Post on 17-May-2019
HAK HADANAH PADA AYAH
(ANALISIS YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Magister
Pengkajian Islam Konsentrasi Syariah
Oleh:
NORA EKA PUTRI
NIM: 13.2.00.0.01.01.0119
Pembimbing:
Dr. JM. Muslimin, M>A
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGKAJIAN HUKUM ISLAM
KONSENTRASI SYARIAH
1438 H/ 2017 M
ix
KATA PENGANTAR
Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq dan inayahnya sehingga penulisan tesis dengan judul
“Hak Hadanah pada Ayah (Analisis Yurisprudensi Mahkamah Agung)”
dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Buku ini merupakan hasil
penelitian penulis untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 di
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
mengambil konsentrasi Agama dan Hukum. Shalawat dan salam kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW yang selama hidupnya selalu
konsisten untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dalam setiap
perilaku, ucapan, kebijakan, dan keputusannya. Ide dalam penggarapan penelitian ini sebenarnya berawal dari
keprihatinan penulis terhadap banyaknya kejadian orang tua yang
bertindak kasar, menyiksa, bahkan sampai menghabisi nyawa darah
dagingnya sendiri padahal masih di bawah umur. Ironisnya, perbuatan
yang biadab tersebut justru kebanyakan dilakukan oleh ibu yang dikenal
memiliki sifat kasih sayang, lemah lembut, dan lebih pengertian
terhadap anak. Adanya aturan hukum positif di Indonesia yang
mengatur hak pengasuhan anak di bawah umur secara otomatis
ditetapkan kepada ibu menjadi pegangan bagi hakim tatkala
memutuskan perkara pengasuhan anak di bawah umur di pengadilan.
Selama ini, paradigma penegakan hukum lebih berorientasi kepada
kepastian hukum, bukan kepada keadilan hukum, dan kemanfaatan bagi
masyarakat. Ketentuan hak asuh anak yang terdapat dalam hukum
positif di Indonesia sangatlah merugikan anak dimana anak merupakan
masa depan sebagai generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapat
perlindungan untuk tumbuh berkembang secara baik, mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan lahirnya beberapa
yurisprudensi yang mengesampingkan ketentuan hukum positif bahwa
hak asuh anak tidak mutlak diberikan kepada ibu melainkan berdasarkan
kompetensi dengan menyandarkan kepada kepentingan terbaik bagi
anak telah membawa perubahan pembangunan hukum yang bermanfaat
bagi masyarakat terutama bagi anak-anak.
Penulis menyadari dalam penyelesaian tesis ini banyak yang
terlibat dalam memberikan bantuan baik moril maupun materil. Untuk
itu penulis mengucapan terima kasih yang tak terhingga kepada bapak
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA selaku Direktur SPs UIN
x
Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran pimpinan, Prof. Dr. Didin
Syaefuddin, M.A., dan Dr. JM. Muslimin, M.A. Ph.D, juga kepada
seluruh civitas akademika dan Perpustakaan SPs UIN Jakarta.
Selanjutnya, Dr. JM. Muslimin, M.A. Ph.D selaku dosen
pembimbing, penulis haturkan banyak terima kasih atas kesabaran dan
keikhlasannya dalam memberikan bimbingan yang sangat berharga
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini dan terima
kasih banyak atas ilmu-ilmu yang diberikan dan insyaAllah bermanfaat.
Tidak lupa para dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah
memberikan ilmunya, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito,
M.A, Dr. Yusuf Rahman, M.A., Dr. Iik Arifin Mansurnoor, M.A., Prof.
Dr. Abd. Ghani Abdullah, S.H, M.H, Prof. Dr. Huzaemah T. Yanggo,
M.A, Prof. Dr. Said Agil Husain Al Munawwar, M>.A, Prof. Dr. M. Atho
Mudzhar, MSPD, Dr. Asep Saepuddin Jahar, M>A. Ph.D, Prof. Dr.
Ahmad Rodoni, M>.M, Suparto, M.Ed. Ph.D, Prof. Dr. Zulkifli, M.A, Dr.
Fase Badriah, SKM. M.Kes. Ph.D, Prof. Dr. Abudin Nata, M.A, Dr.
Arief Subhan, M.A, Dr. Yuli Yasin, M.A, serta para dosen lainnya yang
turut memberikan sumbangsih pemikiran sehingga penelitian ini dapat
diperbaiki dengan sebaik-baiknya.
Terimakasih atas segalanya untuk teman sejati di dunia,
insyAllah sampai ke akhirat nanti, zaujiy Zul Ashfi yang telah
mengizinkan penulis melanjutkan kembali bangku pendidikan di tengah-
tengah kesibukan dalam melaksanakan kewajiban mengurus rumah
tangga dan membesarkan anak-anak dengan memberikan pendidikan
dan pemeliharaan yang baik bagi masa depan mereka. Rasa ta’zhim dan
terima kasih yang sangat mendalam kepada ayahanda Alm. Samsir
semoga Allah menempatkan ayahanda pada tempat yang mulia dan
ibunda tercinta Darna Yetti yang telah memberikan waktu, pikiran, dan
tenaganya sejak penulis lahir sampai saat ini. Kesabaran, keikhlasan,
perhatian serta kasih sayang keduanya yang tak pernah habis bahkan
bermunajat tak henti-henti untuk mendoakan penulis agar mendapatkan
kesuksesan. Salam sayang untuk buah hati kami Muhammad Fairouz el-
Abqariy dan Sya>kirah Ala>i Rabbiha, semoga menjadi anak yang sholeh
dan sholehah. Merekalah obat bagi penulis dan selalu ada di hati penulis.
Kupersembahkan tesis ini untuk kalian, kehadiran kalian akan selalu
menjadi pijakan awal bagi penulis untuk terus berkarya.
Rasa terimakasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan
kepada ayahanda dan Ibunda mertua Yumarlen dan Khuzaemah,
kakanda Gusman, dan kakak ipar Yuhaini, serta keponakan penulis Alif
Fakhri, Hasbi Ashshiddiqi, dan Humaira Althafunnisa. Rasa terimakasih
xi
yang besar juga penulis ucapkan untuk keluarga besar penulis dan
keluarga besar suami yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih banyak kepada teman
dan sahabat seperjuangan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, mpuang Yeni, Deffi, Roza, Yanti, Widya,
Habibah, Sonia, Rista, Rifa, Ummi Susi, Iqoh, Dewi, Iftah, Isya, Pak de
Irham, Zain, Fadhil, Munif, Hafiz, Hafez, duo Fahmi, Hengki, Ainun,
Sansan, Rahmat, Umam, dan lain-lain. Di berbagai kesempatan ngobrol
dan diskusi bersama kalian, tak jarang penulis menemukan ide dan
gagasan baru yang membuat penelitian ini semakin komprehensif.
Semoga Allah memberikan imbalan pahala yang banyak dan
kesuksesan terhadap apa yang telah dilakukan oleh semua pihak yang
telah berjasa baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
penulis. Akhirnya, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini
masih jauh dari kata “sempurna” karena kekurangan dan keterbatasan
penulis. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai kritik dan saran
sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini.
Jakarta, 25 Juli 2017
Penulis,
Nora Eka Putri
xv
ABSTRAK
Nora Eka Putri, Hak Hadanah pada Ayah (Analisis Yurisprudensi Mahkamah Agung), Jakarta: Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017. Tesis ini menyimpulkan bahwa pertimbangan hakim dalam
menetapkan hak pengasuhan anak di bawah umur kepada ayah
berlandaskan pada konsep kemashlahatan dan kepentingan terbaik bagi
anak. Tindakan hakim yang melakukan contra legem terhadap ketentuan
Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam merupakan pengejawantahan nilai
hukum yang bersifat progresif dimana hukum tidak terpaku pada
legalistik aturan hukum, serta responsif terhadap kepentingan
masyarakat. Hal demikian dapat dipahami bahwa ketentuan hukum
tentang hak pengasuhan anak pada hakikatnya bersifat relatif, alternatif,
dan komprehensif. Kesimpulan ini mendukung pendapat Abdul Manan
(2007) dan Jerome Frank yang mengatakan bahwa hakim harus mampu
berijtihad secara aktual, dan tujuan utama menciptakan hukum supaya
hukum mejadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial masyarakat.
Kesimpulan ini berbeda dengan pendapat Dennis Patterson Rugers
(2003) yang mengatakan bahwa hakim dalam menjalankan tugasnya
hanya sebagai pelaksana undang-undang, dan hasil ijtihad hakim tidak
dapat dijadikan sebagai dasar praktek hukum. Penelitian ini juga
menolak pendapat Soetandyo Wigjosoebroto (2010) yang mengatakan
hakim sebagai pelaksana hukum dan putusan-putusanya tidak bisa
menjadi norma hukum. Norma hukum adalah undang-undang yang
menjadi acuan yang dipakai oleh hakim untuk memutuskan sesuatu
perkara.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif/ doktrinal
dengan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analisis, dan
analisis-kritis. Sumber datanya adalah data hukum sekunder, yang
terdiri dari bahan hukum primer yaitu yurisprudensi Mahkamah Agung
No. 210K/AG/1996, 349K/AG/2006, dan 110K/AG/2007, dan bahan
hukum sekunder yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian, pendapat
pakar hukum, buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitian ini, serta bahan hukum tersier yang terdiri dari kamus
(hukum), ensiklopedi dan indeks kumulatif. Metode pengumpulan data
dilakukan dengan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan cara meneliti dokumen putusan, mengumpulkan data teoritis,
dan menganalisis data dengan content analysis.
Kata Kunci: Hadanah, Yurisprudensi, Mahkamah Agung
xvi
xvii
مستخلصنورا إيكا فطري، حضانة األوالد على اآلباء، دراسة حتليلية على اجتهاد قضاة احملكمة العليا، جاكرتا: كلية
.7102الدراسات العليا جامعة الشريف ىداية اهلل اإلسالمية احلكومية جاكرتا، ىي و بادلصلحة منوط اآلباء على واألطفال الصبيان حضانة عن ضاةالق اتقرار أن ادلبحث ىذا يستخلص
( KHIوكانت قرارات القضاة اخلارجة عن جمموعة األحكام اإلسالمية اإلندونيسية ). كاىتمامهم مبا يليق بأوالدىم، اجملتمع يهمو دلا وجميب تهاحبرفي التوقف عدم منها يراد اليت التقدم ذاتتعد تنفيذا دلقاصد القوانني 011دة اادل
ادلنان عبد قالو دلا ادلبحث يوافقألن ىذه القوانني غري مطلقة كما أهنا قابلة للبديل وتتصف بالشمولية. بني واقعة وتطورات متطلبات يناقض ال الذي القضاء يف االجتهاد كفاءة القضاة على أن من( 2007)
. اجملتمع حلاجات جميبة تكون أن القوانني تصميم أىداف من بأن قال الذي فرانك جلريوم ويوافق. أيديهم إال عليهم ليس القضاة بأن القائل( 7112) روجترز باترسون دينيس خيالف ادلبحث ىذا أن ذلك وجبانب
أساس وال للقضاء كمصدر اعتبارىا جيوز ال اجتهاداهتم من نتج ما وأن كانت كما ادلقررة القوانني تنفيذ القضاة قرارات بأن القائل( 2010) وجينجوسربوتو سوتانديو على يرد ادلبحث أن وبالتايل. القوانني لتنفيذ
القضاة إليو يرجع ما ىي القانونية ادلعايري ألن القضاء، عليها يقرر قانونية معايري تصري أن جيوز ال االجتهادية .عليو اجتهاداهتم ال نفسو، القانون وىو حتم ا، القضاء يف
وكان ىذا مبحث ا عن القانون ادلقياسي على النهج التحليلي الوصفي مع التحليل االنتقادي الذي ي ستنت ج من بيانات القانون الثانوية اليت حتتوي على مصادر القانون األساسية، وىي اجتهادات القضاة يف
كما 110K/AG/2007 و 349K/AG/2006 و 210K/AG/1996احملكمة العليا برقم القضاة أو القانونيني اخلرباء وآراء شىت مباحث من عليها احملصول الثانوية القانون مصادر من نتجيست
وادلوسوعات القانونية كادلعاجم اإلضافية وادلصادر بادلبحث ادلتصلة العلمية وادلقاالت واجملالت والكتب بتحليل( Library Research) ادلكتيب البحث منهج علىهو ف البيانات مجع أما. ادلتجمعة والفهارس
.رايت ف ورونالد ىال أ مارك دعوأب الذي وحتليلها النظرية البيانات ومجع احملكمة قرارات
: احلضانة واالجتهاد واحملكمة العليا الكلمات األساسية
xix
ABSTRACT
Nora Eka Putri, Rights of Custody to Father (Analysis the
Jurisprudence of The Supreme Court), Jakarta: Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, 2017.
