Post on 13-Apr-2016
description
Neonatal Suspek Hepatitis B
Pendahuluan
Hepatitis virus masih merupakan masalah kesehatan utama di negara sedang berkembang
dan negara maju. Hepatitis virus dapat menyerang semua umur dan semua suku bangsa,
bahkan dapat memberikan berbagai macam manifestasi klinis. Diperkirakan lebih dari dua
milyar manusia telah terpapar VHB dan sekitar 400 juta merupakan pengidap HBsAg
dengan angka kematian sekitar 1 sampai 2 juta pertahun. Penemuan baru dalam bidang
biologi molekular telah membantu identifikasi dan pemahaman patogenesis lima virus yang
sekarang diketahui menyebabkan hepatitis sebagai manifestasi primernya.1,2
Indonesia merupakan negara dengan endemisitas hepatitis B yang sangat tinggi. Hal ini
berhubungan dengan transmisi virus secara vertikal maupun horizontal pada bayi dan anak
di Indonesia juga sangat tinggi. Dengan prevalensi HBsAg 3-20% Indonesia digolongkan ke
dalam kelompok daerah endemis sedang sampai dengan tinggi, dan termasuk negara yang
sangat dihimbau oleh WHO untuk segera melaksanakan usaha pencegahan terhadap
hepatitis B.(1,5) Infeksi VHB pada usia dewasa menimbulkan kemungkinan pengidap HBsAg
hanya pada 10% sampai 20% saja, tetapi infeksi pada masa perinatal atau masa kanak-kanak
dapat menimbulkan pengidap HbsAg pada 90-95% dari bayi/anak yang terpapar.1
Anamnesis
Epidemiologi
Hepatitis B (HBV) adalah suatu proses nekroinflamatorik yang mengenai sel-sel hati yang
disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB).6 Di seluruh dunia, daerah prevalensi infeksi HBV
tertinggi adalah Afrika subsahara, Cina, bagian-bagian Timur Tengah, lembah Amazone dan
kepulauan Pasifik. Di Amerika Serikat, populasi Eskimo di Alaska mempunyai angka
prevalensi tertinggi. Diperkirakan 300.000 kasus infeksi HBV baru terjadi di Amerika
Serikat setiap tahun. Jumlah kasus baru pada anak adalah rendah tetapi sukar diperkirakan
karena sebagian besar infeksi pada anak tidak bergejala. Risiko infeksi kronis berbanding
terbalik dengan umur; walaupun kurang dari 10% infeksi yang terjadi pada anak, infeksi ini
mencakup 20-30% dari semua kasus kronis.7
Masa inkubasi berkisar antara 45-180 hari (6 minggu-6 bulan), dengan masa penularan
tertinggi terjadi beberapa minggu sebelum timbulnya gejala, sampai berakhirnya gejala
akut.8
Risiko penularan adalah paling besar jika ibu juga HBeAg positif; 70-90% dari bayinya
menjadi terinfeksi secara kronis bila tidak diobati. Selama periode neonatal antigen hepatitis
1
pada B ada dalam darah 2,5% bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkena sehingga
menunjukkan bahwa infeksi intrauterin terjadi. Pada kebanyakan kasus antigenemia lebih
lambat, memberi kesan bahwa penularan terjadi pada saat persalinan; virus yang ada dalam
cairan amnion atau dalam tinja atau darah ibu dapat merupakan sumbernya. Walaupun
kebanyakan bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi menjadi antigenemik dari usia 2-5
bulan. Beberapa bayi dari ibu positif-HBsAg tidak terkena sampai usia lebih tua.9
Etiologi
HBV adalah anggota famili hepadnavirus, diameter 42-nm, kelompok virus DNA
hepatotropik nonsitopatogenik. HBV mempunyai genom DNA sirkuler, sebagian helai
ganda tersusun sekitar 3.200 nukleotid. Empat gena telah dikenali: gena S, C, X, dan P.
Permukaan virus termasuk dua partikel yang ditandai antigen hepatitis permukaan (hepatitis
B surface antigen [HBsAg] )= partikel sferis diameter 22-nm dan partikel tubuler lebar 200
nm. Bagian dalam virion berisi antigen core hepatitis B (hepatitis B core antigen [HBcAg]
dan antigen nonstruktural disebut hepatitis B e antigen (HBeAg) antigen larut-nonpartikel
berasal dari HBcAg yang terpecah sendiri oleh proteolitik. Replikasi HBV terjadi terutama
dalam hati tetapi juga terjadi dalam limfosit, limpa, ginjal dan pankreas. (7)
Patologi
Lesi morfologik khas pada hepatitis A,B, C, D dan E seringkali sama dan terdiri atas
infiltrasi panlobuler dengan sel mononukleus, nekrosis sel hati, hiperplasia sel kupffer, dan
berbagai macam derajat kolestatis. Terdapat regenerasi sel hati, seperti yang dibuktikan oleh
banyaknya gambaran mitosis, sel multinukleus, dan pembentukan “rosette”/“pseudoasiner”.
