(BENEFIT VALUE OF COAL MINING IN FOREST OF NATURAL ...
Transcript of (BENEFIT VALUE OF COAL MINING IN FOREST OF NATURAL ...
DISERTASI
NILAI MANFAAT PERTAMBANGAN BATU BARA
DI KAWASAN HUTAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM SUMBER DAYA ALAM
(BENEFIT VALUE OF COAL MINING IN FOREST OF
NATURAL RESOURCE LAW PERSPEKTIF)
HARIS RETNO SUSMIYATI
P0400311440
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iii
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Haris Retno Susmiyati
Nomor Mahasiswa : PO 400311440
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis
ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan
merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila
dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan terebut.
Makasar, 20 Juli 2017
Yang Menyatakan
Haris Retno Susmiyati
iv
PRAKATA
Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah SWT, Dzat Pencipta segenap
alam raya dan isinya. Sholawat dan salam selalu dicurahkan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat,
dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Ucapan rasa syukur yang tak
terhingga atas terselesaikannya penulisan disertasi ini yang merupakan
salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar Doktor bidang
Ilmu Hukum. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, Disertasi
ini dapat penulis selesaikan, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Dwia Tina Palubuhu MA, Selaku Rektor Universitas
Hasanuddin Makassar beserta para Wakil Rektor.
2. Prof. Dr. Muhammad Ali Ms. Selaku Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Hasanuddin Makassar beserta para Asisten Direktur.
3. Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H.,M.H., Dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin beserta para Wakil Dekan yang telah
memberi kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu serta
memberi arahan dalam proses menempuh studi.
4. Prof. Dr. Abdul Razak, S.H.,M.Hum, selaku Ketua Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang telah
v
banyak membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan studi
doktoral (S3) di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
5. Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,M.H., selaku Promotor yang telah
banyak memberikan arahan, bimbingan dan inspirasi serta masukan
kepada penulis, untuk dapat menyelesaikan disertasi.
6. Prof. Dr. S.M. Noor, S.H.,M.H, sebagai Co-Promotor yang
memberikan semangat dan inspirasi kepada penulis untuk
menyelesaikan disertasi.
7. Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H.,M.H, sebagai Co-Promotor yang
memberikan masukan, arahan dan bimbingan kepada penulis untuk
menyelesaikan disertasi.
8. Prof. Dr.H. Abdullah Marlang, S.H.,M.H, selaku penguji yang telah
memberikan saran masukan yang sangat berguna sampai pada
akhir penulisan disertasi ini.
9. Prof. Dr. M. Yunus Wahid, S.H.,M.Si, selaku Dosen Mata Kuliah
Pengantar Disertasi (MKPD) bagi penulis, yang telah memberikan
ilmu dan insirasi kepada penulis, sekaligus penguji yang telah
memberikan saran masukan yang sangat berguna sampai pada
akhir penulisan disertasi ini.
10. Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H, selaku penguji yang telah
memberikan saran masukan yang sangat berguna sampai pada
akhir penulisan disertasi ini.
vi
11. Dr. Sri Susyanti, Nur, S.H., M.H, selaku penguji yang telah
memberikan saran masukan yang sangat berguna sampai pada
akhir penulisan disertasi ini.
12. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar,
yang telah memberikan ilmu dan bimbingan dalam proses
penyelesaian studi penulis.
13. Prof. Dr. Masjaya, M.Si, selaku Rektor Universitas Mulawarman yang
telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menempuh studi
doktoral di Universitas Hasanuddin Makassar.
14. Prof. Dr. Dedy Hardiyanto, S,Hut, selaku Ketua Pusat Kajian
Perubahan Iklim (C3S) Universitas Mulawarman, yang telah
memberikan kepercayaan kepada penulis untuk bergabung dalam
lembaga C3S, serta semangat dan inspirasi yang diberikan kepada
penulis.
15. Dr. Ivan Zairani Lisi, S.H.,S.Sos.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Mulawarman, beserta Wakil Dekan yang telah
memberikan dukungan dan bantuan dalam proses studi penulis.
16. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman yang tidak
hanya sebagai kolega namun sebagai sahabat dan saudara telah
memberikan dukungan dan doa bagi penulis.
17. Seluruh staf akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanudin
Makassar yang telah membantu dan memberikan pelayanan terbaik
dalam penyelesaian studi penulis,
vii
18. Ibunda tercinta Sumiyatin (Almarhumah) dan Ayahanda tercinta
Suratmin (Almarhum) atas segala pengorbanan, dukungan, cinta
yang luar biasa serta teladan hidup bagi kami anak-anaknya (Ya
Allah berikan tempat yang terbaik bagi kedua orang tua penulis)
19. Ibunda Mertua tercinta Sitti Hanni (Almarhumah) dan Bapak Mertua
Tercinta Ambo Demmu (Almarhum) atas segala kenangan kebaikan
dan dukungan kepada penulis.
20. Suami Tercinta Baharuddin Demmu, SPi.M.Si yang dengan cinta
yang begitu besar dan luar biasa memberikan segala dukungan,
semangat, fasilitas dan doa bagi studi dan karir penulis.
21. Anak-anakku yang tercinta Muhammad Bashar Rehan, Muhammad
Bashar Meshal, Muhammad Bashar Hanayya, Muhammad Bashar
Ahza, yang dengan penuh kasih memberikan perhatian dan
pengertian serta pengorbanan bagi penyelesaian studi ibundanya.
22. Kakakku di Sampit Kalimantan Tengah M. Haris Faturakhman
beserta kakak ipar Enny; Kakakku di Batam Haris Rakhman Wijaya
dan kakak ipar Sutini; dan adikku di Samarinda Haris Rakhman
Hidayat, adikku di Jakarta Haris Rakhman Sony Karsono beserta
adik ipar Ruby, yang telah memberikan dukungan dan doa bagi studi
dan kehidupan penulis.
23. Saudara ipar di Samarinda Kak Rumiyati dan Kak Bistan beserta
ponakan Siti Rahma, Fauziah, Anis Mawadah yang telah
memberikan banyak dukungan dan doa yang luar biasa bagi penulis;
viii
24. Saudara ipar di Marangkayu Kutai Kartanegara, Kak wati
(almarhumah) dan Kak Tamrin, kak Anwar Lope dan Rahmawati;,
adik ipar Ninik dan Aris, beserta keponakanku semua yang telah
memberikan doa kepada penulis, beserta seluruh keluarga besar di
Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah memberikan
banyak dukungan bagi penulis.
25. Keluarga besar di Makasar, Pangkep, dan Soppeng Sulawesi
Selatan yang telah memberikan doa dan dukungannya.
26. Segenap Pegiat Jaringan Advokasi Tambang dan Tim Kerja
Perempuan dan Tambang baik yang di Jakarta maupun di
Kalimantan Timur, atas dukungan dan bantuan kepada penulis.
27. Segenap Pegiat Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur yang
telah memberikan doa dan dukungannya bagi penulis
28. Kawan-kawan Alumni YLBHI –LBH Surabaya dan LBH Pos Malang
yang terus memberikan dukungan dan doa bagi penulis.
29. Teman-teman angkatan 2011 yang senasib dan seperjuangan terima
kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama studi di Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
Mohon maaf bagi yang belum/lupa disebutkan, terima kasih atas semua
dukungan dan doa, mohon maaf jika ada kesalahan yang penulis lakukan.
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah Makassar 2017
ix
ABSTRAK
HARIS RETNO SUSMIYATI, Nilai Manfaat Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan dalam Perspektif Hukum Sumber Daya Alam, dibimbing oleh Promotor Abrar Saleng, co-promotor S.M Noor danMuhammad Ashri.
Sumber daya tambang merupakan sumber daya alam yang diklasifikasikan sebagai sumberdaya yang tak terbarukan (non renewable), karena sifatnya ini maka tambang jika telah habis dieksploitasi tidak akan ada lagi. Industri pertambangan selalu membawa dampak merubah bentang alam secara signifikan dan membawa dampak besar bagi lingkungan. Kawasan hutan untuk dapat berfungsi dengan baik harus dijaga kelestariannya.
Penelitian ini bertujuan menemukan dan mengetahui konstruksi hukum dinamika peraturan pengelolaan pertambangan batubara di kawasan dalam perspektif hukum sumber daya alam, dan menganalisis manfaat pelaksanaan pertambangan batubara di kawasan hutan dalam perspektif hukum sumber daya Alam. Serta merumuskan harmonisasi pengelolaan pertambangan di kawasan hutan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris (yuridis empiris) atau penelitian hukum sosiologis.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Skema Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk pertambangan merupakan ketidak tepatan pilihan konstruksi hukum. (2) Manfaat Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan kriteria objektif faham utilitarianisme memberikan manfaat ekonomi namun persentase terbesar dinikmati pengusaha tambang sedangkan pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial yang sangat kecil dan tidak berkelanjutan, manfaat lingkungan tidak ada justru menimbulkan kerusakan. (3) Harmonisasi dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan kondisi keseimbangan antara manfaat ekonomi, ekologi dan sosial yang dicapai tanpa menghilangkan kawasan hutan.
Keyword : Coal, Mining, forest, Utilitarianism, natural resource.
x
ABSTRACT
HARIS RETNO SUSMIYATI, Benefit Value of Coal Mining in Forest Area in Perspective of Natural Resources Law, guided by Promoter Abrar Saleng, co-promoter of S.M Noor and Muhammad Ashri.
Mining resources are natural resources that are classified as non-renewable resources, because of this nature the mine if it has been exploited will no longer exist. The mining industry has always had the impact of changing the landscape significantly and bringing enormous environmental impact. Forest areas to function properly should be preserved.
This study aims to discover and investigate the legal construction of the dynamics of coal mining management regulations in the region within the legal perspective of natural resources, and to analyze the benefits of coal mining operations in forest areas in the perspective of Natural Resources law. And formulate harmonization of mining management in forest area. This type of research is empirical legal research (empirical juridical) or sociological law research.
The results of this study indicate that (1) Forest License Use Scheme (IPPKH) for mining is an inaccurate choice of legal construction. (2) Mining Benefits in Forest Areas based on objective criteria of utilitarian ideology provide economic benefits but the largest percentage is enjoyed by mining entrepreneurs while central and local governments and communities have very little economic and social benefits and are unsustainable, environmental benefits do not actually cause damage. (3) Harmonization in the management of natural resources is a condition of balance between economic, ecological and social benefits achieved without removing forest areas.
Keyword: Coal, Mining, forest, Utilitarianism, natural resource.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI ........................................... iii
PRAKATA ......................................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................... ix
ABSTRACT ...................................................................................... x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… xi
DAFTAR TABEL …………………………………………………………. xvi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xx
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xxi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………..………..... 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………..... 22
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….... 23
D. Kegunaan Penelitian ……………….………………………….... 23
E. Orisinalitas Penelitian .............................................................. 23
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori dan Konsep .......................................................... 27
xii
1. Teori Manfaat Hukum berdasarkan Aliran Utilitarianisme.............................................................. 27
2. Teori harmonisasi dalam pengelolaan SDA....................... 41
3. Konstruksi Hukum ................................................................. 43
4. Pertambangan di Kawasan Hutan dalam Perspektif Hukum Sumber daya Alam.................................................... 44
5. Hukum Pertambangan Batubara di Indonesia ...................... 53
6. Hukum Kehutanan di Indonesia ............................................ 60
7. Pertambangan di Kawasan Hutan ........................................ 64
B. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 68
C. Definisi Operasional .................................................................... 69
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian …………………………………………………. ..... 72
B. Lokasi Penelitian ………………………………………………......... 72
C. Populasi dan sampel .................................................................. 73
D. Sumber Data ………………………………………......................... 73
E. Teknik Pengumpulan Data ………………………….………........... 74
F. Teknik Analisis Data ……………………………………… ............. 77
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konstruksi Hukum Pengaturan Pertambangan Batubara Di Kawasan Hutan Dalam Perspektif Hukum SDA ....................... 79
1. Konstruksi Hukum IPPKH............................................................. 79 1.1 Izin dalam Konstruksi Hukum Administrasi Negara.......... 101
1.2 Konstruksi Hukum Pinjam Pakai dalam KUH Perdata....... 104
xiii
1.3 Kesalahan Konstruksi Hukum IPPKH................................ 109
1.4 Pilihan Alternatif Konstruksi Hukum Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan .............................. 116
2. Dinamika Pengaturan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan ........................................................................................... 125
2.1 Pengaturan Pertambangan Di Kawasan Hutan Pada Periode Kolonialisme ……………………............................. 126
2.2 Pengaturan Pertambangan Di Kawasan Hutan Pada Orde Lama (1945-1965) ……………………......................... 130
2.3 Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Periode Orde Baru (1966 – 1998) ……………………….................... 134
2.4 Pengaturan Pertambangan Batubara Di Kawasan Hutan Periode Reformasi Tahun 1999-sekarang (hingga 2017)..... 168
2.5 Pengawasan dan Penegakan Hukum dalam Pengelolaan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan ....................... 203
2.6 Konstruksi Hukum Kewajiban Lingkungan dan Reklamasi
Areal Bekas Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan .. 221
B. Implementasi dan Manfaat Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
1. Implementasi Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur 1.1 Implementasi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan di Kalimantan Timur ................................................. 242
1.2 Implementasi Perizinan Pertambangan Batubara dalam Kawasan Hutan di Kalimantan Timur ............................ 249 1.3 Implementasi Pengawasan dalam Pengelolaan
Pertambangan ............................................................. 271
2. Manfaat Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
2.1 Manfaat Ekonomi ............................................................... 277
2.1.1 Manfaat Ekonomi berdasarkan kriteria obyektif pertama Manfaat Dalam faham Utilitarianisme................................ 277
xiv
2.1.2 Manfaat Ekonomi berdasarkan kriteria obyektif kedua Manfaat terbesar faham Utilitarianisme............................... 301
2.1.3 Manfaat Ekonomi berdasarkan kriteria obyektif ketiga Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang dalam
faham Utilitarianisme.......................................................... 306
2.2 Manfaat Sosial Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
2.2.1 Manfaat Sosial berdasarkan kriteria obyektif pertama Manfaat dalam faham Utilitarianisme.................................. 312
2.2.2 Manfaat Sosial berdasarkan kriteria obyektif kedua Manfaat terbesar faham Utilitarianisme............................... 319
2.2.3 Manfaat Sosial berdasarkan kriteria obyektif ketiga Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang dalam
faham Utilitarianisme.......................................................... 321
2.3 Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
2.3.1 Manfaat Lingkungan berdasarkan kriteria obyektif pertama Manfaat dalam faham Utilitarianisme................................... 331
2.3.2 Manfaat Lingkungan berdasarkan kriteria obyektif kedua Manfaat terbesar faham Utilitarianisme............................... 336
2.3.3 Manfaat Lingkungan berdasarkan kriteria obyektif ketiga Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang dalam
faham Utilitarianisme........................................................... 338
3. Implementasi Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri di Kalimantan Timur.................................................................... 342
3.1 Gambaran Umum PT Indominco Mandiri .............................. 342
3.2 IPPKH PT Indominco Mandiri ............................................... 345
3.3 Manfaat Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri Di Kawasan Hutan................................................................. 349
3.3.1 Manfaat Ekonomi .................................................................. 349
xv
3.3.2 Manfaat Sosial ...................................................................... 355
3.3.3 Manfaat Lingkungan ............................................................. 361
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………….............. 390
B. Saran ……………………………………………….......................... 391
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 392
xvi
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Tabel Halaman
1. Kriteria Obyektif dalam Faham Utilitarianisme Jeremy Bentham ......................................................................
40
2. Kawasan Hutan yang menjadi Obyek Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan ..............
91
3. Luas Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan.............................................................
93
4. Peraturan Perundang-undangan Bidang Pertambangan Jaman Kolonial Belanda......................
127
5. Dinamika Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan...........................................................................
131
6. Peraturan perundang-undangan tentang Pertambangan di kawasan hutan pada periode Orde Baru (1966-1998) ........................................................
136
7. Perubahan terhadap Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 ................................................
162
8. Pembagian kewenangan dalam Mekanisme Pemberian IPPKH .......................................................
167
9. Peraturan perundang-undangan tentang Petambangan di Kawasan Hutan Periode 1999 –2016 ............................................................................
170
10. Tiga Belas Perusahaan yang Mendapatkan Izin Melakukan Penambangan Terbuka di Kawasan Hutan Lindung .............................................................
176
11. Regulasi Ditingkat Menteri tentang Pertambangan Di Kawasan Hutan pada PeriodeReformasi (1999 – 2016) ...........................................................................
194
12. Sanksi Pidana dalam UU 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba...............................................
215
13. Sanksi pidana Lingkungan 218
xvii
14. Dinamika Pengaturan Reklamasi Pasca Tambang
dalam Kawasan Hutan di Indonesia ...........................
229
15. Peraturan di Tingkat Menteri tentang Reklamasi Tambang Dalam Kawasan Hutan ..............................
234
16. Jumlah Regulasi Pertambangan di Kawasan Hutan....................................................
241
17. Luasan dan Peruntukan Kawasan di Kalimantan Timur ...........................................................................
243
18. Data Wilayah Administrasi Provinsi Kalimantan Timur ..........................................................................
244
19. Pola penataan ruang di Kalimantan Timur Per-Kabupaten/Kota ..........................................................
248
20. Rekapitulasi Izin Usaha Pertambangan Di Pulau Kalimantan...................................................................
252
21. Daftar Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur .................
266
22. Data Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk Pertambangan Per-Kabupaten di Kalimantan Timur ...........................................................................
270
23. Hasil Overlay Izin Usaha Pertambangan (IUP) Kontrak Karya (KK)dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Peta Kawasan Hutan dan Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan (IPPKH)................
271
24. Cadangan dan Produksi Batubara Dunia..................
279
25. Kewajiban Keuangan Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan Batubara........
284
26. Produksi dan Penjualan Batubara Kalimantan Timur ...........................................................................
290
27. Sepuluh Kabupaten terkaya di Indonesia ...................
291
28. Potensi Kerugian Negara dari Land rent Per-Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur ....................
295
xviii
29. Pertumbuhan dan Peranan Batubara terhadap Total
Ekonomi Kalimantan Timur.........................................
298
30. Pendapat Responden tentang Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan...............
300
31. Pendapat responden terhadap Keberlanjutan Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara ................
300
32. Pendapat responden terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di bandingkan dengan sektor usaha berbasis lahan yang lain.........................
303
33. Pendapat Responden terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara Bagi Para Pihak...................
307
34. Jumlah Penduduk Miskin Kalimantan Timur Menurut Kabupaten/Kota....................................................
310
35. Pendapat responden terhadap Manfaat Sosial Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor Usaha Berbasis Lahan yang Lain.....................
320
36. Pendapat Responden Terhadap Manfaat Penyerapan Tenaga Kerjadi Pertambangan Batubara......................................................................
322
37. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Usaha di Kalimantan Timur .................................................
323
38. Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja di Kalimantan Timur....................................................................
326
39. Pendapat Responden Terhadap Manfaat CSR (Community Sosial Responsibility) Perusahaan Pertambangan Batubara ........................
330
40. Jumlah IUP C&C dan Non C&C Per-Kabupaten/Kota serta Penempatan Jaminan Reklamasi dan Pasca Tambang......................................................................
335
41. Pendapat Responden terhadap Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor Usaha Berbasis Lahan yang Lain.....................
337
42. Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan............................................................
339
xix
43. Sumberdaya Batubara PT Indominco Mandiri
Di Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung Bontang .......................................................................
346
44. Luas Kawasan Hutan yang diterbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri .................................
347
45. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri .........
348
46. Total Produksi Batubara PT Indo Tambang MegahRaya .................................................................
349
47. Data Penjualan dan penghasilan PT Indominco Mandiri ........................................................................
350
48. KewajibanKeuangan PT Indo Tambang Megah Raya ............................................................................
351
49. Pendapat Masyarakat di wilayah Pertambangan PT Indominco Mandiri Terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan di bandingkan dengan Sektor Usaha Berbasis Lahan yang Lain.....................................................................
352
50. Pendapat Masyarakat di Wilayah PT Indominco terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara Bagi Para Pihak...........................................................
353
51. Pendapat Masyarakat di Wilayah Pertambangan Indominco Terhadap Manfaat Penyerapan Tenaga Kerja di Pertambangan Batubara dalam Kawasan Hutan ..........................................................................
359
52. Pendapat Masyarakat di Wilayah PT IndomincoTerhadap Manfaat CSR Perusahaan Pertambangan Batubara ....................................
360
53. Pendapat Masyarakat di Wilayah PT Indominco terhadap Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor Usaha Berbasis Lahan yang Lain...........................................
363
xx
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Rumus Kaidah Keseimbangan Pengelolaan Sumber Daya Alam ..................................................
41
2. Kerangka Pikir (Conseptual Framework)...................
68
3. Hubungan Hukum dalam Penguasaan Pertambangan di Indonesia.......................................
150
4. Putusan MK tentang Pertambangan Terbuka di Kawasan Hutan Lindung ...........................................
186
5. Manfaat ekonomi dalam bentuk kewajiban keuangan ..................................................................
292
6. Konsep Harmonisasi Pengelolaan Pertambangan Di Kawasan Hutan ...................................................
388
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
NO Judul
1 Peta Pertambangan di Provinsi Kalimantan Timur
2 Peta Pertambangan PT Indominco Mandiri
3 Foto Lubang Tambang Batubara
4 Foto dampak tambang batubara
5 Foto Sungai sebagai jalur angkut batubara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Alam beserta isinya merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi seluruh makhlukNya. Allah
SWT sebagai pemilik seluruh alam, seluruh yang ada dilangit dan yang
ada di bumi, sebagaimana dinyatakan Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) :
255, tidak ada tuhan selain Dia, yang Maha hidup, yang terus menerus
mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat
memberi syafa’at di sisi-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki.
KekuasaanNya meliputi langit dan bumi. Dan dia tidak merasa berat
memelihara kedua-Nya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.1
Negara Republik Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke, terdiri dari pulau-pulau yang memiliki kekayaan sumber daya
alam melimpah. Kekayaan alam meliputi berbagai kekayaan alam hutan
dan bahan galian tambang. Seluruh sumber daya alam Indonesia
merupakan karunia Tuhan YME. Sebagaimana dikatakan dalam QS. Taha
(20) : 6 : milik-Nya apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, apa yang
ada diantara keduanya, dan apa yang ada di bawah tanah.2
1 Syamsul Rijal Hamid. 2014. Buku Pintar Ayat-ayat Al-Quran. PT. Bhuana Ilmu
Populer. Jakarta. hal.29. 2Ibid
2
Eksploitasi tambang dianggap penting bagi penopang kehidupan
manusia modern. Salah satunya berkaitan dengan penyediaan energi.
Bagi peradaban modern energi dianggap sebagai salah satu kebutuhan
dasar manusia selain sandang, pangan, papan serta air.
Batubara merupakan salah satu bahan tambang yang saat ini
menjadi pilihan sumber energi setelah migas. “Coal is the predominant
source of energi used to produce electricity.”3“Over the past two decades,
Indonesia’s coal industry has transformed itself from beingan unknown,
minor player in Asia’s coal markets to the world’s largest exporter of steam
coal.”4
Sumber daya tambang merupakan sumber daya alam yang
diklasifikasikan sebagai sumber daya yang tak terbarukan (non
renewable), karena sifatnya ini maka tambang jika telah habis
dieksploitasi tidak akan ada lagi. Ciri industri pertambangan yang lain
adalah lokasi endapan bahan tambang yang berada di bawah permukaan
bumi menyebabkan eksploitasi tambang harus melakukan penggalian
jauh kedalam perut bumi untuk mendapatkan bahan tambang. Hal inilah
yang menyebabkan industri pertambangan selalu membawa dampak
mengubah bentang alam secara signifikan dan membawa dampak besar
bagi lingkungan.
3 Allan H, Lockwood. et.al. 2009. Coals Assault on Human Health. Physicians
For Social Responsibility. 1875. Connecticut Avenue, NW, Suite 1012. Washington DC 20009 - PMG Group Ltd. P. 5
4Bart Lucarelli. 2010. The History and Future of Indonesia’s Coal Industry :
Impact of Politics and Regulatory Framework on Industry Structure and Performance.Program on Energy an Sustainable Development. Stanford University. P.7
3
Sektor pertambangan dianggap sebagai sektor yang memberikan
kontribusi besar terhadap perekonomian negara, “minerals are mined
throught the world the London Mining Jo.urnal 1999 Annual Review
detailed 158 countries for whom mining is a significant contributor to the
national economy.”5Namun juga di temukan adanya dampak
pertambangan yang secara garis besar adalah “some potensial
environmental impacts of mining : environmental impacts, pollution
impacts and occupational health impacts.” 6
Sektor pertambangan mempunyai karakteristik sumber daya alam
yang non-renewable,“Coal is a non-renewable fossil fuel Formed from the
remains of plants that lived and died about 100 to 400 million years ago.
Depth, thickness, and configuration of minerals resource decide the
selection of mining technology (open cast or underground).”7
Industri pertambangan batubara merupakan industri yang “lapar”
lahan/tanah, karena untuk mengeruk batubara diperlukan ketersediaan
areal yang sangat luas.8
Bahan galian tambang umumnya tersimpan di perut bumi. Tahapan
kegiatan pertambangan untuk menemukan lokasi sumber daya tambang
melalui kegiatan eksplorasi dan dilanjutkan dengan eksploitasi untuk
5Industry and environment, A Publication of the United Nations Environment
Programme, Division of Tecnology, Industry and Economic. Mining and Sustainable Development II Challenges and Perspectives. Volume 23 Special Issue 2000, p.4
6Ibid. p. 7
7Druv Katoria et.al. Environment Impact Assessment of Coal Mining.
International Journal of Environmental Engineering and Management, Volume 4, Number 3 (2013). P.245
8 Haris Retno Susmiyati, Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas
Mulawarman, Desember 2005, Vol 1 No.2, halaman : 64
4
mengambil bahan galian tambang dari perut bumi, pengolahan dan
penjualan. Bahan galian tambang dianggap mempunyai nilai ekonomis
yang tinggi yang menjanjikan keuntungan bagi perusahaan dan
pendapatan bagi negara. Nilai ekonomis inilah yang mendorong
dilakukannya eksploitasi tambang secara besar-besaran, bahkan sampai
masuk ke kawasan hutan.
Hutan sebagai sektor sumber daya alam mempunyai ciri yang
bertolak belakang dengan sektor pertambangan. Sektor pertambangan
dalam produksinya harus mengubah bentang alam, sedangkan hutan
untuk dapat berfungsi sesuai keberadaannya menjaga keberlanjutan
ekosistem, perlu menjaga kawasannya untuk tetap alami.
Hutan di dunia merupakan sumber daya alam yang menyimpan
kekayaan keanekaragaman hayati yang memiliki nilai penting secara
ekonomi dan ekologi. Hutan di Indonesia juga merupakan sumber daya
alam yang bernilai strategis,“The tropical forest of Asia are among the
most biologically diverse in the world In Borneo, for example, one hectare
of forest an contain more tree species than all of North America.”9
Sektor kehutanan merupakan sumber daya alam yang memiliki
karakteristik jika dilakukan eksploitasi terhadapnya, maka pemulihan
fungsinya sulit dan sangat lama.10 Karakter tersebut menjadikan sumber
9The RAFT Program-Responsible Asia Forestry and Trade, tanpa tahun,
Promoting Sustainable Forest Management and Responsible timber trade in Asia. The Nature Concervancy. Bangkok-Thailand.
10 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Minerba, yang disiapkan
Pemerintah pada 12 Juni 2005. Dalam Ahmad Redi. 2014. Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehutanan. Sinar Grafika Jakarta. Halaman. 17-18
5
daya alam pertambangan dan kehutanan sebagai suatu kegiatan yang
pemanfaatan lahannya bersifat tidak permanen. Disamping itu, ciri khas
kegiatan sumber daya alam, khususnya pertambangan dalam kawasan
hutan antara lain pemindahan material batuan yang cukup besar,
memindahkan sisa bahan pengolahan cukup besar, mengubah bentang
alam, melibatkan peralatan besar, namun daya serap tenaga kerja yang
rendah. Konsekuensi yang tidak dapat dihindari pada saat terjadinya
suatu kegiatan pertambangan, yaitu kemungkinan timbulnya dampak
terhadap unsur-unsur sumber daya alam lainnya, terutama air, tanah,
biodiversitas.11
Proses penggalian atau eksploitasi tambang memiliki resiko
pengubahan topografi bentang alam, penggusuran lahan dan penebangan
pohon. Oleh karena itu usaha pertambangan adalah termasuk salah satu
kegiatan yang berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan berupa
kerusakan dan pencemaran lingkungan perairan, tanah dan udara.12
Masalah lingkungan yang dapat timbul akibat usaha pertambangan
beragam sifat dan bentuknya 13:
1. Usaha pertambangan dalam waktu yang relatif singkat dapat mengubah bentuk topografi dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya.
2. Usaha pertambangan dapat menimbulkan berbagai ancaman gangguan antara lain, pencemaran akibat debu dan asap
11
Ibid. 12
Abrar Saleng. 2013. Kapita Selekta Sumber Daya Alam. Membumi Publishing, Makasar. Halaman. 48
13Departemen Pertambangan dan Energi, 1995, 50 Tahun Pertambangan dan
Energi Dalam Pembangunan, Jakarta. Halaman. 236
6
yang mengotori udara dan air, limbah air, tailing serta buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun. Gangguan juga berupa suara bising dari berbagai alat berat, suara ledakan eksplosive (bahan peledak) dan gangguan lainnya.
3. Pertambangan yang dilakukan tidak sesuai kondisi geologi lapangan, dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuhan tambang dan gempa.
Dampak negatif pertambangan juga terjadi di pertambangan
batubara, “......the negative health impacts on communities near coal
mines or coal-fired power station, such evidence is available in other
countries and is summarised in a new independent report that cites 50
articles exploring the health and social harms of coal on community health
from 13 countries.”14
Sementara data sumber daya tambang Indonesia juga sangat besar.
Indonesia, menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menduduki
peringkat ke-6 sebagai negara produsen batubara dengan jumlah
produksi mencapai 246 juta ton dan peringkat ke-2 terbesar di dunia
sebagai eksportir sejumlah (203 juta ton). Sektor pertambangan emas,
menduduki peringkat ke-6 dalam produksi emas dunia sekitar 6,7% dan
dari segi cadangan emas Indonesia peringkat ke-7 atau 2,3% dan
peringkat ke-6 dalam produksi emas dunia atau setara 6,7%. Timah
peringkat ke-5 untuk cadangan timah atau sebesar 8,1% dan produksi
menduduki peringkat ke-2 atau setara 26% produksi timah dunia.
Tembaga Indonesia cadangannya merupakan peringkat ke-7 atau
14
Ruth Colaguiri and Emily Morrice, Coal industry thriving, but at what social and heath cost ?. The Conversation, 2 November 2011, http : //theconversation.com/coal-industri-thriving-but-at-what-social-and-health-cost-9266. Diakses : 30 Januari 2015.
7
sebesar 4,1% dan peringkat ke-2 setara 10,4% produksi tembaga dunia.
Cadangan tambang nikel Indonesia menduduki peringkat 8 setara 8%
cadangan nikel dunia serta menduduki peringkat 4 dunia atau sebanyak
8,6% produksi nikel dunia. Data ini menunjukkan alam Indonesia yang
kaya akan sumber daya tambang.15 Kondisi ini menempatkan Indonesia
sebagai negara excellent tectonic dan geologi, inilah yang membawa
Indonesia menjadi satu di antara produsen terbesar batubara, emas,
tembaga, nikel, dan timah.16
Data cadangan sumber daya mineral batubara yang dikeluarkan oleh
Departemen Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), Kalimantan
memiliki total sumber daya mineral batubara sebanyak 21.088 juta ton.
Cadangan terbesar terdapat di Kalimantan Timur sebesar 13.128 juta ton.
Sedangkan di Sumatera sumber daya mineral batubaranya sebanyak
17.764 juta ton. Sulawesi sebanyak 104 juta ton dan daerah-daerah lain
sebanyak 111 juta ton.17 Berdasarkan data tersebut, maka Kalimantan
merupakan pulau yang terbesar memiliki cadangan batubara di Indonesia.
Kondisi geologi yang demikian maka dapat diperkirakan kegiatan
pertambangan untuk mengeksploitasi bahan galian tambang yang
tersimpan di perut bumi akan berhadapan dengan status permukaan bumi
yang mayoritas merupakan kawasan hutan. Kondisi ini menyimpan
15
Indonesian Mining Association.2014. http:www.ima-api.com diakses 22 september 2015. Pk. 14.34 Wite
16Ibid
17Directorate of Mineral and Coal Enterprises, Direktorat General of Geology and
Mineral Resources, Ministry of Energy and Mineral Resources, 2003. Indonesia Mineral & Coal Statistics,(Jakarta:) hlm. 5.
8
persoalan tersendiri, karena hutan mempunyai fungsi ekologis yang
sangat penting bagi kehidupan di bumi.
Indonesia memiliki hutan tropis terbesar di dunia, yang keluasan
hutannya menempati urutan ke tiga setelah Brazil dan Republik
Demokrasi Kongo. Berdasarkan data kementerian kehutanan, luas hutan
Indonesia 127.030.031 hektar atau mencakup 67% luas daratan
Indonesia.18
Indonesia memiliki hutan dengan luas dan keragaman hayati tropis di
antara yang terbesar di dunia, dan sumber daya tersebut. sangat penting
sebagai mata pencarian bagi 50-70 juta orang. Namun laju deforestasinya
juga termasuk yang tertinggi di dunia.19
Kondisi tersebut menempatkan Indonesia pada posisi penting dalam
peta keanekaragaman hayati dunia dan dikenal sebagai salah satu
megadiversity country dengan peringkat kekayaan keanekaragaman
hayati nomor dua di dunia setelah Brazil.20
Sumber daya alam Indonesia pada sektor kehutanan juga
menempatkan Indonesia pada posisi penting. Indonesia berada pada
18
Direktur Penggunaan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2013. Current Development of Mining Management and Its Impact on Forest Sector in Indonesia.Makalah Disampaikan dalam International Conference “Reconciling Forestry and Mining Management: Some Current Environmental Concerns in Asia”. Universitas Hasanuddin Makassar, 10 – 12 Desember 2013
19The Asia Foundation Policy Paper, 2012. Tata Kelola Lingkungan, Program
Asia Foundation untuk tata kelola lingkungan hidup di Indonesia, Jakarta. Halaman : 1 20
Jatna Supriatna dalam Fachruddin M. Mangunjaya, 2005. Konservasi Alam dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, halaman : xxi
9
urutan ke-8 dari 10 negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia.21
Kekayaan alam hutan menempatkan Indonesia sebagai negara yang kaya
akan keragaman jenis, baik tumbuhan maupun hewan. Jenis pohon saja
dapat ditemukan sebanyak 25.000 jenis, belum liana, perdu dan herba,
jenis penutup tanah ataupun yang bermanfaat untuk pengobatan, selain
itu terdapat 900 jenis burung yang sebagian besar yaitu 550 jenis dapat
ditemukan di pulau Kalimantan, selain mamalia, reptil dan ampibia serta
ribuan jenis serangga turut memperkaya keragaman jenis daerah tropis,
serta 300 jenis ikan terdapat pada sungai-sungai dan danau-danaunya.22
Indonesia termasuk lima besar negara yang tutupan hutannya berkurang
paling cepat dengan tingkat deforestasi selama 2000-2005 mencapai 1,87
juta Ha/tahun dan 2006 – 2009 mencapai 1,5 juta Ha/tahun.23 Tahun
2011-2012 menjadi 0,61 juta Ha/tahun.24
Deforestasi merupakan persoalan yang tidak dapat diabaikan
mengingat dampaknya bagi perubahan iklim gobal, “Deforestation and
forest degradation are the largest anthropogenic sources of CO2
emissions into the atmosphere.”25
21
Global Forest Resources Assesment : Progress towards sustainable Forest Management, Food an Agriculture Organizational of The United Nations, 2010. Dalam Mouna Wasef dan Firdaus Ilyas. 2011. Merampok Hutan dan Uang Negara. Indonesia Corruption Watch. Jakarta. halaman. 10
22 Chandra Broer, 2011. Bagaimana Hutan Tropis Bisa Rusak?. Makindo
Grafika, Yogjakarta, halaman : 56 23
Mouna Wasef dan Firdaus Ilyas. Ibid. 24
Rencana Kerja Kementerian Kehutanan Tahun 2015, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 11 Juli 2014. Halaman. 3
25Giulio Di Lallo, Philip Mundhenk,REDD+: Quick Assessment of Deforestation
RiskBased on Available Data. Forests Journal, 2017, 8, 29; doi:10.3390/f8010029,www.mdpi.com/journal/forests, p.1
10
Kegiatan eksploitasi sumber daya alam pada dasarnya adalah upaya
pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, namun disadari pula
kegiatan pemanfaatan ini seringkali memunculkan dampak lingkungan.
Pada tahun 1992 pada pertemuan di Rio de Jeneiro Earth Summit
dikeluarkannya Rio Declaration on Environment and Development
diperkenalkan suatu paradigma baru dalam proses pembangunan, yaitu
sustainable development (pembangunan berkelanjutan) yang
mengedepankan keseimbangan 3 (tiga) pilar pembangunan, yaitu
ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.26 Hal ini sejalan dengan
pandangan Lester Brown tentang konsep sustainable yaitu bagaimana
pembangunan memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus
menurunkan kesempatan generasi masa depan.27
Pengaturan sumber daya alam di Indonesia, termasuk didalamnya
sektor pertambangan dan kehutanan secara yuridis berdasarkan pada
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Jadi penguasaan negara diletakkan
sebagai dasar pencapaian tujuan kemakmuran rakyat.
Penguasaan negara atas sumber daya alam inilah yang menjadi
dasar kewenangan negara untuk menentukan peruntukkan sumber daya
alam. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor
5 Tahun 1960 (UUPA) yang mengatur atas dasar ketentuan dalam Pasal
26
Gusti Muhammad Hatta dalam Surna Tjahja Djajadiningrat. 2014 Green Economy- Ekonomi Hijau. Rekayasa Sains. Bandung. Halaman.III-IV
27Ibid. Halaman. 93
11
33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Pasal 2 ayat (2) UUPA Hak menguasai dari Negara termaksud
dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Tujuan penguasaan negara ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (3)
UUPA, bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari
negara tersebut pada ayat (2), pasal ini digunakan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
Secara khusus pertambangan diatur melalui Undang-undang Nomor
11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, dan
selanjutnya 42 tahun kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4. Selama kurun waktu
12
berlakunya ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1967, sektor pertambangan
dianggap telah memberikan kontribusi bagi pembangunan Indonesia,
namun harus diakui bahwa tidak sedikit persoalan-persoalan yang
ditimbulkan dan merugikan masyarakat akibat beroperasinya perusahaan
pertambangan. Konflik-konflik sosial dengan masyarakat sekitar tambang
terjadi hampir di seluruh wilayah, diantaranya sengketa pertanahan,
persoalan dampak lingkungan, tergusurnya masyarakat sekitar tambang,
kemiskinan masyarakat dan lain-lain.28
Sumber daya hutan dikelola melalui ketentuan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1967 (LNRI-1967-8, TLN-2823) Tentang Kehutanan.
Selanjutnya diganti dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 (LNRI-
1999-167, TLNRI-3587) Tentang Kehutanan.
Hutan berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999 adalah
“suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.”
Hutan merupakan kekayaan alam yang mempunyai nilai sangat
tinggi bagi kehidupan manusia, bagi pembentuk Undang-undang
kesadaran ini dicantumkan dalam Penjelasan Umum UU Nomor 41 Tahun
1999, Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam
28
Haris Retno Susmiyati, 2007. Analisis Teori Hukum Terhadap Tujuan Hukum Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Juni 2007, Vol. 3 No.2, Halaman : 122.
13
yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya,
dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan
dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai
perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Peran hutan dalam pembangunan Indonesia berdasarkan
Penjelasan UU nomor 41 Tahun 1999 adalah sebagai modal
pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan
penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya
maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus
diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara
berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik
generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya
sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah
memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu
harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai
penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya
dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap
mengutamakan kepentingan nasional.
Kewenangan yang dimiliki negara untuk menguasai sumber daya
alam di Indonesia menjadi dasar legalitas negara untuk menentukan
peruntukan suatu wilayah sebagai kawasan hutan atau kawasan
eksploitasi tambang. Secara alamiah lokasi kawasan hutan didalamnya
juga terkandung kekayaan alam berupa bahan galian tambang.
14
Sebagaimana kita ketahui hutan sangat penting posisinya sebagai paru-
paru dunia, artinya yang terdepan adalah fungsi ekologi. Sedangkan
tambang secara nyata merupakan industri yang dikenal sebagai industri
ekstraktif yang dalam operasinya akan mengubah bentang alam.
Sehingga ketika kawasan hutan digunakan sebagai kawasan
pertambangan maka fisik wilayah sebagai hutan akan tidak ada
lagi,disinilah peran penting negara dalam mengelola ruang wilayah hidup
masyarakat.
Pengaturan ruang wilayah Indonesia terdapat dalam Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang, Berdasarkan ketentuan
Pasal 1 (4) “Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.”
Pasal 24 (1) “Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh
pemerintah.”Ketentuan penataan ruang selanjutnya diubah melalui
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Pasal
1 (5) Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Kawasan dalam ketentuan Pasal 1 (20) adalah wilayah yang memiliki
fungsi utama lindung atau budidaya.
Persoalan yang terjadi adalah secara sepihak negara dalam hal ini
pemerintah pusat melakukan klaim terhadap mayoritas wilayah Indonesia
menjadi kawasan hutan. Klaim ini dilakukan negara melalui political forest.
Pada jaman Belanda politik “Domein Verklaring” menjadi alat bagi
15
Pemerintah Belanda untuk mengklaim tanah-tanah di Hindia Belanda
sebagai tanah negara termasuk tanah hutan. Klaim negara berlanjut
setelah Indonesia merdeka melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967
Tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan. Kedua ketentuan bidang kehutanan melahirkan kewenangan
negara yang sangat besar untuk menetapkan suatu areal sebagai
kawasan hutan. Negara menetapkan 69% sebagai kawasan hutan
sebagian besar hanya melalui penunjukan. Meskipun ketentuan Pasal 15
UU 41 Tahun 1999 menyatakan pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses
penunjukan kawasan hutan; penataan batas kawasan hutan; pemetaan
kawasanhutan danpenetapan kawasan hutan.
Meskipun menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-
IX/2011 ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 telah
diubah sehingga dalam menentukan suatu areal menjadi kawasan hutan
harus melalui penetapan dan bukan sekedar penunjukan sebagaimana
ketentuan sebelumnya, namun Keputusan mahkamah konstitusi ini tidak
mengubah klausul Pasal 81 ketentuan peralihan yang menyatakan bahwa
“Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya
undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang
ini.”
16
Kewenangan negara dalam penentuan suatu areal menjadi kawasan
hutan, telah melupakan fakta bahwa terdapat masyarakat baik di dalam
maupun disekitar areal yang telah menempati kawasan sebelum ada
penetapan negara. Penentuan kawasan hutan tanpa melibatkan
masyarakat.
Selain itu penunjukan kawasan hutan di Indonesia yang sangat luas
sementara data geologis memperlihatkan potensi sumber daya alam
sektor tambang yang sangat besar menyebabkan terdapat tumpang tindih
peruntukkan. Aktivitas pertambangan dapat dipastikan akan merambah
kawasan hutan. Hal ini dijawab oleh pemerintah melalui ketentuan Pasal
38 UU 41 Tahun 1999 yang mengatur :
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Batasan dalam Pasal 38 UU 41 Tahun 1999 bahwa hanya boleh
penambangan tertutup di kawasan hutan lindung, menimbulkan keberatan
dari pengusaha pertambangan yang pada masa orde baru sebelum
17
lahirnya UU 41 Tahun 1999 sudah mendapatkan ijin penambangan secara
terbuka di kawasan hutan lindung. Hal ini yang mendorong dikeluarkannya
UU 19 Tahun 2004 yang memperbolehkan 13 (tiga belas) perusahaan
pertambangan melakukan penambangan secara terbuka.
Regulasi penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan melalui
UU Nomor 41 Tahun 1999 mensyaratkan pelaku usaha memiliki izin
pinjam pakai kawasan hutan. Ketentuan ini mengandung permasalahan
hukum, karena konstruksi izin merupakan ranah hukum administrasi
negara dan istilah pinjam pakai berada pada ranah hukum perdata yang
mempunyai konsekuensi hukum berbeda.
Pengaturan pertambangan di kawasan hutan dilegalisasi melalui
mekanisme Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), secara konstruksi
hukum terdapat persoalan karena terjadi penggabungan antara izin dan
perjanjian pinjam pakai. Konstruksi hukum izin dan perjanjian pinjam pakai
mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Izin merupakan produk
administrasi negara yang menempatkan posisi pemegang izin dibawah
pengawasan pemberi izin, sedangkan pinjam pakai yang merupakan
konstruksi hukum perdata menempatkan para pihak setara/sejajar. Hal ini
akan menjadi titik lemah dalam proses pengawasan.
Pengertian pinjam pakai dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUH-Perdata) Pasal 1740 adalah suatu perjanjian dalam mana
pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-
cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima
18
barang itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan,
akan mengembalikan barang itu.
Berdasarkan ketentuan KUH-Perdata, pinjam meminjam artinya
barang yang dipinjam akan kembali dalam keadaan sama seperti saat
meminjam, tentu hal ini berbeda dengan kawasan hutan yang dipinjam
untuk pertambangan pengembaliannya tidak dalam kondisi yang sama.
Pengaturan tambang di kawasan hutan melalui Ketentuan Pasal 38
UU 41 tahun 1999 jo. UU 19 Tahun 2004, menyebabkan secara formal
Indonesia memiliki kawasan hutan mencapai 69% dari seluruh wilayahnya
namun dalam kenyataannya sebagian besar telah diperuntukkan
penggunaan lain yang menyebabkan kawasan tersebut tidak lagi
memenuhi definisi hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU
tersebut.
Kegiatan pertambangan di wilayah kehutanan secara legal difasilitasi
melalui ketentuan pinjam pakai kawasan hutan yang diatur dalam Pasal
38 UU Nomor 41 Tahun 1999 yang diubah oleh UU Nomor 19 Tahun 2004
Tentang Kehutanan.
Peraturan ditingkat menteri berkaitan tambang di kawasan hutan
sangatlah dinamis, sejak tahun 1976–2016. Ketentuan ditingkat menteri
diantaranya Peraturan Menteri Kehutanan (PERMENHUT)
P.14/Menhut/II/2006 Tanggal 10 Maret 2006 Tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan Jo. P.64/Menhut/2006 Tanggal 17 Oktober 2006
tentang perubahan P.14/Menhut/II/2006, yaitu; Pasal 2, Pasal 8 ayat 3,
19
Pasal 13 ayat 2 dan Pasal 18 ayat 1 hingga ketentuan Peraturan Menteri
Kehutanan P.18/Menhut-II/2014.
Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam banyak di warnai oleh
paradigma yang menilai sumber daya alam sebagai sumber pendapatan
ketimbang modal. Paradigma tersebut, telah berakar jauh sebelum
terjadinya revolusi industri sebagai manifestasi hasrat manusia untuk
menguasai alam, yang seharusnya saling membutuhkan untuk menuju
kepada keseimbangan kualitas hidup yang lebih tinggi.29 Implikasi dari
pandangan dunia (world view) yang demikian secara sadar atau tidak
telah membentuk mode of production seluruh aktivitas ekonomi, termasuk
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam pertambangan dan
kehutanan.30
Pembangunan nasional tidak hanya berkaitan dengan pembangunan
nilai finansial saja, tetapi juga berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai
ekonomis, sosial dan budaya secara lokal, regional, nasional dan
internasional.31
Persoalan besar di bidang sumber daya alam adalah pemanfaatan
dan pengelolaan. Indonesia menghadapi bahaya besar sebagai akibat
deforestasi maupun pemanfaatan sumber daya tambang secara
berlebihan yang hanya akan memberikan manfaat ekonomi jangka
29
Arifin Sallatang et al. dalam Abrar Saleng. Op.cit. hal. 2 30
Ibid. 31
Herman Chaeruman dalam Abdullah Marlang dan Rina Maryana, 2015. Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta, halaman : 82
20
pendek. Ancaman kerusakan ekosistem akan menimbulkan kerugian yang
sangat serius, baik kerugian ekologis itu sendiri, kerugian sosial, maupun
kerugian ekonomi finansial.32
Sekjen Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengatakan luas
kawasan hutan yang digunakan untuk kawasan tambang hingga saat ini
seluas 680.000 ha. Izin pinjam pakai kawasan hutan selama 20 tahun.
Hingga saat ini Kemenhut telah mengeluarkan 117 izin kegiatan
pertambangan di kawasan hutan, izin prinsip sebanyak 257 perusahaan
dengan luas 160.000 ha. Izin yang sudah dipegang 54.512 ha berupa izin
pinjam pakai kawasan hutan.33
Namun pengelolaan sumber daya alam Indonesia menunjukkan
betapa kekayaan alam yang melimpah itu tidak serta merta dapat
menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun
pendiri negara meletakkan prinsip penguasaan negara atas sumber daya
alam untuk diabdikan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebagaimana amanah Pasal 33 ayat (3) UUUD 1945.
Kemiskinan, degradasi sumber daya alam Indonesia telah
menyebabkan terjadinya berbagai bencana alam serta peningkatan
kemiskinan. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh pelaksanaan
kebijakan yang berorientasi jangka pendek, usaha pemanfaatan SDA
yang bersifat ekstraktif.34
32
Muammil Sun’an dan Abdurrahman Senuk, 2015. Ekonomi Pembangunan Daerah, Mitra Wacana Media, Jakarta, halaman : 111-112
33 www.bisnis.com: Kamis, 10 November 2011.
34Lembaga ecolabel indonesia. 2004. Dalam www.lei.or.id
21
Daerah-daerah yang mempunyai potensi tambang masih juga harus
bergulat dengan kemiskinan warganya, keterbatasan sarana prasarana
dan penyediaan kebutuhan dasar hidup, sandang, pangan, papan, energi
dan akses air bersih. Potret persoalan di daerah, menjadi pertanyaan
bagaimana sebenarnya Indonesia yang ditempatkan sebagai negara
dengan kondisi excellent tectonic dan geologi, kaya sumberdaya alam
mengelola kekayaan alam sesuai amanat konstitusi.
Pengelolaan sumber daya alam yang tidak memberi manfaat
langsung kepada masyarakat lokal/daerah menjadi pemicu utama konflik
baik horizontal maupun vertikal.35
Pengelolaan sumber daya alam termasuk sumber daya tambang
harus diletakkan berdasarkan prinsip keadilan dan kemanfaatan.
Sebagaimana menelaah masalah hukum tidak dapat dilepaskan tujuan
hukum untuk keadilan, kemanfaatan dan kepastian.
Aliran Utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan dari
hukum. Kemanfaatan ini diartikan sebagai kebahagiaan (happinnes). Jadi
baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah
hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.36
Perbedaan pemenuhan rasa kesenangan akan kemanfaatan
kegiatan pertambangan di kawasan hutan inilah yang seringkali
menimbulkan persoalan di daerah-daerah kaya sumber daya alam.
35
Abrar Saleng, 2013. Op.Cit. Halaman : 5 36
Darji Darmodihardjo dan Shidarta, dalam Sukarno Aburaera.et.al.2014. Filsafat Hukum Teori dan Praktik. Prenada Media Grup. Jakarta. hal.111
22
Aspek manfaat yang penting untuk ditelaah mencakup manfaat bagi
stakeholder (pemangku kepentingan) berkaitan pertambangan di kawasan
hutan yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha
pertambangan, masyarakat yang berada di dalam atau berbatasan
dengan lokasi tambang, serta generasi yang akan datang.
Berkaitan keberadaan kawasan hutan yang penting bagi kelesatarian
alam, pertambangan di kawasan hutan telah berakibat perubahan bentang
alam kawasan hutan lindug yang berdampak turunnya fungsi lingkungan
dan akan menyebabkan hilangnya kawasan hutan.
Sehingga menjadi perlu melakukan kajian konstruksi hukum
pengaturan pengelolaan pertambangan di kawasan Hutan dan manfaat
dari pengelolaan pertambangan di kawasan hutan.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dirumuskan
permasalahan :
1. Bagaimana konstruksi hukum pengelolaan pertambangan
batubara di kawasan hutan dalam perspektif hukum sumber
daya alam?
2. Bagaimana manfaat pelaksanaan pertambangan batubara di
kawasan hutan dalam perspektif hukum sumber daya alam?
3. Bagaimana harmonisasi pengelolaan pertambangan batubara
di kawasan hutan dalam perspektif hukum sumber daya alam?
23
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
1. TUJUAN PENELITIAN
a. Mengetahui konstruksi hukum pengaturan pengelolaan
pertambangan batubara di kawasan Hutan dalam perspektif
hukum sumber daya alam.
b. Mengetahui manfaat pelaksanaan pertambangan batubara di
kawasan hutan.
c. Mengetahui harmonisasi pengelolaan pertambangan batubara di
kawasan hutan dalam perspektif hukum sumber daya alam
2. KEGUNAAN PENELITIAN
a. Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini memberi kontribusi
pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya yang
berkaitan konstruksi hukum dan kemanfaatan pengelolaan
pertambangan di kawasan Hutan dalam perspektif hukum sumber
daya alam;
b. Secara praktis, diharapkan hasil penelitian bermanfaat bagi
pengambil kebijakan untuk merumuskan konstruksi hukum
pengaturan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan;
D. ORISINALITAS PENELITIAN
Berdasarkan penelusuran penulis, baik dari perpustakaan maupun
media informasi lainnya bahwa penelitian yang berjudul “Nilai Manfaat
24
Pertambangan Batubara Di Kawasan Hutan Dalam Perspektif Hukum
Sumber Daya Alam”, tidak memiliki kesamaan secara substantif dan
esensinya, karena dalam penelitian dan penulisan sebelumnya memiliki
sudut pandang dan kajian yang berbeda yaitu :
1. Disertasi Heriamariaty, dengan judul “Politik Hukum Pengaturan izin
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Pada Kawasan Hutan
Lindung Berbasis Prinsip Keberlanjutan”. Program Studi Doktor Ilmu
Hukum Universitas Brawijaya, Malang 2008.37 Penelitian ini substansi
topiknya adalah mengkaji politik hukum pengaturan izin pengelolaan
pertambangan di kawasan hutan lindung dengan metode penelitian
normatif dan kesimpulan penelitian selain izin pinjam pakai diperlukan
adanya izin lingkungan untuk mendapatkan izin usaha. Perbedaan
dengan penelitian penulis adalah substansi kajian dalam Disertasi
Heriamariaty yang tidak mengkaji problem hukum dalam regulasi yang
berbentuk izin pinjam pakai serta tidak mengkaji implementasinya.
2. Subadi dengan hasil penelitian disertasi “Penguasaan dan
Penggunaan Tanah Kawasan Hutan (Menuju Pendayagunaan
Berwawasan Lingkungan, berkelanjutan dan berpihak kepada
kemakmuran Rakyat dalam Perspektif Otonomi Daerah).” Substansi
penelitian ini dititik beratkan pada analisis nilai-nilai manfaat
penggunaan kawasan hutan jati di Jawa dalam perspektif otonomi
daerah. Perbedaan Disertasi Subadi dengan penelitian penulis adalah
37
Heriamariaty, 2008. Politik Hukum Pengaturan izin Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara Pada Kawasan Hutan Lindung Berbasis Prinsip Keberlanjutan. Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
25
substansi penelitian pada penggunaan kawasan hutan yang tidak
mengubah bentang alam, karena pemanfaatannya sebagai lahan
pertanian masyarakat. Kesimpulan dalam disertasi ini adalah
kejelasan status kawasan hutan dan kejelasan pola kemitraan
pengelolaan hutan dengan masyarakat.
3. Disertasi Marilang, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Hasanudin dengan judul “Nilai Keadilan Sosial dalam Pertambangan
(The Value of Social Justice In Mining).” Penelitian ini merupakan
penelitian empiris pada pengelolaan Pertambangan Nikel PT Inco di
wilayah Sulawesi Selatan. Penelitian disertasi ini menitik beratkan
kepada pengkajian 1) nilai-nilai keadilan sosial dalam substansi
hukum yang mengatur tentang pertambangan; 2) kriteria yang
digunakan perusahaan dalam pengelolaan dan mengusahakan
pertambanagn sehingga mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial 3)
menjelaskan tolok ukur yang digunakan dalam mendistribusikan
pengelolaan dan hasil pertambangan. Temuan dalam penelitian 1)
nilai-nilai keadilan yaitu pemerataan, keseimbangan (proporsi) dan
tanggung jawab tidak terakomodasi secara eksplisit dan komprehensif
dalam substansi hukum yang mengatur pertambangan; 2)
Pengelolaan pertambangan belum mencerminkan nilai-nilai keadilan
sosial yakni tanggung jawab terhadap lingkungan, sosial dan generasi
yang akan datang 2) belum dilaksanakannya tolok ukur dalam upaya
26
mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial yaitu pemerataan,
keseimbangan (proposional), rasionalitas (terukur).
4. Disertasi Syamsu Alam, dengan judul Nilai Manfaat dan Pola Konversi
Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan
(Benefit Value And Conversion Pattern Of Candlenut Community
Forest In Maros Regency, South Sulawesi Province). Penelitian ini
bertujuan mendapatkan gambaran pola konversi hutan kemiri rakyat
berdasarkan nilai manfaatnya, menjelaskan faktor yang
mempengaruhi konversi dan merumuskan konsep hutan kemiri rakyat
lestari melalui pengintegrasian pengelolaan kawasan hutan dengan
usaha ke-hutanan rakyat dan sektor pedesaan lainnya, di Kabupaten
Maros Provinsi Sulawesi Selatan.38
38
Syamsu Alam, 2007. Nilai Manfaat dan Pola Konversi Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan (Benefit Value And Conversion Pattern Of Candlenut Community Forest In Maros Regency, South Sulawesi Province). Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanudin, Makasar. Hal. 230 - 232
27
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori dan Konsep
1. Teori Manfaat Hukum berdasarkan Aliran Utilitarianisme
a. Hakikat Hukum
Kata hukum menurut Hans Wehr39 kata hukum berasal dari bahasa
Arab, asal katanya “Hukm”, kata jama’nya “Ahkam” yang berarti putusan
(judgement, verdice, decision), ketetapan (provision), perintah (command),
pemerintahan (government) dan kekuasaan (authority, power).
Hukum menurut Islam, merupakan bagian dari syariat, karenanya
syariat itu lebih dari sekedar hukum dalam arti modern. Menurut ulama
fiqh, hukum adalah : “Firman Allah atau sabda Nabi SAW yang
mengandung tuntutan (perintah, larangan pembolehan) atas perbuatan
orang mukallaf atau yang menjadikan satu hak tertentu sebagai sebab
atau syarat atau penghalang dari tuntutan tersebut.40
Sedangkan istilah hukum dalam bahasa Inggris yaitu Law,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah recht. Donald
39
Hans Wehr dalam Abdul Manan, 2013. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. hal.1
40Topo Santoso dalam Agus Santoso, 2014. Hukum Moral dan Keadilan (Sebuah
Kajian Filsafat Hukum). Penerbit Prenada Media Grup. Jakarta.
28
Black memberikan definisi hukum sebagai berikut, hukum adalah “kontrol
sosial dari pemerintah”41
Menurut Vinogradoff hukum adalah seperangkat aturan yang
diadakan dan dilaksanakan oleh suatu masyarakat dengan menghormati
kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan atas setiap manusia dan barang.42
Sedangkan Bellefroid mengemukakan bahwa hukum adalah segala aturan
yang berlaku dalam masyarakat, mengatur tata tertib masyarakat dan
didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu.43 Menurut
Oxford English Dictionary disebutkan bahwa hukum itu adalah kumpulan
aturan, peraturan perundang-undangan atau hukum kebiasaan di dalam
suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang
mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya. (Law is the body of
rules, whether formally erected or custumory, which a state of community
recognises as binding on its members of subjects).
Hukum menurut Utrechts adalah himpunan peraturan-peraturan
(perintah-perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu
masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat.44
Hukum dari segi terbentuknya, dapat berupa hukum tertulis, (statute
law, writher law) yakni hukum yang dibuat oleh instansi atau lembaga
yang berwenang dalam sebuah negara dan dalam aplikasinya sering
41
Lawrence M.Friedman, 2009. Sistem Hukum-perpektif ilmu sosial-The Legal System-A Social Science Perspective, Nusamedia, Jakarta.
42Achmad Ali. 2008, Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua), PT Galia Indonesia,
Jakarta. Halaman: 34 43
Ibid. 44
CST. Kansil. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Halaman 9.
29
disebut dengan peraturan perundang-undangan. Serta hukum yang tidak
tertulis (unstatute law, unwritten law) yakni hukum yang hidup dalam
masyarakat, tidak tertulis tetapi berlakunya ditaati dan dipatuhi oleh
masyarakat sebagaimana hukum yang tertulis.45
Hukum terdiri atas perintah-perintah, aturan-aturan, kaidah-kaidah.
Kaidah-kaidah itu menghendaki penerapan, terarah pada perwujudan,
hukum itu direalisasi dalam kehidupan kemasyarakatan. Berdasarkan
hukum, perbuatan-perbuatan adalah dibolehkan atau dilarang. Perbuatan-
perbuatan tidak dapat dibolehkan dan dilarang, akibat hukum harus terjadi
atau tidak terjadi. Mereka tidak dapat pada saat yang sama terjadi dan
tidak terjadi. Hukum menuntut kepatuhan, kita hanya mematuhi sesuatu
yang tidak menyandang pertentangan dalam dirinya sendiri. Kaidah-
kaidah pokok logika Aristotelian menguasai tidak hanya ilmu hukum,
melainkan juga hukum, dari sini muncul bahwa hukum harus mewujudkan
satu kesatuan, membentuk sebuah sistem.46
Hukum terdiri dari norma-norma, merupakan suatu agregasi atau
sistem dari norma-norma. Perkataan norm berasal dari bahasa latin
norma, dan menunjukkan suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Akan
tetapi hak memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah
norma, namun juga memberikan kewenangan (authorising), mengizinkan
45
Abdul Manan. Op.cit. hal.2-3 46
Paul Scholten. 2011. De Structuur Der Rechtswetwnschap - Struktur Ilmu Hukum. PT. Alumni Bandung. Hal. 28-29
30
dan penderogasian adalah juga fungsi-fungsi dari norma-norma.47
Penderogasian adalah fungsi khusus (spesifik) dari sebuah norma, norma
yang menderogasi yakni norma yang fungsinya terdiri dari penghapusan
keabsahan dari norma yang lain.48
Hukum pada hakikatnya merupakan norma, dan tiap-tiap norma pasti
mengandung nilai, maka sekilas segera terjawab bahwa isi hukum adalah
nilai. Nilai yang dimaksud disini tidak lain sebenarnya merupakan moral
atau dalam lingkup yang lebih luas, moralitas. Norma hukum berisikan
nilai-nilai, yaitu moralitas individu atau sekelompok masyarakat dalam dua
hal tersebut. Norma hukum dapat digunakan untuk mengevaluasi sikap
dan perilaku yang pernah dibuat, atau untuk mengukur sikap dan perilaku
tertentu yang akan dilakukan.49
Hans Kelsen mempunyai pandangan yang memisahkan antara
hukum yang harus (sollen) dengan hukum yang ada (sein). Hans Kelsen
sebagai tokoh yang penting dalam aliran hukum murni ini karena dilandasi
oleh pengalaman pribadinya ketika menyaksikan bagaimana Hitler
menjalankan politik hukum dengan memanfaatkan hukum demi politik,
kekuasaan dan bukannya untuk menegakkan keadilan. Dalam ajaran
hukum murni, Hans Kelsen berusaha membersihkan hukum dari anasir-
anasir politik dan kekuasaan. Oleh karena itu Hans Kelsen ingin
mengembalikan kompleks hukum kepada suatu kaidah dasar yang
47
Hans Kelsen.2011. Essays In Legal and Moral Philosophy – Hukum dan Logika. PT. Alumni Bandung. Halaman :1-2
48Ibid. Halaman : 41
49Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berfikir.
Refika Aditama. Bandung. Halaman : 76 - 77
31
disebut Grundnorm dan di atas Grundnorm itulah dibangun Stuffenbau
struktur hukum dan peraturan-peraturan untuk melaksanakan gagasan
keadilan yang dikandung oleh Grundnorm.50 Ajaran tentang
Stuffenbautheory menurut Hans Kelsen, peraturan hukum keseluruhannya
diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, kemudian
semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas
adalah abstrak dan makin kebawah semakin konkret. Dalam proses itu,
apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi
sesuatu yang “dapat” dilakukan.51
Sistem hukum merupakan urutan hierarkis berbagai strata norma-
norma hukum. Kesatuannya bergantung pada hubungan yang muncul
ketika penciptaan norma-norma, dan keabsahannya, dirunut kembali ke
norma-norma yang lain yang penciptaannya ditetapkan oleh norma-norma
yang lain.52
Fungsi hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis,
pertama: sebagai standard of conduct yakni sandaran atau ukuran tingkah
laku yang harus ditaati oleh setiap orang dalam bertindak dalam
melakukan satu dengan yang lain, kedua: sebagai a tool of social
engineering, yakni sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat
ke arah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun dalam hidup
50
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT Gunung Agung, Jakarta. Halaman : 273.
51Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua), PT Galia Indonesia,
Jakarta. Halaman: 208 52
Hans Kelsen. 2009. Pengantar Teori Hukum. (terjemahan dari Indtroduction to the problems of Legal Theory- clarendon Press Oxford). Penerbit Nusa Media. Bandung. Halaman : 105
32
masyarakat. Ketiga: as a tool of social control, yakni sebagai alat untuk
mengontrol tingkah laku dan perbuatan manusia agar mereka tidak
melakukan perbuatan yang melawan hukum, agama, dan susila.
Keempat: sebagai as a facility on of human interaction yakni hukum
berfungsi tidak hanya untuk menciptakan ketertiban, tetapi juga
menciptakan perubahan masyarakat dengan cara memperlancar proses
interaksi sosial dan diharapkan menjadi pendorong untuk menimbulkan
perubahan dalam kehidupan masyarakat.53
Hukum secara lazim dalam tatanan sosial menurut Hans Kelsen
memiliki ciri-ciri yaitu, pertama semua tatanan dalam hukum itu
merupakan tata perilaku manusia. Kedua, bahwa semua tatanan itu
merupakan tatanan pemaksa.54
Jan Gijssels dan Mark van Hoeke menyajikan/menganalisis
pengertian tentang hukum dari dua perspektif. Kedua perspektif, meliputi :
perspektif formal, yaitu gagasan hukum atau pembatasan dari hukum
terhadap bahan-bahan terberi kemasyarakatan lain, seperti kultur, politik,
kekuasaan, otoritas, negara, ideologi, dengan ini orang masih dapat
mempunyai sudut pendekatan yang berbeda tergantung pada apakah
orang memandang hukum sebagai keseluruhan dari aturan-aturan hukum
dan lembaga-lembaga hukum (rechtsinstellingen), atau mengartikan
hukum sebagai tuntutan subjektif (hak). Sedangkan pengertian hukum dari
53
Abdul Manan. Op.Cit. Halaman : 3 54
Hans Kelsen. 2011. Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif (diterjemahkan dari Pure Theory Of Law – Berkely University of California Press 1978). Penerbit Nusa Media. Bandung. Halaman : 8
33
perspektif substansial adalah lebih di fokuskan pada suatu pemaparan
dari pandangan-pandangan tentang hukum dalam berbagai masyarakat.55
Max Weber membedakan antara hukum formal dengan hukum
substansial, pembedaan ini merupakan proses rasionalisasi hukum.
Hukum formal adalah keseluruhan sistem dan teori dan doktrin hukum
yang aturan-aturannya didasarkan hanya pada logika yuridis saja tanpa
mempertimbangkan faktor-faktor di luar hukum. Hukum substantif
memperhatikan faktor-faktor non yuridis seperti nilai-nilai politik, etika,
ekonomi dan agama.56
Donald Black berpendapat bahwa hukum tidak dapat hanya dilihat
sebagai bangunan yang rasional dan abstrak, tetapi hukum memiliki
dimensi yang luas, termasuk di dalamnya yang dilihat adalah gambar
sosialnya yang penuh yang berarti memasukkan berbagai dimensi
kemanusiaan dan sosial yang penuh ke dalamnya.57
b. Manfaat sebagai Tujuan Hukum
Menurut Rudolf Von Jhering, mendefinisikan hukum sebagai
keseluruhan dari keadaan kehidupan masyarakat dalam arti seluas-
luasnya, yang dipertahankan oleh kekuasaan negara dengan
menggunakan alat pemaksa yang bersifat ekstern.” Sedangkan tujuan
55
Jan Gijssels dan Mark van Hoeke dalam Salim HS. 2012. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. Rajawali Pers. Jakarta Halaman : 23-24
56Max weber dalam Suteki.2013. Desain Hukum di Ruang Sosial. Penerbit Dua
Satria Offset. Semarang halaman : 8. 57
Khudzaifah Dimyati, 2010. Teorisasi Hukum- Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990. Gentha Publishing. Yohjakarta.Halaman : 40
34
hukum adalah untuk melindungi kepentingan, sedangkan kepentingan
yang dimaksud dilukiskan dengan mengejar kesenangan dan menghindari
penderitaan. Hukum itu sebagai penjaga keseimbangan antara
kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, sehingga menurutnya
kepentingan itu dibedakan menjadi tiga kelompok, yakni kepentingan
individu, kepentingan negara, dan kepentingan masyarakat.
Pandangan Gustav Radbruch tentang hukum yang secara tepat
dinyatakan bahwa cita hukum tidak lain adalah keadilan.58 Dalam
Einfuhrung indie Rechtswissenscahft, Stuttgart, menyatakan, bahwa
sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan. Jadi hukum dibuat
pun ada tujuannya. Tujuan ini merupakan nilai yang ingin diwujudkan
manusia. Tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu pertama keadilan
untuk keseimbangan; kedua keadilan untuk ketepatan; dan ketiga
kemanfaatan untuk kebahagiaan.59
Aliran Utilitarianisme dipelopori oleh Jeremy Bentham, serta tokoh
lain James Mill, John Stuart Mill, Hendry Sidgwick dan G.E. Moore.60
Pemikiran utilitarianism menyatakan hukum harus dibuat secara
utilitarianistik, melihat gunanya dengan patokan-patokan yang didasarkan
pada keuntungan, kesenangan, dan kepuasan manusia. Dalam hukum
tidak ada masalah kebaikan atau keburukan, atau hukum yang tertinggi
atau yang terendah dalam ukuran nilai. Tujuan hukum tersebut dapat
58
Kurt Wilk dalam Peter Mahmud Marzuki, 2007. Penelitian Hukum. PT Kencana Prenada Media Grup. Jakarta. Halaman : 23
59Muhammad Erwin, 2012. Filsafat Hukum – Refleksi Kritis Terhadap Hukum.
Rajawali Pers. Jakarta. Halaman : 123 60
Karen Lebacqz,
35
dicapai dengan menggunakan seni dari legislasi atau seni perundang-
undangan yang memampukan kita untuk meramalkan hal mana yang
akan memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan kepedihan
(kesengsaraan, sakit) dalam sebuah masyarakat. Juga dengan
menggunakan ilmu perundang-undangan (the science of legislation).61
Jeremy Bentham dalam bukunya Introduction to the Morals and
Legislation ia berpendapat, hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-
mata apa yang berfaedah bagi orang. Pandangan Bentham menitik
beratkan pada unsur kemanfaatan dan bersifat umum. Persoalannya
apakah suatu yang berfaedah bagi seseorang juga berfaedah bagi orang
lain atau bahkan merugikan orang lain dan umum, maksud manfaat
(utilitas) di sini bersifat umum untuk kebahagiaan dan kemanfaatan orang
sebanyak-banyaknya. Disini tidak nampak adanya tujuan kearah unsur
keadilan, dalam konteks ini J.H.P Bellefroid dalam bukunya Inleiding tot
de Rechwetenschap in Netherland, mengatakan “de Inhoud van het recht
dient te worden bepaald onder leiding van twee grondbeginselen, t.w. de
rechvaardigheid en de doelmatigheid“ (isi hukum harus ditentukan
menurut dua asas, yaitu keadilan dan faedah atau kemanfaatan).62
61
Antonius Cahyadi dan E.Fernando Manullang, 2010. Pengantar ke Filsafat Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Halaman 62.
62Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT
Radjagrafindo Persada, Jakarta.2006. halaman : 10
36
Jeremy Bentham mengemukakan agar pembentuk hukum harus
membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara
individual.63
Selain Jeremy Bentham para pelopor ajaran utilitarianism John stuart
Mill dan David Hume, mengajarkan bahwa dalam ajaran utilitarianism,
kebahagiaan (happiness) dari masyarakat merupakan prinsip utamanya,
sehingga sering disebut dengan istilah the greatest happiness principle.64
Menurut John Stuart Mill, dalam paham utilitarian dikatakan jika
mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk
institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya itu. Karena itu, unsur
“manfaat” (utility) merupakan kriteria bagi manusia dalam mematuhi
hukum seperti terlihat dalam kalimat “ ....and the test of what laws there
ought to be, and what laws ought to be obeyed, was utility.65
Manfaat atau kegunaan (utility) merupakan batu ujian kebenaran
bagi aliran pragmatis, selain diukur berdasarkan dapat dikerjakan
(worklability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory
consequence). Menurut pendekatan ini tidak ada apa yang disebut
kebenaran yang tetap atau kebenaran yang mutlak.66
Manusia hanya berkewajiban mengikuti hukum yang baik dalam
suatu sistem hukum yang baik. Baik tidaknya hukum diukur melalui
63
Otje Salman. 2012. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah). PT Refika Adhitama. Bandung. Halaman : 72
64 Munir Fuady, 2007. Dinamika teori Hukum, Ghalia Indonesia, Halaman : 95.
65Ibid.