This study conclude that the consideration of judges in decide
rights of custody to father based on the concept of the best interest for
child. The application of contra legem by a judge to the provision of
Article 105 Compilation of Islamic Law is the implementation of
progressive legal values which requires the law to not be adhered to the
legalistic rule of law, and responsive to the interest of society. Such
things can be understood that legal provisions on rights of custody are
essentially relative, alternative and comprehensive. This study agrees
with Abdul Manan (2007) who stated that a judge should be able to
issue an independent reasoning of the law in accordance with the actual
needs and developments. This study also agrees with Jerome Frank
stating that the main goal of creating law is that the law becomes more
responsive to the social needs and society. This study differs from the
opinion of Dennis Patterson Rugers (2003) who stated that judge in
performing his duty is simply as the executor of the law, and the result
of judge’s independent reasoning could not be used as the bases of legal
practice. This research also rejects the opinion of Soetandyo
Wigjosoebroto (2010) who stated that judge as the executor of law and
their decisions could not be used as a legal norm. Legal norm is a law
which used by the judges to decide a case.
This study is a normative or doctrinal legal research using
qualitative research type which is descriptive-analysis, and critical-
analysis. The sources of this study are secondary legal data which
consisted of primary sources namely the jurisprudence of the Supreme
Court Number 210K / AG / 1996, 349K / AG / 2006 and 110K / AG /
2007, secondary source namely research finding, legal opinion of
experts, books, journals, articles related to this study, and tertiary
sources namely law dictionaries, encyclopedia and cumulative indices.
This study uses library research method by examining the judicial
document, collecting theoretical data, and analyzing data using content
analysis.
Keywords: Custody, Jurisprudence, The Supreme Court
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ALA-LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut:
A. Konsonan
Initial Romanization Initial Romanization
}D ض A ا
Ţ ط B ب
}Z ظ T ت
‘ ع Th ث
Gh غ J ج
F ف }H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dh ذ
M م R ر
N ن Z ز
H ه،ة S س
W و Sh ش
Y ي }S ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fatḥah A A
Kasrah I I
Ḑammah U U
2. Vokal Rangkap
xiv
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
ي ... Fatḥah dan ya Ai A dan I
... و Fatḥah dan
wau Au A da U
Contoh:
H{aul :حول H{usain :حسني
C. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
<Fatḥah dan alif a ــا a dan garis di
atas
ي Kasrah dan ya Ī ــ I dan garis di
atas
Ḑamah dan wau Ū ــ وu dan garis di
atas
D. Ta’ Marbūţah
Transliterasi ta’ marbūţah (ة) di akhir kata, bila dimatikan ditulis h.
Contoh:
Madrasah :مدرسة Mar’ah : مرأة
(ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah
diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan
sebagainya, kecuali dikehendaki lafadz aslinya)
E. Shiddah
Shiddah/Tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu.
Contoh:
Shawwa>l :شوال <Rabbana : ربنا
F. Kata Sandang Alif + La>m
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al.
Contoh: لقلما : al-Qalam
xxi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................ i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ................................ iii
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... v
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN ...................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................... xiii
ABSTRAK ........................................................................................ xv
DAFTAR ISI .................................................................................... xxi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Permasalahan ............................................................................ 17
1. Identifikasi Masalah ......................................................... 17
2. Perumusan Masalah .......................................................... 17
3. Pembatasan Masalah ........................................................ 17
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 18
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 18
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ......................................... 18
F. Metodologi Penelitian .............................................................. 23
1. Jenis Penelitian ................................................................. 23
2. Pendekatan Penelitian ....................................................... 23
3. Sumber Data ..................................................................... 24
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 25
5. Teknis Analisis Data ......................................................... 25
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 25
BAB II: HADANAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Islam dan Peraturan
Perundang-undangan ................................................................. 27
1. Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Islam ..................... 27
2. Kedudukan, Hak, dan Perlindungan Hukum terhadap Anak
Dalam Konteks Peraturan Perundangan di Indonesia ....... 38
B. Hadanah dalam Perspektif Fikih .............................................. 36
C. Kekuasaan Orang Tua dan Hak Pemeliharaan Anak dalam
Perundang-undangan di Indonesia ............................................ 60
xxii
BAB III: YURISPRUDENSI DALAM PENGEMBANGAN HUKUM
NASIONAL INDONESIA
A. Sistem Hukum dalam Konteks Peradilan Indonesia ................. 69
B. Dimensi Yurisprudensi dalam Bingkai Teori dan Praktek
Peradilan Indonesia ................................................................... 81
C. Penemuan Hukum dan Peranan Putusan Hakim dalam
Melindungi Anak-anak Korban Perceraian ............................. 89
BAB IV: YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG DALAM
PENYELESAIAN PERKARA HADANAH
A. Yurisprudensi Nomor 210K/AG/1996 ..................................... 101
1. Posisi Kasus dan Duduk Perkara ...................................... 101
2. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Pertama ............................................................... 104
3. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Banding ............................................................... 106
4. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Kasasi .................................................................. 108
5. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Positif ................................................. 110
6. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Islam ................................................... 117
B. Yurisprudensi Nomor 349K/AG/2006 ..................................... 128
1. Posisi Kasus dan Duduk Perkara ...................................... 128
2. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Pertama ............................................................... 130
3. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Banding ............................................................... 132
4. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Kasasi .................................................................. 133
5. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Positif ................................................. 136
6. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Islam ................................................... 144
C. Yurisprudensi Nomor 110K/AG/2007...................................... 151
1. Posisi Kasus dan Duduk Perkara ...................................... 151
2. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Pertama ............................................................... 153
3. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
Tingkat Banding ............................................................... 154
4. Pertimbangan dan Putusan Hakim pada Pengadilan
xxiii
Tingkat Kasasi .................................................................. 156
5. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Positif ................................................. 158
6. Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam
Perspektif Hukum Islam ................................................... 167
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 183
B. Saran.......................................................................................... 184
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 185
GLOSARI ........................................................................................ 202
INDEKS........................................................................................... 206
BIOGRAFI PENULIS ..................................................................... 212
LAMPIRAN .................................................................................... 214
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perceraian merupakan kontributor utama dalam menimbulkan
berbagai masalah-masalah sosial.1 Ironisnya, Indonesia termasuk salah
satu negara dengan tingkat perceraian tertinggi, bahkan angka
perceraian di Indonesia diangap paling tinggi di Asia-Pasifik.2 Apabila
ditilik dari fakta sejarah, angka perceraian di Indonesia bersifat
fluktuatif sebagaimana tergambar dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Profesor Mark Cammack3 pada tahun 1950-an bahwa angka
perceraian di Asia Tenggara termasuk Indonesia tergolong yang paling
tinggi di dunia. Pada dekade tersebut dari 100 perkawinan, 50
diantaranya berakhir dengan perceraian.4 Akan tetapi, pada seperempat
abad terkahir pada tahun 1970-an hingga 1990-an tingkat perceraian di
Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara sempat mengalami
penurunan, padahal di belahan dunia lain (Barat) justru meningkat.5
1 Lihat Scott Coltrane and Michele Adams, ‚The Social Contruction
of the Divorce ‚Problem‛: Morality, Child Victims, and The Politics of
Gender,‛ Family Relation 54, No. 4 (Oct., 2003) : 363-372
http://www.jstor.org/stable/3700317 (Accessed: 16-01-2016). 2 Bkkbn Online, ‚Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi di Asia-
Pasifik,‛ Publikasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
jakarta, 2013, http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=967
(Accesed Agustus 23, 2015). Di tahun 2013 BKKBN menyatakan tingkat
perceraian di Indonesia tertinggi se Asia-Pasifik, dan ternyata di tahun-tahun
berikutnya jumlah perceraian di Indonesia semakin meningkat. Baca juga
Agung Sasongko, ‚Tingkat Perceraian Indonesia Meningkat Setiap Tahun, Ini
Datanya,‛ Jakarta, 14 November, 2014, Jumat; tanpa edisi,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-
perceraian-indonesia-meningkat-setiap-tahun-ini-datanya (Accessed Agustus
23, 2015). 3 Mark Cammack adalah guru besar bidang hukum dari
Southwestern University School of Law-Los Angeles, USA. 4 Hasil penelitian tersebut disampaikan dalam diskusi EMC (English
Meeting Club) yang digelar di Badilag pada hari Kamis 1 Maret 2010 dengan
menghadirkan langsung Prof. Mart Cammack sebagai pemakalah dengan
makalahnya yang berjudul Recent Divorce Trends in Indonesia. http://www.badilag.net/ http://www.pa-solok.go.id/home/3-berita-badilag/82-
diskusi-emc-dengan-prof-mark-cammack--54.html (Acceessed January 23,
2016). 5 Salah satu penyebab penurunan angka perceraian di Asia Tenggara
termasuk Indonesia dalam seperempat abad terakhir adalah pengaruh
2
Setelah itu pada tahun 2000-an tren perceraian yang menurun itu
kembali berubah drastis sehingga angka perceraian di Indonesia kembali
meningkat secara signifikan pada abad 21 dan hingga sekarang angka
perceraian di pengadilan terus meningkat dari waktu ke waktu.
