Post on 29-Nov-2020
PENAMBAHAN BERBAGAI LEGUMINOSA PADA
SILASE PAKAN LENGKAP BERBASIS DAUN
KELAPA SAWIT (Elaesis guineensis) TERHADAP
KECERNAAN DAN KADAR AMONIA SECARA
IN VITRO.
SKRIPSI
Oleh :
Ely Ana Yusuf
NIM. 135050100111014
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PENAMBAHAN BERBAGAI LEGUMINOSA PADA
SILASE PAKAN LENGKAP BERBASIS DAUN
KELAPA SAWIT (Elaesis guineensis) TERHADAP
KECERNAAN DAN KADAR AMONIA SECARA
IN VITRO.
SKRIPSI
Oleh:
Ely Ana Yusuf
NIM. 135050100111014
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PENAMBAHAN BERBAGAI LEGUMINOSA PADA
SILASE PAKAN LENGKAP BERBASIS DAUN
PENAMBAHAN BERBAGAI LEGUMINOSA PADA
SILASE PAKAN LENGKAP BERBASIS DAUN KELAPA
SAWIT (Elaesis guineensis) TERHADAP KECERNAAN
DAN KADAR AMONIA SECARA IN VITRO.
SKRIPSI
Oleh :
Ely Ana Yusuf
NIM. 135050100111014
Telah dinyatakan lulus dalam ujian sarjana
Pada Hari/Tanggal: Senin/17 Juli 2017
Menyetujui: Tanda tangan Tanggal
Pembimbing Utama:
Prof. Dr. Ir. Siti Chuzaemi, MS ....................... .............. NIP. 19530514 198002 2 001
Pembimbing Pendamping:
Dr. Ir. Herni Sudarwati, MS ....................... .............. NIP. 19540227 198303 2 001
Dosen Penguji:
Dr. Ir. Ita Wahju Nursita, M.Sc ....................... ..............
NIP . 19630508 198802 2 001
Artharini Irsyammawati, S.Pt. MP ....................... ..............
NIP . 19771016 200501 2 002
Dr. Ir. Imam Thohari, MP ....................... ..............
NIP. 195902111986011002
Mengetahui:
Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya
Prof. Dr.Sc.Agr.Ir. Suyadi, MS
NIP. 196204031987011001
Tanggal:………………………
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 22 Januari 1995,
merupakan putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan
Bapak M Yusuf dan Ibu Sunariyah. Penulis memulai pendidikan
pada tahun 2001-2007 di MI NU Curungrejo Kecamatan
Kepanjen Kabupaten Malang, kemudian melanjutkan ke MTs
Negeri Kepanjen Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang pada
tahun 2007-2010 dan melanjutkan ke MA Negeri Gondanglegi
Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang pada tahun 2010-
2013. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan S1 di Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2013
melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN).
Penulis aktif dikegiatan kampus sebagai asisten praktikum
Ilmu Tanaman dan Pakan Ternak (ITPT), asisten Sistem
Pertanian Terpadu (SPT) pada tahun 2016 serta asisten praktikum
mata kuliah Pengelolaan Limbah Peternakan pada tahun 2017.
Penulis telah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT.
Jatinom Indah Farm cabang Kwik Farm unit Kediri Jawa Timur
pada bulan Juli – Agustus 2016.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah yang Maha
Kuasa atas segala limpahan rahmat, karunia dan hidayahNya
sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul
“Penambahan Berbagai Leguminosa Pada Silase Pakan
Lengkap Berbasis Daun Kelapa Sawit (Elaesis guineensis)
Terhadap Kecernaan Dan Kadar Amonia Secara In Vitro ”.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana peternakan. Untuk itu penulis juga
sangat berterimakasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ir. Siti Chuzaemi, MS., selaku Pembimbing
Utama dan ketua Laboratorium nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas peternakan Universitas Brawijaya yang telah
membimbing dan memberikan saran serta pengarahan
dalam pelaksanaan maupun penyusunan skripsi dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan.
2. Dr. Ir Herni Sudarwati, MS., selaku Pembimbing
Pendamping atas saran dan bimbingannya dalam penulisan
usulan penelitian sampai, pelaksanaan penelitian dan
penyusunan skripsi dengan penuh kesabaran dan
keikhlasan.
3. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS., selaku Dekan Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya.
4. Dr. Ir. Sri Minarti, MP, selaku Ketua Jurusan Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya.
5. Dr. Agus Susilo, S.Pt., MP, selaku Ketua Program Studi
Peternakan yang telah banyak membina kelancaran proses
studi.
6. Dr. Ir. Mashudi, M. Agr. Sc., selaku Koordinator Minat
Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya yang telah memberikan kemudahan
dan kelancaran selama proses pengajuan judul dan
penyusunan usulan penelitian.
7. Prof. Dr. Ir. Ifar Subagiyo, M.Agr. St, Prof. Dr. Ir. Siti
Chuzaemi, MS., Dr. Ir. Herni Sudarwati, MS., Dr. Ir.
Marjuki, M.Sc. dan Artharini Irsyammawati, S.Pt, MP
selaku tim penelitian BOPTN Fakultas Peternakan yang
memberikan kesempatan saya untuk penelitian.
8. Bapak Sugiyono, Mbak Alik Trisna yang telah
membantu dan membimbing penulis selama di
Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya.
9. Bapak Sumali yang telah membantu selama di
Laboratorium Lapang Sumber Sekar Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya.
10. Orang tua yaitu Bapak Moch Yusuf dan Ibu Sunariyah
atas jasa-jasanya, kesabaran, doa, pengorbanan yang luar
biasa untuk penulis serta adik saya Afif.
11. Teman-teman seperjuangan Ama, Elza, Rahma, Fora,
Devi serta teman-teman penelitian (Khabib, Nafi, Mufid,
Andi dan Tutik) dan semua pihak yang secara langsung
maupun tidak langsung telah membantu dalam penelitian
dan penulisan skripsi ini.
Malang, 27 Juli 2017
Penulis
THE ADDITION OF DIFFERENT LEGUMES IN
COMPLETE FEED SILAGE BASED ON PALM OIL LEAF
(Elaesis guineensis) ON DIGESTIBILITY AND NH3
CONSENTRATION OF IN VITRO
Ely Ana Yusuf
1, Siti Chuzaemi
2 dan Herni Sudarwati
2
1Student at Animal Husbandry Faculty, Brawijaya University 2Lecture at Animal Husbandry Faculty, Brawijaya University
Email: ellyanna2201@gmail.com
ABSTRACT
The aim of this study was to investigate the effect of
different legumes leaves used for the complete feed silage based
palm oil leaf on dry matter digestibility (DMD), organic matter
digestibility (OMD) and ammonia concentration (NH3) in vitro.
The materials were palm oil leaf, Calliandra calothyrsus,
Leucaena leucocephala, Gliricidia sepium, Indigofera
zollingeriana and concentrates used for the complete feed silage.
The method of this research was experiment in Randomized
Block Design with 4 treatments and 3 replications. The treatment
based on % DM prepared 13% iso protein with comparison
forage and concentrate 60:40 for all treatments. There were
significant influence continued with Duncan’s Multiple Range
Test Method (DMRT). The results showed that the addition of
various legumes leaves in complete feed silage based on palm oil
leaf to all treatments gave significant differences (P<0.05) to
DMD, OMD and NH3 concentration. The conclusion of this
research is the best formula on DMD, OMD and NH3
concentration of rumen liquid at this complete feed silage
founded with addition of leaf Gliricidia sepium.
Keywords: Complete feed, silage, palm oil leaf, digestibility,
in vitro.
PENAMBAHAN BERBAGAI LEGUMINOSA PADA
SILASE PAKAN LENGKAP BERBASIS DAUN KELAPA
SAWIT (Elaesis guineensis) TERHADAP KECERNAAN
DAN KADAR AMONIA SECARA IN VITRO.
Ely Ana Yusuf1, Siti Chuzaemi
2 dan Herni Sudarwati
2
1Mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya 2Dosen Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya
Email: ellyanna2201@gmail.com
RINGKASAN
Tanaman kelapa sawit (Elaesis guineensis) merupakan
salah satu tanaman perkebunan yang memiliki banyak potensi
yang bisa digunakan sebagai bahan pakan alternatif guna
mengatasi ketersediaan hijauan terutama dimusim kemarau. Salah
satu limbah perkebunan kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak adalah daun kelapa sawit dikarenakan
ketersediaannya yang melimpah. Kelemahan dari daun kelapa
sawit sebagai pakan ternak adalah kandungan nutrisi yang rendah
sehingga perlu dilakukan pengolahan dengan menambahkan
bahan pakan lain seperti leguminosa dan konsentrat. Pengolahan
yang dapat dilakukan pada daun kelapa sawit yaitu dengan
meggunakan teknologi pakan lengkap. Agar hijauan yang
digunakan dapat bertahan lebih lama maka pengolahan bahan
pakan selain digunakan menjadi pakan lengkap dapat
diaplikasikan menjadi silase guna meningkatkan daya simpan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
penggunaan daun leguminosa berbeda untuk pembuatan silase
pakan lengkap berbasis daun kelapa sawit terhadap kecernaan
bahan kering (KcBK), kecernaan bahan organik (KcBO) dan
konsentrasi amonia (NH3) secara in vitro. Hasil penelitian ini
diharapkan bermanfaat bagi semua kalangan dan menambah
pengetahuan mengenai pembuatan silase pakan lengkap.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2016 sampai
Februari 2017 di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya dan di Laboratorium
Lapang Sumber Sekar Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya.
Materi dalam penelitian ini adalah daun kelapa sawit,
Calliandra calothyrsus, Leucaena leucocephala, Gliricidia
sepium, Indigofera zollingeriana dan konsentrat yang digunakan
untuk pembuatan silase pakan lengkap. Analisis yang digunakan
adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan yang
digunakan terdiri dari 4 perlakuan dan ulangan sebanyak 3 kali.
Adapun perlakuan sebagai berikut P1 (40% Konsentrat + Daun
kelapa sawit 49,5% + Calliandra calothyrsus 10,5%), P2 (40%
Konsentrat + Daun kelapa sawit 53% + Leucaena leucocephala
7%), P3 (40% Konsentrat + Daun kelapa sawit 51% + Gliricidia
sepium 9%) dan P4 (40% Konsentrat + Daun kelapa sawit 52% +
Indigofera zollingeriana 7,5%). Variabel yang diamati meliputi
persentase KcBK dan KcBO secara in vitro dan Konsentrasi NH3
cairan rumen. Hasil data yang diperoleh dianalisis meggunakan
analisis ragam, apabila terdapat perbedaan antar perlakuan dan
kelompok, maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan
berbagai daun leguminosa pada pembuatan silase pakan lengkap
berbasis daun kelapa sawit terhadap semua perlakuan
memberikan perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap kecernaan
bahan kering (KcBK) pada P1 (56,03 ± 2,54%), P2 (51,40 ±
3,27%), P3 (55,66 ± 0,37%) dan P4 (52,67 ± 2,22%). Nilai
kecernaan bahan organik (KcBO) juga memberikan perbedaan
yang nyata (P<0,05) antar perlakuan pada P1 (57,58 ± 6,60%), P2
(53,52 ± 8,69%), P3 (58,24 ± 4,18%) dan P4 (52,54 ± 4,30%).
Konsentrasi amonia (NH3) memberikan perbedaan yang nyata
(P<0,05) antar perlakuan yaitu pada P1 (7,75 ± 2,51mM), P2 (9,65
± 4,11mM), P3 (11,41 ± 2,02mM) dan P4 (7,50 ± 1,94mM).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah perlakuan silase
pakan lengkap berbasis daun kelapa sawit dengan penambahan
berbagai daun leguminosa berbeda dapat meningkatkan KcBK,
KcBO dan konsentrasi NH3. Formula terbaik silase pakan lengkap
adalah perlakuan P3 penambahan daun Gliricidia sepium dengan
nilai KcBK yaitu 55,66 ± 3,27%, nilai KcBO yaitu 58,24 ± 4,18%
dan konsentrasi NH3 cairan rumen yang optimal 11,41 ± 2,02mM.
Saran dari penelitian ini yaitu perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut secara in vivo untuk pengukuran kecernaan dan konsentrasi
NH3 cairan rumen pada silase pakan lengkap berbasis daun kelapa
sawit.
