Post on 27-Oct-2015
description
PATOFISIOLOGI MALARIA KURNIA FITRI JAMIL
Bagian/SMF. Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran UNSYIAH/RSUD. Dr. Zainoel Abidin
BANDA ACEH
PENDAHULUAN
Malaria berat adalah penyakit malaria akibat infeksi Plasmodium falsiparum yang
disertai dengan gangguan multisistim.1,2 Penyakit ini mempunyai gambaran klinis yang
luas dan sesuai dengan pola organ yang terinfeksi.1,3 WHO4 menetapkan kriteria
diagnosa malaria berat yaitu adanya satu atau lebih komplikasi sebagai berikut,
hiperparasitemia, malaria serebral, anemia berat, ikterus, gangguan asam basa dan
elektrolit, gagal ginjal, hipertermia, komplikasi infeksi lain, edema paru, hipoglikemia,
kolaps sirkulasi, perdarahan dan gangguan koagulasi, muntah-muntah pada terapi per
oral dan hemoglobinuria pada penderita positif malaria falsiparum. Malaria serebral
merupakan komplikasi terberat dan sering mengakibatkan kematian.1,5,6,7,8 Malaria
berat menyebabkan kematian sekurang-kurangnya 2 juta orang setiap tahun di seluruh
dunia. 3
Penelitian patogenesa malaria berat terutama malaria serebral berkembang pesat
akhir-akhir ini.6,7 Meskipun demikian patogenesa malaria serebral masih tetap belum
jelas.6,7,9 Sifat koma yang reversibel serta jarang mengakibatkankan sekuela
neurologik menjadi pusat perhatian para peneliti. Disamping hal tersebut, juga menjadi
pertanyaan , mengapa hanya 1-2% penderita malaria falsiparum yang mengalami
malaria berat atau malaria serebral.6 Interaksi yang kompleks antara antigen parasit
yang mudah berubah dan respon imun individu dengan implikasi patologik-nya,
menyebabkan gambaran klinis infeksi malaria yang bervariasi.7 Sejumlah faktor seperti
genetik, status nutrisi, status imunologi , keterlambatan atau ketidak-tepatan terapi
serta strain parasit berpengaruh dalam terjadinya malaria berat.6
Titik perhatian dalam patogenesa malaria berat adalah sekuestrasi eritrosit yang
berisi parasit stadium matur ke dalam mikrovaskular organ-organ vital.5,6,8,10,11 Faktor
1
lain seperti induksi sitokin oleh toksin parasit dan produksi nitrik oksida juga diduga
mempunyai peranan penting dalam patogenesa malaria berat. 8
FAKTOR PARASIT
Faktor parasit yang berpengaruh terhadap terjadinya malaria berat adalah
intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit.
Intensitas transmisi
Tingkat parasitemia yang terjadi selama puncak transmisi adalah empat belas
kali lebih tinggi dibandingkan saat tingkat transmisi rendah.12 Rendahnya parasitemia
pada saat transmisi rendah disebabkan oleh karena adanya imunitas yang telah
diperoleh saat puncak transmisi.12 Sedangkan tingginya parasitemia saat puncak
transmisi disebabkan oleh karena meningkatnya jumlah gigitan nyamuk infeksius dan
infeksi oleh strain parasit yang baru.12
Densitas parasit
Hubungan antara tingkat parasitemia dan mortalitas akibat malaria falsiparum
pertama kali dilaporkan oleh Field dan Niven 2,4 Mortalitas dilaporkan meningkat pada
parasitemia >100.000/mikroL dan bila parasitemia >500.000/mikroL maka angka
kematian mencapai 50 %.2,4 Tingkat parasitemia dapat digunakan untuk menilai
beratnya penyakit.2,4,9 Meskipun demikian, pada daerah endemis malaria, parasitemia
yang tinggi sering ditemukan pada individu yang asimptomatik.2 Dilain pihak terdapat
kasus kematian akibat malaria dengan tingkat parasitemia yang rendah.2 Ketidak –
sesuaian ini dapat diterangkan berdasarkan stadium perkembangan parasit dan
sinkronitas infeksi Plasmodium falsiparum.2 Beratnya penyakit lebih ditentukan oleh
jumlah parasit yang bersekuestrasi ke dalam jaringan daripada jumlah parasit dalam
sirkulasi.1,2 Morfologi/stadium parasit dalam apus darah tepi mencerminkan proporsi
2
parasit yang bersekuestrasi dan mempunyai nilai prognostik.1,2 Adanya sizontemia
dan atau tropozoit matur di darah tepi merupakan petanda prognosa yang buruk. 2
Virulensi parasit
Virulensi parasit ditentukan oleh daya multiplikasi parasit, sinkronitas parasit,
strain parasit, kemampuan melakukan sitoadherens dan roseting, induksi sitokin,
produksi nitrik oksida serta daya invasi parasit 1,5,13 P.vivaks menginvasi eritrosit hanya
melalui jalur glikoporin A sedangkan P. falsiparum melalui jalur glikoporin A dan B.
