Post on 03-Jul-2015
A. Hernia Nukleus Pulposus 1. Definisi
Hernia Nukleus pulposus (HNP) adalah suatu keadaan dimana terjadi penonjolan pada diskus intervertebralis ke dalam kanalis vertebralis (protrusi diskus ) atau nucleus pulposus yang terlepas sebagian tersendiri di dalam kanalis vertebralis (rupture discus).
2. EtiologiBeberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya HNP adalah sebagai berikut:
Riwayat trauma Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat beban beban berat, duduk, mengemudi
dalam waktu lama. Sering membungkuk. Posisi tubuh saat berjalan. Proses degeneratif (usia 30-50 tahun). Struktur tulang belakang. Kelemahan otot-oto perut, tulang belakang.
3. PatofisiologiSebagian besar heniasi diskus, terjadi di daerah lumbal di antara ruang L4 ke L5 atau L5 ke S1. Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma (jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula
spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.
4. Macam-macam HNP
a. HNP sentralHNP sentral akan menimbulkan paraparesis flasid, parestesia, dan retensi urine
b. HNP lateralRasa nyeri terletak pada punggung bawah, ditengah-tengah antara pantat dan betis, belakang tumit dan telapak kaki. Ditempat itu juga akan terasa nyeri tekan. Kekuatan ekstensi jari ke V kaki berkurang dan refleks achiler negatif. Pada HNP lateral L 4-5 rasa nyeri dan tekan didapatkan di punggung bawah, bagian lateral pantat, tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kekuatan ekstensi ibu jari kaki berkurang dan refleks patela negatif. Sensibilitas [ada dermatom yang sdesuai dengan radiks yang terkena menurun. Pada percobaan lasegue atau test mengnagkat tungkai yang lurus (straigh leg raising) yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan fleksi di sendi panggul, akan dirasakan nyeri disepanjang bagian belakang (tanda lasefue positif). Valsava dab nafsinger akan memberikan hasil posistif .
Arah tersering dari herniasi nucleus pulposus adalah posteolateral. Karena aka saraf di daerah lumbal, miring ke bawah sewaktu keluar melalui foramen saraf. Herniasi diskus antara L5 dan S1 lebih mempengaruhi akar saraf S1. Herniasi diskus antara L4 dan L5 menekan saraf L5.
5. Tanda dan Gejala Nyeri punggung yang menyebar ke ekstremitas bawah Spasme otot. Peningkatan rasa nyeri bila batuk, mengedan, bersin, membungkuk, mengangkat
beban berat, berdiri secara tiba-tiba. Kesemutan, kekakuan, kelemahan pada ekstermitas. Deformitas. Penurunan fungsi sensori, motorik. Konstipasi, kesulitan saat defekasi dan berkemih.
Gejala dan tanda penyakit henia diskus berdasarkan letak:Lokasi
HerniasiAkar
Syaraf yg
terkena
Nyeri Kelemahan otot
Parestesia Atrofi Refleks
L4 ke L5 L5 Di atas sendi sakroiliaka, panggul, aspek
Dapat menyebabkan kaki lunglai (footdrop),
Tungkai lateral, bagian distal kaki, di antara
Tidak ada
Reflex lutut dan pergelangan kaki berkurang.
lateral paha dan betis, aspek medial kaki (nyeri yang menyebar ke bawah ke panggul dan tungkai disebut skiatika)
kesulitan dorsifleksi kaki dan atau jempol kaki, kesulitan berjalan dengan tumit
jari kaki pertama dan kedua
L5 ke S1 S1 Di atas sendi sakroiliaka, bagian posterior seluruh tungkai sampai ke tumit, aspek lateral kaki
Dapat menyebabkan melemahnya fleksiplantar, abduksi jari-jari kaki dan otot hamstring, kesulitan berjalan jinjit
Pertengahan betis dari aspek lateral kaki, termasuk jari kaki keempat dan kelima
Gastronknemius
Reflex pergelangan kaki mungkin berkurang atau hilang
C5 ke C6 C6 Nyeri leher yang menyebar ke bahu, lengan, dan lengan atas
biseps Aspek radial lengan atas, jempol dan telunjuk
Tidak ada
Reflex bisep berkurang atau hilang
6. Penatalaksanaana. Konservatif bila tidak dijumpai defisit neurologik :
Tidur diatas kasur yang keras Exercise digunakan untuk mengurangi tekanan atau kompresi saraf. Terapi obat-obatan : muscle relaxant, nonsteroid, anti inflamasi drug dan analgetik.
Terapi panas dingin. Imobilisasi atau brancing, dengan menggunakan lumbosacral brace atau korset Terapi diet untuk mengurangi BB. Traksi lumbal Transcutaneus Elektrical Nerve Stimulation (TENS).
b. PembedahanMacam-macam pembedahan Laminectomy hanya dilakukan pada penderita yang mengalami nyeri menetap dan
tidak dapat diatasi, terjadi gejala pada kedua sisi tubuh dan adanya gangguan neurology utama seperti inkontinensia usus dan kandung kemih serta foot droop. Laminectomy adalah suatu tindakan pembedahan atau pengeluaran atau pemotongan lamina tulang belakang dan biasanya dilakukan untuk memperbaiki luka pada spinal. Laminectomy adalah pengangkaan sebagian dari discus lamina (Barbara C. Long, 1996).Laminectomy adalah memperbaiki satu atau lebih lamina vertebra, osteophytis, dan herniated nucleus pulposus.
Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral
Faraminotomi.Pembedahan diskus dan permukaan sendi untuk mengangkat tulang yang menekan syaraf.
MikrodisektomiPenggunaan mikroskop saat operasi untuk melihat potongan yang mengganggu dan menekan serabut syaraf
Indikasi pembedahan: Pasien yang mengalami nyeri rekalsitran persisten Pasien yang sering mengalami nyeri meskipun telah dilakukan terapi konservatif Pasien dengan gangguan neurologic besar, seperti: kelemahan motorik progresif
akibat cedera akar saraf atau inkontinensia urine atau alvi.
7. Komplikasi Kelemahan dan atropi otot Trauma serabut syaraf dan jaringan lain Kehilangan kontrol otot sphinter Paralis / ketidakmampuan pergerakan Perdarahan Infeksi dan inflamasi pada tingkat pembedahan diskus spinal
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
KASUS 4Tn. Munir (48 th) mengeluh nyeri pinggang menjalar ke kaki. Kedua kaki seperti kesemutan sejak 2 minggu yang lalu. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan postur berjalan normal, saat duduk Tn. Munir selalu memilih kursi dengan senderan punggung dan tangan. Lab menunjukan hasil normal.
Pengkajian1. Wawancara
a. Pola aktivitas/istirahat:Klien mengatakan: mengemudi dalam waktu lama, karena pekerjaannya sebagai pengemudi truk
sampah penurunan rentang gerak dari ekstermitas pada salah satu bagian tubuh, tidak
mampu melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.b. Eliminasi : klien mengatakan mengalami kesulitan BAB sejak 2 hari yang laluc. Nyeri / kenyamanan :
Klien mengatakan: Nyeri seperti tertusuk pisau Nyeri pinggang yang menjalar ke kaki, bokong (lumbal) tidak dapat membungkuk ke depan.
d. Neurologi: Klien mengatakan kakinya seperti kesemutan sejak 2 minggu yang lalu. Kesemutan yang dirasakan pada kaki terdapat di jari-jari kaki.
2. Pemeriksaan fisika. TTV: TD 130/90 mmHg, S: 37˚C, N: 90 x/menit, P: 18x/menitb. BB: 57 kg TB: 165 cmc. Postur berjalan normald. Saat duduk membutuhkan kursi dengan senderane. Penurunan reflex lutut dan pergelangan kaki
3. Pemeriksaan penunjanga. Laboraturium
-Darah lengkap:Eritrosit: 5jt/CU.mmTrombosit: 180.000 mm3/ dlLeukosit: 9000 / dl
b. Foto polos lumbosakral: memperlihatkan penyempitan pada keping sendic. CT scan lumbosakral : dapat memperlihatkan letak disk protusion.d.MRI ; dapat memperlihatkan perubahan tulang dan jaringan lunak divertebra serta
herniasi. Ada herniasi.e.Lumbal punctur : untuk mengetahui kondisi infeksi dan kondisi cairan serebro spinal.
Analisa Data
Data Objektif Data Subjektif TTV: TD 130/90 mmHg, S:
37˚C, N: 90 x/menit, P: 18x/menit
BB: 57 kg TB: 165 cm Postur berjalan normal Saat duduk membutuhkan
kursi dengan senderan Penurunan reflex lutut dan
pergelangan kaki Klien tampak cemas
Klien mengatakan: mengemudi dalam waktu lama, karena
pekerjaannya sebagai pengemudi truk sampah
penurunan rentang gerak dari ekstermitas pada salah satu bagian tubuh, tidak mampu melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.
Klien mengatakan sebelumnya tidak pernah mengalami hal seperti ini
Nyeri seperti tertusuk pisau Nyeri pinggang yang menjalar ke
kaki, bokong (lumbal) tidak dapat membungkuk ke depan. kakinya seperti kesemutan sejak 2
minggu yang lalu. Kesemutan yang dirasakan pada kaki terdapat di jari-jari kaki
Takut terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya, sehingga tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b.d Kompresi saraf yang dimanifestasikan oleh klien mengatakan nyeri pada bagian punggung yang menjalar ke kaki
2. Risiko gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskulus3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
Renpra HNP
Diagnosa Tujuan IntervensiNyeri b.d Kompresi saraf yang dimanifestasikan oleh klien mengatakan nyeri pada bagian
Setelah dilakukan askep 3 jam tingkat kenyamanan klien meningkat, nyeri
Kaji nyeri secara komprehensif ( lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
punggung yang menjalar ke kaki
terkontrol.
KH:
Klien melaporkan nyeri berkurang dg scala 2-3
Ekspresi wajah tenang
klien dapat istirahat dan tidur
v/s dbn
faktor presipitasi ). Observasi reaksi
nonverbal dari ketidak nyamanan.
Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.
Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan.
Kurangi faktor presipitasi nyeri.
Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non farmakologis).
Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..
Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri.
Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik tidak berhasil.
Monitor TTV Evaluasi efektifitas
analgetik, tanda dan gejala efek samping.
Risiko gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan
Setelah dilakukan askep, terjadi peningkatan
Kaji kemampuan pasien dalam melakukan
neuromuskulus Ambulasi :Tingkat mobilisasi, Perawtan diri.
KH:Peningkatan aktivitas fisik
ambulasi Kolaborasi dg fisioterapi
untuk perencanaan ambulasi
Latih pasien ROM pasif-aktif sesuai kemampuan
Ajarkan pasien berpindah tempat secara bertahap
Evaluasi pasien dalam kemampuan ambulasi
Pendidikan kesehatan Edukasi pada pasien dan
keluarga pentingnya ambulasi dini
Edukasi pada pasien dan keluarga tahap ambulasi
Berikan reinforcement positip atas usaha yang dilakukan pasien.
Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
Setelah dilakukan askep, cemas terkontrol dengan
KH: Secara verbal dapat
mendemonstrasikan teknik menurunkan cemas.
Mencari informasi yang dapat menurunkan cemas
Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas
Menerima status kesehatan.
Penurunan kecemasan : Bina hubungan saling
percaya dengan klien / keluarga
Kaji tingka kecemasan klien.
Tenangkan klien dan dengarkan keluhan klien dengan atensi
Jelaskan semua prosedur tindakan kepada klien setiap akan melakukan tindakan
Dampongi klien dan ajak berkomunikasi yang terapeutik
Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan
perasaannya. Ajarkan teknik relaksasi Bantu klien untuk
mengungkapkan hal-hal yang membuat cemas.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk pemberian obat penenang, jika di perlukan
Jika klien akan dilakukan operasi, maka diagnosa yang mungkin muncul adalah:
a. Pre Operasi:
Diagnosa Keperawatan Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan kompresi syaraf, spasme otot. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri dan ketidakmampuan spasme otot,
therapi restriktif (tirah baring, traksi),kerusakan neuromuskular. Koping indifidu inefektif, cemas berhubungan dengan krisis situasi, status
kesehatan, status sosioekonomik, peran fungsi gangguan nyeri berulang, ketidakkuatan relaksasi dan metode koping.
Kurang pengetahuan mengenai sumber-sumber informasi.Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Tujuan IntervensiGangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan kompresi syaraf, spasme otot
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, gangguan rasa nyaman : nyeri dapat teratasi.Kriteria hasilMelaporkan nyeri hilang / terkontrol. (skala 0-3) dapat melakukan tehnik relaksasi
Kaji adanya keluhan nyeri, catatan lokasi, lamanya, faktor pencetus, intensitas (skala 0-10); pertahankan tirah baring selama fase akut, posisi semifowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut fleksi, posisi terlentang atau lateral
Gunakan logroll (papan)
selamamelakukan perubahan posisi
Bantu pemasangan brace / korset;
Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
Letakan senua kebutuhan agar mudah di jangkau pasien
Anjurkan untuk melakukan mekanika tubuh yang tepat
Berikan analgesik sesuai indikasi.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri dan ketidakmampuan spasme otot, therapi restriktif (tirah baring, traksi),kerusakan neuromuskular.
Setalah dilakukan tindakan keperawatan, aktivitas klien bertahap.
Kriteria HasilPemahaman tentang situasi / faktor resiko dan aturan therapi, Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi tubuh yang sakit.
Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi
Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak aktif-pasif, anjurkan pasien untuk melatih kaki bagian bawah, catat adanya edema, eritma, dan tanda homan,
Berikan perawatan kulit dengan baik / message dan periksa keadaan kulit di bawah korset pada priode tertentu, berikan obat penghilang rasa nyeri kurang lebih 30 menit sebelum / sesudah ambulasi.
b. Post Operasi
Diagnosa Keperawatan: Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan / terhentinya aliran
darah (edema area operasi, pembentukan hematoma), hipovolemia. Resiko tinggi trauma (spinal) berhubungan dengan kelemahan temporer dari
kolumna spinal, kesulitan keseimbangan, perubahan dalam koordinasi otot. Pola nafas inefekif behubungan dengan obstuksi / edema trakeal, bronkial,
penurunan ekspansi paru paru, nyeri. Gangguan rasa nyaman : nyeri behubungan dengan tindakan pembedahan,
edema, inflamasi. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan neuromoskular, keterbatasan
akibat kondisi, nyeri. Gangguan eliminasi fekal : Konstipasi berhubungan dengan nyeri dan bengkak
pada area bedah, imobilisasi, penurunan aktivitas fisik, perubahan stimulasi syaraf, stres emosi, kurang privasi, perubahan / pembatasan masukan diet.
Resiko tinggi gangguan eliminasi urine : retensi berhubungan dengan nyeri dan bengkak pada area operasi, kebutuhan terhadap tetap berbaring di tempat tidur.
Rencana Asuhan KeperawatanDiagnosa Tujuan Intervensi
Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan / terhentinya aliran darah (adema area operasi, pembentukan hematoma), hipovolemia.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, perubahan perfusi jaringan dapat teratasi.
Kriteria HasilMelakukan pergerakan dengan tepat.