Pada tahun 2005, 2006, 2007, dan 2008 total perceraian dalam
kisaran 150rb -190rb kasus yang terjadi setiap tahunnya. Tahun 2009
sekitar 2.164ribu jumlah total masyarakat yang menikah, terjadi
perceraian sebanyak 216.269 kasus. Pada tahun berikutnya 2010, dari
2.209 ribu peristiwa nikah, peristiwa perceraian meningkat lagi sehingga
berjumlah 285.185 kasus. Pada tahun 2011, peristiwa nikah sebanyak
2.320 ribu sedangkan peristiwa cerai terjadi sebanyak 271.323. Pada
tahun 2012, peristiwa nikah sebanyak 2.292 ribu dan total perceraian
297.842. Pada tahun 2013, 2.219 ribu dari jumlah total pernikahan,
peristiwa perceraian terjadi sebanyak 319.067 kasus. Pada tahun 2014
total perceraian sebanyak 336.769 kasus, dan tahun 2015 total
perceraian terjadi sebanyak 349.774 kasus.6 Data-data di atas
modernisasi dan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Indonesia, Malaysia, dan
Thailand termasuk negara yang pada waktu itu dianggap sukses dalam
percepatan pertumbuhan ekonomi sehingga berdampak pada penurunan
terjadinya perceraian di negara-negara tersebut. Lihat hasil penelitian Gavin W.
Jones, Marriage and Divorce in Islamic South-east Asia (Oxford UK: Oxford
University Press, 1994). Bandingkan dengan Gavin W. Jones, ‚Modernization
and Divorce: Contrasing trens in Islamic Southeast Asia and the West,‛
Population and Development Review 23, Vol. 1 (1997) : 93-114. Charles
Hirschman and Bussarawan Teerawichitchainan, ‚Cultural and Socioeconomic
Influences on Divorce during Modernization: Southeast Asia 1940s to 1960s,‛
Population and Development Review 29, No. 2 (Jun., 2003) : 215-253
http://www.jstor.org/stable/3115226 (Accessed: 23-01-2016). Alasan lain
terjadinya penurunan perceraian di Indonesia karena pemerintah Indonesia
melalui Undang-undang (UU RI No 1 Tahun 1974) membuat perceraian
menjadi lebih sulit karena harus diproses dan diperiksa terlebih dahulu di
Pengadilan, lihat Gavin W. Jones and others, eds. ‚Divorce in West Java,‛
Journal of Comparative Family Studies 25 (1994) : 395-416, lihat juga Mark
Cammack and others, eds. ‚Why Is the Divorce Rate Declining in Indonesia?,‛
Journal of Marriage and Family 63, No. 1 (May, 2001) : 480-490
http://www.jstor.org/stable/3654607 (Accessed: 23-01-2016). 6 Data-data tersebut Penulis peroleh dari hasil penelitian ke
Mahkamah Agung dan Kantor Sekretariat Mahkamah Agung pada tanggal 03
Mei 2015. Data-data perkara dan jumlah perceraian penulis dapatkan langsung
dari Ibu Hj. Siti Zubaedah, SH yang menjabat sebagai Kasubdit Statistik dan
Dokumentasi Ditjen Badilag MA. Dari 31 jenis perkara yang diterima, jumlah
dan persentase perkara perceraian yang paling tertinggi. Jenis perceraian
tertinggi didominasi oleh cerai gugat, dan faktor-faktor penyebab perceraian
3
memberikan gambaran bahwa tingkat perceraian secara nasional cukup
tinggi dan selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Tren perceraian yang terjadi dalam masyarakat Indonesia,
bertolak belakang dengan tujuan disyariatkannya perkawinan dan
pembentukan rumah tangga dalam Islam. Perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mi>tsa>qan ghali>zan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.7 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah
tangga yang saki}>nah, mawaddah, dan rah}mah.8 Dalam rumusan Undang-
undang Perkawinan di Indonesia menjelaskan bahwa perkawinan
merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9
Dengan maraknya fenomena perceraian maka usaha untuk membangun
keluarga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah masih jauh dari harapan.
Dampak utama yang paling dirasakan dari perceraian dalam
rumah tangga orang tua adalah dampak terhadap anak-anak yang
dilahirkan. Tidak sedikit anak-anak menanggung derita yang seharusnya
tidak mereka tanggung. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak telah secara tegas menyatakan bahwa anak adalah
amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus
dijaga, dipelihara, dan dilindungi karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat, dan hak-hak kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi.10
Penjelasan tentang hak-hak anak sebagai manusia bisa jadi tidak bisa
dipenuhi karena terjadinya perceraian orang tua.
Perpisahan dan perceraian orang tua telah mempengaruhi
kehidupan anak-anak.11
Lebih dari satu juta anak setiap tahun telah
paling banyak disebabkan oleh adanya perselisihan yang menyebabkan
ketidakharmonisan dalam rumah tangga. 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2.
8 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3.
9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1.
10Lihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 3. 11
Dampak dan pengaruh perceraian bagi anak-anak dapat dilihat
dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Rhicard E. Behrman and Linda
Sandham Quinn, ‚Children and Divorce: Overview and Analysis,‛ The Future of Children 4, No. 1, Children and Divorce (Spring, 1994) : 4-14
http://www.jstor.org/stable/1602474, Paul R. Amato, ‚Consequences of
Divorce for Adults and Children,‛ Journal of Marriage and Family 62, No. 5
(Nov, 2000) : 1269-1287 http://www.jstor.org/stable/1566735, Joan B. Kelly
and Robert E. Emery, ‚Children’s and Adjustment Followin Divorce: Risk and
4
mengalami perceraian keluarga. Anak-anak lebih rentan menjadi korban
dari pada orang dewasa, bukan hanya karena mereka lebih kecil dan
lebih lemah dari orang dewasa, tetapi juga karena kehidupan mereka
masih memiliki ketergantungan dan masih ditopang oleh orang
dewasa.12
Idealnya anak-anak tinggal bersama orang tua mereka, ayah
ibu yang melahirkan mereka karena pendidikan dan tumbuh kembang
anak pertama kali ditentukan melalui institusi sebuah keluarga. Institusi
keluarga dibangun atas pilar-pilar kehadiran ayah, ibu, dan anak-anak.
Dengan kelengkapan keluarga tersebut, maka sebuah keluarga dapat
menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dan ideal.13
Sebaliknya,
perceraian keluarga menimbulkan malapetaka karena keluarga tidak
dapat menjalankan fungsinya dengan baik sehingga pada gilirannya
anak-anak menjadi korban. Akibat perceraian, sering terjadi konflik
perebutan hak asuh anak antara suami dan istri. Hak asuh diperebutkan
bagi mereka yang mempunyai anak di bawah umur, dan masing-masing
mengklaim bahwa merekalah yang paling berhak memelihara anak yang
masih di bawah umur.
Resilience Perspektives, Family Relation 52, No. 4 (Oct, 2003) : 352-362
http://www.jstor.org/stable/3700316, Lisa Strochschein, ‚Parental Divorce and
Child Mental Health Trajectories,‛ Journal of Marriage and Family 67, No. 5
(Dec, 2005) :1286-1300 http://www.jstor.org/stable/3600313, bandingkan pula
dengan Hyun Sik Kim, ‚Consequences of Parental Divorce for Child
Development,‛ American Sociological Review 76, No. 3 (June 2011) : 487-511
http://www.jstor.org/stable/23019228 (Accessed: 16-01-2016). 12
Eugene M. Lewit dan Linda Schuurman Baker, ‚Children as
Victims of Violence,‛ The Future of Children 6, No. 3, The Juvenile Court
(Winter, 1996) : 147-156 http://www.jstor.org/stable/1602602 Accessed: 15-
01-2016. 13
Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi afeksi yaitu keluarga
sebagai tempat yang terbaik bagi anak untuk menerima kasih sayang yang tulus
dari orang tua mereka. Di samping itu keluarga juga berfungsi sebagai tempat
perlindungan, artinya bahwa keluarga menjadi pelindung yang pertama dan
utama dalam memberikan kebenaran dan keteladanan bagi anak, memberikan
rasa aman dan tenteram dalam keadaan yang lemah dan memerlukan
pembelaan. Keluarga juga sebagai fungsi ekonomis yaitu bahwa keluarga
mencukupi kebutuhan-kebutuhan ekonomi keluarga terutama anak-anak. Masih
banyak lagi fungsi-fungsi sebuah keluarga, dan BKKBN membagi fungsi-fungsi
keluarga sehingga sampai memiliki delapan fungsi, selengkapnya lihat Indra
Wirdhana dan tim, Buku Pegangan Kader BKR tentang Delapan Fungsi Keluarga (Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), 2013), 5-88.
5
Pemeliharaan anak di bawah umur dalam konteks Islam
disebut dengan hadanah.14
Hadanah dalam perspektif hukum Islam
menempati satu di antara beberapa konsep perwalian yang
pengaturannya sudah sangat jelas. Secara normatif, permasalahan
hadanah telah diatur dalam kitab-kitab fikih klasik maupun kontemporer
dengan beberapa perbedaan paradigma dan konsep. Ditinjau dari sisi
hak anak yang masih kecil/ di bawah umur, maka hadanah merupakan
suatu perbuatan yang wajib15
dilaksanakan oleh setiap orang tua
terhadap anak-anaknya, dan para ulama fikih pun telah sepakat
mengenai hal itu,16
karena apabila anak yang masih kecil tidak dirawat
dan dididik dengan baik maka akan berakibat buruk pada diri dan masa
depan mereka bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka, oleh
karenanya hadanah hukumnya wajib sebagaimana juga wajibnya
memberi nafkah kepada mereka.
14
Hadanah secara etimologis berarti di samping atau berada di
bawah ketiak, dada, serta pinggul. Lihat Muhammad ibn Mukarram ibn Manz}u>r
al-Afri>qi> al-Mis}ri>, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Da>r S{a>dir, t.t), Vol. 13, 122. Secara
terminologis berarti perawatan anak oleh orang yang berhak hadanah, mendidik, dan menjaga orang yang tidak bia sendirian mengurusi persoalan
dirinya dari hal-hal yang akan mencederai karena tiadanya kemampuan
memilah seperti anak-anak dan orang dewasa yang gila. Menjaga dan
mengurusi makanan, pakaian, tidur, kebersihan, mandi, mencuci pakaian, dan
lain-lain pada waktu dan umur tertentu. Lihat Wahbah Al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), Vol. 10, 7295-7296.
Zainuddin al-Fana>ni (w. 987) menambahkan hadanah adalah merawat anak
yang belum mumayiz dan belum menikah, lihat Zainuddin ibn Abdil-Azi>z al-
Maliba>riy al-Fana>ni al-Sha>fi‘i >, Fath al-Mu‘i>n bi Sharh} Qurrat al-‘Aini bi Muhimma>t al-Di>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2015), 200.
15 Lihat QS. Al-Nisa>’ ayat 9:
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan agar setiap orang tua
memiliki rasa khawatir meninggalkan anak keturunan yang lemah. Lemah
yang dimaksud di sini adalah dalam hal fisik, psikis, moral, kesehatan,
ekonomi, intelektual, dan sebagainya. Ayat ini mengandung pesan agar setiap
orang tua menjaga dan melindungi anak cucu, bahkan yang belum lahir
sekalipun jangan sampai mereka terlahir dalam keadaan tidak sehat,
kekurangan gizi, dan terlantar tidak terpelihara. 16
Lihat Ibn Quda>mah, al-Mughni> bab Man Ah}aqqu bi Kafa>lah al-
T{ifl, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H), Vol. 9, 298-299. Baca juga Mans}u>r bin
Yunus bin Idris al-Bahu>ti>, Kashsha>f al-Qina>‘ ‘an Matn al-Iqna>‘, (Beirut: Da>r al-
Fikr, 1402 H), Vol. 6, 495-496.
