Post on 29-Oct-2021
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM:
ANALISIS PEMIKIRAN MAHMUD YUNUS TENTANG
KEWARISAN DALAM ISLAM
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
UBAIDILLAH
1110044100076
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
PEPIIKIRAN HUKUⅣ IISLAM:ANALISIS PEPIIIKIRAN MAHMUD YUNUS TENTANG
KEWARISAN DALAM[ISLAM
SKRIPSIDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan HukumUntuk】 /1emenuhi Salah Satu Syarat ⅣIemperoleh
Gelar Sattana Hukum(s.H)
C)leh:
UBAIDILLAHNIM:1110044100076
Dr.DiuFhi Syukri′ MANIP:195507061992031001
PROGRAM STUDIHUKUM KELUARGAFAKULTASSYARIAH DAN HUKUル I
UNIVERSITAS ISLAⅣ I NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA1438H/2017M
Di bawah Bimbingan:
PEPヾ GESAHAN PANITIA U:丁IAN SKRIPSI
Skripsi ya113 bCtttldul(1)enlikiran Hul(unl lSlam:Analisis Pemikiran Mahmu〔l
lslanl・ tClall ditjlkan dalanl SidangYullus TCnt[lllg lく e、、'arisan Dalalll
l■ unaqasyah Fakultas Syariah dan Huku11l UnivCrsitas lsla11l NCgcri(Ul`)Syaril`
Hida)'attlllah ial(arta pada tan38a1 30 0ktObc1 2017 Sk「il〕 Si ini tClah ditCri11la
scbagai salて hヽ sattl syl「 at llCnlpcrolch gclar Strata sをキtヒ1(SI)Salialla Hukunl(SH)
pada P「 ogra1ln Stし lcli卜 ltlktlll]l(CIし l tlド ga(:ヽ hヽ aヽl S)al(hshi),)′ ah)
PANITIA UЛ AN
l. Ketua Dr.H.Abdlll Haliln
19670608 199403 1 005
2. Sel<retirris
3. Perlbirllrirrg
4. PengLrji I
5. PengLr.ii ll
′ぃCc
/
31 01(tobCr 2017
tas S、 lariah Clan卜 lし lkし 1lnl
9691216199603 1 001
:Indra Rahmatullah,S,HI,lMH.
.H.A.Diualni艶型l(rl
〕ヽ11)lt1550706 199203 1 001
:1)1・ s.H.A,13を lsiq l)inlil,S・ ll.,卜IA.
:Al・ il〕 Pll「 koll.S.HI.ハ lA.
NIP 19790427 200312 1 002
HALAMAN PERNYA T AAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (Satu) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 29 Juli 2017
Ubaidillah
iv
KATAPENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang berkat rahmat, taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
yang merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta..
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW, yang berkat risalah beliau kita dapat menjalankan kehidupan ini
dengan penuh kedamaian.
Adalah suatu pekerjaan yang sangat berat bagi penulis yang fakir ilmu dalam
menyelesaikan skripsi ini. Namun berkat pertolongan Allah SWT dan bantuan dari
berbagai pihak, akhimya skripsi ini dapat terselesaikan, maka penulis mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ..
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta ..
3. Bapak Dr. Abdul Halim, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta ..
4. Bapak Dr. Djuani Syukri, MA., selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
v
5. Bapak dan Ibu dosen serta civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta ..
6. Staffperpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta ..
7. Seluruh keluarga yang tanpa jemu terus memberikan dukungan baik secara moril
maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ..
Atas bantuan mereka yang sangat berharga, penulis berdo'a semoga Allah
SWT memberikan balasan yang berlipat ganda sebagai amal shaleh dan ketaatan
kepada-Nya, Amin.
Jakarta, 29 Juli 2017
Penulis
Vi
ABSTRAK
UBAIDILLAH. NIM: 1110044100076. Pemikiran Hukum Islam: Analisis Pemikiran Mahmud Yunus Tentang Hukum Kewarisan dalam Islam, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ..
Permasalahan utama yang dikaji dalam skripsi ini adalah masalah pemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan dalam Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ruang lingkup pemikiran Mahmud Yunus dalam hukum kewarisan Islam, corak pemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan dalam Islam, dan pembaharuan pemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan dalam Islam.
Metode yang digunakan adalah metode kepustakaan dengan pendekatan historis dan hukum. Dengan metode ini digunakan untuk menjelaskan pemikiranpemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan dalam Islam, aspek sejarah yang mempengaruhi pemikiran tersebut, serta konsepsi hukum yang dikemukakan dalam karya-karyanya. Sumber data utama dalam skripsi ini adalah karya-karya Mahmud Yunus dalam hukum Islam khususnya hukum kewarisan Islam, sedangkan sumber data pendukungnya adalah literatur-literatur yang berkaitan dengan hukum kewarisan dalam Islam. Tekini analisis data yang digunakan adalah content analysis.
Temuan hasil penelitian ini adalah: 1) Hukum waris Islam yang dikemukakan oleh Mahmud Yunus mencakup pembahasan tentang: a) Hal-hal yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pembagian harta waris; b) Hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan pembagian waris dalam Islam yang meliputi: ahli waris, orang yang terhalang mendapatkan bagian harta waris, ashabah, bagian yang diterima ahil waris, penghalang menerima harta waris, dan dzawil arham; c) Prinsip-prinsip dasar dalam menghitung harta waris, seperti pembahasan tentang asal masalah, tashih, 'aui, dan rad; d) Permasalahan kontemporer dalam waris Islam; dan e) Filsafat dan hikmah pembagian waris dalam Islam; 2) Mahmud Yunus dalam membahas kajian dalam hukum Islamlfiqih memaparkan juga pendapat-pendapat dari mazhab lain, dan dalam mengajukan argumentasi hukumnya beliau menggunakan qaidah fiqhiyyah; dan 3) Sebagai tokoh pembaruan Islam, Mahmud Yunus ditipologikan sebagai seorang modemis yang berupaya mengembangkan berbagai masalah dalam hukum Islam dengan mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat. Ada sejumlah pemikiran ten tang hukum waris Islam yang dikemukakannya, yaitu: 1) Pentingnya memberikan wasiat terhadap harta guna memperbesar jumlah harta pusaka dalam adat Minangkabau; 2) Harta yang akan diwariskan disyarakatkan memiliki kejelasan asal muasalnya, agar tidak mewariskan harta yang diperoleh dengan jalan yang haram; 3) Menolak pendapat tentang ahli waris pengganti bagi ahli waris yang wafat terlebih dahulu dari ahli waris pengganti; dan 4) Pembagian harta waris bagi anak laki-Iaki dua kali lip at dari anak perempuan adalah hal yang masuk akal dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat dewasa inL
vii
DAFTAR lSI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................................... 11
ABSTRAK..... . ......... .. .... ... . ........ ... ...... ...... .................... ........ .............. ......... VIl
DAFT AR lSI.. . .... .. ...... ...... ... ...... ............. ............ ... ..... ............ ........ ................. VIlI
BABI: PENDAHULUAN
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .. ...... ....... .............. .. ....... ... ... ... ... III
HALAMAN PERNY A T AAN KEASLIAN SKRIPSI . .......... ..... ..... ...... ........ ........... IV
KAT A PENGANTAR ............... ........... ... .................... ....... .. ..... . ............. V
A. Latar Belakang Masalah ......................... ......................................... 1
B. Pembatasan, dan Perumusan Masalah ............................................. 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................ 11
D. Metode Penelitian ............................................................................ 13
E. Tinjauan Kajian Terdahulu.............................................................. 15
F. Sistematika Penulisan....................................................................... 17
BAB II: PEMIKlRAN HUKUM KEW ARISAN DALAM ISLAM DI
INDONESIA
A. Dinamika Pemikiran Hukum Islam ............... ... ......... ...... ........ ..... ...... 19
B. Pemikiran Hukum Kewarisan dalam Islam di Indonesia ................... 27
C. Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Hukum Kewarisan
Dalam Islam ...................................................................................... 43
Vlll
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam sebagai bagian integral dari ajaran Islam tidak dapat
dipisahkan dari kerangka pokok agama Islam itu sendiri. Di dalam kehidupan
bermasyarakat Islam, norma atau kaedah yang terkandung di dalam agama Islam
diimplementasikan dalam bentuk aturan pokok yang disebut syariat Islam (Islamic
Law). Allah mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan syariah, baik
dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Syariah juga wajib
dilaksanakan baik sebagai agama maupun sebagai pranata sosial.
Secara historis, dinamika pembentukan hukum dalam Islam dimulai
sejak masa sahabat yang disebabkan beberapa faktor fundamental, di antaranya
adalah perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam dengan peradaban-
peradaban lain. Hal ini berakibat pada munculnya masalah-masalah yang
berhubungan dengan hukum yang tidak pernah terjadi pada masa tasyri' (masa
hidup Rasul), sehingga para sahabat merespons situasi ini dengan
mengembangkan pemahaman mereka dalam menetapkan hukum terhadap
masalah-masalah tersebut. Metode penetapan hukum yang dilakukan oleh para
sahabat terhadap masalah-masalah yang muncul pada masa mereka ini sangatlah
berbeda satu sama lain, di antara mereka ada yang membatasi ijtihad mereka pada
nash tanpa melakukan telaah rasional (al-ra`yu) sedang yang lainnya melakukan
1
2
telaah rasional dan ada juga di antara mereka yang membatasi telaah rasionalnya
pada metode analogi (qiyas). Tentunya, perbedaan metode penetapan hukum akan
menghasilkan ketetapan hukum berbeda.1
Ijtihad sangat diperlukan dan memiliki peranan yang sangat penting
dalam mencari sandaran hukm yang benar, mengingat banyak masalah yang
secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun Al-
Hadits. Karenanya, Islam memberikan peluang kepada umatnya yang
mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Allah SWT mengajarkan dan
mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan akalnya. Banyak ayat al-
Qur’an, baik secara eksplisit maupun implisit, memerintahkan kepada manusia
untuk senantiasa menggunakan akalnya untuk menterjemahkan kehendak-
kehendak Tuhan demi terwujudnya kemaslahatan umat manusia, diantaranya
firman Allah dalan surat Al-Hasyr ayat 184:
{ 481\95\الحـشر}
Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-
kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka,
bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka
1Jalaluddin Rakhmat, “Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh : Dari Fiqh al-Khulafa' al-Rasyidin
Hingga Madzhab Liberalisme”, dalam Budi Munawar Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah, (Jakarta : Paramadina, 1995), h. 251
3
dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan
kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah
melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka
ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan.
Berdasarkan ayat diatas dapat dipahami bahwa orang-orang yang ahli
dalam berbagai penelitian (bashirah) dan memahami serta merenungkan wahyu-
wahyu allah diperintahkan agar mengambil ibrah (pelajaran); terlebih lagi ketika
menghadapi ayat-ayat al-Qur’an yang zhanni dalalah-nya, atau pada masalah
yang tidak terdapat ketetapan hukumnya dari wahyu Allah dan sunnah Rasulullah
SAW. Mereka diperintahkan untuk mengerahkan kemampuan berpikir agar dapat
mengeluarkan kandungan hukum serta hikmah-hikmahnya agar dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun komunal.
Fazlur Rahman memandang bahwa hukum Islam itu bersifat dinamis dan
harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.2
Dalam konteks inilah
gagasan untuk melakukan pembaruan hukum Islam mendapatkan signifikansinya.
Para ahli dan cendekiawan hukum Islam ingin mengkaji kembali hukum Islam
dalam konteks kekinian, sehingga hukum Islam itu bisa menjadi hukum yang
aktual pada masa ini sebagaimana aktualnya hukum Islam pada masa
perumusannya oleh mujtahid pada masa dulu.
2Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Quran, (terj) Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka.,
2000), h . 55.
4
Perkembangan zaman berimplikasi pada semakin luasnya permasalahan
hukum di berbagai wilayah umat Islam, sehingga sebagian ulama menilai bahwa
di sampin, kitab-kitab fiqih yang dijadikan pedoman hukum syariat masih di-
butuhkan lagi beberapa produk hukum yang dapat memberikan jawaban terhadap
permasalahan yang dihadapi umat Islam pada waktu dan tempat tertentu. Produk-
produk hukum yang dibentuk oleh ulama sepanjang sejarah Islam hingga saat ini,
dapat diklasifikasikan kepada 4 (empat) produk pemikiran hukum Islam, yaitu:3
1. Kitab-kitab fiqih.
Kitab-kitab fiqih adalah produk hukum yang bersifat komprehensif dan meliputi
seluruh aspek bahasan dalam Islam. Hingga saat ini, masih banyak umat Islam
yang berpandangan bahwa kitab-kitab fiqih tersebut berlaku sepanjang masa dan
untuk semua wilayah di bumi ini, sehingga mereka menilai bahwa upaya untuk
merubah atau merefisi sebagian isi dari kitab-kitab fiqih itu dapat merusak isi
keseluruhannya. Padahal, fiqih hanyalah salah satu dari beberapa produk
pemikiran hukum Islam yang tentunya tidak boleh bersifat resisten terhadap
pemikiran baru yang muncul dan tidak boleh tidak terbatas masanya, karena sikap
seperti ini sama halnya dengan menghalalkan produk manusia yang semestinya
bersifat relatif dan temporal.
3Atho' Mudzhar, “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Budhi Munawar Rachman
(ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta : Paramadina, 1995), h. 369-370
5
2. Fatwa-fatwa ulama.
Produk pemikiran hukum ini bersifat kasuistik karena merupakan respons atau
jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh orang yang meminta fatwa dari
ulama. Fatwa ulama cenderung bersifat dinamis karena kaitan-nya dengan
berbagai kasus yang muncul dalam masyarakat. Lebih dari itu, fatwa ulama
bukanlah sebuah produk hukum yang mengikat, termasuk bagi peminta fatwa itu
sendiri, di mana ia tidak wajib untuk melaksanakan fatwa yang diterimanya, jika ia
memiliki pandangan lain dalam hal yang difatwakan.
3. Keputusan-keputusan pengadilan agama.
Produk hukum ini, meskipun memiliki kesamaan dengan fatwa ulama, yaitu
sebagai respons terhadap permasalahan yang muncul, terutama di peng-adilan, ia
bersifat mengikat terhadap pihak-pihak yang berperkara. Artinya orang-orang
yang berperkara tersebut berkewajiban untuk melaksanakan keputusan hukum
yang ditetapkan dalam pengadilan.
4. Peraturan dan perundang-undangan di negeri-negeri muslim.
Peraturan dan perundang-undangan yang ada di negeri muslim juga bersifat
mengikat, namun daya ikatnya lebih luas dibandingkan dua produk hukum
sebelumnya. Karena peraturan atau perundang-undangan yang telah ditetapkan
sebagai landasan hukum bagi masyarakat, tidak hanya mengikat masyarakat itu
sendiri, tapi juga para perumus peraturan dan perundang-undangan tersebut,
termasuk para ulama, fuqaha, politisi, dan para cendikiawan lainnya. Oleh sebab
itu, perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, termasuk Undang-Undang
6
Tentang Perkawinan, adalah produk hukum yang wajib di taati oleh siapa pun
yang berdomisili di Indonesia.
Keberadaan produk-produk hukum Islam tersebut, tentunya tidak bisa
dilepaskan dari peran ulama/pemikir/ilmuwan sebagai figur yang berada dibalik
pemikiran-pemikiran hukum Islam yang muncul. Di Indonesia terdapat sejumlah
tokoh pemikiran hukum dalam setiap fasenya dengan corak dan karakteristik yang
khas sesuai dengan situasi dan kondisi sosial dihadapi para pemikirnya.
Menurut Mahsun Fuad pemikiran hukum Islam di Indonesia dapat
terlihat mulai Abad ke-17 M., Pemikiran ini berada berada dalam keseimbangan
baru tasawuf-fiqh, dan wacana Syafii’yyah, hal ini terjadi karena pemikiran
hukum merupakan perwujudan dari gerakan pemikiran tasawuf yang telah dahulu
ada dan akibat langsung dari keberadaan mazhab Syafi’i yang dianut oleh
penyebar Islam pertama di Nusantara abad ke 12 dan 13 M. Dua karakteristik
espimologi inilah yang menjadi langgam yang menonjol bagi gerakan pemikiran
hukum Islam di Indonesia ketika itu. Tidak adanya karya yang dibilang original
dan otentik yang terlahir dari para pemikir disebabkan oleh situasi yang kurang
menguntungkan dari proses, waktu, dan karakter Islam pertama tersebut.4
Pada abad berikutnya, yaitu abad ke-18 dan ke-19, bisa dikatakan tidak
ada gelombang pemikiran dan tawaran konsep besar yang telah di hasilkan para
pemikir tersebut. Secara metodelogis, mereka bahkan menegaskan pentingnya
4Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,
(Yogyakarta: LKiS, 2006), h.35.
7
berpegang pada mazhab hukum yang telah ada, yang dalam tatataran tertentu bisa
dinilai telah mematikan proses kerativitas seseorang dalam menetapkan hukum.5
Pembaruan hukum Islam dalam konteks Indonesia merupakan mata
rantai dari pembaruan-pembaruan ajaran Islam pada umumnya. Pembaruan ini
nampaknya terus berjalan sejalan dengan dinamika kehidupan yang tidak pernah
berhenti. Jawaban-jawaban untuk merespon masalah-masalah yang timbul
sekarang ini merupakan hal yang niscaya.
Pembaruan hukum Islam di Indonesia mulai tumbuh pada abad ke-20.
Pada masa ini terdapat tiga aliran pemikiran hukum Islam. Pertama, kelompok
yang mengharuskan umat Islam berpegang teguh dalam memelihara warisan masa
lalu dengan mengikuti madzahab tertentu. Kelompok ini dipelopori Siradjuddin
Abbas (1905-1980). Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa umat Islam
sama sekali tidak perlu bermadzhab. Umat Islam harus berani melepaskan diri
dari belenggu madzhab. Tokoh dari kelompok kedua ini adalah Ahmad hasan
(1887-1958). Ketiga, kelompok yang berpandangan bahwa umat Islam Indonesia
tidak harus melepaskan diri dari madzhab-madzhab, akan tetapi harus tetap
bersikap kritis atas pendapat madzhab-madzhab. Tokoh kelompok ketiga ini
adalah Hasbi al-Shidiqy (1904-1975).6
5Sumarni, “Kedudukan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, Jurnal Al-‘Adalah,
STAIN Batusangkar Sumatera Barat, Vol. X, No. 4 Juli 2012, h. 450. 6Muhammad Iqbal, Hukum Islam Indonesia Modern Dinamika Pemikiran dari Fiqih Klasik
ke Fiqh Indonesia, (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009). h. 4-5
8
Di samping tokoh-tokoh pembaharu tersebut, Mahmud Yunus adalah
salah satu tokoh yang tidak bisa diabaikan peran dan kiprahnya dalam
perkembangan dan pembaruan Islam di Indonesia. Bahkan beliau dapat
dinyatakan sebagai pejuang kemerdekaan di bidang pendidikan. Hal itu dapat
dilihat dari pemikiran dan peranannya dalam mendirikan serta memimpin
pelbagai institusi pendidikan di Indonesia.
Di sisi lain Mahmud Yunus juga banyak menghasilkan pemikiran dan
karya-karya dalam berbagai disiplin ilmu dalam Islam, baik ditulis dalam bahasa
Indonesia maupun bahasa Arab. Beliau merupakan seorang penulis yang
produktif, setidaknya ada 11 bidang keilmuan yang dikaji dan ditulis oleh beliau,
yaitu bidang pendidikan, bahasa Arab, hukum Islam, tafsir, akhlak, sejarah Islam,
perbandingan agama, dakwah, ushul fiqih, tauhid, dan ilmu jiwa.7
Dari pemaparan di atas nampak bahwa Mahmud Yunus memiliki
lingkup pemikiran keilmuan yang sangat luas meliputi berbagai disiplin ilmu
keislaman. Hanya saja popularitas Mahmud Yunus sebagai tokoh pendidikan
Islam tidak seiring dengan popularitas sebagai ulama fiqih di Indonesia, meskipun
sebenarnya beliau menguasai bidang fiqih dan ushul fiqih. Hal ini dapat dilihat
dari banyaknya hasil pemikiran dan karya beliau dalam bidang fiqih, dimana
karya-karya tersebut digunakan sebagai referensi dalam pembelajaran fiqih di
7Zulmardi, “Mahmud Yunus dan Pemikirannya dalam Pendidikan”, Jurnal Ta’dib, STAIN
Batusangkar Sumatera Barat, Vol. 12, No. 1 Juni 2009, h. 15-16
9
berbagai madrasah, pesantren, dan lembaga pendidikan berciri khas Islam
lainnya.8
Dari uraian di atas nampak bahwa Mahmud Yunus tidak hanya seorang
tokoh pendidikan Islam di Indonesia tapi juga seorang ulama fiqih yang memiliki
kontribusi besar dalam perkembangan pemikiran hukum Islam. Terlebih lagi dari
pengalamannya melanjutkan kuliah di Mesir selama lebih kurang enam tahun
beliau berhasil menindaklanjuti awal ketertarikannya terhadap ide-ide pembaruan
pemikiran Islam dengan tidak hanya membaca jurnalnya, tetapi berhasil
mengunjungi langsung tanah Mesir guna menimba ilmu dan wawasan pembaruan
Islam dari murid-murid Muḥammad Abduh di tanah kelahiran mereka.9 Dengan
pengalaman istimewa ini, Mahmud Yunus memiliki jalinan komunikasi yang
lebih dekat dengan ideologi reformatif Muḥammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Keistimewaan langka yang dimiliki oleh Mahmud Yunus ini semakin lebih
mengokohkan perannya sebagai tokoh pemikiran Hukum Islam di Indonesia.
