Post on 16-Oct-2021
Optimisasi Dosis dan Kualitas Citra pada Prosedur Kateterisasi Jantung Anak
Febrian Pratama1, Supriyanto A. Pawiro2, Lukmanda E. Lubis3
1,2,3 Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: febrian.pratama13@gmail.com
Abstrak
Penggunaan fluoroskopi sebagai pemandu pada prosedur kateterisasi jantung harus didukung dengan optimisasi, yakni suatu kompromi antara dosis dan kualitas citra. Perlunya optimisasi lebih mendesak pada pasien anak (pediatrik) karena tingkat kerentanan terhadap radiasi yang tinggi dan durasi prosedur yang sangat panjang. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan parameter optimal untuk variasi ketebalan dan mode pencitraan, dengan figure of merit (FOM) sebagai parameter. Cairan kontras yang digunakan adalah larutan iodine dan plasma darah dengan konsentrasi 16% yang ditempatkan pada tabung plastik berdiameter 4 mm. Fantom digunakan sebagai pengganti pasien, dengan variasi ketebalan yang merupakan representasi dari rentang usia pasien. Pengukuran dosis keluaran dilakukan pada saat pengambilan citra, sedangkan Signal-to-Noise Ratio (SNR) dikalkulasi dengan menggunakan perangkat lunak ImageJ. Nilai dosis dan kualitas citra digunakan untuk menghitung FOM sebagai parameter optimisasi. Untuk mode fluoroskopi mode normal pada masing–masing ketebalannya memiliki nilai FOM yang paling tinggi, dengan nilai: 10,5 cm 14,68 ± 2,22; 13 cm 23,56 ± 0,34; 15 cm 16,25 ± 0,47; 16 cm 12,93 ± 1,78. Dan untuk mode cine, mode 25 fps normal memiliki nilai FOM tertinggi, dengan nilai: 10,5 cm 13,54 ± 1,02; 13 cm 24,93 ± 2,73; 15 cm 23,30 ± 2,73; 16 cm 14,10 ±1,48. Penggunaan mode low dan medium lebih dianjurkan untuk pasien pediatrik, baik pada mode fluoroskopi ataupun cine.
Optimization of Dose and Image Quality of Paediatric Catheterization Procedure
Abstract
The use of fluoroscopy as a guide to the cardiac catheterization procedures must be supported by optimization, which is a compromise between dose and image quality. More urgent need for optimization in pediatric patients due to susceptibility to radiation levels are high and very long duration of the procedure. The aim of this study was to get the optimum parameters for variations in thickness and imaging modes, with a figure of merit (FOM) as a parameter. Contrast fluid used is a solution of iodine and blood plasma concentrations of 16% were placed in a plastic tube diameter of 4 mm. Phantom used as a substitute for the patient, with variation of the thickness of which is a representation of the age range of patients. Measurements made at the time the output dose image acquisition, while Signal-to-Noise Ratio (SNR) is calculated using the software ImageJ. Dose and image quality value is used to compute the FOM as parameter optimization. For fluoroscopy mode to normal mode on each thickness has the highest FOM value, with the value of: 10.5 cm 14.68 ± 2.22; 13 cm 23.56 ± 0.34; 15 cm 16.25 ± 0.47; 16 cm 12.93 ± 1.78. And for cine mode, normal mode 25 fps has the highest FOM value, with the value of: 10.5 cm 13.54 ± 1.02; 13 cm 24.93 ± 2.73; 15 cm 23.30 ± 2.73; 16 cm 14.10 ± 1.48. The use of low and medium mode is recommended for pediatric patients, either at fluoroscopy or cine mode
Keywords : figure of merit, optimization, cathteterization prosedure, paediatric, dose, image quality
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
1
1. Pendahuluan
Radiologi intervensional merupakan salah satu cabang dari radiologi yang digunakan
untuk kebutuhan diagnostik ataupun terapi sebagai pertimbangan dalam meminimalkan
teknik invasif. Salah satu penerapan aplikasi radiologi intevensional adalah kateterisasi
jantung. Kateterisasi jantung merupakan cabang dari kardiologi intervensional yang
merupakan penanganan invasif non-bedah pada penyakit jantung koroner dengan
menggunakan kateter (tabung) dan teknik pencitraan khusus untuk mengevaluasi aliran dan
tekanan darah di dalam arteri koroner dan bilik jantung. Penggunaan pesawat fluoroskopi
intervensional pada prosedur kateterisasi ini membuat adanya resiko yang diakibatkan oleh
dosis radiasi selama prosedur. Adapun resiko yang mengancam pasien diantaranya adalah
kerusakan sel pada permukaan kulit dan kerusakan sel – sel lainnya yang baru akan muncul
setelah pasien beranjak dewasa (efek stokastik). Tentunya efek kerusakan sel ini akan lebih
berdampak besar pada pasien pediatrik ketimbang pasien dewasa. Terlebih lagi jika pasien
mengalami kerusakkan pada jantung akibat bawaan lahir yang selama hidupnya berpotensi
mengalami 8 sampai 10 kali prosedur kateterisasi (Chung 1998). Penerapan dosis pada pasien
pediatrik harusnya seminim mungkin tanpa mengurangi kualitas citra yang diperlukan.