P.vivaks menginvasi retikulosit sedangkan P.falsiparum menginvasi semua bentuk
eritrosit.13 Ringwald dan Carlson 6,14 melaporkan adanya hubungan yang lurus antara
virulensi parasit dengan kemampuan pembentukan roset di Gambia dan Malagasi.
Namun Al-Yaman8 tidak menemukan hubungan lurus ini pada penelitian di Papua
Nuigini. Hal ini mungkin berhubungan dengan variabel geografi ataupun strain
parasit.1,8 Virulensi parasit juga berbanding lurus dengan daya multiplikasi parasit .1
FAKTOR HOST
Faktor host yang berperan dalam terjadinya malaria berat adalah endemisitas,
genetik, umur, status nutrisi dan status imunologi.1
Endemisitas
Pada daerah endemis malaria yang stabil, malaria berat terutama terdapat pada
anak kecil sedangkan orang dewasa umumnya hanya menderita malaria ringan. 13,15
Di daerah dengan endemisitas rendah, malaria berat terjadi tanpa memandang usia.13
Anak-anak berusia > 5 tahun di daerah hiperendemis sering mengalami parasitemia
tanpa menunjukkan gejala klinis.13 Hal ini berhubungan dengan imunitas klinis yang
tidak akan ditemukan pada anak-anak didaerah hipoendemis.13
Genetik
Kelainan genetik yang saat ini diketahui mempunyai efek protektif terhadap
malaria berat adalah kelainan dinding eritrosit dan HLA kelas I serta II yaitu HLA-Bw
3
53, HLA-DRB I 1302, HLA-DQB 0501.15 McGuire dkk Dilaporkan adanya variasi regio
promoter TNF alfa yang berhubungan dengan kerentanan terhadap malaria serebral
dan meningkatkan kematian akibat penyakit ini . 5,25
Umur
Bayi berusia 3-6 bulan yang lahir dari seorang ibu yang imun, mempunyai
imunitas yang diturunkan, sehingga meskipun terdapat hiperparasitemia dan ada-
kalanya demam, tetapi jarang mengalami malaria berat.15 Periode umur dan tingkat
endemisitas selanjutnya berpengaruh terhadap pola malaria berat pada anak dengan
usia lebih tua.15 Di daerah endemis, komplikasi malaria yang menjadi penyebab
kematian utama anak berusia < 18 bulan adalah anemia berat sedangkan usia 3-4
tahun adalah malaria serebral.15 Kejadian malaria berat berkurang di usia > 4 tahun.15
Primigravida yang tinggal didaerah hipoendemis lebih rentan terhadap malaria
serebral.13,15 Keadaan ini diduga disebabkan oleh menurunnya imunitas dengan
mekanisme yang belum diketahui secara pasti.13,15 Penurunan imunitas lokal plasenta-
uterus serta meningkatnya kadar hormon steroid diduga sebagai penyebab.15
Status nutrisi
Malaria berat sangat jarang ditemukan pada anak-anak dengan marasmus atau
kwasiorkor.15 Defisiensi zat besi dan riboflavin juga dilaporkan mempunyai efek
protektif terhadap malaria berat.15 Diet rendah PABA ( para – amino benzoic acid ),
seperti yang terdapat dalam air susu ibu, melindungi anak dari malaria berat.15
Imunologi
Mekanisme imunologi malaria berat melibatkan imunitas selular dan humoral