Infiltrasi mononukleus terutama terdiri atas limfosit kecil, meskipun sel plasma dan eosinofil
kadang-kadang tampak. Kerusakan sel hati terdiri atas degenerasi sel hati, dan nekrosis, cell
dropout, sel balon, dan degenerasi asidofilik hepatosit, (membentuk badan Councilman).
Hepatosit besar dengan gambaran ground glass pada sitoplasma mungkin ditemukan pada
infeksi HBV kronik bukan akut: sel ini telah terbukti mengandung HBsAg dan dapat
diidentifikasi secara histokimia dengan orcein atau fuchsin aldehid.(7)
Patogenesis
Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus yang lain, merupakan virus nonsitopatis yang
mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun. Langkah pertama
dalam proses hepatitis virus akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV, menyebabkan
munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting dari antigen virus ini
2
mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HbeAg, pecahan produk HBcAg,
Antigen-antigen ini, bersama dengan protein histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I,
membuat sel suatu sasaran untuk melisis sel-T sitotoksis. (7)
Mekanisme perkembangan hepatitis kronis kurang dimengerti dengan baik. Untuk
memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein core atau protein MHC kelas I tidak dapat
dikenali, limfosit sitotoksik tidak dapat diaktifkan, atau beberapa mekanisme lain yang
belum diketahui dapat mengganggu penghancuran hepatosit. Agar infeksi dari sel ke sel
berlanjut, beberapa hepatosit yang sedang mengandung virus harus bertahan hidup. (1)
Walaupun mekanisme cedera hati yang tepat pada infeksi HBV tetap tidak pasti dan ini tetap
harus dijelaskan, Pada pemeriksaan protein nukleokapsid dengan elektroforesis didapatkan
hasil bahwa protein nuleokapsid memancarkan cahaya pada toleransi imunologik yang besar
terhadap bayi HBV bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi HBV kronik yang sangat
replikatif (HBeAg-positif). Pada tikus transgenik ditandai-HBeAg, pemajanan in utero
terhadap HBeAg, yang cukup kecil untuk melewati plasenta, menyebabkan toleransi sel T
untuk kedua protein nukleokapsid. Pada gilirannya hal ini menjelaskan kenapa, kapan
infeksi terjadi pertama kali dalam kehidupan, status imunologik tidak terjadi, dan
diperpanjang, infeksi kekal terjadi. (9)
Mekanisme cedera hati akibat HBV tetap tidak pasti, kerusakan jaringan diperantarai
kompleks imun terjadi untuk memainkan peranan patogenesis utama dalam manifestasi
ekstrahepatik dari hepatitis B akut. Sindroma mirip penyakit serum prodormal yang diamati
pada hepatitis B akut tampak berhubungan dengan deposit dalam dinding pembuluh darah
jaringan dari kompleks imun yang bersirkulasi menyebabkan aktivasi sistem komplemen.
Akibat klinis adalah ruam urtikaria, angioderma, demam, dan artritis. Selama prodormal dini
infeksi HBV pada pasien ini, HBsAg titer tinggi dalam hubungannya dengan jumlah anti-
HBs yang sedikit menyebabkan pembentukan kompleks imun yang bersirkulasi dapat larut
(pada kelebihan antigen). Komponen komplemen dalam serum diturunkan selama fase
artritis penyakit tersebut dan juga dapat dideteksi dalam kompleks imun yang bersirkulasi.
Selain komponen komplemen, kompleks ini mengandung HbsAag, anti-HBs, IgG, IgM,
IgA, dan fibrin. Sesudah pasien pulih dari sindrome-mirip penyakit serum, kompleks imun
ini hilang. (10)
Mutasi HBV lebih sering daripada untuk virus DNA biasa dan sederetan strain mutan telah
dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang menyebabkan kegagalan mengekspresikan
HBeAg dan telah dihubungkan dengan perkembangan hepatitis berat dan mungkin
eksaserbasi infeksi HBV kronis lebih berat. (7)
3
Cara Penularan HBV
Penyakit HBV mudah ditularkan kepada semua orang dan semua kelompok umur secara
menyusup. Dengan percikan sedikit darah yang mengandung virus hepatitis B sudah dapat
menularkan penyakit. (1)
Pada umumnya cara penularan dari HBV adalah parenteral. Semula penularan HBV
diasosiasikan dengan transfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Setelah
ditemukan bentuk dari HBV banyak dilaporkan yang ditemukan cara penularan lainnya. Hal
ini disebabkan karena HBV dapat ditemukan dalam setiap cairan yang dikeluarkan dari
tubuh penderita atau pengidap penyakit, misalnya melalui: darah, air liur, keringat, air mani,
air susu ibu, cairan vagina, air mata, dan lain-lain. Oleh karena itu dikenal cara penularan
perkutan dan non-kutan di samping itu juga dikenal penularan horizontal dan vertikal. (1,5)
A. Penularan melalui kulit (perkutan) (5)
Penularan perkutan terjadi jika bahan yang mengandung HBsAg/partikel virus hepatitis B
intak masuk atau dimasukkan ke dalam kulit. Terdapat 2 keadaan cara penularan ini :
1 Penularan perkutan yang nyata:
Terjadi jika bahan yang masuk melewati kulit; melalui penyuntikan darah
atau bahan yang berasal dari darah, baik secara intravena atau tusukan
jarum.