Dengan kata lain optimisasi sangatlah diperlukan pada prosedur kateterisasi terhadap pasien
pediatrik.
Penggunaan figure of merit (FOM) sebagai parameter dapat menjadikan acuan ukuran
optimalisasi pada suatu prosedur kateterisasi pasien pediatrik. Nilai FOM bergantung pada
nilai signal to noise ratio (SNR), dengan SNR berperan sebagai kuantitasi objetif citra dan
dosis yang diterima. Adapun formulasi FOM adalah SNR kuadrat dibagi dosis. Dengan kata
lain semakin besar nilai FOM yang didapat dapat merepresentasikan nilai acuan optimalisasi
yang paling baik.
2. Tinjauan Pustaka
Fluoroskopi Intervensional
Prosedur kateterisasi pada pasien melibatkan peralatan yang mampu memberikan
informasi dalam bentuk citra yang dapat menentukan diagnosa pasien atau sebagai pemandu
pelaksanaan tindakan terapi. Penggunaan fluoroskopi didasari karena mampu menyajikan
citra secara real time dengan resolusi temporal yang tinggi. Pencitraan real time (kontinu)
pada fluoroskopi intervensional biasanya memiliki kemampuan maksimal 30 frame per
second (FPS). Sistem fluoroskopi modern menggunakan pulsa berkas sinar-x yang terhubung
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
2
dengan akuisisi citra digital, yang biasanya memiliki dengan rentang 3 sampai 30 fps. Sistem
fluoroskopi digital mampu merekam sekuens citra digital secara kontinu (video digital) yang
dapat diputar ulang. Penggunaan fluoroskopi dengan resolusi tinggi dapat memperlihatkan
cairan kontras yang diinjeksikan pada pembuluh darah (Bushberg et al. 2011). Adapun
pesawat fluoroskopi yang digunakan pada prosedur intervensional seperti kateterisasi jantung
dilengkapi dengan bagian–bagian khusus yang berbeda dari pesawat fluoroskopi
konvensional. Fluoroskopi intervensional dilengkapi generator dan tabung penghasil sinar-x
telah dimodifikasi, serta sistem pendinginan yang lebih baik sehingga mampu melakukan
eksposi dengan durasi yang panjang dan berulang. Sistem fluoroskopi intervensional
memiliki sistem mekanik berupa C-arm dan meja pasien yang mampu diatur sedemikian rupa,
sehingga dapat memudahkan tenaga klinis dalam menentukan posisi untuk mendapatkan
kualitas yang lebih baik.
Flat Panel Detector (FPD)
Penggunaan Flat Panel Detectors (FPD) pada pesawat fluoroskopi intervensional sebagai
detektor menggantikan peranan Image Intesifier (II). FPD terdiri dari lapisan thin film
transistor (TFT) yang masing-masing elemen detektornya (dexel) dikemas dalam area persegi
ataupun persegi panjang. TFT mampu mengonversikan sinar-x secara langsung ataupun tidak
langsung pada aplikasi fluoroskopi. Pada kedua sistem setiap elemen detektor memiliki
kapasitor yang mampu mengakumulasi dan menyimpan signal dalam bentuk muatan listrik,
dan transistor yang bekerja sebagai switch.
