(BENEFIT VALUE OF COAL MINING IN FOREST OF NATURAL ...

435
DISERTASI NILAI MANFAAT PERTAMBANGAN BATU BARA DI KAWASAN HUTAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM SUMBER DAYA ALAM (BENEFIT VALUE OF COAL MINING IN FOREST OF NATURAL RESOURCE LAW PERSPEKTIF) HARIS RETNO SUSMIYATI P0400311440 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Transcript of (BENEFIT VALUE OF COAL MINING IN FOREST OF NATURAL ...

DISERTASI

NILAI MANFAAT PERTAMBANGAN BATU BARA

DI KAWASAN HUTAN DALAM

PERSPEKTIF HUKUM SUMBER DAYA ALAM

(BENEFIT VALUE OF COAL MINING IN FOREST OF

NATURAL RESOURCE LAW PERSPEKTIF)

HARIS RETNO SUSMIYATI

P0400311440

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

iii

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Haris Retno Susmiyati

Nomor Mahasiswa : PO 400311440

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis

ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan

merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila

dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau

keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia

menerima sanksi atas perbuatan terebut.

Makasar, 20 Juli 2017

Yang Menyatakan

Haris Retno Susmiyati

iv

PRAKATA

Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah SWT, Dzat Pencipta segenap

alam raya dan isinya. Sholawat dan salam selalu dicurahkan kepada

junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat,

dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Ucapan rasa syukur yang tak

terhingga atas terselesaikannya penulisan disertasi ini yang merupakan

salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar Doktor bidang

Ilmu Hukum. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, Disertasi

ini dapat penulis selesaikan, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Dwia Tina Palubuhu MA, Selaku Rektor Universitas

Hasanuddin Makassar beserta para Wakil Rektor.

2. Prof. Dr. Muhammad Ali Ms. Selaku Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Hasanuddin Makassar beserta para Asisten Direktur.

3. Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H.,M.H., Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin beserta para Wakil Dekan yang telah

memberi kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu serta

memberi arahan dalam proses menempuh studi.

4. Prof. Dr. Abdul Razak, S.H.,M.Hum, selaku Ketua Program Studi

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang telah

v

banyak membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan studi

doktoral (S3) di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

5. Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,M.H., selaku Promotor yang telah

banyak memberikan arahan, bimbingan dan inspirasi serta masukan

kepada penulis, untuk dapat menyelesaikan disertasi.

6. Prof. Dr. S.M. Noor, S.H.,M.H, sebagai Co-Promotor yang

memberikan semangat dan inspirasi kepada penulis untuk

menyelesaikan disertasi.

7. Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H.,M.H, sebagai Co-Promotor yang

memberikan masukan, arahan dan bimbingan kepada penulis untuk

menyelesaikan disertasi.

8. Prof. Dr.H. Abdullah Marlang, S.H.,M.H, selaku penguji yang telah

memberikan saran masukan yang sangat berguna sampai pada

akhir penulisan disertasi ini.

9. Prof. Dr. M. Yunus Wahid, S.H.,M.Si, selaku Dosen Mata Kuliah

Pengantar Disertasi (MKPD) bagi penulis, yang telah memberikan

ilmu dan insirasi kepada penulis, sekaligus penguji yang telah

memberikan saran masukan yang sangat berguna sampai pada

akhir penulisan disertasi ini.

10. Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H, selaku penguji yang telah

memberikan saran masukan yang sangat berguna sampai pada

akhir penulisan disertasi ini.

vi

11. Dr. Sri Susyanti, Nur, S.H., M.H, selaku penguji yang telah

memberikan saran masukan yang sangat berguna sampai pada

akhir penulisan disertasi ini.

12. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar,

yang telah memberikan ilmu dan bimbingan dalam proses

penyelesaian studi penulis.

13. Prof. Dr. Masjaya, M.Si, selaku Rektor Universitas Mulawarman yang

telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menempuh studi

doktoral di Universitas Hasanuddin Makassar.

14. Prof. Dr. Dedy Hardiyanto, S,Hut, selaku Ketua Pusat Kajian

Perubahan Iklim (C3S) Universitas Mulawarman, yang telah

memberikan kepercayaan kepada penulis untuk bergabung dalam

lembaga C3S, serta semangat dan inspirasi yang diberikan kepada

penulis.

15. Dr. Ivan Zairani Lisi, S.H.,S.Sos.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Mulawarman, beserta Wakil Dekan yang telah

memberikan dukungan dan bantuan dalam proses studi penulis.

16. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman yang tidak

hanya sebagai kolega namun sebagai sahabat dan saudara telah

memberikan dukungan dan doa bagi penulis.

17. Seluruh staf akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanudin

Makassar yang telah membantu dan memberikan pelayanan terbaik

dalam penyelesaian studi penulis,

vii

18. Ibunda tercinta Sumiyatin (Almarhumah) dan Ayahanda tercinta

Suratmin (Almarhum) atas segala pengorbanan, dukungan, cinta

yang luar biasa serta teladan hidup bagi kami anak-anaknya (Ya

Allah berikan tempat yang terbaik bagi kedua orang tua penulis)

19. Ibunda Mertua tercinta Sitti Hanni (Almarhumah) dan Bapak Mertua

Tercinta Ambo Demmu (Almarhum) atas segala kenangan kebaikan

dan dukungan kepada penulis.

20. Suami Tercinta Baharuddin Demmu, SPi.M.Si yang dengan cinta

yang begitu besar dan luar biasa memberikan segala dukungan,

semangat, fasilitas dan doa bagi studi dan karir penulis.

21. Anak-anakku yang tercinta Muhammad Bashar Rehan, Muhammad

Bashar Meshal, Muhammad Bashar Hanayya, Muhammad Bashar

Ahza, yang dengan penuh kasih memberikan perhatian dan

pengertian serta pengorbanan bagi penyelesaian studi ibundanya.

22. Kakakku di Sampit Kalimantan Tengah M. Haris Faturakhman

beserta kakak ipar Enny; Kakakku di Batam Haris Rakhman Wijaya

dan kakak ipar Sutini; dan adikku di Samarinda Haris Rakhman

Hidayat, adikku di Jakarta Haris Rakhman Sony Karsono beserta

adik ipar Ruby, yang telah memberikan dukungan dan doa bagi studi

dan kehidupan penulis.

23. Saudara ipar di Samarinda Kak Rumiyati dan Kak Bistan beserta

ponakan Siti Rahma, Fauziah, Anis Mawadah yang telah

memberikan banyak dukungan dan doa yang luar biasa bagi penulis;

viii

24. Saudara ipar di Marangkayu Kutai Kartanegara, Kak wati

(almarhumah) dan Kak Tamrin, kak Anwar Lope dan Rahmawati;,

adik ipar Ninik dan Aris, beserta keponakanku semua yang telah

memberikan doa kepada penulis, beserta seluruh keluarga besar di

Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah memberikan

banyak dukungan bagi penulis.

25. Keluarga besar di Makasar, Pangkep, dan Soppeng Sulawesi

Selatan yang telah memberikan doa dan dukungannya.

26. Segenap Pegiat Jaringan Advokasi Tambang dan Tim Kerja

Perempuan dan Tambang baik yang di Jakarta maupun di

Kalimantan Timur, atas dukungan dan bantuan kepada penulis.

27. Segenap Pegiat Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur yang

telah memberikan doa dan dukungannya bagi penulis

28. Kawan-kawan Alumni YLBHI –LBH Surabaya dan LBH Pos Malang

yang terus memberikan dukungan dan doa bagi penulis.

29. Teman-teman angkatan 2011 yang senasib dan seperjuangan terima

kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama studi di Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

Mohon maaf bagi yang belum/lupa disebutkan, terima kasih atas semua

dukungan dan doa, mohon maaf jika ada kesalahan yang penulis lakukan.

Wabillahi Taufiq Wal Hidayah Makassar 2017

ix

ABSTRAK

HARIS RETNO SUSMIYATI, Nilai Manfaat Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan dalam Perspektif Hukum Sumber Daya Alam, dibimbing oleh Promotor Abrar Saleng, co-promotor S.M Noor danMuhammad Ashri.

Sumber daya tambang merupakan sumber daya alam yang diklasifikasikan sebagai sumberdaya yang tak terbarukan (non renewable), karena sifatnya ini maka tambang jika telah habis dieksploitasi tidak akan ada lagi. Industri pertambangan selalu membawa dampak merubah bentang alam secara signifikan dan membawa dampak besar bagi lingkungan. Kawasan hutan untuk dapat berfungsi dengan baik harus dijaga kelestariannya.

Penelitian ini bertujuan menemukan dan mengetahui konstruksi hukum dinamika peraturan pengelolaan pertambangan batubara di kawasan dalam perspektif hukum sumber daya alam, dan menganalisis manfaat pelaksanaan pertambangan batubara di kawasan hutan dalam perspektif hukum sumber daya Alam. Serta merumuskan harmonisasi pengelolaan pertambangan di kawasan hutan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris (yuridis empiris) atau penelitian hukum sosiologis.

Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Skema Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk pertambangan merupakan ketidak tepatan pilihan konstruksi hukum. (2) Manfaat Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan kriteria objektif faham utilitarianisme memberikan manfaat ekonomi namun persentase terbesar dinikmati pengusaha tambang sedangkan pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial yang sangat kecil dan tidak berkelanjutan, manfaat lingkungan tidak ada justru menimbulkan kerusakan. (3) Harmonisasi dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan kondisi keseimbangan antara manfaat ekonomi, ekologi dan sosial yang dicapai tanpa menghilangkan kawasan hutan.

Keyword : Coal, Mining, forest, Utilitarianism, natural resource.

x

ABSTRACT

HARIS RETNO SUSMIYATI, Benefit Value of Coal Mining in Forest Area in Perspective of Natural Resources Law, guided by Promoter Abrar Saleng, co-promoter of S.M Noor and Muhammad Ashri.

Mining resources are natural resources that are classified as non-renewable resources, because of this nature the mine if it has been exploited will no longer exist. The mining industry has always had the impact of changing the landscape significantly and bringing enormous environmental impact. Forest areas to function properly should be preserved.

This study aims to discover and investigate the legal construction of the dynamics of coal mining management regulations in the region within the legal perspective of natural resources, and to analyze the benefits of coal mining operations in forest areas in the perspective of Natural Resources law. And formulate harmonization of mining management in forest area. This type of research is empirical legal research (empirical juridical) or sociological law research.

The results of this study indicate that (1) Forest License Use Scheme (IPPKH) for mining is an inaccurate choice of legal construction. (2) Mining Benefits in Forest Areas based on objective criteria of utilitarian ideology provide economic benefits but the largest percentage is enjoyed by mining entrepreneurs while central and local governments and communities have very little economic and social benefits and are unsustainable, environmental benefits do not actually cause damage. (3) Harmonization in the management of natural resources is a condition of balance between economic, ecological and social benefits achieved without removing forest areas.

Keyword: Coal, Mining, forest, Utilitarianism, natural resource.

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................. ii

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI ........................................... iii

PRAKATA ......................................................................................... iv

ABSTRAK ......................................................................................... ix

ABSTRACT ...................................................................................... x

DAFTAR ISI ……………………………………………………………… xi

DAFTAR TABEL …………………………………………………………. xvi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xx

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xxi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………..………..... 1

B. Rumusan Masalah ……………………………………………..... 22

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….... 23

D. Kegunaan Penelitian ……………….………………………….... 23

E. Orisinalitas Penelitian .............................................................. 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori dan Konsep .......................................................... 27

xii

1. Teori Manfaat Hukum berdasarkan Aliran Utilitarianisme.............................................................. 27

2. Teori harmonisasi dalam pengelolaan SDA....................... 41

3. Konstruksi Hukum ................................................................. 43

4. Pertambangan di Kawasan Hutan dalam Perspektif Hukum Sumber daya Alam.................................................... 44

5. Hukum Pertambangan Batubara di Indonesia ...................... 53

6. Hukum Kehutanan di Indonesia ............................................ 60

7. Pertambangan di Kawasan Hutan ........................................ 64

B. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 68

C. Definisi Operasional .................................................................... 69

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian …………………………………………………. ..... 72

B. Lokasi Penelitian ………………………………………………......... 72

C. Populasi dan sampel .................................................................. 73

D. Sumber Data ………………………………………......................... 73

E. Teknik Pengumpulan Data ………………………….………........... 74

F. Teknik Analisis Data ……………………………………… ............. 77

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konstruksi Hukum Pengaturan Pertambangan Batubara Di Kawasan Hutan Dalam Perspektif Hukum SDA ....................... 79

1. Konstruksi Hukum IPPKH............................................................. 79 1.1 Izin dalam Konstruksi Hukum Administrasi Negara.......... 101

1.2 Konstruksi Hukum Pinjam Pakai dalam KUH Perdata....... 104

xiii

1.3 Kesalahan Konstruksi Hukum IPPKH................................ 109

1.4 Pilihan Alternatif Konstruksi Hukum Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan .............................. 116

2. Dinamika Pengaturan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan ........................................................................................... 125

2.1 Pengaturan Pertambangan Di Kawasan Hutan Pada Periode Kolonialisme ……………………............................. 126

2.2 Pengaturan Pertambangan Di Kawasan Hutan Pada Orde Lama (1945-1965) ……………………......................... 130

2.3 Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Periode Orde Baru (1966 – 1998) ……………………….................... 134

2.4 Pengaturan Pertambangan Batubara Di Kawasan Hutan Periode Reformasi Tahun 1999-sekarang (hingga 2017)..... 168

2.5 Pengawasan dan Penegakan Hukum dalam Pengelolaan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan ....................... 203

2.6 Konstruksi Hukum Kewajiban Lingkungan dan Reklamasi

Areal Bekas Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan .. 221

B. Implementasi dan Manfaat Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

1. Implementasi Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur 1.1 Implementasi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan di Kalimantan Timur ................................................. 242

1.2 Implementasi Perizinan Pertambangan Batubara dalam Kawasan Hutan di Kalimantan Timur ............................ 249 1.3 Implementasi Pengawasan dalam Pengelolaan

Pertambangan ............................................................. 271

2. Manfaat Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

2.1 Manfaat Ekonomi ............................................................... 277

2.1.1 Manfaat Ekonomi berdasarkan kriteria obyektif pertama Manfaat Dalam faham Utilitarianisme................................ 277

xiv

2.1.2 Manfaat Ekonomi berdasarkan kriteria obyektif kedua Manfaat terbesar faham Utilitarianisme............................... 301

2.1.3 Manfaat Ekonomi berdasarkan kriteria obyektif ketiga Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang dalam

faham Utilitarianisme.......................................................... 306

2.2 Manfaat Sosial Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

2.2.1 Manfaat Sosial berdasarkan kriteria obyektif pertama Manfaat dalam faham Utilitarianisme.................................. 312

2.2.2 Manfaat Sosial berdasarkan kriteria obyektif kedua Manfaat terbesar faham Utilitarianisme............................... 319

2.2.3 Manfaat Sosial berdasarkan kriteria obyektif ketiga Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang dalam

faham Utilitarianisme.......................................................... 321

2.3 Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

2.3.1 Manfaat Lingkungan berdasarkan kriteria obyektif pertama Manfaat dalam faham Utilitarianisme................................... 331

2.3.2 Manfaat Lingkungan berdasarkan kriteria obyektif kedua Manfaat terbesar faham Utilitarianisme............................... 336

2.3.3 Manfaat Lingkungan berdasarkan kriteria obyektif ketiga Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang dalam

faham Utilitarianisme........................................................... 338

3. Implementasi Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri di Kalimantan Timur.................................................................... 342

3.1 Gambaran Umum PT Indominco Mandiri .............................. 342

3.2 IPPKH PT Indominco Mandiri ............................................... 345

3.3 Manfaat Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri Di Kawasan Hutan................................................................. 349

3.3.1 Manfaat Ekonomi .................................................................. 349

xv

3.3.2 Manfaat Sosial ...................................................................... 355

3.3.3 Manfaat Lingkungan ............................................................. 361

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………….............. 390

B. Saran ……………………………………………….......................... 391

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 392

xvi

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

1. Kriteria Obyektif dalam Faham Utilitarianisme Jeremy Bentham ......................................................................

40

2. Kawasan Hutan yang menjadi Obyek Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan ..............

91

3. Luas Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan.............................................................

93

4. Peraturan Perundang-undangan Bidang Pertambangan Jaman Kolonial Belanda......................

127

5. Dinamika Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan...........................................................................

131

6. Peraturan perundang-undangan tentang Pertambangan di kawasan hutan pada periode Orde Baru (1966-1998) ........................................................

136

7. Perubahan terhadap Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 ................................................

162

8. Pembagian kewenangan dalam Mekanisme Pemberian IPPKH .......................................................

167

9. Peraturan perundang-undangan tentang Petambangan di Kawasan Hutan Periode 1999 –2016 ............................................................................

170

10. Tiga Belas Perusahaan yang Mendapatkan Izin Melakukan Penambangan Terbuka di Kawasan Hutan Lindung .............................................................

176

11. Regulasi Ditingkat Menteri tentang Pertambangan Di Kawasan Hutan pada PeriodeReformasi (1999 – 2016) ...........................................................................

194

12. Sanksi Pidana dalam UU 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba...............................................

215

13. Sanksi pidana Lingkungan 218

xvii

14. Dinamika Pengaturan Reklamasi Pasca Tambang

dalam Kawasan Hutan di Indonesia ...........................

229

15. Peraturan di Tingkat Menteri tentang Reklamasi Tambang Dalam Kawasan Hutan ..............................

234

16. Jumlah Regulasi Pertambangan di Kawasan Hutan....................................................

241

17. Luasan dan Peruntukan Kawasan di Kalimantan Timur ...........................................................................

243

18. Data Wilayah Administrasi Provinsi Kalimantan Timur ..........................................................................

244

19. Pola penataan ruang di Kalimantan Timur Per-Kabupaten/Kota ..........................................................

248

20. Rekapitulasi Izin Usaha Pertambangan Di Pulau Kalimantan...................................................................

252

21. Daftar Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur .................

266

22. Data Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk Pertambangan Per-Kabupaten di Kalimantan Timur ...........................................................................

270

23. Hasil Overlay Izin Usaha Pertambangan (IUP) Kontrak Karya (KK)dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Peta Kawasan Hutan dan Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan (IPPKH)................

271

24. Cadangan dan Produksi Batubara Dunia..................

279

25. Kewajiban Keuangan Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan Batubara........

284

26. Produksi dan Penjualan Batubara Kalimantan Timur ...........................................................................

290

27. Sepuluh Kabupaten terkaya di Indonesia ...................

291

28. Potensi Kerugian Negara dari Land rent Per-Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur ....................

295

xviii

29. Pertumbuhan dan Peranan Batubara terhadap Total

Ekonomi Kalimantan Timur.........................................

298

30. Pendapat Responden tentang Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan...............

300

31. Pendapat responden terhadap Keberlanjutan Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara ................

300

32. Pendapat responden terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di bandingkan dengan sektor usaha berbasis lahan yang lain.........................

303

33. Pendapat Responden terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara Bagi Para Pihak...................

307

34. Jumlah Penduduk Miskin Kalimantan Timur Menurut Kabupaten/Kota....................................................

310

35. Pendapat responden terhadap Manfaat Sosial Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor Usaha Berbasis Lahan yang Lain.....................

320

36. Pendapat Responden Terhadap Manfaat Penyerapan Tenaga Kerjadi Pertambangan Batubara......................................................................

322

37. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Usaha di Kalimantan Timur .................................................

323

38. Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja di Kalimantan Timur....................................................................

326

39. Pendapat Responden Terhadap Manfaat CSR (Community Sosial Responsibility) Perusahaan Pertambangan Batubara ........................

330

40. Jumlah IUP C&C dan Non C&C Per-Kabupaten/Kota serta Penempatan Jaminan Reklamasi dan Pasca Tambang......................................................................

335

41. Pendapat Responden terhadap Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor Usaha Berbasis Lahan yang Lain.....................

337

42. Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan............................................................

339

xix

43. Sumberdaya Batubara PT Indominco Mandiri

Di Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung Bontang .......................................................................

346

44. Luas Kawasan Hutan yang diterbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri .................................

347

45. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri .........

348

46. Total Produksi Batubara PT Indo Tambang MegahRaya .................................................................

349

47. Data Penjualan dan penghasilan PT Indominco Mandiri ........................................................................

350

48. KewajibanKeuangan PT Indo Tambang Megah Raya ............................................................................

351

49. Pendapat Masyarakat di wilayah Pertambangan PT Indominco Mandiri Terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan di bandingkan dengan Sektor Usaha Berbasis Lahan yang Lain.....................................................................

352

50. Pendapat Masyarakat di Wilayah PT Indominco terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara Bagi Para Pihak...........................................................

353

51. Pendapat Masyarakat di Wilayah Pertambangan Indominco Terhadap Manfaat Penyerapan Tenaga Kerja di Pertambangan Batubara dalam Kawasan Hutan ..........................................................................

359

52. Pendapat Masyarakat di Wilayah PT IndomincoTerhadap Manfaat CSR Perusahaan Pertambangan Batubara ....................................

360

53. Pendapat Masyarakat di Wilayah PT Indominco terhadap Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor Usaha Berbasis Lahan yang Lain...........................................

363

xx

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Rumus Kaidah Keseimbangan Pengelolaan Sumber Daya Alam ..................................................

41

2. Kerangka Pikir (Conseptual Framework)...................

68

3. Hubungan Hukum dalam Penguasaan Pertambangan di Indonesia.......................................

150

4. Putusan MK tentang Pertambangan Terbuka di Kawasan Hutan Lindung ...........................................

186

5. Manfaat ekonomi dalam bentuk kewajiban keuangan ..................................................................

292

6. Konsep Harmonisasi Pengelolaan Pertambangan Di Kawasan Hutan ...................................................

388

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

NO Judul

1 Peta Pertambangan di Provinsi Kalimantan Timur

2 Peta Pertambangan PT Indominco Mandiri

3 Foto Lubang Tambang Batubara

4 Foto dampak tambang batubara

5 Foto Sungai sebagai jalur angkut batubara

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Alam beserta isinya merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi seluruh makhlukNya. Allah

SWT sebagai pemilik seluruh alam, seluruh yang ada dilangit dan yang

ada di bumi, sebagaimana dinyatakan Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) :

255, tidak ada tuhan selain Dia, yang Maha hidup, yang terus menerus

mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa

yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat

memberi syafa’at di sisi-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki.

KekuasaanNya meliputi langit dan bumi. Dan dia tidak merasa berat

memelihara kedua-Nya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.1

Negara Republik Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai

Merauke, terdiri dari pulau-pulau yang memiliki kekayaan sumber daya

alam melimpah. Kekayaan alam meliputi berbagai kekayaan alam hutan

dan bahan galian tambang. Seluruh sumber daya alam Indonesia

merupakan karunia Tuhan YME. Sebagaimana dikatakan dalam QS. Taha

(20) : 6 : milik-Nya apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, apa yang

ada diantara keduanya, dan apa yang ada di bawah tanah.2

1 Syamsul Rijal Hamid. 2014. Buku Pintar Ayat-ayat Al-Quran. PT. Bhuana Ilmu

Populer. Jakarta. hal.29. 2Ibid

2

Eksploitasi tambang dianggap penting bagi penopang kehidupan

manusia modern. Salah satunya berkaitan dengan penyediaan energi.

Bagi peradaban modern energi dianggap sebagai salah satu kebutuhan

dasar manusia selain sandang, pangan, papan serta air.

Batubara merupakan salah satu bahan tambang yang saat ini

menjadi pilihan sumber energi setelah migas. “Coal is the predominant

source of energi used to produce electricity.”3“Over the past two decades,

Indonesia’s coal industry has transformed itself from beingan unknown,

minor player in Asia’s coal markets to the world’s largest exporter of steam

coal.”4

Sumber daya tambang merupakan sumber daya alam yang

diklasifikasikan sebagai sumber daya yang tak terbarukan (non

renewable), karena sifatnya ini maka tambang jika telah habis

dieksploitasi tidak akan ada lagi. Ciri industri pertambangan yang lain

adalah lokasi endapan bahan tambang yang berada di bawah permukaan

bumi menyebabkan eksploitasi tambang harus melakukan penggalian

jauh kedalam perut bumi untuk mendapatkan bahan tambang. Hal inilah

yang menyebabkan industri pertambangan selalu membawa dampak

mengubah bentang alam secara signifikan dan membawa dampak besar

bagi lingkungan.

3 Allan H, Lockwood. et.al. 2009. Coals Assault on Human Health. Physicians

For Social Responsibility. 1875. Connecticut Avenue, NW, Suite 1012. Washington DC 20009 - PMG Group Ltd. P. 5

4Bart Lucarelli. 2010. The History and Future of Indonesia’s Coal Industry :

Impact of Politics and Regulatory Framework on Industry Structure and Performance.Program on Energy an Sustainable Development. Stanford University. P.7

3

Sektor pertambangan dianggap sebagai sektor yang memberikan

kontribusi besar terhadap perekonomian negara, “minerals are mined

throught the world the London Mining Jo.urnal 1999 Annual Review

detailed 158 countries for whom mining is a significant contributor to the

national economy.”5Namun juga di temukan adanya dampak

pertambangan yang secara garis besar adalah “some potensial

environmental impacts of mining : environmental impacts, pollution

impacts and occupational health impacts.” 6

Sektor pertambangan mempunyai karakteristik sumber daya alam

yang non-renewable,“Coal is a non-renewable fossil fuel Formed from the

remains of plants that lived and died about 100 to 400 million years ago.

Depth, thickness, and configuration of minerals resource decide the

selection of mining technology (open cast or underground).”7

Industri pertambangan batubara merupakan industri yang “lapar”

lahan/tanah, karena untuk mengeruk batubara diperlukan ketersediaan

areal yang sangat luas.8

Bahan galian tambang umumnya tersimpan di perut bumi. Tahapan

kegiatan pertambangan untuk menemukan lokasi sumber daya tambang

melalui kegiatan eksplorasi dan dilanjutkan dengan eksploitasi untuk

5Industry and environment, A Publication of the United Nations Environment

Programme, Division of Tecnology, Industry and Economic. Mining and Sustainable Development II Challenges and Perspectives. Volume 23 Special Issue 2000, p.4

6Ibid. p. 7

7Druv Katoria et.al. Environment Impact Assessment of Coal Mining.

International Journal of Environmental Engineering and Management, Volume 4, Number 3 (2013). P.245

8 Haris Retno Susmiyati, Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas

Mulawarman, Desember 2005, Vol 1 No.2, halaman : 64

4

mengambil bahan galian tambang dari perut bumi, pengolahan dan

penjualan. Bahan galian tambang dianggap mempunyai nilai ekonomis

yang tinggi yang menjanjikan keuntungan bagi perusahaan dan

pendapatan bagi negara. Nilai ekonomis inilah yang mendorong

dilakukannya eksploitasi tambang secara besar-besaran, bahkan sampai

masuk ke kawasan hutan.

Hutan sebagai sektor sumber daya alam mempunyai ciri yang

bertolak belakang dengan sektor pertambangan. Sektor pertambangan

dalam produksinya harus mengubah bentang alam, sedangkan hutan

untuk dapat berfungsi sesuai keberadaannya menjaga keberlanjutan

ekosistem, perlu menjaga kawasannya untuk tetap alami.

Hutan di dunia merupakan sumber daya alam yang menyimpan

kekayaan keanekaragaman hayati yang memiliki nilai penting secara

ekonomi dan ekologi. Hutan di Indonesia juga merupakan sumber daya

alam yang bernilai strategis,“The tropical forest of Asia are among the

most biologically diverse in the world In Borneo, for example, one hectare

of forest an contain more tree species than all of North America.”9

Sektor kehutanan merupakan sumber daya alam yang memiliki

karakteristik jika dilakukan eksploitasi terhadapnya, maka pemulihan

fungsinya sulit dan sangat lama.10 Karakter tersebut menjadikan sumber

9The RAFT Program-Responsible Asia Forestry and Trade, tanpa tahun,

Promoting Sustainable Forest Management and Responsible timber trade in Asia. The Nature Concervancy. Bangkok-Thailand.

10 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Minerba, yang disiapkan

Pemerintah pada 12 Juni 2005. Dalam Ahmad Redi. 2014. Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehutanan. Sinar Grafika Jakarta. Halaman. 17-18

5

daya alam pertambangan dan kehutanan sebagai suatu kegiatan yang

pemanfaatan lahannya bersifat tidak permanen. Disamping itu, ciri khas

kegiatan sumber daya alam, khususnya pertambangan dalam kawasan

hutan antara lain pemindahan material batuan yang cukup besar,

memindahkan sisa bahan pengolahan cukup besar, mengubah bentang

alam, melibatkan peralatan besar, namun daya serap tenaga kerja yang

rendah. Konsekuensi yang tidak dapat dihindari pada saat terjadinya

suatu kegiatan pertambangan, yaitu kemungkinan timbulnya dampak

terhadap unsur-unsur sumber daya alam lainnya, terutama air, tanah,

biodiversitas.11

Proses penggalian atau eksploitasi tambang memiliki resiko

pengubahan topografi bentang alam, penggusuran lahan dan penebangan

pohon. Oleh karena itu usaha pertambangan adalah termasuk salah satu

kegiatan yang berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan berupa

kerusakan dan pencemaran lingkungan perairan, tanah dan udara.12

Masalah lingkungan yang dapat timbul akibat usaha pertambangan

beragam sifat dan bentuknya 13:

1. Usaha pertambangan dalam waktu yang relatif singkat dapat mengubah bentuk topografi dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya.

2. Usaha pertambangan dapat menimbulkan berbagai ancaman gangguan antara lain, pencemaran akibat debu dan asap

11

Ibid. 12

Abrar Saleng. 2013. Kapita Selekta Sumber Daya Alam. Membumi Publishing, Makasar. Halaman. 48

13Departemen Pertambangan dan Energi, 1995, 50 Tahun Pertambangan dan

Energi Dalam Pembangunan, Jakarta. Halaman. 236

6

yang mengotori udara dan air, limbah air, tailing serta buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun. Gangguan juga berupa suara bising dari berbagai alat berat, suara ledakan eksplosive (bahan peledak) dan gangguan lainnya.

3. Pertambangan yang dilakukan tidak sesuai kondisi geologi lapangan, dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuhan tambang dan gempa.

Dampak negatif pertambangan juga terjadi di pertambangan

batubara, “......the negative health impacts on communities near coal

mines or coal-fired power station, such evidence is available in other

countries and is summarised in a new independent report that cites 50

articles exploring the health and social harms of coal on community health

from 13 countries.”14

Sementara data sumber daya tambang Indonesia juga sangat besar.

Indonesia, menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menduduki

peringkat ke-6 sebagai negara produsen batubara dengan jumlah

produksi mencapai 246 juta ton dan peringkat ke-2 terbesar di dunia

sebagai eksportir sejumlah (203 juta ton). Sektor pertambangan emas,

menduduki peringkat ke-6 dalam produksi emas dunia sekitar 6,7% dan

dari segi cadangan emas Indonesia peringkat ke-7 atau 2,3% dan

peringkat ke-6 dalam produksi emas dunia atau setara 6,7%. Timah

peringkat ke-5 untuk cadangan timah atau sebesar 8,1% dan produksi

menduduki peringkat ke-2 atau setara 26% produksi timah dunia.

Tembaga Indonesia cadangannya merupakan peringkat ke-7 atau

14

Ruth Colaguiri and Emily Morrice, Coal industry thriving, but at what social and heath cost ?. The Conversation, 2 November 2011, http : //theconversation.com/coal-industri-thriving-but-at-what-social-and-health-cost-9266. Diakses : 30 Januari 2015.

7

sebesar 4,1% dan peringkat ke-2 setara 10,4% produksi tembaga dunia.

Cadangan tambang nikel Indonesia menduduki peringkat 8 setara 8%

cadangan nikel dunia serta menduduki peringkat 4 dunia atau sebanyak

8,6% produksi nikel dunia. Data ini menunjukkan alam Indonesia yang

kaya akan sumber daya tambang.15 Kondisi ini menempatkan Indonesia

sebagai negara excellent tectonic dan geologi, inilah yang membawa

Indonesia menjadi satu di antara produsen terbesar batubara, emas,

tembaga, nikel, dan timah.16

Data cadangan sumber daya mineral batubara yang dikeluarkan oleh

Departemen Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), Kalimantan

memiliki total sumber daya mineral batubara sebanyak 21.088 juta ton.

Cadangan terbesar terdapat di Kalimantan Timur sebesar 13.128 juta ton.

Sedangkan di Sumatera sumber daya mineral batubaranya sebanyak

17.764 juta ton. Sulawesi sebanyak 104 juta ton dan daerah-daerah lain

sebanyak 111 juta ton.17 Berdasarkan data tersebut, maka Kalimantan

merupakan pulau yang terbesar memiliki cadangan batubara di Indonesia.

Kondisi geologi yang demikian maka dapat diperkirakan kegiatan

pertambangan untuk mengeksploitasi bahan galian tambang yang

tersimpan di perut bumi akan berhadapan dengan status permukaan bumi

yang mayoritas merupakan kawasan hutan. Kondisi ini menyimpan

15

Indonesian Mining Association.2014. http:www.ima-api.com diakses 22 september 2015. Pk. 14.34 Wite

16Ibid

17Directorate of Mineral and Coal Enterprises, Direktorat General of Geology and

Mineral Resources, Ministry of Energy and Mineral Resources, 2003. Indonesia Mineral & Coal Statistics,(Jakarta:) hlm. 5.

8

persoalan tersendiri, karena hutan mempunyai fungsi ekologis yang

sangat penting bagi kehidupan di bumi.

Indonesia memiliki hutan tropis terbesar di dunia, yang keluasan

hutannya menempati urutan ke tiga setelah Brazil dan Republik

Demokrasi Kongo. Berdasarkan data kementerian kehutanan, luas hutan

Indonesia 127.030.031 hektar atau mencakup 67% luas daratan

Indonesia.18

Indonesia memiliki hutan dengan luas dan keragaman hayati tropis di

antara yang terbesar di dunia, dan sumber daya tersebut. sangat penting

sebagai mata pencarian bagi 50-70 juta orang. Namun laju deforestasinya

juga termasuk yang tertinggi di dunia.19

Kondisi tersebut menempatkan Indonesia pada posisi penting dalam

peta keanekaragaman hayati dunia dan dikenal sebagai salah satu

megadiversity country dengan peringkat kekayaan keanekaragaman

hayati nomor dua di dunia setelah Brazil.20

Sumber daya alam Indonesia pada sektor kehutanan juga

menempatkan Indonesia pada posisi penting. Indonesia berada pada

18

Direktur Penggunaan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2013. Current Development of Mining Management and Its Impact on Forest Sector in Indonesia.Makalah Disampaikan dalam International Conference “Reconciling Forestry and Mining Management: Some Current Environmental Concerns in Asia”. Universitas Hasanuddin Makassar, 10 – 12 Desember 2013

19The Asia Foundation Policy Paper, 2012. Tata Kelola Lingkungan, Program

Asia Foundation untuk tata kelola lingkungan hidup di Indonesia, Jakarta. Halaman : 1 20

Jatna Supriatna dalam Fachruddin M. Mangunjaya, 2005. Konservasi Alam dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, halaman : xxi

9

urutan ke-8 dari 10 negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia.21

Kekayaan alam hutan menempatkan Indonesia sebagai negara yang kaya

akan keragaman jenis, baik tumbuhan maupun hewan. Jenis pohon saja

dapat ditemukan sebanyak 25.000 jenis, belum liana, perdu dan herba,

jenis penutup tanah ataupun yang bermanfaat untuk pengobatan, selain

itu terdapat 900 jenis burung yang sebagian besar yaitu 550 jenis dapat

ditemukan di pulau Kalimantan, selain mamalia, reptil dan ampibia serta

ribuan jenis serangga turut memperkaya keragaman jenis daerah tropis,

serta 300 jenis ikan terdapat pada sungai-sungai dan danau-danaunya.22

Indonesia termasuk lima besar negara yang tutupan hutannya berkurang

paling cepat dengan tingkat deforestasi selama 2000-2005 mencapai 1,87

juta Ha/tahun dan 2006 – 2009 mencapai 1,5 juta Ha/tahun.23 Tahun

2011-2012 menjadi 0,61 juta Ha/tahun.24

Deforestasi merupakan persoalan yang tidak dapat diabaikan

mengingat dampaknya bagi perubahan iklim gobal, “Deforestation and

forest degradation are the largest anthropogenic sources of CO2

emissions into the atmosphere.”25

21

Global Forest Resources Assesment : Progress towards sustainable Forest Management, Food an Agriculture Organizational of The United Nations, 2010. Dalam Mouna Wasef dan Firdaus Ilyas. 2011. Merampok Hutan dan Uang Negara. Indonesia Corruption Watch. Jakarta. halaman. 10

22 Chandra Broer, 2011. Bagaimana Hutan Tropis Bisa Rusak?. Makindo

Grafika, Yogjakarta, halaman : 56 23

Mouna Wasef dan Firdaus Ilyas. Ibid. 24

Rencana Kerja Kementerian Kehutanan Tahun 2015, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 11 Juli 2014. Halaman. 3

25Giulio Di Lallo, Philip Mundhenk,REDD+: Quick Assessment of Deforestation

RiskBased on Available Data. Forests Journal, 2017, 8, 29; doi:10.3390/f8010029,www.mdpi.com/journal/forests, p.1

10

Kegiatan eksploitasi sumber daya alam pada dasarnya adalah upaya

pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, namun disadari pula

kegiatan pemanfaatan ini seringkali memunculkan dampak lingkungan.

Pada tahun 1992 pada pertemuan di Rio de Jeneiro Earth Summit

dikeluarkannya Rio Declaration on Environment and Development

diperkenalkan suatu paradigma baru dalam proses pembangunan, yaitu

sustainable development (pembangunan berkelanjutan) yang

mengedepankan keseimbangan 3 (tiga) pilar pembangunan, yaitu

ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.26 Hal ini sejalan dengan

pandangan Lester Brown tentang konsep sustainable yaitu bagaimana

pembangunan memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus

menurunkan kesempatan generasi masa depan.27

Pengaturan sumber daya alam di Indonesia, termasuk didalamnya

sektor pertambangan dan kehutanan secara yuridis berdasarkan pada

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Jadi penguasaan negara diletakkan

sebagai dasar pencapaian tujuan kemakmuran rakyat.

Penguasaan negara atas sumber daya alam inilah yang menjadi

dasar kewenangan negara untuk menentukan peruntukkan sumber daya

alam. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor

5 Tahun 1960 (UUPA) yang mengatur atas dasar ketentuan dalam Pasal

26

Gusti Muhammad Hatta dalam Surna Tjahja Djajadiningrat. 2014 Green Economy- Ekonomi Hijau. Rekayasa Sains. Bandung. Halaman.III-IV

27Ibid. Halaman. 93

11

33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang

dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi

dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Pasal 2 ayat (2) UUPA Hak menguasai dari Negara termaksud

dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Tujuan penguasaan negara ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (3)

UUPA, bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari

negara tersebut pada ayat (2), pasal ini digunakan untuk mencapai

sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,

kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum

Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

Secara khusus pertambangan diatur melalui Undang-undang Nomor

11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, dan

selanjutnya 42 tahun kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 4

Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4. Selama kurun waktu

12

berlakunya ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1967, sektor pertambangan

dianggap telah memberikan kontribusi bagi pembangunan Indonesia,

namun harus diakui bahwa tidak sedikit persoalan-persoalan yang

ditimbulkan dan merugikan masyarakat akibat beroperasinya perusahaan

pertambangan. Konflik-konflik sosial dengan masyarakat sekitar tambang

terjadi hampir di seluruh wilayah, diantaranya sengketa pertanahan,

persoalan dampak lingkungan, tergusurnya masyarakat sekitar tambang,

kemiskinan masyarakat dan lain-lain.28

Sumber daya hutan dikelola melalui ketentuan Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1967 (LNRI-1967-8, TLN-2823) Tentang Kehutanan.

Selanjutnya diganti dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 (LNRI-

1999-167, TLNRI-3587) Tentang Kehutanan.

Hutan berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999 adalah

“suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya

alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.”

Hutan merupakan kekayaan alam yang mempunyai nilai sangat

tinggi bagi kehidupan manusia, bagi pembentuk Undang-undang

kesadaran ini dicantumkan dalam Penjelasan Umum UU Nomor 41 Tahun

1999, Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam

28

Haris Retno Susmiyati, 2007. Analisis Teori Hukum Terhadap Tujuan Hukum Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Juni 2007, Vol. 3 No.2, Halaman : 122.

13

yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya,

dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan

dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai

perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Peran hutan dalam pembangunan Indonesia berdasarkan

Penjelasan UU nomor 41 Tahun 1999 adalah sebagai modal

pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan

penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya

maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus

diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara

berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik

generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya

sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah

memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu

harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai

penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya

dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap

mengutamakan kepentingan nasional.

Kewenangan yang dimiliki negara untuk menguasai sumber daya

alam di Indonesia menjadi dasar legalitas negara untuk menentukan

peruntukan suatu wilayah sebagai kawasan hutan atau kawasan

eksploitasi tambang. Secara alamiah lokasi kawasan hutan didalamnya

juga terkandung kekayaan alam berupa bahan galian tambang.

14

Sebagaimana kita ketahui hutan sangat penting posisinya sebagai paru-

paru dunia, artinya yang terdepan adalah fungsi ekologi. Sedangkan

tambang secara nyata merupakan industri yang dikenal sebagai industri

ekstraktif yang dalam operasinya akan mengubah bentang alam.

Sehingga ketika kawasan hutan digunakan sebagai kawasan

pertambangan maka fisik wilayah sebagai hutan akan tidak ada

lagi,disinilah peran penting negara dalam mengelola ruang wilayah hidup

masyarakat.

Pengaturan ruang wilayah Indonesia terdapat dalam Undang-undang

Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang, Berdasarkan ketentuan

Pasal 1 (4) “Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.”

Pasal 24 (1) “Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh

pemerintah.”Ketentuan penataan ruang selanjutnya diubah melalui

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Pasal

1 (5) Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata

ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Kawasan dalam ketentuan Pasal 1 (20) adalah wilayah yang memiliki

fungsi utama lindung atau budidaya.

Persoalan yang terjadi adalah secara sepihak negara dalam hal ini

pemerintah pusat melakukan klaim terhadap mayoritas wilayah Indonesia

menjadi kawasan hutan. Klaim ini dilakukan negara melalui political forest.

Pada jaman Belanda politik “Domein Verklaring” menjadi alat bagi

15

Pemerintah Belanda untuk mengklaim tanah-tanah di Hindia Belanda

sebagai tanah negara termasuk tanah hutan. Klaim negara berlanjut

setelah Indonesia merdeka melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967

Tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan. Kedua ketentuan bidang kehutanan melahirkan kewenangan

negara yang sangat besar untuk menetapkan suatu areal sebagai

kawasan hutan. Negara menetapkan 69% sebagai kawasan hutan

sebagian besar hanya melalui penunjukan. Meskipun ketentuan Pasal 15

UU 41 Tahun 1999 menyatakan pengukuhan kawasan hutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses

penunjukan kawasan hutan; penataan batas kawasan hutan; pemetaan

kawasanhutan danpenetapan kawasan hutan.

Meskipun menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-

IX/2011 ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 telah

diubah sehingga dalam menentukan suatu areal menjadi kawasan hutan

harus melalui penetapan dan bukan sekedar penunjukan sebagaimana

ketentuan sebelumnya, namun Keputusan mahkamah konstitusi ini tidak

mengubah klausul Pasal 81 ketentuan peralihan yang menyatakan bahwa

“Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya

undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang

ini.”

16

Kewenangan negara dalam penentuan suatu areal menjadi kawasan

hutan, telah melupakan fakta bahwa terdapat masyarakat baik di dalam

maupun disekitar areal yang telah menempati kawasan sebelum ada

penetapan negara. Penentuan kawasan hutan tanpa melibatkan

masyarakat.

Selain itu penunjukan kawasan hutan di Indonesia yang sangat luas

sementara data geologis memperlihatkan potensi sumber daya alam

sektor tambang yang sangat besar menyebabkan terdapat tumpang tindih

peruntukkan. Aktivitas pertambangan dapat dipastikan akan merambah

kawasan hutan. Hal ini dijawab oleh pemerintah melalui ketentuan Pasal

38 UU 41 Tahun 1999 yang mengatur :

(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Batasan dalam Pasal 38 UU 41 Tahun 1999 bahwa hanya boleh

penambangan tertutup di kawasan hutan lindung, menimbulkan keberatan

dari pengusaha pertambangan yang pada masa orde baru sebelum

17

lahirnya UU 41 Tahun 1999 sudah mendapatkan ijin penambangan secara

terbuka di kawasan hutan lindung. Hal ini yang mendorong dikeluarkannya

UU 19 Tahun 2004 yang memperbolehkan 13 (tiga belas) perusahaan

pertambangan melakukan penambangan secara terbuka.

Regulasi penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan melalui

UU Nomor 41 Tahun 1999 mensyaratkan pelaku usaha memiliki izin

pinjam pakai kawasan hutan. Ketentuan ini mengandung permasalahan

hukum, karena konstruksi izin merupakan ranah hukum administrasi

negara dan istilah pinjam pakai berada pada ranah hukum perdata yang

mempunyai konsekuensi hukum berbeda.

Pengaturan pertambangan di kawasan hutan dilegalisasi melalui

mekanisme Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), secara konstruksi

hukum terdapat persoalan karena terjadi penggabungan antara izin dan

perjanjian pinjam pakai. Konstruksi hukum izin dan perjanjian pinjam pakai

mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Izin merupakan produk

administrasi negara yang menempatkan posisi pemegang izin dibawah

pengawasan pemberi izin, sedangkan pinjam pakai yang merupakan

konstruksi hukum perdata menempatkan para pihak setara/sejajar. Hal ini

akan menjadi titik lemah dalam proses pengawasan.

Pengertian pinjam pakai dalam Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (KUH-Perdata) Pasal 1740 adalah suatu perjanjian dalam mana

pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-

cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima

18

barang itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan,

akan mengembalikan barang itu.

Berdasarkan ketentuan KUH-Perdata, pinjam meminjam artinya

barang yang dipinjam akan kembali dalam keadaan sama seperti saat

meminjam, tentu hal ini berbeda dengan kawasan hutan yang dipinjam

untuk pertambangan pengembaliannya tidak dalam kondisi yang sama.

Pengaturan tambang di kawasan hutan melalui Ketentuan Pasal 38

UU 41 tahun 1999 jo. UU 19 Tahun 2004, menyebabkan secara formal

Indonesia memiliki kawasan hutan mencapai 69% dari seluruh wilayahnya

namun dalam kenyataannya sebagian besar telah diperuntukkan

penggunaan lain yang menyebabkan kawasan tersebut tidak lagi

memenuhi definisi hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU

tersebut.

Kegiatan pertambangan di wilayah kehutanan secara legal difasilitasi

melalui ketentuan pinjam pakai kawasan hutan yang diatur dalam Pasal

38 UU Nomor 41 Tahun 1999 yang diubah oleh UU Nomor 19 Tahun 2004

Tentang Kehutanan.

Peraturan ditingkat menteri berkaitan tambang di kawasan hutan

sangatlah dinamis, sejak tahun 1976–2016. Ketentuan ditingkat menteri

diantaranya Peraturan Menteri Kehutanan (PERMENHUT)

P.14/Menhut/II/2006 Tanggal 10 Maret 2006 Tentang Pedoman Pinjam

Pakai Kawasan Hutan Jo. P.64/Menhut/2006 Tanggal 17 Oktober 2006

tentang perubahan P.14/Menhut/II/2006, yaitu; Pasal 2, Pasal 8 ayat 3,

19

Pasal 13 ayat 2 dan Pasal 18 ayat 1 hingga ketentuan Peraturan Menteri

Kehutanan P.18/Menhut-II/2014.

Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam banyak di warnai oleh

paradigma yang menilai sumber daya alam sebagai sumber pendapatan

ketimbang modal. Paradigma tersebut, telah berakar jauh sebelum

terjadinya revolusi industri sebagai manifestasi hasrat manusia untuk

menguasai alam, yang seharusnya saling membutuhkan untuk menuju

kepada keseimbangan kualitas hidup yang lebih tinggi.29 Implikasi dari

pandangan dunia (world view) yang demikian secara sadar atau tidak

telah membentuk mode of production seluruh aktivitas ekonomi, termasuk

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam pertambangan dan

kehutanan.30

Pembangunan nasional tidak hanya berkaitan dengan pembangunan

nilai finansial saja, tetapi juga berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai

ekonomis, sosial dan budaya secara lokal, regional, nasional dan

internasional.31

Persoalan besar di bidang sumber daya alam adalah pemanfaatan

dan pengelolaan. Indonesia menghadapi bahaya besar sebagai akibat

deforestasi maupun pemanfaatan sumber daya tambang secara

berlebihan yang hanya akan memberikan manfaat ekonomi jangka

29

Arifin Sallatang et al. dalam Abrar Saleng. Op.cit. hal. 2 30

Ibid. 31

Herman Chaeruman dalam Abdullah Marlang dan Rina Maryana, 2015. Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta, halaman : 82

20

pendek. Ancaman kerusakan ekosistem akan menimbulkan kerugian yang

sangat serius, baik kerugian ekologis itu sendiri, kerugian sosial, maupun

kerugian ekonomi finansial.32

Sekjen Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengatakan luas

kawasan hutan yang digunakan untuk kawasan tambang hingga saat ini

seluas 680.000 ha. Izin pinjam pakai kawasan hutan selama 20 tahun.

Hingga saat ini Kemenhut telah mengeluarkan 117 izin kegiatan

pertambangan di kawasan hutan, izin prinsip sebanyak 257 perusahaan

dengan luas 160.000 ha. Izin yang sudah dipegang 54.512 ha berupa izin

pinjam pakai kawasan hutan.33

Namun pengelolaan sumber daya alam Indonesia menunjukkan

betapa kekayaan alam yang melimpah itu tidak serta merta dapat

menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun

pendiri negara meletakkan prinsip penguasaan negara atas sumber daya

alam untuk diabdikan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sebagaimana amanah Pasal 33 ayat (3) UUUD 1945.

Kemiskinan, degradasi sumber daya alam Indonesia telah

menyebabkan terjadinya berbagai bencana alam serta peningkatan

kemiskinan. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh pelaksanaan

kebijakan yang berorientasi jangka pendek, usaha pemanfaatan SDA

yang bersifat ekstraktif.34

32

Muammil Sun’an dan Abdurrahman Senuk, 2015. Ekonomi Pembangunan Daerah, Mitra Wacana Media, Jakarta, halaman : 111-112

33 www.bisnis.com: Kamis, 10 November 2011.

34Lembaga ecolabel indonesia. 2004. Dalam www.lei.or.id

21

Daerah-daerah yang mempunyai potensi tambang masih juga harus

bergulat dengan kemiskinan warganya, keterbatasan sarana prasarana

dan penyediaan kebutuhan dasar hidup, sandang, pangan, papan, energi

dan akses air bersih. Potret persoalan di daerah, menjadi pertanyaan

bagaimana sebenarnya Indonesia yang ditempatkan sebagai negara

dengan kondisi excellent tectonic dan geologi, kaya sumberdaya alam

mengelola kekayaan alam sesuai amanat konstitusi.

Pengelolaan sumber daya alam yang tidak memberi manfaat

langsung kepada masyarakat lokal/daerah menjadi pemicu utama konflik

baik horizontal maupun vertikal.35

Pengelolaan sumber daya alam termasuk sumber daya tambang

harus diletakkan berdasarkan prinsip keadilan dan kemanfaatan.

Sebagaimana menelaah masalah hukum tidak dapat dilepaskan tujuan

hukum untuk keadilan, kemanfaatan dan kepastian.

Aliran Utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan dari

hukum. Kemanfaatan ini diartikan sebagai kebahagiaan (happinnes). Jadi

baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah

hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.36

Perbedaan pemenuhan rasa kesenangan akan kemanfaatan

kegiatan pertambangan di kawasan hutan inilah yang seringkali

menimbulkan persoalan di daerah-daerah kaya sumber daya alam.

35

Abrar Saleng, 2013. Op.Cit. Halaman : 5 36

Darji Darmodihardjo dan Shidarta, dalam Sukarno Aburaera.et.al.2014. Filsafat Hukum Teori dan Praktik. Prenada Media Grup. Jakarta. hal.111

22

Aspek manfaat yang penting untuk ditelaah mencakup manfaat bagi

stakeholder (pemangku kepentingan) berkaitan pertambangan di kawasan

hutan yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha

pertambangan, masyarakat yang berada di dalam atau berbatasan

dengan lokasi tambang, serta generasi yang akan datang.

Berkaitan keberadaan kawasan hutan yang penting bagi kelesatarian

alam, pertambangan di kawasan hutan telah berakibat perubahan bentang

alam kawasan hutan lindug yang berdampak turunnya fungsi lingkungan

dan akan menyebabkan hilangnya kawasan hutan.

Sehingga menjadi perlu melakukan kajian konstruksi hukum

pengaturan pengelolaan pertambangan di kawasan Hutan dan manfaat

dari pengelolaan pertambangan di kawasan hutan.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dirumuskan

permasalahan :

1. Bagaimana konstruksi hukum pengelolaan pertambangan

batubara di kawasan hutan dalam perspektif hukum sumber

daya alam?

2. Bagaimana manfaat pelaksanaan pertambangan batubara di

kawasan hutan dalam perspektif hukum sumber daya alam?

3. Bagaimana harmonisasi pengelolaan pertambangan batubara

di kawasan hutan dalam perspektif hukum sumber daya alam?

23

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

1. TUJUAN PENELITIAN

a. Mengetahui konstruksi hukum pengaturan pengelolaan

pertambangan batubara di kawasan Hutan dalam perspektif

hukum sumber daya alam.

b. Mengetahui manfaat pelaksanaan pertambangan batubara di

kawasan hutan.

c. Mengetahui harmonisasi pengelolaan pertambangan batubara di

kawasan hutan dalam perspektif hukum sumber daya alam

2. KEGUNAAN PENELITIAN

a. Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini memberi kontribusi

pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya yang

berkaitan konstruksi hukum dan kemanfaatan pengelolaan

pertambangan di kawasan Hutan dalam perspektif hukum sumber

daya alam;

b. Secara praktis, diharapkan hasil penelitian bermanfaat bagi

pengambil kebijakan untuk merumuskan konstruksi hukum

pengaturan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan;

D. ORISINALITAS PENELITIAN

Berdasarkan penelusuran penulis, baik dari perpustakaan maupun

media informasi lainnya bahwa penelitian yang berjudul “Nilai Manfaat

24

Pertambangan Batubara Di Kawasan Hutan Dalam Perspektif Hukum

Sumber Daya Alam”, tidak memiliki kesamaan secara substantif dan

esensinya, karena dalam penelitian dan penulisan sebelumnya memiliki

sudut pandang dan kajian yang berbeda yaitu :

1. Disertasi Heriamariaty, dengan judul “Politik Hukum Pengaturan izin

Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Pada Kawasan Hutan

Lindung Berbasis Prinsip Keberlanjutan”. Program Studi Doktor Ilmu

Hukum Universitas Brawijaya, Malang 2008.37 Penelitian ini substansi

topiknya adalah mengkaji politik hukum pengaturan izin pengelolaan

pertambangan di kawasan hutan lindung dengan metode penelitian

normatif dan kesimpulan penelitian selain izin pinjam pakai diperlukan

adanya izin lingkungan untuk mendapatkan izin usaha. Perbedaan

dengan penelitian penulis adalah substansi kajian dalam Disertasi

Heriamariaty yang tidak mengkaji problem hukum dalam regulasi yang

berbentuk izin pinjam pakai serta tidak mengkaji implementasinya.

2. Subadi dengan hasil penelitian disertasi “Penguasaan dan

Penggunaan Tanah Kawasan Hutan (Menuju Pendayagunaan

Berwawasan Lingkungan, berkelanjutan dan berpihak kepada

kemakmuran Rakyat dalam Perspektif Otonomi Daerah).” Substansi

penelitian ini dititik beratkan pada analisis nilai-nilai manfaat

penggunaan kawasan hutan jati di Jawa dalam perspektif otonomi

daerah. Perbedaan Disertasi Subadi dengan penelitian penulis adalah

37

Heriamariaty, 2008. Politik Hukum Pengaturan izin Usaha Pertambangan

Mineral dan Batubara Pada Kawasan Hutan Lindung Berbasis Prinsip Keberlanjutan. Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

25

substansi penelitian pada penggunaan kawasan hutan yang tidak

mengubah bentang alam, karena pemanfaatannya sebagai lahan

pertanian masyarakat. Kesimpulan dalam disertasi ini adalah

kejelasan status kawasan hutan dan kejelasan pola kemitraan

pengelolaan hutan dengan masyarakat.

3. Disertasi Marilang, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas

Hasanudin dengan judul “Nilai Keadilan Sosial dalam Pertambangan

(The Value of Social Justice In Mining).” Penelitian ini merupakan

penelitian empiris pada pengelolaan Pertambangan Nikel PT Inco di

wilayah Sulawesi Selatan. Penelitian disertasi ini menitik beratkan

kepada pengkajian 1) nilai-nilai keadilan sosial dalam substansi

hukum yang mengatur tentang pertambangan; 2) kriteria yang

digunakan perusahaan dalam pengelolaan dan mengusahakan

pertambanagn sehingga mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial 3)

menjelaskan tolok ukur yang digunakan dalam mendistribusikan

pengelolaan dan hasil pertambangan. Temuan dalam penelitian 1)

nilai-nilai keadilan yaitu pemerataan, keseimbangan (proporsi) dan

tanggung jawab tidak terakomodasi secara eksplisit dan komprehensif

dalam substansi hukum yang mengatur pertambangan; 2)

Pengelolaan pertambangan belum mencerminkan nilai-nilai keadilan

sosial yakni tanggung jawab terhadap lingkungan, sosial dan generasi

yang akan datang 2) belum dilaksanakannya tolok ukur dalam upaya

26

mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial yaitu pemerataan,

keseimbangan (proposional), rasionalitas (terukur).

4. Disertasi Syamsu Alam, dengan judul Nilai Manfaat dan Pola Konversi

Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan

(Benefit Value And Conversion Pattern Of Candlenut Community

Forest In Maros Regency, South Sulawesi Province). Penelitian ini

bertujuan mendapatkan gambaran pola konversi hutan kemiri rakyat

berdasarkan nilai manfaatnya, menjelaskan faktor yang

mempengaruhi konversi dan merumuskan konsep hutan kemiri rakyat

lestari melalui pengintegrasian pengelolaan kawasan hutan dengan

usaha ke-hutanan rakyat dan sektor pedesaan lainnya, di Kabupaten

Maros Provinsi Sulawesi Selatan.38

38

Syamsu Alam, 2007. Nilai Manfaat dan Pola Konversi Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan (Benefit Value And Conversion Pattern Of Candlenut Community Forest In Maros Regency, South Sulawesi Province). Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanudin, Makasar. Hal. 230 - 232

27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori dan Konsep

1. Teori Manfaat Hukum berdasarkan Aliran Utilitarianisme

a. Hakikat Hukum

Kata hukum menurut Hans Wehr39 kata hukum berasal dari bahasa

Arab, asal katanya “Hukm”, kata jama’nya “Ahkam” yang berarti putusan

(judgement, verdice, decision), ketetapan (provision), perintah (command),

pemerintahan (government) dan kekuasaan (authority, power).

Hukum menurut Islam, merupakan bagian dari syariat, karenanya

syariat itu lebih dari sekedar hukum dalam arti modern. Menurut ulama

fiqh, hukum adalah : “Firman Allah atau sabda Nabi SAW yang

mengandung tuntutan (perintah, larangan pembolehan) atas perbuatan

orang mukallaf atau yang menjadikan satu hak tertentu sebagai sebab

atau syarat atau penghalang dari tuntutan tersebut.40

Sedangkan istilah hukum dalam bahasa Inggris yaitu Law,

sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah recht. Donald

39

Hans Wehr dalam Abdul Manan, 2013. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. hal.1

40Topo Santoso dalam Agus Santoso, 2014. Hukum Moral dan Keadilan (Sebuah

Kajian Filsafat Hukum). Penerbit Prenada Media Grup. Jakarta.

28

Black memberikan definisi hukum sebagai berikut, hukum adalah “kontrol

sosial dari pemerintah”41

Menurut Vinogradoff hukum adalah seperangkat aturan yang

diadakan dan dilaksanakan oleh suatu masyarakat dengan menghormati

kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan atas setiap manusia dan barang.42

Sedangkan Bellefroid mengemukakan bahwa hukum adalah segala aturan

yang berlaku dalam masyarakat, mengatur tata tertib masyarakat dan

didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu.43 Menurut

Oxford English Dictionary disebutkan bahwa hukum itu adalah kumpulan

aturan, peraturan perundang-undangan atau hukum kebiasaan di dalam

suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang

mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya. (Law is the body of

rules, whether formally erected or custumory, which a state of community

recognises as binding on its members of subjects).

Hukum menurut Utrechts adalah himpunan peraturan-peraturan

(perintah-perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu

masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat.44

Hukum dari segi terbentuknya, dapat berupa hukum tertulis, (statute

law, writher law) yakni hukum yang dibuat oleh instansi atau lembaga

yang berwenang dalam sebuah negara dan dalam aplikasinya sering

41

Lawrence M.Friedman, 2009. Sistem Hukum-perpektif ilmu sosial-The Legal System-A Social Science Perspective, Nusamedia, Jakarta.

42Achmad Ali. 2008, Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua), PT Galia Indonesia,

Jakarta. Halaman: 34 43

Ibid. 44

CST. Kansil. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Halaman 9.

29

disebut dengan peraturan perundang-undangan. Serta hukum yang tidak

tertulis (unstatute law, unwritten law) yakni hukum yang hidup dalam

masyarakat, tidak tertulis tetapi berlakunya ditaati dan dipatuhi oleh

masyarakat sebagaimana hukum yang tertulis.45

Hukum terdiri atas perintah-perintah, aturan-aturan, kaidah-kaidah.

Kaidah-kaidah itu menghendaki penerapan, terarah pada perwujudan,

hukum itu direalisasi dalam kehidupan kemasyarakatan. Berdasarkan

hukum, perbuatan-perbuatan adalah dibolehkan atau dilarang. Perbuatan-

perbuatan tidak dapat dibolehkan dan dilarang, akibat hukum harus terjadi

atau tidak terjadi. Mereka tidak dapat pada saat yang sama terjadi dan

tidak terjadi. Hukum menuntut kepatuhan, kita hanya mematuhi sesuatu

yang tidak menyandang pertentangan dalam dirinya sendiri. Kaidah-

kaidah pokok logika Aristotelian menguasai tidak hanya ilmu hukum,

melainkan juga hukum, dari sini muncul bahwa hukum harus mewujudkan

satu kesatuan, membentuk sebuah sistem.46

Hukum terdiri dari norma-norma, merupakan suatu agregasi atau

sistem dari norma-norma. Perkataan norm berasal dari bahasa latin

norma, dan menunjukkan suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Akan

tetapi hak memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah

norma, namun juga memberikan kewenangan (authorising), mengizinkan

45

Abdul Manan. Op.cit. hal.2-3 46

Paul Scholten. 2011. De Structuur Der Rechtswetwnschap - Struktur Ilmu Hukum. PT. Alumni Bandung. Hal. 28-29

30

dan penderogasian adalah juga fungsi-fungsi dari norma-norma.47

Penderogasian adalah fungsi khusus (spesifik) dari sebuah norma, norma

yang menderogasi yakni norma yang fungsinya terdiri dari penghapusan

keabsahan dari norma yang lain.48

Hukum pada hakikatnya merupakan norma, dan tiap-tiap norma pasti

mengandung nilai, maka sekilas segera terjawab bahwa isi hukum adalah

nilai. Nilai yang dimaksud disini tidak lain sebenarnya merupakan moral

atau dalam lingkup yang lebih luas, moralitas. Norma hukum berisikan

nilai-nilai, yaitu moralitas individu atau sekelompok masyarakat dalam dua

hal tersebut. Norma hukum dapat digunakan untuk mengevaluasi sikap

dan perilaku yang pernah dibuat, atau untuk mengukur sikap dan perilaku

tertentu yang akan dilakukan.49

Hans Kelsen mempunyai pandangan yang memisahkan antara

hukum yang harus (sollen) dengan hukum yang ada (sein). Hans Kelsen

sebagai tokoh yang penting dalam aliran hukum murni ini karena dilandasi

oleh pengalaman pribadinya ketika menyaksikan bagaimana Hitler

menjalankan politik hukum dengan memanfaatkan hukum demi politik,

kekuasaan dan bukannya untuk menegakkan keadilan. Dalam ajaran

hukum murni, Hans Kelsen berusaha membersihkan hukum dari anasir-

anasir politik dan kekuasaan. Oleh karena itu Hans Kelsen ingin

mengembalikan kompleks hukum kepada suatu kaidah dasar yang

47

Hans Kelsen.2011. Essays In Legal and Moral Philosophy – Hukum dan Logika. PT. Alumni Bandung. Halaman :1-2

48Ibid. Halaman : 41

49Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berfikir.

Refika Aditama. Bandung. Halaman : 76 - 77

31

disebut Grundnorm dan di atas Grundnorm itulah dibangun Stuffenbau

struktur hukum dan peraturan-peraturan untuk melaksanakan gagasan

keadilan yang dikandung oleh Grundnorm.50 Ajaran tentang

Stuffenbautheory menurut Hans Kelsen, peraturan hukum keseluruhannya

diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, kemudian

semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas

adalah abstrak dan makin kebawah semakin konkret. Dalam proses itu,

apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi

sesuatu yang “dapat” dilakukan.51

Sistem hukum merupakan urutan hierarkis berbagai strata norma-

norma hukum. Kesatuannya bergantung pada hubungan yang muncul

ketika penciptaan norma-norma, dan keabsahannya, dirunut kembali ke

norma-norma yang lain yang penciptaannya ditetapkan oleh norma-norma

yang lain.52

Fungsi hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis,

pertama: sebagai standard of conduct yakni sandaran atau ukuran tingkah

laku yang harus ditaati oleh setiap orang dalam bertindak dalam

melakukan satu dengan yang lain, kedua: sebagai a tool of social

engineering, yakni sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat

ke arah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun dalam hidup

50

Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT Gunung Agung, Jakarta. Halaman : 273.

51Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua), PT Galia Indonesia,

Jakarta. Halaman: 208 52

Hans Kelsen. 2009. Pengantar Teori Hukum. (terjemahan dari Indtroduction to the problems of Legal Theory- clarendon Press Oxford). Penerbit Nusa Media. Bandung. Halaman : 105

32

masyarakat. Ketiga: as a tool of social control, yakni sebagai alat untuk

mengontrol tingkah laku dan perbuatan manusia agar mereka tidak

melakukan perbuatan yang melawan hukum, agama, dan susila.

Keempat: sebagai as a facility on of human interaction yakni hukum

berfungsi tidak hanya untuk menciptakan ketertiban, tetapi juga

menciptakan perubahan masyarakat dengan cara memperlancar proses

interaksi sosial dan diharapkan menjadi pendorong untuk menimbulkan

perubahan dalam kehidupan masyarakat.53

Hukum secara lazim dalam tatanan sosial menurut Hans Kelsen

memiliki ciri-ciri yaitu, pertama semua tatanan dalam hukum itu

merupakan tata perilaku manusia. Kedua, bahwa semua tatanan itu

merupakan tatanan pemaksa.54

Jan Gijssels dan Mark van Hoeke menyajikan/menganalisis

pengertian tentang hukum dari dua perspektif. Kedua perspektif, meliputi :

perspektif formal, yaitu gagasan hukum atau pembatasan dari hukum

terhadap bahan-bahan terberi kemasyarakatan lain, seperti kultur, politik,

kekuasaan, otoritas, negara, ideologi, dengan ini orang masih dapat

mempunyai sudut pendekatan yang berbeda tergantung pada apakah

orang memandang hukum sebagai keseluruhan dari aturan-aturan hukum

dan lembaga-lembaga hukum (rechtsinstellingen), atau mengartikan

hukum sebagai tuntutan subjektif (hak). Sedangkan pengertian hukum dari

53

Abdul Manan. Op.Cit. Halaman : 3 54

Hans Kelsen. 2011. Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif (diterjemahkan dari Pure Theory Of Law – Berkely University of California Press 1978). Penerbit Nusa Media. Bandung. Halaman : 8

33

perspektif substansial adalah lebih di fokuskan pada suatu pemaparan

dari pandangan-pandangan tentang hukum dalam berbagai masyarakat.55

Max Weber membedakan antara hukum formal dengan hukum

substansial, pembedaan ini merupakan proses rasionalisasi hukum.

Hukum formal adalah keseluruhan sistem dan teori dan doktrin hukum

yang aturan-aturannya didasarkan hanya pada logika yuridis saja tanpa

mempertimbangkan faktor-faktor di luar hukum. Hukum substantif

memperhatikan faktor-faktor non yuridis seperti nilai-nilai politik, etika,

ekonomi dan agama.56

Donald Black berpendapat bahwa hukum tidak dapat hanya dilihat

sebagai bangunan yang rasional dan abstrak, tetapi hukum memiliki

dimensi yang luas, termasuk di dalamnya yang dilihat adalah gambar

sosialnya yang penuh yang berarti memasukkan berbagai dimensi

kemanusiaan dan sosial yang penuh ke dalamnya.57

b. Manfaat sebagai Tujuan Hukum

Menurut Rudolf Von Jhering, mendefinisikan hukum sebagai

keseluruhan dari keadaan kehidupan masyarakat dalam arti seluas-

luasnya, yang dipertahankan oleh kekuasaan negara dengan

menggunakan alat pemaksa yang bersifat ekstern.” Sedangkan tujuan

55

Jan Gijssels dan Mark van Hoeke dalam Salim HS. 2012. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. Rajawali Pers. Jakarta Halaman : 23-24

56Max weber dalam Suteki.2013. Desain Hukum di Ruang Sosial. Penerbit Dua

Satria Offset. Semarang halaman : 8. 57

Khudzaifah Dimyati, 2010. Teorisasi Hukum- Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990. Gentha Publishing. Yohjakarta.Halaman : 40

34

hukum adalah untuk melindungi kepentingan, sedangkan kepentingan

yang dimaksud dilukiskan dengan mengejar kesenangan dan menghindari

penderitaan. Hukum itu sebagai penjaga keseimbangan antara

kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, sehingga menurutnya

kepentingan itu dibedakan menjadi tiga kelompok, yakni kepentingan

individu, kepentingan negara, dan kepentingan masyarakat.

Pandangan Gustav Radbruch tentang hukum yang secara tepat

dinyatakan bahwa cita hukum tidak lain adalah keadilan.58 Dalam

Einfuhrung indie Rechtswissenscahft, Stuttgart, menyatakan, bahwa

sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan. Jadi hukum dibuat

pun ada tujuannya. Tujuan ini merupakan nilai yang ingin diwujudkan

manusia. Tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu pertama keadilan

untuk keseimbangan; kedua keadilan untuk ketepatan; dan ketiga

kemanfaatan untuk kebahagiaan.59

Aliran Utilitarianisme dipelopori oleh Jeremy Bentham, serta tokoh

lain James Mill, John Stuart Mill, Hendry Sidgwick dan G.E. Moore.60

Pemikiran utilitarianism menyatakan hukum harus dibuat secara

utilitarianistik, melihat gunanya dengan patokan-patokan yang didasarkan

pada keuntungan, kesenangan, dan kepuasan manusia. Dalam hukum

tidak ada masalah kebaikan atau keburukan, atau hukum yang tertinggi

atau yang terendah dalam ukuran nilai. Tujuan hukum tersebut dapat

58

Kurt Wilk dalam Peter Mahmud Marzuki, 2007. Penelitian Hukum. PT Kencana Prenada Media Grup. Jakarta. Halaman : 23

59Muhammad Erwin, 2012. Filsafat Hukum – Refleksi Kritis Terhadap Hukum.

Rajawali Pers. Jakarta. Halaman : 123 60

Karen Lebacqz,

35

dicapai dengan menggunakan seni dari legislasi atau seni perundang-

undangan yang memampukan kita untuk meramalkan hal mana yang

akan memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan kepedihan

(kesengsaraan, sakit) dalam sebuah masyarakat. Juga dengan

menggunakan ilmu perundang-undangan (the science of legislation).61

Jeremy Bentham dalam bukunya Introduction to the Morals and

Legislation ia berpendapat, hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-

mata apa yang berfaedah bagi orang. Pandangan Bentham menitik

beratkan pada unsur kemanfaatan dan bersifat umum. Persoalannya

apakah suatu yang berfaedah bagi seseorang juga berfaedah bagi orang

lain atau bahkan merugikan orang lain dan umum, maksud manfaat

(utilitas) di sini bersifat umum untuk kebahagiaan dan kemanfaatan orang

sebanyak-banyaknya. Disini tidak nampak adanya tujuan kearah unsur

keadilan, dalam konteks ini J.H.P Bellefroid dalam bukunya Inleiding tot

de Rechwetenschap in Netherland, mengatakan “de Inhoud van het recht

dient te worden bepaald onder leiding van twee grondbeginselen, t.w. de

rechvaardigheid en de doelmatigheid“ (isi hukum harus ditentukan

menurut dua asas, yaitu keadilan dan faedah atau kemanfaatan).62

61

Antonius Cahyadi dan E.Fernando Manullang, 2010. Pengantar ke Filsafat Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Halaman 62.

62Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT

Radjagrafindo Persada, Jakarta.2006. halaman : 10

36

Jeremy Bentham mengemukakan agar pembentuk hukum harus

membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara

individual.63

Selain Jeremy Bentham para pelopor ajaran utilitarianism John stuart

Mill dan David Hume, mengajarkan bahwa dalam ajaran utilitarianism,

kebahagiaan (happiness) dari masyarakat merupakan prinsip utamanya,

sehingga sering disebut dengan istilah the greatest happiness principle.64

Menurut John Stuart Mill, dalam paham utilitarian dikatakan jika

mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk

institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya itu. Karena itu, unsur

“manfaat” (utility) merupakan kriteria bagi manusia dalam mematuhi

hukum seperti terlihat dalam kalimat “ ....and the test of what laws there

ought to be, and what laws ought to be obeyed, was utility.65

Manfaat atau kegunaan (utility) merupakan batu ujian kebenaran

bagi aliran pragmatis, selain diukur berdasarkan dapat dikerjakan

(worklability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory

consequence). Menurut pendekatan ini tidak ada apa yang disebut

kebenaran yang tetap atau kebenaran yang mutlak.66

Manusia hanya berkewajiban mengikuti hukum yang baik dalam

suatu sistem hukum yang baik. Baik tidaknya hukum diukur melalui

63

Otje Salman. 2012. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah). PT Refika Adhitama. Bandung. Halaman : 72

64 Munir Fuady, 2007. Dinamika teori Hukum, Ghalia Indonesia, Halaman : 95.

65Ibid.