a. Hepatitis pasca infeksi
Hepatitis virus B akut dapat timbul sebagai akibat transfusi darah yang mengandung HBsAg
positif. Dengan melakukan uji saring darah donor terhadap adanya HBsAg, maka jelas
terdapat penurunan prevalensi kejadian hepatitis pasca transfusi.
b. Hemodialisa
Prevalensi yang tinggi baik sebagai infeksi akut maupun kronik, telah dilaporkan pada
penderita dengan penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa berkala
c. Alat suntik
Penularan lewat suntikan dengan mempergunakan alat yang tidak steril, telah lama dikenal.
Sering sesudah imunisasi masal terjadi letupan hepatitis beberapa waktu kemudian.
1. Penularan perkutan tidak nyata
Penularan perkutan yang tidak nyata bisa terjadi. Banyak penderita mendapat hepatitis virus
B dan tidak pernah mengingat bahwa mereka mendapat trauma pada kulit atau hal lain, virus
hepatitis B tidak dapat menembus kulit yang sehat, namun dapat melalui kulit yang
4
mengalami kelainan penyakit kulit. Penularan yang tidak nyata ini sangat mungkin
memegang peranan penting dalam menerangkan jumlah pengidap HBsAg yang sangat besar.
B. Penyebaran melalui selaput lendir (5)
1. Penyebaran peroral
Cara ini terjadi jika bahan yang infeksius mengenai selaput lendir mulut. Cara ini tidak
sering menimbulkan infeksi. Agaknya penularan melalui mulut hanya terjadi pada mereka
dimana terdapat luka didalam mulutnya.
2. Penyebaran seksual
Cara ini terjadi melalui kontak dengan selaput lendir pada alat kelamin, sebagai akibat
kontak seksual dengan individu yang mengandung HBsAg positif yang bersifat infeksius.
Infeksi ini dapat terjadi melalui hubungan seksual baik heteroseksual maupun homoseksual.
Hal ini dimungkinkan oleh karena cairan sekret vagina dapat mengandung HBsAg.
C. Penularan perinatal (transmisi vertikal) (5)
Penularan perinatal ini disebut juga sebagai penularan maternal neonatal dan merupakan
cara penularan yang unik. Penularan infeksi virus hepatitis B terjadi dalam kandungan,
sewaktu persalinan, pasca persalinan.
Apabila seorang ibu menderita HBV akut pada perinatal yaitu pada trimester ketiga
kehamilan, maka bayi yang baru dilahirkan akan tertulari. Risiko infeksi pada bayi dari
seorang ibu pengidap HBsAg yang tanpa gejala menunjukan angka yang bervariasi antara
10-80%, apalagi bila si ibu tadi disertai dengan HBsAg positif. Beasley (1982)
berkesimpulan adanya suatu lingkaran setan.