Kemampuan Mahmud Yunus sebagai seorang yang memahami
fiqh/hukum Islam juga dakui oleh Buya Hamka.
Menurutnya, Mahmud Yunus dikenal juga sebagai seorang ulama dari
suku minang/minangkabau. Pengakuan Buya Hamka tersebut diungkapkan ketika
beliau menulis bukunya. Hamka merujuk hasil pemikiran Mahmud Yunus yang
8Eficandra Masril, dkk, “Pemikiran Fiqh Mahmud Yunus”, Jurnal Islamiyat, Universiti
Kebangsaan Malaysia, Vol. 35 No. 1, 2013, h. 6. 9M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “Mahmud Yunus: Pelopor Pola Baru Penulisan
Tafsir al-Qur’an, Jurnal Ilmu Ushuluddin”, UIN Syarif Hidatullah Jakarta, Vol. 2 No. 3 Januari-Juni
2015, h. 326.
10
pernah disampaikan dalam bentuk makalah sewaktu seminar di Padang tahun
1968 M yang berjudul “Harta Tua dan Harta Pusaka Tinggi Minangkabau.”
Ungkapan Hamka adalah seperti berikut:
Dalam seminar itulah, Prof. Mahmud Yunus memberikan anjuran agar
orang-orang yang mempunyai banyak harta pencaharian memberikan juga
wasiat, agar harta pusaka tinggi itu dilambuk (diperbesar, ditambah) juga,
jangan sampai habis kerana berkembangnya anak buah, Prof. Mahmud Yunus
dikenal juga sebagai seorang ulama anak Minang.10
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis memahami bahwa keberadaan
Mahmud Yunus sebagai ulama fiqih tidak bisa dikesampingkan di tengah
popularitasnya sebagai tokoh pendidikan Islam ataupun mufassir. Pemikiran
Mahmud Yunus dalam bidang hukum (fiqh) mencakup berbagai pembahasan
dalam fiqh sebagaimana ditermuat dalam berbagai kitab fiqh karya ulama lainnya.
Hanya saja dalam penelitian ini penulis hanya membatasi kajian pemikiran hukum
Mahmud Yunus pada hukum warisan yang telah disajikan secara khusus dalam
karyanya tentang kewarisan dalam Islam. Untuk itu penulis bermaksud menyusun
skripsi yang mengakaji: PEMIKIRAN HUKUM ISLAM: ANALISIS
PEMIKIRAN MAHMUD YUNUS TENTANG KEWARISAN DALAM ISLAM.
10Eficandra Masril, dkk, “Pemikiran Fiqh Mahmud Yunus”, h. 7.
11
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari pemaparan latar belakang masalah di atas nampak banyak sekali
permasalahan yang bisa dikaji dalam kaitannya dengan pemikiran Mahmud
Yunus menimbang keluasan pengetahuan dan pemikiran beliau dalam bidang
ilmu keislaman. Hanya saja dalam skripsi ini penulis hanya membatasi
pembahasan pada analisis pemikiran hukum Islam Mahmud Yunus yang berkaitan
dengan pemikiran hukum kewarisan dalam Islam.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas dapatlah penulis rumuskan
permasalahan dalam skripsi ini sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pemikiran Mahmud Yunus tentang kewarisan dalam Islam ?
b. Bagaimakah corak pemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan
dalam Islam?
c. Apakah pembaruan pemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan
dalam Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah penulis kemukakan, maka
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan pemikiran Mahmud Yunus tentang kewarisan dalam Islam.
12
b. Mengetahui corak pemikiran pemikiran Mahmud Yunus tentang hukum
kewarisan dalam Islam?.
c. Mengetahui bentuk pembaharuan pemikiran pemikiran Mahmud Yunus
tentang hukum kewarisan dalam Islam?.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau
kegunaan sebagai berikut:
1. Dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi para akademisi, intelektual,
dan cendikiawan Indonesia tentang pemikiran hukum yang digagas oleh
Mahmud Yunus dalam waris Islam, terlebih melihat fakta bahwa kajian-kajian
pemikiran hukum Islam Mahmud Yunus belum tereksplorasi secara optimal.
2. Dapat menjadi landasan bagi praktisi-praktisi bidang hukum Islam dalam
mengkaji masalah-masalah kekinian yang berkaitan dengan hukum waris Islam
dengan meneladani Mahmud Yunus.
3. Hal utama yang diharapkan dapat memberikan manfaat dari penelitian ini
adalah bahwa dengan tereksplorasinya pemikiran hukum Mahmud Yunus
dapat memberikan landasan teoritis bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang
menelaah pemikiran-pemikiran hukum Islam ulama Indonesia pada awal abad
ke-20.
13
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam upaya mengungkapkan permasalahan yang dibahas maka peneliti
menggunakan pendekatan secara kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang
menghasilkan data yang deskritif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang diamati.11
Dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan metode kepustakaan yang dapat diartikan sebagai penelitian yang
dilakukan di perpustakaan dan mengambil setting perpustakaan sebagai tempat
penelitian dimana objek penelitiannya adalah bahan-bahan perpustakaan.12
Selanjutnya, karena penelitian ini di fokuskan terhadap kehidupan
seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, watak, pengaruh
pemikiran dan idenya serta pembentukan watak tokoh tersebut selama hidupnya,
maka sebagai pendekatannya adalah pendekatan sejarah (historical approach)
yang penulis lakukan dalam penelitian ini terfokus pada penelitian biografis, yaitu
penelitian pendidikan seseorang, sifat-sifat watak, pengaruh lingkungan maupun
pemikiran dan ide dari subyek serta pembentukan watak tokoh.13
Maka dalam hal
ini, penulis berupaya mengeksplorasi seoptimal mungkin biografi Mahmud
Yunus.
11Lexi J Moelong, Metodologi penelitian kualitatif, (Bandung: PT . Remaja Rosda Karya,
2002), h. 3 12Nuraidah Halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Islamic Research
Publishing, 2009), h. 20 13Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011), h. 62
14
2. Sumber Data
a. Sumber data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini dalah karya-karya Mahmud
Yunus, khususnya yang berkaitan dengan hukum waris dalam Islam, yaitu: al-
Fiqhu al-Wadih , Hukum Waris (Harta Pusaka) dalam Islam, Soal Jawab Hukum
Islam. Hukum Perkawinan dalam Islam, dan sebagainya.
a. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini dalah karya-karya
cendikiawan yang mengkaji tentang Mahmud Yunus dan pemikiran hukum waris
Islam, di anataranya: Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20 karya Hery
Mohammad, dkk., Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris karya Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia, karya Rifi’al
Ka’bah, , Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith karya
Hazairin, Hukum Waris Islam di Indonesia dan Transendensi Keadilan Hukum
Wasris Islam Tranformatif karya A. Sukris Sarmadi, dan berbagai artikel yang
diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa teknik yang bisa dipergunakan untuk mengumpulkan data,
satu sama lain punya fungsi yang berbeda. Teknik yang paling tepat digunakan
adalah yang sesuai dengan tujuan penelitian, jenis data serta keadaan sumber
informasi penelitian. Untuk itu, maka teknik yang akan digunakan untuk
15
mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah telaah dokumen atau telaah
kepustakaan, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang
berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, internet dan sebagainya.14
4. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik content analysis,
yaitu pemahaman secara konsepsional yang berkelanjutan di dalam deskripsi.15
Artinya, penulis melakukan analisis terhadap makna yang terkandung dalam
keseluruhan pemikiran Mahmud Yunus tentang hukum kewarisan dalam Islam.
Untuk selanjutnya penulis melakukan interpretasi terhadap pemikiran-pemikiran
tersebut guna mendapatkan konsep-konsep hukum Islam dalam pemikiran
Mahmud Yunus yang relevan bagi penggambaran konstruksi pemikirannya
tentang hukum kewarisan dalam Islam.
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada pedoman teknik
penulisan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Sebagaimana yang telah penulis paparkan pada latar belakang masalah di
atas, bahwa kajian tentang pemikiran hukum Mahmud Yunus tidak banyak
14Suharsimi Arkunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta : Rineka
Cipta, 2002), h. 200 15Louis O. Kotsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992), h. 1
16
dilakukan oleh akademisi, khususnya dalam bentuk penelitian skripsi, tesis,
maupun disertasi. Mayoritas kajian tentang Mahmud Yunus berkaitan dengan
pendidikan dan tafsir, berikut penelusuran penulis terhadap kajian-kajian
terdahulu tentang pemikiran Mahmud Yunus:
Artikel, Pemikiran Fiqih Mahmud Yunus, ditulis oleh Eficandra Masril
dkk, yang dimuat dalam Jurnal Islamiyat Vol. 25 No. 1 Tahun 2013. Artikel ini
memaparkan pemikiran fiqih Mahmud Yunus baik berkaitan dengan corak, ruang
lingkup, maupun metode-metode pengambilan hukum yang digunakan.
Skripsi, Studi Perbandingan Konsep Pendidikan Islam Menurut
Mahmud Yunus dan Imam Zarkasyi, ditulis oleh Nur Hikma Tahun 2014. Skripsi
ini memaparkan pemikiran pendidikan Mahmud Yusnus serta komparasi terhadap
pemikiran pendidikan Imam Zarkasyi baik yang berkaitan dengan aspek tujuan,
kurikulum, metode, sistem, dan kelembagaan pendidikan.
Skripsi, Kontribusi Mahmud Yunus dalam Pembaruan Islam di
Minangkabau (1919-1982 M), ditulis oleh Hikmayanti Tahun 2016. Skripsi ini
lebih memfokuskan penelitian pada peran dan kontribusi Mahmud Yunus dalam
pandangan sosial budaya terhadap masyarakat Minangkabau yang berkaitan
dengan politik, pendidikan, dan dakwah.
Tesis, Epistimologi Tafsir Qur’an Karim Karya Mahmud Yunus, ditulis
oleh Siti Aisyah Tahun 2016. Tersis ini mengkaji tentang sumber-sumber yang
dijadikan rujukan, metode yang digunakan, dan tingkat validitas penafsiran
Mahmud Yunus dalam karyanya Tafsir Qur’an Karim.
17
Inilah beberapa kajian yang telah dilakukan berkaitan dengan pemikiran
Mahmud Yunus, dan dari hasil penelusuran penulis belum ditemukan karya
akademis berupa skripsi, tesis, dan disertasi tentang pemikiran hukum Islam
Mahmud Yunus, khususnya di lingkugan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi ini penulis bagi dalam lima bab dengan uraian
sebagai berikut:
Bab Pertama, merupakan pendahuluan dalam penelitian ini yang
meliputi uraian tentang: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kajian revies
terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, merupakan pembahasan tentang pemikiran hukum warisan
dalam Islam di Indonesia yang jabarkan kepada uraian tentang: dinamika
pemikiran hukum Islam, pemikiran hukum kewarisan dalam Islam di Indonesia,
faktor yang mempengaruhi pemikiran hukum kewarisan dalam Islam.
Bab Ketiga, merupakan pemaparan tentang biografi Mahmud Yunus
yang mencakup: Latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, kepribadian,
karya-karya, dan akhir hayat.
Bab Keempat, merupakan hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian
ini, yang mencakup: pemikiran hukum waridan dalam Islam Mahmud Yunus,
18
corak pemikiran hukum Islam Mahmud Yunus, dan bentuk pembaharuan
pemikiran hukum kewarisan dalam Islam Mahmud Yunus.
Bab Kelima, merupakan penutup dari keseluruhan penelitian dalam
skripsi ini yang mencakup kesimpulan, saran, daftar pusata, dan lampiran-
lampiran yang dianggap perlu.
19
BAB II
PEMIKIRAN HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM DI INDONESIA
A. Dinamika Pemikiran Hukum Islam di Indonesia
Sebelum lebih jauh memaparkan dinamika pemikiran hukum Islam di
Indonesia, penulis memandang perlu membahas hakikat hukum Islam itu sendiri.
Hukum Islam merupakan suatu hukum yang bersumber dari ajaran syariat Islam
yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Kata hukum secara sederhana dapat dipahami
sebagai “seperangkat aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur tingkah
laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa
kenyataan yang tumbuh berkembang di masyarakat maupun sebuah ketentuan
yang ditetapkan oleh penguasa.”1
Kerangka dasar konsepsi hukum Islam telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan hukum antara manusia dengan
manusia atau hubungan manusia dengan benda saja, tetapi juga mengatur
hubungan antara manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dan juga dengan
dengan alam sekitarnya. Ketetapan Allah SWT yang mengatur interaksi manusia
dengan berbagai hal itu, dalam terminologi Islam, disebut al-hukm jamaknya al-
ahkam.2
1R. Saija dan Iqbal Taufiq, Dinamika Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish,
2016), h. 1 2R. Saija dan Iqbal Taufiq, Dinamika Hukum Islam di Indonesia, h. 1
20
Konsepsi hukum Islam yang serupa dikemukakan oleh Ali Yafie yang
menyatakan bahwa hukum Islam itu dapat dirinci dalam tiga hal, yaitu: Pertama,
petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang benar-
benar tentang Allah SWT dan alam ghaib, yang disebut dengan istilah ahkam
syar’iyyah i'tiqodiyah. Kedua, petunjuk dan ketentuan-ketentuan untuk
mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia, agar ia menjadi
makhluk terhormat, yang disebut dengan istilah ahkam syar’iyyah khuluqiyah.
Ketiga, ketentuan-ketentuan dan seperangkat hukum untuk menata hal-hal praktis
(amaliah) dalam hal melakukan ibadah kepada Allah, melakukan hubungan lintas
pergaulan sehari-hari dengan sesama manusia dalam memenuhi hajat hidup,
melakukan hubungan dalam lingkungan keluarga, dan melakukan penertiban
umum untuk menjamin tegaknya keadilan dan terwujudnya ketentraman dalam
pergaulan masyarakat, yang disebut dengan istilah ahkam syar’iyyah amaliyah.3
Istilah al-hukm al-islamy sebagai terjemahan dari kata hukum Islam
tidak pernah dijumpai di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Istilah yang sering
dipergunakan adalah al-fiqh al-islamy atau al-syari’at al-islamiyyah.4 Bisa
dikatakan bahwa istilah hukum Islam merupakan terminologi khas Indonesia,
maka padanan yang tepat dari istilah hukum Islam adalah al-fiqh al-islamy atau
al-syari’at al-islamiyyah, sedangkan dalam wacana ahli hukum barat digunakan
istilah Islamic law.5 Penggunaan Istilah hukum Islam sebagai padanan al-fiqh al-
3Ali Yafie, “Pemikiran Hukum Islam” dalam Muntaha Azhari ed., Islam Indonesia Menatap
Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), h. 38. 4Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 3 5R. Saija dan Iqbal Taufiq, Dinamika Hukum Islam di Indonesia, h. 82
21
islamy atau al-syari’at al-islamiyyah, menurut Ali Yafie, dikarenakan domain
ketiga dari konsepsi ilmu hukum yang dikemukakannya yaitu ahkam syar’iyyah
amaliyah menyangkut perbuatan-perbuatan nyata dan praktis berlaku dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga bidang ini mendominasi istilah hukum Islam.6
Dari pemaparan di atas, dapatlah dinyatakan bahwa syariah dan fiqh
adalah merupakan hukum Islam. Sehingga hukum Islam yang sebenarnya,
menurut Rifyal Ka’bah, adalah ketentuan-ketentuan mengikat yang berasal dari
Allah (wahyu) dan dari legislasi manusia untuk pengaturan hidup individu dan
masyarakat. Wahyu sebagai firman Tuhan memang cocok untuk semua ruang dan
waktu, tetapi pemahaman manusia terhadap teks wahyu dapat berubah dengan
perubahan masalah dan pemahaman terhadap masalah dengan kebutuhan dan
permasalahan kontemporer.7
Dengan pengertian seperti di atas, maka menjadi suatu keniscayaan jika
pemikiran hukum Islam, khususnya di Indonesia, mengalami dinamika yang
sedemikian rupa sebagai upaya merespon berbagai perubahan-perubahan sosial
dan budaya dalam masyarakat Indonesia. Menurut R. Saija dan Iqbal Taufiq, “ada
suasana dialogis antara hukum dengan kondisi sosial masyarakat yang ada.
Kondisi sosial yang melingkupi kehidupan para mujthaid (ahli hukum) memiliki
kontribusi dalam melahirkan hukum Islam.”8
6Ali Yafie, “Pemikiran Hukum Islam”…, h. 38 7Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Universitas Yarsi, 1998), h., 46. 8R. Saija dan Iqbal Taufiq, Dinamika Hukum Islam di Indonesia, h. 6
22
Pembaruan hukum Islam pada dasarnya bertolak pada sesuatu yang telah
ada, kemudian mengalami perubahan secara kualitatif sebagai produk interaksi
dalam kehidupan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa proses pembaruan hukum
Islam dipandang sebagai sesuatu yang otonom, akan tetapi ia pun berinteraksi
dengan unsur lain dalam masyarakat sehingga terjadi saling bergantung. Ketika
hukum Islam berinteraksi dengan kehidupan sosial masyarakat senantiasa
dihadapkan pada masalah, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Oleh
karena itu, konsep pembaruan hukum Islam menuntut adanya sikap adaptatif
dengan kondisi sosial masyarakat di mana ia berinteraksi.
Dalam tinjauan sejarah, dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia
telah menunjukan satu fenomena cukup transformatif dan berulang serta
menggambarkan sebuah dinamika yang hidup dan cukup maju. Mendasar pada
sifat berubah dan berkelanjutan, geliat pemikiran ini tidak hanya memperbaiki
yang sudah ada akan tetapi membentuk karakter-karakternya yang unik di
dalamnya. Upaya pemikiran hukum Islam ini telah banyak dimulai jauh sebelum
kawasan Nusantara ini terpecah menjadi banyak negara.
Dinamika pembaruan hukum Islam dilakukan dengan ijtihad yang
menjadi intisari pembaruan dalam Islam. Dengan adanya ijtihad, dapat diadakan
penafsiran dan interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran yang bersifat zhanni. Dan
juga dengan adanya ijtihad dapat ditimbulkan pendapat dan pemikiran baru
23
sebagai ganti pendapat dan pemikiran ulama-ulama terdahulu yang tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman.9
Keberadaan hukum Islam di Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah
yang sangat panjang yaitu sejak masuknya Islam untuk pertama kali di Indonesia.
Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi hukum
yang hidup. Sifat fleksibel dan elastis yang dimiliki hukum Islam merupakan
aspek utama yang memungkinkan terjadinya penyatuan antara hukum Islam
dengan adat istiadat setempat. Meskipun terkadang kemampuan hukum Islam
beraakulturasi melahirkan sikap yang ekstrim, di mana hukum Islam diterima
tanpa telaah sebagai hukum yang sederajat dengan hukum adat atau tradisi leluhur
masyarakat.10
Dinamika hukum Islam di Indonesia pada abad 17 dan 18 lebih
cenderung benuansa syafi’iyah. Hal ini bisa dipahami menimbang: Pertama,
proses islamisasi di Indonesia sejak abad 12 dan 13 berada dalam suasana di mana
perkembangan hukum Islam mengalami stagnasi dan pada puncaknya pintu
ijtihad dinyatakan tertutup, meskipun kemudian pada fase selanjutnya banyak
ulama dan pemikir yang menentang kondisi tersebut. Pada masa ini ulama dan
para pemikir tidak berani berpikir secara bebas dan kreatif tapi lebih membatasi
diri pada upaya pemikiran yang cenderung mendukung mazhabnya masing-
masing. Kedua, secara kebutulan para penyebar Islam pertama yang aktif dalam
9Muhammadong, “Dinamika Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia dan Tantangannya”,
Jurnal Sulesana, Vol. 8 Nomor 2 Tahun 2013, h. 79. 10Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris…, h. 49
24
islamisasi di Indonesia, sebagaimana dinyatakan oleh sejarawah, adalah mereka
yang bermazhab syafi’i, walaupun pada perkembangan berikutnya tidak semua
umat Islam Indonesia menyandarkan aktivitas keagamaannya pada kerangka
pimikiran fiqih Imam al-Syafi’i, terutama pada awal abad ke 20 ketika marak
gerakan pembaruan.11
Pada abad 19 M Indonesia melahirkan banyak pemikir yang beberapa di
antaranya mempunyai reputasi dunia. Masa ini juga bisa dikatakan sebagai masa
terjadinya pergeseran pusat pemikiran ke-Islaman dari Luar Jawa (Sumatra dan
Kalimantan) ke Jawa. Pada masa ini banyak bermunculan tokoh-tokoh ulama dan
pemikir yang melahirkan banyak karya di bidang keagmaan Islam, termasuk di
dalamnya hukum Islam.
Hanya saja tidak ada pemikiran dan tawaran konsep besar yang telah
dihasilkan oleh ulama dan pemikir pada masa tersebut. Mereka bahkan
menegaskan pentingnya berpegang pada mazhab hukum yang telah ada, yang
dalam dataran tertentu bisa dinilai telah mematikan proses kreativitas dalam
menetapkan hukum. Sedangkan secara aplikatif, pemikiran yang bisa dinilai
penting adalah lahirnya fatwa jihad terhadap Belanda. Hal ini cukup kreatif,
mengingat Indonesia bukan negara Islam, dan sangat riskan jika seseorang
mengeluarkan fatwa seperti itu.12
11Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 114 12Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia …, h. 48.
25
Setelah Indonesia merdeka, upaya pembaruan hukum banyak pula
diarahkan kepada perubahan hukum tertulis peninggalan kaum kolonial untuk
dijadikan hukum nasional, dan hukum Islam dijadikan sebagai salah satu unsur
hukum nasional yang berfungsi sebagai rujukan dalam pembentukan hukum
nasional tersebut. Dalam upaya tersebut kecenderungan kepada salah satu mazhab
(khususnya mazhab Syafi'i) mulai dikesampingkan, dan lebih ditekankan kepada
kemaslahatan, dan bahkan telah dilakukan suatu reforrnasi hukum.
Pemikiran hukum Islam di Indonesia pada abad 20 mengalami dinamika
yang sedemikian pesat. Pada masa muncul tiga model pemikiran: 1) Tradisional,
yaitu pemikiran yang mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan
fiqih dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena fiqih dianggap telah mapan dan
sempurna sehingga perlu dikembangkan dan disosialisasikan; 2) Modernisme,
yang menawarkan agar fiqih perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat; dan 3) Reformasi, yang melontarkan gagasan
bahwa fiqih yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang
muncul konsekuensi dari perkembangan zaman dan kebutuhan manusia. Oleh
karena itu diperlukan fiqih baru, yang menafsikrkan nash secara kontekstual.13
Pemikiran hukum Islam di Indonesia mengemuka kembali secara meluas
pada era tahun 1970-an, cendekiawan muslim mencanangkan pembaruan yang
terfokus pada rasionalilasi Islam yang dimotori Nurcholis Madjid. Selanjutnya
13Taufiq Andan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, (Bandung: Mizan 1993), h. 107-110.
26
pada era 1980-an, Munawir Sjadzali mewacanakan pembaruan dengan tema
Reaktualisasi Ajaran Islam. Diantara pemikiran yang dikemukakan adalah
masalah reaktualisasai hukum waris dalam Islam. Tema reaktualisasi seperti ini
tentu saja mengagetkan banyak orang pihak yang sudah menganggap bahwa nash
tentang waris merupakan nash yang qath’i al-dalalah (penunjukan terhadap
hukum sudah jelas) yang tidak mungkin ada interpretasi selain yang tertera dalam
nash (tekstual).14
Upaya reaktualisasi ajaran Islam di hidang hukum juga merupakan
bagian dari upaya pembaharuan hukum Islam, terutama dalam konteks zaman
modern dewasa iru. Dari upaya demikian diharapkan terwujudnya suatu solusi
hukum yang dapat mengayomi mayarakat. sehingga apa yang mereka terapkan
daiam kehidupan sehari-hari akan senantiasa berjalan di atas dasar hukum yang
luwes dan adil. Obyek pemikiran hukum Islam pun semakin meluas, dikarenakan
adanya pandangan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam fiqih sudah tidak
mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai masalah baru yang pada waktu
fiqih ditulis oleh para fuqaha masalah-masalah baru itu belum terjadi atau belum
ada, termasuk di dalamnya masalah hukum kewarisan dalam Islam.
14Tobibatussaadah, “Pembatuan Pemikiran dalam Konteks Keindonesiaan: Studi Terhadap
Pemikiran Hukum Islam Munawir Sjadzali Serta Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia, Istinbath: Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1 Tahun 2014, h. 58
27
B. Pemikiran Hukum Kewarisan dalam Islam di Indonesia
Hukum waris merupakan bagian dari hukum keluarga yang
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat serta
menjadi ciri khas umat Islam, namun dalam prakteknya sering menimbulkan
polemik dalam pelaksanaannya, hal ini disebabkan oleh budaya masyarakat yang
plural. Permasalahan tersebut disebabkan sistem kekeluargaan dalam suatu
masyarakat, dimana banyak peraturan adat yang telah berlaku secara turun
temurun memiliki perbedaan dengan hukum Islam. Sumber persoalan tersebut
bukan timbul dari al-Qur’an, melainkan interpretasi dan perbedaan pendapat di
kalangan masyarakat itu sendiri.
Sistem kewarisan yang telah ada selama ini dalam batas-batas tertentu
ternyata masih menimbulkan banyak permasalahan dan tidak dapat membumi
dengan masyarakat setempat. Hal ini disebabkan antara lain karena hukum waris
merupakan ekspresi langsung dari nash (al-Qur’an dan Hadits) sehingga dianggap
sebagai hukum yang berlaku mutlak dan tidak ada kemungkinan untuk melakukan
penafsiran ulang, sedangkan kondisi sosial masyarakat membutuhkan suatu
bentuk hukum yang dapat mengakomodasikan semua persoalan yang berkembang
dalam masyarakat yang terjadi sedemikian pesat. Ketika dilakukan penelusuran
ulang terhadap teks-teks ayat kewarisan yang selama ini dianggap sudah baku,
dengan penafsiran yang tidak terikat dan tanpa memaksakan diri menganut pola
tertentu, ternyata ditemukan banyak permasalahan yang belum terselesaikan
dalam hukum kewarisan.
28
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada pembahasan terdahulu bahwa
Di Indonesia telah terjadi pembaruan terhadap ketentuan hukum Islam yang telah
disesuaikan dengan konteks keindonesiaan. Khusus dalam bidang hukum
kewarisan, ide dan pemikiran pembaharuan belum banyak memengaruhi praktek
kewarisan dalam masyarakat akibat masih kuatnya pengaruh hukum adat dan
mazhab syafi’iyah yang berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia.
Meskipun demikian dalam praktek implementasi hukum masih terjadi
keanekaragaman penggunaan materi hukum, hal ini dipengaruhi oleh keaneka-
ragaman suku bangsa di Indonesia dengan hukum adat yang berbeda-beda dan
juga agama yang berbeda.15
Pandangan dan tanggapan umat Islam terhadap wacana pembaharuan
hukum waris terpecah menjadi dua yaitu mereka yang setuju terhadap pembaruan
tersebut dan mereka yang tetap mempertahankan formulasi hukum waris yang
telah ada. Mereka yang setuju terhadap ide-ide tersebut adalah dari kalangan
modernis yang cenderung menggunakan pendekatan rasional dan menganggap
bahwa hukum waris sebagaimana terdapat dalam fiqh tradisional sudah tidak
relevan dengan kondisi dan konteks kehidupan modern. Sedangkan mereka yang
tetap mempertahankan hukum waris tradisional cenderung melihatnya secara
normatif dan menganggap bahwa ketentuan waris tersebut merupakan ketentuan
Allah kepada umatnya yang tidak boleh dirubah sampai kapanpun.
15Azwarfajri, “Ijtihad Tentang Kewarisan Cucu dalam Hukum Islam di Indonesia”, Jurnal
Ilmiah Islam Futura, Vol. XI, No. 2, Februari 2012, h. 104.
29
Berkaitan dengan hal di atas Edi Riadi menyatakan bahwa:
Hukum Waris Islam yang dibangun sejak abad ke tujuh masehi
sampai saat ini, dalam tataran teoritis, tidak mengalami perubahan dan
senantiasa akan tetap dipertahankan seperti itu karena hukum waris Islam
dianggap hukum Allah yang berlaku sepanjang masa dan tidak menerima
perubahan. Para fuqaha (ahli di bidang hukum Islam) berpendapat hukum
waris Islam dan begitu juga bidang hukum Islam lainnya dianggap merupakan
perintah Allah swt. yang harus dilaksanakan apa adanya tanpa reserve
sehingga hukum tersebut diistilahkan dengan hukum ta’abbudi (wajib diikuti
sebagai ibadah/kepatuhan kepada Allah swt.), bukan hukum ta’aqulli yaitu
hukum yang dapat dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan sosial
dan budaya masyarakatnya.16
Persepsi para fuqaha mengenai hukum waris Islam yang seperti itu
berdampak pada stagnasi hukum Islam itu sendiri, sehingga tertinggal dari sistem
hukum lain yang senantiasa mengalami perubahan. Padahal sepanjang sejarah
perjalanannya, mulai dari masa awal Islam hingga saat ini, hukum waris Islam
sebenarnya berjalan beriringan dengan inovasi hukum. Bahkan, lebih dari itu,
keberadaan hukum waris Islam sendiri sebenarnya merupakan inovasi luar biasa
yang merombak sistem pewarisan harta era Pra-Islam. Diakui atau tidak, berbagai
upaya inovasi tersebut menyiratkan watak fleksibel hukum waris Islam dalam
konteks perubahan dan perkembangan sosial masyarakat. Tidak berlebihan
kiranya jika dinyatakan bahwa hukum waris merupakan salah satu contoh terbaik
dari evoluasi hukum Islam.17
16Edi Riadi, “Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia”, dalam Problematika Hukum
Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Muchit A. Karim, eds., (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agama RI, 2012), h. 59 17Muhammad Adib, “Halangan Menerima Warisan”, dalam Problematika Hukum Kewarisan
Islam Kontemporer di Indonesia, Muchit A. Karim, eds., (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, 2012), h. 162
30
Dalam sejarah hukum di Indonesia, dapat diketahui bahwa sistem hukum
waris adat telah ada terlebih dahulu dibandingkan dengan sistem hukum waris
yang lain. Hal ini dikarenakan hukum ada, termasuk hukum warisnya, merupakan
hukum asli bangsa Indonesia, berasal dari nenek moyangnya dan telah melembaga
serta terinternalisasi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi yang
lain.18
Sementara itu hukum waris Islam hadir bersamaan dengan masuknya
Islam ke Indonesia. Kedatangan Islam dengan hukum warisnya tidak serta merta
menggantikan hukum adat yang sudah ada terlebih dahulu. Dalam hal ini
Mohammad Yasir Fuzi menyatakan:
Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, maka terjadi ‘kontak yang
akrab’ antara ajaran mau pun hukum Islam (yang bersumber pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah) dengan hukum adat. Hal itu tercermin dalam berbagai pepatah
di beberapa daerah. Di Aceh terdapat pepatah: hukum ngon adat hantom cre,
lagee zat ngon sipeut (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai-
pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat
suatu benda. Di Minangkabau ada pepatah: adat dan syara’ sanda menyanda,
syara’ mengati adat memakai artinya, adat dan hukum Islam (syara’) saling
topang menopang, adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri. Di
Sulawesi ada ungkapan yang berbunyi: adat hula-hulaa to syaraa, syaraa
hula-hulaa to adat (adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat). Hubungan
antara adat dengan Islam yang erat juga ada di Jawa. Ini mungkin disebabkan
oleh prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat Jawa, terutama di daerah pedesaan. Pengaruh hukum waris Islam
pada masyarakat Jawa dapat dilihat misalnya pada sistem pembagian warisan
yang disebut dengan sapikulsagendong.19
18Mohammad Yasir Fauzi, “Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia”, dalam Ijtima’iyya
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 9, No. 2, Agustus 2016, h. 66 19Mohammad Yasir Fauzi, “Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia”, …, h. 66.
31
Pada masa kolonial terjadi kodifikasi hukum waris Islam. Hal ini lahir
bersamaan dengan perintah VOC pada tanggal 25 Mei 1760 untuk menerbitkan
peraturan Resolutie der Indische Regeering yang kemudian dikenal dengan
Compendium Freijer yang memuat hukum Perkawinan Islam dan Kewarisan Islam
dengan diperbaiki dan disempurnakan oleh fuqaha masa itu. Kitab hukum tersebut
secara resmi diterima oleh pemerintah VOC tahun 1706 dan dipergunakan oleh
Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di
daerah kekuasaan VOC.20 Kitab hukum tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk
kodifikasi hukum waris Islam yang disusun oleh ulama/fuqaha berdasarkan
pemahaman mereka terhadap kitab-kitab fiqih klasik.
Di samping hukum adat dan hukum waris Islam, masyarakat Indonesia
juga telah lama mengakrabi hukum waris Barat yang bersumber pada BW. Pada
masa penjajahan Belanda, dengan asas konkordansi BW dinyatakan berlaku untuk
golongan Eropa yang ada di Indonesia. BW ini juga dinyatakan berlaku bagi
orang-orang Timur Asing Tionghoa. Sementara bagi golongan Timur Asing
bukan Tionghoa berlaku hanya bagian-bagian mengenai hukum kekayaan harta
benda dari BW. Selebihnya, yakni bagian kekeluargaan dan kewarisan berlaku
hukum mereka sendiri dari negeri asalnya.21
Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut mengalami
perkembangan dan proses pelembagaan yang berlain-lainan. Hukum waris Barat
20A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2013), h. 9. 21Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2010), h.10-14.
32
relatif tidak mengalami perubahan, yakni bersumber pada BW dan karenanya
tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu.Hukum waris adat berkembang
melalui berbagai macam peraturan ataupun perundang-undangan. Yang agaknya
berbeda adalah proses pelembagaan hukum waris Islam. Pelembagaan dan
pengembangan hukum waris Islam ditempuh melalui legislasi nasional. Hal ini
dapat disimak dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).22
Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil loka karya para fuqaha
Indonesia dan menjadi fakta keberadaan fiqh madzhab Sunni. Namun demikian,
harus diakui, bahwa pada bagian tertentu dalam KHI masih ditemukan ruang
berbagai masalah kewarisan yang memerlukan refleksi pemikiran baru dalam
rangka penyesuaian dengan kondisi-kondisi di Indonesia antara lain tentang ahli
waris pengganti dan persoalan wasiat wajibah yang sebelumnya tidak dimuat
dalam kitab-kitab klasik.
Sebelum terbentuknya KHI telah muncul berbagai pemikiran tentang
hukum waris Islam yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh pemikir Indonesia
sebagai otokritik terhadap ketetapan hukum waris Islam dalam kitab-kitab fiqih
klasik. Setidaknya ada dua ahli yang tercatat mengemukakan ide pembaharuan
dalam hukum waris Islam yaitu:
22Mohammad Yasir Fauzi, “Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia”, …, h. 70.
33
1. Hazairin.
Pokok pemikiran Hazairin dalam kewarisan Islam meliputi:
a. Kewarisan Bilateral
Dalam literatur hukum adat Indonesia, pada dasamya sistern atau
bentuk kekerabatan yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia terdiri
atas sistem patrilineal (garis ayah), matrilineal (garis ibu), dan parental atau
bilateral (garis ayah-ibu seimbang). Sistem ketiga inilah yang merupakan
isu sentral pemikiran Hazairin. Bilateral menurut Hazairin adalah setiap
orang dapat menarik garis kerurunannya ke atas melalui ayahnya atau pun
melalui ibunya; demikian pula yang dilakukan oleh ayahnya dan ibunya,
yang demikian itu tedadi terus-menerus. Lebih lanjut, pokok dasar
pemikiran Hazairin adalah konsepnya mengenai kewarisan bilateral. Yaitu
hak kewarisan yang berlaku dalam dua garis keturunan atau kekerabatan,
baik dari garis ayah atau ibu. Masyarakat bilateral inilah yang paling
dominan di Indonesia. 23
Hazairin mengkaji ayat-ayat tentang perkawinan dan kewarisan.
Menurutnya sistem kemasyarakatan yang terkandung di dalam al-Qur’an
adalah sistem bilateral, dan karenanya sistem kemasyarakatannya pun
bercorak bilateral juga. Ia merujuk dan menyimpulkan ini berdasarkan
23Abdul Ghoni Hamid, “Kewarisan dalam Perspektif Hazairin”, Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat, Volume 4 Nomor 1 Juni 2007, h. 43.
34
pada surat an-Nisa (4) ayat 23-24.24
Inti dari kedua ayat tersebut
menetapkan larangan-larangan perkawinan, dan selain yang disebutkan
halal untuk dilangsungkan. Dengan demikian, ayat-ayat tersebut
menuntukkan bahwa semua bentuk perkawinan sepupu tidaklah dilarang,
baik cross-cousins25
maupun parallel cousins.26
Sebagai contoh
kongkritnya adalah pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah al-
Zahra. Keduanya sama-sama dari satu klan dan dibenarkan oleh syariat.
Dengan dibolehkannya perkawinan sepupu ini berarti gugurlah syarat
exogami27
yang menjadi benteng bagi sistem klan dalam masyarakat yang
patrilineal dan matrilineal.
Berdasarkan pengandaian pernikahan Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah al-Zahra tersebut berimplikasi pada sistem kewarisannya. Harta
yang ditinggalkan oleh orang yang masih hidup juga harus diatur menurut
hukum kewarisan bilateral. Dalam ranah antropologi, hukum kewarisan itu
adalah kelanjutan dari hukum perkawinan, dan hukum perkawinan tidak
boleh berbeda dengan hukum kewarisan.28
24Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith, (Jakarta: Tinatamas,
1982), h. 1-2. 25Cross cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau
sedatuk, manakala bapak dari pihak yang satu merupakan saudara dari ibu pihak yang lain. Lebih
konkritnya, ibu suami adalah saudara dari ayah isteri ataupun sebaliknya. Hubungan persaudaraan ini
bisa karena seibu, sebapak, atau sekandung. 26Parallel cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang senenek atau
sedatuk manakala ayah mereka masing-masing bersaudara atau ibu mereka bersaudara, baik
persaudaraan ini seibu, sebapak, maupun sekandung. 27Exogami artinya larangan untuk mengawini anggota se-klan, atau dengan kata lain
keharusan kawin dengan orang di luar klan. 28Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith, h. 19-25.
35
b. Ahli Waris Pengganti
Dalam konsep ahli waris pengganti atau mawali, Hazairin
mengatakan bahwa pemakaian kata “ahli waris pengganti” sebagai
padanan mawali, sesungguhnya tidak begitu tepat. Namun, istilah itu
digunakan juga karena perkataan “ahli waris pengganti” terdapat dalam
hukum adat.29
Konsep ahli waris pengganti ini beranjak dari ayat 33 surat an-
Nisa, di mana tafsiran Hazairin terhadap ayat ini mengenai mawali
dipahami sebagai pewaris pegganti atau Plaatsvervulling dalam Burgerlijk
Weetboek. Mawali adalah orang-orang yang menjadi ahli waris karena
tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, dan menurutnya
ia jiga termasuk dalam pengertian aqrabun.30
Yaitu firman Allah:
{33\1\الـنساء}“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak
dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada)
orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka
berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu.” (Q.S. an-Nisa/4: 33)
29Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith, h. 25 30Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith, h. 32
36
Ayat di atas dimaknai sebagai berikut:
Dan untuk setiap orang itu Allah telah mengadakan mawali
bagi harta peninggalan ayah dan mak (ibu) dan bagi harta peninggalan
keluarga dekat, demikian juga harta peningggalan bagi tolan
seperjanjianmu, karena itu berikanlah bagian-bagian kewarisannya.
