Post on 29-Jan-2016
description
TUGAS EKSPLORASI BATUBARAORIGIN OF COAL
Oleh :
Rizki Maulana ( 115.110.007)
Anggit WIjaya (115.120.001)
Ryan Ananda B.S (115.120.004)
Rizqa Dwi Agustin (115.120.005)
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKAFAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UPN “VETERAN” YOGYAKARTA2015
Origin of Coal
Pendahuluan
Lapisan sedimen yang mengandung batubara atau gambut dapat ditemukan diseluruh
dunia pada rentang Paleozoic atas hingga sekarang. Batubara merupakan pengendapan dari
material tumbuhan pada lingkungan kusus. Pengendapan ini dipengaruhi oleh syn-sedimen dan
post-sedimen yang menhasilkan batubara yang nantinya dapat dikelaskan karena kerumitan
struktur yang berkembang. Genesa batubara telah dipelajari selama berabad-abad dimana belum
ada model yang bisa menjelaskan secara pasti terbentuknya dan tipe batubara. Banyak sekali
model yang dibangun untuk mengidentifikasi lingkungan pengendapan, tapi tidak ada satupun
yang dapat menjelaskan secara pasti tentang siklus alam pengendapan batubara seperti
kemenerusannya, sifat fisik dan karakteristik kimianya.
Sedimentasi dan Pola Pengendapan Batubara
Selama kurun waktu 35 tahun, rasa keingintahuan telah berkembang pesat dibidang
proses sedimentology, terutama mengenai karakteristik endapan fluvial dan lingkungan delta.
Bagian ini ditujukuan kusus untuk mempelajari pola pengendapan batubara. Hal ini mempunyai
tujuan untuk mempelajari lingkungan pengendapan batubara agar lebih bernilai ekonomis.
Dengan kata lain, dengan memahami bentuknya, morfologi dan kualitas dari batubara
merupakan dasar untuk perencaan masa depan dalam penambangan batubara. Meskipun studi
mengenai pembentukan batubara merupakan urutan kesekian, model yang digunakan untuk
membuat kejadiannya, distribusinya dan kualitas dari batubara masih sangat jauh dari akurat.
Model Pengendapan
Metode pengenalan model pengendapan sedimen untuk menjelaskan asal mula terjadinya
pengendapan batubara dan hubungannya dengan sedimen disekitarnya telah memperoleh
pencapaian dengan cara membandingkan lingkungan pengendapan gambut saat ini terbentuk dan
perlapisan batubara masa lampau. Cecil dkk (1993) menyarankan untuk menggunakan deskripsi
fisik dari pengendapan sedimen batubara daripada factor geologi yang mengontrol pengendapan
batubara. Mereka juga menyarankan bahwa model yang mengkombonasikan sedimentasi dan
tektonik dengan eustasi dan perubahan kimia belum bias dimanfaatkan secara maksimal. Model
jenis tersebut akan memberikan penjelasan yang mutakhir mengenai sifat fisik dan kimia proses
sedimentasi. Tradisi yang digunakan oleh beberapa pekerja berdasarkan cycloterm, yaitu sederet
perubahan siklus yang terjadi selama pengendapan. Model ini telah dikembangkan menjadi
kemenerusan lateral dan vertical terhadap perubahan pengenapan sedimen yang telah kita kenal
pada modern sekarang ini. Studi terbaru saat ini telah menggabungkan model pengendapan
dengan sistem sedimen darat modern. Meskipun begitu, model tradisional masuk digunakan ,
tetapi dihubungkan dengan pemahaman yang lebih baik tentang pembentukan gambut dan
ketersediaanya.
Model Tradisional
Coastal barrier and Back barrier facies
Pada daerah dekat pantai, model pengendapan sedimen dikarakteristikan oleh batupasir
murni, dimana kearah laut semakin halus butirannya dimana terdapat sisipan lempung karbonat
merah atau hijau dan batuan karbonat lainnya dikarenakan pada lingkungan ini kaya akan fauna.