yang kompleks. Limpa memegang peranan penting dalam mekanisme imunologi
malaria akut.16 Spelenektomi mengakibatkan binatang percobaan yang resisten
menjadi rentan dan yang rentan menjadi malaria berat dan fatal.16 Pada malaria
falsiparum limpa memfagositosis eritrosit baik non parasit maupun yang mengandung
parasit.16,17 Proses pembersihan oleh limpa merupakan mekanisme penting dalam
4
pertahanan tubuh dan patogenesa anemia pada malaria.16,17 Walaupun demikian,
peranan limpa secara rinci belum diketahui dan dihubungkan dengan filtrasi parasit
serta fagositosis oleh Fc reseptor limpa.16
Sel imunokompeten melepaskan sitokin.13 Sitokin berperan dalam respon imun
baik secara kualitatif maupun kuantitatif.13 Namun disamping berperan sebagai respon
imun, sitokin juga berpengaruh dalam sejumlah proses patologik .13
MEKANISME PATOGENESIS
Invasi merozoit ke dalam eritrosit menyebabkan eritrosit yang mengandung
parasit ( EP ) mengalami perubahan struktur dan biomolekular sel untuk memper-
tahankan kehidupan parasit.18 Perubahan tersebut meliputi mekanisme transport mem-
bran sel, penurunan deformabilitas, perubahan reologi, pembentukan knob, ekspresi
varian neoantigen dipermukaan sel, sitoadheren, sekuestrasi dan roseting.15 Respon
imun individu terhadap antigen parasit akan menstimulasi sistim RES, mengubah aliran
darah lokal dan endotelium vaskular, mengubah biokimia sistemik, menyebabkan
anemia, hipoksia jaringan dan organ, produksi sitokin dan nitrik oksida (NO).15 Berikut
akan dibahas mekanisme patogenesis malaria berat mulai dari invasi merozoit ke
dalam eritrosit , sitoadheren, sekuestrasi , roseting , peranan sitokin dan NO.
Eritrosit Parasit ( EP)
EP memulai proses patologik infeksi malaria falsiparum. EP memiliki kemampuan
adhesi dengan sel lain yaitu endotel vaskular, eritrosit dan EP lainnya.5 Penurunan
deformabilitas EP matur menyebabkan sel ini sulit melewati kapiler dan filtrasi limpa
secara normal.1,2 Hal ini berpengaruh terhadap terjadinya sitoadheren dan sekues-
trasi.1,2 Membran EP memiliki kapasitas variasi antigenik yang besar sehingga relatif
terlindung dari mekanisme pertahanan tubuh.13,18 Antigen yang pertama-tama tampak
di permukaan EP adalah antigen RESA (Ring-erythrocyte Surface Antigen). EP menga-
lami merogoni dan melepaskan toksin malaria yaitu GPI ( glikosilfosfatidilinositol ).19
1. Antigen RESA ( Ring-erythrocyte Surface Antigen )
5
EP stadium cincin menampilkan antigen RESA di permukaan sel.20 Al-Yaman 20
melaporkan bahwa individu dewasa dengan titer antibodi RESA yang tinggi jarang
mengalami parasitemia. Kadar tertentu antibodi RESA diduga mampu menginhibisi
pertumbuhan parasit.20 Antigen RESA menghilang setelah EP memasuki stadium
matur.