DAFTAR ISI
Isi Halaman
RIWAYAT HIDUP ........................................................ i
KATA PENGANTAR .................................................... iii
ABSTRACT .................................................................... v
RINGKASAN .................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................. xix
DAFTAR SINGKATAN ................................................ xxi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian ................................................ 5
1.4. Kegunaan Penelitian ........................................... 5
1.5. Kerangka Pikir .................................................... 6
1.6. Hipotesis ............................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daun Kelapa Sawit (Elaesis guineensis) ............ 11
2.2. Pakan Lengkap ................................................... 13
2.3. Silase Pakan Lengkap ......................................... 15
2.4. Konsentrat ........................................................... 16
2.5. Leguminosa ......................................................... 17
2.5.1. Calliandra calothyrsus ........................... 18
2.5.2. Leucaena leucochepala .......................... 21
2.5.3. Gliricidia sepium .................................... 24
2.5.4. Indigofera zollingeriana ......................... 27
2.6. Kecernaan BK dan BO ....................................... 30
2.7. NH3 (Amonia) Cairan Rumen ............................ 32
BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................. 35
3.2. Materi Penelitian ................................................. 35
3.2.1 Bahan ....................................................... 35
3.2.2 Peralatan ................................................... 36
3.3. Metode Penelitian ............................................... 37
3.4. Persiapan Penelitian ............................................ 37
3.4.1. Persiapan Bahan Penyusunan Silase Pakan
Lengkap ..................................................... 37
3.4.2. Pembuatan Silase Pakan Lengkap ........... 38
3.4.3. Persiapan Bahan untuk Analisis Kecernaan
Secara In Vitro ......................................... 38
3.4.4. Pengambilan Cairan Rumen ..................... 38
3.4.5. Analisis Kecernaan Secara In Vitro .......... 39
3.5. Variabel Penelitian .............................................. 40
3.6. Analisis Data Penelitian ...................................... 40
3.7. Batasan Istilah ..................................................... 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Kandungan Nutrien Bahan Pakan Silase Pakan
Lengkap ............................................................... 43
4.2.Kandungan Nutrien Silase Pakan Lengkap Berbasis
Daun Kelapa Sawit Dengan Penambahan Berbagai
Daun Leguminosa ............................................... 47
4.3.Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan
Bahan Organik (KcBO) ....................................... 55
4.4. Konsentrasi Amonia (NH3) Cairan Rumen ........ 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ......................................................... 63
5.2. Saran .................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ..................................................... 64
LAMPIRAN .................................................................... 79
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kandungan Nutrien Daun Kelapa Sawit ...................... 13
2. Kandungan Nutrien Calliandra calothyrsus ................ 21
3. Kandungan Nutrien Leucaena leucochepala ............... 24
4. Kandungan Nutrien Gliricidia sepium ......................... 27
5. Kandungan Nutrien Indigofera zollingeriana .............. 30
6. Kandungan Nutrien Bahan Pakan Pembuetan Silase
Pakan Lengkap Berbasis Daun Kelapa Sawit ............. 44
7. Kandungan Nutrien Silase Pakan Lengkap
Berbasis Daun Kelapa Sawit ....................................... 48
8. Penurunan Kandungan BK Silase Pakan
Lengkap Berbasis Daun Kelapa Sawit ........................ 49
9. Penurunan Kandungan Penurunan Kandungan PK
Silase Pakan Lengkap Berbasis Daun Kelapa Sawit .. 51
10.Penurunan Kandungan SK Silase Pakan Lengkap
Berbasis Daun Kelapa Sawit ....................................... 53
11.Nilai KcBK dan KcBO Silase Pakan Lengkap
Berbasis Daun Kelapa Sawit ....................................... 56
12.Konsentrasi NH3 Silase Pakan Lengkap Berbasis
Daun Kelapa Sawit ...................................................... 60
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Pikir .............................................................. 9
2. Kelapa Sawit (Elaesis guineensis.) .............................. 12
3. Calliandra calothyrsus ................................................. 19
3. Leucaena leucochepala ................................................ 22
3. Gliricidia sepium .......................................................... 25
3. Indigofera zollingeriana ............................................... 28
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik secara In Vitro .............................................. 79
2. Pengukuran Konsentrasi NH3 (Amonia) Cairan
Rumen .......................................................................... 84
3. Analisis Statistika Kecernaan Bahan Kering (KcBK)
Silase Pakan Lengkap Berbasis Daun Kelapa Sawit
dan Berbagai Jenis Leguminosa yang Berbeda........... 88
4. Analisis Statistika Kecernaan Bahan Organik (KcBO)
Silase Pakan Lengkap Berbasis Daun Kelapa Sawit
dan Berbagai Jenis Leguminosa yang Berbeda........... 91
5. Analisis Statistika Konsentrasi Amonia (NH3) Cairan
Rumen Silase Pakan Lengkap Berbasis Daun Kelapa
Sawit dan Berbagai Jenis Leguminosa yang Berbeda 94
6. Dokumentasi Penelitian ............................................... 97
DAFTAR SINGKATAN
% = Perseratus
BK = Bahan Kering
BO = Bahan Organik
cm = Centimeter
dkk., = Dan kawan-kawan
et all., = et alii
g = Gram
Ha = Hektar
KcBK = Kecernaan Bahan Kering
KcBO = Kecernaan Bahan Organik
kg = Kilogram
LK = Lemak Kasar
m = Meter
mM = Mili Mol
mg = Miligram
ml = Mililiter
mm = Milimeter
NH3 = Amonia
pH = Potential of Hydrogen
PK = Protein Kasar
RAK = Rancangan Acak Kelompok
SK = Serat Kasar
sp. = species
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor peternakan merupakan sektor yang sangat
penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan terutama
dalam penyediaan protein hewani. Kendala umum dari
pengembangan peternakan di Indonesia adalah
ketersediaan dan kualitas pakan yang rendah.
Permasalahan ketersediaan pakan untuk ternak
ruminansia, khususnya pada musim kemarau, bukan
disebabkan karena kurangnya produksi, akan tetapi lebih
kepada faktor pengelolaan yang kurang baik.
Ketersediaan rumput misalnya akan berlimpah di musim
hujan dan langka di musim kemarau. Sebagai solusi
pengganti ketersediaan rumput pada musim kemarau
maka dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber
pakan non konvensional seperti hasil samping
perkebunan, pertanian, dan agro industri.
Usaha yang dapat dilakukan untuk menangani
keterbatasan bahan pakan yaitu dengan memanfaatkan
limbah perkebunan menjadi pakan ternak dengan
pengolahan yang dapat meningkatkan nilai nutrisi dari
bahan pakan. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman
perkebunan yang memiliki banyak potensi yang bisa
digunakan sebagai bahan pakan alternatif guna mengatasi
ketersediaan hijauan terutama dimusim kemarau. Luas
perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2015
mencapai 11.300.370 ha dan meningkat menjadi
11.672.861 ha ditahun 2016 serta tidak menutup
2
kemungkinan luas perkebunan kelapa sawit bisa
bertambah dari tahun ketahun. Sehingga banyak limbah
yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit menurut
(BPS, 2015). Salah satu limbah perkebunan kelapa sawit
yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah
daun kelapa sawit. Menurut Asmanandi, Sumardi dan
Susilo (2013) daun kelapa sawit merupakan salah satu
limbah perkebunan yang dapat dimanfaatkan baik
diberikan secara langsung kepada ternak maupun diolah
menjadi silase. Daun kelapa sawit berasal dari
pemangkasan pelepah sawit dan dihasilkan 3,3 kg daun
segar per pelepah. Menurut Batubara (2003) kandungan
nutrisi daun kelapa sawit yaitu protein kasar 14,8% dan
lignin 27,6%. Kecernaan bahan kering in vitro daun sawit
kurang dari 50%.
Melalui proses pengolahan secara biologis limbah
daun kelapa sawit sebagai pakan ternak akan mampu
meningkatkan nilai nutrisi, sehingga limbah kelapa sawit
tidak terbuang dengan percuma. Selain itu juga dapat
menambah persediaan bahan pakan ternak, namun agar
tidak terjadi resiko karena pemberian secara langsung
maka perlu dilakukan pengolahan limbah daun kelapa
sawit. Pengolahan limbah daun kelapa sawit sebagai
pakan ternak dapat dilakukan dengan pembuatan pakan
lengkap. Menurut Irsyammawati, Chuzaemi dan Hartutik
(2011) pakan lengkap adalah suatu cara pemberian pakan
pada ternak ruminansia dimana semua bahan pakan
hijauan, limbah pertanian maupun perkebunan dan
konsentrat dicampur menjadi campuran yang mempunyai
kandungan nutrien seimbang dan mencukupi kebutuhan
ternak. Wahjuni dan Bijanti (2006) menjelaskan bahwa
3
tujuan bahan pakan ternak dijadikan pakan lengkap adalah
agar lebih efektif dan efisien dalam pemberian pakan.
Pakan lengkap dapat diberikan sekaligus bersamaan
antara hijauan dan konsentrat sehingga lebih praktis.
Pakan lengkap memiliki nilai nutrisi yang lebih lengkap
dan lebih baik kualitasnya dibandingkan pakan bentuk
tunggal seperti hijauan.
Konsentrat dipilih sebagai tambahan dalam pakan
lengkap karena merupakan bahan pakan yang dapat
meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan pakan dan
dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai
suplemen (pelengkap). Konsentrat merupakan bahan
pakan yang memiliki kadar serat kasar di bawah 18% dan
mudah dicerna. Konsentrat terbuat dari campuran
beberapa bahan pakan sumber energi (biji-bijian), sumber
protein (jenis bungkil dan kacang-kacangan), vitamin dan
mineral (Hadiyanto, Surono dan Christiyanto, 2012).
Hijauan yang dapat ditambahkan dalam
pembuatan pakan lengkap adalah leguminosa.
Leguminosa di pilih karena memiliki kandungan protein
yang lebih tinggi dibandingkan dengan limbah
perkebunan seperti kulit kopi dan jerami jagung yang
memiliki kandungan serat tinggi dan kandungan protein
yang rendah. Leguminosa yang ditambahkan dalam pakan
lengkap berupa kaliandra (Calliandra calothyrsus),
lamtoro (Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia
sepium) (Nuschati, Utomo dan Prawirodigdo, 2010).
Manurung (1996) menambahkan keuntungan penggunaan
hijauan leguminosa pohon sebagai sumber protein ransum
karena memiliki kandungan protein yang cukup tinggi
lebih dari 20%, murah, mudah didapat dan ada sepanjang
4
tahun. Leguminosa memiliki sejumlah kandungann tannin
yang dapat mencegah kembung dan melindungi degradasi
protein yang berlebihan oleh mikroba rumen.
Pemanfaatan limbah perkebunan dan leguminosa
yang dikombinasikan dengan konsentrat menjadi pakan
lengkap dapat diaplikasikan menjadi silase. Tujuan dari
pembuatan pakan lengkap menjadi silase agar
meningkatkan daya simpan serta mengatasi kurangnya
pasokan hijauan di musim kemarau. Silase merupakan
pengawetan hijauan segar yang disimpan dalam silo pada
kondisi anaerob. Kondisi tanpa udara tersebut akan
mempercepat pertumbuhan bakteri anaerob untuk
membentuk asam laktat (Mugiawati, Suwarno dan
Hidayat, 2013).
Melalui penelitian ini dapat diketahui pengaruh
penambahan berbagai daun leguminosa seperti kaliandra
(Calliandra calothyrsus), lamtoro (Leucaena
leucocephala) gamal (Gliricidia sepium), indigofera
(Indigofera zollingeriana) pada pembuatan silase pakan
lengkap berbasis daun kelapa sawit (Elaesis guineensis)
terhadap kecernaan bahan kering (KcBK), kecernaan
bahan organik (KcBO) dan konsentrasi amonia (NH3)
cairan rumen secara in vitro.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana pengaruh penambahan berbagai daun
leguminosa pada silase pakan lengkap berbasis daun
kelapa sawit terhadap kecernaan bahan kering
5
(KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO) secara
in vitro.
2. Bagaimana pengaruh penambahan berbagai daun
leguminosa pada silase pakan lengkap berbasis daun
kelapa sawit terhadap konsentrasi NH3 (amonia)
cairan rumen.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh penggunaan berbagai daun
leguminosa pada silase pakan lengkap berbasis daun
kelapa sawit terhadap kecernaan bahan kering (KcBK),
bahan organik (KcBO) secara in vitro dan NH3 (amonia)
cairan rumen serta perlakuan terbaik pada pembuatan
silase pakan lengkap .
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi dan evaluasi baik kepada
akademisi maupun peternak tentang penambahan berbagai
leguminosa pada silase pakan lengkap berbasis daun
kelapa sawit terhadap kecernaan bahan kering (KcBK),
kecernaan bahan organik (KcBO) dan konsentrasi NH3
(amonia) secara in vitro.
1.5 Kerangka Pikir Penelitian
Pakan merupakan faktor yang sangat penting
dalam usaha peternakan guna meningkatkan produktivitas
ternak ruminansia. Upaya yang dapat dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan pakan tersebut dibutuhkan sumber
pakan alternatif yang mampu menyediakan pakan dalam
6
jangka panjang. Pakan tersebut dapat berasal dari limbah
perkebunan kelapa sawit yang dapat diperoleh setiap
waktu seperti daun kelapa sawit. Menurut Sudaryanto
(1998) daun kelapa sawit adalah produk perkebunan yang
diperoleh dari pemangkasan pelepah kelapa sawit pada
saat panen buah karena mengganggu fungsi dan
kebersihan serta menghindari dari serangan (hama,
penyakit, tikus dan pakis). Produksi pelepah mencapai 40-
50 pelepah/pohon/tahun, sehingga dalam satu pelepah
dapat dihasilkan daun kelapa sawit sebesar 4,5kg. Daun
kelapa sawit, mengandung protein 14,8%, lemak 3,2%
dan lignin 27,6%.