Pada pengendapan di darat, terbentuk endapan lempung abu-abu oleh fauna air payau, dan pada
daerah rawa marginal dimana vegetasinya lebih berkembang. Endapan batupasir tepi pantai telah
direkondisi ulang dan memungkinkan terdapat kuarsa yang lebih banyak daripada batupasirnya
sendiri pada lingkungan semacam itu. Hal semacam ini menghadirkan macam perlapisan :
pertama, lembar ekstensif dari perlapisan batupasir yang terendapkan dipermukaan, dapat di
interpretasikan “storm washover sands”. Yang kedua, batupasir yang membentuk irisan yang
memajang kea rah darat, dapat mencapai ketebalan lebih dari 6 meter, dan mempunyai
kemiringan kea rah landward dan silang siur, di interpretasikan sebagai dataran banjir
pengendapan delta. Ketiga, batupasir channel dimana dimana dapat terjadi pada 10 meter di
bawah endapan sedimen lainnya, di interpretasikan sebagai daerah channel pasang surut.
Pada daerah belakang pantai, pengendapan dikarakteristikan oleh mengkasar ke atas
(coarsening-upward), organic-rich grey shale, batulanau tipis dan batubara yang tidak menerus.
Lapisan ini berada pada zona bioturbation, bersamaan dengan ikatan dan peresapan besi karbonat
( sideric ironstone ). Kehadiran lapisan semacam ini berkisar antara 20 – 30 meter ketebalannya
dan 5 – 25 km panjangnya.
Lower Delta Plain Facies
Pengendapan dataran delta bawah di dominasi oleh perlapisan coarsening upward dari
batulempung dan batulanau, berkisar antara 15 hingga 55 m ketebalannya, dan 8 hingga 110 km
pelamparannya. Bagian bawah pada lapisan ini dicirikan oleh batulempung berwarna abu gelap
hingga hitam dengan distribusi batugamping dan siderite yang tidak biasanya. Pada bagian
atasnya, batupasir sangat banyak, dicerminkan oleh peningkatan energi dari perairan dangkal
yang mempengaruhi pengendapan sedimen. Dimana pantai merupakan lingkungan yang baik
untuk tempat tumbuhnya tanaman, batubara terbentuk. Tetapi, jika daerah pantai tidak
mendukung, bioturbation, batuan siderite dan batulanau yang akan terbentuk. Perlapisan
pengkasaran keatas inilah di pengaruhi oleh creavase-splays. Pada karbonat di amerika,
pengendapan creavase-splay dapan mencapai lebih dari 10 m tebalnya da 30 hingga 8 km
luasnya.
2.1. TAHAP PEMBENTUKAN BATUBARA
Dua tahap penting yang dapat di bedakan untuk mempelajari genesa batubara adalah gambut
dan batubara. Dua tahap ini merupakan hasil dari suatu proses yang berurutan terhadap bahan
dasar yang sama (tumbuhan). Menurut wolf – 1984, secara definisi dapat diterangkan sebagai
berikut:
A. Gambut
Adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan hancuran atau
bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi (proses pembentukan asam humin) dan dalam
kondisi tertutup udara – umumnya di bawah air – tidak padat, dengan kandungan air lebih
dari 75 % berat Ar ( Ah received = berat pada saat diambil di lapangan ) serta kandungan
mineral lebih kecil dari 50 % dalam kondisi kering.
B. Batubara
Adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhan, berwarna
coklat sampai hitam. Sejak pengendapannya mengalami terkena proses fisika dan kimia yang
mengakibatkan pengkayaan kandungan karbon.
Berdasarkan klasifikasi Badan Standardisasi Nasional Indonesia tentang batubara,
pengertian endapan batubara adalah : Endapan yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa-sisa
tumbuhan yang telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan hampir proses metamorfosis
oleh panas dan tekanan selama waktu geologi, yang berat kandungan bahan organiknya lebih
dari 50% atau volume bahan organik tersebut termasuk kandungan lengas bawaan ( inherent
moisture) lebih dari 70 %”.