66Amsal Bakhtiar.2011. Filsafat Ilmu. PT. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta.

Halaman : 120

37

manfaat dari hukum tersebut kepada umat manusia, yakni apakah hukum

yang bersangkutan membawa manfaat yang paling besar kepada

sebanyak mungkin manusia.67

Manfaat adalah satu istilah abstrak. Istilah ini mengungkapkan sifat

atau kecenderungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau

memperoleh kebaikan. Kejahatan adalah penderitaan atau penyebab

penderitaan. Kebaikan adalah kesenangan atau penyebab kesenangan,

yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan seorang individu

adalah yang cenderung memperbanyak jumlah kebahagiaan itu.

Sedangkan yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan

masyarakat adalah yang cenderung memperbesar jumlah kebahagiaan

individu yang membentuk masyarakat itu.68

Logika manfaat tercapai karena niat untuk memperhitungkan atau

membandingkan antara penderitaan dan kesenangan dalam segala

pertimbangan dan tidak membuka peluang bagi masuknya gagasan lain.

Prinsip manfaat diperlukan ketika mengukur persetujuan atau penolakan

saya terhadap tindakan pubilk atau tindakan individu berdasarkan

kecenderungannya dalam menimbulkan kesenangan atau penderitaan.

Orang yang mengadopsi prinsip manfaat, memandang sifat baik sebagai

suatu kebajikan hanya karena kesenangan yang dibawanya.69

67

Munir Fuady. Op.Cit 68

Jeremy Bentham. 2010. Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana. (Diterjemahkan dari : The Theory of Legislation. 1979). Nusamedia Bandung.Halaman : 26.

69Ibid. halaman : 27

38

Memperkuat pendapat Bentham, Rudolf Von Jhering dikenal dengan

ajarannya yang biasa disebut social utilitarianism. Hukum merupakan

suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum adalah

sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai

dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya, hukum

merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan

perubahan-perubahan sosial.70

Rudolf Von Jhering memberi tekanan kuat pada fungsi hukum

sebagai instrument untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di dalam

masyarakat terjadi banyak konflik yang tidak terhindarkan. Konflik ini

terjadi antara kebutuhan manusia sebagai masyarakat dan kebutuhan

manusia sebagai individu, untuk mendamaikan konflik itu maka Negara

menjalankan dua metode pemenuhan kebutuhan ekonomis dan kedua

dengan koersi. Terdapat koersi yang tidak terorgnisir (oleh negara) seperti

konvensi masyarakat dan mengenai etiket bermasyarakat, tetapi hukum

merupakan salah satu bentuk koersi yang diorganisasi oleh negara.

Jhering tidak menafikan impuls atau keinginan yang sifatnya altruistis,

tetapi ia melihat bahwa hal tersebut tidak cukup tanpa bentuk koersif

kontrol sosial yang disediakan oleh hukum. Suksesnya proses hukum

diukur dari tercapainya keseimbangan antara kepentingan sosial dan

kepentingan individual.71

70

Otje Salman, Op.cit. 71

Antonius Cahyadi,Op.cit. halaman : 95.

39

Ketentuan dalam ajaran Islam dikenal nilai manfaat (maslahah) yang

pada hakikatnya ditemukan pertama kali oleh Imam Maliki pendiri mazhab

maliki dengan istilah lengkapnya masalih al-Mursalah atau semakna

dengan istilah istihsan oleh imam-imam lainnya. Teori maslahah ini

dikembangkan lebih jauh oleh Abu Ishak Ibrahim Musa al-syatiby.72

Bagi Bentham dan para penganut teori utilitarianisme, dasar obyektif

dalam mengambil tindakan adalah manfaat yang ditimbulkan oleh

kebijakan atau tindakan tersebut bagi banyak orang, secara lebih terinci

dasar obyektif tersebut terdiri dari tiga kriteria yaitu :73 Kriteria pertama

adalah manfaat, yaitu kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat

tertentu. Kebijakan atau tindakan baik adalah kebijakan atau tindakan

yang menghasilkan hal baik. Sebaliknya akan dinilai buruk secara moral

kalau mendatangkan kerugian atau hal buruk. Kriteria kedua adalah

manfaat terbesar, artinya kebijakan atau tindakan tersebut mendatangkan

manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan kebijakan atau

tindakan alternatif lain. Kriteria Ketiga, adalah manfaat terbesar bagi

sebanyak mungkin orang, artinya suatu kebijakan atau tindakan dinilai

baik kalau manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang.

Sehingga berdasarkan prinsip utilitarianisme adalah bertindaklah

sedemikian rupa agar tindakannya itu mendatangkan manfaat sebesar

72

M. Arifin Hamid,2007. Membumikan Ekonomi Syariah Di Indonesia (Perspektif Sosio-Yuridis), Elsas, Jakarta, halaman: 281

73Sony Keraf, 2010. Etika Lingkungan Hidup, Kompas Media Nusantara, Jakarta,

halaman: 30

40

mungkin bagi sebanyak mungkin orang (the greatest good for the greatest

number).

Tabel : 1 Kriteria Obyektif dalam Faham Utilitarianisme Jeremy Bentham

Kriteria Obyektif Maknanya

Manfaat kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme harus mendatangkan manfaat tertentu. Kebijakan atau tindakan baik adalah kebijakan atau tindakan yang menghasilkan hal baik. Sebaliknya akan dinilai buruk secara moral kalau mendatangkan kerugian atau hal buruk.

Manfaat terbesar kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan alternatif lain.

Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang

suatu kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme dinilai baik kalau manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang.

Sumber : Sony Keraf.74

Penulis dalam penelitian ini berpedoman pada teori yang

dikembangkan oleh Jeremy Bentham yaitu faham utilitarianisme. Dengan

kriteria obyektif dalam faham utilitarianisme, yaitu kriteria obyektif manfaat,

kriteria obyektif manfaat terbesar, dan kriteria obyektif manfaat terbesar

bagi sebanyak mungkin orang, maka dilakukan analisis terhadap

pengelolaan pertambangan di kawasan hutan.

74

Ibid. Sony Keraf.

41

2. Teori Harmonisasi Hukum

Harmonisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan

sebagai upaya penyelarasan.75 Harmonisasi hukum, juga dapat diartikan

upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan,

hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum.76 Harmonisasi

hukum menempatkan hukum sebagai obyek dalam langkah penyelarasan

tersebut.

Salah satu rumus dalam pengelolaan sumber daya alam tambang

dalam perspektif hukum sumber daya alam adalah kaidah keseimbangan

yang dirumuskan melalui rumus keseimbangan.

Gambar : 1 Rumus Kaidah Keseimbangan Pengelolaan Sumber daya alam77

SDT = SDM + SDA + SDE + SDS +SDB.....nSD

Keterangan : SDT = Sumber daya Total Tatanan SDS = Sumber daya Sosial SDM = Sumber daya Manusia SDB = Sumber daya Budaya SDA = Sumber daya Alam SDE = Sumber daya Ekonomi nSD = Sumber daya Lainnya

75

Kamus Bahasa Indonesia. www.KamusBahasaIndonesia.org diakses tanggal 25 Agustus 2014.

76 Kusnu Goesniadhie. 2006. Harmonisasi Hukum dalam perspektif peraturan

perundang-undangan. JP.books, Surabaya. Diakses dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&sqi=2&ved=0CDAQFjAC&url=http%3A%2F%2Fkgsc.files.wordpress.com%2F2012%2F01%2Fharmonisasi-hukum-lex-specialis-suatu-masalah.ppt&ei=fGH7U4zPPMKfugSq04GABw&usg, tanggal 25 Agustus 2014

77 Abrar Saleng, Op.Cit. Halaman : 10

42

Berdasarkan rumus kaidah keseimbangan tersebut, maka dalam

konsep kaidah keseimbangan selalu mengedepankan keseimbangan

tatanan (wilayah), sumber daya tertentu bisa berkurang akan tetapi

sumber daya lainnya harus bertambah guna menjaga keseimbangan

kualitas tatanan. Kaidah ini tidak pernah menolak pengurangan sumber

daya asalkan saja keseimbangan tatanan tetap tercipta. Misalnya

eksploitasi SDA suatu wilayah harus mampu meningkatkan SDM, SDS,

SDE, dan SD lainnya sehingga SD total tatanan tetap terjaga

keseimbangannya.78

Kaidah keseimbangan ini, didasari oleh pemahaman bahwa sumber

daya alam bukanlah sumber pendapatan belaka melainkan modal utama.

Oleh karena itu dalam pengelolaannya dibutuhkan kehati-hatian serta

kecermatan dan diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi

dengan memperhatikan secara proporsional kelestarian fungsi lingkungan

hidup dan kesejahteraan masyarakat umum.79

Harmonisasi sistem hukum nasional meletakkan pola pikir yang

mendasari penyusunan sistem hukum dalam kerangka sistem hukum

nasional (legal system harmonization) yang mencakup:80

a) komponen materi hukum (legal substance) atau tata hukum

yang terdiri atas tatanan hukum eksternal yaitu peraturan

perundang-undangan, hukum tidak tertulis termasuk hukum

78

Ibid. 79

Abrar Saleng, Ibid. 80

Ibid.

43

adat dan yurisprudensi, serta tatanan hukum internal yaitu asas

hukum yang melandasinya;

b) komponen struktur hukum beserta kelembagaannya (legal

structure), yang terdiri atas berbagai badan institusional atau

kelembagaan publik dengan para pejabatnya; dan

c) komponen budaya hukum (legal culture), yang mencakup sikap

dan perilaku para pejabat dan warga masyarakat berkenaan

dengan komponen-komponen yang lain dalam proses

penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat.

3. Konstruksi Hukum

Konstruksi diartikan sebagai susunan (model, tata letak) suatu

bangunan.81 Beberapa metode konstruksi hukum adalah (a) metode

interpretasi menurut bahasa (gramatikal); (b) metode interpretasi secara

sistematis; (c) metode interpretasi secara historis; (d) metode interpretasi

secara Teleologis atau sosiologis; (e) Interpretasi Antisipatif atau

Futuristis; (f) Interpretasi Evolutif-Dinamikal; (g) Interpretasi Restriktif dan

Ekstensif; (h) Metode Konstruksi Analogi; (i) Metode Konstruksi

Argumentum a contrario; (j) Metode konstruksi penghalusan hukum.

Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan metode

konstruksi hukum yaitu metode Interpretasi secara sistematis. Metode

81

https://www.google.co.id/amp/s/vinandaayuputrirujianto.wordpress.com /2015/12/29/kontruksi-hukum/amp/?espv=1 diakses 4 Mei 2017. Pk 10.06 wite

44

Interpretasi secara sistematis yaitu82 penafsiran yang menafsirkan

peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum

atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Karena

terbentuknya suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian

dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlaku sehingga

tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat

dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai konsekuensi

logis dari berlakunya suatu sistem perundang-undangan maka untuk

menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari

sistem perundang-undangan itu. Oleh karena itu interpretasi sistematis ini

disebut juga interpretasi logis.

4. Pertambangan di Kawasan Hutan dalam Perspektif Hukum

Sumber daya Alam

a. Definisi Hukum Sumber daya alam

Pada dasarnya istilah sumber daya merujuk pada sesuatu yang

memiliki nilai ekonomi atau dapat memenuhi kebutuhan manusia.83

Secara etimologis menurut Webster’s New World College Dictionary istilah

sumber daya dapat berarti merujuk pada beberapa pengertian sebagai84:

(1) Kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu, (2) sumber

82

https://www.google.co.id/amp/s/logikahukum.wordpress.com/2011/09/14/jenis-jenis-metode-dan-kontruksi-hukum/amp/?espv=1 diakses 3 Mei 2017. Pk 13.03 wite

83Mayhew, S dalam Maria S.W Sumardjono. et.al. 2014. Pengaturan Sumber

Daya Alam Di Indonesia-Antara Yang Tersurat dan Tersirat, Gadjah Mada University Press, halaman: 7

84Ibid. halaman : 8

45

persediaan, penunjang dan pembantu; dan (3) Sarana yang dihasilkan

oleh kemampuan atau pemikiran seseorang. Dengan demikian,

pengertian sumber daya sangat luas, yang dapat meliputi sumber daya

alam, manusia, modal, buatan dan sebagainya.

Sumber daya alam dapat didefinisikan sebagai sumber daya atau

faktor produksi yang disediakan oleh alam, dan bukan merupakan buatan

manusia. Berdasarkan definisi tersebut, maka hukum sumber daya alam

merupakan segenap peraturan tentang pengelolaan dan pengusahaan

sumber daya alam.

b. Jenis Sumber Daya Alam

Sumber daya alam dapat dibedakan berdasarkan sifat, yaitu :

(1) Sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable

resources), yaitu sumber daya alam yang dapat di usahakan

kembali atau tidak akan habis selama ada upaya-upaya untuk

memperbaruinya/mengusahakan kembali, yang termasuk

kategori sumber daya alam yang dapat diperbarui adalah

pertanian, perikanan, perkebunan. Secara khusus terdapat

sumber daya alam yang dapat dikategorikan sebagai yang

dapat diperbarui tetapi keberadaannya sangat langka dan

sangat terpengaruh cara manusia mengelola alam dan

lingkungannya, antara lain air, udara, hutan dan kekayaan

keanekaragaman hayati.

46

(2) Sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (non- renewable

resources), yaitu sumber daya alam yang akan habis dan tidak

akan dapat dipulihkan kembali. Sumber daya alam yang

termasuk kategori sumber daya alam yang tidak dapat

diperbarui adalah biji mineral (batubara, timah, nikel, aspal)

serta bahan bakar fosil (minyak dan gas bumi)

Berdasarkan kategori dalam keuangan negara, pemerintah di dalam

mengajukan Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Penerimaan dan

Belanja Negara (APBN), biasanya membagi jenis-jenis sumber daya alam

secara sektoral yaitu :

(1) Sektor sumber daya pertanian, meliputi : tanaman pangan,

peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, dan pengairan.

(2) Sektor sumber daya pertambangan meliputi : minyak bumi, gas

bumi, batu bara, aspal, nuklir, dan bahan galian lainnya.

Menurut Chambers dan Conway, terdapat lima sumber kehidupan

yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi di dalam

upaya mengembangkan kehidupannya yaitu: human capital, social capital,

natural capital, physical capital, dan financial capital.85 Berdasarkan

pandangan ini maka sumber daya alam merupakan natural capital dan

merupakan sumber kehidupan.

85

Chambers dan Conway dalam Imam Koeswahyono. 2009. Sumber daya Alam dalam Konstelasi Politik Nasional Dan Globalisasi Hukum, persoalan sistem pertanian berkelanjutan. Diterbitkan dalam Hukum Yang Bergerak. Penerbit Yayasan obor Indonesia. Jakarta. hal. 294.

47

c. Konsep kepemilikan sumberdaya alam

Konsep kepemilikan SDA di Indonesia secara konstitusional diatur

dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, pemaknaan Pasal 33 (3) UUD 1945

dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003, “....bahwa

bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah

hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara

kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna

dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama.”

Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam Perkara Nomor

001-021-022/PUU-I/2003, terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, adalah

“...perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna

penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari

konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan

“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”,

termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas

rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu

dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara

untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan

(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad)

dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Ketentuan tersebut dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor : 21-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 25

48

Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, bertanggal 25 Maret 2008, pada

Paragraf [3.9], menyatakan bahwa:

“… dalam Pasal 33 UUD 1945 tersebut terdapat hak-hak ekonomi dan sosial warga negara sebagai kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi melalui keterlibatan atau peran negara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 33 UUD 1945 adalah ketentuan mengatur tentang keterlibatan atau peran aktif negara untuk melakukan tindakan dalam rangka penghormatan (respect), perlindungan (protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga negara”;

Tipe-tipe kepemilikan versi Ostrom and Schlager,86 yaitu:

a. Hak akses (access right) : hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif.

b. Hak pemanfaatan (withdrawal right) : hak untuk memanfaatkan sumber daya atau hak untuk berproduksi.

c. Hak pengelolaan (management right) : hak untuk menentukan aturan operasional pemanfaatan sumber daya.

d. Hak ekslusi (exclusion rights) : hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain.

e. Hak pengalihan (alienation rights) : hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut diatas.

Berdasarkan pendapat Bromley87, terdapat empat bentuk

kepemilikan, yaitu akses terbuka (open acces), negara (state property),

swasta (private property) dan masyarakat (communal property). Pertama,

sumber daya akses terbuka (open access), tidak ada pengaturan tentang

apa, kapan, dimana, siapa, dan bagaimana sumber daya alam

dimanfaatkan, serta bagaimana terjadinya persaingan bebas (free for all).

86

Arif Satria. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press. Bogor. Halaman : 3-4

87Ibid. Halaman : 5-6

49

Dalam pemanfaatan sumber daya alam, dapat memicu terjadinya tragedy

of the commons.

Kedua, sumber daya milik negara (state property), baik ditingkat

daerah maupun pusat. Hak ini perlu berlaku pada sumber daya yang

menjadi hajat hidup orang banyak. Ketiga, kepemilikan swasta, baik

individual maupun korporat. Bentuk kepemilikan ini bersifat temporal.

(dalam jangka waktu tertentu). Keempat, kepemilikan komunal atau

masyarakat, bersifat turun-temurun, lokal dan spesifik. Aturan-aturan

pengelolaan biasanya bersifat tertulis dan tidak tertulis. Akses seluruh

anggota masyarakat relatif sama.

d. Paradigma dalam memandang SDA

Istilah paradigma berasal dari bahasa latin pradeigma yang berarti

pola.88 Paradigma merupakan perangkat asumsi dan kerangka umum

atau menunjuk pada cara pandang atau kerangka berfikir yang

berdasarkan fakta atau gejala di interpretasi dan di pahami. Kuhn

mendefinisikan paradigma sebagai “..... universally recognized scientific

achievement that for a time provide model problems and solutions to a

community of practitioners.”89

Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam banyak diwarnai oleh

paradigma yang menilai sumber daya alam sebagai sumber pendapatan

ketimbang modal. Paradigma tersebut, telah berakar jauh sebelum

88

Sirajuddin, Didik Sukriono, Winardi, 2012. Hukum Pelayanan Publik-Berbasis Partisipasi dan Keterbukaan Informasi, Setara Press, Malang. Halaman:2

89Bernard Arief Sidharta, 2013. Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing,

Yogjakarta, Halaman : 71

50

terjadinya revolusi industri sebagai manifestasi dari hasrat manusia untuk

menguasai alam, yang seharusnya saling membutuhkan untuk menuju

kepada keseimbangan kualitas hidup yang lebih tinggi.90 Implikasi dari

pandangan dunia (world view) yang demikian secara sadar atau tidak

telah membentuk mode of production seluruh aktivitas ekonomi, termasuk

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam pertambangan, kehutanan

dan perkebunan.91

Konsep pemanfaatan sumber daya alam dalam Islam, manusia

harus pandai memanfaatkan sumber daya alam secara optimal tetapi

tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas. Jika ada eksploitasi yang

sangat besar terhadap sumber daya alam, maka yang diperhitungkan

adalah efisiensi dan jaminan tidak menjadi rusak karena adanya

eksploitasi yang berlebihan. Sebagaimana larangan dalam Islam

terhadap manusia untuk melakukan kerusakan diatas muka bumi,

sebagaimana ketentuan Q.S. Al A’raf : 46 yaitu “Dan janganlah kamu

berbuat kerusakan di bumi sesudah Allah memperbaikinya. Dan

berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya

rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Ada fenomena menarik yang disebut para ahli sebagai “kutukan

sumber daya alam”. Negara-negara yang berkelimpahan dengan sumber

daya alam, performa pembangunan ekonomi dan tata kelola

pemerintahannya (good governance) kerap lebih buruk dibandingkan

90

Arifin Salatang et.al dalam Abrar Saleng. Op.cit. Halaman : 2 91

Abrar Saleng, Ibid. Halaman : 2

51

negara-negara yang sumber daya alamnya lebih kecil. Secara paradoks,

meskipun muncul harapan besar akan munculnya kekayaan alam dan

luasnya peluang yang mengiringi temuan dan ekstraksi sumber daya

alam, anugerah seperti itu kerapkali menjadi penghambat daripada

menciptakan pembangunan yang stabil dan berkelanjutan.92

Perkembangan pembangunan yang masih tertuju pada pertumbuhan

ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja akan senantiasa

mengeksploitasi sumber daya alam sebagai faktor produksi yang

diperlukan. Orientasi ekonomi pada komoditas (barang) sumber daya

alam ini, dalam kondisi lemahnya institusi publik yang mengaturnya, maka

akan mengabaikan fungsi sumber daya alam yang memproduksi jasa (life

support system) seperti air, sungai, danau, resapan air dll.93

e. Konsep distribusi sumber daya alam

Menurut Satjipto Rahardjo. hukum pengatur sumber daya dalam

masyarakat didasarkan pada dua pola pembagian. Pola pertama

didasarkan pada kemampuan masing-masing, sehingga bagaimana orang

bisa masuk ke sumber-sumber daya, dipecahkan melalui disposisi dari

masing-masing orang secara alamiah. Dalam keadaan demikian maka

siapa yang kuat dengan sendirinya akan memperoleh jalan masuk dengan

92

Macartan Humpreys et.al. 2007. Escaping The Resource Curse. Columbia University Press. New York. Page : 1

93Harijadi Kartodiharjo dkk, 2005. Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber

Daya Alam, Yayasan KEHATI, Jakarta. Halaman : 67 dan 72.

52

mengalahkan mereka yang kurang kuat.94 Pola pertama ini penjelasannya

hampir mirip dengan pendapat Thomas Hobbes dalam rumusan homo

momini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya.95

Pola kedua didasarkan pada kemampuan masing-masing dan yang

didasarkan pada mekanisme pembagian yang diciptakan oleh masyarakat

sendiri. Masyarakat memberikan pedoman-pedoman kepada anggotanya

tentang bagaimana hendaknya hubungan-hubungan antar mereka itu

dilaksanakan. Pedoman-pedoman ini bisa berupa larangan maupun

keharusan. Apabila hal ini dihubungkan dengan tujuan untuk memperoleh

sumber daya, maka pedoman itu memberi tahu bagaimana masing-

masing anggota masyarakat itu berhubungan satu sama lain, dalam

rangka memperoleh sumber-sumber daya tersebut.96

Pemerintah-pemerintah daerah jelas memiliki hak memperoleh

pendapatan sebagai kompensasi atas biaya sosial, lingkungan, dan

prasarana eksploitasi sumber daya alam.97 Pemerintah-pemerintah lokal

dan regional seharusnya memperoleh kompensasi atas biaya-biaya yang

mereka tanggung ketika eksploitasi sumber daya alam terjadi di dalam

yuridiksi mereka.98

94

Satjipto Rahardjo, 1991. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 160 95

Von Scihmt dalam Otong Rosadi. 2012. Quo Vadis Hukum Ekologi dan Keadilan Sosial. Dalam Perenungan Pemikiran (Filsafat) Hukum. Penerbit Thafa Media. Hal.36

96Satjipto Rahardjo. Op.Cit. halaman : 162

97 Michael L. Ross dalam Macartan Humpreys. Op.cit. page : 290

98http://www.icmm.com/library_pub_detail.php?rcd=183

53

5. Hukum Pertambangan Batubara di Indonesia

a. Pertambangan Batubara

Istilah batubara merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu

coal. Batubara merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan

terdapat di alam dalam tingkat/grade yang berbeda dari lignit,

subbitumine, antarasit.99

Batubara dalam pengertian geologi, termasuk batuan sedimen yang

terbentuk dari akumulasi pengendapan bahan tetumbuhan dalam kondisi

tertutup dari udara, serta mengalami kenaikan temperature dan proses

pemadatan. Proses sedimentasi (pengendapan) yang berlangsung dalam

suatu cekungan (basin) dapat berlangsung lama apabila dasar cekungan

mengalami proses secara terus menerus. Semakin lama proses

pengendapan berlangsung, akan semakin tebal lapisan pengendapan

(batuan ataupun batubara yang terbentuk). Proses terbentuknya batubara

memerlukan waktu jutaan tahun.100

Batubara merupakan sisa-sisa vegetasi rawa yang mengalami

pembusukan sebagian dan menjadi padat, terjepit diantara lapisan-lapisan

endapan samudera. Hutan rawa jaman purba menutupi sebagian besar

permukaan bumi berjuta-juta tahun. Sisa-sisa fosil hutan purba terbentuk

kira-kira 300 juta tahun yang lalu selama periode karbon.101

99

Sukandarrumidi, 1995. Bahan Galian Industri.Yogjakarta: Gajahmada University Press, hlm. 26

100 Sigit, 1999. Industri Pertambangan Batubara Indonesia. Bandung: Tidak

diterbitkan, halaman : 6. 101

Kathy dkk, Op. Cit halaman : 578

54

Pertambangan batubara sudah dikenal sejak lama, pada abad ke-13

Marcopolo menemukan bahwa orang Cina sudah memasak

menggunakan batubara. Bahkan diabad ke 18, batubara sudah digunakan

untuk bahan bakar mesin uap. Di Indonesia penambangan batubara

sudah dikenal sejak jaman penjajahan.102

Tipe penambangan batubara di dunia ada dua yakni tambang

terbuka (open pit/strip mining) dan tambang tertutup (underground

mining). Di Indonesia mayoritas tambang batubara dilakukan dengan

sistem tambang terbuka, sedangkan di dunia persentase terbesar

tambang batubara di lakukan dengan sistem underground. Tambang

terbuka/open pit/Strip Mining adalah :

Strip mining is also known as open cast, mountaintop or surface mining involves scraping away earth and rocks to get to coal buried near the surface. In many cases, mountains are literally blasted apart to reach thin coal seams within which results in leaving permanent scars on the landscape. Strip mining accounts for about 40 percent of the world’s coal mines but in some countries,.. Even though it's highly destructive, industry often prefers strip mining as it requires less labour and yields more coal than underground mining.103

Menurut Catherine Coumans, Koordinator Riset dari Mining Watch

Canada sebagai saksi ahli sidang Judicial Review UU No. 19 Tahun 2004

di Mahkamah Konstitusi bahwa pertambangan modern berlangsung

selama 15-20 tahun. Tetapi kerusakan yang ditimbulkannya (terlebih

tambang terbuka) bisa berlangsung lebih lama. Bahan kimia yang

102

Gali-Gali, Buletin Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, 7 Desember 2000, halaman : 5

103Siva Prasad Dontala, T. Byragi Reddy, Ramesh Vadde, Environmental

Aspects and Impacts its Mitigation Measures of Corporate Coal Mining. Procedia Earth and Planetary Science 11,(2015) 2 – 7. www.sciencedirect.com p.3-4

55

digunakannya dapat mencemari tanah dan air tanah. Sementara

keuntungannya pada masyarakat sangat sedikit bila dibandingkan dengan

nilai yang diberikan hutan yang utuh sebagai mata pencarian mereka.104

Ciri khas sumber daya alam sektor pertambangan adalah sumber

daya alam yang tak terbarukan, suatu saat penambangan tidak layak lagi

secara ekonomis dan tambang akan ditutup. Namun dampak kerusakan

lingkungan yang ditimbulkan oleh pembukaan kegiatan pertambangan

mungkin akan jauh lebih lama daripada umur tambang itu sendiri.105

Beroperasinya pertambangan membawa dampak sangat besar bagi

penghidupan rakyat. Hal ini karena pertambangan baik skala besar

maupun kecil pada dasarnya memiliki daya rusak bagi lingkungan yang

sulit di pulihkan. Daya rusak dibatasi pengertiannya sebagai suatu bentuk

campur tangan terhadap sistem-sistem alami, yang mengakibatkan

rusaknya sistem alami tersebut, sehingga fungsinya berkurang atau

bahkan hilang. Semakin besar skala suatu kegiatan pertambangan, maka

ia berubah menjadi resiko atau ancaman.106

Daya rusak pertambangan dapat bersifat langsung, tak langsung dan

meluas. Kerusakan langsung adalah kerusakan yang nampak pada saat

kejadian, dampaknya bersifat segera dan meliputi wilayah yang jelas.

Kerusakan tak langsung adalah dampak kerusakan yang terjadinya tidak

pada saat itu juga, kerusakan langsung dapat menjadi penyebab

104

Catherine Coumans dalam Siti Maimunah dkk. 2007. Tambang & Pelanggaran HAM. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, halaman : 173

105 Holdren 1975 dalam Kathy dkk. Op.cit. Halaman : 580

106Adi Widyanto, 2008. Taen Hine – Mencari Tahu-Investigasi Daya Rusak

Pertambangan.Penerbit Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, halaman : 9

56

terjadinya kerusakan tidak langsung. Kerusakan yang meluas adalah

dampak kerusakan jangka panjang pada aspek-aspek penghidupan, yang

jauh dari kerusakan langsung.107

Perubahan bentang alam akibat pertambangan dapat berkontribusi

terhadap perubahan iklim.108 Dampak perubahan iklim tidak dapat

dianggap sepele, dan pada kenyataannya justru negara-negara

berkembang terutama negara kepulauan seperti Indonesia yang paling

rentan terkena dampak perubahan iklim.109

Disisi lain kegiatan pertambangan akan menyebabkan pencemaran

air permukaan, air tanah, tanah dan kesehatan manusia serta

memusnahkan flora dan fauna di sekitar lokasi tambang. Juga akan di

peroleh multiplier effect baik dampak lingkungan maupun dampak sosial,

serta budaya bagi daerah sekitarnya. Kehancuran berawal dari rusaknya

daerah-daerah resapan air sehingga akan menganggu keseimbangan

hidrologis atau suplai air yang merupakan faktor pembatas terpenting bagi

populasi binatang, tumbuhan dan manusia. Ancaman berikutnya adalah

kerawanan pangan sebagai akibat lanjutan dimana kelangkaan air dan

pencemaran tanah mengubah pola produksi pangan di sekitar lokasi

tambang.110

107

Ibid. Halaman : 10-11 108

Dedy Hadriyanto, 2015. Kesaksian Ahli dalam perkara Gugatan izin pertambangan kota Samarinda di PN Samarinda tahun 2015

109 Rizaldi Boer. 2001. Economic Assesment of Mitigation Options for

Enhancing and Maintaining Carbon Sink Capacity in Indonesia, Journal Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, Volume 6. Kluwer Academic Publisher. P.257

110 Hasil Studi US-EPA dalam Aminuddin A Kirom dkk, 2006.Tambang dan

Penghancuran Lingkungan, JATAM Jakarta, halaman : 316

57

b. Hukum Pertambangan Batubara di Indonesia

Hukum pertambangan umum disebut juga dengan general mining

law (Inggris), algemene mijnrecht (Belanda), dan allgemeinen Bergrecht

(Jerman). Istilah hukum pertambangan mineral dan batubara berasal dari

terjemahan bahasa Inggris, yaitu mineral and coal mining law.111

Pertambangan dapat didefinisikan: “the process of extracting

minerals of economic value from the earth’s crust for the benefit of

mankind.... the earth’s crust refers to the surface of the earth extending to

a variying depth of about 20 miles, including the oceans, lakes and rivers,

embaced by the surrounding atmosphere.”112

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya

batubara. Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum

pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan

sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting

dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya

harus dikuasai oleh negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi

perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pengaturan hukum

pertambangan merujuk kepada ketentuan Undang-undang Nomor 4

Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara, selanjutnya disebut UU

Minerba.

111

Salim HS. 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara. Sinar Grafika. Jakarta. halaman 14 - 15

112Cedric Gregory. 2001. A Concise History of Mining, AA Balkema Publishers,

The Netherlands, halaman : xv.

58

Hukum pertambangan mineral dan batubara merupakan kaidah

hukum yang bersifat khusus. Dikatakan khusus karena objeknya khusus;

dan sifat hubungan para pihak bersifat administratif, yang menjadi objek

kajian hukum pertambangan mineral dan batubara hanya berkaitan

dengan pertambangan mineral dan batubara. Selain itu Hukum

pertambangan mineral dan batubara bersifat administratif, karena

pemerintah maupun pemerintah daerah mempunyai kedudukan yang lebih

tinggi dalam proses pemberian izin.113

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang

Mineral dan Batubara mendefinisikan pertambangan adalah

“Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.”

Pasal 1 ayat (3) memberikan pengertian batubara adalah endapan

senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa

tumbuh-tumbuhan, pada ayat (5) dikatakan bahwa pertambangan

batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam

bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. Pengertian

usaha pertambangan berdasarkan ketentuan ayat (6) adalah kegiatan

dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan

kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,

113

Ibid. Halaman : 21

59

serta pascatambang. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha

pertambangan untuk memproduksi mineral dan atau batubara dan mineral

ikutannya.

Usaha pertambangan berdasarkan ketentuan UU Minerba Pasal 34

ayat (1) dikelompokkan hanya menjadi dua, yaitu pertambangan mineral

dan pertambangan batubara. Tujuan dan asas pengelolaan pertambangan

minerba berdasarkan Pasal 2 UU Minerba, dikelola berasaskan:

a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan; b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Penjelasan Pasal 2 huruf (d) yang dimaksud dengan asas

berkelanjutan dan bemawasan lingkungan adalah asas yang secara

terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial

budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara

untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.

Tujuan pengelolaan mineral dan batubara berdasarkan Pasal 3 UU

Minerba adalah menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara

secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; serta

berdasarkan ketentuan huruf f, bertujuan untuk menjamin kepastian

hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral

dan batubara.

Penguasaan atas pertambangan batubara berdasarkan ketentuan

Pasal 4 :

60

(1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan rnerupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

(2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

6. Hukum Kehutanan di Indonesia

Pengertian hutan dan kawasan hutan yang diberikan Undang-

undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, membedakan antara

hutan dan kehutanan. Pengertian kehutanan dalam Pasal 1 ayat (1)

adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan

hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Sedangkan

Pasal 1 ayat (2), hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa

hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

lainnya tidak dapat dipisahkan.

Kawasan hutan berdasarkan batasan yang diatur dalam Pasal 1 ayat

(3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah

“wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”

Asas penyelenggaraan kehutanan yang diatur dalam Pasal 2

menganut asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,

keterbukaan, dan keterpaduan. Penjelasan UU 41 Tahun 1999

memberikan penegasan bahwa penyelenggaraan kehutanan berasaskan

manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan

61

penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan

kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan,

dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan

peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai

dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran

seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan

atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli,

monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.

Tujuan penyelenggaraan kehutanan menurut Pasal 3 UU Nomor 41

tahun 1999, penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:

a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;

b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;

c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas

dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat

62

(1) UU Nomor 41 Tahun 1999. Pengertian penguasaan hutan oleh negara

dalam ayat (2) adalah pemberian wewenang kepada pemerintah untuk:

a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan

c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Pembatasan penguasaan hutan oleh negara dalam ayat (3)

diharuskan tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang

kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional. Fungsi hutan menurut Pasal

6 UU Nomor 41 Tahun 1999 adalah fungsi konservasi, fungsi lindung, dan

fungsi produksi.

Sebagai upaya mempertahankan tujuan dan fungsi hutan maka

berdasarkan Pasal 18 ayat (1) pemerintah mempunyai kewajiban untuk

menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan

penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna

optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi

masyarakat setempat.

Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan berdasarkan Pasal

19 ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil

penelitian terpadu. Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin

obyektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian

diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompetensi

63

dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan

pihak lain yang terkait.

Perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan

cakupan yang luas serta bernilai strategis, berdasarkan Pasal 19 ayat (2)

harus melalui penetapan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat. Penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan

"berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis",

adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti

perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial

ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi

yang akan datang.

Pemanfaatan hutan yang dimaksud dalam UU 41 Tahun 1999,

bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan

seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga

kelestariannya sebagaimana diatur dalam Pasal 23. Pemanfaatan

kawasan hutan berdasarkan Pasal 24 dapat dilakukan pada semua

kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona

rimba pada taman nasional.

Pemanfaatan hutan lindung berdasarkan Pasal 26 ayat (1) dapat

berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan

pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hutan lindung

dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin

64

usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan

bukan kayu.

Pemanfaatan hutan produksi berdasarkan Pasal 28 ayat (1)

pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan,

pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan

kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan

hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan

kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha

pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan

kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan

bukan kayu (Pasal 28 ayat (2)).

7. Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan

a. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Undang-Undang

41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar

kegiatan kehutanan diatur dalam Pasal 38 ayat (1) dinyatakan bahwa

“penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar

kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan

produksi dan kawasan hutan lindung.” Pada ayat (2) dipersyaratkan

bahwa “penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.”

Pemberian izin pinjam pakai merupakan syarat penggunaan

kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan berdasarkan

65

ketentuan Pasal 38 ayat (3) pemberian izin pinjam pakai oleh menteri

dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta

kelestarian lingkungan.

Larangan dalam pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan sesuai

ketentuan Pasal 38 ayat (4) adalah pada kawasan hutan lindung dilarang

melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

Pemberian izin pinjam pakai bagi pertambangan yang berdampak

penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh

menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana diatur

dalam Pasal 38 ayat (5).

Kewajiban reklamasi di kawasan izin pinjam pakai diatur dalam Pasal

45 ayat (1) penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan

reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan

pemerintah. Ketentuan ayat (2) mengharuskan reklamasi pada kawasan

hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin

pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan. Lebih

lanjut dalam ayat (3) diwajibkan pihak-pihak yang menggunakan kawasan

hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan

perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana

jaminan reklamasi dan rehabilitasi.

66

b. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan

Kawasan Hutan

Penggunaan kawasan hutan merujuk pada ketentuan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan.

Penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan

hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa

mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut.

Penggunaan kawasan hutan dalam ketentuan Pasal 1 PP Nomor 24

Tahun 2010 berdasarkan sifatnya ada dua yaitu penggunaan kawasan

hutan yang bersifat nonkomersial dan penggunaan kawasan hutan yang

bersifat komersial. Penggunaan kawasan hutan yang bersifat

nonkomersial menurut ayat (6) adalah penggunaan kawasan hutan yang

bertujuan tidak mencari keuntungan. Sedangkan penggunaan kawasan

hutan yang bersifat komersial adalah penggunaan kawasan hutan yang

bertujuan mencari keuntungan (ayat 7).

Tujuan penggunaan kawasan hutan berdasarkan Pasal 2 untuk

mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan

pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Objek pinjam pakai kawasan

hutan dalam Pasal 3 ayat (1) penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan

di dalam :

a. kawasan hutan produksi; dan/atau

b. kawasan hutan lindung.

67

Pasal 3 ayat (2) penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan

dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta

kelestarian lingkungan.

Pasal 4 (1) penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan

pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk

kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan.

Berdasarkan Pasal 5, penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan

pertambangan dengan ketentuan:

a. dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan:

1. penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan

2. penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah;

b. dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan:

1. turunnya permukaan tanah; 2. berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; 3. terjadinya kerusakan akuiver air tanah.

Izin penggunaan kawasan hutan Pasal 6 (1), penggunaan kawasan

hutan dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan.

B. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah nilai manfaat

merupakan induk dari topik yang diangkat. Selanjutnya akan ditelaah (1)

konstruksi pengaturan pertambangan di kawasan hutan dengan melihat

konstruksi pengaturan pengelolaan, dan dinamika pengaturan; (2)

68

Manfaat pelaksanaan pertambangan di kawasan hutan; (3) Harmonisasi

pengaturan pertambangan di kawasan Hutan ditelaah dari harmonisasi

dalam perspektif kaidah keseimbangan pengelolaan sumber daya alam.

Gambar 2 :

Bagan Kerangka Pikir (Conseptual Framework)

MANFAAT PERTAMBANGAN BATUBARA DI KAWASAN HUTAN DALAM

PERSPEKTIF HUKUM SUMBER DAYA ALAM Utility Theory

(Teori Manfaat) Jeremy Bentham

Teori Harmonisasi Hukum

Implementasi dan Manfaat Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan 1. Implementasi dan

pengawasan IPPKH 2. Manfaat ekonomi,

Sosial, Lingkungan

Konstruksi Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan 1. Konstruksi Hukum

IPPKH 2. Dinamika Pengaturan 3. Konstruksi Hukum

Pengawasan 4. Konstruksi hukum

Pengawasan

HARMONISASI PENGELOLAAN PERTAMBANGAN

DI KAWASAN HUTAN

Harmonisasi pengelolaan pertambangan di Kawasan Hutan

69

C. Definisi Operasional

1. Nilai Manfaat dalam Faham Utilitarianisme : Nilai manfaat sebagai

dasar obyektif dalam mengambil tindakan atau kebijakan, yang terdiri

dari tiga kriteria yaitu Kriteria pertama adalah manfaat, kebijakan atau

tindakan baik adalah kebijakan atau tindakan yang menghasilkan hal

baik. Kriteria kedua adalah manfaat terbesar, artinya kebijakan atau

tindakan tersebut mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar

dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan alternatif lain. Kriteria

Ketiga, adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang,

artinya suatu kebijakan atau tindakan dinilai baik kalau manfaat

terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang.

2. Manfaat Kawasan Hutan : Kawasan hutan dikelola guna optimalisasi

manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan ekonomi masyarakat

setempat.

3. Manfaat Ekonomi : Hal baik/ keuntungan yang diperoleh dari usaha

setelah di kurangi biaya-biaya.

4. Manfaat Sosial : Hal baik/ keuntungan yang diperoleh dalam ruang

lingkup hidup masyarakat antar lain bidang ketenagakerjaan,

pendidikan, kesehatan, peningkatan sumber daya manusia.

5. Manfaat Lingkungan : Hal baik bagi Lingkungan hidup adalah

kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk

hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam

70

itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia

serta makhluk hidup lain.

6. Hukum Sumber Daya Alam : Aturan tentang sumber daya atau faktor

produksi yang disediakan oleh alam, dan bukan merupakan buatan

manusia

7. Pertambangan Batubara : sebagian atau seluruh tahapan kegiatan

dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan batubara

yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,

konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan

dan penjualan, serta kegiatan pascatambang

8. Hutan : Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan

lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya

tidak dapat dipisahkan.

9. Penggunaan Kawasan Hutan : Penggunaan atas sebagian kawasan

hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan

tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut.

Penggunaan kawasan hutan yang dimaksud dapat dilakukan tanpa

mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

10. Fungsi pokok kawasan hutan: Fungsi pokok kawasan hutan adalah

fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi.

71

11. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan :

Izin pinjam pakai kawasan hutan adalah izin yang diberikan untuk

menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di

luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan

kawasan hutan.

12. Konstruksi Hukum :

Konstruksi diartikan sebagai susunan (model, tata letak) suatu

bangunan. Konstruksi hukum diartikan sebagai susunan (model, tata

letak) suatu bangunan hukum.

13. Pengawasan :

Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan yang

membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau

diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, dan

diperintahkan.

14. Harmonisasi Hukum :

upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan

perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum.

72

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris (yuridis empiris)

atau penelitian hukum sosiologis atau sosio legal studies. Wheeler dan

Thomas yang dikutip oleh Banakar mengkonsepkan sosio legal studies

adalah :

Suatu pendekatan alternatif yang menguji studi doktrinal terhadap hukum. Kata socio dalam socio legal studies mempresentasikan keterkaitan antar konteks dimana hukum berada (an interface with a context within which law exists. Itulah sebabnya mengapa ketika seorang peneliti socio legal menggunakan teori sosial untuk tujuan analisis, mereka tidak sedang bertujuan untuk memberi perhatian pada sosiologi atau ilmu sosial yang lain, melainkan hukum dan studi hukum.114

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur, pemilihan lokasi

tersebut didasarkan pada pertimbangan provinsi Kalimantan Timur

merupakan wilayah eksploitasi tambang batubara terbesar di Indonesia.

Selain itu terdapat perusahaan tambang batubara yang mendapatkan

hak pengecualian untuk melakukan penambangan secara terbuka di

kawasan hutan lindung berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2004 berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur yaitu Perusahaan

Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri.

114

Sulistyawati Irianto, dalam Imam Koeswahyono, dkk. 2013. Sosio Legal-Bekal Pengantar dan Substansi Pendalaman. Intimedia Malang & Pusat Kajian dan Penelitian Sosio Legal (PKP-SL) Universitas Brawijaya, Malang. Halaman 16-17.

73

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi penelitian nilai manfaat pertambangan di kawasan hutan

yang dijadikan populasi adalah stakeholder dalam kegiatan pertambangan

dikawasan hutan di Kalimantan Timur.

2. Sampel Penelitian

Teknik penentuan Sampel dalam penelitian ini adalah Purposive

Sampling. Purposive sampling yang dimaksud adalah115 pemilihan

sekelompok subyek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang

mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi

yang diketahui sebelumnya. Purposive sampling lebih banyak

memusatkan perhatian pada ciri-ciri atau sifat-sifat yang harus masuk di

dalam sampel yang dipilih. Dalam penelitian ini kriteria dipusatkan pada

data manfaat pertambangan di kawasan hutan. Sampel penelitian ini

sebanyak 142 responden.

D. Sumber Data

Penelitian telah dilakukan dengan metode pengambilan data primer

dan data sekunder yang meliputi :

1. Data primer atau data dasar (Primary data/basic data):

Data primer adalah data diperoleh dari lapangan yaitu :

115

Ibid, hlm. 133.

74

a. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber

Daya Mineral dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan

Hidup.

b. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur yang dalam

dalam penelitian ini di wakili Dinas Kehutanan Kalimantan Timur

dan Dinas Pertambangan Kalimantan Timur.

c. PT Indominco Mandiri, yang melakukan penambangan secara

terbuka di kawasan hutan lindung,

d. Masyarakat yang berada di areal terdampak langsung

Pertambangan PT Indominco Mandiri yaitu di Kecamatan

Marangkayu, terdiri atas Desa Santan Ilir, Desa Santan Ulu dan

Desa Santan Tengah, serta Lembaga Swadaya Masyarakat

yang aktif dalam bidang advokasi pertambangan yaitu Jaringan

Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur dan Tim Kerja

Perempuan dan Tambang (TKPT) Kalimantan Timur.

2. Data sekunder (secondary data) :

Data sekunder atau data pendukung mencakup data-data yang

berasal dari : dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang

berwujud laporan ilmiah.

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Pengamatan lapangan (observasi)

Teknik pengumpulan data melalui pengamatan lapangan

(observasi) dilakukan sehingga mendapatkan gambaran kondisi

75

fisik pertambangan batubara di kawasan hutan dan kondisi

masyarakat yang berbatasan dengan wilayah pertambangan di

kawasan hutan.

2. Wawancara (Interview) yang terstruktur (dengan memakai panduan

pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya), disesuaikan dengan

tujuan penelitian dan wawancara telah dilakukan dengan 8

(delapan) narasumber yaitu:

a. Staf Pegawasan Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta;

b. Staf Bagian Pemantauan Penggunaan Kawasan Hutan di

Kementerian Kehutanan dan Lingungan di Jakarta;

c. Kepala Bidang Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan

Provinsi Kalimantan Timur;

d. Kepala Bidang Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber

Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur;

e. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kalimantan Timur;

f. Kepala Desa Santan Tengah Kecamatan Marangkayu

Kabupaten Kutai Kartanegara;

g. Perusahaan Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri di

Jalan Poros Bontang Sangata, Provinsi Kalimantan Timur.

h. Anggota Asosiasi Pengusaha Pertambangan Batubara

Kalimantan Timur;

76

i. Lembaga Swadaya Masyarakat yaitu Koordinator Jaringan

Advokasi Tambang (JATAM) Nasional di Jakarta dan JATAM

Kalimantan Timur serta Tim Kerja Perempuan dan Tambang

(TKPT).

3. Focus Grup Discussion (FGD), dengan 24 (dua Puluh empat) orang

masyarakat di Desa Santan ilir Kecamatan Marangkayu Kabupaten

Kutai Kartanegara dilakukan pada tanggal 24 Agustus 2016.

Narasumber dalam FGD adalah Ketua dan anggota Forum

Pemuda dan Pelajar Santan (4 orang). Anggota Forum Pelajar dan

Mahasiswa Kecamatan Marangkayu (2 orang). Ibu-ibu Desa

Santan Ilir (5 orang), Ibu-ibu Desa Santan Tengah (2 orang), Warga

RT 4 Desa Santan Ilir (2 orang). Petani Desa Santan Ilir (4 orang),

Petani Desa Santan Tengah (5 orang).

4. Penyebaran kuisioner kepada responden sebanyak 110 kuisioner

dilakukan tanggal 18 Mei – 31 Mei 2017, yang meliputi :

a. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur sebanyak 10

responden yang meliputi :

(1) Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan

Timur (2 orang)

(2) Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur (3 orang)

(3) BP DAS Provinsi Kalimantan Timur (2 orang)

(4) Komisi III (Bidang Energi dan Infrastruktur) DPRD

Provinsi Kalimantan Timur (3 orang)

77

b. Pengusaha Pertambangan batubara (2 orang)

c. Masyarakat di Provinsi Kalimantan Timur sebanyak 46 orang,

meliputi: petani, pekerja pertambangan, pedagang, ibu rumah

tangga, mahasiswa, pekerja sosial, serta wartawan.

d. Masyarakat yang bertempat tinggal berbatasan dengan wilayah

penambangan PT Indominco Mandiri yaitu di Desa Santan Ilir,

Desa Santan Tengah, serta Desa Santan Ulu Kecamatan

Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara, sebanyak 52 orang.

5. Studi dokumentasi (document study). Studi dokumentasi dilakukan

sebagai informasi pendukung bagi penelitian yang berkaitan

manfaat pertambangan di kawasan hutan. Sumber informasi

diperoleh dalam bentuk dokumen laporan pemerintah, pelaku

usaha (AMDAL), dan laporan-laporan hasil penelitian serta Jurnal

ilmiah nasional dan internasional

F. Teknik Analisis Data

Penelitian dianalisis secara kualitatif yaitu :

1. Reduksi data, dilakukan dengan proses seleksi, fokus,

penyederhanaan, abstraksi dan tranformasi data yang

muncul dalam catatan penelitian atau transkripsi.

2. Penyajian data, dilakukan dengan penataan data sedemikian

rupa sehingga dimungkinkan untuk ditarik kesimpulan;

78

3. Penarikan kesimpulan/verifikasi, dilakukan dengan

penarikan kesimpulan penelitian yang sekaligus merupakan

verifikasi penelitian.

Teknik analisis data dilakukan dengan metode berpikir yang

menggabungkan antara berpikir induktif (inductive reasioning) yaitu

menarik pernyataan berdasarkan hasil-hasil pengamatan, dengan berpikir

deduktif (deductive reasioning) yaitu penarikan pernyataan yang

didasarkan pada hukum dan teori. 116

116

Langeveld dalam Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. CV. Andi Offset. Yogjakarta. Halaman. 125

79

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Konstruksi Hukum Pengaturan Pertambangan Batubara

di Kawasan Hutan Dalam Perspektif Hukum Sumber Daya Alam

1. Konstruksi Hukum Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) bagi

Pertambangan batubara

Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 19 Tahun

2004 dalam Pasal 38 UU kehutanan ini, bahwa pertambangan di

perbolehkan dikawasan hutan produksi dan hutan lindung. Hanya

diwajibkan mendapatkan izin menteri untuk penggunaan kawasan hutan.

Secara lengkap klausul dalam Pasal 38 adalah :

(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

80

Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (4) khusus kawasan hutan

lindung tidak diperbolehkan melakukan penambangan secara terbuka tapi

harus dengan sistem underground/bawah tanah/terowongan. Ketentuan

ini yang kemudian memunculkan berbagai protes pengusaha

pertambangan yang sebelum UU 41 Tahun 1999 di sahkan telah memiliki

izin pertambangan di masa pemerintahan orde baru.

Berdasarkan Ketentuan UU Nomor 19 Tahun 2004, terdapat 13

perusahaan yang di perbolehkan menambang kawasan hutan lindung

secara terbuka. Pemerintah Indonesia yang diwakili instansi pemerintah

atau perusahaan negara yang ditunjuk telah menandatangani perjanjian

karya pertambangan dengan 13 Perusahaan pertambangan tersebut,

sebelum diberlakukan UU Nomor 41 tahun 1999.

Konstruksi Hukum Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Jo. Peraturan Pemerintah

Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, definisi

penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan

hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa

mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut.

Penggunaan kawasan hutan dalam ketentuan Pasal 1 PP Nomor 24

Tahun 2010 berdasarkan sifatnya ada dua yaitu penggunaan kawasan

hutan yang bersifat non-komersial dan penggunaan kawasan hutan yang

bersifat komersial. Penggunaan kawasan hutan yang bersifat

nonkomersial menurut ayat (6) adalah penggunaan kawasan hutan yang

81

bertujuan tidak mencari keuntungan. Ketentuan ayat (7) penggunaan

kawasan hutan yang bersifat komersial adalah penggunaan kawasan

hutan yang bertujuan mencari keuntungan, dengan demikian penggunaan

kawasan hutan untuk pertambangan dapat dikategorikan sebagai

penggunaan kawasan hutan yang bersifat komersial.

Tujuan penggunaan kawasan hutan berdasarkan Pasal 2 untuk

mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan

pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Objek pinjam pakai kawasan

hutan dalam Pasal 3 ayat (1) penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan

di dalam: (a) kawasan hutan produksi; dan/atau (b) kawasan hutan

lindung. Pasal 3 ayat (2) penggunaan kawasan hutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan

hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu

serta kelestarian lingkungan.

Izin penggunaan kawasan hutan Pasal 6 (1) penggunaan kawasan

hutan dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan, ketentuan

ayat (2) mengatur kompensasi pinjam pakai kawasan hutan.

Ketentuan Pasal 1 (8) menjelaskan pengertian reboisasi adalah

upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak berupa

lahan kosong, alang-alang, atau semak belukar untuk mengembalikan

fungsi hutan. Demikian juga diberikan pengertian pada Pasal 1 ayat (9)

Khusus penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang

berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis,

82

berdasarkan Pasal 8 (1) izin pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat

diberikan setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Permohonan penggunaan kawasan hutan diatur dalam Pasal 9 ayat

(2) : permohonan harus memenuhi persyaratan administrasi; dan teknis.

Syarat Permohonan diajukan oleh: (a). menteri atau pejabat setingkat

menteri; (b). gubernur; (c). bupati/walikota; (d). pimpinan badan usaha;

atau (e). ketua yayasan.

Sebelum diterbitkan izin pinjam pakai maka diterbitkanlah

persetujuan prinsip berdasarkan Pasal 10 (1) : berdasarkan permohonan

menteri melakukan penilaian. Pasal 10 ayat (2) dalam hal hasil penilaian

jika menunjukkan permohonan tidak memenuhi persyaratan, menteri

menyampaikan surat penolakan. Ketentuan ayat (3), dalam hal hasil

penilaian menunjukkan permohonan memenuhi persyaratan, Menteri

menerbitkan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan sebelum

menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Ketentuan ayat (4) dalam

hal permohonan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) untuk kegiatan survei atau eksplorasi, menteri menerbitkan izin

pinjam pakai kawasan hutan tanpa melalui persetujuan prinsip.

Jangka waktu persetujuan prinsip diatur dalam Pasal 11 ayat (1)

persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 ayat (3) diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua)

tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil

evaluasi.

83

Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat

kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemohon. Kewajiban bagi pemegang

izin prinsip adalah :

a. melaksanakan tata batas terhadap kawasan hutan yang disetujui dan lahan kompensasi serta proses pengukuhannya;

b. melaksanakan inventarisasi tegakan; c. membuat pernyataan kesanggupan membayar Penerimaan

Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai, dalam hal kompensasi berupa pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai;

d. menyerahkan dan menghutankan lahan untuk dijadikan kawasan hutan, dalam hal kompensasi berupa lahan; dan

e. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pemenuhan kewajiban bagi pemegang izin prinsip Pasal 12 (1)

Pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan dapat

mengajukan dispensasi kepada Menteri.

Kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan

Pasal 15, pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan wajib:

a. membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan;

b. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai;

c. melaksanakan reboisasi pada lahan kompensasi; d. menyelenggarakan perlindungan hutan; e. melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan

hutan yang dipinjam pakai yang sudah tidak digunakan; dan f. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pelanggaran terhadap kewajiban yang tercantum dalam Pasal 15

berdasarkan ketentuan pemberian sanksi yang diatur dalam Pasal 23

dikenai sanksi berupa pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh

84

Menteri. Larangan bagi pemegang izin pinjam pakai Pasal 17 pemegang

izin pinjam pakai kawasan hutan dilarang :

a. memindahtangankan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada pihak lain tanpa persetujuan menteri;

b. menjaminkan atau mengagunkan kawasan hutan yang dipinjam pakai kepada pihak lain.

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 17 dapat dikenakan sanksi

administratif berupa pencabutan izin berdasarkan Pasal 23. Jangka waktu

izin berdasarkan Pasal 18 (1), jangka waktu izin pinjam pakai kawasan

hutan diberikan sama dengan jangka waktu perizinan sesuai bidangnya

dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan ayat (2) jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan untuk

kegiatan yang tidak memerlukan perizinan sesuai bidangnya, izin pinjam

pakai kawasan hutan diberikan dengan jangka waktu paling lama 20 (dua

puluh) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. Izin

pinjam pakai kawasan hutan dievaluasi oleh menteri satu kali dalam 5

(lima) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Ketentuan ayat (5)

dalam hal berdasarkan hasil evaluasi pemegang izin pinjam pakai

kawasan hutan tidak lagi menggunakan kawasan hutan sesuai dengan

izin pinjam pakai kawasan hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan

dicabut.

Kewenangan pengawasan berdasarkan Pasal 19 (1) menteri

melakukan monitoring dan evaluasi terhadap:

a. pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan; b. penerima dispensasi pinjam pakai kawasan hutan; dan c. pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan.

85

Hapusnya izin penggunaan kawasan hutan berdasarkan Pasal 20 (1)

persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 ayat (3) atau izin pinjam pakai kawasan hutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 hapus apabila:

a. jangka waktu persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan hutan telah berakhir;

b. dicabut oleh Menteri; c. diserahkan kembali secara sukarela oleh pemegang persetujuan

prinsip penggunaan kawasan hutan atau pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri sebelum jangka waktu berakhir dengan pernyataan tertulis; atau

Berdasarkan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010

Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan

Kawasan Hutan, hapusnya izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20 tidak membebaskan kewajiban pemegang izin

pinjam pakai kawasan hutan untuk menyelesaikan kewajiban:

a. membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan;

b. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai atau reboisasi pada lahan kompensasi;

c. melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan hutan yang dipinjam pakai yang sudah tidak digunakan;

d. membayar penggantian nilai tegakan, dan provisi sumber daya hutan, dan/atau dana reboisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan dalam izin pinjam pakai kawasan hutan.

Ketentuan Pasal 21 ayat (2) pada saat hapusnya izin pinjam pakai

kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaan barang

tidak bergerak termasuk tanaman yang telah ditanam dalam kawasan

86

hutan yang dipinjam pakai maupun barang bergerak, kepemilikannya

ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan teknis pertambangan di kawasan hutan di tingkat menteri

kehutanan sangatlah dinamis, perubahan sangat cepat berganti, namun

secara umum ketentuan teknis tersebut berorientasi untuk memfasilitasi

pertambangan beroperasi di kawasan hutan. Ketentuan perlindungan

lingkungan dan ekologi diatur namun terkesan sangat lemah. Sehingga

regulasi ditingkat menteri lebih melancarkan eksploitasi pertambangan di

kawasan hutan.

Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Jo.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan

Kawasan Hutan selanjutnya diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan

Hutan, dalam klausul menimbang huruf (b) sebagai dasar pemikiran

dalam penyusunan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-

II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan adalah “bahwa

dalam rangka peningkatan tata kelola, pengendalian penggunaan

kawasan hutan, serta percepatan pelayanan pinjam pakai kawasan hutan

perlu menetapkan kembali peraturan menteri kehutanan tentang pedoman

pinjam pakai kawasan hutan;”

Berdasarkan klausul menimbang maka dapat terlihat maksud

penyusun peraturan ini terdapat tiga pertimbangan, yaitu (1) peningkatan

87

tata kelola; (2) pengendalian penggunaan kawasan hutan; serta (3)

percepatan pelayanan pinjam pakai kawasan hutan.

Dasar menimbang huruf b pada unsur peningkatan tata kelola dan

pengendalian penggunaan hutan menyiratkan keinginan pembentuk

peraturan untuk menata kembali dan mengendalikan penggunaan yang

sudah ada. Sedangkan pada unsur ketiga seolah pemikirannya menjadi

bertolak belakang karena menginginkan percepatan pelayanan

penggunaan kawasan hutan. Pengendalian mengandung unsur kehati

hatian, sedangkan percepatan cenderung mengarah efisiensi yang

seringkali meninggalkan prinsip kehati-hatian.

Definisi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, pada Pasal 1 angka (8)

PMK Nomor : P.16/Menhut-II/2014, izin pinjam pakai kawasan hutan

adalah izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk

kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah

fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 6

ayat (1), penggunaan kawasan hutan dilakukan berdasarkan izin pinjam

pakai kawasan hutan.

Obyek Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan

dalam ketentuan Pasal 4 menentukan kegiatan yang dapat dilakukan di

kawasan hutan adalah kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang

tidak dapat dielakkan. Pertambangan batubara menurut ketentuan ini

merupakan salah satu kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang

tidak dapat dielakkan. Sehingga pertambangan batubara merupakan

88

kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di kawasan hutan. Secara lengkap

Pasal 4 mengatur :

(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan.

(2) Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:

a. religi antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata rohani;

b. pertambangan meliputi pertambangan minyak dan gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi termasuk sarana dan prasarana;

c. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan;

Menurut ketentuan Pasal 5, kawasan hutan yang dapat dilakukan

kegiatan pertambangan adalah kawasan hutan lindung dan hutan

produksi. Namun terdapat batasan bagi pelaksanaan penambangan di

kawasan hutan dan pemberian izin pinjam pakai di kawasan hutan, yaitu:

Pertama : berdasarkan Pasal 5 ayat (1) yaitu : penggunaan kawasan

hutan untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara dilakukan

dengan ketentuan jika dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan

penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan penambangan

dengan pola pertambangan bawah tanah. Sedangkan dalam kawasan

hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola

pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan:

(a) turunnya permukaan tanah; (b) berubahnya fungsi pokok kawasan

hutan secara permanen; dan (c) terjadinya kerusakan akuiver air tanah.

Khusus bagi 13 (tiga belas) izin/perjanjian di bidang pertambangan

89

sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 dapat

dilakukan kegiatan penambangan dengan pola pertambangan terbuka di

kawasan hutan lindung.

Kedua : menurut ketentuan Pasal 13 ayat (1) kawasan hutan

produksi yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu

restorasi ekosistem dalam hutan alam, tidak dapat diberikan izin pinjam

pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Sedangkan ayat (2),

kawasan hutan produksi yang diperuntukkan sebagai daerah penyangga

yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung dan/atau

kawasan hutan konservasi serta areal izin pemanfaatannya telah

ditetapkan sebagai kawasan lindung, areal sistem silvikultur Intensif, atau

areal izin pemanfaatan yang telah memperoleh sertifikat

pengusahaan/pemanfaatan hutan secara lestari (PHPL) dengan nilai

“baik”; tidak dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk

kegiatan pertambangan.

Ketiga : larangan penerbitan IPPKH dikecualikan menurut Pasal 13

ayat (3) untuk: kegiatan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu:

panas bumi, minyak dan gas bumi, serta ketenagalistrikan; serta

permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari menteri dan

perpanjangan izin penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang

izin di bidang usahanya masih berlaku.

90

Keempat : larangan penerbitan IPPKH menurut ketentuan Pasal 13

ayat (3) huruf (a) untuk pertambangan di kawasan hutan produksi yang

telah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi

ekosistem dalam hutan alam, tidak dapat diberikan izin pinjam pakai

kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan. Kawasan hutan produksi

yang diperuntukkan sebagai daerah penyangga yang berbatasan

langsung dengan kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan

konservasi; serta hutan produksi yang areal izin pemanfaatannya telah

ditetapkan sebagai kawasan lindung, areal sistem silvikultur Intensif, atau

areal izin pemanfaatan yang telah memperoleh sertifikat

pengusahaan/pemanfaatan hutan secara lestari (PHPL) dengan nilai

“baik”; tidak dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk

kegiatan pertambangan.

Ketentuan Pasal 13 ayat (3) huruf (b) yang menentukan

pengecualian terhadap “permohonan yang telah mendapat persetujuan

prinsip dari menteri dan perpanjangan izin penggunaan kawasan hutan

yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku,”

mengandung klausul yang tidak jelas, yaitu yang dimaksud telah

mendapatkan “izin prinsip dari menteri” apakah izin prinsip yang keluar

sebelum PMK ini ataukah dapat berlaku pula izin prinsip yang dikeluarkan

menteri setelah berlakunya PMK. Dalam ketentuan ini klausulnya tidaklah

jelas, sehingga dapat ditafsirkan berlaku izin prinsip bagi yang telah ada

sebelum PMK maupun setelah PMK.

91

Tabel 2 : Kawasan Hutan yang menjadi Obyek

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan

Kawasan Hutan yang dapat diterbitkan IPPKH

Pertambangan

Kawasan Hutan yang TIDAK dapat diterbitkan IPPKH Pertambangan

a. Hutan Produksi

penambangan dengan pola pertambangan terbuka;

penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah (Pasal 5 ayat 1)

a. Hutan produksi yang telah dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam hutan alam. Pasal 13 ayat (1)

b.Hutan Lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: (1) turunnya permukaan tanah; (2) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan (3) terjadinya kerusakan akuiver air tanah.

b. Hutan Produksi yang diperuntukkan sebagai daerah penyangga yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan konservasi (Pasal 13 ayat 2)

c.Hutan Lindung boleh ditambang secara terbuka bagi 13 (tiga belas) izin/perjanjian di bidang pertambangan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 jo. UU No. 19 Tahun 2004

c.Hutan Produksi yang areal izin pemanfaatannya telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, areal Sistem Silvikultur Intensif, atau areal izin pemanfaatan yang telah memperoleh sertifikat pengusahaan/pemanfaatan hutan secara lestari (PHPL) dengan nilai “baik”;(Pasal 13 ayat 2)

d.Hutan Konservasi tidak dapat diterbitkan izin pertambangan

Sumber : UU Nomor 5 Tahun 1990, UU 41 Tahun 1999 jo. UU 19 tahun 2004, Keppres 41 tahun 2004, PMK Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Subyek yang dapat mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan

berdasarkan Pasal 14 ayat (1) adalah : menteri atau pejabat setingkat

92

menteri; gubernur; bupati/walikota; pimpinan badan usaha; atau ketua

yayasan.

Berdasarkan ketentuan dalam PMK ini, luas izin pinjam pakai

kawasan hutan diatur Pasal 11 ayat (1) luas izin pinjam pakai kawasan

hutan untuk kegiatan pertambangan pada kawasan hutan produksi yang

dibebani izin pemanfaatan hutan dapat dipertimbangkan paling banyak

seluas 10% (sepuluh perseratus) dari luas efektif setiap izin pemanfaatan

hutan.

Pasal 11 ayat (2), dalam hal kawasan hutan produksi yang dimohon

untuk kegiatan pertambangan tidak dibebani izin pemanfaatan hutan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), luas izin pinjam pakai kawasan

hutan yang dapat dipertimbangkan paling banyak 10% (sepuluh

perseratus) dari luas kawasan hutan produksi kabupaten/kota yang tidak

dibebani izin pemanfaatan hutan.

Pasal 11 ayat (3) luas izin pinjam pakai kawasan hutan untuk

kegiatan pertambangan pada areal kerja Perum Perhutani dapat

dipertimbangkan paling banyak seluas 10% (sepuluh perseratus) dari luas

kesatuan pemangkuan hutan Perum Perhutani. Ketentuan Pasal 11 ayat

(4) dalam hal permohonan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan

pertambangan berada pada kawasan hutan lindung, luas izin pinjam pakai

kawasan hutan yang dapat dipertimbangkan paling banyak 10% (sepuluh

perseratus) dari luas kelompok hutan lindung yang bersangkutan.

93

Tabel 3:

Luas Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan

NO Status Hutan Luas Maksimal

1 hutan produksi yang dibebani izin pemanfaatan hutan

10% (sepuluh perseratus) dari luas efektif setiap izin pemanfaatan hutan.

2 hutan produksi yang dibebani izin pemanfaatan hutan

10% (sepuluh perseratus) dari luas kawasan hutan produksi kabupaten/kota yang tidak dibebani izin pemanfaatan hutan

3 Kawasan hutan di areal kerja Perum Perhutani

10% (sepuluh perseratus) dari luas kesatuan pemangkuan hutan Perum Perhutani

4 Hutan Lindung 10% (sepuluh perseratus) dari luas kelompok hutan lindung yang bersangkutan

Sumber : PMK Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Pada ayat (5) ketentuan paling banyak seluas 10% (sepuluh

perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan

ayat (4) antara lain dengan mempertimbangkan: pengendalian

penggunaan kawasan hutan; dan kelangsungan usaha izin usaha

pemanfaatan hasil hutan atau pengelolaan kawasan hutan.

Ketentuan pengecualian tentang luas izin pinjam pakai dalam Pasal

11 ayat (6) adalah ketentuan paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari

luas kawasan hutan tidak berlaku bagi permohonan izin pinjam pakai

kawasan hutan untuk kegiatan: survei atau eksplorasi pertambangan; dan

operasi produksi minyak dan gas bumi serta panas bumi.

Syarat izin pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan Pasal 15 (1)

harus memenuhi syarat administrasi dan teknis, syarat administrasi;

94

meliputi: (a) surat permohonan; (b) Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi

(IUP Eksplorasi) atau Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP

Operasi Produksi) atau perizinan/perjanjian lainnya yang telah diterbitkan

oleh pejabat sesuai kewenangannya, kecuali untuk kegiatan yang tidak

wajib memiliki perizinan/perjanjian; (c) rekomendasi; (d) pernyataan dalam

nota akta riil; (e) dalam hal permohonan diajukan oleh badan usaha atau

yayasan, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai

dengan huruf d ditambah persyaratan: akta pendirian dan perubahannya;

profile badan usaha/yayasan; nomor pokok wajib pajak; dan laporan

keuangan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

Syarat teknis, meliputi : (a) rencana kerja penggunaan kawasan

hutan dilampiri dengan peta lokasi skala 1:50.000 atau skala terbesar

pada lokasi tersebut dengan informasi luas kawasan hutan yang dimohon;

(b) citra satelit terbaru paling lama liputan 2 (dua) tahun terakhir dengan

resolusi minimal 15 (lima belas) meter dan hasil penafsiran citra satelit

oleh pihak yang mempunyai kompetensi di bidang penafsiran citra satelit

dalam bentuk digital dan hard copy serta pernyataan bahwa citra satelit

dan hasil penafsirannya benar; (c) Kelengkapan persyaratan teknis

penyediaan citra satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

dikecualikan bagi permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk

kegiatan pertambangan yang kurang dari 5 hektar. (d) izin lingkungan dan

dokumen AMDAL atau UKL-UPL yang telah disahkan oleh instansi yang

berwenang, untuk kegiatan yang wajib menyusun AMDAL atau UKL-UPL

95

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (e)

pertimbangan teknis direktur jenderal yang membidangi mineral dan

batubara pada kementerian energi dan sumber daya mineral untuk

perizinan kegiatan pertambangan yang diterbitkan oleh gubernur atau

bupati/walikota sesuai kewenangannya, memuat informasi antara lain

bahwa areal yang dimohon di dalam atau di luar WUPK yang berasal dari

WPN dan pola pertambangan;

Rekomendasi sebagai syarat izin diperlukan dari : (1) gubernur untuk

pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang

diterbitkan oleh bupati/walikota dan pemerintah; atau (b) bupati/walikota

untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang

kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur; atau (3) bupati/walikota untuk

pinjam pakai kawasan hutan yang tidak memerlukan perizinan sesuai

bidangnya. Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana

memuat persetujuan atas penggunaan kawasan hutan yang dimohon,

berdasarkan pertimbangan teknis kepala dinas provinsi atau kepala dinas

kabupaten/kota yang membidangi kehutanan dan kepala balai

pemantapan kawasan hutan setempat.

Pernyataan dalam bentuk akta notariil yang menyatakan: (1)

kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban dan kesanggupan

menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan; (2) semua

dokumen yang dilampirkan dalam permohonan adalah sah; dan (3) tidak

melakukan kegiatan di lapangan sebelum ada izin dari menteri;

96

Kewenangan pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan,

pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan Pasal 9 ayat (1)

diberikan oleh menteri berdasarkan permohonan. Ketentuan khusus

penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak

penting dan cakupan luas serta bernilai strategis, berdasarkan ketentuan

Pasal 10 adalah: penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang

berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, izin

pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat diberikan setelah mendapat

persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Kriteria penggunaan kawasan

hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang

luas serta bernilai strategis yaitu:

(a) pertambangan yang berada di dalam Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) yang berasal dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat;

(b) persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada huruf a, merupakan dasar pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan di seluruh WUPK yang menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

(c) Pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis perlu ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pada saat WPN menjadi WUPK sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tata cara perolehan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, berdasarkan

ketentuan Pasal 12 ayat (1) dalam rangka pengendalian penggunaan

kawasan hutan pemberian izin pinjam pakai untuk kegiatan operasi

produksi pertambangan dapat diberikan secara bertahap. Sedangkan

pada ayat (2) mengharuskan adanya evaluasi atas penggunaan kawasan

97

hutan sebelumnya sebagai dasar pertimbangan pemberian izin pinjam

pakai tahap kedua dan selanjutnya.

Tata cara permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan yang diatur

dalam PMK ini melalui tahap izin survey atau eksplorasi dan dapat

dilanjutkan ke tahap persetujuan prinsip, setelah memenuhi persyaratan

dapat diberikan IPPKH. Tata cara permohonannya yaitu : Pasal 25 (1)

berdasarkan pemenuhan kewajiban dalam persetujuan prinsip

penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,

pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan mengajukan

permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada menteri.

Berdasarkan ayat (2) menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima

belas) hari kerja setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) memerintahkan direktur jenderal untuk melakukan penilaian

pemenuhan kewajiban. Berdasarkan ketentuan ayat (3), dalam hal

permohonan belum memenuhi seluruh kewajiban, direktur jenderal dalam

jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja, menerbitkan surat

pemberitahuan kekurangan pemenuhan kewajiban.

Pasal 25 ayat (4) dalam hal permohonan telah memenuhi seluruh

kewajiban, direktur jenderal dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari kerja menyampaikan usulan penerbitan izin pinjam pakai

kawasan hutan berikut peta lampiran kepada sekretaris jenderal.

Ketentuan ayat (5), sekretaris jenderal dalam jangka waktu paling lama 15

(lima belas) hari kerja sejak menerima usulan penerbitan izin pinjam pakai

98

kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melakukan telaahan

hukum dan menyampaikan konsep Keputusan izin pinjam pakai kawasan

hutan dan peta lampiran kepada menteri. Sedangkan ketentuan ayat (5),

menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah

menerima konsep sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menerbitkan

keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan.