Kualitas Citra dan Dosis
Hubungan antara kualitas citra dan dosis pasien dalam pencintraan sinar-x haruslah
menunjukkan kualitas citra yang baik dengan dosis pasien yang seminimal mungkin.
Optimisasi dibutuhkan untuk menemukan kualitas citra dan dosis yang paling seimbang
(Gislason et al. 2015). Pada kasus fluoroskopi cara untuk mengoptimisasi dosis adalah
meminimalkan waktu eksposi, meminimalkan jumlah citra yang didapat, dan mengurangi
dosis melalui sistem pengendali (controlling system) (NCI, 2005). Oleh karena itu,
kemampuan dan pengalaman seorang intervensionalis sangatlah dibutuhkan (Bor et al. 2008;
Verdun et al. 2005).
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
3
Signal to Noise Ratio (SNR)
Sinar-x yang melalui medium tanpa adanya hamburan dan membentuk suatu citra
yang berisikan tentang suatu informasi disebut sebagai sinyal. Noise ialah sinar-x yang
melalui suatu medium namun terjadi hamburan, sehingga mengurangi atau merusak
informasi pada citra tersebut. SNR membandingkan sinyal dengan latar belakang pada citra
tersebut. Semakin tinggi SNR-nya maka semakin baik dalam menampilkan kualitas
kontrasnya (Vano et al. 2008).
Dosis Serap
Dosis serap merupakan jumlah dari radiasi pengion, termasuk langsung dan tidak
langsung. Dosis serap berhubungan dengan besaran stokastik. Dosis serap dapat didefinisikan
seperti persamaan (1). Dengan ē merupakan rataan energi yang masuk melalui medium yang
memiliki massa m. Besaran untuk dosis serap yaitu Joule per kilogram massa (J/Kg) atau
Gray (Gy) (Bushberg et al. 2011). Seiring dengan semakin bertambahnya waktu yang
diperlukan dalam
suatu prosedur
kateterisasi, maka
dosis serapnya pun akan bertambah.
Figure Of Merit (FOM)
Parameter FOM sebelumnya digunakan oleh Zamenhof (Zamenhof et al. 1982) dan Gagne
(Gagne, Boswell, and Myers 2003) untuk optimisasi pendeteksian sinyal pada citra digital,
yang mengepresikan hubungan antara kualitas dari sebuah citra dan dosis per frame yang
dibutuhkan untuk mendapatkan citra tersebut. Dengan hubungan yang ditunjukkan pada
persamaan (2) di bawah ini (Vano et al. 2008).
!"# =
!"#!
!"# (2)
3. Metode Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
! = !ē!" (1)
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
4
Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan, dan dilaksanakan bertempat di Instalasi
Kardiologi Invasif, Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta dan Laboratorium Fisika Medis
dan Biofisika, Departemen Fisika, FMIPA UI
Pesawat Fluoroskopi Intervensional Philips Allura Clarity
Pesawat fluroskopi intervensional yang digunakan pada penelitian ini bertipe Philips
Allura Clarity Pesawat ini dilengkapi filter untuk mode low (0,4 mm Cu + 1 mm Al), mode
med (0,01 mm Cu + 1 mm Al), dan mode normal (0,01 mm Cu).
Fantom Cath Ped
Fantom yang digunakan terbuat dari akrilik yang memiliki dimensi 17 cm x 17 cm
dengan ketebalan 5 cm. Fantom ini memiliki variasi tabung yang berdiameter 1 mm, 2 mm, 4
mm, 6 mm, dan 8 mm sebagai representasi pembuluh darah. Setiap ukuran tabung terdiri dari
4 buah, yang masing – masing merepresentasikan konsentrasi iodine yang berbeda-beda.
Selain itu fantom ini dilengkapi dengan timah sebagai pembanding kontras iodine dengan
lebar yang menyesuaikan diameter tabung fantom.
Detektor Ionisasi RadCal Seri 10X6-6
Detektor yang digunakan adalah detektor ionisasi seri 10X6-6 yang merupakan
keluaran Radcal®. Detektor ini memiliki spesifikasi rentang rasio 20 nGy/s – 149 mGy/s dan
rentang dosis 100 nGy – 516 Gy, serta spesifikasi untuk cine 1 nGy/f - >10 mGy/f.