Untuk menjadi batubara, ada beberapa tahapan yang harus di lewati oleh bahan dasar
pembentuknya. Pada tiap tahapan ada proses yang terjadi dan proses-proses tersebut
tergantung kepada banyak faktor.
David White, (1961) mengatakan bahwa tahap perubahan tanaman yang mati menjadi
batubara secara fisik dan kimiawi di tunjukan oleh hal – hal seperti :
Selley (1976) mengatakan “maturation” atau “coalification” merupakan pertukaran unsur
tanaman yang terjadi sesudah tanaman itu mati dan terendapkan. Pendewasaan
(“maturation”), terjadi dalam dua tahap yaitu tingkat gambut (“peat stage”) dan tingkat
timbunan (“burial stage”).
Pada fase gambut terjadi perubahan biogenik, batang-batang tanaman yang mati terurai
secara biokimia dan ketika terkubur mengalami pertambahan beban dari sedimen diatasnya
serta mengalami peningkatan temperaturnya membuatnya dewasa secara dinamotermal
sehingga lambat laun gambut berubah menjadi batubara.
Tahap gambut merupakan syarat mutlak untuk pembentukan batubara. Dalam keadaan
normal tumbuhan mati yang tersingkap di udara akan hancur oleh proses oksidasi dan oleh
organisme, terutama fungi dan bakteri anaerob.
Bila tumbuhan tertimbun dalam rawa sehingga jenuh air, maka terdapat beberapa
kemungkinan perubahan. Bakteri aerobik yang membutuhkan oksigen akan segera mati
seiring dengan berkurangnya oksigen dalam rawa. Sementara itu, bakteri anaerob yang tidak
membutuhkan oksigen akan muncul dengan fungsi yang sama, yaitu menguraikan unsurunsur
tanaman.
Jika keadaan air rawa tenang maka hasil kegiatan bakteri tidak akan hilang dan terkumpul di
atasnya. Akibatnya, lingkungan rawa menjadi tidak bersih, aktifitas bakteri menjadi terbatas
dan peruraian tumbuahan sisa kemudian berhenti. Pada tingkat ini hasilnya disebut peat (
gambut ).
Jika gambut dialiri air maka bahan-bahan penghambat mejadi hilang terbawa aliran dan
peruraian berlangsung lagi dan kemungkinan gambut tidak terbentuk. Jika endapan gambut
tidak teraliri lagi, akan tetapi terkubur oleh lapisan sedimen halus yang sifatnya kedap air (
“impermeable”) maka pengawetan secara alami mungkin terjadi. Bila proses ini berlangsung
berulang –ulang maka akan terbentuk perlapisan batubara.
Faktor-faktor lain yang mengontrol pembetukan gambut :
Kelembaban yang berlebihan (“exces moisture”)
Pengiriman zat makan (“suply of nutrients”)
Derajat keasaman atau alkalinitas
Potensial oksidasi reduksi (redoks).
Kelembaban yang berlebihan menyebebkan oksidasi berjalan pelan, kecepatan dari
pembusukan lambat dan gambut cenderung tertimbun terus. Keasaman dari medium sekitar
di pengaruhi oleh kandungan kapur ( CaCO3 ) dalam air.
Menuru White (1908), terdapat dua tahap dalam pembentukan batubara, yaitu:
1. Tahap Biokimia / peatifikasi.
2. Tahap Dinamokimia/Metamorfisme.
2.1.1. TAHAP BIOKIMIA / PEATIFIKASI
Tahap ini merupakan proses perubahan dari bahan tumbuhan – tumbuhan yang mengalami
pembusukan dan kemudian terakumulasi hingga membentuk peat ( gambut ). Pada tahap ini
adanya aktifitas mikroorganisme dan partikel – partikel bakteri terhadap material tumbuh –
tumbuhan akan menyebabkan adanya oksigen yang cukup memadai. Pada tahap awal ini bila
menguntungkan, akan terbentuk Peat yang berwarna hitam gelap atau dengan struktur amorf.