Diversifikasi dimungkinkan menurut ketentuan ini. Hal ini

menunjukkan kemungkinan adanya tumpang tindih penggunaan kawasan.

Berdasarkan Pasal 26 (1), apabila dalam areal izin pinjam pakai kawasan

hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6) terdapat

diversifikasi penggunaan kawasan hutan, pemegang izin pinjam pakai

kawasan hutan yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan

diversifikasi penggunaan kawasan hutan kepada menteri. Ketentuan ayat

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi

dengan izin usaha, izin lingkungan dan dokumen AMDAL untuk komoditas

baru, serta revisi rencana kerja yang telah disesuaikan dengan komoditas

baru. Ketentuan ayat (3), menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima

belas) hari kerja setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), memerintahkan direktur jenderal untuk melakukan

penilaian. Ketentuan ayat (4) direktur jenderal dalam jangka waktu paling

lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima perintah tertulis

sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a. menyampaikan usulan perubahan Keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan berikut peta lampiran kepada

99

Sekretaris Jenderal, dalam hal permohonan memenuhi persyaratan; atau

b. atas nama menteri menerbitkan surat penolakan, dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan.

Pasal 25 ayat (6) terdapat permohonan penggunaan kawasan hutan

oleh pemohon baru dalam rangka diversifikasi penggunaan kawasan

hutan sebelumnya, maka permohonan tersebut wajib bekerjasama

dengan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan yang telah ada.

Ketentuan ayat (2) permohonan diajukan oleh pemegang izin pinjam pakai

dilengkapi dengan persyaratan: (a). perjanjian kerjasama yang dituangkan

dalam akta notariil; (b). izin usaha, izin lingkungan dan dokumen AMDAL

komoditas baru, serta revisi rencana kerja yang telah disesuaikan dengan

komoditas baru.

Jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan

pertambangan, mengacu pada ketentuan Pasal 40 ayat (1) “persetujuan

prinsip penggunaan kawasan hutan diberikan selama 2 (dua) tahun dan

dapat diperpanjang.” Sedangkan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk

kegiatan survei dan eksplorasi sesuai ayat (2) diberikan selama 2 (dua)

tahun dan dapat diperpanjang.

Sesuai Pasal 40 ayat (3) huruf (a), izin pinjam pakai kawasan hutan

untuk kegiatan operasi produksi pertambangan meliputi pertambangan

minyak dan gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi termasuk sarana

100

dan prasarana; diberikan sama dengan jangka waktu perizinan

dibidangnya.

Jangka waktu pemberian IPPKH, memberikan peluang untuk usaha

pertambangan di kawasan untuk beroperasi dalam jangka waktu yang

cukup. Ketentuan ini memberikan kemudahan dengan adanya peluang

perusahaan pemegang izin untuk memperpanjang izin yang telah

diperoleh sebelumnya.

Izin bagi prasarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai

prasarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil

produksi, termasuk pertambangan sesuai Pasal 40 ayat (4) huruf (a) Izin

pinjam pakai kawasan hutan diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Hapusnya persetujuan prinsip atau izin berdasarkan Pasal 47,

persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan hapus apabila: (1) jangka

waktu persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau IPPKH telah

berakhir; (2) dicabut oleh menteri; (3) diserahkan kembali secara sukarela

oleh pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau

pemegang IPPKH kepada menteri sebelum jangka waktu berakhir dengan

pernyataan tertulis; (4) izin usaha pertambangan eksplorasi (IUP

Eksplorasi) atau izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP-Operasi

Produksi) atau perizinan di bidangnya dicabut oleh pejabat sesuai

kewenangannya.

Implikasi dari hapusnya izin bagi pemegang IPPKH sebagaimana

diatur dalam Pasal 48 adalah : (1), hapusnya izin pinjam pakai kawasan

101

hutan tidak membebaskan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan

untuk menyelesaikan kewajiban dalam izin pinjam pakai kawasan hutan.

Ketentuan ayat (2) pada saat hapusnya izin pinjam pakai kawasan hutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, keberadaan barang tidak

bergerak maupun tanaman yang telah ditanam dalam areal izin pinjam

pakai kawasan hutan menjadi milik negara; dan barang bergerak menjadi

milik pemegang izin. Ketentuan ayat (3) barang bergerak sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib dikeluarkan dari kawasan hutan oleh

pemegang izin yang izinnya hapus dalam jangka waktu paling lama 6

(enam) bulan sejak hapusnya izin atau sejak kegiatan reklamasi dinilai

berhasil. Ketentuan ayat (4) apabila barang bergerak tidak dikeluarkan

dari kawasan hutan sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, maka

dilelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1.1 Izin dalam Konstruksi Hukum Administrasi Negara

Pengaturan pertambangan di kawasan hutan secara khusus pertama

kali diatur melalui Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor

64/kpts/DJ/1978 tentang Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan SKB Menteri

Pertambangan dan Kehutanan. Ketentuan tersebut memberlakukan untuk

pertama kali istilah pinjam pakai dengan obyek hutan untuk kegiatan

pertambangan.

Ketentuan persetujuan Pinjam pakai Kawasan hutan di berikan

dalam bentuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diatur

102

dalam Pasal 38 UU Nomor 41 Tahun 1999 yang di ubah oleh UU Nomor

19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan

(PERMENHUT) P.14/Menhut/II/2006 Tanggal 10 Maret 2006 Tentang

Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Jo P.64/Menhut/2006 Tanggal 17

Oktober 2006 tentang perubahan P.14/Menhut/II/2006, yaitu; pasal 2,

pasal 8 ayat 3, pasal 13 ayat 2 dan pasal 18 ayat 1. Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Regulasi

terus berganti hingga Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.16/Menhut-

II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dalam skema penggunaan

kawasan hutan untuk pertambangan ini terdapat dua konstruksi hukum

yaitu konstruksi izin yang tunduk pada ketentuan hukum administrasi,

dengan konstruksi pinjam pakai yang tunduk pada ketentuan hukum

perdata. Kedua konstruksi hukum ini mempunyai konsekuensi hukum

yang berbeda.

Menurut Ridwan, izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan

oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti

cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret.117 Izin

menurut Sjahran Basah adalah perbuatan hukum administrasi negara

bersegi satu yang mengalikasikan peraturan dalam hal konkrit

berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh

117

Ridwan HR. 2010. Hukum Administrasi Negara, Mandar Maju, Bandung. Halaman : 11

103

ketentuan peraturan perundang-undangan.118 Adapun unsur-unsur

perizinan meliputi : Instrumen yuridis, wewenang yang diberikan peraturan

perundang-undangan, organ pemerintah, peristiwa konkret, prosedur dan

persyaratan. Menurut pendapat Sjahran Basah, unsur pertama yaitu: izin

sebagai instrumen yuridis, yang dimaksudkan adalah izin merupakan

instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan

digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa

konkret, sebagai ketetapan izin dibuat sesuai ketentuan dan persyaratan

yang berlaku pada ketetapan pada umumnya.

Unsur kedua adalah wewenang berdasarkan peraturan perundang-

undangan, yang berarti pembuatan dan penerbitan ketetapan izin

merupakan tindakan hukum pemerintah, sebagai tindakan hukum maka

harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan

atau harus berdasarkan wewenang. Tindakan hukum itu menjadi tidak sah

oleh karena itu dalam hal membuat dan menerbitkan izin haruslah

didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku, karena tanpa adanya dasar wewenang tersebut

ketetapan izin tersebut menjadi tidak sah.

Unsur ketiga adalah organ pemerintah, yang dimaksudkan yaitu

organ yang menjalankan urusan pemerintah baik di tingkat pusat maupun

118

https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://Intisarihukum.blogspot.com/ 2010/12/ diakses 10 Juli 2017.Pk.10.25 Wite.

104

ditingkat daerah, dari badan tertinggi hingga badan terendah berwenang

memberikan izin.

Unsur keempat adalah prosedur dan persyaratan. Izin pada

umumnya harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah

ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Persyaratan umumnya

ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau pertauran perundang-

undangan. Menurut Soehino119 syarat-syarat dalam izin itu bersifat

konstitutif dan kondisional. Konstitutif artinya sebelum pemberian izin telah

ditentukan suatu perbuatan atau tingkah laku tertentu yang harus (terlebih

dahulu). Kondisiional artinya penilaian baru ada dan dapat dilihat serta

dapat dinilai setelah perbuatan atau tingkah laku yang disyaratkan itu

terjadi.

1.2 Konstruksi Hukum Pinjam Pakai berdasarkan KUH- Perdata

a. Definisi Pinjam Pakai

Istilah pinjam pakai diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (KUH-Perdata) Ketentuan Pinjam Pakai yang diatur dalam Bab

XII Kitab Undang-undang Hukum Perdata, berdasarkan Pasal 1740

Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu

menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-cuma kepada

pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu setelah

119

ibid

105

memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan

mengembalikan barang itu. Berdasarkan definisi pinjam pakai menurut

KUH-Perdata, maka konstruksi hukum pinjam pakai adalah :

a. Bentuk konstruksi hukum pinjam pakai adalah konstruksi

perjanjian, dalam perjanjian kedudukan hukum para pihak setara.

b. Pinjam pakai merupakan perjanjian dalam nama pihak yang satu

menyerahkan barang untuk dipakai dengan cuma-cuma kepada

pihak lain.

c. Pihak yang menerima barang itu setelah memakainya atau

setelah lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan

barang itu.

b. Obyek pinjam

Obyek pinjam pakai adalah segala sesuatu yang tidak musnah

karena pemakaian. Syarat bahwa obyek pinjam pakai adalah sesuatu

yang tidak musnah karena pemakaian, sedangkan obyek IPPKH adalah

hutan yang jika digunakan sebagai kawasan pertambangan batubara,

obyeknya akan musnah. Upaya pengembalian kawasan hutan dalam

mekanisme reklamasi tidak akan dapat memenuhi unsur obyek tidak

musnah.

Ketentuan kepemilikan barang objek pinjam pakai diatur dalam Pasal

1741 KUH-Perdata yaitu orang yang meminjamkan itu tetap menjadi

pemilik mutlak barang yang dipinjamkan itu. Pasal 1742 KUH-Perdata,

106

segala sesuatu yang dipergunakan orang dan tidak dapat musnah karena

pemakaiannya, dapat menjadi pokok perjanjian ini.

Pewarisan terhadap objek pinjam pakai diatur dalam Pasal 1743.

Semua perjanjian yang lahir dan perjanjian pinjam pakai, beralih kepada

ahli waris orang yang meminjamkan dan ahli waris peminjam. Akan tetapi

jika pemberian pinjaman dilakukan hanya kepada orang yang

menerimanya dan khusus kepada orang itu sendiri, maka semua ahli

waris peminjam tidak dapat tetap menikmati barang pinjaman itu.

c. Kewajiban-kewajiban Orang yang Menerima Barang Pinjam Pakai

Kewajiban yang lahir dari perjanjian pinjam pakai menurut

ketentuan KUH Perdata bagi orang yang menerima barang pinjam pakai

adalah :

1) Kewajiban orang yang menerima barang pinjam pakai barang

memelihara barang itu sebagai seorang kepala keluarga yang

baik, Ia tidak boleh menggunakan barang itu selain untuk

maksud pemakaian yang sesuai dengan sifatnya, atau untuk

kepentingan yang telah ditentukan dalam perjanjian. Bila

menyimpang dari larangan ini, peminjam dapat dihukum

mengganti biaya, kerugian dan bunga, kalau ada alasan untuk

itu. (Pasal 1744)

107

2) Jika peminjam memakai barang itu untuk suatu tujuan lama

atau lebih lama dan yang semestinya, maka wajiblah ia

bertanggung jawab atas musnahnya barang itu sekalipun

musnahnya barang itu disebabkan oleh suatu peristiwa yang

tidak disengaja.

3) Jika barang pinjaman itu musnah karena suatu peristiwa yang

tidak disengaja, sedang hal itu dapat dihindarkan oleh

peminjam dengan jalan memakai barang kepunyaan sendiri

atau jika peminjam tidak mempedulikan barang pinjaman

sewaktu terjadinya peristiwa termaksud, sedangkan barang

kepunyaannya sendiri diselamatkannya, maka peminjam wajib

bertanggung jawab atas musnahnya barang itu.(Pasal 1745)

4) Jika barang itu telah ditaksir harganya pada waktu dipinjamkan

maka musnahnya barang itu meskipun hal ini terjadi karena

peristiwa yang tak disengaja adalah tanggungan peminjam,

kecuali kalau telah dijanjikan sebaliknya. (Pasal 1746)

5) Jika barang itu menjadi berkurang harganya semata-mata

karena pemakaian yang sesuai dengan maksud peminjaman

barang itu, dan bukan karena kesalahan peminjam maka ia

tidak bertanggung jawab atas berkurangnya harga itu. (Pasal

1747)

108

6) Jika pemakai telah mengeluarkan biaya untuk dapat memakai

barang yang dipinjamnya itu, maka ia tidak dapat menuntut

biaya tersebut diganti.(Pasal 1748)

7) Jika beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang,

maka mereka masing-masing wajib bertanggung jawab atas

keseluruhannya kepada pemberi pinjaman. (Pasal 1749);

d. Kewajiban-kewajiban Pemberi Pinjaman

Kewajiban yang lahir dari perjanjian pinjam pakai menurut ketentuan

KUH Perdata bagi pemberi pinjam pakai adalah :

1) Pemberi pinjaman tidak dapat meminta kembali barang yang

dipinjamkannya kecuali bila sudah lewat waktu yang ditentukan,

atau dalam hal tidak ada ketentuan tentang waktu peminjaman

itu, bila barang yang dipinjamkan itu telah atau dianggap telah

selesai digunakan untuk tujuan yang dimaksudkan (Pasal

1750).

2) Akan tetapi bila dalam jangka waktu itu atau sebelum

berakhirnya keperluan untuk memakai barang itu, pemberi

pinjaman sangat membutuhkan barangnya dengan alasan yang

mendesak dan tidak terduga, maka dengan memperhatikan

keadaan, Pengadilan dapat memaksa penunjang untuk

mengembalikan barang pinjaman itu kepada pemberi pinjaman.

(Pasal 1751)

109

3) Jika dalam jangka waktu pemakaian barang pinjaman itu

pemakai terpaksa mengeluarkan biaya yang sangat perlu guna

menyelamatkan barang pinjaman itu; dan begitu mendesak

sehingga oleh pemakai tidak sempat diberitahukan terlebih

dahulu kepada pemberi pinjaman, maka pemberi pinjaman ini

wajib mengganti biaya itu (Pasal 1752)

4) Jika barang yang dipinjamkan itu mempunyai cacat-cacat

sedemikian rupa sehingga pemakai orang itu bisa mendapat

rugi, sedang pemberi pinjaman harus bertanggung jawab atas

semua akibat pemakaian barang. (Pasal 1753).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1741, orang yang meminjamkan itu

tetap menjadi pemilik mutlak barang yang dipinjamkan. Ketentuan

tersebut berbeda dengan konstruksi hukum, yang mengatur bahwa

Negara menguasai kawasan hutan bukan sebagai pemilik mutlak

kawasan hutan yang menjadi barang yang dipinjam pakai.

1.3 Kesalahan Konstruksi Hukum dalam Skema Izin Pinjam Pakai

Kawasan Hutan (IPPKH) Bagi Pertambangan di Kawasan Hutan

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) terdapat kesalahan

konstruksi hukum yaitu :

a. Penggunaan istilah tidak konsisten

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-

II/1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Pasal 20

110

ayat (1) menyebutkan bahwa pihak yang mendapatkan hak pinjam

pakai kawasan hutan sebagai “.....pemegang izin pinjam pakai.”

Sedangkan pada Pasal 17 menggunakan istilah “perjanjian” pinjam

pakai kawasan hutan. Ketentuan ini menunjukkan tidak konsisten

dalam penggunaan istilah antara penggunaan izin dan perjanjian

yang secara konstruksi hukum berbeda. Nampaknya perumus

regulasi ini menggabungkan dua konstruksi hukum yaitu konstruksi

izin dan konstruksi perjanjian untuk mengatur pertambangan di

kawasan hutan.

b. Penggabungan antara konstruksi izin dan perjanjian.

Penggabungan konstruksi hukum izin dan konstruksi hukum

perjanjian mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Izin

merupakan produk administrasi negara yang menempatkan posisi

pemegang izin dibawah pengawasan pemberi izin.

Sedangkan pinjam pakai yang merupakan konstruksi hukum

perdata yaitu dalam bentuk perjanjian, yang menempatkan para

pihak pemerintah dan pengusaha tambang sebagai pihak yang

setara/sejajar. Hal ini akan menjadi titik lemah dalam proses

pengawasan.

c. Konstruksi Pinjam Pakai sebagai perjanjian cuma-cuma tidak sesuai

untuk penggunaan kawasan hutan untuk tambang

Penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dengan

konstruksi “pinjam pakai”. Pengertian pinjam pakai dalam Kitab

111

Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1740 adalah suatu perjanjian

dalam mana pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk

dipakai dengan cuma-cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa

pihak yang menerima barang itu setelah memakainya atau setelah

lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan barang itu.

Berdasarkan ketentuan tersebut nampak persoalan yaitu

penyerahan barang untuk dipinjam pakai dasarnya adalah cuma-

cuma, artinya pemilik barang tidak boleh mengenakan tarif tertentu

dalam hubungan hukum “pinjam pakai”. Sedangkan dalam konsep

pinjam pakai kawasan hutan, pemegang pinjam pakai atau pihak

pengusaha pertambangan dibebani berbagai kewajiban keuangan

berupa royalty, landrent, serta iuran-iuran yang lain. Sehingga

penggunaan konsep pinjam pakai tidaklah tepat dalam ketentuan ini.

Karena pertambangan di kawasan hutan bukanlah perjanjian cuma-

cuma.

d. Konstruksi pinjam pakai mewajibkan pengembalian barang, tidak

sesuai dengan konstruksi pinjam pakai kawasan hutan untuk

pertambangan batubara. Berdasarkan ketentuan KUH-Perdata Pasal

1740, syarat dalam pinjam pakai adalah “....pihak yang menerima

barang itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang

ditentukan akan mengembalikan barang itu.” Sehingga karena

penggunaan kawasan hutan memakai konstruksi pinjam meminjam

artinya barang yang dipinjam akan kembali dalam keadaan sama

112

seperti saat meminjam, tentu hal ini berbeda dengan kawasan hutan

yang dipinjam untuk pertambangan, pengembaliannya tidak dalam

kondisi yang sama. Bahkan kekayaan alam yang berupa

keanekaragaman hayati kawasan hutan sebagai obyek pinjam pakai

akan hilang dan tidak akan kembali seperti semula. Awal

peminjaman berbentuk hutan setelah kembali berbentuk padang

tandus dan lubang raksasa yang tidak ada lagi kekayaan

keanekaragaman hayati. Sehingga penggunaan konstruksi hukum

pinjam pakai kawasan hutan bagi pertambangan batubara tidak tepat

e. Berdasarkan ketentuan Pasal 1741 orang yang meminjamkan itu

tetap menjadi pemilik mutlak barang yang dipinjamkan itu. Ketentuan

tersebut berbeda dengan konstruksi hukum pertambangan, yang

mengatur bahwa tanah permukaan bukan merupakan milik

pemegang hak pengusahaan pertambangan.

f. Obyek pinjam pakai tidak sesuai dengan kawasan hutan untuk

pertambangan. Berdasarkan Pasal1742 KUH Perdata, objek pinjam

pakai adalah segala sesuatu yang dipergunakan orang dan tidak

dapat musnah karena pemakaiannya, dapat menjadi pokok

perjanjian ini. Ketentuan tersebut menjadi syarat bahwa dalam

penggunaan konstruksi perjanjian pinjam pakai, obyek yang

diperjanjikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan orang dan

tidak dapat musnah. Dalam konteks perjanjian pinjam pakai kawasan

hutan untuk pertambangan jelas obyeknya justru hilang, dalam hal ini

113

hutan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati penting.

Sehingga penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan tidak

dapat menggunakan konstruksi hukum perjanjian pinjam pakai.

g. Kesesuaian dengan definisi Izin Pinjam Pakai. Izin pinjam pakai

kawasan hutan menurut ketentuan Pasal 1 (8) Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 adalah izin yang diberikan

untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan

pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi

dan peruntukan kawasan hutan. Definisi “tanpa mengubah fungsi”

nampak secara faktual tidak sesuai dengan kondisi dan situasi

kawasan hutan yang dipergunakan pertambangan batubara secara

terbuka. Ciri pertambangan terbuka yang mengubah bentang alam,

menyebabkan setelah dilakukan penambangan maka fungsi semula

kawasan hutan akan berubah, tidak akan berfungsi seperti semula.

h. Pinjam pakai kawasan hutan tidak sesuai dengan konstruksi Pinjam

Pakai Habis berdasarkan KUH Perdata

Definisi pinjam pakai, menurut Pasal 1754 adalah suatu

perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah

barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat

bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada

pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.

Ketentuan pinjam pakai habis inilah yang di adopsi dalam

ketentuan pinjam pakai kawasan hutan. Pemegang izin pinjam pakai

114

kawasan hutan dibebankan kewajiban penyediaan lahan kompensasi

atau lahan pengganti bagi areal pertambangan yang dikategorikan

tidak dapat dipulihkan. Namun dalam ketentuan nya terdapat

penyimpangan karena jika perusahaan pertambangan tidak mampu

menyediakan lahan pengganti maka dapat diganti dengan sejumlah

uang. Ketentuan penggantian uang tidak sesuai dengan kosntrusi

pinjam pakai habis.

Kompensasi pinjam pakai berdasarkan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor 12/Menhut-II/2004 tentang penggunaan kawasan

hutan lindung untuk kegiatan pertambangan Pasal 9 (1) izin pinjam

pakai kawasan hutan lindung dikenakan kompensasi berupa

menyediakan dan menyerahkan lahan di luar kawasan hutan untuk

dijadikan kawasan hutan. Pasal 9 (2) persyaratan lahan kompensasi:

a. memiliki status tanah yang jelas dan bertitel hak atas nama pemohon;

b. bebas dari pembebanan hak tanggungan; c. bebas dari sengketa; d. berbatasan langsung dengan kawasan hutan; dan e. terletak dalam satu DAS/Sub DAS Kabupaten/Provinsi dengan

area yang dipinjampakaikan; b. memenuhi persyaratan teknis untuk dijadikan hutan.

Pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% dari

luas daratan, areal kompensasinya seluas dua kali kawasan hutan

yang dipinjampakaikan. Pada provinsi yang luas kawasan hutannya

30% dari luas daratan atau lebih, areal kompensasinya seluas

kawasan hutan yang dipinjampakaikan.

115

Lahan kompensasi sulit dipenuhi perusahaan karena tidak ada

lagi lahan kosong non hutan yang belum ada peruntukannya. Selain

wilayah pertambangan yang sudah sangat luas alokasinya.

Ketentuan keberadaan lahan kompensasi menyiratkan kesadaran

penyusun peraturan bahwa pertambangan di kawasan hutan lindung

akan menghilangkan kawasan hutannya akibat pemakaian

penambangan.

Pasal 1755, berdasarkan perjanjian tersebut, orang yang

menerima pinjaman menjadi pemilik mutlak barang pinjaman itu, dan

bila barang ini musnah, dengan cara bagaimanapun maka kerugian

itu menjadi tanggungan peminjam. Kewajiban-kewajiban orang yang

meminjamkan berdasarkan Pasal 1759, pemberi pinjaman tidak

dapat meminta kembali barang yang dipinjamkan sebelum lewat

waktu yang telah ditentukan di dalam perjanjian. Jika jangka waktu

peminjaman menurut Pasal 1760, tidak ditentukan maka bila pemberi

pinjaman menuntut pengembalian barang pinjaman itu, Pengadilan

boleh memberikan sekadar kelonggaran kepada peminjam sesudah

mempertimbangkan keadaan. Pasal 1761, Jika telah dijanjikan

bahwa peminjam barang atau uang akan mengembalikannya bila ía

mampu untuk itu, maka kalau pemberi pinjaman menuntut

pengembalian barang pinjaman atau barang pinjaman itu,

pengadilan boleh menentukan waktu pengembalian sesudah

mempertimbangkan keadaan.

116

1.4 Pilihan alternatif konstruksi hukum penggunaan kawasan hutan

untuk pertambangan

Beberapa alternatif pilihan konstruksi hukum penggunaan kawasan

hutan untuk pertambangan yaitu: konstruksi hukum sewa-menyewa,

konstruksi hukum pinjam pakai habis, serta konstruksi hukum perizinan.

1.4.1 Pemberian hak penambangan di kawasan hutan melalui

konstruksi hukum sewa-menyewa,

a. Definisi Sewa-menyewa

Sewa-menyewa, berdasarkan Pasal 1548 KUH-Perdata, adalah :

“Suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.”

b. Kewajiban Pihak yang menyewakan :

1. Pasal 1551, “Pihak yang menyewakan wajib untuk menyerahkan

barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segala-

galanya. Selama waktu sewa, ia harus menyuruh melakukan

pembetulan-pembetulan yang perlu dilakukan pada barang yang

disewakan, kecuali pembentukan yang menjadi kewajiban

penyewa.”

2. Pasal 1552, Pihak yang menyewakan harus menanggung

penyewa terhadap semua cacat barang yang disewakan yang

merintangi pemakaian barang itu, meskipun pihak yang

117

menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuat

persetujuan sewa. Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan

suatu kerugian bagi penyewa, maka pihak yang menyewakan

wajib memberikan ganti rugi.

3. Pasal 1553, Jika barang yang disewakan musnah sama sekali

dalam masa sewa karena suatu kejadian yang tak disengaja,

maka persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barang yang

bersangkutan hanya sebagian musnah, maka penyewa dapat

memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga

atau akan meminta pembatalan persetujuan sewa, tetapi dalam

kedua hal itu ia tidak berhak atas ganti rugi.

4. Pasal 1556, Pihak yang menyewakan tidak wajib menjamin

penyewa terhadap rintangan dalam merintangi dalam menikmati

barang sewa yang dilakukan oleh pihak ketiga tanpa

berdasarkan suatu hak atas barang sewa itu, hal ini tidak

mengurangi hak penyewa untuk menuntut sendiri orang itu.

c. Hak dan kewajiban penyewa

Pasal 1557, Jika sebaliknya penyewa diganggu dalam

kenikmatannya karena suatu tuntutan hukum mengenai hak milik atas

barang yang bersangkutan, maka ia berhak menuntut pengurangan

harga sewa menurut perimbangan, asal gangguan atau rintangan itu

telah diberitahukan secara sah kepada pemilik.

118

Pasal 1558, “Jika orang-orang yang melakukan perbuatan-

perbuatan tersebut menyatakan bahwa mereka mempunyai suatu hak

atas barang yang disewakan, atau jika penyewa sendiri digugat untuk

mengosongkan seluruh atau sebagian dari barang yang disewa atau

untuk menerima pelaksanaan pengabdian pekarangan, maka ia wajib

memberitahukan hal itu kepada pihak yang menyewakan dan dapat

memanggil pihak tersebut sebagai penanggung. Bahkan ia dapat

menuntut supaya ia dikeluarkan dari perkara, asal ia menunjuk untuk

siapa ia menguasai barang yang bersangkutan.”

Pasal 1559, “Penyewa, jika tidak diizinkan, tidak boleh

menyalahgunakan barang yang disewanya atau melepaskan sewanya

kepada orang lain, atas ancaman pembatalan persetujuan sewa dan

penggantian biaya, kerugian dan bunga sedangkan pihak yang

menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak wajib menaati persetujuan

ulang sewa itu. Jika yang disewa itu berupa sebuah rumah yang didiami

sendiri oleh penyewa, maka dapatlah ia atas tanggung jawab sendiri

menyewakan sebagian kepada orang lain jika hak itu tidak dilarang

dalam persetujuan.

Penyewa harus menepati dua kewajiban utama (Pasal 1560):

kewajiban pertama : memakai barang sewa sebagai seorang kepala

rumah tangga yang baik, sesuai dengan tujuan barang itu menurut

persetujuan sewa atau jika tidak ada persetujuan mengenai hal itu,

sesuai dengan tujuan barang itu menurut persangkaan menyangkut

119

keadaan; kewajiban kedua : membayar harga sewa pada waktu yang

telah ditentukan.

Pasal 1564, “Penyewa bertanggung jawab atas segala

kerusakan yang ditimbulkan pada barang yang disewakan selama

waktu sewa, kecuali jika ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di

luar kesalahannya.”

d. Obyek Sewa-menyewa :

Berkaitan obyek sewa menyewa, terdapat larangan mengubah

bentuk obyek sewa-menyewa, berdasarkan ketentuan Pasal 1554:

“Pihak yang menyewakan tidak diperkenankan selama waktu sewa,

mengubah bentuk atau susunan barang yang disewakan.” Pasal 1555

:“Jika dalam masa sewa pada barang yang disewakan itu terpaksa

diadakan pembetulan-pembetulan yang tidak dapat ditunda sampai

berakhirnya masa sewa, maka penyewa harus menerimanya

betapapun beratnya kesusahan yang disebabkannya, dan meskipun

selama dilakukannya pembetulan-pembetulan itu ia terpaksa

kehilangan sebagian dari barang yang disewakan. Tetapi jika

pembetulan-pembetulan itu berlangsung lebih lama dari empat puluh

hari, maka harga sewa harus dikurangi menurut banyaknya waktu yang

tersita dan bagian barang sewa yang tidak dapat dipakai oleh penyewa.

Jika pembetulan-pembetulan sedemikian rupa sifatnya, sehingga

barang sewa yang perlu ditempati oleh penyewa dan keluarganya tak

dapat didiami, maka penyewa dapat memutuskan sewanya.”

120

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penggunaan kawasan

hutan untuk pertambangan tidak dapat dengan konstruksi sewa-

menyewa, karena berdasarkan batasan obyek sewa menyewa yang

tidak dapat dilakukan perubahan bentuk selama penyewaan sedangkan

aktivitas pertambangan dapat dipastikan tidak hanya merubah bentuk

kawasan hutan saja, namun justru menghilangkan kawasan hutan yang

menjadi obyek/ barang yang disewakan tersebut.

Aturan-aturan yang Khusus Berlaku Bagi Sewa Tanah,

berdasarkan Pasal 1588 “Jika dalam suatu persetujuan sewa menyewa

tanah disebut suatu ukuran luas yang kurang atau lebih dan luas yang

sesungguhnya, maka hal itu tidak menjadi alasan untuk menambah

atau mengurangi harga sewa, kecuali dalam hal-hal dan menurut

ketentuan-ketentuan.”

Pasal 1589 “............. jika ia memakai barang yang disewa untuk

suatu tujuan yang lain dengan tujuan yang dimaksudkan atau, pada

umumnya, jika ia tidak memenuhi janji-janji yang dibuat dalam

persetujuan sewa dan karena itu timbul suatu kerugian bagi pihak yang

menyewakan. Maka pihak itu berhak untuk menuntut pembatalan sewa

menurut keadaan, serta penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Pasal 1590, semua penyewa tanah diwajibkan menyimpan hasil-

hasil tanah di tempat penyimpanan yang telah disediakan untuk itu.

Pasal 1591, penyewa tanah diwajibkan, atas ancaman penggantian

biaya, kerugian dan bunga, untuk melaporkan kepada pemilik tanah itu

121

segala peristiwa yang dilakukan dalam mengerjakan tanah yang

disewa. Pemberitahuan itu harus dilakukan dalam jangka waktu yang

sama seperti yang ditentukan antara waktu gugatan dari hari

menghadap di muka sidang pengadilan menurut jarak tempat-tempat.

Pasal 1592, Jika dalam suatu sewa untuk beberapa tahun selama

waktu sewa, seluruh atau separuh penghasilan setahun hilang karena

kejadian-kejadian yang tak dapat dihindarkan, maka penyewa dapat

menuntut suatu pengurangan uang sewa, kecuali jika ía telah

memperoleh penggantian kerugian karena penghasilan tahun-tahun

sebelumnya. Jika ia tidak mendapat ganti rugi, maka perkiraan tentang

pengurangan uang sewa tidak dapat dibuat selain pada waktu

berakhirnya sewa, bila kenikmatan dan semua tahun telah

diperumpamakan satu sama lain. Walaupun demikian, Hakim dapat

mengizinkan penyewa menahan sebagian dan uang sewa untuk

sementara waktu, menurut kerugian yang telah diderita.

Pasal 1593, Jika sewa hanya dilakukan untuk satu tahun,

sedangkan penghasilan telah hilang seluruhnya atau separuhnya, maka

penyewa dibebaskan dari pembayaran seluruh harga sewa atau

sebagian harga sewa menurut imbangan. Bila kerugian kurang dari

separuh, maka Ia tidak berhak atas suatu pengurangan.

Pasal 1594, Penyewa tidak dapat menuntut pengurangan bila

kerugian itu diderita setelah penghasilan dipisahkan dari tanah, kecuali

jika dalam persetujuan sewa ditentukan bahwa pemilik harus memikul

122

bagiannya dalam kerugian, asal penyewa tidak lalai menyerahkan

kepada pemilik itu bagiannya dari penghasilan. Begitu pula penyewa

tidak dapat menuntut suatu pengurangan, jika hal yang menyebabkan

kerugian sudah ada dan sudah diketahui sewaktu persetujuan sewa

dibuat. Berdasarkan ketentuan pengurangan biaya sewa atas kerugian

harus dibuktikan bahwa kerugian yang terjadi tidak diketahui

sebelumnya. Kerugian terjadi tanpa dapat diperkirakan sebelumnya.

Pasal 1595 : dengan suatu perjanjian yang dinyatakan dengan

tegas, penyewa dapat dipertanggungjawabkan atas kejadian-kejadian

yang tak dapat diduga. Pasal 1596, Perjanjian demikian hanya

dianggap dibuat untuk kejadian-kejadian biasa yang tak terduga, seperti

letusan gunung, gempa bumi, kemarau yang panjang, serangan hama-

hama yang merusak penghasilan, petir, atau rontoknya bunga pohon

sebelum waktunya. Ketentuan Pasal 1596, berlaku untuk kejadian-

kejadian yang sebelumnya belum dapat diduga akan terjadi baik oleh

penyewa atau pemberi sewa.

Namun perjanjian tersebut di atas tidak meliputi kejadian luar biasa,

seperti kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh peperangan atau

banjir yang tidak biasa menimpa daerah yang bersangkutan, kecuali

jika penyewa telah menyanggupi untuk memikul akibat dari semua

kejadian, baik yang dapat diduga maupun yang tak dapat diduga.

123

1.4.2 Pemberian hak penggunaan kawasan hutan melalui konstruksi

hukum perizinan

Makna izin secara umum atau secara luas dapat diambil dari

pandangan NM Spelt dan ten Berge (1991) yang mendefinisikan: “suatu

persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan

pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan

larangan-larangan perundangan120”.

Sedangkan secara sempit (terbatas), maka izin diartikan “pengikatan

aktivitas-aktivitas pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan

pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan

tertentu atau untuk menghalangi keadaan keadaan yang buruk121”.

Adapun tujuan/ motif yang terkandung di dalam sistem perizinan

menurut NM Spelt dan ten Berge dapat berupa:

1. Keinginan untuk mengarahkan (sturen) suatu aktivitas tertentu

misalnya pertambangan;

2. Mencegah bahaya bagi lingkungan misalnya izin lingkungan;

3. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu misalnya izin

tebang, izin membongkar monumen;

4. Hendak membagi-bagi benda yang sedikit misalnya: izin

penghunian di daerah padat penduduk;

120NM Spelt dan ten Berge, 1991, Pengantar Hukum Perizinan, Utrecht:Mimeo, hlm. 3.

121 Ibid. hal.4

124

5. Pengarahan, dengan menseleksi orang-orang dan aktivitas-

aktivitas misalnya: drank en horeca wet yang pengurusnya

harus memenuhi kualifikasi tertentu misalnya: izin mengemudi,

izin penggunaan psikotropika,122

Kewenangan negara dalam memberikan izin pertambangan

didasarkan pada konsepsi penguasaan negara dalam lingkup mengurus

(besturen) atas perekonomian, yang ada dalam lingkup fungsi negara

sebagai enterpreneur. 123

Berdasarkan konstruksi perizinan, maka menurut pendapat penulis

konstruksi perizinan inilah yang sesuai dengan konstruksi hukum dalam

pengelolaan pertambangan batubara di kawasan hutan.

122

Ibid. hal. 9-10 123

Abrar Saleng, 2004. Hukum Pertambangan, Yogjakarta: UII Pers.

125

2. Dinamika Pengaturan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

Pengaturan pertambangan di kawasan hutan sangat dinamis.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur sangat cepat berganti.

Sejak masa kolonial, masa orde lama, orde baru hingga masa reformasi.

Berdasarkan telaah terhadap berbagai peraturan perundang-

undangan sejak masa kolonial hingga sekarang, terlihat bahwa

pengaturan pertambangan di kawasan hutan dapat dikategorikan:

pertama : tidak terdapat pengaturan khusus tentang pertambangan di

kawasan hutan, yang termasuk kategori ini adalah pengaturan pada masa

Kolonial dan masa pemerintahan orde lama. Kedua : terdapat pengaturan

khusus pertambangan di kawasan hutan dan secara langsung di tegaskan

sektor pertambangan harus diutamakan dari sektor yang lain, yang

termasuk kategori ini adalah pengaturan pada masa pemerintahan orde

baru.

Ketiga : terdapat pengaturan khusus pertambangan di kawasan

hutan dan tidak ada penegasan sektor pertambangan harus diutamakan

dari sektor yang lain namun substansi peraturan memudahkan

beroperasinya pertambangan di kawasan hutan, yang termasuk kategori

ini adalah masa pemerintahan orde reformasi hingga sekarang.

126

2.1 Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Periode

Kolonialisme Belanda

Pertambangan batubara di Indonesia tercatat dimulai sejak abad 18

di Sawahlunto. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, sektor ekonomi

modern Indonesia sebagian besar dikuasai oleh modal asing, khususnya

negeri Belanda, bidang usaha terpusat pada sektor perkebunan dan

industri ekstraktif (pertambangan).124

Pengelolaan pertambangan batubara pada masa pemerintah Hindia

Belanda berorientasi tambang sebagai komoditas (barang dagangan)

yang penting, sehingga upaya yang dilakukan bertujuan pada sebesar-

besar keuntungan bagi pemerintah Kerajaan Belanda melalui eksploitasi

tambang termasuk di kawasan hutan. Sebagai upaya hukum untuk

melancarkan kepentingan Belanda, maka dilakukan upaya pengaturan

pertambangan secara khusus.

Pengelolaan pertambangan ditandai dengan pembentukan Komisi

Khusus pada tahun 1850 oleh Pemerintah Belanda yang bertugas

mempelajari dan menyusun bentuk pengaturan usaha pertambangan

(mijnreglement) yang pertama. Peraturan ini memungkinkan pemberian

hak atau konsesi penambangan kepada swasta warga negara Belanda,

tetapi masih terbatas untuk daerah-daerah di luar pulau jawa. Sebagai

tindak lanjut mengatur kegiatan pertambangan secara khusus, pada tahun

1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen” (Jawatan

124

Hill dalam Bondan Kanumoyoso. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Halaman : 35

127

Pertambangan). Tugas jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologi-

pertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia

Belanda.125

Tabel 4 : Peraturan Perundang-undangan Bidang pertambangan

Jaman Kolonial Belanda Ketentuan Substansi pengaturan

Mijnreglement 1850

Pengaturan usaha pertambangan yang pertama. Peraturan ini memungkinkan pemberian hak atau konsesi penambangan kepada swasta warga negara Belanda, tetapi masih terbatas di luar pulau jawa.

Indische Mijnwet tahun 1899-214

Mengatur tentang penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan

Staatsblad 1922 No.480

Penggalian batubara di Kalimantan bagian Selatan dan Timur

Staatsblad 1923 No. 565

Penggalian intan di daerah Martapura dan Pelaihari

Staatsblad 1926 No. 219

Syarat-syarat umum yang berlaku bagi pemberian izin untuk penggalian bahan-bahan galian yang tidak disebutkan dalam Pasal 1 Indonesische Mijnwet

Staatsblad 1926 No. 137

Penyerahan wewenang kepada para Gubernur dari daerah-daerah yang dibentuk berdasarkan Pasal 119 Indonesische Staatsregeling, untuk melaksanakan hal-hal yang berhubungan dengan pemberian izin pertambangan dari bahan-bahan galian yang tidak disebut dalam Pasal 1 Indonesische Mijnwet

Staatsblad 1930 No.348

Syarat-syarat umum yang berlaku bagi pemberian izin untuk melakukan eksplorasi pertambangan dan konsesi pertambangan

Staatsblad 1935 No. 42

Ketentuan-ketentuan tentang pemberian izin untuk penggalian bahan-bahan galian yang tidak disebut dalam Pasal 1 Indonesische Mijnwet khusus untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Madura

Staatsblad 1948 No. 87

Ketentuan-ketentuan tentang perpanjangan masa berlakunya konsesi pertambangan

Sumber : Diolah126

125

Soetaryo Sigit, 1996. Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangkitan Pertambangan Indonesia, Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa di ITB, Bandung 9 Maret 1996, halaman : 8

126Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

1969 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Lihat juga Soetaryo Sigit, Potensi.....; Abrar Saleng, Hukum Pertambangan... halaman : 64.

128

Status kawasan hutan pada masa Belanda dimulai dengan

diterbitkannya sejumlah kebijakan kolonial seperti Boschordonantie 1865

dan Agrarische Wet 1870 (AW 1970) Staatsblad No. 55 Tahun 1970, oleh

pemerintah Hindia Belanda. Tujuan utama dari kebijakan tersebut adalah

untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan kepastian hukum

kepada pengusaha swasta untuk membuka hutan.127 Selanjutnya salah

satu peraturan pelaksanaan yang penting adalah Agrarische Besluit

(Staatsblad No. 118 tahun 1870).

Berdasarkan ketentuan Agrarische Besluit ditegaskan kembali yang

secara eksplisit terkandung didalam Agrarische Wet yaitu asas domein,

dalam Pasal 1 yang menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak terbukti

bahwa atas tanah itu tidak ada hak milik mutlak (eigendom) adalah

domein negara.128 Domein diartikan sebagai milik, domein negara berarti

milik negara.

Orientasi pengaturan tambang adalah untuk memperbesar

eksploitasi bagi kepentingan Belanda, penetapan kawasan hutan

dilakukan untuk mempermudah tambang di kawasan hutan, salah satunya

dengan melakukan pembatasan antara wilayah rakyat dan kawasan

hutan. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada gangguan atas kawasan yang

hendak dilakukan eksploitasi tambang.

127

Harsono dan Backman dalam Mora Dingin, 2014. Bersiasat Dengan Hutan negara-Seri Hukum dan Keadilan Sosial, Epistema Institute, Jakarta. Halaman : 49

128 Budi Harsono, 1994. Hukum Agraria di Indonesia,Djambatan, Jakarta.

Halaman:7

129

Wilayah-wilayah yang dinyatakan sebagai kawasan hutan dan dalam

penguasaan negara, pada masa kolonial menurut Peluso dan

Vandergeest disebut sebagai hutan politik (political forest). Artinya

pertama, penetapan wilayah-wilayah tersebut sebagai kawasan hutan

memiliki latar belakang politik termasuk ekonomi politik. Kedua, penetapan

tersebut berlangsung melalui proses politik tersendiri. Ketiga, dipengaruhi

kepentingan politik dan ditetapkan melalui proses politik, wilayah-wilayah

yang ditetapkan sebagai kawasan hutan bisa jadi tidak ditutupi oleh hutan

atau tanaman berkayu lainnya. Dengan kata lain, sebuah lahan yang

ditutupi alang-alang, lahan pertanian, ladang atau kampung dapat

ditetapkan sebagai bagian dari kawasan hutan. Jawatan kehutanan

Belanda (Dienst van het Boschwezen) menetapkan hutan politik melalui

undang-undang kehutanan kolonial dengan menentukan batas antara

lahan pertanian dan hutan, serta menyatakan semua wilayah yang belum

diklaim oleh siapapun dan wilayah hutan sebagai domein negara.129

Ketentuan ini difasilitasi dengan politik domein verklaring (pernyataan

kepemilikan) yang diterapkan Belanda yang menyatakan “Barangsiapa

yang tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah maka tanah

dimiliki pemerintah.”

Peraturan pertambangan yang berlaku adalah Indische Mijnwet

(Staatsblad 1899 No. 214). Secara umum pengaturan kehutanan dan

pertambangan di jaman Belanda lebih ditujukan memberikan jalan bagi

129

Peluso dan Vandergeest dalam Mia Siscawati, Jurnal Wacana Nomor 33 Tahun XVI/2014, diterbitkan oleh Indonesian Society for Social Transformation (INSIST).halaman : 7-8

130

eksploitasi kekayaan alam yang berada dalam kawasan hutan. Politik

domein menjadi dasar untuk memperlancar proses eksploitasi

pertambangan di kawasan hutan bagi kepentingan pemerintah Belanda.

Pada masa penjajahan Jepang yang singkat, tidak terdapat perubahan

penting hingga masa kemerdekaan Republik Indonesia.

2.2 Pengaturan Pertambangan Di Kawasan Hutan Pada Periode

Orde Lama (1945-1965)

Masa kemerdekaan Indonesia merupakan periode penting dalam

meletakkan dasar-dasar negara dalam pengelolaan sumber daya alam.

Pembukaan UUD 1945 menegaskan tujuan dibentuknya pemerintahan

Indonesia yaitu “...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum..” berdasarkan

konstitusi ini, maka tujuan negara adalah kesejahteraan umum atau

kesejahteraan kolektif bangsa Indonesia.

Dasar konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam disusun

sebagai upaya mewujudkan tujuan negara sesuai maklumat dalam

pembukaan UUD 1945, melalui Pasal 33 UUD 1945, termasuk tambang

dan hutan. Secara konstitusional paradigma pengelolaan tambang dan

hutan sebagai bagian dari kekayaan alam yang terkandung di bumi

Indonesia adalah pertama: penguasaan oleh negara; kedua : penguasaan

tersebut ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

131

Tabel 5 : Dinamika Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan

Masa Pemerintahan

Periode Pengaturan Pertambangan Batubara Di Kawasan Hutan

Kolonialisme Pengaturan pertambangan 1850 – 1945

a. Pertambangan Batubara dimulai dan secara fisik kawasan penambangan berada didalam kawasan hutan di perkuat dengan politik “domein verklaring”

b. Penetapan kawasan hutan terpisah dengan tanah rakyat sebagai upaya menghindarkan gangguan terhadap kegiatan eksploitasi hutan

c. Tidak ada pengaturan khusus pertambangan di kawasan hutan

Orde Lama 1945 – 1965 a. Pertambangan tidak berkembang karena ada kebijakan nasionalisasi perusahaan asing dan kebijakan anti modal asing

b. Tidak ada kebijakan khusus pertambangan di kawasan hutan

Orde Baru 1966 – 1998

1966 – 1977 a. Jika terjadi tumpang tindih maka pertambangan harus di prioritaskan

b. Pertambangan di perbolehkan di kawasan hutan kecuali Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata (Taman Wisata dan Taman Buru).

c. Perizinan tambang bersifat setralistik, hanya memberikan kewenangan pada menteri

d. Pengawasan tidak diatur secara khusus

e. Kewajiban pemegang kuasa pertambangan tidak berbeda antara dikawasan hutan dan diluar kawasan hutan

f. Pengaturan khusus pertambangan dikawasan hutan namun belum lengkap

1978 – 1989 Perluasan Kawasan hutan yang diperkenankan untuk dipinjam pakai adalah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Hutan Lindung, Hutan Produksi,

132

1990 – 1998 a. Mempertegas dibolehkannya kawasan hutan di tambang melalui mekanisme Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

b. Pelarangan kegiatan yang mengubah kawasan konservasi dan kawasan suaka alam

c. Pembatasan kawasan pertambangan yang bisa dipinjam pakai hanya hutan produksi

d. Tidak ada pelarangan sistem tambang terbuka di kawasan hutan lindung

e. Adanya pelibatan pemerintah daerah dalam proses perizinan

f. Adanya pengaturan secara khusus pertambangan di Kawasan hutan

Orde Reformasi 1999 – sekarang (2015)

1999 - 2003 a. Mempertegas dibolehkannya kawasan hutan di tambang

b. Pembatasan sistem penambangan di kawasan hutan lindung harus dengan sistem pertambangan tertutup.

c. Kawasan hutan produksi boleh ditambang secara terbuka

2004 – sekarang (2016)

a. Mempertegas dibolehkannya kawasan hutan di tambang

b. Pembatasan sistem penambangan di kawasan hutan lindung harus dengan sistem pertambangan tertutup.

c. Hak istimewa bagi 13 perusahaan tambang yang di perbolehkan penambangan di kawasan hutan lindung dengan sistem penambangan terbuka

d. Kawasan hutan produksi boleh ditambang secara terbuka

Sumber : Diolah

Selanjutnya politik pengelolaan sumber daya alam pada era orde

lama, diletakkan dasarnya melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

Tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria. Berdasarkan pemikiran

133

the foundhing fathers Republik Indonesia yang sangat diwarnai oleh

pandangan sosialistis dan nasionalistis (neo populis), hal ini tercermin

pada pandangan Moh. Hatta dalam pidatonya tahun 1946. Prinsip Hatta

adalah bahwa tanah (sumber daya alam) harus dipandang sebagai alat

atau faktor produksi untuk kemakmuran bersama, bukan untuk

kepentingan orang perorangan, yang pada akhirnya dapat mendorong

terjadinya akumulasi penguasaan tanah (sumber daya alam) pada

segelintir kelompok masyarakat.130

Berdasarkan ketentuan dalam UUPA, maka negara memiliki

kewajiban dalam pengelolaan sumber daya alam yaitu :

1. Segala bentuk pemanfaatan bumi, air dan ruang angkasa dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya, harus secara nyata

dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan

masyarakat;

2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di

dalam dan diatas bumi, air dan ruang angkasa, dan kekayaan

alam yang terkandung didalamnya, dapat dihasilkan secara

langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.

3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan

menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan

130

Nordholt dalam Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996. Tanah Sebagai Komoditas-Kajian kritis atas Kebijakan Pertaahan Orde Baru, Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta. Halaman : 17-18

134

kehilangan akses terhadap bumi, air, ruang angkasa dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.131

Pertambangan di kawasan hutan tidak diatur secara khusus pada

periode ini, bahkan eksploitasi pertambangan tidak berkembang.

Pemerintah orde lama lebih berorientasi pada kebijakan nasionalisasi

perusahaan asing dan penolakan modal asing. Kebijakan ini dilaksanakan

dengan upaya mengambil alih penguasaan asing termasuk di sektor

pertambangan.

Setelah Indonesia merdeka 15 (lima belas) tahun, dibentuklah Perpu

No. 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan dan kemudian ditetapkan

sebagai Undang-undang Nomor 37 Prp Tahun 1960 yang berlaku pada

tanggal 14 Oktober 1960. Undang-undang tersebut mencabut dan tidak

memberlakukan Indische Mijnwet karena dianggap sudah tidak sesuai

dengan alam kemerdekaan Indonesia dan kepentingan nasional dibidang

pertambangan.132

2.3 Pengaturan Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Periode

Orde Baru (1966 – 1998)

Pemerintah orde baru menempatkan sektor pertambangan dan

sektor kehutanan sebagai salah satu sektor pembangunan yang penting

sebagai penopang pertumbuhan ekonomi. Politik hukum ini dilakukan orde

baru untuk mensukseskan target pertumbuhan ekonomi secara cepat,

131

Soetiknjo dalam Ida Nurlinda, 2009. Prinsip-prinsip Pembaharuan Agraria, Rajawali, Jakarta.

132 Gatot Supramono, 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di

Indonesia.Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Halaman: 4

135

dengan pertimbangan sektor pertambangan dan kehutanan merupakan

sektor sumber daya alam yang bernilai ekonomis sangat tinggi. Selain itu

jaminan pasar dunia yang saat itu terbuka luas bagi komoditi

pertambangan. Oleh karena itu dikeluarkan ketentuan Undang-undang

Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang menjadi

pintu masuknya investasi asing termasuk di sektor pertambangan.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang kehutanan merupakan

ketentuan berikutnya yang dikeluarkan pada periode ini. Ketentuan

pertambangan diatur melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967

Tentang Pertambangan Umum, ketentuan ini dikeluarkan 7 (tujuh) bulan

setelah Kontrak Karya PT Freeport di wilayah Papua di tandatangani

pemerintah orde baru.

Pada masa orde baru (orba) melalui ketentuan Undang-undang No.

5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, memperkuat posisi

pemerintah dalam menguasai kawasan hutan. Sehingga tidak

mengherankan politik pembangunan kehutanan pada masa itu lebih

cenderung berpihak kepada kepentingan investor.133

Kondisi tersebut juga tergambar dalam ketentuan tentang

pertambangan di kawasan hutan yang dalam UU 11 tahun 1967 tidak

diatur secara khusus. Namun jelas dalam undang-undang ini tidak

terdapat ketentuan yang melarang adanya kegiatan pertambangan di

kawasan hutan.

133

Mora Dingin, Ibid. halaman : 50

136

Tabel 6 : Peraturan perundang-undangan tentang pertambangan di kawasan

hutan pada periode Orde Baru (1966-1998)

NO PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SUBSTANSI PENGATURAN PERTAMBANGAN DIKAWASAN HUTAN

1 UU NO 5 TAHUN 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kehutanan (UUPK)

Tidak diatur khusus namun tidak dilarang dan pertambangan dapat masuk kategori sektor-lain-lain yang dapat menggunakan kawasan hutan

2 UU NO 11 TAHUN 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan

a. Tidak terdapat ketentuan khusus tentang

pertambangan di kawasan hutan

b. Kawasan hutan bukan sebagai wilayah yang

dikecualikan dalam pemberian kuasa

pertambangan, artinya tidak ada larangan

pertambangan di kawasan hutan

3 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976

Tentang Pedoman sinkronisasi pelaksanaan tugas keagrariaan dengan bidang tugas tugas kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum Substansi : Jika terjadi tumpang tindih peruntukan lahan maka pertambangan harus diutamakan

4 Keputusan direktur jenderal kehutanan Nomor 64/kpts/DJ/I/1978 tentang Pinjam Pakai Kawasan Hutan

a. Skema pinjam pakai kawasan hutan diatur

pertama kali

b. Namun pinjam pakai hanya dibolehkan untuk

kepentingan umum dan pertahanan

keamanan

c. Tidak ada penjelasan yang dimaksud

kepentingan umum dan batasannya

d. Melarang pinjam pakai di kawasan Suaka

Alam dan Hutan Wisata (Taman Wisata dan

Taman Buru, namun membolehkan

pertambangan di Kawasan Hutan Lindung

dan Hutan Produksi

5 Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989; 429/Kpts-II/1989

a. Kawasan hutan yang diperkenankan untuk

dipinjam pakai adalah Cagar Alam, Suaka

Margasatwa, Taman Buru, Hutan Lindung,

Hutan Produksi,

b. sedangkan untuk Taman Nasional, Taman

Wisata dan Hutan Fungsi Khusus hanya

diperkenankan untuk kegiatan yang bersifat

nonkomersil.

6 UU 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Pelarangan kegiatan yang mengubah kawasan konservasi dan kawasan suaka alam, sehingga pertambangan tidak dapat dilakukan dikawasan hutan konservasi

137

7 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-II/1994 Jo. KMK Nomor 56/Kpts-II/1994; Jo. KMK Nomor 41/Kpts-II/1994KMK Nomor : 614/Kpts-II/1997 Jo. KMK dan Perkebunan Nomor : 720/Kpts-II/1998

a. Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

diatur khusus

b. Pembatasan kawasan pertambangan

yang bisa dipinjam pakai hanya hutan

produksi

c. Pengecualian bagi 13 perusahaan

Sumber : UU NO 5 TAHUN 1967 UU NO 11 TAHUN 1967 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 Keputusan direktur jenderal kehutanan Nomor 64/kpts/DJ/I/1978 UU 5 Tahun 1990 Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989; 429/Kpts-II/1989 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-II/1994 Jo. KMK Nomor 56/Kpts-II/1994; Jo. KMK Nomor 41/Kpts-II/1994KMK Nomor : 614/Kpts-II/1997 Jo. KMK dan Perkebunan Nomor : 720/Kpts-II/1998

Pada periode ini pertama kali pertambangan di kawasan hutan di

atur secara khusus melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976.

Tentang Pedoman sinkronisasi pelaksanaan tugas keagrariaan dengan

bidang tugas kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan

umum.

Beberapa ketentuan pengaturan penggunaan kawasan hutan untuk

pertambangan pada masa orde baru adalah :

a. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Undang-undang

Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1967 Nomor 8 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823)

Filosofi hutan dalam ketentuan UU Nomor 5 tahun 1967 pada

ketentuan menimbang huruf (a) “hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha

Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memberikan manfaat

serbaguna yang mutlak di butuhkan oleh umat manusia sepanjang masa”,

pada huruf (b) :”bahwa hutan di Indonesia sebagai sumber kekayaan alam

138

dan salah satu unsur basis pertahanan nasional harus dilindungi dan

dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara lestari.

Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1967, menegaskan bahwa

“penggalian sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensip,

adalah merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat yang tidak

boleh ditunda-tunda lagi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional

untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.” Selain itu pada paragraf

selanjutnya dinyatakan bahwa “kegiatan kehutanan disamping

pengaruhnya yang konstruktip di bidang sosial ekonomi, juga akan

memberikan pemasukan devisa yang sangat diperlukan oleh negara.”

Secara filosofis ketentuan tersebut menunjukkan bahwa kekayaan hutan

dipandang sebagai komoditas yang bermanfaat bagi pembangunan

ekonomi nasional melalui devisa yang di terima negara. Paradigma hutan

sebagai komoditas sumber daya alam nampak sangat terasa dalam

ketentuan UU Nomor 5 tahun 1967. Hutan dipandang sebagai sektor yang

potensial untuk dimanfaatkan secara ekonomis, paradigma hutan tersebut

diterjemahkan dalam ketentuan umum Pasal 1 angka (1) yang dimaksud

hutan ialah “suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara

keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.”

Pengertian ini mengandung dua unsur yaitu unsur fisik hutan : “suatu

lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan

139

merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya”

dan unsur legalitas yaitu : “ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan”

Ketentuan tentang penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan

tidak disebutkan secara khusus dalam ketentuan UU No 5 Tahun 1967

Tentang Kehutanan, namun berdasarkan, Pasal 6 point (e) pemerintah

membuat suatu rencana umum mengenai peruntukan, penyediaan,

pengadaan dan penggunaan hutan secara serba-guna dan lestari di

seluruh wilayah Republik Indonesia untuk kepentingan: transmigrasi,

pertanian, perkebunan dan peternakan; lain-lain yang bermanfaat bagi

umum. Peruntukan lain-lain dalam ketentuan ini dapat diartikan termasuk

untuk pertambangan.

Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa penggunaan

kawasan hutan untuk pertambangan tidak disebutkan secara khusus,

namun ketentuan tersebut tidak memuat adanya suatu larangan, serta

membuka peruntukkan untuk tambang.

Penjelasan Umum UU Nomor 5 tahun 1967 menjelaskan terdapat 7

(tujuh) fungsi hutan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Jika

dikategorikan terdapat fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Fungsi

ekologis nampak pada angka (1) mengatur tata-air, mencegah dan

membatasi bahaya banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah;

angka (4) memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat

pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan, industri

dan ekspor; angka (5) memberi keindahan alam pada umumnya dan

140

khususnya dalam bentuk Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata

dan Taman Buru untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan,

kebudayaan dan pariwisata; angka (6) merupakan salah satu unsur basis

strategi pertahanan nasional.

Namun juga terlihat semangat eksploitasi hutan dalam Penjelasan

umum UU Nomor 5 Tahun 1967, yang dinyatakan dalam ketentuan angka

(2) memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada

umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan, industri dan

ekpor. Ketentuan angka (3) membantu pembangunan ekonomi nasional

pada umumnya dan mendorong industri hasil hutan pada khususnya.

Ketentuan angka (7) Memberi manfaat-manfaat lain yang berguna bagi

umum.

Berdasarkan angka 7 penjelasan tersebut, nampaklah bahwa tidak

ada penyebutan secara khusus pemanfaatan hutan untuk sektor

pertambangan, namun penafsiran angka 7 dapat dimasukkan sektor

pertambangan sebagai manfaat lain.

Semangat eksploitasi hutan semakin terlihat pada paragraf

berikutnya, “Semua kegiatan untuk menggali kekayaan alam Indonesia

yang berupa hutan ini, dimaksud tidak lain guna ikut membangun ekonomi

nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, agar cita-cita

membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

Pancasila segera tercapai, maka bila dipandang perlu pemerintah

memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan.” Ketentuan ini

141

mempertegas bahwa eksploitasi hutan diperlukan untuk mewujudkan

keinginan cita-cita ekonomi secara cepat. Ketentuan ini menyiratkan

paradigma hutan sebagai komoditas yang cepat meningkatkan

perekonomian.

b. Pertambangan di Kawasan Hutan Menurut UU Nomor 11 Tahun

1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 No. 22)

Paradigma pengelolaan bidang pertambangan di masa

pemerintahan orde baru untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi secara

cepat diatur dengan tegas dalam ketentuan menimbang huruf (a) UU 11

Tahun 1967, dikatakan :

Bahwa guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensiil di bidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil.

Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa paradigma orde baru

dalam memandang pertambangan menempatkannya sebagai kekuatan

ekonomi potensiil. Ketentuan ini menunjukkan paradigma yang

menempatkan tambang sebagai komoditas yang akan dapat

dimanfaatkan untuk mendorong peningkatan perekonomian negara.

Jenis bahan galian tambang berdasarkan ketentuan UU 11 tahun

1967 Pasal 3 dibedakan menjadi tiga golongan yaitu (a) Golongan

strategis; (b) golongan vital; (c) golongan yang tidak termasuk golongan a

142

dan b. Penggolongan ini berimplikasi pada pola pengelolaan. Bahan

galian batubara berdasarkan PP Nomor 27 tahun 1980 termasuk dalam

golongan bahan galian (a) yaitu bahan galian strategis.

Berkaitan pertambangan batubara di kawasan hutan, dalam UU 11

Tahun 1967, ketentuan ini tidak menyebut secara khusus pengaturan

pertambangan di kawasan hutan, bahkan dalam ketentuan tentang

pembatasan wilayah usaha pertambangan yang tidak dapat dilakukan,

tidak memasukkan perihal kawasan hutan. Beberapa kawasan yang tidak

dapat digunakan sebagai wilayah usaha pertambangan berdasarkan

Pasal 16 ayat (2) “Pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu

kuasa pertambangan tidak boleh dilakukan diwilayah yang tertutup untuk

kepentingan umum dan pada lapangan sekitar lapangan-lapangan dan

bangunan-bangunan pertahanan.” Sedangkan ketentuan ayat (3)

mengatur pembatasan wilayah yang tidak dapat diberikan kuasa

pertambangan adalah :

a. Tempat-tempat kuburan, tempat-tempat yang dianggap suci, pekerjaan-pekerjaan umum, misalnya jalan-jalan umum, jalan-jalan, jalan kereta api, saluran air listrik, gas dan sebagainya.

b. Tempat-tempat pekerjaan usaha pertambangan lain c. Bangunan-bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-pabrik

beserta tanah-tanah pekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin yang berkepentingan.

Berdasarkan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1967 sebagaimana

pembatasan lokasi pertambangan berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat

(2) dan (3) maka, pertambangan di kawasan hutan tidak dilarang

sepanjang di kawasan hutan tersebut bukan sebagai kawasan yang

143

tertutup bagi kepentingan umum dan kawasan pertahanan, serta tempat-

tempat kuburan dan tempat-tempat yang dianggap suci sebagaimana

ketentuan Pasal 16 ayat (3) huruf a. Pembatasan tersebut dapat

dikecualikan berdasarkan Pasal 16 ayat (4), “Dalam hal dianggap sangat

perlu untuk kepentingan pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan

suatu kuasa pertambangan, pemindahan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (3) pasal ini dapat dilakukan atas beban pemegang kuasa

pertambangan dan setelah diperoleh izin dari yang berwajib.” Berdasarkan

ketentuan tersebut semakin mempertegas tidak ada larangan bagi

pertambangan di kawasan hutan.

Kewajiban Keuangan/ Pungutan berdasarkan UU 11 Tahun 1967,

tidak ada pembedaan antara pertambangan di kawasan hutan dan bukan

kawasan hutan, hal ini disebabkan ketiadaan pengaturan secara khusus

pertambangan di kawasan hutan berdasarkan UU 11 Tahun 1967.

Pungutan pertambangan dikawasan hutan maupun diluar kawasan

hutan diatur dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1), pemegang kuasa

pertambangan membayar kepada negara :

a. Iuran tetap,

b. Iuran eksplorasi dan/atau eksploitasi dan/atau pembayaran-

pembayaran lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan

yang bersangkutan.

Sanksi bagi pelanggar kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 33 (a) :

dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau

144

dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah, pemegang kuasa

pertambangan yang tidak memenuhi atau tidak melaksanakan syarat-

syarat yang berlaku menurut undang-undang ini dan/atau undang-undang

termaksud dalam keputusanmenteri yang diberikan berdasarkan undang-

undang ini dan/atau undang-undang tentang pertambangan yang dikelola

oleh negara.

Ketentuan PP 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-undang

Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pertambangan, mengatur tentang kewajiban pungutan terhadap

perusahaan pertambangan, yang berlaku umum. Ketentuan ini tidak

membedakan kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Berdasarkan

Pasal 62 beberapa pungutan iuran tersebut adalah :

a. Iuran tetap, adalah iuran yang dibayarkan negara sebagai

imbalan atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau

eksploitasi pada suatu wilayah kuasa pertambangan. Iuran tetap

pemegang kuasa pertambangan umum dan kuasa

pertambangan eksplorasi serta kuasa pertambangan eksplorasi,

wajib membayar iuran tiap tahun untuk tiap hektar wilayah kuasa

pertambangan.

b. Iuran eksplorasi adalah iuran produksi yang dibayarkan kepada

negara dalam hal pemegang kuasa pertambangan eksplorasi

mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas

kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya. Pemegang

145

kuasa pertambangan eksplorasi diwajibkan membayar iuran

eksplorasi dari penjualan hasil produksi yang tergali sewaktu

mengadakan eksplorasi. Iuran eksplorasi ditetapkan atas dasar

tarif tertentu menurut hasil produksi usaha pertambangan yang

bersangkutan.

c. Iuran eksploitasi, adalah iuran produksi yang dibayarkan kepada

negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan

eksploitasi sesuatu atau lebih bahan galian. Pemegang kuasa

pertambangan eksploitasi diwajibkan membayar iuran eksploitasi

atas hasil produksi yang diperoleh dari wilayah kuasa

pertambangannya.

d. Kewenangan menteri pertambangan untuk menetapkan besaran

pungutan dan tata cara pelaksanaannya dengan mendengar

pertimbangan menteri keuangan berdasarkan Pasal 61.

Perjanjian Karya sebagai legalitas penambangan berdasarkan UU 11

Tahun 1967 tentang ketentuan Pokok-pokok Pertambangan, yang telah di

cabut melalui UU 4 tahun 2009, masih memberikan pengaruh, dalam hal

keberadaan perusahaan pertambangan batubara di kawasan hutan

sebagian besar mendapatkan kuasa pertambangan berdasarkan

ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1967. Berdasarkan ketentuan peralihan

Pasal 169 (a) UU 4 Tahun 2009, Pada saat undang-undang ini mulai

berlaku, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan

146

batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini

tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.

Namun pemegang kontrak karya memiliki kewajiban menyesuaikan

dengan ketentuan UU 4 Tahun 2009 berdasarkan Pasal 169 (b)

Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya

pengusahaan pertambangan batubara sebelum UU 4 tahun 2009

disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini

diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.

Pertambangan batubara yang beroperasi di kawasan hutan pada

periode berlakunya UU Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-

pokok Pertambangan hingga tahun 2009 sebelum berlakunya UU Nomor

4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, hak

penambangan diberikan pemerintah pusat kepada perusahaan

pertambangan dengan skema perjanjian karya. Bentuk perjanjian karya

pertambangan ini memiliki beberapa bentuk yaitu kontrak karya (KK),

kuasa pertambangan (KP) serta Perjanjian Karya Pengusahaan

Pertambangan Batubara (PKP2B).

Namun setelah berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang

pertambangan Mineral dan Batubara, diberlakukan skema izin usaha

pertambangan (IUP) sebagai pemberian hak penambangan bagi

perusahaan yang hendak menambang. Sehingga sejak berlakunya UU ini

maka terdapat dua skema pemberian hak penambangan yaitu dalam

skema perjanjian (KK,KP, PKP2B) dan skema perizinan (IUP). Skema IUP

147

merupakan produk UU terbaru, namun produk sebelumnya yang

menggunakan skema perjanjian masih tetap berlaku dengan ketentuan

tahun 2010 keseluruhan perjanjian kuasa pertambangan harus

menyesuaikan ketentuan terbaru.

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU Nomor 11 Tahun 1967, usaha

pertambangan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau

perseorangan apabila kepadanya telah diberikan kuasa pertambangan.

Pasal 2 (i) mendefinisikan istilah kuasa pertambangan: “wewenang yang

diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha

pertambangan”. Usaha pertambangan bahan galian yang tergolong

strategis, berdasarkan Pasal 6 dilakukan oleh :

a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri. b. Perusahaan Negara;

Berdasarkan konstitusi UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) yaitu : “Cabang-

cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Batubara dikategorikan

sebagai bahan galian strategis, sehingga berdasarkan kategori strategis

mengharuskan pengelolaan pertambangan diselenggarakan oleh instansi

pemerintah atau perusahaan negara.

Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh menteri untuk melaksanakan

usaha pertambangan, berdasarkan PP Nomor 32 Tahun 1969 Tentang

Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-pokok

Pertambangan, Pasal 2 ayat (2) harus mendapatkan Surat Keputusan

148

Penugasan Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Instansi

Pemerintah untuk melaksanakan usaha pertambangan.

Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan berdasarkan

Pasal 2 ayat (4) adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri

kepada Perusahaan Negara. Perusahaan Daerah, badan lain atau

perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan.

Namun ketentuan bahwa galian yang strategis dilaksanakan oleh

instansi pemerintah atau perusahaan negara, tidak berlaku mutlak, masih

dimungkinkan adanya keikutsertaan pihak swasta. Keikutsertaan swasta

dalam usaha pertambangan dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal

7, yaitu bahan galian dapat pula diusahakan oleh pihak swasta yang

memenuhi syarat-syarat, apabila menurut pendapat menteri berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan dari segi ekonomi dan perkembangan

pertambangan, lebih menguntungkan bagi negara apabila diusahakan

oleh pihak swasta. Selain itu berdasarkan Pasal 10, menteri dapat

menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk

melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat

dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah atau perusahaan negara

yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan.

Hubungan hukum antara instansi pemerintah dan perusahaan

negara yang mendapatkan wewenang untuk melaksanakan

pertambangan strategis dengan pihak ketiga/swasta yang mengusahakan

149

pertambangan adalah dalam bentuk perjanjian karya dengan kontraktor,

ketentuan ini diatur dalam Pasal 10 UU Nomor 11 Tahun 1967, yaitu :

(1) Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan.

(2) Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara harus berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk, dan syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri.

(3) Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini mulai berlaku sesudah disahkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a sepanjang mengenai bahan-bahan galian yang ditentukan dalam pasal 13 Undang-undang ini dan/atau yang perjanjian karyanya berbentuk penanaman modal asing.

Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1967, maka perusahaan

pertambangan swasta melakukan usaha pertambangan berdasarkan

perjanjian karya. Perjanjian karya pertambangan yang dilakukan antara

instansi pemerintah yang ditunjuk atau perusahaan negara dengan

perusahaan pertambangan. Hubungan hukum yang terjadi adalah

hubungan kontraktual. Ketentuan ini juga berlaku bagi perusahaan

pertambangan batubara yang menambang di kawasan hutan.

Pemberian hak penambangan batubara dalam bentuk perjanjian,

perjanjian menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUH-Perdata) Pasal 1313 adalah “suatu perbuatan dimana satu orang

atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Menurut

150

Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang

berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.134

Gambar 3:

Hubungan Hukum dalam Penguasaan Pertambangan di Indonesia

Sumber : UU Nomor 11 Tahun 1967 dan PP 32 Tahun 1969

Pasal 1314 KUH-Perdata, bentuk perjanjian ada dua yaitu suatu

perjanjian diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan.

Suatu perjanjian cuma-cuma adalah suatu perjanjian bahwa pihak yang

satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa

134

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 3

Penguasaan Negara berdasarkan

Pasal 33 UUD 1945

MENTERI Sebagai

Pelaksana Penguasaan

Negara

Batubara termasuk Golongan Bahan Galian A (Strategis) sehingga Usaha Pertambangan dilakukan

oleh Instansi Pemerintah yang ditunjuk dan Perusahaan Negara

Pertimbangan Ekonomi Pertambangan dapat

diusahakan swasta

Instansi Pemerintah/Perusahaan Negara Jika tidak dapat

melaksanakan pekerjaannya dapat menunjuk kontraktor

Hubungan Kontraktual (perjanjian

Karya)antara perusahaan

negara dengan perusahaan

swasta

Berdasarkan Surat Keputusan

Menteri

151

menerima imbalan. Suatu perjanjian memberatkan adalah suatu perjanjian

yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHP-Perdata,

harus memenuhi syarat yaitu : (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan

dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu pokok

persoalan tertentu; (4) suatu sebab yang tidak terlarang.

Ketentuan Pasal 10 UU Nomor 11 Tahun 1967, bahwa perjanjian

karya sebagai bentuk legalitas pengusahaan pertambangan bagi pihak

swasta, menimbulkan konsekuensi bahwa :

a. Kedudukan setara para pihak dalam perjanjian, sehingga para

pihak yang melakukan perjanjian karya yaitu instansi pemerintah

atau perusahaan negara yang ditunjuk menteri dengan

perusahan swasta sebagai pihak yang diberikan hak

penambangan berdasarkan perjanjian karya.

b. Kedudukan setara para pihak dapat menyebabkan lemahnya

kontrol pemerintah atas kegiatan pertambangan yang dilakukan

perusahaan.

c. Perjanjian tidak dapat dihentikan secara sepihak. Perjanjian

berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya (pacta

sunservanda) serta tidak dapat ditarik kembali atau dihentikan

selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena

152

alasan-alasan yang ditentukan undang-undang. Ketentuan ini

diatur dalam Pasal 1338 KUH-Perdata : “semua persetujuan

yang dibuat sesuai dengan undang-undang, berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu

tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua

belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh

undang-undang. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik.”

c. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1976

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 ini merupakan ketentuan

pertama yang menyebutkan pengaturan secara khusus pertambangan di

kawasan hutan. Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976

Tentang Pedoman Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Keagrariaan dengan

Bidang Tugas-tugas Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan

Pekerjaan Umum. Pada Bagian II angka 11 (ii) dan 11 (iii), Lampiran

Instruksi Presiden ini menyatakan bahwa :

ii. Bila pertindihan penetapan/penggunaan tanah tidak dapat dicegah, maka hak pertambangan harus diutamakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967.

iii. Pemberian Kuasa Pertambangan dan Izin Pertambangan Daerah tersebut diatas, tidak meliputi areal tanah yang telah ditetapkan sebagai Suaka Alam dan Hutan Wisata (Taman Wisata dan Taman Buru).