6
Indonesia sebagai negara hukum mempunyai tata hukum
berupa undang-undang yang mengatur segala sesuatu tanpa terkecuali
masalah hadanah. Undang-undang diperlukan untuk mewujudkan
kepastian hukum dan menjamin perlindungan hukum bagi anak-anak.
Dalam Hukum Positif di Indonesia, pengaturan tentang hadanah serta
hak dan kewajiban orang tua terhadapnya diatur dalam Undang-undang
perlindungan anak, Undang-undang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum
Islam. Dalam UU Perlindungan anak diatur bahwa orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara,
mendidik, dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai
dengan kemampuan, bakat dan minatnya.17
Senada dengan itu, Undang-
undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur bahwa hak dan
kewajiban orang tua terhadap anak yang dilahirkan yaitu, bahwa kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan
sebaik-baiknya.18
Kewajiban orang tua yang dimaksud berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua telah putus.19
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai sumber pengambilan
hukum di Pengadilan Agama juga ikut andil mengatur tentang
permasalahan hadanah.20
KHI menjelaskan bahwa suami istri memikul
kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya dan
pendidikan agamanya.21
Seorang suami sesuai penghasilannya
menanggung biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi
istri, anak dan biaya pendidikan anak.22
Dalam hal kewajiban orang tua
terhadap anak sampai mereka dapat berdiri sendiri, dijelaskan juga
bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri/ dewasa itu adalah
17
Lihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 26 ayat (1)
poin a-c. 18
Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tetang Perkawinan Bab X Pasal 45 ayat 1. 19
Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tetang Perkawinan Bab X Pasal 45 ayat 2. Baca juga Pasal 41 poin a
akibat putusnya perkawinan karena perceraian orang tua. 20
Kompilasi Hukum Islam meskipun bukan bertaraf undang-undang,
tetapi dari segi teknis dan formil dapat digolongkan statute law, karena secara
teknis KHI dikodifikasi dan secara formil dikukuhkan oleh Inpres No. 1 Tahun
1991. Lihat Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi (Jakarta: Kencana, 2008), 39.
21 Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 ayat (3).
22 Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat (4) poin b-c.
7
sampai umur 21 tahun, sepanjang anak tidak cacat fisik/ mental dan
belum kawin.23
Penjelasan hukum di atas menekankan bahwa kewajiban
melakukan hadanah terletak di pundak kedua orang tua yaitu ayah dan
ibu. Prinsip tersebut akan berjalan lancar manakala kedua orang tua
tetap dalam hubungan suami istri. Manakala terjadinya perceraian maka
akan mengalami permasalahan dalam pemeliharaan anak, terlebih lagi
ketika terjadi sengketa perebutan hak asuh anak, siapa yang lebih tepat
dan berhak melaksanakan hadanah anak yang masih berada di bawah
umur.
Dalam literatur fiqih, ada dua periode bagi anak dalam
kaitannya dengan hadanah, yaitu masa sebelum mumayiz, dan masa
sesudah mumayiz. Periode sebelum mumayiz merupakan periode di
mana seorang anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat
dengan yang berbahaya untuk dirinya sendiri. Oleh karenanya, dalam
periode ini seorang anak wajib untuk diasuh. Periode sebelum mumayiz
adalah dari waktu lahir sampai anak usia mumayiz. Penentuan batas usia
anak yang sudah mumayiz, ulama berbeda pendapat. Ulama Hanafi24
berpendapat bahwa usia mumayiz adalah sampai anak tersebut mampu
mengurus diri sendiri dalam keperluan makan, minum, pakaian, dan
bersuci yaitu kira-kira usia tujuh tahun atau delapan tahun. Namun ada
juga pendapat lain mengatakan usia mandiri itu adalah sembilan tahun.
Anak perempuan lebih utama diasuh oleh pihak wanita (ibu atau nenek)
hingga mencapai usia haid atau usia remaja karena mereka
membutuhkan pengetahuan tentang kewanitaan, akhlak wanita, dan tata
cara megurus rumah, dalam hal ini ibu lah yang lebih mampu
mendidiknya. Usia remaja bagi anak perempuan adalah sembilan atau
sebelas tahun.25
Ulama Maliki berpendapat,26
masa hadanah bagi anak
laki-laki selesai hingga ia balig, meskipun anak itu gila ataupun sakit
menurut pendapat yang masyhur. Adapun bagi anak perempuan masa
23
Kompilasi Hukum Islam Pasal 104. 24
Lihat ‘Ala>’ al-Di>n al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-Sana>i‘ fi Tarti>b al-Shara>i‘ (Beirut: Da>r al-kita>b al-‘Arabi>, 1982), vol. 4, 42-44. Lihat juga Muhammad bin
Ali Muhammad bin Ali bin Abdirrahman al-H{anafi> al-H{as}kafi>, al-Durr al-Mukhta>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 255-256.
25 Wahbah Al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus:
Da>r al-Fikr, 1997), vol. 10, 7322-7323. 26
Lihat Abu> al-Baraka>t Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-
Dardi>r, Al-Sharh}} al-S{agi>r ‘ala> Aqrab al-Masa>lik ila> Madzhab al-Ima>m Ma>lik
(Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1991),Vol. 2, 755. Lihat juga Muhammad bin Ahmad
Juzai al-Kalbi> al-Gharna>t{i>, Qawa>ni>n al-Fiqhiyyah, 224.
8
hadanahnya hingga ia menikah. Ulama Syafii berpendapat,27
masa
pengasuhan anak yang belum mumayiz sampai menginjak usia tujuh
tahun atau delapan tahun. Ulama Hambali sependapat dengan ulama
Syafii,28
yaitu jika anak lelaki yang normal (tidak idiot) sudah mencapai
usia tujuh tahun maka ia dipersilakan untuk memilih salah satu dari
kedua orang tuanya kalau memang kedua orang tuanya berebut untuk
mengurusnya. Adapun anak perempuan jika sudah mencapai usia tujuh
tahun maka sang ayah yang lebih berhak untuk mengurusnya tanpa
diberi kesempatan untuk memilih menurut ulama Hambali. Hal ini
berseberangan dengan pendapat ulama Syafii, alasannya karena tujuan
hadanah adalah untuk kemashlahatan dan bagi perempuan di atas tujuh
tahun bisa tercipta jika ia diurus oleh ayahnya.
Dalam sistem hukum di Indonesia, usia anak dikatakan telah
mumayiz apabila telah mencapai umur 12 tahun.29
Jika terjadi
perceraian sebelum anak berumur 12 tahun, maka pemeliharaan anak
diserahkan kepada ibu yang melahirkannya.30
Ketentuan KHI pasal 105
di atas tentang ibu lebih berhak dari ayah dalam hadanah anak di bawah
umur bersumber dari penjelasan beberapa hadist Nabi dan pendapat-
pendapat ulama fikih karena notabenenya rumusan KHI disadur dari
kitab-kitab fikih yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Imam Ahmad menceritakan ada seorang wanita menghadap Rasulullah
dan berkata:
ثدي لو سقاء وحجرى عن عبد اللو بن عمرو أن امرأة قالت يا رسول اللو إن ابن ىذا كان بطن لو وعاء و أنت أحق بو ما ل -صلى اهلل عليو وسلم-ل اللو ن أباه طلقن وأراد أن ي نتزعو منى ف قال لا رسو لو حواء وإ
31يت نكح
27
Lihat Abu> Isha>q Ibra>hi>m ibn Ali ibn Yu>suf al-Shira>zi>, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Ima>m al-Shafi‘i > (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1995), Vol. 3, 164. Baca juga Muhammad al-Khat}i>b al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muhta>j ila> Ma‘rifati Ma‘a>ni> Alfa>z}i al-Minha>j (Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2000), Vol. 5, 198. 28
Muhammad al-Khat}i>b al-Sharbi>ni>, Mughni> al-Muhta>j ila> Ma‘rifati
Ma‘a>ni> Alfa>z}i al-Minha>j, Vol. 5, 199. 29
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 poin a. 30
Lihat Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal yang sama. 31
Abu> Da>ud>, Sunan Abi> Da>ud, No. 2276, 525. Lihat juga Ah}mad
ibn H{anbal, Musnad Ima>m Ah}mad ibn H{anbal (Beirut: Muasasah al-Risa>lah,
1999), Vol. 11, No. 6707, 310. Hadist ini adalah hadist s}ahih sebab sanadnya
tidak ada yang terputus dan terlacak semua dengan kualitas yang tsiqqah.
9
dari Abdullah ibn ‘Amr, bahwa sesungguhnya seorang wanita berkata kepada Nabi, ‚ya Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya, dan air susukulah minumannya. Ayahnya hendak mengambilnya dariku.‛ Maka berkatalah Rasulullah,‛ Engkau lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum menikah (dengan laki-laki lain).‛
Sejalan dengan itu, keputusan Abu Bakar (572M-634M) dalam
kasus Umar bin Khattab (583M-644M) dengan istrinya Ummu As}im.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab (583M-644M) telah
menceraikan istrinya. Lantas ketika Umar (583M-644M) mendatangi
istrinya, dan melihat anaknya As}im sedang bersamanya, Umar (583M-
644M) hendak meminta As}im darinya. Namun, ia menolak sehingga
keduanya saling memperebutkan As}im. Akhirnya Umar (583M-644M)
menghadap Abu Bakar (572M-634M) dan menceritakan kejadian
tersebut. Abu Bakar (572M-634M) memberi keputusan bahwa anak
Umar itu ikut ibunya, dengan dasar yang dikemukakan dalam riwayat di
bawah ini:
زوج ف يختار لن فسو ي ت عن عكرمة قال : خاصم عمر أم عاصم ف عاصم إل أب بكر ف قضى لا بو ما ل يكب ر ، أو 32قال : ىي أعطف وألطف وأرق وأحن وأرحم
Ikrimah berkata, ‚Umar dan Ummu ‘A<s}im (mantan istrinya) memperkarakan hak asuh anak mereka (‘A<s}im) kepada Abu Bakar, maka Abu Bakar memutuskan hak asuh kepada istrinya (Ummu ‘A>s}im) sebelum ‘A<s}im remaja atau sebelum ia menikah sehingga nanti ia bisa menentukan pilihannya. Selanjutnya Abu Bakar berkata, ‚Ibu lebih cenderung (kepada anak), lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun, lebih baik dan lebih penyayang.‛
Berdasarkan keterangan hadist dan pernyataan Abu Bakar
(572M-634M) di atas menekankan bahwa apabila terjadi perceraian,
maka untuk kepentingan anak dalam usia tersebut, ibu lebih berhak
Mengamalkan hadist yang s}ahih adalah wajib, begitu juga menjadikannya
sebagai sandaran hukum. 32
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaibah. Lihat Abu Bakar Abdullah
ibn Muhammad ibn Abi> Shaibah al-Ku>fi>, al-Mus}annaf (Kairo: al-Farouq al-
H{adi>tsiyyah, 2008), Vol. 6, No. 19422, 19450-19452, 552-555. Walaupun
sebelumnya Umar bersikeras untuk mengambil anaknya ini sebelum membawa
perkara tersebut kepada khalifah Abu Bakar, namun di kemudian hari Umar
juga memberikan keputusan yang sama dalam persoalan hadanah. lihat juga
Imam Malik riwayat al-Laitsi> dalam Muwat}t}a’ al-Ima>m Ma>lik (Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 2014), No. 1454, 421-422.