66Amsal Bakhtiar.2011. Filsafat Ilmu. PT. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta.
Halaman : 120
37
manfaat dari hukum tersebut kepada umat manusia, yakni apakah hukum
yang bersangkutan membawa manfaat yang paling besar kepada
sebanyak mungkin manusia.67
Manfaat adalah satu istilah abstrak. Istilah ini mengungkapkan sifat
atau kecenderungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau
memperoleh kebaikan. Kejahatan adalah penderitaan atau penyebab
penderitaan. Kebaikan adalah kesenangan atau penyebab kesenangan,
yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan seorang individu
adalah yang cenderung memperbanyak jumlah kebahagiaan itu.
Sedangkan yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan
masyarakat adalah yang cenderung memperbesar jumlah kebahagiaan
individu yang membentuk masyarakat itu.68
Logika manfaat tercapai karena niat untuk memperhitungkan atau
membandingkan antara penderitaan dan kesenangan dalam segala
pertimbangan dan tidak membuka peluang bagi masuknya gagasan lain.
Prinsip manfaat diperlukan ketika mengukur persetujuan atau penolakan
saya terhadap tindakan pubilk atau tindakan individu berdasarkan
kecenderungannya dalam menimbulkan kesenangan atau penderitaan.
Orang yang mengadopsi prinsip manfaat, memandang sifat baik sebagai
suatu kebajikan hanya karena kesenangan yang dibawanya.69
67
Munir Fuady. Op.Cit 68
Jeremy Bentham. 2010. Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana. (Diterjemahkan dari : The Theory of Legislation. 1979). Nusamedia Bandung.Halaman : 26.
69Ibid. halaman : 27
38
Memperkuat pendapat Bentham, Rudolf Von Jhering dikenal dengan
ajarannya yang biasa disebut social utilitarianism. Hukum merupakan
suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum adalah
sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai
dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya, hukum
merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan
perubahan-perubahan sosial.70
Rudolf Von Jhering memberi tekanan kuat pada fungsi hukum
sebagai instrument untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di dalam
masyarakat terjadi banyak konflik yang tidak terhindarkan. Konflik ini
terjadi antara kebutuhan manusia sebagai masyarakat dan kebutuhan
manusia sebagai individu, untuk mendamaikan konflik itu maka Negara
menjalankan dua metode pemenuhan kebutuhan ekonomis dan kedua
dengan koersi. Terdapat koersi yang tidak terorgnisir (oleh negara) seperti
konvensi masyarakat dan mengenai etiket bermasyarakat, tetapi hukum
merupakan salah satu bentuk koersi yang diorganisasi oleh negara.
Jhering tidak menafikan impuls atau keinginan yang sifatnya altruistis,
tetapi ia melihat bahwa hal tersebut tidak cukup tanpa bentuk koersif
kontrol sosial yang disediakan oleh hukum. Suksesnya proses hukum
diukur dari tercapainya keseimbangan antara kepentingan sosial dan
kepentingan individual.71
70
Otje Salman, Op.cit. 71
Antonius Cahyadi,Op.cit. halaman : 95.
39
Ketentuan dalam ajaran Islam dikenal nilai manfaat (maslahah) yang
pada hakikatnya ditemukan pertama kali oleh Imam Maliki pendiri mazhab
maliki dengan istilah lengkapnya masalih al-Mursalah atau semakna
dengan istilah istihsan oleh imam-imam lainnya. Teori maslahah ini
dikembangkan lebih jauh oleh Abu Ishak Ibrahim Musa al-syatiby.72
Bagi Bentham dan para penganut teori utilitarianisme, dasar obyektif
dalam mengambil tindakan adalah manfaat yang ditimbulkan oleh
kebijakan atau tindakan tersebut bagi banyak orang, secara lebih terinci
dasar obyektif tersebut terdiri dari tiga kriteria yaitu :73 Kriteria pertama
adalah manfaat, yaitu kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat
tertentu. Kebijakan atau tindakan baik adalah kebijakan atau tindakan
yang menghasilkan hal baik. Sebaliknya akan dinilai buruk secara moral
kalau mendatangkan kerugian atau hal buruk. Kriteria kedua adalah
manfaat terbesar, artinya kebijakan atau tindakan tersebut mendatangkan
manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan kebijakan atau
tindakan alternatif lain. Kriteria Ketiga, adalah manfaat terbesar bagi
sebanyak mungkin orang, artinya suatu kebijakan atau tindakan dinilai
baik kalau manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang.
Sehingga berdasarkan prinsip utilitarianisme adalah bertindaklah
sedemikian rupa agar tindakannya itu mendatangkan manfaat sebesar
72
M. Arifin Hamid,2007. Membumikan Ekonomi Syariah Di Indonesia (Perspektif Sosio-Yuridis), Elsas, Jakarta, halaman: 281
73Sony Keraf, 2010. Etika Lingkungan Hidup, Kompas Media Nusantara, Jakarta,
halaman: 30
40
mungkin bagi sebanyak mungkin orang (the greatest good for the greatest
number).
Tabel : 1 Kriteria Obyektif dalam Faham Utilitarianisme Jeremy Bentham
Kriteria Obyektif Maknanya
Manfaat kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme harus mendatangkan manfaat tertentu. Kebijakan atau tindakan baik adalah kebijakan atau tindakan yang menghasilkan hal baik. Sebaliknya akan dinilai buruk secara moral kalau mendatangkan kerugian atau hal buruk.
Manfaat terbesar kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan alternatif lain.
Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang
suatu kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme dinilai baik kalau manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang.
Sumber : Sony Keraf.74
Penulis dalam penelitian ini berpedoman pada teori yang
dikembangkan oleh Jeremy Bentham yaitu faham utilitarianisme. Dengan
kriteria obyektif dalam faham utilitarianisme, yaitu kriteria obyektif manfaat,
kriteria obyektif manfaat terbesar, dan kriteria obyektif manfaat terbesar
bagi sebanyak mungkin orang, maka dilakukan analisis terhadap
pengelolaan pertambangan di kawasan hutan.
74
Ibid. Sony Keraf.
41
2. Teori Harmonisasi Hukum
Harmonisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai upaya penyelarasan.75 Harmonisasi hukum, juga dapat diartikan
upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan,
hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum.76 Harmonisasi
hukum menempatkan hukum sebagai obyek dalam langkah penyelarasan
tersebut.
Salah satu rumus dalam pengelolaan sumber daya alam tambang
dalam perspektif hukum sumber daya alam adalah kaidah keseimbangan
yang dirumuskan melalui rumus keseimbangan.
Gambar : 1 Rumus Kaidah Keseimbangan Pengelolaan Sumber daya alam77
SDT = SDM + SDA + SDE + SDS +SDB.....nSD
Keterangan : SDT = Sumber daya Total Tatanan SDS = Sumber daya Sosial SDM = Sumber daya Manusia SDB = Sumber daya Budaya SDA = Sumber daya Alam SDE = Sumber daya Ekonomi nSD = Sumber daya Lainnya
75
Kamus Bahasa Indonesia. www.KamusBahasaIndonesia.org diakses tanggal 25 Agustus 2014.
76 Kusnu Goesniadhie. 2006. Harmonisasi Hukum dalam perspektif peraturan
perundang-undangan. JP.books, Surabaya. Diakses dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&sqi=2&ved=0CDAQFjAC&url=http%3A%2F%2Fkgsc.files.wordpress.com%2F2012%2F01%2Fharmonisasi-hukum-lex-specialis-suatu-masalah.ppt&ei=fGH7U4zPPMKfugSq04GABw&usg, tanggal 25 Agustus 2014
77 Abrar Saleng, Op.Cit. Halaman : 10
42
Berdasarkan rumus kaidah keseimbangan tersebut, maka dalam
konsep kaidah keseimbangan selalu mengedepankan keseimbangan
tatanan (wilayah), sumber daya tertentu bisa berkurang akan tetapi
sumber daya lainnya harus bertambah guna menjaga keseimbangan
kualitas tatanan. Kaidah ini tidak pernah menolak pengurangan sumber
daya asalkan saja keseimbangan tatanan tetap tercipta. Misalnya
eksploitasi SDA suatu wilayah harus mampu meningkatkan SDM, SDS,
SDE, dan SD lainnya sehingga SD total tatanan tetap terjaga
keseimbangannya.78
Kaidah keseimbangan ini, didasari oleh pemahaman bahwa sumber
daya alam bukanlah sumber pendapatan belaka melainkan modal utama.
Oleh karena itu dalam pengelolaannya dibutuhkan kehati-hatian serta
kecermatan dan diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
dengan memperhatikan secara proporsional kelestarian fungsi lingkungan
hidup dan kesejahteraan masyarakat umum.79
Harmonisasi sistem hukum nasional meletakkan pola pikir yang
mendasari penyusunan sistem hukum dalam kerangka sistem hukum
nasional (legal system harmonization) yang mencakup:80
a) komponen materi hukum (legal substance) atau tata hukum
yang terdiri atas tatanan hukum eksternal yaitu peraturan
perundang-undangan, hukum tidak tertulis termasuk hukum
78
Ibid. 79
Abrar Saleng, Ibid. 80
Ibid.
43
adat dan yurisprudensi, serta tatanan hukum internal yaitu asas
hukum yang melandasinya;
b) komponen struktur hukum beserta kelembagaannya (legal
structure), yang terdiri atas berbagai badan institusional atau
kelembagaan publik dengan para pejabatnya; dan
c) komponen budaya hukum (legal culture), yang mencakup sikap
dan perilaku para pejabat dan warga masyarakat berkenaan
dengan komponen-komponen yang lain dalam proses
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat.
3. Konstruksi Hukum
Konstruksi diartikan sebagai susunan (model, tata letak) suatu
bangunan.81 Beberapa metode konstruksi hukum adalah (a) metode
interpretasi menurut bahasa (gramatikal); (b) metode interpretasi secara
sistematis; (c) metode interpretasi secara historis; (d) metode interpretasi
secara Teleologis atau sosiologis; (e) Interpretasi Antisipatif atau
Futuristis; (f) Interpretasi Evolutif-Dinamikal; (g) Interpretasi Restriktif dan
Ekstensif; (h) Metode Konstruksi Analogi; (i) Metode Konstruksi
Argumentum a contrario; (j) Metode konstruksi penghalusan hukum.
Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan metode
konstruksi hukum yaitu metode Interpretasi secara sistematis. Metode
81
https://www.google.co.id/amp/s/vinandaayuputrirujianto.wordpress.com /2015/12/29/kontruksi-hukum/amp/?espv=1 diakses 4 Mei 2017. Pk 10.06 wite
44
Interpretasi secara sistematis yaitu82 penafsiran yang menafsirkan
peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum
atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Karena
terbentuknya suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian
dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlaku sehingga
tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat
dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai konsekuensi
logis dari berlakunya suatu sistem perundang-undangan maka untuk
menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari
sistem perundang-undangan itu. Oleh karena itu interpretasi sistematis ini
disebut juga interpretasi logis.
4. Pertambangan di Kawasan Hutan dalam Perspektif Hukum
Sumber daya Alam
a. Definisi Hukum Sumber daya alam
Pada dasarnya istilah sumber daya merujuk pada sesuatu yang
memiliki nilai ekonomi atau dapat memenuhi kebutuhan manusia.83
Secara etimologis menurut Webster’s New World College Dictionary istilah
sumber daya dapat berarti merujuk pada beberapa pengertian sebagai84:
(1) Kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu, (2) sumber
82
https://www.google.co.id/amp/s/logikahukum.wordpress.com/2011/09/14/jenis-jenis-metode-dan-kontruksi-hukum/amp/?espv=1 diakses 3 Mei 2017. Pk 13.03 wite
83Mayhew, S dalam Maria S.W Sumardjono. et.al. 2014. Pengaturan Sumber
Daya Alam Di Indonesia-Antara Yang Tersurat dan Tersirat, Gadjah Mada University Press, halaman: 7
84Ibid. halaman : 8
45
persediaan, penunjang dan pembantu; dan (3) Sarana yang dihasilkan
oleh kemampuan atau pemikiran seseorang. Dengan demikian,
pengertian sumber daya sangat luas, yang dapat meliputi sumber daya
alam, manusia, modal, buatan dan sebagainya.
Sumber daya alam dapat didefinisikan sebagai sumber daya atau
faktor produksi yang disediakan oleh alam, dan bukan merupakan buatan
manusia. Berdasarkan definisi tersebut, maka hukum sumber daya alam
merupakan segenap peraturan tentang pengelolaan dan pengusahaan
sumber daya alam.
b. Jenis Sumber Daya Alam
Sumber daya alam dapat dibedakan berdasarkan sifat, yaitu :
(1) Sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable
resources), yaitu sumber daya alam yang dapat di usahakan
kembali atau tidak akan habis selama ada upaya-upaya untuk
memperbaruinya/mengusahakan kembali, yang termasuk
kategori sumber daya alam yang dapat diperbarui adalah
pertanian, perikanan, perkebunan. Secara khusus terdapat
sumber daya alam yang dapat dikategorikan sebagai yang
dapat diperbarui tetapi keberadaannya sangat langka dan
sangat terpengaruh cara manusia mengelola alam dan
lingkungannya, antara lain air, udara, hutan dan kekayaan
keanekaragaman hayati.
46
(2) Sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (non- renewable
resources), yaitu sumber daya alam yang akan habis dan tidak
akan dapat dipulihkan kembali. Sumber daya alam yang
termasuk kategori sumber daya alam yang tidak dapat
diperbarui adalah biji mineral (batubara, timah, nikel, aspal)
serta bahan bakar fosil (minyak dan gas bumi)
Berdasarkan kategori dalam keuangan negara, pemerintah di dalam
mengajukan Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Penerimaan dan
Belanja Negara (APBN), biasanya membagi jenis-jenis sumber daya alam
secara sektoral yaitu :
(1) Sektor sumber daya pertanian, meliputi : tanaman pangan,
peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, dan pengairan.
(2) Sektor sumber daya pertambangan meliputi : minyak bumi, gas
bumi, batu bara, aspal, nuklir, dan bahan galian lainnya.
Menurut Chambers dan Conway, terdapat lima sumber kehidupan
yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi di dalam
upaya mengembangkan kehidupannya yaitu: human capital, social capital,
natural capital, physical capital, dan financial capital.85 Berdasarkan
pandangan ini maka sumber daya alam merupakan natural capital dan
merupakan sumber kehidupan.
85
Chambers dan Conway dalam Imam Koeswahyono. 2009. Sumber daya Alam dalam Konstelasi Politik Nasional Dan Globalisasi Hukum, persoalan sistem pertanian berkelanjutan. Diterbitkan dalam Hukum Yang Bergerak. Penerbit Yayasan obor Indonesia. Jakarta. hal. 294.
47
c. Konsep kepemilikan sumberdaya alam
Konsep kepemilikan SDA di Indonesia secara konstitusional diatur
dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, pemaknaan Pasal 33 (3) UUD 1945
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003, “....bahwa
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah
hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara
kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama.”
Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam Perkara Nomor
001-021-022/PUU-I/2003, terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, adalah
“...perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna
penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari
konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan
“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”,
termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas
rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu
dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara
untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad)
dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Ketentuan tersebut dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor : 21-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 25
48
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, bertanggal 25 Maret 2008, pada
Paragraf [3.9], menyatakan bahwa:
“… dalam Pasal 33 UUD 1945 tersebut terdapat hak-hak ekonomi dan sosial warga negara sebagai kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi melalui keterlibatan atau peran negara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 33 UUD 1945 adalah ketentuan mengatur tentang keterlibatan atau peran aktif negara untuk melakukan tindakan dalam rangka penghormatan (respect), perlindungan (protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga negara”;
Tipe-tipe kepemilikan versi Ostrom and Schlager,86 yaitu:
a. Hak akses (access right) : hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif.
b. Hak pemanfaatan (withdrawal right) : hak untuk memanfaatkan sumber daya atau hak untuk berproduksi.
c. Hak pengelolaan (management right) : hak untuk menentukan aturan operasional pemanfaatan sumber daya.
d. Hak ekslusi (exclusion rights) : hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain.
e. Hak pengalihan (alienation rights) : hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut diatas.
Berdasarkan pendapat Bromley87, terdapat empat bentuk
kepemilikan, yaitu akses terbuka (open acces), negara (state property),
swasta (private property) dan masyarakat (communal property). Pertama,
sumber daya akses terbuka (open access), tidak ada pengaturan tentang
apa, kapan, dimana, siapa, dan bagaimana sumber daya alam
dimanfaatkan, serta bagaimana terjadinya persaingan bebas (free for all).
86
Arif Satria. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press. Bogor. Halaman : 3-4
87Ibid. Halaman : 5-6
49
Dalam pemanfaatan sumber daya alam, dapat memicu terjadinya tragedy
of the commons.
Kedua, sumber daya milik negara (state property), baik ditingkat
daerah maupun pusat. Hak ini perlu berlaku pada sumber daya yang
menjadi hajat hidup orang banyak. Ketiga, kepemilikan swasta, baik
individual maupun korporat. Bentuk kepemilikan ini bersifat temporal.
(dalam jangka waktu tertentu). Keempat, kepemilikan komunal atau
masyarakat, bersifat turun-temurun, lokal dan spesifik. Aturan-aturan
pengelolaan biasanya bersifat tertulis dan tidak tertulis. Akses seluruh
anggota masyarakat relatif sama.
d. Paradigma dalam memandang SDA
Istilah paradigma berasal dari bahasa latin pradeigma yang berarti
pola.88 Paradigma merupakan perangkat asumsi dan kerangka umum
atau menunjuk pada cara pandang atau kerangka berfikir yang
berdasarkan fakta atau gejala di interpretasi dan di pahami. Kuhn
mendefinisikan paradigma sebagai “..... universally recognized scientific
achievement that for a time provide model problems and solutions to a
community of practitioners.”89
Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam banyak diwarnai oleh
paradigma yang menilai sumber daya alam sebagai sumber pendapatan
ketimbang modal. Paradigma tersebut, telah berakar jauh sebelum
88
Sirajuddin, Didik Sukriono, Winardi, 2012. Hukum Pelayanan Publik-Berbasis Partisipasi dan Keterbukaan Informasi, Setara Press, Malang. Halaman:2
89Bernard Arief Sidharta, 2013. Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing,
Yogjakarta, Halaman : 71
50
terjadinya revolusi industri sebagai manifestasi dari hasrat manusia untuk
menguasai alam, yang seharusnya saling membutuhkan untuk menuju
kepada keseimbangan kualitas hidup yang lebih tinggi.90 Implikasi dari
pandangan dunia (world view) yang demikian secara sadar atau tidak
telah membentuk mode of production seluruh aktivitas ekonomi, termasuk
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam pertambangan, kehutanan
dan perkebunan.91
Konsep pemanfaatan sumber daya alam dalam Islam, manusia
harus pandai memanfaatkan sumber daya alam secara optimal tetapi
tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas. Jika ada eksploitasi yang
sangat besar terhadap sumber daya alam, maka yang diperhitungkan
adalah efisiensi dan jaminan tidak menjadi rusak karena adanya
eksploitasi yang berlebihan. Sebagaimana larangan dalam Islam
terhadap manusia untuk melakukan kerusakan diatas muka bumi,
sebagaimana ketentuan Q.S. Al A’raf : 46 yaitu “Dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi sesudah Allah memperbaikinya. Dan
berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Ada fenomena menarik yang disebut para ahli sebagai “kutukan
sumber daya alam”. Negara-negara yang berkelimpahan dengan sumber
daya alam, performa pembangunan ekonomi dan tata kelola
pemerintahannya (good governance) kerap lebih buruk dibandingkan
90
Arifin Salatang et.al dalam Abrar Saleng. Op.cit. Halaman : 2 91
Abrar Saleng, Ibid. Halaman : 2
51
negara-negara yang sumber daya alamnya lebih kecil. Secara paradoks,
meskipun muncul harapan besar akan munculnya kekayaan alam dan
luasnya peluang yang mengiringi temuan dan ekstraksi sumber daya
alam, anugerah seperti itu kerapkali menjadi penghambat daripada
menciptakan pembangunan yang stabil dan berkelanjutan.92
Perkembangan pembangunan yang masih tertuju pada pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja akan senantiasa
mengeksploitasi sumber daya alam sebagai faktor produksi yang
diperlukan. Orientasi ekonomi pada komoditas (barang) sumber daya
alam ini, dalam kondisi lemahnya institusi publik yang mengaturnya, maka
akan mengabaikan fungsi sumber daya alam yang memproduksi jasa (life
support system) seperti air, sungai, danau, resapan air dll.93
e. Konsep distribusi sumber daya alam
Menurut Satjipto Rahardjo. hukum pengatur sumber daya dalam
masyarakat didasarkan pada dua pola pembagian. Pola pertama
didasarkan pada kemampuan masing-masing, sehingga bagaimana orang
bisa masuk ke sumber-sumber daya, dipecahkan melalui disposisi dari
masing-masing orang secara alamiah. Dalam keadaan demikian maka
siapa yang kuat dengan sendirinya akan memperoleh jalan masuk dengan
92
Macartan Humpreys et.al. 2007. Escaping The Resource Curse. Columbia University Press. New York. Page : 1
93Harijadi Kartodiharjo dkk, 2005. Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Yayasan KEHATI, Jakarta. Halaman : 67 dan 72.
52
mengalahkan mereka yang kurang kuat.94 Pola pertama ini penjelasannya
hampir mirip dengan pendapat Thomas Hobbes dalam rumusan homo
momini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya.95
Pola kedua didasarkan pada kemampuan masing-masing dan yang
didasarkan pada mekanisme pembagian yang diciptakan oleh masyarakat
sendiri. Masyarakat memberikan pedoman-pedoman kepada anggotanya
tentang bagaimana hendaknya hubungan-hubungan antar mereka itu
dilaksanakan. Pedoman-pedoman ini bisa berupa larangan maupun
keharusan. Apabila hal ini dihubungkan dengan tujuan untuk memperoleh
sumber daya, maka pedoman itu memberi tahu bagaimana masing-
masing anggota masyarakat itu berhubungan satu sama lain, dalam
rangka memperoleh sumber-sumber daya tersebut.96
Pemerintah-pemerintah daerah jelas memiliki hak memperoleh
pendapatan sebagai kompensasi atas biaya sosial, lingkungan, dan
prasarana eksploitasi sumber daya alam.97 Pemerintah-pemerintah lokal
dan regional seharusnya memperoleh kompensasi atas biaya-biaya yang
mereka tanggung ketika eksploitasi sumber daya alam terjadi di dalam
yuridiksi mereka.98
94
Satjipto Rahardjo, 1991. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 160 95
Von Scihmt dalam Otong Rosadi. 2012. Quo Vadis Hukum Ekologi dan Keadilan Sosial. Dalam Perenungan Pemikiran (Filsafat) Hukum. Penerbit Thafa Media. Hal.36
96Satjipto Rahardjo. Op.Cit. halaman : 162
97 Michael L. Ross dalam Macartan Humpreys. Op.cit. page : 290
98http://www.icmm.com/library_pub_detail.php?rcd=183
53
5. Hukum Pertambangan Batubara di Indonesia
a. Pertambangan Batubara
Istilah batubara merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu
coal. Batubara merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan
terdapat di alam dalam tingkat/grade yang berbeda dari lignit,
subbitumine, antarasit.99
Batubara dalam pengertian geologi, termasuk batuan sedimen yang
terbentuk dari akumulasi pengendapan bahan tetumbuhan dalam kondisi
tertutup dari udara, serta mengalami kenaikan temperature dan proses
pemadatan. Proses sedimentasi (pengendapan) yang berlangsung dalam
suatu cekungan (basin) dapat berlangsung lama apabila dasar cekungan
mengalami proses secara terus menerus. Semakin lama proses
pengendapan berlangsung, akan semakin tebal lapisan pengendapan
(batuan ataupun batubara yang terbentuk). Proses terbentuknya batubara
memerlukan waktu jutaan tahun.100
Batubara merupakan sisa-sisa vegetasi rawa yang mengalami
pembusukan sebagian dan menjadi padat, terjepit diantara lapisan-lapisan
endapan samudera. Hutan rawa jaman purba menutupi sebagian besar
permukaan bumi berjuta-juta tahun. Sisa-sisa fosil hutan purba terbentuk
kira-kira 300 juta tahun yang lalu selama periode karbon.101
99
Sukandarrumidi, 1995. Bahan Galian Industri.Yogjakarta: Gajahmada University Press, hlm. 26
100 Sigit, 1999. Industri Pertambangan Batubara Indonesia. Bandung: Tidak
diterbitkan, halaman : 6. 101
Kathy dkk, Op. Cit halaman : 578
54
Pertambangan batubara sudah dikenal sejak lama, pada abad ke-13
Marcopolo menemukan bahwa orang Cina sudah memasak
menggunakan batubara. Bahkan diabad ke 18, batubara sudah digunakan
untuk bahan bakar mesin uap. Di Indonesia penambangan batubara
sudah dikenal sejak jaman penjajahan.102
Tipe penambangan batubara di dunia ada dua yakni tambang
terbuka (open pit/strip mining) dan tambang tertutup (underground
mining). Di Indonesia mayoritas tambang batubara dilakukan dengan
sistem tambang terbuka, sedangkan di dunia persentase terbesar
tambang batubara di lakukan dengan sistem underground. Tambang
terbuka/open pit/Strip Mining adalah :
Strip mining is also known as open cast, mountaintop or surface mining involves scraping away earth and rocks to get to coal buried near the surface. In many cases, mountains are literally blasted apart to reach thin coal seams within which results in leaving permanent scars on the landscape. Strip mining accounts for about 40 percent of the world’s coal mines but in some countries,.. Even though it's highly destructive, industry often prefers strip mining as it requires less labour and yields more coal than underground mining.103
Menurut Catherine Coumans, Koordinator Riset dari Mining Watch
Canada sebagai saksi ahli sidang Judicial Review UU No. 19 Tahun 2004
di Mahkamah Konstitusi bahwa pertambangan modern berlangsung
selama 15-20 tahun. Tetapi kerusakan yang ditimbulkannya (terlebih
tambang terbuka) bisa berlangsung lebih lama. Bahan kimia yang
102
Gali-Gali, Buletin Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, 7 Desember 2000, halaman : 5
103Siva Prasad Dontala, T. Byragi Reddy, Ramesh Vadde, Environmental
Aspects and Impacts its Mitigation Measures of Corporate Coal Mining. Procedia Earth and Planetary Science 11,(2015) 2 – 7. www.sciencedirect.com p.3-4
55
digunakannya dapat mencemari tanah dan air tanah. Sementara
keuntungannya pada masyarakat sangat sedikit bila dibandingkan dengan
nilai yang diberikan hutan yang utuh sebagai mata pencarian mereka.104
Ciri khas sumber daya alam sektor pertambangan adalah sumber
daya alam yang tak terbarukan, suatu saat penambangan tidak layak lagi
secara ekonomis dan tambang akan ditutup. Namun dampak kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan oleh pembukaan kegiatan pertambangan
mungkin akan jauh lebih lama daripada umur tambang itu sendiri.105
Beroperasinya pertambangan membawa dampak sangat besar bagi
penghidupan rakyat. Hal ini karena pertambangan baik skala besar
maupun kecil pada dasarnya memiliki daya rusak bagi lingkungan yang
sulit di pulihkan. Daya rusak dibatasi pengertiannya sebagai suatu bentuk
campur tangan terhadap sistem-sistem alami, yang mengakibatkan
rusaknya sistem alami tersebut, sehingga fungsinya berkurang atau
bahkan hilang. Semakin besar skala suatu kegiatan pertambangan, maka
ia berubah menjadi resiko atau ancaman.106
Daya rusak pertambangan dapat bersifat langsung, tak langsung dan
meluas. Kerusakan langsung adalah kerusakan yang nampak pada saat
kejadian, dampaknya bersifat segera dan meliputi wilayah yang jelas.
Kerusakan tak langsung adalah dampak kerusakan yang terjadinya tidak
pada saat itu juga, kerusakan langsung dapat menjadi penyebab
104
Catherine Coumans dalam Siti Maimunah dkk. 2007. Tambang & Pelanggaran HAM. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, halaman : 173
105 Holdren 1975 dalam Kathy dkk. Op.cit. Halaman : 580
106Adi Widyanto, 2008. Taen Hine – Mencari Tahu-Investigasi Daya Rusak
Pertambangan.Penerbit Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, halaman : 9
56
terjadinya kerusakan tidak langsung. Kerusakan yang meluas adalah
dampak kerusakan jangka panjang pada aspek-aspek penghidupan, yang
jauh dari kerusakan langsung.107
Perubahan bentang alam akibat pertambangan dapat berkontribusi
terhadap perubahan iklim.108 Dampak perubahan iklim tidak dapat
dianggap sepele, dan pada kenyataannya justru negara-negara
berkembang terutama negara kepulauan seperti Indonesia yang paling
rentan terkena dampak perubahan iklim.109
Disisi lain kegiatan pertambangan akan menyebabkan pencemaran
air permukaan, air tanah, tanah dan kesehatan manusia serta
memusnahkan flora dan fauna di sekitar lokasi tambang. Juga akan di
peroleh multiplier effect baik dampak lingkungan maupun dampak sosial,
serta budaya bagi daerah sekitarnya. Kehancuran berawal dari rusaknya
daerah-daerah resapan air sehingga akan menganggu keseimbangan
hidrologis atau suplai air yang merupakan faktor pembatas terpenting bagi
populasi binatang, tumbuhan dan manusia. Ancaman berikutnya adalah
kerawanan pangan sebagai akibat lanjutan dimana kelangkaan air dan
pencemaran tanah mengubah pola produksi pangan di sekitar lokasi
tambang.110
107
Ibid. Halaman : 10-11 108
Dedy Hadriyanto, 2015. Kesaksian Ahli dalam perkara Gugatan izin pertambangan kota Samarinda di PN Samarinda tahun 2015
109 Rizaldi Boer. 2001. Economic Assesment of Mitigation Options for
Enhancing and Maintaining Carbon Sink Capacity in Indonesia, Journal Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, Volume 6. Kluwer Academic Publisher. P.257
110 Hasil Studi US-EPA dalam Aminuddin A Kirom dkk, 2006.Tambang dan
Penghancuran Lingkungan, JATAM Jakarta, halaman : 316
57
b. Hukum Pertambangan Batubara di Indonesia
Hukum pertambangan umum disebut juga dengan general mining
law (Inggris), algemene mijnrecht (Belanda), dan allgemeinen Bergrecht
(Jerman). Istilah hukum pertambangan mineral dan batubara berasal dari
terjemahan bahasa Inggris, yaitu mineral and coal mining law.111
Pertambangan dapat didefinisikan: “the process of extracting
minerals of economic value from the earth’s crust for the benefit of
mankind.... the earth’s crust refers to the surface of the earth extending to
a variying depth of about 20 miles, including the oceans, lakes and rivers,
embaced by the surrounding atmosphere.”112
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya
batubara. Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting
dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya
harus dikuasai oleh negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi
perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pengaturan hukum
pertambangan merujuk kepada ketentuan Undang-undang Nomor 4
Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara, selanjutnya disebut UU
Minerba.
111
Salim HS. 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara. Sinar Grafika. Jakarta. halaman 14 - 15
112Cedric Gregory. 2001. A Concise History of Mining, AA Balkema Publishers,
The Netherlands, halaman : xv.
58
Hukum pertambangan mineral dan batubara merupakan kaidah
hukum yang bersifat khusus. Dikatakan khusus karena objeknya khusus;
dan sifat hubungan para pihak bersifat administratif, yang menjadi objek
kajian hukum pertambangan mineral dan batubara hanya berkaitan
dengan pertambangan mineral dan batubara. Selain itu Hukum
pertambangan mineral dan batubara bersifat administratif, karena
pemerintah maupun pemerintah daerah mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi dalam proses pemberian izin.113
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Mineral dan Batubara mendefinisikan pertambangan adalah
“Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.”
Pasal 1 ayat (3) memberikan pengertian batubara adalah endapan
senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa
tumbuh-tumbuhan, pada ayat (5) dikatakan bahwa pertambangan
batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam
bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. Pengertian
usaha pertambangan berdasarkan ketentuan ayat (6) adalah kegiatan
dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan
kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
113
Ibid. Halaman : 21
59
serta pascatambang. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha
pertambangan untuk memproduksi mineral dan atau batubara dan mineral
ikutannya.
Usaha pertambangan berdasarkan ketentuan UU Minerba Pasal 34
ayat (1) dikelompokkan hanya menjadi dua, yaitu pertambangan mineral
dan pertambangan batubara. Tujuan dan asas pengelolaan pertambangan
minerba berdasarkan Pasal 2 UU Minerba, dikelola berasaskan:
a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan; b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Penjelasan Pasal 2 huruf (d) yang dimaksud dengan asas
berkelanjutan dan bemawasan lingkungan adalah asas yang secara
terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial
budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara
untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.
Tujuan pengelolaan mineral dan batubara berdasarkan Pasal 3 UU
Minerba adalah menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara
secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; serta
berdasarkan ketentuan huruf f, bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral
dan batubara.
Penguasaan atas pertambangan batubara berdasarkan ketentuan
Pasal 4 :
60
(1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan rnerupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
(2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
6. Hukum Kehutanan di Indonesia
Pengertian hutan dan kawasan hutan yang diberikan Undang-
undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, membedakan antara
hutan dan kehutanan. Pengertian kehutanan dalam Pasal 1 ayat (1)
adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Sedangkan
Pasal 1 ayat (2), hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan.
Kawasan hutan berdasarkan batasan yang diatur dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah
“wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”
Asas penyelenggaraan kehutanan yang diatur dalam Pasal 2
menganut asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan, dan keterpaduan. Penjelasan UU 41 Tahun 1999
memberikan penegasan bahwa penyelenggaraan kehutanan berasaskan
manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan
61
penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan
kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan,
dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan
peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai
dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran
seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan
atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli,
monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.
Tujuan penyelenggaraan kehutanan menurut Pasal 3 UU Nomor 41
tahun 1999, penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas
dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat
62
(1) UU Nomor 41 Tahun 1999. Pengertian penguasaan hutan oleh negara
dalam ayat (2) adalah pemberian wewenang kepada pemerintah untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Pembatasan penguasaan hutan oleh negara dalam ayat (3)
diharuskan tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional. Fungsi hutan menurut Pasal
6 UU Nomor 41 Tahun 1999 adalah fungsi konservasi, fungsi lindung, dan
fungsi produksi.
Sebagai upaya mempertahankan tujuan dan fungsi hutan maka
berdasarkan Pasal 18 ayat (1) pemerintah mempunyai kewajiban untuk
menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna
optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi
masyarakat setempat.
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan berdasarkan Pasal
19 ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil
penelitian terpadu. Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin
obyektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian
diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompetensi
63
dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan
pihak lain yang terkait.
Perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan
cakupan yang luas serta bernilai strategis, berdasarkan Pasal 19 ayat (2)
harus melalui penetapan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan
"berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis",
adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti
perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial
ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi
yang akan datang.
Pemanfaatan hutan yang dimaksud dalam UU 41 Tahun 1999,
bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan
seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya sebagaimana diatur dalam Pasal 23. Pemanfaatan
kawasan hutan berdasarkan Pasal 24 dapat dilakukan pada semua
kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona
rimba pada taman nasional.
Pemanfaatan hutan lindung berdasarkan Pasal 26 ayat (1) dapat
berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hutan lindung
dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
64
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan
bukan kayu.
Pemanfaatan hutan produksi berdasarkan Pasal 28 ayat (1)
pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan
hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan
bukan kayu (Pasal 28 ayat (2)).
7. Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan
a. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Undang-Undang
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar
kegiatan kehutanan diatur dalam Pasal 38 ayat (1) dinyatakan bahwa
“penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan
produksi dan kawasan hutan lindung.” Pada ayat (2) dipersyaratkan
bahwa “penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.”
Pemberian izin pinjam pakai merupakan syarat penggunaan
kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan berdasarkan
65
ketentuan Pasal 38 ayat (3) pemberian izin pinjam pakai oleh menteri
dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan.
Larangan dalam pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan sesuai
ketentuan Pasal 38 ayat (4) adalah pada kawasan hutan lindung dilarang
melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
Pemberian izin pinjam pakai bagi pertambangan yang berdampak
penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh
menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana diatur
dalam Pasal 38 ayat (5).
Kewajiban reklamasi di kawasan izin pinjam pakai diatur dalam Pasal
45 ayat (1) penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan
reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan
pemerintah. Ketentuan ayat (2) mengharuskan reklamasi pada kawasan
hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin
pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan. Lebih
lanjut dalam ayat (3) diwajibkan pihak-pihak yang menggunakan kawasan
hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan
perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana
jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
66
b. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan
Kawasan Hutan
Penggunaan kawasan hutan merujuk pada ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
Penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa
mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut.
Penggunaan kawasan hutan dalam ketentuan Pasal 1 PP Nomor 24
Tahun 2010 berdasarkan sifatnya ada dua yaitu penggunaan kawasan
hutan yang bersifat nonkomersial dan penggunaan kawasan hutan yang
bersifat komersial. Penggunaan kawasan hutan yang bersifat
nonkomersial menurut ayat (6) adalah penggunaan kawasan hutan yang
bertujuan tidak mencari keuntungan. Sedangkan penggunaan kawasan
hutan yang bersifat komersial adalah penggunaan kawasan hutan yang
bertujuan mencari keuntungan (ayat 7).
Tujuan penggunaan kawasan hutan berdasarkan Pasal 2 untuk
mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Objek pinjam pakai kawasan
hutan dalam Pasal 3 ayat (1) penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan
di dalam :
a. kawasan hutan produksi; dan/atau
b. kawasan hutan lindung.
67
Pasal 3 ayat (2) penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan
dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan.
Pasal 4 (1) penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk
kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan.
Berdasarkan Pasal 5, penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan dengan ketentuan:
a. dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan:
1. penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan
2. penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah;
b. dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan:
1. turunnya permukaan tanah; 2. berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; 3. terjadinya kerusakan akuiver air tanah.
Izin penggunaan kawasan hutan Pasal 6 (1), penggunaan kawasan
hutan dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan.
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah nilai manfaat
merupakan induk dari topik yang diangkat. Selanjutnya akan ditelaah (1)
konstruksi pengaturan pertambangan di kawasan hutan dengan melihat
konstruksi pengaturan pengelolaan, dan dinamika pengaturan; (2)
68
Manfaat pelaksanaan pertambangan di kawasan hutan; (3) Harmonisasi
pengaturan pertambangan di kawasan Hutan ditelaah dari harmonisasi
dalam perspektif kaidah keseimbangan pengelolaan sumber daya alam.
Gambar 2 :
Bagan Kerangka Pikir (Conseptual Framework)
MANFAAT PERTAMBANGAN BATUBARA DI KAWASAN HUTAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM SUMBER DAYA ALAM Utility Theory
(Teori Manfaat) Jeremy Bentham
Teori Harmonisasi Hukum
Implementasi dan Manfaat Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan 1. Implementasi dan
pengawasan IPPKH 2. Manfaat ekonomi,
Sosial, Lingkungan
Konstruksi Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan 1. Konstruksi Hukum
IPPKH 2. Dinamika Pengaturan 3. Konstruksi Hukum
Pengawasan 4. Konstruksi hukum
Pengawasan
HARMONISASI PENGELOLAAN PERTAMBANGAN
DI KAWASAN HUTAN
Harmonisasi pengelolaan pertambangan di Kawasan Hutan
69
C. Definisi Operasional
1. Nilai Manfaat dalam Faham Utilitarianisme : Nilai manfaat sebagai
dasar obyektif dalam mengambil tindakan atau kebijakan, yang terdiri
dari tiga kriteria yaitu Kriteria pertama adalah manfaat, kebijakan atau
tindakan baik adalah kebijakan atau tindakan yang menghasilkan hal
baik. Kriteria kedua adalah manfaat terbesar, artinya kebijakan atau
tindakan tersebut mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar
dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan alternatif lain. Kriteria
Ketiga, adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang,
artinya suatu kebijakan atau tindakan dinilai baik kalau manfaat
terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang.
2. Manfaat Kawasan Hutan : Kawasan hutan dikelola guna optimalisasi
manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan ekonomi masyarakat
setempat.
3. Manfaat Ekonomi : Hal baik/ keuntungan yang diperoleh dari usaha
setelah di kurangi biaya-biaya.
4. Manfaat Sosial : Hal baik/ keuntungan yang diperoleh dalam ruang
lingkup hidup masyarakat antar lain bidang ketenagakerjaan,
pendidikan, kesehatan, peningkatan sumber daya manusia.
5. Manfaat Lingkungan : Hal baik bagi Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam
70
itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lain.
6. Hukum Sumber Daya Alam : Aturan tentang sumber daya atau faktor
produksi yang disediakan oleh alam, dan bukan merupakan buatan
manusia
7. Pertambangan Batubara : sebagian atau seluruh tahapan kegiatan
dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan batubara
yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta kegiatan pascatambang
8. Hutan : Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya
tidak dapat dipisahkan.
9. Penggunaan Kawasan Hutan : Penggunaan atas sebagian kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan
tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut.
Penggunaan kawasan hutan yang dimaksud dapat dilakukan tanpa
mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
10. Fungsi pokok kawasan hutan: Fungsi pokok kawasan hutan adalah
fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi.
71
11. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan :
Izin pinjam pakai kawasan hutan adalah izin yang diberikan untuk
menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di
luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan
kawasan hutan.
12. Konstruksi Hukum :
Konstruksi diartikan sebagai susunan (model, tata letak) suatu
bangunan. Konstruksi hukum diartikan sebagai susunan (model, tata
letak) suatu bangunan hukum.
13. Pengawasan :
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan yang
membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau
diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, dan
diperintahkan.
14. Harmonisasi Hukum :
upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan
perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum.
72
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris (yuridis empiris)
atau penelitian hukum sosiologis atau sosio legal studies. Wheeler dan
Thomas yang dikutip oleh Banakar mengkonsepkan sosio legal studies
adalah :
Suatu pendekatan alternatif yang menguji studi doktrinal terhadap hukum. Kata socio dalam socio legal studies mempresentasikan keterkaitan antar konteks dimana hukum berada (an interface with a context within which law exists. Itulah sebabnya mengapa ketika seorang peneliti socio legal menggunakan teori sosial untuk tujuan analisis, mereka tidak sedang bertujuan untuk memberi perhatian pada sosiologi atau ilmu sosial yang lain, melainkan hukum dan studi hukum.114
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur, pemilihan lokasi
tersebut didasarkan pada pertimbangan provinsi Kalimantan Timur
merupakan wilayah eksploitasi tambang batubara terbesar di Indonesia.
Selain itu terdapat perusahaan tambang batubara yang mendapatkan
hak pengecualian untuk melakukan penambangan secara terbuka di
kawasan hutan lindung berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur yaitu Perusahaan
Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri.
114
Sulistyawati Irianto, dalam Imam Koeswahyono, dkk. 2013. Sosio Legal-Bekal Pengantar dan Substansi Pendalaman. Intimedia Malang & Pusat Kajian dan Penelitian Sosio Legal (PKP-SL) Universitas Brawijaya, Malang. Halaman 16-17.
73
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi penelitian nilai manfaat pertambangan di kawasan hutan
yang dijadikan populasi adalah stakeholder dalam kegiatan pertambangan
dikawasan hutan di Kalimantan Timur.
2. Sampel Penelitian
Teknik penentuan Sampel dalam penelitian ini adalah Purposive
Sampling. Purposive sampling yang dimaksud adalah115 pemilihan
sekelompok subyek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang
mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi
yang diketahui sebelumnya. Purposive sampling lebih banyak
memusatkan perhatian pada ciri-ciri atau sifat-sifat yang harus masuk di
dalam sampel yang dipilih. Dalam penelitian ini kriteria dipusatkan pada
data manfaat pertambangan di kawasan hutan. Sampel penelitian ini
sebanyak 142 responden.
D. Sumber Data
Penelitian telah dilakukan dengan metode pengambilan data primer
dan data sekunder yang meliputi :
1. Data primer atau data dasar (Primary data/basic data):
Data primer adalah data diperoleh dari lapangan yaitu :
115
Ibid, hlm. 133.
74
a. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan
Hidup.
b. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur yang dalam
dalam penelitian ini di wakili Dinas Kehutanan Kalimantan Timur
dan Dinas Pertambangan Kalimantan Timur.
c. PT Indominco Mandiri, yang melakukan penambangan secara
terbuka di kawasan hutan lindung,
d. Masyarakat yang berada di areal terdampak langsung
Pertambangan PT Indominco Mandiri yaitu di Kecamatan
Marangkayu, terdiri atas Desa Santan Ilir, Desa Santan Ulu dan
Desa Santan Tengah, serta Lembaga Swadaya Masyarakat
yang aktif dalam bidang advokasi pertambangan yaitu Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur dan Tim Kerja
Perempuan dan Tambang (TKPT) Kalimantan Timur.
2. Data sekunder (secondary data) :
Data sekunder atau data pendukung mencakup data-data yang
berasal dari : dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang
berwujud laporan ilmiah.
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Pengamatan lapangan (observasi)
Teknik pengumpulan data melalui pengamatan lapangan
(observasi) dilakukan sehingga mendapatkan gambaran kondisi
75
fisik pertambangan batubara di kawasan hutan dan kondisi
masyarakat yang berbatasan dengan wilayah pertambangan di
kawasan hutan.
2. Wawancara (Interview) yang terstruktur (dengan memakai panduan
pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya), disesuaikan dengan
tujuan penelitian dan wawancara telah dilakukan dengan 8
(delapan) narasumber yaitu:
a. Staf Pegawasan Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta;
b. Staf Bagian Pemantauan Penggunaan Kawasan Hutan di
Kementerian Kehutanan dan Lingungan di Jakarta;
c. Kepala Bidang Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan
Provinsi Kalimantan Timur;
d. Kepala Bidang Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber
Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur;
e. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kalimantan Timur;
f. Kepala Desa Santan Tengah Kecamatan Marangkayu
Kabupaten Kutai Kartanegara;
g. Perusahaan Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri di
Jalan Poros Bontang Sangata, Provinsi Kalimantan Timur.
h. Anggota Asosiasi Pengusaha Pertambangan Batubara
Kalimantan Timur;
76
i. Lembaga Swadaya Masyarakat yaitu Koordinator Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM) Nasional di Jakarta dan JATAM
Kalimantan Timur serta Tim Kerja Perempuan dan Tambang
(TKPT).
3. Focus Grup Discussion (FGD), dengan 24 (dua Puluh empat) orang
masyarakat di Desa Santan ilir Kecamatan Marangkayu Kabupaten
Kutai Kartanegara dilakukan pada tanggal 24 Agustus 2016.
Narasumber dalam FGD adalah Ketua dan anggota Forum
Pemuda dan Pelajar Santan (4 orang). Anggota Forum Pelajar dan
Mahasiswa Kecamatan Marangkayu (2 orang). Ibu-ibu Desa
Santan Ilir (5 orang), Ibu-ibu Desa Santan Tengah (2 orang), Warga
RT 4 Desa Santan Ilir (2 orang). Petani Desa Santan Ilir (4 orang),
Petani Desa Santan Tengah (5 orang).
4. Penyebaran kuisioner kepada responden sebanyak 110 kuisioner
dilakukan tanggal 18 Mei – 31 Mei 2017, yang meliputi :
a. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur sebanyak 10
responden yang meliputi :
(1) Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan
Timur (2 orang)
(2) Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur (3 orang)
(3) BP DAS Provinsi Kalimantan Timur (2 orang)
(4) Komisi III (Bidang Energi dan Infrastruktur) DPRD
Provinsi Kalimantan Timur (3 orang)
77
b. Pengusaha Pertambangan batubara (2 orang)
c. Masyarakat di Provinsi Kalimantan Timur sebanyak 46 orang,
meliputi: petani, pekerja pertambangan, pedagang, ibu rumah
tangga, mahasiswa, pekerja sosial, serta wartawan.
d. Masyarakat yang bertempat tinggal berbatasan dengan wilayah
penambangan PT Indominco Mandiri yaitu di Desa Santan Ilir,
Desa Santan Tengah, serta Desa Santan Ulu Kecamatan
Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara, sebanyak 52 orang.
5. Studi dokumentasi (document study). Studi dokumentasi dilakukan
sebagai informasi pendukung bagi penelitian yang berkaitan
manfaat pertambangan di kawasan hutan. Sumber informasi
diperoleh dalam bentuk dokumen laporan pemerintah, pelaku
usaha (AMDAL), dan laporan-laporan hasil penelitian serta Jurnal
ilmiah nasional dan internasional
F. Teknik Analisis Data
Penelitian dianalisis secara kualitatif yaitu :
1. Reduksi data, dilakukan dengan proses seleksi, fokus,
penyederhanaan, abstraksi dan tranformasi data yang
muncul dalam catatan penelitian atau transkripsi.
2. Penyajian data, dilakukan dengan penataan data sedemikian
rupa sehingga dimungkinkan untuk ditarik kesimpulan;
78
3. Penarikan kesimpulan/verifikasi, dilakukan dengan
penarikan kesimpulan penelitian yang sekaligus merupakan
verifikasi penelitian.
Teknik analisis data dilakukan dengan metode berpikir yang
menggabungkan antara berpikir induktif (inductive reasioning) yaitu
menarik pernyataan berdasarkan hasil-hasil pengamatan, dengan berpikir
deduktif (deductive reasioning) yaitu penarikan pernyataan yang
didasarkan pada hukum dan teori. 116
116
Langeveld dalam Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. CV. Andi Offset. Yogjakarta. Halaman. 125
79
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konstruksi Hukum Pengaturan Pertambangan Batubara
di Kawasan Hutan Dalam Perspektif Hukum Sumber Daya Alam
1. Konstruksi Hukum Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) bagi
Pertambangan batubara
Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 19 Tahun
2004 dalam Pasal 38 UU kehutanan ini, bahwa pertambangan di
perbolehkan dikawasan hutan produksi dan hutan lindung. Hanya
diwajibkan mendapatkan izin menteri untuk penggunaan kawasan hutan.
Secara lengkap klausul dalam Pasal 38 adalah :
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
80
Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (4) khusus kawasan hutan
lindung tidak diperbolehkan melakukan penambangan secara terbuka tapi
harus dengan sistem underground/bawah tanah/terowongan. Ketentuan
ini yang kemudian memunculkan berbagai protes pengusaha
pertambangan yang sebelum UU 41 Tahun 1999 di sahkan telah memiliki
izin pertambangan di masa pemerintahan orde baru.
Berdasarkan Ketentuan UU Nomor 19 Tahun 2004, terdapat 13
perusahaan yang di perbolehkan menambang kawasan hutan lindung
secara terbuka. Pemerintah Indonesia yang diwakili instansi pemerintah
atau perusahaan negara yang ditunjuk telah menandatangani perjanjian
karya pertambangan dengan 13 Perusahaan pertambangan tersebut,
sebelum diberlakukan UU Nomor 41 tahun 1999.
Konstruksi Hukum Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, definisi
penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa
mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut.
Penggunaan kawasan hutan dalam ketentuan Pasal 1 PP Nomor 24
Tahun 2010 berdasarkan sifatnya ada dua yaitu penggunaan kawasan
hutan yang bersifat non-komersial dan penggunaan kawasan hutan yang
bersifat komersial. Penggunaan kawasan hutan yang bersifat
nonkomersial menurut ayat (6) adalah penggunaan kawasan hutan yang
81
bertujuan tidak mencari keuntungan. Ketentuan ayat (7) penggunaan
kawasan hutan yang bersifat komersial adalah penggunaan kawasan
hutan yang bertujuan mencari keuntungan, dengan demikian penggunaan
kawasan hutan untuk pertambangan dapat dikategorikan sebagai
penggunaan kawasan hutan yang bersifat komersial.
Tujuan penggunaan kawasan hutan berdasarkan Pasal 2 untuk
mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Objek pinjam pakai kawasan
hutan dalam Pasal 3 ayat (1) penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan
di dalam: (a) kawasan hutan produksi; dan/atau (b) kawasan hutan
lindung. Pasal 3 ayat (2) penggunaan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan
hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu
serta kelestarian lingkungan.
Izin penggunaan kawasan hutan Pasal 6 (1) penggunaan kawasan
hutan dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan, ketentuan
ayat (2) mengatur kompensasi pinjam pakai kawasan hutan.
Ketentuan Pasal 1 (8) menjelaskan pengertian reboisasi adalah
upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak berupa
lahan kosong, alang-alang, atau semak belukar untuk mengembalikan
fungsi hutan. Demikian juga diberikan pengertian pada Pasal 1 ayat (9)
Khusus penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis,
82
berdasarkan Pasal 8 (1) izin pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat
diberikan setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Permohonan penggunaan kawasan hutan diatur dalam Pasal 9 ayat
(2) : permohonan harus memenuhi persyaratan administrasi; dan teknis.
Syarat Permohonan diajukan oleh: (a). menteri atau pejabat setingkat
menteri; (b). gubernur; (c). bupati/walikota; (d). pimpinan badan usaha;
atau (e). ketua yayasan.
Sebelum diterbitkan izin pinjam pakai maka diterbitkanlah
persetujuan prinsip berdasarkan Pasal 10 (1) : berdasarkan permohonan
menteri melakukan penilaian. Pasal 10 ayat (2) dalam hal hasil penilaian
jika menunjukkan permohonan tidak memenuhi persyaratan, menteri
menyampaikan surat penolakan. Ketentuan ayat (3), dalam hal hasil
penilaian menunjukkan permohonan memenuhi persyaratan, Menteri
menerbitkan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan sebelum
menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Ketentuan ayat (4) dalam
hal permohonan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) untuk kegiatan survei atau eksplorasi, menteri menerbitkan izin
pinjam pakai kawasan hutan tanpa melalui persetujuan prinsip.
Jangka waktu persetujuan prinsip diatur dalam Pasal 11 ayat (1)
persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (3) diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil
evaluasi.
83
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemohon. Kewajiban bagi pemegang
izin prinsip adalah :
a. melaksanakan tata batas terhadap kawasan hutan yang disetujui dan lahan kompensasi serta proses pengukuhannya;
b. melaksanakan inventarisasi tegakan; c. membuat pernyataan kesanggupan membayar Penerimaan
Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai, dalam hal kompensasi berupa pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai;
d. menyerahkan dan menghutankan lahan untuk dijadikan kawasan hutan, dalam hal kompensasi berupa lahan; dan
e. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pemenuhan kewajiban bagi pemegang izin prinsip Pasal 12 (1)
Pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan dapat
mengajukan dispensasi kepada Menteri.
Kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan
Pasal 15, pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan wajib:
a. membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan;
b. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai;
c. melaksanakan reboisasi pada lahan kompensasi; d. menyelenggarakan perlindungan hutan; e. melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan
hutan yang dipinjam pakai yang sudah tidak digunakan; dan f. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pelanggaran terhadap kewajiban yang tercantum dalam Pasal 15
berdasarkan ketentuan pemberian sanksi yang diatur dalam Pasal 23
dikenai sanksi berupa pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh
84
Menteri. Larangan bagi pemegang izin pinjam pakai Pasal 17 pemegang
izin pinjam pakai kawasan hutan dilarang :
a. memindahtangankan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada pihak lain tanpa persetujuan menteri;
b. menjaminkan atau mengagunkan kawasan hutan yang dipinjam pakai kepada pihak lain.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 17 dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan izin berdasarkan Pasal 23. Jangka waktu
izin berdasarkan Pasal 18 (1), jangka waktu izin pinjam pakai kawasan
hutan diberikan sama dengan jangka waktu perizinan sesuai bidangnya
dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan ayat (2) jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
kegiatan yang tidak memerlukan perizinan sesuai bidangnya, izin pinjam
pakai kawasan hutan diberikan dengan jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. Izin
pinjam pakai kawasan hutan dievaluasi oleh menteri satu kali dalam 5
(lima) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Ketentuan ayat (5)
dalam hal berdasarkan hasil evaluasi pemegang izin pinjam pakai
kawasan hutan tidak lagi menggunakan kawasan hutan sesuai dengan
izin pinjam pakai kawasan hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan
dicabut.
Kewenangan pengawasan berdasarkan Pasal 19 (1) menteri
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap:
a. pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan; b. penerima dispensasi pinjam pakai kawasan hutan; dan c. pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan.
85
Hapusnya izin penggunaan kawasan hutan berdasarkan Pasal 20 (1)
persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (3) atau izin pinjam pakai kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 hapus apabila:
a. jangka waktu persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan hutan telah berakhir;
b. dicabut oleh Menteri; c. diserahkan kembali secara sukarela oleh pemegang persetujuan
prinsip penggunaan kawasan hutan atau pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri sebelum jangka waktu berakhir dengan pernyataan tertulis; atau
Berdasarkan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010
Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan
Kawasan Hutan, hapusnya izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 tidak membebaskan kewajiban pemegang izin
pinjam pakai kawasan hutan untuk menyelesaikan kewajiban:
a. membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan;
b. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai atau reboisasi pada lahan kompensasi;
c. melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan hutan yang dipinjam pakai yang sudah tidak digunakan;
d. membayar penggantian nilai tegakan, dan provisi sumber daya hutan, dan/atau dana reboisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan dalam izin pinjam pakai kawasan hutan.
Ketentuan Pasal 21 ayat (2) pada saat hapusnya izin pinjam pakai
kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaan barang
tidak bergerak termasuk tanaman yang telah ditanam dalam kawasan
86
hutan yang dipinjam pakai maupun barang bergerak, kepemilikannya
ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan teknis pertambangan di kawasan hutan di tingkat menteri
kehutanan sangatlah dinamis, perubahan sangat cepat berganti, namun
secara umum ketentuan teknis tersebut berorientasi untuk memfasilitasi
pertambangan beroperasi di kawasan hutan. Ketentuan perlindungan
lingkungan dan ekologi diatur namun terkesan sangat lemah. Sehingga
regulasi ditingkat menteri lebih melancarkan eksploitasi pertambangan di
kawasan hutan.
Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan
Kawasan Hutan selanjutnya diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
Hutan, dalam klausul menimbang huruf (b) sebagai dasar pemikiran
dalam penyusunan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-
II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan adalah “bahwa
dalam rangka peningkatan tata kelola, pengendalian penggunaan
kawasan hutan, serta percepatan pelayanan pinjam pakai kawasan hutan
perlu menetapkan kembali peraturan menteri kehutanan tentang pedoman
pinjam pakai kawasan hutan;”
Berdasarkan klausul menimbang maka dapat terlihat maksud
penyusun peraturan ini terdapat tiga pertimbangan, yaitu (1) peningkatan
87
tata kelola; (2) pengendalian penggunaan kawasan hutan; serta (3)
percepatan pelayanan pinjam pakai kawasan hutan.
Dasar menimbang huruf b pada unsur peningkatan tata kelola dan
pengendalian penggunaan hutan menyiratkan keinginan pembentuk
peraturan untuk menata kembali dan mengendalikan penggunaan yang
sudah ada. Sedangkan pada unsur ketiga seolah pemikirannya menjadi
bertolak belakang karena menginginkan percepatan pelayanan
penggunaan kawasan hutan. Pengendalian mengandung unsur kehati
hatian, sedangkan percepatan cenderung mengarah efisiensi yang
seringkali meninggalkan prinsip kehati-hatian.
Definisi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, pada Pasal 1 angka (8)
PMK Nomor : P.16/Menhut-II/2014, izin pinjam pakai kawasan hutan
adalah izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah
fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 6
ayat (1), penggunaan kawasan hutan dilakukan berdasarkan izin pinjam
pakai kawasan hutan.
Obyek Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan
dalam ketentuan Pasal 4 menentukan kegiatan yang dapat dilakukan di
kawasan hutan adalah kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang
tidak dapat dielakkan. Pertambangan batubara menurut ketentuan ini
merupakan salah satu kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang
tidak dapat dielakkan. Sehingga pertambangan batubara merupakan
88
kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di kawasan hutan. Secara lengkap
Pasal 4 mengatur :
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan.
(2) Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:
a. religi antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata rohani;
b. pertambangan meliputi pertambangan minyak dan gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi termasuk sarana dan prasarana;
c. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan;
Menurut ketentuan Pasal 5, kawasan hutan yang dapat dilakukan
kegiatan pertambangan adalah kawasan hutan lindung dan hutan
produksi. Namun terdapat batasan bagi pelaksanaan penambangan di
kawasan hutan dan pemberian izin pinjam pakai di kawasan hutan, yaitu:
Pertama : berdasarkan Pasal 5 ayat (1) yaitu : penggunaan kawasan
hutan untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara dilakukan
dengan ketentuan jika dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan penambangan
dengan pola pertambangan bawah tanah. Sedangkan dalam kawasan
hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola
pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan:
(a) turunnya permukaan tanah; (b) berubahnya fungsi pokok kawasan
hutan secara permanen; dan (c) terjadinya kerusakan akuiver air tanah.
Khusus bagi 13 (tiga belas) izin/perjanjian di bidang pertambangan
89
sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 dapat
dilakukan kegiatan penambangan dengan pola pertambangan terbuka di
kawasan hutan lindung.
Kedua : menurut ketentuan Pasal 13 ayat (1) kawasan hutan
produksi yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
restorasi ekosistem dalam hutan alam, tidak dapat diberikan izin pinjam
pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Sedangkan ayat (2),
kawasan hutan produksi yang diperuntukkan sebagai daerah penyangga
yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung dan/atau
kawasan hutan konservasi serta areal izin pemanfaatannya telah
ditetapkan sebagai kawasan lindung, areal sistem silvikultur Intensif, atau
areal izin pemanfaatan yang telah memperoleh sertifikat
pengusahaan/pemanfaatan hutan secara lestari (PHPL) dengan nilai
“baik”; tidak dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
kegiatan pertambangan.
Ketiga : larangan penerbitan IPPKH dikecualikan menurut Pasal 13
ayat (3) untuk: kegiatan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu:
panas bumi, minyak dan gas bumi, serta ketenagalistrikan; serta
permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari menteri dan
perpanjangan izin penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang
izin di bidang usahanya masih berlaku.
90
Keempat : larangan penerbitan IPPKH menurut ketentuan Pasal 13
ayat (3) huruf (a) untuk pertambangan di kawasan hutan produksi yang
telah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi
ekosistem dalam hutan alam, tidak dapat diberikan izin pinjam pakai
kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Kawasan hutan produksi
yang diperuntukkan sebagai daerah penyangga yang berbatasan
langsung dengan kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan
konservasi; serta hutan produksi yang areal izin pemanfaatannya telah
ditetapkan sebagai kawasan lindung, areal sistem silvikultur Intensif, atau
areal izin pemanfaatan yang telah memperoleh sertifikat
pengusahaan/pemanfaatan hutan secara lestari (PHPL) dengan nilai
“baik”; tidak dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
kegiatan pertambangan.
Ketentuan Pasal 13 ayat (3) huruf (b) yang menentukan
pengecualian terhadap “permohonan yang telah mendapat persetujuan
prinsip dari menteri dan perpanjangan izin penggunaan kawasan hutan
yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku,”
mengandung klausul yang tidak jelas, yaitu yang dimaksud telah
mendapatkan “izin prinsip dari menteri” apakah izin prinsip yang keluar
sebelum PMK ini ataukah dapat berlaku pula izin prinsip yang dikeluarkan
menteri setelah berlakunya PMK. Dalam ketentuan ini klausulnya tidaklah
jelas, sehingga dapat ditafsirkan berlaku izin prinsip bagi yang telah ada
sebelum PMK maupun setelah PMK.
91
Tabel 2 : Kawasan Hutan yang menjadi Obyek
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan
Kawasan Hutan yang dapat diterbitkan IPPKH
Pertambangan
Kawasan Hutan yang TIDAK dapat diterbitkan IPPKH Pertambangan
a. Hutan Produksi
penambangan dengan pola pertambangan terbuka;
penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah (Pasal 5 ayat 1)
a. Hutan produksi yang telah dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam hutan alam. Pasal 13 ayat (1)
b.Hutan Lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: (1) turunnya permukaan tanah; (2) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan (3) terjadinya kerusakan akuiver air tanah.
b. Hutan Produksi yang diperuntukkan sebagai daerah penyangga yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan konservasi (Pasal 13 ayat 2)
c.Hutan Lindung boleh ditambang secara terbuka bagi 13 (tiga belas) izin/perjanjian di bidang pertambangan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 jo. UU No. 19 Tahun 2004
c.Hutan Produksi yang areal izin pemanfaatannya telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, areal Sistem Silvikultur Intensif, atau areal izin pemanfaatan yang telah memperoleh sertifikat pengusahaan/pemanfaatan hutan secara lestari (PHPL) dengan nilai “baik”;(Pasal 13 ayat 2)
d.Hutan Konservasi tidak dapat diterbitkan izin pertambangan
Sumber : UU Nomor 5 Tahun 1990, UU 41 Tahun 1999 jo. UU 19 tahun 2004, Keppres 41 tahun 2004, PMK Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Subyek yang dapat mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan
berdasarkan Pasal 14 ayat (1) adalah : menteri atau pejabat setingkat
92
menteri; gubernur; bupati/walikota; pimpinan badan usaha; atau ketua
yayasan.
Berdasarkan ketentuan dalam PMK ini, luas izin pinjam pakai
kawasan hutan diatur Pasal 11 ayat (1) luas izin pinjam pakai kawasan
hutan untuk kegiatan pertambangan pada kawasan hutan produksi yang
dibebani izin pemanfaatan hutan dapat dipertimbangkan paling banyak
seluas 10% (sepuluh perseratus) dari luas efektif setiap izin pemanfaatan
hutan.
Pasal 11 ayat (2), dalam hal kawasan hutan produksi yang dimohon
untuk kegiatan pertambangan tidak dibebani izin pemanfaatan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), luas izin pinjam pakai kawasan
hutan yang dapat dipertimbangkan paling banyak 10% (sepuluh
perseratus) dari luas kawasan hutan produksi kabupaten/kota yang tidak
dibebani izin pemanfaatan hutan.
Pasal 11 ayat (3) luas izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
kegiatan pertambangan pada areal kerja Perum Perhutani dapat
dipertimbangkan paling banyak seluas 10% (sepuluh perseratus) dari luas
kesatuan pemangkuan hutan Perum Perhutani. Ketentuan Pasal 11 ayat
(4) dalam hal permohonan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan berada pada kawasan hutan lindung, luas izin pinjam pakai
kawasan hutan yang dapat dipertimbangkan paling banyak 10% (sepuluh
perseratus) dari luas kelompok hutan lindung yang bersangkutan.
93
Tabel 3:
Luas Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan
NO Status Hutan Luas Maksimal
1 hutan produksi yang dibebani izin pemanfaatan hutan
10% (sepuluh perseratus) dari luas efektif setiap izin pemanfaatan hutan.
2 hutan produksi yang dibebani izin pemanfaatan hutan
10% (sepuluh perseratus) dari luas kawasan hutan produksi kabupaten/kota yang tidak dibebani izin pemanfaatan hutan
3 Kawasan hutan di areal kerja Perum Perhutani
10% (sepuluh perseratus) dari luas kesatuan pemangkuan hutan Perum Perhutani
4 Hutan Lindung 10% (sepuluh perseratus) dari luas kelompok hutan lindung yang bersangkutan
Sumber : PMK Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Pada ayat (5) ketentuan paling banyak seluas 10% (sepuluh
perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) antara lain dengan mempertimbangkan: pengendalian
penggunaan kawasan hutan; dan kelangsungan usaha izin usaha
pemanfaatan hasil hutan atau pengelolaan kawasan hutan.
Ketentuan pengecualian tentang luas izin pinjam pakai dalam Pasal
11 ayat (6) adalah ketentuan paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari
luas kawasan hutan tidak berlaku bagi permohonan izin pinjam pakai
kawasan hutan untuk kegiatan: survei atau eksplorasi pertambangan; dan
operasi produksi minyak dan gas bumi serta panas bumi.
Syarat izin pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan Pasal 15 (1)
harus memenuhi syarat administrasi dan teknis, syarat administrasi;
94
meliputi: (a) surat permohonan; (b) Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi
(IUP Eksplorasi) atau Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP
Operasi Produksi) atau perizinan/perjanjian lainnya yang telah diterbitkan
oleh pejabat sesuai kewenangannya, kecuali untuk kegiatan yang tidak
wajib memiliki perizinan/perjanjian; (c) rekomendasi; (d) pernyataan dalam
nota akta riil; (e) dalam hal permohonan diajukan oleh badan usaha atau
yayasan, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf d ditambah persyaratan: akta pendirian dan perubahannya;
profile badan usaha/yayasan; nomor pokok wajib pajak; dan laporan
keuangan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Syarat teknis, meliputi : (a) rencana kerja penggunaan kawasan
hutan dilampiri dengan peta lokasi skala 1:50.000 atau skala terbesar
pada lokasi tersebut dengan informasi luas kawasan hutan yang dimohon;
(b) citra satelit terbaru paling lama liputan 2 (dua) tahun terakhir dengan
resolusi minimal 15 (lima belas) meter dan hasil penafsiran citra satelit
oleh pihak yang mempunyai kompetensi di bidang penafsiran citra satelit
dalam bentuk digital dan hard copy serta pernyataan bahwa citra satelit
dan hasil penafsirannya benar; (c) Kelengkapan persyaratan teknis
penyediaan citra satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dikecualikan bagi permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
kegiatan pertambangan yang kurang dari 5 hektar. (d) izin lingkungan dan
dokumen AMDAL atau UKL-UPL yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang, untuk kegiatan yang wajib menyusun AMDAL atau UKL-UPL
95
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (e)
pertimbangan teknis direktur jenderal yang membidangi mineral dan
batubara pada kementerian energi dan sumber daya mineral untuk
perizinan kegiatan pertambangan yang diterbitkan oleh gubernur atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya, memuat informasi antara lain
bahwa areal yang dimohon di dalam atau di luar WUPK yang berasal dari
WPN dan pola pertambangan;
Rekomendasi sebagai syarat izin diperlukan dari : (1) gubernur untuk
pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang
diterbitkan oleh bupati/walikota dan pemerintah; atau (b) bupati/walikota
untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang
kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur; atau (3) bupati/walikota untuk
pinjam pakai kawasan hutan yang tidak memerlukan perizinan sesuai
bidangnya. Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana
memuat persetujuan atas penggunaan kawasan hutan yang dimohon,
berdasarkan pertimbangan teknis kepala dinas provinsi atau kepala dinas
kabupaten/kota yang membidangi kehutanan dan kepala balai
pemantapan kawasan hutan setempat.
Pernyataan dalam bentuk akta notariil yang menyatakan: (1)
kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban dan kesanggupan
menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan; (2) semua
dokumen yang dilampirkan dalam permohonan adalah sah; dan (3) tidak
melakukan kegiatan di lapangan sebelum ada izin dari menteri;
96
Kewenangan pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan,
pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan Pasal 9 ayat (1)
diberikan oleh menteri berdasarkan permohonan. Ketentuan khusus
penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak
penting dan cakupan luas serta bernilai strategis, berdasarkan ketentuan
Pasal 10 adalah: penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, izin
pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat diberikan setelah mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Kriteria penggunaan kawasan
hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang
luas serta bernilai strategis yaitu:
(a) pertambangan yang berada di dalam Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) yang berasal dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat;
(b) persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada huruf a, merupakan dasar pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan di seluruh WUPK yang menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
(c) Pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis perlu ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pada saat WPN menjadi WUPK sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tata cara perolehan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, berdasarkan
ketentuan Pasal 12 ayat (1) dalam rangka pengendalian penggunaan
kawasan hutan pemberian izin pinjam pakai untuk kegiatan operasi
produksi pertambangan dapat diberikan secara bertahap. Sedangkan
pada ayat (2) mengharuskan adanya evaluasi atas penggunaan kawasan
97
hutan sebelumnya sebagai dasar pertimbangan pemberian izin pinjam
pakai tahap kedua dan selanjutnya.
Tata cara permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan yang diatur
dalam PMK ini melalui tahap izin survey atau eksplorasi dan dapat
dilanjutkan ke tahap persetujuan prinsip, setelah memenuhi persyaratan
dapat diberikan IPPKH. Tata cara permohonannya yaitu : Pasal 25 (1)
berdasarkan pemenuhan kewajiban dalam persetujuan prinsip
penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan mengajukan
permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada menteri.
Berdasarkan ayat (2) menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima
belas) hari kerja setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memerintahkan direktur jenderal untuk melakukan penilaian
pemenuhan kewajiban. Berdasarkan ketentuan ayat (3), dalam hal
permohonan belum memenuhi seluruh kewajiban, direktur jenderal dalam
jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja, menerbitkan surat
pemberitahuan kekurangan pemenuhan kewajiban.
Pasal 25 ayat (4) dalam hal permohonan telah memenuhi seluruh
kewajiban, direktur jenderal dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja menyampaikan usulan penerbitan izin pinjam pakai
kawasan hutan berikut peta lampiran kepada sekretaris jenderal.
Ketentuan ayat (5), sekretaris jenderal dalam jangka waktu paling lama 15
(lima belas) hari kerja sejak menerima usulan penerbitan izin pinjam pakai
98
kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melakukan telaahan
hukum dan menyampaikan konsep Keputusan izin pinjam pakai kawasan
hutan dan peta lampiran kepada menteri. Sedangkan ketentuan ayat (5),
menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah
menerima konsep sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menerbitkan
keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan.