Kaji pergerakan / sensasi dari ekstermitas bawah kaki (lumbal), pertahankan pasien dalam posisi terlentang sempuna selama beberapa jam, ukur tanda vital, catat kehangatan dan pengisian kapiler, pantau pengeluaran drain jika ada,\
Palpasi area operasi untuk mengetahui adema dan inspeksi balutan untuk melihat pengeluaran drainse,berikan therapi cairan /
darah sesuai indikasi
Kolaborasi pemeriksaan lab (Hb, Ht, dan sel darah merah).
Resti trauma (spinal) berhubungan dengan kelemahan temporer dari kolumma spinal, kesulitan keseimbangan, perubahan dalam kordinasi otot.
Setelah dilakukan tindakan, resti trauma (spinal) tidak terjadi.Kriteria HasilMempertahankan kesejajaran yang tepat dari spinal. Mengenai kebutuhan / mencari bantuan dengan aktivitas.
Berikan papan pada bawah tempat tidur / matras yang keras
Batasi aktivitas klien, Ubah posisi pasien secara bersamaan dari satu sisi ke sisi yang lain, dan berlahan
Hindari posisi duduk dalam waktu yang lama
Hindari ketegangan, perputaran, fleksi atau tekanan pada spinal
Observasi tekanan darah, catat adanya pusing dan kelemahan, pakaikan brace / korset, limbal yang sesuai
Rujuk ke ahli fisiotheraphi
Terapi MedisTerapi medis yang dapat diberikan, adalah Morfin atau Ketorolac
Analgetik Narkotik (Morfin)Indikasi: penatalaksanaan nyeri kronik pada pasien yang perlu analgesic opioidDosis: (-) opioid: 10-15 mg.
KI: depresi pernapasan, penyakit obstruksi jalan napas, penyakit hati akutES: hipoventilasi, mual, muntah
OAINS (ketorolac)Indikasi:Pengobatan jangka pendek terhadap rasa nyeri akut yang sifatnya sedang sampai berat setelah operasi. Lama penggunaan Ketorolak tidak boleh lebih dari 5 hari. Disarankan Ketorolak parenteral diberikan segera sesudah operasi. Pada penderita, pemberian Ketorolak harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin tetapi lama terapi dengan ketorolak tidak boleh lebih dari 5 hari. Ketorolak tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat kebidanan sebelum operasi atau sebagai analgesik kebidanan karena belum cukup diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan karena diketahui efek obat tersebut menghambat biosintesis prostaglandin pada kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.Dosis:Dosis awal yang dianjurkan (dewasa):10 mg dilanjutkan dengan 10-30 mg setiap 4-6 jam sesuai dengan kebutuhan. Harus diberikan dosis efektif terendah. Dosis total sehari tidak boleh lebih dari 90 mg untuk dewasa dan 60 mg untuk usia lanjut, gagal ginjal dan penderita <50 kg. Durasi maksimum dari pengobatan tidak boleh lebih dari 2 hari. Dosis efektif terendah dan sesingkat mungkin harus dipakai untuk semua penderita. Total dosis dalam sehari tidak boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk usia lanjut, penderita dengan gagal ginjal dan penderita <50 kg).Instruksi Dosis Khusus:Penderita usia lanjut: Untuk penderita >65 tahun, dianjurkan memakai batas dosis terendah. Dosis total sehari tidak boleh melebihi 60 mg. Efek samping
Sistem Syaraf (23% dari pemberian IV) : Sakit kepala, pusing, cemas, depresi, sulit berkonsentrasi, nervous, kejang , tremor bermimpi, halusinasi, insomnia vertigo, psikosis.
Gastro Intestin : (12-13% ) Mual, diare, konstipasi, sakit lambung, perasaan kenyang, muntah, kembung, luka lambung, tidak ada nafsu makan, sampai pendarahan lambung & saluran pembuangan
Kulit : (2-4% dari pemberian IV) Sakit di daerah tmp. Penyuntikan (IM), kemerahan, hematoma gatal, berkeringat
Reaksi sensitifitas : Syok anafilaksis Ginjal, elektrolit & efek genitourinari : Kerusakan fungsi ginjal pada pemberian jangka panjang (2-3%)
Efek pada hati : Kenaikan konsentrasi SGOT & SGPT dalam serum Efek ke Jantung & saluran darah : (4% dari pemberian IV) hipertensi, hipotensi, pembengkakan.
Efek pada darah : meningkatkan risiko pendarahan, trombositopenia,
Efek pada mata & telinga : Gangguan penglihatan & pendengaran Sindrom Stevens-Johnson
Penkes Pada PasienHal-hal yang dapat disampaikan pada penkes untuk pasien adalah:
Apabila nyeri punggung sudah reda atau berkurang, sebaiknya klien melakukan olahraga bertahap untuk memperkuat otot punggung dan andomen.
Klien perlu membatasi tindakan mengangkat barang serta menggunakan mekanika tubuh secara benar.
Adapun scoring tersebut adalah :
RESPON SCORING
1. Membuka Mata = Eye open (E) Spontan membuka mata Terhadap suara membuka mata Terhadap nyeri membuka mata Tidak ada respon
4321
2. Motorik = Motoric response (M) Menurut perintah Dapat melokalisir rangsangan sensorik di kulit (raba) Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur
dekortikasi Ekstensi abnormal/postur deserebrasi Tidak ada respon
654321
3. Verbal = Verbal response (V) Berorientasi baik Bingung Kata-kata respon tidak tepat Respon suara tidak bermakna Tidak ada respon
54321
SINDROMA GUILLAIN BARRE
A. SINDROMA GUILLAIN BARRE1. Pengertian
Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Sindroma Guillain Barre adalah penyakit yang menyerang radiks saraf yang bersifat akut dan yang menyebabkan kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari tungkai bagian bawah dan meluas keatas sampai tubuh dan otot-otot wajah. Penyakit ini dapat mengancam jiwa yaitu berupa kelemahan yang dimulai dari anggota gerak distal yang dengan cepat dapat merambat ke proximal. Nama lain dari sindroma Guillaain Barre adalah Poli radikulo neuropati inflamasi akut atau PIA.
2. Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik.
Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.
3. Etiologi
Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS, merupakan suatu npenyakit autoimun oleh karena adanya antibody antimyelin yang biasannya didahului dengan faktor pencetus. Sedangkan etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena :
a. Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnyab. Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella
zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
c. Vaksin : rabies, swine flud. Infeksi yang lain :Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis,
campylobacter jejunie. Keganasan : Hodgkin’sdisease, carcinoma,lymphoma
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebi9h berat. Hal ini dikarenakan strujtur biokimia dinding bakteri ini mempunyaipersamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibodyyang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin.
Pada dasarnyaguillain barre adalah “self Limited” atau bisa timbuh dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat Bantu nafasnya.
4. Patofisiolagi
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.
5. Pemerisaan penunjang
a. Lumbal Pungsi (LP)
LP secara spesifik digunakan untuk demyelinasi sugestif (dengan kata lain, menilai protein yang menigkat) yang tidak disertai bukti adanya infeksi atau peradangan aktif (ketiadaan CSF pleocytosis), seperti yang dikatakan oleh Guillain dan Barré pada awalnya.
Pada pemeriksaan lumbal pungsi, kebanyakan pasien (90%), tetapi tidak pada semua pasien terjadi peninggian protein likuor (>400 mg/L) (>550 ) tanpa disertai peninggian sel likuor. Pada waktu 24–48 jam , likuor bisa masih normal dan setelah satu minggu baru meninggi. Walaupun disebutkan , bahwa tidak ada peningkatan dalam jumlah sel (kurang dari 10 leukosit per cc), namun kadang-kadang pada beberapa pasien bisa naik sedikit.
Protein likuor yang normal tidak menyingkirkan adanya SGB, sebab pada 10 % kasus protein tetap normal dan peninggian protein likuor baru terlihat sampai 1 – 2 minggu setelah permulaan kelumpuhan. Peningkatan sel dalam likuor pasien SGB yang tipikal , meningkatkan kemungkinan adanya Lyme´s disease, neoplasma, infeksi HIV , meningitis sarkoid dan penyakit-penyakit lain 6. Pemeriksaan antibodi juga dapat dilakukan karena bisa terdapat antibodi terhadap saraf perifer dan sentral. Pasien dengan varian Miller–Fisher bisa mempunyai antibodi terhadap GQ1b dan pasien-pasien yang menpunyai antibodi terhadap subtipe GM1 mempunyai prognosis yang lebih buruk.
Pada pemeriksaan CSF dalam 48 jam gejala pertama, kadang tidak didapatkan kelainan dan adakalanya protein tidak meningkat dalam satu minggu. Kebanyakan pada pasien terjadi sedikit peningkatan kurang lebih 10 leukosit/cc, tetapi adakalanya meningkat 10 sampai 50 sel/cc.
Pada hasil pungsi lumbal dan analisa cairan otak, pada pasien ini didapatkan peningkatan protein yang cukup bermakna, sedangkan pemeriksaan antibodi saraf tidak dilakukan karena sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya selain itu terbentur dengan masalah keuangan dari pasien.
b. Foto
MRI : Pada hari ke-13 setelah terlihat gejala, Lumbosacral MRI menunjukkan peningkatan pada akar nervus cauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut dan terjadi pada 95% kasus yang khas.
c. EKG
Pemeriksaan Elektrokardiogram dapat terlihat berbagai kelainan pada EKG, termasuk blok atrioventrikuler (AV-block) derajat 2 dan 3, kelainan pada T-wave, depresi ST, melebarnya QRS dan berbagai gangguan pada ritme jantung
d. EMG
EMG dapat membantu menetapkan diagnosis pada SGB, dengan jalan mengukur aktivitas listrik dari otot terhadap respons stimulasi listrik. Juga akan diukur kecepatan hantar saraf (KHS / NCV) sepanjang suatu saraf. EMG dilakukan dengan elektrode jarum dan KHS / NCV diukur dengan menempatkan elektrode tempel pada kulit dan merangsang saraf perifer. Penurunan / perlambatan pada KHS / NCV kadang-kadang baru bisa terlihat setelah 2-3 minggu.
Penurunan KHS sampai hanya 20% dari normal, dihubungkan dengan suatu prognosis yang buruk. Menurut guideline National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINDS); maka penemuan elektrodiagnostik yang cenderung kearah GBS adalah hilangnya H-refleks, CMAP sensorik dengan amplitudo rendah atau hilang dan F-wave yang abnormal
e. Pemeriksaan lain Tanda vital, kapasitas pernapasan dan output dari air seni pasien harus dimonitor Intubasi dan mekanisme ventilasi harus dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada
dibawah 15 mL/kg/BB atau tekanan oksigen pada arteri berada dibawah 70 mmHg (atau pasien terlihat kelelahan).
Dalam keadaan akut, hipotensi orthostatik dan retensi air seni juga bisa menyebabkan permasalahan penting.
Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CMAP, 100%), perpanjangan distal laten (92%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (84%).
f. Penemuan khusus pada Sindrom Guillain-Barré :
Pada bentuk demyelinasi, ditemukan demyelinasi dan infiltrasi mononuclear. Limfosit dan makrofag berkumpul di pembuluh endoneural dan menyebabkan suatu
demyelinasi yang berdekatan. Luka ini dapat terpisah dan tersebar di sepanjang sistem saraf perifer, walaupun mungkin
dapat menjadi suatu predileksi inflamasi pada akar nervus. Konduksi blok dan demyelinasi nervus motorik mengakibatkan kelemahan yang progresif
pada sindrom ini. Jika nervus sensoris yang terkena maka akan menunjukkan ke arah sakit dan paresthesias.
Banyak penulis percaya bahwa mekanisme penyakit terjadi karena respons yang berlebihan dari T sel yang abnormal dari infeksi terdahulu. Berbagai antigen spesifik mungkin dilibatkan pada respon ini, mencakup Myelin P-2 dan ganglioside GM1.
Baru-baru ini, wabah untuk Sindrom Guillain-Barré telah dicatat pada tiap-tiap tahun di area pedesaan di Negara Cina Utara, terutama sekali sepanjang musim panas. Ini telah dihubungkan dengan infeksi dari Clostridium jejuni dan banyak dari pasien ini yang mempunyai antibodi antiglycolipid. Pada bentuk axonal Sindrom Guillain-Barré, spesimen biopsi mengungkapkan degenerasi dari serabut Wallerian-like pd serabut nervus di ventral dan dorsal, dengan hanya demyelinasi minimal atau infiltrasi dari limfosit. Lesi axonal dipengaruhi oleh serabut sensoris dan serabut motorik. Walaupun bentuk pada Sindrom Guillain-Barré telah dihubungkan dengan infeksi Campylobacter, tetapi hal itu merupakan suatu komplikasi infeksi yang jarang.
1. Penatalaksanaan pada SINDROMA GUILLAIN BARRE
Penatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan medis dan perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran (outcome). Dalam fase dini yang masih progresif, harus dilakukan observasi yang seksama dan perawatan di rumah sakit adalah wajib.
Karena terjadi perbaikan spontan pada kebanyakan kasus, maka penatalaksanaan terutama ditujukan pada perawatan yang baik dan menghindari komplikasi infeksi sekunder, namun penatalaksanaan tetap rumit dan melelahkan.
Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi (plasmaferesis dan Imunoglobulin) yang secara spesifik dapat mempengaruhi jalannya penyakit, namun terdapat tindakan2 lain yang membantu untuk mencegah terjadinya komplikasi yang sering menyertai penyakit ini.Pengobatan medikamentosa pada saat ini terutama ditujukan pada imunomodulasi. Menurut petunjuk guideline dari American Academy of Neurology (AAN), maka pengobatan SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2 – 4 minggu setelah gejala pertama timbul, dapat mempercepat waktu penyembuhan. Hanya plasmaferesis (plasma exchange therapy) dan imunoglobulin intravena (IVIg 7s) yang terbukti efektif. Kedua modalitas pengobatan ini telah terbukti dapat memperpendek waktu penyembuhan sampai 50 % , namun harganya mahal dan ada kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2 regimen pengobatan itu hampir sama dan komparabel.
Sekarang ini pengobatan lebih diarahkan pada imunomodulasi. Terapi yang lebih efektif yaitu dengan pemberian imunogobulin secara intravena (IVIG, intravenous immunoglobin).
IVIG, telah digunakan untuk terapi gejala Sindrom Guillain-Barré. IVIG sangat menolong dalam mengurangi beratnya penyakit terutama pada durasi dari gejala penyakit tersebut. Tidak berpengaruh apa-apa pada pemberian jangka panjang.