Kelebihan dari penggunaan daun kelapa sawit
sebagai pakan ternak adalah produksinya melimpah, dapat
digunakan sebagai pengganti rumput dan dapat diberikan
dalam bentuk segar maupun silase. Kendala yang
dihadapi adalah daun kelapa sawit dalam bentuk utuh sulit
dicerna serta rendahnya kualitas nutrisi sehingga
membutuhkan teknologi dalam pengolahannya. Penelitian
yang dilakukan oleh Jaelani, Gunawan dan Asriani (2014)
bahwa level optimal penggunaan daun kelapa sawit untuk
ternak ruminansia yaitu 40-55%. Batubara (2002)
menjelaskan bahwa kandungan NDF daun kelapa sawit
62,75% dan daya cerna daun kelapa sawit rendah 38%.
Menurut Nurhaita, Jamarun, Warly dan Zain (2010)
pemanfaatan daun kelapa sawit sebaiknya diolah terlebih
dahulu untuk meningkat kandungan nutrisi. Pengolahan
yang tepat untuk meningkatkan nutrisi pada daun kelapa
sawit dengan mengolahnya menjadi pakan lengkap.
Pakan lengkap adalah suatu jenis pakan ternak
yang terdiri dari bahan hijauan dan konsentrat dalam
7
imbangan yang memadai. Bentuk penyediaan pakan
lengkap ini dinilai lebih efektif dan efisien jika
dibandingkan dengan pemberian pakan hijauan dan
konsentrat secara terpisah, hal ini bila ditinjau dari segi
waktu dan tenaga lebih rumit dan tidak praktis. Pakan
lengkap dapat diberikan sekaligus antara hijauan dan
konsentrat yang dikemas sedemikian rupa dan nilai
nutrisinya lebih lengkap, lebih tinggi kualitasnya serta
lebih praktis baik untuk ternak, pekerja kandang maupun
dari segi waktu (Wahjuni dan Bijanti, 2006).
Bahan baku yang ditambahkan dalam pembuatan
pakan lengkap selain dari daun kelapa sawit dan
konsentrat juga dapat ditambahkan berbagai leguminosa.
Konsentrat dipilih karena sebagai sumber energi dan
protein (Wahyuni, Anis dan Marry, 2014). Leguminosa
dipilih karena merupakan hijauan yang memiliki
kandungan protein yang cukup tinggi. Tujuan dari
pemberian leguminosa yaitu untuk memenuhi kebutuhan
gizi ternak (Kushartono, 2002).
Melimpahnya limbah daun kelapa sawit tidak
menutup kemungkinan bahan pakan tersebut dapat
bertahan lebih lama maka selain dibuat menjadi pakan
lengkap untuk meningkatkan daya simpan perlu dilakukan
pembuatan silase sehingga daun kelapa sawit yang
berlimpah dapat dimanfaatkan seluruhnya. Bahri (2012)
menyatakan bahwa silase pakan lengkap berbeda dengan
silase dengan bahan baku tunggal seperti silase rumput
atau jerami. Keuntungan dari silase pakan lengkap yaitu
tersedianya substrat pada proses fermentasi sehingga
mengurangi tingkat kegagalan dibandingkan dengan silase
berbahan baku tunggal, mengandung nutrisi yang sesuai
8
dengan kebutuhan ternak, tersedianya pakan yang
berkelanjutan dan mudah diberikan pada ternak, karena
tidak memerlukan pakan tambahan lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Lendrawati, Ridla
dan Ramli (2008) terhadap kecernaan dan kadar NH3 pada
silase pakan lengkap hasil samping daun kelapa sawit
memiliki nilai rataan kecernaan bahan kering dan bahan
organik setelah 6 minggu ensilase adalah 54,97% dan
63,25%.
Kerangka pikir penelitian tentang pengaruh
penggunaan berbagai daun leguminosa yang berbeda pada
pembuatan silase pakan lengkap berbasis daun kelapa
sawit terhadap kecernaan bahan kering (KcBK),
kecernaan bahan organik (KcBO) dan konsentrasi amonia
secara in vitro bisa dilihat pada Gambar 1.
9
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
Limbah Perkebunan
Konsentrat
Daun Kelapa Sawit
Silase Pakan Lengkap
(ensilase 21 hari)
Pengujian In vitro
- Kecernaan BK (KcBK)
- Kecernaan BO (KcBO)
NH3 (Amonia) cairan rumen
Keunggulan
1) Mengandung
protein lebih
dari 18%,
2) Mudah didapat,
murah dan
pasokan terjamin
sepanjang tahun
(Manurung,
1996).
Fungsi konsentrat
adalah untuk
mencukupi kebutuhan
protein, karbohidrat,
lemak dan mineral
yang tidak dapat dipenuhi oleh hijauan
dengan kandungan PK
minimal 18% (Laryska
dan Nurhajati 2013).
Tujuan:
1) Nilai nutrisinya
lebih lengkap
2) Hijauan dan
konsentrat dapat
diberikan secara
bersama
(Wahjuni dan
Bijanti 2006).
Tujuan pembuatan
silase pakan lengkap:
1) Tersedianya substrat
yang mendukung terjadinya
fermentasi
2) meningkatkan daya
simpan
(Lendrawati, Ridla
dan Ramli, 2008).
Pakan Lengkap
Leguminosa
1. Kaliandra
2. Lamtoro
3. Gamal
4. Indigofera
10
1.6 Hipotesis
Penambahan berbagai leguminosa pada pakan
lengkap berbasis daun kelapa sawit memberikan pegaruh
yang berbeda terhadap kecernaan bahan kering (KcBK),
kecernaan bahan organik (KcBO) secara in vitro dan
konsentrasi amonia (NH3) cairan rumen.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daun Kelapa Sawit (Elaesis guineensis)
Perkebunana kelapa sawit di Indonesia banyak
menghasilkan limbah berupa pelepah dan daun kelapa
sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan
untuk ternak ruminansia. Pemanfaatan limbah pelepah
dan daun kelapa sawit sebagai pakan ternak memberikan
andil dalam hal penyediaan pakan ternak juga sekaligus
mengatasi pencemaran lingkungan di areal perkebunan
kelapa sawit (Ardiansya, Mulyani dan Fridarti, 2014).
Menurut Syakri (2010) tanaman kelapa sawit
dalam tata nama atau sistematika (Taksonomi) tumbuh-
tumbuhan diklasifikasi sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Embryophyta siphonagama
Kelas : Angiospermae
Ordo : Monocotyledonae
Family : Arecaceae
Subfamily : Cocoideae
Genus : Elaesis
Spesies : Elaesis guineensis
13
ternak ruminansia. Pemanfaatan daun kelapa sawit
sebagai silase selain lebih efisien juga mengurangi biaya
pakan (Hassan et al., 1994).
Kecernaan bahan kering (KcBK) dan Kecernaan
bahan organik (KcBO) in vitro dari daun kelapa sawit dan
lidi yang berasal dari tanaman kelapa sawit yang berumur
12 tahun dengan perlakuan penambahan Ca(OH)2 dan air
adalah 19,26-29,55% dan 19,91-28,26%. Perbedaan
kecernaan pada daun kelapa sawit disebabkan karena
varietas, bagian daun yang digunakan, komposisi kimia
daun kelapa sawit, dan perlakuan yang diberikan
(Anjalani, Subur dan Hari, 2013). Kandungan nutrien
daun kelapa sawit (Elaesis guineensis) dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan nutrien daun kelapa sawit
Nutrien BK PK* SK* LK* Abu*
a Kandungan (%) 31,84 11,39 22,71 2,77 7,28
b Kandungan (%) 46,18 14,12 21,52 4,37 13,40
Sumber: a) Mucra dan Azriani (2012), b) Nurhayu, Ishak
dan Ella (2014)
*) Berdasarkan 100% BK
2.2 Pakan Lengkap
Pakan lengkap ruminansia merupakan campuran
antara bahan pakan konsentrat dan hijauan. Pakan lengkap
sangat baik diterapkan di Indonesia mengingat sebagian
besar usaha peternakan dikelola oleh masyarakat peternak
yang kurang menguasai penyusunan ransum (Nusi,
Utomo dan Soeparno, 2011). Teknologi pakan lengkap
14
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
pemanfaatan limbah baik yang berasal dari pertanian atau
perkebunan dan penambahan bahan pakan non
konvensional dengan perlakuan fisik, suplementasi dan
mempertimbangkan kebutuhan nutrisi ternak baik serat
kasar, protein, energi dll (Astuti dan Abdurahman, 2012).
Keuntungan pembuatan pakan lengkap antara lain
meningkatkan efisiensi dalam pemberian pakan dan
menurunnya sisa pakan dalam palungan, hijauan yang
palatabilitas rendah setelah dicampur dengan konsentrat
dapat mendorong meningkatnya konsumsi, untuk
membatasi konsumsi konsentrat (karena harga konsentrat
mahal), mudah dalam pencampuran antara konsentrat dan
hijauan serta memudahkan ternak menjadi kenyang
(Paramita, Susanto dan Yulianto, 2008).
Umumnya proporsi hijauan dan konsentrat
sekitar 60% : 40% BK, tetapi jika kualitas hijauan rendah
proporsi dapat digeser menjadi 55% : 45% BK dan jika
kualitas hijauan sedang hingga tinggi proporsi dapat
menjadi 64% : 36% (Irsyammawati dkk., 2011).
Formulasi pakan lengkap untuk ruminansia dengan
protein kasar (PK) 12% dan Total Digestible Nutrients
(TDN) 64% dengan persentase hijauan yaitu 30% dan
konsentrat 70% (Hadiyanto, dkk., 2012). Kisaran taraf
protein kasar pakan lengkap yang digunakan dalam
berbagai penelitian adalah antara 13–20%. Pembuatan
pakan lengkap dapat ditambahkan leguminosa sebanyak
30% sebagai sumber protein dan limbah hasil pertanian
sebanyak 36-50% sebagai sumber serat (Ginting, 2009).
15
2.3 Silase Pakan Lengkap
Silase pakan lengkap merupakan silase yang
dibuat dari campuran hijauan, konsentrat dan limbah
pertanian atau perkebunan yang diawetkan dengan cara
fermentasi anaerob (Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, 2012). Prinsip pembuatan silase adalah
fermentasi hijauan oleh mikroba yang banyak
menghasilkan asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan
selama proses fermentasi akan berperan sebagai zat
pengawet sehingga dapat menghindari pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk. Kondisi iklim lingkungan
saat pelayuan sangat mempengaruhi (Ridwan,
Ratnakomala, Kartina dan Widyastuti, 2005).
Pencampuran bahan baku pakan lokal menjadi
silase pakan lengkap dengan teknologi fermentasi secara
anaerob merupakan alternatif teknologi pengolahan pakan
yang dapat diterapkan. Perlakuan pada pembuatan silase
tidak perlu melakukan proses pengeringan. Silase juga
dapat dijadikan sebagai sumber probiotik dan asam
organik serta dapat digunakan sebagai antibiotik
alternatif. Keuntungan lain yaitu dari segi penyimpanan
lebih tahan lama karena bakteri pembusuk tidak tahan
terhadap pH rendah sehingga akan menghambat
pertumbuhan bakteri (Yusmadi, Nahrowi dan
Muhammad, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Lendrawati dkk.,
(2008) terhadap kecernaan dan kadar NH3 pada silase
pakan lengkap hasil samping daun kelapa sawit memiliki
nilai rataan kecernaan bahan kering dan bahan organik
setelah 6 minggu ensilase adalah 54,97% dan 63,25%.
Nilai kecernaan ini menunjukkan bahwa silase pakan
16
lengkap mempunyai kecernaan bahan kering yang rendah
karena kecernaan bahan kering berkisar antara 55–65%.
Kandungan NH3 yang diperoleh pada penelitian ini
berada dalam area normal untuk pakan lengkap yaitu
7,41mM.
2.4 Konsentrat
Konsentrat adalah campuran beberapa bahan
pakan yang disusun untuk membuat suatu ransum komplit
serta zat-zat makanannya seimbang (Rumerung, 2015).
Konsentrat merupakan bahan pakan pengganti sumber
energi dan bahan pakan sumber protein dan lebih disukai
ternak (palatable). Konsentrat merupakan bahan pakan
yang memiliki flavor yang lebih spesifik dibandingkan
hijauan (Soeharsono, Supriadi dan Hanafi, 2005).
Menurut Laryska dan Nurhajati (2013) pemberian pakan
konsentrat yang memiliki nilai nutrisi yang lebih baik
dibanding hijauan ditujukan untuk memberikan peluang
kepada ternak agar dapat memaksimalkan pertumbuhan
atau untuk produksi. Pemberian konsentrat yang baik
adalah dengan kandungan protein kasar minimal 18% dan
Total Digestible Nutrient (TDN) atau bahan makanan
yang dapat dicerna tidak kurang dari 75%.