Diversifikasi dimungkinkan menurut ketentuan ini. Hal ini
menunjukkan kemungkinan adanya tumpang tindih penggunaan kawasan.
Berdasarkan Pasal 26 (1), apabila dalam areal izin pinjam pakai kawasan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6) terdapat
diversifikasi penggunaan kawasan hutan, pemegang izin pinjam pakai
kawasan hutan yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan
diversifikasi penggunaan kawasan hutan kepada menteri. Ketentuan ayat
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi
dengan izin usaha, izin lingkungan dan dokumen AMDAL untuk komoditas
baru, serta revisi rencana kerja yang telah disesuaikan dengan komoditas
baru. Ketentuan ayat (3), menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima
belas) hari kerja setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), memerintahkan direktur jenderal untuk melakukan
penilaian. Ketentuan ayat (4) direktur jenderal dalam jangka waktu paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima perintah tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. menyampaikan usulan perubahan Keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan berikut peta lampiran kepada
99
Sekretaris Jenderal, dalam hal permohonan memenuhi persyaratan; atau
b. atas nama menteri menerbitkan surat penolakan, dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan.
Pasal 25 ayat (6) terdapat permohonan penggunaan kawasan hutan
oleh pemohon baru dalam rangka diversifikasi penggunaan kawasan
hutan sebelumnya, maka permohonan tersebut wajib bekerjasama
dengan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan yang telah ada.
Ketentuan ayat (2) permohonan diajukan oleh pemegang izin pinjam pakai
dilengkapi dengan persyaratan: (a). perjanjian kerjasama yang dituangkan
dalam akta notariil; (b). izin usaha, izin lingkungan dan dokumen AMDAL
komoditas baru, serta revisi rencana kerja yang telah disesuaikan dengan
komoditas baru.
Jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan, mengacu pada ketentuan Pasal 40 ayat (1) “persetujuan
prinsip penggunaan kawasan hutan diberikan selama 2 (dua) tahun dan
dapat diperpanjang.” Sedangkan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
kegiatan survei dan eksplorasi sesuai ayat (2) diberikan selama 2 (dua)
tahun dan dapat diperpanjang.
Sesuai Pasal 40 ayat (3) huruf (a), izin pinjam pakai kawasan hutan
untuk kegiatan operasi produksi pertambangan meliputi pertambangan
minyak dan gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi termasuk sarana
100
dan prasarana; diberikan sama dengan jangka waktu perizinan
dibidangnya.
Jangka waktu pemberian IPPKH, memberikan peluang untuk usaha
pertambangan di kawasan untuk beroperasi dalam jangka waktu yang
cukup. Ketentuan ini memberikan kemudahan dengan adanya peluang
perusahaan pemegang izin untuk memperpanjang izin yang telah
diperoleh sebelumnya.
Izin bagi prasarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai
prasarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil
produksi, termasuk pertambangan sesuai Pasal 40 ayat (4) huruf (a) Izin
pinjam pakai kawasan hutan diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Hapusnya persetujuan prinsip atau izin berdasarkan Pasal 47,
persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan hapus apabila: (1) jangka
waktu persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau IPPKH telah
berakhir; (2) dicabut oleh menteri; (3) diserahkan kembali secara sukarela
oleh pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau
pemegang IPPKH kepada menteri sebelum jangka waktu berakhir dengan
pernyataan tertulis; (4) izin usaha pertambangan eksplorasi (IUP
Eksplorasi) atau izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP-Operasi
Produksi) atau perizinan di bidangnya dicabut oleh pejabat sesuai
kewenangannya.
Implikasi dari hapusnya izin bagi pemegang IPPKH sebagaimana
diatur dalam Pasal 48 adalah : (1), hapusnya izin pinjam pakai kawasan
101
hutan tidak membebaskan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan
untuk menyelesaikan kewajiban dalam izin pinjam pakai kawasan hutan.
Ketentuan ayat (2) pada saat hapusnya izin pinjam pakai kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, keberadaan barang tidak
bergerak maupun tanaman yang telah ditanam dalam areal izin pinjam
pakai kawasan hutan menjadi milik negara; dan barang bergerak menjadi
milik pemegang izin. Ketentuan ayat (3) barang bergerak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib dikeluarkan dari kawasan hutan oleh
pemegang izin yang izinnya hapus dalam jangka waktu paling lama 6
(enam) bulan sejak hapusnya izin atau sejak kegiatan reklamasi dinilai
berhasil. Ketentuan ayat (4) apabila barang bergerak tidak dikeluarkan
dari kawasan hutan sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, maka
dilelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
1.1 Izin dalam Konstruksi Hukum Administrasi Negara
Pengaturan pertambangan di kawasan hutan secara khusus pertama
kali diatur melalui Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor
64/kpts/DJ/1978 tentang Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan SKB Menteri
Pertambangan dan Kehutanan. Ketentuan tersebut memberlakukan untuk
pertama kali istilah pinjam pakai dengan obyek hutan untuk kegiatan
pertambangan.
Ketentuan persetujuan Pinjam pakai Kawasan hutan di berikan
dalam bentuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diatur
102
dalam Pasal 38 UU Nomor 41 Tahun 1999 yang di ubah oleh UU Nomor
19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan
(PERMENHUT) P.14/Menhut/II/2006 Tanggal 10 Maret 2006 Tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Jo P.64/Menhut/2006 Tanggal 17
Oktober 2006 tentang perubahan P.14/Menhut/II/2006, yaitu; pasal 2,
pasal 8 ayat 3, pasal 13 ayat 2 dan pasal 18 ayat 1. Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Regulasi
terus berganti hingga Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.16/Menhut-
II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dalam skema penggunaan
kawasan hutan untuk pertambangan ini terdapat dua konstruksi hukum
yaitu konstruksi izin yang tunduk pada ketentuan hukum administrasi,
dengan konstruksi pinjam pakai yang tunduk pada ketentuan hukum
perdata. Kedua konstruksi hukum ini mempunyai konsekuensi hukum
yang berbeda.
Menurut Ridwan, izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan
oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti
cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret.117 Izin
menurut Sjahran Basah adalah perbuatan hukum administrasi negara
bersegi satu yang mengalikasikan peraturan dalam hal konkrit
berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh
117
Ridwan HR. 2010. Hukum Administrasi Negara, Mandar Maju, Bandung. Halaman : 11
103
ketentuan peraturan perundang-undangan.118 Adapun unsur-unsur
perizinan meliputi : Instrumen yuridis, wewenang yang diberikan peraturan
perundang-undangan, organ pemerintah, peristiwa konkret, prosedur dan
persyaratan. Menurut pendapat Sjahran Basah, unsur pertama yaitu: izin
sebagai instrumen yuridis, yang dimaksudkan adalah izin merupakan
instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan
digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa
konkret, sebagai ketetapan izin dibuat sesuai ketentuan dan persyaratan
yang berlaku pada ketetapan pada umumnya.
Unsur kedua adalah wewenang berdasarkan peraturan perundang-
undangan, yang berarti pembuatan dan penerbitan ketetapan izin
merupakan tindakan hukum pemerintah, sebagai tindakan hukum maka
harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
atau harus berdasarkan wewenang. Tindakan hukum itu menjadi tidak sah
oleh karena itu dalam hal membuat dan menerbitkan izin haruslah
didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku, karena tanpa adanya dasar wewenang tersebut
ketetapan izin tersebut menjadi tidak sah.
Unsur ketiga adalah organ pemerintah, yang dimaksudkan yaitu
organ yang menjalankan urusan pemerintah baik di tingkat pusat maupun
118
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://Intisarihukum.blogspot.com/ 2010/12/ diakses 10 Juli 2017.Pk.10.25 Wite.
104
ditingkat daerah, dari badan tertinggi hingga badan terendah berwenang
memberikan izin.
Unsur keempat adalah prosedur dan persyaratan. Izin pada
umumnya harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah
ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Persyaratan umumnya
ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau pertauran perundang-
undangan. Menurut Soehino119 syarat-syarat dalam izin itu bersifat
konstitutif dan kondisional. Konstitutif artinya sebelum pemberian izin telah
ditentukan suatu perbuatan atau tingkah laku tertentu yang harus (terlebih
dahulu). Kondisiional artinya penilaian baru ada dan dapat dilihat serta
dapat dinilai setelah perbuatan atau tingkah laku yang disyaratkan itu
terjadi.
1.2 Konstruksi Hukum Pinjam Pakai berdasarkan KUH- Perdata
a. Definisi Pinjam Pakai
Istilah pinjam pakai diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUH-Perdata) Ketentuan Pinjam Pakai yang diatur dalam Bab
XII Kitab Undang-undang Hukum Perdata, berdasarkan Pasal 1740
Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu
menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-cuma kepada
pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu setelah
119
ibid
105
memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan
mengembalikan barang itu. Berdasarkan definisi pinjam pakai menurut
KUH-Perdata, maka konstruksi hukum pinjam pakai adalah :
a. Bentuk konstruksi hukum pinjam pakai adalah konstruksi
perjanjian, dalam perjanjian kedudukan hukum para pihak setara.
b. Pinjam pakai merupakan perjanjian dalam nama pihak yang satu
menyerahkan barang untuk dipakai dengan cuma-cuma kepada
pihak lain.
c. Pihak yang menerima barang itu setelah memakainya atau
setelah lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan
barang itu.
b. Obyek pinjam
Obyek pinjam pakai adalah segala sesuatu yang tidak musnah
karena pemakaian. Syarat bahwa obyek pinjam pakai adalah sesuatu
yang tidak musnah karena pemakaian, sedangkan obyek IPPKH adalah
hutan yang jika digunakan sebagai kawasan pertambangan batubara,
obyeknya akan musnah. Upaya pengembalian kawasan hutan dalam
mekanisme reklamasi tidak akan dapat memenuhi unsur obyek tidak
musnah.
Ketentuan kepemilikan barang objek pinjam pakai diatur dalam Pasal
1741 KUH-Perdata yaitu orang yang meminjamkan itu tetap menjadi
pemilik mutlak barang yang dipinjamkan itu. Pasal 1742 KUH-Perdata,
106
segala sesuatu yang dipergunakan orang dan tidak dapat musnah karena
pemakaiannya, dapat menjadi pokok perjanjian ini.
Pewarisan terhadap objek pinjam pakai diatur dalam Pasal 1743.
Semua perjanjian yang lahir dan perjanjian pinjam pakai, beralih kepada
ahli waris orang yang meminjamkan dan ahli waris peminjam. Akan tetapi
jika pemberian pinjaman dilakukan hanya kepada orang yang
menerimanya dan khusus kepada orang itu sendiri, maka semua ahli
waris peminjam tidak dapat tetap menikmati barang pinjaman itu.
c. Kewajiban-kewajiban Orang yang Menerima Barang Pinjam Pakai
Kewajiban yang lahir dari perjanjian pinjam pakai menurut
ketentuan KUH Perdata bagi orang yang menerima barang pinjam pakai
adalah :
1) Kewajiban orang yang menerima barang pinjam pakai barang
memelihara barang itu sebagai seorang kepala keluarga yang
baik, Ia tidak boleh menggunakan barang itu selain untuk
maksud pemakaian yang sesuai dengan sifatnya, atau untuk
kepentingan yang telah ditentukan dalam perjanjian. Bila
menyimpang dari larangan ini, peminjam dapat dihukum
mengganti biaya, kerugian dan bunga, kalau ada alasan untuk
itu. (Pasal 1744)
107
2) Jika peminjam memakai barang itu untuk suatu tujuan lama
atau lebih lama dan yang semestinya, maka wajiblah ia
bertanggung jawab atas musnahnya barang itu sekalipun
musnahnya barang itu disebabkan oleh suatu peristiwa yang
tidak disengaja.
3) Jika barang pinjaman itu musnah karena suatu peristiwa yang
tidak disengaja, sedang hal itu dapat dihindarkan oleh
peminjam dengan jalan memakai barang kepunyaan sendiri
atau jika peminjam tidak mempedulikan barang pinjaman
sewaktu terjadinya peristiwa termaksud, sedangkan barang
kepunyaannya sendiri diselamatkannya, maka peminjam wajib
bertanggung jawab atas musnahnya barang itu.(Pasal 1745)
4) Jika barang itu telah ditaksir harganya pada waktu dipinjamkan
maka musnahnya barang itu meskipun hal ini terjadi karena
peristiwa yang tak disengaja adalah tanggungan peminjam,
kecuali kalau telah dijanjikan sebaliknya. (Pasal 1746)
5) Jika barang itu menjadi berkurang harganya semata-mata
karena pemakaian yang sesuai dengan maksud peminjaman
barang itu, dan bukan karena kesalahan peminjam maka ia
tidak bertanggung jawab atas berkurangnya harga itu. (Pasal
1747)
108
6) Jika pemakai telah mengeluarkan biaya untuk dapat memakai
barang yang dipinjamnya itu, maka ia tidak dapat menuntut
biaya tersebut diganti.(Pasal 1748)
7) Jika beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang,
maka mereka masing-masing wajib bertanggung jawab atas
keseluruhannya kepada pemberi pinjaman. (Pasal 1749);
d. Kewajiban-kewajiban Pemberi Pinjaman
Kewajiban yang lahir dari perjanjian pinjam pakai menurut ketentuan
KUH Perdata bagi pemberi pinjam pakai adalah :
1) Pemberi pinjaman tidak dapat meminta kembali barang yang
dipinjamkannya kecuali bila sudah lewat waktu yang ditentukan,
atau dalam hal tidak ada ketentuan tentang waktu peminjaman
itu, bila barang yang dipinjamkan itu telah atau dianggap telah
selesai digunakan untuk tujuan yang dimaksudkan (Pasal
1750).
2) Akan tetapi bila dalam jangka waktu itu atau sebelum
berakhirnya keperluan untuk memakai barang itu, pemberi
pinjaman sangat membutuhkan barangnya dengan alasan yang
mendesak dan tidak terduga, maka dengan memperhatikan
keadaan, Pengadilan dapat memaksa penunjang untuk
mengembalikan barang pinjaman itu kepada pemberi pinjaman.
(Pasal 1751)
109
3) Jika dalam jangka waktu pemakaian barang pinjaman itu
pemakai terpaksa mengeluarkan biaya yang sangat perlu guna
menyelamatkan barang pinjaman itu; dan begitu mendesak
sehingga oleh pemakai tidak sempat diberitahukan terlebih
dahulu kepada pemberi pinjaman, maka pemberi pinjaman ini
wajib mengganti biaya itu (Pasal 1752)
4) Jika barang yang dipinjamkan itu mempunyai cacat-cacat
sedemikian rupa sehingga pemakai orang itu bisa mendapat
rugi, sedang pemberi pinjaman harus bertanggung jawab atas
semua akibat pemakaian barang. (Pasal 1753).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1741, orang yang meminjamkan itu
tetap menjadi pemilik mutlak barang yang dipinjamkan. Ketentuan
tersebut berbeda dengan konstruksi hukum, yang mengatur bahwa
Negara menguasai kawasan hutan bukan sebagai pemilik mutlak
kawasan hutan yang menjadi barang yang dipinjam pakai.
1.3 Kesalahan Konstruksi Hukum dalam Skema Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan (IPPKH) Bagi Pertambangan di Kawasan Hutan
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) terdapat kesalahan
konstruksi hukum yaitu :
a. Penggunaan istilah tidak konsisten
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-
II/1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Pasal 20
110
ayat (1) menyebutkan bahwa pihak yang mendapatkan hak pinjam
pakai kawasan hutan sebagai “.....pemegang izin pinjam pakai.”
Sedangkan pada Pasal 17 menggunakan istilah “perjanjian” pinjam
pakai kawasan hutan. Ketentuan ini menunjukkan tidak konsisten
dalam penggunaan istilah antara penggunaan izin dan perjanjian
yang secara konstruksi hukum berbeda. Nampaknya perumus
regulasi ini menggabungkan dua konstruksi hukum yaitu konstruksi
izin dan konstruksi perjanjian untuk mengatur pertambangan di
kawasan hutan.
b. Penggabungan antara konstruksi izin dan perjanjian.
Penggabungan konstruksi hukum izin dan konstruksi hukum
perjanjian mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Izin
merupakan produk administrasi negara yang menempatkan posisi
pemegang izin dibawah pengawasan pemberi izin.
Sedangkan pinjam pakai yang merupakan konstruksi hukum
perdata yaitu dalam bentuk perjanjian, yang menempatkan para
pihak pemerintah dan pengusaha tambang sebagai pihak yang
setara/sejajar. Hal ini akan menjadi titik lemah dalam proses
pengawasan.
c. Konstruksi Pinjam Pakai sebagai perjanjian cuma-cuma tidak sesuai
untuk penggunaan kawasan hutan untuk tambang
Penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dengan
konstruksi “pinjam pakai”. Pengertian pinjam pakai dalam Kitab
111
Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1740 adalah suatu perjanjian
dalam mana pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk
dipakai dengan cuma-cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa
pihak yang menerima barang itu setelah memakainya atau setelah
lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan barang itu.
Berdasarkan ketentuan tersebut nampak persoalan yaitu
penyerahan barang untuk dipinjam pakai dasarnya adalah cuma-
cuma, artinya pemilik barang tidak boleh mengenakan tarif tertentu
dalam hubungan hukum “pinjam pakai”. Sedangkan dalam konsep
pinjam pakai kawasan hutan, pemegang pinjam pakai atau pihak
pengusaha pertambangan dibebani berbagai kewajiban keuangan
berupa royalty, landrent, serta iuran-iuran yang lain. Sehingga
penggunaan konsep pinjam pakai tidaklah tepat dalam ketentuan ini.
Karena pertambangan di kawasan hutan bukanlah perjanjian cuma-
cuma.
d. Konstruksi pinjam pakai mewajibkan pengembalian barang, tidak
sesuai dengan konstruksi pinjam pakai kawasan hutan untuk
pertambangan batubara. Berdasarkan ketentuan KUH-Perdata Pasal
1740, syarat dalam pinjam pakai adalah “....pihak yang menerima
barang itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang
ditentukan akan mengembalikan barang itu.” Sehingga karena
penggunaan kawasan hutan memakai konstruksi pinjam meminjam
artinya barang yang dipinjam akan kembali dalam keadaan sama
112
seperti saat meminjam, tentu hal ini berbeda dengan kawasan hutan
yang dipinjam untuk pertambangan, pengembaliannya tidak dalam
kondisi yang sama. Bahkan kekayaan alam yang berupa
keanekaragaman hayati kawasan hutan sebagai obyek pinjam pakai
akan hilang dan tidak akan kembali seperti semula. Awal
peminjaman berbentuk hutan setelah kembali berbentuk padang
tandus dan lubang raksasa yang tidak ada lagi kekayaan
keanekaragaman hayati. Sehingga penggunaan konstruksi hukum
pinjam pakai kawasan hutan bagi pertambangan batubara tidak tepat
e. Berdasarkan ketentuan Pasal 1741 orang yang meminjamkan itu
tetap menjadi pemilik mutlak barang yang dipinjamkan itu. Ketentuan
tersebut berbeda dengan konstruksi hukum pertambangan, yang
mengatur bahwa tanah permukaan bukan merupakan milik
pemegang hak pengusahaan pertambangan.
f. Obyek pinjam pakai tidak sesuai dengan kawasan hutan untuk
pertambangan. Berdasarkan Pasal1742 KUH Perdata, objek pinjam
pakai adalah segala sesuatu yang dipergunakan orang dan tidak
dapat musnah karena pemakaiannya, dapat menjadi pokok
perjanjian ini. Ketentuan tersebut menjadi syarat bahwa dalam
penggunaan konstruksi perjanjian pinjam pakai, obyek yang
diperjanjikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan orang dan
tidak dapat musnah. Dalam konteks perjanjian pinjam pakai kawasan
hutan untuk pertambangan jelas obyeknya justru hilang, dalam hal ini
113
hutan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati penting.
Sehingga penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan tidak
dapat menggunakan konstruksi hukum perjanjian pinjam pakai.
g. Kesesuaian dengan definisi Izin Pinjam Pakai. Izin pinjam pakai
kawasan hutan menurut ketentuan Pasal 1 (8) Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 adalah izin yang diberikan
untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi
dan peruntukan kawasan hutan. Definisi “tanpa mengubah fungsi”
nampak secara faktual tidak sesuai dengan kondisi dan situasi
kawasan hutan yang dipergunakan pertambangan batubara secara
terbuka. Ciri pertambangan terbuka yang mengubah bentang alam,
menyebabkan setelah dilakukan penambangan maka fungsi semula
kawasan hutan akan berubah, tidak akan berfungsi seperti semula.
h. Pinjam pakai kawasan hutan tidak sesuai dengan konstruksi Pinjam
Pakai Habis berdasarkan KUH Perdata
Definisi pinjam pakai, menurut Pasal 1754 adalah suatu
perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah
barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat
bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada
pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.
Ketentuan pinjam pakai habis inilah yang di adopsi dalam
ketentuan pinjam pakai kawasan hutan. Pemegang izin pinjam pakai
114
kawasan hutan dibebankan kewajiban penyediaan lahan kompensasi
atau lahan pengganti bagi areal pertambangan yang dikategorikan
tidak dapat dipulihkan. Namun dalam ketentuan nya terdapat
penyimpangan karena jika perusahaan pertambangan tidak mampu
menyediakan lahan pengganti maka dapat diganti dengan sejumlah
uang. Ketentuan penggantian uang tidak sesuai dengan kosntrusi
pinjam pakai habis.
Kompensasi pinjam pakai berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor 12/Menhut-II/2004 tentang penggunaan kawasan
hutan lindung untuk kegiatan pertambangan Pasal 9 (1) izin pinjam
pakai kawasan hutan lindung dikenakan kompensasi berupa
menyediakan dan menyerahkan lahan di luar kawasan hutan untuk
dijadikan kawasan hutan. Pasal 9 (2) persyaratan lahan kompensasi:
a. memiliki status tanah yang jelas dan bertitel hak atas nama pemohon;
b. bebas dari pembebanan hak tanggungan; c. bebas dari sengketa; d. berbatasan langsung dengan kawasan hutan; dan e. terletak dalam satu DAS/Sub DAS Kabupaten/Provinsi dengan
area yang dipinjampakaikan; b. memenuhi persyaratan teknis untuk dijadikan hutan.
Pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% dari
luas daratan, areal kompensasinya seluas dua kali kawasan hutan
yang dipinjampakaikan. Pada provinsi yang luas kawasan hutannya
30% dari luas daratan atau lebih, areal kompensasinya seluas
kawasan hutan yang dipinjampakaikan.
115
Lahan kompensasi sulit dipenuhi perusahaan karena tidak ada
lagi lahan kosong non hutan yang belum ada peruntukannya. Selain
wilayah pertambangan yang sudah sangat luas alokasinya.
Ketentuan keberadaan lahan kompensasi menyiratkan kesadaran
penyusun peraturan bahwa pertambangan di kawasan hutan lindung
akan menghilangkan kawasan hutannya akibat pemakaian
penambangan.
Pasal 1755, berdasarkan perjanjian tersebut, orang yang
menerima pinjaman menjadi pemilik mutlak barang pinjaman itu, dan
bila barang ini musnah, dengan cara bagaimanapun maka kerugian
itu menjadi tanggungan peminjam. Kewajiban-kewajiban orang yang
meminjamkan berdasarkan Pasal 1759, pemberi pinjaman tidak
dapat meminta kembali barang yang dipinjamkan sebelum lewat
waktu yang telah ditentukan di dalam perjanjian. Jika jangka waktu
peminjaman menurut Pasal 1760, tidak ditentukan maka bila pemberi
pinjaman menuntut pengembalian barang pinjaman itu, Pengadilan
boleh memberikan sekadar kelonggaran kepada peminjam sesudah
mempertimbangkan keadaan. Pasal 1761, Jika telah dijanjikan
bahwa peminjam barang atau uang akan mengembalikannya bila ía
mampu untuk itu, maka kalau pemberi pinjaman menuntut
pengembalian barang pinjaman atau barang pinjaman itu,
pengadilan boleh menentukan waktu pengembalian sesudah
mempertimbangkan keadaan.
116
1.4 Pilihan alternatif konstruksi hukum penggunaan kawasan hutan
untuk pertambangan
Beberapa alternatif pilihan konstruksi hukum penggunaan kawasan
hutan untuk pertambangan yaitu: konstruksi hukum sewa-menyewa,
konstruksi hukum pinjam pakai habis, serta konstruksi hukum perizinan.
1.4.1 Pemberian hak penambangan di kawasan hutan melalui
konstruksi hukum sewa-menyewa,
a. Definisi Sewa-menyewa
Sewa-menyewa, berdasarkan Pasal 1548 KUH-Perdata, adalah :
“Suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.”
b. Kewajiban Pihak yang menyewakan :
1. Pasal 1551, “Pihak yang menyewakan wajib untuk menyerahkan
barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segala-
galanya. Selama waktu sewa, ia harus menyuruh melakukan
pembetulan-pembetulan yang perlu dilakukan pada barang yang
disewakan, kecuali pembentukan yang menjadi kewajiban
penyewa.”
2. Pasal 1552, Pihak yang menyewakan harus menanggung
penyewa terhadap semua cacat barang yang disewakan yang
merintangi pemakaian barang itu, meskipun pihak yang
117
menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuat
persetujuan sewa. Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan
suatu kerugian bagi penyewa, maka pihak yang menyewakan
wajib memberikan ganti rugi.
3. Pasal 1553, Jika barang yang disewakan musnah sama sekali
dalam masa sewa karena suatu kejadian yang tak disengaja,
maka persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barang yang
bersangkutan hanya sebagian musnah, maka penyewa dapat
memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga
atau akan meminta pembatalan persetujuan sewa, tetapi dalam
kedua hal itu ia tidak berhak atas ganti rugi.
4. Pasal 1556, Pihak yang menyewakan tidak wajib menjamin
penyewa terhadap rintangan dalam merintangi dalam menikmati
barang sewa yang dilakukan oleh pihak ketiga tanpa
berdasarkan suatu hak atas barang sewa itu, hal ini tidak
mengurangi hak penyewa untuk menuntut sendiri orang itu.
c. Hak dan kewajiban penyewa
Pasal 1557, Jika sebaliknya penyewa diganggu dalam
kenikmatannya karena suatu tuntutan hukum mengenai hak milik atas
barang yang bersangkutan, maka ia berhak menuntut pengurangan
harga sewa menurut perimbangan, asal gangguan atau rintangan itu
telah diberitahukan secara sah kepada pemilik.
118
Pasal 1558, “Jika orang-orang yang melakukan perbuatan-
perbuatan tersebut menyatakan bahwa mereka mempunyai suatu hak
atas barang yang disewakan, atau jika penyewa sendiri digugat untuk
mengosongkan seluruh atau sebagian dari barang yang disewa atau
untuk menerima pelaksanaan pengabdian pekarangan, maka ia wajib
memberitahukan hal itu kepada pihak yang menyewakan dan dapat
memanggil pihak tersebut sebagai penanggung. Bahkan ia dapat
menuntut supaya ia dikeluarkan dari perkara, asal ia menunjuk untuk
siapa ia menguasai barang yang bersangkutan.”
Pasal 1559, “Penyewa, jika tidak diizinkan, tidak boleh
menyalahgunakan barang yang disewanya atau melepaskan sewanya
kepada orang lain, atas ancaman pembatalan persetujuan sewa dan
penggantian biaya, kerugian dan bunga sedangkan pihak yang
menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak wajib menaati persetujuan
ulang sewa itu. Jika yang disewa itu berupa sebuah rumah yang didiami
sendiri oleh penyewa, maka dapatlah ia atas tanggung jawab sendiri
menyewakan sebagian kepada orang lain jika hak itu tidak dilarang
dalam persetujuan.
Penyewa harus menepati dua kewajiban utama (Pasal 1560):
kewajiban pertama : memakai barang sewa sebagai seorang kepala
rumah tangga yang baik, sesuai dengan tujuan barang itu menurut
persetujuan sewa atau jika tidak ada persetujuan mengenai hal itu,
sesuai dengan tujuan barang itu menurut persangkaan menyangkut
119
keadaan; kewajiban kedua : membayar harga sewa pada waktu yang
telah ditentukan.
Pasal 1564, “Penyewa bertanggung jawab atas segala
kerusakan yang ditimbulkan pada barang yang disewakan selama
waktu sewa, kecuali jika ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di
luar kesalahannya.”
d. Obyek Sewa-menyewa :
Berkaitan obyek sewa menyewa, terdapat larangan mengubah
bentuk obyek sewa-menyewa, berdasarkan ketentuan Pasal 1554:
“Pihak yang menyewakan tidak diperkenankan selama waktu sewa,
mengubah bentuk atau susunan barang yang disewakan.” Pasal 1555
:“Jika dalam masa sewa pada barang yang disewakan itu terpaksa
diadakan pembetulan-pembetulan yang tidak dapat ditunda sampai
berakhirnya masa sewa, maka penyewa harus menerimanya
betapapun beratnya kesusahan yang disebabkannya, dan meskipun
selama dilakukannya pembetulan-pembetulan itu ia terpaksa
kehilangan sebagian dari barang yang disewakan. Tetapi jika
pembetulan-pembetulan itu berlangsung lebih lama dari empat puluh
hari, maka harga sewa harus dikurangi menurut banyaknya waktu yang
tersita dan bagian barang sewa yang tidak dapat dipakai oleh penyewa.
Jika pembetulan-pembetulan sedemikian rupa sifatnya, sehingga
barang sewa yang perlu ditempati oleh penyewa dan keluarganya tak
dapat didiami, maka penyewa dapat memutuskan sewanya.”
120
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penggunaan kawasan
hutan untuk pertambangan tidak dapat dengan konstruksi sewa-
menyewa, karena berdasarkan batasan obyek sewa menyewa yang
tidak dapat dilakukan perubahan bentuk selama penyewaan sedangkan
aktivitas pertambangan dapat dipastikan tidak hanya merubah bentuk
kawasan hutan saja, namun justru menghilangkan kawasan hutan yang
menjadi obyek/ barang yang disewakan tersebut.
Aturan-aturan yang Khusus Berlaku Bagi Sewa Tanah,
berdasarkan Pasal 1588 “Jika dalam suatu persetujuan sewa menyewa
tanah disebut suatu ukuran luas yang kurang atau lebih dan luas yang
sesungguhnya, maka hal itu tidak menjadi alasan untuk menambah
atau mengurangi harga sewa, kecuali dalam hal-hal dan menurut
ketentuan-ketentuan.”
Pasal 1589 “............. jika ia memakai barang yang disewa untuk
suatu tujuan yang lain dengan tujuan yang dimaksudkan atau, pada
umumnya, jika ia tidak memenuhi janji-janji yang dibuat dalam
persetujuan sewa dan karena itu timbul suatu kerugian bagi pihak yang
menyewakan. Maka pihak itu berhak untuk menuntut pembatalan sewa
menurut keadaan, serta penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Pasal 1590, semua penyewa tanah diwajibkan menyimpan hasil-
hasil tanah di tempat penyimpanan yang telah disediakan untuk itu.
Pasal 1591, penyewa tanah diwajibkan, atas ancaman penggantian
biaya, kerugian dan bunga, untuk melaporkan kepada pemilik tanah itu
121
segala peristiwa yang dilakukan dalam mengerjakan tanah yang
disewa. Pemberitahuan itu harus dilakukan dalam jangka waktu yang
sama seperti yang ditentukan antara waktu gugatan dari hari
menghadap di muka sidang pengadilan menurut jarak tempat-tempat.
Pasal 1592, Jika dalam suatu sewa untuk beberapa tahun selama
waktu sewa, seluruh atau separuh penghasilan setahun hilang karena
kejadian-kejadian yang tak dapat dihindarkan, maka penyewa dapat
menuntut suatu pengurangan uang sewa, kecuali jika ía telah
memperoleh penggantian kerugian karena penghasilan tahun-tahun
sebelumnya. Jika ia tidak mendapat ganti rugi, maka perkiraan tentang
pengurangan uang sewa tidak dapat dibuat selain pada waktu
berakhirnya sewa, bila kenikmatan dan semua tahun telah
diperumpamakan satu sama lain. Walaupun demikian, Hakim dapat
mengizinkan penyewa menahan sebagian dan uang sewa untuk
sementara waktu, menurut kerugian yang telah diderita.
Pasal 1593, Jika sewa hanya dilakukan untuk satu tahun,
sedangkan penghasilan telah hilang seluruhnya atau separuhnya, maka
penyewa dibebaskan dari pembayaran seluruh harga sewa atau
sebagian harga sewa menurut imbangan. Bila kerugian kurang dari
separuh, maka Ia tidak berhak atas suatu pengurangan.
Pasal 1594, Penyewa tidak dapat menuntut pengurangan bila
kerugian itu diderita setelah penghasilan dipisahkan dari tanah, kecuali
jika dalam persetujuan sewa ditentukan bahwa pemilik harus memikul
122
bagiannya dalam kerugian, asal penyewa tidak lalai menyerahkan
kepada pemilik itu bagiannya dari penghasilan. Begitu pula penyewa
tidak dapat menuntut suatu pengurangan, jika hal yang menyebabkan
kerugian sudah ada dan sudah diketahui sewaktu persetujuan sewa
dibuat. Berdasarkan ketentuan pengurangan biaya sewa atas kerugian
harus dibuktikan bahwa kerugian yang terjadi tidak diketahui
sebelumnya. Kerugian terjadi tanpa dapat diperkirakan sebelumnya.
Pasal 1595 : dengan suatu perjanjian yang dinyatakan dengan
tegas, penyewa dapat dipertanggungjawabkan atas kejadian-kejadian
yang tak dapat diduga. Pasal 1596, Perjanjian demikian hanya
dianggap dibuat untuk kejadian-kejadian biasa yang tak terduga, seperti
letusan gunung, gempa bumi, kemarau yang panjang, serangan hama-
hama yang merusak penghasilan, petir, atau rontoknya bunga pohon
sebelum waktunya. Ketentuan Pasal 1596, berlaku untuk kejadian-
kejadian yang sebelumnya belum dapat diduga akan terjadi baik oleh
penyewa atau pemberi sewa.
Namun perjanjian tersebut di atas tidak meliputi kejadian luar biasa,
seperti kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh peperangan atau
banjir yang tidak biasa menimpa daerah yang bersangkutan, kecuali
jika penyewa telah menyanggupi untuk memikul akibat dari semua
kejadian, baik yang dapat diduga maupun yang tak dapat diduga.
123
1.4.2 Pemberian hak penggunaan kawasan hutan melalui konstruksi
hukum perizinan
Makna izin secara umum atau secara luas dapat diambil dari
pandangan NM Spelt dan ten Berge (1991) yang mendefinisikan: “suatu
persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan
pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan
larangan-larangan perundangan120”.
Sedangkan secara sempit (terbatas), maka izin diartikan “pengikatan
aktivitas-aktivitas pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan
pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan
tertentu atau untuk menghalangi keadaan keadaan yang buruk121”.
Adapun tujuan/ motif yang terkandung di dalam sistem perizinan
menurut NM Spelt dan ten Berge dapat berupa:
1. Keinginan untuk mengarahkan (sturen) suatu aktivitas tertentu
misalnya pertambangan;
2. Mencegah bahaya bagi lingkungan misalnya izin lingkungan;
3. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu misalnya izin
tebang, izin membongkar monumen;
4. Hendak membagi-bagi benda yang sedikit misalnya: izin
penghunian di daerah padat penduduk;
120NM Spelt dan ten Berge, 1991, Pengantar Hukum Perizinan, Utrecht:Mimeo, hlm. 3.
121 Ibid. hal.4
124
5. Pengarahan, dengan menseleksi orang-orang dan aktivitas-
aktivitas misalnya: drank en horeca wet yang pengurusnya
harus memenuhi kualifikasi tertentu misalnya: izin mengemudi,
izin penggunaan psikotropika,122
Kewenangan negara dalam memberikan izin pertambangan
didasarkan pada konsepsi penguasaan negara dalam lingkup mengurus
(besturen) atas perekonomian, yang ada dalam lingkup fungsi negara
sebagai enterpreneur. 123
Berdasarkan konstruksi perizinan, maka menurut pendapat penulis
konstruksi perizinan inilah yang sesuai dengan konstruksi hukum dalam
pengelolaan pertambangan batubara di kawasan hutan.
122
Ibid. hal. 9-10 123
Abrar Saleng, 2004. Hukum Pertambangan, Yogjakarta: UII Pers.
125
2. Dinamika Pengaturan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
Pengaturan pertambangan di kawasan hutan sangat dinamis.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur sangat cepat berganti.
Sejak masa kolonial, masa orde lama, orde baru hingga masa reformasi.
Berdasarkan telaah terhadap berbagai peraturan perundang-
undangan sejak masa kolonial hingga sekarang, terlihat bahwa
pengaturan pertambangan di kawasan hutan dapat dikategorikan:
pertama : tidak terdapat pengaturan khusus tentang pertambangan di
kawasan hutan, yang termasuk kategori ini adalah pengaturan pada masa
Kolonial dan masa pemerintahan orde lama. Kedua : terdapat pengaturan
khusus pertambangan di kawasan hutan dan secara langsung di tegaskan
sektor pertambangan harus diutamakan dari sektor yang lain, yang
termasuk kategori ini adalah pengaturan pada masa pemerintahan orde
baru.
Ketiga : terdapat pengaturan khusus pertambangan di kawasan
hutan dan tidak ada penegasan sektor pertambangan harus diutamakan
dari sektor yang lain namun substansi peraturan memudahkan
beroperasinya pertambangan di kawasan hutan, yang termasuk kategori
ini adalah masa pemerintahan orde reformasi hingga sekarang.
126
2.1 Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Periode
Kolonialisme Belanda
Pertambangan batubara di Indonesia tercatat dimulai sejak abad 18
di Sawahlunto. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, sektor ekonomi
modern Indonesia sebagian besar dikuasai oleh modal asing, khususnya
negeri Belanda, bidang usaha terpusat pada sektor perkebunan dan
industri ekstraktif (pertambangan).124
Pengelolaan pertambangan batubara pada masa pemerintah Hindia
Belanda berorientasi tambang sebagai komoditas (barang dagangan)
yang penting, sehingga upaya yang dilakukan bertujuan pada sebesar-
besar keuntungan bagi pemerintah Kerajaan Belanda melalui eksploitasi
tambang termasuk di kawasan hutan. Sebagai upaya hukum untuk
melancarkan kepentingan Belanda, maka dilakukan upaya pengaturan
pertambangan secara khusus.
Pengelolaan pertambangan ditandai dengan pembentukan Komisi
Khusus pada tahun 1850 oleh Pemerintah Belanda yang bertugas
mempelajari dan menyusun bentuk pengaturan usaha pertambangan
(mijnreglement) yang pertama. Peraturan ini memungkinkan pemberian
hak atau konsesi penambangan kepada swasta warga negara Belanda,
tetapi masih terbatas untuk daerah-daerah di luar pulau jawa. Sebagai
tindak lanjut mengatur kegiatan pertambangan secara khusus, pada tahun
1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen” (Jawatan
124
Hill dalam Bondan Kanumoyoso. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Halaman : 35
127
Pertambangan). Tugas jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologi-
pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia
Belanda.125
Tabel 4 : Peraturan Perundang-undangan Bidang pertambangan
Jaman Kolonial Belanda Ketentuan Substansi pengaturan
Mijnreglement 1850
Pengaturan usaha pertambangan yang pertama. Peraturan ini memungkinkan pemberian hak atau konsesi penambangan kepada swasta warga negara Belanda, tetapi masih terbatas di luar pulau jawa.
Indische Mijnwet tahun 1899-214
Mengatur tentang penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan
Staatsblad 1922 No.480
Penggalian batubara di Kalimantan bagian Selatan dan Timur
Staatsblad 1923 No. 565
Penggalian intan di daerah Martapura dan Pelaihari
Staatsblad 1926 No. 219
Syarat-syarat umum yang berlaku bagi pemberian izin untuk penggalian bahan-bahan galian yang tidak disebutkan dalam Pasal 1 Indonesische Mijnwet
Staatsblad 1926 No. 137
Penyerahan wewenang kepada para Gubernur dari daerah-daerah yang dibentuk berdasarkan Pasal 119 Indonesische Staatsregeling, untuk melaksanakan hal-hal yang berhubungan dengan pemberian izin pertambangan dari bahan-bahan galian yang tidak disebut dalam Pasal 1 Indonesische Mijnwet
Staatsblad 1930 No.348
Syarat-syarat umum yang berlaku bagi pemberian izin untuk melakukan eksplorasi pertambangan dan konsesi pertambangan
Staatsblad 1935 No. 42
Ketentuan-ketentuan tentang pemberian izin untuk penggalian bahan-bahan galian yang tidak disebut dalam Pasal 1 Indonesische Mijnwet khusus untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Madura
Staatsblad 1948 No. 87
Ketentuan-ketentuan tentang perpanjangan masa berlakunya konsesi pertambangan
Sumber : Diolah126
125
Soetaryo Sigit, 1996. Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangkitan Pertambangan Indonesia, Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa di ITB, Bandung 9 Maret 1996, halaman : 8
126Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1969 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Lihat juga Soetaryo Sigit, Potensi.....; Abrar Saleng, Hukum Pertambangan... halaman : 64.
128
Status kawasan hutan pada masa Belanda dimulai dengan
diterbitkannya sejumlah kebijakan kolonial seperti Boschordonantie 1865
dan Agrarische Wet 1870 (AW 1970) Staatsblad No. 55 Tahun 1970, oleh
pemerintah Hindia Belanda. Tujuan utama dari kebijakan tersebut adalah
untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan kepastian hukum
kepada pengusaha swasta untuk membuka hutan.127 Selanjutnya salah
satu peraturan pelaksanaan yang penting adalah Agrarische Besluit
(Staatsblad No. 118 tahun 1870).
Berdasarkan ketentuan Agrarische Besluit ditegaskan kembali yang
secara eksplisit terkandung didalam Agrarische Wet yaitu asas domein,
dalam Pasal 1 yang menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak terbukti
bahwa atas tanah itu tidak ada hak milik mutlak (eigendom) adalah
domein negara.128 Domein diartikan sebagai milik, domein negara berarti
milik negara.
Orientasi pengaturan tambang adalah untuk memperbesar
eksploitasi bagi kepentingan Belanda, penetapan kawasan hutan
dilakukan untuk mempermudah tambang di kawasan hutan, salah satunya
dengan melakukan pembatasan antara wilayah rakyat dan kawasan
hutan. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada gangguan atas kawasan yang
hendak dilakukan eksploitasi tambang.
127
Harsono dan Backman dalam Mora Dingin, 2014. Bersiasat Dengan Hutan negara-Seri Hukum dan Keadilan Sosial, Epistema Institute, Jakarta. Halaman : 49
128 Budi Harsono, 1994. Hukum Agraria di Indonesia,Djambatan, Jakarta.
Halaman:7
129
Wilayah-wilayah yang dinyatakan sebagai kawasan hutan dan dalam
penguasaan negara, pada masa kolonial menurut Peluso dan
Vandergeest disebut sebagai hutan politik (political forest). Artinya
pertama, penetapan wilayah-wilayah tersebut sebagai kawasan hutan
memiliki latar belakang politik termasuk ekonomi politik. Kedua, penetapan
tersebut berlangsung melalui proses politik tersendiri. Ketiga, dipengaruhi
kepentingan politik dan ditetapkan melalui proses politik, wilayah-wilayah
yang ditetapkan sebagai kawasan hutan bisa jadi tidak ditutupi oleh hutan
atau tanaman berkayu lainnya. Dengan kata lain, sebuah lahan yang
ditutupi alang-alang, lahan pertanian, ladang atau kampung dapat
ditetapkan sebagai bagian dari kawasan hutan. Jawatan kehutanan
Belanda (Dienst van het Boschwezen) menetapkan hutan politik melalui
undang-undang kehutanan kolonial dengan menentukan batas antara
lahan pertanian dan hutan, serta menyatakan semua wilayah yang belum
diklaim oleh siapapun dan wilayah hutan sebagai domein negara.129
Ketentuan ini difasilitasi dengan politik domein verklaring (pernyataan
kepemilikan) yang diterapkan Belanda yang menyatakan “Barangsiapa
yang tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah maka tanah
dimiliki pemerintah.”
Peraturan pertambangan yang berlaku adalah Indische Mijnwet
(Staatsblad 1899 No. 214). Secara umum pengaturan kehutanan dan
pertambangan di jaman Belanda lebih ditujukan memberikan jalan bagi
129
Peluso dan Vandergeest dalam Mia Siscawati, Jurnal Wacana Nomor 33 Tahun XVI/2014, diterbitkan oleh Indonesian Society for Social Transformation (INSIST).halaman : 7-8
130
eksploitasi kekayaan alam yang berada dalam kawasan hutan. Politik
domein menjadi dasar untuk memperlancar proses eksploitasi
pertambangan di kawasan hutan bagi kepentingan pemerintah Belanda.
Pada masa penjajahan Jepang yang singkat, tidak terdapat perubahan
penting hingga masa kemerdekaan Republik Indonesia.
2.2 Pengaturan Pertambangan Di Kawasan Hutan Pada Periode
Orde Lama (1945-1965)
Masa kemerdekaan Indonesia merupakan periode penting dalam
meletakkan dasar-dasar negara dalam pengelolaan sumber daya alam.
Pembukaan UUD 1945 menegaskan tujuan dibentuknya pemerintahan
Indonesia yaitu “...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum..” berdasarkan
konstitusi ini, maka tujuan negara adalah kesejahteraan umum atau
kesejahteraan kolektif bangsa Indonesia.
Dasar konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam disusun
sebagai upaya mewujudkan tujuan negara sesuai maklumat dalam
pembukaan UUD 1945, melalui Pasal 33 UUD 1945, termasuk tambang
dan hutan. Secara konstitusional paradigma pengelolaan tambang dan
hutan sebagai bagian dari kekayaan alam yang terkandung di bumi
Indonesia adalah pertama: penguasaan oleh negara; kedua : penguasaan
tersebut ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
131
Tabel 5 : Dinamika Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan
Masa Pemerintahan
Periode Pengaturan Pertambangan Batubara Di Kawasan Hutan
Kolonialisme Pengaturan pertambangan 1850 – 1945
a. Pertambangan Batubara dimulai dan secara fisik kawasan penambangan berada didalam kawasan hutan di perkuat dengan politik “domein verklaring”
b. Penetapan kawasan hutan terpisah dengan tanah rakyat sebagai upaya menghindarkan gangguan terhadap kegiatan eksploitasi hutan
c. Tidak ada pengaturan khusus pertambangan di kawasan hutan
Orde Lama 1945 – 1965 a. Pertambangan tidak berkembang karena ada kebijakan nasionalisasi perusahaan asing dan kebijakan anti modal asing
b. Tidak ada kebijakan khusus pertambangan di kawasan hutan
Orde Baru 1966 – 1998
1966 – 1977 a. Jika terjadi tumpang tindih maka pertambangan harus di prioritaskan
b. Pertambangan di perbolehkan di kawasan hutan kecuali Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata (Taman Wisata dan Taman Buru).
c. Perizinan tambang bersifat setralistik, hanya memberikan kewenangan pada menteri
d. Pengawasan tidak diatur secara khusus
e. Kewajiban pemegang kuasa pertambangan tidak berbeda antara dikawasan hutan dan diluar kawasan hutan
f. Pengaturan khusus pertambangan dikawasan hutan namun belum lengkap
1978 – 1989 Perluasan Kawasan hutan yang diperkenankan untuk dipinjam pakai adalah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Hutan Lindung, Hutan Produksi,
132
1990 – 1998 a. Mempertegas dibolehkannya kawasan hutan di tambang melalui mekanisme Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
b. Pelarangan kegiatan yang mengubah kawasan konservasi dan kawasan suaka alam
c. Pembatasan kawasan pertambangan yang bisa dipinjam pakai hanya hutan produksi
d. Tidak ada pelarangan sistem tambang terbuka di kawasan hutan lindung
e. Adanya pelibatan pemerintah daerah dalam proses perizinan
f. Adanya pengaturan secara khusus pertambangan di Kawasan hutan
Orde Reformasi 1999 – sekarang (2015)
1999 - 2003 a. Mempertegas dibolehkannya kawasan hutan di tambang
b. Pembatasan sistem penambangan di kawasan hutan lindung harus dengan sistem pertambangan tertutup.
c. Kawasan hutan produksi boleh ditambang secara terbuka
2004 – sekarang (2016)
a. Mempertegas dibolehkannya kawasan hutan di tambang
b. Pembatasan sistem penambangan di kawasan hutan lindung harus dengan sistem pertambangan tertutup.
c. Hak istimewa bagi 13 perusahaan tambang yang di perbolehkan penambangan di kawasan hutan lindung dengan sistem penambangan terbuka
d. Kawasan hutan produksi boleh ditambang secara terbuka
Sumber : Diolah
Selanjutnya politik pengelolaan sumber daya alam pada era orde
lama, diletakkan dasarnya melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria. Berdasarkan pemikiran
133
the foundhing fathers Republik Indonesia yang sangat diwarnai oleh
pandangan sosialistis dan nasionalistis (neo populis), hal ini tercermin
pada pandangan Moh. Hatta dalam pidatonya tahun 1946. Prinsip Hatta
adalah bahwa tanah (sumber daya alam) harus dipandang sebagai alat
atau faktor produksi untuk kemakmuran bersama, bukan untuk
kepentingan orang perorangan, yang pada akhirnya dapat mendorong
terjadinya akumulasi penguasaan tanah (sumber daya alam) pada
segelintir kelompok masyarakat.130
Berdasarkan ketentuan dalam UUPA, maka negara memiliki
kewajiban dalam pengelolaan sumber daya alam yaitu :
1. Segala bentuk pemanfaatan bumi, air dan ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, harus secara nyata
dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat;
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di
dalam dan diatas bumi, air dan ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya, dapat dihasilkan secara
langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan
menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan
130
Nordholt dalam Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996. Tanah Sebagai Komoditas-Kajian kritis atas Kebijakan Pertaahan Orde Baru, Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta. Halaman : 17-18
134
kehilangan akses terhadap bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.131
Pertambangan di kawasan hutan tidak diatur secara khusus pada
periode ini, bahkan eksploitasi pertambangan tidak berkembang.
Pemerintah orde lama lebih berorientasi pada kebijakan nasionalisasi
perusahaan asing dan penolakan modal asing. Kebijakan ini dilaksanakan
dengan upaya mengambil alih penguasaan asing termasuk di sektor
pertambangan.
Setelah Indonesia merdeka 15 (lima belas) tahun, dibentuklah Perpu
No. 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan dan kemudian ditetapkan
sebagai Undang-undang Nomor 37 Prp Tahun 1960 yang berlaku pada
tanggal 14 Oktober 1960. Undang-undang tersebut mencabut dan tidak
memberlakukan Indische Mijnwet karena dianggap sudah tidak sesuai
dengan alam kemerdekaan Indonesia dan kepentingan nasional dibidang
pertambangan.132
2.3 Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Periode
Orde Baru (1966 – 1998)
Pemerintah orde baru menempatkan sektor pertambangan dan
sektor kehutanan sebagai salah satu sektor pembangunan yang penting
sebagai penopang pertumbuhan ekonomi. Politik hukum ini dilakukan orde
baru untuk mensukseskan target pertumbuhan ekonomi secara cepat,
131
Soetiknjo dalam Ida Nurlinda, 2009. Prinsip-prinsip Pembaharuan Agraria, Rajawali, Jakarta.
132 Gatot Supramono, 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di
Indonesia.Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Halaman: 4
135
dengan pertimbangan sektor pertambangan dan kehutanan merupakan
sektor sumber daya alam yang bernilai ekonomis sangat tinggi. Selain itu
jaminan pasar dunia yang saat itu terbuka luas bagi komoditi
pertambangan. Oleh karena itu dikeluarkan ketentuan Undang-undang
Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang menjadi
pintu masuknya investasi asing termasuk di sektor pertambangan.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang kehutanan merupakan
ketentuan berikutnya yang dikeluarkan pada periode ini. Ketentuan
pertambangan diatur melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967
Tentang Pertambangan Umum, ketentuan ini dikeluarkan 7 (tujuh) bulan
setelah Kontrak Karya PT Freeport di wilayah Papua di tandatangani
pemerintah orde baru.
Pada masa orde baru (orba) melalui ketentuan Undang-undang No.
5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, memperkuat posisi
pemerintah dalam menguasai kawasan hutan. Sehingga tidak
mengherankan politik pembangunan kehutanan pada masa itu lebih
cenderung berpihak kepada kepentingan investor.133
Kondisi tersebut juga tergambar dalam ketentuan tentang
pertambangan di kawasan hutan yang dalam UU 11 tahun 1967 tidak
diatur secara khusus. Namun jelas dalam undang-undang ini tidak
terdapat ketentuan yang melarang adanya kegiatan pertambangan di
kawasan hutan.
133
Mora Dingin, Ibid. halaman : 50
136
Tabel 6 : Peraturan perundang-undangan tentang pertambangan di kawasan
hutan pada periode Orde Baru (1966-1998)
NO PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SUBSTANSI PENGATURAN PERTAMBANGAN DIKAWASAN HUTAN
1 UU NO 5 TAHUN 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kehutanan (UUPK)
Tidak diatur khusus namun tidak dilarang dan pertambangan dapat masuk kategori sektor-lain-lain yang dapat menggunakan kawasan hutan
2 UU NO 11 TAHUN 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan
a. Tidak terdapat ketentuan khusus tentang
pertambangan di kawasan hutan
b. Kawasan hutan bukan sebagai wilayah yang
dikecualikan dalam pemberian kuasa
pertambangan, artinya tidak ada larangan
pertambangan di kawasan hutan
3 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976
Tentang Pedoman sinkronisasi pelaksanaan tugas keagrariaan dengan bidang tugas tugas kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum Substansi : Jika terjadi tumpang tindih peruntukan lahan maka pertambangan harus diutamakan
4 Keputusan direktur jenderal kehutanan Nomor 64/kpts/DJ/I/1978 tentang Pinjam Pakai Kawasan Hutan
a. Skema pinjam pakai kawasan hutan diatur
pertama kali
b. Namun pinjam pakai hanya dibolehkan untuk
kepentingan umum dan pertahanan
keamanan
c. Tidak ada penjelasan yang dimaksud
kepentingan umum dan batasannya
d. Melarang pinjam pakai di kawasan Suaka
Alam dan Hutan Wisata (Taman Wisata dan
Taman Buru, namun membolehkan
pertambangan di Kawasan Hutan Lindung
dan Hutan Produksi
5 Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989; 429/Kpts-II/1989
a. Kawasan hutan yang diperkenankan untuk
dipinjam pakai adalah Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Buru, Hutan Lindung,
Hutan Produksi,
b. sedangkan untuk Taman Nasional, Taman
Wisata dan Hutan Fungsi Khusus hanya
diperkenankan untuk kegiatan yang bersifat
nonkomersil.
6 UU 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Pelarangan kegiatan yang mengubah kawasan konservasi dan kawasan suaka alam, sehingga pertambangan tidak dapat dilakukan dikawasan hutan konservasi
137
7 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-II/1994 Jo. KMK Nomor 56/Kpts-II/1994; Jo. KMK Nomor 41/Kpts-II/1994KMK Nomor : 614/Kpts-II/1997 Jo. KMK dan Perkebunan Nomor : 720/Kpts-II/1998
a. Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
diatur khusus
b. Pembatasan kawasan pertambangan
yang bisa dipinjam pakai hanya hutan
produksi
c. Pengecualian bagi 13 perusahaan
Sumber : UU NO 5 TAHUN 1967 UU NO 11 TAHUN 1967 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 Keputusan direktur jenderal kehutanan Nomor 64/kpts/DJ/I/1978 UU 5 Tahun 1990 Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989; 429/Kpts-II/1989 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-II/1994 Jo. KMK Nomor 56/Kpts-II/1994; Jo. KMK Nomor 41/Kpts-II/1994KMK Nomor : 614/Kpts-II/1997 Jo. KMK dan Perkebunan Nomor : 720/Kpts-II/1998
Pada periode ini pertama kali pertambangan di kawasan hutan di
atur secara khusus melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976.
Tentang Pedoman sinkronisasi pelaksanaan tugas keagrariaan dengan
bidang tugas kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan
umum.
Beberapa ketentuan pengaturan penggunaan kawasan hutan untuk
pertambangan pada masa orde baru adalah :
a. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Undang-undang
Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1967 Nomor 8 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823)
Filosofi hutan dalam ketentuan UU Nomor 5 tahun 1967 pada
ketentuan menimbang huruf (a) “hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha
Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memberikan manfaat
serbaguna yang mutlak di butuhkan oleh umat manusia sepanjang masa”,
pada huruf (b) :”bahwa hutan di Indonesia sebagai sumber kekayaan alam
138
dan salah satu unsur basis pertahanan nasional harus dilindungi dan
dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara lestari.
Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1967, menegaskan bahwa
“penggalian sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensip,
adalah merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat yang tidak
boleh ditunda-tunda lagi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.” Selain itu pada paragraf
selanjutnya dinyatakan bahwa “kegiatan kehutanan disamping
pengaruhnya yang konstruktip di bidang sosial ekonomi, juga akan
memberikan pemasukan devisa yang sangat diperlukan oleh negara.”
Secara filosofis ketentuan tersebut menunjukkan bahwa kekayaan hutan
dipandang sebagai komoditas yang bermanfaat bagi pembangunan
ekonomi nasional melalui devisa yang di terima negara. Paradigma hutan
sebagai komoditas sumber daya alam nampak sangat terasa dalam
ketentuan UU Nomor 5 tahun 1967. Hutan dipandang sebagai sektor yang
potensial untuk dimanfaatkan secara ekonomis, paradigma hutan tersebut
diterjemahkan dalam ketentuan umum Pasal 1 angka (1) yang dimaksud
hutan ialah “suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara
keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam
lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.”
Pengertian ini mengandung dua unsur yaitu unsur fisik hutan : “suatu
lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan
139
merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya”
dan unsur legalitas yaitu : “ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan”
Ketentuan tentang penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan
tidak disebutkan secara khusus dalam ketentuan UU No 5 Tahun 1967
Tentang Kehutanan, namun berdasarkan, Pasal 6 point (e) pemerintah
membuat suatu rencana umum mengenai peruntukan, penyediaan,
pengadaan dan penggunaan hutan secara serba-guna dan lestari di
seluruh wilayah Republik Indonesia untuk kepentingan: transmigrasi,
pertanian, perkebunan dan peternakan; lain-lain yang bermanfaat bagi
umum. Peruntukan lain-lain dalam ketentuan ini dapat diartikan termasuk
untuk pertambangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa penggunaan
kawasan hutan untuk pertambangan tidak disebutkan secara khusus,
namun ketentuan tersebut tidak memuat adanya suatu larangan, serta
membuka peruntukkan untuk tambang.
Penjelasan Umum UU Nomor 5 tahun 1967 menjelaskan terdapat 7
(tujuh) fungsi hutan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Jika
dikategorikan terdapat fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Fungsi
ekologis nampak pada angka (1) mengatur tata-air, mencegah dan
membatasi bahaya banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah;
angka (4) memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat
pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan, industri
dan ekspor; angka (5) memberi keindahan alam pada umumnya dan
140
khususnya dalam bentuk Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata
dan Taman Buru untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan,
kebudayaan dan pariwisata; angka (6) merupakan salah satu unsur basis
strategi pertahanan nasional.
Namun juga terlihat semangat eksploitasi hutan dalam Penjelasan
umum UU Nomor 5 Tahun 1967, yang dinyatakan dalam ketentuan angka
(2) memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada
umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan, industri dan
ekpor. Ketentuan angka (3) membantu pembangunan ekonomi nasional
pada umumnya dan mendorong industri hasil hutan pada khususnya.
Ketentuan angka (7) Memberi manfaat-manfaat lain yang berguna bagi
umum.
Berdasarkan angka 7 penjelasan tersebut, nampaklah bahwa tidak
ada penyebutan secara khusus pemanfaatan hutan untuk sektor
pertambangan, namun penafsiran angka 7 dapat dimasukkan sektor
pertambangan sebagai manfaat lain.
Semangat eksploitasi hutan semakin terlihat pada paragraf
berikutnya, “Semua kegiatan untuk menggali kekayaan alam Indonesia
yang berupa hutan ini, dimaksud tidak lain guna ikut membangun ekonomi
nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, agar cita-cita
membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila segera tercapai, maka bila dipandang perlu pemerintah
memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan.” Ketentuan ini
141
mempertegas bahwa eksploitasi hutan diperlukan untuk mewujudkan
keinginan cita-cita ekonomi secara cepat. Ketentuan ini menyiratkan
paradigma hutan sebagai komoditas yang cepat meningkatkan
perekonomian.
b. Pertambangan di Kawasan Hutan Menurut UU Nomor 11 Tahun
1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 No. 22)
Paradigma pengelolaan bidang pertambangan di masa
pemerintahan orde baru untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi secara
cepat diatur dengan tegas dalam ketentuan menimbang huruf (a) UU 11
Tahun 1967, dikatakan :
Bahwa guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensiil di bidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil.
Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa paradigma orde baru
dalam memandang pertambangan menempatkannya sebagai kekuatan
ekonomi potensiil. Ketentuan ini menunjukkan paradigma yang
menempatkan tambang sebagai komoditas yang akan dapat
dimanfaatkan untuk mendorong peningkatan perekonomian negara.
Jenis bahan galian tambang berdasarkan ketentuan UU 11 tahun
1967 Pasal 3 dibedakan menjadi tiga golongan yaitu (a) Golongan
strategis; (b) golongan vital; (c) golongan yang tidak termasuk golongan a
142
dan b. Penggolongan ini berimplikasi pada pola pengelolaan. Bahan
galian batubara berdasarkan PP Nomor 27 tahun 1980 termasuk dalam
golongan bahan galian (a) yaitu bahan galian strategis.
Berkaitan pertambangan batubara di kawasan hutan, dalam UU 11
Tahun 1967, ketentuan ini tidak menyebut secara khusus pengaturan
pertambangan di kawasan hutan, bahkan dalam ketentuan tentang
pembatasan wilayah usaha pertambangan yang tidak dapat dilakukan,
tidak memasukkan perihal kawasan hutan. Beberapa kawasan yang tidak
dapat digunakan sebagai wilayah usaha pertambangan berdasarkan
Pasal 16 ayat (2) “Pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu
kuasa pertambangan tidak boleh dilakukan diwilayah yang tertutup untuk
kepentingan umum dan pada lapangan sekitar lapangan-lapangan dan
bangunan-bangunan pertahanan.” Sedangkan ketentuan ayat (3)
mengatur pembatasan wilayah yang tidak dapat diberikan kuasa
pertambangan adalah :
a. Tempat-tempat kuburan, tempat-tempat yang dianggap suci, pekerjaan-pekerjaan umum, misalnya jalan-jalan umum, jalan-jalan, jalan kereta api, saluran air listrik, gas dan sebagainya.
b. Tempat-tempat pekerjaan usaha pertambangan lain c. Bangunan-bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-pabrik
beserta tanah-tanah pekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin yang berkepentingan.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1967 sebagaimana
pembatasan lokasi pertambangan berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat
(2) dan (3) maka, pertambangan di kawasan hutan tidak dilarang
sepanjang di kawasan hutan tersebut bukan sebagai kawasan yang
143
tertutup bagi kepentingan umum dan kawasan pertahanan, serta tempat-
tempat kuburan dan tempat-tempat yang dianggap suci sebagaimana
ketentuan Pasal 16 ayat (3) huruf a. Pembatasan tersebut dapat
dikecualikan berdasarkan Pasal 16 ayat (4), “Dalam hal dianggap sangat
perlu untuk kepentingan pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan
suatu kuasa pertambangan, pemindahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) pasal ini dapat dilakukan atas beban pemegang kuasa
pertambangan dan setelah diperoleh izin dari yang berwajib.” Berdasarkan
ketentuan tersebut semakin mempertegas tidak ada larangan bagi
pertambangan di kawasan hutan.
Kewajiban Keuangan/ Pungutan berdasarkan UU 11 Tahun 1967,
tidak ada pembedaan antara pertambangan di kawasan hutan dan bukan
kawasan hutan, hal ini disebabkan ketiadaan pengaturan secara khusus
pertambangan di kawasan hutan berdasarkan UU 11 Tahun 1967.
Pungutan pertambangan dikawasan hutan maupun diluar kawasan
hutan diatur dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1), pemegang kuasa
pertambangan membayar kepada negara :
a. Iuran tetap,
b. Iuran eksplorasi dan/atau eksploitasi dan/atau pembayaran-
pembayaran lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan
yang bersangkutan.
Sanksi bagi pelanggar kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 33 (a) :
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau
144
dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah, pemegang kuasa
pertambangan yang tidak memenuhi atau tidak melaksanakan syarat-
syarat yang berlaku menurut undang-undang ini dan/atau undang-undang
termaksud dalam keputusanmenteri yang diberikan berdasarkan undang-
undang ini dan/atau undang-undang tentang pertambangan yang dikelola
oleh negara.
Ketentuan PP 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan, mengatur tentang kewajiban pungutan terhadap
perusahaan pertambangan, yang berlaku umum. Ketentuan ini tidak
membedakan kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Berdasarkan
Pasal 62 beberapa pungutan iuran tersebut adalah :
a. Iuran tetap, adalah iuran yang dibayarkan negara sebagai
imbalan atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau
eksploitasi pada suatu wilayah kuasa pertambangan. Iuran tetap
pemegang kuasa pertambangan umum dan kuasa
pertambangan eksplorasi serta kuasa pertambangan eksplorasi,
wajib membayar iuran tiap tahun untuk tiap hektar wilayah kuasa
pertambangan.
b. Iuran eksplorasi adalah iuran produksi yang dibayarkan kepada
negara dalam hal pemegang kuasa pertambangan eksplorasi
mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas
kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya. Pemegang
145
kuasa pertambangan eksplorasi diwajibkan membayar iuran
eksplorasi dari penjualan hasil produksi yang tergali sewaktu
mengadakan eksplorasi. Iuran eksplorasi ditetapkan atas dasar
tarif tertentu menurut hasil produksi usaha pertambangan yang
bersangkutan.
c. Iuran eksploitasi, adalah iuran produksi yang dibayarkan kepada
negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan
eksploitasi sesuatu atau lebih bahan galian. Pemegang kuasa
pertambangan eksploitasi diwajibkan membayar iuran eksploitasi
atas hasil produksi yang diperoleh dari wilayah kuasa
pertambangannya.
d. Kewenangan menteri pertambangan untuk menetapkan besaran
pungutan dan tata cara pelaksanaannya dengan mendengar
pertimbangan menteri keuangan berdasarkan Pasal 61.
Perjanjian Karya sebagai legalitas penambangan berdasarkan UU 11
Tahun 1967 tentang ketentuan Pokok-pokok Pertambangan, yang telah di
cabut melalui UU 4 tahun 2009, masih memberikan pengaruh, dalam hal
keberadaan perusahaan pertambangan batubara di kawasan hutan
sebagian besar mendapatkan kuasa pertambangan berdasarkan
ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1967. Berdasarkan ketentuan peralihan
Pasal 169 (a) UU 4 Tahun 2009, Pada saat undang-undang ini mulai
berlaku, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
146
batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini
tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
Namun pemegang kontrak karya memiliki kewajiban menyesuaikan
dengan ketentuan UU 4 Tahun 2009 berdasarkan Pasal 169 (b)
Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara sebelum UU 4 tahun 2009
disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.
Pertambangan batubara yang beroperasi di kawasan hutan pada
periode berlakunya UU Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-
pokok Pertambangan hingga tahun 2009 sebelum berlakunya UU Nomor
4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, hak
penambangan diberikan pemerintah pusat kepada perusahaan
pertambangan dengan skema perjanjian karya. Bentuk perjanjian karya
pertambangan ini memiliki beberapa bentuk yaitu kontrak karya (KK),
kuasa pertambangan (KP) serta Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B).
Namun setelah berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang
pertambangan Mineral dan Batubara, diberlakukan skema izin usaha
pertambangan (IUP) sebagai pemberian hak penambangan bagi
perusahaan yang hendak menambang. Sehingga sejak berlakunya UU ini
maka terdapat dua skema pemberian hak penambangan yaitu dalam
skema perjanjian (KK,KP, PKP2B) dan skema perizinan (IUP). Skema IUP
147
merupakan produk UU terbaru, namun produk sebelumnya yang
menggunakan skema perjanjian masih tetap berlaku dengan ketentuan
tahun 2010 keseluruhan perjanjian kuasa pertambangan harus
menyesuaikan ketentuan terbaru.
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU Nomor 11 Tahun 1967, usaha
pertambangan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau
perseorangan apabila kepadanya telah diberikan kuasa pertambangan.
Pasal 2 (i) mendefinisikan istilah kuasa pertambangan: “wewenang yang
diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha
pertambangan”. Usaha pertambangan bahan galian yang tergolong
strategis, berdasarkan Pasal 6 dilakukan oleh :
a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri. b. Perusahaan Negara;
Berdasarkan konstitusi UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) yaitu : “Cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Batubara dikategorikan
sebagai bahan galian strategis, sehingga berdasarkan kategori strategis
mengharuskan pengelolaan pertambangan diselenggarakan oleh instansi
pemerintah atau perusahaan negara.
Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh menteri untuk melaksanakan
usaha pertambangan, berdasarkan PP Nomor 32 Tahun 1969 Tentang
Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-pokok
Pertambangan, Pasal 2 ayat (2) harus mendapatkan Surat Keputusan
148
Penugasan Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Instansi
Pemerintah untuk melaksanakan usaha pertambangan.
Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan berdasarkan
Pasal 2 ayat (4) adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri
kepada Perusahaan Negara. Perusahaan Daerah, badan lain atau
perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan.
Namun ketentuan bahwa galian yang strategis dilaksanakan oleh
instansi pemerintah atau perusahaan negara, tidak berlaku mutlak, masih
dimungkinkan adanya keikutsertaan pihak swasta. Keikutsertaan swasta
dalam usaha pertambangan dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal
7, yaitu bahan galian dapat pula diusahakan oleh pihak swasta yang
memenuhi syarat-syarat, apabila menurut pendapat menteri berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan dari segi ekonomi dan perkembangan
pertambangan, lebih menguntungkan bagi negara apabila diusahakan
oleh pihak swasta. Selain itu berdasarkan Pasal 10, menteri dapat
menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat
dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah atau perusahaan negara
yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan.
Hubungan hukum antara instansi pemerintah dan perusahaan
negara yang mendapatkan wewenang untuk melaksanakan
pertambangan strategis dengan pihak ketiga/swasta yang mengusahakan
149
pertambangan adalah dalam bentuk perjanjian karya dengan kontraktor,
ketentuan ini diatur dalam Pasal 10 UU Nomor 11 Tahun 1967, yaitu :
(1) Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan.
(2) Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara harus berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk, dan syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri.
(3) Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini mulai berlaku sesudah disahkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a sepanjang mengenai bahan-bahan galian yang ditentukan dalam pasal 13 Undang-undang ini dan/atau yang perjanjian karyanya berbentuk penanaman modal asing.
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1967, maka perusahaan
pertambangan swasta melakukan usaha pertambangan berdasarkan
perjanjian karya. Perjanjian karya pertambangan yang dilakukan antara
instansi pemerintah yang ditunjuk atau perusahaan negara dengan
perusahaan pertambangan. Hubungan hukum yang terjadi adalah
hubungan kontraktual. Ketentuan ini juga berlaku bagi perusahaan
pertambangan batubara yang menambang di kawasan hutan.
Pemberian hak penambangan batubara dalam bentuk perjanjian,
perjanjian menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH-Perdata) Pasal 1313 adalah “suatu perbuatan dimana satu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Menurut
150
Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang
berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.134
Gambar 3:
Hubungan Hukum dalam Penguasaan Pertambangan di Indonesia
Sumber : UU Nomor 11 Tahun 1967 dan PP 32 Tahun 1969
Pasal 1314 KUH-Perdata, bentuk perjanjian ada dua yaitu suatu
perjanjian diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan.
Suatu perjanjian cuma-cuma adalah suatu perjanjian bahwa pihak yang
satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa
134
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 3
Penguasaan Negara berdasarkan
Pasal 33 UUD 1945
MENTERI Sebagai
Pelaksana Penguasaan
Negara
Batubara termasuk Golongan Bahan Galian A (Strategis) sehingga Usaha Pertambangan dilakukan
oleh Instansi Pemerintah yang ditunjuk dan Perusahaan Negara
Pertimbangan Ekonomi Pertambangan dapat
diusahakan swasta
Instansi Pemerintah/Perusahaan Negara Jika tidak dapat
melaksanakan pekerjaannya dapat menunjuk kontraktor
Hubungan Kontraktual (perjanjian
Karya)antara perusahaan
negara dengan perusahaan
swasta
Berdasarkan Surat Keputusan
Menteri
151
menerima imbalan. Suatu perjanjian memberatkan adalah suatu perjanjian
yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHP-Perdata,
harus memenuhi syarat yaitu : (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu pokok
persoalan tertentu; (4) suatu sebab yang tidak terlarang.