IVIg terdiri dari antibodi eksogen yang dikumpulkan (pooled exogenous antibodies) yang didapatkan dari beribu-ribu donor. Mekanismenya belum begitu diketahui, namun antibody eksogen tersebut ber-interaksi pada beberapa tempat yang berlainan , termasuk pengikatan ( binding) pada oto-antibodi pada tempat-tempat antigenik yang idiotipik dan pada sel T untuk
memodulasi sitem imun. Dosis yang direkomendasi dalam sebulan adalah 2g/kg dibagi dalam dosis selama 5 hari, yang diberikan secara perlahan-lahan untuk menghindari efek samping. Dosis ulangan biasanya 1 g / kg selama 1 – 2 hari. Dosis yang paling efektif belum ditemukan secara pasti, namun half-life dari IVIg adalah sekitar 4 minggu dan pengulangan pemberian setiap bulan dapat diterima ( reasonable) dengan tujuan untuk mengurangi dosis secara perlahan-lahan (slowly tapering) berdasarkan keadaan klinisnya pasien. Respons terjadi dalam 2-4 minggu
IVIG biasanya dipakai 5 hari pada 0.4 g/kg/d, yang mengakibatkan peningkatan setelah 2-3 hari terapi atau dengan pemberian IVIG 2 g/kg à single dose. Plasmapharesis, biasanya pasa anak-anak pemberian plasmapharesis bisa menurunkan gejala berat dan memperpendek durasi dari Sindrom Guillain-Barré. Perawatan dengan plasmapharesis diberikan antara 4 sampai 5 kali selama lebih dari 7 sampai 10 hari. Komplikasi potensial termasuk kelainan saraf otonom, hiperkalsemia dan defesiensi faktor perdarahan dan pembekuan.
Hasil dari pemberian plasmapharesis dan IVIG sama saja, tetapi IVIG lebih kecil efek sampingnya. Steroid sebelumnya digunakan untuk pengobatan Sindrom Guillain-Barré, tetapi kurang efektif. Konsultasi dengan dokter ahli saraf harus dipertimbangkan untuk mengkonfirmasikan suatu hasil diagnosa. Pasien yang mendapatkan jangka penyembuhan yang lama, bisa konsultasi dengan dokter spesialis rehabilitasi. Aktivitas, sekecil apapun harus didukung. Pada pasien dengan kelemahan, gejala otonom (misalnya, hipotensi orthostatik) aktivitas sebaiknya dibatasi.
Walaupun terbukti menurunkan beratnya penyakit dan memperpendek waktu adanya gejala, namun outcome jangka panjang belum jelas dipengaruhi oleh obat-obatan ini Plasmaferesis (PE): secara historis dan case control studies terbukti menurunkan beratnya penyakit dan gejala-gejalanya dan memperpendek durasi SGB, namun efeknya biasanya tidak segera dan tidak dramatis. PE seringkali digunakan pada anak2 dan pada sindroma Miller Fisher; suatu varian SGB, namun belum ada bukti definitif mengenai efektivitas PE pada ke 2 penyakit ini, namun telah dipakai secara luas. PE sebaiknya diberikan secepat mungkin pada penderita SGB yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan (unable to walk unassisted).
Plasma yang akan diganti dalam 4-5x PE yang dilakukan dalam jangka waktu 7 – 10 hari seluruhnya adalah kira-kira 250 cc/kgbb. Harus dipakai suatu alat dengan pengaliran yang terus-menerus (continuous flow machine), dan cairan pengganti plasma yang dipakai adalah albumin 5%. Pelaksanaan PE yang lebih intensif, misalnya setiap hari tidak dianjurkan, PE biasanya aman dan ditoleransi dengan baik. Untuk melakukan PE dipilih vena perifer yang baik dan bisa juga dilakukan didaerah subklavia.
Komplikasi yang bisa timbul adalah instabilitas otonom, hiperkalsemia dan perdarahan karena faktor pembekuan ikut dihilangkan dan infeksi.
Imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari SGB dan mengurangi produksi otoantibodi dan meningkatkan pelarutan dan penyingkiran kompleks imun. IVIg menetralisir antibodi mielin yang bersirkulasi melalui antibodi anti idiotipik dan men- down-regulate sitokinin pro-inflamatoir termasuk interferon
gamma (INF-gamma). Selain itu juga memblok kaskade komplemen dan mempromosikan terjadinya remielinisasi. Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2g selama 5 hari) atau cara lain dengan pemberian 2g/kg IVIg yang diberikan sekaligus sebagai dosis tunggal. 1 2
dengan pemberian dengan pompa infus (infusion pump), dan bila perlu diulang setelah 4 minggu, sehingga juga memerlukan beaya yang banyak.
Pemberian IVIG adalah aman dan lebih mudah daripada PE, namun harganya mahal. IVIG berguna di rumah-rumah sakit, dimana tidak ada fasilitas PE. Kontraindikasi adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA dan antibodi anti IgE / IgG. Tidak ada interaksi dengan obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan.
Sebaiknya diperiksa serum IgA sebelum pemakaian IVIg. Harus diketahui pula, bahwa pemberian IVIg dapat meninggikan viskositas serum dan ada kemungkinan terjadinya kejadian tromboembolik, dan infus tersebut juga meninggikan risiko terjadinya serangan migren, dan bisa terjadi aseptik meningitis (10%), urtikaria, pruritus atau petechiae yang bisa terjadi 2-5 hari post-infus sampai 30 hari. Juga ada peningkatan risiko terjadinya nekrosis renal tubuler pada manula, dan pada penderita diabetes, juga bila ada penyakit ginjal sebelumnya.
Perubahan hasil laboratorium yang ada hubungan dengan infus tersebut adalah peninggian titer antibodi antiviral dan antibakterial selama 1 bulan dan bisa terjadi peningkatan LED sampai sebesar 6 kali selama 2-3 minggu dan hiponatremia. Jarang sekali bisa terjadi reaksi allergi dan hipotensi
Plasmaferesis dan Imunoglobulin, yang disebut juga terapi spesifik pada SGB perlu dipertimbangkan terutama pada kasus-kasus asenden yang cepat dengan disertai gangguan pernafasan untuk mengurangi waktu perawatan di ICU. Visser et al (1998)15 dalam uji kliniknya mengemukakan, bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara pemberian plasmaferesis dibandingkan dengan IVIg saja atau dengan IVIg yang dikombinasi dengan metilprednisolon, namun the Dutch Guillain-Barre Study Group 16 mengemukakan hasil uji kliniknya , yang menyatakan bahwa IVIg dalam kombinasi dengan metilprednisolon 0,5 g sehari selama 5 hari lebih efektif daripada terapi tunggal IVIg.
Albumin dipakai pada plasmaferesis, karena plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma dengan pemberian 50 mL/kg dan agaknya juga bisa menyingkirkan otoantibodi dan imun kompleks dari serum dan juga menyingkirkan konstituen sitotoksik dari serum . Kontraindikasi adalah oedema pulmoner dan insufisiensi renal. Tidak ada interaksi dan sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan.
Kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan untuk terapi pada SGB. Walaupun demikian, kortikosteroid yang menurut kepustakaan tidak berguna.Bahwa ada hasil dengan memberikan kombinasi steroid dengan IVIg atau dengan plasmaferesis , masih belum jelas betul, namun karena potensi plasmaferesis untuk meningkatkan produksi antibodi, maka suatu kombinasi pemberian plasmaferesis dengan kortikosteroid dianjurkan. Cara pemberian adalah dengan dosis tinggi dan diturunkan perlahan-lahan (tapering off) dengan menggunakan prednison atau metilprednisolon, yang efek sampingnya lebih sedikit. Terdapat berbagai cara pemberiannya, a.l prednison dapat diberikan dengan dosis awal 1 mg/kg (biasanya 60-100 mg/hari untuk orang dewasa). Dosis tinggi dipertahankan sampai adanya perbaikan klinis yang bermakna, lalu
selanjutnya pemberian dosis yang sama alternating setiap 2 hari sampai 2 minggu , lalu diturunkan secara tapering off dengan dosis 10 mg setiap 2 minggu sampai tercapai dosis 10 mg/hari (alternating), lalu diturunkan lagi dengan 5 mg/hari pada hari ke 2 (alternating day) dan akhirnya tidak makan obat pada hari ke 2 , lalu diberikan terapi 1 mg/hari setiap 2 hari. Kadang-kadang dipilih metilprednisolon, karena efek samping dikatakan lebih sedikit. Metilprednisolon dapat diberikan dengan dosis 500 mg sehari selama 5 hari 18 lalu di tapering off.
Prognosis yang buruk dihubungkan dengan progresivitas gejala yang cepat, umur lanjut, ventilasi lama (> 1bulan) dan penurunan amplitudo potensial aksi otot yang besar, (yang menandakan adanya gangguan aksonal) pada pemeriksaan neuromuskuler. Pada uji klinik yang dipublikasikan dinyatakan, bahwa penyembuhan sempurna bisa diharapkan pada 50 - 95 % kasus. Pada anak-anak, outcome SGB lebih baik.
Pada Miastenia Gravis (MG) sistem imun menghentikan kerja neurotransmiter dengan jalan memblok atau merusak reseptor di paut saraf-otot ( neuromuscular junction ), sehingga mencegah otot untuk berkontraksi. Akibatnya adalah, bahwa akan terjadi kelemahan otot , karena penghambatan dari pesan khemis (chemical messages) ini . Biasanya seorang penderita MG mengalami pemburukan gejala setelah melakukan latihan fisik dan akan merasa lebih baik setelah beristirahat. Penyakit ini bisa menyerang otot-otot mata terlebih dahulu dan kadang-kadang penyakit berlanjut dan menelan , mengunyah dan berbicara bisa terganggu. MG jarang menyebabkan kematian, kecuali bila otot pernafasan terkena.
Suatu cara lain adalah pemberian dosis dari rendah dan secara perlahan-lahan meninggikannya selama beberapa minggu. Walaupun terdapat berbagai cara pemberian prednison dengan dosis tinggi, namun tujuannya adalah sama , yaitu untuk secepatnya merubah kedalam dosis selang-seling ( alternative day dosing) untuk mengurangi efek samping jangka pendek , yaitu berat badan yang bertambah, hiperglikemi, osteopeni, erosi gaster dan duodenum dan katarak. Dosis yang pasti dan cara pemberian dari prednison harus di cocokkan (tailored) pada setiap pasien tergantung kebutuhannya . Suatu pemberian jangka pendek dari 2g metilprednisolon secara iv yang disusul dengan infus kedua 5 hari kemudian kadang-kadang efektif untuk menghentikan krisis miastenia, namun belum ada uji klinik yang baik mengenai hal ini.13
Prednison adalah suatu steroid dan sering dihubungkan dengan berbagai efek samping. Bila terjadi efek samping yang tidak dapat ditoleransi dan kegagalan pengobatan, maka dapat diberikan imunosupresan yang lain , misalnya azatioprin / imuran. 6 dan siklofosfamide, dan harus diketahui bahwa obat-obatan ini bisa baru bekerja setelah 6 – 12 / 8 – 12 bulan.15,16
Pemberian inhibitor AChR tidak selalu menghasilkan suatu remisi dan hasilnya adalah dalam jangka pendek, sehingga seringkali harus dikombinasi dengan imunosupresan.
Terapi kombinasi dengan steroid dan azatioprin dianggap superior, dibandingkan dengan steroid saja dan ada yang merekomendasikan prednisolon dengan dosis rendah, dan dinaikkan secara perlahan-lahan sampai dosis maksimum 1 mg/kg bb selang sehari (alternating) dan pemberian secara selang sehari ini akan mencegah terjadinya efek samping yang berat, terutama osteoporosis. Peninggian dosis steroid yang cepat akan menyebabkan kelemahan yang bertambah dan harus dicegah , kecuali bila dirawat di rumah sakit. 16
Azatioprin (Imuran)telah dipakai pada pasien yang tidak responsif, tidak ada toleransi terhadap obat, atau yang mengalami relaps dengan kortikosteroid dan juga dipakai sebagai suatu obat yang mengurangi dosis steroid (steroid-sparing agent) yang diberikan secara bersamaan dengan prednison untuk mengurangi efek samping jangka panjang, namun harus diketahui bahwa azatioprin kurang efektif sebagai monoterapi dibandingkan dengan prednison. Dosisnya berbeda-beda, dengan tujuan untuk meninggikan mean corpuscular volume atau penurunan leukosit, sedangkan ada juga yang memberikan suatu dosis tetap yang berdasarkan berat badan, biasanya 3-5 mg/kg/hari. Beberapa hal harus diketahui tentang pengobatan dengan azatioprin yaitu:
mulai kerjanya lama (long delay of onset of action ) yaitu sampai 24 bulan sebelum terlihat adanya steroid-sparing effect.
Selain itu terjadi efek samping pada 10% pasien , dengan gejala-gejala seperti flu, yaitu nausea, febris, menggigil , artralgia atau keluhan GI yang biasanya langsung hilang, bila pengobatan dihentikan.
Supresi sumsum tulang terjadi pada semua pasien, namun jarang menjadi penyebab penghentian terapi bila dilakukan monitoring dengan baik
Terdapat suatu kekhawatiran akan adanya peninggian risiko terjadinya kanker , terutama limfoma setelah terapi selama 10 – 20 tahun.
Karena efek azatioprin baru terlihat setelah 6 – 12 / 8 – 12 bulan 16 17 , maka peranan steroid menjadi sangat krusial pada fase ini . Bila azatioprin mulai bekerja, kadang-kadang malahan lebih dini, maka dapat dilakukan penurunan dosis steroid secara perlahan-lahan ( slow tapering off) sampai tercapai dosis maintenance yang paling rendah yang dapat mengontrol gejala-gejalanya MG. Obat-obatan imunosupresan lain perlu dipertimbangkan pula, bila azatioprin tidak dapat ditoleransi dengan baik, atau karena tidak ada efeknya. Metotreksat, siklosporin, siklofosfamid atau mikofenolat dapat ditambahkan .
Siklosporin didapatkan efektif dalam suatu uji klinik yang kecil terutama sebagai suatu steroid-sparing agent, namun harus diketahui efek sampingnya , yaitu insufisiensi ginjal, hipertensi, nyeri kepala dan hirsutisme.
BAB III
Asuhan Keperawatan Pada kasus SINDROMA GUILLAIN BARRE
A. Kasus
Tn. kamto usia 45 thn berkerja wiraswastawan, bangun tidur dipagi hari mengeluh tidak bisa berjalan . sebelumnya dia mengalami diare-diare 2hari dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya. Sebelum sakit Tn kamto sangat aktif baik dalam pekejaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya.dia belum pernah dirawat di RS sebelumnya. Hasil pemeriksaan fisik tidak di temukan tanda-tanda obyektif yang menunjukan stroke. Dua hari kemudian kondisi Tn. Kamto bertambah buruk , tidak mampu menelan air liurnya, kelemahan pada kedua ekstermitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernafasan (ventilator) dan kemungkinan dipasang tracheostomi. Hasil lumbal punctie pada cairan cerebrospinal di temukan protein tinggi dan tekanan meningkat,leokositosis.
B. Pengkajian
1. Pengkajian Data
Data subjektif Data ObjektifBangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke
Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya
Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator)
Tidak mampu menelan air liurnya Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat, leukositosis
Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya
2. Pemeriksaan Sistem Syaraf Kranial
Syaraf kranial Fungsi HasilI (Olfaktorius) Sensasi bau NormalII ( Optikus) Pengelihatan Dengan Snelen: buramnervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
Gerakan mata, konstriksi pupil, otot siliaris
Noemal
V ( Trigeminal) Sensasi Wajah, reflek Kornea, Sensasi wajah: Nampak kaku
Mengunuyah Kornea: NormalMengunyah : agak kaku
VII Vestibokokulear Keseimbangan dan pendengaran
Pendengeran: NormalKeseimbangan: tidak bisa berdiri
IX Glosofaringeus Rasa kecap Kemempuan menggerakan lidah kaku, namun masih bisa merasakan rasa asin, manis, pait
X( vagus) Konstraksi Faring, vita suata Klien mengatakan ada hambatan untuk menelan.