Dan Allah menyaksiakan segala sesuatu.31
Berdasarkan pemaknaan seperti di atas, maka kata mawali atau
ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk
memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang
digantikan. Mengenai mawali ini, Hazairin berprinsip bahwa al-Qur’an
meletakkan hubungan kewarisan atas dasar pertalian darah antara yang
mati dengan anggota keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu
pengganti oleh waris yang sebenarnya harus mempunyai penghubung
dengan orang yang digantikan itu, di mana ia adalah seorang yang
seharusnya menerima warisan ketika ia masih hidup, tetapi dalam kasus
yang bersangkutan telah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris.
Hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan mawali berupa hubungan
darah ke garis bawah, atau ke garis sisi, atau ke garis atas.32
Penafsiran Hazairin terhadap kata mawali menggunakan
pendekatan gramatikal yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
fuqaha dan mufassir awal. Konsep ahli waris pengganti dalam pandangan
Hazairin tidak semata karena adanya ketidaksesuaian pada landasan sosio
31Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith, h. 32 32Abdul Ghoni Hamid, “Kewarisan dalam Perspektif Hazairin”, h. 46-47
37
historis, melainkan karena adanya kesalahan interpretasi terhadap kata
mawali itu sendiri. Maka menurutnya makna mawali dalam al-Qur’an
semestinya diartikan ahli waris yang menggantikan seseorang dalam
memperoleh bagian peninggalan orang tua dan kerabatnya.
Pendapat Hazairin tentang ahli waris ini muncul dikarenakan
adanya ketidakadilan dalam pembagian warisan yang selama ini terjadi,
yakni bahwa cucu perempuan yang ayahnya meninggal terlebih dahulu
tidak mendapatkan harta warisan dari harta warisan yang ditinggalkan
kakeknya. Dalam masalah ini, ulama Ahlus Sunnah dan juga Syi’ah,
sepakat bahwa anak laki-laki menghijab (menutup) cucu laki-laki dan
perempuan. Oleh karenanya, cucu yang ayahnya meninggal terlebih dahulu
tidak mendapatkan hak waris, meskipun sangat berjasa dalam mengurus
kakeknya, karena anak kakek (saudara ayah/anak laki-laki) menghijabnya,
meskipun tidak pernah berjasa mengurus ayahnya.33
c. Dzawil Furudh, Dzawil Qarabah, dan Mawali
Dari segi hak kewarisan, Hazairin membagi tiga golongan ahli
waris menurut ajaran yang ia sebut sebagai ajaran kewarisan bilateral.
Keetiga golongan tersebut adalah dzawil furudh, dzawil qarabah, dan
mawali. Hal ini berbeda dengan konsep ulama sunni pada umumnya, di
33Abdul Ghoni Hamid, “Kewarisan dalam Perspektif Hazairin”, h. 48
38
mana mereka membagi golongan yang menerima ahli waris yaitu: dzawil
furudh, ashabah, dan dzawil arham.
Perbedaan di atas berpangkal dari pendapat Hazairin yang tidak
menerima konsep usbah atau ashabah. Menurut Hazairin konsep usbah
terdapat dalam masyarakat unilateral (patrilineal atau matrilineal),
sedangkan dalam masyarakat bilateral (parental) tidak mengenal istilah
tersebut.
Dzawil furudh adalah ahli waris yang mendapat bagian warisan
tertentu dalam keadaan tertentu, seperti anak perempuan, ayah, saudara
laki-laki atau perempuan. Adapun dzawil furudh terdiri atas:
1) Anak perempuan yang tidak bersama-sama dengan anak laki-laki atau
mawali bagi mendiang anak laki-laki, maka anak perempuan tersebut
bagiannya (fard)nya adalah ½ dan 2/3 jika 2 orang atau lebih.
2) Ayah mendapat fard 1/6 jika pewaris berketurunan.
3) Ibu mendapat fard 1/3 jika pewaris tdak berketurunan dan 1/6 jika
pewaris berketurunan.
4) Seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan, bagi
mereka masing-masing 1/6 bagian harta jika pewaris mati punah, dan
jika saudaranya adalah berbilang beberapa saudara, baik semuanya
laki-laki, atau perempuan, atau bercampur antara laki-laki dan
perempuan, maka mereka semua mendapatkan bagian 1/3 dari harta
peninggalan.
5) Jika si mayit kalalah/punah mempunyai 1 saudara perempuan saja,
maka ia memperoleh ½ dari harta peninggalan, dan jika si mayit
(kalalah) mempunyai 2 orang saudara perempuan (atau lebih) maka
bagiannya 2/3 dari harta peninggalan bersama-sama.
6) Suami mendapat ½ jika isteri meninggal tanpa keturunan dan ¼ fard
jika isteri berketurunan.
7) Isteri mendapat ¼ jika suaminya yang meninggal tidak berketurunan,
dan 1/8 fard jika memiliki keturunan.
39
8) Mawali dengan bagian masing-masing sebagai pengganti.34
Dzawil qarabah adalah orang-orang yang mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan si pewaris dapat melalui garis wanita serentak tidak
terpisah. Hubungan garis keturunan yang demikian inilah oleh Hazairin
disebut dengan garis keturunan bilateral. Dzawil qarabah dikelompokkan
atas:
1) Anak laki-laki dan perempuan yang bersamanya anak laki-laki atau
keturunannya. Mereka mendapatkan bagian menurut ketentuan nilai
bagian yang telah ditetapkan sebagai dzawil furudh sekaligus adkan
mengambil sisa harta jika ada sisa, di mana ia sekaligus sebagai dzawil
qarabah.
2) Ayah, apabila pewaris mati punah.
3) Saudara laki-laki dan saudara perempuan yang bersamanya saudara
laki-laki atau keturunannya jika pewaris mati punah (kalalah).
4) Kakek dan nenek.35
Dalam dzawil qarabah hijab dan mahjub antara para ahli waris
akan mempengaruhi system ini, di mana apabila bertemu masing-masing
orang yang berhak sebagai dzawil qarabah maka akan terjadi dua
kemungkinan. Pertama, masing-masing zawil qarabah akan memperoleh
radd secara berimabang menurut bagian masing-masing. Kemungkinan
kedua, akan ditentukan bagiannya, karena begitu dekatnya derajat salah
satu ahli waris. Seperti, apabila berkumpul ayah, ibu, dan anak laki-laki.
Maka anak laki-lakilah sebagai dzawil qarabah. Hal ini terjadi karena
34A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Wasris Islam Tranformatif, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997), h. 45-46. 35A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Wasris Islam Tranformatif, h. 46
40
kemampuan anak mempengaruhi perolehan ayah dan ibu sehingga mereka
hanya memperoleh apa yang ditentukan saja tidak boleh yang lain.36
Mawali, sebagaimana telah diuraikan dalam bahasa sebelumnya
bahwa mawali atau ahli waris pengganti ini adalah ahli waris yang
menggantilan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya
akan diperoleh orang yang digantikan. Baik berupa hubungan darah ke
garis bawah atau garis sisi, atau ke garis atas.
d. Kalalah
Hazairin berpendapat bahwa kalalah adalah seorang meninggal
dunia tidak meninggakan anak (walad), tanpa disyaratkan ayah harus
meninggal dahulu (tidak ada ayah). Adapun yang dimaksud walad di sini
adalah anak secara umum baik laki-laki maupun perempuan. Pengertian
anak di sini masih diperluas lagi dengan keturunan, yaitu orang digaris
bawah baik melalui laki-laki maupun perempuan.37
Dengan demikian
kalalah yang dimaksud oleh Hazairin adalah orang yang mati punah tidak
berketurunan. Dengan pendapat ini maka saudara tidak dibedakan antara
saudara sekandung, seayah, dan seibu, mereka dapat mewaris selama tidak
ada anak (keturunan).
36Abdul Ghoni Hamid, “Kewarisan dalam Perspektif Hazairin”, h. 52 37Abdul Ghoni Hamid, “Kewarisan dalam Perspektif Hazairin”, h. 54
41
2. Munawir Sjadzali.
Isu sentral pemikiran hukum Munawir Sjadzali adalah melakukan apa
yang disebutnya reaktualisasi hukum waris, khususnya dalam hal pembagian
waris 2 : 1 antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, di seluruh dunia
Islam, termasuk di Indonesia sistem waris yang diberlakukan baik dalam versi
sunni, syi‘ah maupun negara-negara Islam yang telah mengupayakan
kodifikasi hukum lewat perundang-undangan masih tetap mempertahankan
sistem kalkulasi 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan. Cara seperti ini
didukung langsung oleh QS. an-Nisa‘: 11 yang dengan jelas menyatakan
bahwa bagian anak laki-laki adalah dua kali lipat dari bagian anak perempuan.
{33\1\الـنساء} Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan (QS. An-Nisa/4: 11).
Walau demikian, bagi Munawir, konsep tersebut tidak memberikan
rasa adil‖ bagi masyarakat yang kaum perempuannya memiliki peran. Hal ini
berdasarkan penelitian dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam
praktek di masyarakat, para ahli waris tetap meminta fatwa tentang ketetapan
hukum waris sesuai dengan fara‘id Islam yang didalamnya menetapkan
kalkulasi bagian anak laki-laki dan anak perempuan 2:1 tapi dalam
pelaksanaannya kerapkali para ahli waris tidak melaksanakan fatwa ketetapan
42
hakim Pengadilan Agama tersebut. Malah mereka melakukan pembagian yang
tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam yaitu 1:1 antara anak laki-laki
dengan anak perempuan. Cara seperti ini tidak hanya dilakukan oleh orang
awam saja tapi juga dilakukan oleh tokoh-tokoh organisasi yang cukup
menguasai ilmu-ilmu keislaman.38
Melihat realitas yang telah dipaparkan di atas, Munawir menawarkan
bagaimana kalau ketentuan pembagian waris itu dikodifikasi menjadi sama
rata yaitu bagian anak laki-laki 1:1 dengan bagian anak perempuan dengan
syarat anak perempuan memiliki peran. Untuk memperkuat pendapatnya
tersebut, Munawir menampilkan sejumlah ulama yang telah melakukan
pemahaman secara kontekstual terhadap nash al-Qur‘an. Diantaranya
pendapat Abu Yusuf al-Hanafi yang mengatakan bahwa bila nash terdahulu
dasarnya adat dan adat itu kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum
atau petunjuk yang terkandung dalam nash itu, dan Ibnu Qoyyim al-Jauziah
menjelaskan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa dapat dibenarkan karena
perbedaan zaman, tempat, dan adat istiadat.39
Jadi nash al-Qur‘an yang telah menegaskan bagian anak laki-laki dua
kali lipat dari bagian anak perempuan adaah pembagian yang didasarkan pada
tradisi yang berlaku pada saat itu, bahwa status laki-laki dalam keluarga
adalah pemimpin, pelindung, dan penanggungjawab perempuan. Melihat
38Syukri Abu Bakar, “Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pembagian Waris di Indonesia”,
Jurnal Schemata, Volume 3, No. 2, Desember 2014, h. 134 39Syukri Abu Bakar, “Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pembagian Waris …, h. 135.
43
realitas kehidupan zaman modern sekarang ini bahwa kaum perempuan
melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh perempuan Arab zaman dahulu.
Sekarang banyak kaum perempuan yang menduduki pos-pos penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi sekarang sedang gencar-
gencarnya kaum perempuan menuntut persamaan hak dan persamaan derajat
dengan kaum laki-laki di segala bidang. Maka dengan menggunakan teori Abu
Yusuf tersebut, bahwa kaum perempuan pada saat sekarang berbeda adat
kebiasaannya dengan kaum perempuan pada saat ayat itu diturunkan, maka
menurut Munawir sangat relevan sekali apabila bagian waris anak perempuan
sekarang yang memiliki peran ditingkatkan agar sama dengan bagian waris
anak laki-laki.
C. Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Hukum Kewarisan dalam Islam
Pembaruan hukum Islam merupakan suatu keharusan untuk tetap
mempertahankan eksistensi hukum Islam. namun, dalam melakukan pembaruan
hukum Islam, tetap harus memperhatikan sebagai ajaran yang kekal dari Allah
swt. sehingga tidak boleh melakukan pembaruan dengan semena-mena, karena
justru akan menjauhkan dari tujuan syariah tersebut (maqaaṣhid al-syarīah).
Bahkan pembaruan tanpa metode yang benar dan tindakan yang semena-mena
justru dapat menghancurkan sendi-sendi ajaran agama.
Secara umum, pembaruan hukum Islam yang terjadi saat ini disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain:
44
1. Mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam
kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat
terhadap hukum masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk
diterapkan.
2. Pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan
hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada
aturan hukumnya.
3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang
kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.
4. Pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para
mujtahid baik tingkat nasional maupun tingkat internasional, terutama hal-
hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.40
Adapun faktor-faktor yang dipandang mempengaruhi pemikiran hukum
kewarisan Islam dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Pandangan tentang hukum ideal dan realistis.
Hukum ideal adalah hukum yang dicita-citakan dan bermuatan rasa
keadilan universal. Sedangkan hukum realistis adalah hukum yang dihasilkan
dengan cara mensinergikan hukum ideal dan hukum berlaku ditengah
masyarakat dan bermuatan keadilan lokal dan temporal. Hukum ideal tidak
mungkin diberlakukan ditengah masyarakat tertentu dalam kurun waktu
tertentu tanpa mempertimbangkan kesadaran hukum masyarakat tersebut pada
masanya. Oleh karena itu proses sinergi hukum ideal dengan hukum yang
berlaku dalam masyarakat menjadi hukum realistis merupakan suatu
keniscayaan agar hukum tersebut bermuatan rasa keadilan masyarakat.
Karakteristik hukum realistis hanya berlaku dalam masyarakat pada masa
tertentu, dan belum tentu dapat diberlakukan dalam masyarakat lainnya dalam
40Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006), h. 154.
45
kurun waktu yang sama atau kurun waktu berbeda karena rasa keadilan
masyarakatnya berbeda. Hukum waris yang termaktub dalam kitab-kitab fiqih
adalah hukum realistis untuk masyarakat dimana penulis kitab tersebut hidup,
dan oleh karenanya mungkin banyak kaidah hukum waris di dalamnya yang
sudah tidak relevan untuk masyarakat Indonesia pada masaa kini. Dalam hal
inilah diperlukan pembaharuan hukum yang berkesinambungan paralel
dengan tuntutan keadilan lokal sebagai akibat perubahan sosio-kultural
masyarakat. Ayat dan hadits yang bermuatan keadilan universal merupakan
dalil qath’i, sedangkan ayat Al-Qur’an dan Hadits yang bermuatan keadilan
lokal dan temporal merupakan dalil zhanni.41
2. Dialektik tafsir tekstual dan kontekstual.
Pada masa awal Islam, tingkat moderasi tafsir terhadap teks Al-
Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad sangat tinggi. Para sahabat berkreasi
memahami teks Al-Qur’an dan Hadits sesuai tingkat keluasan dan kedalaman
pengetahuannya. Zaid bin Tsabit merupakan orang yang luas pengetahuannya
dibidang hukum kewarisan masyarakat Arab, sehingga ia lebih mampu
memahami teks Al-Qur’an dan Hadits tentang kewarisan yang bersinergi
dengan hukum yang berlaku pada masyarakat Arab saat itu. Sedangkan Ibnu
Abbas hanya memiliki kemampuan memahami teks al-Qur’an dan Hadits
tentang kewarisan tanpa memiliki kemampuan mensinergikan dengan hukum
adat masyarakat Arab.
41Edi Riadi, “Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia”, …, h. 62-64
46
Tafsir Zaid bin Tsabit tentang waris merupakan mainstream sehingga
banyak diikuti para fuqaha, karena pendapat Zaid bin Tsabit sangat dirasakan
sesuai dengan keadilan masyarakat setempat saat itu. Aliran Ibnu Abbas
banyak ditinggalkan para fuqaha karena tidak bermuatan keadilan lokal,
sehingga tafsir Ibnu Abbas tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Arab
pada masanya. Akan tetapi tafsir Ibnu Abbas lebih dirasa bermuatan keadilan
pada masa kini.42
3. Keadilan
Salah satu subsistem hukum syariat yang sampai saat ini tetap
diragukan, digugat dan bahkan kadang-kadang dihujat sebagian orang adalah
yang terutama terkait dengan kekurangadilan hukum kewarisan. Khususnya
yang berhubungan dengan aturan bagian 2:1 dengan maksud dua bagian untuk
ahli waris laki-laki dan satu bagian untuk ahli waris perempuan. Ketetapan
hukum tersebut dianggap sudah tidak lagi relevan. Pemikiran ini merujuk
kepada pikiran-pikiran sosiologis, empiris, dan pragmatis kekinian yang
menunjukkan bahwa pada kenyataan banyak kasus perempuan berprofesi dan
bergaji lebih tinggi tapi harus menghadapi ketetapan ilmu faraid tentang
aturan bagian 2:1 untuk laki-laki dan perempuan.43
42Edi Riadi, “Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia”, …, h. 64-65 43Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
konteks, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2013), h. 7.
47
Persoalan perbandingan 2:1 ini memang agak rumit karena
menyangkut persoalan qath’i dan dzanni.44
Dalam ilmu ushul fiqh pengertian
qath’i menunjukkan kepada makna yang pemahaman makna itu telah tertentu
dan tidak mengandung takwil serta tidak ada peluang untuk memahami makna
lainnya. Dengan kata lain, mengandung makna yang meyakinkan, pasti dan
absolut. Sedangkan pengertian zhanni menunjukkan atas suatu makna, akan
tetapi masih memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna
ini dan makna lainnya dimaksudkan darinya, dengan kata lain mengandung
sesuatu yang relatif, dugaan, dan tidak meyakinkan substansi hukum waris
adalah keadilan karena sebelum hukum waris Islam datang dalam hal
pembagian harta waris.45
Perempuan pada saat itu tidak pernah diberi bagian harta warisan
sedikitpun, bahkan justru dijadikan harta warisan yang dapat dibagi-bagi.
Upaya untuk merekonstruksi bukan merupakan hal yang tabu, sebab latar
belakang sejarah dan sosial turunnya teks tersebut sudah berbeda dengan masa
sekarang. Budaya berbeda ini sudah ada sejak masa awal Islam ketika Al-
Qur‘an turun, terlebih lagi kondisi sekarang di mana setiap generasi
menghadapi situasi berbeda akibat perbedaan waktu dan geografi.
44Sri Suhandjati Sukri, Bias Jender dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Gama Media,
2002), h. 184. 45Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1994), h. 38.
48
4. Perubahan sosial
Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa pembinaan pembagian
harta warisan bukan hanya saja berdasarkan sumber al-Quran dan al-Sunnah.
Rujukan terhadap dua sumber ini berlaku karena keduannya menjadi sumber
rujukan utama dalam Islam, khususnya semasa hayat Rasulullah SAW. Setelah
Rasulullah wafat, kegiatan penafsiran al-Quran dan al-Sunnah berkembang
pesat, khususnya dalam memahami hukum Islam. Proses ini dinamakan ijtihad
sahabat atau tabiin.
Secara umumnya, perubahan sistem pembagian harta di masa
sahabat ini berbeda-beda berdasarkan tempat, kemajuan ekonomi, peradaban
luar, adat-istiadat dan struktur masyarakat. Faktor-faktor ini turut
mempengaruhi masyarakat di sekitar Mekah dan Madinah. Masyarakat di
Mekah lebih maju dari segi ekonomi dan peradaban karena menjadi pusat kota
masyarakat. Kota Mekah bukan saja terletak di tengah-tengah jalan
perdagangan antara Yaman, Syam, Qaysiriyah, Palestina, Persia dan Romawi,
akan tetapi malah menjadi pusat ibadah dan aktiftas akademik. Berdasarkan
faktor ini, keadaan struktur masyarakat Mekah berbeda dengan masyarakat
Arab yang lain. Kaum laki-laki dan perempuan Mekah mempunyai peranan
yang sama dalam pembangunan ekonomi dan kepemilikan kekayaan. Sebagai
contoh, laki-laki dan perempuan bebas melakukan perniagaan dan memiliki
49
barang-barang bernilai seperti hamba sahaya, unta, kambing, senjata, dan
barang perhiasan.46
Dapat dipahami di sini bahwa perubahan fakta-fakta kemasyarakatan
adalah faktor yang mendasar bagi perkembangan hukum syari’at. Realitas
sosial itu memberi pengaruh langsung terhadap perubahan pembagian harta
warisan. Bahkan penetapan hukum harta warisan yang bersifat terperinci dan
pasti dari al-Quran serta telah dikuatkan oleh Rasulullah SAW, tidak dapat
mengelak dari sentuhan perkembangan yang sangat penting. Tegasnya,
perubahan sosio-ekonomi, budaya, dan nilai-nilai masyarakat merupakan di
antara faktor terutama berlakunya perubahan hukum pembagian harta warisan.