Ketentuan Pasal 10 UU Nomor 11 Tahun 1967, bahwa perjanjian
karya sebagai bentuk legalitas pengusahaan pertambangan bagi pihak
swasta, menimbulkan konsekuensi bahwa :
a. Kedudukan setara para pihak dalam perjanjian, sehingga para
pihak yang melakukan perjanjian karya yaitu instansi pemerintah
atau perusahaan negara yang ditunjuk menteri dengan
perusahan swasta sebagai pihak yang diberikan hak
penambangan berdasarkan perjanjian karya.
b. Kedudukan setara para pihak dapat menyebabkan lemahnya
kontrol pemerintah atas kegiatan pertambangan yang dilakukan
perusahaan.
c. Perjanjian tidak dapat dihentikan secara sepihak. Perjanjian
berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya (pacta
sunservanda) serta tidak dapat ditarik kembali atau dihentikan
selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena
152
alasan-alasan yang ditentukan undang-undang. Ketentuan ini
diatur dalam Pasal 1338 KUH-Perdata : “semua persetujuan
yang dibuat sesuai dengan undang-undang, berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.”
c. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1976
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 ini merupakan ketentuan
pertama yang menyebutkan pengaturan secara khusus pertambangan di
kawasan hutan. Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976
Tentang Pedoman Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Keagrariaan dengan
Bidang Tugas-tugas Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan
Pekerjaan Umum. Pada Bagian II angka 11 (ii) dan 11 (iii), Lampiran
Instruksi Presiden ini menyatakan bahwa :
ii. Bila pertindihan penetapan/penggunaan tanah tidak dapat dicegah, maka hak pertambangan harus diutamakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967.
iii. Pemberian Kuasa Pertambangan dan Izin Pertambangan Daerah tersebut diatas, tidak meliputi areal tanah yang telah ditetapkan sebagai Suaka Alam dan Hutan Wisata (Taman Wisata dan Taman Buru).
153
Berdasarkan ketentuan Bagian II angka 11 (ii), terlihat bahwa
pertambangan menjadi sektor yang mendapat hak istimewa atau hak
untuk diutamakan bahkan ketika terjadi “pertindihan” atau tumpang tindih
penggunaan lahan. Ketentuan ini tentu juga berlaku bagi kawasan hutan
kecuali yang disebut dalam Bagian II angka 11 (iii) ketentuan tersebut
yakni kecuali areal tanah yang telah ditetapkan sebagai Suaka Alam dan
Hutan Wisata (Taman Wisata dan Taman Buru).
Ketentuan berikutnya pada Bagian II angka 13 ditentukan kewajiban
pemegang izin atas lahan paska tambang bahwa: sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967, maka :
“setelah selesai melakukan pertambangan bahan galian pada areal pertambangan, pemegang Kuasa Pertambangan maupun pemegang izin pertambangan daerah diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya serta tidak merugikan kepentingan umum.”
Berdasarkan ketentuan dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1976 Tentang Pedoman Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas
Keagrariaan dengan Bidang Tugas-tugas Kehutanan, Pertambangan,
Transmigrasi dan Pekerjaan Umum, maka larangan terhadap pemberian
Kuasa Pertambangan dan Izin Pertambangan Daerah berlaku atas areal
tanah yang telah ditetapkan sebagai Suaka Alam dan Hutan Wisata
(Taman Wisata dan Taman Buru). Sehingga dengan menelaah ketentuan
dalam UU No 5 Tahun 1967 Pasal 3, berdasarkan fungsinya Menteri
menetapkan Hutan Negara meliputi 4 jenis, yaitu : (a) Hutan Lindung; (b)
Hutan Produksi; (c) Hutan Suaka Alam; (d) Hutan Wisata. Maka dalam
154
ketentuan ini dimungkinkan dilakukan penambangan di kawasan hutan
lindung dan hutan produksi.
Ketentuan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 Tentang
Pedoman sinkronisasi pelaksanaan tugas keagrariaan dengan bidang
tugas kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum, yang
menyatakan larangan penerbitan Kuasa Pertambangan dan Izin
Pertambangan Daerah pada dua jenis hutan saja yaitu suaka alam dan
hutan wisata, maka dapat diartikan bahwa kuasa pertambangan dan izin
pertambangan daerah dapat diterbitkan di dalam kawasan hutan lindung
dan hutan produksi.
d. Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/kpts/DJ/1978
Tentang Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan SKB Menteri
Pertambangan dan Kehutanan
Skema pinjam pakai kawasan hutan pertama kali diatur dalam
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/kpts/DJ/1978 Tentang
Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Ketentuan ini ditetapkan pada tanggal 23
Mei 1978, Dasar pemikiran diaturnya pinjam pakai kawasan hutan
menurut Inpres ini sesuai dalam klausul menimbang adalah meskipun
diakui bahwa penggunaan sesuatu kawasan hutan harus sesuai dengan
fungsi yang telah ditetapkan oleh menteri pertanian; namun dalam
kenyataannya, karena perkembangan masyarakat dan makin
meningkatnya pembangunan, kadang-kadang ada penggunaan kawasan
hutan menyimpang dari fungsi yang telah ditetapkan; selain itu maksud
155
dalam ketentuan ini disamping melegalisasi penggunaan hutan untuk
kepentingan diluar kehutanan juga bermaksud membatasi serta
menertibkan penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dari fungsi
yang ditetapkan,
Pasal 1 yang dimaksud dengan Pinjam Pakai Kawasan Hutan ialah
“penggunaan sebagian kawasan hutan untuk keperluan lain yang
menyimpang dari fungsi yang telah ditetapkan oleh menteri pertanian
karena tidak dapat diubah status hutannya, dan bersifat sementara.”
Pembatasan pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam Pasal 2 yaitu
Pinjam Pakai Kawasan Hutan hanya terbatas untuk kepentingan umum
dan pertahanan nasional. Dalam ketentuan ini tidak ada penjelasan yang
dimaksud kepentingan umum, sehingga dapat terjadi penafsiran yang
meluas ataupun sebaliknya.
e. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertambangan dan
Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989;
Nomor 429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan
Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan
Hutan.
Secara khusus Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri
Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor
969.K/05/M.PE/1989; Nomor 429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman
Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam
Kawasan Hutan, mengatur pertambangan di kawasan hutan. Keputusan
156
ini merupakan penyempurnaan dari Keputusan Bersama Menteri
Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor
0120.K/10/M.PE/1984, Nomor 029/Kpts-II/1984, substansi dari Keputusan
ini adalah :135
a. Kegiatan yang diatur adalah pertambangan, meliputi : penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian pertambangan umum;
b. Izin penggunaan kawasan hutan diberikan dalam bentuk perjanjian pinjam pakai yang ditandatangani oleh Menteri Kehutanan;
c. Kawasan hutan yang diperkenankan untuk dipinjam pakai adalah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Hutan Lindung, Hutan Produksi,
d. Sedangkan untuk Taman Nasional, Taman Wisata dan Hutan Fungsi Khusus hanya diperkenankan untuk kegiatan yang bersifat non Komersil.
Surat Keputusan Bersama ini berdasarkan muatan dalam huruf (c),
ketentuan ini telah melakukan perluasan kawasan hutan yang dapat
dilakukan penambangan dari ketentuan sebelumnya, yaitu ditambahkan
hutan dengan status cagar alam, suaka margasatwa dan taman buru,
sebagai kawasan yang dapat ditambang yang ketentuan sebelumnya
melarang.
Sebagai kelengkapan selanjutnya diterbitkan SKB Menteri
Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor
1101.K/702/M.PE/1991 dan 436/Kpts-II/1989 yang mengatur:
a. pembentukan Tim Koordinasi dan sinkronisasi untuk menyelesaikan masalah yang timbul terkait usaha pertambangan dan energi dalam kawasan hutan serta
135
M.Muhdar dkk. 2013. Laporan Penelitian Implementasi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.Prakarsa Borneo-The TAF Foundation Jakarta.
157
b. adanya pendelegasian kewenangan penandatanganan perjanjian kegiatan penyelidikan umum dan eksplorasi kepada Dirjen PHPA (untuk perizinan di Cagar Alam, Suaka Margasatwa dan Taman Buru) dan Dirjen Intag (untuk perizinan di Hutan lindung dan hutan produksi). Sedangkan untuk kegiatan eksploitasi menjadi kewenangan Menteri Kehutanan kecuali untuk jenis komoditi tambang Galian C oleh Kakanwil Departemen Kehutanan.
Berdasarkan substansinya, ketentuan tersebut pada dasarnya
bermaksud memfasilitasi pertambangan di kawasan hutan. Ketentuan ini
akan mendorong eksploitasi pertambangan di kawasan hutan.
f. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
Kelahiran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan batasan tegas
terhadap kegiatan yang tidak diperbolehkan dikawasan konservasi.
Ketentuan ini tidak mengatur secara khusus tentang kegiatan
pertambangan, namun implikasi pengaturan batasan kegiatan yang dapat
dilakukan dikawasan konservasi secara otomatis membatasi kegiatan
pertambangan tidak dapat dilakukan di kawasan hutan konservasi
mengingat sifat kegiatan pertambangan adalah mengubah bentang alam
dan berdampak besar terhadap perubahan lingkungan.
Ketentuan yang dimaksud sebagai pembatasan kegiatan
pertambangan di kawasan hutan konservasi adalah :
158
a. ketentuan Pasal 19 ayat (1) “Setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan kawasan suaka alam.” Pada ayat (3) perubahan
terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan
luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan
satwa lain yang tidak asli.
b. Pasal 40 ayat (1) barang siapa dengan sengaja melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
c. Pasal 26 pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (a). pemanfaatan
kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; (b). pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa liar.
Pasal 29 (1) UU 5 Tahun 1990 mengatur tentang Kawasan
pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri
dari: (a) taman nasional; (b) taman hutan raya; (c) taman wisata alam.
Pasal 30 kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
159
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
Pasal 31 ayat (1) di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan
taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata
alam. Ketentuan ayat (2) kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.
g. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 Tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Menurut konsideran ketentuan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
55/Kpts-II/1994 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, pada
prinsipnya penggunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan
peruntukannya dengan mengacu pada ketentuan UU Nomor 5 tahun 1967
dan UU Nomor 5 Tahun 1990. Penguasaan kawasan hutan di luar fungsi
dan peruntukannya sejauh mungkin harus dibatasi dan ditertibkan hanya
untuk keperluan-keperluan yang menyangkut kepentingan umum secara
terbatas atau kepentingan pembangunan lainnya di luar sektor kehutanan.
Ketentuan Pasal 1 angka (1) pinjam pakai kawasan hutan adalah
“penyerahan penggunaan atas sebagian kawasan hutan baik yang telah
ditunjuk maupun yang telah ditetapkan kepada pihak lain untuk
kepentingan pembangunan diluar sektor kehutanan tanpa mengubah
status, peruntukan dan fungsi kawasan hutan tersebut.”
160
Tujuan pinjam pakai kawasan hutan adalah :
a. Membatasi dan mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan
untuk kepentingan umum terbatas atau kepentingan
pembangunan lainnya di luar sektor kehutanan tanpa mengubah
status, fungsi dan peruntukannya;
b. Menghindarkan terjadinya enclave di dalam kawasan hutan;
Pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan Pasal 2 harus
berdasarkan persetujuan menteri. Sifat pinjam pakai kawasan hutan
merupakan penggunaan kawasan hutan yang bersifat sementara (Pasal
4).
Bentuk pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan Pasal 5 dapat
berbentuk pinjam pakai tanpa kompensasi atau pinjam pakai dengan
kompensasi. Pertama : pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi.
Pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angka (2) adalah “pinjam pakai atas sebagian kawasan hutan baik
yang telah ditunjuk maupun yang telah ditetapkan dengan membebani
peminjam untuk menyediakan dan menyerahkan tanah bukan kawasan
hutan kepada Departemen Kehutanan untuk dijadikan kawasan hutan.”
Pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi dapat diberikan
untuk kegiatan pembangunan yang bersifat komersial yang dilaksanakan
oleh instansi pemerintah, BUMN, BUMD, Koperasi, atau perusahaan
swasta.
161
Bagi wilayah provinsi yang kawasan hutannya kurang dari 30% dari
luas daratan Provinsi yang bersangkutan, maka yang berlaku adalah
pinjam pakai dengan kompensasi. Pinjam pakai kawasan hutan tanpa
kompensasi berdasarkan Pasal 6 ayat (1) hanya dapat diberikan untuk
kepentingan umum secara terbatas dan pertahanan keamanan nasional
yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah.
Kawasan hutan yang dapat dipinjam pakaikan menurut ketentuan
Pasal 9 ayat (1) Pada dasarnya hanya kawasan hutan produksi yang
dapat diserahkan penggunaannya kepada pihak lain dengan cara pinjam
pakai.
Kawasan hutan selain hutan produksi hanya dapat dipinjam pakaikan
kepada pihak lain bila akan dipergunakan untuk kepentingan umum
terbatas. Jangka waktu perjanjian pinjam pakai baik yang dengan
kompensasi maupun tanpa kompensasi berdasarkan Pasal 18 diberikan
maksimal untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak ditanda-
tangani perjanjian pinjam pakai dan dapat diperpanjang.
Pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan
energi diatur dalam ketentuan tersendiri (Pasal 8). Ketentuan khusus
tersebut tidak tersusun hingga 3 (tiga) tahun kemudian, dan justru
dilakukan perubahan terhadap Pasal ini melalui Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 614/Kpts-II/1997. Berdasarkan Pasal
1, maka Pasal 8 diubah menjadi persyaratan dan penyelesaian proses
pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan energi
162
mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994.
Tabel 7 : Perubahan terhadap Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 55/Kpts-II/1994
Ketentuan Perubahan Substansi Perubahan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 56/Kpts-II/1994
Pelimpahan wewenang penerbitan persetujuan/penolakan permohonan untuk keperluan tertentu kepada Direktur Utama Perum Perhutani atau Kepala Kantor Wilayah sesuai wilayah kerja masing-masing, kecuali untuk kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam tetap menjadi kewenangan Menteri Kehutanan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 41/Kpts-II/1994
Perubahan terhadap Pasal 16 tentang ratio kompensasi untuk kegiatan komersial dimana untuk BUMN/BUMD/Koperasi ratio 1:1 dan perusahaan swasta ratio 1:2
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 614/Kpts-II/1996
Perubahan Pasal 8 dan 18 tentang jangka waktu perjanjian pinjam pakai yaitu maksimal 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang serta untuk pertambangan umum maksimal 20 tahun dan dilakukan evaluasi setiap 5 (lima) tahun
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 720/Kpts-II/1998
Perubahan Pasal 18 jangka waktu perjanjian pinjam pakai kawasan hutan diseragamkan menjadi 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
Sumber : KMK Nomor 55/Kpts-II/1994 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 41/Kpts-II/1994 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 614/Kpts-II/1996 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 720/Kpts-II/1998
Perubahan juga dilakukan terhadap Pasal 18 yang semula mengatur
jangka waktu maksimal perjanjian pinjam pakai kawasan hutan selama 5
(lima) tahun, ditambahkan ketentuan khusus pada ayat (2) yaitu : Bagi
perjanjian pinjam pakai tanpa atau dengan kompensasi untuk bahan baku
pertambangan umum jangka panjang dapat diberikan maksimal 20 (dua
163
puluh) tahun. Namun ketentuan ini hanya bertahan 1 (satu) tahun karena
melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 720/Kpts-II/1998 di
kembalikan lagi jangka waktu izin pinjam pakai menjadi maksimal 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang.
Selain ketentuan tersebut terdapat beberapa Keputusan Menteri
Kehutanan yang mengubah KMK Nomor 55/Kpts-II/1994, yaitu Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 56/Kpts-II/1994; Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 41/Kpts-II/1994.
Kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dengan
kompensasi berdasarkan Pasal 14 ayat (2) adalah :
a. Membayar ganti rugi nilai tegakan atas hutan tanaman atau pungutan berupa IHH dan DR atas tegakan hutan alam;
b. Menanggung biaya pengukuran, pemetaan dan pemancangan tanda batas atas kawasan hutan yang dipinjam
c. Mereklamasi kawasan hutan yang telah dipergunakan tanpa menunggu berakhirnya kegiatan
d. Untuk pinjam pakai dengan kompensasi menyediakan dan menyerahkan tanah lain kepada Departemen Kehutanan yang “clear and clean” sebagai kompensasi atas kawasan hutan yang dipinjam
e. Menanggung biaya penataan batas atas tanah kompensasi f. Menanggung biaya reboisasi atas lahan kompensasi g. Membuat dan menandatangani perjanjian pinjam pakai h. Membantu menjaga keamanan di dalam dan di sekitar kawasan
hutan yang dipinjam i. Memberikan kemudahan kepada aparat kehutanan yang
melakukan pengawasan di lapangan
Ketentuan ini mengatur juga tentang besarnya ratio pinjam pakai
kawasan hutan dengan kompensasi berdasarkan Pasal 16 ditetapkan (a)
Untuk keperluan pembangunan yang menyangkut kepentingan umum
terbatas sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 dan untuk kegiatan yang
164
bersifat komersial oleh BUMN, BUMD, atau Koperasi minimal adalah 1:1;
(b) Untuk keperluan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh
perusahaan swasta minimal adalah 1:2. Pinjam pakai kawasan hutan
dapat berakhir berdasarkan Pasal 20 karena (1) Masa berlakunya telah
berakhir atau; (2) Dibatalkan oleh menteri kehutanan.
Pembatalan izin pinjam pakai dapat terjadi karena pemegang izin
pinjam pakai :
a. Tidak menggunakan kawasan hutan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian
b. Memindahkan-tangankan kawasan hutan yang dipinjam kepada pihak lain tanpa persetujuan menteri
c. Tidak memenuhi kewajibannya pada waktu yang telah ditentukan sebagaimana yang telah ditentukan dalam persetujuan pinjam pakai yang telah dibuat dan ditandatangani yang bersangkutan
d. Meninggalkan kawasan hutan yang dipinjam sebelum perjanjian pinjam pakai berakhir
Mekanisme perizinan pertambangan di kawasan hutan menurut KMK
Nomor 55/Kpts-II/1994 adalah : (1) permohonan disampaikan kepada
menteri kehutanan melalui kepala kantor wilayah departemen kehutanan
provinsi setempat sepanjang menyangkut areal diluar wilayah kerja perum
perhutani, dengan tembusan kepada kepala dinas kehutanan daerah
tingkat I atau kepala UPT yang bersangkutan; Direktur Utama Perum
Perhutani atau kepala unit perum perhutani sepanjang menyangkut
wilayah kerja Perum Perhutani, dengan tembusan kepada kepala kantor
wilayah departemen kehutanan provinsi setempat (2) menteri kehutanan
sebelum memberikan Keputusan terlebih dahulu dapat minta
saran/pertimbangan teknis kepada eselon I terkait lingkup departemen
165
kehutanan sehubungan dengan adanya permohonan dimaksud. Eselon I
terkait menyampaikan saran/pertimbangan kepada menteri kehutanan
melalui direktur jenderal inventarisasi dan tata guna hutan dalam
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya
permohonan tersebut.
Tahap berikutnya (4) direktur jenderal inventarisasi dan tata guna
hutan setelah mengkoordinasikan saran/pertimbangan tersebut, kemudian
menyampaikannya kepada menteri kehutanan dalam tenggang waktu 25
(dua puluh lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya saran/pertimbangan
teknis tersebut, untuk memperoleh Keputusan lebih lanjut. (5) Jika masih
diperlukan data lapangan maka dapat dibentuk tim departemen kehutanan
yang unsurnya terdiri dari eselon I terkait dan instansi kehutanan di
daerah untuk melakukan peninjauan dan pengkajian lapangan,
pembentukan tim peninjauan/pengkajian lapangan tersebut dilakukan
dengan Keputusan sekretaris jenderal atas nama menteri kehutanan. (5)
Hasil peninjauan dan pengkajian lapangan tersebut dilaporkan oleh ketua
tim kepada menteri kehutanan melalui direktur jenderal inventarisasi dan
tata guna hutan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
dilaksanakannya peninjauan dan pengkajian lapangan. (6) Direktur
jenderal inventarisasi dan tata guna hutan dalam tenggang waktu 15 (lima
belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan hasil peninjauan dan
pengkajian lapangan tersebut, meneruskannya kepada menteri kehutanan
untuk memperoleh Keputusan.
166
Menteri kehutanan dalam tenggang waktu 15 (lima belas) hari kerja
terhitung sejak diterimanya saran/pertimbangan yang dikoordinasikan oleh
Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, memberikan
Keputusan atas permohonan tersebut, permohonan disampaikan dengan
dilampiri : (a) Peta lokasi dan luas kawasan hutan yang dimohon; (b)
Rencana penggunaan dan rencana kerja; (c) Rekomendasi Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Setempat; (d) Pernyataan kesanggupan untuk
menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan tersebut,
berdasarkan ketentuan tersebut.
Berdasarkan ketentuan yang diuraikan diatas, kewenangan
pemerintah dalam pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan menjadi
kewenangan menteri kehutanan, namun dalam tahapan perolehannya
terdapat peran beberapa instansi sesuai kewenangannya. Dalam
pembagian kewenangan tersebut, gubernur mempunyai kewenangan
strategis dalam memberikan atau tidak memberikan rekomendasi
diterbitkannya IPPKH. Tanpa adanya rekomendasi dari Gubernur maka
tidak dapat dikeluarkan IPPKH. Pemerintah kabupaten/kota berdasarkan
ketentuan ini tidak diberikan kewenangan dalam mekanisme perizinan
persetujuan penggunaan kawasan hutan.
Ketentuan tersebut tentu sangat berbeda sebelum tahun 1994, yang
mengatur bahwa cukup dengan kewenangan menteri kehutanan untuk
memberikan izin atau persetujuan untuk beroperasinya pertambangan di
kawasan hutan.
167
Tabel 8 : Pembagian kewenangan dalam Mekanisme Pemberian IPPKH
Instansi Bentuk Kewenangan
Pemberian IPPKH Pengawasan
Menteri Kehutanan
Keputusan pemberian IPPKH
Pencabutan IPPKH
Dirjen inventarisasai dan Tata Guna Hutan
Bersama Eselon I terkait menyampaikan saran/pertimbangan kepada Menteri Kehutanan
Pengawasan pelaksanaan IPPKH (Pasal 20 ayat (3)).
Gubernur Memberikan Rekomendasi
Dinas Kehutanan Provinsi
a. Menyampaikan kepada
Menteri Kehutanan
perihal permohonan
IPPKH
b. Jika diperlukan
bersama tim dari
kementerian kehutanan
melakukan peninjauan
dan pengkajian
lapangan jika
diperlukan
Pengawasan pelaksanaan IPPKH (Pasal 20 ayat (3)).
Dinas Kehutanan Kabupaten
Pengawasan pelaksanaan IPPKH (Pasal 20 ayat (3)).
Sumber : KMK Nomor 55/Kpts-II/1994 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 41/Kpts-II/1994 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 614/Kpts-II/1996 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 720/Kpts-II/1998
Fungsi hutan bagi kehidupan masyarakat juga dinyatakan dalam
dasar menimbang huruf (b) bahwa hutan, sebagai salah satu penentu
sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung
menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan
secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan
akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-
gugat.
168
Pengaturan pengawasan pertambangan di kawasan hutan KMK
Nomor 55/Kpts-II/1994 : Pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dikawasan hutan yang dipinjam pakaikan dilakukan oleh
instansi kehutanan yang ditugaskan untuk mengelola kawasan hutan
tersebut. (Pasal 20 ayat (3)).
Berdasarkan telaah peraturan pada masa orde baru berkaitan
pertambangan di kawasan hutan, secara legal tidak ada larangan bagi
penambangan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Ketentuan
ini menunjukkan paradigma dalam pengelolaan sumber daya alam,
kekayaan tambang di pandang sebagai komoditas ekonomis, sehingga
orientasi pengaturannya nampak jelas semangat eksploitasi kawasan
hutan untuk pertambangan.
2.4 Pengaturan Pertambangan Batubara Di Kawasan Hutan Pada
Periode Reformasi Tahun 1999- sekarang (hingga Mei 2017)
Pengaturan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan pada
periode reformasi diawali dengan perubahan regulasi Undang-undang
kehutanan, yang semula pada masa orde baru diatur dalam UU Nomor 5
tahun 1967 tentang Kehutanan, pada awal reformasi diganti dengan UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengaturan dalam ketentuan
UU ini didasarkan pada pertimbangan :136 huruf (a) bahwa hutan, sebagai
karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada
136
Dasar menimbang UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
169
bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara,
memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib
disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga
kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi
sekarang maupun generasi mendatang.
Prinsip pengelolaan hutan dinyatakan dalam dasar menimbang huruf
(c) bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan
mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta
masyarakat adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang
berdasarkan pada norma hukum nasional.
Sebagai UU yang lahir pada awal reformasi, tentu terdapat harapan
besar dari seluruh rakyat bahwa peraturan perundang-undangan tentang
kehutanan ini akan membawa perubahan besar dalam pengelolaan
kehutanan yang lebih berkeadilan dan lestari. Hal ini menjadi tantangan
besar karena selama periode orde baru telah dikeluarkan perizinan
pertambangan di kawasan hutan produksi maupun hutan lindung.
Persoalan ini tentu tidak dengan mudah dapat diselesaikan.
Selama periode reformasi juga diwarnai pro kontra terhadap
kelangsungan pertambangan di kawasan hutan, selain izinnya telah
dikeluarkan terlebih dahulu oleh pemerintah sebelumnya, kawasan hutan
yang diperuntukkan pertambangan sangat luas.
170
Tabel 9 : Peraturan perundang-undangan tentang
Petambangan di Kawasan Hutan Periode 1999 – 2016
No Regulasi Substansi Pengaturan
1 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
a. Mengatur khusus pertambangan di kawasan hutan
b. Membolehkan pertambangan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung
c. Pertambangan di kawasan hutan lindung harus dilakukan secara tertutup
2 Perpu 1 Tahun 2004 Perubahan terhadap Pasal 38 UU 41 Tahun 1999
Mengecualikan larangan pertambangan secara terbuka dikawasan hutan lindung dengan Membolehkan 13 perusahaan pertambangan menambang di kawasan hutan lindung secara terbuka
3 UU 19 tahun 2004 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 menjadi Undang-undang
Menegaskan ketentuan Perpu Nomor 1 tahun 2004 yang membolehkan 13 perusahaan pertambangan untuk melakukan penambangan secara terbuka di kawasan hutan lindung
4 PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan
PP ini bersifat umum pengenaan pajak penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan, namun keterangan dalam lampiran mengisyaratkan bahwa sasaran utama PNBP penggunaan kawasan hutan adalah sektor pertambangan yang ada dalam kawasan hutan
5 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
a. Tidak mengatur khusus pertambangan di Kawasan Hutan
b. Hutan bukan sebagai kawasan yang dilarang untuk ditambang
c. Pertambangan di kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan tidak berbeda hak dan kewajibannya
6 PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan jo. PP No. 61 tahun 2012 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Skema pertambangan di kawasan hutan dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
7 Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004
Perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung
Sumber : UU 41 Tahun 1999; Perpu 1 Tahun 2004; UU 19 tahun 2004 PP Nomor 2 Tahun 2008; UU No. 4 Tahun 2009; PP Nomor 2 Tahun 2008; PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan jo. PP No. 61 tahun 2012 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan; Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004
171
Pengaturan pertambangan di kawasan hutan dalam periode
reformasi adalah :
a. Pertambangan di Kawasan Hutan menurut Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Regulasi di sektor sumber daya alam diawal otonomi daerah ditandai
dengan dikeluarkannya UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Hal ini menunjukkan bahwa sektor kehutanan merupakan sektor yang
sangat penting. Secara substansi ketentuan ini tidak menjadi hambatan
bagi beroperasinya pertambangan di kawasan hutan. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 38 UU kehutanan ini, bahwa pertambangan di perbolehkan
dikawasan hutan produksi dan hutan lindung. Hanya diwajibkan harus
mendapatkan izin menteri untuk penggunaan kawasan hutan. Secara
lengkap klausul dalam Pasal 38 adalah :
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (4) khusus kawasan hutan
lindung tidak diperbolehkan melakukan penambangan secara terbuka tapi
172
harus dengan sistem underground/bawah tanah/terowongan. Ketentuan
ini yang kemudian memunculkan berbagai protes pengusaha
pertambangan yang sebelum UU 41 Tahun 1999 di sahkan telah memiliki
izin pertambangan di masa pemerintahan orde baru.
Menyikapi protes pengusaha pertambangan terhadap terbitnya
ketentuan UU 41 tahun 1999 yang di anggap akan menjadi kendala bagi
perusahaan pertambangan yang telah memperoleh izin pada masa
pemerintah orde baru, mendorong pemerintah hasil reformasi pada
tanggal 11 Maret 2004 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu) No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1
tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan
Di dalam Konsiderans menimbang Perpu Nomor 1 Tahun 2004
dinyatakan maksud dan tujuan dikeluarkannya Perpu adalah :
(1) Untuk mengatur dan memastikan bagaimana status/kedudukan
hukum perizinan atau perjanjian pertambangan yang telah
dikeluarkan sebelum diberlakukannya UU Nomor 41 Tahun
1999;
(2) Menghindari adanya kemungkinan gugatan hukum dari
pemegang izin atau pihak yang melakukan perjanjian
pertambangan
173
(3) Melalui Perpu, pemerintah mengharapkan akan tetap
mendapatkan kepercayaan dari para investor.
Isi perpu ini adalah : Pasal 1 menambah ketentuan baru dalam bab
penutup yang dijadikan Pasal 83A dan Pasal 83B yang berbunyi: “Pasal
83A : semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di
kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dinyatakan tetap berlaku
sampai berakhirnya izin atau perjanjian yang dimaksud.”
Menurut pandangan beberapa ahli, Perpu No. 1 tahun 2004 tidak
memenuhi syarat prosedural Pasal 22 UUD 1945,137 dalam ketentuan
Pasal ini ditentukan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang dapat dikeluarkan apabila terpenuhi persyaratan adanya
kegentingan yang memaksa, yang dimaksud dengan kegentingan yang
memaksa adalah suatu keadaan dimana negara dalam keadaan darurat
untuk segera dilakukan penyelamatan. Berdasarkan ketentuan
konstitusional ini maka beberapa ketidaksesuaian adalah:
(1) Berdasarkan UU Prp Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan
Bahaya, Pasal 1 ayat (3) ditentukan bahwa salah satu kualifikasi
keadaan darurat/bahaya adalah “hidup negara dalam keadaan
bahaya dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau
dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup
negara.” Ketentuan tersebut menyiratkan adanya syarat formil
137
Fathi Hanif, dkk. Bunga Rampai Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kalimantan Timur, Bigraf Publishing-Yayasan Ulin, Samarinda Kaltim. Halaman : 90
174
keadaan darurat adalah adanya pernyataan resmi atau Keputusan
resmi dari presiden tentang keadaan darurat tersebut. Selain itu
adanya syarat materiil adanya keadaan yang nyata bahwa negara
dalam keadaan bahaya, misalnya terjadinya peperangan maupun
bencana. Perpu No. 1 Tahun 2004 diterbitkan tanpa didahului oleh
adanya pernyataan presiden tentang keadaan bahaya, maka
prosedur diterbitkannya perpu ini tidak sesuai dan tidak memenuhi
syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.
(2) Unsur negara dalam keadaan genting dan memaksa tidak terlihat
dalam Perpu No. 1 Tahun 2004. Salah satu tujuan dikeluarkannya
Perpu adalah untuk memberikan kedudukan dan kepastian terhadap
izin-izin dan perjanjian pertambangan di kawasan hutan lindung,
sebagai akibat adanya larangan oleh UU No. 41 Tahun 1999,
didalam konsideran menimbang, Perpu No. 1 Tahun 2004 tidak
mencantumkan negara dalam keadaan genting dan memaksa,
sehingga diperlukan menerbitkan Perpu.
(3) Unsur penyelamatan negara, tujuan diterbitkannya Perpu tidak
mendasarkan pada upaya penyelamatan negara, bahkan justru
mengancam keselamatan hutan lindung. Perpu ini justru terlihat
menyelamatkan investor pertambangan yang telah memegang izin
dan perjanjian pertambangan sebelum dikeluarkannya UU No. 41
Tahun 1999.
175
c. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Penetapan
Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada
di Kawasan Hutan
Berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2004, selanjutnya pemerintah
menetapkan perizinan dan perjanjian di bidang pertambangan yang
berada di kawasan hutan. Keppres No. 41 tahun 2004 diatur tentang
“Pertama: Menetapkan 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang
pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan Presiden ini, untuk melanjutkan kegiatannya di
kawasan hutan sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.”
“Kedua: Pelaksanaan usaha bagi 13 (tiga belas) perizinan atau
perjanjian di bidang pertambangan dikawasan hutan lindung didasarkan
pada izin pinjam pakai yang ketentuannya ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan.”
Ke-13 perusahaan pertambangan yang dimaksud dalam ketentuan
ini mendapatkan pengecualian atas larangan menambang secara terbuka
sesuai ketentuan Pasal 38 UU Nomor 41 Tahun 1999. Pertambangan
yang dimaksud meliputi komoditi pertambangan emas, tembaga, nikel,
granit dan batubara. Status perizinan atau perjanjian terdiri dari : produksi
dan eksplorasi sebanyak 2 perusahaan; eksplorasi sebanyak 4
perusahaan, produksi sebanyak 5 perusahaan, studi kelayakan 1
perusahaan, kosntruksi 1 perusahaan.
176
Tabel 10 :
Tiga Belas Perusahaan yang Mendapatkan Izin Melakukan Penambangan Secara Terbuka di Kawasan Hutan Lindung
No Nama
Perusahaan Jenis Lokasi Luas
(Ha) Status
1 PT Freeport Indonesia
Tembaga, emas,
Papua (1967) 10.000 Produksi
dan mineral pengikutnya (dmp)
Mimika, Paniai, Jaya Wijaya, Puncak Jaya (1991)
202.950 Eksplorasi
2 PT. Indominco Mandiri
Batubara Kalimantan Timur 25.121 Produksi
3 PT. Inco Tbk Nikel Sulsel, Sulteng dan Sultra
218.528 Produksi
4 PT. Aneka Tambang
Nikel Sultra 14.570 Produksi
5 PT. Karimun Granit
Granit Kepulauan Riau 2.761 Produksi
6 PT. Aneka Tambang
Nikel Maluku Utara 39.040 Produksi
7 PT. Gag Nikel
Nikel Papua 13.136 Eksplorasi
8 PT. Pelsart Tambang Kencana
Emas dmp Kalsel 201.000 Eksplorasi
9 PT. Weda Bay Nickel
Nikel Maluku Utara 76.280 Eksplorasi
10 PT. Sorikmas Mining
Emas dmp Sumatera Utara 66.200 Eksplorasi
11 PT. Interex Sacra Raya
Batubara Kaltim dan Kalsel 15.650 Studi Kelayakan
12 PT. Natarang Mining
Emas dmp Maluku Utara 12.790 Konstruksi
13 PT. Nusa Halmahera Minerals
Emas dmp Maluku Utara 29.622 Produksi Konstruksi Eksplorasi
Jumlah
927.648
Sumber : Keppres 41 Tahun 2004 Tentang Penetapan Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan
177
d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Mengukuhkan ketentuan
Perpu Nomor 1 Tahun 2004
Protes dan kritik terhadap keberadaan Perpu No 1 tahun 2004,
bertolak belakang dengan pandangan lembaga legislatif. DPR RI
mengukuhkan keberadaannya pada tanggal 13 Agustus 2004 melalui UU
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4412).
UU Nomor 19 tahun 2004 merupakan salah satu produk undang-
undang yang kehadirannya diwarnai berbagai kontroversi baik sebelum
maupun setelah diundangkan. Penolakan terjadi karena Undang-undang
ini melegalkan penambangan secara terbuka di kawasan hutan lindung.
Orientasi dari UU Nomor 19 Tahun 2004 adalah memfasilitasi kepentingan
pelaku usaha pertambangan untuk dapat melakukan pertambangan
secara terbuka di kawasan hutan lindung, yang telah mendapatkan kuasa
pertambangan sebelum UU 41 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini dapat
ditelusuri baik dalam klausul menimbang maupun penjelasan UU ini.
Dasar menimbang pembentuk undang-undang adalah pada huruf (a)
bahwa di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan tidak mengatur tentang perizinan atau perjanjian
pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang
178
tersebut; menurut dasar menimbang huruf (b) bahwa hal tersebut
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha dibidang
pertambangan yang di kawasan hutan terutama bagi investor yang telah
memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunya undang-undang tersebut,
sehingga dapat menempatkan pemerintah dalam posisi yang sulit dalam
mengembangkan iklim investasi; huruf (c) bahwa dalam rangka
terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan
yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta kepercayaan
investor untuk berusaha di Indonesia.
Pertimbangan tersebut juga nampak dalam penjelasan UU 19 Tahun
2004 yang menyatakan bahwa berlakunya Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah menimbulkan ketidakpastian hukum
dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi
pemegang izin atau perjanjian sebelum berlakunya undang-undang
tersebut.
e. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 Tentang
Pengujian UU 19 Tahun 2004
Putusan MK ini menolak permohonan pemohon dalam pengujian UU
Nomor 19 tahun 2004. Dalil Pemohon atas pengujian ini adalah UU
Nomor 19 tahun 2004 keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari Perpu
No. 1 tahun 2004. Perpu ini baik substansinya maupun prosedur
179
penerbitannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu138:
(1) Perpu No. 1 Tahun 2004 bertentangan dengan TAP MPR No.
III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan, TAP MPR ini, menentukan bahwa Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) berkedudukan
dibawah Undang-undang. Sesuai dengan asas perundang-
undangan yaitu lex superior derogat legi inferiori, maka Perpu
yang berkedudukan di bawah undang-undang tidak dapat
mengubah atau mencabut materi muatan dalam undang-undang.
Namun justru Perpu No. 1 Tahun 2004 secara formil dan
subtansiil diterbitkan dengan maksud untuk mengubah UU No. 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dengan demikian Perpu ini
bertentangan dengan TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Perpu No. 1 Tahun 2004 cacat dalam perumusan norma. Pasal 1
Perpu No. 1 Tahun 2004 dikatakan bahwa bagi pemegang izin
dan perjanjian pertambangan diperkenankan untuk melakukan
pertambangan di kawasan hutan lindung sesuai dengan izin dan
perjanjiannya. Ketentuan ini artinya adalah bahwa ada dispensasi
(pengecualian dari suatu larangan atau kewajiban hukum) yakni,
Pasal 38 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999 sebagai norma larangan
138
Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan Menjadi Pertambangan, 2004. Mengapa Perpu No. 1/2004 Harus dibatalkan, Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan Menjadi Pertambangan, Jakarta. Halaman: 11-14
180
dikecualikan (tidak diberlakukan) oleh Pasal 1 Perpu No. 1 Tahun
2004 bagi pemegang izin yang diperoleh sebelum No. 41 Tahun
1999 berlaku. Menurut teori perundang-undangan, suatu norma
dispensasi seharusnya dicantumkan langsung dalam peraturan
tersebut, tidak boleh dalam peraturan lainnya. Karena dispensasi
merupakan norma antar waktu, maka penempatan norma
dispensasi tadi seharusnya di dalam Bab Aturan Peralihan UU No.
41 Tahun 1999, bukan di dalam Bab Penutup sebagaimana Perpu
No. 1 Tahun 2004.
(3) Relevansi alasan Kepastian Hukum Bagi Pemegang Izin Salah
satu tujuan diterbitkannya Perpu No. 1 Tahun 2004 adalah untuk
memberikan kepastian hukum kepada pemegang izin
pertambangan yang sudah memperoleh izin sebelum berlakunya
UU 41 Tahun 1999. Kaitan dengan izin-izin yang sudah
dikeluarkan sesungguhnya tidak bisa dijadikan alasan untuk
lahirnya Perpu ini karena UU 41 Tahun 1999 tidak melanggar
asas non retroaktif. Sehingga ketentuan dalam UU 41 Tahun 1999
berlaku kepada pemegang izin-izin baru setelah UU 41 Tahun
1999. Oleh karena itu alasan adanya ketidak pastian hukum bagi
pemegang izin tidak nampak.
(4) Perpu No. 1 Tahun 2004 mengabaikan kepentingan lingkungan
hidup. Amar konsideran Perpu No. 1 Tahun 2004 secara tegas
menyatakan “diterbitkannya Perpu dalam rangka mendapatkan
181
kepercayaan investor” adalah merupakan alasan yang bersifat
economic oriented yang berlebihan. Hal ini menunjukkan
keberpihakan pemerintah lebih cenderung kepada pemodal
dengan menegasikan aspek-aspek lingkungan dan konservasi
sumber daya alam.
Adapun pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya dalam pengujian formil adalah dalil pemohon tentang proses
UU Nomor 19 tahun 2004 tidak memenuhi unsur “hal ihwal kegentingan
yang memaksa” tidak dapat diterima karena alasan dikeluarkannya
sebuah Perpu oleh Presiden, termasuk Perpu No. 1 Tahun 2004, yaitu
karena “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden,
sedangkan obyektivitasnya dinilai oleh DPR dalam persidangan yang
berikutnya yang dapat menerima atau menolak penetapan Perpu menjadi
undang-undang;139
Pengujian secara materiil terhadap permohonan pengujian UU
Nomor 19 tahun 2004, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
pertama: Pasal 83A merupakan norma umum abstrak yang termasuk
norma ketentuan peralihan, hal ini didasarkan pada pertimbangan
mahkamah yang mengacu pada pengertian Ketentuan Peralihan dan
Ketentuan Penutup menurut UU No. 10 Tahun 2004 beserta Lampirannya,
maka Pasal 83A Perpu No. 1 Tahun 2004 termasuk kategori Ketentuan
139
Putusan MK Nomor 003/PUU-III/2005, Pendapat Mahkamah dalam Bagian Pengujian Formil, halaman : 14
182
Peralihan, sedangkan Pasal 83B-nya termasuk kategori Ketentuan
Penutup, jadi seharusnya Pasal 83A dan Pasal 83B tidak semuanya
merupakan ketentuan penutup seperti ketentuan dalam Perpu No. 1
Tahun 2004. Bahwa materi muatan Pasal 83A merupakan norma umum
abstrak yang termasuk norma ketentuan peralihan, bukan norma
individual konkrit berupa penetapan sebagaimana didalilkan oleh para
pemohon. Demikian pula Pasal 83B, materi muatannya merupakan norma
umum abstrak yang termasuk dalam ketentuan penutup yang sifatnya
menjalankan (eksekutif), yaitu penunjukan pejabat tertentu, dalam hal ini
Presiden, yang diberi kewenangan untuk memberikan izin dengan
Keputusan Presiden.
Kedua : materi muatannya memuat penyimpangan sementara,
ketentuan Pasal 83A Perpu No. 1 Tahun 2004 memang merupakan
penyimpangan sementara ketentuan Pasal 38 ayat (4). Ketentuan yang
dimaksud berbunyi “pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka”. Sifat sementaranya
adalah pada kata-kata “sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud”.
Sehingga, pada dasarnya penambangan dengan pola pertambangan
terbuka di kawasan hutan lindung tetap dilarang di Indonesia, kalau pun
ada penyimpangan sifatnya adalah transisional (sementara). Dalam hal
ini, meskipun mahkamah sependapat dengan seluruh dalil para pemohon
tentang berbagai bahaya dan dampak negatif penambangan dengan pola
pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung, tetapi mahkamah juga
183
dapat memahami alasan pembentuk undang-undang tentang perlunya
ketentuan yang bersifat transisional yang diberlakukan bagi suatu
pelanjutan keadaan hukum atau hak-hak yang telah diperoleh (vested
rights/acquired rights), yaitu izin atau perjanjian yang telah diperoleh
perusahan pertambangan sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan;
Ketiga : bahwa seharusnya pemerintah konsisten dan memiliki
ukuran-ukuran yang obyektif dalam menentukan apakah suatu kawasan
hutan merupakan kawasan hutan lindung atau bukan, agar memberikan
kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan, dan ada
koordinasi yang baik antara departemen yang membawahkan sektor
kehutanan dengan departemen yang membawahkan sektor
pertambangan, agar jangan terjadi tumpang tindih dan kekacauan
kebijakan;
Keempat : bahwa dalam merumuskan ketentuan peralihan,
seharusnya pembentuk undang-undang juga dapat menentukan syarat-
syarat penyesuaian bagi semua perusahaan pertambangan yang telah
mendapat izin penambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UU No. 41 Tahun 1999
tersebut. Sebab, pada dasarnya “pada saat suatu peraturan perundang-
undangan dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada
atau tindakan hukum yang terjadi, baik sebelum, pada saat, maupun
sesudah peraturan perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai
184
berlaku, tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan baru”
(Lampiran UU Nomor 10 Tahun 2004, butir C.4.102), dengan kata lain,
seharusnya semua ketentuan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, termasuk tentang adanya larangan penambangan di hutan
lindung, berlaku untuk semua pelaku pertambangan, setidak-tidaknya bagi
yang sudah memperoleh izin sebelum berlakunya UU Nomor 41 Tahun
1999 harus menyesuaikan.
Kelima : bahwa mahkamah sependapat dengan ahli Prof. Dr. Emil
Salim yang dalam keterangan tertulisnya bertanggal 20 Juni 2005 yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Juni 2005
menyatakan bahwa 6 (enam) perusahaan yang masih dalam tahap studi
kelayakan dan tahap eksplorasi, ketika nantinya memasuki tahap
eksploitasi harus tunduk pada ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, sepanjang antara izin eksplorasi dan
eksploitasi tidak merupakan satu kesatuan.
Keenam : bahwa dengan demikian, UU No. 19 Tahun 2004 juncto
Perpu No. 1 Tahun 2004 secara substansial tidaklah inkonstitusional
sepanjang dalam pelaksanaannya izin-izin atau perjanjian-perjanjian yang
telah ada sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menyesuaikan dengan undang-undang a quo, setidak-tidaknya bagi
perusahaan-perusahan yang masih dalam tahap studi kelayakan dan
eksplorasi.
185
Ketujuh : bahwa pemerintah harus melakukan pemantauan, evaluasi,
dan pengawasan dengan melihat dari sisi biaya dan manfaat (cost and
benefit) yang diberikan kepada masyarakat, bangsa dan negara, dan
melakukan perubahan syarat-syarat kontrak karya untuk mengantisipasi
dampak negatif kegiatan penambangan terhadap lingkungan hidup yang
disertai dengan kewajiban untuk merehabilitasi atau memperkecil dampak
negatif demi kepentingan generasi sekarang maupun generasi
mendatang. Pemantauan, evaluasi, dan pengawasan harus bermuara
pada keberanian melakukan penindakan berupa pencabutan izin
penambangan jikalau terjadi pelanggaran syarat-syarat izin penambangan
yang ditentukan.
Menurut penulis secara formil Keputusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 003/PUU-III/2005, menyelesaikan pertentangan hukum yang
terjadi berkaitan dengan pertambangan secara terbuka di kawasan hutan
lindung. Namun secara materiil, masih terdapat pertentangan di dalam
putusan, pertentangan tersebut yaitu : Dalam pendapat Mahkamah
Konstitusi dinyatakan bahwa “...Mahkamah sependapat dengan seluruh
dalil para Pemohon tentang berbagai bahaya dan dampak negatif
penambangan dengan pola pertambangan terbuka di kawasan hutan
lindung,....”140 .
140
Pendapat Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005, angka (2) halaman : 17.
186
Gambar 4 : Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pertambangan Terbuka
di Kawasan Hutan Lindung
Sumber : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005
Putusan
MK 003/PUU-III/2005 Pengujian
UU 19/2004 (Perpu 1/2004)
Penambangan Terbuka di Kawasan
Hutan Lindung Dilarang
Pengecualian Penambangan Terbuka
di kawasan hutan lindung
(Paal 83A dan 83B Perpu 1 tahun 2004)
hanya untuk 13 Perusahaan
Bersifat Sementara
Sependapat bahwa Dampak kerusakan
lingkungan, kerugian ekonomi, siosial
budaya dan bahaya yang timbul akibat pertambangan di kawasan hutan
lindung
Pemerintah harus melakukan :
- Pemantauan, evaluasi dan
pengawasan
- dengan melihat sisi biaya dan
manfaat bagi masyarakat bangsa
dan negara
- pengawasan kewajiban reklamasi
- memperkecil dampak
-merubah kontrak karya untuk mengantisipasi dampak negatif
Berlaku sampai
izin habis
Transisional
suatu pelanjutan keadaan hukum atau hak-hak yang telah diperoleh (vested rights/acquired
rights)
(bagi 13 Perusahaan)
6 perusahaan yang tahap studi kelayakan dan eksplorasi harus menyesuaikana dg
UU 41/1999 sepanjang izin eksplorasi dan
eksploitasi tidak merupakan satu
kesatuan
187
Dalil pemohon secara garis besar dinyatakan “...bahwa keberadaan
tambang di hutan lindung sebagai akibat berlakunya UU No. 19 Tahun
2004 juncto Perpu No. 1 Tahun 2004 akan menimbulkan dampak kerugian
ekonomi, lingkungan (emisi karbon), sosial budaya (berupa kekerasan dan
pelanggaran terhadap hak-hak perempuan).”141
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU 19
tahun 2004 tidak bertentangan secara konstitusional karena sifatnya yang
hanya sementara, bertentangan dengan pendapat mahkamah yang
menyetujui semua dalil pemohon bahwa pertambangan terbuka di
kawasan hutan lindung membawa dampak kerugian lingkungan dan
ekonomi masyarakat. Putusan mahkamah selain bertentangan dengan
pendapatnya sendiri juga seolah mengingkari fakta bahwa pertambangan
secara terbuka akan menghilangkan sumber daya alam hutan lindung
selamanya. Meskipun diatur adanya kewajiban reklamasi, namun
kemampuan perusahaan pertambangan tidak akan dapat mengembalikan
sebagaimana kondisi semula. Sehingga dalil sifat sementara dalam
putusan mahkamah konstitusi tidak dapat menjawab sifat dampak
kerusakan pertambangan yang tidak sementara, namun justru meluas dan
berkelanjutan.
141
Ibid. Halaman : 16
188
f. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan
Tarif Atas Jenis PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan
Kehutanan yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008
tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen
Kehutanan, merupakan ketentuan pertama yang secara detil mengatur
kewajiban keuangan bagi pemegang izin penggunaan kawasan hutan.
Fakta ini menjadi sangat ironis ketika melihat bahwa penggunaan
kawasan hutan untuk kegiatan diluar kegiatan kehutanan sudah dilakukan
secara intensif sejak pemerintahan orde baru atau jika dihitung sejak
Inpres tahun 1978 tentang pertambangan di kawasan hutan maka
dibutuhkan waktu 30 (tiga puluh tahun) tahun untuk lahirnya regulasi
tentang kewajiban keuangan penggunaan kawasan hutan secara khusus.
Sehingga selama tiga puluh tahun perusahaan pertambangan dapat
melakukan aktivitas penambangan di kawasan hutan tanpa dibebani
kewajiban keuangan secara khusus yang berkaitan dengan status
kawasan hutan.
Pasal 1 ayat (1) Jenis PNBP dalam Peraturan Pemerintah ini adalah
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang
189
luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah
aliran sungai dan/atau pulau.
Penghitungan Tarif PNBP bagi penggunaan kawasan hutan untuk
kegiatan diluar kehutanan berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dihitung
berdasarkan formula sebagai berikut : PNBP = (L1 x tarif ) + (L2 x 4 x tarif)
+ (L3 x 2 x tarif) Rp/tahun L1 adalah area terganggu karena penggunaan
kawasan hutan untuk sarana prasarana penunjang yang bersifat
permanen dan bukaan tambang selama jangka waktu penggunaan
kawasan hutan. L2 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan
hutan yang bersifat temporer yang secara teknis dapat dilakukan
reklamasi. L3 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan
yang bersifat permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan
reklamasi.
Pasal 2 seluruh PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib
disetor langsung secepatnya ke kas negara. Pasal 3 jenis PNBP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai tarif dalam bentuk
satuan rupiah.
Pasal 6 pengguna kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan
di luar kegiatan kehutanan yang telah menyelesaikan kewajiban
kompensasi lahan sebelum berlakunya PP ini, tidak dikenakan tarif PNBP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
Berdasarkan ketentuan PNBP ini, meskipun diatur jumlah pajak
berdasarkan luasan lahan yang diberikan izin pinjam pakai kawasan
190
hutan, namun dalam ketentuan perpajakan ini tidaklah memperhitungkan
nilai hilangnya fungsi ekologis hutan terutama di kawasan L3 (lahan yang
tidak dapat dilakukan reklamasi), dengan perhitungan yang dilakukan
tidak akan dapat menggantikan fungsi ekologis yang hilang. Bahkan dapat
dikatakan ketentuan PNBP ini memungkinkan perusahaan tambang untuk
tidak memulihkan kawasannya, yang terpenting sudah membayar
sejumlah uang sesuai dengan penghitungan PNBP.
g. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara
Pasal 3 UU 4 Tahun 2009 mengatur bahwa dalam rangka
mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan
pengelolaan mineral dan batubara adalah:
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan
f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
191
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 mengatur pula tentang
penggunaan hak atas tanah untuk kegiatan pertambangan. Pasal 134
mengatur bahwa :
a. Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.
b. Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
c. Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan perizinan dari instansi pemerintah sesuai peraturan
perundang-undangan tersebut, menjadi ketentuan wajib bagi
pertambangan di kawasan hutan. Secara substansi tidak ada pengaturan
yang khusus tentang pertambangan di kawasan hutan. Sehingga setelah
dipenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang kehutanan tersebut, maka pengelolaan pertambangan di kawasan
hutan menurut UU 4 Tahun 2009 tunduk pada ketentuan yang sama
dengan pertambangan diluar kawasan hutan dalam segi hak dan
kewajiban pelaku usaha pertambangan.
h. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan
Penggunaan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2010, definisi penggunaan kawasan hutan adalah
192
penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan
peruntukan kawasan hutan tersebut.
Pembatasan dalam penggunaan kawasan hutan diatur dalam Pasal
4 (1) penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang
mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Berdasarkan ayat
(2) kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. religi; b. pertambangan; c. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta
teknologi energi baru dan terbarukan; d. pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar
radio, dan stasiun relay televisi; e. jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; f. sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana
transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;
g. sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
h. fasilitas umum; i. industri selain industri primer hasil hutan (PP 61 tahun 2012); j. pertahanan dan keamanan; k. prasarana penunjang keselamatan umum; atau l. penampungan sementara korban bencana alam. m. Pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan
ketahanan energi (PP 61 tahun 2012).
Ketentuan Pasal 4 ayat (2) mengkategorikan pertambangan sebagai
kegiatan yang mempunyai tujuan strategis dan tidak dapat dielakkan,
sehingga termasuk kategori kegiatan diluar sektor kehutanan yang dapat
menggunakan kawasan hutan.
193
Berdasarkan Pasal 5 (a) penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan dengan ketentuan dalam kawasan hutan produksi dapat
dilakukan (1) penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan (2)
penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah; Pasal 5 (b)
dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan
dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang
mengakibatkan: (1) turunnya permukaan tanah; (2) berubahnya fungsi
pokok kawasan hutan secara permanen; dan (3) terjadinya kerusakan
akuiver air tanah.
Peraturan pertambangan di kawasan hutan di tingkat Menteri
Kehutanan adalah :
1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12/Menhut-II/2004 tentang
penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan
pertambangan
PMK No12/Menhut-II/2004 secara khusus mengatur pertambangan
di kawasan hutan lindung. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang
sebelumnya yang bersifat umum mengatur penggunaan kawasan hutan
untuk kegiatan diluar kehutanan dan tidak secara khusus mengatur
kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan.
Pertimbangan dikeluarkannya PMK No.12/Menhut-II/2004, adalah
bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, ditetapkan bahwa semua perizinan atau
194
perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau
perjanjian dimaksud.
Tabel 11 : Regulasi Ditingkat Menteri tentang Pertambangan
di Kawasan Hutan pada Periode Reformasi (1999 – 2016)
NO Peraturan tingkat menteri Substansi Pengaturan
1 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12/Menhut-II/2004 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan
Peraturan Menteri Kehutanan ini dikeluarkan hanya untuk mengatur 13 perusahaan pertambangan yang di izinkan melakukan penambangan secara terbuka di kawasan hutan lindung
2 Peraturan Menteri Kehutanan P.14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai jo. PMK Nomor : P. 64/Menhut-II/2006
IPPKH jika diberikan di kawasan hutan yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam atau izin usaha pemanfaatan hutan kayu (IUPHHK) pada hutan tanaman maka yang akan dilakukan adalah revisi/pengurangan produk kayu.
3 PMK Nomor : P.43/ Menhut-II/ 2008 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
mengatur kewajiban PNBP dalam penggunaan kawasan hutan untuk tujuan komersial, namun tidak ada penjelasan cara penghitungan dan besarnya.
4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 jo.. PMK Nomor P.38/Menhut-II/2012 jo. Nomor P.14/Menhut-II/2013
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
5 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.65/Menhut-II/2013
Policy Advisor bidang kehutanan pada izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan operasi produksi
6 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan (menghapuskan ketentuan sebelumnya)
7 Peraturan Dirjen Mineral dan Batubara Nomor 216 K/30/DJB/2014
Tata Cara Permohonan Pertimbangan Teknis Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara
Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan periode tahun 2004-2014
195
Ketentuan ini membedakan izin pertambangan dikawasan hutan
lindung menjadi dua, yaitu pertama izin kegiatan, yang dimaksud adalah
Pasal 1 ayat (2) izin kegiatan di dalam kawasan hutan lindung adalah izin
melaksanakan kegiatan studi kelayakan atau eksplorasi pertambangan
dalam rangka penggunaan kawasan hutan lindung. Kedua izin pinjam
pakai kawasan hutan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3), izin pinjam pakai
kawasan hutan lindung adalah izin menggunakan kawasan hutan lindung
untuk melaksanakan kegiatan eksploitasi/produksi atau konstruksi
pertambangan untuk jangka waktu tertentu.
Peraturan Menteri Kehutanan ini dikeluarkan hanya untuk mengatur
13 perusahaan pertambangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2
ayat (2) : “Persetujuan menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya berlaku terhadap 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang
pertambangan yang nama perusahaan dan lokasi penambangannya
sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan Presiden Nomor 41
Tahun 2004.” Ketentuan Pasal 7 (1) mengatur kewajiban pemohon pada
tahap eksplorasi adalah sebagai berikut:
a. membayar ganti rugi nilai tegakan yang ditebang; b. menyusun rencana kegiatan di dalam kawasan hutan; c. menjaga keamanan kawasan hutan yang dipinjam pakai dan
bertanggung jawab terhadap dampak negatif lingkungan sekitarnya sebagai akibat kegiatan pertambangan;
d. mereklamasi dan mereboisasi kawasan hutan bekas kegiatan eksplorasi;
e. membuat laporan secara berkala 3 (tiga) bulan kepada Menteri; f. membuat pernyataan kesanggupan untuk memenuhi semua
kewajiban, yang disahkan oleh notaris.
196
Kewajiban pemohon pada tahap eksploitasi berdasarkan Pasal 7
ayat (2) adalah sebagai berikut :
a. membayar ganti rugi nilai tegakan yang ditebang; b. menyediakan dan menyerahkan tanah lain kepada departemen
kehutanan sebagai kompensasi atas kawasan hutan lindung yang dipinjam;
c. menanggung biaya pengukuran, pemetaan dan pemancangan tanda batas dan penyelesaian berita acara tata batas, serta biaya inventarisasi atas kawasan hutan lindung yang dipinjam dan tanah kompensasi;
d. menyusun rencana kerja penggunaan kawasan hutan lima tahunan dan dirinci dalam tahunan, yang memuat antara lain kegiatan penambangan dan sarana pendukungnya, reklamasi dan konservasi tanah, pemanfaatan/penebangan, perlindungan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati, dan rencana tapak yang disetujui oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan atas nama Menteri;
e. membayar dana jaminan reklamasi; f. membiayai dan melaksanakan reboisasi atas lahan kompensasi; g. menjaga keamanan kawasan hutan yang dipinjam pakai dan
bertanggung jawab terhadap dampak negatif lingkungan sekitarnya sebagai akibat kegiatan pertambangan;
h. mereklamasi kawasan hutan lindung yang dipinjam pakaikan berdasarkan rencana kerja penggunaan kawasan hutan yang disetujui sebagaimana dimaksud huruf d;
i. membuat laporan secara berkala 3 (tiga) bulanan kepada Menteri; j. dalam hal pemegang izin dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan izin maka pemegang izin tetap harus menyelesaikan kegiatan reklamasi pada kawasan hutan yang dipinjam pakai;
k. membuat pernyataan kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban yang disahkan oleh notaris.
Kompensasi pinjam pakai berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor 12/Menhut-II/2004 tentang penggunaan kawasan hutan
lindung untuk kegiatan pertambangan Pasal 9 (1) izin pinjam pakai
kawasan hutan lindung dikenakan kompensasi berupa menyediakan dan
menyerahkan lahan di luar kawasan hutan untuk dijadikan kawasan hutan.
Pasal 9 (2) persyaratan lahan kompensasi :
197
a. memiliki status tanah yang jelas dan bertitel hak atas nama pemohon;
b. bebas dari pembebanan hak tanggungan; c. bebas dari sengketa; d. berbatasan langsung dengan kawasan hutan; dan e. terletak dalam satu DAS/Sub DAS Kabupaten/Provinsi dengan
area yang dipinjampakaikan; c. memenuhi persyaratan teknis untuk dijadikan hutan.
Pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% dari luas
daratan, areal kompensasinya seluas dua kali kawasan hutan yang
dipinjampakaikan. Pada provinsi yang luas kawasan hutannya 30% dari
luas daratan atau lebih, areal kompensasinya seluas kawasan hutan yang
dipinjampakaikan.
2) Peraturan Menteri Kehutanan P.14/Menhut-II/2006 tentang
Perubahan terhadap Pedoman Pinjam Pakai jo. PMK Nomor : P.
64/Menhut-II/2006
Berdasarkan Pasal 7 ketentuan ini, jika IPPKH diberikan di kawasan
hutan yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada
hutan alam atau izin usaha pemanfaatan hutan kayu (IUPHHK) pada
hutan tanaman maka yang akan dilakukan adalah revisi/pengurangan
produk kayu. Hal ini menurut penulis menunjukkan bahwa tidak ada
halangan dalam penerbitan IPPKH dan tidak menjadi hambatan ketika
tumpang tindih dalam peruntukan kawasannya.
PMK Nomor : P. 64/Menhut-II/2006 Perubahan Pasal 19 : Izin pinjam
pakai diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang dapat
diperpanjang setiap 5 (lima) tahun sesuai dengan masa berlakunya
198
izin/kontrak kegiatan di luar kehutanan yang bersangkutan. (2) Izin
kegiatan survey dan penyelidikan umum/eksplorasi pertambangan dalam
kawasan hutan diberikan selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang
sesuai dengan rencana kerja sektornya.
3) PMK Nomor : P.43/ Menhut-II/ 2008 Tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan
Peraturan menteri ini dalam Pasal 4 mengatur kewajiban PNBP
dalam penggunaan kawasan hutan untuk tujuan komersial, namun tidak
ada penjelasan cara penghitungan dan besarnya. Berdasarkan Pasal 5
ayat (1) huruf c : pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan termasuk didalamnya adalah
pertambangan.
Ketentuan lahan kompensasi Pasal 18 (1) persyaratan calon lahan
kompensasi penggunaan kawasan hutan adalah sebagai berikut:
a. Jelas statusnya, tidak dalam sengketa, tidak dalam penguasaan pihak yang tidak berhak dan tidak dikelola oleh pihak lain;
b. Letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan; c. Terletak di dalam Sub DAS yang sama, jika tidak dapat dipenuhi
dapat dialihkan pada DAS yang sama, jika masih tidak dapat dipenuhi dapat dialihkan pada wilayah DAS lain pada pulau yang sama atau pulau lain pada provinsi yang sama;
d. Dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional; e. Penghapusan/pencoretan alas hak atas lahan kompensasi pada
buku tanah di instansi yang berwenang; dan f. Rekomendasi Bupati/Walikota atau Gubernur atau Badan
Pertanahan Nasional sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Kompensasi lahan diatur dalam Pasal 25 (1) pinjam pakai kawasan
hutan dengan kompensasi lahan dilaksanakan dengan cara :
199
a. Menyediakan dan menyerahkan lahan kompensasi atau ;
b. Membayar PNBP penggunaan kawasan hutan.
Ketentuan ini menyiratkan bahwa pemerintah membolehkan tidak
dipenuhinya lahan kompensasi yang selanjutnya akan dihutankan kembali
asalkan membayar sejumlah uang dalam mekanisme PNBP. Ketentuan ini
secara tidak langsung akan menghilangkan kawasan hutan.
Pasal 26 (4) pinjam pakai kawasan hutan dengan membayar PNBP
penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
b dan Pasal 25 ayat (1) huruf b besarnya dana PNBP tersebut dihitung
berdasarkan rumus sebagai berikut : PNBP =(L1 x tarif ) + (L2 x 4 x tarif )
+(L3 x 2 x tarif ) Rp/tahun.
4) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011
tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan jo.. PMK Nomor
P.38/Menhut-II/2012 jo. PMK Nomor P.14/Menhut-II/2013
Perubahan atas PMK No P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan; Perubahan 1 : Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan; Perubahan 2: Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2013 Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan. Ketentuan dalam PMK No. 18/Menhut-II/2011,
Pasal 4 (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan
200
di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang
mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Pada ayat (2)
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang mempunyai
tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan salah satunya adalah pada
huruf b, yaitu : pertambangan, yang meliputi pertambangan minyak dan
gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi termasuk sarana dan
prasarana.
Pasal 9 (1) penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, izin
pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat diberikan setelah mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Kriteria penggunaan kawasan
hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang
luas serta bernilai strategis sesuai ayat 2 yaitu: (a). pertambangan yang
berada di dalam Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) yang
berasal dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang telah disetujui
Dewan Perwakilan Rakyat; (b). persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan dasar pemberian izin
pinjam pakai kawasan hutan di seluruh WUPK yang menjadi Wilayah Izin
Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Pasal 9 ayat (3) pertambangan yang berdampak penting dan
cakupan luas serta bernilai strategis, perlu ada Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS) pada saat WPN menjadi WUPK sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
201
Pasal 17 mengatur pedoman penghitungan penggantian biaya
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d angka 1
diatur dengan peraturan tersendiri. Pasal 18 mengatur kegiatan reboisasi
atau penghutanan atas kawasan hutan yang berasal dari lahan
kompensasi dengan ketentuan: (a). lahan kompensasi yang berada di
dalam wilayah kerja perum perhutani, reboisasi atau penghutanan
dilaksanakan oleh pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan bekerja
sama dengan perum perhutani; (b). lahan kompensasi yang berada di luar
wilayah kerja perum perhutani, reboisasi atau penghutanan dilaksanakan
oleh pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan bekerjasama dengan
badan usaha yang mempunyai kompetensi di bidang reboisasi; atau (c).
lahan kompensasi yang telah ditunjuk menjadi kawasan hutan konservasi,
reboisasi atau penghutanan dilaksanakan oleh pemegang izin pinjam
pakai kawasan hutan bekerjasama dengan pengelola atau instansi yang
mengurusi kawasan hutan konservasi.
Lahan kompensasi sesuai Pasal 32 ayat (1), calon lahan kompensasi
wajib memenuhi persyaratan: (a). letaknya berbatasan langsung dengan
kawasan hutan; (b). terletak dalam daerah aliran sungai, pulau, dan/atau
provinsi yang sama; (c). dapat dihutankan kembali dengan cara
konvensional; (d). tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis
pembebanan dan hak tanggungan; dan (e). mendapat rekomendasi dari
gubernur atau bupati/walikota. Pasal 32 ayat (2) terhadap calon lahan
kompensasi yang disediakan oleh pemohon dilakukan pemeriksaan
202
lapangan untuk dinilai kelayakan teknis dan hukum oleh tim yang
dikoordinasikan oleh kepala dinas provinsi yang membidangi kehutanan.
5) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014
tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Pasal 1 angka (8) PMK Nomor : P.16/Menhut-II/2014, izin pinjam
pakai kawasan hutan adalah izin yang diberikan untuk menggunakan
kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1), penggunaan kawasan hutan
dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan.
a. Obyek Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan
Obyek izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dalam ketentuan
Pasal 4 menentukan kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan hutan
adalah kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat
dielakkan. Pertambangan batubara menurut ketentuan ini merupakan
salah satu kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat
dielakkan. Sehingga pertambangan batubara merupakan kegiatan yang
diperbolehkan dilakukan di kawasan hutan. Secara lengkap Pasal 4
mengatur :
a. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan.
b. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain: religi
203
antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata rohani; pertambangan meliputi pertambangan minyak dan gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi termasuk sarana dan prasarana; instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan;
3. Konstruksi Hukum Pengawasan Penggunaan Kawasan Hutan Bagi
Pertambangan Batubara
Pengawasan dapat diartikan sebagai “proses kegiatan yang
membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau
diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, dan
diperintahkan.”142
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa instrumen penegakan hukum
administrasi meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan
merupakan pengawasan preventif untuk memaksakan kepatuhan,
sedangkan penerapan sanksi merupakan upaya represif untuk
memaksakan kepatuhan.143
Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement,
dalam bahasa Belanda rechtshandaving. Penegakan hukum meliputi segi
preventif dan represif.144 Penegakan hukum (law enforcement) adalah
bagian dari sistem hukum. Tanpa penegakan hukum (formeel recht)
maka kaidah-kaidah hukum materiil (materieel recht) niscaya menjadi
142
Dian Puji Simatupang, 2004. Materi Hukum Administrasi Negara, Program Ekstensi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, halaman : 1
143 Philipus M. Hadjon, 1993. Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya,
halaman : 337 144
Andi Hamzah, 2005. Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta. Halaman: 48-49
204
tumpukan kertas (een papieren muur) saja. Negara hukum yang
didambakan bakal menjadi impian belaka.145
Beberapa teori penegakan hukum diantaranya, menurut Sjachran
Basah adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana
seharusnya patut ditaati. Oleh karena itu memberikan keadilan dalam
suatu perkara berarti memutuskan perkara dengan menerapkan hukum
dan menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan
menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara
prosedural yang ditetapkan oleh hukum formil.146
Penegakan hukum menurut Satjipto Raharjo, pada hakikatnya
merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak.
Penegakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut
menjadi konkret.147
Penegakan hukum dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan
berbagai sanksinya, seperti sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi
pidana. Penegakan hukum bukan semata-mata tanggung jawab aparat
penegak hukum, namun menjadi kewajiban seluruh masyarakat.148
Keith Hawkins mengemukakan bahwa penegakan hukum dapat
dilihat dari dua sistem atau strategi, yang disebut compliance dengan
145
Laica Marzuki, 2006. Berjalan-jalan di Ranah hukum – Pikiran-pikiran Lepas, Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, halaman: 237
146 Sjachran Basah. 1992. Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak
Administrasi Negara, Penerbit Alumni Bandung, halaman: 14 147
Satjipto Rahardjo, 1981. Masalah Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Sinar Baru, Bandung, halaman: 15
148Koesnadi Hardjasoemantri, 2000. Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada
University Press, Yogjakarta, halaman : 375
205
conciliatory style sebagai karakteristiknya dan sanctioning dengan penal
style sebagai karakteristiknya. Block, sebagaimana dikutip oleh Hawkins,
menyatakan bahwa conciliatory style itu remedial, suatu metode social
repair and maintenance, assistance of people in trouble, berkaitan dengan
what is necessary to ameliorate a bad situation. Sedangkan penal control
prohibits with punishment, sifatnya adalah accusatory, hasilnya binary,
yaitu : all or nothing.149
a. Pengawasan Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan UU
11 Tahun 1967
Pengawasan pertambangan di kawasan hutan berdasarkan
ketentuan ini tidak diatur secara khusus, secara umum yang diatur
sebagai kegiatan pengawasan pertambangan menurut Pasal 29 ayat (2)
UU 11 tahun 1967 adalah meliputi : (a) Keselamatan kerja; (b)
pengawasan produksi; (c) kegiatan lainnya dalam pertambangan yang
menyangkut kepentingan umum
Ketiadaan ketentuan pengawasan pertambangan secara khusus di
kawasan hutan memperlihatkan bahwa perancang UU tidak memahami
atau mengesampingkan nilai khusus kawasan hutan serta ketiadaan
pengawasan khusus aspek lingkungan juga menunjukkan aspek dampak
lingkungan dalam kegiatan pertambangan tidak dianggap serius dan tidak
diberikan pengaturan khusus.
149
Ibid. Halaman : 376
206
Ketentuan pelaksanaan UU 11 tahun 1967 yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969, berdasarkan ketentuan peraturan
pemerintah ini, pengawasan terhadap kegiatan pertambangan dilakukan
dengan tanpa membedakan antara kawasan hutan maupun bukan
kawasan hutan. Aspek pengawasan yang diatur dalam ketentuan ini
adalah penegasan kewenangan departemen yang lapangan tugasnya
meliputi pertambangan dalam hal tata usaha, pengawasan, pengaturan
keselamatan kerja pertambangan dan pengaturan pelaksanaan usaha
pertambangan.
b. Penegakan Hukum dalam UU 4 Tahun 2009 Tentang Minerba
1) Penegakan Hukum dengan sistem compliance atau aspek
pemenuhan peraturan
Penegakan hukum dengan sistem compliance, atau melihat
aspek pemenuhan peraturan dapat pula di kategorikan sebagai
penegakan hukum preventif, dalam ketentuan pertambangan batubara
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 tahun 2009, dalam
pengaturan pembinaan dan pengawasan.
Pembinaan dan pengawasan pertambangan berdasarkan UU 4
tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara berdasarkan ketentuan
Pasal 139 UU 4 tahun 2009, pembinaan dan pengawasan
pertambangan dilakukan oleh menteri terhadap penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah
207
provinsi dan pemerintah kabupaten kota sesuai dengan
kewenangannya. Pembinaan sebagaimana dimaksud meliputi:
a. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan;
b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi; c. pendidikan dan pelatihan; dan d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan
evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara.
Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan
pembinaan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di
bidang usaha pertambangan dilaksanakan oleh pemerintah
kabupaten/kota.