2. GPI ( glikosilfosfatidilinositol )
GPI adalah toksin glikolipid dan dilepaskan saat proses merogoni dan
kerusakan sel.19 GPI memulai respon patofisiologik pada malaria akut dan berat
dengan menginduksi pelepasan sitokin TNF-alfa dan IL-1 dari makrofag.19 Sitokin
ini bersifat pirogen endogen, menyebabkan panas dan kaheksia.13,19 GPI
mempunyai aktifitas mirip insulin yaitu mengatur metabolisme glukosa di jaringan
adiposa sehingga dapat mengakibatkan hipoglikemia.19
Sitoadheren
Sitoadheren adalah melekatnya EP matur di permukaan endotel vasku-
lar.1,7,10,11,13,21 Sitoadheren merupakan proses spesifik yang hanya terjadi di kapiler dan
venula post kapiler.1 Proses ini dipengaruhi oleh limpa melalui mekanisme yang belum
jelas.1,13 Tampaknya sitoadheren merupakan respon EP terhadap fungsi penghancuran
EP matur oleh limpa.18 Untuk menghindari proses ini EP matur melekat di permukaan
endotel dan bersekuestrasi di jaringan mikrovaskular organ vital.8,18,22 Penumpukan EP
di mikrovaskular menyebabkan gangguan aliran mikrovaskular sehingga terjadi
anoksia/ hipoksia jaringan. 7,13 Konsentrasi laktat arteri dan jaringan serebri meningkat
secara bermakna pada koma malaria serebral.15 EP melekat di endotel melalui
penonjolan membran EP yang disebut knob.1,7,13,15,18,21 EP knob + (positif ) mempunyai
kemampuan sitoadheren.1,18 Namun demikian telah dilaporkan bahwa EP knob –
( negatif ) juga dapat melekat pada endotel melalui ikatan yang lebih lemah . 18,21
Kemampuan adhesif EP tampaknya merupakan hal utama dalam usaha
mempertahankan kehidupan parasit dan selanjutnya menyebabkan malaria berat dan
fatal.18 Sitoadheren terjadi melalui pelekatan molekul-molekul adhesif di permukaan
EP dan di permukaan endotel vaskuler.
6
1. Molekul-molekul adhesif EP ( ligand )
Famili gen yang mengkode protein 200-350 kDA bertanggung jawab terhadap
variasi antigenik dan sitoadheren EP.18 Famili gen ini disebut gen VAR dan sangat
beraneka ragam .18 Gen VAR memegang peranan utama dalam sitoadheren dan
variasi anigenik EP.5,18 Setiap parasit memiliki 50-150 kopi DNA gen ini. Ekspresi
protein famili gen ini secara kolektif disebut PfEMP-1( P.falciparum erythrocyte
membrane protein-1 ).5,18 PfEMP-1 terletak di knob dan merupakan ligand dengan
variasi antigenik yang besar.5,18 Molekul adhesif lain yang berperan sebagai ligand
sitoadheren adalah sekuestrin, modifikasi eritrosit band-III dan rosetin.18 Protein-
protein ini relatif sama pada varian parasit yang berbeda dan tidak berpengaruh
terhadap variasi antigenik.18
2. Molekul-molekul adhesif endotel vaskular ( reseptor )
PfEMP-1 melekat secara spesifik dengan molekul-molekul adhesif di permukaan
endotel.5,18 Molekul-molekul adhesif yang telah diidentifikasi adalah CD36, trom-
bospondin, ICAM-1 ( intercellular adhesion molecule - 1), ELAM-1 ( endothelial line
adhesion molecule-1 ), VCAM-1 ( vascular cell adhesion molecule -1) , E-Selektin
dan kondroitin sulfat.5-7,10,13,18 Reseptor-reseptor tersebut terdapat dalam keadaan