Dan jika kurang menguntungkan akan terbentuk peat yang mengandung material – material
kayu dan material – material lain yang tidak teruraikan ( tidak mengalami dekomposisi )
dengan warna coklat.
Dengan demikian peat merupakan tahap awal dalam pembentukan batubara yang merupakan
pemadatan dari bahan tumbuh –tumbuhan yang mengalami pembusukan dan terakumulasi.
Bahan utama dari tumbuh tumbuhan yang menghasil kan peat disebut selulose (C₆H₁₀O₅),diman proses kimia nya adalah sebagai berikut : C H O +6 O ₆ ₁₀ ₅ ₂ ----> 6 CO +5 H O₂ ₂
Menurut Thiessen dan Strikler (1934) bahwa bakteri aerobik dan anaerobik dapathidup di rawa /paya dengan kedalaman maksimal 9 feet. Actinomyces dan fungi(jamur) terdapat pada lapisan bagian atas dan tidak diketemukan pada kedalaman dibawah 4 feet.Proses terjadinya pembusukan di pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :Temperatur airSirkulasi airJumlah oksigen dalam air (O sedikit. Pembusukan lebih cepat).₂
Jumlah toxin ada dalam air (toxin adalah kotoran dari bakteri), karena jika
toxin terlalu banyak dalam air dapat meracuni bakterinya sendiri, sehinggaaktifitas pembusukan terhenti.2.2. MOOR
Moor adalah lapisan gambut dengan ketebalan minimun 30 cm (dalam hal tertentu lumpur
juga termasuk di dalamnya).
Gambut terjadi akibat penumpukan sisa tumbuhan yang tidak secara keseluruhan berwarna
kemerah-merahan/teroksidasi terjadi di bawah kondisi basah (di bawah air), sehingga tidak
seluruhnya berhubungan dengan udara.
Menurut Ilmu tanah gambut adalah sedimen yang mengandung lebih besar dari 30 %
substansi organik dalam kondisi kering. Sedangkan menurut pengertian yang lebih baru lagi,
ada tiga kategori yang didasarkan pada temperatur pemanasan 5000 C. Disebut Moor kalau
pada temperatur tersebut kehiangan berat 75 – 100 %. Kalau kehilangan berat 15 – 75 %
disebut Anmoor, sedang kalau kehilangan berat 0 – 15 %, maka disebut mineral atau tanah.
Beberapa kemungkinan bentuk morfoogi moor (sebagai contohnya adalah daerah Eropa
Barat) dapat dilihat pada gambar 2.1. Dilihat dari permukaannyamaka moor dapat dibagi
menjadi dua, yaitu : Hochmoor dan Niedermoor. Jenis tumbuhan yang hidup umumnya
berbeda pada masing-masing tie moor. Pada niedermoor biasanya tumbuh rumput-rumputan
dengan daun yang lebar dan tumbuhan perdu (sehingga pada musim semi dan pada musim
panas kelihatan sangat hijau). Sementara hochmoor ditumbuhi oleh jenis tumbuhan yang
sangat terbatas (lumut dan rumput dengan daun yang kecil). Untuk daerah yang beriklim
sedang maka hochmoor ditumbuhi oleh Sphagnum dan untuk daerah tropis ditumbuhi oleh
hutan lebat dengan bermacam tumbuhan.
2.2.1 NIEDERMOOR/ LOWMOOR
Niedermoor terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan makanan (eutrop) atau pada
suatu bagian perairan (danau) yang menjadi darat (Verlandung Nahrstofffreicher Gewasser),
dimana kaya akan makanan bagi tumbuhan sebagai penyebab berlimpahnya/ tumbuh subur
vegetasi.