10
untuk mengasuhnya.33
Pengasuhan seorang ibu terhadap anaknya
dianggap pengasuhan yang ideal, karena kaum hawa bisa lebih lembut,
penuh kasih sayang dan sabar dalam mendidik.34
Kasih sayang dan
keibuan menjadi faktor idealnya sebuah pengasuhan. Ibnu Qudamah
(541H-629H) seorang pakar hukum Islam dari kalangan Hambali dalam
kitabnya al-Mughni menegaskan tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama dalam masalah tersebut.35
Al-Jurjawi (1905M-1956M)36
mengemukakan hikmah
pemeliharaan anak oleh seorang ibu. Di antara hikmah tersebut yaitu,
pertama, dalam soal kehidupan kemasyarakatan, fungsi perempuan
berbeda dari laki-laki. Bantuan kasih sayang terhadap anak dan
pendidikan anak lebih utama diserahkan kepada ibu. Keistimewaan
seorang ibu dalam hal ini sangat dibutuhkan pada masa kanak-kanak.
Kedua, ibu lebih banyak bergaul dengan anak dibanding ayah dan lebih
tau dalam soal pakaian, makanan, minuman, serta kesehatan, dan lain-
lain. Hikmah pengasuhan anak laki-laki sampai tujuh tahun dan anak
perempuan sembilan tahun karena anak laki-laki pada usia tujuh tahun
telah dapat membantu dirinya untuk memulai mengetahui tentang
sesuatu, tata cara, sopan santun, dan bergaul dengan lingkungan.
Adapun anak perempuan sampai sembilan tahun karena ia memerlukan
waktu yang agak panjang untuk bisa memelihara dirinya. Dalam hal ini
ibu lebih banyak mengerti keadaan anak perempuan.
Aturan tentang ibu lebih berhak melaksanakan hadanah dari
pada ayah tidak bisa diabaikan begitu saja mengingat ancaman Nabi
terhadap seseorang yang berusaha memisahkan seorang ibu dengan
anaknya sebagaimana yang dinyatakan dalam hadist Nabi:
عن أب أيوب قال : مسعت رسول اهلل صلى اهلل عليو و سلم يقول من فرق بني الوالدة وولدىا فرق اهلل بينو 37وبني أحبتو يوم القيامة
33
Lihat Imam al-H{aramayn Abu> al-Ma‘a>li al-Juwayni, Niha>yat al-Mat}lab fi> Dira>yat al-Madhhab bab Ayyu al-Wa>lidayn Ah}aqqu bil Walad
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), vol. 9, 607-613. 34
Wahbah Al-Zuhaili> al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, (Damaskus:
Da>r al-Fikr al-Mu‘as>}ir, 1997, vol. 10, 7296. 35
Lihat lagi Ibn Quda>mah, al-Mughni> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H),
Vol. 9, 298-299. 36
Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tashri>‘ wa Falsafatuhu (Beirut:
Da>r al-Fikr 1994), 69-71. 37
Hadist riwayat Tirmidzi, Ahmad dan Hakim dari Abu Ayyub.
Derajat hadis ini s}ah}ih. Lihat al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Kairo: Da>r al-
H{adits, 2005), Vol. 3, No. 1283, 375. Lihat juga Ah}mad ibn H{anbal, Musnad
11
Abu Ayu>b berkata, ‚saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: ‚Barang siapa yang memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, niscaya Allah akan memisahkan antara orang itu dengan kekasihnya di hari kiamat.‛
Seorang hakim dituntut untuk berhati-hati dalam memberikan
sebuah keputusan hukum. Hakim tidak hanya sebagai penegak hukum
dan keadilan tetapi hakim juga sebagai pejabat negara yang mempunyai
fungsi dan tugas mulia dalam rangka mewujudkan negara hukum dan
memberikan kepastian hukum di tengah kehidupan masyarakat melalui
putusan hukumnya di pengadilan. Menurut Jeremy Bentham, proses
persidangan harus menghasilkan putusan yang akurat, karena ada
korelasi antara proses persidangan dengan hasil persidangan dan nilai-
nilai yang terkait dengan proses hukum.38
Menilik hukum yang ada di Indonesia, para ahli hukum
berbeda dalam merumuskan substansi hukum. Dalam kajian akademis,
hukum sering dikonsepsikan sebagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku, hukum positif, atau undang-undang,39
dengan komitmen
bahwa di luar undang-undang bukanlah hukum. Hakim dalam
menjalankan tugasnya sebagai pelaksana hukum, dalam pengambilan
putusan yang menjadi sumber hukumnya adalah undang-undang.
Soetandyo Wigjosoebroto mengatakan bahwa setiap ahli hukum
khususnya yang bertugas sebagai hakim untuk tidak menggunakan
rujukan-rujukan normatif lain selain yang terbilang sebagai norma
hukum guna menghukumi suatu perkara. Demi kepatuhan untuk
ketertiban dan kepastian hukum, hanya norma hukum yang telah
diundangkan sajalah yang secara murni dan konsekuen boleh dipakai
untuk menghukumi sesuatu perkara. Tidak lah norma hukum ini boleh
dicampuri dengan pertimbangan-pertimbangan yang merujuk ke
Ima>m Ah}mad ibn H{anbal 38, No. 23499, 486. Lihat al-H{a>kim al-Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala al-S{ah{i>h}ain (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), Vol. 2,
No. 2334, 63. 38
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 464.
39 Ketika digunakan istilah ‚perundang-undangan,‛ maka hukum
dimaksudkan terbatas pada undang-undang, peraturan pemerintah pengganti
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, surat edaran, dan
lain-lain. Lihat H. M. Fauzan (hakim yustisial), ‚Hakim sebagai Pembentuk
Hukum Yurisprudensi di Indonesia,‛ Varia Peradilan, No. 244 (Maret 2006) :
38-45.
12
sumber-sumber lain seperti norma moral, rasa keadilan, ideologi politik,
keyakinan pribadi, atau apapun lainnya.40
Begitupun dalam pandangan Montesquieu dan Kant,
sebagaimana yang dikutip oleh Masri Ali bahwa hakim dalam
menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya
tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanya lah
penyambung lidah dan corong undang-undang, sehingga tidak dapat
mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan
tidak dapat pula menguranginya. Hal ini disebabkan karena menurut
pandangan Montesquieu undang-undang adalah satu-satunya sumber
hukum positif. Oleh karena itu demi kepastian hukum, kesatuan hukum
serta kebebasan warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim,
hakim harus berada di bawah undang-undang. Sejalan dengan aliran
legisme yang menganggap undang-undang merupakan kebenaran satu-
satunya , dianggap lebih lengkap dan merupakan kekuasaan tertinggi,
sehingga fungsi hakim hanya menerapkan ketentuan dalam undang-
undang.41
Hans Kelsen pun berpendapat,42
untuk mewujudkan kepastian
hukum harus berdasarkan pada substansi hukum yang menempatkan
hukum positif sebagai hukum tertinggi dibandingkan dengan interaksi
masyarakat. Prilaku masyarakat wajib menyesuaikan dengan peraturan
negara. Bahkan aliran positifisme yang menjadikan undang-undang
sebagai kebenaran utama menyatakan lebih ekstrim lagi mengenai
tujuan-tujuan hukum yang tidak dapat diamati, sehingga harus
mengabaikan aspek-aspek sosial, politik, sejarah, moral, dan etika.
Menurut aliran ini, pertimbangan-pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara dianggap sebagai sifat tertutup yang hanya
berdasarkan logika.
Kepastian hukum yang diinginkan oleh peraturan perundang-
undangan ini sejalan dengan sumber hukum bagi negara yang menganut
40
Soetandyo Wigjosoebroto, ‚Terwujudnya Peradilan yang
Independen dengan Hakim Propesional yang tidak Memihak,‛ risalah artikel
dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial dan PBNU-
LPBHNU di Jakarta 8 Desember 2006. 41
Paul Scolten, Handleiding to de Beoefening van het Nederlands Burgerlijk Recht Aigemen Deel (Zwolle: Tjeenk. Willink, 1954), 2-8.
42 Hans Kelsen dalam Shidarta, ‚Filosofi Penalaran Hukum Hakim
Konstitusi dalam Masa Transisi Konstitualitas,‛ Jentera Jurnal Hukum 11, No.
3 (2006), 5-25. Lihat juga dalam Zulfadli Barus, ‚Pengaruh Renaissance
tentang Pemisahan antara Hukum dan Moral serta Dampaknya terhadap
Martabat Kemanusiaan,‛ Jurnal Yuridis 2 (2004).
13
civil law system. Pengembangan hukum dalam civil law system
dilakukan melalui pembentukan produk hukum peraturan perundang-
undangan formal yang dibentuk oleh badan legislatif.43
Kecendrungan
civil law system dalam mengatur sistem kekuasaan kehakiman
dirumuskan melalui aturan-aturan yang ada dalam undang-undang, yang
relatif kepentingannya untuk memenuhi kepentingan administrasi, dan
prediktabilitas yang tidak memperhatikan unsur keadilan para pihak
yang berperkara.44
Menurut Yohanes Suhardin, hakim dalam
mewujudkan tujuan hukum masih banyak yang memiliki paradigma rule making. Hal ini terlihat dari putusan-putusan yang dihasilkan hanya
mengutamakan kepastian hukum (keadilan prosedural) dan
mengenyampingkan keadilan moral dan keadilan sosial.45
Tidak selamanya hukum yang dikonsepsikan sebagai peraturan
perundang-undangan lebih menjangkau kemanfaatan dan keadilan bagi
masyarakat. Ketika hukum harus dipahami terbatas pada undang-
undang, maka kedudukan hakim terposisikan hanya sebagai juru
bicaranya undang-undang yang tidak memiliki kewenangan untuk
menafsir, atau menyimpangi undang-undang meskipun secara kasat
mata rumusannya telah usang dimakan zaman, substansinya telah
ketinggalan zaman. Sehingga atas dasar ini, muncul suatu pendapat
bahwa hukum tidak hanya terbatas pada undang-undang, hukum juga
dipahami sebagai keberlakuan empirik atau faktual dari hukum yang
hidup dalam kenyataan di masyarakat. Apa yang dinyatakan oleh hukum
haruslah sesuai dengan kenyataan di masyarakat.46
Karenanya, hukum
harus dipahami sebagai a cultural institution yang berkembang sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan realita kehidupan dalam masyarakat.
Hakim sebagai penegak hukum melalui putusannya harus
memperhatikan tujuan hukum yang akan dicapai. Sebagaimana
pendapat Benjamin Nathan Cardoso dan Roscoe Pound, kebebasan
hakim wajib memperhatikan tujuan hukum yaitu untuk kepentingan
umum, dan mempunyai daya guna bagi masyarakat supaya tercipta
43
Ach. Rubaiel, dkk, ‚Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia,‛ Jurnal Konstitusi 3, No. 1 (2006). 44
Arthur Taylor Von Mehren, ‚Theory and Practice of Adjudicatory
Authority in Private International Law: A Comparative Study of the Doctrine,
Policies and Practices of Common and Civil Law Systems,‛ The American Journal of Comparative law 52, No. 3 (2004).