basal di tubuh dan meningkat saat infeksi.10 Distribusi reseptor-reseptor ini dalam
jaringan tubuh manusia tidak sama, hal ini mencerminkan heterogenitas fenotipe
serta fungsi endotel pada organ yang berbeda.10 Kadar ekspresi reseptor-pun
berbeda sebab sebagian reseptor diinduksi melalui aktifitas sitokin.10 Induksi
reseptor endotelial sistemik dan peningkatan ekspresi ICAM-1 serta E-Selektin
yang bermakna di vaskular otak ditemukan pada malaria fatal.10,13
Sekuestrasi
Sitoadheren menyebabkan EP bersekuestrasi dalam mikrovaskular organ-
organ vital.2,5,7,8,10,11,13,15,21,23 Parasit yang bersekuestrasi menumpuk di otak, paru, usus
dan jantung serta pada kadar yang berbeda di sejumlah organ tubuh lainnya5,10 dan
mengakibatkan sejumlah keadaan patologik pada malaria berat.1,2 Smalley dkk (1980)
7
Sekuestrasi juga terjadi pada gametosit imatur P.falsiparum.21 Awalnya sekuestrasi
diduga hanya terjadi di kapiler namun sejumlah studi melaporkan sitoadheren juga
terjadi di venula dengan kaliber lebih besar di sirkulasi serebral.5 Sekuestrasi
menyebabkan ketidak- sesuaian antara parasitemia di perifer dan jumlah total parasit
dalam tubuh. Pada infeksi yang sinkron, hubungan antara parasit di sirkulasi dan yang
mengalami sekuestrasi dapat berubah sesuai siklus aseksual parasit.2 Dengan
demikian, pada 2 kasus malaria dengan hitung parasit yang sama di darah tepi,
kemungkinan mempunyai perbedaan 100 kali lipat dalam jumlah parasit yang
bersekuestrasi.2 Stadium parasit yang predominan di apus darah tepi merupakan
kunci dalam membedakan kedua kasus ini. 2
Distribusi sekuestrasi parasit pada malaria fatal amat bervariasi antara organ-
organ dalam satu individu dan antara satu kasus dengan kasus lainnya.10 Sekuestrasi
tertinggi ditemukan di jaringan otak.5,10,15,18,21 Tingkat sekuestrasi di otak berhubungan
dengan tingkat ekspresi molekul adhesif di endotel vaskular otak.5,10 Sekuestrasi parasit
dan pigmen yang tinggi juga ditemukan di limpa dan hepar pada semua kasus malaria
fatal dan pada derajat yang lebih rendah serta bervariasi di paru, otot, jantung serta
ginjal.10 Disfungsi jaringan pada malaria berat berhubungan dengan tingkat
sekuestrasi pada jaringan tersebut.5 Pada malaria serebral, sekuetrasi kuantitatif di
mikrovaskular serebri berhubungan dengan keadaan klinis penderita .5,10,15 Meskipun
demikian, hubungan antara sekuestrasi dengan koma pada malaria serebral masih
tetap menjadi pertanyaan.5,8,10 Penelitian di Vietnam melaporkan bahwa sekuestrasi
di otak terjadi baik pada kasus malaria serebral maupun non serebral dengan jumlah
kuantitatif lebih tinggi secara bermakna pada malaria serebral. 5,10 Dilaporkan juga,
tidak ada kasus malaria serebral yang tidak mengalami sekuestrasi.5,10 Dengan
demikian, sekuestrasi diperlukan dalam patogenesa malaria serebral tapi masih
terdapat faktor-faktor lain yang turut berpengaruh.5 Sekuestrasi dikatakan lebih
sebagai epi-fenomena terhadap koma akibat malaria serebral.5 Selain sitoadheren,
fenomena adhesif EP yang lain adalah roseting.