Air tanah atau laut yang bergerak bisa mengakibatkan suatu penghanuran yang cepat dari
tumbuhan yang teah mati, sehingga penumpukkan gambut menadi lambat. Dalam hal ini
gambut sangat basah/ banyak air. Permukaan moor dalam jangka waktu yang lama tertutup
air (periode dalam setahun), sehingga jenis tumbuhan yang hidup disini menyesuaikan diri.
Sering permukaan moor datar atau cekung. Hanya moor di lereng gunung bisa murung
permukaannya. Moor ini tidak secara langsung tergantung pada air hujan, karena supply
airnya bisa dari daerah sekitarnya berupa sungai atau air tanah.
Gambar 2.3.
2.2.2 HOCHMOOR/ HIGHMOOR
Hochmoor bisa mencapai beberapa meter dari permukaan tanah dengan bentuk yang
cembung. Moor ini tidak tergantung pada air tanah atau air kolam karena moor ini
mempunyai sistem air tersendiri yang tergantung hanya pada air hujan. Moor ini terjadi
akibat neraca air yang positif (penguapan lebih kecil dari uap hujan) sehingga air huan
tersimpan dalam gambut. Akibatnya pH menjadi lebih kecil dan miskin akkan oksigen.
Dengan demikian penghancuran sisa yumbuhan menjadi terhambat (penumpukkan gambut
menjadi cepat). Karena miskin akkan bahan makanan maka disebut Ombrotoph.
2.3. SEAM BATUBARA
Di dalam batuan pembaa batubara, seam batubara merupakan lapisan tunggal dari batubara
yang sebenarnya, batas atas disebut atap (roof) dan atas baah disebut lantai (floor). Batuanbatuan
yang terdapat pada atap dan lantai mempunyai hubungan yang erat dengan
pengendapan batuan tersebut.
Bagian lantai biasanya merupakan batulempung, dicirikan dengan tidak dijumpainya jejakjejak
perlapisan atau laminasi yang bersifat karbonatan. Ketebalan dari bagian lantai
mempunyai variasi yang besar, mulai dari beberapa miimeter sampai beberapa meter.
Bagian atap biasanya kurang seragam dan lebih bervariasi jika dibandingkan dengan bagian
lantai. Batas antara lapisan batubara dengan atap dapat bersifat tegas maupun berangsur.
Seam batubara jarang terdiri dari batubara murni seluruhnya, biasanya lapisan yang tipis dari
mineral-mineral (umumnya silt dan shale) bertindak sebagai sisipan dan disebut sebagai dirth
bands atau shale parting. Lapisan tipis setebal beberapa milimeter sampai centimeter
tersebut dapat berkembang sehingga seam batubara terpisah menjadi dua lapisan atau lebih
(splitting).
2.4. FAKTOR PEMBENTUKAN BATUBARA
Batubara terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan waktu yang sangat
lama (dibawah pengaruh fisika,, kimia, maupun keadaan geologi). Untuk memahami
bagaimana batubara terbentuk perlu diketahui dimana batubara terbentuk dan faktor-faktor
yang akan memengaruhinya, serta bentuk lapisan batubaranya. Selalu perlu diingat
pembentukan batubara umumnya terjadi disekitar lingkungan paralik atau limnik dan ditepi
pantai. Berikut ini 2 macam teori yang menjelaskkan tempat terbentukknya batubara
2.4.1. TEMPAT TERBENTUKNYA BATUBARA
Pembentukan batubara di alam secara teoritis digolongkan dalam dua kategori kemungkinan,
yang dikenal sebagai :
1. Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya
ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian maka setelah
tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan
sedimen dan mengalami proses pembatubaraan (coalification). Jenis batubara yang terbentuk
dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar
abunya relatif kecil. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia terdapat di lapangan
batubara Muara Enim (Sumatera Selatan).
2. Teori Hanyutan (Drifting)
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubarateradinya ditempat
yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan demikian
tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutup
oleh batuan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk
dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat,
kualitas kurang baik karenabanyakk mengandung material pengotor yang terangkkutbersama
selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke sedimentasi. Batubara yang
terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di lapangan batubara delta Mahakam purba,
Kalimantan Timur.