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya bertanggung jawab melakukan pembinaan atas
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh
pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal 140 (1) menteri melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang
dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (2) menteri dapat
melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha
pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/ kota (3) menteri, gubernur,
dan bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan
208
pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal 141 (1) pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
140, antara lain, berupa:
a. teknis pertambangan; b. pemasaran; c. keuangan; d. pengolahan data mineral dan batubara; e. konservasi sumber daya mineral dan batubara; f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; g. keselamatan operasi pertambangan; h. pengelolaan lingkungan hidup, reklarnasi, dan pascatambang; i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan
rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan; k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi
pertambangan; m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha n. pertambangan yang menyangkut kepentingan umum; o. pengelolaan IUP atau IUPK; dan p. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.
Ketentuan ayat (2), pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i dilakukan
oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Jika tidak memiliki inspektur tambang, berdasarkan Pasal 141
ayat (3) dalam hal pemerintah daerah provinsi atau pemerintah
daerah kabupaten kota belum mempunyai inspektur tambang, Menteri
menugaskan inspektur tambang yang sudah diangkat untuk
melaksanaan pembinaan dan pengawasan
209
Pasal 142 (1) gubernur dan bupati/walikota wajib melaporkan
pelaksanaan usaha pertambangan di wilayahnya masing-masing
sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan kepada menteri.
Ketentuan ayat (2) pemerintah dapat memberi teguran kepada
pemerintah daerah apabila dalam pelaksanaan kewenangannya tidak
sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
2) Penegakan Hukum dengan sistem sanctioning atau sanksi
menurut UU 4 Tahun 2009 Tentang Minerba
Penegakan hukum dengan sistem sanksi di dalam UU Minerba,
dikenal dua bentuk sanksi yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana.
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP sesuai
pelanggaran yang dilakukan, sesuai ketentuan Pasal 151 ayat (1) :
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4),-Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1) Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2).
Bentuk sanksi administratif yang dapat dikenakan berupa: (a)
peringatan tertulis; (b) penghentian sementara sebagian atau seluruh
210
kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan /atau (c) pencabutan IUP,
IPR, atau IUPK.
Berdasarkan ketentuan Pasal 152, jika pemerintah daerah tidak
menjalankan kewajiban penegakan hukum sesuai ketentuan Pasal 151
yang memuat sanksi administratif, maka menteri berdasarkan hasil
evaluasi dapat menjatuhkan sanksi menghentikan sementara dan/atau
mencabut IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3) Pengawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan berdasarkan
PMK.16/Menhut-II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
Hutan
Pengawasan terhadap pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan
dalam ketentuan ini diselenggarakan melalui pelaksanaan monitoring dan
evaluasi.
a. Subyek dan Obyek Pengawasan
Obyek dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi adalah
terhadap pemegang: (a) persetujuan prinsip penggunaan kawasan
hutan; (b). dispensasi pinjam pakai kawasan hutan; dan (c). izin pinjam
pakai kawasan hutan. Subyek atau pihak yang melakukan monitoring
dan evaluasi berdasarkan Pasal 42 (1) adalah menteri.
Pelaksanaannya dilakukan oleh daerah.
211
b. Pelaksana Monitoring
Pasal 43 (1) pelaksanaan monitoring dilakukan oleh Dinas
Kabupaten/Kota yang membidangi urusan kehutanan dan
dikoordinasikan oleh Dinas Provinsi yang membidangi urusan
kehutanan. Monitoring dilaksanakan oleh Tim dengan anggota dari
unsur Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan, Dinas
Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan, Badan/Dinas
Kabupaten/Kota yang membidangi lingkungan hidup, Perum Perhutani
dalam hal berada dalam wilayah Kerja Perum Perhutani, serta unsur
terkait lainnya. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi
kehutanan menyampaikan hasil monitoring kepada kepala Dinas
Provinsi yang membidangi kehutanan selanjutnya kepala Dinas
Provinsi melaporkan kepada Menteri, dan Gubernur, dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal.
c. Pelaksana Evaluasi
Pasal 44 ayat (1) menteri melimpahkan pelaksanaan evaluasi
persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan dan izin pinjam pakai
kawasan kepada gubernur.
Evaluasi oleh tim yang dikoordinasikan oleh kepala dinas
provinsi yang membidangi kehutanan dengan anggota terdiri dari
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (BP-DAS), Balai Pemantauan Pemanfaatan
Hutan Produksi (BPPHP), Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi
212
kehutanan, Badan/Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi
lingkungan hidup, Perum Perhutani dalam hal berada dalam wilayah
kerja Perum Perhutani serta unsur terkait lainnya.
Kepala dinas provinsi yang membidangi kehutanan
menyampaikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada menteri dengan tembusan kepada direktur jenderal planologi
kehutanan.
d. Bentuk penyelenggaraan pengawasan
Monitoring diselenggarakan sesuai ketentuan Pasal 42 ayat
(2),monitoring dilakukan dalam rangka pembinaan agar pemegang
persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan, dispensasi pinjam
pakai kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan memenuhi
kewajiban sebagaimana ditetapkan.
Jangka waktu pelaksanaan monitoring sebagai bentuk
pengawasan berdasarkan Pasal 43 ayat (3) dilaksanakan paling
banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Biaya pelaksanaan
monitoring dialokasikan pada anggaran dana dekonsentrasi
kementerian kehutanan. Evaluasi berdasarkan Pasal 42 ayat (3),
dilakukan untuk menilai, penilaian dilakukan terhadap :
a. pemenuhan kewajiban yang tercantum dalam persetujuan prinsip
penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan
hutan; dan
b. pelaksanaan penggunaan kawasan hutan;
213
c. sebagai bahan pengambilan Keputusan dalam rangka
perpanjangan, pengakhiran, pengembalian areal izin pinjam
pakai kawasan hutan atau tindakan-tindakan koreksi termasuk
sanksi.
Evaluasi izin pinjam pakai kawasan hutan dilaksanakan paling
banyak 2 (dua) kali dalam 5 (lima) tahun. Ketentuan Pasal 46 dalam
hal hasil evaluasi pemegang persetujuan prinsip penggunaan
kawasan hutan/penerima dispensasi/pemegang izin pinjam pakai
kawasan hutan tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan atau
terdapat pelanggaran tindak pidana dibidang kehutanan, pemegang
izin dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
e. Sanksi terhadap pelanggaran berkaitan Pertambangan di
Kawasan Hutan
Pasal 50 (1), setiap pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan
yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30, Pasal 31, berkaitan dengan kewajiban pemegang IPPKH dan/atau
melanggar Pasal 32 ayat (1) tentang larangan pemegang IPPKH
dapat dikenai sanksi berupa pencabutan IPPKH oleh Menteri.
Ketentuan pencabutan IPPKH dikenakan setelah diberikan
peringatan 3 (tiga) kali secara berturut-turut masing-masing untuk
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja oleh direktur jenderal.
214
4). Sanksi Pidana dalam UU 4 Tahun 2009
Sanksi pidana menurut ketentuan UU 4 tahun 2009 diatur dalam
Pasal 159 hingga Pasal 162, sanksi pidana dapat diperberat jika
pelakunya adalah badan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 163 (1)
dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan
pemberatan ditambah 1/3 (sepertiga) kali dari ketentuan maksimum
pidana denda yang dijatuhkan.
Ketentuan Pasal 163 ayat (2) selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/ atau
b. pencabutan status badan hukum.
Ketentuan sanksi pidana berdasarkan Pasal 164, selain ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal
161, dan Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana
tambahan berupa:
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau
c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
Sanksi pidana bagi pejabat negara yang berwenang mengeluarkan
izin yang mengeluarkan IUP yang bertentangan dengan undang-undang
215
dapat dikenakan sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 165
“Setiap orang yang rnengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan
dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi
sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Tabel 12 : Sanksi Pidana dalam UU 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Minerba
Pasal dengan ancaman pidana
Klausul Sanksi Pidana
Penjara/ Kurungan
Denda
Pasal 158
Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK
Penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 159
Pemegang IUP, IPH, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 160 (1)
Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1)
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 160 (2)
Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 161
Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung,memanfaatkan,melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 162 Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegjatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2)
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sumber : UU 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
216
5) Penegakan Hukum dalam UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Penegakan hukum sektor kehutanan berdasarkan UU 41 tahun
1999, berupa compliance yaitu melalui pengawasan kehutanan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 59, pengawasan kehutanan dimaksudkan
untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan
hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus
merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan
pengurusan hutan lebih lanjut.
Pasal 60 (1) : pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan
pengawasan kehutanan. Pada ayat (2) masyarakat dan atau perorangan
berperan serta dalam pengawasan kehutanan. Pasal 61 pemerintah
berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Pasal 62 pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap
pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak
ketiga. Pasal 63 dalam melaksanakan pengawasan kehutanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), pemerintah dan
pemerintah daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta
keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan
hutan. Pasal 64, pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengelolaanhutan yang berdampak nasional dan
internasional.
217
Ketentuan sanksi pidana dalam UU 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan Pasal 78 ayat (6) barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) yang mengatur
tentang “pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan
dengan pola pertambangan terbuka.” atau Pasal 50 ayat (3) huruf g,
“setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau
eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa
izin menteri;” diancam dengan pidana penjara dan denda
6) Penegakan Hukum dalam UU 32 Tahun 2009 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penegakan hukum lingkungan berdasarkan ketentuan UU Nomor 32
tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menganut dua sistem
dalam penegakan hukum baik sistem compliance dengan conciliatory
style sebagai karakteristiknya dan sanctioning dengan penal style sebagai
karakteristiknya. Penegakan hukum yang bersifat compliance, yaitu
pemenuhan peraturan, atau penegakan preventif dengan pengawasan
preventif, diatur dalam Pasal 71 – 75. Pengawasan lingkungan hidup wajib
dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 72 yaitu “Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap izin lingkungan.”
Ketentuan penegakan hukum dengan sistem sanctioning dalam UU
32 Tahun 2009, meliputi sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi
218
pidana. Pertama : sanksi administrasi diatur dalam Pasal Pasal 76 ayat
(1), “Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi
administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika
dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
Bentuk sanksi administrasi berdasarkan ayat (2) terdiri atas: (a). teguran
tertulis; (b). paksaan pemerintah; (c). pembekuan izin lingkungan; atau (d).
pencabutan izin lingkungan.
Tabel 13 : Sanksi pidana Lingkungan
Tindak Pidana Sanksi Pidana Pasal 98(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
Unsur Kesengajaan : pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
Pemberatan : Pasal 98 ayat (2) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit 4 milyar dan paling banyak 12 milyar
Pemberatan : Pasal 98 ayat (3) Jika mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 5 milyar dan paling banyak 15 milyar
Pasal 98(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
Unsur Kelalaian Pasal 99 (1) pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit 1 milyar danpaling banyak 3 milyar
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
Pemberatan : Pasal 99 ayat (2) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 milyar paling banyak 6 milyar
Pemberatan : Pasal 99 ayat (3) Jika mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 9 tahun dan denda paling sedikit 3 milyar dan paling banyak 9 milyar
Pasal 100 (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan
dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 3 milyar
Pasal 102 Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 (4),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit 1 milyar dan paling banyak 3 milyar
Pasal 103 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit 1Milyar dan paling banyak 3 Milyar
Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit 1 milyar dan paling banyak 3 milyar
Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan
yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Sumber : UU 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
219
Paksaan pemerintah menurut Pasal 80 ayat (1) dapat berupa :
a. penghentian sementara kegiatan produksi; b. pemindahan sarana produksi; c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; d. pembongkaran; e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi
menimbulkan pelanggaran; f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan
pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Pengenaan paksaan pemerintah menurut Pasal 80 ayat (2) dapat
dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan
menimbulkan: (a). ancaman yang sangat serius bagi manusia dan
lingkungan hidup; (b). dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak
segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya;dan/atau (c).
kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
Kedua : sanksi perdata, dalam ketentuan UU lingkungan menganut
sistem pembayaran ganti kerugian dan pemulihan lingkungan serta asas
tanggung jawab mutlak (strict liability). Ketentuan kewajiban pembayaran
ganti kerugian dan pemulihan lingkungan diatur dalam Pasal 87 ayat (1):
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
220
Asas tanggung jawab mutlak (strict liability) diatur dalam Pasal 88 :
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.”
Ketiga : sanksi pidana dalam ketentuan UU lingkungan ini, dapat
diterapkan jika terjadi tindak pidana dalam pengelolaan pertambangan.
Pidana tambahan berdasarkan Pasal 119, selain pidana pokok, terhadap
badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib
berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau
kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3
(tiga) tahun.
Pengawasan pengelolaan pertambangan di kawasan tidak dapat
dilepaskan dari ketentuan dan mekanisme penegakan hukum yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu bentuk hasil
pengawasan adalah tindakan penegakan hukum jika hasil pengawasan
yang dilakukan menemukan tindakan pelanggaran sesuai ketentuan dan
sebagai upaya penertiban adalah penegakan hukum yang nyata.
Pengawasan sangat penting sebagai upaya kontrol terhadap pelaksanaan
kewajiban dan ketaatan mematuhi larangan-larangan.
221
2.7 Konstruksi Hukum Kewajiban Lingkungan dan Reklamasi Areal
Bekas Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
a. Kewajiban Lingkungan Pertambangan Batubara di Kawasan
Hutan
Kewajiban lingkungan bagi usaha petambangan yang diatur dalam
UU No 4 tahun 2009 tidak membedakan antara yang berada di dalam
kawasan hutan maupun yang tidak dalam kawasan hutan. Kewajiban
menurut Pasal 95 bagi Pemegang IUP dan IUPK adalah :
a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik; b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; c. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/ atau
batubara; d. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
setempat; dan e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.
Pasal 96 : Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik,
pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan:
a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan ; b. keselamatan operasi pertambangan; c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk
kegiatan reklamasi dan pascatambang; d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara; e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan
dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.
Pasal 97, Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan
standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu
daerah. Ketentuan Pasal 98, Pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga
222
kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Reklamasi areal bekas pertambangan di kawasan hutan
berdasarkan UU 11 Tahun 1967
Undang-undang 11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan,
tidak menyebutkan istilah reklamasi paska tambang, namun sebagaimana
diatur dalam Pasal 30 UU No. 11 Tahun 1967, diatur kewajiban pelaku
pertambangan untuk mengembalikan kondisi tanah seperti semula, secara
lengkap dinyatakan : “Apabila selesai melakukan penambangan bahan
galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan
yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa,
sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi
masyarakat sekitarnya.” Penjelasan Pasal 30, menegaskan kewajiban
pengusaha pertambangan dalam memelihara wilayah pertambangannya
sehingga tidak menjadi sumber penyakit bagi rakyat sekitarnya bila usaha
pertambangan telah selesai dan wilayah kerja pertambangan telah
ditinggalkan.
Unsur-unsur dalam ketentuan reklamasi seperti yang diatur dalam
Pasal 30, adalah pertama : apabila selesai melakukan penambangan
bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa
pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah
sedemikian rupa. Unsur ini menegaskan bahwa pemegang izin
pertambangan wajib mengembalikan tanah sedemikian rupa setelah
223
melakukan penambangan. Unsur kedua : maksud mengembalikan tanah
sedemikian rupa agar tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya
lainnya bagi masyarakat sekitarnya, yang dalam penjelasan Pasal 30
ditegaskan bahwa ketika usaha pertambangan telah meninggalkan
wilayah penambangannya masyarakat sekitar tetap mendapat
perlindungan dari bahaya penyakit dan bahaya lainnya.
Sanksi bagi pelanggar kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 33 (a)
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau
dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah, pemegang kuasa
pertambangan yang tidak memenuhi atau tidak melaksanakan syarat-
syarat yang berlaku menurut undang-undang ini dan/atau undang-undang
termaksud dalam keputusan menteri yang diberikan berdasarkan undang-
undang ini dan/atau undang-undang tentang pertambangan yang dikelola
oleh negara.
Reklamasi areal bekas pertambangan di kawasan hutan tidak diatur
secara khusus dalam UU nomor 11 tahun 1967. Sehingga tidak ada
perlakuan khusus terhadap kawasan hutan yang di tambang dengan
kawasan diluar kawasan hutan yang ditambang, dalam hal kewajiban
melakukan reklamasi. Kawasan hutan di persamakan dengan kawasan
lainnya.
224
c. Reklamasi dalam Ketentuan Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-II/1994
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-II/1994 Pasal 14
ayat (2) c : Pemegang IPPKH wajib mereklamasi kawasan hutan yang
telah dipergunakan tanpa menunggu berakhirnya kegiatan. Ketentuan
Pasal 14 ayat (d) Untuk pinjam pakai dengan kompensasi wajib
menyediakan dan menyerahkan tanah lain kepada Departemen
Kehutanan yang clear and clean (cnc) sebagai kompensasi atas kawasan
hutan yang dipinjam.
Pasal 16 (b) untuk keperluan kegiatan pembangunan yang dilakukan
oleh perusahaan swasta minimal lahan kompensasi atas kawasan hutan
yang dipinjam adalah 1:2.
d. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 146/Kpts-
II/1999 tentang Pedoman Reklamasi bekas Tambang Dalam
Kawasan Hutan;
Pasal 1 (1) dalam Keputusan Menteri Kehutanan ini yang dimaksud
dengan reklamasi bekas tambang adalah usaha memperbaiki atau
memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak
sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat
berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Tujuan reklamasi
menurut Pasal 2, ialah untuk memulihkan kondisi kawasan hutan yang
rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi sehingga
225
kawasan hutan yang dimaksud dapat berfungsi kembali sesuai dengan
peruntukannya.
Pasal 3 (1) perusahaan pertambangan dan energi mempunyai
kewajiban :
1. Melaksanakan reklamasi lahan bekas tambang atas kawasan hutan yang dipinjam-pakai.
2. Menanggung biaya pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang atas kawasan hutan yang dipinjam-pakai.
3. Mempunyai organisasi pelaksana reklamasi lahan bekas tambang dalam kawasan hutan.
4. Melakukan usaha perlindungan dan pengamanan hutan atas kawasan hutan yang dipinjam-pakai.
Pasal 3 (2) perusahaan pertambangan dan energi wajib menyerahkan
uang jaminan reklamasi, yang diserahkan ke bank yang ditunjuk pada
saat perjanjian pinjam-pakai kawasan hutan untuk pertambangan dan
energi.
Pasal 5 ayat (1) ruang lingkup reklamasi meliputi tahapan kegiatan :
(1). Inventarisasi lokasi reklamasi; (2). Penetapan lokasi reklamasi; (3).
Perencanaan reklamasi meliputi : Penyusunan reklamasi; Penyusunan
rancangan reklamasi; (4). Pelaksanaan reklamasi yang meliputi :
Penyiapan lahan; Pengaturan bentuk lahan (land scaping); Pengendalian
erosi dan sedimentasi; Pengelolaan lapisan olah (top soil); Revegetasi;
Pemeliharaan.
Pasal 8 (1) Reklamasi dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan
dan energi secara bertahap sesuai dengan rencana dan rancangan
reklamasi yang disahkan. (2) Pelaksanaan reklamasi harus mulai
226
dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan setelah kegiatan
penambangan selesai di setiap lokasi berdasarkan tahapan kegiatan
penambangan.
Pasal 9 mengatur bahwa perusahaan pertambangan dan energi tetap
bertanggung jawab terhadap keberhasilan reklamasi seluruh bagian
kawasan hutan yang telah selesai direklamasi sampai dengan
dikembalikannya kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan kepada
Departemen Kehutanan dan Perkebunan atau pejabat instansi kehutanan
yang ditunjuk, ditambah masa pemeliharaan selama 3 (tiga) tahun.
Pasal 10 mengatur : reklamasi kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan
kepada perusahaan pertambangan dan energi dinyatakan berhasil apabila
telah memenuhi kriteria keberhasilan reklamasi yang meliputi pengaturan
bentuk lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, revegetasi serta
pemeliharaan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan
dan Perhutanan Sosial.
Pasal 14 ayat (1) : perusahaan pertambangan wajib menyampaikan
laporan kemajuan reklamasi setiap 3 (tiga) bulan satu kali. Ketentuan ayat
(2) Mekanisme pelaporan kemajuan reklamasi diatur lebih lanjut oleh
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
Ketentuan sanksi berdasarkan Pasal 15, apabila pelaksanaan
kegiatan reklamasi tidak atau belum dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan dalam Keputusan ini, maka kepada perusahaan pertambangan
dan energi dapat dikenakan sanksi:
227
1. Penghentian kegiatan penambangan pada kawasan hutan yang dipinjam-pakai;
2. Pencabutan izin pinjam-pakai kawasan hutan; 3. Pengenaan sanksi denda administratif yang besarnya ditetapkan
berdasarkan biaya reklamasi, biaya pembinaan dan pengawasan; 4. Tuntutan keperdataan atau kepidanaan.
Ketentuan ini selanjutnya diganti dengan dikeluarkannya Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Reklamasi
Lahan Hutan.
e. Reklamasi areal bekas pertambangan di kawasan hutan
berdasarkan UU 4 Tahun 2009
Berdasarkan penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik,
pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan:
a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan ; b. keselamatan operasi pertambangan; c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan,
termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara; e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha
pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.
Kewajiban reklamasi hutan tanpa sanksi dalam UU Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan. Pasal 44 (1) reklamasi hutan meliputi usaha
untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan
yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan
peruntukannya. Kegiatan reklamasi menurut Pasal 44 ayat (2) meliputi
inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan
reklamasi.
228
Kewajiban reklamasi kawasan hutan yang merupakan bekas areal
pertambangan dinyatakan secara tegas dalam Pasal 45 (1) penggunaan
kawasan hutan diluar kepentingan kehutanan yang mengakibatkan
kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai
dengan pola yang ditetapkan pemerintah, sedangkan ayat (2) menyatakan
bahwa reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib
dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan
kegiatan pertambangan. Selain kewajiban reklamasi pihak-pihak yang
menggunakan kawasan hutan juga diwajibkan membayar dana jaminan
reklamasi dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3).
Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar
kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan
penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan
rehabilitasi.
Berdasarkan definisi Pasal 1 angka (26) UU 4 tahun 2009, reklamasi
ialah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan
untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan
ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Kewajiban
reklamasi dinyatakan secara tegas dalam ketentuan Pasal 96 huruf (c)
“Pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan reklamasi dan pasca
tambang”. Namun dalam UU Minerba tidak disebutkan secara khusus
reklamasi areal bekas pertambangan yang berada di kawasan hutan.
229
Tabel 14 : Dinamika Pengaturan Reklamasi Pasca Tambang dalam
Kawasan Hutan di Indonesia
Regulasi Definisi Reklamasi Substansi Pengaturan Reklamasi Kawasan Hutan bekas areal pertambangan
UU 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan
Pasal 30 : “....mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya.....”
Pasal 30 : Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa......”
UU 41 Tahun 1999
Pasal 44 (1) Reklamasi hutan meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 45 ayat (2) Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
UU 4 Tahun 2009
Pasal 1 angka (26). Reklamasi ialah kegiatan yang dilakukan sepanjangtahapan usaha pertambangan untuk menata,memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan danekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
Pasal 96 c : Pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan reklamasi dan pasca tambang
Sumber : UU 11 Tahun 1967; UU 41 Tahun 1999; UU 4 Tahun 2009
Proses pelaksanaan reklamasi areal bekas pertambangan secara
umum diatur dalam Pasal 99 ayat (1) bahwa “Setiap pemegang IUP dan
IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang
pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK
Operasi Produksi.” Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan pelaksanaan
reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan
peruntukan lahan pascatambang. Peruntukan yang dimaksud harus
230
dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP
atau IUPK dan pemegang hak atas tanah.
Setelah persetujuan rencana reklamasi, pemegang IUP dan IUPK
memiliki kewajiban untuk menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana
jaminan pascatambang sesuai ketentuan Pasal 100 ayat (1). Penggunaan
dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pasca tambang sesuai ayat (2)
adalah Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan
kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan
reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan. Ketentuan tersebut
diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan
reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui.
Pasal 97 mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin
penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik
suatu daerah. Pasal 98 : pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga
kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 99 (1) :
setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi
dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP
Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. (2) Pelaksanaan reklamasi
dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan
pascatambang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (26) UU 4 Tahun 2009,
definisi reklamasi ialah “kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan
231
usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki
kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai
peruntukannya”. Definisi tersebut mengandung arti bahwa reklamasi harus
memenuhi unsur :
a. kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha
pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki
kualitas lingkungan dan ekosistem;
b. agar lingkungan dan ekosistem dapat berfungsi kembali sesuai
peruntukannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kegiatan reklamasi yang meliputi
“menata, memulihkan” dan “memperbaiki kualitas lingkungan dan
ekosistem,” senyatanya baru dapat dikatakan dilakukan dengan baik
ketika memenuhi unsur kedua yaitu lingkungan dan ekosistem dapat
berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
Prinsip-prinsip dalam reklamasi lahan pertambangan, pertama:
reklamasi merupakan kewajiban pemegang izin pertambangan. Kewajiban
reklamasi dinyatakan secara tegas sebagai tanggung jawab pemegang
izin usaha pertambangan (IUP) dalam ketentuan Pasal 96 huruf (c) UU
Minerba. Berdasarkan ketentuan tersebut, berkaitan reklamasi pemegang
izin pertambangan memiliki kewajiban: (1) Menyusun rencana reklamasi;
(2) Menyerahkan dana jaminan reklamasi; (3) Melaksanakan reklamasi.
232
Prinsip kedua : reklamasi merupakan kegiatan terencana pemegang
izin pertambangan berkewajiban menyusun rencana reklamasi,
berdasarkan Pasal 99 ayat (1) bahwa “Setiap pemegang IUP dan IUPK
wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada
saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi
Produksi.”
Proses pelaksanaan reklamasi areal bekas pertambangan secara
umum diatur dalam Pasal 99 ayat (1) bahwa “Setiap pemegang IUP dan
IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang
pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK
Operasi Produksi.” Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan pelaksanaan
reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan
peruntukan lahan pascatambang. Peruntukan yang dimaksud harus
dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP
atau IUPK dan pemegang hak atas tanah. Setelah persetujuan rencana
reklamasi, pemegang IUP dan IUPK memiliki kewajiban untuk
menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang
sesuai ketentuan Pasal 100 ayat (1). Jika pemegang IUP dan IUPK tidak
melaksanakan reklamasi sesuai dengan rencana yang telah disetujui,
maka berdasarkan ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota
sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk
melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan reklamasi
dan pascatambang.
233
f. Reklamasi menurut PP Nomor 24 tahun 2010 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
PP 24 tahun 2010 Pasal 1 ayat 9 mendefinisikan reklamasi hutan
adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali hutan atau lahan
dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat
penggunaan kawasan hutan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai
dengan peruntukannya. Ketentuan reklamasi ini berlaku umum bagi
kegiatan diluar bidang kehutanan yang menggunakan kawasan hutan.
Ketentuan lebih khusus reklamasi di kawasan hutan diatur dalam
ketentuan Peraturan Menteri.
g. Reklamasi menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.
4/Menhut-II/2011 Tentang Pedoman Reklamasi Hutan
Pasal 1 ayat (22) PMK Nomor : P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman
Reklamasi Hutan, mendefinisikan “Reklamasi hutan adalah usaha untuk
memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi yang rusak
agar dapat berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya.“
Prinsip dasar kegiatan reklamasi menurut ketentuan Pasal 2, meliputi:
(a) Reklamasi merupakan satu kesatuan yang utuh (holistic) dengan
kegiatan penambangan; dan (b) reklamasi dilakukan sedini mungkin tanpa
menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan.
234
Tabel 15:
Peraturan di Tingkat Menteri tentang Reklamasi Tambang Dalam
Kawasan Hutan
No Regulasi Tentang
1 Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/1999
Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan
2 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2008 jo.. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.84/Menhut-II/2014
Tata Cara Penentuan luas areal terganggu dan areal reklamasi dan revegetasi untuk penghitungan PNBP penggunaan kawasan hutan
3 Permenhut No. 60/Menhut-II/2009
Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan
4 Permenhut No. P.32/Menhut-II/2009 Jo.. P.35/Menhut-II/2010
Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS (RTkRHL-DAS)terkait Pasal 13 ayat 5 PP 76/2008)
5 Permenhut No. P.39/Menhut-II/2010
Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan terkait Pasal 7 PP 76/2008)
6 Permenhut No. P.04/Menhut-II/2011
Pedoman Reklamasi Hutan
7 Permenhut No. P.12/Menhut-II/2011
Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
8 Permenhut No. P.63/Menhut-II/2011
Pedoman Penanaman Bagi Pemegang IPPKH Dalam Rangka Rehabilitasi DAS
9 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.16/Menhut-II/2014
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
10 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.87/Menhut-II/2014
Pedoman Penanaman Bagi Pemegang IPPKH dalam rangka Rehabilitasi DAS
Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan RI Periode 1999-2014
Program reklamasi hutan menurut Pasal 15 (1), meliputi: (a).
penyiapan kawasan hutan; (b). pengaturan bentuk lahan/penataan lahan;
(c). pengendalian erosi dan sedimentasi; (d). pengelolaan lapisan tanah
pucuk; (e). revegetasi; dan (f). pengamanan;
Jangka waktu reklamasi hutan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu izin penggunaan kawasan hutan. Dalam hal
perusahaan akan mengembalikan kawasan hutan yang dipinjam pakai
235
sebelum berakhirnya jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan
menurut ketentuan ayat (2), maka batas akhir penyelesaian reklamasi
hutan adalah selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sebelum waktu
pengembalian kawasan hutan tersebut. Sebelum dilakukan pengembalian
dilakukan penilaian terhadap keberhasilan reklamasi hutan.
Ketentuan Pasal 55 (1) : bagi pemegang izin penggunaan kawasan
hutan wajib mempunyai organisasi khusus yang menangani reklamasi
hutan. Ketentuan ayat (2), organisasi antara lain bertugas untuk: (a).
mengidentifikasi rencana peruntukan dan pemanfaatan ruang daerah
yang akan di tambang; (b). mengidentifikasikan rona lingkungan awal; (c).
merencanakan upaya reklamasi hutan; (d). melaksanakan rencana dan
upaya reklamasi hutan; (e). melakukan pemeliharaan, penelitian,
pemantauan dan pelaporan dari semua pelaksanan rencana dan upaya
reklamasi hutan.
Penilaian keberhasilan reklamasi hutan berdasarkan Pasal 69 (1)
penilaian keberhasilan reklamasi hutan dilakukan melalui kegiatan
evaluasi terhadap pelaksanaan reklamasi hutan. (2) penilaian
keberhasilan untuk tingkat pusat dilakukan oleh tim yang dikoordinir oleh
Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial dan penilaian keberhasilan untuk tingkat daerah
dilakukan oleh tim yang dikoordinir oleh Dinas Teknis Provinsi yang
menangani kehutanan. (3) Penilaian keberhasilan reklamasi hutan
236
dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali atau setahun sebelum
berakhirnya masa berlaku izin pinjam pakai kawasan hutan.
Ketentuan sanksi berdasarkan Pasal 79, bagi para pemegang izin
yang tidak melaksanakan kegiatan reklamasi hutan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan atau tidak melakukan kegiatan reklamasi
hutan, dikenakan sanksi berupa : (a). Sanksi administratif, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang didahului peringatan tertulis
sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 3 (tiga) bulan untuk setiap kali
peringatan; (b). Sanksi berupa pencabutan ijin penggunaan kawasan
hutan, setelah dilakukan penilaian hasil reklamasi hutan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
h. Pengaturan Reklamasi Lahan Paska Tambang berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014
Beberapa ketentuan berkaitan dengan lahan paska tambang dalam
peraturan ini, jika dilakukan penelusuran tidak disebutkan bagian khusus
lahan paska tambang yang berada di kawasan hutan namun
pengaturannya menyebar dalam bagian-bagian pengaturan izin,
kewajiban, dll. Beberapa hal yang perlu dicermati adalah :
(1) Reklamasi Kawasan Hutan
Reklamasi lahan pertambangan dalam kawasan hutan berdasarkan
ketentuan ini didefinisikan menurut Pasal 1 ayat (13), reklamasi hutan
adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali hutan atau lahan
237
dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat
penggunaan kawasan hutan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai
dengan peruntukannya.
Pengklasifikasian lahan kawasan hutan setelah dilakukan
penambangan menurut ketentuan ini ada tiga klasifikasi yaitu L1, L2 dan
L3. Menurut Pasal 1 ayat (15) L1 adalah area terganggu karena
penggunaan kawasan hutan untuk sarana prasarana penunjang yang
bersifat permanen selama jangka waktu penggunaan kawasan hutan.
Pasal 1 ayat (16) L2 adalah area terganggu karena penggunaan
kawasan hutan yang bersifat temporer yang secara teknis dapat segera
dilakukan reklamasi. Sedangkan kategori L3 menurut Pasal 1 ayat (17) L3
adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat
permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan reklamasi.
Pasal 6 ayat (2) huruf (a) izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
komersial dilakukan dengan ketentuan: Wilayah Provinsi yang luas
kawasan hutan dibawah 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah
aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi : izin pinjam pakai kawasan hutan
pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30% (tiga puluh
perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi,
dengan kompensasi lahan: ratio 1:2 untuk komersial ditambah dengan
luas rencana areal terganggu dengan kategori L3; dan jika realisasi L3
lebih luas dari rencana L3 maka luas lahan kompensasi ditambah dengan
luas perbedaan dari selisih antara rencana L3 dengan realisasi L3;
238
Wilayah provinsi yang luas kawasan hutan diatas 30% (tiga puluh
perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi :
dengan kompensasi membayar PNBP penggunaan kawasan hutan dan
melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai,
dengan ketentuan: penggunaan untuk komersial dikenakan kompensasi
membayar PNBP penggunaan kawasan hutan dan melakukan
penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai dengan ratio
1:1 ditambah dengan luas rencana areal terganggu dengan kategori L3;
(2) Ketentuan Lahan Kompensasi
Ketentuan Pasal 1 angka (10), mendefinisikan kompensasi adalah
salah satu kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
menyediakan dan menyerahkan lahan bukan kawasan hutan atau
membayar sejumlah dana yang dijadikan PNBP sebagai pengganti lahan
kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 1 angka (12) kondisi calon lahan kompensasi yang tidak
bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure) adalah kondisi
calon lahan kompensasi yang telah jelas statusnya, tidak dalam sengketa,
tidak dalam penguasaan pihak yang tidak berhak dan tidak dibebani hak
atas tanah tertentu serta tidak dikelola oleh pihak lain.
Calon lahan kompensasi menurut Pasal 35 (1), calon lahan
kompensasi wajib memenuhi persyaratan: (a). dapat dikelola dan
dijadikan bagian dari satu unit pengelolaan hutan; (b). terletak dalam
daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi yang sama; (c). dapat
239
dihutankan kembali dengan cara konvensional; (d). tidak dalam sengketa
dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan; dan (e).
mendapat rekomendasi dari gubernur atau bupati/walikota. Ketentuan
lahan kompensasi sesuai Pasal 35 (1) memungkinkan pemegang IPPKH untuk
meninggalkan lahan yang tidak bisa dipulihkan di wilayah pertambangannya
dengan konsekuensi menyediakan lahan pengganti di tempat lain. Selain itu
berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (10) ketentuan ini, kewajiban penyediaan
lahan kompensasi dapat dikonversi dengan pembayaran sejumlah uang.
Ketentuan lahan kompensasi ini megandung masalah yaitu pertama :
pemegang IPPKH dimungkinkan meninggalkan areal yang tidak dapat
dipulihkan dengan syarat menyediakan lahan kompensasi; kedua : Lahan
kompensasi dapat disediakan di wilayah diluar IPPKH sepanjang masih
dalam aliran sungai yang sama atau dalam provinsi yang sama.
Ketentuan ini melupakan bahwa kawasan hutan yang terganggu oleh
kegiatan pertambangan memiliki fungsi ekologis bagi wilayah di sekitarnya
yang tidak dapat digantikan dengan penyediaan lahan di wilayah diluar
IPPKH yang tidak harus kawasan hutan; Ketiga : ketentuan kewajiban
penyediaan lahan kompensasi dapat digantikan dengan sejumlah uang,
seolah mengesampingkan fungsi kawasan hutan bagi wilayah disekitarnya
yang akan terganggu dengan hilangnya kawasan hutan, serta tidak dapat
digantikan dengan sejumlah uang. Salah satu fungsi kawasan yang tidak
dapat digantikan dengan uang adalah fungsi ekologis kawasan hutan.
Keempat : ketentuan ini seolah mengingkari kenyataan bahwa luas
daratan di Indonesia ini telah ada peruntukkannya. Sehingga bisa
240
dipastikan ketentuan ini akan mengalami berbagai kendala
penyelenggaraan dan menimbulkan persoalan tumpang tindih lahan.
Berdasarkan penelusuran terhadap regulasi pertambangan batubara
di kawasan hutan, sejak periode setelah kemerdekaan, khususnya setelah
orde baru hingga masa reformasi terjadi perubahan pengaturan yang
sangat dinamis. Pada masa Orde lama fondasi awal pengelolaan sumber
daya alam diatur dalam Konstitusi RI UUD 1945, serta UU Nomor 5 tahun
1060 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria. Selain itu hanya satu
peraturan pemerintah penggati UU yang mengatur khusus pertambangan.
Orientasi pengaturan pada semangat nasionalisasi atas pengelolaan
sumber daya alam, belum ada pengaturan pertambangan batubara secara
khusus.
Namun pada periode orde Baru terdapat 4 peraturan setingkat UU,
Instruksi Menteri sebanyak 1 sedangkan Peraturan/Keputusan Menteri
sebanyak 6 serta Peraturan/Keputusan Dirjen sebanyak 1. Orientasi
pengaturan adalah untuk mendorong investasi di bidang pertambangan
sebagai upaya percepatan ekonomi bangsa. Upaya memberikan ruang
bagi perusahaan pertambangan sangat tegas dinyatakan, yaitu ketika
terjadi pertindihan/tumpang tindih peruntukkan maka sektor pertambangan
yang harus didahulukan. Regulasi tersebut semakin kuat di warnai politik
otoritarian yang dijalankan orde baru selama masa kekuasaannya.
Regulasi pada masa Orde Reformasi terhadap sektor pertambangan
di kawasan hutan sejalan dengan semangat reformasi adalah koreksi
241
terhadap kebijakan orde baru yang mengutamakan pendapatan ekonomi
secara cepat yang pada akhirnya tidak mampu mewujudkan cita-cita
menciptakan kemakmuran rakyat. Berdasarkan penelusuran regulasi
pertambangan di kawasan hutan, pada masa reformasi terjadi pengaturan
yang lebih detil, namun orientasinya tidak berbeda dengan masa orde
baru, yakni memberikan ruang bagi pertambangan untuk melakukan
eksploitasi di kawasan hutan. Regulasi pada masa reformasi sebanyak 4
UU/PERPU, 2 Peraturan Pemerintah, 1 Keppres, 19 Peraturan Menteri
serta 1 Peraturan Dirjen. Selain itu terdapat 1 Putusan Mahkamah Agung
yang menguji UU No 19 Tahun 2004 terhadap UUD 1945.
Tabel 16 : Jumlah Regulasi Pertambangan di Kawasan Hutan
Periode Jumlah Regulasi
Putusan Mahkamah Konstitusi
UU/ PERPU
PP Instruksi Presiden/ KEPPRES
Peraturan Menteri
Keputusan/ Peraturan
Dirjen
Orde lama - 1
Orde Baru - 3 1 6 1
Orde Reformasi
1 4 2 1 19 1
Total 1 8 2 2 25 2
Sumber : Regulasi Pertambangan di kawasan hutan periode 1960-Mei 2017
Sehingga secara keseluruhan terdapat 40 produk regulasi berkaitan
pertambangan di kawasan hutan sejak 1960 – Mei 2017 yaitu : 1
Putusan Mahkamah Konstitusi, 8 UU/PERPU, 2 Peraturan Pemerintah,
Instruksi Presiden sebanyak 2, Peraturan Menteri/Keputusan Menteri
sebanyak 25, serta Peraturan/Keputusan Dirjen sebanyak 2 produk.
242
B. Implementasi dan Manfaat Pertambangan Batubara
dalam Kawasan Hutan
1. Implementasi Pertambangan Batubara dalam Kawasan Hutan
1.1 Implementasi Pertambangan dalam Kawasan Hutan di
Kalimantan Timur
Berdasarkan data luas kawasan hutan Indonesia, menurut Dirjen
Planologi kehutanan, luas kawasan hutan Indonesia adalah 129 juta
hektar. Kawasan hutan ini terbagi berdasarkan fungsinya yaitu sebagai
hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi
serta areal penggunaan lain.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, kawasan hutan yang dapat dipergunakan bagi pertambangan
adalah kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Secara
khusus, berdasarkan Pasal 38 hanya kawasan hutan produksi yang dapat
dilakukan penambangan secara terbuka. Sedangkan kawasan hutan
lindung harus dilakukan dengan sistem penambangan
tertutup/penambangan bawah tanah. Berdasarkan ketentuan UU Nomor
19 tahun 2004, maka terdapat pengecualian bagi 13 (tiga belas)
perusahaan pertambangan yang diperbolehkan menambang secara
terbuka di kawasan hutan lindung, berdasarkan ketentuan tersebut
terdapat 2 (dua) perusahaan pertambangan batubara, yaitu PT Indominco
Mandiri berlokasi di Kalimantan Timur dan PT Interex Secra Raya
berlokasi di perbatasan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
243
Kalimantan Timur adalah bagian wilayah di Pulau Kalimantan atau
dikenal dengan nama Pulau Borneo, yaitu pulau terbesar ketiga di dunia
setelah Greenland dan seluruh Pulau Papua. Kalimantan mempunyai
peran penting dalam pengembangan ekonomi Indonesia dan merupakan
salah satu penghasil devisa utama yang berasal dari eksploitasi sumber
daya alam : hutan, minyak, gas, batubara,dan mineral-mineral lain.
Tabel 17 :
Luasan dan Peruntukan Kawasan di Kalimantan Timur
No Kawasan Luas (Ha)
A Kawasan Lindung
Hutan Lindung 1,844,970
KSA/KPA 438,390
Jumlah kawasan lindung 2,283,360
B Kawasan Budidaya
Hutan Produksi terbatas 2,871,951
Hutan Produksi 3,008,630
Hutan Produksi Konversi 120,358
Jumlah Kawasan KBK 6,000,939
Jumlah Kawasan Hutan (A+B) 8,284,299
C Kawasan APL
Permukiman 396,728
Kawasan Industri 31,313
Kawasan Pariwisata 139,023
Perikanan 68,134
Perkebunan 3,465,629
Pertanian Tanaman Pangan 253,739
Tubuh Air 60,909
Jumlah Kawasan APL 4,415,475
Jumlah Luasan Daratan 12,699,744
D Laut
Laut 12 Mill 3,997,373
Total 16,732,065
Sumber : Diolah Rekapitulasi Luas APL SK.718/Menhut-II/2014
Posisi Kalimantan Timur terletak antara 4⁰24’ Lintang Utara (LU) dan
2⁰25’ Lintang Selatan (LS), 113⁰44’ Bujur Timur (BT) dan 119⁰00’ Bujur
Timur (BT). Provinsi Kalimantan Timur mempunyai luas wilayah daratan
244
sekitar 12.726.752 ha yang terdiri dari daratan seluas 12.533.681 ha dan
perairan darat seluas 193.071 ha.
Provinsi Kalimantan Timur diresmikan melalui Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom
Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 65),
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1106). Pada
tahun 2012 wilayahnya di mekarkan dengan pembentukan Provinsi
Kalimantan Utara melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang
pembentukan Provinsi Kalimantan Utara.
Tabel 18 : Data Wilayah Administratif Provinsi Kalimantan Timur
Kabupaten/Kota Luas Daratan (Ha) Jumlah Kecamatan Jumlah Desa
Paser 1.074.526 10 144
Kutai Barat 1.537.890 16 194
Mahakam Ulu 1.531.500 5 50
Kutai kartanegara 2.571.641 18 237
Kutai Timur 3.173.519 18 135
Berau 2.195.171 13 110
Penajam Paser Utara 313.195 4 54
Balikpapan 50.432 6 34
Samarinda 69.496 10 53
Bontang 16.311 3 15
Kalimantan Timur 12.533.681 103 1.026 Sumber : BPS dan Bappeda Provinsi Kalimantan Timur RPJMD Tahun 2013-2018
Sebagai provinsi terluas ketiga, Provinsi Kalimantan Timur memiliki
luas wilayah mencapai 6,66% dari luas Indonesia. Dari segi administrasi
pemerintahan, Provinsi Kalimantan Timur terbagi menjadi 7 (tujuh)
kabupaten (Berau, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Paser,
245
Penajam Paser Utara, dan Mahulu) dan 3 (tiga) Kota Balikpapan, Bontang
dan Samarinda. Wilayah administratif terbagi atas 103 kecamatan dan
1.062 desa.
Kabupaten Kutai timur merupakan kabupaten terluas yaitu 3.173.519
hektar, Kutai Kartanegara seluas 2.571.641 hektar dan ketiga adalah Berau seluas
2.195.171 hektar.
Penambangan batubara di Kalimantan Timur dalam sejarahnya telah
dimulai sejak jaman Kerajaan Kutai (Kerajaan Kutai merupakan kerajaan
Hindu tertua di Indonesia), penambangan batubara secara terbuka di
bawah pengawasan Kesultanan sudah mulai beroperasi di Kalimantan
menjelang abad ke-19, yang menghasilkan batubara bermutu rendah
dalam jumlah kecil untuk penggunaan setempat. Tambang kecil milik
negara di Palaran dekat Tenggarong di Kesultanan Kutai merupakan
suatu contoh yang khas. Pada tahun 1888 perusahaan batubara Belanda
(Oost Borneo Maatchappi) mendirikan sebuah tambang batubara besar di
Batu Panggal di tepi Sungai Mahakam, dan usaha pribumi kecil-kecilan di
sepanjang Mahakam Hulu dan Sungai Berau. Produksi tambang-tambang
besar milik Belanda di ekspor, sedangkan kegiatan produksi yang lebih
kecil diarahkan untuk pasaran setempat.
Selain kekayaan sumber daya alam tambang, Kalimantan Timur juga
kaya akan sumber daya alam hutan. Sebagai bagian dari wilayah pulau
Kalimantan (Borneo) yang sangat kaya flora dan fauna. Keragaman jenis
pohon dan jenis tumbuhan dalam hutan basah dataran rendah,
246
Kalimantan merupakan kelompok penghasil kayu komersial terpenting di
Asia Tenggara. Di antara pulau-pulau di Indonesia, Kalimantan
menempati urutan kedua setelah Papua dalam hal kekayaan jenis
tumbuhan, mamalia, burung dan reptilia.
Pulau Kalimantan secara keseluruhan merupakan pusat utama
keragaman hayati dan kawasan prioritas untuk konservasi. Seluruh Pulau
Kalimantan menempati 0,2% keanekaragaman hayati di bumi tetapi satu
diantara 25 jenis tumbuhan yang dikenal dan satu diantara 20 jenis
burung dan mamalia terdapat di pulau ini. Pulau Kalimantan sangat
penting karena kekayaan jenis fauna dan flora serta tingkat
endemismenya sangat tinggi.
Kalimantan Timur merupakan provinsi yang memiliki cadangan
batubara terbesar setelah Sumatera Selatan dan terbesar di Pulau
Kalimantan. Kondisi ini menempatkan Kalimantan Timur sebagai salah
satu daerah yang mengeksploitasi batubara dan mengekspornya dalam
bentuk komoditi mentah. Kaltim hanya menggali, mengangkut dan
mengkapalkan batubara dalam bentuk komoditi mentah tanpa
memberikan nilai tambah.
Pada masa Orde Baru, kondisi geologi Kalimantan Timur yang kaya
sumber daya alam tambang, mendorong pemerintah pusat untuk
mengeluarkan izin eksploitasi sumber daya alam tambang. Pemerintah
pusat mengeluarkan kontrak penambangan batubara kepada beberapa
perusahaan besar, jumlah perusahaan tambang batubara dan mineral di
247
Kaltim yang mendapatkan kontrak pertambangan pada masa orde baru
adalah 116 perusahaan yang terdiri dari 69 Kuasa Penambangan (KP)
dan 47 Perjanjian Karya Pengusahaan Penambangan Batubara (PKP2B )
yang mencapai luasan 6.219.599 hektar.
Eksploitasi pertambangan juga dilakukan di kawasan hutan, hingga
tahun 2006 secara nasional tercatat 111 perusahaan pertambangan di
kawasan hutan, sumber daya alam yang digali meliputi batubara, emas,
tembaga dan mangan. Beroperasinya perusahaan di kawasan hutan
Kalimatan terbanyak berada di Kalimantan Timur yakni sebanyak 31
perusahaan, Kalimantan Selatan 11 perusahaan.
Data perizinan pertambangan hingga tahun 2013 total penguasaan
lahan tambang di Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara,
berkisar kurang lebih 7 juta hektar. Terdiri dari 1.451 Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dengan luas 5.314.294,69 hektar, 67 Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menguasai lahan
1.624316,49 hektar, dan 5 Kontrak Karya (KK) dengan luas konsesi
29.201,34 hektar.
Berdasarkan penataan kawasan Kalimantan Timur Tahun 2014
setelah pemekaran Provinsi Kalimantan Utara, luas daratan Kalimantan
Timur seluruhnya adalah 12,699,744 hektar, yang terbagi menjadi luas
kawasan hutan adalah 8.284.299 hektar dan luas kawasan Areal
Penggunaan Lain (APL) adalah 4,415,475 hektar. Kawasan hutan lindung
seluas 2,283,360 hektar, sedangkan kawasan budidaya kehutanan
248
6,000,939 hektar. Kalimantan Timur juga memiliki sumber daya hutan
yang berfungsi sebagai paru-paru dunia.
Tabel 19:
Pola Penataan Ruang di Kalimantan Timur Per-Kabupaten/Kota
Kab/ Kota
Luas Peruntukan Kawasan (Ha)
APL HL HP HPK HPT KSA/ KPA
Tubuh Air
Balikpapan 33.523 15.971 1.630 - - - 100
Berau 604.804 362.904 537.010 33.943 624.836 - 10.022
Bontang 10.984 4.535 - 87 - 692 15
Kutai Barat 720.841 56.608 308.194 11.847 247.280 4.785 21.437
Kutai Kartanegara
958.580 201.647 756.279 22.753 486.234 133.512 39.803
Kutai Timur 980.210 329.919 856.200 39.140 706.555 184.410 8.736
Mahulu 293.853 758.172 214.609 2.806 669.298 - 6.202
Paser 482.729 115.211 241.475 9.777 145.843 108.044 6.617
Penajam Paser Utara
145.496 1 111.157 84 28.210 6.947 4782
Samarinda 68.720 - 544 - - - 2.388
Total (Ha) 4.299.739 1.844.970 3.027.100 120.438 2.908.255 438.390 95.799
Total Daratan 12.734.691
Sumber : Rekapitulasi Luas APL menurut SK.718/Menhut-II/2014
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang
Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan, Pasal 1 angka (7) paru-paru
dunia adalah kawasan bervegetasi hutan tropis basah dalam satu
hamparan luas yang memiliki fungsi sebagai penyerap karbondioksida,
penghasil oksigen, dan penyeimbang iklim global. Kebijakan otonomi
daerah sebagai hasil reformasi politik, menempatkan pemerintah daerah
sebagai institusi yang mendapatkan kewenangan di daerah yang selama
orde baru tidak pernah diberikan. Kewenangan tersebut mendorong
pemerintah daerah mengeluarkan perizinan sektor pertambangan untuk
menambah pendapatan daerah.
249
1.2 Implementasi Mekanisme Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
(IPPKH)
Pertambangan batubara yang melakukan eksploitasi di kawasan
hutan disyaratkan selain harus mendapatkan izin usaha pertambangan
juga harus memiliki Izin Penggunaan Kawasan Hutan berupa Izin Pinjam
Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sesuai ketentuan Pasal 38 UU Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.
a. Proses Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menurut
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral
Berdasarkan ketentuan penggunaan kawasan hutan untuk
pertambangan, perusahaan pertambangan untuk dapat beroperasi di
kawasan hutan, wajib medapatkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
(IPPKH). Prosedur pemberian IPPKH menurut keterangan Subdit
Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara Kementerian Energi
Sumber Daya Mineral (KESDM), adalah :150
“Prosedur IPPKH merupakan kewenangan instansi kehutanan. Kewenangan Kementerian ESDM adalah berkaitan perizinan tambangnya, selanjutnya untuk dapat beroperasi jika lokasinya berada dikawasan hutan maka perusahaan yang bersangkutan harus mengurus perizinan di Instansi Kehutanan sesuai peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan ketentuan yang berlaku terdapat perbedaan perizinan
antara pertambangan yang beroperasi di kawasan hutan dan diluar
kawasan hutan. Perbedaan perizinan pertambangan di kawasan hutan
150
Andi Ari.S. Subdit Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM), wawancara tanggal 27 Januari 2016
250
selain mendapatkan izin pertambangan, juga harus mendapatkan izin
untuk beroperasi di kawasan hutan, dikatakan oleh Subdit Pengawasan
Produksi dan Pemasaran Batubara :151
“Perizinan yang dikeluarkan instansi pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Perbedaan perizinan antara pertambangan di kawasan hutan dan diluar kawasan hutan adalah ketika sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan izin pertambangan, pihak perusahaan yang lokasi tambangnya berada di kawasan hutan harus memiliki izin penggunaan kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan-perundang-undangan. Jika tidak mendapatkan izin tersebut maka perusahaan pertambangan tidak akan dapat beroperasi di kawasan hutan, meskipun telah mendapatkan izin usaha pertambangan.” Berdasaran keterangan tersebut, perusahaan pertambangan yang
beroperasi dikawasan hutan harus terlebih dahulu mendapatkan izin
usaha pertambangan sebagai syarat dapat beroperasinya perusahaan
pertambangan. Selanjutnya perusahaan tersebut harus mendapatkan
IPPKH sebagai syarat untuk dapat beroperasi di kawasan hutan.
Sehingga prosedur untuk mendapatkan IPPKH harus ditempuh oleh
perusahaan pertambangan setelah perusahaan yang dimaksud
mendapatkan izin usaha pertambangan. Tanpa IPPKH maka perusahaan
pertambangan tidak dapat melakukan penambangan di kawasan hutan.
Kewenangan memberikan persetujuan pemberian IPPKH menurut
keterangan KESDM tersebut, berada di instansi kehutanan, keterangan
yang disampaikan adalah :152
“Proses disetujui atau tidak penggunaan kawasan hutan bagi pertambangan melalui penerbitan IPPKH sangat bergantung pada
151
Ibid. 152
Ibid.
251
tahap telaah dan analisis yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebagai instansi yang memiliki kewenangan menurut peraturan perundang-undangan.”
Berkaitan izin usaha pertambangan baik yang berada di kawasan
hutan maupun diluar kawasan hutan, penulis mencermati bahwa terjadi
perubahan yang luar biasa dengan adanya kebijakan otonomi daerah
dalam pengelolaan pertambangan batubara, sebagaimana data
Kementerian ESDM yang dipublikasikan dalam warta minerba yang
diterbitkan tahun 2014, perubahan yang sangat nampak adalah dari segi
jumlah perizinan pertambangan. Sebelum otonomi daerah, jumlah Izin
pertambangan hanya sebanyak 600-an. Setelah otonomi daerah jumlah
izin pertambangan meningkat secara luar biasa. IUP se-Indonesia
mencapai 10.922, yang terdiri dari 7.000 IUP Mineral dan 3.922 IUP
Batubara. Informasi tersebut dibenarkan oleh Subdit Pengawasan
Produksi dan Pemasaran Batubara, dikatakan bahwa :153
“Izin Usaha Pertambangan saat ini terdapat sekitar 3000-an, jumlah tersebut meningkat setelah diberlakukan kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan pada daerah untuk mengeluarkan izin pertambangan. Pemerintah KESDM sedang berupaya untuk terus melakukan penataan perizinan terutama dengan mekanisme pengawasan melalui ketentuan clear and clean (CnC) bagi perusahaan pertambangan batubara yang beroperasi”
Jumlah IUP batubara seluruh Indonesia menurut data KESDM
sebanyak 3.922, dari jumlah tersebut sebanyak 3.258 IUP berada di Pulau
Kalimantan, dengan demikian sebagian besar IUP batubara Indonesia
153
Ibid.
252
berlokasi di Kalimantan. Kalimantan Timur merupakan lokasi terbanyak
IUP batubara yaitu sebanyak 1.181 IUP. Sedangkan Kalimantan Selatan
pada urutan kedua sebanyak 789 IUP, berikutnya Kalimantan Tengah
sebanyak 654 IUP serta Kalimantan Barat sebanyak 541 IUP.
Tabel 20 :
Rekapitulasi Izin Usaha Pertambangan Di Pulau Kalimantan
PROVINSI JUMLAH IUP
C&C NON C&C TOTAL
KALIMANTAN BARAT 371 170 541
KALIMANTAN TENGAH 489 165 654
KALIMANTAN SELATAN 438 351 789
KALIMANTAN TIMUR 906 275 1181
KALIMANTAN UTARA 91 2 93
2.295 963 3258
Sumber : KESDM RI Tahun 2016 data diperbarui Tahun 2017
Berdasarkan data di Kementerian ESDM terjadinya peningkatan
jumlah izin pertambangan batubara mendorong peningkatan produksi
batubara di Indonesia, kenaikan produksi sebesar 18% pertahun. Dari
jumlah kenaikan batubara tersebut, 70% untuk kebutuhan ekspor, sisanya
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Jumlah izin pertambangan yang sangat besar menyebabkan beban
pengawasan yang juga tidak ringan. Mengingat lokasi penambangan
berada di kawasan yang sulit untuk dijangkau transportasi umum. Kondisi
tersebut menyebabkan pengawasan lebih sulit dan membutuhkan biaya
yang tidak sedikit.
Kewenangan pengawasan pertambangan batubara yang dilakukan
oleh KESDM hanya berkaitan teknis penambangan. Sedangkan
253
pengawasan sesuai status kawasan hutan merupakan kewenangan
Kementerian Kehutanan, hal ini disampaikan Subdit Pengawasan
Produksi dan Pemasaran Batubara KESDM, yaitu:154
“Dirjen Mineral dan Batubara hanya melakukan pengawasan berkaitan dengan teknis produksi pertambangan serta kewajiban-kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangan Dirjen Mineral dan Batubara. Pengawasan yang dilakukan tidak berbeda antara pertambangan di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, karena yang diawasi berkaitan operasional pertambangan. Pengawasan berkaitan kawasan hutan menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan, karena kewenangan memberikan izin dalam kawasan hutan merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan.”
Berdasarkan keterangan tersebut, maka Subdit Pengawasan
Produksi dan Pemasaran Batubara, melakukan pengawasan ketika
perusahaan pertambangan telah beroperasi. Pengawasan pertambangan
terkait status kawasan hutan menjadi kewenangan Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan sesuai ketentuan peraturan perudang-
undangan yang berlaku. Terhadap perusahaan pertambangan yang
beroperasi di kawasan hutan, pengawasan yanag dilakukan oleh KESDM
tidak ada perbedaan antara pertambangan di kawasan hutan dan diluar
kawasan hutan. Bentuk pengawasan yang dilakukan adalah secara
administratif dan teknis dilapangan secara langsung, pengawasan
langsung di lokasi penambangan dilakukan dengan metode sampling,
karena pengawasan secara keseluruhan pada periode yang sama
154
Ibid.
254
terkendala sumber daya yang terbatas sedangkan perusahaan
pertambangan yang diawasi ribuan.
b. Proses Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menurut
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup
Prosedur Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) harus
memenuhi syarat administrasi dan teknis, menurut keterangan Direktorat
Penggunaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan adalah :155
“IPPKH merupakan perizinan yang wajib dimiliki perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan hutan. Prosedur pemberian IPPKH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, perusahaan harus mengajukan permohonan dengan menyertakan syarat-syarat yang sudah ditentukan yang mencakup syarat teknis dan administrasi.”
Prosedur pemberian IPPKH mengikuti ketentuan dalam Permenhut
Nomor : P.16/Menhut-II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
Hutan, berdasarkan ketentuan tersebut, tata cara permohonan IPPKH
kepada menteri Kehutanan dan Lingkungan adalah : (1) Permohonan izin
pinjam pakai kawasan hutan diajukan oleh: menteri atau pejabat setingkat
menteri; gubernur; bupati/walikota; pimpinan badan usaha; atau ketua
yayasan. (2) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan harus
dilengkapi persyaratan administrasi; dan teknis.
Peran pemerintah daerah dalam prosedur pemberian IPPKH sangat
penting, karena salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon
155
Dadan Mulyana, Staf Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan, wawancara di Jakarta tanggal 9 Februari 2015
255
IPPKH adalah adanya rekomendasi dari kepala daerah dimana lokasi
kawasan hutan yang dimohonkan untuk digunakan sebagai wilayah
penambangan tersebut berada, sebagaimana dikatakan :156
“Pemerintah Daerah berperan penting dalam prosedur pemberian IPPKH, karena ada syarat bagi pihak yang memohon untuk menyertakan rekomendasi dari daerah, yaitu rekomendasi gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh bupati/walikota dan Pemerintah; atau rekomendasi bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur.”
Persyaratan teknis yang dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, persyaratan teknis diantaranya pemohon
menyertakan rencana kerja penggunaan kawasan yang dilengkapi citra
satelit, izin lingkungan dan dokumen AMDAL atau UKL-UPL, serta
pertimbangan teknis Dirjen Minerba. Jika persyaratan teknis dan
administratif telah dipenuhi maka dilakukan penilaian dan telaah oleh
dirjen yang membidangi, jika disetujui maka dikeluarkan persetujuan
prinsip penggunaan kawasan hutan. Dengan demikian, setelah
terpenuhinya syarat teknis dan administratif dalam pemberian IPPKH
maka selanjutnya dilakukan penilaian dan telaah oleh dirjen yang
membidangi, jika disetujui maka dikeluarkan persetujuan prinsip
penggunaan kawasan hutan.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka proses penerbitan IPPKH
melibatkan pemerintah daerah baik kabupaten/kota maupun provinsi serta
156
Ibid.
256
pemerintah pusat yaitu Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan
dan Lingkungan Hidup. Berdasarkan keterangan tersebut, jika salah satu
tidak memberikan rekomendasi atau persetujuan dalam proses
pengajuan, maka IPPKH tidak dapat diterbitkan bagi pemohon yang
dimaksud. Ketentuan tersebut sejalan dengan Permenhut Nomor: P.16/
Menhut-II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Berdasarkan penelusuran data yang dilakukan penulis di
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan tentang perizinan pertambangan
di kawasan hutan, menunjukkan penggunaan kawasan hutan untuk
kegiatan diluar kehutanan, masih di dominasi kegiatan pertambangan
sebanyak 911 unit (66,20%), sedangkan kegiatan non pertambangan
sebanyak 465 unit (33,79%). Jumlah perizinan penggunaan kawasan
hutan untuk kegiatan diluar kehutanan, paling banyak terdapat di Pulau
Kalimantan yaitu 502 unit (36,48%) dengan luas total 1.143.419 Ha. Pulau
Sumatera sebanyak 366 unit (26,60%) dengan total 440.342 Ha. Pulau
Jawa sebanyak 209 unit (15,19%) dengan luas total 244.780 Ha. Pulau
Nusa Tenggara sebanyak 64 unit (4,65%) dengan total luas 118.346 Ha.
Pulau Maluku sebanyak 60 unit (4,36%) dengan total luas 131.607 Ha dan
Pulau Papua sebanyak 42 unit (3,05%) dengan total luas 96.563 Ha.157
Berdasarkan data tersebut, menunjukkan Kalimantan merupakan wilayah
terbanyak menerbitkan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
diluar kehutanan.
157
Kementerian Kehutanan, Februari 2015
257
c. Proses Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menurut
Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur
Berkaitan prosedur izin pertambangan di kawasan hutan, Dinas
Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur,
berdasarkan permohonan dapat menerbitkan hanya izin
pertambangannya saja, sedangkan berkaitan dengan status kawasan
hutan maka pemegang izin pertambangan harus mendapatkan izin dari
Kementerian Kehutanan. Menurut keterangan Kepala Bagian
Pertambangan Batubara Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur
bahwa:158
“Kewenangan perizinan pertambangan di kawasan hutan berada di Dinas Kehutanan, sedangkan untuk Dinas ESDM Provinsi berdasarkan ketentuan mempunyai kewenangan penerbitan izin pertambangan. Namun pada tahun ini Dinas Pertambangan Provinsi belum menerbitkan izin pertambangan baru, hanya melakukan penataan perizinan yang sudah ada.”
Sejalan perubahan pelimpahan kewenangan Dinas ESDM terhadap
perizinan batubara, serta Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2015,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur belum mengeluarkan perizinan
baru dibidang pertambangan. Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2015
Tentang Penataan Pemberian Izin dan Non Perizinan serta
Penyempurnaan Tata Kelola Perizinan di Sektor Pertambangan,
Kehutanan dan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Timur
158 Goenoeng, Kepala Bagian Pertambangan Batubara Dinas Energi
Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur dalam wawancara tanggal 9 Maret 2016,
258
berdasarkan Pasal 6 (1) Penundaan dan penataan pemberian izin dan
non perizinan diberlakukan pada penerbitan perizinan baru usaha
pertambangan batu bara. Pasal 6 (2) Penundaan dan penataan
pemberian Izin dan non perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk :
a. Perizinan kegiatan eksplorasi pertambangan batu bara yang berjalan;
b. Peningkatan perizinan dari IUP eksplorasi ke IUP Operasi Produksi;
c. Pertambangan Batu bara pada kawasan APL; d. Peningkatan IUP Eksplorasi ke IUP Operasi Produksi
Pertambangan Batu bara di dalam kawasan Hutan Produksi
Pasal 6 (3) Peningkatan dan perpanjangan perizinan dan non
perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf
d, dapat diberikan dengan memenuhi semua persyaratan :
a. Berkomitmen untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri (DMO) diutamakan kebutuhan di Provinsi Kalimantan Timur;
b. Berkomitmen menyediakan pasokan atau membangun Pembangkit Listrik/Power Plant;
c. Berkomitmen mendukung program Ketahanan Pangan (reklamasi untuk tanaman pangan dan sapi);
d. Izin tidak tumpang tindih dengan komoditas yang sejenis; e. Berkantor di Kalimantan Timur (minimal memiliki kantor cabang
di Kalimantan Timur) dan memiliki NPWP Badan di Kalimantan Timur;
f. Memperhatikan daya dukung lingkungan dan masyarakat setempat;
g. Tidak mengekspor bahan mentah; dan h. Membangun industri hilir (downstream).
Sejalan dengan kewenangan pemerintah provinsi setelah berlakunya
UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah maka berkaitan
perizinan pertambangan, pemerintah provinsi melakukan penataan
259
terhadap izin-izin pertambangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
kabupaten/kota berdasarkan ketentuan sebelumnya. Hal ini disampaikan
oleh Kepala Bagian Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber Daya
Mineral Provinsi Kalimantan Timur, bahwa :159
“Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur sejak berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014, melakukan langkah penataan perizinan, salah satunya meminta data dan dokumen perizinan pertambangan yang selama ini dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten kota. Selanjutnya akan dilakukan penataan terhadap perizinan tersebut.”
Ketentuan yang dimaksud narasumber tersebut adalah Pasal 14 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, yang mengatur bahwa : “Penyelenggaraan urusan pemerintahan
bidang kehutanan, kelautan serta energi dan sumber daya mineral dibagi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi.”
Penataan perizinan pertambangan oleh Dinas ESDM Provinsi
Kalimantan Timur tidak memisahkan antara perusahaan pertambangan
yang berada di kawasan hutan dan diluar kawasan hutan, namun
berpedoman pada ketentuan bidang pertambangan sebagaimana
disampaikan oleh Kepala Bagian Pertambangan Batubara Dinas ESDM
Provinsi Kalimantan Timur:160
“Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur melaksanakan tugas berkaitan perizinan pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bidang pertambangan, sedangkan yang
159Kepala Bagian Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber
Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur dalam wawancara tanggal 9 Maret 2016,
160Ibid
260
berkaitan dengan kawasan hutan menjadi tugas dan kewenangan Dinas Kehutanan.” Berkaitan pengawasan oleh Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur
terhadap pertambangan batubara di kawasan hutan dan diluar kawasan
hutan, tidak terdapat perbedaan. Hal ini disebabkan pengawasan yang
dilakukan hanya pada teknis penambangan, sehingga tidak ada
perbedaaan bagi yang berada di kawasan hutan maupun diluar kawasan
hutan. Keterangan yang disampaikan Kepala Bagian Pertambangan
Batubara Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur, adalah :161
“Pengawasan yang dilakukan Dinas Pertambangan Provinsi terhadap izin pertambangan batubara yang berada di kawasan hutan, sama dengan tambang yang berada di luar kawasan hutan sesuai kewenangan Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur adalah berkaitan teknis penambangan yang dilakukan oleh perusahaan. Sedangkan kewajiban perusahaan yang berada dikawasan hutan secara ketentuan memang terdapat perbedaan, namun pengawasannya berada di Instansi kehutanan.” Pernyataan yang disampaikan oleh Dinas ESDM Provinsi
Kalimantan Timur menegaskan beberapa hal yaitu : Pertama, adanya
kewenangan Dinas ESDM Provinsi berkaitan penerbitan Izin Usaha
Pertambangan. Kedua, kewenangan pemberian izin usaha pertambangan
tanpa ada pembedaan antara kawasan hutan dan bukan kawasan hutan,
sepanjang memenuhi persyarakatan sesuai peraturan yang berlaku.
Ketiga, kewenangan pengawasan terhadap pemegang izin pertambangan
batubara oleh Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur adalah terhadap
pelaksanaan teknis penambangan. Keempat, pengawasan terhadap
161
Ibid
261
penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan menjadi kewenangan
instansi kehutanan yang ada di daerah maupun di pusat.
d. Proses Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menurut
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur
Berkaitan pertambangan di kawasan hutan, menurut keterangan
Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur, kawasan hutan memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi
ekologis, fungsi sosial dan fungsi ekonomis. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka kawasan hutan dapat digunakan aktivitas ekonomi bidang
pertambangan sepanjang telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan. Keterangan yang disampaikan Kasubag Penggunaan
Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur adalah :162
“Kawasan hutan sesuai fungsinya memang ada tiga yaitu fungsi ekonomis, fungsi sosial dan fungsi ekologis, penting bagi kelestarian lingkungan hidup. Namun dalam pelaksanaan fungsi tersebut kawasan hutan dapat digunakan oleh kegiatan diluar kegiatan kehutanan. Salah satu penggunaan kawasan hutan yang diperbolehkan oleh peraturan-perundang-undangan adalah penggunaan bagi sektor pertambangan.” Berdasarkan data di Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur,
penggunaan kawasan hutan terbanyak di Kalimantan Timur adalah untuk
pertambangan batubara, dikatakan oleh narasumber bahwa :163
“Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan dibidang pertambangan terutama yang banyak di Kalimantan Timur adalah pertambangan
162Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur, dalam wawancara tanggal 6 April 2016. 163
Ibid
262
batubara, menurut ketentuan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu, salah satunya adalah perusahaan harus mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan.” Berkaitan proses izin pertambangan di kawasan hutan, menurut
keterangan Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan
Provinsi Kalimantan Timur, proses perizinan bagi pertambangan di
kawasan hutan adalah :164
“Perizinan pertambangan di kawasan hutan diberikan dalam bentuk izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Prosedur pemberian IPPKH bagi perusahaan pertambangan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan PP tentang penggunaan kawasan hutan serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.”
Peran pemerintah daerah dalam proses IPPKH adalah pemberian
rekomendasi berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Hal ini dikatakan oleh Kasubag
Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan
Timur, yaitu :165
“Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, rekomendasi sebagai syarat izin diperlukan dari : (1) gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh bupati/walikota dan pemerintah; atau (b) bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur; atau (3) bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan yang tidak memerlukan perizinan sesuai bidangnya.”
164
Ibid 165
Ibid
263
Proses penerbitan rekomendasi berdasarkan ketentuan menurut
Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur adalah :166
“Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana memuat persetujuan atas penggunaan kawasan hutan yang dimohon, berdasarkan pertimbangan teknis kepala dinas provinsi atau kepala dinas kabupaten/kota yang membidangi kehutanan dan kepala balai pemantapan kawasan hutan. Berdasarkan pertimbangan teknis kepala dinas provinsi atau kepala dinas kabupaten, maka rekomendasi yang diajukan pihak pengusaha dapat diterbitkan atau justru ditolak oleh pemerintah daerah, jika pertimbangan teknis yang disampaikan menyatakan bahwa rekomendasi tidak diterbitkan, maka permohonan yang bersangkutan juga tidak dipenuhi.”
e. Pelaksanaan prosedur Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
(IPPKH) menurut Pendapat Masyarakat
Prosedur Izin Pinjam Pakai menurut pendapat masyarakat, dalam
penelitian ini menggali informasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat atau
yang sering pula disebut Non Goverment Organitation (NGO) yang
mempunyai kepedulian terhadap permasalahan pertambangan dan
kehutanan di Kalimantan Timur. Pendapat masyarakat tentang proses
perizinan adalah :167 “Perizinan pertambangan di kawasan hutan selama
ini dilakukan secara tidak transparan tanpa ada pelibatan masyarakat,
terutama masyarakat yang akan terkena dampak langsung dari
pertambangan di kawasan hutan.” Penulis memberikan tanggapan kepada
narasumber bahwa “dalam prosedur pemberian perizinan disyaratkan
166
Ibid 167
Merah Johansyah, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Nasional di
Jakarta, pada tanggal 17 Juli 2016
264
diberikan jika telah dilengkapi dokumen AMDAL/UKL-UPL. Dalam
dokumen tersebut bukankah melibatkan masyarakat,” menurut pendapat
narasumber adalah :
“Proses AMDAL yang dilakukan oleh perusahaan tidak keseluruhan melibatkan masyarakat, namun seringkali dalam konsultasi AMDAL dilakukan dengan menghadirkan para pejabat kecamatan dan kampung yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan masyarakat. Perizinan pertambangan di kawasan hutan itu dalam prosesnya selain tidak melibatkan masyarakat juga tidak transparan. Informasi kepada publik sangat terbatas. Sedangkan yang akan mendapatkan dampak kerugian itu masyarakat karena adanya keputusan pemerintah untuk memberikan izin pembongkaran kawasan hutan bagi pertambangan.”