Berdasarkan komposisinya, konsentrat dibagi
menjadi 2 macam yaitu konsentrat sumber energi
(kandungan PK di bawah 18%) dan konsentrat sumber
protein (kandungan PK di atas 18%). Konsentrat sumber
energi biasanya didapatkan dari bahan-bahan berupa
jagung kuning, dedak, bekatul, lemak, minyak dan bahan-
bahan lain yang umumnya kaya akan energi. Konsentrat
17
sumber protein biasanya terkandung dalam bahan-bahan
antara lain tepung ikan, bungkil kedelai dan bungkil
kelapa. Pemberian konsentrat bertujuan untuk
meningkatkan konsumsi dan kecernaan pakan serta untuk
menambah nilai gizi pakan (Hadiyanto dkk., 2012).
2.5 Leguminosa
Leguminosa merupakan salah satu jenis hijauan
yang memiliki kandungan protein yang cukup tinggi
sehingga dapat ditambahkan sebagai pakan ternak selain
pemberian rumput. Tujuan dari pemberian leguminosa
yaitu untuk memenuhi kebutuhan gizi ternak. Jenis-jenis
leguminosa yang relatif mudah untuk ditanam dan
memiliki nilai gizi yang cukup tinggi seperti gamal
(Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala) dan
kaliandra (Calliandra calothyrsus). Jenis-jenis tanaman
ini dapat tumbuh dengan baik dalam kondisi berbagai
jenis tanah, hal ini dapat diharapkan dengan penanaman
leguminosa dapat mendukung terpenuhinya kebutuhan
pakan terutama pada musim kemarau (Kushartono, 2002).
Tanaman pakan yang berasal dari jenis
leguminosa merupakan sumber protein karena memiliki
kandungan protein diatas 18%. Leguminosa adalah salah
satu tanaman dengan kontinuitas suplai hijauan pada
musim kemarau yang dapat bertahan dengan baik
dibeberapa daerah beriklim kering. Adanya budidaya
tanaman legum pohon seperti gamal, lamtoro, kaliandra
dan indigofera dapat membantu dalam pemenuhan
kebutuhan pakan dimusim kemarau (Suherman dan
Herdiawan, 2015). Tangendjaja dan Elizabeth (1998)
18
leguminosa merupakan salah satu alternatif yang dapat
diusahakan sebagai pakan ternak. Kandungan proteinnya
rata-rata di atas 20% sehingga dapat diharapkan dalam
perbaikan kualitas pakan.
2.5.1 Calliandra calothyrsus
Kaliandra adalah pohon kecil bercabang yang
tumbuh mencapai tinggi maksimum 12 m dengan
diameter batang 20 cm. Kulit batang berwarna merah
keabu-abuan yang ditutupi tentisel kecil, pucat
berbentuk oval. Kaliandra ini memiliki bentuk daun
yang kecil seperti umumnya keluarga mimosidae,
bertekstur lebih lunak berwarna hijau tua. Panjang daun
bisa mencapai 20 cm, lebarnya mencapai 15 cm.
Kaliandra merupakan jenis tanaman serbaguna yang
populer dan mudah ditanam, cepat tumbuh, dan
bertunas kembali setelah dipangkas berulang kali.
Beberapa tempat di Indonesia tanaman kaliandra
banyak dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak
berkualitas baik seperti halnya jenis leguminosa lain
(Herdiawan, Fanindi dan Semali, 2001).
20
jika lebih banyak, tidak akan dimanfaatkan seluruhnya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai gizi adalah
kecernaanya, dan sejauh mana hijauan ternak dapat
dicerna dan diserap oleh ternak. Kecernaan Kaliandra
sangat bervariasi sekitar 30% sampai 60% (Hendrati
dan Hidayati, 2014).
Anti nutrisi di dalam daun kaliandra yaitu
berupa tannin dalam jumlah yang tinggi sampai 11%.
Tannin mudah bereaksi dengan protein sehingga
menimbulkan efek negatif yaitu menghambat aktivitas
enzim dalam pencernaan, mengurangi konsumsi pakan
dan mengurangi mikroba rumen. Tannin dalam jumlah
sedikit dapat bermanfaat bagi ternak karena dapat
melindungi protein pakan agar tidak dipecah oleh
mikroba rumen (Tangendjaja dan Elizabeth, 1998).
Penelitian yang dilakukan oleh Qomariyah,
Retnani dan Permanal (2015) menjelaskan bahwa nilai
kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan
NH3 wafer kaliandra berturut-turut yaitu: 70,65%,
69,20% dan 22,63mM. Kecernaan bahan kering dan
bahan organik wafer suplemen kaliandra sudah ideal
bagi ternak ruminansia. Besarnya kecernaan pakan pada
ternak ruminansia sekitar 65% tergantung dari mikroba
rumen. Kecernaan juga sangat tergantung pada
komposisi zat makanan yang terkandung dalam pakan
dan laju aliran pakan meninggalkan rumen. Kandungan
nutrien Calliandra calothyrsus dapat dilihat pada Tabel
2.
21
Tabel 2. Kandungan nutrien Calliandra calothyrsus
Nutrien BK PK* SK* LK* Abu*
Kandungan (%) 24,48 23,67 19,50 4,13 8,61
Sumber: Tanuwiria, Djaja dan Kuswarayan (2010)
*) Berdasarkan 100% BK
2.5.2 Leucaena leucochepala
Tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala)
merupakan tanaman tropis. Lamtoro dapat tumbuh di
tempat yang lembab dan kering. Tanaman ini dapat
tumbuh pada kondisi tanah yang memiliki unsur hara
yang rendah seperti tanah liat, karang, berpasir, tanah
netral dan basa. Lamtoro tumbuh pada ketinggian 1600
m diatas permukaan laut dengan curah hujan 500-700
mm dalam satu tahun. Genus (Leucaena leucocephala)
lebih dari 50 spesies dan dibedakan oleh warna bunga,
ukuran daun, tempat tumbuh, ekologi dan lain-lain
(Kodiango, Palapala and Gudu, 2016).
22
Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan (2011) tanaman Leucaena
leucochepala dalam tata nama atau sistematika
(Taksonomi) tumbuh-tumbuhan diklasifikasi sebagai
berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Family : Fabaceae
Subfamily : Mimosoideae
Genus : Leucaena
Spesies : Leucaena leucochepala
Gambar 4. Lamtoro (Leucaena leucocephala)
(Anonimous, 2016)
Tanaman lamtoro merupakan leguminosa
pohon yang mempunyai perakaran yang dalam serta
pada daun lamtoro mengandung protein kasar yang
cukup tinggi yakni 27-34% dari bahan kering (Rehman
23
dan Iqbal, 2007). Rajendran, Pattanaik, Khan and Bedi
(2001) menambahkan karotenoid pada Leucaena
leucocephala dapat dikonversi dengan efisiensi oleh
tubuh ternak menjadi vitamin A. Kecernaan daun
lamtoro didalam rumen cukup tinggi yaitu 69%.
Lamtoro (Leucaena leucocephala) sebagai
bahan pakan ternak menghasilkan bahan kering
sebanyak 20 ton/ha/th. Kandungan protein daun lamtoro
pada umumnya lebih dari 23%. Kandungan zat karotin
lamtoro (sumber vitamin A) dua kali lipat zat karotin
daun alfalfa. Daun lamtoro kering mengandung protein
4 x lebih banyak dari rumput gajah (Pennisetum
purpureum) (Benge, 1982).
Lamtoro termasuk hijauan yang bernilai gizi
tinggi namun pemanfaatannya sebagai pakan ternak
pemberiannya perlu dibatasi. Lamtoro mengandung zat
anti nutrisi yaitu asam amino non protein yang disebut
mimosin, yang dapat menimbulkan keracunan atau
gangguan kesehatan apabila dikonsumsi dalam jumlah
yang banyak dan terus menerus dalam jangka waktu
yang cukup lama (Askar, 1997).
Hasil penelitian Pamungkas dkk., (2011)
menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan kering dan
bahan organik daun lamtoro tanpa penambahan bahan
pakan komersial yaitu 61,83% dan 63,71% lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan penambahan bahan
pakan komersial. Kecernaan bahan kering dan bahan
organik lamtoro 35% dengan penambahan pakan
komersial 65% yaitu 61,71% dan 61,45% sedangkan
kecernaan bahan kering dan bahan organik lamtoro 65%
dengan penambahan pakan komersial 35% yaitu
24
61,29% dan 57,15%. Tingginya kecernaan daun lamtoro
berkaitan dengan kandungan PK yang tinggi (23,16%).
Tingginya kandungan PK menstimulasi mikrobia rumen
dalam melakukan aktivitas degradasi bahan pakan
dalam rumen. Kandungan nutrien Leucaena
leucocephala dapat dilihat pada Tabel 3.
Table 3. Kandungan nutrien Leucaena leucocephala
Nutrien BK PK* SK* LK*
Kandungan (%) 35,67 23,67 19,50 4,13
Sumber: Susanti dan Marhaeniyanto (2014)
*) Berdasarkan 100% BK
2.5.3 Gliricidia sepium
Tanaman gamal (Gliricidia sepium) adalah
salah satu jenis tanaman leguminosa pohon tropis.
Gamal dapat beradaptasi terhadap lingkungan tumbuh
yang beragam. Tanaman gamal memiliki produktivitas
yang tinggi dan dapat ditanam pada lahan kering (Putra,
2006). Tanaman gamal memiliki fungsi sebagai pakan
sumber protein yang mudah terdegradasi di dalam
rumen. Degradasi protein di dalam rumen akan
menghasilkan N-NH3 yang sangat dibutuhkan
mikroorganisme rumen untuk mensintesis protein tubuh
(Suryani, Budiasa dan Astawa, 2013).
Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan (2009) tanaman gamal dalam tata
nama atau sistematika (Taksonomi) tumbuh-tumbuhan
diklasifikasi sebagai berikut :
26
sebagai sumber hijauan untuk ternak ruminansia, serta
mengandung mineral dalam jumlah yang cukup (kecuali
fosfor dan tembaga) untuk memenuhi kebutuhan ternak
di daerah tropis (Witariadi, Budiasi, Puspani dan Cakra,
2008).
Gamal merupakan tanaman pakan ternak yang
memiliki sumber protein yang lebih tinggi
dibandingkan dengan konsentrat yang memiliki
kandungan protein maksimal 17%. Hijaun gamal
mengandung protein kasar 20-30% BK, serat kasar 15%
dan kecernaan bahan kering 60-65% (Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2009).
Zat racun atau anti nutrisi yang terdapat pada
gamal yang pertama adalah dicoumerol, suatu senyawa
yang mengikat vitamin K dan dapat mengganggu serta
menggumpalkan darah. Fakta di lapang menunjukkan
tidak banyak ternak ruminansia yang keracunan
dicoumerol yang disebabkan oleh daun gamal. Senyawa
racun yang kedua adalah HCN (Hydro Cyanic Acid),
sering disebut juga Prussic Acid, asam prusik atau asam
sianida. Meskipun kandungan HCN dalam gamal
tergolong rendah 4mg/kg, dibandingkan umbi
singkong/ketela pohon yang dapat mencapai 50-
100mg/kg namun hal ini perlu juga diwaspadai. Zat lain
yang perlu diperhatikan adalah Nitrat (NO3) sebetulnya
nitrat itu sendiri tidak beracun terhadap ternak, tapi
pada jumlah yang banyak dapat menyebabkan penyakit
yang disebut keracunan nitrat (nitrate poisoning)
(Kusnadi, Wulandari dan Efendi, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Witariadi dkk.,
(2008) mengenai pembuatan urea cassava blok (UCB)
27
dengan penambahan gamal memiliki nilai kecernaan
bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik
(KcBO) yaitu 55,97% dan 60,82%. Kadar amonia pada
urea cassava blok (UCB) dengan penambahan daun
gamal memiliki konsentrasi 13,89mM nilai kecernaan
dan kadar amonia pada gamal lebih baik dibandingkan
dengan daun kelor yaitu dengan kecernaan bahan kering
dan organik adalah 36,53% dan 40,26% serta
konsentrasi amonia 8,49mM. Kandungan nutrien
Gliricidia sepium dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan nutrien Gliricidia sepium
Nutrien BK BO* PK* SK*
a Kandungan (%) 21,09 90,72 26,91 20,98
b Kandungan (%) 17,5 89,67 25,98 14,46
Sumber: a) Susanti dan Marhaeniyanto (2014), b)
Savitri, Sudarwati dan Hermanto (2012)
*) Berdasarkan 100% BK
2.5.4 Indigofera zollingeriana
Indigofera zollingeriana adalah sejenis
leguminosa pohon yang memiliki ketinggian antara 1-2
meter bahkan lebih dan dapat dipanen pada umur 6-8
bulan. Indigofera zollingeriana dapat berproduksi
secara optimum pada umur delapan bulan dengan rata-
rata produksi biomasa segar per pohon sekitar 2,595
kg/panen, rasio produksi daun per pohon 967,75
g/panen (37,29%) dan produksi batang per pohon
1627,25 g/panen (63,57%) dengan total produksi segar
sekitar 52 ton/ha/tahun. Indigofera zollingeriana
29
Beberapa jenis Indigofera telah dibudidayakan
dan dikembangkan diseluruh wilayah tropis seperti
halnya Indigofera arrecta merupakan tanaman asli yang
berasal dari Afrika Timur dan Afrika Selatan, secara
luas telah dibudidayakan di Laos, Vietnam, Filipina
(Luzon) dan Indonesia (Sumatera, Jawa, Sumba dan
Flores). Kedua spesies dari Indigofera suffruticosa yang
berasal dari daerah tropis Amerika, dibudidayakan
cukup baik di Pulau Jawa untuk dimanfaatkan sebagai
tarum atau pencelup warna alami (Herdiawan dan
Krisna, 2014).