153

Berdasarkan ketentuan Bagian II angka 11 (ii), terlihat bahwa

pertambangan menjadi sektor yang mendapat hak istimewa atau hak

untuk diutamakan bahkan ketika terjadi “pertindihan” atau tumpang tindih

penggunaan lahan. Ketentuan ini tentu juga berlaku bagi kawasan hutan

kecuali yang disebut dalam Bagian II angka 11 (iii) ketentuan tersebut

yakni kecuali areal tanah yang telah ditetapkan sebagai Suaka Alam dan

Hutan Wisata (Taman Wisata dan Taman Buru).

Ketentuan berikutnya pada Bagian II angka 13 ditentukan kewajiban

pemegang izin atas lahan paska tambang bahwa: sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967, maka :

“setelah selesai melakukan pertambangan bahan galian pada areal pertambangan, pemegang Kuasa Pertambangan maupun pemegang izin pertambangan daerah diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya serta tidak merugikan kepentingan umum.”

Berdasarkan ketentuan dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1

Tahun 1976 Tentang Pedoman Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas

Keagrariaan dengan Bidang Tugas-tugas Kehutanan, Pertambangan,

Transmigrasi dan Pekerjaan Umum, maka larangan terhadap pemberian

Kuasa Pertambangan dan Izin Pertambangan Daerah berlaku atas areal

tanah yang telah ditetapkan sebagai Suaka Alam dan Hutan Wisata

(Taman Wisata dan Taman Buru). Sehingga dengan menelaah ketentuan

dalam UU No 5 Tahun 1967 Pasal 3, berdasarkan fungsinya Menteri

menetapkan Hutan Negara meliputi 4 jenis, yaitu : (a) Hutan Lindung; (b)

Hutan Produksi; (c) Hutan Suaka Alam; (d) Hutan Wisata. Maka dalam

154

ketentuan ini dimungkinkan dilakukan penambangan di kawasan hutan

lindung dan hutan produksi.

Ketentuan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 Tentang

Pedoman sinkronisasi pelaksanaan tugas keagrariaan dengan bidang

tugas kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum, yang

menyatakan larangan penerbitan Kuasa Pertambangan dan Izin

Pertambangan Daerah pada dua jenis hutan saja yaitu suaka alam dan

hutan wisata, maka dapat diartikan bahwa kuasa pertambangan dan izin

pertambangan daerah dapat diterbitkan di dalam kawasan hutan lindung

dan hutan produksi.

d. Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/kpts/DJ/1978

Tentang Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan SKB Menteri

Pertambangan dan Kehutanan

Skema pinjam pakai kawasan hutan pertama kali diatur dalam

Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/kpts/DJ/1978 Tentang

Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Ketentuan ini ditetapkan pada tanggal 23

Mei 1978, Dasar pemikiran diaturnya pinjam pakai kawasan hutan

menurut Inpres ini sesuai dalam klausul menimbang adalah meskipun

diakui bahwa penggunaan sesuatu kawasan hutan harus sesuai dengan

fungsi yang telah ditetapkan oleh menteri pertanian; namun dalam

kenyataannya, karena perkembangan masyarakat dan makin

meningkatnya pembangunan, kadang-kadang ada penggunaan kawasan

hutan menyimpang dari fungsi yang telah ditetapkan; selain itu maksud

155

dalam ketentuan ini disamping melegalisasi penggunaan hutan untuk

kepentingan diluar kehutanan juga bermaksud membatasi serta

menertibkan penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dari fungsi

yang ditetapkan,

Pasal 1 yang dimaksud dengan Pinjam Pakai Kawasan Hutan ialah

“penggunaan sebagian kawasan hutan untuk keperluan lain yang

menyimpang dari fungsi yang telah ditetapkan oleh menteri pertanian

karena tidak dapat diubah status hutannya, dan bersifat sementara.”

Pembatasan pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam Pasal 2 yaitu

Pinjam Pakai Kawasan Hutan hanya terbatas untuk kepentingan umum

dan pertahanan nasional. Dalam ketentuan ini tidak ada penjelasan yang

dimaksud kepentingan umum, sehingga dapat terjadi penafsiran yang

meluas ataupun sebaliknya.

e. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertambangan dan

Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989;

Nomor 429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan

Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan

Hutan.

Secara khusus Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri

Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor

969.K/05/M.PE/1989; Nomor 429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman

Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam

Kawasan Hutan, mengatur pertambangan di kawasan hutan. Keputusan

156

ini merupakan penyempurnaan dari Keputusan Bersama Menteri

Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor

0120.K/10/M.PE/1984, Nomor 029/Kpts-II/1984, substansi dari Keputusan

ini adalah :135

a. Kegiatan yang diatur adalah pertambangan, meliputi : penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian pertambangan umum;

b. Izin penggunaan kawasan hutan diberikan dalam bentuk perjanjian pinjam pakai yang ditandatangani oleh Menteri Kehutanan;

c. Kawasan hutan yang diperkenankan untuk dipinjam pakai adalah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Hutan Lindung, Hutan Produksi,

d. Sedangkan untuk Taman Nasional, Taman Wisata dan Hutan Fungsi Khusus hanya diperkenankan untuk kegiatan yang bersifat non Komersil.

Surat Keputusan Bersama ini berdasarkan muatan dalam huruf (c),

ketentuan ini telah melakukan perluasan kawasan hutan yang dapat

dilakukan penambangan dari ketentuan sebelumnya, yaitu ditambahkan

hutan dengan status cagar alam, suaka margasatwa dan taman buru,

sebagai kawasan yang dapat ditambang yang ketentuan sebelumnya

melarang.

Sebagai kelengkapan selanjutnya diterbitkan SKB Menteri

Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor

1101.K/702/M.PE/1991 dan 436/Kpts-II/1989 yang mengatur:

a. pembentukan Tim Koordinasi dan sinkronisasi untuk menyelesaikan masalah yang timbul terkait usaha pertambangan dan energi dalam kawasan hutan serta

135

M.Muhdar dkk. 2013. Laporan Penelitian Implementasi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.Prakarsa Borneo-The TAF Foundation Jakarta.

157

b. adanya pendelegasian kewenangan penandatanganan perjanjian kegiatan penyelidikan umum dan eksplorasi kepada Dirjen PHPA (untuk perizinan di Cagar Alam, Suaka Margasatwa dan Taman Buru) dan Dirjen Intag (untuk perizinan di Hutan lindung dan hutan produksi). Sedangkan untuk kegiatan eksploitasi menjadi kewenangan Menteri Kehutanan kecuali untuk jenis komoditi tambang Galian C oleh Kakanwil Departemen Kehutanan.

Berdasarkan substansinya, ketentuan tersebut pada dasarnya

bermaksud memfasilitasi pertambangan di kawasan hutan. Ketentuan ini

akan mendorong eksploitasi pertambangan di kawasan hutan.

f. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya

Kelahiran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan batasan tegas

terhadap kegiatan yang tidak diperbolehkan dikawasan konservasi.

Ketentuan ini tidak mengatur secara khusus tentang kegiatan

pertambangan, namun implikasi pengaturan batasan kegiatan yang dapat

dilakukan dikawasan konservasi secara otomatis membatasi kegiatan

pertambangan tidak dapat dilakukan di kawasan hutan konservasi

mengingat sifat kegiatan pertambangan adalah mengubah bentang alam

dan berdampak besar terhadap perubahan lingkungan.

Ketentuan yang dimaksud sebagai pembatasan kegiatan

pertambangan di kawasan hutan konservasi adalah :

158

a. ketentuan Pasal 19 ayat (1) “Setiap orang dilarang melakukan

kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap

keutuhan kawasan suaka alam.” Pada ayat (3) perubahan

terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan

luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan

satwa lain yang tidak asli.

b. Pasal 40 ayat (1) barang siapa dengan sengaja melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

c. Pasal 26 pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (a). pemanfaatan

kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; (b). pemanfaatan

jenis tumbuhan dan satwa liar.

Pasal 29 (1) UU 5 Tahun 1990 mengatur tentang Kawasan

pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri

dari: (a) taman nasional; (b) taman hutan raya; (c) taman wisata alam.

Pasal 30 kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan

sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis

159

tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya.

Pasal 31 ayat (1) di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan

taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian,

ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata

alam. Ketentuan ayat (2) kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.

g. Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 Tentang Pedoman

Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Menurut konsideran ketentuan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

55/Kpts-II/1994 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, pada

prinsipnya penggunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan

peruntukannya dengan mengacu pada ketentuan UU Nomor 5 tahun 1967

dan UU Nomor 5 Tahun 1990. Penguasaan kawasan hutan di luar fungsi

dan peruntukannya sejauh mungkin harus dibatasi dan ditertibkan hanya

untuk keperluan-keperluan yang menyangkut kepentingan umum secara

terbatas atau kepentingan pembangunan lainnya di luar sektor kehutanan.

Ketentuan Pasal 1 angka (1) pinjam pakai kawasan hutan adalah

“penyerahan penggunaan atas sebagian kawasan hutan baik yang telah

ditunjuk maupun yang telah ditetapkan kepada pihak lain untuk

kepentingan pembangunan diluar sektor kehutanan tanpa mengubah

status, peruntukan dan fungsi kawasan hutan tersebut.”

160

Tujuan pinjam pakai kawasan hutan adalah :

a. Membatasi dan mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan

untuk kepentingan umum terbatas atau kepentingan

pembangunan lainnya di luar sektor kehutanan tanpa mengubah

status, fungsi dan peruntukannya;

b. Menghindarkan terjadinya enclave di dalam kawasan hutan;

Pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan Pasal 2 harus

berdasarkan persetujuan menteri. Sifat pinjam pakai kawasan hutan

merupakan penggunaan kawasan hutan yang bersifat sementara (Pasal

4).

Bentuk pinjam pakai kawasan hutan berdasarkan Pasal 5 dapat

berbentuk pinjam pakai tanpa kompensasi atau pinjam pakai dengan

kompensasi. Pertama : pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi.

Pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi berdasarkan ketentuan

Pasal 1 angka (2) adalah “pinjam pakai atas sebagian kawasan hutan baik

yang telah ditunjuk maupun yang telah ditetapkan dengan membebani

peminjam untuk menyediakan dan menyerahkan tanah bukan kawasan

hutan kepada Departemen Kehutanan untuk dijadikan kawasan hutan.”

Pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi dapat diberikan

untuk kegiatan pembangunan yang bersifat komersial yang dilaksanakan

oleh instansi pemerintah, BUMN, BUMD, Koperasi, atau perusahaan

swasta.

161

Bagi wilayah provinsi yang kawasan hutannya kurang dari 30% dari

luas daratan Provinsi yang bersangkutan, maka yang berlaku adalah

pinjam pakai dengan kompensasi. Pinjam pakai kawasan hutan tanpa

kompensasi berdasarkan Pasal 6 ayat (1) hanya dapat diberikan untuk

kepentingan umum secara terbatas dan pertahanan keamanan nasional

yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah.

Kawasan hutan yang dapat dipinjam pakaikan menurut ketentuan

Pasal 9 ayat (1) Pada dasarnya hanya kawasan hutan produksi yang

dapat diserahkan penggunaannya kepada pihak lain dengan cara pinjam

pakai.

Kawasan hutan selain hutan produksi hanya dapat dipinjam pakaikan

kepada pihak lain bila akan dipergunakan untuk kepentingan umum

terbatas. Jangka waktu perjanjian pinjam pakai baik yang dengan

kompensasi maupun tanpa kompensasi berdasarkan Pasal 18 diberikan

maksimal untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak ditanda-

tangani perjanjian pinjam pakai dan dapat diperpanjang.

Pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan

energi diatur dalam ketentuan tersendiri (Pasal 8). Ketentuan khusus

tersebut tidak tersusun hingga 3 (tiga) tahun kemudian, dan justru

dilakukan perubahan terhadap Pasal ini melalui Keputusan Menteri

Kehutanan dan Perkebunan Nomor 614/Kpts-II/1997. Berdasarkan Pasal

1, maka Pasal 8 diubah menjadi persyaratan dan penyelesaian proses

pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan energi

162

mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994.

Tabel 7 : Perubahan terhadap Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor 55/Kpts-II/1994

Ketentuan Perubahan Substansi Perubahan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 56/Kpts-II/1994

Pelimpahan wewenang penerbitan persetujuan/penolakan permohonan untuk keperluan tertentu kepada Direktur Utama Perum Perhutani atau Kepala Kantor Wilayah sesuai wilayah kerja masing-masing, kecuali untuk kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam tetap menjadi kewenangan Menteri Kehutanan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 41/Kpts-II/1994

Perubahan terhadap Pasal 16 tentang ratio kompensasi untuk kegiatan komersial dimana untuk BUMN/BUMD/Koperasi ratio 1:1 dan perusahaan swasta ratio 1:2

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 614/Kpts-II/1996

Perubahan Pasal 8 dan 18 tentang jangka waktu perjanjian pinjam pakai yaitu maksimal 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang serta untuk pertambangan umum maksimal 20 tahun dan dilakukan evaluasi setiap 5 (lima) tahun

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 720/Kpts-II/1998

Perubahan Pasal 18 jangka waktu perjanjian pinjam pakai kawasan hutan diseragamkan menjadi 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang

Sumber : KMK Nomor 55/Kpts-II/1994 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 41/Kpts-II/1994 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 614/Kpts-II/1996 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 720/Kpts-II/1998

Perubahan juga dilakukan terhadap Pasal 18 yang semula mengatur

jangka waktu maksimal perjanjian pinjam pakai kawasan hutan selama 5

(lima) tahun, ditambahkan ketentuan khusus pada ayat (2) yaitu : Bagi

perjanjian pinjam pakai tanpa atau dengan kompensasi untuk bahan baku

pertambangan umum jangka panjang dapat diberikan maksimal 20 (dua

163

puluh) tahun. Namun ketentuan ini hanya bertahan 1 (satu) tahun karena

melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 720/Kpts-II/1998 di

kembalikan lagi jangka waktu izin pinjam pakai menjadi maksimal 5 (lima)

tahun dan dapat diperpanjang.

Selain ketentuan tersebut terdapat beberapa Keputusan Menteri

Kehutanan yang mengubah KMK Nomor 55/Kpts-II/1994, yaitu Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor 56/Kpts-II/1994; Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor 41/Kpts-II/1994.

Kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dengan

kompensasi berdasarkan Pasal 14 ayat (2) adalah :

a. Membayar ganti rugi nilai tegakan atas hutan tanaman atau pungutan berupa IHH dan DR atas tegakan hutan alam;

b. Menanggung biaya pengukuran, pemetaan dan pemancangan tanda batas atas kawasan hutan yang dipinjam

c. Mereklamasi kawasan hutan yang telah dipergunakan tanpa menunggu berakhirnya kegiatan

d. Untuk pinjam pakai dengan kompensasi menyediakan dan menyerahkan tanah lain kepada Departemen Kehutanan yang “clear and clean” sebagai kompensasi atas kawasan hutan yang dipinjam

e. Menanggung biaya penataan batas atas tanah kompensasi f. Menanggung biaya reboisasi atas lahan kompensasi g. Membuat dan menandatangani perjanjian pinjam pakai h. Membantu menjaga keamanan di dalam dan di sekitar kawasan

hutan yang dipinjam i. Memberikan kemudahan kepada aparat kehutanan yang

melakukan pengawasan di lapangan

Ketentuan ini mengatur juga tentang besarnya ratio pinjam pakai

kawasan hutan dengan kompensasi berdasarkan Pasal 16 ditetapkan (a)

Untuk keperluan pembangunan yang menyangkut kepentingan umum

terbatas sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 dan untuk kegiatan yang

164

bersifat komersial oleh BUMN, BUMD, atau Koperasi minimal adalah 1:1;

(b) Untuk keperluan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh

perusahaan swasta minimal adalah 1:2. Pinjam pakai kawasan hutan

dapat berakhir berdasarkan Pasal 20 karena (1) Masa berlakunya telah

berakhir atau; (2) Dibatalkan oleh menteri kehutanan.

Pembatalan izin pinjam pakai dapat terjadi karena pemegang izin

pinjam pakai :

a. Tidak menggunakan kawasan hutan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian

b. Memindahkan-tangankan kawasan hutan yang dipinjam kepada pihak lain tanpa persetujuan menteri

c. Tidak memenuhi kewajibannya pada waktu yang telah ditentukan sebagaimana yang telah ditentukan dalam persetujuan pinjam pakai yang telah dibuat dan ditandatangani yang bersangkutan

d. Meninggalkan kawasan hutan yang dipinjam sebelum perjanjian pinjam pakai berakhir

Mekanisme perizinan pertambangan di kawasan hutan menurut KMK

Nomor 55/Kpts-II/1994 adalah : (1) permohonan disampaikan kepada

menteri kehutanan melalui kepala kantor wilayah departemen kehutanan

provinsi setempat sepanjang menyangkut areal diluar wilayah kerja perum

perhutani, dengan tembusan kepada kepala dinas kehutanan daerah

tingkat I atau kepala UPT yang bersangkutan; Direktur Utama Perum

Perhutani atau kepala unit perum perhutani sepanjang menyangkut

wilayah kerja Perum Perhutani, dengan tembusan kepada kepala kantor

wilayah departemen kehutanan provinsi setempat (2) menteri kehutanan

sebelum memberikan Keputusan terlebih dahulu dapat minta

saran/pertimbangan teknis kepada eselon I terkait lingkup departemen

165

kehutanan sehubungan dengan adanya permohonan dimaksud. Eselon I

terkait menyampaikan saran/pertimbangan kepada menteri kehutanan

melalui direktur jenderal inventarisasi dan tata guna hutan dalam

tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya

permohonan tersebut.

Tahap berikutnya (4) direktur jenderal inventarisasi dan tata guna

hutan setelah mengkoordinasikan saran/pertimbangan tersebut, kemudian

menyampaikannya kepada menteri kehutanan dalam tenggang waktu 25

(dua puluh lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya saran/pertimbangan

teknis tersebut, untuk memperoleh Keputusan lebih lanjut. (5) Jika masih

diperlukan data lapangan maka dapat dibentuk tim departemen kehutanan

yang unsurnya terdiri dari eselon I terkait dan instansi kehutanan di

daerah untuk melakukan peninjauan dan pengkajian lapangan,

pembentukan tim peninjauan/pengkajian lapangan tersebut dilakukan

dengan Keputusan sekretaris jenderal atas nama menteri kehutanan. (5)

Hasil peninjauan dan pengkajian lapangan tersebut dilaporkan oleh ketua

tim kepada menteri kehutanan melalui direktur jenderal inventarisasi dan

tata guna hutan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah

dilaksanakannya peninjauan dan pengkajian lapangan. (6) Direktur

jenderal inventarisasi dan tata guna hutan dalam tenggang waktu 15 (lima

belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan hasil peninjauan dan

pengkajian lapangan tersebut, meneruskannya kepada menteri kehutanan

untuk memperoleh Keputusan.

166

Menteri kehutanan dalam tenggang waktu 15 (lima belas) hari kerja

terhitung sejak diterimanya saran/pertimbangan yang dikoordinasikan oleh

Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, memberikan

Keputusan atas permohonan tersebut, permohonan disampaikan dengan

dilampiri : (a) Peta lokasi dan luas kawasan hutan yang dimohon; (b)

Rencana penggunaan dan rencana kerja; (c) Rekomendasi Gubernur

Kepala Daerah Tingkat I Setempat; (d) Pernyataan kesanggupan untuk

menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan tersebut,

berdasarkan ketentuan tersebut.

Berdasarkan ketentuan yang diuraikan diatas, kewenangan

pemerintah dalam pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan menjadi

kewenangan menteri kehutanan, namun dalam tahapan perolehannya

terdapat peran beberapa instansi sesuai kewenangannya. Dalam

pembagian kewenangan tersebut, gubernur mempunyai kewenangan

strategis dalam memberikan atau tidak memberikan rekomendasi

diterbitkannya IPPKH. Tanpa adanya rekomendasi dari Gubernur maka

tidak dapat dikeluarkan IPPKH. Pemerintah kabupaten/kota berdasarkan

ketentuan ini tidak diberikan kewenangan dalam mekanisme perizinan

persetujuan penggunaan kawasan hutan.

Ketentuan tersebut tentu sangat berbeda sebelum tahun 1994, yang

mengatur bahwa cukup dengan kewenangan menteri kehutanan untuk

memberikan izin atau persetujuan untuk beroperasinya pertambangan di

kawasan hutan.

167

Tabel 8 : Pembagian kewenangan dalam Mekanisme Pemberian IPPKH

Instansi Bentuk Kewenangan

Pemberian IPPKH Pengawasan

Menteri Kehutanan

Keputusan pemberian IPPKH

Pencabutan IPPKH

Dirjen inventarisasai dan Tata Guna Hutan

Bersama Eselon I terkait menyampaikan saran/pertimbangan kepada Menteri Kehutanan

Pengawasan pelaksanaan IPPKH (Pasal 20 ayat (3)).

Gubernur Memberikan Rekomendasi

Dinas Kehutanan Provinsi

a. Menyampaikan kepada

Menteri Kehutanan

perihal permohonan

IPPKH

b. Jika diperlukan

bersama tim dari

kementerian kehutanan

melakukan peninjauan

dan pengkajian

lapangan jika

diperlukan

Pengawasan pelaksanaan IPPKH (Pasal 20 ayat (3)).

Dinas Kehutanan Kabupaten

Pengawasan pelaksanaan IPPKH (Pasal 20 ayat (3)).

Sumber : KMK Nomor 55/Kpts-II/1994 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 41/Kpts-II/1994 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 614/Kpts-II/1996 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 720/Kpts-II/1998

Fungsi hutan bagi kehidupan masyarakat juga dinyatakan dalam

dasar menimbang huruf (b) bahwa hutan, sebagai salah satu penentu

sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung

menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan

secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan

akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-

gugat.

168

Pengaturan pengawasan pertambangan di kawasan hutan KMK

Nomor 55/Kpts-II/1994 : Pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan yang

dilakukan dikawasan hutan yang dipinjam pakaikan dilakukan oleh

instansi kehutanan yang ditugaskan untuk mengelola kawasan hutan

tersebut. (Pasal 20 ayat (3)).

Berdasarkan telaah peraturan pada masa orde baru berkaitan

pertambangan di kawasan hutan, secara legal tidak ada larangan bagi

penambangan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Ketentuan

ini menunjukkan paradigma dalam pengelolaan sumber daya alam,

kekayaan tambang di pandang sebagai komoditas ekonomis, sehingga

orientasi pengaturannya nampak jelas semangat eksploitasi kawasan

hutan untuk pertambangan.

2.4 Pengaturan Pertambangan Batubara Di Kawasan Hutan Pada

Periode Reformasi Tahun 1999- sekarang (hingga Mei 2017)

Pengaturan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan pada

periode reformasi diawali dengan perubahan regulasi Undang-undang

kehutanan, yang semula pada masa orde baru diatur dalam UU Nomor 5

tahun 1967 tentang Kehutanan, pada awal reformasi diganti dengan UU

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengaturan dalam ketentuan

UU ini didasarkan pada pertimbangan :136 huruf (a) bahwa hutan, sebagai

karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada

136

Dasar menimbang UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

169

bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara,

memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib

disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga

kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi

sekarang maupun generasi mendatang.

Prinsip pengelolaan hutan dinyatakan dalam dasar menimbang huruf

(c) bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan

mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta

masyarakat adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang

berdasarkan pada norma hukum nasional.

Sebagai UU yang lahir pada awal reformasi, tentu terdapat harapan

besar dari seluruh rakyat bahwa peraturan perundang-undangan tentang

kehutanan ini akan membawa perubahan besar dalam pengelolaan

kehutanan yang lebih berkeadilan dan lestari. Hal ini menjadi tantangan

besar karena selama periode orde baru telah dikeluarkan perizinan

pertambangan di kawasan hutan produksi maupun hutan lindung.

Persoalan ini tentu tidak dengan mudah dapat diselesaikan.

Selama periode reformasi juga diwarnai pro kontra terhadap

kelangsungan pertambangan di kawasan hutan, selain izinnya telah

dikeluarkan terlebih dahulu oleh pemerintah sebelumnya, kawasan hutan

yang diperuntukkan pertambangan sangat luas.

170

Tabel 9 : Peraturan perundang-undangan tentang

Petambangan di Kawasan Hutan Periode 1999 – 2016

No Regulasi Substansi Pengaturan

1 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

a. Mengatur khusus pertambangan di kawasan hutan

b. Membolehkan pertambangan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung

c. Pertambangan di kawasan hutan lindung harus dilakukan secara tertutup

2 Perpu 1 Tahun 2004 Perubahan terhadap Pasal 38 UU 41 Tahun 1999

Mengecualikan larangan pertambangan secara terbuka dikawasan hutan lindung dengan Membolehkan 13 perusahaan pertambangan menambang di kawasan hutan lindung secara terbuka

3 UU 19 tahun 2004 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 menjadi Undang-undang

Menegaskan ketentuan Perpu Nomor 1 tahun 2004 yang membolehkan 13 perusahaan pertambangan untuk melakukan penambangan secara terbuka di kawasan hutan lindung

4 PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan

PP ini bersifat umum pengenaan pajak penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan, namun keterangan dalam lampiran mengisyaratkan bahwa sasaran utama PNBP penggunaan kawasan hutan adalah sektor pertambangan yang ada dalam kawasan hutan

5 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

a. Tidak mengatur khusus pertambangan di Kawasan Hutan

b. Hutan bukan sebagai kawasan yang dilarang untuk ditambang

c. Pertambangan di kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan tidak berbeda hak dan kewajibannya

6 PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan jo. PP No. 61 tahun 2012 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Skema pertambangan di kawasan hutan dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

7 Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004

Perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung

Sumber : UU 41 Tahun 1999; Perpu 1 Tahun 2004; UU 19 tahun 2004 PP Nomor 2 Tahun 2008; UU No. 4 Tahun 2009; PP Nomor 2 Tahun 2008; PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan jo. PP No. 61 tahun 2012 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan; Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004

171

Pengaturan pertambangan di kawasan hutan dalam periode

reformasi adalah :

a. Pertambangan di Kawasan Hutan menurut Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Regulasi di sektor sumber daya alam diawal otonomi daerah ditandai

dengan dikeluarkannya UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Hal ini menunjukkan bahwa sektor kehutanan merupakan sektor yang

sangat penting. Secara substansi ketentuan ini tidak menjadi hambatan

bagi beroperasinya pertambangan di kawasan hutan. Sebagaimana diatur

dalam Pasal 38 UU kehutanan ini, bahwa pertambangan di perbolehkan

dikawasan hutan produksi dan hutan lindung. Hanya diwajibkan harus

mendapatkan izin menteri untuk penggunaan kawasan hutan. Secara

lengkap klausul dalam Pasal 38 adalah :

(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (4) khusus kawasan hutan

lindung tidak diperbolehkan melakukan penambangan secara terbuka tapi

172

harus dengan sistem underground/bawah tanah/terowongan. Ketentuan

ini yang kemudian memunculkan berbagai protes pengusaha

pertambangan yang sebelum UU 41 Tahun 1999 di sahkan telah memiliki

izin pertambangan di masa pemerintahan orde baru.

Menyikapi protes pengusaha pertambangan terhadap terbitnya

ketentuan UU 41 tahun 1999 yang di anggap akan menjadi kendala bagi

perusahaan pertambangan yang telah memperoleh izin pada masa

pemerintah orde baru, mendorong pemerintah hasil reformasi pada

tanggal 11 Maret 2004 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang (Perpu) No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1

tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan

Di dalam Konsiderans menimbang Perpu Nomor 1 Tahun 2004

dinyatakan maksud dan tujuan dikeluarkannya Perpu adalah :

(1) Untuk mengatur dan memastikan bagaimana status/kedudukan

hukum perizinan atau perjanjian pertambangan yang telah

dikeluarkan sebelum diberlakukannya UU Nomor 41 Tahun

1999;

(2) Menghindari adanya kemungkinan gugatan hukum dari

pemegang izin atau pihak yang melakukan perjanjian

pertambangan

173

(3) Melalui Perpu, pemerintah mengharapkan akan tetap

mendapatkan kepercayaan dari para investor.

Isi perpu ini adalah : Pasal 1 menambah ketentuan baru dalam bab

penutup yang dijadikan Pasal 83A dan Pasal 83B yang berbunyi: “Pasal

83A : semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di

kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dinyatakan tetap berlaku

sampai berakhirnya izin atau perjanjian yang dimaksud.”

Menurut pandangan beberapa ahli, Perpu No. 1 tahun 2004 tidak

memenuhi syarat prosedural Pasal 22 UUD 1945,137 dalam ketentuan

Pasal ini ditentukan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang dapat dikeluarkan apabila terpenuhi persyaratan adanya

kegentingan yang memaksa, yang dimaksud dengan kegentingan yang

memaksa adalah suatu keadaan dimana negara dalam keadaan darurat

untuk segera dilakukan penyelamatan. Berdasarkan ketentuan

konstitusional ini maka beberapa ketidaksesuaian adalah:

(1) Berdasarkan UU Prp Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan

Bahaya, Pasal 1 ayat (3) ditentukan bahwa salah satu kualifikasi

keadaan darurat/bahaya adalah “hidup negara dalam keadaan

bahaya dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau

dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup

negara.” Ketentuan tersebut menyiratkan adanya syarat formil

137

Fathi Hanif, dkk. Bunga Rampai Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kalimantan Timur, Bigraf Publishing-Yayasan Ulin, Samarinda Kaltim. Halaman : 90

174

keadaan darurat adalah adanya pernyataan resmi atau Keputusan

resmi dari presiden tentang keadaan darurat tersebut. Selain itu

adanya syarat materiil adanya keadaan yang nyata bahwa negara

dalam keadaan bahaya, misalnya terjadinya peperangan maupun

bencana. Perpu No. 1 Tahun 2004 diterbitkan tanpa didahului oleh

adanya pernyataan presiden tentang keadaan bahaya, maka

prosedur diterbitkannya perpu ini tidak sesuai dan tidak memenuhi

syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.

(2) Unsur negara dalam keadaan genting dan memaksa tidak terlihat

dalam Perpu No. 1 Tahun 2004. Salah satu tujuan dikeluarkannya

Perpu adalah untuk memberikan kedudukan dan kepastian terhadap

izin-izin dan perjanjian pertambangan di kawasan hutan lindung,

sebagai akibat adanya larangan oleh UU No. 41 Tahun 1999,

didalam konsideran menimbang, Perpu No. 1 Tahun 2004 tidak

mencantumkan negara dalam keadaan genting dan memaksa,

sehingga diperlukan menerbitkan Perpu.

(3) Unsur penyelamatan negara, tujuan diterbitkannya Perpu tidak

mendasarkan pada upaya penyelamatan negara, bahkan justru

mengancam keselamatan hutan lindung. Perpu ini justru terlihat

menyelamatkan investor pertambangan yang telah memegang izin

dan perjanjian pertambangan sebelum dikeluarkannya UU No. 41

Tahun 1999.

175

c. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Penetapan

Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada

di Kawasan Hutan

Berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2004, selanjutnya pemerintah

menetapkan perizinan dan perjanjian di bidang pertambangan yang

berada di kawasan hutan. Keppres No. 41 tahun 2004 diatur tentang

“Pertama: Menetapkan 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang

pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana tercantum dalam

Lampiran Keputusan Presiden ini, untuk melanjutkan kegiatannya di

kawasan hutan sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.”

“Kedua: Pelaksanaan usaha bagi 13 (tiga belas) perizinan atau

perjanjian di bidang pertambangan dikawasan hutan lindung didasarkan

pada izin pinjam pakai yang ketentuannya ditetapkan oleh Menteri

Kehutanan.”

Ke-13 perusahaan pertambangan yang dimaksud dalam ketentuan

ini mendapatkan pengecualian atas larangan menambang secara terbuka

sesuai ketentuan Pasal 38 UU Nomor 41 Tahun 1999. Pertambangan

yang dimaksud meliputi komoditi pertambangan emas, tembaga, nikel,

granit dan batubara. Status perizinan atau perjanjian terdiri dari : produksi

dan eksplorasi sebanyak 2 perusahaan; eksplorasi sebanyak 4

perusahaan, produksi sebanyak 5 perusahaan, studi kelayakan 1

perusahaan, kosntruksi 1 perusahaan.

176

Tabel 10 :

Tiga Belas Perusahaan yang Mendapatkan Izin Melakukan Penambangan Secara Terbuka di Kawasan Hutan Lindung

No Nama

Perusahaan Jenis Lokasi Luas

(Ha) Status

1 PT Freeport Indonesia

Tembaga, emas,

Papua (1967) 10.000 Produksi

dan mineral pengikutnya (dmp)

Mimika, Paniai, Jaya Wijaya, Puncak Jaya (1991)

202.950 Eksplorasi

2 PT. Indominco Mandiri

Batubara Kalimantan Timur 25.121 Produksi

3 PT. Inco Tbk Nikel Sulsel, Sulteng dan Sultra

218.528 Produksi

4 PT. Aneka Tambang

Nikel Sultra 14.570 Produksi

5 PT. Karimun Granit

Granit Kepulauan Riau 2.761 Produksi

6 PT. Aneka Tambang

Nikel Maluku Utara 39.040 Produksi

7 PT. Gag Nikel

Nikel Papua 13.136 Eksplorasi

8 PT. Pelsart Tambang Kencana

Emas dmp Kalsel 201.000 Eksplorasi

9 PT. Weda Bay Nickel

Nikel Maluku Utara 76.280 Eksplorasi

10 PT. Sorikmas Mining

Emas dmp Sumatera Utara 66.200 Eksplorasi

11 PT. Interex Sacra Raya

Batubara Kaltim dan Kalsel 15.650 Studi Kelayakan

12 PT. Natarang Mining

Emas dmp Maluku Utara 12.790 Konstruksi

13 PT. Nusa Halmahera Minerals

Emas dmp Maluku Utara 29.622 Produksi Konstruksi Eksplorasi

Jumlah

927.648

Sumber : Keppres 41 Tahun 2004 Tentang Penetapan Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan

177

d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Mengukuhkan ketentuan

Perpu Nomor 1 Tahun 2004

Protes dan kritik terhadap keberadaan Perpu No 1 tahun 2004,

bertolak belakang dengan pandangan lembaga legislatif. DPR RI

mengukuhkan keberadaannya pada tanggal 13 Agustus 2004 melalui UU

Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan

atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 4412).

UU Nomor 19 tahun 2004 merupakan salah satu produk undang-

undang yang kehadirannya diwarnai berbagai kontroversi baik sebelum

maupun setelah diundangkan. Penolakan terjadi karena Undang-undang

ini melegalkan penambangan secara terbuka di kawasan hutan lindung.

Orientasi dari UU Nomor 19 Tahun 2004 adalah memfasilitasi kepentingan

pelaku usaha pertambangan untuk dapat melakukan pertambangan

secara terbuka di kawasan hutan lindung, yang telah mendapatkan kuasa

pertambangan sebelum UU 41 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini dapat

ditelusuri baik dalam klausul menimbang maupun penjelasan UU ini.

Dasar menimbang pembentuk undang-undang adalah pada huruf (a)

bahwa di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan tidak mengatur tentang perizinan atau perjanjian

pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang

178

tersebut; menurut dasar menimbang huruf (b) bahwa hal tersebut

menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha dibidang

pertambangan yang di kawasan hutan terutama bagi investor yang telah

memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunya undang-undang tersebut,

sehingga dapat menempatkan pemerintah dalam posisi yang sulit dalam

mengembangkan iklim investasi; huruf (c) bahwa dalam rangka

terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan

yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta kepercayaan

investor untuk berusaha di Indonesia.

Pertimbangan tersebut juga nampak dalam penjelasan UU 19 Tahun

2004 yang menyatakan bahwa berlakunya Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah menimbulkan ketidakpastian hukum

dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi

pemegang izin atau perjanjian sebelum berlakunya undang-undang

tersebut.

e. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 Tentang

Pengujian UU 19 Tahun 2004

Putusan MK ini menolak permohonan pemohon dalam pengujian UU

Nomor 19 tahun 2004. Dalil Pemohon atas pengujian ini adalah UU

Nomor 19 tahun 2004 keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari Perpu

No. 1 tahun 2004. Perpu ini baik substansinya maupun prosedur

179

penerbitannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,

yaitu138:

(1) Perpu No. 1 Tahun 2004 bertentangan dengan TAP MPR No.

III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan, TAP MPR ini, menentukan bahwa Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) berkedudukan

dibawah Undang-undang. Sesuai dengan asas perundang-

undangan yaitu lex superior derogat legi inferiori, maka Perpu

yang berkedudukan di bawah undang-undang tidak dapat

mengubah atau mencabut materi muatan dalam undang-undang.

Namun justru Perpu No. 1 Tahun 2004 secara formil dan

subtansiil diterbitkan dengan maksud untuk mengubah UU No. 41

Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dengan demikian Perpu ini

bertentangan dengan TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Tata

Urutan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Perpu No. 1 Tahun 2004 cacat dalam perumusan norma. Pasal 1

Perpu No. 1 Tahun 2004 dikatakan bahwa bagi pemegang izin

dan perjanjian pertambangan diperkenankan untuk melakukan

pertambangan di kawasan hutan lindung sesuai dengan izin dan

perjanjiannya. Ketentuan ini artinya adalah bahwa ada dispensasi

(pengecualian dari suatu larangan atau kewajiban hukum) yakni,

Pasal 38 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999 sebagai norma larangan

138

Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan Menjadi Pertambangan, 2004. Mengapa Perpu No. 1/2004 Harus dibatalkan, Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan Menjadi Pertambangan, Jakarta. Halaman: 11-14

180

dikecualikan (tidak diberlakukan) oleh Pasal 1 Perpu No. 1 Tahun

2004 bagi pemegang izin yang diperoleh sebelum No. 41 Tahun

1999 berlaku. Menurut teori perundang-undangan, suatu norma

dispensasi seharusnya dicantumkan langsung dalam peraturan

tersebut, tidak boleh dalam peraturan lainnya. Karena dispensasi

merupakan norma antar waktu, maka penempatan norma

dispensasi tadi seharusnya di dalam Bab Aturan Peralihan UU No.

41 Tahun 1999, bukan di dalam Bab Penutup sebagaimana Perpu

No. 1 Tahun 2004.

(3) Relevansi alasan Kepastian Hukum Bagi Pemegang Izin Salah

satu tujuan diterbitkannya Perpu No. 1 Tahun 2004 adalah untuk

memberikan kepastian hukum kepada pemegang izin

pertambangan yang sudah memperoleh izin sebelum berlakunya

UU 41 Tahun 1999. Kaitan dengan izin-izin yang sudah

dikeluarkan sesungguhnya tidak bisa dijadikan alasan untuk

lahirnya Perpu ini karena UU 41 Tahun 1999 tidak melanggar

asas non retroaktif. Sehingga ketentuan dalam UU 41 Tahun 1999

berlaku kepada pemegang izin-izin baru setelah UU 41 Tahun

1999. Oleh karena itu alasan adanya ketidak pastian hukum bagi

pemegang izin tidak nampak.

(4) Perpu No. 1 Tahun 2004 mengabaikan kepentingan lingkungan

hidup. Amar konsideran Perpu No. 1 Tahun 2004 secara tegas

menyatakan “diterbitkannya Perpu dalam rangka mendapatkan

181

kepercayaan investor” adalah merupakan alasan yang bersifat

economic oriented yang berlebihan. Hal ini menunjukkan

keberpihakan pemerintah lebih cenderung kepada pemodal

dengan menegasikan aspek-aspek lingkungan dan konservasi

sumber daya alam.

Adapun pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam

putusannya dalam pengujian formil adalah dalil pemohon tentang proses

UU Nomor 19 tahun 2004 tidak memenuhi unsur “hal ihwal kegentingan

yang memaksa” tidak dapat diterima karena alasan dikeluarkannya

sebuah Perpu oleh Presiden, termasuk Perpu No. 1 Tahun 2004, yaitu

karena “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud

Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden,

sedangkan obyektivitasnya dinilai oleh DPR dalam persidangan yang

berikutnya yang dapat menerima atau menolak penetapan Perpu menjadi

undang-undang;139

Pengujian secara materiil terhadap permohonan pengujian UU

Nomor 19 tahun 2004, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa

pertama: Pasal 83A merupakan norma umum abstrak yang termasuk

norma ketentuan peralihan, hal ini didasarkan pada pertimbangan

mahkamah yang mengacu pada pengertian Ketentuan Peralihan dan

Ketentuan Penutup menurut UU No. 10 Tahun 2004 beserta Lampirannya,

maka Pasal 83A Perpu No. 1 Tahun 2004 termasuk kategori Ketentuan

139

Putusan MK Nomor 003/PUU-III/2005, Pendapat Mahkamah dalam Bagian Pengujian Formil, halaman : 14

182

Peralihan, sedangkan Pasal 83B-nya termasuk kategori Ketentuan

Penutup, jadi seharusnya Pasal 83A dan Pasal 83B tidak semuanya

merupakan ketentuan penutup seperti ketentuan dalam Perpu No. 1

Tahun 2004. Bahwa materi muatan Pasal 83A merupakan norma umum

abstrak yang termasuk norma ketentuan peralihan, bukan norma

individual konkrit berupa penetapan sebagaimana didalilkan oleh para

pemohon. Demikian pula Pasal 83B, materi muatannya merupakan norma

umum abstrak yang termasuk dalam ketentuan penutup yang sifatnya

menjalankan (eksekutif), yaitu penunjukan pejabat tertentu, dalam hal ini

Presiden, yang diberi kewenangan untuk memberikan izin dengan

Keputusan Presiden.

Kedua : materi muatannya memuat penyimpangan sementara,

ketentuan Pasal 83A Perpu No. 1 Tahun 2004 memang merupakan

penyimpangan sementara ketentuan Pasal 38 ayat (4). Ketentuan yang

dimaksud berbunyi “pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan

penambangan dengan pola pertambangan terbuka”. Sifat sementaranya

adalah pada kata-kata “sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud”.

Sehingga, pada dasarnya penambangan dengan pola pertambangan

terbuka di kawasan hutan lindung tetap dilarang di Indonesia, kalau pun

ada penyimpangan sifatnya adalah transisional (sementara). Dalam hal

ini, meskipun mahkamah sependapat dengan seluruh dalil para pemohon

tentang berbagai bahaya dan dampak negatif penambangan dengan pola

pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung, tetapi mahkamah juga

183

dapat memahami alasan pembentuk undang-undang tentang perlunya

ketentuan yang bersifat transisional yang diberlakukan bagi suatu

pelanjutan keadaan hukum atau hak-hak yang telah diperoleh (vested

rights/acquired rights), yaitu izin atau perjanjian yang telah diperoleh

perusahan pertambangan sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan;

Ketiga : bahwa seharusnya pemerintah konsisten dan memiliki

ukuran-ukuran yang obyektif dalam menentukan apakah suatu kawasan

hutan merupakan kawasan hutan lindung atau bukan, agar memberikan

kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan, dan ada

koordinasi yang baik antara departemen yang membawahkan sektor

kehutanan dengan departemen yang membawahkan sektor

pertambangan, agar jangan terjadi tumpang tindih dan kekacauan

kebijakan;

Keempat : bahwa dalam merumuskan ketentuan peralihan,

seharusnya pembentuk undang-undang juga dapat menentukan syarat-

syarat penyesuaian bagi semua perusahaan pertambangan yang telah

mendapat izin penambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UU No. 41 Tahun 1999

tersebut. Sebab, pada dasarnya “pada saat suatu peraturan perundang-

undangan dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada

atau tindakan hukum yang terjadi, baik sebelum, pada saat, maupun

sesudah peraturan perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai

184

berlaku, tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan baru”

(Lampiran UU Nomor 10 Tahun 2004, butir C.4.102), dengan kata lain,

seharusnya semua ketentuan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, termasuk tentang adanya larangan penambangan di hutan

lindung, berlaku untuk semua pelaku pertambangan, setidak-tidaknya bagi

yang sudah memperoleh izin sebelum berlakunya UU Nomor 41 Tahun

1999 harus menyesuaikan.

Kelima : bahwa mahkamah sependapat dengan ahli Prof. Dr. Emil

Salim yang dalam keterangan tertulisnya bertanggal 20 Juni 2005 yang

diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Juni 2005

menyatakan bahwa 6 (enam) perusahaan yang masih dalam tahap studi

kelayakan dan tahap eksplorasi, ketika nantinya memasuki tahap

eksploitasi harus tunduk pada ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, sepanjang antara izin eksplorasi dan

eksploitasi tidak merupakan satu kesatuan.

Keenam : bahwa dengan demikian, UU No. 19 Tahun 2004 juncto

Perpu No. 1 Tahun 2004 secara substansial tidaklah inkonstitusional

sepanjang dalam pelaksanaannya izin-izin atau perjanjian-perjanjian yang

telah ada sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

menyesuaikan dengan undang-undang a quo, setidak-tidaknya bagi

perusahaan-perusahan yang masih dalam tahap studi kelayakan dan

eksplorasi.

185

Ketujuh : bahwa pemerintah harus melakukan pemantauan, evaluasi,

dan pengawasan dengan melihat dari sisi biaya dan manfaat (cost and

benefit) yang diberikan kepada masyarakat, bangsa dan negara, dan

melakukan perubahan syarat-syarat kontrak karya untuk mengantisipasi

dampak negatif kegiatan penambangan terhadap lingkungan hidup yang

disertai dengan kewajiban untuk merehabilitasi atau memperkecil dampak

negatif demi kepentingan generasi sekarang maupun generasi

mendatang. Pemantauan, evaluasi, dan pengawasan harus bermuara

pada keberanian melakukan penindakan berupa pencabutan izin

penambangan jikalau terjadi pelanggaran syarat-syarat izin penambangan

yang ditentukan.

Menurut penulis secara formil Keputusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 003/PUU-III/2005, menyelesaikan pertentangan hukum yang

terjadi berkaitan dengan pertambangan secara terbuka di kawasan hutan

lindung. Namun secara materiil, masih terdapat pertentangan di dalam

putusan, pertentangan tersebut yaitu : Dalam pendapat Mahkamah

Konstitusi dinyatakan bahwa “...Mahkamah sependapat dengan seluruh

dalil para Pemohon tentang berbagai bahaya dan dampak negatif

penambangan dengan pola pertambangan terbuka di kawasan hutan

lindung,....”140 .

140

Pendapat Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005, angka (2) halaman : 17.

186

Gambar 4 : Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pertambangan Terbuka

di Kawasan Hutan Lindung

Sumber : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005

Putusan

MK 003/PUU-III/2005 Pengujian

UU 19/2004 (Perpu 1/2004)

Penambangan Terbuka di Kawasan

Hutan Lindung Dilarang

Pengecualian Penambangan Terbuka

di kawasan hutan lindung

(Paal 83A dan 83B Perpu 1 tahun 2004)

hanya untuk 13 Perusahaan

Bersifat Sementara

Sependapat bahwa Dampak kerusakan

lingkungan, kerugian ekonomi, siosial

budaya dan bahaya yang timbul akibat pertambangan di kawasan hutan

lindung

Pemerintah harus melakukan :

- Pemantauan, evaluasi dan

pengawasan

- dengan melihat sisi biaya dan

manfaat bagi masyarakat bangsa

dan negara

- pengawasan kewajiban reklamasi

- memperkecil dampak

-merubah kontrak karya untuk mengantisipasi dampak negatif

Berlaku sampai

izin habis

Transisional

suatu pelanjutan keadaan hukum atau hak-hak yang telah diperoleh (vested rights/acquired

rights)

(bagi 13 Perusahaan)

6 perusahaan yang tahap studi kelayakan dan eksplorasi harus menyesuaikana dg

UU 41/1999 sepanjang izin eksplorasi dan

eksploitasi tidak merupakan satu

kesatuan

187

Dalil pemohon secara garis besar dinyatakan “...bahwa keberadaan

tambang di hutan lindung sebagai akibat berlakunya UU No. 19 Tahun

2004 juncto Perpu No. 1 Tahun 2004 akan menimbulkan dampak kerugian

ekonomi, lingkungan (emisi karbon), sosial budaya (berupa kekerasan dan

pelanggaran terhadap hak-hak perempuan).”141

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU 19

tahun 2004 tidak bertentangan secara konstitusional karena sifatnya yang

hanya sementara, bertentangan dengan pendapat mahkamah yang

menyetujui semua dalil pemohon bahwa pertambangan terbuka di

kawasan hutan lindung membawa dampak kerugian lingkungan dan

ekonomi masyarakat. Putusan mahkamah selain bertentangan dengan

pendapatnya sendiri juga seolah mengingkari fakta bahwa pertambangan

secara terbuka akan menghilangkan sumber daya alam hutan lindung

selamanya. Meskipun diatur adanya kewajiban reklamasi, namun

kemampuan perusahaan pertambangan tidak akan dapat mengembalikan

sebagaimana kondisi semula. Sehingga dalil sifat sementara dalam

putusan mahkamah konstitusi tidak dapat menjawab sifat dampak

kerusakan pertambangan yang tidak sementara, namun justru meluas dan

berkelanjutan.

141

Ibid. Halaman : 16

188

f. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan

Tarif Atas Jenis PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan

Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan

Kehutanan yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan

Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008

tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

(PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan

pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen

Kehutanan, merupakan ketentuan pertama yang secara detil mengatur

kewajiban keuangan bagi pemegang izin penggunaan kawasan hutan.

Fakta ini menjadi sangat ironis ketika melihat bahwa penggunaan

kawasan hutan untuk kegiatan diluar kegiatan kehutanan sudah dilakukan

secara intensif sejak pemerintahan orde baru atau jika dihitung sejak

Inpres tahun 1978 tentang pertambangan di kawasan hutan maka

dibutuhkan waktu 30 (tiga puluh tahun) tahun untuk lahirnya regulasi

tentang kewajiban keuangan penggunaan kawasan hutan secara khusus.

Sehingga selama tiga puluh tahun perusahaan pertambangan dapat

melakukan aktivitas penambangan di kawasan hutan tanpa dibebani

kewajiban keuangan secara khusus yang berkaitan dengan status

kawasan hutan.

Pasal 1 ayat (1) Jenis PNBP dalam Peraturan Pemerintah ini adalah

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan

hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang

189

luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah

aliran sungai dan/atau pulau.

Penghitungan Tarif PNBP bagi penggunaan kawasan hutan untuk

kegiatan diluar kehutanan berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dihitung

berdasarkan formula sebagai berikut : PNBP = (L1 x tarif ) + (L2 x 4 x tarif)

+ (L3 x 2 x tarif) Rp/tahun L1 adalah area terganggu karena penggunaan

kawasan hutan untuk sarana prasarana penunjang yang bersifat

permanen dan bukaan tambang selama jangka waktu penggunaan

kawasan hutan. L2 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan

hutan yang bersifat temporer yang secara teknis dapat dilakukan

reklamasi. L3 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan

yang bersifat permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan

reklamasi.

Pasal 2 seluruh PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib

disetor langsung secepatnya ke kas negara. Pasal 3 jenis PNBP

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai tarif dalam bentuk

satuan rupiah.

Pasal 6 pengguna kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan

di luar kegiatan kehutanan yang telah menyelesaikan kewajiban

kompensasi lahan sebelum berlakunya PP ini, tidak dikenakan tarif PNBP

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.

Berdasarkan ketentuan PNBP ini, meskipun diatur jumlah pajak

berdasarkan luasan lahan yang diberikan izin pinjam pakai kawasan

190

hutan, namun dalam ketentuan perpajakan ini tidaklah memperhitungkan

nilai hilangnya fungsi ekologis hutan terutama di kawasan L3 (lahan yang

tidak dapat dilakukan reklamasi), dengan perhitungan yang dilakukan

tidak akan dapat menggantikan fungsi ekologis yang hilang. Bahkan dapat

dikatakan ketentuan PNBP ini memungkinkan perusahaan tambang untuk

tidak memulihkan kawasannya, yang terpenting sudah membayar

sejumlah uang sesuai dengan penghitungan PNBP.

g. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara

Pasal 3 UU 4 Tahun 2009 mengatur bahwa dalam rangka

mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan

pengelolaan mineral dan batubara adalah:

a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;

b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;

c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;

d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;

e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan

f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

191

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 mengatur pula tentang

penggunaan hak atas tanah untuk kegiatan pertambangan. Pasal 134

mengatur bahwa :

a. Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.

b. Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

c. Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan perizinan dari instansi pemerintah sesuai peraturan

perundang-undangan tersebut, menjadi ketentuan wajib bagi

pertambangan di kawasan hutan. Secara substansi tidak ada pengaturan

yang khusus tentang pertambangan di kawasan hutan. Sehingga setelah

dipenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di

bidang kehutanan tersebut, maka pengelolaan pertambangan di kawasan

hutan menurut UU 4 Tahun 2009 tunduk pada ketentuan yang sama

dengan pertambangan diluar kawasan hutan dalam segi hak dan

kewajiban pelaku usaha pertambangan.

h. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Jo. Peraturan

Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan

Hutan

Penggunaan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2010, definisi penggunaan kawasan hutan adalah

192

penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan

pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan

peruntukan kawasan hutan tersebut.

Pembatasan dalam penggunaan kawasan hutan diatur dalam Pasal

4 (1) penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar

kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang

mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Berdasarkan ayat

(2) kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

a. religi; b. pertambangan; c. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta

teknologi energi baru dan terbarukan; d. pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar

radio, dan stasiun relay televisi; e. jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; f. sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana

transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;

g. sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah;

h. fasilitas umum; i. industri selain industri primer hasil hutan (PP 61 tahun 2012); j. pertahanan dan keamanan; k. prasarana penunjang keselamatan umum; atau l. penampungan sementara korban bencana alam. m. Pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan

ketahanan energi (PP 61 tahun 2012).

Ketentuan Pasal 4 ayat (2) mengkategorikan pertambangan sebagai

kegiatan yang mempunyai tujuan strategis dan tidak dapat dielakkan,

sehingga termasuk kategori kegiatan diluar sektor kehutanan yang dapat

menggunakan kawasan hutan.

193

Berdasarkan Pasal 5 (a) penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan

pertambangan dengan ketentuan dalam kawasan hutan produksi dapat

dilakukan (1) penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan (2)

penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah; Pasal 5 (b)

dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan

dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang

mengakibatkan: (1) turunnya permukaan tanah; (2) berubahnya fungsi

pokok kawasan hutan secara permanen; dan (3) terjadinya kerusakan

akuiver air tanah.

Peraturan pertambangan di kawasan hutan di tingkat Menteri

Kehutanan adalah :

1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12/Menhut-II/2004 tentang

penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan

pertambangan

PMK No12/Menhut-II/2004 secara khusus mengatur pertambangan

di kawasan hutan lindung. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang

sebelumnya yang bersifat umum mengatur penggunaan kawasan hutan

untuk kegiatan diluar kehutanan dan tidak secara khusus mengatur

kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan.

Pertimbangan dikeluarkannya PMK No.12/Menhut-II/2004, adalah

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, ditetapkan bahwa semua perizinan atau

194

perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada

sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau

perjanjian dimaksud.

Tabel 11 : Regulasi Ditingkat Menteri tentang Pertambangan

di Kawasan Hutan pada Periode Reformasi (1999 – 2016)

NO Peraturan tingkat menteri Substansi Pengaturan

1 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12/Menhut-II/2004 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan

Peraturan Menteri Kehutanan ini dikeluarkan hanya untuk mengatur 13 perusahaan pertambangan yang di izinkan melakukan penambangan secara terbuka di kawasan hutan lindung

2 Peraturan Menteri Kehutanan P.14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai jo. PMK Nomor : P. 64/Menhut-II/2006

IPPKH jika diberikan di kawasan hutan yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam atau izin usaha pemanfaatan hutan kayu (IUPHHK) pada hutan tanaman maka yang akan dilakukan adalah revisi/pengurangan produk kayu.

3 PMK Nomor : P.43/ Menhut-II/ 2008 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

mengatur kewajiban PNBP dalam penggunaan kawasan hutan untuk tujuan komersial, namun tidak ada penjelasan cara penghitungan dan besarnya.

4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 jo.. PMK Nomor P.38/Menhut-II/2012 jo. Nomor P.14/Menhut-II/2013

Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

5 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.65/Menhut-II/2013

Policy Advisor bidang kehutanan pada izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan operasi produksi

6 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014

Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan (menghapuskan ketentuan sebelumnya)

7 Peraturan Dirjen Mineral dan Batubara Nomor 216 K/30/DJB/2014

Tata Cara Permohonan Pertimbangan Teknis Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara

Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan periode tahun 2004-2014

195

Ketentuan ini membedakan izin pertambangan dikawasan hutan

lindung menjadi dua, yaitu pertama izin kegiatan, yang dimaksud adalah

Pasal 1 ayat (2) izin kegiatan di dalam kawasan hutan lindung adalah izin

melaksanakan kegiatan studi kelayakan atau eksplorasi pertambangan

dalam rangka penggunaan kawasan hutan lindung. Kedua izin pinjam

pakai kawasan hutan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3), izin pinjam pakai

kawasan hutan lindung adalah izin menggunakan kawasan hutan lindung

untuk melaksanakan kegiatan eksploitasi/produksi atau konstruksi

pertambangan untuk jangka waktu tertentu.

Peraturan Menteri Kehutanan ini dikeluarkan hanya untuk mengatur

13 perusahaan pertambangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2

ayat (2) : “Persetujuan menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

hanya berlaku terhadap 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang

pertambangan yang nama perusahaan dan lokasi penambangannya

sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan Presiden Nomor 41

Tahun 2004.” Ketentuan Pasal 7 (1) mengatur kewajiban pemohon pada

tahap eksplorasi adalah sebagai berikut:

a. membayar ganti rugi nilai tegakan yang ditebang; b. menyusun rencana kegiatan di dalam kawasan hutan; c. menjaga keamanan kawasan hutan yang dipinjam pakai dan

bertanggung jawab terhadap dampak negatif lingkungan sekitarnya sebagai akibat kegiatan pertambangan;

d. mereklamasi dan mereboisasi kawasan hutan bekas kegiatan eksplorasi;

e. membuat laporan secara berkala 3 (tiga) bulan kepada Menteri; f. membuat pernyataan kesanggupan untuk memenuhi semua

kewajiban, yang disahkan oleh notaris.

196

Kewajiban pemohon pada tahap eksploitasi berdasarkan Pasal 7

ayat (2) adalah sebagai berikut :

a. membayar ganti rugi nilai tegakan yang ditebang; b. menyediakan dan menyerahkan tanah lain kepada departemen

kehutanan sebagai kompensasi atas kawasan hutan lindung yang dipinjam;

c. menanggung biaya pengukuran, pemetaan dan pemancangan tanda batas dan penyelesaian berita acara tata batas, serta biaya inventarisasi atas kawasan hutan lindung yang dipinjam dan tanah kompensasi;

d. menyusun rencana kerja penggunaan kawasan hutan lima tahunan dan dirinci dalam tahunan, yang memuat antara lain kegiatan penambangan dan sarana pendukungnya, reklamasi dan konservasi tanah, pemanfaatan/penebangan, perlindungan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati, dan rencana tapak yang disetujui oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan atas nama Menteri;

e. membayar dana jaminan reklamasi; f. membiayai dan melaksanakan reboisasi atas lahan kompensasi; g. menjaga keamanan kawasan hutan yang dipinjam pakai dan

bertanggung jawab terhadap dampak negatif lingkungan sekitarnya sebagai akibat kegiatan pertambangan;

h. mereklamasi kawasan hutan lindung yang dipinjam pakaikan berdasarkan rencana kerja penggunaan kawasan hutan yang disetujui sebagaimana dimaksud huruf d;

i. membuat laporan secara berkala 3 (tiga) bulanan kepada Menteri; j. dalam hal pemegang izin dikenakan sanksi administratif berupa

pencabutan izin maka pemegang izin tetap harus menyelesaikan kegiatan reklamasi pada kawasan hutan yang dipinjam pakai;

k. membuat pernyataan kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban yang disahkan oleh notaris.

Kompensasi pinjam pakai berdasarkan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor 12/Menhut-II/2004 tentang penggunaan kawasan hutan

lindung untuk kegiatan pertambangan Pasal 9 (1) izin pinjam pakai

kawasan hutan lindung dikenakan kompensasi berupa menyediakan dan

menyerahkan lahan di luar kawasan hutan untuk dijadikan kawasan hutan.

Pasal 9 (2) persyaratan lahan kompensasi :

197

a. memiliki status tanah yang jelas dan bertitel hak atas nama pemohon;

b. bebas dari pembebanan hak tanggungan; c. bebas dari sengketa; d. berbatasan langsung dengan kawasan hutan; dan e. terletak dalam satu DAS/Sub DAS Kabupaten/Provinsi dengan

area yang dipinjampakaikan; c. memenuhi persyaratan teknis untuk dijadikan hutan.

Pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% dari luas

daratan, areal kompensasinya seluas dua kali kawasan hutan yang

dipinjampakaikan. Pada provinsi yang luas kawasan hutannya 30% dari

luas daratan atau lebih, areal kompensasinya seluas kawasan hutan yang

dipinjampakaikan.

2) Peraturan Menteri Kehutanan P.14/Menhut-II/2006 tentang

Perubahan terhadap Pedoman Pinjam Pakai jo. PMK Nomor : P.

64/Menhut-II/2006

Berdasarkan Pasal 7 ketentuan ini, jika IPPKH diberikan di kawasan

hutan yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada

hutan alam atau izin usaha pemanfaatan hutan kayu (IUPHHK) pada

hutan tanaman maka yang akan dilakukan adalah revisi/pengurangan

produk kayu. Hal ini menurut penulis menunjukkan bahwa tidak ada

halangan dalam penerbitan IPPKH dan tidak menjadi hambatan ketika

tumpang tindih dalam peruntukan kawasannya.

PMK Nomor : P. 64/Menhut-II/2006 Perubahan Pasal 19 : Izin pinjam

pakai diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang dapat

diperpanjang setiap 5 (lima) tahun sesuai dengan masa berlakunya

198

izin/kontrak kegiatan di luar kehutanan yang bersangkutan. (2) Izin

kegiatan survey dan penyelidikan umum/eksplorasi pertambangan dalam

kawasan hutan diberikan selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang

sesuai dengan rencana kerja sektornya.

3) PMK Nomor : P.43/ Menhut-II/ 2008 Tentang Pedoman Pinjam

Pakai Kawasan Hutan

Peraturan menteri ini dalam Pasal 4 mengatur kewajiban PNBP

dalam penggunaan kawasan hutan untuk tujuan komersial, namun tidak

ada penjelasan cara penghitungan dan besarnya. Berdasarkan Pasal 5

ayat (1) huruf c : pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan

pembangunan di luar kegiatan kehutanan termasuk didalamnya adalah

pertambangan.

Ketentuan lahan kompensasi Pasal 18 (1) persyaratan calon lahan

kompensasi penggunaan kawasan hutan adalah sebagai berikut:

a. Jelas statusnya, tidak dalam sengketa, tidak dalam penguasaan pihak yang tidak berhak dan tidak dikelola oleh pihak lain;

b. Letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan; c. Terletak di dalam Sub DAS yang sama, jika tidak dapat dipenuhi

dapat dialihkan pada DAS yang sama, jika masih tidak dapat dipenuhi dapat dialihkan pada wilayah DAS lain pada pulau yang sama atau pulau lain pada provinsi yang sama;

d. Dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional; e. Penghapusan/pencoretan alas hak atas lahan kompensasi pada

buku tanah di instansi yang berwenang; dan f. Rekomendasi Bupati/Walikota atau Gubernur atau Badan

Pertanahan Nasional sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Kompensasi lahan diatur dalam Pasal 25 (1) pinjam pakai kawasan

hutan dengan kompensasi lahan dilaksanakan dengan cara :

199

a. Menyediakan dan menyerahkan lahan kompensasi atau ;

b. Membayar PNBP penggunaan kawasan hutan.

Ketentuan ini menyiratkan bahwa pemerintah membolehkan tidak

dipenuhinya lahan kompensasi yang selanjutnya akan dihutankan kembali

asalkan membayar sejumlah uang dalam mekanisme PNBP. Ketentuan ini

secara tidak langsung akan menghilangkan kawasan hutan.

Pasal 26 (4) pinjam pakai kawasan hutan dengan membayar PNBP

penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf

b dan Pasal 25 ayat (1) huruf b besarnya dana PNBP tersebut dihitung

berdasarkan rumus sebagai berikut : PNBP =(L1 x tarif ) + (L2 x 4 x tarif )

+(L3 x 2 x tarif ) Rp/tahun.

4) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011

tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan jo.. PMK Nomor

P.38/Menhut-II/2012 jo. PMK Nomor P.14/Menhut-II/2013

Perubahan atas PMK No P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman

Pinjam Pakai Kawasan Hutan; Perubahan 1 : Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang

Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan; Perubahan 2: Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2013 Perubahan Kedua Atas Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam

Pakai Kawasan Hutan. Ketentuan dalam PMK No. 18/Menhut-II/2011,

Pasal 4 (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan

200

di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang

mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Pada ayat (2)

kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang mempunyai

tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan salah satunya adalah pada

huruf b, yaitu : pertambangan, yang meliputi pertambangan minyak dan

gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi termasuk sarana dan

prasarana.

Pasal 9 (1) penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang

berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, izin

pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat diberikan setelah mendapat

persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Kriteria penggunaan kawasan

hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang

luas serta bernilai strategis sesuai ayat 2 yaitu: (a). pertambangan yang

berada di dalam Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) yang

berasal dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang telah disetujui

Dewan Perwakilan Rakyat; (b). persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan dasar pemberian izin

pinjam pakai kawasan hutan di seluruh WUPK yang menjadi Wilayah Izin

Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

Pasal 9 ayat (3) pertambangan yang berdampak penting dan

cakupan luas serta bernilai strategis, perlu ada Kajian Lingkungan Hidup

Strategis (KLHS) pada saat WPN menjadi WUPK sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

201

Pasal 17 mengatur pedoman penghitungan penggantian biaya

investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d angka 1

diatur dengan peraturan tersendiri. Pasal 18 mengatur kegiatan reboisasi

atau penghutanan atas kawasan hutan yang berasal dari lahan

kompensasi dengan ketentuan: (a). lahan kompensasi yang berada di

dalam wilayah kerja perum perhutani, reboisasi atau penghutanan

dilaksanakan oleh pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan bekerja

sama dengan perum perhutani; (b). lahan kompensasi yang berada di luar

wilayah kerja perum perhutani, reboisasi atau penghutanan dilaksanakan

oleh pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan bekerjasama dengan

badan usaha yang mempunyai kompetensi di bidang reboisasi; atau (c).

lahan kompensasi yang telah ditunjuk menjadi kawasan hutan konservasi,

reboisasi atau penghutanan dilaksanakan oleh pemegang izin pinjam

pakai kawasan hutan bekerjasama dengan pengelola atau instansi yang

mengurusi kawasan hutan konservasi.

Lahan kompensasi sesuai Pasal 32 ayat (1), calon lahan kompensasi

wajib memenuhi persyaratan: (a). letaknya berbatasan langsung dengan

kawasan hutan; (b). terletak dalam daerah aliran sungai, pulau, dan/atau

provinsi yang sama; (c). dapat dihutankan kembali dengan cara

konvensional; (d). tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis

pembebanan dan hak tanggungan; dan (e). mendapat rekomendasi dari

gubernur atau bupati/walikota. Pasal 32 ayat (2) terhadap calon lahan

kompensasi yang disediakan oleh pemohon dilakukan pemeriksaan

202

lapangan untuk dinilai kelayakan teknis dan hukum oleh tim yang

dikoordinasikan oleh kepala dinas provinsi yang membidangi kehutanan.

5) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014

tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Pasal 1 angka (8) PMK Nomor : P.16/Menhut-II/2014, izin pinjam

pakai kawasan hutan adalah izin yang diberikan untuk menggunakan

kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan

kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1), penggunaan kawasan hutan

dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan.

a. Obyek Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan

Obyek izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dalam ketentuan

Pasal 4 menentukan kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan hutan

adalah kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat

dielakkan. Pertambangan batubara menurut ketentuan ini merupakan

salah satu kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat

dielakkan. Sehingga pertambangan batubara merupakan kegiatan yang

diperbolehkan dilakukan di kawasan hutan. Secara lengkap Pasal 4

mengatur :

a. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan.

b. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain: religi

203

antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata rohani; pertambangan meliputi pertambangan minyak dan gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi termasuk sarana dan prasarana; instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan;

3. Konstruksi Hukum Pengawasan Penggunaan Kawasan Hutan Bagi

Pertambangan Batubara

Pengawasan dapat diartikan sebagai “proses kegiatan yang

membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau

diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, dan

diperintahkan.”142

Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa instrumen penegakan hukum

administrasi meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan

merupakan pengawasan preventif untuk memaksakan kepatuhan,

sedangkan penerapan sanksi merupakan upaya represif untuk

memaksakan kepatuhan.143

Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement,

dalam bahasa Belanda rechtshandaving. Penegakan hukum meliputi segi

preventif dan represif.144 Penegakan hukum (law enforcement) adalah

bagian dari sistem hukum. Tanpa penegakan hukum (formeel recht)

maka kaidah-kaidah hukum materiil (materieel recht) niscaya menjadi

142

Dian Puji Simatupang, 2004. Materi Hukum Administrasi Negara, Program Ekstensi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, halaman : 1

143 Philipus M. Hadjon, 1993. Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya,

halaman : 337 144

Andi Hamzah, 2005. Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta. Halaman: 48-49

204

tumpukan kertas (een papieren muur) saja. Negara hukum yang

didambakan bakal menjadi impian belaka.145

Beberapa teori penegakan hukum diantaranya, menurut Sjachran

Basah adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana

seharusnya patut ditaati. Oleh karena itu memberikan keadilan dalam

suatu perkara berarti memutuskan perkara dengan menerapkan hukum

dan menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan

menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara

prosedural yang ditetapkan oleh hukum formil.146

Penegakan hukum menurut Satjipto Raharjo, pada hakikatnya

merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak.

Penegakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut

menjadi konkret.147

Penegakan hukum dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan

berbagai sanksinya, seperti sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi

pidana. Penegakan hukum bukan semata-mata tanggung jawab aparat

penegak hukum, namun menjadi kewajiban seluruh masyarakat.148

Keith Hawkins mengemukakan bahwa penegakan hukum dapat

dilihat dari dua sistem atau strategi, yang disebut compliance dengan

145

Laica Marzuki, 2006. Berjalan-jalan di Ranah hukum – Pikiran-pikiran Lepas, Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, halaman: 237

146 Sjachran Basah. 1992. Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak

Administrasi Negara, Penerbit Alumni Bandung, halaman: 14 147

Satjipto Rahardjo, 1981. Masalah Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Sinar Baru, Bandung, halaman: 15

148Koesnadi Hardjasoemantri, 2000. Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada

University Press, Yogjakarta, halaman : 375

205

conciliatory style sebagai karakteristiknya dan sanctioning dengan penal

style sebagai karakteristiknya. Block, sebagaimana dikutip oleh Hawkins,

menyatakan bahwa conciliatory style itu remedial, suatu metode social

repair and maintenance, assistance of people in trouble, berkaitan dengan

what is necessary to ameliorate a bad situation. Sedangkan penal control

prohibits with punishment, sifatnya adalah accusatory, hasilnya binary,

yaitu : all or nothing.149

a. Pengawasan Pertambangan di Kawasan Hutan berdasarkan UU

11 Tahun 1967

Pengawasan pertambangan di kawasan hutan berdasarkan

ketentuan ini tidak diatur secara khusus, secara umum yang diatur

sebagai kegiatan pengawasan pertambangan menurut Pasal 29 ayat (2)

UU 11 tahun 1967 adalah meliputi : (a) Keselamatan kerja; (b)

pengawasan produksi; (c) kegiatan lainnya dalam pertambangan yang

menyangkut kepentingan umum

Ketiadaan ketentuan pengawasan pertambangan secara khusus di

kawasan hutan memperlihatkan bahwa perancang UU tidak memahami

atau mengesampingkan nilai khusus kawasan hutan serta ketiadaan

pengawasan khusus aspek lingkungan juga menunjukkan aspek dampak

lingkungan dalam kegiatan pertambangan tidak dianggap serius dan tidak

diberikan pengaturan khusus.

149

Ibid. Halaman : 376

206

Ketentuan pelaksanaan UU 11 tahun 1967 yaitu Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969, berdasarkan ketentuan peraturan

pemerintah ini, pengawasan terhadap kegiatan pertambangan dilakukan

dengan tanpa membedakan antara kawasan hutan maupun bukan

kawasan hutan. Aspek pengawasan yang diatur dalam ketentuan ini

adalah penegasan kewenangan departemen yang lapangan tugasnya

meliputi pertambangan dalam hal tata usaha, pengawasan, pengaturan

keselamatan kerja pertambangan dan pengaturan pelaksanaan usaha

pertambangan.

b. Penegakan Hukum dalam UU 4 Tahun 2009 Tentang Minerba

1) Penegakan Hukum dengan sistem compliance atau aspek

pemenuhan peraturan

Penegakan hukum dengan sistem compliance, atau melihat

aspek pemenuhan peraturan dapat pula di kategorikan sebagai

penegakan hukum preventif, dalam ketentuan pertambangan batubara

sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 tahun 2009, dalam

pengaturan pembinaan dan pengawasan.

Pembinaan dan pengawasan pertambangan berdasarkan UU 4

tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara berdasarkan ketentuan

Pasal 139 UU 4 tahun 2009, pembinaan dan pengawasan

pertambangan dilakukan oleh menteri terhadap penyelenggaraan

pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah

207

provinsi dan pemerintah kabupaten kota sesuai dengan

kewenangannya. Pembinaan sebagaimana dimaksud meliputi:

a. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan;

b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi; c. pendidikan dan pelatihan; dan d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan

evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara.

Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan

pembinaan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di

bidang usaha pertambangan dilaksanakan oleh pemerintah

kabupaten/kota.

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya bertanggung jawab melakukan pembinaan atas

pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh

pemegang IUP, IPR, atau IUPK.

