perlakuan medis, dan perlindungan sosial, namun dilihat
sebagai manusia yang memiliki hak yang mampu mendapatkan hak-hak itu serta
membuat keputusan terhadap hidup mereka sesuai dengan keinginan dan ijin yang
mereka berikan seperti halnya anggota masyarakat lainnya.
Selain berpedoman pada Konvensi ILO, Indonesia juga telah mengatur hak-hak
bagi kaum difabel dalam memperoleh kesempatan kerja. Seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1997 Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, Pasal 5 yang berbunyi “Setiap warga penyandang cacat mempunyai hak
dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.” Dalam
hal ini, aspek yang dimaksud meliputi aspek agama, kesehatan, pendidikan, sosial,
ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan
keamanan, olahraga, rekreasi, dan informasi. Dari kutipan pasal tersebut sudah jelas
tersirat bahwa kaum difabel memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya dalam
segala aspek kehidupan tanpa terkecuali, termasuk ketenagakerjaan. Penyandang
disabilitas memiliki kesamaan kesempatan untuk mendapat pekerjaan, sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatannya. Pernyataan ini lebih tegas lagi diperkuat dalam Pasal
14 Undang-Undang No.4 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa “Perusahaan negara
dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang
cacat di perusahaannya, dan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, pendidikan
dan kemampuannya yang jumlahnya sesuai dengan jumlah karyawan dan atau
kualifikasi perusahaan.” Lebih lanjut, pasal ini menjelaskan bahwa perusahaan
berkewajiban untuk memperkerjakan sedikitnya 1 orang penyandang cacat yang
memenuhi syarat dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan untuk setiap 100 orang
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
karyawan. Dari penjelasan tersebut sudah jelas terlihat bahwa siapapun berhak
memperoleh kesempatan kerja sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, tak
terkecuali bagi kaum difabel.
Tabel 1.3
Jumlah Tenaga Kerja Difabel Tahun 2010
No Jenis PMKS-Difabel Jumlah
1 Tuna Netra 2.137.923
2 Tuna Daksa 1.852.866
3 Tuna Rungu 1.567.810
4 Tuna Mental 712.641
5 Tuna Kronis 855.169
Total 7.126.409
Sumber: Data Kemenakertrans, 2010
Negara juga telah memberikan sanksi yang tegas sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 berupa kurungan maksimal enam
bulan atau denda maksimal Rp. 200 juta bagi yang melanggar pasal tersebut. Hal ini
cukup mengindikasikan bahwa difabel juga memiliki hak yang sama dalam
memperoleh pekerjaan. Pemberlakuan sanksi tersebut ditujukan sebagai upaya
antisipasi terjadinya diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan bagi semua kalangan
masyarakat.
Jika dipelajari lebih jauh, sebenarnya terdapat berbagai kendala dan hambatan
bagi kaum difabel dalam mengakses lapangan pekerjaan. Hambatan tersebut dapat
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
berasal dari dalam diri difabel (faktor internal) dan dari luar diri difabel (faktor
eksternal). Faktor internal berarti hambatan tersebut berasal dari dalam diri difabel
sendiri, seperti rasa tidak percaya diri yang berlebihan saat bersaing untuk
mendapatkan kesempatan kerja dengan orang “normal” maupun sikap pasrah dan
tergantung belas kasihan orang lain. Hal inilah yang menyebabkan kaum difabel sulit
berkembang dalam rangka mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik.
Sedangkan faktor eksternal dapat berupa minimnya kesempatan kerja yang tersedia
bagi kaum difabel, sehingga mengalami kesulitan dalam mengakses pekerjaan.
Kaum difabel yang memiliki keterbatasan fisik sudah semestinya mendapat
perlindungan dari semua pihak. Hanya untuk bertahan hidup pun terasa sulit karena
sebagian besar penyedia lapangan pekerjaan tidak bersedia memperkerjakan mereka.
Oleh karena itu, berdirilah salah satu sektor informal yang bergerak di industri
kerajinan yang dinamai Rumah Lidi Handicraft. Industri kerajinan ini berdiri pada
tahun 2010 dan bergerak di bidang usaha pembuatan tas dan perlengkapan rumah
tangga lainnya, seperti taplak meja, tempat tissu, tempat lampu hias, boks dokumen,
kaligrafi, dan lain sebagainya yang berbahan baku lidi. Awalnya, industri kerajinan ini
bernama Arsy Handicraft. Namun, untuk alasan agar lebih komersial dan lebih
menarik minat konsumen melalui namanya, maka industri kerajinan ini berganti nama
menjadi Rumah Lidi Handicraft. Head Office industri kerajinan ini beralamat di Jalan
Kyai Mojo No.4 RT 04 RW 23 Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota
Surakarta. Sedangkan kegiatan industri dilakukan di tempat berbeda, yaitu dengan
menyewa salah satu tempat di Jalan Sampangan RT 03 RW 22 Semanggi, Pasar
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
Kliwon, Surakarta. Hal ini dilakukan karena keterbatasan ruang dan lahan di Head
Office.