Seorang ibu pengidap dengan HBsAg positif akan menularkan pada bayi yang baru
dilahirkan sekitar 50%. Apalagi bila si ibu tadi disertai dengan HBeAg positif maka akan
menularkan 100% kepada bayinya, bayi yang dilahirkan nantinya akan menjadi pengidap
HBV tanpa gejala. Bila bayi yang lahir tadi seorang gadis, maka kelak kemudian hari akan
menjadi seorang ibu pengidap. Sisanya lima puluh persen bayi yang tertulari terutama pada
anak laki-laki akan mengalami menjadi hepatitis kronis yang kemungkinan besar dapat
menjurus menjadi sirosis hati atau kanker hati, dan dalam waktu relatif singkat akan
meninggal karena penyakit hati yang dideritanya. Sebanyak 14% dari si ibu pengidap
kemungkinan besar akan meninggal dunia sebagai akibat penyakit hati yang dideritanya. (1)
Perjalanan HBV pada bayi yang tertulari berbeda dengan orang dewasa, yang umumnya
mempunyai prognosis jelek. Pada umumnya bayi yang tertulari, akan mengidap HBsAg
tanpa gejala dan menunjukkan perkembangan tubuh yang normal. Timbulnya HBsAg positif
pada bayi tergantung pada masa tunas dari virus B. Pada infeksi perinatal, beberapa minggu
5
pertama setelah kelahiran bayi biasanya HBsAg masih negatif, baru positif setelah berusia 3-
5 bulan. Pada infeksi HBV intrauterin sudah dapat ditemukan HBsAg positif pada umur satu
bulan pertama.HBsAg biasanya baru positif setelah beberapa waktu, dan akan menetap
berada dalam darah dalam jangka waktu yang lama. Sebagian dari penderita ini, titer dari e-
antigen akan menunjukkan penurunan sesuai dengan pertumbuhan umur bayi, tetapi tidak
jarang bahkan sebagian besar masih menunjukkan HBsAg positif pada dewasa muda,
bahkan menetap sampai uisa lanjut. Selama HBsAg masih menetap di dalam darah, maka
akan merupakan pengidap yang infeksius. Apalagi kelak menjadi seorang ibu maka akan
menyebabkan terjadinya penularan vertikal kepada bayi yang dilahirkan dan juga
menyebabkan penularan horizontal kepada sekelilingnya yaitu melalui hubungan seksual
dengan suaminya, melalui saliva (bercium-ciuman), inokulasi serum, dan lain-lain. Dengan
demikian jumlah pengidap HBV akan terus bertambah. (1)
Selain daripada itu bayi yang tertulari HBV akibat penularan vertikal hampir sepertiganya
akan menderita penyakit hati kronis yang akan menjurus kearah sirosis hepatis atau
karsinoma hati primer (KHP) pada masa akhir hidupnya. Pada umumnya perjalanan
penyakit HBV pada bayi lebih buruk daripada orang dewasa. Terjadinya KHP menurut
laporan akibat HBV berkisar 7-12 tahun, dan ada pula yang melaporkan sekitar 20 tahun.
Penyembuhan sempurna dari HBV pada bayi yang tertulari secara vertikal umumnya rendah
bila dibanding dengan orang dewasa. Penularan vertikal ini sebenarnya dapat dicegah
dengan vaksinasi atau pemberian HBIg pada bayi yang dilahirkan.(1)
Walaupun infeksi HBV tidak umum didapatkan pada populasi orang dewasa, kelompok
tertentu dan orang dengan cara hidup tertentu memiliki risiko tinggi, kelompok ini
termasuk(9):
1) Imigran dari daerah dimana HBV merupakan suatu keadaan endemik.
2) Orang-orang yang memakai obat melalui IV yang sering bertukar jarum dan alat suntik.
3) Melakukan hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang yang terinfeksi
4) Pria homoseksual yang aktif secara seksual
5) Pasien di institusi mental
6) Narapidana pria
7) Pasien hemodialisis dan penderita hemofilia yang menerima bahan-bahan dari plasma
8) Kontak serumah dengan pembawa HBV
9) Pekerja sosial dalam bidang kesehatan, terutama jika pekerjaanya banyak berkontak
dengan darah
10) Bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi dapat terinfeksi selama atau segera setelah lahir.
6
Penderita HBV akibat transfusi dareah tidak merupakan problem utama lagi, sejak
dilakukannya pemeriksaan pada semua darah sebelum ditransfusikan.
Manifestasi Klinis
Diperkirakan 30% dari infeksi HBV asimtomatik.4 Gejala Hepatitis bervariasi dari penyakit
yang ringan mirif flu sampai gagal hati yang fulminan dan mematikan, tergantung pada
respon imun dan faktor virus inang lainnya yang masih belum dapat dipahami.11
Dalam anamnesis perlu ditanyakan tentang asal etnik, kontak dengan ikterus, kunjungan
wisata, suntikan, perawatan gigi, tranfusi, dan homoseksualitas
Walaupun pasien Non-ikterik, tetapi menunjukkan gejala gastrointestinal dan mirif
influenza.Pasien demikian biasanya tidak terdiagnosis, kecuali ada riwayat yang jelas suatu
penularan atau pasien memang diikuti sehabis tranfusi darah, lalu dijumpai keadaan-keadaan
yang lebih parah dari gejala ikterus sampai Hepatitis viral yang fulminan dan fatal.11
Serangan ikterus biasanya dimulai dengan masa prodromal kurang lebih 3-4 hari sampai 2-3
minggu, dimana pasien umumnya merasa tidak enak badan, anoreksia, dan nausea, dan
kemudian ada panas badan ringan, nyeri diabdomen kanan atas, yang bertambah parah pada
setiap guncangan. Masa prodormal diikuti warna urin bertambah gelap dan warna tinja
menjadi pucat; keadan demikian menandakan timbulnya ikterus dan berkurangnya gejala.