Preparasi Objek Citra
Objek citra yang digunakan merupakan campuran plasma darah dan senyawa kontras
iodine dengan konsentrasi 16%. Berikutnya objek citra akan dimasukkan ke dalam silinder
dengan diameter 4 mm . Objek citra yang telah dipreparasi kemudian akan diletakkan
didalam fantom cath ped. Adapun konsentrasi iodine yang digunakan disesuaikan dengan
nilai maksimum cairan kontras yang diperbolehkan, dengan penggunaan sekurangnya 1
cc/kg massa tubuh pasien (Strauss 2006). Cairan kontras yang digunakan adalah Omnipaque
IohexolTM (GE Healthcare, Shanghai, China).
Penghitungan Tebal Pasien
Ketebalan pasien pada arah berkas radiasi merupakan indikator yang terbaik dalam
pengukuran dosis yang diterima (IAEA 2013). Untuk menentukan tebal fantom sebagai
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
5
representasi usia pasien dapat diukur dengan menggunakan persamaan (3), dengan W
merupakan berat pasien (gram) dan H tinggi pasien (centimeter).
!"# = 2
!!"
(3)
Equivalent cylindrical Diameter (ECD) adalah kuantitas yang berasal dari tinggi dan
berat badan pasien yang mampu memberikan ketebalan efektif, dengan mengasumsikan
mereka setara dengan silinder air (Lindskoug 1992). Data berat dan tinggi badan yang
digunakan sebagai acuan berasal dari data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013.
Pengambilan Citra
Pengambilan citra fantom Cath Ped dilaksanakan menggunakan pesawat Philips
Allura Clarity (Philips Medical System, Netherland) yang dioprasikan di Instalasi Kardiologi
Invasif, RSPP, Jakarta. Tegangan (kV) dan arus (mA) ditentukan dengan mode AEC
(automatic exposure control). Tegangan dan arus yang muncul pada layar pada proses
pengambilan citra akan dicatat sebagai data. Nilai dosis dan waktu paparan dicatat sebagai
keluaran dosimeter Radcal®. Mode akuisisi yang digunakan berbeda untuk eksposi
fluoroskopi dan cine. Pada mode fluoroskopi digunakan mode low, med, dan normal,
sedangkan pada mode cine digunakan mode paediatric 15 fps low, 25 fps low, 15 fps normal,
dan 25 fps normal. Untuk mempresentasikan pasien pediatrik, penelitian ini menggunakan
variasi ketebalan kombinasi fantom Cath Ped dan slab phantom, yang terbuat dari akrilik
dengan setiap lembarnya setebal 0,5 cm. Variasi ketebalan dipilih berdasarkan perhitungan
ECD anak Indonesia.
Tabel 1. Variasi Ketebalan Fantom
Pada pengambilan data, digunakan konfigurasi PA yang mewakili kondisi klinis.
Fantom Cath Ped diposisikan diantara lembaran slab phantom sebagai simulasi pasien
dengan ukuran fantom yang divariasikan (Tabel 3.1). Pengukuran dosis dilakukan pada posisi
Usia (th) Tebal PA/AP Dada (cm)
Tebal Fantom (cm)
0 - 0.5 10,63 10,5 4 - 6 13,03 13 10 - 12 14,92 15 13 - 15 16,15 16
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
6
detektor Radcal® di bawah fantom (pengukuran laju dosis kulit), dengan SSD (source to
surface distance) konstan sebesar 80 cm. Sesuai kondisi klinis, besaran SID disesuaikan
dengan ketebalan obyek (dalam hal ini fantom) dengan menyesuaikan posisi reseptor citra
(FPD).