Bapak Syahrir Rozie selaku pemilik dan pimpinan Rumah Lidi Handicraft
merasa prihatin terhadap nasib kaum difabel, terutama penyandang tuna daksa yang
jumlahnya lebih dominan dibandingkan dengan jenis penyandang tuna lainnya yang
sulit mendapatkan pekerjaan. Sektor UMKM ini tidak hanya memperkerjakan
penyandang tuna daksa saja, namun pekerja dengan kondisi “normal” pun
diperkenankan bekerja. Bahkan, anak-anak jalanan juga diperbolehkan bekerja di sana.
Uniknya, pekerja dari kalangan penyandang tuna daksa diperbolehkan bekerja di
rumah masing-masing. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pekerja penyandang
tuna daksa dalam bekerja. Untuk masalah pengantaran bahan baku pembuatan produk
kerajinan dan penjemputan hasil produk, pihak Rumah Lidi Handicraft sendiri yang
melakukan antar jemput ke rumah pekerja penyandang tuna daksa. Sehingga, para
pekerja penyandang tuna daksa tidak merasa kerepotan dan terbantu dalam melakukan
aktivitas kerjanya karena sudah cukup difasilitasi oleh pihak Rumah Lidi Handicraft.
Kehadiran Rumah Lidi Handicraft sebagai salah satu jenis UMKM mampu
sedikit membantu permasalahan ekonomi yang dialami penyandang tuna daksa pada
umumnya. Di samping bermotif ekonomi, penyelenggaraan industri kerajinan ini tidak
terlepas dari motif sosial. Rumah Lidi Handicraft merupakan salah satu sektor
informal yang berperan sebagai katup pengaman pengangguran bagi penyandang tuna
daksa.
Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki pertumbuhan penduduk
cukup tinggi tentunya berbanding lurus dengan peningkatan pertambahan jumlah
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
angkatan kerja. Persoalan krusial sampai saat ini adalah tidak sebandingnya jumlah
lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah angkatan kerja, sehingga jumlah
pengangguran membludak. Peran sektor informal disini adalah sebagai salah satu
alternatif penyedia lapangan kerja yang menampung tenaga kerja tanpa membutuhkan
persyaratan-persyaratan tertentu yang seringkali menyulitkan para pencari kerja,
seperti yang diberlakukan di sektor formal, misalnya tingkat pendidikan dan
keterampilan kerja yang harus dan mutlak dipenuhi. Hal ini merupakan salah satu
faktor utama yang memudahkan para pencari kerja memasuki sektor informal dan
semakin mengukuhkan kehadirannya sebagai penyangga terhadap kelebihan jumlah
tenaga kerja, khususnya bagi para penyandang tuna daksa.
Pemberdayaan sektor informal di bidang UMKM merupakan bagian dari
pemberdayaan perekonomian rakyat guna pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.
Dalam beberapa hal, sektor informal lebih dapat beradaptasi dan tidak terganggu oleh
manajemen operasional yang kaku. Dalam periode krisis perekonomian nasional,
sektor informal yang bersifat adaptif dan lentur masih tetap dapat bertahan, bahkan
mampu mengembangkan peluang-peluang usaha dibandingkan dengan perusahaan-
perusahaan besar. Sektor informal mampu menjadi alternatif bagi pencari kerja di saat
sektor formal sulit dimasuki dan kesempatan mendapatkan pekerjaannya pun semakin
terbatas.
Hal senada terlihat pada fenomena pekerja penyandang tuna daksa yang lebih
mendapat tempat di sektor UMKM, yaitu Rumah Lidi Handicraft. Industri kerajinan
ini memfasilitasi dan menampung para pencari kerja, tidak terkecuali penyandang tuna
daksa yang dalam kenyataannya sulit memperoleh pekerjaan. Dengan bekerja, mereka
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
akan mendapatkan penghasilan yang dapat meningkatkan taraf hidup. Dan pada
akhirnya, diharapkan dapat memberikan kontribusi peningkatan pendapatan daerah
dan nasional. Melihat begitu vitalnya fungsi sektor usaha informal, maka semestinya
pemerintah mempunyai andil besar dalam upaya peningkatan jumlah dan eksistensi
sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di tengah semakin ketatnya
persaingan globalisasi yang mendunia.
Walaupun kemudahan bekerja sudah diperoleh para pekerja penyandang tuna
daksa di Rumah Lidi Handicraft, yaitu dengan sistem kerja di rumah masing-masing
pekerja penyandang tuna daksa, tentunya masih ada persoalan lain yang berhubungan
dengan kelayakan kerja, seperti sejauh mana pihak Rumah Lidi Handicraft
menerapkan prinsip-prinsip kerja layak sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang
telah ada. Penelitian yang memiliki fokus kajian mengenai perspektif pekerja
penyandang tuna daksa tentang makna kerja layak perlu dilakukan untuk mengetahui
seberapa jauh para pekerja penyandang tuna daksa memahami dan memaknai konsep
kerja layak, sehingga mereka mampu menilai apakah hak-hak yang semestinya mereka
terima sudah benar-benar didapat atau belum di industri kerajinan Rumah Lidi
Handicraft, tempat mereka bekerja.