5. Kesetaraan gener
Permasalahan waris laki-laki dan perempuan terdapat dalam salah
satu teori gender yaitu teori equilibrium. Teori ini menekankan pada konsep
kemintraan dan keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan yakni
keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk itu dalam setiap
kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan
peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hubungan laki-laki dan
perempuan bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan pula struktural
fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun
46Zulham Wahyudani, “Perubahan Sosial dan Kaitannya dengan Pembagian Harta Warisan
dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, Volume 14 No. 2, Februari 2015, h. 175
50
kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak memiliki kelebihan dan
kelemahan yang perlu dilengkapi pihak lain dalam kerja sama yang setara.47
Sehubungan dengan pembagian waris lahirlah analisis gender yang
berusaha mendapatkan pembagian waris yang sama .antara laki-laki dan
perempuan. Menurut analisis ini pembagian waris 2:1 tidak adil,48
padahal
Islam dengan tegas dalam telah menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki
memiliki derajat yang sama yang membedakan hanyalah amalannya.49
Berdasarkan hal ini harusnya tidak ada lagi perbedaan antara laki-laki dan
perempuan selain dengan hal amalan kepada Allah SWT. Akan tetapi masih
terdapat perbedaan dalam hal waris, hal ini menyebabkan timbulnya
ketidakadilan gender.
Gender merupakan pandangan atau keyakinan yang dibentuk
masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki
bertingkah laku maupun berpikir. Gender adalah sesuatu yang sifatnya
melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial
maupun kultural, dan karenanya bisa berubah. Ketidakadilan gender adalah
ketidakadilan yang diperolah antara laki-laki dan perempuan yakni derajat
laki-laki dan perempuan dianggap tidak sama dimana terdapat diskriminasi
terhadap perempuan.50
47Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 3. 48Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, Relevansi Hukum Islam Bias Isu Gender,
Egalitarianisme, dan Pluranisme, dan HAM, (Jakarta:As-Sunah, 2005), h. 50. 49QS. Al- Hujarat/49: 13 50Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h .122.
51
BAB III
BIOGRAFI MAHMUD YUNUS
A. Latar Belakang Keluarga
Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899 M bertepatan
dengan 30 Ramadhan 1316 H, di desa Sungayang Batusangkar, Kabupaten Tanah
Datar Sumatera Barat dan ia wafat pada tanggal pada hari sabtu tanggal 16 Januari
1982 M bertepatan 20 Rabi’ul Awal 1402 H. Tanah kelahiran Mahmud Yunus
merupakan pusat ibu kota Kabupaten Tanah Datar dari Nagari Pagaruyung
sebagai pusat Kerajaan Minangkabau. Secara adat dan budaya, tanah kelahiran
beliau ini senantiasa memegang teguh nilai-nilai adat dan agamanya dalam
kehidupan sehari-hari. 1
Mahmud Yunus dilahirkan dari keluarga terkemuka di Nagari
Sungayang dan memiliki nuansa keagamaan yang kuat. Ayahnya adalah seorang
petani bernama Yunus bin Incek dari suku Mandailing dan ibunya bernama
Hafsah binti M Thahir dari suku Chaniago. Ayah Mahmud Yunus merupakan
alumni pelajar surau dan mempunyai ilmu keagamaan yang cukup memadai,
sehingga ia diangkat menjadi Imam Nagari. Jabatan tersebut pada waktu itu
diberikan secara adat oleh anak nagari kepada salah satu warganya yang pantas
untuk mendudukinya atas dasar ilmu agama yang dimiliki. Ibu Mahmud Yunus
1Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: Tokoh Mujaddid dari Minangkabau”,
Azimul Fahimi dii (eds), Prosiding Nadwah Ulama Nusantara (NUN) IV 2011: Ulama Pemacu
Transformasi Negara, (Selangor: Jabatan Syariah, Fakulti Pengkajian Islam, UKM, 2011), h. 135
52
adalah seorang yang buta huruf karena tidak pernah mengenyam pendidikan
sekolah, apalagi di desanya belum ada sekolah. Namun ia dibesarkan dalam
lingkungan yang islami. Ibu Hafsah bernama Doyan binti Muhammad Ali,
sedangkan kakek Hafsah bernama Syekh Muhammad Ali, bergelar Engku Kolok,
seorang ulama yang cukup popular di Sungayang pada masa itu. Dengan demikian
secara silsilah Mahmud Yunus boleh dikatakan adalah keturunan dari seorang
ulama di Sungayang. Sedangkan pekerjaan Hafsah adalah bertenun. Ia
mempunyai keahlian menenun kain yang dihiasi benang emas, yaitu kain
tradisional Minangkabau yang dipakai pada upacara-upacara adat.2
Sejak kecil, Mahmud Yunus sudah memperlihatkan minat dan
kecenderungannya yang kuat untuk memperdalam ilmu agama Islam. Melihat hal
itu, saudara lelaki Hafsah (ibu Mahmud Yunus) bernama Ibrahim dengan gelar
Dt. Sinaro Sati seorang saudagar kaya di Batusangkar pada masa itu sangat
memperhatikan bakat serta kecerdasan yang dimiliki oleh anak lelaki dari saudara
perempuannya, yakni Mahmud Yunus (di Minangkabau disebut dengan
kamanakan). Ibrahim yang mendorong Mahmud Yunus untuk melanjutkan
pendidikan dan belajar ke luar negeri dengan disertai sokongan perbelanjaan
untuk keperluan itu. Hal ini memberikan gambaran tanggung jawab seorang
saudara lelaki kepada ibu (di Minangkabau disebut dengan mamak) terhadap
kamanakan yang berlaku di Minangkabau pada masa itu dalam struktur
masyarakat yang menganut sistem matrilineal, seperti pepatah adat yang berbunyi:
2Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 136
53
Anak dipangku, kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan (anak
dipangku, kamanakan diarahkan, masyarakat persekitaran dipertimbangkan).
Suatu kelaziman yang berlaku sepenuhnya ketika itu bahawa tanggung jawab
mamak terhadap kamanakan bukanlah berasaskan atas ketidakmampuan dari ayah
kamanakan itu sendiri, akan tetapi lebih kerana tanggung jawab dan kuatnya
peranan seorang mamak di Minangkabau.3
Dukungan ekonomi dari sang mamak, juga disertai dorongan dari orang
tuanya, maka Mahmud Yunus sejak kecil hingga remaja hanya dilibatkan dengan
keharusan untuk belajar dengan baik tanpa harus ikut memikirkan ekonomi
keluarga dalam membantu orang tuanya mencari nafkah, meskipun Mahmud
Yunus adalah satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya, dan bersamanya
seorang adik perempuan bernama Hindun. Sedangkan ayahnya telah meninggal
dunia ketika Mahmud Yunus masih kecil dan belum mumayyiz.
Sedangkan dalam kehidupan rumah tangganya, Mahmud Yunus tercatat
pernah menikah dengan lima orang istri dan dikaruniai 18 orang anak yaitu:4
1. Istri pertamanya bernama Hj. Darisah binti Pangeran dari Payakumbuh dan
mempunyai satu orang anak laki-laki yang bernama Prof. Dr. H. Kamal
Mahmud, S.H, yang lahir tahun 1923.
3Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 136 4Biografi Mahmud Yunus: Ahli Tafsir Indonesia, http://www.rul-sq.info/2013/11/biografi-
mahmud-yunus-ahli-tafsir, di akses pada 20 Juli 2017.
54
2. Istri kedua bernama Hj. Djawahir yang juga berasal dari Payakumbuh dan
mempunyai lima orang anak yaitu: Hj. Djawanis, Hafni, H. Fachrudin, Drs. H.
Hamdi dan Elly.
3. Istri yang ketiga adalah Karminah dan mempunyai satu orang anak bernama
Amlas. Ketiga istri Mahmud Yunus tersebut dinikahinya sebelum berangkat
ke Mesir, maka pada waktu pergi belajar ke Mesir, Mahmud Yunus
menceraikan istri yang pertama yaitu Darisah binti Pangeran.
4. Istrinya yang keempat bernama Hj. Nurjani binti Jalil dari Padang dengan
anak-anaknya bernama Fachri Mahmud, S.H, Hj. Suraiya. Dr. Neszli
Harmaini, Hj. Sufna dan Ir. Fachran. Mahmud Yunus menikahi Hj. Nurjani
setelah kembali dari Mesir.
5. Sedangkan istri yang kelima adalah Hj. Darisah binti Ibrahim yang
mempunyai enam orang anak yaitu Sufni (yang meninggal ketika masih bayi),
Drs. H. Yunus Mahmud, Dr. H. Hamdi, Hj. Elina, Mahdiarti dan Chairi. Hj.
Darisah binti Ibrahim sendiri adalah anak dari mamak Mahmud Yunus sendiri
yaitu Ibrahim Dt. Sinaro Sati.
B. Pendidikan Mahmud Yunus
Sebagai putera yang berasal dari Ranah Minangkabau, Mahmud Yunus
hidup dan dibesarkan dalam masyarakat sekitar yang sentiasa memegang teguh
kultur dan nilai adat Minangkabau. Ketika usia beliau beranjak 7 tahun Mahmud
Yunus memulai pendidikan agamanya dengan belajar mengaji di surau, layaknya
55
lelaki Minang masa itu pada umumnya. Dari satu surau ke surau lainnya Mahmud
Yunus belajar mengaji dan ilmu dasar keislaman lainnya pada petang dan malam
harinya. Pada awalnya, beliau belajar dengan kakeknya sendiri, Muhammad
Thaher bin Muhammad Ali dengan gelar Engku Gadang. Kebetulan kakek beliau
itu memiliki surau, yang bernama Surau Talang. Di surau inilah ia tahu bagaimana
cara shalat, puasa dan membaca Al Qur’an dengan benar. Berkat ketekunannya
dalam waktu kurang dari satu tahun iapun dapat menamatkan Al Qur’an. Selepas
khatam al-Quran, ia dipercaya oleh datuknya menjadi guru pembantu untuk
mengajar anak-anak yang menjadi pelajar pada peringkat awal/rendah sambil
beliau mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab dengan kakeknya.5
Pada tahun 1908, dengan dibukanya sekolah desa oleh masyarakat
Sungayang, Mahmud Yunus pun tertarik untuk memasuki sekolah ini. Setelah
mendapat restu dari ibunya untuk belajar, iapun mengikuti pelajaran di sekolah
desa pada siang hari, tanpa meninggalkan tugas-tugasnya mengajar al-Qur’an
pada malam harinya. Rutinitas seperti ini dijalani oleh Mahmud Yunus dengan
tekun dan penuh prestasi, tahun pertama sekolah desa diselesaikannya hanya
dalam masa 4 bulan, karena ia memperoleh penghargaan untuk dinaikkan ke kelas
berikutnya. Di kelas tiga Mahmud Yunus menjadi siswa terbaik bahkan ia
dinaikkan ke kelas empat.6
5Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 136 6Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum
Teaching, 2005), h. 337
56
Pada 4 November 1910 Syekh Haji Muhammad Thaib Umar membuka
Madras School di Surau Tanjung Pauh Sungayang. Karena merasa bosan belajar
di di sekolah desa maka dengan restu ibunya Mahmud Yunus pindah ke Madras
School di bawah asuhan H.M. Thaib Umar yang dikenal sebagai salah seorang
ulama pembaharu Minangkabau. Di sekolah ini ia mempelajari ilmu Nahwu, ilmu
Sharaf, Berhitung dan Bahasa Arab.7
Dalam perkembangan selanjutnya, karena keinginan dan kemauan
belajar yang tinggi pada diri Mahmud Yunus, akhirnya pada tahun 1911 M,
Mahmud Yunus menarik diri dari surau kakeknya dan menggunakan waktu
sepenuhnya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab secara lebih
mendalam dengan Syekh Haji Muhammad Thaib Umar terutamanya ilmu fiqh.
Pada siang hari belajar di Madras Schoolselepas itu belajar ilmu fiqh, yaitu Kitab
Fath Al Qarib. Ketekunan Mahmud Yunus membuatnya menguasai ilmu-ilmu
agama dengan baik. Pada tahun 1913 M, Mahmud telah menjadi guru pembantu
yang telah telah mempunyai murid 5-6 orang. Mahmud Yunus bukan saja
mengajarkan kitab-kitab yang telah dipelajarinya, bahkan juga mengajarkan kitab-
kitab yang belum pernah dipelajarinya sama sekali. Sekalipun kitab-kitab yang
cukup berat untuk ukuran seusianya seperti: Al Mahalli, Alfiah Ibnu ‘Aqil dan
Jam’u Al Jawami’.8
7Khadher Ahmad, dkk, “Ketokohan Mahmud Yunus dalam Bidang Tafsir al-Qur’an: Kajian
Terhadap Kitab Tafsir Qur’an Karim”, dalam Proceeding: The 2nd Annual International Qur’anic
Conference 2012, (Kuala Lumpur: Centre of Qur’anic Research, 2012), h. 199 8Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 136
57
Di samping itu, sebagai salah seorang guru tua di surau itu, Mahmud
Yunus juga mulai belajar secara langsung dengan Tuan Syekh bersama-sama
guru-guru tua yang lain dalam satu halaqah. Menurutnya, mempelajari ilmu fiqih
secara keseluruhan merupakan suatu kemestian adanya. Bukan hanya secara
sebagian-sebagian saja. Oleh itu, setelah belajar suatu kitab fiqih dengan seorang
guru, maka mesti dikembangkan dengan belajar kepada kitab-kitab lainnya secara
mandiri atas dasar prinsip-prinsip yang telah diajarkan dan tuntunan guru
sebelumnya.9
Setelah memiliki pengalaman beberapa tahun belajar di Madras School,
pada tahun 1917 M Syekh H. Muhammad Thaib Umar jatuh sakit, maka Mahmud
Yunus secara langsung ditugasi untuk menggantikan gurunya mengajar dan
memimpin Madras School tersebut. Didikan langsung oleh Syekh H. Muhammad
Thaib Umar dan interaksi yang semakin rapat dengan jaringan ulama pembaharu
di Minangkabau semasa itu telah mendorong Mahmud Yunus untuk menimba
pengetahuan lebih jauh lagi.
Mahmud Yunus merasa belum puas terhadap wawasan dan keilmuan
yang didapatnya selama ini, bahkan hal ini menjadi motivasi tersendiri baginya
untuk lebih mendalami dan memperluas ilmu-ilmu keislamannya. Oleh karena itu,
setelah beliau berkesempatan menunaikan ibadah haji ke Makkah pada tahun
1923 M, beliau berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang
lebih tinggi di Negara Timur Tengah, yaitu Mesir pada tahun 1924. Setidaknya
9Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 137
58
ada dua alasan penting mengapa Mahmud Yunus hendak pergi belajar ke Timur
Tengah, khususnya Mesir, yaitu:10
1. Hendak menambah ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan umum yang
biasa diajarkan di sekolah-sekolah menengah umum. Karena guru beliau
menganjurkan supaya para pelajar madrasah/pesanteren/ma’had selain
mempelajari ilmu pengetahuan agama hendaklah mempelajari ilmu
pengetahuan umum. Terlebih salah seorang Mamaknya juga mengatakan:
“Akhir orang-orang dahulu adalah awal orang kemudian”. Maksudnya,
seseorang pada masa sekarang sepatutnya mempunyai nilai lebih
dibandingkan dengan orang-orang sebelumnya. Sehingga kalau ilmu-ilmu
orang yang kemudian sama saja dengan ilmu orang-orang dahulu, tentu negara
takkan maju. Oleh karena itu, ilmu orang yang kemudian mesti lebih tinggi
daripada ilmu orang-orang dahulu.
2. Hendak menyelidiki keadaan ulama-ulama di Mesir. Adakah di sana ulama
kaum muda dan ulama kaum tua seperti di Indonesia? Dan hendak
mempelajari dalil-dalil mereka masing-masing, mana yang lebih kuat.
Di Mesir, Mahmud Yunus kembali memperlihatkan prestasi yang
istimewa. Sehingga setelah satu tahun masa belajar, Mahmud Yunus mencoba
kemampuannya dengan masuk ujian akhir untuk menamatkan pendidikan di
Universitas Al Azhar dan mendapatkan Syahadah ‘Alimiyah sebagai ijazah
tertinggi di Universitas Al Azhar pada saat itu. Padahal ujian ini merupakan ujian
10Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 137
59
akhir bagi pelajar yang telah belajar sekurang-kurangnya 12 tahun (Ibtidaiyyah 4
tahun, Tsanawiyyah 4 tahun dan ‘Aliyah 4 tahun). Ada 12 cabang ilmu yang
diujikan dalam ujian akhir tersebut dan kesemuanya itu telah dikuasai Mahmud
Yunus pada waktu belajar di tanah air, sebagaimana dicatatkannya: “Kalau hanya
ilmu itu saja yang akan diuji, saya sanggup masuk ujian itu. Karena keduabelas
macam ilmu itu telah saya pelajari di Indonesia, bahkan telah saya ajarkan
beberapa tahun lamanya (1915-1923)”.11
Tetapi dia merasa belum cukup dengan apa yang telah diperoleh lantaran
peningkatan pengetahuan umumnya belum terpenuhi. Pada tahun 1925 Mahmud
Yunus berkeinginan melanjutkan studi ke madrasah Darul ‘Ulum yang memang
mengajarkan pengetahuan umum di samping pengetahuan agama. Mahmud
Yunus kemudian meneguhkan diri untuk mengikuti seluruh persyaratan yang
diminta dan terbukti mampu memenuhinya. Dia dimasukkan di kelas bagian
malam (qiyam lail). Pada saat itu, semua mahasiswa di Darul ‘Ulum
berkebangsaan Mesir, dan Mahmud Yunus adalah orang Indonesia pertama yang
masuk di sana.12
Mahmud Yunus memilih jurusan Tadris (Keguruan). Perkuliahan di
Darul ‘Ulum mulai dari tingkat I sampai tingkat IV dan semua tingkat itu
dilaluinya dengan baik, Bahkan pada tingkat terakhir, dia memperoleh nilai
11Tokoh Pendidikan Islam: Prof. Dr. Mahmud Yunus, http://www.irhash.com/2008/12/prof-
dr-h-mahmud-yunus-dan-perkembangan, diakses pada 20 Juli 2017. 12M. Amursid dan Amaruddin Asra,”Studi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Mahmud
Yunus”, Jurnal Syahadah, Vol. III, No. 2, Oktober 2015, h. 4
60
tertinggi pada mata kuliah insya` (mengarang). Pada waktu ini Mahmud adalah
satu-satunya mahasiswa yang pertama dari Indonesia dan mahasiswa asing yang
berhasil menyelesaikan hingga ke tingkat IV di Darul ‘Ulum. Setelah menjalani
masa pendidikan dan menimba berbagai pengalaman di Mesir, ia pun kembali ke
tanah air pada Oktober tahun 1930 M.13
.
C. Gerakan Pembaharuan Mahmud Yunus
Mahmud Yunus adalah salah seorang ulama yang menjadi tokoh
pembaharuan di Indonesia. Hal ini didorong oleh semangat untuk maju serta
melakukan pembaharuan di berbagai aspeknya dalam rangka kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia pada masa itu amatlah tinggi dan mengalir
dengan cukup deras. Terlebih lagi ketika itu bangsa Indonesia sedang dijajah oleh
Belanda dan Jepang. Bahkan setelah merdeka, Indonesia dalam situasi dan kondisi
yang relatif belum aman dari tekanan dan gangguan penjajah. Begitu juga, pada
masa selanjutnya dalam mengisi kemerdekaan, secara bertahap upaya-upaya
pembaruan telah dilakukan oleh Mahmud Yunus dalam rangka memajukan
bangsa dan negara Indonesia.