XI (Aksesorius) Gerekan Otot Streno Merasa seperti susah menggerakan
XII (Hipohlosus) Gerakan lidaj kaku
3.Perhitunag Pemeriksaan reflek
Reflek Nilai Normal HasilBisep +2 +1Trisep +2 +1Brakhialis +2 +1Patella +2 0Angkle +2 0Konstraksi Abdominal +2 +1Babinski +2 0
4. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Normal Hasil Keterangan Lumba Pungsi Peningkatan protein
>430 Mg/LTerjadinya lisis myelin di otak
EMG hilangnya H-refleks, CMAP sensorik dengan amplitudo rendah atau hilang dan F-wave yang abnorma
Penemuan elektrodiagnostik yang cenderung kearah GBS
EKG kelainan pada T-wave, depresi ST,
Kelainan hantaran syaraf ke jantung,
melebarnya QRS dan berbagai gangguan pada ritme jantung
karena hilangnya mielin
C. Analisa
Dari data yang didapat maka kita bisa menyimpulkan
Analisa Data
Data Masalah Etiologi
DS:
Tidak mampu menelan air liurnyaDO:
Pernapasan cepat , dangkal, dan ireguler
Pengembangan dada tidak maksimal
Kelemehan pada ekstrimitas atas
GDA kurang dari normal
menggunakan ventilator
Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif
Kurang nutrisi b.d
Kelemahan otot-otot bantu pernapasan
DS: Bangun tidur di pagi hari
mengeluh tidak bisa berjalanDO:
Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya
Kekuatan otot
imobilisasi Paralisis pada ektrimitas bawah, otot aksesori pernapasan serta otot kranial X (vagus)
D. Diagnosa1. Pola Napas tidak Efektif b.d kelemahan/ paralisis otot pernapasan2. Nutrisi perubahan: Kurang dari kebutuhan b.d kerusakan otat vagus sehingga
menyebabkan kesulitan dalam menelan3. Mobilitas Fisik b.d paralisis syaraf
E. Implementasi
Dx Tujuan dan KH ImplementasiPola Napas tidak Efektif b.d kelemahan/ paralisis otot pernapasan
Membuat / mempertahankan pola pernafasan efektif melalui ventilator
Selidiki Etiologi gagal pernapasan
Pemahaman penyebab masalah pernapasan penting untuk perawatan pasien
Pantau Frekuensi, kedalaman dan kesimetrisan pernapasan, catat peningkatan napas dan observasi warna kulit
Peningkatan distress pernapasan men unjukan adanya kelelahan pada otot pernapasan
Periksa selang terhadap obstr,uksi . Contoh terlipat atau akumulasi air . Alirkan selang sesuai indikasi , hindari aliran ke pasien atau kembali kedalam wadah
Lipatan selang mencegah penerimaan volume adekuat dan meningkatkan tekanan jalan napas . Air mencegah distribusi gas dan pencetus pertumbuhan bakteri
Periksa fungsi alaram Ventilator, Jangan matikan alaram , meskipun untuk penghisapan, Yakinkan bahwa alaram terdengar ke kantor perawat
Sangat penting apabila terdapat tanda- tanda distres pernafasan atau henti napas
KolaborasiKaji volume tidal ( 10-15 ml /kg ) Yakinkan fungsi spirometer baik . Catat perubahan dari pemberian volume yang terbaca pada komputer
Mengawasi jumlah udara inspirasi dan ekspirasi . Perubahan dapat menunjukkan gannguan komplain paru atau kebocoran melalui mesin.
Observasi persentasi Nilai untuk
konsentrasi oksigen , yakinkan bahwa aliran olsigen tepat , awasi analisa oksigen atau lakukan analisa oksigen periodik
mempertahankan persentase oksigen yang dapat diterima dan saturasi untuk kondisi pasien ( 21% sampai 100% ) . Karena mesin tidak selalu akurat, analiser oksigen dapat digunakan untuk memastikan apakah pasien menerima konsentrasi oksigen yang diinginkan
Nutrisi perubahan: Resiko Kurang dari kebutuhan b.d kerusakan otat vagus sehingga menyebabkan kesulitan dalam menelan
Menunjukan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai lab, tidak yanda-tanda mal nutrisi
Kaji kemampuan mengunyah, menelan, batuk pada keadaan teratur
Kelemahan otot yang hipotensi menunjukan kebutuhan akan penggunaan NG
Auskultasi bising Usus Perubahan pungsi lambung dapat terjadi akibat paralisis
Catat masukan kalori tiap hari
Menidentifikasi kekurangan makanan dan kebutuhannya.
Timbang BB tiap hari Mengkaji keefektipan aturan diet
KolaborasiBerikan makanan TKTP
Makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi
Pasang pertahankan selang NG. berikan makanan enteral
Diaberikan jika pasien tidak bisa menelan
Mobilitas Fisik b.d paralisis syaraf
Tujuan:Untuk mempertahankan
Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional
R/ Menentukan perkembangan/ munculnya kembali
posisi fungsi dengan tak ada komplikasi ( kontraktur , dekubitus) KH: Klien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit Tindakan keperawatan
dengan menggunakan skala 0-5.
tanda yang menghambat tercapainya tujuan / harapan pasien
Berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman . Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara individual
R/ Menurunkan kelelahan , meningkatkan relaksasi . Menurunkan resiko terjadinya iskemia / kerusakan pada kulit
Sokong ekstrimitas dan persendian dengan bantal
R/ Mempertahankan ekstrimitas dalam posisi fisiologis , mencegah kontraktur.
Lakkukan latihan rentang gerak pasif . Hindari latihan aktif selama fase akut
R/ Menstimulasi sirkulasi., meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi
Koordinasikan asuhan yang diberikan dan periode istirahat tanpa gangguan
R/Penggunaan otot secara berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk remielinisasi , arenanya dapat memperpanjang waktu untuk penyembuhan
Anjurkan untuk R/ Kegiatan latihan
melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual
pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap / terprogram , meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang positif
Berikan lubrikasi / minyak artifisial sesui kebutuhan
R/ Mencegah dari kekeringan tubub klien.Kolaborasi
Konfirmasikan dengan / rujuk kebagian terapi fisik / terapi okupasi
R/ Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual /latihan terkondisi dan program latihan berjalan dan mengidentifikasi alat bantu untuk mempertahankan mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari- hari
F. Pendidikan Kesehatan bagi klien
Banyak pasein sindroma SGB mengalami pemulihan yang sempurna dalam beberapa minggu atau bulan. Pasiean-pasien yang pernah mengalami paralisis total dan tahan lama mungkin membutuhkan rehabilitasi yang terus dilakukan setelah kleian keluar dari RS. Program yang luas akan bergantung pada pengkajian yang dibutuhkandibuat oleh anggota tim kesehatan. Alternatif program yang komperhensif bagi pasien jika dikurangi adalah penting dan dukungan sosial dibatasi untuk program dirumah terhadap terapi fisik dan okupasi
Fase penyembuhan mungkin lama dan akan membutuhkan kesabaran dan keterlibatan semua pihak dan keluarga untuk mengembalikan kamampuan sebelumny. Awitan yang akut dan perkembangan yang dramatic dari gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan penyelesaianya
dengan tiba-tiba dalam mengubah fungsi-fungsi. Kelompok pendukung SGB dapat membantu selama fase pemulihan
Ajarkan keluarga untuk sering menggerak-gerakan bagian tubuh yang paralisis, serta selalu melakukan perubahan posisi tubuh klien untuk mencegah dekubitus. Menyarankan untuk membersihkan selang NG dengan mengaliri air putih setelah makan. Hal ini untu menjaga kebersihan selang. Mengajarkan keluarga untuk terus berkomunikasi dengan klien, mengajarkan klien berbicara, karena paralisis pada bagian mulut akan menyababkan klien sulit berbicara. Berikan bakanan tinggi kalori dan tinggi protein.
Menjaga klien dari infeksi merupakan hal yang penting, hindarkan berhubungan dengan orang yeng mempunyai penyakit infeksi. Karena pakaian imunodepresan mengurangi kemampuan klien untuk melawan virus dan bakteri.
KASUS III
Tn. Meni usia 23 tahun ditemukan jatuh dan kejang-kejang seluruh tubuh keluar busa, inkotinensia urine dan fesesnya selama kurang lebih 1-2 menit kemudian pingsan beberapa saat. Dia dibawa ke rumah sakit oleh temannya yang berjalan bersamanya. Dari hasil interview keluarganya kondisi ini sering berulang dan berlangsung sejak usia anak-anak. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang N: 90x/menit, TD: 120/70mmHg, S:36,40C, P:22x/menit, EEG abnormal, MRI terdapat focal abnormal.
Dx medis : Epilepsi
Epilepsi, berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti 'serangan'. Perlu diketahui, epilepsi tidak menular, bukan penyakit keturunan, dan tidak identik dengan orang yang mengalami ketebelakangan mental. Bahkan, banyak penderita epilepsi yang menderita epilepsi tanpa diketahui penyebabnya
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang
yang disebabkan lepasan muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversible dengan berbagai etiologi. Serangan ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula.
Epilepsi adalah gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikan oleh kejang berulang. Keadaan ini dapat dihubungkan dengan tingkat
kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi, dan persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tetapi suatu gejala.
Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik (disritmia) pada sel saraf pada salah satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang, dan tidak terkontrol. Karakteristik kejang epileptic adalah suatu manifestasi muatan neuron berlebihan ini.
Pesan dari tubuh dibawa oleh neuron-neuron (sel-sel saraf) dari otak diartikan dalam bentuk pelepasan energi elektrokimia sepanjang jalan neuron-neuron. Impuls-impuls ini terjadi dalam bentuk ledakan sewaktu-waktu sebuah sel saraf yang mempunyai tugas untuk melakukannya.
Kadang-kadang sel-sel ini atau kelompok sel terus menerus memancar setelah tugas selesai. Selama periode pelepasan yang tidak diinginkan, bagian-bagian tubuh dikontrol oleh pesan-pesan sel yang dapat dipindahkan. Hasilnya menyebabkan ketidaknyamanan dan gangguan fungsi direntang dari ringan sampai tidak mampu fisik, dan biasanya menyebabkan ketidaksadaran. Bila hal ini tak terkontrol, pelepasan abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakn menuju kearah
epilepsi. Gerakan-gerakan fisik yang tak teratur disebut kejang.
Etiologi
Idiopatik: sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik Faktor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan
kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibromatosis, angiomatosis ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
Faktor genetik: pada kejang demam dan breath holding spells Kelainan konginetal otak: atrofi, porensefali, agenesis korpus kalosum Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya,
toksoplasmosis Trauma: kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural Neoplasma otak dan selaputnya Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen, Keracunan: timbal (Pb), kamper(kapur barus), fenotiazin, air Lain-lain: penyakit darah, gangguan keseimbangan hormonal, degenerasi serebral, dan
lain-lain
Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:
1. faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas2. faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik3. faktor mental: stres, gangguan emosi
Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
Jenis Epilepsi:
1. Epilepsi Umum
a. Petit Mal (Absence). Gangguan kesadaran secara mendadak. Penyandang diam tanpa reaksi (bengong), kemudian melanjutkan kegiatannya semula
b. Grand Mal. Diawali dengan kehilangan kesadaran kemudian terjadi kejang-kejang, air liur berbusa dan napas mengorok
c. Mioklonik. Terjadi kontraksi singkat dari satu, sekelompok, atau beberapa kelompok otot. Bervariasi dari yang tidak terlihat, sampai sentakan hebat. Mengakibatkan misalnya, mendadak jatuh, atau melontarkan benda yang sedang dipegang.
2. Epilepsi Parsial/fokal
a. Sederhana (tanpa gangguan kesadaran) Umumnya, berupa kejang-kejang dan kadang-kadang kesemutan atau rasa kebal pada satu tempat. Berlangsung beberapa
menit/jam. Bila serangan hanya terjadi di satu lokasi dan berlangsung beberapa saat, disebut Parisialis Kontinua
b. Kompleks (disertai gangguan kesadaran) Diawali dengan Parsial Sederhana, penyandang seperi bermimpi, dan daya ingatnya terganggu, halusinasi, atau kosong pikiran seringkali diikuti oleh otomatisme. Misalnya, mengulang-ulang ucapan, melamun, atau berlari-lari tanpa tujuan
c. Umum Sekunder Perkembangan dari parsial sederhana atau kompleks menjadi umum.
Manifestasi Klinis
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal
• Dengan gejala motorik
- Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja- Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke
daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
- Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
• Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
• Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
• Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
• Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
- Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.- Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
- Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
a. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
- Hanya penurunan kesadaran- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak
mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.
b. Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
- Gangguan tonus yang lebih jelas.- permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
c. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
d. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
e. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
f. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
g. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.
3.Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.
Pemeriksaan diagnostik
CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral
Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
magnetik resonance imaging (MRI)
kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
Neuroimaging. Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
Diagnosa banding
Sinkop, gangguan jantung, gangguan sepintas perdarahan darah otak, hipoglikemia, keracunan, breath holding spells, histeria, narkolepsi, pavor nokturnus, paralisis tidur, migren
Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
Hal yang harus dilakukan pada saat penderita terkena serangan adalah:
1. Hindarkan penderita dari benda-benda berbahaya yang berpotensi melukai dirinya2. Kendorkan pakaian di area leher, termasuk ikat pinggang
3. Taruh bantal atau sesuatu yang lembut di bawah kepala
4. Baringkan dia menghadap ke satu sisi
Hal yang tidak boleh dilakukan selama penderita terkena serangan:
1. Meletakkan benda di mulutnya. Jika penderita mungkin menggigit lidahnya selama serangan mendadak, menyisipkan benda di mulutnya kemungkinan tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si penderita.
2. Mencoba membaringkan penderita. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba membaringkan si penderita ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga.
3. Berupaya menyadarkan si penderita dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut jika si penderita tak bernapas
Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) serta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya
Penatalaksanaan
Non farmakologi
Terapi non farmakologi Dilakukan secara manual, juga diarahkan untuk mencegah terjadinya kejang bisa dengan melakukan diet, Pembedahan untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler dan vagal nerve stimulation (VNS) yaitu implantasi dari perangsang saraf vagal, makan makanan yang seimbang (kadar gula darah yang rendah dan konsumsi vitamin yang tidak mencukupi dapat menyebabkan terjadinya serangan epilepsi), istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi, belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan teknik relaksasi lainnya.
Farmakologi
Untuk terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan Obat Anti Epilepsi (OAE). Pengobatan dilakukan tergantung dari jenis kejang yang dialami. Pemberian obat anti epilepsi selalu dimulai dengan dosis yang rendah, dosis obat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat dikontrol atau tejadi efek kelebihan dosis. Pada pengobatan kejang parsial atau kejang tonik-klonik rata-rata keberhasilan lebih tinggi menggunakan fenitoin, karbamazepin, dan asam valproat. Pada sebagian besar pasien dengan 1 tipe/jenis kejang, kontrol memuaskan dapat dicapai dengan 1 obat anti epilepsi. Pengobatan dengan 2 macam obat mungkin ke depannya mengurangi frekuensi kejang, tetapi biasanya toksisitasnya lebih besar. Pengobatan dengan lebih dari 2 macam obat, hampir selalu membantu penuh kecuali kalau pasien mengalami tipe kejang yang berbeda. Jenis obat yang sering digunakan :
a. Phenobarbital (luminal).