Isu kerja layak telah menjadi salah satu sorotan utama bagi organisasi
internasional yang menangani bidang perburuhan dan tenaga kerja. Seperti yang telah
disinggung sebelumnya, pekerja difabel pun juga berhak menikmati kondisi kerja
layak selama bekerja. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua pekerja difabel
mendapatkan perlakuan yang baik dari majikannya. Banyak majikan yang masih
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
belum tahu bagaimana cara memperlakukan pekerjanya. Dan akhirnya yang timbul
adalah eksploitasi di tempat kerja.
Fenomena eksploitasi tenaga kerja yang saat ini seakan-akan telah menjadi
pemandangan biasa bagi semua orang tentunya dikarenakan adanya human error,
salah satunya adalah yang berasal dari majikan. Pemahaman yang minim terkait
pemenuhan kerja layak bagi pekerja menjadi faktor utama penyebab timbulnya
tindakan sewenang-wenang majikan terhadap para pekerjanya. Kurangnya
pemahaman tentang prinsip-prinsip kerja layak yang benar serta minimnya kesadaran
untuk menerapkan prinsip-prinsip kerja layak menjadikan eksploitasi kerja kian
menjamur dalam sebuah hubungan kerja.
Kerja layak yang tengah menjadi isu global nyatanya belum mampu dipahami
secara maksimal oleh semua pihak, baik majikan maupun pekerja. Jika berbicara dari
perspektif pekerja, terutama pekerja difabel, kurangnya pengetahuan terkait prinsip-
prinsip kerja layak seringkali menjadikan diri mereka tidak sadar akan eksploitasi
yang dilakukan oleh majikan mereka. Jika menilik pada Reader Kit ILO Tentang
Penanganan Pekerja Difabel di Tempat Kerja, pekerja difabel harus mendapat
perlakuan khusus melihat kondisi mereka yang sedikit berbeda dengan orang pada
umumnya. Dan seringkali yang terjadi di banyak lokasi kerja adalah prinsip-prinsip
kerja layak tersebut kurang dapat diimplementasikan oleh pihak penyelenggara kerja,
sehingga yang terjadi sebenarnya adalah kondisi kerja kurang layak. Namun, karena
minimnya pemahaman pekerja difabel tentang prinsip-prinsip tersebut, maka kondisi
kerja yang kurang layak tersebut seolah-olah telah dianggap layak oleh pekerja difabel
karena kurangnya pengetahuan tentang kerja layak bagi difabel.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
Oleh karena itu, peneliti mengambil fokus kajian pemaknaan kerja layak
pekerja difabel, khususnya pekerja penyandang tuna daksa karena ingin mengetahui
pemaknaan kerja layak dari perspektif pekerja penyandang tuna daksa. Dalam
memaknai kerja layak, terkadang terdapat pemahaman yang berbeda antara pihak
penyelenggara kerja dengan pekerja. Dan hal ini berpotensi menimbulkan
permasalahan di lokasi kerja jika tidak mengacu pada prinsip-prinsip kerja layak
seperti yang telah dirumuskan ILO. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberi
gambaran kondisi kerja, khususnya di sektor informal melalui fokus kajian pemaknaan
kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa. Sehingga, didapat indikator kerja
layak yang benar-benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pekerja penyandang tuna
daksa yang bekerja di sektor informal.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa di
industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft?
2. Bagaimana kondisi kerja layak para pekerja penyandang tuna daksa di industri
kerajinan Rumah Lidi Handicraft?
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan operasional
Tujuan dilakukannya penelitian dengan fokus kajian mengenai pemaknaan
kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa ini adalah untuk memberikan
kontribusi bagi pengembangan ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, dimana
Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan telah lama mengkaji implementasi
kebijakan perlindungan sosial yang erat hubungannya dengan isu kerja layak di
samping perlindungan sosial dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat,
dalam hal ini adalah kesejahteraan para pekerja.
b. Tujuan substansial
Tujuan substansial dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil
pemaknaan kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa berdasarkan pada kondisi
kerja yang selama ini diperoleh di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft,
Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta.
2. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan:
a. Dapat memberikan gambaran mengenai kondisi kerja para pekerja penyandang
tuna daksa di industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft, Semanggi, Pasar
Kliwon, Surakarta.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
b. Dapat mengetahui hasil pemaknaan oleh para pekerja penyandang tuna daksa
di industri kerajinan, sehingga akan didapat rumusan awal mengenai prinsip-
prinsip kerja layak yang benar-benar sesuai dengan kondisi para pekerja
penyandang tuna daksa.
c. Dapat memberi kontribusi positif bagi pemerintah sebagai pemegang kebijakan
dalam membuat regulasi terkait prinsip kerja layak yang benar-benar relevan
dengan kebutuhan para pekerja penyandang tuna daksa di lokasi kerja.
d. Dapat menjadi tambahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang
mengangkat tema serupa, yakni pemaknaan kerja layak oleh pekerja
penyandang tuna daksa di industri kerajinan.