Terdapat 700 spesies Indigofera yang telah
teridentifikasi. Sebanyak 64 spesies mengandung
senyawa nitro alifatik dalam konsentrasi 2-12mg NO2/g
tanaman sehingga tidak baik untuk diberikan pada
ternak. Beberapa spesies Indigofera penting sebagai
pakan ternak seperti Indigofera zollingeriana,
Indigofera arrecta, Indigofera tinctoria, dan spesies
lain seperti I. spicata dan I. nigritana (Abdullah, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Tarigan,
Abdullah, Ginting dan Permana (2010) mengenai
kecernaan terhadap tanaman leguminosa Indigofera sp.
pada interval pemotongan yang berbeda yaitu memiliki
nilai kecernaan bahan kering (KcBK) tertinggi
(77,13%) terdapat pada perlakuan interval pemotongan
60 hari dengan tinggi pemotongan 1,5 m dan KcBK
paling rendah (68,0%) pada perlakuan interval
pemotongan 90 hari dengan tinggi pemotongan 0,5 m.
Kecernaan bahan organik (KcBO) tertinggi terdapat
pada perlakuan interval pemotongan 60 hari dengan
tinggi pemotongan 1,5 m dan (KcBO) paling rendah
30
(68,10%) pada perlakuan interval pemotongan 90 hari
dengan tinggi pemotongan 1 m. Kandungan PK
tertinggi yaitu 25,81% pada perlakuan interval
pemotongan 60 hari dengan tinggi pemotongan 1,5 m.
Kandungan PK pada interval pemotongan 30 hari lebih
rendah dibandingkan dengan pemotongan 60 hari yaitu
21,61% dapat disebabkan oleh tingginya kadar air
akibat umur tanaman yang lebih muda. Kandungan
protein kasar yang relatif lebih rendah pada interval
pemotongan 90 hari (23,3%) dibandingkan pada
interval pemotongan 60 hari kemungkinan terkait
dengan meningkatnya kandungan komponen kimia lain
terutama NDF dan ADF. Kandungan nutrien Indigofera
zollingeriana dapat dilihat pada Tabel 5
Tabel 5. Kandungan nutrien Indigofera zollingeriana
Nutrien BK PK* SK* LK*
Kandungan
(%)
21,97 24,17 17,83 6,15
Sumber: Simanhuruk dan Sirait (2009)
*) Berdasarkan 100% BK
1.6 Kecernaan BK dan BO
Kualitas suatu bahan pakan untuk ternak
ruminansia tidak hanya dapat dilihat dari kandungan
nutrisi secara kimiawi saja, tetapi juga sejauh mana pakan
tersebut dapat dicerna oleh ternak. Teknik evaluasi yang
relatif sederhana dan efisien adalah melalui teknik
pengukuran kecernaan secara in vitro, dimana kecernaan
in vitro merupakan pengukuran kecernaan bahan pakan
didalam tabung fermentasi yang meniru atau menyerupai
31
situasi, kondisi dan proses pencernaan ruminansia
terutama dalam rumen (Tilley and Terry, 1963).
Kecernaan adalah rangkaian proses yang terjadi
didalam alat pencernaan sampai terjadinya penyerapan.
Tujuan dari uji kecernaan untuk mengetahui potensi
bahan pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak
(Wahyuni dkk., 2014). Kecernaan merupakan faktor yang
sangat penting bagi nilai nutrisi pakan ternak. Kecernaan
menentukan hubungan antara nutrisi dan energi yang
dibutuhkan untuk ternak ruminansia. Komposisi kimia
serta sifat fisik pakan digunakan untuk menentukan
kecernaan dan diharapkan kinerja ruminansia dalam
menerima umpan pakan dengan baik (Forejtova, et al.,
2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan
bahan kering yaitu jumlah ransum yang dikonsumsi, laju
perjalanan pakan di dalam saluran pencernaan dan jenis
kandungan gizi yang terkandung dalam ransum tersebut.
Selain itu tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum,
komposisi kimia, tingkat protein ransum, persentase
lemak dan mineral juga mempengaruhi kecernaan bahan
kering (Setyaningsih, Christiyanto dan Sutarno, 2012).
Ketersediaaan energi pada saat fermentasi in
vitro merupakan faktor yang esensial untuk mempercepat
pertumbuhan dan poliferasi mikroba rumen. Ketersediaan
energi yang tinggi berasal dari bahan pakan pada saat
fermentasi in vitro menyebabkan kemampuan mikroba
rumen mendegradasi komponen organik bahan pakan
semakin meningkat. Peningkatan kemampuan degradasi
tersebut akan berakibat terhadap peningkatan kecernaan
bahan pakan (Surono, Sujono dan Budhi, 2003). Tingkat
32
kecernaan pakan dapat digunakan sebagai indikator
kualitas pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering
dan bahan organik pakan semakin tinggi nutrient yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
ternak (Syahrir, 2009).
Kecernaan bahan kering menunjukkan tingginya
zat makanan yang dapat dicerna oleh mikroba dan enzim
pencernaan pada rumen. Semakin tinggi persentase
kecernaan bahan kering suatu bahan pakan, menunjukkan
bahwa semakin tinggi pula kualitas bahan pakan tersebut
(Yusmadi, Nahrowi dan Ridla, 2008).
Kecernaan bahan organik dalam saluran ternak
meliputi kecernaan zat-zat pakan berupa komponen bahan
organik seperti karbohidrat, protein, lemak dan vitamin.
Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia
dalam bentuk tidak larut sehingga diperlukan adanya
proses pemecahan zat-zat yang mudah larut. Faktor yang
mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah
kandungan serat kasar dan mineral bahan pakan.
Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan
kecernaan bahan kering karena sebagian dari bahan kering
terdiri dari bahan organik. Penurunan kecernaan bahan
kering akan mengakibatkan kecernaan bahan organik
menurun atau sebaliknya (Harahap, 2010).
2.7 NH3 (Amonia) Cairan Rumen
Kadar amonia (NH3) adalah amonia dalam
cairan rumen merupakan hasil dari proses degradasi
protein dan nitrogen bukan protein (NPN) yang masuk
dalam rumen. Amonia erat kaitannya dengan sintesis
protein mikroba rumen karena mikroba rumen
33
memanfaatkan amonia sebagai sumber nitrogen (N)
utama untuk sintesis protein mikroba rumen. Kadar NH3
merupakan salah satu indikator untuk mengetahui
fermentabilitas pakan yang berhubungan dengan
kecernaan protein pakan, aktivitas dan populasi mikroba
rumen (Muhtarudin dan Liman, 2006).
Konsentrasi NH3 dalam rumen dipengaruhi oleh
kandungan protein dan asam amino. Amonia terbentuk
dari proses deaminasi asam amino oleh aktifitas mikroba
sehingga besarnya konsentrasi tersebut dipengaruhi
kandungan protein mudah dicerna dalam pakan (Hungate,
1966). Satter and Slyter (1974) menambahkan kadar
amonia (NH3) cairan rumen merupakan hasil metabolisme
protein pakan dalam rumen. Konsentrasi ammonia cairan
rumen yang optimal untuk aktifitas mikroba rumen adalah
3,57-15 mM.
Bahan pakan sumber protein akan difermentasi
di dalam rumen menjadi amonia (N-NH3), gas
karbondioksida (CO2) dan metan (CH4). Amonia
merupakan sumber nitrogen (N) utama bagi mikroba
rumen mengingat sebagian besar (82%) mikroba rumen
mampu memanfaatkan amonia sebagai sumber N.
Disamping itu 40-60% N pakan akan diubah menjadi
amonia oleh mikroba rumen dan 50-70% amonia yang
dihasilkan dimanfaatkan untuk sintesis protein mikroba
rumen (Trisnadewi dkk., 2014).
Rahmadi dkk., (2010) menyatakan bahwa
protein di dalam rumen dihidrolisis oleh enzim proteolitik
yang dihasilkan mikroba rumen menjadi oligopeptida.
Mikroba dapat memanfaatkan oligopeptida yang mudah
terfermentasi untuk membuat protein tubuhnya, sebagian
34
dihidrolisis lagi menjadi asam amino. Mikroba rumen
akan merombak asam amino menjadi amonia untuk
menyusun tubuhnya, hal ini dikarenakan mikroba rumen
terutama bakteri tidak mempunyai sistem transportasi
untuk mengangkut asam amino ke dalam tubuhnya.
Mikroba mendegradasi protein dalam rumen tidak
mengenal batas, proses degradasi protein tersebut dapat
berlangsung terus walaupun amonia yang dihasilkan telah
cukup memenuhi kebutuhan mikroba rumen.
Sebagian besar mikroba rumen menggunakan
amonia untuk pengulangan siklus sel diri terutama dalam
proses sintesis tubuhnya. Dinamika konsentrasi amonia
dalam cairan rumen menggambarkan efektivitas proses
fermentasi. Pengukuran konsentrasi amonia cairan rumen
fermentasi setiap 4 jam setelah proses fermentasi
berlangsung (Syahrir, Wiryawan, Parakkasi, Winugroho
dan Sari, 2009).
35
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya pada bulan September 2016 sampai
Februari 2017. Pengambilan cairan rumen dilakukan di
Laboratorium Lapang Sumber Sekar Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Bahan
1. Hijauan yang digunakan yaitu daun kelapa sawit
(Elaesis guineensis) diambil dari lingkungan
Universitas Brawijaya. Leguminosa yang
ditambahkan meliputi Indigofea zollingeriana diambil
dari lingkungan Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya, kaliandra (Calliandra calothyrsus)
diambil dari Kecamatan Pujon kota Batu, lamtoro
(Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia
sepium) diambil dari Laboratorium Lapang Sumber
Sekar.
2. Konsentrat yang digunakan berasal dari Koprasi SAE
pujon dengan merek Saeprofeed yang memiliki
kandungan protein 15,70%.
36
3. Cairan rumen diperoleh dari sapi PFH yang berfistula
di Laboratorium Lapang Sumber Sekar, Fakultas
Peternakan, Universitas Brawijaya.
4. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis kecernaan
bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik
(KcBO) secara in vitro yaitu : MgCl2, CaCl2, aquades,
Na2HPO4, 2H2O, NaHCO3, NaCl,KCl, HCl dan
Pepsin.
5. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis
konsentrasi amonia (NH3) secara in vitro yaitu :
Vaselin, Na2CO3 jenuh, H3BO3 4%, indikator metil
merah dan brom kresol hijau, H2SO4 0,005 N dan
H2SO4 pekat.
3.2.2 Peralatan
1. Peralatan untuk pembuatan silase pakan lengkap
meliputi kantong plastik ukuran 5 kg, timbangan,
lakban, kertas label dan alat vakum.
2. Peralatan yang digunakan dalam pengambilan
cairan rumen adalah termos, kain saring dan
injektor.
3. Peralatan yang digunakan untuk pengukuran
kecernaan bahan kering dan bahan organik adalah
centrifugator, eksikator, tabung fermentor, cawan
porselin, tanur, timbangan analitik, oven, inkubator,
tabung CO2 dan pipet tetes.
4. Peralatan yang digunakan untuk analisis NH3
adalah botol 30 ml, cawan Conway, mikro pipet dan
alat titrasi .
37
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK).
Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari 4 perlakuan dan 3 kelompok. Susunan perlakuan
berdasarkan %BK yang disusun iso protein 13% dengan
pebandingan hijauan dan konsentrat 60:40 sebagai
berikut:
P1 : 40% konsentrat + 49,5% daun kelapa sawit + 10,5%
daun kaliandra
P2 : 40% konsentrat + 53% daun kelapa sawit + 7% daun
lamtoro
P3 : 40% konsentrat + 51% daun kelapa sawit + 9% daun
gamal
P4 : 40% konsentrat + 52,5% daun kelapa sawit + 7,5%
daun indigofera
3.4 Persiapan Penelitian
3.4.1 Persiapan Bahan Penyusun Silase Pakan Lengkap
Persiapan bahan penyusun silase pakan lengkap
yaitu dimulai dengan mengambil sampel masing-masing
bahan yang akan digunakan meliputi: daun kelapa sawit,
Calliandra calothyrsus, Leucaena leucocephala,
Gliricidia sepium dan Indigofera zollingeriana
dikeringkan dioven 600C selama 24 jam untuk
mengetahui bahan keringnya. Kemudian sampel-sampel
tersebut digiling di mesin grinding yang kemudian
digunakan untuk dilakukan analisis proksimat. Setelah
hasil analisis proksimat diketahui dilakukan penyusunan
38
formulasi pakan menggunakan Microsoft Excel iso
protein dengan kandungan protein kasar 13%.