Roseting
8
Roseting adalah suatu fenomena pelekatan antara satu buah EP matur yang
diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga berbentuk seperti
bunga.1,11,13,21-23 Roseting berperan dalam terjadinya obstruksi mikrovaskular. Tidak
semua parasit mempunyai kemampuan roseting.22 Faktor-faktor yang berpengaruh
dalam pembentukan roset adalah fenotipe roseting parasit ( R+) yang bersifat varian
spesifik,5,22 limpa,21 antibodi PfHRP-1 ( P.falciparum histidine-rich protein-1) yang
menghambat pembentukan roset,21,23 dan endemisitas.23 Individu yang tinggal di daerah
endemis mempunyai antibodi terhadap roseting yang tinggi.23 Roseting juga
dipengaruhi oleh golongan darah, terutama terjadi pada golongan darah A dan B.8,13
Roseting melindungi parasit dari fagositosis dan meningkatkan kemampuan sito-
adherens.8 Reseptor roseting di permukaan ertitrosit adalah molekul CD 36 walaupun
tampaknya terdapat molekul reseptor lain yang belum diidentifikasi.13,22,23 Meskipun
demikian peranan roseting dalam patogenesis malaria berat masih merupakan dugaan
dan belum dapat disimpulkan.1 Tidak seperti sitoadheren, roseting bukan merupakan
gambaran histologik yang menonjol pada pemeriksaan post-mortem. 1
Sitokin
Kadar TNF-alfa di darah perifer meningkat secara nyata pada penderita malaria
berat terutama malaria fatal. 5-7,10,13,19,24,25 Kadar IFN-gamma, IL-1, IL-6, LT dan IL-3
juga meningkat pada malaria berat.6,24 Sitokin-sitokin ini saling berinteraksi dan
menghasilkan efek patologi yang lebih nyata.1,19,24 Meskipun demikian peranan sitokin
secara langsung dalam patogenesa malaria berat masih dalam perdebatan. 1,6 Dari
Gabon dilaporkan kasus malaria berat dengan kapasitas produksi TNF tinggi ternyata
mengalami perbaikan klinis maupun parasitologis yang lebih cepat. Disamping itu,
sitokin diketahui mempunyai efek anti parasit secara in vitro. 25,26 Kadar TNF yang ting-
gi juga ditemukan pada malaria vivaks tanpa komplikasi. 1,25 Oleh sebab itu, pengaruh
TNF dalam patogenesa malaria berat diduga terjadi secara lokal, pada tingkat jaringan,
tempat merogoni terjadi. Pengukuran kadar TNF perifer tidak dapat mencerminkan
proses patologi yang terjadi. 1,24,25
TNF alfa berperan dalam patogenesa malaria oleh karena molekul ini menye-
babkan upregulation ligand endotelial ICAM-1,6,13,19,25,27 merangsang pelepasan NO
9
(nitrik oksida) dari sel endotel,25,26 mengakibatkan hipoglikemia dengan cara meng-
hambat glukoneogenesis 24 serta menyebabkan diseritropoesis.1,13 Lucas dkk28
melaporkan bahwa kadar ICAM-1 berhubungan erat dengan kadar TNFR2 ( TNF re-
septor 2) dan ICAM-1 berhubungan erat dengan kerusakan endotelial pada malaria
serebral dan ARDS ( acute respiratory distress syndrome ) akibat syok septik.28
Pemberian rekombinan TNF pada model eksperimental selain mengakibatkan hal-hal
tersebut di atas juga menyebabkan hipertrigliseridemia, hipotensi, penumpukkan
netrofil di vaskular paru, koagulasi intra vaskular yang difus dan abortus. 19 Antibodi
netralisasi TNF memberi efek proteksi terhadap malaria berat. 19
Kadar TNF alfa dan IL-6 berkorelasi secara positif dengan parasitemia, bilirubin
serum dan suhu serta secara negatif dengan trombosit.6 Penelitian di Gambia dan
Madagaskar melaporkan TNF alfa berkorelasi secara positif dengan pembentukan
roset.6,11,13 Konsep ini membawa pemikiran bahwa kadar rendah sitokin mempunyai
efek protektif sedangkan kadar tinggi mengakibatkan proses patologik. 1
Nitrik Oksida
Peranan NO dalam patogenesa malaria berat masih belum jelas. Anstey dkk 26
menduga bahwa penurunan sintesa NO merupakan predisposisi terhadap terjadinya
malaria serebral dan fatal.26,29 NO dikatakan mempunyai efek protektif me-lalui inhibisi
perkembangan parasit dan menurunkan proses sitoadheren sebab berbeda dengan
efek upregulation reseptor endotel oleh TNF dan IL-1, NO menurunkan aktivasi
endotelial. 26 Sebaliknya, Clark dkk mengemukakan bahwa Sintesa NO mengganggu
neurotransmisi sehingga mengakibatkan kelainan neurologik yang berat tapi
reversibel.8,25,29 Al-Yaman dkk 29 melaporkan bahwa reactive nitrogen intermediate
berhubungan dengan terjadinya koma.