E. Tinjauan Teoritik
1. Teori Interaksionisme Simbolik
George Herbert Mead mengembangkan teori atau konsep interaksionisme
simbolik yang intinya adalah bahwa dalam interaksionisme simbolik, sebuah simbol
menjadi ide dasarnya. Simbol merupakan konsep yang membedakan antara manusia
dengan binatang. Simbol dapat diartikan sebagai media yang terbangun dari sebuah
interaksi yang dapat mempengaruhi respon (tanggapan). Simbol ini muncul akibat dari
kebutuhan setiap individu untuk berinteraksi dengan orang lain. Dalam proses
interaksi tersebut pasti ada suatu tindakan yang diawali dengan pemikiran. Mead
berpendapat bahwa bukan pikiran yang pertama kali muncul, melainkan
masyarakatlah yang terlebih dulu muncul dan baru diikuti pemikiran yang muncul
dalam diri masyarakat tersebut.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
Analisa Mead mencerminkan fakta bahwa masyarakat atau yang lebih umum
disebut kehidupan sosial menempati prioritas dalam analisanya. Individu yang berpikir
dan sadar diri tidak mungkin ada sebelum kelompok sosial. Kelompok sosial hadir
lebih dulu dan mengarah pada perkembangan kondisi mental sadar diri. Begitu pula
yang terjadi dalam industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft. Kelompok sosial yang
dimaksud merupakan kelompok pekerja, khususnya pekerja penyandang tuna daksa
yang bekerja di tempat yang sama, yaitu di Rumah Lidi Handicraft yang selanjutnya
akan mampu berpikir dan memberi makna terkait kerja layak berdasarkan kondisi
kerja yang selama ini mereka peroleh.
Interaksionisme simbolik tertarik bagaimana manusia menggunakan simbol-
simbol yang merepresentasikan apa yang dimaksudkan untuk berkomunikasi dengan
sesamanya dan juga pengaruh yang ditimbulkan atas penafsiran simbol-simbol
tersebut terhadap perilaku yang terlihat dalam interaksi. Orang menciptakan makna
bersama melalui interaksinya, dan bagi mereka makna itulah yang menjadi realitanya
(Suyanto & Sutinah, 2004: 180). Dalam teori ini, manusia berinteraksi dengan yang
lain dengan cara menyampaikan simbol, dan yang lain memberi makna atas simbol
tersebut. Makna merupakan produk dari interaksi sosial, karena itu makna tidak
melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa.
Pada dasarnya, simbol merupakan hal yang penting dalam interaksi antar
individu. Simbol dalam dunia kerja, seperti yang ada di Rumah Lidi Handicraft adalah
segala bentuk perlakuan serta hubungan yang terjalin antara majikan dengan pekerja.
Simbol tersebut dapat berupa pemenuhan fasilitas kerja, pemberian upah, hubungan
yang terjalin di tempat kerja, serta kondisi yang nampak di Rumah Lidi Handicraft.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
Simbol-simbol tersebut akan dapat dimaknai oleh pekerja, terutama pekerja
penyandang tuna daksa dalam kaitannya dengan perwujudan kondisi kerja yang layak.
Sifat khas dari interaksionisme simbolik menunjuk kepada interaksi manusia.
Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan
tindakannya. Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan
orang lain, tetapi didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain
itu. Interaksi antar individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi,
atau dengan berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing.
Jadi, dalam proses interaksi manusia itu bukan suatu proses dimana adanya stimulus
secara otomatis dan langsung menimbulkan tanggapan atau respon, tetapi adanya
stimulus yang diterima dan direspon yang terjadi sesudahnya, diantarai oleh proses
interpretasi oleh aktor. Dan proses interpretasi inilah merupakan proses berpikir yang
merupakan kemampuan yang khas yang dimiliki manusia (Ritzer, 1980: 61).
Berangkat dari konsep di atas, penelitian dengan fokus pemaknaan kerja layak
oleh pekerja penyandang tuna daksa memiliki kemiripan dalam kerangka berpikir.
Pemaknaan kerja layak timbul karena adanya interaksi antara pekerja dengan kondisi
lingkungan tempat mereka bekerja. Interaksi tersebut menjadi faktor utama yang
mempengaruhi pemberian makna kerja layak berdasarkan penilaian dan pemahaman
subyektif pekerja penyandang tuna daksa. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya
bahwa interaksi antar individu yang diantarai oleh interpretasi yang pada akhirnya
menghasilkan respon, hal ini sesuai jika dianalogikan dengan tahap pemaknaan kerja
layak oleh pekerja penyandang tuna daksa. Mula-mula interaksi terbangun di lokasi
kerja. Interaksi dilakukan antar pekerja dengan pengurus Rumah Lidi Handicraft.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
Interaksi yang berlangsung seiring dengan berjalannya waktu tersebut tentu
meninggalkan kesan bagi pekerja dan pengurus di Rumah Lidi Handicraft. Kondisi
kerja yang dirasakan para pekerja tersebut tentunya sangat mempengaruhi hasil
pemaknaan kerja layak, terutama oleh pekerja penyandang tuna daksa. Sehingga, pada
tahap interpretasi inilah pemberian makna dilakukan oleh pekerja penyandang tuna
daksa berdasarkan kondisi kerja yang dirasakan selama bekerja di industri kerajinan.
Dan pada akhirnya, respon yang diberikan berupa penilaian apakah kondisi kerja layak
di Rumah Lidi Handicraft yang diharapkan oleh pekerja penyandang tuna daksa sudah
didapatkan atau belum.