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
b. Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.
c. Fenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
Tak berhasiat terhadap petit mal.
Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.
d. Carbamazine (tegretol).
Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik.
Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkah laku.
Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.
e. Diazepam.
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).
Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.
f. Nitrazepam (inogadon).
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
g. Ethosuximide (zarontine).
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal
h. Na-valproat (dopakene)
Obat pilihan kedua pada petit mal
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.
Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
Efek samping mual, muntah, anorexia
i. Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi. Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.
j. ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil
Obat anti Epilepsi (OAE) mulai diberikan bila:
diagnosis epilepsi telah dipastikan setelah pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan
pasien dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping OAE yang akan timbul
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bangkitan maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar terapi maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan.
Penghentian OAE:
dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah bebas dari bangkitan selama minimal 2 tahun.
gambaran EEG normal.
harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
Pembahasan Kasus
PENGKAJIAN
Ds:
ditemukan jatuh dan kejang-kejang seluruh tubuh keluar busa, inkotinensia urine dan fesesnya selama kurang lebih 1-2 menit kemudian pingsan
beberapa saat. Dari hasil interview keluarganya kondisi ini sering berulang dan berlangsung sejak usia
anak-anak.
Do:
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang N: 90x/menit, TD: 120/70mmHg, S:36,40C, P:22x/menit, EEG abnormal, MRI terdapat focal abnormal.
ANALISA DATA
Data Masalah EtiologiDs:
ditemukan jatuh dan kejang-kejang
seluruh tubuh keluar busa,
inkotinensia urine dan fesesnya selama kurang lebih 1-2 menit kemudian pingsan beberapa saat..
Dari hasil interview keluarganya kondisi ini sering berulang dan berlangsung sejak usia anak-anak.
Do: Hasil pemeriksaan
fisik dan penunjang N: 90x/menit, TD: 120/70mmHg, S:36,40C, P:22x/menit, EEG abnormal, MRI terdapat focal abnormal.
Resiko terhadap cedera
Resiko tinggi tidak efektif jalan nafas
perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri
Tindakan pre dan post diagnostic
Edukasi pasien: memberikan penjelasan tentang test dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan sampai pasien mengerti.
Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien. Instrusikan pasien dengan metode untuk mengurangi ketidaknyamanan: teknik relaksasi
dalam. Jaga privasi dan harga diri klien.
Diagnosa keperawatan
1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri
2. Resiko tinggi tidak efektif jalan nafas b/d kerusakan persepsi3. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi
Komplikasi
1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang yang berulang
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas
Nursing Care Planning
“EPILEPSI”
Nama pasien : Tn. Meni
Usia pasien : 23 tahun
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi dan RasionalDx I:Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri
Tujuan :Cedera dapat teratasiKriteria Hasil : mendemo
nstrasikan perilaku, perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko dan melindungi diri dari cedera
mengubah linkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan
mempertahankan aturan pengobatan untuk mengontrol /menghilangkan aktivitas kejang
Mandiri 1. cat
at tipe dari aktivitas kejang (seperti lokasi, lamanya aktivitas motorik, penurunan kesadaran, inkontinensia, dn lain-lain) dan berapa kali terjadi kekambuhannya
Rasional:membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena
2. atur kepala, tempatkan diatas daerah yang empuk (lunak) atau bantu meletakan pada lantai jika keluar dari tempat tidur. Jangan melakukan restrein
Rasional:mengarahkan ekstermitas dengan hati-hati
pemberi perawatan akan mengidentifikasi tindakan untuk diambil bila terjadi kejang
menurunkan resiko trauma secara fisik ketika pasien kehilangan kontrol terhadap otot volunter. Catatan jika dilakukan restrein pada pasien yang mengalami kejang, gerakan kaku dapat meningkat dan pasien dapat mengalami trauma oleh diri sendiri dan orang lain.
3. lakukan penilaian neurologis/tanda-tanda vital setelah kejang, misal: tingkat kesadaran, orietasi, TD, nadi dan pernapasan
Rasional: mencatat keadaan posiktal dan waktu penyembuhan pada keadaan normal
4.orientasikan kembali pasien terhadap aktivitas kejang yang dialaminya
Rasional: pasien mungkin menjadi bingung, disorientasi, dan mungkin juga mengalami amnesia setelah kejang dan memerlukan bantuan untuk dapat mengontrol lagi dan menghilangkan ansietas
5.Observasi munculnya tanda –tanda status epileptikus, seperti kejang tonik klonik setelah jenis yang lain muncul dengan cepat dan cukup meyakinkan
Rasional: hal ini merupakan keadaan dapat menyebabkan
henti napas, darurat yang mengancam hidup yang hipoksia berat, dan/atau kerusakan pada otak dan sel saraf.
6.Diskusikan adanya tanda-tanda serangan kejang(jika memungkinkan) dan pola kejang yang biasa dialami.
Rasional: memberikan kesempatan pasien untuk melindungi diri sendiri dan trauma dan mengenali perubahan yang perlu di sampaikan pada dokter/pada intervensi selanjutnya.Kolaborasi7. berikan obat sesuai indikasi:Obat antiepilepsi meliputi fenitoin (dilantin), primidon (mysoline), karbamazepin (tegretol), klonazepam (klonopin)Rasional: obat antiepilepsi meningkatkan ambang kejang dengan menstabilkan membran sel saraf, yang menurunkan eksitasi neuron atau melalui aktivitas langsung pada sistem limbik
8. pantau kadar sel darah, elektrolit, dan glukosaRasional: mengidentifikasi faktor-faktor yang memperberat/menurunkan ambang kejang.
Dx II: resiko tinggi tidak efektif jalan nafas b/d kerusakan persepsi
Tujuan :Jalan nafas kembali efektifKriteria Hasil :- mempertahankan pola pernafasan efektif dengan jalan napas paten/aspirasi dicegah
Mandiri 1. Anjurkan pasien untuk
mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu/gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Rasional: menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring
2. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan kejang.
Rasional: meningkatkan aliran sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan napas
3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen.
Rasional: untuk memfasilitasi usaha bernafas/ekspansi dada4 Masukkan spatel lidah atau gulugan benda lunak sesuai dengan indiksi. Rasional: jika masuknya diawaluntuk membuka rahang, alat ini untuk mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan lendir atau memberi sokongan terhadap pernapasan jika perlu.
5. Lakukan penghisapan sesuai indikasi. Rasional: menurunkan resiko aspirasi atau aspiksiakolaborasi.
6. Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan pada fase posiktal.
Rasional: dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang
7. Siapkan untuk melakukan intubasi, jika ada indikasi
Rasional: munculnya apnea yang berkepanjangan pada fase posiktal membutuhkan dukungan ventilator mekanik
Dx III :
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan :
pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil :
Keluarga mengerti dengan proses penyakit, keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.
1. Kaji tingkat pendidikan klien dan keluarga.
Rasional: pendidikan merupakan salah satu faktor penentu tingkat pengetahuan seseorang
2. Jelaskan pada keluarga klien tentang epilepsi melalui penkes.
Rasional : untuk meningkatkan pengetahuan
3. Beri kesempatan
pada klien dan keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti.
Rasional : untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang sudah dipahami
4. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien.
Rasional : agar keluarga dapat memberikan penanngan yang tepat jika suatu-waktu klien mengalami kejang berikutnnya.
1. Gangguan Disfungsi Neurologik Stroke (Cedera Serebrovaskular)a) Definisi Stroke
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya supalai darah kebagian otak. (Brunner & Sudarth, 2002)
Stroke adalah defisit neurologis yang mempunyai awitan mendadak atau berlangsung 24 jam sebagai akibat dari cerebrovaskular desease (CVD) atau penyakit cerebrovaskular. (Hudak and Gallo)
Stroke/penyakit serebrovaskuler menunjukan adanya beberapa kelainan otak baik secara fungsional maupun struktural yang disebabkan oleh keadaan patologis dari pembuluh darah serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah otak. (Marilyn E. Doenges)
b) Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi Trombosis adalah bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher: Arteriosklerosis
serebral. Embolisme serebral adalah bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain: endokarditis, penyakit jantung reumatik, infeksi polmonal. Iskemia adalah penurunan aliran darah ke area otak: Kontriksi ateroma pada arteri. Hemoragi Serebral adalah Pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan kedalam
jaringan otak atau ruang sekitar otak
Faktor resiko pada stroke1. Tidak dapat dirubah (Non Reversible)
Jenis kelamin : Pria lebih sering ditemukan menderita stroke dibanding wanita. Usia : Makin tinggi usia makin tinggi pula resiko terkena stroke. Keturunan : Adanya riwayat keluarga yang terkena stroke
2. Dapat dirubah (Reversible) Hipertensi Penyakit jantung Kolesterol Tinggi Obesitas Diabetes Melitus Polisitemia Stress Emosional
3. Kebiasaan Hidup Merokok Peminum Alkohol Obat-obatan terlarang. Aktivitas yang tidak sehat: Kurang olahraga, makanan berkolesterol
C). Klasifikasi
Berdasarkan Klinik
Stroke Hemoragik (SH)Stroke yang terjadi karena perdarahan Sub arachnoid, mungkin disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak pada daerah tertentu, biasanya terjadi saat pasien melakukan aktivitas atau saat aktif. Namun bisa juga terjadi saat istirahat, kesadaran pasien umumnya menurun.
Stroke Non Hemoragik (SNH)Dapat berupa iskemia, emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi setelah
lama beristirahat, baru bangun tidur atau dipagi hari. Tidak terjadi iskemi yang menyebabkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder, kesadaran pasien umumnya baik.
Berdasarkan Perjalanan Penyakit Trancient Iskemik Attack (TIA) atau serangan iskemik sepintas
Merupakan gangguan neurologis fokal yang timbul mendadak dan hilang dalam beberapa menit (durasi rata-rata 10 menit) sampai beberapa jam (24 jam)
Stroke Involution atau ProgresifAdalah perjalanan penyakit stroke berlangsung perlahan meskipun akut.
Munculnya gejala makin bertambah buruk, proses progresif beberapa jam sampai beberapa hari.
Stroke CompleteGangguan neurologis yang timbul sudah menetap atau permanen, maksimal sejak
awal serangan dan sedikit memperlihatkan parbaikan dapat didahului dengan TIA yang berulang.
c) Manifestasi KlinikTanda/Gejala awal Stroke Trombotik (TIA): Hemiparesis Kehilangan bicara Parestesia satu sisi tubuhTanda dan Gejala umum yang ditemukan pada perdarahan otak pada klien hipertensi: Nyeri kepala hebat (dibelakang leher) Vertigo (pusing) / sinkope Parestesia (sensasi abnormal) Paralisis Epistaksis Perdarahan retinaPenemuan Secara Umum: Nyeri kepala Muntah Kejang Perubahan mental Demam Perubahan ECG: Gelombang T, interval P-R memendek, interval Q-R memanjang,
kontraksi ventrikel premature, sinus bradikardia dan ventrikel dan supra ventrikel, takikardi.
Manifestasi klinik berhubungan dengan penyebab :a) Trombosis
Cenderung berkembang selama tidur atau dalam 1 jam bangun tidur Iskemia secara berangsur-angsur oleh karena itu manifestasi klinik berkembang lebih
lambat Kesadaran relatif terpelihara Kemungkinan Tensi naik atau hipertensi
b) Embolisme Tidak dapat dilihat pola waktu, tidak berhubungan dengan aktivitas
Manifestasi klinis terjadi cepat dalam 10-30 detik dan sering kali tanpa tanda, tidak nyeri kepala.
Kemungkinan dapat meningkat cepat Kesadaran relatif terpelihara Tensi normalc. Hemoragik Khas terjadi selama aktif, jam kerja Sakit kepala berat (bila klien mampu melaporkan gejala) Serangan cepat dari hemiplegia komplit, terjadi beberapa menit-1jam bentuk
umumnya fatal. Biasanya menghasilkan kehilangan fungsi permanen secara perlahan, rendahnya
penyembuhan secara sempurna. Cepat terjadi koma Kekakuan nuchal (belakang leher)
d) Pemeriksaan Diagnostik Angiografi Serebral : Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan, obstruksi arteri, adanya titik oklusi/ ruptur. Scan CT : Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemik, dan adanya infark. Fungsi Lumbal : Menunjukan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis,
emboli serabral dan TIA, sedangkan tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menujukan adanya hemoragi suaraknoid intrakranial. Kadar protein meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses imflamasi.
MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena (MAV)
EEG : Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin adanya daerah lesi yang spesifik.
Sinar X tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa yang meluas; kalsifikasi karotis interna terdapat pada trombosis serebral.
Ultrasonografi Doppler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis), aliran darah / muncul plak (arteriosklerotik)
e) Kemungkinan Kecacatan yang berkaitan dnegan strokeStroke Hemisfer kiri Hemiparesis atau hemiplegia sisi kanan Prilaku lambat dan sangat hati-hati Kelainan bidang pandang kanan ekspresif, reseptif, atau dispagia global Mudah frustasiStroke Hemisfer Kanan
Hemiparesis atau hemiplegia sisi kiri Defisit spatial sampai perseptual Penilaian buruk Memperlihatkan ketidaksadaran defisit pada bagian yang sakit oleh karena itu cenderung
(beresiko untuk jatuh) atau cidera lainnya Kelainan pada bidang visual kiri
Spesifik defisit setelah stroke1. Hemiparesis dan hemiplegia: Kelemahan dan paralisis satu sisi tubuh terjadi karena
kerusakan area mata pada kortek atau pada saluran serat piramidal.2. Apraksia adalah suatu kondisi dimana klien dapat menggerakan bagian yang terkena
tetapi tidak dapat digunakan untuk pergerakan dengan tujuan spesipik (berjalan, bicara, pembersihan)
3. Afasia adalah kerusakan dalam menggunakan dan interpretasi simbol bahasa. Afasia mungkin meliputi beberapa atau semua aspek dari penggunaan bahasa seperti berbicara, membaca, menulis, dan mengerti pembicaraan. Katagori afasia adalah:o Afasia sensorik (reseptive aphasia)
disebut juga wernicke aphasia dapat berbicara dengan artikulasi dan gramatikal yang benar tetapi kurang
mampu memahami isi/kata yang dibicarakano Afasia motorik (ekspresif aphasia)
disebut juga broca afasia tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, mungkin mampu bicara
dalam respon kata tunggal.o Afasia Global (kombinasi baik apasia reseptive maupun ekpresif)
4. Disatria adalah kesulitan dalam bentuk kata.o klien mengerti bahasa tetapi kesulitan mengucapkan kata dan menyambungkannya
o disebabkan karena fungsi saraf kranial yang menghasilkan kelemahan dan paralisis
dari otot bibir, lidah dan laring atau kehilangan sensasi.o sering mempunyai kesulitan mengunyah dan menelan makanan (disfagia) karena
rendah kontrol otot.5. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan6. Perubahan penglihatan:
o Homonimus hemianopisa (kehilangan setengah lapang penglihatan pada sisi yang
sama)o Diplopia (penglihatan ganda)
o Penurunan ketajaman penglihatan
o Agnosia (ketidakmampuan mengidentifikasi lingkungan melalui indera). Melalui
visual, pendengaran atau taktil.