2.5. PROSES PALEOGRAFI DAN PALEOKLIMAT
Pembentukan batubara merupakan proses yang komplek yang harus dinilai dan dipelajari dari
segala segi. Sekitar sepuuh macam proses yang berbeda satu dengan lainnya, yang
merupakan proses geologi, paleografi dan bersifat paleoklimatis. Semua itu merupakan
penyebab terbentuknya batubara dalam suatu cekungan. Proses-proses diatas saling
mempengaruhi dan juga saling tergantungsatu dengan lainnya.
Akumulasi batubara hanya dapat terjadi bila terdapat keseimbangan yang tepat dari
parameter-parameter yang banyakl itu. Kesepuluh macam faktor yang berpengaruh tersebut
adalah :
1. Posisi geotektonik
2. Topografi (morfologi)
3. Iklim
4. Penurunan
5. Umur geologi
6. Tumbuh-tumbuhan
7. Dekomposisi
8. Sejarah sesudah pengendapan
9. Struktur cekungan batubara
10. Metamorfosis organik
1. Posisi Geotektonik
Posisi geotektoni adalah suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya
tektonik lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan
faktor yang dominan. Posisi ini akan mempengaruhi iklim lokkal dan morfologi cekungan
pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya. Pada fase terakhir, posisi
geotektonikmempengaruhi proses metamorfosa organik dan struktur dari lapangan batubara
melalui masa sejarah setelah pengendapan berakhir.
2. Topografi
Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena menentukan
penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk. Topografi mungkin mempunyai
efek yang terbatas terhadap iklim dan keadaannya bergantung pada posisi geotektonik.
3. Iklim
Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan merupakan faktor
pengontrol pertumbuhan flora dalam kondisi yang sesuai. Iklim tergantung pada posisi
geotektonik. Temperatur yang lembab pada ili tropis dan sub tropis umumnya sesuai untuk
pertumbuhan flora dibandingkan wilayah yang lebih dingin. Hasi pengkajian menyatakan
bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan setiap 7 hingga 9 tahun, dengan
ketinggian pohon sekitar 30 m. Sedangkan pada iklim yang lebih dingin ketinggian pohon
hanya mencapai 5 hingga 6 m dalam selang waktu yang sama.
4. Penurunan
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik. Jika penurunan dan
pengendapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan batubara tebal. Pergantian
transgresi dan regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan pengendapannya. Hal tersebut
menyebabkan adanya infitrasi material dan mineral yang mempengaruhi mutu dari batubara
yang terbentuk.
5. Umur Geologi
Proses geoogi menentukan berkembangnya evolusi kkehidupan berbagai macam tumbuhan.
Masa perkembangan geologi secara tidak langsung membahas sejarah pengendapan batubara
dan metamorfosa organik. Makin tua umur batuan makin dalam penimbunan yang terjadi,
sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi. Tetapi pada batubara yang memiliki umur
geologi lebih tuaselalu ada deformasi tektonik yang membentuk struktur dan perlipatan atau
patahan pada lapisan batubara. Disamping itu faktor erosi akan merusak semua bagian dari
endapan batubara.
6. Tumbuhan
Flora merupakan unsur utama pembentu batubara. Pertumbuhan dari flora terakumulasi pada
suatu lingkungan dan ona fisiografi dengan ilim dan topografi tertentu. Flora merupaka faktor
penentuterbentuknya berbagai tipe batubara. Evolusi dari kehidupan menciptakan kondisi
yang berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai dari Paleozoikum hingga Devon, flora
belum tumbuh dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk lapisan batubara di daerah
laguna yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan flora secara
besarbesaran
dalam waktu singkat pada setiap kontinen, hutan tumbuh dengan subur selama masa
karbon. Masa Tersier merupakan perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis
tanaman.