3.4.2 Pembuatan Silase Pakan Lengkap
Tahapan pembuatan silase pakan lengkap dimulai
dengan memotong daun kelapa sawit 2-3cm,
mencampurkan daun kelapa sawit, leguminosa dan
konsentrat sesuai dengan proporsi tiap perlakuan,
dimasukkan kedalam plastik serta dilakukan pemadatan
dan dibuang udara yang berada di dalam dengan pompa
vakum sehingga kondisi anaerob selanjutnya
difermentasi selama 21 hari.
3.4.3 Persiapan Bahan untuk Analisis Kecernaan Secara
In Vitro
Silase dipanen pada hari ke 21 dan dioven dengan
suhu 600C selama 24 jam dan digiling sehingga dapat
digunakan pada analisis kecernaan bahan kering
(KcBK), kecernaan bahan organik (KcBO) secara in
vitro serta kadar NH3 (amonia) cairan rumen.
3.4.4 Pengambilan Cairan Rumen
Pengambilan cairan rumen pada sapi berfistula
dilakukan dengan cara termos diisi dengan air hangat
hingga mencapai suhu 390C. Air dalam termos dibuang
kemudian cairan rumen dimasukkan dalam termos.
Cairan rumen dalam termos tersebut segera dibawa ke
Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya. Cairan rumen
disaring menggunakan kain saring sebanyak 4 lapis.
39
3.4.5 Analisis Kecernaan Secara In Vitro
Analisis kecernaan bahan kering (KcBK) dan bahan
organik (KcBO) secara in vitro. Sampel yang dianalisis
adalah substrat yang telah dihasilkan dari proses in vitro
seperti yang dijelaskan pada Lampiran 2. Analisis
kecernaan bahan kering (KcBK) dan bahan organik
(KcBO) dapat dihitung menggunakan rumus Tilley and
Terry (1963) yaitu:
BK sampel (g) – BK residu (g) – BK blanko (g)
KcBK (%) = x
100%
BK sampel
BO sampel (g) – BO residu (g) – BO blanko (g)
KcBO (%) = x
100%
BO sampel
Keterangan:
KcBK = Kecernaan Bahan Kering (%)
KcBO = Kecernaan Bahan Organik (%)
BK = Berat sampel x %BK (g)
BO = BK sampel x %BO (g)
BK residu = (berat cawan, kertas dan residu (g)–
(berat cawan dan kertas saring (g)
BO residu = BK residu (g) – (berat cawan dan
abu (g) )
BKblanko = (berat cawan, kertas dan residu (g)–
(berat cawan dan kertas saring (g)
BO blanko = BK residu (g) – (berat cawan dan
abu (g) )
40
Sampel yang digunakan untuk analisis NH3
adalah supernatan dari prosedur in vitro dengan lama
inkubasi selama 48 jam. Pengukuran konsentrasi NH3
dengan teknik microdiffusi Conway (1958). Prosedur
pengukuran NH3 dapat dilihat pada Lampiran 3.
Perhitungan kadar NH3 cairan rumen (mM) :
ml H2SO4 x NH2SO4 x 1000
Kadar NH3 (mM) =
sampel (g) x BK sampel
(%)
Keterangan :
NH3 = Konsentrasi N-amonia (mM)
N H2SO4 = Normalitas larutan H2SO4
3.5 Variabel Penelitian
Variabel yang diukur dalam penelitian ini
meliputi:
1. Kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan
bahan organik (KcBO)
2. Konsentrasi amonia (NH3) cairan rumen
inkubasi24 jam
3.6 Analisis Data Penelitian
Data hasil penelitian dicatat dan ditabulasi
menggunaka program Excel, kemudian dianalisis
menggunakan analisis ragam dari Rancangan Acak
41
Kelompok (RAK) untuk mengevaluasi pengaruh
perlakuan terhadap peubah yang diamati menurut Steel
and Torrie (1995).
Yij = μ + βj + τi + εij
Keterangan :
Yij = pengamatan pada perlakuan ke i ulangan ke
j anak contoh ke k
μ = rataan umum
βj = pengaruh kelompok ke-j
τi = pengaruh perlakuan ke i kelompok ke j
εij = galat percobaan pada perlakuan ke i
kelompok ke j
3.7 Batasan Istilah
Dalam penelitian ini batasan istilah yang digunakan yaitu:
1. Silase pakan lengkap : silase yang dibuat dari
campuran hijauan dan
konsentrat yang terdiri dari
limbah perkebunan yang
ditambahkan leguminosa.
2. Kecernaan : Bagian dari nutrien pakan
yang tidak diekskresikan
dalam feses.
3. In vitro : Pengukuran kecernaan yang
dilakukan di dalam
laboratorium dengan meniru
kondisi alat pencernaan ternak
ruminansia.
42
42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kandungan Nutrien Bahan Pakan Silase Pakan
Lengkap
Hasil analisis kandungan nutrien bahan pakan
yang digunakan untuk silase pakan lengkap berbasis daun
kelapa sawit dan berbagai daun leguminosa yang terdiri
dari BK, Abu, PK, SK dan LK dari berbagai bahan pakan
penyusun silase pakan lengkap terdiri dari konsentrat,
daun kelapa sawit (Elaesis guinensis), kaliandra
(Calliandra clothyrsus), lamtoro (Leucaena
leucocephala), gamal (Gliricidia sepium) dan indigofera
(Indigofera zollingeriana) yang dianalisis di
Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan, Universitas Brawijaya tersaji pada Tabel 6.
43
Tabel 6. Kandungan nutrien bahan pakan silase pakan
lengkap berbasis daun kelapa sawit.
Bahan Pakan BK
(%)
ABU
(%)*
PK
(%)* SK
(%)*
LK
(%)*
Calliandra
calothyrsus
36,59 6,87 20,78 15,89 3,56
Leucaena
leucocephala
27,52 9,66 26,34 17,74 3,78
Gliricidia
sepium
24,96 10,41 22,59 16,07 4,94
Indigofera
zollingeriana
23,97 12,19 25,16 18,59 5,77
Elaesis
guineensis
47,10 14,50 9,27 28,93 3,81
Konsentrat 88,96 11,02 15,70 19,67 2,72
Keterangan: *) Berdasarkan 100% BK
Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan
Makanan Ternak Universitas Brawijaya
(2016).
Berdasarkan Tabel 6 kandungan bahan kering
daun kelapa sawit sebesar 47,10% hasil tersebut tidak
jauh berbeda dengan penelitian Elisabeth dan Ginting
(2003) yaitu 46,18%. Leguminosa yang digunakan
sebagai silase pakan lengkap memiliki kandungan BK
yang bervariasi antara 23,97-36,59%. Kandungan BK
tertinggi terdapat pada leguminosa Calliandra calothyrsus
yaitu 36,59% namun hasil penelitian tersebut jauh
berbeda dengan penelitian Tanuwiriya dkk., (2010) yang
menyebutkan kandungan BK Calliandra calothyrsus
24,48%. Djuned, Mansyur, dan Wijayanti (2005)
menjelaskan perbedaan kandungan BK yang rendah
44
disebabkan karena tanaman yang masih muda mempunyai
sel aktif untuk melakukan proses pembelahan sel maupun
pembentukan jaringan. Tanaman yang berusia tua terjadi
penebalan dinding sel yang mengakibatkan kandungan
BK meningkat. Semakin tinggi umur tanaman maka
komponen dinding sel suatu hijauan akan semakin tinggi.
Kandungan BK terendah pada penelitian ini terdapat pada
leguminosa Indigofera zollingeriana yaitu 23,97%.
Kandungan BK leguminosa Indigofera sp. menurut
Simanhuruk dan Sirait (2009) berbeda dengan yang telah
diteliti yaitu 21,97%. Leguminosa Leucaena leucocephala
dan Gliricidia sepium memilki kandungan BK 27,52%
dan 24,96% menurut Kusnadi dkk., (2012) menjelaskan
sebagai pakan ternak ruminansia hijauan, gamal memiliki
nilai gizi yang cukup baik yaitu 22,1% bahan kering.
Herdiawan dan Krisna (2014) menjelaskan kandungan
nutrisi tanaman sangat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan
media tanam dan beberapa faktor daya dukung
lingkungan biotik. Perbedaan komposisi kimia
kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal antara lain
kondisi lingkungan seperti kondisi tanah (jenis, pH dan
kandungan hara), iklim (temperatur, kelembaban, curah
hujan dan intensitas cahaya), serta manajemen
(pemeliharaan dan interval pemanenan). Nilai nutrisi
hijauan pakan juga tergantung pada spesies/varietas,
bagian tanaman dan umur tanaman. Faktor iklim
memiliki peranan sangat besar terhadap seluruh proses
metabolisme tanaman.
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan
silase pakan lengkap memiliki kandungan PK sebesar
9,27% yang terdapat pada daun kelapa sawit dan PK pada
45
konsentrat yaitu 15,70% . Hasil ini berbeda dengan
penelitian Jaelani dkk., (2014) yang menjelaskan bahwa
kandungan protein daun kelapa sawit sebelum dijadikan
silase adalah 6,30%. Kandungan PK leguminosa bahan
perlakuan Calliandra calothyrsus, Leucaena
leucocephala, Gliricidia sepium dan Indigofera
zollingeriana yaitu 20,78%, 26,34%, 22,59% dan 25,16%.
Leguminosa yang memiliki kandungan PK tertinggi pada
Leucaena leucocephala yaitu 26,34%. Analisa PK pada
leguminosa Gliricidia sepium dan Indigofera
zollingeriana adalah 22,59% dan 25,16%. Hasil penelitian
Trisnadewi, Cakra, Wirawan, Puspani dan Budiasi (2013)
kandungan PK tanaman gamal adalah 25,2%. Penelitian
yang dilakukan oleh Tarigan dkk., (2010) mengenai
kandungan protein pada tanaman Indigofera sp. pada
pemotongan 60 hari memiliki kandungan PK sebesar
25,78% dengan tinggi pemotongan 1m. Hasil tersebut
berbeda dengan umur pemotongan 30 dan 90 hari dimana
kandungan PK Indigofera sp. berkisar 21%-23%.
Leguminosa yang memiliki kandungan PK paling rendah
terdapat pada Calliandra calothyrsus yaitu 20,78%.
Penjelasan oleh Djaja dkk., (2007) kaliandra (Calliandra
calothyrsus) adalah tanaman leguminosa yang banyak
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kandungan nutrisi
daun kaliandra cukup potensial sebagai pakan terutama
sebagai pakan sumber protein yaitu mengandung 20-25%.
Kandungan SK pada daun kelapa sawit yaitu
28,93% sedangkan pada konsentrat yaitu 19,67%.
Penelitian oleh Mucra dan Azriani (2012) kandungan SK
daun kelapa sawit lebih rendah dari hasil penelitian ini
yaitu 22,71% sedangkan penelitian Nurhayu dkk., (2014)
46
kandungan SK daun kelapa sawit yaitu 21,52%.
Perbedaan tersebut kemungkinan terjadi karena perbedaan
pada umur pemotongan. Penjelasan oleh Abqoriyah,
Utomo dan Suwignyo (2015) menjelaskan bahwa tinggi
rendahnya kadar serat kasar suatu hijauan pakan
merupakan salah satu indikator tentang kualitas hijauan.
Rata-rata kadar serat kasar meningkat dengan semakin
lama umur pemotongan. Semakin tua umur pemotongan
(sampai 12 minggu) kadar bahan keringnya meningkat.
Hal tersebut diduga karena pada umur pemotongan yang
lebih pendek (umur muda) kadar air tanaman lebih
banyak dibandingkan dengan umur tua. Semakin tua umur
tanaman kadar serat kasarnya akan semakin meningkat
sehingga kadar air semakin berkurang. Leguminosa yang
diteliti memiliki kadar SK yang bervariasi antara 15,89-
18,59%. Kandungan SK tertinggi pada Indigofera
zollingeriana yaitu 18,59%. Simanhuruk dan Sirait (2009)
menjelaskan bahwa kandungan SK Indigofera
zollingeriana yaitu 17,83 hasil tersebut tidak berbeda jauh
dengan penelitian. Kandungan SK yang paling rendah
yaitu Calliandra calothyrsus 15,89%. Hasil penelitian
Tanuwiria dkk., (2010) berbeda dengan kandungan SK
Calliandra calothyrsus yang telah diteliti yaitu 19,50%.
4.2 Kandungan Nutrien Silase Pakan Lengkap Berbasis
Daun Kelapa Sawit dengan Penambahan Berbagai
Daun Leguminosa
Silase pakan lengkap penelitian ini dibuat
dengan proporsi konsentrat dan hijauan 40% dan 60%
dari % BK. Hijauan yang digunakan terdiri dari bahan
daun kelapa sawit dan bahan tambahan leguminosa seperti
47
daun kaliandra (Calliandra calothyrsus), daun lamtoro
(Leucaena leucocephala), daun gamal (Gliricidia sepium)
dan daun indigofera (Indigofera zollingeriana).