7. Perubahan berfikir abstrakKetidakmampuan membedakan kanan dan kiri, ketidak mampuan mengenali nomor (angka) seperti penggunaan telepon atau mengatakan waktu.
8. Emosi labil: frustasi, marah, depresi, ketakutan, permusuhan, keputusasaan, kehilangan kontrol diri dan hambatan sosial.
9. Inkotinensia Tidak semua jenis stroke menghasilkan inkotinensia bowel dan bladder neurogenik bowel dan blader, kadang-kadang terjadi setelah stroke.
f) PenatalaksanaanTindakan medis terhadap pasien stroke meliputi diuretic untuk menurunkan edema
serebral, yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark serebral. Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardivaskuler.
Medikasi anti trombosit dapat diresepkan, karena trombosit memainkan peran yang sangat penting dalam pembentukan thrombus dan embolisasi.
g) Komplikasi Hipoksia serebral
Diminimalkan dengan pemberian oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat yang dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
Aliran darah serebralBergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah
serebral. Hidrasi yang adekuat harus menjamin viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem harus dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
Embolisme serebralDapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral.
A. DISLIPIDEMIA
Pengertian
Dislipidemia merupakan kelaianan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan ( peningkatan atau penurunan ) Fraksi lipid dalam plasma ,kelaianan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total,kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar kolsterol HDL.dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan ,sehingga dikenal sebagai triad lipid, secara klinis dislipidemia diklasifikasikan
menjadi 3 yaitu: hiperkolesteromia, hipertrigliseridemia, dan campuran hiperkolesteromia dan hipertrigliseridemia.
Diagnosis
Klasifikasi kadar kolesterol:Kolesterol LDL <100mg/dL optimal100 – 129 mg/dL hampir optimal130 – 159 mg/dL borderline tinggi 160 – 189 mg/dL tinggi ->190 mg/dL sangat tinggiKolesterol total <200 mg/dL idaman200 – 239 mg/dL borderline tinggi >240 mg/dl tinggi Kolesterol HDL <40 mg/dL rendah > 60 mg/dL tinggi
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. KASUS
Tn.Agus (21 tahun) mengeluh pipi dan mata seperti kedutan dan mencong-mencong ke arah kiri ketika bangun pagi (asimetri pada wajah), rasa baal/ kebas diwajah, air mata tidak dapat dikontrol dan sudut mata turun. Hasil pemeriksaan kehilangan refleks konjungtiva SE (tidak dapat menutup mata, sulit untuk berbicara, air menetes saat minum atau setelah membersihkan gigi, dan Kehilangan rasa di bagian depan lidah, tanda-tanda vital normal, pernafasan normal, jantung normal.
Tugas:
1. Kasus diatas mengarah pada kasus gangguan apa?2. Data-data subyektif maupun pemeriksaan fisik apa yang perlu difokuskan pada kasus diatas
dan bagaimana hasil pemeriksaan fisik dan interview tersebut?3. Sebutkan pemeriksaan penunjang yang tepat dan sebaiknya dilakukan pada kasus diatas4. Sebutkan tindakan pre dan post pemeriksaan serta hasil-hasil pemeriksaan penunjang tersebut5. Buatlah patoflow kasus diatas6. Jelaskan tentang pelaksanaan medis yang sebaiknya dilakukan dan efek samping pemberian
masing-masing obat7. Materi yang harus diberikan pada pendiidkan kesehatan pasien diatas8. Buatlah 3 diagnosa keperawatan dari kasus diatas9. Buat rencana tindakan untuk masing-masing diagnose keperawatan10. Klarifikasi kata-kata asing
B. PEMBAHASAN1. Kasus Tn.A kemungkinan mengarah pada gangguan:
Kasus Tn.A mengarah pada gangguan serebrovaskuler stroke, kemungkinan besar termasuk stroke non.hemoragik karena tidak diiringi oleh hipertensi. Kelompok kami mengarahkan pada riwayat gangguan dislipidemia sebelumnya.
2. Data-data subyektif maupun pemeriksaan fisik perlu difokuskan pada kasus Tn.A dan hasil pemeriksaan fisik dan interview.
Tanggal Data fokus Paraf/nama18 April
2010Data subjektif:Klien mengeluh: Pipi dan mata terasa kedutan dan mencong-
mencong kearah kiri ketika bangun pagi (asimetri pada wajah)
Rasa baal/kebas pada wajah sebelah kiri Air mata tidak dapat dikontrol Sudut mata kiri turun Penglihatan saat ini buram, terutama mata sebelah
kiri Tidak nafsu makan Kesulitan menelan
Isteri Tn.A mengatakan: Sebelumnya Tn.A sering mengeluh tiba-iba
kehilangan pengelihatan dan merasakan baal, tetapi serangan tersebut menghilang selama beberapa jam melakukan istirahat.
Tn.A Memiliki riwayat kolesterol tinggi dan konsumsi obat penurun kolesterol Lovastatin (JUSTIN) 20 mg 1x1
Riwayat merokok 1 (12 batang) bungkus perhari Gemar mengonsumsi makanan yang berlemak Kurang menyukai sayuran, sehingga jarang
Rika Yunita
mengonsumsinya. Jarang olahraga. Bekerja sebagai manager perusahaan swasta
dengan aktivitas rendah. Tidak ada riwayat hipertensi
Data Objektif: Kehilangan reflex konjungitva SE (tidak dapat
menutup mata) Keadaan umum: sedang CM Konjungtiva anemis (-) Reflex patella (+/-) Sulit untuk bicara Air menetes saat minum atau setelah
membersihkan gigi Kehilangan rasa di bagian depan lidah TD 120/90 mmHg N 75 x/menit RR 20 x/menit Suhu : 36,70C BB : 97 kg TB : 180 cm IMT : 29.93 berdasarkan IMT yang dikeluarkan
WHO Tn.A termasuk obese I Bunyi napas vesikuler Bunyi jantung normal Pupil anisokord (tidak terjadi konstriksi pada
pupil kiri.
3. Pemeriksaan penunjang yang tepat dan sebaiknya dilakukan pada kasus Tn.A : Cek darah, kemungkinan hasil:
HEMATOLOGI
Hematologi Hasil Rujukan Satuan HemoglobinHematokritLeukositLED
14377.75
13.2-17.334-45
5.0-10.50-10.0
g/dL%
Ribu/uLMm
LEMAK SERUM
Lemak serum Hasil Rujukan SatuanTrigliseridaKolesterol totalKolesterol HDLKolesterol LDL
18023022150
<150<20028-63<130
mg/dlmg/dlmg/dlmg/dl
JANTUNG
Jantung Hasil Rujukan SatuanCKCK-MBLDHTroponin T
6510200
<0.03
<=1757-25
140-300<300, negative
u/Iu/I
u/I (370C)ng/ml
FUNGSI GINJAL
Fungsi ginjal Hasil Rujukan SatuanAsam urat darahUreum darahCreatinin darah
4250.8
<720-400-40
mg/dlmg/dlmg/dl
DIABETES
Diabetes Hasil Rujukan SatuanGlukosa darah puasaGlukosa darah 2 jam PPGlukosa darah sewaktu
8294102
80-10080-14570-140
mg/dlmg/dlmg/dl
ELEKTROLIT SERUM
Elektrolit serum Hasil Rujukan Satuan
Na KCl PO4MgCa
1404983
2.29
135-1453.5-5.295-1052.5-4.51.5-2.58.5-10.5
mEq/l, mmol/ImEq/l, mmol/lmEq/l, mmol/lmEq/l, mmol/ImEq/l, mmol/lmEq/l, mmol/l
Angiografi serebral:Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri, adanya titik oklusi/ ruptur.Hasil :o Terjadi penyempitan + 70% penyempitan lumen arteri carotid interna dextra
o Oklusi total pada beberapa pembuluh kecil di lobus oksipital dan frontal di hemisfer
kanano Tidak adanya ruptur pembuluh darah maupun perdarahan.
Sinar X tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa yang meluas; kalsifikasi karotis interna terdapat pada trombosis serebral.Hasil : Terjadi kalsifikasi arteri Karotis interna.
4. Tindakan pre dan post pemeriksaan serta hasil-hasil pemeriksaan penunjang kasus Tn.A:
Tidak ada persiapan khusus untuk prosedur yang akan dilakukan pada Tn.A, tetapi beberapa persiapan umum tetap perlu dilakukan: Edukasi pasien: memberikan penjelasan tentang test dan prosedur pemeriksaan yang akan
dilakukan sampai pasien mengerti. Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien. Lakukan informed consent Instrusikan pasien dengan metode untuk mengurangi ketidaknyamanan: teknik relaksasi
dalam. Jaga privasi dan harga diri klien. Untuk prosedur angiografi, bisa dilakukan untuk pemeriksaan lamanya pembekuan darah
untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya perdarahan pasca-prosedur. Setelah tindakan angiolasti lakukan penekanan pada area pungsi arteri. Cek adanya tanda-tanda perdarahan pasca angioplasty Istirahatkan pasien angioplasty selama 24 jam.
5. Patoflow kasus Tn.A
6. Penatalaksanaan medis yang sebaiknya dilakukan pada Tn.A dan efek samping pemberian masing-masing obat
Tanggal No Program Paraf
23 oktober
2009
1
2
3
4
Terapi :Penurun lipid Lovastatin (JUSTIN) 20 mg 1x1 P: diminum bersamaan dengan makan makan malam. Dosis max 80 mgKI : hamil dan laktasi , penyakit hati aktif, hipersensitif terhadap lovastatin ESO: pusing, sakit kepala, konstipasi, diare, dispepsia, perut kembung, kram perut, mual, kuit kemerahan, pruritus, kram otot, mialgia, miopati, astenia, mulut kering, susah tidur, gangguan pengecapan, nyeri dada, iritasi mata, oftatamoplegia, ggn muskuloskeletal, alopesia, peningkatan transminase serum, rabdominilisis, pankreatitis, hepatitis, dan ginekomastia, gangguan pengelaihatan. IO : antikoagulan, niasin atau imunosupresan VasodilatorBensiklan hydrogen fumarat 3 x 100mgIn : gangguan sirkulasi pada tungkai dan otak, ulkus kruris, angipopati.KI: insufisiensi ginjal parahAntikoagulan Ascardia 1x 1000mgTrombolitik Clopisan 1 x 7 mg
Dr. Bisatyo
7. Materi yang harus diberikan pada pendidikan kesehatan pada Tn.A: Stroke ( definisi, etiologi dan factor resiko, penanganan medis, komplikasi) Merokok dan pentingnya untuk menghentikan rokok Manajemen factor risiko Nutrisi yang seimbang
Program penurunan berat badan
8. 3 diagnosa keperawatan dari kasus Tn.A: Penurunan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oklusi arteri karotid interna
akibat peningkatan kadar lipid. Imobilisasi berhubungan dengan hemiplegia bagian tubuh sebelah kiri dan hemiparesi. Nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh b.d intake yang berlebihan.
9. Rencana tindakan untuk masing-masing diagnosa keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria hasil
Intervensi
Penurunan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oklusi arteri karotid interna akibat peningkatan kadar lipid.
Tujuan:Perfusi jaringan serebral kembali normalKriteria Hasil: Tingkat kesadaran
membaik Tanda-tanda vital
normal Tidak terjadi
peningkatan tekanan intrakranial
MANDIRI Tentukan faktor-faktor yang
berhubungan dengan penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya peningkatan intracranial
Pantau status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan standar
Pantau tekanan darah, bandingkan tekanan darah yang terbaca pada kedua lengan
Pantau frekuensi dan irama jantung, auskultasi adanya murmur
Catat pola dan irama dari pernapasan
Evaluasi pupil. Catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksinya terhadap cahaya
Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis
Pertahankan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang, batasi kunjungan. Berikan istirahat periodic antara aktivitas dan perawatan.
Cegah terjadinya mengejan saat
defekasi dan pernapasan yang memaksa (batuk terus menerus)
Kaji kedutan, kegelisahan yang meningkat, peka rangsang dan serangan kejang
KOLABORASI Berikan oksigen sesuai indikasi Berikan obat sesuai indikasi
seperti: antikoagulan, vasodilator dan pelunak feses
Imobilisasi berhubungan dengan hemiplegia bagian tubuh sebelah kiri dan hemiparesi.
Tujuan:Masalah mobilisasi teratasiCriteria hasil:Meningkatkan
kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terkena
Mendemonstrasikan perilaku yang meungkinkan melakukan aktivitas
MANDIRI Kaji kemampuan secara
fungsional/ luasnya kerusakan awal dan dengan cara yang teratur. Klasifikasikan melalui skala 0-4
Ubah posisi minimal setiap 2 jam dan jika memugkinkan bisa lebih sering bila diletakkan dan posisi bagian yang terganggu
Melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas. Anjurkan melakukan latihan seperti latihan quadrisep/gluteal, meremas bola karet, melebarkan jari-jari dan kaki/telapak
Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki selama periode flaksid. Pertahankan posisi kepala netral
Gunakan penyangga lengan ketika pasien pada posisi tegak
Evaluasi pengguanaan kebutuhan alat bantu untuk pengaturan posisi dan pembalut selama periode paralisis spastic
Tempatkan bantal di bawah aksila untuk melakukan abduksi tangan
Tinggikan kepala dan tangan
Tempatkan handroll keras pada telapak tangan dengan jari-jari dan ibu jari saling berhadapan
Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi
Pertahankan kaki pada posisi netral dengan gulungan trokanter
Bantu untuk keseimbangan duduk Inspeksi kulit, terutama pada
daerah-daerah yang menonjolsecara teratur
Bangunkan dari kursi sesegera mungkinsetelah tanda-tanda vital stabil
Susun tujuan dengan pasien/orang terdekat untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan dan mengubah posisi
Menganjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan laithan dengan menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menggerakkan daerah tubuh yang mengalami kelemahan
KOLABORASI Konsultasikan dengan ahli
fisioterapi secara aktif, latihan resesif dan ambulasi pasien
Bantulah dengan stimulasi elektrik, seperti TENS sesuai indikasi
Nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh b.d masukan makanan yang lebih dari kebutuhan tubuh
Tujuan:Nutrisi tubuh seimbang (IMT ideal)Kriteria hasil: Terjadi penurunan
BB maksimal 3 Kg dalam 2 bulan sampai mencapai BB ideal
MANDIRI Kaji penyebab individu
kegemukan Laksanakan/kaji makanan cair
sebelumnya, misal masukan kalori, tipe makanan, kebiasaan makan
Diskusikan emosi/kejadian sehubungan dengan makan
kadar lipid serum menurun ke arah normal lipid <120
Klien mampu mempertahankan penurunan BB ke arah ideal setelah perawatan di RS
Kaji keinginan klien untuk menurunkan BB
Buat rencana makan dengan pasien
Gunakan dengan pengetahuan individu tentang tinggi badan, bentuk badan, usia, jenis kelamin, dan pola makan pribadi, energi dan kebutuhan nutrisi
Tentukan pentingnya menghindari diet berlemak
Diskusikan tambahan tujuan nyata untuk penurunan berat badan mingguan
9. Timbang berat badan secara periodik sesuai individu dan lakukan pengukuran tubuh dengan tepat
Tentukan tingkat aktivitas dan rencana program latihan lanjut sesuai dengan tujuan dan pilihan individu
Kembangkan rencana penyuluhan ulang tentang nafsu makan pasien dengan pasien
Tekankan pentingnya menghindari tegangan pada waktu makan dan tidak makan terlalu cepat
Diskusikan pembatasan masukan garam dan obat diuretik bila digunakan
KOLABORASI: Konsul dengan ahli diet untuk
menentukan kalori/kebutuhan nutrisi untuk penurunan berat badan individu
Pertahankan program puasa dan/atau stabilisasi masalah medik, bila diindikasikan
10. Klarifikasi kata-kata asing Hemiparesis: Kelemahan pada satu sisi tubuh terjadi karena kerusakan area mata pada
kortek atau pada saluran serat piramidal. Hemiplegia: Kelumpuhan pada satu sisi tubuh terjadi karena kerusakan area mata pada
kortek atau pada saluran serat piramidal. Apraksia: suatu kondisi dimana klien dapat menggerakan bagian yang terkena tetapi tidak
dapat digunakan untuk pergerakan dengan tujuan spesifik (berjalan, bicara, pembersihan) Afasia: kerusakan dalam menggunakan dan interpretasi simbol bahasa. Afasia mungkin
meliputi beberapa atau semua aspek dari penggunaan bahasa seperti berbicara, membaca, menulis, dan mengerti pembicaraan.