Pasien merasa lebih sehat selama beberapahari, walaupun ikterik memburuk.10
Bukti klinis pertama infeksi HBV adalah kenaikan (ALT, SGPT), yang mulai naik tepat
sebelum perkembangan kelesuan (letargi), anoreksia dan malaise, sekitar 6-7 minggu
sesudah pemajanan. Penyakitnya mungkin didahului pada beberapa anak dengan prodormal
seperti penyakit serum termasuk artritis atau lesi kulit, termasuk urtikaria, ruam purpura,
makular atau makulopapular. Akrodermatitis papular, sindrom Gianotti-Crosti, juga dapat
terjadi. Keadaan-keadaan ekstrahepatik lain yang disertai dengan infeksi HBV termasuk
polioarteritis, glomerulonefritis, dan anemia aplastik. Pada perjalanan penyembuhan infeksi
HBV yang biasa, gejala-gejala muncul selama 6-8 minggu.(7)
Pada pemeriksaan fisik, kulit dan membrana mukosa tampak ikterik, terutama sklera dan
mukosa di bawah lidah. Hepar biasanya membesar dan nyeri pada palpasi. Bila hati tidak
dapat teraba dibawah tepi kosta, nyeri dapat diperagakan dengan memukul iga dengan
lembut diatas hepar dengan tinju menggenggam. Sering ada splenomegali dan
limfadenopati.(7)
Laboratorium
7
Untuk pemeriksaan penyaring yang paling diperlukan adalah enzim SGPT, Gamma GT dan
CHE. SGPT digunakan untuk melihat adanya kerusakan sel, gamma GT untuk melihat
adanya kolestasis dan CHE untuk melihat gangguan fungsi sintesis hati. Pada keadaan
infeksi akut yang terlihat mencolok adalah peninggian SGPT dari pada SGOT. Apabila
terjadi kerusakan mitokondria atau kerusakan parenkim sel maka yang terlihat meninggi
adalah SGOT, dimana SGOT lebih meningkat daripada SGPT. (10)
Pada hepatitis kronis persisten biasanya peninggian SGOT dan SGPT meningkat sampai 2-3
nilai normal, gamma GT lebih kecil dari SGOT, GLDH, CHE dan enzim koagulasi masih
dalam batas normal.prognosis penyakit ini biasanya baik. Pada hepatitis kronis aktif SGOT
dan SGPT dapat meningkat sampai 5 kali atau 10 kali diatas nilai normal..(10)
Pola serologis untuk HBV lebih kompleks daripada untuk HAV dan berbeda tergantung
pada apakah penyakit akut, subklinis atau kronis. Skrining untuk hepatitis B rutin
memerlukan assay sekurang-kurangnya dua pertanda serologis.
1. Ag permukaan HBV (HBsAg)
Muncul hampir pada semua penderita yang mengalami masa inkubasi 2-6 bulan dan 2-8
minggu sebelum terjadi perubahan biokimia dan ikterus. Merupakan bukti infeksi akut . Ab
yang bersesuaian (Anti-HBs) beberapa minggu atau bulan sesudahnya, setelah pemulihan
klnis dan biasanya menetap seumur hidup, terdeteksinya anti HBs menyatakan infeksi HBV
di masa lalu. Pada 10% pasien HBsAg menetap setelah infeksi akut dan anti HBs tidak
terbentuk pasien tersebut bisanya mengalami hepatitis kronis atau menjadi karier virus
asimtomatik (11)
2. HBcAg
Berhubungan dengan inti virus. anti HBc muncul saat saat onset penyakit klinis dan
menghilang saatnya, keberadaanya menyatakan infeksi sebelumnya. Anti HBc juga
ditemukan pada karier HbsAg kronis, yang tidak membentuk respon anti HBs. Pada infeksi
kronis anti HBc kelas IgG yang menonjol, tapi pada akut, IgM anti-HBc yang menonjol.
3. HBeAg
` Hanya ditemukan suatu serum yang positif HBeAg, cendrung paralel dengan produksi
DNA polimerase oleh virus. Dengan demikian keberadaanya mencerminkan replikasi virus
yang lebih aktif dan kemungkinannya berkembang menjadi penyakit hati kronis. Sebaliknya,
adanya Ab (anti HBe) menyatakan infektivitas yang relatif rendah dan biasanya menyatakan
prognosis yang lebih baik.