Penambahan leguminosa pada pembuatan silase pakan
lengkap bertujuan untuk meningkatkan kandungan protein
kasar dalam pembuatan silase pakan lengkap dikarenakan
kandungan protein kasar dari leguminosa yang tinggi.
Tangendjaja dan Elizabeth (1998) menjelaskan bahwa
leguminosa merupakan salah satu alternatif yang dapat
diusahakan sebagai pakan ternak. Kandungan proteinnya
rata-rata di atas 20 % sehingga dapat diharapkan dalam
perbaikan kualitas pakan. Kandungan PK silase pakan
lengkap pada setiap perlakuan disusun dengan iso protein
13%. Kandungan nutrien silase pakan lengkap berbasis
daun kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kandungan nutrien silase pakan lengkap berbasis
daun kelapa sawit
Perlaku
an
BK
(%)
ABU
(%)*
PK
(%)*
SK
(%)* LK
(%)*
P1 46,82 6,87 14,37 27,26 3,17
P2 46,08 9,66 14,58 27,39 3,99
P3 43,87 10,41 14,82 24,98 4,22
P4 47,21 12,19 12,53 23,30 4,55
Keterangan: *) Berdasarkan 100% BK.
Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan
Makanan Ternak Universitas Brawijaya
(2017).
Kandungan BK silase pakan lengkap berbasis
daun kelapa sawit yang mengalami penurunan secara
kuantitatif dan kualitatif setelah proses ensilase 21 hari
dapat dilihat pada Tabel 8.
48
Tabel 8. Penurunan kandungan BK silase pakan lengkap
berbasis daun kelapa sawit
Perla
kuan
Berat
Segar
(g)
Berat
BK
(g)
BK
Awal
(%)
Berat
Silase
(g)
Berat
BK
Silase
(g)
Penurunan
Berat BK
Silase (%)
Penurunan
BK Silase
(%)
P1 893,76 500 55,94 884,20 413,99 17,20 9,12
P2 914,64 500 54,67 903,17 416,24 16,75 8,58
P3 946,49 500 52,83 935,70 410,49 17,90 8,96
P4 938,58 500 53,27 920,23 434,44 13,11 6,06
Tabel 8 diatas menunjukkan bahwa kandungan
BK pada silase pakan lengkap berkisar antara 43,87-
47,21%. P1 memiliki kandungan BK 46,82% dengan
berat segar sebelum proses silase 893,76g dengan berat
BK sebesar 500g dan persentase berat BK adalah 55,94%.
Proses ensilase selama 21 hari mengakibatkan penurunan
secara kuantitatif kadar BK yaitu dengan berat silase
884,20g dengan berat BK 413,99g sedangkan persentase
penurunan berat BK yaitu 17,20% sehingga penurunan
persentase BK adalah 9,12%. P2 memiliki kandungan BK
46,08% dengan berat segar sebelum proses silase 914,64g
dengan berat BK sebesar 500g dan persentase berat BK
adalah 54,67%. Penurunan secara kuantitatif kadar BK
setelah ensilase 21 hari yaitu berat silase 903,17g dengan
berat BK 416,24g sedangkan persentase penurunan berat
BK yaitu 16,75% sehingga penurunan persentase BK
adalah 8,58%. P3 memiliki kadungan BK yang paling
rendah dibandingkan dengan P1, P2 dan P4 yaitu 43,87%
dengan berat segar sebelum proses silase mencapai
946,49g dengan berat BK sebesar 500g dan persentase
berat BK adalah 52,83%. Proses ensilase selama 21 hari
49
mengakibatkan penurunan secara kuantitatif kadar BK
yaitu dengan berat silase 935,70g dengan berat BK
410,49g sedangkan persentase penurunan berat BK yaitu
17,90% sehingga penurunan persentase BK adalah 8,96%.
P4 memiliki kadungan BK yang paling tinggi
dibandingkan dengan P1, P2 dan P3 yaitu 47,21% dengan
berat segar sebelum proses silase mencapai 938,58g
dengan berat BK sebesar 500g dan persentase berat BK
adalah 53,27%. Proses ensilase selama 21 hari
mengakibatkan penurunan secara kuantitatif kadar BK
yaitu dengan berat silase 920,23g dan berat BK 434,44g
sedangkan persentase penurunan berat BK yaitu 13,11%
sehingga penurunan persentase BK adalah 6,06%.
Penjelasan oleh Mc.Donald (1981) menyatakan
bahwa penurunan bahan kering dapat terjadi pada tahap
aerob dan anaerob. Penurunan BK pada tahap aerob
terjadi karena respirasi masih terus berlanjut, sehingga
glukosa yang merupakan fraksi BK akan diubah menjadi
CO2, H2O dan panas. Penurunan pada tahap anaerob
terjadi karena glukosa diubah menjadi etanol dan CO2
oleh mikroorganisme. Lendrawati, dkk., (2008)
menjelakan bahwa kehilangan bahan kering terjadi saat
pembuatan silase (5%), menjadi cairan silase (3%),
selama proses fermentasi (5%), kerusakan karena udara
(10%) dan kehilangan di lapangan (4%). Kehilangan ini
menandakan bahwa bakteri asam laktat memanfaatkan
sejumlah nutrien untuk memproduksi asam. Karbohidrat
yang mudah difermentasi yaitu komponen-komponen gula
non struktural seperti; glukosa, fruktosa, galaktosa,
mannosa, silosa dan arabinosa merupakan komponen
50
yang banyak dimanfaatkan oleh mikroorganisme selama
fase fermentasi.
Kandungan PK silase pakan lengkap berbasis
daun kelapa sawit yang mengalami penurunan secara
kuantitatif dan mengalami kenaikan kandungan PK secara
kualitatif setelah proses ensilase 21 hari dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Penurunan kandungan PK silase pakan lengkap
berbasis daun kelapa sawit
Perla
kuan
Berat
BK
(g)
PK
(%)
Berat
PK
(g)
PK
silase
(%)
Berat
PK (g)
Penurunan
PK (%)
P1 500 13 65 14,37 59,50 8,46
P2 500 13 65 14,58 60,70 6,61
P3 500 13 65 14,83 60,86 6,37
P4 500 13 65 12,53 54,44 16,25
Kandungan PK pada silase pakan lengkap
dibuat dengan iso protein 13% namun setelah proses
ensilase terjadi kenaikan dan penurunan kandungan PK
pada perlakuan yang bebeda. Berat PK secara kuantitatif
silase pakan lengkap setelah proses ensilase mengalami
penurunan namun persentase PK secara kualitatif
mengalami kenaikan dan terdapat silase pakan lengkap
yang mengalami penurunan PK setelah proses ensilae. P1
memiliki kandungan PK 14,37% dengan berat BK
sebelum silase sebesar 500g sehingga dihasilkan berat PK
yaitu 65g. Penurunan secara kuantitatif setelah ensilase 21
hari yaitu dengan berat BK 413,99g dan berat PK 59,50g
sehingga persentase penurunan berat PK adalah 8,46%.
P2 memiliki kandungan PK 14,58% dengan berat BK
51
sebelum silase sebesar 500g sehingga dihasilkan berat PK
yaitu 65g. Penurunan secara kuantitatif berat BK dan PK
setelah ensilase yaitu dengan berat BK 416,24g dan berat
PK 60,70g sehingga persentase penurunan berat PK
adalah 6,61%. P3 memiliki kandungan PK 14,82%
dengan berat BK sebelum silase sebesar 500g sehingga
dihasilkan berat PK yaitu 65g. Penurunan secara
kuantitatif kadar BK dan PK setelah ensilase yaitu dengan
berat BK 410,49g dan berat PK 60,86g sehingga
persentase penurunan berat PK adalah 6,37%. P4
memiliki kandungan PK paling rendah dibandingkan P1,
P2 dan P3 yaitu 12,53% dengan berat BK sebelum silase
sebesar 500g sehingga dihasilkan berat PK yaitu 65g.
Proses ensilase selama 21 hari mengakibatkan penurunan
secara kuantitatif kadar BK dan PK yaitu dengan berat
BK 434,44g dan berat PK 54,44g sehingga persentase
penurunan berat PK adalah 16,25%.
Menurut Santoso dan Hariadi (2008)
menjelaskan bahwa penurunan PK pada pengawetan
silase dapat disebabkan degradasi PK oleh enzim protease
dari hijauan maupun Clostridia proteolitik selama
ensilase. Given and Rulquin (2004) menjelaskan bahwa
proses ensilase hijauan pakan ternak dalam kurun waktu
24 jam secara kontinyu kandungan protein dapat
mengalami penurunan dari 0,6-0,8. Permulaan aktivitas
proteolitik selama ensilase terjadi karena aktivitas enzim
protease dari hijauan.
Perubahan kandungan PK pada saat pembuatan
silase kemungkinan terjadi akibat proses ensilase hal
tersebut sesuai dengan penjelasan oleh Syahrir, Rasjid,
Mide dan Harfiah (2014) penguraian nutrien terjadi akibat
52
adanya enzim ekstrasellular yang dihasikan oleh mikroba
yang dapat mendegradasi nutrien, sebaliknya peningkatan
nutrien dapat terjadi akibat terbentuknya produk
fermentasi misalnya asam lemak atau akibat
perkembangan mikroba di dalam media fermentasi,
sehingga bioamssa mikroba akan bertambah. Penambahan
biomasa mikroba akan meningkatkan kualitas silase
karena kandungan nutrien, khususnya protein yang
berasal dari biomassa mikroba yang meningkat. Santoso,
Hariadi, Manik dan Abubakar (2009) menambahkan
bahwa selama ensilase terjadi pemecahan protein menjadi
peptida dan asam amino bebas yang dilakukan enzim
tanaman.
Kandungan SK silase pakan lengkap berbasis
daun kelapa sawit yang mengalami penurunan secara
kuantitatif dan mengalami kenaikan secara kualitatif
setelah proses ensilase 21 hari dapat dilihat pada Tabel
10.
Tabel 10. Penurunan kandungan SK silase pakan lengkap
berbasis daun kelapa sawit
Perla
kuan
Berat
BK (g)
SK
(%)
Berat
SK (g)
SK
Silase
(%)
Berat
SK (g)
Penurunan
SK (%)
P1 500 23,86 119,28 27,27 112,89 5,36
P2 500 24,44 122,21 27,39 114,01 6,71
P3 500 24,07 120,34 24,99 102,58 14,76
P4 500 24,45 122,25 23,31 101,26 17,18
Tabel 10 juga menjelaskan bahwa kandungan
SK pada silase pakan lengkap berkisar antara 23,307-
27,390%. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan
53
silase yaitu daun kelapa sawit memiliki SK yang tinggi
yaitu 28,93% sedangkan proporsi daun kelapa sawit yang
digunakan untuk pembuatan silase berkisar antara 49,5-
53%. P1 memiliki kandungan SK 27,76% dengan berat
BK sebelum silase sebesar 500g dengan persentase SK
23,86% sehingga dihasilkan berat SK yaitu 119,28g.
Penurunan secara kuantitatif kadar SK setelah proses
ensilase selama 21 hari yaitu dengan berat BK 413,99g
dan berat SK 112,89g sehingga persentase penurunan SK
adalah 5,36%. P2 memiliki kandungan SK 27,39%
dengan berat BK sebelum silase sebesar 500g dengan
persentase SK 24,44% sehingga dihasilkan berat SK yaitu
122,21g. Penurunan secara kuantitatif kadar SK setelah
proses ensilase selama 21 hari yaitu dengan berat BK
416,24g dan berat SK 114,01g sehingga persentase
penurunan SK adalah 6,71%. P3 memiliki kandungan SK
yang lebih rendah dibandingkan P1 dan P2 yaitu 24,98%
dengan berat BK sebelum silase sebesar 500g dengan
persentase SK 24,07% sehingga dihasilkan berat SK yaitu
120,34g. Penurunan secara kuantitatif kadar SK setelah
proses ensilase selama 21 hari yaitu dengan berat BK
410,49g dan berat SK 102,58g sehingga persentase
penurunan SK adalah 14,76%. P4 memiliki kandungan
SK yang paling rendah dibandingkan dengan P1 dan P2
namun tidak jauh berbeda dengan P3 yaitu 23,30%
dengan berat BK sebelum silase sebesar 500g dengan
persentase SK 24,45% sehingga dihasilkan berat SK yaitu
122,25g. Penurunan secara kuantitatif kadar SK setelah
proses ensilase selama 21 hari yaitu dengan berat BK
434,44g dan berat SK 101,26g sehingga persentase
penurunan SK adalah 17,18%.
54
Perlakuan dengan penambahan daun
leguminosa Calliandra calothyrsus (P1) dan Leucaena
leucocephala (P2) mengalami kenaikan secara kuantitatif
kadar SK dibandingkan P3 dan P4. Jaelani, Gunawan dan
Asriani (2014) menyatakan bahwa peningkatan
kandungan SK diduga karena pada kadar glukosa yang
cukup mikroba pembentuk alkohol mulai aktif sehingga
kadar alkohol mengikat. Peningkatan kadar alkohol yang
tinggi mikroba yang menghidrolisis silase tidak aktif
akibatnya jumlah karbohidrat tidak berkurang. Sementara
itu biomasa mikroba yang terbentuk sejak awal semakin
terakumulasi sehingga peningkatan SK terjadi karena
karbohidrat tidak lagi terhidrolisis dan biomasa mikroba
terus bertambah.