Disatria adalah kesulitan dalam bentuk kata. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan Homonimus hemianopisa (kehilangan setengah lapang penglihatan pada sisi yang sama) Diplopia : penglihatan ganda Agnosia : ketidakmampuan mengidentifikasi lingkungan melalui indera. Melalui visual,
pendengaran atau taktil.A. Cedera Kepala
1. Pengertian
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang
merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan
faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera Kepala adalah setiap trauma pada kepala yang menyebabkan cedera pada kulit
kepala, tulang tengkorak maupun otak.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera kepala bisa dikelompokkan sebagai cedera kepala tertutup atau terbuka
(penetrasi, luka tembus). Pada cedera kepala tertutup, kepala menerima suatu dorongan
tumpul karena membentur suatu benda. Pada cedera kepala terbuka, suatu benda
berkecepatan tinggi menembus tulang tengkorak dan masuk ke dalam otak.
Cedera kepala dan komplikasinya merupakan penyebab dari sejumlah besar kematian
akibat cedera pada anak-anak. Cedera kepala hebat juga bisa menyebabkan kerusakan yang
serius pada otak yang sedang berkembang, sehingga mempengaruhi perkembangan fisik,
kecerdasan dan emosional anak dan menyebabkan cacat jangka panjang.
Cedera kepala paling sering ditemukan pada anak-anak yang berumur kurang dari 1 tahun
dan pada remaja diatas 15 tahun, serta lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.
Setiap cedera kepala berpotensi menimbulkan akibat yang serius, karena itu setiap anak yang
mengalami cedera kepala sebaiknya diperiksa secara seksama.
2. Klasifikasi Trauma
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
a. Minor
SKG 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
SKG 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
SKG 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
3. Etiologi
Cedera kepala yang berat biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil dan motor.
Cedera kepala yang ringan terutam disebabkan karena anak terjatuh di dalam dan
di sekitar rumah.
Kecelakaan pada saat olah raga.
Cedera akibat kekerasan
4. Tanda dan gejala
Tanda-tanda dan gejala cedera kepala bisa terjadi segera atau timbul secara
bertahap selama beberapa jam. Jika setelah kepalanya terbentur, seorang anak segera
kembali bermain atau berlari-lari, maka kemungkinan telah terjadi cedera ringan.
Tetapi anak harus tetap diawasi secara ketat selama 24 jam karena gejalanya mungkin
saja baru timbul beberapa jam kemudian.
Cedera kepala ringan bisa menyebabkan muntah, pucat, rewel atau anak tampak
mengantuk, tanpa disertai penurunan kesadaran maupun tanda-tanda lain dari
kerusakan otak. Jika gejala terus berlanjut sampai lebih dari 6 jam atau jika gejala
semakin memburuk, segera dilakukan pemeriksaan lebih jauh untuk mengetahui
apakah telah terjadi cedera kepala yang berat.
Gejala berikut menunjukkan adanya cedera kepala serius yang memerlukan
penanganan medis segera:
penurunan kesadaran
perdarahan
laju pernafasan menjadi lambat
linglung
kejang
patah tulang tengkorak
memar di wajah atau patah tulang wajah
keluar cairan dari hidung, mulut atau telinga (baik cairan jernih maupun
berwarna kemerahan)
sakit kepala (hebat)
hipotensi (tekanan darah rendah)
tampak sangat mengantuk.
Rewel
penurunan kesadaran
perubahan perilaku/kepribadian
gelisah
bicara ngawur
kaku kuduk
pembengkakan pada daerah yang mengalami cedera
penglihatan kabur
luka pada kulit kepala
perubahan pupil .
Kontusio (gegar otak) adalah suatu penurunan kesadaran sementara yang terjadi
segera setelah mengalami cedera kepala.
Cedera kepala bisa menyebabkan memar atau robekan pada jaringan otak maupun
pembuluh darah di dalam atau di sekitar otak, sehingga terjadi perdarahan dan
pembengkakan di dalam otak.
Cedera yang menyebar menyebabkan sel-sel otak membengkak sehingga tekanan
di dalam tulang tengkorak meningkat. Akibatnya penderita kehilangan kekuatan
maupun sensasinya, menjadi mengantuk atau pingsan.
Gejala-gejala tersebut merupakan pertanda dari cedera otak yang berat, dan
kemungkinan akan menyebabkan kerusakan otak yang permanen sehingga pasien
perlu menjalani rehabilitasi.
Jika pembengkakan semakin memburuk, tekanan akan semakin meningkat
sehingga jaringan otak yang sehatpun akan tertekan dan menyebabkan kerusakan
yang permanen atau kematian.
5. Perdarahan yang sering ditemukan
Epidural Hematoma
Adalah suatu perdarahan diantara tulang tengkorak dan selaputnya/duramater.
Perdarahan ini terjadi akibat kerusakan pada arteri atau vena pada tulang tengkorak.
Perdarahan menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam otak sehingga lama-lama
kesadaran anak akan menurun.
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat
pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang terdapat di
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat
berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling
sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis. Diagnosis dini sangat penting dan
biasanya tergantung kepada CT Scan darurat.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam
tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.
Gejala-gejala yang terjadi adalah penurunan tingkat kesadaran,nyeri kepala
kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari
sebelumnya,Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat
kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu.
Subdural Hematoma
Adalah perdarahan dibawah duramater, biasanya disertai dengan cedera pada
jaringan otak. Gejalanya berupa rasa mengantuk sampai hilangnya kesadaran,
hilangnya sensasi atau kekuatan dan pergerakan abnormal (termasuk kejang).
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya
terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi
dalam 48 jam - 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau
beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik
diri, berfikir lambat, kejang dan udema pupil.Perdarahan intracerebral berupa
perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejalanya adalah nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
Hematoma intraventrikuler (perdarahan di dalam rongga internal/ventrikel),
Hematoma intraparenkimal (perdarahan di dalam jaringan otak) maupun
hematoma subaraknoid (perdarahan di dalam selaput pembungkus otak), merupakan
pertanda dari cedera kepala yang berat dan biasanya menyebabkan kerusakan otak
jangka panjang.
6. Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi
primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,
jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar
otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak),
fraktur impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma
kepala menunjukkan bahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami fraktur
tengkorak. Fraktur tanpa kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma
pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat
merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat
hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah
telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal
lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga
menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung
menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat
penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik
pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio
dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal
sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut.
Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis
spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke
dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara
mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di batang otak.
Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada
batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina
kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah
oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal.
Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak) 2 , dan tidak
banyak yangmengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum.
Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI
karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat
segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema
otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks
cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii.
Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi
sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan
pada pemeriksaan.
Gangguan Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah
beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih
kembali, karena penyebabnya adalah edema. Kerusakannya terjadi di kanalis
fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang telinga. Banyak
didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan
pendengaran maupun keseimbangan.Edema juga merupakan salah satu
penyebab gangguan.
Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena
kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan
gangguan pada saraf- saraf tersebut.
Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat
langsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding
arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma. Aneurisma pasca
traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, dan potensial untuk nantinya menimbulkan
perdarahan subaraknoid. Robekan langsung pembuluh darah akibat gaya geseran
antar jaringan di otak sewaktu trauma akan menyebabkan perdarahan subaraknoid,
maupun intra serebral. Robekan pada vena-vena yang menyilang dari korteks ke sinus
venosus (bridging veins) akan menyebabkan suatu subdural hematoma.
7. Pemeriksaan Penunjang
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
Darah lengkap
8. Penatalaksanaan medis
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut:
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi
d. pasien diistirahatkan atau tirah baring
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi
9. Dampak Cedera Kepala
a. Faktor pernafasan
Hypertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh vasokonstriksi paru,
hypertensi paru, dan oedema paru. Hal ini menyebabkan hypercapnea dan
bronkokonstriksi. Sensitifitas yang meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap
karbondioksida dan periode setelah hyperventilasi akan menyebabkan pernafasan
chynestoke.
b. Faktor kardiovaskuler
Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup aktivitas
atycikal myocardinal, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel / perubahan gelombang T, gelombang P tinggi dan disritmia, vibrilasi atrium
dan ventrikel tachycardia. Perubahan aktivitas myokardial mencakup peningkatan
frekuensi jantung dan menurunnya stroke work, CVP abnormal. Dengan tidak adanya
endogenous stimulus saraf simpatis, maka akan mempengaruhi penurunan kontraktilitas
ventrikel. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan tekanan
atrium kiri sehingga terjadi oedema paru.
c. Faktor gastrointestinal
Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan,
tetapi setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan merangsang aktivitas
hypthalamus dan stimulus vagus yang dapat menyebabkan langsung hiperacidium.
Hypothalamus merangsang anterior hypofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini
merupakan kompensasi tubuh dalam mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani
oedema cerebral. Hyperacidium terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran
katekolamin dalam menangani stres yang mempengaruhi produksi asam lambung.
d. Faktor metabolisme.
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada trauma
tubuh lainnya, yaitu kecendrungan retensi sodium / natrium dan air serta hilangnya
sejumlah nitrogen.
Retensi natrium disebabkan karena adanya rangsangan terhadap hypothalamus yang
dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran
dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi natrium. Kemudian natrium
keluar bersama urine, hal ini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya
retensi natrium.
Pada pasca hypotermia hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respon
metabolik terhadap cedera, karena adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk
menangani perubahan seluruh sistem, tetapi makanan yang masuk kurang sehingga
terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama, demikian pula respon
hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi sekresi kortisol, hormon pertumbuhan
dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis metabolik karena
adanya metabolisme anaerob glukosa
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Kasus 2
Nn. Noni (20 tahun) masuk UGD dengan kecelakaan lalu lintas sepeda motor, ditemukan
pingsan , GCS 10, gelisah, mata lebam, dan luka pada frontal kanan, TD 130/90 mmHg, N=
110 x/menit, S= 36,2 derajat C. Hasil CT scan menunjukkan ada perdarahan yang cukup
banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan. Nn.noni diputuskan untuk
dirawat di ruang intermediate care. Keesokan harinya ditemukan Klien GCS menurun
menjadi 7, N = 65 x/menit, P = 10x/menit, TD 160/100mmHg, S= 38,5 derajat C, refleks
pupil kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada ekstremitas kiri dan kilen gelisah.
Pembahasan kasus :
Diagnosa medis : Cedera Kepala berat pada daerah subdural hematoma
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas
lapisan arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan
darah vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai
frekuensi jatuh yang tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan
vena yang menimbulkan permukaan otak dibawah tekanan lebih besar.
a) Hematoma Subdural AkutTrauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam
ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan. Pengobatan terutama tindakan bedah.
Lebih dari sepertiga pasien mempunyai lucid interval yang berakhir dalam menit atau hitungan jam sebelum koma, tetapi kebanyakan komatose didapatkan dari saat kejadian. Trauma cranial langsung dapat minor dan tidak dibutuhkan perdarahan subdural akut untuk timbul, terutama pada orang tua dan mereka yang menggunakan medikasi antikoagulan. Tahanan Akselerasi sendiri, dari kejadian, terkadang cukup untuk menimbulkan suatu perdarahan subdural. Nyeri kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang sama adalah lebih sering tetapi tidak tampak seringnya. Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil merupakan tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr holes atau pada craniotomy dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak membutuhkan evakuasi.b. Hematoma Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat sindroma hematom subdural timbul berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau hemiparesis ringan; hal ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang tua, seringkali setelah trauma minor.
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas pada satu atau kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal, dan sedikit sering pada fosa mid inferior atau melalui oksipital. Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity hematomas sedikit lebih sering dan sulit untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang diharapkan pada setiap kerusakan wilayah biasanya dapat dideteksi. Perdarahan yang dapat menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan vena, meskipun perdarahan arterial tambahan ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi dan beberapa hematoma yang besar memang berasal dari arteri. Dan patofisiologi dari Hematoma subdural adalah
Cedera kepala berat
Bergesernya seluruh parenkim otak
Kerusakan arteri kortikalis
Perdarahan jaringan otak
Meningkatnya jaringan otak dan herniasi batang otak diforamen magnum
Deficit neurologis progresif tulang batang otak
Kelemahan motorik gangguan pernapasan darah dan nadi
Proses Keperawatan
I. PengkajianTanggal 17 april 2010
Data Objektif :
Klien kecelakaan lalu lintas sepeda motor , ditemukan pingsan.
GCS 10
Gelisah
Mata lamban
Luka pada frontal kanan
TD 130/90 mmHg
N : 110x/mnit
S: 36,2 derajat C
Hasil CT scan menunjukkan ada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan.
Tanggal 18 april 2010
Klien GCS menurun menjadi 7
N = 65 x/menit
P = 10x/menit
TD 160/100mmHg
S= 38,5 derajat C
refleks pupil kanan/kiri midriasis
ditemukan kelemahan pada ekstremitas kiri dan kilen gelisah.
II. WawancaraJika pasien tidak sadar/koma maka data-data yang diperlukan untuk mengetahui riwayat
keperawatan yang dapat diambil dari keluarga, teman atau orang-orang yang dekat dengan pasien, terutama yang berada disekitar kejadian untuk mengetahui :
Kapan waktu kejadian? Apa penyebab terjadinya trauma kepala? Bagaimana posisi saat kejadian? Bagaimana kecepatan proyektilnya? Apakah terjadi pingsan/riwayat kehilangan kesadaran? Apakah ada perdarahan melalui mulut, hidung dan telinga? Riwayat lain yang perlu dikaji yaitu riwayat medis dan pembedahan, penggunaan
alkohol atau obat-obatan? Riwayat kesehatan sebelumnya? Pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian?