Pengolahan Data
Citra yang didapat dari hasil paparan diolah menggunakan perangkat lunak ImageJ
untuk mendapatkan nilai piksel, sehingga nilai SNR dan standar deviasi pada daerah yang
inginkan (ROI) dapat dikalkulasi. Hasil dari SNR yang dikalkulasi dengan nilai ESD (entrace
skin dose) akan digunakan dalam mendapatkan kalkulasi FOM untuk menentukan
perbandingan kualitas citra dan dosis yang paling optimal (Vano et al. 2008). Dimana Nb
adalah pixel value dari latar belakang citra dan No pixel value untuk objek yang diamati dan
SD merupakan standar deviasi untuk setiap nilai pixel value baik untuk latar belakang
maupun objek yang diamati.
4. Hasil Pengolahan Data
Dari pengolahan data yang telah dilakukan, hasil dibedakan ke dalam dua mode.
Yaitu mode fluoroskopi dengan sub mode low, medium, dan normal, serta mode cine dengan
sub mode 15 fps low, 25 fps low, 15 fps normal, dan 25 fps normal. Nilai FOM yang
didapatkan untuk setiap modenya ditunjukkan pada Gambar 1 untuk mode fluoroskopi dan
Gambar 2 untuk mode cine, sedangkan Gambar 4.3 dan 4.4 menampilkan nilai SNR pada
kedua mode tersebut. Adapun Gambar 4.5 dan 4.6 menyajikan data hasil pengukuran laju
dosis (ESD) pada mode fluoroskopi dan cine. Sedangkan Tabel 2 dan Tabel 3 merupakan
tabel eksposi pada mode fluoroskopi dan cine secara berurutan.
Tabel 2. Parameter Eksposi Mode Fluoroskopi
Tebal (cm) Mode Tegangan (kVp)
Arus (mA)
Dosis (µGy/frame)
10,5 Low 67,00 0,93 0,73 Medium 66,00 1,40 0,99 Normal 64,00 2,40 1,40
13 Low 69,67 1,23 1,10 Medium 68,67 1,83 1,52 Normal 66,00 3,23 2,18
!"# = !! − !!
(!"!)! − (!"!)!2
(4)
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
7
15 Low 73,00 1,57 1,64 Medium 72,33 2,33 2,29 Normal 68,67 4,37 3,37
16 Low 74,33 1,70 1,96 Medium 73,33 2,37 2,70 Normal 69,33 4,87 4,00
Tabel 3. Parameter Eksposi Mode Cine
Tebal (cm) Mode Tegangan (kVp)
Arus (mA)
Dosis (µGy/frame)
10,5
15 fps low 70 81,00 2,78 25 fps low 70 81,00 2,75 15 fps normal 65,67 211,33 4,58 25 fps normal 66 206,67 4,39
13
15 fps low 73,67 97,33 4,31 25 fps low 73,67 97,67 4,31 15 fps normal 68,67 260,00 7,12 25 fps normal 68,67 256,33 6,90
15
15 fps low 76,67 115,00 6,78 25 fps low 76,67 115,00 6,74 15 fps normal 71,00 310,33 10,42 25 fps normal 71,00 313,00 10,76
16
15 fps low 77,33 122,67 8,08 25 fps low 77,33 122,33 8,05 15 fps normal 72,00 336,67 13,04 25 fps normal 72,33 337,00 12,98
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
8
Tebal (cm)
10,5 13 15 16
FOM
0
5
10
15
20
25
30
LowMedNormal
Gambar 1. Grafik Nilai FOM pada Mode Fluoroskopi untuk Setiap Ketebalan
Tebal (cm)
10,5 13 15 16
FOM
0
5
10
15
20
25
30
15 fps low25 fps low15 fps normal25 f[ps normal
Gambar 2. Grafik Nilai FOM pada Mode Cine untuk Setiap Ketebalan
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
9
Tebal (cm)
10,5 13 15 16
SNR
0
2
4
6
8
LowMedNormal
Gambar 3. Grafik SNR pada mode fluoroskopi untuk setiap ketebalan
Tebal (cm)
10,5 13 15 16
SN
R
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
15 fps Low25 fps Low15 fps Normal25 fps Normal
Gambar 4. Grafik SNR pada mode cine untuk setiap ketebalan
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
10
Tebal (cm)
10,5 13 15 16
Dos
is (µ
Gy/
fram
e)
0
1
2
3
4
5
LowMedNormal
Gambar 5. Grafik dosis pada mode fluoroskopi untuk setiap ketebalan
Tebal (cm)
10,5 13 15 16
Dos
is (µ
Gy/
fram
e)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
15 fps Low25 fps Low15 fps Normal25 fps Normal
Gambar 6. Grafik dosis pada mode cine untuk setiap ketebalan
Mode Fluoroskopi
Gambar 5 menunjukkan dosis pada mode fluorsokopi untuk setiap ketebalannya.