Perlakuan dengan penambahan daun
leguminosa Gliricidia sepium (P3) dan Indigofera
zollingeriana (P4) terjadi penurunan kadar SK. Pratiwi,
Fathul dan Muhtarudin (2015) menyatakan bahwa selama
ensilase terjadi aktivitas pendegradasian komponen
selulosa dan hemiselulosa oleh mikroorganisme yang
terlibat pada proses fermentasi. Sementara bakteri lainnya
(terutama bakteri asam laktat) akan mengkonversi gula-
gula sederhana menjadi asam organik (asetat, laktat,
propionat dan butirat) selama ensilase berlangsung.
Akibatnya produk akhir yang dihasilkan lebih mudah
dicerna jika dibandingkan dengan bahan tanpa fermentasi.
Bolsen dan Sapienze (1993) penurunan pH selama proses
ensilase akan meningkatkan kecepatan hidrolisis secara
kimiawi beberapa polisakarida seperti hemiselulosa yang
akan menurunkan kadar serat kasar pada silase.
55
4.3 Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan
Bahan Organik (KcBO)
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa
penambahan berbagai daun leguminosa pada pembuatan
silase pakan lengkap berbasis daun kelapa sawit
memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap
KcBK dan KcBO secara in vitro pada Tabel 11.
Tabel 11. Nilai KcBK dan KcBO silase pakan lengkap
berbasis daun kelapa sawit
Perlakuan KcBK (%) KcBO (%)
P1 56,03c ± 2,54 57,58bc ± 6,60
P2 51,40a ± 3,27 53,52ab ± 8,69
P3 55,66bc ± 0,37 58,24c ± 4,18
P4 52,67ab ± 2,22 52,54a ± 4,30
Keterangan: Superskrip a,b,c yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan adanya perbedaan
yang nyata (P<0,05)
Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan bahwa
Calliandra calothyrsus memiliki nilai KcBK paling tinggi
yaitu 56,03% namun tidak berbeda dengan Gliricidia
sepium yaitu 55,66%. Tingginya nilai KcBK pada
Calliandra calothyrsus diduga karena kandungan SK
pada Calliandra calothyrsus rendah dibandingkan dengan
bahan pakan yang lain yaitu 15,89% serta adanya
kandungan tannin yang dapat melindungi protein dari
degradasi oleh mikroba di dalam rumen. Wajizah,
Samadi, Yunasri dan Elmi (2015) menerangkan bahwa
besarnya kecernaan pakan di dalam rumen dipengaruhi
oleh komposisi kimia pakan terutama kandungan serat
dan protein, dan kondisi fermentasi meliputi pH, N-NH3,
56
dan VFA yang mendukung terjadinya kecernaan pakan
selama proses fermentasi. Kandungan serat yang lebih
rendah menyebabkan kecernaan bahan kering lebih tinggi.
Tingkat kecernaan pakan dapat digunakan sebagai
indikator kualitas pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan
kering dan bahan organik pakan semakin tinggi nutrient
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
ternak.
Andini, Wiryawan, Suryahadi dan Suharyono
(2003) mengatakan bahwa tannin juga mempunyai efek
menguntungkan bagi ternak ruminansia antara lain dapat
melindungi protein dari degradasi mikroba rumen (protein
by pass) sehingga langsung dapat diserap oleh usus halus.
Puastuti, Widiawati dan Wina (2015) komplek tannin-
protein tidak mudah larut pada kisaran pH 3,5-7,0 namun
kelarutan dapat terjadi pada pH di bawah 3,5 atau di atas
8,5. Sebaliknya ransum yang mengandung tannin
diharapkan dapat mensuplai protein ke dalam abomasum
lebih banyak karena proteinnya tidah dicerna oleh
mikroba rumen.
Nilai KcBK terendah pada penelitian ini adalah
pada P2 dengan penambahan Leucaena leucocephala
51,40% namun tidak berbeda dengan P4 dengan
penambahan Indigofera zollingeriana yaitu 52,67%.
Rendahnya KcBK pada P2 kemungkinan terjadi karena
kandungan SK pada bahan baku penyusun silase yaitu
17,74% dan setelah proses ensilase kandungan SK
Leucaena leucocephala yaitu 27,39% sedangkan pada
Indigofera zollingeriana rendahnya KcBK kemungkinan
terjadi karena kandungan PK setelah silase paling rendah
yaitu 12,53%. Kurnianingtyas, dkk., (2012) juga
57
menjelaskan tinggi rendahnya KcBK dan KcBO zat-zat
makanan pada ternak ruminansia bergantung pada
kandungan serat kasar dan aktivitas mikroorganisme
rumen terutama bakteri selulolitik. Spesies selulolitik ada
yang berfungsi ganda di dalam mencerna serat kasar yaitu
sebagai pencerna selulosa juga hemiselulosa dan pati.
Kecernaan bahan kering yang rendah pada
Leucaena leucocephala kemungkinan disebabkan karena
kandung SK lamtoro 17,74% yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Calliandra calothyrsus 15,89%.
Prasetyo, Hadi dan Widiyastuti (2013) menjelaskan
bahan pakan dengan kandungan serat yang semakin tinggi
maka akan semakin rendah daya cernanya. Komponen
penyusun bahan berserat tersebut mengandung lignin,
sehingga semakin tinggi kandungan serat dalam bahan
pakan, kandungan lignin juga meningkat. Crowder dan
Chheda (1982) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecernaan, antara lain bagian tanaman,
tingkat pertumbuhan dan genotip, tingkat kedewasaan
(stage of maturity) tanaman, iklim, ukuran partikel, dan
prosesing pakan.
Berdasarkan Tabel 11 hasil dari KcBO paling
tinggi yaitu pada Gliricidia sepium yaitu 58,24% namun
tidak berbeda jauh dengan Calliandra calothyrsus
57,58%. Tingginya KcBO tidak berbeda jauh dengan
KcBK hal ini disebabkan bahan organik (BO) merupakan
bagian dari BK hal tersebut sesuai dengan penjelasan
Harahap (2010) kecernaan bahan organik erat kaitannya
dengan kecernaan bahan kering karena sebagian dari
bahan kering terdiri dari bahan organik. Penurunan
kecernaan bahan kering akan mengakibatkan kecernaan
58
bahan organik menurun atau sebaliknya. Menurut
Akhadiarto (2012) bahan pakan memiliki kandungan
Bahan Organik (BO) yang berpengaruh terhadap kualitas
nutrisi suatu bahan pakan. Selain nilai bahan organiknya
KcBO juga menunjukkan indikator kualitas bahan pakan.
Bahan pakan dengan KcBO tinggi menunjukan bahwa
bahan pakan tersebut mampu menyediakan nutrisi yang
dibutuhkan oleh ternak.
Nilai KcBO terendah pada penelitian ini adalah
Indigofera zollingeriana 52,54% namun tidak berbeda
dengan Leucaena leucocephala yaitu 53,52%. Rendahnya
kecernaan bahan organik pada Indigofera zollingeriana
disebabkan kandungan PK pada silase dengan
penambahan Indigofera zollingeriana paling rendah yaitu
12,52%. Kecernaan bahan organik pada silase dengan
penambahan Leucaena leucocephala juga mengalami
penurunan.
4.4 Konsentrasi Amonia (NH3) Cairan Rumen
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa
penambahan berbagai daun leguminosa seperti Calliandra
calothyrsus, Leucaena leucocephala, Gliricidia sepium
dan Indigofera zollingeriana pada pembuatan silase pakan
lengkap berbasis daun kelapa sawit memberikan pengaruh
yang nyata (P<0,05) terhadap konsentrasi NH3 (amonia)
cairan rumen pada Tabel 12.
Tabel 12. Konsentrasi NH3 silase pakan lengkap berbasis
daun kelapa sawit
Perlakuan NH3 (mM)
P1 7,75a ± 2,51
59
P2 9,65ab ± 4,11
P3 11,41b ± 2,02
P4 7,50a ± 1,94
Keterangan: Superskrip a,b,c yang berbeda pada kolom
yang sama menunjukkan adanya perbedaan
yang nyata (P<0,05)
Hasil analisis produksi NH3 pada semua
perlakuan silase pakan lengkap berbasis daun kelapa sawit
dengan penambahan berbagai leguminosa dapat dilihat
pada Tabel 12. Konsentrasi NH3 pada semua perlakuan
berkisar antara 7,50-11,41mM hasil tersebut optimal
dalam aktifitas mikroba rumen menurut Satter and Slyter
(1974) kadar NH3 supernatan merupakan salah satu hasil
metabolisme dalam fermentasi pakan dalam rumen.
Konsentrasi ammonia cairan rumen yang optimal untuk
aktifitas mikroba rumen adalah 3,57-15 mM.
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa
konsentrasi NH3 paling tinggi pada perlakuan P3 dengan
penambahan leguminosa Gliricidia sepium yaitu
11,41mM. Penjelasan oleh Suharlina, Permana dan
Abdullah (2008) kandungan NH3 pada leguminosa gamal
dengan lama produksi amonia 24 jam yaitu 13,33mM.
Leguminosa kaliandra memiliki konsentrasi NH3 yang
rendah dan jauh berbeda dengan kandungan amonia
gamal dengan selisih 3,49mM dimana konsentrasi NH3
kaliandra adalah 7,75mM. Penelitian Trisnadewi, dkk.,
(2014) menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 gamal baik
tanpa perlakuan maupun yang disubtitusi dengan
kaliandra 5% dan 10% masih dalam konsentrasi yang
normal yaitu 12,84mM, 11,80mM dan 11,14mM namun
mengalami penurunan jika ditambahkan kaliandra 15%
60
kadar NH3 menjadi 10,93mM dan 20% kaliandra kadar
NH3 10,57mM. Penurunan tersebut diakibatkan karena
adanya anti nutrisi berupa tannin pada leguminosa
kaliandra. Data penelitian tersebut menunjukkan bahwa
dengan adanya kaliandra dapat menurunkan konsentrasi
NH3 pada gamal. Sehingga kaliandra jika diberikan dalam
persentase yang lebih banyak akan menurunkan kadar
NH3 pada bahan pakan.
Tingginya PK pada gamal 14,82% dibandingkan
leguminosa yang lainnya setelah silase memungkinkan
konsentrasi NH3 pada gamal tinggi. Hal ini disebabkan
protein yang dicerna oleh mikroba rumen terpenuhi dari
bahan pakan. Penjelasan Hungate (1966) konsentrasi NH3
dalam rumen dipengaruhi oleh kandungan protein dan
asam amino. Amonia terbentuk dari proses deaminasi
asam amino oleh aktifitas mikroba sehingga besarnya
konsentrasi tersebut dipengaruhi kandungan protein
mudah dicerna dalam pakan.
Perlakuan yang memiliki konsentrasi NH3 yang
cenderung rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya
adalah pada perlakuan P4 dengan penambahan Indigofera
zollingeriana yaitu 7,50mM hal ini disebabkan kandungan
protein pada tanaman tersebut setelah proses silase terjadi
penurunan 16,25% dengan persentase PK 12,53%
sehingga sintesisi protein oleh mikroba rumen kurang
maksimal. Konsentrasi amonia di dalam rumen
dipengaruhi oleh kandungan protein dalam pakan, pH
rumen, kelarutan protein bahan pakan, serta waktu setelah
pemberian pakan (Mahesti, 2009). Konsentrasi NH3 pada
P4 tidak berbeda jauh dengan P1 pada penambahan
leguminosa Calliandra calothyrsus yaitu 7,75mM.
61
Rendahnya konsentrasi NH3 pada perlakuan P1 terjadi
karena adanya antinutrisi berupa tannin yang dapat
mengikat protein sehingga proses degradasi protein
menjadi amonia sulit dilakukan dengan demikian sintesis
mikroba rumen terhambat. Penjelasan tersebut sesuai
dengan penjelasan Manurung (1996) tannin merupakan
anti nutrisi pada leguminosa pohon kaliandra. Tannin
dapat menghambat kerja enzim protease dan selulase
sehingga kemampuan menghasilkan amonia lebih rendah.
62
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1.Penambahan daun leguminosa pada silase pakan
lengkap berbasis daun kelapa sawit (Elaesis guineensis)
memberikan pengaruh yang nyata terhadap KcBK,
KcBO dan Konsentrasi NH3 cairan rumen.
2.Perlakuan P3 dengan penambahan leguminosa
Gliricidia sepium merupakan perlakuan yang terbaik
pada kecernaan bahan kering (KcBK), kecernaan bahan
organik (KcBO) dan konsentrasi amonia (NH3) pada
silase pakan lengkap berbasis daun kelapa sawit
masing-masing nilai KcBK, KcBO dan NH3 adalah
55,66%, 58,24% dan 11,41mM.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian secara in vivo terhadap
perlakuan silase pakan lengkap berbasis daun kelapa sawit
dengan penambahan berbagai leguminosa untuk
mengetahui produktifitas ternak di daerah perkebunan
kelapa sawit.