III. Pemeriksaan fisikKaji tanda-tanda vital
Suhu meningkat, bisa mencapai 40 derajat Celsius, Nadi bradikardi, pada keadaan berat nadi takhikardi, Pernafasan tidak teratur bradipnea, pada keadaan berat cheyne stokes, bila
kontusio terjadi karena incisura tentorial maka pernafasan mengorok. Pada tekanan darah terdapat peningkatan darah sistolik dengan tekanan
darah diastolik yang stabil/turun.
Pada pemeriksaan kepala dan leher, pemeriksaan seluruh kepala untuk mengetahui adanya fraktur tengkorak, perdarahan lubang hidung, telinga dan mulut. Bila ada cairan keluar berwarna putih menunjukkan adanya kebocoran pada cerebrospinal.Periksa leher pasien dan tentukan apakah ada tanda-tanda fraktur di daerah servical. Dian dan James mengatakan bahwa 20 % pasien trauma kepala juga mengalami fraktur servikal. Hal ini penting diketahui karena jika ada kecurigaan maka resusitasi (tindakan memperlancar pernafasan pasien) hendaknya tanpa hiperekstensi leher atau rotasi, terutama pada fraktur cervical tinggi dapat mengakibatkan kematian mendadak.Pengkajian tingkat kesadaran, pada pasien trauma kepala terutama kontusio karena merupakan prediktor dan indikator prognosis yang sensitif. Alat yang dipakai untuk menentukan atau mengukur tingkat kesadaran yaitu : Skala Coma Glasgow.Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang. Sistem pencernaan : Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar tanyakan pola makan? Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik, hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
IV. Pemeriksaan penunjang
Hasil CT scan menunjukkan ada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan
laboratoriumPemeriksaan Hasil Nilai normal
Darah lengkap Leukosit Eritrosit Hb Trombosit LED
Kalsium Natrium AGD
PH PCO2 PO2 HCO3
10.0004,0 12 mg/dl190 17 mm/jam
3,16 mmol/l 136 mmol/l
7, 00 30 mmHg 110 mmHg 23
L 4.700 – 10.300 P 4.500 – 11.300L 4,33 – 5,95 P 3,9 – 4,5L 13,4 – 17,7 P 11,4 – 15,1150 – 350L < 15 P < 20
<3,75 mmol/24 jam135 – 145 mmol/l
7,35 – 7,4535 – 45 mmHg95 – 100 mmHg21- 28
II. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tak efektif b.d kerusakan neurovaskuler yang dimanifestasikan oleh P = 10x/menit
2. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi,hematoma) yang dimanifesatasikan oleh perubahan ingkat kesadaran, gelisah, Klien GCS menurun menjadi 7, N = 65 x/menit, P = 10x/menit, TD 160/100mmHg, dan S= 38,5 derajat C
3. Risiko tinggi nutiris kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran, status hipermetabolik.
4. Risiko tinggi kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan atau tahanan yang dianifestasikan oleh kelemahan pada ekstremitas kiri
III. Perencanaan Diagnosa 1 : Pola napas tak efektif b.d kerusakan neurovaskuler yang dimanifestasikan oleh P = 10x/menitTujuan :
pola nafas efektif mencegah/meminimalkan komplikasi
Kriteria hasil: pola nafas normal/efektif bebas sianosis GDA dalam batas normal
Perencanaan RasionalParaf
perawatMandiri
1. Pantau frekuaensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan
2. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien sadar.
3. Auskultasi suara nafas, perhatikan daerah hiperventilasi dan adanya suara-suara tambahan yang tidak normal (krekels, ronki, mengi)
1. Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis
2. Mencegah/menurunkan atelektasis
3. Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi serebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru (umumnya merupakan komplikasi dari cedera kepala)
4. Pantau penggunaan dari obat-obat depresan pernapasan, seperti sedative
KolaboratifPantau atau gambarkan analisa gas darah, tekanan oksimetri
Lakukan ronsen toraks ulang
Berikan oksigen
4. Dapat meningkatkan gangguan/komplikasi pernapasan
1. Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi
2. Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang berkembang (seperti atelektasis dan bronkopneumonia)
3. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik
Diagnosa 2 : Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi,hematoma) yang dimanifesatasikan oleh perubahan ingkat kesadaran, gelisah, Klien GCS menurun menjadi 7, N = 65 x/menit, P = 10x/menit, TD 160/100mmHg, dan S= 38,5 derajat C Tujuan :
Memaksimalkan perfusi atau fungsi serebral Mencegah atau meminimalkan komplikasi
Kriteria hasil : Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisi, dari fungsi
motorik/sensori Tanda vital dalam batas normal Tak ada peningkatan tekanan intracranial
Perencanaan RasionalParaf Perawat
Mandiri 1. Otak Tentukan faktor-faktor yang
berhubungan dengan kedaan tertentu atau yang menyebabkan
Menentukan pilihan intervensi. Penurunan tanda /gejala neurologis atau kegagalan dalam
koma/penurunan perfusi jaringanotak dan potensial peningkatan tekanan intrakranial
2. Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya skala koma glascow)
3. Pantau Td, catat adanya hipertensi sistolik secara terus-menerus dan tekanan nadi yang semakin berat.
4. Frekuensi jantung, catat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainnya.
5. Pantau pernafasan meliputi pola dan iramanya.
6. Evaluasi keadaan pupil.
7. Kaji perubahan penglihatan
pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukkan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau TIK dan/atau pembedahan. 2. Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan, dan perkembangan kerusakan SSP3. Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan darah diastolic (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.4. Perubahan ritme (paling sering bradikardi) adan disritmia dapat timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang otak pada pasien yang mempunyai kelainan jantung sebelumnya. 5. Nafas yang tidak teratur dapat menunjukkan lokasi adanya gangguan serebral/peningkatan TIK.6. Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.
7. Gangguan penglihatan yang dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak, mempunyai konsekuensi terhadap keamanan dan
8. Pantau suhu lingkungan dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi.
9. Pantau pemasukan dan pengeluaran.
10. Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah atau pada posisi netral, sokong dengan gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
11. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan dan tingkah laku yang tidak sesuai lainnya.
Kolaborasi Berian oksigen tambahan sesuai indikasi
Pantau GDA/oksimetri
Berikan obat sesuai indikasi :Anti konvulsan (fenotoin, dilantin)
Sedative , difenhidramin
Antipiretik , asetaminofen (tylenol)
juga kan mempengaruhi pilihan intervensi.
8. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
9. Bermanfaat sebagai indicator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.
10. Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah vena, yang selanjutnya kan meningkatkan TIK.
11. Petunjuk nonverbal ini mengindikasikan adanya peningkatn TIK atau menandakan adanya nyeri ketika pasien tidak dapat mengungkapkan keluhannya secara verbal.
Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume serebral yang meningkatkan TIK.
Menetukan kecukupan pernapasan
Untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang.
Untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi
Menurunkan atau mengendalikan demam dan mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau
Diuretik (manitol)
Persiapan untuk melakukan pembedahan
peningkatan terhadap kebutuhan oksigen.
Dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.
Kraniotomi atau trefinasi mungkin diperlukan untuk memindahkan fragmen tulang, evakuasi hematoma, mengendalikan hemoragik, dan membersihkan jaringan nekrotik.
Diagnosa 3 : Risiko tinggi nutiris kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran, status hipermetabolik.
Tujuan : nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadiKriteria hasil :
Tidak mengalami tanda-tanda gangguan nutrisi, dengan nilai laboratorium dalam rentang normal
Pemeliharaan dan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan
Perencanaan RasionalParaf
perawatMandiri
1. Kaji kemampuan pasien dalam menelan, mengunyah, batuk, dan mengatasi sekresi.
2. Auskultasi bising usus , catat adanya penurunan / hilangnya suara yang hiperaktif
3. Jaga keamanan saat memberikan makanan pada pasien
4. Kaji feses, cairan lambung, muntah darah dan sebagainya
1. Factor ini menentukan peilihan jenis makanan sehingga pasien harus terlindungi dari aspirasi.
2. Fungsi saluran pencernaan bisanya tetap baik pada kasus cedera kepala
3. Menurunkan regurgitasi dan/atau terjadinya aspirasi
4. Perdarahan sub akut/akut dapat terjadi dan perlu intervensi dan metoda
Kolaborasi Konsultasi dengan ahli gizi
Pantau pemerisaan lab (albumin, zat besi, elektrolit darah)
Berikan makanan dengan cara yang sesuai (NGT, oral, cair , lunak)
alternative pemberian makanan.
Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/ nutrisi
Mengidentifikasi efisiensi nutrisi, fungsi organ, dan respon terhadap terapi nutrisi tersebut.
Pemilihan rute dan jenis makanan tergantung pada kebutuhan dan kemampuan pasien
Diagnosa 4 : Risiko tinggi kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan atau tahanan yang dianifestasikan oleh kelemahan pada ekstremitas kiri
Tujuan : kerusakan mobilitas fisik tidak terjadiKriteria hasil :
Mempertahan / meningkatakan fungsi bagian tubuh yang sakit dan atau kompensasi.
Mempertahankan intregitas kulit, kandung kemih, dan fungsi usus
Perencanaan RasionalParaf perawat
Mandiri 1. Periksa kembali kemampuan
dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi
2. Letakkan pasien dalam posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
3. Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau urine
1. Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
2. Perubahan posisi yang teratur menyebabkan penyebarab terhadap berat badan dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh tubuh.
3. Pemakaian kateter Foley selama fase akut mungkin dibutuhkan untuk jangka waktu panjang sebelum memungkinkan untuk melakukan latihan kandung kemih.
4. Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh toleransi oleh neurologis dan jantung)
5. Berikan perawatan kulit dengan cermat
4. Sesaat setelah fase akut cedera kepala dan jika pasien tidak memiliki factor kontraindikasi yang lain.
5. Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko terjadinya eksoriasi kulit.
Dari kasus diatas maka pelaksanaan yang dapat dilakukan adalah : Konservatif
a. Sebagaimana dengan pasien trauma lain, resusitasi dimulai dengan ABCs (airway, breathing, circulation). o Semua pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi untuk
perlindungan jalan nafas.o Setelah menstabilkan fungsi jalan nafas, lakukan pemeriksaan neurologis.
Respirasi yang adekuat sebaiknya dilakukan dan dijaga untuk menghindari hipoksia. Hiperventilasi dapat digunakan jika sindrom herniasi tampak.
o Tekanan darah pasien harus dijaga pada kadar normal atau tinggi dengan
menggunakan salin isotonic, penekan, atau keduanya. Hipoksia dan hipotensi, dimana penting pada pasien dengan trauma kepala, merupakan predictor yang independen untuk hasil yang buruk.
b. Pasien juga sebaiknya dihiperventilasikan ringan (pCO2 adalah 30-35 mm Hg).c. Jangan memberikan steroid, sebagaimana mereka telah ditemukan tidak efektif pada
pasien dengan trauma kepalad. Pemberian obat :
Diuretik : untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak, dan TIKAnti konvulsan : untuk mencegah aktivitas kejangSedatif : euntuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Sedatif kerja singkat dan paralitik digunakan hanya ketika diperlukan untuk memfasilitasi ventilasi adekuat atau ketika peningkatan tekanan intracranial dicurigai. Jika pasien menampakkan tanda sindrom herniasi, berikan manitol 1grkg dengan cepat melalui intravena Antipiretik : menurunkan dan mengendalikan deman
OperatifTindakan eksploratif burrhole dilanjutkan tindakan kraniotomi, pembukaan dura,
evakuasi hematoma dengan irigasi memakai cairan garam fisiologis. Sering tampak jaringan otak edematous.
Disini dura dibiarkan terbuka, namun tetap diperlukan penutupan ruang likuor hingga kedap air. Ini dijalankan dengan bantuan periost. Perawatan pascabedah ditujukan pada faktor-faktor sistemik yang memungkinkan lesi otak sekunder.
Fraktur impresi terbuka (compound depressed fracture). Indikasi operasi terutama adalah debridement, mencegah infeksi. Operasi secepatnya dikerjakan. Dianjurkan sebelum lewat 24 jam pertama. Pada impresi tertutup, indikasi operasi tidak mutlak kecuali bila terdapat kemungkinan lesi massa dibawah fraktur atau penekanan daerah motorik (hemiparesis dan lain-lain).
Indikasi yang lain (lebih lemah), ialah kosmetik dan kemungkinan robekan dura. Diagnosis dengan x foto kepala 2 proyeksi, kalau perlu dengan proyeksi tangensial. Impresi lebih dari tebal tulang kepala pada x foto tangensial, mempertinggi kemungkinan robekan dura. X foto juga diperlukan untuk menentukan letak fragmen-fragmen dan perluasan garis fraktur; dengan ini ditentukan pula apakah fraktur menyilang
sinus venosus. Impresi fraktur tertutup yang menyilang garis tengah merupakan kontra indikasi relatif untuk operasi, dalam arti sebaiknya tidak diangkat bila tidak terdapat gejala yang mengarah pada kemungkinan lesi massa atau penekanan otak.
Dalam hal fraktur impresi terbuka yang menyilang sinus venosus maka persyaratan untuk operasi bertambah dengan :
bila luka sangat kotor.bila angulasi besar.bila terdapat persediaan darah cukup.bila terdapat ketrampilan (skill)dan peralatan yang cukup.
Indikasi dari dekompresi mendesak untuk subdural hematoma akut telah dilakukan sebelumnya, dan managemen operasi didiskusikan dengan ringkas.
Standar kebalikan pertanyaan menandakan insisi untuk memberikan akses yang besar terhadap wilayah frontal, temporal dan parietal.
Pasien diposisikan supine dengan kepala menghadap sisi yang perlu. Penahan bahu ditempatkan untuk mencegah vena jugularis. Alat Fiksasi kepala 3 titik digunakan pada pasien dengan fraktur medulla spinalis yang tidak stabil.Seluruh kepala dicukur duntuk memfasilitasi penempatan monitor tekanan intracranial pada sisi kontralateral, jika diinginkan.
Pelubangan eksplorasi jarang diindikasikan tetapi terkadang digunakan sebagai pengukuran untuk keselamatan hidup. Pasien dengan trauma kepala dapat secara cepat ditriasekan dan dievakuasi dengan pusat trauma melalui CT Scan, membuat perlubangan eksplorasi manjadi ketinggalan. Bagaimanapun, perlubangan kepala dapat digunakan untuk dekompresi mendesak pada pasien yang menunjukkan herniasi cepat jika akses untuk studi radiografi tidak ada.
SDH seringkali dikaitkan dengan pembengkakan otak akut. Secara ironis, dekompresi cepat subdural hematom melalui craniotomy pada pasien ini dapat menyebabkan kerusakan terhadap otak dengan menjadi herniasi melalui defek kraniotomi. Metode novel untuk dekompresi dianjurkan untuk mencegah otak dari kerusakan melalui defek kiraniotomi. Sumbatan dapat dipindahkan melalui pembukaan dura yang kecil.