7. Dekomposisi
Dekomposisi fflora yang merupakan bagian transformasi biokimia dari organik merupakan
titik awal untu seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan gambut sisa tumbuhan akan mengalami
perubahan, baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati proses degradasi
biokimia lebih berperan. Proses pembusukan (decay) akan terjadi oleh kerja mikkrobiologi
(bakteri anaerob). Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian
yang lunak dari tumbuhan seperti selulosa, protoplasma, dan pati. Dari proses diatas terjadi
perubahan dari kayu menjadi lignit dan batubara bitumen. Dalam suasana kekurangan
oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air ( H2O) dan sebagian unsur
karbon akan hilang dalam bentukk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan
metan (CH4). Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur karbon akan
bertambah.kecepatan pembentukan gambut akan bergantung pada kecepatan perkembangan
tumbuhan dan proses pembusukkan. Bila tumbuhan tertutup oeh air dengan cepat, maka akan
terhindar dari proses pembusukan, tetapi terjadi proses desintegrasi atau penguraian oleh
mikrobiologi. Bila tumbuhan yang telah mati terallu lama berada di udara terbuka, maka
kecepatan pembentukan gambut akan berkurang sehingga hanya bagian keras saa tertinggal
yang menyulitkan penguraian oleh mikrobiologi.
8. Sejarah Sesudah Pengendapan
Searah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik yang
mempengaruhi perkkembangan batubara dan cekkungan batubara. Secara singkat terjadi
proses geokimia dan metamorfosa organik setelah pengendapan gambut. Disamping itu
sejarah geologi endapan batubara bertanggung jawab terhadap terbentuknya struktur
cekungan batubara, berupa perlipatan, pensesaran, intrusi magmatik dan sebagainya.
9. Struktur Cekungan Batubara
Terbentuknya batubara pada cekungan batubara umumnya mengalami deformasi oleh gaya
tektonik, yang akan menghasikan lapisan batubara dengan bentuk-bentuk tertentu. Disamping
itu adanya erosi yang intensif menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak menerus.
10. Metamorfosa Organik
Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau penguburan oleh
sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak berperan lagi tetapi lebih
didominasi olehproses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut
menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab,
oksigen dan zat terbang (seperti CO2, CO, CH4, dan gas lainnya) serta bertambahnya
proosentase karbon adat, belerang, dan kandungan abu. Pperubahan mutu batubar
diakibatkkan oleh faktor tekanan dan waktu. Tekanan dapat disebabkan oeh lapisan sedimen
penutup yang sangat tebal atau karena tektonik. Hal ini menyebabkan bertambahnya tekanan
dan percepatan proses metamorfosa organik. Proses metamorfoosa organik akan dapat
mengubah gambut menjadi batubara sesuai dengan perubahan sifat kimkia, fisik, dan
optiknya.
2.6. REAKSI PEMBENTUKAN BATUBARA
Batubara tebentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari cellulosa. Proses
pembentukan batubara atau coalification yang dibantu ffaktor fisika, kimia alam akan
mengubah cellulosa menjadi lignit, subbitumen, dan antrasit. Reaksi pembentukan batubara
dapat digambarkan sebagai berikut :
Gas-gas yang terbentuk selama proses coalification akan masuk kedalam celah-celah vein
batulempung dan ini sangat berbahaya. Gas metan yang sudah terakumulasi di dalam celah
vein, terlebih-lebih apabila terjadi kenaikan temperatur, karena tidak dapat keluar sewaktuwaktu
dapat meledak dan terjadi kebakaran. Oleh sebab itu mengetahui bentuk deposit
batubara dapat menentukan cara penambangan yang akan dipilih dan juga meningkatkan
keselamatn kerja.
Proses Coalification/ Pembatubaraan
Merupakan respon dari material organik terhadap perubahan yang sangat lambat dari
temperatur (kenaikan temperatur).