Pasal 140 (1) menteri melakukan pengawasan terhadap

penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang

dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (2) menteri dapat

melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pengawasan

terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha

pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/ kota (3) menteri, gubernur,

dan bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan

208

pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang

dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.

Pasal 141 (1) pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

140, antara lain, berupa:

a. teknis pertambangan; b. pemasaran; c. keuangan; d. pengolahan data mineral dan batubara; e. konservasi sumber daya mineral dan batubara; f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; g. keselamatan operasi pertambangan; h. pengelolaan lingkungan hidup, reklarnasi, dan pascatambang; i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan

rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan; k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi

pertambangan; m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha n. pertambangan yang menyangkut kepentingan umum; o. pengelolaan IUP atau IUPK; dan p. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.

Ketentuan ayat (2), pengawasan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i dilakukan

oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Jika tidak memiliki inspektur tambang, berdasarkan Pasal 141

ayat (3) dalam hal pemerintah daerah provinsi atau pemerintah

daerah kabupaten kota belum mempunyai inspektur tambang, Menteri

menugaskan inspektur tambang yang sudah diangkat untuk

melaksanaan pembinaan dan pengawasan

209

Pasal 142 (1) gubernur dan bupati/walikota wajib melaporkan

pelaksanaan usaha pertambangan di wilayahnya masing-masing

sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan kepada menteri.

Ketentuan ayat (2) pemerintah dapat memberi teguran kepada

pemerintah daerah apabila dalam pelaksanaan kewenangannya tidak

sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.

2) Penegakan Hukum dengan sistem sanctioning atau sanksi

menurut UU 4 Tahun 2009 Tentang Minerba

Penegakan hukum dengan sistem sanksi di dalam UU Minerba,

dikenal dua bentuk sanksi yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana.

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya

berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP sesuai

pelanggaran yang dilakukan, sesuai ketentuan Pasal 151 ayat (1) :

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4),-Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1) Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2).

Bentuk sanksi administratif yang dapat dikenakan berupa: (a)

peringatan tertulis; (b) penghentian sementara sebagian atau seluruh

210

kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan /atau (c) pencabutan IUP,

IPR, atau IUPK.

Berdasarkan ketentuan Pasal 152, jika pemerintah daerah tidak

menjalankan kewajiban penegakan hukum sesuai ketentuan Pasal 151

yang memuat sanksi administratif, maka menteri berdasarkan hasil

evaluasi dapat menjatuhkan sanksi menghentikan sementara dan/atau

mencabut IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

3) Pengawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan berdasarkan

PMK.16/Menhut-II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan

Hutan

Pengawasan terhadap pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan

dalam ketentuan ini diselenggarakan melalui pelaksanaan monitoring dan

evaluasi.

a. Subyek dan Obyek Pengawasan

Obyek dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi adalah

terhadap pemegang: (a) persetujuan prinsip penggunaan kawasan

hutan; (b). dispensasi pinjam pakai kawasan hutan; dan (c). izin pinjam

pakai kawasan hutan. Subyek atau pihak yang melakukan monitoring

dan evaluasi berdasarkan Pasal 42 (1) adalah menteri.

Pelaksanaannya dilakukan oleh daerah.

211

b. Pelaksana Monitoring

Pasal 43 (1) pelaksanaan monitoring dilakukan oleh Dinas

Kabupaten/Kota yang membidangi urusan kehutanan dan

dikoordinasikan oleh Dinas Provinsi yang membidangi urusan

kehutanan. Monitoring dilaksanakan oleh Tim dengan anggota dari

unsur Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan, Dinas

Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan, Badan/Dinas

Kabupaten/Kota yang membidangi lingkungan hidup, Perum Perhutani

dalam hal berada dalam wilayah Kerja Perum Perhutani, serta unsur

terkait lainnya. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi

kehutanan menyampaikan hasil monitoring kepada kepala Dinas

Provinsi yang membidangi kehutanan selanjutnya kepala Dinas

Provinsi melaporkan kepada Menteri, dan Gubernur, dengan

tembusan kepada Direktur Jenderal.

c. Pelaksana Evaluasi

Pasal 44 ayat (1) menteri melimpahkan pelaksanaan evaluasi

persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan dan izin pinjam pakai

kawasan kepada gubernur.

Evaluasi oleh tim yang dikoordinasikan oleh kepala dinas

provinsi yang membidangi kehutanan dengan anggota terdiri dari

Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai (BP-DAS), Balai Pemantauan Pemanfaatan

Hutan Produksi (BPPHP), Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi

212

kehutanan, Badan/Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi

lingkungan hidup, Perum Perhutani dalam hal berada dalam wilayah

kerja Perum Perhutani serta unsur terkait lainnya.

Kepala dinas provinsi yang membidangi kehutanan

menyampaikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

kepada menteri dengan tembusan kepada direktur jenderal planologi

kehutanan.

d. Bentuk penyelenggaraan pengawasan

Monitoring diselenggarakan sesuai ketentuan Pasal 42 ayat

(2),monitoring dilakukan dalam rangka pembinaan agar pemegang

persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan, dispensasi pinjam

pakai kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan memenuhi

kewajiban sebagaimana ditetapkan.

Jangka waktu pelaksanaan monitoring sebagai bentuk

pengawasan berdasarkan Pasal 43 ayat (3) dilaksanakan paling

banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Biaya pelaksanaan

monitoring dialokasikan pada anggaran dana dekonsentrasi

kementerian kehutanan. Evaluasi berdasarkan Pasal 42 ayat (3),

dilakukan untuk menilai, penilaian dilakukan terhadap :

a. pemenuhan kewajiban yang tercantum dalam persetujuan prinsip

penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan

hutan; dan

b. pelaksanaan penggunaan kawasan hutan;

213

c. sebagai bahan pengambilan Keputusan dalam rangka

perpanjangan, pengakhiran, pengembalian areal izin pinjam

pakai kawasan hutan atau tindakan-tindakan koreksi termasuk

sanksi.

Evaluasi izin pinjam pakai kawasan hutan dilaksanakan paling

banyak 2 (dua) kali dalam 5 (lima) tahun. Ketentuan Pasal 46 dalam

hal hasil evaluasi pemegang persetujuan prinsip penggunaan

kawasan hutan/penerima dispensasi/pemegang izin pinjam pakai

kawasan hutan tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan atau

terdapat pelanggaran tindak pidana dibidang kehutanan, pemegang

izin dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

e. Sanksi terhadap pelanggaran berkaitan Pertambangan di

Kawasan Hutan

Pasal 50 (1), setiap pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan

yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal

30, Pasal 31, berkaitan dengan kewajiban pemegang IPPKH dan/atau

melanggar Pasal 32 ayat (1) tentang larangan pemegang IPPKH

dapat dikenai sanksi berupa pencabutan IPPKH oleh Menteri.

Ketentuan pencabutan IPPKH dikenakan setelah diberikan

peringatan 3 (tiga) kali secara berturut-turut masing-masing untuk

jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja oleh direktur jenderal.

214

4). Sanksi Pidana dalam UU 4 Tahun 2009

Sanksi pidana menurut ketentuan UU 4 tahun 2009 diatur dalam

Pasal 159 hingga Pasal 162, sanksi pidana dapat diperberat jika

pelakunya adalah badan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 163 (1)

dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana

penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan

terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan

pemberatan ditambah 1/3 (sepertiga) kali dari ketentuan maksimum

pidana denda yang dijatuhkan.

Ketentuan Pasal 163 ayat (2) selain pidana denda sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan

berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/ atau

b. pencabutan status badan hukum.

Ketentuan sanksi pidana berdasarkan Pasal 164, selain ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal

161, dan Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana

tambahan berupa:

a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;

b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau

c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

Sanksi pidana bagi pejabat negara yang berwenang mengeluarkan

izin yang mengeluarkan IUP yang bertentangan dengan undang-undang

215

dapat dikenakan sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 165

“Setiap orang yang rnengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan

dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi

sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak

Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Tabel 12 : Sanksi Pidana dalam UU 4 Tahun 2009 Tentang

Pertambangan Minerba

Pasal dengan ancaman pidana

Klausul Sanksi Pidana

Penjara/ Kurungan

Denda

Pasal 158

Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK

Penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 159

Pemegang IUP, IPH, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 160 (1)

Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1)

pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun

atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 160 (2)

Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 161

Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung,memanfaatkan,melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 162 Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegjatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2)

pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau

denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Sumber : UU 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

216

5) Penegakan Hukum dalam UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Penegakan hukum sektor kehutanan berdasarkan UU 41 tahun

1999, berupa compliance yaitu melalui pengawasan kehutanan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 59, pengawasan kehutanan dimaksudkan

untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan

hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus

merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan

pengurusan hutan lebih lanjut.

Pasal 60 (1) : pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan

pengawasan kehutanan. Pada ayat (2) masyarakat dan atau perorangan

berperan serta dalam pengawasan kehutanan. Pasal 61 pemerintah

berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang

diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Pasal 62 pemerintah,

pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap

pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak

ketiga. Pasal 63 dalam melaksanakan pengawasan kehutanan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), pemerintah dan

pemerintah daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta

keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan

hutan. Pasal 64, pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan

terhadap pelaksanaan pengelolaanhutan yang berdampak nasional dan

internasional.

217

Ketentuan sanksi pidana dalam UU 41 Tahun 1999 tentang

kehutanan Pasal 78 ayat (6) barang siapa dengan sengaja melanggar

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) yang mengatur

tentang “pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan

dengan pola pertambangan terbuka.” atau Pasal 50 ayat (3) huruf g,

“setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau

eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa

izin menteri;” diancam dengan pidana penjara dan denda

6) Penegakan Hukum dalam UU 32 Tahun 2009 Tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Penegakan hukum lingkungan berdasarkan ketentuan UU Nomor 32

tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menganut dua sistem

dalam penegakan hukum baik sistem compliance dengan conciliatory

style sebagai karakteristiknya dan sanctioning dengan penal style sebagai

karakteristiknya. Penegakan hukum yang bersifat compliance, yaitu

pemenuhan peraturan, atau penegakan preventif dengan pengawasan

preventif, diatur dalam Pasal 71 – 75. Pengawasan lingkungan hidup wajib

dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 72 yaitu “Menteri, gubernur, atau

bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan

pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

terhadap izin lingkungan.”

Ketentuan penegakan hukum dengan sistem sanctioning dalam UU

32 Tahun 2009, meliputi sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi

218

pidana. Pertama : sanksi administrasi diatur dalam Pasal Pasal 76 ayat

(1), “Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi

administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika

dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.

Bentuk sanksi administrasi berdasarkan ayat (2) terdiri atas: (a). teguran

tertulis; (b). paksaan pemerintah; (c). pembekuan izin lingkungan; atau (d).

pencabutan izin lingkungan.

Tabel 13 : Sanksi pidana Lingkungan

Tindak Pidana Sanksi Pidana Pasal 98(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan

Unsur Kesengajaan : pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 dan paling banyak Rp10.000.000.000,00

dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

Pemberatan : Pasal 98 ayat (2) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit 4 milyar dan paling banyak 12 milyar

Pemberatan : Pasal 98 ayat (3) Jika mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 5 milyar dan paling banyak 15 milyar

Pasal 98(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan

Unsur Kelalaian Pasal 99 (1) pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit 1 milyar danpaling banyak 3 milyar

dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

Pemberatan : Pasal 99 ayat (2) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 milyar paling banyak 6 milyar

Pemberatan : Pasal 99 ayat (3) Jika mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 9 tahun dan denda paling sedikit 3 milyar dan paling banyak 9 milyar

Pasal 100 (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan

dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 3 milyar

Pasal 102 Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 (4),

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit 1 milyar dan paling banyak 3 milyar

Pasal 103 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan

pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit 1Milyar dan paling banyak 3 Milyar

Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan

pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit 1 milyar dan paling banyak 3 milyar

Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan

yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Sumber : UU 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

219

Paksaan pemerintah menurut Pasal 80 ayat (1) dapat berupa :

a. penghentian sementara kegiatan produksi; b. pemindahan sarana produksi; c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; d. pembongkaran; e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi

menimbulkan pelanggaran; f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan

pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

Pengenaan paksaan pemerintah menurut Pasal 80 ayat (2) dapat

dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan

menimbulkan: (a). ancaman yang sangat serius bagi manusia dan

lingkungan hidup; (b). dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak

segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya;dan/atau (c).

kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera

dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.

Kedua : sanksi perdata, dalam ketentuan UU lingkungan menganut

sistem pembayaran ganti kerugian dan pemulihan lingkungan serta asas

tanggung jawab mutlak (strict liability). Ketentuan kewajiban pembayaran

ganti kerugian dan pemulihan lingkungan diatur dalam Pasal 87 ayat (1):

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

220

Asas tanggung jawab mutlak (strict liability) diatur dalam Pasal 88 :

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya

menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau

yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu

pembuktian unsur kesalahan.”

Ketiga : sanksi pidana dalam ketentuan UU lingkungan ini, dapat

diterapkan jika terjadi tindak pidana dalam pengelolaan pertambangan.

Pidana tambahan berdasarkan Pasal 119, selain pidana pokok, terhadap

badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib

berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau

kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3

(tiga) tahun.

Pengawasan pengelolaan pertambangan di kawasan tidak dapat

dilepaskan dari ketentuan dan mekanisme penegakan hukum yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu bentuk hasil

pengawasan adalah tindakan penegakan hukum jika hasil pengawasan

yang dilakukan menemukan tindakan pelanggaran sesuai ketentuan dan

sebagai upaya penertiban adalah penegakan hukum yang nyata.

Pengawasan sangat penting sebagai upaya kontrol terhadap pelaksanaan

kewajiban dan ketaatan mematuhi larangan-larangan.

221

2.7 Konstruksi Hukum Kewajiban Lingkungan dan Reklamasi Areal

Bekas Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

a. Kewajiban Lingkungan Pertambangan Batubara di Kawasan

Hutan

Kewajiban lingkungan bagi usaha petambangan yang diatur dalam

UU No 4 tahun 2009 tidak membedakan antara yang berada di dalam

kawasan hutan maupun yang tidak dalam kawasan hutan. Kewajiban

menurut Pasal 95 bagi Pemegang IUP dan IUPK adalah :

a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik; b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; c. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/ atau

batubara; d. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat

setempat; dan e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.

Pasal 96 : Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik,

pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan:

a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan ; b. keselamatan operasi pertambangan; c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk

kegiatan reklamasi dan pascatambang; d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara; e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan

dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.

Pasal 97, Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan

standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu

daerah. Ketentuan Pasal 98, Pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga

222

kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Reklamasi areal bekas pertambangan di kawasan hutan

berdasarkan UU 11 Tahun 1967

Undang-undang 11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan,

tidak menyebutkan istilah reklamasi paska tambang, namun sebagaimana

diatur dalam Pasal 30 UU No. 11 Tahun 1967, diatur kewajiban pelaku

pertambangan untuk mengembalikan kondisi tanah seperti semula, secara

lengkap dinyatakan : “Apabila selesai melakukan penambangan bahan

galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan

yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa,

sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi

masyarakat sekitarnya.” Penjelasan Pasal 30, menegaskan kewajiban

pengusaha pertambangan dalam memelihara wilayah pertambangannya

sehingga tidak menjadi sumber penyakit bagi rakyat sekitarnya bila usaha

pertambangan telah selesai dan wilayah kerja pertambangan telah

ditinggalkan.

Unsur-unsur dalam ketentuan reklamasi seperti yang diatur dalam

Pasal 30, adalah pertama : apabila selesai melakukan penambangan

bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa

pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah

sedemikian rupa. Unsur ini menegaskan bahwa pemegang izin

pertambangan wajib mengembalikan tanah sedemikian rupa setelah

223

melakukan penambangan. Unsur kedua : maksud mengembalikan tanah

sedemikian rupa agar tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya

lainnya bagi masyarakat sekitarnya, yang dalam penjelasan Pasal 30

ditegaskan bahwa ketika usaha pertambangan telah meninggalkan

wilayah penambangannya masyarakat sekitar tetap mendapat

perlindungan dari bahaya penyakit dan bahaya lainnya.

Sanksi bagi pelanggar kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 33 (a)

dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau

dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah, pemegang kuasa

pertambangan yang tidak memenuhi atau tidak melaksanakan syarat-

syarat yang berlaku menurut undang-undang ini dan/atau undang-undang

termaksud dalam keputusan menteri yang diberikan berdasarkan undang-

undang ini dan/atau undang-undang tentang pertambangan yang dikelola

oleh negara.

Reklamasi areal bekas pertambangan di kawasan hutan tidak diatur

secara khusus dalam UU nomor 11 tahun 1967. Sehingga tidak ada

perlakuan khusus terhadap kawasan hutan yang di tambang dengan

kawasan diluar kawasan hutan yang ditambang, dalam hal kewajiban

melakukan reklamasi. Kawasan hutan di persamakan dengan kawasan

lainnya.

224

c. Reklamasi dalam Ketentuan Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-II/1994

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-II/1994 Pasal 14

ayat (2) c : Pemegang IPPKH wajib mereklamasi kawasan hutan yang

telah dipergunakan tanpa menunggu berakhirnya kegiatan. Ketentuan

Pasal 14 ayat (d) Untuk pinjam pakai dengan kompensasi wajib

menyediakan dan menyerahkan tanah lain kepada Departemen

Kehutanan yang clear and clean (cnc) sebagai kompensasi atas kawasan

hutan yang dipinjam.

Pasal 16 (b) untuk keperluan kegiatan pembangunan yang dilakukan

oleh perusahaan swasta minimal lahan kompensasi atas kawasan hutan

yang dipinjam adalah 1:2.

d. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 146/Kpts-

II/1999 tentang Pedoman Reklamasi bekas Tambang Dalam

Kawasan Hutan;

Pasal 1 (1) dalam Keputusan Menteri Kehutanan ini yang dimaksud

dengan reklamasi bekas tambang adalah usaha memperbaiki atau

memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak

sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat

berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Tujuan reklamasi

menurut Pasal 2, ialah untuk memulihkan kondisi kawasan hutan yang

rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi sehingga

225

kawasan hutan yang dimaksud dapat berfungsi kembali sesuai dengan

peruntukannya.

Pasal 3 (1) perusahaan pertambangan dan energi mempunyai

kewajiban :

1. Melaksanakan reklamasi lahan bekas tambang atas kawasan hutan yang dipinjam-pakai.

2. Menanggung biaya pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang atas kawasan hutan yang dipinjam-pakai.

3. Mempunyai organisasi pelaksana reklamasi lahan bekas tambang dalam kawasan hutan.

4. Melakukan usaha perlindungan dan pengamanan hutan atas kawasan hutan yang dipinjam-pakai.

Pasal 3 (2) perusahaan pertambangan dan energi wajib menyerahkan

uang jaminan reklamasi, yang diserahkan ke bank yang ditunjuk pada

saat perjanjian pinjam-pakai kawasan hutan untuk pertambangan dan

energi.

Pasal 5 ayat (1) ruang lingkup reklamasi meliputi tahapan kegiatan :

(1). Inventarisasi lokasi reklamasi; (2). Penetapan lokasi reklamasi; (3).

Perencanaan reklamasi meliputi : Penyusunan reklamasi; Penyusunan

rancangan reklamasi; (4). Pelaksanaan reklamasi yang meliputi :

Penyiapan lahan; Pengaturan bentuk lahan (land scaping); Pengendalian

erosi dan sedimentasi; Pengelolaan lapisan olah (top soil); Revegetasi;

Pemeliharaan.

Pasal 8 (1) Reklamasi dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan

dan energi secara bertahap sesuai dengan rencana dan rancangan

reklamasi yang disahkan. (2) Pelaksanaan reklamasi harus mulai

226

dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan setelah kegiatan

penambangan selesai di setiap lokasi berdasarkan tahapan kegiatan

penambangan.

Pasal 9 mengatur bahwa perusahaan pertambangan dan energi tetap

bertanggung jawab terhadap keberhasilan reklamasi seluruh bagian

kawasan hutan yang telah selesai direklamasi sampai dengan

dikembalikannya kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan kepada

Departemen Kehutanan dan Perkebunan atau pejabat instansi kehutanan

yang ditunjuk, ditambah masa pemeliharaan selama 3 (tiga) tahun.

Pasal 10 mengatur : reklamasi kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan

kepada perusahaan pertambangan dan energi dinyatakan berhasil apabila

telah memenuhi kriteria keberhasilan reklamasi yang meliputi pengaturan

bentuk lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, revegetasi serta

pemeliharaan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan

dan Perhutanan Sosial.

Pasal 14 ayat (1) : perusahaan pertambangan wajib menyampaikan

laporan kemajuan reklamasi setiap 3 (tiga) bulan satu kali. Ketentuan ayat

(2) Mekanisme pelaporan kemajuan reklamasi diatur lebih lanjut oleh

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.

Ketentuan sanksi berdasarkan Pasal 15, apabila pelaksanaan

kegiatan reklamasi tidak atau belum dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan dalam Keputusan ini, maka kepada perusahaan pertambangan

dan energi dapat dikenakan sanksi:

227

1. Penghentian kegiatan penambangan pada kawasan hutan yang dipinjam-pakai;

2. Pencabutan izin pinjam-pakai kawasan hutan; 3. Pengenaan sanksi denda administratif yang besarnya ditetapkan

berdasarkan biaya reklamasi, biaya pembinaan dan pengawasan; 4. Tuntutan keperdataan atau kepidanaan.

Ketentuan ini selanjutnya diganti dengan dikeluarkannya Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Reklamasi

Lahan Hutan.

e. Reklamasi areal bekas pertambangan di kawasan hutan

berdasarkan UU 4 Tahun 2009

Berdasarkan penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik,

pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan:

a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan ; b. keselamatan operasi pertambangan; c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan,

termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara; e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha

pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.

Kewajiban reklamasi hutan tanpa sanksi dalam UU Nomor 41 Tahun

1999 Tentang Kehutanan. Pasal 44 (1) reklamasi hutan meliputi usaha

untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan

yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan

peruntukannya. Kegiatan reklamasi menurut Pasal 44 ayat (2) meliputi

inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan

reklamasi.

228

Kewajiban reklamasi kawasan hutan yang merupakan bekas areal

pertambangan dinyatakan secara tegas dalam Pasal 45 (1) penggunaan

kawasan hutan diluar kepentingan kehutanan yang mengakibatkan

kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai

dengan pola yang ditetapkan pemerintah, sedangkan ayat (2) menyatakan

bahwa reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib

dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan

kegiatan pertambangan. Selain kewajiban reklamasi pihak-pihak yang

menggunakan kawasan hutan juga diwajibkan membayar dana jaminan

reklamasi dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3).

Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar

kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan

penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan

rehabilitasi.

Berdasarkan definisi Pasal 1 angka (26) UU 4 tahun 2009, reklamasi

ialah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan

untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan

ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Kewajiban

reklamasi dinyatakan secara tegas dalam ketentuan Pasal 96 huruf (c)

“Pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan reklamasi dan pasca

tambang”. Namun dalam UU Minerba tidak disebutkan secara khusus

reklamasi areal bekas pertambangan yang berada di kawasan hutan.

229

Tabel 14 : Dinamika Pengaturan Reklamasi Pasca Tambang dalam

Kawasan Hutan di Indonesia

Regulasi Definisi Reklamasi Substansi Pengaturan Reklamasi Kawasan Hutan bekas areal pertambangan

UU 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan

Pasal 30 : “....mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya.....”

Pasal 30 : Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa......”

UU 41 Tahun 1999

Pasal 44 (1) Reklamasi hutan meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.

Pasal 45 ayat (2) Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.

UU 4 Tahun 2009

Pasal 1 angka (26). Reklamasi ialah kegiatan yang dilakukan sepanjangtahapan usaha pertambangan untuk menata,memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan danekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

Pasal 96 c : Pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan reklamasi dan pasca tambang

Sumber : UU 11 Tahun 1967; UU 41 Tahun 1999; UU 4 Tahun 2009

Proses pelaksanaan reklamasi areal bekas pertambangan secara

umum diatur dalam Pasal 99 ayat (1) bahwa “Setiap pemegang IUP dan

IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang

pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK

Operasi Produksi.” Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan pelaksanaan

reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan

peruntukan lahan pascatambang. Peruntukan yang dimaksud harus

230

dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP

atau IUPK dan pemegang hak atas tanah.

Setelah persetujuan rencana reklamasi, pemegang IUP dan IUPK

memiliki kewajiban untuk menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana

jaminan pascatambang sesuai ketentuan Pasal 100 ayat (1). Penggunaan

dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pasca tambang sesuai ayat (2)

adalah Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan

kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan

reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan. Ketentuan tersebut

diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan

reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui.

Pasal 97 mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin

penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik

suatu daerah. Pasal 98 : pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga

kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 99 (1) :

setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi

dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP

Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. (2) Pelaksanaan reklamasi

dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan

pascatambang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (26) UU 4 Tahun 2009,

definisi reklamasi ialah “kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan

231

usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki

kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai

peruntukannya”. Definisi tersebut mengandung arti bahwa reklamasi harus

memenuhi unsur :

a. kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha

pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki

kualitas lingkungan dan ekosistem;

b. agar lingkungan dan ekosistem dapat berfungsi kembali sesuai

peruntukannya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, kegiatan reklamasi yang meliputi

“menata, memulihkan” dan “memperbaiki kualitas lingkungan dan

ekosistem,” senyatanya baru dapat dikatakan dilakukan dengan baik

ketika memenuhi unsur kedua yaitu lingkungan dan ekosistem dapat

berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

Prinsip-prinsip dalam reklamasi lahan pertambangan, pertama:

reklamasi merupakan kewajiban pemegang izin pertambangan. Kewajiban

reklamasi dinyatakan secara tegas sebagai tanggung jawab pemegang

izin usaha pertambangan (IUP) dalam ketentuan Pasal 96 huruf (c) UU

Minerba. Berdasarkan ketentuan tersebut, berkaitan reklamasi pemegang

izin pertambangan memiliki kewajiban: (1) Menyusun rencana reklamasi;

(2) Menyerahkan dana jaminan reklamasi; (3) Melaksanakan reklamasi.

232

Prinsip kedua : reklamasi merupakan kegiatan terencana pemegang

izin pertambangan berkewajiban menyusun rencana reklamasi,

berdasarkan Pasal 99 ayat (1) bahwa “Setiap pemegang IUP dan IUPK

wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada

saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi

Produksi.”

Proses pelaksanaan reklamasi areal bekas pertambangan secara

umum diatur dalam Pasal 99 ayat (1) bahwa “Setiap pemegang IUP dan

IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang

pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK

Operasi Produksi.” Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan pelaksanaan

reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan

peruntukan lahan pascatambang. Peruntukan yang dimaksud harus

dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP

atau IUPK dan pemegang hak atas tanah. Setelah persetujuan rencana

reklamasi, pemegang IUP dan IUPK memiliki kewajiban untuk

menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang

sesuai ketentuan Pasal 100 ayat (1). Jika pemegang IUP dan IUPK tidak

melaksanakan reklamasi sesuai dengan rencana yang telah disetujui,

maka berdasarkan ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota

sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk

melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan reklamasi

dan pascatambang.

233

f. Reklamasi menurut PP Nomor 24 tahun 2010 tentang Pedoman

Pinjam Pakai Kawasan Hutan

PP 24 tahun 2010 Pasal 1 ayat 9 mendefinisikan reklamasi hutan

adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali hutan atau lahan

dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat

penggunaan kawasan hutan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai

dengan peruntukannya. Ketentuan reklamasi ini berlaku umum bagi

kegiatan diluar bidang kehutanan yang menggunakan kawasan hutan.

Ketentuan lebih khusus reklamasi di kawasan hutan diatur dalam

ketentuan Peraturan Menteri.

g. Reklamasi menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.

4/Menhut-II/2011 Tentang Pedoman Reklamasi Hutan

Pasal 1 ayat (22) PMK Nomor : P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman

Reklamasi Hutan, mendefinisikan “Reklamasi hutan adalah usaha untuk

memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi yang rusak

agar dapat berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya.“

Prinsip dasar kegiatan reklamasi menurut ketentuan Pasal 2, meliputi:

(a) Reklamasi merupakan satu kesatuan yang utuh (holistic) dengan

kegiatan penambangan; dan (b) reklamasi dilakukan sedini mungkin tanpa

menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan.

234

Tabel 15:

Peraturan di Tingkat Menteri tentang Reklamasi Tambang Dalam

Kawasan Hutan

No Regulasi Tentang

1 Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/1999

Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan

2 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2008 jo.. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.84/Menhut-II/2014

Tata Cara Penentuan luas areal terganggu dan areal reklamasi dan revegetasi untuk penghitungan PNBP penggunaan kawasan hutan

3 Permenhut No. 60/Menhut-II/2009

Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan

4 Permenhut No. P.32/Menhut-II/2009 Jo.. P.35/Menhut-II/2010

Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS (RTkRHL-DAS)terkait Pasal 13 ayat 5 PP 76/2008)

5 Permenhut No. P.39/Menhut-II/2010

Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan terkait Pasal 7 PP 76/2008)

6 Permenhut No. P.04/Menhut-II/2011

Pedoman Reklamasi Hutan

7 Permenhut No. P.12/Menhut-II/2011

Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

8 Permenhut No. P.63/Menhut-II/2011

Pedoman Penanaman Bagi Pemegang IPPKH Dalam Rangka Rehabilitasi DAS

9 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.16/Menhut-II/2014

Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

10 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.87/Menhut-II/2014

Pedoman Penanaman Bagi Pemegang IPPKH dalam rangka Rehabilitasi DAS

Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan RI Periode 1999-2014

Program reklamasi hutan menurut Pasal 15 (1), meliputi: (a).

penyiapan kawasan hutan; (b). pengaturan bentuk lahan/penataan lahan;

(c). pengendalian erosi dan sedimentasi; (d). pengelolaan lapisan tanah

pucuk; (e). revegetasi; dan (f). pengamanan;

Jangka waktu reklamasi hutan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum

berakhirnya jangka waktu izin penggunaan kawasan hutan. Dalam hal

perusahaan akan mengembalikan kawasan hutan yang dipinjam pakai

235

sebelum berakhirnya jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan

menurut ketentuan ayat (2), maka batas akhir penyelesaian reklamasi

hutan adalah selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sebelum waktu

pengembalian kawasan hutan tersebut. Sebelum dilakukan pengembalian

dilakukan penilaian terhadap keberhasilan reklamasi hutan.

Ketentuan Pasal 55 (1) : bagi pemegang izin penggunaan kawasan

hutan wajib mempunyai organisasi khusus yang menangani reklamasi

hutan. Ketentuan ayat (2), organisasi antara lain bertugas untuk: (a).

mengidentifikasi rencana peruntukan dan pemanfaatan ruang daerah

yang akan di tambang; (b). mengidentifikasikan rona lingkungan awal; (c).

merencanakan upaya reklamasi hutan; (d). melaksanakan rencana dan

upaya reklamasi hutan; (e). melakukan pemeliharaan, penelitian,

pemantauan dan pelaporan dari semua pelaksanan rencana dan upaya

reklamasi hutan.

Penilaian keberhasilan reklamasi hutan berdasarkan Pasal 69 (1)

penilaian keberhasilan reklamasi hutan dilakukan melalui kegiatan

evaluasi terhadap pelaksanaan reklamasi hutan. (2) penilaian

keberhasilan untuk tingkat pusat dilakukan oleh tim yang dikoordinir oleh

Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan

Perhutanan Sosial dan penilaian keberhasilan untuk tingkat daerah

dilakukan oleh tim yang dikoordinir oleh Dinas Teknis Provinsi yang

menangani kehutanan. (3) Penilaian keberhasilan reklamasi hutan

236

dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali atau setahun sebelum

berakhirnya masa berlaku izin pinjam pakai kawasan hutan.

Ketentuan sanksi berdasarkan Pasal 79, bagi para pemegang izin

yang tidak melaksanakan kegiatan reklamasi hutan sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan atau tidak melakukan kegiatan reklamasi

hutan, dikenakan sanksi berupa : (a). Sanksi administratif, sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang didahului peringatan tertulis

sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 3 (tiga) bulan untuk setiap kali

peringatan; (b). Sanksi berupa pencabutan ijin penggunaan kawasan

hutan, setelah dilakukan penilaian hasil reklamasi hutan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

h. Pengaturan Reklamasi Lahan Paska Tambang berdasarkan

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014

Beberapa ketentuan berkaitan dengan lahan paska tambang dalam

peraturan ini, jika dilakukan penelusuran tidak disebutkan bagian khusus

lahan paska tambang yang berada di kawasan hutan namun

pengaturannya menyebar dalam bagian-bagian pengaturan izin,

kewajiban, dll. Beberapa hal yang perlu dicermati adalah :

(1) Reklamasi Kawasan Hutan

Reklamasi lahan pertambangan dalam kawasan hutan berdasarkan

ketentuan ini didefinisikan menurut Pasal 1 ayat (13), reklamasi hutan

adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali hutan atau lahan

237

dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat

penggunaan kawasan hutan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai

dengan peruntukannya.

Pengklasifikasian lahan kawasan hutan setelah dilakukan

penambangan menurut ketentuan ini ada tiga klasifikasi yaitu L1, L2 dan

L3. Menurut Pasal 1 ayat (15) L1 adalah area terganggu karena

penggunaan kawasan hutan untuk sarana prasarana penunjang yang

bersifat permanen selama jangka waktu penggunaan kawasan hutan.

Pasal 1 ayat (16) L2 adalah area terganggu karena penggunaan

kawasan hutan yang bersifat temporer yang secara teknis dapat segera

dilakukan reklamasi. Sedangkan kategori L3 menurut Pasal 1 ayat (17) L3

adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat

permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan reklamasi.

Pasal 6 ayat (2) huruf (a) izin pinjam pakai kawasan hutan untuk

komersial dilakukan dengan ketentuan: Wilayah Provinsi yang luas

kawasan hutan dibawah 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah

aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi : izin pinjam pakai kawasan hutan

pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30% (tiga puluh

perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi,

dengan kompensasi lahan: ratio 1:2 untuk komersial ditambah dengan

luas rencana areal terganggu dengan kategori L3; dan jika realisasi L3

lebih luas dari rencana L3 maka luas lahan kompensasi ditambah dengan

luas perbedaan dari selisih antara rencana L3 dengan realisasi L3;

238

Wilayah provinsi yang luas kawasan hutan diatas 30% (tiga puluh

perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi :

dengan kompensasi membayar PNBP penggunaan kawasan hutan dan

melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai,

dengan ketentuan: penggunaan untuk komersial dikenakan kompensasi

membayar PNBP penggunaan kawasan hutan dan melakukan

penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai dengan ratio

1:1 ditambah dengan luas rencana areal terganggu dengan kategori L3;

(2) Ketentuan Lahan Kompensasi

Ketentuan Pasal 1 angka (10), mendefinisikan kompensasi adalah

salah satu kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk

menyediakan dan menyerahkan lahan bukan kawasan hutan atau

membayar sejumlah dana yang dijadikan PNBP sebagai pengganti lahan

kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 1 angka (12) kondisi calon lahan kompensasi yang tidak

bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure) adalah kondisi

calon lahan kompensasi yang telah jelas statusnya, tidak dalam sengketa,

tidak dalam penguasaan pihak yang tidak berhak dan tidak dibebani hak

atas tanah tertentu serta tidak dikelola oleh pihak lain.

Calon lahan kompensasi menurut Pasal 35 (1), calon lahan

kompensasi wajib memenuhi persyaratan: (a). dapat dikelola dan

dijadikan bagian dari satu unit pengelolaan hutan; (b). terletak dalam

daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi yang sama; (c). dapat

239

dihutankan kembali dengan cara konvensional; (d). tidak dalam sengketa

dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan; dan (e).

mendapat rekomendasi dari gubernur atau bupati/walikota. Ketentuan

lahan kompensasi sesuai Pasal 35 (1) memungkinkan pemegang IPPKH untuk

meninggalkan lahan yang tidak bisa dipulihkan di wilayah pertambangannya

dengan konsekuensi menyediakan lahan pengganti di tempat lain. Selain itu

berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (10) ketentuan ini, kewajiban penyediaan

lahan kompensasi dapat dikonversi dengan pembayaran sejumlah uang.

Ketentuan lahan kompensasi ini megandung masalah yaitu pertama :

pemegang IPPKH dimungkinkan meninggalkan areal yang tidak dapat

dipulihkan dengan syarat menyediakan lahan kompensasi; kedua : Lahan

kompensasi dapat disediakan di wilayah diluar IPPKH sepanjang masih

dalam aliran sungai yang sama atau dalam provinsi yang sama.

Ketentuan ini melupakan bahwa kawasan hutan yang terganggu oleh

kegiatan pertambangan memiliki fungsi ekologis bagi wilayah di sekitarnya

yang tidak dapat digantikan dengan penyediaan lahan di wilayah diluar

IPPKH yang tidak harus kawasan hutan; Ketiga : ketentuan kewajiban

penyediaan lahan kompensasi dapat digantikan dengan sejumlah uang,

seolah mengesampingkan fungsi kawasan hutan bagi wilayah disekitarnya

yang akan terganggu dengan hilangnya kawasan hutan, serta tidak dapat

digantikan dengan sejumlah uang. Salah satu fungsi kawasan yang tidak

dapat digantikan dengan uang adalah fungsi ekologis kawasan hutan.

Keempat : ketentuan ini seolah mengingkari kenyataan bahwa luas

daratan di Indonesia ini telah ada peruntukkannya. Sehingga bisa

240

dipastikan ketentuan ini akan mengalami berbagai kendala

penyelenggaraan dan menimbulkan persoalan tumpang tindih lahan.

Berdasarkan penelusuran terhadap regulasi pertambangan batubara

di kawasan hutan, sejak periode setelah kemerdekaan, khususnya setelah

orde baru hingga masa reformasi terjadi perubahan pengaturan yang

sangat dinamis. Pada masa Orde lama fondasi awal pengelolaan sumber

daya alam diatur dalam Konstitusi RI UUD 1945, serta UU Nomor 5 tahun

1060 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria. Selain itu hanya satu

peraturan pemerintah penggati UU yang mengatur khusus pertambangan.

Orientasi pengaturan pada semangat nasionalisasi atas pengelolaan

sumber daya alam, belum ada pengaturan pertambangan batubara secara

khusus.

Namun pada periode orde Baru terdapat 4 peraturan setingkat UU,

Instruksi Menteri sebanyak 1 sedangkan Peraturan/Keputusan Menteri

sebanyak 6 serta Peraturan/Keputusan Dirjen sebanyak 1. Orientasi

pengaturan adalah untuk mendorong investasi di bidang pertambangan

sebagai upaya percepatan ekonomi bangsa. Upaya memberikan ruang

bagi perusahaan pertambangan sangat tegas dinyatakan, yaitu ketika

terjadi pertindihan/tumpang tindih peruntukkan maka sektor pertambangan

yang harus didahulukan. Regulasi tersebut semakin kuat di warnai politik

otoritarian yang dijalankan orde baru selama masa kekuasaannya.

Regulasi pada masa Orde Reformasi terhadap sektor pertambangan

di kawasan hutan sejalan dengan semangat reformasi adalah koreksi

241

terhadap kebijakan orde baru yang mengutamakan pendapatan ekonomi

secara cepat yang pada akhirnya tidak mampu mewujudkan cita-cita

menciptakan kemakmuran rakyat. Berdasarkan penelusuran regulasi

pertambangan di kawasan hutan, pada masa reformasi terjadi pengaturan

yang lebih detil, namun orientasinya tidak berbeda dengan masa orde

baru, yakni memberikan ruang bagi pertambangan untuk melakukan

eksploitasi di kawasan hutan. Regulasi pada masa reformasi sebanyak 4

UU/PERPU, 2 Peraturan Pemerintah, 1 Keppres, 19 Peraturan Menteri

serta 1 Peraturan Dirjen. Selain itu terdapat 1 Putusan Mahkamah Agung

yang menguji UU No 19 Tahun 2004 terhadap UUD 1945.

Tabel 16 : Jumlah Regulasi Pertambangan di Kawasan Hutan

Periode Jumlah Regulasi

Putusan Mahkamah Konstitusi

UU/ PERPU

PP Instruksi Presiden/ KEPPRES

Peraturan Menteri

Keputusan/ Peraturan

Dirjen

Orde lama - 1

Orde Baru - 3 1 6 1

Orde Reformasi

1 4 2 1 19 1

Total 1 8 2 2 25 2

Sumber : Regulasi Pertambangan di kawasan hutan periode 1960-Mei 2017

Sehingga secara keseluruhan terdapat 40 produk regulasi berkaitan

pertambangan di kawasan hutan sejak 1960 – Mei 2017 yaitu : 1

Putusan Mahkamah Konstitusi, 8 UU/PERPU, 2 Peraturan Pemerintah,

Instruksi Presiden sebanyak 2, Peraturan Menteri/Keputusan Menteri

sebanyak 25, serta Peraturan/Keputusan Dirjen sebanyak 2 produk.

242

B. Implementasi dan Manfaat Pertambangan Batubara

dalam Kawasan Hutan

1. Implementasi Pertambangan Batubara dalam Kawasan Hutan

1.1 Implementasi Pertambangan dalam Kawasan Hutan di

Kalimantan Timur

Berdasarkan data luas kawasan hutan Indonesia, menurut Dirjen

Planologi kehutanan, luas kawasan hutan Indonesia adalah 129 juta

hektar. Kawasan hutan ini terbagi berdasarkan fungsinya yaitu sebagai

hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi

serta areal penggunaan lain.

Berdasarkan ketentuan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, kawasan hutan yang dapat dipergunakan bagi pertambangan

adalah kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Secara

khusus, berdasarkan Pasal 38 hanya kawasan hutan produksi yang dapat

dilakukan penambangan secara terbuka. Sedangkan kawasan hutan

lindung harus dilakukan dengan sistem penambangan

tertutup/penambangan bawah tanah. Berdasarkan ketentuan UU Nomor

19 tahun 2004, maka terdapat pengecualian bagi 13 (tiga belas)

perusahaan pertambangan yang diperbolehkan menambang secara

terbuka di kawasan hutan lindung, berdasarkan ketentuan tersebut

terdapat 2 (dua) perusahaan pertambangan batubara, yaitu PT Indominco

Mandiri berlokasi di Kalimantan Timur dan PT Interex Secra Raya

berlokasi di perbatasan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

243

Kalimantan Timur adalah bagian wilayah di Pulau Kalimantan atau

dikenal dengan nama Pulau Borneo, yaitu pulau terbesar ketiga di dunia

setelah Greenland dan seluruh Pulau Papua. Kalimantan mempunyai

peran penting dalam pengembangan ekonomi Indonesia dan merupakan

salah satu penghasil devisa utama yang berasal dari eksploitasi sumber

daya alam : hutan, minyak, gas, batubara,dan mineral-mineral lain.

Tabel 17 :

Luasan dan Peruntukan Kawasan di Kalimantan Timur

No Kawasan Luas (Ha)

A Kawasan Lindung

Hutan Lindung 1,844,970

KSA/KPA 438,390

Jumlah kawasan lindung 2,283,360

B Kawasan Budidaya

Hutan Produksi terbatas 2,871,951

Hutan Produksi 3,008,630

Hutan Produksi Konversi 120,358

Jumlah Kawasan KBK 6,000,939

Jumlah Kawasan Hutan (A+B) 8,284,299

C Kawasan APL

Permukiman 396,728

Kawasan Industri 31,313

Kawasan Pariwisata 139,023

Perikanan 68,134

Perkebunan 3,465,629

Pertanian Tanaman Pangan 253,739

Tubuh Air 60,909

Jumlah Kawasan APL 4,415,475

Jumlah Luasan Daratan 12,699,744

D Laut

Laut 12 Mill 3,997,373

Total 16,732,065

Sumber : Diolah Rekapitulasi Luas APL SK.718/Menhut-II/2014

Posisi Kalimantan Timur terletak antara 4⁰24’ Lintang Utara (LU) dan

2⁰25’ Lintang Selatan (LS), 113⁰44’ Bujur Timur (BT) dan 119⁰00’ Bujur

Timur (BT). Provinsi Kalimantan Timur mempunyai luas wilayah daratan

244

sekitar 12.726.752 ha yang terdiri dari daratan seluas 12.533.681 ha dan

perairan darat seluas 193.071 ha.

Provinsi Kalimantan Timur diresmikan melalui Undang-undang

Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom

Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 65),

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1106). Pada

tahun 2012 wilayahnya di mekarkan dengan pembentukan Provinsi

Kalimantan Utara melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang

pembentukan Provinsi Kalimantan Utara.

Tabel 18 : Data Wilayah Administratif Provinsi Kalimantan Timur

Kabupaten/Kota Luas Daratan (Ha) Jumlah Kecamatan Jumlah Desa

Paser 1.074.526 10 144

Kutai Barat 1.537.890 16 194

Mahakam Ulu 1.531.500 5 50

Kutai kartanegara 2.571.641 18 237

Kutai Timur 3.173.519 18 135

Berau 2.195.171 13 110

Penajam Paser Utara 313.195 4 54

Balikpapan 50.432 6 34

Samarinda 69.496 10 53

Bontang 16.311 3 15

Kalimantan Timur 12.533.681 103 1.026 Sumber : BPS dan Bappeda Provinsi Kalimantan Timur RPJMD Tahun 2013-2018

Sebagai provinsi terluas ketiga, Provinsi Kalimantan Timur memiliki

luas wilayah mencapai 6,66% dari luas Indonesia. Dari segi administrasi

pemerintahan, Provinsi Kalimantan Timur terbagi menjadi 7 (tujuh)

kabupaten (Berau, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Paser,

245

Penajam Paser Utara, dan Mahulu) dan 3 (tiga) Kota Balikpapan, Bontang

dan Samarinda. Wilayah administratif terbagi atas 103 kecamatan dan

1.062 desa.

Kabupaten Kutai timur merupakan kabupaten terluas yaitu 3.173.519

hektar, Kutai Kartanegara seluas 2.571.641 hektar dan ketiga adalah Berau seluas

2.195.171 hektar.

Penambangan batubara di Kalimantan Timur dalam sejarahnya telah

dimulai sejak jaman Kerajaan Kutai (Kerajaan Kutai merupakan kerajaan

Hindu tertua di Indonesia), penambangan batubara secara terbuka di

bawah pengawasan Kesultanan sudah mulai beroperasi di Kalimantan

menjelang abad ke-19, yang menghasilkan batubara bermutu rendah

dalam jumlah kecil untuk penggunaan setempat. Tambang kecil milik

negara di Palaran dekat Tenggarong di Kesultanan Kutai merupakan

suatu contoh yang khas. Pada tahun 1888 perusahaan batubara Belanda

(Oost Borneo Maatchappi) mendirikan sebuah tambang batubara besar di

Batu Panggal di tepi Sungai Mahakam, dan usaha pribumi kecil-kecilan di

sepanjang Mahakam Hulu dan Sungai Berau. Produksi tambang-tambang

besar milik Belanda di ekspor, sedangkan kegiatan produksi yang lebih

kecil diarahkan untuk pasaran setempat.

Selain kekayaan sumber daya alam tambang, Kalimantan Timur juga

kaya akan sumber daya alam hutan. Sebagai bagian dari wilayah pulau

Kalimantan (Borneo) yang sangat kaya flora dan fauna. Keragaman jenis

pohon dan jenis tumbuhan dalam hutan basah dataran rendah,

246

Kalimantan merupakan kelompok penghasil kayu komersial terpenting di

Asia Tenggara. Di antara pulau-pulau di Indonesia, Kalimantan

menempati urutan kedua setelah Papua dalam hal kekayaan jenis

tumbuhan, mamalia, burung dan reptilia.

Pulau Kalimantan secara keseluruhan merupakan pusat utama

keragaman hayati dan kawasan prioritas untuk konservasi. Seluruh Pulau

Kalimantan menempati 0,2% keanekaragaman hayati di bumi tetapi satu

diantara 25 jenis tumbuhan yang dikenal dan satu diantara 20 jenis

burung dan mamalia terdapat di pulau ini. Pulau Kalimantan sangat

penting karena kekayaan jenis fauna dan flora serta tingkat

endemismenya sangat tinggi.

Kalimantan Timur merupakan provinsi yang memiliki cadangan

batubara terbesar setelah Sumatera Selatan dan terbesar di Pulau

Kalimantan. Kondisi ini menempatkan Kalimantan Timur sebagai salah

satu daerah yang mengeksploitasi batubara dan mengekspornya dalam

bentuk komoditi mentah. Kaltim hanya menggali, mengangkut dan

mengkapalkan batubara dalam bentuk komoditi mentah tanpa

memberikan nilai tambah.

Pada masa Orde Baru, kondisi geologi Kalimantan Timur yang kaya

sumber daya alam tambang, mendorong pemerintah pusat untuk

mengeluarkan izin eksploitasi sumber daya alam tambang. Pemerintah

pusat mengeluarkan kontrak penambangan batubara kepada beberapa

perusahaan besar, jumlah perusahaan tambang batubara dan mineral di

247

Kaltim yang mendapatkan kontrak pertambangan pada masa orde baru

adalah 116 perusahaan yang terdiri dari 69 Kuasa Penambangan (KP)

dan 47 Perjanjian Karya Pengusahaan Penambangan Batubara (PKP2B )

yang mencapai luasan 6.219.599 hektar.

Eksploitasi pertambangan juga dilakukan di kawasan hutan, hingga

tahun 2006 secara nasional tercatat 111 perusahaan pertambangan di

kawasan hutan, sumber daya alam yang digali meliputi batubara, emas,

tembaga dan mangan. Beroperasinya perusahaan di kawasan hutan

Kalimatan terbanyak berada di Kalimantan Timur yakni sebanyak 31

perusahaan, Kalimantan Selatan 11 perusahaan.

Data perizinan pertambangan hingga tahun 2013 total penguasaan

lahan tambang di Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara,

berkisar kurang lebih 7 juta hektar. Terdiri dari 1.451 Izin Usaha

Pertambangan (IUP) dengan luas 5.314.294,69 hektar, 67 Perjanjian

Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menguasai lahan

1.624316,49 hektar, dan 5 Kontrak Karya (KK) dengan luas konsesi

29.201,34 hektar.

Berdasarkan penataan kawasan Kalimantan Timur Tahun 2014

setelah pemekaran Provinsi Kalimantan Utara, luas daratan Kalimantan

Timur seluruhnya adalah 12,699,744 hektar, yang terbagi menjadi luas

kawasan hutan adalah 8.284.299 hektar dan luas kawasan Areal

Penggunaan Lain (APL) adalah 4,415,475 hektar. Kawasan hutan lindung

seluas 2,283,360 hektar, sedangkan kawasan budidaya kehutanan

248

6,000,939 hektar. Kalimantan Timur juga memiliki sumber daya hutan

yang berfungsi sebagai paru-paru dunia.

Tabel 19:

Pola Penataan Ruang di Kalimantan Timur Per-Kabupaten/Kota

Kab/ Kota

Luas Peruntukan Kawasan (Ha)

APL HL HP HPK HPT KSA/ KPA

Tubuh Air

Balikpapan 33.523 15.971 1.630 - - - 100

Berau 604.804 362.904 537.010 33.943 624.836 - 10.022

Bontang 10.984 4.535 - 87 - 692 15

Kutai Barat 720.841 56.608 308.194 11.847 247.280 4.785 21.437

Kutai Kartanegara

958.580 201.647 756.279 22.753 486.234 133.512 39.803

Kutai Timur 980.210 329.919 856.200 39.140 706.555 184.410 8.736

Mahulu 293.853 758.172 214.609 2.806 669.298 - 6.202

Paser 482.729 115.211 241.475 9.777 145.843 108.044 6.617

Penajam Paser Utara

145.496 1 111.157 84 28.210 6.947 4782

Samarinda 68.720 - 544 - - - 2.388

Total (Ha) 4.299.739 1.844.970 3.027.100 120.438 2.908.255 438.390 95.799

Total Daratan 12.734.691

Sumber : Rekapitulasi Luas APL menurut SK.718/Menhut-II/2014

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang

Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan, Pasal 1 angka (7) paru-paru

dunia adalah kawasan bervegetasi hutan tropis basah dalam satu

hamparan luas yang memiliki fungsi sebagai penyerap karbondioksida,

penghasil oksigen, dan penyeimbang iklim global. Kebijakan otonomi

daerah sebagai hasil reformasi politik, menempatkan pemerintah daerah

sebagai institusi yang mendapatkan kewenangan di daerah yang selama

orde baru tidak pernah diberikan. Kewenangan tersebut mendorong

pemerintah daerah mengeluarkan perizinan sektor pertambangan untuk

menambah pendapatan daerah.

249

1.2 Implementasi Mekanisme Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

(IPPKH)

Pertambangan batubara yang melakukan eksploitasi di kawasan

hutan disyaratkan selain harus mendapatkan izin usaha pertambangan

juga harus memiliki Izin Penggunaan Kawasan Hutan berupa Izin Pinjam

Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sesuai ketentuan Pasal 38 UU Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan.

a. Proses Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menurut

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral

Berdasarkan ketentuan penggunaan kawasan hutan untuk

pertambangan, perusahaan pertambangan untuk dapat beroperasi di

kawasan hutan, wajib medapatkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

(IPPKH). Prosedur pemberian IPPKH menurut keterangan Subdit

Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara Kementerian Energi

Sumber Daya Mineral (KESDM), adalah :150

“Prosedur IPPKH merupakan kewenangan instansi kehutanan. Kewenangan Kementerian ESDM adalah berkaitan perizinan tambangnya, selanjutnya untuk dapat beroperasi jika lokasinya berada dikawasan hutan maka perusahaan yang bersangkutan harus mengurus perizinan di Instansi Kehutanan sesuai peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan ketentuan yang berlaku terdapat perbedaan perizinan

antara pertambangan yang beroperasi di kawasan hutan dan diluar

kawasan hutan. Perbedaan perizinan pertambangan di kawasan hutan

150

Andi Ari.S. Subdit Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM), wawancara tanggal 27 Januari 2016

250

selain mendapatkan izin pertambangan, juga harus mendapatkan izin

untuk beroperasi di kawasan hutan, dikatakan oleh Subdit Pengawasan

Produksi dan Pemasaran Batubara :151

“Perizinan yang dikeluarkan instansi pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Perbedaan perizinan antara pertambangan di kawasan hutan dan diluar kawasan hutan adalah ketika sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan izin pertambangan, pihak perusahaan yang lokasi tambangnya berada di kawasan hutan harus memiliki izin penggunaan kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan-perundang-undangan. Jika tidak mendapatkan izin tersebut maka perusahaan pertambangan tidak akan dapat beroperasi di kawasan hutan, meskipun telah mendapatkan izin usaha pertambangan.” Berdasaran keterangan tersebut, perusahaan pertambangan yang

beroperasi dikawasan hutan harus terlebih dahulu mendapatkan izin

usaha pertambangan sebagai syarat dapat beroperasinya perusahaan

pertambangan. Selanjutnya perusahaan tersebut harus mendapatkan

IPPKH sebagai syarat untuk dapat beroperasi di kawasan hutan.

Sehingga prosedur untuk mendapatkan IPPKH harus ditempuh oleh

perusahaan pertambangan setelah perusahaan yang dimaksud

mendapatkan izin usaha pertambangan. Tanpa IPPKH maka perusahaan

pertambangan tidak dapat melakukan penambangan di kawasan hutan.

Kewenangan memberikan persetujuan pemberian IPPKH menurut

keterangan KESDM tersebut, berada di instansi kehutanan, keterangan

yang disampaikan adalah :152

“Proses disetujui atau tidak penggunaan kawasan hutan bagi pertambangan melalui penerbitan IPPKH sangat bergantung pada

151

Ibid. 152

Ibid.

251

tahap telaah dan analisis yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebagai instansi yang memiliki kewenangan menurut peraturan perundang-undangan.”

Berkaitan izin usaha pertambangan baik yang berada di kawasan

hutan maupun diluar kawasan hutan, penulis mencermati bahwa terjadi

perubahan yang luar biasa dengan adanya kebijakan otonomi daerah

dalam pengelolaan pertambangan batubara, sebagaimana data

Kementerian ESDM yang dipublikasikan dalam warta minerba yang

diterbitkan tahun 2014, perubahan yang sangat nampak adalah dari segi

jumlah perizinan pertambangan. Sebelum otonomi daerah, jumlah Izin

pertambangan hanya sebanyak 600-an. Setelah otonomi daerah jumlah

izin pertambangan meningkat secara luar biasa. IUP se-Indonesia

mencapai 10.922, yang terdiri dari 7.000 IUP Mineral dan 3.922 IUP

Batubara. Informasi tersebut dibenarkan oleh Subdit Pengawasan

Produksi dan Pemasaran Batubara, dikatakan bahwa :153

“Izin Usaha Pertambangan saat ini terdapat sekitar 3000-an, jumlah tersebut meningkat setelah diberlakukan kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan pada daerah untuk mengeluarkan izin pertambangan. Pemerintah KESDM sedang berupaya untuk terus melakukan penataan perizinan terutama dengan mekanisme pengawasan melalui ketentuan clear and clean (CnC) bagi perusahaan pertambangan batubara yang beroperasi”

Jumlah IUP batubara seluruh Indonesia menurut data KESDM

sebanyak 3.922, dari jumlah tersebut sebanyak 3.258 IUP berada di Pulau

Kalimantan, dengan demikian sebagian besar IUP batubara Indonesia

153

Ibid.

252

berlokasi di Kalimantan. Kalimantan Timur merupakan lokasi terbanyak

IUP batubara yaitu sebanyak 1.181 IUP. Sedangkan Kalimantan Selatan

pada urutan kedua sebanyak 789 IUP, berikutnya Kalimantan Tengah

sebanyak 654 IUP serta Kalimantan Barat sebanyak 541 IUP.

Tabel 20 :

Rekapitulasi Izin Usaha Pertambangan Di Pulau Kalimantan

PROVINSI JUMLAH IUP

C&C NON C&C TOTAL

KALIMANTAN BARAT 371 170 541

KALIMANTAN TENGAH 489 165 654

KALIMANTAN SELATAN 438 351 789

KALIMANTAN TIMUR 906 275 1181

KALIMANTAN UTARA 91 2 93

2.295 963 3258

Sumber : KESDM RI Tahun 2016 data diperbarui Tahun 2017

Berdasarkan data di Kementerian ESDM terjadinya peningkatan

jumlah izin pertambangan batubara mendorong peningkatan produksi

batubara di Indonesia, kenaikan produksi sebesar 18% pertahun. Dari

jumlah kenaikan batubara tersebut, 70% untuk kebutuhan ekspor, sisanya

untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Jumlah izin pertambangan yang sangat besar menyebabkan beban

pengawasan yang juga tidak ringan. Mengingat lokasi penambangan

berada di kawasan yang sulit untuk dijangkau transportasi umum. Kondisi

tersebut menyebabkan pengawasan lebih sulit dan membutuhkan biaya

yang tidak sedikit.

Kewenangan pengawasan pertambangan batubara yang dilakukan

oleh KESDM hanya berkaitan teknis penambangan. Sedangkan

253

pengawasan sesuai status kawasan hutan merupakan kewenangan

Kementerian Kehutanan, hal ini disampaikan Subdit Pengawasan

Produksi dan Pemasaran Batubara KESDM, yaitu:154

“Dirjen Mineral dan Batubara hanya melakukan pengawasan berkaitan dengan teknis produksi pertambangan serta kewajiban-kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangan Dirjen Mineral dan Batubara. Pengawasan yang dilakukan tidak berbeda antara pertambangan di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, karena yang diawasi berkaitan operasional pertambangan. Pengawasan berkaitan kawasan hutan menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan, karena kewenangan memberikan izin dalam kawasan hutan merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan.”

Berdasarkan keterangan tersebut, maka Subdit Pengawasan

Produksi dan Pemasaran Batubara, melakukan pengawasan ketika

perusahaan pertambangan telah beroperasi. Pengawasan pertambangan

terkait status kawasan hutan menjadi kewenangan Kementerian

Kehutanan dan Lingkungan sesuai ketentuan peraturan perudang-

undangan yang berlaku. Terhadap perusahaan pertambangan yang

beroperasi di kawasan hutan, pengawasan yanag dilakukan oleh KESDM

tidak ada perbedaan antara pertambangan di kawasan hutan dan diluar

kawasan hutan. Bentuk pengawasan yang dilakukan adalah secara

administratif dan teknis dilapangan secara langsung, pengawasan

langsung di lokasi penambangan dilakukan dengan metode sampling,

karena pengawasan secara keseluruhan pada periode yang sama

154

Ibid.

254

terkendala sumber daya yang terbatas sedangkan perusahaan

pertambangan yang diawasi ribuan.

b. Proses Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menurut

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup

Prosedur Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) harus

memenuhi syarat administrasi dan teknis, menurut keterangan Direktorat

Penggunaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan adalah :155

“IPPKH merupakan perizinan yang wajib dimiliki perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan hutan. Prosedur pemberian IPPKH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, perusahaan harus mengajukan permohonan dengan menyertakan syarat-syarat yang sudah ditentukan yang mencakup syarat teknis dan administrasi.”

Prosedur pemberian IPPKH mengikuti ketentuan dalam Permenhut

Nomor : P.16/Menhut-II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan

Hutan, berdasarkan ketentuan tersebut, tata cara permohonan IPPKH

kepada menteri Kehutanan dan Lingkungan adalah : (1) Permohonan izin

pinjam pakai kawasan hutan diajukan oleh: menteri atau pejabat setingkat

menteri; gubernur; bupati/walikota; pimpinan badan usaha; atau ketua

yayasan. (2) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan harus

dilengkapi persyaratan administrasi; dan teknis.

Peran pemerintah daerah dalam prosedur pemberian IPPKH sangat

penting, karena salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon

155

Dadan Mulyana, Staf Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan, wawancara di Jakarta tanggal 9 Februari 2015

255

IPPKH adalah adanya rekomendasi dari kepala daerah dimana lokasi

kawasan hutan yang dimohonkan untuk digunakan sebagai wilayah

penambangan tersebut berada, sebagaimana dikatakan :156

“Pemerintah Daerah berperan penting dalam prosedur pemberian IPPKH, karena ada syarat bagi pihak yang memohon untuk menyertakan rekomendasi dari daerah, yaitu rekomendasi gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh bupati/walikota dan Pemerintah; atau rekomendasi bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur.”

Persyaratan teknis yang dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan, persyaratan teknis diantaranya pemohon

menyertakan rencana kerja penggunaan kawasan yang dilengkapi citra

satelit, izin lingkungan dan dokumen AMDAL atau UKL-UPL, serta

pertimbangan teknis Dirjen Minerba. Jika persyaratan teknis dan

administratif telah dipenuhi maka dilakukan penilaian dan telaah oleh

dirjen yang membidangi, jika disetujui maka dikeluarkan persetujuan

prinsip penggunaan kawasan hutan. Dengan demikian, setelah

terpenuhinya syarat teknis dan administratif dalam pemberian IPPKH

maka selanjutnya dilakukan penilaian dan telaah oleh dirjen yang

membidangi, jika disetujui maka dikeluarkan persetujuan prinsip

penggunaan kawasan hutan.

Berdasarkan keterangan tersebut, maka proses penerbitan IPPKH

melibatkan pemerintah daerah baik kabupaten/kota maupun provinsi serta

156

Ibid.

256

pemerintah pusat yaitu Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan

dan Lingkungan Hidup. Berdasarkan keterangan tersebut, jika salah satu

tidak memberikan rekomendasi atau persetujuan dalam proses

pengajuan, maka IPPKH tidak dapat diterbitkan bagi pemohon yang

dimaksud. Ketentuan tersebut sejalan dengan Permenhut Nomor: P.16/

Menhut-II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Berdasarkan penelusuran data yang dilakukan penulis di

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan tentang perizinan pertambangan

di kawasan hutan, menunjukkan penggunaan kawasan hutan untuk

kegiatan diluar kehutanan, masih di dominasi kegiatan pertambangan

sebanyak 911 unit (66,20%), sedangkan kegiatan non pertambangan

sebanyak 465 unit (33,79%). Jumlah perizinan penggunaan kawasan

hutan untuk kegiatan diluar kehutanan, paling banyak terdapat di Pulau

Kalimantan yaitu 502 unit (36,48%) dengan luas total 1.143.419 Ha. Pulau

Sumatera sebanyak 366 unit (26,60%) dengan total 440.342 Ha. Pulau

Jawa sebanyak 209 unit (15,19%) dengan luas total 244.780 Ha. Pulau

Nusa Tenggara sebanyak 64 unit (4,65%) dengan total luas 118.346 Ha.

Pulau Maluku sebanyak 60 unit (4,36%) dengan total luas 131.607 Ha dan

Pulau Papua sebanyak 42 unit (3,05%) dengan total luas 96.563 Ha.157

Berdasarkan data tersebut, menunjukkan Kalimantan merupakan wilayah

terbanyak menerbitkan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan

diluar kehutanan.

157

Kementerian Kehutanan, Februari 2015

257

c. Proses Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menurut

Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur

Berkaitan prosedur izin pertambangan di kawasan hutan, Dinas

Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur,

berdasarkan permohonan dapat menerbitkan hanya izin

pertambangannya saja, sedangkan berkaitan dengan status kawasan

hutan maka pemegang izin pertambangan harus mendapatkan izin dari

Kementerian Kehutanan. Menurut keterangan Kepala Bagian

Pertambangan Batubara Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur

bahwa:158

“Kewenangan perizinan pertambangan di kawasan hutan berada di Dinas Kehutanan, sedangkan untuk Dinas ESDM Provinsi berdasarkan ketentuan mempunyai kewenangan penerbitan izin pertambangan. Namun pada tahun ini Dinas Pertambangan Provinsi belum menerbitkan izin pertambangan baru, hanya melakukan penataan perizinan yang sudah ada.”

Sejalan perubahan pelimpahan kewenangan Dinas ESDM terhadap

perizinan batubara, serta Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2015,

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur belum mengeluarkan perizinan

baru dibidang pertambangan. Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2015

Tentang Penataan Pemberian Izin dan Non Perizinan serta

Penyempurnaan Tata Kelola Perizinan di Sektor Pertambangan,

Kehutanan dan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Timur

158 Goenoeng, Kepala Bagian Pertambangan Batubara Dinas Energi

Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur dalam wawancara tanggal 9 Maret 2016,

258

berdasarkan Pasal 6 (1) Penundaan dan penataan pemberian izin dan

non perizinan diberlakukan pada penerbitan perizinan baru usaha

pertambangan batu bara. Pasal 6 (2) Penundaan dan penataan

pemberian Izin dan non perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikecualikan untuk :

a. Perizinan kegiatan eksplorasi pertambangan batu bara yang berjalan;

b. Peningkatan perizinan dari IUP eksplorasi ke IUP Operasi Produksi;

c. Pertambangan Batu bara pada kawasan APL; d. Peningkatan IUP Eksplorasi ke IUP Operasi Produksi

Pertambangan Batu bara di dalam kawasan Hutan Produksi

Pasal 6 (3) Peningkatan dan perpanjangan perizinan dan non

perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf

d, dapat diberikan dengan memenuhi semua persyaratan :

a. Berkomitmen untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri (DMO) diutamakan kebutuhan di Provinsi Kalimantan Timur;

b. Berkomitmen menyediakan pasokan atau membangun Pembangkit Listrik/Power Plant;

c. Berkomitmen mendukung program Ketahanan Pangan (reklamasi untuk tanaman pangan dan sapi);

d. Izin tidak tumpang tindih dengan komoditas yang sejenis; e. Berkantor di Kalimantan Timur (minimal memiliki kantor cabang

di Kalimantan Timur) dan memiliki NPWP Badan di Kalimantan Timur;

f. Memperhatikan daya dukung lingkungan dan masyarakat setempat;

g. Tidak mengekspor bahan mentah; dan h. Membangun industri hilir (downstream).

Sejalan dengan kewenangan pemerintah provinsi setelah berlakunya

UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah maka berkaitan

perizinan pertambangan, pemerintah provinsi melakukan penataan

259

terhadap izin-izin pertambangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah

kabupaten/kota berdasarkan ketentuan sebelumnya. Hal ini disampaikan

oleh Kepala Bagian Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber Daya

Mineral Provinsi Kalimantan Timur, bahwa :159

“Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur sejak berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014, melakukan langkah penataan perizinan, salah satunya meminta data dan dokumen perizinan pertambangan yang selama ini dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten kota. Selanjutnya akan dilakukan penataan terhadap perizinan tersebut.”

Ketentuan yang dimaksud narasumber tersebut adalah Pasal 14 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, yang mengatur bahwa : “Penyelenggaraan urusan pemerintahan

bidang kehutanan, kelautan serta energi dan sumber daya mineral dibagi

antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi.”

Penataan perizinan pertambangan oleh Dinas ESDM Provinsi

Kalimantan Timur tidak memisahkan antara perusahaan pertambangan

yang berada di kawasan hutan dan diluar kawasan hutan, namun

berpedoman pada ketentuan bidang pertambangan sebagaimana

disampaikan oleh Kepala Bagian Pertambangan Batubara Dinas ESDM

Provinsi Kalimantan Timur:160

“Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur melaksanakan tugas berkaitan perizinan pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bidang pertambangan, sedangkan yang

159Kepala Bagian Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber

Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur dalam wawancara tanggal 9 Maret 2016,

160Ibid

260

berkaitan dengan kawasan hutan menjadi tugas dan kewenangan Dinas Kehutanan.” Berkaitan pengawasan oleh Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur

terhadap pertambangan batubara di kawasan hutan dan diluar kawasan

hutan, tidak terdapat perbedaan. Hal ini disebabkan pengawasan yang

dilakukan hanya pada teknis penambangan, sehingga tidak ada

perbedaaan bagi yang berada di kawasan hutan maupun diluar kawasan

hutan. Keterangan yang disampaikan Kepala Bagian Pertambangan

Batubara Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur, adalah :161

“Pengawasan yang dilakukan Dinas Pertambangan Provinsi terhadap izin pertambangan batubara yang berada di kawasan hutan, sama dengan tambang yang berada di luar kawasan hutan sesuai kewenangan Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur adalah berkaitan teknis penambangan yang dilakukan oleh perusahaan. Sedangkan kewajiban perusahaan yang berada dikawasan hutan secara ketentuan memang terdapat perbedaan, namun pengawasannya berada di Instansi kehutanan.” Pernyataan yang disampaikan oleh Dinas ESDM Provinsi

Kalimantan Timur menegaskan beberapa hal yaitu : Pertama, adanya

kewenangan Dinas ESDM Provinsi berkaitan penerbitan Izin Usaha

Pertambangan. Kedua, kewenangan pemberian izin usaha pertambangan

tanpa ada pembedaan antara kawasan hutan dan bukan kawasan hutan,

sepanjang memenuhi persyarakatan sesuai peraturan yang berlaku.

Ketiga, kewenangan pengawasan terhadap pemegang izin pertambangan

batubara oleh Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur adalah terhadap

pelaksanaan teknis penambangan. Keempat, pengawasan terhadap

161

Ibid

261

penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan menjadi kewenangan

instansi kehutanan yang ada di daerah maupun di pusat.

d. Proses Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menurut

Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur

Berkaitan pertambangan di kawasan hutan, menurut keterangan

Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi

Kalimantan Timur, kawasan hutan memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi

ekologis, fungsi sosial dan fungsi ekonomis. Berdasarkan ketentuan

tersebut, maka kawasan hutan dapat digunakan aktivitas ekonomi bidang

pertambangan sepanjang telah memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan. Keterangan yang disampaikan Kasubag Penggunaan

Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur adalah :162

“Kawasan hutan sesuai fungsinya memang ada tiga yaitu fungsi ekonomis, fungsi sosial dan fungsi ekologis, penting bagi kelestarian lingkungan hidup. Namun dalam pelaksanaan fungsi tersebut kawasan hutan dapat digunakan oleh kegiatan diluar kegiatan kehutanan. Salah satu penggunaan kawasan hutan yang diperbolehkan oleh peraturan-perundang-undangan adalah penggunaan bagi sektor pertambangan.” Berdasarkan data di Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur,

penggunaan kawasan hutan terbanyak di Kalimantan Timur adalah untuk

pertambangan batubara, dikatakan oleh narasumber bahwa :163

“Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan dibidang pertambangan terutama yang banyak di Kalimantan Timur adalah pertambangan

162Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi

Kalimantan Timur, dalam wawancara tanggal 6 April 2016. 163

Ibid

262

batubara, menurut ketentuan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu, salah satunya adalah perusahaan harus mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan.” Berkaitan proses izin pertambangan di kawasan hutan, menurut

keterangan Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan

Provinsi Kalimantan Timur, proses perizinan bagi pertambangan di

kawasan hutan adalah :164

“Perizinan pertambangan di kawasan hutan diberikan dalam bentuk izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Prosedur pemberian IPPKH bagi perusahaan pertambangan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan PP tentang penggunaan kawasan hutan serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.”

Peran pemerintah daerah dalam proses IPPKH adalah pemberian

rekomendasi berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman

Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Hal ini dikatakan oleh Kasubag

Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan

Timur, yaitu :165

“Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, rekomendasi sebagai syarat izin diperlukan dari : (1) gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh bupati/walikota dan pemerintah; atau (b) bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur; atau (3) bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan yang tidak memerlukan perizinan sesuai bidangnya.”

164

Ibid 165

Ibid

263

Proses penerbitan rekomendasi berdasarkan ketentuan menurut

Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi

Kalimantan Timur adalah :166

“Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana memuat persetujuan atas penggunaan kawasan hutan yang dimohon, berdasarkan pertimbangan teknis kepala dinas provinsi atau kepala dinas kabupaten/kota yang membidangi kehutanan dan kepala balai pemantapan kawasan hutan. Berdasarkan pertimbangan teknis kepala dinas provinsi atau kepala dinas kabupaten, maka rekomendasi yang diajukan pihak pengusaha dapat diterbitkan atau justru ditolak oleh pemerintah daerah, jika pertimbangan teknis yang disampaikan menyatakan bahwa rekomendasi tidak diterbitkan, maka permohonan yang bersangkutan juga tidak dipenuhi.”

e. Pelaksanaan prosedur Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

(IPPKH) menurut Pendapat Masyarakat

Prosedur Izin Pinjam Pakai menurut pendapat masyarakat, dalam

penelitian ini menggali informasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat atau

yang sering pula disebut Non Goverment Organitation (NGO) yang

mempunyai kepedulian terhadap permasalahan pertambangan dan

kehutanan di Kalimantan Timur. Pendapat masyarakat tentang proses

perizinan adalah :167 “Perizinan pertambangan di kawasan hutan selama

ini dilakukan secara tidak transparan tanpa ada pelibatan masyarakat,

terutama masyarakat yang akan terkena dampak langsung dari

pertambangan di kawasan hutan.” Penulis memberikan tanggapan kepada

narasumber bahwa “dalam prosedur pemberian perizinan disyaratkan

166

Ibid 167

Merah Johansyah, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Nasional di

Jakarta, pada tanggal 17 Juli 2016

264

diberikan jika telah dilengkapi dokumen AMDAL/UKL-UPL. Dalam

dokumen tersebut bukankah melibatkan masyarakat,” menurut pendapat

narasumber adalah :

“Proses AMDAL yang dilakukan oleh perusahaan tidak keseluruhan melibatkan masyarakat, namun seringkali dalam konsultasi AMDAL dilakukan dengan menghadirkan para pejabat kecamatan dan kampung yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan masyarakat. Perizinan pertambangan di kawasan hutan itu dalam prosesnya selain tidak melibatkan masyarakat juga tidak transparan. Informasi kepada publik sangat terbatas. Sedangkan yang akan mendapatkan dampak kerugian itu masyarakat karena adanya keputusan pemerintah untuk memberikan izin pembongkaran kawasan hutan bagi pertambangan.”