Mahmud Yunus mulai terlibat di gerakan pembaruan saat berlangsung
rapat besar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang Panjang. Dia diminta untuk
mewakili gurunya. Pertemuan itu secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi pola pemikiran pembaharuannya, terutama berkat pandangan-
13Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 138
61
pandangan yang dikemukakan sejumlah tokoh pembaru seperti Abdullah Ahmad
serta Abdul Karim Amrullah.14
Gerakan dan pembaharuan Mahmud Yunus dapat diklasifikasikan ke
dalam beberapa bidang, yaitu:
1. Bidang Pendidikan
Pendidikan, bisa dikatakan, merupakan bidang yang digeluti Mahmud
Yunus sepanjang hidupnya. Betapa tidak, profesinya sebagai guru atau
pendidik telah digeluti semenjak dia menjadi pelajar di surau Tanjuh Pauh.
Kemampuannya sebagai guru semakin menonjol sekembalinya dari Mesir ke
Tanah Air. Secara terus menerus Mahmud Yunus mengajar dan memimpin
berbagai lembaga pendidikan, yaitu:
a. Al Jami‟ah al Islamiyah Batusangkar pada tahun1931 – 1932
b. Kuliyah Muallimin Islamiyah Normal Islam Padang pada tahun 1932 –
1946
c. Akademi Pamong Praja di Bukittinggi pada tahun 1948 – 1949
d. Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta pada tahun 1957 –1980
e. Menjadi Dekan dan Guru Besar pada fakultas Tarbiyah IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 1960 – 1963
f. Rektor IAIN Imam Bonjol Padang pada tahun 1966 – 1971.15
Atas jasa-jasanya di bidang pendidikan ini, maka pada tanggal 15
Oktober 1977, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menganugerahi Mahmud
Yunus Doctor Honoris Causa dalam ilmu tarbiyah.
14M. Amursid dan Amaruddin Asra,”Studi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim…, h. 4 15Asnawan, “Kontribusi Pemikiran Mahmud Yunus dalam Pemabaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia”, Jurnal Falasifa, Vol. 2 No. 1 Maret 2011, h. 20
62
Di samping berjasa mendirikan, memimpin, dan mengajar di lembaga-
lembaga-lembaga pendidikan diatas, Mahmud Yunus dikenal pula sebagai
pendiri organisasi Sumatra Thawalib dan penerbit majalah Islam al Basyir
(1920); turut mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI); sebagai
anggota Minangkabau Raad (1938 – 1942) dalam hal ini ia berhasil
memasukkan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah pemerintah; sebagai
Anggota Komite Nasional Sumatra Barat (1945 – 1946) dan sekaligus menjadi
anggota Pemeriksa Anggota pada jawatan Pengajaran Agama Sumatra Barat.
Selain itu, ia juga sebagai kepala Bagian Islam pada jawatan agama propinsi
Sumatra di Pemantang Siantar pada tahun 1946 – 1949, ia juga ikut
mendirikan Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang kemudian menjadi MIT
Sumatra pada tahun 1946; sebagai inspektur Agama pada jawatan P & K
propinsi Sumatra yang berkedudukan di Bukit Tinggi pada tahun 1947 dan
kemudian pernah pula dipercaya sebagai sekretaris menteri Agama PDRI pada
tahun 1949.16
Selain pembaharuan di bidang pendidikan yang bersifat kelembagaan,
Mahmud Yunus adalah tokoh pembaharu pendidikan Islam yang pertama kali
memelopori adanya kurikulum yang bersifat integrated, yaitu kurikulum yang
memadukan ilmu agama dan ilmu umum di lembaga pendidikan Islam. Dialah
yang pertama kali memasukkan mata pelajaran umum ke dalam madrasah, ia
pula yang pertama kali membuat laboratorium fisika.. Mahmud Yunus juga
16Asnawan, “Kontribusi Pemikiran Mahmud Yunus dalam Pemabaharuan…, h. 21
63
orang yang pertama kali berusaha memasukkan pendidikan agama pada
kurikulum pendidikan umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan
Nasional. Dialah tokoh yang menekankan pentingnya akhlak yang mulia
melalui lembaga pendidikan.17
Mahmud Yunus adalah peletak dasar pengajaran dalam bahasa Arab.
Ia lebih menekankan pengajaran bahasa Arab karena bahasa ini adalah pintu
masuk untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman, seperti al-Qur’an, hadits, dan
kitab-kitab fiqih. Ia merombak pemikiran lama yang lebih menekankan pada
pendalaman kitab-kitab fiqih dengan dituntun oleh guru dari pada memberi
ilmu alat dan selanjutnya para murid akan melaksanakannya. Mahmud Yunus
bukan hanya mengajarkan tentang kebahasaannya, tapi juga bagaimana cara
mudah dan cepat untuk bisa menguasai bahasa Arab.18
Gagasan ini diperoleh
dari pengalamannya selama menempuh pendidikan di Darul Ulum, di mana
bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Arab, serta kenyataan yang
dihadapi bahwa bahasa pengantar di sekolah-sekolah Belanda menggunakan
bahasa Belanda dan siswa diajak aktif dalam menggunakan bahasa tersebut.
Mahmud Yunus mempunyai perhatian dan komitmen yang tinggi
terhadap upaya membangun, meningkatkan dan pengembangan pendidikan
agama Islam sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang
17Abuddin Natta, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada, 2005), h. 56. 18Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006), h. 87
64
diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama
Islam. Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara
keseluruhan bersifat strategis dan merupakan perintis, dalam arti belum pernah
dilakukan oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam sebelumnya.
2. Bidang Sosial Politik
Dalam bidang sosial politik, Mahmud Yunus merupakan anggota
Syarikat Islam (SI) Cabang Minangkabau. Dia belajar untuk menjadi kritis,
khususnya dalam merespon secara bijak terhadap berbagai regulasi yang
dikeluarkan pemerintahan kolonial dan dianggap merugikan masyarakat
Minangkabau. Mahmud Yunus memilih untuk mengemukakan ide-idenya
melalui tulisan di media massa yang diterbitkan di Minangkabau, yang
mengkaji masalah dan keterbelakangan yang dihadapi oleh masyarakat dan
dan berusaha untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang faktor-faktor
utama yang menjadi penyebabnya.19
Ketokoham Mahmud Yunus juga diakui sebagai seorang pemimpin
dan ahli politik yang dinamis. Beliau turut serta dalam memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tahun 1943 beliau
telah dipilih sebagai Penasihat Residen dan mewakili Majlis Islam Tinggi.
19Yeti Rochwulaningsih, “Mahmud Yunus” Islamic Religious Intruction in The Public
School”, Rosnani Hashim (ed), Reclaiming The Conversation Islamic Intellectual Tradition in The
Malay Archipelago, (Kuala Lumpur: The Other Press, 2010), h. 174
65
Pada tahun yang sama juga beliau menjadi anggota Chu Sangi Kai juga
sebagai Penasihat Residen.20
Setelah Indonesia merdeka Mahmud Yunus pernah dipercaya menjalan
tugas kenegaraan, antara lain: 1) Sebagai Anggota Pengurus Komite Nasional
Sumatera Barat; 2) Anggota Komite Nasional Sumatera: 3) Ketua Mahkamah
Syar’iyyah Propinsi Sumatera; 4) Sekretaris Menteri Agama Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI); dan 5) Pimpinan di berbagai jabatan yang
strategis pada Kementerian Agama.21
3. Bidang Tafsir
Pembaruan yang dilakukan Mahmud Yunus dalam bidang tafsir
sangatlah jelas dengan adanya karya monumnetal beliau Tafsir Qur’an Karim
yang merupakan hasil pengkajian selama kurang lebih 53 tahun, yaitu sejak
berusia 20 tahun hingga 73 tahun. Dalam rentang waktu yang cukup lama ini,
reaksi keras dan protes terus bermunculan, baik dari kalangan umat Islam
secara umum maupun dari kalangan ulama terkemuka sekalipun. Hal ini
disebabkan kegiatan penfsiran ketika itu dianggap sebagai perbuatan langka
yang diharamkan. Ada dua ulama besar yang masing-masing dari Yogyakarta
dan Jatinegara yang pernah melakukan protes tertulis agar apa yang
diupayakan Mahmud Yunus dihentikan.22
20Khadher Ahmad, dkk, “Ketokohan Mahmud Yunus…, h. 200 21Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 139 22M. Amursid dan Amaruddin Asra,”Studi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim…, h. 7
66
Penulisan Tafsir Qur’an Karim dimulai pada tahun 1922 dan berhasil
diterbitkan untuk juz pertama, kedua dan ketiga. Pada tahun 1924, Usaha
penulisan untuk sementara waktu berhenti karena penulisnya memutuskan
melanjutkan pendidikan ke al-Azhar, Mesir. Setelah Mahmud Yunus telah
menempuh pendidikan di al-Azhar dan Darr al-Ulum, ia pulang ke Indonesia
dan kembali melanjutkan usahanya untuk menafsirkan al-Quran. Kegiatan
penafsiran tersebut diterbitkan 1 juz tiap 2 bulan. Adapun dalam
menerjemahkan juz 7 sampai juz 18 dibantu oleh AlMarhum H.M.K. Bakry.
Pada bulan april 1938 tammatlah 30 juz.23
4. Bidang Hukum Islam/Fiqih
Ketokohan Mahmud Yunus dalam bidang hukum Islam atau Fiqih
nampak jelas dari berbagai karyanya di bidang tersebut yang hingga kini
menjadi rujukan di berbagai madrasah, pondok pesantren, dan bahkan di
perguruan tinggi. Kelebihan sebagai seorang yang menguasai hukum
Islam/fiqih, Mahmud Yunus berkesempatan menghadiri Sidang Majlis A’la
Istishariyy Al-Jami’ah Al-Islamiyyah di Madinah pada bulan April 1962 atas
undangan Raja Sa’ud yang diterimanya melalui Kedutaan Besar Arab Saudi di
Jakarta. Beliau aktif mengikuti Mu’tamar Majma’ Buhuts al-Islamiyyah di
Universiti Al-Azhar yang berlangsung di Mesir sebanyak empat kali berturut-
turut yaitu pada tahun 1964, 1965, 1966 dan 1967. Dalam Muktamar tahun
23M. Amursid dan Amaruddin Asra,”Studi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim…, h. 7
67
1967, Mahmud Yunus menyajikan makalah yang berjudul Al-Israiliyyat fi al-
Tafsir wa al-Hadith yang mendapat sambutan dan perhatian dari peserta.24
Pada tahun 1969 M, Mahmud Yunus kembali diundang untuk
menghadiri Majlis A’la Istishariyy Al-Jami’ah Al-Islamiyyah di Madinah
Munawwarah. Kegiatan Mahmud Yunus di pertemuan internasional itu telah
menjadikannya semakin menonjol sebagai salah seorang tokoh Islam yang
popular di Indonesia karena didukung oleh pengalaman-pengalaman
internasional yang diperolehinya dari kegiatan-kegiatan tersebut.
D. Karya Tulis Mahmud Yunus
Mahmud Yunus di masa hidupnya dikenal sebagai seorang penulis yang
produktif. Aktifitasnya dalam melahirkan karya tulis tak kalah penting dari
aktivitasnya dalam lapangan pendidikan. Popularitas Mahmud Yunus lebih
banyak di kenal lewat karangan-karangan, karena buku-bukunya tersebar di setiap
jenjang pendidikan khususnya di Indonesia.
Buku-buku Mahmud Yunus menjangkau hampir setiap tingkat
kecerdasan. Karangan-karangannya bervariasi mulai dari buku-buku untuk
konsumsi anak-anak dan masayarakat awam dengan bahasa yang ringan, hingga
merupakan literature pada perguruan tinggi. Pada perjalanan hidupnya, ia telah
mengahasilkan buku-buku karangannya sebanyak 82 buku. Dari jumlah itu
24Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 140
68
Mahmud Yunus membahas berbagai bidang ilmu, yang sebagian besar dalah
bidang-bidang ilmu agama Islam.
Berikut ini di antara buku-buku karya Mahmud Yunus:25
a. Bidang Pendidikan Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Pendidikan di Negara negara Islam dan Intisari
Pendidikan Barat, Pengetahuan Umum dan Ilmu Mendidik: Methodik Khusus
Pendidikan Agama, Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia; Pokok-
pokok Pendidikan dan Pengajaran, dan Al-Tarbiyah wal Ta’lim (Pendidikan
dan Pengajaran).
b. Bidang Bahasa Arab
Pelajaran Bahasa Arab I - IV, Methodik Khusus Bahasa Arab, Kamus Arab
Indonesia, Muthala’ah wa Mahfuzhath, Darus Al-Lughat al-’Arabiyah I-III,
Muhadatsat Al-Arabiyah, dan Al-Mukhtarat Lil Muthala’ah wal Mahfuzhat.
3. Bidang Fiqh (Hukum Islam)
Marilah Sembahyang I – II, Puasa dan Zakat, Haji ke Mekkah, Hukum
Warisan dalam Islam, Hukum Perkawinan dalam Islam 4 Mazhab, Pelajaran
Sembahyang untuk Orang Dewasa, Soal jawab Hukum Islam, Al-Fiqh Al-
Wadhih I – III, Mabadi’ al- Fiqh Al-Tsanawiy, Tarikh Al-Fiqh Al-Islamiy, dan
Al-Masail Al-Fiqhiyah ’ala MadzahibAl-Arab’ah.
25M. Amursid dan Amaruddin Asra,”Studi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim…, h. 8-10
69
4. Bidang Tafsir
Tafsir Al-Qur’an Karim 30 Juz, Tafsir Al-Fatihah, Tafsir Ayat Akhlak, Juz
’Amma dan Terjemahnya, Tafsir Al-Qur’an Juz 1 - 10, Tafsir Al-Qur’an Juz
11 – 20, Tafsir Al-Qur’an Juz 21 – 30, Pelajaran Huruf Al-Qur’an I-II,
Kesimpulan Isi Al-Qur’an, Alif Ba Ta wa Juz ’Amma, Muhadharat Al-
Israiliyat fi Tafsir wal Hadits, Kamus Al-Qur’an Idan II, serta Surat Yasin dan
Terjemahannya.
5. Bidang Akhlak
Keimanan dan Akhlak I – IV, Beriman dan Berbudi Pekerti, Lagu-lagu Baru
Pendidikan Agama/Akhlak, Akhlak Bahasa Indonesia, Moral Pembangunan
dalam Islam, dan Akhlak.
6. Bidang Sejarah Islam
Sejarah Islam di Minangkabau tahun 1971 dan Tarikh Al-Islam.
7. Bidang Perbandingan Agama
Ilmu Perbandingan Agama dan Al-Adyan.
8. Bidang Dakwah
Pedoman Dakwah Islamiyah.
9. Bidang Ushul Fiqh
Mudzakarat Ushul Al-Fiqh
10. Bidang Tauhid
Durus Al-Tauhid
70
11. Bidang Ilmu Jiwa
Buku Tentang Doa, Doa-doa Rasulullah, dan Ilmu An-Nafs.
12. Buku tentang Pemikiran
Mari Kembali ke Al-Qur’an dan Al-Syuhur Al-Arabiyah fil Bilad Al-Islamiyah.
13. Buku tentang Kisah
Beberapa Kisah Nabi dan Khalifahny, serta Khulashah Tarikh Hayat Al-
Ustadz Mahmud Yunus.
14. Buku tentang Pelajaran Agama
Pemimpin Pelajaran Agama I - III
E. Akhir Hayat
Pada awal tahun 1970 kesehatan Mahmud Yunus mula menurun dan
beliau kali berulang kali ke rumah sakit untuk berobat. Namun beliau masih
bertahan dan berkhidmat untuk masyarakat dan ilmu pengetahuan sehingga pada
16 Januari 1982 bertepatan dengan 20 Rabiul Awal 1402, beliau menghembuskan
nafas yang terakhir dalam usia 83 tahun di kediaman beliau, Kelurahan Kebon
Kosong Jakarta Pusat. Sehari kemudian beliau dikebumikan di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta..26
26Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, h. 337
71
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Hukum Waris Islam Mahmud Yunus
Konsep waris Islam Mahmud Yunus tertuang dalam karya-karyanya
dalam bidang fiqih, terutama dalam buku “Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam
Islam” yang menguraikan secara detil ketentuan-ketentuan hukum waris dalam
Islam disertai dengan berbagai dalil, hikmah, dan falsafahnya. Dalam buku
tersebut Mahmud Yunus juga memberikan contoh-contoh bagaimana cara
membagi harta waris sebagaimana mestinya serta mengangkat berbagai perbedaan
pendapat ulama di dalam pembagian waris.
Berikut ini konsep hukum waris dalam Islam yang ditawarkan Mahmud
Yunus dalam karyanya di atas, dengan penguraian sesuai dengan bab-bab
pembahasan yang disajikan di dalamnya.
1. Hal yang wajib diselenggarakan pada saat seorang muslim wafat
Ada 3 (tiga) hasl yang harus dilakukan ketika seorang muslim wafat,
yaitu:
a. Penyelenggaraan jenzahnya menurut hukum Islam. Adapun biaya
penyelenggaraan jenazah tersebut dapat dibebankan atas harta warisan
yang ditinggalkan.
b. Pelunasan semua hutang.
72
c. Pelaksanaan wasiat yang telah diputuskan mayit. Dalam hal ini wasiat
tidak bisa dilaksanakan jika penerima harta yang diwasiatkan jatuh pada
ahli waris. Akan tetapi jika harta waris yang wasiatkan tersebut
diperuntukkan untuk amal jariyah atau kepentingan-kepentingan sosial
lain sesuai tradisi masyarakat, maka harus dilaksanakan, dengan syarat
harta yang diwasiatkan tidak melebih 1/3 dari seluruh jumlah harta waris.
Jika melebihi 1/3 dari jumlah harta waris maka wasiat itu dapat dibatalkan
atau gugur.1
Setelah ketiga hal diatas ditunaikan maka harta waris dapat dibagikan
sesuai ketentuan hukum Islam. Adapun harta waris yang wajib dibagikan
kepada ahli waris adalah harta waris yang sepenuhnya miliki mayit diperoleh
melalui uasha, hasil jerih payah bekerja, hasil hibah, sedekah dan lain
sebagainya. Sedangkan harta warisan seperti harta pusaka dalam adat
Minangkabau tidak dapat dimasukkan sebagai harta warisan, karena harta
pusaka seperti itu bukan miliki perorangan dan tidak bisa, dihibahkan, dijual
atau digadaikan kecuali atas seizin semua ahli waris.2
2. Ahli waris atau orang yang berhak mernerima harta waris
Ada 3 (tig) sebab seseorang itu menjadi ahli waris, yaitu:
a. Karena pertalian darah atau kekerabatan baik pertalian lurus ke atas seperti
ayah, kakek, dan seterusnya atau lurus kebawah seperti anak, cucu dan
1Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, (Jakarta: C.V. Al-Hidayah,
1974), h. 5 2Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 6
73
seterusnya, ataupun pertalian ke samping seperti saudara, paman, dan
sebagainya.
b. Karena pertalian pernikahan seperti suami dan istri.
c. Wala’ (pemerdekaan) yaitu seseorang yang memerdekan budak
mendapatkan hak waris dari budak yang dimerdekakannya.
Orang-orang yang berhak menerima harta waris dalam ketentuan
hukum Islam adalah:3
a. Suami dan istri, yaitu jika suami meninggal dunia maka istri mendapat
harta warisan, demikian juga jika istri meninggal dunia maka suami
mendapatkan harta warisan.
b. Ibu dan bapak jika anaknya meninggal dunia.
c. Anak laki-laki ataupun perempuan jika ibu atau bapaknya meninggal
dunia. Mereka ini selalu menerima harta warisan dan tidak terhalang hak
mereka dengan keberadaan siapapun.
d. Kakek dan nenek (ayah dari ayah, ibu dari ayah, dan ibu dari ibu)
mendapatkan harta warisan jika ayah atau ibu tidak ada, jika ayah atau ibu
masih hidup maka mereka tidak mendapatkannya.
e. Cucu (anak laki-laki dari anak laki-laki atau anak perempuan dari anak
laki-laki) mendapatkan harta warisan jika tidak ada anak laki-laki, tapi jika
anak laki-laki masih hidup maka mereka tidak mendapatkannya.
3Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 9-10
74
f. Saudara kandung (seayah-seibu), laki-laki atau perempuan, mendapatkan
harta warisan jika anak laki-laki, cucu laki-laki, atau bapak tidak ada, tapi
jika mereka masih hidup maka saudara sekandung tidak mendapat harta
warisan.
g. Saudara seayah, laki-laki ataupun perempuan, mendapatkan harta warisan
jika anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, atau saudara kandung laki-laki
tidak ada.
h. Saudara seibu, laki-laki atau perempunam, mendapatkan harta warisan jika
tidak ada anak (laki-laki atau perempuan), cucu, ayah, atau kakek/nenek.
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung mendapatkan harta warisan
jika anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, dan saudara kandung atau
seayah tidak ada. Jika salah satu dari mereka ada yang masih hidup maka
tidak mendapat harta warisan.
j. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah mendapatkan harta warisan
jika anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung atau
seayah, dan anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki tidak ada. Jika
salah satu dari mereka ada yang masih hidup maka tidak mendapat harta
warisan.
k. Paman kandung mendapatkan harta warisan jika anak laki-laki, cucu laki-
laki, ayah, kakek, saudara kandung atau seayah, dan anak laki-laki dari
saudara kandung laki-laki atau seayah laki-laki tidak ada. Jika salah satu
dari mereka ada yang masih hidup maka tidak mendapat harta warisan.
75
l. Paman seayah mendapatkan harta warisan jika anak laki-laki, cucu laki-
laki, ayah, kakek, saudara kandung atau seayah, anak laki-laki dari saudara
kandung laki-laki atau seayah laki-laki, dan paman kadung tidak ada. Jika
salah satu dari mereka ada yang masih hidup maka tidak mendapat harta
warisan.
m. Anak laki-laki paman kandung mendapatkan harta warisan jika anak laki-
laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung atau seayah, anak laki-
laki dari saudara kandung laki-laki atau seayah laki-laki, dan paman
kadung atau seayah tidak ada. Jika salah satu dari mereka ada yang masih
hidup maka tidak mendapat harta warisan.
n. Anak laki-laki paman seayah mendapatkan harta warisan jika anak laki-
laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung atau seayah, anak laki-
laki dari saudara kandung laki-laki atau seayah laki-laki, paman kadung
atau seayah, dan anak laki-kali paman kandung tidak ada. Jika salah satu
dari mereka ada yang masih hidup maka tidak mendapat harta warisan.
o. Mu’tiq yaitu orang yang memerdekan budak, baik laki-laki atau perempun
mendapatkan harta warisan dari budak yang dimerdekakan jika anak laki-
laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung atau seayah, anak laki-
laki dari saudara kandung laki-laki atau seayah laki-laki, paman kadung
atau seayah, dan anak laki-kali paman kandung atau seayah tidak ada. Jika
salah satu dari mereka ada yang masih hidup maka tidak mendapat harta
warisan.
76
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ahli waris laki-laki ada 15
(lima belas), yaitu: 1) Anak laki-laki; 2) Cucu laki-laki dan seterusnya ke
bawah; 3) Ayah; 4) Kakek dan seterusnya ke atas; 5) Saudara kadung; 6)
Saudara seayah; 7) Saudara seibu; 8) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung;
9) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah; 10) Paman kandung; 11)
Paman seayah; 12) Anak laki-laki paman kandung; 13) Anak laki-laki paman
seayah; 14) Suami; dan 15) Mu’tiq.
Sedangkan ahli waris perempuan ada 10 (sepuluh) yaitu: 1) Anak
perempuan; 2) Cucu perempuan dan seterusnya ke bawah; 3) Ibu; 4) Nenek
dari ibu; 5) Nenek dari ayah; 6) Saudara kandung perempuan; 7) Saudara
perempuan seayah; 8) Saudara perempuan seibu; 9) Istri; dan 10) Mu’tiqah.
3. Orang yang terhalang mernerima harta waris
Orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan terdekat dengan
mayit tidak terhalang untuk mendapatkan harta warisan, yaitu anak, ayah, ibu,
suami, dan istri. Bahkan keberadaan mereka menjadi penghalang bagi orang-
orang yang memiliki kekerabatan yang jauh dengan mayit. Dengan kata lain
bahwa orang-orang yang memiliki kekerabatan jauh dengan mayit tidak
memperoleh harta warisan jika kerabat terdekat dengan mayit masih hidup.
Berikut orang-orang yang terhalang untuk memperoleh harta warisan:4
a. Kakek dari ayah terhalang memperoleh harta warisan jika ayah masih
hidup.
4Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 11-12
77
b. Nenek dari ibu terhalang memperoleh harta warisan jika ibu masih hidup.
c. Nenek dari ayah terhalang memperoleh harta warisan jika ayah atau ibu
masih hidup.
d. Cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki terhalang memperoleh
harta warisan anak laki-laki masih hidup.
e. Saudara kandung laki-laki terhalang memperoleh harta warisan jika anak
laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau ayah masih hidup.
f. Saudara kandung perempuan terhalang memperoleh harta warisan jika
anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau ayah masih hidup.
g. Saudara laki-laki atau perempunam seayah, terhalang memperoleh harta
warisan jika anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, saudara
kandung laki-laki, saudara kandung perempuan, amak perempuan, atau
cucu perempuan masih hidup.
h. Saudara laki-laki atau perempunam seibu, terhalang memperoleh harta
warisan jika anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki atau perempuan,
ayah, atau kakek masih hidup.
i. Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki terhalang memperoleh harta
warisan jika anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung
laki-laki, atau saudara laki-laki seayah masih hidup.
j. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah terhalang memperoleh harta
warisan jika anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung
78
laki-laki, saudara laki-laki seayah, atau anak laki-laki dari saudara kandung
laki-laki masih hidup.
k. Paman kandung terhalang memperoleh harta warisan jika anak laki-laki,
cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki
seayah, atau anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau seayah
masih hidup.
l. Paman seayah terhalang memperoleh harta warisan jika anak laki-laki,
cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki
seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau seayah, atau
paman kandung masih hidup.
m. Anak laki-laki paman kandung terhalang memperoleh harta warisan jika
anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung laki-laki,
saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau
seayah, atau paman kandung atau seayah masih hidup.
n. Anak laki-laki paman seayah terhalang memperoleh harta warisan jika
anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara kandung laki-laki,
saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau
seayah, atau paman kandung atau seayah masih hidup.
o. Cucu perempuan dari anak laki-laki terhalang memperoleh harta warisan
oleh anak laki-laki, juga jika ada dua orang anak perempuan, jika cucu
perempuan tidak bersaudara laki-laki yang akan menjadikannya ashabah.
79
4. Ashabah (bagian yang tidak ditentukan)
Di antara ahli waris ada yang ditentukan bagian yang diperolehnya dari
harta warisan. Bagian yang telah ditentukan tersebut disebut faridhah. Di
antara ahli waris ada yang tidak ditentukan bagian yang diterimanya dari harta
waris, bahkan mereka mendapat seberapa siswa harta warisan setelah
dibagikan kepada ahli waris yang ditentukan bagiannya, dan jika tidak ada ahli
waris lain selain dirinya maka ia menerima semua harta warisan yang
ditinggalkan mayit. Bagian yang diterima ahli waris tanpa melalui penentuan
yang telah ditetapkan dalam hukum waris Islam disebut ashabah.
Di antara ahli waris tersebut ada yang menjadi ashabah bagi
saudaranya yang perempuan dengan ketentuan pembagian hak laki-laki dua
kali dari hak perempuan, yaitu:
a. Anak laki-laki menjadi ashabah bagi saudaranya yang perempuan.
b. Cucu laki-laki menjadi ashabah bagi saudaranya yang perempuan.
c. Saudara kandung laki-laki menjadi ashabah bagi saudaranya yang
perempuan.
d. Saudara laki-laki seayah menjadi ashabah bagi saudaranya yang
perempuan.
Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah apabila dia mewaris
bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan. Saudara perempuan
seayah ashabah apabila dia mewaris bersama dengan anak perempuan atau
cucu perempuan.
80
Adapun yang menjadi ashabah bukan karena tertarik oleh ahli waris
yang lain atau bersamaan dengan ahli waris yang lain, tetapi asalnya memang
sudah menjadi ashabah adalah: anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak llaki-
laki dan terus kebawah, ayah, kakek dari pihak ayah dan terus keatas, saudara
laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki
sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman yang sekandung dengan
ayah, paman yang seayah dengan ayah, anak laki-laki paman yang sekandung
dengan ayah, dan anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.
Jika tidak ada ashabah sama sekali, maka harta warisan diserahkan
kepada kas negara (bait al-maal). Akan tetapi menurut pendapat sebagian
ulama harta warisan tersebut diberikan kepada zawil arham yaitu kerabat
mayit yang jauh dan bukan ahli waris, seperti kemenakan (anak dari saudara
perempuan, dan sebagainya), dan jika tidak ada barulah diserahkan ke kas
negara (bait al-maal). 5
5. Bagian yang diterima ahli waris
Begitu bagian yang diterima ahli waris:6
a. Anak kandung
1) Anak laki-laki memperoleh semua harta warisan jika tidak ada ahli
waris lain selain dirinya.
5Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 13-14 6Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 14-23
81
2) Anak laki-laki dan anak perempuan, untuk anak laki-laki dua bagian
dari anak perempuan.
3) Satu orang anak perempuan mendapat ½ bagian dari harta waris. Dua
orang anak perempuan atau lebih mendapat 2/3 jika tidak ada anak laki-
laki yang menjadikannya ashabah.
b. Cucu
1) Cucu laki-laki mendapatkan bagian harta warisan seperti anak kandung
jika anak kandung telah wafat, dan seterusnya ke bawah.
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki
Mendapat ½ bagian apabila hanya seorang dan tidak ada anak,serta
tidak ada ahli waris lain yang menariknya menjadi ashabah.
Mendapat 2/3 bagian apabila berjumlah dua orang atau lebih dan
tidak ada anak, serta tidak ada ahli waris lain yang menariknya
menjadi ashabah
Mendapat 1/6 bagian apabila mewaris bersama dengan seorang
anak perempuan,yakni untuk menggenapi bagian 2/3 bagian
Tertarik menjadi ashabah oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki
Terhalang oleh anak laki-laki,atau dua anak perempuan atau lebih
c. Suami dan istri
Suami mendapat ¼ bagian apabila bersama-sama anak atau cucu dari
anak laki-laki
82
Suami mendapat ½ bagian apabila tidak ada anak/cucu dari anak laki-
laki
Istri mendapat 1/8 bagian apabila bersama-sama dengan anak atau cucu
dari anak laki-laki
Istri mendapat ¼ bagian apabila tidak ada anak atau cucu dari anak
laki-laki
d. Ibu dan ayah
Ibu nendapat bagian 1/6 apabila bersama-sama dengan anak atau cucu
dari anak laki-laki,atau bersama dengan dua orang saudara atau
lebih,baik saudara kandung,seayah,atau seibu
Ibu mendapat 1/3 bagian apabila tidak ada anak,atau cucu dai anak
laki-laki,atau tidak dua orang saudara atau lebih.
Ibu mendapat 1/3 sisa apabila bersama-sama dengan ayah beserta
suami atau istri.
Ayah mendapat bagian 1/6 apabila bersama-sama dengan anak laki-laki
atau cucu laki- laki dari anak laki-laki
Ayah mendapat bagian 1/6 dan ashabah apabila bersama-sama dengan
anak peempuan atau cucu perempuan dan anak laki-laki
Ayah menjadi ashabah apabila tidak ada anak atau cucu dari anak laki-
laki
83
e. Saudara kandung atau seayah
Saudara kandung laki-laki menjadi ashabah jika tidak ada anak laki-
laki, cucu laki-laki, ayah, dan kakek
Saudara laki-laki dan perempuan menjadi ashabah dengan pembagian
laki-laki mendapat 2 bagian dari perempuan.
Saudara perempuan kandung mendapat ½ bagian apabila hanya
seorang,tidak ada anak,cucu dan ayah,serta tidak ada ahli waris yng
menariknya menjadi ashabah.
Saudara perempuan kandung mendapat 2/3 bagian apabila dua orang
atau lebih,tidak ada anak,cucu dan ayah,serta tidak ada ahli waris yang
menariknya menjadi ashabah
Saudara perempuan seayah mendapat ½ bagian,apabila hanya seorang,
tidak ada anak, cucu, saudara kandung, ayah,sera tidak ada yang
menariknya menadi ashabah
Saudara perempuan seayah mendapat 2/3 bagian apabila dua orang
atau lebih dengan syarat sebagaimana diatas
f. Saudara seibu
Saudara seibu laki-laki atau perempuan mendapat 1/6 bagian apabila hanya
seorang dan 2/3 jika dua orang atau lebih dengan bagian yang sama
banyak.
84
g. Kakek dan nenek
Bagian kakek sama dengan bagian ayah jika ayah telah meninggal.
Mendapat 1/6 apabila tidak ada ayah (jika nenek dari pihak ayah) dan
tidak ada ibu (jika nenek dari pihak ibu).
6. Pengahalang menerima harta warisan
Hal-hal yang menghalangi seseorang untuk menerima harta warisan
adalah:
a. Karena berbeda agama antara mayit dengan ahli waris.
b. Karena membunuh, maka anak yang membunuh orang tuanya tidak
mendapatkan harta warisan dari orang tua yang dibunuhnya.
c. Karena hamba sahaya, maka seorang hamba sahaya tidak mewarisi harta
warisan tuannya.
d. Jika anak dan ayah wafat dalam waktu yang bersamaan.7
7. Dzawil Arham
Dzawil arham adalah ahli waris dalam hubungan kerabat. Namun,
pengertian hubungan kerabat itu begitu luas dan tidak semuanya tertampung
dalam kelompok orang yang berhak menerima warisan sebagaimana dirinci
sebelumnya. Orang yang termasuk dzawil arham ialah:8
a. Anak (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan.
b. Ayah dan ibu.
7Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 32-33 8Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 65-66
85
c. Ibu dari ayahnya ibu.
d. Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara perempuan.
e. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
f. Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara ibu.
g. Paman (saudara laki-laki dari ayah ) seibu.
h. Saudara perempuan dari ayah.
i. Anak perempuan dari paman.
j. Saudara laki-laki dari ibu.
k. Saudara perempuan dari ibu.
Keseluruhan dari ahli waris dzawil arham ini dapat dikelompokkan
menjadi empat kelompok, yaitu:
a. Kelompok keturunan, yaitu :
1) Anak (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan dan seterusnya
kebawah.
2) Anak (laki-laki atau perempuan) dari cucu perempuan dan seterusnya
kebawah.
b. Kelompok orang yang menurunkan:
1) Ayah dari ibu dan ayah dari ayah ibu dan seterusnya ke atas.
2) Ibu dari ayah ibu dan ibu dari ibu ayah ibu dan seterusnya ke atas.
c. Kelompok anak dari keturunan saudara:
1) Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara perempuan, baik
sekandung seayah atau seibu, serta keturunannya kebawah.
86
2) Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, seibu atau seayah dan
seterusnya kebawah.
3) Anak perempuan dari anak laki-laki saudara laki-laki kandung seayah
atau seibu dan seterunya kebawah.
4) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan seterusnya kebawah.
d. Kelompok anak keturunan kakek dan nenek :
1) Paman (saudara laki-laki dari ayah).
2) Saudara perempuan dari ayah baik kandung, seayah atau seibu dan
seterusnya kebawah.
3) Anak perempuan dari paman baik sekandung, seayah atau seibu dan
seterusnya kebawah.
4) Saudara laki-laki dari ibu baik sekandung, seayah ataupun seibu dan
keturunannya kebawah.
5) Saudara perempuan dari ibu baik kandung, seayah atau seibu dan
keturunannya ke bawah.
Disamping memaparkan aspek-aspek dasar dari hukum waris Islam
sebagaimana tersebut di atas, Mahmud Yunus juga memaparkan beberapa hal
mendasar berkaitan dengan penghitungan harta warisan, seperi pembahasan
tentang: asal masalah,9 tashih,
10 ‘aul,
11 dan rad.
12 Dalam karya tersebut juga
9Lihat Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 51 10
Lihat Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 52 11Lihat Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 55 12Lihat Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 58
87
dikaji berbagai permasalahn yang muncul dalam pembagian waris seperti masalah
waris bagi bayi dalam kandungan.13
B. Corak Pemikiran Mahmud Yunus dalam Hukum Waris Islam
Berdasarkan analisis terhadap konsep hukum waris Islam yang
dikemukakan Mahmud Yunus dalam karyanya, dapat dijelaskan beberapa corak
atau karakteristik pemikiran Mahmud Yunus dalam hukum Islam, khususnya yang
berkaitan dengan hukum waris Islam, sebagai berikut:
1. Moderat dan terbuka terhadap perbedaan mazhab.
Dalam menganalisis kajian dan pembahasan berbagai permasalahan
hukum Islam (fiqih), Mahmud Yunus berupaya untuk merujuk dan
mengemukakan pendapat dan pandangan dari berbagai mazhab fiqih yang
popular dalam Islam, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, yang
dikenal dengan sebutan mazhab empat atau mazhab-mazhab dalam aliran
sunni. Tidak hanya terbatas pada pengungkapan mazhab empat, terkadang
Mahmud Yunus dalam kajian dan analisisnya merujuk dan membandingkan
dengan pendapat dari mazhab lain (non sunni) dan lebih dari itu beliau kerap
mengemukakan pandangan-pandangan ulama kontemporer seperti Syekh
Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, al-Syaukani, dan lain
sebagainya.14
13Lihat Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 75-76 14Eficandra Masril, et. al., Pemikiran Fiqh Mahmud Yunus,…, h. 14.
88
Sebagai contoh dalam pembahasan tentang dzawil arham Mahmud
Yunus mengemukakan dua pendapat tentang cara pembagian harta waris
untuk dzawil arham, yaitu:
a. Mazhab Ahl al-Tanzil, yaitu mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Mazhab
ini berpendapat bahwa dzawil arham ditempatkan pada tempat asalnya,
yaitu ahli waris yang digantikannya, contohnya cucu perempuan
ditempatkan pada posisi anak perempuan, karenanya dia mendapatkan ½
seperti bagian yang ditentukan untuk anak perempuan.
b. Mazhab Ahl al-Qirabah, yaitu mazhab Hanafi. Mazhab ini berpendapat
untuk mendahulukan dzahil arham yang terdekat kepada mayit dari pada
yang kurang dekat. Oleh sebab itu didahulukan kelompok (golongan)
pertama dari pada kelompok (golongan) kedua; dan kelompok (golongan)
kedua dari pada kelompok (golongan) ketiga; dan kelompok (golongan)
ketiga dari pada kelompok (golongan) keempat.15
Sehingga jika kelompok
yang terdekat dengan masih ada maka kelompok berikutnya belum berhak
mendapatkan harta warisan. Sebagai contoh: kalau mayit meninggalkan
anak perempuan dari anak perempuan dan anank perempuan dari saudara
perempuan, maka yang berhak mendapatkan harta warisan adalah anak
perempuan dari anak perempuan, sedangkan anak perempuan dari saudara
perempuan tidak mendapatkannya.16
15Lihat halaman 85-87 skripsi ini 16Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 72
89
Berdasarkan uraian contoh di atas, dapat dikatakan bahwa pemikiran
fiqh Mahmud Yunus cenderung bersifat moderat dan terbuka terhadap
perbedaan mazhab serta menunjukkan keluasan ilmunya. Artinya, Mahmud
Yunus memandang perbedan pendapat dan pandangan terhadap suatu masalah
fiqih adalah suatu hal yang lumrah dan biasa saja, sebab semuanya adalah
hasil ijtihad yang kebenarannya bersifat relatif dan termasuk dalam masalah
yang bersifat zanni. Tindakan dan keputusan yang akan diambil diserahkan
sepenuhnya kepada masing-masing individu sesuai dengan kecenderungan dan
keyakinannya. Bagi Mahmaud Yunus tidak boleh ada pemaksaan kepada
orang lain untuk menerima pendapat dan pandangan suatu mazhab tertentu.
Tidak boleh pula seseorang menyalahkan pendapat dan pandangan orang lain
yang berbeda dengannya serta menganggap suatu pendapat dan mazhab
tertentu kolot/tidak moden atau merendahkannya. Namun demikian dalam
kajiannya, Mahmud Yunus tetap juga melakukan analisis-analisis dalam
konteks perbedaan pendapat dan mazhab tersebut dengan mempertimbangkan
situasi dan keadaan sosial masyarakat pada masa itu serta dalam usaha
mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan.