45 Yohanes Suhardin, ‚Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam
Penegakan Hukum,‛ Mimbar Hukum 21, No. 2 (2009) : 349-352. 46
J.J.H Bruggink, Refleksi tentang Hukum (alih bahasa Arief
Sidarta) (Bandung: PT.Citra Adya Bakti, 1996), 163.
14
kebahagian, sehingga dalam wacana akademik maupun politik hukum,
lazim digunakan ungkapan: ‚hukum sebagai sarana pembaharuan atau
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat,‛ yang dalam istilah
Roscoe pound yaitu: hukum ‚ as a tool of social enginering.‛ 47 Senada dengan pendapat Alec Stone dalam upaya mewujudkan
hukum yang menjadi daya guna dan bermanfaat bagi masyarakat, bahwa
melakukan penafsiran hukum merupakan salah satu metode dan solusi
pemecahan sengketa atau perkara hukum dalam peradilan yang
berfungsi untuk melakukan pengurangan terhadap ketidakpastian yang
terdapat di dalam norma hukum. Solusi pemecahan sengketa atau
perkara hukum lainnya juga dilakukan melalui argumentasi hakim,
penerapan hukum, dan memperbanyak kerangka argumentasi hukum.48
Hakim dihargai sebaga manusia (bukan robot), hakim dihargai
daya nalar dan nurani ketuhanannya yang mampu menembus titik rasa
keadilan masyarakat yang terformulasi dalam putusan pertimbangan
hukumnya. Jika hukum dipandang sebagai kenyataan yang riil hidup dan
berkembang dalam kenyataan kehidupan masyarakat, maka kedudukan
hakim secara logis akan terposisikan sebagai judge made law. Hakim
dalam menjalankan tugas pokok tidak boleh menolak untuk memeriksa,
megadili, dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas,49
melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya dengan cara menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hakim menggali hukum dan menciptakan hukum agar menghasilkan
hukum yang dapat diterapkan kepada masyarakat. Atas dasar asas ini
lah sehingga lahirnya hukum yurisprudensi di Indonesia. Hal ini sesuai
dengan sistem common law yang saat ini berkembang dalam sistem
peradilan di dunia barat dimana suatu hukum tidak terpaku hanya pada
aturan-aturan yang tertulis dalam bentuk perundang-undangan semata.50
47
Bagir Manan, Hakim sebagai Pembaharu Hukum (Jakarta: Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI), 2007), 5. 48
Alec Stone Sweet, The Birth of Judicial Politics: The Constitutional Council in Comparative Perspective (Oxford: Oxford University
Press, 2004) : 38-39. 49
Lihat pasal 16 Undang-undang No. 4 tahun 2004, tentang
kekuasaan kehakiman. 50
Nicola Gennaioli and Andrei Shleifer, ‚The Evolution of Common
Law‛, Journal of Political Economy 115, No. 11 (2007) : 43-68. Akses melalui
http://scholar.harvard.edu/files/shleifer/files/evolution_jpe_final.pdf tanggal
15Juni 2016.
15
Yurisprudensi sebagai reformasi dan pembaharuan hukum di
Indonesia lebih potensial dalam menegakkan keadilan dan
kemashlahatan. Ada dua alasan pentingnya eksistensi yurisprudensi di
Indonesia. Pertama, yurisprudensi erat kaitannya dengan pembaharuan
dan pembinaan hukum. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa
perundang-undangan merupakan teknik utama untuk melaksanakan
pembaharuan hukum, pembaharuan kaidah-kaidah dan asas serta
penemuan arah atau bahan bagi pembaharuan kaidah, demikian juga
menggunakan sumber-sumber hukum lain, yaitu keputusan badan-badan
peradilan (yurisprudensi), sedangkan tulisan sarjana hukum yang
terkemuka disebut pula sebagai sumber tambahan.51
Kedua,
sebagaimana pernyataan Soepomo yang menyatakan bahwa di
Indonesia, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim, akan tetapi
dalam praktik di pengadilan, sebagaimana juga dalam praktik
pengadilan di negara-negara Eropa, hakim bawahan sangat
memperhatikan putusan-putusan hakim atasan berhubung pula dengan
adanya kemungkinan permohonan banding dan kasasi. Berhubungan
dengan itu, jurisprudensi dari hakim atasan merupakan sumber penting
untuk menemukan hukum objektif yang harus diselenggarakan oleh para
hakim.52
Berbicara tentang permasalahan hadanah, erat kaitannya
dengan permasalahan anak, dan secara kolektif hal tersebut menyangkut
permasalahan masa depan generasi bangsa, negara, dan agama. Di
Indonesia, hukum tertulis dan hukum positif telah mengatur tentang hak
hadanah anak di bawar umur diberikan kepada ibu yang diperkuat
dengan beberapa hadist Nabi, pendapat para sahabat dan pendapat
ulama fikih. Putusan-putusan hakim sebelumnya baik pada pengadilan
tingkat pertama, pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat
kasasi (putusan MA) umumnya menjatuhkan putusan sesuai dengan
ketentuan perundangan-undangan yang ada. Oleh karena pesatnya
perubahan dan perkembangan sosiologis, kultur, dan karakter
masyarakat, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum materil dan
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-undang No.
7 Tahun 1989 ternyata belum memberikan jawaban secara limitatif
terhadap beberapa permasalahan hukum dalam menetapkan pengasuhan
anak ketika terjadinya perceraian orang tua mereka.
51
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu Uraian tentang Landasan pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia (Bandung: Binacipta, 1976), 12.
52 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis) (Jakarat: PT Gunung Agung, 2005), 125.
16
Dalam menangani dan menetapkan siapa yang lebih berhak
untuk melakukan pengasuhan dan pemeliharaan anak pasca perceraian
harus benar-benar mempertimbangkan prinsip kemanfaatan,
kemashlahatan, dan masa depan anak. Hakim dalam hal tersebut dapat
menyimpangi kaidah undang-undang dan sekaligus berkewajiban
menggali dan menciptakan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan,
kemanfaatan, dan kemashlahatan bagi pihak yang berperkara terutama
anak. Hakim diberi wewenang untuk menemukan hukum
(rechtsvinding) dan menciptakan hukum (rechtsschepping).53 Putusan
hakim dengan menetapkan hak pengasuhan anak dengan memberikan
hak asuh anak di bawah umur kepada ayah telah memberikan corak
hukum tersendiri dalam memberikan pertimbangan hukum pengasuhan
dan pemeliharaan anak dari yang telah ditetapkan dalam perundang-
undangan terutama KHI. Dan ternyata pula terdapat beberapa
permasalahan yang muncul di luar jangkauan yang menyebabkan
pengalihan hak asuh dari ibu kepada ayah. Kondisi ini memungkinkan
berkembangnya wacana penentuan bebagai tipikal hak asuh anak yang
diharapkan bisa berperan sebagai alternatif penyelesaian dalam sengketa
hak asuh anak, sekaligus sebagai pertimbangan hakim di persidangan
demi terpenuhinya rasa keadilan bagi para pihak yang berperkara,
ataupun masyarakat secara umum tanpa terikat lagi pada ketentuan
hukum tertulis yang ada.
Penentuan tipikal kondisi psikologi, moral, serta adanya
perbedaan agama, sebagai dalil untuk memperoleh hak pengasuhan
anak. Kemungkinan-kemungkinan permasalahan yang lain adanya
penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tertulis dalam pengasuhan
anak di bawah umur, pengasuhan anak didasarkan atas pembagian hak
yang sama (satu untuk pihak istri dan satu untuk pihak suami), dan
penilaian kembali terhadap usia anak yang dapat menentukan terhadap
pilihan pengasuhan antara ayah dan ibunya, dan sebagainya. Hal ini
menuntut para hakim untuk memandang lebih jauh permasalahan dan
kondisi real secara utuh dalam menentukan hak asuh anak. Hal ini
terbukti dengan lahirnya beberapa yurisprudensi yaitu No.
210K/AG/1996, 349K/AG/2006, dan 110K/AG/2007.
Suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
(yurisprudensi) adalah menjadi milik masyarakat, dan tidak tunduk atau
menjadi hak cipta siapapun. Sehingga pada prinsipnya setiap orang
53
Lihat Bagir Manan, ‚Hakim sebagai Pembaharu Hukum,‛ Varia Peradilan, No. 254 (2007) : 5-21. Lihat juga Hasbi Hasan, ‚Dinamika
Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Bidang Perdata Islam,‛ de jure, Jurnal Syariah dan Hukum 3, No. 2 (Desember 2011) : 154-163.
17
dapat melakukan analisis terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, penelitian ini akan
menganalisis dinamika putusan perkara pengasuhan anak di bawah umur
khususnya hak pengasuhan anak yang diberikan kepada ayah dengan
memperhatikan faktor-faktor penyebab pengalihan hak asuh dari ibu
kepada ayah yang telah dikukuhkan menjadi yurisprudensi. Analisis
yurisprudensi hanya pada perkara No. 210K/AG/1996, 349K/AG/2006,
dan 110K/AG/2007 karena kelangkaan kasus yang putusan perkara
hadanah diberikan kepada ayah dan kalaupun itu ada putusan tersebut
mengambil pedoman kepada ketiga yurisprudensi di atas. Dalam
menganalisis yurisprudensi di atas akan dilakukan dari berbagai sisi
yaitu dari sisi hukum normatif sebagai hukum terapan, dan dalam
tinjauan fikih Islam yang kemudian menuangkannya ke dalam sebuah
penelitian dengan judul ‚Hak Hadanah pada Ayah (Analisis
Yurisprudensi Mahkamah Agung).‛
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan,
maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
a. Sistem hukum apa yang dianut oleh Indonesia?
b. Bagaimana kedudukan yurisprudensi dalam tata hukum di
Indonesia?
c. Siapakah yang lebih berhak memelihara anak yang belum
mumayiz apabila terjadi perceraian?
d. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara pemeliharaan anak di bawah umur diberikan
kepada ayah?
e. Apakah boleh putusan hakim bertentangan dengan
undang-undang/ hukum tertulis?
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dapat dirangkap
sebuah rumusan masalah sebagai berikut, ‚bagaimana pertimbangan
hukum hakim dalam memutuskan perkara hak pemeliharaan anak di
bawah umur diberikan pada ayah dipandang dalam perspektif hukum
positif, dan dalam perspektif fikih Islam?
3. Batasan Masalah
Objek kajian penelitian ini dibatasi pada putusan-putusan
Mahkamah Agung yang telah menjadi yurisprudensi tentang perkara hak
pemeliharaan anak di bawah umur diberikan pada ayah.
18
Yurisprudensi_tersebut adalah dalam perkara No. 210K/AG/1996,
349K/AG2006, dan 110K/AG/2007.