Pelibatan perempuan dalam proses perizinan pertambangan,

menurut pendapat masyarakat sangat rendah. Hal ini disampaikan

Keterangan Ketua Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT), adalah:168

“Masyarakat terutama perempuan tidak dilibatkan dalam proses

pemberian izin pertambangan di kawasan hutan. Meskipun dalam

kenyatannya perempuan dan anak-anak yang sering menerima dampak

kerugian dari kerusakan lingkungan akibat pertambangan.”

Berdasarkan keterangan Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan

Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, diketahui bahwa proses

penataan perizinan berkaitan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan

diluar bidang kehutanan, masih terus dilakukan, keterangan yang

disampaikan adalah :169

168

Siti Maimunah, Koordinator Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) dalam wawancara 10 Mei 2017.

169 Ibid

265

“Proses evaluasi dilakukan dengan mengumpulkan data perizinan yang sudah ada dan statusnya apakah masih aktif beroperasi atau tidak. Langkah selanjutnya dengan mengevaluasi ketaatan pemegang izin terhadap kewajiban menurut peraturan-perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan data di Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur,

izin penggunaan di kawasan hutan di Kalimantan Timur hingga tahun

2016 terdapat 84 (delapan puluh empat) IPPKH (izin pinjam pakai

kawasan hutan) untuk pertambangan menurut keterangan Staf Sub

Bagian Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi

Kalimantan Timur.170

Berdasarkan data yang izin pinjam pakai kawasan hutan di

Kalimantan Timur di dominasi penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan

pertambangan batubara. Kawasan hutan yang telah diterbitkan IPPKH

meliputi kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Legalitas

penambangan batubara di kawasan hutan telah diberikan pemerintah

sejak masa orde baru dan berlanjut hingga masa reformasi.

Selanjutnya Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan

Provinsi Kalimantan Timur menyampaikan data hasil evaluasi perizinan

pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) oleh Dinas Kehutanan Provinsi

Kalimantan Timur, diperoleh keseluruhan data IPPKH sebagaimana di

sebutkan dalam tabel berikut:

170Staf sub. bag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan

Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 14 April 2016

266

Tabel 21 :

Daftar Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur

No NAMA PERUSAHAAN LOKASI

PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN

JANGKA WAKTU

(Desa, Kec, Kab) (TAHUN)

Nomor Tanggal Luas (Ha)

1 2 3 4 5 6 7

I KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

1 PT. MAHAKAM SUMBER JAYA (PKP2B) Marangkayu

SK.164/Menhut-II/2008 06-Mei-08 16

Perubahan SK.374/ 11-Apr-14

Menhut-II/2014 845,8

2 PT. MAHAKAM SUMBER JAYA (PKP2B) Marangkayu

SK.361/Menhut-II/2009 23-Jun-09 2.902,80

Perubahan SK.490/Menhut-II/2014

SK.680/Menhut-II/2009 16-Okt-09

Tanggal 26 Mei 2014 SK.454/Menhut-II/2010

3 PT. SANTAN BATUBARA (PKP2B) Marangkayu

SK.165/Menhut-II/2008 06-Mei-08 507,3 5

4 PT. SANTAN BATUBARA (PKP2B) Marangkayu

SK.646/Menhut-II/2009 15-Okt-09 204 8

5 PT. AZARA BARINDO ENERGI TAMA (PKP2B) Marangkayu

SK.354/Menhut-II/2008

24-Sep-08 331,8 10

6 PT. SINGLURUS PRATAMA (PKP2B) Mentawir

SK.380/Menhut-II/2008 29-Okt-08 10

Perubahan SK.421/ 24-Apr-14 569,3

Menhut-II/2014

7 PT. JEMBAYAN MUARA BARA (PKP2B) Marangkayu

SK.32/Menhut-II/2009

05-Feb-09 564,2 10

Revisi SK.229/Menhut-II/ 20-Apr-11 2

8 PT. GUNUNG BAYAN PRATAMA (PKP2B) Senoni

SK.100/Menhut-II/2009

12-Mar-09 1831

9 PT. MADANI CITRA MANDIRI (KP)

Kembang Janggut

SK.175/Menhut-II/2009 14-Apr-09 888,6 19

10 PT. KYMCO ARMINDO (KP) Marangkayu SK.467/Menhut-II/2009

10-Agust-09 1113.2

SK.217/Menhut-II/2009 05-Apr-10 08/10/2019

SK.16/Menhut-II/2012 18-Jan-12 873,33 08/10/2019

11 PT. ALAM JAYA BARAPRATAMA (KP) Jembayan

SK.83/Menhut-II/2009

19-Agust-09 1762,08 27/08/2027

12 PT. MULTI HARAPAN UTAMA (PKP2B) Jembayan

SK.645/Menhut-II/2009 15-Okt-09 3593,11 8

13 PT. TANITO HARUM (PKP2B) Sebulu

SK.638/Menhut-II/2009 09-Okt-09 364,59 29/01/2019

14 PT. KARTIKA S MINING (PKP2B) Senoni

SK.75/Menhut-II/2010

10-Feb-10 1599,28 8

15 PT. KARYA USAHA PERTIWI (KP) Marangkayu

SK.561/Menhut-II/2010 08-Okt-10 193,2 12/05/2014

16 PT. BARA KUMALA SAKTI Jembayan SK.618/Menhut-II/2010

04-Nop-10 1336,6 26/08/2027

267

No NAMA PERUSAHAAN LOKASI

PINJAM PAKAI KAWASAN

HUTAN JANGKA WAKTU

(Desa, Kec,

Kab)

(TAHUN)

17 PT. BARA SEJATI Kembang Janggut

Sk.706/Menhut-II/2010

23-Des-10 2280 01/10/2019

18 PT. PANCARAN SURYA ABADI Marangkayu

SK.405/Menhut-II/2010 07-Jul-10 260,37 31/03/2015

19 PT. DERMAGA PRATAMA PERKASA

Kembang Janggut

SK.555/Menhut-II/2011

28-Sep-11 187,18 25/02/2015

20 PT. BERINGIN JAYA ABADI Loa Kulu SK.276/Menhut-II/2012 11-Jun-12 314,58 22-Jun-18

21 PT. KUTAI KUMALA ENERGI

SK.330/Menhut-II/2012 05-Jul-12 98,26 16-Nop-13

SK.133/Menhut-II/2014

10-Feb-14

12 /12/ 2017

22 PT. BELAYAN ABADI PRIMA COAL

Kembang Janggut

SK.615/Menhut-II/2012

05-Nop-12 618,8 5 tahun

23 PT. GUNUNG BAYAN PRATAMA COAL Senoni

SK.42/Menhut-II/2013 16-Jan-13 976,16 5 tahun

24 PT. RENCANA MULIA BARATAMA

SK.130/Menhut-II/2013

27-Feb-13 1013,34 18/05/2029

25 PT. RINJANI KARTANEGARA

SK.705/Menhut-II/2011

14-Des-11 308,54 09/03/2021

26 PT. MULTI HARAPAN UTAMA

SK.231/Menhut-II/2012 24-Jan-12 4505,73 02/04/2022

27 PT. PUTRA DEWA JAYA SK.178/Menhut-II/2013

21-Mar-13 947,38 03/06/2021

28 PT. INDO BARA PRATAMA SK.423/Menhut-II/2014 25-Apr-14 646,92 09/09/2028

29 PT. KAYAN PUTRA BORNEO Loa Haur

Sk.675/Menhut-II/2014 12-Apr-14 40,53 08/12/2023

30 PT. INSANI BARA PERKASA Blok Sapari

SK.362/Menhut-II/2013 21-Mei-13 219,48 5 tahun

31 PT. MAHAKAM SUMBER JAYA Marangkayu

SK.761/Menhut-II/2014

18-Sep-14 92,21 6 tahun

32 PT. SINGLURUS PRATAMA Kukar/PPU SK.775/Menhut-II/2014

19-Sep-14 251,5 13 tahun

33 PT. KIMCO ARMINDO Kukar SK.814/Menhut-II/2014

25-Sep-14 139,61 08-Okt-19

Jumlah I 31340,66

II KABUPATEN KUTAI TIMUR

1 PT. TAMBANG DAMAI (PKP2B)

Teluk Pandan

SK.642/Menhut-II/2009 13-Okt-09 2427,3 27/02/2019

2 PT. KITADIN (PKP2B) Teluk Pandan

SK.644/Menhut-II/2009 13-Okt-09 1433,57 17/06/2018

3 PT. INDOMINCO MANDIRI (HL) (PKP2B)

Teluk Pandan

SK.297/Menhut-II/2008

01-Sep-08 3973,4 17

SK.420/Menhut-II/2013 10-Jul-13

5 Oktober 2030

4 PT. INDOMINCO MANDIRI (HL) (PKP2B)

Teluk Pandan

SK.538/Menhut-II/2010 04-Okt-10 11718,2

5 PT. INDOMINCO MANDIRI (HL) (PKP2B)

Teluk Pandan

SK.174/Menhut-II/2009 14-Apr-09 906,1 01/10/2019

6 PT. INDOMINCO MANDIRI (PKP2B)

Teluk Pandan

SK.565/Menhut-II/2009 11-Okt-10 4.500 05/10/2020

7 PT. GANDA ALAM MAKMUR

SK.149/Menhut-II/2012

21-Mar-12 986 18/04/2017

8 PT. TAMBANG BATUBARA HARUM

SK.617/Menhut-II/2011 25-Okt-12 329,2 20 tahun

9 PT. INDOMINCO MANDIRI SK.549/Menhut-II/2012 02-Okt-12 3168,3 08-Mei-22

268

No NAMA PERUSAHAAN LOKASI

PINJAM PAKAI KAWASAN

HUTAN JANGKA WAKTU

(Desa, Kec,

Kab) Nomor

(TAHUN)

10 PT. INDEXIM COALINDO Kutim

SK.837/Menhut-II/2014

29-Sep-14 5732,72 15 tahun

11 PT. BARA TAMBANG Kukar/Kutim SK.538/Menhut-II/2013 26-Jul-13 374,2 04/07/2028

Jumlah II 35549,09

III KABUPATEN KUTAI BARAT

1 PT. TRUBAINDO COAL MINING Muara Pahu

SK.215/Menhut-II/2008 06-Jun-08 5

SK.534/Menhut-II/2011

luas awal 5956,76

SK.300/Menhut-II/2013

1 mei 2013 6,024.50

6 Juni 2023

2 PT. UNITED COAL INDONESIA (KP) Kelian

SK.332/Menhut-II/2009 12-Jun-09 178,26 22/09/2013

3 PT. KARYA BORNEO AGUNG (KP) Mamahak

SK.500/Menhut-II/2009

01-Sep-09 775,3 11

4 PT. AGRO CITY KALTIM (KP) Long Hubung

SK.690/Menhut-II/2009 16-Okt-09 587,19 10

5 PT. MAMAHAK COAL MINING (KP)

Mamahak Tebok

SK.707/Menhut-II/2009 19-Okt-09 1493

31-09-2013

6 PT.BARINDO EKATAMA (PKP2B) Muara Lawa

SK.621/Menhut-II/2011

04-Nop-10 571,1

7 PT. DAVID BUMI PERKASA Tering SK.74/Menhut-II/2011

02-Mar-11 1109,8

8 PT. MANOOR BULATN LESTARI

SK.270/Menhut-II/2012 979,95

9 PT. GUNUNG BARA UTAMA SK.386/Menhut-II/2012 1543,4

10 PT. ASIA PASIFIK MINERAL COAL

SK.269/Menhut-II/2012 483,5

11 PT. UNITED COAL INDONESIA

SK.460/Menhut-II/2012 597,6

12 PT. KEDAP SAYAQ (Tahp I) SK.528/Menhut-II/2012 2568,37

13 PT. AGRO CITY KALTIM SK.199/Menhut-II/2011 465,41

14 PT. BUMI DHARMA KENCANA

SK.604/Menhut-II/2012 989,9

15 PT. TRUBANINDO COAL MINING

SK.945/Menhut-II/2012 6262,98

16 PT. BARINTO EKATAMA (PKP2B)

SK.946/Menhut-II/2013 2134,53

17 PT. KARYA MAJU JAYA SENTOSA

SK.523/Menhut-II/2014 776,02

18 PT. GRAHA PANCA KARSA Kec. Long Iram tering

SK.695/Menhut-II/2014 467,5

Jumlah III 21983,81

IV KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA

1 PT. PASER PRIMA COAL INDONESIA (KP) Mentawir

SK.374/Menhut-II/2008 12-Okt-08 114,3 20-Jul-11

285/Menhut-II/2011

2 PT. SINGLURUS PRATAMA Mentawir SK.380/Menhut-II/2008 29-Okt-09 46,58 10

3 PT. SMOI PRIMA LESTARI SK.242/Menhut-II/2012 16-Mei-12 74,78 Des-16

Jumlah IV 235,66

269

No NAMA PERUSAHAAN LOKASI

PINJAM PAKAI KAWASAN

HUTAN JANGKA WAKTU

(Desa, Kec,

Kab) Nomor

(TAHUN)

V KABUPATEN PASER

1 PT. TUNAS MUDA JAYA (KP) Batu Kajang

SK.301/Menhut-II/2008

04-Sep-08 866,45 10

2 PT. INTREX SACRA RAYA (PKP2B)

Muara Koman

SK.413/Menhut-II/2009 10-Jul-09 19,19 5

SK.566/Menhut-II/2010 11-Okt-10 8

3 PT TUNAS MUDA JAYA Batu Kajang SK.793/Menhut-II/2011

29-Des-11 744,19 18/09/2021

4 PT. BELENGKONG MINERAL RESOURCES Batu Kajang

SK.488/Menhut-II/2014 26-Mei-14 254,52 22-Mei-15

Jumlah V 1884,35

VI KABUPATEN BERAU

1 PT. BERAU BARA ENERGI (KP)

Gunung Tabur

SK.253/Menhut-II/2008 02-Jul-08 376,14 5

2 PT. BERAU COAL BINUNGAN (PKP2B) Maraang

SK.487/Menhut-II/2009

20-Agust-09 2587,48 18

3 PT. NUSANTARA BERAU COAL (KP)

Gunung Tabur

SK.487/Menhut-II/2010

31-Agust-10 802,8 12

SK.128/Menhut-II/2012

02-Mar-12

4 PT. BERAU COAL BINUNGAN (PKP2B) Binungan

SK.785/Menhut-II/2012

27-Des-12 754,5

5 PT. BERAU COAL (Sambarata)

Gunung Tabur

SK.162/Menhut-II/2011

21-Mar-11 921,85

6 PT. MANDIRI JAYA BARA SK.905/Menhut-II/2013

16-Des-13 442,24 6 tahun

7 PT. LATI TANJUNG HARAPAN

SK.748/Menhut-II/2012

21-Des-12 686,2 21-Des-17

8 PT. NUSANTARA BERAU COAL

Gunung Tabur

SK.439/Menhut-II/2013 19-Jun-13 1132,28 12

9 PT. BERAU JAYA ENERGI SK.238/Menhut-II/2014

18-Mar-14 869,14 18-Mar-21

Jumlah VI 8572,63

Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2016

Berdasarkan data hasil evaluasi Dinas Kehutanan Provinsi

Kalimantan Timur tersebut, diketahui bahwa IPPKH di Kalimantan Timur

seluas 99.492,62 hektar yang tersebar di 7 (tujuh) kabupaten yaitu Kutai

Kartanegara seluas 31.267,08 Hektar terdiri dari 37 (tiga puluh tujuh)

IPPKH sebagai wilayah kerja 33 (tiga puluh tiga) perusahaan. Kabupaten

Kutai Timur seluas 35.549,09 hektar terdiri dari 11 (sebelas) IPPKH

sebagai wilayah kerja 11 (sebelas) perusahaan. Kutai Barat dan Mahulu

seluas 21.983,81 hektar terdiri dari 18 (delapan belas) IPPKH sebagai

270

wilayah kerja 18 (delapan belas) perusahaan. Paser seluas 1.884,35

terdiri dari 5 (lima) IPPKH yang meliputi 4 (empat) perusahaan. Penajam

Paser Utara seluas 235,66 hektar terdiri dari 3 (tiga) IPPKH yang meliputi

3 (tiga) perusahaan. Berau seluas 8.572,63 terdiri dari 10 (sepuluh)

IPPKH yang meliputi 9 (sembilan) perusahaan.

Tabel 22 :

Data Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk

Pertambangan Per-Kabupaten di Kalimantan Timur

Kabupaten

Jumlah IPPKH

Jumlah Perusahaan

Luas IPPKH Pertambangan

(Ha)

Kutai Kartanegara 37 33 31.267,08

Kutai Timur 11 11 35.549,09

Kutai Barat dan Mahulu 18 18 21.983,81

Paser 5 4 1.884,35

Penajam Paser Utara 3 3 235,66

Berau 10 9 8.572,63

Jumlah 84 78 99.492,62 Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim tahun 2016

Berdasarkan rekapitulasi data IPPKH, menunjukkan bahwa

Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan kabupaten dengan jumlah

IPPKH terbanyak yaitu 37 izin dengan luas 31.267,08 hektar, yang di

berikan kepada 33 perusahaan. Sedangkan Kabupaten Kutai Timur

merupakan kabupaten yang telah mengeluarkan IPPKH terluas yaitu

35.549,09 hektar yang meliputi 11 IPPKH untuk 11 perusahaan.

Selanjutnya kabupaten Kutai Barat dan Mahulu sebanyak 18 IPPKH

dengan luas 21.983,81 untuk 18 perusahaan. Kabupaten berikutnya

271

adalah Berau dengan 10 IPPKH untuk 9 perusahaan dengan luas

keseluruhan 8.572,63. Kabupaten Paser dengan jumlah IPPKH 5 untuk 4

perusahan seluas 1.884,35 hektar, dan Kabupaten Penajam Paser Utara

(PPU) dengan luas 235,66 hektar untuk 3 perusahaan dengan 3 IPPKH.

1.3 Implementasi Pengawasan dalam Pengelolaan Pertambangan

Batubara di Kawasan Hutan

Implementasi pengawasan terhadap [engelolaan pertambangan di

kawasan hutan, salah satunya melalui koordinasi dan supervisi yang

dilakukan KPK. Kegiatan ini mampu mendorong upaya penertiban

perizinan bidang pertambangan batubara. Salah satu hasil korsup adalah

data yang dipaparkan dalam bentuk overlay pertambangan batubara

dengan peta kawasan hutan.

Tabel 23 :

Hasil Overlay Izin Usaha Pertambangan (IUP) Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)

dengan Peta Kawasan Hutan dan Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan (IPPKH)

Kategori

izin Status Hutan Kawasan

Hutan Areal

Penggunaan Total

Konservasi Lindung Produksi D=A+B+C Lain F=D+E

(A) (B) (C) (D) (E) (F)

IUP 1,160,181 3,922,584 17,909,481 22,292,246 11,735,091 34,727,338

KK 110,219 890,541 837,558 1,838,318 372,380 2,210,698

PKP2B 101,998 123,752 927,171 1,152,921 803,274 1,956,194

Total 1,372,398 4,936,878 19,674,211 25,983,486 12,910,744 38,894,231

Sumber : Dirjen Planologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2015.

272

Berdasarkan luasan penggunaan kawasan hutan untuk

pertambangan dapat dilihat dari hasil overlay (penghamparan) peta IUP

serta Kontrak Karya (KK) & Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan

Batubara (PKP2B) dengan Peta Kawasan Hutan dan IPPKH secara

nasional dalam Paparan Tim Kerja Koordinasi dan Supervisi (Korsup)

Minerba Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2016.Total luasan izin

pertambangan di kawasan hutan Indonesia adalah sebesar 38.894.231

hektar yang terdiri atas IUP seluas 34.727.334 hektar; kontrak karya

seluas 2.210.698 dan PKP2B seluas 1.956.194 hektar. Berdasarkan data

tersebut, IUP merupakan izin terbanyak yang beroperasi di kawasan

hutan.

Berdasarkan data overlay tersebut, izin pertambangan yang berada

di kawasan hutan lindung seanyak 4.936.878 hektar, yang terdiri dari IUP,

KK dan PKP2B. Kawasan hutan konservasi yang berdasarkan ketentuan

UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati,

tidak dapat dilakukan aktivitas pertambangan didalam kawasan hutan

konservasi, namun berdasarkan data tersebut terdapat 1.372.398 hektar,

kawasan hutan konservasi yang digunakan pertambangan. Izin

pertambangan di kawasan konservasi meliputi IUP, sebanyak 1.160.181

hektar, Kontrak Karya seluas 110.219 hektar, PKP2B seluas 101,998

hektar. Hasil overlay KPK tersebut menunjukkan izin terluas yang

menggunakan kawasan hutan konservasi untuk kegiatan pertambangan

batubara adalah izin usaha pertambangan (IUP).

273

Namun pengawasan sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan belum dilaksanakan secara maksimal, demikian pula aspek

penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pengelolaan

pertambangan di kawasan hutan. Meskipun keluhan dampak

pertambangan terhadap lingkungan telah sering disuarakan oleh

masyarakat namun tindakan konkrit penegakan hukum belum secara

maksimal dilakukan.

2 Manfaat Pertambangan Batubara dalam Kawasan Hutan

Secara konstitusional perspektif pengelolaan sumber daya alam

Indonesia bertujuan pada pencapaian manfaat, sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945: “Bumi dan Air

dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Pengelolaan sumber daya alam pertambangan dalam konteks

demokrasi ekonomi Indonesia adalah demokrasi ekonomi yang tegas

menyatakan kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-

seorang. Kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang-

seorang, meskipun kepentingan orang-seorang tetap dihormati.

Berdasarkan UU 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara, dalam ketentuan menimbang, bahwa maksud pengelolaan

pertambangan mineral dan batubara adalah (a) bahwa mineral dan

batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia

274

mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak,

karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh negara untuk memberi nilai

tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan, (b) bahwa

kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan

kegiatan usaha pertambangan mempunyai peranan penting dalam

memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi

nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;

Prinsip dalam penguasaan mineral dan batubara menurut Pasal 4

(1), adalah mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak

terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara

untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Berdasarkan ketentuan

tersebut maka semua kegiatan pertambangan ditujukan untuk sebesar-

besar kesejahteraan rakyat.

Klausul tersebut menekankan pada aspek kemanfaatan, dengan

demikian kemanfaatan sesuai ketentuan UU 4 tahun 2009 adalah

terwujudkan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya. Berdasarkan

perspektif manfaat sumber daya alam menurut ketentuan UU 4 tahun

2009, parameternya adalah :

(a) memenuhi hajat hidup orang banyak,

(b) usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara

berkeadilan,

275

(c) adanya nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan nasional

secara berkelanjutan,

(d) adanya nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi

dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.

Pemanfaatan hutan harus dengan akhlak muliaa, sebagaimana

penjelasan umum UU 41 Tahun 1999, manfaat hutan sebagai karunia dan

amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa

Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib

disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah,

karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia

dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan

Yang Maha Esa.

Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang

nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat

ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis.

Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan

secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik

generasi sekarang maupun yang akan datang.

Manfaat pertambangan batubara dalam kawasan hutan dalam

penelitian ini ditinjau dari manfaat ekonomi, manfaat sosial serta manfaat

lingkungan. Selanjutnya berdasarkan keterangan dan informasi yang

disampaikan oleh narasumber dalam penelitian ini, penulis

menganalisisnya dengan analisis manfaat pertambangan di kawasan

276

hutan berdasarkan faham utilitarianisme, dalam faham ini hukum yang

baik adalah yang memberikan manfaat. Mengukur manfaat dari produk

hukum adalah dengan menggunakan kriteria objektif faham utilitarianisme

yaitu kriteria pertama: manfaat, berdasarkan kriteria ini analisis ditujukan

untuk menemukan manfaat tertentu dari pilihan kebijakan pertambangan

batubara di kawasan hutan; kriteria kedua: manfaat terbesar, yang

dimaksudkan dalam kriteria ini adalah menganalisis manfaat terbesar dari

pertambangan batubara di kawasan hutan dibandingkan dengan

kebijakan atau alternatif lain. Unsur dibandingkan dengan kebijakan

alternatif lain dalam kriteria manfaat terbesar, mengharuskan analisis

dilakukan dengan adanya perbandingan dengan kebijakan lain. Sehingga

dalam analisis penulis melakukan perbandingan manfaat pertambangan

batubara di kawasan hutan dengan alternatif sektor usaha lain yang juga

berbasis lahan. Penulis memilih perbandingan sektor pertambangan

batubara di kawasan hutan dengan sektor perkebunan, pertanian dan

kehutanan.

Kriteria objektif ketiga manfaat berdasarkan faham utilitarianisme :

manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yang dimaksud dalam

kriteria ini adalah kebijakan atau tindakan berdasarkan faham

utilitarianisme dinilai baik kalau manfaat terbesar yang dihasilkan berguna

bagi banyak orang. Kriteria banyak orang adalah manfaat menurut

pertambangan di kawasan hutan menurut pandangan masyarakat.

277

2.1 Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

2.1.1 Manfaat Ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan

berdasarkan kriteria objektif manfaat tertentu dalam faham

utilitarianisme

Manfaat ekonomi berdasarkan kriteria obyektif manfaat, yang

dimaksud adalah kebijakan atau tindakan berdasarkan faham

utilitarianisme harus mendatangkan manfaat tertentu. Manfaat tertentu

dalam kriteria objektif adalah adanya kebijakan atau tindakan baik, atau

kebijakan serta tindakan yang menghasilkan hal baik. Sebaliknya akan

dinilai buruk secara moral kalau mendatangkan kerugian atau hal buruk.

Berdasarkan kriteria objektif manfaat dalam faham utilitarianisme

maka pertambangan batubara di kawasan hutan harus mendatangkan

manfaat tertentu yang merupakan tindakan baik dan tidak mendatangkan

keburukan.

Berdasarkan penelitian penulis, manfaat tertentu atau tindakan baik

bidang ekonomi dalam pengelolaan pertambangan batubara di kawasan

hutan adalah :

a. Manfaat batubara sebagai penyedia energi mayoritas ekspor

Manfaat atau hal baik yang dihasilkan dari pertambangan batubara di

kawasan hutan adalah batubara merupakan bahan penyedia energi

disamping pilihan energi yang lain. Berdasarkan pendapat Kantor Dirjen

Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

(KESDM), manfaat ekonomi pertambangan batubara adalah berupa

278

penyediaan energi batubara. Keterangan yang disampaikan Subdit

Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara yaitu :171

“Secara ekonomi keberadaan batubara merupakan penyedia energi selain sumber tambang yang lebih dulu menjadi andalan yaitu minyak bumi dan gas alam. Indonesia merupakan negara keempat produsen dan pengekspor terbesar batubara dunia. Indonesia menguasai 44% pasar ekspor dunia, meskipun dari sisi volume cadangan batubara hanya menguasai 3,2% cadangan batubara dunia. Namun pendapatan secara ekonomi sangat tergantung pada harga batubara di pasar Internasional.”

Penggunaan batubara di dalam negeri dipicu harga BBM yang tinggi.

Penggunaan batubara adalah sebagai bahan bahar bagi industri

pembangkit listrik PLTU, pabrik semen, industri tekstil, industri kertas.

Persentase penggunaan energi di Indonesia adalah : minyak bumi

sebanyak 51,66%, gas bumi sebanyak 20,57%, batubara sebanyak 15%,

tenaga air sebanyak 3,11%, dan panas bumi sebanyak 1,32%.172

Namun keberadaan batubara bagi penyedia energi lebih banyak

dinikmati negara asing, karena batubara mayoritas diekspor, sedangkan

kebutuhan dalam negeri untuk penerangan wilayah Jawa-Bali. Sedangkan

Kalimantan sebagai kawasan eksploitasi batubara justru tidak menikmati

kelimpahan energi dari batubara. Krisis listrik sering terjadi selain kondisi

belum semua wilayah menikmati aliran listrik.

b. Pendapatan pemerintah pusat melalui devisa

Hasil tambang batubara bagi Indonesia selain dimanfaatkan didalam

negeri, sebagian besar di tujukan untuk ekspor. Sebagai komoditi ekspor,

171Andi Ari.S. Subdit Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara

wawancara pada tanggal 16 Februari 2015 172

KESDM, 2016

279

maka batubara memberikan manfaat dalam bentuk devisa bagi negara.

Keterangan tersebut di perkuat dengan data di Lembar Informasi yang

diterbitkan oleh Kantor Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM,

yang menunjukkan posisi Indonesia sebagai negara pengekspor batubara

yang sangat besar.

Tabel 24 : Cadangan dan Produksi Batubara Dunia

Negara Produksi* (juta

ton/thn) Ekspor*

(juta ton/thn) Cadangan** (juta

ton) Cad/** (tahun)

China 3,549 - 114,50 31

USA 935 144 237,295 266

India 595 - 60,600 100

Indonesia 443 383 31,357*** 71

Australia 421 301 76,400 160

Rusia 359 134 157,010 452

Afrika Selatan 259 74 30,156 117

Jerman 197 - 40,542 213

Polandia 144 - 5,465 12

Kazakhstan 126 - 33,600 293

Sumber: *) World Coal Association 2013, **) BP Statistic 2014, ***) KESDM 2015

Berdasarkan data tersebut, China merupakan negara yang memiliki

cadangan batubara hampir empat kali lipat lebih banyak dari Indonesia,

namun China memilih mengimpor batubara Indonesia. Berdasarkan

keterangan Subdit Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara,

negara tujuan penjualan batubara Indonesia adalah:173

“Produksi batubara Indonesia selain untuk kebutuhan dalam negeri juga di ekspor ke negara lain. Negara tujuan ekspor batubara Indonesia adalah Jepang, Taiwan, China, Korea Selatan, Thailand, Eropa, Pasific dan lain-lain. Batubara Indonesia menyebar ke berbagai negara di dunia sebagai bahan bakar pembangkit Listrik.”

173

Ibid

280

Manfaat ekonomi pertambangan batubara menurut pendapat Kasub

Pertambangan Batubara Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur, tidak

hanya bermanfaat bagi daerah namun juga untuk ekonomi di pusat.

Keterangan yang disampaikan adalah : “Pertambangan di Kalimantan

Timur ini sangat penting secara ekonomi, Provinsi Kaltim selama ini

merupakan penyumbang devisa untuk pusat sekitar 104 Trillyun/tahun

dan penghasilan salah satunya bersumber dari penggalian tambang

batubara.”174

Namun manfaat ini tidak berkelanjutan, seiring menurunnya harga

batubara berakibat menurunnya pendapat bagi pemerintah pusat melalui

sektor batubara. Penurunan pendapatan sektor pertambangan batubara

tidaklah mengejutkan, mengingat batubara merupakan sumber daya alam

yang tak terbarukan sehingga jika deposit telah berkurang atau habis

maka pendapatan dari sektor tersebut juga akan habis.

c. Pendapatan pemerintah melalui pemenuhan kewajiban keuangan

perusahaan pertambangan batubara di kawasan hutan Namun

tidak Berkelanjutan dan persentase lebih kecil dari pendapatan

pengusaha pertamangan batubara

Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan

diperoleh negara melalui kewajiban perusahaan membayar royalti dan

174

Ibid.

281

kewajiban keuangan lainnya. Hal ini sesuai keterangan yang disampaikan

Subdit Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara bahwa:175

“Batubara merupakan salah satu bahan galian tambang yang penting bagi pendapatan negara, ini merupakan manfaat ekonomi adanya pertambangan batubara. Perusahaan pertambangan menggali bahan galian tambang dan menjualnya, selanjutnya perusahaan pertambangan mempunyai kewajiban keuangan yang wajib dibayarkan kepada negara dalam bentuk royalty dan kewajiban keuangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan keterangan Subdit Pengawasan Produksi dan

Pemasaran Batubara KESDM, berkaitan kewajiban keuangan perusahaan

pertambangan yang merupakan bentuk manfaat ekonomi bagi negara,

dikatakan :176

“Kewajiban keuangan bagi perusahaan pertambangan batubara dibedakan berdasarkan bentuk izinnya, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B). Besaran iuran tetap dan royalti berbeda antara IUP dan PKP2B. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”

Manfaat tertentu atau tindakan baik secara ekonomi bagi negara

dalam pertambangan batubara di kawasan hutan melalui kewajiban

keuangan perusahaan pertambangan di kawasan hutan, menurut

narasumber dari Kementerian Lingkungan Hidup, yaitu :177

“Pertambangan batubara di kawasan hutan memberikan manfaat ekonomi terutama bagi keuangan negara melalui pembayaran kewajiban keuangan perusahaan dalam bentuk royalty, iuran

175Ibid

176

Ibid 177

Ibid

282

pertambangan, landrent, serta bagi perusahaan yang beroperasi di wilayah atau daerah yang lebih dari 30% kawasan hutan maka perusahaan harus melakukan pembayaran kompensasi serta Perusahaan mempunyai kewajiban membayar kawasan terganggu.” Perusahaan pertambangan di kawasan hutan selain mempunyai

kewajiban keuangan yang umum berlaku bagi setiap perusahaan

pertambangan batubara, secara khusus juga dibebani kewajiban

keuangan yang khusus bagi perusahaan pertambangan yang beroperasi

di kawasan hutan. Menurut pemerintah pusat, salah satu manfaat

tambang di kawasan hutan adalah adanya pembayaran pengambilan kayu

di lokasi penambangan ada kewajiban pembayaran kepada negara dan

dana reboisasi (PSDH & DR), serta pembayaran PNBP penggunaan

kawasan hutan, kewajiban pemegang IPPKH ini menurut Kementerian

Kehutanan dan Lingkungan Hidup merupakan manfaat secara ekonomi

sebagai pemasukan pendapatan negara.

Kewajiban keuangan perusahaan pertambangan di kawasan hutan

menurut Kementerian Kehutanan merupakan bentuk manfaat ekonomi

bagi negara, di jelaskan bahwa :178

“Perusahaan pertambangan batubara yang mendapatkan izin untuk melakukan penambangan di kawasan hutan dibebani kewajiban keuangan yang tidak menjadi kewajiban bagi pertambangan yang berada diluar kawasan hutan. Kewajiban khusus ini berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas penggunaan lahan di kawasan hutan serta adanya pembayaran pengambilan kayu di lokasi penambangan ada kewajiban pembayaran kepada negara dan dana reboisasi (PSDH & DR)Kewajiban tersebut merupakan manfaat ekonomi bagi keuangan negara.”

178

Ibid.

283

Kewajiban keuangan pertambangan batubara di kawasan hutan

berdasarkan ketentuan UU 4 Tahun 2009, kewajiban keuangan tergambar

dalam bab pendapatan negara dan daerah. Ketentuan yang diatur dalam

UU Minerba tidak membedakan kewajiban pemegang IUP yang

wilayahnya berada di kawasan hutan dan yang diluar kawasan hutan.

Sehingga kewajiban umum bagi pemegang IUP sesuai ketentuan Pasal

128 (1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara

dan pendapatan daerah. Ketentuan ayat (2) Pendapatan negara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan

penerimaan negara bukan pajak. Ketentuan ayat (3) Penerimaan pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: (a) pajak-pajak yang

menjadi kewenangan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan di bidang perpajakan; dan (b) bea masuk dan cukai.

Sedangkan ketentuan Pasal 128 ayat (4) penerimaan negara bukan

pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: (a) iuran tetap; (b)

iuran eksplorasi; (c) iuran produksi; dan (d) kompensasi data informasi.

Kewajiban keuangan yang dikategorikan pendapatan daerah

berdasaarkan Pasal 128 ayat (5) terdiri atas: (a) pajak daerah; (b) retribusi

daerah; dan (c) pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

284

Tabel 25 :

Kewajiban Keuangan Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

untuk Pertambangan Batubara

Bentuk izin Kewajiban Keuangan

Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan

Pernyataan dalam bentuk akta notariil yang memuat kesanggupan memenuhi kewajiban keuangan

Izin survei dan eksplorasi pertambangan

melaksanakan pembayaran penggantian nilai tegakan, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR) sesuai peraturan perundang-undangan;

Izin operasi produksi pertambangan

1. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan penanaman dalam rangka reboisasi daerah aliran sungai;

2. membayar penggantian nilai tegakan, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH),

3. Dana Reboisasi (DR);

4. membayar ganti rugi nilai tegakan kepada pemerintah apabila areal yang dimohon merupakan areal reboisasi;

5. mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada pengelola/pemegang izin pemanfaatan hutan apabila kawasan hutan yang diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan berada pada areal yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan/pengelolaan;

Izin transportasi prasarana transportasi pengangkutan hasil produksi

PMK tidak mengatur secara khusus

Sumber : PMK Nomor : P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Ketentuan Pasal 130 (1) UU 4 Tahun 2009, pemegang IUP atau

IUPK tidak dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

128 ayat (4) huruf c dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana

285

dimaksud dalam Pasal 128 ayat (5) atas tanah dan batuan yang ikut

tergali pada saat penambangan. Ketentuan ayat (2) pemegang IUP atau

IUPK dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128

ayat (4) huruf c atas pemanfaatan tanah dan/batuan yang ikut tergali pada

saat penambangan.

Perusahaan pertambangan batubara yang beroperasi di kawasan

hutan berdasarkan ketentuan PMK ini wajib memenuhi kewajiban

keuangan yang telah ditentukan dalam peraturan ini. Berdasarkan

ketentuan ini, kewajiban keuangan dibedakan sesuai dengan bentuk izin

yang diperoleh perusahaan pertambangan.

Kewajiban Keuangan/ Pungutan berdasarkan PMK. 16/Menhut-

II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, meliputi :

1) membayar PNBP penggunaan kawasan hutan bagi pemegang

pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi membayar

penerimaan negara bukan pajak penggunaan kawasan hutan dan

penanaman dalam rangka reboisasi daerah aliran sungai;

2) membayar penggantian nilai tegakan, provisi sumber daya hutan

(PSDH), dana reboisasi (DR);

3) membayar ganti rugi nilai tegakan kepada pemerintah apabila areal

yang dimohon merupakan areal reboisasi;

4) mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada

pengelola/pemegang izin pemanfaatan hutan apabila kawasan

286

hutan yang diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan berada pada

areal yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan/pengelolaan;

Berdasarkan hasil keterangan yang disampaikan narasumber dalam

penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa secara ekonomi menurut

pemerintah baik dari Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan dan

Lingkungan, Dinas Pertambangan Provinsi, Dinas Kehutanan Provinsi,

kebijakan pertambangan di kawasan hutan memberikan manfaat atau

mendatangkan hal baik secara ekonomi melalui kewajiban keuangan

perusahaan pertambangan.

Kewajiban keuangan perusahaan pertambangan batubara berupa

iuran produksi, iuran eksplorasi, dan royalti, serta pajak-pajak yang harus

dibayarkan oleh perusahaan. Perusahaan pertambangan menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyetorkan besaran

royalti untuk PKP2B sebesar 13,5%, sedangkan yang berdasarkan IUP

sebesar 3-7% hasil produksi pertambangan kepada negara. Bagi

pemerintah daerah akan mendapatkan bagian pemerintah tersebut dalam

mekanisme dana bagi hasil.

Sehingga pembayaran kewajiban perusahaan menurut keterangan

narasumber memberikan hal baik untuk penerimaan keuangan

pemerintah pusat maupun penerimaan negara bagi pemerinah daerah.

Pemasukan penghasilan negara inilah yang telah mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi di daerah.

287

Pengaruh yang signifikan pertambangan batubara terhadap ekonomi

daerah terlihat dalam ekonomi Kalimantan Timur, 30% perekonomian

Kalimantan Timur bergantung pada pertambangan batubara. Sehingga

ketika terjadi penurunan harga batubara di pasar internasional,

perekonomian daerah sangat terpengaruh.

Selain itu tingkat ketaatan perusahaan untuk menyetor kewajiban

PNBP masih sangat rendah. Hal ini menjadi salah satu sorotan dalam

kegiatan korsup minerba yang dilakukan KPK.

d. Manfaat bagi Pendapatan pemerintah daerah melalui Dana Bagi

Hasil Sumber Daya Alam

Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan menurut

pendapat Kasub Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber Daya

Mineral Provinsi Kalimantan Timur berupa pemasukan bagi ekonomi

negara. Sebagaimana dinyatakan: “Perusahaan pertambangan batubara

beroperasi dibebankan kewajiban keuangan berdasarkan ketentuan

peraturan-perundang-undangan, baik dalam bentuk iuran pertambangan

maupun royalti. Kewajiban keuangan ini merupakan pemasukan bagi

ekonomi negara.”179

Berkaitan manfaat ekonomi pertambangan di kawasan hutan, penulis

melakukan wawancara dan penelusuran data di Dinas Kehutanan Provinsi

Kalimantan Timur. Menurut keterangan Kasubag Penggunaan Kawasan

179

Kasub Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur Goenoeng, pada wawancara tanggal 11 April 2016

288

Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur pertambangan

batubara di kawasan hutan merupakan salah satu sektor yang

menyumbang bagi pendapatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Keterangan yang disampaikan adalah:180:

“Pertambangan batubara di kawasan hutan secara ekonomi merupakan salah satu sektor penyumbang pendapatan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pendapatan tersebut diperoleh dari penyetoran bagian pemerintah dalam produksi batubara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pengaturan bagi hasil Iuran Pertambangan bagi Pemerintah Daerah,

tidak dibedakan antara pertambangan yang berada di kawasan hutan dan

diluar kawasan hutan. Pada awalnya pengaturan bagi hasil iuran

pertambangan ditetapkan dalam PP No. 32 Tahun 1969 Pasal 62, iuran

pertambangan yang dimaksud disini adalah penerimaan pemerintah dari

iuran tetap (landrent), iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty).

Didalam PP ini bagian pemerintah pusat adalah 30% sedangkan

pemerintah daerah mendapat bagian 70% dari total iuran pertambangan.

Berdasarkan PP No. 79 tahun 1992, perimbangan tersebut berubah

dimana porsi daerah meningkat. Pemerintah pusat mendapat bagian 20%,

sedangkan 80% sisanya dibagikan ke daerah dengan perincian provinsi

mendapat 16% dan Daerah Tingkat II (Dati II) mendapat bagian 64%. Bagi

hasil menurut ketentuan ini pemerintah pusat menyalurkan ke pemerintah

Tk. I yang kemudian akan menyalurkannya ke masing-masing Pemda Tk.

II sebagai lokasi daerah tambang itu berada.

180Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi

Kalimantan Timur, wawancara tanggal 6 April 2015

289

Bagi hasil sumber daya alam selanjutnya berdasarkan PP No. 104

Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, aturan pembagian tidak jauh

berbeda dengan peraturan sebelumnya, tetapi terdapat ketentuan khusus

yaitu :

(1) Pemisahan penerimaan dari royalty dan iuran tetap (landrent).

(2) Perimbangan bagi hasil antara provinsi dan kabupaten/kota

untuk iuran-iuran tersebut.

(3) Mengatur juga bagi hasil pemerataan dari royalty untuk

pemkab/pemkot yang berada di dalam provinsi yang terkait.

Berdasarkan ketentuan PP No. 55 Tahun 2005 tentang dana

perimbangan, terdapat perubahan yang mendasar dalam perimbangan

keuangan, yaitu dengan penetapan pemerintah provinsi sebagai daerah

penghasil atas pengelolaan usaha pertambangan umum yang berlokasi

antara 4 -12 mil laut.

Permasalahan yang terjadi dengan mekanisme bagi hasil PNBP dari

sektor pertambangan umum termasuk batubara sudah tidak sesuai.

Terutama terkait dengan biaya lingkungan yang harus ditanggung

masyarakat di daerah. Secara ilmiah untuk 1 hektar lahan yang sudah

terbuka karena kegiatan penambangan diperlukan lebih dari 6 (enam)

milyar untuk proses rehabilitasinya. Sementara dana jaminan reklamasi

nilainya sangat kecil sekali dan tidak sebanding dengan kerusakan yang

ditimbulkan. Hal ini menunjukkan pemasukan negara atas PNBP dan

290

kewajiban penempatan dana reklamasi belum sebanding dengan resiko

lingkungan yang ditanggung daerah dalam jangka waktu lama.

Tabel 26 :

Produksi Batubara Kalimantan Timur

Tahun IUP PKP2B TOTAL

(Juta Ton) (Juta Ton) (Juta Ton)

2012 58,96 150,76 209,72

2013 75,63 157,23 232,86

2014 84,48 172,44 256,91

2015 74,54 162,59 237,12

2016 73,33 145,01 218,33

Total 366,94 788,03 1.154,94 Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur 2016 dan diperbarui data per-April 2017

Berdasarkan penelusuran penulis pada data dan informasi di Dinas

Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur, secara ekonomi

manfaat sumber daya tambang tergambar juga dari data produksi dan

ekspor batubara dari Provinsi Kalimantan Timur. Pada Tahun 1988,

Provinsi Kalimantan Timur telah mengekspor 428.000 ton batubara

dengan nilai USD 13 juta. Periode tahun 2007-2015 produksi batubara

mencapai 1,3 milliar metric ton. Jika dihitung dengan harga batubara

acuan (HBA) rata-rata untuk setiap tahun nilai penjualan emas hitam

Kaltim sudah mencapai 1,6 kuadrillun atau Rp. 1.600 trilliun.

Menurut paparan Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral

Provinsi Kalimantan Timur181, berdasarkan data hingga april 2017,

produksi batubara Kalimantan Timur sejak tahun 2012-2017 Timur sudah

181

Amrullah Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur, Paparan dalam Korsup Minerba KPK di Balikpapan tanggal 9 Mei 2017.

291

sebanyak 1.154,94 juta ton batubara yang tergali. Berdasarkan data

tersebut menunjukkan Kalimantan Timur merupakan daerah kaya sumber

daya alam.

Tabel 27 :

Sepuluh Kabupaten terkaya di Indonesia

NO KABUPATEN PROVINSI DANA BAGI HASIL

1 Kutai kartanegara Kaltim 2,566,55

2 Bengkalis Riau 1.519,73

3 Kutai Timur Kaltim 1.059,72

4 Siak Riau 993,20

5 Rokan Hilir Riau 911,07

6 Musi Banyuasin Sumsel 858,45

7 Kampar Kaltim 679,32

8 Kutai Barat Kaltim 670,60

9 Pasir Kaltim 593,64

10 Berau Kaltim 553,26 Sumber : bisnis.news.viva.co.id, 2015

Manfaat ekonomi pertambangan batubara inilah, yang turut

menempatkan 5 kabupaten kota di Kaltim sebagai kabupaten kaya di

Indonesia. Sumber kekayaan terbesar adalah dari dana bagi hasil salah

satunya sektor batubara. Kabupaten tersebut adalah Kutai Kartanegara,

Kutai Timur, Kutai Barat, Pasir dan Berau.

Namun penerimaan manfaat secara persentase bagian pemerintah

jauh lebih kecil dibandingkan keuntungan yang menjadi bagian

perusahaan.

292

Gambar 5 :

Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005; PP Nomor 9 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral.

Bagian pemerintah adalah bagi perusahaan PKP2B, maka bagian

pemerintah pusat sebesar 13,5%, sedangkan bagian daerah adalah

sebesar 5% dari 13,5% yang diserahkan perusahaan pertambangan

kepada pemerintah pusat, sehingga bagian perusahaan berdasarkan

ketentuan ini adalah untuk perusahaan PKP2B sebesar 8,5% dari hasil

produksi batubara, sedangkan IUP bagian pemerintah sebesar 3-7%

sehingga bagian perusahaan pertambangan sebesar 98%-93%

Berdasarkan ketentuan tersebut, manfaat terbesar kebijakan

pertambangan di kawasan hutan dinikmati oleh perusahaan

pertambangan. Sedangkan pemerintah justru mendapatkan

293

persentase/pembagian keuntungan yang jauh lebih kecil dari perusahaan

pertambangan.

Berdasarkan peraturan yang mengatur besaran iuran tetap dan

royalti perusahaan pertambangan kepada negara yang semula diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2005, selanjutnya diatur

berdasarkan PP Nomor 9 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi

dan Sumber daya Mineral.

Eksploitasi besar-besaran terhadap SDA kaltim tidak menunjang

perekonomian yang signifikan. Kaltim pada tahun 1970 – 1990 di dominasi

perkayuan dan industri kehutanan, laju pertumbuhan ekonomi tercatat

7,42%, ketika perkayuan berhenti, laju pertumbuhan ekonomi menurun

5,41%. Kemudian pada periode batubara, lagi-lagi mengalami penurunan

laju pertumbuhan ekonomi menjadi 3,94% pada tahun 2014 ketika harga

batu bara anjlok, pertumbuhan ekonomi tak menyentuh 2 persen. Secara

nasional, pertumbuhan ekonomi Kaltim dibawah rata-rata nasional yang

hanya sekira 3,57%.

Sistem politik ekonomi sentralistik pada masa orde baru

menempatkan penghasilan dari eksploitasi sumber daya alam sektor

pertambangan secara keseluruhan disetor dan dikelola oleh pemerintah

pusat. Posisi daerah yang kaya sumber daya tambang situasi ekonominya

tidak terdapat keistimewaan, bahkan yang ironis, wilayah eksploitasi

sumber daya alam justru merupakan daerah yang miskin secara ekonomi,

294

Perekonomian Kalimantan Timur di tahun 2016 semakin lesu,

penyebabnya adalah produksi pertambangan batubara yang semakin

menurun. Hal tersebut sesuai hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS)

Kaltim, batubara turun kinerjanya hingga -6,20%, sehingga praktis

berdampak signifikan pada segala sektor ekonomi lain. Kondisi penurunan

sektor pertambangan terjadi sejak tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi

Kaltim pada tahun 2015 terkontraksi -0,85 persen (dengan minyak dan

gas/migas). Pertambangan batubara memberikan kontribusi yang besar

terhadap PDRB (Produk Domenstik Regional Bruto), karena ketika

pertambangan di keluarkan dari perhitungan PDRB angka pertumbuhan

ekonomi Kaltim justru naik.

Kewajiban keuangan perusahaan pertambangan batubara di

kawasan hutan salah satunya adalah PNBP. Ketentuan tentang

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terhadap penggunaan kawasan

hutan diatur pertama kali melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.14/Menhut-II/2006, yaitu pemegang izin mempunyai kewajiban untuk

menyediakan dan menyerahkan lahan bukan kawasan hutan yang

direboisasi untuk dijadikan kawasan hutan atau menyerahkan sejumlah

dana yang dijadikan PNBP sebesar satu persen dari jumlah produksi.

Namun ketentuan ini belum berjalan secara efektif. Menjadi catatan

penting bahwa kewajiban ini baru diatur tahun 2006, sehingga sebelum

peraturan ini, perusahaan pertambangan tidak dibebani kewajiban khusus

biaya penggunaan lahan kawasan hutan.

295

Tabel 28 :

Potensi Kerugian Negara dari Land rent Per Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur

NO KABUPATEN/KOTA TOTAL POTENSI LOSS DARI IURAN LAND RENT

1 Berau 2,968,366,866.82

2 Samarinda 1,648,351,991.55

3 Kutai Barat 38,492,534,435.60

4 Kutai Kartanegara 10,874,602,286.59

5 Kutai Timur 45,791,932,766.30

6 Paser 4,241,802,614.18

7 Penajam Paser Utara 7,529,833,768.43

8 Bulungan 34,278,656,995.66

9 Malinau 23,444,847,864.32

10 Nunukan 1,855,207,637.45

11 Tana Tidung 1,641,841,786,15

Total Kalimantan Timur 218,302,616,345.32

Kalimantan Timur 48,831,341,315.35

*Data masih termasuk Kaltara Sumber : Korsup KPK 2015

Pemberlakuan secara efektif PNBP setelah dikeluarkannya

Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas

Jenis PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk

kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada

Kementerian Kehutanan. Berdasarkan temuan korsup KPK, kewajiban ini

belum berjalan secara efektif, sehingga berpotensi merugikan negara.

Berdasarkan laporan Korsup KPK, perusahaan yang telah memenuhi

kewajiban PNBP khusus penggunaan kawasan hutan untuk

pertambangan batubara masih sangat rendah. Hal ini seharusnya

dilakukan upaya paksa sesuai ketentuan peruaturan perundang-undangan

296

e. Manfaat keberadaan pertambangan batubara di kawasan hutan

dapat menggerakkan sektor ekonomi yang lain Namun tidak

Berkelanjutan

Kegiatan pertambangan dikawasan hutan menurut pemerintah

merupakan pendapatan penting bagi negara. Hal ini disampaikan

Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan

menyatakan :182

“Pertambangan di kawasan hutan memberi keuntungan yang signifikan pada pendapatan negara baik ditingkat pusat maupun di daerah, selain itu akan diperoleh multiplier effect bagi daerah sekitarnya. Mulai dari penyerapan tenaga kerja hingga tumbuhnya ekonomi di sekitar daerah penambangan.”

Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan juga

diperoleh melalui kewajiban keuangan dan pajak yang jumlahnya tidak

sedikit hal ini disampaikan narasumber:

“Keberadaan perusahaan pertambangan batubara ini akan mendorong tumbuhnya sektor-sektor ekonomi yang lain. Adanya tambang yang beroperasi akan menumbuhkan usaha pendukung yang lain misalnya sektor jasa, makanan, transportasi, perdagangan dll. Manfaat ekonomi dari adanya tambang batubara adalah melalui pajak-pajak yang dibayarkan oleh perusahaan pertambangan yang tentu jumlahnya tidak sedikit, pajak ini akan sangat penting untuk pemerintah membiayai pembangunan.” Selain itu manfaat ekonomi adanya pertambangan dikawasan hutan

adalah dapat mendorong tumbuhnya sektor ekonomi yang lain (multiple

effect) baik yang secara langsung berkaitan dengan pertambangan

batubara, maupun yang tidak berkaitan langsung.

182Dadan Mulyana, Staf Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan

Kementerian Kehutanan, Wawancara di Jakarta tanggal 9 Februari 2015,

297

Berdasarkan penelusuran penulis terhadap data di Badan Pusat

Statistik Kalimantan Timur, sektor pertambangan batubara di Kalimantan

Timur mempunyai peran yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan

ekonomi. Bahkan ketika terjadi penurunan harga batubarapun, peran

pertambangan batubara terhadap sumber daya ekonomi Kalimantan

Timur masih pada angka 30%. Hal ini berarti secara ekonomi, Kalimantan

Timur 30% bergantung pada sektor pertambangan batubara, sehingga

peningkatan maupun turunnya hasil tambang batubara akan sangat

mempengaruhi kondisi perekonomian Kalimantan Timur.183

Berkurangnya deposit batubara dan situasi penurunan harga

batubara pada pasar dunia, berakibat terjadinya kelesuan sektor

pertambangan batubara. Ketergantungan ekonomi Kalimantan Timur

terhadap sektor pertambangan tergambar pada situasi perekonomian

ketika pertambangan menurun produksinya maka terjadi penurunan

pertumbuhan ekonomi daerah, bahkan pertumbuhan ekonomi Kalimantan

Timur pada angka minus.

Pertumbuhan batubara yang tinggi di Kalimantan Timur terjadi pada

periode 2009-2012. Pada tahun 2009 pertumbuhan sektor batubara

sebesar 10,27%, dan meningkat menjadi 18,03 pada tahun 2010.

Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 24,36%.

Namun terjadi penurunan pada tahun berikutnya yaitu 15,71%. Penurunan

pertumbuhan pertambangan batubara terjadi sejak tahun 2013 yang

183

BPS Kalimantan Timur 2016

298

tinggal 5,64%, demikian pula pada tahun 2014 sebesar 2,43%. Bahkan

terendah pada tahun 2015 sebesar -6,20%.

Tabel 29 :

Pertumbuhan dan Peranan Batubara Terhadap Total Ekonomi

Kalimantan Timur

Tahun Pertumbuhan Batubara

(%)

Peran Batubara terhadap Ekonomi Kaltim

(%)

2000 5,62 7,98

2009 10,27 22,28

2010 18,03 26,72

2011 24,36 30,37

2012 15,71 30,37

2013 5,64 37,97

2014 2,43 32,58

2015 -6,20 30,69

Sumber : BPS Kaltim Tahun 2016

Penurunan pertumbuhan batubara menunjukkan bahwa

pertambangan batubara memberikan manfaat tertentu yang baik yaitu

secara ekonomi, namun manfaat pertambangan sebagai komoditas

ekonomi bersifat tidak berkelanjutan.

e. Manfaat Ekonomi Terbesar Bagi Pengusaha Pertambangan

Batubara

Pengusaha pertambangan batubara merupakan pihak yang paling

banyak menerima manfaaat dalam beroperasinya pertambagan batubara

di kawasan hutan. Keuntungan ini dinyatakan oleh pengusaha yang

menjadi responden dalam penelitian, bahwa keuntungan usaha bagi

pegusaha pertambangan batubara sebesar 80% dalam setiap ton

299

batubara yang tergali. Biaya produksi besar namun secara prosentase

jauh lebih kecil dibandingkan keuntungannya. Manfaat ekonomi

pertambangan batubara dinikmati pengusaha batubara, sebagaimana

keterangan yang disampaikan pengusaha batubara di Kalimantan

Timur:184

“Dalam bisnis batubara pengusaha batubara mendapat keuntungan besar dari perhitungan harga batubara US$ 85 per-ton, sedangkan biaya produksi keseluruhan US$ 15 per-ton termasuk pembayaran kewajiban keuangan kepada negara. Sehingga keuntungan pengusaha sangat besar.”

Sehingga secara ekonomi usaha pertambangan batubara sangat

bermanfaat bagi pengusaha pertambangan. Kewajiban-kewajiban

keuangan bagi pengusaha cukup banyak namun nilai keuntungan setelah

dikurangi beban kewajiban keuangan yang timbul masih jauh lebih besar.

f. Adanya Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan

hutan bagi masyarakat namun nilainya kecil

Pertambangan batubara di kawasan hutan berdasarkan pendapat

responden, persentase terkecil adalah responden yang berpendapat

bahwa pertambangan batubara di kawasan hutan sangat bermanfaat

secara ekonomi, yaitu hanya 5%, sedangkan yang berpendapat cukup

bermanfaat sebanyak 20%. Responden yang berpendapat kurang

bermanfaat sebanyak 23%. Responden yang menilai pertambangan

batubara di kawasan hutan kurang bermanfaat secara ekonomi

menunjukkan bahwa manfaat ekonomi ada namun nilainya kecil.

184

Wawancara tanggal 17 Mei 2017

300

Tabel 30 : Pendapat Responden tentang Manfaat Ekonomi Pertambangan

Batubara di Kawasan Hutan

Tingkat Manfaat Responden Persentase

Sangat Bermanfaat 5 5%

Cukup Bermanfaat 22 20%

Kurang Bermanfaat 25 23%

Tidak bermanfaat 19 17%

Sangat Tidak Bermanfaat 39 35%

Total 110 100% Sumber : Data Primer 2017

Responden yang menilai pertambangan batubara di kawasan hutan

tidak bermanfaat sebanyak 17%, sedangkan responden yang

berpendapat secara ekonomi sangat tidak bermanfaat sebanyak 39%

persentase ini merupakan yang terbesar dari kriteria penilaian.

Berdasarkan data tersebut, pendapat responden lebih banyak yang

berpendapat kurang adanya manfaat ekonomi tertentu pertambangan di

kawasan hutan.

Tabel 31 :

Pendapat Responden terhadap Keberlanjutan Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara

Tingkat Pendapat responden

Keberlanjutan Jumlah Responden %

Sangat Berkelanjutan 1 1

Cukup 0 0

Kurang berkelanjutan 11 10

Tidak berkelanjutan 27 25

Sangat Tidak berkelanjutan

71 65

Total 110 100 Sumber : Data Primer 2017

301

Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan yang

tidak berkelanjutan juga tergambar pada pendapat responden penelitian

ini, yaitu : 65% responden menilai manfaat ekonomi pertambangan di

kawasan hutan sangat tidak berkelanjutan; 25% menilai tidak

berkelanjutan; 10% menilai berkelanjutan namun sangat sedikit (kurang

berkelanjutan); 0% atau tidak ada yang menilai cukup berkelanjutan,

namun terdapat 1% yang menilai secara ekonomi pertambangan batubara

di kawasan hutan sangat berkelanjutan. Berdasarkan data tersebut

menunjukkan bahwa persentase terbesar berpendapat bahwa manfaat

ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan, 90% berpendapat

tidak berkelanjutan.

Pertambangan batubara di kawasan hutan secara cepat dapat

menghasilkan keuntungan ekonomi, namun keuntungan tersebut tidak

berkelanjutan, saat deposit batubara habis tidak dapat diperbarui dan

selamanya tidak akan dapat dinikmati kembali.

2.1.2 Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan

berdasarkan kriteria objektif manfaat terbesar faham

utilitarianisme

Kriteria obyektif kedua berdasarkan faham utilitarianisme adalah

kriteria manfaat terbesar, yang dimaksud kriteria manfaat terbesar adalah

kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme hendaknya

mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan

kebijakan atau tindakan alternatif lain. Pengertian bahwa manfaat lebih

302

besar dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan lain menyiratkan

makna harus adanya perbandingan untuk dapat mengukur nilai manfaat

dari kebijakan yang dimaksud.

Aspek perbandingan yang dilakukan untuk menilai manfaat

pertambangan batubara di kawasan hutan adalah dengan melakukan

perbandingan manfaat sektor usaha lain yang juga berbasis lahan dan

secara faktual tarik menarik kepentingan penggunaan kawasan dengan

pertambangan. Sektor berbasis lahan yang di lakukan perbandingan

dengan pertambangan batubara adalah sektor perkebunan, pertanian

serta kehutanan.

Berdasarkan pendapat responden terhadap perbandingan manfaat

ekonomi yang diperoleh antara kebijakan pertambangan batubara di

kawasan hutan dengan sektor berbasis lahan yang lain yaitu perkebunan,

pertanian pangan dan kehutanan.

Pertama perbandingan manfaat pertambangan batubara di kawasan

hutan dengan sektor perkebunan, penilaian manfaat ekonomi

pertambangan batubara adalah responden yang menilai pertambangan

batubara sangat bermanfaat secara ekonomi, hanya 3%, sedangkan

sektor perkebunan memberikan manfaat ekonomi dengan kriteria sangat

bermanfaat sebanyak 26%. Sedangkan yang berpendapat pertambangan

batubara cukup bermanfaat sebanyak 25%. yang berpendapat bahwa

sektor perkebunan cukup bermanfaat sebanyak 39%; responden yang

berpendapat pertambangan batubara kurang bermanfaat sebanyak 26%,

303

responden yang menilai perkebunan kurang bermanfaat sebanyak 22%.

Responden yang menilai pertambangan batubara di kawasan hutan

kurang bermanfaat secara ekonomi menunjukkan bahwa manfaat

ekonomi ada namun nilainya kecil.

Responden yang menilai pertambangan batubara di kawasan hutan

tidak bermanfaat sebanyak 26%, sedangkan yang menilai sektor

perkebunan tidak bermanfaat 8%. Sedangkan responden yang

berpendapat secara ekonomi pertambangan batubara sangat tidak

bermanfaat sebanyak 29%, persentase responden yang menilai

perkebunan sangat tidak bermanfaat sebanyak 5%.

Tabel 32 :

Pendapat Responden terhadap Manfaat Ekonomi

Pertambangan Batubara di bandingkan dengan

sektor usaha berbasis lahan yang lain

Tingkat Manfaat

Pertambangan Batubara

Perkebunan Pertanian Pangan Kehutanan

Responden % Responden % Responden % Responden %

Sangat Bermanfaat

3 3 29 26 58 53 49 44

Cukup Bermanfaat

18 16 43 39 34 31 35 32

Kurang Bermanfaat

28 25 34 22 6 5 15 14

Tidak bermanfaat

29 26 9 8 5 5 2 2

Sangat Tidak Bermanfaat

32 29 5 5 7 6 9 8

Total 110 100 110 100 110 100 110 100

Sumber : Data primer 2017

Berdasarkan persentase tersebut menunjukkan responden menilai

sektor perkebunan merupakan salah satu sektor yang bermanfaat secara

304

ekonomi. Persentase terbesar responden menilai sektor perkebunan

bermanfaat lebih besar dibandingkan manfaat pertambangan batubara di

kawasan hutan.

Sektor kedua yaitu pertanian pangan, responden berpendapat

bahwa dibandingkan dengan pertambangan batubara di kawasan hutan

dengan pertanian pangan adalah : responden yang menilai pertambangan

batubara sangat bermanfaat secara ekonomi, hanya 3%, sedangkan

sektor pertanian pangan memberikan manfaat ekonomi dengan kriteria

sangat bermanfaat sebanyak 53%. Sedangkan yang berpendapat

pertambangan batubara cukup bermanfaat sebanyak 25%, yang

berpendapat bahwa sektor pertanian pangan cukup bermanfaat sebanyak

31%; responden yang berpendapat pertambangan batubara kurang

bermanfaat sebanyak 26%, responden yang menilai pertanian pangan

kurang bermanfaat sebanyak 5%. Responden yang menilai pertambangan

batubara di kawasan hutan tidak bermanfaat sebanyak 26%, sedangkan

yang menilai sektor pertanian pangan tidak bermanfaat 5%. Sedangkan

responden yang berpendapat secara ekonomi pertambangan batubara

sangat tidak bermanfaat sebanyak 29%, persentase responden yang

menilai pertanian pangan sangat tidak bermanfaat sebanyak 6%.

Berdasarkan penilaian responden, sektor pertanian pangan lebih

besar manfaat ekonominya di bandingkan dengan pertambangan

batubara di kawasan hutan.

305

Sektor berbasis lahan ketiga adalah kehutanan. Berdasarkan

pendapat responden dalam perbandingan antara sektor pertambangan

batubara dengan kehutanan adalah responden yang menilai

pertambangan batubara sangat bermanfaat secara ekonomi, hanya 3%,

sedangkan sektor kehutanan memberikan manfaat ekonomi dengan

kriteria sangat bermanfaat sebanyak 44%, persentase ini merupakan yang

tertinggi. Sedangkan yang berpendapat pertambangan batubara cukup

bermanfaat sebanyak 25%. yang berpendapat bahwa sektor kehutanan

cukup bermanfaat sebanyak 33%; responden yang berpendapat

pertambangan batubara kurang bermanfaat sebanyak 26%, responden

yang menilai kehutanan kurang bermanfaat sebanyak 14%. Responden

yang menilai pertambangan batubara di kawasan hutan tidak bermanfaat

sebanyak 26%, sedangkan yang menilai sektor kehutanan tidak

bermanfaat 2%. Sedangkan responden yang berpendapat secara

ekonomi pertambangan batubara sangat tidak bermanfaat sebanyak 29%,

persentase responden yang menilai kehutanan sangat tidak bermanfaat

sebanyak 8%.

Berdasarkan penilaian responden, sektor kehutanan lebih besar

manfaat ekonominya di bandingkan dengan pertambangan batubara di

kawasan hutan, perbandingan persentase diantara keduanya cukup

signifikan.

306

2.1.3 Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan

berdasarkan Kriteria objektif manfaat terbesar bagi sebanyak

mungkin orang.

Manfaat ekonomi berdasarkan Kriteria objektif ketiga yaitu : manfaat

terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yang dimaksudkan adalah suatu

kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme dinilai baik

kalau manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang,

bukan hanya dinikmati orang perorang. Berdasarkan kriteria tersebut

untuk menilai pertambangan batubara di kawasan hutan memenuhi

kriteria manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, dalam penelitian

ini ditunjukkan melalui pendapat responden terhadap manfaat yang di

peroleh para pihak (stakeholder) yang berkaitan dengan keberadaan

perusahaan pertambangan batubara, yaitu : pemerintah pusat, pemerintah

daerah, pengusaha pertambangan batubara dan masyarakat.

Berdasarkan pendapat responden, terhadap penerima manfaat

pertambangan batubara di kawasan hutan adalah, persentase yang

berpendapat bahwa pertambangan batubara di kawasan hutan sangat

bermanfaat yang tertinggi adalah bagi pengusaha sebesar 47%,

sedangkan yang berpendapat pemerintah daerah menerima manfaat

sangat besar hanya 8%, demikian juga manfaat bagi pemerintah pusat

hanya 6%, bagi masyarakat sebanyak 5%.

Persentase responden yang menilai pertambangan batubara di

kawasan hutan cukup bermanfaat secara ekonomi bagi pengusaha

307

sebanyak 19%, bagi pemerintah daerah 20%, bagi pemerintah pusat 32%,

bagi masyarakat 20%. Persentase responden yang menilai pertambangan

batubara di kawasan hutan kurang bermanfaat secara ekonomi bagi

pengusaha sebanyak 14%, bagi pemerintah daerah 45%, bagi pemerintah

pusat 36%, bagi masyarakat 23%.

Persentase responden yang menilai pertambangan batubara di

kawasan hutan tidak bermanfaat secara ekonomi bagi pengusaha

sebanyak 8%, bagi pemerintah daerah 10%, bagi pemerintah pusat 7%,

bagi masyarakat 17%. Persentase responden yang menilai pertambangan

batubara di kawasan hutan sangat tidak bermanfaat secara ekonomi bagi

pengusaha sebanyak 11%, bagi pemerintah daerah 11%, bagi pemerintah

pusat 18%, bagi masyarakat 35%.

Tabel 33:

Pendapat Responden terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara Bagi Para Pihak

Tingkat Manfaat

Manfaat Bagi Pemerintah Pusat

Manfaat Bagi Pemda

Manfaat Bagi Pengusaha

Manfaat Bagi Masyarakat

Responden % Responden % Responden % Responden %

Sangat Bermanfaat

7 6 9 8 52 47 5 5

Cukup Bermanfaat

35 32 22 20 21 19 22 20

Kurang Bermanfaat

40 36 49 45 16 14 25 23

Tidak bermanfaat

8 7 11 10 9 8 19 17

Sangat Tidak Bermanfaat

20 18 19 11 12 11 39 35

Total 110 100 110 100 110 100 110 100

Sumber : Data Primer 2017

Berdasarkan pendapat responden terhadap para pihak penerima

manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan, mayoritas

308

responden berpendapat penerima manfaat terbanyak adalah pengusaha

pertambangan. Bagi pemerintah pusat dan daerah, mayoritas responden

menilai kurang memberi manfaat, artinya pemerintah daerah dan

pemerintah pusat menerima manfaat namun porsinya kecil.

Berdasarkan data tersebut, masyarakat justru menjadi penerima

manfaat terkecil dibandingkan para pihak yang lain yaitu pemerintah

daerah dan pemerintah pusat.

Manfaat ekonomi yang diterima pemerintah pusat dan daerah,

sebagaimana diungkapkan narasumber serta hasil penelusuran data yang

telah disajikan sebelumnya, menunjukkan bahwa secara signifikan

pertambangan batubara bagi Kalimantan Timur mempengaruhi 30%

perekonomian daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pertambangan

batubara membawa manfaat besar pembiayaan pembangunan. Namun

menurut pandangan responden manfaat bagi pemerintah pusat dan

daerah jauh lebih kecil dibandingkan manfaat yang diterima pengusaha

tambang.

Manfaat ekonomi bagi pemerintah pusat dan daerah adalah melalui

pembayaran kewajiban keuangan perusahaan pertambangan. Namun

berdasarkan analisis manfaat terbesar dari beroperasinya pertambangan,

terlihat bahwa bagian pemerintah sangat kecil, yaitu royalti untuk PKP2B

13,5% sedangkan untuk IUP sebesar 3-7% berdasarkan harga jual

komoditas batubara.

309

Manfaat ekonomi pertambangan batubara di kawasan hutan

memberikan manfaat besar bagi pengusaha pertambangan. Namun bagi

masyarakat belum cukup dirasakan manfaatnya. Berdasarkan keterangan

yang disampaikan Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

Kalimantan Timur, tentang manfaat ekonomi pertambangan batubara

adalah :185

“Pertambangan batubara dianggap memberikan masukan ekonomi yang besar bagi pemerintah, namun bagi masyarakat manfaat ekonomi pertambangan batubara hanya banyak dirasakan oleh pelaku pertambangan dan masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan yang persentasenya tidak banyak di masyarakat.” Manfaat ekonomi pertambangan lebih kecil jika dibandingkan dengan

kerugian ekonomi yang harus ditanggung masyarakat, Sektor-sektor

usaha masyarakat terkena dampak dari operasional pertambangan yang

menyebabkan penurunan pendapatan ekonomi masyarakat. hal ini

disampaikan dinamisator Jatam Kaltim:186

“Beroperasinya pertambangan di Kalimantan Timur ini justru banyak merugikan sektor ekonomi rakyat dibandingkan dengan manfaatnya. Berdasarkan penelitian yang JATAM lakukan menunjukkan keberadaan pertambangan batubara menyebabkan lahan-lahan persawahan petani tergusur. Kondisi ini mengancam ketahanan pangan Kalimantan Timur.” Pertambangan batubara di Kalimantan Timur mempunyai peran yang

signifikan bagi pertumbuhan ekonomi, namun ironisnya meskipun sumber

daya tambang dieksploitasi besar-besaran, masyarakat masih harus

terjerat dalam kemiskinan, sumber daya alam yang besar ini belum

185

Pradarma Rupang Dinamisator Jatam Kaltim, Wawancara tanggal 4 September 2016 di Samarinda

186Ibid

310

memberikan kontribusi yang mengembirakan kepada masyarakat

Kalimantan Timur, hal ini bisa dilihat dengan masih tinggi penduduk miskin

di Kaltim sejak orde baru hingga periode awal otonomi daerah.