Proses Carbonization/ Pengarangan
Pada prooses ini perubahan temperatur terjadi sangat cepat.
2.7. TERBENTUKNYA LAPISAN TEBAL
Lapisan batubara tebal merupakan depposit batubara yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Salah satu syarat pembentukan lapisan batubara tebal adalah apabila terdapat suatu cekungan
yang karena adanya beban pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara di atasnya
menyebabkan dasar cekungan tersebut turun secara perlahan-lahan.
Cekungan ini umumnya terdapat di daerah rawa-rawa (hutan bakau) atau di tepi pantai. Dasar
cekungan yang turun secara perlahan-lahan dengan pembentukan batubara memungkinkan
ppermukaan air laut akan tetap pada kondisi rawa stabil. Apabila karena proses geologi, dasar
cekungan turun secara ceat, maka air laut akan masuk ke dalam cekungan sehingga
mengubah kondisi rawa menjadi kondisi laut.
Akibatnya di atas lapisan pembentuk batubara akan terendapkan lapisan sedimen laut, antara
lain batugamping. Pada tahap selanjutnya akan terjadi kembali pengendapan batulempung
yang memungkinkan untuk kembali terbentuk kondisi rawa. Proses selanjutnya adalah akan
terkumpul dan terendapkannya bahan-bahan pembentuk batubara (sisa tumbuhan) di atas
batulempung. Demikian seterusnya sehingga terbentuk lapisan batubara dengan diselingi oleh
“lappisan antara” berupa batugamping dan batulempung. Tidak jarang dijumpai pada lapisan
batubara adanya “lapisan antara” berupa batulempung yang disebut sebagai clay band atau
clay parting.
2.8. BENTUK LAPISAN BATUBARA
Bentuk cekungan, proses sedimentasi, prooses geologi selama dan sesudah proses
pembatubaraan akan menentukan lapisan batubara. Mengetahui bentuk lapisan batubara
sangat menentukan dalam menghitung cadangan dan merencanakan cara
penambangannya.berikut ini beberapa bentuk dari lapisan batubara
1. Bentuk Hoorse Back
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupinya melengkung ke
arah atas akibat gaya kompresi. Ketebalan ke arah lateral lapisan batubara emungkinan sama
ataupun menjadi lebih keci atau menipis.
2. Bentuk Pinch
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada umumnya dasar
dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis, misalnya batulempung, sedang di atas
lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan
pengisian suatu alur.
Gambar 2.7
3. Bentuk Clay Vein
Bentuk ini terjadi apabila diantara 2 bagian deppsit batubara terdapat urat lempung. Bentukan
ini terjadi apabila pada satu seri deposit batubara mengalami patahan, kemudian pada bidang
patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung atau pasir.
4. Bentuk Burried Hill
Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana batubara semua terbentuk, terdapat suatu
kulminasi sehingga lapisan batubara seperti terintrusi (diterobos).
5. Bentuk Fault
Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana deposit batubara mengalami beberapa seri
patahan. Keadaan ini akan mangacaukan di dalam perhitungan cadangan, akibat adanya
perpindahan ppperlapisan akibat pergeseran ke arah vertikal.
Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang banyak gejala patahan harus
dilakukkan dengan tingkat etelitian yang tinggi. Pada daerah seperti ini disamping kegiatan
pemboran, maka penyelidikan geofisika sangat membantu di dalam melakukan interpretasi
dan korelasi lubang pemboran.
6. Bentuk Fold
Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana depsit batubara mengalami perlipatan. Main
intensif gaya yang bekerja, pembentukan perlipatan akkan semakin kompleks. Dalam
melakukkan eksplorasi batubara di daerah yang banyak gejala perlipatan, apalagi bila di
daerah tersebut juga terjadi patahan, harus dengan ketelitian yang tinggi. Untuk daerah seperti
ini disamping kkegiatan pemboran, maka penyelidikan geofisika sangat membantu di dalam
melakukan interpretasi dan korelasi antar lubang pemboran.