4. HDV
8
Virus RNA defektif yang unik, hanya dapat bereplikasi jika terdapat HBV, dan tidak dapat
sendirian, keadaan ini terjadi sebagai superinfeksi pada hepatitis B kronis
Diagnosis
Diagnosis hepatitis B ditegakkan dari gejala klinis, pemeriksaan fisisk, dan pemeriksaan
penunjang ( pemeriksaan laboratorium/serologi, patologi anatomi)
Diagnosis Banding
Kemungkinan penyebab hepatitis agak bervariasi menurut umur. Ikterus fisiologis, penyakit
hemolitik dan sepsis pada neonatus biasanya dibedakan dengan mudah dari hepatitis. Segera
sesudah masa neonatus, infeksi tetap merupakan penyebab penting hiperbilirubinemia, tetapi
penyebab metabolik dan anatomik (atresia biliaris, dan kista koledokus) juga harus
dipikirkan. Pemasukan sayuran berpigmen pada diet bayi dapat menyebabkan karotenemia,
yang dapat terancukan dengan ikterus. (7)
Pada masa bayi dan anak selanjutnya, sindrom hemolitik-uremik pada mulanya dapat
terancukan dengan hepatitis. Sindrom Reye dan seperti-Reye datang dengan cara yang sama
dengan hepatitis fulminan yang akut. Ikterus juga dapat terjadi pada malaria, leptospirosis,
dan brusellosis dan pada infeksi berat pada anak yang lebih tua, terutama pada mereka yang
dengan gangguan maligna atau yang dengan imunodefesiensi. Batu empedu dapat
menyumbat drainase-empedu dan menimbulkan ikterus pada remaja serta pada anak dengan
proses hemolitik kronis. Hepatitis mungkin merupakan awal tanda penyakit Wilson, kistik
fibrosis, defisiensi a1-antitripsin, dan sakit muntah Jamaika. Hati mungkin dilibatkan pada
penyakit vaskuler kolagen termasuk lupus erimatosus sistemik. (7)
Obat-obatan, termasuk overdosis asetaminofen, asam valproat, dan berbagai hepatotoksin,
dapat ditoleransi baik pada anak dengan penyakit tertentu. (7)
Komplikasi
Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada pada virus hepatitis lain, dan
risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi bersama atau superinfeksi dengan
HBV. Mortalitas hepatitis fulminan lebih besar dari 30%. Transplantasi hati adalah satu-
satunya intervensi efektif; perawatan pendukung yang ditujukan untuk mempertahankan
penderita sementara memberi waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi sel hati adalah satu-
satunya pilihan lain.(7)
Infeksi HBV juga dapat menyebabkan hepatitis kronis, yang dapat menyebabkan sirosis dan
karsinoma hepatoseluler primer. Glomerulonefritis membranosa dengan pengendapan
komplemen dan HbBeAg pada kapiler glomerolus merupakan komplikasi infeksi HBV yang
jarang. (7)
9
Pencegahan
Pencegahan penyakit adalah penting sekali. Mengingat negara kita penyakit HBV
merupakan penyakit endemis yang ditemukan sepanjang tahun, dengan insidensi tergolong
tinggi, maka perlu sekali digalakkan pencegahan penyakit ini untuk menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas. Pencegahan umum yang mudah dilaksanakan oleh seluruh lapisan
masyarakat ialah dengan jalan meningkatkan kesehatan lingkungan, peningkatkan gizi, dan
lain-lain. Selain daripada itu dapat pula dengan pemberian kekebalan melalui imunisasi baik
imunisasi pasif maupun aktif.(1,8)
1. Imunisasi pasif (8)
Imunisasi pasif dilakukan dengan pemberian imunoglobulin. Diberikan baik sebelum
terjadinya paparan (preexposure) maupun setelah terjadinya paparan (postexposure). Dapat
dilakukan dengan memberikan IG/ISG (Immune Serum Globulin) atau HBIG (Hepatitis B
Immune Globulin).
Indikasi utama pemberian imunisasi pasif ini ialah,
a. Paparan dengan darah yang ternyata mengandung HBsAg, baik melalui
kulit ataupun mukosa.
b. Paparan seksual dengan pengidap HBsAg (+)
c. Paparan perinatal, ibu HBsAg (+). Imunisasi pasif harus segera diberikan sebelum 48 jam.
d. Dosis (8)
Pada kecelakaan jarum suntik: 0,06 ml/kg, dosis maksimal 5 ml, intramuskuler, harus
diberikan dalam jangka waktu 24 jam, diulangi 1 bulan kemudian.
· Paparan seksual: dosis tunggal 0,06 ml/kg, intramuskuler, harus diberikan dalam jangka
waktu 2 minggu, dengan dosis maksimal 5 ml.
· Paparan perinatal: 0,5 ml intramuskular.
2. Imunisasi Aktif (8)
Imunisasi aktif dapat diberikan dengan pemberian partikel HBsAg yang tidak infeksius.