Terdapat pola pada nilai dosis yang diukur, dimana mode normal memberikan dosis yang
paling tinggi di setiap ketebalan. Namun, dosis meningkat seiring dengan bertambahnya
ketebalan fantom. Hal ini disebabkan karena nilai arus yang meningkat seperti yang
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
11
ditunjukkan pada Tabel 2. Semakin tebal fantom, semakin tinggi pula arus yang dihasilkan.
Dalam hal ini, nilai arus dapat diartikan sebagai intensitas. Sehingga semakin tinggi arus
yang dihasilkan, maka semakin besar pula intensitas dosis radiasi yang melewati detektor.
Kualitas citra dapat diekspresikan dengan nilai SNR. Semakin besar nilai SNR maka
semakin tinggi kontras citra yang dihasilkan. Nilai SNR didapat dengan menggunakan
persamaan (4), dimana nilai piksel sebelumnya didapat dengan menggunakan perangkat
lunak ImageJ. Nilai SNR paling tinggi untuk setiap ketebalan dihasilkan oleh mode normal.
Dilihat dari nilai tegangan yang dihasilkan pada tabel 2, mode yang menghasilkan tegangan
yang hampir menyamai rentang K-edge Iodine yaitu 70-75 kVp (Lubis et al. 2015)
seharusnya mampu mengasilkan kualitas citra yang lebih baik. Seperti yang terlihat pada
ketebalan 13 cm untuk mode low memiliki nilai tegangan yang mendekati besar K-edge
Iodine, yaitu 69,67 kVp. Namun, nilai SNR yang dihasilkan masih lebih kecil dibandingkan
pada mode normal untuk ketebalan yang sama. Meskipun nilai tegangan pada mode normal
hanya 66 kVp. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi kualitas citra
selain tegangan, yaitu besar arus. Mode normal menghasilkan 66 kVp, namun nilai arus yang
yang dihasilkan lebih besar. Yaitu 3,23 mA, dibandingkan dengan nilai arus mode low
sebesar 1,23 mA. Dengan kata lain arus atau intensitas tidak hanya berperan dalam
memberikan dosis, namun juga dalam menentukan kualitas citra. Semakin tinggi intesitas,
maka semakin banyak pula sinyal yang melewati fantom sehingga dapat terdeteksi. Inilah
yang menyebabkan kualitas citra menjadi lebih tinggi pada saat menggunakan mode normal.
Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1, mode normal pada fluoroskopi untuk setiap
ketebalan menujukkan nilai FOM (figure of merit) yang paling tinggi. Dengan kata lain mode
normal adalah mode yang memberikan dosis radiasi rendah dengan kualitas yang citra (SNR)
yang cukup. Namun pada ketebalan 15 cm, mode medium dan normal memiliki nilai FOM
yang tidak berbeda signifikan, sehingga sulit ditentukan mode yang terbaik. Untuk itu, pada
kondisi ini pengamatan diperluas ke faktor penentu nilai FOM, yakni kualitas citra (SNR) dan
dosis. Dari kedua segi, mode normal menghasilkan citra dengan SNR dan laju dosis kulit
yang lebih tinggi dari mode medium. Meski demikian, beda SNR yang tidak signifikan
(Gambar 3) dengan perbedaan laju dosis yang cukup tinggi (Gambar 5) menjadikan mode
medium lebih dianjurkan untuk pasien pediatrik.
Mode Cine
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
12
Dosis pada mode ini memiliki pola, dimana mode normal menghasilkan dosis yang
lebih besar dibandingkan dengan mode low, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. Jika
dilihat dari parameter eksposi, kedua mode ini tidak memiliki perbedaan kVp yang cukup
besar untuk setiap modenya pada masing – masing ketebalan. Seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 3. Sedangkan pada nilai arusnya lah yang meningkat, dimana arus pada mode normal
lebih besar hampir 3 kali lipat dibandingkan dengan arus pada mode low. Dengan kata lain,
arus dalam hal ini lebih dominan dalam mempengaruhi dosis untuk setiap ketebalannya.