Produksi NO dipengaruhi oleh kadar TNF , IL-10 dan faktor parasit. IL-10 men-
supresi produksi NO, TNF alfa menyebabkan pelepasan NO, dan seperti pada TNF,
produksi NO diduga dipengaruhi oleh strain parasit. 25,26 Agaknya terjadi keseim-
bangan antara TNF dengan NO, sebab inhibisi sintesa NO dapat mengakibatkan
peningkatan TNF sirkulasi yang tinggi.26
10
RINGKASAN
Patogenesis malaria berat belum diketahui secara jelas sampai saat ini. Faktor
parasit dan faktor host berperan dalam terjadinya mekanisme patogenesis. Proses
merogoni, sitoadheren dan sekuestrasi menyebabkan keadaan patologi malaria berat.
Pelepasan sitokin dan nitrik oksida diduga berpengaruh dalam manifestasi klinis
malaria berat. Tingginya kadar sitokin TNF sesuai dengan beratnya penyakit
sedangkan NO dikatakan lebih bersifat protektif. Meskipun demikian peranan TNF dan
NO dalam patogenesis malaria berat masih perlu diteliti lebih lanjut.
SUMMARY
Pathogenesis of severe malaria is still unclear. There are many parasite and host
factors contributes in this mechanism. Merogony, cytoadherent and sequestration have
been known caused the pathology process in severe malaria. Cytokine and nitric
oxide release have been suggested as caused of clinical manifestasion of severe
malaria. Levels of TNF correlated with disease severity while there is a correlation
between decreased NO production and disease severity. The role of TNF and NO in
the pathogenesis of human malaria clearly require further investigation.
KEPUSTAKAAN
1. White. N.J, Ho. M . The pathofisiology of malaria. Advances in Parasitology 1992 ; 31 : 84-114.2. Silamut. K , White. N. J. The relation of the stage of parasite development in the peripheral blood to
prognosis in severe falciparum malaria. Trans.R.Soc.Trop.Med.Hyg. 1993 ; 87 : 436-443.3. Warrell. D. A. Clinical features of malaria. In Gilles H. M, Warrell. D. A (Eds): Bruce-Chwatt’s
Essential Malariology. 3rd Ed. Edward Arnold, Great Britain, 1993, pp 37-48.4. World Health Organization. Severe and complicated malaria. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 1986 ;
80 : 1-17.5. Turner. G. Cerebral Malaria. Brain Pathol. 1997 ; 7 : 569-582.6. Ringwald. P, Peyron. F, Lepers. J. P et al . Parasite virulence factors during falciparum malaria :
rosetting, cytoadherence, and modulation of cytoadherence by cytokines. Infect. Immun. 1993 ; 61 : 5198-5204.
7. Patnaik. J. K. Pathogenesis of cerebral malaria. Indian J. Pathol. Mircobiol. 1996 ; 39: 415-418. 8. Al-Yaman. F , Genton. B , Falk. M et al. Human cerebral malaria : Lack of significant association
between erythrocyte rosetting and disease severity. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 1995 ; 89 : 55-58.
9. McElroy. P. D , Beier. J. C , Oster. C. N et al. Predicting outcome in malaria : correlation between rate of exposure to infected mosquitoes and level of Plasmodium falciparum parasitemia. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1994 ; 51 : 523-532.
11
10. Turner. G. D , Morrison. H , Jones. M et al. An immunohistochemical study of the pathology of fatal malaria. Evidence for widespread endothelial activation and a potential role for intercellular adhesion molecule-1 in cerebral sequestration. Am. J. Pathol. 1994 ; 145 : 1057-1069.
11. Ho. M , Davis. T. M , Silamut. K , Bunnag. D , White. N. J . Rosette formation of Plasmodium falciparum-infected erythrocytes from patients with acute malaria. Infect. Immun. 1991 ; 59 : 2135-2139.