Dikenal 3 jenis vaksin hepatitis B yaitu,
· Vaksin yang berasal dari plasma
· Vaksin yang dibuat dengan teknik rekombinan (rekayasa genetik)
· Vaksin polipeptida
a. Vaksin (8)
Vaksin yang beredar di Indonesia
1. Evvac-B (Aventis Pasteur), dosis dewasa 5ug, dosis anak 2,5 ug pada ibu HbeAg (+)
dosis 2 kali lipat.
10
2. Hepaccine (Cheil Sugar), dosis dewasa: 3 ug, dosis anak 1,5 ug
3. B-Hepavac II (MSD), dosis dewasa 10 ug, dosis anak 5 ug
4. Hepa-B (Korean Green Croos), dosis dewasa 20 ug, dosis anak 10 ug
5. Engerix-B (GSK), dosis dewasa 20 ug, dosis anak 10 ug
Penyutikan diberikan intramuskular, dilakukan di daerah deltoid atau paha anterolateral
(jangan di bokong).
3. Imunisasi gabung antara pasif dan aktif, yaitu pemberian HBIG, dan
dilanjutkan dengan vaksin hepatitis B.
Kebanyakan ahli menganjurkan memberikan vaksin tiga kali. Kedua suntikan pertama
dimaksudkan untuk memulai rangsangan pembentukan Anti HBs, sedang suntikan terakhir
dimaksudkan sebagai pemacu untuk merangsang kembali sel “memory”dan menaikkan titer
antibodi agar dapat bertahan lebih lama.(1)
Vaksinasi awal (primer), diberikan 3 kali. Jarak antara suntikan I dan ke II 1-2 bulan,
sedangkan suntikan ke III diberikan 6 bulan dari suntikan I. Pemberian booster 5 tahun
kemudian masih belum ada kesepakatan. Pemeriksaan Anti-HBsAg pasca imunisasi
dianjurkan setelah 3 bulan dari suntikan terakhir. Skrining pra-vaksinasi hanya dianjurkan
pada pemberian imunisasi secara individu (praktek swasta perorangan), sedangkan pada
suntikan masal tidak dianjurkan.(8)
Penatalaksanaan
Mengingat bahwa hepatitis virus B selain dapat menimbulkan tanda-tanda akut, sering pula
dapat menyebabkan kronis. Oleh karena itu pengelolaan penderita hepatitis virus B dibagi
atas: akut dan kronis.(1)
3. Pengelolaan Hepatitis Virus B Akut
a. Pada stadium akut
▪ Istirahat mutlak/tirah baring
Ini merupakan perawatan baku yang sudah lama dianjurkan kepada penderita dengan
hepatitis virus akut. Lamanya istirahat mutlak yang dianjurkan tergantung pada keadaan
umum penderita dan hasil tes faal hati, terutama terhadap kadar bilirubin serum.
▪ Diit
Pada prinsipnya penderita seharusnya mendapat diet cukup kalori. Pada stadium dini
persoalannya ialah bahwa penderita mengeluh mual, dan bahkan muntah, disamping hal
yang menganggu yaitu tidak nafsu makan. Dalam keadaan ini jika dianggap perlu pemberian
makanan dapat dibantu dengan pemberian infus cairan glukosa. Bilamana nafsu makan
sudah timbul, dan rasa mual sudah berkurang, makanan penderita sebaiknya diganti dengan
11
makan nasi dengan diit kaya protein. Pemberian protein sebaiknya dimulai dengan 50 mg/kg
BB, kemudian dinaikkan sedikit demi sedikit sampai mencapai 100 mg/kg BB, dengan
maksud untuk membantu memperbaiki sel-sel parenkim hati.
▪ Obat-obatan
Pada saat ini belum ada obat yang mempunyai khasiat memperbaiki kematian/kerusakan sel
hati dan memperpendek perjalanan penyakit hepatitis virus akut.
b. Pada Stadium Konvalesensi
Kegiatan fisik perlu dibatasi selama 3 bulan setelah HbsAg menjadi negatif, agar jangan
terlalu capai dan memberatkan fungsi hati
Diit yang tetap dibatasi yaitu terhadap makanan dan minuman yang mengandung alkohol.
Terapi medikamentosa tetap diberikan terutama obat-obatan hepatotropik. Dan hendaknya
berhati-hati memberikan obat lainnya yang dapat menimbulkan hepatotoksik.
Mengingat bahwa penderita ini menderita hepatitis virus B, yang tidak jarang terjadi
menjadi kronis, maka perlu sekali pemeriksaan HbsAg, Anti HBs, Anti-HBc sebulan sekali
dan sebaiknya dilakukan pemeriksaan AFP dan USG secara teratur misalnya tiap 4-6 bulan. (9)
2. Pengelolaan Hepatitis B Kronik (5)
Tujuan pengobatan tentu saja untuk mengharapkan penyembuhan total dari infeksi virus
hepatitis B, diharapkan bahwa virus tersebut dapat dihilangkan di dalam tubuh dan terjadi
penyembuhan penyakit hatinya. Hal ini ditandai dengan menghilangnya HBsAg, DNA
polymerase dan HBV DNA dan juga perubahan nilai SGOT dan SGPT (enzim hati) ke
dalam batas normal.(7)
Obat Anti Virus
§ Interferon
Mempunyai aktivitas biologik sebagai antiviral, antiproliferatif dan khasiat imunomodulasi.