Kualitas citra pada mode ini masih direpresentasikan dengan nilai SNR. Gambar 4
menunjukkan mode 25 fps menghasilkan nilai SNR yang paling tinggi untuk setiap ketebalan
pada setiap modenya, baik low maupun normal. Meskipun pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
faktor eksposi khususnya pada tegangan dan arus tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Mode 25 memiliki nilai frame rate yang lebih tinggi dibandingkan dengan mode 15 fps.
Pada mode ini sistem Automatic Exposure Control (AEC) menghasilkan citra yang lebih baik
tanpa menaikkan nilai arus ataupun tegangan, namun lebih berfokus dengan nilai frame rate-
nya. Sehingga mode yang memiliki frame rate yang lebih tinggi menghasilkan nilai SNR
yang lebih tinggi.
Nilai FOM paling tinggi pada setiap ketebalan dihasilkan oleh mode 25 fps normal.
Ini karena nilai SNR yang dihasilkan pun lebih besar dibandingkan dengan mode lainnya.
Dalam kalkulasi nilai FOM nilai SNR lebih berpengaruh dibandingkan dengan nilai dosis
yang diberikan. Sesuai dengan persamaan (2) dimana FOM merupakan hasil kalkulasi dari
nilai kuadrat SNR yang dibagi dengan dosis.
Penggunaan mode Low lebih dianjurkan ketimbang mode normal. Hal ini dikarenakan dosis
pada mode low lebih rendah (Tabel 3), terlebih lagi pada pasien pediatrik. Peningkatan arus
yang mencapai 3 kali lipat pada mode normal ini pun menunjukkan bahwa mode low dan
mode normal tidak dapat dibandingkan. Peningkatan arus ini dikarenakan perbedaan fokus
yang digunakan. Mode low menggunakan fokus kecil dan mode normal menggunakan fokus
besar.
5. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
• Pada mode fluoroskopi untuk semua mode normal pada setiap ketebalan
menghasilkan nilai FOM yang paling tinggi, begitupun dengan nilai SNR-nya.
Khusus pada ketebalan 15 cm, mode medium lebih dianjurkan. Karena, meskipun
mode medium menghasilkan kualitas citra sedikit lebih rendah dibandingkan mode
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
13
normal, namun dosis yang dihasilkan pun lebih rendah pada mode normal. Maka
dengan kata lain mode medium pada ketebalan 15 cm adalah mode yang paling
optimal, terlebih lagi untuk pasien pediatrik. Nilai FOM yang dihasilkan pada mode
ini adalah: 10,5 cm 14,68 ± 2,22; 13 cm 23,56 ± 0,34; 15 cm 16,25 ± 0,47; 16 cm
12,93 ± 1,78.
• Untuk mode cine penggunaan dapat disesuaikan sesuai dengan penangan klinis yang
akan dilakukan. Jika membutuhkan resolusi temporal yang tinggi makan mode normal
sangat dianjurkan. Namun jika tidak, maka mode low lah yang dianjurkan karena
menghasilkan nilai dosis yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan mode normal.
Nilai FOM yang dihasilkan adalah: 10,5 cm 13,54 ± 1,02; 13 cm 24,93 ± 2,73; 15 cm
23,30 ± 2,73; 16 cm 14,10 ±1,48.
• Penggunaan mode normal pada pasien pediatrik sangatlah tidak dianjurkan, karena
nilai dosis yang dihasilkan pada mode ini sangatlah besar jika dibandingkan dengan
mode low. Sehingga mode normal tidak dapat dibandingkan dengan mode low atau
medium, karena adanya perbedaan penggunaan fokus. Dimana mode low dan medium
menggunakan fokus kecil, sedangkan mode normal menggunakan fokus besar.
• Nilai FOM bukan satu – satunya parameter suatu optimisasi, tergantung dengan nilai
dosis yang dihasilkan. Namun kualitas citra yang dihasilkan pun menjadi parameter
yang kuat dalam penganan klinis yang dapat menjadi pertimbangan dalam
menentukan suatu parameter optimalisasi.