C. Tujuan
Berdasarkan masalah utama di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara hadanah anak di bawah umur yang diberikan pada ayah dalam
pemahaman yurisprudensi sebagai sumber hukum. Bagaimana
pertimbangan hakim dengan memberikan hak hadanah pada ayah
apabila dipandang dalam hukum positif. Apakah pertimbangan hakim
tersebut sudah memenuhi konsep keadilan hukum dan konsep hukum
prosedural yang berlaku. Penelitian ini juga menganalisa pertimbangan
hakim dalam memberikan hak hadanah anak di bawah umur yang jatuh
kepada ayah dan menguraikannya dalam sudut pandang fikih Islam.
D. Manfaat Penelitian
Secara akademisi, manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memperkaya penelitian di bidang hukum khususnya tentang
hadanah anak di bawah umur serta hubungannya dengan
yurisprudensi sebagai sumber hukum.
2. Memahamai tujuan dan rahasia hukum Islam yang terkait
dengan pemeliharaan anak di bawah umur.
3. Menjadi salah satu rujukan, menambah wawasan, pengetahuan
bagi semua pihak, dalam rangka memaksimalkan tujuan hukum
demi terealisasinya kemashlahatan anak.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian mengenai pemeliharaan anak di bawah umur dalam
hukum keluarga Islam di Indonesia memang telah banyak dilakukan
oleh akademisi, baik dalam bentuk penelitian individu ataupun
kelompok berupa karya ilmiah, buku-buku, maupun artikel. Berdasarkan
penelusuran penulis, penulis menemukan beberapa literatur yang
membahas tema tentang hadanah anak serta penelitian terhadap
putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan hadanah yang bisa
dijadikan sebagai suatu kajian dan perbandingan oleh penulis dalam
penelitian ini.
Adapun kajian tentang hadanah antara lain disertasi Ahmad
Zaenal Fanani (2014) dalam ‚Sengketa Hak Asuh Anak dalam Hukum
19
Keluarga Islam di Indonesia Perspektif Keadilan Jender.‛54
Dalam
disertasinya, Ahmad Zaenal Fanani lebih mengkritisi pasal 105 dan 156
KHI yang danggap tidak berkeadilan jender karena memberikan hak
asuh anak secara otomatis kepada ibu (berdasarkan jenis kelamin), dan
bukan berdasarkan kemampuan dan kepentingan terbaik baik anak.
Menurutnya pasal 105 dan 156 KHI harus direvisi dengan menjadikan
aspek moralitas, kesehatan dan kesempatan mendidik dan memelihara
sebagai parameter utama dalam menentukan pemegang hak asuh.
Dakwatul Chairiah (2011) dalam ‚Hak Mut‘ah, Hadanah, dan
Harta Bersama bagi Perempuan Pasca Cerai menurut Pandangan Nyai di
Pesantren Jawa Timur.‛55
Fokus penelitian dalam disertasinya adalah
berusaha untuk memahami pandangan Nyai tentang mut‘ah, hadanah, dan harta bersama pasca perceraian dengan pendekatan teori fikih dari
pendapat empat mazhab, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam kesimpulan
disertasinya, Dakwatul Chairah menyimpulkan –khususnya tentang
hadanah- bahwa pengasuhan anak sebelum baligh atau setelah baligh
pasca perceraian diserahkan kepada ibu atau kepada perempuan baik
pihak ibu atau dari pihak ayah, sedangkan ayah pada posisi tekhir
setelah perempuan. Pandangan Nyai tersebut mengisyaratkan bahwa ibu
sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap amanah dalam rangka
membimbing anak untuk kemashlahatan anak.
Agen (2015) dalam ‚Pelaksanaan Kewajiban Pemeliharaan
Anak (Alimentasi) oleh Orang Tua Pasca Putusan Perceraian di
Kabupaten Rokan Hilir.‛56
Dalam penelitiannya, Agen menyoroti
bagaimana bentuk pemeliharaan anak oleh orang tua pasa perceraian di
Rokan Hilir serta bagaimana upaya hukum apabila tidak terlaksananya
kewajiban pemeliharaan anak oleh kedua orang tua pasca perceraiaan.
Pemeliharaan anak oleh orang tua pasca putusan perceraian di Rokan
Hilir belum berjalan dengan lancar dan menunjukkan kurangnya
tanggung jawab seorang ayah/ mantan suami terhadap kewajiban
54
Ahmad Zaenal Fanani, Sengketa Hak Asuh Anak dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia Perspektif Keadilan Jender, (Disertasi pada
Program Pascasarjana (Untag) Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya). 55
Dakwatul Chairah, Hak Mut ‘ah, H }ad}anah, dan Harta Bersama bagi Perempuan Pasca Cerai menurut Pandangan Nyai di Pesantren Jawa Timur, (Disertasi Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan
Ampel Surabaya, 2011). 56
Agen, ‚Pelaksanaan Kewajiban Pemeliharaan Anak (Alimentasi)
oleh Orang Tua Pasca Putusan Perceraian di Kabupaten Rokan Hilir,‛ JOM Fakultas Hukum 2, No. 1, (Februari 2015) : 1-15.
20
pemeliharaan yang harus diberikan kepada anak-anaknya. Kesimpulan
ini didasarkan bahwa sejak terjadinya perceraian, setelah beberapa
waktu perhatian orang tua terutama ayah kian berkurang sehingga
kewajiban dalam pemeliharaan anak menyangkut nafkah tidak efektif
bahkan anak dibiarkan terlantar, sama sekali tidak menunaikan
kewajiban dalam biaya pemeliharaan anak. Upaya hukum terhadap tidak
terlaksananya kewajiban pemeliharaaan anak oleh orang tua pasca
putusan perceraian dapat ditempuh dengan cara melakukan eksekusi
sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap dengan cara paksa.
Firli Rasharendi, dkk (2013) dalam ‚Tinjauan Yuridis tentang
Tanggung Jawab Hukum Ayah terhadap Anak setelah terjadi Perceraian
Menurut Kompilasi Hukum Islam.‛57
Dalam penelitiannya, Firli dkk
berusaha menyoroti bentuk tanggung jawab hukum seorang ayah
terhadap anak pasca perceraian dalam tinjauan undang-undang
khususnya Kompilasi Hukum Islam. Bentuk tanggung jawab seorang
ayah terhadap anak setelah perceraian adalah menanggung biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak atau anak-anak hingga mereka
dewasa berdasarkan pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam dan nilai
nominalnya dalam pemeliharaan ditentukan oleh hakim setelah
perkawinan dinyatakan putus di muka pengadilan. Upaya hukum yang
dapat dilakukan oleh seorang wali apabila seorang ayah atau kedua
orang tua tidak lagi menjalankan tanggung jawab hukum yaitu tidak
melakukan kewajibannya dalam memelihara dan mendidik anak-
anaknya setelah perkawinan putus pasca perceraian, maka seorang wali
dapat mengajukan penetapan hak asuh atas anak ke pengadilan. Agar
pengadilan memberi hak asuh untuk merawat, menjaga sampai anak
tersebut dewasa atau dapat berdiri sendiri, atau belum mencapai umur
21 tahun atas perwalian itu berdasarkan pasal 107 Kompilasi Hukum
Islam.
Adapun penelitian terhadap putusan-putusan pengadilan dan
putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan hadanah antara lain
Ahmad Syahrus Sikti (2015) ‚Daf‘u al-D{arar dalam Putusan Hakim
Pengadilan Agama (Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Agama se-
Wilayah DKI Jakarta Tahun 2010-2014).‛58
Disertasi ini berusaha untuk
57
Firli Rasharendi, Tinjaun Yuridis tentang TanggungJawab Hukum Ayah terhadap Anak setelah Terjadi Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam, (Artikel Ilmiah Fakultas Hukum Universtas Jember (UNEJ), 2013).
58 Ahmad Syahrus Sikti, Daf‘u al-D{arar dalam Putusan Pengadilan
Agama (Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Agama se-Wilayah DKI
21
memberikan gambaran tentang konsep daf ‘u al-d}arar dalam beberapa
putusan dan penetapan hakim pengadilan agama se-wilayah DKI Jakarta
sejak tahun 2010-2014 baik pada pengadilan tingkat pertama,
pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat kasasi. Salah satu
putusan yang dianalisis adalah putusan pengadilan yang berkaitan
dengan perkara gugatan hak asuh anak. Putusan gugatan hak asuh anak
pada Pengadilan Agama Jakarta Timur terdapat tiga putusan yang
diteliti. Tiga putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dua putusan
di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dan satu putusan di Pengadilan
Agama Jakarta Barat. Berdasarkan hasil penelitian dalam disertasinya,
semua putusan berorientasi kepada kaidah fikih dar’u al-mafa>sid muqaddamun ‘ala jalbi al-mas}a>lih} dengan memberikan hak asuh anak
yang belum mumayiz kepada ibu. Menurut Ahmad, pemberian hak asuh
anak kepada ibu lebih memberikan kemaslahatan bagi si anak dan
ibunya dalam menumbuh kembangkan anak yang belum karena anak
yang belum mumayiz lebih butuh kasih sayang ibunya dibanding
bapaknya. Pertimbangan mengenai hal-hal tersebut harus dilakukan agar
terhindar dari d}arar bagi anak.
‚Status Hukum dan Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian
karena Perkawinan Campuran (Analisis Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor 480/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel),‛59
karya Hanum
Megasari. Dalam tesisnya, Hanum menganalisis putusan No.
480/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel tentang pemeliharaan anak dan status
hukum anak akibat perceraian orang tua yang melakukan perkawinan
campuran antara warga Indonesia dan Inggris. Dalam amar putusan,
hakim memutuskan bahwa hak pengasuhan, pemeliharaan, dan
perawatan anak diberikan kepada ibu selaku penggugat berdasarkan
pertimbangan hukum hakim bahwa anak tersebut masih di bawah umur
yang sangat memerlukan pemeliharaan dan pengasuhan seorang ibu agar
anak dapat tumbuh dengan baik sampai ia dewasa. Berdasarkan analisis
dari penelitian tesisnya, Hanum menyimpulkan bahwa putusan
pengadilan negeri jakarta selatan sudah sesuai dengan UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, karena itu ketentuan tentang pemeliharaan anak
tunduk pada undang-undang tersebut sebagaimana yang diatur dalam
pasal 41, 45, 47, dan 48.
Jakarta Tahun 2010-2014), (Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015). 59
Hanum Megasari, Status Hukum dan Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian karena Perkawinan Campuran (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 480/Pdt.G/2004/PN. Jak.Sel, (Tesis Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009).
22
‚Law in Action: Analisis Implementasi UU No. 23 Tahun
2002 pada Putusan Hakim dalam Perkara Hadanah di Pengadilan
Agama‛60
karya Dewi Sukarti dan Hotnidah Nasution. Dalam
penelitiannya,mereka menganalisis beberapa putusan pengadilan
tentang hadanah apakah putusan-putusan tersebut sudah mengacu pada
UU No. 23 Tahun 2002 khususnya Pasal 2, 6, dan 24 tentang
dihargainya pendapat anak dalam perselisihan orang tua. Dari analisis
tersebut mereka menyimpulkan bahwa UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak belum terimplikasi dalam putusan hakim pada
perkara hadanah di peradilan agama. Hal ini disebabkan karena beberapa
faktor. Pertama , pengetahuan hakim tentang UU Perlindungan Anak
belum begitu baik sehingga sedikitnya putusan yang mengacu pada UU
No. 23 Tahun 2002. Kedua, alasan materil karena hakim pengadilan
agama telah mapan dengan paket materil hukum yang berkaitan dengan
perceraian yaitu UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI. UU No. 1 Tahun 1974
dan KHI dianggap sudah lengkap oleh hakim, meskipun dalam keadaan
tertentu hakim melengkapinya lagi dengan ijtihad. Ketiga,alasan formil
yaitu hakim harus bersikap pasif artinya bahwa hakim hanya menunggu
perkara diajukan ke pengadilan untuk diperiksa, diadili, dan diputuskan,
hakim tidak bisa memutuskan hal-hal yang tidak dimuat dalam petitum.