Proses interpretasi yang menjadi penengah antara stimulus dengan respon
menempati posisi kunci dalam interaksionisme simbolik, terlebih jika fokus penelitian
yang dilakukan menekankan pada pemberian makna kerja layak oleh pekerja
penyandang tuna daksa. Sudah jelas bahwa proses interpretasi adalah proses berpikir
yang merupakan kemampuan yang khas yang dimiliki manusia. Begitu pula dengan
pemberian makna kerja layak oleh pekerja penyandang tuna daksa yang cukup
membuktikan bahwa para pekerja penyandang tuna daksa memiliki kemampuan
berpikir untuk menanggapi kondisi kerja layak yang diperoleh dan dirasakan di lokasi
kerja.
Jika dikaitkan dengan kondisi di Rumah Lidi Handicraft, penyampaian simbol
yang menjadi inti pemikiran Mead terlihat di industri kerajinan Rumah Lidi
Handicraft. Di industri kerajinan ini, simbol diartikan sebagai bentuk perilaku dan
fenomena yang nampak dalam hubungan kerja di Rumah Lidi Handicraft, seperti
pemenuhan fasilitas kerja yang menunjang aktivitas bekerja, pemenuhan upah yang
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
memadai, maupun kondisi psikis kerja yang tercipta antara majikan dengan pekerja di
tempat kerja. Simbol inilah yang menjadi unsur utama penentu pemaknaan kerja layak
yang dilakukan oleh pekerja penyandang tuna daksa di industri kerajinan Rumah Lidi
Handicraft.
2. Pekerja Difabel (Different Ability Worker)
Sebagian besar orang menyebut kaum difabel dengan sebutan penyandang
cacat. Hingga saat ini pun, istilah penyandang cacat lebih sering digunakan dalam
masyarakat. Padahal, di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta),
cacat diartikan sebagai: (1) kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau
kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau akhlak); (2) lecet
(kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang
sempurna); (3) cela atau aib; (4) tidak atau kurang sempurna. Kata cacat selalu
diasosiasikan dengan atribut-atribut yang negatif, sehingga istilah penyandang cacat
cenderung membentuk opini publik bahwa orang-orang yang hidup dengan kecacatan
patut dikasihani, tidak terhormat, tidak bermartabat, dan lain sebagainya. Hal tersebut
sangat bertentangan dengan tujuan Konvensi ILO yang mempromosikan
penghormatan atas martabat kaum difabel dan melindungi serta menjamin kesamaan
hak asasi mereka sebagai manusia.
Dalam The International Classification of Impairment, Disability and
Handicap, WHO mendefinisikan tiga aspek kecacatan, yaitu impairment, disability,
dan handicap. Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi
psikologis, fisiologis, atau anatomis (Any loss or abnormality of psychological,
physiological, or anatomical structure or function). Disability adalah suatu
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
keterbatasan atau kehilangan kemampuan (sebagai akibat dari suatu impairment)
untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang
normal bagi seorang manusia (Any restriction or lack resulting from an impairment of
ability to perform an activity in the manner or within the range considered normal for
a human being). Handicap adalah suatu kerugian, bagi seorang individu tertentu,
sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau
menghambat terlaksananya suatu peran yang normal, tergantung pada usia, jenis
kelamin, faktor-faktor sosial atau budaya (A disadvantage, for a given individual,
resulting from an impairment or disability, that limits or prevents the fulfillment of a
rule that is normal, depending on age, sex, social and cultural factors). Definisi
tersebut menunjukkan bahwa disability hanyalah salah satu dari tiga aspek kecacatan
tersebut. Sementara impairment merupakan aspek kecacatan pada level organ tubuh,
dan handicap merupakan aspek yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak terkait
langsung dengan kecacatan, disability merupakan aspek kecacatan pada level
keberfungsian individu.
Lebih jelasnya, impairment merupakan kondisi kelainan, misalnya orang yang
mengalami gangguan indera atau kelainan tubuh atau mental. Akibat dari kelainan
tersebut, contohnya seseorang menjadi tidak bisa melihat atau mengalami kesulitan
dalam bergerak, sehingga mengalami apa yang disebut disability. Akan tetapi,
kelainan tersebut akan tertutupi bila menggunakan alat tertentu, sehingga orang
tersebut menjadi “normal” dan hanya dikatakan sebagai orang yang mengalami
“kelainan”, bukan disebut disability. Sedangkan handicap merupakan kondisi
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
seseorang yang terhalang berdasarkan impairment-nya, seperti tidak bisa mengakses
tangga gedung, dan lain sebagainya.
Tahun 2001 lalu, WHO telah merevisi konsep di atas dengan sebutan
International Classification of Functioning Disability and Health (ICF). Pada konsep
yang baru ini, impairment bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi fokus dalam
menilai keberfungsian kemampuan seseorang. Ada dua komponen utama yang perlu
dipelajari dalam memahami masalah penyandang disabilitas, yaitu functioning
(keberfungsian) dan disability (ketidakmampuan). Bagian pertama meliputi
keberfungsian badan atau anatomi dan struktur serta aktivitas dan partisipasi.