Pelibatan perempuan dalam proses perizinan pertambangan,
menurut pendapat masyarakat sangat rendah. Hal ini disampaikan
Keterangan Ketua Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT), adalah:168
“Masyarakat terutama perempuan tidak dilibatkan dalam proses
pemberian izin pertambangan di kawasan hutan. Meskipun dalam
kenyatannya perempuan dan anak-anak yang sering menerima dampak
kerugian dari kerusakan lingkungan akibat pertambangan.”
Berdasarkan keterangan Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, diketahui bahwa proses
penataan perizinan berkaitan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
diluar bidang kehutanan, masih terus dilakukan, keterangan yang
disampaikan adalah :169
168
Siti Maimunah, Koordinator Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) dalam wawancara 10 Mei 2017.
169 Ibid
265
“Proses evaluasi dilakukan dengan mengumpulkan data perizinan yang sudah ada dan statusnya apakah masih aktif beroperasi atau tidak. Langkah selanjutnya dengan mengevaluasi ketaatan pemegang izin terhadap kewajiban menurut peraturan-perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan data di Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur,
izin penggunaan di kawasan hutan di Kalimantan Timur hingga tahun
2016 terdapat 84 (delapan puluh empat) IPPKH (izin pinjam pakai
kawasan hutan) untuk pertambangan menurut keterangan Staf Sub
Bagian Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur.170
Berdasarkan data yang izin pinjam pakai kawasan hutan di
Kalimantan Timur di dominasi penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan batubara. Kawasan hutan yang telah diterbitkan IPPKH
meliputi kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Legalitas
penambangan batubara di kawasan hutan telah diberikan pemerintah
sejak masa orde baru dan berlanjut hingga masa reformasi.
Selanjutnya Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan
Provinsi Kalimantan Timur menyampaikan data hasil evaluasi perizinan
pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) oleh Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur, diperoleh keseluruhan data IPPKH sebagaimana di
sebutkan dalam tabel berikut:
170Staf sub. bag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan
Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 14 April 2016
266
Tabel 21 :
Daftar Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur
No NAMA PERUSAHAAN LOKASI
PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN
JANGKA WAKTU
(Desa, Kec, Kab) (TAHUN)
Nomor Tanggal Luas (Ha)
1 2 3 4 5 6 7
I KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
1 PT. MAHAKAM SUMBER JAYA (PKP2B) Marangkayu
SK.164/Menhut-II/2008 06-Mei-08 16
Perubahan SK.374/ 11-Apr-14
Menhut-II/2014 845,8
2 PT. MAHAKAM SUMBER JAYA (PKP2B) Marangkayu
SK.361/Menhut-II/2009 23-Jun-09 2.902,80
Perubahan SK.490/Menhut-II/2014
SK.680/Menhut-II/2009 16-Okt-09
Tanggal 26 Mei 2014 SK.454/Menhut-II/2010
3 PT. SANTAN BATUBARA (PKP2B) Marangkayu
SK.165/Menhut-II/2008 06-Mei-08 507,3 5
4 PT. SANTAN BATUBARA (PKP2B) Marangkayu
SK.646/Menhut-II/2009 15-Okt-09 204 8
5 PT. AZARA BARINDO ENERGI TAMA (PKP2B) Marangkayu
SK.354/Menhut-II/2008
24-Sep-08 331,8 10
6 PT. SINGLURUS PRATAMA (PKP2B) Mentawir
SK.380/Menhut-II/2008 29-Okt-08 10
Perubahan SK.421/ 24-Apr-14 569,3
Menhut-II/2014
7 PT. JEMBAYAN MUARA BARA (PKP2B) Marangkayu
SK.32/Menhut-II/2009
05-Feb-09 564,2 10
Revisi SK.229/Menhut-II/ 20-Apr-11 2
8 PT. GUNUNG BAYAN PRATAMA (PKP2B) Senoni
SK.100/Menhut-II/2009
12-Mar-09 1831
9 PT. MADANI CITRA MANDIRI (KP)
Kembang Janggut
SK.175/Menhut-II/2009 14-Apr-09 888,6 19
10 PT. KYMCO ARMINDO (KP) Marangkayu SK.467/Menhut-II/2009
10-Agust-09 1113.2
SK.217/Menhut-II/2009 05-Apr-10 08/10/2019
SK.16/Menhut-II/2012 18-Jan-12 873,33 08/10/2019
11 PT. ALAM JAYA BARAPRATAMA (KP) Jembayan
SK.83/Menhut-II/2009
19-Agust-09 1762,08 27/08/2027
12 PT. MULTI HARAPAN UTAMA (PKP2B) Jembayan
SK.645/Menhut-II/2009 15-Okt-09 3593,11 8
13 PT. TANITO HARUM (PKP2B) Sebulu
SK.638/Menhut-II/2009 09-Okt-09 364,59 29/01/2019
14 PT. KARTIKA S MINING (PKP2B) Senoni
SK.75/Menhut-II/2010
10-Feb-10 1599,28 8
15 PT. KARYA USAHA PERTIWI (KP) Marangkayu
SK.561/Menhut-II/2010 08-Okt-10 193,2 12/05/2014
16 PT. BARA KUMALA SAKTI Jembayan SK.618/Menhut-II/2010
04-Nop-10 1336,6 26/08/2027
267
No NAMA PERUSAHAAN LOKASI
PINJAM PAKAI KAWASAN
HUTAN JANGKA WAKTU
(Desa, Kec,
Kab)
(TAHUN)
17 PT. BARA SEJATI Kembang Janggut
Sk.706/Menhut-II/2010
23-Des-10 2280 01/10/2019
18 PT. PANCARAN SURYA ABADI Marangkayu
SK.405/Menhut-II/2010 07-Jul-10 260,37 31/03/2015
19 PT. DERMAGA PRATAMA PERKASA
Kembang Janggut
SK.555/Menhut-II/2011
28-Sep-11 187,18 25/02/2015
20 PT. BERINGIN JAYA ABADI Loa Kulu SK.276/Menhut-II/2012 11-Jun-12 314,58 22-Jun-18
21 PT. KUTAI KUMALA ENERGI
SK.330/Menhut-II/2012 05-Jul-12 98,26 16-Nop-13
SK.133/Menhut-II/2014
10-Feb-14
12 /12/ 2017
22 PT. BELAYAN ABADI PRIMA COAL
Kembang Janggut
SK.615/Menhut-II/2012
05-Nop-12 618,8 5 tahun
23 PT. GUNUNG BAYAN PRATAMA COAL Senoni
SK.42/Menhut-II/2013 16-Jan-13 976,16 5 tahun
24 PT. RENCANA MULIA BARATAMA
SK.130/Menhut-II/2013
27-Feb-13 1013,34 18/05/2029
25 PT. RINJANI KARTANEGARA
SK.705/Menhut-II/2011
14-Des-11 308,54 09/03/2021
26 PT. MULTI HARAPAN UTAMA
SK.231/Menhut-II/2012 24-Jan-12 4505,73 02/04/2022
27 PT. PUTRA DEWA JAYA SK.178/Menhut-II/2013
21-Mar-13 947,38 03/06/2021
28 PT. INDO BARA PRATAMA SK.423/Menhut-II/2014 25-Apr-14 646,92 09/09/2028
29 PT. KAYAN PUTRA BORNEO Loa Haur
Sk.675/Menhut-II/2014 12-Apr-14 40,53 08/12/2023
30 PT. INSANI BARA PERKASA Blok Sapari
SK.362/Menhut-II/2013 21-Mei-13 219,48 5 tahun
31 PT. MAHAKAM SUMBER JAYA Marangkayu
SK.761/Menhut-II/2014
18-Sep-14 92,21 6 tahun
32 PT. SINGLURUS PRATAMA Kukar/PPU SK.775/Menhut-II/2014
19-Sep-14 251,5 13 tahun
33 PT. KIMCO ARMINDO Kukar SK.814/Menhut-II/2014
25-Sep-14 139,61 08-Okt-19
Jumlah I 31340,66
II KABUPATEN KUTAI TIMUR
1 PT. TAMBANG DAMAI (PKP2B)
Teluk Pandan
SK.642/Menhut-II/2009 13-Okt-09 2427,3 27/02/2019
2 PT. KITADIN (PKP2B) Teluk Pandan
SK.644/Menhut-II/2009 13-Okt-09 1433,57 17/06/2018
3 PT. INDOMINCO MANDIRI (HL) (PKP2B)
Teluk Pandan
SK.297/Menhut-II/2008
01-Sep-08 3973,4 17
SK.420/Menhut-II/2013 10-Jul-13
5 Oktober 2030
4 PT. INDOMINCO MANDIRI (HL) (PKP2B)
Teluk Pandan
SK.538/Menhut-II/2010 04-Okt-10 11718,2
5 PT. INDOMINCO MANDIRI (HL) (PKP2B)
Teluk Pandan
SK.174/Menhut-II/2009 14-Apr-09 906,1 01/10/2019
6 PT. INDOMINCO MANDIRI (PKP2B)
Teluk Pandan
SK.565/Menhut-II/2009 11-Okt-10 4.500 05/10/2020
7 PT. GANDA ALAM MAKMUR
SK.149/Menhut-II/2012
21-Mar-12 986 18/04/2017
8 PT. TAMBANG BATUBARA HARUM
SK.617/Menhut-II/2011 25-Okt-12 329,2 20 tahun
9 PT. INDOMINCO MANDIRI SK.549/Menhut-II/2012 02-Okt-12 3168,3 08-Mei-22
268
No NAMA PERUSAHAAN LOKASI
PINJAM PAKAI KAWASAN
HUTAN JANGKA WAKTU
(Desa, Kec,
Kab) Nomor
(TAHUN)
10 PT. INDEXIM COALINDO Kutim
SK.837/Menhut-II/2014
29-Sep-14 5732,72 15 tahun
11 PT. BARA TAMBANG Kukar/Kutim SK.538/Menhut-II/2013 26-Jul-13 374,2 04/07/2028
Jumlah II 35549,09
III KABUPATEN KUTAI BARAT
1 PT. TRUBAINDO COAL MINING Muara Pahu
SK.215/Menhut-II/2008 06-Jun-08 5
SK.534/Menhut-II/2011
luas awal 5956,76
SK.300/Menhut-II/2013
1 mei 2013 6,024.50
6 Juni 2023
2 PT. UNITED COAL INDONESIA (KP) Kelian
SK.332/Menhut-II/2009 12-Jun-09 178,26 22/09/2013
3 PT. KARYA BORNEO AGUNG (KP) Mamahak
SK.500/Menhut-II/2009
01-Sep-09 775,3 11
4 PT. AGRO CITY KALTIM (KP) Long Hubung
SK.690/Menhut-II/2009 16-Okt-09 587,19 10
5 PT. MAMAHAK COAL MINING (KP)
Mamahak Tebok
SK.707/Menhut-II/2009 19-Okt-09 1493
31-09-2013
6 PT.BARINDO EKATAMA (PKP2B) Muara Lawa
SK.621/Menhut-II/2011
04-Nop-10 571,1
7 PT. DAVID BUMI PERKASA Tering SK.74/Menhut-II/2011
02-Mar-11 1109,8
8 PT. MANOOR BULATN LESTARI
SK.270/Menhut-II/2012 979,95
9 PT. GUNUNG BARA UTAMA SK.386/Menhut-II/2012 1543,4
10 PT. ASIA PASIFIK MINERAL COAL
SK.269/Menhut-II/2012 483,5
11 PT. UNITED COAL INDONESIA
SK.460/Menhut-II/2012 597,6
12 PT. KEDAP SAYAQ (Tahp I) SK.528/Menhut-II/2012 2568,37
13 PT. AGRO CITY KALTIM SK.199/Menhut-II/2011 465,41
14 PT. BUMI DHARMA KENCANA
SK.604/Menhut-II/2012 989,9
15 PT. TRUBANINDO COAL MINING
SK.945/Menhut-II/2012 6262,98
16 PT. BARINTO EKATAMA (PKP2B)
SK.946/Menhut-II/2013 2134,53
17 PT. KARYA MAJU JAYA SENTOSA
SK.523/Menhut-II/2014 776,02
18 PT. GRAHA PANCA KARSA Kec. Long Iram tering
SK.695/Menhut-II/2014 467,5
Jumlah III 21983,81
IV KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA
1 PT. PASER PRIMA COAL INDONESIA (KP) Mentawir
SK.374/Menhut-II/2008 12-Okt-08 114,3 20-Jul-11
285/Menhut-II/2011
2 PT. SINGLURUS PRATAMA Mentawir SK.380/Menhut-II/2008 29-Okt-09 46,58 10
3 PT. SMOI PRIMA LESTARI SK.242/Menhut-II/2012 16-Mei-12 74,78 Des-16
Jumlah IV 235,66
269
No NAMA PERUSAHAAN LOKASI
PINJAM PAKAI KAWASAN
HUTAN JANGKA WAKTU
(Desa, Kec,
Kab) Nomor
(TAHUN)
V KABUPATEN PASER
1 PT. TUNAS MUDA JAYA (KP) Batu Kajang
SK.301/Menhut-II/2008
04-Sep-08 866,45 10
2 PT. INTREX SACRA RAYA (PKP2B)
Muara Koman
SK.413/Menhut-II/2009 10-Jul-09 19,19 5
SK.566/Menhut-II/2010 11-Okt-10 8
3 PT TUNAS MUDA JAYA Batu Kajang SK.793/Menhut-II/2011
29-Des-11 744,19 18/09/2021
4 PT. BELENGKONG MINERAL RESOURCES Batu Kajang
SK.488/Menhut-II/2014 26-Mei-14 254,52 22-Mei-15
Jumlah V 1884,35
VI KABUPATEN BERAU
1 PT. BERAU BARA ENERGI (KP)
Gunung Tabur
SK.253/Menhut-II/2008 02-Jul-08 376,14 5
2 PT. BERAU COAL BINUNGAN (PKP2B) Maraang
SK.487/Menhut-II/2009
20-Agust-09 2587,48 18
3 PT. NUSANTARA BERAU COAL (KP)
Gunung Tabur
SK.487/Menhut-II/2010
31-Agust-10 802,8 12
SK.128/Menhut-II/2012
02-Mar-12
4 PT. BERAU COAL BINUNGAN (PKP2B) Binungan
SK.785/Menhut-II/2012
27-Des-12 754,5
5 PT. BERAU COAL (Sambarata)
Gunung Tabur
SK.162/Menhut-II/2011
21-Mar-11 921,85
6 PT. MANDIRI JAYA BARA SK.905/Menhut-II/2013
16-Des-13 442,24 6 tahun
7 PT. LATI TANJUNG HARAPAN
SK.748/Menhut-II/2012
21-Des-12 686,2 21-Des-17
8 PT. NUSANTARA BERAU COAL
Gunung Tabur
SK.439/Menhut-II/2013 19-Jun-13 1132,28 12
9 PT. BERAU JAYA ENERGI SK.238/Menhut-II/2014
18-Mar-14 869,14 18-Mar-21
Jumlah VI 8572,63
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2016
Berdasarkan data hasil evaluasi Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur tersebut, diketahui bahwa IPPKH di Kalimantan Timur
seluas 99.492,62 hektar yang tersebar di 7 (tujuh) kabupaten yaitu Kutai
Kartanegara seluas 31.267,08 Hektar terdiri dari 37 (tiga puluh tujuh)
IPPKH sebagai wilayah kerja 33 (tiga puluh tiga) perusahaan. Kabupaten
Kutai Timur seluas 35.549,09 hektar terdiri dari 11 (sebelas) IPPKH
sebagai wilayah kerja 11 (sebelas) perusahaan. Kutai Barat dan Mahulu
seluas 21.983,81 hektar terdiri dari 18 (delapan belas) IPPKH sebagai
270
wilayah kerja 18 (delapan belas) perusahaan. Paser seluas 1.884,35
terdiri dari 5 (lima) IPPKH yang meliputi 4 (empat) perusahaan. Penajam
Paser Utara seluas 235,66 hektar terdiri dari 3 (tiga) IPPKH yang meliputi
3 (tiga) perusahaan. Berau seluas 8.572,63 terdiri dari 10 (sepuluh)
IPPKH yang meliputi 9 (sembilan) perusahaan.
Tabel 22 :
Data Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk
Pertambangan Per-Kabupaten di Kalimantan Timur
Kabupaten
Jumlah IPPKH
Jumlah Perusahaan
Luas IPPKH Pertambangan
(Ha)
Kutai Kartanegara 37 33 31.267,08
Kutai Timur 11 11 35.549,09
Kutai Barat dan Mahulu 18 18 21.983,81
Paser 5 4 1.884,35
Penajam Paser Utara 3 3 235,66
Berau 10 9 8.572,63
Jumlah 84 78 99.492,62 Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim tahun 2016
Berdasarkan rekapitulasi data IPPKH, menunjukkan bahwa
Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan kabupaten dengan jumlah
IPPKH terbanyak yaitu 37 izin dengan luas 31.267,08 hektar, yang di
berikan kepada 33 perusahaan. Sedangkan Kabupaten Kutai Timur
merupakan kabupaten yang telah mengeluarkan IPPKH terluas yaitu
35.549,09 hektar yang meliputi 11 IPPKH untuk 11 perusahaan.
Selanjutnya kabupaten Kutai Barat dan Mahulu sebanyak 18 IPPKH
dengan luas 21.983,81 untuk 18 perusahaan. Kabupaten berikutnya
271
adalah Berau dengan 10 IPPKH untuk 9 perusahaan dengan luas
keseluruhan 8.572,63. Kabupaten Paser dengan jumlah IPPKH 5 untuk 4
perusahan seluas 1.884,35 hektar, dan Kabupaten Penajam Paser Utara
(PPU) dengan luas 235,66 hektar untuk 3 perusahaan dengan 3 IPPKH.
1.3 Implementasi Pengawasan dalam Pengelolaan Pertambangan
Batubara di Kawasan Hutan
Implementasi pengawasan terhadap [engelolaan pertambangan di
kawasan hutan, salah satunya melalui koordinasi dan supervisi yang
dilakukan KPK. Kegiatan ini mampu mendorong upaya penertiban
perizinan bidang pertambangan batubara. Salah satu hasil korsup adalah
data yang dipaparkan dalam bentuk overlay pertambangan batubara
dengan peta kawasan hutan.
Tabel 23 :
Hasil Overlay Izin Usaha Pertambangan (IUP) Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
dengan Peta Kawasan Hutan dan Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan (IPPKH)
Kategori
izin Status Hutan Kawasan
Hutan Areal
Penggunaan Total
Konservasi Lindung Produksi D=A+B+C Lain F=D+E
(A) (B) (C) (D) (E) (F)
IUP 1,160,181 3,922,584 17,909,481 22,292,246 11,735,091 34,727,338
KK 110,219 890,541 837,558 1,838,318 372,380 2,210,698
PKP2B 101,998 123,752 927,171 1,152,921 803,274 1,956,194
Total 1,372,398 4,936,878 19,674,211 25,983,486 12,910,744 38,894,231
Sumber : Dirjen Planologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2015.
272
Berdasarkan luasan penggunaan kawasan hutan untuk
pertambangan dapat dilihat dari hasil overlay (penghamparan) peta IUP
serta Kontrak Karya (KK) & Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B) dengan Peta Kawasan Hutan dan IPPKH secara
nasional dalam Paparan Tim Kerja Koordinasi dan Supervisi (Korsup)
Minerba Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2016.Total luasan izin
pertambangan di kawasan hutan Indonesia adalah sebesar 38.894.231
hektar yang terdiri atas IUP seluas 34.727.334 hektar; kontrak karya
seluas 2.210.698 dan PKP2B seluas 1.956.194 hektar. Berdasarkan data
tersebut, IUP merupakan izin terbanyak yang beroperasi di kawasan
hutan.
Berdasarkan data overlay tersebut, izin pertambangan yang berada
di kawasan hutan lindung seanyak 4.936.878 hektar, yang terdiri dari IUP,
KK dan PKP2B. Kawasan hutan konservasi yang berdasarkan ketentuan
UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati,
tidak dapat dilakukan aktivitas pertambangan didalam kawasan hutan
konservasi, namun berdasarkan data tersebut terdapat 1.372.398 hektar,
kawasan hutan konservasi yang digunakan pertambangan. Izin
pertambangan di kawasan konservasi meliputi IUP, sebanyak 1.160.181
hektar, Kontrak Karya seluas 110.219 hektar, PKP2B seluas 101,998
hektar. Hasil overlay KPK tersebut menunjukkan izin terluas yang
menggunakan kawasan hutan konservasi untuk kegiatan pertambangan
batubara adalah izin usaha pertambangan (IUP).
273
Namun pengawasan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan belum dilaksanakan secara maksimal, demikian pula aspek
penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pengelolaan
pertambangan di kawasan hutan. Meskipun keluhan dampak
pertambangan terhadap lingkungan telah sering disuarakan oleh
masyarakat namun tindakan konkrit penegakan hukum belum secara
maksimal dilakukan.
2 Manfaat Pertambangan Batubara dalam Kawasan Hutan
Secara konstitusional perspektif pengelolaan sumber daya alam
Indonesia bertujuan pada pencapaian manfaat, sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945: “Bumi dan Air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Pengelolaan sumber daya alam pertambangan dalam konteks
demokrasi ekonomi Indonesia adalah demokrasi ekonomi yang tegas
menyatakan kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-
seorang. Kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang-
seorang, meskipun kepentingan orang-seorang tetap dihormati.
Berdasarkan UU 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, dalam ketentuan menimbang, bahwa maksud pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara adalah (a) bahwa mineral dan
batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
274
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak,
karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh negara untuk memberi nilai
tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan, (b) bahwa
kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan
kegiatan usaha pertambangan mempunyai peranan penting dalam
memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;
Prinsip dalam penguasaan mineral dan batubara menurut Pasal 4
(1), adalah mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak
terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara
untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Berdasarkan ketentuan
tersebut maka semua kegiatan pertambangan ditujukan untuk sebesar-
besar kesejahteraan rakyat.
Klausul tersebut menekankan pada aspek kemanfaatan, dengan
demikian kemanfaatan sesuai ketentuan UU 4 tahun 2009 adalah
terwujudkan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya. Berdasarkan
perspektif manfaat sumber daya alam menurut ketentuan UU 4 tahun
2009, parameternya adalah :
(a) memenuhi hajat hidup orang banyak,
(b) usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan,
275
(c) adanya nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan nasional
secara berkelanjutan,
(d) adanya nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Pemanfaatan hutan harus dengan akhlak muliaa, sebagaimana
penjelasan umum UU 41 Tahun 1999, manfaat hutan sebagai karunia dan
amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa
Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib
disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah,
karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia
dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang
nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat
ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis.
Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan
secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik
generasi sekarang maupun yang akan datang.
Manfaat pertambangan batubara dalam kawasan hutan dalam
penelitian ini ditinjau dari manfaat ekonomi, manfaat sosial serta manfaat
lingkungan. Selanjutnya berdasarkan keterangan dan informasi yang
disampaikan oleh narasumber dalam penelitian ini, penulis
menganalisisnya dengan analisis manfaat pertambangan di kawasan
276
hutan berdasarkan faham utilitarianisme, dalam faham ini hukum yang
baik adalah yang memberikan manfaat. Mengukur manfaat dari produk
hukum adalah dengan menggunakan kriteria objektif faham utilitarianisme
yaitu kriteria pertama: manfaat, berdasarkan kriteria ini analisis ditujukan
untuk menemukan manfaat tertentu dari pilihan kebijakan pertambangan
batubara di kawasan hutan; kriteria kedua: manfaat terbesar, yang
dimaksudkan dalam kriteria ini adalah menganalisis manfaat terbesar dari
pertambangan batubara di kawasan hutan dibandingkan dengan
kebijakan atau alternatif lain. Unsur dibandingkan dengan kebijakan
alternatif lain dalam kriteria manfaat terbesar, mengharuskan analisis
dilakukan dengan adanya perbandingan dengan kebijakan lain. Sehingga
dalam analisis penulis melakukan perbandingan manfaat pertambangan
batubara di kawasan hutan dengan alternatif sektor usaha lain yang juga
berbasis lahan. Penulis memilih perbandingan sektor pertambangan
batubara di kawasan hutan dengan sektor perkebunan, pertanian dan
kehutanan.
Kriteria objektif ketiga manfaat berdasarkan faham utilitarianisme :
manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yang dimaksud dalam
kriteria ini adalah kebijakan atau tindakan berdasarkan faham
utilitarianisme dinilai baik kalau manfaat terbesar yang dihasilkan berguna
bagi banyak orang. Kriteria banyak orang adalah manfaat menurut
pertambangan di kawasan hutan menurut pandangan masyarakat.
277
2.1 Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
2.1.1 Manfaat Ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan
berdasarkan kriteria objektif manfaat tertentu dalam faham
utilitarianisme
Manfaat ekonomi berdasarkan kriteria obyektif manfaat, yang
dimaksud adalah kebijakan atau tindakan berdasarkan faham
utilitarianisme harus mendatangkan manfaat tertentu. Manfaat tertentu
dalam kriteria objektif adalah adanya kebijakan atau tindakan baik, atau
kebijakan serta tindakan yang menghasilkan hal baik. Sebaliknya akan
dinilai buruk secara moral kalau mendatangkan kerugian atau hal buruk.
Berdasarkan kriteria objektif manfaat dalam faham utilitarianisme
maka pertambangan batubara di kawasan hutan harus mendatangkan
manfaat tertentu yang merupakan tindakan baik dan tidak mendatangkan
keburukan.
Berdasarkan penelitian penulis, manfaat tertentu atau tindakan baik
bidang ekonomi dalam pengelolaan pertambangan batubara di kawasan
hutan adalah :
a. Manfaat batubara sebagai penyedia energi mayoritas ekspor
Manfaat atau hal baik yang dihasilkan dari pertambangan batubara di
kawasan hutan adalah batubara merupakan bahan penyedia energi
disamping pilihan energi yang lain. Berdasarkan pendapat Kantor Dirjen
Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(KESDM), manfaat ekonomi pertambangan batubara adalah berupa
278
penyediaan energi batubara. Keterangan yang disampaikan Subdit
Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara yaitu :171
“Secara ekonomi keberadaan batubara merupakan penyedia energi selain sumber tambang yang lebih dulu menjadi andalan yaitu minyak bumi dan gas alam. Indonesia merupakan negara keempat produsen dan pengekspor terbesar batubara dunia. Indonesia menguasai 44% pasar ekspor dunia, meskipun dari sisi volume cadangan batubara hanya menguasai 3,2% cadangan batubara dunia. Namun pendapatan secara ekonomi sangat tergantung pada harga batubara di pasar Internasional.”
Penggunaan batubara di dalam negeri dipicu harga BBM yang tinggi.
Penggunaan batubara adalah sebagai bahan bahar bagi industri
pembangkit listrik PLTU, pabrik semen, industri tekstil, industri kertas.
Persentase penggunaan energi di Indonesia adalah : minyak bumi
sebanyak 51,66%, gas bumi sebanyak 20,57%, batubara sebanyak 15%,
tenaga air sebanyak 3,11%, dan panas bumi sebanyak 1,32%.172
Namun keberadaan batubara bagi penyedia energi lebih banyak
dinikmati negara asing, karena batubara mayoritas diekspor, sedangkan
kebutuhan dalam negeri untuk penerangan wilayah Jawa-Bali. Sedangkan
Kalimantan sebagai kawasan eksploitasi batubara justru tidak menikmati
kelimpahan energi dari batubara. Krisis listrik sering terjadi selain kondisi
belum semua wilayah menikmati aliran listrik.
b. Pendapatan pemerintah pusat melalui devisa
Hasil tambang batubara bagi Indonesia selain dimanfaatkan didalam
negeri, sebagian besar di tujukan untuk ekspor. Sebagai komoditi ekspor,
171Andi Ari.S. Subdit Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara
wawancara pada tanggal 16 Februari 2015 172
KESDM, 2016
279
maka batubara memberikan manfaat dalam bentuk devisa bagi negara.
Keterangan tersebut di perkuat dengan data di Lembar Informasi yang
diterbitkan oleh Kantor Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM,
yang menunjukkan posisi Indonesia sebagai negara pengekspor batubara
yang sangat besar.
Tabel 24 : Cadangan dan Produksi Batubara Dunia
Negara Produksi* (juta
ton/thn) Ekspor*
(juta ton/thn) Cadangan** (juta
ton) Cad/** (tahun)
China 3,549 - 114,50 31
USA 935 144 237,295 266
India 595 - 60,600 100
Indonesia 443 383 31,357*** 71
Australia 421 301 76,400 160
Rusia 359 134 157,010 452
Afrika Selatan 259 74 30,156 117
Jerman 197 - 40,542 213
Polandia 144 - 5,465 12
Kazakhstan 126 - 33,600 293
Sumber: *) World Coal Association 2013, **) BP Statistic 2014, ***) KESDM 2015
Berdasarkan data tersebut, China merupakan negara yang memiliki
cadangan batubara hampir empat kali lipat lebih banyak dari Indonesia,
namun China memilih mengimpor batubara Indonesia. Berdasarkan
keterangan Subdit Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara,
negara tujuan penjualan batubara Indonesia adalah:173
“Produksi batubara Indonesia selain untuk kebutuhan dalam negeri juga di ekspor ke negara lain. Negara tujuan ekspor batubara Indonesia adalah Jepang, Taiwan, China, Korea Selatan, Thailand, Eropa, Pasific dan lain-lain. Batubara Indonesia menyebar ke berbagai negara di dunia sebagai bahan bakar pembangkit Listrik.”
173
Ibid
280
Manfaat ekonomi pertambangan batubara menurut pendapat Kasub
Pertambangan Batubara Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur, tidak
hanya bermanfaat bagi daerah namun juga untuk ekonomi di pusat.
Keterangan yang disampaikan adalah : “Pertambangan di Kalimantan
Timur ini sangat penting secara ekonomi, Provinsi Kaltim selama ini
merupakan penyumbang devisa untuk pusat sekitar 104 Trillyun/tahun
dan penghasilan salah satunya bersumber dari penggalian tambang
batubara.”174
Namun manfaat ini tidak berkelanjutan, seiring menurunnya harga
batubara berakibat menurunnya pendapat bagi pemerintah pusat melalui
sektor batubara. Penurunan pendapatan sektor pertambangan batubara
tidaklah mengejutkan, mengingat batubara merupakan sumber daya alam
yang tak terbarukan sehingga jika deposit telah berkurang atau habis
maka pendapatan dari sektor tersebut juga akan habis.
c. Pendapatan pemerintah melalui pemenuhan kewajiban keuangan
perusahaan pertambangan batubara di kawasan hutan Namun
tidak Berkelanjutan dan persentase lebih kecil dari pendapatan
pengusaha pertamangan batubara
Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan
diperoleh negara melalui kewajiban perusahaan membayar royalti dan
174
Ibid.
281
kewajiban keuangan lainnya. Hal ini sesuai keterangan yang disampaikan
Subdit Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara bahwa:175
“Batubara merupakan salah satu bahan galian tambang yang penting bagi pendapatan negara, ini merupakan manfaat ekonomi adanya pertambangan batubara. Perusahaan pertambangan menggali bahan galian tambang dan menjualnya, selanjutnya perusahaan pertambangan mempunyai kewajiban keuangan yang wajib dibayarkan kepada negara dalam bentuk royalty dan kewajiban keuangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan keterangan Subdit Pengawasan Produksi dan
Pemasaran Batubara KESDM, berkaitan kewajiban keuangan perusahaan
pertambangan yang merupakan bentuk manfaat ekonomi bagi negara,
dikatakan :176
“Kewajiban keuangan bagi perusahaan pertambangan batubara dibedakan berdasarkan bentuk izinnya, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B). Besaran iuran tetap dan royalti berbeda antara IUP dan PKP2B. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”
Manfaat tertentu atau tindakan baik secara ekonomi bagi negara
dalam pertambangan batubara di kawasan hutan melalui kewajiban
keuangan perusahaan pertambangan di kawasan hutan, menurut
narasumber dari Kementerian Lingkungan Hidup, yaitu :177
“Pertambangan batubara di kawasan hutan memberikan manfaat ekonomi terutama bagi keuangan negara melalui pembayaran kewajiban keuangan perusahaan dalam bentuk royalty, iuran
175Ibid
176
Ibid 177
Ibid
282
pertambangan, landrent, serta bagi perusahaan yang beroperasi di wilayah atau daerah yang lebih dari 30% kawasan hutan maka perusahaan harus melakukan pembayaran kompensasi serta Perusahaan mempunyai kewajiban membayar kawasan terganggu.” Perusahaan pertambangan di kawasan hutan selain mempunyai
kewajiban keuangan yang umum berlaku bagi setiap perusahaan
pertambangan batubara, secara khusus juga dibebani kewajiban
keuangan yang khusus bagi perusahaan pertambangan yang beroperasi
di kawasan hutan. Menurut pemerintah pusat, salah satu manfaat
tambang di kawasan hutan adalah adanya pembayaran pengambilan kayu
di lokasi penambangan ada kewajiban pembayaran kepada negara dan
dana reboisasi (PSDH & DR), serta pembayaran PNBP penggunaan
kawasan hutan, kewajiban pemegang IPPKH ini menurut Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup merupakan manfaat secara ekonomi
sebagai pemasukan pendapatan negara.
Kewajiban keuangan perusahaan pertambangan di kawasan hutan
menurut Kementerian Kehutanan merupakan bentuk manfaat ekonomi
bagi negara, di jelaskan bahwa :178
“Perusahaan pertambangan batubara yang mendapatkan izin untuk melakukan penambangan di kawasan hutan dibebani kewajiban keuangan yang tidak menjadi kewajiban bagi pertambangan yang berada diluar kawasan hutan. Kewajiban khusus ini berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas penggunaan lahan di kawasan hutan serta adanya pembayaran pengambilan kayu di lokasi penambangan ada kewajiban pembayaran kepada negara dan dana reboisasi (PSDH & DR)Kewajiban tersebut merupakan manfaat ekonomi bagi keuangan negara.”
178
Ibid.
283
Kewajiban keuangan pertambangan batubara di kawasan hutan
berdasarkan ketentuan UU 4 Tahun 2009, kewajiban keuangan tergambar
dalam bab pendapatan negara dan daerah. Ketentuan yang diatur dalam
UU Minerba tidak membedakan kewajiban pemegang IUP yang
wilayahnya berada di kawasan hutan dan yang diluar kawasan hutan.
Sehingga kewajiban umum bagi pemegang IUP sesuai ketentuan Pasal
128 (1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara
dan pendapatan daerah. Ketentuan ayat (2) Pendapatan negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan
penerimaan negara bukan pajak. Ketentuan ayat (3) Penerimaan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: (a) pajak-pajak yang
menjadi kewenangan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan di bidang perpajakan; dan (b) bea masuk dan cukai.
Sedangkan ketentuan Pasal 128 ayat (4) penerimaan negara bukan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: (a) iuran tetap; (b)
iuran eksplorasi; (c) iuran produksi; dan (d) kompensasi data informasi.
Kewajiban keuangan yang dikategorikan pendapatan daerah
berdasaarkan Pasal 128 ayat (5) terdiri atas: (a) pajak daerah; (b) retribusi
daerah; dan (c) pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
284
Tabel 25 :
Kewajiban Keuangan Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
untuk Pertambangan Batubara
Bentuk izin Kewajiban Keuangan
Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan
Pernyataan dalam bentuk akta notariil yang memuat kesanggupan memenuhi kewajiban keuangan
Izin survei dan eksplorasi pertambangan
melaksanakan pembayaran penggantian nilai tegakan, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR) sesuai peraturan perundang-undangan;
Izin operasi produksi pertambangan
1. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan penanaman dalam rangka reboisasi daerah aliran sungai;
2. membayar penggantian nilai tegakan, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH),
3. Dana Reboisasi (DR);
4. membayar ganti rugi nilai tegakan kepada pemerintah apabila areal yang dimohon merupakan areal reboisasi;
5. mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada pengelola/pemegang izin pemanfaatan hutan apabila kawasan hutan yang diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan berada pada areal yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan/pengelolaan;
Izin transportasi prasarana transportasi pengangkutan hasil produksi
PMK tidak mengatur secara khusus
Sumber : PMK Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Ketentuan Pasal 130 (1) UU 4 Tahun 2009, pemegang IUP atau
IUPK tidak dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
128 ayat (4) huruf c dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana
285
dimaksud dalam Pasal 128 ayat (5) atas tanah dan batuan yang ikut
tergali pada saat penambangan. Ketentuan ayat (2) pemegang IUP atau
IUPK dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128
ayat (4) huruf c atas pemanfaatan tanah dan/batuan yang ikut tergali pada
saat penambangan.
Perusahaan pertambangan batubara yang beroperasi di kawasan
hutan berdasarkan ketentuan PMK ini wajib memenuhi kewajiban
keuangan yang telah ditentukan dalam peraturan ini. Berdasarkan
ketentuan ini, kewajiban keuangan dibedakan sesuai dengan bentuk izin
yang diperoleh perusahaan pertambangan.
Kewajiban Keuangan/ Pungutan berdasarkan PMK. 16/Menhut-
II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, meliputi :
1) membayar PNBP penggunaan kawasan hutan bagi pemegang
pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi membayar
penerimaan negara bukan pajak penggunaan kawasan hutan dan
penanaman dalam rangka reboisasi daerah aliran sungai;
2) membayar penggantian nilai tegakan, provisi sumber daya hutan
(PSDH), dana reboisasi (DR);
3) membayar ganti rugi nilai tegakan kepada pemerintah apabila areal
yang dimohon merupakan areal reboisasi;
4) mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada
pengelola/pemegang izin pemanfaatan hutan apabila kawasan
286
hutan yang diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan berada pada
areal yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan/pengelolaan;
Berdasarkan hasil keterangan yang disampaikan narasumber dalam
penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa secara ekonomi menurut
pemerintah baik dari Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan dan
Lingkungan, Dinas Pertambangan Provinsi, Dinas Kehutanan Provinsi,
kebijakan pertambangan di kawasan hutan memberikan manfaat atau
mendatangkan hal baik secara ekonomi melalui kewajiban keuangan
perusahaan pertambangan.
Kewajiban keuangan perusahaan pertambangan batubara berupa
iuran produksi, iuran eksplorasi, dan royalti, serta pajak-pajak yang harus
dibayarkan oleh perusahaan. Perusahaan pertambangan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyetorkan besaran
royalti untuk PKP2B sebesar 13,5%, sedangkan yang berdasarkan IUP
sebesar 3-7% hasil produksi pertambangan kepada negara. Bagi
pemerintah daerah akan mendapatkan bagian pemerintah tersebut dalam
mekanisme dana bagi hasil.
Sehingga pembayaran kewajiban perusahaan menurut keterangan
narasumber memberikan hal baik untuk penerimaan keuangan
pemerintah pusat maupun penerimaan negara bagi pemerinah daerah.
Pemasukan penghasilan negara inilah yang telah mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi di daerah.
287
Pengaruh yang signifikan pertambangan batubara terhadap ekonomi
daerah terlihat dalam ekonomi Kalimantan Timur, 30% perekonomian
Kalimantan Timur bergantung pada pertambangan batubara. Sehingga
ketika terjadi penurunan harga batubara di pasar internasional,
perekonomian daerah sangat terpengaruh.
Selain itu tingkat ketaatan perusahaan untuk menyetor kewajiban
PNBP masih sangat rendah. Hal ini menjadi salah satu sorotan dalam
kegiatan korsup minerba yang dilakukan KPK.
d. Manfaat bagi Pendapatan pemerintah daerah melalui Dana Bagi
Hasil Sumber Daya Alam
Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan menurut
pendapat Kasub Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber Daya
Mineral Provinsi Kalimantan Timur berupa pemasukan bagi ekonomi
negara. Sebagaimana dinyatakan: “Perusahaan pertambangan batubara
beroperasi dibebankan kewajiban keuangan berdasarkan ketentuan
peraturan-perundang-undangan, baik dalam bentuk iuran pertambangan
maupun royalti. Kewajiban keuangan ini merupakan pemasukan bagi
ekonomi negara.”179
Berkaitan manfaat ekonomi pertambangan di kawasan hutan, penulis
melakukan wawancara dan penelusuran data di Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur. Menurut keterangan Kasubag Penggunaan Kawasan
179
Kasub Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur Goenoeng, pada wawancara tanggal 11 April 2016
288
Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur pertambangan
batubara di kawasan hutan merupakan salah satu sektor yang
menyumbang bagi pendapatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Keterangan yang disampaikan adalah:180:
“Pertambangan batubara di kawasan hutan secara ekonomi merupakan salah satu sektor penyumbang pendapatan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pendapatan tersebut diperoleh dari penyetoran bagian pemerintah dalam produksi batubara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pengaturan bagi hasil Iuran Pertambangan bagi Pemerintah Daerah,
tidak dibedakan antara pertambangan yang berada di kawasan hutan dan
diluar kawasan hutan. Pada awalnya pengaturan bagi hasil iuran
pertambangan ditetapkan dalam PP No. 32 Tahun 1969 Pasal 62, iuran
pertambangan yang dimaksud disini adalah penerimaan pemerintah dari
iuran tetap (landrent), iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty).
Didalam PP ini bagian pemerintah pusat adalah 30% sedangkan
pemerintah daerah mendapat bagian 70% dari total iuran pertambangan.
Berdasarkan PP No. 79 tahun 1992, perimbangan tersebut berubah
dimana porsi daerah meningkat. Pemerintah pusat mendapat bagian 20%,
sedangkan 80% sisanya dibagikan ke daerah dengan perincian provinsi
mendapat 16% dan Daerah Tingkat II (Dati II) mendapat bagian 64%. Bagi
hasil menurut ketentuan ini pemerintah pusat menyalurkan ke pemerintah
Tk. I yang kemudian akan menyalurkannya ke masing-masing Pemda Tk.
II sebagai lokasi daerah tambang itu berada.
180Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur, wawancara tanggal 6 April 2015
289
Bagi hasil sumber daya alam selanjutnya berdasarkan PP No. 104
Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, aturan pembagian tidak jauh
berbeda dengan peraturan sebelumnya, tetapi terdapat ketentuan khusus
yaitu :
(1) Pemisahan penerimaan dari royalty dan iuran tetap (landrent).
(2) Perimbangan bagi hasil antara provinsi dan kabupaten/kota
untuk iuran-iuran tersebut.
(3) Mengatur juga bagi hasil pemerataan dari royalty untuk
pemkab/pemkot yang berada di dalam provinsi yang terkait.
Berdasarkan ketentuan PP No. 55 Tahun 2005 tentang dana
perimbangan, terdapat perubahan yang mendasar dalam perimbangan
keuangan, yaitu dengan penetapan pemerintah provinsi sebagai daerah
penghasil atas pengelolaan usaha pertambangan umum yang berlokasi
antara 4 -12 mil laut.
Permasalahan yang terjadi dengan mekanisme bagi hasil PNBP dari
sektor pertambangan umum termasuk batubara sudah tidak sesuai.
Terutama terkait dengan biaya lingkungan yang harus ditanggung
masyarakat di daerah. Secara ilmiah untuk 1 hektar lahan yang sudah
terbuka karena kegiatan penambangan diperlukan lebih dari 6 (enam)
milyar untuk proses rehabilitasinya. Sementara dana jaminan reklamasi
nilainya sangat kecil sekali dan tidak sebanding dengan kerusakan yang
ditimbulkan. Hal ini menunjukkan pemasukan negara atas PNBP dan
290
kewajiban penempatan dana reklamasi belum sebanding dengan resiko
lingkungan yang ditanggung daerah dalam jangka waktu lama.
Tabel 26 :
Produksi Batubara Kalimantan Timur
Tahun IUP PKP2B TOTAL
(Juta Ton) (Juta Ton) (Juta Ton)
2012 58,96 150,76 209,72
2013 75,63 157,23 232,86
2014 84,48 172,44 256,91
2015 74,54 162,59 237,12
2016 73,33 145,01 218,33
Total 366,94 788,03 1.154,94 Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur 2016 dan diperbarui data per-April 2017
Berdasarkan penelusuran penulis pada data dan informasi di Dinas
Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur, secara ekonomi
manfaat sumber daya tambang tergambar juga dari data produksi dan
ekspor batubara dari Provinsi Kalimantan Timur. Pada Tahun 1988,
Provinsi Kalimantan Timur telah mengekspor 428.000 ton batubara
dengan nilai USD 13 juta. Periode tahun 2007-2015 produksi batubara
mencapai 1,3 milliar metric ton. Jika dihitung dengan harga batubara
acuan (HBA) rata-rata untuk setiap tahun nilai penjualan emas hitam
Kaltim sudah mencapai 1,6 kuadrillun atau Rp. 1.600 trilliun.
Menurut paparan Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral
Provinsi Kalimantan Timur181, berdasarkan data hingga april 2017,
produksi batubara Kalimantan Timur sejak tahun 2012-2017 Timur sudah
181
Amrullah Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur, Paparan dalam Korsup Minerba KPK di Balikpapan tanggal 9 Mei 2017.
291
sebanyak 1.154,94 juta ton batubara yang tergali. Berdasarkan data
tersebut menunjukkan Kalimantan Timur merupakan daerah kaya sumber
daya alam.
Tabel 27 :
Sepuluh Kabupaten terkaya di Indonesia
NO KABUPATEN PROVINSI DANA BAGI HASIL
1 Kutai kartanegara Kaltim 2,566,55
2 Bengkalis Riau 1.519,73
3 Kutai Timur Kaltim 1.059,72
4 Siak Riau 993,20
5 Rokan Hilir Riau 911,07
6 Musi Banyuasin Sumsel 858,45
7 Kampar Kaltim 679,32
8 Kutai Barat Kaltim 670,60
9 Pasir Kaltim 593,64
10 Berau Kaltim 553,26 Sumber : bisnis.news.viva.co.id, 2015
Manfaat ekonomi pertambangan batubara inilah, yang turut
menempatkan 5 kabupaten kota di Kaltim sebagai kabupaten kaya di
Indonesia. Sumber kekayaan terbesar adalah dari dana bagi hasil salah
satunya sektor batubara. Kabupaten tersebut adalah Kutai Kartanegara,
Kutai Timur, Kutai Barat, Pasir dan Berau.
Namun penerimaan manfaat secara persentase bagian pemerintah
jauh lebih kecil dibandingkan keuntungan yang menjadi bagian
perusahaan.
292
Gambar 5 :
Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005; PP Nomor 9 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral.
Bagian pemerintah adalah bagi perusahaan PKP2B, maka bagian
pemerintah pusat sebesar 13,5%, sedangkan bagian daerah adalah
sebesar 5% dari 13,5% yang diserahkan perusahaan pertambangan
kepada pemerintah pusat, sehingga bagian perusahaan berdasarkan
ketentuan ini adalah untuk perusahaan PKP2B sebesar 8,5% dari hasil
produksi batubara, sedangkan IUP bagian pemerintah sebesar 3-7%
sehingga bagian perusahaan pertambangan sebesar 98%-93%
Berdasarkan ketentuan tersebut, manfaat terbesar kebijakan
pertambangan di kawasan hutan dinikmati oleh perusahaan
pertambangan. Sedangkan pemerintah justru mendapatkan
293
persentase/pembagian keuntungan yang jauh lebih kecil dari perusahaan
pertambangan.
Berdasarkan peraturan yang mengatur besaran iuran tetap dan
royalti perusahaan pertambangan kepada negara yang semula diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005, selanjutnya diatur
berdasarkan PP Nomor 9 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi
dan Sumber daya Mineral.
Eksploitasi besar-besaran terhadap SDA kaltim tidak menunjang
perekonomian yang signifikan. Kaltim pada tahun 1970 – 1990 di dominasi
perkayuan dan industri kehutanan, laju pertumbuhan ekonomi tercatat
7,42%, ketika perkayuan berhenti, laju pertumbuhan ekonomi menurun
5,41%. Kemudian pada periode batubara, lagi-lagi mengalami penurunan
laju pertumbuhan ekonomi menjadi 3,94% pada tahun 2014 ketika harga
batu bara anjlok, pertumbuhan ekonomi tak menyentuh 2 persen. Secara
nasional, pertumbuhan ekonomi Kaltim dibawah rata-rata nasional yang
hanya sekira 3,57%.
Sistem politik ekonomi sentralistik pada masa orde baru
menempatkan penghasilan dari eksploitasi sumber daya alam sektor
pertambangan secara keseluruhan disetor dan dikelola oleh pemerintah
pusat. Posisi daerah yang kaya sumber daya tambang situasi ekonominya
tidak terdapat keistimewaan, bahkan yang ironis, wilayah eksploitasi
sumber daya alam justru merupakan daerah yang miskin secara ekonomi,
294
Perekonomian Kalimantan Timur di tahun 2016 semakin lesu,
penyebabnya adalah produksi pertambangan batubara yang semakin
menurun. Hal tersebut sesuai hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS)
Kaltim, batubara turun kinerjanya hingga -6,20%, sehingga praktis
berdampak signifikan pada segala sektor ekonomi lain. Kondisi penurunan
sektor pertambangan terjadi sejak tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi
Kaltim pada tahun 2015 terkontraksi -0,85 persen (dengan minyak dan
gas/migas). Pertambangan batubara memberikan kontribusi yang besar
terhadap PDRB (Produk Domenstik Regional Bruto), karena ketika
pertambangan di keluarkan dari perhitungan PDRB angka pertumbuhan
ekonomi Kaltim justru naik.
Kewajiban keuangan perusahaan pertambangan batubara di
kawasan hutan salah satunya adalah PNBP. Ketentuan tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terhadap penggunaan kawasan
hutan diatur pertama kali melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.14/Menhut-II/2006, yaitu pemegang izin mempunyai kewajiban untuk
menyediakan dan menyerahkan lahan bukan kawasan hutan yang
direboisasi untuk dijadikan kawasan hutan atau menyerahkan sejumlah
dana yang dijadikan PNBP sebesar satu persen dari jumlah produksi.
Namun ketentuan ini belum berjalan secara efektif. Menjadi catatan
penting bahwa kewajiban ini baru diatur tahun 2006, sehingga sebelum
peraturan ini, perusahaan pertambangan tidak dibebani kewajiban khusus
biaya penggunaan lahan kawasan hutan.
295
Tabel 28 :
Potensi Kerugian Negara dari Land rent Per Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur
NO KABUPATEN/KOTA TOTAL POTENSI LOSS DARI IURAN LAND RENT
1 Berau 2,968,366,866.82
2 Samarinda 1,648,351,991.55
3 Kutai Barat 38,492,534,435.60
4 Kutai Kartanegara 10,874,602,286.59
5 Kutai Timur 45,791,932,766.30
6 Paser 4,241,802,614.18
7 Penajam Paser Utara 7,529,833,768.43
8 Bulungan 34,278,656,995.66
9 Malinau 23,444,847,864.32
10 Nunukan 1,855,207,637.45
11 Tana Tidung 1,641,841,786,15
Total Kalimantan Timur 218,302,616,345.32
Kalimantan Timur 48,831,341,315.35
*Data masih termasuk Kaltara Sumber : Korsup KPK 2015
Pemberlakuan secara efektif PNBP setelah dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas
Jenis PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada
Kementerian Kehutanan. Berdasarkan temuan korsup KPK, kewajiban ini
belum berjalan secara efektif, sehingga berpotensi merugikan negara.
Berdasarkan laporan Korsup KPK, perusahaan yang telah memenuhi
kewajiban PNBP khusus penggunaan kawasan hutan untuk
pertambangan batubara masih sangat rendah. Hal ini seharusnya
dilakukan upaya paksa sesuai ketentuan peruaturan perundang-undangan
296
e. Manfaat keberadaan pertambangan batubara di kawasan hutan
dapat menggerakkan sektor ekonomi yang lain Namun tidak
Berkelanjutan
Kegiatan pertambangan dikawasan hutan menurut pemerintah
merupakan pendapatan penting bagi negara. Hal ini disampaikan
Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan
menyatakan :182
“Pertambangan di kawasan hutan memberi keuntungan yang signifikan pada pendapatan negara baik ditingkat pusat maupun di daerah, selain itu akan diperoleh multiplier effect bagi daerah sekitarnya. Mulai dari penyerapan tenaga kerja hingga tumbuhnya ekonomi di sekitar daerah penambangan.”
Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan juga
diperoleh melalui kewajiban keuangan dan pajak yang jumlahnya tidak
sedikit hal ini disampaikan narasumber:
“Keberadaan perusahaan pertambangan batubara ini akan mendorong tumbuhnya sektor-sektor ekonomi yang lain. Adanya tambang yang beroperasi akan menumbuhkan usaha pendukung yang lain misalnya sektor jasa, makanan, transportasi, perdagangan dll. Manfaat ekonomi dari adanya tambang batubara adalah melalui pajak-pajak yang dibayarkan oleh perusahaan pertambangan yang tentu jumlahnya tidak sedikit, pajak ini akan sangat penting untuk pemerintah membiayai pembangunan.” Selain itu manfaat ekonomi adanya pertambangan dikawasan hutan
adalah dapat mendorong tumbuhnya sektor ekonomi yang lain (multiple
effect) baik yang secara langsung berkaitan dengan pertambangan
batubara, maupun yang tidak berkaitan langsung.
182Dadan Mulyana, Staf Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan
Kementerian Kehutanan, Wawancara di Jakarta tanggal 9 Februari 2015,
297
Berdasarkan penelusuran penulis terhadap data di Badan Pusat
Statistik Kalimantan Timur, sektor pertambangan batubara di Kalimantan
Timur mempunyai peran yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Bahkan ketika terjadi penurunan harga batubarapun, peran
pertambangan batubara terhadap sumber daya ekonomi Kalimantan
Timur masih pada angka 30%. Hal ini berarti secara ekonomi, Kalimantan
Timur 30% bergantung pada sektor pertambangan batubara, sehingga
peningkatan maupun turunnya hasil tambang batubara akan sangat
mempengaruhi kondisi perekonomian Kalimantan Timur.183
Berkurangnya deposit batubara dan situasi penurunan harga
batubara pada pasar dunia, berakibat terjadinya kelesuan sektor
pertambangan batubara. Ketergantungan ekonomi Kalimantan Timur
terhadap sektor pertambangan tergambar pada situasi perekonomian
ketika pertambangan menurun produksinya maka terjadi penurunan
pertumbuhan ekonomi daerah, bahkan pertumbuhan ekonomi Kalimantan
Timur pada angka minus.
Pertumbuhan batubara yang tinggi di Kalimantan Timur terjadi pada
periode 2009-2012. Pada tahun 2009 pertumbuhan sektor batubara
sebesar 10,27%, dan meningkat menjadi 18,03 pada tahun 2010.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 24,36%.
Namun terjadi penurunan pada tahun berikutnya yaitu 15,71%. Penurunan
pertumbuhan pertambangan batubara terjadi sejak tahun 2013 yang
183
BPS Kalimantan Timur 2016
298
tinggal 5,64%, demikian pula pada tahun 2014 sebesar 2,43%. Bahkan
terendah pada tahun 2015 sebesar -6,20%.
Tabel 29 :
Pertumbuhan dan Peranan Batubara Terhadap Total Ekonomi
Kalimantan Timur
Tahun Pertumbuhan Batubara
(%)
Peran Batubara terhadap Ekonomi Kaltim
(%)
2000 5,62 7,98
2009 10,27 22,28
2010 18,03 26,72
2011 24,36 30,37
2012 15,71 30,37
2013 5,64 37,97
2014 2,43 32,58
2015 -6,20 30,69
Sumber : BPS Kaltim Tahun 2016
Penurunan pertumbuhan batubara menunjukkan bahwa
pertambangan batubara memberikan manfaat tertentu yang baik yaitu
secara ekonomi, namun manfaat pertambangan sebagai komoditas
ekonomi bersifat tidak berkelanjutan.
e. Manfaat Ekonomi Terbesar Bagi Pengusaha Pertambangan
Batubara
Pengusaha pertambangan batubara merupakan pihak yang paling
banyak menerima manfaaat dalam beroperasinya pertambagan batubara
di kawasan hutan. Keuntungan ini dinyatakan oleh pengusaha yang
menjadi responden dalam penelitian, bahwa keuntungan usaha bagi
pegusaha pertambangan batubara sebesar 80% dalam setiap ton
299
batubara yang tergali. Biaya produksi besar namun secara prosentase
jauh lebih kecil dibandingkan keuntungannya. Manfaat ekonomi
pertambangan batubara dinikmati pengusaha batubara, sebagaimana
keterangan yang disampaikan pengusaha batubara di Kalimantan
Timur:184
“Dalam bisnis batubara pengusaha batubara mendapat keuntungan besar dari perhitungan harga batubara US$ 85 per-ton, sedangkan biaya produksi keseluruhan US$ 15 per-ton termasuk pembayaran kewajiban keuangan kepada negara. Sehingga keuntungan pengusaha sangat besar.”
Sehingga secara ekonomi usaha pertambangan batubara sangat
bermanfaat bagi pengusaha pertambangan. Kewajiban-kewajiban
keuangan bagi pengusaha cukup banyak namun nilai keuntungan setelah
dikurangi beban kewajiban keuangan yang timbul masih jauh lebih besar.
f. Adanya Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan
hutan bagi masyarakat namun nilainya kecil
Pertambangan batubara di kawasan hutan berdasarkan pendapat
responden, persentase terkecil adalah responden yang berpendapat
bahwa pertambangan batubara di kawasan hutan sangat bermanfaat
secara ekonomi, yaitu hanya 5%, sedangkan yang berpendapat cukup
bermanfaat sebanyak 20%. Responden yang berpendapat kurang
bermanfaat sebanyak 23%. Responden yang menilai pertambangan
batubara di kawasan hutan kurang bermanfaat secara ekonomi
menunjukkan bahwa manfaat ekonomi ada namun nilainya kecil.
184
Wawancara tanggal 17 Mei 2017
300
Tabel 30 : Pendapat Responden tentang Manfaat Ekonomi Pertambangan
Batubara di Kawasan Hutan
Tingkat Manfaat Responden Persentase
Sangat Bermanfaat 5 5%
Cukup Bermanfaat 22 20%
Kurang Bermanfaat 25 23%
Tidak bermanfaat 19 17%
Sangat Tidak Bermanfaat 39 35%
Total 110 100% Sumber : Data Primer 2017
Responden yang menilai pertambangan batubara di kawasan hutan
tidak bermanfaat sebanyak 17%, sedangkan responden yang
berpendapat secara ekonomi sangat tidak bermanfaat sebanyak 39%
persentase ini merupakan yang terbesar dari kriteria penilaian.
Berdasarkan data tersebut, pendapat responden lebih banyak yang
berpendapat kurang adanya manfaat ekonomi tertentu pertambangan di
kawasan hutan.
Tabel 31 :
Pendapat Responden terhadap Keberlanjutan Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara
Tingkat Pendapat responden
Keberlanjutan Jumlah Responden %
Sangat Berkelanjutan 1 1
Cukup 0 0
Kurang berkelanjutan 11 10
Tidak berkelanjutan 27 25
Sangat Tidak berkelanjutan
71 65
Total 110 100 Sumber : Data Primer 2017
301
Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan yang
tidak berkelanjutan juga tergambar pada pendapat responden penelitian
ini, yaitu : 65% responden menilai manfaat ekonomi pertambangan di
kawasan hutan sangat tidak berkelanjutan; 25% menilai tidak
berkelanjutan; 10% menilai berkelanjutan namun sangat sedikit (kurang
berkelanjutan); 0% atau tidak ada yang menilai cukup berkelanjutan,
namun terdapat 1% yang menilai secara ekonomi pertambangan batubara
di kawasan hutan sangat berkelanjutan. Berdasarkan data tersebut
menunjukkan bahwa persentase terbesar berpendapat bahwa manfaat
ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan, 90% berpendapat
tidak berkelanjutan.
Pertambangan batubara di kawasan hutan secara cepat dapat
menghasilkan keuntungan ekonomi, namun keuntungan tersebut tidak
berkelanjutan, saat deposit batubara habis tidak dapat diperbarui dan
selamanya tidak akan dapat dinikmati kembali.
2.1.2 Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan
berdasarkan kriteria objektif manfaat terbesar faham
utilitarianisme
Kriteria obyektif kedua berdasarkan faham utilitarianisme adalah
kriteria manfaat terbesar, yang dimaksud kriteria manfaat terbesar adalah
kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme hendaknya
mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan
kebijakan atau tindakan alternatif lain. Pengertian bahwa manfaat lebih
302
besar dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan lain menyiratkan
makna harus adanya perbandingan untuk dapat mengukur nilai manfaat
dari kebijakan yang dimaksud.
Aspek perbandingan yang dilakukan untuk menilai manfaat
pertambangan batubara di kawasan hutan adalah dengan melakukan
perbandingan manfaat sektor usaha lain yang juga berbasis lahan dan
secara faktual tarik menarik kepentingan penggunaan kawasan dengan
pertambangan. Sektor berbasis lahan yang di lakukan perbandingan
dengan pertambangan batubara adalah sektor perkebunan, pertanian
serta kehutanan.
Berdasarkan pendapat responden terhadap perbandingan manfaat
ekonomi yang diperoleh antara kebijakan pertambangan batubara di
kawasan hutan dengan sektor berbasis lahan yang lain yaitu perkebunan,
pertanian pangan dan kehutanan.
Pertama perbandingan manfaat pertambangan batubara di kawasan
hutan dengan sektor perkebunan, penilaian manfaat ekonomi
pertambangan batubara adalah responden yang menilai pertambangan
batubara sangat bermanfaat secara ekonomi, hanya 3%, sedangkan
sektor perkebunan memberikan manfaat ekonomi dengan kriteria sangat
bermanfaat sebanyak 26%. Sedangkan yang berpendapat pertambangan
batubara cukup bermanfaat sebanyak 25%. yang berpendapat bahwa
sektor perkebunan cukup bermanfaat sebanyak 39%; responden yang
berpendapat pertambangan batubara kurang bermanfaat sebanyak 26%,
303
responden yang menilai perkebunan kurang bermanfaat sebanyak 22%.
Responden yang menilai pertambangan batubara di kawasan hutan
kurang bermanfaat secara ekonomi menunjukkan bahwa manfaat
ekonomi ada namun nilainya kecil.
Responden yang menilai pertambangan batubara di kawasan hutan
tidak bermanfaat sebanyak 26%, sedangkan yang menilai sektor
perkebunan tidak bermanfaat 8%. Sedangkan responden yang
berpendapat secara ekonomi pertambangan batubara sangat tidak
bermanfaat sebanyak 29%, persentase responden yang menilai
perkebunan sangat tidak bermanfaat sebanyak 5%.
Tabel 32 :
Pendapat Responden terhadap Manfaat Ekonomi
Pertambangan Batubara di bandingkan dengan
sektor usaha berbasis lahan yang lain
Tingkat Manfaat
Pertambangan Batubara
Perkebunan Pertanian Pangan Kehutanan
Responden % Responden % Responden % Responden %
Sangat Bermanfaat
3 3 29 26 58 53 49 44
Cukup Bermanfaat
18 16 43 39 34 31 35 32
Kurang Bermanfaat
28 25 34 22 6 5 15 14
Tidak bermanfaat
29 26 9 8 5 5 2 2
Sangat Tidak Bermanfaat
32 29 5 5 7 6 9 8
Total 110 100 110 100 110 100 110 100
Sumber : Data primer 2017
Berdasarkan persentase tersebut menunjukkan responden menilai
sektor perkebunan merupakan salah satu sektor yang bermanfaat secara
304
ekonomi. Persentase terbesar responden menilai sektor perkebunan
bermanfaat lebih besar dibandingkan manfaat pertambangan batubara di
kawasan hutan.
Sektor kedua yaitu pertanian pangan, responden berpendapat
bahwa dibandingkan dengan pertambangan batubara di kawasan hutan
dengan pertanian pangan adalah : responden yang menilai pertambangan
batubara sangat bermanfaat secara ekonomi, hanya 3%, sedangkan
sektor pertanian pangan memberikan manfaat ekonomi dengan kriteria
sangat bermanfaat sebanyak 53%. Sedangkan yang berpendapat
pertambangan batubara cukup bermanfaat sebanyak 25%, yang
berpendapat bahwa sektor pertanian pangan cukup bermanfaat sebanyak
31%; responden yang berpendapat pertambangan batubara kurang
bermanfaat sebanyak 26%, responden yang menilai pertanian pangan
kurang bermanfaat sebanyak 5%. Responden yang menilai pertambangan
batubara di kawasan hutan tidak bermanfaat sebanyak 26%, sedangkan
yang menilai sektor pertanian pangan tidak bermanfaat 5%. Sedangkan
responden yang berpendapat secara ekonomi pertambangan batubara
sangat tidak bermanfaat sebanyak 29%, persentase responden yang
menilai pertanian pangan sangat tidak bermanfaat sebanyak 6%.
Berdasarkan penilaian responden, sektor pertanian pangan lebih
besar manfaat ekonominya di bandingkan dengan pertambangan
batubara di kawasan hutan.
305
Sektor berbasis lahan ketiga adalah kehutanan. Berdasarkan
pendapat responden dalam perbandingan antara sektor pertambangan
batubara dengan kehutanan adalah responden yang menilai
pertambangan batubara sangat bermanfaat secara ekonomi, hanya 3%,
sedangkan sektor kehutanan memberikan manfaat ekonomi dengan
kriteria sangat bermanfaat sebanyak 44%, persentase ini merupakan yang
tertinggi. Sedangkan yang berpendapat pertambangan batubara cukup
bermanfaat sebanyak 25%. yang berpendapat bahwa sektor kehutanan
cukup bermanfaat sebanyak 33%; responden yang berpendapat
pertambangan batubara kurang bermanfaat sebanyak 26%, responden
yang menilai kehutanan kurang bermanfaat sebanyak 14%. Responden
yang menilai pertambangan batubara di kawasan hutan tidak bermanfaat
sebanyak 26%, sedangkan yang menilai sektor kehutanan tidak
bermanfaat 2%. Sedangkan responden yang berpendapat secara
ekonomi pertambangan batubara sangat tidak bermanfaat sebanyak 29%,
persentase responden yang menilai kehutanan sangat tidak bermanfaat
sebanyak 8%.
Berdasarkan penilaian responden, sektor kehutanan lebih besar
manfaat ekonominya di bandingkan dengan pertambangan batubara di
kawasan hutan, perbandingan persentase diantara keduanya cukup
signifikan.
306
2.1.3 Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan
berdasarkan Kriteria objektif manfaat terbesar bagi sebanyak
mungkin orang.
Manfaat ekonomi berdasarkan Kriteria objektif ketiga yaitu : manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yang dimaksudkan adalah suatu
kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme dinilai baik
kalau manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang,
bukan hanya dinikmati orang perorang. Berdasarkan kriteria tersebut
untuk menilai pertambangan batubara di kawasan hutan memenuhi
kriteria manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, dalam penelitian
ini ditunjukkan melalui pendapat responden terhadap manfaat yang di
peroleh para pihak (stakeholder) yang berkaitan dengan keberadaan
perusahaan pertambangan batubara, yaitu : pemerintah pusat, pemerintah
daerah, pengusaha pertambangan batubara dan masyarakat.
Berdasarkan pendapat responden, terhadap penerima manfaat
pertambangan batubara di kawasan hutan adalah, persentase yang
berpendapat bahwa pertambangan batubara di kawasan hutan sangat
bermanfaat yang tertinggi adalah bagi pengusaha sebesar 47%,
sedangkan yang berpendapat pemerintah daerah menerima manfaat
sangat besar hanya 8%, demikian juga manfaat bagi pemerintah pusat
hanya 6%, bagi masyarakat sebanyak 5%.
Persentase responden yang menilai pertambangan batubara di
kawasan hutan cukup bermanfaat secara ekonomi bagi pengusaha
307
sebanyak 19%, bagi pemerintah daerah 20%, bagi pemerintah pusat 32%,
bagi masyarakat 20%. Persentase responden yang menilai pertambangan
batubara di kawasan hutan kurang bermanfaat secara ekonomi bagi
pengusaha sebanyak 14%, bagi pemerintah daerah 45%, bagi pemerintah
pusat 36%, bagi masyarakat 23%.
Persentase responden yang menilai pertambangan batubara di
kawasan hutan tidak bermanfaat secara ekonomi bagi pengusaha
sebanyak 8%, bagi pemerintah daerah 10%, bagi pemerintah pusat 7%,
bagi masyarakat 17%. Persentase responden yang menilai pertambangan
batubara di kawasan hutan sangat tidak bermanfaat secara ekonomi bagi
pengusaha sebanyak 11%, bagi pemerintah daerah 11%, bagi pemerintah
pusat 18%, bagi masyarakat 35%.
Tabel 33:
Pendapat Responden terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara Bagi Para Pihak
Tingkat Manfaat
Manfaat Bagi Pemerintah Pusat
Manfaat Bagi Pemda
Manfaat Bagi Pengusaha
Manfaat Bagi Masyarakat
Responden % Responden % Responden % Responden %
Sangat Bermanfaat
7 6 9 8 52 47 5 5
Cukup Bermanfaat
35 32 22 20 21 19 22 20
Kurang Bermanfaat
40 36 49 45 16 14 25 23
Tidak bermanfaat
8 7 11 10 9 8 19 17
Sangat Tidak Bermanfaat
20 18 19 11 12 11 39 35
Total 110 100 110 100 110 100 110 100
Sumber : Data Primer 2017
Berdasarkan pendapat responden terhadap para pihak penerima
manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan, mayoritas
308
responden berpendapat penerima manfaat terbanyak adalah pengusaha
pertambangan. Bagi pemerintah pusat dan daerah, mayoritas responden
menilai kurang memberi manfaat, artinya pemerintah daerah dan
pemerintah pusat menerima manfaat namun porsinya kecil.
Berdasarkan data tersebut, masyarakat justru menjadi penerima
manfaat terkecil dibandingkan para pihak yang lain yaitu pemerintah
daerah dan pemerintah pusat.
Manfaat ekonomi yang diterima pemerintah pusat dan daerah,
sebagaimana diungkapkan narasumber serta hasil penelusuran data yang
telah disajikan sebelumnya, menunjukkan bahwa secara signifikan
pertambangan batubara bagi Kalimantan Timur mempengaruhi 30%
perekonomian daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pertambangan
batubara membawa manfaat besar pembiayaan pembangunan. Namun
menurut pandangan responden manfaat bagi pemerintah pusat dan
daerah jauh lebih kecil dibandingkan manfaat yang diterima pengusaha
tambang.
Manfaat ekonomi bagi pemerintah pusat dan daerah adalah melalui
pembayaran kewajiban keuangan perusahaan pertambangan. Namun
berdasarkan analisis manfaat terbesar dari beroperasinya pertambangan,
terlihat bahwa bagian pemerintah sangat kecil, yaitu royalti untuk PKP2B
13,5% sedangkan untuk IUP sebesar 3-7% berdasarkan harga jual
komoditas batubara.
309
Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan
memberikan manfaat besar bagi pengusaha pertambangan. Namun bagi
masyarakat belum cukup dirasakan manfaatnya. Berdasarkan keterangan
yang disampaikan Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Kalimantan Timur, tentang manfaat ekonomi pertambangan batubara
adalah :185
“Pertambangan batubara dianggap memberikan masukan ekonomi yang besar bagi pemerintah, namun bagi masyarakat manfaat ekonomi pertambangan batubara hanya banyak dirasakan oleh pelaku pertambangan dan masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan yang persentasenya tidak banyak di masyarakat.” Manfaat ekonomi pertambangan lebih kecil jika dibandingkan dengan
kerugian ekonomi yang harus ditanggung masyarakat, Sektor-sektor
usaha masyarakat terkena dampak dari operasional pertambangan yang
menyebabkan penurunan pendapatan ekonomi masyarakat. hal ini
disampaikan dinamisator Jatam Kaltim:186
“Beroperasinya pertambangan di Kalimantan Timur ini justru banyak merugikan sektor ekonomi rakyat dibandingkan dengan manfaatnya. Berdasarkan penelitian yang JATAM lakukan menunjukkan keberadaan pertambangan batubara menyebabkan lahan-lahan persawahan petani tergusur. Kondisi ini mengancam ketahanan pangan Kalimantan Timur.” Pertambangan batubara di Kalimantan Timur mempunyai peran yang
signifikan bagi pertumbuhan ekonomi, namun ironisnya meskipun sumber
daya tambang dieksploitasi besar-besaran, masyarakat masih harus
terjerat dalam kemiskinan, sumber daya alam yang besar ini belum
185
Pradarma Rupang Dinamisator Jatam Kaltim, Wawancara tanggal 4 September 2016 di Samarinda
186Ibid
310
memberikan kontribusi yang mengembirakan kepada masyarakat
Kalimantan Timur, hal ini bisa dilihat dengan masih tinggi penduduk miskin
di Kaltim sejak orde baru hingga periode awal otonomi daerah.