‚Keadilan Hukum pada Pertimbangan Hakim dalam
Memutuskan Hak Asuh Anak,‛61
karya Umar Haris Sanjaya.Dalam
penelitiannya, Umar meneliti tiga putusan hakim yang berbeda tentang
hak asuh anak yang diterbitkan pada tahun yang sama yaitu tahun 2010.
Putusan yang diteliti adalah perkara No. 232/K/Pdt/2010 hakim
memberikan hak asuh kepada ayah, putusan No. 226/K/Pdt/2010 hakim
memberikan hak asuh kepada ibu, dan putusan No. 234/K/Pdt/2010
hakim mentapkan hak asuh kepada kedua orang tua anak yaitu ayah dan
ibu. Dari hasil pengamatan dalam bentuk analisis terhadap tiga putusan
dapat disimpulkan bahwa putusan-putusan tersebut sangat dipengaruhi
unsur kepastian hukum. Hakim berpegang teguh kepada dasar hukum
yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, baik secara materil
maupun formil. Pada putusan No. 226/K/Pdt/2010 dan putusan No.
232/K/Pdt/2010 hakim mengedepankan argumen hukum dengan dasar
60
Dewi Sukarti dan Hotnidah Nasution, ‚Law in Action: Analisis
Implementasi UU No. 23 Tahun 2002 pada Putusan Hakim dalam Perkara
Hadanah di Pengadilan Agama,‛ jurnal al-Qalam 27, No. 2 (Mei-Agustus 2010)
: 305-330. 61
Umar Haris Sanjaya, ‚Keadilan Hukum pada Pertimbangan Hakim
dalam Memutuskan Hak Asuh Anak,‛ Yuridika 30, No. 2 (Mei-Agustus 2015) :
129-140.
23
peraturan pasal 156 dan pasal 156 huruf (c), sedangkan putusan No.
234/K/Pdt/2010 mengambilkan kesimpulan bahwa tidak akan
memutuskan perkara yang tidak dimohon. Oleh karena itu pertimbangan
yang dilakukan hakim mencerminkan unsur kepastian hukum dan
prosedur hukum. Adapun mengkaji terhadap tepat tidaknya suatu
pertimbangan hakim kembali kepada azas dibuatnya suatu putusan
bahwa putusan harus memuat alasan dan dasar hukum. Dalam
penelitiannya, Umar mengambil kesimpulan bahwa tiga putusan hakim
yang berkaitan dengan hak asuh anak pertimbangan yang diberikan
sudah tepat dan mencerminkan keadilan yang sesungguhnya.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif
(normative legal research). Penelitian hukum normatif merupakan
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
penalaran/ logika keilmuan dari sisi normatifnya.62
Penelitian hukum
normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal.63
Metode
penelitian hukum normatif dalam penelitian ini adalah penelitian
yurisprudensi yang dikenal juga dengan studi putusan, karena yang
menjadi objek dalam penelitian ini adalah putusan-putusan Mahkamah
Agung yang telah menjadi yurisprudensi. Oleh karena itu tipologi
penelitian hukum normatif dalam penelitian ini adalah termasuk
penelitian inventarisasi hukum yang menkonsepsikan hukum positif
juga identik dengan putusan-putusan hakim di pengadilan.
62
Penelitian hukum normatif dapat juga diartikan penelitian yang
ditujukan untuk mengkaji kualitas dari norma hukum itu sendiri, lihat Meray
Hendrik Mezak, ‚Jenis, Metode, dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum,‛
Law Review V, No. 3 (Maret 2006). Bandingkan juga dengan Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang
mencakup penelitian terhadap azas-azas hukum, penelitian terhadap sistematik
hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal,
perbandingan hukum dan sejarah hukum, selengkapnya lihat Soerjono Soekanto
dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 12-14. Lihat dan bandingkan juga
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Pt RajaGrafindo
Persada, 2003), 81-100. 63
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 118.
24
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif64
. Berdasarkan
sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif-analisis65
dan
analisis-kritis.66
Penelitian hukum normatif yang dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan
sebagai norma kaidah yang merupakan patokan prilaku manusia,
karenanya sumber datanya hanyalah data sekunder67
yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini
adalah putusan-putusan Mahkamah Agung yang telah menjadi
yurisprudensi terhadap perkara No. 210K/AG/1996, 349K/AG/2006, dan
110K/AG/2007. Bahan hukum sekunder yang digunakan sebagai bahan
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer adalah
hasil-hasil penelitian atau pendapat pakar hukum, buku-buku, jurnal-
jurnal, data-data dari website Mahkamah Agung, Undang-undang No.
50 Tahun 2009 jo Undang-undang No. 3 Tahun 2006 jo Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang No.
64
Penelitian kualitatif adalah istilah umum yang mencakup berbagai
teknik interpretatif yang berusaha untuk menjelaskan, menerjemahkan suatu
makna yang terjadi secara alamai dalam dunia sosial (Van Maanen, 1979).
Karakteristik dari penelitian kualitatif ini adalah dari segi fokus penelitiannya
yaitu terhadap proses, pemahaman, dan makna. Instrumen utama penelitian dari
segi pengolahan data yang bersifat analisis dengan proses induktif, dan
menghasilkan produk yang kaya deskriptif. Selengkapnya dapat dilihat dalam
Sharan B. Merriam, Qualitatve Research a Guide to Design and Implementation (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 3-17. Bandingkan juga
dengan Lexi J. Moeong yang mengatakan penelitian kualitatif merupakan
wahana untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan suatu
kebenaran, selengkapnyaLexi J Moeong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda, 2006), 32.
65Penelitian deskriptif-analisis adalah metode pengumpulan data
melalui interprestasi yang tepat (Whitey, 1960) atau metode yang bertujuan
mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap suatu obyek penelitian yang
diteliti melalui data yang telah terkumpul dan membuat kesimpulan yang
berlaku umum (Soegiyono, 2009). Jadi dapat disimpulkan bahwa metode
deskriptif-analisis berorientasi pada pemecahan masalah. 66
Selengkapnya baca Donal E. Comstock, A Methode for Critical Research) (Washington: Washington State University Press, 1980). Buku ini
juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Mahmudi
dengan judul Metode Penelitian Kritis Meneliti Dunia untuk Merubahnya. 67
Bandingkan dengan Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum (Bandung: Sinar Baru 1984), 110, bandingkan juga dengan
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitin Hukum (Jakarta: UI Press, 2001), 52.
25
3Tahun 2009 jo Undang-undang No. 5 Tahun 2004 jo Undang-undang
No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Undang-undang No.
48 Tahun 2009 jo Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
Kehakiman Sedangkan bahan hukum tersier sebagai bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder yaitu kamus (hukum), dan ensiklopedia.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan melakukan
penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu meneliti dokumen-
dokumen putusan yang berkaitan dengan perkara hak hadanah pada
ayah. Mengumpulkan data teoritis tentang hadanah anak di bawah
umur, pendapat para fuqaha, serta pertimbangan-pertimbangan hakim
dalam penerapannya. Penulis akan berusaha menemukan kesimpulan
dengan melakukan pengkajian secara mendalam terhadap sumber data
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis)68yaitu
menganalisis dan mengolah data setelah dilakukan observasi terhadap
objek penelitian, melakukan studi dokumentasi, kemudian menganalisis
objek penelitian dengan menggunakan hukum positif dan hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan content analysis yang digagas oleh Mark A.
Hall dan Ronald F. Wright.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari V bab. Bab I
merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
permasalahan kasus penelitian yang terdiri dari identifikasi masalah,
68
Sebenarnya analisis isi (content analysis) merupakan metode
penelitian yang dikembangkan dalam bidang komunikasi yang diarahkan untuk
merumuskan kesimpulan umum dari teks yang dimuat media massa terutama
surat kabar, lihat dan baca Klaus Krippendorff, Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi (Jakarta: Rajawali Press 1986), lihat juga J, Vredenbregt,
Metode dan Teknik Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1978), 62-67. Oleh karena
itu, analisis isi merupakan salah metode penelitian kuantitatif. Namun
demikian, ia juga dapat diadaptasi untuk digunakan dalam penelitian kualitatif
seperti penelitian terhadap sejumlah teks misal ayat al-Qur’an, hadist, dan
pemikiran ulama. Demikian pula, metode ini dapat digunakan terhadap
penelitian teks peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (yurisprudensi), yang dikenal sebagai
analisis yurisprudensi. lihat Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 288.
26
rumusan masalah, dan batasan masalah, penelitian terdahulu yang
relevan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan.
Penelitian ini difokuskan dalam konteks hadanah dalam
perspektif hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Oleh sebab
itu, pada bab II penulis memaparkan tentang kedudukan dan hak-hak
anak dalam Islam dan peraturan perundang-undangan, hadanah dalam
perspektif fikih, dan hadanah dan kekuasaan orang tua dalam
perundang-undangan di Indonesia.
Sebagai sebuah penelitian yang bersumber dari yurisprudensi
Mahkamah Agung, maka penelitian ini akan memaparkan tentang
segala aspek yang berkaitan dengan yurisprudensi dalam hukum
nasional Indonesia yang meliputi sistem hukum dalam konteks peradilan
Indonesia, dimensi yurisprudensi dalam bingkai teori dan praktek
peradilan di Indonesia, dan penemuan hukum dan peranan putusan
hakim dalam melindungi anak-anak korban perceraian orang tua.
Setelah mengungkapkan aspek-aspek tentang hadanah dalam
tinjauan hukum Islam dan dalam perundang-undangan di Indonesia,
serta kedudukan yurisprudensi Mahkamah Agung, maka pada bab IV
menjelaskan posisi kasus-kasus perkara hadanah dalam putusan
Mahkamah Agung (perkara No. 210K/AG/1996, 349K/AG/2006, dan
110K/AG/2007), menguraikan pertimbangan dan putusan hakim pada
pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi,
kemudian melakukan analisis perkara tersebut yang telah menjadi
yurisprudensi. Analisis dilakukan terhadap pertimbangan hakim dan
putusan hakim dalam memberikan hak asuh anak di bawah umur
diberikan kepada ayah pada tataran hukum positif, dan sudut pandang
hukum Islam.
Bab V merupakan bab terakhir dari penelitian ini yang berisi
penutup yang terdiri dari kesimpulan dari permasalahan yang diajukan,
kemudian mengemukakan saran-saran dalam kasus yang diteliti yang
bertumpu pada kekuasaan kehakiman untuk memberikan rasa keadilan
dan kemashlahatan bagi masyarakat khususnya bagi para pihak yang
sedang berperkara terutama terhadap kepentingan anak.