Dari penelitian-penelitian terdahulu memang dilihat adanya respons yang kurang dan hal ini
disebabkan karena dosis yang rendah dan pendeknya jangka waktu pengobatan. Dengan
telah ditemukan cara DNA rekombinant telah dapat dibuat alfa, beta dan gamma interferon
dalam jumlah yang besar dan sebagian problem diatas telah dapat diatasi. (5)
Pemberian interferon (IF) lebih dari tiga minggu akan menyebabkan DNA polymerase
(DNA-p) dan core antigen menjadi negatif. Dosis yang diberikan untuk alfa-IF selama
minggu pertama 7 juta U/hari, selanjutnya 3,5 juta U/hari untuk dua minggu berikutnya yang
diberikan intramuskuler. Sedangkan dosis untuk beta-IF selama minggu pertama 6 juta
U/hari, dilanjutkan 3 juta U/hari untuk dua minggu berikutnya diberikan intravena. Ternyata
12
beta-IF lebih efektif daripada alfa-IF. Hal ini mungkin disebabkan cara pemberian yang
berbeda.(1)
Sasaran utama dari interferon pada hepatitis kronis adalah menekan permanen replikasi virus
atau membasminya sehingga dapat mencapai keadaan remisi penyakitnya. Indikasi
pemberian interferon umumnya diberikan pada stadium replikasi (pembelahan virus) dan
perjalanan hepatitis kronik yang ditandai kenaikan enzim hati (transaminase), HbeAg dan
HBV DNA serum yang positif selama observasi 6 bulan.(5)
Pemberian interferon sering disertai timbulnya efek samping yaitu menggigil, demam,
lemah, rambut rontok, berat badan turun, penekanan pada sumsum tulang, dan perubahan
lokal pada tempat suntikan.(5)
Prognosis
Prognosis pengidap kronik HBsAg sangat tergantung dari kelainan histologis yang
didapatkan pada jaringan hati. Semakin lama seorang pengidap kronik mengidap infeksi
HBV maka semakin besar kemungkinan untuk menderita penyakit hati kronik akibat infeksi
HBV tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa 40% pengidap infeksi HBV kronik yang
mencapai usia dewasa akan meninggal akibat penyakit hati kronik misalnya sirosis atau
KHP. Disamping itu seorang pengidap kronik dapat menjadi HBsAg negatif walaupun
jarang. Hal ini terjadi pada 1% dari pengidap kronik setiap tahunnya.(11)
Daftar Pustaka
1. Hadi, S., 2000. Hepatologi, hal: 3-34; Penerbit Mandar Maju, Bandung,
2. Soemoharjo, S. 2002. Vaksinasi. Hepatitis B, dalam Simposium Sehari Hepatitis B dan C,
hal: 1-14, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
3.Markum, A.H., 1991. Hepatitis virus B Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, hal: 523;
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
4.National Center for Infectious Disease, 2005; http:// www. Cdc.
Gov/ncidod/diseases/hepatitis/B/ fact. htm
5. Soejoenoes, S., 2001. Pengeloaan Hepatitis B Dalam Kehamilan dan Persalinan, Media
Medika Indonesiana, Volume 36, No 3, hal 142, FK UNDIP, Semarang
6. Behrman, R.E. dan Vaughan, V.C., Nelson. 1992, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian 2, Edisi
12, , hal 1120-1123, Penerbit EGC, Jakarta,
7. Ranuh, I.G.N., 2001. Buku Imunisasi Di Indonesia, Edisi I, hal: 83-85, Satgas Imunisasi
IDAI, Jakarta,
13
8. Isselbacher, et al, Harrison, 2000, Hepatitis A sampai E, dalam Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam, Volume 4, Edisi 13, hal: 1644, Penerbit EGC, Jakarta
9. Anderson S, dan Lorraine C. W. 1993. Hepatitis Virus, dalam Patofisiologi Konsep klinis
Proses-proses Penyakit, edisi 2, bag. 1, hal: 441, EGC, Jakarta,
10. Noer S., 1996. Hepatitis Virus Akut, dalam Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, ed.-3, set-8,
hal: 322, FKUI, Jakarta
11. Saputra, L., 1999. Hepatitis virus akut, dalam The Merck Manual Jilid 2, ed 16, Hal 252-
271, Bina rupa aksan, Jakarta
14