Sedangkan bagian kedua terdiri dari faktor-faktor kontekstual, seperti faktor
lingkungan dan faktor yang sifatnya personal.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat 1, penyandang
cacat didefinisikan sebagai “setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau
mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya
untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a) penyandang cacat fisik; b)
penyandang cacat mental; c) penyandang cacat fisik dan mental.” Macam-macam
kecacatan terdiri dari:
1) Cacat fisik, adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh,
antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara.
Yang termasuk dalam kriteria ini adalah: a) cacat kaki, b) cacat punggung, c)
cacat tangan, d) cacat jari, e) cacat leher, f) cacat netra, g) cacat rungu, h) cacat
wicara, i) cacat raba (rasa), j) cacat pembawaan.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
Cacat tubuh memiliki banyak istilah, salah satunya adalah tuna daksa. Kata
“tuna” berarti kurang atau rugi, sedangkan daksa berarti tubuh. Sehingga tuna daksa
ditujukan bagi mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna. Cacat tubuh
dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Menurut sebab cacat adalah cacat sejak lahir dan cacat tidak sejak lahir,
disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau perang.
b. Menurut jenis cacatnya adalah putus (amputasi) tungkai dan lengan; cacat tulang,
sendi, otot pada tungkai dan lengan, cacat tulang punggung, celebral palsy, cacat
lain yang termasuk pada cacat tubuh orthopedi, paraplegia.
2) Cacat mental, adalah kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan
maupun akibat dari penyakit, antara lain: a) retardasi mental, b) gangguan
psikiatrik fungsional, c) alkoholisme, d) gangguan mental organik dan epilepsi.
3) Cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis
kecacatan sekaligus (Demartoto, 2005: 10).
Ideologi kenormalan menyatakan bahwa seseorang disebut normal apabila
orang tersebut mempunyai organ tubuh lengkap dan berfungsi dengan baik. Seseorang
yang mengalami ketidakberfungsian organ tubuh, kehilangan salah satu atau lebih
organ yang dimilikinya, maka orang tersebut kerap disebut sebagai seorang yang tidak
normal. Ideologi kenormalan yang menganut paham kesempurnaan organ tubuh dan
berfungsi dengan baik ini sampai mengakar sedemikian kuat dalam alam pikir
manusia sampai sekarang karena cara pandang semacam ini sudah terlanjur
terkonstruksi ketika melihat orang mengalami cacat tubuh. Anggapan orang normal
yang menilai penyandang cacat sebagai kelompok lemah dan tidak berdaya secara
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
tidak langsung telah memposisikan penyandang cacat lebih rendah dari orang normal
yang memiliki kelengkapan secara fisik dan dapat berfungsi dengan baik. Berdasarkan
data yang telah ada, jumlah penyandang tuna daksa pun jauh lebih besar dibandingkan
dengan jenis disabilitas lainnya. Jumlah yang besar ini dipengaruhi oleh banyaknya
variasi penyebab timbulnya tuna daksa, misalnya kecacatan yang dibawa sejak lahir,
akibat kecelakaan, maupun terkena musibah yang tidak jarang menyebabkan
seseorang terpaksa menjadi penyandang tuna daksa.
Penggunaan kata difabel merupakan kependekan dari “different ability” yang
berarti seseorang dengan kemampuan berbeda. Kata difabel memiliki hubungan
dengan disable atau disabilitas yang saat ini istilah tersebut masih kerap digunakan
sebagian besar orang. Padahal, bila diterjemahkan, disable berarti kecacatan. Bahkan,
tidak jarang pula istilah penyandang cacat masih begitu melekat dalam masyarakat.
Sehingga, penggunaan istilah difabel sangat dianjurkan dalam kehidupan dengan
maksud untuk memperhalus kata atau istilah yang digunakan sebelumnya. Namun,
yang lebih penting dari itu adalah dapat merubah persepsi dan pemahaman masyarakat
bahwa seorang yang memiliki sebutan difabel hanyalah sebagai seseorang yang
memiliki perbedaan kondisi fisik, namun tetap mampu melakukan aktivitas walaupun
dengan cara dan pencapaian yang berbeda.