Tabel 34 :

Jumlah Penduduk Miskin Kalimantan Timur Menurut Kabupaten/Kota

KAB/KOTA Penduduk Miskin (Ribu Jiwa)

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Paser 19.70 18.37 22.10 19.10 19 20.14 20.34 22.82

Kutai Barat 16.65 14.30 16.50 14.30 14.20 13.20 12.92 12.12

Kutai Kartanegara

48.16 42.48 54.70 47.30 47.10 52.14 52.53 56.99

Kutai Timur 24.76 22.89 29.20 25.30 25.20 27.17 28.30 29.57

Berau 9.63 10.13 11.90 10.30 10.30 9.69 9.77 11.21

PPU 16.13 14.30 15 13 12.90 11.69 11.58 12.17

Mahakam Ulu

- - - - - - - 2.83

Balikpapan 17.57 18.44 22.80 19.80 19.70 14.92 15.02 17.89

Samarinda 27.65 98.97 38 32.90 32.80 36.61 36.65 39.25

Bontang 9.54 9.03 9.40 8.10 8.10 8.51 8.21 8.02

Total 259.45 245.05 285.40 247.13 246.11 248.69 252.68 200.99

Sumber : BPS Kalimantan Timur Tahun 2016, di akses Mei 2017

Berdasarkan data BPS, Kabupaten/Kota yang menopang

ekonominya dari sektor pertambangan justru terdapat jumlah penduduk

miskin yang lebih besar. Berdasarkan data BPS Kalimantan Timur tahun

2016, penduduk miskin terbanyak berada di Kabupaten Kutai Kartanegara

yaitu sebanyak 56,99 ribu jiwa. Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan

kabupaten dengan jumlah izin pertambangan terbanyak se-Kalimantan

Timur. Sedangkan penduduk miskin terbanyak kedua adalah di Kota

Samarinda yaitu sebanyak 39,25 ribu jiwa, 70% wilayah Kota Samarinda

diterbitkan izin pertambangan batubara. Kabupaten Kutai Timur

merupakan kabupaten ketiga dengan jumlah penduduk miskin sebanyak

311

29,57 ribu jiwa. Kabupaten Paser dengan jumlah penduduk miskin

sebanyak 22,82 ribu jiwa.

Menurut Keterangan Dinamisator Jatam Nasional adalah :187

“Kegiatan eksploitasi terhadap sumber daya alam (SDA) itu rupanya tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Serta peran signifikan eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan ini tidak berlangsung lama atau tidak berkelanjutan.” Manfaat pertambangan batubara bagi perempuan menurut pendapat

masyarakat : “Manfaat ekonomi pertambangan batubara seperti yang

banyak disajikan pemerintah melalui angka-angka pendapatan daerah

dari sektor pertambangan, tidak memotret persoalan yang terjadi terutama

bagi perempuan.”188

Secara ekonomi, pertambangan batubara sangat berpengaruh bagi

ekonomi perempuan, yaitu mengakibatkan pendapatan perempuan dari

sektor pertanian yang menurun akibat penggusuran lahan yang banyak

terjadi. Berdasarkan pendapat masyarakat yaitu: “Keberadaan

pertambangan batubara menggusur sawah dan kebun masyarakat, yang

berakibat perempuan yang semula bekerja di sektor pertanian dan

mendapatkan penghasilan baik dari hasil sawah maupun kebun justru

mereka kehilangan pendapatan.”189

Masyarakat menurut pendapat responden justru menjadi penerima

manfaat terkecil dibandingkan para pihak yang lain yaitu pengusaha,

pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Jika merujuk kembali kriteria

187

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Nasional di Jakarta, wawancara tanggal 5 Oktober 2016

188TKPT, wawancara pada tanggal 10 Mei 2017

189Ibid

312

objektif ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang,

maka parameter ideal penerima manfaat terbesar adalah masyarakat,

karena masyarakat secara jumlah lebih banyak dibandingkan para pihak

yang lain.

Berdasarkan pendapat responden maka manfaat ekonomi

pertambangan batubara berdasarkan kriteria objektif ketiga dari faham

utilitarianime belum dapat dipenuhi.

2.2 Manfaat Sosial Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

2.2.1 Manfaat Sosial Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

berdasarkan Kriteria objektif manfaat faham Utilitarianisme

Manfaat sosial berdasarkan kriteria manfaat yang dimaksud adalah

kebijakan atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme harus

mendatangkan manfaat tertentu. Kebijakan atau tindakan baik adalah

kebijakan atau tindakan yang menghasilkan hal baik. Sebaliknya akan

dinilai buruk secara moral kalau mendatangkan kerugian atau hal buruk.

Kebijakan pertambangan di kawasan hutan dalam kriteria obyektif

manfaat, ditinjau dari aspek sosial menurut pemerintah pusat dan daerah,

pertambangan batubara di kawasan hutan memberikan manfaat berupa

pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan adanya program

CSR (Community Social Responsibility) yang dapat mendorong

pemberdayaan masyarakat diberbagai bidang, baik ekonomi, sosial,

kesehatan, pendidikan dll.

313

a. Manfaat Penyerapan Tenaga Kerja Namun tidak berkelanjutan

Manfaat keberadaan pertambangan dalam penyerapan tenaga kerja

menurut pemerintah, tidak hanya bagi sektor pekerjaan yang langsung

disediakan oleh perusahaan pertambangan, namun juga pekerjaan sektor

lain di luar pertambangan yang terbentuk karena adanya perusahaan

pertambangan di wilayah tersebut.

Berdasarkan keterangan Subdit Pengawasan Produksi dan

Pemasaran Batubara, dikatakan bahwa : 190

“Keberadaan perusahaan pertambangan selalu akan memberikan manfaat membuka lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga-tenaga kerja di sekitar wilayah pertambangan. Karena itu ada keharusan perusahaan untuk mengutamakan tenaga kerja lokal, agar kesempatan kerja dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.”

Keterangan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 106 UU 4

Tahun 2009, bahwa : “Pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan

pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Manfaat sosial pertambangan batu bara di kawasan hutan bagi

penyerapan tenaga kerja di Kalimantan Timur, hal ini seperti keterangan

yang disampaikan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi

Kalimantan Timur, yaitu :191

“Pertambangan yang beroperasi menyebabkan terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat baik melalui pekerjaan yang langsung diserap oleh perusahaan pertambangan maupun melalui

190

Andi Ari.S Subdit Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara. wawancara

pada tanggal 16 Februari 2016

191Ibid

314

sektor usaha yang terbentuk karena adanya perusahaan pertambangan.”

Namun dari temuan penelitian di Kalimantan Timur, peluang

pekerjaan yang disediakan oleh perusahaan pertambangan batubara

sebagai bentuk manfaat sosial, tidak berlangsung lama, pada tahun 2014

justru terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang besar-besaran

karena terdampak turunnya harga batubara di pasar internasional. Hal ini

menunjukkan daya serap pekerja di sektor pertambangan batubara tidak

berkelanjutan. Ketika deposit batubara habis atau harga komoditi batubara

turun, hal ini menyebabkan manfaat sosial tidak dapat dirasakan lagi.

b. Manfaat program CSR (Community Social Responsibility)

Manfaat sosial pertambangan batubara di kawasan hutan menurut

pemerintah adalah:192 “Perusahaan pertambangan wajib menjalankan

CSR (Community Social Responsibility) melalui kewajiban ini maka

manfaat sosial dapat dirasakan masyarakat di sekitar wilayah

penambangan. Dalam pelaksanaannya CSR akan melibatkan banyak

pihak baik pemerintah daerah, maupun masyarakat.”

Ketentuan CSR secara khusus bidang pertambangan batubara diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Pasal 106 –

109, yang menegaskan bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun

192

Andi Ari.S (KESDM), wawancara pada tanggal 16 Februari 2016; Dadan Mulyana (Kementerian Lingkungan), Op.cit.

315

program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP

dan WIUPK. Pasal 106 ayat (2) : program pengembangan dan

pemberdayaan harus dikonsultasikan dengan Pemerintah, pemerintah

provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakat setempat. Pasal

106 ayat (4) Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat

sebagaimana diprioritaskan untuk masyarakat disekitar WIUP dan WIUPK

yang terkena dampak langsung akibat aktifitas pertambangan. Prioritas

masyarakat merupakan masyarakat yang berada dekat kegiatan

operasional penambangan dengan tidak melihat batas administrasi

wilayah kecamatan/kabupaten.

Konsep Corporate Sosial Responsibility (CSR) telah dikenal sejak

awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan

praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan

ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen

dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara

berkelanjutan (Sustainable Development).193

Menurut The World Business Council For Sustainable Development

(WBCSD) bahwa definisi CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan

merupakan komitmen bisnis untuk kontribusi dalam pembangunan

ekonomi berkelanjutan, bekerjasama dengan karyawan perusahaan serta

keluarganya, berikutnya melibatkan komuniti sekitarnya dan masyarakat

193

Ilona Vicenovie Oisina Situmeang, 2016. Corporate Social Responsibility-Dipandang dari perspektif komunikasi organisasi, Ekuilibria, Yogjakarta. Halaman : xv

316

secara keseluruhan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan.194

Regulasi yang mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan

adalah: Kewajiban Sosial Perusahaan berdasarkan Undang-undang

Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Ketentuan tentang

tanggung jawab sosial perusahaan dalam undang-undang ini yaitu : Pasal

47 ayat (1) perseroan yang mmenjalankan kegiatan usahanya di bidang

dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan

tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Ketentuan ayat (2) tanggung jawab sosial dan lingkungan

merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan

sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan

memperhatikan kepatuhan dan kewajaran. Ketentuan ayat (3), perseroan

yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

Ketentuan lebih lanjut tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan

perusahaan ini selanjutnya menurut ayat (4) diatur dengan Peraturan

Pemerintah. Pengaturan tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan

perusahaan dalam UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

diatur dalam ketentuan Pasal 15, 17 dan 34.

Berdasarkan ketentuan Pasal 15, setiap penanam modal di

Indonesia berkewajiban :

1. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; 2. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;

194

Ibid, halaman : 9

317

3. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;

4. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegaiatan usaha penanaman modal;

5. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan berikutnya pada Pasal 17 bahwa penanam modal yang

mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib

mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang

memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya

diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sanksi terhadap ketidak patuhan ketentuan tanggung jawab sosial

dan lingkungan perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 15,

dikenakan sanksi menurut ketentuan Pasal 34 ayat (1) berupa sanksi

administratif berupa :

c. Peringatan tertulis; d. Pembatasan kegiatan usaha; e. Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; f. Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

Ketentuan Pasal 34 ayat (2) mengatur tentang pemberian sanksi

administratif sebagaimana dimaksud Pasal 34 (1) diberikan oleh instansi

atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Selain sanksi administratif menurut ketentuan

Pasal 34 yat (3), badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenakan

sanksi lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, diatur :

Pasal 2 setiap perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung

318

jawab sosial dan lingkungan. Ketentuan Pasal 3 (1) tanggung jawab sosial

dan lingkungan menjadi kewajiban bagi perseroan yang menjalankan

kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya

alam berdasarkan undang-undang. Pasal 3 ayat (2) kewajiban tanggung

jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan baik di dalam maupun di luar

lingkungan perseroan.

Pasal 4 (1) tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh

direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat

persetujuan dewan komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar

perseroan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 4 (2) rencana kerja tahunan perseroan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan

untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal 5(1)

perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau

berkaitan dengan sumber daya alam, dalam menyusun dan menetapkan

rencana kegiatan dan anggaran harus memperhatikan kepatutan dan

kewajaran. Ketentuan Pasal 5 (2) realisasi anggaran untuk pelaksanaan

tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilaksanakan oleh perseroan

diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Pasal 6 pelaksanaan tanggung

jawab sosial dan lingkungan dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan

dipertanggung-jawabkan kepada RUPS.

Ketentuan dalam Pasal 7 perseroan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan

319

dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8 (1) tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 tidak menghalangi perseroan berperan serta melaksanakan

tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2. Ketentuan Pasal 8 (2) perseroan yang telah berperan serta

melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dapat diberikan

penghargaan oleh instansi yang berwenang.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut,

nampak bahwa setiap perusahaan yang bergerak di sektor sumberdaya

alam memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sosial

perusahaan.

2.2.2 Manfaat sosial pertambangan batubara di kawasan hutan

berdasarkan Kriteria objektif manfaat terbesar dalam Faham

Utilitarianisme

Manfaat sosial berdasarkan kriteria obyektif manfaat terbesar yang

dimaksud adalah kebijakan atau tindakan berdasarkan faham

utilitarianisme hendaknya kebijakan pengelolaan sumber daya alam

mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan

kebijakan atau tindakan alternatif lain.

Berdasarkan pendapat responden, manfaat sosial terbesar jika

diperbandingkan dengan sektor usaha berbasis lahan adalah persentase

tertinggi memberikan manfaat adalah sektor perkebunan yang mendapat

320

nilai 45% untuk kriteria cukup bermanfaat, sedangkan pertanian pangan

sebanyak 39% responden menilai sangat bermanfaat, sedangkan

kehutanan sebanyak 35% menilai bermanfaat, sedangkan pertambangan

batubara di kawasan hutan berdasarkan penilaian responden justru

mendapatkan nilai terendah yaitu 15% untuk kriteria cukup bermanfaat,

sedangkan kriteria terbesar justru sangat tidak bermanfaat 35%.

Tabel 35 :

Pendapat responden terhadap Manfaat Sosial

Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor Usaha

Berbasis Lahan yang Lain

Tingkat Manfaat

Pertambangan

Batubara Perkebunan Pertanian Pangan Kehutanan

Responden % Responden % Responden % Responden %

Sangat Bermanfaat

4 4 13 12 43 39 39 35

Cukup Bermanfaat

16 15 50 45 46 42 39 35

Kurang Bermanfaat

26 24 28 25 9 8 21 19

Tidak bermanfaat

29 26 6 5 7 6 5 5

Sangat Tidak Bermanfaat

35 32 13 12 5 5 6 5

Total 110 100 110 100 110 100 110 100

Sumber : Data Primer 2017

Setelah harga batubara menurun tajam berakibat terhadap

ketersediaan pekerjaan yang semula ada menjadi hilang, begitu juga

sektor pekerjaan lain yang bertumbuh karena adanya perusahaan

pertambangan. Kondisi inilah salah satu penilaian responden terhadap

sektor pertambangan batubara dinilai lebih rendah manfaatnya

dibandingkan sektor usaha berbasis lahan yang lain.

321

2.2.3 Manfaat sosial pertambangan batubara di kawasan hutan

berdasarkan Kriteria objektif manfaat terbesar bagi sebanyak

mungkin orang dalam Faham Utilitarianisme

Manfaat sosial berdasarkan kriteria obyektif manfaat terbesar bagi

sebanyak mungkin orang adalah suatu kebijakan atau tindakan

berdasarkan faham utilitarianisme dinilai baik kalau manfaat terbesar yang

dihasilkan berguna bagi banyak orang.

a. Penyerapan tenaga kerja tidak memenuhi kriteria manfaat bagi

sebanyak mungkin orang

Manfaat penyerapan tenaga kerja menurut pendapat responden

adalah bagi tenaga kerja laki-laki, keberadaan pertambangan batubara di

kawasan hutan persentase terbesar responden yaitu 37% menilai kurang

bermanfaat, yang berarti penyerapan tenaga kerja ada namun kurang

mampu menyerap banyak tenaga kerja. Persentase berikutnya 29%

responden menilai penyerapan tenaga kerja laki-laki cukup bermanfaat,

sedangkan 11% menilai sangat bermanfaat. Responden yang menilai

penyerapan tenaga kerja di pertambangan batubara tidak bermanfaat

sebanyak 10% dan 9% menganggap sangat tidak bermanfaat. Jika

ditelaah secara keseluruhan tenaga kerja laki-laki di sektor pertambangan

batubara cukup terserap, namun belum sebanding dengan pencari kerja.

Kondisi tersebut berbeda bagi tenaga kerja perempuan, keberadaan

pertambangan batubara di kawasan hutan persentase terbesar responden

yaitu 37% menilai kurang bermanfaat, yang berarti penyerapan tenaga

322

kerja ada namun kurang mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Persentase berikutnya 24% responden menilai penyerapan tenaga kerja

laki-laki tidak bermanfaat bagi perempuan, sedangkan 22% menilai sangat

tidak bermanfaat. Responden yang menilai penyerapan tenaga kerja di

pertambangan batubara cukup bermanfaat sebanyak 14% dan hanya 3%

menganggap sangat bermanfaat.

Tabel 36 :

Pendapat Responden Terhadap Manfaat Penyerapan Tenaga Kerja di

Pertambangan Batubara

Tingkat Manfaat

Tenaga Kerja Laki-laki

Tenaga Kerja Perempuan

Responden % Responden %

Sangat Bermanfaat 16 15 3 3

Cukup Bermanfaat 32 29 15 14

Kurang Bermanfaat 41 37 41 37

Tidak bermanfaat 11 10 27 24

Sangat Tidak Bermanfaat 10 9 24 22

Total 110 100 110 100

Sumber : Data Primer 2017

Berdasarkan pendapat responden, manfaat terbesar penyerapan

tenaga kerja pertambangan batubara adalah bagi tenaga kerja laki-laki,

sedangkan manfaat bagi tenaga kerja perempuan, sektor pertambangan

batubara tidak banyak memberikan manfaat penyerapan tenaga kerja

perempuan.

Berdasarkan data BPS Kalimantan Timur, daya serap sektor

pertambangan jauh lebih kecil dibandingkan sektor pertanian, dan

323

Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi, serta sektor Jasa

Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan.

Berdasarkan data tersebut daya serap sektor pertanian sebanyak

20,65% pada tahun 2016 dan meningkat menjadi 22,01% pada tahun

2017. Sektor Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan menyerap

sebanyak 21,93% pada tahun 2016 dan meningkat menjadi 23,05% pada

tahun 2017. Sektor Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi

mampu menyerap tenaga kerja terbanyak yaitu sebanyak 27,59% pada

tahun 2016 dan meningkat menjadi 28,83% pada tahun 2017. Sedangkan

penyerapan tenaga kerja sektor pertambangan sangat kecil yaitu hanya

6,74% pada tahun 2016 dan meningkat sangat tipis menjadi 6,76% pada

tahun 2017.

Tabel 37 :

Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Usaha di Kalimantan Timur

Sektor Usaha 2016 2017

Jumlah % Jumlah %

Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan

310.581 20,65 337.960 22,01

Pertambangan dan Penggalian 101.448 6,74 103.822 6,76

Industri 83.299 5,54 67.978 4,43

Listrik, Gas dan Air Minum 10.613 0,71 13.248 0,86

Konstruksi 80.814 5,37 75.164 4,90

Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi

414.941 27,59 442.685 28,83

Transportasi, Pergudangan dan komunikasi

89.665 5,96 70.572 4,60

Lembaga Keuangan, Real estate, usaha persewaan dan Jasa Perusahaan

82.958 5,52 70.030 4,56

Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan

329.814 21,93 353.836 23,05

Jumlah 1.504.133 100 1.535.296 100

Sumber : BPS Kalimantan Timur Tahun 2017

324

Berdasarkan kriteria manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang

berkaitan manfaat sosial pertambangan berupa penyerapan tenaga kerja,

berdasarkan data BPS Kalimantan Timur manfaatnya sangatlah kecil

dibandingkan dengan sektor yang lain.

Menurut keterangan masyarakat di desa yang berada di wilayah

pertambangan angkanya lebih kecil lagi yaitu hanya 1%. Hal ini

menunjukkan bahwa kebijakan pertambangan di kawasan hutan dalam

perspektif analisi manfaat belum memenuhi kategori memberikan manfaat

bagi sebanyak mungkin orang secara langsung dalam bentuk kesempatan

kerja.

Bagi perempuan, jumlah perempuan yang mendapatkan manfaat

sosial pertambangan di kawasan hutan jauh dibawah jumlah pekerja yang

laki-laki. Pekerja perempuan di sektor pertambangan hanya 1,2% dari

jumlah pekerja laki-laki. Berdasarkan kondisi ini maka perempuan bukan

kelompok masyarakat yang menerima manfaat dari pertambangan

batubara di kawasan hutan.

Manfaat sosial perusahaan dalam menciptakan lapangan pekerjaan

selalu disampaikan oleh pihak perusahaan maupun pemerintah ketika

perusahaan akan beroperasi di suatu wilayah. Namun setelah perusahaan

beroperasi, daya serap perusahaan terhadap tenaga kerja tidak cukup

besar. Menurut keterangan Dinamisator JATAM Kalimantan Timur,

dikatakan bahwa :

“Keberadaan perusahaan pertambangan batubara pada awal masuk selalu dikatakan oleh pihak perusahaan maupun pemerintah bahwa

325

kehadiran perusahaan pertambangan akan membuka lapangan pekerjaan sehingga masyarakat dapat bekerja di perusahaan, namun kenyataannya banyaknya pekerja yang direkrut oleh perusahaan pertambangan batubara tak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang ada di masyarakat.” Kemampuan perusahaan pertambangan dalam menyerap tenaga

kerja disebabkan ciri perusahaan pertambangan sebagai perusahaan

yang padat modal namun bukan perusahaan padat karya. Dalam

operasional perusahaan pertambangan dilakukan dengan menggunakan

alat-lat modern yang memungkinkan perusahaan pertambangan

mengelola perusahaan secara efisien, sehingga tidak membutuhkan

tenaga kerja yang sangat banyak.

Kondisi perdagangan komoditi batubara di pasar dunia sangat

berpengaruh terhadap keberlangsungan perusahaan pertambangan

batubara. Ketika harga batubara mengalami penurunan yang signifikan,

maka sebagian besar perusahaan harus mengurangi bahkan

menghentikan produksinya. Hal ini menyebabkan perusahaan harus

mengurangi karyawannya. Model ekonomi yang ditopang eksploitasi

sumber daya tambang dan menjual sebagai komoditi mentah, sangat

rentan dengan kondisi global. Seperti keadaan sejak tahun 2014 terjadi

penurunan harga batubara di perdagangan internasional, berimbas

terhadap perekonomian Kalimantan Timur, hal ini membawa dampak

terjadinya PHK (pemutusan hubungan kerja) secara besar-besaran di

Kaltim terutama di sektor pertambangan.

326

Berdasarkan penelusuran penulis, sesuai dengan data dari Dinas

Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim dan data BPS

Kalimantan Timur, jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan pada 2001

tercatat 43.708 orang, lalu meningkat menjadi 174.403 orang pekerja

pada tahun 2014. Jumlah tersebut mengalami penurunan pada tahun

2015 menjadi 135.417 orang tenaga kerja atau berkurang sebanyak

38.986 orang. Sehingga sebanyak 60.000 orang telah di PHK sejak 2014 -

2016, akibat turunnya harga batubara.

Tabel 38 :

Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja di Kalimantan Timur

Jenis Kelamin

Jumlah Tenaga Kerja

yang tersedia (Jiwa)

Jumlah Penyerapan

Tenaga Kerja (Jiwa)

Persentase Penyerapan Tenaga Kerja

Terserap Tidak Terserap

Laki-laki 1.797.297 1.091.062 83,64% 16,64%

Perempuan 1.629.341 448.429 38,56% 61,44%

Total 3.426.638 1.539.491 62,39% 37,61% Sumber : BPS Kalimantan Timur Tahun 2016, di akses Mei 2017

Bagi perempuan manfaat sosial perusahaan pertambangan bagi

perempuan dalam bentuk penyerapan tenaga kerja masih sangat kurang.

Menurut Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) Kalimantan Timur

adalah:195

“Penyerapan tenaga kerja selalu menjadi daya tarik pemerintah untuk memberika izin beroperasinya pertambangan, namun menurut

195Wawancara pada tanggal 10 Mei 2017

327

hasil penelitian TKPT, daya serap perusahaan pertambangan terhadap tenaga kerja perempuan hanya 1,2%. Sehingga di Kalimantan Timur penganggurn terbanyak adalah perempuan. Hal ini terjadi karena sektor industri yang dominan diKalimantan Timur adalah industri pertambangan yang lebih banyak menyerap tenaga kerja perempuan dibandingkan laki-laki.”

Berdasarkan data BPS Kalimantan Timur tahun 2016, penyerapan

tenaga kerja sebanyak 62,39% atau sebanyak 1.539.491 jiwa dari jumlah

tenaga kerja yang tersedia sebanyak 3.426.638 jiwa. Tenaga kerja yang

tidak terserap sebanya 37,61%. Persentase penyerapan tenaga kerja laki-

laki yaitu sebanyak 83,64% dari keseluruhan tenaga kerja laki-laki yang

tersedia yaitu sebanyak 1.797,297 jiwa, yang terserap pasar tenaga kerja

adalah sebanyak 1.091.062 jiwa. Namun bagi tenaga kerja perempuan,

angka serapan tenaga kerja sangat kecil, yaitu hanya 38,56% dari jumlah

tenaga perempuan sebanyak 1.629.341 jiwa, yang terserap pasar tenaga

kerja hanya 448.429 jiwa.

Bagi perempuan desa yang berada di sekitar wilayah pertambangan,

manfaat penyerapan tenaga kerja sektor pertambangan batubara

persentasenya sangat kecil. Sebagaimana informasi dari TKPT

Kalimantan Timur: :196

“Penyerapan tenaga kerja perempuan di desa-desa sekitar wilayah pertambangan persentasenya lebih kecil lagi. Bahkan berdasarkan temuan TKPT, perempuan-perempuan desa yang semula mempunyai pekerjaan dan penghasilan dari sawah dan kebun serta pengolahan hasil pertanian baik gula merah maupun minyak kelapa, harus kehilangan pekerjaaannya karena lahan tergusur atau lahan rusak terkena dampak operasional pertambangan.

196

Ibid

328

Berdasarkan telaah penulis bahwa pertambangan batubara

memberikan manfaat kesempatan kerja mayoritas bagi laki-laki dan

sebagian kecil perempuan. Namun sifat pekerjaan yang disediakan sektor

pertambangan tidak berkelanjutan.

Berdasarkan keterangan tersebut, maka dapat diketahui manfaat

sosial bagi masyarakat dengan adanya pertambangan batubara di

kawasan hutan adalah: (a) Manfaat sosial perusahaan pertambangan

adalah adanya lapangan kerja baik yang disediakan oleh perusahaan atau

lapangan kerja sektor lain yang terbentuk karena adanya perusahaan,

namun prosentase terbesar tenaga kerja adalah laki-laki; (b) Penyerapan

tenaga kerja sektor pertambangan jauh lebih kecil dibandingkan sektor

usaha lainnya; (c) Serapan tenaga kerja sektor pertambangan batubara

secara persentase sangat rendah, tidak sebanding dengan angkatan kerja

yang ada di daerah (d) Lapangan kerja yang tersedia bagi perempuan di

perusahaan pertambangan sangat terbatas, sehingga angkatan kerja

perempuan yang dapat diserap sektor pertambangan juga sedikit; (e)

Keberadaan pertambangan batubara menyebabkan hilangnya pekerjaan

perempuan yang sebelum adanya perusahaan bekerja di sektor pertanian

sawah dan pertanian pangan.

b. Manfaat Program CSR Perusahaan Pertambangan Batubara

Manfaat sosial perusahaan pertambangan batubara menurut

pemerintah, adanya dana CSR perusahaan yang akan bermanfaat bagi

329

program-program kebutuhan masyarakat baik bidang ekonomi,

kesehatan, pendidikan dll.

Menurut keterangan Kasub Pertambangan Batubara Dinas Energi

dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur, mengenai manfaat

sosial pertambangan di kawasan hutan adalah :197

“Perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam mempunyai kewajiban untuk melaksanakan program CSR (Community Social Responsibility). Jika perusahaan melaksanakan program CSR, maka masyarakat akan mendapatkan manfaat sosial dari adanya pertambangan batubara.”

Berdasarkan keterangan dari Dinas Energi dan Sumber Daya

Mineral Provinsi Kalimantan Timur, maka dapat diketahui bahwa manfaat

sosial pertambangan batubara adalah membuka lapangan kerja bagi

masyarakat dan adanya kewajiban CSR (Community Social

Responsibility) dari perusahaan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Berdasarkan pendapat responden program CSR yang dijalankan

perusahaan justru mendapat penilaian kurang bermanfaat, yaitu

infrastruktur sebanyak 55% responden menilai kurang bermanfaat,

sedangkan 18% menilai cukup bermanfaat. Program pendidikan sebanyak

50% responden menilai kurang bermanfaat, sedangkan 19% menilai

cukup bermanfaat. Program pemberdayaan ekonomi 48% responden

menilai kurang bermanfaat, sedangkan 27% menilai cukup bermanfaat;

Sarana Air bersih 39% menilai kurang bermanfaat, sedangkan 17%

menilai cukup bermanfaat. Program pemberdayaan perempuan 47%

197Goenoeng, pada wawancara tanggal 11 April 2016,

330

responden menilai kurang bermanfaat, sedangkan 22% menilai tidak

bermanfaat dan 22% menilai sangat tidak bermanfaat. Program kesehatan

sebanyak 40% responden menilai kurang bermanfaat, sedangkan 25%

menilai sangat tidak bermanfaat dan 17% menilai tidak bermanfaat, nilai

yang sama 17% menilai program cukup bermanfaat.

Tabel 39 :

Pendapat Responden Terhadap Manfaat CSR

(Community Sosial Responsibility) Perusahaan

Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

Program CSR Perusahaan Pertambangan Batubara

Sangat Bermanfaat

Cukup Bermanfaat

Kurang Bermanfaat

Tidak bermanfaat

Sangat Tidak Bermanfaat

Respon den

% Responden

% Responden

% Respon Den

% Responden

%

Infrastruktur 7 6 20 18 60 55 8 7 15 14

Pendidikan 2 2 21 19 55 50 17 15 15 14

Pemberdayaan Ekonomi

1 1 30 27 53 48 10 9 16 15

Sarana Air Bersih

2 2 17 17 43 39 19 17 29 26

Pemberdayaan Perempuan

2 2 8 7 52 47 24 22 24 22

Kesehatan 2 2 20 17 44 40 19 17 25 23

Keagamaan 2 2 21 19 46 42 21 19 20 18

Kebudayaan 2 2 16 15 50 45 22 20 20 18

Total 110 100 110 100 110 100 110 100 110 100

Sumber : Data Primer 2017

Penilaian responden terhadap program CSR bidang kesehatan,

sebanyak 40% responden menilai kurang bermanfaat, 23% menilai sangat

tidak bermanfaat, 17% menilai cukup bermanfaat. Sedangkan program

CSR bidang keagamaan sebanyak 42% menilai kurang bermanfaat, 19%

menilai cukup bermanfaat, demikian pula yang menilai tidak bermanfaat

sebanyak 19%, sedangkan yang menilai sangat tidak bermanfaat

sebanyak 18%.

331

Penilaian terhadap program CSR bidang kebudayaan sebanyak 45%

responden menyatakan kurang bermanfaat, 20% menilai tidak

bermanfaat, sebanyak 18% menilai sangat tidak bermanfaat, serta 15%

menilai cukup bermanfaat.

Berdasarkan pendapat responden tersebut, maka program yang

dilakukan melalui CSR perusahaan pertambangan, persentase penilaian

responden tertinggi justru kurang bermanfaat, sedangkan penilaian cukup

pada persentase dibawahnya, hal ini berarti pertama kurangnya kuantitas

program CSR perusahaan berbanding dengan jumlah perusahaan

pertambangan yang ada; kedua kurangnya kualitas pelaksanaan program

CSR sehingga manfaat CSR belum memberikan manfaat secara

maksimal; ketiga pelaksanaan program CSR belum dirasakan secara

merata oleh masyarakat.

2.3 Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di Kawasan

Hutan

2.3.1 Manfaat Lingkungan berdasarkan Kriteria Objektif manfaat

dalam fahan Utilitarianisme

Manfaat Lingkungan berdasarkan kriteria objektif manfaat yang

dimaksud adalah kebijakan atau tindakan berdasarkan faham

utilitarianisme harus mendatangkan manfaat tertentu. Kebijakan atau

tindakan baik adalah kebijakan atau tindakan yang menghasilkan hal baik.

332

Sebaliknya akan dinilai buruk secara moral kalau mendatangkan kerugian

atau hal buruk.

Berdasarkan keterangan pemerintah, bahwa manfaat lingkungan

pertambangan di kawasan hutan dalam kriteria obyektif manfaat adalah

berupa pelaksanaan kewajiban melakukan penambangan yang ramah

lingkungan dan pemenuhan kewajiban lingkungan berupa penempatan

jaminan reklamasi dan jaminan paska tambang. Manfaat lingkungan

pertambangan batubara di kawasan hutan menurut keterangan Subdit

Pengawasan Produksi dan Pemasaran Batubara KESDM adalah : 198

“Manfaat lingkungan adanya pertambangan batubara adalah adanya kewajiban perusahaan untuk melaksanakan reklamasi dan paska tambang. Melalui kewajiban ini maka perusahaan mempunyai kewajiban untuk memulihkan kondisi lingkungan. Namun khusus untuk kawasan hutan ada ketentuan khusus dan itu menjadi kewenangan Instansi Kehutanan untuk melakukan pengawasan.”

Manfaat lingkungan pertambangan batubara di kawasan hutan

menurut Kementerian Kehutanan dan Lingkungan, dapat dilihat melalui

pelaksanaan kewajiban pemegang IPPKH. Kewajiban tersebut

diantaranya adalah kewajiban penanaman kembali lahan yang terganggu

aktivitas penambangan batubara, serta bagi kawasan yang tidak dapat

dikembalikan seperti rona awal, perusahaan mempunyai kewajiban

melakukan penanaman di kawasan DAS (daerah aliran sungai). Hal ini

198

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, pemaparan pada tanggal 9 Mei 2017 di Balikpapan

333

disampaikan Staf Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan Kementerian

Kehutanan:199

“Pemegang IPPKH mempunyai kewajiban penanaman kembali revegetasi serta wilayah yang L3 (tidak bisa dikembalikan seperti rona awal) terdapat kewajiban perusahaan untuk melakukan penanaman DAS. Wilayah penanaman DAS bisa dilokasi penambangan atau diluar lokasi penambangan dan penentuan lokasi harus dengan persetujuan BP DAS. Perhitungan dengan Rumusan 1:1+L3. Ketentuan ini akan mendorong upaya untuk pemeliharaan kawasan DAS dan kawasan yang diperuntukkan sebagai lahan kompensasi.”

Berdasarkan ketentuan tersebut menurut Kementerian Kehutanan

dan Lingkungan, kawasan DAS akan menjadi lebih baik karena

perusahaan melaksanakan penanaman kembali kawasan DAS. Selain itu

adanya ketentuan penyediaan lahan kompensasi untuk dijadikan kawasan

hutan merupakan manfaat lingkungan adanya pertambangan batubara di

kawasan hutan.

Manfaat lingkungan pertambangan batubara menurut Dinas Energi

Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur adalah adanya

kewajiban perusahaan untuk melaksanakan reklamasi paskatambang.

Setelah dilakukan reklamasi maka kawasan yang digunakan

pertambangan akan bermanfaat secara lingkungan. Hal ini disampaikan

Kasub Pertambangan Batubara Dinas Energi Sumber Daya Mineral

Provinsi Kalimantan Timur:200

199

wawancara dengan Dadan Mulyana, di Jakarta tanggal 9 Februari 2015, 200

Goenoeng, wawancara tanggal 11 April 2016 :

334

“Pertambangan di kawasan hutan memiliki kewajiban setelah melakukan penambangan untuk mereklamasi kawasannya sesuai ketentuan peraturan-perundang-undangan. Namun karena ini kawasan hutan, maka kewenangan untuk menentukan teknis reklamasi dan pengawasannya merupakan kewenangan instansi kehutanan.”

Reklamasi kawasan hutan yang telah digunakan untuk

pertambangan batubara harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku. Manfaat lingkungan pertambangan batubara di kawasan hutan

menurut Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, adalah melalui

pelaksanaan kewajiban perusahaan dalam melakukan penambangan

yang baik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewajiban

perusahaan setelah melakukan penambangan yaitu reklamasi, akan

memberikan manfaat bagi lingkungan di kawasan hutan. Selain itu

kewajiban perusahaan untuk melakukan pemeliharaan kawasan DAS

akan mendorong perbaikan lingkungan hidup. Keterangan tersebut

disampaikan Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan

Provinsi Kalimantan Timur, yaitu :201

“Manfaat pertambangan batubara di kawasan hutan adalah melalui kewajiban-kewajiban pengelolaan pertambangan yang baik menurut teknis penambangan, serta adanya kewajiban perusahaan untuk melakukan reklamasi kawasan hutan yang telah digunakan untuk penambangan.Kewajiban melaksanakan reklamasi kawasan hutan telah diatur khusus. Perusahaan pertambangan wajib melaksanakannya. Selain itu terdapat kewajiban pemeliharaan kawasan DAS sebagai kompensasi kawasan yang terganggu pertambangan di kawasan hutan.”

201

Kasubag Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, dalam wawancara tanggal 6 April 2015

335

Pada saat pemaparan Korsup KPK202, KESDM menyampaikan data

penempatan jaminan reklamasi dan jaminan paskatambang perusahaan

pertambangan, berdasarkan data yang disajikan menunjukkan bahwa

tingkat ketaatan perusahaan pertambangan untuk melaksanakan

kewajiban pembayaran/penempatan jaminan reklamasi dan

paskatambang masing sangat rendah.

Jaminan reklamasi yang telah diserahkan/ditempatkan oleh

perusahaan pertambangan secara keseluruhan hanya 329 perusahaan,

sedangkan jumlah keseluruhan perusahaan pertambangan batubara di

Provinsi Kalimantan Timur adalah 1.181 baik izin PKP2B maupun IUP.

Jumlah perusahaan pertambangan yang sudah menyerahkan jaminan

paskatambang jauh lebih sedikit yaitu hanya 98 perusahaan.

Tabel 40 :

Jumlah IUP C&C dan Non C&C Per-Kabupaten/Kota serta Penempatan Jaminan Reklamasi dan Pasca Tambang

NO KABUPATEN/KOTA IUP CNC

IUP NON CNC

JAMINAN REKLAMASI

JAMINAN PASCA TAMBANG

1 BERAU 70 19 13 TIDAK ADA DATA

2 SAMARINDA 51 11 51 52

3 KUTAI BARAT 242 26 2 1

4 KUTAI KARTANEGARA 347 97 195 3

5 KUTAI TIMUR 54 100 20 13

6 PASER 65 12 29 26

7 PENAJAM PASER UTARA

77 10 19 3

TOTAL PROVINSI KALTIM

906 275 329 98

1.181

Sumber : KESDM RI Tahun 2016, Data diperbarui Per-4/4/2017

202

Kosup KPK Bidang Mineral dan Batubara, di Balikpapan tanggal 9 Mei 2017

336

Bedasarkan data tingkat ketaatan pembayaran jaminan reklamasi

dan paskatambang perusahaan pertambangan batubara menunjukkan

bahwa mekanisme jaminan reklamasi dan paska tambang yang

diharapkan menjadi sarana pemulihan lingkungan setelah berakhirnya

pertambangan, akan sangat sulit untuk dilaksanakan.

2.3.2 Manfaat Lingkungan berdasarkan Kriteria Objektif manfaat

terbesar dalam faham Utilitarianisme

Berdasarkan pendapat responden, manfaat terbesar dalam aspek

lingkungan pertambangan batubara di kawasan hutan dibandingkan

dengan sektor lain yang berbasis lahan adalah: Perkebunan mendapatkan

nilai manfaat lingkungan kategori cukup bermanfaat sebanyak 34%, 27%

menilai kurang bermanfaat, 16% menilai sangat bermanfaat, sedangkan

12% menilai tidak bermanfaat dan sangat tidak bermanfaat sebanyak

11%.

Pendapat responden terhadap manfaat lingkungan sektor pertanian

pangan persentase tertinggi adalah sangat bermanfaat sebanyak 40%;

37% menilai cukup bermanfaat; 12% menilai kurang bermanfaat, 6%

menilai sangat tidak bermanfaat serta 5% menilai tidak bermanfaat.

Sektor kehutanan menurut penilaian responden, persentase tertinggi

juga 40% untuk kriteria sangat bermanfaat; 34% cukup bermanfaat; 15%

337

kurang bermanfaat; 6% sangat tidak bermanfaat serta 5% menilai tidak

bermanfaat.

Tabel 41 :

Pendapat Responden terhadap Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor Usaha

Berbasis Lahan yang Lain

Tingkat Manfaat

Pertambangan

Batubara Pertanian pangan Pertanian Pangan Kehutanan

Responden % Responden % Responden % Responden %

Sangat Bermanfaat

0 0 18 16 44 40 45 40

Cukup Bermanfaat

8 7 37 34 41 37 37 34

Kurang Bermanfaat

17 15 30 27 13 12 16 15

Tidak bermanfaat

22 20 13 12 5 5 5 5

Sangat Tidak Bermanfaat

63 57 12 11 7 6 7 6

Total 110 100 110 100 110 100 110 100

Sumber : Data Primer 2017

Sedangkan penilaian sebaliknya diberikan responden terhadap

pertambangan di kawasan hutan nilai manfaat lingkungan 57% sangat

tidak bermanfaat; 20% menilai tidak bermanfaat serta 15% menilai kurang

bermanfaat, dan hanya 7% yang menilai cukup bermanfat. Pendapat

responden ini menunjukkan bahwa berdasarkan perbandingan manfaat

lingkungan dengan sektor berbasis lahan yaitu perkebunan, pertanian

pangan dan kehutanan, pertambangan batubara di kawasan hutan

menurut pendapat responden tidak memberikan manfaat bagi lingkungan

namun justru menyebabkan kerusakan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa perusahaan pertambangan di

kawasan hutan tidak dapat memberikan manfaat lingkungan terbesar

dibandingkan manfaat lingkungan jika kawasan yang ditambang tersebut

338

tetap sebagai kawasan hutan tidak dibongkar atau sebagai kawasan

pertanian pangan dan tidak diubah bentang alamnya, sehingga mampu

memberikan manfaat berupa jasa lingkungan dan ekologi kawasan hutan.

2.3.3 Manfaat Lingkungan berdasarkan Kriteria Objektif manfaat

terbesar bagi sebanyak mungkin orang dalam faham

Utilitarianisme

Manfaat Lingkungan berdasarkan Kriteria objektif manfaat terbesar

bagi sebanyak mungkin orang yang dimaksud adalah suatu kebijakan

atau tindakan berdasarkan faham utilitarianisme dinilai baik kalau manfaat

terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang.

Berdasarkan pendapat responden, pertambangan batubara di

kawasan hutan tidak memberikan manfaat bagi lingkungan, persentase

penilaian manfaat lingkungan adalah mayoritas sangat tidak bermanfaat

bagi ketiga parameter pengukur kualitas lingkungan, yaitu kualitas air,

kualitas udara dan kualitas tanah.

Penilaian responden terhadap kualitas parameter lingkungan

pertambangan batubara di kawasan hutan adalah terhadap kualitas air

sebanyak 75% responden menilai sangat tidak bermanfaat, serta 0%

untuk kriteria sangat bermanfaat; terhadap kualitas udara sebanyak 68%

responden menilai sangat tidak bermanfaat, serta 0% untuk kriteria sangat

bermanfaat. terhadap kualitas tanah sebanyak 66% responden menilai

sangat tidak bermanfaat, serta 0% untuk kriteria sangat bermanfaat.

339

Berdasarkan pendapat responden tersebut, pengaruh buruk

pertambangan batubara terhadap lingkungan terutama bagi kualitas air.

Tabel 42 :

Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

Parameter Manfaat

Kualitas Air Kualitas Udara Kualitas Tanah

Responden % Responden % Responden %

Sangat Bermanfaat 0 0 0 0 0 0

Cukup Bermanfaat 0 0 1 1 1 1

Kurang Bermanfaat 8 7 10 9 11 10

Tidak bermanfaat 20 18 24 22 25 23

Sangat Tidak bermanfaat

82 75 75 68 73 66

Total 110 100 110 100 110 100

Sumber : Data Primer 2017

Manfaat lingkungan pertambangan batubara di kawasan hutan

menurut masyarakat, tidak memberikan manfaat namun justru

menyebabkan kerusakan lingkungan yang besar dan berlangsung lama.

Menurut keterangan Dinamisator JATAM Nasional, bahwa :203

“Ciri khas sumber daya alam sektor pertambangan adalah sumber daya alam yang tak terbarukan, suatu saat penambangan tidak layak lagi secara ekonomis dan tambang akan ditutup. Namun dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pembukaan kegiatan pertambangan mungkin akan jauh lebih lama daripada umur tambang itu sendiri. Jadi dampak tambang itu meluas dan berlangsung lama.” Beroperasinya pertambangan di kawasan hutan bagi masyarakat

justru merupakan kerugian, karena dampak kerusakan lingkungan yang

203

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Nasional dalam wawancara tanggal 6 September 2016.

340

sangat besar. Sedangkan keuntungan terbesar justru dinikmati pengusaha

saja.204

Kerugian ekologi yang harus ditanggung masyarakat Kalimantan

Timur, menurut keterangan Dinamisator JATAM Kaltim adalah:

“Eksploitasi sumber daya alam Kalimantan Timur lebih banyak menguntungkan pengusaha pertambangan, sedangkan masyarakat justru harus merasakan dampak pada lingkungan. Kerugian ekologi jika dinilai dengan uang diperkirakan bisa mencapai Rp. 6,3 trilliun pertahun. Dampak buruknya sudah dirasakan oleh 1/3 dari sekitar 3,6 juta jiwa penduduk Kaltim.” Beban ekonomi masyarakat bertambah, karena lingkungan yang

mengalami kerusakan, salah satunya berkaitan dengan penyediaan air.

Kondisi air sungai yang keruh akibat pembukaan kawasan hulu sungai,

menyebabkan ongkos ekonomi masyarakat dalam pemenuhan air

bersihmeningkat. Sementara mayoritas masyarakat di Kalimantan Timur

dalam kesehariannya sangat bergantung keberadaan sungai.

Kondisi lingkungan yang terdampak pertambangan adalah, ketika

hujan, maka banjir selalu terjadi di sejumlah kawasan akibat daya serap

tanah yang minimal. Air sungai menjadi sangat keruh. Pendangkalan dan

sedimentasi juga tidak terelakan. Padahal 80% dari total warga yang

berjumlah ribuan orang di 1.417 desa di sepanjang Sungai Mahakam

sangat mengandalkan air dari sungai. Ketiadaan air bersih berbuah

204

Bernaulus Saragih, Ketua Pusat Pengkajian Sumber Daya Alam Universitas Mulawarman, pada FGD di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman,

tanggal 7 Juni 2015

341

ongkos ekonomi yang makin tinggi, tidak ada lagi air gratis, warga harus

mengandalkan pasokan air PDAM atau membeli air swasta/galon. 205

Kerusakan lingkungan di DAS Mahakam menyebabkan air baku

PDAM menjadi sangat buruk yang berdampak pada kualitas air PDAM

yang buruk, keruh, bahkan seringkali berlumpur.

Manfaat Lingkungan berdasarkan Kriteria objektif manfaat terbesar

yang dimaksud adalah kebijakan atau tindakan berdasarkan faham

utilitarianisme hendaknya kebijakan pengelolaan sumber daya alam

mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan

kebijakan atau tindakan alternatif lain.

Berdasarkan keterangan narasumber dan hasil penelitian,

perusahaan pertambangan sangat rendah tingkat ketaatan dalam

pelaksanaan penempatan jaminan reklamasi dan jaminan pasatambang,

hal ini menunjukkan bahwa kriteria obyektif yang digunakan oleh

pemerintah untuk lingkungan hidup tidak dijalankan oleh perusahaan

pertambangan.

Perusahaan pertambangan batubara di kawasan hutan memiliki

kewajiban penyediaan lahan kompensasi jika dalam wilayah

pertambangan ada kawasan dalam kategori tidak akan dapat dipulihkan.

Lahan kompensasi yang dimaksud harus statusnya bukan kawasan hutan

dan akan dihutankan kembali. Menurut pemerintah hal ini akan

memberikan manfaat sebanyak mungkin orang karena lahan yang tidak

205

Ibid

342

hutan diubah menjadi hutan, akan memberikan manfaat jasa lingkungan

bagi sebanyak mungkin orang.

Berdasarkan ketentuan tersebut dan melihat jumlah luasan izin

pertambangan di Kalimantan Timur, nampaknya akan sangat sulit untuk

diwujudkan, mengingat luasan daratan Kalimantan Timur sudah habis

dikapling/diperuntukkan untuk pertambangan, perkebunan, HPH/HI dan

sebagian kecil untuk sektor pertanian pangan. Sehingga manfaat terbesar

bagi sebanyak mungkin orang melalui jasa lingkungan yang akan

terbentuk dengan pemenuhan lahan kompensasi akan sulit untuk

diwujudkan.

Kondisi tersebut juga akan berpengaruh terhadap kemampuan

Indonesia memnuhi target capaian penurunan emisi karbon, yang

merupakan komitmen internasional Indonesia. Emisi karbon Indonesia

terbesar disumbangkan sektor alih fungsi dan pembukaan lahan kawasan

hutan. Pembukaan kawasan hutan baik untuk pertambangan maupun

perkebunan menyebabkan pelepasan karbon diudara yang akan turut

berpengaruh terhadap perubahan iklim global. Hal ini akan sangat

berpengaruh karena hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

dunia.

3. Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri

3.1 Gambaran Umum PT Indominco Mandiri

Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri berada dalam

kawasan Hutan Lindung Bontang dan Hutan Produksi, yang secara

343

administratif meliputi wilayah Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Kutai

Kartanegara serta Kota Bontang.

Perusahaan tambang terbesar di Indonesia adalah perusahaan

negara Tambang Batubara Bukit Asam (PT BA), yang tercatat di bursa

saham di Jakarta, namun dana investasinya berasal dari seluruh dunia.

Selain perusahaan negara juga terdapat perusahaan-perusahaan swasta

yang investasinya juga dari seluruh dunia, salah satunya adalah

perusahaan Indo Tambang Megah (ITM) yang merupakan induk

perusahaan pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri.

PT Indominco Mandiri merupakan bagian dari perusahaan swasta

yang investasinya dari seluruh dunia, dibawah induk perusahaan Indo

Tambang Megah (ITM). Sebagaimana ditulis Sigurd Jorde :

Indonesia has one state-owned coal company: Tambang Batubara Bukit Asam, often called just Bukit Asam. It is quoted on the stock exchange, .......... The other large coal companies are private and stock-exchange-listed companies: Adaro Energy, Bumi Resources, Indo Tambang Megah and Berau Coal Energy. Many of the companies, such as Adaro Energy, Bumi Resources and Harum, are owned by the elite in Indonesia, and there are strong bonds between business and politics. Practically all the coal companies set up their own subsidiaries for each mining concession, which run the production in the mines. 206 PT Indominco Mandiri, merupakan perusahaan pertambangan

swasta bagian dari PT. Indo Tambang raya Megah Tbk (ITM) yang

investasinya berasal dari berkegiatan di wilayah konsesi perusahaan di 4

206

Sigurd Jorde, 2013. Coal and Climate in Kalimantan-Norwegian Interests in Indonesia’s Environmentally Damaging Coal Expansion. Framtiden, Fredensborgveien 24 G, N-0177 Oslo, Norwegia, p. 2.

http://www.framtiden.no/rapporter/rapporter-2013/698-report-coal-and-climate-in-kalimantan-2013/file.html

344

(empat) Kabupaten, 1 (satu) Kota, 12 (dua belas) Kecamatan dan 45

(empat puluh lima) Desa, yang tersebar di 3 (tiga) provinsi yaitu

Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

PT Indo Tambangraya Megah (ITM) merupakan salah satu

perusahaan investasi asing yang memiliki beberapa anak perusahaan

dibidang pertambangan, yang mayoritas beroperasi di wilayah Kalimantan

Timur. yaitu PT Indominco Mandiri, PT Kitadin, serta PT Trubaindo.

Entitas pengendali utama Grup adalah Banpu Public Company Limited,

sebuah perusahaan yang didirikan di Kerajaan Thailand. Entitas induk

langsung Perusahaan adalah Banpu Minerals (Singapore) Pte. Ltd, yang

didirikan dan berdomisili di Singapura. Sebagaimana dinyatakan dalam

laporan interm perusahaan.

Kepemilikan Saham PT Indominco Mandiri bagian dari Group

Perusahaan PT Indo Tambangraya Megah (ITM). Sebanyak 99,9%

Saham PT Indominco Mandiri dimiliki PT ITM, sedangkan saham PT ITM

35% kepemilikan publik, dan 65% dimiliki Banpu Minerals (Singapore) Pte.

Ltd. Banpu Minerals (Singapore) Pte.Ltd, sahamnya 50% dimiliki Banpu

Coal Investment Co.Ltd dan Banpu Minerals Co. Ltd, yang juga pemilik

100% saham Banpu Coal Investment Co.Ltd. Saham Banpu Minerals Co

Ltd dimiliki Banpu Public Company Ltd. Sehingga kepemilikan saham PT

Indominco Mandiri 65% adalah Banpu Public Company Ltd.

PT Indominco Mandiri didirikan pada tanggal 11 November 1988,

dan memegang perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan

345

batubara yang berlaku selama 30 tahun setelah perusahaan memasuki

tahap produksi dan disetujui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya

Mineral (ESDM), maka : blok barat berlaku dari 1 april 1998 hingga 31

Maret 2028, blok timur berlaku dari 5 Oktober 2000 hingga 5 Oktober

2030.

3.2 Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT Indominco Mandiri

Informasi dalam penelitian ini yang berkaitan tentang PT Indominco

Mandiri di Kalimantan Timur, berdasarkan keterangan yang disampaikan

Meneger external PT Indominco Mandiri pada tanggal 29 oktober 2016

bersumber dari dokumen AMDAL Perusahaan, selain beberapa informasi

berdasarkan wawancara dengan Menejer Public Relation PT Indominco

Mandiri.

PT Indominco Mandiri sebagai salah satu pemegang konsesi

Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)

Generasi I berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral Nomor 097.B.Ji/292/U/90 yang secara administrasi berada di

Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Kutai Timur, Kecamatan

Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kecamatan Bontang,

Provinsi Kalimantan Timur dengan luas areal + 25.121 ha. Sehingga PT

Indominco Mandiri di Kalimantan Timur memiliki wilayah kerja di dua

Kabupaten dan satu Kota yaitu Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten

Kutai Kartanegara sebagai wilayah penambangan, sedangkan Kota

Bontang sebagai wilayah pelabuhan.

346

PT Indominco Mandiri melakukan penambangan batubara dengan

sistem tambang terbuka dengan metode open cut/open pit. Wilayah

penambangan dibagi menjadi dua blok yaitu blok barat (west block) dan

blok timur (east block).

Tabel 43 :

Sumber daya Batubara PT Indominco Mandiri di Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung Bontang

Area Luas

(hektar) Sumber Daya

Terukur Terunjuk Tereka TOTAL

WEST BLOCK 18.100 500.41 154.26 87.72 742.39

EAST BLOCK 7.021 438.55 145.2 78.12 661.87

TOTAL 25.121 938.96 299.46 165.84 1,404.26 Sumber : Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) Rencana Kegiatan

Peningkatan Produksi Batubara dan Fasilitas Penunjang. PT Indominco Mandiri, Bontang.

Areal pertambangan PT Indominco Mandiri sesuai Perjanjian

Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) adalah seluas

25.121,00 hektar. Areal tersebut seluas 20.990 hektar merupakan

kawasan hutan produksi tetap dengan 20.292,53 ha sudah berstatus

pinjam pakai dari menteri kehutanan. Areal sisanya seluas 4.131 hektar

merupakan bagian dari kawasan Hutan Lindung Bontang dan 3.973,40

hektar sudah berstatus lahan pinjam pakai dari Menteri Kehutanan.

Pada Tahun 1995 PT Indominco Mandiri sudah memperoleh izin

pinjam pakai kawasan hutan untuk jalan angkutan batubara dan jalur hijau

yang diberikan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi

Kalimantan Timur pada tanggal 25 Januari 1995, SK Kantor Wilayah

Departemen Kehutanan Provinsi Kaltim No. 010/KWL/PTGH-3/1995.

347

Tabel 44 :

Luas Kawasan Hutan yang diterbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan

Hutan (IPPKH) untuk Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri

No Status Kawasan Hutan Luas PKP2B (hektar)

Luas IPPKH

(hektar)

Luas areal PKP2B yang

belum diterbitkan IPPKH(hektar)

1 Hutan Produksi Tetap 20.990,00 20.292,53 697,47

2 Hutan Lindung Bontang 4.131,00 3.973,40 157,60

Total 25.121,00 24.265,93 755,07 Sumber : PT Indominco Mandiri

Luas kawasan hutan yang digunakan sebagai jalan angkut batubara

dan jalur hijau sesuai izin ini adalah 62,2475 ha. Berdasarkan surat

perjanjian izin pinjam pakai kawasan hutan tersebut, maka PT Indominco

Mandiri dapat membangun jalan angkut batubara dalam kawasan hutan

sepanjang 24,90 km, yang terdiri dari Hutan Produksi Tetap 14,25 km,

Hutan Lindung Bontang 10,65 km.

Status perizinan pertambangan PT Indominco Mandiri di kawasan

Hutan Lindung Bontang, diperoleh sebelum berlakunya UU 41 Tahun

1999. PT Indominco Mandiri merupakan perusahaan pertambangan yang

mendapatkan pengecualian dari ketentuan Pasal 38 UU 41 tahun 1999.

Berdasarkan UU Nomor 19 tahun 2004, sebanyak 13 Perusahaan

pertambangan dapat melakukan penambangan secara terbuka di

kawasan hutan lindung. Berdasarkan legalisasi tersebut, maka PT

Indominco Mandiri dapat melakukan penambangan secara terbuka di

kawasan Hutan Lindung Bontang.

348

Tabel 45 :

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk

Areal Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri

No IPPKH Luas Areal

(hektar)

Jangka waktu

(Tahun)

Masa Berakhir

1 SK.297/MENHUT-II 2008 diperpanjang melalui SK Nomor. 420/MENHUT-II/2013

3.973,40 17 5/10/2030

2 SK Nomor. 174/MENHUT-II/2009 906,10 10 01/10/2019

3 SK Nomor. 565/MENHUT-II/2010 4.500,10 10 05/10/2020

4 SK Nomor. 538/MENHUT-II/2010 11.718,20 10 05/10/2020

5 SK Nomor. 549/MENHUT-II/2012 3.168,13 10 08/5/2022

Total IPPKH 24.365,93

Luas PKP2B 25.121,00

IPPKH Jalan angkutan batubara dan jalur hijau SK Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Prov. Kaltim No. 010/KWL/PTGH-3/1995.

62,24 - -

Sumber : Data IPPKH Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2015, dan Dokumen ANDAL PT Indominco Mandiri Tahun 2015 diperbarui Mei 2017

Jangka waktu IPPKH yang diperoleh PT Indominco Mandiri adalah

10-17 tahun. Masa berakhir IPPKH antara lain tahun 2019, tahun 2020

tahun 2022 serta SK perpanjangan untuk luas areal 3.973,40 hektar akan

berakhir pada 2030. Jangka waktu yang masih sangat panjang. Sejak

tahun 2016, PT Indominco Mandiri berencana melakukan upaya

pemindahan jalur sungai Santan agar tidak lagi berada pada wilayah

penambangan PT Indominco, namun upaya ini di tolak oleh masyarakat,

sehingga izin pemindahan jalur sungai tidak dikeluarkan oleh Pemerintah

Provinsi Kalimantan Timur.

349

3.3 Manfaat Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri

di Kawasan Hutan

3.3.1 Manfaat Ekonomi

a. Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan Menurut PT Indominco Mandiri

PT Indominco Mandiri (IMM) dalam Group ITM mempunyai posisi

penting menopang 47% produksi batubara setara dengan 15,0 juta ton

batubara dari Total Produksi PT ITM sebanyak 29,1 juta ton.

Tabel 46 :

Total Produksi Batubara PT Indo Tambang Megah Raya

Anak Perusahaan

2014 2015

Produksi (Metrik Ton)

Kontribusi terhadap total Produksi Group ITM

Produksi (Metrik Ton)

Kontribusi terhadap total Produksi Group ITM

PT Indominco Mandiri 15,0 47% 13,4 42%

Pt Trubaindo Coal Mining 7,2 26% 7,3 27%

PT Kitadin Tandung Mayang 1,8 9% 2,5 10%

PT Kitadin Embalut 1,3 4% 1,2 3%

PT Bharindo Ekatama 2,5 10% 2,8 14%

PT Jo.rong Barutama Greston 1,3 4% 1,3 4%

Total

29,1

100%

28,5

100%

Sumber: Annual Report tahun 2015-2016 PT Indotambang Megah Raya dan Laporan Keuangan Interim 2015-2016

Penjualan hasil pertambangan PT Indominco Mandiri yang tertinggi

pada tahun 2012, namun pada tahun berikutnya justru terjadi penurunan

penjualan, yang cukup besar. Data tersebut menunjukkan usaha

pertambangan memberikan manfaat berupa hasil secara ekonomi, namun

keuntungan dari penjualan tidak berkelanjutan.

350

Kewajiban Keuangan pemegang IPPKH salah satunya adalah biaya

penggunaan kawasan hutan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 33

Tahun 2014, seluruh perusahaan yang memiliki aktivitas didalam areal

hutan produksi dan hutan lindung namun kegiatannya tidak berhubungan

dengan kegiatan kehutanan memiliki kewajiban untuk membayar iuran

kehutanan.

Tabel 47 :

Data Penjualan dan penghasilan PT Indominco Mandiri

Tahun Penjualan Bersih Laba Sebelum Pajak Penghasilan

2011 1,246,102 298,195

2012 1,591,243 317,220

2013 1,362,467 196,308

2014 945,272 135,796

2015 685,848 54,998

Sumber : Laporan Keuangan Interim ITM 2016

Iuran Eksploitasi (Pembagian Hasil Produksi) berdasarkan PKP2B,

Pemerintah berhak memperoleh 13,5%, atas jumlah batubara yang

dihasilkan dari proses produksi akhir. Sesuai dengan Keputusan Presiden

Nomor 75 Tahun 1996 tertanggal 25 September 1996, Perusahaan

membayar bagian produksi Pemerintah secara tunai yaitu sebesar 13,5%

dari penjualan setelah dikurangi beban penjualan.

Kewajiban keuangan PT Indo Tambang Megah Raya pada tahun

2014 sebesar US$ 200.000 ribu, sedangkan tahun 2015 justru terjadi

penurunan sesuai hasil produksi tambang batubara, yaitu sebesar US$

173,062 Ribu.

351

Tabel 48 :

Kewajiban Keuangan PT Indo Tambang Megah Raya

NO Kewajiban Keuangan Jumlah (Ribu US $)

2014 2015

A Royalti/Iuran Eksploitasi 181,862 156,036

B Iuran Kehutanan 14,962 15,134

C Rehabilitasi Tambang 3,176 1,892

Jumlah 200,000 173,062

Sumber : Laporan Keuangan ITM 2015

b. Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan

Menurut Masyarakat di Kawasan Penambangan

Manfaat ekonomi menurut masyarakat di sekitar wilayah

pertambangan batubara PT Indominco Mandiri, adalah: sebanyak 4%

menganggap pertambangan batubara sangat bermanfaat dan 15%

menilai cukup bermanfaat. Sedangkan mayoritas masyarakat

menganggap manfaat ekonomi bagi masyarakat tidak banyak, karena

sebanyak 15% menilai kurang bermanfaat, 27% tidak bermanfaat serta

persentase tertinggi sebanyak 38% masyarakat justru berpendapat sangat

tidak bermanfaat.

Secara ekonomi masyarakat Santan Kecamatan Marangkayu Kutai

Kartanegara ditopang oleh sektor pertanian, sedangkan masyarakat yang

bekerja di perusahaan pertambangan sangat sedikit. Sehingga jika

manfaat pertambangan batubara dibandingkan dengan sektor usaha

berbasis lahan yang lain, maka sektor pertanian pangan dan kehutanan

menurut masyarakat memiliki manfaat yang lebih tinggi. Penilaian sangat

352

bermanfaat tertinggi 52% sektor pertanian pangan, kehutanan 44%.

Sedangkan sektor pertanian pangan, responden menilai berimbang antara

yang menilai bermanfaat dan yang tidak bermanfaat persentasenya sama-

sama 37%.

Tabel 49 :

Pendapat Masyarakat di wilayah Pertambangan PT Indominco Mandiri Terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara di

Kawasan Hutan di bandingkan dengan Sektor Usaha Berbasis Lahan yang Lain

Tingkat Manfaat

Pertambangan Batubara

Pertanian pangan

Pertanian Pangan

Kehutanan

% % % %

Sangat Bermanfaat 4 15 52 44

Cukup Bermanfaat 15 37 31 35

Kurang Bermanfaat 15 37 10 15

Tidak bermanfaat 27 10 4 2

Sangat Tidak Bermanfaat

38 2 4 4

Total 100 100 100 100

Sumber : Data Primer 2017

Kondisi insfrastruktur jalan sangat buruk mempengaruhi penilaian

masyarakat terhadap manfaat pertambangan batubara di kawasan hutan.

Kondisi jalan konstruksi semen beton di desa-desa di Santan, salah satu

desa terdekat dengan wilayah pertambangan PT Indominco mandiri baru

dinikmati masyarakat melalui proyek APBD Kutai Kartanegara empat

tahun yang lalu. Kondisi sebelumnya untuk menuju Santan Ilir dan Santan

Tengah kondisi jalan tanah dan berlumpur jika hujan. Kondisi itu bertolak

belakang dengan jalan akses utama dari gerbang Indominco hingga ke

lapangan penumpukan, sekitar sepuluh kilometer jalan yang dilintasi truk-

truk pengangkut batu bara itu berupa aspal mulus. Demonstrasi menuntut

kesejahteraan warga disekitar tambang kerap dilakukan, sejak tahun

353

2005. Menurut warga sebenarnya, kondisi mereka tidak jauh berbeda

dibandingkan ketika perusahaan belum ada. Kalau dikatakan sejahtera,

seharusnya rumah-rumah warga tidak lagi dari kayu, jaringan air tersedia,

listrik menyala setiap saat, dan jaringan jalan yang memadai. Namun,

pada kenyataannya, listrik kerap padam. Sedangkan kebutuhan air bersih

warga terkadang mandi bahkan memasak air hujan.

Tabel 50 :

Pendapat Masyarakat di Wilayah PT Indominco terhadap Manfaat Ekonomi Pertambangan Batubara Bagi Para Pihak

Tingkat Manfaat

Manfaat Bagi

Pemerintah Pusat

Manfaat Bagi

Pemda

Manfaat Bagi

Pengusaha

Manfaat Bagi

Masyarakat

% % % %

Sangat Bermanfaat 12 17 65 10

Cukup Bermanfaat 46 27 15 15

Kurang Bermanfaat 21 35 10 12

Tidak bermanfaat 6 10 2 19

Sangat Tidak Bermanfaat

15 12 8 44

Total 100 100 100 100 Sumber : Data Primer 2017

Pendapat responden terhadap manfaat ekonomi pertambangan

batubara PT Indominco yang diterima para pihak yaitu pemerintah pusat,

pemerintah daerah, pengusaha pertambangan serta masyarakat,

penilaian responden terhadap pihak yang menerima manfaat sangat besar

adalah pengusaha pertambangan yaitu sebesar 65% responden menilai

sangat bermanfaat; sedangkan 15% menilai cukup bermanfaat; 10%

menilai kurang bermanfaat; 2% menilai tidak bermanfaat serta 8% menilai

sangat tidak bermanfaat.

354

Manfaat ekonomi bagi pemerintah pusat menurut responden yaitu

sebesar 12% responden menilai sangat bermanfaat; sedangkan

persentase tertinggi yaitu 45% menilai cukup bermanfaat; 21% menilai

kurang bermanfaat; 6% menilai tidak bermanfaat serta 15% menilai

sangat tidak bermanfaat.

Manfaat ekonomi bagi pemerintah daerah menurut responden yaitu

sebesar 17% responden menilai sangat bermanfaat, sedangkan

persentase tertinggi yaitu 35% menilai kurang bermanfaat, 27% menilai

kurang bermanfaat, 10% menilai tidak bermanfaat serta 12% menilai

sangat tidak bermanfaat.

Manfaat ekonomi bagi masyarakat menurut responden yaitu

sebesar 10% responden menilai sangat bermanfaat, 15% menilai cukup

bermanfaat, 12% menilai kurang bermanfaat, 19% menilai tidak

bermanfaat sedangkan persentase tertinggi yaitu 44% menilai sangat

tidak bermanfaat.

Berdasarkan penilaian masyarakat, secara ekonomi pertambangan

batubara di kawasan hutan, manfaat terbesar diterima oleh perusahaan

pertambangan. Penerima manfaat berikutnya adalah pemerintah pusat

dan pemerintah daerah. Sedangkan masyarakat yang tinggal berbatasan

wilayah dengan wilayah pertambangan justru kurang mendapatkan

manfaat.

Selain itu, PT Indominco Mandiri melakukan penambangan batubara

di hulu membuat banjir yang kerap datang telah mematikan tanaman

355

coklat, pisang, kopi dan padi masyarakat. Serta mempengaruhi kondisi air

sungai yang berubah warna dan berlumpur serta berbau menyebabkan

ikan tidak ada lagi. Kondisi ini membuat kerugian ekonomi bagi

masyarakat. Masyarakat secara ekonomi terpengaruh kondisi adanya

keretakan rumah yang lokasinya berdekatan dengan conveyor (sarana

angkutan) batubara. Kerusakan tempat tinggal merugikan masyarakat

secara ekonomi. Kerugian ekonomi yang dialami masyarakat membuat

penilaian mayoritas responden adalah pertambangan batubara sangat

tidak memberikan manfaat bagi ekonomi masyarakat.

3.3.2 Manfaat Sosial Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri

a. Manfaat Sosial Pertambangan Batubara Menurut PT Indominco

Mandiri

Manfaat Sosial Pertambangan PT Indominco Mandiri (PT IMM)

menurut keterangan menejer Public Relation PT IMM adalah :207

Keberadaan PT Indominco Mandiri memberikan manfaat besar secara sosial antara lain penyerapan tenaga kerja, dan melalui program kepedulian sosial perusahaan yaitu CSR (Community Social Responsibility).” PT Indominco mandiri menurut keterangan pihak perusahaan selalu

mengutamakan tenaga kerja lokal sepanjang memenuhi

207Hanin, public relation PT Indominco, saat wawancara tanggal 12

Oktober 2016,

356

persyaratan/kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan. Keterangan

perusahaan adalah :208

“PT Indominco selama beroperasi selalu memprioritaskan tenaga kerja lokal untuk mengisi pos-pos pekerjaan yang ada, sepanjang keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan dapat dipenuhi oleh tenaga kerja lokal maka perusahaan akan merekrut pekerja-pekerja lokal.” Berdasarkan data dalam laporan tahunan PT Indo Tambang Megah

Raya sebagai induk perusahaan, PT IMM mampu menyerap tenaga kerja

pada tahun 2014 adalah sebanyak 805 pekerja, dan pada tahun 2015

sebanyak 765, dengan memprioritaskan tenaga kerja lokal. Menurut

keterangan menejer Public Relation, bahwa:209

“Selain penyerapan tenaga kerja, manfaat sumber daya sosial pertambangan di kawasan PT IMM dapat dilihat dari program Corporate Social Responsbility (CSR) yang dijalankan perusahaan. Penyusunan program dan rencana dikonsultasikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.”

CSR merupakan kewajiban perusahaan yang bergerak di sektor

sumber daya alam dan atau berkaitan dengan sumber daya alam.

Kewajiban ini berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun

2007 Bab V Pasal 74. Pasal 108 UU No 4 Tahun 2009 ayat (1),

Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan

pemberdayaan masyarakat. Ketentuan ayat (2) : penyusunan program

dan rencana dikonsultasikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan

masyarakat. Berdasarkan keterangan PT Indominco :210

208

Ibid 209

Ibid 210

Ibid

357

“PT Indominco Mandiri membentuk Community Consultative Committee (CCC). CCC adalah forum kolaborasi antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat. CCC anggotanya terdiri dari berbagai elemen masyarakat, yaitu pemerintah desa, BPD, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuda, pendidik dan tenaga kesehatan. PT Indominco Mandiri membagi program CSR menjadi 5 (lima) bidang, yaitu : 1) Hubungan Komunitas; 2) Pemberdayaan masyarakat; 3) Pengembangan infrastruktur; 4) Pelestarian fungsi lngkungan; 5) Operasional/Donasi.” Alokasi dana CSR PT Indominco Mandiri, telah ditentukan

persentase program yang didanai melalui mekanisme CSR, yaitu:211

Alokasi CSR PT Indominco Mandiri adalah sebanyak 22% untuk

pengembangan ekonomi (economic development); 31% Social

development (health, education, social culture); Environment conservation

and infrastructure dialokasikan 25%; Contingency 22%.

Berdasarkan penelusuran dokumen Rencana Penambangan PT IMM

dan Laporan Tahunan perusahaan tahun 2015, pelaksanaan CSR atau

pengembangan dan pemberdayaan masyarakat ditujukan supaya

masyarakat mandiri setelah tidak ada perusahaan pertambangan. PT

Indominco Mandiri mengalokasikan CSR sebanyak USD 1.280.000,00.

Total dana tersebut berdasarkan kategori perusahaan non BUMN yang

memiliki kewajiban USD 0,08 perton produksi bersih pertahun. Penyaluran

dana CSR menurut penjelasan PT Indominco adalah : 212

“PT Indominco Mandiri menyalurkannya sebanyak USD 0,06 perton pertahun untuk program pemberdayaan yang telah direncanakan. Sedangkan sisanya USD 0,02 perton pertahun diperuntukkan

211

Ibid 212

Ibid

358

kegiatan konstingensi/yang tidak direncanakan baik untuk pemerintah maupun masyarakat.”

b. Manfaat Sosial Pertambangan Batubara PT Indominco Mandiri

Menurut Masyarakat di Kawasan Penambangan

Manfaat sosial pertambangan batubara PT Indominco adalah

penyerapan tenaga kerja masyarakat di sekitar wilayah pertambangan.

Selama beroperasinya perusahaan, PT Indominco mempekerjakan

masyarakat di sekitar wilayah penambangan. Namun menurut masyarakat

jumlah tenaga kerja yang direkrut perusahaan belum sebanding dengan

jumlah masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Hal ini seperti yang

disampaikan oleh tokoh pemuda Desa Santan Ilir Kecamatan

Marangkayu, yaitu:213

“Kehadiran perusahaan pertambangan batubara PT Indominco Mandiri, memberikan peluang bagi masyarakat disekitar tambang untuk bekerja. Namun ciri perusahaan pertambangan yang bukan sektor usaha padat karya (mampu menyerap tenaga kerja yang dalam jumlah besar), mengakibatkan peluang penyerapan tenaga kerja di perusahaan ini hanya 1% dari seluruh penduduk desa di sekitar wilayah pertambangan. Alokasi pekerja adalah untuk bagian tidak ahli, sedangkan jumlah terbesar pekerja justru berasal dari luar daerah.” Berdasarkan pendapat masyarakat bagi tenaga kerja laki-laki,

keberadaan perusahaan pertambangan sangat bermanfaat, sebanyak

23% masyarakat menilai perusahaan pertambangan sangat bermanfaat

dan 33% cukup bermanfaat bagi tenaga kerja laki-laki, penilaian

masyarakat berbeda terhadap manfaat pertambangan batubara bagi

213M. Anas, wawancara tanggal 24 Agustus 2016

359

penyerapan tenaga kerja perempuan, sebanyak 38% menilai kurang

bermanfaat dan 23% tidak bermanfaat serta 13% menilai sangat tidak

bermanfaat.