Tabel 34 :
Jumlah Penduduk Miskin Kalimantan Timur Menurut Kabupaten/Kota
KAB/KOTA Penduduk Miskin (Ribu Jiwa)
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Paser 19.70 18.37 22.10 19.10 19 20.14 20.34 22.82
Kutai Barat 16.65 14.30 16.50 14.30 14.20 13.20 12.92 12.12
Kutai Kartanegara
48.16 42.48 54.70 47.30 47.10 52.14 52.53 56.99
Kutai Timur 24.76 22.89 29.20 25.30 25.20 27.17 28.30 29.57
Berau 9.63 10.13 11.90 10.30 10.30 9.69 9.77 11.21
PPU 16.13 14.30 15 13 12.90 11.69 11.58 12.17
Mahakam Ulu
- - - - - - - 2.83
Balikpapan 17.57 18.44 22.80 19.80 19.70 14.92 15.02 17.89
Samarinda 27.65 98.97 38 32.90 32.80 36.61 36.65 39.25
Bontang 9.54 9.03 9.40 8.10 8.10 8.51 8.21 8.02
Total 259.45 245.05 285.40 247.13 246.11 248.69 252.68 200.99
Sumber : BPS Kalimantan Timur Tahun 2016, di akses Mei 2017
Berdasarkan data BPS, Kabupaten/Kota yang menopang
ekonominya dari sektor pertambangan justru terdapat jumlah penduduk
miskin yang lebih besar. Berdasarkan data BPS Kalimantan Timur tahun
2016, penduduk miskin terbanyak berada di Kabupaten Kutai Kartanegara
yaitu sebanyak 56,99 ribu jiwa. Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan
kabupaten dengan jumlah izin pertambangan terbanyak se-Kalimantan
Timur. Sedangkan penduduk miskin terbanyak kedua adalah di Kota
Samarinda yaitu sebanyak 39,25 ribu jiwa, 70% wilayah Kota Samarinda
diterbitkan izin pertambangan batubara. Kabupaten Kutai Timur
merupakan kabupaten ketiga dengan jumlah penduduk miskin sebanyak
311
29,57 ribu jiwa. Kabupaten Paser dengan jumlah penduduk miskin
sebanyak 22,82 ribu jiwa.
Menurut Keterangan Dinamisator Jatam Nasional adalah :187
“Kegiatan eksploitasi terhadap sumber daya alam (SDA) itu rupanya tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Serta peran signifikan eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan ini tidak berlangsung lama atau tidak berkelanjutan.” Manfaat pertambangan batubara bagi perempuan menurut pendapat
masyarakat : “Manfaat ekonomi pertambangan batubara seperti yang
banyak disajikan pemerintah melalui angka-angka pendapatan daerah
dari sektor pertambangan, tidak memotret persoalan yang terjadi terutama
bagi perempuan.”188
Secara ekonomi, pertambangan batubara sangat berpengaruh bagi
ekonomi perempuan, yaitu mengakibatkan pendapatan perempuan dari
sektor pertanian yang menurun akibat penggusuran lahan yang banyak
terjadi. Berdasarkan pendapat masyarakat yaitu: “Keberadaan
pertambangan batubara menggusur sawah dan kebun masyarakat, yang
berakibat perempuan yang semula bekerja di sektor pertanian dan
mendapatkan penghasilan baik dari hasil sawah maupun kebun justru
mereka kehilangan pendapatan.”189
Masyarakat menurut pendapat responden justru menjadi penerima
manfaat terkecil dibandingkan para pihak yang lain yaitu pengusaha,
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Jika merujuk kembali kriteria
187
Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Nasional di Jakarta, wawancara tanggal 5 Oktober 2016
188TKPT, wawancara pada tanggal 10 Mei 2017
189Ibid
312
objektif ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang,
maka parameter ideal penerima manfaat terbesar adalah masyarakat,
karena masyarakat secara jumlah lebih banyak dibandingkan para pihak
yang lain.
Berdasarkan pendapat responden maka manfaat ekonomi
pertambangan batubara berdasarkan kriteria objektif ketiga dari faham
utilitarianime belum dapat dipenuhi.
2.2 Manfaat Sosial Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
2.2.1 Manfaat Sosial Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
berdasarkan Kriteria objektif manfaat faham Utilitarianisme
Manfaat sosial berdasarkan kriteria manfaat yang dimaksud adalah
kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme harus
mendatangkan manfaat tertentu. Kebijakan atau tindakan baik adalah
kebijakan atau tindakan yang menghasilkan hal baik. Sebaliknya akan
dinilai buruk secara moral kalau mendatangkan kerugian atau hal buruk.
Kebijakan pertambangan di kawasan hutan dalam kriteria obyektif
manfaat, ditinjau dari aspek sosial menurut pemerintah pusat dan daerah,
pertambangan batubara di kawasan hutan memberikan manfaat berupa
pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan adanya program
CSR (Community Social Responsibility) yang dapat mendorong
pemberdayaan masyarakat diberbagai bidang, baik ekonomi, sosial,
kesehatan, pendidikan dll.
313
a. Manfaat Penyerapan Tenaga Kerja Namun tidak berkelanjutan
Manfaat keberadaan pertambangan dalam penyerapan tenaga kerja
menurut pemerintah, tidak hanya bagi sektor pekerjaan yang langsung
disediakan oleh perusahaan pertambangan, namun juga pekerjaan sektor
lain di luar pertambangan yang terbentuk karena adanya perusahaan
pertambangan di wilayah tersebut.
Berdasarkan keterangan Subdit Pengawasan Produksi dan
Pemasaran Batubara, dikatakan bahwa : 190
“Keberadaan perusahaan pertambangan selalu akan memberikan manfaat membuka lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga-tenaga kerja di sekitar wilayah pertambangan. Karena itu ada keharusan perusahaan untuk mengutamakan tenaga kerja lokal, agar kesempatan kerja dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.”
Keterangan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 106 UU 4
Tahun 2009, bahwa : “Pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan
pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Manfaat sosial pertambangan batu bara di kawasan hutan bagi
penyerapan tenaga kerja di Kalimantan Timur, hal ini seperti keterangan
yang disampaikan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi
Kalimantan Timur, yaitu :191
“Pertambangan yang beroperasi menyebabkan terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat baik melalui pekerjaan yang langsung diserap oleh perusahaan pertambangan maupun melalui
190
Andi Ari.S Subdit Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara. wawancara
pada tanggal 16 Februari 2016
191Ibid
314
sektor usaha yang terbentuk karena adanya perusahaan pertambangan.”
Namun dari temuan penelitian di Kalimantan Timur, peluang
pekerjaan yang disediakan oleh perusahaan pertambangan batubara
sebagai bentuk manfaat sosial, tidak berlangsung lama, pada tahun 2014
justru terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang besar-besaran
karena terdampak turunnya harga batubara di pasar internasional. Hal ini
menunjukkan daya serap pekerja di sektor pertambangan batubara tidak
berkelanjutan. Ketika deposit batubara habis atau harga komoditi batubara
turun, hal ini menyebabkan manfaat sosial tidak dapat dirasakan lagi.
b. Manfaat program CSR (Community Social Responsibility)
Manfaat sosial pertambangan batubara di kawasan hutan menurut
pemerintah adalah:192 “Perusahaan pertambangan wajib menjalankan
CSR (Community Social Responsibility) melalui kewajiban ini maka
manfaat sosial dapat dirasakan masyarakat di sekitar wilayah
penambangan. Dalam pelaksanaannya CSR akan melibatkan banyak
pihak baik pemerintah daerah, maupun masyarakat.”
Ketentuan CSR secara khusus bidang pertambangan batubara diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Pasal 106 –
109, yang menegaskan bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun
192
Andi Ari.S (KESDM), wawancara pada tanggal 16 Februari 2016; Dadan Mulyana (Kementerian Lingkungan), Op.cit.
315
program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP
dan WIUPK. Pasal 106 ayat (2) : program pengembangan dan
pemberdayaan harus dikonsultasikan dengan Pemerintah, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakat setempat. Pasal
106 ayat (4) Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
sebagaimana diprioritaskan untuk masyarakat disekitar WIUP dan WIUPK
yang terkena dampak langsung akibat aktifitas pertambangan. Prioritas
masyarakat merupakan masyarakat yang berada dekat kegiatan
operasional penambangan dengan tidak melihat batas administrasi
wilayah kecamatan/kabupaten.
Konsep Corporate Sosial Responsibility (CSR) telah dikenal sejak
awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan
praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan
ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen
dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara
berkelanjutan (Sustainable Development).193
Menurut The World Business Council For Sustainable Development
(WBCSD) bahwa definisi CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan
merupakan komitmen bisnis untuk kontribusi dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan, bekerjasama dengan karyawan perusahaan serta
keluarganya, berikutnya melibatkan komuniti sekitarnya dan masyarakat
193
Ilona Vicenovie Oisina Situmeang, 2016. Corporate Social Responsibility-Dipandang dari perspektif komunikasi organisasi, Ekuilibria, Yogjakarta. Halaman : xv
316
secara keseluruhan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan.194
Regulasi yang mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan
adalah: Kewajiban Sosial Perusahaan berdasarkan Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Ketentuan tentang
tanggung jawab sosial perusahaan dalam undang-undang ini yaitu : Pasal
47 ayat (1) perseroan yang mmenjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Ketentuan ayat (2) tanggung jawab sosial dan lingkungan
merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatuhan dan kewajaran. Ketentuan ayat (3), perseroan
yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan ini selanjutnya menurut ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Pengaturan tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan dalam UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
diatur dalam ketentuan Pasal 15, 17 dan 34.
Berdasarkan ketentuan Pasal 15, setiap penanam modal di
Indonesia berkewajiban :
1. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; 2. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
194
Ibid, halaman : 9
317
3. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
4. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegaiatan usaha penanaman modal;
5. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan berikutnya pada Pasal 17 bahwa penanam modal yang
mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib
mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang
memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sanksi terhadap ketidak patuhan ketentuan tanggung jawab sosial
dan lingkungan perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 15,
dikenakan sanksi menurut ketentuan Pasal 34 ayat (1) berupa sanksi
administratif berupa :
c. Peringatan tertulis; d. Pembatasan kegiatan usaha; e. Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; f. Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Ketentuan Pasal 34 ayat (2) mengatur tentang pemberian sanksi
administratif sebagaimana dimaksud Pasal 34 (1) diberikan oleh instansi
atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selain sanksi administratif menurut ketentuan
Pasal 34 yat (3), badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenakan
sanksi lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, diatur :
Pasal 2 setiap perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung
318
jawab sosial dan lingkungan. Ketentuan Pasal 3 (1) tanggung jawab sosial
dan lingkungan menjadi kewajiban bagi perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam berdasarkan undang-undang. Pasal 3 ayat (2) kewajiban tanggung
jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan baik di dalam maupun di luar
lingkungan perseroan.
Pasal 4 (1) tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh
direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat
persetujuan dewan komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar
perseroan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 4 (2) rencana kerja tahunan perseroan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan
untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal 5(1)
perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam, dalam menyusun dan menetapkan
rencana kegiatan dan anggaran harus memperhatikan kepatutan dan
kewajaran. Ketentuan Pasal 5 (2) realisasi anggaran untuk pelaksanaan
tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilaksanakan oleh perseroan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Pasal 6 pelaksanaan tanggung
jawab sosial dan lingkungan dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan
dipertanggung-jawabkan kepada RUPS.
Ketentuan dalam Pasal 7 perseroan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
319
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 8 (1) tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 tidak menghalangi perseroan berperan serta melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2. Ketentuan Pasal 8 (2) perseroan yang telah berperan serta
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dapat diberikan
penghargaan oleh instansi yang berwenang.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut,
nampak bahwa setiap perusahaan yang bergerak di sektor sumberdaya
alam memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sosial
perusahaan.
2.2.2 Manfaat sosial pertambangan batubara di kawasan hutan
berdasarkan Kriteria objektif manfaat terbesar dalam Faham
Utilitarianisme
Manfaat sosial berdasarkan kriteria obyektif manfaat terbesar yang
dimaksud adalah kebijakan atau tindakan berdasarkan faham
utilitarianisme hendaknya kebijakan pengelolaan sumber daya alam
mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan
kebijakan atau tindakan alternatif lain.
Berdasarkan pendapat responden, manfaat sosial terbesar jika
diperbandingkan dengan sektor usaha berbasis lahan adalah persentase
tertinggi memberikan manfaat adalah sektor perkebunan yang mendapat
320
nilai 45% untuk kriteria cukup bermanfaat, sedangkan pertanian pangan
sebanyak 39% responden menilai sangat bermanfaat, sedangkan
kehutanan sebanyak 35% menilai bermanfaat, sedangkan pertambangan
batubara di kawasan hutan berdasarkan penilaian responden justru
mendapatkan nilai terendah yaitu 15% untuk kriteria cukup bermanfaat,
sedangkan kriteria terbesar justru sangat tidak bermanfaat 35%.
Tabel 35 :
Pendapat responden terhadap Manfaat Sosial
Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor Usaha
Berbasis Lahan yang Lain
Tingkat Manfaat
Pertambangan
Batubara Perkebunan Pertanian Pangan Kehutanan
Responden % Responden % Responden % Responden %
Sangat Bermanfaat
4 4 13 12 43 39 39 35
Cukup Bermanfaat
16 15 50 45 46 42 39 35
Kurang Bermanfaat
26 24 28 25 9 8 21 19
Tidak bermanfaat
29 26 6 5 7 6 5 5
Sangat Tidak Bermanfaat
35 32 13 12 5 5 6 5
Total 110 100 110 100 110 100 110 100
Sumber : Data Primer 2017
Setelah harga batubara menurun tajam berakibat terhadap
ketersediaan pekerjaan yang semula ada menjadi hilang, begitu juga
sektor pekerjaan lain yang bertumbuh karena adanya perusahaan
pertambangan. Kondisi inilah salah satu penilaian responden terhadap
sektor pertambangan batubara dinilai lebih rendah manfaatnya
dibandingkan sektor usaha berbasis lahan yang lain.
321
2.2.3 Manfaat sosial pertambangan batubara di kawasan hutan
berdasarkan Kriteria objektif manfaat terbesar bagi sebanyak
mungkin orang dalam Faham Utilitarianisme
Manfaat sosial berdasarkan kriteria obyektif manfaat terbesar bagi
sebanyak mungkin orang adalah suatu kebijakan atau tindakan
berdasarkan faham utilitarianisme dinilai baik kalau manfaat terbesar yang
dihasilkan berguna bagi banyak orang.
a. Penyerapan tenaga kerja tidak memenuhi kriteria manfaat bagi
sebanyak mungkin orang
Manfaat penyerapan tenaga kerja menurut pendapat responden
adalah bagi tenaga kerja laki-laki, keberadaan pertambangan batubara di
kawasan hutan persentase terbesar responden yaitu 37% menilai kurang
bermanfaat, yang berarti penyerapan tenaga kerja ada namun kurang
mampu menyerap banyak tenaga kerja. Persentase berikutnya 29%
responden menilai penyerapan tenaga kerja laki-laki cukup bermanfaat,
sedangkan 11% menilai sangat bermanfaat. Responden yang menilai
penyerapan tenaga kerja di pertambangan batubara tidak bermanfaat
sebanyak 10% dan 9% menganggap sangat tidak bermanfaat. Jika
ditelaah secara keseluruhan tenaga kerja laki-laki di sektor pertambangan
batubara cukup terserap, namun belum sebanding dengan pencari kerja.
Kondisi tersebut berbeda bagi tenaga kerja perempuan, keberadaan
pertambangan batubara di kawasan hutan persentase terbesar responden
yaitu 37% menilai kurang bermanfaat, yang berarti penyerapan tenaga
322
kerja ada namun kurang mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Persentase berikutnya 24% responden menilai penyerapan tenaga kerja
laki-laki tidak bermanfaat bagi perempuan, sedangkan 22% menilai sangat
tidak bermanfaat. Responden yang menilai penyerapan tenaga kerja di
pertambangan batubara cukup bermanfaat sebanyak 14% dan hanya 3%
menganggap sangat bermanfaat.
Tabel 36 :
Pendapat Responden Terhadap Manfaat Penyerapan Tenaga Kerja di
Pertambangan Batubara
Tingkat Manfaat
Tenaga Kerja Laki-laki
Tenaga Kerja Perempuan
Responden % Responden %
Sangat Bermanfaat 16 15 3 3
Cukup Bermanfaat 32 29 15 14
Kurang Bermanfaat 41 37 41 37
Tidak bermanfaat 11 10 27 24
Sangat Tidak Bermanfaat 10 9 24 22
Total 110 100 110 100
Sumber : Data Primer 2017
Berdasarkan pendapat responden, manfaat terbesar penyerapan
tenaga kerja pertambangan batubara adalah bagi tenaga kerja laki-laki,
sedangkan manfaat bagi tenaga kerja perempuan, sektor pertambangan
batubara tidak banyak memberikan manfaat penyerapan tenaga kerja
perempuan.
Berdasarkan data BPS Kalimantan Timur, daya serap sektor
pertambangan jauh lebih kecil dibandingkan sektor pertanian, dan
323
Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi, serta sektor Jasa
Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan.
Berdasarkan data tersebut daya serap sektor pertanian sebanyak
20,65% pada tahun 2016 dan meningkat menjadi 22,01% pada tahun
2017. Sektor Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan menyerap
sebanyak 21,93% pada tahun 2016 dan meningkat menjadi 23,05% pada
tahun 2017. Sektor Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi
mampu menyerap tenaga kerja terbanyak yaitu sebanyak 27,59% pada
tahun 2016 dan meningkat menjadi 28,83% pada tahun 2017. Sedangkan
penyerapan tenaga kerja sektor pertambangan sangat kecil yaitu hanya
6,74% pada tahun 2016 dan meningkat sangat tipis menjadi 6,76% pada
tahun 2017.
Tabel 37 :
Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Usaha di Kalimantan Timur
Sektor Usaha 2016 2017
Jumlah % Jumlah %
Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan
310.581 20,65 337.960 22,01
Pertambangan dan Penggalian 101.448 6,74 103.822 6,76
Industri 83.299 5,54 67.978 4,43
Listrik, Gas dan Air Minum 10.613 0,71 13.248 0,86
Konstruksi 80.814 5,37 75.164 4,90
Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi
414.941 27,59 442.685 28,83
Transportasi, Pergudangan dan komunikasi
89.665 5,96 70.572 4,60
Lembaga Keuangan, Real estate, usaha persewaan dan Jasa Perusahaan
82.958 5,52 70.030 4,56
Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan
329.814 21,93 353.836 23,05
Jumlah 1.504.133 100 1.535.296 100
Sumber : BPS Kalimantan Timur Tahun 2017
324
Berdasarkan kriteria manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang
berkaitan manfaat sosial pertambangan berupa penyerapan tenaga kerja,
berdasarkan data BPS Kalimantan Timur manfaatnya sangatlah kecil
dibandingkan dengan sektor yang lain.
Menurut keterangan masyarakat di desa yang berada di wilayah
pertambangan angkanya lebih kecil lagi yaitu hanya 1%. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan pertambangan di kawasan hutan dalam
perspektif analisi manfaat belum memenuhi kategori memberikan manfaat
bagi sebanyak mungkin orang secara langsung dalam bentuk kesempatan
kerja.
Bagi perempuan, jumlah perempuan yang mendapatkan manfaat
sosial pertambangan di kawasan hutan jauh dibawah jumlah pekerja yang
laki-laki. Pekerja perempuan di sektor pertambangan hanya 1,2% dari
jumlah pekerja laki-laki. Berdasarkan kondisi ini maka perempuan bukan
kelompok masyarakat yang menerima manfaat dari pertambangan
batubara di kawasan hutan.
Manfaat sosial perusahaan dalam menciptakan lapangan pekerjaan
selalu disampaikan oleh pihak perusahaan maupun pemerintah ketika
perusahaan akan beroperasi di suatu wilayah. Namun setelah perusahaan
beroperasi, daya serap perusahaan terhadap tenaga kerja tidak cukup
besar. Menurut keterangan Dinamisator JATAM Kalimantan Timur,
dikatakan bahwa :
“Keberadaan perusahaan pertambangan batubara pada awal masuk selalu dikatakan oleh pihak perusahaan maupun pemerintah bahwa
325
kehadiran perusahaan pertambangan akan membuka lapangan pekerjaan sehingga masyarakat dapat bekerja di perusahaan, namun kenyataannya banyaknya pekerja yang direkrut oleh perusahaan pertambangan batubara tak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang ada di masyarakat.” Kemampuan perusahaan pertambangan dalam menyerap tenaga
kerja disebabkan ciri perusahaan pertambangan sebagai perusahaan
yang padat modal namun bukan perusahaan padat karya. Dalam
operasional perusahaan pertambangan dilakukan dengan menggunakan
alat-lat modern yang memungkinkan perusahaan pertambangan
mengelola perusahaan secara efisien, sehingga tidak membutuhkan
tenaga kerja yang sangat banyak.
Kondisi perdagangan komoditi batubara di pasar dunia sangat
berpengaruh terhadap keberlangsungan perusahaan pertambangan
batubara. Ketika harga batubara mengalami penurunan yang signifikan,
maka sebagian besar perusahaan harus mengurangi bahkan
menghentikan produksinya. Hal ini menyebabkan perusahaan harus
mengurangi karyawannya. Model ekonomi yang ditopang eksploitasi
sumber daya tambang dan menjual sebagai komoditi mentah, sangat
rentan dengan kondisi global. Seperti keadaan sejak tahun 2014 terjadi
penurunan harga batubara di perdagangan internasional, berimbas
terhadap perekonomian Kalimantan Timur, hal ini membawa dampak
terjadinya PHK (pemutusan hubungan kerja) secara besar-besaran di
Kaltim terutama di sektor pertambangan.
326
Berdasarkan penelusuran penulis, sesuai dengan data dari Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim dan data BPS
Kalimantan Timur, jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan pada 2001
tercatat 43.708 orang, lalu meningkat menjadi 174.403 orang pekerja
pada tahun 2014. Jumlah tersebut mengalami penurunan pada tahun
2015 menjadi 135.417 orang tenaga kerja atau berkurang sebanyak
38.986 orang. Sehingga sebanyak 60.000 orang telah di PHK sejak 2014 -
2016, akibat turunnya harga batubara.
Tabel 38 :
Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja di Kalimantan Timur
Jenis Kelamin
Jumlah Tenaga Kerja
yang tersedia (Jiwa)
Jumlah Penyerapan
Tenaga Kerja (Jiwa)
Persentase Penyerapan Tenaga Kerja
Terserap Tidak Terserap
Laki-laki 1.797.297 1.091.062 83,64% 16,64%
Perempuan 1.629.341 448.429 38,56% 61,44%
Total 3.426.638 1.539.491 62,39% 37,61% Sumber : BPS Kalimantan Timur Tahun 2016, di akses Mei 2017
Bagi perempuan manfaat sosial perusahaan pertambangan bagi
perempuan dalam bentuk penyerapan tenaga kerja masih sangat kurang.
Menurut Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) Kalimantan Timur
adalah:195
“Penyerapan tenaga kerja selalu menjadi daya tarik pemerintah untuk memberika izin beroperasinya pertambangan, namun menurut
195Wawancara pada tanggal 10 Mei 2017
327
hasil penelitian TKPT, daya serap perusahaan pertambangan terhadap tenaga kerja perempuan hanya 1,2%. Sehingga di Kalimantan Timur penganggurn terbanyak adalah perempuan. Hal ini terjadi karena sektor industri yang dominan diKalimantan Timur adalah industri pertambangan yang lebih banyak menyerap tenaga kerja perempuan dibandingkan laki-laki.”
Berdasarkan data BPS Kalimantan Timur tahun 2016, penyerapan
tenaga kerja sebanyak 62,39% atau sebanyak 1.539.491 jiwa dari jumlah
tenaga kerja yang tersedia sebanyak 3.426.638 jiwa. Tenaga kerja yang
tidak terserap sebanya 37,61%. Persentase penyerapan tenaga kerja laki-
laki yaitu sebanyak 83,64% dari keseluruhan tenaga kerja laki-laki yang
tersedia yaitu sebanyak 1.797,297 jiwa, yang terserap pasar tenaga kerja
adalah sebanyak 1.091.062 jiwa. Namun bagi tenaga kerja perempuan,
angka serapan tenaga kerja sangat kecil, yaitu hanya 38,56% dari jumlah
tenaga perempuan sebanyak 1.629.341 jiwa, yang terserap pasar tenaga
kerja hanya 448.429 jiwa.
Bagi perempuan desa yang berada di sekitar wilayah pertambangan,
manfaat penyerapan tenaga kerja sektor pertambangan batubara
persentasenya sangat kecil. Sebagaimana informasi dari TKPT
Kalimantan Timur: :196
“Penyerapan tenaga kerja perempuan di desa-desa sekitar wilayah pertambangan persentasenya lebih kecil lagi. Bahkan berdasarkan temuan TKPT, perempuan-perempuan desa yang semula mempunyai pekerjaan dan penghasilan dari sawah dan kebun serta pengolahan hasil pertanian baik gula merah maupun minyak kelapa, harus kehilangan pekerjaaannya karena lahan tergusur atau lahan rusak terkena dampak operasional pertambangan.
196
Ibid
328
Berdasarkan telaah penulis bahwa pertambangan batubara
memberikan manfaat kesempatan kerja mayoritas bagi laki-laki dan
sebagian kecil perempuan. Namun sifat pekerjaan yang disediakan sektor
pertambangan tidak berkelanjutan.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka dapat diketahui manfaat
sosial bagi masyarakat dengan adanya pertambangan batubara di
kawasan hutan adalah: (a) Manfaat sosial perusahaan pertambangan
adalah adanya lapangan kerja baik yang disediakan oleh perusahaan atau
lapangan kerja sektor lain yang terbentuk karena adanya perusahaan,
namun prosentase terbesar tenaga kerja adalah laki-laki; (b) Penyerapan
tenaga kerja sektor pertambangan jauh lebih kecil dibandingkan sektor
usaha lainnya; (c) Serapan tenaga kerja sektor pertambangan batubara
secara persentase sangat rendah, tidak sebanding dengan angkatan kerja
yang ada di daerah (d) Lapangan kerja yang tersedia bagi perempuan di
perusahaan pertambangan sangat terbatas, sehingga angkatan kerja
perempuan yang dapat diserap sektor pertambangan juga sedikit; (e)
Keberadaan pertambangan batubara menyebabkan hilangnya pekerjaan
perempuan yang sebelum adanya perusahaan bekerja di sektor pertanian
sawah dan pertanian pangan.
b. Manfaat Program CSR Perusahaan Pertambangan Batubara
Manfaat sosial perusahaan pertambangan batubara menurut
pemerintah, adanya dana CSR perusahaan yang akan bermanfaat bagi
329
program-program kebutuhan masyarakat baik bidang ekonomi,
kesehatan, pendidikan dll.
Menurut keterangan Kasub Pertambangan Batubara Dinas Energi
dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur, mengenai manfaat
sosial pertambangan di kawasan hutan adalah :197
“Perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam mempunyai kewajiban untuk melaksanakan program CSR (Community Social Responsibility). Jika perusahaan melaksanakan program CSR, maka masyarakat akan mendapatkan manfaat sosial dari adanya pertambangan batubara.”
Berdasarkan keterangan dari Dinas Energi dan Sumber Daya
Mineral Provinsi Kalimantan Timur, maka dapat diketahui bahwa manfaat
sosial pertambangan batubara adalah membuka lapangan kerja bagi
masyarakat dan adanya kewajiban CSR (Community Social
Responsibility) dari perusahaan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Berdasarkan pendapat responden program CSR yang dijalankan
perusahaan justru mendapat penilaian kurang bermanfaat, yaitu
infrastruktur sebanyak 55% responden menilai kurang bermanfaat,
sedangkan 18% menilai cukup bermanfaat. Program pendidikan sebanyak
50% responden menilai kurang bermanfaat, sedangkan 19% menilai
cukup bermanfaat. Program pemberdayaan ekonomi 48% responden
menilai kurang bermanfaat, sedangkan 27% menilai cukup bermanfaat;
Sarana Air bersih 39% menilai kurang bermanfaat, sedangkan 17%
menilai cukup bermanfaat. Program pemberdayaan perempuan 47%
197Goenoeng, pada wawancara tanggal 11 April 2016,
330
responden menilai kurang bermanfaat, sedangkan 22% menilai tidak
bermanfaat dan 22% menilai sangat tidak bermanfaat. Program kesehatan
sebanyak 40% responden menilai kurang bermanfaat, sedangkan 25%
menilai sangat tidak bermanfaat dan 17% menilai tidak bermanfaat, nilai
yang sama 17% menilai program cukup bermanfaat.
Tabel 39 :
Pendapat Responden Terhadap Manfaat CSR
(Community Sosial Responsibility) Perusahaan
Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
Program CSR Perusahaan Pertambangan Batubara
Sangat Bermanfaat
Cukup Bermanfaat
Kurang Bermanfaat
Tidak bermanfaat
Sangat Tidak Bermanfaat
Respon den
% Responden
% Responden
% Respon Den
% Responden
%
Infrastruktur 7 6 20 18 60 55 8 7 15 14
Pendidikan 2 2 21 19 55 50 17 15 15 14
Pemberdayaan Ekonomi
1 1 30 27 53 48 10 9 16 15
Sarana Air Bersih
2 2 17 17 43 39 19 17 29 26
Pemberdayaan Perempuan
2 2 8 7 52 47 24 22 24 22
Kesehatan 2 2 20 17 44 40 19 17 25 23
Keagamaan 2 2 21 19 46 42 21 19 20 18
Kebudayaan 2 2 16 15 50 45 22 20 20 18
Total 110 100 110 100 110 100 110 100 110 100
Sumber : Data Primer 2017
Penilaian responden terhadap program CSR bidang kesehatan,
sebanyak 40% responden menilai kurang bermanfaat, 23% menilai sangat
tidak bermanfaat, 17% menilai cukup bermanfaat. Sedangkan program
CSR bidang keagamaan sebanyak 42% menilai kurang bermanfaat, 19%
menilai cukup bermanfaat, demikian pula yang menilai tidak bermanfaat
sebanyak 19%, sedangkan yang menilai sangat tidak bermanfaat
sebanyak 18%.
331
Penilaian terhadap program CSR bidang kebudayaan sebanyak 45%
responden menyatakan kurang bermanfaat, 20% menilai tidak
bermanfaat, sebanyak 18% menilai sangat tidak bermanfaat, serta 15%
menilai cukup bermanfaat.
Berdasarkan pendapat responden tersebut, maka program yang
dilakukan melalui CSR perusahaan pertambangan, persentase penilaian
responden tertinggi justru kurang bermanfaat, sedangkan penilaian cukup
pada persentase dibawahnya, hal ini berarti pertama kurangnya kuantitas
program CSR perusahaan berbanding dengan jumlah perusahaan
pertambangan yang ada; kedua kurangnya kualitas pelaksanaan program
CSR sehingga manfaat CSR belum memberikan manfaat secara
maksimal; ketiga pelaksanaan program CSR belum dirasakan secara
merata oleh masyarakat.
2.3 Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di Kawasan
Hutan
2.3.1 Manfaat Lingkungan berdasarkan Kriteria Objektif manfaat
dalam fahan Utilitarianisme
Manfaat Lingkungan berdasarkan kriteria objektif manfaat yang
dimaksud adalah kebijakan atau tindakan berdasarkan faham
utilitarianisme harus mendatangkan manfaat tertentu. Kebijakan atau
tindakan baik adalah kebijakan atau tindakan yang menghasilkan hal baik.
332
Sebaliknya akan dinilai buruk secara moral kalau mendatangkan kerugian
atau hal buruk.
Berdasarkan keterangan pemerintah, bahwa manfaat lingkungan
pertambangan di kawasan hutan dalam kriteria obyektif manfaat adalah
berupa pelaksanaan kewajiban melakukan penambangan yang ramah
lingkungan dan pemenuhan kewajiban lingkungan berupa penempatan
jaminan reklamasi dan jaminan paska tambang. Manfaat lingkungan
pertambangan batubara di kawasan hutan menurut keterangan Subdit
Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara KESDM adalah : 198
“Manfaat lingkungan adanya pertambangan batubara adalah adanya kewajiban perusahaan untuk melaksanakan reklamasi dan paska tambang. Melalui kewajiban ini maka perusahaan mempunyai kewajiban untuk memulihkan kondisi lingkungan. Namun khusus untuk kawasan hutan ada ketentuan khusus dan itu menjadi kewenangan Instansi Kehutanan untuk melakukan pengawasan.”
Manfaat lingkungan pertambangan batubara di kawasan hutan
menurut Kementerian Kehutanan dan Lingkungan, dapat dilihat melalui
pelaksanaan kewajiban pemegang IPPKH. Kewajiban tersebut
diantaranya adalah kewajiban penanaman kembali lahan yang terganggu
aktivitas penambangan batubara, serta bagi kawasan yang tidak dapat
dikembalikan seperti rona awal, perusahaan mempunyai kewajiban
melakukan penanaman di kawasan DAS (daerah aliran sungai). Hal ini
198
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, pemaparan pada tanggal 9 Mei 2017 di Balikpapan
333
disampaikan Staf Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan Kementerian
Kehutanan:199
“Pemegang IPPKH mempunyai kewajiban penanaman kembali revegetasi serta wilayah yang L3 (tidak bisa dikembalikan seperti rona awal) terdapat kewajiban perusahaan untuk melakukan penanaman DAS. Wilayah penanaman DAS bisa dilokasi penambangan atau diluar lokasi penambangan dan penentuan lokasi harus dengan persetujuan BP DAS. Perhitungan dengan Rumusan 1:1+L3. Ketentuan ini akan mendorong upaya untuk pemeliharaan kawasan DAS dan kawasan yang diperuntukkan sebagai lahan kompensasi.”
Berdasarkan ketentuan tersebut menurut Kementerian Kehutanan
dan Lingkungan, kawasan DAS akan menjadi lebih baik karena
perusahaan melaksanakan penanaman kembali kawasan DAS. Selain itu
adanya ketentuan penyediaan lahan kompensasi untuk dijadikan kawasan
hutan merupakan manfaat lingkungan adanya pertambangan batubara di
kawasan hutan.
Manfaat lingkungan pertambangan batubara menurut Dinas Energi
Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur adalah adanya
kewajiban perusahaan untuk melaksanakan reklamasi paskatambang.
Setelah dilakukan reklamasi maka kawasan yang digunakan
pertambangan akan bermanfaat secara lingkungan. Hal ini disampaikan
Kasub Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber Daya Mineral
Provinsi Kalimantan Timur:200
199
wawancara dengan Dadan Mulyana, di Jakarta tanggal 9 Februari 2015, 200
Goenoeng, wawancara tanggal 11 April 2016 :
334
“Pertambangan di kawasan hutan memiliki kewajiban setelah melakukan penambangan untuk mereklamasi kawasannya sesuai ketentuan peraturan-perundang-undangan. Namun karena ini kawasan hutan, maka kewenangan untuk menentukan teknis reklamasi dan pengawasannya merupakan kewenangan instansi kehutanan.”
Reklamasi kawasan hutan yang telah digunakan untuk
pertambangan batubara harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Manfaat lingkungan pertambangan batubara di kawasan hutan
menurut Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, adalah melalui
pelaksanaan kewajiban perusahaan dalam melakukan penambangan
yang baik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewajiban
perusahaan setelah melakukan penambangan yaitu reklamasi, akan
memberikan manfaat bagi lingkungan di kawasan hutan. Selain itu
kewajiban perusahaan untuk melakukan pemeliharaan kawasan DAS
akan mendorong perbaikan lingkungan hidup. Keterangan tersebut
disampaikan Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan
Provinsi Kalimantan Timur, yaitu :201
“Manfaat pertambangan batubara di kawasan hutan adalah melalui kewajiban-kewajiban pengelolaan pertambangan yang baik menurut teknis penambangan, serta adanya kewajiban perusahaan untuk melakukan reklamasi kawasan hutan yang telah digunakan untuk penambangan.Kewajiban melaksanakan reklamasi kawasan hutan telah diatur khusus. Perusahaan pertambangan wajib melaksanakannya. Selain itu terdapat kewajiban pemeliharaan kawasan DAS sebagai kompensasi kawasan yang terganggu pertambangan di kawasan hutan.”
201
Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, dalam wawancara tanggal 6 April 2015
335
Pada saat pemaparan Korsup KPK202, KESDM menyampaikan data
penempatan jaminan reklamasi dan jaminan paskatambang perusahaan
pertambangan, berdasarkan data yang disajikan menunjukkan bahwa
tingkat ketaatan perusahaan pertambangan untuk melaksanakan
kewajiban pembayaran/penempatan jaminan reklamasi dan
paskatambang masing sangat rendah.
Jaminan reklamasi yang telah diserahkan/ditempatkan oleh
perusahaan pertambangan secara keseluruhan hanya 329 perusahaan,
sedangkan jumlah keseluruhan perusahaan pertambangan batubara di
Provinsi Kalimantan Timur adalah 1.181 baik izin PKP2B maupun IUP.
Jumlah perusahaan pertambangan yang sudah menyerahkan jaminan
paskatambang jauh lebih sedikit yaitu hanya 98 perusahaan.
Tabel 40 :
Jumlah IUP C&C dan Non C&C Per-Kabupaten/Kota serta Penempatan Jaminan Reklamasi dan Pasca Tambang
NO KABUPATEN/KOTA IUP CNC
IUP NON CNC
JAMINAN REKLAMASI
JAMINAN PASCA TAMBANG
1 BERAU 70 19 13 TIDAK ADA DATA
2 SAMARINDA 51 11 51 52
3 KUTAI BARAT 242 26 2 1
4 KUTAI KARTANEGARA 347 97 195 3
5 KUTAI TIMUR 54 100 20 13
6 PASER 65 12 29 26
7 PENAJAM PASER UTARA
77 10 19 3
TOTAL PROVINSI KALTIM
906 275 329 98
1.181
Sumber : KESDM RI Tahun 2016, Data diperbarui Per-4/4/2017
202
Kosup KPK Bidang Mineral dan Batubara, di Balikpapan tanggal 9 Mei 2017
336
Bedasarkan data tingkat ketaatan pembayaran jaminan reklamasi
dan paskatambang perusahaan pertambangan batubara menunjukkan
bahwa mekanisme jaminan reklamasi dan paska tambang yang
diharapkan menjadi sarana pemulihan lingkungan setelah berakhirnya
pertambangan, akan sangat sulit untuk dilaksanakan.
2.3.2 Manfaat Lingkungan berdasarkan Kriteria Objektif manfaat
terbesar dalam faham Utilitarianisme
Berdasarkan pendapat responden, manfaat terbesar dalam aspek
lingkungan pertambangan batubara di kawasan hutan dibandingkan
dengan sektor lain yang berbasis lahan adalah: Perkebunan mendapatkan
nilai manfaat lingkungan kategori cukup bermanfaat sebanyak 34%, 27%
menilai kurang bermanfaat, 16% menilai sangat bermanfaat, sedangkan
12% menilai tidak bermanfaat dan sangat tidak bermanfaat sebanyak
11%.
Pendapat responden terhadap manfaat lingkungan sektor pertanian
pangan persentase tertinggi adalah sangat bermanfaat sebanyak 40%;
37% menilai cukup bermanfaat; 12% menilai kurang bermanfaat, 6%
menilai sangat tidak bermanfaat serta 5% menilai tidak bermanfaat.
Sektor kehutanan menurut penilaian responden, persentase tertinggi
juga 40% untuk kriteria sangat bermanfaat; 34% cukup bermanfaat; 15%
337
kurang bermanfaat; 6% sangat tidak bermanfaat serta 5% menilai tidak
bermanfaat.
Tabel 41 :
Pendapat Responden terhadap Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor Usaha
Berbasis Lahan yang Lain
Tingkat Manfaat
Pertambangan
Batubara Pertanian pangan Pertanian Pangan Kehutanan
Responden % Responden % Responden % Responden %
Sangat Bermanfaat
0 0 18 16 44 40 45 40
Cukup Bermanfaat
8 7 37 34 41 37 37 34
Kurang Bermanfaat
17 15 30 27 13 12 16 15
Tidak bermanfaat
22 20 13 12 5 5 5 5
Sangat Tidak Bermanfaat
63 57 12 11 7 6 7 6
Total 110 100 110 100 110 100 110 100
Sumber : Data Primer 2017
Sedangkan penilaian sebaliknya diberikan responden terhadap
pertambangan di kawasan hutan nilai manfaat lingkungan 57% sangat
tidak bermanfaat; 20% menilai tidak bermanfaat serta 15% menilai kurang
bermanfaat, dan hanya 7% yang menilai cukup bermanfat. Pendapat
responden ini menunjukkan bahwa berdasarkan perbandingan manfaat
lingkungan dengan sektor berbasis lahan yaitu perkebunan, pertanian
pangan dan kehutanan, pertambangan batubara di kawasan hutan
menurut pendapat responden tidak memberikan manfaat bagi lingkungan
namun justru menyebabkan kerusakan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa perusahaan pertambangan di
kawasan hutan tidak dapat memberikan manfaat lingkungan terbesar
dibandingkan manfaat lingkungan jika kawasan yang ditambang tersebut
338
tetap sebagai kawasan hutan tidak dibongkar atau sebagai kawasan
pertanian pangan dan tidak diubah bentang alamnya, sehingga mampu
memberikan manfaat berupa jasa lingkungan dan ekologi kawasan hutan.
2.3.3 Manfaat Lingkungan berdasarkan Kriteria Objektif manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang dalam faham
Utilitarianisme
Manfaat Lingkungan berdasarkan Kriteria objektif manfaat terbesar
bagi sebanyak mungkin orang yang dimaksud adalah suatu kebijakan
atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme dinilai baik kalau manfaat
terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang.
Berdasarkan pendapat responden, pertambangan batubara di
kawasan hutan tidak memberikan manfaat bagi lingkungan, persentase
penilaian manfaat lingkungan adalah mayoritas sangat tidak bermanfaat
bagi ketiga parameter pengukur kualitas lingkungan, yaitu kualitas air,
kualitas udara dan kualitas tanah.
Penilaian responden terhadap kualitas parameter lingkungan
pertambangan batubara di kawasan hutan adalah terhadap kualitas air
sebanyak 75% responden menilai sangat tidak bermanfaat, serta 0%
untuk kriteria sangat bermanfaat; terhadap kualitas udara sebanyak 68%
responden menilai sangat tidak bermanfaat, serta 0% untuk kriteria sangat
bermanfaat. terhadap kualitas tanah sebanyak 66% responden menilai
sangat tidak bermanfaat, serta 0% untuk kriteria sangat bermanfaat.
339
Berdasarkan pendapat responden tersebut, pengaruh buruk
pertambangan batubara terhadap lingkungan terutama bagi kualitas air.
Tabel 42 :
Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
Parameter Manfaat
Kualitas Air Kualitas Udara Kualitas Tanah
Responden % Responden % Responden %
Sangat Bermanfaat 0 0 0 0 0 0
Cukup Bermanfaat 0 0 1 1 1 1
Kurang Bermanfaat 8 7 10 9 11 10
Tidak bermanfaat 20 18 24 22 25 23
Sangat Tidak bermanfaat
82 75 75 68 73 66
Total 110 100 110 100 110 100
Sumber : Data Primer 2017
Manfaat lingkungan pertambangan batubara di kawasan hutan
menurut masyarakat, tidak memberikan manfaat namun justru
menyebabkan kerusakan lingkungan yang besar dan berlangsung lama.
Menurut keterangan Dinamisator JATAM Nasional, bahwa :203
“Ciri khas sumber daya alam sektor pertambangan adalah sumber daya alam yang tak terbarukan, suatu saat penambangan tidak layak lagi secara ekonomis dan tambang akan ditutup. Namun dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pembukaan kegiatan pertambangan mungkin akan jauh lebih lama daripada umur tambang itu sendiri. Jadi dampak tambang itu meluas dan berlangsung lama.” Beroperasinya pertambangan di kawasan hutan bagi masyarakat
justru merupakan kerugian, karena dampak kerusakan lingkungan yang
203
Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Nasional dalam wawancara tanggal 6 September 2016.
340
sangat besar. Sedangkan keuntungan terbesar justru dinikmati pengusaha
saja.204
Kerugian ekologi yang harus ditanggung masyarakat Kalimantan
Timur, menurut keterangan Dinamisator JATAM Kaltim adalah:
“Eksploitasi sumber daya alam Kalimantan Timur lebih banyak menguntungkan pengusaha pertambangan, sedangkan masyarakat justru harus merasakan dampak pada lingkungan. Kerugian ekologi jika dinilai dengan uang diperkirakan bisa mencapai Rp. 6,3 trilliun pertahun. Dampak buruknya sudah dirasakan oleh 1/3 dari sekitar 3,6 juta jiwa penduduk Kaltim.” Beban ekonomi masyarakat bertambah, karena lingkungan yang
mengalami kerusakan, salah satunya berkaitan dengan penyediaan air.
Kondisi air sungai yang keruh akibat pembukaan kawasan hulu sungai,
menyebabkan ongkos ekonomi masyarakat dalam pemenuhan air
bersihmeningkat. Sementara mayoritas masyarakat di Kalimantan Timur
dalam kesehariannya sangat bergantung keberadaan sungai.
Kondisi lingkungan yang terdampak pertambangan adalah, ketika
hujan, maka banjir selalu terjadi di sejumlah kawasan akibat daya serap
tanah yang minimal. Air sungai menjadi sangat keruh. Pendangkalan dan
sedimentasi juga tidak terelakan. Padahal 80% dari total warga yang
berjumlah ribuan orang di 1.417 desa di sepanjang Sungai Mahakam
sangat mengandalkan air dari sungai. Ketiadaan air bersih berbuah
204
Bernaulus Saragih, Ketua Pusat Pengkajian Sumber Daya Alam Universitas Mulawarman, pada FGD di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman,
tanggal 7 Juni 2015
341
ongkos ekonomi yang makin tinggi, tidak ada lagi air gratis, warga harus
mengandalkan pasokan air PDAM atau membeli air swasta/galon. 205
Kerusakan lingkungan di DAS Mahakam menyebabkan air baku
PDAM menjadi sangat buruk yang berdampak pada kualitas air PDAM
yang buruk, keruh, bahkan seringkali berlumpur.
Manfaat Lingkungan berdasarkan Kriteria objektif manfaat terbesar
yang dimaksud adalah kebijakan atau tindakan berdasarkan faham
utilitarianisme hendaknya kebijakan pengelolaan sumber daya alam
mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan
kebijakan atau tindakan alternatif lain.
Berdasarkan keterangan narasumber dan hasil penelitian,
perusahaan pertambangan sangat rendah tingkat ketaatan dalam
pelaksanaan penempatan jaminan reklamasi dan jaminan pasatambang,
hal ini menunjukkan bahwa kriteria obyektif yang digunakan oleh
pemerintah untuk lingkungan hidup tidak dijalankan oleh perusahaan
pertambangan.
Perusahaan pertambangan batubara di kawasan hutan memiliki
kewajiban penyediaan lahan kompensasi jika dalam wilayah
pertambangan ada kawasan dalam kategori tidak akan dapat dipulihkan.
Lahan kompensasi yang dimaksud harus statusnya bukan kawasan hutan
dan akan dihutankan kembali. Menurut pemerintah hal ini akan
memberikan manfaat sebanyak mungkin orang karena lahan yang tidak
205
Ibid
342
hutan diubah menjadi hutan, akan memberikan manfaat jasa lingkungan
bagi sebanyak mungkin orang.
Berdasarkan ketentuan tersebut dan melihat jumlah luasan izin
pertambangan di Kalimantan Timur, nampaknya akan sangat sulit untuk
diwujudkan, mengingat luasan daratan Kalimantan Timur sudah habis
dikapling/diperuntukkan untuk pertambangan, perkebunan, HPH/HI dan
sebagian kecil untuk sektor pertanian pangan. Sehingga manfaat terbesar
bagi sebanyak mungkin orang melalui jasa lingkungan yang akan
terbentuk dengan pemenuhan lahan kompensasi akan sulit untuk
diwujudkan.
Kondisi tersebut juga akan berpengaruh terhadap kemampuan
Indonesia memnuhi target capaian penurunan emisi karbon, yang
merupakan komitmen internasional Indonesia. Emisi karbon Indonesia
terbesar disumbangkan sektor alih fungsi dan pembukaan lahan kawasan
hutan. Pembukaan kawasan hutan baik untuk pertambangan maupun
perkebunan menyebabkan pelepasan karbon diudara yang akan turut
berpengaruh terhadap perubahan iklim global. Hal ini akan sangat
berpengaruh karena hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru
dunia.
3. Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri
3.1 Gambaran Umum PT Indominco Mandiri
Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri berada dalam
kawasan Hutan Lindung Bontang dan Hutan Produksi, yang secara
343
administratif meliputi wilayah Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Kutai
Kartanegara serta Kota Bontang.
Perusahaan tambang terbesar di Indonesia adalah perusahaan
negara Tambang Batubara Bukit Asam (PT BA), yang tercatat di bursa
saham di Jakarta, namun dana investasinya berasal dari seluruh dunia.
Selain perusahaan negara juga terdapat perusahaan-perusahaan swasta
yang investasinya juga dari seluruh dunia, salah satunya adalah
perusahaan Indo Tambang Megah (ITM) yang merupakan induk
perusahaan pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri.
PT Indominco Mandiri merupakan bagian dari perusahaan swasta
yang investasinya dari seluruh dunia, dibawah induk perusahaan Indo
Tambang Megah (ITM). Sebagaimana ditulis Sigurd Jorde :
Indonesia has one state-owned coal company: Tambang Batubara Bukit Asam, often called just Bukit Asam. It is quoted on the stock exchange, .......... The other large coal companies are private and stock-exchange-listed companies: Adaro Energy, Bumi Resources, Indo Tambang Megah and Berau Coal Energy. Many of the companies, such as Adaro Energy, Bumi Resources and Harum, are owned by the elite in Indonesia, and there are strong bonds between business and politics. Practically all the coal companies set up their own subsidiaries for each mining concession, which run the production in the mines. 206 PT Indominco Mandiri, merupakan perusahaan pertambangan
swasta bagian dari PT. Indo Tambang raya Megah Tbk (ITM) yang
investasinya berasal dari berkegiatan di wilayah konsesi perusahaan di 4
206
Sigurd Jorde, 2013. Coal and Climate in Kalimantan-Norwegian Interests in Indonesia’s Environmentally Damaging Coal Expansion. Framtiden, Fredensborgveien 24 G, N-0177 Oslo, Norwegia, p. 2.
http://www.framtiden.no/rapporter/rapporter-2013/698-report-coal-and-climate-in-kalimantan-2013/file.html
344
(empat) Kabupaten, 1 (satu) Kota, 12 (dua belas) Kecamatan dan 45
(empat puluh lima) Desa, yang tersebar di 3 (tiga) provinsi yaitu
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
PT Indo Tambangraya Megah (ITM) merupakan salah satu
perusahaan investasi asing yang memiliki beberapa anak perusahaan
dibidang pertambangan, yang mayoritas beroperasi di wilayah Kalimantan
Timur. yaitu PT Indominco Mandiri, PT Kitadin, serta PT Trubaindo.
Entitas pengendali utama Grup adalah Banpu Public Company Limited,
sebuah perusahaan yang didirikan di Kerajaan Thailand. Entitas induk
langsung Perusahaan adalah Banpu Minerals (Singapore) Pte. Ltd, yang
didirikan dan berdomisili di Singapura. Sebagaimana dinyatakan dalam
laporan interm perusahaan.
Kepemilikan Saham PT Indominco Mandiri bagian dari Group
Perusahaan PT Indo Tambangraya Megah (ITM). Sebanyak 99,9%
Saham PT Indominco Mandiri dimiliki PT ITM, sedangkan saham PT ITM
35% kepemilikan publik, dan 65% dimiliki Banpu Minerals (Singapore) Pte.
Ltd. Banpu Minerals (Singapore) Pte.Ltd, sahamnya 50% dimiliki Banpu
Coal Investment Co.Ltd dan Banpu Minerals Co. Ltd, yang juga pemilik
100% saham Banpu Coal Investment Co.Ltd. Saham Banpu Minerals Co
Ltd dimiliki Banpu Public Company Ltd. Sehingga kepemilikan saham PT
Indominco Mandiri 65% adalah Banpu Public Company Ltd.
PT Indominco Mandiri didirikan pada tanggal 11 November 1988,
dan memegang perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan
345
batubara yang berlaku selama 30 tahun setelah perusahaan memasuki
tahap produksi dan disetujui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), maka : blok barat berlaku dari 1 april 1998 hingga 31
Maret 2028, blok timur berlaku dari 5 Oktober 2000 hingga 5 Oktober
2030.
3.2 Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT Indominco Mandiri
Informasi dalam penelitian ini yang berkaitan tentang PT Indominco
Mandiri di Kalimantan Timur, berdasarkan keterangan yang disampaikan
Meneger external PT Indominco Mandiri pada tanggal 29 oktober 2016
bersumber dari dokumen AMDAL Perusahaan, selain beberapa informasi
berdasarkan wawancara dengan Menejer Public Relation PT Indominco
Mandiri.
PT Indominco Mandiri sebagai salah satu pemegang konsesi
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
Generasi I berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 097.B.Ji/292/U/90 yang secara administrasi berada di
Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Kutai Timur, Kecamatan
Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kecamatan Bontang,
Provinsi Kalimantan Timur dengan luas areal + 25.121 ha. Sehingga PT
Indominco Mandiri di Kalimantan Timur memiliki wilayah kerja di dua
Kabupaten dan satu Kota yaitu Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten
Kutai Kartanegara sebagai wilayah penambangan, sedangkan Kota
Bontang sebagai wilayah pelabuhan.
346
PT Indominco Mandiri melakukan penambangan batubara dengan
sistem tambang terbuka dengan metode open cut/open pit. Wilayah
penambangan dibagi menjadi dua blok yaitu blok barat (west block) dan
blok timur (east block).
Tabel 43 :
Sumber daya Batubara PT Indominco Mandiri di Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung Bontang
Area Luas
(hektar) Sumber Daya
Terukur Terunjuk Tereka TOTAL
WEST BLOCK 18.100 500.41 154.26 87.72 742.39
EAST BLOCK 7.021 438.55 145.2 78.12 661.87
TOTAL 25.121 938.96 299.46 165.84 1,404.26 Sumber : Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) Rencana Kegiatan
Peningkatan Produksi Batubara dan Fasilitas Penunjang. PT Indominco Mandiri, Bontang.
Areal pertambangan PT Indominco Mandiri sesuai Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) adalah seluas
25.121,00 hektar. Areal tersebut seluas 20.990 hektar merupakan
kawasan hutan produksi tetap dengan 20.292,53 ha sudah berstatus
pinjam pakai dari menteri kehutanan. Areal sisanya seluas 4.131 hektar
merupakan bagian dari kawasan Hutan Lindung Bontang dan 3.973,40
hektar sudah berstatus lahan pinjam pakai dari Menteri Kehutanan.
Pada Tahun 1995 PT Indominco Mandiri sudah memperoleh izin
pinjam pakai kawasan hutan untuk jalan angkutan batubara dan jalur hijau
yang diberikan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur pada tanggal 25 Januari 1995, SK Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan Provinsi Kaltim No. 010/KWL/PTGH-3/1995.
347
Tabel 44 :
Luas Kawasan Hutan yang diterbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan (IPPKH) untuk Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri
No Status Kawasan Hutan Luas PKP2B (hektar)
Luas IPPKH
(hektar)
Luas areal PKP2B yang
belum diterbitkan IPPKH(hektar)
1 Hutan Produksi Tetap 20.990,00 20.292,53 697,47
2 Hutan Lindung Bontang 4.131,00 3.973,40 157,60
Total 25.121,00 24.265,93 755,07 Sumber : PT Indominco Mandiri
Luas kawasan hutan yang digunakan sebagai jalan angkut batubara
dan jalur hijau sesuai izin ini adalah 62,2475 ha. Berdasarkan surat
perjanjian izin pinjam pakai kawasan hutan tersebut, maka PT Indominco
Mandiri dapat membangun jalan angkut batubara dalam kawasan hutan
sepanjang 24,90 km, yang terdiri dari Hutan Produksi Tetap 14,25 km,
Hutan Lindung Bontang 10,65 km.
Status perizinan pertambangan PT Indominco Mandiri di kawasan
Hutan Lindung Bontang, diperoleh sebelum berlakunya UU 41 Tahun
1999. PT Indominco Mandiri merupakan perusahaan pertambangan yang
mendapatkan pengecualian dari ketentuan Pasal 38 UU 41 tahun 1999.
Berdasarkan UU Nomor 19 tahun 2004, sebanyak 13 Perusahaan
pertambangan dapat melakukan penambangan secara terbuka di
kawasan hutan lindung. Berdasarkan legalisasi tersebut, maka PT
Indominco Mandiri dapat melakukan penambangan secara terbuka di
kawasan Hutan Lindung Bontang.
348
Tabel 45 :
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk
Areal Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri
No IPPKH Luas Areal
(hektar)
Jangka waktu
(Tahun)
Masa Berakhir
1 SK.297/MENHUT-II 2008 diperpanjang melalui SK Nomor. 420/MENHUT-II/2013
3.973,40 17 5/10/2030
2 SK Nomor. 174/MENHUT-II/2009 906,10 10 01/10/2019
3 SK Nomor. 565/MENHUT-II/2010 4.500,10 10 05/10/2020
4 SK Nomor. 538/MENHUT-II/2010 11.718,20 10 05/10/2020
5 SK Nomor. 549/MENHUT-II/2012 3.168,13 10 08/5/2022
Total IPPKH 24.365,93
Luas PKP2B 25.121,00
IPPKH Jalan angkutan batubara dan jalur hijau SK Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Prov. Kaltim No. 010/KWL/PTGH-3/1995.
62,24 - -
Sumber : Data IPPKH Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2015, dan Dokumen ANDAL PT Indominco Mandiri Tahun 2015 diperbarui Mei 2017
Jangka waktu IPPKH yang diperoleh PT Indominco Mandiri adalah
10-17 tahun. Masa berakhir IPPKH antara lain tahun 2019, tahun 2020
tahun 2022 serta SK perpanjangan untuk luas areal 3.973,40 hektar akan
berakhir pada 2030. Jangka waktu yang masih sangat panjang. Sejak
tahun 2016, PT Indominco Mandiri berencana melakukan upaya
pemindahan jalur sungai Santan agar tidak lagi berada pada wilayah
penambangan PT Indominco, namun upaya ini di tolak oleh masyarakat,
sehingga izin pemindahan jalur sungai tidak dikeluarkan oleh Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur.
349
3.3 Manfaat Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri
di Kawasan Hutan
3.3.1 Manfaat Ekonomi
a. Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan Menurut PT Indominco Mandiri
PT Indominco Mandiri (IMM) dalam Group ITM mempunyai posisi
penting menopang 47% produksi batubara setara dengan 15,0 juta ton
batubara dari Total Produksi PT ITM sebanyak 29,1 juta ton.
Tabel 46 :
Total Produksi Batubara PT Indo Tambang Megah Raya
Anak Perusahaan
2014 2015
Produksi (Metrik Ton)
Kontribusi terhadap total Produksi Group ITM
Produksi (Metrik Ton)
Kontribusi terhadap total Produksi Group ITM
PT Indominco Mandiri 15,0 47% 13,4 42%
Pt Trubaindo Coal Mining 7,2 26% 7,3 27%
PT Kitadin Tandung Mayang 1,8 9% 2,5 10%
PT Kitadin Embalut 1,3 4% 1,2 3%
PT Bharindo Ekatama 2,5 10% 2,8 14%
PT Jo.rong Barutama Greston 1,3 4% 1,3 4%
Total
29,1
100%
28,5
100%
Sumber: Annual Report tahun 2015-2016 PT Indotambang Megah Raya dan Laporan Keuangan Interim 2015-2016
Penjualan hasil pertambangan PT Indominco Mandiri yang tertinggi
pada tahun 2012, namun pada tahun berikutnya justru terjadi penurunan
penjualan, yang cukup besar. Data tersebut menunjukkan usaha
pertambangan memberikan manfaat berupa hasil secara ekonomi, namun
keuntungan dari penjualan tidak berkelanjutan.
350
Kewajiban Keuangan pemegang IPPKH salah satunya adalah biaya
penggunaan kawasan hutan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 33
Tahun 2014, seluruh perusahaan yang memiliki aktivitas didalam areal
hutan produksi dan hutan lindung namun kegiatannya tidak berhubungan
dengan kegiatan kehutanan memiliki kewajiban untuk membayar iuran
kehutanan.
Tabel 47 :
Data Penjualan dan penghasilan PT Indominco Mandiri
Tahun Penjualan Bersih Laba Sebelum Pajak Penghasilan
2011 1,246,102 298,195
2012 1,591,243 317,220
2013 1,362,467 196,308
2014 945,272 135,796
2015 685,848 54,998
Sumber : Laporan Keuangan Interim ITM 2016
Iuran Eksploitasi (Pembagian Hasil Produksi) berdasarkan PKP2B,
Pemerintah berhak memperoleh 13,5%, atas jumlah batubara yang
dihasilkan dari proses produksi akhir. Sesuai dengan Keputusan Presiden
Nomor 75 Tahun 1996 tertanggal 25 September 1996, Perusahaan
membayar bagian produksi Pemerintah secara tunai yaitu sebesar 13,5%
dari penjualan setelah dikurangi beban penjualan.
Kewajiban keuangan PT Indo Tambang Megah Raya pada tahun
2014 sebesar US$ 200.000 ribu, sedangkan tahun 2015 justru terjadi
penurunan sesuai hasil produksi tambang batubara, yaitu sebesar US$
173,062 Ribu.
351
Tabel 48 :
Kewajiban Keuangan PT Indo Tambang Megah Raya
NO Kewajiban Keuangan Jumlah (Ribu US $)
2014 2015
A Royalti/Iuran Eksploitasi 181,862 156,036
B Iuran Kehutanan 14,962 15,134
C Rehabilitasi Tambang 3,176 1,892
Jumlah 200,000 173,062
Sumber : Laporan Keuangan ITM 2015
b. Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan
Menurut Masyarakat di Kawasan Penambangan
Manfaat ekonomi menurut masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan batubara PT Indominco Mandiri, adalah: sebanyak 4%
menganggap pertambangan batubara sangat bermanfaat dan 15%
menilai cukup bermanfaat. Sedangkan mayoritas masyarakat
menganggap manfaat ekonomi bagi masyarakat tidak banyak, karena
sebanyak 15% menilai kurang bermanfaat, 27% tidak bermanfaat serta
persentase tertinggi sebanyak 38% masyarakat justru berpendapat sangat
tidak bermanfaat.
Secara ekonomi masyarakat Santan Kecamatan Marangkayu Kutai
Kartanegara ditopang oleh sektor pertanian, sedangkan masyarakat yang
bekerja di perusahaan pertambangan sangat sedikit. Sehingga jika
manfaat pertambangan batubara dibandingkan dengan sektor usaha
berbasis lahan yang lain, maka sektor pertanian pangan dan kehutanan
menurut masyarakat memiliki manfaat yang lebih tinggi. Penilaian sangat
352
bermanfaat tertinggi 52% sektor pertanian pangan, kehutanan 44%.
Sedangkan sektor pertanian pangan, responden menilai berimbang antara
yang menilai bermanfaat dan yang tidak bermanfaat persentasenya sama-
sama 37%.
Tabel 49 :
Pendapat Masyarakat di wilayah Pertambangan PT Indominco Mandiri Terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di
Kawasan Hutan di bandingkan dengan Sektor Usaha Berbasis Lahan yang Lain
Tingkat Manfaat
Pertambangan Batubara
Pertanian pangan
Pertanian Pangan
Kehutanan
% % % %
Sangat Bermanfaat 4 15 52 44
Cukup Bermanfaat 15 37 31 35
Kurang Bermanfaat 15 37 10 15
Tidak bermanfaat 27 10 4 2
Sangat Tidak Bermanfaat
38 2 4 4
Total 100 100 100 100
Sumber : Data Primer 2017
Kondisi insfrastruktur jalan sangat buruk mempengaruhi penilaian
masyarakat terhadap manfaat pertambangan batubara di kawasan hutan.
Kondisi jalan konstruksi semen beton di desa-desa di Santan, salah satu
desa terdekat dengan wilayah pertambangan PT Indominco mandiri baru
dinikmati masyarakat melalui proyek APBD Kutai Kartanegara empat
tahun yang lalu. Kondisi sebelumnya untuk menuju Santan Ilir dan Santan
Tengah kondisi jalan tanah dan berlumpur jika hujan. Kondisi itu bertolak
belakang dengan jalan akses utama dari gerbang Indominco hingga ke
lapangan penumpukan, sekitar sepuluh kilometer jalan yang dilintasi truk-
truk pengangkut batu bara itu berupa aspal mulus. Demonstrasi menuntut
kesejahteraan warga disekitar tambang kerap dilakukan, sejak tahun
353
2005. Menurut warga sebenarnya, kondisi mereka tidak jauh berbeda
dibandingkan ketika perusahaan belum ada. Kalau dikatakan sejahtera,
seharusnya rumah-rumah warga tidak lagi dari kayu, jaringan air tersedia,
listrik menyala setiap saat, dan jaringan jalan yang memadai. Namun,
pada kenyataannya, listrik kerap padam. Sedangkan kebutuhan air bersih
warga terkadang mandi bahkan memasak air hujan.
Tabel 50 :
Pendapat Masyarakat di Wilayah PT Indominco terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara Bagi Para Pihak
Tingkat Manfaat
Manfaat Bagi
Pemerintah Pusat
Manfaat Bagi
Pemda
Manfaat Bagi
Pengusaha
Manfaat Bagi
Masyarakat
% % % %
Sangat Bermanfaat 12 17 65 10
Cukup Bermanfaat 46 27 15 15
Kurang Bermanfaat 21 35 10 12
Tidak bermanfaat 6 10 2 19
Sangat Tidak Bermanfaat
15 12 8 44
Total 100 100 100 100 Sumber : Data Primer 2017
Pendapat responden terhadap manfaat ekonomi pertambangan
batubara PT Indominco yang diterima para pihak yaitu pemerintah pusat,
pemerintah daerah, pengusaha pertambangan serta masyarakat,
penilaian responden terhadap pihak yang menerima manfaat sangat besar
adalah pengusaha pertambangan yaitu sebesar 65% responden menilai
sangat bermanfaat; sedangkan 15% menilai cukup bermanfaat; 10%
menilai kurang bermanfaat; 2% menilai tidak bermanfaat serta 8% menilai
sangat tidak bermanfaat.
354
Manfaat ekonomi bagi pemerintah pusat menurut responden yaitu
sebesar 12% responden menilai sangat bermanfaat; sedangkan
persentase tertinggi yaitu 45% menilai cukup bermanfaat; 21% menilai
kurang bermanfaat; 6% menilai tidak bermanfaat serta 15% menilai
sangat tidak bermanfaat.
Manfaat ekonomi bagi pemerintah daerah menurut responden yaitu
sebesar 17% responden menilai sangat bermanfaat, sedangkan
persentase tertinggi yaitu 35% menilai kurang bermanfaat, 27% menilai
kurang bermanfaat, 10% menilai tidak bermanfaat serta 12% menilai
sangat tidak bermanfaat.
Manfaat ekonomi bagi masyarakat menurut responden yaitu
sebesar 10% responden menilai sangat bermanfaat, 15% menilai cukup
bermanfaat, 12% menilai kurang bermanfaat, 19% menilai tidak
bermanfaat sedangkan persentase tertinggi yaitu 44% menilai sangat
tidak bermanfaat.
Berdasarkan penilaian masyarakat, secara ekonomi pertambangan
batubara di kawasan hutan, manfaat terbesar diterima oleh perusahaan
pertambangan. Penerima manfaat berikutnya adalah pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Sedangkan masyarakat yang tinggal berbatasan
wilayah dengan wilayah pertambangan justru kurang mendapatkan
manfaat.
Selain itu, PT Indominco Mandiri melakukan penambangan batubara
di hulu membuat banjir yang kerap datang telah mematikan tanaman
355
coklat, pisang, kopi dan padi masyarakat. Serta mempengaruhi kondisi air
sungai yang berubah warna dan berlumpur serta berbau menyebabkan
ikan tidak ada lagi. Kondisi ini membuat kerugian ekonomi bagi
masyarakat. Masyarakat secara ekonomi terpengaruh kondisi adanya
keretakan rumah yang lokasinya berdekatan dengan conveyor (sarana
angkutan) batubara. Kerusakan tempat tinggal merugikan masyarakat
secara ekonomi. Kerugian ekonomi yang dialami masyarakat membuat
penilaian mayoritas responden adalah pertambangan batubara sangat
tidak memberikan manfaat bagi ekonomi masyarakat.
3.3.2 Manfaat Sosial Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri
a. Manfaat Sosial Pertambangan Batubara Menurut PT Indominco
Mandiri
Manfaat Sosial Pertambangan PT Indominco Mandiri (PT IMM)
menurut keterangan menejer Public Relation PT IMM adalah :207
Keberadaan PT Indominco Mandiri memberikan manfaat besar secara sosial antara lain penyerapan tenaga kerja, dan melalui program kepedulian sosial perusahaan yaitu CSR (Community Social Responsibility).” PT Indominco mandiri menurut keterangan pihak perusahaan selalu
mengutamakan tenaga kerja lokal sepanjang memenuhi
207Hanin, public relation PT Indominco, saat wawancara tanggal 12
Oktober 2016,
356
persyaratan/kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan. Keterangan
perusahaan adalah :208
“PT Indominco selama beroperasi selalu memprioritaskan tenaga kerja lokal untuk mengisi pos-pos pekerjaan yang ada, sepanjang keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan dapat dipenuhi oleh tenaga kerja lokal maka perusahaan akan merekrut pekerja-pekerja lokal.” Berdasarkan data dalam laporan tahunan PT Indo Tambang Megah
Raya sebagai induk perusahaan, PT IMM mampu menyerap tenaga kerja
pada tahun 2014 adalah sebanyak 805 pekerja, dan pada tahun 2015
sebanyak 765, dengan memprioritaskan tenaga kerja lokal. Menurut
keterangan menejer Public Relation, bahwa:209
“Selain penyerapan tenaga kerja, manfaat sumber daya sosial pertambangan di kawasan PT IMM dapat dilihat dari program Corporate Social Responsbility (CSR) yang dijalankan perusahaan. Penyusunan program dan rencana dikonsultasikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.”
CSR merupakan kewajiban perusahaan yang bergerak di sektor
sumber daya alam dan atau berkaitan dengan sumber daya alam.
Kewajiban ini berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 Bab V Pasal 74. Pasal 108 UU No 4 Tahun 2009 ayat (1),
Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat. Ketentuan ayat (2) : penyusunan program
dan rencana dikonsultasikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat. Berdasarkan keterangan PT Indominco :210
208
Ibid 209
Ibid 210
Ibid
357
“PT Indominco Mandiri membentuk Community Consultative Committee (CCC). CCC adalah forum kolaborasi antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat. CCC anggotanya terdiri dari berbagai elemen masyarakat, yaitu pemerintah desa, BPD, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuda, pendidik dan tenaga kesehatan. PT Indominco Mandiri membagi program CSR menjadi 5 (lima) bidang, yaitu : 1) Hubungan Komunitas; 2) Pemberdayaan masyarakat; 3) Pengembangan infrastruktur; 4) Pelestarian fungsi lngkungan; 5) Operasional/Donasi.” Alokasi dana CSR PT Indominco Mandiri, telah ditentukan
persentase program yang didanai melalui mekanisme CSR, yaitu:211
Alokasi CSR PT Indominco Mandiri adalah sebanyak 22% untuk
pengembangan ekonomi (economic development); 31% Social
development (health, education, social culture); Environment conservation
and infrastructure dialokasikan 25%; Contingency 22%.
Berdasarkan penelusuran dokumen Rencana Penambangan PT IMM
dan Laporan Tahunan perusahaan tahun 2015, pelaksanaan CSR atau
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat ditujukan supaya
masyarakat mandiri setelah tidak ada perusahaan pertambangan. PT
Indominco Mandiri mengalokasikan CSR sebanyak USD 1.280.000,00.
Total dana tersebut berdasarkan kategori perusahaan non BUMN yang
memiliki kewajiban USD 0,08 perton produksi bersih pertahun. Penyaluran
dana CSR menurut penjelasan PT Indominco adalah : 212
“PT Indominco Mandiri menyalurkannya sebanyak USD 0,06 perton pertahun untuk program pemberdayaan yang telah direncanakan. Sedangkan sisanya USD 0,02 perton pertahun diperuntukkan
211
Ibid 212
Ibid
358
kegiatan konstingensi/yang tidak direncanakan baik untuk pemerintah maupun masyarakat.”
b. Manfaat Sosial Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri
Menurut Masyarakat di Kawasan Penambangan
Manfaat sosial pertambangan batubara PT Indominco adalah
penyerapan tenaga kerja masyarakat di sekitar wilayah pertambangan.
Selama beroperasinya perusahaan, PT Indominco mempekerjakan
masyarakat di sekitar wilayah penambangan. Namun menurut masyarakat
jumlah tenaga kerja yang direkrut perusahaan belum sebanding dengan
jumlah masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Hal ini seperti yang
disampaikan oleh tokoh pemuda Desa Santan Ilir Kecamatan
Marangkayu, yaitu:213
“Kehadiran perusahaan pertambangan batubara PT Indominco Mandiri, memberikan peluang bagi masyarakat disekitar tambang untuk bekerja. Namun ciri perusahaan pertambangan yang bukan sektor usaha padat karya (mampu menyerap tenaga kerja yang dalam jumlah besar), mengakibatkan peluang penyerapan tenaga kerja di perusahaan ini hanya 1% dari seluruh penduduk desa di sekitar wilayah pertambangan. Alokasi pekerja adalah untuk bagian tidak ahli, sedangkan jumlah terbesar pekerja justru berasal dari luar daerah.” Berdasarkan pendapat masyarakat bagi tenaga kerja laki-laki,
keberadaan perusahaan pertambangan sangat bermanfaat, sebanyak
23% masyarakat menilai perusahaan pertambangan sangat bermanfaat
dan 33% cukup bermanfaat bagi tenaga kerja laki-laki, penilaian
masyarakat berbeda terhadap manfaat pertambangan batubara bagi
213M. Anas, wawancara tanggal 24 Agustus 2016
359
penyerapan tenaga kerja perempuan, sebanyak 38% menilai kurang
bermanfaat dan 23% tidak bermanfaat serta 13% menilai sangat tidak
bermanfaat.