Pekerja difabel merupakan penggabungan dari dua asal kata. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, bahwa pengertian difabel adalah setiap orang yang memiliki
kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang
cacat fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental ( Pasal
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
1 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 1997 ). Sedangkan pengertian pekerja adalah
menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian pekerja difabel merupakan
setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian
pekerja difabel juga dijelaskan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor:
KEP-205/MEN/1999 Tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja
Penyandang Cacat, yaitu tenaga kerja yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental,
namun mampu melakukan kegiatan secara selayaknya, serta mempunyai bakat, minat,
dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan
kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sebagai pekerja, tentunya kaum difabel memiliki hak-hak khusus yang
semestinya didapatkan di lokasi kerja. Perlindungan hukum berupa regulasi-regulasi
yang memihak pada kaum difabel seharusnya benar-benar dapat diterapkan karena
pekerja difabel merupakan kelompok lemah yang memang sudah semestinya
dilindungi oleh semua pihak, terutama dalam dunia ketenagakerjaan. Selain itu,
perlindungan sosial yang berkaitan langsung dengan keamanan dan keselamatan
pekerja difabel menjadi komponen utama bagi para penyedia lapangan kerja untuk
memperlakukan para pekerjanya, dalam hal ini adalah pekerja difabel secara baik dan
manusiawi.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
3. Makna Kerja Layak Oleh Pekerja Penyandang Tuna Daksa
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2005: 619), kata makna
diartikan sebagai: (i) arti, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang
diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Jika seseorang mengatakan sesuatu,
terdapat tiga unsur, yaitu: name, sense, dan thing. Soal makna terdapat dalam sense,
dan ada hubungan timbal balik antara name dengan pengertian sense. Apabila
seseorang mendengar kata tertentu, ia dapat membayangkan bendanya atau sesuatu
yang diacu, dan apabila seseorang membayangkan sesuatu, ia segera dapat
mengatakan pengertiannya itu. Hubungan antara nama dan pengertian itulah yang
disebut makna. Jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang, berarti ia
memikirkan sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut, yakni suatu keinginan
untuk menghasilkan jawaban dengan kondisi tertentu. Aspek-aspek makna dalam
semantik (Mansoer Pateda, 2001 dalam Sakti, 2012: 78), yakni:
- Pengertian (sense) atau tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara
dengan lawan bicara mempunyai kesamaan bahasa yang digunakan atau
disepakati bersama.
- Nilai rasa (feeling), hal ini berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang
dibicarakan. Setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan nilai
rasa dan setiap kata mempunyai hubungan dengan perasaan.
- Nada (tone), adalah sikap pembicara terhadap lawan bicara, artinya hubungan
antara pembicara dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin
dalam kata-kata yang digunakan.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40
- Maksud (intention), yaitu maksud yang diinginkan baik senang atau tidak
senang atau bersifat deklarasi, imperatif, persuasi, pedagogis, rekreasi atau
politik. Aspek-aspek tersebut tentunya membantu peneliti dalam menemukan
makna kerja layak berdasarkan perspektif pekerja penyandang tuna daksa di
industri kerajinan Rumah Lidi Handicraft.
Kerja layak merupakan tujuan utama ILO yang diwujudkan untuk semua orang
tanpa terkecuali. Sudah sejak lama ILO mempromosikan pengembangan keterampilan
dan kesempatan kerja bagi para difabel dengan berdasarkan prinsip kesetaraan
kesempatan, perlakuan yang sama, mengarusutamakannya ke dalam rehabilitasi
keterampilan dan program pelayanan pekerjaan dan pelibatan masyarakat. Prinsip non-
diskriminasi semakin ditekankan karena isu difabel dilihat sebagai isu hak asasi
manusia. ILO berupaya mencapai tujuan ini melalui promosi standar tenaga kerja,
advokasi, pengembangan pengetahuan dalam pelatihan dan memperkerjakan para
difabel, serta memberikan pelayanan kerja sama teknis dan kemitraan. Kelayakan
kerja menjadi isu sentral saat berbicara mengenai ketenagakerjaan. Tidak
mengherankan jika Decent Work menjadi tuntutan utama para pekerja di seluruh dunia
karena terkait dengan keamanan dan kenyamanan yang selayaknya didapat sewaktu
bekerja. Ratifikasi Konvensi ILO No.111 Mengenai Diskriminasi (Pekerjaan dan
Jabatan) dan Konvensi ILO No.159 Mengenai Rehabilitasi dan Pelatihan
Keterampilan bagi Penyandang Disabilitas menjadi bukti bahwa kaum difabel sudah
sepantasnya mendapatkan perlakuan yang layak di segala aspek kehidupan dan
penghidupan.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41
Mempelajari tentang kelayakan kerja, tidak akan pernah lepas dari definisi
kerja layak itu sendiri. Menurut ILO, pekerjaan yang layak melibatkan kesempatan
untuk pekerjaan yang protektif dan memberikan pendapatan yang adil, keamanan di
tempat kerja, dan perlindungan sosial bagi keluarga, prospek yang lebih baik untuk
pengembangan pribadi dan kebebasan integrasi sosial bagi orang untuk
mengekspresikan keprihatinan mereka, mengatur dan berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka dan kesetaraan
kesempatan dan perlakuan bagi semua laki-laki dan perempuan. Ada berbagai aturan
yang telah ditetapkan ILO terkait dengan isu kelayakan kerja untuk para difabel
(Reader Kit ILO: Menangani Disabilitas di Tempat Kerja, 2011 Sesi Ke-277 dalam
Sakti, 2012: 21), diantaranya:
1. Memastikan bahwa para penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang
sama di tempat kerja.
Hal ini berarti tidak ada diskriminasi kesempatan kerja bagi penyandang
disabilitas. Penyandang disabilitas berhak diberi ruang untuk mengakses
lapangan kerja seperti hak yang didapat oleh orang lain pada umumnya.
Pihak penyedia lapangan kerja tidak boleh membedakan antara pencari
kerja “normal” dengan pencari kerja difabel.
2. Memberikan perlindungan sosial yang berfungsi sebagai pengaman bagi
pekerja penyandang disabilitas, terutama pada saat berada di lokasi kerja.
Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam Konvensi ILO No.102
Tahun 1952 Mengenai (Standar Minimal) Jaminan Sosial yang menyatakan
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
42
bahwa para pekerja berhak mendapatkan jaminan sosial, seperti jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan lain-lain.
3. Mempromosikan tempat kerja yang aman, mudah diakses, dan sehat.
Tempat kerja yang aman dan nyaman menjadi salah satu faktor dapat
terpenuhinya indikator kerja layak. Selain itu, kemudahan akses ke tempat
kerja menjadi hal penting yang perlu diperhatikan oleh pihak penyedia
lapangan kerja bagi pekerjanya dari kalangan penyandang disabilitas.
4. Memaksimalkan pemberian apresiasi (upah) terhadap kontribusi yang dapat
diberikan oleh pekerja penyandang disabilitas.
Pekerja penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan upah
yang sesuai dengan standar minimal berdasarkan kontribusi yang diberikan
oleh pekerja penyandang disabilitas.
5. Tata kelola dan dialog sosial (Social dialogue)
Memastikan adanya serikat pekerja penyandang disabillitas dan
membangun jalinan yang baik pada interaksi atau komunikasi antara
pekerja penyandang disabilitas dengan pihak pengurus (perusahaan) serta
pemerintah.
6. Pemberian dukungan dan penyesuaian yang sewajarnya
Dukungan dan penyesuaian yang sewajarnya menjadi bagian dari Prinsip
Umum Non-Diskriminasi Pasal 2 UNCRPD. Dukungan dan penyesuaian
yang sewajarnya harus diberikan kepada para penyandang disabilitas dan
dijabarkan sebagai modifikasi dan penyesuaian yang dibutuhkan dan tepat
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
43
tidak memaksakan beban yang berlebihan atau yang tidak dapat dilakukan,
dimana dibutuhkan pada kasus tertentu, untuk memastikan penyandang
disabilitas dapat menikmati atau menjalankan kebebasan dan hak asasi
manusia mereka secara setara dengan orang lain. Misalnya, penyesuaian
yang sewajarnya bisa berupa perubahan fisik di tempat kerja, memodifikasi
jadwal (jam) kerja, atau memodifikasi kebijakan di tempat kerja.
Penyesuaian yang sewajarnya tidak mengharuskan melakukan penurunan
kinerja atau menghilangkan fungsi-fungsi penting dari pekerjaan seseorang.
Dalam hal kesetaraan mendapatkan lapangan kerja, Rumah Lidi Handicraft
berusaha menjalankan fungsinya. Sektor UMKM ini memberikan kesetaraan
kesempatan kerja bagi kaum difabel, terutama penyandang tuna daksa dengan tujuan
lebih memberdayakan mereka dalam bidang ekonomi. Seperti yang telah dipaparkan
di atas, bahwa semua penyandang difabel memiliki kesetaraan dalam memperoleh
pekerjaan beserta hak-haknya di tempat kerja, hal ini nampaknya sedikit berbeda
dengan kondisi yang ada di Rumah Lidi Handicraft. Perekrutan tenaga kerja lebih
diperuntukkan bagi penyandang tuna daksa karena jenis penyandang inilah yang
paling memungkinkan melakukan pekerjaan yang ada di Rumah Lidi Handicraft.
Mengingat kegiatan industri berkaitan dengan produksi pembuatan tas dan
perlengkapan rumah tangga lainnya yang berbahan baku lidi, terlebih para pekerja
penyandang tuna daksa diberikan tugas dalam hal pengerjaan menenun lidi yang sudah
tentu menggunakan alat-alat berat. Selain itu, jumlah penyandang tuna daksa di
Surakarta yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penyandang tuna lainnya
sehingga perekrutan tenaga kerja penyandang tuna daksa lebih mudah dilakukan.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
44
Antara pekerja yang satu dengan pekerja yang lain tentunya memiliki
perbedaan dalam memaknai kerja layak itu sendiri. Terlebih jika membandingkan
antara pekerja “normal” dengan pekerja yang memiliki keterbatasan fisik (difabel).
Pekerja dengan keterbatasan fisik pasti membutuhkan kondisi kerja yang lebih
nyaman dan aman dibandingkan dengan pekerja “normal”. Hal ini tentu
mempengaruhi pemaknaan kerja layak di lokasi kerja. Selain itu, perbedaan latar
belakang antara pekerja penyandang tuna daksa yang satu dengan yang lain turut
mempengaruhi pemaknaan kerja layak. Perbedaan upah yang diterima antara pekerja
penyandang tuna daksa yang berperan sebagai pengurus dengan pekerja penyandang
tuna daksa yang bekerja harian di bidang produksi nyatanya mempengaruhi hasil
pemaknaan kerja layak. Selain itu, latar belakang pendidikan dan lama bekerja pekerja
penyandang tuna daksa yang berbeda-beda juga mempengaruhi hasil pemaknaan kerja
layak di Rumah Lidi Handicraft.
PEMAKNAAN KERJA LAYAK OLEH PEKERJA PENYANDANG TUNA DAKSA DI INDUSTRIKERAJINANRUMAH LIDI HANDICRAFT KELURAHAN SEMANGGI, KECAMATAN PASAR KLIWON, SURAKARTARISKA WIDIANA ASMIAWATIUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/