Saran
Untuk mendapatkan nilai dosis yang rendah maka disarankan untuk menggunakan
mode low pada fluoroskopi dan frame rate yang lebih kecil pada mode cine. Penggunaan
mode medium/normal dan frame rate yang lebih tinggi pun dapat digunakan untuk
penanganan klinis jika diperlukan. Penelitian lebih lanjut sangat disarankan untuk
mendapatkan nilai optimisasi yang paling optimal. Penggunaan mode normal pada pasien
pediatrik perlu dihindari.
Daftar Acuan
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016
14
Bor, D., T. Sancak, T. Toklu, T. Olgar, and S. Ener. 2008. “‘Effects of Radiologists’ Skill and Experience on Patient Doses in Interventional Examinations.’” Radiat. Prot. Dosim. 129(1–3), 32–35. Bushberg, Jerrold T., J. Anthony Seibert, Edwin M. Leidholdt, and John M. Boone. 2011. The Essential Physics of Medical Imaging. Third. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Gagne, Robert M., Jonathan S. Boswell, and Kyle J. Myers. 2003. “Signal Detectability in Digital Radiography: Spatial Domain Figures of Merit.” Medical Physics 30 (8): 2180. doi:10.1118/1.1578485. Gislason, Amber J, Andrew G Davies, Arnold R Cowen, Amber J Gislason, Andrew G Davies, and Arnold R Cowen. 2015. “Dose Optimization in Pediatric Cardiac X-Ray Imaging Dose Optimization in Pediatric Cardiac X-Ray Imaging” 5258 (2010). doi:10.1118/1.3488911. IAEA. 2013. Dosimetry in Diagnostic Radiology for Paediatric Patients. http://www-pub.iaea.org/books/IAEABooks/8965/Dosimetry-in-Diagnostic-Radiology-for-Paediatric-Patients. Kirks, Donald R, ed. 1998. Practical Pediatric Imaging: Diagnostic Radiology of Infants and Children: 9780316494731: Medicine & Health Science Books. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins. Lindskoug, B A. 1992. “The Reference Man in Diagnostic Radiology Dosimetry.” The British Journal of Radiology 65 (773): 431–37. doi:10.1259/0007-1285-65-773-431. Lubis, Lukmanda Evan, Ika Bayuadi, Supriyanto Ardjo Pawiro, Kwan-Hoong Ng, Hilde Bosmans, and Djarwani Soeharso Soejoko. 2015. “Optimization of Dose and Image Quality of Paediatric Cardiac Catheterization Procedure.” Physica Medica : PM : An International Journal Devoted to the Applications of Physics to Medicine and Biology : Official Journal of the Italian Association of Biomedical Physics (AIFB) 31 (7). Elsevier: 659–68. doi:10.1016/j.ejmp.2015.05.011. National Cancer Institute. 2005. “Interventional Fluoroscopy: Reducing Radiation Risks for Patients and Staff.” NIH Publication No. 05- 5286. http://www.cancer.gov/images/Documents/45bae965-697a-4de8- 9dae-b77222e0e79d/InterventionalFluor.pdf. Strauss, Keith J. 2006. “Interventional Suite and Equipment Management: Cradle to Grave.” Pediatric Radiology 36 Suppl 2 (September): 221–36. doi:10.1007/s00247-006-0215-1. Vano, E, C Ubeda, F Leyton, and P Miranda. 2008. “Radiation Dose and Image Quality for Paediatric Interventional Cardiology.” Physics in Medicine and Biology 53 (15): 4049–62. doi:10.1088/0031-9155/53/15/003. Verdun, F. R., A. Auroa, P. H. R Trueb, P. Vock, and J. F. Valley. 2005. “‘Diagnostic and Interventional Radiology: A Strategy to Introduce Reference Dose Level Taking into Account the National Practice.’” Radiat. Prot. Dosim. 114(1–3), 188–191. Zamenhof, R G. “The Optimization of Signal Detectability in Digital Fluoroscopy.” Medical Physics 9 (5): 688–94. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7155070.
Optimisasi Dosis ..., Febrian Pratama Hidayat, FMIPA UI, 2016