Tabel 51 :
Pendapat Masyarakat di Wilayah Pertambangan Indominco Terhadap
Manfaat Penyerapan Tenaga Kerja
di Pertambangan Batubara dalam Kawasan Hutan
Tingkat Manfaat Tenaga Kerja Laki-laki
Tenaga Kerja Perempuan
% %
Sangat Bermanfaat 23 6
Cukup Bermanfaat 33 19
Kurang Bermanfaat 25 38
Tidak bermanfaat 12 23
Sangat Tidak Bermanfaat 8 13
Total 100 100 Sumber : Data Primer 2017
Manfaat sosial perusahaan pertambangan batubara selain berkaitan
tenaga kerja, juga dalam bentuk CSR. Pelaksanaan CSR PT Indominco
menurut keterangan warga RT 1 Desa Santan Ilir, kalau dilihat dari jumlah
besaran dana secara keseluruhan terlihat besar, namun jika sduah
diturunkan dalam bentuk program dan dibagi meliputi banyak desa, maka
nilai yang diterima masing-masing desa akan tidak sebesar keseluruhan
dana, karena wilayah penyaluran dana CSR yang meliputi banyak desa.
Penyaluran dana CSR tersebut dalam pelaksanaannya tidak dapat
dinikmati oleh sebagian besar masyarakat karena bagian setiap desa
360
yang juga kecil. Berdasarkan keterangan warga Desa Santan Ilir
Kecamatan Marangkayu adalah:214
“Program CSR yang dilakukan perusahaan secara keseluruhan nampak besar dan meliputi berbagai sektor, ekonomi, pertanian, pendidikan, sarana, kesehatan dan lain-lain. Namun jika ditelusuri manfaatnya di masyarakat nampak kurang terasa, karena penyaluran program jika sudah diturunkan di wilayah desa tidak semua warga masyarakat akan dapat merasakan karena jumlahnya setiap desa yang kecil.”
Tabel 52 :
Pendapat Masyarakat di Wilayah PT IndomincoTerhadap
Manfaat CSR (Community Sosial Responsibility)
Perusahaan Pertambangan Batubara
Program CSR Perusahaan Pertambangan Batubara
Sangat Bermanfaat
Cukup Bermanfaat
Kurang Bermanfaat
Tidak Bermanfaat
Sangat Tidak
Bermanfaat
% % % % %
Infrastruktur 10 29 33 12 17
Pendidikan 2 23 40 13 21
Pemberdayaan Ekonomi
0 37 33 12 19
Sarana Air Bersih 2 21 29 21 27
Pemberdayaan Perempuan
2 8 38 29 23
Kesehatan 2 17 29 25 27
Keagamaan 0 17 37 21 25
Kebudayaan 0 12 37 31 21
Total 100 100 100 100 100
Sumber : Data Primer 2017
Hal ini menjadi masalah penting karena dampak pertambangan di
rasakan seluruh warga, namun program-program perusahaan dan
manfaatnya tidak dapat di rasakan oleh seluruh warga.
214
Taufik, wawancara tanggal 24 agustus 2016
361
3.3.3 Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara PT Indominco
Mandiri
a. Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara Menurut PT
Indominco Mandiri
Berdasarkan dokumen AMDAL PT IMM, rencana reklamasi dan
pasca tambang perusahaan akan mengikuti isi perjanjian pinjam pakai
kawasan hutan, yaitu melaksanakan dan menyelesaikan reklamasi dan
reboisasi atas kawasan hutan yang dipinjam pakai dengan tanaman hutan
asli/lokal dan melaksanakan re-countoring (meratakan dan
mengembalikan rupa bumi dan lain-lain) dari keseluruhan areal yang
dipinjam sehingga mendekati aslinya, namun beberapa bekas tambang
akan dipertahankan sebagai kolam untuk penyediaan air yang
diperuntukkan sebagai sumber air tanaman dan hewan serta mengikuti
dokumen yang tertuang dalam ANDAL, RKL dan RPL, sehingga nantinya
akan menjadi hutan kembali. Penilaian keberhasilan reklamasi, mengacu
kepada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.60/Menhut-II/2009
tentang pedoman penilaian keberhasilan reklamasi hutan (Lampiran 1,
kriteria dan indikator keberhasilan reklamasi hutan).
Jaminan reklamasi, menurut laporan grup ITM, PT IMM menyatakan
telah menyediakan jaminan reklamasi dalam bentuk Bank Garansi senilai
Rp 21,5 milyar (US$ 2.272) yang merupakan jaminan reklamasi tahun
2008 – 2012. Sedangkan untuk periode 2009 -2015 senilai Rp. 73 Milyar
(US$ 5.013).
362
b. Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara PT Indminco
Mandiri Menurut Masyarakat di Kawasan Penambangan
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Ketua Forum Pelajar dan
Mahasiswa Santan, yaitu :215
“Berkaitan manfaat lingkungan, masyarakat tidak mendapatkan manfaat lingkungan dari keberadaan PT Indominco Mandiri, karen PT IMM melakukan penambangan batubara di hulu membuat air Sungai Santan sangat berlumpur sehingga sejak 2005, air Sungai Santan tak layak untuk air minum. Hal ini berbeda dengan kondisi air sungai yang sebelumnya dapat dikonsumsi sebagai air minum.
Berkaitan persoalan lingkungan dan pertambangan batubara di
kawasan hutan lindung Bontang, dikatakan bahwa kawasan hutan yang
diharapkan menjadi penyangga utama kehidupan di Kota Bontang adalah
Hutan Lindung Kota Bontang. Namun tekanan terhadap Hutan Lindung
Bontang berupa pertambangan, perambahan hutan, penebangan liar,
kegiatan non kehutanan baik yang dilakukan oleh perusahaan swasta
murni maupun masyarakat, dan okupasi masyarakat untuk lahan
pertanian pangan, perladangan, permukiman dan kegiatan lainnya
berjalan terus menerus dengan intensitas yang cukup tinggi. 216
Pendapat masyarakat tentang manfaat lingkungan pertambangan
batubara di kawasan hutan, sebanyak 62% menilai sangat tidak
bermanfaat 15% tidak bermanfaat, 17% kurang bermanfaat. Berdasarkan
penilaian responden hanya 6% yang menilai cukup bermanfaat. Pendapat
215
Syaiful Ardi, Ketua Forum Pelajar dan Mahasiswa Santan pada tanggal 24
Agustus 2016, 216
Paparan Tim Kajian dari LPPM Universitas Mulawarman, tentang Kawasan APL
Kota Bontang,di Bontang pada tanggal 26 Agustus 2015
363
masyarakat tersebut memberikan penjelasan mengapa cukup sering
masyarakat melakukan protes terhadap keberadaan pertambangan
batubara PT Indominco.
Tabel 53 :
Pendapat Masyarakat di Wilayah PT Indominco terhadap Manfaat
Lingkungan Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor
Usaha Berbasis Lahan yang Lain
Tingkat Manfaat
Pertambangan Batubara
Pertanian Pangan
Pertanian Pangan
Kehutanan
% % % %
Sangat Bermanfaat 0 15 44 50
Cukup Bermanfaat 6 25 33 27
Kurang Bermanfaat 17 33 13 13
Tidak bermanfaat 15 13 6 6
Sangat Tidak Bermanfaat
62 13 4 4
Total 100 100 100 100
Sumber : Data Primer 2017
Pendapat warga Desa Santan Ilir Kecamatan Marangkayu
Kabupaten Kutai Kartanegara, tentang manfaat lingkungan pertambangan
batubara di kawasan hutan, yaitu :217
“Manfaat lingkungan PT IMM bagi warga Desa Santan Ilir, bagi masyarakat justru tidak ada manfaat lingkungan yang dapat dirasakan. Masyarakat semenjak beroperasinya powerplant PT IMM yang berdekatan dengan pemukiman warga, membawa kerugian bagi warga yaitu dampak bau menyengat terjadi dari proses pembakaran batubara di powerplant, serta jika terhirup menyebabkan warga sering mengalami sakit kepala.”
Masyarakat melakukan aksi protes kepada perusahaan untuk
persoalan air dan debu batubara yang masuk ke rumah warga, jarak
217
Kaharuddin warga Desa Santan Ilir Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai
Kartanegara, wawancara pada tanggal 23 Agustus 2016
364
rumah warga hanya 50m dari stockpile batubara. Persoalan ini diatasi
oleh PT Indominco Mandiri dengan membangun sarana air bersih (water
for live) melalui program CSR. Pada tahun 2014 sarana air bersih
menjangkau 40 rumah tangga atau sebanyak 150 jiwa yang
memanfaatkan. Serta pada tahun 2015 sebanyak 550 rumah tangga
dengan 2000 jiwa didalamnya.
Namun menurut keterangan masyarakat air yang dialirkan ke
masyarakat adalah air dari sisa power plant (pembangkit listrik tenaga
batubara) PT IMM, yang membuat masyarakat ragu dengan kualitas air
bersih, sehingga air hanya dipakai MCK tidak untuk dikonsumsi. Jika
tandon air dibuka, maka akan nampak endapan cukup tebal batubara
didalamnya. PT Indominco Mandiri membuat sumur bor dua unit untuk
dua RT, namun yang dapat beroperasi hanya satu. Kondisi ini membuat
warga harus membeli air minum dari luar desa. 218
Kerusakan lingkungan yang terjadi membawa akibat bagi
perekonomian masyarakat. Kualitas air di sungai menjadi buruk karena
lumbur dari hulu sungai yang ditambang menyebabkan usaha budidaya
perikanan yang dilakukan masyarakat mengalami kerusakan.
Keberadaan pertambangan batubara di kawasan hutan bagi
masyarakat tidak memberikan manfaat lingkungan, namun justru
menimbulkan kerusakan.
218
Romiansyah, warga Desa Santan Ulu Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara, wawancara tanggal 20 Agustus 2016
365
C. Harmonisasi Pengaturan Pengelolaan Pertambangan
Batubara di Kawasan Hutan
1. Konsep Keseimbangan Alam
Konsep Keseimbangan dalam pengelolaan sumber daya alam
didalam Alqur’an dimuat pada Surah Al Mulk ayat (3) : “Maha Suci Allah
yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, tidak akan kamu lihat
sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih.
Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” Surah
tersebut menegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan alam dengan
kesempurnaan dan keseimbangan tanpa ada kekurangan.
Prinsip keseimbangan juga dimuat di dalam Surah Ar-Rahman ayat
(7): “Dan Langit telah ditinggikan-Nya dan Dia (Allah) ciptakan
keseimbangan” Maksud penjelasan surah tersebut dapat terlihat pada
ayat berikutnya yaitu Ar-Rahman ayat (8) : “Agar Kamu jangan merusak
keseimbangan itu”.
Ketentuan Allah SWT dalam surah tersebut memuat bahwa alam
telah diciptakan oleh Allah dengan seimbang, maka ditegaskan oleh Sang
Pencipta larangan pada manusia untuk tidak merusak alam yang telah
diciptakan oleh Sang Pencipta dengan kesempurnaan dan keseimbangan.
Manusia diberikan kewajiban berdasarkan ayat berikutnya yaitu Ar-
Rahman ayat (9) : “Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan
janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu”. Hal ini menegaskan
366
pentingnya bersikap benar dan adil dalam mengambil tindakan/kebijakan
dalam mengelola alam yang sudah di ciptakan sempurna. Kesempurnaan
ciptaan Allah mengandung prinsip keseimbangan yang melarang manusia
untuk mengurangi keseimbangan yang sudah dengan sempurna
diciptakan Allah. Larangan mengurangi keseimbangan sangat kuat dalam
ketentuan tersebut.
Berdasarkan ketentuan Ar-Rahman ayat 7-9, menurut Ibnu Asyur :
Manusia diperintah Allah untuk berbuat adil, dalam ayat ini Allah
menyandingkan kata tersebut dengan penciptaan langit, yang dipahami
secara luas sebagai lambang keluhuran, kemuliaan dan kebenaran.
Manusia juga diperintahkan untuk berlaku seimbang dalam segala
aktivitasnya, melarang manusia untuk bertindak yang merusak
keseimbangan alam ciptaan Allah. Kata “Aqimu” dalam surah Ar-Rahman
dipahami sebagai perintah untuk melakukan adil dan seimbang secara
konsisten.219
Ketentuan selanjutnya dalam Surah Ar-Rahman ayat (10) :“Dan bumi
telah dibentangkan-Nya untuk makhluk (-Nya)”. Ketentuan dalam surah
Ar-Rahman ayat 10 mengandung arti bahwa bumi beserta isinya yang
merupakan ciptaan Allah, diciptakan oleh Allah untuk seluruh makhluk,
bukan hanya untuk manusia. Oleh karena itu pemanfaatan alam
hendaknya tetap memperhatikan hak makhluk Allah yang lain untuk turut
menikmati dan mengambil manfaat atas alam untuk kehidupannya. Oleh
219
Tafsir Al-Misbah 13 halaman: 283-285
367
karena itu merupakan kesalahan jika manusia merasa memiliki hak penuh
untuk mengambil manfaat atas alam ciptaan Allah, karena dalam
ketentuan tersebut jelas bukan hanya manusia yang berhak mengambil
manfaat atas alam ciptaan Allah. Sehingga dalam mengambil kebijakan
berkaitan alam harus mempertimbangkan bahwa ada hak makhluk lain
didalamnya, yang menjadi kewajiban manusia untuk menjaga secara adil
keseimbangan alam.
Larangan bagi manusia agar tidak melakukan kerusakan alam
termuat dalam Surah Al A’raf ayat 56 : “Dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-
Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah
sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” Al A’raf ayat 58 :
“Dan tanah yang baik tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin
Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh
merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda
(kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”
Alam diciptakan Allah dengan sempurna, dalam konsep ini tidak ada
yang namanya kutukan sumber daya alam, yang terjadi adalah
kesempurnaan ciptaan Allah mengalami kerusakan akibat ulah/tindakan
manusia.
Manusia seringkali tidak menyadari atau sengaja melalaikan bahwa
perbuatan, tindakan atau kebijakan manusia dalam mengeksploitasi alam
yang dilakukan selama ini justru mengurangi keseimbangan alam ciptaan
368
Allah yang sempurna. Hal ini disebutkan dalam Surah Al Baqarah ayat 11:
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “janganlah berbuat kerusakan di
bumi !”. Mereka menjawab “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang
melakukan perbaikan.” Perilaku manusia yang seringkali berupaya
melakukan pembenaran tindakannya atau mengelak dari kesalahan telah
melakukan kerusakan, di tegaskan oleh Allah dalam ayat berikutnya, yaitu
ayat 12 : Ingatlah sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan
tetapi mereka tidak menyadari.
Berdasarkan ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa seringkali
manusia tidak menyadari bahwa dirinya sudah melakukan kesalahan yaitu
tindakan dan perilakunya menyebabkan kerusakan atas ciptaan Allah
yang sempurna. Ar-Rum ayat 41 : “Telah tampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki
agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa kerusakan dan penyebab
ketidak seimbangan alam adalah akibat ulah tangan manusia. Akibat ulah
manusia yang tidak memelihara keseimbangan alam maka jelas terjadi
kerusakan di darat dan di laut. Kebijakan dan tindakan manusia yang
mengeksploitasi alam secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan
aspek daya dukung alam dan lingkungan menyebabkan terjadinya
kerusakan di darat maupun di laut. Kerusakan di darat karena kawasan
hutan mengalami kerusakan akibat pertambangan dan pembukaan lahan
369
perkebunan membawa dampak kualitas air sungai menjadi buruk,
berlumpur dan tidak layak konsumsi. Kondisi buruk air sungai pada
akhirnya akan mengalir ke laut dengan membawa lumpur yang
mengakibatkan kerusakan kehidupan biota laut. Kondisi ini seperti yang
telah Sang Pencipta ingatkan kepada manusia namun manusia selalu
ingkar dan lalai.
Alam diciptakan Allah dengan keseimbangan, menjadi tugas
manusia untuk menjaga keseimbangan itu, sehingga perizinan yang
dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan sumber daya alam, seharusnya
berperan sebagai sarana menjaga keseimbangan. Keseimbangan yang
dimaksudkan menurut ketentuan dalam Al Qur’an adalah keseimbangan
bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Jika tidak dijaga
keseimbangannya, alam akan sakit, rusak. Jika alam rusak/tidak
seimbang akan mengakibatkan kehidupan manusia dan makhluk hidup
yang lain juga akan terganggu. Ketika terjadi kerusakan atas alam maka
manusia juga akan mengalami kerugian yang nyata. Keseimbangan alam
ini seharusnya menjadi pegangan bagi pengambil kebijakan
pertambangan di kawasan hutan.
Hutan sebagai ciptaan Allah dan memiliki fungsi ekologis, sudah
ditetapkan oleh pencipta alam ukuran keseimbangan yang harus dijaga
agar manusia selamat dalam kehidupan di dunia yang bergantung pada
alam dan lingkungan. Dalam ukuran keseimbangan alam, hutan tidak
dapat dihilangkan, mengingat fungsinya menjaga keseimbangan ekologis.
370
Meskipun keberadaan hutan selain berfungsi secara ekologis juga
berfungsi memberikan manfaat secara ekonomis dan manfaat sosial.
Fungsi ekonomis dan sosial kawasan hutan hendaknya di optimalkan
oleh manusia dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip
keseimbangan. Ukuran keseimbangan dalam pengelolaan alam, jika
manusia mau mencermati, maka alam akan selalu memberikan tanda
inilah yang di sebut daya dukung lingkungan.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara
mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk
mendukung kegiatan manusia yang menggunakan ruang bagi
kelangsungan hidupnya. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat
dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di
hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan
sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam penentuan
pemanfaatan ruang yang sesuai.220
Berdasarkan ketentuan UU RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 ayat 6 memberikan batasan daya
dukung lingkungan hidup sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Ketentuan
tersebut diganti dengan UU 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan
220
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://id.m.wikibooks.org/wiki/
371
Lingkungan Hidup, yang mendefinisikan daya dukung lingkungan dalam
ketentuan Pasal 1 ayat 7, yaitu kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antar keduanya.
Ketentuan UU 32 Tahun 2009 tentang daya dukung lingkungan
berbeda dengan ketentuan yang tertuang dalam UU sebelumnya yaitu
UU 23 Tahun 1997. Letak perbedaannya adalah adanya tambahan
klausul dalam definisi daya dukung lingkungan yang diatur dalam UU 32
Tahun 2009 yaitu: “...dan keseimbangan antar keduanya”. Hal ini
menunjukkan UU 32 tahun 2009 memuat prinsip keseimbangan dalam
mengukur daya dukung lingkungan. Maksud kata “keduanya” dalam
keseimbangan yaitu keseimbangan perikehidupan manusia dan makhluk
hidup yang lain. Muatan prinsip keseimbangan dalam definisi daya dukung
lingkungan yang diatur UU 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, merupakan komitmen tegas negara bahwa dalam
setiap pengambilan kebijakan untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi
dan sosial harus berpedoman pada prinsip keseimbangan kemampuan
lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk
lainnya.
372
2. Konsep Keseimbangan dalam Pengaturan Hukum Pertambangan
di Kawasan Hutan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak
asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh
karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan
berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan
hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi
rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
Sumber daya alam menurut UU 32 Tahun 2009 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 ayat 9 adalah unsur lingkungan
hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara
keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Sedangkan dalam
penggunaan sumber daya alam ditegaskan dalam Penjelasan umum UU
32 Tahun 2009 (3) Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi,
dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya,
kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh
kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan
tujuan pembangunan berkelanjutan.
Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah
untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi
373
dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS
harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program
pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan
bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan,
rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai
dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang
telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak
diperbolehkan lagi.
Penjelasan Umum UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam
yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya,
dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan
dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai
perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hutan sebagai
modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi
kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi,
sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu
hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara
berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik
generasi sekarang maupun yang akan datang.
374
Prinsip keseimbangan juga dinyatakan dalam ketentuan asas
penyelenggaraan kehutanan berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan, yaitu Pasal 2: penyelenggaraan kehutanan
berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan, dan keterpaduan. Penjelasan Pasal 2, penyelenggaraan
kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap
pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan
dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.
Klausul menimbang dalam UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara peraturan perundang-undangan di bidang
pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan
mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal,
transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna
menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan;
Keseimbangan merupakan salah satu asas dalam pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara yang diatur UU Nomor 4 Tahun 2009
Pasal 2 : Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:
a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
d. berkelanjutan dan bewawasan lingkungan
375
Klausul keseimbangan dinyatakan dalam Pasal 2 huruf a bahwa
asas pengelolaan pertambangan minral dan batubara salah satunya
adalah asas manfaat, keadilan, dan keseimbangan.
Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang
berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara Pasal 3 b.
menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.
Penjelasan umum UU 4 Tahun 2009 menyatakan Pokok-pokok
pikiran ke 6 menentukan bahwa usaha pertambangan harus
memperhatikan prinsip lingkungan hidup, yaitu: “dalam rangka terciptanya
pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus
dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup,
transparansi, dan partisipasi masyarakat.”
Berdasarkan telaah terhadap peraturan perundang-undangan bidang
pertambangan di kawasan hutan, menunjukkan bahwa secara
konstitusional serta berdasarkan ketentuan UU 4 Tahun 2009 Tentang
Minerba, UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU 32 Tahun 2009
Tentang Pengelolaan lingkungan hidup, pengelolaan sumber daya alam
harus dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan.
376
3. Keseimbangan Pengelolaan Pertambangan Batubara di
Kawasan Hutan
Harmonisasi hukum perlu dilakukan untuk keberlangsungan
pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat sesuai amanah konstitusi
negara. Harmonisasi hukum merupakan langkah-langkah penyelarasan
pengaturan dalam pengelolaan pertambangan di kawasan hutan, agar
mencapai tujuan tertinggi dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam baik sektor pertambangan maupun sektor kehutanan.
Harmonisasi pada substansinya adalah adanya keseimbangan.
Berdasarkan rumus kaidah keseimbangan bahwa Sumber daya Total
Tatanan menurut merupakan akumulasi dari sumber daya manusia,
sumber daya alam sumber daya ekonomi, sumber daya sosial, sumber
daya budaya dan yang lainnya, yang dalam konsep kaidah keseimbangan
selalu mengedepankan keseimbangan tatanan (wilayah), sumber daya
tertentu bisa berkurang akan tetapi sumber daya lainnya harus bertambah
guna menjaga keseimbangan kualitas tatanan. Kaidah ini tidak pernah
menolak pengurangan sumber daya asalkan saja keseimbangan tatanan
tetap tercipta. Misalnya eksploitasi SDA suatu wilayah harus mampu
meningkatkan SDM, SDS, SDE, dan SD lainnya sehingga SD total
tatanan tetap terjaga keseimbangannya.
Berdasarkan penelitian penulis untuk mengukur sumber daya
tatanan yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya ekonomi,
sumber daya sosial dalam wilayah pertambangan di kawasan hutan, maka
377
pengukuran pengaruh eksploitasi sumber daya alam terhadap sumber
daya tatanan harus dilakukan dengan lebih merinci masing-masing
sumber daya yang dimaksud. Rincian masing-masing sumber daya
diperlukan untuk dapat memberikan penilaian secara lebih detil dan
sampai pada kesimpulan sumber daya total tatanan pada sektor sumber
daya alam yang di nilai akan terlihat.
Rincian masing-masing sumber daya sangat dipengaruhi faktor : (a)
bidang/sektor sumber daya alam yang di analisis; (b) Konteks lokalitas
persoalan. Kondisi setiap bidang dan setiap daerah yang berbeda akan
membuat tampilan yang di nilai juga akan berbeda antar bidang sumber
daya alam, maupun antar daerah satu dengan daerah yang lain.
Mengukur sumber daya tatanan dalam wilayah pengelolaan
pertambangan batubara di kawasan hutan adalah :
a. sumber daya ekonomi perlu di uraikan lebih rinci ekonomi
ditingkat nasional, daerah, lokal, manfaat ekonomi bagi
perusahaan dan bahkan jika dimungkinkan ditingkat terkecil
rumah tangga.
b. Sumber daya sosial diukur melalui : kesehatan, konflik sosial,
keselamatan warga;
c. Sumber daya budaya diukur melalui perubahan budaya
masyarakat;
378
d. Sumber daya lingkungan diukur melalui perubahan kondisi
sumber daya yang berupa tanah, air, udara dan
keanekaragaman hayati;
e. Sumber daya manusia, diukur melalui tenaga kerja dan
pendidikan.
Keseluruhan sumber daya tersebut dinilai perubahan yang terjadi
setelah eksploitasi dilakukan. Substansi penilaian yang penting menurut
penulis ada dua yaitu :
a. nilai manfaat dan
b. nilai keberlanjutan.
Pertama : Nilai manfaat yang dimaksud adalah sektor sumber
daya yang dinilai seberapa tingkat manfaat bagi semua pihak, pemerintah
pusat, peerintah daerah, pengusaha dan tentu yang terpenting adalah
masyarakat. Penilaian manfaat dalam eksplotasi sumber daya alam dapat
merujuk pada kriteria obyektif faham utilitarianisme, yaitu:
a. kriteria obyektif pertama manfaat,
b. kriteria obyektif manfaat terbesar,
c. kriteria obyektif manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin
orang
Kedua: nilai keberlanjutannya. Nilai keberlanjutan ini penting
mengingat sumber daya alam yang ada tidak hanya untuk generasi
sekarang namun juga menjadi hak generasi mendatang untuk turut
mengambil manfaat. Sehingga dalam rumus keseimbangan sebagai salah
379
satu bentuk harmonisasi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan perlu
Perspektif pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) Dalam
konsep tersebut, proses pembangunan atau perkembangan
(development) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang
tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya
alam kehidupan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan komitmen penting ditingkat
global, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang setuju
berkomitmen untuk pembangunan berkelanjutan. Pada Konferensi Tingkat
Tinggi Bumi (KTT Bumi) 1992, telah disepakati dua perjanjian
internasional yang penting yaitu United Nation Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC) dan United Nations Convention on Biological
Diversity (UNCBD). Pada KTT Bumi di Rio Jeneiro, negara-negara di
dunia menerima paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah
agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia.
Pembangunan berkelanjutan berdasarkan ketentuan UU Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Pasal 1 angka (3) adalah :
“Upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.”
380
Setiap kebijakan pembangunan terutama yang akan membawa
dampak besar bagi lingkungan hidup, UU 32 Tahun 2009 mewajibkan
pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan
hidup strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan
suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program
pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan daya
dukung dan daya tampung sudah terlapaui, kebijakan, rencana, dan/atau
kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk melaksanakan
pembangunan berkelanjutan, dalam konsep ini kepentingan lingkungan
hidup tidak dapat ditinggalkan. Istilah pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) sebenarnya baru mulai diperkenalkan oleh
Rachel Carson melalui bukunya Silent Spring, dalam konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tersebut, proses
pembangunan atau perkembangan (development) diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam
memanfaatkan potensi sumber daya alam kehidupan.221
Bruntland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak
hanya mendasarkan pada kelestarian fisik, tetapi harus pula terdapat
221
Jimly Asshidiqie, 2009. Green Constitution-Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Rajawali Pers, Jakarta. Halaman 134.
381
pemerataan hasil dan biaya pembangunan yang adil antar negara maju
dengan negara sedang berkembang, serta pengurangan kesenjangan
antara kelompok masyarakat yang kaya dengan kelompok masyarakat
yang miskin di masing-masing negara.222
Prinsip yang terkandung dalam konsep pembangunan berkelanjutan
yang dihasilkan melalui KTT Bumi di Rio de Jeneiro 1992 adalah prinsip
keadilan antar generasi (intergenerational equity), prinsip keadilan dalam
satu generasi (intragenerational equity), prinsip pencegahan dini
(precautionary principle), Prinsip perlindungan keragaman hayati
(biodiversity concervation), serta prinsip internalisasi biaya lingkungan.223
Prinsip pertama pembangunan berkelanjutan adalah prinsip keadilan
antar generasi (intergenerational equity), berangkat dari gagasan bahwa
generasi sekarang menguasai sumber daya alam harus dipandang
sebagai titipan generasi mendatang. Sebagaimana dinyatakan dalam
prinsip ke-3 : “The right to development must be fulfilled so as to equitably
meet development and environment needs of present and future
generations.” Hak untuk membangun harus dipenuhi agar secara wajar
bertemu antara pembangunan dan kebutuhan lingkungan generasi
sekarang dan yang akan datang.
Prinsip kedua, keadilan dalam satu generasi (intragenerational
equity), prinsip keadilan dalam satu generasi merupakan prinsip yang
membicarakan tentang keadilan antara sesama generasi, termasuk di
222
Otto Soemarwoto, 2001. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan. Jakarta. Halaman : 162
223 Helmi. Op.cit halaman 12.
382
dalamnya pemenuhan kebutuhan secara bersama-sama tanpa adanya
kesenjangan antara satu kelompok dengan kelompok lain.224
Prinsip ketiga, pencegahan dini (precautionary principle), Apabila
terdapat ancaman atas lingkungan berupa kerusakan yang tidak bisa
dipulihkan, tidak ada alasan untuk menunda upaya-upaya mencegah
kerusakan tersebut.
Prinsip perlindungan keragaman hayati (biodiversity concervation),
keanekaragaman yang dimiliki oleh bumi merupakan sumber
kesejahteraan bagi umat manusia secara keseluruhan.
Prinsip internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif,
gagasan dari prinsip ini menyatakan bahwa biaya lingkungan dan sosial
harus diintegrasikan ke dalam proses pengambilan Keputusan yang
berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber alam. Sedangkan
mekanisme insentif diantaranya berupa program peringkat kinerja yang
dimaksudkan untuk mengubah perilaku dan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat melalui publikasi kinerja industri secara intensif.225
Prinsip pembangunan berkelanjutan mengharuskan dalam
merancang agenda pembangunan dalam dimensi visioner jangka panjang
untuk melihat dampak pembangunan baik positif maupun negatif dalam
segala aspeknya tidak hanya dalam dimensi jangka pendek. Prinsip ini
sejalan dengan kenyataan bahwa sumber daya ekonomi terbatas, aspek
224
Rahmad K Dwi Susilo, 2014. Sosiologi Lingkungan, Rajawali Pers, Jakarta. Halaman : 192.
225 Johny Purba, 2002, Pengelolaan Lingkungan Sosial, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta. Halaman : 20
383
sosial budaya dan lingkungan hidup adalah aspek yang berdimensi jangka
pajang, dan bahwa pembangunan berlangsung dalam ruang ekosistem
yang mempunyai interaksi rumit. Prinsip keberlanjutan sangat menunjang
prinsip keadilan antar generasi. Namun hal ini menuntut sikap kehati-
hatian dan arif dalam setiap kebijakan pembangunan agar manfaat jangka
pendek yang diperoleh dari kegiatan pembangunan tidak sampai harus
dibayar mahal akibat kerugian jangka panjang yang tidak sebanding
dengan manfaat jangka pendek tersebut. Pembangunan berkelanjutan
dijalankan untuk pembangunan manusia seutuhnya yakni bertujuan
meningkatkan kualitas hidup manusia, baik fisik-material maupun derajat
kualitas kehidupan secara luas yang meliputi mental, budaya, sosial,
politik spiritual dan ideologis.226
World Bank telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan
dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable
development triangle).”The implementation of sustainable development
means the integration of activities in the following three key areas:”227
a. Technical and economicactivities ensuring economic growth; b. Ecological, ensuring the protectioan of natural resources and
environment; c. Social, meaning care for the employee at the workplace and
community development in the area of the mining environment
Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk
pengelolaan sumber daya alam dan berbagai dimensinya, dinyatakan
226
Tuhana Taufiq Andrianto, 2014. Dasar-dasar Audit Lingkungan, Global Pustaka Utama Yogjakarta, halaman : 202
227Jozef Dubinski, Sustainable Development Of Mining Mineral Resources,
Journal of Sustainable Mining, Vol. 12 tahun 2013.
384
berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi dan sosial
bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa
kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi,
pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumber daya serta investasi
secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa
kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem,
memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumber daya alam
termasuk keanekaragaman hayati. Keberlanjutan secara sosial
mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat
menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial,
kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat,
identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.228
Komitmen Indonesia terhadap perjanjian internasional untuk
perubahan iklim United Nation Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) nampak pada September 2009 di Pittsburgh, Presiden
menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK
sebesar 26% secara mandiri dan 41% dengan dukungan Internasional
pada tahun 2020, komitmen ini tidak mudah, mengingat Indonesia
menghadapi berbagai persoalan pengelolaan hutan dan lahan, terutama
deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan karena tata kelola
hutan dan lahan yang buruk.
228
Burtland dalam Albert Napitupulu, 2013. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan – Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis. IPB Press. Bogor, halaman: 35-36
385
Penilaian sumber daya tatanan dalam wilayah eksploitasi
pertambangan, menurut penulis tidak dapat diletakkan pada pandangan
bahwa sumber daya boleh mengalami pengurangan asalkan terjadi
peningkatan nilai sumber daya yang lain, asalkan secara keseluruhan
sumber daya total tatanan tetap terjaga nilainya/meningkat. Menurut
penulis terdapat sumber daya yang khas yang kehilangan pada jumlah
tertentu yang melebihi batas keseimbangan akan mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Sumber daya yang diaksud misalnya adalah
sumber daya air yang sangat terpengaruh ketika pertambangan
mengeksploitasi kawasan hutan, kondisi air akan tercemar karena aliran
lumpur dari wilayah pertambangan, selain pembukaan hutan akan
menghilangkan sumber-sumber air alami. Kehilangan sumber daya ini
dalam temuan di lokasi penelitian tidak dapat digantikan dengan sumber
daya atau program bantuan air yang dilakukan perusahaan. Sehingga
menurut penulis tidak selalu kehilangan salah satu jenis sumber daya
dapat digantikan dengan peningkatan sumber daya yang lain.
Konsep keseimbangan dalam pengelolaan pertambangan di
kawasan hutan menurut penulis adalah menyeimbangkan fungsi kawasan
hutan yaitu : fungsi ekonomi, ekologi dan sosial. Berdasarkan hasil
penelitian terjadi ketidak seimbangan ketiga fungsi tersebut. Fungsi
ekonomi pemilik modal/perusahaan tambang lebih mengemuka
dibandingkan fungsi ekologi dan fungsi sosial. Bahkan fungsi ekologi
386
kawasan hutan terancam hilang ketika tidak ada upaya pembatasan
eksploitasi hutan untuk pertambangan.
Regulasi pertambangan di kawasan hutan yang berlaku
memungkinkan dilakukannya pertambangan di kawasan hutan lindung
dan hutan produksi. Batasan yang dilakukan adalah kawasan hutan
lindung harus dilakukan dengan tambang bawah tanah/tambang tertutup.
Sedangkan kawasan hutan produksi dapat dilakukan penambangan
terbuka/open pit. Namun dengan dikeluarkannya UU Nomor 19 Tahun
2004, maka terdapat 13 perusahaan pertambangan yang diperbolehkan
menambang secara terbuka di kawasan hutan lindung. Regulasi ini
membawa dampak terjadinya ketidak seimbangan alam karena kawasan
hutan lindung akan hilang ketika pertambangan selesai beroperasi.
Kewajiban reklamasi kawasan bekas penambangan dapat dipastikan tidak
akan mampu mengembalikan kondisi kawasan hutan lindung seperti
semula, mendekati saja kondisi semula sangat sulit dilakukan
perusahaan. Hal ini di perkuat dengan regulasi reklamasi yang sangat
lemah, meskipun dikatakan reklamasi wajib, namun ketentuan sanksi
hanya sanksi administrasi yang tidak akan berpengaruh bagi perusahaan
karena kewajiban reklamasi ada di akhir penambangan.
Beberapa perusahaan pertambangan yang telah selesai melakukan
penambangan mayoritas meninggalkan lubang-lubang tanpa reklamasi.
Berdasarkan data Dinas ESDM Kaltim di Kota Samarinda terdapat 152
lubang bekas tambang yang tidak dilakukan reklamasi dan telah
387
mengakibatkan 28 anak meninggal di lubang tambang sejak tahun 2011-
2017. PT Kelian Equatorial Mining di Kutai Barat yang melakukan
penutupan tambang tahun 2004, meninggalkan lubang dua lubang
raksasa yang tidak dapat di reklamasi. Kawasan yang ditinggalkan
menjadi kawasan gersang dan keanekaragaman hayati hilang. PT Kaltim
Prima Coal merupakan perusahaan pertambangan batubara terbesar di
Asia yang terletak di Kutai Timur, dalam dokumen AMDAL menyatakan
akan melakukan reklamasi hanya sebanyak 10% dari kawasan
penambangan yang mencapai 90.800 hektar. PT Indominco Mandiri
dalam dokumen Rencana AMDAL peningkatan produksi, menyampaikan
bahwa kawasan yang akan direklamasi adalah berkisar 6.000 hektar,
sedangkan kawasan penambangan adalah seluas 25.000 hektar.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keberadaan pertambangan di
kawasan hutan akan menghilangkan kawasan hutan. Keanekaragaman
hayati akan hilang manfaat ekonomi, ekologi dan sosial kawasan hutan
juga tidak akan dapat dinikmati untuk masa mendatang. Sementara dalam
operasinya dampak lingkungan yang terjadi sudah sering dialami
masyarakat. Banjir yang merusak sawah, ladang dan pemukiman.
Kualitas air yang buruk bahkan tidak layak konsumsi menyebabkan
masyarakat harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari.
Manfaat ekonomi pertambangan bagian terbesar dinikati
perusahaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya
mendapatkan prosentase yang sangat kecil. Masyarakat justru
388
mendapatkan dapak kerusakan, sedangkan persentase masyarakat yang
dapat diserap sektor pertambangan sangat kecil. Berdasarkan data BPS
hanya 6,7% penduduk Kaltim yang bekerja di sektor pertambangan.
Berdasarkan kondisi ketidakseimbangan alam yang terjadi akibat
penambangan di kawasan hutan, maka untuk mengembalikan
keseimbangan alam perlu kembali pada prinsip keseimbangan, yaitu
menyeimbangkan antara fungsi ekonomi, fungsi ekologi dan fungsi sosial.
Regulasi yang cenderung eksploitatif perlu di lakukan perubahan.
Gambar 6 :
Konsep Harmonisasi/Keseimbangan dalam
Pengelolaan Pertambangan di Kawasan Hutan
Harmonisasi pengelolaan pertambangan batubara di kawasan hutan
harus disesuaikan dengan prinsip keseimbangan dalam pengelolaan
sumber daya alam. Prinsip keseimbangan dalam pengelolaan sumber
daya alam ini memuat prinsip kondisi keseimbangan antara manfaat
ekonomi
Sosial Ekologi/
Lingkungan
389
ekonomi, ekologi dan sosial yang dicapai tanpa menghilangkan kawasan
hutan.
Prinsip pertama : manfaat ekonomi pertambangan di kawasan hutan.
Manfaat ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimaksud
sesuai ketentuan konstitusional adalah untuk menciptakan kemakmuran
bagi sebesar-besar rakyat Indonesia. Manfaat yang dimaksudkan bukan
hanya keuntungan ekonomi bagi sedikit orang saja namun untuk sebagian
besar rakyat. Berdasarkan hasil penelitian pertambangan batubara di
kawasan hutan yang dilakukan penulis, menunjukkan bahwa manfaat
ekonomi yang dimaksudkan dengan negara memberikan izin
penambangan batubara di kawasan hutan bagian terbesar keuntungan
ekonomi justru di peroleh perusahaan pertambangan. Manfaat ekonomi
bagi pemerintah pusat dan daerah sesuai ketentuan yang berlaku dalam
kewajiban keuangan pertambangan batubara di kawasan hutan, justru
persentase pembagian bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat
sangatlah kecil. Manfaat ekonomi bagi masyarakat yang berada di wilayah
pertambangan batubara sangat kecil, bahkan keberadaan pertambangan
batubara mengakibatkan pendapatan ekonomi menurun bahkan bagi
perempuan berakibat hilangnya mata pencarian perempuan karena
wilayah lahan pertanian tergusur atau rusak karena pertambangan
batubara. Manfaat ekonomi pertambangan batubara untuk menggerakkan
sektor ekonomi lain, contoh di Kalimantan Timur mampu mempengaruhi
30% perekonomian daerah, namun manfaat ini tidak berkelanjutan
390
booming batubara hanya berlangsung 2010-2014, hanya selama 4 tahun.
Setelah masa itu Kalimantan Timur justru menjadi daerah dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi minus. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
pengelolaan pertambangan batubara di kawasan hutan belum seimbang
dalam memberikan manfaat ekonomi. Kondisi keseimbangan manfaat
ekonomi yaitu penerima manfaat dari pengelolaan pertambangan
batubara adalah sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini ditegaskan
dalam cita-cita bangsa dan hak warga negara dalam konstitusi.
Prinsip kedua : manfaat sosial. Pengelolaan sumber daya alam
memuat prinsip manfaat sosial bagi masyarakat baik secara fisik maupun
nilai sosial kemayarakatan. Manfaat sosial yang dimaksud dapat berupa
aspek pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, kebudayaan dan lain
sebagainya aspek sosial masyarakat. Penerima manfaat sosial terutama
adalah masyarakat yang bertempat tinggal terdekat dengan wilayah
pertambangan batubara. Namun ditemukan kondisi yang memprihatinkan,
yaitu desa-desa yang berada di wilayah pertambangan justru sarana
fasilitas sosial sangat minim. Kondisi fasilitas jalan buruk, listrik terbatas,
sarana air bersih tidak memadai, pendidikan sangat tertinggal, akses
kesehatan sulit dan hanya sedikit masyarakat yang dapat pekerjaan di
perusahaan pertambangan batubara. Bagi perempuan kondisi tersebut
lebih memprihatinkan dibandingkan laki-laki. Perusahaan telah
menjalankan kewajiban sosial perusahaan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan, namun komitmen tersebut sangat bergantung
391
kemampuan perusahaan untuk menentukan besarnya nilai kewajiban
sosial tersebut. Sehingga ketika telah disalurkan kewajiban sosial
perusahaan penerima manfaat tidak bisa sebanyak mungkin orang karena
nilainya yang kecil karena telah dibagi pada banyak desa. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa pengelolaan pertambangan batubara di kawasan
hutan tidak memenuhi prinsip keseimbangan dalam manfaat sosial.
Prinsip ketiga : manfaat ekologi, manfaat ekologi dalam prinsip ini
memuat makna bahwa pengelolaan pertambangan di kawasan hutan
harus tetap menjaga fungsi kawasan hutan sebagai kawasan ekologi
penting bagi kehidupan manusia dan makhluk yang lain. Kawasan hutan
untuk dapat berfungsi secara ekologi dengan baik perlu di jaga
kelestariannya. Perubahan bentang alam kawasan hutan karena
pembukaan dan penggalian pertambangan batubara akan membawa
dampak hilangnya fungsi ekologi kawasan hutan. Hilangnya fungsi ekologi
hutan akan mempengaruhi kondisi keseimbangan alam dan kehidupan.
Upaya manusia untuk mengembalikan kawasan hutan setelah di lakukan
penambangan melalui kewajiban reklamasi perusahaan pertambangan,
dalam kenyataannya tidak dapat dilakukan dengan baik. Kemampuan
manusia untuk memulihkan kawasan hutan yang sudah dibuka dan digali
untuk eksploitasi pertambangan batubara sangat terbatas. Oleh karena itu
pemberian izin penggunaan kawasan hutan harus mempertimbangkan
ketidak mampuan manusia untuk memulihkan kawasan hutan
sebagaimana keadaan semula. Meskipun secara legal negara dapat
392
mengeluarkan ketentuan yang menurunkan standar pemulihan
lingkungan, sehingga secara hukum tidak ada pelanggaran, namun
secara faktual kondisi ketidak mampuan manusia mengembalikan
keadaan seperti semula akan berakibat ketidak seimbangan kondisi alam
dan lingkungan tempt hidup manusia.
Keseimbangan alam perlu dikembalikan, keberadaan hutan harus
dikembalikan sesuai fungsi semula. Fungsi ekonomi kawasan hutan jika
diartikan dengan membolehkan pertambangan beroperasi di kawasan
hutan maka yang terjadi adalah penghilangan kawasan hutan. Kawasan
hutan lindung harus dikembalikan fungsinya untuk keseimbangan daya
dukung alam bagi kehidupan manusia. Fungsi ekonomi masih
dimungkinkan dilakukan di kawasan hutan lindung dengan mendorong
usaha yang tidak akan menghilangkan kawasan hutan lindung tersebut.
Mengingat Indonesia menghadapi berbagai persoalan pengelolaan hutan
dan lahan, terutama deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan
karena tata kelola hutan dan lahan yang buruk.
393
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Konstruksi hukum izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk
pertambangan batubara di kawasan hutan tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip pinjam pakai dalam konsep hukum perdata.
Pengaturan pertambangan di kawasan hutan berorientasi eksploitasi
hutan untuk pertambangan, namun pengawasan dan reklamasi
paska tambang belum optimal.
2. Manfaat Pertambangan batubara di Kawasan Hutan berdasarkan
kriteria objektif faham utilitarianisme memberikan manfaat ekonomi
namun persentase terbesar dinikmati pengusaha tambang
sedangkan pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat
mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial yang sangat kecil dan
tidak berkelanjutan, manfaat lingkungan tidak ada, namun justru
menimbulkan kerusakan lingkungan.
3. Harmonisasi pengelolaan pertambangan batubara di kawasan hutan
belum sesuai dengan prinsip harmonisasi pengelolaan sumber daya
alam yang pada prinsipnya merupakan kondisi keseimbangan antara
manfaat ekonomi, ekologi dan sosial yang berkelanjutan serta
dicapai tanpa menghilangkan kawasan hutan.
394
B. SARAN
1. Perlu dilakukan revisi terhadap skema Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan (IPPKH) yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pinjam pakai
dalam konsep hukum, dan menggunakan konstruksi izin tanpa
menggabungkan dengan konstruksi pinjam pakai. Pengaturan
reklamasi orientasikan pada pemulihan kawasan serta perlunya
mengoptimalkan pengawasan.
2. Perlu adanya pengkajian ulang terhadap kebijakan pengelolaan
pertambangan batubara di Kawasan Hutan berdasarkan kriteria
manfaat terbesar dibandingkan kebijakan berbasis lahan yang lain
dan kriteria manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang serta
berorientasi keberlanjutan sumber daya alam.
3. Perlu adanya revisi pengaturan pertambangan di kawasan hutan
sesuai prinsip keseimbangan pengelolaan sumber daya alam yang
menyeimbangkan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial tanpa
menghilangkan kawasan hutan
395
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku/Literatur
Abrar Saleng, 2004. Hukum Pertambangan. UII Pers, Yogjakarta ___________, 2013. Kapita SelektaHukum Sumber Daya Alam.
Membumi Publishing. Makasar Abdul Manan, 2013. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada
Media Group. Jakarta. Abdullah Marlang dan Rina Maryana, 2015. Hukum Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta
Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua), PT Galia
Indonesia, Jakarta. _________, 2010. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
_________, 2012. Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap
Pengadilan, Prenada Media Group, Jakarta, Ade Maman Suherman, 2006 Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,
PT Radjagrafindo Persada, Jakarta. Adi Widyanto, 2008. Taen Hine – Mencari Tahu-Investigasi Daya Rusak
Pertambangan. Penerbit Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta
Agun Gunandjar,dkk. 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara. Sekretariat Jenderal MPR-RI. Jakarta Agus Purnomo. 2012. Menjaga Hutan Kita : Pro Kontra Kebijakan
Moratorium Hutan dan Gambut. PT Gramedia Jakarta. Ahmad Redi. 2014. Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor
Kehutanan. Sinar Grafika Jakarta
396
Albert Napitupulu, 2013. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan – Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis. IPB Press. Bogor
Ali Achmad Chomzah, 2004. Hukum Pertanahan (Pertanahan
Indonesia) jilid 1,Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, . Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004. Pengantar Metode Penelitian
Hukum, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta. Aminuddin A Kirom dkk, 2006.Tambang dan Penghancuran
Lingkungan, JATAM Jakarta Amsal Bakhtiar.2011. Filsafat Ilmu. PT. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta Andi Hamzah, 2005. Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika,
Jakarta. Antonius Cahyadi dan E.Fernando Manullang, 2010. Pengantar ke
Filsafat Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Arif Satria. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press. Bogor Allan H, Lockwood. dkk. 2009. Coals Assault on Human Health.
Physicians For Social Responsibility. 1875. Connecticut Avenue, NW, Suite 1012. Washington DC 20009 - PMG Group Ltd.
Bart Lucarelli. 2010. The History and Future of Indonesia’s Coal
Industry: Impact of Politics and Regulatory Framework on Industry Structure and Performance. Program on Energy an Sustainable Development. Stanford University. Stanford.
Bernadinus Steni, 2013. Hak Masyarakat Atas Tanah dan Sumber Daya
Alam Dalam Strategi REDD+. Perkumpulan HUMA, Jakarta Bernard Arief Sidharta, 2009. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum.
CV. Mandar Maju, Bandung.
____________ 2013. Ilmu Hukum Indonesia – Upaya pengembangan Ilmu Hukum Sistematik Yang Responsif Terhaddap Perubahan Masyarakat. Genta Publishing. Jakarta.
____________, 2008. Pengantar Logika. Sebuah Langkah Pertama
Medan Telaah. PT Refika Adhitama. Bandung
397
Bondan Kanumoyoso. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Bruce Rich, 1999. Menggadaikan Bumi-Bank Dunia, Pemiskinan
Lingkungan dan Krisis Pembangunan (Mortgaging the Earth: The World Bank, Environmental Impoverishment and the Crisis of Development),International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), Jakarta.
Budi Harsono, 1994. Hukum Agraria di Indonesia, Djambatan, Jakarta Cedric Gregory. A Concise. History of Mining, AA Balkema Publishers,
The Netherlands, 2001 Chandra Broer, 2011. Bagaimana Hutan Tropis Bisa Rusak?. Makindo
Grafika, Yogjakarta CST. Kansil. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, Dadang Ahmad Suriamihardja dkk, 2010. MDGs (Millenium
Development Goals) Sebentar Lagi, Sanggupkah kita menghapus kemiskinan di dunia?, PT Kompas Media Nesantara, Jakarta
Dian Puji Simatupang, 2004.Materi Hukum Administrasi Negara,
Program Ekstensi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996. Tanah Sebagai Komoditas-
Kajian kritis atas Kebijakan Pertaahan Orde Baru, Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta.
Fachruddin M. Mangunjaya, 2005. Konservasi Alam dalam Islam,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Fathi Hanif, dkk. 2004. Bunga Rampai Hukum dan Kebijakan
Pengelolaan Sumber Daya Alam Kalimantan Timur, Bigraf Publishing-Yayasan Ulin, Samarinda Kaltim
Frans Magnis Suseno dkk. 1989. Etika Sosial.Kanisius, Jakarta Gatot Supramono, 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara
di Indonesia. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
398
George Ritzer – Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Modern-edisi keenam. PT Kencana Prenada Media Gourp. Jakarta.
George Ritzer – Barry Smart, 2012. Handbook Teori Sosial, penerbit
Nusa Media, Bandung. Greenomic Indonesia, 2004. Analisis Ekonomi Ligkungan, Praktik
Tambang Terbuka di Hutan Lindung : Divestasi Modal Ekologi. Greenomic Indonesia, Jakarta.
Hadi Prayitno dkk, 2013. Mengukur Komitmen : Analisis Kebijakan
Perencanaan dan Anggaran Nasional terhaddap Pengelolaan Hutan dan Lahan di Indonesia, Seknas Fitra-The Asia Foundation-Ukaid from the British People, Jakarta
Hans Kelsen. 2009. Pengantar Teori Hukum. (terjemahan dari
Indtroduction to the problems of Legal Theory- clarendon Press Oxford, 1996). Penerbit Nusa Media. Bandung
__________ 2011. Essays In Legal and Moral Philosophy – Hukum
dan Logika. PT. Alumni Bandung __________ 2011. Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum
Normatif (diterjemahkan dari Pure Theory Of Law – Berkely University of California Press 1978). Penerbit Nusa Media. Bandung
Hariadi Kartodirjo, 1999. Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam
Produksi, Penerbit Pustaka LATIN, Bogor Harijadi Kartodiharjo dkk, 2005. Di Bawah Satu Payung Pengelolaan
Sumber Daya Alam, Yayasan KEHATI, Jakarta. Helmi, 2012. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup. Sinar Grafika,
Jakarta Heriamariaty, 2008. Politik Hukum Pengaturan izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara Pada Kawasan Hutan Lindung Berbasis Prinsip Keberlanjutan. Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang
Hyronimus Rhiti. 2011.Filsafat Hukum edisi lengkap dari klasik sampai
posmodernisme. Penerbit Universitas Atma Jaya. Yogjakarta. Ida Nurlinda, 2009. Prinsip-prinsip Pembaharuan Agraria, Rajawali,
Jakarta.
399
Ilona Vicenovie Oisina Situmeang, 2016. Corporate Social Responsibility-Dipandang dari perspektif komunikasi organisasi, Ekuilibria, Yogjakarta
Imam Koeswahyono. 2009. Sumber daya Alam dalam Konstelasi
Politik Nasional Dan Globalisasi Hukum, persoalan sistem pertanian berkelanjutan. Diterbitkan dalam Hukum Yang Bergerak. Penerbit Yayasan obor Indonesia. Jakarta
________________ 2013. Sosio Legal-Bekal Pengantar dan Substansi
Pendalaman. Intimedia Malang & Pusat Kajian dan Penelitian Sosio Legal (PKP-SL) Universitas Brawijaya, Malang.
Indriyanto, 2012. Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara, Jakarta. Jeremy Bentham. 2010. Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip
legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana. (Diterjemahkan dari : The Theory of Legislation. 1979). Nusamedia Bandung.
Jimly Asshidiqie, 2009. Green Constitution-Nuansa Hijau Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rajawali Pers, Jakarta
Johny Purba, 2002, Pengelolaan Lingkungan Sosial, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta Kathi Mackinnon dkk, 2000. Ekologi Kalimantan-Seri Ekologi Indonesia
Buku III, Prehallindo, Jakarta. Khudzaifah Dimyati, 2010. Teorisasi Hukum - Studi Tentang
Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990. Gentha Publishing. Yohjakarta
Koesnadi Hardjasoemantri, 1994. Environmental Legislation In
Indonesia, Third edition.Gadjah Mada University PressYogjakarta
----------------------, 2000. Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada
University Press, Yogjakarta. Laica Marzuki, 2006. Berjalan-jalan di Ranah hukum – Pikiran-pikiran
Lepas, Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
400
Lawrence M.Friedman, 2009. Sistem Hukum-perpektif ilmu sosial-The Legal System-A Social Science Perspective, Nusamedia, Jakarta.
Macartan Humpreys et.al. 2007. Escaping The Resource
Curse.Columbia University Press. New York. Maria S.W Sumardjono. et.al. 2014. Pengaturan Sumber Daya Alam Di
Indonesia-Antara Yang Tersurat dan Tersirat, Gadjah Mada University Press, Yogjakarta.
Meuwissen. 2007. Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu
Hukum, Teori Hukum, Filsafat Hukum (Terjemahan dari buku Van Apeldoorn’s Inleiding). PT Refika Adhitama. Bandung.
M. Arifin Hamid, 2007. Membumikan Ekonomi Syariah Di Indonesia
(Perspektif Sosio-Yuridis), Elsas, Jakarta. M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani. 2012. Penelitian Hukum
Indonesia Kontemporer. Gentha Publishing. Yogyakarta Muammil Sun’an dan Abdurrahman Senuk, 2015. Ekonomi
Pembangunan Daerah, Mitra Wacana Media, Jakarta Munir Fuady, 2007, Dinamika teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta ___________ 2011. Teori-teori Dalam Sosiologi Hukum. PT Kencana
Prenada Media Group.Jakarta ___________ 2013. Teori-teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum.
Kencana Media Group. Jakarta. Muhammad Erwin, 2012. Filsafat Hukum – Refleksi Kritis Terhadap
Hukum. Rajawali Pers. Jakarta Mujiono Abdillah, 2001. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-
Quran, Jakarta Mouna Wasef dan Firdaus Ilyas. 2011. Merampok Hutan dan Uang
Negara. Indonesia Corruption Watch. Jakarta Mora Dingin, 2014. Bersiasat Dengan Hutan negara-Seri Hukum dan
Keadilan Sosial, Epistema Institute, Jakarta. Otje Salman. 2012. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika
Masalah). PT Refika Adhitama. Bandung.
401
Otong Rosadi. 2012. Quo Vadis Hukum Ekologi dan Keadilan Sosial.
Dalam Perenungan Pemikiran (Filsafat) Hukum.Penerbit Thafa Media, Jakarta.
Otto Soemarwoto, 2001. Ekologi, Lingkungan Hidup dan
Pembangunan, Djambatan. Jakarta. Ohiongyi Marino, dkk. 2013. Masyarakat Sipil mengawasi Alam Review
Izin Industri Berbasis Lahan, Policy Paper. Diterbitkan ICEL dan The Asia Foundation. Jakarta.
Paul Scholten.2011. De Structuur Der Rechtswetwnschap - Struktur
Ilmu Hukum, PT. Alumni Bandung. Peter Mahmud Marzuki, 2007. Penelitian Hukum. PT Kencana Prenada
Media Grup. Jakarta. Philipus M. Hadjon dkk, 2002. Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia.Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. ___________, 1993. Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya. Porkas Sagala, 2002. Mengelola Lahan Hutan yang Benar, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta Rahmad K Dwi Susilo, 2014. Sosiologi Lingkungan, Rajawali Pers,
Jakarta Ridwan, 2006.Hukum Administrasi Negara.PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta. Ridwan Tohopi, 2014. Konservasi Pesisir Dalam Perspektif Hukum
Islam. Pustaka Pelajar. Yogjakarta. Rizaldi Boer. 2001. Economic Assesment of Mitigation Options for
Enhancing and Maintaining Carbon Sink Capacity in Indonesia, Journal Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, Volume 6. Kluwer Academic Publisher.
Rusmadi Murad, 2007.Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, CV.
Mandar Maju, Bandung. Salim HS. 2012. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. Rajawali
Pers. Jakarta
402
___________ 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara. Sinar Grafika. Jakarta.
Satjipto Raharjo, 2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia,
Pustaka Pelajar,Yogjakarta ___________, 1991. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung ___________, 1981. Masalah Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,
Penerbit Sinar Baru, Bandung Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir. Refika Aditama. Bandung. Sigit,1999.Industri Pertambangan Batubara Indonesia. Bandung: Tidak
diterbitkan, Siti Maimunah dkk. 2007. Tambang & Pelanggaran HAM. Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta. Sirajuddin, Didik Sukriono, Winardi, 2012. Hukum Pelayanan Publik-
Berbasis Partisipasi dan Keterbukaan Informasi, Setara Press, Malang
Sjachran Basah. 1992. Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak
Administrasi Negara, Penerbit Alumni Bandung Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian. CV. Andi Offset. Yogjakarta Soerjono Soekanto, 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004. Penelitian hukum Normatif.
PT TajaGrafindo Persada, Jakarta. Sukandarrumidi, 1995. Bahan Galian Industri.Yogjakarta: Gajahmada
University Press. Sukarno Aburaera.et.al. 2014. Filsafat Hukum Teori dan Praktik.
Prenada Media Grup. Jakarta. Suteki, 2013. Desain Hukum di Ruang Sosial. Penerbit Dua Satria
Offset. Semarang.
403
Surna Tjahja Djajadiningrat-Yeni Hendriani-Melia Famiola. 2014. Green Economy- Ekonomi Hijau. Rekayasa Sains. Bandung
Syamsul Rijal Hamid. 2014. Buku Pintar Ayat-ayat Al-Quran. PT.
Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. Tuhana Taufiq Andrianto, 2014. Dasar-dasar Audit Lingkungan, Global
Pustaka Utama Yogjakarta. Urip Santoso, 2005. Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada
Media, Jakarta. Y. Rahman, 2013. Keranga Acuan dan Studi Pelingkupan :
Pengukuran kondisi Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik di Sektor Kehutanan dan Lahan, ICEL-Seknas FITRA, Jakarta.
B. Jurnal dan Laporan Penelitian A.M. Yunus Wahid dkk. 2015. Penegakan Hukum Lingkungan di Sektor
Kehutanan (Studi Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan), Hasanuddin Law Review. Vol. 1. No. 1 April 2015.
Adji Samekto, Suteki dkk, Membangun Politik Hukum Sumber Daya
Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia, Seminar, Kongres, dan Call for Paper Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Semarang, 15-16 April 2015.
Adji Samekto, Suteki dkk, Membangun Politik Hukum Sumber Daya
Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia, Seminar, Kongres, dan Call for Paper Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Semarang, 15-16 April 2015.
Druv Katoria et.al. Environment Impact Assessment of Coal Mining.
International Journal of Environmental Engineering and Management, Volume 4, Number 3 (2013).
Direktur Penggunaan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2013. Current Development of Mining Management and Its Impact on Forest Sector in Indonesia.International Conference “Reconciling Forestry and Mining Management: Some Current Environmental Concerns in Asia”. Universitas Hasanuddin Makassar, 10 – 12 Desember 2013
404
Giulio Di Lallo, Philip Mundhenk,REDD+: Quick Assessment of
Deforestation Risk Based on Available Data. Forests Journal, 2017, 8, 29; doi:10.3390/f8010029, www.mdpi.com/journal/forests, p.1
Haris Retno Susmiyati, 2007. Analisis Teori Hukum Terhadap Tujuan
Hukum Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Juni 2007, Vol. 3 No.2
--------------,2005 Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas
Mulawarman, Desember 2005, Vol 1 No.2 Industry and environment, A Publication of the United Nations
Environment Programme, Division of Tecnology, Industry and Economic. Mining and Sustainable Development II Challenges and Perspectives. Volume 23 Special Issue 2000
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan SEKNAS FITRA,
2014. Indeks Kelola Hutan dan Lahan Daerah. The Asia Foundation-Ukaid from the British People, Jakarta.
Jozef Dubinski, Sustainable Development Of Mining Mineral
Resources,Journal of Sustainable Mining, Vol. 12 tahun 2013. M. Muhdar, Hasanuddin Law Review, Makassar, Sulawesi Selatan
Volume 1, issue 3 , December 2015 Mia Siscawati, Jurnal Wacana Nomor 33 Tahun XVI/2014, diterbitkan oleh
Indonesian Society for Social Transformation (INSIST).halaman : 7-8
Rafiuddin, Abrar Saleng, M. Guntur Hamzah. Hakikat Pengelolaan
Pertambangan Berbasis Partisipatif , Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Volume 2 Nomor 1 September 2012, Makasar.
Siva Prasad Dontala, T. Byragi Reddy, Ramesh Vadde, Environmental
Aspects and Impacts its Mitigation Measures of Corporate Coal Mining. Procedia Earth and Planetary Science 11, (2015) 2 – 7. www.sciencedirect.com p.3-4
Soesilo, dkk, 2015. Pemanfaatan Areal Penggunaan Lain di Areal Alih
Fungsi Kawasan Hutan Lindung Bontang, Lembaga Penelitian
405
Dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mulawarman-Pemerintah Daerah Kota Bontang.
The Asia Foundation, 2011. Study on the Political Economi of Land
Use, Land Use Change and Forestry at the Local Level in Indonesia.Jakarta.
----------------, 2012. Policy Paper, Tata Kelola Lingkungan, Program
Asia Foundation untuk tata kelola lingkungan hidup di Indonesia, Jakarta.
C. Dokumen Pemerintah dan Dokumen Perusahaan
Annual Report PT Indo Tambangraya Megah Tahun 2011, Jakarta Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Kalimantan
Timur, Penjelasan Umum Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Timur 2014-2034, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda.
Badan Pusat Statistik. Data BPS. http://bps.go.id/brs/view/1158/ diakses,
tanggal 2 April 2016, pk. 16.57 Wite. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Kartanegara
Dalam Angka Tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Tenggarong.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur, Kaltim Dalam Angka
Tahun 2003, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan Timur,
2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2013 – 2018, Bappeda Provinsi Kaltim
Departemen Pertambangan dan Energi, 1995, 50 Tahun Pertambangan
dan Energi Dalam Pembangunan, Jakarta Dinas Provinsi Kalimantan Timur, 2015. Daftar Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan untuk Pertambangan Wilayah Kalimantan Timur.
406
Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) Rencana Kegiatan Peningkatan Produksi Batubara dan Fasilitas Penunjang. PT Indominco Mandiri, Bontang, Juli 2015.
Global Forest Resources Assesment, 2010. Progress towards sustainable Forest Management, Food an Agriculture Organizational of The United Nations.
Indonesian Mining Association.2014. http:www.ima-api.com Indonesia Mineral & Coal Statistics, 2003.Directorate of Mineral and
Coal Enterprises, Direktorat General of Geology and Mineral Resources, Ministry of Energy and Mineral Resources. Jakarta.
Jatam Kaltim, 2003. Laporan Akhir Tahun Jaringan Advokasi Tambang
Kalimantan Timur (Jatam Kaltim), Samarinda Kaltim Kutim Dalam Angka 2011, BAPPEDA Kutai Timur, Sangata. Laporan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Republik Indonesia.
2010, DNPI. Jakarta. Laporan Keuangan Interim Konsolidasi PT Indo Tambangraya Megah Tbk
Tahun 2015, Jakarta ---------------------- Tahun 2014, Jakarta ---------------------- Tahun 2013, Jakarta ---------------------- Tahun 2012, Jakarta Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2014 – 2034, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur.
Rencana Kerja Kementerian Kehutanan Tahun 2015, Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia, 11 Juli 2014. Rencana Kerja Kementerian Kehutanan Tahun 2015, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 11 Juli 2014.
D. Makalah, Koran dan Media Online
407
Anugerah Perkasa, 6 Kabupaten DBH tertinggi Masih Jadi Daerah Miskin?http://news.bisnis.com/read/20130310/78/2941/6-kabupaten-dbh-tertinggi-masih-jadi-daerah-miskin
Australian Bureau of Statistics, http://www.abs.gov.au/ausstats/[email protected]/90a12181d877a6a6ca2568b500
7b861c/ce28d7fbe5faa308ca256cae0015da32!OpenDocument. diakses tanggal 18 agustus 2015 pk. 12.25 wite
Bernaulus Saragih, Ketika Sumber Daya Alam Berubah Menjadi
Kutukan. Majalah Eksekutor edisi 160 Tahun 2015 Bisnis News. http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/167296-daftar-20-
kabupaten-super-kaya-di-Indonesia. Dwi Susilo, Rahmat K.Fungsionalisme Struktural Talcott Parson
http://anggirusdiadiblog.wordpress.com diakses tanggal 25 Agustus 2014
Forest Watch Indonesia, Pasca Pemekaran Wilayah Kaltara, Luasan
Hutan di Kaltim Masuk Zona Merah.http://fwi.or.id/publikasi/atlas-hutan-indonesia/ diakses tgl 15 desember 2014
Gali-Gali, Buletin Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, 7
Desember 2000. Kamus Bahasa Indonesia. www.KamusBahasaIndonesia.org diakses
tanggal 25 Agustus 2014. Kusnu Goesniadhie. 2006. Harmonisasi Hukum dalam perspektif
peraturan perundang-undangan. JP.books, Surabaya. Diakses dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&sqi=2&ved=0CDAQFjAC&url=http%3A%2F%2Fkgsc.files.wordpress.com%2F2012%2F01%2Fharmonisasi-hukum-lex-specialis-suatu-masalah.ppt&ei=fGH7U4zPPMKfugSq04GABw&usg, Diakses tanggal 25 Agustus 2014
Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan Menjadi Pertambangan, 2004.
Mengapa Perpu No. 1/2004 Harus dibatalkan, Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan Menjadi Pertambangan, Jakarta.
Koran Harian Kompas, 1 Juli 2015.
408
Koran Kaltim Post, Jumat 14 Agustus 2015. Harga Melorot, Produksi Anjlok.
------------------, Kamis, 21 April 2016.Setelah Batubara, Ekonomi Kaltim
Kini kemana? Tren Positif di sektor listrik, Gas dan Air. -------------------, 11 Agustus 2003, Penduduk Miskin di Kaltim
Meningkat. -------------------, Rabu, 12 Agustus 2015, Sudah PHK 60 ribu orang di
Kaltim -------------------, Moratorium Penebangan Hutan dan Investasi Hijau-
Kini pengusaha menanti wujud insentif Pemerintah, Senin, 18 Mei 2015.
Lembaga ecolabel indonesia. 2004. Dalam www.lei.or.id Lembar informasi, 2008. Ketika Tambang Bekerja-Belajar dari 12
Lokasi Tambang Skala Besar. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta
Majalah Bubuhan, Media Komunikasi Kawasan Binaan PT Indo
Tambangraya Megah Tbk, Edisi 41/VII/September-Oktober 2014, halaman : 10
Majalah Bongkar Edisi 382, Samarinda Kalimantan Timur. Ruth Colaguiri and Emily Morrice, Coal industry thriving, but at what
social and heath cost ?. The Conversation, 2 November 2011, http : //theconversation.com/coal-industri-thriving-but-at-what-social-and-health-cost-9266. Diakses : 30 Januari 2015.
Sigurd Jorde, 2013. Coal and Climate in Kalimantan-Norwegian
Interests in Indonesia’s Environmentally Damaging Coal Expansion, Framtiden, Fredensborgveien 24 G, N-0177 Oslo, Norwegia, p. 2. http://www.framtiden.no/rapporter/rapporter-2013/698-report-coal-and-climate-in-kalimantan-2013/file.html
Susilo Bambang Yudoyono. 2011. Pidato Presiden dalam Konferensi
Hutan Indonesia yang diselenggarakan Lembaga Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) di Hotel Sangri-La Jakarta, 27 September 2011.
409
Tambang-The Indonesian Energy & Mining Magazine. Volume 9 No.115/Januari 2015
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
1988.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Tim Komda APHI Kaltim. 2005. Komitmen Perjuangan KOMDA APHI
Kaltim-Menuju Tatanan Baru Pengelolaan Hutan Masa Depan. Debut Press, Jogjakarta.
The RAFT Program-Responsible Asia Forestry and Trade, tanpa tahun,
Promoting Sustainable Forest Management and Responsible timber trade in Asia. The Nature Concervancy. Bangkok-Thailand.
Ulrich Beck, http://logosline.home.igc.org/beck.htm Warta Ekonomi, Edisi 12, Tahun XVIII, 23 Juni 2006 World Bank,The International Council on Metals and Mining, and
ESMAP.http://www.icmm.com/library_pub_detail.php?rcd=183 E. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Repubik Indonesia Tahun 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-III/2003 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Dasar Pokok-
pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH-Per) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 8 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 No. 22)
410
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419)
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia 3587)
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 menjadi Undang-undang
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4959 )
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia 5587).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perubahan terhadap pasal 38 UU 41 Tahun 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1969 Tentang
Bagi Hasil Iuran Pertambangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2012 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
411
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1969 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang
dana perimbangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan
Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang
Pulau Kalimantan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 Tentang Pedoman Sinkronisasi
pelaksanaan tugas keagrariaan dengan bidang tugas tugas kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Perizinan atau
perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/kpts/DJ/I/1978 tentang
Pinjam Pakai Kawasan Hutan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertambangan dan Energi dan
Menteri Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989; 429/Kpts-II/1989 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-II/1994 Jo KMK Nomor
56/Kpts-II/1994; Jo KMK Nomor 41/Kpts-II/1994 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 614/Kpts-II/1997 Jo KMK dan
Pertanian pangan Nomor : 720/Kpts-II/1998 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Keputusan Menteri Kehutanan dan Pertanian pangan Nomor 146/Kpts-
II/1999 tentang Pedoman Reklamasi bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan;
Keputusan Menteri Kehutanan dan Pertanian pangan Nomor 146/Kpts-
II/1999 tentang Pedoman Reklamasi bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan;
412
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12/Menhut-II/2004 tentang
penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan
Peraturan Menteri Kehutanan P.14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman
Pinjam Pakai jo PMK Nomor : P. 64/Menhut-II/2006 Peraturan Menteri KehutananNomor : P.43/ Menhut-II/ 2008 Tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 jo. PMK Nomor
P.38/Menhut-II/2012 jo Nomor P.14/Menhut-II/2013 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.65/Menhut-
II/2013 Tentang Policy Advisor bidang kehutanan pada izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan operasi produksi
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.16/Menhut-
II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Peraturan Dirjen Mineral dan Batubara Nomor 216 K/30/DJB/2014
Tentang Tata Cara Permohonan Pertimbangan Teknis Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.16/Menhut-
II/2014 tentang Reklamasi Lahan Hutan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.56/Menhut-
II/2008 jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.84/Menhut-II/2014 Tentang Tata Cara Penentuan luas areal terganggu dan areal reklamasi dan revegetasi untuk penghitungan PNBP penggunaan kawasan hutan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : 60/Menhut-
II/2009 Tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.32/Menhut-
II/2009 Jo. P.35/Menhut-II/2010 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS (RTkRHL-DAS)terkait pasal 13 ayat 5 PP 76 tahun 2008)
413
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.39/Menhut-
II/2010 Tentang Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan terkait pasal 7 PP 76 tahun 2008
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.04/Menhut-
II/2011 Tentang Pedoman Reklamasi Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.12/Menhut-
II/2011 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.63/Menhut-
II/2011 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang IPPKH Dalam Rangka Rehabilitasi DAS
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.16/Menhut-
II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.87/Menhut-
II/2014 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang IPPKH dalam rangka Rehabilitasi Derah Aliran Sungai.