12. Beadle. C , McElroy. P. D , Oster. C. N , Beier. J. C et al. Impact of transmission intensity and age on Plasmodium falciparum density and associated fever : implications for malaria vaccine trial design. 1995 ; 172 : 1047-1054.
13. Miller.L. H ,Good.M. F , Milon. G . Malaria pathogenesis. Science 1994;264:1878-1883.14. Carlson. J , Helmby. H , Hill. A. V , Brewster. D et al. Human malaria: association with erythrocyte
rosetting and lack of anti-rosetting antibodies. Lancet 1990;336:1457-1460.15. Francis. N , Warrell. D. A. Pathology and pat hophysiology of human malaria. In Gilles. H. M ,
Warrell. D. A.(Eds): Bruce-Chwatt’s Essential Malariology. 3 rd Ed. Edward Arnold, Great Britain, 1993, p 50-58.
16. Ho. M , White. N. J , Looareesuwan. S et al . Splenic Fc receptor function in host defense and anemia in acute Plasmodium falciparum malaria. J.Infect.Dis. 1990; 161: 555-561.
17. Looareesuwan. S , Davis. T. M , Pukrittayakamee. S et al. Erythrocyte survival in severe falciparum malaria. Acta Trop. 1991 ; 48 : 263-270.
18. Deitsch. K. W , Wellems. T. E. Membrane modifications in erythrocytes parasitized by Plasmodium falciparum. Mol.Biochem.Parasitol. 1996 ; 76 : 1-10.
19. Schofield. L , Hackett. F. Signal transduction in host cells by a glycosylphosphati-dylinositol toxin of malaria parasites. J.Exp.Med. 1993 ; 177 : 145-153.
20. Al-Yaman. F , Genton. B , Falk. M et al. Humoral response to Plasmodium falciparum ring-infected erythrocyte surface antigen in a highly endemic area of Papua New Guinea. Am.J.Trop.Med.Hyg. 1995 ; 62 : 66-71.
21. Carlson. J , Holmquist. G , Taylor. D. W , Perlmann. P , Wahlgren. M. Antibodies to a histidine-rich protein (PfHRP1) disrupt spontaneously formed Plasmodium falciparum erythrocyte rosettes. Proc.Natl.Acad.Sci.U.S.A. 1990 ; 87 : 2511-2515.
22. Handunnetti. S. M , Van Schravendijk. M. R , Hasler. T et al. Involvement of CD 36 on erythrocytes as a rosetting receptor for Plasmodium falciparum-infected erythrocytes. Blood 1992 ; 80 : 2097-2104.
23. Carlson. J , Helmby. H , Hill. A. V et al. Human cerebral malaria: association with erythrocyte rosetting and lack of antirosetting antibodies. Lancet 1990 ; 336 : 1457-1460.
24. Clark. I. A , Rockett. K. A , Cowdwn. W. B. Role of TNF in cerebral malaria. Lancet 1991 ; 337 : 302-303.
25. Newton. C.R.J.C, Taylor. T.E, Whitten. R.O. Pathophysiology of fatal falciparum malaria in African children. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1998 ; 58 : 673-683
26. Anstey. M.A, Weinberg. J. B, Hassanali. M.Y et al. Nitric oxide in Tanzanian children with Malaria: Inverse relationship between malaraia severity and nitric oxide production/nitric oxide synthase type 2 expression. J. Exp. Med. 1996 ; 184 : 557-567.
27. Graninger. W , Prada. J , Neifer. S et al. Upregulation of ICAM-1 by Plasmodium falciparum: in vitro and in vivo studies. J.Clin.Pathol. 1994 ; 47 : 653-656.
28. Lucas. R, Lou. j, Morel. D.R et al. TNF receptors in the microvascular pathology of acute respiratory distress syndrome and cerebral malaria. J. Leukoc Biol 1997; 61 : 551-558. (abstrak)
29.Agbenyega. T, Angus. B, Bedu-Addo. G et al. Plasma nitrogen oxides and blood lactate concentrations in Ghanaian children with malaria. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 1997 ; 91 : 298-302.
12