Tabel 51 :

Pendapat Masyarakat di Wilayah Pertambangan Indominco Terhadap

Manfaat Penyerapan Tenaga Kerja

di Pertambangan Batubara dalam Kawasan Hutan

Tingkat Manfaat Tenaga Kerja Laki-laki

Tenaga Kerja Perempuan

% %

Sangat Bermanfaat 23 6

Cukup Bermanfaat 33 19

Kurang Bermanfaat 25 38

Tidak bermanfaat 12 23

Sangat Tidak Bermanfaat 8 13

Total 100 100 Sumber : Data Primer 2017

Manfaat sosial perusahaan pertambangan batubara selain berkaitan

tenaga kerja, juga dalam bentuk CSR. Pelaksanaan CSR PT Indominco

menurut keterangan warga RT 1 Desa Santan Ilir, kalau dilihat dari jumlah

besaran dana secara keseluruhan terlihat besar, namun jika sduah

diturunkan dalam bentuk program dan dibagi meliputi banyak desa, maka

nilai yang diterima masing-masing desa akan tidak sebesar keseluruhan

dana, karena wilayah penyaluran dana CSR yang meliputi banyak desa.

Penyaluran dana CSR tersebut dalam pelaksanaannya tidak dapat

dinikmati oleh sebagian besar masyarakat karena bagian setiap desa

360

yang juga kecil. Berdasarkan keterangan warga Desa Santan Ilir

Kecamatan Marangkayu adalah:214

“Program CSR yang dilakukan perusahaan secara keseluruhan nampak besar dan meliputi berbagai sektor, ekonomi, pertanian, pendidikan, sarana, kesehatan dan lain-lain. Namun jika ditelusuri manfaatnya di masyarakat nampak kurang terasa, karena penyaluran program jika sudah diturunkan di wilayah desa tidak semua warga masyarakat akan dapat merasakan karena jumlahnya setiap desa yang kecil.”

Tabel 52 :

Pendapat Masyarakat di Wilayah PT IndomincoTerhadap

Manfaat CSR (Community Sosial Responsibility)

Perusahaan Pertambangan Batubara

Program CSR Perusahaan Pertambangan Batubara

Sangat Bermanfaat

Cukup Bermanfaat

Kurang Bermanfaat

Tidak Bermanfaat

Sangat Tidak

Bermanfaat

% % % % %

Infrastruktur 10 29 33 12 17

Pendidikan 2 23 40 13 21

Pemberdayaan Ekonomi

0 37 33 12 19

Sarana Air Bersih 2 21 29 21 27

Pemberdayaan Perempuan

2 8 38 29 23

Kesehatan 2 17 29 25 27

Keagamaan 0 17 37 21 25

Kebudayaan 0 12 37 31 21

Total 100 100 100 100 100

Sumber : Data Primer 2017

Hal ini menjadi masalah penting karena dampak pertambangan di

rasakan seluruh warga, namun program-program perusahaan dan

manfaatnya tidak dapat di rasakan oleh seluruh warga.

214

Taufik, wawancara tanggal 24 agustus 2016

361

3.3.3 Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara PT Indominco

Mandiri

a. Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara Menurut PT

Indominco Mandiri

Berdasarkan dokumen AMDAL PT IMM, rencana reklamasi dan

pasca tambang perusahaan akan mengikuti isi perjanjian pinjam pakai

kawasan hutan, yaitu melaksanakan dan menyelesaikan reklamasi dan

reboisasi atas kawasan hutan yang dipinjam pakai dengan tanaman hutan

asli/lokal dan melaksanakan re-countoring (meratakan dan

mengembalikan rupa bumi dan lain-lain) dari keseluruhan areal yang

dipinjam sehingga mendekati aslinya, namun beberapa bekas tambang

akan dipertahankan sebagai kolam untuk penyediaan air yang

diperuntukkan sebagai sumber air tanaman dan hewan serta mengikuti

dokumen yang tertuang dalam ANDAL, RKL dan RPL, sehingga nantinya

akan menjadi hutan kembali. Penilaian keberhasilan reklamasi, mengacu

kepada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.60/Menhut-II/2009

tentang pedoman penilaian keberhasilan reklamasi hutan (Lampiran 1,

kriteria dan indikator keberhasilan reklamasi hutan).

Jaminan reklamasi, menurut laporan grup ITM, PT IMM menyatakan

telah menyediakan jaminan reklamasi dalam bentuk Bank Garansi senilai

Rp 21,5 milyar (US$ 2.272) yang merupakan jaminan reklamasi tahun

2008 – 2012. Sedangkan untuk periode 2009 -2015 senilai Rp. 73 Milyar

(US$ 5.013).

362

b. Manfaat Lingkungan Pertambangan Batubara PT Indminco

Mandiri Menurut Masyarakat di Kawasan Penambangan

Berdasarkan keterangan yang disampaikan Ketua Forum Pelajar dan

Mahasiswa Santan, yaitu :215

“Berkaitan manfaat lingkungan, masyarakat tidak mendapatkan manfaat lingkungan dari keberadaan PT Indominco Mandiri, karen PT IMM melakukan penambangan batubara di hulu membuat air Sungai Santan sangat berlumpur sehingga sejak 2005, air Sungai Santan tak layak untuk air minum. Hal ini berbeda dengan kondisi air sungai yang sebelumnya dapat dikonsumsi sebagai air minum.

Berkaitan persoalan lingkungan dan pertambangan batubara di

kawasan hutan lindung Bontang, dikatakan bahwa kawasan hutan yang

diharapkan menjadi penyangga utama kehidupan di Kota Bontang adalah

Hutan Lindung Kota Bontang. Namun tekanan terhadap Hutan Lindung

Bontang berupa pertambangan, perambahan hutan, penebangan liar,

kegiatan non kehutanan baik yang dilakukan oleh perusahaan swasta

murni maupun masyarakat, dan okupasi masyarakat untuk lahan

pertanian pangan, perladangan, permukiman dan kegiatan lainnya

berjalan terus menerus dengan intensitas yang cukup tinggi. 216

Pendapat masyarakat tentang manfaat lingkungan pertambangan

batubara di kawasan hutan, sebanyak 62% menilai sangat tidak

bermanfaat 15% tidak bermanfaat, 17% kurang bermanfaat. Berdasarkan

penilaian responden hanya 6% yang menilai cukup bermanfaat. Pendapat

215

Syaiful Ardi, Ketua Forum Pelajar dan Mahasiswa Santan pada tanggal 24

Agustus 2016, 216

Paparan Tim Kajian dari LPPM Universitas Mulawarman, tentang Kawasan APL

Kota Bontang,di Bontang pada tanggal 26 Agustus 2015

363

masyarakat tersebut memberikan penjelasan mengapa cukup sering

masyarakat melakukan protes terhadap keberadaan pertambangan

batubara PT Indominco.

Tabel 53 :

Pendapat Masyarakat di Wilayah PT Indominco terhadap Manfaat

Lingkungan Pertambangan Batubara di bandingkan dengan Sektor

Usaha Berbasis Lahan yang Lain

Tingkat Manfaat

Pertambangan Batubara

Pertanian Pangan

Pertanian Pangan

Kehutanan

% % % %

Sangat Bermanfaat 0 15 44 50

Cukup Bermanfaat 6 25 33 27

Kurang Bermanfaat 17 33 13 13

Tidak bermanfaat 15 13 6 6

Sangat Tidak Bermanfaat

62 13 4 4

Total 100 100 100 100

Sumber : Data Primer 2017

Pendapat warga Desa Santan Ilir Kecamatan Marangkayu

Kabupaten Kutai Kartanegara, tentang manfaat lingkungan pertambangan

batubara di kawasan hutan, yaitu :217

“Manfaat lingkungan PT IMM bagi warga Desa Santan Ilir, bagi masyarakat justru tidak ada manfaat lingkungan yang dapat dirasakan. Masyarakat semenjak beroperasinya powerplant PT IMM yang berdekatan dengan pemukiman warga, membawa kerugian bagi warga yaitu dampak bau menyengat terjadi dari proses pembakaran batubara di powerplant, serta jika terhirup menyebabkan warga sering mengalami sakit kepala.”

Masyarakat melakukan aksi protes kepada perusahaan untuk

persoalan air dan debu batubara yang masuk ke rumah warga, jarak

217

Kaharuddin warga Desa Santan Ilir Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai

Kartanegara, wawancara pada tanggal 23 Agustus 2016

364

rumah warga hanya 50m dari stockpile batubara. Persoalan ini diatasi

oleh PT Indominco Mandiri dengan membangun sarana air bersih (water

for live) melalui program CSR. Pada tahun 2014 sarana air bersih

menjangkau 40 rumah tangga atau sebanyak 150 jiwa yang

memanfaatkan. Serta pada tahun 2015 sebanyak 550 rumah tangga

dengan 2000 jiwa didalamnya.

Namun menurut keterangan masyarakat air yang dialirkan ke

masyarakat adalah air dari sisa power plant (pembangkit listrik tenaga

batubara) PT IMM, yang membuat masyarakat ragu dengan kualitas air

bersih, sehingga air hanya dipakai MCK tidak untuk dikonsumsi. Jika

tandon air dibuka, maka akan nampak endapan cukup tebal batubara

didalamnya. PT Indominco Mandiri membuat sumur bor dua unit untuk

dua RT, namun yang dapat beroperasi hanya satu. Kondisi ini membuat

warga harus membeli air minum dari luar desa. 218

Kerusakan lingkungan yang terjadi membawa akibat bagi

perekonomian masyarakat. Kualitas air di sungai menjadi buruk karena

lumbur dari hulu sungai yang ditambang menyebabkan usaha budidaya

perikanan yang dilakukan masyarakat mengalami kerusakan.

Keberadaan pertambangan batubara di kawasan hutan bagi

masyarakat tidak memberikan manfaat lingkungan, namun justru

menimbulkan kerusakan.

218

Romiansyah, warga Desa Santan Ulu Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara, wawancara tanggal 20 Agustus 2016

365

C. Harmonisasi Pengaturan Pengelolaan Pertambangan

Batubara di Kawasan Hutan

1. Konsep Keseimbangan Alam

Konsep Keseimbangan dalam pengelolaan sumber daya alam

didalam Alqur’an dimuat pada Surah Al Mulk ayat (3) : “Maha Suci Allah

yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, tidak akan kamu lihat

sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih.

Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” Surah

tersebut menegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan alam dengan

kesempurnaan dan keseimbangan tanpa ada kekurangan.

Prinsip keseimbangan juga dimuat di dalam Surah Ar-Rahman ayat

(7): “Dan Langit telah ditinggikan-Nya dan Dia (Allah) ciptakan

keseimbangan” Maksud penjelasan surah tersebut dapat terlihat pada

ayat berikutnya yaitu Ar-Rahman ayat (8) : “Agar Kamu jangan merusak

keseimbangan itu”.

Ketentuan Allah SWT dalam surah tersebut memuat bahwa alam

telah diciptakan oleh Allah dengan seimbang, maka ditegaskan oleh Sang

Pencipta larangan pada manusia untuk tidak merusak alam yang telah

diciptakan oleh Sang Pencipta dengan kesempurnaan dan keseimbangan.

Manusia diberikan kewajiban berdasarkan ayat berikutnya yaitu Ar-

Rahman ayat (9) : “Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan

janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu”. Hal ini menegaskan

366

pentingnya bersikap benar dan adil dalam mengambil tindakan/kebijakan

dalam mengelola alam yang sudah di ciptakan sempurna. Kesempurnaan

ciptaan Allah mengandung prinsip keseimbangan yang melarang manusia

untuk mengurangi keseimbangan yang sudah dengan sempurna

diciptakan Allah. Larangan mengurangi keseimbangan sangat kuat dalam

ketentuan tersebut.

Berdasarkan ketentuan Ar-Rahman ayat 7-9, menurut Ibnu Asyur :

Manusia diperintah Allah untuk berbuat adil, dalam ayat ini Allah

menyandingkan kata tersebut dengan penciptaan langit, yang dipahami

secara luas sebagai lambang keluhuran, kemuliaan dan kebenaran.

Manusia juga diperintahkan untuk berlaku seimbang dalam segala

aktivitasnya, melarang manusia untuk bertindak yang merusak

keseimbangan alam ciptaan Allah. Kata “Aqimu” dalam surah Ar-Rahman

dipahami sebagai perintah untuk melakukan adil dan seimbang secara

konsisten.219

Ketentuan selanjutnya dalam Surah Ar-Rahman ayat (10) :“Dan bumi

telah dibentangkan-Nya untuk makhluk (-Nya)”. Ketentuan dalam surah

Ar-Rahman ayat 10 mengandung arti bahwa bumi beserta isinya yang

merupakan ciptaan Allah, diciptakan oleh Allah untuk seluruh makhluk,

bukan hanya untuk manusia. Oleh karena itu pemanfaatan alam

hendaknya tetap memperhatikan hak makhluk Allah yang lain untuk turut

menikmati dan mengambil manfaat atas alam untuk kehidupannya. Oleh

219

Tafsir Al-Misbah 13 halaman: 283-285

367

karena itu merupakan kesalahan jika manusia merasa memiliki hak penuh

untuk mengambil manfaat atas alam ciptaan Allah, karena dalam

ketentuan tersebut jelas bukan hanya manusia yang berhak mengambil

manfaat atas alam ciptaan Allah. Sehingga dalam mengambil kebijakan

berkaitan alam harus mempertimbangkan bahwa ada hak makhluk lain

didalamnya, yang menjadi kewajiban manusia untuk menjaga secara adil

keseimbangan alam.

Larangan bagi manusia agar tidak melakukan kerusakan alam

termuat dalam Surah Al A’raf ayat 56 : “Dan janganlah kamu berbuat

kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-

Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah

sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” Al A’raf ayat 58 :

“Dan tanah yang baik tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin

Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh

merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda

(kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”

Alam diciptakan Allah dengan sempurna, dalam konsep ini tidak ada

yang namanya kutukan sumber daya alam, yang terjadi adalah

kesempurnaan ciptaan Allah mengalami kerusakan akibat ulah/tindakan

manusia.

Manusia seringkali tidak menyadari atau sengaja melalaikan bahwa

perbuatan, tindakan atau kebijakan manusia dalam mengeksploitasi alam

yang dilakukan selama ini justru mengurangi keseimbangan alam ciptaan

368

Allah yang sempurna. Hal ini disebutkan dalam Surah Al Baqarah ayat 11:

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “janganlah berbuat kerusakan di

bumi !”. Mereka menjawab “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang

melakukan perbaikan.” Perilaku manusia yang seringkali berupaya

melakukan pembenaran tindakannya atau mengelak dari kesalahan telah

melakukan kerusakan, di tegaskan oleh Allah dalam ayat berikutnya, yaitu

ayat 12 : Ingatlah sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan

tetapi mereka tidak menyadari.

Berdasarkan ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa seringkali

manusia tidak menyadari bahwa dirinya sudah melakukan kesalahan yaitu

tindakan dan perilakunya menyebabkan kerusakan atas ciptaan Allah

yang sempurna. Ar-Rum ayat 41 : “Telah tampak kerusakan di darat dan

di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki

agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar

mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa kerusakan dan penyebab

ketidak seimbangan alam adalah akibat ulah tangan manusia. Akibat ulah

manusia yang tidak memelihara keseimbangan alam maka jelas terjadi

kerusakan di darat dan di laut. Kebijakan dan tindakan manusia yang

mengeksploitasi alam secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan

aspek daya dukung alam dan lingkungan menyebabkan terjadinya

kerusakan di darat maupun di laut. Kerusakan di darat karena kawasan

hutan mengalami kerusakan akibat pertambangan dan pembukaan lahan

369

perkebunan membawa dampak kualitas air sungai menjadi buruk,

berlumpur dan tidak layak konsumsi. Kondisi buruk air sungai pada

akhirnya akan mengalir ke laut dengan membawa lumpur yang

mengakibatkan kerusakan kehidupan biota laut. Kondisi ini seperti yang

telah Sang Pencipta ingatkan kepada manusia namun manusia selalu

ingkar dan lalai.

Alam diciptakan Allah dengan keseimbangan, menjadi tugas

manusia untuk menjaga keseimbangan itu, sehingga perizinan yang

dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan sumber daya alam, seharusnya

berperan sebagai sarana menjaga keseimbangan. Keseimbangan yang

dimaksudkan menurut ketentuan dalam Al Qur’an adalah keseimbangan

bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Jika tidak dijaga

keseimbangannya, alam akan sakit, rusak. Jika alam rusak/tidak

seimbang akan mengakibatkan kehidupan manusia dan makhluk hidup

yang lain juga akan terganggu. Ketika terjadi kerusakan atas alam maka

manusia juga akan mengalami kerugian yang nyata. Keseimbangan alam

ini seharusnya menjadi pegangan bagi pengambil kebijakan

pertambangan di kawasan hutan.

Hutan sebagai ciptaan Allah dan memiliki fungsi ekologis, sudah

ditetapkan oleh pencipta alam ukuran keseimbangan yang harus dijaga

agar manusia selamat dalam kehidupan di dunia yang bergantung pada

alam dan lingkungan. Dalam ukuran keseimbangan alam, hutan tidak

dapat dihilangkan, mengingat fungsinya menjaga keseimbangan ekologis.

370

Meskipun keberadaan hutan selain berfungsi secara ekologis juga

berfungsi memberikan manfaat secara ekonomis dan manfaat sosial.

Fungsi ekonomis dan sosial kawasan hutan hendaknya di optimalkan

oleh manusia dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip

keseimbangan. Ukuran keseimbangan dalam pengelolaan alam, jika

manusia mau mencermati, maka alam akan selalu memberikan tanda

inilah yang di sebut daya dukung lingkungan.

Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup

untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.

Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara

mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk

mendukung kegiatan manusia yang menggunakan ruang bagi

kelangsungan hidupnya. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat

dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di

hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan

sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam penentuan

pemanfaatan ruang yang sesuai.220

Berdasarkan ketentuan UU RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 ayat 6 memberikan batasan daya

dukung lingkungan hidup sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk

mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Ketentuan

tersebut diganti dengan UU 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan

220

https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://id.m.wikibooks.org/wiki/

371

Lingkungan Hidup, yang mendefinisikan daya dukung lingkungan dalam

ketentuan Pasal 1 ayat 7, yaitu kemampuan lingkungan hidup untuk

mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan

keseimbangan antar keduanya.

Ketentuan UU 32 Tahun 2009 tentang daya dukung lingkungan

berbeda dengan ketentuan yang tertuang dalam UU sebelumnya yaitu

UU 23 Tahun 1997. Letak perbedaannya adalah adanya tambahan

klausul dalam definisi daya dukung lingkungan yang diatur dalam UU 32

Tahun 2009 yaitu: “...dan keseimbangan antar keduanya”. Hal ini

menunjukkan UU 32 tahun 2009 memuat prinsip keseimbangan dalam

mengukur daya dukung lingkungan. Maksud kata “keduanya” dalam

keseimbangan yaitu keseimbangan perikehidupan manusia dan makhluk

hidup yang lain. Muatan prinsip keseimbangan dalam definisi daya dukung

lingkungan yang diatur UU 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, merupakan komitmen tegas negara bahwa dalam

setiap pengambilan kebijakan untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi

dan sosial harus berpedoman pada prinsip keseimbangan kemampuan

lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk

lainnya.

372

2. Konsep Keseimbangan dalam Pengaturan Hukum Pertambangan

di Kawasan Hutan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak

asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh

karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan

berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan

hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi

rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

Sumber daya alam menurut UU 32 Tahun 2009 Tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 ayat 9 adalah unsur lingkungan

hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara

keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Sedangkan dalam

penggunaan sumber daya alam ditegaskan dalam Penjelasan umum UU

32 Tahun 2009 (3) Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi,

dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya,

kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh

kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan

tujuan pembangunan berkelanjutan.

Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah

untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk

memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi

373

dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau

kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS

harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program

pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan

bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan,

rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai

dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang

telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak

diperbolehkan lagi.

Penjelasan Umum UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam

yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya,

dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan

dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai

perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hutan sebagai

modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi

kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi,

sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu

hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara

berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik

generasi sekarang maupun yang akan datang.

374

Prinsip keseimbangan juga dinyatakan dalam ketentuan asas

penyelenggaraan kehutanan berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan, yaitu Pasal 2: penyelenggaraan kehutanan

berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,

keterbukaan, dan keterpaduan. Penjelasan Pasal 2, penyelenggaraan

kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap

pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan

dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.

Klausul menimbang dalam UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara peraturan perundang-undangan di bidang

pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan

mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal,

transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna

menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan;

Keseimbangan merupakan salah satu asas dalam pengelolaan

pertambangan mineral dan batubara yang diatur UU Nomor 4 Tahun 2009

Pasal 2 : Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:

a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;

b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa;

c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;

d. berkelanjutan dan bewawasan lingkungan

375

Klausul keseimbangan dinyatakan dalam Pasal 2 huruf a bahwa

asas pengelolaan pertambangan minral dan batubara salah satunya

adalah asas manfaat, keadilan, dan keseimbangan.

Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang

berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara Pasal 3 b.

menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.

Penjelasan umum UU 4 Tahun 2009 menyatakan Pokok-pokok

pikiran ke 6 menentukan bahwa usaha pertambangan harus

memperhatikan prinsip lingkungan hidup, yaitu: “dalam rangka terciptanya

pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus

dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup,

transparansi, dan partisipasi masyarakat.”

Berdasarkan telaah terhadap peraturan perundang-undangan bidang

pertambangan di kawasan hutan, menunjukkan bahwa secara

konstitusional serta berdasarkan ketentuan UU 4 Tahun 2009 Tentang

Minerba, UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU 32 Tahun 2009

Tentang Pengelolaan lingkungan hidup, pengelolaan sumber daya alam

harus dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan.

376

3. Keseimbangan Pengelolaan Pertambangan Batubara di

Kawasan Hutan

Harmonisasi hukum perlu dilakukan untuk keberlangsungan

pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat sesuai amanah konstitusi

negara. Harmonisasi hukum merupakan langkah-langkah penyelarasan

pengaturan dalam pengelolaan pertambangan di kawasan hutan, agar

mencapai tujuan tertinggi dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan

sumber daya alam baik sektor pertambangan maupun sektor kehutanan.

Harmonisasi pada substansinya adalah adanya keseimbangan.

Berdasarkan rumus kaidah keseimbangan bahwa Sumber daya Total

Tatanan menurut merupakan akumulasi dari sumber daya manusia,

sumber daya alam sumber daya ekonomi, sumber daya sosial, sumber

daya budaya dan yang lainnya, yang dalam konsep kaidah keseimbangan

selalu mengedepankan keseimbangan tatanan (wilayah), sumber daya

tertentu bisa berkurang akan tetapi sumber daya lainnya harus bertambah

guna menjaga keseimbangan kualitas tatanan. Kaidah ini tidak pernah

menolak pengurangan sumber daya asalkan saja keseimbangan tatanan

tetap tercipta. Misalnya eksploitasi SDA suatu wilayah harus mampu

meningkatkan SDM, SDS, SDE, dan SD lainnya sehingga SD total

tatanan tetap terjaga keseimbangannya.

Berdasarkan penelitian penulis untuk mengukur sumber daya

tatanan yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya ekonomi,

sumber daya sosial dalam wilayah pertambangan di kawasan hutan, maka

377

pengukuran pengaruh eksploitasi sumber daya alam terhadap sumber

daya tatanan harus dilakukan dengan lebih merinci masing-masing

sumber daya yang dimaksud. Rincian masing-masing sumber daya

diperlukan untuk dapat memberikan penilaian secara lebih detil dan

sampai pada kesimpulan sumber daya total tatanan pada sektor sumber

daya alam yang di nilai akan terlihat.

Rincian masing-masing sumber daya sangat dipengaruhi faktor : (a)

bidang/sektor sumber daya alam yang di analisis; (b) Konteks lokalitas

persoalan. Kondisi setiap bidang dan setiap daerah yang berbeda akan

membuat tampilan yang di nilai juga akan berbeda antar bidang sumber

daya alam, maupun antar daerah satu dengan daerah yang lain.

Mengukur sumber daya tatanan dalam wilayah pengelolaan

pertambangan batubara di kawasan hutan adalah :

a. sumber daya ekonomi perlu di uraikan lebih rinci ekonomi

ditingkat nasional, daerah, lokal, manfaat ekonomi bagi

perusahaan dan bahkan jika dimungkinkan ditingkat terkecil

rumah tangga.

b. Sumber daya sosial diukur melalui : kesehatan, konflik sosial,

keselamatan warga;

c. Sumber daya budaya diukur melalui perubahan budaya

masyarakat;

378

d. Sumber daya lingkungan diukur melalui perubahan kondisi

sumber daya yang berupa tanah, air, udara dan

keanekaragaman hayati;

e. Sumber daya manusia, diukur melalui tenaga kerja dan

pendidikan.

Keseluruhan sumber daya tersebut dinilai perubahan yang terjadi

setelah eksploitasi dilakukan. Substansi penilaian yang penting menurut

penulis ada dua yaitu :

a. nilai manfaat dan

b. nilai keberlanjutan.

Pertama : Nilai manfaat yang dimaksud adalah sektor sumber

daya yang dinilai seberapa tingkat manfaat bagi semua pihak, pemerintah

pusat, peerintah daerah, pengusaha dan tentu yang terpenting adalah

masyarakat. Penilaian manfaat dalam eksplotasi sumber daya alam dapat

merujuk pada kriteria obyektif faham utilitarianisme, yaitu:

a. kriteria obyektif pertama manfaat,

b. kriteria obyektif manfaat terbesar,

c. kriteria obyektif manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin

orang

Kedua: nilai keberlanjutannya. Nilai keberlanjutan ini penting

mengingat sumber daya alam yang ada tidak hanya untuk generasi

sekarang namun juga menjadi hak generasi mendatang untuk turut

mengambil manfaat. Sehingga dalam rumus keseimbangan sebagai salah

379

satu bentuk harmonisasi Pertambangan Batubara di Kawasan Hutan perlu

Perspektif pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) Dalam

konsep tersebut, proses pembangunan atau perkembangan

(development) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang

tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk

memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya

alam kehidupan.

Pembangunan berkelanjutan merupakan komitmen penting ditingkat

global, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang setuju

berkomitmen untuk pembangunan berkelanjutan. Pada Konferensi Tingkat

Tinggi Bumi (KTT Bumi) 1992, telah disepakati dua perjanjian

internasional yang penting yaitu United Nation Framework Convention on

Climate Change (UNFCCC) dan United Nations Convention on Biological

Diversity (UNCBD). Pada KTT Bumi di Rio Jeneiro, negara-negara di

dunia menerima paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah

agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia.

Pembangunan berkelanjutan berdasarkan ketentuan UU Nomor 32

Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Pasal 1 angka (3) adalah :

“Upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.”

380

Setiap kebijakan pembangunan terutama yang akan membawa

dampak besar bagi lingkungan hidup, UU 32 Tahun 2009 mewajibkan

pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan

hidup strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan

berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan

suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program

pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan daya

dukung dan daya tampung sudah terlapaui, kebijakan, rencana, dan/atau

kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung

lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.

Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk melaksanakan

pembangunan berkelanjutan, dalam konsep ini kepentingan lingkungan

hidup tidak dapat ditinggalkan. Istilah pembangunan berkelanjutan

(sustainable development) sebenarnya baru mulai diperkenalkan oleh

Rachel Carson melalui bukunya Silent Spring, dalam konsep

pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tersebut, proses

pembangunan atau perkembangan (development) diharapkan dapat

memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan

generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam

memanfaatkan potensi sumber daya alam kehidupan.221

Bruntland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak

hanya mendasarkan pada kelestarian fisik, tetapi harus pula terdapat

221

Jimly Asshidiqie, 2009. Green Constitution-Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Rajawali Pers, Jakarta. Halaman 134.

381

pemerataan hasil dan biaya pembangunan yang adil antar negara maju

dengan negara sedang berkembang, serta pengurangan kesenjangan

antara kelompok masyarakat yang kaya dengan kelompok masyarakat

yang miskin di masing-masing negara.222

Prinsip yang terkandung dalam konsep pembangunan berkelanjutan

yang dihasilkan melalui KTT Bumi di Rio de Jeneiro 1992 adalah prinsip

keadilan antar generasi (intergenerational equity), prinsip keadilan dalam

satu generasi (intragenerational equity), prinsip pencegahan dini

(precautionary principle), Prinsip perlindungan keragaman hayati

(biodiversity concervation), serta prinsip internalisasi biaya lingkungan.223

Prinsip pertama pembangunan berkelanjutan adalah prinsip keadilan

antar generasi (intergenerational equity), berangkat dari gagasan bahwa

generasi sekarang menguasai sumber daya alam harus dipandang

sebagai titipan generasi mendatang. Sebagaimana dinyatakan dalam

prinsip ke-3 : “The right to development must be fulfilled so as to equitably

meet development and environment needs of present and future

generations.” Hak untuk membangun harus dipenuhi agar secara wajar

bertemu antara pembangunan dan kebutuhan lingkungan generasi

sekarang dan yang akan datang.

Prinsip kedua, keadilan dalam satu generasi (intragenerational

equity), prinsip keadilan dalam satu generasi merupakan prinsip yang

membicarakan tentang keadilan antara sesama generasi, termasuk di

222

Otto Soemarwoto, 2001. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan. Jakarta. Halaman : 162

223 Helmi. Op.cit halaman 12.

382

dalamnya pemenuhan kebutuhan secara bersama-sama tanpa adanya

kesenjangan antara satu kelompok dengan kelompok lain.224

Prinsip ketiga, pencegahan dini (precautionary principle), Apabila

terdapat ancaman atas lingkungan berupa kerusakan yang tidak bisa

dipulihkan, tidak ada alasan untuk menunda upaya-upaya mencegah

kerusakan tersebut.

Prinsip perlindungan keragaman hayati (biodiversity concervation),

keanekaragaman yang dimiliki oleh bumi merupakan sumber

kesejahteraan bagi umat manusia secara keseluruhan.

Prinsip internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif,

gagasan dari prinsip ini menyatakan bahwa biaya lingkungan dan sosial

harus diintegrasikan ke dalam proses pengambilan Keputusan yang

berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber alam. Sedangkan

mekanisme insentif diantaranya berupa program peringkat kinerja yang

dimaksudkan untuk mengubah perilaku dan nilai-nilai yang ada dalam

masyarakat melalui publikasi kinerja industri secara intensif.225

Prinsip pembangunan berkelanjutan mengharuskan dalam

merancang agenda pembangunan dalam dimensi visioner jangka panjang

untuk melihat dampak pembangunan baik positif maupun negatif dalam

segala aspeknya tidak hanya dalam dimensi jangka pendek. Prinsip ini

sejalan dengan kenyataan bahwa sumber daya ekonomi terbatas, aspek

224

Rahmad K Dwi Susilo, 2014. Sosiologi Lingkungan, Rajawali Pers, Jakarta. Halaman : 192.

225 Johny Purba, 2002, Pengelolaan Lingkungan Sosial, Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta. Halaman : 20

383

sosial budaya dan lingkungan hidup adalah aspek yang berdimensi jangka

pajang, dan bahwa pembangunan berlangsung dalam ruang ekosistem

yang mempunyai interaksi rumit. Prinsip keberlanjutan sangat menunjang

prinsip keadilan antar generasi. Namun hal ini menuntut sikap kehati-

hatian dan arif dalam setiap kebijakan pembangunan agar manfaat jangka

pendek yang diperoleh dari kegiatan pembangunan tidak sampai harus

dibayar mahal akibat kerugian jangka panjang yang tidak sebanding

dengan manfaat jangka pendek tersebut. Pembangunan berkelanjutan

dijalankan untuk pembangunan manusia seutuhnya yakni bertujuan

meningkatkan kualitas hidup manusia, baik fisik-material maupun derajat

kualitas kehidupan secara luas yang meliputi mental, budaya, sosial,

politik spiritual dan ideologis.226

World Bank telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan

dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable

development triangle).”The implementation of sustainable development

means the integration of activities in the following three key areas:”227

a. Technical and economicactivities ensuring economic growth; b. Ecological, ensuring the protectioan of natural resources and

environment; c. Social, meaning care for the employee at the workplace and

community development in the area of the mining environment

Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk

pengelolaan sumber daya alam dan berbagai dimensinya, dinyatakan

226

Tuhana Taufiq Andrianto, 2014. Dasar-dasar Audit Lingkungan, Global Pustaka Utama Yogjakarta, halaman : 202

227Jozef Dubinski, Sustainable Development Of Mining Mineral Resources,

Journal of Sustainable Mining, Vol. 12 tahun 2013.

384

berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi dan sosial

bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa

kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi,

pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumber daya serta investasi

secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa

kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem,

memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumber daya alam

termasuk keanekaragaman hayati. Keberlanjutan secara sosial

mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat

menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial,

kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat,

identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.228

Komitmen Indonesia terhadap perjanjian internasional untuk

perubahan iklim United Nation Framework Convention on Climate Change

(UNFCCC) nampak pada September 2009 di Pittsburgh, Presiden

menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK

sebesar 26% secara mandiri dan 41% dengan dukungan Internasional

pada tahun 2020, komitmen ini tidak mudah, mengingat Indonesia

menghadapi berbagai persoalan pengelolaan hutan dan lahan, terutama

deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan karena tata kelola

hutan dan lahan yang buruk.

228

Burtland dalam Albert Napitupulu, 2013. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan – Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis. IPB Press. Bogor, halaman: 35-36

385

Penilaian sumber daya tatanan dalam wilayah eksploitasi

pertambangan, menurut penulis tidak dapat diletakkan pada pandangan

bahwa sumber daya boleh mengalami pengurangan asalkan terjadi

peningkatan nilai sumber daya yang lain, asalkan secara keseluruhan

sumber daya total tatanan tetap terjaga nilainya/meningkat. Menurut

penulis terdapat sumber daya yang khas yang kehilangan pada jumlah

tertentu yang melebihi batas keseimbangan akan mempengaruhi

kehidupan masyarakat. Sumber daya yang diaksud misalnya adalah

sumber daya air yang sangat terpengaruh ketika pertambangan

mengeksploitasi kawasan hutan, kondisi air akan tercemar karena aliran

lumpur dari wilayah pertambangan, selain pembukaan hutan akan

menghilangkan sumber-sumber air alami. Kehilangan sumber daya ini

dalam temuan di lokasi penelitian tidak dapat digantikan dengan sumber

daya atau program bantuan air yang dilakukan perusahaan. Sehingga

menurut penulis tidak selalu kehilangan salah satu jenis sumber daya

dapat digantikan dengan peningkatan sumber daya yang lain.

Konsep keseimbangan dalam pengelolaan pertambangan di

kawasan hutan menurut penulis adalah menyeimbangkan fungsi kawasan

hutan yaitu : fungsi ekonomi, ekologi dan sosial. Berdasarkan hasil

penelitian terjadi ketidak seimbangan ketiga fungsi tersebut. Fungsi

ekonomi pemilik modal/perusahaan tambang lebih mengemuka

dibandingkan fungsi ekologi dan fungsi sosial. Bahkan fungsi ekologi

386

kawasan hutan terancam hilang ketika tidak ada upaya pembatasan

eksploitasi hutan untuk pertambangan.

Regulasi pertambangan di kawasan hutan yang berlaku

memungkinkan dilakukannya pertambangan di kawasan hutan lindung

dan hutan produksi. Batasan yang dilakukan adalah kawasan hutan

lindung harus dilakukan dengan tambang bawah tanah/tambang tertutup.

Sedangkan kawasan hutan produksi dapat dilakukan penambangan

terbuka/open pit. Namun dengan dikeluarkannya UU Nomor 19 Tahun

2004, maka terdapat 13 perusahaan pertambangan yang diperbolehkan

menambang secara terbuka di kawasan hutan lindung. Regulasi ini

membawa dampak terjadinya ketidak seimbangan alam karena kawasan

hutan lindung akan hilang ketika pertambangan selesai beroperasi.

Kewajiban reklamasi kawasan bekas penambangan dapat dipastikan tidak

akan mampu mengembalikan kondisi kawasan hutan lindung seperti

semula, mendekati saja kondisi semula sangat sulit dilakukan

perusahaan. Hal ini di perkuat dengan regulasi reklamasi yang sangat

lemah, meskipun dikatakan reklamasi wajib, namun ketentuan sanksi

hanya sanksi administrasi yang tidak akan berpengaruh bagi perusahaan

karena kewajiban reklamasi ada di akhir penambangan.

Beberapa perusahaan pertambangan yang telah selesai melakukan

penambangan mayoritas meninggalkan lubang-lubang tanpa reklamasi.

Berdasarkan data Dinas ESDM Kaltim di Kota Samarinda terdapat 152

lubang bekas tambang yang tidak dilakukan reklamasi dan telah

387

mengakibatkan 28 anak meninggal di lubang tambang sejak tahun 2011-

2017. PT Kelian Equatorial Mining di Kutai Barat yang melakukan

penutupan tambang tahun 2004, meninggalkan lubang dua lubang

raksasa yang tidak dapat di reklamasi. Kawasan yang ditinggalkan

menjadi kawasan gersang dan keanekaragaman hayati hilang. PT Kaltim

Prima Coal merupakan perusahaan pertambangan batubara terbesar di

Asia yang terletak di Kutai Timur, dalam dokumen AMDAL menyatakan

akan melakukan reklamasi hanya sebanyak 10% dari kawasan

penambangan yang mencapai 90.800 hektar. PT Indominco Mandiri

dalam dokumen Rencana AMDAL peningkatan produksi, menyampaikan

bahwa kawasan yang akan direklamasi adalah berkisar 6.000 hektar,

sedangkan kawasan penambangan adalah seluas 25.000 hektar.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keberadaan pertambangan di

kawasan hutan akan menghilangkan kawasan hutan. Keanekaragaman

hayati akan hilang manfaat ekonomi, ekologi dan sosial kawasan hutan

juga tidak akan dapat dinikmati untuk masa mendatang. Sementara dalam

operasinya dampak lingkungan yang terjadi sudah sering dialami

masyarakat. Banjir yang merusak sawah, ladang dan pemukiman.

Kualitas air yang buruk bahkan tidak layak konsumsi menyebabkan

masyarakat harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari.

Manfaat ekonomi pertambangan bagian terbesar dinikati

perusahaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya

mendapatkan prosentase yang sangat kecil. Masyarakat justru

388

mendapatkan dapak kerusakan, sedangkan persentase masyarakat yang

dapat diserap sektor pertambangan sangat kecil. Berdasarkan data BPS

hanya 6,7% penduduk Kaltim yang bekerja di sektor pertambangan.

Berdasarkan kondisi ketidakseimbangan alam yang terjadi akibat

penambangan di kawasan hutan, maka untuk mengembalikan

keseimbangan alam perlu kembali pada prinsip keseimbangan, yaitu

menyeimbangkan antara fungsi ekonomi, fungsi ekologi dan fungsi sosial.

Regulasi yang cenderung eksploitatif perlu di lakukan perubahan.

Gambar 6 :

Konsep Harmonisasi/Keseimbangan dalam

Pengelolaan Pertambangan di Kawasan Hutan

Harmonisasi pengelolaan pertambangan batubara di kawasan hutan

harus disesuaikan dengan prinsip keseimbangan dalam pengelolaan

sumber daya alam. Prinsip keseimbangan dalam pengelolaan sumber

daya alam ini memuat prinsip kondisi keseimbangan antara manfaat

ekonomi

Sosial Ekologi/

Lingkungan

389

ekonomi, ekologi dan sosial yang dicapai tanpa menghilangkan kawasan

hutan.

Prinsip pertama : manfaat ekonomi pertambangan di kawasan hutan.

Manfaat ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimaksud

sesuai ketentuan konstitusional adalah untuk menciptakan kemakmuran

bagi sebesar-besar rakyat Indonesia. Manfaat yang dimaksudkan bukan

hanya keuntungan ekonomi bagi sedikit orang saja namun untuk sebagian

besar rakyat. Berdasarkan hasil penelitian pertambangan batubara di

kawasan hutan yang dilakukan penulis, menunjukkan bahwa manfaat

ekonomi yang dimaksudkan dengan negara memberikan izin

penambangan batubara di kawasan hutan bagian terbesar keuntungan

ekonomi justru di peroleh perusahaan pertambangan. Manfaat ekonomi

bagi pemerintah pusat dan daerah sesuai ketentuan yang berlaku dalam

kewajiban keuangan pertambangan batubara di kawasan hutan, justru

persentase pembagian bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat

sangatlah kecil. Manfaat ekonomi bagi masyarakat yang berada di wilayah

pertambangan batubara sangat kecil, bahkan keberadaan pertambangan

batubara mengakibatkan pendapatan ekonomi menurun bahkan bagi

perempuan berakibat hilangnya mata pencarian perempuan karena

wilayah lahan pertanian tergusur atau rusak karena pertambangan

batubara. Manfaat ekonomi pertambangan batubara untuk menggerakkan

sektor ekonomi lain, contoh di Kalimantan Timur mampu mempengaruhi

30% perekonomian daerah, namun manfaat ini tidak berkelanjutan

390

booming batubara hanya berlangsung 2010-2014, hanya selama 4 tahun.

Setelah masa itu Kalimantan Timur justru menjadi daerah dengan tingkat

pertumbuhan ekonomi minus. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa

pengelolaan pertambangan batubara di kawasan hutan belum seimbang

dalam memberikan manfaat ekonomi. Kondisi keseimbangan manfaat

ekonomi yaitu penerima manfaat dari pengelolaan pertambangan

batubara adalah sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini ditegaskan

dalam cita-cita bangsa dan hak warga negara dalam konstitusi.

Prinsip kedua : manfaat sosial. Pengelolaan sumber daya alam

memuat prinsip manfaat sosial bagi masyarakat baik secara fisik maupun

nilai sosial kemayarakatan. Manfaat sosial yang dimaksud dapat berupa

aspek pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, kebudayaan dan lain

sebagainya aspek sosial masyarakat. Penerima manfaat sosial terutama

adalah masyarakat yang bertempat tinggal terdekat dengan wilayah

pertambangan batubara. Namun ditemukan kondisi yang memprihatinkan,

yaitu desa-desa yang berada di wilayah pertambangan justru sarana

fasilitas sosial sangat minim. Kondisi fasilitas jalan buruk, listrik terbatas,

sarana air bersih tidak memadai, pendidikan sangat tertinggal, akses

kesehatan sulit dan hanya sedikit masyarakat yang dapat pekerjaan di

perusahaan pertambangan batubara. Bagi perempuan kondisi tersebut

lebih memprihatinkan dibandingkan laki-laki. Perusahaan telah

menjalankan kewajiban sosial perusahaan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan, namun komitmen tersebut sangat bergantung

391

kemampuan perusahaan untuk menentukan besarnya nilai kewajiban

sosial tersebut. Sehingga ketika telah disalurkan kewajiban sosial

perusahaan penerima manfaat tidak bisa sebanyak mungkin orang karena

nilainya yang kecil karena telah dibagi pada banyak desa. Kondisi tersebut

menunjukkan bahwa pengelolaan pertambangan batubara di kawasan

hutan tidak memenuhi prinsip keseimbangan dalam manfaat sosial.

Prinsip ketiga : manfaat ekologi, manfaat ekologi dalam prinsip ini

memuat makna bahwa pengelolaan pertambangan di kawasan hutan

harus tetap menjaga fungsi kawasan hutan sebagai kawasan ekologi

penting bagi kehidupan manusia dan makhluk yang lain. Kawasan hutan

untuk dapat berfungsi secara ekologi dengan baik perlu di jaga

kelestariannya. Perubahan bentang alam kawasan hutan karena

pembukaan dan penggalian pertambangan batubara akan membawa

dampak hilangnya fungsi ekologi kawasan hutan. Hilangnya fungsi ekologi

hutan akan mempengaruhi kondisi keseimbangan alam dan kehidupan.

Upaya manusia untuk mengembalikan kawasan hutan setelah di lakukan

penambangan melalui kewajiban reklamasi perusahaan pertambangan,

dalam kenyataannya tidak dapat dilakukan dengan baik. Kemampuan

manusia untuk memulihkan kawasan hutan yang sudah dibuka dan digali

untuk eksploitasi pertambangan batubara sangat terbatas. Oleh karena itu

pemberian izin penggunaan kawasan hutan harus mempertimbangkan

ketidak mampuan manusia untuk memulihkan kawasan hutan

sebagaimana keadaan semula. Meskipun secara legal negara dapat

392

mengeluarkan ketentuan yang menurunkan standar pemulihan

lingkungan, sehingga secara hukum tidak ada pelanggaran, namun

secara faktual kondisi ketidak mampuan manusia mengembalikan

keadaan seperti semula akan berakibat ketidak seimbangan kondisi alam

dan lingkungan tempt hidup manusia.

Keseimbangan alam perlu dikembalikan, keberadaan hutan harus

dikembalikan sesuai fungsi semula. Fungsi ekonomi kawasan hutan jika

diartikan dengan membolehkan pertambangan beroperasi di kawasan

hutan maka yang terjadi adalah penghilangan kawasan hutan. Kawasan

hutan lindung harus dikembalikan fungsinya untuk keseimbangan daya

dukung alam bagi kehidupan manusia. Fungsi ekonomi masih

dimungkinkan dilakukan di kawasan hutan lindung dengan mendorong

usaha yang tidak akan menghilangkan kawasan hutan lindung tersebut.

Mengingat Indonesia menghadapi berbagai persoalan pengelolaan hutan

dan lahan, terutama deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan

karena tata kelola hutan dan lahan yang buruk.

393

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Konstruksi hukum izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk

pertambangan batubara di kawasan hutan tidak sesuai dengan

prinsip-prinsip pinjam pakai dalam konsep hukum perdata.

Pengaturan pertambangan di kawasan hutan berorientasi eksploitasi

hutan untuk pertambangan, namun pengawasan dan reklamasi

paska tambang belum optimal.

2. Manfaat Pertambangan batubara di Kawasan Hutan berdasarkan

kriteria objektif faham utilitarianisme memberikan manfaat ekonomi

namun persentase terbesar dinikmati pengusaha tambang

sedangkan pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat

mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial yang sangat kecil dan

tidak berkelanjutan, manfaat lingkungan tidak ada, namun justru

menimbulkan kerusakan lingkungan.

3. Harmonisasi pengelolaan pertambangan batubara di kawasan hutan

belum sesuai dengan prinsip harmonisasi pengelolaan sumber daya

alam yang pada prinsipnya merupakan kondisi keseimbangan antara

manfaat ekonomi, ekologi dan sosial yang berkelanjutan serta

dicapai tanpa menghilangkan kawasan hutan.

394

B. SARAN

1. Perlu dilakukan revisi terhadap skema Izin Pinjam Pakai Kawasan

Hutan (IPPKH) yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pinjam pakai

dalam konsep hukum, dan menggunakan konstruksi izin tanpa

menggabungkan dengan konstruksi pinjam pakai. Pengaturan

reklamasi orientasikan pada pemulihan kawasan serta perlunya

mengoptimalkan pengawasan.

2. Perlu adanya pengkajian ulang terhadap kebijakan pengelolaan

pertambangan batubara di Kawasan Hutan berdasarkan kriteria

manfaat terbesar dibandingkan kebijakan berbasis lahan yang lain

dan kriteria manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang serta

berorientasi keberlanjutan sumber daya alam.

3. Perlu adanya revisi pengaturan pertambangan di kawasan hutan

sesuai prinsip keseimbangan pengelolaan sumber daya alam yang

menyeimbangkan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial tanpa

menghilangkan kawasan hutan

395

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur

Abrar Saleng, 2004. Hukum Pertambangan. UII Pers, Yogjakarta ___________, 2013. Kapita SelektaHukum Sumber Daya Alam.

Membumi Publishing. Makasar Abdul Manan, 2013. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada

Media Group. Jakarta. Abdullah Marlang dan Rina Maryana, 2015. Hukum Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta

Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua), PT Galia

Indonesia, Jakarta. _________, 2010. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori

Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

_________, 2012. Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap

Pengadilan, Prenada Media Group, Jakarta, Ade Maman Suherman, 2006 Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,

PT Radjagrafindo Persada, Jakarta. Adi Widyanto, 2008. Taen Hine – Mencari Tahu-Investigasi Daya Rusak

Pertambangan. Penerbit Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta

Agun Gunandjar,dkk. 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan

Bernegara. Sekretariat Jenderal MPR-RI. Jakarta Agus Purnomo. 2012. Menjaga Hutan Kita : Pro Kontra Kebijakan

Moratorium Hutan dan Gambut. PT Gramedia Jakarta. Ahmad Redi. 2014. Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor

Kehutanan. Sinar Grafika Jakarta

396

Albert Napitupulu, 2013. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan – Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis. IPB Press. Bogor

Ali Achmad Chomzah, 2004. Hukum Pertanahan (Pertanahan

Indonesia) jilid 1,Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, . Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004. Pengantar Metode Penelitian

Hukum, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta. Aminuddin A Kirom dkk, 2006.Tambang dan Penghancuran

Lingkungan, JATAM Jakarta Amsal Bakhtiar.2011. Filsafat Ilmu. PT. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta Andi Hamzah, 2005. Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika,

Jakarta. Antonius Cahyadi dan E.Fernando Manullang, 2010. Pengantar ke

Filsafat Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Arif Satria. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press. Bogor Allan H, Lockwood. dkk. 2009. Coals Assault on Human Health.

Physicians For Social Responsibility. 1875. Connecticut Avenue, NW, Suite 1012. Washington DC 20009 - PMG Group Ltd.

Bart Lucarelli. 2010. The History and Future of Indonesia’s Coal

Industry: Impact of Politics and Regulatory Framework on Industry Structure and Performance. Program on Energy an Sustainable Development. Stanford University. Stanford.

Bernadinus Steni, 2013. Hak Masyarakat Atas Tanah dan Sumber Daya

Alam Dalam Strategi REDD+. Perkumpulan HUMA, Jakarta Bernard Arief Sidharta, 2009. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum.

CV. Mandar Maju, Bandung.

____________ 2013. Ilmu Hukum Indonesia – Upaya pengembangan Ilmu Hukum Sistematik Yang Responsif Terhaddap Perubahan Masyarakat. Genta Publishing. Jakarta.

____________, 2008. Pengantar Logika. Sebuah Langkah Pertama

Medan Telaah. PT Refika Adhitama. Bandung

397

Bondan Kanumoyoso. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Bruce Rich, 1999. Menggadaikan Bumi-Bank Dunia, Pemiskinan

Lingkungan dan Krisis Pembangunan (Mortgaging the Earth: The World Bank, Environmental Impoverishment and the Crisis of Development),International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), Jakarta.

Budi Harsono, 1994. Hukum Agraria di Indonesia, Djambatan, Jakarta Cedric Gregory. A Concise. History of Mining, AA Balkema Publishers,

The Netherlands, 2001 Chandra Broer, 2011. Bagaimana Hutan Tropis Bisa Rusak?. Makindo

Grafika, Yogjakarta CST. Kansil. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,

Balai Pustaka, Jakarta, Dadang Ahmad Suriamihardja dkk, 2010. MDGs (Millenium

Development Goals) Sebentar Lagi, Sanggupkah kita menghapus kemiskinan di dunia?, PT Kompas Media Nesantara, Jakarta

Dian Puji Simatupang, 2004.Materi Hukum Administrasi Negara,

Program Ekstensi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996. Tanah Sebagai Komoditas-

Kajian kritis atas Kebijakan Pertaahan Orde Baru, Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta.

Fachruddin M. Mangunjaya, 2005. Konservasi Alam dalam Islam,

Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Fathi Hanif, dkk. 2004. Bunga Rampai Hukum dan Kebijakan

Pengelolaan Sumber Daya Alam Kalimantan Timur, Bigraf Publishing-Yayasan Ulin, Samarinda Kaltim

Frans Magnis Suseno dkk. 1989. Etika Sosial.Kanisius, Jakarta Gatot Supramono, 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

di Indonesia. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

398

George Ritzer – Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Modern-edisi keenam. PT Kencana Prenada Media Gourp. Jakarta.

George Ritzer – Barry Smart, 2012. Handbook Teori Sosial, penerbit

Nusa Media, Bandung. Greenomic Indonesia, 2004. Analisis Ekonomi Ligkungan, Praktik

Tambang Terbuka di Hutan Lindung : Divestasi Modal Ekologi. Greenomic Indonesia, Jakarta.

Hadi Prayitno dkk, 2013. Mengukur Komitmen : Analisis Kebijakan

Perencanaan dan Anggaran Nasional terhaddap Pengelolaan Hutan dan Lahan di Indonesia, Seknas Fitra-The Asia Foundation-Ukaid from the British People, Jakarta

Hans Kelsen. 2009. Pengantar Teori Hukum. (terjemahan dari

Indtroduction to the problems of Legal Theory- clarendon Press Oxford, 1996). Penerbit Nusa Media. Bandung

__________ 2011. Essays In Legal and Moral Philosophy – Hukum

dan Logika. PT. Alumni Bandung __________ 2011. Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum

Normatif (diterjemahkan dari Pure Theory Of Law – Berkely University of California Press 1978). Penerbit Nusa Media. Bandung

Hariadi Kartodirjo, 1999. Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam

Produksi, Penerbit Pustaka LATIN, Bogor Harijadi Kartodiharjo dkk, 2005. Di Bawah Satu Payung Pengelolaan

Sumber Daya Alam, Yayasan KEHATI, Jakarta. Helmi, 2012. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup. Sinar Grafika,

Jakarta Heriamariaty, 2008. Politik Hukum Pengaturan izin Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara Pada Kawasan Hutan Lindung Berbasis Prinsip Keberlanjutan. Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang

Hyronimus Rhiti. 2011.Filsafat Hukum edisi lengkap dari klasik sampai

posmodernisme. Penerbit Universitas Atma Jaya. Yogjakarta. Ida Nurlinda, 2009. Prinsip-prinsip Pembaharuan Agraria, Rajawali,

Jakarta.

399

Ilona Vicenovie Oisina Situmeang, 2016. Corporate Social Responsibility-Dipandang dari perspektif komunikasi organisasi, Ekuilibria, Yogjakarta

Imam Koeswahyono. 2009. Sumber daya Alam dalam Konstelasi

Politik Nasional Dan Globalisasi Hukum, persoalan sistem pertanian berkelanjutan. Diterbitkan dalam Hukum Yang Bergerak. Penerbit Yayasan obor Indonesia. Jakarta

________________ 2013. Sosio Legal-Bekal Pengantar dan Substansi

Pendalaman. Intimedia Malang & Pusat Kajian dan Penelitian Sosio Legal (PKP-SL) Universitas Brawijaya, Malang.

Indriyanto, 2012. Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara, Jakarta. Jeremy Bentham. 2010. Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip

legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana. (Diterjemahkan dari : The Theory of Legislation. 1979). Nusamedia Bandung.

Jimly Asshidiqie, 2009. Green Constitution-Nuansa Hijau Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rajawali Pers, Jakarta

Johny Purba, 2002, Pengelolaan Lingkungan Sosial, Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta Kathi Mackinnon dkk, 2000. Ekologi Kalimantan-Seri Ekologi Indonesia

Buku III, Prehallindo, Jakarta. Khudzaifah Dimyati, 2010. Teorisasi Hukum - Studi Tentang

Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990. Gentha Publishing. Yohjakarta

Koesnadi Hardjasoemantri, 1994. Environmental Legislation In

Indonesia, Third edition.Gadjah Mada University PressYogjakarta

----------------------, 2000. Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada

University Press, Yogjakarta. Laica Marzuki, 2006. Berjalan-jalan di Ranah hukum – Pikiran-pikiran

Lepas, Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

400

Lawrence M.Friedman, 2009. Sistem Hukum-perpektif ilmu sosial-The Legal System-A Social Science Perspective, Nusamedia, Jakarta.

Macartan Humpreys et.al. 2007. Escaping The Resource

Curse.Columbia University Press. New York. Maria S.W Sumardjono. et.al. 2014. Pengaturan Sumber Daya Alam Di

Indonesia-Antara Yang Tersurat dan Tersirat, Gadjah Mada University Press, Yogjakarta.

Meuwissen. 2007. Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu

Hukum, Teori Hukum, Filsafat Hukum (Terjemahan dari buku Van Apeldoorn’s Inleiding). PT Refika Adhitama. Bandung.

M. Arifin Hamid, 2007. Membumikan Ekonomi Syariah Di Indonesia

(Perspektif Sosio-Yuridis), Elsas, Jakarta. M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani. 2012. Penelitian Hukum

Indonesia Kontemporer. Gentha Publishing. Yogyakarta Muammil Sun’an dan Abdurrahman Senuk, 2015. Ekonomi

Pembangunan Daerah, Mitra Wacana Media, Jakarta Munir Fuady, 2007, Dinamika teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta ___________ 2011. Teori-teori Dalam Sosiologi Hukum. PT Kencana

Prenada Media Group.Jakarta ___________ 2013. Teori-teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum.

Kencana Media Group. Jakarta. Muhammad Erwin, 2012. Filsafat Hukum – Refleksi Kritis Terhadap

Hukum. Rajawali Pers. Jakarta Mujiono Abdillah, 2001. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-

Quran, Jakarta Mouna Wasef dan Firdaus Ilyas. 2011. Merampok Hutan dan Uang

Negara. Indonesia Corruption Watch. Jakarta Mora Dingin, 2014. Bersiasat Dengan Hutan negara-Seri Hukum dan

Keadilan Sosial, Epistema Institute, Jakarta. Otje Salman. 2012. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika

Masalah). PT Refika Adhitama. Bandung.

401

Otong Rosadi. 2012. Quo Vadis Hukum Ekologi dan Keadilan Sosial.

Dalam Perenungan Pemikiran (Filsafat) Hukum.Penerbit Thafa Media, Jakarta.

Otto Soemarwoto, 2001. Ekologi, Lingkungan Hidup dan

Pembangunan, Djambatan. Jakarta. Ohiongyi Marino, dkk. 2013. Masyarakat Sipil mengawasi Alam Review

Izin Industri Berbasis Lahan, Policy Paper. Diterbitkan ICEL dan The Asia Foundation. Jakarta.

Paul Scholten.2011. De Structuur Der Rechtswetwnschap - Struktur

Ilmu Hukum, PT. Alumni Bandung. Peter Mahmud Marzuki, 2007. Penelitian Hukum. PT Kencana Prenada

Media Grup. Jakarta. Philipus M. Hadjon dkk, 2002. Pengantar Hukum Administrasi

Indonesia.Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. ___________, 1993. Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya. Porkas Sagala, 2002. Mengelola Lahan Hutan yang Benar, Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta Rahmad K Dwi Susilo, 2014. Sosiologi Lingkungan, Rajawali Pers,

Jakarta Ridwan, 2006.Hukum Administrasi Negara.PT RajaGrafindo Persada,

Jakarta. Ridwan Tohopi, 2014. Konservasi Pesisir Dalam Perspektif Hukum

Islam. Pustaka Pelajar. Yogjakarta. Rizaldi Boer. 2001. Economic Assesment of Mitigation Options for

Enhancing and Maintaining Carbon Sink Capacity in Indonesia, Journal Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, Volume 6. Kluwer Academic Publisher.

Rusmadi Murad, 2007.Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, CV.

Mandar Maju, Bandung. Salim HS. 2012. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. Rajawali

Pers. Jakarta

402

___________ 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara. Sinar Grafika. Jakarta.

Satjipto Raharjo, 2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia,

Pustaka Pelajar,Yogjakarta ___________, 1991. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung ___________, 1981. Masalah Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,

Penerbit Sinar Baru, Bandung Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka

Berfikir. Refika Aditama. Bandung. Sigit,1999.Industri Pertambangan Batubara Indonesia. Bandung: Tidak

diterbitkan, Siti Maimunah dkk. 2007. Tambang & Pelanggaran HAM. Jaringan

Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta. Sirajuddin, Didik Sukriono, Winardi, 2012. Hukum Pelayanan Publik-

Berbasis Partisipasi dan Keterbukaan Informasi, Setara Press, Malang

Sjachran Basah. 1992. Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak

Administrasi Negara, Penerbit Alumni Bandung Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi

Penelitian. CV. Andi Offset. Yogjakarta Soerjono Soekanto, 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004. Penelitian hukum Normatif.

PT TajaGrafindo Persada, Jakarta. Sukandarrumidi, 1995. Bahan Galian Industri.Yogjakarta: Gajahmada

University Press. Sukarno Aburaera.et.al. 2014. Filsafat Hukum Teori dan Praktik.

Prenada Media Grup. Jakarta. Suteki, 2013. Desain Hukum di Ruang Sosial. Penerbit Dua Satria

Offset. Semarang.

403

Surna Tjahja Djajadiningrat-Yeni Hendriani-Melia Famiola. 2014. Green Economy- Ekonomi Hijau. Rekayasa Sains. Bandung

Syamsul Rijal Hamid. 2014. Buku Pintar Ayat-ayat Al-Quran. PT.

Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. Tuhana Taufiq Andrianto, 2014. Dasar-dasar Audit Lingkungan, Global

Pustaka Utama Yogjakarta. Urip Santoso, 2005. Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada

Media, Jakarta. Y. Rahman, 2013. Keranga Acuan dan Studi Pelingkupan :

Pengukuran kondisi Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik di Sektor Kehutanan dan Lahan, ICEL-Seknas FITRA, Jakarta.

B. Jurnal dan Laporan Penelitian A.M. Yunus Wahid dkk. 2015. Penegakan Hukum Lingkungan di Sektor

Kehutanan (Studi Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan), Hasanuddin Law Review. Vol. 1. No. 1 April 2015.

Adji Samekto, Suteki dkk, Membangun Politik Hukum Sumber Daya

Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia, Seminar, Kongres, dan Call for Paper Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Semarang, 15-16 April 2015.

Adji Samekto, Suteki dkk, Membangun Politik Hukum Sumber Daya

Alam Berbasis Cita Hukum Indonesia, Seminar, Kongres, dan Call for Paper Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Semarang, 15-16 April 2015.

Druv Katoria et.al. Environment Impact Assessment of Coal Mining.

International Journal of Environmental Engineering and Management, Volume 4, Number 3 (2013).

Direktur Penggunaan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi

Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2013. Current Development of Mining Management and Its Impact on Forest Sector in Indonesia.International Conference “Reconciling Forestry and Mining Management: Some Current Environmental Concerns in Asia”. Universitas Hasanuddin Makassar, 10 – 12 Desember 2013

404

Giulio Di Lallo, Philip Mundhenk,REDD+: Quick Assessment of

Deforestation Risk Based on Available Data. Forests Journal, 2017, 8, 29; doi:10.3390/f8010029, www.mdpi.com/journal/forests, p.1

Haris Retno Susmiyati, 2007. Analisis Teori Hukum Terhadap Tujuan

Hukum Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Juni 2007, Vol. 3 No.2

--------------,2005 Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas

Mulawarman, Desember 2005, Vol 1 No.2 Industry and environment, A Publication of the United Nations

Environment Programme, Division of Tecnology, Industry and Economic. Mining and Sustainable Development II Challenges and Perspectives. Volume 23 Special Issue 2000

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan SEKNAS FITRA,

2014. Indeks Kelola Hutan dan Lahan Daerah. The Asia Foundation-Ukaid from the British People, Jakarta.

Jozef Dubinski, Sustainable Development Of Mining Mineral

Resources,Journal of Sustainable Mining, Vol. 12 tahun 2013. M. Muhdar, Hasanuddin Law Review, Makassar, Sulawesi Selatan

Volume 1, issue 3 , December 2015 Mia Siscawati, Jurnal Wacana Nomor 33 Tahun XVI/2014, diterbitkan oleh

Indonesian Society for Social Transformation (INSIST).halaman : 7-8

Rafiuddin, Abrar Saleng, M. Guntur Hamzah. Hakikat Pengelolaan

Pertambangan Berbasis Partisipatif , Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Volume 2 Nomor 1 September 2012, Makasar.

Siva Prasad Dontala, T. Byragi Reddy, Ramesh Vadde, Environmental

Aspects and Impacts its Mitigation Measures of Corporate Coal Mining. Procedia Earth and Planetary Science 11, (2015) 2 – 7. www.sciencedirect.com p.3-4

Soesilo, dkk, 2015. Pemanfaatan Areal Penggunaan Lain di Areal Alih

Fungsi Kawasan Hutan Lindung Bontang, Lembaga Penelitian

405

Dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mulawarman-Pemerintah Daerah Kota Bontang.

The Asia Foundation, 2011. Study on the Political Economi of Land

Use, Land Use Change and Forestry at the Local Level in Indonesia.Jakarta.

----------------, 2012. Policy Paper, Tata Kelola Lingkungan, Program

Asia Foundation untuk tata kelola lingkungan hidup di Indonesia, Jakarta.

C. Dokumen Pemerintah dan Dokumen Perusahaan

Annual Report PT Indo Tambangraya Megah Tahun 2011, Jakarta Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Kalimantan

Timur, Penjelasan Umum Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Timur 2014-2034, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda.

Badan Pusat Statistik. Data BPS. http://bps.go.id/brs/view/1158/ diakses,

tanggal 2 April 2016, pk. 16.57 Wite. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Kartanegara

Dalam Angka Tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Tenggarong.

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur, Kaltim Dalam Angka

Tahun 2003, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan Timur,

2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2013 – 2018, Bappeda Provinsi Kaltim

Departemen Pertambangan dan Energi, 1995, 50 Tahun Pertambangan

dan Energi Dalam Pembangunan, Jakarta Dinas Provinsi Kalimantan Timur, 2015. Daftar Izin Pinjam Pakai

Kawasan Hutan untuk Pertambangan Wilayah Kalimantan Timur.

406

Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) Rencana Kegiatan Peningkatan Produksi Batubara dan Fasilitas Penunjang. PT Indominco Mandiri, Bontang, Juli 2015.

Global Forest Resources Assesment, 2010. Progress towards sustainable Forest Management, Food an Agriculture Organizational of The United Nations.

Indonesian Mining Association.2014. http:www.ima-api.com Indonesia Mineral & Coal Statistics, 2003.Directorate of Mineral and

Coal Enterprises, Direktorat General of Geology and Mineral Resources, Ministry of Energy and Mineral Resources. Jakarta.

Jatam Kaltim, 2003. Laporan Akhir Tahun Jaringan Advokasi Tambang

Kalimantan Timur (Jatam Kaltim), Samarinda Kaltim Kutim Dalam Angka 2011, BAPPEDA Kutai Timur, Sangata. Laporan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Republik Indonesia.

2010, DNPI. Jakarta. Laporan Keuangan Interim Konsolidasi PT Indo Tambangraya Megah Tbk

Tahun 2015, Jakarta ---------------------- Tahun 2014, Jakarta ---------------------- Tahun 2013, Jakarta ---------------------- Tahun 2012, Jakarta Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2014 – 2034, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur.

Rencana Kerja Kementerian Kehutanan Tahun 2015, Kementerian

Kehutanan Republik Indonesia, 11 Juli 2014. Rencana Kerja Kementerian Kehutanan Tahun 2015, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 11 Juli 2014.

D. Makalah, Koran dan Media Online

407

Anugerah Perkasa, 6 Kabupaten DBH tertinggi Masih Jadi Daerah Miskin?http://news.bisnis.com/read/20130310/78/2941/6-kabupaten-dbh-tertinggi-masih-jadi-daerah-miskin

Australian Bureau of Statistics, http://www.abs.gov.au/ausstats/[email protected]/90a12181d877a6a6ca2568b500

7b861c/ce28d7fbe5faa308ca256cae0015da32!OpenDocument. diakses tanggal 18 agustus 2015 pk. 12.25 wite

Bernaulus Saragih, Ketika Sumber Daya Alam Berubah Menjadi

Kutukan. Majalah Eksekutor edisi 160 Tahun 2015 Bisnis News. http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/167296-daftar-20-

kabupaten-super-kaya-di-Indonesia. Dwi Susilo, Rahmat K.Fungsionalisme Struktural Talcott Parson

http://anggirusdiadiblog.wordpress.com diakses tanggal 25 Agustus 2014

Forest Watch Indonesia, Pasca Pemekaran Wilayah Kaltara, Luasan

Hutan di Kaltim Masuk Zona Merah.http://fwi.or.id/publikasi/atlas-hutan-indonesia/ diakses tgl 15 desember 2014

Gali-Gali, Buletin Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, 7

Desember 2000. Kamus Bahasa Indonesia. www.KamusBahasaIndonesia.org diakses

tanggal 25 Agustus 2014. Kusnu Goesniadhie. 2006. Harmonisasi Hukum dalam perspektif

peraturan perundang-undangan. JP.books, Surabaya. Diakses dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&sqi=2&ved=0CDAQFjAC&url=http%3A%2F%2Fkgsc.files.wordpress.com%2F2012%2F01%2Fharmonisasi-hukum-lex-specialis-suatu-masalah.ppt&ei=fGH7U4zPPMKfugSq04GABw&usg, Diakses tanggal 25 Agustus 2014

Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan Menjadi Pertambangan, 2004.

Mengapa Perpu No. 1/2004 Harus dibatalkan, Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan Menjadi Pertambangan, Jakarta.

Koran Harian Kompas, 1 Juli 2015.

408

Koran Kaltim Post, Jumat 14 Agustus 2015. Harga Melorot, Produksi Anjlok.

------------------, Kamis, 21 April 2016.Setelah Batubara, Ekonomi Kaltim

Kini kemana? Tren Positif di sektor listrik, Gas dan Air. -------------------, 11 Agustus 2003, Penduduk Miskin di Kaltim

Meningkat. -------------------, Rabu, 12 Agustus 2015, Sudah PHK 60 ribu orang di

Kaltim -------------------, Moratorium Penebangan Hutan dan Investasi Hijau-

Kini pengusaha menanti wujud insentif Pemerintah, Senin, 18 Mei 2015.

Lembaga ecolabel indonesia. 2004. Dalam www.lei.or.id Lembar informasi, 2008. Ketika Tambang Bekerja-Belajar dari 12

Lokasi Tambang Skala Besar. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta

Majalah Bubuhan, Media Komunikasi Kawasan Binaan PT Indo

Tambangraya Megah Tbk, Edisi 41/VII/September-Oktober 2014, halaman : 10

Majalah Bongkar Edisi 382, Samarinda Kalimantan Timur. Ruth Colaguiri and Emily Morrice, Coal industry thriving, but at what

social and heath cost ?. The Conversation, 2 November 2011, http : //theconversation.com/coal-industri-thriving-but-at-what-social-and-health-cost-9266. Diakses : 30 Januari 2015.

Sigurd Jorde, 2013. Coal and Climate in Kalimantan-Norwegian

Interests in Indonesia’s Environmentally Damaging Coal Expansion, Framtiden, Fredensborgveien 24 G, N-0177 Oslo, Norwegia, p. 2. http://www.framtiden.no/rapporter/rapporter-2013/698-report-coal-and-climate-in-kalimantan-2013/file.html

Susilo Bambang Yudoyono. 2011. Pidato Presiden dalam Konferensi

Hutan Indonesia yang diselenggarakan Lembaga Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) di Hotel Sangri-La Jakarta, 27 September 2011.

409

Tambang-The Indonesian Energy & Mining Magazine. Volume 9 No.115/Januari 2015

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

1988.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Tim Komda APHI Kaltim. 2005. Komitmen Perjuangan KOMDA APHI

Kaltim-Menuju Tatanan Baru Pengelolaan Hutan Masa Depan. Debut Press, Jogjakarta.

The RAFT Program-Responsible Asia Forestry and Trade, tanpa tahun,

Promoting Sustainable Forest Management and Responsible timber trade in Asia. The Nature Concervancy. Bangkok-Thailand.

Ulrich Beck, http://logosline.home.igc.org/beck.htm Warta Ekonomi, Edisi 12, Tahun XVIII, 23 Juni 2006 World Bank,The International Council on Metals and Mining, and

ESMAP.http://www.icmm.com/library_pub_detail.php?rcd=183 E. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Repubik Indonesia Tahun 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-III/2003 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Dasar Pokok-

pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH-Per) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 8 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823)

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 No. 22)

410

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419)

Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia 3587)

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 menjadi Undang-undang

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4959 )

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang

Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia 5587).

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004

Tentang Perubahan terhadap pasal 38 UU 41 Tahun 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1969 Tentang

Bagi Hasil Iuran Pertambangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang

Penggunaan Kawasan Hutan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2012 tentang

Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

411

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1969 Tentang

Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang

dana perimbangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan

Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang

Pulau Kalimantan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 Tentang Pedoman Sinkronisasi

pelaksanaan tugas keagrariaan dengan bidang tugas tugas kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum

Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Perizinan atau

perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung

Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/kpts/DJ/I/1978 tentang

Pinjam Pakai Kawasan Hutan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertambangan dan Energi dan

Menteri Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989; 429/Kpts-II/1989 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Kpts-II/1994 Jo KMK Nomor

56/Kpts-II/1994; Jo KMK Nomor 41/Kpts-II/1994 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 614/Kpts-II/1997 Jo KMK dan

Pertanian pangan Nomor : 720/Kpts-II/1998 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Keputusan Menteri Kehutanan dan Pertanian pangan Nomor 146/Kpts-

II/1999 tentang Pedoman Reklamasi bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan;

Keputusan Menteri Kehutanan dan Pertanian pangan Nomor 146/Kpts-

II/1999 tentang Pedoman Reklamasi bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan;

412

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12/Menhut-II/2004 tentang

penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan

Peraturan Menteri Kehutanan P.14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman

Pinjam Pakai jo PMK Nomor : P. 64/Menhut-II/2006 Peraturan Menteri KehutananNomor : P.43/ Menhut-II/ 2008 Tentang

Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 jo. PMK Nomor

P.38/Menhut-II/2012 jo Nomor P.14/Menhut-II/2013 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.65/Menhut-

II/2013 Tentang Policy Advisor bidang kehutanan pada izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan operasi produksi

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.16/Menhut-

II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Peraturan Dirjen Mineral dan Batubara Nomor 216 K/30/DJB/2014

Tentang Tata Cara Permohonan Pertimbangan Teknis Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.16/Menhut-

II/2014 tentang Reklamasi Lahan Hutan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.56/Menhut-

II/2008 jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.84/Menhut-II/2014 Tentang Tata Cara Penentuan luas areal terganggu dan areal reklamasi dan revegetasi untuk penghitungan PNBP penggunaan kawasan hutan

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : 60/Menhut-

II/2009 Tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.32/Menhut-

II/2009 Jo. P.35/Menhut-II/2010 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS (RTkRHL-DAS)terkait pasal 13 ayat 5 PP 76 tahun 2008)

413

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.39/Menhut-

II/2010 Tentang Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan terkait pasal 7 PP 76 tahun 2008

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.04/Menhut-

II/2011 Tentang Pedoman Reklamasi Hutan

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.12/Menhut-

II/2011 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.63/Menhut-

II/2011 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang IPPKH Dalam Rangka Rehabilitasi DAS

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.16/Menhut-

II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.87/Menhut-

II/2014 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang IPPKH dalam rangka Rehabilitasi Derah Aliran Sungai.