Di antara pendapat hukum waris Islam Mahmud Yunus yang
mempertimbangkan situasi dan keadaan sosial masyarakat adalah
pandangannya bahwa harta pusaka dalam tradisi adat Minangkabau bukanlah
bagian dari harta mayit yang dapat diwariskan dalam pembagian waris.
Menimbang bahwa harta pusaka tersebut adalah miliki bersama yang tidak
90
bisa dihibahkan, dijual, ataupun digadaikan kecuali atas kesepakatan semua
ahli waris yang ada. Demikian juga halnya dengan pemberian catatan tentang
pembebasan budak sebagai aktivitas yang tidak ada di Indonesia, menurut
hemat penulis, merupakan sikap adaptatif Mahmud Yunus dalam berpendapat
meskipun tetap menyebutkan pembebasan budak (hamba sahaya) dalam
pendapatnya, seperti mu’tiq sebagai personel yang menerima harwa warisan
dan status hamba sahaya sebagai penghalang mendapatkan harta warisan.
2. Penggunaan qaidah fiqhiyyah
Pemakaian qaidah fiqhiyyah yang relevan dan mu’tabar juga menjadi
perhatian serius bagi Mahmud Yunus dalam usaha memberikan landasan bagi
pemikiran dan perbahasan fiqih yang dikemukakannya. Pemakaian qaidah
fiqhiyyah berfungsi sebagai usaha mengkorelasikan dan mendekatkan hukum
yang sama dalam usaha memudahkan pemahaman fiqih. Pengkorelasian dan
pendekatan hukum yang sama tersebut terhadap perbuatan mukallaf akan
berlaku pada sebahagian besar (aghlabiyyah) terhadap juz’iyyah-nya. Di
samping itu, penggunaan qaidah fiqhiyyah akan dapat juga memperkuat
hukum yang ada serta menjaga perbedaan pendapat dan tindakan yang
berkaitan dengan hukum Islam. Terkadang bisa dipahami juga bahwa
penggunaan qaidah fiqhiyyah akan dapat memberikan kepuasan kepada
91
seseorang yang bertanya ketika membahas dan mengkaji suatu masalah dan
bidang fiqih.17
C. Pembaharuan Pemikiran Mahmud Yunus dalam Hukum Waris Islam
Mahmud Yunus yang merupakan sosok penting bagi pembangunan
dan kebangkitan Islam di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tipologi
gerakan modernis.18 Sebagai modernis Islam, Mahmud Yunus meyakini bahwa
mayoritas masyarakat Indoenesia tidak memahami ajaran Islam yang
sebenarnya sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi
Muhammad SAW. Dalam kenyataannya ada kecenderungan pada mereka
untuk memadukan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilat tradisi lokal dan
keyakinan yang dipandang lazim sebelum datangnya ajaran Islam tentang
bid’ah dan khurafat.19
Pembaharuan pemikiran Mahmud Yunus dalam hukum waris Islam
muncul dalam sebuah seminar di Padang pada tahun 1978 dengan judul
makalah “Harta Tua dan Harta Tinggi Minangkabau”. Buaya Hamka menilai
bahwa gagasan yang dilontarkan Mahmud Yunus dalam seminar itu agar
masyarakat Minagkabau yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi (orang
17Eficandra Masril, et. al., Pemikiran Fiqh Mahmud Yunus,…, h. 15 18Dalam konteks hukum Islam gerakan modernis dapat diartikan sebagai gerakan yang
menawarkan agar hukum Islam/fiqih perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat. Lihat: Taufiq Andan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas…, h. 107 19Yeti Rochwulaningsih, “Mahmud Yunus” Islamic Religious Intruction…, h. 168
92
kaya) hendaknya memberikan wasiat perihal hartanya untuk menambah harta
pusaka agar tidak habis karena semakin banyaknya anak keturunan mereka.20
Pemikiran Mahmud Yunus dalam seminar itu, merupakan suatu bentuk
pembaharuan (tajdid) dalam pemikiran fiqh/hukum Islam pada saat itu bersifat
moden yang sejalan dengan kemaslahatan dalam Islam. Dengan bertambahnya
anggota keluarga atau kerabat dalam sistem kekerabatan matrilineal di
Minangkabau, maka sangat dibutuhkan harta tua atau harta pusaka tinggi yang
besar untuk menopang kebutuhan anggota keluarga tersebut, sebagaimana tujuan
utama harta pusaka dalam sistem dan struktur adat Minangkabau. Oleh itu,
Mahmud Yunus menganjurkan bagi orang-orang yang memiliki banyak harta
untuk melakukan wasiat dalam rangka menambah dan memperbanyak harta tua
atau harta pusaka tinggi di Minangkabau.
Pemikiran Mahmud Yunus dalam hukum waris Islam yang penulis
anggap merupakan pemikiran pembaruan dalam bidang tersebut pada masanya
dan bahkan sangat relevan untuk dikaji pada sat ini adalah pendapatnya yang
mensyaratkan bahwa harta yang akan diwariskan oleh mayit kepada ahli warisnya
adalah harta waris yang sepenuhnya miliki mayit diperoleh melalui uasha, hasil
jerih payah bekerja, hasil hibah, sedekah dan lain sebagainya,21
merupakan
pendapat yang sangat penting untuk diperhatikan oleh pihak yang terlibat dalam
20Eficandara Masril, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: .., h. 138 21Lihat halaman 72 skripsi ini
93
pembagian harta warisan, yaitu investasi asal muasal harta waris adalah unsur
yang pertama harus dilakukan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab I Ketentuan Umum butir d dan e
disebutkan:
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik
yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang
dan pemberian untuk kerabat.22
Dalam ketetapan hukum di atas perihal harta yang akan diwariskan hanya
ditekankan pada keabsahan kepemilikian harta oleh mayit, sedangkan pendapat
Mahmud Yunus mencakup pula keabsahan asal muasal harta yang akan
diwariskan. Dengan pandangan seperti ini maka harta waris yang diperoleh bukan
dari hasil jerih payah yang halal harus dipisahkan dari harta waris sehingga mayit
tidak meninggalkan harta yang haram kepada ahli warisnya.
Sejalan dengan pandangannya bahwa umat Islam harus mentaati
ketentuan hukum waris yang telah ditetapkan Allah SWT,23
Mahmud Yunus
memberikan respon argumentatif terhadap pendapat ulama ataupun pemikir
tentang waris dalam Islam yang sama sekali baru dan tidak ada rujukan kepada
pendapat ulama-ulama terdahulu.
Mahmud Yunus tidak sejalan dengan Hazairin dalam pemikirannya
tentang ahli waris pengganti berdasarkan pemahaman bahwa kata mawali pada
22Seri Pustaka Yustisia, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Widyatama, 2014), h. 79 23
Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 9
94
QS. Al-Nisaa (4): 33 berarti pengganti, yaitu pengganti kedudukan ahli waris
yang lebih dahulu wafat dari pada pewaris.
Mahmud Yunus, setelah mengutip Q.S. An-Nisa’(4); 33,
menyebutkan bahwa arti mawali (jamak maula) menurut bahasa banyak
sekali, yaitu yang mempunyai (tuan), budak, yang memerdekakan, yang
dimerdekakan, halif, tetangga, anak, anak paman, anak saudara perempuan,
paman, dan lain-lain. Tetapi bila kata itu disusun dalam satu kalimat,
maknanya hanya satu, bukan semua makna itu. Bahkan beliau katakan, telah
sepakat ahli tafsir, arti mawali dalam ayat tersebut adalah anak atau ahli waris
atau ashabah atau yang mempunyai wilayah atas harta peninggalan, namun
mereka berbeda pendapat tentang tafsir ayat tersebut.24
Lebih lanjut dijelaskan bahwa penafsiran ahli tafsir tentang mawali yang
menyepakati arti mawali adalah ahli waris, dikarenakan QS. Al-Nisaa (4): 33 itu
dijejelaskan oleh QS. Maryam (19): 5-6 yang menyatakan bahwa mawali
disebutkan maknanya dengan ahli waris dan wali adalah awala. Demikian juga
QS. Al-Nisaa (4): 7 yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan (mawali
bapak dan karib-karib yang terdekat).25
Mahmud Yunus juga merespon pendapat yang menyatakan bahwa
pembagian hak waris laki-laki dua kali lipat hak perempuan adalah suatu bentuk
ketidakadilan. Ada beberapa argumentasi yang disampaikan dalam hal ini:
Pertama, anak laki-laki menanggung beban dan tanggung jawab yang lebih besar
dibandingkan perempuan, yang mana dia harus memberikan nafkah istri dan
anak-anaknya. Sementara kebutuhan perempuan menjadi tanggung jawab
24Dewi Kemalasari, Analisis Yuridis Penerapan KHI dalam Penggantian Tempat Ahli
Waris/Ahli Waris Pengganti pada Masyarakat Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe, (Tesis S2:
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 2014), h. 47 25
Dewi Kemalasari, Analisis Yuridis Penerapan KHI…, h. 47
95
suaminya, demikian juga kebutuhan anak-anaknya. Kedua, anak laki-laki harus
berusaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, dan hal
itu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Ketiga, kebutuhan hidup anak
perempuan menjadi tanggung jawab anak laki-laki sampai dengan dia menikah,
dan ketika dia menikah maka tanggung jawab nafkah berada pada pundak
suaminya. Keempat, dalam ketentuan hukum waris Islam jika anak perempuan
seorang diri dan tidak ada anak laki-laki maka bagiannya adalah ½ jika satu
orang, dan 2/3 jika lebih dari satu orang dengan pembagian yang sama.26
Dalam
hal ini penulis memahami bahwa Mahmud Yunus secara implisit menyatakan
bahwa apabila tidak anak laki-laki maka kebutuhan hidup harus ditanggung oleh
anak perempuan itu sendiri, dan karenanya hukum waris Islam memberikan dia
hak waris dengan bagian yang besar.
26
Mahmud Yunus, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, h. 78-79
96
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan berbagai masalah yang menjadi fokus dalam penelitian
ini, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukum waris Islam yang dikemukakan oleh Mahmud Yunus mencakup
pembahasan tentang: a) Hal-hal yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
pembagian harta waris pada saat seorang muslim meninggal dunia serta
menegaskan tentang keberadaan kepemilikan harta yang akan diwariskan oleh
mayit; b) Hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan pembagian waris dalam
Islam yang meliputi: ahli waris, orang yang terhalang mendapatkan bagian
harta waris, ashabah, bagian yang diterima ahil waris, penghalang menerima
harta waris, dan dzawil arham; c) Prinsip-prinsip dasar dalam menghitung
harta waris, seperti pembahasan tentang asal masalah, tashih, ‘aul, dan rad; d)
Permasalahan kontemporer dalam waris Islam; dan e) Filsafat dan hikmah
pembagian waris dalam Islam.
2. Mahmud Yunus, meskipun berlatar belakang mazhab sunni syafi’i, tapi dalam
membahas kajian dalam hukum Islam/fiqih memaparkan juga pendapat-
pendapat dari mazhab lain, seperti mazhab maliki, mazhab Hanafi, dan
mazhab Hanbali, termasuk dalam mengemukakan masalah-masalah dalam
hukum waris Islam. Di samping itu, dalam mengajukan argumentasi
97
hukumnya beliau menggunakan qaidah fiqhiyyah sehingga pendapatnya
tentang suatu hukum Islam memiliki landasan yang kuat dan dapat dipahami
masyarakat.
3. Sebagai tokoh pembaruan Islam, Mahmud Yunus ditipologikan sebagai
seorang modernis yang berupaya mengembangkan berbagai masalah dalam
hukum Islam dengan mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat.
Ada sejumlah pemikiran tentang hukum waris Islam yang dikemukakannya,
yaitu: 1) Pentingnya memberikan wasiat terhadap harta guna memperbesar
jumlah harta pusaka dalam adat Minangkabau; 2) Harta yang akan diwariskan
disyarakatkan memiliki kejelasan asal muasalnya, agar tidak mewariskan harta
yang diperoleh dengan jalan yang haram; 3) Menolak pendapat tentang ahli
waris pengganti bagi ahli waris yang wafat terlebih dahulu dari ahli waris
pengganti; dan 4) Pembagian harta waris bagi anak laki-laki dua kali lipat dari
anak perempuan adalah hal yang masuk akal dan sesuai dengan kondisi sosial
masyarakat dewasa ini.
B. Saran
Berkaitan dengan hasil penelitian di atas, dapat dikemukakan sejumlah
saran sebagai berikut:
1. Kepada praktisi hukum waris Islam hendaknya tidak memfokuskan aktivitas
pembagian waris pada penghitungan ketentuan hak waris saja, tapi juga
melakukan investigasi terhadap asal muasal harta yang akan diwariskan agar
98
ahli waris tidak mewarisi harta yang dihasilkan dengan cara yang haram,
seperti hasil korupsi, perampokan, dan lain sebagainya.
2. Bagi para peneliti hendaknya mengembangkan kembali penelitian yang
mengkaji ketokohan Mahmud Yunus sebagai pembaharu di bidang hukum
Islam, seperti permikirannya tentang pernikahan, mu’amalah, dan lain
sebagainya.
99
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Muhammad, “Halangan Menerima Warisan”, dalam Problematika Hukum
Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Muchit A. Karim, eds., Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012
Ahmad, Khadher, dkk, “Ketokohan Mahmud Yunus dalam Bidang Tafsir al-Qur’an:
Kajian Terhadap Kitab Tafsir Qur’an Karim”, Proceeding: The 2nd
Annual
International Qur’anic Conference 2012, Kuala Lumpur: Centre of Qur’anic
Research, 2012
Alkaf, Nuraidah Halid, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Islamic Research
Publishing, 2009
Amal, Taufiq Andan, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman, Bandung: Mizan 1993
Amursid, M. dan Amaruddin Asra,”Studi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya
Mahmud Yunus”, Jurnal Syahadah, Vol. III, No. 2, Oktober 2015
Arkunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Rineka
Cipta, 2002
Asnawan, “Kontribusi Pemikiran Mahmud Yunus dalam Pemabaharuan Pendidikan
Islam di Indonesia”, Jurnal Falasifa, Vol. 2 No. 1 Maret 2011
Azwarfajri, “Ijtihad Tentang Kewarisan Cucu dalam Hukum Islam di Indonesia”,
Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. XI, No. 2, Februari 2012,
Bakar, Syukri Abu, “Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Pembagian Waris di
Indonesia”, Jurnal Schemata, Volume 3, No. 2, Desember 2014
Bashori, Abu Hamzah Agus Hasan, Relevansi Hukum Islam Bias Isu Gender,
Egalitarianisme, dan Pluranisme, dan HAM, Jakarta:As-Sunah, 2005
Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996
Fauzi, Mohammad Yasir, “Legislasi Hukum Kewarisan di Indonesia”, Ijtima’iyya
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 9, No. 2, Agustus 2016
100
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2006
Hamid, Abdul Ghoni, “Kewarisan dalam Perspektif Hazairin”, Jurnal Studi Agama
dan Masyarakat, Volume 4 Nomor 1 Juni 2007
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith, Jakarta:
Tinatamas, 1982
Iqbal, Muhammad, Hukum Islam Indonesia Modern Dinamika Pemikiran dari Fiqih
Klasik ke Fiqh Indonesia, Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Universitas Yarsi, 1998
Kemalasari, Dewi, Analisis Yuridis Penerapan KHI dalam Penggantian Tempat Ahli
Waris/Ahli Waris Pengganti pada Masyarakat Kecamatan Banda Sakti Kota
Lhokseumawe, Tesis S2: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
2014
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Toha Putra Group, 1994
Kotsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006
Masril, Eficandara, dkk, “Prof. Dr. Mahmud Yunus: Tokoh Mujaddid dari
Minangkabau”, Azimul Fahimi dii (eds), Prosiding Nadwah Ulama
Nusantara (NUN) IV 2011: Ulama Pemacu Transformasi Negara, (Selangor:
Jabatan Syariah, Fakulti Pengkajian Islam, UKM, 2011), h. 135
______________, dkk, “Pemikiran Fiqh Mahmud Yunus”, Jurnal Islamiyat,
Universiti Kebangsaan Malaysia, Vol. 35 No. 1, 2013
Moelong, Lexi J, Metodologi penelitian kualitatif, Bandung: PT . Remaja Rosda
Karya, 2002
Mohammad, Herry, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta:
Gema Insani Press, 2006
Mudzhar, Atho', “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Budi Munawar
Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta :
Paramadina, 1995
101
Muhammadong, “Dinamika Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia dan
Tantangannya”, Jurnal Sulesana, Vol. 8 Nomor 2 Tahun 2013
Natta, Abuddin, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta :
PT Rajagrafindo Persada, 2005
Nazir, Muhammad, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011
Rahman, Fazlur, Tema-tema Pokok al-Quran, (terj) Anas Mahyudin, Bandung:
Pustaka., 2000
Rakhmat, Jalaluddin, “Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh : Dari Fiqh al-Khulafa' al-
Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme”, dalam Budi Munawar Rachman
(ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina,
1995
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat:
Quantum Teaching, 2005
Riadi, Edi, “Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia”, dalam Problematika
Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Muchit A. Karim, eds.,
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012
Rochwulaningsih, Yeti, “Mahmud Yunus” Islamic Religious Intruction in The Public
School”, Rosnani Hashim (ed), Reclaiming The Conversation Islamic
Intellectual Tradition in The Malay Archipelago, Kuala Lumpur: The Other
Press, 2010
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Saija, R. dan Iqbal Taufiq, Dinamika Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Deepublish, 2016
Sarmadi, A. Sukris, Hukum Waris Islam di Indonesia, Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2013
______________, Transendensi Keadilan Hukum Wasris Islam Tranformatif,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
Seri Pustaka Yustisia, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Widyatama, 2014
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2010
102
Sukri, Sri Suhandjati, Bias Jender dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta: Gama
Media, 2002
Suma, Muhammad Amin, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
konteks, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2013
Sumarni, “Kedudukan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia”, Jurnal Al-
‘Adalah, STAIN Batusangkar Sumatera Barat, Vol. X, No. 4 Juli 2012,
Syarifuddin, M. Anwar dan Jauhar Azizy, “Mahmud Yunus: Pelopor Pola Baru
Penulisan Tafsir al-Qur’an”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, UIN Syarif Hidatullah
Jakarta, Vol. 2 No. 3 Januari-Juni 2015
Tobibatussaadah, “Pembatuan Pemikiran dalam Konteks Keindonesiaan: Studi
Terhadap Pemikiran Hukum Islam Munawir Sjadzali Serta Pengaruhnya
Terhadap Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, Istinbath: Jurnal Hukum,
Vol. 11 Nomor 1 Tahun 2014,
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 2001
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam
di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001
Wahyudani, Zulham, “Perubahan Sosial dan Kaitannya dengan Pembagian Harta
Warisan dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Ilmiah Islam Futura,
Volume 14 No. 2, Februari 2015
Yafie, Ali, “Pemikiran Hukum Islam” dalam Muntaha Azhari ed., Islam Indonesia
Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989
Yunus, Mahmud, Al-Figh al-Wadhih, Jakarta: Sa’diyah Putra, t.th.
______________, Hukum Warisan (Harta Pusaka) dalam Islam, Jakarta: C.V. Al-
Hidayah, 1974
______________, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Mahmudah,
t.th.
Zulmardi, “Mahmud Yunus dan Pemikirannya dalam Pendidikan”, Jurnal Ta’dib,
STAIN Batusangkar Sumatera Barat, Vol. 12, No. Juni 2009
BAB III: BIOGRAFI MAHMUD YUNUS
A. Latar Belakang Keluarga.................................................................... 51
B. Pendidikan Mahmud Yunus ............................................................... 54
C. Gerakan Pembaharuan Mahmud Yunus ............................................. 60
D. Karya Tulis Mahmud Yunus .............................................................. 67
E.Akhir Hayat ... ......... .... ...... ..... ........... ................ ..... .............. .... .... ... ..... 70
BAB IV: HASIL PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Pemikiran Hukum Waris Islam Mahmud Yunus .... 71
B. Corak Pemikiran Mahmud Yunus dalam Hukum Waris Islam.......... 87
C. Pembaharuan Pemikiran Mahmud Yunus dalam Huum
Waris Islam ........................................................................................ 91
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .. ............ ............ ..... ...... ... .............. ........................ ......... 96
B. Saran................................................................................................... 97
DAFTAR PUS TAKA ............................................................................................... 99
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................................ 103
,i I I
I IX